tentang ma'rifatullah 3

330
Tentang Ma’rifatullah 3 Oleh Yusdeka

Upload: fitri-indra-wardhono

Post on 18-Jul-2015

495 views

Category:

Lifestyle


18 download

TRANSCRIPT

Tentang Ma’rifatullah 3

Oleh Yusdeka

2

Daftar Isi

Artikel 1 : Menelisik Anasir Diri .......................................................... 3

Artikel 2 : Apakah Diri Ini ? ................................................................. 4

Artikel 3 : Proses Mati Sebelum Mati ............................................... 30

Artikel 4 : Jasad, Nyawa, Ruh, dan Akal ............................................ 32

Artikel 5 : Menengok Kilasan Sandiwara Dzat .................................. 51

Artikel 6 : Bagaimana Kalau (Hati) Kita Buta dan Tuli ? .................... 76

Artikel 7 : Esensi Khalifatullah ........................................................ 148

Artikel 8 : Makrifatullah, Sulitkah ?? .............................................. 152

Artikel 9 : Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher ......................... 155

Artikel 10 : Sang Wajibul Wujud ..................................................... 221

Artikel 11 : Sang Fana ..................................................................... 273

3

Artikel 1 :

Menelisik Anasir Diri1

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada

dalam kerugian, kecuali :

• Orang-orang yang beriman, dan

• Mengerjakan amal soleh, dan

• Nasihat menasihati supaya tetap menaati kebenaran, dan

• Nasihat menasihati pula supaya tetap berada dalam

kesabaran.

1 http://yusdeka.wordpress.com/2014/05/21/menelisik-anasir-diri-bagian-

1/

4

Artikel 2 :

Apakah Diri Ini ?

Sepenggal pertanyaan ini telah terlontar sejak Nabi Adam As.

diciptakan pertama kali oleh Allah. Saat itu, MALAIKAT mau-

pun golongan JIN yang duduknya sudah disejajarkan dengan

Malaikat, terheran-heran dengan bentuk Adam As ini, sehing-

ga akhirnya, berdasarkan itu, tergelarlah sebuah SANDIWARA

ALLAH terhadap DZAT-NYA sendiri, yang telah membawa :

• Adam As turun ke muka Bumi untuk mengemban tugas

khalifatullah, yang memang telah di taqdirkan untuk beliau

sandang.

• Malaikatpun akhirnya menjalankan taqdirnya sendiri pula

sebagai anasir yang sangat patuh dan tunduk kepada Allah,

seperti halnya

• Golongan JIN yang tadinya sejajar dengan malaikat, juga

menjalankan taqdirnya sebagai anasir yang selamya tidak

akan patuh kepada Allah, sehingga ia pun kemudian dijuluki

dengan sebagai IBLIS.

Di antara sesama umat manusiapun sebuah pertanyaan itu

tadi seperti tak habis-habis dibahas, diteliti, diseminarkan, dan

dikira-duga sejak berbilang zaman yang lalu sampai dengan

sekarang ini, sehingga di depan kitapun saat ini terhidang

beragam menu yang kesemuanya bercita rasa diri dengan

racikan bumbu penelisikan yang sangat berbeda-beda.

5

Ada cita rasa diri menurut racikan bumbu penelisikan :

• orang awam,

• orang agamis,

• orang atheis,

• orang sekuler,

yang variannya masing-masing sangat banyak sekali. Banyak

sekali, sehingga kitapun jadi bingung untuk mengenal diri kita

sendiri. Karena bingung, maka kitapun akhirnya banyak yang

salah dalam melangkah dan menempatkan diri di hadapan

Allah, apalagi di depan sesama manusia dan makhluk Allah

yang lainnya. Dan keadaan itulah yang telah menjadi penye-

bab dari penderitaan dan kepedihan kita yang seakan-akan

tidak habis-habisnya menghantui kita.

Anasir diri kita yang paling banyak racikan bumbu peneli-

sikannya adalah HATI, HEART, QALB. Mulai dari letaknya,

bentuknya, dan pembersihannya. Kemudian ada pula peneli-

sikan untuk RUH, JIWA, AKAL, PIKIRAN, BATIN, ROHANI, NYA-

WA, JASMANI, SANUBARI, NURANI, SUK-

MA, PERASAAN, ENERGI HIDUP, dan seba-

gainya yang ternyata racikan bumbunya

seringkali membuat kita meringis-ringis

“kepedasan”, karena saking berpilin-pilin-

nya. KUSUT.

Belum lagi kalau semuanya itu dihubungkan dengan masalah

MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, BERPIKIR, BERSUARA dan

termasuk masalah SYURGA dan NERAKA, yang sungguh telah

6

menyita waktu kita, sehingga kitapun kehilangan waktu ter-

baik kita untuk mewujudkan fungsi kekhalifahan kita di muka

bumi ini. Padahal penelisikannya seringkali memakai ayat Al

Qur’an dan Al Ha-dist yang sama. Tapi hasilnya kok bisa

berbeda dengan sangat signifikan ? Oleh sebab itu, marilah

kita mencoba menerobos titik-titik kebingungan itu dengan

kembali berpikir sederhana terhadap beberapa ayat Al Qur’an

yang dengannya Allah me-nerangkan sendiri tentang diri kita

ini.

Saat Allah bercerita tentang ANASIR JASAD atau TUBUH kita,

maka SIFAT dari anasir tubuh kita itu adalah sama dengan

TANAH. Tanah yang dibentuk menjadi berbagai instrument

tubuh dengan qada dan qadarnya masing-masing. Instrumen

yang terpenting diantaranya adalah:

1. OTAK,

2. JANTUNG,

3. LEVER,

4. GINJAL,

5. ALAT-ALAT INDERA,

6. ALAT PEMBUANGAN SAMPAH,

dan

7. ALAT BERKEMBANG BIAK.

Alam JASAD atau TUBUH ini disebut juga ALAM FISIK. Alam

yang bisa di identifikasi dengan menggunakan alat pengindera

kita.

7

Al Mu’minuun 14

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu

segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan

segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang

belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami

jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha

Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

ANASIR yang terkait kuat dengan JASAD ini adalah NYAWA.

Tanda-tanda kita masih bernyawa adalah adanya PERGE-

RAKAN dan PERTUMBUHAN saat kita masih berada di alam

rahim ibu kita, dan juga adanya NAFAS saat kita sudah berada

di LUAR alam rahim ibu kita. Sebagai orang yang HIDUP, kita

harus punya JASAD dan NYAWA. Tanpa Nyawa kita disebut

orang yang telah MATI.

Allah memberi tahu bahwa Allahlah yang menghidupkan tu-

buh kita itu dan Allah pulalah kelak yang akan mematikan

tubuh kita itu.

Yunus : 56

“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya

kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Setelah Allah MENYEMPURNAKAN anasir JASAD dan NYAWA

kita di alam rahim ibu kita, Allah kemudian memasukkan ana-

sir baru ke dalam jasad yang sudah diberi Nyawa itu, yaitu

anasir RUH. Allah tidak menjelaskan kepada kita tentang

8

anasir Ruh ini. Misalnya : Ia terbuat dari anasir apa, bentuknya

seperti apa, dan sebagainya. Ia tetap akan menjadi rahasia

Allah sepanjang masa. Hanya sedikit saja dari rahasia Ruh itu

yang diberitahukan kepada kita.

QS. Al Hijr (15 : 29).

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan

telah meniupkan ke dalamnya RuhKu, maka tunduklah kamu

kepadanya dengan bersujud.”

QS. Al Israa’ (17 : 85).

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah:

“Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi

pengetahuan melainkan sedikit.”

Sekarang kita sudah punya tiga anasir dari diri kita, yaitu

JASAD, NYAWA, dan RUH.

JASAD JASAD adalah Anasir FISIK dari diri kita, atau

bisa pula disebut sebagai anasir LAHIRIAH.

Sedang RUH adalah Anasir NON FISIK dari diri

kita, atau bisa pula disebut sebagai anasir

BATINIAH, atau ROHANI, atau ROHANIAH.

Jasad juga adalah alat pengembaraan kita di

alam LAHIRIAH, sedangkan RUH adalah alat

pengembaraan kita di alam RUHANIAH.

Sebagai alat, baik di alam lahiriah maupun di

9

alam ruhaniah, kedua-duanya (JASAD dan

RUH) tidak akan bisa kemana-mana kalau

tidak ada PILOT atau SOPIR yang

mengendalikannya. Siapakah Sang Pilot ini ?

NYAWA NYAWA adalah anasir yang menghidupkan

JASAD kita. Ia adalah anasir yang akan tetap

terhubung dengan Jasad sampai akhir dari

umur kita yang telah ditentukan. Bisa 1

tahun, 20 tahun, 50 tahun, bahkan 100

tahun. Tanda-tanda bahwa nyawa kita masih

dikandung badan adalah adanya gerak nafas

kita dan gerak denyut jantung kita. Nyawa

itulah yang menjadi pertanda bahwa jasad

kita masih hidup. Nyawa itu bergerak

bersama NAFAS kita. Kalau nafas kita sudah

berhenti, maka nyawa kitapun akan hilang.

MATI. Sedangkan RUH adalah anasir diri kita

yang tidak pernah mati. Ruh akan tetap

hidup walaupun Jasad kita sudah mati.

RUH RUH adalah diri kita dalam bentuk Anasir

Batin yang bisa berada bersama JASAD dan

NYAWA, dan bisa pula terpisah sebagai

Anasir yang berdiri sendiri. Ruh akan terpisah

dari Jasad dan Nyawa ketika kita TIDUR.

10

Nantinya, kalau kemudian Allah masih

berkenan, maka ketika kita bangun dari tidur

Ruh kita akan dikembalikan oleh Allah

kepada JASAD kita.

Tentang JASAD, NYAWA, hampir semua orang bisa memahami

dan menerima bahwa ia adalah CIPTAAN Allah. Hanya saja

tentang RUH, selama ini banyak orang yang ragu-ragu untuk

menyikapi apakah ia itu ciptaan Allah atau atau bukan. Sebab

Allah sendiri di dalam Al Qur’an juga menyebutkan RUH itu

sebagai MIN-RUHI (RUH-KU).

Maka sampai sekarang ada dua pendapat utama yang berke-

naan dengan RUH ini. Marilah kita lihat sejenak :

Pendapat

pertama

Ruh itu adalah murni ciptaan Allah seperti

juga dengan ciptaan-ciptaan Allah yang

lainnya.

Pendapat

kedua

Ruh itu adalah milik Allah sendiri yang

diberikan kepada manusia, sehingga dengan

begitu ada yang mengaku bahwa ia yang

hakiki adalah Ruh Allah.

Kedua pendapat ini sekilas seperti tidak ada titik temunya

sama sekali, sehingga tidak jarang pula terjadi pergesekan di

antara para pemegang pendapat yang satu dengan yang

11

lainnya. Padahal kalau kita lihat dengan memakai Kacamata

Makrifatullah, maka kebingungan itu akan segera sirna.

Tapi sebelum melihat hakekat kesemuanya itu, marilah seje-

nak kita terlebih dahulu melihat sebuah lagi anasir diri kita

yang nyaris saja tetap menjadi sebuah rahasia yang luput

menjadi perhatian kita. Yaitu Sang Sopir, Sang Pilot. Anasir

yang dikatakan oleh Allah di dalam surat As Sajdah ayat 7-9,

yang kemudian diperkuat oleh surat Al Qiyamah ayat 14.

As Sajdah ayat 7-9

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-

baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang

hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniup-

kan kepadanya RUH-NYA dan Dia menjadikan bagi kamu pen-

dengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali

bersyukur”.

Al Qiyamah, ayat 14

“Bahkan pada manusia itu di atas dirinya ada yang tahu

(BASHIRAH)”.

Sang Sopir adalah anasir yang bisa :

1. melihat,

2. mendengar,

3. berpikir, dan

4. merasakan.

12

Anasir ini bisa disebut dengan berbagai nama, misalnya:

1. HATI, atau

2. AKAL, atau

3. PIKIRAN, atau

4. HATI SANUBARI.

Pada anasir ini ada kemampuan yang membuat ia serba tahu

sehingga ia disebut juga sebagai bashirah, atau dalam bahasa

umum disebut sebagai :

1. MATA HATI, atau

2. MATA AKAL, atau

3. MATA PIKIRAN, atau

4. MATA SANUBARI.

Bashirah

Hati

Mata Hati

Akal

Mata Akal

Pikiran

Mata Pikiran

Sanubari

Mata Sanubari

13

Jadi Mata Hati itu melekat pada Hati. Bahwa:

1. Hati adalah untuk mengingat, berpikir, dan merasakan;

dan

2. Mata hati untuk melihat dan mendengar.

Untuk anasir keempat ini, Sang Pilot, mari kita sederhanakan

sebutannya sebagai PIKIRAN atau MIND saja. Pikiran ini tidak

terikat kepada JASAD maupun RUH. Ia bisa berada bersama

JASAD dan bisa pula bersama RUH saja. Ia adalah anasir yang

BEBAS. MERDEKA.

Tempo-

tempo Sang

Sopir bisa

berada di

alam

JASADI

• Ia bisa MENGETAHUI seluk beluk Alam

Lahiriah baik melalui pengembaraan

bersama FISIK maupun melalui

pencitraan Panca Indera Lahiriah, dan

• Ia bisa pula BERPIKIR dan MERASAKAN

suka-duka yang menimpa Jasad kita

melalui aktifitas OTAK lahiriah yang

berada di dalam kepala kita.

Pengungkapan suka dan duka itupun bisa

kita lakukan melalui SUARA yang akan

terdengar oleh telinga lahiriah kita.

Tempo-

tempo Sang

Pilot juga

Ruhani yang bisa ia selancari dengan

mengendarai kendaraan RUH :

• Pengembaraan di alam ruhani ini bisa

14

bisa berada

di alam

RUHANI

ia lakukan saat jasadnya TIDUR yang

wujudnya adalah perjalanan ke alam-

alam mimpi.

• Namun, tidak hanya melalui pintu

tidur, perjalanan ke alam ruhani ini

dapat pula ia lakukan apabila ia sudah

bisa memisahkan RUH dari JASAD

secara sadar, yang sering disebut

orang sebagai pengalaman OBE (out of

body experience), atau Perjalanan

Astral.

Namun, ada

satu lagi

perjalanan

yang bisa

dilakukan

oleh Sang

Pilot ini,

yaitu

Perjalanan

Ruhani

Perjalanan Ruhani yang terjadi dan

terlaksana HANYA dan HANYA dengan

sebab ia MENGINGATI ALLAH. Sungguh

Perjalanan Ruhani karena ia mengingati

Allah ini sangat-sangat berbeda dengan

Perjalanan Astral yang banyak dijajakan

oleh berbagai kalangan saat ini. Walau

keduanya adalah perjalanan Sang Pilot di

luar Alam JASADI untuk masuk ke Alam

Ruhani, tapi beda keduanya seperti

berbedanya langit dan bumi.

Kita sudah tahu bahwa untuk mendengar dan melihat di alam

jasmaniah kita membutuhkan MATA dan TELINGA. Akan tetapi

15

untuk melihat dan mendengar di alam ruhaniah kita membu-

tuhkan MATA HATI atau MATA RUHANI. Begitu juga untuk

berpikir dan merasakan di alam jasmaniah kita membutuhkan

OTAK yang ada di rongga kepala

kita. Sedangkan untuk berpikir dan

merasakan di alam ruhaniah kita

hanya membutuhkan satu alat sa-

ja, yaitu HATI yang juga berkorelasi

sangat erat dengan OTAK RUHANI kita. Ya…, hati yang berguna

untuk melihat dan mendengarkan serba serbi alam ruhaniah

itu ternyata bukanlah terletak di DADA kita. Tidak. Ia lebih

dekat kepada OTAK yang berada di dalam kepala kita.

Alam

Jasmaniah Alam Ruhaniah

Mendengar

dan Melihat

MATA dan

TELINGA

MATA HATI atau MATA

RUHANI

Berpikir dan

Merasakan

OTAK

HATI yang juga berkorelasi

sangat erat dengan OTAK

RUHANI

Hanya saja karena kita sudah terbiasa berkata bahwa hati kita

terletak di dalam dada kita, maka kita seakan-akan merasakan

hati kita itu memang adanya di dalam dada kita. Al Quran juga

seakan-akan mengiyakan bahwa hati itu terletak di dalam

16

dada kita, SUDUR. Dan kalau kita sedang marah, dada kita

seperti sempit dan nafas kita tersengal-sengal seperti kita

sedang naik ke langit yang tinggi. Akan tetapi keadaan dada

kita yang seperti itu hanyalah sekedar sebuah AKIBAT saja dari

keadaan Hati, atau AKAL, atau PIKIRAN kita yang berada di

dalam otak kita. Tapi kalau ada yang tetap tidak setuju tentang

letak hati ini yang ada di dalam kepala, ya tidak apa-apa.

Begitu juga untuk mengekspresikan keadaan alam Ruhani itu,

bisa kita lakukan dengan tanpa berkata-kata atau bersuara,

yang disebut sebagai BAHASA HATI, yang juga keberadaannya

bukanlah di dalam dada kita. Tapi di dalam PIKIRAN atau HATI

kita. Bahasa hati adalah sebuah bahasa yang tanpa aksara,

tanpa nada, dan tanpa suara. Seperti halnya bahasa seorang

bayi yang sedang tidur lelap. Tapi dalam tidurnya, ia bisa

tersenyum bahagia, yang bahagianya itu bisa pula menyebar

dan menular kepada orang-orang yang melihatnya. Kalau bagi

kita, orang dewasa, bahasa hati ini lebih dekat kepada bahasa

INGATAN.

Ketika shalat,

. . . agar shalat kita itu khusyuk,

. . . kita sebagai Sang PILOT haruslah mampu melakukan dan

menjaga sebuah sinkronisasi yang sangat intens dan istiqamah

antara aktifitas jasmaniah dan aktifitas rohaniah kita pada saat

yang bersamaan:

17

Mulut dan

lidah kita

mengucapkan bahasa LIDAH, dan

bahasa SIKAP tubuh kita yang berupa

puja-pujaan dan penghormatan kita

kepada Allah,

Sedangkan

hati kita

mengucapkan Bahasa HATI kita, berupa

INGATAN kita secara berketerusan

(istiqamah) kepada ALLAH yang kita

puja-puja dan hormati itu.

Bukan hanya itu, ketika :

Mata

lahiriah kita

melihat ke tempat sujud,

Mata hati

kita sudah

bisa pula

dengan

sangat tajam

memandang bahwa di sebalik tempat

sujud itu, bahkan juga di sebalik udara

yang kita hirup, yang wujud semata-

mata adalah kewujudan Dzat-Nya.

Mata

lahiriah

memandang tempat sujud,

18

Mata hati memandang Dzat-Nya yang tidak

terlihat oleh mata lahiriah kita.

Karena aktifitas ruhaniah dan jasmaniah kita saat shalat itu

sudah sinkron tertuju kepada Allah semata, Dzikrullah, di

mana :

Ucapan-

ucapan dan

sikap kita

adalah ucapan dan sikap yang

memuliakan Allah,

Hati kita senantiasa mengingati Allah, dan

Mata Hati

kita

tak lepas-lepas dari memandang Dzat-Nya

yang meliputi segala sesuatu,

Maka Allahpun kemudian berkenan memberikan respon-

respon-Nya ke dalam HATI kita dalam bentuk gegaran, gon-

cangan, atau benturan keras ke dalam HATI kita.

Gegaran itu bukanlah seperti adanya GETARAN atau VIBRASI

yang melanda dan memasuki tubuh kita, dan bukan pula

seperti hasil dari kita mengulang-ngulang (wiridan) mengucap-

kan kalimat-kalimat HIPNOSA tertentu, seperti :

1. aku bahagia,

19

2. aku tenteram,

3. aku tenang,

4. aku memakai POWER (bukan FORCE),

5. aku memaafkan,

6. aku melepaskan,

7. dan kalimat-kalimat HIPNOSA lainnya.

Bukan !!!

Boleh jadi tubuh kita tetap hanya diam. Boleh jadi lidah kita

juga hanya diam dalam sebuah sikap rukuk dan sujud yang sa-

ngat dalam. Akan tetapi HATI kita berkocak keras, seperti ber-

kocaknya lautan yang tengah dilanda oleh angin badai. Karena

ketika itu Mata Hati kita dikejutkan oleh KEWUJUDAN DZAT-

NYA yang mengisi setiap sudut RUANG, MATERI, dan WAKTU.

Dzat-Nya Yang Batin. Kemanapun Mata Hati kita memandang,

yang terpandang adalah Dzat-Nya yang Batin. Dzat-Nya yang

merupakan unsur awal, unsur azali, unsur azazi yang menza-

hirkan semua CIPTAAN, sehingga semua ciptaan bisa pula

disebut sebagai Dzat-Nya Yang Dzahir, yang bisa ter-pandang

oleh Mata Lahiriah kita. Makanya Allah dengan tegas bisa

berkata: “Akulah Yang Batin, dan Aku pulalah Yang Dzahir”.

Karena Yang Zhahir dan Yang Batin itu tak lain dan tak bukan

adalah Dzat-Nya sendiri. Dzat-Nya yang sedikit dari kese-

luruhan Dzat-Nya yang Maha Indah.

Pada saat-saat seperti itulah hati kita juga seperti disayat-

sayat yang menimbulkan bekas luka yang sangat dalam, se-

hingga setiap kali kita mengingati Allah, setiap kali kita menye-

20

but nama Allah, luka itu kembali merekah dan menganga

lebar. Keadaan hati yang seperti ini akan menyebabkan air

mata kita tak henti-hentinya keluar membanjiri kedua sudut

mata kita.

Untuk beberapa waktu, kita hanya bisa menangis dan me-

nangis. Bisa sehari, bisa pula dua atau lima hari. Itu semua

terjadi karena kita seperti menemukan kembali suasana alam

azali yang sudah lama kita tinggalkan dan lupakan. Sejak

berbilang tahun, kita sudah lupa pintu masuk ke alam azali itu.

Sebuah Alam yang saat itu kita sangat dekat dengan Allah,

sehingga kita bisa berbincang-bincang dengan Allah.

Yang mula pertama dijadikan oleh Allah ialah AKAL, MIND.

Maka Allah berfirman kepadanya, “Menghadaplah!”, lalu

menghadaplah dia. “Membelakanglah!”, lalu membelakanglah

dia (Imam Ghazali, Ihya Ulumiddin, Bk 1, 308 (1991): Diriwa-

yatkan At Tabarani dari Abi Amaman dengan isnad Dhaif.

Al-A’raf : 172

“Dan saat Tuhanmu mengeluarkan anak cucu Adam dari

tulang-tulang sulbi mereka, dan Dia jadikan mereka saksi atas

Nafs (anfus) mereka : ‘Bukankah Aku Tuhan kamu ?’ ; Mereka

berkata : ‘Betul ! kami menyaksikan.’ ; Hal ini agar kamu tidak

dapat berkata dihari kiamat : ‘Sungguh kami lalai dari perjan-

jian ini’.

Alam azali itu ternyata bisa kita masuki kembali saat kita hidup

21

di dunia ini dengan melalui PINTU MENGINGATI ALLAH, yang

salah satunya adalah melalui SHALAT. Pintu alam Azali itu

kembali dibuka oleh Allah ketika kita mengingat Allah. Karena

ketika kita mengingat Allah, maka Allahpun berkenan pula

mengingat kita. FADZKURUNI ADZKURKUM.

Sekarang kita sudah menjadi sederhana dalam menelisik

anasir diri kita. Bahwa ternyata anasir diri kita itu ada EMPAT

entity, yaitu :

• JASAD,

• NYAWA,

• RUH, dan

• AKAL (HATI).

Sementara bersama AKAL atau HATI itu ada pula : MATA AKAL

atau MATA HATI.

JASAD adalah tubuh Lahiriah kita, sedangkan RUH adalah

tubuh BATINIAH kita. NYAWA adalah pemberi kehidupan

terhadap JASAD. Jadi NYAWA dan JASAD akan selalu bersama

selama kita masih hidup. Namun nyawa itu TIDAK akan

memberikan kehidupan kepada RUH. Sebab RUH adalah anasir

yang selalu hidup dan tidak akan pernah mati.

Saat kita BANGUN dan SADAR, anasir JASAD, NYAWA, RUH,

dan PIKIRAN (AKAL atau HATI) kita berada dan berkumpul

menjadi satu di dalam JASAD kita. Dengan begitu, kita akan

bisa melakukan berbagai aktifitas kita di muka bumi ini. Kita

bebas pulang dan pergi ke berbagai pelosok dunia. Kita bisa

anasir diri kita

22

menikmati keindahan alam dengan menggunakan panca

indera. Kita bisa merasakan suka dan duka kehidupan. Kita

bisa berpikir dan berkarya membangun peradaban umat

manusia.

Saat kita TIDUR, anasir yang ada di dalam JASAD kita hanyalah

NYAWA saja. Keberadaan nya ditandai dengan NAFAS kita

yang bergerak keluar-masuk paru-paru kita, dan Jantung kita

yang berdetak dengan teratur. Sedangkan RUH + PIKIRAN

dipegang oleh ALLAH di alam RUHANI, sampai nanti kita diba-

ngun kembali (kalau Allah masih menakdirkan kita untuk

hidup). Pikiran yang bersama RUH di alam RUHANI ini bisa

pula disebut sebagai JIWA atau AN NAFS. Kalau kita bangun,

maka AN NAFS ini akan dikembalikan oleh Allah ke dalam

Jasad kita, sehingga kemudian kita bisa kembali menjalani

aktifitas keseharian kita.

Beberapa kemungkinan keberadaan keempat anasir diri kita

itu adalah:

JASAD + NYAWA + RUH +

AKAL, semuanya berada

di dalam jasad kita,

Maka kita disebut Si Sadar

dan bisa berkarya.

JASAD + NYAWA, ada di

dalam tubuh kita,

sedangkan RUH + AKAL

Maka kita disebut TIDUR

yang Lelap.

23

tengah kembali kepada

Allah,

JASAD + NYAWA, ada di

dalam tubuh kita,

sedangkan RUH + AKAL

tengah berkelana di

alam gaib, atau sedang

tersesat di suatu tempat,

Maka kita disebut sedang

BERMIMPI, atau OOBE, atau

TERSESAT tidak bisa pulang

kembali ke Jasad, atau bisa

pula COMA.

RUH sudah bersama

dengan JASAD dan

NYAWA kita, akan tetapi

AKAL kita masih

tertahan di luar JASAD

kita,

Maka kita disebut orang

yang hilang AKAL, GILA, atau

NGAHULEUNG. Kalau bagi

anak-anak, keadaan ini akan

berlangsung saat dia bangun

tidur dan itu terjadi untuk

beberapa waktu lamanya.

Satu atau dua menit. Kalau

bagi orang dewasa, keadaan

ini jelas sekali terlihat pada

Orang Gila.

AKAL sudah bersama

dengan JASAD dan

NYAWA kita, akan tetapi

Keadaan ini biasa

didapatkan oleh orang

dewasa yang disebut dengan

24

RUH masih tertahan di

luar JASAD kita

EUREUP-EUREUP atau

TINDIHAN. Walaupun

rasanya kita sudah berteriak

sekuat tenaga minta tolong,

akan tetapi karena RUH kita

belum ada di JASAD, maka

suara kita itu tidak akan

yang mendengarnya.

RUH + AKAL + NYAWA

sudah diambil kembali

oleh Allah. JASAD sudah

terbaring kaku. Saat

itulah akhir dari hidup

kita.

MATI.

Proses kematian ini diawali dengan RUH kita ditarik kembali

secara paksa oleh Allah dalam sebuah peristiwa sakaratul

maut.

Kalau selama hidup kita, kita tidak pernah

menyerahkan RUH kita itu secara sukarela dan

ridha kepada Allah, maka saat sakaratul maut itu

kita akan gelisah, nafas kita tersengal-sengal. Kita

sangat tersiksa sekali.

25

Kalaulah pada saat-saat yang genting itu TIDAK ada di antara

keluarga kita, yang paling afdal adalah anak kita, yang

membantu kita mengarahkan RUH kita kepada Allah dengan

sukarela, maka alangkah sengsaranya keadaan kita saat itu.

Akan tetapi kalau saat itu ada anak kita, atau saudara kita yang

sudah tahu jalan pulang, dan

dia mengantarkan kita untuk

pulang itu, maka tidak berapa

lama, nafas kita akan jadi

teratur, wajah kita akan tenang

dan damai. Dari ulu hati kita

akan mengalir ruh kita yang

rasanya dingin. Naik kekerong-

kongan, lalu masuk ke dalam kepala kita. Hitam bola mata kita

akan IKUT naik ke arah kening mengikuti perginya RUH kita

itu. Sang Ruh kemudian berputar ke arah belakang kepala kita

untuk kemudian berbalik dan keluar melalui KENING kita.

AKAL kita saat itu masih ada di JASAD kita. Kita masih bisa

mendengarkan suara-suara tangis dan pembicaraan orang-

orang yang ada di sekitar JASAD kita. Tetapi kita sudah tidak

bisa berkata apa-apa lagi. Sebab saat itu RUH kita sudah

meninggalkan JASAD kita untuk pulang kepada Allah.

Anak atau saudara kita yang mengantarkan kita saat itu kemu-

dian akan mendengarkan suara “KLEK”, yang merupakan per-

tanda bahwa saat itu AKAL sudah harus ikut dengan RUH

untuk kembali kepada Allah. AKAL + RUH, yang biasa disebut

dengan JIWA, akan mengalami prosesi untuk pulang ke Alam

26

Barzakh:

Al Mukminun (23):100

“Dan di hadapan mereka ada Alam Barzakh (yang mereka

tinggal tetap padanya) hingga hari mereka dibangkitkan

semula (pada hari kiamat)”.

Setelah RUH dan AKAL meninggalkan JASAD, maka tidak lama

kemudian NYAWA kitapun diambil oleh Allah. Kalau nyawa itu

diambil dari kepala kita, maka kepala kita akan bergerak untuk

terakhir kalinya. Kalau NYAWA itu diambil dari kaki kita, maka

kaki kitalah yang akan bergerak untuk terakhir kalinya. Lalu

setelah itu tinggallah JASAD kita yang kaku dan yang dengan

cepat akan membusuk.

Kalaulah saat kita sakaratul maut itu, kita hadapi dalam ke-

adaan di mana :

• kita tidak pernah sekalipun menyerahkan RUH kita dengan

sukarela kepada Allah dalam sebuah proses Dzikir seperti di

dalam Shalat ataupun Dzikir di luar Shalat, atau

• tidak ada pula anak dan saudara kita yang bisa menun-

jukkan jalan pulang dan mengantarkan kita untuk pulang

kembali kepada Allah,

sungguh saat itu kita sedang berada dalam keadaan nestapa

yang sangat mencekam.

27

Kita tidak pernah

sekalipun

menyerahkan RUH kita

dengan sukarela

kepada Allah dalam

sebuah proses Dzikir

seperti di dalam Shalat

ataupun Dzikir di luar

Shalat.

Kita sedang

berada dalam

keadaan

nestapa yang

sangat

mencekam

Tidak ada pula anak

dan saudara kita yang

bisa menunjukkan

jalan pulang dan

mengantarkan kita

untuk pulang kembali

kepada Allah.

28

Al An’aam (6): 93.

“Alangkah dahsyatnya sekira kamu melihat di waktu orang-

orang zalim (berada dalam tekanan sakaratul maut”.

Sebab, saat RUH kita sudah dipanggil oleh Allah,

Namun AKAL kita masih sibuk dengan semua yang

jadi miliknya saat hidup di dunia,

Maka Perjalanan RUH itu akan terhambat.

Saat itulah AKAL kita akan dimintakan pertanggungjawab-

annya terhadap apa-apa YANG SELAIN DARI ALLAH, yang

membuat kita BINDING (TERIKAT) selama kita hidup di dunia.

Kita akan ditanyai dan dimintakan pertanggungjawaban kita

tentang itu semua. Dan itu dahsyat sekali.

POSISI IDAMAN yang harus dilatih terus oleh orang-orang yang

beriman adalah JASAD + NYAWA ada di dalam tubuh kita, se-

dangkan RUH dan AKAL tengah berada dalam keadaan DZIKIR

kepada Allah (DZIKRULLAH), MENGINGATI ALLAH, misalnya di

dalam SHALAT, dan juga berketerusan di luar SHALAT.

29

POSISI IDAMAN

JASAD +

NYAWA

Ada di dalam tubuh kita

RUH dan

AKAL

Tengah berada dalam keadaan DZIKIR

kepada Allah (DZIKRULLAH),

MENGINGATI ALLAH, :

• di dalam SHALAT, dan juga

• berketerusan di luar SHALAT.

Posisi seperti inilah yang seharusnya kita asah dan kita lakukan

terus menerus (ISTIQAMAH). Oleh setiap orang yang beriman

kepada Allah.

30

Artikel 3 :

Proses Mati Sebelum Mati

Dalam kitab Madarijus Salikin hal ini diterangkan dengan

sangat jelas:

HR. Ibnu Majah, dari Abi Ayyub dan Al Hakim, dari Sa’ad bin

Abi Waqqash, sanadnya shahih.

Apabila kalian melaksanakan shalat maka shalatlah seperti

shalatnya orang yang hendak meninggalkan dunia.

Berdasarkan hadist di atas Imam Al Ghazali menegaskan pen-

tingnya ruhani terfokus kepada Allah saja dalam melaksa-

nakan setiap ibadah, seperti keadaan menjelang kematian. Ia

harus :

• meninggalkan dirinya,

• meninggalkan hawa nafsunya,

• meninggalkan urusan dunianya dalam menuju Allah.

Karena ia sedang berhadapan dengan Allah. Inilah yang

dimaksud oleh Rasulullah, “Al inabatu ila daril khulud wa tajafi

an daril ghurur wa tahabu lil mauti qabla nuzulil maut. Kem-

bali menuju perjalanan ke kampung abadi (akhirat) mening-

galkan kampung penuh tipuan (dunia) merasakan mati sebe-

lum mati” .

Untuk prakteknya silahkan lihat kembali artikel "Mengingati

Allah", kalau berkenan. Sebab kalau kita sudah terbiasa de-

ngan aktifitas seperti inilah nantinya yang akan mempermu-

31

dah kita saat menghadapi proses sakaratul maut bagi diri kita

sendiri, dan juga ketika kita mengantarkan orang tua atau

saudara kita yang sedang dalam keadaan sakaratul maut itu.

32

Artikel 4 :

Jasad, Nyawa, Ruh, dan Akal

Sekarang kita sudah menjadi sederhana saat menelisik diri

kita, bahwa diri kita ini paling tidak terdiri dari 4 anasir utama,

yaitu: JASAD, NYAWA, RUH, dan AKAL.

AKAL AKAL kadangkala kita sebut juga sebagai

PIKIRAN, atau HATI, atau SANUBARI. AKAL

ini juga punya MATA yang disebut dengan

MATA AKAL, atau MATA HATI, atau MATA

SANUBARI.

AKAL/HATI

dan MATA

AKAL /

MATA

HATI

AKAL/HATI dan MATA AKAL / MATA HATI

adalah anasir yang bisa melihat,

mendengar, merasakan, berpikir, dan

mengingat, sehingga HATI dan MATA HATI

ini boleh juga dikatakan sebagai anasir

yang serba tahu (BASHIRAH). Ia adalah

SANG PILOT, SANG SOPIR, SANG KUSIR,

SANG HAKIM, SANG PENGENDALI atas DUA

KENDARAAN yang difasilitasi oleh Allah

kepadanya, yaitu JASAD dan RUH.

NYAWA Sedangkan NYAWA adalah anasir yang

33

memberikan KEHIDUPAN kepada JASAD

sampai waktu yang telah ditentukan.

Kalau kita sudah paham tentang anasir-anasir diri kita ini, dan

kita sudah paham pula cara kerja dan taqdirnya masing-

masing, yang telah dibuatkan oleh Allah, maka kita sebenar-

nya sudah tidak perlu lagi ribet-ribet untuk memahami dan

bergumul setiap hari dengan istilah-istilah yang lainnya.

Misalnya:

• Pikiran Sadar (conscious mind),

• Pikiran Bawah Sadar (subconscious mind),

• Pikiran Tak Sadar (unconscious mind),

• Pikiran Super sadar (Supra conscious mind),

• Perasaan,

• Power,

• Force,

• Quantum ini dan itu (quantum-quantuman).

Lalu dari sana kita pasti selanjutnya akan dibawa ke dalam

dunia terapi-terapian, healing-healingan, power-poweran, dan

meditasi-meditasian. Misalnya, pemulihan jiwa, terapi ini dan

itu, metafisika ini dan itu, spiritualitas ini dan itu, hipnoterapy

ini dan itu, tenaga dalam ini dan itu, meditasi ini dan itu, dan

sebagainya. Dan ternyata kesemuanya itu hanyalah OBJEK

PIKIR yang akan menjadi objek PERMAINAN bagi AKAL atau

PIKIRAN, atau HATI belaka. Sang Pilot.

34

Objek Pikir itu, yang pada awalnya adalah alat

untuk bermain-main bagi Sang pilot. Akan tetapi,

tanpa disadari oleh Sang Pilot, dia sendiri malah

berbalik menjadi objek yang dipermainkan oleh

Objek Pikir itu selama dia masih bertahan di pintu

ingatan kepada objek-pikir itu.

Dan itu tidaklah aneh.

Sebab kesemuanya itu hanyalah proses biasa saja yang terjadi

secara otomatis ketika PIKIRAN atau AKAL masuk ke PINTU

INGATAN tentang salah satu dari Objek Pikir tersebut di atas.

Sekali kita masuk ke PINTU INGATAN tentang Objek Pikir itu,

maka AKAL atau PIKIRAN akan disambut oleh cabang dan

ranting dari Objek Pikir itu yang jumlahnya sangat banyak dan

bervariasi. Objek pikir itu akan menawan kita, memperbudak

kita. Objek pikir itu akan memaksa :

• Kita untuk mengagung-agungkannya,

• Kita akan dipaksa untuk menjajakannya ke sana ke mari,

• Kita dipaksa berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain,

• Kita tidak akan dibiarkannya untuk istirahat barang sesaat-

pun, bahkan

• Kita akan dikejarnya sampai kealam mimpi sekalipun.

Tanpa kita sadari, begitu kita terikat (binding) dengan sebuah

Objek Pikir yang selain dari Allah, maka saat itu juga objek

pikir itu akan menghalangi RUH kita untuk kembali kepada

Allah.

35

Ruh kita akan terpenjara di dalam Objek Pikir itu.

Dan itu sangatlah menyakitkan sekali, sehingga kita disebut

sebagai si Ruhani yang sakit. Tapi Sang RUH punya cara sendiri

untuk bisa terlepas dari penjara objek pikir kita itu. Ia

menggeliat, ya meronta, yang akibatnya akan berpengaruh

buruk terhadap JASAD kita. Rongga dada kita terasa sempit,

nafas kita tersengal-sengal, darah dan sistem hormonal kita

mengalir di luar takarannya yang normal, sehingga membuat

kita ambruk. SAKIT, atau bahkan bisa MATI.

Untuk menahan kita agar kita bisa terus menerus berada da-

lam Pintu Ingatan kepadanya, Objek pikir kita itu akan mem-

beri kita :

• Rasa Bisa,

• Rasa Memiliki,

• Rasa Tahu,

• Rasa Hebat,

• Rasa Senang,

• Rasa Diri.

• Aku…!

Ya… GUE banget begitu loh. Aku ada, Aku Wujud. Karena aku

ada, maka aku akan marah kepada siapun yang menolak aku.

Aku akan balik menghina orang-orang yang berani-beraninya

menghina aku itu. Aku akan hancurkan dia.

Objek pikir itu juga seperti ikut memberi NAFKAH kepada kita.

36

REZKI kita ikut mengalir melalui objek pikir kita itu. Hanya saja

karena umumnya kita adalah orang yang beragama, maka

objek pikir kita itu kemudian kita poles dengan berbagai istilah

dari agama yang kita anut. Kalau tidak maka kita seolah-olah

telah menjadi orang yang lebih hebat dari orang-orang yang

beragama tertentu. Tanpa kita sadari kita telah menciptakan

agama untuk diri kita sendiri, yaitu

agama objek pikir kita.

Sebaliknya, aku akan tersenyum sum-

ringah ketika orang mau mengikutiku.

Aku akan JAIM (Jaga image) dengan

senyuman dan tingkah lakuku yang menandakan bahwa itulah

aku. Aku ada nih…!. Bisik kita kepada mereka, di dalam hati

kita.

Bahkan karena kita merasa ADA, kita merasa WUJUD, maka

kita bisa sampai pada taraf ingin BERBENTURAN atau BERGA-

DUH dengan Allah. Karena begitu kita mengaku wujud, maka

saat itu akan ada dua wujud, yaitu kita yang mengaku wujud

dan Dzat Yang Wajibul Wujud. Saat itu hilanglah Tauhid kita

dengan seketika. Lalu kita “seakan-akan” ingin selalu ME-

NENTANG TAQDIR. Seakan-akan apa yang sudah Allah Taqdir-

kan untuk kita, itu tidak cocok untuk kita.

“Allah kok begitu ya ?, harusnya kan begini. Ya Allah mohon

ubah dong jadi begini…”, rengek kita menghiba-hiba.

“Kenapa…., kenapa…., kenapa… ya Allah”,

37

. . . protes kita hampir setiap hari.

Kalau setiap saat kita merasa bisa untuk menentukan taqdir

kita sendiri, karena kita ADA dan WUJUD untuk menetukan

taqdir kita itu, maka kita disebut sebagai orang yang berpa-

ham MUKTAZILAH atau QADARIYAH, Atau RASIONALIS. Biasa-

nya ungkapan yang kita pakai adalah: “Kita adalah apa yang

kita pikirkan. Kita bisa mengubah masa depan kita dengan

mengubah pikiran kita saat ini atas masa lalu yang telah kita

hadapi”. Jika dalam paham Rasionalis itu, kita poles dengan

istilah-istilah agama, maka kita disebut sebagai kaum RASIO-

NALIS-AGAMIS.

Kalau kita tetap merasa WUJUD,

namun pada saat yang sama kita

merasa tidak akan sanggup untuk

melawan Allah, maka kemudian

kita bersedia untuk tunduk,

menyerah dan takluk kepada

Allah, kita Pasrah saja kepada Allah, maka paham ini disebut

dengan paham JABARIYAH atau FATALIS, yang jika kita poles

dengan agama menjadi FATALIS-AGAMIS.

Paham jalan AMAN, yang paling banyak kita pakai, adalah

Paham ASY’ARIYAH, Pahan Jalan tengah. Dalam paham ini kita

TETAP merasa WUJUD. Cuma saja sesekali kita merasa bisa

meminjam pakai Paham Qadariyah kalau kita merasa bisa

mengubah taqdir kita, dan di lain waktu kita seperti berpegang

38

teguh pada Paham Jabariyah kalau kita merasa tidak bisa

mengubah taqdir kita. Dalam paham ini, kita seperti duduk di

atas PAGAR. Sesekali kita mencondongkan diri kita kepada

Paham Qadariyah, sesekali kita merebahkan diri kita kepada

Paham Jabariyah. Aman.

Tetapi,

. . . ada sebuah paham yang hanya dianut oleh

sedikit umat manusia.

Ya…, hanya sedikit manusia saja bersedia untuk masuk ke

dalam paham ini. Paham yang akan membuat kita menjadi

orang yang aneh dan ganjil. Orang yang hidup “dalam

kesendirian” di tengah-tengah keramaian. Karena di tengah

keramaian itu kita merasa tidak wujud sama sekali. Kita tidak

ada. Kita tidak wujud.

Paham itu adalah Paham Makrifatullah.

Bahwa, semua pembicaraan kita tentang JASAD, NYAWA,

RUH, HATI, dan MATA HATI seperti yang diterangkan di atas,

pada hakekatnya barulah berbicara tentang SIFAT-SIFAT dari

diri kita. Karena masih dalam tatanan SIFAT, maka boleh jadi

ada pendapat lain yang jauh lebih baik dari pendapat ini. Ya…,

nggak apa-apa. Namanya juga berbicara tentang SIFAT. Kita

belum sampai dalam membicarakan diri kita dari segi

39

HAKEKAT. Ya… Hakekat.

Kalau begitu, apa sih HAKEKAT dari semua anasir diri kita yang

telah kita bahas di atas ?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mempertajam

pandangan Mata Hati kita dengan memakai Kacamata Mak-

rifatullah. Tidak bisa tidak…!. Sebab dengan memakai Kaca-

mata Makrifatullah ini, kita akan dikejutkan oleh kenyataan

bahwa :

. . . kita sebenarnya, hakekatnya,

TIDAKLAH WUJUD.

Karena kita sudah dapat memandang dengan Mata Hati kita,

yang sudah menjadi sangat tajam, bahwa yang boleh wujud

hanyalah SATU, yaitu Dzat Wajibul Wujud. Apapun yang selain

dari Dzat Yang Satu itu tidaklah wujud, karena semuanya

hanyalah semata-mata . . .

. . . penzahiran dari Dzat-Nya yang sedikit,

. . . sehingga dengan begitu,

. . . kita tidak sedikitpun berkeinginan

untuk mengaku ADA, untuk mengaku Wujud.

40

Bagaimana kita akan bisa mengaku wujud, sementara kita

hanyalah bagian kecil dari Dzat-Nya yang sedikit dari Dzat-Nya

Yang Maha Besar, dan Maha Agung. Inilah inti dari Tauhid.

Bahwa keempat anasir diri manusia itu, seperti juga ciptaan-

ciptaan yang lainnya, berada di dalam LAUHUL MAHFUZ, yang

dalam paham DZATIYAH dikatakan sebagai TEMPAT Allah

menciptakan seluruh Makhluk Ciptaan-Nya. Semua proses

penciptaan dan penghancuran makhluk yang berada di dalam

Lauhul Mahfuz itu adalah . . .

. . . AKTIFITAS ALLAH belaka terhadap sedikit dari

Dzat-Nya, yang besarnya tidak lebih dari sebesar

butiran pasir di padang pasir yang sangat luas,

atau setetes air masin di dalam samudera raya.

Tatkala itu,

. . . Allah berkata KUN kepada

Dzat-Nya yang sedikit itu,

. . . sehingga kemudian terzahirlah Rencana Induk (Lauhul

Mahfuz) dari semua ciptaan-Nya. Waktu kemudian mengan-

tarkan Rencana Induk itu untuk terzahir menjadi berbagai

ciptaan dan peristiwa-peristiwa dengan Qada dan Qadarnya

masing-masing. Proses penzahiran itu adalah bak sandiwara

belaka bagi Allah. Karena . . .

41

. . . semuanya adalah perbuatan Allah sendiri

terhadap sedikit dari Dzat-Nya yang telah Dia

isolasi dengan Tabir Nur dari keseluruhan

Dzat-Nya Yang Maha Indah.

Tabir Nur itu akan membatasi dan memelihara semua ciptaan-

Nya yang berada di dalam Lauhul Mahfuz itu dari kemusnahan

akibat terbakar hangus karena terpandang pada Kemulyaan

Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah.

Yang dicerita-ceritakan oleh Allah di dalam Al Qur’an, hampir

semuanya berkenaan dengan serba-serbi dan perlakuan Allah

terhadap Dzat-Nya yang sedikit itu, yang berada di Lauhul

Mahfuz. Sebutlah ayat mana saja. Misalnya, ayat tentang

Syurga dan Neraka. Maka ayat tentang Syurga dan Neraka itu

tidak lain hanyalah cerita Allah tentang penzahiran dari Dzat-

Nya yang sedikit itu yang nantinya akan diperuntukkan-Nya

pula untuk Dzat-Nya yang sedikit itu yang terzahir menjadi

manusia, jin, iblis, dan malaikat. Insyaallah, kalau Allah ber-

kenan, tentang hal ini akan kita bahas tersendiri pada saatnya.

Sedangkan terhadap Dzat-Nya secara keseluruhan Dia hanya

berkata sangat sederhana, bahwa Dzat-Nya yang keseluruhan

itulah Dzat Yang Awwal. dan Dzat-Nya yang keseluruhan itu

pulalah nantinya Yang Akhir. Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang

Maha Agung. Dzat yang akan membakar hangus apapun juga

yang terpandang oleh-Nya.

42

Jadi SEMUA yang berkenaan dengan CIPTAAN, mestilah ber-

ada di dalam LAUHUL MAHFUZ. Tidak bisa tidak. Sebab apa-

pun juga yang di luar Lauhul Mahfuz, tetaplah Dia akan men-

jadi MISTERI yang ABADI Sepanjang Masa. Misteri yang tidak

sedikitpun disadari oleh para penganut :

• Paham Wihdatul Wujud,

• Paham Nur Muhammad, dan

• Paham Rabithah Mursyid.

Apalagi oleh orang-orang yang Mata Hatinya Buta dan Tuli.

Sedikit dari Dzat-Nya yang terkurung di Lauhul Mahuz itu bo-

leh kita sebut sebagai Dzat Yang Batin. Dzat yang tidak dapat

dilihat dengan mata. Dzat yang tidak dapat diumpamakan,

Dzat yang tidak ada rupa dan warna. Dzat yang tidak bisa

diserupakan dengan apapun juga. Sama halnya dengan Dzat-

Nya secara Keseluruhan yang ada di luar Lauhul Mahfuz. Ya…,

Dialah Dzat Yang Batin.

Dzat-Nya Yang Batin yang sedikit itu kemudian terkena kalimat

KUN dari-Nya, sehingga lalu dari Dzat Yang Batin itu terben-

tuklah Lauhul Mahfuz, atau Gambaran Besar, atau Rencana

Induk yang memuat skenario Allah yang sangat detail dan rinci

terhadap setiap makhluk yang akan Dia ciptakan sebagai

penzahiran dari Dzat-Nya Yang Batin itu. Salah empat dari

semua ciptaan-Nya itu adalah :

• JASAD,

• NYAWA,

• RUH, dan

43

• PIKIRAN,

yang masing-masingnya telah diberikan pula taqdir oleh Allah

untuk dijalaninya.

Dengan begitu, maka RUH, seperti juga JASAD, NYAWA, dan

PIKIRAN, dapat dikatakan sebagai CIPTAAN ALLAH. Karena ia

adalah anasir diri kita yang terkurung dan berada di dalam

ruang penciptaan atau Lauhul Mahfuz. Akan tetapi karena Ruh

kita itu adalah akibat penzahiran dari sedikit Dzat-Nya, maka

Allah berhak pula mengatakan bahwa RUH itu adalah Milik-

Nya.

“Itu RUH-KU”, kata Allah. Bahkan Allah berhak

mengatakan bahwa RUH itu adalah Dia sendiri.

Pengakuan Allah itu sama halnya dengan pengakuan kita

terhadap kuku tangan kita yang kita akui sebagai diri kita,

sebagai milik kita, sehingga kalau ada orang lain menyakiti

kuku kita itu, maka kita berhak untuk berkata: “Kenapa eng-

kau sakiti aku ?” Padahal yang mereka sakiti adalah kuku kita.

Akan tetapi RUH KITA ITU BUKANLAH ALLAH.

Karena ia hanyalah berasal dari Dzat-Nya yang sedikit saja.

Seperti juga kuku tidak bisa mengaku sebagai kita, misalnya si

Deka. Prinsip ini adalah sangat penting untuk kita ketahui,

karena banyak orang yang sudah berada pada kesadaran RUH

44

ini, kemudian malah menyatakan dirinya sebagai Allah. Seperti

yang terjadi pada orang-orang yang berpaham Wahdatul

Wujud.

Kalau kita paham tentang kepemilikan Allah terhadap Dzat-

Nya yang sedikit itu, yang kemudian dizahirkan-Nya menjadi

semua ciptaan, maka . . .

. . . kita tidak akan pernah lagi untuk menghina,

merusak, menghancurkan, atau bahkan hanya

sekedar untuk menyia-nyiakan sedikit dari

ciptaan-Nya yang lain yang diamanahkan-Nya

kepada kita, yang sebenarnya untuk

kita jaga, untuk kita kelola, dan untuk kita

manfaatkan dengan sangat lembut.

Dengan mengimani bawah JASAD, NYAWA, RUH, dan PIKIRAN

adalah ciptaan Allah dengan Taqdirnya masing-masing, maka

kita sudah tidak perlu takut-takut lagi untuk membahasnya

dalam hal fungsi dan aktifitasnya masing-masing. Kita akan

melihat SIFAT-SIFAT-NYA. Sebab kalau mengenai esensi atau

unsur dasarnya kita sudah tidak perlu membahasnya lagi.

Semuanya berasal dari Dzat-Nya yang sedikit. Ya…, hakekat

dari kesemuanya adalah Dzat-Nya sendiri. Dzat Yang Batin.

Dari Dzat Yang Batin itu terzahirlah sebuah Rencana Induk

45

(Lauhul Mahfuz) tentang perjalanan hidup seluruh makhluk

ciptaan-Nya, termasuk seluruh umat manusia. Proses penza-

hiran Dzat-Nya menjadi seluruh ciptaan-Nya itu mirip sekali

dengan proses kita membangun sebuah rumah dengan segala

isinya. Mari kita lihat :

1. Tahap Pertama, kita buat dulu rencana, gambaran menye-

luruh dari rumah yang akan kita bangun itu. Kita siapkan

gambar detailnya. Kita mengubah atau menzahirkan se-

suatu yang tadinya dalam bentuk batin, yang tidak terli-

hat, menjadi sebuah rencana yang sudah ada pola, ukur-

an, dan bentukmya. Padanannya adalah sama dengan

Lauhul Mahfuz yang dibuat oleh Allah. Hanya saja gambar

detail yang kita buat itu seringkali

ada saja hal-hal yang kita lupakan.

Sedangkan bagi Allah, semuanya

tidak ada yang terlupakan.

2. Tahap Kedua, dalam MASA tertentu, kita mulai menyiap-

kan SARANA atau INFRASTRUKTUR pembangunannya,

mulai dari tanah tempat berdirinya bangunan, pasir, se-

men, besi, atap, batu merah, kayu,

tegel, peralatan pertukangan, dan se-

bagainya. Kurun waktu bagi kita untuk

menyiapkan sarana dan prasarana itu

bisa dalam sebulan atau lebih.

Untuk kehidupan di langit dan di bumi ini, Allah juga me-

nyiapkan SARANA dan PRASARANA atau INFRASTRUKTUR

46

langit dan bumi itu terlebih dahulu, yang lamanya adalah

8 MASA atau 16 Milyar tahun. Dari 16 Milyar tahun itu, 2

MASA (4 Milyad tahun) dipakai Allah untuk menciptakan 7

lapis langit, dan 6 MASA (12 Milyar tahun) untuk

menciptakan bumi dan segala kelengkapannya. Untuk

satu MASA lamanya adalah 2 milyar tahun.

3. Tahap ketiga, setelah semua infrastruktur tersedia, dalam

waktu atau umur tertentu, SATU-PERSATU kita mulai

membangun fondasi, dinding, lantai, pintu, jendela. Ka-

mar, atap, kamar mandi, meja dan kur-si,

taman, dan sebagainya. Apa yang tadi-

nya hanya berupa GAMBAR atau REN-

CANA, kemudian kita wujudkan menjadi

bagian-bagian Rumah dalam WAKTU

yang tertentu.

Jadi, WAKTU atau UMURLAH yang menyebabkan gambar

fondasi bisa tercipta menjadi fondasi benaran. Misalnya dalam

waktu 1 bulan, maka terciptalah fondasi. Begitulah seterusnya

sehingga dalam waktu atau 6 bulan selesailah kita mem-

bangun sebuah rumah utuh dari sebuah rencana yang telah

kita buat sebelumnya. Hanya saja kita tidak punya rencana

tentang berapa lama UMUR rumah kita itu akan bertahan dan

kemudian ia hancur kembali menjadi unsur tanah, kayu, batu,

dan sebagainya.

Begitu jugalah Allah memperlakukan langit dan bumi beserta

segala makhluk yang ada di dalamnya. Khusus untuk tujuh

47

langit dan bumi, Allah memberikan tambahan UMUR kepada-

nya selama 12 Milyar tahun lagi, sebagai tempat untuk tum-

buhnya peradaban umat manusia berikut dengan semua pe-

ran-peran yang menyertainya. Semua Ciptaan yang terzhahir

itu dapat pula dikatakan sebagai perwujudan dari Dzat-Nya

yang Zhahir, sebelum semuanya kembali hancur luluh menjadi

Dzat-Nya Yang Batin (KIAMAT). Jadi ketika Allah berkata

bahwa Dialah Yang Zahir dan Dialah Yang batin, maka Dia

sebenarnya berkata terhadap Dzat-Nya yang terdapat di

dalam Lauhul Mahfuz. Bukan Dzat-Nya yang di luar Lauhul

Mahfuz.

Sekarang marilah kita sedikit lebih fokus terhadap perlakuan

Allah terhadap setiap anasir diri kita.

