status anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8...

39

Upload: others

Post on 28-Oct-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak
Page 2: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.H., M.A.Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, S.Ag, M.AgDr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.

Status Anak LUAR NIKAHDI INDONESIA

Page 3: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

STATUS ANAK LUAR NIKAH DI INDONESIA

Penulis : Ahmad Tholabi Kharlie, Muhammad Nurul Irfan, Asep Syarifuddin HidayatDesain Cover : R. Ario DGS.Layout Isi : R. Ario DGS.Cetakan : Pertama, Januari 2020Ukuran : 16 x 24 cm; vi + 268 Halaman

Diterbitkan oleh:Gaung PersadaCiputat Mega Mall Blok C/11Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat Tangerang SelatanTelp. 021 747 075 60, Hp. 0878 86200 900Email: [email protected]

Bekerjasama dengan:Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ISBN : 978-602-5707-38-4

Page 4: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

iii

B

Ketentuan transliterasi (dari tulisan Arab ke tulisan Latin) yang digunakan dalam laporan ini adalah sebagai berikut:

Konsonan

a = (ا) z = (ز) q = (ق)

b = (ب) s = (س) k = (ك)

t = (ت) sy = (ش) l = (ل)

ts = (ث) sh = (ص) m = (م)

j = (ج) dh = (ض) n = (ن)

h = (ح) th = (ط) w = (و)

kh = (خ) zh = (ظ) h = (ه)

d = (د) ‘ = (ع) ’ = (ء)

dz = (ذ) gh = (غ) y = (ي)

r = (ر) f = (ف) t = (ة)

TRANSLITERASI

Page 5: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

I v - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

Vokal Pendek Vokal Panjang

______ = a ــ ا) ــ ــ ــ ــ ــ â = (ــ

______ = i ــ ى) ــ ــ ــ ــ ــ î = (ــ

______ = u ــ و) ــ ــ ــ ــ ــ û = (ــ

Diftong Pembauran

aw = (أو) al = (ال)

ay = (أي) ( ) = al-sy

-wa al = (وال)

Istilah keislaman (syariah): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berikut beberapa contoh:

No. Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Shalât Salat

2 ‘Iddah Idah

3 Khulu’ Khuluk

4 Thalaq Talak

5 Nash Nas

6 Nusyûz Nusyu

7 Al-Qur’ân Alquran

8 Al-Hadîts Hadis

9 Fiqh Fikih

10 Fuqahâ Fukaha

11 Sunnah Sunah

12 Bid‘ah Bidah

13 Fuqahâ’ Fukaha

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 6: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

v

B

BAGIAN I PENDAHULUAN ........................................................1A. Ijtihad Spektakuler ......................................................... 1B. Beberapa Teori Terkait ................................................. 7

BAGIAN II STATUS HUKUM ANAK LUAR NIKAH DALAM PERATURAN DAN PERUNDANGAN UNDANGAN KELUARGA INDONESIA .........................................17A. Pengertian .....................................................................17B. Normatif Hukum tentang Status Anak dan

Tinjauan Hukum Islam ..............................................23C. Dualisme Pemaknaan Anak Luar Nikah ...............29D. Undang-undang Perkawinan dalam Kajian Yuridis

dan Sosiologis ................................................................43

BAGIAN III PUTUSAN MK NOMOR 46/PUU-VIII/2010...............51A. Konteks Pengajuan Judicial Review ........................51 B. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim MK ................61C. Pendapat Mahkamah Tentang Pokok

Permohonan ..................................................................66D. Putusan MK tentang Status Anak Luar Nikah

dan Ragam Pendapat ..................................................70

DAFTAR ISI

Page 7: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

v I - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

BAGIAN IV KONTEKS KETATANEGARAAN, KEPENTINGAN ANAK, DAN PLURALISME HUKUM .......................81A. Konteks Ketatanegaraan dan Kepentingan Anak ....81B. Konteks Pluralisme Hukum .................................. 100

BAGIAN VI PENUTUP ............................................................... 115A. Kesimpulan ...................................................................... 115B. Rekomendasi ..................................................................... 120

DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................. 121LAMPIRAN ................................................................................... 127

Page 8: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1

B

PENDAHULUANBagian I

A. Ijtihad Spektakuler

Pada 16 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan sebuah perkara secara fenomenal dalam permasalahan perkawinan. Putusan ini tidak hanya memunculkan respons positif dari pelbagai kalangan di Indonesia, tapi juga melahirkan kritik yang tidak sedikit. Putusan ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi RI atas permohonan perkara yang diajukan oleh Pemohon pada 14 Juni 2010 dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal yang sama, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Permohonan yang diajukan tersebut di antaranya adalah terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

Page 9: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

2 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

ibunya dan keluarga ibunya.”1 Pasal ini dianggap Pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara terkait dengan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan, yang notabene telah diakui di dalam Pasal 28B ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia 1945.2 Menurut pemohon, berdasarkan pasal-pasal di dalam UUD NRI 1945 tersebut, telah menjadi keharusan bahwa anaknya tersebut mendapatkan status anak yang sah secara keperdataan, tidak hanya kepada ibunya tetapi juga kepada ayahnya.

Di sisi yang lain, karena perkawinan Pemohon dengan laki-laki ayah biologis anaknya tersebut dilakukan hanya berdasarkan hukum agama saja dan tidak dicatatkan di catatan sipil resmi sebagaimana yang diisyaratkan oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Dengan demikian, status anak sah yang seharusnya dimiliki oleh anak tersebut terhalang pula dengan Pasal 2 ayat (2) ini. Dengan kata lain, norma hukum yang hanya menganggap sah atau tidaknya suatu perkawinan dari segi aspek legal formal hukum keperdataan (pencatatan) dan tidak mengakui keabsahan hukum agama telah menjadikan status perkawinan bawah tangan oleh pasangan tersebut tidak dapat menjadikan status anaknya menjadi sah secara hukum, seperti anak-anak yang lain. Anak ini dipandang sebagai anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah. Dalam pandangan pemohon, akibat dari perlakuan diskriminatif ini menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan tidak sah.

