bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tentang putusan...

41
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan Mahkamah Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the

Upload: others

Post on 16-Feb-2020

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman

diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan

Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga

peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam

lingkup wewenang yang dimiliki.

Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang

dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan

pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar

belakang ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan

Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai

pengawal konstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir final konstitusi

(the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the

18

protector of human right), pelindung hak konstitusional warga negara (the

protector of the citizen’s constitutional right), dan pelindung demokrasi (the

protector of democracy).18

Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang

untuk:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Kemudian dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, diatur secara khusus wewenang dari Mahkamah

Konstitusi sebagai berikut :

1) Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD NRI 1945. 3) Memutus pembubaran partai politik. 4) Memutus sengketa tentang hasil Pemilu. 5) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

18Ayu Desiana. 2014. Majalah Hukum Forum Akademika Volume 25 Nomor 1 : Analisis

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal. 50.

19

Jika dilihat dari ketentuan Pasal diatas maka kewenangan yang

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tidak jauh berbeda dengan kewenangan

yang telah diperintahkan dalam UUD NRI 1945, namun dalam ketentuan

Pasal diatas kewajiban Mahkamah Konstitusi dijelaskan secara lebih rinci,

dimana Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memberi putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden

diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan

tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat

negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan

dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak

kepadanya.19 Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa

yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim merupakan tindakan negara

dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD

1945 maupun undang-undang.

Pernyataan sikap atau perbuatan pejabat berwenang yang

menyelesaikan sengketa dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan

sela.20 Putusan akhir adalah satu sikap dan pernyataan pendapat yang benar-

19 M.P. Stein dalam Maruarar Siahaan. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 201. 20 Maruarar Siahaan. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jakarta. Sinar Grafika. Hal 202

20

benar telah mengakhiri suatu sengketa. Dalam persidangan dan hukum acara

Mahkamah Konstitusi, ini diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan

mengikat (final and binding). Pengertian sifat final putusan Mahkamah

Konstitusi ini adalah tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan

hukum. Sifat final (legaly binding) dalam putusan Mahkamah Konstitusi

dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengikat sebagai norma

hukum sejak diucapkan dalam persidangan. Final berarti bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi secara langsung memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan

final ini langsung berlaku mengikat, yang juga dapat diartikan bahwa semua

pihak, baik itu orang, badan publik atau lembaga negara wajib mematuhi dan

melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan.

Putusan sela adalah satu putusan yang belum mengakhiri sengketa. Di

Mahkamah Konstitusi dikenal beschikking yang disebut dengan ketetapan.

Secara umum putusan sela tidak dikenal dalam hukum acara Mahkamah

Konstitusi kecuali secara khusus disebut dalam penanganan perkara sengketa

kewenangan antara lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD

1945. Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan

“Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.

Pasal tersebut menyebut bahwa tindakan hakim untuk “menghentikan

sementara” pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sama dengan

putusan hakim, sebenarnya merujuk pada tindakan sementara yang dilakukan

21

sebelum adanya pendapat akhir yang mengakhiri sengketa. Meskipun dalam

Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebut bahwa yang

dikeluarkan Mahkamah Konstitusi berupa penetapan, maka putusan tersebut

merupakan putusan sela, yang dikeluarkan sebelum putusan akhir yang

memutus sengketa pokok (bodem gaschill).

Perkara permohonan pengujian undang-undang sama sekali tidak

mengatur hal ini. Dalam beberapa perkara, pemohon justru telah memohon

agar dikeluarkan putusan sela. Untuk menunda berlakunya satu undang-

undang tertentu karena adanya urgensi akan kepastian hukum. Mahkamah

Konstitusi selalu menolak permohonan demikian dengan mendasarkan pada

Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa :

“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”

Pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi jelas melarang putusan

provisi dalam permohonan pengujian undang-undang karena jika benar

bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang tersebut baru dapat

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan

Mahkamah Kontitusi, dan tidak dapat dilakukan sebelum adanya putusan

akhir dimaksud.

Selain kedua jenis putusan di atas, putusan Mahkamah Konstitusi

dapat dibedakan berdasarkan jenis amar putusannya, antara lain putusan yang

bersifat declaratoir, constitutief, dan condemnatoir.21 Putusan declaratoir

21 Ibid. Hal 205

22

adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan

hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu

putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalam hal ini menyatakan tuntutan

atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta yang

ada.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-

undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam amarnya. Pasal 56 ayat (3)

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945”

Dalam hal ini, dengan tegas hakim akan menyatakan dalam amar

putusannya bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-

undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan tersebut

hanyalah declaratoir dan tidak mengandung unsur penghukuman atau amar

yang bersifat condemnatoir. Akan tetapi, setiap putusan yang berifat

declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau

padal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief.

