syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

19
HALAMAN 1 Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M) Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi Halaqah Melayu Sebangsa-Secita-Setuturan 2015

Upload: syamsul-noor

Post on 18-Jul-2015

466 views

Category:

Spiritual


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)

Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang

Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi

Halaqah Melayu Sebangsa-Secita-Setuturan

2015

Page 2: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 2

Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)

Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang

Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi

yaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 Hijriyah (1704 Masehi) di

Palembang. Di dalam buku Ensiklopedi Islam nama lengkap beliau ditulis Abdus Samad Al-

Jawi Al-Palimbani. Di dalam sumber-sumber berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip oleh

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), nama lengkap beliau dituliskan Abdul Samad bin

Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani.

Masih menurut Azyumardi, bila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap beliau adalah

Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palimbani. Azyumardi berpendapat nama

terakhir yang lebih mendekati kebenaran, yaitu Syeikh Abdus Samad. Sebagaimana tradisi

penyebutan nama orang di Arab dan Timur Tengah yang biasanya ditautkan dengan asal atau tempat

kelahiran, karena beliau berasal dari Palembang ditambahkanlah Al-Palembani pada akhir nama

beliau sehingga menjadi Abdus Samad Al-Palimbani .

Al-Palimbani lahir dari pasangan Syeikh Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahab bin Syaikh Ahmad

Al-Mahdani dengan Radin Ranti. Ayahnya (Syaikh Abdul Jalil) adalah mubaligh asal Yaman yang

pada abad ke-18 menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Kedah. Sedangkan ibunya (Radin Ranti)

adalah perempuan asal Palembang. Sebelum menikahi Radin Ranti, Syaikh Abdul Jalil sudah

memperisteri Wan Zainab putri Sultan Kedah, yaitu Dato Sri Maharaja Dewa.

Dari pernikahan dengan putri dari Kedah itu – berdasarkan sumber-sumber Melayu – Syaikh Abdul

Jalil mendapatkan dua anak, yaitu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir. Dari pernikahan dengan

Radin Ranti, Syeikh Abdul Jalil mendapatkan seorang anak bernama Abdus Samad. Puluhan tahun

kemudian pemikiran tasawuf filosofis Abdus Samad Al-Palimbani inilah yang berhasil menembus

batasan-batasan teritorial di dunia Islam, baik pada masanya maupun sekarang.

Ensiklopedi Islam yang beredar di Arab, Timur Tengah, dan Barat menempatkan kepopuleran Al-

Palimbani setara dengan Bung Karno Presiden ke-1 Republik Indonesia. Nama Al-Palimbani di

kalangan umat Islam di Arab dan Timur Tengah sangat dihormati dan disegani. Dalam data sejarah

di Masjid Al-Haram, Mekkah tercatat nama Al-Palimbani sebagai satu-satunya ulama dari

Nusantara yang mendapatkan kehormatan sebagai imam besar Masjid Al-Haram.

Beberapa kitab karangan Al-Palimbani sampai sekarang masih menjadi salah satu kitab pokok

tentang tassawuf yang dipelajari di berbagai pesantren di Thailand bagian selatan (terutama Patani)

dan Malaysia. Di Arab, Timur Tengah, Barat, dan Semenanjung Malaya ketenaran nama Al-

Palimbani sebagai ulama tassawuf boleh dianggap melampaui Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,

Abdul Rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari, dan sebagainya.

S

Page 3: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 3

Pendidikan

Al-Palimbani sejak balita hingga remaja mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syaikh

Abdul Jalil di Palembang. Dalam usia sekitar 14 tahun, Al-Palimbani sudah fasih berbahasa Arab

dan hafal Kitabullah Alquran. Dalam usia itu pula Al-Palimbani sudah terbiasa membahas kitab-

kitab tassawuf karangan para ulama terkemuka, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani, Syaikh Abdul

Rauf Singkel, Nuruddin Al-Raniri, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan lain-lain. Melihat minat,

kesungguhan, dan kecerdasan sang anak, Syaikh Abdul Jalil lalu mengantarkan Al-Palimbani

bersama saudara-saudaranya ke suatu pondok pesantren di Patani, Thailand. Pada masa itu Patani

memang cukup terkenal sebagai tempat yang kondusif untuk mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman

melalui sistem pendidikan berpola pondok pesantren.

Beberapa peneliti sejarah ke-Islaman menduga kuat Al-Palimbani bersama saudaranya seayah, yaitu

Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah mendapatkan gemblengan di pondok-pondok terkenal di

Patani, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik atau Pondok Kuala Bekah atau pun Pondok

Semala.

