tinjauan pustaka

20
TINJAUAN PUSTAKA FRAKTUR MAXILLOFACIAL Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada  proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. 1 Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan  jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula). 2  Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial, dan luka tembak. 3 Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001, dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka dengan cedera lain. Kebanyakan traumda dengan cedera otak. Karakteristik 385  pasien fraktur tulang muka di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006 mendapati 348 pasien pria (90,4%) dan 37 pasien perempuan (9,6%); 107 pasien (27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat; 278 pasien (72,2%) menderita cedera kepala ringan; 90% menderita fraktur mandibula, 267 pasien menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan kombinasi; 232 (60,3%) menggunakan helm da 153 (39,7%) tanpa menggunakan helm. 2

Upload: prasastinita

Post on 10-Oct-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

maksilofacial

TRANSCRIPT

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    1/20

    TINJAUAN PUSTAKA

    FRAKTUR MAXILLOFACIAL

    Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula

    merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada

    daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang

    menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada

    proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1

    Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan

    satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang

    terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan

    jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi

    otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).2

    Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda

    motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya

    akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial,

    dan luka tembak.3

    Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma

    tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001,

    dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka

    dengan cedera lain. Kebanyakan traumda dengan cedera otak. Karakteristik 385

    pasien fraktur tulang muka di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006

    mendapati 348 pasien pria (90,4%) dan 37 pasien perempuan (9,6%); 107 pasien

    (27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat; 278 pasien (72,2%)

    menderita cedera kepala ringan; 90% menderita fraktur mandibula, 267 pasien

    menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan

    kombinasi; 232 (60,3%) menggunakan helm da 153 (39,7%) tanpa menggunakan

    helm.2

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    2/20

    2.1 Definisi Fraktur Maksilofasial

    Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

    Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah

    yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

    mandibula.3

    2.2 Etiologi

    Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu

    dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan

    akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari

    tindakan kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu

    lintas.4,5,6

    Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada

    pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang

    keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,

    seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya

    kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990),

    dalam studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-

    1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang

    tidak menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka

    alami.2,7

    2.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

    Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa

    fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus

    zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila

    yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.8

    2.3.1 Fraktur Komplek Nasal

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    3/20

    Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi

    yang lebih umum adalah bahwa frakturfraktur itu meluas dan melibatkan

    proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.8,9

    Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang

    kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer

    dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena

    fraktur.9

    Perpindahan tempat fragmen fragmen tergantung pada arah gaya

    fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan

    tulang hidung dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses

    frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi. Dalam penelitian retrospektif

    Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal

    sebesar 12,66%.7,10

    2.3.2 Fraktur Komplek Zigoma

    Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,

    tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang tulang tersebut

    biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat

    bila injuri semacam ini disebut fraktur kompleks zigomatik.11

    Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma

    beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura

    zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau

    pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi

    merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa

    terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.11

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    4/20

    Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

    Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

    Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur tripod,

    namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang

    berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita,

    penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.11

    Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur

    zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus,

    yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan

    secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau

    mendapat perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma

    sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim

    Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    5/20

    7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi

    fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.11

    2.3.3 Fraktur Dentoalveolar

    Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya

    gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang

    terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau

    bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.12

    Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya

    injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan

    fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.12

    Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi

    insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas

    dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini

    menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau

    bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir

    atas.12

    Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang

    terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada

    saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan

    gigi yang hilang setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat

    radiograf dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat

    terjadinya kecelakaan.12

    Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya

    hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan

    fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada

    ilmu eksodonti. 12

    Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya,

    pada beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya

    menunjukkan persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.12,13

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    6/20

    2.3.4 Fraktur Maksila

    Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur

    maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur

    Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya,

    insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.

    2.3.4.1 Fraktur Le Fort I

    Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau

    bergabung dengan frakturfraktur Le Fort II dan III.

    Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur

    transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di

    atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan

    pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum

    bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang

    terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur

    transmaksilari.13

    2.3.4.2 Fraktur Le Fort II

    Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis

    mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan

    dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.

    Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang

    sering terkena.13

    Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,

    bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat

    gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga

    gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12,,13

    2.3.4.3 Fraktur Le Fort III

    Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.

    Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya

    yakni basis kranii.12,,13

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    7/20

    Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang

    mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang

    bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk

    mengakibatkan trauma intrakranial.12,,13

    Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

    2.3.5 Fraktur Mandibula

    Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma

    kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat

    terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan

    trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota

    besar, setiap harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering

    terlihat.15

    Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi,

    dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan

    fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala

    lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas

    segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam

    menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak.

    Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat

    terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ),

    angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.15

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    8/20

    Gambar 7. Fraktur Mandibula

    Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus

    mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas

    sewaktu dipalpasi.15

    Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur

    kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai

    maloklusi dengan rasa sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya,

    dikatakan bahwa fraktur mandibula merupakan fraktur terbanyak yang

    terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, dengan

    masing-masing persentase sebesar 51% dan 72,8%.7, 15

    2.4 Pemeriksaaan Klinis

    Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat

    dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra

    oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu

    dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial31

    2.4.1 Fraktur Komplek Nasal

    Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua

    pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi,

    epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    9/20

    palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema,

    hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk. Pada pemeriksaan

    intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada

    tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat

    bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal

    kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan,

    Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas

    hidung.10,16

    2.4.2 Fraktur Komplek Zigoma

    Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam

    dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata

    juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan

    subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah

    zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada

    tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

    visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis

    pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan

    penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri.

    Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di

    daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur

    komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks,

    proyeksi waters dan CT scan. 11,16

    2.4.3 Fraktur Dentoalveolar

    Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua

    pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    10/20

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah

    bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir.

    Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan

    palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan

    lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi

    terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur dentoalveolar

    dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.16

    2.4.4 Fraktur Maksila

    Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort

    III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut

    berbeda.

    2.4.4.1 Le Fort I

    Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua

    pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.

    Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.

    Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi

    dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.

    Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan

    fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah

    anterolateral.13,16

    2.4.4.2 Le Fort II

    Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua

    pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    11/20

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan

    edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung

    bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang

    dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,

    pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi

    dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika

    dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat

    bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan

    dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral,

    foto wajah polos dan CT scan.13,16

    2.4.4.3 Le Fort III

    Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra

    oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan

    visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah

    kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes

    mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian

    atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan

    dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan

    CT scan.13,16

    2.4.5 Fraktur Mandibula

    Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua

    pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

    ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

    visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang

    mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara

    palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan

    dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya

    gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat,

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    12/20

    terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami

    fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada

    garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan

    pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik

    tomografi ( panorex ) dan helical CT.14,15,16

    Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor

    Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks

    zigomatik

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    13/20

    Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar

    Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le

    Fort II (kiri)

    Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah).

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    14/20

    Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang

    meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur

    simphisis kanan.

    2.5 Perawatan

    Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu

    sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada

    masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif

    dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan

    kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar)

    yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada

    pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu

    perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk

    membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan

    tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan.17,18,19

    2.5.1 Fraktur Komplek Nasal

    Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan

    yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi

    dibawah analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal

    lewat mulut yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi

    perdarahan banyak. Kadang kadang bila fraktur tidak begitu parah maka

    pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu. Pada beberapa kasus,

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    15/20

    pendawaian langsung antar tulang pada pertemuan dahi-hidung akan

    bermanfaat.20,21

    2.5.2 Fraktur Komplek Zigoma

    Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.

    Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies

    klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :

    a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

    b. Mengidentifikasi fasia temporalis,

    c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari

    aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam

    untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus

    dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang

    lebih normal.

    Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen

    fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies.

    Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat

    sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-

    fragmen secara efektif.22,23

    Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus

    zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial

    dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    16/20

    Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki

    mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut

    masih dapat dilestarikan.23,24

    Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut

    diperbaiki jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut

    bertujuan untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar

    ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan

    dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint komposit atau splin

    ortodonsi selama 4 - 6 minggu.24

    Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang

    yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang

    berada diatas daerah tulang yang telah rata.24

    2.5.4 Fraktur Maksila

    Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

    maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari

    pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,

    maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau

    secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

    Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort

    I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan

    dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan

    molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat

    dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan

    langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis

    dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis

    frontalis.25,26,27,28

    2.5.5 Fraktur Mandibula

    Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup

    / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    17/20

    fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan

    peralatan fiksasi maksilomandibular.30

    Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan

    pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan

    menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini

    tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.30

    2.6 Prognosis

    Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan

    dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika

    penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan

    menjadi masalah.2

    Trauma kendaraa sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat

    menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur

    bedah multiple dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak

    karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli

    bedah plastik.2

    2.7 Pencegahan

    Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang

    melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma

    maxillofacial.2

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    18/20

    DAFTAR PUSTAKA

    1.

    Corry J. Kucik, Timothy Clenney, James Phelan. 2004. Management of

    Acute Nasal Fractures. Am Fam Physic; 70 (7): 1315-20.

    2. Michael F Zide. 1992. Nasal and Nasoorbital Ethmoid Fractures. In: Dina

    K Rubin, Delois Patterson, Darlene BC.Principles of Oral and

    Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Lippincott;p.547-57

    3.

    Weller MD, Drake AB. 2006. A Review of Nasal Trauma.Brit Med J.

    London; 8 (1): 21-8.

    4. Gregory Staffel. 1998. Nasal Fracture. Current Therapy in Otolaringology

    Head and Neck Surgery. 6th ed. Saints Louis: Mosby Company.p.133-4.

    5. James K Pitcock, Robert M Bumsted. 1991. Nasal Fractures. In: Raymond

    J Fonseca, Robert V Walker, editors. Oral and Maxillofacial Trauma.

    Philadelphia: WB Saunders;p.600-15.

    6.

    Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH. 1995. Diagnosis and Management of

    Nasal Fractures. Int J Trauma Nurs; 1: 11-8.