Allah memberi UMUR untuk kita yang akan menghubungkan

atau menyambungkan antara Rencana Induk Allah (Lauhul

Mahfuz) dengan terzahirnya kita menjadi Manusia. Misalnya,

untuk menzahirkan Rencana

Allah agar kita bisa terlahir

menjadi BAYI benaran, dari yang

sebelumnya hanya dalam

bentuk rencana induk itu, Alah

menakdirkan untuk berlang-

sung selama 9 bulan. Waktu se-

lama 9 bulan itu disebut sebagai

UMUR kita untuk menjadi bayi.

Kalau kita meninggal saat itu juga, maka selesailah tugas kita.

48

Lalu kita berjalan untuk kembali menjadi Dzat-Nya yang batin.

Akan tetapi kalau UMUR kita masih ada, dan panjang pula,

maka kita akan diantarkan oleh WAKTU atau UMUR kita itu

untuk menjalani TAQDIR kita yang berikutnya, yang penuh

suka ataupun duka, menjadi anak-anak, terus remaja, dewasa,

tua lalu mati.

Rencana Allah terhadap kita

tidak hanya berhenti sampai

kita meninggal itu saja. Allah

ternyata masih punya rencana

lain yang harus kita jalani se-

telah kita meninggalkan alam

dunia ini dan kemudian me-

masuki kembali alam akhirat.

Alam yang dulu, di saat-saat awal penciptaan kita, pernah kita

diami.

Sungguh, kita memang adalah berasal dari Dzat-Nya Yang Ba-

tin lalu TERZAHIR menjadi Dzat-Nya Yang Zahir untuk kemu-

dian kita kembali menjadi Dzat-Nya Yang Batin.

• Dari-Dzat-Nya terzahirlah JASAD

• Dari Dzat-Nya terzahirlah NYAWA

• Dari Dzat-Nya terzahirlah RUH

• Dari Dzat-Nya terzahirlah PIKIRAN (Akal, atau Hati, dan juga

Mata Akal, atau Mata Hati).

Masing-masing terzahir dengan TAQDIRNYA sendiri-sendiri.

49

Allahlah yang berbuat sekehendak-Nya, semena-

mena, dan bersandiwara terhadap sedikit dari

Dzat-Nya. Dan sandiwara itu tergelar tanpa henti

di atas panggung sandiwara yang sangat besar

yang disebut dengan Lahul Mahfuz. Kita masing-

masing adalah AKTOR dari sekian banyak aktor

yang terlibat di dalam sandiwara Allah itu.

Dia tidak akan ditanya atas semua perbuatan-Nya itu. Sungguh

celaka kita yang berani-berani berkata: “Mengapa ? Ada apa ?

Dan seharusnya ?”, kepada-Nya ketika kita menghadapi ber-

bagai duka dan nestapa, atau kita berbangga-bangga diri ke-

tika kita mendapatkan suka dan cita selama kita menjalani

peran kita di dalam sandiwara Allah itu.

Bagi kita peran itu bukanlah sandiwara.

Kita akan digiring untuk memerankan

peran kita dengan total.

Setiap skenario yang telah dibuatkan khusus untuk kita di

dalam sandiwara itu, mau tidak mau, terpaksa ataupun redha,

harus kita jalani. Kalau kita harus sakit, maka sakitnya terasa

betul oleh kita. Kalau kita harus berdarah-darah, maka

darahnya akan mengalir keluar dari pembuluh darah kita.

Kalau kita harus mati, maka matinya tidak bisa diundur walau

50

sedetikpun. Kalau kita harus senang, maka senangnya

benaran. Kalau peran itu mengharuskan kita untuk susah,

maka susahnya juga benaran, sampai kita ampun-ampunan.

Sampai di sini, selesailah topik “Menelisik

Anasir Diri”. Selan-jutnya, INSYAALLAH, kita

akan lanjutkan pembahasan yang lebih

dalam melalui artIkel “MENENGOK KILASAN

SANDIWARA DZAT2”.

2 http://yusdeka.wordpress.com/2014/06/06/menengok-kilasan-

sandiwara-dzat-bagian-1/

51

Artikel 5 :

Menengok Kilasan Sandiwara Dzat3

Dari beberapa artikel terdahulu, secara berangsur-angsur, kita

telah mulai memahami bahwa :

Pada awalnya hanya Allah saja yang Wujud. Diri-

Nya disebut Dzat Yang Maha Indah.

Al Hadid (57 / 3) :

“Dialah (Dzat) Yang Awal.”

Segala sesuatu, selain Dzat Yang Maha Indah ini, belum ada.

“Tidak ada” juga tidak wujud pada saat awal itu, termasuk

“kosongpun” juga tidak wujud. Yang Wujud hanyalah Dzat-Nya

semata-mata. Karena kalau saat awal itu ada pula “tidak ada

atau kosong”, maka lunturlah TAUHID kita. Karena saat Awal

itu akan ada DUA wujud yang Ada, yaitu Wujud Allah dan ada

pula wujud “tiada” atau “kosong.”

3 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/06/menengok-kilasan-

sandiwara-dzat-bagian-1/

52

Kemudian Dia Bersabda :

1. “KUN” kepada sedikit dari Dzat-Nya,

yang besarnya tidak lebih dari

sebutir pasir di padang pasir, atau

Sedikit dari

Dzat-Nya

setetes air asin di dalam samudera.

Dzat Yang sedikit itu kemudian

ditirai oleh 70 tirai cahaya terhadap

Dzat-Nya Yang Maha Indah.

Ditirai Oleh 70

Tirai Cahaya

Sehingga Dzat-Nya yang sedikit itu kemudian berubah

menjadi sebuah Ruang Tertutup yang nanti akan

berfungsi sebagai tempat terselenggaranya Pertunjukan

atau Pagelaran Sandiwara Allah terhadap sedikit dari

Dzat-Nya itu, yang akan diubah-suaikan atau dijadikan-

Nya menjadi berba-gai bentuk CIPTAAN dengan peran

yang PERANAN tententu pula. Panggung Sandiwara,

tempat Allah bermain-main dan bersenda gurau dengan

CIPTAAN-Nya itu, disebut LAUHUL MAHFUZ.

2. “KUN”, maka Dzat-Nya yang sedikit

itu kemudian menjadi BATIN dari

semua bakal ciptaan yang akan

diciptakan oleh Allah melalui Dzat-

Nya yang sedikit itu. Sehingga Dzat-

Dzat-Nya yang

sedikit itu

kemudian

menjadi BATIN

Nya yang sedikit itu boleh pula disebut-NYa sebagai

Dzat-Nya Yang Batin. Al Qur’an kemudian mengatakan :”

Dialah (Dzat) Yang Batin.”

53

3. Dari Dzat Yang Batin, kemudian ter-

zahir menjadi Lauhul Mahfuz, yang

merupakan sebuah Skenario Induk

dari Sandiwara Kehidupan yang

akan dilakoni oleh Seluruh Ciptaan-

Nya. Skenario itu sangatlah detail

dan sempurna sekali. Tidak ada satu

skenariopun, walau untuk peran se-

kecil apapun, yang Dia lupakan. Se-

mua tertulis dan terencana dengan

rapi. Sebutlah peran sebuah atom,

sebuah sel, sebuah molekul, atau

seorang manusia, sebuah bintang,

selapis langit, dan sebagainya, maka

Dari Dzat Yang

Batin,

kemudian

terzahir

menjadi

Lauhul

Mahfuz, yang

merupakan

sebuah

Skenario Induk

dari Sandiwara

Kehidupan

TAKDIR untuk masing-masing-masingnya sudah di tulis di

dalam Buku Rencana Induk atau Lauhul Mahfuz itu.

4. Kemudian dari Dzat Yang Batin itu

terzahir WAKTU, UMUR, dan TEM-

PAT, yang boleh dikatakan sebagai

QADA dan QADAR dari berbagai

ciptaan.

a. WAKTU akan mengantarkan

saat awal terzahirnya sebuah

ciptaan yang akan memerankan

peranan tertentu, seperti apa

yang sudah ditulis dan

Dzat Yang

Batin itu

terzahir

WAKTU,

UMUR, dan

TEMPAT, yang

boleh

dikatakan

54

direncanakan oleh Allah di

dalam Lauhul Mahfuz.

b. UMUR akan menentukan

berapa lama ciptaan itu akan

menjalankan peranannya.

sebagai QADA

dan QADAR

dari berbagai

ciptaan.

c. Dan TEMPAT akan mendukung agar ciptaan itu bisa

berlakon dengan sangat sempurna sesuai dengan

SKENARIO atau Qada dan Qadarnya masing-masing.

Qada dan Qadar itu TIDAK akan pernah berubah. Ia

sudah ditetapkan oleh Allah dengan sangat RIGID.

Al A’raaf (7 / 183) :

“Sungguh rencana-Ku amatlah teguh.”

Al Ahzab (33 / 62) :

“Kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sun-

nah Allah.”

Tidak ada seorangpun yang bisa mengubah Qada dan Qadar

atau TAKDIR yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya.

Takdir kita masing-masing sudah digantungkan

oleh Allah pada LEHER kita untuk kita jalani.

Waktu, Umur, dan Tempat akan mengantarkan kita untuk

menjalankan peran kita sesuai dengan takdir kita itu, yang bisa

disebut sebagai AMALAN kita. Amalan kita itu akan persis

55

sama dengan catatan takdir kita itu. Nanti diakhirat, kita itu

akan melihat buku catatan amal kita itu dengan sangat jelas,

bahwa amalan kita tidak melenceng sedikitpun dari buku ca-

tatan takdir kita yang telah ditetapkan Allah buat kita. Tidak

ada perubahan sedikitpun dari renca-

na awal takdir kita dengan penza-

hirannya. Semuanya SAMA. Kita tidak

punya pilihan dalam hal ini.

Al Isra (17 / 13) :

“Tiap-tiap manusia itu telah Kami kalungkan catatan amal

perbuatannya pada lehernya.”

Dari Dzat Yang Batin, pada Waktu yang telah ditentukan, ter-

zahirlah berbagai ciptaan, termasuk kita, yang akan menja-

lankan perannya pada tempat dan umur yang tertentu sesuai

dengan takdir yang telah ditentukan. Semua ciptaan yang ter-

zahir itu disebut sebagai Dzat-Nya Yang Zahir. “Dialah (Dzat)

Yang Zahir.”

Karena semuanya adalah Dzat-Nya sendiri, yang berasal dari

sedikit Dzat-Nya, maka oleh sebab itu Allah berhak untuk me-

negaskannya di dalam Al Qur’an bahwa :

Al Hadid (57 / 3) :

“Dia-lah (Dzat) Yang Zahir, dan Dialah (Dzat) Yang Batin.”

Umur akan mengantarkan kita untuk menjalankan peran kita

56

di alam dunia dan di alam akhirat. Untuk menjalankan peran

kita itu, Allah telah memfasilitasi kita dengan empat anasir diri

kita, yaitu : JASAD, NYAWA, RUH, dan AKAL, yang telah kita

bahas dalam artikel “Menelisik Anasir Diri”4.

Sekarang marilah kita menengok secara sekilas tentang bagai-

mana Jasad, Nyawa, Ruh dan Akal ini menjalankan peranannya

dalam Lakonan Sandiwara Dzat :

Lakonan Sandiwara Dzat

• Panggungnya adalah Lauhul Mahfuz,

• Arena permainannya adalah Bumi dan Langit. Bumi

menggambarkan Alam Dunia, dan Langit

menggambarkan Alam Akhirat.

• Sedangkan Para Pelakon Utamanya adalah kita umat

Manusia, Jin, dan para Malaikat.

• Dekorasi panggungnya adalah Bulan, Matahari, dan

Bintang-bintang.

• Peran pembantunya adalah berbagai Hewan dan

Tumbuhan.

Kalau tentang Arena Permainan (Bumi dan Langit), Dekorasi

Panggung (Bulan, Matahari, dan Bintang-bintang), Pemeran

Pembantu (Hewan dan Tumbuhan), bagi orang yang TIDAK

4 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/05/21/menelisik-anasir-diri-bagian-

1/

57

BERIMAN akan terlihat semuanya itu seperti BEREVOLUSI de-

ngan sendirinya. Seakan-akan mereka punya kecerdasan sen-

diri untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan segala kesu-

litan dan tantangan yang disediakan oleh alam. Yang kelihatan

oleh mereka adalah SIFAT yang berubah-ubah, BENTUK yang

bergerak-gerak, TINGKAH yang meliuk-liuk. Mereka TERHIJAB

oleh SIFAT untuk menyadari HAKEKAT. Makanya mereka dise-

but sebagai kaum MATERIALISTIS.

Akan tetapi . . .

. . . bagi orang yang sudah memakai Kacamata

Makrifatullah, semua Sifat yang berubah, Bentuk

yang bergerak, dan Tingkah yang meliuk itu, sudah

direncanakan sejak awal sabda KUN oleh Allah di

dalam Lauhul Mahfuz.

Qada dan Qadarnya sudah ditetapkan oleh Allah sesuai

dengan Waktu yang telah ditentukan. Ketika mulai waktu ber-

jalan, maka segala sifat, bentuk, dan tingkah dari semua Pe-

meran Sandiwara Dzat itupun ikut pula berubah. Karena WAK-

TU adalah JEMBATAN PENGHUBUNG antara Rencana Induk

(Lauhul Mahfuz) dengan Penzahiran atas Rencana Induk

tersebut menjadi segala Sifat, Bentuk, danTingkah dari semua

Ciptaan.

“KUN”, Dzat-Nya yang sedikit (Dzat Yang Batin) diberi Qada

58

dan Qadar oleh Allah, Lalu dari Dzat-Nya itu terzahir menjadi

Rencana Induk (Lauhul Mahfuz). Lalu Dzat-Nya itu diberikan-

Nya pula Waktu dan Umur, sehingga kemudian dari Dzat-Nya

itu terzahirlah Semua Ciptaan-Nya (Dzat Yang Zahir).

Dengan memakai Kacamata Makrifatullah, kita bisa mema-

dang dengan Mata Hati kita bahwa . . .

. . . ternyata ADA Allah yang mengatur SEDIKIT

dari Dzat-Nya yang sudah Dia kurung di dalam

Lauhul Mahfuz dengan 70 Tabir Cahaya, sehingga

dari Dzat-Nya yang sedikit itu terzahir

menjadi SEMUA Ciptaan.

Dia Maha Menciptakan semua makhluk-Nya

melalui Dzat-Nya yang sedikit.

Bukan hanya itu, DI DALAM Lauhul Mahfuz itu;

• Dia Maha Mengetahui semua sifat, bentuk, dan tingkah

dari semua Ciptaan itu. Karena Dia memang Maha Melihat,

Maha Mendengar, Maha Mengawasi MELALUI Dzat-Nya

yang sedikit itu.

• Dia Maha Berkuasa, Maha Mengatur, Maha Menggerakkan,

dan Maha Berkehendak terhadap semua Ciptaan-Nya

MELALUI Dzat-Nya yang sedikit itu.

• Dia Maha Mengaktualisasikan 99 Nama-nama-Nya Yang

Maha Indah terhadap semua Ciptaannya MELALUI Dzat-

Nya Yang sedikit itu.

59

Sedangkan DI LUAR Lauhul Mahfuz, semuanya

akan Hangus dan Musnah “terbakar” oleh

Keagungan Dzat-Nya Yang Maha Indah.

Dan, untuk menjadi SAKSI atas semua Kehebatan-Nya itu, ma-

ka Allahpun kemudian menciptakan Manusia, Jin, dan Malai-

kat yang akan menjalankan perannya masing-masing. Peran-

peran itu sudah kita bahas pula di lain artikel sebelumnya.

Namun secara garis besar peran-peran itu bisa dibagi dua,

yaitu :

• Ada peran-peran yang menggambarkan siapa yang BISA

untuk bersaksi terhadap Allah, dan

• Ada pula peran-peran yang memperlihatkan siapa yang

TIDAK BISA untuk bersaksi tentang Allah.

Dan tentu saja untuk setiap peran itu ada pula AKIBAT atau

HASIL yang akan diperoleh oleh setiap pemeran dari peran-

peran itu di setiap perputaran waktu.

• Malaikat ditakdirkan untuk bisa bersaksi sepanjang masa.

• Iblis yang tadinya adalah makhluk Jin yang tingkatannya

sudah sama dengan Malaikat, ditakdirkan pula semenjak

ada Adam sampai dengan akhir masa menjadi makhluk-Nya

yang tidak bisa lagi bersaksi terhadap Allah.

• Sedangkan manusia, ada yang ditakdirkan bisa bersaksi

bulat selama hidupnya, seperti Nabi-nabi, Rasul-rasul, dan

orang-orang shaleh; ada yang lebih banyak bisa bersaksi

dibandingkan dengan kelupaan; ada yang lebih banyak

60

lupanya dibandingkan dengan kesaksiannya; dan ada yang

lupanya berketerusan kepada Allah (kafir).

Hanya orang-orang yang sudah bersaksi secara bulatlah yang

akan bisa BERIMAN yang BULAT pula kepada Allah. Untuk

pembuktiannya, akan mengharuskan kita pula untuk BERIMAN

kepada TAKDIR Allah, yang alangkah sulitnya untuk diimani,

kecuali kalau hanya ucapan dibibir saja. Untuk bisa percaya

kepada Allah dan kepada Takdir-Nya dengan bulat, maka di

sinilah dibutuhkan pengenalan kita yang utuh tentang Allah,

Makrifatullah ! Karena dengan ilmu makrifatullah inilah kita bi-

sa melihat bahwa semua ciptaan ternyata adalah penzahiran

dan perlakuan Allah terhadap sedikit dari Dzat-Nya sendiri.

Sehingga dengan begitu kita bisa mengerti dengan mudah

bahwa Nabi Adam dan Hawa memang sudah seharusnya ke-

luar dari Syurga, karena takdir Beliau memang sudah ditetap-

kan sebagai Khalifah untuk membangun Bumi yang sudah di-

siapkan oleh Allah sebelumnya. Iblispun sudah takdirnya pula

untuk menjadi makhluk yang akan selalu berkubang dengan

angkara murka, sebagaimana juga Malaikat yang harus men-

jalani takdirnya sebagai makhluk yang akan selalu menyucikan

Allah. Dan Allah sudah menakdirkan pula ketiga macam makh-

luk ini (Manusia, Jin, dan Malaikat) untuk saling berinteraksi

dalam Sandiwara Dzat sampai Akhir Umur dari semua Ciptaan.

Akhirul Kalam, semua ciptaan kembali MUSNAH dan kembali

menjadi Dzat-Nya. Sehingga Dialah Yang Akhir. Dengan begitu

lengkaplah ayat 3 dari Surat Al Hadid berikut ini :

61

Al Hadid (57 / 3) :

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Bathin,

dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

• Yang Awal adalah Dzat-Nya Keseluruhan Yang Maha Indah.

• Yang Akhir adalah Dzat-Nya Keseluruhan yang Maha Indah.

• Yang Zahir adalah Dzat-Nya yang sedikit, yang TERZAHIR

dalam bentuk semua Ciptaan.

• Yang Batin adalah Dzat-Nya yang sedikit, yang menjadi

Unsur AZASI dari semua Ciptaan.

• Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu yang Terjadi di

dalam Lauhul Mahfuz, di mana Dia Bersandiwara dengan

Dzat-Nya yang sedikit, yang dikurung-Nya dengan 70 Tabir

Cahaya di dalam Lauhul Mahfuz itu.

• Yang Zahir adalah Dzat-Nya, Yang Bathin juga adalah Dzat-

Nya. Dzat-Nya yang sedikit.

Dzat-Nya Yang Zahir akan terlihat oleh PANCA INDERA kita

sebagai SIFAT dari semua Ciptaan, Dzat-Nya Yang Batin akan

terlihat oleh MATA HATI kita sebagai HAKEKAT dari semua Cip-

taan. Kalau sudah begitu maka HATI kita akan mantap untuk

Bermakrifat kepada Allah. MAKRIFATULLAH. Bahwa segala

Sifat dan Hakekat itu hanyalah bercerita tentang SEDIKIT dari

Dzat-Nya, yang besarnya tak lebih dari sebesar sebutir pasir di

padang pasir yang sangat luas, atau setetes air masin di

tengah-tengah samudera, terhadap KESELURUHAN Dzat-Nya

Yang Maha Indah.

62

Wahai sahabat, masihkah kita bisa mengaku ?

• Tidakkah lidah kita ini menjadi KELU saat kita mengingat

Kemahabesaran dan Keagungan Allah kita ?

• Tidakkah kita menjadi MALU untuk menghina sesama cip-

taan ini ?

• Tidakkah kita menjadi SUNGKAN untuk menyiksa sesama

ciptaan ini ?

• Tidakkah kita menjadi TERGETAR saat kita menyakiti se-

sama ciptaan ini ?

• Tidakkah kita menjadi TIDAK ENAK HATI saat kita meng-

hancurkan sesama ciptaan ini ?

• Bukankah kita ini sama-sama Dzat-Nya Yang Zahir ?

• Bukankah kita ini sama-sama berasal dari Unsur Asazi yang

sama, yaitu Dzat-Nya Yang Batin ?

• Dan, bukankah hakekatnya kita semua ini adalah SATU,

yaitu Dzat-Nya Yang sedikit ?

• Dzat-Nya yang Sedikit, yang TIDAK TERPISAH dari Dzat-Nya

Keseluruhan.

• Seperti tidak terpisahnya jari tangan kita dengan diri kita.

• Seperti tidak terpisahnya Belalai dari diri Gajah.

• Seperti tidak terpisahnya setetes air masin dari Samudera.

Sehingga,

• Saat kita menghina sesama ciptaan, Allah berhak untuk

berkata : “Kenapa engkau hina Aku ?”

• Saat kita menyiksa sesama ciptaan, Allah berhak untuk

berkata : “Kenapa engkau siksa Aku ?”

• Saat kita menyakiti sesama ciptaan, Allah berhak untuk

63

berkata : “Kenapa engkau sakiti Aku ?”

• Saat kita menghancurkan sesama ciptaan, Allah berhak

untuk berkata : “Kenapa engkau hancurkan Aku ?”

• Sebaliknya.

• Tatkala kita bisa menabur kebaikan bagi sesama, Allah akan

memperkenalkan, menyanjung, dan membangga-bangga-

kan kita kepada para Malaikat dan Jin.

• Saat kita saling berbagi rezki, Allahpun memperkenalkan

kita sebagai : “Abdur Razak.”

• Lain kali kita disanjung-Nya sebagai Abdul Hadi, Abdul

Salam, Abdul Rahman, Abdul Rahim, dan sebagainya.

• Tapi, perkataan serta sanjungan Allah ini hanya akan bisa

“didengar” oleh orang-orang Allah. Orang-orang yang selalu

berkata : “Cukuplah Allah bagiku….” Dan itu sangatlah

menggetarkan sekali.

Dan yang terpenting di atas semua itu adalah bahwa SEGA-

LANYA sudah ditakdirkan oleh Allah untuk terjadi. Namun,

BAGI ALLAH, semuanya itu hanyalah SANDIWARA

BELAKA. Sandiwara atas Dzat-Nya sendiri.

Sedangkan . . .

BAGI KITA, peran yang kita sandang dalam

sandiwara itu haruslah kita jalani dengan

BERSUNGGUH-SUNGGUH.

64

Peran yang membuat kita kadang-kadang merasa kembang-

kempis, tunggang-langgang, luluh-lantak, kacau-balau, lintang-

pukang, dan bahkan hancur-lebur, MATI; adakalanya kita bisa

bercengar-cengir, cengengesan, cekikikan, bahkan sampai

mati ketawa; tempo-tempo kita bisa merasa haru-biru, riang-

gembira, asyik-masyuk, dan sebagainya. Dan kesemuanya itu

adalah peristiwa SUNGGUHAN.

Salah satu Sandiwara Dzat yang sedang berlangsung di Indo-

nesia saat ini adalah proses PILPRES 2014-2019. Mari kita lihat

Pilpres ini dengan memakai Kacamata Makrifatullah.

“KUN”, lalu dari Dzat-Nya yang sedikit terzahirlah sebuah

RENCANA BESAR yang sangat

sempurna (Lauhul Mahfuz) ten-

tang sebuah Sandiwara Kolosal

yang kelak para pemainnya ada-

lah semua CIPTAAN. Setiap cipta-

an itu telah dibuatkan oleh Allah

TAKDIRNYA masing-masing. Tepat

SATU TAKDIR untuk setiap cipta-

an. Walaupun terlihat Lautan Kemunginan Takdir di depan

mata kita, namun tetap hanya satu Takdir yang cocok untuk

kita.

Takdir inilah nantinya yang akan mengawal agar setiap ciptaan

itu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan apa-apa

yang telah ditetapkan untuknya. Takdir itu tidak akan pernah

saling tertukar. Masing-masing tidak akan bisa keluar dari

65

takdirnya itu.

Kemudian Allah menciptakan WAKTU yang akan menjemba-

tani antara rencana Allah dengan penzahiran dari Rencana-

Nya itu di TEMPAT-TEMPAT tertentu. Dari situlah kemudian

terbentuk episode-episode kehidupan yang salah satunya

adalah episode PILPRES Indonesia 2014-2019 yang sedang kita

jalani.

Siapa Presiden kita untuk 2014-2019 itu, sebenarnya sudah

TERTULIS dengan sangat terang benderang di LAUHUL

MAHFUZ. Tapi bagi kita saat ini, misalnya pada tanggal 10 Juni

2014, Presiden itu masih berupa Rencana yang belum terzahir.

Untuk penzahiran Presiden itu, di samping diberi waktu :

• Allahpun MENGILHAMKAN kepada sekian ratus juta pendu-

duk Indonesia untuk membuat aturan-aturan dan kesepa-

katan-kesepakatan. ILHAM itu ada ILHAM FUJUR dan

adapula ILHAM TAQWA.

• Allah mengilhamkan kepada rakyat Indonesia untuk mem-

bentuk kelompok-kelompok yang telah selesai melakukan

proses Pemilu Legistaltif. Kemudian waktulah yang akan

mengantarkan orang-orang yang telah diberi ilham itu

untuk terzahir menjadi koalisi partai-partai peserta pemilu

yang akan mengusung CAPRES/CAWAPRES untuk dipilih

oleh rakyat dalam sebuah PILPRES. Allah kemudian mengil-

hamkan kepada sekian banyak orang untuk mengangkat

PRABOWO/HATTA dan JOKOWI/JK untuk menjadi Capres/

66

Cawapres yang akan dipilih dalam sebuah Pilpres nantinya.

• Pada waktunya, Allah mengilhamkan KEFUJURAN kepada

orang-orang yang takdirnya adalah untuk menjalankan

peran sebagai teman IBLIS. Allah mengilhamkan kepada

mereka cara untuk fitnah-memfitnah, mencaci-maki, ber-

bohong, dan aktifitas lain yang akan menimbulkan keka-

cauan. Lalu semua perkataan, perbuatan, dan taktik untuk

terzahirnya perilaku kefujuran itu, akan mereka lakukan

dengan sepenuh tenaga, waktu, uang, dan pikiran. Black

campaign, intimidasi, pembunuhan karakter, dan kampa-

nye negatif lainnya adalah sebuah kenicayaan saja di te-

ngah-tengah guyuran ilham fujur itu memasuki hati

mereka.

• Namun, pada waktu yang bersamaan, Allah mengilhamkan

pula tentang KETAQWAAN kepada orang-orang yang me-

mang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk menjalankan

peran sebagai orang-orang yang berteman dengan para

Malaikat. Allah mengilhamkan kepada mereka tentang

kebaikan, kejujuran, keharmonian, kebahagiaan, dan seba-

gainya. Dari pikiran mereka kemudian keluarlah perkataan,

perbuatan, dan taktik yang akan menunjukkan bahwa

mereka adalah orang-orang yang bertaqwa.

Boleh jadi pada masing-masing Capres/Cawapres itu orang

yang menjalankan kedua macam PERAN itu ada. Makanya

akan ramai sekali. Mereka tidak akan bisa keluar dari peran

yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk mereka seperti itu.

67

Dalam sebuah debat di Teve, Allah kemudian mengilhamkan

kepada masing-masing Capres/Cawapres itu untuk saling ber-

tukar kata dan kalimat. Untuk kata-kata dan kalimat-kalimat

itu ada pula RASA yang terasa oleh mereka maupun oleh pen-

dukungnya masing-masing. Sehingga mereka bisa berkata

“YES, pilihan gue banget”, atau “terpojok lu, kalah lu dengan

Capres/Cawapres gue ! Dan mereka bisa pulang ke rumah

dengan sebuah mimpi bahwa calon merekalah yang akan

menjadi Presiden/Wakil Presiden dalam waktu dekat.

Semua orang di Indonesia akan menjalankan perannya ma-

sing-masing, sesuai dengan takdirnya, dalam proses Pilpres

itu. Ada yang mendukung dan mengelu-elukan calon tertentu,

ada yang menolak dan menjelek-jelekkan calon yang lain, ada

yang masih ragu-ragu, dan ada pula yang tidak peduli dengan

proses itu. Semuanya itu akan berperilaku sesuai dengan

ILHAM yang telah diberikan oleh Allah agar mereka bisa

menjalankan tugasnya tepat pada waktunya.

Demikianlah, dalam sudut pandangan Kacamata Makrifatullah,

Mata Hati kita akan melihat bahwa apa yang sedang dialami

oleh bangsa Indonesia saat ini,

PILPRES, tak lain hanyalah sebuah Episode Kecil

saja dari sebuah Sandiwara Dzat Yang Maha

Dahsyat. Sandiwara yang dilakukan oleh Allah

terhadap sedikit dari Dzat-Nya yang sangat kecil.

68

Eposide Kecil itu hanyalah bak sebuah Pagelaran Wayang Kulit

yang pelakonnya adalah kita semua, Bangsa Indonesia. Kita

masing-masing hanyalah sebuah wayang kulit yang secara

ZAHIR terlihat bergerak, berbicara, dan beraktifitas, sesuai

dengan peran kita sendiri, di antara wayang-wayang yang

lainnya. Episode Kecil itu ramai dan riuh rendah sekali. Akan

tetapi yang bergerak, berbicara dan beraktifitas itu ternyata

adalah SANG DALANG.

Kalau kita hanyalah sebuah wayang saja, lalu SIAPAKAH SANG

DALANG, yang membuat si wayang seperti bisa berbicara,

bergerak, dan beraktifitas itu ?

Untuk mengetahui Sang Dalang ini, ada beberapa alternative

pemahaman yang tersedia :

• Pemahaman yang paling banyak

dipakai orang adalah bahwa Sang

Dalang itu adalah ALLAH sendiri. Akan

tetapi paham seperti ini akan segera

Sang Dalang

itu adalah

ALLAH sendiri

membawa kita dengan sangat cepat menuju Paham

Wahdatul Wujud. Sehingga kalau kita mengakui bahwa

Allahlah yang mengge-rakkan kita setiap saat, maka itu

sama saja dengan membawa diri kita untuk lambat laun

mengatakan bahwa Allah adalah saya, atau saya adalah

Allah. Untuk lebih memahami paham ini, silahkan lihat

kembali artikel mengenai Paham Wahdatul wujud.

69

• Ada juga yang memahami bahwa

Sang Dalang itu adalah Ruh yang

ditiupkan oleh Allah ke dalam diri

kita. Dalam paham ini, Ruh-lah yang

menyebabkan kita bisa bergerak,

melihat, mendengar, berbicara,

Sang Dalang

itu adalah Ruh

yang ditiupkan

oleh Allah ke

dalam diri kita.

merasa dan beraktifitas. Itu betul. Akan tetapi kalau kita

memakai paham ini untuk memaknai Sang Dalang, maka

kita akan kesulitan untuk memahami siapa yang mengge-

rakkan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan bintang-bintang

yang bertebaran sampai keujung langit. Masak yang men-

jadi Sang Dalang untuk diri kita BERBEDA dengan Sang Da-

lang untuk Alam semesta ? Padahal hanya ada SATU Da-

langlah yang melakukan seluruh aktivitas yang terzahir di

dalam Panggung Pagelaran Wayang Kulit itu.

Jadi dengan memahami bahwa Sang Dalang adalah Ruh, maka

dapatlah dikatakan itu masih kurang tepat. Sebab Ruh

hanyalah salah satu dari empat anasir diri kita yang terdiri dari

JASAD, NYAWA, AKAL, dan RUH. Dan keempat anasir diri kita

itu merupakan penzahiran dari DZAT-NYA yang sedikit.

Oleh sebab itu, untuk bisa memahami siapa Sang Dalang ini

dengan clear, kita harus kembali memakai Kacamata Makri-

fatullah dalam memandang Pegalaran Wayang Kulit itu. Bah-

wa HAKEKATNYA :

• Sang Dalang-lah yang bergerak, melihat, mendengar, mera-

sa, berbicara, dan beraktifitas.

70

• Sedangkan kita sebagai Sang Wayang hanyalah SIFAT-SIFAT

yang terzahir dari apa-apa yang dilakukan oleh Sang Da-

lang.

• Dan di belakang sang Dalang adalah SANG PENANGGAP.

Yaitu orang yang meminta Sang Dalang untuk memainkan

lakonan tertentu, episode tertentu, atau cuplikan tertentu

dari sebuah cerita besar Pewayangan. Sang Dalang hanya-

lah pihak yang Patuh dalam menjalankan perintah Sang Pe-

nanggap. Di belakang Sang Penanggap sudah tidak ada sia-

pa-siapa lagi.

Sang

Penanggap

Sang

Dalang

Sang

Wayang

Maka dengan begitu kita berhenti untuk berpikir lebih lanjut.

Berhenti berpikir itu namanya adalah kita telah

BERMAKRIFAT.

Jadi dengan bergerak . . .

. . . dari Sifat kepada Hakekat untuk kemudian

Bermakrifat,

. . . maka kita akan mudah untuk memahami bahwa . . .

71

. . . kita, sebagai CIPTAAN, hanyalah semata-mata

WAYANG-WAYANG yang tidak bisa berbuat apa-

apa. Tidak bisa melihat, mendengar, merasa,

berbicara, dan beraktifitas.

Benar-benar tidak bisa apa-apa. Sebab pada Hakekatnya

semua itu dilakukan oleh Sang Dalang. Lalu melalui Sang

Dalanglah mengalir semua keinginan Sang Penanggap dalam

Pagelaran Wayang itu. Sang Dalang tidak bisa bermain-main

dan keluar dari pakem yang telah ditetapkan untuknya oleh

Sang Penang-gap.

Dengan begitu, maka kita akan bisa memahami bahwa . . .

. . . Sang Dalang itu adalah DZAT-NYA Yang Sedikit,

yang terkurung oleh 70 Tirai Nur,

di dalam Lauhul Mahfuzdari Keagungan

Keseluruhan DZAT-NYA Yang Maha Indah.

Karena dari Dzat-Nya yang sedikit itulah terzahir semua

aktifitas dari semua Ciptaan. Dan Perlakuan Allah terhadap

sedikit dari Dzat-Nya itulah yang menyebabkan aktifnya semua

Ciptaan-Nya.

Cuma saja bedanya dengan Pagelaran Wayang adalah :

• Ciptaan itu (wayang-wayang) adalah Dzat-Nya yang Zahir.

72

• Dzat-Nya Yang Zahir itu berasal dari Dzat-Nya Yang Batin

(Sang Dalang), yang merupakan sedikit Dzat-Nya dari

keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah (Sang Penanggap).

Jadi . . .

. . . semua yang ada di dalam Panggung Pagelaran

Wayang itu tak lain dan tak bukan adalah

perlakuan Allah sendiri terhadap Dzat-Nya sendiri

pula yang telah dikurung-Nya

di dalam Lauhul Mahfuz.

Keadaan ini terjadi mirip seperti kita memperlakukan tangan

kita mulai dari pergelangan tangan sampai ke ujung-ujung jari.

Kita BATASI arena permainan kita hanyalah sampai sebatas

pergelangan tangan kita ke bawah saja. Kita gerak-gerakan

masing-masing jari tangan kita menjadi 5 karakter sifat yang

saling bermain-main satu sama lainnya.

Nah, mulai dari pergelangan tangan sampai

dengan ke ujung-ujung jari itulah yang bisa

disebut sebagai sedikit dari diri kita (Sang

Dalang) bila dibandingkan dengan keseluruhan diri kita (Sang

Penanggap). Sedangkan jari-jari tangan kita yang ber-gerak,

berbicara dan beraktifitas bisa kita sebut sebagai Sang

Wayang. Kita kurung jari-jari tangan itu di dalam di dalam

arena permaian yang besarnya hanya sebatas pergelangan

tangan kita saja yang boleh diartikan sebagai Lauhul Mahfuz.

73

Jari-jari tangan kita itu tidak pernah bisa mewakili diri kita

secara keseluruhan, sehingga dengan begitu dapatlah kita

umpamakan bahwa Dzat-Nya yang sedikit itupun TIDAK akan

pernah bisa mewakil Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Indah,

sehingga dengan begitu tidak akan ada Wahdatul Wujud.

Kalau sudah memahami ini, maka barulah kita akan bisa me-

mahami ayat Al Qur’an yang berbunyi :

Al Anfal (8 / 17) :

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh

mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan

bukan kamu yang melempar ketika engkau melempar, tapi

Allahlah yang melempar.”

Sebenarnya Allah-lah yang berkehendak dan beraktifitas kepa-

da semua ciptaan-Nya MELALUI Dzat-Nya yang sedikit. Sehing-

ga dari Dzat-Nya yang sedikit itulah kemudian terjadi semua

aktifitas yang dilakukan oleh semua CIPTAAN. Sehingga lidah

kitapun jadi KELU untuk MENGAKU-NGAKU.

Kita hanya menjadi Wayang,

menjadi KOSONG,

menjadi NOL.

Dengan begitu tidak akan ada Wahdatul Wujud. Bagaimana

akan menjadi Wahdatul Wujud, wong semuanya itu terjadi ha-

74

nya pada SEDIKIT dari Dzat-Nya saja kok ? Bukan pada kese-

luruhan Dzat-Nya Yang Maha Agung, Yang Maha Indah, Yang

Maha Tinggi, Yang Maha Segalanya.

Inilah pandangan MATA HATI bagi orang-orang yang sudah

tidak buta terhadap HAL atau KEADAAN yang sebenarnya (HA-

KEKAT).

Sehingga kita bisa RIDHO terhadap apa-apa yang

datang dan pergi menyinggahi kita. Artinya tidak

ada lagi PERTANYAAN-PERTANYAAN yang

terlontar dari mulut kita, yang akan menghalangi

kita untuk beriman kepada Rukun Iman yang ke-6.

Beriman TOTAL kepada Qada dan Qadar Allah tanpa reserve.

• Tidak ada lagi tanya KENAPA.

• Tidak ada juga kata SEHARUSNYA.

• Tidak ada pula kata KALAU dan ANDAIKATA.

• Yang ada hanyalah :

• Punya MATA pakailah untuk memandang,

• Punya TELINGA pakailah untuk mendengar,

• Punya TANGAN tepuk-tepuklah bertalu-talu.

• Buatlah diri TIDAK TAHU.

• Telanlah PAHIT ataupun MANIS.

• Namun MULUT tetap Diam.

• Diam tak berbicara.

• Diam tak mengeluh.

75

• Diam dalam tangis ataupun tawa.

• Diam untuk menjadi LAKON.

• Diam dalam menjalankan PERAN.

• Diam untuk menjadi PESURUH SEJATI.

Sampai di sini selesailah artikel Menengok Kilasan Sandiwara

Dzat. Insyaallah, kalau Allah mengizinkan, kita akan lanjutkan

dalam artikel lainnya yaitu “Bagaimana Kalau Kita Buta”5.

5 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-

buta-dan-tuli-bagian-1/

76

Artikel 6 :

Bagaimana Kalau (Hati) Kita Buta dan Tuli ?6

Apa yang akan terjadi kalau . . .

. . . kita tidak berhasil berada dalam posisi sebuah

Wayang terhadap Dalang,

. . . yang dalam Kacamata Makrifatullah adalah SERUPA

dengan posisi Semua Ciptaan terhadap Perlakuan dan Per-

buatan Allah terhadap sedikit dari Dzat-Nya ?

Jawabannya adalah . . .

. . . kita akan berada pada sebuah keadaan yang

membuat kita identik dengan

orang yang BUTA dan sekaligus TULI.

Karena kita tidak mampu untuk untuk memandang dan men-

dengarkan KEBENARAN yang sebenar-benarnya Kebenaran

atau HAKIKAT.

Kita hanya akan bermain di tataran SIFAT saja.

6 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-

buta-dan-tuli-bagian-1/

77

Kalau kita selalu bercerita hanya tentang sifat dan sifat saja,

maka artinya kita hanya akan bercerita tentang semua alam

ciptaan ini dengan hanya memakai SETENGAH dari diri kita

sendiri, yaitu diri kita dari sisi LAHIRIAH saja. Kita hanya akan

bercerita tentang apa-apa yang bisa kita telisik dengan Panca

Indera kita saja. Makanya yang akan ketemu oleh kita adalah

istilah-istilah :

• EVOLUSI,

• Materi dan Energi,

• dualitas Partikel dan Gelombang,

dengan perilaku dan sifat-sifatnya masing-masing yang keli-

hatan bak Lautan Kemungkinan saja.

Dengan hanya memakai setengah diri kita seperti itu,

. . . kita akan luput untuk memahami tentang

SANG PENYEBAB dari terzahirnya

semua sifat-sifat itu, . . .

. . . yang alangkah sempurnanya. Saking sempurnanya Sang

Penyebab itu berbuat dan berperilaku, sehingga . . .

. . . kita seakan-akan bisa

melupakan-Nya sama sekali.

Sang Penyebab telah menirai Diri-Nya dengan sangat sempur-

na melalui tirai sifat-sifat-Nya yang terzahir pada semua

78

ciptaan-Nya.

Kita lalu akan melihat bahwa . . .

. . . semua tumbuhan, binatang, dan manusia

seakan-akan berevolusi dengan sendirinya . . .

. . . untuk menyesuaikan dirinya terhadap tantangan-tantang-

an yang diberikan oleh alam pada waktu-waktu tertentu.

Pemikiran seperti inilah yang coba diformulasikan oleh DAR-

WIN, yang terkenal dengan TEORI EVOLUSI-nya. Sehingga kita

diajak oleh Darwin untuk tidak

malu-malu mengatakan bahwa kita

ini adalah keturunan MONYET yang

telah berevolusi menjadi MA-

NUSIA. Sementara monyetnya sen-

diri masih ada dan hidup berdam-

pingan di hutan sebelah kita.

Begitu juga kalau kita melihat tingkah polah :

• Materi dan Energi,

• Dualitas cahaya dalam bentuk Partikel dan Gelombang,

• Bintang-bintang dengan garis edarnya,

• dan lain-lain sebagainya,

semuanya seperti menari dan berlenggang lenggok dengan

sendirinya di depan mata kita membentuk keindahan yang sa-

ngat mencengangkan. Dan sekali lagi kita akan melupakan

Sang Penyebab dari semua kejadian dan peristiwa itu. Kitapun

79

telah menjadi orang yang materialisitis.

Sebab hanya dan hanya dengan memakai setengah diri kita

yang lainnya sajalah kita akan bisa memandang dengan utuh

tentang Sang Penyebab dari terzahirnya semua sifat-sifat itu.

Dan setengah diri kita itu adalah diri kita yang bersifat

RUHANI, yaitu AKAL atau HATI.

Kalau Akal / Hati kita ini tidak hidup, MATI,

maka kita dikatakan sebagai

orang yang Buta dan Tuli secara hakiki.

Ya… kita seketika itu juga akan berubah menjadi orang yang

BUTA dan TULI. Tapi yang buta itu bukanlah mata kita, dan

yang tuli itu bukan pula telinga kita.

Yang buta dan tuli itu adalah HATI/AKAL kita.

Sebab, walaupun mata kita masih bisa melihat, telinga kita

masih bisa mendengar, tapi hati/akal kita tetap tertutup mati

(tercover) untuk memandang alam HAKIKAT dan MAKRIFAT.

Sehingga tatkala kita berkata-kata

kepada orang lain, kita seperti si bisu

dan si buta yang sedang bercerita

tentang BESARNYA seekor GAJAH de-

ngan hanya memegang ekor gajah,

atau belalainya, atau kupingnya, atau

80

kakinya saja. Tepatnya, kita akan terjerembab untuk selalu

bercerita tentang segala hal tentang SIFAT-SIFAT.

Padahal . . .

. . . kalau kita buta, tuli, dan bisu selama kita

hidup di dunia ini, maka seperti itu pulalah kita

akan hidup kelak di akherat.

Buta, tuli, dan bisu di dunia saja sangatlah tidak enak, apalagi

kalau buta, tuli dan bisu itu terjadi di akhirat kelak. Sungguh

tak terbayangkan sengsaranya.

Sebab . . .

. . . kalau kita jadi SI BUTA di dunia ini, maka

kita akan segera ditangkap dan disandera

oleh berbagai SIFAT

yang ingin menjadikan dirinya sebagai diri kita.

Sifat-sifat itu, apa saja, akan memaksa kita untuk berkata

“aku” kepada siapapun, saat kapanpun, di manapun kita ber-

ada, dan ke manapun kita pergi.

Sifat-sifat itu menyelinap masuk ke dalam otak kita melalui

mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit kita. SEKALI sifat-sifat itu

masuk ke dalam PIKIRAN kita, maka ia akan menetap di sana

membentuk PINTU-PINTU INGATAN yang akan selalu melam-

81

bai-lambai kepada kita untuk kita buka dan masuki di lain

waktu.

Begitu pintu ingatan terhadap sebuah SIFAT kita buka dan kita

masuki, maka ingatan kita akan dipe-

gang dengan sangat kuat oleh sifat itu.

Ingatan kita akan terikat seperti seekor

ikan yang terikat pada sebilah mata

pancing. Semakin kita menggeliat dan

melawan untuk melupakan sifat itu, kita malah akan semakin

tersangkut erat dalam cengkraman sifat itu.

• Kadangkala kita dipaksa oleh sifat itu untuk merasakan

sakit dan capek yang sangat luar biasa.

• Namun di lain waktu kita diiming-imingi oleh sifat itu

dengan rasa nikmat, senang, dan bahagia.

Sampai akhirnya kita akan mengikuti apa saja maunya sifat itu

terhadap diri kita. Lalu hari-hari kita akan disibukkan untuk

membesar-besarkan sifat itu. Kita puja, kita jajakan, kita

sebut-sebut kehebatan sifat itu dengan harapan orang lain

juga mau mengingat-ingat sifat itu setiap saat, seperti yang

kita lakukan.

Karena hati kita buta dan tuli, maka kita akan diperlihatkan

bahwa sifat itu seperti punya KUASA. Sifat itu kita anggap bisa

menentukan masa depan kita. Contoh yang sangat populer

saat ini, tentang kuasa sifat ini, adalah . . .

82

. . . anggapan segelintir orang bahwa GETARAN

atau VIBRASI PIKIRAN dan PERASAAN yang kita

pancarkan bisa mempengaruhi MASA DEPAN

yang akan kita alami dan lalui.

Pertanyaannya nanti adalah bagaimana posisi dari Rukun Iman

yang keenam, percaya kepada takdir baik dan buruk yang

berasal dari Allah. Sebab kalau kita bisa menentukan takdir

dan nasib kita, maka kita sebenarnya telah menciptakan

Rukun Iman yang ketujuh, yaitu kita bebas mengatur masa

depan kita dengan mengatur-atur vibrasi atau getaran yang

berasal dari pengaturan pikiran kita.

Dengan berbagai cara, kita akan diperlihatkan bahwa seakan-

akan vibrasi pikiran dan perasaan (emosi) yang kita pancarkan

akan bisa mempengaruhi perolehan kita di masa depan. Maka

kita akan diperkenalkan dengan konsep POWER dan FORCE ala

David R. Hawkins yang memang sedang mendunia.

Bahwa kalau kalau kita bisa menggunakan

getaran pikiran dan emosi

dengan energi tingkat tinggi, maka kita disebut

sedang menggunakan POWER.

Sebaliknya kalau kita lebih banyak menggunakan

getaran pikiran dan emosi energi tingkat rendah,

83

kita disebut sedang menggunakan FORCE.

• Kalau kita lebih banyak mengalami emosi negatif seperti

rasa minder, rasa bersalah, ketakutan dan depresi, marah

dan sombong, maka kita disebut . . .

. . . orang yang sedang menggunakan getaran

pikiran dan perasaan pada level FORCE dalam

menjalani kehidupan kita.

Hati kita digambarkan sebagai hati yang sempit dan sedang

sakit.

• Sebaliknya kalau kita bisa meningkatkan getaran pikiran

dan perasaan kita sampai ketahapan emosi positif seperti

kerelaan, penerimaan, cinta kasih, suka cita, kedamaian,

apalagi sampai ketahap mendapatkan pencerahan, maka

kita disebut . . .

. . . sedang berada pada wilayah getaran pikiran

dan perasaan pada level POWER.

Di mana keadaan hati kita saat itu digambarkan sebagai

hati yang lapang dan sehat.

Sebenarnya keadaan level perasaan atau emosi kita dalam

istilah Power dan Force ini tidak ada yang baru sama sekali.

84

Dari dulu ya begitu-begitu juga adanya. Dalam bahasa agama

Islam bisa dipadankan dengan istilah :

• Taqwa untuk Power dan

• Fujur untuk Force.

Yang dibicarakan adalah SYMPTON atau GEJALA-GEJALA apa

yang ada di dalam perasaan kita ketika pikiran atau hati kita

tengah berhadapan dengan sebuah objek pikir tertentu. De-

ngan mengetahui sympton itu, kita seperti sudah bisa mera-

malkan atau memperkirakan bagaimana arah jalan kehidupan

yang akan kita jalani esok-esok hari, ketika sympton tersebut

sedang ada di dalam diri kita. Jadi dengan begitu kita sedang

memperbincangkan masalah umat manusia sepanjang masa

saja sebenarnya.

Masalah utama kitakan bukan terletak pada pengenalan symp-

ton-sympton itu. Hampir semua orang, baik yang beragama

ataupun bukan, sudah tahu dengan sympton-sympton itu.

Akan tetapi . . .

. . . bagaimana caranya agar kita bisa keluar dari

hidup dalam keadaan sympton Force atau Fujur

itu untuk kemudian bisa masuk ke dalam hidup

dengan keadaan sympton Power atau Taqwa.

Inilah yang telah menjadi pencarian panjang umat manusia

sepanjang zaman.

Hanya saja karena kebanyakan kita saat ini benar-benar se-

85

dang Barat-Minded, ditambah lagi dengan telah terjadinya

distorsi yang sangat hebat dalam pengajaran agama-agama,

terutama agama Islam yang notabene adalah agama yang sa-

ngat mutakhir, maka hampir saja praktek-praktek ibadah da-

lam agama Islam ditinggalkan oleh banyak umat islam sendiri.

Begitu juga sebenarnya yang terjadi dengan ibadah-ibadah

pada umat agama yang lainnya, tak terkecuali.

Banyak juga orang sekarang yang

sedang berbondong-bondong

mengikuti gerak langkah pemikir-

an tentang getaran Power, getaran

Force, NLP, Hypnotis dan Hypno-

terapi, serta beberapa varian pe-

mikiran lainnya. Walaupun nama-

nya berbeda-beda, namun ada sa-

tu kesamaan di dalam prakteknya, yaitu . . .

. . . semuanya berkenaan dengan bagaimana kita

mengelola cara berpikir kita dengan mengubah-

ubah OBJEK PIKIR kita, baik dengan usaha kita

sendiri ataupun dengan bantuan orang lain,

sehingga EMOSI kita juga bisa berubah-ubah

sesuai dengan Rasa dari Objek Pikir

yang sedang kita pikirkan itu.

Kalau tadinya emosi kita hanya berganti-ganti dari satu emosi

86

negatif ke emosi negatif lainnya saja, seperti rasa minder, lalu

ke rasa bersalah, kemudian ke ketakutan dan depresi, lalu ke

marah dan sombong, setelah kita mengubah objek pikir kita

kepada sebuah Objek Pikir yang bisa memberikan kita rasa te-

nang dan bahagia, maka emosi kita akan bisa ikut-ikutan ber-

ubah menjadi emosi positif seperti kerelaan, penerimaan, cin-

ta kasih, suka cita, kedamaian, bahkan sampai kita merasa

mendapatkan pencerahan.

Jadi di sinilah menurut mereka kunci untuk mendapatkan per-

ubahan-perubahan emosi kita itu, yaitu cukup hanya dengan

cara mengubah-ubah objek pikir kita dari satu objek pikir ke-

pada objek pikir yang lainnya, sehingga kita seperti bisa mene-

mukan takdir kita sendiri yang katanya seperti lautan kemung-

kinan atau lautan kira-kira. Ah… masak sih Allah Yang Maha

Bijaksana, Maha Hebat hanya mempunyai kekuatan sebatas

kemungkinan atau kira-kira, yang akhirnya . . .

. . . akan sangat tergantung dari usaha kita atau

pola pikiran kita ?

Ya ndaklah ! Insyaallah hal ini akan kita bahas lebih dalam

dalam artikel “Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher7”,

mohon bersabar.

7 http://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-

terpasang-dileher/

87

Misalnya, ketika objek pikir kita adalah masalah-masalah yang

sedang kita hadapi, yang menyebabkan kita dilanda oleh emo-

si negatif, untuk mengubahnya, kita cukup hanya mengubah

objek pikir kita kepada sesuatu yang pernah menggembirakan

dan menyenangkan kita. Dan benar saja, tidak lama kemudian

emosi kita seperti bisa berubah menjadi emosi positif. Kalau

objek pikir kita itu pernah membuat kita bahagia, maka kita

seperti bisa kembali merasakan rasa

bahagia itu. Kalau objek pikir itu suatu

saat dahulu pernah membawa kita

kepada kete-nangan, maka kitapun

seperti dapat kembali merasakan kete-

nangan itu dengan hanya mengingat

objek pikir itu kembali di saat ini. Wa-laupun kadarnya

mungkin sedikit lebih rendah dari ketenangan yang kita ra-

sakan sebelumnya.

Untuk mencapai keadaan seperti itu, nyaris sama sekali tidak

membutuhkan hal-hal yang berkenaan dengan praktek-prak-

tek agama islam yang kita anut, atau agama apapun juga.

Tidak perlu juga menyebut-nyebut nama Allah sekalipun. Bah-

kan menyebut nama Allah atau tidak, keadaannya akan sama

saja. Ini yang aneh !

Seakan-akan dampak dari agama Islam yang kita

anut ini sedikit sekali, kalau tidak mau dikatakan

tidak ada sama sekali.

88

Ini yang sangat mengkhawatirkan sebenarnya.

Hanya saja untuk menimbulkan kesan bahwa kita adalah

orang yang beragama sejak kecil, maka muncullah pencam-

puradukan praktek-praktek agama dengan praktek-praktek

non-agama seperti menggabungkan SHALAT dengan TAICHI,

sehingga shalat kitapun berubah menjadi shalat yang lemah

gemulai seperti sedang berlatih taichi. Lalu saat shalat itu kita

sedang MENGINGAT SIAPA ? Mengingat GETARAN atau aliran

energi taichikah atau mengingat Allahkah ?

Bisa pula kita bermain-main dengan getaran (vibrasi) dari ber-

bagai objek pikir yang sedang kita pikirkan. Kita cukup memi-

kirkan sebuah objek pikir tertentu, baik itu gambar, konsep,

angka, tulisan, huruf, kata-kata, warna,

atau bisa pula kita masuk ke dalam spek-

trum suara atau bunyi tertentu dengan

cara kita mendengarkannya disertai se-

buah NIAT atau keyakinan kita bahwa itu

adalah bermanfaat, maka otak kita akan

meresponnya dengan sangat menakjub-

kan. Kita akan merasakan bahwa semua permainan itu adalah

sebuah KENYATAAN. Real dan terasa ada. Sekeresi hormon-

hormon kita akan terpengaruh, bentuk dari butiran-butiran

darah kita juga berubah-ubah, yang menyebabkan kita bisa

berayun dari satu perasaan ke perasaan yang lainnya.

Permainan seperti inilah memang yang sedang menggejala di

seluruh dunia. Sebutlah apa saja, seperti :

89

• Hipnosis dan Hipnoterapi.

• NLP.

• Ho’oponopono.

• Sedona Method.

• Quantum macam-macam.

• Berbagai macam zikir (wirid).

• Ketawa-ketiwi, lompat-lompat,

goyang-goyang, angguk-angguk,

geleng-geleng.

• Tarik ulur nafas (termasuk zikir

nafas), meditasi cakra.

• Meditasi penelurusan getaran-getaran di dalam tubuh

sendiri maupun di alam sekitar.

• Pengolahan energi, aura, tenaga dalam.

• Jimat-jimat, wafak-wafak, rajah, dan sebagainya.

