syeikh nuruddin ar raniri

37
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Terkenal AguRabu,20, M.A.Uswah Taman Ulama Nusantara Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al- Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M). Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al- As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994). Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia. Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula,

Upload: elibrahim

Post on 05-Jul-2015

249 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, Ulama Aceh Terkenal

AguRabu,20,

M.A.Uswah Taman Ulama Nusantara

Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas: 1199 M).

Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abd Allah b. Zubair Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).

Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.

Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.

Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai

Page 2: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994).

Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri

Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.

Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.

Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu (Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt).

Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang

Page 3: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).

Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).

Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan

Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.

Page 4: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.

Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.

Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.

Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk

Page 5: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.

Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.

Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadis yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu.

Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya."

Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir, kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.

Page 6: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.

Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.

Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam habis-habisan

Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri.

Page 7: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu pegangannya tidak ubah dengan al-Hallaj.

Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka. Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung tinggi itu.

Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.

Page 8: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Pengaruh Al-Raniri

Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994).

Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.

Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).

Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.

Page 9: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.

Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.

penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.

Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.

Page 10: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.

Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath al-Mubin.

Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.

Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani

Page 11: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.

http://tamanulama.blogspot.com/2008/08/syeikh-nuruddin-ar-raniri-ulama-aceh.html

Page 12: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Biografi Hamzah Fansuri Pahlawan Aceh

Syeikh Nuruddin ArRaniri Tokoh Islam Dari Aceh Tokohtokoh Dunia. Dengan Kedudukan

Dan Dukungan Seperti Ini AlRaniri Dengan Leluasa Dapat Memberikan Sanggahan

Terhadap Paham Yang Dikembangkan Oleh Dua Ulama Aceh Sebelumnya Hamzah

Fansuri Dan Syams AlDin AlSumaterani Tidak Hanya Itu AlRaniri

FAKTA TENTANG RA KARTINI REMBANG NEWS. Ia Mengkritik Pengkultusan RA Kartini

Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia Dalam Buku Satu Abad Kartini 18791979 Jakarta

Pustaka Sinar Harapan 1990 Cetakan Ke4 Harsja W Bahtiar Menulis Sebuah Artikel

Berjudul Selain Bahasa Aceh Dan Melayu Dia Menguasai Bahasa Arab Persia Spanyol

Dan Urdu Di Masa Pemerintahannya Ilmu Dan Kesusastraan Berkembang Pesat Ketika

Itulah Lahir Karyakarya Besar Dari Nuruddin ArRaniry Hamzah Fansuri Dan Abdur Rauf

Syaikh Hasan Krueng Kalee Kecintaan Dan Kasih Sayang Kepada . Untuk Pengetahuan

Teungku Adalah Gelaran Hormat Masyarakat Aceh Yang Diberi Kepada Ulama

Sebagaimana Teuku Pula Diberikan Kepada Pahlawan Atau Pemimpin Jangan

Dikelirukan Istilah Tersebut Dengan Tengku Yang Biasa Digunakan Di Dihadiri Oleh

Ratusan Ulama Besar Aceh Di Masjid Baitur Rahman Banda Aceh Telah Menyimpulkan

Bahawa Ada Empat Ulama Aceh Yang Telah Sampai Ke Darjat MarifatUllah Mereka

Adalah Syaikh Abdur Rauf AsSinkili Syaikh Hamzah AlFansuri

IRINI DEWI WANTI BIOGRAFI SINGKAT PAHLAWAN NASIONAL. Di Bidang Pendidikan Dan

Agama Islam Pada Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda Pelaksanaan Ibadah

Sangat Tertib Beberapa Ulama Dan Pujangga Seperti Hamzah Fansuri Dan Syamsuddin

Pasai Hidup Sebagai Ulama Yang Ahli Di Bidang Tassawuf Dan Namun Tidak Seberapa

Lama Di Lam Krak Beliau Berangkat Menunaikan Ibadah Haji Di Mekkah Beliau Juga

Belajar Banyak Pada Ulama Aceh Yang Lebih Dahulu Berada Di Sana Dan Mengenal

Dunia Politik Lebih Jauh Tentangkeberadaan Kolonial

BAHRUS SHOFA Syaikh Hasan Krueng Kalee. Untuk Pengetahuan Teungku Adalah

Gelaran Hormat Masyarakat Aceh Yang Diberi Kepada Ulama Sebagaimana Teuku Pula

Diberikan Kepada Pahlawan Atau Pemimpin Jangan Dikelirukan Istilah Tersebut Dengan

