tesis implantasi benang polydioxanone (pdo) di

84
TESIS IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO) DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B DEBY INTAN SEPTIADERY PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Upload: trinhdang

Post on 09-Dec-2016

269 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TESIS

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)

DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH

KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B

DEBY INTAN SEPTIADERY

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

TESIS

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)

DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH

KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B

DEBY INTAN SEPTIADERY

NIM 1490761040

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)

DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH

KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DEBY INTAN SEPTIADERY

NIM 1490761040

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

SEMINAR HASIL INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : ……………………………………….

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof.Dr.dr.Wimpie L.Pangkahila,Sp.And,FAACS Dr.dr.AAGP Wiraguna Sp.KK(K),FINSDV,FAADV

NIP. 194612131971071001 NIP. 195609121984121001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, Msc, Sp.GK

NIP. 195805211985031002

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI

Seminar Hasil Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Pada Tanggal ……………………

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No : ………………………………………….

Tanggal ………………………………………

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah:

1. Prof. Dr. dr. Wimpie L. Pangkahila, Sp. And, FAACS

2. Dr.dr. AAGP Wiraguna Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And

4. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK

5. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes.

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Deby Intan Septiadery

NIM : 1290761017

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine

Judul Tesis :

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)

DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH

KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 11 Mei

2016

Yang membuat

Pernyataan

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadiran

Tuhan YME, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang

berjudul “Implantasi Benang Polydioxanone (PDO) di Lapisan Dermis

Menghambat Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus Galur Wistar (Rattus

norvegicus) yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B” dapat berjalan lancar sesuai waktu

yang direncanakan.

Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar

untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran

Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat

serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Prof. Dr. dr.

I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang telah

memberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan kepada Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, SpS(K)

sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made

Budhiarsa, MA selaku Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, PhD selaku

Asdir II atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa di Program Pasca

Sarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila SpAnd. FAACS, sebagai pembimbing I

yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, semangat,

bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program magister , khususnya dalam

penyelesaian tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada

Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV sebagai pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran

kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. I Gusti Made

Aman, Sp.FK, Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp., Dr. dr. Ida Sri Iswari,

SpMK, M.Kes. selaku penguji yang secara teliti mengkoreksi tesis ini dan

memberikan masukan yang positif baik saat akan mulai penelitian sampai penulisan,

untuk lebih menyempurnakan laporan ini.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada

dr. I.Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M.si.Med dan seluruh staf laboratorium di

histologi yang membimbing, memberi saran, masukan sehubungan pelaksanaan

pemeriksaan histologi laboratrium serta analisanya sehingga penelitian ini dapat

berjalan lancar.

Tak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Drs. I Ketut Tunas,

Msi yang sangat banyak membantu terutama memberikan masukan, saran, terutama

dalam analisa statistik sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak I Gede Wiranata yang selalu menyumbang

pikiran positif serta memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat pemeliharaan tikus,

melakukan biopsi sampai pengiriman hasil biopsi sehingga penelitian berjalan lancar.

Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada

Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik FK UNUD, dan seluruh karyawan bagian

Ilmu Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan,

penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan beribu

terimakasih.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ayahanda

Herryanto dan Ibunda Daisy Tabaluyan yang telah mengasuh dan membesarkan

penulis, menanamkan nilai-nilai luhur, sehingga tercipta suasana yang baik untuk

berkembangnya intelektualitas, kreativitas dan kejujuran. Terimakasih juga penulis

ucapkan kepada Bapak mertua Paulus dan Ibu mertua Alice atas dorongan dan

dukungannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini. Serta tak lupa kepada

kakak-kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya selama ini.

Akhirnya penulis sampaikan kepada suami tercinta Jeffry Andrean yang

dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi penulis selama ini, serta

anakku tersayang James Ersten Andrean yang dengan kelucuannya bisa membuat

penulis bersemangat menyelesaikan naskah tesis ini. Penulis juga mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman di Program Magister

Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine

Program Pascasarjana Universitas Udayana, khususnya teman-teman angkatan IX,

atas motivasi, semangat dan kebersamaannya.

Kekurangan adalah milik manusia, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.

Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk kelengkapan

dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari segala penjuru

bersatu di dalam hati kita semua.

Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan berkat dan

rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.

Denpasar, 11 Mei 2016

Deby Intan Septiadery

ABSTRAK

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)

DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH

KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)

YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B

Faktor – faktor yang menyebabkan penuaan dapat dikelompokan menjadi

faktor internal dan faktor eksternal. Penuaan ekstrinsik yang paling utama disebabkan

oleh paparan sinar UV atau disebut photoaging. Kolagen yang terpapar berulang oleh

sinar UVB akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen.

Benang PDO dapat mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan

adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit

sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas. Tujuan

penelitian ini untuk membuktikan efektivitas implantasi benang PDO di lapisan

dermis dalam menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar (Rattus

norvegicus) yang dipapar sinar UV-B.

Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan post test only

control group design. Sebanyak 36 ekor tikus dibagi menjadi 2 kelompok yang

masing-masing terdiri dari 18 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol ditusuk jarum dan

kelompok perlakuan diimplantasi benang PDO. Semua kelompok dipapar sinar UV-

B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk

pemeriksaan jumlah kolagen dermis.

Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi data

kedua kelompok berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥ 0,05. Hasil

analisis komparatif kedua kelompok dengan menggunakan t-independent test

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna jumlah kolagen kedua

kelompok dengan p < 0,05. Rerata jumlah kolagen kelompok 1 yaitu 59,80 ± 5,55,

kelompok 2 sebesar 71,41 ± 6,06. Hasil uji perbandingan menunjukan bahwa nilai t =

-5.997 memiliki nilai p=0,000. . Hal ini berarti bahwa rerata kolagen pada kedua

kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Simpulan penelitian adalah implantasi benang PDO di lapisan dermis

menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang

dipapar sinar UV-B.

Kata kunci: Benang Polydioksanone, PDO, jumlah kolagen dermis, sinar UV-B.

ABSTRACT

IMPLANTATION OF POLYDIOXANONE (PDO) THREADS AT

DERMIS INHIBIT THE DECLINE OF COLLAGEN AMOUNT

ON WISTAR RATS (Rattus norvegicus) EXPOSED TO ULTRA

VIOLET-B RAYS

Factors that cause aging can be classified into internal factors and external

factors. The most important extrinsic aging caused by UV exposure or called photo

aging. Collagen exposed repeatedly by UVB rays will be degraded and inhibit the

growth of pro collagen. PDO threads can affect collagenation with indirect way, that

is the presence of PDO thread in the dermis layer will provide the biological stimulus

to the skin, which stimulates an increase in collagen type I and type III by fibroblasts.

The purpose of this study to prove the effectiveness of the PDO thread implantation

in the dermis layer to inhibit the decrease in the amount of collagen in Wistar rats

(Rattus norvegicus) who were exposed to UV-B .

This study was an animal experimental with post test only control group

design. A total of 36 rats were divided into two groups, each consisting of 18 mices,

the control group was stabbed by needle and the treatment group was stabbed by

needle with PDO thread to implanted the PDO thread. All groups were exposed to

UV- B with a total dose of 840 mJ/cm² for 4 weeks, then a biopsy was performed for

examine the amount of collagen dermis .

Shapiro-Wilk test results and Levene' test showed that both groups of data

distribution was normal distribution and its variants homogeneous with p ≥ 0.05. The

results of the comparative analysis of the two groups using t - independent test

showed that there were significantly differences in the amount of collagen both

groups with p < 0.05. Average amount of collagen group 1 was 59.80 ± 5.55, group 2

amounted to 71.41 ± 6.06. The test results showed that the ratio of the value t = -5997

has a value of p = 0.000. This means that the average collagen in the two groups after

the treatment was significantly different (p < 0.05 )

Conclusion of this research was the implantation of PDO threads in the dermis

layer inhibits the decline of collagen amount on Wistar rats (Rattus norvegicus) who

were exposed to UV -B .

Keywords : Polydioxanone, PDO, collagen amount, UV-B rays .

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM……………………………………………………………. . i

PRASYARAT GELAR………………………………………………………… ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………. iii

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI …………………………………………... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………………………. v

UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………… vi

ABSTRAK (BAHASA)………………………………………………………... viii

ABSTRACT (ENGLISH)……………………………………………………... ix

DAFTAR ISI …………………………………………………………………. x

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………. xiii

DAFTAR TABEL …………………………………………………………….. xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG………………………………….. xv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………...…. 1

1.1. Latar belakang …………………………………………………… 1

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………….. 4

1.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………… 4

1.4. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………. . 5

2.1. Proses Penuaan …………………………………………………… 5

2.1.1. Teori Penuaan …………………………………………... 5

2.1.2. Gejala Klinis Penuaan …………………………………… 9

2.2. Kulit ……………………………………………………………….. 10

2.2.1. Anatomi Kulit …………………………………………… 10

2.2.2. Penuaan Kulit …………………………………………… 16

2.3. Sinar Ultra Violet dan Efeknya Terhadap Kulit …………………… 17

2.3.1. Efek Akut Sinar Ultra Violet ………………………… .. 18

2.3.2. Efek Kronis Sinar Ultra Violet ………………………… 19

2.4. Benang Polydioxanone (PDO) …………………………………… 21

2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen…… 26

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 31

3.1. Kerangka Berpikir ………………………………………………… 31

3.2. Konsep Penelitian …………………………………………………. 33

3.3. Hipotesis Penelitian ……………………………………………….. 33

BAB IV METODE PENELITIAN ……………...……………………………… 34

4.1. Rancangan Penelitian ……….……………………………………… 34

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….. 35

4.3. Populasi dan Sampel ……………………………………………….. 35

4.3.1. Populasi …………………………………………………… 35

4.3.2. Sampel…………………………………………………….. 35

4.3.2.1. Kriteria Sampel………………………………….. 35

4.3.2.2. Besar Sampel dan Teknik Penentuan Sampel…… 36

4.4. Variabel Penelitian………………………………………………...… 37

4.4.1. Klasifikasi Variabel……………………………………..… 37

4.4.2. Hubungan Antar Variabel…………………………………... 38

4.4.3. Definisi Operasional Variabel …………………………… 38

4.5. Alat, Bahan Penelitian dan Hewan Percobaan ……………………… 40

4.5.1. Alat Penelitian…………………………………………….. 40

4.5.2. Bahan Penelitian…………………………………………… 40

4.5.3. Hewan Percobaan…………………………………………. 41

4.6. Prosedur Penelitian ………………………………………………….. 41

4.7. Alur Penelitian……………………………………………………….. 45

4.8. Analisis Data………………………………………………………… 46

BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………………… 47

5.1. Gambaran Histopatologis Kulit Tikus Wistar Setelah Perlakuan … ... 48

5.2. Uji Statistik…………………………………………………………... 49

5.2.1. Uji Deskriptif………………………………………………. 49

5.2.2. Uji Normalitas Data……………………………………….. 49

5.2.3. Uji Homogenitas Data……………….…………..………… 50

5.2.4 Uji Efek Implantasi Benang PDO Terhadap Jumlah Kolagen……. 50

BAB VI PEMBAHASAN………………………...................................................... 52

6.1. Subyek Penelitian ................................................................................... 52

6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ................................ 53