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan

hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Menyatakan satu

undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena

bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang

timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

23

hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan

hukum baru.

Satu putusan dikatakan condemnatoir jika putusan tersebut berisi

penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi.

Hal itu timbul karena adanya perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau

undang-undang, misalnya untuk membayar sejumlah uang atau melakukan

atau tidak melakukan satu perbuatan tertentu. Akibat dari satu putusan

condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk

meminta tindakan eksekutorial terhadap tergugat/termohon.

3. Landasan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi pernyataan hakim

sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh UUD 1945 atau undang-

undang untuk memutuskan sengketa yang diajukan oleh para pemohon yang

merasakan hak-hak kosntitusionalnya dirugikan akibat berlakunya suatu

undang-undang. Jika pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan

putusannya berkenaaan dengan pengujian undang-undang, landasan

putusannya harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi berbunyi

1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

24

4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.

5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.

7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.

10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Ketentuan dalam Pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi merupakan hal

fundamental yang dipandang sebagai instrumen penuntun bagi hakim

konstitusi yang akan memberikan putusan untuk mengakhiri suatu sengketa.22

Landasan hukum pengambilan keputusan terhadap pengajuan undang-

undang secara teknis yuridis telah diatur. Aspek filosofisnya pun dapat

dipahami oleh para hakim konstitusi, bahwa hak-hak konstitusional pemohon

yang merasa dirugikan dapat terpulihkan jika para hakim tidak memiliki

persepsi dengan pemohon dalam merujuk sumber-sumber hukum yang

menjadi dasar putusannya.

22 Iriyanto A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi). Bandung. Alumni. Hal. 195.

25

4. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam sidang

pleno terbuka untuk umum secara yuridis mempunyai kekuatan mengikat,

kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Ketiga kekuatan putusan ini

sudah lama dikenal dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya23. Meskipun

demikian, kekuatan-kekuatan putusan ini pun diterapkan dalam Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yang dimohonkan.24

Berikut adalah uraian mengenai ketiga kekuatan putusan tersebut :

a. Kekuatan Mengikat

Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD

1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dinyatakan pula dalam Pasal 47

yang menyebutkan

“Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

Berdasarkan ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi tersebut,

berarti tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh atau dimanfaatkan

oleh para pemohon untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi, jika

putusan itu tidak sesuai dengan permohonannya. Secara teknis yuridis,

para pemohon atau pihak-pihak dalam perkara permohonan pengujian

undang-undang terikat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

23 Ibid. Hal. 196. 24 Ibid.

26

Putusan sebagai perbuatan hukum pejabat negara menyebabkan

pihak-pihak dalam perkara terikat pada putusan dimaksud yang telah

menetapkan apa yang menjadi hukum, baik dengan mengubah keadaan

hukum yang lama maupun sekaligus juga menciptakan keadaan hukum

yang baru. Pihak-pihak terikat pada putusan tersebut, dapat diartikan pula

bahwa akan mematuhi perubahan keadaan hukum yang diciptakan melalui

putusan tersebut dan melaksanakannya.25

Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi secara teoritis

berbeda dengan putusan pengadilan biasa. Putusan pengadilan biasa hanya

mengikat pihak-pihak berperkara sesuai dengan permohonan yang

diajukan. Sebaliknya, putusan Mahkamah Kostitusi selain mengikat para

pemohon, pemerintah dan DPR, juga semua orang, lembaga-lembaga

negara dan badan hukum dalam wilayah hukum Indonesia.

b. Kekuatan Pembuktian

Ketentuan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan “Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam

undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian

kembali”. Hal ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-

undang yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat digunakan sebagai

bukti, karena sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, Mahkamah

Konstitusi secara yuridis dilarang untuk memutus perkara permohonan

yang sebelumnya telah diputus.