Sangat banyak sekali, sebanyak apa saja yang BISA dan PER-

NAH kita pikirkan, lihat dan bayangkan, rasakan, dan dengar-

kan. Atau dengan sebuah kata yang sederhana “Apa-apa yang

bisa kita INGAT (REMEMBER, DZIKR).”

Tapi, adakah pengaruhnya ? Ada !

Pengaruhnya untuk ketenangan pikiran dan

perasaan akan terjadi dengan sangat meyakinkan.

90

Ada menangisnya, ada rasa nyaman, ada rasa

bahagia, ada rasa tenang, dan

ada pula ilmu-ilmu yang luar biasa

yang membuat hati kita terasa berbunga-bunga.

Seringkali ujung-unjungnya adalah hal-hal yang berhubungan

dengan alam metafisika dan kesehatan yang katanya adalah

pengobatan secara alaternatif, atau bahasa kerennya pengo-

batan dan olah ilmu secara spiritual. Sangat mengasyikkan

sekali. Tentu saja juga ada rasa marahnya, rasa militansinya,

rasa heroiknya, dan emosi-emosi lainnya.

Dan karena ada pengaruh seperti inilah yang menyebab-

kan . . .

. . . kita mengira bahwa apa yang kita lakukan

adalah BENAR adanya.

Apalagi kalau itu sudah kita tambah-tambahi dengan berbagai

terminologi agama, potongan-potongan ayat Al Qur’an dan Al

Hadist, atau dengan hanya sekedar bahasa arab tertentu, kita

akan terlihat semakin agamis dan meyakinkan. Lalu kita akan

tetap berada dalam keyakinan kita itu sampai ada hal-hal lain

yang lebih baik kita temukan selama dalam perjalanan hidup

kita. Dan tentu saja itu sangat ramai dan riuh rendah sekali.

Sejak lahir sampai dengan saat sekarang, kita telah menumpuk

91

dan membangun berbagai macam ingatan dari berbagai ma-

cam objek pikir. Ingatan itu akan tersimpan dengan baik di

dalam pusat ingatan kita. Tumpukan dan bangunan ingatan

kita itu akan selalu bertambah sampai dengan saat kita kelak

meninggal dunia. Setiap ingatan itu akan mempunyai rasa

masing-masing. Jadi kita bisa merasakan sesuatu RASA yang

berbeda ketika kita mengingat sebuah objek pikir dibandingan

dengan objek pikir yang lainnya.

Rasa-rasa, atau emosi itu bisa dibedakan menjadi 6 bentuk

dasar, yaitu :

• Bahagia (happiness),

• Sedih (sadness),

• Takut (fear),

• Marah (angger),

• Kaget atau heran (surprise), dan

• Jijik (disgust).

Pada suatu saat, kita bisa merasakan salah satu dari rasa-rasa

itu, atau bisa pula gabungan dari dua rasa-rasa dasar itu

sekaligus, misalnya heran dan sekaligus bahagia, Jijik dan

sekaligus Takut. Kalau kita tidak bisa merasakan rasa-rasa di

atas, maka kita disebut sebagai orang yang bermuka datar

(neutral).

Yang menarik tentang ingatan ini adalah, bahwa kita bisa

kembali mengingat-ingat berbagai ingatan itu di lain waktu,

dan sekaligus kita bisa pula merasakan kembali RASA dari

ingatan itu. Caranya hanya sederhana saja, yaitu kita masuk

92

kembali ke dalam ingatan itu melalui Pintu Ingatan yang di

dalamnya ada objek pikir yang bisa kita ingat (remember,

dzikiri). Jadi setiap kita mengubah ingatan kita tentang sebuah

objek pikir, maka sekaligus kita bisa pula mengubah rasa yang

kita rasakan.

Kalau kita tertahan (binding) pada sebuah ingatan, yang tentu

saja berhubungan dengan sebuah objek pikir tertentu, dalam

waktu yang lama, maka kita juga pasti akan terpenjara dalam

waktu yang lama di dalam emosi atau rasa dari ingatan kita

itu. Misalnya :

• Ketika kita ingin bertahan dalam waktu yang lama dalam

ingatan tentang objek pikir yang menimbulkan emosi

positif (senang dan bahagia), maka kita disebut sedang

MENCINTAI objek pikir itu.

• Sebaliknya ketika kita tertahan cukup lama dalam meng-

ingat sebuah objek pikir yang menimbulkan emosi negatif

(sedih, takut, marah, dan jijik), maka kita disebut sedang

MEMBENCI objek pikir itu. Membenci dalam waktu yang

lama itu bisa disebut juga sebagai TRAUMA.

Sedangkan emosi yang menyebabkan kita merasa surprise

(heran, kaget), adalah bentuk emosi yang bisa memperkuat

emosi positif ataupun emosi negatif yang sedang kita rasakan.

Misalnya, ketika kita sedang merasa bahagia saat kita meng-

ingat sebuah objek pikir dan kemudian kita diberikan ha-diah-

hadiah yang mengagetkan kita, maka kita bisa mencintai objek

pikir kita itu lebih dari rasa cinta kita yang sebelum-sebelum-

93

nya. Kaget itu juga bisa memperkuat rasa benci kita terhadap

sebuah objek pikir yang sedang kita pikirkan, sehingga kita

semakin trauma dengan objek pikir kita itu.

Hal yang sederhana begini lalu menjadi sangat beragam dan

rumit ketika kita mencoba membahasnya dengan teori-teori

psikologi yang memang penuh tafsiran subjektif, sehingga

lahirlah berbagai ilmu seperti yang telah disebutkan di atas.

Padahal intinya hanyalah . . .

. . . bagaimana agar kita bisa keluar dari emosi

negatif akibat kita sedang memikirkan sebuah

objek pikir tertentu untuk kemudian berubah

sehingga kita bisa merasakan emosi positif.

Objek pikir yang kita ingat itu bisa bermacam-macam, mulai

dari keluarga kita (anak, istri, bapak, ibu, saudara), sampai

kepada benda-benda kepemilikan kita yang lainnya, seperti :

harta, ilmu, jabatan, emas dan perak, dan sebaginya. Dan kita

ingin agar semua objek pikir kepemilikan kita itu menjadikan

kita merasa senang dan bahagia. Kalaupun suatu ketika kita

merasakan emosi negatif terhadap objek pikir itu, kita ingin

agar emosi negatif kita itu berubah men-jadi emosi positif.

Misalnya, dengan mengingat seekor ku-cing, apalagi kalau

berdekatan langsung dengan kucing tersebut, kita merasa

takut atau jijik. Kita terlihat seperti membenci atau bahkan

trauma kepada kucing tersebut. Karena emosi negatif itu

94

sangat melelahkan, ma-ka kita ingin agar

ketika kita melihat ku-cing atau

mengingat kucing itu, kita bisa merasa

senang. Jadi objek pikirnya masih tetap

sama, yaitu kucing, akan tetapi pe-rasaan

atau emosi yang kita rasakan bisa berubah dari takut dan jijik

menjadi senang.

Nah, khan bagaimana cara merubah perasaan atau emosi kita

terhadap sebuah objek pikir ini saja yang menjadi masalah kita

saat ini sebenarnya. Dan ini ternyata bisa menjadi ladang bis-

nis yang sangat menggiurkan, sehingga bermunculan berbagai

terapi dan ilmu-ilmu yang larisnya bak kacang goreng.

Salah satu ilmu yang sering dipakai orang adalah melalui . . .

. . . teknik mengubah-ubah objek pikir kita,

ditambah dengan memberikan suatu stimulasi

tertentu pada bagian tubuh kita yang tertentu,

yang bisa disebut sebagai ANCHOR (jangkar) dari

perasaan yang kita miliki.

Misalnya, kalau kita takut atau jijik

kepada kucing maka kita bisa mengubah

perasaan takut kita kepada kucing itu

menjadi senang dengan cara mem-

permainmain-kan otak kita. Sebab ternyata otak kita ini

95

memang sangat mudah dan senang dipermainkan. Kita ber-

main-main atau kejadian betulan tentang sebuah objek pikir

tidaklah terlalu masalah bagi otak kita. Otak kita akan meres-

ponnya nyaris SAMA saja, yaitu dengan menksekresikan hor-

mon yang sama antara main-main atau kejadian betulan itu.

Yang pen-ting objek pikirnya harus sama.

Kita bisa melakukannya dengan mengingat kucing di satu saat,

dan di waktu yang lain kita meng-ingat satu objek pikir lainnya

yang bisa membuat kita merasa senang atau lucu. Kita lakukan

itu secara bergantian. Dua objek pikir yang berbeda itu harus

kita jangkarkan dengan dua bagian tertentu dari tubuh kita.

Yang paling mudah adalah kedua tangan kita, atau bisa pula

titik-titik lainnya, yang biasa dipakai da-

lam terapi EFT atau SEFT (setelah ditam-

bah dengan embel-embel agama).

Dalam permainan otak ini sebenarnya ki-

ta tidak perlu menghipnosis orang yang

akan kita ubah rasa traumanya. Hipnosis itukan hanya untuk

memfokuskan dia kepada sebuah objek pikir saja pada satu

saat, sehingga kita lebih mudah untuk menggiring objek

pikirnya sesuka hati kita.

Setelah dia fokus dengan sebuah objek pikir, ataupun dia ber-

ada dalam pengaruh hipnotis kita, maka mulailah kita jangkar

ingatannya kepada kucing yang menimbulkan rasa takut dan

jijik itu dengan tangan kanannya. Setiap kali kita ingatkan

dengan kucing, dia akan memberikan respon ketakutan. Lalu

96

kita asosiasikan ingatannya akan kucing dan rasa takutnya

yang muncul itu dengan menjangkar di ta-ngan kanannya. Jadi

ingatan kepada kucing, rasa takut dan gerakan tangan ta-ngan

kanan yang berfungsi sebagai jang-kar itu telah membentuk

sebuah kesatuan di dalam memorinya.

Kemudian kita minta dia mengubah rasa atau emosinya men-

jadi emosi enak, nyaman, atau bisa pula

aneh dan lucu, de-ngan cara ia kita

menyuruhnya untuk mengingat sesuatu

yang membawanya bisa merasa enak atau

lucu, yang mem-buat dia bisa tersenyum

atau tertawa. Lebih baik dia sendiri yang

menentukan objek pikirnya itu. Misalnya

dia merasa lucu dengan kareakter film UPIN dan IPIN. Lalu kita

minta dia mengingat UPIN dan IPIN, ketika itu pasti dia akan

tersenyum atau me-rasa lucu.

Kemudian ingatan UPIN-IPIN dan

rasa lucunya itu kita aso-siasikan

dengan tangan kirinya. Jadi ingatan

UPIN-IPIN dan rasa lucunya itu

sudah terjangkar di tangan kiri-nya.

Sekarang dengan beberapa kali

permainan dan pemindahan objek pikir dan jangkar itu,

dengan sedikit kejutan, kita ubah atau balikkan jangkar dari

objek pikir semula. Tiba-tiba kita ubah jangkar ingatan kucing,

yang tadinya di tangan kanan, menjadi di tangan kirinya, dan

97

jangkar ingatan kepada UPIN dan IPIN di tangan kanannya.

Lalu kita kembali melakukan pengulangan-pengulangan de-

ngan mengangkat dan menurunkan tangan kirinya yang tadi-

nya adalah jangkar untuk rasa enak, aneh, dan lucu (jangkar

untuk ingatan UPIN dan IPIN). Akan tetapi sekarang tangan

kirinya itu sudah kita balikkan menjadi jangkar untuk ingatan

kepada kucing. Dan di sinilah anehnya otak ini. Ia akan bisa

kita tipu. Ketika ia kita ingatkan kepada kucing, tetapi yang

kita angkat adalah tangan kirinya, yang terasosiasi dengan rasa

enak, aneh dan lucu, maka rasa yang dia rasakan sekarang

telah berubah menjadi rasa enak, aneh, dan lucu. Jadi setiap

kita ingatkan dengan kucing, maka sekarang ia akan merasa

enak, aneh, atau lucu. Proses itu bisa kita ulang-ulang bebe-

rapa kali, sehingga perubahan itu bisa menetap. Lalu kita su-

ruh dia buka mata, dan insyaallah kalau ada kucing didekatnya

saat itu, rasa takut atau traumanya bisa berkurang, atau

bahkan hilang sama sekali.

Ini baru satu cara, masih banyak cara-cara lain yang bisa kita

pakai kok. Inikan hanya proses psikologi biasa saja sebenarnya,

atau bisa meningkat sedikit kepada psikologi transpersonal.

Khan ini yang banyak ditawarkan oleh para ahlinya sekarang

ini kepada semua lapisan masyarakat. Dan, karena hasilnya

seperti bombastis begitu, ditambah penayangan yang masif di

program televisi-televisi, maka seakan-akan . . .

98

. . . pamornya jauh mengalahkan

DO’A dan SHALAT,

yang keduanya dilaksanakan dalam keadaan

INGAT ALLAH (Dzikrullah), sebagai sarana dan cara

kita untuk

meminta pertolongan kepada Allah

sesuai dengan tuntunan Al Qur’an.

Kalaupun ada do’a-do’a dan ayat-ayat Al Qur’an yang dibaca-

kan saat proses terapinya, itupun tak lebih dari PEMANIS KATA

saja kok. Karena objek INGATANNYA tidak ada perubahan apa-

apa, bukan kepada Allah.

Dan penghancuran keunggulan do’a dan shalat yang lebih

dahsyat adalah adanya istilah-istilah yang selalu didengung-

dengungkan orang bahwa : ini metoda xyz modern kok, tidak

ada ada hubungannya dengan agama, bukan magic dan bukan

sihir, semua orang bisa, ini adalah murni kekuatan pikiran,

tidak ada hubungan dengan syetan dan jin. Kalaupun ada

disentuhkan dengan do’a dan shalat tapi itu hanyalah prioritas

nomor sekian saja dari bawah, alias tidak begitu penting.

Sehingga . . .

. . . ketika punya masalah,

99

kita umat Islam sudah sangat

jarang yang melakukan

shalat sunnah dan berdo’a

secara pribadi kepada Allah,

kecuali untuk hal yang wajib-wajib dan

beberapa yang sunah-sunah saja.

Makanya yang ramai adalah acara-acara :

• pengajian,

• dzikir massal,

• shalawatan ramai-ramai,

• terapi-terapian,

• ngaji sambil curhat-curhatan, dan

• ngaji sambil lawak-lawakan, dan

• tentu saja seminar dan pelatihan ilmu-ilmu yang katanya

modern seperti di atas.

Karena memang pada hal-hal yang demikian itu ada rasanya,

dan seperti ada pula pengaruhnya bagi kita menuju kepada

hal-hal yang lebih baik, lalu kita menganggapnya sudah benar.

Dan kitapun bertahan di sana.

Akibatnya yang tidak kita sadari adalah, bahwa . . .

. . . kita BISA INGAT kepada berbagai objek pikir

dengan sangat mudahnya, dan kita bisa pula

100

mengubah-ubah emosi kita dengan hanya

mengubah-ubah objek pikir kita itu.

Akan tetapi kita nyaris AMNESIA dan DIMENSIA

(lupa ingatan) ketika kita ingin

MENGINGAT ALLAH (DZIKRULLAH).

Ya,

. . . kita LUPA

tentang

bagaimana caranya agar kita bisa untuk

mengingat Allah

saat berdo’a maupun ketika shalat.

Nantinya, amnesia dan dimensia kepada Allah inilah yang

menjadi ciri utama dari hati kita yang telah buta dan tuli

kepada Allah.

Boleh dikatakan lupa dan tidak ingat kepada Allah ini telah

menjadi penyakit kronis bagi umat islam sejak lebih dari 1400

tahun yang lalu. Empat abad setelah Rasulullah wafat, umat

islam mulai LUPA cara-cara untuk MENGINGAT Allah. Sejak itu

muncullah cara-cara baru dalam mengingat Allah yang

katanya :

• Harus melalui hati atau jantung kita yang terletak di dalam

101

dada kita. Untuk itu kita juga harus mencari MURSYID yang

akan mengajari kita. Kalau tidak pakai Mursyid, jangan

harap kita akan bisa melakukannya.

• Sebagian lagi mengatakan bahwa mengingat Allah itu baru

bisa kita lakukan melalui detak jantung kita yang dalam hal

ini ada yang menyebutnya sebagai Lathaif Qalb.

Dan satu hal yang pasti bahwa semua cara-cara baru itu

alangkah sulitnya, kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin

bagi kita untuk bisa mengingat Allah dengan mudah.

Karena kita amnesia dan dimensia kepada Allah,

• walaupun nama Allah kita sebut-sebut dalam shalat dan

do’a kita,

• bahkan kita wiridkan pula sampai ribuan bahkan ratusan

ribu kali,

• tapi kita tetap TIDAK bisa lagi mengingati Allah, kecuali

hanya SEDIKIT sekali.

Kendatipun sudah kita latih dan olah dengan berbagai metoda

modern terkini sekalipun, amnesia dan dimensia kita kepada

Allah itu nampaknya masih saja belum bisa terobati.

Yang kita dapatkan dalam latihan-latihan itu hanyalah SEKE-

DAR SUNATULLAH tentang hubungan kerja antara otak atau

PIKIRAN dan PERASAAN kita saja. Bahwa kalau kita ingat akan

sesuatu objek pikir, maka objek pikir itu akan menimbulkan

rasa tertentu bagi kita. Hubungan fitrah antara pikiran dan

emosi saja sebenarnya. Bahwa kalau kita mengubah objek

102

pikir yang kita pikirkan, maka rasa kitapun akan ikut berubah

pula mengikuti rasa dari objek pikir kita itu. Karena ada rasa

dan hasilnya, maka kita menganggap bahwa kita sudah berada

pada jalur yang benar. Apalagi kalau dalam melaksanakannya

kita sudah menukuk-menambahinya dengan berbagai ayat-

ayat Al Qur’an dan Al Hadist. Kita menjadi semakin sumringah

dan mantap dengan cara kita itu.

Akan tetapi, tanpa kita sadari,

. . . kita telah kehilangan sebuah fitrah tertinggi

yang diberikan oleh Allah khusus kepada umat

manusia, yaitu fitrah untuk merasakan

KETERHUBUNGAN kita dengan Allah.

Rasa terhubung itu melebihi rasa keterhubungan kita dengan

orang tua kita, terutama dengan ibu kita. Sebab secara fitrah

kita semua memang butuh SATU alamat tertinggi untuk men-

jadi tempat kita bersandar ketika kita mempunyai masalah,

maupun tempat kita menumpahkan segala kegembiraan yang

kita rasakan. Sebesar dan serumit apapun masalah yang

muncul di hadapan kita, atau sebesar apapun kegembiran

meluap-luap yang kita rasakan, ketika kita berucap “Innalillahi

wa inna ilaihi raji’uun”, maka sangat terasa sekali kita seperti

terbebas dari masalah ataupun kegembiraan tersebut.

103

Permasalahan dan kegembiraan kita itu seperti

diambil kembali oleh Allah, sehingga beban kita

seketika itu juga menjadi hilang lenyap tak

berbekas.

Betapa tidak, masalah-masalah yang kita hadapi ataupun ke-

beruntungan yang kita dapatkan itu tak lain dan tak bukan

hanyalah bentuk penzahiran dari ketetapan-ketetapan dan

takdir-takdir Allah saja terhadap sedikit Dzat-Nya. Sementara

kita sendiri juga adalah penzahiran dari sedikit Dzat-Nya pula.

Takdir dan ketetapan itu telah ditetapkan oleh Allah semenjak

sabda “KUN” untuk pertama kalinya tersabda. Jauh sebelum

semua ciptaan terzahir dari sedikit Dzat-Nya Yang Batin.

Dengan begitu, maka kita telah terbebas dari segala sebab dan

penyebab, kita terbebas dari segala akibat dan pertanggung-

jawaban. Kita tidak lagi punya pengakuan-pengakuan. Karena

saat itu kita sudah menyadari bahwa kita adalah TIDAK

WUJUD. Yang Wujud adalah DZAT ALLAH YANG SEDIKIT yang

TERKURUNG di dalam Lauhul Mahfuz, yang menjadi HAKIKAT

dari semua CIPTAAN. Dzat-Nya yang sedikit, yang semata pa-

tuh dan tunduk kepada segala KEHENDAK, KETETAPAN, TAK-

DIR dari KESELURUHAN DZAT ALLAH Yang Maha Indah dan

Maha Suci dari segala persepsi dan prasangka kita.

Jadi, dalam hal ini, Allah telah berhasil kita dudukkan pada

Posisi-Nya yang sebenarnya. Bahwa Dialah alamat terakhir

104

bagi kita untuk mengembalikan semua permasalahan ataupun

keberuntungan yang kita lalui ataupun kita dapatkan setiap

saat. Bukan alamat yang lain.

Sebab kalau tidak begitu,

. . . kita akan capek dan lelah untuk mencari dan

mencari tempat bergantung dan tempat

bersandar palsu yang sangat beragam sekali.

Bisa saja kita seperti seorang anak kecil yang ditinggal pergi

oleh ibu dan bapak kita di hutan yang

banyak binatangnya. Lalu, misalnya, kita

dibesarkan oleh sekumpulan kera, seperti

Tarzan, sampai kita dewasa. Sehingga ke-

mudian kera itulah yang kita anggap seba-

gai orang tua kita yang bisa melindungi

dan membantu kita untuk keluar dari

segala permasalahan kita.

Kalau kita tidak mampu menemukan alamat atau tempat kita

bersandar yang tertinggi, yaitu Allah, maka kita akan mudah

sekali merasa stress, kalut, galau, sakit jiwa, dan bahkan bisa

sampai akhirnya bunuh diri. Dan sebenarnya untuk orang-

orang yang seperti inilah ilmu-ilmu yang telah diterangkan di

atas bisa terpakai dengan nyaman.

• Getaran atau Vibrasi,

• Hypnoterapi,

105

• NLP,

• Ilmu Hikmah,

• dan sebagainya itupun,

tanpa kita sadari, telah berubah menjadi tuhan-tuhan kita

yang baru, yang kita besar-besarkan dan sebut-sebut (wirid-

kan) setiap saat. Dan anehnya, dalam keadaan seperti itu, kita

masih berani mengatakan bahwa Tuhan kita yang sebenarnya

adalah Allah. Aneh sekali memang.

Padahal, keadaan seperti inilah yang menyebabkan semua

ibadah yang kita lakukan menjadi kehilangan nilainya di ha-

dapan Allah. Serajin apapun kita beribadah dan setinggi apa-

pun intensitasnya, Allah tidak akan melihatnya.

Karena ALLAH ternyata TIDAK melihat kepada

apa yang kita baca dan apa yang kita lakukan.

Allah melihat kepada INGATAN kita saat kita

melakukan sebuah aktifitas,

. . . misalnya shalat, berdo’a, atau memanggil-manggil Nama-

Nya dalam sebuah dzikir. Kalau kita INGAT kepada Allah, maka

Allah memastikan bahwa Dia juga akan INGAT kepada kita.

“FADZKURUNI-ADZKURKUM, ingatlah Aku maka Aku akan

ingat kamu”, kata Allah dengan tegas.

Makanya, saat shalat, kita diwajibkan oleh Allah untuk meng-

ingat Allah sejak dari awal sampai akhir shalat, “aqimishshalati

106

lidzikri...” Lalu selesai shalat, kita kembali diwajib Allah untuk

mengingat Allah saat apapun juga. Apakah itu saat berdiri,

saat duduk, ataupun saat tiduran, bahkan saat kita berdagang

atau bekerja sekalipun. Artinya, di dalam waktu-waktu shalat

dan di segala aktifitas kita diluar shalat atau di antara waktu-

waktu shalat, kita diwajibkan pula oleh Allah untuk tetap dan

selalu mengingat Allah. DZIKRULLAH, tetap mengingat Allah.

Seperti yang dicontohkan oleh Nabi. Beliau mengingat Allah 24

jam : “Mataku tidur namun hatiku tidak”, Sahih Bukhari Vol 4.

495; Aishah Rha berkata yang bermaksud

: Rasulullah (SAW) mengingat Allah swt

sepenuh masa, Sunan Abu Dawud Vol 1,

5.

Mengingat Allah (dzikrullah) secara terus

menerus ini tentu saja ini ada maksud dan buahnya yang akan

kita petik. Tidak mungkin tidak ada. Pasti ada maksudnya dan

ada pula buah-nya yang akan kita dapatkan..!

Untuk mengetahui apa maksud Allah yang seperti mewajibkan

kita untuk mengingat-Nya setiap saat, kita buka saja Al Qur’an.

“Waman ya’syu ‘andzikrirrahmaan nuqayyidh lahuu syai-

thaanan fahualahuu qariinun”, (Adz Dzukhruf 36). Ternyata

kalau kita lupa dan tidak ingat kepada Allah Yang Maha Penya-

yang (walau hanya sebentar saja), seketika itu juga Allah me-

ngirimkan syetan kepada kita. Syetan itulah yang akan menjadi

teman karib kita sejak saat itu.

Keberadaan syetan di samping kita inilah kemudian yang akan

107

menutup PINTU INGATAN kita kepada Allah. Tertutupnya

pintu ingatan kita kepada Allah itu akan semakin kuat dan

kokoh dari waktu ke waktu. Begitu kuatnya syetan menutup

pi-ntu ingatan kita kepada Allah, sehingga hati kita sudah

seperti tertutup mati untuk bisa menerima dan merasakan

berbagai respon atau balasan Allah terhadap apa-apa yang

kita lakukan, kerjakan, dan ucapkan, hatta di dalam do’a dan

shalat sekalipun.

Sebaliknya, pintu ingatan kita kepada apapun juga YANG SE-

LAIN ALLAH dengan sangat mudah BISA kita buka dan masuki.

Misalnya, pintu ingatan kita untuk mencuri, berzina atau men-

dekati zina, minum arak, narkoba, kenakalan, judi, kriminal,

obat-obatan terlarang, korupsi, mencuri, berbohong, dan

sebagainya. Semuanya dengan sangat

mudah bisa kita masuki. Lalu, sekali kita

sudah memasuki pintu-pintu itu, maka

kita tinggal setarikan nafas saja lagi un-

tuk melakukan perbuatan-perbuatan ne-

gatif itu tanpa bisa kita cegah. Lagi, lagi,

dan lagi !

Kita juga dengan sangat mudah membuka pintu ingatan kita

untuk bisa marah, menangis, geram, takut, marah, dan seba-

gainya. Begitu pintu ingatan kita kepada apapun yang selain

Allah itu kita buka, kita ingat-ingat objek pikir itu, kita sebut-

sebut objek pikir itu, maka syetan segera mengganjalkan atau

menopangkan kakinya kepintu yang sudah terbuka itu, sehing-

108

ga dengan sekuat apapun daya dan upaya yang kita lakukan

untuk menutup kembali pintu itu, kita akan mengalami ke-

sulitan, kalau tidak mau dikatakan tidak akan pernah berhasil.

Keadaan pintu ingatan kita yang tetap terbuka, karena diganjal

oleh iblis, inilah yang membuat kita seperti sulit untuk bisa

keluar dari sebuah perbuatan fujur, fasik, jahat. Karena, begitu

pintu ingatan untuk itu kita buka, apalagi kalau perbuatan itu

sampai kita lakukan, maka nyeess, langsung pula ada rasanya.

• Ada rasa Bahagia (Happiness),

• Kadang Sedih (Sadness),

• Bisa pula Takut (Fear),

• Marah (Anger),

• Kaget atau Heran (Surprise),

• Dan Jijik (Disgust).

Misalnya, kita bisa merasa senang dan bahagia

ketika kita bisa membuat orang lain SUSAH dan

MENDERITA. Amerika Serikat, tidak akan mau

membela-belain mengirimkan tentaranya untuk

menghancurkan negara lain dan membunuhi

penduduk negara lain itu kalau tidak ada ingatan

dari Presiden dan Parlemen negara itu untuk

membunuhi orang dan menghancurkan sebuah negara. Dan di

sana pasti ada rasa menang dan rasa bangga atas apa-apa

yang telah mereka lakukan itu.

Hal yang sama juga berlaku ketika kita memikirkan atau

109

bahkan sampai melakukan sebuah aktifitas atau perbuatan

yang sekilas kelihatan sangat baik dan bagus, akan tetapi ka-

rena perbuatan yang kita pikirkan dan lakukan itu tidak kita

LANDASI dengan proses INGAT kita kepada Allah, maka apa-

apa yang kita pikirkan atau kita lakukan itu, secara menge-

jutkan, akan membuat kita merasa ADA dan merasa HEBAT.

Kita merasa EXIST dan merasa BISA. Rasa ada dan hebat inilah

yang membuat kita enggan untuk melepaskan atau tidak

mengaku memiliki sebuah pikiran atau perbuatan yang telah

kita punyai itu. Karena rasa memiliki itu nikmat sekali rasanya.

Nikmatnya pengakuan. Dan inilah yang akan menutup Hati

kita secara perlahan-lahan, karena ada syetan yang sedang

mendompleng rasa hebat dan sombong yang ada di dalam

hati kita itu.

Kalau hati kita sudah ditutup oleh Allah dengan mengirimkan

syetan ke dalamnya, maka kita tidak akan pernah bisa lagi

untuk mendapatkan BUAH dari DZIKRULLAH itu, yaitu SIKAP

IHSAN kita kepada Allah. Padahal . . .

. . . Sikap Ihsan adalah buah yang PASTI dari

proses mengingat Allah yang kita lakukan secara

terus menerus.

Sebab sikap Ihsan inilah yang akan menyebabkan HATI kita

bisa MERASAKAN bahwa Allah melihat kita. Rasa Ihsan itu

110

muncul karena Mata Hati kita sudah bisa melihat bahwa :8

“Wujud yang paling terang dan nyata ialah Allah Ta’ala, dan

ini menghendaki kepada Makrifatullah.”

Karena Mata Hati kita sudah bisa selalu kita tumpukan secara

terus menerus untuk ingatan kepada Kemahasucian dan

Kemahaindahan Dzat Allah, maka sebenarnya Allahlah yang

membalas ingatan kita itu dengan memberikan RASA IHSAN ke

dalam Hati kita.

• Tiba-tiba Allah akan merasakan kepada kita bahwa “Se-

sungguhnya Dia Maha Melihat, (Al Mulk 19).

• Di lain waktu kita dibawa oleh Allah untuk merasakan

bahwa “Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa-apa yang ka-

mu kerjakan, (Al Baqarah 110, At Taghabun 2); atau

• Memahami “Yang Melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk

sembahyang), dan

• (Melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-

orang yang sujud, (Al Syuara 218-219).”

Kita sering punya pengalaman tentang rasa ihsan ini kalau kita

berhadapan dengan objek pikir yang selain Allah, misalnya

ihsan kita kepada program Piala Dunia Sepak Bola (PDSB). Ma-

ka selama acara PDSB itu, pintu ingatan kita yang selalu ter-

buka adalah pintu PDSB. Selama itu, pintu ingatan kita kepada

objek pikir yang lain seperti tertutup. “Kehadiran” PDSB itu

8 Imam Al Ghazali, Ihya Ulumudin, Buku 7, 478, 1981.

111

terasa sekali bagi kita. Apalagi kalau yang sedang bermain saat

itu adalah kesebelasan yang kita favoritkan. Hasilnya yang sa-

ngat jelas terlihat adalah bahwa kita bisa berlama-lama

menonton acara PDSB itu. Kalau acaranya

di waktu sepertiga malam terakhir, ia se-

ringkali mengalahkan shalat tahajud kita.

Kalaupun kita shalat tahajud saat itu, maka

shalat kita akan diburu-buru oleh acara

PDSB yang sedang tayang bersamaan

dengan shalat tahajud kita itu.

Begitu pulalah . . .

. . . kalau kita sudah dapat merasakan rasa IHSAN

kepada Allah. Semuanya akan kita kalahkan untuk

Allah. Inilah buah yang sangat ranum dari

KEIMANAN kita kepada Allah.

Di sini kita bukan lagi hanya sekedar bisa percaya (beriman)

saja kepada Allah. Tapi keadaannya sudah jauh lebih dalam

lagi, yaitu HATI kita sudah bisa merasakan bahwa :

HATI kita sudah bisa merasakan bahwa :

• Allah selalu melihat setiap perbuatan kita,

112

• Allah setiap saat selalu mendengarkan kata-

kata kita (baik yang sudah terucap ataupun

yang belum),

• Allah selalu mengawasi segala seluk beluk

pikiran kita.

Dia sedang memandang kita, Dia sedang

mendengarkan kita, Dia sedang mengamati kita.

Semua itu Dia lakukan melalui DZAT-NYA yang

meliputi kita. Karena memang Dzat-Nya Maha

Meliputi segala sesuatu,

• kita dikeliling dari segala arah oleh Dzat-Nya,

• kita di dalam genggaman Dzat-Nya,

• kita berada dalam pelukan Dzat-Nya.

Kita juga seperti sedang berada di dalam sebuah ruangan yang

dikelilingi oleh KACA SATU ARAH yang mengarah kepada kita,

sementara kita tidak bisa melihat keluar.

Kita jadi begitu transparan di hadapan Dzat Allah,

sehingga kita merasa tidak bisa sedikitpun

bersembunyi ataupun lari dari Penglihatan,

Pengawasan, dan Pendengaran-Nya.

113

Dari keadaan seperti inilah kemudian muncul rasa tidak keti-

dakberkutikan kita kepada Allah. MATA HATI kita jadi TER-

KONCI untuk selalu ingin memandang kepada Kemahaindah-

an dan Kemahasucian Dzat Allah. Kita benar-benar merasa ti-

dak berharga di hadapan Allah. Makanya, ketika kita memang-

gil Nama-Nya, sehingga saat itu muncullah NATIJAH demi

NATIJAH yang menggetarkan hati kita. Natijah itu bisa berupa

Riqqah dalam bentuk rasa yang sangat dingin yang terasa

mengalir ke dalam dada kita, atau bisa pula berupa Ilham yang

jelas terhadap suatu permasalahan, atau rasa tenteram yang

diturunkan ke dalam ruang dada kita, dan sebagainya.

Al Anfal (8 / 2) :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka

yang apabila disebut Nama Allah, GEMETARLAH HATI mere-

ka.”

RASA dari ayat-ayat IHSAN tersebut di atas, yang diturunkan

oleh Allah ke dalam HATI kita, akan membuat HATI kita :

• Bergetar, gemetar, dan bergegar.

• Kulit kitapun merinding, bulu roma kita berdiri.

• Airmata kita berdesakan, berpacu, dan berloncatan keluar

dari sudut-sudut mata kita.

• Kita menangis dan tergetar dari dalam.

Rasa ihsan kepada adanya syetan atau jin saja yang kita yakini

ada di sekitar kita, terutama di sekitar kuburan dan rumah

kosong, akan membuat kita merinding dan merasa dingin di

114

tengkuk kita. Masak sih rasa ihsan kepada Allah tidak ada

rasanya sama sekali ? Khan kelewatan sekali kita ini di hadap-

an Allah. Padahal kalau rasa ihsan kita itu adalah kepada Allah,

tentu saja rasanya sangat jauh beda dengan rasa ihsan kepada

syetan atau jin yang memang sudah sangat ditakuti oleh ba-

nyak orang.

Akibat dari bergetar dan bergegarnya hati kita itu, karena rasa

ihsan kepada Allah itu, seketika itu juga hati kita, yang tadinya

keras dan membatu, menjadi pecah dan hancur berkeping

keping. Hati kita yang tadinya membatu berubah menjadi cair

seperti cairnya batu es. Hati kita dibersihkan dari dalam se-

hingga hati kita itu menjadi bersih seperti

hati bayi yang baru lahir. Hati kita yang tadi-

nya buta dan tuli akan berubah menjadi Hati

yang terang benderang dan bercahaya. Hati

kita berubah menjadi hidup, cair, dan lem-

but. Hati yang dapat mengerti dan merasakan respon atau

jawaban-jawaban Allah terhadap apa-apa yang kita lakukan

dan ucapkan kepada-Nya.

Tetapi gemetarnya hati kita karena kita menyebut Nama Allah

dalam SIKAP IHSAN itu akan sangat BERBEDA sekali dengan

ketar-ketarnya tubuh kita karena dialiri oleh ‘GETARAN” atau

VIBRASI akibat dari gerakan EMOSI kita. Di dalam latihan pa-

trap dan dalam proses dzikir di sebuah tarekat dulu, saya lama

sekali terjebak dalam getaran-getaran tubuh karena vibrasi

emosi ini, sehingga dulu itu saya nyaris tidak bisa sedikitpun

115

merasakan rasa IHSAN seperti hal di atas.

Buah yang lainnya dari ingatan kita kepada Allah itu adalah

qulub atau hati kita akan menjadi tenteram. Karena Allah juga

sudah memastikan dan menegaskan bahwa :

HANYA dan HANYA dengan mengingat Allahlah

hati kita akan menjadi TENTERAM.

Allah langsunglah yang memasukkan

ketenteraman itu ke dalam hati kita.

Ketenteraman ini akan berlanjut dan diperkuat lagi ketika kita

melakukan shalat yang berikutnya. Ketenteraman itu mene-

tap, dalam, dan melembutkan hati. Ketenteraman yang mem-

punyai unsur kehidupan. Karena kita memang sedang meng-

ingat Allah, Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang Maha Hidup.

Artinya . . .

. . . ketenteraman macam apapun juga yang

BUKAN berasal dari proses INGAT kita kepada

Allah, maka ketenteraman itu adalah

ketenteraman yang palsu, ketenteraman yang

menipu, ketenteraman yang hanya bisa bertahan

dalam waktu yang singkat saja.

Hati kita yang sudah TENTERAM, ditambah dengan munculnya

116

rasa IHSAN kita kepada Allah, ditambah lagi dengan dapatnya

kita MERASAKAN balasan-balasan atau RESPON Allah yang tak

henti-hentinya dari ucapan dan ibadah kita, secara mengejut-

kan itu akan memberikan dampak yang sangat kuat kepada

kita untuk lebih bersemangat dalam melakukan ibadah-ibadah

sunnah, apalagi ibadah yang wajib. Kita jadi terangsang untuk

melaksanakan amalan-amalan tambahan tanpa kita perlu

memaksa-maksakan diri. Semua itu kita lakukan seperti tanpa

lagi mengharapkan pahala ini dan ganjaran itu dari Allah.

Sebab ternyata semua pahala dan ganjaran itu sudah otomatis

saja diberikan oleh Allah kepada kita. Bahkan :

. . . adakalanya ganjaran dan pahala itu sudah

diberikan terlebih dahulu oleh Allah kepada kita,

. . . sehingga kita merasa begitu malunya kepada Allah kalau

kita masih berpaling dari-Nya. Ada sebuah kerinduan yang

amat sangat, yang kadangkala diiringi dengan sedu sedan dan

lelehan air mata yang tidak bisa kita bendung, ketika kita

melakukan shalat, terutama Shalat Tahajud. Kadangkala dalam

shalat wajibpun suasana itu muncul,

terutama kalau shalat wajib itu kita

lakukan dengan kualitas seperti Shalat

Tahajud itu.

Kerinduan itu seperti menekan jiwa

kita. Sedu-sedan dan rintihan kita

117

muncul karena rasa rindu dan cinta kepada Allah. Air mata kita

keluar dan melelah KHUSUS untuk Allah. Yaa… KHUSUS UN-

TUK ALLAH, bukan untuk yang lain atau hal-hal yang lainnya.

Keadaan seperti inilah barangkali yang menye-babkan Dada

Rasulullah terdengar seperti air bejana yang mendidih saat-

saat Beliau Shalat Tahajud dimalam hari.

Keadaan seperti inilah yang membuat . . .

. . . kita ingin berlama-lama dengan Allah. Kita

tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan shalat kita.

Saat rukuk dan sujud, kita enggan untuk cepat-cepat meng-

angkat kepala kita. Saat do’a iftirasy, kita duduk agak lama se-

tiap ada jawaban-jawaban Allah turun menjawab do’a-do’a

kita itu.

Begitu juga ketika kita membaca do’a iftitah,

membaca Al Fatihah, dan membaca Tahiyat,

setiap Allah menurunkan

sambutan atau respon-Nya kita tidak ingin cepat-

cepat untuk menyelesaikan prosesi shalat kita itu

sebelum ada RASA SELESAINYA.

Sebab setiap respon itu ada rasa mulainya, dan ada pula rasa

selesainya. Kalau sudah selesai, ya sudah, kita lanjutkan

118

gerakan dan bacaan shalat kita untuk yang selanjutnya. Kalau

tidak ada respon sama sekali, ya… itu tandanya shalat kita

tidak diterima oleh Allah, dan itu sangatlah menyakitkan

sekali. Rasanya seperti layangan putus. Kita akan kelimpungan

dan merasa serba salah. Karena saat itu terasa betul kita se-

perti ditinggalkan oleh Allah. Kita bisa merasakan saat ibu kita

kecewa kepada kita. Nah rasanya mirip itu.

Di dalam buku-buku tasawuf kita sering pula membaca istilah-

istilah, CINTA, RINDU, TAKUT, MALU, TAWADHU, TAWAKAL,

SABAR, RIDHA, SYUKUR, SAKINAH, dan lain-lain sebagainya.

Dulu saya kira itu adalah istilah-istilah yang harus kita hafal

yang kemudian kita paksa-paksakan untuk menjalaninya. Teta-

pi ternyata kesemua itu adalah . . .

. . . perubahan-perubahan suasana di dalam HATI

kita yang silih berganti yang diturunkan oleh Allah

ke dalam hati kita akibat kita ISTIQAMAH dalam

MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah).

Artinya semua itu adalah proses ADZKURKUM dan JAWAB-

JAWABAN ALLAH terhadap FADZKURINI dan IBADAH-IBADAH

yang kita lakukan kepada Allah.

Apalagi kalau ibadah itu kita tambahi dengan ibadah-ibadah

sunnah yang sering dianggap sepele oleh sebagian besar umat

Islam. Hasilnya sungguh sangat mencengangkan. Itu sesuai se-

kali dengan yang dikatakan Allah dalam sebuah Hadist Qudsi :

119

“There is NO OTHER WAY for you to get CLOSE TO ME other

than by doing the non-obligatory worships in addition to obli-

gatory worships and this will eventually earn you MY

AFFECTION.” Artinya . . .

. . . TIDAK ADA JALAN LAIN yang bisa mendekat

kita kepada Allah kecuali dengan

melakukan ibadah-ibadah Sunnah

di samping ibadah-ibadah Wajib.”

Tegas sekali Allah di dalam Hadist Qudsi itu. “TIDAK ADA CARA

LAIN !” Tapi nampaknya hanya segelintir umat islam saja yang

ditakdirkan untuk mempercayainya dan mendapatkan suasa-

nanya sekaligus. Yaitu suasana rasa DEKAT, DIKASIHI, dan

DISAYANGI oleh ALLAH Ta’ala. Inilah pesan-pesan universal

yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul

Sebelum Beliau, Sahabat Nabi, Tabi’iin, Tabi’ittabi’in, para Arif

Billah, dan beberapa Wali Allah yang mengikuti jalan Nabi-

Nabi. Walau banyak yang tidak percaya, tapi Beliau-beliau itu

tetap menyampaikan risalah Allah dengan penuh semangat,

tak kenal lelah sampai tetes darah terakhir. Karena memang

Beliau-beliau hanyalah para penyampai belaka. Sedangkan ha-

silnya sudah dikalungkan di setiap leher umat manusia sesuai

dengan takdirnya masing-masing, yang telah ditetapkan oleh

Allah sejak Sabda “KUN” pertama kali menggelegar.

Dan yang paling menakjubkan adalah, di antara agama-agama

120

yang ada, hanya Islamlah yang layak untuk disebut sebagai

agama paling “up-to-the-minute.” Karena Islamlah satu-

satunya agama yang memberikan Guidance yang memenuhi

kriteria “state-of-the-art” tentang bagaimana cara-cara kita

berhubungan dan berinteraksi dengan Allah, dengan sesama

umat manusia, dan dengan alam semesta. Bahkan . . .

. . . Islam jugalah yang mengajarkan umat manusia

tentang JALAN KELUAR yang sangat MUDAH dan

sangat MUJARAB dari segala permasalahan hidup

yang kita alami, sekeras, sehebat, dan sedahsyat

apapun juga.

Yaitu sebuah pencapaian keadaan rohani kita yang diwakili

oleh ungkapan kalimat “INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RA-

JI’UUN”, yang lebih dari hanya sekedar ucapan di bibir saja.

Makna dari kalimat ini, insyaallah, akan kita bahas pada pada

artikel yang lain nantinya.

Sebab ternyata sekarang ini banyak di antara kita yang men-

cari dan melakukan CARA-CARA LAIN yang tujuannya hanya

untuk :

• mendapatkan KETENANGAN,

• ditambah dengan sedikit KEBAHAGIAAN di sana-sini,

• dan diberikan pula sedikit KEHEBATAN di atas orang rata-

rata.

Dan kesemuanya itu kita dapatkan pula di tengah-tengah

121

beban dan persoalan-persoalan yang membebani hidup kita.

Tentu saja itu akan terasa sekali asyiknya. Tapi sayang

tujuannya hanya di situ-situ saja. Untuk :

• Mencari

TENANG,

tapi tenangnya seperti kita sedang

berhadapan dengan tembok.

• Mencari

Bahagia,

tapi bahagianya hanya sekedar membuat

kita sumringah dan terkekeh-kekeh.

• serta

mencari

Hebat,

tapi hebatnya hanya untuk sekedar bisa

untuk bermain-mainan dan berkata-kata

saja.

Dan yang pasti, kesemuanya itu akan membawa kita dalam

alam kesendirian yang semakin pekat.

Ya, KESENDIRIAN. Kita akan masuk ke alam eksistensi keakuan

yang sangat pekat, yang bermuara pada keangkuhan dan

kesombongan kita. “Aku bisa ini dan itu, aku mempunyai ini

dan itu, aku memiliki ini dan itu, dan berbagai pengakuan kita

yang lainnya.” Karena saat itu kita memang merasa serba bisa,

sehingga kita merasa tidak butuh siapa-siapa lagi, kecuali

orang-orang yang mengerti dan membutuhkan keberadaan

kita, dan orang-orang yang bisa memperkuat eksistensi diri

kita. Bahkan, disadari atau tidak, kita juga seperti tidak lagi

membutuhkan Allah sedikitpun, walaupun saat kita sudah

tidak berkutik dalam menghadapi berbagai nestapa kehidup-

an. Saat itu kita malah mencari orang-orang yang kita anggap

lebih hebat dari kita dan bahkan bisa menandingi Allah untuk

menyelesaikan masalah-masalah kita.

122

Oleh karena itu, pada tingkatan keangkuhan yang sangat

EKSTRIM, kita dengan sangat mudahnya bisa terperosok

kepada pengakuan bahwa kita adalah sepadan dengan Allah.

Kita adalah perwujudan Allah, Kita dan Allah berada dalam

sebuah kesatuan eksistensi. Kalau tidak kitanya yang tidak

ada, ya Allahnya yang tidak ada. Misalnya “aku tidak ada, yang

ada adalah Allah”, atau “Allah tidak ada, yang ada adalah aku.”

Atau bisa pula kalimat-kalimat pengakuan lainnya yang menyi-

ratkan paham WAHDATUL WUJUD, HULUL, FANA BILLAH, dan

sebagainya.

Ciri-ciri dari kesendirian kita itu mudah saja kok untuk kita

kenali, yaitu saat kita shalat, kita seperti sedang berkata-kata,

rukuk, sujud, menyembah, dan berdoa di hadapan DINDING

TEMBOK yang mati dan dingin.

Kadang-kadang kita bisa juga sih

mendapatkan ketenangan di dalam

shalat itu, terutama kalau saat

shalat itu kita barengi pula dengan

pengaturan nafas kita, atau kita merasa-rasakan getaran

energi yang ada di sekeliling kita. Akan tetapi akibatnya saat

itu kita tidak akan mendapatkan respon atau sambutan

sedikitpun dari Allah Yang Maha Hidup atas semua aktifitas

kita di dalam shalat itu. Ya, kita melakukan shalat seperti

orang yang sedang ngelindur di siang bolong, atau kita seperti

sedang berlatih TAICHI atau MEDITASI ENERGY-ENERGY di

dalam shalat.

123

Jadi di dalam shalat yang benar itu, yang akan kita

dapatkan bukanlah HANYA sekedar RASA TENANG

saja. Tidak. Tapi kita akan mendapatkan rasa

tenang dan tenteram yang ada komunikasi dua

arah (dialog) antara kita dengan Allah.

Sebab kalau hanya sekedar untuk mendapatkan rasa tenang

dan tenteram saja sih, dengan beberapa teknik meditasi dan

olah nafas saja kita sudah akan bisa mendapatkannya. Kita

tidak perlu capek-capek lagi memaksa-maksakan diri untuk

melakukan shalat maupun ibadah-ibadah lainnya.

Karena di dalam shalat yang ada komunikasinya,

antara hamba dan Tuhannya, akan ada rasanya.

• Kadang-kadang kita diberi rasa senang dan

bahagia oleh Allah, yang rasanya melebihi rasa

senang dan bahagia kepada apapun juga yang

pernah kita rasakan di dalam hidup kita.

• Di lain waktu, kadangkala kita diberi pula oleh

Allah rasa takut kepada-Nya, yang rasanya

melebihi rasa takut kita kepada siapapun juga

yang pernah kita rasakan selama ini.

Perubahan-perubahan rasa inilah yang akan membuat air

124

mata kita jatuh berderai-derai, menyebabkan suara kita ter-

isak lirih, dan menimbulkan sedu-sedan yang sangat meng-

herankan. Tapi semuanya itu tetap tidak sampai menggon-

cangkan tubuh atau badan kita.

Sebab rasa yang muncul itu ternyata bukanlah berada di

dalam dada kita, tapi rasa itu berada jauh di dalam JIWA

(NAFS) kita. Bagi yang berkenan, silahkan lihat kembali uraian

terdahulu tentang jiwa ini. Singkatnya adalah, bahwa tananan

jiwa ini adalah pada dimensi RUH dan AQAL /HATI kita. Di

mana RUH dan AQAL/HATI itu, dua-duanya sudah sudah bisa

“terlepas” dari pengaruh JASAD. Makanya rasa-rasa itu, walau-

pun sangat kuat, namun sudah tidak mempengaruhi JASAD

kita lagi.

Keadaan seperti ini disebut NATIJAH yang diberikan oleh Allah

kepada kita yang akan berdampak kepada HATI kita. Hati kita

akan menjadi tenang, tenteram, bercahaya, dan . . .

. . . menimbulkan pula berbagai pengalaman

rohani yang tak eloklah untuk dibicara-bicarakan.

Kalau dulu, karena rasa-rasa itu saya hasilkan dari proses olah

emosional, maka tubuh saya sampai tergoncang-goncang,

bahkan sampai berguling-gulingan seperti anak kecil umur tiga

tahun, yang karena kesal, sampai berguling-guling dan meng-

hentak-hentak tanah sambil menangis ataupun berteriak-

teriak. Tapi ya nggak apa-apa. Itu adalah sejarah masa lalu

125

saja.

Nanti,

. . . Allah pulalah yang akan menurunkan ke dalam

Jiwa kita rasa Cinta kepada Rasulullah tanpa kita

harus terjebak kepada upaya dan prosesi

pengkultusan terhadap Beliau.

Sebab ternyata kalau kita mencintai Rasulullah dengan do-

rongan hawa nafsu atau emosi kita sendiri, maka kita akan

terjebak pada ritual-ritual yang kental sekali dengan aroma

pengkultusan terhadap Beliau dan juga terhadap Ahlul Bait.

Karena kita mendasarinya dengan emosi kita, maka proses

pembangkitan emosi kita agar kita bisa “ekstasis” dalam men-

cintai Beliau dan dalam beribadah juga harus memakai prose-

si-prosesi yang sangat emosional sekali. Itulah sebabnya ada

kelompok-kelompok yang harus memulai aktifitas ibadah me-

reka dengan memaki-maki Para Sahabat Rasulullah, atau

mengingat-ngingat penderitaan cucu Nabi Hasan dan Husein

Ra., atau bahkan ada yang sampai harus menyakiti dan

melukai diri mereka sendiri terlebih dahulu. Kalau ini yang kita

lakukan, karena ada proses menangisnya, ada ekstasisnya,

maka kita akan sangat sulit sekali untuk bisa keluar dari

cengkraman kelompok ini di kemudian hari. Sulit sekali ! Dan

akhirnya kita, tanpa berpikir panjang lagi, akan mengikuti saja

apa-apa yang diperintahkan oleh petinggi kelompok itu.

126

• Iblis telah DITAKDIRKAN oleh Allah menjadi makhluk yang

hatinya buta dan tuli yang ciri utamanya adalah kesom-

bongannya di hadapan Allah terhadap ketetapan atau

AF’AL Allah. Oleh karena itu, iapun haruslah menjalankan

KESOMBONGANNYA itu terhadap Nabi Adam AS secara

total dan tanpa reserve ketika Allah telah menetapkan pula

bagi Diri-Nya sendiri untuk menciptakan Adam AS dari

unsur atau saripati tanah.

• Sebaliknya, Malaikat telah DITAKDIRKAN pula oleh Allah

menjadi makhluk yang rela untuk kehilangan kesombong-

annya di hadapan Allah, sehingga iapun harus pula menja-

lankan takdir Allah bagi dirinya untuk menjadi makhluk

yang hatinya sudah menjadi TAJAM dan WASPADA melihat

HAKEKAT dari penciptaan Nabi Adam AS, sehingga iapun

rela untuk sujud kepada Adam AS.

• Sedangkan Adam AS., juga telah DITAKDIRKAN oleh Allah

menjadi makhluk yang harus menghuni dan memakmurkan

Bumi yang memang telah disiapkan untuknya selama mil-

yaran tahun. Oleh sebab itu, iapun haruslah keluar dari

alam syurgawi melalui sebuah DRAMA yang telah dijalan-

kan dengan sangat sempurna oleh para pemeran utama-

nya, yaitu Adam AS, Iblis, dan Malaikat.

Kelak bagi anak keturunan Adam AS, merekapun telah ditak-

dirkan pula oleh Allah untuk bisa memakai kesombongan atas

diri mereka terhadap sesama mereka, seperti yang dulu dila-

kukan oleh iblis terhadap Adam AS, atau mereka bisa pula

127

menjadi makhluk yang rela kehilangan kesombongan atas

dirinya ter-hadap sesama mereka seperti yang dilakukan oleh

Malaikat terhadap Adam AS.

Hanya saja untuk Adam AS dan keturunannya, Allah telah

MENAKDIRKAN pula baginya ada senjata baru yang sangat-

sangat hebat yang bisa dipakai oleh Adam AS dan keturun-

annya kelak untuk menjadi diri-diri yang sombong, melebihi

kesombongan iblis. Yaitu kemampuannya untuk memahami

berbagai ILMU dan NAMA-NAMA. Alam ilmu dan nama-nama

inilah salah satu penyebab yang sangat kuat, yang bisa mem-

buat HATI kita menjadi Buta dan Tuli dari INGAT kepada Allah

(dzikrullah).

Kesombongan iblis kepada Adam AS hanya terhadap satu hal

saja, yaitu tentang anasir dirinya yang tercipta dari API, yang

dia kira lebih baik dari anasir diri Adam AS

yang tercipta dari TANAH. Akan tetapi dengan

senjata ILMU dan NAMA-NAMA tersebut,

umat manusia telah ditakdirkan pula oleh

Allah untuk bisa menjadi sombong melebihi

kesombongan iblis, atau bisa pula menjadi

tidak sombong melebih ketidaksombongan

Malaikat.

• Maksud dari kesombongan manusia yang bisa melebihi

kesombongan iblis itu adalah : dengan ilmu dan nama-

nama itu, tidak saja manusia itu bisa menjadi sombong

terhadap sesamanya (misalnya dalam hal SARA= SUKU,

128

AGAMA, RAS, ANTAR GOLONGAN), akan tetapi ia juga bisa

menghancurkan dan merusak terhadap bumi, tumbuh-

tumbuhan, hewan-hewan, dan bahkan saling berbunuhan

antar sesamanya. Dan semuanya itu dilakukannya dalam

keadaan hatinya yang sedang buta dan tuli dari mengingat

Allah.

• Sedangkan maksud dari ketidaksombongan manusia yang

bisa melebihi ketidaksombongan malaikat itu adalah : bah-

wa ILMU dan NAMA-NAMA itu sudah TIDAK lagi membuat-

nya sombong atau bersikap SARA terhadap sesamanya,

HATINYA juga sudah menjadi terang-benderang untuk bisa

selalu mengingat Allah (dzikrullah), dan dari TANGAN dan

LIDAHNYA lahir pula PERADABAN yang baharu dari zaman

ke zaman. Inilah sebenarnya fungsi kekhalifahan yang su-

dah ditakdirkan oleh Allah untuk dijalankan oleh setiap

manusia.

