spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

450
DISERTASI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI PULUMUN PETERUS GINTING PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: phamnguyet

Post on 20-Dec-2016

282 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING

NIM 109071014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Disertasi untuk Memperoleh

Gelar Doktor

pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PULUMUN PETERUS GINTING

NIM 1090371014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 17 PEBRUARI 2015

Promotor,

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

NIP. 195701131980031001

Kopromotor 1,

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.

NIP.194409271976021001

Kopromotor 2,

Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A.

NIP. 194804121974031001

Mengetahui

Ketua Program Pendidikan Doktor (S3)

Kajian Budaya Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.

NIP. 194807201980031001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)

NIP. 195902151985102001

Page 5: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup (Tahap I)

Tanggal 17 Pebruari 2015

Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan Surat Keputusan

Rektor Universitas Udayana

Nomor : 531/UN.14.4.5/HK/2015

Tanggal 13 Pebruari 2015

Ketua : Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.

Anggota :

1. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

2. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.

3. Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A.

4. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.

5. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.

6. Dr. Putu Sukarja, M.Si.

7. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.

Page 6: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Pulumun Peterus Ginting

NIM : 109071014

Jurusan/Program Studi : Kajian Budaya

Fakultas/Program : Pascasarjana Universitas Udayana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil

karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan

pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya

ilmiah yang berlaku.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam

disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lainnya yang

dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai

peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku.

Denpasar, Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

Pulumun Peterus Ginting

Page 7: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

UCAPAN TERIMA KASIH

Mejuah-Juah

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, berkat

lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ―Spiritualitas

Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi‖ pada Program

Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana

Denpasar.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis

menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu penyelesaian disertasi ini mulai dari persiapan, proses, hingga

promosi. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini juga tidak terlepas dari

dukungan dan bantuan semua pihak, baik materi maupun moril kepada penulis.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made

Suastika S.U. selaku promotor; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. dan Prof.

Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A. selaku kopromotor dan penguji; Prof. Dr. Anak

Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Emiliana

Mariyah, M.S.; Dr. Putu Sukarja, M.Si.; Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.,

yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan,

tuntutan, dan saran selama penulis menyelesaikan disertasi ini.

Page 8: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., Direktur Program

Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I Prof.

Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana

Mahendra, Ph.D. Ketua Program Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. Anak Agung

Bagus Wirawan, S.U. dan Sekretaris Program, Dr. Putu Sukarja, M.Si. atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan pada Program Doktor di Universitas Udayana.

Ucapan yang sama ditujukan kepada para dosen pengampu mata kuliah,

yakni Prof. Dr. I Wayan Widja; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A.; Prof. Dr.

Emiliana Mariyah, S.U.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra; Prof. Dr. I Nyoman Kutha

Ratna. S.U.; Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.; Prof. Dr. I Gede Parimartha, M.A,;

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete S.U.; Prof. Dr. Anak

Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A.; Prof. Dr.

Sulistyawati; Prof. Dr. I Nyoman Sirta; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.Si

dan Dr. Pudentia MPPS. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan

pengetahuan yang telah ditularkan kepada penulis.

Kepada Ketua ATL Pusat Jakarta Dr. Pudentia MPPS dan Ketua ATL

Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. atas kesempatan yang diberikan pada

penulis untuk menjalani program doktoral dalam konsentrasi Kajian Tradisi Lisan

(KTL) yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan saat penulisan awal

proposal serta memberi kesempatan mengikuti Program pada Sandwich-like di

Page 9: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

KITLV, Leiden University Belanda. Dr. Clara Bekker, Ismeralda, Daniella, Juara

Ginting, Nelly Sembiring, Michel, Utari, Kinok Surbakti, Pa Guntar Sinuraya,

Kristy dan Gabriella Ginting yang memberi kesempatan dan waktu untuk

menampilkan seni Karo pada beberapa peristiwa di Belanda.

Dorongan dan motivasi dari pembimbing KTL, Prof. Dr. Emiliana

Mariyah, Prof. Robert Sibarani, Dr. Sutamat Ariwibowo, M.Si, dan semua teman

seperjuangan Maria Matildis Banda, Yon Adlis, Ni Wayan Sumitri, Hamirudin

Udu, Sumiman Udu, Syahrial, Katubi, Trias Yusuf, Sainul Hermawan, Isman,

Mariana Lewier, Ali Prawiro, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo Attas, Retty

Esnendes, Lies Mariani, La Aso, yang bersama-sama mengikuti Program

Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2010 ikut memberikkan semangat atas

terselesaikannya disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Rektor,

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua Jurusan Sendratasik, Ketua Program Studi

Seni Musik, Universitas Negeri Medan (UNIMED), yang telah memberikan izin

untuk melanjutkan studi pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Disamping itu, juga seluruh dosen Jurusan Sendratasik

Universitas Negeri Medan, rekan-rekan sejawat, yang diwakili oleh Ben M

Pasaribu MMA (alm) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral,

informasi, bantuan, dan motivasi selama ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pegawai

administrasi Program Studi Kajian Budaya, yaitu I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra.

Page 10: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Ni Luh Witari, Cok Istri Murniati, S.E., Ni Wayan Aryati, S.E., I Putu Hendrawan,

I Nyoman Candra, dan I Ketut Budiarsa. Selain itu, juga seluruh pegawai kantor

pusat Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dan

memberikan kemudahan kepada penulis yang berkaitan dengan urusan

administrasi.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pejabat instansi

pemerintahan Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara atas segala bantuan

dan kemudahan yang telah diberikan selama proses penelitian ini dilaksanakan.

Demikian pula kepada seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi

dan kemudahan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan. Penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya

atas hal-hal yang tidak berkenan selama kegiatan penelitian ini dilakukan.

Terima kasih yang tulus diucapkan kepada keluarga penulis, Bapa Renceng

Thomas Ginting (Alm) yang beramanat kepada penulis ‖tidak perlu kaya, uang

jangan dikejar, tetapi kejarlah ilmu setinggi-tingginya‖ dan Ibunda tercinta Lelem

Br Sembiring yang selalu mendoakan, dan memberikan motivasi serta semangat

hingga selesainya disertasi ini. Kepada istriku tercinta Ely Br Sitepu yang dengan

sabar menanti kembalinya suami dari Bali dan selalu memberikan motivasi beserta

putra-putri kami Fillinllife Ginting dan Cicio Puelfi Br Ginting. Adinda tersayang

Bob King Sidney Ginting dan Athania Rasbina Br Sembiring dan putri kecil

mereka Kintan Nayara Br Ginting. Kakanda Erlykasta Br. Ginting dan Abang Abri

Page 11: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Barus beserta putra-putrinya Agung Prima Barus, Eviona Br Barus, Cindy Br

Barus, yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya.

Akhirnya, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama

menyelesaikan studi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

bidang seni budaya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya dalam

mengeksplorasi tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang perlu ‖dilestarikan‖. Di

atas segalanya, kepada Tuhan yang Mahakuasa penulis memanjatkan doa agar

anugerah-Nya dilimpahkan untuk kita semua.

Denpasar, Juni 2015

Penulis,

Pulumun Peterus Ginting

Page 12: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ABSTRAK

Etnik Karo memiliki berbagai jenis upacara dalam tradisinya. Upacara

gendang kematian merupakan salah satu upacara yang sangat penting dan

mengandung nilai-nilai luhur yang terdapat pada semua unsurnya. Upacara

gendang kematian di kalangan etnik Karo telah mengalami banyak perubahan

spiritualitas pada zaman globalisasi. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi

ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam

upacara gendang kematian etnik Karo, seperti perubahan ensambel gendang lima

sendalanen menjadi keyboard, yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru.

Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi

di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara

gendang kematian pada masyarakat setempat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan

berbagai perubahan yang telah terjadi pada spiritualitas upacara gendang kematian

pada etnik Karo. Pembahasan terhadap realitas budaya yang terjadi pada etnik

Karo pada era globalisasi ini difokuskan pada tiga permasalahan, yaitu (1)

bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; dan (3) Bagaimanakah makna

dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi. Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif dengan

pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan mulitimensional.

Ketiga permasalahan tersebut dibedah menggunakan teori dekonstruksi, teori

etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Pengumpulan data

dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan

kepustakaan. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan interpretatif.

Disertasi ini menawarkan tiga hal sebagai simpulan. Pertama, wujud

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo adalah degradasi ke arah

sekularisasi terhadap nilai-nilai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo.

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas pada upacara gendang

kematian etnik Karo mencakup internal (masyarakat pendukung, kreativitas

seniman) dan eksternal (kristenisasi, industri budaya, media elektronik). Ketiga,

makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo meliputi spiritualitas

pramodern, modern, postmodern, perubahan sosial budaya dan strategi pewarisan

melalui keluarga, masyarakat, pemerintah dan melalui revitalisasi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perjumpaan dan interaksi antara budaya

lokal dan budaya global di kalangan etnik Karo telah meminggirkan nilai-nilai

budaya lokal dan mendapatkan nilai baru. Akibatnya, upacara gendang kematian

di kalangan etnik Karo mengalami degradasi ke arah sekularisasi.

Kata kunci: spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, era globalisasi

Page 13: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ABSTRACT

Karo ethnic has various kinds of ceremonies in its tradition. The gendang

ceremony of death is one of the most important ceremonies and embodies noble values

that contained in all of its elements. The gendang ceremony of death in the Karo ethnic

has undergone many changes in terms of spirituality in the age of globalization. A change

toward secularization is as a result of the influence of global cultural elements into the

gendang ceremony of death of the Karo ethnic like ensemble gendang lima sendalanen

change to keyboard who gave birth to a new form and meaning. This dissertation is the

result of a study of the cultural realities that occur among the Karo ethnic in this age of

globalization, namely the change in the spirituality the gendang ceremony of death in the

local people of Karo.

This study aims to identify and to analyze, as well as to explain the various

changes that have occurred in the spirituality of the gendang ceremony of death of the

Karo ethnic. The discussion of the cultural reality that occurs in the Karo ethnic in the age

of globalization has been focused on three issues, namely (1) How is the form of changes

in the spirituality of the gendang ceremony of death in Karo ethnic in this age of

globalization; (2) What factors are causing changes in the spirituality of the gendang

ceremony of death of the Karo ethnic in this age of globalization; and (3) What is the

meaning of spirituality change of the gendang ceremony of death in the Karo ethnic in this

age of globalization.

The study was designed as a qualitative study of critical, interdisciplinary and

multidimensional cultural studies approach. The three problems mentioned above were

analyzed by using deconstruction, ethnomusicology, co-modification and semiotic

theories. The study used descriptive qualitative and interpretative methods of analysis.

The data were collected by observation, in-depth interviews, and documentation as well as

library studies.

This dissertation offers three things in conclusion. First, the form of spiritual

change in the gendang ceremony of death of the Karo ethnic, is the degradation toward

secularization of spiritual values of the gendang ceremony of death, among the Karo

people. Second, the factors that cause changes in spirituality in gendang ceremony of

death in the Karo ethnic include the internal factors (community support, creativity,

innovation of artists) and the external factors (Christianization, the pressure of foreign

culture, and the cultural industries). Third, the meanings of changes in the spirituality of

funeral ceremony of the Karo ethnic include the representation of identity, the cultural

secularization, social change of the Karo people and inheritance strategy through family,

community, government and revitalization.

This study shows that the encounter and interaction between the local and the

global culture among the Karo ethnic has marginalized the local cultural values and they

obtain new meanings. Consequently, the gendang ceremony of death among the ethnic of

Karo has undergone degradation toward secularization.

Keywords: spirituality, gendang ceremony of death, the Karo ethnic, the era of

globalization.

Page 14: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

RINGKASAN DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang

terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo. Perubahan yang menuju ke arah

sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya

global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo yang kemudian melahirkan

bentuk dan makna baru.

Dalam perspektif kajian budaya, penelitian ini mengangkat realitas

lapangan yang empiris berkaitan dengan permasalahan globalisasi kebudayaan.

Fenomena pergeseran dari alat musik tradisional gendang lima sendalanen

mengalami degradasi ke arah sekularisasi, yaitu keyboard yang merupakan salah

satu unsur dari ritual upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini merupakan

representasi dari bertemunya spiritualitas etnik Karo dengan rasionalitas modern,

sebuah penanda absurditas dalam kebudayaan Karo pada era globalisasi. Sebagai

sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian etnik Karo belum mendapat

perhatian peneliti budaya di Indonesia di tengah berkembangnya pemikiran ―lokal

genius‖ dan di tengah derasnya pengaruh modernisme yang menggusur nilai-nilai

lokal. Upacara gendang kematian etnik Karo terdiri atas lima unsur (peristiwa),

yaitu gendang lima sedalanen (musik), landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung

(tangisan), dan rende (nyanyian).

Upacara gendang kematian pada awalnya berbentuk sakral dan memiliki

nilai-nilai religi yang tinggi. Westernisasi, modernisasi, dan globalisasi

menyebabkan upacara gendang kematian mengalami degradasi ke arah

sekularisasi, seperti gendang lima sendalanen berubah dan digantikan oleh sebuah

instrumen modern, yaitu keyboard ditambah dengan ensambel musik tiup. Selain

itu, kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan etnik Karo bertendensi ekonomi.

Page 15: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Karena begitu kompleksnya permasalahan spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka penelitian ini difokuskan ke dalam

tiga pertanyaan dalam masalah. Pertama, bagaimanakah wujud spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Kedua faktor-faktor

apakah yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi? Ketiga, bagaimanakah makna spiritualitas dan strategi pewarisan

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi?

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping itu, juga

ingin mengetahui dan memahami fenomena budaya lokal di daerah Karo dalam

persfektif kajian budaya. Tujuan lainnya adalah mengungkapkan latar belakang

terjadinya perubahan upacara gendang kematian. Secara khusus penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi, memahami faktor-faktor yang memengaruhi upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan menginterpretasi makna

spiritualitas dan mengetahui strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi dalam khazanah kebudayaan masyarakat pendukungnya.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis

maupun praktis. Manfaat teoretis temuan yang dihasilkan penelitian ini

memberikan kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang

kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam

pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya,

tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Di pihak lain manfaat

praktis penelitian ini merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses

pemahaman, pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk

memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu,

memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat

Page 16: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dalam hal spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada

pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.

Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, diguanakan

metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis,

interdisipliner, dan multidimensional. Adapun data diperoleh melalui studi

kepustakaan, studi dekomentasi, observasi, dan wawancara. Setelah dilakukan

verifikasi, data kemudian dianalisis dengan beberapa teori yang relevan, seperti

teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik.

Temuan penelitian ini mencakup tiga hal. Pertama, wujud spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi meliputi (a) upacara

kematian masyarakat Karo, yang mengungkapkan kematian adalah kehidupan

yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada

kematian; (b) wujud gendang lima sendalanen; yang mencakup kosmologi

masyarakat Karo; (c) wujud landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat

dan landek ritual; (d) wujud nuri-nuri (petuah); (e) wujud ngandung (tangisan);

(f) wujud rende perkolong-kolong(bernyanyi), dan (g) wujud keyboard serta

wujud trompet (ensambel tiup).

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi adalah sebagai berikut. (a) Faktor internal

yang meliputi masyarakat pendukung gendang kematian tidak dilihat secara

sempit dan terbatas pada genealogis dan teritorial grafis, tetapi etnik Karo yang

terhimpun dalam satu komunitas organisasi sosial kemasyarakatan kekaroan di

mana pun mereka berada. Kreativitas seniman dan budayawan, dalam upacara

gendang kematian merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran kreatif orang

Karo sepanjang zaman hingga kekinian. Identitas Karo, yang erat hubungannya

dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik sebagai penanda

identitas budaya. (b) Faktor eksternal yang meliputi kristenisasi, yang

membekaskan kesan yang ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan

dalam batin orang Karo. Selanjutnya tekanan budaya asing yang menciptakan

Page 17: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

orang Karo menjadi masyarakat komoditas yang meliputi unsur-unsur di dalamnya

sudah terstandardisasi. Industri budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang

mempengaruhi upacara gendang kematian.

Ketiga, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan

bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai

sebuah tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya

mengungkap makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik

Karo dapat ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca ‖tanda

zaman‖ dan dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang

dihasilkannya bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo

merepresentasikan spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya.

Secara umum, ada tiga pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang,

wujud dan faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi yang menyangkut nilai-nilai dasar atau

filosofi kehidupan masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern,

dan postmodern.

Makna spiritualitas pramodern etnik Karo melalui gendang lima sedalanen

yang memiliki fungsi sebagai iringan musik dan tari dalam upacara gendang

kematian sebagai “perekat” dari semua unsur yang ada dalam upacara. Selain itu,

juga digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan

harapan bagi keluarga yang ditinggalkan serta makna hubungan antara gendang

lima sedealanen, baik instrumen maupun bunyi (musik), yang dihasilkannnya

dengan sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Landek (menari) yang

mencakup landek adat istiadat dan landek ritual, yang memaknai gerak sebagai

sebuah simbol yang menjadi filosofi etnik Karo. Nuri-nuri (petuah), menunjukkan

duka keluarga sekaligus memberikan penghormatan kepada kalimbubu yang

disampaikan melalui nuri-nuri. Ngandung (tangisan), penyampaian belasungkawa

dan sekaligus meneguhkan hati pihak keluarga disampaikan melalui tangisan atau

Page 18: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ratapan. Rende (vokal/bernyanyi) yang sering digunakan pada upacara-upacara

adat yang ada pada masyarakat Karo khususnya upacara gendang

Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri

komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat

atau komunitas sebagai yang utama, dengan ‖individu‖ (yang sebagian saja

otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai

kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuan-

tujuan tertentu.

Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas

yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang

sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di

depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara

gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika

spiritualitas kultural etnik Karo.

Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas

dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas,

yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga

tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia

tidak lebih dari ciptaan artifisial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang

telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang

digunakan untuk menunjukkan identitas. Dengan kata lain, kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses

semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan

makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas

sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama

sekali dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakan-

akan ia menjadi dari wacana upacara tersebut.

Spiritualitas postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi,

pandangan dunia, secara pasti menentukan etika dan cara hidup manusia. Oleh

Page 19: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa

dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa mengatasi masalah yang

ditimbulkan oleh cara-cara manusia mengatur kehidupan individu dan kelompok

tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya.

Makna perubahan budaya yng mencakup beralihnya nilai tradisi ke modern

adalah teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama

pemena/perbegu ka agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan

budaya pemena dari agama tradisi etnik Karo masih terasa kental sampai sekarang.

Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna pada terkikisnya spiritualitas

etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak mungkin dibendung

menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan. Hal ini berpengaruh pada

menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo dengan dimainkannya akord dan

harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari

perkembangan teknologi modern yang mempengaruhi musik Karo.

Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan

pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Masyarakat

pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya

yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda

yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan

tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang ―tak benda atau tak

tersentuh. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai

suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum

kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara

terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama

pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan

budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang

terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar

Page 20: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah

lain.

Hasil penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai temuan baru

penelitian. Pertama, tradisi lisan upacara gendang kematian menunjukkan

spiritualitas sebagai nilai-nilai dan komitmen dasariah pada etnik Karo dalam

melakukan upacara. Kedua, modernisasi dan globalisasi yang diyakini selama

ini—tanpa disadari—tidak menghegemoni, memarginalisasi, dan menggerus

tradisi-tradisi lokal, penelitian ini mengungkapkan kebenaran yang terjadi di

lapangan. Artinya, hegemoni berjalan dengan konsensus dan kesepahaman

bersama. Ketiga, redefinisi upacara gendang kematian dari definisi sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama,

kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan

dan di dalam kehidupan ada kematian. Kematian seperti halnya kehidupan adalah

bentuk keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siang-

malam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada tanpa kehadiran sisi lainnya. Manusia

terdiri atas jasmani (kula) dan rohani (tendi). Dengan demikian, dalam upacara

gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut

menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas

menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu

(tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).

Kedua, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi mengalami degradasi ke arah sekularisasi yang diakibatkan oleh faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masyarakat pendukung

upacara gendang kematian dan kreativitas seniman/budayawan. Di pihak lain

faktor eksternal, yaitu kristenisasi, tekanan budaya asing, dan media elektronik

Ketiga, penelitian ini bermakna untuk menguatkan identitas. Penguatan

identitas ini terwujud dalam representasi identitas masyarakat Karo melalui

gendang lima sedalanen ensambel musik yang terdapat dalam upacara gendang

kematian, landek yaitu menari, nuri-nuri petuah-petuah dari sistem kekerabatan,

Page 21: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

melalui ngandung yaitu ratapan, melalui rende yaitu bernyanyi, melalui keyboard

instrumen musik pengganti gendang lima sendalanen, dan melalui trompe sebagai

ensambel tiup, serta makna perubahan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dengan adanya problematik

empirik yang belum tergali secara mendalam terkait dengan perubahan

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran

dan rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan

upacara gendang kematian pada etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik

dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik

dan terbuka untuk penelitian lanjutan. Artinya, untuk dikaji secara mendalam dan

mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua,

penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para

pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan

diberbagai tingkatan, baik ekskutif maupun legislatif, pimpinan organisasi

kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman, budayawan, praktisi seni

dalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan untuk kesejahteraan

bersama, lebih khususnya pembangunan seni budaya pada era globalisasi. Ketiga,

hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan disiplin

kajian budaya di samping sebagai sumber rujukan utama ataupun sumber alternatif

dalam dinamika kreativitas kehidupan berkesenian masyarakat di tanah Karo

khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya.

Page 22: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM............................................................................ i

PRASYARAT GELAR...................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………........... iii

PERNYATAAN KEASLIAN............................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................. vi

ABSTRAK.......................................................................................... xi

ABSTRACT………………………………………………………….. xii

RINGKASAN DISERTASI............................................................... xiii

DAFTAR ISI....................................................................................... xxi

DAFTAR TABEL.............................................................................. xxviii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xxix

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................... xxxi

GLOSARIUM .................................................................................... xxxii

BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1

1.1 Latar Belakang............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 14

1.3 Tujuan penelitian...................................................................... 15

1.3.1 Tujuan Umum...................................................................... 15

Page 23: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

1.3.2 Tujuan Khusus..................................................................... 16

1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 16

1.4.1 Manfaat Teoretis...................................................... 16

1.4.2 Manfaat Praktis......................................................... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN........................................ 18

2.1 Kajian Pustaka............................................................................ 18

2.2 Konsep........................................................................................ 30

2.2.1 Spiritualitas.................................................................... 30

2.2.2 Upacara Gendang Kematian............................................ 34

2.2.3 Etnik Karo....................................................................... 38

2.2.4 Era Globalisasi............................................................... 40

2.3 Landasan Teori............................................................................ 43

2.3.1 Teori Dekonstruksi............................................................ 45

2.3.2 Teori Etnomusikologi....................................................... 49

2.3.3 Teori Komodifikasi............................................................ 52

2.2.4 Teori Semiotika.................................................................. 55

2.4 Model Penelitian.......................................................................... 58

Page 24: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB III METODE PENELITIAN................................................ 61

3.1 Rancangan Penelitian………………………………………....... 61

3.2 Lokasi Penelitian……………………………………………….. 62

3.3 Jenis Data dan Sumber Data……………………………………. 63

3.4 Penentuan Informan………………………………...………….. 65

3.5 Instrumen Penelitian………………………………………….... 66

3.6 Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 67

3.6.1 Observasi............................................................................. 67

3.6.2 Wawancara.......................................................................... 69

3.6.3 Studi Dokumen.................................................................... 71

3.7 Teknik Analisis Data.................................................................... 72

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data......................................... 74

BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIK KARO

DAN UPACARA GENDANG KEMATIAN.................. 75

4.1 Gambaran Umum Etnik Karo............................................ 75

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis............................................ 76

4.1.2 Asal Usul Etnik Karo...................................................... 82

4.1.3 Politik dan Pemerintahan................................................... 85

4.1.4 Sistem Kekerabatan........................................................... 94

Page 25: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

4.1.5 Mata Pencaharian............................................................... 104

4.1.6 Kepercayaan dan Agama................................................... 106

4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo...........……… 109

4.1.6.2 Guru/ Dukun.......................................................... 115

4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo...................... 122

4.1.6.4 Kedai Kopi............................................................. 126

4.1.6.5 Jambur / Losd........................................................ 130

4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian……………… 132

4.2.1 Jenis Kematian…………………………………………... 133

4.2.2 Gendang/ Musik…………………………………………. 135

4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen……………………… 136

4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen..................................... 137

4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua……………… 138

4.2.2.4 Instrumen Nonensambel……………………….. 140

4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo……………………….. 141

4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard……………………… 143

4.2.2.7 Gendang Trompet/ Ensambel Tiup……………… 144

BAB V WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI............................................ 147

5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo......................................... 149

5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang ...................... 152

Page 26: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating.............................. 155

5.1.3 Wujud Kuburan/ Pendawanen........................................... 160

5.1.4 Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh.............................. 162

5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu........................... 164

5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan.... 167

5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen............................................. 168

5.2.1 Wujud Sarune.................................................................... 172

5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki..................... 174

5.2.3 Wujud Penganak dan Gung............................................... 177

5.3 Wujud Menari/ Landek............................................................... 178

5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri................................................. 182

5.5 Wujud Menangis/ Ngandung....................................................... 184

5.6 Wujud Menyanyi/ Rende............................................................ 186

5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod.............................................. 189

5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet.................................................. 192

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SPIRITUALITAS

UPACARA GENDANG KEMATIAN

ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI………… 195

6.1 Faktor Internal.............................................................................. 197

6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian.......... 199

6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan............................ 206

6.2 Faktor Eksternal........................................................................... 214

6.2.1 Faktor Kristenisasi............................................................. 217

Page 27: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

6.2.2 Faktor Industri Budaya...................................................... 236

6.2.3 Faktor Media Elektronik................................................... 244

BAB VII MAKNA SPIRITUALITAS DAN STRATEGI PEWARISAN

UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI......................................... 248

7.1 Makna Spiritualitas….. ……………...…………………………. 250

7.1.1 Makna Spiritualitas Pramodern………………………….. 261

7.1.2 Makna Spiritualitas Modern.........……………………… 313

7.1.3 Makna Spiritualitas Postmodern………………………… 322

7.2 Makna Perubahan Budaya……………………………………… 325

7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern………… 326

7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo…………………….. 331

7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman………………………… 343

7.3 Makna Perubahan Kehidupan Sosial……………………………. 348

7.4 Strategi Pewarisan……………………………………………….. 353

7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah….. 353

7.4.2 Pewarisa Melalui Revitalisasi……………………………. 362

7.5 Temuan Penelitian……………………………………………….. 370

7.6 Refleksi…………………………………………………………… 373

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN......................................... 377

8.1 Simpulan...................................................................................... 377

8.2 Saran............................................................................................. 380

Page 28: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 382

LAMPIRAN....................................................................................... 396

Lampiran 1 Daftar Informan.................................................. 396

Lampiran 2 Pedoman wawancara.......................................... 399

Lampiran 3 Peta Wilayah....................................................... 402

Lampiran 4 Daftar Foto......................................................... 403

Page 29: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

TABEL

Tabel Halaman

Tabel 4.2 Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Karo……….. 91

Page 30: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Model Penelitian…………………………………… …… 58

Gambar 3.1 Observasi Upacara Gendang Kematian…………………. 68

Gambar 3.2 Wawancara Upacara Gendang Kematian………………... 70

Gambar 4.1 Peta Sumatera dan Sumatera Utara……………………… 77

Gambar 4.2 Peta Kabupaten Karo…………………………………….. 80

Gambar 4.3 Rumah Adat Karo di Desa Dokan....................................... 88

Gambar 4.4 Kantor Bupati Kabupaten Karo........................................... 93

Gambar 4.5 Rakut Sitelu dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo. 97

Gambar 4.6 Aksara Karo........................................................................ 103

Gambar 4.7 Musik dan Tari Karo Sekitar Tahun 1900-an.................... 114

Gambar 5.1 Usungan Mayat................................................................... 156

Gambar 5.2 Usungan Mayat Pating-pating Lige-lige............................. 157

Gambar 5.3 Usungan Mayat Lante Empat Mbeka.................................. 158

Gambar 5.4 Usungan Mayat Tandu Sapo-sapo...................................... 159

Gambar 5.5 Usungan Mayat Tandu Kejeren.......................................... 160

Gambar 5.6 Pembakaran Mayat.............................................................. 163

Gambar 5.7 Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-tulan................... 168

Gambar 5.8 Repertoar Lagu Simelungen Rayat……………………….. 171

Gambar 5.9 Ensambel Gendang Lima Sendalanen................................. 172

Gambar 5.10 Instrumen Sarune................................................................. 173

Gambar 5.11 Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi. 176

Gambar 5.12 Instrumen Gung dan Penganak........................................... 178

Gambar 5.13 Landek/Menari dalam Upacara Gendang Kematian............ 181

Gambar 5.14 Nuri-nuri pada Upacara Gendang Kematian....................... 183

Gambar 5.15 Ngandung/Meratap pada Upacara Gendang Kematian....... 185

Page 31: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.16 Rende atau Bernyanyi pada Upacara Gendang Kematian.... 188

Gambar 5.17 Organ Tunggal/Kibod pada Upacara Gendang Kematian… 191

Gambar 5.18 Trompet/Ensambel Tiup pada Upacara Gendang Kematian. 193

Gambar 7.1 Bagian-bagian Sarune…………………………………….. 268

Gambar 7.2 Gendang Singindungi dan Singanaki……………………... 273

Gambar 7.3 Melodi Sarune dalam Upacara Gendang Kematian………. 286

Gambar 7.4 Ritmis Gendang Singanaki……………………………….. 288

Gambar 7.5 Ritmis Gendang Singindungi……………………………... 289

Gambar 7.6 Ritmis Gung dan Penganak………………………………. 291

Gambar 7.7 Landek dalam Gendang Guro-Guro Aron………………… 294

Gambar 7.8 Landek dalam Upacara Gendang Kematian……………….. 297

Page 32: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Daftar Informan………………………………………….. 396

Lampiran 2 Pedoman Wawancara……………………………………. 399

Lampiran 3 Peta wilayah Penelitian………………………………….. 402

Lampiran 4 Daftar Foto………………………………………………. 403

Page 33: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

GLOSARIUM

aerofon : golongan instrumen musik yang menggunakan sumber bunyi

aero atau udara. Istilah untuk bagian alat musik tiup dengan

hawa atau udara sebagai sumber suaranya. Misalnya, sarune

pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sedalanen

pada upacara gendang kematian.

anak beru : pihak yang mengambil istri dari sebuah keluarga tertentu

untuk diperistri.

begu : masyarakat Karo percaya bahwa ―tendi” (roh) orang yang

telah meninggal masih dapat, baik memberikan

pertolongan maupun mengganggu manusia, yang masih

hidup dalam bentuk ― begu”.

belo kinapur : kapur sirih.

bere-bere : merga dari keluarga ibu.

beru : merga yang disandang di belakang nama seorang

perempuan.

beru dayang : sosok wanita yang diyakini ada di bulan dan wujudnya

ditampakkan melalui pelangi.

beru puhun : anak perempuan dari kalimbubu ayah.

beru singumban : anak perempuan dari kalimbubu anak.

birawan : orang yang sedang sakit karena terkejut dan diyakini oleh

masyarakat sebagai akibat adanya sapaan oleh makhluk

halus.

buk mulih ku ijuk : rambut menjadi ijuk.

cimpa : sejenis kue atau makanan yang terbuat dari tepung terigu.

dagangen : kain putih yang biasa digunakan, baik untuk menutup

maupun membungkus mayat.

dareh mulih ku lau : darah yang berubah menjadi air.

Page 34: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dibata si la idah : Tuhan yang tidak kelihatan, disebut dengan Dibata kaci-kaci

yang mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas

(Guru batara), dunia tengah (Padukah ni aji), dan dunia

bawah (Banua koling).

Dibata si idah : Tuhan yang kelihatan, yaitu kalimbubu yang merupakan

unsur terhormat atau golongan yang disegani. Orang yang

menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak

rezeki dan kesehatan. Oleh karena itu, ia disebut dibata si

idah.

didong doah : nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby).

endek : gerakan tari yang dilakukan dengan menekuk lutut.

erpangir kulau : komunikasi transendental dalam hubungan komunikasi

antara manusia dan roh gaib dengan menggunakan seorang

dukun sebagai mediatornya. Adapun tujuan seseorang /

keluarga tertentu melaksanakan ritual erpangir ku lau ini

adalah untuk menemukan dan dapat berkomunikasi dengan

kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, terutama

yang berkaitan dengan penyembuhan suatu penyakit,

membuang sial di badan, menabalkan seseorang menjadi

guru, dan membersihkan diri dari yang kotor.

erturang : antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ber merga

yang sama.

ertutur : berkenalan untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.

gbkp : Gereja Batak Karo Protestan

gendang : biasanya pengertian kata gendang tergantung dari kata yang

mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata

gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu,

(2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung

arti nama sebuah lagu, (3) gendang singindungi atau

gendang singanaki, kata gendang menunjukkan salah satu

jenis alat musik, (4) gendang kematian atau gendang nurun,

kata gendang menjadi suatu upacara.

Page 35: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

gendang kibod : sebutan atau istilah lazim diucapkan oleh masyarakat Karo

terhadap jenis irama yang diprogram secara khusus di dalam

keyboard, pada upacara kematian.

gung : instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis

konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen pada

upacara gendang kematian.

guro-guro Aron : sebuah upacara tradisi yang dilakukan oleh muda-mudi di

setiap kuta (desa) yang dilaksanakan setiap tahun sebagai

ungkapan rasa gembira dan rasa syukur kepada Dibata atas

keberhasilan mereka.

guru : orang yang dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat

mengobati penyakit dan sekaligus sebagai peramal.

ideofon : instrumen musik yang sumber bunyinya berupa badan alat

musik itu sendiri. Misalnya gung dan penganak.

io-io : nyanyian yang mengandung ungkapan rasa rindu.

jambur : sejenis aula besar sebagai tempat upacara, baik perkawinan,

kematian dilaksanakan.

jinujung : makhluk halus yang dipunyai seseorang yang memberikan

keahlian dan kelebihan pada seseorang itu dan

mengucapkan melalui mang-mang dan mantra-mantra.

jukut mulih kutaneh : daging berubah menjadi tanah.

jungut-jungut : iringan sarune ketika seorang bernyanyi, nuri-nuri, dan

ngandung pada upacara gendang kematian.

kade-kade : kerabat yang terdapat dalam sistem kemasyarakatan.

kalimbubu : pihak keluarga senina pemberi istri.

kalimbubu dareh : saudara laki-laki dari ibu kandung, bagi seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang tidak/belum menikah.

Perempuan menikah kalimbubu dareh nya, yaitu ayah atau

saudaranya.

katika : hari dalam kalender Karo.

Page 36: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

katoneng-katoneng : musik vokal etnik Karo yang memiliki garis melodi baku,

tetapi lirik atau teks lagu tersebut senantiasa berubah dan

disesuaikan dengan satu konteks upacara.

kerja tahun : pesta tahunan yang diadakan setiap tahun di sebuah desa

dataran tinggi Karo.

kesah jadi angin : napas menjadi angin.

keteng-keteng : instrumen musik Karo yang terbuat dari bambu, yang

berfungsi sebagai pembawa ritem dimaikan dengan cara

dipukul.

landek : menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.

Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari

Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek

hiburan.

lau meciho : air jernih (suci) yang digunakan pada upacara penguburan.

mang-mang : sejenis nyanyian yang terdapat pada masyarakat Karo. Orang

yang menyajikan mangmang adalah dukun (guru sibaso).

Guru Sibaso menyajikan mangmang pada masa

menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi,

tanpa iringan musik. Terdapat dua jenis upacara ritual

sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau

(upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara

ritual memanggil roh manusia).

membranofon : instrumen musik yang sumber bunyinya berupa membran

atau selaput kulit. Misalnya, gendang singindungi dan

gendang singanaki.

mengket jabu : upacara memasuki rumah baru.

merga silima : ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo, yaitu

merga Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan

Perangin-angin. Kelima merga ini disebut merga silima.

morah-morah : utang adat bagi orang yang meninggal untuk diberikan

kepada kalimbubunya.

Page 37: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

narsarken rimah : perjamuan makan sesuai dengan kemampuan dan menari

berganti-ganti menurut adat yang berlaku, sebagai suatu

pemberitahuan kepada sukut bahwa kerabat yang datang

dari tempat jauh akan pulang.

nendung : aktivitas seorang dukun dalam meramalkan sesuatu atau

seseorang yang hilang atau pergi tanpa memberi tahu ke

mana kepergiannya.

nereh-empo : berasal dari dua pihak, yaitu nereh dari pihak perempuan

dan empo dari pihak laki-laki, yang dilanjutkan pada

upacara perkawinan.

ngandung : pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung

dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban

yang harus dilakukan pihak kelompok yang punya kerja.

ngarkari : upacara pemutusan hubungan dengan orang yang meninggal.

ngerana : memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang

mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang

turut serta dalam upacara tersebut.

nuri-nuri : kata-kata yang diutarakan pada upacara gendang kematian

yang berisikan kata pengapul (kata hiburan, ajaran, dan

nasihat)

odak : gerakan tari, baik ketika melangkah maju dan mundur

maupun serong ke kiri dan ke kanan.

ole : goyangan atau ayunan badan saat menari.

patam-patam : repertoar lagu yang bertempo cepat, baik dalam tarian muda-

mudi maupun upacara ritual.

pating-pating : usungan atau tandu yang digunakan untuk membawa mayat

ke kuburan.

pasu-pasu : berkat atau pemberkatan.

pendawanen : tempat penguburan umum.

Page 38: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

penganak : instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis

konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen yang

digunakan pada upacara gendang kematian.

penggual : pamanggilan terhadap pemain musik gendang lima

sendalanen.

perkade-kaden : kekerabatan dalam masyarakat.

perkolong-kolong : sebutan kepada penyanyi yang dipanggil pada upacara

gendang kematian untuk menyampaikan nasihat,

penghormatan, pujian, doa, harapan, dan sebagainya.

perumah begu : menghindari hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat

Karo dengan melakukan upacara pemanggilan roh-roh

manusia yang sudah mati.

puang kalimbubu : kalimbubu dari kalimbubu seseorang, baik dari pihak ibu

maupun pihak ayah.

rakut sitelu : kelengkapan lembaga sosial kemasyarakatan yang terdiri atas

tiga kelompok, yaitu senina, kalimbubu dan anak beru.

raron : sekelompok orang yang bertetangga atau yang berkerabat

secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya

dengan cara bergiliran.

rende : pada mulanya rende (vokal) disebut didong-didong yang

digunakan untuk menyampaikan doa atau memuja

seseorang, menidurkan anak. Lalu didong-didong kemudian

berkembang menjadi lagu. Lagu adalah sebuah nyanyian

yang dinyanyikan oleh seorang perende-rende, kemudian

perende-rende dikenal dengan permangga-mangga dan kini

berubah menjadi perkolong-kolong.

rengget : cengkok (kekhasan) yang terdapat dalam melodi gendang

Karo, baik dalan instrumen maupun dalam vokal/nyanyian.

rubia-rubia : jenis makhluk bergerak di luar diri manusia.

sangkep nggeluh : pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh

senina, anak beru, dan kalimbubu-nya. Dalam

melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan,

Page 39: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap

nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut

dalam upacara tersebut.

sarune : instrumen musik (aerofon) yang berfungsi sebagai pembawa

melodi dalan upacara gendang kematian.

senina : mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau

submerga yang sama. Sekalipun tidak dalam satu merga,

biasanya masih dalam satu induk merga.

sierjabaten : pemain musik atau gendang dalam sebuah ensambel yang

berfungsi sebagai pengiring dalam upacara gendang

kematian masyarakat Karo.

sukut : adalah orang yang berhajatan dan orang tuanya, dalam acara

adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak laki-

laki dari yang meninggal (keluarga dari orang yang

meninggal). Atau dalam acara memasuki rumah baru

(mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.

tabas : mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru (dukun) dalam

pengobatan tradisional.

tangis-tangis : nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan

seseorang.

tendi jadi begu : roh yang berubah menjadi hantu.

trompet : ensambel tiup yang digunakan dalam upacara gendang

kematian dikenal dengan sebutan trompet.

tutur siwaluh : merupakan konsep kekerabatan etnik Karo yang terdiri atas

delapan golongan, yaitu puang kalimbubu, kalimbubu,

sembuyak, senina, senina sipemeren, senina

siparibanen/sipengalon, anak beru, dan anak beru minteri.

Page 40: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertemuan antara suatu budaya dan budaya yang lainnya tidak selalu

berproses seimbang. Dalam perkembangan peradaban saat ini nilai-nilai universal

yang diemban oleh kebudayaan Barat sering kali menggeser nilai-nilai di

kebudayaan Timur. Pengaruh budaya global yang sering diasosiasikan dengan

modernitas dan rasionalitas secara tak sadar telah mengubah posisi suatu produk

kebudayaan tradisional etnik tertentu. Hal ini juga terjadi di kebudayaan Indonesia.

Salah satu di antaranya adalah komunitas etnik Karo dengan berbagai sistem nilai

dan pranata hidup yang bersumber dari spiritualitas yang sakral berubah menjadi

spiritualitas sekularisasi. Esensi spiritualitas masyarakat tradisi tentunya terkait

dengan pemaknaan masyarakat tersebut pada kosmosnya yang terwujud dalam

ritual-ritual adat. Ritual upacara gendang kematian yang menjadi representasi

spiritualitas etnik Karo berangsur-angsur berubah dan mengalamai degradasi

sebagai akibat dari masuknya unsur-unsur budaya modern.

Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi,

tetapi juga dengan berbagai aspek kehidupan. Saat ini dengan majunya teknologi,

komunikasi, dan informasi, dunia tidak lagi memiliki batas jarak dan waktu. Di

satu sisi globalisasi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan,

tetapi di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang cukup signifikan pada aspek-

Page 41: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai

budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan,

seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun

sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas

masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang

menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung

ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya

etnik setempat.

Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan

baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait

dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang

dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami

perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui

penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan

postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada

sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini

terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker,

2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktik-

praktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan

kebudayaan tradisi yang ada.

Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam

dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik

Page 42: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

akan ‖keselamatan diri‖ lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap

ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan,

dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti

yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan

karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai

postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk

dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga

batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme

tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi

sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa

etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis

terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini.

Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata,

menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam

suatu masyarakat yang berpikir kritis terhadap dinamika perkembangannya.

Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah

masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak.

Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli

kita. Bahkan, jika dilihat lebih lanjut, kita pun telah menjadi penerima adat

istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi

yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108--109). Etnik Karo sebagai bagian dari

Page 43: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus

modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.

Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan

karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang

tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini

mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010)

mengatakan sebagai berikut.

Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang

mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para

seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan

realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu,

sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas

dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat

Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin

mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus

mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010:

251 & 312).

Pandangan Danesi ini menunjukkan bahwa seni postmodern merupakan

salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan

sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya.

Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara

kritis melihat terjadinya pergeseran identitas dalam diri kesenian mereka. Hal ini

diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti

berikut.

Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya

seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan

kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan,

dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang

Page 44: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

makhluk-makhluk spiritual yang mencari penjelasan mengenai alam

semesta. Sementara sains mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban

atas makna hidup melalui perpaduan pemikiran imajinatif dan logis, seni

menyelidiki makna hidup melalui emosi. Inilah mengapa pengalaman akan

seni disebut pengalaman estetis dan pengalaman akan sains disebut

pengalaman intelektual. Namun, salah jika jenis kedua penyelidikan ini

dilihat sebagai kategori yang berbeda. Keduanya digunakan oleh manusia

untuk meyelidiki pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis sehingga seni dapat

menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari

pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai

keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, spiritualitas menjadi penting

untuk dipertahankan, baik dalam seni postmodern maupun arus globalisasi

kebudayaan dan kapitalisme saat ini.

Pada masyarakat modern saat ini spiritualitas sering diasosiasikan dengan

hal-hal berbau mistis, gaib, irasional, tidak terukur, tidak empirik, dan tidak wajar.

Padahal, menurut kamus Oxford Dictionary of Advanced Learners, spirit—yang

merupakan akar kata dari spiritualitas—memiliki beberapa pengertian, seperti

soul, demon, dan magic. Beberapa teoretikus kajian budaya bahkan menganggap

seperti dibawah ini.

Spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak

kasat mata, intangible, namun bisa dirasakan eksistensinya. Dalam konteks

jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai dan kualitas di balik

sosok atau perwujudan suatu benda atau objek. (Darmawan dalam Adlin

(ed), 2007: 144). Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-

nilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15).

Jadi, pada dasarnya spiritualitas memiliki makna-makna yang terwujud dalam

penanda benda-benda produk kebudayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh

Page 45: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

suatu produk kebudayaan akan selalu terikat pada petanda-petanda

kebudayaannya. Penanda dan petanda merupakan perwujudan spiritualitas dan

meterialitas suatu masyarakat.

Perwujudan nilai-nilai spiritualitas ini pada masyarakat kontemporer

mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Absurditas penanda dan petanda

terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai

tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau

petanda, bahkan makna menjadi banal. Misalnya yang sudah diutarakan Yasraf

bahwa realitas yang suci bercampur aduk dengan yang profan sehingga

mengaburkan nilai-nilai yang dikandung sebelumnya. Hal inilah yang terjadi

dalam realitas budaya tradisi lisan masyarakat saat ini.

Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur

masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern dan yang

modern telah menjadi postmodern. Terdapat kategori-kategori dalam menentukan

struktur masyarakat ini. Masyarakat tradisional sering diasosiasikan dengan

masyarakat pramodern. Hal ini dikatakan oleh Griffin seperti berikut.

Masyarakat klasik pramodern tidak berorientasi pada profesionalisme,

melainkan pada otoritarianisme. Organisasinya memiliki bentuk tatanan

piramidal, perluasannya dalam waktu terbentuk tradisi siklis, dan kendali

kekuasaannya bersifat absolut. Pengabdian religius adalah legitimasinya.

Hal-hal itulah yang ditentang kaum modernis (Griffin, 2005: 75).

Kategori masyarakat tradisional yang diutarakan oleh Holland (2005) juga

kemudian turut menjelaskan kategori masyarakat modern dan postmodern seperti

di bawah ini.

Page 46: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Masyarakat modern — dan sampai pada titik tertentu juga organisasi-

organisasi religius — berorientasi pada profesionalisme. Bentuk

organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu

terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat

manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas

condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena

berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk

organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu

terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik.

Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial

dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi

sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed),

2005: 75).

Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di

dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara

spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di

tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilai-

nilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut.

Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat

dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu

pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas;

postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur

dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas

postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan

masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap

memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia

modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur

modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia

oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah

sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah

ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).

Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali

nilai-nilai tradisional secara kritis menelusuri tahap-tahap perkembangan

masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini

Page 47: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis

untuk meninjau realitas tersebut.

Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan

alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan

lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam

masyarakat mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan

masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau

panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu

mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari

sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud. Menurut

Liembeng (2007: 17) orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain

sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk

lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia.

Oleh sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga

keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan

makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan

spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo.

Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan

jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup

dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan

keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi

begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika

Page 48: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam

hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari

ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi

hantu.

Liembeng (2007: 31) memaparkan filsafat dalam ungkapan keseharian

etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian. Ungkapan

lainnya, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh,

tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk,

darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi

batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa

eksistensi masyarakat Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka.

Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai satu kesatuan

menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam. Manusia adalah

bagian dari alam, bukan sebaliknya.

Upacara gendang kematian menjadi penting dalam kosmologi etnik Karo

karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati. Tarigan (1988: 37)

menganggap bahwa masyarakat Karo sangat percaya pada kehidupan baru

pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih

berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Bahkan, upacara

gendang kematian yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi

keluarga yang masih hidup.

Page 49: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gendang kematian merupakan salah satu ritual kematian yang terdapat

pada masyarakat Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang

merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur

(peristiwa), yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nuri-

nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Salah satu

peranan gendang lima sendalanen sebagai iringan musik dan tari dalam gendang

kematian adalah sebagai ”perekat‖ semua unsur upacara. Gendang lima

sendalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai

pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal (Ginting,

2012: 7).

Sejatinya filsafat hidup suatu masyarakat tidak hanya diwujudkan dalam

ungkapan-ungkapan keseharian. Kehadiran filsafat hidup tersebut akan sangat

terasa dari bagaimana suatu masyarakat memaknai kematian yang tampak dalam

ritual upacara kematiannya. Gendang kematian merupakan perwujudan dari

bersatunya kembali manusia dengan alam seperti yang diutarakan dalan ungkapan

kesehariannya. Namun, etnik Karo seperti etnik lainnya tidaklah hidup dalam

ruang hampa karena ada kehadiran spiritualitas lain yang dapat dikatakan sebagai

spiritualitas sekularisme, kosmologi global, dan modernisasi bersama dengan

datangnya globalisasi. Gendang kematian seolah-olah menjadi arena kontestasi,

pertempuran, persengkataan, persilangan, dan perselisihan budaya.

Secara simbolis gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas

kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsurnya, seperti instrumen yang

Page 50: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Gendang lima

sendalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun

silam hingga kini. Namun, penggunaan gendang lima sendalanen mengalami

degradasi pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu digunakan instrumen

tradisional, seperti sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), dan

gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau

keyboard (Ginting, 2012: 8).

Pergeseran instrumen ini disebabkan oleh adanya konstruksi binerisme

masyarakat yang melihat sebuah budaya pada tataran baik dan buruk, sakral dan

sekuler, bahkan beradab dan primitif. Konstruksi binerisme tersebut dapat ditunda

dan dibongkar melalui teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques

Derrida. Begitu juga dengan upacara gendang kematian dalam keberlanjutannya

sarat dengan konstruksi binerisme. Secara historis, Raja Pa Mbelgah Purba, salah

seorang raja di Desa Kabanjahe tertarik masuk agama Kristen tetapi tidak

diperbolehkan memakai gendang karena dianggap sebagai suatu unsur kekafiran

yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen (Cooley, 1976: 5). Cara

pandang biner akan selalu memosisikan salah satu pihak menjadi terpinggir. Itulah

yang tampak pada penolakan gereja atas konsep spiritualitas Raja Pa Mbelgah

Purba.

Sekurang – kurangnya dalam dua dekade terakhir ini musik Karo telah

menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki

berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat tersebut cukup dimainkan oleh

Page 51: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seorang pemain untuk menghasilkan, baik musik combo (band) maupun orkestra

(big band). Bahkan, lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo

secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas

disebut dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai

musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti

telah mengamati dalam satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam

gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum

upacara adat perkawinan Karo berlangsung).

Lima tahun terakhir keyboard mulai merambah ke upacara gendang

kematian etnik Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi.

Kepraktisan penggunaan alat ini justru sebagai salah satu faktor yang mendorong

minat masyarakat menggunakan keyboard. Selain itu, penggunaan keyboard ini

juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan

oleh satu orang (player). Gendang lima sendalanen bagi etnik Karo, merupakan

prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, segala

unsur gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo

mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Pudarnya sistem kepercayaan ini

setidaknya mendorong perubahan dan pergeseran pada penggunaan alat-alat

tradisonal musik Karo menjadi alat musik modern berupa keyboard.

Memudarnya sistem kepercayaan asli etnik Karo juga tidak terlepas oleh

sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang

Esa. Makna sakral yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen

Page 52: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan terdegradasi menjadi makna

profan karena alat musik modern berupa keyboard mampu menirukan repertoar

gendang lima sendalanen. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat pemilik

pun semakin kehilangan tentang makna dari gendang lima sendalanen tersebut.

Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

dikhawatirkan tidak akan bertahan lama akibat dari degradasi tersebut, padahal di

dalamnya terkandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan dan

telah berlangsung berabad-abad.

Pada saat ini upacara gendang kematian masih menjadi arena bagi

pertempuran budaya-budaya. Keberadaan gendang keyboard di tengah-tengah

prosesi upacara gendang kematian menunjukkan adanya binerisme baru pada

konsep spiritualitas etnik Karo. Keyboard merupakan alat musik modern yang

hadir di luar konsep-konsep kosmologi Karo. Kemampuan keyboard sebagai alat

musik sarat dengan konstruksi modernisme yang memosisikan gendang lima

sendalanen di posisi sebaliknya sebagai alat musik tradisional. Padahal, menurut

seorang pakar musik Nusantara, Suka Hardjana (2003: 26), keyboard adalah

mesin, mesin adalah benda dan benda itu mati. Oleh karena itu, konstruksi biner

gendang keyboard dan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian

bisa saja berujung pada matinya spiritualitas etnik Karo.

Ditinjau dari latar belakang filosofis, teoretik, dan empirik penelitian ini

menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan oleh etnik Karo merupakan bagian dari

masyarakat global saat ini yang sedang mengalami dinamika perubahan struktur

Page 53: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa spiritualitas merupakan bagian yang

penting dalam unsur-unsur suatu masyarakat dan untuk menjaga keseimbangan di

dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Peneliti melihat upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi merupakan unsur penanda spiritualitas

etnik Karo. Dengan demikian, keberadaan petanda menjadi penting untuk

ditelusuri.

1.2 Rumusan Masalah

Keberadaan salah satu unsur dalam upacara gendang kematian, yaitu

gendang lima sendalanen tidak bertahan hingga kini tentu tidak terlepas dari

berbagai faktor yang memengaruhinya. Sistem kebudayaan yang berlangsung

dalam kehidupan etnik Karo menyiratkan sejumlah pesan dan simbol yang

menarik untuk dimaknai. Namun, sejauh mana semua struktur upacara tradisi

tersebut, dapat dipahami dengan mengemukakan rumusan masalah sebagai

indikator kajian pada penelitian ini. Oleh sebab itu, pertanyaan yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi?

2. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi?

3. Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi?

Page 54: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum

bertujuan mengungkapkan fenomena yang berkaitan dengan spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian dilakukan dengan

tujuan memberikan pemahaman, kesadaran, dan upaya pembinaan. Selain itu, juga

untuk memahami nilai-nilai kehidupan tradisi lisan sebagai kearifan lokal yang ada

untuk seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus bagi etnik Karo, yang terkait

dengan spiritualitas upacara gendang kematian.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan

jawaban atas pertanyaan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yaitu

sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bagaimana wujud spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi

2. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi wujud spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

3. Untuk menginterpretasi makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

Page 55: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis

maupun manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan seperti di bawah ini.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan

kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya,

terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan

wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya, tetapi juga secara

meluas dan bersifat multidisipliner. Manfaat lainnya dapat dijadikan acuan bagi

calon peneliti lain yang tertarik dengan upacara gendang kematian etnik Karo,

terutama dalam melakukan penelitian yang sejenis dengan topik, perspektif, dan

permasalahan yang berbeda.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan ruang bagi

eksisnya gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian karena hal

tersebut dapat memperkuat identitas etnik Karo dan kebudayaannya. Di samping

itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi etnik Karo ataupun etnik lainnya

untuk menambah pengetahuan tentang nilai-nilai tradisi lisan sebagai sebuah

kearifan lokal yang masih terdapat dalam kehidupan etnik Karo.

Page 56: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dalam perspektif kajian budaya dan kajian tradisi lisan, penelitian ini

merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses pemahaman,

pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki

kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan

sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat dalam hal

spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah

dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.

Page 57: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari

perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi

lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur

termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan

ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas

dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen

sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman.

Penelitian ini mencoba untuk memahami berkembangnya fenomena

upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan

pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3)

makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian

lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-hasil penelitian

terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan pustaka-pustaka yang

Page 58: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa masalah-masalah penelitian

yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para peneliti/ penulis terdahulu.

Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten Tarigan

dalam tesisnya berjudul ― Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisi Karo

Sumatera Utara‖ (2004) pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana

Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup perubahan alat

musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), perkawinan (nereh-

empo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu). Dalam penelitian itu,

Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan pengaruhnya terhadap

adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori akulturasi, sebagai proses

kebudayaan yaitu terjadi ‖peningkatan keserupaan‖ antara dua kebudayaan dari

Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana cara teknologi sebagai

pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori fungsi musik tentang

hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari Merriam. Penelitian ini sangat

relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena membahas perubahan alat musik

dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan salah satu permasalahan yang

dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah Tarigan seolah-olah merayakan

pengaruh globalisasi dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron),

sedangkan penelitian ini menangguhkan atau menunda makna untuk menemukan

makna baru dalam konteks upacara gendang kematian.

Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian yang

diberi judul ―Utang Adat Kematian dalam Adat Karo‖. Penelitian ini menguraikan

Page 59: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo yang tersirat dalam

nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa dagangen (kain kafan)

yang berwarna putih untuk yang meninggal dan keperluan hidup sehari-hari

kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras dan ayam. Panelitian ini

memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan jenis barang yang

digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain disertasi ini meneliti

musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang ―Gendang Kematian dan

Kematian Gendang pada Masyarakat Karo‖ disampaikan pada Seminar

Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat

dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi. Makalah ini

menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian yang terdapat

pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang

merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen (musik), (2) landek

(tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5) rende (nyanyian). Salah

satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang kematian, gendang lima

sendalanen sebagai iringan musik pada upacara gendang kematian sebagai

”perekat‖ dari semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen digunakan

sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara simbolis Gendang lima

sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai

unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga

Page 60: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima sendalanen mengalami

pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu menggunakan instrumen

tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun

gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau

keyboard. Makalah ini adalah sebagai awal untuk penelitian disertasi ini.

Persamaan penelitian dengan disertasi ini yaitu memaknai upacara gendang

kematian etnik Karo secara denotatif sedangkan disertasi ini melihat fenomena

secara konotatif.

Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul ―The Anthropology of

Music‖, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik, yaitu

(1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4)

perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) norma-norma

sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10)

pengintegrasian masyarakat. Fungsi (function) dan penggunaan (use) adalah

merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini

menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik tetapi lebih

dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan bagaimana

implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan bahwa musik

rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya dan musik tanpa

teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam musik bukan suatu

bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja, karena setiap jenis musik

lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya. Dalam

Page 61: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

beberapa hal, musik merupakan simbol dari aspek kehidupan dan organisasi sosial

masyarakat pendukungnya. Dari fungsi dan kegunaan musik yang di tawarkan

oleh Merriam dalam buku ini, sangat membantu penulis untuk menelaah makna

secara konotatif dan memberikan peluang tentang strategi pewarisan upacara

gendang kematian etnik Karo dari makna yang telah tergali.

Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini dirangkai

dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul ―Adat Karo‖.

Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan kesenian Karo. Selain

itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan. Pembahasan tentang kesenian

lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari dan musik untuk kebutuhan

upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih difokuskan pada bidang deskripsi

adat istiadat, cukup memberikan wawasan dalam penyusunan disertasi ini.

Informasi penting dalam penelitian yang relevan dengan penyusunan disertasi ini

adalah uraian mengenai berbagai jenis upacara kematian pada masyarakat Karo.

Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya ―Kinship, Descent, and

Alliance Among the Karo Batak‖ meneliti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan

pada masyarakat Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang penting yang

terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Dalam

buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah adat dalam sistem

kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan penyelenggaraan ritual-ritual.

Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian ini dapat digunakan untuk

menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang kematian etnik Karo.

Page 62: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai berhubungan dengan

sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memaknai unsur-

unsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian dengan sistem kekerabatan

sangkep nggeluh.

Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk

memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul ‖Mangmang:

Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di

Sumatra Utara.‖ Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis nyanyian yang

terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah bomoh.

Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu

dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks

penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan

raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya menjalankan kedua

upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik Karo. Penelitian ini

memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat dengan kesenian,

khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu dalam penyusunan

disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai etnomusikologi dan jenis-jenis

seni di luar konteks gendang kematian. Dengan demikian, penelitian ini relevan

digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini.

Pasaribu (2004) menulis buku ―Pluralitas Musik Etnik Batak Toba,

Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun‖. Buku ini berisi

karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti dan

Page 63: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan bahwa

semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas = pluralitas.

Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik pada suatu

tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait dengan

sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya dengan

penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti musik tradisi, kegunannya, sampai

perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan musik tradisi dan

spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti spiritualitas di balik ansambel

musik yang digunakan pada upacara ritual, khususnya upacara gendang kematian.

Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991) lebih memusatkan

perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan

masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang sangat

berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth memberikan

gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual tradisi Karo.

Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada upacara ritual

Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu untuk melacak

jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo.

Brahma Putro (1999) membahas tentang ―sejarah Karo dari zaman ke

zaman‖. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga

kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Karo

dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli Serdang,

Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun. Kehidupan

Page 64: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada penulis terkait

dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang ada di Tanah Tinggi

Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan penelitian penulis

tentang spiritualitas upacara gendang kematian.