Tengku Yang Biasa Digunakan Di Dihadiri Oleh Ratusan Ulama Besar Aceh Di Masjid

Baitur Rahman Banda Aceh Telah Menyimpulkan Bahawa Ada Empat Ulama Aceh Yang

Telah Sampai Ke Darjat MarifatUllah Mereka Adalah Syaikh Abdur Rauf AsSinkili Syaikh

Hamzah AlFansuri

BUKU LEKSIKON SASTRA ACEH 2. Kitab Setebal 298 Halaman Ini Selesai Ditulisnya

Pada Tanggal 12 Rabiul Awal 1068 H Atau 1657 M Kitab Ini Ditulisnya Bertujuan Untuk

Melawan Faham Kaum Wujudiyah Yang Dipelopori Oleh Hamzah Fansuri Dan

Syamsuddin AsSumatrani

BUKU LEKSIKON SASTRA ACEH 3. Sebenarnya Hamzah Fansuri Tidak Mencantumkan

Tahun Dalam Karyakarya Tetapi Kita Dapat Merujuk Pada Karya Syamsuddin Pasai

Page 13: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Yang Mengatakan Beliau Meninggal Pada Tahun 1630 Syamsuddin Sealiran Dengan

Hamzah Dalam Bidang Tasawuf Dan Ia

BUKU LEKSIKON SASTRA ACEH 5. Berikut Ini Kita Lihat Beberapa Cuplikan Isi Kitab Ini

Yang Hampir Seperenam Isinya Hujatan Yang Ditujukan Terhadap Tokoh Faham

Wujudiyah Terutama Hamzah Fansuri Dan Syamsuddin AsSumatrani Yang Dikutip

Dalam TIskandar 1996404407

Penulis Aceh Dan Estika Islam Bayt AlHikmah Institute. Sastra Melayu Mulai Mengalami

Masa Puncak Perkembangannya Di Aceh Pada Paruh Ketiga Abad Ke16 M Di Tangan

Penulis Yang Juga Ahli Tasawuf Seperti Hamzah Fansuri Bukhari AlJauhari Dan

Muridmurid Mereka Yang Tinggal Di Ceh Dan Pusatpusat Tetapi Dalam Hikayat Yang

Asilinya Ditulis Oleh Pengarang Persia Abad Ke10 M Itu Dengan Judul Dashtani Amer

Hamza Dilukiskan Sang Pahlawan Hidup Lebih Seratus Tahun Dan Melakukan

Perjuangan Melawan Kekuasaan Rajaraja Arab Dan

HADIS DI INDONESIA ABAD XVIIXVIII Kajian Atas Pemikiran 39Abd . Abd Rauf Mulai

Menjalani Karir Intelektualnya Ketika Aceh Berada Dalam Situasi Chaos Situasi

Demikian Dipicu Oleh Adanya Persengketaan Antara Penganut Doktrin Wujudiyyah

Yang Diasosiasikan Kepada Hamzah Fansuri Dan Syam AlDin

Page 14: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Syeikh Hamzah Fansuri ialah seorang ulama dan pujangga besar Melayu. Beliaulah penyair Melayu pertama yang menggubah syair-syair bersifat agama. Hamzah Fansuri dipercayai dilahirkan pada akhir abad ke-16 di Barus atau Panchor, Sumatera Utara. Panchor disebut Fansur dalam bahasa Arab. Pada tahun 1726, Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indie (Hindia Timur Lama dan Baharu) pada bab mengenai Sumatera, menyebut Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair yang dilahirkan di Fansur. Ia menghabiskan banyak waktunya dan menetap di Aceh.

Karya-karya Hamzah Fansuri telah dikaji oleh para sarjana Timur dan Barat iaitu Kraemaer, Doorenbos, Al-Attas, Teeuw, Brakel, Sweeney, Braginsky dan Abdul Hadi. Kajian al-Attas yang merupakan analisis semantik dianggap sebagai kajian yang paling menyeluruh dan hebat terhadap pegangan mistisisme Hamzah Fansuri.

