studi komparasi pengaturan pemberantasan …/studi...terorisme merupakan kejahatan terhadap...

79
STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA (ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Lis budi qurnianti NIM. E0006157 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: ngonguyet

Post on 07-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA

(ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN

INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

Lis budi qurnianti

NIM. E0006157

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban

serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara

karena terorisme termasuk kejahatan bersifat internasional yang menimbulkan

bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan

masyarakat. Aksi teroris telah menjadi fenomena dunia secara luas yang

memiliki mata rantai internasional, baik secara organisatoris maupun dalam

tingkatan kelompok kecil di suatu negara apapun tujuannya. Mereka

melakukan kegiatannya dengan bertukar senjata, bertemu dalam suatu

perencanaan operasi, penggunaan wilayah, dan penyiapan perlengkapan

administrasi yang berupa dukungan logistik secara individu ataupun

kelompok. Aktivitas teroris tersebut dilakukan dengan berbagai variasi dalam

manifestasi mereka, seperti penculikan, pemaksaan, pembajakan,

penyanderaan, pemerasan, pembunuhan, dan peledakan bom di seluruh dunia.

Aksi kekerasan yang digunakan cenderung dijadikan sebagai objek atau trend,

baik untuk usaha pemerasan, ataupun tuntutan lain yang relevansinya dengan

perolehan finansial atau hanya sekadar ancaman.

Perkembangan paling penting dalam terorisme internasional adalah

bantuan, pembelaan, dan pembiayaan yang dilakukan oleh beberapa negara

dengan menyediakan fasilitas perlindungan untuk teroris termasuk pemalsuan

dokumen/paspor. Bantuan inilah yang memudahkan teroris untuk keluar

masuk ke suatu negara dalam melakukan kegiatan terornya dan menjadikan

aparat kesulitan dalam melacak teroris dan jaringannya. Pinkerton Risk

Assesment of the USA telah mengkalkulasi bahwa serangan teroris di seluruh

dunia cenderung meningkat (Adjie. S, 2005 : xiv). Hal tersebut dapat

Page 3: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

diketahui dalam catatan setiap tahunnya, sejak pengeboman World Trade

Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi pengeboman

yang meruntuhkan gedung kembar itu dan memakan 3000 korban tanggal 11

September 2001. Selain itu aksi peledakan bom mobil, bom bunuh diri juga

meningkat tajam bahkan korban dari aksi peledakan bom juga meningkat

tajam. Terorisme memang menjadi pembahasan yang sangat hangat setelah

Amerika menjadi korban terorisme pada peristiwa black September 2001 yang

meruntuhkan gedung kembar yang merupakan simbol Amerika, di mana

jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Bin Laden yang diduga menjadi

pelaku atau bertanggungjawab atas “September Hitam”.

Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme menjadi titik perhatian

pada saat terjadi peledakan bom di Paddy’s Cafe dan Sari Club, Legian, Kuta,

Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 (Bom Bali I). Tragedi peledakan bom

tersebut telah menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik internasional

mengingat banyaknya korban yang berjatuhan merupakan orang asing yang

sedang berlibur di Pulau Bali. Adanya peledakan tersebut menjadi indikator

bahwa sebuah jaringan teroris telah masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan telah menghancurkan citra Indonesia di mata dunia.

Teror ini pun dikategorikan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror

yang terjadi di Indonesia dilihat dari banyaknya korban, kerusakan sarana dan

prasarana, serta dampak sosial, ekonomi, dan pariwisata yang dialami.

Serangkaian bom lain yang meledak di Indonesia sudah cukup

panjang. Bermula, dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1

Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta (13 September 2000), serangkaian

pengeboman pada malam Natal (Desember 2000), Bom Bali I (12 Oktober

2002), ledakan di restoran McDonald, Makasar (5 Desember 2002), ledakan

bom di depan Hotel J.W. Marriott (5 Agustus 2004), bom di salah satu kafe

karaoke yang terletak di Poso (10 Januari 2004), bom di depan Kedutaan

Australia di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (9 September

2004), bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005), bom Bali II (2 Oktober 2005),

Page 4: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

dan yang terakhir adalah bom yang meledek di Hotel J.W Marriott dan Hotel

Ritz Carlton (17 Juli 2009). Bom yang meledak di depan Hotel J.W. Marriott

tanggal 5 Agustus 2003, pada jam sibuk siang hari telah menewaskan 12

orang dan mencederai 149 lainnya (termasuk dua warga negara Amerika

Serikat) (Adjie S, 2005 : 437).

Untuk itu penanganan pemberantasan terorisme perlu dilakukan secara

terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional, dan secara simultan bersifat

represif, preventif, preemtif, maupun rehabilitasi

(http://buletinlitbang.dephan.go.id/, Surakarta, 12 Maret 2010). Pencegahan

dan pemberantasan terorisme dilakukan tidak hanya melibatkan satu pihak

saja, melainkan membutuhkan kerjasama seluruh pihak termasuk masyarakat.

Kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif atas dasar kehati-

hatian sangat diperlukan karena pemberantasan terorisme tidak semata-mata

merupakan masalah hukum dan penegakan hukum. Pemberantasan tindak

pidana terorisme juga merupakan masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang

berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa. Selain itu, kebijakan dan

langkah pemberantasan terorisme juga ditujukan untuk memelihara

keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi

korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.

Terorisme bukan hanya ancaman bagi kedamaian dan keamanan di

Indonesia, melainkan ancaman bagi kedamaian seluruh negara termasuk

Malaysia. Kenyataan adanya perang tidak simetris memerlukan kita secara

dramatis untuk mempertimbangkan lagi bagaimana kita harus menghadapi

ancaman terorisme internasional (The reality of such asymmetric warfare

required us to dramatically reconsider how we should confront the threat of

international terrorism (Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and

The Rule of Law”. Harvard Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.

3.). Meskipun demikian, tiap-tiap negara memiliki langkah penanganan dan

penanggulangan sendiri sesuai dengan karakteristik, kemampuan dan kondisi

Page 5: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

masyarakatnya. Kebijakan dan langkah penanganan yang diambil oleh

masing-masing negara memiliki karakteristik dan metode yang berbeda.

Sebagai wujud penanganan dan penanggulangan tindak pidana

terorisme dengan memperhatikan hak asasi korban, saksi, dan

tersangka/terdakawa serta didasarkan pada komitmen nasional dan

internasional, pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundang-

undangan nasional. Mengacu pada konvensi internasional dan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Sementara itu, wujud pemerintah Malaysia dalam mencegah dan

menanggulangi tindakan terorisme dan segala tindakan yang berkaitan dengan

keamanan serta keselamatan Malaysia dilakukan dengan menerbitkan Akta

Keselamatan Dalam Negeri atau yang sering disebut dengan Internal Security

Act Malaysia atau disingkat dengan ISA Malaysia.

Atas dasar tersebut, maka akan dilakukan perbandingan pengaturan

pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dengan Malaysia melalui

analisis terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia

tahun 1960. Dalam hal perbandingan hukum/comparative jurisprudence,

hukum pidana positif Indonesia termasuk dalam keluarga Civil Law System

sedangkan kajian hukum pidana Inggris, Malaysia, dan Australia termasuk

dalam Common Law System. Memperbandingkan hukum nasional dengan

hukum asing dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan

dengan secara objektif dapat melihat kelebihan dan kekurangan hukum

nasional dibandingkan dengan hukum negara lain atau sebaliknya. Oleh

karena itu penulis bermaksud untuk menyusun penulisan hukum dengan judul

“STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA

Page 6: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

(ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN

INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana

terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960?

2. Bagaimana kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan

tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia menurut Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia

Tahun 1960?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan

masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu penulis

mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sendiri baik berupa tujuan secara

obyektif maupun tujuan secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini

adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan hukum formil dan

materiil yang berlaku terutama mengenai pengaturan

pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang

Page 7: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960.

b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan dalam

pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan peneliti tentang

hukum nasional dalam bidang Hukum Pidana khususnya tentang

perbandingan atau komparasi pengaturan pemberantasan tindak

pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia melalui Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dengan Internal Security Act Malaysia 1960.

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini

akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat

diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya.

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam dunia kepustakaan tentang komparasi atau

perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme

antara Indonesia dan Malaysia melalui analisis terhadap Undang-

Page 8: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia

1960.

c. Hasil penulisan ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan

maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan

jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan

jawaban mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana

terorisme di Indonesia dan Malaysia.

b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan

penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk

mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang

diperoleh.

E. Metode Penelitian

Sebelum menguraikan tentang metode penelitian, terlebih dahulu akan

dikemukakan mengenai pengertian metode itu sendiri. Kata “metode”

(Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sesudah, di

atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara. Dua syarat utama

yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan

dapat dipertanggungjawabkan yaitu peneliti harus lebih dulu memahami

konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi sistem dan ilmunya) dan

metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johnny Ibrahim, 2006 : 26).

Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berarti

keseluruhan peraturan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu,

sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara totalitas

ilmu tersebut dicapai dan dibangun (Johnny Ibrahim, 2006 : 27). Metodologi

Page 9: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

penelitian merupakan cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian itu akan

dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara

pengumpulan data, maupun analisis data serta laporan penelitian.

Adapun metodologi yang digunakan penulis dalam penulisan ini

adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Bahan-bahan tersebut disusun secra sistematis, dikaji, kemudian

ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang

diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10).

Penelitian seperti itu tidak mengenal penelitian lapangan (field

research) karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga

dapat dikatakan sebagai : library based, focusing on reading and

analysis of the primary and secondary materials (Johnny Ibrahim,

2006 : 46).

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang

bersifat preskriptif dan terapan. Dalam pelitian hukum ini karakteristik

yang digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat preskriptif. Sebagai

ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum,

nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum,

dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat

preskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin dapat

dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum.

Page 10: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian

hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2006 : 93).

Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan

dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan komparatif

(comparative approach). Pendekatan undang-undang (statute

approach) adalah pendekatan dengan menggunakan regulasi dan

legislasi, di mana dalam penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai

acuan adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act

Malaysia. Sedangkan pendekatan komparatif yang penulis maksud

dalam penelitian hukum ini yaitu dengan membandingkan undang-

undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih

negara lain mengenai hal yang sama.

Dalam penelitian ini komparasi undang-undang yang diadakan

adalah dengan membandingkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan Internal

Security Act Malaysia Tahun 1960. Sementara hal yang dibandingkan

yaitu mengenai substansi hukum materiil pemberantasan tindak pidana

terorisme. Kegunaan dan tujuan dari pendekatan komparatif ini adalah

untuk memperoleh persamaan dan perbedaaan di antara kedua undang-

Page 11: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

undang tersebut dan untuk memperoleh gambaran mengenai

konsistensi antara filosofi dan undang-undang di antara Indonesia dan

Malaysia.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan jenis

penelitian hukum normatif, sehingga tidak memerlukan data di

lapangan secara langsung, melainkan data-data tersebut dapat

diperoleh melalui studi kepustakaan. Data-data yang digunakan oleh

penulis didapat dari :

a) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

c) Tempat-tempat lain yang tersedia data yang diperlukan.

d) Media Massa.

Terkait dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

di berbagai perpustakaan tersebut di atas, maka sumber data yang

penulis gunakan adalah sumber data primer, sekunder, dan tersier.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-

sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter

Mahmud Marzuki, 2005: 141).

Page 12: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Sumber data sekunder dalam penelitian normatif ini adalah :

1. Bahan hukum primer itu sendiri berupa peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan setelah

perubahan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act

Malaysia.

2. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-

jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas

tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

3. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, ensiklopedia, dan

lain-lain.

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian

normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi

kepustakaan/studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan

data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta

membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan,

dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika

deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard

Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik

kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat

individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari

aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret

yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter

Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon

menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan

Page 13: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari

pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian

diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu

kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di

dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana

silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Jadi dapat

disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum

dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum

kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara

menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen

yang dapat membantu menafsirkan norma utnuk menjawab

permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik

kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat

menjawab komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana

terorisme antara Indonesia dan Malaysia serta kelemahan dan

kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara

Indonesia dan Malaysia.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang

masing-masing terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi

yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Page 14: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan

penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis

gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang

sedang penulis teliti. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang

perbandingan hukum, tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang

terorisme, tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Tindak Pidana Terorisme, dan tinjauan tentang Internal Security

Act Malaysia Tahun 1960.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berupa

analisis dua peraturan perundang-undangan yang akan menjelaskan

komparasi pemberantasan tindak pidana terorisme dua negara yaitu

Indonesia dan Malaysia. Selain itu juga dibahas mengenai kelebihan dan

kelemahan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara

Indonesia dan Malaysia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian

dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa

kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis

temukan selama penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Page 15: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum

a. Riwayat Perkembangan

Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu

yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai

ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini (Barda Nawawi

Arief, 2008: 1). Sedangkan menurut Adolf F Schnitzer, perbandingan

hukum baru berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu hukum pada

abad ke-19. Studi ini dianggap begitu penting, dimana perbandingan

hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dianggap berdiri

sendiri dan lebih merupakan suatu metode keilmuan/penelitian dalam

memahami objek ilmu hukum (Barda Nawawi Arief, 2008 : 1).

b. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum

Pada awalnya perbandingan hukum sebagai disiplin hukum

sekaligus sebagai cabang ilmu hukum dipahami sebagai metode

pemahaman sistem hukum, selain sosiologi hukum dan sejarah hukum

yang ketiganya berkaitan erat satu sama lain (Romli Atmasasmita,

1996 : 5). Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan

hukum, antara lain: Comparative Law; Comparative Jurisprudence;

Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Perancis);

Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau

Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman).

Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa

Comparative Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip

ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem

hukum (the study of principles of legal science by the comparison of

various systems of law) (Barda Nawawi Arief, 2008: 3). Ada yang

membedakan antara Comparative Law dengan Foreign Law, yaitu:

Comparative Law mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan

maksud untuk membandingkannya. Foreign Law mempelajari hukum

Page 16: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu

sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk

membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.

Menurut Romli Atmasasmita yang mengutip pendapat

beberapa ahli hukum yaitu: Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa

perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan

hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan

dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan

merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu

masalah hukum (Romli Atmasasmita, 1996 : 7). Winterton,

mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode

yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut

menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan (Romli

Atmasasmita, 1996 : 7).

Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah

suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam

semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative

law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama

untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan

pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa

secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain

(Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 diterjemahkan

dalam buku Romli Atmasasmita, 1996 : 7).

Romli Atmasasmita sendiri memberikan definisi perbandingan

hukum (pidana) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari secara

sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan

mempergunakan metode perbandingan (Romli Atmasasmita, 1996 :

12).

Page 17: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Di antara teoritikus hukum, terdapat persamaan pandangan

bahwa perbandingan hukum memiliki fungsi dan kegunaan bagi

pembaharuan hukum di masa yang akan datang (Romli Atmasasmita,

1996 : 5). Sementara itu, penulis lebih menggunakan definisi

perbandingan hukum menurut Romli Atmasasmita.

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

a. Istilah Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Secara literlijk kata straf

artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan.

Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf

diterjemahkan dengan kata hukum, padahal lazimnya hukum

terjemahan dari recht. Untuk kata baar ada dua istilah yakni boleh dan

dapat. Sedangkan untuk feit ada empat istilah yaitu tindak, peristiwa,

pelanggaran, dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002 : 69).

b. Pengertian Tindak Pidana

Para ahli hukum mempunyai pandangan sendiri dalam

memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Menurut Adami

Chazawi, mereka terbagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu

pandangan dualisme dan monisme. Pandangan dualisme adalah

pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang

melakukan. Beberapa ahli hukum yang menganut pandangan dualisme

memberikan definisi tindak pidana sebagai berikut :

1. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan

pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Page 18: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

2. Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu

tindakan yang menurut rumusan undang-undang dinyatakan

sebagai tindakan yang dapat dihukum.

3. Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kelakuan

manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-

undangan.

4. R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu

perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-

undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan

penghukuman (Adami Chazawi, 2002 : 72-73).

Sementara itu, pandangan monisme adalah pandangan yang

tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan

unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa ahli hukum yang

berpandangan monisme memberikan definisi tentang tindak pidana

sebagai berikut :

1. J.E. Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan

yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan

dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang

yang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana

adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana.

3. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh

dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan

dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam

dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu

dapat dipersalahkan.

4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh

Page 19: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya

yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi,

2002 : 75).

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) umumnya dapat dijabarkan dalam

unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang

melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengan diri pelaku dan

termasuk segala sesuatu yang terkandung di hatinya, terdiri dari:

1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan, dan lain-lain;

4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut

Pasal 340 KUHP;

5. perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat

dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP (Lamintang,

1996 : 193-194).

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan

keadaan-keadaan dalam mana tindakan dari pelaku harus dilakukan,

terdiri dari:

1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. kualitas dari pelaku;

3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

(Lamintang, 1996 : 194).

Page 20: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Selain itu, untuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana

menurut Adami Chazawi terdapat dua sudut pandang, yaitu :

1) Sudut teoretis (berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang

tercermin pada rumusannya).

Menurut Moeljatno (paham dualisme), unsur tindak pidana

adalah:

a. perbuatan;

b. yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Sedangkan Schravendijk (paham monisme) memberikan

batasan yang unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. kelakuan (orang yang);

b. bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. diancam dengan hukuman;

d. dilakukan oleh orang (yang dapat);

e. dipersalahkan/kesalahan (Adami Chazawi, 2002 : 79-81).

2) Dari sudut undang-undang (kenyataan tindak pidana

dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan yang ada). Dari rumusan-

rumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP,

maka unsur tindak pidana yaitu :

a. Unsur tingkah laku (aktif dan pasif).

b. Unsur sifat melawan hukum.

c. Unsur kesalahan (schuld), terdiri dari kesengajaan,

kelalaian atau culpa.

d. Unsur akibat konstitutif.

e. Unsur keadaan yang menyertai.Unsur syarat tambahan

untuk dapat dituntut pidana.

f. Syarat tambahan untuk memperberat pidana.

Page 21: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

g. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.

d. Cara Merumuskan Tindak Pidana

Menurut Adami Chazawi, dasar pembedaan cara dalam

merumuskan tindak pidana dalam KUHP ada 3 (tiga) cara, yaitu :

1. Dilihat dari cara pencantuman unsur-unsur dan kualifikasi

tindak pidana, baik itu dengan mencantumkan semua unsur

pokok, kualifikasi dan ancaman pidana, maupun semua unsur

pokok tanpa kualifikasi dan ancaman pidana serta hanya

sekedar mencantumkan kualifikasinya saja.

2. Dilihat dari titik beratnya larangan dalam tindak pidana dengan

cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara

materiil (pada tindak pidana materiil).

3. Dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok,

bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan (Adami

Chazawi, 2002 : 112).

e. Jenis-jenis Tindak Pidana

Jenis tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar

tertentu, yaitu :

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan

(misdrijven) dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen)

dalam buku III.

2. Menurut cara merumuskannya, ada tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel

delicten).

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, terdapat tindak pidana

sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan

sengaja (culpose delicten).

4. Berdasar atas macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana

aktif/positif atau tindak pidana komisi (delicta commissionis)

Page 22: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

dan tindak pidana pasif/negatif atau tindak pidana omisi

(delicta omissionis).

5. Berdasarkan jangka waktu terjadinya, dibedakan tindak pidana

yang terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam

kurun waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

6. Berdasarkan sumbernya dapat dibedakan antara tindak pidana

umum dan khusus.

7. Apabila dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan antara

tindak pidana communia yang dilakukan oleh siapa saja dan

tindak pidana propria yang dilakukan oleh orang yang

memiliki kualitas pribadi tertentu.

8. Berdasar atas perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan

maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)

dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

9. Berdasarkan atas berat-ringannya pidana yang diancamkan,

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige

delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde

delicten), dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde

delicten).

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak

pidana tidak terbatas macamnya tergantung dari kepentingan

hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa

dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,

tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain

sebagainya.

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten)

dan tindak pidana berangkai (semengestelde delicten) (Adami

Chazawi, 2002 : 117-119).

3. Tinjauan Tentang Terorisme

a. Sejarah Terorisme

Page 23: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Terorisme ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno,

Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan. Dari catatan sejarah dapat

dirunut bahwa pada jaman Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM)

telah menulis mengenai manfaat dan efektifitas perang urat saraf untuk

menakut-nakuti musuh. Pada abad pertama Masehi, terorisme juga

dilakukan oleh sekte Zealots, yaitu kelompok keagamaan Yahudi.

Sekte ini menggunakan cara teror untuk melawan pemerintahan

pendudukan Romawi di wilayah yang kini dikenal sebagai Negara

Israel. Sementara itu, ahli strategi militer dari Cina Sien Tzu (500 SM),

mengungkapkan pemikirannya tentang terorisme melalui konsep

“bunuh satu, sepuluh ribu ketakutan” (Lukman Hakim, 2004 : 3).

Menurut Lukman Hakim, pada abad ke-12, kelompok

Assassins Islamiyah (Syiah) menggunakan metode teror yang berupa

kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melawan pemimpin politik

dan ulama Suni di kawasan negara-negara Arab. Di pertengahan abad

ke-19 sebuah kelompok radikal Narodnaya Volya di bawah pimpinan

Mikhail Bukanin menggunakan teror untuk melawan kekuasaan Tsar

Alexander II di Rusia. Awal abad ke-20, kejahatan terorisme dilakukan

oleh penguasa di Rusia dan Jerman. Komunitas Yahudi di Palestina

pun juga mempraktikkan terorisme untuk mengusir penjajah Inggris.

Di Indonesia sendiri terorisme sudah dikenal di awal kemerdekaan RI

dengan adanya gerakan radikalisme Darul Islam dan Tentara Islam

Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosuwiryo (Lukman Hakim,

2004 : 4-8).

b. Pengertian Terorisme

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan

meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan dalam

perundang-undangan. Menurut Ridarson Galingging dalam Jurnal

Mimbar Hukum, ketiadaan definisi umum mengenai terorisme dalam

Page 24: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

hukum internasional menyebabkan ketidaktentuan aturan (Vol. 21 No.

3- Oktober 2009). Akan tetapi, ketiadaan definisi hukum internasional

mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum

mengenai terorisme (Abdul Wahid, 2004 : 22). Pada dasarnya

terorisme merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan

dengan peradaban manusia. Menurut Lukman Hakim yang mengutip

pendapat Kerstetter, terorisme sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno, Romawi

Kuno, dan pada abad pertengahan (Lukman Hakim, 2004: 3).

Terorisme merupakan suatu mazab/aliran kepercayaan melalui

pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara

melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan,

kebrutalan bahkan pembunuhan yang bertujuan untuk melumpuhkan

otoritas pemerintah (Adjie. S., 2005 : 11).

Menurut Lukman Hakim yang juga mengutip pendapat Ezzat A

Fattah, kata teror berasal dari bahasa Latin “ terrere” yang kurang

lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat

pihak lain ketakutan (Lukman Hakim, 2004: 9). Menurut Natangsa

Surbakti dalam Jurnal Penelitian Hukum, tindakan teror merupakan

salah satu modus operandi dalam kegiatan subversif yang mana

lingkupnya meliputi kejahatan terhadap negara, strategi, taktik dan

teknik yang digunakan untuk melancarkan kegiatan itu beraneka ragam

serta berubah setiap perkembangannya (Vol.2 No.1- Juni 2001).

Seorang pakar terorisme Lequeur menyimpulkan terdapat

unsur-unsur yang sangat signifikan dari definisi terorisme yang

dirumuskan berbagai kalangan. Terorisme memiliki ciri utama

menggunakan ancaman kekerasan dan adanya tindak kekerasan serta

terorisme tersebut umumnya didorong oleh motivasi politik atau

mungkin juga karena fanatisme terhadap suatu agama.

Page 25: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Mengingat kompleksitas dalam mendefinisikan terorisme,

maka hanya diuraikan ciri utama dari terorisme, yang menurut Amalya

dalam bukunya Lukman Hakim, terdapat 10 (sepuluh) ciri utama, yaitu

:

1. Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan

tertentu secara sistematis, atau tindakan perorangan maupun

kampanye kekerasan yang dirancang untuk menciptakan

ketakutan.

2. Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan

tanpa pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu, untuk

mencapai tujuan-tujuan politik.

3. Sengaja ditujukan untuk menciptakan dampak psikolog atau

phisik terhadap kelompok masyarakat atau korban tertentu

dalam rangka mengubah sikap dan perilaku politik sesuai

dengan maksud dan tujuan pelaku teror.

4. Meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik penjahat yang

bertujuan polititk, dan para lunatik sejati.

5. Pelaku dapat beroperasi sendiri ataupun sebagai anggota

kelompok yang teroganisir, bahkan pemerintah tertentu.

6. Motifnya dapat bersifat pribadi, atau destruksi atas

pemerintahan, atau kekuasaan kelompok, sedangkan ambisinya

dapat terbatas (lokal) seperti penggulingan rezim tertentu dan

global seperti revolusi simultan di seluruh dunia.

7. Modusnya berupa penculikan untuk mendapat tebusan,

pembajakan, atau pembunuhan kejam yang mungkin tidak

dikehendaki oleh para pelakunya. Teroris dapat atau tidak

mengharapkan terbunuhnya korban, namun mereka seringkali

menemukan saat untuk membunuh guna memperkuat

kredibilitas ancaman, walaupun tidak diinginkan untuk

membunuh korban.

Page 26: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

8. Aksi-aksinya dirancang untuk menarik perhatian dunia atas

eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak

berkaitan sama sekali dengan perjuangan para pelaku.

9. Aksi-aksi teror dilakukan karena termotivasi secara politik,

atau karena keyakinan kebenaran yang melatarbelakanginya,

sehingga cara-cara kekerasan ditempuh untuk mencapai

tujuannya. Dengan demikian, aksi-aksi teror pada dasarnya

dikategorikan sebagai tindakan kriminal, illegal, meresahkan

masyarakat dan tidak manusiawi.

10. Kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan,

kelompok, klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan

untuk membuat kekacauan di bidang politik, ekonomi, atau

sosial (Lukman Hakim, 2004 : 11-13).

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam

European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di

Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against

State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity

meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang

mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam

suasana yang teror). Dalam kaitannya dengan HAM, crimes against

humanity masuk kategori gross violation of human rights yang

merupakan bagian serangan yang meluas atau sistemik yang secara

langsung ditujukan kepada penduduk sipil atau pada jiwa-jiwa tak

bersalah seperti yang terjadi di Bali (Abdul Wahid, 2004 : 23).

Di Amerika, rumusan terorisme terdapat pada United State

Code, Section 2656 f (d) yang berbunyi : merencanakan lebih dahulu,

kekerasan yang dimotivasi secara politis melawan target non-

kombatan, yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi audiensi

(premeditated, politically motivated violence perpetuated againts

noncombatant targets, usually intended to influence an audience). Dari

Page 27: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

rumusan tersebut, Hukum Amerika melihat terorisme dengan memberi

penekanan pada motivasi politik, yang sasaran terorismenya hanya

memperhatikan target sipil. Definisi di atas digunakan sebagai

pedoman Kementerian Dalam Negeri dan tidak merupakan kerangka

acuan Departemen Pertahanan dan FBI (Lukman Hakim, 2004 : 13).

Sementara itu, The Central Intelegence Agency (CIA),

mendefinisikan terorisme internasional adalah terorisme yang

dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau

diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing

(Abdul Wahid, 2004 : 24). Di mana dari definisi tersebut terdapat

kecenderungan memberi peran yang berlebihan kepada pemerintah

untuk menafsirkan suatu tindakan sebagai terorisme. Menurut

Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme, salah satu unsur

terorisme adalah adanya motif politik (Lukman Hakim, 2004: 14).

Konsekuensinya, apabila definisi seperti ini diadopsi dalam hukum,

maka penguasa akan sangat mudah menyalahgunakannya untuk

kepentingan kekuasaan.

Menurut Black Law’s Dictionary dalam bukunya Abdul

Wahid, tindakan terorisme adalah :

Kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan (Abdul Wahid, 2004: 25).

Lain halnya dengan kesepakatan di negara-negara Arab yang

terdapat dalam Konvensi Arab tentang Pemberantasan Terorisme (The

Arab Convention of the Suppression of Terrorism) :

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak

Page 28: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional (Any act or threat of violence, whatever ist motives or purposes, that accours in the advancement of an individual or collective criminal agenda and seeking to show panic among people, causing fear by harming them,or placing their lives, liberty or security in danger, or seeking to cause damage to the enviroment or to public or private installations or property or to accupying or seizing them, or seeking to jeopardize national resource) (Abdul Wahid, 2004 : 25-26).

Sementara itu Fauzan Al Anshari yang mengutip definisi

terorisme menurut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam bukunya

Lukman Hakim, mendefinisikan terorisme sebagai :

Tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara. Terorisme itu bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa untuk menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi untuk mempertahankan kekuasaannya. Tindakan mengancam dan bahkan sampai pada tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan atau perusakan harta benda tidak bisa disebut sebagai terorisme jika pihak-pihak yang bersangkutan telah menyatakan dalam keadaan perang terbuka (Lukman Hakim, 2004 : 16).

Dalam keterangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada peristiwa Bom Bali tahun

2002, Yusril Ihza Mahendra mengatakan :

Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity. Mengingat kategori demikian, maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan serta penganiayaan misalnya. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih

Page 29: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

siapa yang akan menjadi korbannya (Lukman Hakim, 2004: 16-17).

Sementara itu, dalam yurisdiksi hukum nasional, pengertian

mengenai terorisme terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

sendiri diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik

pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun, menurut Bayu

Dwiwiddy Jatmiko dalam Jurnal Ilmiah Hukum, tidak diberikannya

definisi yang memuaskan mengenai perbuatan teror sebagai delik

pidana, sehingga unsur perbuatan pidananya menjadi kabur dan terlalu

luas pengertiannya, serta membuka peluang terjadinya kesewenang-

wenangan dalam proses penegakan hukum (Vol. 13 No. 1- 2005).

Pasal 6, menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran pada obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Pasal 7, menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulakn suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.

Page 30: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Dari beberapa definsi di atas, penulis menyimpulkan definisi

menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas

memberikan batasan mengenai terorisme karena memuat delik formil

dan delik materiil

c. Tipologi dan Karakteristik Terorisme

Secara kategoris, gerakan terorisme dari aspek spiritnya dapat

dibedakan dalam berbagai kategori, yaitu :

1. Semangat nasionalisme, ditemukan di Aljazair, Palestina, dan

sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.

Kekerasan politik yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan,

secara sepihak dianggap sebagai terorisme oleh rezim kolonial.

2. Semangat separatisme, di mana kelompok separatis secara

stereotipe menempatkan kekerasan politik sebagai model

perjuangan bersenjata. Gerakan separatisme yang mengadopsi

pola terorisme pernah yang terjadi, yaitu : IRA di Irlandia,

Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan serta

Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.

3. Semangat radikalisme agama, yaitu : Kelompok Jihad Islam di

Mesir, Jihad Islam di Yaman, National Islamic Front di Sudan,

Al Qaeda yang berbasis di Afghanistan, Jamaah Islamiyah

yang berbasis di Malaysia, atau kelompok radikal Yahudi

seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kahane di Israel.

4. Gerakan terorisme yang didorong oleh spirit bisnis.

Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan United War

State Army dan Yakuza di Jepang adalah bentuk terorisme yang

didorong oleh spirit bisnis (Lukman Hakim, 2004 : 18-19).

Dalam artikel yang ditulis harian Kompas, 5 Oktober 2002

dengan judul The Sociology and Psychology of Terrorism : Who

become a Terrorist and Why? Divisi Riset Federal (kongres AS)

Page 31: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

disebutkan ada lima ciri kelompok teroris, yaitu : separatis-nasionalis,

fundamentalis-religius, religius baru, revolusioner sosial, dan teroris

sayap kanan. Klasifikasi itu didasarkan atas asumsi kelompok teroris

dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideologi (Abdul

Wahid, 2004: 33).

The United State National Advisory Committee dalam The

Report of the Task Force on Disorders and Terrorism tahun 1996,

membagi terorisme dalam beberapa tipe , yaitu :

1. Political terrorism, adalah bentuk terorisme yang dirancang

untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dengan

tujuan politik.

2. Nonpolitical terrorism, adalah bentuk terorisme yang dilakukan

untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas

dendam, penyelamatan (salvation), maupun semata-mata

karena kegilaan (madness).

3. Quasi terrorism yang menggambarkan kegiatan insidental guna

melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya

menggunakan metode teror .

4. Limited political terrorism, artinya kegiatan teror yang

dilakukan tidak merupakan bagian dari suatu gerakan untuk

menyerang negara. Contohnya pembunuhan politik

(assassination).

5. Official or state terrorism di mana organisasi negara sebagai

pelaku teror yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam

pengertian lain, bukan berarti negara terlibat dalam terorisme

secara langsung, melainkan hanya menjadi sponsor dari

organisasi-organisasi tertentu pelaku teroris, seperti Libya dan

Israel (Lukman Hakim, 2004 : 19-22).

Page 32: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Menurut Adjie. S secara umum terdapat tiga kategori dalam

kelompok teroris yang beroperasi di seluruh dunia hingga saat ini,

yaitu :

1. Nonstate-supported grup adalah kelompok kecil yang memiliki

kepentingan khusus, seperti kelompok yang antiaborsi,

antikorupsi, dan lain sebagainya. Dalam aksinya mereka

memblow-up permasalahan tersebut dengan melakukan

pembakaran, penyanderaan, ataupun aksi lain yang

membahayakan individu atau kepentingan umum.

2. State-sponsored grups kelompok ini memeproleh pelatihan,

senjata, dan keperluan logistik dan dukungan administrasi dari

negara asing, seperti Libya, Syria, Cuba, atau negara blok

barat.

3. State-directed grups adalah suatu negara yang mengorganisasi

dukungan kepada kelompok teroris secara langsung (Adjie S,

2005 : 16).

Dalam mengkategorikan kejahatan terorisme sendiri harus

dilakukan secara hati-hati, apalagi bila yang dominan untuk memberi

label teroris adalah pihak yang berkuasa baik secara sosial, politik

maupun ekonomi secara internasional.

4. Tinjauan Tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dengan terjadi peledakan bom di Bali, Manado dan berbagai

tempat di Indonesia telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna mengisi

kekosongan (Rechtsvacuum) terhadap penindakan terorisme (Abdul

Wahid, 2004 : 9). Pemerintah langsung menerbitkan dua Perpu, yakni

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang tentang Pemberlakuan

Page 33: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober

2002.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme merupakan penetapan dari Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini didedikasikan kepada

masyarakat internasional untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia

dalam memerangi terorisme. Penerbitan Perpu didasarkan pada hak

prerogatif presiden, sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) Perubahan Undang-

Undang Dasar 1945 dan Ketetapan (Tap) MPR No. III/MPR/2000, yang

pada Pasal 3 ayat (4) menegaskan, dalam keadaan hal ikhwal kepentingan

yang memaksa presiden berhak menerbitkan Perpu (Indriyanto Seno Adji,

2002 dalam OC Kaligis & Associates, 2003 : 53).

Keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme juga menimbulkan pro dan kontra. Prof. Dr.

Muladi SH (salah satu tim perumus RUU Anti-Terorisme) dalam

diskusinya tentang Perpu Terorisme di Komnas HAM Jakarta, Senin 28

Oktober 2002 mengatakan bahwa tindak pidana terorisme yang dilakukan

negara tidak bisa dijerat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme (http://www.tempointeraktif.com//, Surakarta 7

Oktober 2009). Menurut Mohamad Mova Al Afghani dalam Jurnal

Penelitian Hukum, kehadiran Perpu Nomor 1 dan Nomor 2, secara teoritis

juga sangat bertentangan dengan asas non-retroaktivitas yang termuat

dalam Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat (Vol. 1 No. 9-

November 2002).

Filosofi yang terkandung dalam Undang-Undang Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan

Page 34: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, serta merupakan

Internasional dan Transnasional Organized Crimes (Soeharto, 2007 : 88).

Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini adalah untuk memberikan

perlindungan kepada masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan

undang-undang adalah paradigma tritunggal, yaitu melindungi wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM), dan

perlindungan terhadap Hak Asasi Tersangka (Soeharto, 2007 : 89).

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meliputi semua warga negara

Indonesia yang berada di luar wilayah negara Indonesia, termasuk fasilitas

Republik Indonesia di luar negeri, misalnya tempat kediaman pejabat

diplomatik dan konsulat, kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

menekan pemerintah Indonesia dalam melakukan atau tidak melakukan

sesuatu, memaksa organisasi internasional di Indonesia untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu. Undang-undang ini juga berlaku untuk

tindak pidana terorisme yang dilakukan di atas tempat yang berbendera

negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar dalam

Undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu

dilakukan atau oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan

dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia (Asas Ekstra

Teritorial/Long Arm Juridiction).

5. Tinjauan Tentang Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Akta Keamanan/Keselamatan Dalam Negeri Malaysia atau

Internal Security Act Malaysia atau yang disingkat dengan ISA Malaysia

tahun 1960 lahir karena ada kepentingan dan kewajiban negara untuk

menegakkan public order dan interests atas nama keamanan negara. Tentu

hal ini dapat memberikan keleluasaan kepada penguasa untuk menafsirkan

apa yang dimaksud public order dan public interests atas nama keamanan

Page 35: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

negara. Ini sekaligus menegaskan bahwa ISA Malaysia dan langkah-

langkah sejenisnya sejak awal dihadapkan pada masalah klasik, yaitu

bagaimana membuat keseimbangan antara keamanan negara untuk

melindungi public order dan public interests serta kebebasan dan hak-hak

individual (http://www.propatria.or.id//, Surakarta 7 Oktober 2009).

ISA Malaysia kini telah berumur 49 tahun. Ketentuan-ketentuan

yang keras dalam ISA Malaysia, tidak terlepas dari latar belakang

sejarahnya. Menjelang kemerdekaan Malaysia, muncul pemberontakan

komunis yang lebih militan dan agresif dibandingkan gerakan-gerakan

anti-Inggris yang lain. Pemerintah kolonial Inggris kemudian

mengeluarkan Emergency Regulation (pendahulu ISA) yang dapat

menahan seseorang tanpa proses peradilan. Setelah merdeka pada tahun

1947, Malaysia mempertahankan warisan Inggris dengan mengeluarkan

ISA pada tahun 1960 untuk menghadapi pemberontakan komunis. Tidak

mengherankan jika pada dekade 60-an, mereka yang ditahan berdasarkan

ketentuan ISA adalah para aktifis komunis dan anggota Partai Buruh yang

merupakan bagian dari Front Sosialis. Akhir tahun 1960-an, juga mulai

muncul gerakan tidak puas terhadap kebijakan UMNO yang dipelopori

oleh Angkatan Belia Islam Malaysia dan beberapa kelompok Islam. Pada

tahun 1970-an ISA lebih banyak ditujukan kepada gerakan-gerakan

mahasiswa.

