tinjauan pustaka 1

33
TINJAUAN PUSTAKA I. Tumor Colorectal Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel di mukosa kolon. Dasar penting dari keganasan kolon ini adalah proses perubahan secara genetik pada sel-sel epitel di mukosa kolon yang timbul akibat beberapa hal, antara lain dietetik,kelainan di kolon sebelumnya dan faktor herediter. a. Etiologi dan Faktor Predisposisi Secara umum karsinoma selalu dihubungkan dengan: bahan-bahan kimia, bahan-bahan radioaktif, dan virus. Umumnya karsinoma kolon terjadi dihubungkan dengan factor genetic dan lingkungan. Serta dihubungkan juga dengan factor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan, intake alkohol. Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985 hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan keberhasilan deteksi awal melalui program skrining. Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian : · 26 % pada caecum dan ascending colon · 10 % pada transfersum colon · 15 % pada desending colon · 20 % pada sigmoid colon · 30 % pada rectum Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet antara negara berkenaan dan faktor lingkungan

Upload: rosi-oktarina

Post on 27-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA 1

TINJAUAN PUSTAKA

I. Tumor Colorectal Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel di mukosa kolon. Dasar penting dari keganasan kolon ini adalah proses perubahan secara genetik pada sel-sel epitel di mukosa kolon yang timbul akibat beberapa hal, antara lain dietetik,kelainan di kolon sebelumnya dan faktor herediter.a. Etiologi dan Faktor Predisposisi Secara umum karsinoma selalu dihubungkan dengan: bahan-bahan kimia, bahan-bahan radioaktif, dan virus. Umumnya karsinoma kolon terjadi dihubungkan dengan factor genetic dan lingkungan. Serta dihubungkan juga dengan factor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan, intake alkohol. Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985 hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan keberhasilan deteksi awal melalui program skrining. Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian : · 26 % pada caecum dan ascending colon · 10 % pada transfersum colon · 15 % pada desending colon · 20 % pada sigmoid colon · 30 % pada rectum Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet antara negara berkenaan dan faktor lingkungan

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA 1

Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang. Kira-kira 152.000 orang di amerika serikat terdiagnosa karsinoma Colon pada tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama (ACS 1993). Sebagian besar klien pada karsinoma Colon mempunyai frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Karsinoma pada colon kanan biasanya terjadi pada wanita dan Ca pada rektum biasanya terjadi pada laki-laki. Insidennya meningkat sesuai dengan usia (kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin tinggi pada individu dengan riwayat keluarga yang mengalami karsinoma kolon. Tipe Karsinoma dan Kolon Rektum Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu Tipe polipoid atau vegetatif Pada tipe ini tumor tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk bunga kol dan ditemukan terutama di sekum dan kolon ascendens. Tipe skirus atau infiltratif, Pada tipe ini biasanya mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan pada kolon descendens, sigmoid dan rektum. Tahap ulserasi Pada tipe ini terjadi karena nekrosis di bagian sentral dan terletak di daerah rektum. Pada tahap lanjut, sebagian besar tumor kolon akan mengalami ulcerasi menjadi tukak yang maligna. Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA 1

rektum menuju vena cava inferior, maka metastase karsinoma rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase karsinoma kolon pertama kali paling sering di hepar. Adenokarsinoma kolorektal sangat berbeda secara gambaran histologi, beberapa tumbuh relatif berdifferensiasi baik, lainnya menjadi lebih anaplastik. Secara umum pertumbuhan papiliferous cenderung berdifferensiasi lebih baik daripada lesi dengan ulserasi dan infiltrasi dalam. Broders (1925), Grinnell (1939) dan Dukes (1940) memperkenalkan suatu modifikasi sistim penderajatan secara histologis, di mana terlihat bahwa ada hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir setelah terapi pembedahan.25 Dukes membedakannya menjadi 5 derajat , yaitu : Derajat I : tumor sangat menyerupai adenoma dengan tanda-tanda adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa. Derajat II : tumor dengan sel-sel karsinoma yang ramai berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya nukleus yang berwarna dan bentuk-bentuk mitosis yang tidak teratur. Derajat III : Sel-sel lebih sedikit berdifferensiasi dan diatur dalam suatu cincin yang tidak rata, seringkali 2 atau 3 baris lebih dalam di sekitar ruang glomerular. Gambaran mitosis tidak sebanyak pada derajat II. Derajat IV : Sel-sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk struktur glandular sama sekali tetapi meliputi satu per satu jaringan atau dalam kelompok atau kolom kecil yang tidak teratur. Tumor Koloid (atau mukoid) mempunyai sistim pengelompokan sendiri dan juga bervariasi tergantung pada derajat differensiasinya.

Dukes (1946) memodifikasi sistimnya menjadi 4 kategori, yaitu : Derajat keganasan rendah (sama dengan derajat I sebelumnya) Derajat keganasan sedang (sama dengan derajat II sebelumnya) Derajat keganasan tinggi (sama dengan derajat III dan IV sebelumnya) Karsinoma Koloid

Klasifikasi TNM T – Tumor primer Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai T0 - Tidak ada tumor primer T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral N – Kelenjar limfe regional Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal N2 - Metastasis di ≥ 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal N3 - Metastasis pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah atau pada kelenjar apikal M – Metastasis jauh Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 - tidak ada metastasis jauh M1 - terdapat metastasis jauh

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA 1

b. Gejala Klinis Pasien dengan karsinoma kolorektal umumnya memberikan keluhan berupagangguan proses defekasi (Change of bowel habit), berupa konstipasi atau diare, perdarahan segar lewat anus (rectal bleeding), perasaan tidak puas setelah buang air besar (tenesmus), buang air besar berlendir (mucoid diarrhea), anemia tanpa sebab yang jelas,dan penurunan berat badan.