Atas permohonan tersebut dan dengan pelbagai pertimbangan—sebagaimana dalam Putusannya—Mahkamah Konstitusi RI mengabul kan sebagian permohonan tersebut, dengan memutuskan bahwa Pasal 34 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana tertulis di dalam Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor

1 Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.2 Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, h. 6.

Page 10: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I : P E N D A H U L U A N - 3

1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019, yang menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar NRI 1945, sepanjang putusan tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Dengan putusan ini pula, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 34 ayat (1) ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ayat tersebut harus dibaca:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mem punyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.3

Sudah dapat diduga, putusan MK tersebut pada gilirannya menuai respons dan kritik yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia. Selain karena isu tentang permasalahan anak tersebut cukup marak di tengah masyarakat, adanya unsur keagamaan yang ada di dalam Putusan ini menjadikan Putusan ini semakin kontroversial. Apalagi, masyarakat Indonesia sangat responsif dengan perkembangan hukum perkawinan di Indonesia sejak awal perumusan UU No. 1 Tahun 1974, bahkan sebelum era kemerdekaan.

Lebih dari itu, secara makro, keberadaan hukum keluarga yang relatif sangat sulit menerima perubahan di komunitas Islam, baik di Indonesia atau di Negara-negara Muslim lain, menjadikan Putusan MK ini dipandang sebagai salah satu putusan yang semakin menggerogoti sistem perkawinan Islam yang telah dipraktikkan

3 Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, h. 37.

Page 11: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

4 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

oleh umat Islam sejak berabad-abad yang lalu. Menurut sementara pandangan, Putusan ini dapat dilihat sebagai legalisasi dan penyuburan pelacuran dan perzinaan oleh Negara, karena dengan berdalih kepada putusan ini, akan banyak pasangan di luar nikah yang melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak tetapi dapat mengklaim status anaknya.

Di samping itu, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Moh. Mahfud MD, justru menyatakan sebaliknya, Putusan MK tersebut dapat mencegah maraknya terjadi perzinaan. Dengan adanya kewajiban ayah biologis untuk bertanggung jawab terhadap anaknya, seorang laki-laki tidak akan sewenang-wenang melakukan hubungan intim di luar ikatan perkawinan. Dengan kata lain, menurut Mahfud, Putusan ini menjadikan para laki-laki hidung belang akan berhati-hati untuk menggauli perempuan dan tidak dengan sembarangan mengumbar nafsu tanpa tanggung jawab.4

Pandangan yang lain juga mengemukakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah merusak sistem pernasaban (keturunan) yang telah diakui oleh hukum Islam, di antaranya batasan usia minimal seorang anak di dalam kandungan ibunya dan seberapa jauh anak tersebut dapat dianggap senasab atau tidak. Hal ini tentu akan pula berimplikasi pada status anak ketika dewasa, seperti dalam kewarisan dan perwalian.5 Pada aspek tertentu, kedudukan nasab di dalam Islam sangat dijaga keutuhannya dan menjadi salah satu pilar yang harus dijaga oleh Syariat.6

4 “Ketua MK: Anak di Luar Nikah Ditanggung Ayah Biologis Untuk Cegah Zina”, Detiknews, Senin, 20 Februari 2012, diakses dari http://news.detik.com/read/2012/02/20/145455/ 1846841/10/ketua-mk-anak-di-luar-nikah-ditanggung-ayah-biologis-untuk-cegah-zina?9911012.

5 “Muslimat: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Sisakan Masalah” 27 Februari 2012, Situs Resmi Muslimat NU, diakses dari http://www.muslimat-nu.or.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=310:muslimat-putusan-mk-soal-anak-luar-nikah-sisakan-masalah&catid=38:warta-utama& Itemid=65.

6 Dalam teori kemaslahatan yang dikemukakan oleh al-Syâthibî, menjaga nasab menjadi salah satu komponen penting syariat, selain dari agama, jiwa, harta, dan akal. Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Muhammad al-Lakhmî al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Tahqîq Abû ‘Ubaydah Masyhûr, (Bayrût: Dâr Ibn ‘Affân, 1997), juz II, h. 20.

Page 12: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I : P E N D A H U L U A N - 5

Di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang menerima dengan senang hati Putusan MK tersebut karena dipandang sebagai sebuah terobosan hukum keluarga di Indonesia ketika Undang-Undang Perkawinan tidak lagi mampu merespons permasalahan-permasalahan kekinian. Bagi kelompok tersebut, Putusan MK ini telah menjawab permasalahan sosial empirik di masyarakat Indonesia sejak dahulu, karena banyak anak yang karena status perkawinannya tidak mendapatkan hak-hak penuh sebagai anak.

Tidak hanya secara perdata dan berimplikasi kepada status administratif anak, Putusan tersebut dipandang sebagai sebuah angin segar ketika seorang ibu harus menanggung anak hasil perkawinan yang dianggap tidak legal oleh Negara, sementara ayah biologis dari anak tersebut tidak mau bertanggung jawab, baik secara materi atau imateri. Seorang ibu yang melahirkan anak tersebut harus menanggung derita sosial dan kemasyarakatan, selain kebutuhan ekonomi yang harus pula ditanggungnya sendirian. Dalam hal inilah, Putusan MK tersebut dinilai mampu menjawab permasalahan dan cocok dengan kekinian.

