systematic literature review : faktor faktor yang
TRANSCRIPT
SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW : FAKTOR FAKTOR
YANG MEMENGARUHI STUNTING PADA BALITA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mecapai
Gelar Sarjana Keperawatan
RESI APRIYANI
AK.1.16.135
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2020
i
ABSTRAK
Stunting ialah kekurangan gizi kronis pada balita terutama pada usia 1.000
hari pertama kehidupan yang ditandai dengan berat badan dan tinggi badan yang
tidak sesuai dengan usianya. Banyak faktor yang dapat menjadi menyebab
terjadinya stunting dan apabila tidak bisa dicegah maka akan menyebab kan
kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Tujuan penelitian untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada balita.
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan tinjauan literatur
review yang dilakukan melalui pencarian artikel yang relevan dari data base google
scholar, pubmed, dan portal garuda dengan kata kunci “ faktor pada stunting” dan
“penyebab stunting pada balita” dengan tahun publikasi artikel 2016-2020.
screening menggunakan prima flow diagram dan intrument JBI sectional cross
analitik cheklist lalu artikel dianalisis dengan menggunakan tabel. Populasi dalam
penelitian ini sebanyak 119 jurnal dan hanya 11 artikel yang dijadikan sampel
sesuai dengan hasil screening kriteria inklusi dan ekslusi.
Hasil dalam penelitian ini ialah dari 11 jurnal yang dianalisa didapatkan
hasil bahwa faktor penyebab terjadinya stunting pada balita ialah karena faktor
orang tua, faktor kesehatan balita, dan faktor lingkungan merupakan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi stunting. Dimana didalam faktor orang tua faktor yang
paling berpengaruh dalam kejadian stunting pada balita yaitu faktor pendidikan ibu,
pengetahuan ibu mengenai gizi, pola asuh dan pola pemberian makan serta ASI
ekslusif.
Program yang dapat dilakukan utuk penanganan stunting berdasarkan faktor
tersebut ialah program yang berfokus kepada pengetahuan ibu seperti pemantauan
gizi ibu selama hamil, pemantauan gizi anak, pemberian informasi mengenai
pentingnya ASI ekslusif dan gizi seimbang untuk balita.
Kata kunci : balita, faktor-faktor, stunting.
Daftar Pustaka : 9 buku (2010-2020), 18 jurnal (2016-2020), 6 website (2017-2020)
ii
ABSTRACT
Stunting is chronic malnutrition in children under five, especially in the first
1,000 days of life, which is characterized by weight and height that are not
appropriate for their age. Many factors can cause stunting and if it cannot be
prevented, it will cause growth and development failure in children. The research
objective was to determine the factors that influence stunting in toddlers.
The research method in this study used a literature review review which was
carried out by searching for relevant articles from the Google Scholar database,
pubmed, and the Garuda portal with the keywords "factors in stunting" and "causes
of stunting in toddlers" with the publication year of the articles 2016-2020.
Screening using prime flow diagrams andinstrument JBIcross sectional analytic
checklist then articles were analyzed using tables. The population in this study
were 119 journals and only 11 articles were sampled according to the results of the
screening for inclusion and exclusion criteria.
The results in this study were from 11 journals that were analyzed, it was
found that the factors causing stunting in toddlers were parents, health factors, and
environmental factors were factors that could affect stunting. Where in the parental
factors the most influential factors in the incidence of stunting in toddlers are
maternal education, maternal knowledge about nutrition, parenting and feeding
patterns and exclusive breastfeeding.
Programs that can be done to treat stunting based on these factors are
programs that focus on maternal knowledge such as monitoring maternal nutrition
during pregnancy, monitoring child nutrition, providing information on the
importance of exclusive breastfeeding and balanced nutrition for toddlers.
Keyword : determinant, stunted, under five years,
Daftar Pustaka : 9 buku (2010-2020), 18 jurnal (2016-2020), 6 website (2017-2020)
iii
KATA PENGANTAR
Assallamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat, taufik serta hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan Penelitian
dengan Judul “ Systematic Literature Review : Faktor Faktor Yang Mempengaruhi
Stunting Pada Balita” untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana
Keperawatan pada Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas Bhakti
Kencana.
Penulis menyadari bahwa tidak mungkin dapat terwujud Penelitian ini tanpa
adanya bantuan serta dorongan dari semua pihak. Maka penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Yth:
1. H. Mulyana, SH., M.Pd., MH., Kes selaku ketua Yayasan Adhi Guna
Kencana Bandung
2. DR. Entris Sutrisno, S. Farm., MH., Kes., Apt selaku Rektor Universitas
Bhakti Kencana.
3. R. Siti Jundiah, S.Kp., M. Kep selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Bhakti Kencana.
4. Lia Nurlianawati, S. Kep., Ners., M. Kep selaku Ketua Program Studi
Sarjana Keperawatan Universitas Bhakti Kencana.
5. Susan Irawan, S.Kep.,Ners.MAN selaku Pembimbing 1 dan Denni
Fransiska Helena M. S.Kp., M.Kep selaku Pembimbing 2 yang dengan
penuh kesabaran serta keikhlasan hati yang telah memberikan bimbingan,
iv
masukan, nasehat serta motivasi yang sangat berharga selama penyusunan
ini.
6. Dosen dan Staf Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas Bhakti
Kencana.