Pada masa yang sama, kajian mereka ini telah memberikan penjelasan yang amat penting mengenai sumbangan Hamzah terhadap sastera Melayu. Pemikiran dan pegangan Hamzah Fansuri terpancar dalam karya-karya beliau meliputi karya prosa dan puisi. Hamzah adalah pengembang tarekat Wujudiyah. Gambaran tentang ajaran Wujudiyah ini dapat dikutip daripada karangan beliau Asrar al-Arifin dan Sharab al-Asyikin. Fahaman ini beranggapan bahawa segala makhluk itu pada asasnya esa, kerana wujud daripada zat Allah.

Dalam hujahnya menerusi kitab-kitab ini, terkesan bahawa Hamzah terpengaruh dengan faham Ibn Arabi, ahli tasawuf yang masyhur pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13. Selain itu, Hamzah turut menyisipkan dalam karangannya kutipan-kutipan ahli tasawuf Parsi seperti al-Junaid, Mansor Hallaj, Jalaluddin Rumi, Abi Yazid Bistami, dan Shamsu Tabriz.

Karangan-karangan prosa Hamzah yang terpenting ialah Asrar al-Arifin (Rahsia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi) dan Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan). Syair-syair beliau pula ialah Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan

Page 15: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Syair Perahu.

Melalui hasil karangannya, dijelaskan mengapa orang harus mencari Tuhan dan juga sebagai garis petunjuk untuk mencari Tuhan. Syair-syair Hamzah sarat dengan estetika, ilmu dan falsafah diolah berdasarkan pengaruh pantun menampakkan bahawa Hamzah menguasai puisi Parsi bersifat tasawuf dan memupuk rasa cinta akan Allah. Hamzahlah penyajak Melayu pertama yang menggunakan syair dalam tulisan agama.

Winstedt mengatakan cara pemikiran Hamzah sesuai dengan pemikiran yang terdapat dalam karangan-karangan ahli-ahli falsafah, pujangga dan pengarang-pengarang besar Barat seperti St. Augustino (354-430), John Lyly (1553-1606), Francis Bacon (1561-1662), John Milton (1608-1674), Sydney Smith (1771-1845) dan lain-lainnya. Pengiktirafan tersebut mewajarkan Hamzah Fansuri diangkat sebagai pelopor kesusasteraan Melayu moden di alam Melayu.

Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan dalam karya-karyanya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh Hamzah Fansuri sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu Arabi serta “Iraqi” untuk menopang pemikiran kesufiannya. Hubungan Syeikh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia, padahal selain Ibnu Arabi pemikir sufi yang banyak memberi warna Syeikh Hamzah Fansuri adalah Fakhruddin Iraqi, seringnya Syeikh Hamzah Fansuri menyebut dan mengutip lama’at-lama’at karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya dengan Iraqi.

Page 16: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Syeikh Abdurrauf   Singkel

ABDURRAUF SINGKEL, SYEIKH nama lengkapnya adalah

Syekh Abdurrauf Ali Al Fansury Al Singkily Al Jawi. Beliau adalah

penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum,

cendikiawan muslim dan seorang Sufi yang sangat terkenal di

Nusantara yang lahir pada tahun 1615 atau 1620 di Singkel, sebuah

kabupaten di Aceh Selatan. Dia berasal dari kalangan keluarga muslim

yang taat beribadah. Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali

dan ibunya seorang wanita berasal dari desa Fansur Barus—sebuah

pelabuhan (bandar) yang sangat terkenal waktu itu. Dimasa mudanya

mula-mula Abdurrauf belajar pada Dayah Simpang Kanan di

pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya

sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di Dayah Teungku

Chik yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansury. Ia sempat pula

belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang dipimpin oleh Syeikh

Samsuddin as-Sumatrani. Setelah Syeikh Samsuddin pindah ke Banda

Aceh lalu diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul

Adil, Abdurrauf pun pergi mengembara. Beliau tidak suka menetap di

kota kelahirannya. Beliau lebih suka memilih mengembara

meninggalkan kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai

pelosok nusantara dan Timur Tengah. Abdurrauf selalu merasa haus

terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pernah belajar hampir dua puluh

tahun di Mekkah, Madinah, Yaman dan Turki. Sehingga tidak

mengherankan kalau Beliau menguasai banyak bahasa, terutama

Page 17: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

bahasa Melayu, Aceh. Arab dan Persia. Disebutkan selama belajar

ilmu agama di Timur Tengah, Syeikh Abdurrauf telah berkenalan

dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashyur. Tentang

pertemuannya dengan para sufu itu, ia berkata “adapun segala

mashyur wilayatnya yang bertemu dengan dengan fakir ini dalam

antara masa itu…”. Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurraur kembali ke