J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul

―Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan‖. Neumann meneliti dan menerangkan

asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang terdapat pada

masyarakat Karo, yaitu merga Karo-karo, merga Ginting, merga Sembiring,

merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara menganalisis dongeng-

dongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan penelitian ini, Neumann

berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo adalah di Dataran Tinggi Karo.

Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo, kira-kira tiga abad yang lalu

dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain, seperti orang Batak dari daerah

Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi nenek moyang dari merga Karo-karo.

Kemudian ada juga migrasi ke daerah dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan

selatan yang menyebabkan terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo.

Terlepas benar atau tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan

inspirasi bagi penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang

terdapat pada gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian

penulis adalah berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan

merga-merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang

Page 65: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

lima sedalanen dalam upacara gendang kematian dengan sistem

kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya.

Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada

masyarakat Karo dengan judul “Seribu Perumpaman Karo‖. Buku ini membahas

perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu kelahiran, perkawinan,

dan kematian. Dalam upacara gendang kematian perumpaman tidak terlepas dari

pelaksanaannya. Buku ini memberikan informasi dan wawasan untuk menggali

makna yang ada pada perumpaman yang diungkapkan dalam upacara gendang

kematian. Perbedaannya, penelitian penulis tentang perumpaman dengan cara

dinyanyikan dan kecenderungannya sambil menangis/meratap.

Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya ‖Analisis Komunikasi

Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa

Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo‖ membahas tentang spiritualitas

yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran utama tesis ini

untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat upacara ritual

erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan tradisi tersebut

melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat pendukung

kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi transendental dengan

roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob King memberikan

informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara ritual erpangir ku Lau

pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah

dalam meneliti menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya adalah penelitian

Page 66: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi gendang pada upacara, sedangkan

penelitian penulis menggali sampai sedalam-dalamnya.

Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul ―Gondrang

Simalungun‖ membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun.

Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks historis,

dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen juga

memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat Simalungun.

Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada masa depan masih

belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan ketertarikan di kalangan

masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi pada

penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran kelangsungan tradisi musik

gendang lima sendalanen pada etnik Karo. Persamaan penelitian ini dengan

penelitian penulis adalah menguraikan peran ensambel musik pada masyarakat.

Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak hanya menganalisis peran ensambel,

tetapi juga mencari makna yang implisit dari materi yang menghasilkan wujud

ensambel tersebut.

Sembiring (2010) mengadakan penelitian berjudul ―Ambivalensi

Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera

Utara‖. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan dengan

kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi sejak awal

perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam, orang Karo

memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang ditawarkan pihak

Page 67: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang tidak mudah, terjadi

sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap kristenisasi. Esai ini

memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian penulis yang terkait dengan

gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di desa tertarik

dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen dan dibaptis.

Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai orang

Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu ‖tidak boleh!!‖.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama melihat

pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo dari sisi kekristenan. Perbedaannya,

Sembiring meneliti perubahan keyakinan melalui kristenisasi sedangkan penelitian

penulis melihat perubahan musik dan spiritualitas upacara gendang kematian dari

sudut kristenisasi, industri budaya yang ditandai dengan komodifikasi.

Buku ―Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo‖ yang ditulis A.G.

Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo yang

terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-alat musik.

Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat musik yang

terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan penelitian penulis

hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan perbedaaanya adalah

penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan spiritualitas materi yang

memproduksi bunyi tersebut.

Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan,

informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian pustaka

Page 68: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara gendang kematian

etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis

yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang positif dalam rangka

melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik Karo. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kajian budaya dan kajian tradisi

lisan yang difokuskan pada wujud, faktor-faktor, dan makna serta strategi

pewarisan yang dimunculkan upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi. Di samping ada persamaan dengan kajian pustaka di atas juga jelas

perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan.

2.2 Konsep

Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian

sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai

sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan empat

satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas, upacara

gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi

2.2.1 Spiritualitas

Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa

pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu kepada

kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan

Page 69: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial,

seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, kesudian,

dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik (Bagus,

2002: 1034).

Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia.

Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang

imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral. Antusiasme

itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang membentuk

dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun kehidupannya. Melalui

bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk bermanifestasi dalam

kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi).

Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir semua

hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini tampaknya

hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal yang lain.

”The concept of spirituality is load with complex and different meanings; it is

used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting,

literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology,

esoteric knowledge, et cetera” (Darmawan dalam Adlin (ed.), 2007: 145).

Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa agama,

tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa spiritualitas. Kita

dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan mempunyai teologi

yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah spiritualitas sebagai

pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh absoluts di sini dan kini, serta

Page 70: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang mengubah cara saya menjalani hidup di

dunia ini.

Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadi

bagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, saya

bertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagian

dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya. Kita

semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar

ini (Capra, 1999: 22).

Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah

ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius

tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk menunjuk

pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang

tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap

nilai-nilai dan makna tersebut.

Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat

dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas

(spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas

asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun begitu,

spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan

masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki

dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat

postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme, dan

nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan

Page 71: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi

masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).

Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan

luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau

kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman

nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah ‖tuan segala

ciptaan‖ yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa

manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab

itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya

digabungkan perhatian pada ekologi dengan perhatian khusus pada kesejahtraan

manusia (Griffin, 2005: 33).

Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang melihat

objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas fisik objek

yang dilihat sehingga ia dapat mencerap muatan-muatan nonfisiknya, seperti

pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada dasarnya bukan semata-

mata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun, muatan (content) di dalam

objek visual yang memungkinkan hubungan antara melihat, objek visual, dan

kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi jiwa atau muatan spiritualitas

objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan nonfisik sebuah objek visual inilah

yang kemudian dapat menimbulkan satu wujud kepercayaan (Darmawan dalam

Adlin (ed), 2007: 144).

Page 72: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari

proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan

diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut

memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi (Darmawan dalam

Adlin (ed), 2007: 148).

Piliang mengemukakan bahwa posmodernisme lebih cenderung

mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang spirit

dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang bersumber

dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali dimensi-

dimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-spirit masa

lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep yang sangat

penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas posmodern (Piliang,

2004: 256).

2.2.2 Upacara Gendang Kematian

Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya

dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti

kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah suatu

kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebiasaan

yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280).

Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat

dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga menghasilkan bunyi sebagai

Page 73: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo pengertian

gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam pengertian secara

umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian.

Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga berarti nama repertoar

sebuah lagu ataupun alat musik tertentu. Biasanya pengertian kata gendang

tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen,

kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang

simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang

indung, kata gendang menunjukkan salah satu jenis alat musik, (4) gendang guro-

goro atau gendang kematian kata gendang menjadi suatu upacara.

Kematian berasal dari kata ‖mati‖ atau ‖maut‖ yang artinya tidak ada,

gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani,

serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata ‖mati‖

memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain pengertian

mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan kehilangan total

roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3) terhentinya budi daya

manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56).

Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada di

Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih

hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah

meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa

dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik Karo sangat percaya pada

Page 74: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia

diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu.

Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut

terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak

mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang

dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih

hidup.

Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun

dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada

etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu

kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa) yang

merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek

(tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian).

Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen

lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam

khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan

dengan ‖alat musik‖, lima berarti ‖lima‖ dan sendalanen berarti ‖sejalan‖. Dengan

demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ‖lima buah

instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama‖.

Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang

terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3)

gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik dimainkan

Page 75: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain sarunei, penggual

untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki. Lebih spesifik lagi,

pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi dan pemain gendang

singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut

simalu penganak dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung. Ketika

mereka bermain musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan mereka menjadi

satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune

tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik,

sementara sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain

dalam suatu konteks upacara adat Karo.

Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.

Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua

bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang berhadap-

hadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal) dengan salah

satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Dalam landek

hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok sunguda-nguda (wanita)

dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan dengan berpasang-pasangan.

Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama, sedangkan dalam landek adat (upacara

kematian), tidak memperhatikan kesamaan jumlah kedua kelompok.

Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari

kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut

serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-

Page 76: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

nuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep nuri-nuri dalam konteks

gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang ditinggal,

tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang sedang diupacarai.

Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung

dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan

pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang nuri-nuri atau

ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat sambil ngandung.

Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang meninggal ketika

masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung.

Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang yang

bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng (teks lagu

yang dinyanyikan secara spontan) diiringi gendang lima sedalanen yang

dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolong-kolong

sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada kerabatnya.

Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.

2.2.3 Etnik Karo

Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian

bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut oleh

konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma budaya

lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1) suatu

kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama.

Page 77: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam

suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki bahasa

sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok yang lain;

(2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi di

antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama; (3) suatu

kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain (Liliweri,

2005: 11--12).

Karo merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera

Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba,

Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki

wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu

kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo

memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo.

Etnik Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem

kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut

dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama keluarga

ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang diwarisi

secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah),

tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan ibu. Hal ini terlihat

dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab selanjutnya. Untuk

memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak mau harus memahami

Page 78: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena dalam setiap pelaksanaan

adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.

Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau

keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu

nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian,

memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila

sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut

adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut

adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang

meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah

pemilik rumah baru tersebut.

2.2.4 Era Globalisasi

Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun waktu,

zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau global artinya

dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi fenomena oleh

sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam kajian budaya.

Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak pengertian dan konteks yang berbeda-

beda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan menjadi bahan pembicaraan

dalam ilmu-ilmu humaniora.

Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan berbagai

konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan dalam

Page 79: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negara—secara ekomomi—makin

pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses, bukan

suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang otonomis terjadi.

Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagai

interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang pada abad ke dua

puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101).

Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan

totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integral budaya

lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam

menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan

kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang ditandai oleh perbedaan-

perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang

berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai

dimensi kehidupan mengalamai redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas

yang menunjuukkan sifat relatif suatu praktik sosial (Abdullah, 2006: 107).

Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi adalah

gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya ‖kebudayaan dunia‖ di

berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai kita

semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia

(Barker, 2006: 115—116; Hoed, 2008: 102).

Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya

kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang

Page 80: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-bangsa.

Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi ‖atas‖ merupakan

transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi

ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya

menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman

budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan ‘kesamaan‘ dan dugaan akan

hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme

budaya (Barker, 2004: 117).

Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan

dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang

disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada

integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari

globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual,

termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa

sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3).

Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan diterima

begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita cenderung

menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu banyak

diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi menyediakan

konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan cakupan sumber

dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola gerakan penduduk

dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan tahun-tahun sesudahnya

Page 81: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi, khususnya komunikasi

elektronik memungkinkan semakin meningkatnya perbenturan, pertemuan, dan

percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206).

Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik

yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke

dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi

produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan penyempitan ruang

dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405).

Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami

suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh Hood

dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas kontak budaya

dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus berlanjut. Sentuhan

budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan budaya, tetapi juga

merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola kehidupam etnik

Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni bergeser dari sakral

menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual, seperti berlomba

mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang seharusnya dikejar. Hal ini

memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas etnik Karo itu sendiri.

2.3 Landasan Teori

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di

atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan

Page 82: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut merupakan landasan teori untuk

menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud, faktor-

faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi.

Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai

berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang

diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa

yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.

Ketiga, postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar

pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman

personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,

sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak

kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti:

disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan realitas.

Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang elite dan

bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core) masyarakat

modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi (periphery).

Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern mengemuka

untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang

telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan tetapi, dengan membuat

budaya barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme

sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi,

Page 83: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori posmodern dalam kajian budaya,

sesuai dengan perjuangan pendirinya di Inggris, seperti Hoggart dan Williams,

yaitu melawan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006:

138). Salah satu karakteristik teori kritis, teori posmodern, dan kajian budaya

adalah peningkatan kondisi kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan

sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan

emansipatoris (Lubis, 2006; Agger, 2006).

Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran

modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa

menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai

perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan pokok permasalahan wujud, faktor-

faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama

untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga tiga teori lainnya, yaitu

etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori pendukung.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang

merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat modern.

Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa modernisme

gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diinginkan oleh

pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori dan fakta dalam

Page 84: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenang-

wenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang

memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena

terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009: 248).

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan

intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku.

Dekonstruksi sering diartikan sebagai teori pembongkaran, perlucutan,

penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan

penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh dekonstruksi

adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan,

sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat

dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk memberikan arti

kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang diperhatikan, bahkan

diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251).

Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi (1993)

adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar,

menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi, ekonomi,

politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk) diterima

sebagai satu ‘kebenaran‘ sehingga tidak menyisakan ruang bagi pertanyaan,

gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian

direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih segar, lebih

Page 85: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi (Piliang, 2003:

116--117).

Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun

suatu teks dengan ―membongkar‖ teks-teks lain serta berupaya melebihi teks-teks

lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks-teks

lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa ―teks‖ atau tenunan merupakan

jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata ―teks‖ yang berasal dari kata latin

textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu yang ada

merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut Derrida kata

―teks‖ mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasanya dikenal

orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks

lain sehingga Derrida menemukan adanya intertekstualitas. Dikatakan pula oleh

Derrida bahwa menerjemahkan adalah mengganti teks satu dengan teks yang lain

dan terjemahan adalah transformasi (Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86).

Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur

pikiran, yakni kata ‖globalisasi‖ dengan ‖makna‖ yang seolah-olah sudah

dianggap ‖baku‖. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari tanda

merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri. Menurut

Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang

berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan ‖penundaan‖

hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang memungkinkan adanya

pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Hasil

Page 86: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah bahwa dekonstruksi

merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap individu atau

kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103).

Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi

atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan

sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke

belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective).

Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti

melalui proses dekonstruksi oposisi biner antara sakral/profan, transenden/imanen,

tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi merayakan permainan-

permainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya (Piliang, 2007: 173).

Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama karena

paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktor-faktor, dan

makna yang tersembunyi dalam spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain secara eklektif. Agar

kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka pemaknaan harus diulang

dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan dengan pembongkaran

sebagai proses secara terus-menerus. Melalui dekonstruksi akan diperoleh segala

sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian.

Page 87: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

2.3.2 Teori Etnomusikologi

Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris).

Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ”ethos”, ”mousike”,

dan ”logos” (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian

berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan logos

artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi ethnomusicology

atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa (Nakagawa, 2000: 1--2).

Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik

berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini

digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif

yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa

dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan

P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood (Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha,

2012: 41). Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan

penyelamatan musik-musik timur, musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi

lisan. Upaya penyelamatan itu dilakukan dengan mengedepankan isu-isu

konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol

universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem

musikal, dan dasar-dasar biologis musik.

Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior

kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih tinggi.

Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif, dan tidak

Page 88: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal

maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41).

Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang

selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang

menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik,

sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang

mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa

tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu

implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak

hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari materi

yang menghasilkan bunyi musik.

Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data,

menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik sasarannya.

Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori tentang musik

tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan narasumber dan

melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik tersebut,

menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan berpartisipasi dengan

kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah kemampuan musikal

diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan bermusik (bukan kegiatan

bermasyarakat seperti apa adanya) dan menggunakannya untuk keperluan

mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47; Liembeng, 2009: 30).

Page 89: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam

masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya.

Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati

akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain.

Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi

etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan dengan

masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu

dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan

utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-

unsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya masalah politik dan

seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan semata-mata struktur

musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait dengan teks dan konteks

(Nakagawa, 2000: 6).

Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu

keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks

biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,

melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan sebagainya.

Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis konteks atau

menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila meneliti musik

Sumatera dengan menganalisis strukturnya saja, itu bukan kegiatan

etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi ketika kita

Page 90: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menghubungkannya dengan unsur kebudayaan lain atau menghubungkan teks

dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7).

Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan

kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan

makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian ini

juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.

2.3.3 Teori Komodifikasi

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu

objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan permukaan

barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul komoditas yang berasal

dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan fetisisme komoditas. Lebih

jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan dengan produk kerja mereka

sendiri yang kini terpisah dari mereka menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14).

Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya

bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat

diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas yang

tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan barang-

barang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan produksi,

distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya, menurut Kaunang,

komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja, dengan

Page 91: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah komoditas belaka.

Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk yang siap dijual, mulai dari

benda-benda konkret sampai keabstrakan-keabstrakan yang tersembunyi, dari

kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh privat (Kaunang, 2010: 26).

Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja menunjuk

pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah merambat ke

bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat

kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum

komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan

industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa

dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam

penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat konsumen

memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model

konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena terjadi perubahan

mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu

produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera

pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya

populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang memengaruhinya, yaitu kekuasaan

kapital, produser, dan media massa (Piliang, 1999:246).

Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah

untuk menelaah rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang dikaitkan dengan

Page 92: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi penduduk asli, dan

kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global yang sedang

berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, upacara gendang

kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi barang dagangan

atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-elemen yang

berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan secara gotong

royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang

diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini tidak

terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,

yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Analisis dalam

penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori semiotik dan teori

lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.

2.3.4 Teori Semiotika

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure

(1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut

mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama

lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan

adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang

dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure didasarkan pada

anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna

atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya sistem pembedaan

Page 93: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada

sistem (Sumbo, 2008: 11--12).

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat

dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem.

Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang

ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk,

sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau

makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan

kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (Sumbo, 2008: 11--13;

Marianto, 2006:135--138).

Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain

dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang

oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda

baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui

interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri

penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat

ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem

tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukkan Pierce

terkenal dengan nama segi tiga semiotik (Sumbo, 2008: 13--14).

Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya

dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon

adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut

Page 94: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan

eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan

tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum

konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo, 2008: 14).

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat

bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda

dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung

tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai

kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya

intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama

banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda (Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15).

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam

tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini

dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan

ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh

dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat

pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya.

Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami

secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe perubahan pada

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan

oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam musik Karo.

Page 95: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

2.4 Model Penelitian

Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti

model penelitian berikut ini.

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan: : Menunjukkan hubungan saling memengaruhi

: Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan)

: Menunjukkan harapan/tujuan penelitian

- Kristenisasi

- Industri Budaya

- Media Elektronik

Spiritualitas Upacara

Gendang Kematian Etnik Karo

pada Era Globalisasi

Wujud Spiritualitas

Upacara

Gendang Kematian

Etnik Karo

Faktor-faktor yang

memengaruhi

Spiritualitas Upacara

Gendang Kematian

Etnik Karo

Makna Spiritualitas

dan Strategi Pewarisan

Upacara

Gendang Kematian

Etnik Karo

- Masyarakat Pendukung

- Kreativitas

Seniman/Budayawan

-

Penguatan

Spiritualitas Etnik Karo

Budaya Lokal Budaya Global

Page 96: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal saling

memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung

berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha

mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh

globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda

globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik

memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan makna

merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah upacara

kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual dalam berbagai

aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya dipengaruhi faktor-

faktor intern dan ekstern.

Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa dibendung

ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan sosial dan

budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal ke arus

budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru.

Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang kematian

disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus utama

kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya, dan media

elektronik merupakan agen budaya populer. Pengaruh faktor intern dengan

Page 97: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai pendukung budaya

gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan konstruksi identitas Karo.

Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan

persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk

menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud, yaitu

(1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi,

(2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan strategi pewarisan

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung

untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan

spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang

jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru

guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.

Page 98: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini dilakukan dengan tahapan pengumpulan data

yang dimulai dari studi pustaka, observasi, dan wawancara. Selanjutnya,

diinventarisasi dan diidentifikasi serta diolah dan dianalisis berdasarkan metode

kualitatif untuk menemukan jawaban permasalahan penelitian ini. Menurut Ratna

(2010: 84), metode penelitian dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk

memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian

sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah

sehingga lebih mudah dipecahkan dan dipahami.

Metode deskriptif digunakan untuk melihat sifat data penelitian, yaitu

aspek wujud, aspek faktor-faktor serta aspek makna spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di pihak lain metode kualitatif

digunakan saat pengambilan dan pembahasan data yang ditekankan pada aspek

kualitas data. Di samping itu, alasan lain pemakaian metode penelitian kualitatif

karena data yang diperoleh dari lapangan tidak terstruktur dan relatif banyak

sehingga dimungkinkan untuk ditata, dikritisi, dan diklasifikasikan.

Menurut Lubis (2006: 186), ‖cultural studies dan kajian budaya

kontemporer lebih tertarik menggunakan metode kualitatif dalam penelitiannya

(hermeneutika dan fenomenologi dengan variannya) karena metode ini

Page 99: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mempertimbangkan masalah, konteks budaya, ideologi, kepentingan, kuasa dalam

menjelaskan budaya dan maknanya. Metode hermeneutika dan fenomenologi

memungkinkan ‘deskripsi mendalam‘ dan ‘multiplisitas paradigma dan kerangka

konseptual‘ sesuai dengan pandangan kajian budaya kontemporer.‖

Karena wujud, faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memiliki dimensi yang

kompleks, seperti aspek musik, aspek gerak, bahasa, budaya, sosiologis, dan

historis. Oleh karena itu dalam menganalisis permasalahan yang tertuang dalam

rumusan masalah di atas, digunakan metode yang yang bersifat eklektif dengan

melakukan pendekatan teori-teori dekonstruksi, etnomusikologi, komodifikasi,

dan semiotika.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karo, yakni salah satu

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari tujuh belas Kecamatan, yaitu

Kecamatan Barus Jahe, Berastagi, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Laubaleng,

Mardingding, Merek, Payung, Simpang Empat, Tiga Binanga, Tiga Panah, Munte,

Tiganderket, Naman Teran, Dolat Rayat, dan Merdeka dipilih tiga kecamatan

sebagai lokasi penelitian. Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Barus Jahe

yaitu Desa Barusjahe, Kecamatan Tiga Panah yaitu Desa Seberaya dan Kecamatan

Tiga Binanga yaitu Desa Perbesi.

Page 100: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Kabupaten Karo dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan

sebagai tempat perubahan dan keberlanjutan upacara gendang kematian dan lokasi

yang memiliki kantong-kantong kebudayaan berupa sanggar seni, tokoh

masyarakat, seniman, yang terkait, baik dengan musik, tari, maupun rupa. Di

samping itu dianggap dapat mewakili tujuh belas kecamatan yang ada di

Kabupaten Karo berdasarkan letak geografis. Alasan lainnya, yaitu secara teknis

operasional peneliti berada di lokasi penelitian yang secara intensif memberikan

kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal ini berarti mempermudah peneliti

melakukan pengamatan, observasi langsung dengan mendatangi upacara gendang

kematian.

3.3 Jenis Data dan Sumber Data

Sebagai sebuah kajian budaya, sebagian bessar data dalam penelitian ini

mencakup jenis data kualitatif yang didukung pula oleh data kuantitatif. Data

kualitatif berupa narasi, uraian, kata-kata, dan ungkapan yang berkaitan dengan

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Sedangkan, data kuantitatif berupa angka-angka, penjumlahan, dan persentase.

Data kualitatif diperoleh dari observasi dan wawancara, sementara data kuantitatif

diperoleh dari dokumentasi, BPPS yang menyangkut jumlah penduduk, dan

komunitas berkesenian di Karo.

Para peneliti yang sungguh-sungguh serius, membagi sumber data menjadi

dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah

Page 101: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

manuskrip-manuskrip dan dokumen-dokumen asli yang disimpan serta

dilestarikan dalam tempat pengarsipan serta perpustakaan, surat-surat, catatan

harian, akte, dan dokumen-dokumen umum serta pribadi yang berhubungan

dengan objek penelitian. Di samping itu, peta dan benda-benda yang dapat diamati

seperti gambar atau barangkali foto juga dapat dimasukkan dalam kategori sumber

informasi primer. Sumber informasi sekunder dapat berupa hasil pengembangan

serta perbaikan dari sumber informasi primer yang telah dicetak, seperti surat-surat

dan jurnal penulis tertentu, peta wilayah tertentu, dan sebagainya. Karya-karya lain

yang dibuat berdasarkan sumber informasi primer dapat juga digolongkan sebagai

sumber informasi sekunder (Flon & Vidmar, 2007 : 27).

Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah

data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti yang berasal dari hasil

wawancara sejumlah informan. Data sekunder adalah data yang diolah oleh

peneliti yang diperoleh dari sejumlah tempat, kantor, dan lembaga, seperti

dokumen yang diproses berdasarkan keperluan dan analisis yang tepat. Data ini

juga dilengkapi dengan data stastistik, laporan arsip, artikel, foto, gambar, dan peta

untuk melengkapi data primer. Sehubungan dengan ini, Moleong (2005: 157)

menyatakan bahwa sumber data dapat berupa, foto, dokumen, dan koran.

Keseluruhan data tidak untuk memperoleh generalisasi temuan, tetapi lebih

mengarah pada penjelasan fenomena yang diteliti secara mendalam dan bermakna.

Page 102: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

3.4 Penentuan Informan

Penentuan informan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian

ini. Informan adalah orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap

informasi yang dibutuhkan dan dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman

yang memadai tentang berbagai hal yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan

penelitian. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa

jaringan, seperti informasi dari seniman dan budayawan yang ada di lokasi

penelitian yang dipilih secara selektif berdasarkan sejumlah kriteria tertentu.

Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah individu-individu yang berasal dari

organisasi-organisasi sosial, dan ketegori sosial yang sedang atau telah banyak

berperan secara langsung dalan upacara gendang kematian. Para akademisi yang

ada di jurusan etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, jurusan sendratasik

Universitas Negeri Medan, jurusan musik Universitas HKBP Nommensen, Taman

Budaya Sumatera Utara, dan tokoh-tokoh masyarakat atau budayawan yang

dianggap banyak mengetahui kehidupan dan perkembangan gendang kematian

etnik Karo.

Di samping itu, diperlukan informan lain, yaitu informan yang secara

legitimasi mempunyai wewenang untuk memberikan keterangan yang secara

umum diakui oleh masyarakat yang menganut atau mendukung upacara gendang

kematian tersebut. Terkait dengan hal tersebut dalam penelitian ini informan dapat

dikategorikan sebagai penggual (salah seorang pemain musik, baik gendang lima

sendalanen maupun gendang kibod), perkolong-kolong (salah seorang penyanyi),

Page 103: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

silandek (salah seorang yang menari), simbalu (suami atau istri yang meninggal),

dan singerunggui (protokol/ budayawan) pada upacara gendang kematian etnik

Karo.

3.5 Instrumen Penelitian

Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, instrumen utama adalah

peneliti sendiri. Menurut visi kualitatif kecanggihan teknologi belum mampu

menyamai kecanggihan manusia. Alasannya adalah gejala yang diungkap bukan

gejala yang tampak, melainkan justru yang ada di baliknya sebagai gejala yang

‘belum jelas‘. Selain itu objek ilmu sosial humaniora bukan benda, melainkan

manusia. Manusia harus didekati oleh manusia. Oleh karena itulah, instrumen

utama metode kualitatif adalah manusia, yaitu peneliti itu sendiri, sebagai human

instrument.

Peneliti sebagai human instrument dilengkapi dan didukung oleh pedoman

wawancara (interview guide), tape recorder, kamera, dan catatan. Pedoman

wawancara dengan daftar pertanyaan terbuka dapat diarahkan ke hal-hal yang

lebih spesifik, kemudian dijawab oleh informan secara lisan. Posisi peneliti

menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan peristiwa. Selain itu, juga

berusaha menjalin hubungan yang wajar dan penuh keakraban dengan informan

dalam upacara gendang kematian.

Page 104: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai

cara, yaitu teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Adapun penjelasan

teknik-teknik tersebut adalah seperti berikut ini.

3.6.1 Observasi

Observasi adalah cara yang dilakukan untuk memperoleh data dengan

melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan

(observation) merupakan cara untuk mengamati perilaku dan benda-benda yang

digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat yang hendak dipahami melalui

penelitian. Dalam melakukan observasi, seorang peneliti langsung datang ke

lapangan dan melakukan pengamatan dengan pancaindra dan kemampuan yang

ada di samping melaksanakan pencatatan segala gejala yang ditemukan. Selain

mengamati secara langsung, peneliti juga harus berusaha membandingkan hasil

pengamatannya dengan hasil pengamatan orang lain yang pernah melakukan

pengamatan yang sama. Hal ini dilakukan selain bertujuan memperoleh kepastian

data juga untuk memahami perubahan atau perkembangan yang dituju.

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diawali penentuan sasaran,

yaitu objek material dan objek formal. Hal ini dilakukan untuk memilah apa yang

mesti diamati dengan saksama dan mana yang dapat diabaikan. Namun, di

lapangan hal yang sering terjadi adalah sasaran pengamatan berubah. Hal ini

disebabkan oleh masyarakat dan kebudayaan terus menerus mengalami perubahan.

Page 105: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Oleh sebab itu, dilakukan observasi terhadap peristiwa upacara gendang kematian

dalam masyarakat pendukungnya. Agar diperoleh data yang lebih lengkap,

dilakukan juga pengamatan partisipasif di lapangan dengan cara melibatkan diri

secara langsung dalam peristiwa upacara gendang kematian.

Gambar 3.1

Suasana observasi pada upacara gendang kematian Dison Barus

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar 3.1 menunjukkan kegiatan observasi peneliti dengan cara ikut

berpartisipasi dalam memainkan salah satu instrumen musik pada upacara

gendang kematian di lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Barusjahe Kabupaten

Karo. Pengamatan secara langsung terhadap upacara kematian bertujuan

mendapatkan data aktual tentang aspek bentuk upacara dan unsur-unsur

pendukung upacara gendang kematian lainnya. Hal ini tidak serta merta dijadikan

Page 106: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagai data utama penelitian, tetapi digunakan untuk mendukung konsep dan

teori-teori yang digunakan untuk mempelajari realitas objek yang diteliti.

3.6.2 Wawancara

Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan

berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antarindividu maupun individu dengan

kelompok. Wawancara melibatkan dua komponen pewawancara, yaitu peneliti itu

sendiri dan orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan

baik dengan formal maupun tidak formal dan berusaha menumbuhkan keakraban.

Demikian juga waktu dan tempat wawancara tidak terikat, tetapi melihat situasi

dan kondisi di lapangan. Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti

dan informan untuk mendapatkan keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan

permasalahan, pandangan, dan pendirian subjek yang diwawancarai (lihat gambar

L.4.28).

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara

peneliti dan informan. Teknik wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk

mendapatkan berbagai informasi, keterangan lisan dari informan yang berkaitan

dengan permasalahan kajian. Gambar 3.2 menunjukkan kegiatan wawancara

dilakukan dengan cara bercakap-cakap dengan informan untuk mendapatkan

keterangan dan pendiriannya tentang suatu persoalan objek kajian.

Page 107: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 3.2

Suasana wawancara dengan Darwan Tarigan

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Wawancara dilakukan di mana ada kesempatan dan selalu diupayakan,

seperti di kebun, di kedai kopi, lokasi upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini

bahasa Karo digunakan peneliti untuk memperlancar komunikasi dengan informan

untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Informan diharapkan dapat

memberikan keterangan berupa pandangan, pendapat, dan pemberitahuan berbagai

hal tentang upacara gendang kematian yang ada pada masyarakat Karo. Untuk itu

wawancara dikembangkan di lapangan hingga informasi yang dibutuhkan

dipandang cukup dan sesuai untuk memecahkan permasalahan penelitian.

Pedoman wawancara telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka.

Artinya, mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat

menjaring data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan

Page 108: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Kegiatan

wawancara di lapangan juga membutuhkan keahlian peneliti dalam mengajukan

pertanyaan, menggali jawaban lebih jauh, dan mencatatnya. Catatan-catatan

pertanyaan dan petanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman

wawancara sesuai dengan situasi dan konteks yang dihadapi selama melakukan

wawancara menuju kedalaman percakapan.

3.6.3 Studi Dokumen

Di samping wawancara dan observasi, dalam penelitian ini juga digunakan

teknik studi dokumen. Analisis dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan

menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan keberadaan

dan segala permasalahan yang mengarah kepada spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi. Studi dokumen menunjuk pada masa

lampau, sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas, dan kejadian tertentu,

tetapi berbeda dengan observasi dan wawancara karena studi dokumen merupakan

data nonmanusia.

Dokumen diperoleh dari data sekunder, seperti kliping media massa, arsip

pemerintah kota, dan letak geografis (peta) Kabupaten Karo dengan tujuan untuk

mengetahui data yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sejarah setempat.

Studi dokumen juga dilakukan untuk memperoleh referensi yang dianggap

relevan, seperti konsep, gagasan, dan teori yang relevan dan berkaitan dengan

penelitian, baik proses pengumpulan data maupun proses pengolahan data.

Page 109: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Demikian juga studi dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

seperti pengambilan foto dan perekaman dengan tape recorder. Di samping itu,

dokumen dipandang penting dalam penelitian ini, yakni sebagai upaya untuk

mendukung dan melengkapi data hasil wawancara dan observasi sehingga

penelitian ini jelas dan lengkap. Karena objek penelitian ini berkaitan dengan

budaya dan aktivitas suatu masyarakat, maka penerapan studi dokumen dipandang

sangat penting.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam suatu penelitian merupakan kegiatan mendasar untuk

mencapai hasil penelitian berdasarkan data yang dikumpulkan. Menurut Dharmojo

(2005 : 21), analisis data yang dilakukan pada saat pengumpulan data bertujuan

agar tidak terjadi penumpukan data dan dapat memahami sistem simbol sesuai

dengan konteksnya. Analisis data setelah pengumpulan data dimaksudkan untuk

klarifikasi agar ketepatan analisis dapat dipenuhi.

Analisis data adalah aktivitas mendengarkan suara-suara orang lain. Dalam

hubungan ini meliputi keseluruhan data, baik yang diperoleh melalui sumber

primer maupun sekunder, yang kemudian digabungkan dengan pemahaman dan

penjelasan peneliti sebagai proses interpretasi sehingga menghasilkan makna-

makna baru. Setidaknya ada tiga unsur pengamatan terpenting dalam analisis,

yaitu makna lokal, makna prediksi, dan makna konsekuensi. Makna lokal

berkaitan dengan hakikat objek yang pada umumnya disebut emik, makna prediksi

Page 110: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berkaitan dengan kompetensi peneliti, bagaimana objek diinterpretasikan, dan

makna konsekuensi berkaitan dengan pembaca, risiko sebagaimana diakibatkan

oleh terjadinya makna pertama dan kedua (Ratna, 2010: 303--304).

Dalam penelitian spiritualitas upacara gendang etnik Karo pada era

globalisasi terlebih dahulu data direduksi atau dipilih sesuai dengan tujuan

penelitian. Data-data kualitatif tersebut ditabulasi berdasarkan aspek wujud,

faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan, sehingga dapat dilihat reliabilitas dan

validitasnya. Model analisis ini menerapkan model analisis komparatif dengan

melihat fakta-fakta pada saat upacara gendang kematian. Dalam hal ini digunakan

logika perbandingan dengan menerapkan analisis sinkronik dalam pembahasan

aspek simboliknya yang berkaitan dengan nilai-nilai kultural, atau menelaah

aspek-aspek yang berbeda dan persamaannya. Di samping itu, juga digunakan

analisis diakronik yang menekankan pada aspek historisnya.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Tahapan terakhir dari seluruh proses penelitian ini adalah penyajian

seluruh analisis data. Penyajian hasil analisis data disajikan secara formal dan

informal. Secara formal berupa tabel dan gambar, seperti peta, bagan, dan foto,

sedangkan penyajian data secara informal, seperti narasi, kata-kata, ungkapan,

kalimat, dalam ragam bahasa ilmiah. Penyajian hasil analisis data dilakukan

secara sistematis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.

Page 111: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Keseluruhan kajian disusun dalam bentuk laporan utama yang berhubungan

dengan masalah penelitian ini.

Page 112: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB IV

GAMBARAN UMUM ETNIK KARO DAN

UPACARA GENDANG KEMATIAN

4.1 Gambaran Umum Etnik Karo

Etnik Karo merupakan salah satu suku bangsa asli yang mendiami pesisir

timur Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, yang sekarang

disebut Sumatera Utara, Indonesia. Nama Karo juga dijadikan salah satu nama

kabupaten di salah satu wilayah yang didiami (dataran tinggi Karo), yaitu

Kabupaten Karo. Etnik Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut cakap Karo dan

kekayaan budaya adat istiadat sendiri. Salah satu kekayaan budaya yang sampai

sekarang masih dilakukan etnik Karo, baik yang tinggal di dataran tinggi Karo

maupun daerah lain, yaitu tradisi lisan upacara gendang kematian.

Gambaran umum etnik Karo dan gendang kematian dilakukan dengan

penjelasan metode etnografis. Gambaran umum dengan metode etnografis

berkaitan dengan laporan suatu suku bangsa yang di dalam penelitian ini adalah

laporan suku (bangsa) Karo untuk mengetahui tingkat-tingkat perubahan dan

keberlanjutan budayanya. Tujuan uraian etnografi adalah untuk mendeskripsikan

dan membangun struktur sosial dan budaya suatu etnik.

Penjelasan mengenai etnografi dalam subbab ini menjadi pola penulisan,

termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan etnografi analitis.

Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis, yang sesuai dengan

Page 113: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

konteks relevansi kajian. Selanjutnya dijelaskan dengan konsep-konsep budaya

dan ilmu sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan eksplanasi dan argumen penulis

untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Di samping itu, juga membuka

dimensi pemikiran baru yang dianggap lebih dari yang sebelumnya sudah ada.

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis

Berdasarkan sejarah dan dasar hukum terbentuk dan berdirinya Sumatera

Utara, yaitu tanggal 7 Desember 1956, yang diperkuat dengan dasar hukum UU

No 24/1956. Dalam hal ini kata Sumatera berasal dari unsur su yang artinya ‗baik‘

dan ‗matra’ yang berarti ‗ukuran‘. Beberapa sumber menyebut Sumatera dengan

Samantara dengan makna ‗batas atau penengah‘. Namun, bangsa Spanyol dan

Portugis menyebutnya dengan Samatra yang berarti ‗hujan mendadak‘. Di pihak

lain Odorikus menulis nama Pulau Sumatera tersebut dengan sedikit variasi yang

tidak konsisten dalam otografi, yakni dari kata Sumotra, Samotra, Zamatra, dan

Sumatera (Marsden, t.t. : 8). Selanjutnya, apabila ditelusuri nama Sumatera,

tidaklah dikenal oleh penduduk pribumi, tetapi orang-orang Hindulah yang

memilih nama Sumatera atau Samantara. Marco Polo sendiri menyebutkan

Sumatera sebagai Java Minor. Selain itu, Marco Polo juga melukiskan bahwa

pulau tersebut dikelilingi oleh delapan kerajaan, dua kerajaan tidak diketahui dan

enam lainnya disebut Ferlech (Marsden, t.t : 4; Minawati, 2010: 60).

Page 114: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 4.1

Peta Sumatera dan Sumatera Utara

(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)

Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera terdiri dari beberapa

Provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya

Medan, terdiri atas tiga puluh tiga kabupaten/kota, yaitu (1) Kabupaten Deli

Serdang, (2) Kabupaten Langkat, (3) Kabupaten Nias, (4) Kabupaten Karo, (5)

Kabupaten Mandailing Natal, (6) Kabupaten Serdang Bedagai, (7) Kabupaten Nias

Selatan, (8) Kabupaten Tapanuli Tengah, (9) Kabupaten Tapanuli Utara, (10)

Kabupaten Toba Samosir, (11) Kabupaten Asahan, (12) Kabupaten Dairi, (13)

Kabupaten Hubang Hasundutan, (14) Kabupaten Labuhan Batu, (15) Kabupaten

Page 115: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Samosir, (18)

Kabupaten Pakpak Barat, (19) Kabupaten Batubara, (20) Kabupaten Labuhan Batu

Selatan, (22) Kabupaten Nias Barat, (23) Kabupaten Nias Utara, (24) Kabupaten

Padang Lawas, (25) Kabupaten Padang Lawas Tua, (26) Kota Binjai, (27) Kota

Gunung Sitoli, (28) Kota Medan, (29) Kota Padang Sidempuan, (30) Kota

Pematang Siantar, (31) Kota Sibolga, (32) Kota Tanjung Balai, dan (33) Kota

Tebing Tinggi (http://pengetahuan-oemum.blogspot.com/2010). Beberapa

kabupaten yang di diami masyarakat Karo seperti Kabupaten Karo, Kabupaten

Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun masih melakukan

kegiatan upacara gendang kematian dalam komunitasnya. Namun, Kabupaten

Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan masyarakatnya.

Kabupaten Karo dengan ibu kotanya Kabanjahe merupakan salah satu

kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berpotensi sebagai daerah pertanian

dan pariwisata. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit

Barisan yang berada pada ketinggian 400--1.600 m di atas permukaan laut. Dua

gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak aktif terletak di

wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Lokasinya berjarak 75 km dari

Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada 02050--

03019‘LU dan 97

055--98

038‘BT. Luas wilayah Kabupaten Karo 2.127 km

2 atau

2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara, dengan total jumlah penduduk 350.479

jiwa yang terdiri atas 174.391 laki-laki dan 176.088 perempuan. Dari hasil Sensus

Penduduk 2010 diketahui bahwa Kecamatan Kabanjahe, Berastagi, dan Tigapanah

Page 116: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

merupakan tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu masing-

masing berjumlah 63.290 orang (18,06 persen), 42.555 orang (12,14 persen), dan

29.411 orang (8,39 persen). Kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah

Kecamatan Dolat Rayat dengan jumlah penduduk 8.311 orang (2,37 persen).

Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 yang didiami 350.479 orang maka rata-rata

tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Karo adalah sebanyak 165 orang per kilo

meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya

adalah Kecamatan Kabanjahe, yakni sebanyak 1.417 orang per kilometer persegi,

sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Dolat Rayat, yakni sebanyak 44

orang per kilometer persegi. Secara administratif Kabupaten Karo berbatasan

dengan empat kabupaten, yaitu di sebelah utara Kabupaten Langkat dan Deli

Serdang, di sebelah timur Kabupaten Simalungun, di sebelah selatan Kabupaten

Dairi dan Toba Samosir, dan disebelah barat Kabupaten Aceh Tenggara/Prov.

NAD (Karo dalam Angka, 2010; http://www.wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro;

Majalah Pariwisata Karo, 2008).

Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Karo dapat dilihat pada

gambar tampilan peta 4.2 berdasarkan wilayah kecamatan sebagai berikut.

Page 117: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 4.2

Peta Kabupaten Karo

(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)

Gambar 4.2 menunjukkan letak geografis Kabupaten Karo berdasarkan

kecamatan. Sehubungan dengan hal ini, Abdullah (1994: 171) menyatakan bahwa

Kabupaten Karo disebut juga dengan ―Tanah Karo Simalem‖ yang merupakan

daerah tujuan wisata utama yang terkenal dengan keindahan alam dan udara sejuk.

Tipe iklim Kabupaten Karo adalah E2 dan menurut klasifikasi Oldeman

bulan basah lebih dari tiga bulan dan bulan kering berkisar 2--3 bulan. Menurut

Koppen, Kabupaten Karo memiliki curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun

dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000--

4.000mm/tahun dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah, yaitu Agustus

sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei. Suhu udara Kabupaten

Karo mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada

Page 118: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tahun 70-an iklim di Kabupaten Karo masih cukup dingin, yaitu sekitar 10--12° C,

bahkan pada masa itu masyarakat masih banyak mengenakan baju hangat sejenis

mantel atau jaket, kain sarung (kampuh) meskipun berada di tempat-tempat umum

seperti, ke warung, ke pasar, menghadiri pesta, upacara-upacara adat, atau pesta.

Bahkan, juga termasuk ke ladang, kadang kala kaum pria selalu melilitkan kain

sarung tersebut pada leher dan kepalanya, termasuk ke acara-acara ritual atau pesta

kekerabatan sehingga gaya pakaian ini menjadi ciri khas mayarakat Karo

khususnya yang berada di pegunungan (http://pariwisatakaro.blogspot.com).

Udara yang sejuk dan dingin membuat suasana terasa sangat damai dan

nyaman. Namun sejak tahun 80-an, suhu udara mengalami peningkatan hingga 16-

-17° C akibat efek pemanasan global. Pakaian-pakaian yang dikenakan tidak lagi

sebagai bentuk antisipasi, baik terhadap iklim maupun suhu udara di Kabupaten

Karo, bahkan mulai banyak yang menggunakan jenis bahan dan gaya pakaian

masyarakat urban, seperti kain jean atau sejenisnya.

Wilayah administrasi Kabupaten Karo terdiri atas tujuh belas kecamatan,

sepuluh kelurahan, dan dua ratus lima puluh dua desa, yakni dengan pembagian

sebagai berikut. Kecamatan Kabanjahe terdiri atas delapan desa, Kecamatan

Berastagi terdiri atas lima desa, Kecamatan Payung terdiri atas delapan desa,

Kecamatan Barus Jahe terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Mardinding

terdiri atas dua belas desa, Kecamatan Tiga Binanga terdiri atas delapan belas

desa, Kecamatan Tiga Panah terdiri atas dua puluh dua desa, Kecamatan Merek

terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Munte terdiri atas dua puluh dua desa,

Page 119: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Kecamatan Juhar terdiri atas dua puluh empat desa, Kecamatan Merdeka terdiri

atas sembilan desa, Kecamatan Laubaleng terdiri atas lima belas desa, Kecamatan

Naman Teran terdiri atas empat belas desa, Kecamatan Simpang IV terdiri atas

tujuh belas desa, Kecamatan Kutabuluh terdiri atas enam belas desa, Kecamatan

Dolat Rayat terdiri atas tujuh desa, dan Kecamatan Tiga Nderket terdiri atas tujuh

belas desa (Kabupaten Karo dalam Angka, 2011).

4.1.2 Asal Usul Etnik Karo

Keberjarakan dan keluasan wilayah etnik Karo mengakibatkan daerah

yang didiami memiliki keragaman budaya yang tidak persis sama antara satu

daerah dan daerah lainnya. Di samping itu, ditemukan berbagai perbedaan, baik

bersifat dialek, tata pelaksanaan adat istiadat, maupun media yang digunakan

walaupun orang Karo berasal dari satu rumpun keturunan, bahasa, dan budaya

(adat istiadat) yang sama.

Terkait dengan hal itu, Abdullah (1994: 22) dalam buku Sejarah Melayu

dan Sinar (1991: 7) dalam The History of Medan in the Olden Times menjelaskan

adanya Kerajaan Aru/Haru/Haro, yang menyebutkan Tanah Karo sebagai suatu

kampung serba nyaman. Kerajaan Aru adalah kerajaan besar yang kaya akan hasil

bumi, terutama lada, tembakau, rotan, pinang, gambir, kapur barus, emas,

cengkeh, batu bara, dan lain-lain. Kerajaan Aru mencakup seluruh daerah

Sumatera (Labuhan Deli) di pinggir Sungai Deli (sekarang jauh dari pantai), tetapi

kemudian nama Aru hilang sehingga muncul nama Deli. Nama Deli muncul

Page 120: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

karena kekalahan Raja Deli Tua yang ditaklukkan oleh Aceh. Akibat kekalahan

tersebut masyarakat Deli diislamkan yang sebelumnya menganut Perbegu.

Suku yang mendiami tanah Karo adalah suku Karo, Toba, Aceh, Gayo,

Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, India, Cina, dan Alas. Kehidupan

masyarakatnya terdiri atas berbagai latar belakang, baik etnis maupun kulturnya.

Sikap terbuka masyarakat Karo memberikan ruang bagi etnis lain untuk datang

dan bertempat tinggal, baik secara sementara maupun permanen. Di Kabupaten

Karo tidak dikenal kebudayaan dominan karena setiap kultur memiliki ruang gerak

dan pengakuan yang bebas dan fleksibel. Sehubungan dengan hal ini,

Koentjaraningrat (Abdullah, 1994: 22--26) dalam menentukan suatu etnis atau

suku bangsa dengan konsep yang tercakup dalam istilah ―suku bangsa‖, yakni

mencakup kesadaran dan intensitas akan ―kesatuan kebudayaan‖. Kesadaran dan

intensitas suatu masyarakat sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Bahasa

Karo terdapat di Pustaka Alim Kembaren yang memakai ejaan u menjadi o (Putro,

1981: 27--28). Menurut Abdullah (1994: 28), nama suku bangsa Haru kemudian

disebut Haro, yang akhirnya dinamai suku Karo sampai sekarang ini. Masyarakat

yang mendukung budaya dan adat istiadat Karo hidup di Kabupaten Karo, Langkat

Hulu, dan Deli Hulu.

Berkaitan dengan penaklukan daerah-daerah di Tanah Karo, tahun 1904

diadakan suatu ekspedisi besar-besaran oleh Belanda, yang disebut ―Ekspedisi Van

Daalean‖. Di Kabupaten Karo ekspedisi ini pecah menjadi dua, yaitu sebagian

menuju Toba ke Sibolga, dan sebagian lagi ke Tanah Karo yang dipimpin oleh de

Page 121: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Graaf (Abdullah, 1994: 111--112; Putro, 1981: 31--33). Kekalahan Belanda

mengundang orang terkemuka Karo untuk menetapkan sibayak-sibayak/kerajaan

untuk dibagi, seperti Sibayak Lingga, yang penandatanganannya dilakukan oleh Pa

Terang dan Pa Sendi pada 11 September 1907, Sibayak Barus Jahe,

penandatanganan dilakukan oleh Pa Tempena Barus dan Pa Unjuken pada 12

September 1907, Sibayak Sarinembah, penandatanganan dilakukan oleh Pa

Ngobah dan Si Napa pada 12 September 1907, Sibayak Suka, penandatanganan

dilakukan oleh Pa Nunsang tanggal 13 September 1907, dan Sibayak Kuta Buluh,

penandatanganan dilakukan oleh Pa Sinabung Perangin-angin dan Si Andein

tanggal 13 September 19907 (Tamboen, 1952: 17--25; Abdullah, 1994: 112--113;

Minawati, 2010: 63).

Dengan terbitnya surat ketetapan pada tahun 1911 Bijblad No. 7565, batas

Tanah Karo dengan Simalungun, berdasarkan Urung Silima Kuta daerah

Kabupaten Karo menjadi daerah Simalungun, dan Dairi ditetapkan pada stablad

1908 No. 604, masuk keresidenan Tapanuli. Kabupaten Langkat dimasukkan ke

wilayah Afdeling Langkat yang diperintah oleh seorang asisten residen, sedangkan

Sultan Langkat sebagai pemerintahan bumi putra mengepalai Afdeling Langkat.

Karo Jahe dimasukkan ke administrasi yang diperintah oleh bumi putra yang

disebut Sultan Deli. Tanah Karo diperintah oleh Raja Berempat, yang terdiri atas

lima lanskap yang berpangkat sibayak, di antaranya lanskap Lingga berkedudukan

di Lingga, yang sejak 1936 berkedudukan di Kabanjahe, lanskap Suka dikepalai

Sibayak Suka yang membawahi beberapa urung, lanskap Barusjahe dikepalai

Page 122: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sibayak Barusjahe dan membawahi beberapa raja urung, Lanskap Sarinembah

dikepalai oleh Sibayak Sarinembah yang membawahi beberapa raja urung, dan

lanskap Kuta Buluh dikepalai Sibayak Kuta Buluh dan membawahi beberapa raja

urung. Raja berempat atau sibayak-sibayak yang mengepalai Lanshap dibawahi

oleh seorang konteler dan seorang wakil Konteler dari Gubernemen yang

mengepalai resor Onderafdeling Karo Landen yang berkedudukan di kota

Kabanjahe (Putro, 1981: 30).

4.1.3 Politik dan Pemerintahan

Sistem pemerintahan tertua yang dijumpai di Tanah Karo adalah pengulu,

yang menjalankan pemerintahan (kedudukan) di kampung (kuta) menurut adat.

Terbentuknya suatu kuta harus memenuhi persyaratan adat, seperti merga pendiri,

merga taneh/simantek kuta, senia simantek kuta, anak beru simantek kuta (anak

beru taneh), dan kalimbubu simantek kuta (kalimbubu taneh).

Pada 1906 pemerintah wilayah Kabupaten Karo berbentuk pemerintahan

yang oleh onderafdeling Kabupaten Karo Landen dipimpin oleh controleur

dengan pemerintahan di tangan Belanda. Pada 1907 pemerintahan di Tanah Karo

dipimpin oleh bumi putra/landschaap yang dikepalai oleh sibayak dan dibawahi

beberapa urung yang dikepalai oleh raja urung. Pada masa penjajahan Jepang

tahun 1942 pemeritahan di Tanah Karo sama dengan masa pemerintahan Belanda.

Namun, setelah kemerdekaan RI, pemerintahan dikepalai oleh pusat yang

dipimpin oleh Sibayak Ngerajai Meliala (bupati pertama). Susunan pemerintahan

Page 123: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

diatur oleh UU No. 22, Tahun 1999, dalam hal ini daerah dibentuk oleh DPRD

sebagai badan legislatif daerah dan pemerintahan daerah sebagai badan eksekutif

daerah. Pemimpin di tingkat Kabupaten Karo disebut bupati, yakni dalam

menjalankan tugasnya dibantu oleh wakil bupati. Sejak 29 Desember 2006

Kabupaten Karo yang semula terdiri atas tiga belas kecamatan resmi menjadi tujuh

belas kecamatan (Pasaribu, 2005: 64).

Pada zaman kerajaan kekuasaan tertinggi di Kabupaten Karo dipegang oleh

Maha Raja Diraja. Pemerintah kerajaan sebelumnya sangat memfasilitasi kegiatan-

kegiatan agama Perbegu, seperti mendirikan pemujaan-pemujaan, yakni Aji

Manering, Pulu Balang, Tembunan Kuta, Nini Galuh, Paka Waluh Seberaya, dan

yang lebih istimewa dalam Rumah Adat Karo terdapat tempat guru-guru agama

Perbegu yang dinamai Jabu Bicara Guru (Putro, 1981: 100--101). Sebagaimana

diketahui bahwa rumah adat Karo sudah berdiri sejak abad XV Masehi dan seni

konstruksinya dipengaruhi oleh langgam Tamil Nado. Secara pasti rumah adat di

Kampung Aji Nembah memiliki Si Pitu Ruang, istana ayah Raja Sori, yakni

sewaktu memasukinya terjadi gelap tujuh hari tujuh malam yang kemudian

diselamatkan oleh Opung Barus. Namun, secara pasti tidak diketahui kapan rumah

tersebut dibangun. Menurut Br Ginting Pase, rumah adat sudah menjadi istana

Raja Nagur Pase di Pase pada abad XIII (Putro, 1981: 102).

Asitektur rumah adat Karo memiliki susunan pemerintahan suku Karo,

yakni sebagai berikut. (1) Jabu bena kayu dinamakan jabu pengelului/pengulu

atau penduduk asli (anak taneh) yang berhak atas tanah adat yang menjadi kepala

Page 124: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dalam rumah adat. (2) Jabu ujung kayu menempati anak beru yang berperan

menjalankan perintah-perintah penghulu sekaligus mewakili penghulu. (3) Jabu

lepar bena kayu dinamai jabu sungkun berita berfungsi mengamati-amati,

misalnya situasi baru, kekacauan, musuh, atau pengkhianat. (4) Jabu lepar ujung

kayu dinamai siman-minem (makan minum), penghuninya pihak istri dan ibu

penghulu yang disebut kalimbubu.

Kalimbubu dalam masyarakat Karo memiliki posisi yang dihormati

sehingga disebut dibata ni idah. Kemudian (5) jabu si dapur bena kayu, dinamai

jabu peningel-ninggelen (menyaksikan secermat-cermatnya) penghuninya anak

beru menteri berperan menyaksikan musyawarah di samping sebagai saksi dalam

membuat keputusan karena dahulu belum mengenal kertas dan tulisan. (6) Jabu

sidapur ujung kayu dinamai jabu ariteneng (nama sebuah kain adat yang juga

dijadikan sebagai upah tendi di samping perhiasan. Penghuninya adalah anak

kalimbubu (dalam masyarakat Karo disebut impal, baik anak perempuan maupun

laki-laki). Menurut kepercayaan sebagai suatu kebahagiaan dan bakti kepada

penghuni rumah (kalimbubu). (7) Jabu sidapur ujung kayu dinamai jabu bicara

guru (Dewa Roh Yang Luhur), yaitu roh anak kecil yang belum bergigi ketika

meninggal dunia, yang menempati jabu ini adalah guru agama atau yang lebih

dikenal dalam masyarakat Karo disebut Guru Si Baso, yang berperan untuk

mengajarkan ajaran agama/rohani. (8) Jabu si dapurken lepar ujung kayu meramu

sirih (jabu singapuri belo) penghuninya anak dari anak beru yang berfungsi

Page 125: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menerima tamu dan menjaga keamanan (Putro, 1981: 102--103). Bentuk rumah

tradisional Karo terdapat pada gambar 4.3 berikut ini.

Gambar 4.3

Rumah adat Karo di Desa Dokan

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat rumah tradisional Karo yang terdapat di

Desa Dokan yang dikenal sebagai desa budaya. Dari bentuk fisik bangunan terlihat

lebih terawat karena ada perhatian dari pemerintah setempat khusus untuk desa ini.

Struktur pemerintahan yang tergambar pada rumah adat Karo menunjukkan

masyarakat Karo sudah berabad-abad mengenal sistem musyawarah/demokrasi.

Lembaga-lembaga kepancaan dalam kebudayaan Karo, seperti marga silima

(pancamarga), sebagai pola dasar kebudayaan Karo, rakut sitelu (tiga ikatan)

sebagai lambang/simbol yang berarti ‗mehamat erkalimbubu, metami eranak beru

dan melias/erpenungkunen ersenina‘, lima kuh sangkep ngeluh (panca susunan

hidup), yaitu anak beru menteri, anak beru, kalimbubu, puang kalimbubu, dan

Page 126: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

senina sebagai dasar kekerabatan masyarakat Karo yang tidak bertentangan

dengan falsafah Pancasila.

Politik dalam sistem pemerintahan, khususnya sistem pemerintahan

sebuah kota, seperti Kabupaten Karo, tidak lepas dari permasalahan hubungan

antarnegara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat atau antara mitra politik,

ekonomi, dan budaya. Dalam konteks pembangunan di Kabupaten Karo ada empat

pelaku yang berperan, yaitu (1) pemerintah, (2) swasta, (3) masyarakat, dan (4)

kaum intelektual. Hal ini dapat dipahami karena pembangunan merupakan sebuah

proses (per)politik(an). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan

desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kota menyelenggarakan dua bidang

urusan, yaitu (1) urusan pemerintahan teknis yang pelaksanannya diselenggarakan

oleh dinas-dinas daerah dan (2) urusan pemerintahan umum, yakni berupa

kewenangan mengatur yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) sebagai badan legislatif kota dan bupati sebagai pimpinan

tertinggi badan eksekutif pemerintahan.

Struktur pemerintahan di Kabupaten Karo secara konstitusional dibagi

berdasarkan daerah kabupaten dan daerah yang lebih kecil, yaitu kota dan

kecamatan. Tiap-tiap daerah pada dasarnya memiliki sifat otonom dan

administratif, yakni berdasarkan pertimbangan situasional, politis, dan teknis

pemerintahan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dengan

diberlakukannya UU No. 32, Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan

prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, juga

Page 127: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

memperhatikan potensi daerah. Secara struktural, pemimpin tertinggi Kabupaten

Karo adalah bupati. Tercapainya kondisi pemerintahan yang aman, stabil, dan

terkendali tidak terlepas dari berbagai usaha pembinaan yang ditempuh

pemerintahan Kabupaten Karo bersama instansi terkait termasuk peran kepala

daerah kepada masyarakatnya. Bupati saat ini adalah Kena Ukur Surbakti.

Menurut buku resmi Pemda Kab. Karo pada 2007 terdapat 17 bupati yang pernah

memimpin daerah ini sejak zaman kolonial hingga zaman kemerdekaan. Dalam

Tabel 4.2 berikut ini termuat nama-nama bupati yang pernah memimpin

Kabupaten Karo.