25 Maruarar Siahaan. Op.Cit. Hal. 214.

27

Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap

dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif,

bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar. Pembuktian

sebaliknya tidak diperkenankan.26 Bahwa apa yang telah diputus oleh

hakim harus dianggap benar (resjudicata proveritate habetur) adalah

prinsip fundamental dalam putusan Mahkamah Konstitusi menguji

undang-undang.

c. Kekutan Eksekutorial

Suatu putusan yang hanya memiliki kekuatan hukum mengikat

belum cukup dan tidak berarti apa-apa bila putusan tersebut tidak dapat

direalisir atau dieksekusi. Jadi, putusan yang memiliki kekuatan

esekutorial adalah putusan yang menetapkan secara tegas hak dan

hukumnya untuk kemudian direalisir melalui eksekusi oleh alat negara.27

Kekuatan eksekutorial ini sudah lazim dalam praktik pengadilan biasa di

tanah air.

Sebaliknya, kekuatan eksekutorial putusan Mahkamah Konstitusi

dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman yang termuat dalam

berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak putusan itu

diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.28 Tidak dibutuhkan

adanya aparat khusus yang melaksanakan (mengeksekusi) putusan, karena

sifat putusannya adalah declaratoir.29

26 Ibid. Hal 215. 27 M.Nasir. 2003. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Djambatan. Hal. 194. 28 Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 29 Maruarar Siahaan. Op. Cit. Hal. 213.

28

Merujuk Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi,

dapat digarisbawahi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka

untuk umum, sedangkan kekuatan eksekutorialnya sejak dimuat dalam

Berita Negara Republik Indonesia.

5. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang secara

teknis yuridis bersifat declaratoir-constitutif. Artinya putusan Mahkamah

Konstitusi selain menyatakan atau menerangkan sesuatu yang menjadi hukum,

sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan

Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang, meski membawa

akibat hukum tertentu, tetapi ketentuan Pasal 58 UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan

“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945”

Jika pemerintah atau lembaga negara tidak mematuhi putusan

Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap memberlakukan undang-undang yang telah

dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat, hal itu merupakan perbuatan melawan hukum yang pengawasannya

ada dalam mekanisme hukum tata negara.30

30 Ibid.

29

B. Tinjauan Tentang Kepastian Hukum

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.31

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai

bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum

adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa

memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang

dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum

tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan

hukum tanpa diskriminasi.32 Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat

dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai

pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu

tujuan dari hukum.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto

sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum

dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :

31Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Hal. 23. 32Moh. Mahfud MD. Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.

Mahkamah Konstitusi Jakarta. 8 Januari 2009.

30

1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan

bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian

hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.

Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang

sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan

antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa

hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya

dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.33 Walaupun kepastian hukum erat

kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum

bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan

keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya

sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam

memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu

33 Sudikno Mertokusumo. 2007. Mengenal Hukum Suau Pengantar. Yogyakarta. Liberty.

Hal. 160.

31

mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan

negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.34

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya

kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya The Morality Of Law (1971 : 54-58)

mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak

terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan

kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai

berikut :

1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan; 7) Tidak boleh sering diubah-ubah; 8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian

dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan

multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum

harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga

siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu

dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber

34 Fernando M. Manulang. 2007. Hukum Dalam Kepastian. Bandung. Prakarsa. Hal. 95.

32

keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang

mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban

setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.

C. Tinjauan Tentang Hukuman Mati Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

1. Definisi Hukuman Mati

Kata “hukuman mati” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

berasal dari kata “hukum” dan “mati”. Hukum adalah peraturan yang dibuat

oleh suatu kekuasaan atau adat istiadat yang dianggap berlaku bagi banyak

orang dalam masyarakat. Maka hukuman adalah sebuah sanksi yang diberikan

kepada seseorang yang melanggar undang-undang. Sedangkan kata “mati”

mempunyai arti kehilangan nyawa. Dengan demikian, arti hukuman mati

adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh pengadilan

resmi negara, atas dasar tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh

terpidana.35

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan

pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang

dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.36 Pengertian hukuman mati

berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang

35 W.J.S.Poerwodarminta. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 750.

36 E. Utrecht. 1968. Hukum Pidana I. Bandung. Penerbitan Universitas. Hal. 107.

33

dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

2. Hukuman Mati dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati sebagai salah satu jenis

pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang

dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat, antara lain sebagai berikut:

a. Pasal 104 : makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden;

b. Pasal 111 ayat (2) : membujuk negara asing untuk bermusuhan atau

berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi

perang;

c. Pasal 124 ayat (3) : membantu musuh pada waktu perang;

d. Pasal 140 ayat (3) : makar terhadap raja atau kepala negara-negara

sahabat yang direncanakan dan berakibat maut;

e. Pasal 340 : pembunuhan berencana (moord; murder);

f. Pasal 365 ayat (4) : pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan

luka berat atau mati;

g. Pasal 368 ayat (2) : pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan

luka berat atau mati;

h. Pasal 444 : pembajakan di laut, pesisir, dan sungai yang

mengakibatkan kematian.