Dari permasalahan tersebut, mengingat eratnya Putusan ini dengan aspek keagamaan, terutama agama Islam yang dianut oleh mayoritas warga Negara Indonesia dan paling sering bersentuhan dengan legalisasi hukum keluarga (seperti pada Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, atau bahkan CLD-KHI), penting kiranya untuk menggali secara rinci dan detil permasalahan tersebut dan penelitian akademis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam studi ini adalah menyoal eksistensi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait status hukum anak di luar nikah di tengah pluralitas sistem hukum Nasional Indonesia. Apakah Putusan ini menjadi terobosan baru dalam dinamika hukum keluarga di Indonesia? Permasalahan ini akan didekati lewat dua sudut pendekatan, yakni sejarah sosial dan normatif hukum.

Page 13: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

17

B

STATUS HUKUM ANAK LUAR NIKAH DALAM PERATURAN DAN PERUNDANGAN KELUARGA

INDONESIA

Bagian II

A. Pengertian

Pemaknaan “anak luar nikah” dalam masyarakat Indonesia dapat diketahui dari sejumlah sudut pandang, yang tidak jarang di antaranya berbeda satu sama lain. Sudut pandang ini dapat dipilah melalui perspektif hukum normatif, perspektif hukum Islam dan perspektif budaya atau kebiasaan masyarakat. Bila ditelusuri, pandangan-pandangan ini bahkan berangkat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang meniscayakan adanya permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga, baik secara disengaja ataupun tidak.

Dalam suatu contoh, seorang anak yang dilahirkan oleh dua pasangan laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah menurut hukum Islam ataupun hukum positif—sebagaimana nantinya akan dijelaskan pada bagian ketiga bab ini—dipandang sebagai anak yang tidak sah secara hukum, bahkan tidak jarang

Page 14: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 8 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

disebut sebagai anak hasil perzinaan. Di sisi yang lain, anak di luar nikah juga ditemui ketika suatu perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tetapi melalui mekanisme yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan normatif yang berlaku, sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Kondisi-kondisi tersebut kadang memunculkan banyak istilah yang berbeda-beda, dari suatu wilayah ke wilayah lain, dari suatu adat dengan adat yang lain, ataupun dari pandangan suatu agama dengan agama yang lain.

Dengan demikian, pemaknaan anak di luar nikah harus pula diletakkan dalam konteks yang beragam, sesuai dari sudut pandang mana akan melihatnya. Terkait dengan pemaknaan ini pula, definisi “anak luar nikah” akan diketahui dengan menggunakan logika terbalik tentang pengertian anak itu sendiri, sehingga elemen-elemen yang tidak termasuk di dalam pengertian anak yang sah ia akan terkategori secara otomatis sebagai anak luar nikah, walaupun pada aspek tertentu terdapat aspek-aspek yang dapat didiskusikan lebih lanjut tentang kedudukannya.

Pengertian anak luar nikah dimulai dengan sebuah pengertian “anak sah” dalam tinjauan hukum perdata. Dalam buku Hukum Perdata, Subekti mencatat, bahwa “anak sah” atau wettig kind ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.1 Yang penting digarisbawahi dari pengertian di atas adalah bahwa status anak yang sah menurut hukum perdata tidak dapat dipisahkan dari status perkawinan kedua orang tua anak tersebut. Anak akan menjadi sah bila status perkawinan ayah dan ibunya sah. Sebaliknya, anak dipandang tidak sah atau di luar nikah bila perkawinan ayah dan ibunya ternyata tidak sah.

Merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Pasal 250 KUHPer menyebutkan, “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami

1 Subekti, Hukum Perdata, (Jakarta: Intermas, 1994), Cet. XXVI, h. 48.

Page 15: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I I : S T A T U S H U K U M A N A K L U A R N I K A H - 1 9

sebagai bapaknya”.2 Ketentuan hukum perdata tersebut tampak jelas menetapkan status anak kepada bapak bila seorang anak dilahirkan oleh ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan bapaknya tersebut. Hal ini menunjukkan suatu pengertian yang serupa dengan apa yang dinyatakan oleh Subekti tersebut.

Namun penting pula untuk mengetahui bagaimana hukum perdata memandang sahnya sebuah perkawinan agar status anak sah ini juga dapat ditelusuri secara jelas. Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan, “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya perdata”. Menurut Bakrie A. Rahman dan Ahmad Sukardja, hal ini berarti hal-hal yang di luar aspek hukum perdata, seperti aturan-aturan perkawinan menurut ajaran agama, tidak menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.3 Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa suatu perkawinan dalam pandangan hukum perdata hanya berhubungan dengan aspek-aspek keperdataan saja dan tidak terkait dengan aspek-aspek lain di luarnya.

Menurut Subekti, Pasal ini hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah hanya perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dan syarat-syarat agama dapat dikesampingkan. Terkait dengan syarat-syarat ini, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah menetapkannya, di antaranya adalah:

Pertama, kedua belah pihak telah mencapai umur yang ditetap-kan dalam undang-undang, yaitu seorang laki-laki 18 tahun dan untuk perempuan 15 tahun. Kedua, harus ada persetujuan bebas antara kedua belah pihak. Ketiga, untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu setelah putusan

2 Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).3 Bakrie A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,

UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidayat Karya Agung, 1981), h. 10.

Page 16: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

2 0 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

perkawinan pertama. Keempat, untuk pihak yang masih di bawah umur harus ada izin dari orang tua atau walinya.4

Di samping dari pengertian di atas, pemaknaan anak luar kawin yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki arti yang berbeda dari pandangan sebelumnya. Dalam pandangan J. Satrio, seperti dikutip Emilda Kuspraningrum, pengertian “anak luar kawin” yang mengacu kepada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 272 adalah bahwa anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah, dalam hal ini yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam perkawinan yang sah dengan ibu dari si anak tersebut dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina dan anak-anak sumbang.5

Selanjutnya Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri”.