Salah seorang guru Al-Palimbani di Patani yang dapat diketahui adalah Syaikh Abdur Rahman bin

Abdul Mubin Pauh Bok. Para sesepuh Kampung Pauh Bok itu menuturkan perihal keutamaan Al-

Palimbani yang berasal dari Palembang sebagai murid dari Syaikh Abdur Rahman. Penuturan itu

sesuai dengan pernyataan yang tertulis dalam kitab terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa versi Syaikh

Abdus Samad bin Qunbul Al-Pathani. Menurut kitab itu Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok

menganjurkan/merekomendasikan Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani untuk melanjutkan

pendidikan ke Mekah dan Madinah. Data berkaitan dengan hal ini belum ditemukan pada sumber-

sumber tertulis lain.

Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syaikh Muhammad bin Samman, selain mendalami

kitab-kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani (dua ulama

ternama dari Nangroe Aceh). Sejak kecil Al-Palimbani memang lebih banyak mempelajari tasawuf.

Tidak mengherankan bila sejarah mencantumkan Al-Palimbani sebagai pemikir dan ulama yang

memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam tassawuf.

Saat masih menuntut ilmu di Patani, di mata para guru, teman-temannya, dan masyarakat yang

mengenalnya, Al-Palimbani dianggap alim. Dia mendapat amanat sebagai kepala thalaah (tutor) di

pondoknya. Dari Patani Al-Palimbani lalu melanjutkan pendidikannya ke Masjid Al-Haram di

Mekkah.

Di Mekkah dia bertemu dan bergaul dengan para pelajar/ulama lain dari berbagai pelosok

Nusantara. Teman seperguruan dia dalam menuntut ilmu yang berasal dari Nusantara, antara lain

Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud

Al-Fatani. Bersama teman-temannya di Mekah, Al-Palimbani menurut Azyumardi, selalu

memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.

Sejak belajar di Mekkah, Al-Palimbani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas

dan spiritualitas. Beliau mendapatkan pencerahan-pencerahan dari para gurunya. Beberapa guru

yang sangat berpengaruh dalam menempa intelektualitas dan spiritualitas Al-Palimbani, antara lain

Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-

Page 4: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 4

Mun´im Al-Damanhuri. Sejarah mencatat Al-Palimbani juga berguru kepada Ibrahim Al-Rais,

Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.

Memberantas Wujudiyah Mulhid

Pada pertengahan abad ke-18 di Palembang menyebar paham atau tarikat wujudiyah mulhid (WM).

Paham yang menyimpang dari Alquran dan Alhadits ini telah lebih dulu berkembang di Nangroe

Aceh pada akhir abad ke-17. Berkat usaha-usaha dakwah para ulama terutama Syaikh Nuruddin Al-

Raniri, umat Islam di Nangroe Aceh berhasil dibersihkan dari segala pengaruh wujudiyah mulhid.

Tak dinyana di belakang hari praktik WM ini telah pula ditemukan menyebar dan berkembang di

Palembang. Al-Palimbani yang bermukim di Mekah mengetahui di kota kelahirannya telah

berkembang paham WM. Beberapa pelajar dan jemaah haji asal Palembang menemui beliau dan

melaporkan perkara paham yang dapat menyesatkan umat Islam tersebut.

Penguasa Kesultanan Palembang Darussalam ketika itu berhasrat kuat memberantas paham WM

sedini mungkin sebelum menyebar lebih luas. Sultan yang memerintah pada saat itu diduga kuat

adalah Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) mengirim surat kepada Al-Palimbani melalui

jemaah haji. Sultan meminta fatwa kepada Al-Palimbani selaku ulama tasawuf tentang perkara WM

dan bagaimana ikhtiar umat Islam dalam mengatasinya.

Atas dasar tanggung sebagai ulama sekaligus berdasarkan permintaan sultan Palembang selaku

umara, pada tahun 1188 H bertepatan dengan tahun 1774 M Al-Palimbani menyelesaikan penulisan

kitab, berjudul Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat

al-Murtaddin. Di dalam kitab ini Al-Palimbani menyampaikan hujjah dan targib kepada seluruh

umat Islam agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran

tarikat yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen), paham wujudiyah mulhid.

Di dalam kitab ini Al-Palimbani juga menyatakan penulisan kitab tersebut atas permintaan sultan

Palembang.

Di Palembang ketika itu sebenarnya terdapat beberapa ulama yang dalam bidang fiqh, asbab al-

nuzul, asbab al-wurud, qiyas, bayan, dan lain-lain boleh dibilang juga sangat mumpuni. Para ulama

itu, antara lain Syihabudin bin Abdullah Muhammad (menulis kitab Haqiqat Al-Bayan), Muhammad

Muhyiddin bin Syihabuddin (mengarang Hikayat Syeikh Muhamad Saman), Kemas Fakhruddin

(menulis Fath Al-Rahman), dan Muhammad Ma‘ruf bin Abdullah (khatib Palembang yang menulis

Tariqah yang Dibangsakan kepada Qadariyah dan Nakshabandiyah).