34

Selanjutnya, dalam beberapa peraturan di luar KUHP juga terdapat

ketentuan pidana yang memberikan ancaman pidana mati bagi pelanggarnya,

antara lain:

a. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Prp Tahun 1959 tentang memperberat

ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.

b. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang

Senjata Api, Amunisi atau Bahan Peledak.

c. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan

Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

d. Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, terkait dengan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau

menerima Narkotika Golongan I.

e. Pasal 269 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika perbuatan terorisme

tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan

matinya orang.

3. Proses Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia

Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dalam pasal 11

KUHP, yaitu dengan cara menggantung terpidana oleh seorang algojo namun

setelah dikeluarkannya UU No.2/Pnps/1964 (Penpres Nomor 2 Tahun 1964

yang ditetapkan menjadi UU Nomor 5 Tahun 1969) maka hal itu sudah tidak

dilaksanakan. Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1969 menyebutkan bahwa

35

pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan lingkungan

peradilan umum dan militer dilakukan dengan ditembak mati. Jika tidak

ditentukan lain oleh Mentri Kehakiman, maka pidana mati dilaksanakan di

suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan

dalam tingkat pertama (pasal 2 ayat (1)).37 Dalam kaitannya pelaksanaan

pidana mati ini maka ada beberapa ketentuan yang diatur dalam penjelasan

pasal 11 KUHP yaitu :

a. Setelah mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu, Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya.

b. Bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab dan pembela/pengacara terhukum atas permintaannya sendiri atau atas permintaannya terhukum, Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu.

c. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan hukuman mati, terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakannya hukuman mati itu oleh Jaksa Tinggi/Jaksa, dan kepadanya diberitahukan kesempatan untuk mengemukakan suatu keterangan atau pesan-pesan hari terakhir. Apabila seorang wanita hamil maka pelaksanaannya harus dilakukan setelah 40 hari melahirkan.

d. Untuk pelaksaan pidana mati itu Kepala Kepolisian Komisariat tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Bridge Mobile, terdiri dari seorang Bintara dan 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira

e. Kecuali apabila presiden menetapkan lain, pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana mungkin. 38

4. Definisi Hak Asasi Manusia

Istilah HAM merupakan terjemahan dari Droits de L’homme

(Perancis), Human Rights (Inggris), dan mensekelije rechten (Belanda). Di

Indonesia, hak asasi lebih dikenal dengan istilah hak-hak asasi atau juga dapat

37 Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 313.

38 R. Sugandhi. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya. Usaha Nasional. Hal. 15.

36

disebut sebagai hak fundamental. Istilah hak asasi lahir secara monumental

sejak terjadinya revolusi Perancis pada tahun 1789 dalam “Declaration des

Droits de L’hommeet du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara

Perancis),dengan semboyan Liberte (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan) dan

Fraternite (Persaudaraan).

Hak asasi dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki

setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir oleh

karena itu HAM merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap

manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. HAM adalah hak-hak yang

dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya

bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum

positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.39

Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap

mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut.

Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable).

Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau

betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi

manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain,

hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.

HAM merupakan hak yang melekat pada manusia secara kodrati.

Pengakuan terhadap HAM lahir dari adanya keyakinan bahwa semua manusia

39 Jack Donnely. 2003. Universal Human Rights in Theory and Practice. Cornell University Press. Ithaca and London. Hal. 7-21.

37

dilahirkan dalam keadaan bebas dan dengan manusia yang lainnya. Selain itu,

manusia diciptakan dengan disertai akal dan hati nurani, sehingga manusia

dalam memperlakukan manusia yang lainnya harus secara baik dan beradab.

Bagi orang yang beragama dan meyakini bahwa manusia adalah

anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi adalah hak yang melekat

pada diri manusia dan merupakan hak yang diberikan sebagai anugerah

Tuhan. Karena semua HAM itu diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada yang

boleh mencabut dan menghilangkan selain Tuhan. Sehingga hak asasi itu perlu

mendapatkan perlindungan dan jaminan oleh negara atau pemerintah, dan bagi

siapa saja yang melanggarnya maka harus mendapatkan sanksi yang tegas

tanpa kecuali.