Adanya suatu massa yang dapat teraba dalam perut jugadapat menjadi keluhan yang dikemukakan. Manifestasi klinik karsinoma kolon tergantung dari bentuk makroskopis dan letak tumor. Bentukpolipoid (cauli flower) dan koloid (mukoid) menghasilkan banyak mukus, bentuk anuler menimbulkan obstruksi dan kolik, sedangkan bentuk infiltratif (schirrhus) tumbuh longitudinal sesuai sumbu panjang dinding rektal dan bentuk ulseratif menyebabkan ulkus ke dalam dinding lumen.Karsinoma yang terletak di kolon asenden menimbulkan gejala perdarahan samar sedangkan tumor yang terletak di rektum memanifestasikan perdarahan yang masih segar dan muncul gejala diare palsu. Di kolon desenden, karsinoma ini menyebabkan kolik yang nyata karena lumennya lebih kecil dan feses sudah berbentuk solid. Diagnosis karsinoma kolon ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratoris, radiologis, kolonoskopi, danhistopatologis. Resektabilitas ditentukan oleh ahli bedah berdasarkan pemeriksaan colok dubur Resektabel : Tumor dengan colok dubur masih dapat digerakan, tidak melekat ke anterior, posterior dan kedua sisi lateral. Tidak resektabel : Tumor dengan colok dubur sulit digerakan dan melekat pada salah satu sisi. Untuk tumor yang meragukan colok dubur dapat dilakukan dalam pembiusan c. PatofisiologiJenis utama pada kanker kolorektal adalah adenokarsinoma, yang sebelumnya dicetuskan dengan polip adenomatosa, dapat tumbuh pada mukosa colon yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Bert Vogelstein, dkk lebih dari 20 tahun yang lalu berhasil mengidentifikasikan alterasi genetic yang terpenting, dimana akan berkembang menjadi kanker kolorektal.

Pada awalnya terjadi peningkatan gen APC (adenomatosa poliposis coli), dimana bersifat mutasi individual oleh familial adenomatosa poliposis (FAP). Protein yang mengkode target gen APC dengan mendegradasi beta-catenin, suatu komponen protein transkripsional kompleks yang mengaktivasi growth-promoting onkogen, seperti cyclin D1 atau c-myc. Mutasi APC dan beta-catenin sering teridentifikasi pada kanker koloretal yang bersifat sporadic.

Perubahan metilasi DNA dapat terjadi pada stadium polip. Kanker kolorektal dan polip mengalami ketidakstabilan metilasi genomic DNA, dengan hipometilasi global dan regional. Hipometilasi dapat meningkatkan aktivasi onkogen, dimana hipometilasi dapat meningkatkan tumor supresor gen. ras mutasi gen umumnya dapat terjadi pada polip yang besar, yang akan mempengaruhi pertumbuhan onkogen polip.

Delesi kromosom 18q dapat dihubungkan pada pertumbuhan kanker yang bersifat lanjut. Delesi kromosom ini meningkatkan target DPC4 (suatu gen delesi pada kanker pancreas dan meningkatkan factor transforming-growth [TGF]-beta pada jalur penanda growth-inhibitor) dan DCC (suatu gen delesi pada kanker kolon). Kehilangan kromosom 17p dan mutasi gen tumor supresi p53 terjadi pada keadaan lanjut kanker kolon. Overexpresi Bc12 akan meningkatkan inhibisi kematian sel, hal ini terjadi pada perkembangan kanker kolorektal. Delesi 18q akan terdeteksi pada stadium kanker kolon Dukes B, dimana akan terjadi peningkatan rekurensi pembedahan, dan pada penelitian akan lebih baik jika dilakukan kemoterapi adjuvant.

Predisposisi terjadinya kanker kolon lainnya, yaitu hereditary nonpoliposis kanker kolon, dimana terjadi mutasi beberapa gen, yang meningkatkan mismatch repair DNA,

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA 1

termasuk MSH2, MLH1 dan MLH1 dan PMS2. ras mutasi gen akan terdeteksi pada feses pasien dengan kanker kolorektal. d. Terapi 1. Pembedahan Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolorektal yang localized. Bab ini memberikan rekomendasi persiapan operasi, tekhnik operasi dan operasi dalam keadaan darurat serta penyakit KKR lanjut. Selain hal diatas dikemukakan pula rekomendasi perlunya spesialisasi dan beban kerja dalam penatalaksanaan KKR. -Persiapan Preoperatif Dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembedahan pada penderita KKR yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka. Berdasarkan hal tersebut sangat direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis.

Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan, walaupun kurang didukung penelitian yang baik. Semua pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma, baik permanen maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh stoma therapist.

Walaupun tidak ada bukti bahwa persiapan usus memberikan keuntungan, tidak ada bukti juga yang mengatakan bahwa hal ini tidak memberikan keuntungan, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa persiapan usus tidak penting dilakukan. Transfusi Darah Perioperatif