Aceh dengan memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai

Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan

Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Mengenai pendapatnya tentang faham

Syeikh Hamzah Fansuri (Tarekat Wujudiah) nampaknya berbeda

dengan Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Beliau tidak begitu keras,

Walaupun Syeikh Abdurrauf termasuk penganut faham tua mengenai

ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia

berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap

penganut tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti itu

sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan

berbalik kepada dirinya sendiri. Karya tulisnya yang diketahui lebih

kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu—sastra, hukum,

filsafat, dan tafsir, antara lain;

1.                           ‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-

Mufridin; dengan terjemahannya sendiri; Perpegangan

Segala Mereka itu yang Berkehendak Menjalani Jalan

Segala Orang yang Menggunakan Dirinya. Dalam

karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang

dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La

Illah pada masa-masa tertentu merupakan pokok

Page 18: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri atas tujuh

faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh

diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di samping

memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf,

silsilah ini juga memberikan gambaran di mana dengan

cara apa ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar

Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan.

Dalam kitab ini pula ia menyebut telah berada selama

sembilan belas tahun di negeri Arab.

2.                           Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam

al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab. Dalam kitab ini

disebutnya ia mengarang atas titah Sultanah Tajul-

Alam Safiatuddin Syah. Isinya ialah ilmu fikah

menurut mazhab Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak

dibicarakan dalam Sirat al-Mustaqim karangan

Nuruddin ar-Raniri, dimasukkan disini.

3.                           Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal

al-Talibin. Dalam karya ini disebutnya ia dititahkan

oleh Sultanah Tajul-Alam untuk mengarang. Isi kitab

ini ialah tentang ilmu tasawuf yang dikembangkan

oleh Abdur-Rauf.

4.                           Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-

Badi’ah. Karya ini terdiri atas lima puluh pengajaran

dan ditulis berdasarkan Qur’an, hadith, ucapan-ucapan

sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama

besar.

Page 19: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

5.                           Tafsif al-Jalalain. Abdur-Rauf juga telah

menterjemah sebagian teks dari Tafsir al-Jalalain,

surah 1 sampai dengan surah 10.

6.                           Tarjuman al-Mustafiq. Merupakan saduran

dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab ini.

Dalam sebuah naskah Jakarta disebut ada tambahan

dari murid Abdur-Rauf, Abu Daud al-Jawi ibn Ismail

ibn Agha Ali Mustafa ibn Agha al-Rumi (Van Ronkel,

Catalogus der Maleische Handschriften 1909 dalam

ibid).

7.                           Syair Ma’rifat. Syair ini terdapat dalam

naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin

pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi.                 

 

SYAIR MA’RIFAT dimulai dengan;

 

Pahamkan olehmu di dalam hatiKepada guru mintalah pastiTulus dan yakin kedua matiInilah bekal tatkala mati          Apabila mufakat empat ma’na          Agama Islam baharulah sempurna          Apabila mufakat empat di sana          Mengenal dzat Tuhan yang Ghana…………….Fakir khabarkan suatu pendapatTatkala mencari ilmu ma’rifatSepohon kayu cawangnya empatBuahnya diambil tiada dapat          Kayunya tinggi bukan kepalang          Buahnya banyak tiada berbilang

Page 20: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

          Warnanya indah amat cemerlang          Hendak diambil dibawa pulangMengambil buahnya hendak mendapatTuntut olehmu dengan isyaratFi’il yang baik dengan martabatMintak diguru janganlah bai’at          Tuntut olehmu dengan pengguruan          Tiadalah jadi dengan tiruan          Serta tarikat mengenal Tuhan          Hakikat ma’rifat sempurna jalanAdalah ibarat fakir yang hinaSepohon kayu banyak ma’nanyaJikalau pohon tiada sempurnaCawang dn dahan tiada berguna          Jikalau sempurna pohon itu          Cawang dan dahan terhimpun di situ          Buah dan bunga di sanalah tentu          Baiklah fakir hati di situBaik-baik tuan kita menerimaKepada pohonnya ialah sempurnaDaun dan buah tiada samaMasing-masing berlainan nama          Jikalau diibarat saja kelapa          Kulit dan isi tida serupa          Janganlah kita bersalah tapa          Tetapi beda tiadalah berapaSebiji kelapa ibarat sanaLafadnya empat suatu ma’naDi situlah banyak orang terkenaSebab pendapat kurang sempurna          Kulitnya itu ibarat syari’at          Tempurungnya itu ibarat tarikat          Isinya itu ibarat hakikat          Minyaknya itu ibarat ma’rifatSyariat itu ibarat tubuhTarikat itu jalan yang teguhHakikat itu bersungguh-sungguhMa’rifat itu seperti suluh          Baik-baik I’tikad kita sempurna