Tabel 4.2

Bupati yang Pernah Menjabat di Kabupaten Karo

No. Nama Bupati Periode

1 Ngerajai Meliala 1943—1946

2 Mayor Moh. Kasim 1946

3 Rakutta Sembiring Brahmana 1946—1947

4 Raja Kelelong Sinulingga 1947—1949

5 Rejin Perangin-angin 1950

6 Rakutta Sembiring Brahmana 1950—1953

7 T. Raja Purba 1953—1957

8 Abdullah Eteng 1957—1960

9 Mayor Matang Sitepu 1960—1966

10 Baharudin Siregar 1966—1969

11 Kol. Tampak Sebayang 1969—1980

Page 128: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

12 Drs. Rukun Sembiring 1980—1985

13 Ir. Menet Ginting 1985—1990

14 Drs. Rupai Perangin-angin 1990—1994

15 Drs. Daulat Daniel Sinulingga 1995—2000

16 Sinar Perangin-angin 2000—2005

17 Drs. Daulat Daniel Sinulingga 2005—2010

18 Kena Ukur Surbakti 2010—

(Dokumen: BPPS Kabupaten Karo, 2011; http://id.wikipedia.org)

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa hingga tahun 2015 tercatat delapan

belas periode pejabat yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan Kabupaten

Karo. Secara pemerintahan, fungsi dan kewenangan bupati di Kabupaten Karo

membawahi (pimpinan eksekutif tertinggi) seluruh instansi pelaksanaan eksekutif

kota. Berlakunya UU No. 32, Tahun 2004 membawa implikasi, baik secara

filosofis maupun administratif, tidak hanya dari sentralisasi menjadi desentralisasi,

tetapi berkembangnya peran masyarakat menjadi demokratis-partisipatif. Secara

umum, perubahan tersebut membawa implikasi bahwa daerah dapat berkembang

dengan prakarsa daerah masing-masing di samping adanya pergeseran dominasi

eksekutif menjadi keseimbangan dengan legislatif dan partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan pembangunan kota.

Secara umum etnik Karo digambarkan suka berpolitik. Hal tersebut

terlihat dari kegemarannya bermain catur. Perpolitikan sebagai sebuah ajang

khusus, yakni di dalamnya ada legitimasi, kepentingan, dan kekuasaan. Demikian

pula, baik secara politik maupun ekonomi, Kabupaten Karo sejak zaman Kerajaan

Page 129: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Haru telah melakukan hubungan dengan luar negeri, seperti: India, Arab, Portugis,

dan Cina. Sebagai bagian dari politik kemitraan, dalam kegiatan ekonomi yang

diperankan oleh pemerintah, juga terdapat sektor swasta dan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa salah satu kebijakan (politik) penting

pemerintah Kabupaten Karo adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya

kepada sektor swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan

kota. Gambar 4.4 adalah Kantor Bupati Karo yang terdapat di Kabanjahe.

Gambar. 4.4 Kantor Bupati Kabupaten Karo

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Pada Gambar 4.4 terlihat Kantor Bupati Karo, tepatnya di Jalan Jamin

Ginting Nomor 17. Di tempat inilah bupati dan wakil bupati berkantor

menjalankan misi dan programnya. Berdasarkan pengalaman kepemimpinnya, dan

periode tiap-tiap bupati yang pernah memimpin memiliki misi dan visi yang

berbeda. Namun, semuanya bertujuan meningkatkan pembangunan, kemakmuran,

dan kesejahteraan masyarakat Karo. Dari keseluruhan misi dan visi tersebut hanya

Page 130: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berbeda pada prioritasnya. Visi yang dikedepankan bersifat visioner, dan bahkan

sangat ideal. Dalam hal mewujudkan sasaran dan tujuan pembangunan kota,

pemerintah merumuskan rencana strategis sebagai garis besar penyelenggaraan

pembangunan. Rencana tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kebijakan, program,

dan pengembangan pembangunan sebagai bentuk akuntabilitas publik untuk

menjamin peningkatan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Secara administratif, otonomi daerah dimaknai sebagai pergeseran

kewenangan, yaitu semula didominasi oleh pusat ke daerah, kemudian dari daerah

ke masyarakat. Penggambaran keadaan sebelum dan sesudah otonomi daerah di

tingkat Kabupaten Karo, yaitu dari sentralisasi ke desentralisasi, dari atas ke

bawah secara simultan, dari keseragaman ke keberagaman, petunjuk ke prakarsa,

instruksi ke pilihan, ketergantungan ke kemandirian, hierarki ke keterkaitan, dan

kesenjangan ke keserasian. Hal ini menunjukkan semangat zaman yang ingin

diemban meskipun pada akhirnya hal tersebut sering tidak sesuai dengan harapan.

Dengan semangat otonomi daerah Kabupaten Karo membangun diri dengan segala

potensi yang dimilikinya.

4.1.4 Sistem Kekerabatan

Etnik Karo mengenal sistem kemasyarakatan merga silima, rakut sitelu,

tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada. Masyarakat Karo

mempunyai sistem merga (klan), dalam hal ini merga untuk laki-laki, sedangkan

untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru disandang di belakang nama

Page 131: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri atas lima kelompok yang disebut

merga silima, yang berarti ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo.

Kelima merga tersebut adalah (1) Karo-Karo, (2) Tarigan, (3) Ginting, (4)

Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga

masing-masing (Kabupaten Karo dalam Angka, 2008; Woollams, 2004: 3). Merga

dan beru diperoleh secara otomatis dari ayah. Setiap orang Karo akan memiliki

merga tersebut. Merga ayah menjadi merga anak, tetapi ada kalanya merga

diberikan kepada seseorang yang disahkan secara adat. Hal tersebut banyak

dilakukan suku Karo yang melakukan perkawinan antaretnis atau sebagai sebuah

penghargaan adat, seperti pemberian merga kepada Megawati Br Perangin-angin.

Bagi etnik Karo, merga sangat penting dalam kehidupannya sebagai

anggota masyarakat. Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta

hubungannya dalam mencari hubungan kerabat atau garis keturunan. Di samping

itu, masyarakat Karo tidak hanya mempunyai merga atau beru, tetapi sekaligus

mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi, setiap pribadi

mempunyai merga atau beru dan bere-bere, kecuali orang Karo yang kawin

campur atau kawin dengan etnik lain. Namun, dalam praktik sehari-hari bere-bere

tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam

kegiatan berkenalan (ertutur), yakni untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.

Walaupun etnik Karo mempunyai sistem parental, yang paling penting adalah

merga atau beru. Hal ini terbukti dari merga dan beru tetap dicantumkan pada

nama seseorang setelah ia meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal yang

Page 132: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

lazim bagi etnik Karo. Setiap orang Karo mencantumkan merga dan beru untuk

membuktikan jati dirinya sebagai orang Karo.

Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama dianggap bersaudara

dalam arti mempunyai garis keturunan yang sama. Kalau laki-laki ber-merga

sama, maka mereka disebut ersenina. Demikian juga antara perempuan yang

mempunyai beru yang sama akan disebut ersenina juga. Namun, antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan ber-merga yang sama disebut erturang sehingga

dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Perangin-

angin. Begitu pula sistem perkawinan dalam masyarakat Karo selain dilakukan

secara agama juga dilakukan secara adat Karo. Hal ini tetap terjadi meskipun

mereka melakukan kawin campur antar etnik. Dahulu sebelum suku Karo

mengenal agama Kristen dan Islam, sistem perkawinan hanya dilakukan dengan

adat istiadat. Akan tetapi, saat ini merujuk pada kebalikannya, yakni masyarakat

Karo lebih mengutamakan atau melakukan perkawinan secara agama.

Lebih jauh dijelaskan oleh Minawati (2010: 91) bahwa kekerabatan dalam

masyarakat Karo disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian

kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas. Dalam hal ini jika diabstraksikan

pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang

menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari

silsilahnya, maka akan terjalin hubungan kekerabatan. Dalam kaitan ini,

pentingnya merga tersebut sebagai identitas diri di samping mengetahui asal usul

nenek moyangnya. Pada intinya kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan merga,

Page 133: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tetapi ada dua hal penting yang memengaruhi kekeluargaan, yaitu kelahiran dan

perkawinan. Dua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah.

Berdasarkan hubungan darah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan

kekerabatan di dalam masyarakat. Apabila dilihat secara sepintas diketahui bahwa

dalam menarik garis keturunan pada masyarakat Karo dilakukan secara patrilineal.

Akan tetapi, kalau diteliti lebih mendalam, dapat dimengerti letak kekhasan

masyarakat Karo dalam menarik garis keturunannya. Dalam hal ini, Bangun

(1990: 18) menyatakan bahwa masyarakat Karo tidak menarik garis keturunan

secara patrilineal, tetapi parental (bilateral) dengan menarik garis keturunan dari

ayah dan ibu sekaligus.

Gambar 4.5

Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo

(Dokumen: Fuad Erdansyah 2010)

Senina

Anakberu

SEMBUYAK / TUAN

RUMAH

Kalimbubu

Page 134: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Hal lain yang penting dalam masyarakat Karo adalah (gambar 4.5) rakut

sitelu, yaitu berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep

nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud

adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri atas tiga

kelompok, yaitu (1) senina, (2) kalimbubu, dan (3) anak beru. Senina adalah

keluarga satu jalur keturunan merga atau keluarga inti. Kalimbubu dapat

didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri dan anak beru keluarga yang

mengambil atau menerima istri.

Tutur siwaluh merupakan konsep kekerabatan masyarakat Karo yang

terdiri atas delapan golongan, yaitu (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3)

sembuyak, (4) senina, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon/sendalenen, (7)

anak beru, dan (8) anak beru mentri. Dalam upacara adat, tutur siwaluh ini masih

dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih khusus sesuai dengan

keperluan dalam pelaksanan adat, yakni sebagai berikut.

1) Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang baik dari pihak

ibu maupun ayah.

2) Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu

ini dapat dikelompokkan lagi menjadi dua. Pertama, kalimbubu bena-bena

atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu

yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri asal dari keluarga tersebut.

Misalnya, A ber-merga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah

kalimbubu si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah

Page 135: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua adalah kalimbubu dari anak A. Jadi,

kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah

kandung. Kedua, kalimbubu simada dareh, yaitu berasal dari ibu kandung

seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki ibu kandung

seseorang. Dalam hal ini disebut kalimbubu simada dareh karena dianggap

bahwa darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.

3) Sembuyak, secara harfiah se artinya ‘satu‘ dan mbuyak artinya ‘kandungan‘.

Jadi, artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang

sama. Namun, dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang

berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh sipedeher (yang

jauh menjadi dekat).

4) Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau submerga

yang sama. Senina ibas runggun adat, yaitu saudara yang telah diangkat di

dalam suatu musyawarah adat. Sekalipun mungkin tidak satu merga, tetapi

biasanya masih dalam satu induk merga. Misalnya merga Sitepu dengan Barus

atau Ginting munte dengan Ginting suka.

5) Senina sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu mereka bersaudara kandung.

Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang

mempunyai istri yang bersaudara. Jadi, seseorang menjadi ersenina

(bersaudara) karena hubungan perkawinan di samping istri mereka bersaudara.

6) Senina sipengalon/sendalanen, yaitu saudara karena anaknya diambil menjadi

istri dari anak mertua yang sama. Misalnya, anak-anak perempuan A, B, C

Page 136: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

diambil menjadi istri dari anak X, maka A, B, C jadi kalimbubu X dan anak-

anaknya.

7) Anak beru, berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk

diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita

keluarga tertentu dan secara tidak langsung melalui perantara orang lain,

seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri atas

dua jenis. Pertama, anak beru tua, yakni anak beru dalam keluarga turun-

temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu

(kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama karena tanpa

kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu,

maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi

sebagai singerana (sebagai pembicara) karena fungsinya dalam upacara adat

sebagai pembicara dan pemimpin dalam keluarga kalimbubu dalam konteks

adat. Kedua, anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara

langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu. Anak

beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala

keluarga. Misalnya, si A seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan si

B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari si A. Dalam

panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.

8) Anak beru minteri, yaitu anak beru (nya) anak beru. Asal kata minteri adalah

dari kata pinteri yang berarti meluruskan. Anak beru minteri mempunyai

pengertian yang lebih luas, yakni sebagai petunjuk, mengawasi, dan membantu

Page 137: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tugas kalimbubunya pada suatu kewajiban dalam upacara adat. Dalam hal ini

ada pula yang disebut anak beru singukuri, yaitu anak beru (nya) anak beru

minteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Anak beru singukuri juga bertanggung jawab penuh atas jalannya upacara adat

karena hubungan yang relatif jauh sehingga mereka ditempatkan dalam

membantu kalimbubunya sebagai anak beru minteri (Minawati, 2010: 95).

Dari merga silima, rakut sitelu, dan tutur siwaluh terbentuklah kemudian

perkade-kaden sepuluh sada tambah sada (hubungan persaudaraan sebelas

ditambah satu), yaitu; (1) sembuyak, (2) senina, (3) senina sipemeren, (4) senina

siparibanen, (5) senina sipengalon/sendalanen, (6) kalimbubu, (7) puang

kalimbubu, (8) puang ni puang, (9) anak beru, (10) anak beru minteri, (11) anak

beru singukuri, dan ditambah satu, yaitu teman meriah, kenalan atau orang lain di

luar hubungan kekeluargaan. (Wawancara Jekmen Sinulingga, 20 April 2012).

Etnik Karo selalu menjunjung tinggi sistem kekerabatan yang disebut

merga silima, rakut si telu, tutur si waluh, dan perkade-kaden sepuluh sada

tambah sada. Dalam hal ini pandangan masyarakat Karo adalah bahwa sebagai

manusia harus beradat menunjukkan bahwa aturan adat harus dipatuhi dan dituruti.

Menurut filosopi etnis Karo, mereka yang tidak menjalankan adat dianggap lebih

buruk daripada orang yang tidak beragama, bahkan menurut Njenap Ginting

masyarakat Karo yang tidak beradat sama dengan rubia-rubia (jenis makhluk yang

bergerak di luar manusia) (wawancara, 27 Februari 2012).

Page 138: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini sistem budaya etnik Karo

sudah mengalami perubahan, baik yang berada di wilayah Karo Jahe (Deli

Serdang, Langkat), Karo Gugung (Kabupaten Karo), maupun etnik Karo yang

tersebar di wilayah Indonesia. Budaya instan seperti gendang lima sendalanen

dipinggirkan oleh sebuah keyboard sebagai pengaruh budaya global membuka

toleransi yang kebablasan dalam pelaksanaan adat istiadat, terutama pada upacara

gendang kematian etnik Karo sehingga berbagai kegiatan peradatan dipangkas,

bahkan ditiadakan.

Menurut Putro penduduk asli Sumatera Utara adalah orang-orang dari suku

Karo, tetapi saat ini telah menjadi kota multietnis. Atas dasar itu, Sumatera,

khususnya Kabupaten Karo menjadi sebuah kota dengan tingkat penduduk yang

pluralisme budayanya tinggi. Bangsa (suku) Karo yang memiliki bahasa sendiri

(Karo), aksara sendiri, seni tari dan musik, adat istiadat, serta sistem merga yang

turun temurun menunjukkan asal atau trombo (Putro, 1981: 31). Bahasa Karo

memiliki keterkaitan dengan tiga bahasa masyarakat di sekitarnya, seperti bahasa

Alas di sebelah barat, bahasa Pakpak di sebelah selatan, dan bahasa Simalungun di

sebelah timur (Woollams, 2004: 5,7). Kerajaan Haru sebagai cikal bakal

Kabupaten Karo, dahulunya telah mengenal huruf dan bahasa. Hal ini terbukti dari

negaranya sudah melakukan surat-menyurat dalam pemerintahannya. Surat Haru

secara umum dikenal dan digunakan oleh guru (dukun), kaum politisi, dan

cendekiawan. Surat Haru terdiri atas sembilan belas huruf besar yang disebut

indung surat dan lima disebut anak surat.

Page 139: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Aksara Karo merupakan aksara kuno yang digunakan oleh masyarakat

Karo, tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas, bahkan hampir tidak

digunakan. Aksara Karo memiliki persamaan dengan aksara Bali sebagaimana

terlihat pada Gambar 4.6 brikut ini.

Gambar 4.6 Aksara Karo

(Dokumen: Minawati 2010: 96)

Pada Gambar 4.6 dapat dilihat aksara Karo. Selanjutnya, jika ditelusuri,

aksara Jawa, Bali, Karo, dan Jambi (Melayu) berasal dari sumber yang sama.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apabila merujuk ke belakang terdapat

pengaruh peradaban Hindu, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Sriwijaya

(Minawati, 2010: 96; Ginting, 2002: 181).

Sebagai suku yang memiliki peradaban tinggi, etnik Karo juga memiliki

budaya yang mencerminkan jiwa estetik, yaitu berupa seni musik. Kegiatan

budaya yang sampai sekarang dilakukan pada masyarakat Karo, seperti merdang

merdem atau kerja tahun (pesta tahunan) dan dimeriahkan oleh gendang guro-

guro aron. Budaya dan sistem kekerabatan Karo saat ini tampak mulai melemah

bersamaan dengan mulai mengendurnya adat istiadat mereka.

Page 140: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

4.1.5 Mata Pencaharian

Masyarakat Kabupaten Karo lebih dominan bermata pencaharian sebagai

petani karena berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Karo didukung oleh

lahan pertanian. Secara umum orang Karo bekerja sebagai petani sayuran, buah-

buahan, kopi, jagung, cokelat, jeruk, dan bunga. Di samping itu, orang Karo ada

yang bekerja di perkebunan, sebagai pedagang, pada industri, sebagai pegawai

negeri sipil, di peternakan, dan jasa angkutan. Dalam kaitan ini, Sinar Perangin-

angin, mantan Bupati Kabupaten Karo mengatakan bahwa perekonomian di

Kabupaten Karo dikuasai oleh etnis Karo, Cina, Jawa, Mandailing, dan Dairi

(Pariwisata Kabupaten Karo, 2008).

Pada dasarnya etnik Karo mengenal sikap gotong royong dalam hal

bercocok tanam, yang dalam bahasa Karo disebut raron. Dalam hal ini

sekelompok orang yang bertetangga atau berkerabat secara bersama-sama

mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran. Dalam kaitan ini raron

merupakan suatu pranata yang keanggotaannya sukarela dan lamanya berdiri

tergantung pada persetujuan anggotanya. Selain raron, etnik Karo sejak dahulu

sudah mengenal neraya. Di sini neraya memiliki pegertian mengerjakan pekerjaan

secara bersama-sama. Dari beberapa urutan istilah tersebut, pengertiannya sama

walaupun berbeda penyebutannya. Dalam hal ini hanya terdapat perbedaan pada

sebutan sesuai dengan wilayah (daerah). Adapun bentuk sumbangan yang

berkaitan dengan tenaga, misalnya membuat rumah, menanam padi, dan membuat

irigasi. Sikap neraya saat ini telah tereksploitasi karena sudah dalam bentuk

Page 141: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

upahan (jual jasa) yang disebut ‗ngemo‘. Hal ini disebabkan oleh perekonomian

yang semakin sulit dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Perubahan tersebut

berdampak pada menurunnya sistem kekerabatan dan solidaritas dalam

masyarakat.

Selain bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata pencaharian

masyarakat Karo, terutama memelihara kerbau, babi, kambing, ayam, dan bebek.

Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai binatang yang dapat membantu bekerja

di sawah, babi banyak dimakan dalam pelaksanaan pesta, sedangkan ayam,

kambing, dan bebek banyak dijual untuk menambah pendapatan atau

perekonomian keluarga. Masyarakat dapat hidup sejahtera sebagai petani dengan

pendapatan per kapita 4.483.323,77 juta. Dalam kaitan ini kontribusi terbesar dari

sektor pertanian mencapai 59,80% kemudian didukung oleh sektor pariwisata dan

peternakan (BPPS Kabupaten Karo, 2008).

Hubungan yang baik antara manusia dan alam merupakan tanggung jawab

etnik Karo untuk melestarikannya. Misalnya, dengan menyelengarakan pesta

syukuran, seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah yang dilaksanakan

setiap tahun. Salah satu bukti tentang pentingnya flora sebagai siklus pertanian

masyarakat Karo adalah dengan hadirnya sebuah kawasan hutan lindung yang

disebut Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan ini juga merupakan ekosistem

mata pencaharian mereka.

Page 142: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

4.1.6 Kepercayaan dan Agama

Sebelum kedatangan penjajah etnik Karo sudah memiliki tingkat

peradaban yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dari kepercayaan terhadap Tuhan

yang Maha Esa, mempunyai aksara atau tulisan sendiri, mempunyai bahasa

sendiri, menghasilkan karya seni, dan memiliki adat istiadat sendiri.

Etnik Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang

dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, merupakan ciptaan Dibata. Menurut

Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah (Tuhan yang dilihat) dan

Dibata si la idah (Tuhan yang tidak dilihat). Dibata si idah dimaksud menunjuk

pada kalimbubu, yang terdapat pada sistem kekerabatan masyarakat Karo yang

berada dalam unsur daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur tersebut adalah

kalimbubu ( pemberi dara), anak beru (pihak penerima dara), dan sembuyak/senina

(saudara). Kalimbubu adalah unsur yang terhormat atau golongan yang disegani.

Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh

karena itu kalimbubu disebut juga Dibata si idah.

Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci

ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia

bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil

dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut

Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, etnik Karo

percaya kepada (1) Dibata Datas, disebut juga Guru Batara, yang memiliki

kekuasaan dunia atas (angkasa), (2) Dibata Tengah, disebut Tuhan Padukah ni

Page 143: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Aji. Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini, dan (3)

Dibata Teruh disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di

bumi bagian bawah bumi.

Kepercayaan lainnya adalah ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu

sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar mataniari yang

memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam.

Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata.

Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal di bulan. Siberu

dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat

dan tidak diterbangkan angin topan (Tambun, 1952: 131--132; Tarigan, 1988: 83--

84).

Manusia dalam kepercayaan etnik Karo terdiri atas (1) tendi (jiwa), (2)

begu (roh orang yang sudah meninggal, hantu), dan (3) kula/tubuh. Ketika

seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur, tetapi

begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh.

Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan

dengan mengadakan pemanggilan tendi, yang disebut dengan upacara raleng tendi

(memanggil jiwa). Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah

kematian. Bagi orang Karo Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana

saja, kekuasaannya meliputi segalanya, dan dianggap sebagai sumber segalanya.

Hal ini sesuai dengan keyakinan masyarakat Karo yang sangat dekat dengan suatu

bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa

Page 144: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib (Tarigan, 1988: 83--

84).

Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen sebagai kepercayaan yang

baru di tengah-tengah etnik Karo, telah memiliki suatu kepercayaan yang disebut

perbegu yang artinya orang yang mempunyai atau memercayai hantu. Dalam

perkembangannya kepercayaan ini disebut pemema (kepercayaaan awal).

Kepercayaan pemena tidak termasuk dalam satu agama yang resmi.

Untuk menjalankan kepercayaannya, etnik Karo terlebih dahulu melakukan

ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap

penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan

bagi keluarganya yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab

menurut Njenap Ginting, jika tidak dilaksanakan, maka roh-roh tersebut atau

tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup dan hal

ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak

diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan roh-roh yang sudah mati (Perumah

Begu) (Wawancara, 28 Mei 2012).

Roh dalam pandangan etnik Karo memiliki kekuatan yang tinggi. Etnik

Karo memercayai dengan melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang

mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah dan akan melindungi

keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Selain ritual pemanggilan

terhadap roh orang yang sudah mati juga ritual pemujaan terhadap benda-benda

sekitarnya yang disebut mangmang. Mangmang adalah satu nyanyian ritual Karo

Page 145: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yang dinyanyikan oleh seorang guru/dukun berdasarkan kepercayaan semula jadi

Karo. Sistem kepercayaan ini dapat dilihat pada saat menjalankan upacara ritual.

Upacara bertujuan untuk pengobatan. Terdapat dua jenis upacara ritual yang

memerlukan penyajian mangmang, yaitu penyucian diri dan memanggil roh

manusia (Tarigan, 2006: 65).

Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang meninggal dalam

satu hari (mate sadawari), baik sakit maupun kecelakaan. Arwah orang yang

meninggal diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu, pada ritual

mangmang dilakukan dengan cara memberikan sesaji berupa sebatang rokok yang

sudah dinyalakan dan dijepit pada sebatang ranting kecil di tanah. Kemudian

dilengkapi dengan seperangkat daun sirih, yaitu lazimnya orang yang makan sirih.

Selanjutnya, bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil

meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang arwah orang

yang meninggal dunia tersebut.

4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo

Etnik Karo percaya bahwa setiap orang mempunyai tendi/ roh. Jika

seseorang meninggal dunia, maka tendi akan berubah menjadi begu. Begu

dipercaya masyarakat Karo sering menganggu manusia yang masih hidup dan

sekaligus dipercaya dapat menjaga manusia. Artinya, ada begu yang ditakuti dan

ada begu yang dihormati. Berikut dijelaskan beberapa jenis begu yang terdapat

pada masyarakat Karo. (1) Begu yang sangat penting adalah begu jabu atau rumah

Page 146: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tangga, yang disebut dibata jabu atau dewa rumah tangga. Begu ini merupakan

jenis roh dari kerabat terdekat yang meninggal secara tiba-tiba (si mate sada wari)

atau seseorang yang meninggal dalam suatu hari tertentu, baik oleh kecelakaan,

pelanggaran, maupun bunuh diri, tetapi tidak melalui perkembangan penyakit.

Setelah acara ritus perumah begu, begu ini menjadi roh rumah tangga atau begu

jabu, yang melindungi keluarga mereka dari segala bentuk kekuatan dan penguruh

jahat. ―Begu jabu ngkelini jabuna‖, artinya roh rumah (begu jabu)

menyelamatkan keluarganya. Roh-roh atau dewa ini dikatakan menghuni rumah

tangga dan sajian khusus disampaikan kepada mereka.

(2) Jenis begu lainnya yang dikenal masyarakat Karo adalah meliputi begu butara

guru, yakni roh anak yang baru lahir atau yang juga disebut begu perkakun

jabu, yakni roh pengaman rumah tangga. Roh tersebut juga memiliki potensi

bahaya. Selama kita tidak belajar untuk berbicara tentang kehidupannya, maka

tidak mungkin bagi kita mengomunikasikan kebutuhan dan keinginannya,

demikian juga halnya dengan keluarganya. Kecermatan tinggi harus dilakukan

pada penguburan tubuh seorang bayi karena guru (dukun) dapat menggunakan

tubuh bayi untuk membuat obat atau pupuk yang selanjutnya dipercaya akan

menimbulkan nasib sial bagi keluarga bayi itu atau orang lain.

(3) Begu yang dikenal sebagai bicara guru disebut juga begu perkakun jabu adalah

roh seorang anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi. Apabila roh ini

dihormati, akan menjadi roh pelindung bagi keluarga. Tubuh anak-anak yang

meninggal jika dicuri orang, dipercaya bahwa rohnya dapat digunakan oleh

Page 147: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dukun untuk menjadi pengikutnya dan bisa berbahaya bagi orang banyak.

(4) Begu simate sada wari, yaitu begu yang berasal dari orang-orang yang

meninggal tidak disebabkan oleh penyakit, tetapi meninggal secara mendadak

dalam satu hari. Misalnya, orang yang meninggal disambar petir, ditembak,

gantung diri, dan lain-lain. Kepada begu simate sada wari perlu dibuat bere-

beren dengan pakaian lengkap. Ada ungkapan kurumah begu simate sada

wari, seluk guru, merawa ia megang sorana, tapi ukurna mehuli nge gelah

mejuah-juah kam (datang ke rumah begu simate sada wari melaui guru/dukun

dengan suara yang keras, tetapi hatinya baik untuk kesehatan) berbicara

melalui medium.

(5) Begu tungkup wanita yang meninggal dan belum pernah menikah selama

hidupnya. Begu ini juga termasuk begu jabu yang harus dihormati agar tidak

mengganggu keluarga yang masih hidup.

(6) Begu kayat-kayaten orang yang meninggal disebabkan penyakit, sedangkan

orangnya belum begitu tua. begu ini dianggap sebagai begu biasa.

(7) Begu mentas orang lain yang merupakan begu melintas saja.

(8) Begu menggep, yaitu sejenis begu yang sangat menakutkan dan selalu

mengintip orang untuk mencederainya di bawah kolong atau dibawah tangga

rumah atau ke pondok untuk menerkam mangsanya. Jenis begu ini sangat

ganas kepada wanita dan anak-anak. Sebagai penangkal dan penolak begu

menggep maka anak-anak dan para wanita diberikan kalung umbi jerangau.

(9) Begu sidangbela adalah begu dari wanita yang meninggal pada saat

Page 148: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

melahirkan. Begu ini sangat marah, benci, dan kejam sekali terhadap wanita

hamil dan anak-anak kecil. Begu ini sering menanti korbannya di bagian jahen

tapin (sebelah hilir dari tepian tempat pemandian). Dalam kepercayaan lama

antinya adalah jerangau diselipkan di dalam sanggul orang yang sedang hamil

atau dijadikan kalung bagi anak-anak sebagai penangkal.

(10) Begu juma, yaitu begu orang yang meninggal secara umum. Begu ini selalu

mengganggu orang yang bekerja di ladang, merasuki orang sehingga orang di

ladang boleh berkelahi tanpa sebab.

(11) Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senang sekali mencekik

leher mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.

Biasa disuruh oleh orang yang memilikinya untuk mencelakai orang lain,

mencekik orang sehingga berbekas biru di lehernya. Selain itu, bisa juga

membuat lidah orang yang dicekiknya menjulur keluar dan matanya melotot.

Bila tidak hati-hati dan segera mendapatkan pertolongan dari seorang

guru/dukun, akan menyebabkan korbannya meninggal. Menurut tradisi Karo,

orang yang memelihara begu ganjang biasanya orang yang sedang

mempunyai masalah. Karena ia selalu disertai dengan ketakutan, maka ia

perlu dikawal.

(12) Begu sirudang gara, yaitu begu yang bisa disuruh-suruh, misalnya menjaga

ladang, kolam ikan, jemuran dan lain-lain. Bila ada pencuri, bisa tiba-tiba

meninggal ataupun stroke (Tambun, 1952: 133--134; Tarigan, 1988: 85--89 ;

Ginting, 1999: 19--30).

Page 149: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dalam pandangan etnik Karo, penting diketahui bahwa dalam acara

ritus perumah begu/memanggil roh, roh selalu direkonsiliasikan dengan nasibnya,

dipaksa untuk menyadari statusnya yang baru, dan cara yang tepat untuk bertindak

terhadap keluarganya yang masih hidup. Di samping itu, memberikan peluang

untuk mengambil jarak dari keluarganya, mengindikasikan keinginannya yang

terakhir, dan menyelesaikan urusan yang belum selesai sesuai dengan

keperluannya. Gambar 4.7 menunjukkan bahwa etnik Karo melakukan upacara

perumah begu yang dilaksanakan setelah upacara gendang kematian di kesain

(lapangan rumah adat) dan disaksikan oleh semua kerabat yang tinggal di rumah

adat tersebut. Insrumen musik yang digunakan dalam upacara ini adalah kulcapi

sebagai pembawa melodi yang biasanya perkulcapi (pemain kulcapi) dapat

mengalami kesurupan bersamaan dengan guru sibaso sebagai pimpinan dalam

upacara tersebut. Saat ini hal tersebut tidak pernah lagi dilakukan oleh etnik Karo.

Page 150: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 4.7

Musik dan tari Etnik Karo, dalam upacara ritual ± tahun1900

(Dokumen: K.I. Museum Amsterdam, Capture: Pulumun P. Ginting, 2010)

Perumah begu adalah suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk

memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia dengan perantaraan dukun

(guru sibaso). Karena sifat kematiannya yang berlangsung tiba-tiba, maka begu si

mate sada wari adalah roh yang sangat kuat dan berbahaya. Apabila tidak

ditangani secara tepat dalam acara ritus perumah begu, dapat menjadi ancaman

besar bagi diri dan orang lain, yang mungkin akan mendapat tempat tinggal

menetap. Orang yang diambil dari kehidupannya secara tiba-tiba, sekalipun tidak

diinginkannya sehingga tidak ada persiapan untuk mati, maka orang tersebut

mungkin menjadi roh liar (begu mentas), yang tidak menentu ke mana perginya

dan bagaimana nasibnya kemudian. Setiap upaya yang tidak tepat untuk memasuki

kembali roh jahat ke siklus kehidupan keluarganya yang masih hidup akan

Page 151: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menimbulkan penyakit dan kematian bagi mereka sebab akan menimbulkan

keterkejutan tiba-tiba bila bertemu dengan anggota keluarga, baik di ladang

maupun di jalan. Ritus perumah begu di representasikan melalui medium

guru/dukun.

4.1.6.2 Guru/ Dukun

Orang yang dapat menjalankan prinsip kepercayaan pada masyarakat Karo

biasanya disebut dengan guru/dukun. Guru pada masyarakat Karo disebut guru si

baso atau guru yang secara umum berarti orang yang dapat berkomunikasi dengan

roh gaib dan dapat mengobati. Guru adalah seseorang yang mempunyai indra

―keenam‖. Fungsinya selain sebagai pembuat obat juga sebagai peramal. Tarigan

(2007: 50) menyebutkan bahwa guru adalah seseorang yang mempunyai jinujung

(makhluk halus yang memberikan keahlian), mempunyai kelebihan, dan dapat

mengucapkan mang-mang/mantra-mantra.

Guru dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai masyarakat awam dan

sebagai orang yang mempunyai ‗ilmu‘. Sebagai anggota masyarakat awam, secara

umum sama dengan masyarakat Karo yang lain yang bukan guru. Mereka bekerja

untuk mencukupi keperluan sehari-hari dengan cara bertani atau berjualan. Mereka

juga menjalankan adat yang terdapat dalam rakut si telu. Sebagai orang yang

mempunyai ‗ilmu‘, mereka mempunyai kelebihan daripada masyarakat awam.

Mereka mempunyai kelebihan dan dapat menjalankan aktivitas yang khas,

Page 152: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

misalnya dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat menjalankan

pengobatan kepada seseorang yang sakit atau menjalankan upacara ritual.

Kelebihan guru daripada masyarakat awam terutama karena guru

mempunyai jinujung. Jinujung merupakan satu kekuatan yang penting yang

terdapat dalam diri guru sebab dengan ada jinujung maka seseorang mempunyai

ilmu dan mendapat sebutan seorang guru. Aktivitas guru selalu mengikuti

petunjuk dari jinujung. Oleh karena itu, yang menjalankan aktivitas pada

dasarnya ialah jinujung. Guru hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi, pada

waktu menjalankan satu aktivitas, jinujung tidak selalu menyerap ke dalam tubuh

guru.

Menurut Ginting (2009: 65), seseorang yang bisa menjadi guru adalah

orang-orang yang mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan orang

biasa pada umumnya. Guru termasuk orang yang dituakan dan mempunyai

kelebihan-kelebihan, seperti (1) guru bisa berkomunikasi dengan roh-roh halus

(gaib), (2) guru bisa kemasukan (kesurupan) roh-roh halus dan masih bisa tetap

mengontrol dirinya walaupun lagi kesurupan, (3) seorang guru biasanya

mempunyai indra yang lebih dari manusia biasa, yakni guru dapat melihat roh-roh

halus (dua lapis pengenen matana), (4) ersora kerahungna (lehernya bisa bersuara

) dan melalui suara itulah dia dapat berkomunikasi dengan roh-roh halus, (5) guru

dapat menentukan hari-hari apa saja yang menjadi hari baik dan hari tidak baik

setiap bulannya, (6) biasanya seorang guru bisa mencari barang yang sudah hilang,

Page 153: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(7) dapat mengartikan sebuah mimpi, serta (8) dapat mengobati berbagai macam

penyakit, bisa membuat penangkal dan membuat jimat sebagai penangkal bala.

Orang Karo membagi beberapa jenis guru/dukun, yaitu (1) Guru mbelin,

yaitu guru (dukun) yang mampu mengobati berbagai macam penyakit dalam tubuh

manusia, baik penyakit yang datangnya dari ulah manusia maupun penyakit yang

datangnya akibat guna-guna. Seorang guru mbelin biasanya sakti dan sangat

disegani oleh masyarakat. Pada etnik Karo guru inilah yang dianggap paling

banyak tahu tentang pengobatan penyakit dan kosmologi. Guru ini memiliki

berbagai macam keahlian sekaligus dari beberapa jenis guru yang ada pada

masyarakat.

(2) Guru penawar, yaitu guru yang dapat mengobati berbagai penyakit dengan

membuat obat-obatan dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, biji-

bijian, minyak dan sebagainya.

(3) Guru pengarkari, yaitu guru yang dapat membuat benteng atau perlindungan

dari roh-roh atau makhluk-makhluk halus yang ingin mengganggu manusia

atau dari teluh yang dibuat oleh orang lain. Benteng atau perlindungan

tersebut terdiri atas berbagai macam bentuk dan bahan, misalnya jimat dari

batu, kain, tumbuhan, dan sebagainya;

(4) Guru ngulakken, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengobati

penyakit yang datangnya dari teluh. Guru ini tidak hanya bisa mengobati

penyakit tersebut, tetapi apabila diminta oleh orang yang sedang diobati agar

penyakit tersebut ulakken (kembalikan), maka dia juga mampu

Page 154: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengembalikan penyakit tersebut kepada yang mengirimnya sehingga

penyakit tersebut akhirnya menghantam pemiliknya sendiri.

(5) Guru persilihi, yaitu guru yang mampu mengobati orang yang sakit karena

birawan, yaitu orang yang sedang sakit karena terkejut, dan diyakini oleh

masyarakat karena disapa oleh makhluk halus. Oleh sebab itu, agar tidak

diganggu oleh makhluk halus tersebut maka diberikan benda-benda sebagai

pengganti manusia yang sakit tersebut kepada roh yang menyapanya. Persilihi

artinya memberikan ganti. Dalam upacara persilihi sebagai ganti selain

beberapa jenis makanan, seperti buah pisang emas dan beberapa jenis

makanan yang disebut dengan cimpa, yang diletakkan di sebuah

persimpangan yang diyakini sering dilalui oleh makhluk halus tersebut juga

biasanya pohon pisang beserta bonggolnya diukir seperti tubuh manusia, yang

disebut dengan gana-gana. Pohon pisang dengan makanan tersebut diletakkan

di persimpangan jalan. Benda-benda itu diberikan sebagai pengganti manusia

yang diganggu oleh roh atau makhluk halus tersebut. Namun, dalam upacara

yang lebih kecil biasanya diberikan cukup manuk sabur bintang (ayam) saja

sebagai kahul. Ini biasa digunakan dalam upacara ndilo tendi, yaitu

memanggil roh seseorang yang ditahan oleh makhluk halus di tempat-tempat

tertentu. Upacaranya dipimpin oleh guru persilihi ini.

(6) Guru siniktik wari atau disebut juga guru si meteh wari telu puluh, adalah guru

yang mempunyai keahlian tentang hari-hari yang baik dan tidak baik. Hari-

hari baik dan tidak baik ini menyangkut apa yang baik dilakukan pada hari-

Page 155: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

hari tertentu. Biasanya untuk melakukan upacara terlebih dahulu ditanyakan

kepada guru ini kapan waktu yang baik diadakan upacara.

(7) Guru perdewal-dewal, yaitu guru yang biasa dipakai untuk upacara perumah

begu, yaitu upacara untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia.

Dalam kepercayaan orang Karo, roh yang sudah meninggal dunia dapat

dipanggil kembali melalui medium sang guru tersebut. Manusia masih dapat

melakukan komunikasi dan saling tukar informasi tentang kehidupan orang

yang meninggal tersebut. Upacara ini juga biasa dipakai untuk mendamaikan

sebuah keluarga yang dilanda konflik. Karena pihak keluarga tidak dapat lagi

mendamaikan konflik yang ada maka biasanya dilakukan upacara perumah

begu. Oleh karena itu, dipanggil roh orang tua mereka yang sudah meninggal

dan memberikan nasihat kembali kepada anak-anaknya agar hidup tentram,

damai dan jangan bertengkar.

(8) Guru si ngoge gerek-gereken, yaitu guru yang mampu meramalkan sifat

seseorang, membaca firasat atau apa yang akan terjadi dengan melihat telur

ayam atau manuk sangkep, yaitu ayam yang sudah dimasak dicampur dengan

kelapa parut. Hal ini biasanya dilakukan pada upacara mukul dalam

perkawinan, yaitu ketika pengantin makan daging ayam bersama dan

disaksikan oleh sanak famili.

(9) Guru si dua lapis pengenen matana, yaitu guru yang mampu melihat makhluk-

makhlu halus. Selain itu, juga dapat berkomunikasi dengan mereka.

Page 156: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(10) Guru ngeluncang atau guru muncang, yaitu guru yang mempunyai keahlian

untuk mengusir roh-roh jahat yang sudah sangat menggangu di sebuah

kampung. Hal ini ditandai dengan terlalu sering ada orang yang meninggal di

sebuah kampung, penyakit merajalela, penduduk ketakutan, dan dianggap di

kampung tersebut ada roh-roh jahat yang mengganggu. Biasanya dalam

upacara ini sang guru akan berlari-lari ke sana kemari berperang melawan

roh-roh jahat tersebut. Sekali-sekali dia memanjat pohon kelapa dengan cepat.

Demikian juga dia turun dari pohon kelapa dengan cepat, sampai pada

akhirnya kampung tersebut dinyatakan bebas dari gangguan roh-roh jahat.

(11) Guru perjinujung, yaitu guru yang mempunyai roh yang menyertai dirinya,

biasanya roh kerabatnya yang sudah meninggal dunia, atau roh di sebuah

tempat tertentu yang ingin bersamanya. Secara harfiah dapat disebut dengan

jinujung adalah yang dijunjung, yaitu roh yang menyertai dirinya dan menjadi

baigan dari diri seseorang melalui proses penabalan (pentabisan) oleh guru

juga. Orang yang dapat mempunyai jinujung biasanya disebabkan oleh (a)

turun-temurun dari nenek moyangnya, (b) berdasarkan ngguru atau belajar

dari pustaka najati atau lak-lak kayu, yaitu tulisan kuno yang terdapat dalam

kulit kayu, (c) berdasarkan mimpi, (d) sengget (terkejut), dan (e) begu jabu,

yaitu ada roh anggota keluarga yang ingin masuk kepada salah satu

saudaranya yang masih hidup. Roh ini biasanya roh orang yang mate sada

wari atau mati kontan (satu hari), misalnya karena kecelakaan, bunuh diri, dan

sebagainya.

Page 157: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(12) Guru nendong (tedung), yaitu seseorang yang mempunyai keahlian

mengetahui sesuatu, misalnya mengetahui di mana seseorang yang hilang

berada dan sebagainya.

(13) Guru penggel, yaitu guru yang dapat mengobati orang yang patah tulang.

(14) Guru peraji-aji, yaitu guru yang dapat membuat orang lain menjadi sakit.

(15) Guru si baso, yaitu guru yang dapat melakukan komunikasi dengan roh-roh

atau makhluk halus;

(16) Guru purkasih atau percoles-coles, yaitu guru yang dapat menaklukkan

seseorang dengan cara-cara tertentu. Misalnya, orang akan menjadi sangat

kasihan meskipun sebelumnya sangat marah atau menjadi sangat suka kepada

seseorang meskipun tidak ada perasaan cinta sama sekali sebelumnya.

(17) Guru kebal, yaitu guru yang mempunyai keahlian tahan daging. Misalnya

membuat seseorang tidak mempan dibacok dengan benda-benda tajam.

4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo

Apabila seseorang membutuhkan guru untuk memanggil begu dalam

keluarganya, maka guru akan meniktik wari/guru perkatika atau melihat hari yang

baik untuk mengadakan upacara. Guru perkatika sering juga disebut guru simeteh

wari telupuluh (dukun yang dapat membaca hari tiga puluh dalam satu bulan).

Tidak semua hari yang dapat digunakan dalam ritus perumah begu. Berikut nama-

nama wari/hari yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Karo. Guru simeteh

wari telu puluh memiliki keterampilan untuk membaca hari-hari agar manusia

Page 158: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengetahui hari yang baik dan tidak baik melakukan sesuatu. Nama-nama hari

yang dipercaya etnik Karoyaitu sebagai berikut. (1) Aditia, wari medalit, baik

memulai sesuatu, runggu musyawarah, dan hati-hati.

(2) Suma. Wari sidua nahe, yaitu hari dua kaki, hari manusia dan ayam, hari ini

kurang baik untuk menggali lubang, bila ada orang meninggal perlu dibuat

upacara ngarkari, akan tetapi baik untuk kegiatan barburu, menjala ikan, dan

memikat binatang.

(3) Nggara. Wari merawa/merampek, yaitu hari baik untuk perang, membalikkan

guna guna, membuang sial, membuat obat-obatan, berburu, dan merambah

hutan.

(4) Budaha. Wari siempat nahe, hari yang berkaki empat, hari ini adalah hari padi,

baik untuk menanam padi di ladang dan sawah, memasukkan padi ke

lumbung, memulai musim tanam, dan baik untuk melakukan pesta.

(5) Beraspati. Wari medalit, yaitu hari licin, hari ini baik untuk pesta, memulai

membangun rumah, meresmikan rumah baru, memulai usaha baru, melamar

pekerjaan, dan pantang bersitegang.

(6) Cukra enem berngi. Wari pembukui,wari salang sai, yaitu hari yang baik

untuk berangkat merantau, menyeberang lautan, melamar pekerjaan,

menghadap orang penting, memulai usaha baru, upacara perkawinan, dan

melamar gadis.

(7) Belah naik. Wari pengguntur, wari raja, adi berkat usur jumpa teman, hari

yang baik untuk menikah, melamar pekerjaan, upacara raleng tendi, erpangir

Page 159: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

karena terpenuhinya apa yang dicita-citakan. Semua pesta baik jika

menggunakan alat musik.

(8) Aditia naik. Wari mehuli, yaitu hari baik, semua baik untuk pesta, rapat adat,

pesta musik, ritual (berkeramas), pesta perkawinan, meresmikan rumah baru,

membuka usaha baru, melamar perempuan, rekonsiliasi (purpur sage).

(9) Sumana siwah. Wari kurang ulina, yaitu hari yang kurang baik dan harus hati-

hati dalam segala tindakan. Yang baik hanya untuk berburu.

(10) Nggara sepuluh. Wari melas, yaitu hari panas. Hati-hati berbicara, jangan

bersitegang, hati-hati dengan api, baik untuk membuat obat-obatan, perang,

membalikkan guna-guna orang, memulai pekerjaan baru, buang sial, pesta

kawin, main musik, meresmikan rumah baru, dan baik untuk ngampeken

tulan/ mengangkat tulang bululang nenek moyang.

(11) Budaha ngadep. Wari salang sai, wari mehuli, yaitu baik untuk pesta, rapat

adat, menjenguk kerabat, melamar pekerjaan, perkawinan, dan pesta dengan

musik.

(12) Beras pati tangkep. Wari simehuli, mehulu njumpai simbelin (menjumpai

pejabat), masuk rumah baru, pesat meminta rezeki, pesta kawin, dan

mengucapkan syukur kepada Dibata.

(13) Cukera dudu (lau). Wari mehuli, baik untuk pesta kawin, masuk rumah baru,

dan upacara erpangir ku lau.

Page 160: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(14) Belah purnama raya. Wari raja, yaitu baik buat pesta yang besar, pesta

pejabat, erpangir ku lau, dan pesta guro-guro aron, memberikan makanan

kepada orang tua, bertunangan, pesta tahunan, pesta seni.

(15) Tula. Wari sial, yaitu tidak baik untuk pesta yang baik hanya menanam

kelapa. Jika ada anak lahir, bisa mengakibatkan salah satu orang tuanya

meninggal. Oleh karena itu, harus dibuat sebuah upacara yang disebut ibah-

bahi alu bulung simalem-malem.

(16) Suma cepik. Wari sila mehuli, hari yang tidak bagus, kecuali untuk berburu

dan memancing.

(17) Nggara enggo tula. Wari merawa, yaitu hari baik untuk buang sial, membuat

obat, hari yang penuh dengan hati-hati dan erpangir selamsam / mimpi buruk.

(18) Budaha gok. Wari page mbuah, hari panen, menyimpan padi ke lumbung,

mulai menanam, baik membeli hewan berkaki empat, kurang baik untuk

menjual sesuatu, baik untuk mengadakan upacara.

(19) Beras pati. Mejile menaken rabin, yaitu baik memotong kayu untuk rumah,

memancing, membuat gubuk di ladang.

(20) Cukra sidua puluh. Baik untuk membuat obat, masuk rumah baru,

mengangkat tulang belulang nenek moyang, pergi bertamasya, hari yang baik

dalam segala hal.

(21) Belah turun. Baik untuk buang sial, ncibali siding, memancing, berburu,

memasang pelet burung.

Page 161: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(22) Aditia turun. Baik untuk membuat obat, erpangir, buang sial, berburu,

engkawil, ngulakken pinakit, turun ke laut.

(23) Sumana mate. Baik untuk membuat pancingan baik di darat maupun di air,

membuat jebakan, berburu binatang, jika berkelahi taruhannya adalah nyawa.

(24) Nggara simbelin. Baik untuk membuat obat, buang sial, bertapa, berperang,

mencari ilmu, membuat penangkal atau penjaga badan, penangkal ladang.

(25) Budaha medem. Hari baik untuk mulai menanam ke ladang, pesta tahunan,

memulai perjalanan, menggiling padi, mengambil padi dari lumbung,

menikah.

(26) Beraspati medem. Wari simalam-malem, yaitu memberikan makanan kepada

orang tua, hari damai, mengunjungi kalimbubu, pesta kawin, membuat obat.

(27) Cukrana mate. Hari buang sial, membuat obat, berburu, memancing, dan

berladang.

(28) Mate bulan. Hari buang sial, ngulakken, tidak baik mengadakan upacara,

mudah ingkar janji, saling tidak percaya, tidak perlu pergi jika tidak penting,

yang baik hanya berburu, memancing, turun ke laut.

29. Dalan bulan. Wari kurang ulina ( hari yang kurang baik ) dalam segala hal.

30. Samisara. Wari pendungi hari untuk menyelesaikan, menutup kerja, membayar

utang, purpursage, berdoa kepada Dibata dan kepada leluhur, nendungi guru.

Page 162: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

4.1.6.4 Kedai Kopi

Bagi orang Karo, khususnya kaum laki-laki (dewasa), kedai kopi

merupakan sebuah kebutuhan penting. Meskipun di rumah telah disediakan oleh

pernanden (ibu) kopi sejenis atau kopi sejenis seperti di kedai kopi, tidak

mengurangi niat dan minat kaum bapak ke kedai kopi. Hal itu menarik. Apakah

karena kebiasaan itu merupakan warisan dari budaya Karo? Dari pengamatan

peneliti ke seluruh perkampungan Karo, baik di tanah Karo sendiri maupun di

berbagai tempat yang didiami orang Karo, seperti Seli Serdang, Binjai,

Simalungun, Dairi, bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa, selalu ada saja kedai

kopi Karo atau kedai kopi orang Karo.

Meskipun di perkotaan telah muncul beragam kafe-kafe internasional,

kedai kopi bagi orang Karo atau setidaknya lapo bagi orang Toba tidak bisa hilang

dimana pun mereka berada. Hal ini tidak serta merta mengurangi kemodernan

seseorang meskipun telah tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan

sebagainya. Bagi orang Karo kedai kopi bukan sekadar tempat meminum kopi,

kopi susu, teh manis, atau sejenisnya, melainkan telah lama bagi masyarakat Karo

kedai kopi sebagai tempat pusat informasi komunitas, baik di kampung maupun di

kota. Mulai kelahiran sampai kematian dapat diketahui dari adanya kedai kopi.

Berbagai hal diulas dan didiskusikan di sana, baik dari sisi obrolan ringan seperti

harga jeruk turun, calon bupati 2014, perkembangan pansus century, maupun

persoalan-persoalan politik yang menyangkut negara, seperti kunjungan Obama ke

Indonesia, bahkan kehidupan selebritis.

Page 163: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tidak ada yang tidak dapat dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa

menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan

hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo.

Namun, satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekadar ingin melihat

pertandingan catur atau cator. Obrolan-obrolan pemain catur ini pun menjadi salah

satu daya tarik. Bahkan, lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur

ini daripada permainan caturnya sendiri. Rengget atau cengkok nyanyian

perkolong-kolong yang terdapat dalam gendang kematian juga tidak terlepas dari

nyanyian yang ada di kedai kopi, sadar atau tanpa sadar pemain catur sering

menyanyikan rengget ini. Di mana ada kedai kopi Karo, pasti di sana ada papan

catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi

papan catur.

Ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi

di lokasi penelitian, apa yang membuat Anda ketagihan datang ke kedai kopi?

Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekadar menghabiskan waktu, ada

yang sekadar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang

ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari

hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak

berkeputusan, dan sebagainya. Menurut Njenap Ginting, tidak cukup untuk

memahami kebudayaan kita di berbagai upacara atau ritual saja, kedai kopi

merupakan salah satu wadah untuk memahami adat istiadat kita, karena di sinilah

kita bebas berargumentasi dan akan diterapkan dalam kehidupan kita (wawancara,

Page 164: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

26 Mei 2012). Obrolan di kedai kopi telah dipahami sebagai obrolan santai dan

tidak serius. Oleh sebab itu, pada saat itulah orang per orang bebas berbicara apa

saja tanpa ada yang merasa tersinggung, karena mereka tahu benar konteksnya

dimana.

Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekadar minum, tetapi

komunikasi antarindividu tersebutlah yang menjadi faktor utamanya. Meskipun di

kota-kota besar seperti Medan, Pekan Baru Jakarta, dan seterusnya bukan

minumannya yang menjadi faktor ke kedai kopi, melainkan emosional kesukuan

dan kedaerahan, emosional cita rasa ‗kekaroan‖nya tidak akan pernah terlupakan.

Setelah diamati dapat disimpulkan bahwa menurut kepercayaan, masyarakat Karo

tidak akan ada tanpa kedai kopi. Artinya, ketika kedai kopi lenyap maka sekaligus

adat dan budaya etnik Karo akan lenyap. Kedai kopi adalah sekolah atau

universitas nonformal bagi orang Karo.

Tempat berkumpulnya sierjabaten/penggual (pemain gendang lima

sendalanen) disebut kedai kopi penggual. Kedai kopi penggual berada di Kota

Kaban Jahe, yaitu ibu kota Kabupaten Karo. Setiap hari mereka akan menunggu

panggilan untuk upacara gendang kematian. Semua masyarakat yang

membutuhkan jasa mereka untuk upacara gendang kematian cukup datang ke

kedai kopi penggual tersebut. Namun, akibat teknologi informasi, kedai penggual

atau tempat berkumpulnya seniman-seniman Karo, berangsur-angsur ditinggalkan,

yang membuat kemudian seniman bersifat individual. Meskipun demikian, mereka

masih tetap ke kedai kopi, tetapi bukan kedai kopi penggual.

Page 165: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kedai kopi merupakan sarana

informasi bagi orang Karo, baik di tanah tinggi Karo maupun daerah lain, yang

didiami orang Karo. Kabar kematian akan didapatkan siapa, di mana, dan kapan

akan dilaksanakan upacara gendang kematian tersebut. Pada umumnya, di mana

pun lokasinya upacara gendang kematian akan dilaksanakan pada sebuah gedung

atau aula ―bersama‖ yang disebut masyarakat Karo dengan istilah jambur atau

losd.

4.1.6.5 Jambur / Losd

Salah satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya lokal yang

berkarakter adalah dengan membangun sarana pendukung budaya kepada generasi

muda kita. Nilai-nilai budaya warisan leluhur ini adalah jiwa kebudayaan lokal dan

menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Hal ini bisa dilihat

dari satu sarana berkumpul dalam sebuah upacara yang terdapat pada etnik Karo,

yaitu jambur/losd.

Jambur/losd pada masyarakat Karo adalah sebuah sarana untuk

menghargai dan mengaktualisasikan adat dan budayanya. Aktualisasai kebudayaan

Karo termanifestasikan dalam sebuah jambur/losd. Etnik Karo memiliki berbagai

upacara yang menyangkut adat istiadat yang dilangsungkan secara turun-temurun

dan dari generasi ke generasi yang disebut dengan tradisi lisan. Jambur/losd

sebagai sarana untuk melaksanakan semua kegiatan adat yang bersifat kearifan

lokal.

Page 166: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Bagi masyarakat Kabupaten Karo di Sumatera Utara, keberadaan jambur

atau losd menjadi kebutuhan yang terbangun secara alami. Jambur atau losd

awalnya tempat sosial masyarakat Karo untuk memanen hasil pertanian atau jual

beli dan pada masa kini berkembang menjadi tempat menggelar upacara adat,

seperti upacara perkawinan atau upacara kematian. Hampir setiap desa di tanah

Karo memiliki jambur atau losd. Bahkan, jambur banyak ditemukan di kota

Medan karena telah menjadi kebutuhan sosial. Jambur jugalah yang meringankan

kegagapan pemerintah Kabupaten Karo, yang selama ini hanya disibukkan oleh

arus perdagangan hasil pertanian yang melimpah ruah, dalam menangani bencana

Gunung Sinabung, yang dipercayai baru kali pertama terjadi dalam 400 tahun

terakhir.

Jambur adalah sejenis aula yang besar, yang biasanya bisa nenampung

untuk sebuah upacara antara 500--1000 undangan yang biasanya digelar tikar

untuk tempat duduk. Jambur bisa ditemukan di setiap desa, baik di Kabupaten

Karo maupun di wilayah yang dihuni masyarakat Karo. Kepemilikan jambur di

setiap desa itu adalah masyarakat desa tersebut, tetapi kalau misalnya di kota, baik

di Kota Kabanjahe, Berastagi, maupun Medan, mayoritas kepemilikannya

perindividu, yang biasanya dikomersialkan untuk upacara perkawinan atau

upacara gendang kematian.

Pada zaman dulu sebelum adanya bangunan ini, baik upacara pernikahan

maupun upacara lainnya, diadakan di tanah lapang atau lapangan (kesain). Akan

tetapi, berjalannya waktu para pendahulu kita mulai menyadari betapa pentingnya

Page 167: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

memiliki suatu bangunan yang permanen untuk mengadakan acara-acara penting

agar acara tersebut dapat berlangsung dengan teratur dan baik. Oleh sebab itu,

simatek kuta mengajak warga yang ada di desa untuk membangun bangunan yang

disebut jambur. Semua hal yang dibicarakan di kedai kopi implementasinya

tampak dalam upacara di jambur. Terkait dengan itu, seperti yang sudah disebut di

atas bahwa upacara gendang kematian etnik Karo dilaksanakan di bangunan

tersebut.

4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian

Upacara adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas

yang biasanya dilakukan dengan musyawarah mufakat meskipun upacara tersebut

dilakukan untuk kepentingan seseorang. Gendang dalam subbab ini diartikan

sebagai nama sebuah upacara sekaligus nama sebuah ensambel musik. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhir kehidupan pada orang Karo adalah

ketika seseorang meninggal dan dilakukan penghormatan terakhir oleh

kekerabatannya (sangkep nggeluh) dalam peristiwa yang disebut upacara gendang

kematian.

Upacara gendang kematian adalah sebuah ritual yang sangat penting bagi

etnik Karo. Dalam satu dekade terakhir ini upacara gendang kematian mengalami

degradasi sebagai akibat dari pengaruh budaya global.

Etnik Karo percaya bahwa arwah yang meninggal masih dekat dengan diri

mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini tampak dari perilaku

Page 168: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri atas jasmani

(kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur

jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam

upacara gendang kematian pada masyarakat Karo tidak asing disebutkan buk jadi

ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, jukut jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi

begu. Semua hal itu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi

air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh

menjadi hantu. Hal ini berarti bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bukan

sebaliknya. Pemaparan subbab tentang jenis upacara kematian dan unsur-unsur

yang ada di dalamnya seperti uraian berikut ini.

4.2.1 Jenis Kematian

Beberapa jenis kematian pada masyarakat Karo, di antaranya adalah

sebagai berikut. Pertama, cawir metua. Cawir metua disebut apabila umur yang

meninggal sudah lanjut (beranak-cucu, cicit atau cacah) dan semua anaknya sudah

berkeluarga. Namun, ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut,

tetapi masih ada anaknya yang belum berkeluarga, maka dalam keadaan demikian

bisa dilaksanakan adat cawir metua dengan persetujuan kalimbubu dan anak yang

belum kawin tersebut. Kedua, mate sada wari (mati dalam satu hari) adalah

kematian yang disebabkan tidak oleh suatu penyakit, terjadi dalam satu hari.

Penyebab mate sada wari ini di antaranya adalah dibunuh orang, bunuh diri,

kecelakaan, melahirkan anak, dan sebagainya terkait dengan meninggal tanpa

Page 169: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengidap suatu penyakit. Khusus untuk orang yang meninggal demikian dibuat

kuburan (pendawanen) tersendiri dan terpisah dari tempat penguburan umum.

Ketiga, mate nguda apabila umur yang meningal masih muda, bisa jadi belum

kawin atau sudah kawin dan anak-anaknya belum semua berkeluarga atau ketika

masih anak-anak. Keempat, tabah-tabah galuh apabila orang yang meninggal

dunia belum lanjut usia, tetapi anak-anaknya semua sudah berkeluarga (sai utang).

