telaah teoretik dualisme kedudukan asas - … filetelaah teoretik dualisme kedudukan asas rights to...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
TELAAH TEORETIK DUALISME KEDUDUKAN ASAS
RIGHTS TO REMAIN SILENT (HAK UNTUK TIDAK
MENJAWAB) DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
HAVID INDRATNO
NIM. E. 0006017
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
PERNYATAAN
Nama : HAVID INDRATNO
NIM : E0006017
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) berjudul
TELAAH TEORETIK DUALISME KEDUDUKAN ASAS
RIGHTS TO REMAIN SILENT (HAK UNTUK TIDAK
MENJAWAB) DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA , adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 12 Juli 2011
yang membuat pernyataan
Havid Indratno
NIM. E 0006017
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
MOTTO
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. (Al-Baqarah : 216)
Jangan menyesali apa yang telah terjadi tetapi tataplah masa depan untuk menjadi yang lebih
baik lagi ( Penulis )
Niat, semangat, dan selalu berusaha adalah jalan untuk meraih impian dan cita-cita
( Penulis )
Hidup itu perjuangan, hanya orang-orang yang mau berjuanglah yang akan mendapatkan kebahagian ( Penulis )
Do’a adalah salah satu kunci untuk meraih kesuksesan, karena Allah adalah Maha
Pendengar (Penulis )
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada :
1. Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan
hidayahnya
2. Ayah Bundaku tercinta, Bapak
Suratno dan Ibu Mamik
Sumarmi
3. Adikku tersayang Hanif
Mustika sari
4. Sahabat-sahabatku wild hogs
yang mendukungku
5. Teman-teman seperjuanganku
di Fakultas Hukum UNS
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
petunjuk-Nya yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penyusunan penulisan hukum ini penulis tujukan terutama untuk
melengkapi sebagian syarat-syarat dalam mencapai derajat Sarjana (S1) dalam
bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non-materiil
sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan lancar, ucapan terima
kasih ini terutama kami haturkan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Pembimbing Akademis Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho S.H, M.Hum atas
nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Edy Herdyanto, SH, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara Pidana
yang telah membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis selama
menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
4. Bapak Kristiyadi, SH, M.Hum, selaku pembimbing utama dalam penulisan
skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Rustamaji, SH. MH, selaku pembimbing II yang telah
banyak membantu untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi`
tersusunnya skripsi ini
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum
khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan
penulis.
7. Bapak dan Ibu yang telah mendidik penulis hingga sekarang ini, yang telah
memberikan segalanya dan semoga dapat membalas budi jasa kalian dengan
memenuhi harapan kalian.
8. Teman-teman seangkatan, terima kasih atas kebahagiaan dan kegembiraan
yang kita rangkai
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi
serta masyarakat umum.
Surakarta, 12 Juli 2011
Penulis
Havid Indratno
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………... i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. iii
HALAMAN PERNYATAN.................................................................... iv
HALAMAN MOTTO............................................................................... v
PERSEMBAHAN………………………................................................. vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………. vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………… xii
ABSTRAK…………………………………………………………….. xiii
ABSTRACT…………………………………………………………… xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………...... 1
B. Perumusan Masalah…………………………………….... 6
C. Tujuan Penelitian……………………………………..….. 6
D. Manfaat Penelitian……………………………………..… 7
E. Metode Penelitian ……………………………………...... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum…………………………… 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoriti………………………………………… 16
1. Tinjauan Tentang Hukum Acara Pidana…………..…… 16
a. Batasan Hukum Acara Pidana……………………… 16
b. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana……………. 19
c. Asas-asas Hukum Acara Pidana……………………. 23
2. Tinjauan Umum Tentang Hak Tersangka dan terdakwa 25
a. Pengertian Tersangka dan Terdakwa………………… 25
b. Hal-hak Terdangka dan Terdakwa……………………. 27
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
3. Tinjauan Tentang Asas The Righ To Remain Silent …….. 32
B. Kerangka Berpikir…………………………………………... 36
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis Dualisme pendapat ahli hukum pidana Berkait
pengaturan asas Rights to remain silent (Hak untuk Tidak
Menjawab) bagi terdakwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Indonesia ................................................. 39
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………........ 76
B. Saran-saran……………………………………………….... 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gamnar 1 : Alur Kerangka Berpikir ……………………………………… 36
Gambar 2 : Skematik pembahasanasas Right to Remain Silent…………… 39
Gambar 3 : Skema Pendapat Dualisme asas Right to Remain Silent……… 42
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Dualisme Pendapat Ahl Hukum Pidana yang berpendapat
Pengaturan asas Rights to Remain Silent sudah diatur dalam
KUHAP................................................................................. 46
Tabel 2 Dualisme Pendapat Ahli Hukum Pidana yang berpendapat
Pengaturan asas Rights to Remain Silent tidak diatur dalam
KUHAP.................................................................................. 54
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
ABSTRAK
Havid Indratno. E. 0006017, TELAAH TEORETIK DUALISME
KEDUDUKAN ASAS RIGHTS TO REMAIN SILENT (HAK UNTUK
TIDAK MENJAWAB) DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
dualisme pendapat ahli hukum acara pidana terkait sudah diatur tidaknya tentang
asas Rights to remain silent (hak untuk tidak menjawab) bagi terdakwa dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Jenis penelitian penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan hukum. Jenis bahan hukum terdiri atas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dan non hukum.Teknik pengumpulan bahan
hukum dengan studi pustaka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan menyusun
bahan hukum yang diperlukan Analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah
analisis isi. kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan
seperangkat presosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku
atau dokumen, atau teknik penelitian yang dimanfaatkan untuk menarik
kesimpulan yang replikatif dan sahih dari bahan hukum atas konteksnya
Hasil penelitian bahwa dualisme pendapat ahli hukum pidana terkait sudah
diatur tidaknya tentang asas Rights To Remain Silent (hak untuk tidak menjawab)
bagi terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa
sebagaian ahli hukum pidana mengatakan KUHAP secara tegas tidak mengatur
asas Rights To Remain Silent. Terkait Pasal 52 dan 117 KUHAP, asas ini adalah
sebagai bentuk perlindungan Hukum terhadap terdakwa terkait tentang
kepentingannya sebagai perlindungan hak asasi manusia, dalam menghadapi
proses hukum. Sebagian lagi mengatakan bahwa asas The Right To Remain Silent.
Menurut Harjono Tjitrosubono bahwa Hak asasi tersangka/terdakwa yang
sangat mendasar dalam hukum acara pidana modern adalah hak untuk tidak
menjawab tidak diatur dengan tegas dalam HAP. Tidak ada suatu pasal yang
mewajibkan tersangka atau terdakwa memberikan jawaban akan tetapi juga tidak
ada suatu pasal yang menyatakan tegas bahwa tersangka atau terdakwa berhak
untuk tidak menjawab.Sedangkan menurut pendapat ahli hukum lain yaitu Hari
Sasongko dan Lyly Rosita bahwa asas Rights to remain silent diatur dalam
KUHAP. Hal tersebut terkait Hak-hak tersangka yaitu : Pasal 52 Dalam
pemeriksaan pada tingka penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Kata Kunci : Eksitensi, Terdakwa, Pendapat Ahli
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
ABSTRACT
Havid Indratno. E. 0006017, A THEORETICAL STUDY ON DUAL
POSITION OF RIGHTS TO REMAIN SILENT PRINCIPLE IN THE
CRIMINAL PROCEDURE LAW CODE. Faculty of Law of Surakarta
Sebelas Maret University. (Thesis). 2011.
This research aims to get a clear description on dual opinion of criminal
law expert concerning whether or not the Rights to Remain Silent Principle for the
defendant has been governed in the Criminal Procedure Law Code.
This study belongs to a normative law research or library study research,
the one conducted by means of studying the literature of secondary data. The type
of law materials consisted of primary and secondary law and non-law materials.
Technique of collecting data used was library study. In this research, the writer
employed library study technique to collect and organize data needed. The data
analysis technique used was content analysis. The content analysis is the research
method utilizing a set of procedure to draw on a valid conclusion from a book or
document, or research technique used for drawing on a replicative and valid
conclusion from the data on its context.
The result of research shows that in dual opinion of criminal law expert
concerning whether or not the Rights to Remain Silent Principle for the defendant
has been governed in the Criminal Procedure Law Code, some criminal law
experts state that the Criminal Procedure Law Code does not firmly govern the
right to remain silent principle. In relation to the article 52 and 117 of Criminal
Procedure Law Code, this principle is a law protection form for the defendant
regarding his/her interest as the protection of basic human right, in coping with
law process. Some others say that the right to remain silent principle has been
governed in the Criminal Procedure Law Code.
Harjono Tjitrosubono says that the suspect’s/defendant’s very fundamental
right in modern criminal procedure law code namely the right to remain silent is
not governed firmly in the Criminal Procedure Law. No article obliges the suspect
or the defendant to give answer but no article states firmly that the suspect or
defendant has the right to remain silent. Meanwhile according to other law expert,
Hari Sasongko and Lyly Rosita, the Rights to remain silent is governed in the
Criminal Procedure Law Code. It relates to the suspect’s rights: Article 52 in the
examination at investigation and trial level, the suspect or defendant has the right
to give information freely to the investigator or judge.
Keywords: Existence, Defendant, Expert Opinion
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa penegakan hukum harus
sesuai dengan peraturan yang berlaku dan juga berdasarkan Pancasila yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin kedudukan yang sama
bagi warga negara di dalam hukum dan pemerintahan. Setiap pelanggar peraturan
hukum yang ada akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai reaksi
terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukannya. Untuk menjaga
agar peraturan itu dapat berlangsung terus dan diterima seluruh anggota
masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak
boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Dengan
demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas
keadilan dari masyarakat.
Perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia erat kaitannya dengan
sistem peradilan yang ada di Indonesia. Dengan mewujudkan sistem peradilan
pidana yang adil dan benar juga menegakkan hukum melalui proses pengadilan
pidana yang tepat, maka dengan sendirinya hak- hak asasi tersangka dan terdakwa
menjadi terjamin dan terlindungi.
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-
peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana
mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang
berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum
pidana. Hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang
menyelenggarakan hukum pidana materiil yaitu merupakan sistem kaidah atau
norma yang diberlakukan oleh negara untuk melaksanakan hukum pidana atau
menjatuhkan pidana.
Salah satu asas penting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak
bersalah. Asas tersebut dicantumkan di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Bersumber pada asas praduga tak bersalah, maka sudah sewajarnya bahwa
tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan hak-
haknya.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan
Umum Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Hakikat asas ini
cukup fundamental sifatnya dalam Hukum Acara Pidana, karena ketentuan asas
praduga tak bersalah sangat tampak eksistensinya dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lilik Mulyadi, 2007: 13).
Asas praduga tak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak
hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan
mengesampingkan asas praduga tak bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap
tersangka. Intinya, praduga tak bersalah bersifat legal normatif dan tidak
berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual
artinya berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan
bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan.
Asas praduga tak bersalah telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi: “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Asas praduga tak bersalah yang dimiliki
KUHAP, memberi pedoman bahwa tersangka atau terdakwa mempunyai hak yang
diberikan oleh hukum untuk tidak memberikan jawaban, baik dalam proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
penyidikan maupun dalam proses persidangan the right to remain silent. (Lilik
Mulyadi, 2007 : 23).
Diamnya terdakwa, seperti yang dilakukan ustad Abu Baakar Baasyir
dalam sidang lanjutan yang di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin,
25 April 2011. Ustad Abu Baakar Baasyir melakukan aksi diam saat ditanya oleh
majelis hakim terkait peranannya dalam pelatihan perang di pegunungan Jantho
Aceh Besar. Namun dalam kenyataannya diamnya Ustad Abu Baakar Baasyir
tidak berpengaruh terhadap jaksa. Seperti disampaikan Bayu Adi Nugroho selaku
anggota jaksa penuntut umum kepada Paluhakim Jakarta "Bagi kami dia punya
hak untuk menjawab maupun tidak. Itu hak dia. Oleh karena itu, hal ini tidak
terlalu penting bagi kami" Kata Bayu Adinugroho selaku anggota jaksa penuntut
umum kepada Paluhakim, di ruang tahanan sementara Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (http//: www.legalitas.org)(13 April 2011 pukul 14.00).