Ada beberapa hak yang tidak dapat dicabut seperti hak untuk hidup,

hak untuk memiliki kebebasan dalam berbicara dan berpendapat, hak untuk

mendapatkan kebebasan dalam memilih agama sesuai dengan keyakinanya,

hak mendapatkan kebebasan untuk berserikat, hak untuk mendapatkan

perlindungan yang sama dihadapan hukum dan masih banyak lagi.

Hak atas hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan

merupakan contoh dari beberapa hak yang diakui secara universal di dunia.

Tidak seorang pun boleh diperbudak, diperdagangkan, disiksa, diperlakukan

secara tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia.

Di Indonesia, pengertian HAM ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM :

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

38

Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.40

Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

menunjukan nilai normatifnya HAM sebagai hak yang fundamental.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 DUHAM “semua manusia dilahirkan

bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati

nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan”.

Di dalam Pasal 55 piagam PBB (charter of the United nations) menjelaskan

bahwa adanya piagam ini adalah untuk memajukan penghormatan HAM dari

seluruh manusia di dunia termasuk kebebasan-kebebasan dasar bagi semua,

tanpa adanya pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Dari bunyi

undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban dari setiap

individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut dengan

tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban

sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan

tegaknya perlindungan terhadap HAM.

5. Hak Asasi Manusia Yang Bersifat Non Derogable Rights

Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian

dirumuskan dalam Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28 I ayat (1)

yang menyatakan sebagai berikut:

40 Undang-Undang HAM 1999

39

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.41

Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD 1945, sudah

ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia, Pasal 37 yang menyebutkan:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable).42

Selanjutnya Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga

menyebutkan :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.43

Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah

sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International

Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Ratifikasi konvensi

internasional hak sipil politik merupakan langkah maju pemerintah Indonesia

dalam upaya memperbaiki kinerja HAM.

Ifdhal Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan Politik,

Sebuah Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu

41 UUD 1945 42 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asai Manusia

40

hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh

negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.44

ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi

karena sangat mendasar yaitu: (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas

dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari

perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan

karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan

yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas

kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang

melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan

mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius

hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Sedangkan intinya, sesuai dengan ICCPR, the European Convention

on Human Rights dan the American Convention on Human Rights terdapat

empat hak non-derogable umum. Atau beberapa pendapat menyebut The core

of rights (hak inti) dari non derogable rights berjumlah empat. Ini adalah hak

untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak

manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari

perbudakan atau penghambaan dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif

hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai norma hukum internasional

yang harus ditaati atau jus cogens norms. Karena hak ini sangat penting

sehingga hak-hak tersebut sangat wajib untuk dilindungi oleh hukum sehingga

44 Miftakhul Huda. Nonderogable Rights Adalah Hak Asasi. http://miftakhulhuda.com.

Diakses tanggal 7 Mei 2017.

41

tidak ada seorang pun yang dapat merampas hak hidup secara sewenang-

wenang.

6. Tinjauan Pidana Mati Dalam Hukum Hak Asasi Manusia

a. Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional

Dewasa ini Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi

Umum Hak Asasi Manusia) dan International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) telah diberlakukan sebagai suatu dokumen pokok

yang mengatur pelaksanaan hak-hak asasi manusia di berbagai negara.

Kedua instrumen ini dipilih untuk dibahas karena keduanya seringkali

digunakan sebagai argumen untuk mengatakan bahwa norma-norma

hukum internasional melarang penerapan pidana mati.

Bagian dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang

terkait dengan isu pidana mati adalah Pasal 3 yang menyatakan bahwa

”Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan

pribadi”. Pasal ini seringkali dipergunakan sebagai salah satu senjata

utama untuk mengatakan bahwa pidana mati tidak mendapat tempat di

dalam hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan norma-

norma HAM. Atas dasar gagasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk

hidup, para penentang pidana kemudian mengemukakan argumen bahwa

pidana mati melanggar hak hidup orang, sehingga harus ditiadakan.

Selanjutnya, ketentuan di dalam ICCPR yang langsung berkaitan

dengan pidana mati adalah Pasal 6 yang berbunyi :

42

(1) Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.

(3) Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.

(4) Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.

(5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.

(6) Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.