    7. Brian Rubinstein, Bradley Strong. 2000. Management of Nasal Fractures.

    Arch Fam Med; 9: 738-42

    8. Terry l, Carmen E, Robert H. 1998. Facial Fracture Classification

    According to Skeletal Support Mechanisms.American Medical

    Association.

    9. Marshall AH, Johnston MN, Jones NS. 2004.Principles of septal

    correction.

    J Laryngol & Otolog; 118: 129-34.

    10.Ogundipe OK, Afolabi AO, Adebayo O. 2012. Maxillofacial Fractures in

    Owo, South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review of Pattern

    and Treatment Outcome. OMICS Publishing Group. 2:4.

    11.Hisao O, Yoshiaki S, Kazuo K. 2013A New Classification of Zygomatic

    Fracture Featuring Zygomaticofrontal Suture: Injury Mechanism and a

    Guide to Treatment. Plastic surgery: An International Journal.

    http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=569678081&SrchMode=1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190295091&clientId=72459http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=569678081&SrchMode=1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190295091&clientId=72459http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=569678081&SrchMode=1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190295091&clientId=72459http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=569678081&SrchMode=1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190295091&clientId=72459http://proquest.umi.com/pqdweb?index=1&did=569678081&SrchMode=1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1190295091&clientId=72459
  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    19/20

    12.

    Truong AQ, Strong EB, Dublin AB. 2012. Lateral Pterygoid Fracture Can

    Predict a Mandible Fracture. Otolaryngology, Head and Neck Surgery.

    Vol 147, pp 128.

    13.Archer KA, Kopp, Goyal P, Kellman RM, Suryadevara A. 2013.

    Comparison of Complication Rates with and without Arch Bar Use in

    Treatment of Mandible Fractures. Vol 149, pp 36.

    14.Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005.Use of Three-Dimensional

    Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.

    Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219

    15.

    Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial FracturesSeen At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study.

    Oral Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago

    Hospital, Complex Mulago Hill. Clinics; 64(9): 843848

    16.Kumar YR, Chaudhary Z, Sharma P. 2012. Spiral intermaxillary fixation.

    Craniomaxillofac Trauma Reconstruction; 5:978

    17.

    David B, Coen PD. Management of zygomatic-maxilarry fracture ( The

    principles of diagnosis and surgical treatment with a case illustration).

    2008. DentJ Vol 41: 77-83

    18.Lee SJ, Lee HP, Tse KM, Cheong EC, Lim SP. 2012. Computer-aided

    design and rapid prototypingassisted contouring of costal cartilage graft

    for facial reconstructive surgery. Craniomaxillofac Trauma

    Reconstruction; 5:7582

    19.Krausz AA, Abu el-Naaj, Barak M. 2009. Maxillofacial trauma patient:

    coping with the difficult airway. World Journal of Emergency Surgery;

    4:21

    20.

    Tucker MR, Ochs MW. 2003. Management of facial fractures. Dalam :

    Peterson lj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis:

    mosby co.

    21.Prasetiyono A. 2005. Penanganan fraktur arkus dan kompleks

    zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons; 1: 41-

    50.

    22.

    Col PK, MajGen M. 2009. Management of Zygomatic Complex fracture

    in Armed Forces. MJAFI 2209;65 :128-130.

  • 5/20/2018 TINJAUAN PUSTAKA

    20/20

    23.

    Ellis E. 2005. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam :

    fonseca rj et al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier.

    24.Piombino P, Iaconetta G, Ciccarelli R, Romeo A, Spinzia A, Califano L.

    2010. Repair of Orbital Floor Fractures: Our Experience and New

    Technical Findings. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction;3:217222.

    25.Manolidis S, Weeks B H, Kirby M, Scarlett M, Hollier L. 2002.

    Classification and surgical management of orbital fractures: experience

    with 111 orbital reconstructions. J Craniofac Surg.;13:726737.

    26.Tong L, Bauer R J, Buchman S R. 2001. A current 10-year retrospective

    survey of 199 surgically treated orbital floor fractures in a nonurbantertiary care center. Plast Reconstr Surg.;108:612621.

    27.Macewen CJ. 2009. Occular Injury. Ninewells Hospital and Medical

    School, Dundee, U.K.

    28.

    Chalya PL, Mchembe, Mabula JB, Kanumba ES, Gilyoma. 2011.

    Etiological spectrum, injury characteristics and treatment outcome of

    maxillofacial injuries in a Tanzanian teaching hospital. Journal of Trauma

    Management & Outcomes; 5:7

    29.

    Koshy JC, Feldman, Chike-Obi CJ, Bullocks JM. 2010. Pearls of

    Mandibular Trauma Management. Semin Plast Surg;24:357374.

    30.Yadavalli G, Hema Mythily P, NS Jayaprased. 2011. Clinical Evaluation

    of Mandibula Angle Fractures with Teeth in Fracture Line, treated with

    Stable Internal Fixation. Indian J stomatol; 2 (4) : 216-21.

    31.Arslan DE, Solakoglu AG, Komut E, et al. 2014. Assesment of

    maxillofacial trauma in emergency department. World Journal of

    Emergency Surgery, 9:13.