Pengakuan tersangka tidak yang utama dalam pembuktian. Tersangka itu
boleh diam sampai diberikan haknya untuk berbicara pada persidangan. Bahwa
keterangan terdakwa setelah di persidangan inilah menjadi fakta persidangan.
“Terpenting itu ada alat buktinya terlebih dahulu, ada keterangan saksi, dan kalau
ada pengakuan. Bila tidak ada pengakuan, cukup alat bukti saja yang
menguatkannya,” (http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2007/78).
Dalam pemeriksaan kasus pidana, baik di waktu penyidikan maupun
pemeriksaan di depan sidang, kerapkali terjadi hal yang kontroversial, misalnya
tersangka tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan penyidik atau tersangka
mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak yang sering
menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana dan
menimbulkan dualisme pendapat ialah hak tersangka atau terdakwa untuk
memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan baik oleh penyidik, penuntut
umum, maupun oleh hakim. Sering kali ketentuan ini dipandang sebagai
pencerminan dari asas akusator (accusatoir).
Dalam proses pemeriksaan di persidangan segala sesuatu yang dapat
dijadikan bukti atau setidak-tidaknya keterangan yang dapat membuat terang
terhadap terjadinya tindak pidana tentu akan menjadi pertimbangan hakim dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menjatuhkan putusannya termasuk sikap terdakwa selama dalam persidangan.
Tidak kooperatifnya terdakwa dalam mengungkapkan peristiwa yang
sesungguhnya, berusaha menutup-nutupi atau memilih untuk diam tidak
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak menutup
kemungkinan akan menjadi faktor yang memberatkan putusan yang akan
dijatuhkan kepadanya. Tidak menjawab memang hak seseorang Tersangka atau
terdakwa, namun hal demikian akan menyulitkan terdakwa sendiri untuk
melakukan pembelaan atas perkara yang dituduhkan kepadanya. Dalam KUHAP
tidak ada yang mengatur mengenai pemaknaan bahwa “diam berarti ya”, namun
KUHAP mengatur bahwa terdakwa dapat memberikan keterangannya secara
bebas tanpa tekanan atau paksaan, dalam hal ini dapat diartikan pula bahwa
terdakwa mempunyai hak untuk berbohong ataupun berkelit. Meskipun demikian
majelis hakim juga tidak diperkenankan hanya mempertimbangkan putusannya
hanya berdasarkan keterangan terdakwa, karena dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP
keterangan terdakwa diletakkan paling akhir.
Menurut Harjono Tjitrosubono bahwa Hak asasi tersangka/terdakwa yang
sangat mendasar dalam hukum acara pidana modern adalah hak untuk tidak
menjawab tidak diatur dengan tegas dalam HAP. Tidak ada suatu pasal yang
mewajibkan tersangka atau terdakwa memberikan jawaban akan tetapi juga tidak
ada suatu pasal yang menyatakan tegas bahwa tersangka atau terdakwa berhak
untuk tidak menjawab. (Harjono Tjitrosubono 1983,5)
Sedangkan menurut pendapat ahli hukum lain yaitu Hari Sasongko dan
Lyly Rosita bahwa asas Rights to remain silent diatur dalam KUHAP. Hal
tersebut terkait Hak-hak tersangka yaitu : Pasal 52 Dalam pemeriksaan pada
tingka penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.( Hari Sasangka dan Lyly
Rosita, 2003,84)
Adanya perbedaan pendapat yang terjadi atas diatur dan tidaknya asas
rights to remain silent tersebut dalam KUHAP, memberikan potensi baik dalam
hal positif maupun negatif dalam proses perkara pidana . Potensi positif dengan
adanya asas the right to remain silent yaitu dapat melindungi hak asasi tersangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
atau terdakwa dalam proses penyidikan, pemeriksaan, maupun proses di
persidangan, selain itu untuk mencegah adanya kekerasan terhadap tersangka atau
terdakwa dalam proses penyidikan. Potensi negatif asas the right to remain silent
yaitu dapat menyulitkan penyidik untuk mengungkap suatu kasus tindak pidana.
Bertolak dari pengaturan tentang penempatan hak tersangka/terdakwa
dalam proses pemeriksaan terkait (right to remain silent) dalam hukum acara
pidana Indonesia, khususnya terkait dengan pendapat para ahli tentang asas Rights
to Remain Silent dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut
dalam penulisan hukum yang berjudul “TELAAH TEORETIK DUALISME
KEDUDUKAN ASAS RIGHTS TO REMAIN SILENT (HAK UNTUK
TIDAK MENJAWAB) DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA”.
B. Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk
mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga penelitian akan lebih terarah
pada tujuan yang ingin dicapai. Untuk mempermudah dalam pembahasan
permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah yaitu
bagaimanakah dualisme pendapat ahli hukum acara pidana terkait sudah diatur
tidaknya tentang asas Rights to remain silent (hak untuk tidak menjawab) bagi
terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan
masalah dari judul penelitian ini untuk memberikan arah yang tepat dalam proses
penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh
karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
penelitian ini. Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
Tujuan Obyektif penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui dualisme pendapat ahli hukum pidana terkait sudah diatur
tidaknya tentang asas Rights to remain silent (hak untuk tidak menjawab) bagi
terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif penelitian ini adalah :
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang Hukum
Acara Pidana khususnya mengenai pengaturan asas Rights to remain silent
(hak untuk tidak menjawab) bagi terdakwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
b. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama dalam penyusunan
skripsi dalam rangka memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh
gelar sarjana (Strata Satu) dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
D. Manfaat Penelitian
Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoretis Penelitian ini adalah:
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum
Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai pengaturan tentang hak
untuk tidak menjawab (Rights to remain silent) oleh terdakwa pada
peradilan pidana Indonesia..
b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui
lebih jauh mengenai sistem peradilan pidana Indonesia terkait hak untuk
tidak menjawab (Rights to remain silent) oleh terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis penelitian ini adalah:
a. Menambah ilmu dan pengalaman peneliti di bidang penelitian karya
ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum.
b. Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
c. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa fakultas hukum terkhususnya dalam
menyikapi pengaturan hak untuk tidak menjawab (Rights to remain
silent) oleh terdakwa.dalam peradilan pidana Indonesia.
E. Metode Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik
dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran
dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Penelitian Hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter
Mahmud Marzuki, 2006:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum
merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum.
Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih
dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian
memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-
temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya
(Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini
termasuk jenis penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif
adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian
Hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum
(library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-
bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44)
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:22).
Dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai
pengaturan tentang hak untuk tidak menjawab (Rights to remain silent)
oleh terdakwa menurut ketentuan peradilan pidana Indonesia.
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian
hukum normatif, di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Menurut Johnny Ibrahim, bebarapa pendekatan penelitian tersebut yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan
konseptual (concentual approach), Pendekatan Analitis (analytical
approach), Pendekatan Perbandingan (comparative approach), pendekatan
historis (historical approach), Pendekatan Filsafat (philosophical
approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim,
2006:300).
Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penulisan hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang
(statute approach). Pendekatan Undang-Undang digunakan untuk
mengkaji tentang pengaturan hak untuk tidak menjawab (rights to remain
silent) bagi terdakwa dalam hukum acara Pidana Indonesia.
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk
itu penulis harus melihat hukum sebagai system tertutup yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
b. All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak
akan kekurangan hukum.
c. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian ini meliputi:
a. Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang penulis pergunakan dalam penelitian ini
berupa data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum atau
informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah
dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan
penelitian yang dibahas.
b. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi :
. 1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif , artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2) Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:141) Bahan hukum sekunder sebagai pendukung
dari data yang digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku
teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet,
dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung
penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, dan terkait dengan topik
bahasan yaitu bahan dari media internet, kamus besar bahasa
Indonesia, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik Pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini adalah dengan Studi pustaka. Studi Pustaka adalah teknik
pengumpulan bahan hukum adalah suatu cara yang dipergunakan untuk
mengumpulkan bahan hukum yang ada ditempat penelitian sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
memperoleh bahan hukum yang diperlukan. Dengan cara menelusuri
buku-buku yang berkaitan dengan pengaturan hak untuk tidak menjawab
(rights to remain silent) bagi terdakwa dalam peradilan pidana Indonesia.
Dalam studi ini penulis mempergunakan content identification terhadap
bahan-bahan Hukum yang akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar
dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi atau dari bahan-bahan
hukum yang diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah
dirumuskan.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan tahap yang paling penting
dalam suatu penelitian. Agar bahan hukum yang terkumpul dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari
suatu permasalahan, maka perlu suatu teknis analisis bahan hukum yang
tepat. Analisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk
mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.
Analisis bahan hukum adalah proses pengorganisasian dan
pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan
dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang
disarankan oleh bahan hukum (Lexi J. Moleong, 2009:103). Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis bahan hukum kualitatif
yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum mengkualifikasikan kemudian
menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik
kesimpulan untuk menentukan hasil.
J. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam
bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun
penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian Hukum serta Sistematika
Penulisan Hukum.
Bab II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab II ini dijelaskan mengenai Kerangka Teori
yang berisi tentang tinjauan tentang Hukum Acara Pidana
yang berisi sub bab yaitu Batasan Hukum Acara Pidana,
Asas-asas Hukum Acara Pidana, Tinjauan Tentang Hak
Tersangka dan Terdakwa, Pengertian Tersangka dan
Terdakwa, Hak-hak Tersangka, Tinjauan tentang Asas
Praduga tak bersalah, Tinjauan Tentang Asas The Right
To Remain Silent. serta Kerangka Pemikiran.
Bab III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Telaah teoretik tentang pendapat para ahli hukum pidana
tentang pengaturan hak untuk tidak menjawab (Rights to
remain silent) oleh terdakwa dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.
Bab IV : PENUTUP
Pada bagian penutup ini berisi simpulan serta
disampaikan beberapa saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hukum Acara Pidana.
a. Batasan Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana merupakan peraturan yang melaksanakan
hukum pidana. Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia
berdasar pada peraturan yang terdapat pada Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berlaku sejak diundangkannya
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan terciptanya Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, maka pertama kali di Indonesia
diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam artian meliputi
seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada
kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan
kembali (herziening) (Andi Hamzah, 2002:3).
Hukum acara pidana (hukum pidana formal) adalah hukum
yang menyelenggarakan hukum pidana materiil yaitu merupakan
sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh negara untuk
melaksanakan hukum pidana atau menjatuhkan pidana. Seperti
rumusan Wirdjono Prodjodikoro, bekas Ketua Mahkamah Agung yang
dikutip oleh Andi Hamzah. merumuskan bahwa hukum acara pidana
adalah Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum
pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa,
yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana (Andi
Hamzah, 2002:7).
Yahya Harahap berpendapat bahwa Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara pidana yang
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
berisi ketentuan mengenai proses penyelesaian perkara pidana
sekaligus menjamin hak asasi tersangka atau terdakwa. Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara pidana
yang berisi ketentuan tata tertib proses penyelesaian penanganan kasus
tindak pidana, sekaligus telah memberi “legalisasi hak asasi” kepada
tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di depan
pemeriksaan aparat penegak hukum. Pengakuan hukum yang tegas
akan hak asasi yang melekat pada diri mereka dari tindakan sewenang-
wenang. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
mencoba menggariskan tata tertib hukum yang antara lain akan
melepaskan tersangka atau terdakwa maupun keluarganya dari
kesengsaraan putus asa di belantara penegakan hukum yang tak
bertepi, karena sesuai dengan jiwa dan semangat yang
diamanatkannya, tersangka atau terdakwa harus diberlakukan berdasar
nilai-nilai yang manusiawi (M. Yahya Harahap, 2002:4).
Definisi mengenai hukum acara pidana lainnya adalah seperti
yang dikemukakan oleh Van Bemmelen seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah (2002:6), adalah sebagai berikut:
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya terjadi pelanggaran-
pelanggaran undang-undang pidana :
1) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran,
2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu,
3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya,
4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
dipeoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut,
5) Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
6) Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut,
7) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib.