7. Ibunda Dasem dan ayahanda Uyat terkasih yang selalu memberikan
motivasi, dorongan dan do’a yang tiada henti sehingga dapat melewati
semua proses ini. serta keluarga Haerudin Anwar dan Dany Andrian.
8. Para sahabat seperjuangan Evania Prima Almira, Cucu Sri Lutfiani, Resti
Rahmawati, Siti Rohaniah, Suci Hardianti, Baiq Rini Hariati, dan Lisna
Shopiyah, Siti Agnie, Tri Puji Sulistiani Rahayu, Wilya Ayu Nurhasanah,
dan Intan Cholil Aurellia Rivana yang terpisah jarak tetapi selalu saling
menguatkan dan memberikan semangat selama penyusunan ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu- persatu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-
besarnya. Segala kritikan dan saran yang bersifat membangun akan penulis jadikan
perbaikan untuk masa yang akan datang. Semoga penelitian ini dapat memberikan
banyak manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Wassallammualaikum Wr.Wb
Bandung, September 2020
Penulis
Resi apriyani
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................7
1.4.1 Manfaat Teoritis .....................................................................................7
1.4.2 Manfaat Praktis .....................................................................................7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................8
2.1 Konsep Balita .......................................................................................................8
2.1.1 Definisi Balita ................................................................................................8
2.1.2 Kebutuhan Dasar Balita ...............................................................................9
2.1.3 Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita .................................................. 10
2.2 Konsep Stunting ................................................................................................ 16
2.2.1 Definisi Stunting ......................................................................................... 16
2.2.2 Ciri-Ciri Balita Stunting ............................................................................ 17
2.2.3 Faktor Penyebab Stunting .......................................................................... 18
2.2.4 Dampak Stunting ................................................................................. 23
2.2.5 Pencegahan Stunting ............................................................................ 23
BAB III
METODELOGI PENELITIAN.................................................................................. 27
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 27
3.2 Variabel Penelitian ...................................................................................... 27
3.3 Populasi Dan Sampel ................................................................................... 28
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................... 28
halaman
vi
3.3.2 Teknik Sampling .................................................................................. 28
3.4 Tahapan Literature Review......................................................................... 29
1.4.1. Merumuskan Masalah ......................................................................... 29
3.4.2 Mencari Dan Mengumpulkan Data/Literatur..................................... 30
3.4.3 Mengevaluasi Kelayakan Data/Literatur ............................................ 31
3.1 Analisis Data ................................................................................................ 32
3.2 Etika Penelitian ............................................................................................ 34
3.3 Lokasi Dan Waktu Penelitian .................................................................... 355
3.3.1 Lokasi ................................................................................................... 35
3.3.2 Waktu ................................................................................................... 35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 36
4.1 HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 366
4.2 PEMBAHASAN ................................................................................................ 42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 50
5.1 KESIMPULAN .................................................................................................. 50
5.2 SARAN .............................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 52
LAMPIRAN .................................................................................................................. v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hal yang sangat penting
bagi makhluk hidup sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan
kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan dimulai dari masa pembuahan dan
berakhir dengan kematian. (Yuniarti,2015). Periode tumbuh kembang yang
paling penting berada pada masa balita, periode ini sering disebut periode masa
keemasan (the golden period), karena pada masa ini pertumbuhan dan
perkembangan akan berlangsung cepat dan akan menjadi penentu bagi periode
selanjutnya (Soetjiningsih, 2014). Balita adalah anak berusia 12 bulan sampai
dengan 59 bulan atau usia 1 sampai dengan 5 tahun. (Kemenkes, 2018) .
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita tidak lepas
dari peranan gizi yang diberikan pada masa didalam kandungan maupun setelah
bayi lahir. Ibu hamil yang mengkonsumsi gizi yang rendah, ataupun yang
memiliki penyakit infeksi dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR). (Kemenkes, 2018). Asupan zat gizi yang baik tidak hanya ditentukan
oleh ketersediaan bahan makanan tetapi juga dipengaruhi oleh pola asuh seperti
pemberian kolostrum , inisiasi menyusui dini, pemberian ASI ekslusif, dan
pemberian MPASI secara tepat, serta faktor kesehatan lingkungan seperti
2
ketersediaan air bersih dan sanitasi yang bersih sangat berhubungan erat
terhadap kejadian infeksi menular pada anak (Kemenkes,2018).
Kekurangan gizi kronis pada balita terutama pada usia 1.000 hari
pertama kehidupan dapat menyebabkan anak mengalami gagal tumbuh.
Kegagalan pertumbuhan yang disebabkan karena kekurangan gizi kronis
ditandai dengan berat badan dan tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya
disebut dengan stunting. (Kemenkes.2018). Stunting termasuk kedalam
masalah kurang gizi kronis yang diakibatkan karena asupan gizi yang kurang
dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan pada anak berbeda dari standar usianya (Depkes 2018). Anak
dengan stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh beberapa
faktor seperti gizi saat ibu mengandung, kesakitan pada bayi, kurangnya asupan
gizi pada bayi dan kondisi sosial ekonomi. Stunting merupakan kondisi seorang
anak yang berperawakan pendek disertai dengan penurunan kognitif jangka
panjang yang disebabkan karena kekurangan nutrisi di 1000 hari kehidupan
awal seorang. (Damayanti 2020).
