tanah, konflik dan keadilan ( land, conflict and justice " a political theory of territory...

21
TANAH, KONFLIK DAN KEADILAN ( A Political Theory of Territory) I. PENDAHULUAN Tulisan-tulisan yang dipaparkan dalam buku Land, Conflict, And Justice merupakan kumpulan dari berbagai pandangan dan penelitian yang dilakukan oleh Avery Kolers terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan ketiga permasalahan yang ada diatas. Namun dari ketiga permasalah tersebut yang menjadi titik tolak tentunya mengenai masalah land atau tanah dalam posisinya sebagai wilayah atau territory. Hal bisa dilihat dimana hampir disemua bagian dalam buku ini tanah sebagai territory merupakan sumber dasar pemikiran baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan territorynya, konsep keadilan dalam penguasaan tanah, penyelesaian berbagai konflik yang timbul bahkan didalam buku ini juga dibahas mengenai filsafat politik pertanahan secara mendasar. filsafat politik pertanahan secara mendasar berawal dari pemahaman territorial dimana untuk dapat mewujudkan suatu pemikiran kita tentang makna dan nilai demokrasi, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan, kaitannya dengan territory maka dipaparkan tentang sifat dan pentingnya lembaga-lembaga sosial maupun komunitas-komunitas masyarakat yang ada.

Upload: saeful

Post on 14-Jun-2015

1.765 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

TANAH, KONFLIK DAN KEADILAN

( A Political Theory of Territory)

I. PENDAHULUAN

Tulisan-tulisan yang dipaparkan dalam buku Land, Conflict, And Justice

merupakan kumpulan dari berbagai pandangan dan penelitian yang dilakukan oleh

Avery Kolers terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan ketiga

permasalahan yang ada diatas. Namun dari ketiga permasalah tersebut yang menjadi

titik tolak tentunya mengenai masalah land atau tanah dalam posisinya sebagai

wilayah atau territory.

Hal bisa dilihat dimana hampir disemua bagian dalam buku ini tanah

sebagai territory merupakan sumber dasar pemikiran baik yang berkaitan dengan

hubungan manusia dengan territorynya, konsep keadilan dalam penguasaan tanah,

penyelesaian berbagai konflik yang timbul bahkan didalam buku ini juga dibahas

mengenai filsafat politik pertanahan secara mendasar.

filsafat politik pertanahan secara mendasar berawal dari pemahaman

territorial dimana untuk dapat mewujudkan suatu pemikiran kita tentang makna dan

nilai demokrasi, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan, kaitannya dengan territory

maka dipaparkan tentang sifat dan pentingnya lembaga-lembaga sosial maupun

komunitas-komunitas masyarakat yang ada.

Dalam teori hubungan internasional John Vasquez berpendapat bahwa

sengketa teritorial merupakan hal dominan dan paling umum yang menyebabkan

perang, dan bahwa ini menjelaskan fenomena "mengapa tetangga memerangi"

(Vasquez 1995). Tetapi territoriality negara dan sengketa yang timbul di antara

mereka pada akhir-akhir ini mulai memiliki beberapa pengecualian dan tidak bisa

digenarilisasi , empat kelas pengecualian terhadap generalisasi ini antara lain :

Pendekatan keterikatan wilayah, yang tampak oleh nasionalis liberal

seperti David Miller (2000) dan Tamar Meisels (2005), serta para pendukung hak

masyarakat adat (misalnya Tully 1994);

Page 2: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

II. POKOK PEMIKIRAN

A. Gagasan inti

Gagasan pertama adalah bahwa dari sebaruah ethnogeography.

Istilah ini appropri ¬ diciptakan dari subdiscipline geografi yang berhubungan

dengan keyakinan geografis menggambarkan berbagai budaya (Blaut 1979).