Keberadaan Adam, Malaikat, Iblis, ilmu-ilmu, dan nama-nama

itulah yang kemudian akan meramaikan sandiwara atau pela-

konan drama kehidupan yang skrip atau skenarionya sudah

TERTULIS di dalam LAUHUL MAHFUZ, sebuah kitab yang sa-

ngat lengkap dan sempurna. Kitab yang di dalamnya memuat

KETETAPAN dan RENCANA-RENCANA ALLAH yang TIDAK akan

pernah BERUBAH sedikitpun.

Ketetapan dan rencana Allah itu bukanlah sebuah LAUTAN

KEMUNGKINAN atau SAMUDERA KETIDAKPASTIAN seperti

anggapan kebanyakan orang. BUKAN ! Ketetapan dan Rencana

129

Allah itu SANGATLAH PASTI, KOKOH, KUAT, dan TAK TERGO-

YAHKAN. Ia berisikan dan memuat tentang segala hal, segala

keadaan, segala sebab dan akibat, peristiwa-peristiwa, ukur-

an-ukuran, dan hukum-hukum yang akan dialami, dilalui,

dijalankan, dihadapi, dirasakan oleh Aktor dan Pelakon dalam

panggung sandiwara kehidupan itu.

Ketetapan dan rencana Allah itu tidak bisa diubah. Ia akan

mematahkan dugaan-dugaan kebanyakan orang selama ini,

yang menyangka bahwa ketetapan dan rencana Allah itu bisa

kita ubah-ubah dan kita pengaruhi-pengaruhi dengan meng-

ubah-ubah pikiran dan perasaan kita. Padahal anggapan

mereka itu semata-mata hanyalah karena hati mereka sedang

buta dan tuli untuk menyadari bahwa perubahan-perubahan

perasaan dan pikiran mereka itupun, sebenarnya juga sudah

tertulis di dalam Lauhul Mahfuz. Kapan dan kepada objek pikir

apa perubahan-perubahan pikiran dan perasaan mereka itu

terjadi, dan apa pula perubahan-perubahan yang akan mereka

alami setelah itu, sebenarnya kesemuanya itu sudah tertulis

dengan lengkap di dalam lembaran-lembaran Lauhul Mahfuz.

Tidak ada satupun yang baru dan berubah dari rencana yang

telah ditetapkan untuk mereka.

Karena sudah ditetapkan, maka itu pulalah yang terjadi dan

terzahir. Setiap aktor dan pelakon dalam sandiwara itu akan

menjalankan TEPAT SATU PERAN yang hanya cocok untuk diri-

nya sendiri. Peran untuk seorang aktor tidak akan pernah ter-

tukar dengan peran-peran lain, yang hanya cocok di jalankan

130

oleh aktor dan pelakon yang lainnya pula.

Tidak ada satupun yang terlupakan di dalam ketetapan dan

rencana Allah itu, walau itu untuk keperluan peran sebuah

atom ataupun lakonan materi-materi yang lebih kecil lagi dari

atom. Misalnya untuk energi-energi, untuk quanta-quanta,

untuk cahaya, dan bahkan untuk apapun juga yang saat ini

belum dibukakan rahasianya oleh Allah kepada kita.

DI BALIK setiap ketetapan dan rencana-Nya itu,

sebagai perwujudan dari

KEMAHABIJAKSANAANNYA, Allah juga telah

menyiapkan berbagai HIKMAH dalam bentuk

ILMU-ILMU BARU

di balik semua ketetapan-Nya.

Dengan hikmah itu, setiap aktor dan pelakon yang bermain di

dalam panggung sandiwara kehidupan itu akan menjadi lebih

mudah dan sempurna dalam menjalankan peran dan lakon-

annya masing-masing. Peran yang tanpa cacat. Peran yang

tidak bisa ditolak, Peran yang, mau tidak mau, rela ataupun

tidak, harus dijalankan oleh semua pemain dalam sandiwara

kehidupan itu.

• Kalau kita sudah DITAKDIRKAN untuk memerankan kebu-

rukan dan kejahatan, maka keburukan dan kejahatan itu

akan kita lakukan dengan mudah, bersungguh-sungguh,

dan sangat sempurna sekali.

131

• Kalau kita sudah DITETAPKAN pula untuk menjalankan

kebaikan, maka kebaikan itupun akan kita lakukan dengan

sangat sempurna.

Begitu juga untuk peran-peran kita yang lain, misalnya, peran

si ragu-ragu, si pencuri, si pembunuh, si pemadat, si pemalas,

si pemabuk, si pelacur, si kafir, si munafik, si fasik, si sombong,

si cengengesan, si sabar, si khusyu, si beriman, si rajin, si

pandai, si pioner, dan peran-peran lainnya, akan kita melaku-

kannya dengan sama sempurnanya.

Kisah dan serba serbi peran para pemain sandiwara itulah

yang menjadi SEBAGIAN BESAR kisah yang diceritakan dan

diberitahukan oleh Allah kepada kita di dalam Al Qur’an,

maupun kisah perjalanan hidup mereka dengan Nabi Muham-

mad SAW di dalam Al Hadist.

Oleh sebab itu, seyogyanya tugas kita masing-masing hanyalah

untuk bercermin bagi diri kita sendiri atas peran-peran yang

sedang kita jalankan, untuk kemudian kita banding-banding-

kan dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist itu, sehingga

kitapun bisa tahu persis posisi diri kita dari waktu ke waktu.

Nanti kita akan bisa melihat apakah kita ini sedang menja-

lankan peran diri yang bersyukur ataukah sedang menjadi diri

yang kufur terhadap nikmat Allah.

Ya, tugas kita sebenarnya bukanlah untuk melihat cermin diri

para pemeran sandiwara yang lainnya dan menghakimi

mereka dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist itu. Sebab

132

aktor yang lain itupun sebenarnya sedang menjalankan peran-

nya sendiri pula, yang ciri-cirinya pastilah sesuai dengan salah

satu dari ayat al Qur’an atau Al Hadist yang tertentu. Me-

rekapun sama dengan kita. Sama-sama tidak bisa keluar dari

KETETAPAN yang telah ditetapkan untuk kita masing-masing

untuk kita perankan.

Ketetapan Allah itulah nantinya yang akan melahirkan ber-

bagai SIFAT yang akan bisa kita LIHAT, DENGARKAN, RASAKAN,

BAUI, dan RESAPI melalui Panca Indera kita. Tepatnya, apapun

cita-rasa yang sedang kita alami atau rasakan, maka pada

hakekatnya kesemua itu adalah KETETAPAN ALLAH semata.

Dan itu adalah yang TERBAIK buat kita. Menerima segala

keadaan sebagai hal yang terbaik bagi kita itulah yang jadi

masalah utama kita selama ini. Tantang hal menerima

ketetapan Allah ini, nanti akan kita bahas lebih lanjut dalam

bahasan : Kalung Yang Sudah Terpasang Dileher.

Cita-rasa dari sifat-sifat itu dapat pula kita NIKMATI kembali

secara berulang-ulang walaupun hanya dengan cara meng-

ingat-ingatnya kembali di lain waktu melalui pintu INGATAN

kita. Dengan mengingat-ingat kembali berbagai sifat-sifat

itulah kemudian yang akan menghasilkan bermacam ILMU dan

Nama-nama yang menyebabkan kita mempunyai rasa mem-

ilikinya. Rasa yang seakan-akan memperkuat eksistensi kita di

tengah-tengah masyarakat. Rasa berilmu, rasa mengetahui,

rasa bisa.

133

Ya,

. . . gara-gara hati kita jadi terpaku kepada SIFAT-

SIFAT yang telah berubah wujud di hadapan kita

menjadi berbagai ILMU dan Nama-nama, maka

ingatan kita kepada Allahpun lama-lama menjadi

tertutup. Kita nyaris lupa total kepada Allah.

Karena semua Sifat itu kelihatan begitu sempurnanya berting-

kah laku di hadapan kita. Kita bisa memperkirakan kejadian ini

dan itu di masa depan dengan sangat baik. Kita malah seakan-

akan bisa mempengaruhi masa depan kita, orang lain, maupun

kejadian-kejadian di masa yang akan datang dengan hanya

memberikan STIMULUS tertentu melalui tangan, kata-kata,

ataupun hanya sekedar melalui pikirkan kita saja.

Lalu dengan ilmu dan nama-nama itulah kita kemudian dikenal

orang dan mengenal orang lain. Kalau kita ingin mengetahui

tentang ilmu ini dan itu, maka si anu dan si anilah ahlinya.

Ketika kita berhadapan dengan nama-nama tertentu, maka

ingatan kita harus kita alihkan kepada si EX atau si YE.

Misalnya,

• Untuk Hipnoteraphy dan Hipnotis, si A lah ahlinya.

• Untuk Gendam, si B.

• Untuk ilmu Metafisika dan Supranatural, si C.

• Untuk Quantum Vibration, si R.

134

• Untuk Powerfull Prayer (Spirituality), Provocative Therapy,

Energy Therapy (EFT), Loving Kindness Therapy, Cognitive

Therapy (NLP), Behavioral Therapy, Logotheraphy, Psycho-

analisa, Self Hypnosis (Ericksonian), Sugesty & Affirmation,

Visualization, Gestalt Therapy, Meditation, Sedona Method,

dan sebagainya, maka ahlinya adalah si A, B, C, D, E, F, . . .,

X, Y, dan si Z.

Semua kehebatan dari ilmu dan nama-nama itu

kemudian membuat HATI kita BUTA dan TULI dari

mengingati Allah

Sang Pemilik Ilmu dan Nama-nama itu.

Pertanyaannya yang sangat menggelitik adalah, kenapa ilmu-

ilmu dan nama-nama itu bisa hebat dan ada hasilnya dengan

sangat meyakinkan ? Semuanya seperti sudah bisa berjalan

dengan sendirinya, dan ia seperti bisa pula kita pengaruh-

pengaruhi. Seakan-akan peran Allah sudah tidak diperlukan

lagi di dalamnya.

Untuk menjawabnya, mau tidak mau kita harus kembali

memasuki Alam Hakekat yang sangat menakjubkan. Buat

sejenak, kita akan melampaui, melewati, menembus, dan

bahkan meninggalkan :

• alam ilmu-ilmu dan nama-nama,

• alam energi dan materi,

• alam getaran dan gelombang,

135

• alam fractal,

• alam informasi,

untuk kemudian kita masuk ke ALAM ESSENSI. Kita akan

“berjalan” meninggalkan semua Alam Sifat menuju Alam

Esensi. Alam yang menjadi DASAR atau INTI dari semua Ilmu,

nama-nama, dan semua CIPTAAN. Alam yang menjadi UNSUR

ASAS dari semua SIFAT-SIFAT. Alam ESSENSI itu adalah DZAT-

NYA…. Ya…DZAT-NYA.

Bahwa essensi dari Semua Ciptaan itu adalah SEDIKIT dari

Dzat-Nya yang besarnya hanyalah seukuran sebutir pasir di

tengah padang pasir yang sangat luas, atau setetes air masin

di tengah samudera raya dibandingkan dengan KESELURUHAN

Dzat-Nya Yang Maha Suci dan Maha Indah.

Allah berkenan menciptakan seluruh Alam Ciptaan, alam Ilmu,

dan Alam Nama-nama dari Sedikit Dzat-Nya sendiri, yang ter-

lebih dahulu “dikenai-Nya” dengan SABDA KUN. Allah lalu me-

ngurung Dzat-Nya Yang Sedikit itu di dalam sebuah Panggung

Pagelaran Kehidupan (Lauhul Mahfuz) yang dilindungi-Nya

dengan 70 lapis Tirai Nur, agar panggung dan para pemain di

dalam sandiwara kehidupan itu tidak musnah terbakar akibat

terpandang kepada Keagungan dan Kesucian Keseluruhan

Dzat yang Maha Indah.

Dari sedikit sedikit Dzat-Nya yang sudah terkena sabda Kun

itulah kemudian, sesuai dengan TAKDIR atau KETETAPANNYA

masing-msing, terzahir seluruh Ciptaan, termasuk semua Ilmu

dan Nama-nama. Dzat-Nya Yang sedikit itu kemudian menjadi

136

HAKEKAT dari semua Ciptaan, Ilmu, dan Nama-mana. Ia

menjadi BATHIN dari semua Makhluk yang tergelar. Bahwa di

sebalik semua makhluk, apapun juga, ada sedikit Dzat-Nya

yang menjadi essensi (batin, hakekat) dari semua makhluk itu.

Sudahlah sedikit Dzat-Nya sendiri yang dilibatkan-Nya, ditam-

bah lagi dengan kesempurnaan Rencana dan Ketetapan-Nya

terhadap TAKDIR untuk menjadi apa, siapa, bagaimana, dan di

mana Dzat-Nya itu akan terzahir dengan diantar oleh Waktu

atau Masa, maka tentu saja Penzahiran Dzat-Nya itu akan

menjadi Sangat sempurna pula. Tidak bisa tidak. Kalau tidak

sempurna, maka pastilah itu bukan Allah. Sebab Allah adalah

Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala hal.

Sekarang dengan berdasarkan ILMU HAKEKAT ini, marilah kita

pandang dengan MATA LAHIRIAH dan MATA HATI kita WUJUD

yang eksist (ada) di dalam Lauhul Mahfuz itu. Yang Bathin

adalah Dzat-Nya, Yang Zahir membentuk Sifat-Sifat (semua

Ciptaan, Ilmu, dan Nama-nama), mau tidak mau, itu juga

adalah Dzat-Nya juga. Makanya Allah berhak berkata : Akulah

Yang Bathin, dan Akulah Yang Dzahir. Karena yang Dzahir dan

Yang Batin itu adalah Dzat-Nya sendiri.

Artinya,

. . . saat Mata Lahiriah kita memandang Sifat-sifat,

. . . kita sudah tahu bahwa yang terpadang itu sebenarnya

137

adalah Dzat-Nya juga, yaitu Dzat-Nya Yang Dzahir. Sedangkan

DI SEBALIK semua sifat itu,

. . . Mata Hati kita juga sudah bisa pula

memandang keberadaan Dzat-Nya Yang Batin.

Mata hati kita sudah menjadi sangat tajam dan awas. Sehingga

kitapun jadi tergigit lidah dan malu untuk mengaku-ngaku ada

ilmu dan nama-nama yang bisa

menjadi hak kita, milik kita, dan

atribut kita.

Kita juga tidak sanggup lagi untuk

mengatakan aku, walaupun dalam

bentuk aku kecil, yang sedang

berhadapan dengan Aku Besar seperti anggapan kebanyakan

spiritualis selama ini. Sebab ternyata aku kecil itu tidak pernah

wujud sejak dari awal sampai akhir kelak. Yang wujud semata-

mata hanyalah Dzat-Nya. Sehingga dengan begitu lunturlah

paham Wahdatul Wujud, Hulul, Ittihad, Baqa Fillah, dan

paham-paham lain, yang mempersyaratkan ada dua wujud

yang ingin menjadi satu. Aku kecil yang ingin bersatu dengan

Aku besar, sehingga pada suatu waktu sang aku kecil seakan-

akan bisa merasa menjadi Aku besar.

138

Karena kita sudah tidak mengaku-ngaku wujud,

. . . yang nyata-nyata wujud ternyata adalah

Dzat-Nya semata-mata,

. . . maka saat itulah hati kita akan menjadi lunak, lembut, dan

cair. Kita akan dikejutkan oleh suatu kenyataan bahwa Allah

ternyata sangat Pengasih dan Penyayang kepada Dzat-Nya

sendiri, jauh lebih besar dari kasih dan sayang seorang ibu

kepada anaknya. Kenyataan seperti inilah yang . . .

. . . membuat kita ingin berlama-lama merasakan

kasih dan sayang-Nya itu di dalam Shalat, di dalam

Do’a, di dalam I’tikaf, di dalam Tahanus,

. . . sehingga hati kita semakin lama semakin cair, semakin

lunak, bahkan semakin hancur berkeping-keping. Sehingga

saat itu kitapun segera BERMAKRIFAT kepada Allah. Kita akan

selalu INGAT kepada Allah Sang empunya DZAT.

Dengan begitu, kita akan semakin mudah pula mendapatkan

NATIJAH, RIQQAH, JAWABAN-JAWABAN ALLAH kepada kita,

yang tak ubahnya seperti hantaman dan pukulan yang sangat

lembut di dalam hati kita. Hantaman dan pukulan yang

membuat kulit kita menggigil, sel-sel tubuh kita menggelepar,

mata kita meleleh, hati dan mata hati kita bercahaya.

139

Keadaan seperti inilah tujuan yang sebenarnya dari proses

TAZKIYATUNNAFS, proses penyucian diri untuk menjadi diri

yang tidak lagi mengaku wujud. Sebab Yang Wujud ternyata

adalah Dzat semata-mata.

Kalau sudah begitu, maka setiap kali HATI kita mengingati

Allah, maka MATA HATI kita akan melihat Dzat-Nya yang tidak

bisa diserupakan dengan apapun juga. Tidak ada rupa, tidak

ada umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna, tidak ada

ejaan. KOSONG. Kemudian kita tinggal MENUMPUKAN pan-

dangan Mata Hati kita saja lagi secara terus menerus pada

INGATAN KEPADA ALLAH itu. Sehingga Mata Hati kita akan

selalu melihat kekosongan secara terus menerus, sementara

ingatan kita kepada Allah juga akan TETAP bertahan secara

terus menerus.

Agar kita tidak terjebak ke dalam paham Wahdatul Wujud,

yang menyatakan bahwa disebalik semua ciptaan ini adalah

Allah SWT, yang nantinya bisa berujung pada ungkapan :

bahwa hakikat alam ciptaan (makhluk) ini adalah Allah, dan

Allah adalah alam, atau aku adalah Allah, Dia adalah aku, aku

adalah Dia, atau ungkapan HULUL, ITTIHAD, BAQA FILLAH, dan

ungkapan lainnya yang sejenis, maka kita lakukan proses

penafian DUA tahap, yaitu :

• Tahap Pertama, kita nafikan wujud semua ciptaan, semua

sifat, semua ilmu, dan nama-nama, kemudian

• Kita isbatkan bahwa wujud yang nyata di sebalik semua itu

adalah Dzat-Nya yang sedikit.

140

Laa maujud illa Dzatillah, tidak ada sifat-sifat yang wujud,

tidak ada ciptaan yang wujud, tidak ada ilmu-ilmu dan nama-

nama yang wujud, kecuali hanya wujud yang nyata, yaitu Dzat-

Nya yang sedikit, the Secondary Essense. Dzat-Nya yang

berada di dalam Lauhul Mahfuz yang lindungan oleh 70 Tirai

Nur. Mata hati kita nampak pada yang Kosong.

Pada penafian tahap pertama ini, kita akan mulai dikejutkan

dan disadarkan bahwa di dalam Lauhul Mahfuz, tempat di

mana pargelaran kehidupan semua makhluk terselenggara,

tidak hanya ada ciptaan, ilmu, dan nama-nama, yang bisa kita

eksplorasi dengan panca indera kita, atau Dzat Yang Dzahir,

akan tetapi juga ada Dzat Yang Bathin, Dzat yang tidak bisa

dilihat dengan mata, akan tapi bisa kita LIHAT dengan MATA

HATI dan kita IMANI dengan HATI kita.

Pada posisi ini, setiap kali mata kita memandang pada Yang

Dzahir, maka mata hati kita sekaligus juga sudah tajam dan

bisa melihat pada Yang Bathin. Keduanya terlihat saling penga-

ruh-mempengaruhi. Hubungan antara Yang Dzahir dan Yang

Bathin itu diikat oleh sebuah TALI yang sangat kuat, yaitu

berupa KETETAPAN atau TAQDIR yang tidak akan pernah

berubah.

Pada SAAT YANG SAMA ada Yang Dzahir berubah menjadi

Yang Bathin, dan ada pula Yang Bathin berubah menjadi Yang

Dzahir. Pada detik yang sama, ada yang mati berubah menjadi

yang hidup, dan ada pula yang hidup berubah menjadi yang

mati. Pada waktu yang BERSAMAAN, mulai pada sel yang

141

terkecil (mikro kosmos), sampai dengan di alam semesta raya

(makro kosmos), terjadi proses bersamaan pula antara

penzahiran dan penghancuran. Sangat sibuk sekali. Dan

kesemuanya itu terjadi dengan secara OTOMATIS, seperti

yang terjadi di dalam sebuah pabrik otomatis. Misalnya di

dalam pabrik mobil, atau pabrik minuman kaleng, atau di

pabrik lainnya. Semua bahan dan alat yang terlibat di dalam

pabrik itu bekerja dengan kadar dan ukurannya masing-

masing.

Begitulah, dengan adanya KETETAPAN atau TAQDIR itu, Semua

Yang Dzahir (in the Universe) juga seperti bisa bergerak de-

ngan sendirinya, bisa tercipta dengan sendirinya, dan bisa pula

hancur dengan sendirinya. Kita sendiripun bebas-bebas saja

dalam berkeinginan ini dan itu. Seakan-akan tidak ada SE-

SUATU yang mengatur-atur dan mencipta-ciptakan semua-

nya.

Kalaupun kita bisa melihat seperti ada SESUATU yang MEME-

GANG benda-benda di alam semesta raya ini, agar semuanya

bergerak secara teratur, mereka hanya bisa menyebutnya

sebagai Gaya Grafitasi dan beberapa gaya lainnya. Ya, hanya

GAYA, tidak lebih. Sehingga dengan begitu, banyaklah orang

yang berkesimpulan bahwa sebenarnya TIDAK ada Allah, tidak

ada syurga, dan tidak ada pula kehidupan akhirat sama sekali.

Seperti ini pulalah yang terlihat oleh STEPHEN HAWKING

sehingga diapun berkesimpulan : “We are each free to believe

what we want and it is my view that the simplest explanation

142

is there is no God. No one created the universe and no one

directs our fate. This leads me to a profound realization, there

is probably no heaven, and no afterlife either. We have this

one life to appreciate the GRAND DESIGN of the universe, and

for that I am extremely grateful.”

Walaupun Stephen Hawking seperti

tidak percaya dengan Allah, tidak

percaya adanya syurga, tidak per-

caya pada kehidupan sesudah mati,

akan tetapi di akhir kalimatnya dia masih mengakui bahwa

mau tidak mau dia tetap menghargai Grand Design dari alam

semesta ini, dan dia juga mengucapkan terima kasih yang

sangat dalam untuk kehidupan yang telah dia lalui. Hanya saja

kalau the Universe itu adalah itu sebuah Grand Design, lalu

siapa yang mendesignnya ??? Dan kalau dia ingin berterima

kasih, lalu kepada siapa dia akan berterima kasih ? Di sinilah

dia menjadi buntu.

Stephen Hawking dan orang-orang yang sependapat dengan-

nya boleh jadi baru sampai pada sepenggalan jalan. Dia baru

berbicara tentang apa-apa yang ADA dan TERJADI DI DALAM

tatanan SEBUTIR PASIR di tengah-tengah padang pasir, atau

pada SETETES AIR MASIN di dalam lautan luas. Walaupun yang

dia bicara-bicarakan itu adalah the Universe, Alam Semesta,

yang sekilas kelihatannya memang sudah sangat besar sekali,

seperti tanpa batas, akan tetapi itu tetap tidak ada apa-apanya

di bandingkan dengan Kemahaindahan Dzat yang MEMEGANG

143

the Universe itu. Kehebatan-Nya yang bak kedahsyatan Pa-

dang Pasir terhadap sebutir pasir, atau keperkasaan Samudera

Raya terhadap setetes air masin.

� Sedangkan DI ATAS the Universe itu masih ada TUJUH LAPIS

LANGIT yang tak terperikan besarnya.

� Di atas tujuh lapis langit itu masih ada Kerajaan Allah yang

disebut dengan Sidratul Muntaha.

� Di atas Sidratul Muntaha itu masih ada lagi Lapisan Air yang

sangat Masif.

� Di atas Lapisan Air itu masih ada pula Lapisan ARASY Allah

yang besarnya tak terkirakan.

� Dan di atas lapisan Arasy yang sangat luas itupun masih ada

lagi 70 Tirai Nur, yang menirai semua yang ada di bawah

Tirai Nur itu dari hancur-musnah dan terbakar hangus

karena terpandang oleh Dzat-Nya Yang Maha Sangat Suci,

Yang Maha Indah.

� Ya, DI ATAS 70 lapis Tirai Nur itulah bersemayam DZAT yang

sudah TIDAK bisa disebutkan dengan sebutan apapun juga,

yang menamakan Diri-Nya sendiri dengan ALLAH. The Pri-

mary Essense. Dzat yang membuat kita DIPAKSA untuk

BERHENTI berpikir, berwacana, dan berpersepsi. Kita dipak-

sa untuk berhenti menggunakan panca indera kita. Mata

kita seperti sudah buta, telinga kita seakan sudah tuli, hi-

dung kita bak sudah buntu, lidah dan kulit kita seumpama

144

sudah mati rasa. MATI sebelum mati. Kalau tidak berhenti,

maka kita akan tersiksa dengan sendirinya.

Sebab untuk Dzat Yang Maha Suci itu, hanya tersisa satu

ruangan lagi yang tersedia, yaitu RUANGAN IMAN. Tidak ada

ruangan lain. Dan Ruangan Iman itu adanya adalah di dalam

HATI atau AKAL kita. Hati atau Akal kitalah yang bisa memuat

Dzat Yang Maha Indah itu dengan cara kita mengimani-Nya.

Bukan memikirkan-Nya. Sebab kalau kita memikirkan-Nya ma-

ka jadilah kita tersesat ke mana-mana. Misalnya : kita mengira

satu di dalam tiga atau ramai, tiga atau ramai didalam satu;

kita berucap Dia adalah Aku, aku adalah Dia, dan sebagainya.

Iman inilah barangkali yang belum dimiliki oleh Stephen

Hawking dan orang-orang materialistis lainnya, sehingga

mereka berani berkata begitu.

Kalau kita sudah bersedia berhenti untuk berpikir, bahwa . . .

. . . hanya Allah sajalah alamat terakhir kita

dalam berpikir dan tempat berhenti kita

dalam segala hal,

. . . maka dengan segera kita akan masuk menjadi golongan

orang-orang yang BERMAKRIFATULLAH.

Oleh sebab itu marilah kita tuntaskan prosesi penafian tahap

kedua, yaitu untuk menafikan Tirai Nur, menafikan Lauhul

Mahfuz, untuk kemudian melakukan pengisbatan yang ter-

145

akhir, Laa Maujud Illallah, Laa Maujud Illallah, Bahwa tidak ada

wujud Tirai Nur, tidak ada Wujud Lauhul Mahfuz, tidak ada

wujud the Secondary Essense. Wujud yang ada hanyalah

SATU, yaitu semata-mata Dzat Yang Maha Indah. The Primary

Essense. Ya, yang exist semata-mata hanyalah Dzat saja. Dzat

yang menamakan Diri-Nya dengan Allah.

Dzat-Nya yang sedikit, the Secondary Essense, ternyata adalah

sebagian kecil saja dari Dzat-Nya Keseluruhan, the Primary

Essense. Ini ibarat belalai terhadap gajah, ibarat kuku terha-

dap seluruh tubuh kita, ibarat sebutir pasir terhadap padang

pasir, ibarat setetes air masin terhadap lautan. Begitu kita

menyebut nama Allah, maka Ingatan kita sudah benar-benar

langsung tertuju kepada Allah. Tidak ada lagi ingatan kita

kepada yang lain.

Tapi ingat, belalai tidak bisa mengatakan dia adalah gajah,

kuku tidak bisa mengatakan dia adalah tubuh, sebutir pasir

tidak bisa mengatakan dirinya adalah padang pasir, setetes air

masin tidak bisa mengatakan dirinya adalah lautan, the

secondary essense tidak bisa mengatakan dia adalah the

Primary Essense. Mereka tidak wujud. Dan untuk itu mereka

tidak perlu berkata ke mana-mana : ”Aku tidak wujud lho, aku

tidak wujud ! Tidak perlu begitu. Sebab dengan berkata

begitu, sebenarnya mereka masih wujud. Karena mereka

masih mengaku-ngaku. Diam sajalah.

Sebaliknya gajah bisa mengatakan bahwa belalai itu adalah

dia, tubuh bisa mengatakan bahwa kuku itu adalah dia, pa-

146

dang pasir bisa mengatakan bahwa sebutir pasir itu adalah

dia, lautan bisa mengaku bahwa setetes air masin itu adalah

dia. Ya, the Primary Essense bisa mengaku bahwa the second-

ary essense itu adalah Dia.

Allahpun berhak berkata bahwa Dzat-Nya yang sedikit itu

(Dzat Yang Bathin), yang berada di Lauhul Mahfuz, adalah Dia.

Dan Allah juga berhak berkata bahwa penzahiran Dzat-Nya

yang sedikit yang menjadi semua ciptaan, ilmu, dan nama-

nama (Dzat Yang Dzahir) adalah Dia. Sehingga Allah bisa

berkata : “Akulah Yang Bathin, Akulah Yang Dzahir. Yang mem-

bunuh bukan kamu (ya Muhammad), tapi Aku. Yang melem-

par bukan kamu ( ya Muhammad), tapi Aku !”

Nah, Allah inilah yang akan selalu kita INGAT-INGAT di dalam

HATI atau AKAL kita pada semua kesempatan. Apakah itu saat

berdiri, saat duduk, saat berbaring, di dalam shalat, diluar

shalat, ketika bekerja, ketika berkarya, atau ketika berdagang.

SETIAP SAAT. Agar kita tidak lupa lagi, maka kita TUMPUKAN

Mata Hati kita pada ingatan kepada Allah itu. Mata hati kita

akan terpandang pada kekosongan. Tidak ada rupa, tidak ada

umpama, tidak ada huruf, tidak ada warna, tidak ada ejaan.

Keadaan seperti inilah yang disebut sebagai keadaan awal di

dalam shalat, atau TAKBIRATUL IHRAM. Ketika kita mengu-

capkan Allahu Akbar, ucapan kita itu akan seirama dengan

ingatan di dalam Hati kita yang sedang ingat kepada Allah, dan

pandangan Mata Hati kiita yang sedang memandang kepada

Dzat yang tidak bisa diserupakan dengan apapun juga. The

147

Primary Essense. Kosong. Dan ketika itulah Allah akan mem-

balas ingatan kita itu dengan memberikan tanda-tanda keber-

adaan-Nya kepada kita melalui Hati atau Akal kita. Sungguh

“FADZKURUNI ADZKURUKUM” adalah sepotong ayat Al Qur’an

yang bukan sembarangan ayat. Ini adalah ayat yang sangat

luar biasa. Tapi kenyataan ayat itu HANYA akan bisa dirasakan

oleh orang-orang yang BERIMAN saja. Beriman karena sudah

bermakrifatullah. Dan itu akan bisa dirasakan kapanpun juga,

sepanjang zaman.

Sampai di sini, selesailah Artikel : “Bagaimana Kalau (Hati) Kita

Buta dan Tuli9.” Sungguh Setiap huruf, kata, dan kalimat hanya

bisa tertuang dan tertulis karena sudah ada IZIN atau KETE-

TAPAN dari ALLAH semata. Bagi sahabat dan pembaca yang

bisa mengerti ataupun tidak, itu juga adalah ketetapan Allah.

Bagi yang telah ditetapkan oleh Allah untuk bisa mengerti,

bersyukurlah, karena insyaallah Allah akan menambah pe-

ngertian kita di lain waktu. Sebaliknya, bagi yang belum bisa

mengerti, bersabarlah, karena di dalam ketidakmengertian

kita itu tetap akan ada hikmah yang bisa kita petik.

9 http://yusdeka.wordpress.com/2014/08/21/bagaimana-kalau-hati-kita-

buta-dan-tuli-bagian-1/

148

Artikel 7 :

Esensi Khalifatullah10

Orang yang belum SELESAI dalam beragama, Ia tidak akan

mampu untuk memikul tugas Khalifatullah di muka bumi ini.

Karena :

• Ia hanya akan disibukkan secara terus menerus untuk

mencari Siapa Tuhannya dan kadangkala sampai bertengkar

pula tentang cara-cara untuk berhadap-hadapan dengan

Tu-hannya;

• Ia akan selalu sibuk untuk menelisik tentang orang macam

Apakah Nabi-Nya;

• Ia akan sibuk untuk menelisik tentang ESENSI jati dirinya;

dan

• Ia akan selalu sibuk pula untuk mencari-cari orang lain yang

akan dijadikannya sebagai Objek untuk dihakiminya dan

diajarinya demi pelampiasan EGONYA.

Dia akan selalu bergaduh dan dan bertengkar dengan orang

lain, dengan pikiran dan dirinya sendiri, bahkan dengan Tu-

hannya sekalipun.

Dia akan selalu berkata dan menyalah-nyalahkan : “Kenapa ?”

“Seharusnya !” “Kalau !” Dan tentu saja “Ini Aku dan ini Milik-

ku ! Sehingga Ia lupa untuk IQRA’, MEMBACA HIKMAH dari

10 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/19/esensi-khalifatullah/

149

setiap ciptaan, kejadian, dan peristiwa. Sebab Allah ternyata

telah menyembunyikan Hikmah yang sangat dahsyat di balik

setiap apa yang Dia Ciptakan dan Zahirkan yang berasal dari

sedikit Dzat-Nya sendiri.

Karena ia luput dalam membaca hikmah itu, maka Iapun akan

luput pula untuk mendapatkan ILMU dan KEMANFAATAN

yang TERBARUKAN yang KEMASLAHATANNYA bisa ia dan

orang lain rasakan di zaman di mana dia berada saat ini mau-

pun di masa yang akan yang akan dinikmati oleh anak ketu-

runannya.

Dan inilah tugas yang TIDAK bisa dipikul oleh SEMUA Makhluk

Allah, kecuali oleh kita umat MANUSIA. Karena kita memang

telah diperlengkapi oleh Allah dengan AKAL/HATI (MIND) yang

sungguh teramat SEMPURNA, agar kita mampu untuk menja-

lankan fungsi KEKHALIFAHAN kita di muka bumi ini.

Sebab ternyata fungsi Khalifatullah itu :

• Bukanlah hanya sekedar untuk bisa membantu

yang lemah dan yang miskin,

• Bukan hanya sekedar untuk bisa berbuat baik

bagi sesama, bukan hanya sekedar untuk bisa

mengajari orang lain agar bisa shalat-mengaji

dan ibadah-ibadah lainnya, dan

150

• Bukan pula untuk sekedar bisa mengajarkan

kepada orang lain tentang ilmu-ilmu yang telah

tua, basi, dan tidak terpakai lagi di zaman

sekarang, terutama untuk ilmu-ilmu Alamiah.

Tidak seperti itu ternyata.

Sebab, Subhanallah ! Ternyata tugas kekhalifahan itu sungguh

sangat Agung dan sangat Mulia, yang hanya akan bisa diker-

jakan dan dijalankan oleh umat manusia yang sekelas dan se-

kaliber ULUL ALBAB.

Yaitu :

���� Orang yang selalu bisa BERINTERAKSI dengan

Allah, baik saat berdiri, duduk, maupun

tiduran. Kemudian dengan AKAL/ HATINYA Ia

mampu untuk MEMBACA HIKMAH atau

PENGA-JARAN ALLAH, yang disembunyikan

oleh Allah di sebalik semua ciptaan-Nya,

semua kejadian dan peristiwa yang di-

Zahirkan-Nya tak henti-hentinya.

151

� Lalu ia bersedia mewakili Allah untuk

merumuskannya menjadi sebuah ILMU dan

merealisasikannya dalam bentuk sebuah

KEMANFAATAN yang bisa dinikmati dan

dirasakan oleh orang lain.

���� Lalu Ia akan semakin dalam untuk tunduk dan

berserah dalam berinteraksi dengan Allah.

Karena Mata Hatinya sudah sangat tajam

untuk memandang bahwa Tidak ada satupun

dari ciptaan, peristiwa, dan kejadian yang

diZahirkan oleh Allah secara sia-sia. Mata

Hatinya sudah mampu memandang

kemahasucian Allah yang TERBEBAS dan

TERHINDAR dari kesemberonoan dan

kelemahan perencanaan. Lalu akhirnya Ia

duduk bersimpuh dalam sebuah do’a yang

lembut agar Ilmu yang telah Ia baca dan

ungkapkan itu tidak menjadi SIKSAAN bagi

dirinya sendiri maupun bagi orang lain, tidak

hanya di dunia ini tetapi juga di akhirat kelak.

152

Artikel 8 :

Makrifatullah, Sulitkah ??11

Pandangan TYPICAL dari hampir seluruh umat Islam terhadap

Makrifatullah. Seakan-akan . . .

Makrifatullah itu adalah sebuah JENJANG atau

MAQAM keilmuan yang sangat WAH, yang tidak

sembarangan orang bisa mendapatkannya.

Inilah DISTORSI ILMU yang sangat parah yang telah terjadi

dalam mempelajari ISLAM akibat dari praktek :

• tasawuf-tarekat dan

• juga tasawuf-wali-wali,

dibandingkan dengan praktek tasawuf-jalan Nabi-Nabi.

Dalam ajaran tasawuf-jalan Nabi-Nabi,

. . . makrifatullah adalah pelajaran yang PALING

DASAR, yang akan menjadi PONDASI bagi

siapapun juga, SEMUA ORANG,

dalam kehidupan BER-SYARIAH

yang akan kita amalkan dan dirikan di atasnya.

11 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/06/24/makrifataullah-sulitkah/

153

Sedangkan dalam ajaran tasawuf-tarekat dan tasawuf-wali-

wali,

. . . makrifatullah adalah sebuah puncak MENARA

GADING ILMU, yang hanya bisa dicapai oleh

segelintir orang-orang khusus,

. . . yang telah menjalani berbagai cara yang mungkin hanya

bisa diamalkan dengan mudah oleh kurang dari 1% dari kese-

luruhan umat Islam. Oleh sebab itu, BERSEGERALAH bermakri-

fatullah, mengenal Allah, karena kita akan menyembah Allah

dalam shalat, kita akan berihsan kepada-Nya dalam setiap

saat.

Karena . . .

. . . Makrifatullah adalah Ilmu yang PALING DASAR

yang kita butuhkan untuk hidup bertuhankan

Allah.

Makrifatullah bukanlah ilmu yang baru akan bisa kita dapatkan

setelah 20 tahun berdzikir (wirid). Bukan. Bahkan Anak TK / SD

sekalipun bisa diajarkan untuk bermakrifatullah. Sebab makri-

fatullah adalah ilmu yang wajib kita punyai kalau kita ingin

menjadi orang yang beriman kepada Allah.

154

Makrifatullah adalah ilmu dasar yang harus kita

punyai agar kita bisa menjalankan Syariat dengan

tanpa beban.

Karena syariat tak lain adalah pengamalan dan penghayatan

tentang berhakekat dan bermakrifat.

155

Artikel 9 :

Kalung Yang Sudah Terpasang di Leher12

A. Mudahnya Mengaku Beriman dan Sulitnya Menjalani

Hidup Sesuai Dengan Sikap Seorang Yang Beriman

Iman atau percaya adalah sebuah kata yang sangat

mudah untuk kita ucapkan. Misalnya : kita dengan mudah

berkata bahwa kita sudah beriman :

• kepada Allah,

• kepada Malaikat,

• kepada Kitab-kitab Allah,

• kepada Nabi dan Rasul Allah,

• kepada hari akhir, serta

• kepada takdir baik dan buruk.

Namun ternyata . . .

. . . banyak di antara kita yang sangat sulit

untuk menjalani hidup ini dengan sikap yang

sesuai dengan sikap seorang yang beriman,

. . . terutama untuk beriman kepada rukun iman yang ke-

6, yaitu :

12 http ://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-

terpasang-di leher/

156

• kita tidak hanya harus percaya kepada adanya takdir

yang baik dan yang buruk, akan tetapi

• kita juga diharuskan untuk beriman bahwa keduanya

itu berasal dari Allah.

Kita seringkali diberi contoh tentang perilaku makhluk

yang gagal dalam mengimani rukun iman yang ke-6 ini

adalah seperti apa yang dilakukan oleh Iblis kepada Allah

terhadap penciptaan Adam AS. Iblis memperlihatkan

ketidakpercayaannya atas AF’AL atau Perbuatan Allah

yang berkenan untuk menciptakan Nabi Adam AS, se-

hingga diapun berani membantah Allah dengan sombong-

nya. Dia tidak mau memenuhi perintah Allah untuk sujud

kepada Adam. Iblis telah berlaku sombong kepada Nabi

Adam AS yang hanya tercipta dari tanah yang menurutnya

lebih rendah dan hina dari dirinya yang ter-cipta dari dari

api. Sehingga akhirnya diapun terpaksa keluar dari syurga

karena ketidakpatuhannya itu. Dan kelak ia pun akan

dimasukkan pula ke dalam neraka.

Dalam perjalanannya, Nabi Adam AS pun akhirnya harus

keluar pula dari syurga. Namun selama ini kita lebih

banyak diberitahu atau belajar bahwa keluarnya Nabi

Adam AS dari syurga itu adalah karena Beliau telah gagal

menghadapi godaan Iblis yang selalu menggoda Beliau

untuk memakan buah khuldi yang memang sebelumnya

sudah dilarang oleh Allah untuk Beliau makan.

Di dalam banyak pengajian, kita juga sering diberitahu

157

bahwa hanya satu jenis makhluk saja akhirnya yang

berhasil untuk mengimani AF’AL atau Perbuatan Allah

atas penciptaan Nabi Adam AS, yaitu malaikat. Sehingga

malaikatpun bisa tetap menjadi makhluk langit yang

kebaikannya menjadi dambaan bagi umat manusia.

Bukankah kita sering berkata bahwa kita ingin mempunyai

kualitas diri yang sebersih dan sesuci malaikat ?

Dengan cara belajar seperti itu, kita akhirnya berkesim-

pulan bahwa :

• Iblis keluar Allah dari syurga dan kelak akan dimasuk-

kan-Nya ke dalam neraka kelak adalah karena kesom-

bongan dan kedurhakaan iblis kepada Allah.

• Begitu juga, kita menganggap bahwa keluarnya Nabi

Adam AS dari syurga adalah karena kegagalan Beliau

dalam menghadapi godaan iblis.

• Dan sebaliknya, keberhasilan Malaikat untuk tetap

menjadi makhluk langit adalah karena kepatuhannya

kepada Allah.

Lalu kitapun kemudian diperintahkan untuk bisa menjadi

kuat dan tidak tergoyahkan dalam menghadapi godaan

iblis yang ternyata tetap berlanjut sampai ke masa kita

sekarang dan ke zaman anak cucu kita kelak. Kalau kita

kuat menghadapinya, maka kita merasa seakan-akan itu

adalah sebagai hasil usaha keras kita yang dibarengi

dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan dengan Se-

mangat Empat Lima dan ditambah lagi dengan do’a-do’a

158

perlindungan yang selalu kita panjatkan kepada Allah.

Dengan paradigma berpikir seperti itu, telah melahirkan

beragam sikap kita dalam menghadapi berbagai proble-

matika kehidupan yang kita hadapi. Pada kesempatan ini

kita akan membahas beberapa paradigma itu, berikut

dengan contoh-contoh perbuatan apa yang mungkin akan

kita lakukan jika kita mengikuti salah satu paradigma

berpikir itu.

a. Ada ungkapan : “Apapun kebaikan yang saya lakukan,

katakan, dan alami, itu semata-amat adalah dari Allah

SWT, sedangkan apapun keburukan yang saya

lakukan, katakan, dan alami itu adalah semata-mata

karena kebodohan saya sendiri.” Kalimat itu seakan-

akan sangat bagus sekali. Beberapa khatib Jum’at dan

penceramah agama seringkali mengucapkannya

dengan mudah.

Dengan ucapan kalimat itu, kita seakan-

akan terlihat sudah menjadi orang yang

sangat rendah hati dan tidak sombong.

b. Begitu juga kalau terjadi sebuah bencana alam di

tempat kita berada, dengan gagah berani kita segera

akan berkata bahwa bencana alam itu adalah semata-

mata karena kesalahan kita sendiri. Kita mengatakan

bahwa Allah telah menghukum kita karena kita telah

159

menjadi orang yang jahil dan tidak mematuhi

perintah Allah.

Ketika di suatu tempat terjadi bencana gempa yang

kadangkala bisa pula diikuti oleh hantaman gelom-

bang tsunami, dan membunuh ribuan bahkan ratusan

ribu jiwa, dengan mudahnya kita seakan-akan telah

berubah menjadi HAKIM terhadap masyarakat yang

jadi korban, atau menjadi Jaksa terhadap Allah SWT.

Kepada korban bencana kita seringkali berkata : “Itu

terjadi karena masyarakat di daerah yang terkena

bencana tersebut sudah terlalu banyak berbuat dosa

dan maksiat kepada Allah, sehingga Allahpun meng-

hukum mereka karena perbuatan mereka itu.

Ungkapan kalimat kita di atas sekilas memang seperti

sangat sesuai dengan ayat Al Qur’an yang artinya :

• “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut dise-

babkan karena perbuatan tangan manusia, Allah

menghendaki agar mereka merasakan sebagian

dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kem-

bali (ke jalan yang benar)”, QS Ar-Rum (30//41).

• “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu

disebabkan oleh perbuatan dosamu sendiri, dan

Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-

kesalahanmu)”, QS Asy-Syuura (42/30).

• “Dan bila dikatakan kepada mereka, “janganlah

kamu membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka

160

menjawab, “sesungguhnya kami adalah orang-

orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah,

sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan

tapi mereka tidak sadar”, QS Al-Baqarah (2/11-12).

Atau hadist-hadist :

• Apabila kemaksiatan telah merajalela pada

umatku, maka Allah azza wa jalla akan meratakan

mereka dengan adzab dari sisi-Nya.” (Lihat :

ash-Shohihah no. 137)

• “Apabila perzinaan dan transaksi riba telah merata

pada suatu negeri maka Allah azza wa jalla meng-

izinkan negeri itu untuk dihancurkan.” (ad-Da`wa

ad-Dawa`, hlm. 70)

• “Tidaklah bumi ini diguncang melainkan karena

maksiat yang dikerjakan di atasnya.” (ad-Da` wa

ad-Dawa`, hlm. 74)

Dengan berpedoman ayat-ayat dan hadist-hadis di

atas, lalu kita ikut-ikutan mengambil kesimpulan sen-

diri bahwa . . .

. . . kerusakan yang timbul itu memang

disebabkan tidak lain oleh

perbuatan manusia sendiri.

Kerusakan itu dapat terjadi dalam bentuk kerusakan

lingkungan dan bencana alam yang bisa digolongkan

161

sebagai kerusakan fisik, dan dapat pula dilihat dalam

bentuk kerusakan moral yang ditandai dengan dia-

baikannya aturan hukum dan aturan Allah. Sehingga

dengan sebab itu, maka Allah kemudian menurunkan

bencana kepada kita.

Akan tetapi, nanti kita akan memandang masalah

yang berkenaan dengan ayat-ayat dan hadist-hadist

di atas melalui sebuah paradigma berpikir yang lain,

yaitu paradigma berpikir orang-orang yang sudah

bermakrifatullah. Paradigma yang akan membawa

kita untuk beriman TOTAL kepada Rukun Iman yang

keenam, bahwa yang Baik dan yang Jahat keduanya

datang dari Allah.

Sebab kalau kita gagal dalam mengimani Rukun Iman

yang keenam ini, kita akan seringkali bertindak

seperti seorang JAKSA yang sedang menginterogasi

Allah : “Ya Allah, KENAPA terjadi gempa dan tsunami

di daerah ini ? Khan penduduknya banyak yang baik

dan suka beribadah ? Khan harusnya begini dan be-

gitu ? Khan SEHARUSNYA daerah yang terkena gempa

dan tsunami itu adalah di Eropa, Amerika, atau Cina

sana, yang penduduknya banyak yang suka berbuat

maksiat !” Kalimat-kalimat yang mirip dengan yang

diucapkan oleh Iblis kepada Allah ketika Allah men-

ciptakan Nabi Adam AS. Artinya :

162

. . . kalimat-kalimat itu sebenarnya adalah

kalimat yang akan diucapkan oleh orang

yang belum beriman kepada Allah. BELUM.

Dengan berkata seperti di atas, maka sebenarnya kita

telah membuat rukun iman yang baru, Rukun Iman

yang ke-7. Padahal rukun iman ke-6 mensyaratkan

bahwa :

. . . yang BAIK maupun yang BURUK yang

kita lakukan, kita katakan, dan kita alami,

semuanya itu adalah berasal dari Allah,

. . . karena Allah memang telah menakdirkan kita

untuk melakukan sebuah perbuatan, mengatakan

suatu perkataan itu, dan menerima sebuah keadaan

yang kita alami. Ya, yang BAIK dan yang BURUK,

keduanya adalah berasal dari Allah.

c. Ketika terjadi musibah atau bencana di suatu tempat,

seperti wabah penyakit menular, gempa bumi, tsu-

nami, kebakaran hebat, kemarau panjang, banjir, dan

sebagainya, maka kita dengan mudahnya mengung-

kapkan tanda-tanda keberadaan kita kepada orang

lain.

Ketika kemarau panjang terjadi, kemudian kita

163

berdo’a atau Shalat Istisqa beramai-ramai, lalu tak

lama kemudian benar saja hujan turun dengan deras-

nya, maka kita akan mudah sekali berkata, “Al-

hamdulillah do’a dan shalat istisqa kita berhasil

dikabulkan oleh Allah.” Seakan-akan hujan yang turun

itu adalah hasil dari do’a dan shalat yang kita lakukan.

Atau bisa pula dalam bentuk ungkapan pengkultusan

kita terhadap seseorang yang dengan mudahnya kita

ucapkan, misalnya, jika Pak XYZ datang ke suatu

daerah maka di daerah itu akan segera turun hujan.

Sehingga musim kering akan segera berakhir, asap

dan debu pekat yang menyelimuti bumi karena keba-

karan hutan (misalnya) akan segera hilang lenyap.

Di suatu musim penghujan, setiap hari hujan turun

dengan derasnya, kemudian ada yang ingin menga-

dakan acara kenduri perkawinan, lalu ada orang

tertentu (pawang hujan) yang dimintakan petolong-

annya untuk menunda atau menahan agar hujan

tidak turun. Ketika hujan benar-benar tidak turun,

maka kita akan berkata, hebat ya pawangnya. Se-

akan-akan tidak turunnya hujan itu adalah karena

usaha dari si pawang.

Sehingga muncul keraguan orang terhadap

seberapa besar kekuasaan Allah untuk

164

menurunkan hujan.

Untuk bagian ini, sungguh sangat banyak sekali hal-

hal yang bisa kita pakai untuk menunjukkan keber-

adaan kita kepada orang lain. Mulai dari ilmu yang

bisa diilmiahkan, sampai dengan ilmu-ilmu yang

berhubungan dengan batin manusia.

d. Ketika dikatakan bahwa :

• “Tak seorangpun daripada kamu kecuali SUDAH

DITETAPKAN tempatnya di SYURGA atau NERAKA

!” Terjemahan Sunan Ibnu Majah Bk. 1, 66 (1992).

• Dan juga bahwa “tiap-tiap manusia itu telah Kami

tetapkan amal perbuatannya sebagaimana tetap-

nya kalung pada lehernya”, Al Israa (17) : 13.

• Ditambah lagi dengan : “Semuanya akan dipermu-

dahkan untuk yang mana telah ditentukan untuk-

nya”, Terjemahan Sahih Al Bukhari Bk. 8, 402

(1987).

Maka kita dengan gagah berani kita seringkali berkata

: “Kalau begitu di mana dong KEADILAN Allah ?” Kalau

saya diciptakan Allah hanya untuk kelak masuk ke

neraka juga akhirnya, dan dipermudah pula untuk

berbuat jahat atau maksiat, khan lebih baik saya tidak

diciptakan oleh Allah. Mana KEADILAN Allah ?”

Oleh sebab itu, seringkali kita umat Islam ini MATI

165

LANGKAH untuk menjawab pertanyaan yang datang

dari seorang non-muslim seperti berikut : “Saya

adalah seorang yang terlahir di keluarga Kristen,

misalnya, dari kecil saya sudah diajarkan untuk

menjadi seorang kristen, ibadah saya secara Kristen,

hidup saya secara Kristen, saya juga tidak pernah

berbuat jahat atau maksiat, saya tidak pernah

menyakiti orang lain. Akan tetapi menurut agamamu

saya ini tetap akan masuk neraka kelak. Lalu keadilan

Allah mu di mana ?”

Karena kita mati langkah, kemudian orang non-

muslim itu menyampaikan kehebatan kasih sayang

Tuhan di dalam agama mereka, maka tidak sedikit

umat islam yang akhirnya berpindah agama menjadi

non-muslim.

Jawaban tentang pertanyaan “Mana keadilan Allah ?”

ini insyaallah akan kita bahas pada saatnya.

e. Kita juga sering mendengar ungkapan-ungkapan :

“Berusaha dong, jangan pasrah saja, jangan ngimpi

saja, jangan hanya berdo’a saja, jangan hanya ber-

pangku tangan saja, hayo ihktiar sana ! Khan Allah

juga sudah berfirman dalam surat QS. Ar-Ra’du

(13/11) : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah

keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah

keadaan diri mereka sendiri.” Jelas sekali ayatnya.

Akan tetapi pada lanjutan ayat yang sama, Allah juga

166

mengingatkan bahwa : “Dan apabila Allah menghen-

daki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada

yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi

mereka selain Dia.”

Di ayat lain Allah juga berkata : “Dan Tuhanmu ber-

firman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuper-

kenankan bagimu.” (QS Al-Mu’min 60).

Pada kesempatan lain, Rasulullahpun pernah bersab-

da :

• “Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku : Wahai

Muhammad, sesungguhnya Aku kalau sudah me-

nentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang

sanggup menolaknya”, HR Muslim.

• “Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah

kecuali do’a”, HR Tarmidzi.

• “Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan

dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyam-

bung silaturrahim”, HR Bukhari.

Kemudian ditambah lagi dengan ayat-ayat yang ber-

kenaan dengan hubungan antara taqwa dan tawakkal

dengan jalan keluar dari permasalahan kita dan

kemudahan rezki yang sudah sangat familiar di

telinga kita : “Barangsiapa yang bertaqwa kepada

Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan pe-

nyelesaian. Dan memberinya rezeki dari arah yang

tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang berta-

167

wakkal kepada Allah nescaya Allah akan mencu-

kupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq : 2-3).

KEKELIRUAN dalam memahami rangkaian ayat-ayat Al

Qur’an dan Al Hadist di atas ternyata telah memecah

belah umat Islam menjadi beberapa paham atau

paradigma berpikir dalam menghadapi berbagai

MASALAH KEHIDUPAN yang kelihatannya seperti

saling bertolak belakang satu sama lainnya.

Di satu sisi extrim ada pemikiran QADARIYAH, di sisi

extrim yang lain ada pula filsafat JABARIYAH, dan

pada posisi pertengahan ada Paham ASY’ARIYAH.

Pecahan dari paham-paham di ataspun kemudian

bermunculah, seperti : MU’TAZILAH (yang merupakan

pecahan pemikiran Qadariyah); JAHMIYAH, NAJJA-

RIYAH, DHIRARIYAH (yang merupakan varian dari

filsafat Jabariyah); SYI’AH, Sunni, Wahabi, dan

sebagainya.

Walaupun masih ada satu paradigma berpikir lainnya

yang dianut oleh sebagian besar umat Islam, yaitu

Paham AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAH, namun

persentuhan paham ini dengan paham-paham yang

lainnya tetap tidak dapat dihindarkan. Sehingga

akhirnya hampir saja kita umat islam ini menjadi

umat yang tidak mampu lagi untuk beriman secara

UTUH kepada Rukun Iman ke-6. Yaitu percaya kepada

TAQDIR (QADA, QADAR), bahwa yang baik maupun

168

yang buruk, keduanya berasal dari Allah.

Iman kita menjadi sangat lemah untuk mempercayai

Rukun Iman ke-6 ini, walaupun kita sudah tahu ada

ayat Allah yang berkata : “Maka Dia mengilhamkan

kepadanya (jiwa) jalan kejahatan dan ketaqwaan”,

(asy-Syams (91) : 8, sehingga hanya dengan sebab

ilham itulah kita semua akan bisa menjadi orang jahat

atau orang yang bertaqwa.

PERSAMAAN UTAMA dalam hal SIKAP dari semua

paham di atas, adalah adanya anggapan bahwa KITA

sebagai manusia adalah WUJUD. Karena kita merasa

ada, maka kita merasa berhak pula untuk mengaku

bahwa kita merasa bisa pula untuk menentukan

SIKAP kita sendiri ketika kita berhadapan dengan

KEKUATAN dan KEKUASAAN ALLAH. Perbedaan SIKAP

ketika menghadapi Kekuatan dan Kekuasaan Allah

inilah yang menjadi PERBEDAAN UTAMA dari paham-

paham di atas. KECUALI kalau kita mengikuti SIKAP

seperti yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad

SAW, para salafus shaleh, dan beberapa penerus

Beliau yang amanah.