Organisasi kesehatan dunia WHO memiliki standar maksimal untuk
penyakit stunting bagi setiap negara, yaitu hanya 20% dari total balita yang ada
pada negara tersebut. Dari data WHO pada tahun 2018 Indonesia menduduki
urutan ke 4 negara terbanyak dengan anak stunting. Data Riskesdas 2018
mencatat jumlah anak dengan stunting di Indonesia mencapai 30,8%.
Permasalahan stunting pada usia balita terutama pada periode 1.000 hari
pertama kehidupan akan berdampak kepada organ tubuh yang tidak tumbuh
3
dan berkembang secara optimal. Dalam jangka pendek stunting menyebabkan
gagal tumbuh, hambatan perkembangan kognitif, motorik, dan tidak optimalan
bentuk ukuran fisik dan gangguan metabolisme. Sedangkan dalam jangka
panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual, gangguan
struktur dan fungsi saraf serta sel-sel otak yang bersifat permanen (Kemenkes,
2018).
Beberapa faktor-faktor yang penyebab anak menjadi stunting,
diantaranya, mengenai faktor orang tua yaitu gizi ibu saat hamil yang tidak
terpenuhi, kesehatan dan kebersihan lingkungan, makanan yang kurang bergizi
serta pola asuh orang tua dalam pemberian makan kepada anak baik ASI
maupun MPASI (Anggraini 2018). Pola asuh orangtua khususnya pola asuh
ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi balita karena dapat mengurangi
angka kesakitan pada anak balita, Anak balita yang memiliki kualitas
pengasuhan yang lebih baik akan meminimalisir angka kesakitan pada anak
balita dan membuat status gizi pada anak balita menjadi lebih baik
(Munawaroh, 2015).
Asupan gizi yang baik ditentukan oleh pola pemberian makan yang
diberikan ibu, baik yang dikonsumsi ibu saat anak didalam kandungan maupun
setelah anak lahir. Bila pasokan gizi dari ibu ke bayi kurang bayi akan
melakukan penyesuaian yang dapat berupa pengurangan jumlah sel atau
pengecilan organ tubuh agar sesuai dengan terbatasnya asupan gizi karena bayi
bersifat mudah menyesuaikan diri (plastis). ( Sudargo, dkk 2018). Penyebab
stunting dapat terjadi karena lingkungan dan sanitasi yang buruk, lingkungan
4
dan sanitasi yang buru dapat menyebabkan anak mengalami penyakit infeksi
(Kemenkes 2018). Menurut Lathifa (2017) pada citationnya, infeksi adalah
salah satu faktor yang mensugesti terjadinya stunting, infeksi mengakibatkan
tenaga yang digunakan dalam proses pertumbuhan teralihkan untuk
perlawanan tubuh menghadapi patogen, sebagai akibatnya zat gizi sulit diserap
dan merusak pertumbuhan. Infeksi ini terjadi apabila balita mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi sehingga menyebabkan
kerusakan usus atau disebut environmental enteropathy, yang ditandai
dengan abnormalitas struktur epitel, perubahan integritas barrier usus,
inflamasi mukosa, dan penurunan absorbsi nutrisi.
Menurut Siti Surya (2019) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor
ibu terhadap kejadian stunting mengatakan bahwa faktor ibu yakni pendidikan
ibu, riwayat KEK, pola memberi MPASI, dan pola asuh merupakan faktor
risiko stunting. Jumlah sampel sebanyak 118 anak dengan hasil: pendidikan
ibu dengan kejadian stunting lebih banyak terjadi pada ibu yang berpendidikan
rendah sebanyak 28% bila dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi
sebanyak 22%. Berdasarkan riwayat KEK kejadian stunting 2,5 kali lebih
berisiko terjadi pada ibu yang memiliki riwayat kekurangan energi kronik
dibandingkan pada ibu yang tidak memiliki riwayat KEK. Berdasarkan variasi
MPASI, stunting lebih banyak terjadi pada ibu yang memberikan MPASI yang
tidak variatif sebanyak 37,30% dibandingkan dengan ibu yang memberikan
MPASI yang variatif sebanyak 12,7%. Lalu berdasarkan pola asuh kejadian
stunting lebih banyak terjadi pada anak dengan pola pengasuh yang buruk
5
sebanyak 34,70% dibandingkan dengan pola pengasuhan anak yang baik
sebanyak 12,7%.
Menurut Rita Sari (2017) dalam penelitiannya mengenai faktor
determinan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
dikabupaten Pesawaran Lampung mengatakan bahwa ada hubungan antara
faktor penghasilan orangtua, pola asuh, dan pola pemberian makan dengan
kejadian stunting pada balita dengan hasil p= 0,05. Menurut Murtini (2018)
dalam pengelitiannya dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak usia 0-36 bulan mengatakan bahwa ada hubungan
antara BBLR dengan kejadian stunting dengan nilai p=0,08 dan tidak ada
hubungan antara ASI eklusif dengan stunting dengan p=0,322 dan tidak ada
hubungan antara pola asuh orang tua dengan kejadian stunting dengan nilai
p=0,59.