Kelima, mate lenga ripen (belum bergigi) apabila anak meninggal sejak dalam

kandungan atau beberapa saat setelah lahir atau beberapa bulan kemudian dan

giginya belum tumbuh. Anak-anak yang meninggal belum bergigi hari itu juga

harus dikubur, tubuhnya dibungkus dengan kain putih (dagangen), kemudian

dikeluarkan dari rumah adat melalui pintu perik (jendela) seorang menjulurkannya

dari rumah dan seorang lainnya menerimanya dari luar. Penguburannya dilakukan

secara rahasia karena takut dicuri orang. Keenam, mate mupus (mati melahirkan),

kematian seorang ibu waktu melahirkan anaknya. Kematian sang ibu dapat terjadi

sebelum atau sesudah bayi lahir (Prinst, 2004: 131). Mati beranak atau mati kala

melahirkan anak merupakan suatu kematian yang dipandang amat hina pada

masyarakat Karo. Bila seorang ibu melahirkan anak sudah sepantasnya dia

bergirang hati walaupun harus menderita kesakitan. Sang ibu harus tabah

menerima kebahagiaan tersebut. Seorang ibu yang mate ranak dianggap kurang

tabah, bahkan tidak tabah sama sekali menanti kelahiran anaknya (Tarigan, 1998:

79).

Page 170: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Pada masa dulu bila wanita yang meninggal bersalin, maka semua pintu

rumah di kampung itu ditutup dan jarang orang pergi keluar rumah kalau tidak

perlu. Para wanita hamil, wanita yang baru melahirkan, dan anak-anak yang belum

bergigi di kampung itu diwajibkan meludahi mbun-mbunen (yaitu kumpulan

tepung, pisang, dan sebutir telur ayam) empat kali sebagai tanda untuk

menghina/membenci kematian itu. Kemudian mbun-mbunen itu diantarkan oleh

salah seorang kaum kertabatnya kepada mayat wanita yang mati bersalin itu

(Tarigan, 1998: 79--80).

Malam harinya setelah penguburan kalau sang suami mau masuk ke

rumah, dia harus mengetuk pintu sepulusada (sebelas) kali. Orang-orang

seperumahan akan bertanya dari dalam jera kam mbalu. Sang suami akan

menjawab jera,jera. Ketukan pintu itu dilakukan sebanyak sepulusada (sebelas)

kali karena kata sepuluhsada bersajak dengan kata ersada (bersatu) tendi atau roh

ke rumah (Tarigan, 1998: 80).

4.2.2 Gendang/Musik

Melakukan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua

istilah, yaitu ergendang dan rende. Ergendang terdiri atas dua kata yaitu er

(melakukan sesuatu) dan gendang secara sederhana dapat berarti ‖musik‖. Jadi,

ergendang dapat diartikan ‖bermain musik‖. Gendang dapat berarti salah satu alat

musik, satu upacara, judul komposisi, nama instrumen, dan beberapa arti lainnya.

Dalam subjudul ini gendang berarti nama sebuah ensambel musik dan nama

Page 171: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebuah instrumen musik. Dari keseluruhan alat musik yang ada dalam khazanah

budaya Karo terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu gendang lima

sedalanen, gendang telu sedalanen. Selain kedua ensambel tersebut, ada pula

beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara tunggal (solo).

4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen

Gendang lima sendalanen (sering juga disebut gendang sarune)

merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khazanah musik tradisional

Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan ‖alat musik‖, lima

berarti ‖lima‖, dan sendalanen berarti ‖sejalan‖. Dengan demikian, gendang lima

sendalanen mengandung pengertian ‖lima buah alat musik yang dimainkan sejalan

atau secara bersama-sama‖. Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima

sendalanen memang terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarune, (2)

gendang singindungi, (3) gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung

Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan

penarune untuk pemain sarune, penggual untuk pemain gendang singindungi dan

gendang singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak

dan orang yang memaikan gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain

musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu, yaitu

sierjabaten (‖yang memiliki jabatan‖). Sebutan penggual dan penarune tetap

melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik. Di

pihak lain sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam

Page 172: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

suatu konteks upacara adat seperti upacara gendang kematian. Ensambel gendang

lima sedalanen adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara

kematian. Ensambel inilah sebagai ―perekat‖ terhadap unsur-unsur yang ada dalam

upacara tersebut.

4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen

Gendang telu sendalanen juga merupakan ensambel musik tradisional yang

terdapat pada masyarakat Karo. Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga

alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik

tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng, dan mangkok. Ada kalanya kulcapi,

sebagai pembawa melodi dalam gendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan

instrumrn balobat. Dengan demikian istilah gendang telu sendalanen sering

disebut berdasarkan nama alat musik pembawa melodinya, yaitu gendang kulcapi

atau gendang balobat. Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawa melodi

dan gendang balobat berarti balobat sebagai pembawa melodi. Instrumen

pengiring dalam gendang telu sendalanen atau gendang kulcapi/gendang balobat

adalah tetap, yaitu keteng-keteng dan mangkok.

Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan

perkulcapi untuk pemain kulcapi, perbalobat untuk pemain balobat, simalu

keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalu mangkok untuk pemain

mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanen ini bermain dalam konteks

upacara, maka sebutan untuk mereka juga adalah sierjabaten. Namun, dalam

kehidupan sehari-hari hanya pemain kulcapi dan balobat yang biasanya tetap

Page 173: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mendapat sebutan, yakni perkulcapi dan perbalobat, sementara itu pemain keteng-

keteng dan mangkok biasanya tidak mempunyai sebutan tertentu. Ensambel

gendang telu sendalanen digunakan dalam upacara ritual masyarakat Karo, seperti

perumah begu (memanggil roh orang meninggal), erpangir kulau (penyucian diri),

raleng tendi (mencari roh), dan sebagainya.

4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua

Gendang lima puluh kurang dua (gendang 50-2) berarti gendang sebagai

nama sebuah repertoar lagu. Gendang ini berkaitan dengan mitos terjadinya alam.

Mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat Karo dan akan diuraikan sebagai

berikut. Dibata (Tuhan) menciptakan manusia pada awalnya masih dalam keadaan

labil. Dibata mempunyai tiga orang anak yang kemudian dikenal dari tempat

tinggalnya, yaitu di atas (datas) dengan simbol padi/page (buah di atas), di tengah

dengan simbol jagung/jong (buah di tengah), dan di bawah (teruh) dengan simbol

ubi/gadung (buah di bawah). Ketiga anak ini selalu berbeda pendapat dan Dibata

sibuk mendamaikannya. Kelakuan ketiga anaknya persis seperti ungkapan dalam

pepatah Karo, yaitu bagi ancit, adi jumpa sipatuken, adi sirang sitedehaen yang

berarti kalau jumpa bekelahi, kalau berpisah saling rindu.

Berdasarkan keadaan tersebut Dibata kemudian menciptakan pemisah atau

batas di antara ketiga anaknya. Namun, pembatas ini selalu dirusak oleh anak

jagung (tengah) dengan angin topan (angin kaba-kaba) sehingga hancur. Kejadian

seperti ini terjadi sampai empat kali sesuai dengan arah desa si empat (keempat

Page 174: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

arah mata angin), yaitu purba (timur), daksina (selatan), pustima (barat), dan utara

(utara). Dari kejadian inilah lahir desa si empat pada masyarakat Karo.

Akibat selalu ada persoalan di antara anaknya, Dibata menidurkan ketiga

anaknya selama tujuh hari tujuh malam (pitu wari pitu berngi). Selama anak-anak

ini tidur, Dibata membuat pemisah di antara ketiga anaknya. Pada hari kedelapan

ketiga anak Dibata bangun dan mereka tidak saling melihat lagi, karena sudah ada

pemisah di antara mereka. Anak Dibata tengah lalu menciptakan angin topan

(angin kalisungsung) dan meniup pembatas tersebut, tetapi pembatas itu tidak

hancur. Akan tetapi, terjadilah lembah-lembah (baluren), jurang (embang),

gunung-gunung (deleng), dan sebagainya.

Kini ketiga anak Dibata terpisah dan tidak dapat berhubungan secara

langsung, tetapi harus melalui perantaraan guru (dukun). Sejak itulah terjadi desa

si waluh (delapan arah mata angin), yaitu purna (timur), aguni (tenggara), daksina

(selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), utara (utara),

dan idan irisen (timur laut) (Darwan, 2004: 230).

Pada hari kedelapan inilah terjadi mitos tentang gendang lima puluh

kurang dua (gendang 50-2). Gendang ini diturunkan Dibata melalui guru karena

Dibata telah mengaruniakan pengetahuan kepadanya. Guru membimbing

sierjabaten (penarune, penggual, si malu penganak, dan si malu gung) tentang

gendang limapuluh kurang dua. Guru bermantra (ermang-mang) dan si erjabaten

membuat musiknya. (Darwan, 2004: 229--231).

Page 175: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gendang lima puluh kurang dua biasanya digunakan pada upacara-upacara

adat yang besar (agung), seperti pada upacara gendang kematian dalam konteks

kematian bangsawan (sibayak), mengket rumah siwaluh jabu (memasuki rumah

adat). Sebagai repertoar lagu gendang lima puluh kurang dua, empat puluh

delapan diperuntukkan bagi manusia, sedangkan dua gendang (musik)

diperuntukkan bagi Pencipta kehidupan dan roh-roh leluhur. Bagi orang Karo,

tidak ada pemisah antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal

dunia. Keduanya masih dapat berkomunikasi melalui mimpi atau melalui perantara

guru si baso.

4.2.2.4 Instrmen Nonensambel

Selain alat-alat musik kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih

terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo nonensambel atau bersifat solo

instrumen. Artinya, alat musik tersebut dimainkan secara tunggal (solo) tanpa

diiringi dengan alat musik lain. Alat musik tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, kulcapi dan balobat, selain digunakan dalam musik ensambel juga

dimainkan sebagai alat musik tunggal (solo). Kulcapi merupakan alat musik petik,

dua senar, dan balobat merupakan alat musik tiup dengan enam buah lubang nada.

Kedua alat musik ini masih sering ditemukan pada masyarakt Karo sampai saat ini

dan dimainkan untuk mengenang masa-masa lamapu. Kedua, surdam merupakan

alat musik tiup dari belakang (endblown flute) terbuat dari bambu. Surdam

memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi. Tanpa menguasai

Page 176: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Ketiga, murbab

merupakan alat musik gesek, mirip alat musik rebab dalam musik Jawa. Murbab

sebagai alat musik tradisional Karo sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan

pada kebudayaan musik Karo. Keempat, empi-empi alat musik ini sebenarnya

merupakan alat musik yang biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi

menguning. Empi-empi merupakan alat musik tiup yang lidahnya (reed-nya)

berasal dari badan alat musik itu sendiri. Empi-empi terbuat dari batang padi yang

telah mulai menguning. Untuk saat sekarang, kedua alat musik ini sudah jarang

ditemukan atau dimainkan oleh para petani Karo walaupun sebenarnya teknik

pembuatan serta bahan kedua alat musik tersebut tidak begitu rumit dan masih

mudah ditemukan di daerah Karo.

4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo

Rende secara umum diartikan sebagai bernyanyi, sedangkan ende-enden

berarti nyanyian. Orang yang pintar bernyanyi disebut perende-ende. Perende-

ende biasa dipanggil untuk menyanyi sekaligus menari dalam konteks upacara

dengan sebutan perkolong-kolong. Beberapa aktivitas guru sibaso (dukun

tradisional Karo) dalam berbagai upacara kepercayaan tradisi kadang-kadang

dilakukan dengan cara bernyanyi.

Ende-enden atau nyanyian dalam kebudayaan Karo terdiri atas beberapa

jenis, seperti (1) katoneng-katoneng, (2) tangis-tangis, (3) io-io, (4) didong-doah,

(5) tabas, (6) mang-mang, (7) nendung, dan (8) nyayian percintaan atau muda-

Page 177: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mudi. Katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi

gendang lima sedalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki

garis melodi yang baku, tetapi lirik atau teks dari komposisi tersebut senantiasa

berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katoneng-

katoneng disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) karena isi atau

tema lagu itu biasanya berisi nasihat, penghormatan, pujian, doa atau harapan, dan

sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng juga bertemakan perjuangan

atau kisah hidup seseorang. Komposisi ini biasanya dinyanyikan oleh perkolong-

kolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng dapat

digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Nyanyian inilah menjadi

salah satu unsur dalam upacara gendang kematian etnik Karo.

Tangis-tangis adalah nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau

penderitaan seseorang. Io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Didong-doah

yaitu nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat

Karo disebut didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga

ditemukan dalam upacara perkawinan adat pada masyarakat Karo, yaitu seorang

ibu mengungkapkan perasaan dan nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga

pengantin.

Tabas adalah mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun)

dalam pengobatan tradisional. Mang-mang merupakan ungkapan penghormatan

seorang dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya

setiap waktu. Nendung adalah aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan

Page 178: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sesuatu atau seseorang yang pergi hilang, tanpa memberitahukan ke mana

kepergiannya

Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak

selamanya dinyanyikan. Namun hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam

mantra. Isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas bagi

orang yang mendengarkannya. Di pihak lain nyanyian percintaan atau muda-mudi

merupakan jenis vokal yang berkembang sampai saat ini. Semua jenis yang sudah

diuraikan di atas berkaitan dengan kematian, tetapi ada yang digunakan setelah

beberapa lama upacara gendang kematian dilakukan. Untuk perumah begu

(memanggil roh), misalnya, harus dilakukan dengan mencari hari baik (niktik

wari).

4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard

Dalam kurun dua dekade terakhir kebudayaan musik Karo telah

menggunakan alat musik keyboard. Ada beberapa jenis keyboard yang pernah

digunakan dalam kebudayaan musik Karo, seperti Yamaha Pss 680, Yamaha Psr

500, Yamaha Psr 510, Technich KN 1000. KN 2000, KN 2400, KN 2600, dan KN

7000.

Pada awalnya keyboard ini digunakan (dipelopori) oleh Djasa Tarigan,

seorang seniman tradisional Karo yang cukup dikenal. Namun belakangan muncul

pemain-pemain keyboard baru yang beberapa di antaranya sama sekali tidak

memiliki latar belakang sebagai pemusik tradisional Karo. Keyboard yang dikenal

Page 179: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakat Karo sebagai gendang kibod, yaitu alat musik modern dari kebudayaan

musik Barat yang memiliki berbagai fasilitas program musik yang dapat meniru

bunyi musik tradisi Karo dengan cara memprogram.

Awalnya keyboard tersebut digabungkan dengan gendang lima sedalanen

dengan cara memanfaatkan unsur-unsur ritmis yang terdapat dalam keyboard

untuk menambah nuansa musikal dalam konteks gendang guro-guro aron. Secara

cepat musik gabungan ini menjadi sangat digemari pada masyarakat Karo. Melalui

berbagai kreasi dan eksperimen yang dilakukan seniman Karo terhadap alat musik

keyboard, pada akhirnya terciptalah program irama yang menyerupai gendang

Karo sehingga keyboard dapat digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian

yang terdapat di masyarakat Karo.

4.2.2.7 Gendang Trompet (Ensambel Tiup)

Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga

perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan

waktu, baik perubahan yang diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi

yang dilakukan oleh masyarakat. Awalnya musik tiup trompet (ensambel tiup)

pada masyarakat Karo hanya digunakan dalam ibadah-ibadah Minggu di gereja.

Namun, pada perkembangannya penggunaan musik ensambel brass ini lebih

banyak ditemukan pada upacara gendang kematian, bahkan sudah sangat jarang

dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain. Belakangan perubahan

fungsi ensambel brash yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja

Page 180: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menjadi salah satu bagian dari upacara adat, yaitu sebagai pengiring dalam upacara

gendang kematian etnik Karo.

Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan

Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para

misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan

ini terjadi karena selain melaksanakan misinya para misionaris juga turut

membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu

hasil kebudayaan mereka itu adalah ensambel brass (Sinuraya, 2000: 2).

Sebagai salah seorang pemain saxsophone sopran dalam satu ensambel

brass, Samion Sinulingga mengungkapkan bahwa pada tahun 1967, misionaris

berkebangsaan Jerman menyerahkan beberapa alat musik Brash kepada

masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa yang lain seperti, Kabanjahe Kota,

Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967 hingga 1980 ensambel tiup hanya

dimainkan pada ibadah gereja dan pada upacara pasu-pasu pemberkatan

pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun 1995 musik tiup Toba datang ke tanah

Karo secara khusus untuk mengiringi upacara kematian dengan konsep musiknya

berasal dari perpaduan alat instrumen, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar

bass dan semua alat musik brass seperti terompet, horn, tuba, sopran, dan alto.

Grup musik Toba ini mulai sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi

upacara kematian. Berdasarkan kemajuan grup musik Toba ini, maka grup musik

ensambel brass ini dihidupkan kembali dengan penambahan beberapa instrumen,

seperti gitar bass elektrik dan keyboard. (Wawancara, 10 Januari 2012).

Page 181: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB V

WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini

atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu (Griffin, 2005: 15).

Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan yang lebih

luas, lebih dalam, dan lebih kaya yang meletakkan situasi terbatas kita saat ini

dalam pespektif baru. Dengan demikian, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu

yang transenden. Sesuatu yang transenden adalah melampaui, menembus, dan

mengatasi semua apa yang dialami dan diketahui manusia dalam hidup ini

(Sumarjo, 2006: 12).

Wujud perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya semangat global

yang mewarnai modernitas yang telah melanda dunia dewasa ini. Spiritualitas

modern seperti apa yang diungkapkan Griffin (2005) adalah suatu kecenderungan

untuk menggali hampir semua wujud masa kini dalam hubungannya dengan masa

depan, yang dalam praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua

ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang baru. Anti

tradisionalisme radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain,

yaitu bahwa hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa

kini.

Page 182: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa pramodern etnik

Karo melaksanakan segala kegiatan termasuk upacara gendang kematian secara

gotong royong dan penuh perhatian dalam melaksanakan upacara untuk

mempertahankan nilai-nilai dan kearifan etnik Karo pada umumnya. Menurut

Sumardjo, dalam dunia pra-modern etnik adalah dunia budaya kolektif, terstruktur,

dan determinis. Kebebasan individu hanya dimungkinkan dalam rangka

kolektifnya karena pramodern adalah budaya religi, budaya kepercayaan,

keimanan religi suku. Semua religi bertolak dari kolektivitas budaya suku

(Sumarjo, 2006: 96).

Selanjutnya spiritualitas posmodern mengakui bahwa manusia memiliki

kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi

kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat

pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah ‖tuan

segala ciptaan‖ yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti

bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh

sebab itu, pandangan posmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di

dalamnya perhatian pada ekologi digabungkan dengan perhatian khusus pada

kesejahteraan manusia (Griffin, 2005: 33). Pernyataan di atas sangat erat berkaitan

dengan apa yang dialami oleh salah satu upacara ritual, yaitu upacara gendang

kematian etnik Karo, yaitu bertemunya spiritualitas modern dengan spiritualitas

tradisi. Berikut diuraikan bagaimana wujud upacara gendang kematian dulu hingga

kini.

Page 183: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Salah satu unsur yang terpenting dalam upacara gendang kematian adalah

musik, yaitu ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi pengiring dari

unsur-unsur lainnya, yaitu landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (menangis),

dan rende (nyanyi). Di samping itu gendang lima sedalanen hadir berdasarkan

sistem kekrabatan dan spiritualitas kosmologi etnik Karo, baik dari materi

instrumen maupun dari bunyi yang dihasilkannya.

Pembahasan wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi secara keseluruhan terdiri atas delapan subbab, yaitu subbab

pertama memaparkan wujud upacara kematian pada etnik Karo; subbab kedua

wujud gendang lima sendalanen (musik); ketiga, wujud landek (tari); keempat,

wujud nuri-nuri (petuah); kelima, wujud ngandung (menangis); keenam, Eujud

rende (bernyanyi), ketujuh, wujud gendang kibod (keyboard) dan kedelapan,

wujud trompet (ensambel tiup).

5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo

Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa kematian adalah

kehidupan yang sesungguhnya. Etnik Karo percaya bahwa di dalam kehidupan ada

kematian dan di dalam kematian ada kehidupan. Demikianlah sangkep nggeluh

(kekerabatan) mengungkapkan isi hati melalui ungkapan-ungkapan dan tangisan

keluarga yang ditinggal dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Kematian

seperti halnya kehidupan merupakan wujud keseimbangan alam sebagaimana

dualisme oposisi baik-buruk, siang-malam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada

Page 184: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tanpa kehadiran sisi lainnya. Semua makhluk yang berstatus hidup di muka bumi

tidak satu pun yang luput dari kematian.

Etnik Karo percaya bahwa arwah yang mati masih dekat dengan diri

mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini terwujud dari perilaku

orang Karo ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri dari

jasmani (kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur

jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam

upacara gendang kematian etnik Karo seperti sudah disebutkan dalam bab

sebelumnya bahwa tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk),

dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi

angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang

menjadi batu), tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).

Dari keenam ungkapan di atas, begu-lah yang selanjutnya dianggap dapat

membantu keluarga yang masih hidup dan dapat berkomunikasi melalui guru

sibaso (dukun). Di satu sisi, orang Karo takut terhadap begu (roh) yang sudah

meninggal, tetapi di sisi lain mereka sekaligus merindukannya. Hal ini terwujud

dari beberapa orang yang masih memanggil roh-roh orang meninggal melalui

medium guru sibaso.

Menurut Ginting, etnik Karo pada zaman dahulu (kebalikan zaman

modern) melihat dunia ini sebagai objek atau sarana dalam perbuatannya. Akan

tetapi, ia melihat dirinya sendiri sebagai salah satu dari subjek-subjek yang

jumlahnya tidak dapat dihitung. Kesadarannya mengatakan bahwa ia merasakan

Page 185: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dirinya hidup di tengah-tengah makhluk yang beraneka ragam, bukan barang-

barang yang tidak mempunyai roh (tidak berjiwa). Jadi, satu hal yang pribadi.

Segala sesuatu itu dilihatnya berpribadi. Itulah sebabnya seorang pandai besi,

misalnya memberikan sesajen untuk bengkel, peralatan, dan sebagainya (Ginting,

1999: 11).

Demikian juga halnya sierjabaten/penggual (pemain musik), Darwan

Tarigan, dalam upacara gendang kamatian (perangkat musik tradisional Karo),

seperti sarune, gendang, dan lainnya (lihat gambar L.4.24), diberikan sesajen

dengan ritus tertentu terhadap instrumen-instrumen musiknya. Bila ―gendang i

palu‖ (musik tradisional dimainkan) repertoar awal yang akan dimainkan adalah

gendang perang-perang empat kali dalam pengertian gendang sebagai judul lagu

dan “gendang” yang pertama tidak bisa menari karena gendang tersebut khusus

diperuntukkan bagi roh yang tidak kelihatan (Wawancara, 19 April 2012).

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya (4.2.1), bahwa

kematian etnik Karo mempunyai beberapa jenis, yaitu mate cawir metua apabila

umur yang meninggal sudah lanjut, mate sada wari (mati dalam satu hari), mate

nguda (meningal muda), tabah-tabah galuh (belum lanjut usia), mate lenga ripen

(belum bergigi), mate mupus (melahirkan), kematian seorang ibu waktu

melahirkan anaknya (Tarigan, 1988: 68; Prinst, 2004: 131--133).

Sebelum berkembangnya agama-agama wahyu pada masyarakat Karo,

menurut Tarigan, upacara gendang kematian dilakukan dengan berbagai cara

tradisional Karo. Hal ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan

Page 186: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

oleh semua masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, sekarang segala sesuatunya

dipermudah terkait dengan tuntutan zaman. Adapun hal-hal yang harus dilakukan

adalah seperti uraian berikut.

5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang

Pada zaman dahulu mayat orang yang meninggal dunia pada umumnya

dibakar. Menurut Njenap Ginting, mayat terakhir dibakar di Barusjahe sekitar

tahun 1956. Akan tetapi, akibat perkembangan zaman, lama-kelamaan dikubur

saja karena biaya pembakaran memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan

kuburan (wawancara, 26 Desember 2012). Kalau seseorang meninggal dunia,

maka tendinya menjadi begu. Begu merupakan roh yang mengembara. Dalam

keadaan seperti ini dia merasa dipaksa untuk meninggalkan badan, tempat dia

tinggal sebelumnya. Oleh karena itu, sejak kepercayaan leluhur dia merasa dihina,

merasa tidak senang. Menurut keyakinan orang Karo, ia cemburu kepada tendi-

tendi orang-orang yang masih hidup. Hal itulah kemudian yang menyebabkan

upacara perpisahan (sirang-sirang) dilakukan.

Sebelum mayat dibawa ke kuburan atau ke tempat pembakaran, maka pada

saat mayat akan dikeluarkan dari rumah, semua orang dalam rumah itu melakukan

sirang-sirang (upacara perpisahan). Untuk maksud ini penghuni rumah

menyediakan limau yang ditaruh dalam mangkuk yang berisi air. Setiap orang

yang hadir di rumah itu mencelupkan jari tangannya ke dalam mangkuk dan

selanjutnya mengoleskan air campuran limau ke kuku jari kakinya. Atau

Page 187: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengambil sepotong keratan limau yang kemudian menggosokkannya pada kuku

jari kakinya dan meludahi benda itu empat kali. Bilangan empat bersajak kata

selpat (putus, rubuh). Dengan upacara ini dianggap putuslah hubungan badan

dengan orang yang meninggal tersebut. Setelah semua mendapat giliran, mayat itu

dikeluarkan melalui pintu sebelah kiri (atau pintu jabu ujung kayu) rumah adat

(Tarigan, 1998: 69).

Hari berikutnya dilakukan upacara nurunken (menurunkan) yang meningal

dunia dari atas rumah adat menuju ture (teras rumah). Sebelum mayat dibawa dari

ture ke kesain (sekarang jambur), keluarga dekat dan anak rumah membuat

sirang-sirang, yakni kuku kaki dan tangan dikikis dan ditampung di daun sirih dan

dimasukkan ke peti mati. Adapun acara-acara yang dilakukan pada hari itu adalah

pada pagi hari janda/duda (si mbalu) dari yang meninggal dimandikan di teras

(ture) rumah, dimandikan dengan lau penguras (air jeruk purut, jera). Setelah

dimandikan janda/duda itu iosei (dipakaikan pakaian adat) seperti gonje/abit, uis

arinteneng (sarung, pakaian selayaknya) atau cemata runte-runten (sejenis bunga

bertali) diikatkan di kepala dan digantung di leher tanpa tudung (kain untuk kepala

wanita) atau bulang-bulang (kain untuk kepala laki-laki) yang meninggal. Sebagai

bunga hias diambil bunga tumbalaling (kecubung) atau daun dokum (daun yang

pohonnya dipakai untuk membakar mayat).

Setelah i osei (dipakaikan pakaian adat), diambil pisau (sekin, tanggal-

tanggal) dan rotan (ketang). Pisau dipegang dengan tangan kiri, rotan diletakkan di

atas bantalan kayu, lalu dengan sekali tektek (potong) putuslah rotan itu. Hal ini

Page 188: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dilakukan sebagai simbol putusnya janji hidup bersama sebagai suami istri.

Apabila tidak putus dengan sekali tektek (potong), menurut kepercayaan

masyarakat Karo, si duda/janda juga tidak lama lagi akan meninggal dunia

mengikuti istri/suaminya yang meninggal.

Selesai acara tetek ketang, mayat kemudian diturunkan dari ture rumah.

Ketika mayat sampai di depan rumah, janda/duda sudah menunggu. Dimainkan

musik gendang lima sendalanen yang disebut dengan gendang jumpa teruh

(gendang jumpa di bawah). Dalam upacara ini urutan menari adalah sebagai

berikut. (1) sukut/ sembuyak, senina, siparibanen, sipengalon menari bersama, (2)

kalimbubu, puang kalumbubu, puang ni puang, menari bersama, (3) anak beru,

anak beru minteri, anak beru singukuri menari bersama, dan (4) anak beru rumah

serentak menari. Sesudah mayat dikelilingi empat kali, sesudahnya diangkat ke

kesain (jambur tempat upacara) yang dahulu namanya pengasen.

Wujud gendang kematian dipaparkan secara khusus di dalam subjudul

wujud gendang lima sedalanen, landek, nuri-nuri, ngandung, rende, gendang

keyboard, dan trompet. Hal itu dilakukan karena semua keluarga yang ada dalam

sistem kekerabatan tidak terlepas dari unsur-unsur yang ada di atas. Oleh sebab itu,

berikut ini akan diuraikan jenis-jenis usungan mayat (pating-pating) yang terdapat

pada etnik Karo.

Page 189: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating

Dalam upacara gendang kematian yang terakhir dilakukan adalah upacara

ncabinken dagangen (menutup dengan kain putih), kemudian mayat diusung di

atas pating-pating (tandu) ke kuburan. Di atas usungan mayat itu ditelentangkan,

mukanya menghadap keatas dan kakinya membujur ke depan. Hal ini dilakukan

karena etnik Karo percaya agar mayat tidak dapat lagi menoleh ke kampung

tempat tinggalnya semula. Selain itu juga roh orang yang turut mengarak tandu itu

tidak dapat berpandangan muka dengan begu (roh) yang meninggal (Tarigan,

1998: 70).

Dalam rangka mengusung tandu, kalimbubu berada di sebelah kepala,

senina pada kiri kanan jalan, dan anakberu pada bagian kaki orang yang

meninggal. Jadi, dalam arakan anakberu berjalan di depan, senina di tengah, dan

kalimbubu di belakang, lalu diikuti oleh sangkep nggeluh, kerabat, handai taulan,

teman sekampung yang turut mengantar jenazah.

Gambar 5.1

Usungan Mayat

(Dokumen: Tamboen, 1952: 112)

Page 190: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.1 menunjukkan semua orang yang ikut mengantar mayat itu

berdoa dalam hati agar begu orang yang meninggal itu jangan merenggut roh

mereka yang masih hidup. Satu orang ikut ditandu bersama mayat yang meninggal

yang biasanya suami/istri. Dalam perjalanan ke kuburan arak-arakan itu berhenti

empat kali dan setiap pemberhentian ada mang-mang yang diucapkan dan

repertoar lagu khusus yang dimainkan oleh penggual (Tamboen, 1952: 112;

Tarigan, 1998: 71).

Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis pating-pating, antara lain

pating-pating lige-lige/ kalimbaban, yaitu usungan mayat, yang di atasnya dibuat

sebuah pondok-pondokan yang anjung-anjungnya bertingkat-tingkat sehingga

merupakan sebuah menara. Selain itu dihiasi dengan daun enau muda berwarna

kuning. Usungan ini dibuat dari bambu dan semua diselubungi dengan kain putih.

Usungan ini bertingkat dua. Dasarnya dibuat dari dua bambu melintang agar dapat

dipikul oleh beberapa orang. Usungan ini biasanya diperuntukkan bagi orang-

orang bangsawan atau orang-orang kaya yang sanggup membiayai upacaranya dan

memenuhi upacara adat untuk menghormati orang yang meninggal itu. Dalam

upacara yang seperti ini biasanya disemblih kerbau atau lembu untuk menjamu

sangkep nggeluh, yaitu sembuyak/senina, kalimbubu, dan anak beru.

Page 191: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.2

Pating-pating Lige-lige/ Kalimbaban

(Dokumen: Tamboen. 1952: 121)

Di daerah gunung-gunung atau sungalur lau (gambar 5.2) usungan ini

disebut kalimbaban dan biasanya dibuat bila seorang raja atau sibayak terkenal

meninggal. Cara untuk membawa usungan ini ke kuburan tidak dengan cara

dipikul, tetapi dengan jalan sambil menghelanya. Yang menghela kalimbaban ini

dilakukan oleh anak beru dan banyak orang. Karena usungan ini tidak memakai

roda, maka sangat berat menghelanya, lebih-lebih selain mayat, keluarga suami

atau istri yang meninggal pun ikut serta naik di atas kalimbaban tersebut (Tarigan,

1998: 78--79).

Pating-pating lante empat mbeka. Usungan jenis ini dibuat dari bambu.

Alas tempat mayat berbaring terdiri atas empat belahan bambu. Tali pengikatnya

Page 192: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

terbuat dari bambu. Semua serba bambu. Itulah sebabnya disebut lante empat

mbeka (gambar 5.3). Usungan ini untuk orang miskin, yang merupakan upacara

yang paling rendah. Dalam upacara seperti ini cukup tiga ekor ayam saja sebagai

lauknya. Kalau keluarga yang meninggal itu tidak sanggup menyediakan tiga ekor

ayam beserta berasnya, maka pengulu, anak ber, dan seninanya menyediakan, baik

dengan jalan meminta bantuan orang kampung maupun ditanggung sendiri.

Gambar 5.3

Usungan mayat/Tandupating-pating lante empat mbeka

(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)

Usungan yang biasa digunakan untuk kebanyakan disebut pating-pating

sapo-sapo ―usungan pondok‖. Dikatakan demikian karena usungan mayat itu

berbaring berbentuk sapo-sapo ―pondok‖ (gambar 5.4).

Gambar 5.4

Tandu Sapo-sapo

(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)

Page 193: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Belakangan tandu sapo-sapo itu lazim diganti dengan payung saja untuk

menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Upacara penguburan mayat yang

menggunakan usungan jenis ini boleh pula diiringi seperangkat gendang. Gendang

dapat berupa gendang ambat atau gendang asa ben. Yang disebut gendang ambat

adalah suatu upacara penguburan yang hanya bergendang dari rumah sampai ke

kuburan. Di sana semua hadirin berpisah, hanya kaum kerabat yang datang dari

kampung jauh singgah di rumah sekadar makan hidangan yang sederhana. Biaya

untuk ini memang relatif murah. Yang disebut gendang asa ben adalah

―bergendang sampai sore‖. Dalam upacara seperti ini tentu biaya pun relatif lebih

banyak sebab semua tuntutan adat semestinya dipenuhi dan dilaksanakan.

Jenis lainnya adalah pating-pating kejere. Usungan ini dibuat dari bambu

yang merupakan piramid yang diselubungi dengan kain putih (gambar 5.5). Pada

prisipnya sama dengan pating-pating lige-lige, hanya pating-pating kejeren sedikit

lebih besar (Tarigan, 1998: 79).

Page 194: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.5

Tandu Kejeren

(Dokumen: Tamboen, 1952: 122)

Selain yang sudah dijelaskan masih ada usungan yang disebut pating-

pating lantuk-lantuk. Usungan ini dibuat dari bambu dan bentuknya seperti pundak

gunung. Pating-pating lantuk-lantuk khusus digunakan untuk orang-orang yang

mate nguda ―mati muda‖, yaitu pemuda atau pemudi yang meninggal sebelum

kawin (Tarigan, 1998: 79).

5.1.3 Wujud Kuburan / Pendawanen

Wujud kuburan atau pendawanen adalah ingan pengadi-ngadin sirasa

lalap atau tempat peristirahatan terakhir yang diperuntukkan bagi yang meninggal.

Setelah mayat sampai di kuburan, di sana juga gendang lima sedalanen masih

dimainkan. Kemudian orang-orang menari secara berganti-ganti menurut aturan

seperti yang telah disepakati sebelumnya. Saat itu orang yang paling dekat

Page 195: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

hubungannya dengan yang meninggal, yaitu suami atau istrinya, membungkuk di

atas mayat seraya menggerakkan tangan kirinya. Tangan kiri atau tangan yang

dianggap tidak baik telah diisi kunyahan sirih bersama daun seram.

Dia mondar-mandir, empat kali mengelilingi mayat itu sambil menyerukan,

enggo namsam belawanta, mejuah-juah kal kami kerina itadingkendu yang berarti

―sudah punah/putus segala hubungan badan kita, semoga selamat sejahtera kami

semua yang engkau tinggalkan‖. (Kata ersam atau resam bersajak dengan kata

namsam ―mengibas‖). Setelah selesai diucapkan, lalu sirih dan resam pun

diludahinya empat kali dan selanjutnya diletakkannya pada dada mayat itu .

Bilangan empat bagi masyarakat Karo mengandung arti budaya menjadi selpat

atau putus. Upacara ini menurut Tarigan, disebut juga dalam bahasa Karo dengan

istilah namsamken belawan. Artinya, membinasakan atau memunahkan, yaitu

memutuskan dengan begu orang yang meninggal itu supaya jangan sekali-kali

mengganggu tendi kaum kerabat.

Selesai upacara namsamken belawan, maka ditarikanlah tarian pekeri-kerin

(penghabisan), sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal itu.

Kemudian dibunyikanlah gendang terus-menerus dalam pitu (tujuh) jenis lagu

tanpa ditarikan orang. Kepercayaan yang mendasarinya bahwa semua itu ditarikan

oleh para begu (roh-roh) yang tidak kelihatan untuk menerima tendi yang baru

meninggal sebagai begu baru. Perlu dicatat bahwa pitu ―tujuh‖ bersajak dengan

pitut bunga kelesa (terhindar dari malapetaka) (Tarigan, 1998: 72).

Page 196: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.1.4 Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh

Pembakaran mayat yang dilakukan masyarakat Karo disebut pekualuh.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa saat namsamken belawan keluarga

menari yang disebut tari pekeri-kerin (terakhir), yang kemudian dilanjutkan

dengan memainkan tujuh jenis repertoar lagu secara instrumentalia. Pada saat itu

keluarga sangkep nggeluh kembali ke rumah, kecuali empat dukun wanita atau

empat orang wanita tua. Mereka ini bertugas mengurus/menyelesaikan

pembakaran mayat. Masyarakat Karo menyebut mereka sebagai sidapur petugas

dapur khusus untuk pembakaran mayat.

Menurut Tarigan, hal yang mesti dilakukan adalah mayat ditelanjangi,

kemudian ditelungkupkan di atas kumpulan kayu ndokum ―sejenis kayu yang

mudah dibakar‖ yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan ditindihi pula dengan

kayu yang serupa secukupnya (gambar 5.6). Kemudian api dinyalakan. Satu hal

yang harus dilakukan oleh para sidapur ialah kayu bakar tidak boleh ditambah

selama pembakaran. Harus diusahakan agar tumpukan potongan-potongan kayu

itu cukup sampai selesai (Tarigan, 1998: 75--76).

Page 197: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.6

Pembakaran Mayat

(Dokumen: Tamboen, 1952: 115)

Sebelum melakukan pembakaran, kaki mayat tersebut dipukul kuat-kuat

sebanyak empat kali dengan maksud agar begu-nya tidak dapat bergentayangan ke

sana kemari karena dikhawatirkan begu itu kelak akan mencelakakan dan

mengganggu orang-orang yang masih hidup. Setelah pembakaran mayat selesai

maka abunya dibuang ke sungai dan tanah tempat pembakaran itu dipacul baik-

baik. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar dukun-dukun lain tidak sempat

mengambil serta menyimpan tanah yang ditetesi minyak mayat tersebut, yang

dapat dibuat menjadi jimat dan guna-guna untuk mencelakakan orang lain. Minyak

yang berasal dari mayat itu bila dicampur dengan ramuan lain, dapat menjadi

minyak pupuk, yaitu semacam jimat yang berkekuatan gaib.

Para sidapur yang menangani pembakaran mayat dipandang sebagai orang

yang mungkin mendapat sial karena begu orang mati itu mungkin saja menjauhkan

keberuntungan mereka. Untuk menghindarkan hal tersebut, maka para sidapur

Page 198: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

harus membersihkan diri. Demikianlah mereka harus mandi dan berlangir terlebih

dahulu. Sesudah itu baru mereka diperbolehkan pulang ke rumah. Sebelah-

menyebelah pintu ke rumah disediakan dua mangkuk air, yang satu berisi air

panas, yang satu lagi berisi air dingin. Sebelum ke rumah, mereka diharuskan

mencelupkan tangan ke dalam kedua mangkuk tersebut. Dengan berbuat demikian

diharapkan agar pikiran mereka menjadi tenang dan dingin. Sesampai di rumah

ada lagi syarat yang lain. Mereka harus meraba atau menyentuh tangku dapur dan

para-para yang ada di atasnya. Maksudnya agar begu orang yang telah meninggal

itu tidak dapat menyusahkan mereka. Sesudah itu mereka diuduk di papan

tongga,l yaitu tempat duduk hamba sahaya di sisi dapur. Setelah terbuktti bahwa

segala syarat untuk sidapur dipenuhi dengan baik, barulah mereka boleh bergaul

dengan orang-orang di rumah itu (Tarigan, 1998: 76--77).

5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu

Pada sekitar tahun 1980-an memanggil roh perumah begu masih sering

dilakukan. Pada sekitar tahun tersebut peneliti masih sempat menyaksikan upacara

ini di lokasi penelitian sekarang. Namun, sekarang jarang ditemukan bahkan tidak

ada lagi yang melakukan sesuai dengan informasi yang diterima dari informan.

Biasanya pada malam berikut setelah upacara penguburan atau pembakaran mayat,

keluarga atau sangkep nggeluh masih berkumpul untuk menemani dan menghibur

hati suami/istri dan anak-anak, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal itu.

Biasanya pada malam itu diadakan upacara perumah begu ―memanggil roh yang

Page 199: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

meninggal‖. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita. Adapun maksud

dan tujuan upacara ini ialah untuk menyenangkan begu atau roh dengan

memberinya makanan dan minuman yang melebihi makanan sehari-hari.

Begu dapat bertukar pikiran dan memberikan nasihat kepada sangkep

nggeluh yang masih hidup. Upacara perumah begu selalu diadakan pada malam

hari hingga pagi hari. Khusus bagi kaum bangsawan, misalnya keturunan raja

sibayak, ada upacara kematian yang disebut igendangi empat wari empat bulan,

empat tahun ―digendangi empat hari, empat bulan, empat tahun‖. Maksudnya,

bergendang dua malam sebelum mayat dikubur atau dibakar, pada hari

penguburan pun bergendang, lantas pada malam berikutnya bergendang lagi

sambil perumah begu. Yang terakhir setiap tahun selama empat tahun diadakan

pula perumah begu diiringi gendang. Dengan demikian, setelah upacara ini

dipenuhi maka tugas atau kewajiban kaum kerabat terhadap si meninggal dianggap

selesai (Tarigan, 1998: 73).

Satu hari setelah dilakukan upacara perumah begu, keluarga yang

ditinggalkan—yaitu istri/suami serta anak-anaknya—tidak boleh pergi ke mana-

mana. Mereka semua tinggal di rumah. Mereka harus ngerebuken kesah

―memantangkan nyawa‖, maksudnya agar nyawa ( kesah ) orang yang masih

hidup menjadi rebu, menjadi tabu, pantang bergaul dengan begu orang yang telah

meninggal karena sudah dilakukan upacara perumah begu. Dengan ngerebuken

kesah, orang beranggapan bahwa begu tidak akan mengganggu tendi orang yang

masih hidup. Sore hari pada hari yang sama sangkep nggeluh pergi lagi ke

Page 200: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kuburan. Kali ini mereka membawa lau meciho ―air jernih‖ dalam mangkuk yang

dicampur dengan daun-daunan dan nakan atau nasi layaknya dimakan oleh

manusia yang masih hidup. Sesampainya di kuburan, mereka menuangkan atau

meyiramkan air jernih yang telah dicampur dedaunan itu di atas kuburan tersebut

dan meletakkan makanan yang sudah disediakan. Masyarakat Karo percaya bahwa

mayat yang telah dibakar atau yang dikubur dalam kuburan itu menderita

kehausan yang amat sangat. Kalau dibiarkan begitu, pasti begu-nya mengganggu

manusia yang masih hidup. Sehubungan dengan itu, keluarganya perlu sekali

ngambur lau meciho ―mencurahkan air jernih‖ dan memberikan makanan di atas

kuburan agar terobatilah penderitaan yang dideritanya, dari kehausan dan

kelaparan. Dengan demikian, begu orang yang meninggal merasa masih dihargai

dan tak perlu mengganas mengganggu orang-orang yang masih hidup.

Setelah empat atau tujuh hari mayat dikuburkan atau dibakar, maka

diadakanlah upacara ngeleka tendi ―memisah roh‖ pada sore hari. Acara ini

dipimpin oleh seorang guru (dukun) wanita. Adapun sarana yang biasa digunakan

oleh sang guru, antara lain cekala lepas (sejenis zingiberacea), bakal pohon enau

yang kecil beserta akarnya (dalam bahasa Karo bertuk), ujung beski (pimping),

dan leka-leka (sejenis tanaman) berikut pula mbun-mbunen (sejenis sesajen).

Semua ini disajikan di atas kuburan orang tersebut dengan harapan agar tendi

orang-orang yang masih hidup berpisah dengan begu orang yang telah meninggal.

Dengan kata lain, memutuskan hubungan tendi dengan begu supaya begu jangan

mengganggu tendi. Jika, dengan jalan ngeleka tendi pun maksud tidak tercapai,

Page 201: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

maka diadakanlah upacara yang lebih berat, yang dipimpin oleh seorang dukun

pria. Upacara ini disebut ngarkari ―menguraikan simpul atau memutuskan

hubungan (Tarigan, 1998: 75).

5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan

Upacara ngampeken tulan-tulan sudah lama dikenal pada masyarakat Karo.

Ngampeken yang berarti mengangkat dan tulan-tulan, yaitu tulang-tulang

merupakan upacara pemindahan tengkorak ke geriten (kuburan batu). Ada

kalanya pemindahan tulang-tulang tengkorak dilakukan tidak hanya satu tengkorak

mayat, tetapi tergantung kesepakatan antara sukut dalam sangkep nggeluh pada

masyarakat Karo. Gambar 5.7 menunjukkan bahwa tulan-tulan yang diangkat

terdiri atas lima orang, tetapi dari kelima ini tidak boleh di luar dari sangkep

nggeluh yang ada, artinya masing-masing masih ada pertalian darah yang dekat.

Gambar 5.7

Ngampeken tulan-tulan (mengangkat tulang dari tanah ke geriten)

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 20 Juli 2012)

Page 202: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Upacara ngampeken tulan-tulan dilakukan di jambur dan dibuat upacara

yang sama dengan upacara kematian. Upacara ini dilakukan karena ketika

meninggal, mereka tidak dibakar dan belum dilakukan upacara selayaknya yang

dilakukan oleh orang Karo.

5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen

Gendang lima sendalanen merupakan salah satu unsur yang sangat

penting dalam upacara gendang kematian. Seperti yang sudah diuraikan pada bab

sebelumnya bahwa masyarakat Karo percaya bahwa di sekitarnya masih banyak

makhluk halus atau tendi-tendi. Sehubungan dengan itu, pertama-tama yang harus

dilakukan oleh penggual (pemusik), yaitu dengan gendang dibuang dimainkan

gendang tanpa ada orang yang menari). Dalam hal ini repertoar yang dimainkan

perang-perang empat kali, tanpa ada yang menari. Ini adalah gendang untuk roh-

roh leluhur. Akan tetapi, sekarang ini jika masih dimainkan, disebut gendang

persikapen (untuk bersiap-siap). Hal tersebut dianggap kafir karena diperuntukkan

kepada roh-roh yang tidak kelihatan akhirnya jarang sekali dimainkan oleh

penggual (pemain musik).

Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo awalnya dikenal dengan nama

gendang telu sendalanen dan lima sada perarih. Menurut Amat Depari, sebelum

tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang akan dilakukan terutama upacara

gendang kematian di sebuah tempat atau desa, maka pemain musik yang datang ke

tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni, penarune, singindungi, dan

Page 203: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

singanaki, sedangakan pemalu gung dan pemalu penganak berasal dari tempat di

mana upacara tersebut berlangsung. Selanjutnya dalam penelitian ini disebut

gendang lima sendalanen meskipun diuraikan tentang gendang telu sendalanen

lima sada perarih karena gendang lima sendalanen-lah yang lazim dikenal etnik

Karo pada saat ini (wawancara, 18 Maret 2012).

Ensambel musik pada etnik Karo atau sering disebut dengan gendang lima

sendalanen terdiri atas lima jenis instrumen musik, yaitu sarune, gendang indung,

gendang anak, penganak, dan gung (lihat gambar L.4.22). Tiap-tiap instrumen

dimainkan oleh satu orang pemain musik. Kelima pemain tersebut adalah pemain

sarune disebut penaruné, pemain gendang indung disebut penggual singindungi,

pemain gendang anak disebut penggual singanaki, pemain penganak disebut

simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung (lihat, 4.2.2.1).

Repertoar yang dimainkan dalam ensambel gendang lima sendalanen pada

upacara gendang kematian adalah repertoar gendang simelungen rayat, (gendang

dalam hal ini menunjukkan judul lagu). Wujud bunyi lagu tersebut dapat di lihat

dari gambar (5.8) yang menunjukkan bahwa wujud bunyi setiap instrumen yang

terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri dari sarune, gendang

singindung, gendang singanaki, penganak dan gung. Penelaahan makna terhadap

sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo di paparkan pada bab tujuh

dalam penelitian ini.

Page 204: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era
Page 205: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.8

Wujud repertoar lagu Simelungen Rayat dalam ensambel gendang lima

sendalanen pada upacara gendang kematian masyarakat Karo

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2014)

Gendang lima sendalanen pada etnik Karo dikenal sebagai ensambel

musik yang terdiri atas lima jumlah instrumen musik, yaitu sarune termasuk

dalam klasifikasi (aerofon) yaitu bunyi dihasilkan dari angin, gendang indung

(membranofon), gendang anak (membranofon), gung, dan penganak (ideofon),

Namun, sering juga disebut dengan gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu

dua, yaitu angka dua belas untuk hitung-hitungan perangkat yang digunakan

seluruhnya, termasuk stik atau alat pemukul instrumen musik tersebut yang sangat

erat berkaitan dengan upacara gendang kematian. Etnik Karo mengenal pemain

musik dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring

musik dalam upacara yang ada pada masyarakat Karo. Gambar 5.9 menunjukkan

bagaiman wujud ensambel gendang lima sendalanen dalam upacara gendang

kematian.

Page 206: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.9

Ensambel gendang Lima Sendalanen

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

5.2.1 Wujud Sarune

Sarune merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed

aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat

musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas

lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda.

Pertama, dilah-dilah, yaitu anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun

kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir

(pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada

bagian tongkeh (gambar 5.10).

Page 207: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.10

Instrumen Sarune

(Dokumen. Pulumun P. Ginting 2011)

Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah sarune

tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang tumbuhnya di

permukaan yang tinggi, bebas disinari matahari dan tiupan angin. Di samping daun

kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut dipercaya

masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional. Bahkan,

ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya menggunakan

air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar penjelasan di atas,

diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan oleh orang Karo di

luar dari kepentingan alat musiknya. Kedua, tongkeh terbuat dari timah.

Bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak

sarune kepada bagian berikutnya. Ketiga, ampang-ampang, yakni sebuah

lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling)

diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir

Page 208: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Keempat, kerahong atau batang

sarune terbuat dari kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar menjadi

konis, dan bagian dalamnya juga dilubangi agar menjadi konis juga. Pada batang

sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah. Kelima, gundal juga

terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini

merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.

5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki

Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik

pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang

berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang

dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul)

disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang (drum) yang

terdapat di Sumatera, kedua gendang Karo memiliki ukuran yang kecil,

panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah gendang 5 cm, diameter pantil gendang

4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk,

ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya, yaitu pada gendang singanaki

terdapat lagi (diikatkan) sebuah ‖gendang mini‖, yang disebut gerantung (panjang

11,5 cm), sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi

dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu,

sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.

Page 209: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dalam gambar 5.11 dapat dilihat bahwa kedua alat musik ini terbuat dari

pohon tualang dan nangka. Lubang atau rongga bagian dalam dibentuk mengikuti

konstruksi bagian luar alat-alat musik tersebut. Kulit yang direntangkan kedua sisi

muka (head drum) alat musik tersebut berasal kulit napuh, sejenis kancil yang

kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung

ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang

dililitkan pada seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan

kulit/membran gendang. Tiap-tiap gendang memiliki dua palu-palu gendang atau

alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm. Kedua palu-palu gendang singanaki dan

satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama (kecilnya),

sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih

besar dari pada yang lainnya.

Gambar 5.11

Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Page 210: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Bagian-bagian gendang singanaki dan gendang singindungi sama, yang

berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang

adalah sebagai berikut. (1) Tutup gendang, yaitu bagian atas konis atas (konis

pertama) yang mengelilingi babah gendang (membran gendang). Tutup gendang

terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi oleh kulit napuh (sejenis kancil) (2)

Babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat dari bambu yang sebelumnya

telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah gendang dan inilah yang dipukul

dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik gendang singanaki maupun

gendang singindungi. (3) Badan gendang terbuat dari kayu tualang atau nangka.

(4) Tali gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi

yang berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang ini memiliki

spesifikasi panjang 9 m, lebar 0,4 cm, dan tebal1.5 mm. Tarik gendang melintasi

sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah

melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali

hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah

simetris vertikal). Selain itu, juga menelusuri sekujur buluh dengan pola jelujur

yang membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini

sebagai perangkat pengatur mekanis. (5) Pantil gendang, yaitu bagian bawah konis

bawah (konis kedua). Pantil gendang juga terbuat dari bambu, yang sebelumnya

telah dilapisi dengan kulit napuh (sejenis kancil).

Gerantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi gendang singanaki.

Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya tidak berbeda dengan

Page 211: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

gendang singanaki. Perbedaan terjadi pada ukurannya yaitu tutup gendang

berdiameter 6,5 cm, pantil gendang berdiameter 6 cm, panjang badan garantung

adalah 11,5 cm, dan panjang tarik gendang adalah 2 m. Alat pukul gendang (stik)

terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama

panjang, besar, dan bentuknya, sedangkan alat pukul gendang sngindungi

keduanya berbeda besar dan bentuknya. Panjang stik 14 cm.

5.2.3 Wujud Penganak dan Gung

Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni

sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan

musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat

yang demikian kontras. Dalam gambar 5.12 gung memiliki ukuran yang besar

(diameter 68,5 cm) dan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm). Pada

waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, tetapi pada saat sekarang ini

gung dan penganak terbuat dari besi plat. Palu-palu (stick) gung dan penganak

terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat

musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet mentah.

Page 212: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.12

Instrumen Gung dan Penganak

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)

5.3 Wujud Menari/ Landek

Tari sebagai perwujudan ekspresi sosial, karena seseorang atau

sekelompok orang yang menari tidaklah hanya untuk kepentingan sendiri

melainkan untuk dirasakan bersama orang lain, baik yang terlibat langsung

(menari bersama) maupun yang menyaksikan dari luar. Dengan demikian, mereka

yang biasa menari akan terlatih pula untuk berhubungan dengan orang lain, serta

mengaitkan apa yang dirasakan di luar dirinya dengan yang ada di dalam dirinya.

Aktivitas tari seringkali tergantung atau bahkan terikat oleh dinamika kehidupan

suatu masyarakat (Dibia, 2005: 9).

Pernyataan di atas sangat erat kaitannya dengan apa yang dilakukan orang

Karo ketika menari pada upacara gendang kematian. Secara umum, tari pada etnik

Page 213: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Karo disebut ―landek‖. Dalam budaya Karo, penyajian landek sangat kontekstual.

Dengan kata lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya.

Selain itu, setiap gerakan dalam landek juga berhubungan dengan simbol-simbol

dan makna-makna tertentu.

Pola-pola dasar landek pada masyarakat Karo terbentuk atas tiga unsur.

Pertama, endek (gerakan menekuk lutut) merupakan salah satu unsur penting

dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan

kembali lagi ke atas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan

ke bawah secara vertikal. Gerakan endek disesuaikan dengan buku gendang (bunyi

gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi).

Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan

sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo. Di beberapa

landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh

penari berada di posisi atas. Kedua, odak atau pengodak (gerakan langkah kaki),

merupakan gerakan penari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun

melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki

kanan dan dilakukan pada saat gung berbunyi. Dalam gerakan odak

atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap

terlihat. Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut

tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan music.

Ketiga, ole (goyangan/ayunan badan), merupakan gerakan goyangan atau ayunan

Page 214: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan. Gerakan ole juga

mengikuti bunyi gung dan penganak.

Selanjutnya diuraikan wujud landek dalam upacara gendang kematian.

Landek dalam upacara gendang kematian bersifat komunal biasanya dilakukan

oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh yang berduka, bersama-

sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah). Tiap-tiap kelompok

menari dengan posisi berhadap-hadapan. Dalam hal ini tari tidak sebagai sebuah

tari tontonan. Menurut Dibia, tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih

penting daripada seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam

suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan

menari yang bagus (Dibia, 2005: 3).

Bagi kelompok sukut/sembuyak, tarian itu merupakan tarian penyambutan

atau penghormatan atas kehadiran kade-kade atau tamu-tamu kekerabatan.

Sebaliknya, bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka

sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)

kepada keluarga yang memiliki hajatan.

Page 215: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.13

Landek/menari dalam Upacara Gendang Kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Gambar 5.13 menunjukkan tari (landek) yang berkaitan dengan ritual

nggalari utang (membayar utang) dalam upacara kematian. Di samping pihak

sukut yang berhadap-hadapan dengan kalimbubu-nya ada seorang anak beru yang

membawa kain yang di dalamnya diikatkan uang dengan jumlah yang sudah

ditentukan untuk membayar utang yang meninggal terhadap kalimbubu. Uang

yang diikat dalam kain tersebut dinamai orang Karo dengan sebutan batu uis.

Selain yang telah dipaparkan di atas beberapa wujud tari pada masyarakat

Karo yang berkaitan dengan upacara gendang kematian di antaranya adalah

upacara perumah begu, upacara raleng tendi, dan upacara ngampeken tulan-tulan.

Jenis tari yang ditarikan dalam ritual upacara ini adalah tari tungkat (tari untuk

mengusir roh-roh jahat), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang

berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan sebagainya.

Page 216: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Upacara yang berkaitan dengan ritual ini dilakonkan oleh guru sibaso

(dukun), berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Hal ini terjadi karena

ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya guru tersebut

memanggil jinujung-nya (junjungannya) untuk ‗masuk‘ ke dirinya. Dengan

demikian, gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan

pola gerak tari landek Karo pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan

yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan

mengangkat kaki secara bergantian).

5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri

Nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan pada upacara

kematian yang berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau

nasihat). Pada proses ini diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan

dimainkan lagu simelungen rayat yang bernada sendu dan lemah gemulai serta

diikuti dengan menari. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah kata-kata atau

kalimat yang diucapkan oleh setiap kekerabatan yang ada dalam sangkep nggeluh

pada upacara gendang kematian. Misalnya, berwujud ratapan dengan melodi

tertentu, yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga yang berduka. Gambar 5.14

menunjukkan sukut yang berduka nuri-nuri dan memberikan penghormatan

kepada pihak kalimbubu, sembuyak senina, dan anak beru.

Page 217: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.14

Nuri-nuri atau memberikan kata penghiburan pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Dalam acara nuri-nuri semua kekerabatan akan mendapat acara untuk

menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggal. Namun, yang unik

dalam wujud nuri-nuri ini adalah ketika giliran seseorang untuk menyampaikan

kata pengiburannya kepada keluarga yang ditinggal, justru orang yang meninggal

itu selalu diajak berbicara, seoalah-olah mayat masih dapat mendengar apa yang

diungkapkan. Dari nuri-nuri akan diketahui baik-buruknya, yang meninggal ketika

masih hidup dan keluarga yang ditinggalkannya. Spiritualitas masyarakat Karo

termanifestasi dari nuri-nuri sebagai salah satu unsur yang ada pada upacara

gendang kematian.

Page 218: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.5 Wujud Menangis/ Ngandung

Ngandung berarti menangis tidak bisa terlepas dari upacara gendang

kematian etnik Karo. Dalam kematian, keluarga, saudara-sudara, dan sahabat

menangis atau meratapi kepergian yang meninggal. Tangisan ini tidak akan

berhenti sepanjang mayat belum dikuburkan. Biasanya tangisan yang dilakukan

sambil berkata-kata dengan kata-kata yang menunjukkan si mati telah berjasa

dalam hidupnya. Kata-kata tangisan yang mengungkit keburukan-keburukan yang

meninggal jarang sekali diucapkan meskipun terkadang terucap juga oleh keluarga

yang menangis. Tangisan keluarga terutama anak kandung atau saudara yang

meninggal memberikan gambaran pada orang yang hadir dalam sebuah upacara

kematian. Tangisan yang kuat terutama dalam perjalanan menuju ke kawasan

pekuburan amat digalakkan. Tangisan ini seolah-olah menggambarkan kesedihan

keluarga dan sahabat terhadap kematian itu. Tangisan akan berkelanjutan hingga

mayat dikebumikan.

Tiap-tiap kerabat, baik sukut, kalimbubu, maupun anak beru mendapat

giliran dan kesempatan menangis sambil mengungkapkan kata-kata dan tanpa

sadar yang menangis menganngap yang sudah meninggal masih dalam keadaan

hidup. Penyampaian kata-kata belasungkawa mengenang hubungannya selama ini

dengan yang meninggal atau nasihat meneguhkan hati pihak keluarga yang

ditinggalkan almarhum disampaikan melalui tangisan dan ratapan. Meratap dalam

bahasa Karo disebut Ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan

Page 219: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

hal-hal yang dijalani dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun

percakapan yang terakhir dilakukan.