6.3. Pengaruh Implantasi Benang PDO.......................................................... 53

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…….. ............................................................. 55

7.1. Simpulan ................................................................................................. 55

7.2. Saran ....................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 56

Lampiran 1 : Ethical Clearance ................................................................................. 60

Lampiran 2 : Analisa Statistika ................................................................................. 61

Lampiran 3 : Histologi FK UNUD ……………………………………………….. 62

Lampiran 4: Foto Aktifitas Penelitian ...................................................................... 67

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1. Anatomi Kulit yang Mengalami Penuaan ………..…………………….. 10

2.2. Skema Proses Pembentukan Kolagen……………………………………. 15

2.3. Efek Sinar UltraViolet Terhadap Kulit…………………………………... 18

2.4. Mekanisme Terjadinya Photoaging……………………………………… 20

2.5. Sintesis PDO …………………………………………………………….. 22

2.6. Benang PDO berbentuk V ………………………………………………. 24

2.7. Berbagai Tipe Benang PDO ……………………………………………. . 25

2.8. Metode implantasi benang PDO…………………………………………. 25

2.9. Pewarnaan HE……………………………………………………………. 26

2.10. Skema Mekanisme Perlukaan …………………………………………… 29

2.11. Skema Mekanisme Implant PDO ………………………………………... 30

3.1. Kerangka Konsep Penelitian…………………………………………….. 33

4.1. Rancangan Penelitian……………………………………………………. 34

4.2. Hubungan Antar Variabel……………………………………………….. 38

4.3. Alur Penelitian…………………………………………………………… 45

5. 1. Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus………………...................... 48

5.2. Perbandingan Jumlah Kolagen antara Kelompok ………………………. 51

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1. Hasil Uji Deskriptif Rerata Jumlah Kolagen…………….…………….….. 49

5.2. Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Setelah Perlakuan…………………… 49

5.3. Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan……………….… 50

5.4. Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antar ………………………………… 50

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

A4M : American Academy of Anti Aging Medicine

AAM : Anti Aging Medicine

AP-1 : Activator Protein

BPS : Badan Pusat Statistik

CIE : Commision Internationale d l’Eclairage

Ca : Kalsium

cDNA : Complementary Deoxyribonucleic Acid

Cu : kuprum

CoQ10 : koenzim Q10

DNA : Deoxyribonucleic acid

deg. : Degeneratif

et al : dan kawan-kawan

ELISA : Enzym-linked Immunosorbent Assay

ECM : Extra Cellular Matrix

EPA : Eikosapentanoeat Acid

fe : ferrum

g : gram

GH : Growth Hormon

HCl : Asam Klorida

HRD-Avidin : Horseradish peroxidase-conjugated avidin

IL-1 : Interleukin-1

Kj : Kilo Joule

MED : Minimal Erythema Dose

mJ/cm² : mili Joule per sentimeter persegi

MMP : Matrix Metalloproteinase

MMPs : Matrix Metalloproteinases

MMP-1 : Interstitial Collagenase

MMP-14 : Matrix Metalloproteinase-14

MMP-15 : Matrix Metalloproteinase-15

MMP-16 : Matrix Metalloproteinase-16

mRNA : Messenger Ribonucleic Acid

NF-κβ : Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells

O2 : Oksigen

P : Fosfor

PCI : Percutaneous Collagen Induction

PDO : Polydioxanone

pH : Pangkat Hidrogen

ROS : Reactive Oxygen Species

s.d. : Sampai dengan

SOD : Superoxide Dismutase

SPSS : Statistical Package for the Social Science

TβRII : TGF-β type II receptor

TGF-β : Transforming Growth Factor-beta

TL : Tubular Lamp

TMB : Tetramethylbenzidine

TNF-α : Tumor Necrosing Factor-alfa

UV : Ultraviolet

UV-A : Ultraviolet A

UV-B : Ultraviolet B

UV-C : Ultraviolet C

Q10 : Koenzim 10

α : alfa

β : beta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah penuaan kini telah mendapat perhatian khusus di ilmu Kedokteran.

Konsep Anti Aging Medicine yang dicetuskan pada tahun 1993, mengganggap dan

memperlakukan penuaan seperti penyakit sehingga dapat dicegah, dihindari dan

diobati agar dapat kembali ke keadaan semula. Kata anti penuaan bukan berarti

menghentikan penuaan, tapi memperlambat penuaan dan mencegah penyakit-

penyakit yang ditimbulkan karena penuaan untuk mendapatkan kualitas hidup yang

lebih baik.

Faktor – faktor yang menyebabkan penuaan dapat dikelompokan menjadi faktor

internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas,

berkurangnya hormon, glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang

menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat

kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Faktor eksternal yang menyebabkan penuaan pada kulit selain kebiasaan

merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan dan nutrisi buruk salah satunya adalah

paparan sinar ultraviolet (UV) berulang, yang dapat menyebabkan terjadinya

photoaging. Photoaging lebih sering mengenai daerah wajah, dada dan daerah

ekstensor lengan. Gambaran klinis yang dijumpai antara lain adalah kulit yang kasar,

kerutan, lesi pigmentasi dan keganasan (Baumann dan Saghari, 2009).

Sinar UV berasal dari sinar matahari. Terdapat beberapa macam sinar UV

yaitu sinar UVA yang memiliki panjang gelombang 320 – 400 nm, sinar UVB yang

memiliki panjang gelombang 280 – 320 nm dan sinar UVC dengan panjang

gelombang 100 – 280 nm. Dari berbagai macam sinar UV yang ada, sinar UVB yang

memiliki daya rusak sampai menembus lapisan dermis kulit dan merusak serat – serat

kolagen yang ada di dalamnya (Krutmann, 2011).

Penuaan ekstrinsik yang paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau

disebut photoaging. Pada photoaging, kolagen akan mengalami kerusakan dimana

kolagen akan mengalami glikasi, yaitu reaksi non enzimatik yang melibatkan

penambahan gula pereduksi molekul matriks ekstraseluler kolagen dan protein.

Kolagen yang mengalami glikasi akan kehilangan kelenturannya dan tidak dapat

mengalami remodeling. Kolagen yang terpapar berulang oleh sinar UVB akan

mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen. Degradasi

kolagen menjadi tidak lengkap dan terjadi akumulasi fragmentasi kolagen yang

mengurangi integritas struktural dermis (Baumann dan Saghari, 2009; Yaar dan

Gilchrest, 2007).

Kolagen adalah salah satu protein yang paling banyak pada tubuh manusia.

Fungsi kolagen adalah sebagai jaringan yang dapat diregangkan dan menjadikan kulit

sebagai pelindung dari trauma luar. Jenis kolagen yang ditemukan pada kulit adalah

kolagen tipe I, tipe III, tipe IV, tipe V, tipe VII dan tipe XVII (Baumann dan Saghari,

2009).

Salah satu jenis perawatan yang dikatakan dapat merangsang kolagen adalah

‘tanam benang’. Tanam benang adalah perawatan yang digunakan untuk

mendapatkan efek pengencangan kulit dengan cara memasukkan benang

polydioxanone (PDO) monofilamen yang sangat tipis dan bisa diserap lagi ke lapisan

kulit setelah 180-240 hari. Dengan tingkat keamanan yang tinggi, waktu

penyembuhan yang singkat (1-3 hari) dan hasil yang dapat dilihat segera setelah

prosedur selesai, metode ini dianggap baik untuk memperbaiki kulit yang kendur

(Shimizu dan Terase, 2013).

Prosedur tanam benang menggunakan benang polydioxanone (PDO) yang

akan diserap kembali oleh tubuh dan menghasilkan peremajaan sel kulit. Benang

PDO adalah material yang telah digunakan di dunia kedokteran selama bertahun-

tahun. Selama ini, benang PDO digunakan di berbagai prosedur operasi. Di tahun

2008, seorang dokter Korea melakukan penelitian dengan menggabungkan metode

akupunktur dan benang PDO untuk meralaksasikan otot dan tendon. Setelah dua

tahun penelitian, metode ini banyak digunakan oleh para dokter di bidang estetika di

seluruh dunia. Berdasarkan observasi klinis, ternyata benang PDO dapat merangsang

proses neokolagenesis jaringan, yang merangsang pembentukan kolagen baru.

Sebagai tambahan, aktivasi fibroblast juga menghasilkan stimulasi terhadap sintesis

elastin. Juga didapatkan hasil benang PDO dapat menyebabkan sintesis dari asam

hyaluronat (Mercik, 2013).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah seperti

berikut : Apakah implantasi benang PDO di lapisan dermis dapat menghambat

penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Membuktikan implantasi benang PDO di lapisan dermis dapat

menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar

sinar UVB.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Manfaat Keilmuan

Memberi informasi ilmiah tentang efek metode implantasi benang PDO di lapisan

dermis untuk menghambat penurunan kolagen dermis akibat paparan sinar UVB.

1.4.2. Manfaat Praktis

Memberi informasi pada masyarakat tentang efek metode implantasi benang PDO

yang dapat memberikan perlindungan pada kulit dari pengaruh kerusakan oleh

sinar UVB.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Proses Penuaan

2.1.1 Teori Penuaan

Penuaan merupakan proses normal yang akan terjadi pada setiap manusia.

Pada tahun 1993, Anti Aging Medicine (AAM) telah memberikan konsep baru pada

dunia kedokteran, yaitu memperlakukan penuaan seperti penyakit, sehingga dapat

dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke kondisi semula sehingga usia harapan

hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik

(Pangkahila, 2011).

Proses penuaan dapat dijelaskan dengan beberapa teori, yaitu teori wear and

tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan berbagai

aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikosilasi dan radikal bebas,

sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah dan akhirnya meninggal. Sedangkan,

teori program menganggap tubuh memiliki jam biologis, teori ini meliputi

terbatasnya replikasi, proses imun dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2011).

1. Teori wear and tear

Teori ini menyatakan berbagai aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan

DNA, glikosilasi dan radikal bebas, sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah

dan akhirnya meninggal. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit serta organ

lainnya fungsinya menurun karena toksin

di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi banyak lemak, gula, kafein, alkohol dan

nikotin. Selain beberapa faktor diatas, sinar ultraviolet dan stress fisik serta emosional

juga dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan organ yang menyebabkan

penuaan. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi pada

tingkat sel (Pangkahila, 2011).