Goodarz Danaei dkk (2016) dalam jurnalnya yang berjudul“Risk
Factors for Childhood Stunting in 137 Developing Countries: A Comparative
Risk Assessment Analysis at Global, Regional, and Country Levels”
menyebutkan bahwa mereka mengelompokan faktor penyebab stunting di
dunia berdasarkan 5 kelompok, yaitu : nutrisi dan infeksi pada ibu, masa remaja
ibu dan jarak kelahiran yang pendek, prematur, nutrisi dan pertumbuhan janin
yang terhambat (fetal growth restriction), penyakit infeksi pada anak, serta
faktor sanitasi lingkungan. Dari jurnal tersebut didapatkan data bahwa faktor
utama terjadinya stunting karena prematur, nutrisi dan pertumbuhan janin yang
terhambat (fetal growth restriction) dengan kasus 10,8 jt kasus, sanitasi yang
6
tidak baik 7,2 jt kasus serta infeksi penyakit seperti diare dan malaria
menyumbang faktor penyebab stunting pada anak sebanyak 5,8 jt kasus.
Banyaknya perbedaan hasil pada setiap jurnal membuat peneliti tertarik
untuk mengumpukan berbagai sumber artikel berupa jurnal-jurnal untuk
mengetahui faktor utama apa saja yang benar-benar menyebabkan anak
menglami stunting. Keterbaruan dalam penelitian ini adalah peneliti
melakukan analisa jurnal dengan menggunakan sumber yang relevan dengan
fokus mencari faktor terbanyak penyebab stunting pada usia balita sehingga
nantinya pelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui
penyebab terbesar apakah yang menyebabkan balita menjadi stunting. Maka
berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengambil penelitian
dengan judul “Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita:
Systematic Literature”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi Rumusan Masalah dalam
penelitian ini adalah “ Apakah faktor faktor yang mempengaruhi stunting pada
balita?”
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi stunting pada balita
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi para mahasiswa
kesehatan khususnya keperawatan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor faktor yang mempengaruhi stunting pada balita
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Mahasiswa Universitas Bhakti Kencana Bandung
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan mengenai faktor faktor
yang mempengaruhi stunting pada balita untuk mahasiwa yang sedang
menjalani proses pembelajaran yang memerlukan lietarur dalam proses
pencarian materi yang dibutuhkan.
2. Tenaga Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan acuan umtuk
membuat program mengenai salah satu penanganan anak dengan stunting
khususnya dalam bidang keperawatan anak maupun keperawatan komunitas
khususnya keperawatan keluarga.
3. Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dengan metode yang lebih
tinggi tingkatannya dan dapat menjadi bahan referensi dalam penelitian
selanjutnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Balita
2.1.1 Definisi Balita
Menurut peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 25 tahun 2014
tentang upaya kesehatan anak bab 1 pasal 1 anak balita yaitu anak dengan umur 12
bulan sampai 59 bulan. Masa balita terbagi menjadi 2 yaitu masa toddler dan early
childhhood. Masa toddler adalah mama saat anak berusia 1-3 tahun atau 12-36
bulan, masa ini merupakan masa eksplorasi lingkungan yang intensif karena anak
berusaha mencaritahu bagaimana semua terjadi dan bagaimana menngontrol orang
lain dengan perilaku temper, tantrum, negativisme dan keras kepala. (Wong, 2008).
Masa early childhood atau masa kanak-kanak awal atau masa prasekolah
adalah masa saat anak berusia 4-5 tahun. Pada masa ini anak sudah mulai belajar
kemandirian, kemampuan kontrol diri (self control) dan keinginan bersosialisasi
dengan teman sebayanya. Anak mulai mengurangi egosentris, mengurangi sifat
irrasional menuju rasional. Dalam pergaulan anak mulai saling mengkritik dan
membuat konflik pertengkaran yang diikuti proses pembuatan kompromi adaptasi
norma-norma sosial yang baru. Masa ini meliputi kegiatan bermain untuk
mengembangkan kepribadian, psikomotorik kasar dan halus (Yuniarti,2015).
9
2.1.2 Kebutuhan Dasar Balita
Kebutuhan dasar anak balita adalah dasar yang harus di gunakan untuk
menunjang tumbuh dan kembang anak, kebutuhan dasar pada anak untuk
tumbuh dan kembang terbagi menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu :
1. Kebutuhan Fisik-Biomedis (ASUH).
Kebutuhan fisik biomedis mencakup pangan dan papan , pangan dan gizi
yang merupakan kebutuhan terpenting, perawatan kesehatan dasar seperti
imunisasi, pemberian ASI, penimbangan bayi dengan teratur,dan
pengobatan jika sakit. Sedangkan kebutuhan papan berupa pemukiman
yang layak, kebersihan, sanitasi lingkungan, sandang, kebugaran, jasmani
dll.
2. Kebutuhan Emosi / Kasih Sayang (ASIH).
Kebutuhan emosi kasih sayang terjadi dari awal kehidupan, pada tahun
pertama kehidupan hubungan yang penuh kasih sayang dan erat yang
selaras antara ibu/pengasuh dan anak merupakan syarat yang mutlak untuk
menjamin tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, intelektual maupun
psikososial, dan dapat membangun rasa aman untuk bayi. Hubungan ini
dipraktikan dengan kontak fisik dan psikis sedini mungkin contohnya
seperti inisiasi menyusui dini. Peran ayah dalam pemberian kasih sayang
dan menjaga kenyamanan keluarga juga merupakan hal yang bagus untuk
tumbuh dan kembang anak. Kurangnya kasih sayang baik oleh ibu pada
tahun-tahun pertama kehidupan akan berdampak tidak baik pada tumbuh
dan kembang anak baik secara fisik, mental,sosial, dan emosional.