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA 1

Hubungan antara transfusi darah dengan meningkatnya resiko kekambuhan masih terus diperdebatkan. Penelitian meta-analisis mengenai hal ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kekambuhan KKR. Karena kecilnya jumlah pasien yang mengambil bagian dalam percobaan, maka meta-analisis ini dianggap tidak mencukupi untuk dapat mendeteksi perbedaan risiko yang kurang dari 20%, menjadi semakin tidak signifikan setelah semakin umumnya transfusi darah leucodepletion di Inggris.29,30 Tekhnik Pembedahan Kanker Kolorektal Prosedur pembedahan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk, reseksi dari karsinoma bag tengah dan bawah adalah Reseksi Low Anterior yang meliputi pengangkatan seluruh mesorektum. Untuk tumor bagian atas 5 cm dari mesorektum distal dari batas tumor harus dieksisi. Reseksi dimulai dengan membebaskan Sigmoid dari lateral sampai terlihat ureter kiri, dan dilanjutkan dengan sisi kanan bertemu didepan bifurcatio aorta. Arteri mesenterika inferior dipotong 1-2 cm dari percabanganya dengan aorta, dilanjutkan dengan pembebasan ke arah anal mengikuti daerah avaskuler yang dapat dicari didepan dari ureter dan pleksus pre-sakralis di bifurcatio aorta, mesorektum berbentuk bilobar dan pembebasan harus dilakukan secara tajam dengan penglihatan langsung sampai terlihat otot levator ani. Terdapat 2 nervus yang harus di preservasi yaitu pleksus hipogastrikus dan Nervus Erigentes, keduanya keluar dari foramen sakralis dan bergabung dengan Nervus pre-sakral pada batas dari vesikula seminalis dan diluar dari fasia Denonvilliers. Ligamentum lateral terdiri dari gabungan ini dan berbentuk T, hal yang penting diperhatikan adalah pada saat kita melakukan diseksi di daerah ini harus dekat dengan mesorektum untuk menghindari kerusakan syaraf tersebut. Dari poterior diseksi dilanjutkan secara tajam ke lataeral mengikuti dinding pelvis disebelah medial dari arteri dan vena iliaka interna, hal yang perlu mendapat perhatian adalah tepi lateral dari Vesikula seminalis dalam rangka menghindari kerusakan Nervus Erigentes. Pada sisi anterior peritoneum di insisi mengikuti lengkung refleksi peritoneal dilanjutkan sampai di pertemuan fasia Denonvilliers

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA 1

dan kapsul posterior dari prostat sampai bagian bawah tumor, letak tumor menentukan batas akhir dari diseksi. Mobilisasi fleksura lienalis harus dilakukan untuk menjamin tidak tegangnya anastomose, sedangkan ileostomi dilakukan untuk menghindari kebocoran dan hal ini ditenyukan oleh operator setelah anastomose selesai dilakukan. a. Kanker Kolon Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya ada sedikit bukti yang berhubungan pada pembedahan kanker kolon yang radikal. Dua penelitian yang yang adaternyata tidak dapat membuktikan efek menguntungkan dari teknik no touch atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada penatalaksanaan kanker kolon. b. Kanker Rektum Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar bahwa penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME) dalam penatalaksanaan kanker rektum dapat mengurangi rekurensi lokal memperbaiki angka survival. Hal ini dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang dilakukan dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan sesuai dengan prosedur TME yaitu diseksi secara tajam under direct vision pada holy plane diluar mesorektum sampai 5 cm dibawah tumor.Sedang pada rektum bagian tengah dan bawah masalahnya adalah anastomosis rendah mengkibatkan fungsi rektum yang kurang baik dibandingkan dengan anastomosisi yang lebih tinggi. Satu hal yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih. c. Anastomosis Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal pada pembedahan kanker kolorektal, sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi hal ini. Tidak ada bukti bagus yang mendukung sebuah teknik secara spesifik, tetapi hasil meta-analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-satunya perbedaan antara jahitan tangan dengan

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA 1

Stapling adalah sedikit peningkatan risiko terjadinya striktur dengan menggunakan stapling. Faktor risiko untuk dehisensi anastomosis sudah diketahui dengan baik, seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan umur, dan obesitas. Namun pada reseksi anterior kebocoran meningkat dengan anastomosis rendah (kurang dari 5cm dari linea dentata). Untuk hal ini telah dibuktikan penggunaan defunction stoma berfungsi mengurangi risiko kebocoran pada anastomosis kolorektal rendah. Kerugian anastomosis rendah lainnya adalah fungsi yang jelek, dan ini dapat diatasi dengan pembuatan colopouch. d. Eksisi lokal di Kanker Kolorektal Beberapa kanker rektum lokal dapat disembuhkan dengan eksisi lokal, terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang menyatakan bahwa prosedur ini mempunyai morbiditas yang rendah dibandingkan dengan operasi yang radikal. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal berhubungan dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi daripada operasi radikal, hal ini mungkin disebabkan residu tumor di kelenjar getah bening. Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka rekurensi lokal dari KKR, tetapi regimen yang dapat diandalkan dan diterima secara luas masih belum dikembangkan. Tumor T1 (yang memiliki penyebaran lokal yang kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi lokal, tetapi harus ditekankan bahwa keterlibatan ekstensif submukosa berhubungan dengan keterlibatan kelenjar getah bening hingga 17 %. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa (tumor T1 sm1) biasanya sering mempunyai risiko minimal dari keterlibatan kelenjar getah bening. Kanker kolon dan kadang-kadang rektum bisa dieksisi oleh polipektomi pada saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan atau dasar sayatan tidak bebas tumor. Untuk saat ini Tumor T1 sm1 yang dapat dilakukan prosedur ini . e. Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal Bukti dari beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort mengatakan bahwa pembedahan laparoskopi untuk kanker kolorektal memungkinkan untuk

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA 1

dilakukan dan kelebihannya dibandingkan dengan konvensional adalah berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika, perawatan di rumah sakit, dan perdarahan. f. Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka harus dibuktikan dengan enema barium yang larut dalam air untuk membedakan dengan pseudo-obstruction. Obstruksi mekanis kolon harus bisa dibedakan dari colonic pseudo-obstruction sebelum pembedahan. Sudah ada bukti-bukti bahwa pada penderita yang memungkinkan dan pengalaman pembedahan yang cukup, reseksi tumor dan anastomosis langsung dapat dikerjakan reseksu segmental memberikan hasil yang lebih baik dalam hal fungsi dibanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada fasilitas Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan paliatif pada penderita dengan tumor yang tidak resektabel dengan obstruksi. Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati dan atau paru reseksi merupakan pilihan yang terbaik. In situ ablation untuk metastases hati yang tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas. Bagi pasien yang memiliki tumor primer lokal lanjut atau rekuren, harus diingat bahwa reseksi tumor dengan pembedahan adalah satu-satunya harapan untuk sembuh, tetapi harus diingat bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh hal tersebut. Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi, intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan pilihan terapi paliatif yang berguna. 2. Radiasi Pada umumnya terapi pada keganasan rectal lebih kompleks dari keganasan kolon karena dibutuhkannya pemikiran untuk dilakukan operasi penyelamatan organ atau pun fungsi. Kekambuhan akibat operasi sangat dihubungkan dengan dalam penetrasi tumor pada dinding usus dan adanya keterlibatan kelenjar getah bening.