Yang termasuk ke dalam teori wear and tear ini adalah kerusakan DNA,

glikosilasi dan teori radikal bebas Pada usia muda sistem pemeliharaan dan perbaikan

tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan

yang terjadi, namun pada usia tua tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki

kerusakan karena penyebab apapun. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian

suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu

mengembalikan proses penuaan (Pangkahila, 2011).

1.1 Teori Kerusakan DNA

Teori ini mengemukakan bahwa kerusakan DNA terjadi karena kerusakan

molekul yang terus menerus dan menumpuk dalam waktu lama sehingga

proses penyembuhan menjadi tidak sempurna. Bila kerusakan molekul ini

mencapai taraf yang berat maka terjadilah kerusakan DNA. Dikatakan bahwa

keseimbangan antara kerusakan DNA dan keberhasilan penyembuhan DNA

yang menentukan rentang usia seseorang (Pangkahila, 2011).

1.2 Glikosilasi

Glikosilasi terjadi saat molekul-molekul gula yang melayang dalam darah

berikatan dengan molekul protein di permukaan sel sehingga molekul-molekul

tersebut kehilangan fungsinya. Glikosilasi berkaitan erat dengan diabetes

melitus tipe 2. Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan

dini karena penderita diabetes mengalami proses patologik yang lebih awal

sehingga usia harapan hidup pada penderita diabetes lebih pendek (Pangkahila,

2011).

1.3 Teori Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang

tinggi, karena kemampuannya untuk menarik elektron sehingga mengubah

suatu molekul menjadi radikal bebas karena hilangnya satu elektron pada

molekul lain. Reaksi ini dapat menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi

sel, bahkan kematian sel. Molekul utama yang dirusak oleh radikal bebas

adalah DNA, lemak dan protein. Pertambahan usia mengakibatkan akumulasi

sel yang rusak akibat radikal bebas, sehingga dapat merusak sel dan

merangsang terjadinya mutasi sel yang akhirnya menyebabkan kanker dan

kematian (Goldman dan Klatz, 2007).

2. Teori Program

Teori ini beranggapan bahwa tubuh manusia menjalani suatu proses yang

terprogram, mulai dari proses konsepsi kemudian menjadi embrio, janin, masa bayi,

anak – anak, remaja, dewasa sampai menjadi tua dan meninggal. Yang termasuk ke

dalam teori program ini adalah teori terbatasnya replikasi sel, proses imun dan teori

neuroendocrine (Pangkahila, 2011).

2.1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel

Telomere adalah struktur khusus yang terdapat di bagian ujung chromosome

strands, berfungsi menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya rentang usia

organisme itu sendiri (Hayflick, 1998).

Pada setiap proses replikasi sel, telomere akan memendek, yang pada suatu

saat ketika telomere telah dipakai maka pembelahan sel akan berhenti

(Pangkahila, 2011).

2.2 Proses Imun

Teori ini menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada

kelenjar timus. Kelenjar ini adalah sumber dari sel T yang berperan penting pada

sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun

terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011).

2.3 Teori Neuroendocrine

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh

hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk

poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan

hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ

tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi

penurunan produksi hormon, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai

sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007).

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi

berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala

proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011).

1. Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun) :

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu

hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal

bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini

biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak

normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia

ini dianggap usia muda dan normal.

2. Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun) :

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang

sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa

hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan

resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan

obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran

menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun,

dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda

lagi dan tampak lebih tua.

3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) :

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA

(dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan

hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan

bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang

sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan

membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai

nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan

keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila,

2011).

2.2 Kulit

2.2.1 Anatomi Kulit

Gambar 2.1 Anatomi Kulit yang mengalami penuaan

(Best Practice Statement: Care of the older person’s skin. Cooper, 2012)

Kulit adalah lapisan terluar dan organ terbesar dari tubuh, terhitung sekitar

15% dari total berat badan manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis,

dermis, dan subkutis. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsinya masing –

masing (Kanitakis, 2002; Baumann dan Saghari, 2009).

2.2.1.1 Lapisan Epidermis

Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit, terdiri dari epitel skuamosa

bertingkat yang terutama terdiri dari dua jenis sel yaitu sel keratinosit dan sel

dendritik. Epidermis dibagi menjadi empat lapisan sesuai dengan morfologi

keratinosit yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu lapisan sel basal (stratum basale),

lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum),

dan lapisan sel cornified (stratum korneum) (Baumann dan Saghari, 2009).

a. Lapisan sel basal

Lapisan sel basal (stratum germinativum), mengandung sel keratinosit

yang menempel pada membran dasar dengan sumbu panjang tegak lurus

terhadap dermis. Sel basal memiliki peran dalam terjadinya proliferasi sel

pada epidermis. Pada stratum basale terdapat ornithine decarboxylase (ODC)

yang digunakan sebagai marker aktivitas proliferasi. ODC distimulasi oleh

paparan berulang UVB dan diinaktivasi oleh asam retinoat, kortikosteroid dan

vitamin D3 (Baumann dan Saghari, 2009).

b. Lapisan sel skuamosa

Lapisan sel skuamosa terdiri dari berbagai sel yang berbeda dalam

bentuk, struktur dan sifat tergantung dari lokasinya. Di lapisan bawah terdapat

sel spinosus supra basal yang berbentuk polyhedral dengan inti bulat,

sedangkan sel – sel dari lapisan spinosus atas umumnya lebih besar ukurannya

dan menjadi datar karena terdorong ke arah permukaan kulit dan mengandung

granula lamellar. Pada lapisan ini terdapat cell junction yaitu, desmosom,

adherent junction, tight junction dan gap junction (Baumann dan Saghari,

2009).

c. Stratum Granulosum

Stratum granulosum terdiri dari beberapa sel – sel pipih yang

mengandung granul keratohialin dalam sitoplasmanya. Granul keratohialin

mengandung profilagrin, lorikrin dan involukrin. Sel – sel ini bertanggung

jawab untuk sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam keratinisasi

(Baumann dan Saghari, 2009).

d. Stratum Korneum

Pada stratum korneum terdapat korneosit yang memiliki fungsi

sebagai pelindung mekanik untuk epidermis dengan mencegah hilangnya air

dan invasi oleh zat – zat asing. Korneosit yang mengandung kadar protein

tinggi dan kadar lemak rendah ini dikelilingi oleh matriks ekstraseluler lipid.

Sifat fisik dan biokimia dari sel – sel di stratum korneum bervariasi sesuai

dengan letaknya. Sel – sel di lapisan tengah memiliki kapasitas untuk

mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan sel – sel yang berada di

lapisan yang lebih di dalam ((Baumann dan Saghari, 2009).

2.2.1.2 Lapisan Dermis

Lapisan dermis terletak antara epidermis dan lemak subkutan. Lapisan dermis

menentukan ketebalan kulit dan memiliki peranan penting pada penampilan kosmetik

kulit. Ketebalan dermis bervariasi di berbagai bagian tubuh. Di dalam dermis

terdapat syaraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan sebagian besar dermis terdiri

dari kolagen. Bagian paling atas lapisan dermis yang dekat dengan epidermis disebut

dermis pars papilare dan bagian bawah dari lapisan dermis yang dekat dengan lemak

subkutan disebut dermis pars retikulare. Pada penuaan, terjadi penurunan ketebalan

dan kelembaban pada lapisan dermis (Baumann dan Saghari, 2009).

Pada dermis pars papilare terdapat bundel kolagen yang kecil, kepadatan yang

tinggi dan terdapat elemen vaskular. Pada pars retikulare terdapat bundel kolagen

yang lebih besar, elastin yang matang, pembuluh darah, saraf, otot, polisebasea,

kelenjar apokrin dan ekrin (Baumann dan Saghari, 2009).

Fibroblast adalah jenis sel utama di lapisan dermis. Fibroblast memproduksi

kolagen, elastin, protein matriks lainnya, dan enzim seperti kolagenase dan

stromelysin. Di dalam dermis juga terdapat sel mast, leukosit polimorfonuklear,

limfosit dan makrofag (Baumann dan Saghari, 2009).

a. Kolagen

Kolagen merupakan protein alami terkuat yang terdapat dalam tubuh manusia.

Terdapat beberapa tipe kolagen. Kolagen tipe I (80-85%) terdapat di dermis, terdiri

dari 2 rantai α yaitu α1 dan α2 yang berguna untuk kelenturan dermis. Jumlah

kolagen tipe I terbukti menurun pada kulit yang menua. Kolagen tipe III adalah

bentuk kedua yang paling penting dari kolagen pada dermis, namun memiliki

diameter yang lebih kecil dari kolagen tipe I. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α,

yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Karena banyak ditemukan pada fetus,

kolagen tipe III dikenal juga sebagai fetal kolagen. Kolagen jenis lain yang juga

terdapat pada dermis adalah kolagen tipe IV, terdapat pada lamina densa dan terdiri

dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homo polimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4

rantai yang berbeda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VII terdiri dari satu

rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantainya, dan kolagen tipe XVII terletak

pada hemidesmosome (Baumann dan Saghari, 2009).

Biosintesis Kolagen

Kolagen adalah protein terbanyak pada serat-serat jaringan ikat kulit, tulang

dan kartilago. Kolagen tidak dapat larut dalam air, tetapi mudah dicerna dan mudah

larut dalam basa (Padayatty, 2003).

Seperti halnya protein lainnya, kolagen juga mengandung rantai polipeptida.

Rantai panjang dari molekul-molekul kolagen mengandung kira-kira seribu residu

asam amino, sekitar enam ribu atom. Proses sintesis kolagen dimulai dengan reaksi

hidroksilasi, dimana reaksi ini terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) suatu struktur tiga

dimensi terbentuk, dengan asam amino prolin dan glisin sebagai komponen

utamanya. Struktur tiga dimensi ini belum menjadi kolagen, tetapi masih berupa

prekursornya yaitu prokolagen. (2) Proses konversi ini membutuhkan ion hidroksida

(OH-) untuk bereaksi dengan Hidrogen (H

+). (3) Reaksi katalisis. Reaksi ini

dikatalisis oleh enzim prolyl-4-hidroksilase dan lisil-hidroksilase (Padayatty, 2003).

Gambar 2.2 Skema Proses Pembentukan Kolagen (Sharma, 2007)

Transkripsi

Translasi

Residu prolil dan lisil

Residu hidroksilisil

Pro-kolagen

Triple helix formation

Sekresi pro-kolagen ke matriks ektrasel

Konversi pro-kolagen menjadi kolagen

Pembentukan kross-link

hidroksilasi

Glikosilasi

Pembentukan rantai dan ikatan disulfida

2.2.1.3. Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis atau hipodermis terletak di bawah dermis, sebagian besar

terdiri dari lemak, yang merupakan sumber energi yang penting bagi tubuh. Pada

lapisan ini juga terdapat kolagen tipe I, III, dan V. Lapisan subkutis menghubungkan

kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda –

beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu (Baumann dan Saghari,

2009).