Saya menggunakan istilah untuk nama, bukan bidang studi

Teritorial egalitarianisme, yang dipertahankan dalam berbagai

bentuk oleh Charles Beitz (J999) dan Hillel Steiner (1999), serta dalam

Dworkin (2000) egalitarianisme yang lebih luas mengenai tanah, berusaha

untuk memaksakan Anglo-Amerika ethnogeography pada orang lain yang

mungkin tidak berbagi

Gagasan inti ketiga adalah Teritorial atau wilayah itu sendiri,

dan wilayah negara atau gagasan tentang suatu negara. Dimana penulis

berpendapat sebuah wilayah geografis adalah sebuah tempat yang dibatasi dan

dikontrol di bagian melalui sarana geografis seperti penetapan batas-batas fisik

atau cara lain demarkasi. Untuk mengontrol wilayah harus mampu membuat

dan menegakkan apa yang geografi Robert Sack menyebut dalam / luar tempat

aturan, dan mengalir dari orang-orang melintasi perbatasan dan di dalam

tempat itu sendiri. Tapi tidak setiap wilayah adalah keprihatinan di sini. Teori

yuridis hanya mencakup wilayah - wilayah yang dibatasi dan dikendalikan

melalui aturan hukum. Secara kasar, hak teritorial adalah hak untuk membuat

seseorang layak mengendalikan ethnogcography oleh teori yuridis, khususnya

melalui hukum, politik, dan lembaga-lembaga ekonomi.

B. Pengertian mengenai tanah

Tanah / wilayah / teritorry dalam pengertian dasar sangat berharga

karena memiliki tiga fungsi dasar yaitu :

Pertama, kita hidup di darat, rumah kita, barang-barang kami, dan

hal-hal yang kita bangun secara individu dan kolektif, akan memakan ruang.

Oleh karena itu perluasan fisik daratan adalah distribusi yang baik penting bagi

semua orang.

Page 3: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

Kedua, tanah terdiri dari sumber daya yang kita perlukan untuk

bertahan hidup, sejahtera, dan mengekspresikan diri; secara harfiah, merupakan

tanah baik tubuh fisik kita dan hampir setiap materi yang baik kita dapat

menemukan atau mode. Oleh karena itu ke tanah yang baik, tanah kita yang

dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang kita pedulikan, adalah penting

untuk kemampuan kita untuk membuat jalan kita di dunia.

Ketiga, tanah dan properti - lokasinya, dengan komposisi bahan,

siapa atau apa yang hidup di dalamnya - sangat penting untuk area yang luas

dari sistem dunia, seperti nitrogen dan siklus karbon, pembersihan dan

penyimpanan air, ekosistem, dan produksi oksigen , yang tanpanya kita tidak

akan ada.

Avery Kolers berpendapat bahwa wilayah merupakan bagian dari

kedaulatan suatu bangsa. Tetapi solusi yang dikemukakan sampai saat ini

masih belum memadai atau memuaskan. Pertama, justru karena paham ini,

menggunakan pendekatan kebangsaan tidak dapat memecahkan permasalahan

normatif yang tidak dapat menunjukkan mengapa tuntutan terhadap wilayah

yang telah ada sangat sulit untuk dilakukan yang tidak membawa keuntungan

terhadapnya. Untuk memastikan, bagian dari permasalahan dari konsepsi suatu

bangsa, sejak negara tersebut dibentuk atau bediri yang mana tidak berdasarkan

pada kelompok masyarakat yang membentuknya. Tetapi lebih kepada masalah

yang besar yang berhubungan dengan dasar-dasar yang kuat. Tujuan akhir dari

seruan yang berhubungan dengan seruan untuk mengganggu dan memaksakan

suatu ideologi dan perubahan politik dalam penyelesaian permasalahan wilayah

tidak dapat diterima, sehingga konsep melihat ke belakang tidak dapat diterima.

Sebuah hak teritorial adalah sebuah kelompok hak untuk

mengontrol, atau mungkin untuk berbagi dengan kelompok lain dalam

mengendalikan, sistem hukum suatu wilayah. " Tidak setiap teritorial kanan

adalah hak untuk sebuah negara merdeka. Hal ini sangat penting, karena tidak

semua pernyataan yang valid tentang hak teritorial berlaku pernyataan dari hak

untuk mendirikan negara berdaulat.