Mari kita lihat perbedaan-perbedaan SIKAP dari para

penganut paham-paham tersebut.

169

a. Qadariyah

Jika kita BERPAHAM QADARIYAH (PQ), di sam-

ping kita beranggapan bahwa : “KITA adalah

WUJUD, kita juga punya KEMAMPUAN, KUASA,

QUDRAH, untuk melakukan sesuatu, bahkan un-

tuk menentukan masa depan kita sendiri, sesuai

dengan apa yang kita kehendaki. Kita menggang-

gap bahwa hasil apapun yang kita dapatkan, itu

nyaris tanpa campur tangan Allah sedikitpun. Kita

bebas. FREE WILL dan FREE ACT. What we think,

we become. Paham Qadariyah ini bisa pula dise-

but sebagai paham RASIONALIS.

Di sini kita jadi tidak percaya lagi kepada taqdir.

Kita mengingkari iman kita kepada qadha dan

qadar. Kita akan menganggap bahwa Allah BE-

LUM selesai dalam membuat rencana. Allah BE-

LUM SEMPURNA merencana, Allah tidak menen-

tukan dan tidak mengetahui suatu perkara sebe-

lum perkara itu terjadi. Untuk terjadinya sebuah

perkara, kita mempunyai andil di dalamnya.

Artinya Allah baru mengetahui sebuah perkara

ada setelah perkara itu terjadi. Kita jadi meyakini

bahwa semua manusia mempunyai kekuatan

untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi

dari Allah SWT. Bahkan untuk men-dapatkan sur-

ga dan neraka sekalipun, itu adalah atas kehen-

170

dak kita sendiri, bukan karena taqdir dari Allah.

Ternyata Paham Qadariyah ini masih berkem-

bang sampai sekarang, walau dalam penyam-

paiannnya dipoles dengan kata-kata modern atau

istilah-istilah masa kini. Misalnya ungkapan-

ungkapan :

a) “Hidup ini adalah permainan GETARAN PI-

KIRAN DAN PERASAAN manusia belaka. Kita

BISA mengubah Nasib kita hanya dengan

mengubah pola-pola Getaran Pikiran dan

terutama Perasaan kita dengan cara kita

MENGAKSES getaran perasaan tertentu yang

menyebabkan keberhasilan”, kata salah

seorang PAKARNYA di setiap kesempatan.

b) “Kita BISA MENGUBAH NASIB dengan mela-

kukan REPROGRAM ALAM BAWAH SADAR.

Ketika kita menghadapi berbagai kemelut

kehidupan, kita sering kali merasa tak ber-

daya, semua jalan terasa buntu, kita me-rasa

menjadi korban, yang pada akhirnya kita me-

rasa putus asa. Padahal sebenarnya kita

tidak perlu menjadi korban. Percaya atau

tidak, sebenarnya kita dapat mencip-takan

sendiri semua yang kita inginkan. Itu melalui

reprograming alam bawah sadar kita”

171

c) “Untuk proses itu kita hanya perlu melaku-

kan proyeksi-proyeksi mental yang pakem-

nya adalah sebagai berikut :

1- Kita masuk ke gerbang Alam Bawah

Sadar melalui kondisi otak Gelombang

Alpha (8-13,9 Hz), Untuk itu kita cukup

hanya dengan mendengarkan suara-

suara digital tertentu, atau melakukan

aneka meditasi.

2- Kita menggambarkan bayangan mental

dengan visualisasi, menciptakan ide, ba-

yang mental, atau gambaran yang kita

inginkan, atau bisa pula dengan mema-

sukkan pemahaman-pemahaman ten-

tang kata-kata seperti :

a) tercerahkan, kedamaian, sukacita,

cinta, penerimaan, rela untuk Po-

wer, atau

b) berani, bangga, marah, ambisi, ta-

kut, depresi, minder, dan lain-lain,

untuk Force.

3- Afirmasi atau self talk, dengan mengu-

capkan kata-kata tersebut atau mantra

tertentu secara berulang-ulang, sampai

muncul keyakinan kita terhadap apa

yang kita inginkan bahwa apa yang kita

kehendaki itu pasti terlaksana. Sehingga

172

keinginan kita itu terekam kuat dia alam

bawah sadar kita.

4- Tambahkan emosi atau perasaan yang

menyenangkan, bahwa kita bisa menim-

bulkan rasa senang seakan-akan keingin-

an kita itu sudah terwujud. Karena Alam

Bawah Sadar memang TELAH DIDEFINI-

SIKAN TERLEBIH sebagai alam yang tidak

bisa membedakan antara kenya-taan

atau khayalan.

5- Lakukan hal itu secara terus menerus

secara dan tekun. Tapi ingat, semuanya

memerlukan proses dan waktu yang cu-

kup untuk terwujud menjadi realitas

yang kita harapkan.” Akhirnya kita di-

minta untuk melupakannya, dan me-

nunggu.

“Mari, marilah, beramai-ramai, jangan sampai

ketinggalan, karena kesempatan sangat terba-

tas”, kata kita dengan penuh antusias. Atau bisa

pula dengan memakai kalimat-kalimat hip-nosa

lainnya : “Bagi yang sakit ingin sehat, atau yang

miskin ingin kaya, atau yang nelangsa ingin ba-

hagia, atau yang lemah dan lebay ingin sakti, atau

yang ini ingin itu, maka bergabunglah dengan

kami. Sebab kami adalah ahli di bidang tersebut.

Kalau tidak percaya, lihatlah kesaksian pesohor

173

negeri ini yang sudah membuktikan kehebatan

teknik yang kami tawarkan”, kata berbagai iklan

di media cetak dan media sosial dengan sangat

instens.

Nantinya, yang akan membedakan teknik dari

trainer yang satu dengan trainer yang lain hanya-

lah kulit-kulitnya saja. Sebenarnya isi dari semua

teknik itu adalah sebelas dua belas saja.

Tapi ada sebuah pertanyaan yang patut kita

renung-renungkan dengan seksama : “Bagaimana

kita akan bisa BERUCAP, misalnya, mencintai,

bahagia, tenteram, kalau saat mengucapkan

kata-kata itu kita sedang TIDAK merasakan RASA

mencintai, bahagia, dan tenteram itu ? Bukankah

dengan begitu sebenarnya kita sedang MENIPU

diri kita sendiri ?? Yang kemudian diperhalus de-

ngan memakai istilah menghipnosa diri sendiri

(self hypnotis).

Saat kita mencari RASA mencintai, kebahagiaan,

dan ketenteraman itu dengan menghipnosa otak

kita sendiri, di dalam Kitab Madarijus Shalihin

disebutkan bahwa :

a. Kita barulah sampai pada posisi NAFS AWAL

(nafas pertama).

b. Di atas peringkat Nafs Awal ini ada NAFS

TSANI (nafas kedua), yaitu orang-orang yang

174

mendapatkan kebahagiaan dan ketenteram-

an jiwa dengan cara ia menjalankan pe-

rintah-perintah Allah di dalam Al Qur’an dan

Al Hadist, seperti ia membaca Al Qur’an,

shalat, dzikir-dzikir dalam bentuk wiridan,

dan sebagainya.

c. Sedangkan di atas Nafas Tsani ada peringkat

NAFS TSALIS (Nafas ketiga), yaitu peringkat

bagi orang-orang yang sudah beriman total

kepada Rukun Iman keenam. Ia juga sudah

berhasil untuk kembali bersikap seperti sikap

seorang bayi.

Untuk pasal ini, silahkan baca buku “Menemukan

Khusyuk Yang Hilang”, buah pena Ustads Abu

Sangkan.

Kalaupun kita masih tetap bersikeras untuk

menghipnosa otak kita dengan cara-cara seperti

itu, baik dengan ataupun tanpa bantuan orang

lain, maka rasa mencintai, bahagia, dan tenteram

yang akan kita rasakan itu hanyalah SEBATAS rasa

mencintai, bahagia, dan tenteram yang SUDAH

ada tersimpan di dalam memory kita. Tidak lebih

dari itu.

Artinya rasa mencintai, bahagia, dan tenteram itu

hanya akan kita rasakan pada saat terapi hipnosa

itu sedang dilakukan saja. Sedangkan untuk

175

masa-masa setelah itu, pengaruh rasanya sudah

nyaris menjadi hilang kembali, nol besar. Karena

otak kita memang sudah bosan dengan rasa-rasa

yang sudah pernah ada itu.

Itulah yang menyebabkan kita seperti orang yang

tidak pernah henti-hentinya berusaha dan ber-

usaha ke sana-ke mari untuk mencari rasa men-

cintai, bahagia, dan tenteram. Kita sibuk dengan

latihan ini latihan itu, kita sibuk terus dari semi-

nar ini ke seminar itu. Dan itupun nyaris tidak

menghasilkan perubahan apa-apa di dalam diri

kita.

Dan begitu jugalah yang terjadi di masa sekarang

ini. Pengkinian dari Filsafat Qadariyah ini kemu-

dian telah menjelma menjadi Gerakan Zaman

Baru (New Age Movement) yang merupakan

sebuah gerakan PEMASALAN agama-agama PA-

GANISME di antara umat penganut agama-agama

LANGIT (Islam, Kristen, Yahudi).

PAGAN adalah sebutan untuk para pengikut se-

buah kepercayaan/praktik spiritual dalam pe-

nyembahan terhadap berhala. Pagan pada zaman

kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu

dewa dan dewi. Untuk menyembahnya mereka

menyembah patung. Contohnya seperti yang

dilakukan oleh bangsa Mesir Kuno, Yunani Kuno,

176

Romawi Kuno, dan lain-lain.

Para paganis zaman dulu percaya bahwa semua

yang ada di sekitar mereka adalah suci, karena ia

merupakan bagian dari dewa dan dewi. Contoh-

nya, mereka percaya bahwa batu dan pohon

adalah bagian dari dewa dan dewi, sehingga ia

punya keramat, tetapi mereka berkata bahwa

mereka tidak menyembah pohon itu. Air yang

telah diberikan kalimat-kalimat positif akan

mempunyai power untuk penyembuhan berbagai

penyakit.

Gerakan Zaman Baru (NAM) ini berkonsentrasi

penuh kepada tiga aktifitas, yaitu :

• Pertama, penyebaran PEMIKIRAN paganisme

yang MENAFIKAN adanya Tuhan, apalagi ke-

kuasaan-Nya;

• Kedua, menyebarluaskan SPIRITUALISME tan-

pa Tuhan dalam bentuk meditasi-meditasi un-

tuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenang-

an; dan

• Ketiga, menjamurkan PELATIHAN-PELATIHAN

dan MOTIVASI PENGEMBANGAN DIRI yang

induk ilmunya bermuara pada ilmu NLP dan

HIPNOTIS.

Dalam pelaksanaannya, kemudian terjadilah

PENCAMPUR ADUKAN praktek-praktek dari ber-

177

bagai agama dengan meditasi, NLP dan HIPNOTIS

yang di sana-sini memang telah dibungkus de-

ngan istilah-istilah ilmiah. Kalau dia beragama

Islam, maka muncullah sebuah metoda baru

dalam beribadah, misalnya ada . . .

. . . Dzikir atau shalat ala

NLP atau HIPNOTIS.

Dan hebatnya, metoda itupun menawarkan pula

acara bertangis-tangisan, yang biasanya diakhiri

dengan sedikit rasa tenang dan bahagia, dalam

berdzikir, shalat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya.

Namun semua aktifitas itu kita lakukan

nyaris dengan TANPA RASA IHSAN

kepada Allah.

Tanda-tandanya gampang saja kok dilihat. Yaitu,

seberapa lama kita bisa MENGINGATI ALLAH

(Dzikrullah) saat kita melakukan ibadah kita,

misalnya di dalam shalat.

Kalau kita hanya bisa sedikit atau

sebentar saja mengingati Allah, kita

malah lebih banyak ingat kepada diri

178

kita sendiri dan alam semesta dengan

berbagai macam fenomenanya . . .

. . . maka menurut Al Qur’an :

. . . shalat kita itu masih termasuk ke

dalam taraf shalat orang yang

MUNAFIK . . .13

Sebab, kalau kita sudah kecemplung ke dalam

salah satu saja dari aktifitas NAM itu, apalagi

kalau ketiga-tiganya sekaligus, maka kita me-

mang akan segera saja menjadi manusia baru

yang SANGAT MENGAGUNGKAN DIRI KITA SEN-

DIRI (UJUB) dan ALAM SEMESTA. Kita lalu akan

menjadikan keduanya sebagai berhala kita yang

baru. Kita dan alam semesta telah berubah men-

jadi tuhan kecil dan tuhan besar yang saling

berinteraksi satu sama lain dalam sebuah kepa-

duan. WAHDATUL WUJUD.

Kita akan dibawa untuk meyakini bawah antara

kita dan alam semesta mempunyai hubungan

yang sangat erat.

13 Lihat QS An-Nisaa : 142.

179

• Diri kita adalah Alam Kecil (micro cosmos) dan

• Alam Semesta adalah Alam Besar (Macro Cos-

mos).

Apabila kita mempunyai keinginan

atau impian yang sangat kuat (strong

will), kita cukup hanya menyampaikan

keinginan kita itu kepada Alam

Semesta sambil saat itu kita mengakses

perasaan senang dan bahagia.

Selanjutnya Alam Semesta akan

MERESPON dan MEMBANTU kita untuk

mewujudkan segala keinginan atau

impian kita itu. Kita menganggap

bahwa semua pengkabulan itu tidak

ada sedikitpun hubungannya dengan

Allah.

Kalaupun kita masih mempercayai Allah, itupun

hanyalah seadanya saja. Nggak ngefek.

Artinya kita akan selalu mengagung-agungkan

diri kita sendiri dan memberi nama-nama KEREN

untuk diri kita, yang menggambarkan kehebatan

dan keluarbiasaan kita. Kita akan menganggap

bahwa hanya keinginan, pikiran, dan gagasan-

180

gagasan kita semata-matalah yang akan menjadi

unsur penentu utama atas keberhasilan kita saat

sekarang maupun di masa-masa yang akan

datang. Dan ternyata dagangan seperti itu laku

keras di tanah air kita saat ini.

Di kekinian zaman, kefahaman Qadariyah ini bisa

pula kita lihat dalam proses Pemilu Pilpres RI

beberapa waktu yang lalu, dan yang paling segar

adalah dalam sidang paripurna DPR baru-baru ini

untuk menentukan cara PILKADA apakah lang-

sung atau tidak langsung. Paham Qadariyah ini

terlihat dengan jelas terpakai baik oleh pihak

yang menang maupun oleh yang kalah. Sebab

semua pihak beranggapan bahwa hanya dengan

memilih pihaknya atau memakai konsepnyalah

Indonesia ini akan bisa menjadi negara yang maju

dan jaya di tengah-tengah kancah pergaulan

Global.

Semua pihak seperti merasa punya hak dan me-

rasa bisa, semuanya merasa seperti punya peran

dan jasa, semuanya seperti punya alasan-alasan,

semuanya seperti punya pembenaran-pembe-

naran.

• Bagi pihak yang merasa menang dan juga bagi

siapa-siapa yang merasa ikut andil dalam

mendapatkan kemenangan itu, maka mereka

181

akan berjalan dengan penuh rasa sumringah

dan hati yang berbunga-bunga. Semuanya su-

dah seperti merasa di tangan. Kekuasan, ja-

batan, dan mungkin uang, serasa sudah me-

lambai-lambai di pelupuk mata mereka. Dan

itu terasa sekali asyiknya, terutama pada saat-

saat awal mereka menikmati keme-nangan

itu.

• Akan tetapi bagi pihak yang merasa kalah dan

pihak-pihak yang terlibat di dalam kekalahan

itu, maka mereka akan tertunduk dengan se-

gudang rasa ketidakpuasan. Mereka tidak

akan tinggal diam. The game has not been

finished yet, the battle will be continued over

and over again.

Padahal kedua-duanya, baik yang menang mau-

pun yang kalah, hanyalah babak-babak dalam

PERMAINAN POLITIK saja. Biasa-biasa saja. Mere-

ka saling mengklaim bahwa mereka dan para

pendukungnya masing-masing sedang bertindak

ATAS NAMA RAKYAT. Yang menolak PILKADA

Tidak Langsung mengaku menolaknya atas nama

rakyat. Yang berhasil menggolkan Pilkada Tidak

Langsung juga mengaku bertindak atas nama

rakyat. Tapi entah rakyat yang mana yang me-

reka wakili. Sebab yang mereka lakukan sebe-

182

narnya hanyalah membela KEWUJUDAN diri

mereka masing-masing.

Dan memang begitulah kehidupan ini berjalan.

Setelah sebuah masalah selesai, maka masalah

berikutnya sudah menunggu dengan pasti untuk

kita selesaikan. Panas dan dingin, siang dan

malam, akan tetap muncul secara silih berganti.

• Andaikan dalam sebuah kaum

SEMUA penduduknya sudah

beriman, sudah baik, sudah bahagia,

sudah tenteram, dan sudah hidup

dengan penuh cinta kasih, maka

Allah segera akan mengutus kaum

yang lain, yang penduduknya hidup

penuh dengan tipu daya, maksiat,

dan kefasikan.

• Begitupun sebaliknya, ketika suatu

kaum sudah hidup penuh dengan

kemaksiatan, tipu daya, dan

kefasikan, maka Allah segera pula

akan mengutus kaum lain yang

hidupnya penuh dengan keimanan,

183

ketenteram, dan cinta kasih.

Selalu begitu. Karena dengan cara itulah Allah

akan memperlihatkan kemahahebatan-Nya dan

kemahasempurnaan-Nya. Begitulah cara Allah

mengajari kita tentang kebaikan dan keburukan.

Duaarr, peristiwa baik dan buruk itu langsung

tergelar di hadapan kita. Dan itu adalah PELAJAR-

AN, sehingga dari situ akan ada SEGELINTIR

orang-orang yang bisa melihat hikmah dari setiap

kejadian dan peristiwa yang tergelar itu. Mereka

itulah orang-orang yang akan berkata : “Sungguh

tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini ya

Allah, Maha Suci Engkau, Peliharalah kami dari

siksaan api neraka.”

Lalu, merekapun mengulum seuntai SENYUM,

Senyuman Makrifatullah yang penuh misteri.

2. Jabariyah

Kalau kita memegang Filsafat JABARIYAH, lain lagi

aktifitas yang akan kita lakukan. Sebenarnya kita

masih mengaku WUJUD. Kita masih merasa ADA. Tapi

kita merasa sudah tidak bisa berkutik lagi untuk

melawan ALLAH yang tak terlawan. Karena kita

merasa sudah tidak sanggup untuk melawan Allah,

maka barulah kita bersedia untuk tunduk, menyerah

184

dan takluk kepada Allah. Kita baru bisa menyerah

karena kita sudah kehabisan cara untuk berhadapan

dengan Kemahaperkasaan Allah.

Menyerahnya kita itupun terjadi setelah sekian lama

kita bertanya dan bertanya tentang sesuatu hal yang

buruk yang datang menimpa kita; “Kenapa ini ? Ada

apa ini ? Andaikan saja”, keluh kita. Tapi pada kenya-

taannya mau tidak mau kita harus tetap menyerah.

Akhirnya baru kita bisa menerima bahwa sesuatu itu

adalah TAKDIR dari Allah. Namun dengan begitu,

hanya kelihatannya saja kita sudah menyerah kepada

Allah, akan tetapi penyerahan itu kita lakukan seperti

orang yang sedang ngambek dengan Allah. Di sini

seakan-akan kita sendirilah yang MEMUTUSKAN

untuk menyerah kepada Allah.

“Kalau Allah sudah taqdirkan saya begini dan begitu

ya sudah, mau apa lagi, saya menyerah saja, saya

pasrah saja”, kata kita sambil merungut. Lalu kita

ngambek tidak mau melakukan apa-apa. Untuk ma-

kanpun rasanya kita ingin menunggu saja sampai ma-

kanan itu masuk sendiri ke mulut kita. Paham seperti

ini disebut juga sebagai Paham FATALIS atau PRE-

DESTINATION.

Dalam paham ini, karena kita merasa masih WUJUD,

maka apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini

pada akhirnya adalah sebuah KETERPAKSAAN belaka.

185

Karena paham ini memang sudah menganggap bah-

wa segala perbuatan yang kita lakukan telah diten-

tukan oleh qadha’ dan qadar Allah. Kita tinggal hanya

menjalankan qadha dan qadar Allah itu. Hanya saja

karena kita merasa masih WUJUD, maka kita ME-

NOLAK UNTUK BERTANGGUNG JAWAB atas apa-apa

yang sudah kita lakukan. “Toh Allah sendiri yang su-

dah menakdirkan saya berbuat ini dan itu, maka

tanggung jawabnya tentulah di tangan Allah”, kata

kita dengan pongahnya.

3. Asy’ariyah

Kalau kita memakai Paham ASY’ARIYAH di dalam

hidup kita, maka kita seperti berjalan di sebuah

pematang di tengah hamparan sawah yang sangat

luas. Di sebelah kiri kita terbentang sikap bagi orang-

orang yang berpaham Qadariyah dan di sebelah

kanan kita terletak sikap bagi orang-orang yang

berpaham Jabariayah.

Dalam Paham Asy’ariyah ini, kita tetap masih merasa

WUJUD, tapi kita seperti berada di posisi perte-

ngahan. Posisi aman. Posisi jalan tengah kata orang.

Karena kita MASIH ADA (WUJUD), maka sesekali kita

merasa PUNYA KUASA untuk mengubah masa depan

kita (Qadariyah), dan pada kesempatan lain kita

merasa seperti TIDAK BERKUTIK sama sekali dalam

menghadapi Takdir Allah dalam bentuk hantaman

186

gelombang kehidupan (Jabariyah).

Jadi dalam paham Asy’ariyah ini, kadang-kadang kita

menganggap bahwa Allah punya kekuasaan penuh

dalam mengatur takdir seluruh makhluk-Nya, tapi

dalam beberapa hal, walaupun kita percaya kepada

Takdir Allah, kita tetap beranggapan bahwa kitapun

punya ANDIL tersendiri dalam menentukan jalan

hidup kita maupun hidup orang lain.

Apa dampak dari pengakuan-pengakuan kita atas kewu-

judan kita seperti di atas ?

a. Dampak pertama seperti yang terlihat di atas adalah,

. . . kita akan selalu

bergaduh dengan Allah.

Karena dengan pengakuan akan kewujudan kita itu,

maka saat itu akan ada dua kewujudan yang Wujud,

yaitu Allah dan kita. Dengan begitu maka RUNTUH-

LAH Tauhid kita. Sebab kita telah menyekutukan Allah

dengan kewujudan diri kita sendiri. Akibatnya kita

akan seringkali bertanya kenapa dan mengucapkan

pengandaian kepada Allah. “Kenapa ? Andaikan !”,

protes kita kepada Allah.

Dengan Allah saja kita bisa bergaduh,

187

apalagi dengan sesama manusia. Kita akan

sangat mudah sekali bergaduh dengan

sesama. Apa saja bisa menjadi masalah di

antara kita.

Demontrasi, memaki, menghina, merusak, atau pe-

rang kata dan kalimat akan muncul seperti tak habis-

habisnya.

b. Dampak berikutnya adalah . . .

. . . penderitaan yang sangat dahsyat

yang akan kita alami.

Sangat dahsyat ! Mari kita lihat.

B. Yang Mengaku Wujud dan Yang Menderita

Dari beberapa kemungkinan filsafat hidup yang bisa kita

pakai seperti di atas, walaupun kelihatannya berbeda-

beda antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi . . .

. . . ada SATU hal yang SAMA dari semua

macam filsafat hidup itu, yaitu ADANYA

PENGAKUAN atas KEWUJUDAN kita.

Karena mengaku wujud, maka akan ada pula PENDE-

188

RITAAN yang mengikuti pengakuan kita itu. Penderitaan

itu mungkin bisa diwakili oleh sebuah kata, yaitu RASA

PEDIH. Kepedihan.

Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terlihat, itu lebih

banyak hanyalah dalam hal SUDUT PANDANG kita masing-

masing saja terhadap permasalah yang kita atau orang

lain hadapi. Berbeda sudut pandang, maka akan berbeda

pula sikap kita.

Akan tetapi, walaupun sikap kita bisa berbeda, namun

rasa memiliki kita akan sama saja. Makanya kemudian

muncul berbagai kelompok dan golongan yang masing-

masing kelompok dan golongan itu saling mengakui wujud

keberadaannya. Kita akan mengaku bawah kita sendirilah

yang shoheh, yang afdal, yang betul, yang lurus, yang

paling mantap dan yang paling sesuai dengan tokoh

panutan kita.

Karena kita merasa WUJUD, maka berbagai hal, keadaan,

atribut-atribut, atau bahkan hanya sekedar pikiran-pikiran

dan pendapat-pendapat akan silih berganti datang

mengerubuti kita untuk kita AKUI sebagai MILIK kita.

Sehingga jadilah “Ini milikku, itu milikku, semua milikku !”

Karena sesuatu sudah berubah menjadi milik kita, maka

sesuatu itu kemudian minta PERHATIAN, PEMELIHARAAN,

dan PENJAGAAN kita terhadapnya, dari usaha-usaha

orang lain yang ingin pula memilikinya dan merebutnya

189

dari tangan kita. Ya, kita menjadi selalu waspada kalau-

kalau milik kita itu nanti diambil alih oleh orang lain

dengan paksa. Atau paling tidak kita akan menjaganya

agar orang lain tidak MEREMEHKAN milik kita itu. Sebab

kita akan mempertahankannya dengan sekuat tenaga,

seakan-akan milik kita itu telah berubah fungsi menjadi

suatu kehormatan bagi kita, menjadi harga diri kita. Harga

mati.

Tidak hanya itu, apa-apa yang kita miliki itu akan selalu

meminta kita untuk MEMUPUK, MENINGGIKAN, MENU-

KUK dan MENAMBAHNYA dengan cara kita selalu menye-

but-nyebutnya, mengiklan-iklankannya, membesar-besar-

kannya kepada siapapun juga dalam setiap kesempatan.

Kalau itu tidak kita lakukan, ia TIDAK akan memberikan

lagi rasa senang, rasa bangga, dan rasa nikmat MENGAKU

kepada kita. Kita akan merasakan hidup kita ini menjadi

HAMBAR. Dan, ini yang paling penting,

. . . kita merasa tidak akan punya REZKI dari

tempat lain untuk menjalani kehidupan kita.

Dan dari sinilah POKOK PERMASALAHAN semua umat

manusia bermula. Dari sini pulalah titik awal dari pende-

ritaan kita bermula. Kita akan BERTENGKAR dan BERGA-

DUH dengan Allah. Karena saat kita mengaku wujud itu,

otomatis akan ada DUA kewujudan, yaitu :

190

• KITA yang merasa atau mengaku wujud, dan

• ALLAH DZAT WAJUBUL WUJUD.

Saat itu juga RUNTUHLAH TAUHID KITA.

Karena kita telah MENYEKUTUKAN ALLAH

dengan diri kita sendiri.

Kita juga akan bertengkar dan bergaduh dengan orang

lain, karena . . .

. . . kita seperti tidak rela dengan adanya

kewujudan orang lain muncul di hadapan kita.

Ya, ada kita yang wujud dan ada pula orang lain yang

wujud. Tambah lunturlah Tauhid kita. Karena ada wujud

lain, maka kita akan berusaha sekuat tenaga membunuh

kewujudan orang lain itu agar hanya ATRIBUT-ATRIBUT

diri kita saja yang wujud.

Contoh paling gress dari pergaduhan ini yang bisa kita

lihat adalah saat pemilihan unsur pimpinan DPR-RI baru-

baru ini. Pihak yang merasa kewujudannya tidak diakui,

akan merengsek ke depan, akan berteriak-teriak, akan

menunjuk-nunjuk, akan mengepalkan tangan sambil

giginya gemeretak.

Di samping kita merasa wujud, kitapun akan hidup bersa-

191

ma dengan iblis. Kita akan beresonansi dengan iblis. Kita

akan terlempar ke tempat di mana iblis juga sedang ber-

ada dengan pengakuan-pengakuan akan kewujudannya

sampai hari kiamat :

• “Aku lebih baik dari dia (Adam), Engkau ciptakan aku

dari api, sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari

tanah”, Al A’raf (7) :12

• “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia”, Al

Hijir (15) :33

• “Apakah aku harus bersujud kepada orang yang Engkau

ciptakan dari tanah ?”, Al Israa (17) :61

Iblispun akan selalu mengingat-ingatkan kita

setiap saat akan kewujudan kita. Dia akan

mengingatkan kita bahwa kita punya hak dan

kedaulatan terhadap berbagai atribut

kepemilikan kita.

Dia akan menggoda kita untuk selalu memupuk ego kita

dari waktu ke waktu, bahwa kita lebih baik dari siapapun

juga, bahwa kita harus mempertahankan semua kepemi-

likan kita dengan semangat empat lima.

Kemudian kitapun akan terikat, terpaut, terperangkan di

dalam berbagai pengakuan : “Ini ilmuku, ilmumu mana ?

Ilmuku lebih hebat dari ilmumu; ini anakku, anakmu

mana ? Anakku hebat, hebat anakmu mana ? Dan juga

192

untuk atribut-aitribut kepemilikan kita yang lainnya,

seperti : istriku, rumahku, kudaku, mobil dan motorku,

jabatanku, uangku, pikiranku, pendapatku, dan lain-lain

sebagainya.”

KETERIKATAN kita kepada apa-apa yang kita miliki itu

sedemikian kuatnya sehingga kita akan selalu INGAT

kepadanya, yang dalam istilah orang sekarang disebut

sebagai KEMELEKATAN atau BINDING. Akibatnya, apabila

kita punya MASALAH dengan kepemilikan kita itu, kita

akan SULIT untuk MEMAAFKAN dan MELUPAKAN. Kita

sulit untuk memaafkan PENYEBAB permasalahan, dan kita

sulit pula untuk MELUPAKAN peristiwa-peristiwa.

Karena kita tidak bisa melupakan dan memaafkannya,

maka kita seperti berada di jalan yang BUNTU. Mundur

tidak bisa, maju juga tidak bisa. Mau ke kiri tidak bisa,

mau ke kanan juga tidak bisa. Kita INGAT TERUS kepada

sesuatu yang seharusnya sudah kita lupakan dan kita

maafkan. Sesuatu yang sudah terjadi pada waktu yang

lalu, atau yang baru hanya sekedar di dalam angan-angan

kita saja. Kita tidak punya JALAN atau PINTU untuk keluar

dari ingatan-ingatan yang menyandera kita itu. Walhasil,

akhirnya kita akan berada dalam keadaan BINGUNG,

GALAU, BIMBANG, GELISAH, WAS-WAS, PANIK, CEMAS,

RESAH, GUGUP, BUNCAH, SENEWEN, HILANG AKAL,

MARAH, dan sebagainya.

Ya, BUNTU, semua JALAN KELUAR seperti sudah TERTU-

193

TUP RAPAT. Dan itu rasanya sangatlah tidak sedap. PEDIH

sekali. Nafas kita memburu, tekanan darah kita terpacu,

adrenalin kita membanjiri aliran darah kita, mata kita

membelalak, suara kita menggelegar, muka kita merah

padam, gigi kita gemeretak, tangan kita terkepal, lutut

kita gemetar.

Tiba-tiba… BRAKKKK, pintu yang tertutup rapat itupun

hancur kita dobrak, itu terjadi karena saking tidak kuatnya

kita menghadapi gejala fisik dan psikis yang sedang

melanda kita. Lalu kitapun memaki, berteriak, melabrak,

memukul, dan tahu-tahu di depan kita sudah ada saja

tubuh orang lain yang terbujur kaku, terkapar bersimbah

darah, atau bahkan mati.

Apakah dengan begitu kita bisa selesai dengan perma-

salahan kita ? Ternyata tidak !

Untuk sejenak mungkin kita akan menyesal dengan apa-

apa yang telah kita lakukan. Namun tidak berapa lama

kemudian iblis kembali akan menjalankan perannya, yang

tak pernah berhenti sebagai SI PENGGODA, agar kita ja-

ngan pernah lupa akan kewujudan kita. Ya, agar kita

setiap saat tetap menampakkan tanda-tanda kewujudan

kita. Dengan perasaan sumringah kita akan diajak untuk

berkata : “Hai ini aku lho, aku lagi ini nih, awas ini milikku

lho, ini hakku….” Dan setiap kali pengakuan ini terucap, ia

juga akan menambah buntu jalan yang akan kita lalui.

Buntu lagi, meledak, dan buntu lagi ! TOMAT BALI (Tobat

194

dan Kumat Kembali), kata orang sekarang.

Untuk memahami betapa dahsyatnya permasalahan yang

muncul akibat dari pengakuan akan kewujudan kita ini,

marilah kita lihat beberapa contoh seperti berikut ini :

a. Misalnya, dulu dalam sebuah peperangan, pernah

terjadi pembunuhan yang sangat sadis terhadap cucu

Rasulullah, Al Husein Ra. Peristiwa itu terjadi di

Padang Karbala. Saat itu Pasukan Al Husein hanya

berjumlah 72 orang (32 pasukan berkuda dan 40

pasukan berjalan kaki) yang harus menghadapi ribuan

Tentara Yazid (dalam riwayat ada yang menyebut

angka 4.000 dan ada yang menyebut 40.000. Tetapi

yang lebih pas, para Ulama sepakat bahwa Tentara

Yazid yang mengepung Al Husein jumlahnya ribuan).

Lalu (dari berbagai riwayat) Al Husein Ra syahid di

Karbala, Iraq dengan 33 luka tusukan dan 34 luka

sayatan. Kepala beliau ditancapkan di ujung tombak

dan di arak sampai ke Damaskus. Tentu saja hal ini

membuat para pendukung yang mencintai Al Husein

Ra sangat bersedih dan terpukul. Mereka tidak bisa

MEMAAFKAN pihak :

• Yazid bin Muawiyah,

• Ubaidillah bin Ziyad,

• Umar bin Sa’ad,

• Seluruh Pasukan Ibnu Ziyad, dan

195

• Penduduk Kufah yang dianggap menghianati Al

Husein.

Mereka juga tidak bisa MELUPAKAN peristiwa pem-

bunuhan itu Al Husein Ra dalam waktu yang sangat

lama.

Alih-alih bisa MELUPAKAN kejadian itu dan MEMAAF-

KAN orang-orang yang membunuh Al Husein Ra,

sekelompok orang malah dengan sengaja mempe-

ringati tanggal kejadian itu di setiap tahunnya. Pada

saat acara peringatan itu mereka melakukan dua

macam ritual, yaitu pertama, ceramah dan pidato-

pidato yang isinya memaki-maki dan melaknat para

Sahabat dan golongan yang mereka anggap punya

andil dalam pembunuhan Al Husein Ra itu. Dan ke-

dua, mereka melukai diri mereka sendiri sampai

berdarah-darah yang tujuannya adalah untuk ikut

merasakan dan mengingat-ingat penderitaan Al Hu-

sein Ra saat kejadian itu terjadi. Mereka berteriak-

teriak histeris dan menangis dengan hebatnya. Semua

itu ada RASANYA.

Dengan adanya RASA itu tadi, mereka jadinya akan

selalu memelihara dendam dan sakit hati itu secara

terus menerus, bahkan akan mereka wariskan sampai

ke anak cucunya. Mereka akan memupuk rasa seba-

gai orang yang DIZALIMI, DISAKITI. Mereka meme-

lihara rasa telah menjadi KORBAN dari pihak lain.

196

Akhirnya mereka akan berjalan ke mana-mana di

muka bumi ini dengan beban dendam yang nampak-

nya tak akan pernah berkesudahan. Marah, benci,

dan merusak orang lain (jika ada kesempatan) adalah

cita-cita mereka yang terpendam dilubuk hati mereka

yang paling dalam.

Keadaan inilah satu penyebab yang membuat kawa-

san Timur Tengah selalu bergolak sejak zaman dahulu

sampai sekarang. Silih berganti terjadi pergantian

penguasa yang faktor pembedanya yang utama ada-

lah paham-paham seperti di atas. Itu ditambah lagi

dengan faktor dendam turun-temurun bangsa Yahudi

terhadap bangsa Arab. Maka semakin sempurnalah

gonjang ganjing kehidupan di negara-negara Arab dan

Palestine sampai sekarang.

b. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh dua bangsa

besar di dunia modern saat ini, yaitu bangsa Cina dan

bangsa Korea terhadap bangsa Jepang yang pernah

mereka anggap sebagai penjajah di kedua negara itu .

1. SETIAP tanggal 18 September, masyarakat China

memperingati Insiden Mukden yang menjadi sa-

lah satu titik dalam sejarah yang membuat hu-

bungan antara China dan Jepang terganjal hingga

hari ini.

Insiden itu menandai masa-masa kelam dalam

197

sejarah panjang China, yang harus ”takluk” ber-

ulang kali pada Kekaisaran Jepang di periode ak-

hir abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II. Insi-

den Mukden menjadi tonggak sejarah penting

”penghinaan” Jepang terhadap China, di sam-

ping tragedi Pemerkosaan Nanking, Desember

1937.

Dalam Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo

disebutkan, 42.000 orang dibunuh di dalam kota

Nanking, ibu kota China waktu itu, dan 100.000

orang dibunuh di sekitar kota. Sebagian besar

perempuan dewasa dan anak diperkosa, lalu

dibunuh dengan dirusak organ seksualnya.

2. Sedangkan di Korea Selatan, setelah mengalah-

kan Dinasti Qing Cina pada Perang Sino-Jepang

Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang mendu-

duki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipim-

pin oleh Kaisar Gojong. Satu dekade kemudian,

saat mengalahkan Kekaisaran Rusia pada Perang

Rusia-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Ko-

rea sebagai protektoratnya melalui Perjanjian

Eulsa di tahun 1905, kemudian menganeksasinya

melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea di ta-

hun 1910.

Dendam ini tidak bisa dilupakan oleh Bangsa Korea

maupun Cina. Bahkan kunjungan pimpinan Jepang ke

198

Kuil Yasakuni tempat dikuburnya beberapa tentara

Jepang yang pernah menjajah Cina dan Korea, sudah

cukup untuk membuat bangsa Cina dan Korea seperti

kebakaran jenggot. China dan Korea, akan meneriak-

kan protes karena bagi mereka penghuni Yasukuni

adalah penjahat perang. Mengunjungi Yasukuni ber-

arti menghormati penjahat perang. Inilah kesadaran

kolektif yang terpatri di dalam pikiran rakyat China

dan Korea. Mereka tidak akan pernah MEMAAFKAN

dan MELUPAKANNYA. TIDAAAK.

C. Tentang Melupakan dan Memaafkan

Dengan memahami permasalah-permasalahan seperti di

atas, kita mulai bisa melihat, walau secara samar, dari

mana pokok permasalahan kita ini bermula. Bahwa . . .

. . . semuanya bermula

ketika kita tidak mampu untuk

MELUPAKAN dan MEMAAFKAN,

• Baik untuk hal-hal yang sudah terjadi di

masa lalu (the PAST),

• Maupun untuk hal-hal yang belum terjadi

atau masih berada di dalam angan-angan

dan mimpi kita (the FUTURE).

Dengan cepat ada yang mulai berkata-kata : “Ya, kita

199

harus bisa hidup di waktu sekarang, NOW. Kita harus

melupakan masa lalu kita (THE PAST) ataupun masa

depan kita yang belum terjadi (THE FUTURE). Kita fokus

terhadap apa-apa yang kita hadapi sekarang ini saja

(NOW). Kita lihat masa lalu dan masa depan itu secara

sekilas saja, kemudian kita lupakan dan kita maafkan.

Itulah The Power of Now”, katanya dengan penuh se-

mangat.

“Mudah sekali memang untuk mengatakannya, tapi dalam

pelaksanaannya ternyata tidak mudah”, kata kita.

“Pernyataan kamu bahwa “itu tidak mudah” itulah salah

satu penyebab yang membuat kamu tidak bisa. Kita bisa

kalau kita berkata “bisa dan mau””, kata mereka dengan

penuh semangat. Sama persis dengan apa yang dikatakan

oleh orang-orang yang berfaham Qadariyah yang

sekarang ternyata telah bermetamorfosis menjadi Paham

the New Age Movement (NAM).

Benarkah dengan cara-cara yang banyak diseminarkan

orang saat ini kita benar-benar telah bisa melupakan dan

memaafkan masa lalu kita yang kelam dan masa depan

kita yang belum pasti yang selalu menghantui kita ?

Proses Melepaskan, kata mereka.

Untuk sejenak kita memang seperti bisa melupakan dan

memaafkan masalah-masalah yang sedang kita hadapi,

tapi itu kita lakukan dengan jalan kita mengalihkan

200

perhatian atau ingatan kita kepada hal-hal lain yang sudah

ada di dalam ingatan kita. Sebab melupakan dan memaaf-

kan itu hanyalah masalah PINDAH INGATAN atau PINDAH

OBJEK PIKIR saja kok.

Kalau tidak percaya, mari kita coba. Kalau kita SEDANG

MARAH kepada seseorang :

ALIHKAN saja OBJEK PIKIR atau INGATAN kita kepada

sesuatu yang pernah membuat kita bahagia, misalnya

pemandangan di sebuah pantai atau puncak pegunungan.

Kita hanya perlu membuka kembali pintu ingatan kita

tentang pantai atau puncak pegunungan yang pernah kita

kunjungi. Dan untuk mengingat itu kita tidak perlu ber-

konsentrasi apapun. Kita cukup hanya mengingat sekilas

tempat itu di dalam otak kita, seperti kita mengingat

orang tua kita.

a. Begitu kita berhasil memasuki pintu ingatan tentang

pantai atau pegunungan itu, dengan seketika kita

TELAH LUPA dengan MARAH kita. Lalu sekelebat

muncullah perasaan senang dan bahagia yang dulu

pernah kita alami. Rasa bahagia ini muncul seiring

dengan mengalirnya hormon Endorphine, Oxytocin,

Serotinin, dan Dopamin dengan deras ke dalam otak

kita. Tapi rasa senang itu hanya berlangsung sebentar

saja. Kemudian ingatan kita akan kembali mengingat

apa yang telah membuat kita MARAH yang tadinya

telah kita tinggalkan buat beberap waktu.

201

b. Hormon-hormon kebahagian ini juga bisa kita rang-

sang untuk keluar dengan cara kita MENGINGAT atau

MELAKU-KAN beragam aktifitas, misalnya : olah raga,

makan coklat, seks, makan cabe rawit, berbuat ko-

nyol dan lucu, tetawa terbahak-bahak, merangsang

alat indera, tersenyum, makan ginseng, menangis,

terpapar sinar UV di pagi hari, pijat, berpikiran positif,

hidup bersosialisasi atau berkelompok, mengatur-

ngatur nafas, menggoyangkan badan ke kiri dan ke

kanan, mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng-

kan kepala, meloncat-loncat, bermain-main dengan

getaran atau vibrasi, mengolah cakra-cakra, mera-sa-

rasakan energi-energi, atau membaca cerita seperti

Cersil Kho Ping Hoo, dan sebagainya.

Semua hal di atas adalah sebagian kecil dari pintu-pintu

INGATAN yang pernah kita bangun di dalam otak kita di

masa lalu. Kalau kita belum pernah membangun atau

mengalaminya di masa lalu, maka pintu ingatan yang akan

kita masuki hanyalah sebatas ANGAN-ANGAN atau

IMPIAN belaka. Walaupun begitu, kita tetap akan bisa

memasuki pintu angan-angan itu dengan mudahnya.

Begitu kita memasuki pintu ingatan tentang

suatu Objek Pikir tertentu, maka kita akan

LUPA dengan objek pikir yang lain.

202

Dan kalau kita bisa menahan ingatan kita hanya kepada

SATU objek pikir saja dalam waktu yang lama, maka kita

bisa disebut sebagai orang yang sedang KASMARAN, atau

orang yang sedang memendam DENDAM kepada objek

pikir itu.

Kalau kita berusaha mendapatkan kebahagian dengan

cara-cara seperti di atas, maka kebahagian yang kita

dapatkan itu hanyalah . . .

. . . kebahagian yang sekelas “AIR LIUR” yang

menetes ketika kita melihat semacam

masakan yang enak-enak saja. Kebahagian

karena sekresi hormonal belaka.

Makanya kalau ada sebuah pelatihan, seminar, pengajian,

dzikir, atau acara apa sajalah namanya, yang di dalamnya

ada aktifitas yang mengeluarkan AIR MATA, INGUS dan

kadang-kadang MADZI seperti BERTANGIS-TANGISAN,

atau TERTAWA NGAKAK sepanjang acara berlangsung,

maka acara seperti itulah yang banyak kita kejar. Walau

untuk itu kita harus mengeluarkan bayaran yang tinggi

dan menempuh jarak yang jauh.

Jadi,

. . . ketika pikiran kita buntu, karena berbagai

203

masalah yang menimpa kita, lalu kita berusaha

untuk melupakan masalah-masalah kita itu

dengan cara kita masuk ke salah satu pintu-

pintu ingatan seperti di atas, maka kita

berharap agar masalah-masalah kita itu bisa

selesai, walau itu akan bertahan hanya dalam

waktu yang singkat saja.

Buat sesaat mungkin permasalahan kita itu memang bisa

hilang, akan tetapi tidak berapa lama kemudian masalah

kita itu akan muncul kembali dengan sangat cepat. Karena

dengan cara artificial seperti itu, kita hanya sedang

berpindah ingatan dari suatu benda ke benda yang lain

untuk sementara waktu saja. Dari satu materi ke materi

lain saja. Atau dalam istilah Ilmu Marifatullah, kita

berpindah dari mengingat satu SIFAT kepada SIFAT yang

lain. Silih berganti. Inilah yang membuat kita capek, lelah,

tidak bisa melupakan, dan tidak bisa memaafkan. Karena

kita akan tidak berkesudahan berhadapan dengan SIFAT,

SIFAT, dan SIFAT ! Sehingga . . .

. . . ke manapun kita pergi dan di manapun kita

berada, kita akan selalu berjalan dengan

pundak yang penuh dengan beban

permasalahan kita.

204

Buktinya mudah sekali kok mengenalinya. Begitu kita

membaca tulisan orang lain, mendengarkan kata-kata

orang lain, mendengar nama orang lain disebut, dada kita

seperti kena hantam palu. Karena dada kita seketika itu

juga terasa menjadi sempit. Lalu preet, kita akan mem-

bully orang tersebut, terutama di media sosial.

Yang aneh adalah,

. . . kita (khususnya umat Islam), sebenarnya

punya SENJATA PAMUNGKAS yang sangat

ampuh agar kita dengan sangat mudah BISA

MELUPAKAN dan MEMAAFKAN seluruh

problematika hidup yang sedang dan yang

akan kita hadapi. Senjata itu begitu

sederhananya, sehingga nyaris kita lupakan

dan kita anggap enteng.

Itulah barangkali yang menyebabkan kita sudah TIDAK

pernah lagi memakai senjata pamungkas itu sedari ratus-

an tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Padahal,

tanpa senjata pamungkas ini, boleh saja kita berkata

bahwa kita sudah memaafkan, akan tetapi kita tidak akan

pernah bisa benar-benar memaafkan, apalagi melupakan

hal-hal yang telah membuat kita menderita. Akibatnya,

Ya, seperti sekarang inilah jadinya POTRET kehidupan

umat Islam, baik di Indonesia maupun di negara-negara

205

lain, di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa di seluruh

dunia. “Menyedihkan”, kata kita. Tapi nanti akan kita lihat

benarkah menyedihkan ?

Senjata Pamungkas itu adalah . . .

Senjata pamungkas itu adalah DZIKRULLAH.

Ya, MENGINGATI ALLAH.

Hanya dengan mengingati Allahlah, dengan seketika itu

juga kita akan LUPA kepada apapun juga yang selain dari

Allah. Sebab Kalau kita INGAT kepada Allah, maka Allah

sudah menjamin bahwa Dia juga akan INGAT kepada kita.

FADZKURUNI, ADZKURKUM ! Ingatan kita akan bertemu

dengan Ingatan Allah. Makanya di dalam Shalat kita harus

selalu Mengingat Allah. Saat berdiri ingat Allah, saat rukuk

ingat Allah, saat sujud ingat Allah. Begitu juga di luar

shalat, apakah itu saat berdiri, saat duduk, saat berbaring,

saat dalam perdagangan dan jual beli, maupun saat dalam

perjalanan tugas atau kegiatan kita sehari-hari. Ingatan

kita seperti dikunci oleh Allah sendiri agar kita tidak

berpaling lagi dari ingat kepada Allah. Hanya Ingat kepada

Allah saja.

Sebab Rasulullah juga begitu. Beliau berkata :

• “Mataku tidur namun hatiku tidak”, Sahih Bukhari Vol

4. 495;

• Aishah Rha berkata yang bermaksud : “Rasulullah

206

(SAW) mengingat Allah swt sepenuh masa”, Sunan Abu

Dawud Vol 1, 5. Artinya Beliau mengingat Allah selama

24 jam.

Dan dalam hal DZIKRULLAH ini pulalah sebagian besar

umat Islam kini sedang BERMASALAH BERAT. Karena :

. . . PINTU untuk Dzikrullah itu ternyata

memerlukan kacamata MAKRIFATULLAH

untuk memasukinya. Tidak bisa tidak.

Dan untuk itu :

. . . sudah sangat jarang sekali ada ulama yang

mampu dan mau menerangkannya secara

terang benderang.

Alhamdulillah saya telah diperkenankan oleh Allah untuk

menjumpai seorang “arif billah” yang bisa untuk itu.

Sebab banyak memang kita yang sudah membaca tentang

pentingnya Makrifatullah, namun kita tidak sampai masuk

ke dalam Makrifatullah itu sendiri. Misalnya :

a. Jumhur Ulama Khalaf (lama) dan Shalaf (baru) meya-

kini bahwa :

207

Awaluddin Makrifatullah, permulaan dari

agama adalah Mengenal Allah.

b. Al Ghazali dalam Minhajul Abidin, 24 (1997) menga-

takan : “Wajib bagimu mengenali dahulu siapa yang

harus disembah, setelah itu baru engkau menyem-

bah-Nya”

c. Dalam Shahih Muslim Buku 1, 28 (1998), Rasulullah

berkata : “Engkau akan datang kepada suatu kaum

Ahli Kitab. Karena itu, hendaklah yang pertama-tama

engkau serukan kepada mereka ialah beriman kepada

Allah Azza wa Jallah. Apabila mereka telah mengenal

Allah (makrifatullah), maka beritahulah mereka

bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima

waktu sehari semalam”

d. Sayid Sabiq dalam Aqidah Islam, 30 (1998) menga-

takan : “Makrifat kepada Allah Ta’ala itulah yang me-

rupakan asas atau fundamen yang di atasnya didiri-

kan segala kehidupan kerohanian.”

Akan tetapi, karena kita tidak mengikuti ASAS atau FUN-

DAMEN tersebut dengan baik dan benar, di mana ujug-

ujug kita sudah diajarkan untuk shalat, berdzikir, ber-doa,

dan menjalankan berbagai syariat Islam yang lainnya.

Sehingga kitapun jadi keteteran dibuatnya. Kita ngos-

ngosan. Kita berlari kian kemari mencari sesuatu yang

208

sebenarnya tak perlu dicari. Kita mengira bahwa NLP,

Hipnotis, dan Vibration, yang merupakan kepanjangan ta-

ngan dari the New Age Movement (NAM), dapat menye-

lesaikan semua permasalahan kita.

Ada memang yang telah mencoba memasuki asas Makri-

fatullah ini dengan jalan dzikir-dzikir tertentu. Akan tetapi

jalan itu alangkah sulit dan berbelitnya untuk dilalui oleh

orang awam seperti kebanyakan kita. Barangkali jalan

dzikir ini hanya cocok buat satu atau dua orang saja yang

sudah berperingkat sebagai seorang Mursyid.

Dan yang tak kalah mengkhawatirkan dalam perjalanan

dzikir itu adalah, tahu-tahu kita sudah terperosok saja ke

dalam paham WAHDATUL WUJUD, atau NUR MUHAM-

MAD, atau FANA BILLAH, SYATAHAT, ITTIHAD, HULUL,

BAQA-BILLAH, dan sebagainya. Silahkan lihat kembali

artikel-artikel sebelumnya tentang Makrifatullah.

Atau paling tidak kita akan melakukan Pengkultusan yang

sangat berlebihan terhadap Mursyid atau Guru kita.

Bukankah kita seringkali membaca atau mendengar kali-

mat-kalimat seperti berikut ini terucap :

a. “Kita hanyalah seonggok daging yang pasif, dalam arti

digerakkan, dihidupkan, dilihatkan, diberikan, ditam-

pakkan, dihidupkan, dimatikan, dijalankan, diangkat,

dijatuhkan, disholatkan, dirukukkan, diwudhukan, di-

takbirkan, dibacakan, dan seterusnya oleh Allah.

209

Mampukah kita untuk rukuk kalau yang ‘Maha’ tidak

memberikan kemampuan seonggok daging ini untuk

rukuk, tidak memberikan tenaga, tidak memberikan

napas yang keluar masuk, tidak memberikan akal,

tidak memberikan bacaan dan doa, tidak memberikan

apa-apa terhadap si seonggok daging tersebut (mayat

berjalan) ? Besi yang panas sudah menjadi api, tiada

perbedaan lagi antara besi dan api !”

b. “Masuklah ke dalam keadaan TIADA. NAFIKAN diri

kita dan ISBATKAN Allah dalam diri kita. Hiduplah

bersama Allah. Biarkan Allah bertajalli ke dalam jiwa

kita. Hilangkan kehendak diri kita agar Allah meng-

gantinya dengan Kehendak-Nya. Kosongkan Jiwa kita

agar ditempati oleh Allah. Rasakan tubuh kita berada

dalam kendali Allah. Biarkan tubuh kita lerem. Dalam

Lerem, dengarkanlah petunjuk-Nya yang halus di

dalam jiwa kita berupa ILHAM”

Sekilas ungkapan-ungkapan di atas terlihat sangat SUFIS-

TIK sekali. Terlihat sudah sangat merendahkan diri kita di

hadapan Allah. Misalnya : Besi yang panas sudah menjadi

api, tiada perbedaan lagi antara besi dan api ! Kehendak

kita digantikan oleh Kehendak Allah !

Akan tetapi, kalimat-kalimat itu pulalah nantinya yang

akan memunculkan cikal bakal Paham Wahdatul Wujud

dan Paham Baqa-Fana Billah, yang umurnya sudah sangat

panjang. Sejak zaman-zaman tasawuf jalan Wali-wali

210

mulai berkembang menyalahi tasawuf jalan Nabi-nabi.

Paham yang ternyata malah MENJAUHKAN umat Islam

dari KETAUHIDAN kepada Allah.

Lhaa, kok bisa ? Iya begitu !

Lihatlah.

Bukankah dalam kalimat-kalimat di atas ada

DUA WUJUD yang sedang saling

BERINTERAKSI ? Ada kita yang MERASA RELA

untuk dikenai aksi oleh Allah untuk

disujudkan, dirukukkan, dan sebagainya.

Ada besi yang merasa rela untuk dipanaskan oleh Api. Ada

jiwa dan badan kita yang kita relakan untuk diisi oleh Ke-

hendak dan Kemauan Allah. Kalau ada DUA KEWUJUDAN,

bukankan itu menandakan bahwa kita telah kehilangan

KETAUHIDAN kita. Sebab :

. . . TAUHID mensyaratkan bahwa HANYA

BOLEH ADA SATU KEWUJUDAN saja YANG

WUJUD. Yaitu DZAT WAJIBUL WUJUD.

Wujud yang lain FANA, TIDAK ADA.

“Semua yang ada di bumi akan FANA, Yang Kekal adalah

Wajah Tuhanmu (DZAT) yang mempunyai Kebesaran dan

211

Kemuliaan”, Ar Rahman 26-27

Sebab, kalau ada DUA wujud, kita dan Allah, maka entah

kenapa, kita segera saja ingin menyatukan tindakan kita

dengan tindakan Allah. Dua menjadi satu, “aku menjadi

Aku”, “aku menjadi Dia.” Sehingga kalau kita merasa

sudah mencapai LEVEL ini . . .

. . . kita merasa berhak untuk menghakimi,

memarahi, dan memaki-maki orang lain. Atau

bahkan kita merasa BERHAK pula untuk

MENGAJARI orang lain tentang sebuah ILMU.

Kita katakan, bahwa tanpa kita, maka orang lain tidak

akan pernah bisa mendapatkan Ilmu ini dan Ilmu itu.

Karena kita sudah MENGAKU bahwa diri kita sudah FANA,

maka . . .

. . . perbuatan kita dalam menghakimi,

memarahi, dan memaki orang lain itu kita

katakan karena Allah sendirilah yang marah,

memaki, dan menghakiminya.

Ketika kita memarahi orang, dengan

tenangnya kita bisa berkata :

212

“Saya marah kepadamu tadi bukan atas

kehendak saya sendiri, tapi itu karena

Kehendak Allah. Allah yang marah, Allah yang

tidak suka, Allah yang menjauhi kamu.”