Page 21: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

          Supaya I’tikad kita sempurna          Jikalau bercerai lafadh ma’na          Akhirnya tiada berguna…………….Jika tuan menuntut ilmu Ketahuilah dulu keadaanmuMan ‘arafa nafsahu kenal dirimuFaqad ‘arafa rabbahu kenal Tuhanmu          Kenal dirimu muhadath semata          Kenal Tuhanmu qadim dzatnya          Tiada bersamaan itu keduanya          Tiada semisal seupamanya……………Adapun dikata ma’na yang empatIman, Islam, tawhid, ma’rifatKeempatnya itu suatu tempatKurang dituntut tiadalah dapat 

Kemudian diterangkan keempat-keempat perkara itu. Pada

akhir tulisan ini disebut judul syair ini serta nama pengarangnya

 

Tamatlah sudah Syair Ma’rifatSyaikh Abdur-Rauf mengarang di AcehFakir menyalin kurang nan dapatJangan dicela jangan diupat.

http://lkara.wordpress.com/2008/09/17/syeikh-abdurrauf-singkel/

ABD. RAUF SINGKEL: SEJARAH DAN SUMBANGANNYA

Cukup banyak ulama’ Indonesia yang telah memberikan kontribusi berharga dan amat berpengaruh dalam upaya penyebaran agama Islam, khususnya di daerah Asia Tenggara. Beberapa di antara ulama terkenal yang mungkin telah banyak diketahui oleh masyarakat umum antara lain: sembilan Wali Songo, dan Mohammad Nawawi Ibn Umar

Page 22: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Al-Jawi Al-Banteni. Akan tetapi ada segelintir ulama’ yang mungkin tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya. Mereka antara lain adalah: Hamzah Fansuri, Mohammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Taher Jalaluddin, Syamsyuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri, Abdussomad Al-Palembany, Syekh Yusuf Al-Makasari, dan Syekh Abdurrauf Singkel. Nah, untuk itulah tulisan kecil ini akan difokuskan pada ulama’-ulama’ tersebut dalam upaya penyebaran agama Islam di Indonesia. Namun, tidak untuk semua ulama’ yang kami sebutkan di atas, tapi lebih fokus lagi terhadap Syekh Abdurrauf Singkel (selanjutnya disebut Abdurrauf).Abdurrauf lahir sekitar tahun 1615 di Aceh Selatan. Tepatnya di daerah Singkel, sebelah utara Fansur di pantai barat Aceh.Sekitar tahun 1640, yang saat itu, yang menjadi sultan Aceh adalah Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), ia berangkat ke tanah Arab guna mempelajari ilmu agama. Ia mengunjungi pusat pendidikan yang ia jumpai di sepanjang jalur perjalanan antara Yaman dan Makkah. Kemudian bermukim di Makkah dan Madinah untuk menambah pengetahuan agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu. Mulai dari ilmu yang disebut dengar lahir (yang ia mempelajari di daerah Yaman), yang termasuk di dalamnya adalah bahasa Arab, grammar of arabic, Al-Qur’an (berguru pada Syekh Abadullah Al-Adani, yang, menurut Abdurrauf sendiri beliau adalah guru terbaik di Yaman), Hadits, Syari’at, dan lain sebagainya, hingga ilmu-ilmu batin mengenai tashawuf.Ia juga mempelajari Tarekat Syattariyah pada Ahmad Qasasi (1583-1661) dan Ibrahim Al-Qur’ani. Sampai ia memperoleh ijazah sehingga ia memiliki hak untuk mengajarkan tarekat tersebut pada orang lain.Selanjutnya ia mengajarkan tarekat ini di Aceh. Tarekat ini meluas sampai ke Sumatera dan Jawa dengan adanya usaha-usaha yang dilakukan oleh murid-muridnya dalam melaksanakan pengajaran. Kekuasaan kesulatanan Aceh pada waktu itu dan posisi strategis perjalanan naik haji merupakan faktor terpenting dalam menyebarkan tradisi pengajaran Islam dan pengabdian keagamaan.Sumber utama tentang riwayat Abdurrauf secara terperinci terdapat dalam kolofon yang terdapat dalam beberapa naskah tulis dari karyanya, ‘Umdat Al-Mubtajjin. Pada bagian akhir karangannya, Abdurrauf memmuat nama-nama ulama’ kepada siapa ia belajar dan dengan siapa ia bergaul selama berada di Arab. Rinkes menguraikan riwayat hidup Abdurrauf secara terperinci dalam disertasi doktornya, tetapi ia memberi sedikit tambahan saja terhadap isi ‘Umdat Al-Mubtajjin.Abdurrauf termasuk ulama’ yang produktif dalam menuliskan karyanya. Karya-karyanya digunakan oleh kaum muslim di wilayah Asia Tenggara. Sebagian besar karyanya berkaitan dengan masalah fiqih, ibadah, dan tasawwuf. Semua tulisannya yang berbahasa melayu diorientasikan pada kondisi Melayu dan disusun pada tingkat yang sesuai dengan murid-muridnya. Dengan demikian, mereka dapat memahami Islam secara lebih baik, mencegah mereka dari mara bahaya, dan memperingatkan mereka melawan intoleransi.