Page 4: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

Penulis membandingkan apa yang dia sebut "pribumi konsepsi

nasionalis dan tanah" dengan republiken sipil dan liberal (204-10). Menurut

Levy, mantan "elides perbedaan antara kedaulatan dan kepemilikan," dan

"tanah sebagai tempat conceptualizes, bukan milik" (204). Kontras konsepsi

liberal dalam kedua hal. Ketidaksesuaian ini dalam dua konsep tanah berarti

bahwa tidak mungkin polities liberal bersikeras bahwa masyarakat adat

bergabung dalam pasar seperti orang lain, atau hanya menerima penciptaan

besar tanah air terpisah. Dari perspektif liberal, Levy mengartikulasikan

masalah dalam hal nilai-nilai seperti mobilitas sosial dan geografis, dua

liberalisme keramat "empat mobilitas" (208). Kedua mobilitas sangat penting

baik untuk kepentingan individu sebagaimana dipahami oleh liberals, dan

struktur sosial masyarakat liberal. Levy menekan pertanyaan demikian: "Apa

gunanya seorang liberal dan masyarakat mobile jika terus meningkat sebagian

dari tanah diselenggarakan di bawah semacam pribumi memerlukan? " Lihat

Walzer (1990: 11-12).

C. Pengertian sengketa atau konflik

Menurut Definisi kerja Coser konflik adalah "perjuangan mengenai

nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang yang bersifat

langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.

Kajian Coser terbatas pada fungsi positif dan konflik, yaitu dampak yang

mengakibatkan peningkatan dalam adaptasi, hubungan sosial atau kelompok

tertentu (Kamanto Sunarto: 243). Pandangan pendekatan konflik berpangkal

pada anggapan-anggapan dasar berikut ini :

1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak

pernah berahir, atau dengan pe-nataan lain, perubahan sosial merupakan

gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.

2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau

dengan perkataan lain konflik adalah merupakan gejala yang melekat di

dalam setiap masyarakat.

Page 5: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi

terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.

4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh

sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain (Nasikun: 16-17).

Teori konflik melihat masyarakat senantiasa berada dalam proses

perubahan yangditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-

unsurnya. Teori konflikmelihat bahwa setiap elemen institusi memberikan

sumbangan terhadap disintegrasi sosial.Teori konflik menilai keteraturan yang

terdapat dalam masyarakat disebabkan karena adanya tekanan atau paksaan

kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Tugas utama

menganalisa konflik adalah mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan

dalam masyarakat. Dalam situasi konflik seseorang individu akan

menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongannya (George

Ritzer: 29-30).

Aspek terakhir konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara

konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin kearah

perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat

melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur

sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang akan terjadi

perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula dengan konflik itu

disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif

(George Ritzer: 33).

III. KONDISI UMUM DI INDONESIA

Sebagai negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor

produksi sangat penting karena paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia

yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna

menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk

tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan.

Page 6: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar,

tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu

pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah

secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali

tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat

seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber

utama destabilisasi politik maupun berbagai konflik sosial yang berkaitan dengan

masalah tanah.

Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan

faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik

masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-

masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan

tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban,

terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri

untuk membangun diri mereka sendiri.

Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan

secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan

yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik

yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal

tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi

pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam

proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki

tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi

dan kemiskinan politik.

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin

adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960,

serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut,

pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok

untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang

muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si

Page 7: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang

akan mengambilnya.

A. Karakteristik Konflik tanah di Indonesia

Apabila dicermati, karakteristik konflik tanah di Indonesia antara

dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir

Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan

permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di

dalamnya.

Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan

adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu

oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya

memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik

tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal

juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era

ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan

kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial.

Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek

hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak

yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola

kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation

building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian

kebijakan pembangunan ekonomi nasional.

Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah

berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah

melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta

antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu

konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang

tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya

diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan

atau pemerintah.

Page 8: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh

peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal

menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat

dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung

kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya,

menekan rekyat melindungi pemilik modal.

Konflik horizontal menyebar di Indonesia seperti wabah penyakit

menular. Sistem politik Indonesia sejak reformasi 1998 yang diharapkan dapat

merubah wacana demokrasi Indonesia baru, ternyata harus dibayar mahal.