Pasal 6 ICCPR ini seringkali dirujuk oleh para penentang pidana

mati. Ayat (1) dalam Pasal ini menegaskan bahwa setiap manusia

memiliki hak untuk hidup yang bersifat melekat. Pasal 6 ayat (1) ini

dianggap sebagai ketentuan mutlak yang menutup ruang bagi keberadaan

pidana mati. Namun jika dicermati, ayat-ayat selanjutnya mengemukakan

kualifikasi tentang perampasan kehidupan secara sewenang-wenang. Hal

ini berarti secara implisit pasal 6 ICCPR mengakui adanya perampasan

kehidupan yang tidak sewenang-wenang.

43

Penafsiran demikian dipertegas dalam Pasal 6 ayat (2) sampai

dengan ayat (5). Ayat (2) secara implisit dan hati-hati masih mengakui

keberadaan pidana mati diantara negara-negara. Tidak ada petunjuk bahwa

ketentuan ayat ini menyatakan bahwa pidana mati adalah ilegal. Ketentuan

yang ada hanya sekedar membatasi agar pidana mati dilakukan secara

terbatas dan seksama. Demikian pula halnya dengan ayat (3), (4) dan (5)

yang memiliki karakteristik yang sama. Ayat (6) secara samar

mengindikasikan bahwa penghapusan pidana mati merupakan sesuatu

yang favorable. Namun sama sekali tidak ada norma yang tegas melarang

pidana mati.

Hal ini sangat wajar mengingat bahwa hukum internasional bahkan

yang memiliki basis perjanjian (treaty based international law) tetaplah

merupakan bagian dari struktur koordinatif hukum internasional. Berbeda

dari hukum nasional yang memiliki struktur subordinatif terhadap

subjeknya, ada tuntutan yang lebih besar terhadap hukum internasional

ntuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan ideologi, politik, tata nilai,

sistem ekonomi serta latar belakang budaya negara-negara yang menjadi

subjeknya.

Namun, penafsiran seperti ini tidak populer diantara masyarakat

internasional. Masyarakat internasional cenderung menganggap bahwa

pidana mati adalah pelanggaran terhadap hak hidup. Kecenderungan ini

antara lain terlihat dari dibuatnya instrumen-intrumen hukum internasional

yang memuat gagasan-gagasan tersebut, seperti (a) Second Optional

44

Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights 1989;

(b) Protocols No. 6 (1982) and No. 13 (2002) to the Convention dor the

Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European

Convention on Human Rights); (c) Protocol to the American Convention

on Human Rights to Abolish the Death Penalty 1990.

b. Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pidana mati dalam hukum Indonesia bukanlah sesuatu yang asing.

Pidana mati sudah lama diterapkan di Indonesia, eksistensi hukuman mati

ini bukan karena merupakan suatu konsep dari barat. Namun masyarakat

Indonesia sendiri telah lama mengenal dan menerapkan hukuman mati

dalam hukum adat mereka. Berdasarkan sejarah, pidana mati bukanlah

bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal

sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan

memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau hukum para

raja dahulu.45

Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya

masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya

gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.46

Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam

putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, tidak bertentangan

dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini

45 R. Soesilo. 2001. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik

Khusus. Bogor. Politea. Hal. 14. 46 R. Abdoel Djamali. 2005. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta. Rajawali

Pers. Hal. 187.

45

dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak

asasi manusia.47

Pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia terdapat

dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan juga terdapat dalam UU No 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun kemudian pelaksanaan

dari hak asasi manusia yang telah diatur dalam konstitusi tidak bisa

dilaksanakan sebebas-bebasnya. UUD 1945 membatasi pelaksanaan hak

asasi tersebut melalui Pasal 28J yang berbunyi :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Selain itu ketentuan tentang pembatasan mengenai HAM juga

termuat dalam Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang berbunyi

“Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti

narkotika dan terorisme, MK berpendapat melalui Putusan Mahkamah

47 Arifin Ma’ruf. Eksistensi Pidana Mati dan Tinjauan Terhadap Konsepsi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta. Vol. 1 No. 2. Juni 2015. Hal. 292.

46

Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, Indonesia tidak melanggar perjanjian

internasional apa pun. Bahkan MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR

sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada

negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya,

MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi

internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh

Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru

mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan

penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika.

Sehingga, sebenarnya jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan

dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan

keberadaannya dalam hukum pidana.