Page 23: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Beberapa karyanya di bidang tasawwuf, antara lain; ‘Umdat Al-Muhtajjin (Tiang Orang yang Memerlukan), Kifayat Al-Muhtajjin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iqu Al-Huruf (Detail Huruf), Bayan Tajalli (Keterangan tentang Tajalli). ‘Umdat Al-Muhtajjin merupakan karya Abdurrauf yang terpenting. Buku ini terdiri dari 7 bab yang memuat bahasan mengenai dzikir, sifat Allah. dan rasul-Nya serta asal-usul ajaran mistik.Di antara guru yang ia puji adalah Ahmad Qasasi. Ia menyebut gurunya ini membimbing spiritual dan guru di jalan Allah. Sebagian di antara muridnya, ada yang menjadi ulama’ terkenal, seperti Burhanuddin Ulakan dari Pariaman, Sumatera Barat.Abdurrauf menjadi mufti kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Sultanah Safiatuddin Tajul Alam. Dengan dukungan kerajaan, ia berhasil menghapus ajaran salik buta, sebuah tarekat sesat yang ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh.Abdurrauf memiliki sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqih, dan sisanya kitab tasawwuf. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.Salah satu kitab tafsir Abdurrauf berjudul Mir’ad Al-Thullab fi Tafshil Ma’rifat Ahkam Al-Sya’riyah lil Al-Malik Al-Wahhab (Cermin Bagi Penuntut Ilmu Fiqih Pada Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah). Di dalam kitab itu termuat berbagai masalah madzhab Syafi’ie yang merupakan panduan bagi seorang Qadli. Kitab ini ditulis atas perintah sultanah.Karena maninggal dan kemudian di makamkan di Kuala (Muara) Kr. Aceh atau Banda Aceh, Abdurrauf juga dikenal dengan nama Teuku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, yaitu Universitas Syiah Kuala.

http://eatoren.wordpress.com/2011/01/04/abd-rauf-singkel-sejarah-dan-sumbangannya/

Page 24: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

ABDUS SAMAD AL-PALIMBANI Pengusung Gerakan Pembaruan Islam di Nusantara Penyebaran pembaruan ajaran Islam dari pusat-pusat pengetahuan dan keilmuan di Timur Tengah. ke berbagai wilayah Nusantara setelah abad ke-17 hingga awal abad ke-19, tidak terlepas dari peranan para ulama Melayu-Indonesia yang hidup pada periode ini. Salah satu nama yang memiliki andil dalam gerakan pembaruan di wilayah Nusantara ini adalah Abdus Samad al-Palimbani.

Pada periode ini (abad ke-17 hingga 19) gerakan pembaruan Islari di wilayah Nusantara mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan, ditandai dengan berkembangnya pengetahuan dan keilmuan mengenai Islam serta perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara, baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa.