Dalam perkembangannya muncul berbagai definisi mengenai
hukum acara pidana oleh para ahli hukum, hal ini dikarenakan
KUHAP tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai
pengertian hukum acara pidana.
Menurut Simon, hukum acara pidana mengatur bagaimana
Negara dengan alat-alat pemerintahannya menggunakan hak-haknya
untuk memidana. Menurut de bos kemper, definisi dari hukum acara
pidana ialah sejumlah asas dan peraturan undang-undang yang
menngtur bagaimana undang dilanggar negara menggunakan hak-
haknya untuk memidana. Hukum acara pidana Indonesia adalah
hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan
peradilan) dalam lingkup hukum pidana.
Dengan kata lain bahwa hukum acara pidana adalah kumpulan
peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) Tindakan-tindakan apa yang harus diambil apabila ada dugaan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
2) Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya dan cara
bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
3) Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu
menangkap,menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
permulaan atau dilakukan penyidikan.
4) Untuk membuktikan apakah tersanghka benar-benar melakukan
suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang
bukti, menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita
barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan
perbuatan tersebut.
5) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan
oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri
selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana (Moch.
Faisal Salam, 2001:3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Definisi-definisi tersebut di atas dikemukakan oleh para ahli
hukum, Hal ini dikarenakan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana sendiri tidak memberikan definisi hukum acara pidana
secara implisit.
b. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
1) Tujuan Hukum Acara Pidana
Pemahaman mengenai tujuan KUHAP dapat dilihat dalam
konsideran huruf c KUHAP yang berbunyi:
“Bahwa pembangunan hukum nasional yang sedemikian itu di
bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati
hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan
sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pancasila”.
Berdasarkan bunyi konsideran tersebut dapat dirumuskan
beberapa landasan tujuan KUHAP, yaitu :
a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, yang lebih
dititikberatkan kepada peningkatan penghayatan akan hak dan
kewajiban hukum. Yaitu menjadikan setiap anggota masyarakat
mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang
kepadanya, serta apa pula kewajiban yang dibebankan hukum
kepadanya.
b) Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, hal ini sudah
barang tentu termuat di dalam KUHAP menurut cara-cara
pelaksanaan yang baik, yang menyangkut pembinaan
keterampilan, pelayanan, kejujuran dan kewibawaan.
c) Tegaknya hukum dan keadilan, hal tersebut hanya dapat tercipta
apabila segala aturan hukum yang ada serta keadilan harus sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945 serta didasarkan atas nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
d) Melindungi harkat dan matabat manusia, hal ini tidak dapat
dilepaskan dari suatu kenyataan bahwa semua manusia ciptaan
Tuhan dan semua akan kembali kepada-Nya. Tidak ada kelebihan
dan kemuliaan antara yang satu dengan yang lain, semua
mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan sesuai dengan hak-
hak asasi yang melekat pada diri tiap manusia. Manusia sebagai
hamba Tuhan, juga sebagai manusia yang sama derajatnya dengan
manusia lain harus ditempatkan pada keluhuran harkat
martabatnya. Sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia memiliki
hak dan kodrat kemanusiaan yang menopang harkat dan martabat
pribadinya, yang harus dihormati oleh orang lain.
e) Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum, arti dan tujuan
kehidupan masyarakat adalah mencari dan mewujudkan
ketenteraman dan ketertiban yaitu kehidupan bersama antara
anggota masyarakat yang dituntut dan dibina dalam ikatan yang
teratur dan layak, sehingga lalu lintas tata pergaulan masyarakat
yang bersangkutuan bisa berjalan dengan tertib dan lancar. Tujuan
tersebut hanya dapat diwujudkan dengan jalan menegakkan
ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek kehidupan
sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah mereka
sepakati (M. Yahya Harahap, 2002:58-79).
Tujuan hukum acara pidana dirumuskan dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman,
yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Andi Hamzah, 2002:8).
Menurut Andi Hamzah, bahwa tujuan hukum acara pidana
mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan
akhirnya ialah mencari suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian,
keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah,
2002:9)
2) Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana berawal dari tugas mencari dan
menemukan kebenaran hukum. Hakekat mencari kebenaran hukum,
sebagai tugas awal hukum acara pidana tersebut menjadi landasan
dari tugas berikutnya dalam memberikan suatu putusan hakim dan
melaksanakan tugas putusan hakim. Menurut Bambang Poernomo
(1988:18) bahwa tugas dan fungsi pokok hukum acara pidana dalam
pertumbuhannya meliputi empat tugas pokok, yaitu :
a) Mencari dan menemukan kebenaran;
b) Mengadakan tindakan penuntutan secara benar dan tepat;
c) Memberikan suatu keputusan hakim;
d) Melaksanakan (eksekusi) putusan hakim.
Menurut Van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah (2002:9), mengenai fungsi hukum acara pidana,
mengemukakan terdapat tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
(1) Mencari dan menemukan kebenaran;
(2) Pemberian keputusan hakim;
(3) Pelaksanaan putusan.
c. Asas-asas hukum Acara Pidana
Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamental, prinsip dan jiwa
atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan
nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.
Asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang
menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, kecuali itu Asas hukum
dapat disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan
hukum atau merupakan suatu ratio-legis dari suatu peraturan hukum
yang memuat nila-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau perundangan etis
yang ingin diwujudkan. Karena itu asas hukum merupakan jantung
atau jembatan suatu peraturan hukum dan hukum positif dengan cita-
cita sosial dan pandangan etis masyarakat.
Asas dapat dibedakan antara asas hukum objektif dan asas
hukum subjektif . Asas hukum objektif adalah prinsip-pronsip yang
menjadi dasar bagi pembentukan peraturan-peraturan hukum,
sedangkan asas hukum subjektif adalah prinsip-prinsip yang
menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum.
Menurut Bellefroid sebagaimana dikutip oleh Sudikno
Mertokusumo, asas hukum umum adalah norma yang dijabarkan dari
hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-
aturan yang lebih umum, yang merupakan pengendapan hukum positif
dalam suatu masyarakat. Pengertian asas hukum umum yang
dirumuskan oleh Bellefroid merupakan pengertian yang berbeda
dengan rumusan asas dalam ilmu hukum. Sebaliknya van Eikema
Hommes sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo,
menyatakan asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma
hukum konkret, tetapi harus dpandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum harus
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut, sehingga menjadi dasar
atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Pada dasarnya asas-asas dalam hukum acara pidana terbagi 2:
1. Asas-asas yang menyangkut peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Asas yang menyangkut hak-hak asasi manusia.
Dalam Penjelasan KUHAP butir ke-3 memuat asas-asas hukum
acara pidana yang terdapat dalam KUHAP yaitu sebagai berikut:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakukan (asas persamaan dimuka
hukum);
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara yang diatur dengan Undang-Undang (asas perintah tertulis);
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas
praduga tidak bersalah);
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang dan atau
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib
diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan
para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar,
dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas
pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah
tahan dan salah tuntut);
e. Pengadilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan
yang cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak
memihak);
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
untuk memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya ( asas
memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya);
g. Kepada seorang tersangka sejak dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan atas dasar hukum apa
yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya
termasuk hak untuk menghubingi dan meminta bantuan penasihat
hukum (asas wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum
dakwaan);
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
(asas hadirnya terdakwa);
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
kecuali dalam hal yang diatur dalam Undang-Undang (asas
pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (asas
Pengawasan pelaksanaan putusan);
k. Tersangka diberi kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat
hukum, menunjukkan bahwa KUHAP menganut asas akusator,
yaitu tersangka dalam pemeriksaan dipandang sebagai subjek
berhadap-hadapan dengan pihak lain yang memeriksa atau
mendakwa yaitu kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa
sehingga kedua pihak mempunyai hak-hak yang sama nilainya
(asas accusatoir) (M. Yahya Harahap, 2002:40).
2. Tinjauan Tentang Hak Tersangka dan Terdakwa
a. Pengertian Tersangka dan Terdakwa
Tersangka atau terdakwa adalah orang-orang yang diduga
telah melakukan tindak pidana. Hal ini dijelaskan dalam KUHAP
Pasal 1 butir 14 dan butir 15, dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP
dijelaskan:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana”.
Sementara Pasal 1 butir 15 KUHAP, menjelaskan:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili dalam sidang pengadilan”.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa
seorang tersangka atau terdakwa adalah orang yang diduga
melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti permulaan yang
cukup, sehingga orang tersebut harus diselidik, disidik, dan diperiksa
oleh penyidik. Kemudian harus dilakukan tindakan penuntutan
dimuka sidang oleh penuntut umum dan hakim dan jika perlu dapat
dilakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan,
penggeledahan, penahanan, penyitaan sesuai cara yang diatur dalam
Undang-Undang. Pada saat ini tersangka atau terdakwa tidak lebih
dari objek pemeriksaan yang dapat diperlakukan sekehendak hati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
oleh aparat penegak hukum. Hak asasi, harkat dan martabat dari
tersangka atau terdakwa tidak pernah dihargai.
Wet boek strafvordering Belanda tidak membedakan istilah
tersangka dan terdakwa (tidak lagi memakai dua istilah beklaadge
dan verdachte. Dalam definisi tersebut terdapat kata-kata “karena
perbuatannya atau keadaannya.” Kata yang dipakai Ned. Sv. untuk
itu, yang tersebut pada Pasal 27 ayat (2)” … feiten of
omstandingheden” (fakta-fakta atau keadaan-keadaan) lebih tepat
karena lebih objektif. Jadi fakta-fakta atau keadaan-keadaan yang
menjurus kepada dugaan yang patut bahwa tersangkalah yang
berbuat perbuatan itu. Definisi Ned. Sv. mirip pula dengan butir 14
Pasal 1 KUHAP, kecuali kata-kata tersebut dimuka.
Pasal 27 ayat (1) Ned. Sv. :
“…als verdache wordi aangemerkt degene te weins aanzien uit
feitenof omstadig heden een redejelijk vermoden van schuld aan
eeinig strafbaar feit voorvloeit….” (…yang dipandang sebagai
tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan
menunjukan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik).
Persamaan dengan perumusan atau definisi KUHAP ialah kata
patut diduga (redelijk vermoeden). Oleh karena itu, pendapat-
pendapat sarjana belanda terutama suatu dewan redaksi yang
menyusun komentar patut diduga melakukan perbuatan delik ialah
penyidik dan penuntut umum, namun demikian, seharusnya
penafsiran itu objektif. Jika sesorang ditahan sedangkan menurut
ukuran objectif tidak patut dipandang telah melakukan delik itu,
maka penyidik atau penuntut umum dapat diancam pidana melanggar
kemerdekaan orang, baik sengaja maupun kulpa. Menurut
Duisterinkel, ed. harus dibedakan patut diduga (redelijk vermoeden)
dengan sangat diduga (ernstig vermoeden).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
b. Hak-hak Tersangka dan Terdakwa
Pada hakekatnya proses penyelenggaraan peradilan pidana
melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil. Dalam hal ini ada dua kerangka
penting yang harus di perhatikan, yaitu kepentingtan negara dan
kepentingan para pencari keadilan (tersangka atau terdakwa). Kedua
kepentingan tersebut mesti dijaga dan dijamin keseimbangannya oleh
hukum acara pidana.
Hukum acara merupakan salah satu instrumen utama dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia yang dimaksudkan memberikan
jaminan kepastian hukum terhadap tersangka/ terdakwa. Kepastian
hukum tersangka/ terdakwa berarti setiap tersangka/terdakwa harus
diproses melalui hukum dengan standar yang sama atas semua kasus
yang sama dan terhadap orang yang sama. Pasti berarti juga terukur,
jelas dan transparan, agar terlaksana dengan seimbang hak- hak asasi
tersangka/ terdakwa.
Tersangka atau terdakwa diberi seperangkat hak-hak oleh
KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Hak-hak tersebut
meliputi:
1) Hak untuk segera mendapat pemeriksaan.
Seorang terdakwa atau tersangka mempunyai hak untuk
segera mendapatkan pemeriksaan baik dalam penyidikan atau
dalam persidangan. Seperti disebutkan dalam KUHAP Pasal 50
disebutkan bahwa seorang tersangka berhak segera mendapatkan
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dihadapkan pada
penuntut umum. Kemudian hak tersangka untuk perkaranya segera
diajukan ke Pengadilan dan berhak segera diadili oleh Pengadilan.