Beberapa kitab berikut ini adalah karangan Al-Palimbani yang berhasil didata oleh para peneliti:

1. Zahrah Al-Murid fi Bayani Kalimah Al-Tauhid, selesai ditulis pada 1178 H atau 1764 M.

2. Risalah tentang Sebab-sebab yang Diharamkan untuk Pernikahan, selesai ditulis pada 1179 H

atau 1765 M.

3. Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat al-

Murtaddin, selesai ditulis pada 1188 H atau 1774 M;

4. Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin, selesai ditulis pada 1192 H/1778 M.

5. Kitab Mi’raj, selesai ditulis pada 1201 H/1786 M;

6. Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabb Al-‘Alamin, selesai ditulis pada 1194 H/1780 M-1203 H/1788

M.

7. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.

Page 5: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 5

8. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.

9. Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-

Mujtahidina fi Sabilillah.

10. Al-Risalatu fi Kaifiyat Al-Ratib Lailatil Jum’ah

11. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah

12. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabb Al-‘Alamin

13. Ilmut Tasawuf

14. Mulkhish At-Tuhbat Al-Mafdhah min Al-Rahmat Al-Mahdah ‘Alaihis Shalatu wa Al-Salam

15. Anis Al-Muttaqin

16. Puisi Kemenangan Kedah.

Beberapa kitab karya Al-Palimbanu yang kini menjadi monumental, terutama Sairus Salikin dan

Hidayatus Salikin diketahui tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Beberapa kitab lainnya

disimpan dan dirawat di Perpustakaan Nasional di Jakarta.

Kitab Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-

Mujtahidina fi Sabilillah, sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan

penjajah Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya

Tengku Cik Ditiro merupakan kutipan dari kitab tersebut. Masalah jihad fi sabililiah memang sangat

banyak dibicarakan Al-Palimbani.

Pada 1772 M, Al-Palimbani mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hameng-kubuwono

I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka. Al-Palimbani secara arif dan bijaksana

mengimbau para pemimpin di Mataram agar secara terus-menerus melaksanakan jihad fi sabilillah

melawan kompeni Belanda.

Pokok Ajaran Tasawuf

(Telaah terhadap Kitab Sairus Salikin)

Pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Budha, maka

sejak abad ke-18 Palembang menjadi pusat ilmu dan syiar Islam (Faille, 1997 dan Gajahnata, 1986).

Dalam perkembangan berikutnya Palembang menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai

pengetahuan ke-Islaman di dunia Melayu, baik sastra maupun agama. Hal ini dibuktikan dari

banyaknya naskah keagamaan yang asal usulnya merujuk ke Palembang baik penulis maupun

scriptoriumnya. Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19.

Islam dengan aksara Arab merupakan gelombang budaya kedua yang memperkaya khasanah sastra

Nusantara. Sebagian masyarakat Nusantara mengeskpresikan pikirannya dalam suatu sistem tulisan,

mengadopsi sistem aksara baru (Arab) - disamping tetap menggunakan yang lama - dengan

menyesuaikannya dengan sistem bunyi dan keperluan masing-masing daerah. Adopsi tulisan Arab

dengan bunyi bahasa daerah di Nusantara ini disebut Pegon (Jawa dan Sunda), Jawi (Melayu),

Hurupa (Bugis-Makasar) dan sebagainya (Pudjiastuti, 2005).

Setelah kedatangan Islam di Palembang, kesusastraan di kawasan itu mengalami kelahiran kembali

dengan menggunakan tulisan Jawi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Iskandar (1995: 440)

mengatakan kesusastraan Palembang hidup kembali dan mengalami masa keemasannya setelah

Islam datang.

Page 6: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 6

Tidak dapat dipungkiri pendorong timbulnya generasi baru ulama dan produktivitas keilmuan di

Palembang adalah Kesultanan Palembang dan ulama–ulama Arab yang diundang untuk mengajar

berbagai cabang studi Islam. Sejak awal abad ke 17 para Sultan Palembang telah menunjukkan

minat khususnya pada bidang keagaman Islam. Menjelang pertengahan abad ke 18 di kesultanan

Palembang telah hadir beberapa ulama Arab yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan

tradisi Islam di Palembang (Azra, 1994: 244). Lebih dari pada itu, mereka memberi kontribusi

terhadap munculnya istana Palembang sebagai pusat pengetahuan keislaman dan tempat koleksi

besar karya-karya keagamaan.

Catatan ini mencoba mengemukakan kembali ajaran tasawuf yang telah dituangkan oleh Al-

Palimbani dalam kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin. Kiranya dapatlah dimaklumi catatan ini

akan hanya menyentuh perkara-perkara mubtadi (dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih

berada di maqam permulaan atau awam).

Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin (Sairus

Salikin), ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-

masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat

permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan

(mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat

penghabisan (muntahi) saja.

Tasawuf mengistilahkan kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai suluk dan sang pencari Allah

sebagai salik (penempuh jalan spiritual). Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang

merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Tetapi

secara transversal, makna yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spritual” dan bukan

tindakan/gerakan dalam dimensi ruang.