D. Tinjauan Tentang Grasi

1. Definisi Grasi

Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin,

yaitu gratia yang berarti pengampunan. J.C.T Simorangkir memberikan

pendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi

pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk

menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman

itu.48 R. Soesilo memberikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut :

“Pemberian grasi merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara untuk membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan atau untuk merubah pidana itu menjadi

48 J.C.T Simorangkir. 2004. Kamus Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 58.

47

suatu pidana yang lebih ringan sifatnya (lebih berat tidak dimungkinkan)”49

Definisi yang diberikan oleh Utrecht yaitu “menggugurkan menjalani

hukuman atau sebagian hukuman”50. Sedangkan menurut pendapat Soetomo,

“Grasi merupakan pengampunan dari Presiden kepada terpidana”51. Hasbullah

F. Sjawie memberikan pendapat mengenai grasi sebagai berikut :

“Grasi yang sering juga disebut pengampunan adalah hak khusus atau hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dalam kedudukannya atau fungsinya sebagai Kepala Negara. Grasi adalah tindakan Presiden untuk meniadakan atau mengurangi atau merubah hukuman yang telah dijatuhkan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian grasi adalah salah satu alasan yang dapat mengakibatkan batalnya keharusan untuk melaksanakan hukuman yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana52.”

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi (UU

Grasi) memberikan defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan,

peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada

terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dalam Penjelasan UU Grasi

disebutkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis

peradilan dan tidak terikat dengan penilaian terhadap putusan hakim.

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang

yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.

49 R. Soesilo. 1982. Hukum Acara Pidana Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bagi Penegak Hukum. Bandung. PT. Karya Nusantara. Hal. 137.

50 Utrecht. 1997. Hukum Pidana II. Surabaya. Pustaka Tinta Mas. Hal. 215. 51 Soetomo. 1990. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta. Pustaka Kartini. Hal.

89. 52 Hasbullah F. Sjawie. 1994. Lembaga Grasi Menurut Hukum Positif Di Indonesia.

Varia Peradilan Tahun IX No. 102. Hal. 147.

48

Hak prerogatif diartikan sebagai hak khusus atau hak istimewa yang ada pada

seseorang karena kedudukannya sebagai kepala negara.53

Dari berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa grasi

merupakan salah satu dari wewenang prerogatif Kepala Negara berupa

perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana

kepada terpidana.

2. Bentuk-Bentuk Grasi

Grasi dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden apabila putusan

pengadilan yang memidana seseorang tersebut telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Bentuk-bentuk grasi (pengampunan) yang diberikan Presiden

yaitu berupa :

a. Peringanan atau perubahan jenis pidana

Salah satu bentuk pengampunan (grasi) yang diberikan Presiden adalah

peringanan yang berupa perubahan jenis pidana. Pidana yang awalnya

diterima oleh terpidana dapat dirubah jenis pidananya dengan pidana yang

termasuk di dalam Pasal 10 KUHP.

b. Pengurangan Jumlah Pidana

Pengurangan jumlah pidana ini tidak sama dengan remisi, karena

pengurangan jumlah pidana dalam grasi hanya berupa jumlah pidana awal

yang dijatuhkan kepada seseorang terpidana dikurangi jumlahnya.

Misalnya awalnya terpidana dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun dan

setelah mendapat grasi yang berupa pengurangan hukuman pidana penjara

53 http://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2017

49

selama 2 tahun sehingga pidana yang dijalani terpidana berkurang menjadi

penjara selama 4 tahun. Sedangkan yang disebut remisi adalah

pengurangan hukuman masa pidana yang diberikan kepada narapidana

apabila ia berkelakuan baik di dalam Lembaga Permasyarakatan dan

diberikan setiap hari-hari besar. Perbedaan lainnya adalah pengurangan

hukuman grasi diberikan oleh Presiden sedangkan remisi diberikan oleh

Menteri Hukum dan HAM.

c. Penghapusan pelaksanaan pidana (komutasi)

Bentuk grasi yang terakhir adalah penghapusan pelaksanaan pidana.

Pidana yang awalnya diputuskan atas seorang terpidana dapat dihapuskan

apabila grasinya dikabulkan. Contohnya pidana penjara selama 4 tahun

dapat ditiadakan/dihapuskan karena terpidana mendapat grasi.

3. Syarat-Syarat Pemohon Grasi

Pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan grasi kepada

Presiden harus memenuhi syarat yaitu:

1) Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2) Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi: a) pidana mati; b) pidana penjara seumur hidup; c) pidana penjara peling rendah 2 (dua) tahun.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara

lain sebagai berikut:

1) Terpidana 2) Kuasa Hukum 3) Keluarga Terpidana 4) Menteri Hukum dan HAM

50

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 jo. Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2002 tentang grasi tidak menetapkan syarat atau pembatasan terhadap

pihak yang dapat mengajukan grasi dari jenis tindak pidana yang dilakukan.