2) Hak untuk melakukan pembelaan.
Seorang tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk
membela diri baik dengan penasehat hukum atau tidak. Berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
pembelaan yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa diatur
dalam KUHAP Pasal 51-57, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(a) Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya.
(b) Berhak memberikan keterangan secara bebas dalam berbagai
tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai pemeriksaan
di Pengadilan.
(c) Berhak untuk mendapatkan juru bahasa dalam semua tingkat
pemeriksaan baik dari penyidikan sampai proses pengadilan.
(d) Berhak untuk mendapatkan bantuan hukum oleh seorang atau
beberapa penasehat hukum dalam semua tingkat pemeriksaan.
3) Hak untuk melakukan upaya hukum.
Berdasarkan pada Undang-Undang seorang terdakwa yang
dijatuhi hukuman dapat menerima atau menolak putusan yang
dijatuhkan. Ketidak puasan atas putusan pengadilan bisa
dimanfaatkan untuk melakukan upaya hukum yang di bagi menjadi
dua, yaitu:
(a) Upaya hukum biasa.
Upaya hukum biasa dapat berupa permintaan banding kepada
Pengadilan Tinggi dan Upaya permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
(b) Upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum luar biasa dapat berupa permintaan pemeriksaan
Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4) Hak untuk mendapat ganti rugi dan rehabilitasi.
Ganti rugi atau rehabilitasi dapat dilakukan oleh tersangka atau
terdakwa apabila:
(a) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan yang
dilakukan tanpa alasan hukum yang sah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
(b) Apabila putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena
tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana
yang didakwakan kepadanya bukan merupakan suatu kejahatan
atau pelanggaran.
Apabila dilihat dalam Pasal-Pasal KUHAP antara lain
sebagai berikut:
1) hak untuk diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50
ayat 91). (2), dan (3));
2) hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan
(Pasal 51 huruf a dan b);
3) hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan
hakim seperti tersebut dimuka (Pasal 52);
4) hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1));
5) hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat
pemeriksaan (Pasal 54);
6) hak terdakwa untuk menuntut terhadap hakim yang mengadili
perkaranya (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Pokok kekuasaan
Kehakiman);
7) hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk
menghubungi atau berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57
ayat (2));
8) hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang
ditahan (Pasal 58);
9) hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk
mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan
hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama
diatas (Pasal 59-60);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
10) hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan
dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan
pekerjaan atau kepentingan keluarga (Pasal 61);
11) hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat
dengan penasihat hukumnya (Pasal 62);
12) hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima
kunjungan rohaniawan (Pasal 63)
13) hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a
de charge (Pasal 65);
14) hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal
68);
15) hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati
dengan biaya cuma-cuma.
3. Tinjauan Tentang Asas The Right To Remain Silent
Berdasarkan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP,
memberi pedoman bahwa tersangka atau terdakwa mempunyai hak
yang diberikan oleh hukum untuk tidak memberikan jawaban, baik
dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan the right
to remain silent. Sehingga asas the the right to remain silent
merupakan pencerminan dari asas praduga tak bersalah.
Adanya asas the right to remain silent semata- mata adalah
usaha untuk mencegah tindakan menyimpang seperti penggunaan
penyiksaan dalam proses penyidikan. Hal ini sebenarnya telah
ditoleransi dan menjadi perhatian penyusun undang-undang sebagai
bagian dari hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP. Dengan
demikian penulis akan memberikan penjelasan mengenai latar
belakang asas the right to remain silent.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Hal ini menciptakan apa yang disebut dengan istilah dakwaan
kejam dimana terdakwa ini menghadapi suatu prospek sumpah palsu
(yang diyakini sebagai dosa, jika mereka berbohong di bawah sumpah
untuk melindungi diri mereka sendiri), hukuman yang berat karena
menghina pengadilan (jika mereka menolak untuk menjawab), atau
mengkhianati mereka "alami" kewajiban mempertahankan diri (jika
mereka mengatakan yang sebenarnya untuk menghormati sumpah
mereka).
Setiap tersangka dituduh memiliki hak untuk tetap diam untuk
pertanyaan dari polisi dan jaksa, selama interogasi atau pemeriksaan di
sidang.
KUHAP tidak mengenal asas yang memberi hak kepada
terdakwa untuk menolak menjawab pertanyaan, karena ketika
seseorang menjadi terperiksa/terdakwa, akan menjadi sesuatu hal yang
wajar dan diperkenankan untuk berbohong sesuai dengan asas the
rights to remain silent dan hak ingkar. Asas Rights to remain silent
keberadaannya semata-mata adalah usaha untuk mencegah tindakan
menyimpang seperti penggunaan penyiksaan dalam proses penyidikan.
Hal ini sebenarnya telah ditoleransi dan menjadi perhatian penyusun
Undang-Undang sebagai bagian dari hak-hak tersangka/terdakwa
dalam KUHAP.
Beberapa Pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan asas
Rights to remain silent antara lain:
a. Pasal 52 menyatakan: “ Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim”. Dalam penjelasan Pasal 52 KUHAP dimaksudkan supaya
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari
yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan
dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau
tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b. Pasal 117 menyatakan: “Bahwa keterangan tersangka dan atau
saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan
atau dalam bentuk apapun. Namun sangat disayangkan karena
kedua Pasal ini tidak menyebutkan sama sekali tentang masalah
keabsahan hasil penyidikan yang diperoleh dengan cara
penyiksaan.
Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP berkaitan erat dengan asas
rights to remain silent yaitu suatu hak tersangka untuk tidak
menjawab, maksudnya keterangan tersangka atau terdakwa hanya
dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP, karena dalam perundang-
undangan hukum acara pidana adanya suatu pengakuan terdakwa
tidaklah dipergunakan sebagai alat bukti bahkan hanya menempati
urutan terakhir sebagai alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP dengan penyebutan “keterangan terdakwa” bukan
suatu “pengakuan terdakwa”.
c. Pasal 175 KUHAP menyatakan: “ Jika terdakwa tidak mau
menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”.
Dalam upaya menciptakan keseimbangan dan keselarasan
kepentingan dan perlindungan hukum, maka hakim, penasihat hukum
dan terdakwa harus menyadari bahwa pelaksanaan asas rights to
remain silent dilaksanakan sesuai asas keseimbangan menurut Pasal
175 KUHAP yaitu pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan harus
melindungi kepentingan terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak-
hak asasi dan kepentingan, keteertiban pada sisi lain tanpa
mengorbankan hak-hak asasi manusia demi mengejar kepentingan
umum.
Hakim tidak boleh memaksa terdakwa untuk menjawab, jika
terdakwa tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
yang sebaiknya dilakukan adalah “menganjurkan” terdakwa untuk
menjawab. Selain itu hakim ataupun penuntut umum tidak boleh
mengartikan diamnya terdakwa sebagai tingkah laku dan perbuatan
menghalangi dan mengganggu ketertiban sidang, apalagi sampai
mempertimbangkan dan menarik kesimpulan bahwa keengganan
menjawab sebagai keadaan yang membertakan kesalahan dan
hukuman terdakwa. Diamnya terdakwa harus dinilai secara kasuistis
dan realistis, dengan argumentasi yang matang dan cukup
pertimbangannya.
Dari asas yang telah dibahas di atas, pemeriksaan terdakwa
dititiksentralkan pada asas keseimbangan antara kepentingan terdakwa
pada satu pihak dan kepentingan umum di pihak lain, untuk
mengungkap kebenaran yang sebenarnya dalam pemeriksaan.
Keberadaan Pasal 175 untuk melegalkan terdakwa tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan ketika pemeriksaan, tidak semata- mata
digunakan begitu saja karena terdakwa bisa dengan mudah lepas dari
tanggung jawab tindak pidana yang dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. Kerangka Pemikiran
Untuk memperjelas alur berpikir penulisan hukum ini, berikut
digambarkan alur kerangka pemikiran sebagai berikut :
Gambar. 1 Bagan Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Dalam proses peradilan di Indonesia dalam menerapkan hukum acara
pidana tidak bisa dilepaskan dari asas-asas yang melekat dalam hukum acara
pidana itu sendiri, dan salah satu asas yang harus dijunjung tinggi dalam
menjalankan due process of law adalah asas praduga tidak bersalah atau
presumption of innocence untuk menghormati hak-hak tersangka atau terdakwa.
Aparat penegak hukum diharapkan menggunakan prinsip akusator dan
Pendapat Pakar
Hukum
Hak
Tersangka/Terdakwa
Pendapat Pakar
Hukum
Rights to
Remain Silent
KUHAP
Diatur/Tidak
dalam KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
menjauhkan diri dari pemeriksaan yang bersifat inkuisitur yang menempatkan
tersangka atau terdakwa sebagai objek dalam setiap pemeriksaan. Dalam rangka
mengemban asas praduga tidak bersalah dan prinsip akusatir tersebut, KUHAP
memberikan seperangkat hak-hak bagi terdakwa atau tersangka yang wajib
dihormati dan dilindungi, salah satunya adalah hak terdakwa untuk tidak
menjawab pertanyaan pada setiap tahap pemeriksaan yaitu tersangka/terdakwa
pada proses pemeriksaan terkadang tersangka/terdaka bersikap diam (Rights to
Remain Silent).
Penggunaan hak ini sebenarnya memang tidak efektif untuk mengungkap
tindak pidana yang didakwakan kepada seorang terdakwa, selain mempersulit
penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya juga justru merugikan terdakwa
dalam mengajukan pembelaan atau pledoi. Ada kemungkinan faktor-faktor
internal atau eksternal tertentu yang menyebabkan terdakwa enggan menjawab
pertanyaan, misalnya takut, malu, merasa bersalah, diancam oleh pihak tertentu,
dipaksa dan lain sebagainya. Kondisi demikian tentu saja akan mempengaruhi
sikap dan sudut pandang hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya
dalam putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, disamping
mempertimbangkan setiap alat bukti yang ada, sikap diam terdakwa yang tidak
membenarkan atau membantah pertanyaan dan/atau pernyataan justru dapat
dianggap oleh majelis hakim sebagai upaya untuk menutupi tindak pidana yang
dilakukan atau dengan kata lain terdakwa berbelit-belit dalam mengungkapkan
fakta, hal ini tidak menutup kemungkinan akan memperberat putusan yang
dijatuhkan oleh Majelis Hakim.
Dalam penelitian ini diharapkan dapat diketahui masalah pengaturan
tentang hak untuk diam (Rights to Remain Silent), dalam ketentuan peradilan
pidana di Indonesia. Ada dualisme pendapat mengenai sudah diatur tidaknya hak
untuk diam (Rights to Remain Silent) di dalam KUHAP.
Asas the right to remain silent semata- mata adalah usaha untuk mencegah
tindakan menyimpang seperti penggunaan penyiksaan dalam proses penyidikan.
Dengan demikian semua proses penegakan hukum harus dilandasi oleh norma
perlindungan hak asasi manusia pelaku. Dengan asas tersebut maka pelaku tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
pidana ditempatkan tidak sekedar menjadi obyek pemeriksaan, akan tetapi
diperlakukan secara manusiawi. Hal ini disebabkan di Indonesia menganut system
Inquisatoir yaitu memempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada
tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap penmeriksaan di muka sidang
pengadilan
Penelitian ini akan mengkaji atau menganalisis dualisme pendapat ahli
hukum pidana terkait sudah diatur tidaknya tentang asas Rights to remain silent
(hak untuk tidak menjawab) bagi terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini berjalan di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB III
PEMBAHASAN
Analisis Dualisme Pendapat Ahli Hukum Acara Pidana Terkait
Pengaturan Asas Rights To Remain Silent (Hak Untuk Tidak Menjawab)
Bagi Terdakwa Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Indonesia
Guna mengupas pendapat para ahli hukum pidana berkenaan dengan
pandangan – pandangan mengenai pemberlakuan asas Rights to remain
silent , peneliti terlebihdahulu akan mengupas tentang hak dasar dari asas
Rights to remain silent yaitu asas praduga tidak bersalah. Setelah mengupas
tentang asas praduga tidak bersalah kemudian peneliti akan mengkaji
bagaimana pengelompokan para ahli hukum acara pidana yang selanjutnya
peneliti akan mmenganalisis perbandingan para ahli tersebut. Ketiga
komponen inilah yang akan menjadi arahan pada uraian berikutnya.