Al-Palimbani mengambil sanad dalam Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-

Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri tarekat sammaniyah. Dalam tulisan-

tulisannya, khususnya dalam Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin, ia selalu menyebut dirinya

sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.

Pokok-pokok ajaran tasawuf Al-Palimbani dekat dengan Al-Ghazali dalam Al-Arbain fi Ushul Al-

Dien, meliputi aspek sebagai berikut:

(a) Taubat

Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang

yang ingin menempuh jalan tasawuf. Menurut dia, taubat merupakan jalan bagi orang salik yang

menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah

Allah. Di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni “Suatu makna yang bersusun dari

tiga perkara: ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”.

Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang

melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan

tiga hal :

Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah

dan kepada manusia”.

Page 7: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 7

Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang

yang berbuat maksiat”.

Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat”

nanti (Al-Palimbani, Jilid IV: 7 – 8).

Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan:

Pertama, taubat orang awam;

Kedua, taubat orang khawash;

Ketiga, taubat orang khawash al-khawash.

Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh,

merampas, mencuri, dan sebagainya; orang khawash taubat dari “maksiat batin”, seperti ujub, ria,

takabur, hasad, dan sebagainya; sedangkan orang khawash al-khawash, taubat dari segala yang

terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir

hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat

kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Ta’ala.

Tingkat taubat yang ketiga ini bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang

yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al-

khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat

pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di

ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan

panjang.

Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang

awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan

diri dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan

pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam

zuhud.

Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai berikut :

1 Banyak makan

2 Banyak berkata-kata,

3 Pemarah,

4 Dengki,

5 Kikir dan cinta harta

6 Cinta kemegahan dan kebesaran

7 Cinta dunia,

8 Tinggi hati,

9 Uzub,

10 Ria

Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping

itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :

1 Menyekutukan Allah,

2 Mengekalkan berbuat maksiat,

3 Putus asa dari rahmat Allah,

4 Tidak takut siksa Allah.

Page 8: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 8

Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi

sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan

kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.

(b) Takut dan Harap

Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan

maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat yang

lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik

apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu

saja, hal itu termasuk ahwal.

Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa

takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada yang

lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-

Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia

oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-

tiap sesuatu”.

Lebih penting lagi, rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada

Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan

mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa

kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan mulia di dunia dan di akhirat melainkan

makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang

melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah.

Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai

perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja’).

Tetapi dua maqam ini menurut Al-Palimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf

(takut) dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat dahaga, maka air lebih

afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang

lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan.

Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang

dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut,

demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW:

“Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan

harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian, harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang

lebih tinggi dari pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah).

Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang

pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap

ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah

Taala” yang tidak terhingga banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni

ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Page 9: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 9

Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah),

tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun

tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam

lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud.

(c) Zuhud

Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk

mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang

akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya

harus dikeluarkan lebih dahulu. Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin

memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan

sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu,

seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau

kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap

salik. Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya.

Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di

dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah

meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan

gemar daripada sesuatu yang di dalam akhirat”.

Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam: Pertama, meninggalkan sesuatu karena

menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya; Kedua, meninggalkan keduniaan karena

mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan; dan Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain

Allah karena mencintai-Nya.

Al-Palimbani menjelaskan ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik

dalam menempuh kehidupan zuhud, yakni:

Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan

(kepada) makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan

cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsunya.

Kedua, “orang yang mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya

meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu”.

Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti

kotoran saja”, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.

Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang “meninggalkan daripada hatinya

yang lain daripada Allah Taala,” baik dunia maupun akhirat.

Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang

salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.

Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh

dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam

mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan

akan dia pada kehidupan badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi

kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk

menyangga kelangsungan hidupnya. Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga

tingkatan : “Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah).

Page 10: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

0

Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak

mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal

untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh

hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan atau

kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di

tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin,

sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan.

Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling

rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk

keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran

sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan

sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki

rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.

Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak

menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak

gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. 2) Orang yang memuji

dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa

lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99).

Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi

sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini,

nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim

yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi, sebelum

mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar.

(d) Sabar

Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam

kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.

Sabar terbagi dalam tiga tingkatan:

Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung

kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah;

Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar

telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu”.

Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-

sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiar (pilihan) Tuhannya.

Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar ini pun hanya

dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; ada pun maqam bagi orang-orang salik yang

belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua.

Menurut Al-Palimbani, maqam sabar ini pun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan

dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung “maslahat di

dalam agama” dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang

Page 11: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

1

selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala

penderitaan yang dialaminya.

Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya

di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya

diperlukan kesabaran yang tinggi.

(e) Syukur

Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu

melainkan Allah Ta’ala jua, kemudian engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah

atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau

berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu, niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan

nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu”.

Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam

penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi,

misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya. Al-Qur’an pun mengatakan

bahwa “Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan

diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang

menyekutukan-Nya”.

Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam

kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar

merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang

yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat

yang dilimpahkan kepadanya.

Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan

dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota.

Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang

mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik

membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia

harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal

ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai

tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi

diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.

(f) Ikhlas

Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salik dalam

perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau

makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin

telah dicapai pada maqam syukur tadi.

Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi

SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah

selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya.

Page 12: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

2

(g) Tawakkal

Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan :

Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada

wakilnya dalam suatu perkara.

Kedua, menyerahkan diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada

ibunya;

Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.

Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih berusaha dalam batas-batas tertentu

untuk mencapai tujuan yang diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus melakukan

usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari wakilnya, untuk memenangkan perkaranya.

Pada tingkat yang kedua orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta apa

yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan mengadu kepada ibunya.

Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk

apapun juga, bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, “karena ia telah berpegang kepada

kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu”

Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang yang bertawakal sama dengan

seorang fatalis yang menyerah diri kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa

orang yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik maupun pemikiran adalah

dugaan orang jahil yang tersesat atau kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat

Islam; orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang diperlukannya menurut batas-batas

yang wajar, seperti menjangkau makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok

tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti membawa perbekalan dalam

perjalanan, menghindari binatang buas, memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah,

mengembala hewan ternak dan sebagainya.

Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada

Allah, sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian dan sebagainya ia tidak

merasa sedih dan susah, di samping berusaha mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas

kemampuan yang ada padanya. Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak sampai ke

batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah.

Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang

dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang

muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti

tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya

bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq

dalam hati orang-orang tertentu.

(h) Mahabbah

Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti halnya Al-Ghazali adalah maqam yang

terakhir dan derajat yang paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala

Page 13: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

3

maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapainya. Di samping itu ia juga

menambahkan bahwa “tiada derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah Allah

Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai kepada makrifah Allah; dan itulah

kesudahan martabat orang yang salik. Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang

salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak yang mendorong seseorang

bertaubat dari segala dosanya. Dalam perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu

satu persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaan-perasaan lain seperti takut,

harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran

batinnya, sehingga ia dikatakan berada pada maqam cinta.

Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu

hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang

masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda

sebagai berikut :

Kasih ia akan mati;

Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia

akan mengikuti hawa nafsunya; -Senantiasa ia melazimkan zikir Allah;

Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Qur’an dan mengekali

ia atas sembahyang tahajjud di malam yang sunyi;

Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Taala”

Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala -Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin

dan benci akan orang kafir-yaitu seteru Allah;

Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia; -Menyembunyikan ia akan kasihnya

akan Allah Taala itu dari pada orang yang bukan ahlinya;

Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Ta’ala dan ridha ia akan Allah Ta’ala di dalam sekalian

yang diperbuat Allah Ta’ala akan Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV: 124 – 130).

Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang

melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan

syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada

maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas, selalu berzikir, munajat, mengerjakan

sembahyang tahajjud, membaca Al-Qur’an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan

hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang

dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci-Nya.

(i) Ridha

Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah.

Menurutnya, arti ridha itu “tidak menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah

atasnya dan atas orang yang lain padanya; karena sekalian perbuatan yang wuqu’ (terjadi) di dalam

dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia

mengutip sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya, “Bilakah seorang hamba

Allah ridha kepada-Nya?” Jawabnya, “apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan

kegembirannya menerima nikmat.”

Page 14: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

4

Dengan demikian, maqam ridha itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak

lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang terjadi di alam ini adalah

perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira.

Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena pengertian sabar itu masih terkandung di

dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah

berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang

disebut nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan.

Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa

seseorang harus ridha pula menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus

dipandang dari dua segi; segi pertama “kufur dan maksiat itu jadi daripada qadha Allah Taala dan

daripada qudrat-Nya” yang harus kita ridhai, tetapi dari segi lain, “kufur dan maksiat itu sifat bagi

hamba-Nya” yang tiada disuruh oleh Allah Taala” dan karena itu tidak boleh pula kita terima

dengan ridha.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua

yang diridhai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam

tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah

terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya.

Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar

yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih

tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala.

(j) Makrifah

Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena

hal itu menurut dia adalah “surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan

surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha

dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala. Intisari makrifah

hanya dapat dicapai setelah seorang salik melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua

maqam ini dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah.

Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar-

radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang

keindahan Allah yang mutlak dan “Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari

penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi

tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi.

(k) Fana dan Baqa

Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya Allah itu dikatakan “fana dalam

tauhid,” karena orang yang sudah mencapai pandangan itu “karam ia dengan syuhud akan Tuhan

Yang Maha Esa Yang Sebenarnya”. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan dalam arti “gugurnya

sifat-sifat tercela” dan istilah Baqa dalam arti “berdirinya sifat-sifat terpuji” orang yang sudah fana

(terhapus dari dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata lain, fana dan

baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua

aspek yang berbeda.