2.2.2 Penuaan kulit

Penuaan kulit terjadi karena proses intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan intrinsik

mengambarkan latar belakang genetik dari individu dan akibat dari bertambahnya

usia kronologis. Penuaan intrinsik pada kulit terjadi karena akumulasi kerusakan

endogen akibat dari pembentukan senyawa oksigen relatif selama metabolisme

oksidasi seluler. Selain itu penuaan intrinsik pada kulit juga terjadi akibat dari

pemendekan telomere pada pembelahan sel, penurunan faktor pertumbuhan dan

akibat dari penurunan hormon, dimana menurunnya hormon estrogen dapat

mempengaruhi degradasi dari kolagen (Baumann dan Saghari, 2009).

Gambaran klinis penuaan intrinsik antara lain serosis, kelemahan dan kerutan

pada kulit serta gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angina buah

cherry. Di bawah mikroskop akan tampak atrofi epidermis, pendataran epidermal rete

ridges dan atrofi dermis. Pada penuaan intrinsik terjadi peningkatan rasio jumlah

kolagen III terhadap kolagen I (Baumann dan Saghari, 2009).

Sedangkan penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor eksternal seperti

merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, gizi buruk, dan paparan sinar matahari

(Baumann dan Saghari, 2009).

Penuaan ekstrinsik paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau yang

disebut photoaging, sehingga penuaan ekstrinsik paling terlihat pada daerah wajah,

dada dan bagian ekstensor dari lengan. Gambaran klinis photoaging antara lain adalah

kerutan dan lesi pigmentasi seperti frackles, lentigines, hiperpigmentasi dan lesi

hipopigmentasi seperti hipomelanosis gutata. Gambaran histopatologis berupa atrofi

epidermis, dan perubahan pada kolagen dan elastin berupa fragmentasi, progresif

cross-linkage serta kalsifikasi. Perbedaan gambaran klinis antara penuaan intrinsik

dan ekstrinsik adalah pada penuaan intrinsik kulit tampak lebih halus dibandingkan

pada kulit yang mengalami penuaan ekstrinsik walaupun pada kulit yang mengalami

penuaan intrinsik tipis dan mengalami penurunan elastisitas (Baumann dan Saghari,

2009).

2.3 Sinar Ultraviolet dan Efeknya Terhadap Kulit

Sinar ultraviolet dibagi menjadi UVA (panjang gelombang 320 – 400 nm),

UVB (panjang gelombang 280 – 320 nm) dan UVC (panjang gelombang 100 – 280

nm). UVC tidak pernah mencapai permukaan bumi karena terfiltrasi oleh ozon,

namun UVA dan UVB dapat mencapai permukaan bumi, dan keduanya dapat

menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada kulit manusia (Krutmann, 2011).

Meskipun hanya dapat menembus epidermis, UVB dapat menyebabkan

kerusakan yang lebih banyak dibandingkan sinar UVA (Alam dan Havey, 2010).

Gambar 2.3 Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit (American Cancer Society, 2004).

2.3.1 Efek Akut Sinar Ultraviolet

1. Eritema

Eritema adalah reaksi inflamasi akut pada kulit yang ditandai dengan

kemerahan setelah paparan berlebihan radiasi UV. Dosis kemerahan minimal yang

dapat dilihat jelas dalam 24 jam setelah radiasi disebut minimal erytema doses

(MED). Eritema yang terbentuk bervariasi tergantung kepada panjang gelombang

UVA (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005).

UVA terbagi dua, yaitu UVA 1 dan UVA 2, dimana UVA 2 lebih

meningkatkan eritema dibandingkan dengan UVA 1. Efektivitas eritema menurun

sebanding dengan panjang gelombang. Eritema terinduksi UVB memberikan respon

lebih lambat daripada UVA dan mencapai puncak setelah paparan 6 – 24 jam

tergantung dosis (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005).

2. Pigmentasi

Eritema yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang

terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang

terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini terjadi karena lokalisasi pigmen yang

diinduksi UVA dari basal. Melanin yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan

turn-over epidermis dalam 1 bulan (Fisher at al.,2002; Taylor, 2005).

3. Kerusakan DNA

Sinar Ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan pada DNA berupa kesalahan

pembacaan kode genetik, mutasi dan apoptosis. DNA seluler langsung menyerap

UVB dan menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan

merusak heliks DNA. Radiasi UVA dapat juga mengakibatkan lesi pada DNA

walaupun daya rusak lebih lemah dibandingkan UVB (Taylor, 2005).

2.3.2 Efek Kronis Sinar Ultraviolet

1. Photoaging

Penuaan kulit dini dengan berbagai derajat keparahan dapat terjadi pada

semua orang, salah satunya akibat aktivitas di luar ruangan. Hal ini terutama terjadi

pada orang yang aktivitasnya sering terkena paparan sinar matahari (Fisher, 2000).

Studi epidemiologi di seluruh dunia menggambarkan ada koneksi langsung

antara insiden kanker kulit dengan paparan sinar UV. Kanker kulit adalah tipe kanker

yang paling umum terjadi pada populasi Kaukasian di Amerika Serikat; lebih dari

500.000 – 1.000.000 kasus terdiagnosa setiap tahunnya (Fisher, 2000).

Kerusakan DNA akibat radiasi UV menghasilkan mutasi genetik yang

menyebabkan transformasi seluler dan aktivasi sinyal transduksi pathway, sehingga

merangsang matrix metalloproteinase dan produk gen-gen lain merubah jaringan dan

membentuk formasi kanker (Fisher, 2000).

Gambar 2.4 Mekanisme Terjadinya Photoaging (Fisher, 2000).

Aktivasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) telah terbukti

berperanan penting pada respons berbagai radiasi sinar UV. Beberapa penelitian

menyimpulkan bahwa EGFR dipertahankan dalam keadaan inaktif oleh protein

tyrosine phosphatase kappa (RPTP-k). Radiasi UV menghambat RPTP-k, sehingga

memungkinkan EGFR untuk menjadi aktif. EGFR akan merangsang transduksi sinyal

pathway sehingga merangsang matrix metalloproteinase (Fisher, 2000).

2. Fotokarsinogenesis

Efek pajanan sinar UV pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia

sangat sulit dideteksi pada manusia. Perkembangan lesi kanker ini membutuhkan

waktu bertahun – tahun, sehingga penelitian mengenai fotokarsinogenesis masih

terbatas. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab

utama perkembangan kanker kulit (Taylor, 2005; Krutmann, 2011).

2.4. Benang Polydioxanone (PDO)

PDO adalah benang sintetis, monofilamen, dapat diserap kembali oleh tubuh,

berwarna biru atau violet dan disterilisasi dengan ethylene oxide. Benang PDO sudah

digunakan pada tindakan operasi jaringan internal dan diterima di semua komunitas

ilmiah. Benang PDO juga direferensikan pada penggunaan operasi mata,

gastrointestinal, bedah plastik, bedah rekonstruktif, ginekologi, urologi, kutikular dan

bedah jantung anak (Llorca, 2014).

PDO merupakan hasil polimerisasi membuka cincin dari monomer p-

dioxanone. In vivo, PDO mengalami hidrolisis secara perlahan membentuk monomer

2-hydroxy-ethoxyacetic. Monomer ini kemudian di degradasi menjadi air dan

karbondioksida yang merupakan komponen netral bagi tubuh dan dapat diserap

sempurna melalui kulit (Mercik, 2013).

Gambar 2.5 Sintesis Polydioxanone (Mercik, 2013)

Studi Janik et al. (2011) di bidang operasi kolorektal menunjukkan resistensi

yang baik setelah penggunaan PDO. Pada kasus prolaxes urinals, Madhuvrata

menyimpulkan 2 tahun setelah operasi pasien memiliki kualitas hidup yang baik.

Ruim et al. (2014) pada studi bandingnya menyimpulkan benang PDO lebih berguna

dibandingkan benang permanen pada operasi abdominoplasti. Tahun 2008, James dan

Kelly mempublikasikan hasil yang baik pada operasi rhinoplasti menggunakan

benang PDO. Backer et al. (2010) mempublikasikan bahwa tidak ditemukan

komplikasi penggunaan benang PDO pada operasi fraktur periorbita.

Parara et al.(2011) mengadakan studi banding efek eritema dan iritasi antara

lima benang yang berbeda (polydioxanone, blue propylene, polyamide 6, metallic

chips dan polyglactin) dengan gambaran digital yang diproses oleh software metode

observasi menyimpulkan “polydioxanone merupakan benang dengan hasil yang lebih

baik dan tanda-tanda iritasi atau eritema yang lebih sedikit”.

Ogawa pada studi operasi torakal di Jepang menyimpulkan bahwa kekuatan

benang polydioxanone, sifat dapat diabsorbsi dalam 6 bulan dan efek samping yang

rendah membuat benang ini lebih disukai.

Studi Goodrich menyimpulkan tidak ditemukan komplikasi penggunaan

benang polydioxanone pada operasi kraniofasial. De Toledo juga tidak menemukan

adanya komplikasi ataupun efek samping penggunaan polydioxanone pada operasi

gigi.

Serat atau jalinan benang yang terbuat dari PDO tidak mempunyai efek

pirogenik, sehingga tidak merangsang reaksi system imun. Di bidang medis, PDO

telah digunakan lebih dari 20 tahun, terutama di bidang bedah dan implant ortopedi.

Di abad 21, PDO digunakan sebagai promoter jaringan, untuk merangsang

pembentukan kolagen baru. Di tahun 2008, Korea Selatan yang pertama kali

mematenkan system benang PDO yang dimasukkan pada jarum khusus untuk

digunakan di bidang estetik dan bedah plastik. Sejak saat itu, benang PDO digunakan

luas di seluruh dunia, khususnya Korea, Jepang, Amerika Utara dan Selatan, Rusia

dan Eropa.

Gambar 2.6 Benang PDO berbentuk V sebelum dimasukan ke dalam jarum (A) dan

sesudah dimasukkan satu sisinya ke dalam jarum (B) (Shimizu, 2013).

Polydioxanone di reabsorbsi total setelah 180 hari dan mempertahankan 75%

tekanan pada minggu ke 2 dan 25% tekanan pada minggu ke 6. Selama waktu 2-6

minggu itu, selain mempertahankan tekanan, juga terjadi perangsangan kolagen di

sekitar benang akibat stimulasi fibroblas dan aktivasi neokolagenesis (Mercik, 2013).

Tipe benang Polydioxanone (PDO)

Secara garis besar, ada 3 tipe benang polydioxanone yang tersedia, yaitu

monofilamen, multifilament dan bergerigi. Studi banding antara benang

polydioxanone monofilamen dengan multifilamen pada operasi abdomen yang

dilakukan oleh Hennesey et al. (2012) menyimpulkan putaran yang terjadi pada

benang multifilamen dapat meningkatkan resiko patah.