Gambar. 2 Skematik Pembahasan
Mengenai sekama diatas bahwa pengaturan hak untuk tidak
menjawab (Rights to remain silent ) bagi terdakwa dalam hukum acara
pidana Indonesia, tidak terlepas dengan asas praduga tak bersalah yang
dimiliki KUHAP, memberi pedoman bahwa tersangka atau terdakwa
mempunyai hak yang diberikan oleh hukum untuk tidak memberikan
jawaban, baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan
the right to remain silent. Sehingga asas the the right to remain silent
merupakan pencerminan dari asas praduga tak bersalah.
Asas dasar
Rights To
Remain Silent
Pro dan Kontra
berkenaan
Rights To
Remain Silent
Analisis Pendapat
Ahli terkait asas
Rights To Remain
Silent
33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Keberadaan asas The Right To Remain Silent merupakan
pencerminan dari adanya asas praduga tak bersalah karena dengan
bersumber pada asas praduga tak bersalah, hak-hak seorang tersangka atau
terdakwa akan terjamin. Berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia,
kendati secara universal asas praduga tak bersalah diakui dan dijunjung
tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) juga menganut asas praduga tidak bersalah. Sikap itu
paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang
menyebutkan, “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup” artinya, untuk melakukan proses pidana terhadap seseorang berdasar
deskriptif faktual dan bukti permulaan yang cukup, harus ada suatu praduga
bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dimaksud.
Asas praduga tak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat
penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan
mengesampingkan asas praduga tak bersalah dalam tingkah laku mereka
terhadap tersangka. Intinya, praduga tak bersalah bersifat legal normatif dan
tidak berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif
faktual artinya berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan
dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum
mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap
peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia
mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan
dalam fase penyidikan, hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh
pengadilan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya, hak untuk
diberitahu tentang apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya
dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaan
hak untuk mendapatkan juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya. Tidak kalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pentingnya sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa
seseorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian.
Penuntut Umum adalah pihak yang mengajukan dakwaan kepada
terdakwa, maka penuntut umumlah yang dibebani tugas membuktikan
kesalahan terdakwa dengan upaya-upaya pembuktian yang diperkenankan
oleh undang-undang. Dalam praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat
diartikan lebih lanjut selama proses peradilan masih berjalan (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) dan belum memperoleh
kekuaan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Terdakwa belum dapat dikategorisasikan bersalah sebagai pelaku
dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah
mendapatkan haknya sebagaimana diatur Undang-Undang, yaitu: hak untuk
segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera
mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-
adilnya, hak untuk memperoleh bantuan hukum, dan lain sebagainya (Lilik
Mulyadi, 2007: 13).
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini, maka kepada
tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan
jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan
(the right to remain silent). Salah satu hak yang sampai saat ini masih
menjadi perdebatan ahli hokum pidana adalah hak untuk tidak menjawab
(asas Rights to remain silent). Sebagaian pakar hukum pidana mengatakan
bahwa asas tersebut sudah diatur dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, dan
sebagaian ahli hukum pidana mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang
hukum Acara Pidana Indonesia, jelas-jelas tidak mengatur untuk tidak
menjawab (asas Rights to remain silent). Dualisme pendapat para ahli
hukum pidana tentang pengaturan hak untuk tidak menjawab (asas Rights to
remain silent) dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Gambar. 3 Sekema Pendapat Dualisme asas Rights to remain silent
Berdasarkan sekema diatas, dualisme pengaturan hak untuk tidak
menjawab bagi terdakwa (asas Rights to remain silent) dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara pidana menurut para ahli hukum pidana terdapat
dualisme pemahaman. Dualisme pendapat sehubungan dengan asas Rights to
remain silent menimnulkan pro dan pontra. Pro dan Kontra sebagai akibat
adanya pemahaman tentang pasal dalam KUHAP yang mengatur adanya hak-
hak tersangka yang berhubungan dengan hak untuk diam atau tidak menjawab
bagi terdakwa dalam proses pidana.
Beberapa pasal terkait dengan hak untuk diam dalam KUHAP ada
beberapa pemahaman atau pendapat tentang sudah diatur atau tidaknya
mengenai asas the right to remain silent. Beberapa pakar berpendapat bahwa
KUHAP tidak mengenal asas yang memberi hak kepada terdakwa untuk
menolak menjawab pertanyaan, karena ketika seseorang menjadi terperiksa/
terdakwa, akan menjadi sesuatu hal yang wajar dan diperkenankan untuk
berbohong sesuai dengan asas the right to remain silent dan hak ingkar.
Pasal 52 KUHAP menyatakan, ''Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim''. Menurut penjelasan
Pasal KUHAP
Pasal 52
Pasal 117
Pasal 175
Pendapat ahli Pro Asas Rights to remain silent
1. Hari Sasangka S.H dan Lyly Rosita S.H
2. M. Solly Lubis S.H
3. M. Yahya Harahab S.H
4. Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH. LL.M
5. M.Karjadi dan R. Soesilo
Pendapat ahli Kontra Asas Rights
to remain silent
1. Prof.Andi Hamzah S.H
2. Harjono Tjitrosubono S.H
Asas Rights to
remain silent
dalam KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Pasal 52 KUHAP, supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak
menyimpang dari yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus
dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau
tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Selain itu, Pasal 117 KUHAP
menyatakan bahwa keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apa pun. Namun
demikian sayangnya kedua Pasal ini tidak menyebutkan sama sekali tentang
masalah keabsahan hasil penyidikan yang diperoleh dengan cara penyiksaan
itu.
Oleh karena itu, Pasal 52 KUHAP maupun Pasal 117 KUHAP itu
sebenarnya berkaitan erat dengan asas- asas pemeriksaan keterangan
terdakwa/ tersangka the right to remain silent. Yaitu, suatu hak tersangka
untuk tidak menjawab. Artinya keterangan tersangka/terdakwa hanya dapat
dipergunakan bagi dirinya sendiri, sebagaimana dimaksud dengan Pasal 189
ayat 3 KUHAP, karena di dalam perundang-undangan hukum acara pidana
kita yang baru ini adanya suatu pengakuan terdakwa tidaklah dipergunakan
sebagai alat bukti lagi, bahkan hanya menempati urutan terakhir sebagai alat
bukti seperti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan penyebutan
"keterangan terdakwa", bukan suatu "pengakuan terdakwa".
Untuk menciptakan keseimbangan dan keselarasan kepentingan serta
perlindungan kepentingan hukum para hakim dan terdakwa serta penasehat
hukum. Maka masing- masing pihak harus menyadari bahwa pelaksanaan asas
the right to remain silent, harus dilaksanakan dengan asas keseimbangan
sesuai Pasal 175 KUHAP yaitu pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan
harus melindungi kepentingan terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak-
hak asasi dan kepentingan ketertiban masyarakat pada sisi lain tanpa
mengorbankan hak- hak asasi manusia demi mengejar kepentingan umum.
Dalam penerapan Pasal 175 KUHAP sebagai suatu keseimbangan,
terdakwa seharusnya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Terdakwa dalam kedudukannya sebagai orang yang diduga melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
pidana adalah anggota masyarakat ikut bertanggung jawab tegaknya hukum
dalam kehidupan masyarakat (M.Yahya Harahap, 1988:726).
Hal ini dimaksudkan agar seorang yang bersalah mendapat hukuman
yang sesuai dengan peraturan yang ada. Sebaliknya, kita juga menghendaki
seorang yang tidak bersalah, tidak mendapat hukuman yang tidak sepantasnya
diberikan kepadanya.
Hakim juga tidak boleh memaksa terdakwa untuk menjawab, kalau
terdakwa tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Yang
boleh dilakukannya, hanya “menganjurkan” terdakwa untuk menjawab. Selain
itu, hakim ataupun penuntut umum tidak boleh mengartikan diamnya
terdakwa sebagai tingkah laku dan perbuatan menghalangi dan mengganggu
ketertiban sidang. Apalagi sampai mempertimbangkan dan menarik
kesimpulan bahwa keengganan menjawab sebagai keadaan yang memberatkan
kesalahan dan hukuman terdakwa. Diamnya terdakwa harus dinilai secara
kasuistis dan realistis, dengan argumentasi yang matang dan cukup
pertimbangannya.
Berdasarkan asas yang telah dibahas di atas, pemeriksaan terdakwa
dititiksentralkan pada asas keseimbangan antara kepentingan terdakwa pada
satu pihak dan kepentingan umum di pihak lain, untuk mengungkap kebenaran
yang sebenarnya dalam pemeriksaan. Keberadaan Pasal 175 untuk melegalkan
terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan ketika pemeriksaan, tidak
semata- mata digunakan begitu saja karena terdakwa bisa dengan mudah lepas
dari tanggung jawab tindak pidana yang dilakukan.
Masalah hak untuk diam tersangka/tedakwa dalam pemeriksaan inilah
yang hingga saat ini masih, masih menjadi perdebatan. Pakar hukum pidana.
Para ahli hukum pidana beranggapan bahwa hak untuk diam sudah cukup
diatur dalam KUHAP, namun ada juga yang beranggapan bahwa Hak untuk
diam belum diatur sepenuhnya dalam KUHAP. Dualisme pendapat ahli
hukum pidana terkait sudah diatur tidaknya tentang asas Rights to remain
silent (hak untuk tidak menjawab) bagi terdakwa dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dapat dijabarkan falam tabel sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tabel 1: Pendapat Pro Rights to remain silent
N
O
Pasal dalam Rights to remain
silent
Pendapat ahli yang pro RTRS
1.
2.
Pasal 52 KUHAP
“Dalam pemeriksaan
pada tingka penyidikan
dan pengadilan,
tersangka atau
terdakwa berhak
memberikan
keterangan secara
bebas kepada penyidik
atau hakim.
Pasal 117 KUHAP
(1)Keterangan tersangka dan
atau saksi kepada penyidik
diberikan tanpa tekanan dari
siapapun dan atau dalam
bentuk apapun.
(2)Dalam hal tersangka
M. Solly Lubis Hak untuk tidak
menjawab atau diam sebelum
diperiksa/sebelum dilakukan
penyidikan (a right to remain in
silent diakomodir dalam system
Hukum Acara Pidana Indonesia
(KUHAP).
Hari Sasangka dan Lyly Rosita
Tentang asas Rights to remain
silent Hari Sasangka dan Lyly
Rosita berpendapat bahwa asas
Rights to remain silent diatur
dalam KUHAP. Hal tersebut
terkait Hak-hak tersangka yaitu
Pasal 52
Dalam pemeriksaan
pada tingka penyidikan dan
pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada
penyidik atau hakim.
Hari Sasangka dan Lyly Rosita
Ketentuan Pasal 117 KUHAP
berkaitan erat dengan Pasal 52
KUHAP bahwa keterangan
tersangka bukan pengakuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
3.
memberi keterangan tentang
apa yang sebenarnya ia telah
lakukan sehubungan dengan
tindak pidana yang
dipersangkakan kepadanya,
penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya
sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka
sendiri.
Pasal 175 KUHAP
Jika terdakwa tidak mau
menjawab atau menolak untuk
menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya hakim
ketua siding menganjurkan
untuk menjawab dan setelah
itu pemeriksaan di lanjutkan
tersangka sehingga bukan
merupakan alat bukti. Ynag
merupakan alat bukti adalah
keterangan terdakwa.
Hari Sasangka dan Lyly Rosita
Ketentuan Pasal 175 KUHP
berkaitan erat dengan pasal 52
yakni mengenai hak
tersangka/terdakwa secara
tegas. Meskipun tidak diatur
tetapi hak untuk tidak
menjawab merupakan hak
terdakwa. Dalam KUHP tidak
ada sanksi apapun bagi
terdakwa yang tidak menjawab
pertanyaan hakim.
Pandangan M. Yahya Harahab
tentang asas the right to reman
silent diatur dalam KUHAP dapat
kita simak berkenaan dengan
pengajuan pertanyaan yang bersifat
menjerat oleh jaksa atau hakim. M.