Dengan demikian, dari sejumlah penjelasan di atas, pengertian anak luar kawin dalam tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu anak yang dilahirkan dari laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dengan ikatan perkawinan yang sah, seperti pada Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya dapat disebabkan oleh perzinaan, dan anak-anak luar kawin yang bukan disebabkan oleh perzinaan atau anak-anak sumbang, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4 Lihat, Subekti, Hukum Perdata, h. 24.5 Emilda Kuspraningrum, Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin dalam

Perspektif Hukum di Indonesia, dalam Jurnal Risalah Fakultas Hukum Universitas Mulyawarman, Edisi Juni 2006, Vol. II, No. 1, h. 24-25.

Page 17: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I I : S T A T U S H U K U M A N A K L U A R N I K A H - 2 1

Pengertian dan ketentuan di atas dapat menjadi acuan bagaimana suatu perkawinan dipandang sah atau tidak, serta implikasinya pada status seorang anak. Bila suatu perkawinan, menurut hukum perdata, memenuhi pengertian di atas dan syarat-syaratnya, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebutpun dapat dipandang sebagai anak sah. Sebaliknya, bila suatu perkawinan ternyata tidak dapat dikatakan sah, karena kurangnya syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan ini pun dapat dikatakan tidak sah. Demikianlah hubungan perdata yang dinyatakan oleh hukum perdata yang pernah diterapkan di Indonesia. Ketentuan ini akan semakin jelas, baik persamaan atau perbedaannya, bila dibandingkan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan.

Dalam pengertian yang serupa, Undang-Undang Perkawinan juga memaknai anak yang sah sebagaimana Hukum Perdata. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menetapkan, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pengertian ini pun menyiratkan sebuah kesamaan dengan pengertian yang dianut dalam hukum perdata di atas. Status anak sah merupakan implikasi logis dari sahnya sebuah perkawinan. Sebaliknya, tidak sahnya perkawinan menyebabkan tidak sahnya pula status anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan.

Untuk kondisi yang kedua, di mana seorang anak dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah, Undang-Undang Perkawinan menetapkan pada Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 43 ayat (1), dengan redaksi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Bila diperhatikan, rumusan ini serupa dengan apa yang ditetapkan oleh hukum perdata, walaupun hukum perdata menggunakan kalimat pasif sementara Undang-Undang Perkawinan menggunakan kalimat aktif.

Di dalam hukum perdata, sah atau tidaknya suatu perkawinan menentukan apakah seorang anak dapat dinisbatkan kepada bapaknya,

Page 18: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

51

B

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Bagian III

A. Konteks Pengajuan Judicial ReviewPutusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 ini me-

rupakan perkara yang diajukan oleh seorang perempuan yang ber-nama Aisyah Mochtar binti H. Mochtar Ibrahim, yang juga dikenal dengan panggilan Machica. Aisyah merupakan seorang perempuan yang lahir di Ujung Pandang, pada 20 Maret 1970. Saat mengajukan permohonan, ia bertempat tinggal di Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Permohon kedua adalah anak dari Asiyah, yang bernama, Muhammad Iqbal Ramadhan, lahir di Jakarta, pada 5 Februari 1996, yang juga bertempat tinggal sama dengan Aisyah.

Permohonan ini diajukan oleh Machica akibat dari perceraian-nya dengan Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara masa Soeharto. Saat itu, Moerdiono tidak pada status melajang, namun

Page 19: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

5 2 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

tengah memiliki isteri yang sah atau terikat dengan perkawinan yang lain. Dengan asas perkawinan monogami yang dianut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan Machica dan Moerdiono ini tidak dapat dicatatkan di catatan sipil di Kantor Urusan Agama (KUA).

Di dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 disebutkan bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta, telah berlangsung pernikahan antara Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman. Perkawinan ini dilangsungkan dengan mahar berupa seperangkat alat salat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas dan berlian yang dibayar tunai. Ijab perkawinan diucapkan oleh wali penganti perempuan dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono.

Lazimnya sebuah perkawinan poligami yang tidak melalui prosedur resmi, perkawinan antara Machica dan Moerdiono inipun tidak dicatatkan secara resmi. Perkawinan ini hanya mengikuti prosedur perkawinan menurut ajaran agama, yaitu agama Islam. Namun, dari keduanya lahir seorang anak yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Setelah anak ini lahir, Moerdiono menceraikan Machica, juga tanpa prosedur resmi, dan mengingkari status anak yang dilahirkan dari Machica sebagai anaknya yang sah. Sejak Iqbal berusia dua tahun, Moerdiono bahkan tidak pernah memberikan nafkah kepada anaknya tersebut, dan pula status Iqbal pun masih belum jelas, karena Machica tidak dapat mendaftarkan anaknya di catatan sipil untuk mendapatkan akta kelahiran, lantaran tidak ada nama ayah biologisnya.

Dalam hal demikianlah, perkawinan antara Machica dan Moerdiono pada dasarnya berada pada posisi yang tidak begitu jelas secara hukum, walaupun menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan

Page 20: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I I I : P U T U S A N M A H K A M A H K O N S T I T U S I . . . - 5 3

oleh ajaran agama para pengantin masing-masing. Ketidakjelasan status perkawinan ini semakin tampak tatkala ayat (2) Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.1

Dengan klausul yang menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan ini, Machica dan Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya, terutama ketika dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya2. Pasal 43 (1) ini seakan menghilangkan status hukum yang sah bagi Iqbal, termasuk pula konsekuensi-konsekuensi hukum lainnya, seperti hak warisan dan hubungan keluarga dengan ayah biologisnya, Moerdiono.

Berlandaskan kepada latar belakang ini pula, Aisyah mengajukan permohonan Judicial review kepada Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Permohonan ini didasarkan pada sejumlah alasan hukum, di antara nya adalah:

Pertama, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum.3

Kedua, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Menurut pemohon, Pasal ini telah melahirkan norma konstitusi,

1 Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2 Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. 3 Putusan MK, h. 4.

Page 21: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

5 4 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

bahwa anaknya juga memiliki hak atas status hukum dan patut diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan kata lain, UUD 1945 telah mengedepankan norma sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun tanta diskriminatif.