10
3. Kebutuhan Mengenai Stimulasi Mental (ASAH).
Stimulasi mental merupakan cikal bakal untuk proses belajar baik
pendidikan maupun pelatihan pada anak. Stimulasi mental dapat
merangsang perkembangan intellectual psikosoial, kecerdasan,
keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, ethical etika,
produktivitas dan sebagainya. (Soetjiningsih, 2020)
2.1.3 Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita
2.1.3.1 Definisi Tumbuh Kembang
Secara umum pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development)
memiliki pengertian yang sama yaitu sama-sama mengalami perubahan.
Pertumbuhan terjadi secara stimultan dengan perkembangan dan selalu
menunjukkan adanya perubahan dari waktu kewaktu baik fisik ataupun psikologis.
Berbagai perubahan dalam pertumbuhan dan perkembangan bertujuan untuk
memungkinkan orang dapat bertahan hidup dengan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. (Yuniarti, 2015).
Pertumbuhan (growth) ialah perubahan dengan sifat kuantitatif, dimana
bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel,organ, ataupun individu.
Anak tidak hanya berubah secara fisik, juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh
dan otak. Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram, lake,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan tanda-tanda seks sekunder
(Soetjiningsih, 2020).
11
Perkembangan (development) ialah perubahan dengan sifat kuantitatif dan
kualitatif. Perkembangan ialah bertambahnya kemampuan fungsi dan struktur
tubuh yang lebih kompleks, berupa proses pematangan/maturitas. Perkembangan
menyangkut proses bertumbuh sel tubuh, jaringan, organ dan sistem organ sehingga
dapat memenuhi fungsinya. Seperti perkembangan kognitif, bahasa, motorik, emosi
dan perkembangan perilaku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Perkembangan merupakan perubahan yang bersifat maju, terarah dan terpadu
(Soetjiningsih, 2020).
2.1.3.2 Tumbuh Kembang Anak Usia 1-5 Tahun
1. Perkembangan Biologis
1) Perubahan Proposional
Pertumbuhan akan melambat selama masa todler, dan semakin kuat selama
masa prasekolah. pertambahan berat badan rata-rata adalah 1,8 sampai 2,7 kg
dalam 1 tahun. Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12kg. Berat pada usia
3 tahun rata-rata ialah 14,6 kg, usia 4 tahun 16,7 kg dan usia 5 tahun 18,7kg.
Pertambahan tinggi biasanya bertambah 7,5cm dalam setahun dan terjadi
hanya dalam memanjangnya tungkai dan bukan dalam batang tubuh dengan
tinggi badan rata-rata anak usia 2 tahun adalah 86,6 cm, pada usia 3 tahun
95cm, pada usia 4 tahun 103cm, dan pada usia 5 tahun 110 cm. Pertambahan
lingkar kepala melambat di akhir masa bayi dan sama dengan lingkar dada pada
usia 1-2 tahun. Lingkar dada semakin meningkat ukurannya sehingga melebihi
lingkar kepala. (Wong, 2008).
12
2) Perubahan Sensori
Ketajaman penglihatan 20/40 bisa diterima selama masa toddler, penglihatan
binokular sudah berkembang dengan baik. sistem pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan menjadi semakin berkembang dengan baik. (Wong,
2008)
3) Maturasi Sistem
Sebagai besar sistem fisiologis hampir matang pada akhir masa toddler. saluran
pernafasan dan pertumbuhan struktur semakin bertambah selama masa kanak-
kanak awal. Matangnya fungsi ginjal membantu mempertahankan cairan pada
tubuh saat stress mengurangi risiko dehidrasi. Proses digestif sudah cukup
lengkap pada awal masa todler. Mekanisme pertahanan kulit dan darah
terutama fagositosis lebih efisien pada massa todler dan produksi antibodi
sudah berkembang baik. (Wong,2008)
2. Perkembangan motorik kasar dan halus
Keterampilan pada motorik kasar selama masa todler adalah perkembangan
lokomosi. Pada usia 12-13 bulan dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki
melebar untuk keseimbangan. Perkembangan motorik halus anak usia 12 bulan
mampu menggenggam benda yang sangat kecil tetapi tidak mampu melepaskan
sesuai dengan keinginannya, menangkap atau melempar benda dan
menagkapnya kembali menjadi aktivitas yang hampir obsesif pada usia sekitar
15 bulan. Usia 18 bulan anak dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan
keseimbangan.
13
Berjalan, berlari, memanjat dan melompat telah tercapaai dengan baik pada
usia 36 bulan. Pada usia 3 tahun anak prasekolah sudah bisa mengendarai sepeda
roda tiga, berjalan menjinjit, berdiri dengan menggunakan satu kaki, pada usia 4
tahun anak mampu melakukan loncatan dan lompat dengan satu kaki. Pada usia
5 tahun anak dapat melompat tali dengan kaki bergantian dan mulai bermain
papan luncur dan berenang. Perkembangan motorik halus jelas terlihat pada
peningkatan keterampilan pada anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian
(Wong, 2008)
3. Perkembangan Psikososial
1) Psikososial Tahap 1: Terus Vs Mistrust ( Kepercayaan Vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun
(infancy). Usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung kepada orang lain,
perkembangan terbentuk berdasarkan kualitas orang yang merawat. Apabila
anak berhasil membangun rasa percaya terhadap orang yang merawat anak
akan merasa nyaman dan terlindungi di dalam kehidupannya. Namun apabila
orang yang merawatnya tidak stabil dan emosi maka menyebabkan anak
merasa tidak nyaman dan tidak percaya lingkungan sekitar. (Yuniarti, 2015)
2) Psikososial Tahap 2: Autonomy Vs Shame And Doubt ( Otonomi dan
Perasaan Malu dan Ragu)
Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/muscular stages), masa ini
berlangsung mulai 1-3 tahun (early childhood). Pada masa ini anak cenderung
aktif dalam segala hal sehingga orangtua dianjurkan agar tidak membatasi ruang
gerak serta kemandirian anak (Yuniarti, 2015).