Dan orang yang kita marahi itu akan terlihat menjadi

nelangsa sekali.

Bagi kita yang dimarahi, dimaki, dan dihakimi, karena kita

memang dianggap masih awam dan bodoh, alangkah

takutnya kita saat itu. Kita takut setengah mati kepada

syech, atau mursyid, atau guru kita. Sebab kita merasa

saat itu sedang berhadapan dengan seseorang yang sudah

fana. Di mana :

• Pikirannya sudah kita anggap sebagai pikiran Allah,

• Kelakuannya sudah kita anggap sebagai kelakukan

Allah,

• Ucapannya sudah kita anggap sebagai ucapan Allah.

Kita hanya bisa menerima saja kemarahan, makian dan

penghakimannya itu tanpa reserve. Kita menjadi takut

sekali dengan kata-katanya yang terucap. Karena dia

sudah kita anggap sebagai seorang Wali yang sedang

MAJDZUB. Di mana kata-katanya adalah kata yang berbisa

dan bertuah.

Yang tidak kalah serunya adalah, ketika kita mengajari

213

orang lain, kita berkata kepadanya bahwa Allah sendirilah

yang mengajarinya melalui lidah kita. Lidah kita hanya

digerakkan oleh Allah untuk berkata-kata kepadanya. Kita

hanya mengikuti saja apa-apa yang sudah disusupkan oleh

Allah kepada lidah kita untuk dia.

Apalagi kalau sekali, dua kali, dan bahkan berkali-kali

ucapan kita dan doa-doa kita terbukti dan makbul menja-

di peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian. Alangkah

semakin takut, kagum, dan tunduknya orang lain kepada

kita, terutama bagi orang-orang yang telah menganggap

diri kita sebagai gurunya. Pengkultusan terhadap kitapun

jadi semakin tidak terelakkan.

Bagi kita yang sedang berada pada posisi orang yang

mengkultuskan seorang guru, maka setiap ajaran guru

kita itu akan kita jaga seperti kita sedang menjaga sehelai

kaca yang sangat tipis. Kita takut kalau-kalau kaca itu

pecah dan berantakan. Guru kita itu akan kita puji, akan

kita sanjung-sanjung. Seakan-akan tanpa guru kita itu kita

tidak akan mendapatkan ilmu dan pengajaran apa-apa.

Kita akan merendah-rendahkan diri kita kepadanya. Kita

mengkultuskan guru kita hampir-hampir saja sampai

kepada maqam maksum. Beliau kita anggap bebas dari

kesalahan ucap dan tindakan.

Nanti pada suatu saat, insyaallah kita akan masuk kepada

paradigma tentang guru yang dipaksa oleh Allah untuk

menyampaikan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah

214

sendiri.

Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan ayat Al Qur’an

yang berbunyi : “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu

yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang

membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar

ketika engkau melempar, tapi Allahlah yang melempar”,

Al Anfal (8/17). Padahal saat itu jelas-jelas Nabi Muham-

mad SAW terlihat membunuh dan memanah musuh

Beliau dengan tangan Beliau sendiri dalam sebuah pepe-

rangan. Ayat ini juga sangat terkenal untuk dipakai seba-

gai pembenaran atas tindakan kita yang dianggap MAJ-

DZUB seperti di atas.

Lalu bagaimana pula kedudukan ayat Al Qur’an yang

bercerita tentang perkataan Nabi Khidir kepada Nabi

Musa As :

• “Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas

sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai penge-

tahuan yang cukup tentang hal itu ?”, Al Kahfi (18) : 68.

• “Dia berkata : “Inilah perpisahan antara aku dengan

engkau”, Al Kahfi (18) : 78.

• “Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sen-

diri”, Al Kahfi (18) : 82.

Sehingga akhirnya Nabi Musa As pun harus berpisah

dengan Nabi Khidir.

Sungguh menarik sekali. Namun karena saking menarik-

nya, untuk melengkapi pasal kewujudan ini, kita sebaiknya

215

membahasnya lebih dalam Artikel berikutnya, “Sang

Wajibul Wujud.14

” Di dalam artikel tersebut kita akan

memandang kewujudan yang sebenar-benarnya wujud

dengan memakai kacamata Makrifatullah. Bukan dengan

memakai kacamata Qadariyah, Jabariyah, Asy’ariyah, dan

kacamata-kacamata lainnya.

Insyaallah dengan memakai kacamata Makrifatullah itu,

kita akan lebih JERNIH dalam melihat makna dari ayat-

ayat Al Qur’an dan Al hadist berikut ini :

• “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan)

amal perbuatannya di lehernya. Dan pada Hari Kiamat

Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan

terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri

pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu” (Al Isra’

(17/13-14).

• “Tak seorangpun daripada kamu kecuali sudah dite-

tapkan tempatnya di syurga atau di neraka”, Ter-

jemahan Sunan Ibnu Majah Buk.1, 66 (1992)

• “Semuanya akan dipermudah untuk yang mana telah

ditentukan untuknya”, Terjemahan Sahih Al Bukhari Bk.

8, 402 (1987)

• “Orang-orang golongan bahagia, mereka akan diper-

mudah untuk melakukan amalnya orang-orang baha-

gia. Adapun golongan orang celaka, dia pasti akan

14 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/10/sang-wajubul-wujud/

216

mengarah pada amalnya orang-orang celaka”, ter-

jemahan Shahih Muslim Bk.4, 575 (1994), Terjemahan

Shahih Bukhari Bk. 8, 402 (1987).

• “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut dise-

babkan karena perbuatan tangan manusia, Allah meng-

hendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)

perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang

benar)”, QS Ar-Rum (30) : 41.

• “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka itu

disebabkan oleh perbuatan dosamu sendiri, dan Allah

memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan-

mu)”, QS Asy-Syuura : 30-

• “Dan bila dikatakan kepada mereka, “janganlah kamu

membuat kerusakan di muka bumi.” Mereka men-

jawab, “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang

mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya me-

rekalah yang berbuat kerusakan tapi mereka tidak sa-

dar”, QS Al-Baqarah (2) : 11-12.

• “Apabila kemaksiatan telah merajalela pada umatku,

maka Allah azza wa jalla akan meratakan mereka de-

ngan adzab dari sisi-Nya.” (Lihat : ash-Shohihah no.

137)

• “Apabila perzinaan dan transaksi riba telah merata

pada suatu negeri maka Allah azza wa jalla meng-

izinkan negeri itu untuk dihancurkan.” (ad-Da` wa

ad-Dawa`, hlm. 70)

• “Tidaklah bumi ini diguncang melainkan karena mak-

217

siat yang dikerjakan di atasnya.” (ad-Da`wa ad-Dawa`,

hlm. 74)

• “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan

suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri

mereka sendiri”, QS. Ar-Ra’du (13) : 11 .

Di mana, semua ayat Al Qur’an dan Al Hadist di atas insya

Allah akan menuntun kita untuk memahami Pasal TAQ-

DIR.

Kita pada akhirnya akan percaya bahwa TAQDIR YANG

BAIK dan YANG BURUK, kedua-duanya adalan KETETAPAN

yang BERASAL dari ALLAH. Inilah RUKUN IMAN KE-ENAM

yang sangat sulit sekali untuk kita pahami kalau kita tidak

memakai kacamata Makrifatullah. Kita nyaris tidak ber-

iman lagi terhadap rukun iman keenam ini. Dan keti-

dakberimanan kita kepada rukun iman keenam ini pulalah

yang menyebabkan kita punya MASALAH BESAR dalam

MENGINGATI ALLAH setiap saat. Bagaimana kita akan bisa

mengingat sesuatu yang tidak kita imani.

Kalau kita tidak bisa mengingati Allah (dzikrullah) di setiap

saat, maka kita akan bermasalah besar pula dalam

bersikap IHSAN kepada Allah. Gagal dalam berihsan, maka

gagal pulalah kelengkapan dan kesempurnaan kita dalam

beragama. Karena Agama Islam ditegakkan di atas TIGA

PILAR yang tidak boleh satupun yang tidak ada. Ketiga-

tiganya Wajib Ada, yaitu :

• ISLAM,

218

• IMAN, DAN

• IHSAN.

Dalam mengamalkan ketiga pilar agama Islam itu . . .

. . . kita membutuhkan INGATAN kita yang

HANYA TERTUJU kepada Allah semata-mata,

sehingga kita bisa MELUPAKAN dan

MEMAAFKAN semua masalah kita dan segala

penyebab-penyebabnya.

Lupa kepada permasalahan-permasalahan,

. . . maka kitapun akan hidup penuh dengan

KETENTERAMAN.

Hanya orang yang sudah tenteram inilah yang . . .

. . . dipanggil oleh Allah untuk memasuki alam

kehidupan syurgawi bersama-sama dengan

Nabi-Nabi dan hamba-hamba Allah lainnya

yang telah diberi-Nya Rahmat.

Dan untuk bisa mengingati Allah (dzikrullah) berlama-

lama, maka kita akan membutuhkan Kacamata Makri-

fatullah sebagai anak kunci untuk membuka pintu INGAT-

219

AN kita kepada Allah. Kalau pintu itu sudah terbuka, maka

kita tinggal ISTIQAMAH di dalamnya.

Jadi . . .

. . . Makrifatullah itu bukanlah AKHIR dari

perjalanan Kerohanian kita, tapi Ia adalah

AWAL dari perjalanan Kerohanian kita. Dari

bermakrifatullah itulah kita akan bisa Beriman

dan Berihsan kepada Allah. Lalu dalam

keadaan kita beriman dan berihsan kepada

Allah itu pulalah kita akan bisa menjalankan

syariat Islam dengan tanpa beban sedikitpun.

Yang ada adalah kegembiraan kita dalam beragama. Wa-

laupun kadangkala kita tiba-tiba menangis, tapi tangis kita

itu adalah tangis bahagia karena kita melihat kebenaran :

“Engkau melihat mata mereka mencucurkan air mata

disebabkan kebenaran yang mereka ketahui, sambil

mereka berkata : Wahai Tuhan kami, kami beriman,

oleh sebab itu tetapkanlah kami bersama-sama

orang-orang yang menjadi saksi”, Al Maidah (5/83).

Jadi menangisnya mereka itu bukan lagi karena proses

HIPNOSA PIKIRAN atau sekelas tangisan sekresi hormonal

dan tetesan air liur seperti yang telah kita bahas di bagian

220

terdahulu. Akan tetapi mereka menangis karena mereka

telah MENGETAHUI KEBENARAN seperti halnya orang-

orang terdahulu yang juga telah menjadi saksi atas KEBE-

NARAN itu.

Sampai di sini, berakhirlah artikel Kalung Yang Sudah Ter-

pasang di Leher15

yang masih merupakan awal atau pem-

buka kata tentang pembahasan masalah TAQDIR.

15 http://yusdeka.wordpress.com/2014/09/24/kalung-yang-sudah-

terpasang-di leher/

221

Artikel 10 :16

Sang Wajibul Wujud

Pada artikel terdahulu, kita sudah membahas tentang . . .

. . . bagaimana menyakitkan dan melelahkan diri

kita sendiri kalau kita masih MERASA WUJUD di

samping kewujudan Allah. Kita jadi berpecah

belah, kita selalu bertengkar, dan kita tidak bisa

untuk MEMAAFKAN dan MELUPAKAN. Dan akibat

yang paling parah adalah kita tidak bisa lagi

MENGINGAT ALLAH (Dzikrulllah) dalam setiap

amalan syariat yang kita lakukan maupun dalam

kegiatan sehari-hari.

Karena kita tidak bisa mengingati Allah, maka kita akan segera

berteman AKRAB dengan syaitan.

Mau percaya atau tidak dengan ayat Al Qur’an berikut ini

silahkan:

• “Barang siapa yang berpaling dari INGAT kepada Yang

Maha Rahman, maka Kami buat atau kirimkan atasnya

syaitan sebagai teman setianya”, Az Zukhruf (43): 36.

• “Dan sungguh syaitan itu akan menghalang-halangi mereka

16 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/10/sang-wajubul-wujud/

222

dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa

mereka mendapat petunjuk”, Az Zukhruf (43): 37.

Karena kita merasa wujud pula di samping kewujudan Allah,

maka seketika itu juga lunturlah Tauhid kita. Kita menyekutu-

kan Allah dengan kewujudan diri kita sendiri. Tidak cukup

hanya itu, saat kita merasa wujud, ternyata kita juga akan me-

lihat orang lain yang ada di sekitar kita sebagai wujud yang ha-

rus berada di bawah kekuasaan dan kehebatan kita. Karena

kalau kita wujud, maka kita akan segera merasa lebih berkua-

sa dan lebih merasa hebat dari orang lain. Seperti juga Iblis

menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri dan merasa lebih

hebat dari Allah dan Adam melalui perkataaannya yang sangat

masyhur: “Ana khairu minhu, wujudku lebih baik dari wujud

Adam, maka aku tidak akan pernah mau sujud kepada Adam

sampai hari yang telah Engkau Janjikan”.

1. “Ya sudah, kalau begitu saya mengaku tidak wujud saja.

Laa maujud illallah, laa maujud illallah.”, kata kita dengan

penuh semangat.

2. Lalu tak berapa lama kemudian terlontarlah kata-kata

seperti berikut ini dari mulut kita dengan sangat mudah-

nya :

a. “Aku nggak ada, yang ada adalah Allah”

b. “Bukan aku yang rukuk kok, tapi Allah yang meru-

kukkanku, aku hanyalah seonggok daging yang pasif,

Allahlah yang menggerakkanku, yang menghidup-

kanku, yang membuatku melihat dan mendengar.

Allahlah yang menyolatkanku, yang menakbirkanku,

223

yang membacakanku, dsb”

c. “Hilangkan kehendak kita agar Allah menggantinya

dengan Kehendak-Nya. Rasakan tubuh kita berada

dalam kendali Allah”.

Tapi lihatlah dengan penuh kewaspadaan. Dengan perkataan-

perkataan kita seperti itu,

. . . tidakkah kita sebenarnya sedang

MENGKERDILKAN ALLAH hanya sebatas pada apa-

apa yang sedang kita kerjakan, yang kita katakan,

atau apa-apa yang sedang terjadi pada diri kita ?

Bukankah Allah Maha Besar, Maha Suci ?

Memangnya kita ini siapa ? Sampai-sampai Allah harus MENG-

AMBIL ALIH semua aktifitas kita menjadi Aktifitas-Nya. Di

sinilah penyebab utama munculnya orang-orang yang menga-

ku dan mengatasnamakan Allah terhadap apa-apa yang mere-

ka lakukan. Akan tetapi sebenarnya mereka sedang memper-

lihatan kewujudan mereka sendiri. Dan dari sini pulalah ber-

mulanya Paham Wahdatul Wujud dengan semua variannya.

Lalu bagaimana donk hubungannya dengan :

1. Perkataan Allah di dalam Al Qur’an : “Maka (yang sebe-

narnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan

tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu

yang melempar ketika engkau melempar, tapi Allahlah

224

yang melempar”, Al Anfal (8) : 17.

2. Dan Al Hadist Qudsi: “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka

Aku mengumumkan perang terhadapnya dari-Ku. Tidak

ada yang paling Aku cintai dari seorang hamba kecuali

beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Aku wa-

jibkan kepadanya. Adapun jika hamba-Ku selalu melak-

sanakan perbuatan sunah, niscaya Aku akan mencintanya.

Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pen-

dengarannya yang dia mendengar dengannya, (Aku) men-

jadi penglihatan yang dia melihat dengannya, menjadi

tangan yang dia memukul dengannya, menjadi kaki yang

dia berjalan dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku,

niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun ke-

pada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta per-

lindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi.”

“Bukankah esensi dari ayat Al Qur’an, Hadist Qudsi di atas

sama dengan kalimat-kalimat yang terdahulu di atas ?”, kata

kita dengan penuh semangat.

Ya bedalah !

Kata-kata pertama yang di atas, KITA sendirilah yang MENGU-

CAPKANNYA, kita sendirilah yang MENETAPKANNYA. Sedang-

kan pada ayat Al Qur’an dan Hadist Qudsi di atas ALLAH SEN-

DIRI yang MENETAPKANNYA. Ya pasti beda donk !

• Yang pertama adalah pengakuan dan penetapan dari kita.

• sedang yang kedua adalah Pengakuan dan Penetapan dari

225

Allah. Karena memang Allah berhak untuk berkata apa saja

atas Perlakuan-Nya terhadap Dzat-Nya.

Fakta seperti inilah nampaknya yang banyak dilupakan oleh

para sufi penempuh jalan tarekat dan jalan wali-wali, sehingga

seringkali kita mendengar dan membaca ucapan-ucapan SYA-

TAHAT yang menyangka bahwa makhluk adalah Allah, Allah

adalah makhluk. Alam adalah Allah, Allah adalah alam. Dia

adalah aku, aku adalah Dia.

Apalagi oleh orang-orang yang hanya mengandalkan pikiran-

nya semata, mereka akan mudah sekali berkata: “Alam semes-

ta akan mendukung apa-apa yang kita pikirkan. Kita bisa

mengubah kehidupan kita dengan cara kita mengubah Vibrasi

kita, sebab kehidupan ini hanyalah permainan vibrasi saja, dan

sebagainya”. Akhirnya kita jadi keblinger sendiri.

“Lalu bagaimana donk yang sebenarnya, hakikinya ?”, kata kita

yang mulai sedikit penasaran. Untuk itu mari kita pakai kaca-

mata baru kita yang bisa memandang sampai ke Hakekat dari

Semua Ciptaan ini, Kacamata Makri-

fatullah.

A. Pintu Makrifatullah - Jalan Wali-

Wali dan Mursyid

Banyak paradigma yang mena-

warkan untuk kita bisa masuk kepada Alam Makrifatullah.

Salah satu paradigma yang sangat terkenal saat ini adalah

226

SYARIAT – TAREKAT – HAKIKAT – MAKRIFAT. Bahwa

orang-orang yang masih berkutat pada pelaksanaan

syariat saja dianggap masih berada pada tatanan kulit-

kulit saja dalam beribadah. Dengan syariat saja kita

dianggap tidak akan pernah sampai kepada Makrifatullah.

Hanya dengan melalui jalan Tarekatlah satu-satunya cara

agar kita baru bisa bermakrifat. Tarekat adalah sebuah

jalan yang sangat eksklusif yang dengannya kita baru bisa

mencapai makam Makrifatullah. Jadi tanpa tarekat kita

dianggap tidak akan pernah bisa sampai bermakrifat

kepada Allah.

Seperti yang sudah kita bahas dalam artikel terdahulu,

tarekat ini baru muncul 300 – 400 tahun setelah wafatnya

Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya belum ada, walaupun

dalam silsilah tarekat itu dikatakan awalnya sampai juga

kepada Rasulullah SAW. Kemudian tarekat ini pecah men-

jadi dua cabang besar periwayatan. Yaitu riwayat yang

berasal :

• dari tangan Khalifah Abu Bakar Siddiq Ra dan

• yang dari tangan Ali bin Abi Thalib Ra.

Dari dua cabang inilah kemudian yang membentuk tare-

kat-tarekat antara yang satu dengan yang lain berbeda

dalam praktek dzikirnya. Dari dua cabang ini bermuncul-

anlah beragam Tarekat yang kemudian dinamakan de-

ngan orang yang membawa atau mengembangkannya.

Para pengembang atau pembawa ajaran Tarekat ini dise-

227

but sebagai Wali-wali, Mursyid yang Kamil Mukamil, Kha-

lifah, atau Syech, yang tanpa mengikuti cara-cara mereka

kita tidak akan pernah bisa memasuki maqam Makri-

fatullah. Makanya kedudukan wali ini sangat susah sekali

bagi orang awam untuk mencarinya, apalagi untuk men-

capainya.

1. Dzikir

Antara satu tarekat dengan tarekat yang lainnya ber-

beda dalam hal :

• CARA berdzikir,

• LAFAZ dzikir,

• HITUNG jumlah dzikir,

• dan OBJEK PIKIR dalam berdzikirnya.

Umumnya cara berdzikirnya terbagi dalam tiga cara,

yaitu :

• Dzikir Jahar,

• Dzikir Qalb,

• dan Dzikir Sirr.

Lafaz Dzikir biasanya adalah : “Laa Ilaaha Illallah,”

atau “Allah-Allah-Allah,” atau “Huu Allah,” atau “Huu

Haq,” atau “Huu,” dan sebagainya. Objek Pikir yang

harus kita ingat-ingat selama kita berdzikir itu bia-

sanya adalah HURUF ALLAH, lathaif-lathaif (cakra),

denyut jantung, aliran keluar-masuk nafas, dan lain-

lain.

228

Dan yang tak kalah pentingnya adalah, pada awal kita

mau berdzikir itu, kita harus mengingat dan memba-

yangkan Wajah Guru Mursyid kita, dan juga menye-

but Silsilah dari guru-guru kita sampai ke Rasulullah

Saw. Proses ini disebut sebagai RABITAH MURSYID.

Yang dimaksud dengan BERDZIKIR di sini adalah

MENGUCAPKAN atau MELAFAZKAN kalimat-kalimat

dzikir seperti di atas secara BERULANG-ULANG dalam

JUMLAH TERTENTU baik secara JAHAR (bersuara)

ataupun secara SIRR (tidak bersuara) yang dilakukan

pada POSISI TUBUH tertentu seperti berbaring, duduk

tawaruk, berdiri, berjalan, ataupun bergerak dan

berputar-putar.

Pada awalnya, tubuh kita akan bergetar secara tidak

beraturan, kita bisa menangis dan kadangkala sampai

berteriak histeris, dan bahkan sampai terjatuh dan

berguling-guling. Tubuh, kaki dan tangan kita bisa

pula seperti diangkat dan dibentur-benturkan ke ta-

nah. Akan tetapi pada tahapan berikutnya tubuh kita

akan mulai diam, seakan-akan sudah berada pada se-

buah frekuensi getaran tertentu. Kalaupun kadangka-

la tubuh kita masih bergerak-gerak, cuma gerakannya

sudah seperti seirama dengan gerak sebuah getaran

yang ada di alam tempat di mana kita berada. Lalu

tubuh kita diam.

229

2. Objek Pikir

a. OBJEK PIKIR kita adalah QALB

Kalau OBJEK PIKIR kita adalah QALB (yang dalam

hal ini adalah JANTUNG), atau LATHAIF-LATHAIF

mulai dari yang terletak di wilayah dada sampai

ke ujung kepala dan juga seluruh tubuh, tidak

berapa lama kemudian akan ada seperti aliran

ENERGI yang bergerak ke atas dari bawah perut

kita. Perut kita seperti berkontraksi untuk meng-

eluarkan sebentuk energi. Begitu energi itu naik

ke atas dengan cepat, ia mendorong dada kita

bergerak secara bergelombang dan aliran udara-

nya menyentuh pita suara kita. Tanpa kita senga-

ja akan ke luar kata-kata “Huu,” yang keluarnya

seperti kita sedang “mengedan” saat kita (maaf)

buang air besar.

b. OBJEK PIKIR kita adalah Alam Semesta

Kalau OBJEK PIKIR kita adalah alam semesta, ma-

ka energi yang muncul dari bawah pusar itu se-

perti akan melambungkan kita naik ke alam-alam

yang lebih tinggi menuju ke langit. Kepala kita

bisa terdongak ke atas, atau tubuh kita seperti

jinjit (tumit kita terangkat) dan kita berdiri pada

bagian ujung kaki kita. Tubuh kita seperti ingin

naik ke atas, dan itu bisa terjadi secara berulang-

230

ulang. Energi itu juga mendorong pita suara kita

untuk mengucapkan “Huu, Huu, Huu,” atau kita

bisa pula “Huu. Allah, Huu. Allah.”

c. OBJEK PIKIR kita adalah ke Luar Masuknya Nafas

Kita

Kalau OBJEK PIKIR kita adalah ke luar masuknya

nafas kita, hal yang sama dengan yang di atas

juga akan terjadi. Energi dari bawah pusar kita

akan naik mengikuti aliran ke luar masuknya

nafas kita itu. Sehingga kita bisa berkonsentrasi

pada satu objek pikir saja, yaitu ke luar masuknya

nafas kita. Pada suatu saat, ucapan “Huu,” atau

“Huu. Allah” itu juga akan ke luar dari mulut kita

seperti otomatis begitu saja.

3. Metamorfosis Menjadi Alam

Kalau semua fenomena getaran energi di atas sudah

reda. Kita akan terdiam. Tubuh kita akan rileks. Ge-

taran tubuh kita terasa sudah seirama dengan getar-

an-getaran yang ada di alam tempat di mana kita

berada. Makanya tubuh kita seakan-akan sudah men-

jadi alam itu sendiri.

Alam adalah diri kita, diri kita adalah alam.

Di sini kita sampai kepada pencapaian pintu hakekat

231

bahwa hakekat diri kita adalah sama dengan alam

semesta. Tidak ada perbedaan antara kita dengan

alam semesta. Kita bisa merasakan bahwa diri kita

adalah seluas dan sebesar alam semesta. Luas dan

besar sekali.

4. Mengikuti Aliran Energi Alam

Kalau kita ingin meningkatkan lagi getaran tubuh kita

ini ke tingkat yang lebih halus, maka kita bisa me-

lakukannya dengan cara kita bergerak mengikuti

aliran energi alam. Bahwa di alam ini ada aliran energi

yang sedang aktif bergerak menggerakkan alam se-

mesta dan materi-materi yang ada di dalamnya. Kita

bisa melakukannya dengan menambahkan HIPNOSA

bahwa energi itu adalah milik Allah, atau bisa pula

tidak ada hipnosa sama sekali.

Karena kita sudah merasa bahwa tubuh kita sudah

menjadi alam, maka sekarang kita bisa melatih bahwa

alam bergerak mengikuti gerak yang ada di alam itu.

Kita tunggu gerak itu, dan kalau gerak itu sudah te-

rasa ada maka kita ikuti gerak itu. Tubuh kita akan

bergerak ke sana ke mari dengan sangat ringannya.

Gerakan-gerakan kita kadangkala tidak beraturan, ka-

dangkala bisa pula gerak berputar-putar seperti ga-

sing, atau seperti tarian sufi. Selama kita mengikuti

gerakan itu, pada saat-saat tertentu kembali seperti

ada aliran energi yang mendorong pita suara kita

232

untuk berkata-kata atau berucap-ucap kata tertentu.

Seakan-akan ucapan-ucapan kita itu adalah ucapan

yang bukan dari diri kita. Tapi ucapan yang dituntun,

kata kita. Dan hanya tinggal selangkah lagi saja kita

untuk berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang

yang berpahaman Wahdatul Wujud dengan berbagai

variannya.

Kalau kita berkata-kata pada stage ini, maka biasanya

kita mengatakan bahwa gerakan kita adalah gerakan

Allah, kata-kata kita adalah kata-kata Allah, dan

sebagainya

Berbagai Aliran SILAT juga melakukan hal ini dengan

cara yang sedikit berbeda di sana sini. Yang penting di

sini adalah kita mau bergerak mengikuti Aliran Energi

yang sedang kita rasa-rasakan sedang bergerak di

alam semesta. Tujuannyalah nantinya yang akan

membedakan kita satu sama yang lainnya.

B. Datangnya Ilham Tentang Makrifatullah dan Ilmu-Ilmu

Lainnya

Akhirnya setelah beberapa lama, biasanya berjam-jam.

Tubuh kita terasa sangat rileks sekali, dan badan kita rasa-

nya sangat luas sekali. Saat itulah dianggap waktu yang

pas bagi kita untuk duduk diam menunggu ILHAM. Kita

mengharapkan adanya ILHAM tentang makrifatullah dan

ilmu-ilmu lainnya. Makanya kalau sudah sampai pada

233

posisi seperti ini, banyak pula kita yang kemudian beralih

profesi menjadi dukun, atau orang “pintar”, atau orang

sakti, atau orang hebat, atau paling tidak orang yang akan

dimintai perto-longan oleh orang lain ketika mereka

punya masalah. Therapis atau lebih hebat lagi SANG

GURU kata orang sekarang. Kita mengaku sendiri atau

dianggap orang lain menjadi seseorang yang tahu tentang

hal-hal yang gaib.

C. Penyimpangan

Hanya saja IMAM GHAZALI ternyata sudah mencium juga

gelagat yang kurang bagus untuk hal di atas. Beliau

berkata bahwa :17

“Di tengah-tengah perjuangan ini,

• tabiat menjadi rusak,

• akal menjadi kacau dan

• badanpun sakit.

Apabila latihan dan pendidikan nafsu tidak men-

dahului datangnya hakikat segala ilmu, maka . . .

. . . akan merajalela khayalan-khayalan

yang merusakkan, di mana nafsu akan

puas dengan kahayalan-khayalan tadi

17 Keajaiban Hati, 47 (1979)

234

pada waktu yang lama sehingga habislah

umurnya, padahal apa yang dikhayalkan

itu belum pula diperoleh.

Banyak orang sufi yang menempuh jalan ini ke-

mudian ia senantiasa berada pada satu khayalan

dalam masa 20 tahun. Dan apabila dari dulunya ia

sudah mempunyai suatu ilmu yang kukuh tentu

terbukalah baginya segi kepalsuan khayalan tadi

seketika.”

Makanya ada kesan bahwa pelajaran Hakekat dan

Makrifat melalui Jalan Tarekat ataupun jalan-jalan lainnya

yang berkembang belakangan ini . . .

. . . akan memakan waktu sampai

PULUHAN tahun agar kita bisa bermakrifat.

Dan paling tidak saya sendiri sudah membuktikan ke-

benaran ungkapan Al Ghazali ini selama belasan tahun.

Akan tetapi, Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan

Penyayang. Dia ternyata tidak akan membiarkan umat Is-

lam ini untuk berlama-lama berada dalam taraf kebi-

ngungan yang sudah berusia ratusan tahun ini. Dengan

cara Allah sendiri yang seringkali tidak masuk dalam logika

berpikir kita, tahu-tahu sekarang sudah terbentang saja

235

paradigma berpikir yang meneruskan kembali pelajaran

tasawuf jalan Nabi-Nabi dan Para Sahabat Beliau. Percaya

atau tidak, ya terserah saja. Yang pasti . . .

. . . Allah akan menuntun siapa yang

dikehendaki-Nya untuk menjadi percaya.

Paradigma berpikir jalan Nabi dan Para Sahabat Beliau ini

ternyata memakai pola :

• Mengajarkan Makrifatullah terlebih dahulu, sehingga

sampai kita bisa beriman kepada Allah.

• Setelah kita beriman, maka barulah kita diajarkan

untuk melaksanakan ibadah-ibadah, atau syariat yang

lainnya.

D. Jalan Nabi-Nabi

Untuk memasuki Pintu Makrifatullah dengan cara jalan

Nabi-nabi ini, mau tidak mau kita akan berhubungan

dengan Allah. Dialah Tuhan kita. Ya, Nama Tuhan kita

adalah Allah. Dia sendirilah yang telah menamakan Diri-

Nya dengan Allah. “Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada

Tuhan selain Aku; sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat

untuk mengingati Aku”, (QS: Thaha 14). Walaupun Allah

juga menamakan Diri-Nya dengan nama-nama yang Lain

seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Quddus, sampai dengan

99 Nama-nama-Nya yang lain, namun Nama-nama itu

tetap HANYA mengacu kepada Allah saja. Tidak kepada

236

yang lain selain dari Allah.

DIRI Allah dipanggil Dzat. Hal ini didasari oleh:

• “Sesungguhnya Allah itu Dzat Yang Maha Indah”,

Terjemahan Shahih Muslim, Bk. 4, 570 (1994).

• “Demi Dzat yang tiada Tuhan selain Dia”, Terjemahan

Shahih Muslim, Bk. 1, 95 (1994).

• “Aku memohon kepada-Mu wahai Dzat yang memutus-

kan segala perkara”, Terjemahan Sunan At Tirmidzi

Bk.5, 335 (1993).

• “(Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka

sembahlah Dia”, Yunus (10): 3.

• Maka (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu

yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah itu melain-

kan kesesatan”, Yunus (10):32.

Makanya kalau kita menyebut Nama ALLAH, tiada lain

yang kita MAKSUD adalah Dzat YANG MAHA INDAH. Dzat

yang sama dengan yang dimaksudkan oleh seluruh Nabi-

Nabi dan Rasul-Rasul, Para Sahabat, Tabiin, Tabiit Tabiin,

dan orang-orang yang menerusi Beliau semua.

Oleh sebab itu, kalau ada umat dari agama atau keper-

cayaan lain yang ingin memakai ALLAH pula untuk me-

namakan Tuhan dalam agama dan kepercayaan mereka,

maka mereka sepatutnya tahu dasar-dasar ilmu tentang

Allah ini. Makrifatullah. Kalau mereka tetap ngotot untuk

memakai Allah dalam menamakan Tuhan mereka, maka

tidak apa kita beritahu mereka dengan cara yang bijak.

237

Allah TIDAK SAMA dengan The God untuk istilah Tuhan

dalam Bahasa Inggris. Sebab The God maknanya adalah

SATU berhala yang paling. (The God) dari berhala-berhala

lain yang ada (gods). Allah bukanlah AL – ILAH yang ter, di

antara banyak ilah ilah ilah (berhala) yang lainnya, yang

sebanding dengan THE – GOD di antara banyak god, god,

god yang lainnya. Bukan.

Allah bukan nama untuk sebuah berhala yang ter . . . (the

ultimate) dari berhala-berhala yang lain. Allah bukan

berasal dari kata AL dan LAH. Bukan ! Allah adalah satu

nama UTUH yang hanya KHUSUS buat Nama Tuhan Se-

mesta Alam. ALLAH adalah NAMA yang hanya berhak di

sandang oleh ALLAH sendiri. Dan Nama Itupun Allah sen-

diri yang menetapkannya untuk Diri-Nya Sendiri.

Untuk itulah diperlukan MAKRIFATULLAH, Pengenalan ter-

hadap Allah. Itu gunanya adalah agar kita tidak salah ALA-

MAT ketika kita mengucapkan kata ALLAH; agar kita tidak

salah ARAH dalam MENYEMBAH-RUKUK-SUJUD; agar kita

tidak salah ALAMAT ketika kita berdoa; agar kita tidak

salah TUJUAN ketika kita memanggil-manggil nama-Nya;

agar kita tidak salah ARAH dalam perjalanan pulang kita,

agar kita tidak salah dalam hal MENGINGAT-INGAT dan

MENGGADANG-GADANGKAN.

Jadi Makrifatullah benar-benar adalah sebuah TITIK

AWAL, FONDASI, ASAS, di mana kehidupan kerohanian

kita bermula. Kalau fondasinya ini lemah, apalagi salah,

238

maka lemah dan salah pulalah kita dalam kehidupan kero-

hanian kita. Dan akibatnya adalah penderitaan bagi diri

kita sendiri.

Seperti telah disebutkan di atas, Diri ALLAH disebut Dzat.

Dzat ini bagi Allah adalah adalah sama seperti Jasad pada

manusia. Jadi Diri Allah disebut Dzat, sedangkan diri

manusia disebut JASAD. Hanya saja bagaimana RUPA dari

Dzat itu tidak dapat kita ketahui. RUPA Dzat tidak dapat

kita umpamakan. RUPA Dzat tidak dapat kita rupa-

rupakan. RUPA Dzat tidak dapat kita pikirkan. RUPA Dzat

tidak dapat kita lamunkan. RUPA Dzat tidak dapat kita

kira-kira.

RUPA Dzat tidak bisa kita lihat dengan MATA. Apapun

yang terpadang kepada Dzat ia akan Hangus TERBAKAR,

dan MUSNAH kembali menjadi Dzat. Karena Dzat itu

sangat AGUNG, sangat KUAT, sangat PERKASA. Semakin

dekat kepada Dzat, maka semakin terasa kedahsyatan

Dzat itu. Misalnya, atom, karena saking kecilnya, dan de-

kat dengan Dzat, maka kedahsyatannya telah melahir-kan

BOM ATOM. NUKLIR yang lebih dekat lagi kepada Dzat,

maka kedahsyatannya telah menghasilkan BOM NUKLIR.

Makanya kalau ada di antara kita yang ingin melihat Dzat

dengan mata kita, atau ingin mendekati Dzat dengan

tubuh kita, maka pastilah mata kita akan buta, tubuh kita

akan hancur. Ketika Nabi Musa AS ingin melihat Allah

dengan mata Beliau, maka Beliau pun pingsan, bukit Thur-

239

sina pun hancur luluh, tidak kuat memandang Keagungan

Dzat yang saat itupun barulah “Tajallai” Nya saja. Beliau

belum melihat Dzat yang sebenarnya. Sebab apapun yang

terpandang kepada Dzat, ia akan musnah, seperti mus-

nahnya atom dan nuklir membentuk energi yang sangat

besar, kuat, dan menghancurkan.

Dzat juga tidak bisa dibahas dan dipersepsikan. Sejarah

membuktikan bahwa umat Nasrani telah mencoba untuk

membahas Dzat atau Diri Allah. Maka mereka ke luar

dengan paham TRINITAS, yang sebenarnya bagi para umat

Nasrani sendiri sulit untuk dipahami.

Membahas Dzat itu jugalah penyebab dari munculnya

orang-orang yang menyembah matahari, ruh-ruh leluhur,

pohon-pohon besar, batu-batu tertentu, kuburan kera-

mat, bahkan pemuka-pemuka agama yang mereka anggap

keramat dan hebat.

Sebagian umat Islampun ada pula yang mencoba untuk

membahas dan mempersepsikan Dzat atau Diri Allah ini,

sehingga mereka ke luar dengan Paham Wahdatul Wujud,

Nur Muhammad yang telah membawa umat ke dalam

masa kebingungan yang sangat panjang dan lama. Aku

adalah Dia, Dia adalah aku. SATU dalam banyak, banyak

dalam SATU. Itu barulah beberapa konsep yang kitapun

sekarang bingung sendiri dibuatnya.

Apalagi kalau kita tidak paham dengan Makrifatullah ini,

240

maka kita dengan sangat mudah bisa menjadi orang

ATHEIS. Betapa tidak, apapun yang ada di alam semesta

ini seperti sudah berjalan dengan sendirinya, berubah

dengan sendirinya, berproses dengan sendirinya, sudah

teratur dengan sendirinya. Sebuah SISTEM yang sedang

berjalan, yang alangkah sempurnanya.

Inilah yang membuat Steven Hawking

berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada.

Oleh sebab itu, sekarang mari kita mulai membuka pintu

Makrifat ini dengan bersungguh-sungguh :

1. Awalnya

Pada awalnya, AWAL YANG TIADA AWAL, Yang ADA

semata-mata hanyalah Dzat Yang Maha Indah, Dzat

Yang Maha Agung. Dzat semata wayang. Tidak ada

sesuatu apapun YANG LAIN selain dari Dzat. Tidak ada

KEKOSONGAN, tidak ada pula KETIADAAAN. Yang ada

hanyalah Dzat.

Kalau di samping Dzat ada pula kekosongan atau

ketiadaan, atau ada pula SESUATU dalam bentuk apa

saja yang selain dari Dzat, maka Dzat itu bukanlah

Dzat Yang Maha Indah dan Yang Maha Agung.

Kalau kita masih bersikeras mengatakan bahwa di

samping Dzat ada pula KEKOSONGAN atau KETIADA-

241

AN, atau SESUATU yang lain, maka saat itu juga kita

telah jatuh ke jurang KEMUSYRIKAN. Kita telah men-

jadi SYIRIK. Tauhid kita telah Runtuh. Karena kita

masih melihat ada DUA KEWUJUDAN. Ada Dzat dan

ada pula KEKOSONGAN, atau Ada Dzat dan ada pula

KETIADAAN, atau ada Dzat dan ada pula SESUATU

yang lain, walau sekecil apapun juga.

Sedangkan TAUHID menghendaki atau mengisyarat-

kan hanya ada SATU saja KEWUJUDAN yang WUJUD,

yaitu Dzat Yang Maha Indah, Dzat Yang awalnya tiada

Awal. TIDAK ada wujud apapun di samping Dzat Yang

Maha Indah itu, baik itu berupa KEKOSONGAN, KETIA-

DAAN, ataupun SESUATU yang lain dalam bentuk

apapun.

Dzat Yang Maha Indah itu menamakan sendiri Diri-

Nya sendiri dengan nama “ALLAH”. Tidak ada SESIAPA

atau APAPUN juga yang boleh kita namakan dengan

nama Allah ini. Kalau ada seseorang yang menyebut

dirinya dengan sebutan Allah pula, maka pastilah ia

akan dimatikan. Kalau ada sesuatu yang selain Allah

yang kita jadikan sebagai Allah, maka pastilah kita

akan disiksa, dipedihkan, dan bahkan dihancurkan-

Nya.

ALLAH adalah NAMA untuk Dzat Yang Maha Indah.

Dzat adalah sebutan untuk DIRI ALLAH, seperti halnya

juga JASAD untuk sebutan bagi DIRI KITA. Jadi kalau

242

kita menyebut nama Allah, maka yang kita maksud itu

adalah nama untuk Dzat Yang Maha Indah, atau

selanjutnya bisa kita singkat saja dengan Dzat.

Bagaimana RUPA Dzat, tidak ada seorangpun yang

tahu. Kita sudah bahas sebelumnya bahwa barang

siapa yang mencoba untuk merupa-rupakan RUPA

Dzat, memikirkan-mikirkan RUPA Dzat, mengumpa-

ma-umpamakan RUPA Dzat, membayang-bayangkan

RUPA Dzat, maka yang akan kita temukan adalah ke-

sesatan, kejahilan, dan kebodohan. Konsep Trinitas,

Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, adalah sedikit

contoh hasil dari usaha umat manusia untuk memba-

has RUPA Dzat.

Konsep ini penting sekali untuk kita ketahui, karena

kita memang diperintahkan oleh Allah untuk selalu

MENGINGATI ALLAH (DZIKRULLAH). “FADZAKURUNI,

INGATLAH AKU.”, kata Allah. Lalu apa-Nya yang akan

ingat ? Masalah Dzikrullah ini akan kita perdalam lagi

pada bagian berikutnya.

Sekarang mari ita lanjutkan pembahasan kita tentang

masalah kewujudan ini.

2. Allah Berkehendak

Lalu Allah Berkehendak untuk Menciptakan Makhluk-

Nya. Akan tetapi, karena saat itu tidak ada apa-apa

243

selain dari Dzat- atau Diri-Nya sendiri, maka dari

manakah bahan dasar yang dipakai-Nya untuk men-

ciptakan Makhluk-Nya itu ? Mau mengambil dari

TIADA, ketiadaan itu tidak ada. Mau mengambil dari

yang kosong, kekosongan itupun tidak ada. Mau

mengambil dari sesuatu, sesuatu itupun tidak ada.

Yang ada hanya semata-mata Diri-Nya sendiri. Dzat.

Maka satu-satunya cara agar Dia bisa menciptakan

makhluk-Nya adalah dengan memakai Dzat-Nya sen-

diri. Allah WAJIB menciptakan semua ciptaan itu dari

DIRI-Nya Sendiri. Karena tidak ada apapun juga selain

dari Diri-Nya sendiri. Dzat.

Jadi Dzat adalah Sang Wajibul Wujud bagi terjadinya

semua proses penciptaan makhluk-Nya. Dzat yang

Wajib Kewujudan-Nya. Dzat yang tidak bisa tidak ada.

Dzat yang WAJIB ADA. Sebab Dzat itu akan menjadi

unsur awal dari terciptanya seluruh Ciptaan. Kalau

Dzat ini tidak ada, maka pasti tidak akan ada pula

ciptaan.

Dzat disebut juga sebagai HAKIKAT dari

semua Ciptaan. Ketika mata kita melihat

semua Ciptaan, maka kita sudah tahu

bahwa Hakikat sebenarnya dari

244

Ciptaan itu adalah Dzat, tanpa kita harus

tahu bagaimana Rupa dari Dzat itu.

“Lha, kalau begitu sama saja donk dengan Paham

Wahdatul Wujud ? Dzat itukan Allah juga ? Jadi boleh

donk dikatakan bahwa semua makhluk ini berasal dari

Allah. Inna lillahi wa inna ilahi rajiuun, aku berasal

dari Allah dan kepada Allahlah aku akan kembali”,

kata kita penuh semangat.

Kalau dilihat sepintas lalu sih, kalimat pengungkapan-

nya memang kelihatannya hampir sama saja dengan

Paham Wahdatul Wujud. Tapi akan sangat berbeda

MAKNANYA atau HAKEKATNYA.

Kalau kita mengatakan bahwa Dzat yang

terzahir menjadi semua ciptaan itu

BUKANLAH KESELURUHAN dari Dzat-NYA.

Akan tetapi yang menjadi SELURUH

CIPTAAN itu hanyalah

SEDIKIT saja dari Dzat-Nya.

Ya, Firman “KUN” itu HANYA ditujukan-Nya kepada

SEDIKIT dari Dzat-NYA yang besarnya tidak lebih dari

sebesar sebutir pasir dibandingkan dengan padang

pasir yang sangat luas, atau seukuran setetes air asin

245

di tengah-tengah samudera raya. Atau menurut

ilmuan masa kini, seukuran PARTIKEL yang mereka se-

but sebagai PARTIKEL TUHAN (HIGG BOSSON) di ke-

luasan the Universe. Di mana Higg Bosson ini adalah

sebuah partikel yang ukurannya sangat kecil sekali,

yang keberadaannya sangat sulit sekali untuk ditang-

kap atau dibuktikan keberadaannya secara “kasat

mata” atau “kasat peralatan ilmiah”.

Akan tetapi, walaupun Dzat itu sangat kecil, namun

itu adalah Bagian dari Dzat-Nya sendiri. Tidak ada

perbedaan antara Dzat Yang Keseluruhan, Yang Maha

Indah, dengan Dzat Yang sedikit itu. Ia Tetap bisa

disebut sebagai Dzat. Bedanya hanyalah dalam hal

MAGNITUDE-NYA saja.

Kalau mau diumpamakan . . .

. . . hubungan antara Dzat dengan Dzat

yang sedikit itu adalah ibarat gajah dengan

ekor gajah. Dzat adalah TUBUH GAJAH,

dan Dzat yang sedikit adalah EKOR GAJAH.

Jadi ekor gajah adalah sebagian kecil dari

gajah. Ekor gajah bukanlah gajah. Ekor

tidak akan bisa bergerak kalau gajah tidak

menggerakkan ekornya itu.

246

Ekor gajah TIDAK bisa mengatakan bahwa dia adalah

gajah. Sebaliknya, gajah BISA berkata bahwa ekornya

itu adalah dia. Dzat yang sedikit tidak bisa berkata

bahwa ia adalah Allah. Sebaliknya, Allah bisa berkata

bahwa Dzat yang sedikit itu adalah Dia. Allah berhak

berkata bahwa Dialah yang menggerakkan Dzat yang

sedikit itu.

Oleh sebab itu, Makhluk TIDAK BISA berkata-kata dan

mengakui bahwa ia adalah Allah, perkataannya ada-

lah perkataan Allah, tindakannya adalah tindakan

Allah, gerakannya adalah gerakan Allah. TIDAK BISA.

Sebab kalau kita berkata seperti itu, kita ibarat orang

buta yang berkata bahwa kita sedang memegang

gajah ketika kita sebenarnya sedang memegang ekor

gajah.

Sebaliknya Allah BISA mengakui bahwa perkataan

makhluk-Nya adalah perkataan-Nya, tindakan makh-

luk-Nya adalah tindakan-Nya, gerakan makhluk-Nya

adalah gerakan-Nya. Sebab semua makhluk-Nya se-

benarnya adalah TIADA. Semua makhluk itu adalah

sebagian yang sangat sedikit dari Dzat-Nya Sendiri,

sebagian yang sangat kecil dari DIRI-NYA sendiri.

Saat makhluk-Nya membunuh atau

memukul, Allah berhak mengatakan

247

bahwa yang membunuh dan yang

memukul itu adalah Dia Sendiri. “Aku yang

memukul, Aku yang membunuh, bukan

kamu.” Sebaliknya makhluk-Nya yang

membunuh dan yang memukul itu TIDAK

berhak, tidak boleh sama sekali untuk

berkata: “Yang membunuh adalah Allah,

yang memukul adalah Allah, bukan aku.”.

Paradigma Ini adalah bagian yang sangat penting

sekali agar kita terhindar dari Paham Wahdatul Wu-

jud atau Paham Nur Muhammad.

Dzat-Nya Yang Indah Magnitude-Nya adalah MAHA,

MAHA ABSOLUT ! Dan Dzat-Nya yang Yang Maha

Indah ini boleh juga . . .

. . . disebut juga sebagai

THE PRIMARY ESSENSE (TPE).

Dzat Yang penuh rahasia. Rahasia di atas rahasia, di

atas rahasia, di atas rahasia.

DI DALAM Liputan Dzat-Nya Yang Maha Indah itu ada

SEDIKIT Dzat-Nya yang AKAN dikenai-Nya dengan

Firman “KUN”. Dzat yang sedikit itu KECIL SEKALI di

248

bandingkan dengan TPE. Ia seumpama kecilnya

sebutir pasir yang berada di tengah-tengah padang

pasir, atau setetes air asin di dalam samudera luas,

atau yang lebih dahsyat lagi adalah seukuran the

HIGG BOSSON PARTIKEL yang sangat kecil diban-

dingkan dengan The Universe (alam Semesta Raya).

Agar lebih memudahkan kita,

. . . Dzat-Nya Yang sedikit ini kita sebut saja

sebagai THE SECONDARY ESSENSE (TSE).

Namun TSE ini tetap tidak terpisah dari TPE. Dimana

TSE adalah ibarat ekor gajah terhadap gajah. Ketika

gajah berkata “aku adalah gajah”, maka yang dimak-

sudkan oleh gajah itu adalah badannya berikut de-

ngan ekornya sekaligus. Satu.

Begitu juga, ketika Allah berkata Aku, maka Diri-Nya

yang Dia maksudkan Aku Itu adalah TPE dan TSE

sekaligus. Sebab kedua-duanya adalah Dzat-Nya sen-

diri. SATU.

Akan tetapi ketika kita ingin bercerita tentang makh-

luk dan berkata-kata sebagai makhluk, maka magni-

tude pembicaraan kita hanyalah berkisar sampai pada

TSE saja, yaitu Dzat-Nya yang sedikit, Dzat-Nya yang

sangat kecil.

249

Ya,

. . . hanya di dalam TSE yang sangat kecil

ini sajalah terjadinya semua perubahan,

pergolakan, penciptaan, penghancuran,

kesenangan, penderitaan, kepatuhan,

kedurhakaan, dan segala apapun juga yang

berkenaan dengan ciptaan.

Sedangkan apa dan bagaimana yang terjadi pada TPE

kita tidak mengetahuinya sedikitpun juga. TPE itu

sungguh SANGAT SUCI dari segala persepsi-persepsi

kita.

“KUN !”, maka Firman-Nya itupun Dia tujukan kepada

TSE :

1) Saat itu juga bermulalah Ruang dan Waktu.

RUANG menyediakan tempat untuk semua Cipta-

annya BERADA, dan WAKTU akan mengan-tarkan

semua Ciptaan untuk TERZAHIR. Untuk Penzahir-

an semua ciptaan itu, TSE menjadi Unsur Dasar,

Unsur Azali, HAKEKAT yang akan terzhahir men-

jadi semua Ciptaan, termasuk Ruang dan Waktu.

2) Dari TSE terciptalah TABIR 70 CAHAYA, Arasy-Nya

Yang Sangat Agung, lapisan Air Yang sangat

Masiv, dan Sidratul Muntaha.

3) Dari TSE itu pulalah, setelah peristiwa Dentuman

250

Besar (the big bang), tercipta Tujuh Lapis Langit,

Bumi, dan segala kelengkapan di antara kedua-

nya.

Sekarang mari kita lihat ada berapakah KEWUJUDAN

Yang WUJUD :

1) The Primary Essense adalah Dzat-Nya,

2) The Secondary Essense juga adalah Dzat-Nya, tapi

Dzat-Nya yang sedikit, yang berada di dalam

liputan TPE.

Selubung 70 Cahaya dan semua ciptaan-Nya yang

berada di dalam TSE adalah Wujud dalam beragam

bentuk dan rupa. Kita memang melihat dengan mata

kita sendiri bahwa ada beragam Wujud yang ada di

hadapan kita. BANYAK. Akan tetapi, kalau kita melihat

semua ciptaan itu dengan mata hati kita, maka kita

akan melihat bahwa . . .

. . . hakekat dari semuanya itu tak lain dan

tak bukan adalah Dzat juga, walau hanya

sedikit dari Dzat Yang Keseluruhan.

Jadi Kewujudan yang Wujud semata-mata hanyalah

Dzat. Dzat-Nya kabeh (semua).

Alhamdulillah, dengan begitu ketauhidan kita masih

TETAP UTUH. Sebab kita masih bisa melihat bah-

251

wa . . .

. . . hanya ada SATU KEWUJUDAN yang

Wujud, yaitu Dzat. Makanya Dzat kita

sebut juga sebagai SANG WAJIBUL WUJUD.

Dzat Yang Wajib Ada. SATU.

Jadi untuk mengetahui HAKEKAT dari semua ciptaan

ini, kita tidak perlu bersulit-sulit diri dan berlama-

lama lagi dalam mencarinya.

Kita bisa dengan MUDAH memasuki Alam

Hakekat itu melalui PINTU ILMU, yaitu

Ilmu Mengenal Allah, Makrifatullah.

Kita memakai ilmu makrifatullah ini ketika kita meli-

hat semua ciptaan, sehingga mata hati kita bisa men-

jadi sangat tajam untuk melihat bahwa di sebalik se-

mua ciptaan itu ternyata adalah Dzat-Nya semata-

mata. Ya, Makrifatullah adalah kacamata kita dalam

memandang Alam Hakekat. Dan dari sinilah kita seha-

rusnya memulai kehidupan kerohanian kita, misalnya

shalat dan mengingati Allah.

3. The Primary Essense, Dzat Yang Maha Indah

Di dalam serial TV “Cosmos A Spacetime Odyssey”

252

dikatakan bahwa sebelum terjadinya Dentuman Besar

(the big bang), yang mereka katakan sebagai awal

bagi terciptanya Ruang dan Waktu, tidak ada sesuatu-

pun yang bisa kita ketahui. Tidak ada data dan tidak

ada informasi yang akan bisa menggantarkan kita

untuk mengetahuinya.

Menurut mereka, the big bang itu sendiripun barulah

awal dari terciptanya THE UNIVERSE yang memuat

milyaran gugus bintang termasuk bumi dan matahari.

Namun di dalam serial TV itu belum bisa mereka

ungkapkan tentang peristiwa penciptaan :

1) 70 lapis tirai Nur,

2) Arasy Allah,

3) Lapisan Air Yang Masiv,

4) Sidratul Muntaha, dan

5) Tujuh Lapis langit.

Seperti yang diceritakan oleh Al Qur’an dan Al Hadist.

Ilmu Pengetahuan baru sampai kepada kesimpulan

sementara bahwa The big bang adalah proses awal

terciptanya alam semesta berupa bintang-bintang,

termasuk bumi dan matahari serta apa-apa yang ada

di antaranya. Padahal the big bang menurut Al Qur’an

adalah lebih dahsyat lagi, yaitu proses Awal Tercip-

tanya 7 Lapis Langit dan Bumi berikut dengan bin-

tang-bintang (the Universe) yang merupakan keleng-

kapan infrastruktur di antara Langit dan Bumi.

253

The big bang menurut Al Qur’an adalah ketika Langit

dan bumi yang tadinya padu, kemudian dipisahkan

oleh Allah menjadi langit dan bumi. “Dan apakah

orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasa-

nya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah

suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara ke-

duanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu

yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga

beriman?” (QS Al-Anbiya’ : 30)

Ilmu pengetahuan juga belum berhasil mengungkap-

kan secara ILMIAH bahwa sebelum peristiwa the big

bang itu terjadi, saat itu SUDAH ada pula terbentang

Kerajaan Allah yang disebut Sidratul Muntaha, tem-

pat di mana Para Malaikat SANGAT SIBUK membaca

KALAM ALLAH dan SELALU MENYUCIKAN ALLAH

setiap saat.

Sidratul Muntaha itu sudah dibungkus pula oleh Allah

dengan Lapisan Air Yang Sangat Masiv agar Keagung-

an Arasy Allah tidak membakar dan menghangus-

kannya. Dan di atas Lapisan Air yang Masiv itulah

Arasy Allah Yang Maha Besar dan Maha Dahsyat ber-

ada. Arasy itu membungkus pula semua yang ada di

dalamnya. Membungkus Lapisan Air, Sidratul Munta-

ha, 7 lapis langit dan bumi serta apa-apa yang ada di

antara keduanya.