Menurut pemohon pula, berdasarkan kepada Konstitusi, siapapun berhak melaksanakan perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, sehingga perkawinan yang dilakukan oleh Aisyah dan Moerdiono juga telah dilakukan sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan keduanya, yaitu agama Islam, sesuai dengan rukun dan syarat yang telah diajarkan oleh agama ini. Untuk itu pula, perkawinan ini menjadi sah, apalagi Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan jelas-jelas menyebutkan.

Lebih lanjut, pemohon mengemukakan, bahwa dalam Islam perkawinan yang sah adalah berdasarkan ketentuan yang telah diatur berdasarkan Alquran dan Sunah, sebagaimana pula perkawinan yang telah dilakukan oleh Pemohon. Perkawinan Pemohon tersebut bukanlah karena perbuatan zina atau setidak-tidaknya dianggap sebagai bentuk perzinaan. Begitu pula anaknya adalah anak yang sah. Dalam pandangan Islam hal yang berbeda dan sudah barang tentu sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah menyangkut seorang wanita yang hamil dan tidak terikat dalam perkawinan maka nasib anaknya adalah dengan ibu dan keluarga ibunya.4

Menurut Oktryan, kuasa hukum dari Aisyah Mochtar, dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan ketidakpastian hukum hubungan antara anak pemohon—yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan (berusia 14 tahun)—dan bapaknya. Hal ini melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Ketentuan itu berdampak suami pemohon tak berkewajiban untuk memelihara, mengasuh, dan membiayai anak pemohon.5

4 Putusan MK, h. 5.5 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010.

Page 22: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I I I : P U T U S A N M A H K A M A H K O N S T I T U S I . . . - 5 5

Kuasa hukum yang lain, Rusdiyanto Matulatuwa mengatakan pada dasarnya tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan dapat disalahkan dan diperlakukan diskriminasi lantaran pernikahan kedua orang tuanya berbeda, tetapi secara hukum agama sah. Kenyataan itu pun berakibat pemohon tidak bisa menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin. Di samping itu, menurut pengakuan dari kuasa hukum Aisyah ini pula, bahwa Aisyah telah mengajukan penetapan (itsbât) perkawinannya dan pengesahan anak hasil perkawinannya dengan Moerdiono ke Pengadilan Agama Tangerang. Pengadilan Agama Tangerang telah menetapkan perkawinan keduanya adalah sah. Namun, karena terganjal dengan asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan, Hakim Pengadilan Agama Tangerang tidak berani untuk menetapkan status anak keduanya.6

Dengan argumentasi yang disebutkan di atas, pemohon meng-ajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi atas sejumlah Pasal yang ada di dalam Undang-Undang Perkawinan ini. Menurut Pemohon, sebagaimana dimuat dalam Putusan Majelis Hakim, bahwa pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan.

Secara lebih rinci, Majelis Hakim Mahkamah menilai, ada sejumlah alasan Pemohon mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan permasalahan ini, di antaranya adalah: Pertama, bahwa Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan

6 “Artis Dangdut Uji UU Perkawinan ke MK”, Hukum Online, Senin, 26 Juli 2010. Lihat pula, Putusan Pengadilan Negeri Tigaraksa, Tangerang, No: 46/Pdt.G.

Page 23: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

81

B

KONTEKS KETATANEGARAAN, KEPENTINGAN ANAK,

DAN PLURALISME HUKUM

Bagian IV

A. Konteks Ketatanegaraan dan Kepentingan Anak

Meninjau Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam konteks ketatanegaraan tidak dapat dilepaskan dari sumber utama hukum di Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Di dalam Konstitusi inilah sistem dan norma tata negara Indonesia ditetapkan dan menjadi norma dasar bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya.

Terkait dengan hal ini, di dalam UUD NRI 1945 dinyatakan, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara”.1 Klausul Pasal ini secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa Negara, sebagai pemegang kedaulatan rakyat, memiliki kewajiban untuk menaungi kepentingan

1 Pasal 26 ayat (1) UUD NRI 1945.

Page 24: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

8 2 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

warga negaranya, tanpa terkecuali. Dalam konteks hidup dan kehidupannya, misalnya, Konstitusi secara jelas menjamin bahwa setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.2 Kepentingan-kepentingan lain terkait dengan warga negara ini telah pula menjadi keharusan Negara untuk mewujudkannya, yang diatur secara lebih lanjut melalui undang-undang atau peraturan perundangan yang lain.

Di tengah kehidupan warga negara ini, kehadiran hukum menjadi sebuah keniscayaan sebagai sarana untuk menengahi segala kemungkinan konflik kepentingan. Hukum yang merupakan perpanjangan tangan dari Negara penjadi wasit dalam adu kekuatan di antara individu-individu yang saling mendesakkan kepentingannya, sehingga konflik kepentingan ini tidak muncul kepermukaan dan menjadi konflik yang terbuka. Dengan adanya hukum, permasalahan tidak lagi diselesaikan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan-aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif yang memapankan kriteria keadilan.3

Landasan nilai tersebut kemudian mewujud dalam prinsip negara hukum (rechtstaat), yaitu kekuasaan negara untuk membatasi masyarakat melalui rule of law dari segala macam ancaman atau tindakan individu terhadap individu yang lain.4 Dengan perkataan lain, tanpa adanya hukum, suatu masyarakat akan menjadi masyarakat rimba yang mengandalkan kekuatan dan otot, sementara yang lemah hanya dapat meratapi eksploitas dan penghambaan kepada

2 Pasal 28A UUD 19453 Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 774 Pada prinsipnya, nilai tersebut berangkat dari teori kontrak sosial yang

pernah dikemukakan oleh Jhon Locke dan JJ Roussseau beberapa abad yang lalu, yang membatasi hak-hak individu dalam suatu kontrak sosial. Dengan memberikan sebagian kecil dari kebebasannya kepada Negara, individu akan mendapatkan rasa aman dari gangguan individu yang lain melalui negara pula. Keteraturan inilah yang menjadi inti dari sebuah Negara hukum. Lihat, W. Friedman, Legal Theory, (London: Stevens and Sons, 1949), h. 384.