4. Prosedur Pengajuan Permohonan Grasi

Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan

hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang

yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan permohonan grasi

diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya,

kepada Presiden. Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan

yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada

Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan

terpidana melalui Kepala Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana

menjalani pidana. Setelah itu Kepala Lembaga Permasyarakatan

menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan

kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat

7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu

paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan

permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan

permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan

permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan

pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas

51

permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden dapat berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka

waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung

sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya

Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:

a) Mahkamah Agung;

b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;

c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan

d) Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Bagan 2.1 Proses Pengajuan Grasi

52

E. Tinjauan Tentang Narapidana

1. Definisi Narapidana

Pengertian narapidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana)

atau terhukum.54 Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani

pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan

pengertian terpidana itu sendiri adalah seseorang yang dipidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.55

Narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari

masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik56, dan ahli hukum lain

mengatakan narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya

karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk

menjalani hukuman.57

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, pengertian

narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah

menjalani persidangan, telah divonis hukuman pidana serta ditempatkan dalam

suatu bangunan yang disebut penjara.

54 Poerwo Darminto WJI. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Hal. 215. 55 Pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 56 Willson dikutip dalam Dwijaya Priyatno. 1996. Sistem Peradilan Pidana Penjara.

Bandung. Rafika Aditama. Hal. 67. 57 Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta. Raja Grafindo

Persada. Hal. 59.

53

2. Hak dan Kewajiban Narapidana

Di Indonesia ketentuan yang mengatur tentang hak-hak narapidana

diatur dalam Pasal 14 ayat 1 nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak e. Menyampaikan keluhan f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

lainnya yang tidak dilarang g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang

tertentu lainnya i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga k. Mendapatkan pembebasan bersyarat l. Mendapatkan cuti menjelang bebas m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa

setiap narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan

bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban

narapidana ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

54

F. Tinjauan Tentang Upaya Hukum

1. Definisi Upaya Hukum

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud

dengan upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau

kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sebagai

suatu hak, maka tentunya upaya hukum tersebut sangat tergantung kepada

terdakwa maupun penuntut umum apakah akan mempergunakannya atau

tidak.

Adapun maksud dari upaya hukum sendiri pada pokoknya yaitu untuk

memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya dan untuk

kesatuan peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini maka terdapat jaminan

bagi terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta

maupun hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam (Lilik

Mulyadi,2007:234). Pengertian upaya hukum menurut R. Atang

Ranoemihardjo, yaitu “suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak

yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang dianggapnya kurang

adil atau kurang tepat” (Atang Ranoemihardjo, 1976 : 123).

Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dikenal dua macam upaya

hukum, yaitu :

a. Upaya Hukum Biasa:

1) Banding;

55

2) Kasasi.

b. Upaya Hukum luar biasa

1) Kasasi demi kepentingan hukum

2) Peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (herziening)

2. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian kesatu dari

Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP tentang pemeriksanaan tingkat

banding, dan bagian Kedua dari Pasal 244 sampai 258 KUHAP tentang

pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan

penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat

pertama, sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa (terpidana) atau

penuntut umum tidak puas atau tidak dapat menerima putusan tersebut,

adalah:

a. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya,

b. Untuk kesatuan dalam pengadilan,

c. Sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau

pengadilan.

Upaya hukum ini ada jaminan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat

bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar sejauh mungkin

seragam (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 269).

56

3. Upaya Hukum Luar Biasa

Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa,

upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk

mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut

dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan

kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap, 2012:543-544). Upaya hukum

Luar Biasa terdiri dari;

a. Kasasi demi kepentingan hukum

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap

putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan

hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya

terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan

tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya

Harahap, 2012:608-609).

Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum

diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu Jaksa Agung karena

jabatannya, terpidana atau ahi waris atau penasehat hukumnya tidak

diperkenankan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan

kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja.

b. Peninjauan Kembali

Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali yaitu:

57

1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap

2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan

3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum

Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa orang yang berhak

mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya.

Sehingga jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan

peninjauan kembali karena undang-undang tidak memberikan hak kepada

penuntut umum guna melindungi kepentingan terpidana.