Internal Security Act Malaysia 1960 atau Akta Keselamatan Dalam

Negeri merupakan penahanan preventif (preventive detention) hukum

yang berlaku di Malaysia. Undang-undang itu disahkan oleh politisi

Malaysia setelah negara memperoleh kemerdekaan dari Britania Raya

tahun 1957. Penahanan preventif pada tahun 1948 kemudian menjadi salah

satu ciri Malaysia, terutama untuk memerangi pemberontakan bersenjata

dari Partai Komunis Malaysia selama Darurat Malaysia, dan dibuatlah

Peraturan-Peraturan Darurat 1948. Hal tersebut memungkinkan penahanan

orang untuk setiap periode yang tidak melebihi waktu selama satu tahun.

Page 36: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

ordonansi tahun 1948 dibuat terutama untuk melawan tindakan kekerasan

di mana preventif penahanan dimaksudkan bersifat sementara. Namun

pada tahun 1960, peraturan-peraturan darurat dianggap tidak berlaku atau

berakhir serta mengakhiri pula kekuasaan yang terkandung dalam

peraturan tersebut. Akan tetapi, kekuatan preventif penahanan itu tidak

benar-benar berakhir dan pada kenyataannya justru menjadi cikal bakal

dalam hukum Malaysia (http://www.wikipedia.org//, Surakarta, 7 Oktober

2009).

Pada tahun 1960, pemerintah Malaysia menerbitkan Internal

Security Act Malaysia sesuai dengan Pasal 149 Konstitusi Malaysia.

Dalam ISA tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijaksanaan

melakukan penahanan tanpa tuduhan apapun dan dapat mengadili setiap

orang di mana penahanan semacam itu diperlukan untuk mencegah orang

yang dituduh melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan

keamanan nasional dan untuk memelihara kehidupan ekonomi di Malaysia

serta menjaga perdamaian dan keamanan negara. Keberadaan ISA ini juga

sangat kontroversial bahkan mendapat perlawanan juga dari warga negara

Malaysia. Sebagaimana diungkapkan oleh Michael Chertoff dalam

Harvard Journal of Law and Public Policy, kritik terhadap kebijakan

administrasi ini juga jarang menggambarkan perbedaan di antara apakah

arah suatu tindakan dihalalkan sebagai unsur hukum dan apakah arah

tindakan berhati-hati itu sebagai unsur kebijakan (critics of this

Administration’s policies rarely draw distinctions between whether a

course of action is permitted as a matter of law and whether that course of

action is prudent as a matter of policy) (Vol. 32 No. 1.).

Menurut Edy Prasetyono, untuk memahami penerapan ISA

diperlukan pemahaman mengenai dinamika tentang ekonomi di Malaysia.

Banyak penahanan karena ISA terjadi di saat perekonomian Malaysia

mengalami penurunan yang dapat menimbulkan keresahan dan protes

masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh

Page 37: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

pemerintah. Selain pemahaman terhadap dinamika ekonomi, pola

penerapan ISA juga perlu dihubungkan dengan struktur politik di

Malaysia. Sistem politik Malaysia yang damai dan ditandai oleh hubungan

tiga etnis utama yang dilembagakan dalam tiga partai utama yakni UMNO

(Melayu), MCA (Cina), dan MIC (India). Hubungan di antara ketiga partai

itu tidak mengarah pada integrasi etnis, akan tetapi mempertahankan

mobilisasi dukungan politik secara individual sesuai dengan garis etnis.

Dengan demikian, untuk setiap gerakan politik yang terlihat mencoba

untuk keluar dari tradisi politik Malaysia melintasi batas-batas etnis,

dianggap membahayakan keamanan nasional dan menjadi sasaran target

ISA. Penahanan oleh ISA juga berjalan seiring dengan perkembangan atau

wacana politik Islam (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7 Oktober

2009).

B. Kerangka Pemikiran

Tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan

terhadap kemanusiaan atau crime against humanity dan kejahatan luar biasa

atau extra ordinary crime yang merupakan musuh umat manusia dan

merupakan Interntional & Transnational Organized Crimes. Terorisme bukan

hanya ancaman bagi bangsa Indonesia semata, melainkan ancaman terhadap

kemananan dunia. Oleh karena itu masing-masing negara memiliki langkah

dan kebijakan sendiri dalam mencegah, menangani pemberantasan tindak

pidana terorisme. Sebagai wujud penanganan dan pencegahan tindak pidana

terorisme dilakukan dengan membuat aturan perundang-undangan khusus

yang mengacu pada konvensi internasional tentang pemberantasan tindak

pidana terorisme. Di Indonesia, pengaturan mengenai pemberantasan tindak

pidana terorisme dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di Malaysia, prediksi atau

pengaturan atas tindakan terorisme diatur dalam Internal Security Act

Malaysia Tahun 1960.

Page 38: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Substansi yang tertuang dalam masing-masing peraturan

pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia tentunya

tidak sama. Dari substansi yang diatur tersebut, maka kita akan mengetahui

bagaimana pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia

dan Malaysia. Kemudian kita juga dapat mengetahui komparasi pengaturan

pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia yaitu dalam

hal hukum materiilnya. Komparasi pengaturan ini akan menemukan pula

kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme

antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu, dari komparasi juga dapat berguna

bagi pembaharuan hukum di masa yang akan datang.

C.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Terorisme

Indonesia Malaysia

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Internal Security Act Tahun 1960

Komparasi

Pengaturan

Substansi

Page 39: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan

Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Meningkatnya kasus terorisme telah melahirkan suatu komitmen

internasional untuk melakukan perang global melawan terorisme. Komitmen

tersebut tertuang dalam resolusi PBB yang merupakan bukti bahwa

masyarakat internasional tidak mentolerir dan bertekad penuh untuk melawan

segala bentuk terorisme. Bentuk komitmen internasional untuk melawan

terorisme dibuktikan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. A/Res/56/1

tanggal 12 September 2001 tentang serangan terorisme dan Resolusi Dewan

Keamanan PBB No. 1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang peristiwa Bom

Bali.

Pemerintah Indonesia sendiri kemudian mengambil langkah-langkah

konkrit untuk memerangi terorisme secara konseptual, terpadu, sistematis dan

menggunakan pendekatan komprehensif. Langkah tersebut diambil setelah

terjadinya serangan teroris yang terjadi di Kuta Bali (Bom Bali I). Pemerintah

Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun

2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di

Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2002. Selain itu,

Page 40: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2002, yang

memberikan mandat kepada Menkopolkam untuk merumuskan kebijakan

nasional dalam usaha melawan terorisme. Substansi Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme banyak

menampilkan hal yang baru, karena merupakan produk darurat.

Sementara itu di Malaysia, kebijakan pemerintah Malaysia dalam

usaha melawan terorisme diwujudkan dengan menerbitkan Akta Keamanan

Dalam Negeri tahun 1960 atau yang dikenal dengan Internal Security Act

(ISA) Malaysia tahun 1960. Internal Security Act Malaysia merupakan produk

hukum peninggalan kolonial Inggris yang awalnya dibentuk untuk menangkis

ancaman komunisme. Internal Security Act Malaysia juga merupakan produk

politik hukum yang ditujukan untuk menegaskan wewenang negara

berhadapan dengan kebebasan sipil dalam situasi khusus dan memaksa untuk

menjamin keamanan nasional (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7

Oktober 2009). Ketentuan yang terdapat dalam Internal Security Act Malaysia

mengalami perubahan/amandemen pada tahun 1988. Amandemen tersebut

justru menunjukkan karakter otoriter ISA dan menutup ruang bagi peninjauan

kembali atas putusan yang telah dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang

Dipertuan Agung dengan hak diskresi menurut ISA. ISA Malaysia

sebagaimana tercantum dalam Pasal 73 ayat (1) adalah peraturan yang

memungkinkan polisi (tanpa bukti atau surat perintah) menangkap individu

yang diyakini telah atau akan atau kemungkinan akan bertindak yang

mengancam keamanan, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak atau

kehidupan ekonomi Malaysia.

Atas dasar uraian tersebut, penulis akan membandingkan Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dengan di

Malaysia. Namun sebelum memaparkan mengenai komparasi/perbandingan

pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan

Malaysia, maka akan diuraikan pengaturan pemberantasan tindak pidana

terorisme di masing-masing negara.

Page 41: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme

Salah satu tindakan terorisme yaitu peledakan bom atau bom

bunuh diri yang merupakan modus pelaku terorisme telah menjadi

fenomena umum di beberapa negara. Bom bunuh diri ini merupakan salah

satu bentuk teror yang pernah menimpa Indonesia pada bom Bali I yang

melatarbelakangi pembentukan peraturan perundang-undangan guna

memberantas terorisme. Menurut Bintatar Sinaga dalam Jurnal Pusat

Kajian Hukum dan Keadilan, tindakan teror dengan bunuh diri, dengan

taktik irasional dan unpredictablity merupakan taktik yang digunakan oleh

teroris fanatik yang menganggap dirinya tidak bernilai dan tidak merasa

rugi bila mengorbankan nyawanya (nothing to lose) (Vol. 2 No. 2- 2002) .

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, secara spesifik memuat ketentuan tentang

lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta

memuat ketentuan khusus terkait pendanaan tindak pidana terorisme

terhadap kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan

merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan

komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention

Againts Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of

Financing Terrorism (1999).

Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana terorisme, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak

pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat

(1)). Undang-undang diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan

atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Negara

Page 42: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Republik Indonesia. Ruang lingkup undang-undang dalam Pasal 3 berlaku

pula bagi setiap orang di negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan

menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku

tersebut. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme menganut asas retroaktif atau berlaku surut

untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya

undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.

Akan tetapi tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta

memiliki keterkaitan dengan Pemerintah Republik Indonesia untuk

menerima tuntutan sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan

hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik

Indonesia setuju dengan berlakunya asas resiprositas. Proses ekstradisi itu

sendiri dimulai dari adanya permintaan negara (peminta) yang memiliki

yurisdiksi untuk mengadili dan atau menghukum seseorang (orang yang

diminta) baik dalam status hukumnya sebagai tersangka, tertuduh,

terdakwa, ataupun terhukum kepada negara (diminta) yang merupakan

negara tempatnya berada atau berlindung (I Wayan Parthiana, 2006 :137).

Pemerintah Republik Indonesia melalui Pasal 4 berusaha untuk

melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik

Indonesia dan harta kekayaan Republik Indonesia yang berada di luar

negeri. Pasal 4 merupakan penerapan dari Asas Ekstra Teritorial/Long Arm

Juridiction karena berlaku di atas tempat yang berbendera negara

Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar ke dalam Undang-

Undang Negara Republik Indonesia (Soeharto, 2007 : 89). Kejahatan

sebagaimana dimaksud dilakukan oleh setiap orang yang tidak

berkewarganegaraan dan bertempat tinggal di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 membatasi atau

mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik. Pengaturannya

dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa, tindak pidana

terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang

Page 43: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik,

dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses

ekstradisi. Dikecualikannya tindak pidana terorisme dari motif politik

karena teroris yang memiliki motivasi politik menganggap dirinya sendiri

(kelompoknya) sebagai sebuah instrumen pengadilan, dan sama sekali

tidak beroperasi untuk tujuan kriminal (Adjie. S., 2005 : 9).

Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dimaksud dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, diantaranya terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan

Pasal 7.

Pasal 6 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Pasal 7 :

“Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”

Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7 memuat unsur subjektif dan unsur

objektif untuk terjadinya tindak pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan

antara kedua unsur tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6

merupakan delik materiil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah

Page 44: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Unsur-unsur

tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 merupakan delik formil sehingga

yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana

teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat

massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.

Jadi yang membedakan adalah sesuatu yang harus dibuktikan yaitu berupa

akibat dan maksud (Soeharto, 2007 : 90).

Kekerasan menurut Pasal 6 dan Pasal 7 adalah setiap perbuatan

penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana

secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan

kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak

berdaya. Kemudian ancaman kekerasan yang dimaksud adalah setiap

perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda

atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat

menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan

penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan. Ketentuan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan delik formil lain dari

tindak pidana terorisme. Ketentuan mengenai kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan sebelumnya juga

diatur dalam Bab XXIX.A (29 A) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kemudian dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang

Page 45: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Pasal di atas termasuk dalam delik formil, yaitu yang menyangkut

perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah perbuatan membuat,

menerima, menyerahkan, membawa, mempergunakan bahan-bahan yang

dilarang penguasaannya kecuali dengan izin pemerintah seperti senjata api

dan amunisi. Selanjutnya, yang dimaksud “bahan yang berbahaya lainnya”

adalah termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya. Bahan

berbahaya yang dimaksud dapat pula menyebabkan kerusakan bagi

lingkungan maupun bagi makhluk hidup termasuk manusia.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa :

“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional”.