Page 15: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

5

Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan makrifah meliputi tiga tingkatan.

Pertama, fananya segala perbuatan makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat

makhluk dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam wujud Tuhan.

Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai

tingkat nafs al-muthma’innah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang

yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah “fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di

dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala.

Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di

alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang

lain.

Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua

aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa

dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan.

Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya

tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif telah terhapus di

dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah

tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya.

Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik

dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam

keadaan fana segala perbuatannya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak

mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa

sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis keridhaan Allah, karena segala perbuatannya

tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri.

Untuk suluk dan dapat mencapai insan kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya,

sehingga jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk dapat berada di

sisi Tuhan, tulis Al-Palimbani, manusia harus dapat mengendalikan tujuh hawa nafsu yang ada di

dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah,

nafs al-radliyah, nafs al-mardliyah, dan nafs al-kamilah.

Kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin tidak dapat disebut sebagai terjemahan dari kitab karya

Al-Ghazali, yaitu Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat. Para peneliti yang pernah

membaca dua kitab monumental karya Al-Ghazali itu tentu dapat secara kontras membedakannya

dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin.

Al-Palimbani dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin telah secara sangat cerdas mengupas

Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat karya Al-Ghazali. Al-Palimbani tidak menempuh

jalur kritik kepada kelemahan-kelemahan karya Al-Ghazali, melainkan dia menyatakan kekaguman

kepada sang ulama ahli tasawuf akhlaqi yang masyhur itu. Untuk kekaguman itulah Al-Palimbani

menyempurnakan beberapa kelemahan itu, misalnya menjelaskan status Alhadits yang dipakai Al-

Ghazali sebagai dalil naqli di dalam dua kitab tersebut.

Page 16: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

6

Patut pula diingat, pada zaman itu tak banyak ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang

asbab al-wuruz (ilmu tentang latar belakang atau asal-usul keberadaan suatu Alhadits Rasulullah

SAW). Sampai hari ini ulama yang paling popular dan diakui keakuratannya oleh banyak ulama lain

di bidang Alhadits adalah Al-Bukhari dan Muslim. Ulama yang pakar/mumpuni di bidang Alhadits

lazim disebut sebagai Al-Muhaditsin Alama. Di bidang Alhadits, melalui Sairus Salikin dan

Hidayatus Salikin paling tidak cukup membuktikan kemampuan Al-Palimbani sudah tidak lagi dapat

diragukan.

Selain itu, pilihan menerima sekaligus menyempurnakan membuktikan Al-Palimbani memiliki sikap

menghormati dan santun kepada sesame ulama. Boleh juga disetarakan dengan sikap Al-Bukhari

setiap kali menjumpai Alhadits palsu. Al-Bukhari tidak mengecam, melainkan menyatakan,

“Alhadits ini tidak dikenal.” Sungguh stereotype ulama besar yang sangat arif dan bijaksana.

Faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan pada Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin adalah

sumbangan berharga Al-Palimbani dalam mempertemukan dan mendamaikan dua perbedaan

mendasar antara ajaran tasawuf akhlaqi ala Al-Ghazali dan ajaran tasawuf filosofi ala Ibnu Arabi.

Dalam konteks ini kembali Al-Palimbani menunjukkan posisinya sebagai ulama yang berhikmat

kepada sesama ulama. Al-Palimbani melakukan rekonstruksi dan revitalisasi terhadap ajaran Al-

Ghazali dan secara sekaligus bisa menerima secara tertib/bersyarat untuk lalu membahas secara

sistematis dan komprehensif hakikat ajaran wahdah al-wujud yang berinti pada tasawuf filofis

sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Arabi.

Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah

Al-Palimbani adalah ulama yang pertama kali yang mengenalkan tarekat Al-Sammaniyah di

Indonesia, yang juga mengikuti tarekat Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad Abd. Al-Karim Al-

Samman Al-Madani. (1132-1189 H/17181775 M). (Muhammad Marwan, 1999:51) Tarekat

Khalwatiyah merupakan cabang tarekat Suhrawardiyah menurut silsilah tarekat Khalwatiyah. Syekh

Muhammad Abd. Karim Al-Samman Al-Madani adalah murid Syekh Ibn Kamal Bakri Al-Dimasyqi

yang menerima ijazah darinya. Kemudian Syekh al-Samman pergi ke Mesir yang dilanjutkan ke

Madinah dan mempelajari tarekat hingga tarekat ini dikenal dengan namanya. Al-Palimbani yang

mengikuti tarekat ini terkadang menyebutkan Khalwatiyah, padahal yang dimaksud adalah Al-

Sammaniyah atau sebaliknya. Akan tetapi, dia mengenalkan tarekat ini di Indonesia dengan nama

Al-Sammaniyah (Alwi Shihab, 2009: 205-206).