Tidak ada satu makhlukpun yang bisa keluar menem-

254

bus Arasy Allah tersebut, termasuk Malaikat Jibril

sekalipun. Jibril berkata bahwa kalau Ia keluar dari

Arasy dan berjumpa dengan Tirai Nur yang pertama

saja, ia akan hangus terbakar oleh kehebatan Tirai

Nur yang pertama itu. Padahal Tirai Nur itu ada 70

tirai jumlahnya.

Hanya seorang manusia mulia saja yang

pernah diberi ijin oleh Allah untuk

menembus “Puncak” Arasy tersebut agar

Beliau bisa berkata-kata langsung dengan

Allah, yaitu Rasulullah Muhammad SAW.

Itupun hanya dengan satu tujuan yaitu untuk men-

jemput SYARIAT SHALAT. Sungguh agung sekali sya-

riat shalat itu sebenarnya, terutama bagi yang sudah

diberi tahu dan yang sudah merasakannya. Agung

dan Indah sekali.

Untuk hal itupun Rasulullah SAW masih tetap di

lindungi oleh 70 Lapis Cahaya yang akan melindungi

diri Beliau, termasuk semua ciptaan, dari hangus ter-

bakar karena terpandang kepada Keagungan dan

Keindahan Dzat. 70 tabir Nur itupun entah berapa

pula besarnya dan luasnya. Tidak terbayangkan.

Begitu juga, tidak ada informasi apapun yang bisa kita

255

dapatkan tentang berapa lama 70 Lapis Nur, Arasy

Allah Yang Agung, Lapisan Air Yang Masiv, dan Sid-

ratul Muntaha itu TERCIPTA. Entah berapa lama.

Tidak ada satuan waktupun yang bisa mengukurnya.

Yang lebih tidak ada informasi lagi untuk

kita adalah, berapa lama sejak SABDA KUN

pertama kalinya di sabdakan oleh ALLAH

baru kemudian terbentuknya 70 Lapis Nur,

Arasy Allah Yang Agung, Lapisan Air Yang

Masiv, dan Sidratul Muntaha.

Tentu ini lebih tidak terukur lagi dimensi waktunya.

Dengan rentang waktu yang tidak terukur seperti itu,

tentu saja berapa besarnya ruang yang tercipta itu

jadi tidak terukur pula. Measureless. Namun Ini baru-

lah Ruang tempat di mana Allah akan MENCIPTAKAN

semua CIPTAANNYA. Ruang yang disebut dengan

LAUHUL MAHFUZ.

Apalagi tentang The Primary Essense, tentu ia lebih

tak terdefinisikan lagi. Oleh karena sudah tidak ada

satupun lagi yang bisa kita lakukan untuk membahas

The Primary Essense ini, maka di sinilah perhentian

terakhir kita untuk BERLOGIKA, BERPRASANGKA, BER-

PERSEPSI, BERIMAGINASI. Di sinilah ujung akhir di

256

mana kita tinggal hanya bermakrifat saja kepada

Allah. Makrifatullah.

4. The Secondary Essense, Dzat Yang Sedikit

Karena tidak banyak yang bisa kita KETAHUI dan kita

GALI dari The Primary Essense, maka sekarang mari-

lah kita hanya memusatkan perhatian kita kepada The

Secondary Essense saja, Dzat Yang Sedikit. Sebab

Allah ternyata telah berkenan membukakan RAHA-

SIA-Nya kepada kita tentang The Secondary Essense,

yang telah Dikenai-Nya dengan Firman “Kun”.

Rahasia itu dibukakan Allah di dalam kitab-kitab-Nya

yang diturunkan-Nya kepada Nabi-Nabi dan Rasul-

Rasul-Nya sesuai dengan zamannya masing-masing.

Yang tujuannya adalah untuk memberi KABAR gem-

bira dan BEKAL kepada seluruh umat Manusia dan Jin

untuk bisa kembali mengenal Allah dan mengabdi

kepada-Nya.

Rahasia terkini dari TSE itu ternyata berada di dalam

Al Qur’an dan pada apa-apa yang dijelaskan dan dija-

lankan oleh Nabi Muhammad SAW yang terangkum

di dalam berbagai Hadist. Boleh dikatakan HAMPIR

semua ayat Al Qur’an dan Al Hadist bercerita tentang

PERLAKUAN ALLAH terhadap The Secondary Essense

melalui KETETAPAN-KETETAPAN yang telah ditetap-

kan-Nya terlebih dahulu sejak Firman Kun.

257

Sekarang mari kita lihat tentang TSE ini.

Begitu Allah berfirman KUN kepada Sedikit Dzat-Nya,

The Secondary Essense, maka saat itu pulalah BER-

AWAL semua Proses PENCIPTAAN. Inilah Titik Awal

terciptanya Ruang dan Waktu untuk tempat terza-

hirnya semua Ciptaan. Oleh sebab itu TSE ini boleh

juga disebut sebagai Dzat YANG AWAL, yang dari-Nya

berawal semua ciptaan. Ketika Allah berkata, “Akulah

Yang Awal”, maka yang Dia maksudkan itu adalah

Dzat-Nya Yang sedikit, yang menjadi Awal dari semua

Ciptaan. Sebab Dzat yang keseluruhan, The Primary

Essense, TIDAK BERAWAL.

Karena sifat dari TSE ini sama persis dengan TPE, tidak

bisa dilihat dengan mata, tidak bisa di umpama-

umpamakan, tidak bisa dipikirkan, maka . . .

. . . TSE ini bisa juga disebut sebagai

Dzat YANG BATHIN.

Saat Allah berkata “Akulah Yang Batin”, maka yang

dimaksudkan-Nya adalah TSE yang menjadi Bathin

dari semua Ciptaan. Atau TSE itu bisa pula disebut se-

bagai Dzat yang menjadi HAKEKAT dari semua Cip-

taan.

Dari Dzat-Nya Yang sedikit, TSE, itu kemudian TER-

258

ZAHIR menjadi semua Ciptaan-Nya. Kenapa di sini ada

kata TERZAHIR ? Bukan DIZAHIRKAN ? Seakan-akan

penzahiran semua ciptaan-Nya itu sudah terjadi seca-

ra OTOMATIS. Seakan-akan Allah sudah tidak melaku-

kan apa-apa lagi untuk MENZAHIRKAN semua Cipta-

an-Nya.

Subhanallah, ternyata dalam kata TERZAHIR inilah

terletak salah satu RAHASIA yang telah lama dan

banyak kita ABAIKAN oleh umat manusia selama ini,

yaitu RAHASIA TAQDIR. RAHASIA KETETAPAN ALLAH !

Bahwa ternyata terhadap TSE itu, Allah sudah PUNYA

RENCANA INDUK YANG MAHA SEMPURNA dan MAHA

LENGKAP terhadap semua ciptaan-Nya. Rencana yang

sudah ditulis-Nya sejak Firman “KUN”.

Rencana yang MAHA BIJAKSANA. Rencana yang di

dalamnya TIDAK ada satu peristiwapun yang LUPUT

dan TERLUPAKAN. Tidak luput walau sebutir partikel-

pun. Tidak luput walau satu hurufpun, apalagi kali-

mat-kalimat. Tidak luput walau satu benih pikiranpun.

Tidak luput sebuah gerakan sekecil apapun, walau

gerakan Sirr yang sangat rahasia di dalam hati kita.

1) Rencana itu TIDAK akan BERUBAH lagi dari awal

sampai akhir.

2) Rencana yang tak akan TERTUKAR antara satu hal

dengan hal yang lain.

3) Rencana yang tak akan bisa DITAMBAHI-TAM-

259

BAHI atau DIKURANG-KURANGI.

4) Rencana yang SANGAT KOKOH dan SANGAT TE-

GUH.

5) Rencana yang sangat RINCI dan DETAIL.

6) Rencana yang SELALU mengandung HIKMAH,

MANFAAT, FAEDAH, dan PEMBELAJARAN untuk

setiap hal yang terzahir.

7) Rencana yang segala sesuatunya sudah DIUKUR

dan DITIMBANG dengan sangat TELITI.

8) Rencana yang sudah berisikan HUKUM-HUKUM,

DALIL-DALIL, dan RUMUS-RUMUS.

9) Rencana yang segala sesuatunya sudah diten-

tukan WAKTU, UMUR, dan TEMPAT bagi peristi-

wa-peristiwa untuk terzahir.

10) Rencana yang sudah dilengkapi dengan IJIN-IJIN

untuk terzahirnya setiap peristiwa.

Dan Allah menamakan Rencana Induk-Nya itu sebagai

LAUHUL MAHFUZ. Kitab Rencana Induk Yang MAHA

LENGKAP.

Begitu Allah berfirman KUN, maka saat itu pulalah

Tombol Kehidupan mulai dinyalakan. Rencana Induk

sudah tergelar dan siap untuk berjalan dengan sangat

rapi dan sangat sempurna. Ada PROSES PENCIPTAAN

(PENZHAHIRAN) dan ada pula PROSES PENGHAN-

CURAN (PEMBATHINAN), yang kesemuanya itu me-

ngandung BAHAN PENGAJARAN (HIKMAH) bagi se-

260

luruh umat manusia.

Dari Dzat menjadi Sifat lalu menjadi Dzat kembali, ke-

mudian menjadi Sifat kembali untuk menjalani kehi-

dupan yang sebenarnya di Alam Akhirat sampai wak-

tu yang telah ditentukan. Dari Bathin menjadi Zahir

kemudian menjadi Bathin kembali untuk menunggu

Zahir kembali di Alam Akhirat sampai waktu yang

telah ditetapkan. Dari mati lalu dihidupkan kemudian

dimatikan kembali untuk menunggu dihidupkan kem-

bali di Alam Akhirat sampai waktu yang telah diten-

tukan.

BAHAN BAKU yang akan terpakai dan diolah di dalam

proses penciptaan dan penghancuran itupun sudah

disiapkan oleh Allah sendiri, yaitu sedikit dari Dzat-

Nya. Itinerary dan jangka waktunya juga sudah

tertata dengan sangat apik, sehingga peristiwa-peris-

tiwa yang terjadi tidak akan melenceng walau hanya

sedetikpun.

FITRAH Dzat (atau hukum Universal) pun berjalan

dengan sangat patuh terhadap apa yang sudah

DITETAPKAN. Tidak akan perubahan terhadap Fitrah

yang telah Allah tetapkan dengan sangat Bijaksana.

Hukum Getaran (Vibration), Hukum Fisika Quantum,

dan Hukum Tarik Menarik, adalah beberapa hukum di

antara hukum-hukum universal lainnya yang telah

DITETAPKAN pula oleh Allah untuk terzahir. Insyaallah

261

kita akan membahas pula tentang hukum-hukum ini

pada kesempatan yang akan datang.

“KUN”, maka sejak saat itu bergeraklah Sang Waktu

untuk mengantarkan Dzat menggarungi gelombang

kehidupan menuju TITIK AKHIR yang telah ditentukan.

Semuanya kemudian bergerak secara OTOMATIS,

seperti pergerakan sebuah program komputer, atau

gerakan mesin-mesin secara otomatis di dalam se-

buah pabrik otomotif modern. Gerakan yang tidak

akan pernah berhenti sebelum Kehidupan mencapai

Titik Akhirnya.

Saat mencapai titik akhir, semua ciptaan akan kem-

bali MUSNAH, Alhasil kembali kepada Asal, yaitu Dzat.

Oleh sebab itu Allahpun berhak pula untuk berkata

bahwa DIALAH YANG AKHIR, “Akulah Yang Awal dan

Aku pulalah Yang Akhir”.

Dan yang Allah maksudkan dengan Dialah Yang Awal

dan Yang Akhir itu adalah Dzat-Nya yang sedikit, The

Secondary Essense, yang menjadi Awal dan Akhir dari

semua ciptaan-Nya. Bukan terhadap Dzat-Nya Yang

keseluruhan yang Maha Indah, The Primary Essense.

Karena Dzat-Nya yang Keseluruhan itu TIDAK BER-

AWAL dan TIDAK BERAKHIR. ABADI, dan RAHASIA.

262

5. Lauhul Mahfuz

Kita sudah mengetahui bahwa tentang Lauhul Mahfuz

ini, yang merupakan penzahiran dari The Secondary

Essense, kita sudah kehilangan semua satuan ukuran,

dimensi waktu, ungkapan kata-kata dan angka-angka

untuk menjabarkannya, mempersepsikannya, atau

menjelaskannya, apalagi untuk menjelaskan tentang

The Primary Essense.

Kita juga sudah punya ilmu bahwa, walaupun Lauhul

Mahfuz ini besarnya tidak terukur, namun Al Hadist

dan Injil Gospel Barnabas memberikan sedikit gam-

baran tentang ukurannya. Rasulullah SAW di dalam Al

Hadist menyatakan: “Seperti bulan purnama (di wak-

tu malam) tetapi itu hanya kecil saja. Allah lebih Mu-

lai dan lebih Besar dari itu”, Sunan Abu Dawud vol 3:

1324 (1990). Injil Gospel menyatakan bahwa ukuran-

nya hanyalah seumpama ukuran sebutir pasir di

padang pasir, atau setetes air asin di dalam samudera

raya, terhadap The Primary Essense.

Tapi yang SANGAT PENTING untuk kita pahami dalam

pembedaan istilah TPE dan TSE ini adalah bahwa saat

itu kita memandang Dzat dari sudut pandang MAKH-

LUK, BUKAN dari sudut pandang ALLAH. Sebab kalau

dari sudut pandang Allah, tidak ada pembedaan sama

sekali antara TPE dan TSE. Itu adalah Dzat atau DIRI

Allah sendiri. Sebaliknya, kalau kita memandang Dzat

263

dari sudut pandang MAKHLUK, maka untuk semua

makhluk, Dzat yang kita maksudkan itu hanyalah TSE

saja, sehingga kita bisa terhindar dari Paham Wah-

datul Wujud atau Paham Nur Muhammad. Tentu saja

inipun hanya untuk yang mau saja. Kalau tidak mau

ya ndak apa-apa.

Karena TSE itu saking kecilnya, maka Allah menyata-

kan bahwa Dia adalah Maha Kecil, Maha Halus. Al

Lathif. Ketika Allah berkata “Akulah AL LATHIF, maka

yang dimaksudkan-Nya adalah agar kita memperhati-

kan TSE, Dzat Yang Sedikit. Begitu juga ketika Allah

berkata bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu,

maka yang Dia maksudkan adalah agar kita memper-

hatikan TSE. Bahwa Dzat Yang Sedikit itulah yang me-

liputi semua ciptaan. Sebab Allah adalah Maha Besar,

sedangkan Dzat-Nya (Diri-Nya) yang terzhahir menja-

di semua ciptaan dan meliputi semua ciptaan itu ada-

lah Sangat Kecil, Sangat Sedikit, Sangat Halus. Al La-

thif.

Jadi sekarang kita dapat membayangkan bahwa

Lauhul Mahfuz yang sudah sedemikian penuh misteri

dan tak terungkapkan kebesarannya, itupun masih

belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan

Kemahabesaran The Primary Essense. Bandingannya

adalah seperti sebutir pasir di padang pasir, atau

setetes air air di lautan. Kecil sekali.

264

Oleh sebab itu, The Primary Essense, akan tetap

menjadi RAHASIA di atas RAHASIA. MAHA RAHASIA.

Tidak ada sesiapa yang akan bisa menguak Kemahara-

hasiaan-Nya itu, walau Nabi-Nabi, Rasul-Rasul, dan

Malaikat sekalipun. Hanya Dia sendirilah Yang Tahu

tentang Diri-Nya.

Kalau ada di antara kita yang berani-berani mem-

bahasnya, merupakannya, mengimaginasikannya,

maka sejak itulah bermula KEJAHILAN bagi kita.

PASTI.

Walaupun begitu, di dalam Al Qur’an ternyata Allah

masih berkenan juga membukakan SEDIKIT Rahasia

tentang Dzat Yang Maha Indah itu. Bahwa:

• Dzat itu Maha Tinggi, Tak Terbatas, Namun kita

tidak perlu melihat-lihat-Nya dengan menengadah

“keatas”.

• Dzat itu Maha Besar, Tak Terbatas, Namun kita ti-

dak perlu menjangkau-jangkau-Nya dengan tangan

kita.

• Dzat itu Maha Luas, Tak Terbatas, Namun kita ti-

dak perlu merasa-rasakan keluasan-Nya dengan

perasaan kita.

• Dzat itu TIDAK BERAWAL

• Dzat itu TIDAK BERAKHIR.

• Dzat itu TIDAK SAMA dengan apapun juga.

• Dzat itu MAHA SUCI (dari segala Persepsi dan Pe-

265

mikiran-Pemikiran).

Sangat sedikit sekali memang yang bisa kita ketahui

tentang Dzat Yang Maha Indah. Maka :

• Barang siapa yang telah dibuat tajam MATA HATI-

NYA oleh Allah untuk memahami rahasia-rahasia-

Nya itu, alangkah beruntungnya dia. Ia akan DIRA-

SAKAN oleh Allah akan KeMaha Tinggian-Nya, akan

Kemahabesaran-Nya, akan Kemahaluasan-Nya.

Rasa yang akan ditambahi-Nya dari waktu ke wak-

tu dan dari hari ke hari. Rasa-rasa yang akan selalu

baru, rasa yang belum pernah kita rasakan sebe-

lum-sebelumnya.

• Akan tetapi barang siapa yang dibutakan MATA

HATINYA oleh Allah untuk memahami rahasia-

rahasia-Nya itu, maka baginya adalah kerugian

yang amat sangat. Ia akan berjalan seperti orang

buta dan tuli. Ia akan hidup seperti orang yang

sedang berhadapan dengan tembok dan dinding

batu, yang tidak memberikan rasa apa-apa, kecuali

kehambaran. Ia akan berjalan tertatih-tatih kele-

lahan dan kecapekan. Ia akan dihantui oleh keta-

kutan dan kekhawatiran sepanjang hidupnya, bah-

kan di alam mimpi sekalipun.

266

6. Dzat-KETETAPAN-PERANAN

Berbagai Ciptaan dan Peristiwa-peristiwa sudah dapat

DIPASTIKAN akan TERZAHIR karena . . .

. . . adanya INTERAKSI yang MAHA KUAT

antara TSE yang merupakan UNSUR DASAR

pembentuk dari SEMUA Ciptaan dengan

LAUHUL MAHFUZ yang merupakan

KETETAPAN yang harus DILALUI oleh

MASING-MASING Ciptaan itu.

Sekarang mari kita lebih tajamkan lagi pandangan

Mata Hati kita dengan TETAP memakai kacamata

makrifatullah.

Hubungan antara TSE dan Lauhul Mahfuz ini sangat

kuat. Keduanya TIDAK bisa dipisahkan sama sekali,

ibarat tidak terpisahkannya KERETA API dengan RAIL

ROAD, atau sebuah MOBIL dengan JALAN RAYA.

Kereta api tidak akan jalan kalau tidak ada rail. Mobil

tidak akan jalan kalau tidak ada jalan raya yang akan

dilaluinya.

Dzat tidak akan Zhahir menjadi ciptaan kalau tidak

ada Lauhul Mahfuz atau Ketetapan yang mendahu-

luinya. Begitu juga Dzat akan memastikan bahwa

Ciptaan itu akan Terzahir mengikuti KETETAPAN yang

267

telah rencanakan Allah sejak Firman KUN.

DEMI MASA, lalu mulailah Ciptaan-Nya Terzahir satu

persatu, sesuai dengan Waktu yang telah ditentukan.

Setiap ciptaan akan menjalani ketetapan demi kete-

tapan yang sudah di sandangkan dan dikalungkan “DI

LEHERNYA” masing-masing. Semuanya akan berjalan

seperti sebuah PROSES yang terjadi di dalam SISTEM

sebuah pabrik mobil OTOMATIS. Setiap bagian HA-

NYA akan menjalankan tugas-tugas yang sudah dite-

tapkan untuknya.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir 70 Lapisan

Cahaya.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Arasy.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Lapisan Air di

bawah Arasy.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir Sidratul Mun-

taha.

• Demi Masa, BUM, lalu dari Dzat terzahir 7 lapis

langit, Bumi dengan segala kelengkapannya.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir apa-apa yang

ada di antara langit dan bumi.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahir, laut, gunung,

hewan, tumbuhan.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahirlah Malaikat, Jin,

dan Manusia.

• Demi Masa, lalu dari Dzat terzahirlah, terzahirlah,

268

terzahirlah.

MASA mengantarkan Dzat untuk TERZAHIR menjadi

suatu CIPTAAN tertentu pada WAKTU yang telah

DITETAPKAN dan untuk PERAN yang juga sudah

DITETAPKAN pula untuknya.

Oleh sebab itu marilah sekarang kita melihat dengan

mata hati kita dengan lebih tajam lagi.

• 70 lapis Tirai Cahaya adalah Dzat yang sedang

menjalankan peranan.

• Arasy adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-

ranan.

• Lapisan Air dibawah Arasy adalah Dzat yang se-

dang menjalankan peranan.

• Sidratul Muntaha adalah Dzat yang sedang menja-

lankan peranan.

• 7 lapis langit dan bumi adalah Dzat yang sedang

menjalankan peranan.

• Milyaran gugus bintang adalah Dzat yang sedang

menjalankan peranan.

• Malaikat adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

• Jin adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.

• Iblis adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-

ranan.

• Manusia adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

269

• Hewan adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

• Tumbuhan adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

Semua yang terzahir itu mempunyai peranan yang

berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Berbeda dalam hal rupa, warna, ukuran. Ramai dalam

hal nama-nama dan sebutan-sebutan. Karena berbe-

da-beda dan ramai, maka peranan itu kemudian bisa

disebut sebagai SIFAT. Jadi kalau kita berbicara

tentang SIFAT-SIFAT, maka pastilah ia akan ramai,

riuh-rendah, dan berbeda-beda.

Dengan cara melihat yang sama kita akan bisa

memahami bahwa apa yang dikemukakan oleh para

SCIENTIST masa kini tentang The Hig Bosson (Partikel

Tuhan), Fenomena Fisika Quantum, keajaiban Vibrasi,

Energi, dan kehebatan berbagai hukum yang disebut

orang sebagai The Universal Law, semuanya itu ha-

nyalah sebatas SIFAT-SIFAT BELAKA. Ciptaan Belaka.

Ia bukanlah Dzat. Sebab RUPA dari Dzat tidak bisa

diserupakan dan diumpamakan dengan apapun juga.

Sekarang lengkap sudah perjalanan yang kita lalui.

Kita sudah melihat bahwa dari Dzat terzahir menjadi

Ciptaan-ciptaan yang mempunyai peranan masing-

masing. Ciptaan dengan berbagai peran itu dapat

pula kita sebut sebagai SIFAT, yang sangat beragam.

270

Jadi dari Dzat sudah terzahir menjadi SIFAT.

Kalau sudah begitu, mari kita lihat ada berapa Kewu-

judankah yang ada sekarang :

• Wujud Yang pertama adalah The Primasry Essense

(TPE).

• Wujud Yang kedua adalah The Secondary Essense

(TSE).

Tetapi, baik TPE maupun TSE kedua-duanya adalah

SATU KEWUJUDAN, yaitu Dzat. Tidak ada perbedaan

antara TPE dan TSE itu. Sama-sama tidak bisa dirupa-

kan dan diumpamakan. Kita membagi-baginya hanya

untuk menegaskan bahwa yang menjadi semua cipta-

an itu hanyalah sedikit saja dari Dzat-nya, Bukan Dzat-

Nya secara Keseluruhan.

Wujud yang berikutnya adalah SIFAT dalam BENTUK

atau RUPA berbagai Ciptaan-Nya. Ciptaan itu Zhahir,

artinya bisa teraba dengan panca indera kita, maka

Sifat atau Ciptaan itu kemudian disebut juga oleh

Allah sebagai Dzat-Nya Yang ZHAHIR. “Akulah Yang

Zhahir itu”, kata Allah.

Karena TSE ini tidak bisa kita raba dengan panca

indera kita, maka Ia juga disebut sebagai Dzat Yang

Bathin. Makanya Allah BERHAK menamai Dirinya juga

sebagai AZ ZHAHIR dan AL BATHIN. Akulah Yang

Zhahir dan Akulah Yang Bathin. Jadi, baik Yang Zhahir

271

maupun Yang Bathin, kedua-duanya dapat pula dise-

but sebagai Dzat juga.

AZ ZHAHIR dan AL BATHIN itu adalah ibarat DUA MU-

KA uang koin. Baik gambar maupun angka, keduanya

tetap hanya satu uang koin saja. Jadi Yang Zhahir

maupun yang Bathin, ya keduanya adalah Dzat juga,

The Secondary Essense. Kalau begitu, TPE adalah

Dzat, TSE adalah Dzat, SIFAT-SIFAT Yang Zhahir mau-

pun Yang Bathin juga adalah Dzat.

Untuk lebih meyakinkan diri kita, Lihatlah kembali

dengan Mata Hati Yang sangat Tajam. Bukankan pe-

main yang sedang memainkan peranan SETIAP SAAT

sebenarnya HANYA SATU PEMERAN ! Yaitu Dzat. Dan

Itupun hanya Dzat Yang sedikit saja. Lihatlah lagi. Se-

makin tajam ! Bukankah pada SAAT YANG SAMA, Dzat

itu memainkan SEMUA peranan SEKALIGUS dan SE-

RENTAK untuk semua Peran Yang telah DITETAPKAN

untuk terzahir pada waktu-waktu tertentu ? Dan,

Dzat Yang sedikit itu dipermain-mainkan oleh Sang

Pemilik Dzat, Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti

seekor gajah mempermain-mainkan ekornya.

Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah.

Dengan begitu, kita sudah bisa memandang bahwa

Wujud yang sebenar-benar Wujud adalah Dzat. Ya.

Dzat. Tidak ada yang lain. Alhamdulillah, kita masih

272

berada pada PAHAM Ketauhidan yang “on the track”.

Tauhid kita masih utuh dan bulat. Bahwa Tiada Kewu-

judan kecuali hanya Kewujudan Dzat semata-mata.

Ya, Yang Wujud Hanya SATU, yaitu Dzat yang WA-

JIBUL WUJUD. Sedangkan Wujud yang lain ? TIDAK

ADA. FANA ! Yang Kekal abadi adalah Wajah (Dzat)

Allah.

“Semua yang ada di bumi akan FANA, Yang Kekal

adalah Wajah Tuhanmu yang mempunyai Kebe-

saran dan Kemuliaan”, Ar Rahman 26-27

Lalu kita akan mengaku apa lagikah ? Masihkah ada-

kah ruang bagi kita untuk mengaku WUJUD ? Apalagi

untuk mengakui bahwa kita MEMILIKI apa-apa yang

ada pada diri kita dan pada kehidupan kita.

Ya, masihkah kita bisa mengaku WUJUD dan menga-

ku MEMILIKI apa-apa ? Sebab antara WUJUD dan ME-

MILIKI memang sangat berkaitan erat satu sama lain-

nya. Begitu kita merasa wujud, maka kita pasti akan

merasa memiliki. Sampai di sini, tampaknya sudah

pantas kita memutus artikel Sang Wajibul Wujud ini,

untuk kemudian kita lanjutkan membahas serba-ser-

ba tentang makhluk ciptaan dalam artikel berikutnya

“ Sang Fana.18

”.

18 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/26/sang-fana-bagian-1/

273

Artikel 11 :

Sang Fana19

Dengan memakai kacamata makrifatullah, mata hati kita telah

melihat dengan terang benderang

bahwa Allah adalah Dzat Wajibul

Wujud. Lalu dari Sedikit Dzat-Nya

(The Secondary Essense) terzahirlah

SEMUA CIPTAAN. Dengan memakai

kacamata yang sama, sekarang mari kita buktikan pula bahwa

kita sebagai salah satu dari ciptaan Allah sebenarnya adalah

tidak wujud. Kita adalah SANG FANA.

1. Mari kita lihat tangan kita. Tangan kita hanyalah sifat, ia

berbeda dengan tangan monyet hanya dalam hal sifat-

sifatnya saja. Ketika kita mencoba mengakui bahwa

tangan itu adalah tangan kita. Allah akan membantahnya

bahwa tangan kita itu adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.

2. Mari kita lihat tubuh kita. Tubuh kita hanya berbeda

dalam sifat-sifat saja dengan tubuh binatang. Kita juga

tidak bisa mengakui bahwa tubuh ini adalah tubuh kita,

karena tubuh kita adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.

3. Mari kita lihat panca indera kita. Mata, telinga, hidung,

lidah, kulit kita hanyalah sifat-sifat yang berbeda dengan

19 http://yusdeka.wordpress.com/2014/10/26/sang-fana-bagian-1/

274

panca indera binatang. Semua panca indera kita juga

adalah Dzat-Nya yang Zhahir.

4. Mari kita lihat penglihatan, pendengaran, dan perasaan

kita. Penglihatan, pendengaran, perasaan kita itu ada

karena ada HATI atau AKAL kita yang halus. Hati yang

halus itu bukanlah lever dan bukan pula jantung. Ia juga

hanyalah sifat-sifat saja yang sangat berbeda dengan yang

ada pada binatang. Ia juga tidak bisa kita akui sebagai

milik kita. Sebab ia juga adalah Dzat-Nya Yang Zhahir.

5. Begitu juga dengan ruh kita, Ia juga adalah Dzat-Nya Yang

Zhahir. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Ruh itu adalah

Ruh kita. Tentang ruh ini dulu saya takut mengatakan

bahwa ruh itu adalah Ciptaan Allah. Akan tetapi dengan

kacamata makrifatullah sekarang jelas sekali terlihat

bahwa ruh itu juga adalah Ciptaan Allah karena ia berada

di dalam Lauhul Mahfuz. Semua yang ada di dalam Lauhul

Mahfuz adalah ciptaan. Tidak bisa tidak. Sebab ruh adalah

juga penzhahiran dari Dzat-Nya yang sedikit, seperti juga

ciptaan-ciptaan-Nya yang lain.

Lalu bagainmana dengan Al Qur’an ? Apakah ia ciptaan atau

bukan ? Silahkan para pembaca jawab sendiri. Saya sendiri

sudah punya jawabannya untuk saya sendiri.

Untuk mengetahui diri kita lebih dalam lagi, mari kita melihat

lebih tajam lagi tentang diri kita. Tapi sebelumnya kita pakai

dulu kacamata makrifatullah pada mata hati kita. Bukan pada

275

mata lahiriah kita. Dengan memakai kacamata makrifatullah

ini, mata hati kita akan menjadi SANGAT TAJAM. Ia akan

sanggup menembus semua SIFAT-SIFAT yang bentuk zahirnya

adalah Alam Ciptaan. Bahkan ia dapat menembus sampai ke

Neraka JAHIM sekalipun.

QS. At Takatsur (102/6).

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim.”

Mari kita lihat diri kita sendiri dari ujung kaki sampai ke ujung

rambut :

• Kuku kaki kita adalah Dzat yang sedang mengambil peran-

an.

• Kaki kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Tubuh kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.

• Tangan kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.

• Panca indera kita adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

• Kepala kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.

• Rambut dan bulu-bulu kita adalah Dzat yang sedang

mengambil peranan.

• Otak kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Jantung kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Lambung kita adalah Dzat yang seang mengambil peranana.

• Lever kita adalah Dzat yang sedang mengambil pernana.

• Usus kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Pembuluh darah kita adalah Dzat yang sedang mengambil

276

peranan.

• Darah merah dan darah putih adalah Dzat yang sedang

mengambil peranan.

• Semua enzim, dan hormon-hormon kita adalah Dzat yang

sedang menjalankan peranan.

• Sel-sel tubuh kita adalah Dzat yang sedang mengambil

peranan.

• Penglihatan kita adalah Dzat yang seang mengambil pe-

ranan.

• Pendengaran kita adalah Dzat yang sedang mengambil pe-

ranan.

• Perasaan kita adalah Dzat yang sedang mengambil pe-

ranan.

• Nafas kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan

• Ruh kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Hati kita adalah Dzat yang sedang menjalankan peranan.

• Mata Hati kita adalah Dzat yang sedang menjalankan

peranan.

• Suara kita adalah Dzat yang sedang mengambil peranan.

• Perkataan kita adalah Dzat yang sedang mengambil peran-

an.

• Tindakan kita adalah Dzat yang sedang menjalankan pe-

ranan.

Sekarang mari kita lihat pula PIKIRAN kita. Bangun tidur, kita

masih belum mempunyai pikiran apa-apa. Pikiran kita seperti

kosong begitu saja. Dzat memastikan bahwa kita akan berpikir

277

tentang apa-apa yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz untuk

kita pikirkan. Dzat akan memastikan pikiran itu mengalir ke

dalam otak kita. Tiba-tiba saja berbagai pikiran seperti menye-

lusup begitu saja ke dalam otak kita. Kita mengatakan bahwa

kitalah yang berpikir, padahal Dzatlah yang memastikan pikir-

an itu lahir dari keadaan tidak berpikir. Pikiran itu diberikan

oleh Allah melalui Dzat-Nya ke dalam otak kita. Sehingga

jadilah kita merasa bahwa kitalah yang berpikir. Padahal Dzat-

lah yang memastikan pikiran itu masuk ke dalam AKAL atau

HATI kita.

Dzat juga memastikan akan ada hormon-hormon dan enzim

yang keluar mengikuti pikiran kita. Dzat akan memastikan ter-

jadinya rasa-rasa atas pikiran itu. Dzat akan memastikan tin-

dakan atau aktifitas yang akan kita lakukan akan sesuai

dengan apa yang sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfuz. Dzat

akan memastikan, memastikan.

Jadi Dzat yang ada di dalam tubuh kita akan memastikan

bahwa semua bagian dari badan kita akan menjalankan atau

memerankan peranan seperti yang telah dituliskan di dalam

Lauhul Mahfuz untuk kita jalankan atau perankan. Kalau tidak

dituliskan, maka kita tidak akan melakukan apa-apa, karena

Dzat tidak melakukan reaksi apa-apa. Sebab Dzat itu sangat

patuh kepada ketetapan-ketetapan Allah.

Saat kita berbicara ataupun menulis, Dzat yang ada di dalam

diri kita akan memastikan bahwa pembicaraan atau tulisan

kita itu akan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan di dalam

278

Lauhul Mahfuz untuk kita bicarakan atau tuliskan. Dzat me-

mastikan setiap kalimat, kata, dan huruf yang kita ucapkan

atau tuliskan adalah kalimat-kalimat, kata-kata, dan huruf-

huruf yang sudah DITETAPKAN di dalam Lauhul Mahfuz untuk

kita ucapkan atau tuliskan.

Kalau semua yang ada pada diri kita, apa-apa yang kita

lakukan, pikirkan, dan rasakan adalah semata-mata Aktifitas

Dzat yang sedang menjalankan peranan mengikuti ketetapan

yang telah dituliskan di dalam Lauhul Mahfuz sejak masa KUN,

lalu apa lagi yang bisa kita akui sekarang sebagai diri kita,

sebagai wujud kita ? Bukankah yang sedang menjalankan

peranan itu adalah Dzat ? Lalu kita mana ?

Kita ternyata tidak ada, kita tidak wujud,

kita Nol, Zero.

Yang wujud adalah Dzat. Ya, ternyata tidak ada satupun yang

bisa kita akui sebagai kita. Aku. Sebab setiap kali kita ingin

berkata aku, maka Allah membantahnya dengan sangat pasti:

“Itu adalah Dzat-Ku, itu adalah sebagian dari Diri-Ku, itu

adalah penzhahiran Dzat-KU yang mengikuti Ketetapan-KU”.

Pantaslah Imam Al Ghazali pernah berkata: “Orang yang me-

ngenal dirinya dan mengenal Tuhannya, niscaya sudah pasti ia

279

mengenal bahwa ia tiada mempunyai wujud bagi dirinya”20

.

Kalau kita tidak wujud, masih adakah milik kita ? Tentu saja

kalau kita tidak wujud, kita tidak punya apa-apa lagi yang bisa

kita akui sebagai milik kita. Begitu kita mau mengakui sesuatu

sebagai milik kita, mata hati kita segera saja melihat bahwa di

sebalik sesuatu itu ada Dzat yang sedang menjalani dan Kete-

tapan Allah untuk menjadi peranan. Lidah kita jadi tergigit un-

tuk mengaku-ngaku. Tapi untuk sampai ke sana kita akan

memerlukan Makrifatullah.

Akan tetapi, kalau kita ingin tahu bagaimana rasanya seandai-

nya kita ingin mengaku wujud, maka Allah sudah memberikan

contoh yang sangat dramatis seperti yang dirasakan oleh iblis

ketika Nabi Adam AS diciptakan. Dzat memastikan bahwa iblis

akan mengikuti Ketetapan Allah yang telah menakdirnya untuk

menjadi mahluk yang ingkar dan kufur kepada Allah.

Ia akan menjadi contoh bagi umat manusia tentang bagai-

mana jadinya kalau ada di antara umat manusia yang sudah

ditetapkan oleh Allah pula untuk mengaku wujud. Keada-

annya, rasanya, tersiksanya, sakitnya pun akan sama dengan

apa-apa yang dirasakan oleh Iblis.

Iblis hanya mengaku wujud terhadap dirinya yang dia lihat

terbuat dari api. Karena ia mengaku wujud, maka ia segera

saja akan membandingkan dirinya dengan diri Nabi Adam AS

20 Ihya Ulumudin, Bk 7, 427 (1981)

280

yang dia lihat hanya terbuat dari tanah. Ia hanya melihat sifat.

Ia hanya akan membandingkan sifat. Ia merasa api lebih baik

dari tanah. Ia mengira api lebih mulia dari tanah. Ia memang

sudah ditetapkan oleh Allah untuk menjadi makhluk yang akan

selalu mengaku dirinya wujud. Ia akan selalu menghina tanah.

Ia akan selalu membenci tanah. Ia tidak dapat menghindar

dari ketetapan untuk dirinya. Ia akan selalu menjadi contoh

bagi umat manusia jika manusia itu mengaku wujud pula.

Sebagai pembanding, Allah telah menetapkan pula ada makh-

luk yang bersikap secara bertolak belakang dengan iblis. Allah

telah menakdir malaikat untuk menjadi contoh bagi umat

manusia tentang sebuah pertobatan, sebuah penyadaran, se-

buah insight. Awalnya malaikat juga seperti ingin mengaku

wujud karena aktifitasnya. Maklumlah bahwa ia adalah makh-

luk yang tercipta dari Cahaya dan selalu pula beribadah dan

menyucikan Allah.

Buat sejenak malaikat melihat sifat dari diri Adam AS yang

tercipta dari tanah, yang dia kira akan selalu menumpahkan

darah. Boleh jadi sebelum Nabi Adam AS diciptakan oleh Allah

saat itu sudah ada pula hidup makhluk lain yang mirip dengan

Nabi Adam As. Makhluk itu selalu menumpahkan darah bagi

sesamanya. Mereka selalu bunuh-bunuhan antar sesamanya.

Buat sesaat malaikat juga terpaku melihat kepada diri Adam

AS. Ia mengira dan berpersepsi bahwa Nabi Adam akan sama

saja dengan makhluk yang sudah ada itu. Nabi Adam AS dan

keturunannya kelak pastilah sama dengan makhluk yang selalu

281

menumpahkan darah antar sesamanya itu. Lalu ia bertanya-

tanya, “Kenapa pula Allah harus menciptakan Adam padahal

saat ini sudah ada dia yang selalu bertasbih menyucikan Allah

?

Ia mencoba membandingkan sifatnya dengan sifat yang akan

disandang oleh Adam dan keturunannya kelak. Ia mengira

sifatnyalah yang akan lebih baik dari sifat Nabi Adam dalam

hal beribadah kepada Allah. Dzat memastikan bahwa malaikat

pasti akan mengikuti ketetapan Allah yang telah menakdir-

kannya untuk menjadi makhluk yang ragu-ragu pada saat

awal-awal penciptaan Adam. Namun dengan sebuah proses

yang sangat indah, di mana malaikat ditunjukan tentang ke-

hebatan Nabi Adam dalam hal Ilmu pengetahuan, maka

akhirnya malaikat luruh pengakuannya. Ia tidak mengakui lagi

akan kewujudan dirinya.

Begitu ia menyadari akan ketidakwujudan dirinya, maka se-

ketika itu pula iapun tidak melihat akan kewujudan diri Adam

AS. Malaikat sudah beranjak dari melihat sifat untuk melihat

hakekat. Bahwa Adam AS ternyata semata-mata hanyalah

penzhahiran Dzat mengikuti ketetapan Allah. Lalu Malaikatpun

sadar bahwa Dzat itu adalah sebagian kecil saja dari Diri Allah

yang Maha Besar dan Maha Indah. Ia telah bermakrifat

kepada Allah. Malaikat langsung tersungkur sujud kepada

Allah. Dzat memastikan bahwa malaikat harus menjalani

ketetapan Allah untuknya. Bahwa ia telah ditetapkan oleh

Allah menjadi makhluk-Nya yang bertobat, yang tersadar dari

282

kesalahannya.

Sementara Adam AS juga sudah ditetapkan oleh Allah untuk

menghuni bumi yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh

Allah untuk dihuni oleh Adam AS dan keturunannya. Mau

tidak mau Adam AS harus keluar dari “Tanah Syurga”. Dzat

memastikan Adam AS akan keluar dari tanah syurga itu untuk

menjalani ketetapannya sebagai Khalifah Allah di muka bumi.

Proses keluarnya Nabi Adam dari syurga itu sudah ditetapkan

oleh Allah dan harus terjadi. Kalau beliau tidak keluar dari

Jannah, maka siapa yanga akan mengelola bumi yang telah

diciptakan oleh Allah dalam jangka waktu jutaan tahun ?

Adam AS dan keturunannya kelak akan menjalani kehidupan

di muka bumi itu dengan dua kualitas sikap pula. Ada

keturunan beliau yang hidupnya sekualitas dengan iblis dan

ada pula yang sekualitas dengan malaikat. Tapi umat manusia

punya keistimewaan bahwa mereka bisa berpindah dari hidup

yang sekualitas dengan iblis menjadi hidup yang sekualitas

dengan malaikat melalui pintu taubat. Begitu pula mereka bisa

berpindah dari kehidupan yang sekualitas dengan malaikat

menjadi hidup yang sekualitas dengan iblis yang durhaka

melalui pintu murtad. Tapi pintu kepatuhan, atau pintu

murtad, ataupun pintu taubat itupun sudah ditetapkan siapa-

siapa yang akan melaluinya. Dzat memastikan ketetapan Allah

itu pasti akan terlaksana.

Oleh sebab itu masihkah kita punya pilihan, free will and free

act di dalam hidup kita ?

283

Kalau kita tidak wujud, apa pula yang akan bisa

kita pilih dengan bebas ? Tidak ada.

Kita tidak punya pilihan tentang siapa kita dan apa-apa yang

akan kita lakukan atau akan kita lalui. Semuanya sudah diatur

dan ditetapkan sejak Firman KUN. Kita hanya tinggal menjalani

kehidupan ini seperti kita menjalani sebuah drama (soap

opera) ciptaan komputer, seperti yang dikatakan oleh Stephen

Hawking. Karena semua sifat yang tergelar di hadapan kita

memang sudah sedemikan sempurnanya berjalan.

Stephen Hawking sempat berkata: “Karena adanya hukum

seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk

dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya menga-

pa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, menga-

pa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon

kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakkan

alam semesta.” (The Grand Design 2010).

Ternyata memang kita sudah tidak punya pilihan untuk ber-

keinginan, berkehendak, dan beraktifitas. Semuanya sudah

ting-gal berjalan secara otomatis mengikuti hukum-hukum

atau fitrah yang sudah ditetapkan, sehingga Stephen Hawking

sampai mengira bahwa Allah itu tidak ada. Sebab untuk kita

bisa berkeinginan, berkehendak, dan beraktifitas itupun sudah

ditetapkan oleh Allah, di mana Allah mengirimkan ilham,

benih-benih pikiran berupa kebaikan dan keburukan kepada

setiap manusia melalui Dzat-NYA sendiri, TSE.

284

Dan ini yang hebat, bahwa ilham atau benih-benih pikiran

itupun sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfuz dengan sangat

sempurna, dan tidak ada yang terlupakan. TSE (Dzat) me-

mastikan ilham itu akan terzhahir menjadi segala keinginan,

kehendak, dan aktifitas seluruh manusia yang mengikuti

Ketetapan-Nya.

Ilham itu juga pastilah menimbulkan ilmu.

• Ilham fujur akan membawa kita untuk mengerti ilmu ten-

tang berbagai perbuatan buruk.

• Sedangkan ilham taqwa akan membawa kita untuk me-

mahami ilmu tentang berbagai perbuatan baik.

Waktu akan mengantarkan kita untuk berbuat baik atau buruk

seperti yang sudah ditetapkan untuk kita lakukan. Dzat

memastikan bahwa kita akan melakukan perbuatan baik atau

buruk itu tepat pada waktunya.

Makanya :

. . . bagi orang yang mata hatinya sudah tajam,

ketika ia melihat seseorang berbicara,

berkeinginan, berkehendak, marah, benci, senang,

dan tindakan-tindakan lainnya di depannya, maka

ia hanya akan tersenyum saja, senyum makrifat.

Mulutnya tetap diam terkunci. Ia tidak akan menilai, tidak

memutuskan, tidak menghakimi. Bagaimana ia akan mau

285

menilai, memutuskan, atau menghakimi kalau ia sudah tidak

wujud ?

Karena ia sudah dapat melihat bahwa di sebalik

semua tindakan seseorang itu sebenarnya, pada

hakekatnya, adalah Allah sendiri bertindak

melalui Dzat-Nya yang sedikit.

Lalu dari Dzat-Nya itupun kemudian terzhahir menjadi per-

buatan seseorang dan juga perbuatan semua manusia, ter-

masuk ciptaan Allah yang lainnya, pada saat yang bersamaan.

Serentak.

Tetapi, walau ia sudah dapat melihat dengan sangat tajam

bahwa semua akitifitas makhluk apapun juga di alam semesta

ciptaan ini adalah Aktifitas atau Kesibukan Allah melalui Dzat-

Nya, namun ia tidak akan pernah berkata bahwa ketika ia

bertindak, berbicara, beraktifitas itu, yang melakukannya ada-

lah Allah, seperti ungkapan orang-orang yang menganut pa-

ham Wahdatul Wujud. Ia tidak pernah berkata begitu. Karena

ia sadar betul bahwa ia tidak wujud. Yang wujud adalah Dzat

Allah. Mulutnya sudah terkunci rapat, sehingga tidak ada lagi

pengakuan-pengakuan yang lahir dari mulutnya.

Ia hanya diam, ia hanya senyum dengan senyuman makrifat,

dan ia menjadi serba tidak tahu. Sehingga Ia seringkali diang-

gap oleh orang lain sebagai orang yang aneh. Bagaimana tidak

akan aneh ?

286

Rasulullah diludahi orang, disiram air kotor, dicaci

dan dimaki, dan bahkan mau dibunuh, Beliau

hanya diam dan tersenyum. Sebab Beliau sudah

melihat bahwa

di sebalik apa-apa yang dilakukan orang lain

terhadap Beliau itu sebenarnya adalah

Perlakuan Allah terhadap Dzat-Nya.

Beliau berperangpun hanya karena memang sudah diperintah-

kan oleh Allah untuk berperang.

Bahkan agar Beliau tidak ragu-ragu untuk membunuh, mema-

nah, dan meleparkan senjata kepada musuh-musuh yang ada

di hadapan Beliau, Allah berfirman :

QS Al Anfal (8/17).

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh me-

reka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bu-

kan kamu yang melempar ketika engkau melempar, tapi

Allahlah yang melempar.”

Sehingga Beliaupun berperang dengan tanpa beban sedikit-

pun.

Begitu juga dengan Khidir AS yang dianggap aneh oleh Musa,

keanehan Uwais Al Qarni di hadapan sahabat Nabi, dan kea-

287

nehan-keanehan orang-orang Allah yang lainnya yang mung-

kin saja ada salah satunya di antara para pembaca sekalian.

Semuanya mereka lakukan karena mereka sudah tidak lagi

mengaku Wujud. Fana.

Lalu kita kemudian akan bertanya-tanya tentang ayat-ayat

Allah yang sangat populer disampaikan kepada kita ketika kita

akan membahas taqdir, diantaranya :

• Ar-Ra’du (13/11) : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengu-

bah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah ke-

adaan diri mereka sendiri.”

• Al-Mu’min (40/60) : “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah

kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”

Dengan berbekal dua ayat ini, kita merasa seakan-akan masih

punya sedikit ruang untuk mengatur hidup kita agar keluar

dari taqdir yang sedang kita hadapi saat ini.

Bagaimana ini ? Untuk itu, agar kita menjadi paham, mari kita

pakai kacamata makrifatullah kita kembali. Untuk menguak

tabir membaca Takdir.

Menguak Tirai Taqdir

Dengan berbekal kacamata Makrifatullah, sedikit banyaknya

kita sudah mulai bisa memahami kenapa kita begitu sulitnya

untuk beriman kepada Rukun Iman ke-enam, yaitu beriman

kepada Baik dan Buruknya Taqdir, yang keduanya berasal dari

Allah.

288

Ternyata penyebab utamanya adalah karena adanya kesalah-

an paradigma berpikir kita tentang diri kita sendiri. Bahwa kita

merasa wujud. Karena kita merasa wujud maka kitapun

merasa seperti memiliki kehidupan kita. Sehingga kita sulit

untuk menerima kenyataan bahwa apapun juga ternyata

sudah ditetapkan oleh Allah untuk kita jalani sejak Firman

KUN. Kita hanya tinggal menjalankan saja apa-apa yang sudah

ditetapkan untuk kita masing-masing.

An Nur (24/54).

“Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibe-

bankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah se-

mata-mata apa yang dibebankan kepada kamu.”

Kekeliruan umum kita selama ini dalam memahami Taqdir ini

barangkali sama dengan kekeliruan-kekeliruan yang telah saya

buat selama ini. Kesalahan yang saya perbuat sebelum saya

mengenal Ilmu Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi ini.

Di sini saya tidak berani berkata kita. Sebab boleh jadi ini ha-

nya kekeliruan saya pribadi saja. Bukan kesalahan para sa-

habat yang lain. Saya sendirilah yang saat itu belum memakai

kacamata Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi seperti yang saya

pakai sekarang ini. Jadi kekeliruan yang saya maksudkan itu

adalah keliru jika dilihat dari Sudut Pandang atau Paradigma

berpikir Ilmu Makrifatullah.

1. Kesalahan pertama, saya mengira saat Allah pertama kali

289

berfirman “KUN” itu, Allah berfirman kepada SESUATU

yang BELUM ADA. Sesuatu KETIADAAN atau KEKOSONG-

AN. Saya kira Allah berfirman KUN kepada ketiadaan atau

kekosongan itu, lalu FAYAKUN. Dari ketiadaan dan keko-

songan itu kemudian terciptalah Makhluk-Nya satu per-

satu.

Karena saya merasa diciptakan dari tiada, berasal dari

kekosongan, maka saya ingin kembali mencari kekosong-

an, saya berusaha “berjalan dan kembali” untuk menjadi

tiada. Dan itu saya lakukan dengan berbagai cara, terma-

suk berbagai metoda meditasi, dzikir (lafal), dan teknik-

teknik lainnya yang memang mengajarkan tentang keko-

songan, terutama kekosongan di dalam pikiran. Mengo-

songkan pikiran. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak

berpikir.

Kalau ada yang bertanya kepada saya: “Kamu mau kem-

bali ke mana ? Walaupun saya menjawabnya saya: “Ingin

kembali kepada Allah”, namun jawaban saya itu ternyata

tidak serta merta mencerminkan hal yang sebenarnya.

Kembali kepada Allah itu saya kira bisa saya lakukan de-

ngan mencoba-coba menjalankan sebuah rasa yang ber-

asal dari dalam dada saya berupa sebuah getaran halus.

Getaran itu saya tujukan keatas menuju ketinggian. Se-

akan-akan dengan begitu saya menjawabnya: “Saya mau

menuju ke kekosongan, saya ingin kembali ke keko-

songan”.

290

Karena saya “mengingat” (DZIKIR) pada kekosongan, wa-

laupun saya menyebut-nyebut nama Allah, ternyata ada

yang ikut menemani saya, sebutlah itu iblis, syetan, atau

jin. Sebab ada memang ayat yang mengatakan bahwa:

“Waman ya’syu ‘andzikrirrahmaan nuqayyidh lahuu

syaithaanan fahualahuu qariinun, Dan barangsiapa yang

berpaling dari INGAT kepada Yang Maha Rahman (ALLAH),

Kami akan mengirimkan syetan sebagai teman akrabnya,

(Adz Dzukhruf 36). Dan dengan begitu, tahu-tahu saya

sudah dekat saja dengan alam perdukunan, alam getaran

(vibrasi), dan alam kesaktian, yang lama-kelamaan ternya-

ta malah menjauhkan saya dari Allah. Salah satu ciri-

cirinya yang sangat kentara adalah, waktu itu saya sangat

sulit sekali untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah

seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Ketika saya punya masalah, dulu itu saya malah mela-

kukan “XYZ” yang sebenarnya sama dengan bermeditasi.

Dan itu bisa puluhan menit bahkan sampai jam-jaman. Tu-

juannya adalah agar masalah saya selesai, agar saya sem-

buh dari sakit, atau tujuan-tujuan lainnya.

Padahal Nabi mencontohkan, kalau kita punya

masalah, kita lakukan saja shalat dua rakaat,

maka Allah akan memberikan kita tuntunan-

tuntunan kepada kita agar kita bisa

menghadapi masalah kita itu tanpa masalah.

291

Padahal pada saat itu saya juga masih mengaku bahwa

saya adalah umat Nabi Muhammad Saw. Umat yang akan

mencontoh perilaku, sikap, dan tauladan dari Nabi

Muhammad Saw. Tapi yang saya lakukan sangat berbeda

dengan yang Beliau lakukan. Aneh sekali memang.

2. Kesalahan kedua, saya juga mengira bahwa . . .

. . . sabda KUN itu difirmankan Allah BERKALI-

KALI sejak dari pertama kali sampai dengan

sekarang ini dan pada zaman yang akan

datang.

Setiap kali Allah ingin menciptakan Makhluk-Nya, maka

setiap kali itu pula Allah berfirman KUN kepada sesuatu

yang boleh kita sebuat sebagai PARTIKEL atau ENERGI.

Begitu Allah berkata KUN kepada partikel atau ENERGI itu,

maka dari partikel atau ENERGI itu kemudian terciptalah

suatu ciptaan. Dengan begitu, saya mengira bahwa fir-

man Kun Itu berlangsung setiap saat, dari dulu, sampai

saat ini, dan di masa-masa yang akan datang. Kun ini, Kun

itu, Kun, Kun, lalu Fayakun, saat itu juga terjadilah ini, itu,

ciptaan, ciptaan !

Padahal itu hanya terjadi SATU kali saja.

292

Oleh sebab itu saya merasa dapat mempengaruhi Allah

dalam menciptakan peristiwa-peristiwa. Dan itupun saya

cukup hanya dengan BERPIKIR atau MERASAKAN tentang

sesuatu yang saya inginkan itu sudah terjadi. Tetapi sebe-

narnya saya juga agak ragu-ragu apakah saya yang berpi-

kir dan merasakan itu atau saya hanya dikenai oleh pikiran

dan perasaan itu. Makanya, kadangkala saya merasa

bahwa begitu saya berpikir dan merasakan, maka terja-

dilah peristiwa seperti yang saya pikirkan dan rasakan itu.

Pada lain kali saya tidak memikirkan dan merasakannya,

tapi tiba-tiba seperti ada pikiran dan perasaan yang da-

tang kepada saya, lalu pertistiwa yang terpikirkan dan

terasakan itupun terjadi pula. Walaupun itu baru hanya

untuk hal-hal yang sederhana saja, dan itupun tidak selalu

pula terjadi. Tapi itu cukuplah untuk membuat sedikit ke-

sombongan muncul di dalam hati saya. Sehingga sayapun

sering berman-main dengan pikiran-pikiran dan perasaan-

perasaan itu. Hebat begitu kesannya.

3. Kesalahan ketiga,

. . . saya tidak BULAT DAN UTUH dalam

mempercayai TAQDIR yang merupakan Rukun

Iman keenam.

Bahwa Taqdir baik dan buruk keduanya berasal dari Allah.

Tanpa saya sadari saya telah menciptakan Rukun Iman ke-

293

7, yaitu dengan mengatakan: “Apa-apa yang baik yang

saya lakukankan atau ucapkan adalah dari Allah, sedang-

kan semua yang buruk dan keliru yang saya lakukan atau

ucapkan adalah dari diri saya sendiri”.

Saya dulu juga percaya bahwa saya masih bisa mengubah

taqdir yang akan saya jalani melalui do’a-do’a yang saya

ucapkan dengan intens dan berpikiran positif. Saya mera-

sa bahwa dengan berdo’a dan berpikir positif atau baik,

maka kehidupan saya juga akan menjadi baik dan positif

pula. Saya juga merasa bisa ini dan itu karena saya me-

mang telah berusaha dengan maksimal.