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA 1

Lavery mengatakan bahwa terjadinya kekambuhan post operasi pada kasus keganasan rektum dengan kelenjar getah bening positif adalah mencapai 60%. Sehingga berbagai penelitian jelas memperlihatkan bahwa penambahan radiasi pada kasus keganasan rekti akan memperbaiki keberhasilan terapi pada keganasan kolorektal. Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pertama setelah pembedahan, yang menurut Mendenhall angka kekambuhan mencapai + 20-30%. Perez menyatakan kegagalan lokal pada penderita dengan ekstensi menembus dinding usus atau dengan keterlibatan kelenjar adalah 20-70%. Untuk memperbaiki hasil terapi dan mengurangi kekambuhan lokal diberikan adjuvan berupa radiasi pra dan pasca bedah serta kemoterapi. Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus yang resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan: mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien yang hasil PA menunjukkan prognosis yang buruk (Stadium Astler-Coller B2, C1, C2 ) meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak resektabel mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui aliran darah pada saat operasi

Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan berupa : a. Radiasi eksterna o Postoperatif

Berkembang berbagai penelitian pemberian radiasi maupun tanpa kemoterapi postoperasi misalnya yang dilakukan di USA dalam bentuk penelitian GITSG 7175, NSABP-R-01 dan NCCGT. Diperlihatkan bahwa pemberian radiasi postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun survival keseluruhan. Saat ini banyak dianut bahwa pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal. Saat ini berkembang pemberian radiasi bersamaan dengan

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA 1

capecitabine yang merupakan derivat 5-FU bersifat oral dan lebih targeted terhadap sel tumor dengan efektifitas yang lebih baik. Penggunaan Capecitabine oral sebagai dengan dosis 825 mg/m2, 2 kali sehari bersamaan dengan radioterapi sebagai radiosensitizer juga mulai diteliti oleh Dunst pada 46 pasien karsinoma rekti lanjut lokal. Didapatkan angka respons klinis pada 72% kasus, 89% diantaranya dapat menjalani operasi. o Preoperatif

Tindakan ini lebih banyak berkembang di Eropa. Penelitian EORTC memperlihatkan bahwa pemberian radiasi preoperatif meningkatkan kontrol lokal dan pada kelompok pasien usia kurang dari 55 tahun akan meningkatkan survival dari 48% menjadi 80%. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa pemberian radiasi 5 X 5 Gy akan meningkatkan angka survival menjadi 58% (vs 48%) dengan kegagalan lokal yang menurun menjadi 11% (vs 27%). Rullier mengatakan dengan pemberian radiasi preoperatif pada kasus keganasan rektal T3 letak rendah yang seyogyanya diperlakukan dengan tindakan kolostomi permanen (lokasi rata-rata <4,5 cm dari garis anokutan) menghasilkan dapat dilakukannya tindakan operasi penyelamatan sphinter pada 62,5% kasus. Pemberian radiasi preoperatif ini dilaporkan dapat meningkatkan dilakukan operasi penyelamatan sphinter pada 56% kasus (20 vs 76%), dimana pada 24% kasus tidak didapatkan sisa tumor pada pemeriksaan patologi anatomi. Dari penelitian Medical Research Councils Working Party menggunakan dosis tunggal 5 Gy atau 20 Gy dalam 10 fraksi preoperatif didapatkan hasil yang tidak signifikan pada rekurensi lokal maupun survival dibandingkan dengan bila hanya dilakukan pembedahan saja. Sebaliknya studi di Toronto menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari survival rate pada penderita dengan Dukes C. Beberapa penelitian di Norwegia menggunakan dosis 31,5 Gy dengan fraksinasi 1,75 Gy/fraksi, 5X/minggu, menunjukkan kontrol lokal, regresi tumor lengkap terutama pada tumor-tumor yang lokal lanjut (Dukes B2 dan C2) serta penurunan keterlibatan jumlah kelenjar yang lebih baik pada 4,5% kasus tanpa