Berbeda dengan ulama Palembang lain yang riwayat hidupnya kurang terdeskripsikan, kehidupan dan karier Abdus Samad al-Palimbani relatif lengkap, terutama berdasarkan atas kepingan-kepingan informasi yang tersebar dalam karya-karyanya yang dilengkapi dengan riwayat hidup berbahasa Melayu serta sumber-sumber Belanda.

Menurut sumber-sumber Melayu, nama lengkap al-Palimbani adalah Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani. Tetapi, sumber-sumber Arab menamakannya Sayid Abdus Samad bin Abdurrahman al-Jawi. Sementara tahun kelahirannya merujuk pada buku Tarikh Salasilah Negri Kedah, beliau dilahirkan sekitar 1116 H/1704 M di Palembang.

Berbeda dengan tahun kelahirannya yang hanya merujuk kepada satu sumber, tidak ada angka yang pasti mengenai tahun kematiannya. Menurut al-Baytar (penulis biografi Arab) dalam kamus biografi Arabnya yang berjudul Hilyah al-Basyar fi Tarikh al-Qarn as-Salis ‘Asyar menyebutkan al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Namun, sumber lain menyebutkan, kemungkinan besar ia meninggal setelah 1203 H/1789 M, tahun ketika al-Palimbani menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sair as-Salikin. Demikian pula, dengan tempat meninggalnya, ada yang menyebutkan di Arab dan ada juga yang menyatakan ia meninggal di perbatasan Malaysia (Kedah) dan Siam.

Kehidupan al-Palimbani tidak pernah lepas dari kegiatan belajar mengajar, dan menulis buku. Karena itu, semasa hidupnya, al-Palimbani dikenal sebagai seorang ulama besar, sufi, dan penulis produktif. Ayahnya, Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani, berasal dari San’a, Yaman, serta sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum akhirnya menetap di negeri Kedah (Malaysia) dan diangkat sebagai mufti di sana pada awal abad ke-18.

Masa kecilnya dihabiskan di Palembang. Ia banyak mempelajari ilmu tasawuf dari buku-buku Syekh Abdur Rahman bin Abdul Aziz al-Magribi, Syekh Abdun Rauf al-Jawi as-

Page 25: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

Singkili (Abdun Rauf Singkel), dan Syamsuddin as-Sumatrani. Ilmu suluk dipelajarinya dari Syekh Muhammad as-Samman. Sementana itu, ilmu tauhid dikajinya dari kitab Syekh Mustafa al-Bakri. Menginjak remaja, al-Palimbani memutuskan pengi ke Makkah untuk benguru kepada seorang ulama Mesir, Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri.

Di kalangan jamaah haji orang Jawi (Indonesia) di Makkah, nama al-Palimbani sangat terkenal. Sebagai seorang terpelajar, ia bersedia menolong dan membimbing mereka dalam melaksanakan ibadah haji. Karena itu, tak mengherankan jika Sultan Najamuddin dari Palembang memintanya untuk menulis risalah tentang hakikat iman dan hal yang dapat merusaknya. Ia memenuhi permintaan tersebut dengan menulis buku dalam bahasa Melayu, Tuhfah ar-Ragibin fi Bayan Haqiqah. Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduh fi Riddah al-Murtaddin pada 1774.

Pada masanya, al-Palimbani juga dikenal Sebagai seorang penulis produktif. Ia menulis banyak buku, di antaranya Nasihah al-Muslimin, Syarh Lubab Ihya ‘Ulum ad-Din dan Syarh Bidayah al-Hidayah. Karyanya yang lain adalah Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah at-Tauhid (kitab yang berisi uraian tentang kalimat tauhid), Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-Alamin (ringkasan ajaran tauhid menurut Syekh Muhammad as-Samman), al- ‘Urwah al-Musqa wa Silsilah Uli al-Ittiqa (tentang wirid-wirid), Ratib ‘Abd as-Samad (berisi ratib, yaitu zikir, pujian, dan doa sesudah shalat).

Selain itu, ia juga mengarang kitab Hidayah as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin (berisi petunjuk untuk mencapai tingkat mutakin) dan Sair as-Salikin ila Ibadah Rabb al-Alamin (berisi uraian tentang cara beribadah kepada Allah SWT). Kedua karyanya ini memuat terjemahan dari kitab al-Gazali dan pandangan-pandangannya.