Page 25: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I v : K O N T E K S K E T A T A N E G A R A A N , . . . - 8 3

yang kuat. Demikianlah mengapa di dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) secara tegas disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Menurut Jimly Assiddiqie, gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Ia dikembangkan dengan menata supra-struktur dan infra-struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam hal demikian, sistem hukum yang mengarah kepada tatanan norma tersebut di atas perlu dibangun (melalui law making) dan ditegakkan (melalui law enforcing) sebagaimana mestinya.5

Dalam konteks modern, negara hukum menjadi tipe ideal sebuah negara. Yaitu, seberapa jauh negara mampu mewujudkan cita-cita secara adil dan memiliki legitimasi yang kuat di hadapan warga negara. Julius Stahl, sebagaimana dikutip Assiddiqie, bahwa konsep Negar hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ mencakup empat elemen penting, yaitu: (1) perlindungan hak asasi manusia; (2) pembagian kekuasaan; (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang;; (4) peradilan tata usaha Negara.

Sementara A.V. Dicey dalam Introduction to the Study of the Law of the Constitution menyatakan, ciri penting dari sebuah negara hukum itu adalah: supremacy of law, equality before the law, dan due process of law.6 Pandangan lain menyebutkan bahwa ciri dari sebuah Negara hukum adalah: (1) kekuasaan yang dijalankan dengan hukum positif yang berlaku; (2) kegiatan negara berada di bawah kekuasaan kehakiman yang efektif; (3) berdasarkan undang-undang

5 Jimly Assiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 1. Makalah diakses dari www.jimlyschool.com.

6 Jimly Assiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 3; lihat pula, A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, (London: MacMillan and Co., 1987), h. 175.

Page 26: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

8 4 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia; dan (4) menurut pembagian kekuasaan.7

Dari ciri-ciri negara hukum tersebut di atas, yang semuanya memiliki karakter dan sifat yang sama, dapat diketahui, bahwa telah menjadi mandat sebuah Negara untuk menaungi seluruh warga negaranya secara adil dan bijaksana, tanpa membedakan satu sama lain atau mendiskriminasikan. Dalam pada itu, pencirian Negara hukum yang lebih baru semakin menguatkan asas persamaan dan dalam konteks negara hukum Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung: (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.8 Persamaan dan non-diskriminasi menjadi bagian penting dari sebuah Negara hukum. Asas-asas ini pula yang harus diejawantahkan oleh Negara dalam produk peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali ke konteks studi ini, pertanyaan yang mengemuka kemudian, seberapa jauh Putusan ini telah sesuai dengan prinsip-prinsip kenegaraan dan melindungi kepentingan segenap warga negara? Ada dua hal penting yang harus ditinjau secara seksama di dalam Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 ini, yaitu tentang eksistensi pencatatan perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang dan tentang hak keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah.

Untuk yang pertama, sebagai di dalam amar Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan:

7 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, h. 298.8 Jimly Assiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 5.

Page 27: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N I v : K O N T E K S K E T A T A N E G A R A A N , . . . - 8 5

“Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945].

Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]”.9

Dari penggalan Putusan di atas, dapat diketahui bahwa, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa pembatasan hak-hak warga negara, dalam batas tertentu dan selama diperuntukkan bagi kepentingan khalayak umum, hal itu dapat diperbolehkan. Mahkamah memandang bahwa pencatatan perkawinan yang pada prinsipnya adalah pembatasan terhadap hak-hak warga negara dan taat kepada aturan hukum tersebut merupakan pengejawantahan dari fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini menjadi sangat rasional ketika Pasal 28I ayat (4) menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

9 Amar Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010, h. 43.

Page 28: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

115

B

PENUTUPBagian V

A. Kesimpulan

Sejumlah kesimpulan dapat dikemukakan. Pertama, terkait dengan setting sosial-politik perumusan Pasal yang mengatur status anak sah di dalam Undang-Undang Perkawinan, setelah melalui penelurusan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, dapat disimpulkan bahwa ketetapan status anak sah di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak bisa dipisahkan dari kepentingan politik pemerintah Orde Baru dan kelompok politik umat Islam. Wacana modernisasi hukum yang mengancam eksistensi hukum Islam, secara khusus hukum keluarga, telah membuat kelompok Islam menolak keras rencana tersebut telah menghasilkan produk negosiasi antara Pemerintah saat itu dan umat Islam. Sejumlah pasal yang sensitif diubah oleh Pemerintah untuk mengikuti kehendak umat Islam.

Hal inilah yang menjadikan Undang-Undang Perkawinan masih

Page 29: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 1 6 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

berpijak pada dualisme norma hukum, yaitu antara hukum Nasional dan hukum Islam. Hal ini tampak sangat terlihat ketika pengaturan sahnya status perkawinan dalam Undang-Undang ini, kewenangan untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah prosesi perkawinan diserahkan kepada agama masing-masing. Di satu sisi, Negara hanya menetapkan pencatatan perkawinan sebagai kebutuhan administrasi hukum, padahal dari perspektif proyek pembangunan Orde Baru dan modernisasi hukum, seharusnya Negara menekankan pencatatan perkawinan sebagai sebuah keharusan.

Kedua, Mahkamah Konstitusi menerima sebagian permohonan Pemohon dan menolaknya sebagian. Terhadap permohonan yang ditolak, yaitu, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa ayat ini tidak bertentangan dengan Konstitusi, karena beberapa alasan. Dari perspektif negara, kewajiban pencatatan perkawinan berada pada konteks fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini seiring dengan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945. Menurut Mahkamah, pembatasan ini tidak melanggar Konstitusi, karena kewajiban ini semata-mata dilakukan untuk menjamin dan menghormati hak dan kebebasan orang lain, memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara tersebut bertujuan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti

Page 30: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N v : P E N U T U P - 1 1 7

yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.