14
3) Psikososial tahap 3 : Intiative Vs Guilt ( Prakarsa Dan Rasa Bersalah)
Tahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age). Pada usia
ini anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga
menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya. Mereka
mencoba mengambil banyak inisiatif dan rasa ingin tahu yang mereka alami
(Yuniarti, 2015).
4. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif atau intelektual merupakan perkembangan pikiran atau
perkembangan bagian otak yang digunakan untuk mengetahui, mengenali,
memahami, serta menalar suatu objek yang berhubungan dengan kemampuan
berpikir (thingking), mengambil keputusan (decision making), kecerdasan
(intilligence), memecahkan masalah (problem solving) dan bakat (aptitude).
Priode perkembangan kognitif anak usia 0-2 tahun menurut piaget yaitu :
periode sensorimotor, periode sensori motor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa ada 6 sub tahapan dalam periode ini ialah:
1) Sub-tahapan skema refleks
2) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer
3) Sub-tahapan fase reaksi sirkulasi sekunder
4) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder
5) Sub tahapan fase reaksi sirkulasi tersier
6) Sub-tahapan awal representasi simbolik (Yuniarti, 2015)
Teori kognitif piaget sebenarnya tidak meliputi periode yang khusus
untuk anak usia 3-5 tahun. Fase pra-operasional ialah anak dalam rentang usia
15
2-7 tahun dan dibagi kedalam 2 tahap : fase prakonseptual, usia 2 sampai 4
tahun, fase pikiran intuitif, usia 4-7 tahun. Salah satu perubahan utama kedua
fase tersebut adalah perpindahan dari pikiran egosentris total menjadi
kesadaran sosial dari kemampuan untuk mempertimbangkan pandangan orang
lain.bahasa semakin terus berkembang selama anak berada di periode
prasekolah. Berbicara terutama masih menjadi pembawa komunikasi
egosentris (Wong,2008).
5. Perkembangan Spiritual
Anak usia 1-3 tahun mempunyai sebuah ide yang belum jelas tentang Tuhan
dan pelajaran agama karena proses berfikir anak yang belum matang. Namun,
kegiatan seperti berdoa sebelum makan atau tidur sangat penting dan
menenangkan untuk anak. Pada anak usia 5 tahun anak memiliki konsep
konkret mengenai Tuhan dengan karakter fisik, yang sering menyerupai teman
khayalan mereka. Anak mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan dapat
menghapal doa singkat, tetapi pemahaman dalam makna spiritualitas ini masih
bersifat terbatas (Wong, 2008).
6. Perkembangan Citra Tubuh
Perkembangan citra tubuh hampir beriringan dengan perkembangan kognitif.
Dengan meningkatnya kemampuan motorik anak mulai mengenali kegunaan
bagian tubuh dan secara bertahap mempelajari setiap namanya. (Wong, 2008)
7. Perkembangan Seksualitas
Pada usia 3 tahun permainan genital (masturbasi) dapat terjadi dan melibatkan
stimulus manual, maupun gerakan postural teruta pada anak perempuan, seperti
16
merapatkan paha atau memberikan tekanan mekanis ke arah pubis atau
suprapubis. Demonstrasi aktivitas seksual lain seperti menggoyang, mengayun
dan memeluk orang ataupun mainan. Reaksi orang tua akan mempengaruhi
sikap anak terhadap perkembangan seksualnya.
Perkembangan seksual pada anak usia 5 tahun merupakan fase yang sangat
penting untuk identitas dan kepercayaan seksual individu secara menyeluruh.
Anak pra sekolah membentuk kelekatan yang kuat dengan orang tua yang
berlawan jenis kelamin sambil mengidentifikasi orangtua yang berjenis
kelamin sama. (Wong, 2008)
8. Perkembangan Sosial
Tugas pada periode toddler adalah membedakan diri dari orang lain, terutama
ibu. Proses diferensiasi terdiri atas dua fase, fase perpisahan, kemunculan anak
dari satu kesatuan simbiosis dengan ibunya, dan individualisasi pencapaian
tersebut yang menandai pendapat anak mengenai penilaian individual di dalam
lingkungan. Selama usia 5 tahun proses individualisasi-perpisahan sudah
lengkap. Anak prasekolah telah mengatasi banyak kecemasan yang
berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan pada tahun
sebelumnya (Wong, 2008)
2.2 Konsep Stunting
2.2.1 Definisi Stunting
Stunting (kerdil) ialah kondisi dimana anak memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan anak seusianya. Kondisi ini diukur dengan
panjang atau tinggi badan yang minus dari standar pertumbuhan anak WHO. Anak
17
dengan stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh beberapa
faktor seperti gizi saat ibu mengandung, kesakitan pada bayi, kurangnya asupan gizi
pada bayi dan kondisi sosial ekonomi. Anak stunting dimasa depan akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik maupun kognitif yang optimal.