Kepentingan politik masih dominan mengancam, sehingga batas demokrasi,

kebebasan Pers dan supermasi sipil danhukum menjadi kebablasan dan

formalistik.

Kebijakan ekonomi kerakyatan, ternyata tak mendapat simpati

masyarakat, karena pada prakteknya semua tak menyentuh prioritas

kepentingan publik. Nilai rupiah dan fluktuasi harga tidak menentu, kesulitan

mencari nafkah, pekerjaan sehingga jurang antara kaya dan miskin mengaga

sangat lebar. Pengungsian dan kelaparan mencapai 1 juta jiwa akibat konflik

yang terjadi di berbagai daerah dalam negeri, seperti Aceh, Sambas, NTT,

Ambon, Sulawesi Tengah, dan Poso.

Di sana sini banyak terjadi pergolakan politik yang menimbulkan

konflik sosial. Masyarakat kehilangan pijakan dan kepercayaan diri, emosi

sosial meningkat tak tahu akan menyalahkan siapa. Akibatnya antar warga

masyarakat saling curiga, solidaritas sosial menurun, sehingga timbul tragedi

kemanusiaan yang panjang dan pada akhirnya mengancam integritas bangsa

secara global.

Sesuai dengan perkembangan kondisi sosial dan perubahan

kepentingan masyarakat, maka lumrah kalau adat istiadat itu selalu berubah

sesuai dengan tuntutan hidup. Akan tetapi bukan berarti hukum adat

masyarakat itu tak berlaku atau mati, melainkan ia tetap hidup dalam jiwa

mereka. Jadi perubahan adat tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak

memperhatikan eksistensi adat masyarakat setempat, apalagi menyangkut

Page 9: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

kepentingan berbagai pihak untuk mengubah penguasaan dan pemanfaatan

tanah yang ada di wilayah mereka. Sebagai kenyataan pengalaman akhir-akhir

ini menunjukkan adanya konflik-konflik soal tanah yang terjadi di sekitar

kegiatan pembangunan.

Oleh karena itu perlu penataan posisi hukum adat terasa semakin

mendesak dan segera dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi

kemungkinan semakin meningkatnya konflik sehubungan dengan terus

bergeraknya kegiatan-kegiatan pembangunan dari berbagai sektor yang

cenderung menyentuh kepentingan masyarakat adat.

Hukum adat yang sebetulnya majemuk itu bersifat "terbuka",

mengedepankan upaya musyawarah antar orang-orang yang berkepentingan,

dan partisipatif. Sebenarnya hukum adat cukup adaptif dan lentur terhadap

perubahan, sepanjang perubahan perubahan itu melalui hasil konsensus

bersama, melalui cara-cara yang terbuka dalam musyawarah.

Prinsip Hukum adat selalu mengutamakan keadilan bagi sesama warga

yang mendukungnya. Oleh karena itu hukum adat mesti diakui, dipelihara dan

dibangun melalui proses pemahaman yang berlandaskan pada tujuan untuk

maju dan sejahtera bersama secara merata.

Mengenai titik persoalan konflik pertanahan pada akhir-akhir ini tidak

lepas dari benturan pemahaman pihak-pihak terhadap status Tanah hak ulayat

yang secara realistik keluar dari fungsinya sebagai lahan jaminan kesejahteraan

bersama, sumber kebutuhan taktis, dan sebagai sumber dana dalam setiap

upaya pemenuhan tuntutan hajat hidup.

Sementara itu hak ulayat menurut hukum adat adalah hak atas tanah

oleh suatu klan / kerabat masyarakat adat. Termasuk juga penguasaan hukum

adat terhadap kali (sungai), danau, pantai serta tumbuh-tumbuhan yang hidup

secara liar dan binatang.