Pasal di atas juga termasuk dalam delik baru yang tergolong dalam delik

formil yang titik tekannya meyangkut perbuatan yang dilarang. Rumusan

tindak pidana terorisme dalam pasal di atas sering disebut dengan

technological terrorism yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan kimia dan

sebagainya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang diambil dari

Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna Tahun

1979 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986

tentang Pengesahan Konvensi Proteksi Fisik dari Bahan Nuklir.

Page 46: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Ketentuan mengenai penyediaan atau pengumpulan dana yang

ditujukan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan baik

sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme diatur

dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Selain itu, Pasal 11 dan Pasal 12 juga

memuat mengenai ketentuan pidana atau pertanggungjawaban pidana

terhadap setiap orang dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun. Penyediaan atau pengumpulan

dana merupakan aspek penting dari tindak pidana terorisme, sebab

keberhasilan atau terlaksananya tindak pidana terorisme sangat ditentukan

oleh pembiayaan yang diberikan kepada para pelaku sebagai eksekutor.

Pembiayaan itu sendiri bagi kejahatan terorganisasi (organized crime)

seperti terorisme merupakan suatu life-blood of the crime , tulang

punggung para kriminal yang sangat menentukan keberhasilannya (Harian

Seputar Indonesia, Selasa 30 Mei 2006).

Khusus mengenai pembiayaan tindak pidana terorisme, sejak tahun

1999 sudah ada konvensi internasional yang mengaturnya, yaitu

International Convention for The Supression of Terrorist Financing. Di

Indonesia konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2006 tentang Konvensi Internasional untuk Larangan

Pembiayaan Teroris, 1997. Financial Action Task Force on Money

Laundering (FATF) pada Oktober 2001 di Washington DC memutuskan

rekomendasi khusus agar seluruh negara menyatakan perbuatan

pembiayaan terorisme sebagai suatu tindak pidana. Dalam kaitannya

dengan rekomendasi FATF, di Indonesia khususnya dalam Undang-

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang diatur bahwa harta kekayaan yang

sah, apabila digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme dapat

diklasifikasikan sebagai transaksi yang mencurigakan yang harus

dilaporkan kepada PPATK (Pasal 2 ayat (2)) Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005.

Page 47: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Menurut Roeslan Saleh, yang dimaksud tindak pidana ialah sesuatu

yang menyangkut dilarangnya perbuatan/tindakan dan sedangkan

terorisme itu berkaitan dengan tindakan yang dilarang (Roeslan Saleh

dalam Abdul Wahid, 2004 : 87). Maka yang dimaksud dengan tindak

pidana terorisme dalam peraturan ini adalah setiap perbuatan yang

dilakukan oleh setiap orang atau korporasi yang mengandung unsur-unsur

yang terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12.

Perbuatan dilarang lainnya yang diatur dalam Pasal 13 yaitu berupa

dukungan terhadap kegiatan terorisme yang dilakukan dengan cara

meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme.

Dalam Pasal 13, bahwasannya seseorang yang memberikan bantuan atau

yang membantu perbuatan (medeplichtige) adalah tindakan memberikan

bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana terorisme

dilakukan. Mengenai pembantuan yang termasuk dalam delik pembantuan

tersebut dalam Pasal 13 sesuai dengan Pasal 56 KUHP. Selain dilarang

untuk meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme,

dukungan juga dilarang dalam upaya menyembunyikan pelaku dan

menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.

Pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme termasuk dalam delik

perencanaan, di mana perencanaan yang dimaksud yaitu merencanakan

aksi terorisme, menetapkan tujuan, dan pengawas dari sebuah organisasi

teroris. Delik perencanaan tersebut memuat unsur subjektif tindak pidana

terorisme. Setelah tindak pidana dilakukan, dan disebutkan juga mengenai

aktor intelektual yang dipidana tersendiri/secara khusus, yaitu orang yang

dimaksud dengan merencanakan. Aktor intelektual ini adalah mereka yang

merupakan penyebab dilakukannya suatu tindak pidana terorisme yang

secara tidak langsung. Termasuk mempersiapkan diri baik secara fisik,

finansial, maupun sumber daya manusia.

Page 48: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dapat dipidana

dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. Pembantuan

yang dapat dipidana menurut Pasal 15 adalah pembantuan baik sebelum,

selama maupun sesudah kejahatan dilakukan. Pembantuan sebelum tindak

pidana dilakukan dapat berupa mempersiapkan segala sesuatu yang akan

dilakukan yang mungkin berupa persiapan dana, bahan-bahan, dan tempat.

Pembantuan selama dan setelah kejahatan terorisme dilakukan, dalam

artian pelaku bisa bertindak sebagai pembantuan dalam menyediakan

tempat persembunyian, dan mengupayakan dalam rangka penghilangan

jejak dan lainnya. Pasal 13 dan Pasal 15 termasuk delik percobaan,

pembantuan (sebelum dan pada saat kejahatan dilakukan), percobaan dan

permufakatan jahat yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana

sempurna pembantuan dan penyertaan. Sedangkan menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan pidana bagi percobaan dan

pembantuan adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pidana bila

perbuatan selesai dilakukan.

Subyek tindak pidana terorisme dalam ketentuan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari setiap orang dan/atau korporasi baik

dalam penyertaan maupun penganjuran. Disebutkan dalam ketentuan Pasal

17 bahwa dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama

suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan korporasi

dan/atau pengurusnya. Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh

korporasi yang dimaksud yaitu yang dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain secara bersama-sama

ataupun sendiri. Apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu

korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. Apabila

suatu korporasi tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan terorisme,

korporasi dapat menjadi pihak penyedia dana yang mendukung

keberhasilan terlaksana atau tidaknya tindakan teror.

Page 49: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh suatu korporasi

sesuai Pasal 18, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat

panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggalnya atau

kantornya. Korporasi yang dimaksud adalah kumpulan orang dan/atau

kekayaan yang terorganisasi baik dalam bentuk badan hukum maupun

bukan badan hukum. Selain pidana pokok berupa pidana denda, korporasi

tersebut dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai

korporasi yang terlarang. Korporasi juga dapat dibebani

pertanggungjawaban secara vicarious liability.

Bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terdiri atas setiap orang

atau individu maka menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana sesuai

kategori tindak pidana terorisme yang dilakukan. Pidana pokok yang

dijatuhkan berupa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20

(dua puluh) tahun, pidana mati, atau pidana seumur hidup. Terhadap setiap

orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana

dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan

sebagian atau seluruhnya untuk tindak pidana terorisme dapat dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun. Namun ketentuan mengeni penjatuhan pidana mati dan

seumur hidup tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme yang

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Selain mengatur mengenai tindak pidana terorisme, dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 khususnya Bab IV Pasal 20, Pasal 21,

Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 diatur mengenai tindak pidana lain yang

berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Tindakan-tindakan tersebut

berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan intimidasi

terhadap penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasehat hukum,

dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga

menggangu proses peradilan yang sedang berlangsung (Pasal 20).

Kemudian seseorang dapat dihukum apabila memberikan kesaksian palsu,

Page 50: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

menyampaikan alat bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan

hukum di sidang pengadilan, atau menyerang saksi dan petugas pengadilan

(Pasal 21).

2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Malaysia Menurut

Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Internal Security Act Malaysia atau Akta Keselamatan Dalam

Negeri merupakan suatu akta yang diwujudkan oleh Parlemen Malaysia

yang berlaku di Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Akta Keselamatan

Dalam Negeri tahun 1960 (Akta 82) yang lebih dikenal dengan ISA ini

bertujuan untuk mencegah tindakan ancaman oleh sekumpulan orang yang

substansial, baik dari dalam maupun luar Malaysia :

1. untuk menyebabkan kekerasan berencana terhadap orang atau

harta, atau untuk menyebabkan sejumlah besar warga negara takut

akan kekerasan itu; dan

2. untuk mendapatkan perubahan, dengan cara lain daripada cara

yang sah, terhadap Kerajaan Malaysia yang didirikan menurut

undang-undang.

Kegiatan terorisme menurut ketentuan yang terdapat dalam ISA

Malaysia termasuk dalam kejahatan yang berkaitan dengan keamanan

wilayah (offences relating to security areas). Ketentuan mengenai

pemberantasan tindak pidana terorisme tercantum dalam Bab III Internal

Security Act Malaysia Tahun 1960. Dalam Bab III terdiri dari dua bagian

dan sepuluh pasal yaitu Pasal 57 sampai Pasal 67. Ketentuan yang termuat

dalam ISA Malaysia tidak memberikan definisi mengenai terorisme

sebagai suatu perbuatan melainkan definisi teroris sebagai pelaku.

Menurut ketentuan dalam Internal Security Act Malaysia Tahun 1960,

yang dimaksud dengan teroris adalah setiap orang yang :

Page 51: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

a. dengan menggunakan senjata api, bahan peledak atau amunisi

bertindak dengan cara yang merugikan keselamatan umum atau

perintah pemeliharaan ketertiban umum atau membangkitkan

kekerasan atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah

yang sah menurut hukum;

b. membawa atau memiliki dalam kepemilikan atau mengendalikan

senjata api, amunisi atau bahan peledak tanpa kewenangan yang

sah menurut hukum; atau

c. meminta, mengumpulkan atau, menerima persediaan apapun untuk

penggunaan orang yang bermaksud atau untuk bertindak, atau

baru-baru ini telah bertindak dengan cara merugikan keselamatan

umum atau pemeliharaan ketertiban umum.

Tidak diberikannya definisi mengenai terorisme dalam ISA bukan

berarti Pemerintah Malaysia tidak sungguh-sungguh dalam memberantas

tindak pidana terorisme. Definisi mengenai teroris yang terdapat dalam

Preliminary Internal Security Act Malaysia bagian Interpretation lebih

mengacu pada individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.

Definisi mengenai teroris dalam ISA lebih dipilih karena aksi terorisme

dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai

alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Kemudian, dari definisi

itu dapat diambil langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha melindungi

keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan memberantas terorisme.

Salah satu kegiatan yang merupakan kejahatan terhadap keamanan

wilayah dan dapat dikategorikan sebagai teroris yaitu setiap orang

membawa atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak dalam

kekuasaannya di wilayah keamanan. Beban pembuktian ditanggungkan

kepada setiap orang dengan tanpa alasan pemaaf yang sah yang membawa

atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak tersebut. Atas

tindakan tersebut, maka setiap orang yang dinyatakan bersalah melakukan

Page 52: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

kejahatan, dengan pasti dijatuhi hukuman mati. Ketentuan tersebut diatur

dalam Bab III Pasal 57 ayat (1) Internal Security Act Malaysia.

Namun ketentuan mengenai penguasaan dan pemilikan senjata api,

amunisi, dan bahan peledak tersebut dikecualikan bagi pihak-pihak

tertentu yang diatur dalam Pasal 57 ayat (2). Kemudian dalam Pasal 57

ayat (3) ISA, seseorang dianggap memiliki kekuasaan yang sah atas

senjata api, amunisi, dan bahan peledak jika ia dapat membuktikan

keahlian dalam menguasai senjata dan tidak setiap waktu membawa atau

menguasai senjata api, amunisi, dan bahan peledak.

Dalam hal bersama-sama dengan seseorang membawa atau

memiliki senjata api atau bahan peledak, maka setiap orang dapat diancam

dengan hukuman minimal 10 (sepuluh) tahun penjara dan maksimal

pidana mati atau seumur hidup. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal

58, yaitu :

1) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersama-

sama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa

atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi,

atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu

keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia

bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau baru saja melakukan,

dengan orang lain merugikan ketertiban umum atau ketertiban

masyarakat dinyatakan bersalah melakukan ancaman dan dapat,

dengan sangat meyakinkan, dijatuhi hukuman pidana mati atau

seumur hidup.

2) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersama-

sama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa,

atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi

atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu

keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia

Page 53: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

ketahui bahwa orang tersebut membawa atau memiliki atau

menguasai senjata api, amunisi atau bahan peledak, dinyatakan

bersalah melakukan ancaman dan diancam, dengan sangat

meyakinkan, dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun.

3) Di mana, penuntutan atas ancaman yang diatur di dalam pasal ini,

ditetapkan pada peradilan yang semestinya di mana terdakwa

bersama-sama dengan kelompok yang membawa atau memiliki

atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak itu, patut

diduga, hingga dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa orang tersebut

membawa, memiliki atau menguasai senjata api, amunisi, atau

bahan peledak bertentangan dengan Pasal 57.

Selain memberikan ancaman pidana terhadap setiap orang yang

membawa, memiliki, atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan

peledak, ISA juga memberikan ancaman pidana terkait penyediaan senjata.

Menurut ketentuan Pasal 2 (Interpretation) penyediaan yang dimaksud

meliputi amunisi, bahan peledak, senjata api, uang, makanan, minuman,

pakaian, obat-obatan, narkoba dan toko lainnya, peralatan, komoditas,

materi atau barang apapun juga. Ketentuan mengenai penyediaan diatur

dalam Pasal 59 Internal Security Act, yaitu :

(1) Barang siapa baik di dalam atau di luar daerah keamanan meminta,

menampung atau menerima pasokan (persediaan) dari orang lain

yang dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan asumsi masuk

akal bahwa ia bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau telah

melakukan, perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau

ketertiban masyarakat, atau bahwa persediaan sangat dibutuhkan,

dikumpulkan, atau diterima berniat untuk digunakan oleh orang

lain yang memiliki niat atau akan, hingga untuk melaksanakannya,

atau telah melakukannya, atau untuk digunakan oleh teroris,

dinyatakan bersalah terhadap keamanan dan dapat, dengan

Page 54: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

meyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia

dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata

api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman

penjara seumur hidup pada kasus lain.