(Kemenkes, 2018)
Stunting atau yang disebut dengan “pendek” adalah kondisi gagal tumbuh pada
balita akibat kekurangan gizi kronis terutama 1000 hari pertama kehidupan.
kurangnya asupan gizi terjadi dari sejak bayi di dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir, dan kondisi stunting baru terlihat setelah anak berusia 2
tahun.(Kemenkes,2018).
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan stunting merupakan masalah
gizi kronik pada anak yang terjadi karena kekurangan kecukupan nutrisi di 1000
hari kehidupan awal seorang anak tumbuh yang akan mengganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan anak.
2.2.2 Ciri-Ciri Balita Stunting
Ciri-ciri balita stunting dalam buku saku kementerian desa, pembangunan daerah
terpencil dan transmigrasi (2017) ialah:
1. Pertumbuhan dan perkembangan melambat
2. Pertumbuhan gigi terlambat
3. Wajah tampak lebih muda dari usianya
4. Tanda pubertas melambat
5. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
18
6. Pada usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye
contact
2.2.3 Faktor Penyebab Stunting
Ada beberapa faktor penyebab anak stunting menurut kemenkes 2018,
diantaranya:
1) Faktor Orang Tua Kondisi Ibu Dan Calon Ibu
Kondisi kesehatan dan gizi pada ibu sebelum dan saat hamil serta setelah
proses persalinan sangat mempengaruhi pertumbuhan pada janin dan risiko
terjadinya stunting. Faktor lainnya yaitu pada ibu yang mempengaruhi adalah
tinggi tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu simgkat, ibu berumur
remaja, serta asupan zat gizi yang kurang pada saat kehamilan. (Kemenkes,2018).
Ibu hamil dengan konsumsi asupan gizi yang rendah Kondisi ibu sebelum masa
kehamilan baik berat badan dan tinggi badan serta gizi merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya stunting. Wanita remaja sebagai calon ibu pada
masa depan harus mempunyai status gizi yang baik. Gizi wanita remaja yang tidak
baik, maka di masa yang akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang
memiliki tubuh pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan
berdampak pada meningkatnya jumlah angka stunting di Indonesia.
jumlah Wanita Usia Subur (WUS) yang memiliki risiko KEK di Indonesia pada
tahun 2017 adalah 10,7%, sedangkan jumlah ibu hamil dengan berisiko KEK
adalah 14,8%. Asupan gizi pada WUS dengan resiko KEK harus ditingkatkan
sehingga wanita memiliki berat badan yang ideal pada saat hamil. Sedangkan
19
untuk ibu hamil dengan KEK terdapat program perbaikan gizi yang ditetapkan
pemerintah yaitu pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang mengandung
protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7 mineral
sesuai dengan Permenkes Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk
Suplementasi Gizi.
Kekurangan energi kronik dapat disebabkan oleh asupan energi serta protein
yang tidak cukup. Kecukupan konsumsi energi ibu hamil dapat dihitung dengan
membandingkan dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dikelompokan
menjadi:
1. Defisit energi jika kurang dari 70% AKE.
2. Defisit energi ringan antara 70 – 79% AKE.
3. Cukup energi antara 80 – 119% AKE.
4. Lebih energi jika 120% AKE atau lebih.
Konsumsi protein ibu hamil dapat dihitung dengan membandingkan Angka
Kecukupan Protein (AKP) yang dikelompokan menjadi:
1. Defisit protein jika kurang dari 80% AKP
2. Defisit protein ringan antara 80-99% AKP
3. Cukup protein jika 100% AKP atau lebih
20
2) Pemberian kolostrum atau inisiasi menyusui dini (IMD) Pemberian ASI
ekslusif dan makanan pendamping ASI
ASI merupakan nutrisi pertama yang di dapatkan bali baru lahir. Nutrisi yang
diperoleh sejak saat bayi lahir akan sangat berpengaruh terhadap proses
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi
menyusu dini (IMD), gagalnya ASI eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat
menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian MP
ASI, hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah serta kualitas, dan keamanan
pangan yang diberikan.
Pada tahun 2017, persentase bayi baru lahir secara nasional yang mendapat IMD
sebesar 73,06%, yang berarti beberapa bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat
inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan jumlah persentase tertinggi bayi baru lahir
mendapat IMD ialah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah ialah
Papua (15%).
Cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%.
Persentase tertinggi pemberian ASI eksklusif terjadi di Nusa Tenggara Barat
(87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat di Papua (15,32%). terdapat 19
provinsi berada di bawah angka nasional. Oleh karena itu, pentingnya sosialisasi
tentang manfaat ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.
pemenuhan zat gizi pada balita sangat penting untuk mendukung pertumbuhan
sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth
faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di
21
Indonesia mengalami kekurangan energi dan 28,5% mengalami kekurangan ringan.
Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami kekurangan protein dan 14,5%
mengalami kekurangan ringan (Kemenkes, 2018).