Yahya Harahab berpendapat bahwa
undang – undang tidak menyebut
sanksi ketika pasal 166 dilanggar.
Perumusan Pasal 166 ” Pertanyaan
yang bersifat menjerat tidak boleh
di ajukan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi ”. Sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bentuk pertanyaan yang menjerat
bagi terdakwa tidak boleh
dilakuakan oleh jaksa ataupun
hakim. Dan apabila jaksa atau
hakim melanggar dan memberikan
pertanyaan yang menjerat kepada
terdakwa, maka penasehat hukum
mengingatkan kepada hakim
bahwa pasal 166 harus di tegakkan
dan meminta terdakwa untuk tidak
menjawab pertanyaan. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan adanya
perumusan ketentuan dalam Pasal
175 KUHAP. Perumusan Pasal 175
menyatakan bahwa “Jika terdakwa
tidak mau menjawab atau menolak
untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, hakim ketua
sidang menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan”. (M.
Yahaya Harahap,2003,219)
Irjen Oergoseno
Sebenarnya tersangka punya
hak diam di depan penyidik saat
diperiksa. Hak diam di depan
penyidik diatur dalam KUHAP.
Pengakuan tersangka tidak
utama dalam pembuktian.
tersangka itu boleh diam sampai
diberikan haknya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
berbicara pada persidangan.
Pasalnya keterangan terdakwa,
di persidangan nanti yang
menjadi fakta. Terpenting
terlebih dahulu itu ada alat
buktinya, ada keterangan saksi
dan ada pengakuan. Bila tidak
ada pengakuan, cukup alat bukti
saja yang menguatkannya
(wahyu.wordpress.com/2011/05
/21/hak-diam-bagi-tersangka/)
HMA.KufflaS.H. berpendapat
bahwa dalam pemeriksaan pada
tingkat penyidikan dan
pengadilan tersangka/ terdakwa
berhak memberikan keterangan
secara bebas kepada penyidik
dan hakim. Dalam penjelasan
pasal 52 KUHAP diterangkan
supaya pemeriksaan dapat
mencapai hasil yang tidak
menyimpang dari yang
sebenarnya maka terdakwa atau
tersangka harus dijauhkan dari
rasa takut.Oleh karena itu wajib
dicegah adanya paksaan atau
tekanan terhadap
tersangka/terdakwa(HMA.Kuffl
aS.H. 2002.135)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Pandangan menurut M.Karjadi
dan R. Soesilo tentang asas the
right to reman silent yaitu Pasal
175 “ Jika terdakwa tidak mau
menjawab atau menolak untuk
menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, hakim
ketua sidang menganjurkan
untuk menjawab dan setelah itu
pemeriksaan dilanjutkan”
Seorang terdakwa harus
dianggap sebagai subyek,
artinya di depan hakim ia harus
di beri kedudukan dan hak –
hak yang sama seperti penuntut
umum. Di antaranya kepada
seseorang terdakwa harus diberi
hak seluas – luasnya untuk
membela diri. Ia tidak boleh
dipaksan untuk mengatakan
sesuatu, baik oleh pegawai
penyidik penuntut umum atau
hakim. Apabila para pegawai
tersebut mengajukan pertanyaan
– pertanyaan kepadanya,
terdakwa tidak perlu menjawab
dan boleh diam ( di beri hak
bungkem ) karena ia tidak boleh
di paksa. Jadi kalau terdakwa
tetap tidak mau memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
jawaban, tidak ada sanksi untuk
memidana, hanya saja jika
kalau terdakwa mengeruhkan
persidangan dengan tindakan –
tindakan tidak patut, maka
hakim dapat menegur terdakwa
dan jika perlu mengusir keluar
dari persidangan. (M.Karjadi
dan R. Soesilo 1998,155)
Prof. DR. Romli Atmasasmita,
SH. LL.M Konsekuensi logis
dari asas praduga tak bersalah
ini maka kepada tersangka atau
terdakwa diberikan hak oleh
hukum untuk tidak memberikan
keterangan yang akan
memberatkan/merugikan
dirinya di muka persidangan
(the right of non-self
incrimination), dan untuk tidak
memberikan jawaban baik
dalam proses penyidikan
maupun dalam proses
persidangan( the right to remain
silent). Hak seseorang tersangka
untuk tidak dianggap bersalah
sampai ada putusan pengadilan
yang menyatakan sebaliknya
(praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
yang bersifat absolut, baik dari
sisi formil maupun sisi materiel,
karena hak ini tidak termasuk
”non-derogable rights” seperti
halnya hak untuk hidup atau
hak untuk tidak dituntut dengan
hukum yang berlaku surut (non-
retroaktif). Bahkan UUD 1945
dan Perubahannya, sama sekali
tidak memuat hak, praduga tak
bersalah ; asas ini hanya dimuat
dalam Pasal 8 UU Nomor 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan di dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 8
tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8
UU Kekuasaan Kehakiman
(2004), dan Penjelasan Umum
KUHAP,adalah: ”Setiap orang
yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap
(http://miftakhulhuda.wordpress
.com/2010/02/16/logika-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
hukum-asas-praduga-tak-
bersalah-reaksi-atas-paradigma-
individualistik/.(12.00. 9 juli
20011 ).
Tabel 2: Pendapat Kontra Rights to Remain Silent
N
O
Pasal dalam Rights to
remain silent
Pendapat ahli yang kontra RTRS
1.
2.
Pasal 52 KUHAP
Dalam pemeriksaan pada
tingka penyidikan dan
pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak
memberikan keterangan
secara bebas kepada
penyidik atau hakim.
Pasal 117 KUHAP
(1)Keterangan tersangka
dan atau saksi kepada
penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapapun dan
atau dalam bentuk apapun.
(2)Dalam hal tersangka
memberi keterangan
tentang apa yang
sebenarnya ia telah
lakukan sehubungan
Harjono Tjitrosubono bahwa hak asasi
tersangka/terdakwa yang sangat
mendasar dalam hukum acara pidana
modern ialah hak untuk tidak
menjawab tidak diatur dengan tegas
dalam HAP. Tidak ada suatu pasal
yang mewajibkan tersangka /terdakwa
memberikan jawaban, akan tetapi juga
tidak ada suatu pasal yan menyatakan
tegas bahwa tersangka/terdakw berhak
untuk tidak menjawab. Akan tetapi
bagaimana juga jelas bahwa
tersangka/terkdawa yang tidak mau
menjawab tergantung pada pribadi
pemeriksa, polisi, penuntut umum dan
hakim, sehingga terbuka
kemungkinan bahwa sikap tersangka
/terdakwa itu akan dapat dinilai oleh
pemeriksa secara negatif yang
merugikan tersangka/terdakwa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
3.
dengan tindak pidana yang
dipersangkakan
kepadanya, penyidik
mencatat dalam berita
acara seteliti-telitinya
sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh
tersangka sendiri.
Pasal 175 KUHAP
Jika terdakwa tidak mau
menjawab atau menolak
untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan
kepadanya hakim ketua
siding menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu
pemeriksaan di lanjutkan
kecuali kalau pemeriksa itu bersikap
modern yang mau menerima pendirian
bahwa, tersangka/terdakwa berhak
untuk, tidak menjawab yang secara
implisit diakui dalam HAP (Pasal 52
jo. Pasal 175) (Harjono Tjitrosubono
1983,5)
Prof . Dr.Andi Hamzah, S.H
Di dalam KUHAP hanya
dikatakan pada Pasal 52 : “Dalam
pemeriksaan pada tingkat
penyidik dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau
hakim.” Dalam penjelasan Pasal
itu, jelas yang dimaksud yaitu
tersangka tidak boleh dipaksa atau
ditekan. Jadi, tidak dijelaskan
apakah tersangka atau terdakwa
berhak berdiam diri tidak
menjawab pertanyaan.
Berdasarkan tabel di atas pendapat tentang hak untuk tidak menjawab
(Rights to remain silent) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
1. M Yahya Harahab.
Pandangan M. Yahya Harahab tentang asas the right to reman silent diatur
dalam KUHAP dapat kita simak berkenaan dengan pengajuan pertanyaan
yang bersifat menjerat oleh jaksa atau hakim. M. Yahya Harahab
berpendapat bahwa undang – undang tidak menyebut sanksi ketika pasal
166 dilanggar. Perumusan Pasal 166 ” Pertanyaan yang bersifat menjerat
tidak boleh di ajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi ”.
Sehingga bentuk pertanyaan yang menjerat bagi terdak wa tidak boleh
dilakuakan oleh jaksa ataupun hakim. Dan apabila jaksa atau hakim
melanggar dan memberikan pertanyaan yang menjerat kepada terdakwa,
maka penasehat hukum mengingatkan kepada hakim bahwa pasal 166
harus di tegakkan dan meminta terdakwa untuk tidak menjawab
pertanyaan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya perumusan ketentuan
dalam Pasal 175 KUHAP. Perumusan Pasal 175 menyatakan bahwa “Jika
terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”. (M. Yahaya
Harahap,2003,219)
Dari kutipan diatas penulis menyimpulkan bahwa M. Yahaya
Harahap ternyata menyarankan kalau terdakwa di berikan pertanyaan yang
menjerat terdakwa boleh diam dengan memanfaatkan Pasal 175
KUHP.Pada intinya proses hukum yang dijalankan harus dapat
mencerminkan adanya keseimbangan. Untuk menciptakan keseimbangan
dan keselarasan kepentingan serta perlindungan kepentingan hukum para
hakim dan terdakwa serta penasehat hukum. Maka masing- masing pihak
harus menyadari bahwa pelaksanaan asas the right to remain silent, harus
dilaksanakan dengan asas keseimbangan sesuai Pasal 175 KUHAP yaitu
pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan harus melindungi kepentingan
terdakwa sebagai manusia yang memiliki hak- hak asasi dan kepentingan
ketertiban masyarakat pada sisi lain tanpa mengorbankan hak- hak asasi
manusia demi mengejar kepentingan umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
2. Hari Sasangka dan Lyly Rosita
Tentang asas Rights to remain silent Hari Sasangka dan Lyly Rosita
berpendapat bahwa asas Rights to remain silent diatur dalam KUHAP. Hal
tersebut terkait Hak-hak tersangka yaitu :
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingka penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim.
Penjelasan:
a. Ketentuan ini bertujuan agar supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil
yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya (mencari kebenaran
material), maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa
takut. Oleh karena itu harus dicegah adanya paksaan atau tekanan
terhadap diri tersangka atau terdakwa tegasnya tersangka atau
terdakwa tidak boleh diperlakukan sebagai obyek pemeriksaan
(penjelasan).
b. Yang dimaksud keterangan yang diberikan secara bebas adalah
keterangan yang diberikan secara bebas adalah keterangan yang
diberikan tanpa tekanan baik secara phisik maupun psikhis. Pemaksaan
di dalam pemeriksaan merupakan tindak pidana yang diancam dengan
Pasal 422 KUHP:
Pemeriksaan dengan penekanan sebenarnya menunjukkan
ketidak mampuan penyidik di dalam menjalankan tugas. Sebenarnya
praktek-praktek seperti ini sudah bisa dihindari jika penyidik bisa
mencari alat bukti yang lain, terutama keterangan saksi. Meskipun
seorang tersangka sudah mengakui tindak pidana yang
dipersangkakan, dalam pemeriksaan penyidikan, akan tetapi alat bukti
lainnya tidak mendukung pengakuan tersebut adalah percuma saja.
Yang diperlukan sebenarnya adalah terutama dititikberatkan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
keterangan saksi. Yang membuktikan kesalahan terdakwa, bukan
sebaliknya. Oleh karena itu urut-urutan pemeriksaan dalam
persidangan, keterangan (bukan pengakuan) terdakwa, diperiksa paling
akhir.
c. Keterangan tersangka yang diberikan di depan penyidik (dahulu
dikenal dengan keterangan di luar sidang) hanya merupakan pedoman
didalam pemeriksaan persidangan. Keterangan tersangka bukan alat
bukti, berbeda dengan keterangan terdakwa yang merupakan alat bukti
yang sah (Pasal 184 jo 189 KUHAP).