(2) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan

ditemukan memiliki pasokan (persediaan) untuk pihak yang ia

tidak dapat dengan sangat memuaskan peminta di dalam keadaan

tertentu yang menimbulkan asumsi yang masuk akal bahwa

pasokan dimaksudkan untuk kegunaan orang-orang yang

bertujuan, atau akan, untuk melakukan, atau telah melakukan,

perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau ketertiban

masyarakat, atau pasokan ditujukan untuk digunakan para teroris,

dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan dapat, dengan sangat

menyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia

dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata

api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman

penjara seumur hidup pada kasus lain.

(3) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan

menyediakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, barang

pasokan untuk orang lain yang dalam keadaan tertentu dapat

dicurigai bahwa orang tersebut bermaksud, atau akan, untuk

melakukan, atau telah melakukan perbuatan yang melanggar

ketertiban umum dan ketertiban masyarakat, atau barang pasokan

tersebut disediakan untuk tujuan digunakan oleh orang yang

bermaksud atau untuk melakukan, atau hingga melaksanakannya,

atau telah melakukan, atau barang tersebut dimaksudkan untuk

teroris, dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan, dengan

sangat meyakinkan, dihukum dengan hukuman mati dengan

keadaan di mana ia dihukum karena barang pasokan yang ia

timbun terdiri dari senjata api, amunisi, dan bahan peledak, atau

dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada kasus lain:

Page 55: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan

kejahatan melawan aturan pasal ini jika ia membuktikan bahwa

sebelum ditahan oleh petugas polisi atau orang yang dengan

kekuasaannya ia memberikan dengan suka rela seluruh informasi

mengenai kejahatan pada petugas kepolisian.

(4) Pada tuntutan kejahatan melawan aturan pada pasal ini dapat tidak

perlu pada orang tertentu atau orang-orang dari siapa barang

pasokan diminta, dikumpulkan atau diterima atau untuk siapa

barang pasokan disediakan atau sengaja disediakan.

Dalam usaha mengungkap adanya tindakan atau kegiatan yang

dilakukan oleh teroris, sangat diperlukan adanya keterangan dari saksi.

Akan tetapi saksi dalam mengungkap kegiatan teroris tidak mudah dalam

menyampaikan keterangannya. Untuk itu, ISA memberikan ketentuan

mengenai hal-hal yang dapat diambil apabila saksi gagal atau lalai

melaporkan atau memberi keterangan mengenai kejahatan. Ketentuan

mengenai kegagalan atau kelalaian untuk melaporkan kejahatan atau

memberi keterangan dimuat dalam Pasal 60 (Failure to Report Offences or

to Give Information), yaitu :

Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan, selama

ketentuan dalam Pasal 47 (ketentuan mengenai daerah keamanan)

dinyatakan berlaku , apabila :

(a) mengetahui atau memiliki yang dapat diyakini bahwa orang

tersebut berniat melakukan kejahatan melawan aturan ini tidak

melaporkan hal yang sama pada petugas kepolisian; atau

(b) memiliki di bawah kuasanya suatu informasi mengenai yang akan

datang atau perbuatan akan dilakukan atau di mana seseorang yang

ia tahu atau diyakini sebagai teroris tidak melaporkan hal yang

seharusnya pada kepolisian, dinyatakan bersalah melakukan

Page 56: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

kejahatan dan dapat dijatuhi, dengan menyakinkan, hukuman

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun :

Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan

kejahatan melawan aturan ini jika ia membuktikan jika sebelum ditangkap

oleh polisi atau pihak yang memiliki kekuasaan, secara suka rela

memberikan seluruh informasi kejahatan tersebut atau kegiatan atau

tempat pada polisi.

Ketentuan dalam ISA mengenai terorisme juga mengatur dalam hal

percobaan tindak kejahatan. Ketentuan tersebut diberlakukan tanpa adanya

prasangka sebagaimana diatur dalam Bab V Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) Negara Federasi Malaysia atau dengan Ketetapan

Ordonansi Sabah atau Serawak terhadap seseorang yang dapat bertempat

pada, atau berada di dalam atau berada di luar daerah keamanan.

Walaupun ketentuan Pasal 47 ISA (Proclamation of Security Areas) dalam

hal ini diterapkan pada usaha (percobaan) melakukan atau perbuatan yang

berhubungan dengan persiapan perbuatan melakukan kejahatan yang

melawan Pasal 61, maka ia tetap dianggap bersalah melakukan kejahatan

dan dengan menyakinkan, dapat dikenakan hukuman yang sama dengan

kejahatan. Jadi meskipun suatu perbuatan itu merupakan percobaan untuk

melakukan tindak pidana, maka ancaman hukuman yang dijatuhkan sama

dengan hukuman apabila perbuatan kejahatan selesai dilakukan.

Terkait dengan pembantuan yang melanggar, ketentuan Pasal 62

ISA (Assisting Offenders) menyebutkan bahwa tidak seorang pun

mengetahui atau mempunyai alasan untuk menyakini bahwa orang lain

telah melakukan kejahatan yang melanggar Pasal 62. Tindakan yang

merupakan pembantuan pelanggar dilakukan baik di dalam ataupun di luar

wilayah keamanaan, berupa memberikan orang lain perbantuan dengan

tujuan demikian untuk mencegah, menghalangi, atau turut campur dalam

proses penangkapan, persidangan atau penjatuhan hukuman terhadap

orang tersebut pada petugas yang berwenang.

Page 57: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Untuk kejahatan-kejahatan lainnya dan penghasutan dengan

menentang atau tidak tunduk pada ketentuan yang berlaku dinyatakan

sebagai kejahatan dan bersalah melakukan kejahatan. Upaya seseorang

menentang atau tidak tunduk pada peraturan atau syarat dalam ketentuan

yang lain juga dapat dinyatakan bersalah melakukan kejahatan. Selain itu,

termasuk pula tindakan menentang atau tidak tunduk terhadap ketentuan

baik di dalam maupun di luar daerah keamanan serta melakukan

persekongkolan pelanggaran dan melakukan kelalaian yang tidak

semestinya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 63 (Other Offences under this Part and Abetment).

Sanksi dijatuhkan bagi siapa saja yang bersalah melakukan

kejahatan yang bertentangan dengan Pasal 63 dengan ketentuan tanpa

hukuman khusus. Subjek pada ketentuan khusus yang dimaksud dalam

bagian tersebut atau peraturan lain yang diatur dalam Pasal 71, secara

menyakinkan dapat dijatuhi hukuman dengan membayar denda paling

tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun. Menurut Pasal

63A (General Penalty under Part 63), kedua sanksi yang berupa denda

paling tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun dapat

dijalankan secara bersama-sama.

Terkait pihak yang mempunyai kekuasaan untuk membuat

peraturan, ISA Malaysia mengaturnya dalam Bab VI (Power to Make

Regulations) Pasal 71. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 47

(Proclamation of Security Areas) mengharuskan Yang Dipertuan Agung

sesuai dengan undang-undang untuk membuat peraturan yang menyangkut

keamanan daerah yang pertimbangannya layak untuk keamanan umum.

Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme, dapat ditetapkan

ketentuan mengenai pembayaran hadiah untuk pekerja yang dirugikan atau

untuk kepercayaan atas terbunuhnya pekerja oleh perbuatan terorisme di

daerah keamanan. Ketentuan pidana yang dijatuhkan atas pelanggaran

tidak melebihi dua ribu dolar atau penjara tidak lebih dari tiga tahun atau

keduanya.

Page 58: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Preventive detention atau tindakan pencegah sebagai upaya dalam

menjaga dan melindungi keamanan daerah dan ketertiban umum di

Malaysia diatur secara khusus dalam ISA. Jenis-jenis tindakan pencegah

yang merupakan upaya Pemerintah Malaysia diwujudkan dalam Pasal 72

dan Pasal 73 hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian atau pihak lain yang

ditetapkan secara khusus oleh undang-undang. Jenis-jenis tindakan

pencegah tersebut adalah penangkapan dan penjaminan pelanggaran

sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan (2). Penangkapan dapat

dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran

bertentangan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Prosedur

Kejahatan (Criminal Procedure Code). Ancaman pidana atas pelanggaran

berupa hukuman penjara untuk melampaui waktu tiga tahun tidak akan

ditebus demi kepentingan Kitab Undang-Undang Prosedur Kejahatan

(Criminal Procedure Code).

3. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara

Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act

Malaysia Tahun 1960.

Berdasarkan pembahasan mengenai substansi masing-masing

undang-undang dalam mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme di

atas maka dapat diambil hal-hal yang menjadi perbedaan antara keduanya.

PERBEDAAN

Perbedaan Hukum Materiil

No. Perbedaan UU No. 15 Tahun

2003

Internal Security

Act Malaysia

1 Perbuatan Pidana :

a. Unsur-unsur tindak

pidana terorisme

a. Unsur-unsur tindak

pidana terorisme

a. Unsur-unsur

teroris yang

Page 59: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

b. Asas retroaktif

b. Berlaku

menunjuk

pada pelaku

b. Tidak berlaku

2 Pertanggungjawaban pidana Individu dan

korporasi

Individu

3 Ketentuan pidana :

1. Delik selesai

2. Percobaan

3. Pembantuan

4. permufakatan

1. pidana mati atau

penjara seumur

hidup atau penjara

paling lama dua

puluh tahun atau

paling singkat tiga

tahun

2. pidana sama

dengan ketentuan

pidana apabila

delik selesai

3. pidana penjara

paling singkat tiga

tahun dan paling

lama lima belas

tahun

4. dipidana setara

pelaku atau tindak

pidana sempurna

pembantuan dan

penyertaan

1. hukuman mati

2. dipidana sama

dengan

ketentuan

pidana apabila

delik selesai

3. hukuman

minimal

sepuluh tahun

penjara dan

maksimal

pidana mati

atau seumur

hidup

4. hukuman

penjara

seumur hidup

Tabel 1. Perbedaan Hukum Materiil Pengaturan Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme antara Indonesia dan Malaysia

Page 60: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Perbedaan hukum materiil pemberantasan tindak pidana terorisme

yang terdapat dalam dua peraturan perundang-undangan mengenai

pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia

yaitu :

1. Perbuatan Pidana

Perbedaan dalam hal perbuatan pidana terkait dengan

rumusan unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia.

Terdapat persoalan yang mendasar bahwasannya tidak ada

kesepakatan secara hukum internasional mengenai definisi

terorisme, akan tetapi ini bukan berarti terorisme bukan merupakan

kejahatan. Tidak adanya kesepakatan internasional mengenai

terorisme ini mengakibatkan unsur-unsur terorisme yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan tiap negara berbeda-beda

disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan negara yang

menerapkan. Pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana terorisme

sangat diperlukan dalam memberikan batasan suatu tindakan.

Dalam usaha melakukan pemberantasan tindak pidana

terorisme, pemerintah Indonesia melalui produk hukumnya yaitu

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memberikan definisi atau

unsur-unsur mengenai tindak pidana terorisme. Sedangkan

pemerintah Malaysia melalui produk hukumnya tidak memberikan

definisi mengenai tindak pidana terorisme akan tetapi definisi

mengenai teroris yang lebih menunjuk pada pelaku terorisme.

Penggunaan definisi teroris dalam ISA Malaysia untuk

menggambarkan bahwa aksi terorisme dapat dilakukan oleh

individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari

pernyataan perang secara terbuka. Istilah teroris yang digunakan

dalam rumusan ISA Malaysia lebih menekankan pada individu

yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Tidak

diberikannya definisi mengenai tindak pidana terorisme atau unsur-

Page 61: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

unsur terorisme dalam rumusan ISA Malaysia dikarenakan masih

terjadi perdebatan internasional mengenai definisi terorisme. Akan

tetapi, dari definisi mengenai teroris ini, maka unsur-unsur tindak

pidana terorisme sudah dapat dirumuskan. Terorisme menurut ISA

Malaysia sudah dapat dipastikan menggunakan peralatan seperti

senjata api, amunisi dan bahan peledak yang dapat merugikan

keselamatan umum atau perintah pemeliharaan ketertiban umum

atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah yang sah

menurut hukum. Setiap orang yang terbukti membawa, memiliki,

atau mengendalikan dan meminta, mengumpulkan, atau menerima

persediaan peralatan berupa senjata api, amunisi, dan bahan

peledak tanpa kewenangan yang sah menurut hukum juga telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana terorisme.

Meskipun belum ada kesepakatan internasional dalam

merumuskan definisi tindak pidana terorisme, Pemerintah

Indonesia tetap berusaha merumuskan definisi tindak pidana

terorisme dalam peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur

tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana yaitu terdapat dalam

Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 yang memuat delik materiil dan

delik formil. Delik materiil dirumuskan dalam Pasal 6 sehingga

harus dibuktikan akibat yang ditimbulkan atas suatu perbuatan.