Pada dasarnya masyarakat berhak mempergunakan tanah-tanah dan

kekayaan alam yang ada di wilayah hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan

bahwa pihak luar bisa memanfaatkan tanah ulayat dengan seizin pimpinan adat

(penyimbang) melalui musyawarah perwatin adat. Tanah ulayat menurut

Page 10: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

hukum adat tidak dapat dilepaskan, dipindah-tangankan dengan hak milik

pribadi, termasuh tanah yang sedang digarap. Hal ini menunjukkan bahwa

hubungan hak ulayat dengan hak perorangan mempunyai hubungan timbal

balik. Semakin kuat hubungan antara masyarakat dengan tanah semakin kuat

hak ulayat yang berlaku.

Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara

penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti

intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman,

penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis”

seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak,

manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb.

Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal

diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi

legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat

praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA

1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari

Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan

pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan

bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi

dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua

dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan:

Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik.

Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah

Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai

Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah,

hutan swapraja dan sebagainya.

Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari

kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA

1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak masyarakat adat

itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan

pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan

Page 11: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut,

meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih

dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak

atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa

pertambangan.

Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai

menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan

pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh

masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang

hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri

dan atau pemerintah semasa Orde Baru.

Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus

PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan

seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi

semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta

bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu

dilakukan secara paksa dengan kekerasan.

B. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat

Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu

disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di

Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke

megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di

samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang

disebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan

konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf,

perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan

pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang

luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang

merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di

Page 12: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif

dimaksud.

Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di

Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-

Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang

dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu

bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang

pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok

Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok

Kehutanan.

C. Pengendalian Konflik

Tiga jenis pengendalian konflik yaitu:

1. Masing-masing kelompok yang terlihat di dalam konflik harus menyadari

akan adanya situasi konflik di antara mereka, oleh karena itu perlu pula

menyadari dilaksanakan prinsip-prinsip keadaan dan keadilan secara jujur

bagi semua fihak.

2. Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila

berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir secara

jelas. Sejauh kekuatan sosial yang saling bertentangan berada di dalam

keadaan tidak terorganisir, maka pengendalian atas konflik-konflik yang

terjadi di antara merekapun akan merupakan suatu hal yang sulit

dilakukan. Sebaliknya konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok

akan lebih mudah melembaga, dan oleh karena itu akan lebih mudah

dikendalikan pula.

3. Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-

aturan permainan-permainan tertentu, suatu hal yang akan

memungkinkan hubungan-hubungan sosial di antara mereka menentukan

suatu pola tertentu. Aturan-aturan permainan tersebut, pada giliranya

justru menjalin kelangsungan hidup kelompok itu sendiri oleh karena

dengan demikian ketidakadilan akan dapat dihindarkan, memungkinkan

Page 13: Tanah, Konflik dan Keadilan ( Land, Conflict and Justice " A Political Theory of Territory " )

tiap kelompok dalam meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil

oleh kelompok yang lain, serta menghindarkan munculnya pihak ketiga

yang akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri (Nasikun:

23-24).

4. Solidaritas sosial dibagi oleh dua solidaritas mekanis dan solidaritas

organis. Solidaritas mekanis yaitu diikat oleh sifat solidaritas kolektif

sedangkan solidaritas organis adalah sifat yang diikat oleh saling

ketergantungan diantara bagian-bagian dari suatu sistem sosial, tidak

mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang

bersifat majemuk (Nasikun: 62).

Untuk mewujudkan upaya tersebut perlu peningkatan perhatian

bersama dari pihak pemerintah, pihak-pihak yang berwenang dan masyarakat

untuk menghentikan meluasnya konflik. Perhatian utama adalah menggali dan

menggugah itikat baik, moralitas, nilai-nilai kemanusiaan, dan kesadaran

masing-masing pihak yang berseteru. Hal ini perlu pemahaman dan aksi

bersama melalui medium penyeberluasan informasi

DAFTAR PUSTAKA

Suparman Marzuki, 2008, makalah Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi

Manusia Universitas Islam Indonesia.

Abdul Syafi’i, 2008, makalah Realitas dan Pengendalian Konflik dalam Perspektif

Sosiologis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Avery Kolers, 2009, Land, Conflict, and Justice A Political Theory of Territory

Cambridge University Press.

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PPRA

Oleh : SAEFUL ZAFAR / P.056081661

Desember 2009