Dengan perkataan lain, Mahkamah Konstitusi berpandangan, bahwa dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak yang diatur di dalam Pasal 55 UU 1/1974. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.

Terhadap permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi memiliki sejumlah argumentasi hukum. Mahkamah Konstitusi ber-pandangan bahwa secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Sehingga, menurut Mahkamah Konstitusi, adalah tidak adil bila seorang anak yang dilahirkan dari suatu kehamilan karena hubungan seksual hanya dihubungkan kepada ibu, sebagaimana pula tidak adil bila hukum melepaskan tanggung jawab laki-laki yang melakukan hubungan seksual dan menyebabkan kehamilan. Apalagi, menurut Mahkamah Konstitusi, kemajuan teknologi saat ini dapat membuktikan bapak biologis dari anak tersebut.

Menurut Mahkamah Konstitusi, akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik. Subyek hukumnya adalah anak, ibu, dan bapak. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi berpandangan, bahwa hubungan anak dan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata

Page 31: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 1 8 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

karena adanya ikatan perkawinan, namun juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan alasan ini pula, seluruh anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, terlepas apakah perkawinan dilakukan sesuai dengan prosedur/administrasi atau tidak.

Karena setiap anak yang dilahirkan adalah suci dan berhak mendapatkan perlindungan dari Negara, maka hukum harus mem berikan jaminan dan kepastian hukum terhadap seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinan masih dipersengketakan.

Ketiga, menurut hemat peneliti, penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini harus dilihat dari dua perspektif, sesuai dengan klasifikasi definisi anak di luar perkawinan, yaitu apakah dilahirkan dari perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan ataukah dari kehamilan yang tanpa ikatan perkawinan yang sah. Untuk yang pertama, sangat terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi meletakkan kepentingan anak sebagai landasan argumentasi hukumnya, sehingga resistensi adanya kepentingan lain, selain dari kemaslahatan bagi anak, dapat dikatakan relatif kecil. Apalagi, Putusan ini jelas-jelas mengakui sahnya perkawinan menurut hukum agama masing-masing, terlepas perkawinan tersebut dicatatkan ataupun tidak.

Untuk yang kedua, yaitu anak yang dilahirkan di luar dari ikatan perkawinan yang sah, bila Putusan MK ini juga hendak diterapkan pada kasus seperti ini, resistensi justru akan sangat kuat dari kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh karena eksekusi hak-hak keperdataan sang anak, kecuali nafkah, akan sangat bersinggungan dengan kaidah-kaidah dasar hukum Islam. Seperti dalam hal kewarisan dan perwalian anak, hukum Islam sangat menekankan adanya hubungan darah yang dihasilkan dari perkawinan sah. Bila tidak, maka menurut hukum Islam, tidak ada

Page 32: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

B A G I A N v : P E N U T U P - 1 1 9

hubungan darah sama sekali, walaupun jelas-jelas ilmu pengetahuan dapat membuktikan ayah biologis anak tersebut.

Keempat, dari aspek yuridis, Putusan ini memiliki landasan argumentasi yang kuat untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Selain karena didukung oleh argumentasi filosofis dan substantif, Putusan ini juga seiring dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, yaitu demi kepentingan anak seutuhnya. Ditinjau dari sisi pluralisme hukum, walaupun masih memiliki sejumlah catatan penting terkait dengan pengaturan status anak di luar nikah, Putusan ini juga mengambil celah yang dapat memenuhi kebutuhan bersama subyek-subyek hukum, yaitu hak-hak keperdataan dan perlindungan utama bagi anak. Catatan yang harus diungkap dalam konteks pluralisme hukum dalam Putusan ini adalah ketika menyikapi secara ambiguitas status sahnya perkawinan, yaitu antara hukum positif dan hukum Islam (fikih konvensional).

Dalam pada itu, Mahkamah Konstitusi terlihat gamang apakah Putusan ini berlaku untuk semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sah atau tidak, melalui prosedur perkawinan atau tidak, sehingga Putusan ini tetap dimaknai secara berbeda-beda oleh publik. Dari sini pula, Mahkamah Konstitusi gamang menentukan hak keperdataan apa saja yang dicakup dalam Putusan ini dan perangkat hak apa saja yang dapar diterima secara penuh oleh anak luar nikah dicatatkan dan anak yang menurut Undang-Undang Perkawinan tidak sah menurut agama.

Namun harus diakui bahwa Putusan ini menjadi sebuah terobosan baru (point of departure) dari proses dinamisasi pemikiran dan praktik hukum keluarga di Indonesia yang—selama ini—cenderung status quo. Meski tidak sedikit mendapat tantangan, khususnya dari kaum agamawan, Putusan ini tatap saja harus dilaksanakan. Tinggal seberapa siap pihak-pihak terkait untuk menyediakan kelengkapan peraturan dan perundangan pendukung.

Page 33: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

121

B

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Makalah, dan ArtikelA.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution,

London: MacMillan and Co., 1987.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Penerjemah Amad Suedy dan M. Imam Aziz, Yogyakarta: Elkis, 2001.

Ahmad Tholabi Kharlie, Modernisasi Hukum Keluarga di Indonesia (1974- 2008), Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009.

Ahmad Tholabi Kharlie, Perilaku Perkawinan Masyarakat Lebak Banten,Tesis pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.

Page 34: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 2 2 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon). Pandangan ini dikutip dari Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 20 Februari 2010 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan.