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA 1

mempengaruhi survival rate.37,41 Dari penelitian tersebut juga tampak tidak adanya tambahan morbiditas dan mortalitas postoperatif yang disebabkan terapi radiasi sebelumnya dan hanya didapatkan efek samping yang minimal dari usus halus dan buli-buli. Rouanet dan kawan-kawan menggunakan dosis 40Gy (18 X 2,1 Gy, selama 3 minggu), dengan tehnik 3 lapangan radiasi, dan pesawat aselerator linier 25 MEV pada penderita karsinoma rekti letak 1/3 bawah (jarak < 6 cm dari garis anokutan). Pada 3 minggu pasca radiasi dilakukan penilaian radiosensitivitas tumor, bila terdapat pengecilan tumor minimal 30% diberikan booster sampai mencapai dosis biologik 60 Gy. Hasilnya: sfingter dapat dipertahankan pada 78% penderita dan kekambuhan lokoregional menjadi 5-11% dibandingkan 3,5 – 20,6% bila hanya dilakukan pembedahan saja. Selain itu batas distal sayatan dapat diperkecil kurang dari 2 cm, yaitu 16,4 mm; bahkan Mohuiddin dapat memperkecilnya sampai 15 mm dengan laju kekambuhan lokal 11% dan survival 5 tahun 72%. Tahun 1988-1993 Gondhowiardjo dan Pusponegoro di RSUPN-CM mengadakan penelitian mengenai pemberian radioterapi preoperatif pada adenokarsinoma. Pada kasus yang resektabel diberikan radiasi dosis rendah (5X2Gy) dan kasus yang tidak resektabel dengan dosis tinggi (RTD 45 Gy). Didapatkan hasil 38% penderita yang tidak resektabel menjadi resektabel setelah mendapat radiasi dosis tinggi preoperasi, bahkan 33% diantaranya mengalami remisi lengkap sehingga dapat dilakukan tindakan reseksi anterior rendah dan preservasi sfingter. Pada kelompok kasus resektabel yang menerima radiasi dosis rendah preoperasi didapatkan kekambuhan lokal pada 11,1%. Penelitian Mendenhall menggunakan dosis 3500 cGy dalam 20 fraksi, 4000-5000 cGy (180cGy/fraksi) dan 3000 cGy dalam 10 fraksi menunjukkan kekambuhan lokal – waktu bebas penyakit 96% dibanding 67% bila hanya dilakukan pembedahan saja, dengan survival 5 tahun 66% dibanding 40% bila hanya dengan pembedahan saja. Stockholm Rectal Cancer Study Group pada penelitiannya yang pertama menggunakan dosis 25 Gy preoperatif jangka pendek dalam 5-7 hari (5X5Gy) dengan lapangan radiasi AP/PA, dilanjutkan pembedahan dalam 1 minggu setelah

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA 1

radiasi menunjukkan hasil kontrol lokal (pengurangan rekurensi pelvis) yang lebih baik serta interval bebas penyakit (recurrence free interval) yang lebih panjang, tanpa peningkatan survival rate. Walaupun didapatkan pula peningkatan komplikasi dan mortalitas postoperatif terutama pada penderita usia lanjut, tetapi ini disebabkan adanya penyakit kardiovaskuler dan bukan karena komplikasi pembedahan itu sendiri. EORTC menggunakan dosis 34,5 Gy dan mendapatkan hasil yang sama pula. o Pre vs postoperatif radiasi

Dilaporkan terdapat keuntungan dari radiasi preoperatif dibandingkan postoperatif adalah bahwa efek samping akan lebih rendah karena pada keadaan postoperatif kekosongan daerah pelvis akan terisi oleh usus halus, yang bilamana teradiasi akan menimbulkan gejala. Sedangkan pada radiasi preoperatif usus halus masih bergerak bebas dan dapat dimanipulasi untuk memindahkannya kearah luar dari pelvis,misalnya dengan posisi prone atau keadaan buli-buli penuh. Minsky melaporkan penurunan efek samping pada radiasi preoperatif menjadi 13% (vs 48%). Disamping itu pada tindakan preoperatif bagian usus halus yang teradiasi dapat direseksi sehingga akan menurunkan angka efek samping lanjut. Keuntungan lain radiasi preoperatif adalah terjadinya pengecilan tumor yang memungkinkan dilakukan operasi penyelamatan organ maupun fungsi pada keadaan dimana seyogyanya tindakan reseksi abdomino perineal dilakukan. Juga keadaan ini memungkinkan dilakukan operasi pada kasus-kasus yang awalnya tidak resektabel. Keuntungan radiasi postoperatif harus pula dinilai dari beberapa hal lainnya, misalnya stadium patologik lebih akurat (termasuk keterlibatan hepar maupun kelenjar yang mungkin belum dapat dideteksi pada pemberian radiasi preoperatif), dilakukan operasi pada daerah yang belum teradiasi tanpa keterlambatan. b. Brakiterapi

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA 1

Intracavitary brachytherapy, merupakan kontak terapi radiasi dimana diberikan radiasi dengan memasukkan aplikator melalui lumen yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif misalnya iridium. Interstitial brachytherapy, merupakan cara pemberian radiasi dengan melakukan implantasi menggunakan aplikator jarum atau kateter plastik yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif.

Brakiterapi diberikan dalam keadaan keganasan rekti dini. Ini diperlihatkan pada penelitian Papillon yang memberikan radiasi pada 312 kasus dengan menggunakan terapi kontak dan dicapai hasil kontrol lokal regional 5 tahun 95% dan 96%, preservasi sphinter dapat dilakukan pada 2/3 kasus, angka survival 5 tahun 75% dengan kematian spesifik 92%. Peneliti di Lyon Institute memberikan terapi pada 119 kasus dini, juga menggunakan terapi kontak dan dicapai kontrol lokal 89-90%, dengan tingkat preserving pada 97% kasus dan angka survival 5 tahun 85%.57 National Cancer Institute menggunakan radiasi intrakaviter sebagai salah satu alternatif pilihan terapi pada kasus keganasan rektum stadium 0 dan stadium 1 (dengan kombinasi radiasi eksterna) pada ukuran tumor < 3 cm, berdiferensiasi baik tanpa ulserasi yang dalam, dan tanpa fiksasi. Interstitial brachytherapy dengan dan tanpa radiasi eksterna diberikan Moushmov pada kasus keganasan rektum T1-2 N0 M0 dengan diameter terbesar 3 cm dan jarak dari anus 5-6 cm. Otmezguine60 melaporkan kombinasi radiasi eksterna preoperatif dengan tindakan eksisi dan interstitial brakiterapi perioperatif memberikan hasil kontrol lokal 80% pada 5 tahun dengan tingkat kontrol fungsi sphinter mencapai 100% pada kasus keganasan rektum letak menengah atau rendah. Maka tindakan ini dianjurkan dilakukan pada kasus tersebut yang tidak mencapai toleransi atau menolak operasi. Kovarik61 melaporkan pada kasus keganasan anal dan rektum baik primer (kombinasi RE dan interstitial BT) maupun kambuh lokal pasca terapi, didapatkan hasil respons komplit pada 100% keganasan anal dan 75% pada keganasan rektum, dengan menggunakan kombinasi radiasi eksterna dan interstitial brachytherapy. Gerard62 juga mendapatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun 64% (T2 – 84%, T3 – 53 %) dengan kontrol lokal 63% dan tingkat preservasi sfingter 73% pada kasus T2-3 N0-1 M0. Empatpuluhlima kasus yang diteliti adalah kasus inoperabel dan 18 kasus adalah penderita yang menolak operasi, dengan umur rata-rata 72 tahun,