3). Pola asuh makan
Pola makan anak atau parental feeding yaitu sikap orang tua dalam memberikan
makanan dengan pertimbangan ataupun tanpa pertimbangan (Bouncer, 2014). Pola
asuh makan adalah praktik pengasuhan pemberian makan ibu kepada anak yang
berkaitan dengan cara dan situasi makan. (Hidayati, 2019). Pola asuh orangtua
khususnya pola asuh ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi balita karena dapat
mengurangi angka kesakitan pada anak balita, Anak balita yang memiliki kualitas
pengasuhan yang lebih baik akan meminimalisir angka kesakitan pada anak balita
dan membuat status gizi pada anak balita menjadi lebih baik (Munawaroh, 2015).
1) Tipe Pola Asuh Makan
1. Emotional Feeding
Emotional feeding adalah tipe pola asuh makan dimana orang tua memberikan
makanan agar anaknya tenang ketika anak merasa marah, cermas, menangis dan
lain-lain. (Hidayati, 2019)
2. Instrumental Feeding
Instrumental feeding adalah sebuah tipe pola asuh pemberian makan dimana orang
tua memberikan hadiah berupa makanan jika anak memiliki perilaku yang baik dan
mau menurut terhadap perintah orang tua. (Hidayati, 2019)
22
3. Prompting Or Encouragement To Eat
Prompting or encouragement to eat adalah sebuah tipe pola pengasuhan makan
dimana orang tua meotivasi anaknya untuk makan dan memuji anak ketika anak
dapat memakan makanan yang telah disediakan dengan baik dengan memastikan
bahwa anak telah habis memakan makanannya. (Hidayati, 2019)
4) Ekonomi, Lingkungan, dan penyakit infeksi
Kondisi sosial ekonomi serta kebersihan sanitasi lingkungan tempat tinggal
juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi status ekonomi sangat berkaitan
dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan
untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi lingkungan dan keamanan pangan
dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kebersihan dan sanitasi lingkungan yang buruk seperti diare dan
kecacingan akan dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Beberapa penyakit infeksi yang sedang diderita bayi akan dapat menyebabkan berat
badan turun. Jika kondisi tersebut terus terjadi dalam waktu yang cukup lama dan
tidak disertai dengan asupan yang cukup untuk proses penyembuhaninfeksi maka
dapat mengakibatkan anak menjadi stunting.
Sebuah rumah dikatakan layak sanitasi menurut Susenas adalah apabila
fasilitas sanitasi yang digunakan dapat memenuhi syarat kesehatan, seperti jenis
kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup, dan memiliki tempat untuk
pembuangan akhir tangki tinja(septic tank) atau Sistem Pembuangan Air Limbah
(SPAL), dan merupakan fasilitas buang air besar yang digunakan untuk sendiri
23
maupun bersama. jumlah presentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi
layak di Indonesia pada tahun 2017 ialah sebanyak 67,89%.
1.2.4 Dampak Stunting
Permasalahan stunting terutama pada periode 1000 HPK sangat memiliki
dampak terhadap kualitas sumber daya manusia. Stunting mengakibatkan ketidak
optimalan pertumbuhan serta perkembangan organ tubuh anak. Balita dengan
stunting memiliki berkontribusi terhadap 1,5 juta(15%) kematian anak di dunia.
Stunting memiliki dampak jangka panjang maupun dampak jangka pendek
kepada anak diantaranya :
1) Dampak jangka pendek
Dampak stunting dalam jangka pendek mengakibatkan anak menjadi gagal
tumbuh, hambatan perkembangan pada kognitif, motorik, ukuran fisik
tubuh yang tidak optimal serta terdapat gangguan metabolisme pada anak.
2) dampak jangka panjang
dampak stunting dalam jangka panjang mengakibatkan kapasitas intelektual
atau kecerdasan yang menurun, gangguan struktur dan juga fungsi saraf
serta sel-sel otak yang memiliki sifat permanen atau tidak dapat dirubah
yang akan berpengaruh pada penurunan kemampuan menyerap pelajaran
saat dewasa (Kemenkes, 2018).
1.2.5 Pencegahan Stunting
Stunting ialah termasuk salah satu target Sustainable Development
Goals (SDGs) pada tujuan pembangunan untuk menghilangkan kelaparan
24
dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah penurunan angka stunting hingga
40% pada tahun 2025. Agar dapat mewujudkan hal tersebut, pemerintah
menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan
Permenkes Nomor 39 Tahun 2016 mengenai Pedoman Penyelenggaraan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dapat
dilakukan untuk menurunkan angka stunting di antaranya :
1) Ibu Hamil dan ibu yang akan bersalin
1. perencanaan pada 1.000 hari pertama kehidupan.
2. Mengupayakan jaminan yang baik pada antenatal care (ANC)
terpadu.
3. Meningkatkan proses bersalin di fasilitas kesehatan.
4. Melaksanakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,
dan mikronutrien (TKPM).
5. Deteksi dini penyakit baik menular dan tidak menular
6. Pemberantasan infeksi cacingan pada anak.
7. Meningkatkan perubahan Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam
Buku KIA.
8. Mengadakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif.
25
9. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2) Balita
1. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita.
2. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) untuk balita.
3. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan pada anak.
4. Memberikan pelayanan kesehatan optimal
5. Anak Usia Sekolah
6. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
7. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS.
8. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS).
9. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan
narkoba
3) Remaja
1. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi
narkoba.
2. Pendidikan kesehatan reproduksi.
4) Dewasa Muda
26
1. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB).
2. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular).
2. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi narkoba. (Kemenkes, 2018)