Sebagai seorang ulama sufi, ajaran tasawuf al-Palimbani merupakan gabungan ajaran wahdatul wujud (alam tidak berwujud dan yang berwujud hanya Tuhan) dan Ibnu Arabi dan ajaran tasawuf al-Gazali. Dalam pandangannya, manusia sempuma (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Tuhan dalam fenomena alam. Sehingga, mampu memandang Allah SWT sebagai wujud yang mutlak.

Ia juga mengajarkan ajaran Tarekat al-Khalwatiyah as-Sammaniyat, yang menempatkan guru tarekat tidak saja sebagai pembimbing rohani, tetapi juga penghubung antara murid-muridnya dan Tuhan. Ajaran Tarekat al-Khawatiyah as-Sammaniyat mengacu pada pandangan-pandangan al-Gazali yang dituangkan dalam dua karyanya, yaitu Lubab Ihya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Ajaran tarekat ini serupa dengan Tarekat Wujudiah Mulhid yang berkembang di wilayah Aceh.

Jihad di jalan Allah Sejarah mencatat al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kepedulian terhadap

Page 26: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Kepedulian al-Palimbani itu, antara lain, terlihat dalam beberapa karyanya yang bukan hanya menyebarkan ajaran neo-sufisme, melainkan juga mengimbau kaum Muslim untuk melancarkan aksi jihad melawan penjajahan bangsa Eropa, terutama Belanda yang terus menggiatkan usaha mereka menundukkan entitas politik Muslim di Nusantara.

Selain masalah keagamaan di Tanah Air; perhatiannya juga tertuju pada masalah kolonialisme Barat di negeri-negeri Islam. Perhatian dan keprihatinannya ini ia tuangkan dalam kitab berjudul Nasihah al-Muslimin wa Tazkirah al-Mu‘minin fi Fada‘il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi Muslimin dan Peringatan bagi Mukminin mengenai Keutamaan Jihad di Jalan Allah), yang ditulis dalam bahasa Arab pada tahun 1772.

EMPAT SERANGKAI Dari Indonesia Abdus Samad al-Palimbani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Haramain (Makkah dan Madinah) untuk menuntut ilmu dan mengajar Di Haramain, al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawi (istilah yang digunakan untuk menyebut masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah Jazirah Arab kala itu—Red). Keterlibatannya dalam komunitas Jawi membuat ia tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan kaum Muslim di wilayah Nusantara.

Peran pentingnya bukan hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi juga karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme, tetapi juga mengimbau kaum Muslim melancarkan jihad melawan kolonialisme Eropa.

Sikap peduli terhadap ‘ibu pertiwi’ ini tampaknya bukan hanya dimiliki oleh al-Palimbani sendiri, melainkan oleh komunitas kaum Muslim Jawi pada umumnya. Sehingga, di Haramain mereka dikenal sebagai komunitas yang paling kuat memelihara ikatan dan komitmen batin dengan negeri asalnya. Selama menuntut ilmu di Haramain, Ia menjadi kawan seperguruan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, dan Abdurrahman al-Batawi. Seperti al-Palimbani, ketiga kawannya ini juga merupakan ulama yang memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah Nusantara setelah abad ke47, meski mereka tinggal jauh dari tanah kelahiran mereka.

Karena itu, al-Palimbani bersama ketiga ulama ini oleh masyarakat di wilayah Nusantara dan Jazirah Arab dkenal sebagai empat serangkai dari lndonesia. Dalam buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, Abu Daudi menggambarkan mereka adalah empat ulama yang seiring sejalan mendapat pendidikan dari guru yang sama, sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, serta empat serangkai yang sama-

Page 27: Syeikh Nuruddin Ar Raniri

sama pulang bersama dan mengemban tugas yang serupa.

Menurut riwayat, empat serangkai juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di kota Madinah. Sehingga mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifa dalam Tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.

Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, empat serangkai ini juga berguru kepada Abdul al-Mun’im al-Damanhuri; Ibrahim bin Muhammad al-Rais al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M yang terkenal sebagat ahli ilmu Falak (Astronomi); Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar, Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadis; dan Athaillah bin Ahmad al-Azhari al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadis ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadis.

http://pujangga-lampung.blogspot.com/2010/04/abdus-samad-al-palimbani-pengusung.html