Keterangan tersangka dalam penyidikan bisa saja dicabut dalam
persidangan dengan alasan yang dapat diteriama.
d. Hak memberikan keterangan secara bebas bagi tersangka atau
terdakwa lebih diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 117ayat (1)
KUHAP (tingkat penyidikan) dan Pasal 153 ayat (2) huruf b (tingkat
pemeriksaan persidangan). Terdakwa tidak saja diperbolehkan untuk
memberikan keterangan secara bebas, tetapi juga tidak menjawab.
Meskipun apabila terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk
menjawab, hakim wajib menganjurkan untuk menjawab. (Pasal 175
KUHAP).
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang
sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana
yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita
acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Penjelasan:
1. Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP.
2. Di dalam pasal ini disebutkan keterangan tersangka, bukan
pengakuan tersangka. Keterangan tersangka bermakna lebih luas
daripada pengakuan tersangka, karena keterangan tersangka bisa
berisi pengakuan tersangka.
3. Keterangan tersangka bukan merupakan alat bukti, yang merupakan
alat bukti adalah keterangan terdakwa di dalam persidangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e jo Pasal 189
KUHAP.
4. Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi dan terdakwa
untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik. Pasal
ini tidak memberikan penjelasan terhadap berita acara yang
dihasilkan berdasarkan pemeriksaan dengan tekanan, sah atau tidak.
Sebenarnya karena penekanan didalam pemeriksaan dilarang, maka
apabila terjadi pemeriksaan terhadap diri tersangka atau saksi dengan
tekanan maka berita acara pemeriksaan penyidik tersebut batal demi
hukum.
5. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) KUHAP, ada
beberapa komentar yang menarik:
a. Persepsi aparat polisi masih belum beranjak dari HIR ke
KUHAP, dengan kata lain prinsip akusatoris yang dianut
KUHAP masih lebih dominan sebagai retorika belaka. Misalnya
polisi melihat pengakuan sebagai alat bukti sehingga terjadi
kekerasan untuk memeras pengakuan tersangka di dalam
pemeriksaan penyidikan (Luhut Pangaribuan, Kompas 5 Maret
1994).
b. Menggenai keabsahan berita acara penyidikan, tidak perlu
dipersoalkan karena BAP merupakan petunjuk bukan alat bukti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Meskipun terbukti terjadi penangkapan, penahanan, pemeriksaan
secara tidak sah. BAP tidak otomatis batal. Yang penting
bagaimana pengujian kebenaran BAP, dalam persidangan
nantinya yakni pengujian keabsahan hasil pemeriksaan polisi
(Muhammad Assegaf, Kompas 26 Februari 1994).
6. Ancaman bagi seorang penyidik di dalam pemeriksaan terhadap
saksi maupun tersangka dengan keberatan terdapat dalam pasal 422
KUHP.
Meskipun pemeriksaan dengan penekanan diancam pidana dalam
KUHP, tetapi jarang ada seorang penyidik diajukan kepersidangan
karena melakukan tindak pidana yang dimaksud.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya hakim ketua sidang
menganjurkan untuk menjawab dan setalah itu pemeriksaan dilanjutnya.
Penjelasan:
a. Ketentuan Pasal 175 KUHAP berkaitan erat dengan Pasal 52 dan
153 ayat (2) huruf b KUHAP, yakni mengenai hak
tersangka/terdakwa memberikan keterangan secara tegas.
b. Meskipun tidak diatur dalam KUHAP, hak untuk diam merupakan
hak terdakwa (the right of remain silent).
c. Dengan terdakwa tidak mau menjawab, sebenarnya hal tersebut
merugikan terdakwa sendiri. Karena dengan demikian ia tidak dapat
memberikan keterangan yang meringankan dirinya.
d. Di dalam KUHAP, tidak ada sanksi apapun bagi diri terdakwa yang
tidak mau menjawab pertanyaan hakim.
e. Hoge Road dalam arrest-nya tanggal 22 Juni 1931
mempertimbangkan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
“Adalah keliru memaksa orang lain agar memberikan keterangan-
keterangan mengenai tindak pidana yang telah ia lakukan.”
f. Pertimbangan Hoge Road di atas sejalan dengan pendapat Mr.
Trapman mengenai kedudukan dan sikap terdakwa, yakni boleh
berdusta dan boleh menyangkal setiap dakwaan (lihat catatan Pasal
155 KUHAP).
g. Dengan demikian terdakwa yang memberikan keterangan berbelit-
belit dan menyulitkan persidangan tidak boleh dipakai alasan untuk
memberatkan pidananya. Akan tetapi sebaliknya jika seorang
terdakwa mengaku terus terang, bisa meringankan pidananya.( Hari
Sasangka dan Lyly Rosita ,2003)
Penegasan bahwa Hari Sasangka dan Lyly Rosita berpendapat
bahwa Ketentuan Pasal 175 KUHAP berkaitan erat dengan Pasal 52 dan
153 ayat (2) huruf b KUHAP, yakni mengenai hak tersangka/terdakwa
memberikan keterangan secara tegas. Meskipun tidak diatur dalam
KUHAP, hak untuk diam merupakan hak terdakwa (the right of remain
silent). Meskipun terdakwa tidak mau menjawab, sebenarnya hal
tersebut merugikan terdakwa sendiri. Karena dengan demikian ia tidak
dapat memberikan keterangan yang meringankan dirinya.
4. M.Karjadi dan R. Soesilo
M.Karjadi dan R. Soesilo tentang asas the right to reman silent yaitu
Pasal 175 “ Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang
menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”
Seorang terdakwa harus dianggap sebagai subyek, artinya di depan
hakim ia harus di beri kedudukan dan hak – hak yang sama seperti
penuntut umum. Di antaranya kepada seseorang terdakwa harus diberi
hak seluas – luasnya untuk membela diri. Ia tidak boleh dipaksan untuk
mengatakan sesuatu, baik oleh pegawai penyidik penuntut umum atau
hakim. Apabila para pegawai tersebut mengajukan pertanyaan –
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pertanyaan kepadanya, terdakwa tidak perlu menjawab dan boleh diam (
di beri hak bungkem ) karena ia tidak boleh di paksa. Jadi kalau
terdakwa tetap tidak mau memberikan jawaban, tidak ada sanksi untuk
memidana, hanya saja jika kalau terdakwa mengeruhkan persidangan
dengan tindakan – tindakan tidak patut, maka hakim dapat menegur
terdakwa dan jika perlu mengusir keluar dari persidangan.
Penulis menguatkan, bahwa pendapat M.Karjadi dan R. Soesilo Pasal 175
berkaitan dengan :
a) Pasal 52 KUHAP
“Dalam pemeriksaan pada tingka penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim.”
Penjelasan Pasal 52 Bahwa supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil
yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau
terdakwa harus di jauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah
adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
b) Pasal 117 KUHAP
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang
sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang
dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara
seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka
sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Penjelasan
Tekanan dari siapapun tidak boleh dilakukan terhadap orang yang
diperiksa keteranganya, apalagi tekanan atau paksaan yang dilakukan
oelh pegawai negeri atau pejabat polisi pemeriksa perkara. Ancaman
bukan saja hanya dilarang, akan tetapi seorang pegawai negeri dengan
sewenang-wenang memakai kekuasaan memaksa orang lain untuk
berbuat, tidak berbuat atau membiarkan barang suatu apa, diancam oleh
pasal 421 KUHP dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan
c) Pasal 166 “Pertanyaan yang menjerat tidak boleh diajukan baik kepada
terdakwa aataupun saksi”
Penjelasan
Menurut Pasal166, maka dalam sidang pengadilan, baik kepada
terdakwa maupun saksi tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan –
pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip bahwa
keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di semua
tingkat pemeriksaan.Dalam penyidikan atau penuntu umum tidak boleh
mengadakan tekanan yang bagaimana caranya, lebih – lebih di dalam
pemeriksaan sidang si pengadilan. Ancaman dan sebagaimananya dapat
menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan
daripada hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikiran yang
bebas.
5. Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH. LL.M
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada
tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak
memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di
muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak
memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
proses persidangan( the right to remain silent). Hak seseorang tersangka
untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan
hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel,
karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak
untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku
surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali
tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam
Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di
dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan
Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(http://miftakhulhuda.wordpress.com/2010/02/16/logika-hukum-asas-
praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik/.(12.00. 9 juli
20011 ).
6. Harjono Tjitrosubono
Harjono Tjitrosubono berpendapat, Hukum Acara Pidana yang di
tandatangani Presiden dan resmi berlaku setelah diundangkan tanggal 31
Desember 1981 yang lalu di bawah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah banyak hak-hak
asasi tesangka/terdakwa yang diakui yang dinyatakan dalam pasal-pasal
dengan kata-kata :”tersangka /terdakwa berhak…..”,
Hak asasi tersangka/terdakwa yang sangat mendasar dalam hukum
acara pidana Indonesia ialah hak untuk tidak menjawab tidak diatur
dengan tegas dalam HAP. Tidak ada suatu pasal yang mewajibkan
tersangka /terdakwa memberikan jawaban, akan tetapi juga tidak ada suatu
pasal yan menyatakan tegas bahwa tersangka/terdakwa berhak untuk tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
menjawab. Akan tetapi bagaimana juga jelas bahwa tersangka/terkdawa
yang tidak mau menjawab tergantung pada pribadi pemeriksa, polisi,
penuntut umum dan hakim, sehingga terbuka kemungkinan bahwa sikap
tersangka /terdakwa itu akan dapat dinilai oleh pemeriksa secara negatif
yang merugikan tersangka/terdakwa, kecuali kalau pemeriksa itu bersikap
modern yang mau menerima pendirian bahwa, tersangka/terdakwa berhak
untuk, tidak menjawab yang secara implisit diakui dalam HAP (Pasal 52
jo. Pasal 175)
7. Andi Hamzah
Andi Hamzah berpendapat bahwa tersangka mempunyai hak-hak
sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak yang sering menimbulkan pro
dan kontra dari sarjana hukum ialah hak tersangka atau terdakwa untuk
memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan baik oleh penyidik,
penuntut umum, maupun oleh hakim. Sering ketentuan ini dipandang
mencerminkan dari asas akusator (acusatoir) yang telah dikemukakan
dimuka.
Kewajiban polisi atau penyidik Indonesia seperti itu tidak dikenal
oleh KUHAP. Masalah apakah tersangka berhak untuk berdiam diri
tidak menjawab pertanyaan, rupanya tidak tegas dianut dalam KUHAP.
Di dalam KUHAP hanya dikatakan pada Pasal 52 : “Dalam pemeriksaan
pada tingkat penyidik dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”
Dalam penjelasan Pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak
boleh dipaksa atau ditekan. Jadi, tidak dijelaskan apakah tersangka atau
terdakwa berhak berdiam diri tidak menjawab pertanyaan. Penjelasan itu
mengatakan : “Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak
menyimpang daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa
harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu, wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.”
Menurut pendapat penulis, kebebasan tersangka atau terdakwa dalam
hal memberikan keterangan menurut KUHAP seperti tersebut dimuka, masih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
perlu dihayati oleh para penegak hukum. Bukan saja pemeriksa atau penyidik
yang harus menyadari tugas yang dipikulkan ke pundaknya, yaitu mencari
kebenaran materiil demi untuk kepentingan umum yang selaras dengan
kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus telah dapat
mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya yang dijamin oleh
undang-undang.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, hak untuk tidak menjawab
(Rights to remain silent) oleh terdakwa merupakan bentuk perlindungan
hukum bagi terdakwa selama dalam proses dalam hukum acara pidana.hak
untuk tidak menjawab ini selaras dengan asas praduga tak bersalah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan
Umum Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap”.
Berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia, kendati secara universal
asas praduga tak bersalah diakui dan dijunjung tinggi, tetapi secara legal
formal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menganut
asas praduga bersalah. Sikap itu paling tidak dapat disimpulkan dari ketentuan
Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, “Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup” artinya, untuk melakukan proses pidana
terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang
cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu
perbuatan pidana yang dimaksud.