Delik formil terdapat dalam rumusan Pasal 7 sampai dengan Pasal

12, sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud atau

niat melakukan suatu perbuatan.

Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 sampai

dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memuat

delik materiil dan formil, sedangkan definisi teroris dalam ISA

Malaysia unsur-unsurnya hanya memuat delik formil saja yaitu

adanya maksud atau niat bertindak dengan cara merugikan

keselamatan umum. Jadi rumusan unsur-unsur tindak pidana

Page 62: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

terorisme menurut Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas dibanding dengan

definisi teroris yang menunjuk pada terorisme dalam ISA

Malaysia.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

diberlakukan dengan menganut asas retroaktif yang berlaku pula

terhadap kejahatan tindak pidana terorisme sebelum terbentuknya

undang-undang. Jadi tindak pidana terorisme yang dilakukan

sebelum adanya undang-undang ini tetap dapat diproses

menggunakan ketentuan undang-undang ini. Sedangkan dalam ISA

Malaysia tidak menganut asas retroaktif terhadap kejahatan tindak

pidana terorisme yang terjadi sebelum terbentuknya ISA Malaysia.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Subyek tindak pidana terorisme terkait dengan orang yang

melakukan tindak pidana terorisme. Subyek juga menentukan

terhadap penjatuhan pidana atau hukuman. Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang secara

khusus mengatur mengenai tindak pidana terorisme, di mana dalam

rumusan undang-undang tentang tindak pidana khusus pelaku

terdiri dari orang perseorangan/individu dan korporasi baik dalam

bentuk badan hukum maupun non-badan hukum. Rumusan setiap

orang menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 adalah orang perseorangan, kelompok orang baik

sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara

individual, atau korporasi. Sedangkan korporasi menurut ketentuan

Pasal 1 butir 3, adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

Penggunaan subyek tindak pidana terorisme yang terdiri

dari orang perseorangan dan korporasi dalam rumusan undang-

Page 63: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

undang pemberantasan tindak pidana terorisme karena pemerintah

sadar bahwa dalam masa globalisasi ini para pelaku juga

dilengkapi dengan peralatan dan kemampuan yang canggih.

Semakin canggihnya peralatan dan kemampuan yang digunakan

pelaku dalam melakukan aksi teror telah menunjukkan adanya

indikasi keterlibatan suatu korporasi baik sebagai penyedia dana

maupun sebagai penyedia peralatan. Ketentuan yang menyertakan

korporasi sebagai salah satu subyek pelaku tindak pidana terorisme

diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18. Korporasi dikualifikasikan

sebagai subjek tindak pidana terorisme sebagai implementasi

bahwa korporasi mampu melakukan tindak pidana dan mampu

untuk dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana terorisme

(Abdul Wahid, 2004 : 72).

Sementara itu, ISA Malaysia diberlakukan hanya bagi

setiap orang sebagai satu individu. ISA Malaysia tidak

mencantumkan korporasi baik badan hukum maupun non-badan

hukum sebagai pelaku atau subyek tindak pidana terorisme.

Beberapa pasal mengenai terorisme yang diatur dalam ISA

Malaysia hanya ditujukan terhadap setiap orang. Rumusan setiap

orang menurut ISA Malaysia dianggap lebih luas dan telah

mencakup korporasi yang diwakili oleh pengurusnya sebagai

subyek tindak pidana. Akan tetapi, kelemahan yang kemudian

timbul dari tidak disertakannya korporasi sebagai pelaku kegiatan

terorisme dalam ISA Malaysia adalah penjatuhan pidana apabila

suatu korporasi terlibat dalam kegiatan terorisme. ISA Malaysia

tidak menjatuhkan pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam

aksi teror meskipun ISA Malaysia dapat menjatuhkan pidana

terhadap setiap orang dalam korporasi tersebut.

Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama untuk

mewujudkan tindak pidana terdiri dari perbuatan yang berbeda satu

dengan yang lain dan bisa juga tidak sama apa yang ada dalam

Page 64: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang

lain (Adami Chazawi, 2005 : 73). Berdasarkan rumusan Pasal 55

KUHP dan Pasal 56 KUHP terdapat lima peranan pelaku tindak

pidana, yaitu : orang yang melakukan (dader/pleger), orang yang

menyuruh melakukan atau aktor intelektual (doenpleger/manus

domina), orang yang turut melakukan (mededader), orang yang

sengaja membujuk (uitlokker), dan orang yang membantu

melakukan (medeplichtige) (Leden Marpaung, 2005 : 78).

Dari bentuk penyertaan (deelneming) di atas, maka mereka

yang dapat membuat tindak pidana dalam tindak pidana terorisme

dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, adalah :

1. orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan

tindak pidana atau pembuat tunggal (dader);

2. orang yang menyuruh melakukan (doenpleger);

3. orang yang sengaja membujuk (utilokker);

4. orang yang turut melakukan (mededader); dan

5. orang yang membantu melakukan (medeplichtige).

Sedangkan di Malaysia mereka yang dapat membuat tindak

pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana

terorisme dapat dijatuhkan kepada :

1. orang yang melakukan (pleger);

2. orang yang bersama-sama dengan pelaku; dan

3. orang yang membantu melakukan (medeplichtige) baik

sebelum, selama, maupun sesudah tindak pidana dilakukan.

3. Ketentuan Pidana

Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ketentuan pidana bagi pelaku

dikecualikan atau tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana

terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Ketentuan pidana yang tidak diberlakukan terhadap pelaku yang

Page 65: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun adalah ketentuan pidana

mati atau seumur hidup. Sementara dalam ISA Malaysia, tidak ada

pengecualian ketentuan pidana meskipun tindak pidana terorisme

dilakukan oleh pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun. Jadi ketentuan pidana mati atau seumur hidup tetap dapat

diberlakukan bagi pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di

bawah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, ketentuan dalam ISA

Malaysia khususnya Pasal 65 ayat (3) menyebutkan bahwa tak

seorang pun wanita yang dicari dalam ketentuan tersebut selain

oleh seorang wanita.

Sebagai usaha dalam memberantas tindak pidana terorisme,

pemerintah Indonesia dan Malaysia menerapkan sanksi maksimum

dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Harapan dengan

diterapkannya sanksi maksimum ini adalah membuat jera atau

takut para pelaku sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk

melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi pidana minimum

yang dijatuhkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

dan ISA Malaysia berbeda. Pidana minimum menurut Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah pidana kurungan selama 1

(satu) tahun, sedangkan pidana minimum menurut ISA Malaysia

adalah pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.

Dalam hal delik selesai, ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 menerapkan ketentuan pidana mati atau

penjara seumur hidup atau penjara paling lama dua puluh tahun

atau paling singkat tiga tahun. Sedangkan dalam ISA Malaysia

diterapkan ketentuan pidana mati. Ketentuan dalam ISA Malaysia

tersebut lebih berat dibandingkan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena dalam ISA

Malaysia hukuman mati sebagai satu-satunya hukuman yang

dijatuhkan, dan tidak ada alternatif lain selain hukuman mati.

Page 66: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Ketentuan pidana yang dijatuhkan dalam hal percobaan

dalam tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sama dengan

ketentuan pidana apabila perbuatan/kejahatan selesai dilakukan.

Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan pidana yang dijatuhkan

menurut ISA Malaysia yaitu ketentuan pidana bagi percobaan

tindak pidana terorisme adalah sama dengan ketentuan pidana

apabila kejahatan selesai. Sementara itu, ketentuan pidana bagi

pembantuan atau permufakatan jahat menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia adalah sama dengan

ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana terorisme (pleger) atau

tindak pidana sempurna penyertaan dan pembantuan.

II. Kelemahan dan Kelebihan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960

Pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia

dilakukan dengan kebijakan dan langkah yang tidak jauh berbeda. Pemerintah

Indonesia dan Malaysia sama-sama menganggap bahwa terorisme bukan

hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu

bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat

internasional. Terorisme merupakan bagian dari extra ordinary crimes yang

berbeda dengan kejahatan lainnya karena kebiadaban kejahatan itu dalam era

keberadaban telah mengorbankan manusia/orang-orang yang tak berdosa.

Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas

terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang

menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam

perdamaian dan keamanan umat manusia. Atas dasar itu, seluruh anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia dan Malaysia wajib

mendukung dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang

Page 67: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mengambil langkah

pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Dalam rangka pembangunan masyarakat di dalam suatu negara yang

sedang berkembang, peraturan mempunyai peran yang sangat penting

terutama sebagai pembinaan hukum. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan

bahwa hukum dapat dijadikan alat untuk mengubah dan membentuk

masyarakat baru yang adil dan makmur (Mochtar Kusumaatmaja, 2002 : 36).

Sehingga atas dasar tersebut, pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama

mengambil langkah pemberantasan tindak pidana terorisme dengan

mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Setiap

negara mempunyai langkah yang menurut Michael Chertoff dalam Harvard

Journal of Law and Public Policy, dilakukan melalui pendekatan peraturan

yang terdapat siasat melawan terorisme berupa : mencegah para teroris dari

masuknya di suatu negara, menangkap atau membunuh mereka di pangkalan

induknya kapanpun memungkinkan, menghentikan mereka di sepanjang

perjalanan mereka, dan membawa mereka untuk menegakkan suatu keadilan

di sini atau di tempat lain di dunia (Taken together, these approaches

constitute a layered strategy against terrorism: deterring terrorists from

entering the country; capturing or killing them in their home base whenever

possible; stopping them in the course of their travel; and bringing them to

justice once found here or elsewhere in the world) (Vol. 32 No.1- ).

Menghadapi kenyataan setelah terjadi serangkaian peledakan bom di

Bali dan puncaknya pada tanggal 12 Oktober 2002, untuk mengantisipasi

segala kemungkinan terjadinya kembali berbagai serangan terhadap jiwa,

harta benda, dan instalasi-instalasi vital yang ada di Indonesia, pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembentukan

peraturan perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak

pidana terorisme tersebut kemudian dipertegas dengan menetapkan Perpu

Page 68: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut tidak terlepas

dari kelebihan dan kelemahannya sebagai suatu kebijakan dalam memberantas

tindak pidana terorisme. Kelemahan dan kelebihan itu sendiri dapat

menunjukkan sejauh mana efektifitas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme baik dalam usaha

memberantas maupun mencegah tindak pidana terorisme. Berdasarkan

pembahasan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, kelebihan

pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut :

1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang atau yurisdiksi undang-

undang dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan atau

bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara

Republik Indonesia dan/atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi

dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap

pelaku tersebut. Ketentuan tentang yurisdiksi juga didasarkan pada

asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif yang

diperkuat dengan ketentuan tentang kerjasama internasional sehingga

diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak

pidana terorisme.

2) Adanya penegasan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari

tindak pidana politik atau tindak pidana yang bertujuan politik yang

dapat menghambat proses ekstradisi.

3) Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam definisi tindak pidana

terorisme Pasal 6 sampai Pasal 17 tidak hanya memuat mengenai delik

materiil dan formil, akan tetapi diperluas dengan memuat delik

penyertaan, percobaan, perencanaan dan delik pembantuan yang

Page 69: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

diharapkan dapat secara efektif memberantas segala kegiatan

terorisme.

4) Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 dapat dijatuhkan kepada setiap orang sebagai individu dan

kepada korporasi. Pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat

dijatuhkan dengan mencabut izin dari korporasi tersebut.

5) Diterapkannya pidana mati atau pidana seumur hidup sebagai pidana

maksimum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan adanya

pengecualian terhadap pelaku yang berumur di bawah 18 (delapan

belas) tahun. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tetap mempertahankan

ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus.

6) Ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan adalah sama dengan

ketentuan pidana apabila perbuatan atau kejahatan selesai dilakukan.

7) Undang-undang ini merupakan ketentuan payung (umbrella act)

terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan

dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.

8) Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai

tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang.

Meskipun terdapat kelebihan tidak menutup kemungkinan adanya

kelemahan dari undang-undang. Kelemahan yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003, yaitu :

1) Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat interpretatif dan

elastis serta tidak jelas batasan-batasannya, karena belum melakukan

tindak pidana terorisme sudah mendapat ancaman hukuman yang

berat.

Page 70: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

2) Rumusan tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 memberikan sanksi

yang terlalu berat bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan

dampak apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Pasal 7

juga memungkinkan aparat untuk melakukan tindakan represif.

Sementara itu, ISA Malaysia yang diterapkan di Malaysia sebagai

kebijakan untuk memberantas tindak pidana terorisme juga tidak terlepas dari

kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari ISA Malaysia menurut pembahasan

mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu :

1) ISA Malaysia memberikan kewenangan kepada Pemerintah Malaysia

untuk mencegah segala tindakan ancaman yang menyebabkan

kekerasan berencana terhadap orang atau harta benda dengan

melakukan penangkapan dan penahanan pencegahan (preventive

detention) tehadap setiap orang yang dicurigai tanpa dibuktikan

melalui proses peradilan.

2) Ketentuan pidana untuk percobaan tindak pidana sama dengan

ketentuan pidana apabila kejahatan selesai dilakukan.