A. B.

Gambar 2.5 Berbagai tipe benang PDO (Suh et al, 2015)

Gambar 2.8 Metode implantasi benang PDO. Setelah jarum ditarik dari kulit,

benang akan tertinggal di lapisan kulit (Shimizu, 2013).

2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen

Mekanisme benang PDO dalam menghambat penurunan kolagen sampai saat

tesis ini ditulis masih belum pasti. Beberapa pendapat menyatakan mekanismenya

hampir mirip dengan proses penyembuhan akibat luka terpotong. Shimizu, (2013)

melakukan studi kepada beberapa pria dengan mengimplantasikan benang PDO di

leher dan melakukan biopsi 3 bulan kemudian.

Gambar 2.9 Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) pembesaran 20x (A) dan 100x (B)

(Shimizu, 2013)

Pada pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) dapat terlihat benang PDO yang

terlipat di lapisan antara dermis dan subkutan. Di sekitar benang PDO terlihat reaksi

terhadap benda asing seperti limfosit, histiosit, cluster aerotropism dan fibrosis

(Shimizu, 2013).

Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan

adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit

sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca,

2014).

Sintesis kolagen dan komponen-komponen matriks ekstraselular (kolagen,

elastin, fibronektin, glikosaminoglikans dan proteoglikans) jumlahnya berkurang

seiring penuaan. Fibroblas aktif dewasa dapat memproduksi sampai 3,5juta

makromolekul prokolagen setiap harinya. Kolagen tipe I dan III yang menyusun 90%

strutur kulit membentuk struktur bundel serat tiga dimensi. Fragmen struktur Gly-

Pro-hidroxyprolin disebut urutan kolagen. Pada usia 80 tahun, sintesis kolagen sudah

berkurang 75% dibanding ketika usia 18-29 tahun. Kesimpulannya adalah penurunan

sintesis kolagen tipe I dan III berkorelasi dengan bertambahya usia (Llorca, 2014).

Mercik, 2013 menyatakan prosedur PDO mempengaruhi 2 mekanisme.

Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan kulit, yaitu pada

saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan. Mekanisme

kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk mensintesis kolagen.

Studi yang dilakukan Jang, 2005 dengan membandingkan implantasi benang

PDO monofilamen, multifilamen dan COG pada punggung tikus, dengan pewarnaan

HE memperlihatkan terbentuknya kapsul mengelilingi PDO di minggu ke empat.

Kapsul yang mengelilingi COG terlihat lebih tebal dibanding kapsul yang

mengelilingi monofilamen. Benang COG yang berduri menyebabkan kerusakan

jaringan dan pembentukan skar. Jang menggunakan antibodi monoklonal α otot polos

aktin untuk menandakan miofibroblast pada kapsul. Kontraktil fibroblast, yaitu

miofibroblas dianggap sebagai pelaku aktif kontraksi luka. Gabbiani dan Ryan (2016)

menyatakan miofibroblas juga ditemukan pada Dupuytren’s contracture dan pada

kontraktur kapsul fibrous di sekeliling implant payudara. Pemeriksaan dengan

mikroskop electron tidak menunjukkan adanya fibroblas dan sel otot polos pada fase

aktif penyembuhan luka, terlihat pada minggu ke tiga dan mulai berkurang setelah

minggu ke delapan. Pada minggu ke 20, di mana luka sudah stabil, sudah tidak

ditemukan lagi miofibroblas. Miofibroblas biasanya ditemukan pada kapsul fibrous,

yang menandakan bahwa kontraksi kapsul fibrous bersamaan dengan kontraksi

jaringan skar. Semakin banyak miofibroblas pada kapsul akan membuat tenaga

kontraksi semakin kuat.

Pada studi Jang, miofibroblast ditemukan pada kapsul yang mengelilingi

benang PDO, dan jumlahnya lebih banyak pada COG dibandingkan benang

monofilament. Maka, beberapa COG dianggap cukup untuk menimbulkan stimuli

pembentukan miofibroblas. Jang mengemukakan bahwa ia sendiri tidak yakin hasil

studinya ini dapat mendukung aplikasi klinis saat ini. Studi jangka panjang pada kulit

yang hidup masih diperlukan untuk mencari informasi lebih jauh mengenai efektifitas

PDO.

Gambar 2.10. Skema Mekanisme Perlukaan (Liebl, 2013)

Saat jarum menembus kulit

Perlukaan seketika

(A Minute Injury)

Rangsangan Saraf

(Nerve Stimulus)

Memulai Fase Penyembuhan

(Growth Signal/Growth Factor)

Fase I : Inflamasi

- Dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan s/d 48 jam.

- Terjadi pembengkakan ringan

- Kemerahan berkurang setelah 4-6 jam

- Mengaktifkan komunikasi antar sel dan motilitas sel

- Mengaktifkan sinyal elektrik (electro-taxis)

Fase II : Proliferasi

- Fibroblast membentuk serat kolagen dan elastin pada hari ke-5

sampai minggu ke-8

Fase II : Remodelling

- Fibroblast bermigrasi ke area perlukaan untuk menutup luka

- Pembentukan serat kolagen baru untuk mempertebal dermis (neo-

kolagenesis)

- Pembentukan sel endotel baru (neo-angiogenesis)

Gambar 2.11. Skema Mekanisme Implant PDO (Im, 2007)

Implant PDO

Pengaktifan sel-sel radang

Terlihat zona ireguler disekitar implant PDO yang

terbentuk dari sel-sel radang (hari ke-7)

Pembentukan kapsul fibroblast

Terbentuk kapsul kolagen tebal di sekitar implant PDO yang

terbentuk dari fibroblas dan makrofag (hari ke-120)

Reabsorbsi sempurna

Implant PDO telah terabsorbsi sempurna.

Tidak ditemukan reaksi jaringan yang signifikan (hari ke-180)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Photoaging adalah penuaan pada kulit yang diakibatkan oleh sinar UV (faktor

ekstrinsik), sehingga menyebabkan perubahan pada kulit berupa kerutan, lesi

pigmentasi yaitu frackles, hiperpigmentasi dan hipopigmentasi. Sinar UV yang dapat

menembus sampai ke lapisan kulit dan merusak serat-serat kolagen adalah sinar

UVB.

Paparan sinar UVB berlang akan menyebabkan kerusakan DNA, berupa

cross-linking basa pirimidin. Reaksi ini dapat menghasilkan reactive oxygen species

(ROS). Pembentukan ROS ini terjadi setelah pajanan sinar UVB kurang dari 30

menit.

Kulit adalah organ yang sangat kompleks terdiri dari berbagai komposisi

selular yang memperbarui dirinya terus menerus. Pada orang muda, pembaharuan

siklus jaringan kulit terjadi setiap 28-30 hari, tetapi karena penuaan, proses

pembaruan ini menjadi semakin lambat. Fibroblas, salah satu sel kulit yang penting

mulai mengalami penurunan memproduksi asam hyaluronat, kolagen, elastin dan

beberapa molekul lain.

Kolagen merupakan komponen fibriler dari jaringan ikat dan sebagai protein

ekstraseluler yang paling utama dalam tubuh manusia. Kolagen mengisi 70-80%

dermis, terutama tipe kolagen I yang merupakan tipe kolagen terbanyak dan bertugas

menjaga kelenturan dermis.

Kolagen yang terpapar sinar UVB berulang, akan mengalami degradasi dan

penghambatan pertumbuhan prokolagen. Gambaran histopatologi kulit dan kolagen

yang terpapar UVB antara lain, atrofi epidermis, pendataran dermal-epidermal

junction (DEJ), elastosis dermis dan fragmentasi kolagen.

Prosedur implantasi PDO dapat meningkatkan kolagenisasi melalui 2

mekanisme. Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan

kulit, yaitu pada saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan.

Mekanisme kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk

mensintesis kolagen.

Oleh karena itu, prosedur implantasi PDO diharapkan dapat mencegah

penurunan kolagen akibat paparan sinar UVB berulang.

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka Konsep penelitian

Keterangan :

Tidak diteliti

Diteliti

3.3. Hipotesis penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian tersebut, maka ditetapkan hipotesis

penelitian sebagai berikut : Implantasi benang Polydioxanone (PDO) di lapisan

dermis dapat menghambat penurunan jumlah kolagen dermis pada kulit tikus wistar

yang dipapar UVB.

Faktor Eksogen

-Paparan asap rokok

-Polusi lingkungan

-Bahan kimia

-Obat-obatan

-Stres

-Gaya hidup

Faktor Endogen

- Genetik - Hormon

- Radikal bebas

- Glikosilasi

- Metilasi

- Apoptosis

Tikus Wistar Jantan yang

dipapar sinar UVB

Jumlah Kolagen

Benang PDO

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The

Randomized Post-test Only Control Group Design (Pocock, 2008), yang

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan :

P : Populasi

S : Sampel

R : Random

P0 : Perlakuan 1 (subjek ditusuk jarum di lapisan dermis dan dipapar sinar

UVB, selanjutnya disebut kelompok 1)

P1 : Perlakuan 2 (subjek diimplantasi benang PDO di lapisan dermis dan

dipapar sinar UVB, selanjutnya disebut kelompok 2)

O1 : Observasi jumlah kolagen kulit tikus pada kelompok perlakuan 1 (P0)

O2 : Observasi jumlah kolagen kulit tikus pada kelompok perlakuan 2 (P1)

P0

P1

O1

O2

P S R

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukkan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran UNUD dan laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran UNUD

Denpasar, Bali. Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan selama 4 minggu.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah :

a. Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh tikus Wistar (Rattus

norvegicus) yang dipelihara dan menerima perlakuan di kandang hewan

Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

b. Populasi terjangkau meliputi tikus yang berumur 16-18 bulan dengan

berat badan 150-160 gram.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah tikus Wistar dewasa, yang memenuhi

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

4.3.2.1. Kriteria Sampel

Kriteria inklusi :

a. Tikus wistar sehat

b. Umur16-18 bulan, karena usia tikus 16-18 bulan memiliki persamaan dengan

manusia dewasa tua dan sudah mengalami proses penuaan intrinsik

(Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005)

c. Berat badan 160-180 gram.

d. Sehat

e. Mau makan dan minum

Kriteria drop out : apabila tikus Wistar mati pada saat penelitian.