Asas praduga tak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak
hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan
mengesampingkan asas praduga tak bersalah dalam tingkah laku mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
terhadap tersangka. Intinya, praduga tak bersalah bersifat legal normatif dan
tidak berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif
faktual artinya berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan
dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum
mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap
peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia
mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan
dalam fase penyidikan, hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh
pengadilan dan mendapatkan putusan yang seadil-adilnya, hak untuk
diberitahu tentang apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya dengan
bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaan hak untuk
mendapatkan juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak
untuk mendapatkan kunjungan keluarganya. Tidak kalah pentingnya sebagai
perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seseorang terdakwa tidak
dapat dibebani kewajiban pembuktian.
Terdakwa belum dapat dikategorisasikan bersalah sebagai pelaku dari
tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah
mendapatkan haknya sebagaimana diatur Undang-Undang, yaitu: hak untuk
segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera
mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-
adilnya, hak untuk memperoleh bantuan hukum, dan lain sebagainya.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini, maka kepada tersangka
atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan jawaban
baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to
remain silent).
Dalam kaitannya dengan Pengaturan hak untuk tidak menjawab
(Rights to remain silent) oleh terdakwa dalam sistem peradilan Pidana
Indonesia, tidak terlepas adanya pengertian negara hukum atau rule of law.
Dengan asas praduga tidak bersalah yang dianut oleh KUHAP, memberi
pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum
menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang ”inkuisitur” atau
”inquisitorial system” yang menempatkan tersangka/ terdakwa dalam
pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-
wenang.
Prinsip inkuisitur ini dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam
periode HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi
tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan
kebenarannya, sebab sejak semula aparat penegak hukum sudah apriori
menganggap tersangka/ terdakwa bersalah. Seolah-olah si tersangka sudah
divonis sejak saat pertama diperiksa di hadapan penyidik, tersangka/ terdakwa
dianggap dan dijadikan sebagai obyek pemeriksaan tanpa mempedulikan hak-
hak asasi manusia dan haknya untuk membela dan mempertahankan
martabatserta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam
praktek, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib
sial, meringkuk dalam penjara.(M. Yahya Harahap, 2002: 41)
Untuk menopang asas praduga tidak bersalah dan prinsip akusatur
dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/
terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan
dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui
hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa
sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam
kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan oleh KUHAP.
Terkait Hak untuk Tidak Menjawab (Rights to Remain Silent) bagi
Terdakwa dalam Putusan yang Diambil oleh Majelis Hakim ada beberapa hal
yang perlu digaris bawahi di sini, bahwa hak untuk diam adalah hukum hak
setiap orang dikenakan kepada polisi interogasi atau dipanggil untuk pergi ke
persidangan di pengadilan hukum. Hak ini diakui, secara eksplisit atau dengan
konvensi, di banyak sistem hukum di dunia. Hak ini mencakup sejumlah isu
berpusat sekitar hak terdakwa atau terdakwa menolak memberikan komentar
atau memberikan jawaban ketika ditanya, baik sebelum atau selama proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
hukum di pengadilan hukum. Hal ini dapat hak untuk menghindari diri
inkriminasi atau hak untuk tetap diam ketika ditanya. Hak biasanya mencakup
ketentuan bahwa komentar yang merugikan atau kesimpulan tidak dapat
dibuat oleh hakim atau juri tentang penolakan oleh terdakwa untuk menjawab
pertanyaan sebelum atau selama sidang berlangsung, pendengaran atau upaya
hukum lainnya. Hak ini hanya merupakan sebagian kecil dari hak-hak
terdakwa secara keseluruhan.
Seperti yang disinggung di atas, teoritis pemberian hak ini telah
menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa berada dalam posisi yang sama
derajatnya dengan pejabat aparat penegak hukum. Namun dalam praktek, hak-
hak yang diakui hukum ini masih merupakan pertaruhan, apakah benar-benar
dapat diwujudkan dalam konkreto. Barangkali kita merasa optimis, sebab
kalau hal-hal tadi dilanggar dapat mengajukan sah tidaknya pelanggaran itu
kepada pra peradilan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi dan
rehabilitasi.(M Yahya Harahap, 2002: 42).
Adanya asas the right to remain silent semata- mata adalah usaha
untuk mencegah tindakan menyimpang seperti penggunaan penyiksaan dalam
proses penyidikan. Hal ini sebenarnya telah ditoleransi dan menjadi perhatian
penyusun undang-undang sebagai bagian dari hak-hak tersangka/terdakwa
dalam KUHAP
Pada dasarnya, dalam KUHAP tidak ditulis mengenai asas yang
memberi hak kepada terdakwa untuk menolak menjawab pertanyaan ketika
proses pemeriksaan sidang berlangsung. Selain itu, asas Rights to remain
silent keberadaannya juga tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan
manapun sehingga secara teori mengenai keberadaannya tidak diketahui
secara pasti, tetapi pada kenyataannya, seringkali dijumpai tersangka /
terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Hakim atau Jaksa
Penuntut Umum dalam proses penyidikan. Bertitik dari hal tersebut, rights to
remain silent keberadaannya semata-mata adalah usaha untuk mencegah
tindakan menyimpang seperti penggunaan penyiksaan dalam proses
penyidikan. Hal ini sebenarnya telah ditoleransi dan menjadi perhatian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
penyusun Undang-Undang sebagai bagian dari hak-hak tersangka/terdakwa
dalam KUHAP.
Beberapa Pasal dalam KUHAP yang berkaitan dengan asas Rights to
remain silent seperti pendapat dari para pakar hokum di atas antara lain:
a. Pasal 52 menyatakan: “ Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan
secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Dalam penjelasan Pasal 52
KUHAP dimaksudkan supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang
tidak menyimpang dari yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa
harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
b. Pasal 117 menyatakan: “Bahwa keterangan tersangka dan atau saksi
kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam
bentuk apapun. Namun sangat disayangkan karena kedua Pasal ini tidak
menyebutkan sama sekali tentang masalah keabsahan hasil penyidikan
yang diperoleh dengan cara penyiksaan.
Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP berkaitan erat dengan asas rights
to remain silent yaitu suatu hak tersangka untuk tidak menjawab,
maksudnya keterangan tersangka atau terdakwa hanya dapat dipergunakan
bagi dirinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (3)
KUHAP, karena dalam perundang-undangan hukum acara pidana adanya
suatu pengakuan terdakwa tidaklah dipergunakan sebagai alat bukti
bahkan hanya menempati urutan terakhir sebagai alat bukti yang termuat
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan penyebutan “keterangan
terdakwa” bukan suatu “pengakuan terdakwa”.
Pasal 175 KUHAP menyatakan: “ Jika terdakwa tidak mau
menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan
setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”. Dalam upaya menciptakan
keseimbangan dan keselarasan kepentingan dan perlindungan hukum,
maka hakim, penasihat hukum dan terdakwa harus menyadari bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pelaksanaan asas rights to remain silent dilaksanakan sesuai asas
keseimbangan menurut Pasal 175 KUHAP yaitu pemeriksaan terdakwa di
sidang pengadilan harus melindungi kepentingan terdakwa sebagai
manusia yang memiliki hak-hak asasi dan kepentingan, ketertiban pada
sisi lain tanpa mengorbankan hak-hak asasi manusia demi mengejar
kepentingan umum.
Hakim dalam menangani suatu perkara harus berpedoman pada
asas-asas pemeriksaan perkara pidana. Salah satu asas yang terkait dengan
rigts to remain silent ialah asas keseimbangan. Suatu prinsip yang
menuntut keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan
ketertiban masyarakat. Hakim dalam melaksanakan fungsi dan wewenang
penegakan hukum tidak boleh berorientasi kepada kekuasaan semata-mata,
hakim harus menghindari tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan
pelanggaran HAM, seperti tidak menghargai rigts to remain silent
tersangka/terdakwa.
Untuk menjatuhkan pidana, hakim harus mendasarkan atas alat-alat
bukti setidaknya dua alat bukti sah sehingga ia mendapat keyakinan, suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan pelakunya adalah terdakwa, serta dia
bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Keterangan tersangka hanya
salah satu dari lima jenis alat bukti dan tidak harus selalu ada atau
diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam praktik,
penyidikan suatu perkara pidana maupun proses persidangan di
pengadilan, pengakuan terdakwa tidak dijadikan alat bukti penting karena
setiap saat dapat berubah di persidangan sesuai kemauan terdakwa.
Bahkan, seandainya terdakwa bersikap diam sejak penyidikan sampai ke
persidangan di pengadilan, tidak akan dapat memengaruhi hakim guna
menghukum terdakwa jika alat-alat bukti lain telah terpenuhi secara sah
dan meyakinkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan Dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan, maka
penulis dapat mengambil simpulan tentang dualisme pendapat ahli hukum
pidana terkait sudah diatur tidaknya tentang asas Rights to remain silent (hak
untuk tidak menjawab) bagi terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Adapun simpulan yang dapat diambil tersebut adalah :
Sebagian ahli mengatakan bahwa asas the right si temain silent sudah diatur
dalam KUHAP yaitu Pasal 52 dan pasal 117 KUHAP. Sebagaian menyatakan
asas tersebut belum diatur KUHAP. Namun asas The rights to remain silent di
akomodir dalam Pasal 52 dan 117 KUHAP. KUHAP secara tegas tidak
mengatur asas the right to remain silent. Hal demikian bisa dilihat dalam
ketentuan Pasal 175 KUHAP yang menyebutkan bahwa jika terdakwa tidak
mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya, Hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah
itu pemeriksaan dilanjutkan. Hukum Positif di Indonesia tidak mengatur asas
the right to remain silent, KUHAP tidak mengakui keberadaan asas the right
to remain silent, KUHAP hanya menyinggung masalah asas the right to
remain silent dalam tahap pemeriksaan di persidangan.
B. Saran
Saran-saran yang penulis sampaikan adalah:
1. Dalam menerapkan proses penyidikan hendaknya menghargai prinsip-
prinsip hak asasi manusia terkait hak-hak sebagai tersangka, karena sering
dijumpai tindakan kekerasan oleh kepolisian dalam melakukan
penyidikan.
2. Asas to remain silent merupakan perwujudan dari asas praduga tidak
bersalah yang bersifat universal. Untuk itu perlu ada pengaturan secara
64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
tegas dan terperinci di dalam rancangan KUHAP. Dengan pengaturan
yang tegas diharapkan tidak ada keraguan dari para aparat penegak hukum
untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam pelaksanaan penegakan
hukum.
3. Penggunaan asas to remain silent harus dilakukan secara bijaksana dan
hati-hati agar tidak menjadi bumerang dalam penegakan hukum. Harus
selalu diingat bahwa penegakan hukum selain harus memperhatikan hak-
hak tersangka/terdakwa, juga harus memperhatikan kepentingan pihak
korban atau masyarakat yang telah dirugikan oleh perbuatan pelaku
kejahatan tersebut.
4. Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan hak asasi
manusia dalam penegakan hukum, dan salah satu diantara tuntutan itu
berkenaan dengan kualitas penegakan asas the right to remain silent, sudah
selayaknya kepolisian menyiapkan sumber daya manusia yang memahami
dengan baik pengertian dan penerapan asas the right to remain silent,
secara komprehensif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana).
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
___________. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Sinar
Grafika
____________. 1998. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
____________. 1999. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Harjono Tjitrosubono 1983. Komentar sekitar KUHP.Solo.CV.Mayasari.
Hma. Kuffa S.H.2002.Penerapan KUHAP dalam Praktik hukum.Jakarta.UMM
Johnny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Lexy J. Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Lily Rosita, S.H,2003 Komentar Kitan Undang Undang Hukum acara
Pidana.Jakarta. Mawar maju
M. Karjadi dan R. Soesilo.1998.Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
dengan Penjelasan Resmi dan Komentar.Bandung.Politiea
M. Yahya Harahap. 1998. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Ruang lingkup pemeriksaan Terdakwa). Jakarta : Sinar Grafika.
Moch. Faisal salam. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik.
Bandung: Mandar Maju.
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat). Bandung: PT Refika Aditama..
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Internet.
M Sofyan Lubis, SH. Miranda Rule dalam KUHAP.
http://www.legalitas.org/?q=miranda +rules +dalam +kuhap > [ 30 April
2010, pukul 14.20]
(http://miftakhulhuda.wordpress.com/2010/02/16/logika-hukum-asas-praduga-tak-
bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik/.(12.00. 9 juli 20011 ).
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/ua2007/78
http//: www.legalitas.org)(13 April 2011 pukul 14.00).