Gambar 5.15

Ngandung atau meratap pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar 5.15 menunjukkan bahwa sang istri sedang menangis dan

melampiaskan seluruh isi hatinya di depan mayat suaminya. Ngandung tidak akan

berhenti sebelum upacara kematian selesai dan mayat diantarkan ke kuburan.

Ketika emosi yang menangis karena kekecewaannya ditinggal suami atau istrinya

akan dilampiaskan melalui serko (menangis dengan keras), Di situ juga penggual

(pemain musik) menaikkan motif melodi pada ensambel sarune yang disebut

jungut-jungut (motif melodi yang dimainkan) berdasarkan konteks yang terjadi

pada upacara.

Page 220: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.6 Wujud Menyanyi/ Rende

Aktivitas menyanyi etnik Karo disebut rende. Sedangkan ende-enden

dikenal dengan istilah nyanyian. Dalam musik Barat dekenal dengan vokal.

Menurut Rumengan (2010), musik vokal memiliki keterikatan yang sangat kuat

dengan bahasa suatu masyarakat. Musik vokal tradisional banyak berupa doa-doa

atau pujian pada semesta yang biasanya bergerak sesuai emosi, gaya, ritme,

intonasi, dan sebagainya. Lagu etnik merupakan atau terbentuk dari

pendramatisasian atau pengekspresian yang sungguh-sungguh mantra atau doa

(Rumengan, 2010: 36).

Etnik Karo memiliki delapan jenis nyanyian sebagai berikut. Pertama,

katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi gendang

lima sendalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki garis

melodi yang baku, tetapi lirik atau teks komposisi tersebut senantiasa berubah dan

disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katoneng-katoneng

disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang disampaikan dengan

cara bernyanyi, tetapi isi atau tema lagu tersebut berisi nasihat, penghormatan,

pujian, doa atau harapan dan sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng

tergantung pada konteks upacara etnik Karo. Repertoar ini biasanya dinyanyikan

oleh perkolong-kolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng

dapat digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Kedua, tangis-

tangis nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan seseorang. Ketiga,

io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Keempat, didong-doah nyanyian

Page 221: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat Karo disebut

didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga ditemukan dalam

upacara perkawinan etnik Karo, yaitu seorang ibu mengungkapkan perasaan dan

nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga pengantin. Kelima, tabas adalah

mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan

tradisional. Keenam, mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang

dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya setiap

waktu. Ketujuh, nendung, yaitu aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan

sesuatu atau seseorang yang pergi tanpa memberitahukan ke mana kepergiannya.

Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak selamanya

dinyanyikan, tetapi hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantra. Selain

itu, isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas oleh

orang yang mendengarkannya. Kedelapan, pop merupakan nyanyian percintaan

atau muda-mudi. Jenis vokal inilah yang berkembang sampai saat ini.

Nyanyian yang digunakan dalam upacara gendang kematian adalah

katoneng-katoneng yang diiringi gendang lima sendalanen. Yang termasuk dalam

katoneng-katoneng adalah kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh

perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian yang

berbentuk ratapan. Berbeda halnya dengan upacara pernikahan kata-kata atau

kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan)

dan bila diperhatikan, akan sama dengan upacara kematian. Namun, di sini

bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan. Pada upacara

Page 222: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kematian, kata-kata atau kalimat yang dilontarkan berbentuk ratapan/kesedihan

akan ditinggalkan oleh mendiang dan nasihat pada keluarga mendiang (gambar

5.16). Juga sama halnya kata-kata yang di utarakan oleh pihak keluarga pada

upacara pernikahan disebut masu-masu (pemberkatan/doa-doa)

.

Gambar 5.16

Perkolong-kolong rende atau bernyanyi pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Perkolong-kolong merupakan salah satu unsur yang sangat penting pada

upacara gendang kematian, terutama upacara kematian yang digolongkan cawir

metua (bebas dari tanggung jawab). Acara demi acara yang ada dalam upacara

tersebut dapat disampaikan oleh seorang perkolong-kolong dari semua sangkep

nggeluh (kekerabatan) yang ada. Ia dapat mewakili petuah-petuah dari kalimbubu

untuk anak beru, senina/sembuyak melalui nyanyian dengan rengget (khas)

katoneng-katoneng pada setiap kekerabatan yang ada. Tradisi lisan yang

diwariskan secara turun-temurun akan tampak wujudnya yang nyata dari seorang

Page 223: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

perkolong-kolong. Cukup dengan waktu sekitar dua atau tiga menit saja seorang

anak beru menceritakan siapa yang akan mempunyai acara berikutnya, perkolong-

kolong akan menyampaikan hal tersebut dengan nyanyian yang dapat

menghabiskan waktu ―konteks‖ lebih dari satu jam (lihat gambar L.4.19).

5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod

Menurut Jasa Tarigan, masuknya instrumen keyboard dalam tradisi Karo

pada awalnya sekitar 1991-an. Awalnya instrumen musik keyboard digunakan oleh

Jasa Tarigan pada saat-saat menjelang sebuah pertunjukan, musik tradisi Karo

ataupun setelah selesai mengadakan seni pertunjukan misalnya upacara gendang

guro-guro aron. Namun, lambat laun karena di dalam kegiatannnya sebagai

pemusik, alat musik ini kemudian digemari oleh masyarakat pendukungnya.

Keadaan semacam ini lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan proses

berlangsungnya tidak memakan waktu yang lama sehingga masyarakat Karo yang

sering menggunakan ensambel gendang lima sendalanen meminta keyboard untuk

melayani kebutuhan mereka, terutama pada gendang guro-guro aron (pesta muda-

mudi). Sekitar 1992 instrumen musik keyboard mulai masuk dalam pesta

perkawinan. Sekitara tahun 1994 instrumen musik keyboard yang kemudian

disebut masyarakat dengan istilan gendang kibod juga telah dimainkan pada

upacara kematian (lihat gambar L.4.27). Hal ini dilakukan untuk mendapat

kemudahan karena satu orang pemain dapat membuat berbagai ritmis gendang

yang diperlukan untuk menari.

Page 224: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Perlu disampaikan bahwa di beberapa pihak masih ada diantara orang Karo

yang belum menerima kehadiran keyboard. Hal ini terjadi karena ada yang

menyatakan gendang laradat (tidak beradat). Memang pada dasarnya penyajian

instrumen keyboard pada setiap kegiatan, baik dalam pesta maupun upacara-

upacara terlepas dari adat istiadat. Artinya penyajian instrumen musik keyboard

semata-mata untuk memberikan hiburan pada mereka yang membutuhkannya.

Pemakaian keyboard dalam tradisi musik etnik Karo pada mulanya dalam

konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada gendang patam-patam

(repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron muda-mudi). Pemakaian

keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat memberikan aksen tertentu pada

komposisi tersebut. Hal ini dilakukan karena keadaan para penari dan penonton

sudah mulai lelah. Akibat mendengar bunyi keyboard, penonton mendapat

semangat baru sehingga pertunjukan guro-guro aron berlangsung hingga pagi

hari.

Page 225: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 5.17

Organ tunggal atau gendang kibod pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Sejak itu Jasa Tarigan selalu mengadakan eksperimen untuk mentransfer

bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru berbagai pola melodi sarune

dan pola ritmis gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung.

Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik yang diprogram dalam keyboard

sehingga dapat menggantikan posisi gendang lima sendalanen menjadi keyboard

tunggal dalam ensambel musik Karo.

Gambar 5.17 menunjukkan bahwa gendang keyboard banyak berperan

dalam mengiringi tari dan nyanyian pada konteks seni pertunjukan muda-mudi

Karo dalam upacara gendang guro-guro aron. Akan tetapi, kemudian digunakan

dalam upacara perkawinan. Bahkan, sekarang, keyboard telah digunakan dalam

mengiringi upacara gendang kematian tanpa disertai salah satu instrumen gendang

lima sendalanen.

Page 226: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet

Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga

perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan

waktu, baik perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh materi maupun inovasi-

inovasi yang dilakukan oleh suatu etnik. Awalnya ensambel musik tiup digunakan

dalam ibadah-ibadah minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya

penggunaan ensambel musik tiup ini lebih banyak ditemui pada upacara gendang

kematian, bahkan sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah

yang lain. Belakangan tampak terjadi perubahan fungsi dari ensambel musik tiup

yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja menjadi salah satu bagian

dari acara adat, yaitu sebagai pengiring lagu pada upacara kematian (gambar 5.18).

Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan

Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para

misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan

ini terjadi karena selain melaksanakan misi para misionaris juga turut membawa

dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu hasil

kebudayaan mereka itu adalah musik tiup (Sinuraya, 2000: 2).

Penggunaan ensambel musik tiup terdapat pada beberapa tempat yaitu

Kabanjahe, Berastagi, Tiga Ndeket dan Surbakti. Tiap-tiap instrument pada

ensambel musik tiup ini diberikan secara cuma-cuma oleh misionalris Jerman

untuk digunakan di ibadat gereja. Ensambel musik tiup tersebut sebagai pengiring

ibadah Minggu di Gereja Batak Karo Protestan, khususnya di Desa Surbakti

Page 227: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(tempat salah satu grup ensambel musik tiup di Kabupaten Karo). Sumbangan

ensambel musik tiup yang diterima dari para misionaris Jerman tersebut yaitu, (1)

terompet, (2) horn, (3) tuba, (4) saxophone sopran, dan (5) saxophone alto.

Gambar 5.18

Ensambel tiup atau trompet pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain saxsopran dalam ensambel

musik tiup pada tahun 1967, misionaris berkebangsaan Jerman menyerahkan

beberapa alat musik brash kepada masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa

yang lain, seperti Kabanjahe Kota, Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967

hingga 1980 ensambel musik tiup hanya dimainkan pada ibadah gereja dan pada

upacara pasu-pasu atau pemberkatan pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun

1995, musik tiup Toba datang ke tanah Karo secara khusus untuk mengiringi

upacara kematian dengan konsep musiknya berasal dari perbaduan alat instrumen

tradisi, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar bass, dan semua alat musik tiup

seperti terompet, horn, tuba, saxsopran, dan saxalto. Grup musik Toba ini mulai

sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi upacara kematian.

Page 228: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Berdasarkan kemajuan grup ensambel musik tiup Toba ini, Sembiring selaku

pimpinan grup, terinspirasi untuk menambah alat instrumennya sehingga pada

tahun 1997 dilakukan penambahan alat musik berupa gitar bass yang digunakan

untuk menggantikan fungsi tuba. Hal ini dilakukan karena memiliki bodi yang

besar dan sulit dibawa pada saat grup ensambel music tiup ini dipanggil untuk

bermain dengan jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, format instrumen grup

pun mengalami perubahan, yaitu (1) terompet, (2) horn, (3) tuba digantikan gitar

bass elektrik, (4) saxophone sopran, (5) saxophone alto, dan (6) drum (lihat

gambar, L.4.29) (Wawancara, 10 Januari 2012).

Page 229: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Ada beberapa faktor yang memengaruhi suatu produk kebudayaan

termasuk upacara adat yang mengalami perubahan. Bagi etnik Karo produk

kebudayaan berupa upacara gendang kematian merupakan warisan dan pusaka

leluhur yang dilanjutkan secara turun-temurun. Upacara itu dikenal sebagai tradisi

lisan yang dibanggakan dan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang hakiki

dari cerminan spiritualitas etnik Karo. Eksistensi upacara gendang kematian dalam

wujudnya yang sekarang, tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang

memengaruhinya, baik faktor intern maupun faktor ekstern.

Perubahan/perkembangan seni terkadang tampak tercabut dari akarnya,

seakan berkembang dan berubah bersama-sama dengan mengalirnya seni bangsa

lain yang mampu merambah dan membalut seni milik bangsa sendiri. Dalam

zaman yang cepat berubah ini—karena komunikasi global, bahkan banyak orang

mulai berbicara tentang budaya global—maka terjadi tarik-menarik antara

perubahan yang harus ada dan perkembangan atau kontinuitas yang dalam banyak

hal masih ingin kita lestarikan (Sukerta, 2005: 50).

Menurut Alvin Boskoff, perubahan sosial budaya dalam masyarakat

disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud

Page 230: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

adalah faktor yang datang dari dalam, sedangkan faktor eksternal merupakan

faktor yang datang dari luar (Boskoff, 1964: 140).

Jika diperhatikan kehidupan etnik Karo, khususnya pada masa sekarang

ini, ternyata mereka sudah kena pengaruh alam modernisasi dan teknologi

canggih, yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dalam tindak-

tanduk orang Karo, khususnya sudah mengalami perubahan/pergeseran.

Sehubungan dengan hal itu, tampak jelas dalam segala kegiatan juga dalam

pergaulan seseorang di tengah-tengah masyarakat sebagai orang Karo. Menurut

pengamatan peneliti, orang-orang sering tidak tahu lagi mana yang baik dan yang

buruk, mana yang pantas ataupun tidak pantas berdasarkan tata krama adat dan

budaya Karo.

Demikian juga kalau diperhatikan pada masa sekarang ini, ternyata istilah-

istilah ataupun kata-kata yang biasa digunakan dalam adat budaya Karo, dapat

dikatakan bahwa generasi muda Karo sekarang tidak dapat lagi memahaminya,

apalagi melaksanakannya, baik adat berupa upacara kematian maupun upacara

perkawinan. Oleh karena itu, generasi tua sering merasa sedih melihat tindak-

tanduk generasi muda yang kurang berkepedulian. Di pihak lain, generasi muda

sekarang beranggapan pula bahwa generasi tua itu kuno, ketinggalan zaman pada

Era Globalisasi ini.

Berdasarkan situasi dan kondisi yang demikian maka tujuan penelitian ini

adalah untuk memberikan pemahaman demi kelestarian adat budaya Karo yang

Page 231: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

belakangan ini telah mengalami degradasi. Bahkan, mungkin saja pada suatu saat

nanti bisa hilang atau lenyap dari budaya nasional jika tidak ada usaha untuk

melestarikannya. Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sewajarnya orang Karo

merenungkan kembali adat budaya Karo agar dalam mengikuti zaman modernisasi

dan perkembangan teknologi canggih pada masa kini, masyarakat Karo dapat

menunjukkan identitas sebagai orang Karo.

Selanjutnya diuraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perubahan upacara gendang kematian, baik faktor internal maupun faktor

eksternal. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak bisa terlepas dari peran

aktif yang dimainkan oleh berbagai elemen dalam keberpihakannya terhadap

eksistensi, perkembangan, dan pelestarian kebudayaan, khususnya upacara

gendang kematian. Apa yang terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi, dianalisis dengan teori komodifikasi di samping teori-teori

lainnya yang secara eklektik memberikan topangan eksplanasi menuju kepada

pemahaman yang lebih baik.

6.1 Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksud adalah perubahan kebudayaan yang datang

dari masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh

berbagai macam dorongan, antara lain tantangan dari perubahan yang sifatnya

Page 232: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

alami yang sedemikian bermaknanya perubahan tersebut sehingga manusia

didorong ke arah suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, artinya mengadakan

tindakan-tindakan perubahan. Penyebab yang lain adalah kejenuhan. Ada tiga

faktor perubahan internal, yaitu dorongan adanya kesadaran orang-orang akan

kekurangan dalam kebudayaannya, kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan, dan

perangsang kreativitas-kreativitas penciptaan dalam masyarakat (Sedyawati, 1996:

138).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa faktor internal terhadap perubahan

kebudayaan tampak dalam kehidupan sehari-hari orang Karo. Etnik Karo sebagai

pendukung kebudayaan mengalami perubahan tanpa menyadari datangnya

perubahan itu sendiri. Hal tersebut termanifestasikan dalam upacara gendang

kematian etnik Karo pada akhir-akhir ini, terutama dalam pergeseran gendang lima

sendalanen digantikan oleh sebuah instrumen musik Barat, yaitu keyboard dan

unsur-unsur lain yang ada dalam upacara tersebut.

Menurut Sukerta (2005), faktor perubahan internal pada masyarakat, yaitu

perubahan alami, perubahan yang direncanakan, dan perubahan yang tergantung

pada kehendak individu. Perubahan alami adalah perubahan-perubahan yang

terjadi tidak disengaja atau terjadi dengan sendirinya. Perubahan alami dapat

berproses dengan cepat atau lambat tergantung pada tingkat keseimbangan

kehidupan masyarakat tanpa ada orang atau pihak lain yang sengaja

memengaruhinya. Perubahan yang terjadi secara alami dapat membawa akibat

Page 233: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

negatif dan positif. Perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang

didasarkan atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat

perubahan tersebut bagi kehidupan masyarakat.

Cepat lambatnya perubahan ini dipengaruhi oleh besarnya kemampuan dan

tanggung jawab para pembarunya dan kesesuaian antara program perubahan dan

kepentingan masyarakat. Perubahan yang tergantung pada kehendak individu

merupakan perubahan yang erat hubungannya dengan selera pribadi. Bentuk

perubahan ini relatif sedikit pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu hanya

terbatas pada perbedaan selera tiap-tiap individu. Artinya, tidak berpengaruh

terhadap keseluruhan pola sikap dan perilaku masyarakat dan tidak mengakibatkan

perubahan pada keseluruhan tatanan masyarakat (Sukerta, 2005: 50).

6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian

Etnik Karo adalah sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai bahasa

sendiri, adat istiadat, budaya, dan kesenian mereka. Masyarakat merupakan suatu

perwujudan kehidupan bersama. Sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat

merupakan wadah untuk berinteraksi dan menghasilkan suatu kebudayaan.

Masyarakat juga merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan berkerja

bersama cukup lama sehingga dapat mengatur diri dan mengganggap diri mereka

sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yg dirumuskan dengan jelas.

Page 234: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya.

Seiring berjalannya waktu dengan perkembangan zaman dan

perkembangan teknologi, maka kebudayaan dalam suatu masyarakat pun

mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman tersebut. Itulah sebabnya

kehidupan dalam suatu masyarakat selalu berubah-ubah, baik dari segi budaya,

adat istiadat, moral, tingkah laku, pengetahuan, maupun pola pikir. Perubahan

tersebut biasanya disebut dengan perubahan sosial.

Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang

selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami

perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju, tetapi juga ke

samping kiri dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali

ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.

Faktor masyarakat pendukung yang dimaksud di sini adalah masyarakat

Karo sebagai pemilik dan pendukung upacara gendang kematian. Masyarakat Karo

yang dimaksud tidak dilihat secara sempit dan terbatas pada genealogis (garis

keturunan) dan teritorial grafis (wilayah penelitian). Akan tetapi, dalam pengertian

luas, yakni orang-orang Karo yang terhimpun dalam satu komunitas organisasi

sosial kemasyarakatan kekaroan di mana pun mereka berada.

Dalam konteks kekinian (kontemporer), yang dimaksud dengan masyarakat

(manusia) Karo adalah mereka yang tidak saja terikat sedarah secara langsung,

tetapi juga mereka yang hidup di luar tanah Karo (geografis) dan memiliki

Page 235: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

komitmen ―membela‖ membangun masyarakat Karo. Tidak sulit menemukan

pemilik dan pendukung upacara gendang kematian, baik di berbagai wilayah di

Indonesia maupun di luar negeri. Pada umumnya secara spesifik orang Karo di

perantauan membentuk organisasi yang menghimpun mereka baik secara sosial

maupun kultural yang dinamakan ―persadan merga silima‖ persatuan lima marga,

yaitu Ginting, Sembiring, Karo-karo, Tarigan, dan Perangin-angin. Istilah merga

silima terdiri atas lima induk merga (klan) yang terdapat pada etnik Karo. Lebih

jelasnya di setiap kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Jakarta, Bandung,

Yogyakarta, Surabaya, Jayapura dan sebagainya, bahkan luar negeri, seperti

Belanda, Australia, Amerika dan sebagainya, ada komunitas merga silima. Di

samping itu secara sosiologis mereka membentuk suatu organisasi ―Persadan

Merga Silima‖ (persatuan dari lima marga), yang menghimpun orang-orang seasal,

sekuturunan (satu nenek moyang) dari nenek moyang masyarakat Karo. Organisasi

ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, terutama meneruskan pesan-pesan

moral nenek moyang, yang disebut ―sangkep nggeluh‖ (Lihat, 4.1.4).

Suatu ritual bagaimanapun tingginya nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya jika tidak memiliki masyarakat pendukungnya, tidak akan mencapai

tujuan. Hal itu terjadi karena suatu ritual ada untuk dihayati oleh masyarakat

pemiliknya. Upacara gendang kematian harus dipandang secara proporsional.

Artinya, masyarakat yang tetap berada dan tinggal dalam lingkup geografis di

tanah Karo dan komunitas orang Karo lainnya yang hidup di perantauan, ada

secara langsung masih memiliki keterkaitan kultural. Sebaliknya, yang lain ada

Page 236: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

telah terkontaminasi dengan berbagai pengaruh, perubahan zaman dan globalisasi,

mengaku nenek moyangnya dari Karo, tetapi karena lahir, bertumbuh dan menjadi

dewasa bukan di tanah Karo.

Terkait dengan masyarakat pendukung gendang kematian, Njenap Ginting

sebagai salah satu singerunggui (protokol) dalam upacara gendang kematian

mengungkapkan sebagai berikut.

Masyarakat Karo sekarang sibuk, segala sesuatu selalu diukur dengan

uang. Perhitungan waktu juga banyak mempengaruhi upacara gendang

kematian. Contoh, kalau tempo dulu upacara naruhken nakan atau

ngamburi lau simalem-malem (mengantar nasi atau menabur kuburan

dengan air bersih), dilakukan setelah empat hari dimakamkan, sekarang

tidak terikat ketentuan hari, ada yang melakukan keesokan harinya.

Bahkan, untuk menabur bunga sekarang langsung ditaburkan pada hari

penguburannya. Perbedaan itu sedemikian nyata dan terasa karena sekitar

20 tahunan yang silam acara tersebut masih wajar dilaksanakan. Tetapi

sekarang, pada waktu upacara penguburan keluarga, langsung saat itu juga

penaburan bunga dilakukan keluarga atas prakrasa jemaat gereja.

(Wawancara, 24 Desember 2012).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap

pelaksanaan upacara gendang kematian telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh

unsur globalisasi. Dalam penghayatan suatu ritual, masyarakat pendukung

memiliki kedaulatannya sendiri dalam mengonstitusikan fungsi suatu ritual.

Apakah upacara gendang kematian ini masih merupakan ritual penting bagi

masyarakat Karo ataukah sekarang hanya tinggal memenuhi fungsi sebagai

dokumentasi ritual di mana orang bisa mengadakan penelitian sejarah kebudayaan

suatu komunitas, bahkan hanya sekadar pemicu gobalisasi sekarang ini.

Page 237: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Era globalisasi telah ‗meninabobokkan‘ (menidurkan) etnik Karo terhadap

eksistensi upacara gendang kematian. Roh globalisasi telah membungkus

sedemikian rupa sehingga tanpa terasa kesinambungan upacara gendang kematian

goyah, mengalami pergeseran diubah oleh zaman dan waktu, serta pengecilan

ruang oleh budaya global. Perlu kesiapan mentalitas tinggi dalam ritual gendang

kematian pada era globalisasi sehingga upacara gendang kematian bisa survive

bersama unsur-unsurnya untuk menuju masa depan budaya Karo.

Dalil masyarakat pendukung dalam perannya untuk pelestarian tidak bisa

dimungkiri dipengaruhi kompetisi dan kontestasi akibat globalisasi. Hal itu secara

otomatis mesti memenuhi syarat-syarat global yang cenderung kepada budaya

instan dan populer dalam mengapresiasi bentuk nyata setiap upacara. Demikian

juga upacara gendang kematian ataupun upacara lainnya, masyarakat Karo

berusaha memenuhi tuntutan globalisasi.

Masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seperti

yang diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini.

―Gundari ibas gendang kematen kalak Karo, nggo bagi ikarusken saja.

Cuba tatapndu kai pe nggo serba cepat, acara pe lanai bo bagi sigelel,

kerina ibahan uga gelah meter, sipenting dung sada wari e. Kai pe adi

banci itukur salu sen nggo nge itukur kerina, contohna peti mate, ras

bunga-bungana kerina. Nen dehkam anak beru pe nggo pemokenna nuci

piring, terlebih-lebih akapndu gendang lima sedalanen pe nggo gantikenna

jadi kibod. Kerinana cepat kal sambar ibas gendang kematen enda‖

Terjemahan:

―Dalam upacara gendang kematian pada etnik Karo saat ini, segalanya

serba dipermudah supaya acara cepat. Rangkaian acara dalam upacara juga

berubah dan jika bisa diselesaikan dalam satu hari. Segala sesuatu jika bisa

Page 238: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

didapatkan dengan uang akan dibeli. Bagaimana dulu anak beru membuat

peti mati, sekarang tinggal dipesan dan dibeli, bagaimana dulu anak beru

sibuk dengan pekerjaannya sekarang sudah ada catering, dan terutama

gendang lima sendalanen tinggal panggil seorang pemain keyboard

elektronik‖ (Wawancara 11 April 2013).

Pernyataan di atas dibenarkan berkaitan dengan pengaruh globalisasi yang

menimpa masyarakat saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Barker bahwa

globalisasi, budaya konsumen, dan pascamodernisme adalah fenomena yang

terjalin erat karena tiga hal berikut, Pertama, globalisasi telah menggeser dunia

Barat dan kategori filosofisnya dari pusat jagat raya; memang, beberapa orang

telah melihat runtuhnya klasifikasi Barat sebagai tanda-tanda pascamodrrnisme.

Kedua, meningkatnya penampilan status budaya pop, yang dipercepat oleh media

elektronik, berarti bahwa pemisahan antarbudaya rendah dan budaya tinggi tidak

lagi relevan. Ketiga, kaburnya batas-batas seni, kebudayaan, dan perdagangan,

yang menyatu dengan semakin pentingnya ‘figural‘ pascamodern telah

menghasilkan estetisasi secara umum kehidupan sehari-hari (Barker, 2004: 300).

Selanjutnya, masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang

kematian di satu pihak merayakan perubahan yang dulunya dilakukan beberapa

hari menjadi singkat dengan pemangkasan upacara-upacara yang seharusnya

dilakukan, yang awalnya diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan

berubah mendadi kibod. Namun di sisi lain mereka mengkritisi terkikisnya nilai-

nilai yang ada dalam upacara tersebut. Bahkan, ada beberapa orang mengatakan

jika saya meninggal, jangan sempat gendang kibod yang digunakan dalam upacara

kematian saya.

Page 239: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dari pernyataan di atas terlihat bukti ambivalen antara modern dan

tradisional. Satu sisi mereka merayakan, akan tetapi di sisi lain mereka mengritisi.

Dalam hal ini Kebun Tarigan mengatakan bahwa orang Karo lupa akan leluhurnya.

Mereka menghakimi yang dimilikinya dan menerima yang di luar budayanya

menjadi dirinya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami nilai-nilai yang

ada pada budayanya sendiri.

―Seharusnya peran masyarakat pendukung upacara gendang kematian pada

masyarakat Karo mempelajari apa sebenarnya yang dilakukan dalam

upacara tersebut. Kalau dulu arwah yang meninggal diantar oleh kosmologi

masyarakat Karo hingga ke liang kubur, lihatlah sekarang apa kemudian

yang terjadi, arwah keluarga kita yang meninggal hanya diantar oleh

sebuah mesin yang telah direkayasa bentuk bunyi yang menyerupai

gendang lima sendalanen. Gendang lima sendalanen menunjukkan

bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam, berinteraksi dengan

sesama dan bagaiman ia menunjukkan sikap terhadap penciptanya‖

(Wawancara 20 Desember 2012).

Apa yang dikemukakan di atas, idealnya memang demikian. Masyarakat

Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seharusnya memiliki

kesadaran untuk tetap manjadi bagian aktif dalam menumbuhkembangkan

kebudayaan Karo yang diwujudkan dalam upacara gendang kematian. Dengan

demikian, alih teknologi kesenian kepada generasi penerus dapat

dipertanggungjawabkan dalam mengisi pembangunan mental dan sosial budaya.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa masyarakat pendukung

upacara gendang kematian merupakan bagian dari faktor intern yang memengaruhi

perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Page 240: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Hal ini terjadi, karena masyarakat Karo adalah masyarakat yang ambivalen

terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam upacara gendang kematian.

6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan

Faktor perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi tidak terlepas dari faktor intern, yaitu kreativitas

seniman/budayawan yang ada di masyarakat Karo. Menurut Sumardjo, kreativitas

adalah suatu kondisi, suatu sikap, atau keadaan mental yang sangat khusus sifatnya

dan sulit sekali merumuskannya. Sampai sekarang belum didapat rumusan yang

pasti. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat individual yang merupakan

manifestasi kebebasan manusia sebagai individu. Manusia kreatif adalah manusia

yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Kreativitas

menerjunkan seseorang ke dalam keadaan ambang, yaitu keadaan antara ada dan

belum ada. Dengan demikian, seorang yang kreatif selalu dalam kondisi ‘kacau‘,

ricuh, kritis, gawat, mencari-cari, mencoba-coba untuk menemukan sesuatu yang

belum pernah ada dari tatanan buday yang pernah dipelajarinya. Inilah sebabnya

dalam kreativitas diperlukan keberanian kreatif. Bukan hanya dalam keberanian

menghadapi dirinya yang gawat, tetapi juga keberanian dalam menghadapi

kebudayaan, lingkungan, masyarakat, dunia, dan sejarahnya (Sumardjo: 2000: 80).

Perubahan upacara gendang kematian sebagai suatu produk budaya etnik

Karo dalam proses kehadirannya tidak bisa terlepas dari berbagai kreativitas

Page 241: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

manusia Karo yang menjadi satu, baik dalam memenuhi rasa suka maupun duka.

Kreativitas dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari

pemikiran-pemikiran kreatif seniman/budayawan Karo sepanjang zaman hingga

kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa yang

terus-menerus melalui indra mereka, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk

upacara. Perubahan gendang lima sedalanen menjadi gendang keyboard tidak

terlepas dari kreativitas seniman Karo. Hal ini seperti yang diungkapkan Jasa

Tarigan berikut ini.

‖Saya mencoba-coba memasukkan unsur musik Barat ke dalam gendang

lima sendalanen, yaitu keyboard dalam sebuah upacara gendang guro-guro

aron (pesta muda-mudi) pada tahun 1991, tempatnya di Simpang Selayang

Medan. Dari keyboard hanya diambil bunyi perkusi yang sudah tersedia di

bank bunyi dalam keyboard tersebut. Munurut pengkuan beliau bahwa

pada upacara tersebut, semua pengunjung merasa antusias dengan

tambahan bunyi-bunyi itu. Hal ini tampak dari permintaan pengunjung

untuk menari yang sebelumnya belum pernah terjadi‖ (Wawancara, 11

Maret 2012).

Dalam berkreativitas, kemampuan seniman merupakan faktor penentu

dalam sebuah seni pertunjukan. Seniman memiliki ide, kreasi, dan kemampuan

teknis dalam mengekspresikan pengalaman dan gejolak jiwanya. Kreativitas

adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam

merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Seniman dituntut

kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalamannya yang

unik dan menarik untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang original dan

Page 242: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mampu menjadikan pengalaman baru yang unik bagi orang lain (Kaunang, 2010:

239).

Selanjutnya menurut Alfian (1996), selama seseorang, kelompok

masyarakat, atau suatu bangsa masih mempunyai kemampuan untuk bersikap kritis

terhadap dirinya sendiri, selama itu pula masih ada harapan baginya untuk

memperbaiki, memperbarui, atau membangun dirinya. Secara jujur ia berupaya

memahami dirinya sesungguh mungkin, menghargai apa-apa yang sudah

dicapainya, serta menyadari segi-segi kelemahan dan kekurangan yang masih

dimilikinya. Dari pemahaman yang mendalam seperti itu ia akan terundang untuk

memperbaiki kelemahannya dan menambal kekurangannya. Ada kalanya ia

berhasil, tetapi ada kalanya ia gagal. Walau bagaimanapun, melalui rangkaian

upaya seperti itu terjadilah proses pembangunan dirinya. Proses pembangunan diri

yang begitulah yang disebut sebagai kreativitaas (Alfian, 1986: 143).

Kreativitas adalah persoalan kebebasan pribadi seniman dalam berkarya.

Kebebasan berkreativitas seniman harus dapat menyatu dengan kehidupan sehari-

hari dan selalu berada di tengah-tengah kesadaran komunal atau kehidupan

bersama. Bekal atau sumber inspirasi kreativitas seniman, sumber utamanya

adalah kebudayaan masyarakat di mana seni itu dimiliki. Tanggung jawab kolektif

lebih dikedepankan daripada pengakuan atas otoritas kreatif seniman sendiri.

Disadari bahwa setiap seniman memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam

menangkap berbagai peristiwa yang terjadi dalam proses sosial. Peristiwa-

Page 243: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

peristiwa ini memengaruhi pikiran dan jiwa berkesenian seniman, baik secara

langsung maupun tidak langsung, dalam proses penciptaan karya. Faktor

pendorong lainnya dalam kreativitas seniman juga ditentukan sejauh mana respons

masyarakat pada umumnya terhadap produk kesenian yang diciptakan. Tugas

seniman adalah mensiosialisasikan hasil kreativitasnya yang memberikan ruang

dan waktu kepada masyarakat pemilik budaya dan masyarakat umumnya untuk

memberikan respons (Kaunang, 2010: 240).

Terkait dengan pernyataan di atas, seniman yang dimaksud adalah seniman

dan budayawan dalam upacara gendang kematian yang secara langsung ataupun

tidak langsung berperan ikut mempercepat laju perubahan spiritualitas upacara

gendang kematian masyarakat Karo pada era globalisasi. Secara kuantitas

terhitung sedikit seniman upacara gendang kematian yang benar-benar mengerti

dan memahami apa dan bagaimana gendang kematian. Di pundak seniman inilah

perubahan upacara gendang kematian dibelokkan atau diluruskan pada jalan tradisi

nilai-nilai dan roh budaya Karo yang sebenarnya.

Menurut Amat Karo Sekali (68), salah seorang penggual (pemain gendang)

di lokasi penelitian menyatakan sebagai berikut.

‖Sebelum tahun 1980 ketika upacara gendang kematian dilakukan maka

pihak keluarga yang meninggal akan mengundang sierjabaten (pemain

ansambel musik Karo). Ensambel gendang lima sendalanen adalah

ensambel musik yang terdapat pada masyarakat Karo yang terdiri dari lima

instrumen dan dimainkan oleh lima orang pemain musik. Ensambel ini

salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara gendang kematian

masyarakat Karo. Sierjabaten akan datang sebanyak tiga orang sebagai

Page 244: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pemain sarune, pemain gendang singindungi, dan pemain gendang

singanaki. Dua orang pemain, yaitu pemain gung dan pemain penganak di

dapatkan dari tempat upacara berlangsung. Setiap desa yang terdapat di

daerah tinggi Karo mempunyai pemain yang dua tersebut. Itulah yang

menyebabkan sebelum gendang lima sendalanen sebelumya dikenal

dengan gendang telu sendalanen dan lima sada perarih‖ (Wawancara, 20

April 2012).

Sejalan dengan pendapat di atas bahwa sebelum dnamai gendang lima

sendalanen masyarakat Karo mengenal ensambel ini dengan nama gendang telu

sendalanen lima sadaperarih. Jika dikaitkan dengan sistem kekerabatan yang ada

pada masyarakat Karo, telu (yang berarti tiga), lima (yang berarti lima)

mengandung arti bahwa masyarakat Karo tidak bisa terlepas dari merga silima dan

rakut sitelu.

Kreativitas seniman untuk mengubah gendang lima sendalanen yang

semestinya dimaikan oleh lima orang pemain, terjadi saat pemilu pada tahun 1982.

Pada masa itu semua pemain musik yang ada di masyarakat Karo tidak dapat

mencukupi pelayanan kampanye pemilu yang dilakukan oleh berbagai partai. Pada

saat itulah menurut Amat Karosekali, kekurangan pemain gung dan penganak.

Kemudian Pokat Sembiring memaksakan diri memainkan gung dan penganak

sekaligus. Di situlah awal perubahan pemain ensambel ini dari lima orang menjadi

empat orang. Hal ini sama sekali tidak menjadi sebuah persoalan bagi masyarakat

pendukung gendang lima sendalanen (Wawancara, 20 April 2012).

Tuntutan utama dari kreativitas ialah untuk bisa menjaga bagaimana

dinamika pembangunan manusia atau masyarakat tetap berada dalam suasana

Page 245: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seimbang/stabil sehingga tidak sampai terlepas menjadi sesuatu yang berbahaya

bagi dirinya sendiri. Semua itu mungkin dapat disimpulkan melalui konsep

‖dinamika dalam kestabilan‖ (Alfian, 1986: 148).

Apabila dicermati ungkapan di atas, maka seperti pernyataan Gantar

Sembiring sebagai berikut.

―Masyarakat Karo sekarang ini terbuka terhadap berbagai perubahan dalam

kegiatan pelaksanaan upacara gendang kamatian. Masyarakat Karo tidak

lagi banyak mempermasalahkan bagaimana seharusnya gendang kematian

dibawakan. Akan tetapi masyarakat memiliki ukuran budaya sendiri

meskipun mengalami banyak perubahan bentuk terutama pergantian dari

lima pemain gendang lima sendalanen menjadi empat. Dalam pelaksanaan

upacara pun bagi masyarakat Karo tidak lagi menjadi permasalahan dengan

aturan kesakralannya yang penting cerminan identitas kekaroan tetap eksis‖

(wawancara, 10 Januari 2012).

Atas dasar penjelasan di atas, masyarakat Karo masih dapat menerima

perubahan yang diakibatkan kekuarangan pemain dalam ensambel ini. Hal inilah

yang mungkin disebut Alfian sebagai dinamika dalam kestabilan. Atas perubahan

ini sama sekali tidak ada permasalahan bagi masyarakat pendukungnya karena

bunyi yang dihasilkan masih dari materi yang sama meskipun pemainnya

berkurang.

Seperti sudah dijelaskan pada awal subbab ini bahwa yang menjadi fokus

penelitian adalah perubahan gendang lima sendalanen yang terdiri atas lima

instrumen musik berubah menjadi keyboard tunggal tidak terlepas dari kreativitas

seniman Karo, yaitu Jasa Tarigan, seorang seniman musik tradisi Karo. Hal itu

Page 246: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan

Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar luar biasa pada praktek musik

tradisi Karo di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982.

Pada tahun-tahun studinya di etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain

dan menyukai instrumen musik keyboard. Dari sinilah kemudian ide Jasa Tarigan

untuk memulai karya gendang kibod yang kemudian menjadi sebuah fenomena

dalam perkembangan tradisi musik Karo. Dia juga yang pertama sekali

memperkenalkan gendang kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara

adat etnik Karo. Gendang kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim

diucapkan oleh masyarakat Karo terhadap jenis irama musik yang diprogram

secara khusus di dalam keyboard. Kata gendang mengacu kepada pengertian

musik Karo dan kata kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata keyboard

itu sendiri.

Dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam

gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap

perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian

Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok

masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini

membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati

budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan

Page 247: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian

kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.

Dari sisi lain kemudahan dalam menyajikan dan murahnya biaya

pertunjukan mengakibatkan gendang kibod semakin eksis pada masyarakat Karo.

Selain itu, banyaknya lagu pop termasuk dangdut yang mudah dimainkan dengan

gendang kibod juga semakin memojokkan keberadaan gendang lima sendalanen.

Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar

memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Misalnya, dengan

munculnya gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik

tradisional, baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat

lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya,

tetapi juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya

jasa mereka semakin jarang dipertunjukkan.

Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya gendang kibod menjadi orang

yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun, di sisi lain pemusik yang

menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif

telah memopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo

sendiri (Wawancara, 11 Maret 2012).

Terkait dengan fenomena di atas Kayam mengungkapkan bahwa kesenian

tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang

paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari

kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan, demikian pula

Page 248: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kesenian mencipta, memberikan peluang untuk bergerak, memelihara,

menularkan, mengembangkan, dan kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi

(Kayam, 1981:38).

Berbeda dengan pendapat Alfian, bahwa kreativitas yang tinggi di dalam

suatu bidang kehidupan manusia atau masyarakat rupanya bisa berakibat buruk

pada sebagian bidang lainnya. Kini kita berada dalam suasana bahwa kreativitas

manusia dalam ilmu dan teknologi yang hebat sekarang ini bisa membahayakan

seluruh kehidupan manusia di muka bumi ini (Alfian, 1986: 151).

Menurunnya kreativitas seniman tradisi di masyarakat Karo sangat erat

berkaitan dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam

gendang kibod. Hal itu tampak nyata dari perkembangan teknologi modern

terhadap perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi

kesenian Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok

masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini

membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati

budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan

berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian

kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.

Page 249: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

6.2 Faktor Eksternal

Yang dimaksud dengan faktor eksternal dalam penelitian ini adalah faktor

yang cenderung mengarah pada penguasaan, standardisasi, dan keseragaman

budaya yang datang dari luar, yang memengaruhi dan menyebabkan terjadinya

perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo. Adapun faktor-faktor

eksternal yang dimaksud adalah faktor kristenisasi, pertemuan budaya global dan

lokal. Masuknya agama kristen di Karo dengan membawa budaya Kristen

merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan

upacara gendang kematian masyarakat Karo. Hood menyebut dengan istilah

transformasi budaya.

Transformasi budaya adalah proses perubahan budaya. Transformasi

budaya dewasa ini dipercepat dengan adanya proses globalisasi. Globalisasi adalah

suatu gejala perkembangan kebudayaan internasional yang memasuki dan

mengikutsertakan masyarakat berbagai negara di dunia dalam kebudayaan dunia

tersebut. Kebudayaan internasional itu didominasi oleh negara-negara maju yang

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya negara-negara

industri. (Hoed, 2008: 115).

Di Indonesia transformasi budaya terjadi sepanjang sejarah. Transformasi

budaya terjadi pada zaman Hindu, zaman Islam, dan zaman masuknya orang Eropa

ke Indonesia. Perbedaannya dengan transformasi pada zaman kita adalah

kecepatannya. Transformasi budaya pada zaman kita berlangsung sangat cepat,

Page 250: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yaitu dengan hitungan bulan dan tahun saja, sedangkan transformasi budaya

sebelumnya berlangsung dalam hitungan dekade atau abad.

Selanjutanya Sedyawati mengungkapkan faktor bahwa eksternal adalah

pengaruh-pengaruh dari luar karena adanya interaksi, misalnya interaksi

antarbangsa. Pada masa-masa yang lalu interaksi hanya dapat terjadi apabila ada

pertemuan-pertemuan tatap muka. Berbeda dengan sekarang, berkat kecanggihan

teknologi komunikasi, interaksi dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak

jauh, baik personal maupun impersonal (Sedyawati, 1996 : 138--139). Pernyataan

di atas tidak terlepas dari apa yang dialami orang Karo pada zaman kolonial.

Intensitas pertemuan antara misionaris dan orang Karo tidak dapat dihindari

sehingga ideolog kristenisasi yang menjadi misi mereka berhasil ditanamkan pada

etnik Karo.

Dalam kebudayaan terjadi beberapa pola perubahan, yaitu evolusi, difusi,

akulturasi, dan inovasi. Evolusi adalah perkembangan masyarakat yang telah

berkembang dengan lambat (berevolusi) dari tingkat yang paling rendah dan

sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses

evolusi ini selalu akan dialami oleh seluruh manusia di muka bumi ini walaupun

dengan kecepatan yang berbeda-beda. (Koentjaraningrat, 1987: 31).

Difusi adalah suatu proses penyebaran dari penemuan baru terhadap

lingkungan masyarakat yang lebih luas; penemuan baru dikomunikasikan untuk

mendapatkan pengakuan masyarakat (Syani, 1995:105). Pengakuan ini disebabkan

Page 251: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

oleh hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang telah

berlangsung lama dan hampir tidak memengaruhi bentuk kebudayaan masing-

masing.

Akulturasi adalah perubahan, yaitu terjadi percampuran antara dua

kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat

terjadi dengan berbagai cara, yaitu kolonisasi, perang, penaklukan dan kedudukan

militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan.

Di samping itu, juga media massa, terutama media cetak, radio, dan televisi.

Akulturasi tidak hanya dihasilkan dari interaksi, tetapi juga dari rencana yang

disengaja oleh kebudayaan yang kuat (Lauer, 2001: 404). Menurut

Koentjaraningrat (1990: 91), akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi bila

manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi

oleh unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang mempunyai perbedaan sifat. Selain

itu, unsur-unsur kebudayaan yang asing tadi lambat laun diakomodasikan dan

diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri.

Inovasi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi di dalam

kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami penggunaan

sumber-sumber alam, energi dan modal, peraturan baru tenaga kerja, dan

penggunaan teknologi baru. Semua ini akan menyebabkan adanya sistem produksi

dan dihasilkannya produk-produk baru. Dalam proses penemuan baru ini, baik

Page 252: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yang berupa alat maupun ide baru, biasanya berlangsung cukup lama

(Koentjaraningrat, 1990 :108--109; Sukerta, 2005: 50--52).

6.2.1 Faktor Kristenisasi

Upacara gendang kematian masyarakat Karo hingga kini telah mengalami

banyak perubahan, baik dalam struktur maupun fungsinya. Banyak penyebab yang

menjadi alasan terjadinya perubahan ini. Selain faktor internal, faktor-faktor yang

bersifat eksternal juga telah banyak memberikan andil bagi kondisi perubahan ini.

Perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo, yang disebabkan oleh

faktor eksternal telah berlangsung sejak masa silam. Salah satu pengaruh luar yang

telah mengubah struktur upacara ini adalah masuknya bangsa Eropa yang telah

membawa masuk juga budaya baru dan diperkenalkan pada masyarakat Karo yang

dibawa para misionaris.

Selanjutnya dibahas pengaruh Eropa terhadap upacara gendang kematian

masyarakat Karo, secara khusus yang dibawa oleh orang Belanda. Meskipun

istilah ―penjajah‖ tidak sepenuhnya dapat dijuluki bagi orang Belanda di Karo,

unsur penguasaan dan rasa diri sebagai yang superior ada dalam diri orang

Belanda. Akibatnya, rasa untuk menguasai, memerintah, memaksakan kehendak,

ide, bahkan dari satu sisi menekan dapat saja terjadi. Akan tetapi, di samping

kegiatan-kegiatan yang bersifat penguasaan, orang Belanda juga telah melakukan

Page 253: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kegiatannya dalam bentuk transformasi budaya melalui kegiatan pendidikan dan

keagamaan.

Bentuk kegiatan ini tentunya menyentuh dan memengaruhi kehidupan

orang Karo dan tentunya keberadaan orang Karo. Kedua kegiatan ini telah banyak

membawa perubahan dalam cara dan gaya hidup, bahkan pandangan hidup orang

Karo. Melalui kegiatan pendidikan, orang Karo diantarkan pada kondisi

penyadaran untuk dapat hidup lebih baik dan teratur. Sebagai contoh, dalam hal

hidup sehat dilalui dengan proses pembelajaran secara logika dan tidak hanya

didasarkan pada pemahaman yang keliru atau pengaruh mistik semata. Contoh

konkretnya adalah kebiasaan untuk hidup bersih. Karena semua yang diajarkan

dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya, maka apa yang diajarkan tersebut diterima

dengan sadar dan bukan karena terpaksa. Sebagai akibat dari kondisi ini, akhirnya

kehadiran orang Belanda, di satu sisi justru dibutuhkan oleh orang Karo (Sinuraya,

2000: 8--11).

Menurut Bangun (1986), sebelum kedatangan para misionaris ke Tanah

Karo, orang Karo telah memiliki kepercayaan dan budayanya sendiri. Agama asli

orang Karo adalah agama Pemena. Penganut agama Pemena mengatakan

bahwasanya mereka erkiniteken (memiliki kepercayaan) adanya Dibata (Tuhan)

sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Selain itu, mereka

juga percaya adanya tenaga gaib, yaitu spirit yang berkedudukan di batu-batu

Page 254: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

basar, kayu besar, sungai, dan tempat-tempat yang lain – juga percaya kepada

kekuatan-kekuatan roh, khususnya roh orang meninggal (Bangun, 1986: 37).

Kepercayaan awal etnik Karo ini akan ditundukkan lewat misi

pemberadaban kristenisasi dalam bingkai kolonialisasi yang bermaksud

melebarkan ekspansi lahan perkebunannya di wilayah Sumatra Timur. Tentu saja

terjadi gesekan, guncangan, dan negosisi antara penjajah dan terjajah dalam

perjumpaannya. Terjadi ketegangan antara disiplin gereja ala Pietisme Eropa dan

kelokalan orang Karo. Terjadi pemangkiran dan pengakuan atas pelbagai upaya

penginjilan oleh para misionaris sehingga pengalaman ini disebut pengalaman

yang dibenci, tetapi dirindukan. Permulaan usaha pekabaran Injil di tanah Karo

tidak lepas dari pembukaan perusahaan perkebunan di Sumatera Timur. Usaha itu

dimulai dari prakarsa J. Th. Cremers, seorang pemimpin perkebunan, yang

berpendapat bahwa jalan paling baik supaya penduduk setempat tidak menentang

dan mengganggu usaha perkebunan adalah mengabarkan Injil dan mengkristenkan

mereka (Cooley, 1976: 1-22; Sembiring, 2010: 74--75).

Pada akhir abad ke-19 Belanda telah menguasai pesisir timur Sumatera dan

pesisir barat Sumatera. Wilayah dataran rendah Sumatera Timur telah dieksploitasi

dengan perkebunan besar dan tambang minyak yang memberikan keuntungan

besar kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejak Belanda menanamkan modalnya

di Sumatera Timur telah timbul kericuhan, bahkan pemberontakan orang Karo.

Orang Karo membabat tanaman perkebunan dan membakar bangsal milik Belanda.

Page 255: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Perlawanan terhadap dominasi kolonial ini dikenal dengan nama perang sunggal.

Untuk menghentikan perlawanan inilah pihak perkebunan meminta Nederlands

Zendelings Genooschap (NZG), lembaga penginjilan di Belanda mengkristenkan

orang Karo dan seluruh biaya ditanggung oleh pihak perkebunan (Sembiring,

2010: 75).

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa misi pekabar Injil Belanda dalam

karyanya terlebih dahulu melihat sasaran sosial dari pada dogma. Hal lain yang

menunjang adalah bahwa pekabaran Injil itu langsung pada masyarakat secara

pribadi dengan mengunjungi orang Karo dari rumah ke rumah. Meskipun

demikian, tentunya cara-cara yang dilakukan itu tidak selalu bersifat dan

berdampak positif. Cara ini akan menimbulkan dampak lain bagi orang Karo

beserta adatnya sebab motivasi dan tujuan lain yang tersembunyi tentunya juga

ada. Itulah sebabnya semua yang dibuat ini tidak berarti bahwa para pekabar Injil

tidak mengalami hambatan walaupun para pekabar injil sendiri sudah merasa

sangat dipercaya dan telah kuat pengaruhnya. Keyakinan ini akan memberi

semangat kepada mereka dalam melakukan misi, termasuk menghilangkan

kegiatan tradisi.

Etnik Karo menganggap orang Belanda tidak hanya ingin menguasai tanah-

tanah mereka, tetapi juga budaya dan keyakinan mereka. Misionaris dan pemilik

kebun dianggap memiliki kepentingan yang sama. Itulah sebabnya upaya

penginjilan tidak berjalan lancar (Sembiring, 2010: 76).

Page 256: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Pada tahun 1906 Tuan G. Smith membuka sekolah Kweekschool di

Berastagi dengan maksud mendidik guru-guru sekolah yang bisa menggunakan

sekolah sebagai landasan untuk mengabarkan Injil. Namun, rencana itu tidak

berhasil karena anak-anak orang Karo tidak mau sekolah secara teratur, tetapi

mereka lebih suka bebas. Akhirnya, sekolah guru ditutup tahun 1920. Namun,

beberapa yang telah dididik dijadikan guru Injil dan ditempatkan di kampung-

kampung. Penetua (salah satu jabatan dalam pelayanan gereja) dari kalangan

orang Karo mulai diangkat pada tahun 1920-an. Meskipun telah ada penginjil

lokal, pekerjaan mereka lebih bersifat koster, memasang lampu, menyapu, dan

menemani pendeta yang datang ke kampung. Betapa dominasi misionaris sangat

kuat terhadap orang Karo, bahkan ketika orang Karo sudah dididik sekalipun tidak

diberikan porsi besar untuk ‖bicara‖ (Cooley, 1976: 4; Sinuraya, 2004: 2;

Sembiring, 2010: 74--75).

Penginjilan lewat sekolah tetap dilaksanakan. Untuk mempersiapkan

pemuda-pemuda pada tahun 1931, sekolah Zending yang pernah ditutup (tahun

1920) dibuka kembali. Pada tahun ini dibuka sekolah Christelijke H.I.S si

Kabanjahe, dilengkapi dengan sebuah asrama putri yang dipimpin Suster Wilkens

dari Selandia Baru dan sebuah asrama putra yang dipimpin guru agama S. Ketaren

tanpa pungutan biaya. Pada kesempatan ini anak perempuan telah mendapat

kesempatan untuk bersekolah. Pemikiran awal tentang perempuan harus bekerja,

Page 257: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tidak belajar justru telah bergeser dengan didirikannya fasilitas pendidikan

(Cooley, 1976: 4; Sembiring, 2010: 78).

Tahun 1934 didirikanlah CMCM (Christelijke Meisjes Club Maju) yang

dipimpin oleh istri-istri pedeta NZG. Di CMCM diajarkan jahit-menjahit,

menyulam, bordir, memasak, dan sebagainya. Biasanya selalu ada kebaktian

singkat. Untuk laki-laki didirikan organisasi yang disebut BKDK (Bond Kristen

Dilaki Karo) dibantu oleh Pdt. W.A. Smith. Kegiatan di dalamnya, adalah

penelaahan Alkitab (PA), olahraga, musik, dan drama. Kristenisasi dan modernitas

berjalan bersama dalam upaya pemberadaban orang Karo. Pada masa-masa ini

orang Karo menilai bahwa misionaris menawarkan kemajuan dan orang Karo

mulai tertarik (Cooley, 1976: 6; Sembiring, 2010: 78).

Tidak mudah bagi para misionaris menerjemahkan konsep Tuhan kepada

orang Karo. Kata yang paling dekat adalah Dibata, yaitu nama yang diberikan

orang Karo kepada yang Ilahi. Kata Dibata dipakai karena nama itu sudah

dihayati orang Karo sebagai pencipta Awali atau Dibata Simada Tinuang. Orang

Karo percaya bahwa kekuatan pencipta Awali itu sangat besar untuk menguasai

hidup manusia, tetapi Ia berada jauh di atas sana (Sembiring, 2010: 80--81).

Biasanya orang Karo tidak langsung berhubungan dengan Dibata, tetapi

dengan roh-roh yang diyakini sangat membantu praktik hidup sehari-hari orang

Karo. Orang Karo masih menganggap bahwa Dibata yang dikenal sama sekali

berbeda dengan Dibata yang diperkenalkan oleh misionaris hingga akhirnya

Page 258: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tampenawas, misionaris Minahasa pendamping misionaris Belanda di Tanah

Karo menjelaskan bahwa Dibata yang diperkenalkan justru bisa diajak

berkomunikasi. Saat sedih dan khawatir bicaralah kepada-Nya dan Ia akan

mendengar, begitu juga saat bahagia (Sembiring, 2010: 81).

Pada masa Belanda kristenisasi dan pendidikan merupakan dua sisi yang

tidak dapat dipisahkan. Dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan, musik

merupakan mata pelajaran yang harus dipelajari dan digunakan. Pengaruhnya bagi

penduduk berkembang menurut kehendak zaman dan mencapai puncaknya pada

awal abad ke-20. Kemajuan dunia pendidikan dan perluasan peradaban Barat

dengan pelbagai dimensinya menyusul kristenisasi ini telah membuat perubahan

yang besar sampai pada seluruh aspek kehidupan di Karo. Pada saat ini musik

yang dipelajari adalah organ yang dibawa Belanda untuk mengiringi kebaktian-

kebaktian yang ada. Padahal, masyarakat Karo mempunyai ensambel yang disebut

gendang lima sendalanen tidak dipelajari bahkan dilarang untuk dimainkan.

Gendang lima sendalanen adalah ensambel musik pada masyarakat Karo

yang digunakan dalam berbagi jenis upacara, seperti upacara perkawinan, upacara

memasuki rumah baru, dan upacara kematian. Di samping itu, juga upacara-

upacara yang besifat ritual, misalnya erpangir kulau (penyucian diri), perumah

begu (memanggil roh) dan sebagainya. Namun pada zaman penjajahan gendang

lima sendalanen dianggap kafir oleh para misionaris.

Page 259: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Hal ini dapat dibuktikan ketika Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja

desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen,

dibabtis oleh misionaris Van den Berg. Tidak lama setelah dibabtis, ia

menanyakan kepada pendeta apakah sebagai seorang Kristen ia dapat memakai

gendang Karo. Jawab pendeta itu ‖tidak boleh‖. Namun, karena posisinya sebagai

raja mengharuskannya memakai gendang dalam upacara-upacara adat, raja

tidak dapat menerima jawaban itu. Akhirnya Raja Pa Mbelgah Purba dikenai

disiplin gereja karena tetap bersikukuh memakai gendang yang dianggap sebagai

suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen.

Akibatnya raja dikeluarkan dari gereja (Cooley, 1976: 5; Sembiring, 2010: 82).

Hampir segala sesuatu yang berbau ritual dihilangkan dengan alasan

adanya pemahaman bahwa hal tersebut akan menjadikan orang Karo lebih

beradab. Di samping itu, dari sisi agama dapat membawa masyarakat Karo menuju

keselamatan di akhirat. Dari satu sisi, pemusnahan ritual tentunya tidak dapat

dianggap sebagai tolak ukur sejarah untuk menunjukkan keberhasilan para pekabar

injil Belanda. Bagi mereka yang telah memeluk agama Kristen, hal ini mungkin

tidak masalah. Akan tetapi, hal ini merupakan satu preseden yang buruk bagi orang

Karo yang lain karena seakan-akan keberadaan misi itu mau mencabut orang Karo

dari akar tradisinya.

Secara tidak sadar mereka telah membuat orang Karo mengambang dan

tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki tumpuan. Dalam kesempatan itu (tidak

Page 260: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

memiliki pegangan) mereka memegang orang Karo dan langsung atau tidak

langsung memaksa orang Karo untuk ikut pada cara Belanda. Orang Belanda

menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga orang Karo sadar atau tidak

sadar harus memahami bahwa tradisi mereka adalah tradisi kafir atau tidak

beradab serta akan menjauhkan mereka dari keselamatan abadi.

Menurut Sembiring, kristenisasi di Tanah Karo membekaskan kesan yang

ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan dalam batin orang Karo. Misi

penginjilan yang disampaikan misionaris mengakibatkan adanya posisi tawar

dalam menerima yang baru dan tetap mempertahankan yang lama. Akibatnya,

terbentuklah identitas postkolonial orang Karo dalam wacana kolonial yang

dibenci karena latar belakang kedatangannya adalah ekspansi lahan perkebunan,

tetapi dirindukan karena kenangan kemajuan yang ditawarkannya (Sembiring,

2010: 89).

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa gendang tidak pernah

digunakan dalam upacara ritual pada masyarakat Karo sejak tahun 1911 setelah Pa

Mbelgah Purba terpaksa keluar dari agama Kristen akibat menggunakan gendang

dalam sebuah upacara di rumahnya. Hal ini dikuatkan oleh Sinuraya (2000) bahwa

Pendeta J.P. Talens setelah mengantikan Pendeta E.J. Van den Berg pada tahun

1912, membuat panitia pengumpulan dana permukiman penyakit kusta di

Lausimomo. Selain itu secara berkala mengadakan konser organ, bazar dan lain

Page 261: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagainya (sinuraya, 2000: 61). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa

gendang pada masyarakat Karo sejak saat itu telah terabaikan.

Semua kegiatan ritual harus disingkirkan meskipun dalam kegiatan ritual

pada etnik Karo tersebut banyak sekali nilai tradisional termasuk dari elemen

musik etnik, yang dapat ditemukan. Salah satu kegiatan ritual yang bisa disebut

sebagai tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal adalah ritual perumah begu

(memanggil roh yang sudah meninggal). Menurut Ginting (1999), perumah begu

bermaksud memberikan pijer podi (mempererat persatuan keluarga dalam sangkep

nggeluh). Guru si baso bercerita (memberikan suatu ungkapan lisan), masalah

yang besar ia perkecil, masalah yang kecil dihapuskan. Semuanya menjadi tuntas,

terjadi perdamaian dalam keluarga. Inilah tujuan perumah begu (Ginting, 1999:

47).