Dalam sejarah perkembangan tarekat di Nusantara ini tidak bisa dipisahkan dengan peran tokoh

seorang ulama besar Al-Palimbani sebagai pelopor tarekat al-Sammaniyah di Indonesia. Namun, apa

dan bagaimana peranan al-Palimbani dalam penyebaran tarekat al-Sammaniyah ini. Hal ini menarik

perhatian penulis untuk mempelajarinya lebih lanjut tentang riwayat hidup serta latar belakang

kehidupan al-Palimbani serta karya tulis dan ajarannya, khususnya peranan Al-Palimbani di dalam

pengembangan dan penyebaran ajaran tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia.

Menurut Snouck Hurgronje yang dikutib oleh Alwi Shihab bahwa, ratib samman ini sangat terkenal

di Indonesia, namun telah mengelami modifikasi, terutama dalam pembacaan ism Allah dan kata

ganti ketiga (Huw. Ratib Samman ini tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat lain. Perbedaannya

hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya. Misalnya, Al-Ghazali

tidak mensyaratkan pada pembaca terpenuhinya gerakan badan dan ketenangan jiwa.

Page 17: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

7

Al-Palimbani sangat dipengaruhi oleh ajaran Syaikh Muhammad Al-Saman Al-Madani, melalui Al-

Palimbanilah tarekat Al-Sammaniyah mendapat lahan subur bukan hanya di Palembang, tetapi juga

di bagian-bagian lain di wilayah Nusantara. Al-Samani dan tarekat Al-Sammaniyah menjadi subjek

utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya. Hal ini sesuai apa yang

diungkapkan oleh Muhammad Chotib Quzwaini dalam penelitiannya untuk mencapai gelar doctor

bahwa Al-Palimbani adalah orang pertama kali memperkenalkan Syaikh Muhammad Al-Samman

dan tarekat Al-Sammaniyah ke dalam literatur Melayu. Kemudian baru muncul Muhammad

Muhyiddin bin Syaikh Syihabuddin dan Kemas Muhammad bin Ahmad menerjemahkan kitab

Makib Syaikh Muhammad al-Samman. Sejak itulah berkembang tarekat Al-Sammaniyah di

Indonesia, yang sampai sekarang masih banyak ditemukan para pengikutnya.

Selain di Palembang, tarekat Sammaniyah juga menyebar ke daerah Kalimantan Selatan melalui M.

Nafis Al-Banjari. Beliau tidak sempat belajar langsung kepada Syaikh Al-Samman Al-Madani

karena beliau sampai di Hijjaz sesudah tahun 1775 M. Ia sempat belajar dengan Mahmud Al-Kurdi,

salah seorang tokoh tarekat Khalwatiyah yang terkenal dan mendapatkan ijazah dari guru yang sama

dengan Syaikh Al-Samman Al-Madani. Adapun Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang

teman dari al-Palimbani waktu belajar di Makkah, tampaknya bukan orang yang bersinggungan

langsung untuk menyebarkan tarekat Al-Sammaniyah, meskipun ia murid dari Syaikh Al-Samman

Al-Madani. Kecuali itu, Muhammad Arsyah Al-Banjari memang telah mempopulerkan qasidah

pujian Syaikh Al-Samman yang sampai sekarang masih dipakai. (Sri Mulyati,2004: 194)

Tarekat Al-Sammaniyah juga dapat ditemukan di Banten yang dibawa oleh Nawawi Al-Bantani

yang hidup satu abad sesudah Al-Palimbani. Ia pernah berguru dengan murid-murid al-Palimbani.

Seiring perjalanan waktu, tarekat Al-Sammaniyah di Banten sudah mulai dilupakan orang dan

banyak beralih kepada tarekat Rifa’iyyah, Naqsyabandiyah, dan Qadariyah wa Naqsyabandiyyah.

Selain itu tarekat Al-Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi

Selatan. Pengikutnya berasal dari komunitas Bugis dan Makassar yang bermukin di Kalimantan

Timur, Riau, Ambon, Papua dan Malaysia. Mereka selalu mempraktikkan ajaran tarekat Al-

Sammaniyah ini, dimana pusat gerakan tarekat ini terdapat di Sulawesi Selatan. Walaupun bagi

masyarakat Sulawesi Selatan tarekat Al-Sammaniyah lebih populer dengan nama tarekat

Khalwatiyah Sammaniyah, yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf Al-Makasari (1627-1699) dan Abdul

Bashir Tuang Rappang (wafat 1723) dengan nama tarekat Khalwatiyah Yusuf, yang muncul sejak

abad ke-17. Sementara Khalwatiyah Samman masuk ke wilayah Sulawesi Selatan pada awal abad

ke-19, dibawa oleh Abdullah Al-Munir, seorang bangsawan Bugis dari Bone.