4.3.2.2. Besar Sampel dan teknik penentuan sampel

Penentuan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

rumus penentuan replikasi yang dilakukan oleh Federer (2008) sebagai berikut:

Dalam perhitungan rumus diatas diketahui banyak perlakuan adalah 2

kelompok, sehingga t = 2, maka didapatkan jumlah sampel (n) minimum yang

digunakan adalah :

(n-1)(2-1) ≥ 15

(n-1)(1) = 15

n = 16

(n-1) (t-1) ≥ 15

Keterangan :

n = banyaknya ulangan

t = banyaknya perlakuan

Berdasarkan perhitungan di atas, maka diperoleh n = 16. Untuk mengantisipasi

terjadinya drop out pada sampel, maka dalam penelitian jumlah sampel ditambah

10%. Dengan demikian jumlah sampel masing-masing kelompok adalah 18 ekor

tikus. Sehingga total tikus yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 36 ekor.

4.4. Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi variabel

a. Variabel prakondisi :

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel prakondisi adalah sinar UV-B

b. Variabel bebas (Variabel yang mempengaruhi secara langsung) :

Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah benang PDO

c. Variabel tergantung

Pada penelitian ini yang menjadi variabel tergantung adalah efek yang

ditimbulkan akibat pemasangan implantasi benang PDO, yaitu jumlah

kolagen.

d. Variabel terkendali

Pada penelitian ini yang menjadi variabel terkendali antara lain strain

tikus, umur, berat badan dan pakan tikus Wistar.

4.4.2 Hubungan antar variabel

5.

6.

Gambar 4.2. Hubungan Antar Variabel

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

Untuk keseragaman pengertian maka variabel-variabel tersebut didefinisikan

sebagai berikut :

a. Benang PDO adalah benang sintetis, monofilamen, dapat diserap kembali oleh

tubuh, berwarna biru atau violet dan disterilisasi dengan ethylene oxide. Pada

penelitian ini digunakan benang PDO monofilament merek super V Lift, dengan

nomor registrasi KEMENKES RI AKL 21603412248.

Variabel Kendali

Jenis tikus, umur, berat

badan, jenis kelamin,

nutrisi, kondisi

lingkungan, kesehatan

tikus.

Variabel Prakondisi

Sinar UVB

Variabel Tergantung

Jumlah kolagen kulit

Variabel Bebas

Benang PDO

b. Sinar UV-B adalah sinar UV-B yang diberikan pada tikus Wistar dari sumber

UV-B buatan China, tipe KN-4003 B, alat ini dapat memancarkan sinar UV-B

dengan besar dosis radiasi yang dapat diukur dengan UV meter. Paparan sinar

UV-B diberikan 3 kali perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840

mJ/cm2 yaitu minggu pertama 50 mJ/cm2, minggu kedua 70 mJ/cm2, minggu

ketiga dan keempat 80mJ/cm2.

c. Jaringan kulit adalah jaringan yang diambil dengan cara eksisi dari kulit pada

bagian punggung tikus Wistar yang telah dipapar dengan sinar UV-B, 3 kali

perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840 mJ/cm2. Jaringan kulit tikus

Wistar disimpan dalam botol simpan dan direndam dengan menggunakan buffer

formalin 40%. Jaringan kulit dipotong melintang untuk pemeriksaan jumlah

kolagen

d. Jumlah kolagen dermis adalah persentase pixel jaringan kolagen berupa jaringan

berwarna merah terang dengan pewarnaan Sirius red dibandingkan dengan pixel

seluruh jaringan yang tampak pada foto sediaan histologis dan dinyatakan dalam

persen (%). Penilaian dilakukan pada foto preparat dalam format JPEG yang

diambil dengan kamera LC Evolution dan mikroskop Olympus Bx51 dengan

pembesaran objektif 40 kali, masing-masing preparat difoto sebanyak 3 kali.

e. Jenis tikus yang dipergunakan adalah jenis Wistar, diperoleh dari Laboratory

Animal Unit, Bagian Farmakologi FK UNUD.

f. Tikus Berumur16-18 bulan, dihitung dari tikus percobaan lahir dan dinyatakan

dalam satuan bulan.

g. Berat badan tikus dalam satuan gram (g) yang ditimbang menggunakan alat

timbang analitik digital scale, merk Tann dengan kapasitas maksimal 2 Kg dan

ketelitian 2 angka dibelakang koma.

h. Pakan tikus adalah sesuai formula standar berupa konsentrat yang diperkaya

vitamin B12.

4.5. Alat, Bahan Penelitian dan hewan percobaan

4.5.1 Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, adalah :

a. Kandang tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar.

b. Tempat minum.

c. Lampu Ultraviolet B.

d. Alat cukur.

e. Timbangan digital.

f. Peralatan bedah seperti gunting anatomis untuk bedah, skalpel no. 10

g. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti mikrotom, gelas

objek dan gelas penutup.

h. Mikroskop Olympus.

i. Kamera

j. Penggaris

4.5.2 Bahan penelitian

Bahan utama untuk penelitian ini adalah benang Polydioksanon 5/0,

25mm, merk Super V Lift, dengan nomor registrasi KEMENKES RI AKL

21603412248 yang diimport dan diedarkan oleh PT. Herca Cipta Dermal

Perdana, Jakarta.

4.5.3 Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalan percobaan ini adalah tikus

(Rattus norvegicus) galur Wistar berusia 16-18 bulan dengan berat badan

160-180 gram dengan makan ternak diet standar dengan menggunakan HPS

511 yang mengandung protein 20%, lemak 5%, pati 45%, serat kasar 5%

dan abu 4%. Minum menggunakan air matang ad libitum.

Sesuai dengan persyaratan, tikus ditempatkan dalam kandang yang

terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan alas

sekam padi dan tutup dari anyaman kawat berisi tempat makan dan tempat

minum gantung. Satu kandang maksimal di huni 2 ekor tikus. Kandang

harus cukup kuat, tidak mudah rusak, tahan gigitan, hewan tidak mudah

lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang ditempatkan dalam

ruangan berventilasi dan udara alami.

4.6. Prosedur penelitian

Sebanyak 36 ekor tikus diadaptasi selama 1 minggu di kandang, dengan diberi

makan dan minum ad libitum.

Pada hari kedelapan, secara random, tikus dibagi 2 kelompok. Semua tikus dari

kelompok 1 dan 2 dianestesi umum dengan injeksi ketamin 2mg/Kg BB lalu

dicukur bulu punggungnya seluas 6x5cm.

Kelompok pertama/kelompok perlakuan 1 (P0) (18 ekor tikus) ditusuk jarum

27G, 60mm sebanyak 3x secara horizontal dengan jarak 1,5cm di lapisan

dermis, lalu dipapar UVB. UVB dilakukan tiga kali seminggu selama 4 minggu.

Kemudian setelah 4 minggu penyinaran, tikus dibiarkan terlebih dahulu selama

dua puluh empat jam untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut

(Vayalil, 2004). Selanjutnya dilakukan biopsi 5x5mm pada kulit punggung tikus

yang dipapar sinar UVB.

Kelompok kedua/kelompok perlakuan 2 (P1) (18 ekor tikus) ditusuk jarum 27G,

60mm dengan 3 benang PDO secara horizontal dengan jarak 1,5cm di lapisan

dermis lalu dipapar UVB. UVB dilakukan tiga kali seminggu selama 4 minggu.

Kemudian setelah 4 minggu penyinaran, tikus dibiarkan terlebih dahulu selama

dua puluh empat jam untuk menyingkirkan pengaruh efek penyinaran akut

(Vayalil, 2004). Selanjutnya dilakukan biopsi 5x5mm pada kulit punggung tikus

yang dipapar sinar UVB.

Semua tikus dari kelompok 1 dan 2 diberikan paparan UVB sebanyak 3 kali

seminggu yang dimulai dengan 50 mJ/cm2 selama 50 detik pada minggu

pertama, diikuti dengan 70mJ/cm2 selama 70 detik pada minggu kedua dan 2

minggu berikutnya dengan 80mJ/cm2 selama 80 detik, sehingga total UVB yang

diterima adalah 840mJ/cm2 selama 4 minggu (Vani, 2013).

Pada akhir penelitian, tikus dieutanasia dengan menggunakan ketamin dosis

berlebih (125mg/KgBB) secara intramuskular di dalam anaerobic jar.

Pembuatan sediaan histologis:

1. Tahap fiksasi

Jaringan kulit tikus direndam dalam larutan formalin buffer fosfat 10% selama

1 hari ( 24 jam). Kemudian dilakukan trimming bagian jaringan yang akan

diambil.

2. Tahap dehidrasi

Jaringan kulit tikus direndam dengan alkohol bertingkat berturut-turut 50%,

70%, 90%, 96% dan 100% masing-masing selama 2 jam.

3. Tahap clearing

Jaringan dimasukkan ke clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai

transparan.

4. Tahap embedding

Diawali dengan proses infiltrasi sebanyak 2 kali selama masing-masing 1 jam

dengan parafin murni (Histoplast) cair (suhu 60°C) kemudian jaringan

ditanam ke dalam parafin cair dan dibiarkan membentuk blok yang memakan

waktu selama satu hari, agar mudah diiris dengan mikrotom.

5. Tahap pemotongan

Pemotongan menggunakan mikrotom rotari (Jung Histocut Leica 820), tebal 5

mikro meter secara seri dan diambil irisan ke 5, 10, 15 untuk selanjutnya

dilakukan penempelan pada gelas obyek, lalu diinkubasi pada suhu 60°C

selama 2 jam. 62

Pewarnaan dengan Sirius Red:

1. Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan

rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2 x 5 menit, etanol 100%

selama 2 menit, etanol 96% 2 x 2 menit, etanol 70% selama 2 menit dan

aquadest selama 2 menit.

2. Kemudian pewarnaan dengan picro-sirius red selama 1 jam untuk

memberikan pewarnaan mendekati seimbang di mana penambahan waktu

tidak meningkatkan hasil dan waktu yang lebih pendek tidak disarankan

meskipun warna terlihat baik.

3. Cuci dengan air asam sebanyak 2 kali.

4. Hilangkan air yang berlebihan secara fisik dengan menggoyang secara

perlahan.

5. Dehidrasi dalan ethanol 100% sebanyak 3 kali.

6. Bersihkan dalan cairan xylene dan mounting pada medium yang bersifat asam.

Pengamatan hasil:

Jumlah kolagen dihitung dengan metode analisis digital, setiap sediaan preparat

difoto dengan menggunakan kamera LC Evolution dan mikroskop Olympus

Bx51 dengan pembesaran objektif 40 kali, masing-masing preparat difoto

sebanyak 3 kali disimpan dalam format JPEG.