Dalam kongres kebudayaan Karo tahun 1996, disebutkan tentang sejarah

perumah begu pada masyarakat Karo. Perumah begu adalah salah satu ritual yang

sangat penting dalam upacara gendang kematian. Alkisah, pada zaman dahulu kala

seseorang tinggal di sebuah pedesaan dengan kehidupan yang kaya raya, tanah dan

sawahnya luas, kerbau, lembu, dan kuda serta binatang piaraannya. Ia mempunyai

tiga anak laki-laki dan ketiga-tiganya sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri.

Bapak dan ibu mereka kemudian meninggal dunia.

Sepeninggal kedua orang tuanya ketiga anak ini cekcok. Nasihat-nasihat

yang diberikan orang tuanya dahulu sudah dilupakan. Ketiga saudara ini saling

Page 262: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengadu ke pegulu kuta (kepala desa). Sudah tiga tahun mereka lalui sepeninggal

orang tuanya, tetapi masalah tetap saja semakin tidak bisa diselesaikan. Akhirnya

anak beru mempunyai usul kepada ketiga kalimbubu-nya untuk mengundang begu

atau roh ibu mereka yang dipercaya akan memberikan pertimbangan dalam

perkara keluarga. Ketiga-tiganya mengatakan setuju. Setelah ada kesesuaian

pendapat akhirnya mereka melakukan upacara perumah begu (memanggil roh).

Setelah ditanya guru simeteh wari telu puluh (dukun yang tahu hari tiga puluh),

maka ditetapkanlah di mana dan waktu upacara akan dilaksanakan. Diundanglah

kemudian semua sangkep nggeluh. Setelah berkumpul sangkep nggeluh baik

sembuyak/senina, kalimbubu dan anak beru, maka i palu (dimainkan) gendang

lima sendalanen. Setelah gendang dimainkan dan sampai pada repertoar tertentu

kemudian guru sibaso seluk (kesurupan) dan memanggil ketiga anak yang

berpekara tersebut. Guru sibaso mulai berbicara seperti di bawah ini.

Anakku sintua, anakku sintengah ras anakku singuda mari kam kerina.

Kundul kujenda, gelah arih-arih kel ateku kita anakku teluna. Setelah

ketiga anak tersebut datang mendekat maka ibunya (roh Ibunya melalui

guru sibaso) berbicara, kam teluna anakku, seri nkam ateku kelengna

teluna. Emaka ningku anakku, ula kam rubat teluna, peturah-turahkal

ukurndu simehuli, man bandu anakku teluna. Kami nggi lawes duana ras

bapandu, asum kami nggeluh denga ersura-sura kal kami ras bapandu

gelah lit itadingken kami erta-erta man anakta e ate kami. Anakku turang

nadena, erdahin la erngadi-ngadi, gelap la tampil gelap, udan la tampil

udan, las la tampil las, em dahin kami tep-tep wari, bulan she ku bulan

tande tahunna, la erngadi-ngadi. Enggo lit erta, asuh-asuhen, taneh,

sabah, peken, emas, duit ras paken simeherga. Genduari anakku enggo

kam erpekara, enggo kam latih. Ceda kal ate kami, morah kel ate kami, la

malem ate kami, anakku teluna …..,…..,…. Emaka ningkami ras bapandu,

ola sirang sembuyak erkiteken erta, ula sirang ersenina erkiteken duit ras

emas. Em pemindon kami man bandu ankku teluna…, …, …. Aloi kel aku

Page 263: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

anakku teluna, keleng ateku, maka malem kal pusuh kami ras bapandu

anakku.

Ngaloi anakna, nina:

Labo cedaken kami ukurndu nande, robah kal kami, jera kal kami nande,

jenda nari kulebe, lanai kami rubati, ersada kal ukur kami.

Ngerana nandena erkelangken Guru sibaso, nina:

Adi bage kin anakku nggo mehuli i palu gendang, ras kita kerina landek.

Sebab ibas landek e kari kuputusken perkarandu alu mehuli, kuarap

gelah ibegikenkamlah kai sikubahan rikutken ateku keleng.

Roh ibunya berbicara melalui guru sibaso sebagai berikut:

Tertingel-tinggel kam kalimbubu, Dibata si idah kami, bagepe kam anak

beru kami rikut kam senina, kai kari sikubelasken, kai kari sikukataken,

suratkenkal ibas pusuhndu sebab aku sekalienda ndabuhken timbangen

ras mutusken perkara man anakku sitelu enda. Ntah ija gia kari berneh

gugungna, ntah lebih kurangna, ula kal tama-tama kupusuh, tapi tama

kini juah-juahen, ras nambahi ate malem. Tertinggel kam kerina

erkitekenn kam kerina jadi saksi.

“Sabah sijahen kuta e man bandu anak singuda”

“Sabah si julun kuta e man bandu anak sintengah”

“Rumah e ras peken bagepe asuh-asuhen man bandu anak sintua.

Me enggo me bage nindu anakku teluna, kam pe kalimbubu, anak beru

bagepe senina.

Ngaloi anakna, nina:

“Enggo ibegi kami nande” (ketiga-tiganya serentak menjawab)

Enggo bialoken kami kerina, keputusendu enggo mehuli iakap kami, ras

lanaikami rubat.

(Terjemahan)

Anakku yang tua, anakku yang tengah, dan anakku yang muda mari dekat

dengan ibu. Ada yang mesti saya sampaikan kepada kalian. Kasih

sayangku terhadap anakku bertiga tidak ada bedanya. Jadi, aku sangat

bermohon supaya kalian bertiga rukun, damai, dan saling mengasihi satu

dengan yang lain. Kami dengan bapak sudah pergi meninggalkan kalian.

Ketika kami masih tinggal dan hidup bersama anakku bertiga, kami

bersama-sama mencari harta yang berupa materi sawah maupun ladang

Page 264: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagai warisan yang kami tinggalkan untuk kalian. Kami tidak mengenal

hujan maupun panas dengan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan

kalian. Sekarang kalian saling mengadu dan berselisih akibat harta yang

kami sudah tingalkan. Kami tidak bisa mendapat kedamaian di dunia baru

kami ketika kami melihat di antara anak yang kami sayangi saling

bertengkar gara-gara harta warisan. Anakku..., ..., ..., Kami sangat

berharap di antara kalian tidak ada perselisihan, bagaimana kalian

menghormati kekerabatan jika di antara kalian juga saling tidak

menghormati. Oleh sebab itu, saya dan bapak kalian meminta, jawablah

kami anakku...., ...., ....biar kami pun damai dalam kehidupan akhirat.

Kemudian anaknya menyahut:

Kami tidak mau membuat hati kalian tidak damai ibu, maafkan kami ibu,

mulai sekarang kami tidak akan berpekara lagi dengan saudara-

saudaraku.

Ibunya berkata melalui Guru Sibaso:

Jika demikian halnya anakku, sudah bisa dimainkan gendang (musik) dan

kita akan menari bersama-sama. Pada saat menari pembagian harta yang

kami tinggalkan akan saya bagi berdasarkan kasih sayang yang tidak

berbeda dari saya dan bapak kalian.

Yang saya hormati, kalimbubu sebagai wujud Tuhan yang terlihat dalam

keluarga kami, demikian juga sembuyak/senina kami, serta seluruh anak

beru yang membantu kami, apa yang akan saya katakan saya harap

sangkep nggeluh kami bisa sebagai saksi hidup dan saya mohon tuliskan

di hati sebab saya akan memutuskan pembagian harta untuk ketiga anak

kami. Jika ada kekurangan dan kelebihan dari apa yang saya putuskan

kami minta maaf dan jangan dimasukkan ke hati karena inilah keputusan

kami dengan bapaknya. Kami percaya sangkep nggeluh kami sebagai

saksi dalam keputusan ini. Kuputusan itu adalah

―Sawah yang letaknya di hilir kampung kami serahkan pada anak kami

yang muda‖.

―Sawah yang terletak di hulu kampung kami berikan pada anak kami

yang tengah‖.

―Rumah dan ladang kami serahkan pada anak kami yang tua. Sudahkah

kalian dengar anakku demikian juga kalimbubu, sembuyak/senina juga

anak beru kami?

Ketiga anaknya menjawab:

Secara serentak, sudah kami dengar ibu. masing-masing kami sudah dapat

bagian dengan adil, keputusan ibu sangat kami hargai, dan mulai sekarang

kami tidak punya pertengkaran lagi.

Page 265: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sesudah itu ibunya (roh ibunya) meninggalkan atau pergi dari tubuh guru

sibaso. Suara menangis terdengar dari seluruh sangkep nggeluh. Semua

perkara/perselisihan telah diselesaikan dalam waktu tidak lebih satu jam. Nasihat

guru sibaso ketika kesurupan seakan menjadi therapy menembus hati yang keras

menjadi lembut. Kehadiran guru sibaso sebagai theraphy rohani dan mental

mamasuki emosi dan unsur budaya Karo (Ginting, 1999: 50).

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, segala persengketaan atau perkara

pada etnik Karo dapat diselesaikan dengan kepercayaan yang dimiliki. Tradisi

lisan sebagai kearifan lokal tidak dilakukan lagi karena menurut Ginting, upacara

perumah begu adalah melulu unsur religi yang menyangkut kepercayaan kepada

begu atau roh orang yang sudah meninggal. Orang kristen tidak melakukan hal

tersebut sebab bertentangan dengan iman kristiani yang berdasarkan Alkitab.

Orang Kristen tidak lagi bertanya kepada guru sibaso atau sejenisnya dan

janganlah ikut menjadi fasilitator dalam pekerjaan-pekerjaan memuja begu atau

kuasa-kuasa kegelapan (Ginting, 1999: 51).

Menurut Geertz (1974), kita semua melihat bahwa masalah kepercayaan itu

sebagai suatu ruang sempit yang berbahaya. Sehubungan dengan itu, orang selalu

menghindar dari ―ruang sempit‖ itu walaupun menurutnya, dalam ruang sempit itu

tersedia nuansa kepercayaan yang paling kaya dan praktik-praktik magis yang

lembut dan indah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Geertz tetap menyatakan

keyakinannya bahwa perubahan-perubahan sistem kepercayaan religius manusia

Page 266: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

telah dan sedang terjadi walaupun kelangsungan kebudayaan sebuah masyarakat

(seperti Bali) tetap dapat dipelihara, ciri dasar kehidupan religiusnya pada suatu

saat akan berubah, terutama setelah Indonesia mengalami berbagai krisis pada

akhir abad kedua puluh satu ini (Pelly, 2010: xii).

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa etnik Karo meninggalkan apa yang

dimiliki, menghindar dari ―ruang sempit‖ itu. Pengaruh Barat tidak saja tampak

dalam pemeluk agama Kristen, tetapi dengan sendirinya telah melupakan semua

ikatan kepercayaan yang merupakan sebuah kearifan lokal dari nenek moyang

yang diyakini sebelumnya. Periodisasi kolonial di Karo adalah zaman ketika

kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu

pihak, perjumpaan antara kekaroan dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah

membawa sejumlah perubahan dan kemajuan, misalnya melalui dibangunnya

sekolah-sekolah untuk orang Karo, diperkenalkan dengan nilai-nilai kekristenan

yang membawa banyak pengaruh bagi kehidupan orang Karo. Meskipun harus

jujur diakui bahwa karena perjumpaan itu banyak nilai tradisi masyarakat Karo

harus bergeser. Persoalan kemudian ketika terjadi perjumpaan soal menentukan

mana yang disebut budaya Karo dan mana yang tidak. Apakah budaya Karo harus

ditarik dari zaman Karo kuno dengan segala ritualnya atau Karo kontemporer yang

merupakan hasil dialektika dengan zaman yang terus berproses itu.

Menurut Cooley (1976), sejak tahun 1890--1900 sistem kemasyarakatan

dan kebudayaan termasuk adat istiadat yang terdapat pada etnik Karo sudah

Page 267: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

mengalami banyak perubahan yang besar dan luas akibat berbagai pengaruh.

Agama Kristen merupakan salah satu unsur yang ikut berpengaruh dalam hal

tersebut. Ada persoalan-persoalan dan ketegangan-ketegangan yang timbul bagi

orang Kristen yang terkait dengan adat istiadat sekarang ini. Hal-hal tersebut

adalah (1) gendang kematian diadakan atau tidak dalam pesta atau upacara, (2)

mencuci muka di atas kuburan oleh keluarga dekat orang yang meninggal, (3)

mengantar makanan ke kuburan, (4) memindahkan tulang atau menguburkan

kembali rangka-rangka atau tulang-tulang dengan mempersatukan yang Kristen

dan yang bukan Kristen, (5) memanggil hujan, (6) kawin semarga, (7) kawin lari,

dan (8) mengusir roh jahat.

Dari kedelapan persoalan ini yang paling menegangkan adalah poin

pertama sampai poin keempat. Keempat persoalan ini terkait dengan peristiwa

upacara gendang kematian. Jawaban dan respons Kristen terhadap persoalan ini

adalah (1) memberikan pengajaran waktu katehisasi dan penerangan sewaktu

peristiwa terjadi, (2) berusaha mengalihkan hubungan dengan yang bukan Allah

(dewa-dewa atau roh-roh) kepada Allah yang benar, (3) mengadakan perubahan

dalam bentuk/kulit upacara, tetapi yang lebih penting mengubah dan pengarahan

upacara, dan (4) menghapuskan atau meninggalkan adat-adat tertentu (Cooley,

1976: 123).

Prinsip pokok yang dilakukan Kristen dalam menyikapi persoalan dan

pertentangan ini, yaitu adat istiadat yang ada hubungannya dengan kepercayaan

Page 268: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

terhadap dewa-dewa, arwah-arwah nenek moyang, roh-roh orang meninggal

dilawan oleh gereja. Dengan prinsip inilah gereja kemudian menentukan bentuk

ritual adat istiadat ditinggalkan. Prinsip dasar ini diterapkan dengan sikap dan

kebijaksanaan gereja Karo yang luwes, tetapi kokoh. Gereja Karo mengimbau

umatnya berusaha agar tidak menolak atau menjauhkan mereka yang mengikuti

tuntutan adat, tetapi mendekati mereka, sebagai orang Kristen yang memiliki

semua hal secara berlainan karena imannya terhadap Allah, menghadiri dan

melihat mereka sebagai manusia, tidak lebih tidak kurang.

Hal inilah yang bisa disebut sebagai sebuah ideologi, yang

memorakporandakan sistem kemasyarakatan sangkep nggeluh pada masyarakat

Karo. Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen,

kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia etos, dan semacamnya. Pada

abad kedelapan belas, de Tracy memunculkan ‖ideologi‖ sebagai istilah yang

menunjuk pada ‖ilmu tentang gagasan‖. Dalam penggunaan yang lebih modern

dan sempit, ideologi biasanya mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan

untuk merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang, atau

menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural tertentu.

Dengan demikian, bila sekarang orang berkata bahwa suatu sistem gagasan

bersifat ‖ideologis‖ biasanya ini berarti gagasan-gagasan itu bersifat partisan.

Artinya, tidak terlalu objektif tetapi disusun untuk mendukung (atau menyerang)

suatu misi atau maksud tertentu (Kaplan, 2002: 154)

Page 269: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Dengan menghadiri sebuah upacara adat dan tidak lebih tidak kurang kehadiran

hanya sebagai manusia sangat bertentangan dengan adat istiadat yang ada pada

etnik Karo, yaitu pada sistem kekerabatan tidak ada yang terhegemoni maupun

yang menghegemoni. Selanjutnya menurut Cooley, sejak tahun 1911 gendang

dilarang oleh Zending digunakan pada upacara adat sehingga gendang dibagi

menjadi dua, yaitu ada gendang adat yang dihubungkan dengan dunia luar, yang

mengandung kepercayaan kadang-kadang disebut gendang mistik. Gendang inilah

jika dimainkan pada upacara kematian, bisa menyebabkan orang yang menari

kesurupan roh-roh lain. Selain itu, orang Kristen bisa dilemahkan oleh hal tersebut

dan gendang yang tidak mengandung roh-roh kepercayaan. Oleh sebab itu,

gendang kematian dianggap sebuah persoalan krusial di tubuh gereja Karo. Lantas

dalam sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) tahun 1965 diambil keputusan,

yaitu gendang dapat dipakai di dalam upacara-upacara adat termasuk di gereja,

tetapi gendang yang tidak mengandung unsur kepercayaan.

Menurut Bavans, tugas misionaris yang pertama dalam mendekati orang lain,

kebudayaan lain, agama lain ialah dengan menanggalkan kasutnya karena

tempat yang hendak didekati itu adalah kudus. Kalau tidak, bisa saja kita

malahan menginjak-injak impian manusia. Atau lebih celaka lagi, kita

barangkali lupa bahwa Dibata (Allah) sudah ada disana sebelum kita sampai

(Bevans, 2002: 99).

Page 270: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa gendang sangat erat terkait dengan

kosmologi pada etnik Karo. Menurut Sumardjo, gendang adalah seni dan seni

adalah budaya. Konsep budaya mistis adalah kesatuan mikrokosmos dan

makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia

manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat

diperoleh lewat sistem kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan ‘agama asli‘

Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami

estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan ‘asli‘ yang

kini masih tersisa ditambah dengan metode perbandingan dan data tertulis di

masa lampau. (Sumardjo, 2000: 323).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa agama besar sebagai agama dunia

jelas melahirkan hegemoni, memarginalkan spiritualitas masyarakat Karo,

khususnya yang ada dalam tradisi. Agama tertentu menjadi narasi besar, berhak

disebut sebagai agama resmi, bahkan agama negara. Agama tersebut

dipertentangkan dengan agama yang tidak resmi, sebagai semata-mata sistem

kepercayaan. Ratna mengatakan bahwa salah satu agama resmi di Indonesia

adalah agama Kristen. Padahal, dalam agama yang tidak resmi (pemena) ,

bahkan dalam berbagai sistem kepercayaan yang sudah ada sejak nenek

moyang, yang dikategorikan sebagai animisme, terkandung ajaran-ajaran,

sebagai kearifan lokal, yang justru bermanfaat untuk menopang

Page 271: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

multikulturalisme dan lahirnya solidaritas bangsa pada umumnya (Ratna, 2008:

360).

Seperti yang diungkapkan Adlin, masyarakat memilih menggunakan kata

―agama‖ untuk mewakili gambaran suatu entitas yang serba ―maha‖. Manusia

kemudian menderivasi konsep agama ini dalam kekhasannya masing-masing. Pada

titik ini justru kebesaran agama ini tampak, yaitu ketika manusia tak pernah

mampu menjelaskan agama dalam sebuah finalitas definisi tunggal, kebesaran

agama justru terjelaskan dalam pluralitas definisi. Namun, pada titik yang sama,

agama kemudian menjadi kultur. Sayangnya, dalam perkembangannya, konsep-

konsep agama ini berubah menjadi ideologi sehingga terkesan terpisah dari esensi

apa yang ingin digambarkan melalui kata agama. Agama kemudian tak lagi hidup

dalam keagungannya, tetapi justru teredusir sebatas konsep dan ritualitas.

6.2.2 Faktor Industri Budaya

Budaya merupakan hal yang hidup dalam masyarakat dan memiliki nilai-

nilai yang umumnya tidak dapat diperjualbelikan. Nilai-nilai tersebutlah yang

menjadi pedoman diri individu dalam masyarakat sebagai filter diri terhadap hal-

hal yang dinilai jauh dari tindakan, katakanlah, tidak bermoral dan sejenisnya.

Budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya merupakan proses berpikir yang

tidak dapat dipertukarkan dan lebih memiliki asas manfaat daripada asas tukar.

Page 272: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Industri budaya erat hubungannya dengan karya-karya intelektual Jerman

yang dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt terutama pemikiran dari Adorno

dan Horkheimer dalam karya mereka yang diterbitkan pada tahun 1072 dengan

judul The Dialectic of Englightenment (Dialektika Pencerahan). Karya Adorno

dan Horkheimer menjadi pintu masuk dalam memahami industri budaya

(Kaunang, 2010: 263).

Bentuk-bentuk komodifikasi sebagai akibat dari munculnya industri

hiburan merupakan salah satu bentuk perusahaan kapitalistik. Hal ini

menyebabkan produk budaya distandardisasi dan dirasionalisasi yang memang

dirancang dan dibuat untuk pengumpulan modal dan mendapatkan keuntungan

(Thompson, 2006: 153).

Dialektika pencerahan atau rasio yang dimaksud oleh Adorno dan

Horkheimer dipahami sebagai bentuk perlawanan atau kekuatan tandingan

terhadap berbagai mitos kemapanan. Pencerahan yang diperhadapkan kepada

berbagai bentuk paksaan tradisi (kekuasaan) telah membelenggu individu dan

masyarakat. Dengan demikian, pencerahan ingin melepaskan berbagai ikatan

individual dari kekuatan-kekuatan kelompok, kolektif, dominan yang tidak

bersosok. Singkatnya, pencerahan memanusiakan dan membebaskan manusia

sebagai seorang pribadi yang luhur (Kaunang, 2010 264).

Page 273: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Menurut Jekmen Sinulingga, sebagai berikut.

―Upacara gendang kamatian etnik Karo, yang meliputi unsur-unsur di

dalamnya sudah terstadardisasi. Hal ini bisa dibuktikan dari perubahan-

perubahan dari tradisi menjadi populer. Misalnya, peti mati sudah

disediakan oleh pengusaha peti dan kita cukup membelinya. Yang menjadi

persoalan jika kita membuat sendiri kita dianggap tidak mengikuti zaman.

Hampir semua unsur-unsur dalam upacara ini masyarakat Karo sudah

menjadi masyarakat komoditi. Mulai dari pakaian, dekorasi, makanan,

musik yang mengiringi, semua sudah terstandardisasi. Uang adalah hal

yang paling penting dalam kehidupan orang Karo sekarang. Kita tidak

mehaga (terpandang) tanpa uang. Kesakralan yang dulu begitu

diperhatikan sekarang ditelantarkan. Saya sebagai seorang yang dikenal

sebagai tokoh dalam upacara ini sangat menyesalkan itu terjadi.‖

(Wawancara, 23 April 2013).

Menurut Weber, manusia didominasi oleh keinginan mendapatkan uang

melalui akuisisi sebagai tujuan utama hidupnya. Akuisisi ekonomis ini tidak lagi

menjadi subordinat sebagai cara-cara manusia memuaskan kebutuhan materialnya.

Ini adalah esensi dari spirit kapitalisme modern (Weber, 2006: xxxv).

Pernyataan di atas memberikan informasi bahwa dalam masyarakat

kontemporer di Karo, modus praktik-praktik budaya kepada pengalihan nilai-nilai

orientasi seni dari sakral, religius kepada sifat profan, materialis, sedang

berlangsung sebagai bentuk perkembangan ekonomi industri kapitalisme lanjut.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Piliang (2004: 251) bahwa industri budaya tidak

dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat konsumer (consumer society),

yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada suatu kondisi sosial yang

di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan. Kemudian masyarakat

informasi (information society) merupakan titik sentral kehidupan pada fungsi

informasi dan masyarakat postmodern menunjuk pada praktik-praktik tekstual

Page 274: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kehidupan dengan nilai-nilai kultural baru yang ironis. Ketiga bentuk konsep

masyarakat ini tentu berbeda penekanannya. Akan tetapi, ketiganya menunjuk

pada suatu masyarakat dan budaya yang sama dalam lingkup masyarakat

postmodern.

Dengan meminjam analisis Gramsci tentang hegemoni, mereka menolak

gaya hidup afirmatif masyarakat konsumeristis. Hegemoni selalu mengandaikan

praktik-praktik material yang menopang dominasi budaya. Althusser menyebut

proses itu sebagai interpelasi. Interpelasi adalah proses identifikasi aktif subjek

atas budaya atau gaya hidup dominan. Kultur dominan tidak semata-mata

menyergap objek pasif, tetapi memanggil subjek untuk aktif mengidentifikasikan

diri. Gagasan-gagasan spiritual, misalnya tidak sekadar menentukan secara satu

arah subjek-subjek beriman, tetapi subjek-subjek itu aktif mereproduksi

gagasan lewat praktik material, seperti doa, salat, meditasi, dan sebagainya

(Adlin, 2007: 30)

Adapun salah satu ciri masyarakat postmodern erat kaitannya dengan

masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-praktik budaya

kapitalisme (Piliang, 2004: 252). Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan

industri budaya dan industri seni pertunjukan tidak dipahami masyarakat

kebanyakan. Industri bagi masyarakat adalah persoalan kemakmuran dan

kesejahteraan. Padahal, industri memerlukan eksploitasi sumber, baik sumber daya

manusia, alam, maupun sumber-sumber budaya, yang dalam konteks penelitian ini

Page 275: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

adalah upacara gendang kematian. Eksploitasi yang secara terus menerus

dilakukan industri terhadap sumber daya alam dengan tujuan mencari keuntungan

modal akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan tidak terjaga. Di samping

itu, juga eksploitasi sumber daya manusia tanpa peduli dengan nilai-nilai

kemanusiaan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia (Kaunang, 2010:

266).

Jika kemudian gendang kematian menjadi bagian dari industri budaya atau

gendang kematian diindustrikan, maka kekhasan gendang kematian akan hilang,

kemerosotan, kedangkalan nilai seni pun terjadi. Ini akan menjadikan upacara yang

disebut oleh Piliang sebagai estetika kitch. Dalam estetika postmodern hal seperti

ini erat kaitannya dengan estetika kitch (bahasa Jerman verkitschen artinya

membuat murah) yaitu menurunnya bakuan seni akibat pengaruh industri hiburan

(Piliang, 2003: 194).

Sebagai suatu produk budaya etnik Karo, gendang kematian diciptakan

dalam suatu proses pengalaman berbudaya, pengalaman kemanusiaan sesepuh

seniman/budayawan Karo, baik secara individual maupun berkelompok, hal ini

terjadi dalam proses berkesenian, bukan untuk tujuan komersial sebagaimana yang

terjadi dalam proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari

keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk (baik barang

maupun jasa).

Page 276: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Menurut Teodor Adorno, seperti di bawah ini.

―Pertumbuhan industri dan kapitalisme, memaksa budaya untuk keluar dari

pakemnya demi memuaskan beberapa elit modal. Kekuatan nilai-nilai yang

hidup dalam budaya di masyarakat sebagai filter terhadap produk-produk

industri membuat kaum kapitalis resah dan mencari celah demi dominasi

ekonomi yang berkelanjutan. Pemanfaatan celah melalui

jalan packaging memunculkan industri tersendiri dalam budaya yang

kemudian akrab disebut dengan industri budaya. Kemunculannya juga

menghasilkan fetisisme komoditas demi melancarkan proses industri

budaya. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop.

Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam

menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori

industri budaya dan fetisisme komoditas‖ (http://id.wikipedia.org/wiki.).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa produk budaya apa pun yang

dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi

selera dan kecenderungan-kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah

menjadikan suatu produk memiliki daya pesona sehingga mampu mendomidasi

asas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas. Tidak

bisa dihindari bahwa upacara gendang kematian telah dijadikan sebagai salah satu

produk fetisisme komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang

disejajarkan bersama-sama dengan produk-produk budaya lainnya, di antaranya

makanan tradisional, musik, arsitektur, pola hidup, sifat keramahtamahan, dan

sebagainya. Industri budaya sebagai agen utama produksi (kapitalisme) bersama-

sama dengan agen distribusinya, cenderung membuat upacara gendang kematian

sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk-bentuk komodifikasi.

Page 277: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Adapun agen-agen industri budaya, di antaranya, iklan di media massa dan

film. Iklan oleh industri budaya diasosiasikan sebagai relasi yang akan mengubah

formasi nilai guna kepada sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalisme, yaitu

mendudukkan dan menggunakan konsumen sebagai komoditas. Hal ini sejalan

dengan asumsi industri budaya yang memposisikan manusia sebagai pelaku utama

yang akan dijadikan korban oleh industri budaya dan manusia tidak menyadarinya

(Kaunang 2010: 268).

Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses distribusi

melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat dan

berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila suatu

produk budaya memiliki nilai pasar, maka komodifikasi bentuk akan mengalami

proses standardisasi, yaitu produk budaya tersebut mendapatkan bentuknya yang

sama di semua komoditas. Hal ini tidak bisa diterima oleh roh dekonstruksi,

standarisasi suatu produk budaya mengakibatkan terbentuknya struktur baru, yaitu

adanya dominasi kelompok budaya tertentu tehadap kelompok lain. Dekonstruksi

memberikan kebebasan berekspresi, kebebasan mencipta yang terus-menerus tanpa

akhir, dan kemampuan suatu produk budaya dengan distandardisasi adalah jauh

dari sikap dan pemikiran dekonstruksi. Standaridsasi produk budaya menciptakan

struktur oposisi pasangan, oposisi biner, yang memberian kesan bahwa jika ada

produk budaya yang sama dan tidak terstandardisasi, tidak termasuk dalam

struktur.

Page 278: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Terkait dengan pernyataan di atas gendang kematian etnik Karo adalah

salah satu ritual yang sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya.

Ketergerusan gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur dalam

upacara ini tidak terlepas dari produk industri yang menghasilkan fetisisme

komoditas. Berdasarkan wawancara mendalam terhadap beberapa informan,

diketahui bahwa kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat

alat musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai

genre lagu pop dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tiruan dari musik

tradisi sehingga banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin popular

tatkala biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi.

Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi

industri budaya, yakni standardisasi dan individualitas semu. Standardisasi

menjelaskan tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal

originalitas, autentisitas, ataupun rangsangan intelektual. Standardisasi

menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa

antara satu dan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Dengan

kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang

dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri.

Pengomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal

tersebut membuat, baik individu maupun masyarakat, salah alamat terhadap

pemujaan mereka atas musik pop.

Page 279: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Diskusi industri budaya semakin jelas memperpanjang rantai kuasa, baik

industri budaya maupun dominasi kapitalisme, sebagai bentuk paling mutakhir dari

sistem ekonomi kapitalisme. Jaringan modal kuasa melalui agen distribusi

menjadikan upacara gendang kematian distandardisasi dan masyarakat pemilik

atau pendukung budaya (konsumen) tidak menyadari bahwa mereka dalam

naungan dominasi kuasa kapitalisme. Dominasi kuasa kapitalisme tidak terasa

karena mengembangkan isu-isu industri hiburan, budaya populer yang disukai

masyarakat banyak, selera budaya massa, budaya populer dengan mengambil alih

kesadaran massa.

6.2.3 Faktor Media Elektronik

Media elektronik sebagai salah satu faktor eksternal terhadap perubahan

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi hanya dapat

menampilkan kenyataan dengan ‖distorsi‖ atau penyimpangan. Lebih jelas

Hamelink menguraikan ‖kelihatan seolah-olah penampilan dan penyajian

langsung, tetap, life sesuai dengan kenyataan yang hidup, tetapi sebetulnya media

itu merupakan ‖cermin-cermin yang retak.‖ Kenyataan tercermin dalam media

‖hampir nyata dan asli‖, tetapi sebenarnya itu tidak asli lagi. Media menempatkan

diri di tengah-tengah penerima dan kenyataan. Media meregristrasikan keadaan

menurut pendekatan mereka dan meneruskan gambar-gambar pada penerima,

sehingga kenyataan hanya dirasakan secara tidak langsung (Alfian, 1986: 173).

Page 280: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Media elektronika dengan teknik ‖perantaraannya‖ mengembangkan suatu

visi khas terhadap kenyataan, yaitu ‖televisi‖. Dalam visi ini fiksi dan nonfiksi

berbaur. Hanya sebagian dari kenyataan diseleksi, tetapi seleksi itu disajikan

sebagai kenyataan yang menyeluruh. Kenyataan dipotong-potong agar sesuai

dengan kaidah-kaidah ‖siaran televisi yang baik‖. Serangkaian kaidah teknis dan

profesional mengendapkan kenyataan dijadikan gambar yang bagus. Ini

membatasi peranan media elektronika dalam mengembangkan dan memerdekakan

manusia (proses emansipasi). Justru untuk proses emansipasi itu pengalaman

langsung dan pengamatan langsung terhadap kenyataan hidupnya sendiri mutlak

perlu. Hanya dengan mengalami dan mengamati secara langsung kita belajar

bahwa kenyataan dapat dipengaruhi dan diubah. Media elektronika mengacaukan

hubungan dengan dunia kehidupan langsung dan mengajak kita untuk

menyesuaikan diri kepada suatu kenyataan semu (Alfian, 1986: 173--174).

Apabila dicermati ungkapan tersebut di atas sangatlah tidak berbeda apa

yang disuguhkan oleh televisi kepada manusia, yang telah diformat dan direkayasa

sedemikan rupa sehingga merupakan sebuah realitas, padahal sebenarnnya dapat

disebut sebagai realitas semu. Demikian juga tidak ubahnya seperti televisi,

keyboard datang dan menggantikan gendang lima sedalanen yang sebenarnya

hanya merupakan pengimitasian atau peniruan dari spiritualitas tradisi yang

digiring ke spiritualitas modern.

Page 281: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Menurut Yusuf, sejak informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi

swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme, terjebak dalam selera

pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating itulah yang akan menentukan

nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara,

semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun

dengan harga yang tinggi. Kun Sri Bidiasih mengistilahkan kebiasaan pengelola

televisi ini sebagai ‖perilaku pedagang‖. Ketika sebuah warung menjual menu

baru dan laris, maka warung yang lain akan ikut-ikutan menjual menu tersebut.

Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik

mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin penonton (Yusuf, 2005: 83).

Perkembangan kebudayaan yang diakibatkan globalisasi telah menyentuh

sendi-sendi tradisi pada masyarakat Karo. Sebagai hasil dari potensi dan

perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya

Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat

pengaruh dari luar budaya Karo dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi

merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi

kebutuhannya.

Jika televisi dikaitkan dengan keyboard elektronik, sulit untuk dibedakan.

Televisi dapat mengemas berita-berita dengan kekuatan teknologinya, sedangkan

keyboard dapat mengesploitasi bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi tradisi yang

khas yang semestinya sakral dengan ensambel musik tradisi gendang lima

Page 282: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sendalanen berubah menjadi bunyi profan akibat sebuah keyborad produksi

globalisasi (lihat gambar L.4.26).

Page 283: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB VII

MAKNA SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Upacara gendang kematian etnik Karo, sebagai suatu tradisi lisan, yaitu

tradisi yang diwariskan secara turun-temurun atau melalui generasi ke generasi

selalu bersinggungan dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu sejalan dengan

perkembangan wacana budaya. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo,

yang lahir dari leluhur etnik Karo menyimpan berbagai makna tersembunyi yang

bisa ditelusuri melalui telaah kritis. Sesuai dengan teori dekonstruksi yang

dikemukakan Derrida, maka yang tersembunyi dalam sebuah realitas dapat

ditemukan dengan terlebih dahulu membuka selubungnya, kemudian melihat

isinya secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada dengan tujuan

menghapus prasangka yang menjadi sumber utama kesalahan. Untuk memahami

makna harus ada upaya menangguhkan atau menunda dulu sampai ada yang pantas

menyandangnya. Ketertundaan makna yang bergerak antara masa lalu dan masa

yang akan datang oleh Derrida disebut sebagai difference yang berarti gerakan

masa sekarang ke masa lalu dan masa mendatang (Sughiarta, 2012: 327--328).

Menurut Ratna (2007: 54), makna adalah apa yang ditandakan, yaitu fungsi

dan isinya. Makna adalah produksi teks, makna plural, jejak (trace), efek makna

itu. Upaya menemukan makna tidaklah sekadar mencari sebab, akibat tetapi

Page 284: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menurut Geertz adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat

bersangkutan dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia budayanya dan

bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Upaya menemukan makna tidak

berdasarkan ―kacamata ilmiah‖ yang dimiliki, tetapi berdasarkan ―mata kepala‖

masyarakat setempat dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Secara sederhana kajian budaya dapat menganalisis objek apa saja sebab

kebudayaan adalah seluruh aktivitas manusia. Meskipun demikian, sesuai dengan

ciri-cirinya maka yang dianalisis adalah masalah yang terpinggirkan dan berada

pada struktur permukaan. Objek adalah perwujudan, perwakilan, pernyataan diri,

yang sekaligus membentuk suatu kesatuan sehingga menghasilkan makna. Makna

itu pun tidak final, tetapi selalu berubah-ubah sebab akan terus lahir wacana baru.

Menurut Derrida, proses pemaknaan ini disebut sebagai decentering, praktik

pemaknaan, bukan makna itu sendiri. Makna bukan bendanya, makna melekat

pada materialnya, seperti gedung, lukisan, prasasti, dan sebagainya. Material inilah

yang dianalisis melalui konteks sosial tertentu secara posisionalitas. Analisis

seperti ini dengan sendirinya bukan analisis teks, tetapi dianalisis ‘seperti‘ teks

sesuai dengan pendapat bahwa seluruh kehidupan dalam teori kontemporer

diangap sebagai teks.

Makna tidak terkandung dalam objeknya, sebagaimana indah bukan

bendanya, tetapi nilainya. Proses pembacaan, penikmatan, pemahaman, tidak

membuka bungkus yang serta merta menunjukkan adanya pesan dan nilai tertentu.

Page 285: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dan subjek dalam hal ini

setiap unsur memberikan sumbangannya. Apabila objek dan penikmat merupakan

jaringan yang telah memiliki persamaan, proses interaksinya dipastikan akan

menghasilkan makna sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, apabila di antara

keduanya belum membentuk persamaan tersebut, maka proses pemahaman akan

terganggu, bahkan akan gagal sama sekali. Dalam hubungan inilah dikatakan

bahwa produksi makna merupakan aktivitas dinamis. Tidak ada makna tetap,

makna selalu berubah, dan dengan sendirinya selalu baru (Ratna, 2008: 127). Hal

ini didukung oleh Cappalaro bahwa pencarian makna terdiri atas sejumlah operasi

yang tak terhitung di mana manusia mencoba memahami dunia. Oleh karena itu,

pencarian tersebut sebenarnya tak berakhir sebab hanya akan berhenti jika rasa

ingin tahu yang sama diakhiri (Cappalaro, 2001: 10).

7.1 Makna Spiritualitas

Upacara gendang kematian memiliki potensi yang sangat signifikan dalam

kehidupan spiritual etnik Karo. Pemahaman yang mendalam terhadap aspirasi,

kekuatan, dan pandangan hidup dapat tercermin dari produk budaya lokal. Sebagai

sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian diyakini berasal dari ajaran

kepercayaan etnik Karo dan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan

kepercayaan dan agama pada etnik Karo, khususnya orang Karo yang tinggal di

dataran tinggi Sumatera Utara. Seluruh pola kehidupan masyarakat berasaskan

Page 286: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

adat istiadat yang sebelumnya merujuk kepada kepercayaan pemena. Rujukan asas

kehidupan masyarakat inilah yang dituangkan ke dalam tradisi lisan upacara

gendang kematian yang perlu terus dijaga sehingga manusia mendapat

keselamatan dunia dan akhirat dengan tetap menjaga hubungan manusia dengan

sang pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.

Upacara gendang kematian merupakan penyaluran nilai-nilai spiritualitas, seperti

diungkapkan Njenap Ginting seperti berikut.

―Upacara gendang kematian pada etnik Karo bersumber dari ajaran leluhur

Karo, yang sangat terkait dengan kosmologi manusia khususnya etnik

Karo. Sebelum kita mengenal agama yang kita yakini sekarang, agama kita

adalah agama nenek moyang kita yang diajarkan melalui generasi ke

generasi tanpa memiliki kitab wahyu. Hakikat spiritualitas kita bukan dari

apa yang kita ketahui akan tetapi dari apa yang kita perbuat. Kalimbubu

sebagai pemilik ―darah‖ yang meninggal kita kenal sebagai representasi

―Tuhan yang kelihatan‖ kita hormati sepenuh jiwa dan raga kita, dan

bagaimana kita menghargai alam sekitar kita untuk mendukung upacara

tersebut. Demikian kita lakukan sebagai lingkaran yang berputar karena

masing-masing orang Karo mendapatkan posisi sebagai kalimbubu‖

(wawancara, 26 Desember 2012).

Ungkapan di atas memperlihatkan bahwa tradisi lisan upacara gendang

kematian mengintegrasikan nilai-nilai ajaran leluhur ke dalam aktivitas kultural,

menjadi petunjuk masyarakat dalam mengembangkan pola pola kehidupan yang

berlandaskan adat istiadat. Sebagai produk historis kultural masa lampau, upacara

gendang kematian memadu padankan nilai-nilai estetika dan kebenaran agama

sekarang yang ada didalamnya. Selanjutnya menurut Njenap Ginting sebagai

berikut.

―Kalau saya melihat tidak ada pertentangan antara spiritualitas pemena

dengan agama yang kita yakini dan anut sekarang. Yang menjadi

Page 287: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

perbedaan adalah agama sekarang terlalu mencampuri dan bahkan menolak

ajaran yang kita miliki sebelum kita memahaminya. Jika agama sekarang

tidak meng‖kafir‖kan unsur-unsur yang kita gunakan dalam tradisi kita

kususnya pada upacara gendang kematian etnik Karo tentunya tidak berada

dalam posisi ambivalen. Satu sisi kita mencintai tradisi kita, di sisi lain kita

membencinya. Upacara gendang kematian memiliki nilai-nilai kehidupan

dasar etnik Karo‖ (wawancara, 26 Desember 2012).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa upacara gendang kematian

memiliki kekuatan dasar, yaitu kekutan spiritual, dimana pesan-pesan tersembunyi

yang bernilai luhur dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat. Menurut Piliang, pada dasarnya realitas bersifat spiritual karena

segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual pula. Realitas

merupakan perwujudan hasrat yang lebih tinggi, yang diarahkan pada sifat-sifat

ketuhanan. Sebaliknya, realitas sebagai perwujudan hasrat-hasrat rendah (nafs)

diangggap sebagai ilusi atau realitas palsu. Perwujudan nafs yang paling rendanh

adalah penghambaan pada materi. Nafs cenderung memaksakan hasrat-hasrat

dalam upaya memuaskan diri sendiri, dengan melanggar etika sekalipun.

Meskipun, dengan sifat homo homini lupus manusia, kepuasan itu tidak pernah ada

ujung pangkalnya. Manusia, sebagaimana digambarkan agama, terdiri dari tiga

unsure, yaitu roh, akal, dan jasad. Masing-masing dari tiga unsure itu diberi hak

sesuai dengan kebutuhannya. Nafs mengendalikan akal untuk memenuhi segala

kebutuhan jasad, hasrat-hasrat duniawi. Manusia lupa bahwa roh juga memerlukan

pemenuhan haknya, yaitu siraman rohani. Nilai-nilai spiritual dibenamkan dalam

roh mampu membentuk pribadi yang tidak hanya sekadar penghambaan materi,

Page 288: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tetapi membentuk pribadi yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan

kehidupan akhirat (Piliang, 2004: 186).

Spiritualitas menawarkan pengekangan terhadap hasrat-hasrat rendah,

sebaliknya modernitas menawarkan pembebasan hasrat. Spiritualitas membentengi

diri dari hasrat-hasrat rendah, materialistis, dan hedonistik. Pengekangan ini oleh

banyak kalangan terutama kaum kapitalis, merintangi jalan untuk memberikan

kepuasan-kepuasan pada masyarakat dalam bentuk kesenangan semu dan

pemuasan nafs kekuasaan. Spiritualitas sebagai semen sosial antara manusia

dengan penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan

lingkungannya tidak lagi menampakkan geliatnya. Ikatan sosiokultural masyarakat

mengalami pergeseran, tidak lagi menampakkan hubungan harmonis antara satu

komunitas dengan komunitas lainnya. Masing-masing kelompok masyarakat sibuk

dengan urusan duniawi mereka sehingga berakibat pada terputusnya relasi dan

ikatan batin di antara masyarakat (Majid, 2010: 204--205).

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sistem hubungan sosial

adalah faktor hubungan kekerabatan sangkep nggeluh. Wujud dari hubungan

kekerabatan itu adalah emosi keyakinan yang merupakan yang merupakan getaran

jiwa yang pada suatu ketika dapat menghinggapi seseorang. Emosi keyakinan

itulah yang mendorong orang untuk berperilaku serba religious, artinya manusia

akhirnya sadar akan adanya gaib yang merupakan sumber kekuatan yang ada di

luar dirinya. Emosi keyakinan masyarakat Karo sangat kuat dalam menyikapi

berbagai bentuk persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat. Salah

Page 289: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

satu wujud makna spiritualitas pada upacara gendang kematian yaitu upacara

perumah begu (Lihat, 6.2.1).

Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa, konsep spiritualitas

memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau

mengimplikasikan bentuk disiplin religious tertentu. Spiritualitas memang

memiliki konotasi religious dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki

seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki

kepentingan yang paling mendasar. Tetapi, apa yang dianggap suci bisa saja

merupakan sesuatu yang duniawi, seperti kekuasaan dan kesuksesan. Ada spiritual

dalam diri setiap orang, meskipun bisa saja spiritulitas yang nihilistik dan

materialistik. Kondisi inilah yang terjadi dalam perkembangan pada era globalisasi

ini.

Upacara gendang kematian etnik Karo saat ini, memiliki spiritualitas

modern, yaitu spiritualitas yang mengarah pada kapitalisme dimana konsumerisme

telah menjadi bagian dari unsur-unsur yang ada pada upacara tersebut. Padahal,

semestinya harus ada keseimbangan antara spiritual dan materi. Seperti yang

dijelaskan Piliang, kepentingan mendasar spiritualisme adalah bagaimana

menjadikan individu memahami akan dirinya, antara agama dan materi.

Spiritulitas tidak boleh dijadikan untuk mengejar materi, yang dengan sendirinya

dapat membuka jalan untuk merebut kekuasaan. Agama sangat kaya dengan ajaran

keseimbangan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang

kuat, tahan terhadap terpaan dan arif dalam bertindak. Harus pula diciptakan

Page 290: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

keseimbangan antara spiritual dan materi. Keseimbangan antara spiritual dan

materi berlandasakan pada pengekangan hasrat. Dalam dunia konsumerisme

kapitalisme global, masyarakat terus didorong untuk memenuhi siklus kehidupan

dan dorongan hasrat yang tidak ada akhirnya (Piliang, 2004: 307).

Terkait dengan ungkapan diatas bahwa spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo memiliki wajah budaya tradisi, saat ini berubah menjadi

wajah yang tidak diilhami dan disemangati oleh nilai-nilai tradisi yang ada. Hal ini

mengakibatkan hampir semua pilihan dan keputusan yang diambil terkesan sangat

kompromistis dan opurtunistik. Masyarakat terkesan tumbuh menjadi sosok

manusia yang tidak lagi mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

Penghambaan pada materi menjadi urutan teratas tidak saja pada sebuah upacara

kematian, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Inilah, menurut

pengamatan penulis menjadi faktor pendorong terjadinya gaya hidup dimana

spiritualitas hanya dijadikan sebagai pemuasan hasrat rendah, yaitu materi. Dalam

tradisi Karo sangat jelas pembatasan antara pertua agama dan

budayawan/seniman. Namun keduanya sering disatukan untuk pemuasan hasrat-

hasrat rendah dan dijadikan alat perpanjangan tangan melakukan kekuasaan

terhadap orang lain.

Menurut Majid (2010: 207), hubungan antara agama dan negara umumnya

dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu pertama, lebih berkaitan dengan dimensi

internal agama. Seberapa jauh agama menyediakan rancang bangun yang

mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk antara relasi agama dan politik atau

Page 291: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

agama dianggap wilayah privat, yang tidak ada kaitannya dengan urusan

penyelenggara Negara. Kedua, dimensi eksternal yang lebih berkaitan dengan

pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama. Apakah agama

dipahami sebagai wilayah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara. Nilai-

nilai agama seyogianya ditampilkan dalam prinsip-prinsip yang lebih universal,

dalam bentuk gerakan kultural yang dijabarkan dalam etika atau moralitas

terhadap penyelenggara agama.

Pernyataan diatas tidak sepenuhnya terjadi sehingga makna spiritualitas

konsumerisme kapitalis yang bermuara kristenisasi terjadi dalam upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi. Nilai-nilai luhur tradisi ditinggalkan

sebelum masyarakat pemilik memahaminya. Ini akibat dari derasnya arus

globalisasi yang menimpa nilai-nilai spiritualitas asli etnik Karo. Menurut Berry,

manusia perlu menemukan ekspresi yang bisa ditinjau melalui dua kepedulian

umat manusia yang saat ini teramati yaitu, kepedulian akan kelangsungan proses

kosmis di dalam alam dan kepedulian akan disiplin batiniah yang bersifat

tradisional. Berdasarkan kepedulian yang pertama, kita memahami bahwa kita

tidak dapat bertindak sesuka hati terhadap alam. Pada kepedulian yang kedua, kita

menyadari bahwa kita pun tidak dapat berbuat sesuka hati dalam berelasi dengan

kekuatan psikis dan spiritual dunia, melainkan harus menyatu dengan kekuatan-

kekuatan itu (Berry, 2013: 3).

Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo tidak terlepas dari

hubungan manusia dengan sang pencipta, dimana manusia meninggalkan dunia

Page 292: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

untuk menuju dunia yang baru, manusia dengan manusia, yaitu implementasi dari

sistem kekerabatan yang ada, dan manusia dengan alamnya, yakni unsur yang

digunakan dalam upacara gendang kematian sangat terkait dengan alam sekitarnya

seperti spiritual yang ada pada gendang lima sendalanen tidak semata-mata hanya

sebagai pengiring pada upacara tetapi lebih pada kaitannya dengan alam sekitar.

Hal ini ditegaskan oleh Berry, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri

tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Tidak ada dua dunia, dunia

manusia dan dunia bagi makhluk-makhluk lain. Hanya ada satu dunia. Sejalan

dengan mati hidupnya bumi, kehidupan manusia pun ditentukan sepenuhnya oleh

keberadaannya. Kita akan dipelihara secara spiritual oleh dunia ini atau kita akan

mengalami kelaparan spiritual. Tidak ada pengalaman perwahyuan lainnya bagi

manusia seperti pengalaman yang didapatnya dari alam (Berry, 2013: 113).

Sesuai dengan pernyataan di atas menurut Jekmen Sinulingga seperti berikut.

Sebelum etnik Karo mengenal tulisan kita belajar dari tradisi lisan yang ada

seperti tindakan-tindakan yang kita lakukan ketika melakukan sebuah

upacara. Bambu yang digunakan untuk mengankat mayat ke kuburan

setelah upacara itu diampbil dari bambu yang berada di tepi jurang di desa.

Bambu itu dianggap sebagai tempat keramat sehingga orang Karo

menghormati dan memeliharanya (Wawancara, 20 Desember 2013).

Hal senada diucapkan oleh Kebun Tarigan tentang gendang lima sendalanen

sebagai berikut.

Semua unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen adalah

menunjukkan bagiamana orang Karo itu menghargai alam sekitarnya. Mulai

dari materi instrumen sampai bunyi yang dihasilkannya sangat terkait

dengan spiritualitas pandangan hidup orang Karo. Akan tetapi semua

keterhubungan ini tergerus dengan musik modern seperti keybard dan

ensambel tiup. Tentu saja hal ini ―membunuh‖ nilai-nilai tradisi yang ada

Page 293: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pada etnik Karo. Semua ini tidak terlepas dari pengesahan atau legitimasi

dari agama yang dianut orang Karo saat ini (Wawancara 11 Mei 2012).

Penguasa dan pengusaha hendaknya bercermin pada nilai-nilai agama yang

dianutnya. Bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai substansial yang dapat

dijadikan sebagai pegangan dalam urusan penyelenggara Negara, yaitu nilai-nilai

keadilan, persamaan, musyawarah, dan persaudaraan. Pemahaman atas nilai-nilai

agama ini tidak terwujud dalam implementasi kebijakan yang ditetapkan

pemerintah, terutama nilai-nilai keadilan yang sudah amat langka dirasakan oleh

masyarakat tradisi. Disini, agama hadir ketika pelembagaan agama diikuti oleh

kepentingan diuar dirinya. Agama terjebak sebagai instrumen kepentingan, baik

kepentingan yang mengatasnamakan ―suara Tuhan‖ sebagai suara kekuasaan,

maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai alat

legitimasi (Majid, 2010: 207).

Upacara gendang kematian bermakna spiritualitas, perasaan kebatinan

yang mendalam dan emosi budaya bertujuan untuk mendidik diri dan keluarga

untuk hidup bersih dan sederhana patuh dalam menjalankan nilai-nilai tradisi.

Spiritual modern mengalami perubahan bentuk yang nihilistik dan materialistik.

Hidup sederhana berubah menjadi konsumtif dan hedonistik. Hidup bersih menjadi

kotor, dalam arti tidak lagi memenuhi kriteria seperti pribahasa Karo ―adi idahndu

duri i dalin, buat tutung janahndu erlambuk‖ (jika nampak duri di jalan, ambil dan

bakar ketika memasak). Hal ini diperparah lagi dengan campur tangan ―penguasa‖

dengan berbagai kebijakan yang dihasilkan kadang tidak memihak kepada rakyat

Page 294: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dan memenuhi rasa keadilan. Kapitalisme global juga memiliki andil yamg besar

terhadap pergeseran makna spiritualitas. Kapitalisme global menghendaki

universalitas dalam segala aspek kehidupan.

Spiritualitas tradisi dapat membawa manusia kembali kepada hal-hal yang

fundamental. Kita mungkin tidak perlu khawatir mengenai kelangsungan tradisi-

tradisi ini dalam bentuk formalitas dasar, tetapi fundamentalisme mengandung

aspek positif, selain tentu memiliki juga di dalamnya aspek-aspek yang kurang kita

harapkan (Berry, 2013: 6).

Terkait dengan ungkapan di atas, sebagai sebuah tradisi lisan dan bagian

dari kearifan lokal etnik Karo, upacara gendang kematian memiliki makna

spiritualitas yang mendalam, yang berpengaruh dalam segala tata kehidupan.

Namun, tradisi lisan ini tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya agar

dipahami dan diterima oleh etnik Karo. Kapitalisme global mampu merontokkan

sendi-sendi tradisi dan kearifan lokal masyarakat, yang merupakan bukti historis

kreativitas leluhur etnik Karo pada masa lalu. Upacara gendang kematian

merupakan bagian dari budaya, sementara budaya membentuk sejarah. Masyarakat

merupakan bagian dari proses sejarah dalam periode tertentu. Tradisi lisan upacara

gendang kematian etnik Karo, memiliki spiritualitas yang sangat berkaitan dengan

norma-norma dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang mengalami

dinamika seiring dengan perkembangan zaman.

Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan bagian dari

kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah

Page 295: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap

makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat

ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca ‖tanda zaman‖ dan

dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya

bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan

spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga

pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor

yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi yang menyangkut nilai-nilai dasar atau filosofi kehidupan

masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern, dan postmodern.

Makna-makna yang tercantum di atas diuraikan seperti berikut ini.

7.1.1 Makna Spiritualitas Pramodern

Seni berurusan dengan spiritualitas, baik secara rasio maupun secara

pengalaman. Nilai dan makna ada diwilayah kosong dari benua ketidaksadaran

manusia yang belum terpetakan. Seni mengandung spiritualitas yang ditangkap

seniman dalam wujud-wujud analogi, karena ―yang tak ada‖ itu sulit dirumuskan

dalam ―ada‖ (budaya). Seniman memperkaya kebudayaan. Dalam seni modern

simbol-simbol seni mengacu pada konsep[ dan pengalaman budaya. Dalam seni

pramodern bukan sekedar konsep dan pengalaman, tetapi wujud kehadiran yang

spiritual. Yang spiritual itu realitas transenden dari wilayah ‖kosong‖. Ia hanya

Page 296: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

terasa ada dan hadir dalam simbol-simbolnya saja. Simbol itu sendiri adalah

realitas transenden. Tidak dengan sendirinya artefak-artefak seni yang merupakan

realitas transenden itu hadir dalam dunia manusia. Kehadirannya hanya terjadi

dalam peristiwa ritual dalam ruang dan waktu ‖kesekarangan‖ alias ‖keabadian‖.

Di luar itu daya-daya transendennya tidak bekerja. Diluar upacara benda-benda

seni itu hanya berstatus pada profan biasa (Sumardjo 2006: 93).

Terkait dengan hal di atas, pada upacara gendang kematian etnik Karo

memiliki unsur seni yang sangat penting yaitu seni musik. Menurut Nakagawa,

musik adalah objek dan objek adalah tanda, yang diinterpretasi untuk menemukan

makna-makna dan harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat. Musik

dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika pertama kali

mengenal musik, biasanya kita mengamati akustiknya, seperti melodi (lagu),

ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain. Dalam hal ini kita

mengamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal

demikian tidak cukup, tetapi kita harus menghubungkan dengan masalah

kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara

dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti,

tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-unsur

kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya seni-seni yang lain

(Nakagawa, 2000: 6).

Selanjutnya Marriam mengungkapkan bahwa salah satu wilayah

penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi adalah budaya material

Page 297: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

musik. Wilayah ini meliputi studi tentang instrumen musik yang disusun oleh

peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, idiofon, membranofon, aerofon,

dan chordofon. Di samping itu, tiap instrumen harus diukur, dideskripsi, dan

digambar dengan skala atau difoto, prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang

digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, termasuk nada-nada

yang dihasilkan. Di samping masalah-masalah analitis yang dapat menjadi sasaran

penelitian dengan beberapa pertanyaan, seperti (1) adakah konsep untuk

memperlakukan secara khusus instrumen-instrumen musik tertentu di dalam suatu

masyarakat, (2) adakah yang dikeramatkan, (3) adakah instrumen-instrumen yang

melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain, (4) apakah instrumen-

instrumen tertentu merupakan pertanda dari pesan-pesan tertentu pada masyarakat

luas, dan (5) apakah suara-suara atau bentuk-bentuk instrumen tertentu

berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara,

atau tanda-tanda tertentu (Merriam, 1995: 100).

Gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian merujuk pada

karya seni musik, tradisi, dan religi pada etnik Karo. Selain itu, gendang lima

sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak,

mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidup. Dengan demikian, dapat disebut

sebagai salah satu simbol yang terdapat pada upacara gendang kematian. Menurut

Dharmojo (2005: 119), makna simbol bebas dan terbuka bergantung pada aspek-

aspek tempat simbol bersemayam. Menurut Adlin, bagi masyarakat tradisional,

perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai

Page 298: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan diatur. Hal ini penting

karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut memiliki nilai-nilai luhur

yang masih perlu dijunjung tinggi (Adlin, 2007: 148).

Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa awalnya gendang telu sendalanen lima sada perarih. Menurut

Amat Depari, sebelum tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang dilakukan,

terutama upacara gendang kematian pada sebuah tempat atau desa, maka pemain

musik yang datang ke tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni penarune

(pemain sarune), singindungi (pemain gendang indung), dan singanaki (pemain

gendang anak), sedangakan pemalu penganak (pemain penganak) dan pemalu

gung (pemain gung) berasal dari tempat di mana upacara tersebut berlangsung.

Selanjutnya dalam penelitian ini disebut gendang lima sendalanen meskipun akan

diuraikan tentang gendang telu sendalanen lima sada perarih oleh karena gendang

lima sendalanen telah diakui dan diseminarkan dalam kongres kebudayaan Karo

pada tahun 1965 dan lazim dikenal masyarakat Karo pada saat ini (Lihat 5.2).

Terkait dengan istilah organologi dalam tradisi musik Barat, gendang lima

sendalanen dikenal sebagai ensambel musik yang terdiri atas lima jumlah

instrumen musik, yaitu sarune termasuk dalam klasifikasi (aerofon), yaitu bunyi

dihasilkan dari udara/angin, gendang indung dan gendang anak (membranofon),

yaitu bunyi dihasilkan dari kulit, sedangkan gung dan penganak (idiofon), yaitu

menghasilkan bunyi melalui alat itu sendiri. Namun sering juga disebut dengan

gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu dua, yaitu angka dua belas untuk

Page 299: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

hitung-hitungan perangkat yang digunakan seluruhnya, termasuk stik atau alat

memukul instrumen musik tersebut. Masyarakat Karo mengenal pemain musik

dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring musik

dalam upacara yang ada pada etnik Karo (lihat gambar, L.4.22)

Di dalam spiritualitas pramodern, upacara gendang kematian etnik Karo

terdapat tanda-tanda identitas Karo dalam memproduksi makna yang dapat di

interpretasi, antara lain dari penanda (signifier) gendang lima sedalanen sebagai

tanda (semiotik), yang mempunyai petanda (signified) untuk menjelaskan konsep

atau makna. Produksi makna di sini adalah proses makna lapis kedua yang bersifat

implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004: 90). Makna

konotasi diperoleh berdasarkan latar budaya pemberi konotasi.