Ketika tarekat Khalwatiyah Yusuf mengalami kemunduran, antara lain disebabkan oleh kurangnya

tokoh-tokohnya, tarekat Khalwatiah Samman muncul. Sebagainama perkembangan tarekat

Khalwatiyah Yusuf, Tarekat Al-Sammaniyah disambut baik oleh para bangsawan Bugis dan

Makassar, serta para peguasa setempat. Selain itu, pendekatan sosial keagamaan turut dipergunakan

dengan tetap mempertahankan ritus tradisional yang sebelumnya berlaku. Juga strategi yang

dipergunakan dalam penyeberan tarekat ini dilakukan melalui proses perkawinan.

Dengan demikian Tarekat al-Sammaniyah ini masih ada pada sebagian daerah di Indonesia, seperti

disebutkan diatas. Tarekat ini telah digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah, namun ratib

syaikh tarekat Muhammad alSamman masih tetap dibacakan di banyak wilayah di Indoinesia,

terlepas dari afiliasi yang bersangkutan kepada suatu tarekat.

Page 18: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

8

Wafat

Para ahli sejarah sampai saat ini belum sepakat tentang kapan dan di mana Al-Palimbani wafat. Ada

pula pendapat yang menyatakan beliau belum wafat tetapi diangkat langsung oleh Allah ke surga

sesaat setelah berjihad bersama pasukan umat muslim di Kedah dan Patani melawan pasukan kafir

dari Siam.

Keberadaan makam di perbatasan Kampung Sekom dengan Cenak dalam kawasan Tiba, di Utara

Patani, yang disebut-sebut oleh beberapa penulis dari Melayu (Malaysia, Singapura, dan Thailand)

sebagai makam Al-Palimbani juga belum dapat dianggap sebagai akhir dari perbedaan pendapat di

kalangan para peneliti sejarah.

Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Al-Palimbani ada di Palembang. Tetapi Dr.

Azyumardi Azra secara tidak langsung menyangkal Quzwain dengan menyatakan, ““Walaupun Al-

Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal

di Arabia.”

Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785 dan “… kemungkinan besar

setelah 1203/1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya terakhir dan paling masyhur,

Sairus Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, Al-Palimbani berusia 85 tahun.”

Referensi:

1. Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII

dan XVIII: Melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan 2. Quzwain, M. Chatib, 1985, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh

Abdus-Samad al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang

3. Noor, Hasni, AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI (Telaah

terhadap Kitab Sayr al-Salikin), Makalah, IAIN (DPK) Universitas Islam Kalimantan Selatan

Banjarmasin Fakultas Agama Islam.

4. Marwan, Muhammad, (1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani Ratib, Tawasul

dan Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel: TB. Sahabat.

5. Ahmad, M. Kursani, 2010, Abd. Al-Shamad Al-Palimbani: Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah

di Indonesia, Itjihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2010.

6. Shihab, Alwi, (2009), Akar Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia,

Depok: Pustaka IIMaN.

7. Mulyati, Sri, (et.al), (2004), Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,

Dalam Tulisan Ahmad Abrori, Tarekat Sammaniyah Sejarah Perkembangan Ajarannya, Jakarta:

Kencana.

8. Behrend, T.E (ed) 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara: Naskah Perpustakaan

Nasional RI, Jakarta: Yayasan Obor. 9. Pudjiastuti, Titik, Memandang Palembang dari khazanah naskahnya, Makalah, Departemen

Ilmu Susastra FIB-UI.

10. Ekadjati, Edi, S, 2005, Pengetahuan Geografi Masyarakat Sunda: Tinjauan Berdasarkan

Naskah Sunda Kuna dan Catatan Perjalanan Orang Portugis, makalah disajikan dalam

Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara, Buton

Page 19: Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

HA

LA

MA

N 1

9

11. Gajahnata, KHO, 1986, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI

Pres

12. Hanafiah, Djohan, 1995, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, Jakarta: Raja

Grafindo Persada

13. Ikram, Achadiati dkk, 2004, Katalog Naskah Palembang. Jakarta/Tokyo: Yayasan Naskah

Nusantara dan Tokyo University of Foreign Studies

14. Iskandar, Teuku, 1986, Palembang Kraton manuscripts in A Man of Indonesian Letters in

Honour of Prof. Teeuw. Dordrecht: Foris Publication Series

15. Mulyadi, SWR, 1994, Kodikologi Melayu di Indonesia. edisi Khusus Lembaran Sastra No.

24. Jakarta: FSUI

16. Sedyawati, Edi dkk, 2004, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

17. Sutaarga, Amir dkk, 1973, Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta:

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional

18. Sutyani, Titut, 2000. Naskah Palembang Koleksi Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia: Sebuah Tinjauan Kodikologis, Skripsi, Depok: FSUI 19. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo : Ramadhani, 1994) Cet. Ke-10

20. ----------------------- , Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994, cet. Ke-8

21. Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung: Mizan, 1992

22. An-Najar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawauf, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001

23. Next Magazine, Vol. 3