Prosedur penghitungan jumlah kolagen dermis:

Dengan menggunakan piranti lunak Adobe PhotoShop Cs2 versi 9.0, foto

preparat tersebut dianalisis jumlah kolagennya yang merupakan persentase

kolagen dari seluruh area jaringan. Jaringan kolagen yang tampak berwarna

merah terang dipilih dan hasil histogram dari segmentasi gambar kolagen

tersebut berupa pixel area kolagen, kemudian hasilnya dicatat. Sedangkan

jaringan lain dengan warna yang berbeda kemudian dipilih dan dicatat pixel dari

histogramnya. Jumlah kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen

dibandingkan dengan pixel area seluruh jaringan (pixel area kolagen dijumlahkan

dengan pixel area jaringan lain) ( Widodo dan Dahlan, 2007).

pixel area kolagen

Jumlah Kolagen = ---------------------------------- x 100%

pixel area seluruh jaringan

4.7 Alur Penelitian

Hari kedelapan, dibagi menjadi 2 kelompok

Dianestesi umum dengan injeksiKetamin 2mg/Kg BB lalu

dicukur bulu punggungnya seluas 6x5 cm

36 ekor tikus sehat diadaptasi selama tujuh hari

P0

(18 ekor tikus) Perlukaan dengan 3 tusukan

P1

(18 ekor tikus)

Implantasi 3 benang PDO

Gambar 4.3. Alur Penelitian

4.8 Analisis Data

Data ini dianalisis menggunakan program SPSS Version 17.0 for Windows pada

tingkat kepercayaan 95%.

1. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan diagram untuk mengetahui

karakteristik data yang dimiliki.

2. Uji normalitas dan homogenitas

a. Uji Normalitas data jumlah kolagen pada masing-masing kelompok dengan

Test Shapiro-Wilk, karena sampel <50 dan berdistribusi normal (p>0,05).

b. Uji homogenitas data dengan Levene’s Test didapatkan data homogeny

(p>0,05).

3. Uji komparasi

Uji komparasi antar kelompok menggunakan uji t-independent karena data

berjenis numerik dan berdistribusi normal. Uji komparasi bertujuan untuk

mengetahui pengaruh implantasi PDO terhadap jumlah kolagen.

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan metode

post test only control group design. Penelitian menggunakan tikus galur Wistar, umur

16-18 bulan, berat 150-160 gram yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing

berjumlah 18 ekor tikus. Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol adalah kelompok

yang ditusuk jarum di lapisan dermis dan dipapar sinar UVB, kelompok 2 adalah

kelompok yang diimplantasi benang PDO di lapisan dermis dan dipapar sinar.

Pembahasan ini menguraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji

komparabilitas dan uji efek perlakuan.

Setiap kelompok diberi paparan sinar UVB sebanyak 3 kali seminggu yaitu

hari Senin, Rabu dan Jum’at, selama empat minggu. Dosis sinar UVB pada minggu

pertama adalah 50mJ/cm2

selama 50 detik, pada minggu kedua adalah 70mJ/cm2

selama 70 detik dan pada minggu ketiga dan keempat adalah 80 mJ/cm2

selama 80

detik, sehingga total dosis sinar UVB yang diberikan adalah 840mJ/cm2

.

Empat puluh delapan jam setelah paparan, tikus Wistar di euthanasia terlebih

dahulu menggunakan ketamin dosis berlebih (150 mg/kg bb) secara intramuscular.

Daerah punggung yang akan diambil kulitnya, dibersihkan dari bulu kemudian dibuat

preparat histopatologis menggunakan pewarnaan Sirius red

yang memberikan warna merah terang pada kolagen. Jumlah kolagen dihitung dengan

persentase pixel luas area kolagen dari tiga lapang pandang baik dari kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan dibandingkan dengan pixel seluruh jaringan dermis.

5.1 Gambaran Histopatologis Kulit Tikus Wistar Setelah Perlakuan

Setelah empat minggu perlakuan, jaringan kulit punggung tikus Wistar

dibiopsi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologis. Kolagen akan berwarna merah

terang pada pewarnaan Sirius red.

Kelompok 1 Kelompok 2

Gambar 5.1

Gambaran Kolagen Kulit Tikus Wistar Dengan Pewarnaan Sirius red

Keterangan gambar: Jaringan histopatologis dermis tikus Wistar dengan

pembesaran 400x. Pada kelompok 1 (kontrol) terlihat kolagen berwarna merah

terang, tidak utuh dan berjumlah sedikit. Pada kelompok 2 (implantasi benang PDO)

terlihat kolagen berwarna merah terang, berjumlah banyak, tebal, utuh dan memenuhi

hampir seluruh daerah lapang pandang jaringan dermis.

5.2 Uji Statistik

5.2.1 Uji Deskriptif

Hasil uji deskriptif rerata jumlah kolagen pada masing-masing

kelompok disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Hasil Uji Deskriptif Rerata Jumlah Kolagen

Group Statistics

Kelompok n Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kolagen Kontrol 18 59.7951 5.54964 1.30806

Perlakuan 18 71.4065 6.05738 1.42774

5.2.2 Uji Normalitas Data

Data kolagen sesudah perlakuan diuji normalitasnya dengan menggunakan uji

Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan

pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2

Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Setelah Perlakuan

Kelompok

Shapiro-Wilk

df Sig. Keterangan

Kolagen Kontrol 18 .063 Normal

Perlakuan 18 .447 Normal

5.2.3 Uji Homogenitas Data

Data kolagen sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji

Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel

5.3.

Tabel 5.3

Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan

Levene's Test for Equality of Variances

F Sig. Keterangan

Kolagen Equal variances assumed .374 .545 Homogen

Equal variances not assumed

5.2.4 Uji Efek Implantasi Benang PDO Terhadap Jumlah Kolagen

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kolagen antar kelompok

sesudah diberikan perlakuan berupa tusukan jarum dan implantasi benang PDO.

Tabel 5.4

Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antar Kelompok Sesudah

Diimplantasi Benang PDO

Kelompok n Mean Std. Deviation Dist Sig

Kolagen Kontrol 18 59.7951 5.54964 -5.997 .000

Perlakuan 18 71.4065 6.05738 -5.997 .000

Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata kolagen kelompok kontrol

adalah 59,80±5,55 dan rerata kelompok perlakuan adalah 71,41±6,06. Analisis

kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = -5,997 dan nilai p

= 0,000. Hal ini berarti bahwa rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan

perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Gambar 5.2 Perbandingan Jumlah Kolagen antara Kelompok Kontrol dengan

Kelompok Perlakuan

50

55

60

65

70

75

Kontrol Perlakuan

Kolagen 59.7951 71.4065

Jum

lah

Ko

lage

n (

%)

Kolagen p<0,05

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Subyek Penelitian

Untuk menguji implantasi benang PDO terhadap pencegahan penurunan

jumlah kolagen dermis, maka dilakukan penelitian eksperimental dengan

menggunakan tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar umur 16-18 bulan, berat 150-

160 gram sebagai sampel.

Tikus Wistar dipilih sebagai hewan coba karena tikus Wistar memiliki

persamaan struktur organ dengan manusia, selain itu tikus Wistar mudah didapat,

tidak mahal, hanya membutuhkan sedikit ruang , makan dan minum, mudah dalam

pemeliharaan, mempunyai bulu pendek dan tidak tebal sehingga memudahkan

penelitian yang menggunakan jaringan kulit sebagai sampel penelitian.

Sampel terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 sebagai kelompok

kontrol yang ditusuk jarum di lapisan dermis dan dipapar sinar UVB, kelompok 2

yaitu kelompok yang diimplantasi benang PDO di lapisan dermis dan dipapar sinar.

Semua kelompok diberi perlakuan selama empat minggu, total paparan sinar UVB

yaitu 840 mJ/cm2

yang diberikan bertahap, pada minggu pertama 50 mJ/cm2

selama

50 detik, minggu kedua 70 mJ/cm2

selama 70 detik, pada minggu ketiga dan keempat

80 mJ/cm2

selama 80 detik. Pengambilan sampel

kulit tikus Wistar dilakukan 48 jam setelah penyinaran terakhir, kemudian dibuat

sediaan histopatologis dan dihitung jumlah kolagen dermisnya.

6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian

Data hasil penelitian berupa kolagen yang didapat dari sediaan histopatologis

jaringan sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya.

Untuk uji nornalitas data digunakan uji Shapiro Wilk,, sedangkan untuk uji

homogenitas digunakan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa

masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05), sehingga

digunakan uji parametrik, uji t-independent.

6.3. Pengaruh Implantasi Benang PDO

Hasil analisis sesudah diberikan perlakuan didapatkan rerata jumlah kolagen

kelompok 1 yaitu 59,80 ± 5,55, kelompok 2 sebesar 71,41 ± 6,06. Hasil uji

perbandingan menunjukan bahwa nilai t = -5.997 memiliki nilai p=0,000. Hal ini

berarti bahwa rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan

berbeda secara bermakna (p<0,05).

Penyinaran radiasi UV dapat menimbulkan perubahan pada kolagen dermal

melalui dua cara: (1) stimulasi pemecahan kolagen, menghasilkan kolagen yang

terpecah dalam fragmen dan tidak beraturan. (2) menghambat biosintesis prokolagen,

sehingga kandungan kolagen berkurang (Yaar dan Gilchrest, 2008; Helfrich et al.,

2008). Hanya dengan satu kali penyinaran UV dengan dosis 2 MED, dapat

menghambat sintesis prokolagen hampir total, yang bertahan untuk 24 jam, diikuti

dengan perbaikan dalam 48-72 jam setelahnya (Fisher et al., 2001).

Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan

adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit

sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca,

2014).

Mercik (2013), menyatakan prosedur PDO mempengaruhi 2 mekanisme.

Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan kulit, yaitu pada

saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan. Mekanisme

kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk mensintesis kolagen.

Jumlah kolagen dilihat dengan sediaan histopatologis jaringan kulit dengan

pewarnaan Sirius red. Sirius red menunjukan warna merah terang pada kolagen yang

utuh. Kelompok kontrol memiliki persentase jumlah kolagen yang lebih rendah,

sehingga kerusakan kolagen yang terjadi pada kelompok kontrol lebih besar.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok

perlakuan 2 terjadi peningkatan kolagen dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1.

Hal ini disebabkan karena Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara

indirek, yaitu dengan adanya benang PDO di lapisan dermis akan membedxwa1a

rikan stimulus biologis pada kulit sehingga merangsang peningkatan kolagen

tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca, 2014).

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

Implantasi benang PDO di lapisan dermis lebih menghambat penurunan

jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B.

7.2. Saran

Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk melihat sampai berapa lama efek

benang PDO dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus

Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B.

2. Perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk menilai efek jangka panjang

penanaman benang PDO yang dilakukan berulang.

DAFTAR PUSTAKA

Atiyeh, B.S., Dibo, S.A., Costagliola M., Hayek, S.N. 2010. Barbed sutures “lunch

time” lifting: evidenced-based efficacy. Journal of Cosmetic Dermatology. Vol.

9: 132-141

Baumann, L and Saghari, S. 2009. Photoaging in: Baumann L, Saghari, S, Weisberg

(eds). Cosmetic dermatology principles and practice. New York: McGraw-Hill.

Beers, M. 2005. The Merck Manual of Health & Aging. Amerika Serikat : Ballantine

Book Trade Paperback.