Arskal Salim, Dynamic Legal Pluralism in Modern Indonesia: The State and the Sharia (Court) in the Changing Constellations of Aceh, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 24 – 27 February 2007. Diakses dari http://www.ari.nus.edu.sg/docs%5CAceh-project%5Cfull-papers%5Caceh_fp_arskalsalim.pdf

Arso Sastroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Asaf A. A. Fyzee, Out line of Muhammad Law, London: Oxford University Press, 1955.

Bakrie A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hidayat Karya Agung, 1981.

C. Snouck Hurgronje, De Islam in Nedelandsch Indie, Jakarta: Bharata, 1973.

Chatib Rasyid, “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012”, makalah disampaikan dalam Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang.

Cut Aswar, “Hukum Menikahi Wanita Hamil karena Zina”, dalam Chuzaimah Tahido Yanggo dan Muhammad Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Page 35: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

D A F T A R P U S T A K A - 1 2 3

Djoko Suryo, “Beberapa Segi Moralitas islam: Perspektif Budaya Jawa”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.

Emilda Kuspraningrum, “Kedudukan dan Perlindungan Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hukum di Indonesia”, dalam Jurnal Risalah Fakultas Hukum Universitas Mulyawarman, Edisi Juni 2006, Vol. 2 No. 1.

Erman Rajagukguk, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, makalah disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ke-37, 2 April 2005.

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010.

Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.

Gavin W. Jones, “Agama-agama di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Prisma 5, tahun 1978.

Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Helmayulis, “Terbentuk dan Pembentukan Hukum: Suatu Pemikiran dalam Refomasi Hukum di Indonesia”, dalam Masinambaw (ed.), Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum dan Masyarakat Saat Krisis, dalam Masinambow (ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Tahqîq Abû ‘Ubaydah Masyhûr, Bayrût: Dâr Ibn ‘Affân, 1997.

Irsyad Dhahri S Suhaeb, “Dampak Putusak MK”, opini dalam Koran Republika, 25 Februari 2012.

Jhon L. Esposito, Islam dan Politik. Penerjemah Joesoef Sju’aib, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Page 36: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 2 4 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. Diakses dari www.jimlyasshiddiqie.com

Khairuddin Nasution, Signifikansi Amandemen Undang-Undang Bidang Perkawinan, h. 14. Artikel ini pernah dimuat dalam asy-Syir’ah, Jurnal Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Vol. 41, No. II, Th. 2007.

Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Jakart-Belanda, INIS.

Muhammad Nurul Irfan, “Ijtihad Spektakuler MK”, Harian Umum Republika.

Maufur, The Logic of Nikah Sirri (A Case Study of The Brokered Nikah Sirri in Rembang, Pasuruan, East Java), Tesis pada Pasca Sarjana UGM Yogyakarta tahun 2007. Tesis tidak diterbitkan.

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Timun Mas, 1968.

Nurshahbani Kartjasungkana, “Kebijakan Pemerintah Tentang Perempuan hamil di Luar Nikah, Nikah di Bawah Tangan, pelecehan Seksual dan Korban Kekerasan”, dalam M. Atho Mudzhar dkk. (ed.), Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.

R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.

Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum: Buku III. Penerjemah Moh. Radjab, Jakarta: Bharata, 1963.

Ruth S. Meinzen-Dick dan Rajendra Pradhan, “Pluralisme Hukum dan Dinamika Hak Atas Properti”, dalam Tim Huma/Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (ed.), Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner. Penerjemah Andri Akbar dkk., Jakarta: Huma, 2005.

Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Page 37: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

D A F T A R P U S T A K A - 1 2 5

Satria Effendi M. Zein, “Eksistensi dan Peranan Maqasid Syariah dalam Menghadapi Perubahan Sosial”, dalam Jurnal Ahkam No. 01/1/1998.

Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1957.

Siti Musdah Mulia, “Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia”, dalam Sulistyo Irianto, Perempuan dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawwali Press, 1986.

Subekti, Hukum Perdata, Jakarta: Intermas, 1994

Subhan Nur, “Dampak Pernikahan Bawah Tangan”, artikel Bimas Islam 23 Desember 2008. diakses dari http://bimasislam.depag.go.id/ ?mod=article&op=detail&klik =1&id=229

Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, Jakarta: UII Press, 2003.

Susilaningtias, “Potret Hukum Adat pada Masa Kolonial”, dalam Forum Keadilan, No. 17, 20 Agustus 2006.

Syamsul Anwar dan Isak Munawar, Nasab Anak Di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Iiiv/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih Dan Perundang-Undangan, h. 30 – 31. Diakses dari www.badilag.net.

W. Friedmann, Legal Theory, London: Stevens and Sons, 1949.

Wahyu Nugroho, “Perlindungan Anak dan Hak-hak Konstitusional”, Opini dalam Jurnal Konstitusi, Februari 2012.

Winkler Prins, Algemene Encyclopaedie, 1936.

Yusril Ihza Mahendra, Sumbangan Ajaran Islam bagi Pembangunan Hukum Nasional di Era Pembangunanjangka Panjang II dalam Jamal D. Rahman (ed.,), Wacana Baru Fiqih SOsial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Jakarta: Mizan, 1997.

Page 38: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak

1 2 6 - S T A T U S A N A K L U A R N I K A H D I I N D O N E S I A

Zaini Ahmad Noeh, Perkembangan Setalah UU Perkawinan, bab tambahan dalam Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum. Penerjemah Z. Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa1986.

Perundang-undanganKitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

PP Nomor 9/1975; Dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

UU RI No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

UU RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Media Massa/WebsiteKoran Tempo

www.news.detik.com

www.surabaya.tribunnews.com

www.badilag.net

www.jimlyschool.com

www.muslimat-nu.or.id

www.republika.co.id

www.hukumonline.com

www.detiknews.com.

www.kapanlagi.com

www.komnasperempuan.or.id

www.voanews.com

Page 39: Status Anakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50823... · 2020. 5. 6. · 8 Al-Hadîts Hadis 9 Fiqh Fikih ... melakukan hubungan suami isteri dan menghasilkan anak