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA 1

jarak rata-rata 4 cm. Terapi yang diberikan adalah kombinasi terapi kontak dengan RE dan interstitial BT. Radiasi ekterna kombinasi dengan interstitial brachytherapy juga dilaporkan oleh Martinez63 pada kasus lanjut lokal dengan kontrol lokal 83.4 %. Toulboul64 melakukan tindakan dengan kombinasi radiasi eksterna dan interstitial brakhytherapy pada kasus keganasan anal T1 – 4, dan pada 12.5 % disertai keterlibatan kelenjar getah bening didapatkan hasil kontrol lokal 80%, preservasi sfingter dicapai pada 67% kasus dengan 57% mempunyai fungsi yang sangat baik. Pada kasus dengan panjang tumor lebih dari 4 cm, dianjurkan juga pemberian kemoterapi. Goes65 pada kasus kambuh lokal melaporkan bahwa pemberian brakiterapi perioperatif dikombinasikan dengan tindakan pembedahan eksisi dapat memberikan hasil kontrol lokal 64%. Kegagalan terapi kebanyakan terjadi karena metastasis jauh. Puthawala melaporkan juga pada kasus keganasan anorektal lanjut lokal dengan kombinasi radiasi dan dicapai angka kontrol lokal komplit pada 71% kasus, dimana 30% masih didapatkan residu tumor yang dapat ditindak lanjuti dengan operasi. Hal yang sama dilaporkan oleh Price pada kasus keganasan anorektal letak rendah inoperabel. Vordermark melaporkan pada kasus T1-4 N0-2 M0 dengan menggunakan kombinasi radiasi eksterna dengan MMC dan 5-FU dan interstitial brachytherapy didapatkan hasil angka kelangsungan hidup 5 tahun 84% dengan 5 tahun kelangsungan hidup tanpa bebas penyakit 79% dan 5 tahun kelangsungan hidup tanpa kolostomi 69%. 3. Kemoterapi Walaupun pembedahan adalah pilihan utama terapi KKR, penatalaksanaan secara paripurna menjadi tanggung jawab tim multidisipliner. Pasien dengan karsinoma rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan menanggulangi kedua masalah tersebut. (NCI PDQ). Sebagian besar penelitian yang menggunakan radioterapi pra- dan pasca bedah saja dapat menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak bermakna dalam angka survival. Walaupun suatu penelitian di Swedia menunjukkan kelebihan radioterapi prabedah dibandingkan dengan hanya bedah saja. Dua penelitian memastikan bahwa 5-FU bersama radioterapi adalah efektif dan dapat dianggap sebagai terapi standar, dimana

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA 1

pengobatan adjuvan modalitas kombinasi dengan radiasi dan kemoterapi sesudah pembedahan juga menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang lebih rendah. Penelitian yang membandingkan kemoterapi adjuvan pra- dan pasca bedah harus dapat menjelaskan dampak dari kedua pendekatan tersebut terhadap fungsi saluran cerna dan beberapa hal yang terkait dengan kualitas hidup, seperti misalnya preservasi sfingter, disamping sasaran pengobatan yang konvensional seperti masa bebas penyakit dan survival secara keseluruhan. Kemoterapi baik secara tersendiri maupun bersama dengan radioterapi, yang diberikan sesudah pembedahan, merupakan modalitas pengobatan pada KKR. Sekitar 30% penderita yang didiagnosis sebagai KKR datang sudah dengan metastasis, dan 25-30% lainnya kemudian berlanjut menjadi penyakit metastastik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada kemoterapi terhadap KKR. Beberapa dekade ini hanya menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) – disusul oleh kehadiran asam folinat /leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. Selanjutnya, pemilihan obat diperluas dengan diterimanya irinotecan sebagai terapi lini pertama pada tahun 1996, oxaliplatin pada tahun 2004 dan capecitabine (tahun 2004) sebagai pengganti oral kombinasi 5-FU/FA. Serangkaian penelitian klinik acak terkontrol menyimpulkan bahwa pengobatan KKR pasca bedah dengan 5-FU/LV selama 6 bulan sesudah bedah kuratif adalah standar pada KKR stadium III (tahun 1992), dan bahwa penderita berusia lanjut mendapat pendekatan kemoterapi yang sama. Pemberian kemoterapi tersebut secara dua-mingguan (protokol de Gramont) mempunyai efek yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian bulanan melalui bolus 5 hari berturut-turut (protokol Mayo), yang ternyata lebih toksik. a. Penatalaksanaan kemoterapi sebagai terapi adjuvan Manfaat kemoterapi pada KKR stadium III / stadium Dukes C sudah diterima sebagai standar. Berdasarkan hasil penelitian Intergroup 0089 dan NCI Canada Clinical Trials Group, standar yang digunakan adalah pemberian 5-FU/LV selama 6 bulan.