Sebelum tahun 1945, sierjabaten atau pemain musik dalam upacara

gendang kematian benar-benar bersatu dengan unsur lain yang ada pada upacara

tersebut. Para sierjabaten (pemain musik) diakui memiliki kemampuan yang lebih

dari manusia biasa. Namun, dalam upacara gendang kematian jasa mereka tidak

diukur dari uang. Mereka hanya diberikan simulih sumpit atau pukulan untuk

orang sakit (sesajen) berupa beras, telur ayam, sirih, rokok, garam dalam satu

wadah yang disebut sumpit. Syarat itu juga dilakukan karena dianggap bahwa

mereka akan lama sampai di tempat tinggal dan itu sebagai bekal di perjalanan.

Mereka adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dengan sistem kekerabatan yang

ada di masyarakat Karo. Dalam upacara gendang kematian wadah sistem

kekerabatan ini semua berlaku.

Page 300: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Berdasarkan uraian di atas menurut Kebun Tarigan (85), salah seorang

penarune senior bahwa ensambel gendang lima sendalanen pada etnik Karo tidak

bisa terlepas dari sistem kekerabatan atau sistem adat istiadat yang ada. Gendang

lima sendalanen yang awalnya dikenal dengan gendang telu sendalanen lima sada

perarih mewakili merga silima dan telu sendalanen menerangkan ikatan yang tiga

atau rakut sitelu. Bilang-bilang (bilangan) sangat dijunjung tinggi oleh nenek

moyang orang Karo. Jadi, telu (tiga) dengan lima (lima) akan menjadi waluh

(delapan) yang kemudian disebut tutur siwaluh. Unsur keseluruhan yang

digunakan dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri atas sepuluh sada

tambah sada yang berarti berjumlah dua belas perangkat termasuk pemukul (stick)

yang digunakan dalam ensambel tersebut. Tambahan unsur dari lima instrumen di

atas adalah dua pemukul gendang singindungi, dua pemukul gendang singanaki,

satu pemukul penganak satu pemukul gung, dan satu gantungan gung. Inilah yang

kemudian disebut sebagai perkade-kaden sepulusada tambah sada. Sangkep

nggeluh (Lihat 4.1.4), sebagai sistem kekerabatan terwakili oleh ensambel

gendang lima sendalanen yang semuanya harus hadir dalam upacara gendang

kematian (wawancara, 10 Juni 2012).

Pernyataan di atas ditegaskan oleh Adlin, bahwa objek visual (simbol),

seakan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia, terutama untuk

memperjelas keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas

masyarakat yang lebih luas lagi. Hal ini memiliki makna terhadap proses

penciptaan objek visual itu sendiri. Pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan

Page 301: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

untuk membantu menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang

mungkin adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang

menggiring nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan

sehingga memiliki nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya.

Akhirnya, kembali kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan

mempertahankan nilai-nilai objek yang orisinal dan mungkin adiluhung atau

memang membiarkannya ‖bermain‖ dan diombang-ambingkan di tengah

kubangan persepsi masyarakat modern (Adlin, 2007: 151).

Ensambel gendang lima sendalanen seperti yang sudah disebutkan dalam

wujud (lihat 5.2) terdiri atas lima jenis instrumen musik. Surune adalah salah satu

instrumen dalam ensambel ini yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Sarune

merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung

alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe).

Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas lima bagian alat yang

dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda. Gambar 7.1

menunjukkan, yaitu (1) dilah-dilah atau anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai

kecil daun kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan

pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak

sarune kepada bagian tongkeh; (2) ampang-ampang, yakni sebuah lempengan

berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di

tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain

sarune ketika sedang meniup alat tersebut; (3) tongkeh terbuat dari timah,

Page 302: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak

sarune kepada bagian berikutnya; (4) kerahong atau batang sarune terbuat dari

kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar bentuknya menjadi konis dan

bagian dalamnya juga dilubangi agar bentuknya menjadi konis. Pada batang

sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah; (5) gundal juga

terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini

merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.

Gambar 7.1

Dilah-dilah, ampang-ampang, tongkeh, kerahung, dan gundal bagian-bagian yang

terdapat pada instrumen sarune dalam gendang lima sendalanen

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah-dilah

sarune tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang

Page 303: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tumbuhnya di permukaan yang tinggi, bebas di sinar matahari dan tiupan angin. Di

samping daun kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut

dipercaya masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional.

Bahkan, ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya

menggunakan air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar

penjelasan di atas, diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan

oleh masyarakat Karo di luar dari kepentingan alat musiknya.

Selanjutnya menurut Tarigan, ampang-ampang dalam instrumen musik

sarene jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Karo merupakan pembatas

atau pembeda merga-merga yang ada. Pada zaman dahulu tiap-tiap orang Karo

mempunyai kesain batas-batas, baik tempat tinggal, perladangan, maupun

persawahan. Batas-batas inilah kemudian ditafsir sebagai ampang-ampang pada

instrumen sarune.

Pernyataan di atas didukung oleh seorang etnomusikolog Shin Nakagawa

dari Jepang yang mengungkapkan bahwa Ilmu etnomusikologi pada mulanya

berupa kegiatan meneliti nada-nada dan alat-alat musik bangsa lain. Kemudian

berkembang menjadi mencari hubungan antar musik dan manusia dalam

kebudayaan dengan menggunakan hasil penelitian antropologi. Proses ini disebut

perubahan perspektif, yaitu perubahan dari etnosentrisme menjadi etnorelativisme

(Nakagawa, 2000: 4).

Page 304: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tongkeh sarune adalah unsur yang terbuat dari timah. Menurut Jekmen

Sinulingga, masyarakat Karo sudah mengenal timah sejak dahulu. Hal ini terwujud

dari bagaimana masyarakat Karo ketika memberikan kata penghiburan kepada

sukut yang meninggal dunia dalam upacara kematian, dengan kuan-kuan

(peribahsa) sebagai berikut, gia nggo lawes orang tuanta nadingken kita tetaplah

kam kerina bagi timah sada tinuang, (meskipun orang yang dikasihi telah

meninggalkan kita untuk selama-lamanya, tetap kita seperti timah tuangan yang

bersatu yang takkan dapat diceraikan oleh apa pun) (Wawancara, 11 Juni 2012).

Dari ungkapan di atas diketahui bahwa sesuai dengan letak tongkeh pada

instrumen sarune adalah sebagai bagian tengah untuk menghasilkan bunyi dan

sebagai penyambung dilah dengan kerahung pada instrumen tersebut.

Kerahung dan batang sarune terbuat dari pohon selantam. Pohon selantam

dikenal pada masyarakat Karo sebagai jenis tanaman perdu dan daunnya termasuk

salah satu yang disebut bulung-bulung simelias gelar (daun-daun yang baik untuk

obat-obatan). Bagian inilah yang dilubangi untuk menghasilkan perbedaan nada

antara satu dan yang lain dalam melodi. Dalam proses melubangi menurut Kebun

Tarigan, ada mang-mang (mantra) yang harus dilakukan. Jumlah delapan lubang

pada kerahong/batang sarune dan setiap lubang terkait dengan tutur siwaluh yang

terdapat pada sangkep nggeluh masyarakat Karo. Proses melubangi memakan

waktu yang tidak bisa ditentukan dengan pasti. Karena dari kedelapan lubang yang

ada pada batang sarune mewakili salah satu kerabat yang meninggal pada tutur

Page 305: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

siwaluh karena sarune yang digunakan pada upacara gendang kematian adalah

sarune yang sama (Lihat, 4.1.4). Di samping dijadikan sebagai sarune dalam

tradisi musik Karo, selantam biasanya tumbuh dan ditanam oleh orang Karo di

pembatas-pembatas perladangan dengan jurang untuk menahan jatuhnya jurang

dan sekaligus menjadi pagar. Selantam adalah pohon yang tidak mengganggu

tanaman-tanaman yang lain yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari oleh

manusia (wawancara, 10 Juni 2012).

Berdasarkan uraian di atas Krader mengungkapkan bahwa etnomusikologi

mencoba meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik di dalam konteks

sosiokultuaralnya, menempatkan musik itu ke dalam pikiran, kegiatan-kegiatan,

dan struktur-struktur sebuah kelompok manusia. Di samping itu, juga memperjelas

pengaruh timbal balik antara satu dan yang lain. Etnomusikologi membandingkan

fakta-fakta ini satu dengan yang lain melalui sejumlah kelompok individu yang

mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan lingkungan teknisnya

(Krader, 1995: 3). Kenyataan ini sangat erat terkait dengan bagian-bagian sarune

yang merupakan sebuah simbol yang dapat dimakanai satu dengan yang lain.

Gundal pada instrumen sarune juga terbuat dari bahan pohon selantam.

Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa instrumen sarune terdiri atas lima

unsur pada bagian-bagiannya. Bentuk gundal dalam sarunai menunjukkan bahwa

segala sesuatu perlu di-momo-kan atau diumumkan. Gundal adalah unsur yang

menentukan besar kecilnya bunyi yang dihasilkan oleh sarune. Menurut Kebun

Page 306: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tarigan, gundal berfungsi sebagai corong (bell). Demikian juga dalam sistem

kemasyarakatan yang disebut merga silima sudah ditentukan merga yang

memberikan kabar (berita) kepada merga-merga yang lain yang tinggal di

daerahnya (Lihat 4.1.3).

Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik

pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang

berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang

dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul)

disebut pantil gendang. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi

(diikatkan) sebuah ‖gendang mini‖, yang disebut gerantung, sedangkan pada

gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi

naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki

tidak bisa naik turun.

Badan kedua alat musik ini, terbuat dari pohon tualang. Lobang atau

rongga bagian dalam dibentuk mengikiuti konstruksi bagian luar alat-alat musik

tersebut. Kulit direntangkan pada kedua sisi muka (head drum). Kulit tersebut

berasal kulit napuh, sejenis kancil yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan

diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali

yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang dililitkan pada seluruh badan gendang

tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membran gendang. Tiap-tiap

gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick).

Page 307: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 7.2

Gendang singindungi dan gendang singanaki yang digunakan pada upacara

gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Gambar 7.2 menunjukkan bahwa bagian-bagian gendang singanaki dan

gendang singindungi sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis

akustiknya. Bagian-bagian gendang adalah (1) tutup gendang dan pantil gendang,

yaitu bagian atas dan bagian bawah yang mengelilingi babah gendang (membran

gendang). Tutup gendang terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi dengan kulit

napuh (sejenis kancil), (2) babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat

dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah

gendang inilah yang dipukul dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik

gendang singanaki maupun gendang singindungi, (3) kula gendang (badan

gendang) terbuat dari kayu tualang sekarang digunakan kayu nangka, (4) tali

gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi yang

Page 308: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang melintasi

sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah

melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali

hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah

simetris vertikal). Selain itu menelusuri sekujur baluh dengan pola jelujur yang

membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini sebagai

perangkat pengatur mekanis, (5) alat pukul gendang (stik) terbuat dari kayu jeruk

purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama panjang, besar, dan

bentuknya. Di pihak lain alat pukul gendang sngindungi keduanya berbeda besar

dan bentuknya. Gerantung/garantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi

gendang singanaki. Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya

tidak berbeda, baik dengan gendang singindungi maupun gendang singanaki.

Perbedaan terjadi hanya pada ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan

gendang.

Dari uraian di atas diketahui bahwa gendang pada etnik Karo juga terdiri

atas lima bagian yang berbeda-beda. Disetiap bagian menunjukkan bahwa

masyarakat Karo pada dasarnya sangat dekat dengan kosmologinya. Dari

kosmologi inilah kemudian dapat diwujudkan spiritualitas masyarakat itu sendiri.

Napuh, bambu, tualang, lembu, dan jeruk purut merupakan sebuah simbol yang

dimaknai sebagai representasi spiritualitas pramodern etnik Karo terhadap ibu

pertiwi atau alam lingkungannya. Berikut ini ditelaah makna-makna yang terdapat

pada gendang singindungi dan gendang singanaki.

Page 309: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tutup gendang dan pantil gendang terbuat dari kulit napuh. Napuh

merupakan salah satu jenis binatang menyerupai binatang kancil. Menurut

Sorensen Tarigan, sudah banyak sekali kulit binatang dicoba untuk digunakan

dalam instrumen baik gendang singindungi maupun gendang singanaki. Akan

tetapi, semua kulit ini, misalnya kambing, sapi, dan rusa, suara yang dihasilkan

tidak sesuai seperti kulit napuh. Di samping itu, etnik Karo mempunyai jenis

makanan khas yang disebut dengan terites. Terites adalah sejenis makanan yang

bahan dasarnya secara kasar adalah makanan lembu atau kambing yang telah

berada dalam ususnya. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya

dengan sebutan pagit-pagit merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain

adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan. Terites tersebut diambil dari

lambung kedua sapi (lembu dalam masyarakat Karo) atau kambing dalam istilah

biologinya dikenal dengan istilah rumen, tetapi orang Karo menyebutnya tuka si

peduaken (usus nomor dua). Kata pagit-pagit berarti ‗yang pahit-pahit‘ adalah

padanan kata yang paling cocok. Mengapa masyarakat Karo mengambil sumber

terites dari lembu ataupun kambing karena sulit sekali untuk mendapatkan napuh.

Sebenarnya napuh-lah yang paling enak dibandingkan dengan hewan yang lain

(Wawancara, 05 Mei 2012).

Informasi lain tentang binatang ini, diperoleh dari Kebun Tarigan. Menurut

Kebun Tarigan, lemaknya sangat baik untuk menyembuhkan penyakit

keseleo/patah tulang. Lemak binatang yang paling baik untuk penyakit jenis ini

adalah dari binatang napuh. Kulitnya dijadikan sebagai penutup, baik gendang

Page 310: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

singindungi maupun gendang singanaki dengan cara membungkus babah gendang

yang terbuat dari bambu. Bambu ini kemudian dibalut dengan kulit napuh

sehingga menjadi bentuk lingkaran dan disebut babah gendang dan pantil gendang

(Wawancara, 11 Mei 2012).

Etnik Karo menyebut bambu dengan istilah buluh. Etnik Karo

menggunakan buluh dari lantai hingga atap rumahnya, dari perabot di dapur

seperti ukat (sendok mengambil nasi), ingan beltu-beltu (tempat mengeringkan

ikan), ndiru (alat pengayak beras), dan sebagainya. Menurut Joker Barus salah satu

guru (dukun) di lokasi penelitian mengungkapkan seperti di bawah ini.

“adi la lit buluh, labo lit kalak Karo. Sebab buluh e me i bere Dibata jadi

sinampati ibas kegeluhenta. Adi nai bagi si kubahan enda tamandu ije

pangan sada tahun nari nendu entah ipandu seri denga nanmna. Tapi

ibahan nge mang-mang ibas buluh enda salu tulisen aksara Karo”.

(Jika tidak ada bambu, orang Karo juga tidak ada. Bambu diberikan yang

punya kehidupan yang membantu manusia Karo dalam segala hal. Kalau

dulu, makanan bisa disimpan selama setahun, ketika dimakan masih sama

rasanya dengan setahun yang lalu. Satu-satunya alat yang bisa menyimpan

itu adalah bambu yang telah dengan ucapan khusus dan menulis dengan

aksara Karo‖

Apabila dicermati ungkapan tersebut, dalam kehidupan masyarakat

pedesaan khususnya lokasi penelitan spiritualitas upacara gendang kematian

bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu dikenal oleh masyarakat

Karo memiliki sifat-sifat yang luar biasa dan sangat berguna untuk kehidupan

sehari-hari. Bambu juga disimbolkan sebagai sebuah siklus hidup orang Karo,

contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluarlah rebung. Batang bambu muda dapat

dijadikan makanan khas, yaitu tubis. Selain itu, batang bambu juga dapat

Page 311: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

digunakan sebagai bahan bangunan, bahan baku kerajinan tangan, dan yang utama

adalah dijadikan sebagai alat musik. Bambu memiliki makna mendalam. Di

seluruh Nusantara bambu digunakan sebagai alat musik mereka, seperti kolintang,

angklung, gambang, keteng-keteng, dan sebagainya. Kenyataan di atas

menunjukkan bahwa babah gendang dibuat dari bambu yang sebelumnya dilapis

kulit napuh kemudian disatukan dengan kula gendang (badan gendang) yang

berasal dari pohon tualang.

Tualang adalah jenis kayu besar dan tinggi yang hidup di hutan. Sebelum

seniman Karo menggunakan pohon nangka sebagai salah satu unsur dalam

gendang singindungi dan gendang singanaki, tualang-lah yang digunakan.

Kepercayaan masyarakat Karo terhadap kayu ini sangat banyak dari sisi

kekuatannya. Menurut Njenap Ginting, ketika masyarakat Karo membangun

sebuah rumah siwaluh jabu (rumah adat) tualang digunakan sebagai pusat

kebertahanan rumah yang disebut tekang. Tekang adalah kekuatan dalam sebuah

bangunan. Untuk dijadikan tekang dalam membangun rumah tidak dapat

digunakan selain tualang. Di atas pohon tulang yang tinggi selalu ada tawon yang

bermadu dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Ada sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Karo terkait dengan tualang,

yang dikenal masyarakat dengan cerita tualang simande angin. Alkisah, ada

seorang pemuda yang bernama Pawang Ternalem mencintai seorang putri raja

yang bernama Beru Patimar. Syarat untuk mempersunting dirinya adalah dengan

memanjat sebuah pohon tualang yang penuh dengan tawon/lebah yang berbisa dan

Page 312: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

harus memberikan madu tawon yang diambil dari tualang tersebut kepaba Beru

Patimar. Sudah puluhan pemuda menjadi korban meninggal oleh karena jatuh.

Pawang Ternalem adalah seorang anak yatim piatu yang datang ke tempat

tersebut. Tempat berdirinya tualang itu disebuah desa yang disebut Desa Jenggi

Kumawar. Jenggi Kumawar letaknya di daerah hilir (dataran rendah) Tanah Karo.

Pawang Ternalem datang dari daerah tinggi Karo yang disebut Karo Gugung.

Ketika hari pagi yang disebut orang Karo tekuak manuk sekali, masyarakat Jenggi

Kumawar mendengar suara musik surdam dari atas tualang simande angin. Beru

Patimar juga mendengar bunyi surdam tersebut. Keluarlah Beru Patimar siapa

gerangan yang sudah dapat memanjat pohon tualang simande angin. Alangkah

terkejutnya dia ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Dia melihat

seorang pemuda desa dan sama sekali tidak sesuai seperti apa yang diharapkannya.

Namun, akibat persyaratan yang diminta telah terpenuhi dia harus menerima

pemuda ini menjadi suaminya. Di bawah pohon tersebut ada sebuah kolam dan di

kolam itulah kemudian Pawang Ternalem mandi. Begitu selesai mandi Beru

Patimar sangat terkejut, melihat ketampanan pemuda tersebut. (Wawancara, 27

Desember 2012).

Hingga kini etnik Karo masih sering mendengar turi-turin atau mitos

tualang simande angin. Etnik Karo percaya bahwa air yang berdekatan dengan

tualang juga mempunyai kekuatan untuk mengobati penyakit. Sejak saat itulah

tualang kemudian dijadikan badan (kula) gendang singindungi dan gendang

singanaki pada ensambel musik Karo, yaitu gendang lima sendalanen. Tualang

Page 313: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yang dijadikan kula gendang (badan gendang) dikelilingi oleh kulit lembu (sapi)

yang disebut dalam gendang dengan sebutan tarik.

Tarik berbentuk tali untuk menarik tutup gendang dengan pantil gendang.

Tarik diambil dari kulit seekor lembu untuk dijadikan keseimbangan suara

gendang singindungi dan gendang singanaki. Lembu merupakan salah satu hewan

peliharaan yang yang dapat membantu kehidupan manusia khususnya masyarakat

Karo. Di samping daging dan kotorannya masih banyak hal dalam dirinya yang

dapat membantu kebaikan manusia. Zaman pramodern setiap merga di Karo

mempunyai rumah adat sendiri beserta sangkep nggeluh-nya. Ketika membangun

rumah adat yang disebut siwaluh jabu atau delapan keluarga dalam satu rumah,

lembu dimanfaatkan untuk menarik balok (kayu) besar menuju kampung. Di

samping itu, masyarakat Karo mempunyai keturunan yang banyak, baik untuk

mengelola pertanian maupun persawahan, lembu merupakan pembantu yang

paling utama dalam menggarapnya.

Menurut Sorensen Tarigan, semua materi yang digunakan, baik dalam

gendang singindungi maupun gendang singanaki, sangat dekat hubungannya

dengan orang Karo. Hal ini bisa dibuktikan pada kerja sintua (upacara besar) di

masyarakat Karo bahwa memotong lembu adalah sebuah kebanggaan pada orang

pemilik kerja tersebut. Itu yang menyebabkan tarik dalam gendang pun tidak

boleh diambil dari hewan lain. Silengguri (spirit) bunyi gendang akan berbeda jika

diganti (Wawancara, 26 Desember 2012).

Page 314: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Demikian juga dengan palu-palu gendang, tidak dapat digunakan

sembarangan. Pemukul/stick (palu-palu) gendang. Palu-palu gendang adalah stick

yang memukul di bagian babah gendang sehingga menghasilkan bunyi. Palu-pulu

gendang terbuat dari pohon rimo mukur (jeruk purut). Kekuatan yang terdapat

pada jeruk purut di samping dijadikan sebagi pemukul gendang juga sebagai

materi untuk penyucian diri. Etnik Karo percaya bahwa setelah berdekatan dengan

mayat dalam upacara gendang kematian, harus berlangir dengan menggunakan

jeruk purut.

Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni

sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan

musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat

yang demikian kontras (lihat gambar 5.2.3). Gung memiliki ukuran yang besar

(diameter 68,5), sedangkan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm).

Pada waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, namun pada saat

sekarang ini gung dan penganak yang terbuat dari besi pelat. Palu-palu (stick)

gung dan penganak terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan

pencu kedua alat musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan

karet mentah.

Kata gung di Karo mempunyai pengertian untuk menunjuk salah satu jenis

instrumen musik yang bentuknya bundar dan persegi. Bentuk gung bundar di

tengah-tengahnya menggunakan pencu sebagai tempat untuk memukul. Instrumen

gung pada umumnya dibuat dari perunggu dan kadang-kadang juga dibuat dari

Page 315: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

besi yang digunakan pada ensambel gendang lima sendalanen dalam gendang

kematian.

Dari uraian di atas tampak bagaimana gendang lima sendalanen sangat erat

terkait dengan spiritualitas pramodern baik dari sudut makrokosmos dan

mikrokosmos yang terdapat pada etnik Karo. Hal ini ditegaskan Capra, bahwa kita

menjadi bagian dari seluruh hewan dan tumbuhan. Selain itu, menjadi bagian

(belonging) berarti kita betah (at home) bersama mereka, kita bertanggung jawab

untuk mereka, dan kita menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana

mereka menjadi bagian kita. Kita semua saling memiliki (belong together) di

dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22).

Di samping makna-makna instrumen gendang lima sendalanen dengan

spiritualitas pramodern etnik Karo masing-masing instrumen juga mununjukkan

sangat erat terkait dengan sistem kekerabatan. Setelah ditelaah lebih jauh, sarune

dapat dikatakan sebagai posisi sukut/sembuyak. Peran sukut/sembuyak dalam

upacara gendang kematian adalah sebagai pemilik upacara tersebut, yang tentu

saja harus dapat melihat dan memperhatikan semua kerabat yang hadir dengan

cara menghormatinya. Demikian jika dikaitkan dengan sarune dalam gendang

lima sendalanen yang berfungsi sebagai pembawa melodi harus melihat semua

unsur lain yang ada dalam gendang lima sendalanen. Demikian juga

sukut/sembuyak melihat dan memperhatikan semua hal yang terjadi di upacara

gendang kematian. Jika upacara ini tidak sukses, yang paling dipersalahkan adalah

sukut/senina. Jika ada kesalahan dalam memainkan gendang lima sendalanen

Page 316: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

maka sarune-lah yang dianggap menjadi pokok kesalahan tersebut. Dalam upacara

gendang kematian sukut/sembuyak berdiri di sebelah kiri kalimbubu dan sebelah

kanan senina, sama halnya dengan sarune di sebelah kiri gendang singindungi dan

sebelah kanan gendang singanaki.

Gendang singindungi berperan sebagai kalimbubu. Kalimbubu dalam

upacara gendang kematian dianggap sebagai Dibata si idah (Tuhan yang

kelihatan), ketika kesepakatan dalam musyawarah di pihak sukut/sembuyak,

kemudian kesepakatan yang sudah diakui tersebut harus diberitahukan kepada

kalimbubu untuk dilengkapi dan di pasu-pasu (diberkati). Demikian juga gendang

singindungi dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada

upacara kematian sebagai sebuah kekuatan dalam ensambel ini. Ritme gendang

singindungi merupakan wujud kekuatan dari seluruh instrumen yang ada.

Demikian juga jika dilihat dari formasi duduk, gendang singindungi selalu di

sebelah kanan sarune, begitu juga dalam formasi berdiri kekerabatan dalam

upacara kematian kalimbubu harus di sebelah kanan anak beru.

Gendang singanaki berperan sebagai senina. Senina dalam kekerabatan

etnik Karo adalah pihak yang selalu mewakili sukut/sembuyak dalam segala hal

untuk mengontrol kesuksesan sebuah upacara. Sukut/sembuyak akan selalu

menyampaikan sesuatu ke senina-nya sebelum disampaikan ke Tuhan yang

kelihatan, yaitu kalimbubu. Begitu juga halnya gendang singanaki dalam ensambel

gendang lima sedalanen. Apa yang mau dilakukan oleh sarune, misalnya

mengganti sebuah bentuk melodi, gendang singanaki yang akan menyampaikan

Page 317: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pesan tersebut kepada gendang singndungi. Formasi berdiri dalam sistem

kekrabatan senina di sebelah kiri sukut/sembuyak. Demikian juga formasi duduk

dalam ensambel gendang lima sendalanen, gendang singanaki duduk di sebeleh

kiri sarune.

Penganak yang memaikan ritme konstan dalam ensambel dianggap sebagai

anak beru. Sehebat apa pun sukut/sembuyak, kalimbubu, senina tidak akan bisa

melakukan apa-apa jika luput dari anak beru. Anak beru merupakan tulang

punggung atas kesuksesan sebuah upacara pada etnik Karo. Demikian peran

penganak dalam ensambel gendang lima sedalanen, baik sarune, gendang

singindungi, maupun gendang singanaki, tidak akan berguna jika tulang

punggung, yaitu penganak tidak ikut di dalamnya. Formasi dalam gendang lima

sendalanen, penganak berada disebelah kiri gendang singanaki dan formasi dalam

upacara adat anak beru di sebelah kiri senina.

Gung dalam ensambel gendang lima sendalanen mewakili anak beru

minteri dalam upacara gendang kematian. Anak beru minteri dalam upacara

gendang kematian adalah orang yang membantu anak beru dalam menyelasaikan

semua tugas yang harus dilakukan mencapai kesuksesan upacara tersebut. Anak

beru minteri-lah yang meluruskan semua yang dianggap bengkok dalam upacara

tersebut. Sama halnya dengan gung dalam ensambel gendang lima sendalanen

adalah sebagai instrumen yang meluruskan semua unsur sehingga gung dijadikan

sebagai tolok ukur untuk dapat ditarikan.

Page 318: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sebagai representasi spiritualitas pramodern etnik Karo dengan

kekerabatan melalui formasi dan kekuatan, yaitu sarune mewakili sukut/sembuyak,

gendang singindungi mewakili kalimbubu, gendang singanaki mewakili senina,

penganak mewakili anak beru, dan gung mewakili anak beru minteri. Dengan

demikian, unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sedalanen tidak bisa

dilepaskan dari sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Berikut ini

penelaahan tentang bunyi gendang lima sendalanen dengan sistem kekerabatan

masyarakat Karo.

Sesuai dengan makna unsur-unsur yang terdapat pada ensambel gendang

lima sendalanen dan hubungannya dengan sistem kekerabatan pada etnik Karo

sudah dijelaskan di atas. Berikut ini akan membahas tentang bunyi gendang lima

sendalanen dan hubungannya dengan sistem kekerabatan, sebagaimana

dikemukakan Merriam bahwa musik dalam sebuah masyarakat, menyampaikan

pesan yang terkandung di dalam teksnya. Demikian pula, musik tanpa teks juga

mampu memberikan komunikasi. Namun, menurut Merriam bahwa kita sendiri

belum tentu tahu apa yang dikomunikasikan oleh bunyi musik itu, bagaimana, dan

kepada siapa. Musik itu sendiri bukan suatu bahasa universal yang dapat

dimengerti oleh siapa saja karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu

masyarakat tertentu dengan kebudayaannya (Merriam 1964: 223).

Pernyataan di atas menegaskan bahwa bunyi musik yang terdapat pada

suatu tradisi semestinya dapat dimaknai hubungannya dengan sistem kekerabatan

yang ada pada tradisi tersebut. Bunyi dalam gendang lima sendalanen secara

Page 319: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

melodis dikenal dengan istilah ngerenggeti (cengkok). Sebelum acara adat dalam

upacara gendang kematian dimulai, singerunggui (protokol) dalam upacara

tersebut, meminta kepada sierjabten (pemain gendang) agar memulai dengan

buangken gendang (musik dimainkan tanpa ada penari). Gendang ini untuk tendi-

tendi (roh-roh) yang ada di sekeliling tempat upacara dilakukan. Menurut Darwan

Tarigan, jika hal ini tidak dilakukan, keberlangsungan upacara dapat terganggu

oleh tendi-tendi yang ada di tempat upacara tersebut. Sebelum tahun 1980-an hal

ini masih tetap dilakukan, tetapi kini tidak dilakukan lagi karena tidak sesuai

dengan ajaran agama yang dianut oleh orang Karo (Wawancara, 20 September

2012).

Secara umum gerakan melodi gendang lima sendalanen dalam upacara

gendang kematian etnik Karo disesuaikan dengan kata-kata, tangisan/ratapan, dan

nyayian yang diungkapkan. Pada dasarnya melodi yang dimainkan, yaitu melodi

pendek, dan selalu terjadi pengulangan. Ada beberapa jenis lagu dalam

pengulangan tersebut, yaitu penarune (pemain sarune) akan melihat reaksi-reaksi

dari keluarga yang meninggal dalam upacara, seperti tangisan suami/istri orang

yang meninggal, maka nada-nada yang digunakan juga nada yang tinggi. Seperti

yang telah dijelaskan di atas, bahwa melodi dalam gendang lima sendalanen

secara umum hanya diulang-ulang (repetisi). Melodi yang lazim ditemukan pada

ensambel ini seperti di bawah ini.

Page 320: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 7.3

Melodi sarunei pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar 7.3 menunjukkan modus pentatonis (sistem lima nada), yang

digunakan untuk melodi ensambel gendang lima sendalanen pada upacara

gendang kematian. Nada-nada yang digunakan yaitu mi-fa-la-si do (3-4-6-7-1).

Menurut Kebun Tarigan, semua unsur yang ada dalam gendang lima sendalanen,

baik materi instrumen maupun bunyi yang dihasilkannya, tidak terlepas dari

hubungannya dengan sistem kemasyarakatan yang ada pada etnik Karo. Jumlah

lima nada yang dimainkan menggambarkan bahwa masyarakat Karo mempunyai

lima merga (Wawancara, 6 Juni 2012).

Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa sarune adalah

insrumen musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Menurut Rumengan,

musik adalah satu sumber daya bunyi. Bunyi merupakan akibat dari satu gesekan,

pukulan, tiupan (sarune), atau persentuhan antara satu benda dengan benda yang

lain. Karakter bunyi sangat ditentukian oleh jenis bahan dan cara bagaimana bahan

tersebut digunakan untuk menghasilkan bunyi yang dimaksud (Rumengan, 2010:

61). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa musik pada etnik Karo dapat

dikatakan sebagai sumber pengetahuan. Selain itu mungkin sebagai pelestarian

Page 321: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pengetahuan dan nilai-nilai luhur masyarakat. Di samping sarune sebagai

pembawa melodi dalam gendang lima sendalanen berikut ini diuraikan musik

yang terkait dengan ritmis. Ritmis, baik gendang singindungi maupun gendang

singanaki dikenal pada etnikKaro dengan sebutan cak-cak.

Cak-cak merupakan salah satu bentuk karya seni yang disusun oleh

seniman atau penggual yang menggunakan bunyi atau nada sebagai mediumnya

yang bersumber dari gendang singindungi atau gendang singanaki. Cak-cak yang

bersumber dari gendang merupakan suatu ―rangkaian‖ bunyi atau nada dari

gendang yang disajikan oleh berbagai jenis dan bentuk cak-cak sesuai dengan

jenis gendangnya. Dari ―rangkaian‖ bunyi atau nada tersebut dan ditambah dengan

unsur-unsur musikal lainnya, seperti tempo, volume, dan pola pukulan tiap-tiap

cak-cak, struktur, dan bagian gendang pada akhirnya akan mewujudkan suatu

bentuk gendang seperti di Karo, yaitu adanya bentuk gendang simelungen rayat,

gendang odak-odak, gendang patam-patam, dan sebagainya.

Etnik Karo mengenal bunyi dari gendang singanaki dengan sebutan tang

dan ck. Gambar 7.4 menunjukkan bahwa tang dan ck dapat mewakili merga

silima dan rakut sitelu.

Page 322: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar 7.4

Ritmis gendang singanaki pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Dengan menggunakan istilah musik Barat, notasi ini ditulis dalam garis

para nada tanpa tanda kunci karena ritmis pada gendang singanaki tidak besifat

melodis. Pada baris pertama tampak jelas bahwa yang berbunyi ritmis tang

berjumlah lima atau delapan buah setiap birama yang sebenarnya mewakili lima

merga dan tutur siwaluh yang terdapat pada etnik Karo. Jika ditinjau lebih jauh

bagaimana cara memainkan tang pada gendang singanaki, yaitu seperti memukul

sesuatu dan ketika pukulan itu mengenai sesuatu itu, pemukulnya langsung

berpisah sehingga bunyi didengar lebih lama (reveb). Di pihak lain yang

berbunyi ck, dipukul dengan melengketkan stik pada instrumen tersebut seperti

melengketkan sesuatu dan selalu berjumlah tiga dalam satu birama atau tiga nada

yang bergandengan. Inilah yang mewakili rakut sitelu pada sistem kekerabatan

etnik Karo.

Page 323: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Pada baris kedua melodi di atas, digambarkan bahwa pada etnik Karo

terutama pada sistem kekerabatannya terdapat variasi, seperti sub-sub yang ada

pada sembuyak, yaitu sipemeren, kalimbubu seperti puang kalimbubu dan anak

beru seperti anakberu minteri dapat tergambar dari baris kedua dan baris ketiga

melodi sarune di atas.

Gambar 7.5 menunjukkan ritmis yang terdapat pada gendang singindungi

dalam ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur pada

upacara gendang kematian etnik Karo. Variasi ritmis dalam gendang singindungi

digambarkan dan ditelaah sebagai berikut.

Gambar 7.5

Ritmis gendang singindungi pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Seperti yang diungkapkan oleh Darwan Tarigan bahwa ritmis gendang

singindungi berfungsi untuk mempertegas bagaimana pentingnya rakut sitelu pada

etnik Karo. Hal ini berarti bahwa apa yang dimainkan dalam gendang singindungi

ini merupakan variasi dari variasi kehidupan yang terdapat pada sangkep nggeluh

yang ada di masyarakat Karo (Wawancara, 26 juni 2013). Penjelasan tersebut

Page 324: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dapat dilihat dari yang berbunyi tang, menunjukkan tutur siwaluh, sedangkan

yang berbunyi ck, yang dipertegas oleh dengan bunyi tih dan sekaligus

menunjukkan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada yang berjumlah dua belas.

Jadi, dari bunyi yang dimainkan atau didengar pada ensambel gendang lima

sendalanen, baik dari sisi melodi maupun sisi ritmis, merupakan sistem

kekerabatan etnik Karo yang disebut sangkep nggeluh yaitu merga silima, rakut

sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada.

Gendang lima sendalanen adalah musik dan musik adalah seni. Menurut

Sumardjo, nilai seni adalah nilai yang dialami, baik intrinsik maupun nilai

ekstrinsiknya. Nilai itu hadir lewat medium intrinsiknya yang distruktur oleh nilai

ekstrinsik yang ingin disampaikan. Karena nilai seni dihayati secara konkret, maka

nilai seni tidak dapat direduksi lewat kesadaran rasional. Meskipun demikian,

kesadaran rasional dapat memperjelas nilai pengalaman seninya (Sumarjo, 2006:

96).

Terkait dengan pernyataan di atas meskipun penganak dan gung tidak

berperan sebagai pembawa ritmis variasi dalam ensambel gendang lima

sendalanen, mengandung nilai intrinsik melampaui instrumen yang lain dalam

ensambel tersebut. Melodi pada sarune, ritmis pada gendang singindungi dan

singanaki tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada penganak dan gung. Penganak

dan gung berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima

sendalanen. Gambar 7.6 menunjukkan ritmis yang diperani oleh penganak dan

Page 325: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

gung. Setiap birama menujukkan jumlah bunyi penganak dimainkan, dan nilai

ketukan satu kali gung lebih besar nilai ketukannya dibandingkan dengan bunyi

penganak.

Gambar 7.6

Ritmis gung dan penganak pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar 7.6 adalah partitur bunyi dari suara penganak dan gung. Dalam

ensambel gendang lima sendalanen bunyi yang paling sedikit dimainkan adalah

bunyi penganak dan bunyi gung. Jika bunyi penganak dalam satu birama sebanyak

dua ketukan, maka gung hanya satu ketukan. Meskipun bunyi gung paling sedikit

terdengar dalam ensambel ini, gung dipercaya orang Karo sebagai keputusan akhir

dari sebuah kesepakatan. Hal ini, terwujud dari peribahasa atau kuan-kuan pada

etnik Karo,yaitu kata kalimbubu emekap kata gung (keputusan kalimbubu atau

Tuhan yang terlihat adalah keputusan yang harus dilaksanakan). Penjelasan di atas

adalah uraian kekerabatan pada masyarakat Karo yang ada pada upacara gendang

kematian.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa etnomusikologi mencurahkan

perhatiannya untuk mengumpulkan fakta-fakta kemudian mencari penyelesaian

masalah-masalah mendasar di dalam hubungan dengan studi tentang musik

Page 326: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagai bagian dari budaya manusia. Menurut Merriam, hal ini ditekankan di

dalam literatur etnomusikologi yang cenderung untuk mengarahkan perhatiannya

terhadap analisis suara-suara musik dan menghubungkan dengan matris

budayanya. Di samping itu, juga terhadap deskripsi fisik instrumen-instrumen

musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan analisis tentang musik itu dan apa

peranannya di dalam masyarakat (Merriam, 1995: 91). Selanjutnya akan ditelaah

makna representasi spiritual melalui landek (menari).

Makna representasi spiritualitas etnik Karo melalui landek diawali dengan

makna landek dalam konteks guro-guro aron (upacara muda-mudi). Landek (tari)

merupakan seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling

terhubung melalui pola dan gagasan musik. Menurut Danesi, tari memiliki lima

fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi

estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan, mengisahkan suatu

cerita. Balet Barat merupakan contoh tarian estetis. Kedua, tarian dapat menjadi

bagian ritual dan berfungsi komunal. Di Karo misalnya, tarian dalam upacra

gendang kematian. Ketiga, tari dapat menjadi sebentuk rekreasi dan memenuhi

berbagai kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial, atau hanya sekadar sebuah

pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam

fungsi sosial. Setiap masyarakat memiliki bentuk tarian karakteristik, yang

dilangsungkan dalam acara-acara seremonial atau pada perkumpulan informal.

Seperti halnya makanan dan kostum tradisional, tarian membantu orang-orang

dalam sebuah bangsa atau kelompok etnis untuk memahami hubungan mereka satu

Page 327: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sama lain dan dengan leluhur mereka. Dengan menari bersama, para anggota

sebuah kelompok mengekspresikan perasaan adanya identitas bersama atau

keterlibatan. Kelima, tarian terutama penting selama masa pacaran dan inilah

alasannya mengapa tarian sangat populer di kalangan muda. Orang menari sebagai

cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan, dan vitalitas

mereka (Danesi, 2010: 87; Liembeng, 2009: 28).

Secara umum tari pada etnik Karo disebut landek. Dalam budaya Karo,

penyajian landek tergantung pada konteks atau bersifat kontekstual. Dengan kata

lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya. Selain itu, setiap

gerakan dalam landek pada etnik Karo juga berhubungan dengan simbol-simbol

dan makna-makna tertentu. Gambar 7.7 berikut menujukkan gerakan dalam landek

pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) dalam kerja tahun (pesta

tahunan) etnik Karo.

Page 328: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

1 2 3

4 5 6

7 8 9

Gambar 7.7

Makna simbol-simbol landek dalam upacara gendang guro-guro aron

(Dokumen: Pulumun P. Ginting 23 Juni 2012)

Gambar 7.7 menunjukkan bahwa setiap gerakan landek yang ada pada

etnik Karo dimaknai sesuai dengan konteksnya. Menurut Kumalo Tarigan,

beberapa makna gerakan dalam landek pada masyarakat Karo adalah (1) gerakan

tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur

(berpikir) posisi landek seperti ini maknanya menimbang-nimbang sebelum

memutuskan sesuatu; (2) gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke

bawah melambangkan sisampat-sampaten (tolong-menolong) maknanya adalah

saling menolong dan saling membantu; (3) gerakan tangan kiri ke kanan ke depan

melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tidak

Page 329: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau jangan dekat sebelum

tahu merga dan beru; (4) gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan

perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah

untuk mencapai mufakat; (5) gerakan tangan ke atas melambangkan ise pe la

banci ndeher, siapa pun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan; (6) gerak

tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak

melambangkan beren rukur, yang bermakna menimbang-nimbang sebelum

memutuskan, pikir dahulu pendapatan, jangan menyesal kemudian; (7) gerak

tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras

simenahang ras mbabasa, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung

akibatnya, sebagai rasa sepenanggungan; (8) gerakan tangan di pinggang

melambangkan penuh tanggung jawab; dan (9) gerakan tangan kiri dan tangan

kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur

ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun dia apabila sudah

berkenalan akan diterima dengan senang hati (Wawancara, 23 Juni 2012).

Pola-pola dasar landek etnik Karo terbentuk atas tiga unsur, yakni endek

(gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole

(goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan landek

Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan cemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam landek Karo. Endek

dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan kembali lagi ke atas.

Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan ke bawah secara

Page 330: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (ritmis gung

dan ritmis penganak dalam gendang lima sendalanen yang sedang mengiringi).

Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan

sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam landek pada etnik Karo.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari, baik ketika melangkah maju

dan mundur maupun melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai

dengan gerakan kaki kanan dan dilakukan pada saat gung (gong) berbunyi. Dalam

gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas

harus tetap dilakukan. Maksudnya, ketika penari melakukan odak

(melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian

gerakan odak dengan gendang. Sementara itu, ole merupakan gerakan goyangan

atau ayunan badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan.

Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak. Dari penjelasan di atas,

diketahui bahwa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi

seorang penari pada masyarakat Karo untuk melakukan endek, odak, dan ole.

Menurut Dibia, Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Tubuh

sekaligus juga sebagai instrumennya. Tubuh adalah kesatuan utuh dari seorang

individu, tidak merupakan bagian tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot, tulang,

darah, daging), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang

berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari adalah

suatu perwujudan ekspresi secara personal (Dibia, 2005: 6).

Page 331: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Ungkapan tersebut di atas terjadi pada landek dalam upacara gendang

kematian etnik Karo. Karena dalam konteks ini tiap-tiap orang memiliki penalaran

menari berbeda-beda. Landek pada etnik Karo dalam

penggunaannya dibedakan sesuai dengan konteksnya. Landek yang berkaitan

dengan adat istiadat adalah landek yang merupakan bagian dari suatu upacara adat.

Upacara adat yang dimaksud adalah upacara gendang kematian dan upacara-

upacara yang lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh

kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, yaitu senina, kalimbubu, dan

anak beru bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik upacara/ tuan rumah).

Tiap-tiap kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.

Gambar 7.8

Landek dalam upacara gendang kematian pada masyarakat Karo

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 23 Juli 2012)

Tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada seni

(keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam suatu peristiwa tari

komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus

Page 332: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

(Dibia, 2005: 3). Gambar 7.8 menunjukkan bagaimana etnik Karo menari pada

upacara gendang kematian. Bagi kelompok sukut, tarian ini merupakan tarian

penyambutan atau penghormatan kepada kalimbubu (Tuhan yang kelihatan) dalam

upacara tersebut. Setiap kerabat yang diundang akan mendapat giliran menari

sambil memberikan kata penghiburan yang selalu berhadap-hadapan dengan pihak

sukut. Sebaliknya, bagi kelompok tamu, tarian ini merupakan aktivitas pembuka

sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)

kepada keluarga yang memiliki hajatan.

Landek dalam konteks upacara gendang kematian merupakan sebuah tarian

komunal yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo dalam hal persamaan

derajat atau suatu kontak antara orang kaya dan orang miskin, orang kota dan

orang desa dari suatu garis keturunan atau kekerabatan. Landek dalam konteks ini

tidak ada kaitannya dengan keindahan tubuh seperti yang terjadi pada landek

dalam upacara gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi). Di samping itu,

landek juga dilakukan dalam konteks ritual, seperti memanggil roh perumah begu.

Pernyataan diatas didukung oleh Sumardjo, seni pramodern tidak

memperhitungkan bagus atau tidak bagusnya penampilan seninya, tetapi justru

selamat atau tidak selamatnya selama upacara pertunjukan. Seorang penari yang

keseleo bukan saja merusak estetika, tetapi yang lebih gawat dapat merusak

upacara yang berakibat ketidakselamatan (musibah kemudiannya). Kain upacara

yang sobek dapat membuat sipemakainya tidak dapat tidur berhari-hari, menebak-

nebak malapetaka yang akan menimpanya. (Sumarjo, 2006: 95).

Page 333: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Landek yang berkaitan dengan ritual biasanya dibawakan oleh seorang

guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh guru,

disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari

Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah tari perumah begu (tari

memanggil roh) (lihat 6.2.1), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang

yang berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan

sebagainya. Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru

sibaso (dukun) berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Ketika

seorang guru (dukun) memimpin upacara biasanya beliau memanggil jinujung-

nya (junjungan-nya) untuk ‗masuk‘ ke dirinya. Dengan demikian, gerakan tarinya

tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo

pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan yang khas pada tarian ini

adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara

bergantian).

Menurut filsuf Amerika, Susanne K. Langer (1895--1985), bentuk kesenian

merupakan sebuah bentuk yang disajikan, hingga memungkinkan beragam

interpretasi, tidak seperti buntuk diskursif yang ada dalam sains dan bahasa biasa,

yang memiliki makna dalam kamus. Gerakan yang indah dalam tarian tidak

memiliki tujuan spesifik. Langer menyatakan bahwa selain untuk membangkitkan

perasaan naluriah kita akan keindahan dan hal-hal yang agung—dan keduanya

bersifat universal. Secara paradoks, seni dapat mencapai satu hal yang tak dapat

dicapai alam. Seni dapat menawarkan keburukan dan keindahan sekaligus dalam

Page 334: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

satu objek—lukisan bagus yang menggambarkan wajah yang jelek masih indah

dari segi estetika (Danesi, 2010: 89).

Di samping itu pada upacara gendang kematian etnik Karo tidak bisa terlepas dari

kata penghiburan atau petuah-petuah yang disebut dengan nuri-nuri. Etnik

merupakan sekelompok orang yang terorganisasi, hidup, dan bekerja sama untuk

mencapai suatu tujuan. Artinya, etnik memiliki organisasi dan aturan-aturan untuk

berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Etnik dan kebudayaan

tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi,

etnik merupakan pendukung kebudayaan. Wujud kebudayaan yang berupa pola-

pola aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan tampak pada

pelaksanaan adat istiadat atau tradisi mereka. Etnik yang menetap pada suatu

daerah akan secara otomatis membentuk atau memiliki norma-norma, sopan

santun, dan aturan.

Upacara gendang kematian etnik Karo tidak terlepas dari norma-norma dan

aturan pada pelaksanaan upacara tersebut. Nuri-nuri sebagai sebuah aturan untuk

berhubungan satu sama lain terwujud dari penyampaian kata-kata belasungkawa,

mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasihat

meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum.

Nuri-nuri diambil dari kata dasar turi. Prinst (2010: 677) menyatakan turi

(tentang peristiwa, hikayat) cerita, kata, kisah, uraian, nuri-nuri bercerita. Nuri-

nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan dengan dialek tertentu, yakni

berbentuk ratapan oleh pihak keluarga pada upacara gendang kematian yang

Page 335: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran, atau nasihat). Pada

proses ini diiringi oleh gendang yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta

diikuti dengan menari.

Nuri-nuri dilakukan untuk menyampaikan dan menceritakan sesuatu hal

oleh pihak kerabat yang berduka, kadang-kadang sambil menangis, disampaikan

dengan iringan gendang lima sendalanen. Apabila diperhatikan, berbentuk syair

lagu, yakni syair kesedihan hati yang dalam pelaksanaannya dilakukan sambil

menari. Makna yang terkandung pada nuri-nuri yang diutarakan oleh sangkep

nggeluh pada dasarnya berisikan hal yang hampir sama. Nuri nuri adalah kata-kata

atau kalimat yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata

pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasihat). Pada proses ini akan

diiringi oleh gendang lima sendalanen sambil menari.

Makna spiritualitas etnik Karo melalui nuri-nuri dapat dipaparkan

sebagaimana sukut ketika mengungkapkan ungkapan yang disampaikan dengan

maksud supaya adanya saling menghormati antar seluruh kekerabatan pada

keluarga. Pihak sukut (yang mempunyai hajatan) kemudian nuri nuri seperti

‖Perpulungen si erceda ate, gia iluh ibas mata...kalimbubu sinihamati kami

sembuyak senina kami, bagaipe siningkelengi kami anak beru kami sada pe la

ketadingen. Jadi ibas paksa enda kita sangana erceda ate, ngerana ka aku…”

Artinya ―saudara-saudari yang ikut berduka cita, meskipun air mata

tergenang…kalimbubu yang kami hormati, sembuyak/senina yang kami cintai, dan

Page 336: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

semua anak beru yang kami kasihi, hari ini kita semua berduka, atas meninggalnya

orang tua yang kami kasihi…‖

Nuri-nuri menunjukkan bagaimana pemakaian kata kerendahan hati

seorang sukut mau mengasihi kalimbubu dan anak beru dan menyapa dengan

hormat. Kata salam yang diucapkan oleh pihak sukut pada umumnya disampaikan

terdahulu kepada kalimbubu atau puang kalimbubu keluarga yang berduka,

kemudian kepada senina/sembuyak dari kalimbubu itu sendiri, selanjutnya kepada

anak beru, anak beru minteri, dan dilanjutkan kepada seluruh yang hadir.

Anak beru meminta kalimbubu dari sukut (yang mempunyai hajatan) nuri-

nuri dengan tujuan ingin mencapai sesuatu dari anak beru-nya. Dalam hal ini

adalah meminta supaya anak beru (bere-bere) agar tidak pecah berai bersaudara,

mengutamakan diskusi untuk mengambil keputusan keluarga, dan sebagainya.

Ucapan meminta ini tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup saja,

melainkan kepada yang meninggal contoh ―Mejuah-juah kerina tading kendu

bere-bere kami si dilaki ras sidiberu.” Meminta supaya diberkati oleh yang

meninggal anak-anak yang ditinggalkannya. Ungkapan menyarankan ini adalah

ungkapan yang diucapkan oleh kalimbubu kepada anak beru dengan tujuan

mencapai sesuatu, yakni supaya dilaksanakan. Isinya, yaitu menyarankan supaya

tetap teguh dan tetap bersatu walaupun ditinggal pergi oleh orang tua.

Ungkapan menyarankan ini akan lebih terasa apabila yang meninggal

adalah perempuan (ibu) karena yang meninggal tidak lain adalah saudara

perempuan kalimbubu itu sendiri. Selain itu, ungkapan menyarankan pada

Page 337: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

umumnya disampaikan oleh pihak puang kalimbubu. Hal ini dilakukan karena

posisi puang kalimbubu adalah posisi yang tugasnya hanya menyarankan tidak

sebagai pemberi keputusan.

Dalam nuri-nuri saran disampaikan tidak hanya kepada saudara yang

ditinggalkan, tetapi juga ditujukan untuk almarhum. Hal ini disebabkan oleh orang

Karo percaya ketika orang meninggal hanya badannya yang mati, sedangkan jiwa

atau rohnya tetap hidup dan ada di sekitar keluarga yang ditinggalkan.

Petuah dan saran dari kalimbubu bertujuan untuk memberi masukan

kepada anak beru. Petuah ini tidak hanya disampaikan kepada saudara yang

ditinggalkan almarhum, tetapi juga ditujukan kepada yang meninggal, juga

disampaikan kepada saudara orang yang meninggal terlebih kepada saudara

perempuan (apabila yang meninggal adalah perempuan). Hal ini penting karena

saudara perempuan yang ditinggalkan tersebut dituntut sebagai pengganti ibu bagi

anak yang ditinggalkan saudaranya.

Nuri-nuri yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya (puang

kalimbubu oleh yang berduka) karena telah diberikan kesempatan berbicara dan

menyampaikan ucapan belasunggkawa kepada saudaranya. Petuah-petuah juga

disampaikan oleh kalimbubu karena kalimbubu adalah jabatan adat yang tertinggi.

Di pihak lain, jabatan yang dijabat oleh kalimbubu tersebut adalah jabatan yang

tidak tetap. Artinya, jabatan adat di acara adat di satu keluarga akan berbeda bila

dia menghadiri acara adat di keluarga yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh

hubungan kekeluargaan. Untuk memulai pembicaraan pada upacara gendang

Page 338: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kematian biasanya dimulai dengan ucapan terima kasih kepada Simada Tinuang

(Tuhan), dan kemudian kepada kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. ucapan

berterima kasih juga akan kembali diucapkan pada saat mengakhiri penyampaian

nuri-nuri.

Nuri-nuri yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru pada

umumnya berisikan bahwa pihak kalimbubu juga ikut merasakan akan kehilangan

orang yang dikasihi tersebut. Hal ini akan sangat jelas tampak apabila yang

meninggal adalah perempuan (si ibu), karena ibu merupakan saudara perempuan

dari kalimbubu. Sehingga nuri-nuri akan berisi bahwa kalimbubu juga merasa

sangat kehilangan. Nuri-nuri ini disampaikan dengan maksud agar saudara yang

ditinggalkan tidak merasa bahwa hanya mereka yang kehilangan, tetapi pihak

kalimbubu pun merasa kehilangan. Ini diceritakan dengan makna bahwa adanya

keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan saudara yang ditinggalkan

Nuri-nuri lainnya, yaitu memperingatkan. Nuri-nuri ini diucapkan oleh

kalimbubu dengan tujuan memperingatkan anak beru (yang berduka) supaya

bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidupnya, yaitu

mengutamakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam

masyarakat Karo. Upaya mematuhi adat merupakan hal yang paling penting

karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi yang sangat

bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Nuri-nuri sebagai sebuah peringatan

dalam hal ini merupakan pemberian nasihat kepada anak beru supaya tidak terlalu

lama larut dalam kesedihan dan memperingatkan agar hidup seperti biasanya.

Page 339: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Selain itu, juga memperingatkan supaya bertindak yang bardasarkan aturan yang

berlaku.

Petuah-petuah yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru

berisikan bagaimana tentang kejadian yang di hadapi sebelum meninggalnya orang

yang dicintai. Dalam hal ini menjelaskan bahwa kejadian ditinggalkan orang tua

tidak hanya dialami mereka, tetapi dialami semua orang, hanya dibedakan oleh

waktu. Nuri-nuri ini mejelaskan bagaimana orang-orang yang mengasihi orang

yang meninggal dalam merawat dan menjagai sebelum akhirnya meninggal. Oleh

sebab itu, jasa-jasa yang menjagai tersebut haruslah dihargai dan menjadi sebuah

pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Dalam upacara gendang kematian etnik Karo, semua sangkep nggeluh akan

mendapat giliran waktu untuk nuri-nuri. Kalimbubu dalam hal ini dianggap

sebagai Dibata si idah (Tuhan yang kelihatan) menjadi fokus dalam nuri-nuri ini.

Oleh sebab itu dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa isi,

makna dan tujuan nuri-nuri pada dasarnya berupa kalimat untuk memberikan

keteguhan hati, yakni tuturan duka cita, menjelaskan, menyarankan, meminta, dan

memperingatkan.

Kalau nuri-nuri merupakan sebuah ujaran bagi sangkep nggeluh, maka

ngandung cenderung ditujukan kepada almarhum. Ngandung yang artinya

meratap berbeda dengan menangis seperti biasanya. Meratap dalam bahasa Karo

disebut ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan hal-hal yang

Page 340: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dijalanai dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun percakapan yang

terakhir dilakukan.

Suatu hal yang tidak perlu diajarkan pada manusia adalah menangis,

sedangkan hal-hal lain seperti senyum atau tertawa memakan waktu yang relatif

lama. Pada upacara gendang kematian masyarakat Karo menangis berarti

ngandung. Ketika seseorang meninggal akan selalu ada yang ngandung sampai

mayat diantar ke kuburan. Dari pihak sukut yang ngandung dapat diketahui seperti

apa yang meninggal ketika masih hidup dan bagaimana dia bisa meninggal. Salah

satu makna ngandung dalam upacara gendang kematian adalah jika sebelumnya

persoalan dalam keluarga meskipun sudah lama berlalu, misalnya persoalan

saudara kandung, dapat berdamai ketika salah seorang ngandung dan meratap

dalam upacara tersebut.

Seperti yang diungkapkan Njenap Ginting, inti ngandung pada upacara

gendang kematian adalah hanya mempersatukan keluarga yang sebelumnya retak

dengan bantuan roh (pertendin) orang yang meninggal.

Aku enggo lawes nadingken kena nakku, bage nge nindu bapa. Lanai aku

man kep-kepen kena, lanai aku man sulangen ras man tunggahen kena,

aku nggo malem ateku bage nge nindu e bapa. Kelengi nande kena e, alu

ersada arih kena anak-anakku kerina, gia lit gel-gel perubaten sanga aku

nggeluh denga gundari nge paksana kam sialem-alemen kerina senina ras

turangndu e anakku bage nge nindu bapa…

(Aku telah pergi meninggalkan kalian anakku, itu yang engkau ucapkan

bapak. Tidak perlu lagi kalian mengurus aku, tidak perlu menyuap dan

memberiku minum, sudah selasai pekerjaan dan tanggung jawabku, itu

Page 341: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

yang engkau katakan bapa. Sayangi ibu kalian, bersatulah meskipun

ketika aku masih hidup ada persoalan di antara kalian, sekaranglah

waktunya kalian saling maaf-memaafkan dan saling berangkulan, itu yang

engkau katakan bapa…) (Wawancara, 20 Desember 2012)

Sambil menangis dan meratap salah satu anak yang ditinggalkan almarhum

mengungkapan ucapan di atas dan didengar oleh semua sangkep nggeluh yang

hadir dalam upacara gendang kematian. Jika ada saudara yang mempunyai

persoalan tidak mendatangi yang menangis, keluarga akan memaksa mereka untuk

saling memaafkan dan saling berpelukan sambil ngandung. Ngandung dalam

upacara gendang kematian mengandung makna representasi spiritualitas sebagai

pemersatu keluarga. Di samping ngandung, pada upacara gendang kermatian

khususnya cawir metua diundang seorang penyanyi perkolong-kolong yang

menyampaikan petuah-petuah bagi keluarga yang ditinggal.

Pada etnik Karo istilah perkolong-kolong, adalah seorang penyanyi

ataupun vokalis (sirende), baik pria maupun wanita. Istilah yang digunakan pada

awalnya untuk vokalis tersebut adalah perende-rende, kemudian digunakan istilah

permangga-mangga yang populer sampai tahun 1930-an. Menurut Ngambat

Ginting, sekitar tahun 1950-an istilah permangga-mangga kembali berubah

menjadi perkolong-kolong. Kolong- kolong awalnya adalah sebuah judul lagu

(gendang) yang sangat sering ditampilkan dan dinyanyikan sehingga pada saat itu

sangat populer. Oleh sebab itulah, kemudian penyanyi (vokalis) pada masyarakat

Page 342: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Karo dikenal dengan sebutan perkolong-kolong (Wawancara, 11 Juni 2013). Per

artinya orang, sedangkan kolong-kolong artinya nyanyian.