3) Ketentuan pidana bagi orang yang membantu terlaksananya tindak

pidana terorisme, setara dengan ketentuan pidana bagi pelaku.

4) Digunakannya pidana mati atau seumur hidup sebagai pidana

maksimum yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

5) Digunakannya asumsi yang masuk akal sebagai dasar untuk

mencurigai setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme

dalam bentuk laporan intelijen.

6) Tindak pidana terorisme yang diatur dalam ketentuan ISA Malaysia

tidak dikecualikan dari tindak pidana yang bertujuan atau bermotif

politik, sehingga dengan tujuan apapun tindak pidana terorisme itu

maka dapat dijatuhi ketentuan pidana sebagaimana yang telah diatur.

Page 71: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Sedangkan kelemahan pemberantasan tindak pidana terorisme yang

terdapat dalam Internal Security Act Malaysia, yaitu :

1) ISA Malaysia tidak memberikan definisi terorisme sebagai suatu aksi,

melainkan memberikan definisi teroris yang dapat mempersempit

unsur-unsur atau ruang lingkup tindak pidana terorisme.

2) Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ruang lingkup atau

yurisdiksi berlakunya ISA Malaysia sehingga tidak jelas terhadap siapa

sajakah atau apa sajakah ISA Malaysia dapat diterapkan dan

diberlakukan.

3) Tidak ada pembedaan terhadap subyek pelaku tindak pidana yang

terdiri atas setiap orang sebagai individu dan korporasi, sehingga

apabila korporasi terlibat tindak pidana terorisme, maka terhadap

korporasi tersebut tidak dapat dijatuhi pidana baik pidana denda

maupun pidana administrasi.

4) Tidak adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan

kepada tersangka/terdakwa maupun korban.

5) Amandemen terhadap ISA pada tahun 1988 justru menunjukkan

karakter otoriter ISA karena menutup ruang bagi peninjauan kembali

atas putusan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang

Dipertuan Agung yang mempunyai hak diskresi menurut ISA.

Ketentuan dalam Pasal 16 ISA juga memberi hak kepada pejabat untuk

menutup informasi yang selanjutnya menyulitkan upaya untuk

melakukan peninjauan.

6) Ketentuan ISA Malaysia tidak diterapkan berdasarkan asas retroaktif

sehingga tidak dapat melakukan penuntutan terhadap tindak pidana

terorisme sebelum ISA Malaysia ada.

Meskipun terdapat kelemahan dalam penerapan ISA Malaysia,

penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme di Malaysia dengan

penggunaan preventive detention (penahanan dini tanpa dibuktikan dalam

persidangan) terbukti lebih efektif dibanding dengan penerapan Undang-

Page 72: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. ISA Malaysia

dengan menerapkan preventive detention merupakan salah satu kelebihan

karena dapat mencegah segala kegiatan terorisme di Malaysia. Sejak

diberlakukanya ISA Malaysia, telah banyak orang yang ditangkap dan ditahan

tanpa melalui proses peradilan terlebih dulu dengan dilanggar hak asasinya.

Namun sejak pemberlakuan ISA, Malaysia hampir tak pernah terdengar

mengalami segala bentuk aksi teror.

ISA yang diterapkan di Malaysia lebih digunakan untuk kepentingan

preventive detention, yaitu memberikan hak kepada aparat negara untuk

melakukan penangkapan dan penahanan selama 60 (enam puluh) hari tanpa

adanya proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam kurun waktu penahanan

tersebut, mereka yang dikenakan masa tahanan tidak memperoleh akses atas

bantuan hukum dan tidak dapat berhubungan dengan keluarganya. Ketentuan

tersebut dapat mengakibatkan seseorang terampas hak-hak asasinya seperti

yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu hak akan

pengadilan yang adil, hak dianggap tak bersalah sampai dibuktikan oleh

hukum (presumption of innocence) dan hak perlindungan dari penyiksaan dan

perlakuan yang merendahkan martabat (torture or other cruel, inhuman or

degrading treatment).

Internal Security Act atau yang disingkat dengan ISA Malaysia secara

historis merupakan produk kolonial Inggris yang menerapkan keadaan darurat

pada tahun 1948 sebagai respons terhadap kemungkinan ancaman Partai

Komunis dan pasukan gerilyanya. Namun peraturan mengenai keadaan

darurat itu kemudian dicabut pada tahun 1960 di mana kelompok komunis

telah dikalahkan.

Pada tahun yang sama Pemerintah Malaysia menerapkan ISA sebagai

penggantinya yang tidak sama dengan peraturan mengenai keadaan darurat

pada tahun 1948. Peraturan mengenai keadaan darurat lebih bersifat sementara

untuk menghadapi situasi yang luar biasa, sedangkan ISA bersifat permanen

Page 73: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

karena masih berlaku hingga saat ini. Sejak itu ISA dinilai telah digunakan

secara politis dan selektif terhadap masyarakat sipil yang dianggap sebagai

ancaman dan kurang lebih 4000 (empat ribu) orang telah ditahan sejak

pemberlakuan ISA (http://www.unisosdem.org/, Surakarta, 7 Oktober 2009).

Pemerintah Malaysia lebih memilih menggunakan pendekatan yang

bersifat keras dan represif dalam menangani tindak pidana terorisme.

Pendekatan yang keras tersebut terwujud dengan adanya preventive detention

dalam ketentuan ISA Malaysia. Preventive detention dapat dikatakan

merupakan metode pendekatan yang keras karena tidak adanya unsur

penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketentuan dalam ISA Malaysia

dipaksakan kepada setiap orang dari kelompok atau negara manapun tanpa

memandang faktor budaya, sosial maupun usia yang melatarbelakangi orang

tersebut. Penangkapan dan penahanan tanpa dibuktikan terlebih dahulu di

muka persidangan merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi hak

asasi manusia. Selain itu penerapan asas praduga bersalah (presumption of

guilty) tidak memberikan kesempatan seseorang untuk membela diri. Akan

tetapi kelebihan dari metode pendekatan yang keras dan represif ini dapat

memberikan efek penjeraan terhadap setiap orang yang berusaha merusak

stabilitas keamanan Malaysia.

Sementara di Indonesia, meskipun telah ada payung hukum (umbrella

act) dan menggunakan pendekatan yang lunak dan dari segi budaya dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, sampai sekarang

Indonesia masih menjadi target kegiatan terorisme. Terakhir aksi terorisme

yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan merusak keamanan serta

ketertiban Indonesia adalah aksi terorisme yang dilakukan dengan meledakkan

bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada 17 Juli

2009.

BAB IV

PENUTUP

Page 74: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

A. Simpulan

Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis

yaitu: (1) tentang komparasi penanganan pemberantasan tindak pidana

terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal

Security Act Malaysia Tahun 1960, dan (2) tentang kelemahan dan kelebihan

penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan

Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia

Tahun 1960.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah

pokok di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di

Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA

Malaysia dalam hukum materiil terdapat perbedaan mengenai

perbuatan pidana yaitu mengenai unsur-unsur terorisme dan teroris,

serta berlakunya asas retroaktif. Dalam rumusan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan definisi tindak pidana terorisme

sebagai perbuatan pidana yang memuat delik materiil dan delik formil

dan ISA Malaysia menggunakan definisi teroris yang memuat delik

formil saja dimana dari definisi tersebut lebih menunjuk pada pelaku.

Selain itu, komparasi dalam hal pertanggungjawaban pidana di mana

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 subyek

tindak pidana terorisme terdiri dari setiap orang/individu dan korporasi

baik berbadan hukum maupun non-badan hukum. Mereka yang dapat

membuat tindak pidana terorisme dan dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003, adalah : dader, doenplager, uitlokker, mededader, dan

medeplichtige. Sedangkan mereka yang dapat melakukan tindak

pidana terorisme menurut ISA Malaysia, adalah : pleger, orang yang

bersama-sama dengan pelaku, dan medeplichtige. Ketentuan pidana

Page 75: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

yang dijatuhkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

dikecualikan dari pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun dan ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan sama

dengan ketentuan pidana apabila delik selesai dan setara dengan

pelaku. Sedangkan dalam ISA Malaysia, ketentuan pidana

dikecualikan dari seorang wanita dan ketentuan pidana bagi percobaan

dan pembantuan adalah sama dengan ketentuan bila delik selesai dan

setara dengan pelaku.

2. Terdapat kelebihan dan kelemahan dari pemberlakuan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia dalam usaha

pemberantasan tindak pidana terorisme. Kelebihan dan kelemahan ini

dapat menjadi tolok ukur sejauhmana efektifitas penerapan peraturan

perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak

pidana terorisme.

B. Saran

1. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam keselamatan

manusia sehingga dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindak

pidana terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antar aparat

baik TNI maupun Kepolisian serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat

mulai tingkat RT hingga RW.

2. Mengoptimalkan peran serta intelijen dalam mendeteksi sedini mungkin

akan kemungkinan adanya kegiatan mencurigakan yang berkaitan dengan

kegiatan terorisme.

3. Perlunya perbaikan ataupun penyempurnaan perangkat hukum dan

peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah dan memberantas

tindak pidana terorisme tanpa menghilangkan penghormatan atas hak asasi

manusia demi melindungi kepentingan masyarakat dan hak asasi manusia.

4. Meskipun ISA Malaysia dengan preventive detention-nya terbukti lebih

efektif dalam mencegah tindak pidana terorisme, namun Pemerintah

Page 76: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Indonesia sebaiknya tidak perlu membuat peraturan perundang-undangan

semacam ISA Malaysia karena tidak dapat diterapkan pada kondisi

masyarakat di Indonesia.

5. Pemerintah perlu meningkatkan kerjasama internasional baik dalam hal

intelijen, Kepolisian maupun kerjasama teknis lainnya dalam usaha

mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme.

6. Pemerintah perlu melakukan perbandingan terhadap pengaturan dan

penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan negara-negara

lain di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan

Hukum.Bandung : Refika Aditama.

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja

Grafindo Persada.

. 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3. Jakarta : Raja

Grafindo Persada.

Adjie S. 2005. Terorisme. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Raja

Grafindo Persada.

Bayu Dwiwiddy Jatmiko. 2005. “Dinamika Perkembangan Pengaturan Kejahatan

Keamanan Negara di Indonesia”. Legality

Jurnal Ilmiah Hukum. Vol. 13 No. 1. Malang : Legality.

Bintatar Sinaga. 2002. “Kejahatan Terorisme, Sebab, Modus Operandi, Konvensi

Page 77: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Internasional, dan Upaya Penanggulangan”. Pusat Kajian Hukum

dan Keadilan.Vol. 2 No.2.

Edy Prasetyono. Internal Security Act (ISA): Berkaca dari Pengalaman Malaysia.

http://www.propatria.or.id/ [7 Oktober 2009 pukul 17.00].

Harian Seputar Indonesia. Selasa, 30 Mei 2006. Aspek Pembiayaan Dari Tindak

Pidana.

Internal Security Act Malaysia Tahun 1960.

I Wayan Parthiana. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung : Yrama Widya.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi

Revisi. Malang : Bayumedia.

Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar

Grafika.

Lukman Hakim. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta : Forum Studi Islam

Surakarta (FSIS).

Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan.

Bandung : Alumni.

Mohamad Mova Al Afghani. 2002. “Kampanye Melawan Terorisme Telah

Merusak Tatanan Hukum”. Vol.1 No. 9 November 2002.

Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and The Rule of Law”. Harvard

Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No. 3.

Michael Chertoff. 2008. “Tools Against Terror: All of The Above”. Harvard

Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.1.

Natangsa Surbakti. 2001. “Kebijakan Kriminal Terhadap Perbuatan Teror dan

Terorisme”. Jurnal Penelitian Hukum .Vol. 2 No. 1-Juni 2001.

OC Kaligis & Associates. 2003. Terorisme. Tragedi Umat Manusia. Jakarta : OC

Page 78: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

Kaligis & Associates.

P.A.F. Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra

Aditya Bakti.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana.

Ridarson Galingging. 2009. “Problems and Progress in Defining Terrorism in

International Law”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 3

Oktober 2009.

Romli Atmasasmita. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar

Maju.

Simorangkir, dkk. 2006. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Soeharto. 2007. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak

Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Bandung : Refika Aditama.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International

Convention For The Suppression of Terrorist Bombings 1997.

http://www.indonesia.go.id/id/ -[4 Oktober 2009 pukul 19.10].

http://www.tempointeraktif.com/ [4 Oktober 2009 pukul 17.15].

http://tempointeraktif.com// [Surakarta, 7 Oktober 2009].

Page 79: STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN …/Studi...Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban ... Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi

http://pemantauperadilan.com [Surakarta, 7 Oktober 2009].

http://www.unisosderm.org/ [Surakarta, 7 Oktober 2009].

http://en.wikipedia.org/wiki/Internal_Security_Act_(Malaysia) [7 Oktober 2009 pukul 19.05].

http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme[7 Oktober 2009 pukul 19.00].

http://www.detik.com [Surakarta, 11 Februari 2010].

http://buletinlitbang.dephan.go.id [Surakarta, 12 Maret 2010].