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA 1

Chau dkk melaporkan hasil suatu penelitian acak terkontrol terhadap 716 penderita KKR pasca reseksi stadium II (42%) dan stadium III (58%) di mana penderita menerima 425 mg/m2 5-FU dan 20 mg/m2 LV bolus hari 1-5 selama 6 bulan. Dengan masa pengamatan median 5,2 tahun, survival 64%. Namun konsensus yang dibuat oleh kelompok institusi pengobatan kanker di Amerika Serikat yang tergabung dalam National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Skotlandia menenetapkan untuk stadium II atau Dukes B belum perlu mendapat kemoterapi. Pertimbangan untuk mendapat kemoterapi pada kelompok penderita KKR ini dianjurkan bersifat individual berdasarkan faktor risiko untuk terjadinya penyebaran atau kekambuhan yaitu: usia muda, histologi derajat keganasan tinggi, invasi ke saluran limfe dan/atau vaskuler, serta adanya obstruksi atau perforasi pada waktu diagnosis. Faktor prognosis molekuler seperti ekspresi timidilat sintase, p53, dan adanya instabilitas mikrosatelit kemungkinan akan dapat dipakai sebagai pegangan untuk bahan pertimbangan pemberian kemoterapi namun masih menunggu hasil-hasil penelitian yang sedang berjalan. Analog 5-FU oral

Penggunaan capecitabine sebagai prodrug 5-FU perlu mendapat catatan khusus karena faktor kepraktisan serta ekonomi, terutama dalam hal beban ekonomi, baik terhadap negara dan pasien secara individu. Seitz80 pada tahun 2001 melaporkan suatu studi fase II, membandingkan pemakaian capecitabine pada KKR dan kombinasi 5-FU/FA (protokol Mayo) dan mendapatkan capecitabine unggul dalam laju respons tumor (22% vs 13%; P< .0001) walaupun sama dalam waktu progresi dan survival keseluruhan. Dalam pertemuan American Society of Clinical Oncology (ASCO) Scheithauer melaporkan hasil penelitian fase III membandingkan capecitabine dengan kombinasi 5-FU/FA pada KKR stadium Dukes C. Capecitabine dengan dosis 1250 mg/m2 dua kali sehari, diberikan pada hari ke 1-14 berturut-turut disusul masa istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya dengan skema yang sama pada kelompok I (n=993), dibandingkan dengan i.v. bolus 5-FU 425 mg/m2 dengan i.v. LV 20 mg/m2 pada hari 1-5, diulang setiap 28 hari pada kelompok II (n=974). Penelitian

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA 1

mendapatkan survival kedua kelompok tidak berbeda, akan tetapi penderita yang menerima capecitabine mengalami lebih sedikit efek samping (P<0,001) berupa diarrhea, stomatitis, nausea/muntah, alopesia and neutropenia, tetapi lebih banyak hand-foot syndrome. Disimpulkan bahwa capecitabine mempunyai kemungkinan untuk mengganti 5-FU/FA intravena sebagai obat kemoterapi standar pada KKR. Penemuan ini dilaporkan pada pertemuan ASCO 2004 bulan Juni yang lalu. Konsensus pada WCGC di Barcelona pada 2003 menyatakan capecitabine dapat dipakai sebagai bagian dari kemoradiasi untuk kanker rektum80 dan pada pertemuan berikutnya tahun 2004 Haller81 menyatakan capecitabine dapat menggantikan kombinasi 5-FU/FA. b. Kemoterapi pada KKR lanjut / metastatik Saat ini, kombinasi irinotecan atau oxaliplatin dengan 5-FU/FA dianggap standar untuk penderita KKR metastatik. Dengan protokol ini, survival keseluruhan adalah 15-20 bulan. Goldberg melaporkan hasil akhir dari penelitian N-9741 di mana irinotecan + bolus 5-FU/FA (IFL) dibandingkan dengan oxaliplatin (FOLFOX4) dan hasilnya adalah median survival 19,5 bulan pada kelompok FOLFOX4 dan 14,8 bulan pada protokol IFL. Penelitian ini membawa oxaliplatin sebagai kemoterapi lini pertama pada KKR metastatik menyusul ijin FDA yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk irinotecan. Di tahun 2000, dua penelitian klinik acak terkontrol membuktikan bahwa penambahan irinotecan pada protokol yang menggunakan 5-FU, baik secara bolus maupun infus, meningkatkan angka survival penderita KKR. Secara hampir bersamaan, berbagai penelitian secara sendiri-sendiri mengenai protokol yang mengandung capecitabine dan oxaliplatin dilaporkan. Walaupun protokol yang mengandung oxaliplatin mempunyai laju respons lebih tinggi dibanding irinotecan, angka survival secara keseluruhan tidak berbeda. Cassidy melakukan penelitian fase II terhadap protokol Xelox (capecitabine + oxaliplatin) pada penderita KKR metastatik mendapatkan respon objektif 55% serta stabilisasi penyakit lebih dari 3 bulan sebesar 30%. Hal ini merupakan suatu langkah maju pada kemoterapi KKR metastatik dan sedang ditunggu hasil penelitiannya.

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA 1

Di Indonesia, masih terdapat kekurangan dalam hal menentukan stadium pra-bedah, selama pembedahan dan stadium histopatologis. Oleh karena itu, stadium yang sebenarnya dapat lebih lanjut dari stadium yang dilaporkan. Karena itu perlu dipertimbangkan pengobatan adjuvan. c. Protokol-protokol yang sering digunakan: Mayo 1. 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu jam sesudah LV 2. LV 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari ber turut-turut 3. Frekuensi : ulang setiap 4 sampai 5 minggu. de Gramont 1. LV 200 mg/m2 infus 2 jam, diikuti 2. 5-FU400 mg/m2 i.v. bolus diikuti 3. 5-FU 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam 4. Frekuensi : hari 1+2, ulang setiap 21 hari Dosis 1. capecitabine 1250 mg/m2 bid bila sebagai obat tunggal, capecitabine 1000 mg/m2 bila dikombinasi dengan oxaliplatin/irinotecan 2. irinotecan 250 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 130 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine 3. oxaliplatin 135 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 85 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine

II. Ileus a. Ileus Mekanik (Ileus Obstruktif) Definisi Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau gangguan peristalsis usus. Secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi disebut juga ileus mekanik, dan memiliki angka kejadian tersering.