Bhardwaj, P. 2012. Collagen Induction Therapy with Dermaroller. Community Based

Medical Journal. Vol. 1: 35-37

Cho, Yeeun. 2015. Thread embedding acupuncture for musculoskeletal pain: a

systematic review and meta-analysis. Prospero International prospective

register of systematic reviews. Vol. 2015.

Connell, B.F., Miller, S.R., Gonzales-Mimorantes, H. 2000. Skin and SMAS flaps for

facial rejuvenation. Plastic Surgery: Indications, Operations and Outcomes.

Vol. 5: 2583-2607.

Cunningham, W., Baran, R. and Maibah H., 2005. Aging and Photoaging. In :

Textbook of Cosmetic Dermatology. France : Taylor 3rd. ed. London.

Dianasari, R. 2014. Pemberian Krim Ekstrak Jagung Ungu (Zea Mays) Menghambat

Peningkatan Kadar MMP-1 dan Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus Wistar

(Rattus norvegicus) yang Dipapar Sinar UV-B. (Thesis). Denpasar : Universitas

Udayana.

Diegelmann, R.F., 2008. Collagen Metabolism. Wounds. Vol. 13

Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation second

ed. New York : Marcel Dekker.

Fernandes, D. 2008. Combating Photoaging with Percutaneus Collagen Induction.

Clinics in Dermatology. Vol. 26: 192-199

Fisher, G., Voorhees, J.J., Kang, S. 2000. Methods for Inhibiting Photoaging of Skin.

USA: United States Regents of the University of Michigan.

Fisher, G., Kang, S., Varani, J., Bata-Csorgo, Z., Wan, Y., Datta, S., Voorhess, J.J.

2002. Mechanism of photo aging and chronological skin aging. Archives of

Dermatology. Vol. 11: 1462-1470

Fisher, G., Varani, J., Voorhes, J.J. 2008. Looking older: Fibroblast Collapse and

Therapeutic implications. Archives of Dermatology. Vol. 144:666-672.

Fisher, G.J., Wang, Z.Q., Datta , S.C., Varani, J., Kang, S., and Voorhees, J.J. 2008.

Pathophysiologi of Premature Skin Aging Induce by Ultraviolet Light.

Archives of Dermatology. Vol. 154

Garcia, J.M., Galaviz-Hernandez, C., Becerril-Chavez, F., Lozano-Rodriguez, F.,

Zamorano-Carillo, A., Lopez-Camarillo, C., Marchat, L.A. 2014. Acupoint

catgut embedding therapy with moxibustion reduces the risk of diabetes in

obese women. Jurnal of Research in Medical Sciences. Vol. 19(7):610-616

Gilcherst, B.A. and Krutman, J. 2006. Skin Aging. Berlin : Springer-Verlag.

Goldman, R., Klatz, R. 2007. Theories on Aging, In Hirsch, C., Rosenberg, C.,

editors. The New Anti-Aging Revolution. Third edition. North Bergen: Basic

Health. p 19-32 Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging.

Journal of Dermatology. Vol 138(no.11): 1462-1470.

Gollapudi, S., So, C.S., Formica, M., Agrawal, S., Agrawal, A. 2014. Safety and

Efficacy of Polydioxanone Nano-Fibers as Anti-Inflammatory Agents. Journal

of Nanomedicine & Biotherapeutic Discovery. Vol 4.

Guo, T. and Tianxian, S. 2015. Acupoint Catgut Embedding for Obesity: Systematic

Review and Meta-Analysis. Evidence-Based Complementary and Alternative

Medicine. Vol. 2015.

Holder, R.M. and Richard, G., 2004. Photo Aging in Patients of Skin Colour in :

Rigel D.S., Weiss, R.A., Linn, H.W., J.S. editors. Photoaging, 2nd ed. Canada :

Maarced Decker inc.

Huang, Chia-Yu, Choong, M., Li, T. 2012. Treatment of obesity by catgut

embedding: an evidence-based systematic analysis. Acupunture in Medicine.

Vol. 2012.

Im, J.N., Kim, J.K., Kim, H.K., In, C.H., Lee, K.Y., Park, W.H. 2007. In Vitro and In

Vivo Degradation Behaviours of Synthetic Absorbable Bicomponent

Monofilament Suture Prepared with Poly(p-dioxanone) and Its Copolymer.

Polymer Degradation and Stability. Vol. 92: 667-674.

Jang, H.J., Lee, W.S., Hwang, K., et al. 2005. Effect of Cog Threads Under Rat Skin.

Dermatolog Surgery. Vol. 31:1639-43.

Kochevar, I.E, Taylor, C.R., 2008. Photophysics, Photochemistry and Photobiology.

In : Feedberg I.M., Eisen, A.Z., Wolff, K., Austen, K.F., Goldsmith L.A., Katz,

S.I., editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine; 7th ed. New York :

McGraw-Hill. p. 1267-7

Krutmann J., Gilchrest, Schroeder. et al. 2006. Photoaging in skin. In: Gilchrest BA,

Krutmann J. editors. Skin Aging. New York: Springer-Merlag.

Lamier, C., Ortonne, J.P., Venot, A., Faivre, B., Beani, J.C., Thomas, P., Brown,

T.C., Sendagorta, E. 1994. Evaluation of cutaneous photodamage using a

photographic scale. British Journal of Dermatology. Vol. 130:167-173

Liebl, H., Kloth, L.C. 2013. Skin Cell Proliferation Stimulated by Microneedles.

Journal of The American College of Clinical Wound Specialist. Vol. 4: 2-6

Mercik, G. 2013. PDO Thread lift: An Innovative New Treatment in Non Surgical

Cosmetic Medicine. Journal of Clinical & Experimental Dermatology

Research. Vol.4:5.

Morganti, P. 2011. Skin cells management: more than a cosmetic approach. The

Biomedical Scientist. 55460-464.

Ningsih, F. 2011. Pengenalan Instrumen Bedah Minor Dasar. Jakarta: Minako

Creation.

Nkengne, A., Bertin, C. 2013. Aging and Facial Changes. Skinmed. Vol. 11

Padayatty, S.J., Katz, A., Wang, Y., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.H., Chen, S., Corpe,

C., Dutta, S.K., Levine, M. 2003. Vitamin C as an antioxidant: Evaluation of its

role in Disease Prevention. Journal of The American College of Nutrition. Vol.

22(1): 18-35.

Paik, S.J. Experimental and Quasi-Experimental Research Designs. 2004. The LSS

Review. 3(2): 3-4.

Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan

Kualitas Hidup. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging. Tetap Muda dan Sehat. cetakan ke-1. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Paul, M.D. 2013. Barbed Sutures in Aesthetic Plastic Surgery: Evolution of Thought

and Process. Aesthetic Surgery. Vol 36.

Pocock, S.J., Lubsen, J. 2008. More on Subgroup Analysis in Clinical Trials. The

New England Journal of Medicine. Vol. 358:2076-2077.

Quan, T., Qin, Z., Xia, W., Shao, Y., Voorhees, J.J. and Fisher, G. 2009. Matrix-

Degrading Metalloproteinases in Photoaging. Journal of Investigative

Dermatology 145(10):1114-22

Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W. 2004. Photoaging. New York: Marcel Dekker

Inc.

Roland, Eugene D., Boland, A., Branch, D., Coleman, A., Catherine, P., Barnes, A.,

David, G. 2005. Electrospinning polydioxanone for biomedical applications.

Elsevier. Vol. 1:115-123.

Sharma, L., Cahue, S., Dunlop, D., Ionescu, M., Song, J., Lobanok, T., King, L.,

Poole, A.R. 2007. The Ratio of Type II Collagen Breakdown to Synthesis and

Its Relationship With The Progression of Knee Osteoarthritis. Osteoarthritis

Cartilage Reasearch Society. Vol. 15(7).

Shimizu, Y. and Terase, K. 2013. Thread lift with absorbable Monofilament Threads.

Journal of Japan Society of Aesthetic Plastic Surgery (JSAPS) vol. 35.

Taylor, Francis. 2005. Sunscreens: Regulations and Commercial Development.

Handbook of Cosmetic Science and Technology. Edisi 4. Florida: CRC Press.

Thorn, C, Aston, S.J., Beasley, R.W. 1997. Aesthetic surgery of aging face. Grabb

and Smith’s Plastic Surgery: 633-649.

Varani, J., Dame, M.K., Rittie, L., Fligiel, S.E., Kang, S., Fisher, G.J., Voorhes, J.J.

2006. Decreased collagen production in chronologically aged skin. Roles of

aged dependent alteration in fibroblast function and defective mechanical

stimulation. American Journal of Pathology. Vol. 6: 1861-1868.

Walker, S.L., Hawk, J.L.M., and Young, A.R. 2008. Acute and Chronic Collagenase

Degradeed Collagen in Vitro. American Journal of Pathology. 158: 931-42

Wlascheck, M., Tantcheva-Poor, I., Naderi, L., Ma, W., Schneider, L.A., Razi-Wolf,

Z., Schuller, J., Scharfetter-Kochanek, K. 2001. Solar UV irradiation and

dermal photoaging. Journal of Photochemistry and Photobiology. Vol. 63

Wu, W.T. 2004. Barbed Sutures in Facial Rejuvenation. Aesthetic Surgery. Vol 24:

582-587.

Yaar, M. and Gilchrest, B.A. 2008. Aging of Skin. In: Feedberg, I.M., Eisen, A.Z.,

A.Z., Wolff,K.,Austen, K.F., Goldsmith, L.A.Katz, S.I., editors. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 6th ed. Newyork: Mc Graw-Hill.

Yaar, M. 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic Skin

Aging. Dalam : Gilchrest, B.A., Krutmann, J., editors. Skin Aging. Berlin :

Springer.

Lampiran 2 : Analisa Statistika

Uji Normalitas Data

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolagen Kontrol .203 18 .049 .902 18 .063

Perlakuan .131 18 .200* .951 18 .447

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Uji t-inpendent Kolagen antar Kelompok

Group Statistics

Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kolagen Kontrol 18 59.7951 5.54964 1.30806

Perlakuan 18 71.4065 6.05738 1.42774

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Differenc

e

Std. Error

Differenc

e

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Kolag

en

Equal variances

assumed .374 .545 -5.997 34 .000

-

11.61144 1.93635

-

15.54659 -7.67630

Equal variances

not assumed

-5.997

33.74

3 .000

-

11.61144 1.93635

-

15.54769 -7.67519

Lampiran 3 : Foto Aktivitas Penelitian

Tikus Yang Sudah di Adaptasi dan Telah Dicukur Tikus Yang Sudah Anestesi dan Telah Dicukur

Proses Implantasi Benang PDO Tikus yang di Implantasi PDO

Proses Pemotongan Blok Parafin Proses Pembacaan Foto Digital