Saya mengira seakan-akan Allah belum lengkap dan be-

lum sempurna dalam merencanakan TAQDIR semua Cip-

taan-Nya, sehingga Dia masih memerlukan peran saya un-

tuk menentukan taqdir saya sendiri. Hanya tentang mati,

jodoh, dan rezki saja mungkin saya percaya bahwa itu

sudah ditetapkan. Sedangkan untuk hal-hal yang lain saya

merasa taqdir itu masih bisa saya intervensi dengan

usaha-usaha-usaha dan usaha sekuat tenaga.

Begitu saya ditimpa sebuah masalah, maka hal pertama

yang saya lakukan adalah bertanya tentang “Kenapa harus

saya yang mengalaminya ? Kenapa tidak orang lain yang

mengalaminya yang ibadahnya tidak seperti saya ?”.

Kalau melihat ada bencana atau musibah yang menimpa

orang lain yang saya kenal dengan baik, maka saya

294

berkata. “Kasihan ya dia, coba kalau itu tidak terjadi pada

dirinya, khan dia bisa begini dan begitu?”. Seakan-akan

saya menganggap Allah TIDAK Bijaksana terhadap apa-apa

yang telah Dia TETAPKAN dan RENCANAKAN.

Walaupun akhirnya saya bisa pasrah, tapi pasrahnya itu

terjadi karena saya menghipnosa pikiran saya sendiri un-

tuk bisa menjadi tenang, pasrah, dan melupakan segala

permasalahan saya itu.

Dari tiga kesalahan ini, ternyata dampaknya banyak dan besar

sekali bagi saya. Di antaranya, saya keliru dalam memaknai

HAKEKAT dari semua ciptaan ini, termasuk hakekat diri saya

sendiri. Saya keliru tentang diri (nafs), akal, hati, aku, ruh, dan

sebagainya. Sehingga sayapun tersasar ke sana ke mari men-

cari jalan untuk memahami hakekat diri saya ini. Jalan ini saya

ikuti, jalan itu saya lalui, aliran ini saya coba, cara ini saya

praktekkan, ilmu ini saya tuntut. Tarekat, kesaktian, getaran,

dan sebagainya saya coba satu persatu. Jalan yang sangat

panjang dan melelahkan sekali.

Keliru dalam berhakekat ini,

ternyata telah membawa saya

keliru pula dalam bermakrifat kepada Allah.

Hampir-hampir saja saya bersikap seperti mengikuti paradig-

ma berpikir paham Wahdatul Wujud. Ciri-ciri yang paling

kentara tentang Paham Wahdatul Wujud ini kalau dilihat dari

295

sudut pandang Ilmu Makrifatullah adalah tentang makna

ALLAH MELIPUTI SEGALA SESUATU. Sehingga dengan enak dan

longgarnya saya berkata bahwa Allah adalah INI dan ada di

sini. Saya juga seperti ingin merasa-rasakan bahwa Allah ada

di dalam hati saya, dan lain-lain sebagainya.

Sebab ada memang ayat Al Qur’an dalam Surat Al Fusshilat: 54

yang menyatakan bahwa “INNAHU bikullisyaiin muhith, Allah

meliputi segala sesuatu”. Bahwa Allah meliputi alam semesta

dan semua ciptaan termasuk diri saya sendiri. Sehingga saya

MERASA bisa menyentuh-nyentuh dan merasa tersambung

dengan Allah di dalam Shalat saya. Bukankah paham yang

seperti ini sangat dekat dengan paham Wahdatul Wujud yang

menyatakan bahwa ALLAH SENDIRI yang meliputi semua Alam

Ciptaan-Nya.

Saya mengira Allah meliputi Alam dengan Dirinya sendiri, se-

perti air yang meliputi TISSU atau SPONSE yang direndam ke

dalam air. Seluruh pori-pori Tissu atau Sponse itu diliputi oleh

air. Pergerakan dan tingkah laku Tissu atau Sponse itu adalah

gerak dan tingkah laku air itu sendiri.

Membingungkan sekali upaya-upaya yang harus saya tempuh

untuk mencapai posisi sebagai SPONSE atau TISSU itu. Misal-

nya,

1. Membuat tubuh saya berputar bak “gasing” dalam waktu

yang lama, seperti yang dipakai juga dalam tarian sufi pa-

da tarekat tertentu.

2. Bisa pula dengan mengikuti aliran getaran yang bisa mem-

296

bawa tubuh saya bergerak ke sana - ke mari dengan tanpa

daya dan upaya (effortless) seperti gerakan Taichi.

Dengan begitu saya mengira bahwa saya saat itu sudah

mengikuti Kehendak Allah. Pokoknya dengan getaran itu saya

seperti serba bisa.

Begitu juga pemaknaan tentang hadist: “Bumi dan langit tidak

dapat memuatku. Namun aku termuat dalam hati hamba-Ku

yang beriman.” Dan hati itu saya anggap ada di dalam dada

saya. Sehingga di dalam shalat atau dzikir jahar maupun sirr

saya sibuk sekali merasa-rasakan rasa kedekatan dengan Allah

yang saya anggap seharusnya sudah ada di dalam hati (dada)

saya, karena saya memang merasa bahwa saya sudah beru-

saha sekuat tenaga untuk beribadah maupun melakukan prak-

tek-praktek Tadzkiyatunnafs yang sangat berat.

Oleh sebab itu, Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali

kepada Allah. Bahwa Allah telah berkenan menakdirkan saya

untuk bisa mereguk sebuah Ilmu yang sangat langka seperti di

atas kepada seorang Arif Billah, sehingga saya bisa melihat

dengan terang benderang segala kebingungan dan kesalahan-

kesalahan saya selama ini.

Ternyata, dengan memasuki pintu makrifatullah ini, tirai yang

menutupi kepahaman saya tentang Taqdir selama ini jadi

terangkat. Taqdir itu sudah menjadi sangat terang benderang,

“clean and clear”. Bahwa . . .

297

. . . di sebalik Taqdir yang terjadi pada setiap

makhluk itu ternyata ada sedikit Dzat Allah (TSE)

yang sedang menjalankan KETETAPAN Allah. Dzat

ini memastikan ketetapan-ketepan Allah itu

terlaksana atau terzhahir menjadi PERANAN-

PERANAN yang sangat beragam yang berlaku

secara SERENTAK atau KOLOSAL dalam WAKTU

yang BERSAMAAN.

Dalam waktu yang bersamaan, Dzat (TSE) yang TUNGGAL

terzhahir menjadi berbagai macam peran mulai dari peran di

tingkat partikel, atom, manusia, bintang, tumbuhan, bumi,

matahari, bintang-bintang, malaikat, sampai dengan peran

Arasy Allah yang agung. Semuanya itu berjalan, berproses, dan

berubah secara BERSAMAAN. Pada saat yang sama, semua

terzahir, berubah, berproses secara SERENTAK dan KOLOSAL.

Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya mengajak kepada

siapapun juga, yang Allah telah berkenan pula untuknya . . .

. . . agar ia bisa memahami taqdir ini, untuk

melihat apapun juga dengan memakai kacamata

makrifatullah pula. Pakailah kacamata

makrifatullah ini kapanpun dan di manapun juga

kita berada, sehingga kita benar-benar akan

298

TERLEPAS TOTAL (DETACH) terhadap berbagai

masalah kehidupan yang kita hadapi.

Di sini saya akan kembali menggunakan kata “kita” dalam

mengulasnya.

Sekarang lihatlah dengan mata hati kita, ke manapun kita

melihat dan apapun peristiwa yang kita lihat, maka mata hati

kita sudah bisa melihat dengan tajam bahwa di situ ada Dzat

yang sedang menjalankan PERANAN sesuatu dengan KETE-

TAPAN Allah. Dan pada semua peran yang terzhahir itu ada

hikmah, manfaat, atau pembelajaran yang terkandung di

dalamnya untuk kita ambil dan manfaatkan.

Sehingga dengan begitu, kita juga akan bisa melihat bahwa

apapun juga kekeliruan yang saya lakukan dulu, itupun

ternyata adalah sebuah ketetapan yang telah ditetapkan oleh

Allah sejak Firman KUN. Dzat memastikan kekeliruan saya itu

untuk terzhahir mengikuti ketetapan Allah pada waktu yang

telah ditentukan. Dan di dalam kekeliruan saya itu terdapat

pula hikmah yang manfaatnya sungguh tidak terkirakan

besarnya, paling tidak pembelajaran buat saya sendiri.

Dan Dzat pulalah yang akan memastikan bahwa pada saatnya

saya akan keluar dari kesalahan itu dengan cara-cara yang

seakan-akan itu adalah sebuah kebetulan. Pada saatnya satu

persatu terzhahir, terjadi, dan terlaksana. Tiba-tiba ini, tiba-

tiba itu.

299

• Tiba-tiba saja mata saya terbaca pada sebuah nama.

• Tiba-tiba saya ingin melihat lebih lama nama itu.

• Tiba-tiba saya jadi begitu betah mendengarkan nama itu

berbicara di sebuah situs.

• Tiba-tiba saya sudah tiba saja di hadapan beliau.

• Tiba-tiba saya sudah bertemu muka saja dengan beliau

dalam sebuah seminar. Entah bagaimana, apa-apa yang

beliau sampaikan itu begitu mudahnya saya pahami.

Seakan-akan saya dipermudah untuk memahaminya.

Padahal bahasa beliau banyak juga yang tidak saya pahami.

• Tiba-tiba saja saya sudah dibukakan oleh beliau pintu

tentang makrifatullah, sebuah pintu yang sudah dicari-cari

semua umat manusia sejak ratusan tahun yang lalu.

• Tiba-tiba saya diberitahu beliau mana yang hati dan mana

yang mata hati.

• Tiba-tiba saya sudah menjadi lebih mudah saja untuk bisa

mengingat Allah (dzikrullah).

• Tiba-tiba saja terjadi sebuah perubahan yang sangat besar

dalam pemahaman-pemahaman saya tentang kehidupan,

seakan-akan begitu sebuah pintu ilmu dibuka, maka pintu-

pintu ilmu yang lainnya akan segera terbuka pula. Salah

satu pintu ilmu itu adalah ilmu tentang memahami TAQDIR,

termasuk memahami dalil-dalil Qur’ani dan haditsinya,

yang dulu begitu sulit untuk saya pahami.

Bahwa, secara pandangan mata lahiriah, semuanya itu seperti

terjadi dengan KEBETULAN saja. Semua itu seperti tidak saya

300

rencanakan sama sekali. Tiba-tiba hari ini terjadi, besok ter-

jadi, besok-besoknya terjadi. Akan tetapi kalau kita meman-

dang dengan pandangan kacamata makrifatullah, maka kita

akan dikejutkan oleh sebuah kenyataan bahwa . . .

. . . tidak ada satupun yang terjadi secara

kebetulan. TIDAK ADA. Semuanya sudah TERTERA

di dalam lembaran-lembaran KITAB

PERENCANAAN yang Maha Lengkap, LAUHUL

MAHFUZ, yang setiap lembarannya hanya tinggal

menunggu SAAT demi SAAT PENZHAHIRAN saja

lagi.

Yang sangat HEBATNYA lagi adalah, lembaran-lembaran kitab

itu telah MEMUAT KETETAPAN yang akan TERJADI dan

TERLAKSANA atas SEMUA MAKHLUK atau CIPTAAN untuk

SATU SAAT TERTENTU secara BERSAMAAN.

Untuk lebih memudahkan kita dalam memahami pengertian

ini, marilah kita lihat :

• Ilmu POHON KEPUTUSAN (DECISION TREE), atau

• Ilmu PEMETAAN PIKIRAN (MIND MAPING).

Walaupun cabang-cabang untuk kita dengan cabang untuk

orang lain kadangkala terlihat seperti bersinggungan dan

berdekatan, namun cabang untuk kita yang akan kita jalani

tidak akan pernah tertukar dengan cabang yang akan dijalani

301

oleh orang lain. Setiap cabangnya memuat ketetapan yang

akan dijalani tepat oleh satu ciptaan pada waktu yang telah

ditetapkan..

Misalnya, waktu yang kita lalui sebagai seorang manusia di

bumi ini, akan bermula saat kita dilahirkan dari rahim ibu kita,

dan akan berakhir pada saat kita nanti mati. Ukuran waktu kita

di bumi ini adalah dalam satuan detik, menit, jam, hari, dan

tahun. Maka pada detik yang sama, lebih dari 6 milyar

manusia di seluruh dunia akan menjalani taqdirnya masing-

masing secara serentak.

Pada detik yang sama, ada yang lahir, ada yang meninggal, ada

yang sakit, ada yang sembuh dari sakit, ada yang tertawa, ada

yang menangis, ada yang terlahir cacat, ada yang lahir normal,

ada yang meninggal karena kecelakaan, ada yang meninggal

tertembak dalam sebuah peperangan, dan sebagainya. Pada

detik yang berikutnya lain lagi yang akan terjadi. Semuanya

terjadi secara serentak.

Begitu juga peristiwa dan kejadian yang terjadi di dunia

binatang, tumbuhan, benda cair, benda padat, dan gas, di

udara, di dunia di luar gaya grafitasi bumi, di bulan, di

matahari, di galaksi, di the Universe, di Sidratul Muntaha, di

Arasy, dan sebagainya. Secara serentak semuanya terzhahir

pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara bersamaan.

Dzat memastikan semuanya itu akan terzhahir tanpa penge-

cualian. Dan juga, Dzat yang berperan untuk terzhahirnya

302

kesemuanya itu hanyalah sedikit saja dari Dzat ALLAH Yang

Maha Indah. Artinya semua kehebatan dan kesempurnaan hu-

kum yang terlihat di Alam semesta ini hanya terjadi di dalam

Dzat yang sedikit itu. Di dalam The Secondary Essense (TSE).

Semua itu sudah terencana dengan sangat rapi. Maha rapi

malah.

Untuk lebih memahami bagaimana Taqdir ini berkerja, marilah

sejenak kita melihat peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di

Indonesia saat ini. Misalnya peristiwa Pak Jokowi-JK dalam

meraih tiket menuju Kursi Indonesia 1 dan 2.

• Pak Jokowi menjadi presiden RI yang ke-7, sebenarnya juga

adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menjalankan

peran. Pak Prabowo yang kalah dalam Pilpres baru-baru ini

juga adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menjalan-

kan peran pula. Dzat memastikan Pak Jokowilah yang akan

menang dan Pak Prabowo yang akan kalah. Para pendu-

kung Pak Jokowi maupun para pendukung Pak Prabowo

juga adalah penzhahiran dari Dzat yang sedang menja-

lankan peran, sehingga mereka masing-masing pasti akan

memilih dan mendukung Pak Jokowi atau Pak Prabowo

semaksimal mungkin, habis-habisan, sesuai dengan kete-

tapan yang harus mereka jalani masing-masing.

• Para pelaksana pemilu seperti KPU, Pengawas Pemilu, KPK,

dan MK, semuanya juga adalah penzhahiran Dzat yang

sedang menjalankan peran sesuai dengan ketetapan untuk

303

mereka yang akan memudahkan jalan bagi Pak Jokowi

untuk menjadi Presiden.

• Dzat memastikan setiap pemeran akan melakukan peran-

annya yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan.

Dzat memastikan ada yang marah dan ada yang dimarahi,

ada yang memfitnah dan ada yang difitnah, ada yang

menganiaya dan ada yang dianiaya, ada yang dihukum dan

ada yang menghukum, bahkan kalau perlu ada yang

membunuh dan adapula yang dibunuh, ada yang diadili dan

ada yang mengadili. Dan setiap pemeran itu tidak bisa

keluar dari peran yang telah ditetapkan untuknya.

• Dzat juga memastikan adanya para pendukung Pak Jokowi

yang akan menyalurkan syahwat kesenangannya karena

merasa menang dengan berbagai macam acara seakan-

akan mereka sendirilah yang telah menjadi Presiden.

Mereka merasa bebas dan merdeka untuk berbuat apa

saja, paling tidak saat hari pelantikan Pak Jokowi sebagai

Presiden. Mereka merasa berkuasa pula. Mereka merasa

memiliki apa saja yang ada didekat mereka. Dan tentu saja

ada pula lawannya, yaitu para penentang yang tidak me-

nyukai acara-acara seperti itu. Mereka akan menghina,

menjelekkan, dan bahkan mengumpat dan mencaci acara-

acara tersebut.

• Dzat akan memastikan bahwa semua peran akan dimu-

dahkan untuk terjadi dan terlaksana kalau itu memang

sudah ditetapkan untuk terjadi dan terlaksana. Sebaliknya,

304

Dzat juga memastikan bahwa peran yang sudah ditetapkan

untuk SUSAH dan SULIT akan benar-benar menjadi susah,

sulit, dan berliku-liku.

• Pemilihan Menteri Kabinet yang berliku-liku juga sudah

dipastikan oleh Dzat untuk terjadi seperti itu. Semua tidak

ada pilihan. Ada yang protes, ada yang memuji, ada yang

kecewa, ada yang membully, semuanya sudah dipastikan

untuk terjadi karena ada Dzat yang memastikan semua itu

terzahir.

• Pertarungan KIH dan KMP di parlemen pun memang harus

untuk terjadi. Karena kedua kubu tidak bisa keluar dari

peran atau taqdir yang telah disandangkan di leher masing-

masing pendukungnya. Kata-kata yang jatuh menjatuhkan,

plintir-plintiran, bahkan banting-bantingan kursi dan

mejapun memang harus terjadi. Adanya fakta bahwa

muncul pula DPR Tandingan dengan ketua-ketuanya,

itupun sebenarnya adalah penzhahiran peranan dari Dzat

belaka. Karena semua itu sudah dituliskan dan ditetapkan

untuk terjadi. Dzat memastikan semua itu untuk terjadi

tanpa ada yang bisa menolaknya.

• Dalam lima tahun mendatang, Dzat juga akan memastikan

hasil yang akan dicapai oleh Pak Jokowi-JK dalam

pemerintahan Beliau. Kalau sudah ditetapkan untuk gagal

maka kegagalan itu akan dimudahkan oleh Dzat untuk

terjadi. Sebaliknya kalau sudah ditetapkan untuk berhasil

dengan gemilang, maka keberhasilan itu juga akan

305

dipermudah pula oleh Dzat untuk terjadi.

• Begitu juga, jika pemerintahan Beliau sudah ditaqdirkan

untuk menjadi pemerintahan yang penuh DAGELAN, SAN-

DIWARA, atau sebaliknya bisa pula menjadi pemerintahan

yang SERIUS dan BERSUNGGUH-SUNGGUH dalam mengu-

rus kepentingan Rakyat Indonesia, maka Dzat memastikan

setiap orang akan menjalani peran dagelan, atau peran

sandiwara, atau peran serius dan bersungguh-sungguh itu

untuk terjadi.

• Nanti, dalam perjalanan waktu, cobalah lihat dengan tajam,

bahwa berhasil atau tidaknya Pak Jokowi-JK dan para

mentri Kabinet menjalankan pemerintahan, sebenarnya itu

bukanlah disebabkan oleh karena kehebatan atau tidak

hebatnya Pak Jokowi-JK dan para Menteri Beliau. Bukan.

Akan tetapi Dzatlah yang memastikan atas keberhasilan

atau ketidakberhasilan itu untuk terjadi karena memang itu

sudah ditetapkan untuk berhasil ataupun tidak berhasil.

• Orang boleh saja terpesona buat sesaat dengan perilaku

yang ditunjukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu

Susi Pudjiastuti. Banyak orang yang kesemsem dengan apa-

apa yang beliau lakukan. Mereka menyanjung dan memuji

Ibu Susi melebihi Menteri-menteri yang lainnya. Namun

tidak kalah punya banyaknya orang-orang yang meman-

dang rendah beliau karena beliau hanya berijazah SMP,

perokok pula, dan tidak menyukai protokoler yang berbelit-

belit. Namun tidak banyak yang bisa melihat bahwa Dzatlah

306

yang memastikan beliau untuk bisa menjadi Menteri. Dan

Dzat pulalah yang menyebabkan beliau mempunyai

karakter seperti itu. Beliau tidak punya pilihan untuk

menjalani apa-apa yang telah ditetapkan untuk beliau.

• Begitu juga, kegagalan Pak Prabowo-Hatta dalam mendu-

duki Kursi RI-1 dan 2, itu bukanlah karena Pak Prabowo dan

Pak Hatta serta pada pendukung beliau tidak hebat. Tidak

begitu. Dzatlah yang memastikan kegagalan itu terjadi

karena itu memang sudah ditetapkan untuk gagal.

• Bagaimana para Anggota DPR, DPD, MPR mendapatkan

kedudukannya, berperilaku, berkata-kata, dan bertindak,

semuanya juga hanyalah cermin dari penzharian Dzat

dalam menjalani KETETAPAN Allah belaka. Mereka semua

tidak ada pilihan. Mereka pasti menjalankannya tanpa bisa

menolaknya. Sebab saat itu yang terjadi hanyalah

permainan Dzat saja. Allah sedang bermain-main, dengan

Dzat-Nya sendiri. Sedikit dari Dzat-Nya. Seperti kita sedang

bermain-main dengan jari-jari tangan kita. Jempol kita

memukul jari manis kita. Kelingking dijentik oleh si jari

telunjuk. Dan seterusnya.

Dan kesemuanya itu adalah bahan pelajaran yang SARAT

mengandung HIKMAH, MANFAAT, dan FAEDAH, bagi para

ULUL ALBAB. Yaitu orang-orang yang mampu melihat bahwa

di sebalik semua yang terjadi dialam semesta ini mereka

melihat Dzat dan Ketetapan Allah yang sedang berinteraksi.

Mereka bisa melihat semua interaksi itu dengan mata hati

307

mereka baik saat berdiri, saat duduk, maupun saat berbaring.

Mereka bisa pula mereguk hikmat dari peristiwa-peristiwa itu.

Dari situ para Ulul Albab itu bisa belajar tentang watak-watak

manusia. Mereka dapat pula melihat bahwa selama antar

sesama manusia masih saling bertengkar dan berkelahi satu

sama lain, maka tidak akan ada pula terbentuk hal-hal yang

akan menyejahterakan rakyat. Tidak ada. Sebab energi orang-

orang itu hanya akan habis untuk bertengkar dan berkelahi.

Seperti juga dengan apa-apa yang telah diperlihatkan oleh

umat islam sejak ratusan tahun yang lalu, sehingga hampir

saja umat islam ini kehilangan wibawanya di dalam kancah

pergaulan dunia.

Dari pembelajaran itulah para Ulul Albab itu dimatangkan

pemahamannya oleh Allah tentang Kemahabesaran Allah

sendiri, sehingga akhirnya keimanan mereka akan semakin

tumbuh dan berkembang dengan kuat. Sebab ke manapun

mata mereka melihat, mata hati mereka dikejutkan dengan

kenyataan bahwa kewujudan yang wujud hanyalah SATU,

yaitu Dzat. Allahlah yang sedang bermain-main dengan sedikit

dari Dzat-nya sehingga dari Dzat-Nya itu terzhahirlah Drama

Kehidupan yang akan terus berjalan secara otomatis sejak

pertama kali Firman KUN difirmankan oleh Allah.

Firman KUN itu menggetarkan Dzat-Nya yang sedikit (TSE)

secara terus menerus sampai dengan Akhir Zaman, sehingga

getaran Firman Kun itu menzhahirkan berbagai ciptaan di

alam semesta raya ini. Sehingga sebenarnya alam semesta

308

yang kelihatannya begitu luas dan penuh dengan berbagai

ciptaan, fenomena, dan hukum-hukum, hanya dimainkan oleh

SATU pemain tunggal saja, SATU pelakon tunggal saja, yaitu

sedikit dari Dzat-Nya sendiri.

Untuk lebih memudahkan lagi pemahaman kita, marilah kita

melihat kesemuanya itu seperti kita sedang melihat sebuah

permainan sepak bola. Ada Kiper, ada pemain, ada wasit, ada

penjaga garis, ada bola, ada rumput, ada gawang, ada

penonton. Semuanya berperan dengan peran dan sikapnya

masing-masing. Dan dengan memakai kacamata makrifatullah

kita ternyata akan bisa melihat bahwa kesemuanya itu

dimainkan oleh satu wujud saja, yaitu Dzat.

Ya, Dzatlah yang menjadi kiper, Dzat pulalah yang menjadi

pemain, wasit, penjaga garis, bola, rumput, gawang, dan

puluhan ribu penonton lainnya. Dzatlah yang menjadi Dalang

Tunggal dari Pelakonan Sandiwara Kehidupan itu. Dzatlah yang

memainkan peranan tentang siapa yang akan menang dan

yang kalah, siapa yang senang dan siapa yang sedih. Semua itu

Tak ubahnya seperti pertunjukan Wayang.

Tetapi Penontonnya hanya Tunggal, yaitu Allah

sendiri. dan Pemainnya juga Tunggal, Yaitu Dzat-

Nya sendiri, yang sedikit.

Itu tak ubahnya seperti kita sedang bermain-main dengan ta-

ngan kita sendiri. Jari-jari tangan kitalah yang menjalankan

309

peran A, peran B, peran C, peran D, peran E. Kuku-kuku tangan

kitalah yang menjalankan peran X,W,Z. Persendian jari-jari

tangan kitalah yang meliuk-liuk menjalankan perannya ma-

sing-masing. Semuanya berperan secara serentak.

Bedanya dengan pertunjukan wayang kulit hanyalah dalam hal

kolosalitas pergerakan pemainnya saja. Dalam pertunjukan

wayang kulit, para wayangnya bergerak satu persatu, sedang-

kan dalam pertunjukan Wayang Kehidupan, para wayangnya

hidup dan bergerak secara serentak semuanya. Kolosal sekali.

Kemudian, mari kita layangkan pula padangan mata kita kepa-

da peristiwa-peristiwa di sekeliling kita. Misalnya, gempa bu-

mi, banjir, kebakaran, kecelakaan (mobil, kereta api, pesawat,

kapal laut), gedung runtuh, sakit, kematian, dan sebagainya.

Tanpa memakai kacamata makrifatullah kita akan

melihat semua hal di atas itu sebagai sebuah

bencana, atau sebagai hukuman Allah terhadap

suatu kaum yang tidak patuh kepada Allah, atau

sebagai ujian dari Allah untuk menguji iman umat

manusia.

Ketika peristiwa itu terjadi, kitalah yang dengan gagah berani

berkata untuk menyalahkan orang-orang-orang yang ada

disekitar tempat bencana itu terjadi. Kita sendirilah yang

menetapkan hubungan sebab dan akibat ini sesuka hati kita.

310

Misalnya, bencana itu terjadi karena penduduk di daerah itu

sudah banyak yang bermaksiat, banyak yang tidak shalat,

banyak riba, dan sebagainya. Bahkan untuk menguatkan

penetapan kita itu, disana sini kita menambahkan pula

beberapa dasar-dasar ayat Al Qur’an atau Al Hadist.

Dengan begitu kita jadi sibuk menghakimi, menyalahkan, dan

mencari-cari kambing hitam dari peristiwa-peristiwa itu.

Sehingga akhirnya kita menjadi LUPUT dari MELIHAT HIKMAH

atau FAEDAH dari semua persitiwa itu. Yang melihatnya

adalah orang lain, sehingga mereka menemukan berbagai

paralatan dan teknologi canggih yang akan menjinakkan

“bencana-bencana” itu. Dengan alat itu, dampak bencanannya

diperkecil, korbannya bisa diminimalkan, keru-sakannya bisa

dilokalisir. Sementara kita hanya bisa membeli dan membeli

alat-alat itu untuk kita gunakan di tempat kita. Kita hampir

tidak pernah mencip-takan sendiri alat-alat yang akan

bermanfaat untuk kehidupan kita.

Akan tetapi kalau kita memakai kacamata makrifatullah dalam

memandang peristiwa-peristiwa itu, kita akan tercengang

melihatnya bahwa . . .

. . . semua peristiwa itu terjadi

karena memang ia harus terjadi.

Mata hati kita sudah bisa melihat bahwa Dzatlah yang

memastikan semua itu terjadi mengikuti ketetapan yang telah

311

ditetapkan oleh Allah. Dan Dzat juga memastikan bahwa

peristiwa-peristiwa itu memuat HIKMAH di dalamnya, yang

akan berguna dan berman-faat bagi kita dalam menjalani kehi-

dupan kita. Pasti.

Dengan memakai kacamata makrifatullah, kita akan dapat

pula melihat bahwa . . .

. . . apapun perbuatan orang-orang yang ada di

sekitar kita, apakah itu anak kita, istri atau suami

kita, ibu dan bapak kita, saudara kita, handai

taulan kita, ataupun orang lain yang tidak punya

hubungan keluarga dengan kita, maka kita akan

dapat melihat dengan mata hati kita, bahwa

semuanya itu adalah Dzat yang sedang mengambil

peranan sesuai dengan ketetapan Allah yang telah

dikalungkan di leher mereka masing-masing.

Mereka tidak punya pilihan, mereka tidak bisa menghindar,

mereka harus menjalaninya. Karena Dzat memastikan itu

untuk terjadi sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.

Kita akan mudah menerima keberadaan kita yang sudah dite-

tapkan oleh Allah untuk menjalani peran sebagai orang Islam

dari sejak lahir, makanya kita dilahirkan dalam keluarga islam,

mendapat pendidikan secara Islam, dan beribadah sesuai

dengan syariah Islam. Kita akan dihalangi oleh Dzat untuk

312

beribadah secara agama lain.

Kita akan mudah pula menerima bahwa ada pula beberapa

orang yang di tengah-tengah jalan hidupnya sudah ditetapkan

oleh Allah untuk berpindah agama menjadi agama lain, maka

Dzat memastikan pindah agamanya itu akan terjadi. Dzat

memastikan peristiwa-peristiwa pendukungnya juga akan

terjadi. Misalnya melalui perkawinannya, pergaulannya,

pendidikannya, atau tiba-tiba saja ia ingin berubah agama.

Kita akan sangat cair melihat ada pula orang-orang yang telah

ditetapkan oleh Allah untuk berperan sebagai pemuka agama

tertentu seperti : Ustadz, Kyai, Pandita, Bikkhu, Empu, Resi,

Biarawan, Pastor, Uskup, Pendeta, Rabi, dan sebagainya. Dzat

memastikan peran-peran itu terzhahir, tanpa ada yang bisa

menghalang-halanginya. Mereka akan terlahir, berpengetahu-

an, beribadah, berdakwah, dan berperilaku sesuai dengan

agamanya masing-masing pula. Tidak ada yang bisa meno-

laknya. Tidak ada masalah antara kita dengan mereka, karena

mereka juga sedang menjalankan taqdir mereka, seperti kita

juga sedang menjalankan taqdir kita.

Adakalanya mereka bisa membenci kita, atau mereka bisa

berbuat makar kepada kita, atau mereka bisa menyakiti kita,

atau bahkan bisa memerangi kita. Itupun mereka lakukan

karena sudah dituliskan untuk terjadi. Kita melawan atau

tidakpun sudah dituliskan pula dengan lengkap. Dzat akan

memastikan apa-apa yang sudah dituliskan itu untuk terjadi.

313

Jadi, peperangan di Palestine, di Labanon, di Irak,

fenomena ISIS, kegaduhan umat beragama di

Myanmar, dan lain-lain, semuanya itu memang

sudah seharusnya saja terjadi. Karena semua itu

sudah ditulis di Lauhul Mahfuz untuk terjadi. Dzat

akan memastikan semua itu untuk terjadi.

Masalahnya bagi kita adalah,

. . . apakah kita dalam melihat semua pergolakan

itu kita sudah ditaqdirkan atau belum oleh Allah

untuk bisa menerimanya dengan sikap yang

seharusnya ?

Sikap bermakrifatullah. Sikap Fana, sikap tidak mengaku-

ngaku. Kalau sudah, maka kita akan diam, tidak bergaduh, dan

tidak bergeming melihat Dzat yang sedang bermain-main. Kita

hanya akan berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. What will

be will be.

Akan tetapi kalau belum, maka kita akan protes, akan geram,

bahkan akan melaknat pihak-pihak yag tidak kita sukai. Kita

sendiri juga tidak tahu, entah apa hak kita untuk bisa melak-

nat-laknat seperti itu. Tiba-tiba saja kita berbuat seperti itu

tanpa kita bisa melawannya. Dan karena kita sudah ditaq-

dirkan untuk merasa masih ada, maka kitapun akan mera-

314

sakan rasa sakit akibat dari keberadaan kita itu.

Di dalam sebuah perusahaan, tidak ada pula yang bisa meno-

lak bahwa memang ada orang yang sudah ditaqdirkan untuk

menjadi Direktur, GM, Manager, ataupun operator. Seseorang

yang menjadi Direktur bukanlah karena kehebatannya sehing-

ga dia bisa menjadi Direktur. Begitu juga yang menjadi opera-

tor bukanlah karena kebodohannya sehingga ia hanya bisa

menjadi operator. Tidak begitu. Tapi Dzatlah yang memastikan

bahwa seseorang harus menjadi Direktur atau Operator sesuai

dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Allah untuknya di

Lauhul Mahfuz.

Begitu juga, siapapun yang sakit, yang menderita, yang

dirawat di rumah sakit, bahkan bagi yang sampai meninggal,

semuanya juga tidak ada hubungannya dengan sial atau ti-

daknya kita. Semua sudah dituliskan dan ditetapkan sejak Fir-

man Kun di dalam Kitab Yang Sangat Sempurna. Dzat memas-

tikan apa-apa yang kita alami itu Tidak meleset sedikitpun dari

KETETAPAN yang telah ditulikan untuk kita lalui.

Kalau kita ataupun ada saudara kita meninggal, maka itu sebe-

narnya hanyalah peristiwa kembalinya Sifat menjadi Hakekat

saja. Dari Ciptaan kembali menjadi Dzat. Dari Dzat Yang Dzahir

kembali menjadi Dzat Yang Bathin. Tidak ada urusannya

dengan kita. Karena kita sebenarnya memang tidak wujud.

Yang wujud adalah Dzat.

315

Dan Allah bermain-main dengan

sedikit dari Dzat-Nya sesuka-Nya.

Kalau suatu saat rumah kita dirusak orang atau harta kita

dicuri oleh orang lain, maka yang melakukan perusakan atau

pencurian itupun hanyalah penzhahiran Dzat yang memang

sudah ditakdirkan untuk merusak atau mencuri. Beda kita

dengan si perusak atau si pencuri itupun hanyalah dalam hal

KETETAPAN yang harus kita dan dia jalani. Kita sudah

ditakdirkan sebagai orang yang dirusak atau dicuri dan dia

sudah ditetapkan pula sebagai orang yang merusak atau

mencuri. Kita masing-masing tidak bisa menghindar dari

ketetapan itu. Dzat yang ada pada diri kita dan Dzat yang ada

pada diri si perusak atau si pencuri akan memastikan semua

itu akan terjadi.

Oleh sebab itu,

. . . apapun tindakan orang lain terhadap kita,

apakah itu menyenangkan kita, membahagiakan

kita, ataupun menyakitkan kita, membuat kita

menderita dan tersiksa, dalam pandangan

kacamata makrifatullah, itu semua adalah karena

memang itu sudah seharusnya terjadi.

Karena itu sudah dituliskan untuk kita hadapi tepat pada

316

waktunya. Dzat memastikan itu akan terjadi pada kita.

Kalau pandangan mata hati kita sudah tajam seperti ini, saat

kita melihat atau mengalami bencana apapun juga, kita tidak

akan merasa menjadi korban lagi, kita tidak akan merasa jadi

orang yang teraniaya lagi. Bagaimana kita akan merasa

menjadi korban dan merasa teraniaya, wong kita sudah tidak

wujud. Sebab ternyata yang terlibat dan yang terkena bencana

itu semata-mata adalah Dzat saja. Allah sedang bermain-main

dengan sedikit dari Dzat-Nya.

Akan tetapi kalau kita merasa dan mengaku wujud, maka saat

itulah kita akan mulai bermasalah. Kita akan merasa menjadi

korban, kita merasa menjadi objek penderita, sehingga kita-

pun akan protes ke mana-mana, termasuk kepada Allah. Kita

akan memberontak. Kita tidak akan menerima. Kita akan ba-

nyak berkata tentang: kenapa, andai kata, seharusnya, kok be-

gitu, duh kasihan, dan kata-kata lainnya yang menggambarkan

ketidakmenerimaan kita terhadap apa-apa yamh kita alami.

Dan untuk ketidakmenerimaan kita inilah yang disebutkan

oleh Allah sebagai SIKSAAN buat kita.

Nah, ketetapan-ketetapan inilah yang disebut sebagai TAKDIR

yang akan dijalani oleh setiap ciptaan. Takdir itulah yang akan

membawa Dzat menjalankan peranannya. Sedangkan Dzat

memastikan Takdir itu untuk Terlaksana.

Lalu bagaimana hubungan takdir ini dengan ayat:

• “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu

317

kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka

sendiri.”, QS. Ar-Ra’du (13): 11.

• “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya

akan Kuperke-nankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).

Hubungan antara TAQDIR dengan ayat-ayat di atas sebenar-

nya sudah menjadi sangat sederhana sekali. Bahwa yang harus

kita UBAH itu ternyata hanyalah PARADIGMA berpikir kita

saja. Walaupun peristiwa-peristiwa yang kita alami itu tetap

sama dan berulang-ulang dari waktu ke waktu, namun dengan

paradigma berpikir kita yang berbeda, maka kita benar-benar

akan berbeda pula dalam menyikapinya. Paradigma berpikir

itupun cuma DUA macam saja, yaitu apakah kita akan

mengaku WUJUD atau sebaliknya kita akan mengaku TIDAK

WUJUD.

• Kalau kita tidak wujud, maka kita akan bisa memandang

bahwa apapun taqdir yang datang menimpa kita, maka kita

akan bisa MENERIMA bahwa itulah yang terbaik buat kita.

Karena itu datangnya dari Allah Yang Maha Bijaksana. Lalu

Allah akan membacakan kepada kita Hikmah dari taqdir

yang kita lalui itu, dan kita bisa menggunakannya untuk

mengubah kehidupan kita kepada yang lebih baik.

• Sebaliknya, kalau kita merasa wujud, maka kita akan sering

menilai bahwa Allah TIDAK bijaksana ketika kita mengalami

taqdir yang menurut prasangka kita adalah tidak baik,

sehingga kita diluputkan oleh Allah dari membaca Hikmah

di sebalik taqdir yang sedang kita alami itu. Akhirnya kita

318

TIDAK akan mengalami perubahan apa-apa untuk bisa

hidup dalam keadaan yang lebih baik.

Agar kita bisa merasa TIDAK WUJUD,

. . . maka pandanglah segala sesuatunya, segala

kejadian dan peristiwa, dari sudut pandang Orang

Luar.

Kita seakan-akan hanyalah “orang luar” yang sedang meman-

dang Ada Yang sedang Beraktifitas, Ada Yang sedang Sibuk

mengatur-atur sedikit dari Diri-Nya sendiri untuk menciptakan

berbagai Kehidupan. Yaitu PERLAKUAN Allah terhadap Dzat-

Nya. Sehingga mulut kita mau tidak mau akan terkunci dan

tertutup rapat untuk berbicara. Kita jadi tidak sanggup untuk

berbicara dan mengaku-ngaku lagi bahwa kita ikut pula berpe-

ran dalam menentukan apa-apa yang terjadi di dalam proses

kehidupan itu. Sebab . . .

. . . ternyata kita tidak punya peran apa-apa,

karena kita memang tidak memiliki apa-apa, dan

itu karena kita bukanlah siapa-siapa.

Kita ini ternyata hanyalah sedikit-sedikit-sedikit dan sedikit

dari sedikit Dzat-Nya. Artinya, Allahlah yang telah berkenan

untuk menciptakan atau mewujudkan kita dari Dzat-Nya. Dan

Allah pulalah yang telah berkenan memberi kita kekuatan-Nya

319

melalui Dzat-Nya, Allahlah yang telah berkenan memberikan

kita penglihatan-Nya melalui Dzat-Nya, Allahlah yang telah

berkenan memberikan kita pendengaran-Nya melalui Dzat-

Nya, Allahlah yang memberikan kita pikiran-Nya melalui Dzat-

Nya, Allahlah yang memberikan kita perasaan-Nya melalui

Dzat-Nya, Allahlah yang telah berkenan memberikan kita

kehidupan-Nya melalui Dzat-Nya.

Ya, Semuanya hanyalah karena perkenan Allah belaka melalui

Dzat-Nya. Dan dari Dzat-Nya itulah semuanya akan terzhahir,

termasuk melalui diri kita masing-masing sesuai dengan apa-

apa yang telah Ditetapkan-Nya untuk kita.

Dengan begitu, maka kita akan menjadi sangat jelas melihat

bahwa . . .

. . . pemain atau seniman yang sedang bermain

hanyalah SATU, yaitu Dzat.

Sehingga memang sudah sepantasnyalah kita untuk sering-

sering berkata: Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, dari Dzat

kembali kepada Dzat; laa haula wala quwwataa illa billah,

hanya Dzatlah yang kuat. Dan itu kita lakukan TANPA kita me-

rasa telah menjadi Allah. Kita akan terhindar dari Paham Wah-

datul Wujud. Sebab kita tetap hanyalah semata-mata Sang

Fana saja. Tidak Wujud. Sehingga kita bisa DETACH, terpisah,

terlepas dari segala permasalahan, termasuk permasalahan

dengan diri kita sendiri.

320

Dan inilah sebenarnya makna atau maksud hakiki dari perja-

lanan Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Saw yang tidak banyak dike-

tahui oleh Umat Islam. Di dalam proses itulah akhirnya Allah-

pun berkenan menurunkan Syariat Shalat untuk Orang-orang

YANG BERIMAN, yang tujuannya adalah agar supaya kita bisa

MERASAKAN bagaimana rasanya menjadi seorang Hamba

Allah. Hamba yang bisa merasakan bahwa di dalam shalat itu,

Allah sendirilah sebenarnya yang sedang menggerakkan Dzat-

Nya untuk menyembah dan memuja Diri-Nya sendiri, yang

penzhahirannya adalah dalam bentuk PERGERAKAN milyaran

umat manusia yang bergelombang-gelombang mendirikan

shalat di setiap pelosok bumi.

Lihatlah dengan memakai kacamata makrifatullah.

Allahu akbar.

Allahu akbar.

Allahu akbar.

Maka yang sebenarnya terjadi adalah sedikit dari Dzat Allahlah

yang sedang DIGERAKKAN oleh Allah untuk membesarkan Diri-

Nya Sendiri. Dzat Allah lah yang sedang membesarkan Allah.

Dan itu akan berdampak sangat hebat sekali terhadap

keimanan kita kepada Allah. Sebab kadangkala, sebagai hasil

dari kita melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah sunnah yang

lainnya,

• Allah akan berkenan mengenalkan Diri-Nya kepada kita

321

bahwa Dia adalah AL JALAL (Maha Indah, Maha Bagus dan

Maha Sempurna), dan

• kadangkala Dia mengenalkan Diri-Nya kepada kita sebagai

AL JAMAL (Maha Perkasa).

Dan keadaan itu sangatlah mengharu birukan perasaan kita.

Kita jadi harap-harap cemas. Karena Allah mengenalkan dan

memberitahukan Siapa diri-Nya itu secara bergelombang,

mengalun, dan silih berganti. Bahkan kadangkala Allah juga

tidak memberikan kita rasa apa-apa, sehingga kita merasa

tercekat. Sungguh terasa sekali hidupnya interaksi kita dengan

Allah. Sehingga kita tidak ingin melupakan-Nya barang se-

saatpun. Dzikrullah.

Akan tetapi,

. . . kalau kita memandangnya dari sisi kita, dari

sudut pandang kita sendiri, artinya kita merasa

bahwa kita adalah wujud, maka kitalah yang

terlihat sedang membacanya.

Kitalah yang seakan-akan sedang membesarkan Allah. Dan,

pastilah Kemahabesaran Allah tidak akan sama dengan apa

yang kita kira. Inilah yang menyebabkan ucapan kita itu

seperti tidak ada pengaruh apa-apa terhadap keimanan kita

kepada Allah. Hambar, garing, kering, dan tidak berkesan apa-

apa.

322

Sebab, kalau kita mengaku wujud, maka kita akan menjadi

sibuk sekali menjaga kewujudan kita. Tiba-tiba kita akan se-

gera saja merasa memiliki. Kalau kita sudah merasa memiliki,

maka kita akan mati-matian untuk menjaga milik kita itu agar

jangan hilang dari tangan kita, agar milik kita itu tidak di

ganggu oleh orang lain.

Kalau kita bisa mempertahankan milik kita, maka kita akan

merasa sebagai si pemenang. Kita akan merasa bangga, se-

nang, dan berbunga-bunga. Kita akan pamer tentang kekuatan

dan keberhasilan kita itu kepada orang lain dengan harapan

akan ada orang lain yang memuji-muji kita. Semakin banyak

orang yang memuji kita, maka kita akan semakin merasa besar

kepala dan merasa hebat. Kalau tidak ada yang memuji kita,

bahkan sebaliknya ada yang mencela kita, maka kita akan

marah dan benci kepadanya.

Akan tetapi kalau kita tidak berhasil mempertahan milik kita,

maka kita akan merasa menjadi korban, menjadi orang yang

dizalimi, menjadi orang yang teraniaya. Dan kita akan pergi ke

mana-mana mencerita-ceritakan keteraniayaan kita itu

dengan harapan agar ada orang yang bersimpati kepada kita.

Kalau tidak ada yang simpati, maka kita semakin merasa tidak

berharga, merasa menjadi orang yang tidak berguna. Kita akan

duduk di dalam ruang penyiksaan.

Kalau kita merasa WUJUD, maka ada tiga hal yang bisa kita

lakukan.

323

• Kita akan berpaham QADARIYAH, di mana kita merasa

berkuasa untuk mengubah taqdir kita.

• Atau berpaham JABARIYAH, di mana kita berasa tidak kuasa

mengubah taqdir kita.

• Atau menjadi berpaham ASY’ARIYAH, di mana kita kadang-

kadang merasa bisa mengubah taqdir kita, kadang-kadang

kita merasa tidak bisa mengubah taqdir kita. Ibarat dalam

permainan JUNGKAT-JUNGKIT, Qadariyah berada pada

ujung yang satu, sedangkan Jabariyah berada pada ujung

yang kedua, dan Asy’ariyah berada pada titik tumpuan di

tengah-tengahnya. Enaknya kalau kita berpaham Asy’ariyah

adalah, sesekali kita bisa berpaham Qadariyah, dan sekali-

sekali kita bisa pula berpaham Jabariyah. Namun semuanya

itu ada rasa enak dan tak enaknya yang datang silih

berganti.

Akan tetapi kalau kita sudah TIDAK WUJUD, ya selesai sudah.

Kita tidak akan bisa lagi mengaku. Kita tidak bisa mengaku

bahwa kita bisa mengubah taqdir ataupun tidak bisa. Kita ti-

dak akan mengaku memiliki. Bagaimana akan mengaku, kalau

kita tidak wujud. Kalau tidak wujud, maka tidak ada milik.

Kalau tidak ada milik maka tidak akan ada pula

beban untuk mempertahankan milik kita itu.

Kalau tidak ada beban,

324

maka tidak akan ada pula masalah-masalah.

Walaupun kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang se-

berat apapun juga, walaupun pada kenyataannya rasa sakit-

nya sampai menusuk tajam di ulu hati kita, dan air mata kita

jatuh bercucuran menahan sakit dan pedih itu, namun kita

tetap hanya akan diam.

Kita hanya AKAN DIAM. Mulut kita akan terkunci

rapat, lidah kita menjadi bisu dan kelu. Bahkan

kita hanya akan TERSENYUM dengan senyuman

Makrifatullah.

Sebab sebenarnya itu tidak ada urusan apa-apa dengan kita,

wong semuanya itu hanyalah permainan Allah dengan Dzat-

Nya sendiri. Kita sudah tidak ada, FANA.

Pantas saja Syeihk Abdul Qadir Jilani pernah berkata: “Pada

hakekatnya tidak ada pelaku atau penggerak atau yang men-

diamkan kecuali Allah SWT. Tidak ada baik dan tidak ada jahat,

tidak ada rugi, tidak ada untung dan tidak ada faedah, tidak

ada anugerah dan tidak ada sekatan, tidak terbuka dan tidak

tertutup, tidak ada mati dan tidak ada hidup, tidak ada mulia

dan tidak ada hina, tidak ada kaya dan tidak ada kaya, bahkan

segala-galanya adalah di dalam tangan Allah”, Futh Gaib

(1990).

325

Semuanya adalah perbuatan Allah terhadap sedikit dari Dzat-

Nya. Dan itupun tidak terbatas hanya pada diri kita saja.

Benda-benda, binatang, tumbuhan, batu, pasir, meja kursi,

dinding rumah, mobil, motor, HP, dan sebagainya, semuanya

itu sebenarnya juga adalah penzhahiran dari Dzat-Nya yang

sedikit.

Nah, sekarang kita tinggal melihat saja tentang taqdir yang

mana yang sedang kita jalani saat ini.

Apakah kita sedang di taqdirkan oleh Allah untuk

merasa Wujud, atau sedang ditaqdirkan untuk

merasa Tidak Wujud. Dan sedang mengarah ke

mana pula kita dituntun oleh Allah saat ini.

Apakah kita sedang di tahan Allah untuk tetap

menjadi Wujud, atau kita sudah dituntun Allah

mengarah untuk menjadi Tidak Wujud.

Makanya ketika kita berpakaian IHRAM, kita dilarang untuk

bergunjing, berkata kotor, bertengkar, membunuh binatang,

mematahkan ranting pohon, dan perbuatan tidak terpuji

lainnya. Subhanallah, inilah ternyata makna rahasia dari

larangan-larangan ketika kita berpakaian IHRAM. Bahwa :

. . . semua yang ada di sekeliling kita ternyata

hakekatnya adalah Dzat semata-mata.

326

Sehingga tidak ada hak kita untuk berlaku tidak

baik kepada apapun dan siapapun juga.

Suatu saat saya pernah memraktekkan pengajaran Sang Arif

Billah untuk berkata-kata dengan rumah, kursi, pintu, tum-

buhan, pohon, dan binatang yang bertemu di jalan, bahkan

sampai kepada mobil dan kendaraan. Mata saya melihat

benda-benda itu, hati saya mengingat Allah, mata hati saya

melihat Dzat di sebalik semua benda-benda itu, dan lidah saya

mengucapkan salam kepada mereka, saya mengucapkan teri-

ma kasih kepada mereka. Dan rasanya saya seperti sedang

berjalan dan bersahabat dengan mereka semua. Aneh sekali

memang. Terasa sekali bahwa saya dengan mereka hake-

katnya sama saja, yaitu bagian dari Dzat Allah yang sedikit.

Nah, berubah atau tidaknya PARADIGMA kita itupun sebenar-

nya sudah ditetapkan sejak dari Firman KUN untuk kita lalui

tepat pada waktunya. Namun, adakalanya dengan keterangan

seperti apapun juga, paradigma kita tidak akan berubah sedi-

kitpun dari paradigma lama yang telah kita anut. Akan tetapi

adakalanya hanya dengan sebab yang sangat sederhana, tiba-

tiba saja paradigma kita sudah berubah saja dengan cara yang

sangat mencengangkan.

Begitu juga dengan do’a-do’a yang kita sampaikan kepada

Allah. Semuanya sudah dituliskan sejak Firman Kun. Kapan

wak-tunya kita akan berdo’a, masalah apa yang sedang kita

hadapi, kalimat-kalimat apa yang akan kita ucapkan di dalam

327

do’a itu, apakah kita akan menangis atau tidak di dalam

berdo’a itu, dan bagaimana pula hasil dari do’a-do’a kita itu,

semuanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. Dzat yang berada

di dalam diri kita, di lidah kita, di pita suara kita, di dalam otak

kita, di nafas kita akan memastikan bahwa do’a itu akan kita

ucapkan sesuai dengan waktu dan apa-apa yang sudah DI-

TETAPKAN.

Sebaliknya kalau kita sudah ditetapkan oleh Allah untuk tidak

berdo’a, maka tidak akan ada sepatah do’apun yang akan ter-

ucap dari lidah kita. Seberat apapun masalah kita, tidak ada

sebutir bibit pikiranpun muncul di dalam pikiran kita untuk

berdo’a. Walaupun sudah ada orang lain yang menyuruh kita

untuk berdo’a, kalau tidak ada ketetapan Allah bahwa kita

akan berdo’a, maka Dzat akan memastikan kita untuk tidak

berdo’a.

Jadi dari sudut pandang dengan menggunakan kacamata

makrifatullah ini,

. . . kita ini benar-benar sudah tidak wujud. FANA.

Yang Wujud adalah Sang Wajibul Wujud, yaitu Dzat. Kita su-

dah meninggalkan alam SIFAT-SIFAT untuk kemudian duduk di

dalam alam HAKEKAT.

Al-Qamar (54/49).

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut

328

takdir.”

“Setiap orang akan dimudahkan kepada sesuatu yang dia

telah ditakdirkan untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sekarang terpulanglah kepada taqdir kita masing-masing, se-

dang di mana kita saat ini “didudukkan” oleh Allah untuk ber-

iman kepada Rukun Iman yang ke-enam ini. Percaya kepada

TAQDIR BAIK dan BURUK, yang keduanya berasal dari ALLAH.

Sebab beriman kepada rukun iman yang ke-enam inilah salah

satu SYARAT UTAMA agar kita bisa mendapatkan IHLAM TAQ-

WA dari Allah. Kalau tidak, maka kita akan selalu saja diberi-

kan ILHAM FUJUR oleh Allah.

Sampai di sini, pembahasan tentang Sang Wajibul Wujud dan

Sang Fana ini sudah pantas pula untuk kita akhiri. Semoga kita-

pun bisa memahami tentang Taqdir ini dengan lebih baik dari

sebelum-sebelumnya. Sekarang kita hanya tinggal untuk

ISTIQAMAH saja dalam menyikapinya dalam aktifitas Dzi-

krullah.

Ketika MATA kita melihat SIFAT dalam bentuk semua Ciptaan,

MATA HATI bisa melihat kepada HAKEKAT dari semua ciptaan,

yaitu Dzat, lalu HATI kita pertahankan untuk tetap BERMAK-

RIFAT dan mengingati Allah. Dari SIFAT kita ke HAKEKAT untuk

kemudian BERMAKRIFAT.

Lalu setelah itu kita tinggal menjalankan

329

SYARIAT dan KEHIDUPAN tanpa kita terlalu

terpengaruh lagi dengan segala permasalahan

yang menghadang di depan mata kita.

Masalah tetap ada dan muncul silih berganti menimpa kita.

Namun karena kita sudah tidak ada, maka masalah itu malah

seperti mengantarkan dan mengangkat kita ketempat yang

sangat mencengangkan. Di mana proses itu bisa kita lakukan

tanpa proses yang bertele-tele dan tanpa memakan waktu

bertahun-tahun pula, seperti kalau kita memasukinya melalui

pintu praktek-praktek TAREKAT.

Kita juga tidak perlu untuk menghindar dari kehidupan dunia

ini seperti dalam dunia kerahiban. Kita tidak perlu untuk hidup

di puncak-puncak gunung, di goa-goa, atau ditempat-tempat

sunyi dan terpencil dari peradaban. Kita tidak perlu untuk me-

nyiksa-nyiksa FISIK kita terlebih dahulu dalam bentuk latihan-

latihan yang akan menguras ketahanan fisik, mental, dan pikir-

an kita.

Kita bisa melakukannya sebagai orang biasa-biasa saja. Kita

bisa hidup seperti orang biasa. Kita bisa bertindak seperti

orang biasa. Kita bisa bekerja seperti orang biasa. Namun dari

tangan kita bisa bermunculan hal-hal yang akan berguna bagi

kita dalam menjalani kehidupan di zaman kita saat ini, atau

untuk anak cucu kita kelak.

Insyaallah pada kesempatan berikutnya, kita akan membahas

330

tentang: kalau kita ini sebenarnya adalah sang Fana, apa donk

tugas kita sampai-sampai Allah berkenan mengutus kita ke

muka bumi ini. Insyaallah kita akan masuk lebih dalam kepada

pembahasan tentang “Innalillahi wa inna ilahi raaji’uun”, atau

pembahasan tentang “Alam Ilmu”, atau tentang “Alam

Kekhalifahan.” Subhanallah, entah yang mana dulu yang akan

kita bahas. Semuanya begitu menarik, dan pintu-pintunya

sedang DIBUKAKAN oleh Allah untuk kita masuki.

Semoga Allah terus berkenan untuk memberikan kepahaman

kepada kita bersama.

Akhirul kalam.

Asyhadualla ilahaillallah, wa asyhaduanna Muhammadan

Rasulullah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.

Wallahu a’lam.

Selesai.