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA 1

Klasifikasi Lokasi Obstruksi Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum Letak Tengah : Ileum Terminal Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum Stadium Parsial : menyumbat lumen sebagian Simple/Komplit: menyumbat lumen total Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa Etiologi i. Penyempitan lumen usus Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis. Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan. Ekstra lumen : Tumor intraabdomen. ii. Adhesi iii. Invaginasi iv. Volvulus v. Malformasi Usus Patofisiologi Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian. Pada obstruksi strangulata, kematian jaringan usus umumnya dihubungkan dengan hernia inkarserata, volvulus, intussusepsi, dan oklusi vaskuler. Strangulasi biasanya berawal dari obstruksi vena, yang kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemia yang cepat pada dinding usus. Usus menjadi udema dan nekrosis, memacu usus menjadi gangrene dan perforasi.3

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA 1

Diagnosis Pada anamnesis dapat ditemukan pada pasien : Nyeri (Kolik) Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik. Muntah Stenosis Pilorus : Encer dan asam Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan Obstruksi kolon : onset muntah lama. Perut Kembung (distensi) Konstipasi (Tidak ada defekasi dan flatus)4 Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah. Pada pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan : Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness, nyeri lokal, hilangnya suara usus local. Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi. Adanya obstruksi ditandai dengan : Inspeksi Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Auskultasi Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang. Perkusi Hipertimpani Palpasi Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia. Rectal Toucher - Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease - Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma - Feses yang mengeras : skibala - Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi - Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi - Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis Pemeriksaan penunjang Foto Polos Abdomen: Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level. Penggunaan kontras dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus. Penatalaksanaan Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera setelah keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit dan dekompresi pipa lambung. Tindak bedah

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA 1

dilakukan apabila terdapat strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata dan tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif. Komplikasi Nekrosis usus Perforasi usus Sepsis Syok-dehidrasi Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi Pneumonia aspirasi dari proses muntah Gangguan elektrolit

b. Ileus Paralitik Etiologi Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam).

Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.

Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.

Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit.Beberapa penyebab terjadinya ileus: a. elektrolit serum1. Hipokalemia 2. Hiponatremia 3. Hipomagnesemia 4. Hipermagensemia b. infeksi1. Intrathorak - Pneumonia - Lower lobus tulang rusuk patah - Infark miokard

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA 1

2. Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul ) 3. Rongga perut - Radang usus buntu - Divertikulitis - Nefrolisiasis - Kolesistitis - Pankreatitis - Perforasi ulkus duodenum c. Iskemia usus 1. Mesenterika emboli, trombosis iskemia d. cedera tulang1. Patah tulang rusuk 2. Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak ) e. obat-obatan1. Narkotika 2. Fenotiazin 3. Diltiazem atau verapamil 4. Clozapine

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA 1

5. Obat Anticholinergic

Patofisiologi Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal. Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya. Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi hambat busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang terlibat: ultrashort refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang melibatkan ganglia prevertebral, dan refleks panjang melibatkan sumsum tulang belakang. Refleks panjang yang paling signifikan. Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. Penyakit/ keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini:6 Kausa Ileus Paralitik Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA 1

Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin. Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya. Iskemia Usus. Neurogenik - Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada operasi abdominal. - Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan neurotransmitter asetilkolin. Hormonal

Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum terutama sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam lemak dan monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek yang kuat dalam meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi mengeluarkan empedu kedalam usus halus dimana empedu kemudian memainkan peranan penting dalam mengemulsikan substansi lemak sehingga mudah dicerna dan diabsorpsi. Kolesistokinin juga menghambat motilitas lambung secara sedang. Oleh karena itu disaat bersamaan dimana hormon ini menyebabkan pengosongan kandung empedu, hormon ini juga menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk memberi waktu yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus gastrointestinal bagian atas. Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide penghambat asam lambung juga memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin namun sekretin berperan sebagai respons dari getah asam lambung dan petida penghambat asam lambung sebagai respons terhadap asam lemak dan asam amino. Inflamasi - Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO). - prostaglandin inhibisi kontraksi otot polos usus. Farmakologi

Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari pleksus mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos usus dan menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan untuk gerakan propulsi.

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA 1

- Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang mempersarafi otot polos usus.

Manifestasi Klinik Ileus adinamik (ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan usus yang disebabkan oleh penghambatan neuromuscular dengan aktifitas simpatik yang berlebihan. Sangat umum, terjadi setelah semua prosedur abdomen, gerakan usus akan kembali normal pada: usus kecil 24 jam, lambung 48 jam, kolon 3-5 hari. Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung ( abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis. Diagnosa Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan pelebaran udara usus halus atau besar. Penatalaksanaan Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa dan penyakit primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat.(1) Prognosis biasanya baik, keberhasilan dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh kolonoskopi berulang.(3) Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA 1

ileus paralitik pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan Neostigmin juga efektif dalam kasus ileus kolon yang tidak berespon setelah pengobatan konservatif. 1. Konservatif Penderita dirawat di rumah sakit. Penderita dipuasakan Kontrol status airway, breathing and circulation. Dekompresi dengan nasogastric tube. Intravenous fluids and electrolyte Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

2. Farmakologis Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob. Analgesik apabila nyeri. Prokinetik: Metaklopromide, cisapride Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis

3. Operatif Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi. o Pintas usus : ileostomi, kolostomi. o Reseksi usus dengan anastomosis o Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.