Dalam konteks upacara kerja tahun (pesta tahunan) yang biasanya

diselenggarakan setahun sekali dengan gendang guro-guro aron (pesta muda-

mudi) yang melibatkan bapa aron (pemuda), nande aron (pemudi), pemusik, dan

perkolong-kolong sebagai hiburan bagi masyarakat. Perkolong-kolong adalah

penyanyi sekaligus penari yang berfungsi sebagai hiburan dalam upacara kerja

tahun tersebut. Mereka adalah seniman profesional (laki dan perempuan, yang

juga tidak boleh semarga) yang diundang dan dibayar masyarakat. Mereka

menyanyi (kadang sambil menari) mengiringi tarian adat guro-guro aron (muda-

mudi). Di situ, fungsi perkolong-kolong sama dengan pemusik dan mereka disebut

sierjabaten untuk menciptakan suasana agar aron atau siapa pun yang menari

merasa puas. Ketika perkolong-kolong menari, seolah ada kontes antara penyanyi

perempuan dan laki-laki (adu perkolong-kolong), penonton menilai penari yang

lebih bagus membawakan nyanyiannya. Ketika seorang perkolong-kolong tidak

bisa mengikuti lagi gerak/nyanyian dari pasangannya, penonton menyoraki.

Namun, demikian jika kedua penari sama pandainya, sama baiknya, penonton pun

menyukainya. Penilaian penonton kepada perkolong-kolong ditujukan pada aspek

teknik, keterampilan atau kelenturan tubuh, kualitas suara, dan kedalaman

kesenimanannya. Perkolong-kolong ini ditampilkan (adu) di atas pentas. Kadang

kala perkolong-kolong ini akan menampilkan bentuk dialog, bahkan juga sering

Page 343: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

bercanda atau lawakan lewat pantun yang berisi sindiran (sitokoh-tokohen) yang

mengundang tawa penonton.

Dalam kerja tahun fungsi perkolong-kolong adalah sebagai hiburan bagi

orang yang hadir. Perkolong-kolong dipilih sesuai dengan hasil musyawarah dan

pilihan masyarakat. Kegiatan kerja tahun itu dilaksanakan di jambur. Jambur

adalah suatu wadah bagi masyarakat Karo sebagai tempat pertemuan dan tempat

pelaksanaan kegiatan-kegiatan, misalnya tempat upacara perkawinan, upacara

kematian, dan sebagainya. Perkolong-kolong ketika adu sangat berbeda dengan

landek simanteki kuta, bapa aron, nande aron, kalimbubu kuta, anak beru kuta,

pengurus kuta dan pulu aron. Dalam adu ini perkolong-kolong akan menunjukan

kebolehan, kelincahanya menari, menyanyi, melawak dan perkolong-kolong juga

harus dapat mengendalikan suasana yang sedih menjadi gembira sehingga orang-

orang tertawa.

Kemampuan kesenimanan inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat

untuk mengundang mereka. Akan tetapi, menentukan siapa yang menang atau

kalah bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana pertunjukan

itu menjadi menarik dan menyenangkan. Tujuan perkolong-kolong pun tidak untuk

saling mengalahkan, tetapi untuk menghibur. Biasanya mereka berpura-pura kalah

untuk menyegarkan penonton. Jadi, pengertian kontes atau perlombaan di sini

berbeda sekali dengan lomba-lomba kesenian pada umumnya.

Berbeda perkolong-kolong dalam konteks upacara guro-guro aron muda-

mudi dengan konteks ritual seperti upacara gendang kematian. Perbedaan dalam

Page 344: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

hal ini bukan orangnya atau penyanyinya. Perbedaannya terkait dengan repertoar

lagu yang dibawakannya. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga kata-kata

atau kalimat yang dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada

upacara gendang kematian, yaitu berbentuk ratapan. Berbeda halnya pada upacara

pernikahan. Kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong

disebut masu-masu (mendoakan ). Apabila diperhatikan, akan sama pada upacara

gendang kematian. Namun di sini bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang

dinyanyikan. Pada upacara kematian kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan

berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh yang meninggal serta nasehat

pada keluarga yang ditinggal. Di samping itu, juga sama halnya kata-kata yang

diutarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu

(pemberkatan/doa-doa).

Sesuai dengan apa yang diungkapkan Merriam bahwa wilayah perhatian

etnomusikologi adalah studi tentang teks nyanyian. Studi ini meliputi studi teks

sebagai peristiwa linguistik, hubungan antara linguistik dan suara musik, dan

masalah-masalah isi yang diungkapkan oleh teks tersebut. Masalah hubungan

antara teks dan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena

manfaatnya yang jelas. Teks nyayian mengungkapkan tingkah laku literer yang

dapat dianalisis dari segi struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung

mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian. Di samping itu, kadang-

kadang, seperti pada nama-nama pujian atau bahasa-bahasa signal kendang, teks

tersebut merupakan bahasa ‖rahasia‖ yang hanya diketahui oleh sekelompok

Page 345: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tertentu masyarakat. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih

lentur daripada bahasa harian. Bahasa tersebut juga tidak hanya mengungkapkan

proses kejiawaan seperti pengenduran tekanan, tetapi juga memuat informasi

tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan.

Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai

yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan

terpaksa di dalam ungkapan harian. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada

kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu budaya atau terhadap

suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman tentang tingkah laku ideal

dan nyata sering dapat diungkap melalui teks nyanyian. Akhirnya, teks juga

digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk

menanamkan nilai-nilai, dan cara untuk mebudayayakan generasi muda (Merriam,

1995: 100-101).

Atas dasar penjelasan di atas teks nyanyian pada upacara gendang

kematian masyarakat Karo dapat dinyatakan sebagai berikut.

―dagei nande beru Ginting, apai nge kata lebe kubelasken ibas

penenahkenndu sangkep ngeeeluh si la erpudun e, belasken nakku beru

Karo, kataku man sambar gancihku e, bage nge nindu nande, adi aku nggo

me malem ateku lanai lit si mesuiku. Emaka ersada lah kerina arihndu

sambar gancihku e, mejuah-juah kam kerina kutadingken, sangap ras

ndeher rejikindu ngarak-ngarak kempuku sienterem e, bage nge nindu

nande…‖

(― Ibu beru Ginting, apa yang mesti aku nyanyikan, ibu undang kami tanpa

janji dan pemberitahuan, katakan anakku sekarang aku bahagia dan tidak

merasa mengalami sebuah penyakit dan juga tidak merasa sakit. Oleh

sebab itu, bersatulah kalian semua yang menggantikan aku, damai sejahtera

aku tinggalkan, murah rejeki dan semua cita-cita cucu yang aku tinggalkan

Page 346: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tercapai, begitulah yang Ibu ucapkan kepada generasi yang menggantika

ibu…‖(petikan Sabarita Br Sitepu).

Seorang perkolong-kolong seperti halnya nuri-nuri seolah berbicara kepada

mayat tidak ubahnya berbicara kepada manusia yang masih hidup. Mayat

dianggap masih dapat berkomunikasi dengan sangkep nggeluh. Oleh sebab itu,

setiap pergantian acara seorang anak beru akan menceritakan siapa selanjutnya

yang mendapat giliran, sehingga perkolong-kolong bisa menyampaikan doa sesuai

dengan hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal (gambar L.4.19).

Makna spiritualitas etnik Karo terwujud dari bagaimana seorang

perkolong-kolong dapat menjadi benang untuk menutup kain yang koyak (benang

penjarumi). Meskipun meninggalkan bekas, sudah dapat digunakan dalam

kehidupan sehari hari. Perumpamaan-perumpamaan yang ada pada etnik Karo

akan ditemukan ketika perkolong-kolong rende (bernyanyi) dalam upacara

gendang kematian. Perkolong-kolong merupakan salah satu media yang

mengungkapkan nilai-nilai luhur dan spiritualitas pada etnik Karo melalui

nyanyian. Menurut Tejo, Seni yang baik pasti menyiaratkan pesan rohaniah dan

religius. Jadi tidak perlu secara verbal menampilkan ayat-ayat suci dari alkitab

agama tertentu. Apakah karena tidak disebut nama Tuhan secara verbal lalu suatu

nyanyian menjadi tidak rohaniah (Tejo, 2003: 44).

Page 347: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

7.1.2 Makna Spiritualitas Modern

Dorongan untuk mendominasi, menundukkan, menguasai, dan

mengendalikan alam merupakan salah satu ciri pokok spiritualitas modern

(Griffin, 2005: 18). Sekitar lima tahun belakangan ini banyak sekali masyarakat

Karo mengeluhkan kehadiran gendang keyboard yang dianggap telah menggeser

musik tradisi Karo gendang lima sendalanen dalam berbagai kesempatan dan

upacara adat istiadat. Misalnya, tidak ada lagi kesantunan dan keindahan gerak

ketika orang-orang menarikan lagu yang diiringi keyboard, apalagi setelah

dimasuki oleh gaya yang bernuansa dangdut atau house musik dan sebagainya.

Atau ada juga yang mengatakan bahwa kemunculan keyboard semakin

mengerikan ditambah dengan dampingan penari are-are (penari perempuan dari

suatu tempat) yang disewa, lanai lit si mehangkena (tidak ada lagi kesopanan).

Konteks ini terjadi pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) etnik Karo.

Salah satu sosok yang paling dipersalahkan atas perkasanya keyboard

adalah Djasa Tarigan, yang notabene juga seorang pemusik tradisi handal. Dalam

wawancara dengan beliau, dapat ditangkap beberapa kisah perjalanan hidupnya

sebagai seorang musisi tradisi yang sangat berpengaruh, termasuk soal kehadiran

keyboard dalam tradisi musik Karo. Djasa adalah seorang jenius alam dalam

musik, hampir semua alat musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo bisa

dimainkan dengan ―sempurna‖. Dia membuat banyak terobosan baru dalam musik

tradisi sehingga tidak mengherankan jika dia juga berimprovisasi dengan alat

Page 348: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

musik Barat yaitu keyboard. Kepiawaiannya terbukti ketika dia mendesain nada

alat musik tradisi pada keyboard. Persis sekali, sehingga keyboard bisa mewakili

komponen alat musik tradisi. Dia juga mendesain tempo, timbre (warna suara)

setiap bagian dari repertoar musik tradisi gendang lima sendalanen sehingga tetap

bisa ditarikan sesuai dengan tuntutan tempo.

Kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat alat

musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai

genre lagu dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tempo tradisi sehingga

banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin populer tatkala

biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi. Seingat

penulis, beberapa tahun lalu masyarakat Karo masih sungkan menggunakan

keyboard dalam upacara gendang kematian, musik tradisi masih menjadi panutan.

Akan tetapi, kini orang Karo tidak peduli, mau pesta meriah ataupun upacara

kematian keyboard kerap jadi pilihan. Sebagian orang Karo mengakui biayanya

terlalu mahal jika harus menghadirkan alat musik tradisi dalam sebuah upacara

etnik Karo. Seri nge ras gendang lima sendalanen, regana ndauh murahen (sama

suaranya dengan gendang lima sendalanen), begitulah alasan mereka.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa, musik tradisional etnik Karo

dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, melodi, ritmis konstan, dan ritmis variasi.

Melodi biasanya terdiri atas satu buah lagu yang disajikan, baik dengan instrumen

maupun vokal. Di pihak lain, dalam ritmis variasi bebas artinya dapat bervariasi

terus-menerus. Gendang singanaki berpola untuk mengikuti tempo yang biasanya

Page 349: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

digunakan untuk memertahankan ketukan. Gung dan penganak sebagai pola ritmis

tetap.

Pola ini bertahan ataupun tetap demikian di dalam semua repertoar musik

tradisional Karo yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bila

diperhatikan, dalam repertoar tersebut terdapat harmonisasi. Pengertian

harmonisasi pada konteks ini berbeda dengan pengertian harmonisasi yang

terdapat pada musik modern. Dalam musik Barat harmoni berhubungan dengan

interval nada-nada dari satu melodi dengan melodi lain dalam paduan suara

ataupun hubungan antara melodi dan progressi akord. Sebaliknya, harmonisasi

dalam musik tradsisional Karo dalam hal ini gendang lima sendalanen dimaksud

hubungan yang selaras antara unsur-unsur musik Karo sehingga menyatu

menghasilkan suatu komposisi musik. Harmonisasi musik Karo pada dasarnya

adalah gabungan dari melodi dan ritmis yang menyatu seimbang. Gabungan yang

seimbang antara melodi dan ritmis disebut ranggut sehingga bisa disebut memiliki

harmonisasi yang sempurna. Oleh sebab itu, keseimbangan atau harmonisasi yang

muncul pada musik tradisional Karo bukan hanya hubungan satu melodi dengan

melodi yang lain, melainkan hubungan lebih jauh, yaitu antara ritmis yang ada dan

melodi.

Dengan hadirnya keyboard, harmonisasi ini mengalami perubahan. Di

dalam keyboard dapat dimainkan harmonisasi Barat baik dalam keseimbangan

interval antara satu melodi dan melodi yang lain maupun keseimbangan antara

melodi dan dengan akord. Dengan demikian, bagi sebagian orang Karo yang telah

Page 350: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

akrab dengan musik Barat kehadiran akord dalam penyajian musik tradisional

Karo memberikan nilai tambah dalam arti lebih memuaskan dirinya.

Demikian juga instrumen-instrumen musik tradisi Karo biasanya tidak

banyak menghasilkan nada. Artinya, dalam garapan melodi terbatas pada nada-

nada yang dapat diproduksi dari alat musik itu sendiri. Di sisi lain pengaruh

harmonisasi keyboad terhadap musik gendang lima sendalanen dapat dilihat

dengan pemilihan warna suara yang diinginkan. Biasanya suara gendang yang

dihasilkan musik Karo apabila pemain keliru bisa menghasilkan suara yang bukan

seperti semestinya. Artinya, keyboard merupakan alat yang mempermudah

sekaligus mengurangi biaya dibanding dengan alat musik tradisional Karo yang

asli. Dengan demikian, alat musik keyboard yang dikenal oleh masyarakat di luar

masyarakat Karo sendiri dengan sebutan kibod Karo menjadi sangat populer di

seluruh pelosok Sumatera Utara, bahkan keluar provinsi. Hal ini merupakan

representasi spiritualitas baru bagi masyarakat Karo dengan ―julukan‖ gendang

kibot Karo.

Sekarang ini, seringkali manusia menyingkirkan benda-benda seni tua

karena tidak ada relevansinya lagi untuk hidupnya. Ini disebabkan cara membaca

benda seni mereka adalah cara baca masyarakat sekarang. Kalaupun ada benda-

benda seni masa lampau yang masih punya daya tarik pada masa sekarang, maka

daya tarik itu lebih disebabkan karya-karya itu masih terbaca dalam cara manusia.

(Sumarjo, 2006: 2).

Page 351: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Di samping keyboard yang telah mempengaruhi gendang lima sendalanen

dalam upacara gendang kematian, yaitu ensambel tiup yang dikenal dengan

sebutan trompet. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga perubahan merupakan hal

yang cukup wajar sesuai dengan perkembangan waktu, baik perubahan yang

diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi yang dilakukan oleh

masyarakat. Awalnya trompet/ensambel tiup pada etnik Karo digunakan dalam

ibadah-ibadah Minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya penggunaan

ensambel ini lebih banyak ditemukan pada upacara kematian etnik Karo, bahkan

sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain.

Awalnya ensambel ini digunakan hanya sebagai pengiring lagu pada

upacara kematian seperti contoh lagu yang berjudul ‗ayah‘ (apabila yang

meninggal laki-laki) dan lagu yang berjudul ‗mama‘ (apabila yang meninggal

tersebut wanita) yang kerap kali diminta dimainkan pada upacara gendang

kematian secara instrumental. Sebelum ensambel ini menjadi bagian dalam

upacara gendang kematian etnik Karo, belum pernah dilakukan bernyanyi dengan

cara bersama-sama. Ensambel ini kemudian dapat berperan untuk menyatukan satu

buah lagu populer.

Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain senior dalam sebuah grup

ensambel tiup di Karo, sampai saat ini belum pernah ada upacara kematian yang

mengundang mereka di luar masyarakat yang beragama Kristen. Ensambel tiup

dipanggil untuk meperagungkan upacara tersebut. Seolah-olah harga diri

Page 352: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakat atau status sosial lebih terpandang dengan menghadirkan ensambel

tiup dalam upacara kematian keluarganya (Wawancara Juni, 2012).

Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa representasi spiritualitas

etnik Karo melalui trompet/ ensambel tiup adalah, spiritualitas kekristenan dan

dianggap sebagai masyarakat yang punya modal untuk melakukannya. Menurut

pengamatan peneliti, ketika ada seseorang yang meninggal di sebuah desa, tanpa

sadar mereka sering bertanya tentang dihadirkannya ensambel ini. Ketika ia hadir

maka kemudian upacara itu dianggapnya semakin ―agung‖. Sejauh ini peneliti

belum melihat, baik keyboard maupun trompet, yang dapat menunjukkan nilai-

nilai dasar atau spiritualitas etnik Karo baik mikrokosmos, makrokosmos maupun

metakosmos karena mereka hadir di luar kosmologi etnik Karo. Representasi

spiritualitas yang dihasilkan kedua musik ini hanya representasi spiritualitas

modern, yang berdeda dengan spiritualitas pramodern etnik Karo.

Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri

komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat

atau komunitas sebagai yang utama, dengan ‖individu‖ (yang sebagian saja

otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai

kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuan-

tujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus mengakui bahwa tetap ada hubungan

tertentu, khususnya hubungan dengan orang tua, yang sangat dasariah akan tetapi,

hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai perkecualian. Penekanannya,

Page 353: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sekaligus cita-citanya, adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain

(Griffin, 2005: 18).

Kehadiran keybard dan trompet dalam upacara gendang kematian ini

tentunya mengundang berbagai interpretasi. Sebagaimana dikemukakan Giddens,

bahwa tradisi memiliki para penjaga yang memiliki hak istimewa dalam

melakukan penafsiran dan menjalankan praktik tradisi. Terkait dengan itu, maka

ritual sebagai aspek tradisi haruslah ditafsirkan oleh para penjaga tradisi untuk

memahami kebenaran formulatif yang terkandung di dalamnya. Namun demikian,

terhadap fenomena ini, para budayawan singerunggui sebagai penjaga tradisi

sekaligus sebagai pemimpin upacara cukup kesulitan menginterpretasi kehadiran

keyboard/trompet dalam konteks upacara gendang kematian tersebut. Kenyataan

ini mengingatkan apa yang dikemukakan Giddens (2003: 9) mengenai

problematisasi tradisi.

Di satu sisi terjadi perluasan institusi modern yang diuniversalkan melalui

proses globalisasi. Di sisi lain terjadi proses perubahan yang disengaja yang

dapat disebut dengan radikalisasi modernitas. Di seluruh dunia, masih ada

orang yang tidak sadar dengan fakta bahwa aktivitas kedaerahan mereka

telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan oleh peristiwa atau agen

yang jauh.

Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas

yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang

sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di

depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara

gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika

Page 354: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

spiritualitas kultural etnik Karo. Sebagaimana dikemukakan Pujaastawa (2011:

487), bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks, sebagian karena

konstruksi ini merupakan produk sejarah. Kebudayaan itu sendiri bisa berubah dan

diubah bergantung pada konteksnya, pada kekuasaan, dan kepentingan agen yang

bermain.

Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas

dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas,

yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga

tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia

tidak lebih dari ciptaan artificial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang

telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang

digunakan untuk menunjukkan identitas. Dengan kata lain, kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses

semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan

makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas

sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama sekali

dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakan-akan ia

menjadi dari wacana upacara tersebut (Piliang, 2004: 339).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa spiritualitas modern tidak lagi

memikirkan nilai spiritualitas pramodern. Seperti yang diungkapkan Griffin,

spiritualitas pramodern mengandaikan bahwa segala bentuk pemaksaan, yang

menyakiti dan membatasi kebebasan mereka untuk menentukan arah diri,

Page 355: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

memerlukan pembenaran yang mengabaikan segala pertimbangan. Spiritualitas

modern mengabaikan anggapan itu.

Orientasi spiritualitas modern lainnya adalah seperti yang disebutkan oleh

Peter Berger sebagai futurisme, yaitu suatu kecenderungan untuk menggali hampir

semua makna masa kini dalam hubungannya dengan masa depan, yang dalam

praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua ikatan dengan masa

lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu ayang baru. Anti tradisionalisme

radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain, yaitu bahwa

hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa kini. (Griffin,

2005: 18-19)

7.1.3 Makna Spiritualitas Postmodern

Berbicara tentang fenomena spiritualitas seperti membicarakan fenomena

sosial-budaya lainnya, karena ia terkait secara erat dengan unsur terdalam (batin)

dari pengalaman manusia. Sekalipun begitu, penampakan praktiknya seringkali

begitu kasat mata, karena ia menjadi bagian ritual kehidupan sehari-hari. Karena

itu, kalau selama ini perbincanagan tentang agama, spiritual, atau spiritualitas

senantiasa dikaitkan dengan sesuatu yang diatas, sesuatu yang melampaui rasio

atau nalar, sesuatu yang dikaitkan dengan hal-hal yang adikodrati, sehinggga

dalam bahasa teologi sering disebut sebagai ―agama langit‖, maka sesungguhnya

praktik agama, spiritual, atau spiritualitas itu adalah sesuatu yang senantiasa hadir

Page 356: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

di bumi, suatu fenomena yang dinamis sebagai realitas budaya dalam suatu

masyarakat (Subandi, 2007: 153).

Spiritualitas postmodern akan menciptakan sikap-sikap baru. Ia juga

berpikir tentang Tuhan dari pemikiran Abad Pertengahan dan modern awal. Bagi

kita yang tidak bisa melepaskan hubungan antara kata ini dengan citra rasa masa

lalu, kata Tuhan ini tidak perlu digunakan, paling tidak untuk sementara. Mungkin

yang lebih baik sebutan yang kita pakai adalah Realitas Suci. Realitas Suci adalah

Sang Pencipta kita, tetapi tidak dalam pengertian yang bersifat eksternal dan

sepihak. Realitas Suci ini merangsang kita dari dalam, mendorong kita untuk

menciptakan diri kita sendiri secara optimal. Realitas Suci menggerakkan kita

dengan memberi kita impian, bukan paksaan. Meniru Sang Realitas Suci ini

memberi orang lain berbagai pandangan yang dengannya mereka bisa

merealisasikan potensi-potensi mereka yang terdalam agara kreativitas mereka bisa

semakin meningkat. (Griffin, 2005: 194)

Meskipun masyarakat postmodern masih tetap memiliki dan

mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat

postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme dan

rasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan

manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi

masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16-17).

Lebih jauh lagi, menurut Griffin pemikiran postmodern melihat hubungan

mendasar yang ada dalam kehidupan sebagai yang tidak bersifat memaksa, dan

Page 357: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menunjukkan bahwa dalam semua relasi antar objek yang lebih mendasar adalah

sikap kerja sama, bukannya persaingan. Hubungan yang bersifat pemaksaan dan

persaingan memang ada, tetapi ini adalah sekunder. Memiliki kesadaran

postmodern adalah melihat dan merasakan keunggulan hubungan-hubungan kerja

sama, saling membantu, dan yang bukan pemaksaan. Suatu etika yang memiliki

wawasan tentang kesadaran semacam ini tidak akan melihat kekerasan sebagai

satu cara yang memuaskan demi tercapainya tujuan.

Untuk menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman yang mengalami

komodifikasi dan komersialisasi pada upacara gendang kematian etnik Karo

seperti saat ini, menurut Adlin yang kita butuhkan adalah ruang-ruang untuk

menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi dalam setiap aksi yang kita

lakukan. Karena dalam deraan masyarakat konsumer ini, betapa sering kebenaran

yang sederhana ini dilupakan, di mana manusia ingin melakukan kebaikan tanpa

terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin mengubah dunia tanpa terlebih

dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi tetapi meremehkan kontemplasi.

(Adlin, 2007: 161).

Pernyataan di atas, terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo, di

mana unsur-unsur di dalamnya mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti

yang sudah dijelaskan sebelumnya. Suatu aspek mendasar dari spiritualitas

postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi kita, pandangan dunia kita,

secara pasti menentukan etika dan cara hidup kita. Oleh sebab itu, dari sudut

pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama

Page 358: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

lain. Kita tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulakan oleh cara-cara kita

mengatur kehidupan individu dan kelompok kita tanpa menolak pandangan dunia

yang mendasarinya.

Spiritualitas postmodern terus-menerus bersifat ekologis, dan memberikan

landasan filosofis dan teologis demi wawasan yang dipopulerkan oleh gerakan

ekologi. Ini sebenarnya menjadi landasan untuk suatu paradigma baru bagi kultur

kita, generasi-generasi kita dimasa depan akan tumbuh dengan suatu kesadaran

ekologis yang di dalamnya nilai dari semua objek dihargai dan saling keterkaitan

dari semuanya diakui. Kesadaran bahwa kita harus berjalan dengan hati-hati di

dunia, hanya memakai yang kita butuhkan saja, dan menjaga keseimbangan

ekologis demi sesama dan generasi-generasi masa depan, akan berupa ‖akal sehat‖

(Griffin, 2005: 203).

Terkait dengan pernyataan di atas hendaknya etnik Karo dapat

merenungkan apa yang terjadi pada upacara gendang kematian saat ini. Tanpa

menyadari hakikat perenungan yang terus terancam dalam masyarakat konsumer

seperti saat ini, maka peneliti khawatir kebangkitan spiritualitas akan mudah

menjadi sekedar pendukung budaya konsumen, sehingga bisa jadi tidak banyak

membuahkan hasil yang bermanfaat bagi kemanusiaan, apalagi untuk menjawab

tantangan-tantanagan kemanusiaan di masa datang.

Page 359: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

7.2 Makna Perubahan Budaya

Kebudayaan telah kehilangan definisinya karena secara umum telah

dimengerti dan dikenali sosoknya, tetapi dalam norma definitifnya ternyata labil.

Hal itu terjadi, karena standar pemahamannya secara konsepsional lebih

ditentukan oleh para teoretikus akademisi dan oleh ‘penguasa kebudayaan‘ yang

lebih kuat bahwa seni adalah dari asumsi ‘penguasa kebudayaan‘ yang lebih kuat

ini, seluruh gelar (setting) pengetahuan seni ditentukan. Oleh karena itu, mereka

yang lebih lemah dan ‘terkuasai‘ mengadopsi begitu saja pengetahuan itu seolah-

olah menjadi bagian dari dirinya (Hardjana, 2003 : 9).

Penciptaan seni adalah aktivitas kognitif yang dilakukan oleh orang-orang

yang terpilih dan terlatih, baik secara intelektual maupun emosional sehingga hasil

ciptaannya memiliki makna bukan saja terhadap sikap masyarakat dalam

memaknai kehadiran seni. Kendatipun seni merupakan sesuatu yang dapat dikenali

oleh semua orang, pemahaman dan pemaknaan atas kehadirannya tetap

memerlukan cara-cara tersendiri (Danesi, 2010: 233).

Dalam fungsi awalnya yang bersifat ritualistik dan mistis, yang diciptakan

oleh semua anggota komunitas sebagai karya kolektif, seni telah diyakini memiliki

makna-makna tertentu, baik terhadap senimannya maupun terhadap kehidupan

sosial dan alam lingkungannya. Pada zaman modern hingga postmodern, ketika

musik telah masuk dalam konsep perekayasaan kreativitas yang lebih bebas dan

terbuka, makna terhadap senimannya tidak hanya menjadi persoalan kolektif,

tetapi juga menjadi persoalan individu. Hal ini disebabkan oleh proses penciptaan

Page 360: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seni pada zaman modern dan postmodern ini lebih banyak berawal dari ekspresi

individu untuk menunjukkan identitas secara terbuka (Sugiartha, 2012: 297).

7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern

Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah

ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius

tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah itu dipakai untuk menunjuk pada

nilai dan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun yang

tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen manusia

terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.

Menurut Griffin, setiap orang memiliki spiritualitas meskipun bisa saja

spiritualitas yang nihilistik atau materialistik. Tentu saja kita juga bisa

menggunakan pengertian spiritualitas ini dalam maknanya yang lebih sempit,

yaitu suatu cara hidup yang diorientasikan ke hal-hal yang bukan kekuasaan,

nafsu, atau pemilikan. Bila yang dimaksudkan adalah spiritualitas dalam

maknanya yang sempit ini, maka nihilisme adalah spiritualitas semu, bahkan anti

spiritualitas. Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-nilai dan

komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15)

Salah satu makna beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke modern adalah

teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ka

agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan budaya pemena

Page 361: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dari agama tradisi masyarakat Karo masih terasa kental sampai sekarang.

Sumardjo mengungkapkan bahwa dalam budaya tradisi pengalaman seni

merupakan pengalaman dengan daya-daya transenden yang dipercayainya. Daya-

daya spiritual hadir dalam wujud medium simbol-simbol seni. Aktivitas

mendengarkan musik dapat berarti mengalami kehadiran yang transenden. Karena

yang transenden itu berasal dari luar pengalaman budaya, maka wujud seninya

juga tidak yang berasal dari budayanya. Namun, tanpa pengalaman budaya tak

mungkin yang transenden dapat dialami. Untuk itu, seni upacara menghasilkan

wujud paradoks antara yang dikenal dan tak diketahui dalam budaya suku supaya

yang transenden itu dapat dialami oleh manusia (Sumardjo, 2006: 97).

Selanjutnya menurut Sumardjo, spiritualitas tradisi adalah kesatuan

mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden,

kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini

hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan, dalam hal ini dapat dikatakan

‘agama asli‘ Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk

memahami estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan

‘asli‘ yang kini masih tersisa, ditambah dengan metode perbandingan dan data

tertulis pada masa lampau (Sumardjo, 2000: 323).

Manusia ditentukan oleh hubungannya dengan lingkungan. Akan tetapi,

dari hubungan-hubungan ini setiap saat manusia menciptakan dirinya dalam hal

keinginan, tujuan, nilai, dan makna yang dimiliki singkatnya dari spiritualitas kita.

Page 362: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Karena unsur-unsur otonomi ini setiap individu tidak hanya dibentuk oleh

lingkungannya, tetapi juga membentuk lingkungannya sendiri. Modernitas adalah

media pembentuk yang saling berpengaruh dalam menentukan sikap sebuah

masyarakat.

Atas dasar penjelasan di atas Griffin mengungkapkan bahwa modernitas

menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri

individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang

utama dengan individu (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, tetapi

menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu bebas yang secara

sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus

mengakui bahwa tetap ada hubungan tertentu, khususnya hubungan dengan orang

tua, yang sangat dasariah, tetapi hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai

perkecualian. Penekanannya sekaligus cita-citanya adalah kebebasan dasariah

seseorang terhadap yang lain (Griffin, 2005: 18).

Modernisasi muncul sebagai produk dari interaksi dan proses sosial di

dalam masyarakat. Sebaliknya, modernisasi itu secara bertahap akan berangsur-

angsur mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat untuk terus-menerus

meningkatkan mutu kehidupan. Pengaruh modernisasi terhadap masyarakat

berlangsung melalui saluran-saluran sosial dan akhirnya memasuki semua segi

kehidupan yang ada.

Page 363: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Menurut Piliang, dunia globalisasi yang dicirikan oleh sifat

kesalingbergantungan dan ketidakterbatasan telah menciptakan sebuah situasi

penuh tantangan. Globalisasi membuat simbol, yang sebelumnya merupakan

wilayah komunitas budaya tertentu menjadi wilayah publik global yang diterima,

digunakan, dikonsumsi, dan diinterpretasikan oleh masyarakat global. Pada abad

informasi terdapat arus pergerakan dan perpindahan simbol yang cepat dan masif

dari satu tempat ke tempat lain dalam skala global. Hal itu berlangsung di dalam

medan simbolik global (Piliang, 2011: 3).

. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi

sarana perubahan budaya yang ampuh sekaligus juga alternatif pilihan hiburan

yang lebih beragam bagi orang Karo. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak

tertarik lagi menikmati berbagai seni tradisional yang sebelumnya akrab dengan

kehidupan mereka. Kesenian tradisional Karo, seperti gendang lima sendalanen

yang dulunya digunakan dalam gendang guro-goro aron (pesta muda-mudi) kini

tidak diminati karena dianggap ketinggalan zaman. Hal ini sangat disayangkan

mengingat gendang lima sedalanen merupakan salah satu bentuk ensambel

tradisional Karo yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral (lihat 7.1.1). selain

itu, juga merupakan salah satu unsur penanaman nilai-nilai moral yang baik.

Menurut Sutrisnaatmaka, untuk mencapai habitus baru yang benar-benar

membawa manfaat untuk hidup yang lebih manusiawi, kita sedang menghadapi

sekian banyak tantangan pada zaman modern ini. Budaya yang timbul pada zaman

modern tidak serta merta semakin menguntungkan perkembangan kesejahteraan

Page 364: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

manusia dan peningkatan martabatnya. Kemudahan yang diperoleh karena

kemajuan teknologi memiliki pengaruh ganda. Di satu pihak, banyak kemudahan

dan efisiensi kerja meningkat. Manusia dapat hidup lebih enak dan tidak banyak

susah payah. Di lain pihak, tidak semua orang dapat menikmati kemajuan tersebut

mengingat kemampuan finansial dan daya beli yang terbatas. Tidak jarang justru

hasil-hasil teknologi itu menyiksa dan menimbuilkan kecemberuan sosial. Selain

itu, hasil teknologi canggih juga memicu ‖budaya baru‖ yang memberikan dampak

negatif bagi kehidupan masyarakat modern (Sutrisnaatmaka. 2006: 112).

Kondisi seperti ini secara nyata tampak pada etnik Karo, yang melihat

kehidupan dari objek visual modern tanpa menyadari meninggalkan tradisi mereka

dan beralih ke modern. Hal senada disebutkan Ruly bahwa objek visual seakan

sudah menjadi kebutuhan sehari-hari manusia, terutama untuk memperjelas

keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas masyarakat yang lebih

luas lagi. Hal ini memiliki dampak terhadap proses penciptaan objek visual itu

sendiri, yaitu pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan untuk membantu

menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang mungkin

adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang menggiring

nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan sehingga memiliki

nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya. Akhirnya, kembali

kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan mempertahankan

nilai-nilai objek yang orisinal dan mungkin adiluhung atau memang

Page 365: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

membiarkannya ‖bermain‖ dan diombang-ambingkan di tengah kubangan persepsi

masyarakat modern (Ruly, 2007: 151).

7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo

Etnik Karo yakin sebagian besar budaya yang dimiliki bersumber dari

agama pemena yang tidak dapat dipisahkan dari adat istiadatnya. Hal tersebut

terwujud dari upacara-upacara adat istiadat sebelum dipengaruhi oleh agama-

agama sekarang (lihat, 6.2.1). Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna

pada terkikisnya spiritualitas etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak

mungkin dibendung menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan. Masuknya

(ideologi) agama besar tersebut menjadi tantangan bagi budaya dan kepercayaan

lokal dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya pergeseran sendi-sendi

budaya tradisional yang disertai pembongkaran, pembalikan nilai-nilai dan makna-

makna dalam kehidupan orang Karo. Nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian

mengalami perubahan ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada

terjadinya krisis identitas. Perubahan ini akan melemahkan integrasi, kesadaran

solidaritas, kesadaran sejarah, dan kesadaran budaya yang mengakibatkan

kaburnya identitas etnik Karo secara umum.

Maraknya wacana mayoritas-minoritas sampai dimunculkannya doktrin

multikulturalisme, dalam hal ini lebih kepada mempromosikan keberagamaan,

Page 366: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

baik etnik, kelompok, agama, maupun budaya. Tujuan paham tersebut adalah

membangun suasana yang lebih egalitar, damai, toleran, dan saling menghargai

agar dapat hidup secara bersama dan rukun. Berdasarkan fenomena ini, Minawati

(2010: 280) menjelaskan bahwa seseorang ditentukan oleh kelompok sosialnya

sebagai tempat individu bergabung dan melakukan sesuatu yang menguntungkan

kelompoknya. Apabila dikaitkan dengan uraian ini, komunitas upacara gendang

kematian sebagai individu dan kelompok sosial memiliki keterkaitan dengan

komunitas lain. Mereka berbaur tidak berdasarkan upacara, tetapi juga berdasarkan

identitas sosialnya.

Masuknya agama-agama besar pada etnik Karo menjadi tantangan bagi

perkembangan dan pelestarian tradisinya. Di sinilah kemudian disadari atau tidak

oleh masyarakat telah terjadi penjajahan budaya. Budaya sangkep nggeluh dalam

adat telah terbingkai oleh perkembangan agama-agama besar lainnya, sehingga

konsep-konsep tradisi Karo banyak yang terkikis karena dianggap bertentangan

dengan agama baru. Kenyataanya, banyak budaya Karo yang terpinggirkan apabila

disejajarkan dengan paham keyakinan, seperti Kristen dan Islam. Berdasarkan

konsep agama tersebut, begitu banyak masyarakat Karo yang masuk dalam paham

kefanatikan agama sehingga ikut memangkas budaya Karo dan mengantikannya

dengan tata cara agama.

Sebagai contoh, kalau dulu untuk melakukan upacara perkawinan,

masyarakat Karo melihat hari baik (lihat, 4.1.6.3), untuk menentukan upacara

perkawinan, dan akan disepakati oleh sangkep nggeluh, tetapi sekarang sudah

Page 367: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berubah. Niktik wari (mencari hari baik) menurut tradisi Karo zaman dahulu telah

terabaikan oleh agama-agama sekarang. Waktu perkawinan cenderung ditentukan

oleh pastor ataupun pendeta. Dengan adanya kenyataan ini, secara disadari

maupun tidak, masyarakat telah dikuasai oleh ideologi agama besar tersebut.

Berdasarkan fenomena yang terjadi pada etnik Karo, maka budaya Karo

dalam praktiknya telah banyak mengalami toleransi-toleransi. Dalam hal ini

kalimat toleransi merupakan satu hal yang tidak disadari meruntuhkan aturan-

aturan adat istiadat yang selama ini dijunjung sangat tinggi. Toleransi dan

kebebasan menjadi suatu hal yang berujung pada pengorupsian dan penghilangan

budaya Karo, yakni dari cabang sampai pada yang sangat substansial (akar).

Toleransi dalam hal ini apabila dicermati, telah sampai pada taraf kebablasan,

karena dalam paham tersebut kesepakatan dianggap memiliki posisi lebih tinggi

daripada adat istiadat. Artinya, dalam pelaksanaan adat yang menjadi titik sentral

adalah kesepakatan. Jika dicermati lebih jauh, ketika suatu kebiasaan dikikis,

tetapi disepakati maka berarti tidak ada persoalan. Kemudahan-kemudahan yang

menjadi alternatif dipedomani karena alasan waktu, ekonomi yang efektif dan

efesien meskipun hanya sebagai formalitas. Hal ini dapat disebut dengan istilah

hegemoni.

Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk menunjukkan hubungan

kekuasaan kelas dominan terhadap kelas subordinat. Lebih jauh dikatakan bahwa

hegemoni merupakan suatu kondisi kelas dominan mengatur dan mengarahkan

masyarakat melalui kepemimpinan moral intelektual. Hegemoni terjadi karena

Page 368: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

adanya konsensus, yaitu kelas bawah atau subordinat mendukung atau menyetujui

nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka

pada struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan

kelompok dominan relatif tidak ditentang karena ideologi yang ditanamkan sudah

diinternalisasi secara sukarela sehingga dipandang sebagai bagian kepentingan

kelompok subordinat (Patria dan Arief, 2003; Pujaastawa, 2011: 58).

Kesadaran-kesadaran ini apabila dikaitkan dengan pengakuan beberapa

orang tua yang sudah berusia enam puluh tahun ke atas, yakni dapat diyatakan

bahwa tradisi Karo telah mengalami erosi budaya. Njenap Ginting sebagai pakar

budaya Karo ikut mengamini dan mengatakan:

―Sudah banyak sekali perubahan dalam adat istiadat kita. Hal ini dapat kita

lihat ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan, upacara kematian,

masuk rumah baru, dan lain-lain yang dilakukan berdasarkan adat istiadat,

tidak dilakukan lagi sebagaimana mestinya tata cara adat dalam tradisi

Karo‖ (wawancara, 27 Mei 2012)

Dari ciri-ciri tersebut tergambar bahwa telah terjadi pengikisan terhadap budaya

Karo, baik secara etika maupun moral. Sepantasnya adat tidak dijalankan hanya

dalam waktu tertentu atau peristiwa-peristiwa khusus upacara adat, tetapi dijadikan

sebagai pegangan berperilaku di masyarakat Karo dalam menjalani kehidupannya.

Pelanggaran dan korupsi budaya akan mengerucut sehingga terjadinya erosi

budaya secara besar-besaran, yang tentunya dapat mengaburkan identitas Karo,

budaya Karo, dan etnis Karo. Menurut Rutherford (Minawati, 2010: 282),

menyebutkan masyarakat seharusnya menganalogikan identitas sebagai rumah

karena rumah merupakan tempat kembali dan tempat awal berasal.

Page 369: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Berdasarkan fenomena budaya yang dialami masyarakat Karo, maka dapat

diketahui bahwa generasi muda sudah melupakan asal usulnya, budayanya,

leluhurnya, dan semua hal yang mengawali sebelum mereka ada. Hal-hal tersebut

yang membuktikan bahwa budaya Karo telah terongrong dari akarnya. Hal seperti

itu terjadi karena kuatnya pengaruh dan kontestasi budaya global dengan budaya

lokal di samping masuknya ideologi agama besar. Fenomena zaman seperti ini

dekat dengan erosi budaya yang terjadi dalam masyarakat Karo, terutama yang

terkait dengan adat dan budayanya.

Sesuai dengan yang dialami, Njenap Ginting menyatakan bahwa

kebudayaan Karo saat ini sudah rusak secara mental (tabiat sehari-hari/kebiasaan

sehari-hari). Terkait dengan fenomena ini, Minawati (2010: 282) menyatakan

bahwa lokalitas sering diposisikan sebagai entitas budaya yang terpinggirkan dan

tersudutkan oleh jelajah global. Oleh karena itu, Njenap Ginting berharap kepada

seluruh masyarakat Karo, terutama generasi muda, baik di Tanah Karo maupun di

luar Karo seperti berikut ini.

―Man kita kalak Karo tanggung jawabta adat Karo, si enda me nini-

nininta nari la lupa, harus metenget, erpenggejaben, ermediate ibas

kegeluhenta peretibi enda‖.

Terjemahan:

―Kepada seluruh masyarakat Karo bertanggung jawab terhadap adat

kebudayaan Karo dan tidak meniru-niru budaya Barat atau budaya

lainnya. Leluhur mengingatkan agar lebih berhati-hati, tanggap dengan

rongrongan budaya luar, perhatian dengan keseimbangan lingkungan

sekelilingnya‖ (wawancara, 27 Mei 2012).

Page 370: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Berdasarkan fenomena dan dinamika budaya yang terserap oleh masyarakat Karo,

khususnya para generasi muda, Njenap Ginting berpendapat seperti yang

dijelaskan berikut ini.

―Generasi sekarang hanya meniru-niru yang mereka tidak mengerti, ke

mana akan dibawa, seperti menjalani hidup yang tidak terarah, seperti

burung cip-cip yang mengeramkan telur burung piso surit, setelah

menetas, ada yang aneh dengan anak tersebut karena berbeda dengan

yang semestinya. Dan akhirnya induknya pun bingung dalam

membimbing anaknya dalam kehidupan sehari-hari‖ (wawancara, 27 Mei

2012).

Apa yang disampaikan Njenap Ginting cukup jelas bahwa budaya

merupakan warisan nenek moyang terdahulu, dalam hal ini budaya tersebut

memiliki nilai-nilai dan filosofi orang Karo. Di samping itu, perlu disadari bahwa

budaya Karo merupakan satu ikatan dan pegangan bagi etnis Karo yang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti satu bangsa, satu

adat, satu kebudayaan, dan satu daerah Tanah Karo yang bertujuan menciptakan

suatu keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, lebih jauh dijelaskan oleh

Ropong Tarigan seperti berikut ini.

―Adi masap pagi adat ta enda, uga nge pagi cibalna pergeluhta kupudi

wari? Kai pagi tanda-tandana pagi kita tubuh ibas daerah Tanah Karo

enda nari? Adi alu cara cakapta saja kuakap lanai bo cukup alasenta

maka kita kita Karo‖.

―Kalau hilang nanti adat kita ini, bagaimana nanti keadaan kita di belakang

hari? Apa nanti tanda-tanda bahwa kita lahir di daerah Tanah Karo ini?

Kalau hanya berdasarkan bahasa saja, saya kira tidak cukup menjadi alasan

kita menjadi suku Karo‖ (wawancara, 06 Mei 2012).

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam etnik Karo, adat tidak berarti

membeda-bedakan manusia sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi mengatur

Page 371: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

posisinya dalam adat, seperti sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Dalam kaitan

ini, semua orang Karo masih mengakui dan mengetahui adat (budaya) Karo karena

mereka akan melakoninya secara bergantian. Di sanalah letak keadilan dan sikap

tidak membeda-bedakan yang dimaksud, sebagaimana yang disampaikan Njenap

Ginting di bawah ini.

―Kalak Karo harus mehamat, mereha, mehangke, rebu, ula jagar-jagar,

ula meriah-meriah, biak irahasiakan, biak banci erterus terang, ras biak

tungkuken (jimpuh)‖.

―Orang Karo harus sopan, segan, serius, tidak boleh sembarangan, tidak

boleh bercanda gurau dengan pihak-pihak tertentu, ada hal yang pantas

dirahasiakan, ada juga yang harus diterusterangkan, dan ada juga yang

pantas di hormati‖ (wawancara, 27 Mei 2012).

Adat istiadat berisikan peraturan dan larangan, hukum/kedisiplinan yang

mengatur kebiasaan kehidupan orang Karo, baik terhadap manusia, alam, maupun

Tuhan. Semua aturan dan tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang terdahulu

adalah cara (bicaranya) atau pelaksanaan pengucapan rasa syukur, yang

merupakan bawaan dalam hidup untuk diwariskan tanpa diperkenankan untuk

merusaknya. Dalam hal ini, Hertz dan Gennep (Minawati, 2010: 285) menyatakan

bahwa makna adat harus diangkat dari struktur kongnitif. Berdasarkan uraian

tersebut, diketahui bahwa budaya yang tertuang dalam adat istiadat harus bersifat

fisikal atau teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat.

Terjadinya peperangan nilai antara budaya tradisional dan budaya global

memunculkan budaya baru sebagai kiblat budaya masyarakat saat ini. Menurut

Minawati (2010: 285), globalisasi dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya budaya

Page 372: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

seragam, yang secara halus menetapkan standar nilai-nilai baru. Peperangan

budaya atau perebutan makna yang terjadi antara budaya global dan budaya lokal

tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut menjadi tantangan yang sangat mendasar

dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi dan budaya Karo. Pandangan ini

didukung oleh Abdilah (2002: 117) yang menyatakan bahwa budaya global

menjadi proyek hegemoni baru terhadap identitas-identitas yang ada,

memarginalisasi, diketahui diketahui bahwa bahwa bahkan membunuhnya sama

sekali. Berdasarkan penjelasan Abdilah, perkembangan kebudayaan Karo, seperti

yang dijelaskan Ropong Tarigan dan Njenap Ginting, sudah jauh meninggalkan

akar filosopi masyarakat Karo. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami sebagaimana

yang diungkapkan oleh Njenap Ginting berikut ini.

―Selama kita dijajah tentu saja terhambat dalam pengembangan budaya

kita. Jangan dulu kita cerita ketika Zending datang ke Karo. Sejak tahun

kemerdekaan saja apakah ada penambahan adat istiadat Karo? Yang ada

hanya penambahan atau pengurangan yang merusak, yang membuat

identitas orang Karo menjadi kabur, semakin tidak jelas konsepnya, adat

yang mana yang mau diikuti, akhirnya berjalan dengan sendiri-sendiri.

Semua begitu akhirnya semua menjadi pantas. Orang tua menangis melihat

anak cucu yang sudah berperilaku semena-mena dalam hidup, kepada

orang tua, saudara dan yang lainnya. Kalau dinasihati, dibilang kuno,

primitif, terbelakang, akhirnya kita memilih diam‖ (Wawacara, 27 Mei

2012).

Berdasarkan komentar tersebut, dapat dipahami bahwa pemangkasan

budaya Karo sudah menjadi suatu kesadaran baru, rongrongan yang sangat

kompleks sehingga bukan hanya penjajahan budaya yang terjadi, melainkan

kapitalis dan sikap konsumerisme masyarakat yang tinggi. Dalam hal ini, Jekmen

Sinulingga (wawancara, 30 Juni 2012) menyampaikan bahwa dalam situasi ini

Page 373: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

keluar istilah kalak Karo ndayaken bana (orang Karo menjual dirinya). Berkaitan

dengan fenomena ini, peperangan budaya terjadi, yakni menurut Minawati (2010:

287) seperti di bawah ini.

―Peperangan budaya adalah saat suatu kekuatan budaya, politik, atau

ekonomi (yang umumnya hegemonik) melakukan serangan atau teror halus

terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam hal ini,

bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan komunitas

budaya di bawah kendalinya‖.

Dari uraian ini diketahui terdapat peperangan ideologi, baik secara budaya

maupun agama (Islam dan Kristen) yang diyakini memiliki ideologi Barat yang

menyerap ke dalam budaya tradisi (lokal). Proses tersebut dekat juga dengan

praktik yang dikenal dengan imperialisme budaya. Menurut Minawati (2010: 288),

seperti berikut ini.

―Berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik

perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai

cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan

umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya‖.

Apa yang disampaikan Khamenei tidak berbeda dengan konsep

hegemoni Gramsci. Sepatutnya generasi muda dapat menjadi tonggak estafet

dalam pengembangan dan pelestarian budaya Karo sehingga tidak perlu

dipertanyakan. Pernyataan lain disampaikan Njenap Ginting seperti di bawah ini.

―Kalau dulu di setiap desa ada ketua adat. Fungsi ketua adat ini melakukan

pengontrolan dalam pelaksanaan adat di desa tersebut. Ketika ada pesta,

baik yang suka cita maupun duka cita ketua adat akan menjadi sangat

penting kedudukannya. Ketua adat dalam masyarakat Karo sangat

dihormati dan digurui, seperti pertua. Bila ada pelanggaran adat yang

dilakukan oleh warga, maka yang menjadi hakim adat dalam memberikan

keputusan sanksi, yang disaksikan oleh kepala desa dan warga. Sekarang

ketua adat tidak difungsikan lagi dalam struktur desa. Jadi, apa pun yang

Page 374: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

terjadi tidak ada lagi yang mengontrolnya, mau ada yang di desa tersebut

selingkuh, kawin dengan semarga, dan perbuatan-perbuatan sumbang

lainnya, tidak ada mendapat sanksi. Sanksi/hukum yang berkembang hanya

dari aparat pemerintah seperti kepolisian. Artinya, tidak ada lagi kontrol

atau langkah preventif dari masyarakat ‖ (wawancara, 27 Mei 2012).

Dalam hal ini tampak koreksi Njenap Ginting tentang hilangnya kontrol

adat dalam masyarakat. Sebagaimana Jekmen Sinulingga juga sudah pesimis

dengan keberadaan budaya Karo yang sudah tercemar, dikatakannya berikut ini.

―Kalau dahulu kita dengan mengorbankan harta benda, menghanguskan

bumi pertiwi, mengungsi dalam mengusir penjajah dan segala sifat-

sifatnya. Akan tetapi sekarang, kita tanpa melakukan perlawanan terhadap

sifat-sifat penjajah sudah meresap ke dalam darah daging, dan merongrong

generasi kita. Kita sekarang menjadi masyarakat yang konsumeristis‖

(Wawancara, 20 Juni 2012).

Fenomena erosi budaya dalam masyarakat Karo dikenali mulai tahun 1990,

yakni awal masuknya musik keyboard dalam ensambel tradisional Karo. Dalam

hal ini Ismail Bangun mengatakan sebagai berikut.

―Nina tua-tuanta, anak-anakta sigundari enda, lanai bo erluhu, lanai er-

uga, lanai tehna mereha ras mehangke, lanai lit rebuna. Kutera pe enggo

banci, gelah sura-sura erdalen. Bagem gundari si jadi bas gendang

Karo. Banci mon-mon ras turangna pe ia landek‖.

―Banyak orang tua berpendapat bahwa generasi muda yang sekarang ini

tidak beretika, tidak bermoral, tidak tahu malu, tidak ada yang tidak

pantas, bagaimanapun dijalankan asal keinginannya terpenuhi. Begitulah

sekarang yang terjadi dalam gendang Karo. Kadang-kadang mereka

menari dengan semarga tetapi tidak dipedulikan‖ (wawancara, 10 Mei

2012).

Pemahaman adat yang sesungguhnya berarti berasal dari warisan turun-

temurun. Dalam hal ini pentingnya adat dilaksanakan oleh orang Karo agar bisa

diterima dalam lingkungan adat dan sangkep nggeluh. Selanjutnya, apabila

Page 375: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

disimak kata merga yang memiliki makna ‗diberi harga atau semua masyarakat

Karo berharga‘ tanpa membeda-bedakan kelas.

Salah satu budaya Karo yang ditinggalkan setelah masuknya agama

Kristen atau Islam adalah perumah begu yang dipimpin guru sibaso (lihat 4.1.6.1).

Hal ini tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Binneka Tunggal

Ika. Bahkan, dalam hal ini dikatakan bahwa wajib bagi setiap warga negara

melestarikan segala nilai budaya di samping nilai-nilai budaya lokal hendaknya

terefleksi dalam filosofis masyarakatnya, baik secara geografis, bahasa, seni,

budaya, maupun kepercayaan setempat. Adapun tujuannya adalah untuk

mengembalikan dan mewujudkan kembali identitas sosial masyarakat yang berada

di antara kebingungannya. Terkait dengan fenomena ini, Said (Minawati, 2010:

290) menyatakan bahwa kebingungan budaya terjadi karena terdapat

ketumpangtindihan budaya, kait-mengait, saling berhubungan, dan tidak satu pun

budaya itu tunggal dan murni, serta di dalamnya ditemukan sesuatu yang bersifat

hibrid, heterogen, dan tidak terdapat sifat yang monolitik.

Rawannya rongrongan dari luar dan rapuhnya kondisi upacara gendang

kematian tidak hanya berakibat punahnya tradisi pada Karo, tetapi dapat

berdampak kepada penghilangan budaya Karo. Bila hal tersebut terjadi, tentunya

akan dapat menghilangkan sistem kekerabatan dan adat istiadat (rakut si telu),

yang secara kajian budaya hal tersebut juga bertentangan dengan sikap

multikulturalisme. Hal ini apabila dikaitkan antara upacara gendang kematian dan

Page 376: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

budaya Karo, khususnya rakut si telu tercermin dalam adat istiadat, diyakini

bersumber dari leluhur orang Karo.

7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman

Seperti yang telah diuraikan (lihat subbab 6.1.2) bahwa kreativitas seniman

tidak bisa terlepas dari makna perubahan spiritualitas upacara gendang kematian

etnik Karo pada era globalisasi. Kreativitas merupakan salah satu faktor intern

menjawab perubahan ini. Kreativitas merupakan bagian dari hidup manusia dan

manusia yang kreatif mampu menjawab berbagai tuntutan kebutuhan dan

tantangan zaman. Kreativitas lahir dari hasil rekayasa pikiran manusia kreatif yang

membuat kita mengaguminya.

Menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan

dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang

kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap perubahan

budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian Karo dan

menimbulkan banyak reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo

sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini membuahkan pro

dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang

mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan berdampak buruk terhadap

eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian kesenian Karo yang terkait

dengan kosmologinya.

Page 377: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Amat Depari mengungkapkan sebagai berikut.

―Uga ningen banci gundari kita beluh, adi cukup sada program saja nggo

banci ipelandekna kerina jelma. Emaka adi banci kataken labo lit sitik pe

pemetehna kerna seni, ngkai maka bage ningku, lanai angka penggual

sigundari kai kin ertina gandang lima sendalane e, bas kalak Karo situhna

me lit nge kerina kaitenna alat musik e ras sangkep nggeluta kerina. Adi

kibod ah kai nge sibanci ituriken adi la sorana ngenca. Situhuna gendang

Karo enda labo sora ngenca tapi uga maka bagenda nai bentuk gendang e

me lanai bo angkana kerina. Adi kami gelgel e, kenca beluh kami malusa

emaka ipelajari kami ka uga erbahansa. Ije me nari nuri-nuri ka singajari

kami ija nari kin rehna gendang enda‖.

― Sekarang susah kita menemukan seniman tradisi yang kreatif karena

dengan menekan satu tombol saja sudah bisa membuat orang menari. Oleh

sebab itu, mereka sebenarnya tidak mengerti apa yang disebut seni. Saya

yakin seniman Karo sekarang tidak bisa memaknai apa yang sebenarnya

ada pada ensambel gendang lima sendalanen. Mereka tidak tahu bahwa

setiap unsur yang ada pada gendang lima sendalanen itu ada kaitannya

dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh pada masyarakat Karo.

Apalah yang bisa dibicarakan dari keyboard di luar bunyi yang

dihasilkannya. Akan tetapi gendang lima sendalanen adalah dapat

menceritakan bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam,

manusia, demikian juga Dibata (Tuhan)-nya. Hal ini kami dapat ketika

kami belajar memainkan dan sekaligus belajar membuat gendang itu,

sambil guru kami bercerita tentang gendang tersebut (wawancara, 20 April

2012).

Pernyataan Amat Depari tersebut didukung oleh Marriam, yang

mengungkapkan bahwa penggunaan (use) dan fungsi (function) merupakan

masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi karena hal ini menyangkut

makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik. Akan tetapi, lebih dari itu,

kita ingin mengetahui pula efek atau dampak musik terhadap manusia dan kita

ingin mengerti bagaimana efek tersebut dihasilkan. Singkat kata, penggunaaan

musik menyangkut cara pemakaian musik dalam pandangan yang lebih luas

(Merriam 1964: 209).

Page 378: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Etnomusikologi pada dasarnya mempelajari ‖musik dan instrumen musik

dari semua bangsa non-Eropa, termasuk kelompok-kelompok suku yang disebut

primitif dan bangsa-bangsa Timur yang berbudaya‖. Etnomusikologi disebut

sebagai tradisi oral karena etnomusikologi pada dasarnya mempelajari musik yang

diwariskan turun-temurun yang disebut dengan tradisi lisan. (Murgyanto, 2008:

19)

Menurut Karder, etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musik-

musik yang masih hidup (termasuk di dalamnya instrumen-instrumen musikal dan

tari) yang terdapat di dalam tradisi lisan, di luar batasan pengertian musik urban

musik-musik seni Eropa. Subjek-subjek dan sasaran penelitian utamanya adalah

musik-musik pada masyarakat nonliterasi (atau musik tribal), musik yang

diajarkan secara lisan melalui tradisinya pada suatu kebudayaan. Dampak dan

akulturasi juga merupakan sasaran studi etnomusikologi. Ini dapat dilakukan

melalui studi terhadap musik populer atau musik komersial, yang dalam hal ini

terdapat di dalam tradisi-tradisi masyarakat urban de berbagai bagian dunia

sebagai pusat perhatiannya (Krader, 1995: 2).

Apabila dicermati ungkapan di atas, diketahui bahwa dampak dari musik

populer atau musik komersial sangat kuat memengaruhi kreativitas seniman

masyarakat Karo. Terpasungnya kreativitas seniman/ penggual dalam ensambel

gendang lima sendalanen tidak terlepas dari apa yang diungkapkan Jenda Bangun

bahwa hal ini cenderung disebabkan oleh politik kebudayaan lokal, yaitu

kebijakan pemerintah daerah yang tidak mampu merumuskan secara tepat apa itu

Page 379: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kebudayaan dengan langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan eksistensi dari

sesuatu yang selama ini dikenal sebagai ensambel musik tradisi. Pengalaman

sejarah masa lampau Karo telah membuktikan, bahwa arus globalisasi telah

banyak menghilangkan nilai-nilai tradisi lama/tradisi lisan, dan manusia Karo

terlalu cepat dan mudah menerima kebudayaan baru, meskipun disisi yang lain apa

yang baru belum tentu diterima begitu saja, akan tetapi ada proses adaptasi,

akulturasi budaya bahkan secara revolusioner dengan konversi diterima begitu saja

apabila ‖dianggap‖ sesuai dan ada persamaan dengan nilai-nilai tradisi

(wawancara, 11 Mei 2012).

Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar

memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Dengan munculnya

gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional,

baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya.

Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Akan

tetapi, berimbas pula kepada pemasungan kreativitas seniman-seniman tradisinya

sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan. Dari sisi lain, kemudahan

dalam menyajikan, dan murahnya biaya pertunjukan mengakibatkan gendang

kibod semakin eksis pada masyarakat Karo. Selain itu, banyaknya lagu populer

yang mudah dimainkan dengan gendang kibod juga semakin memojokkan

keberadaan gendang lima sendalanen.

Saat ini yang menjadi persoalan penting dalam kebudayaan Karo adalah

belum memadainya pengalaman manusia Karo tentang hakikat kebudayaan itu

Page 380: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sendiri. Pengertian yang kurang memadai menurut Kaunang, membuahkan sikap

dan perlakuan yang keliru, bahkan tak jarang sangat bertentangan dengan

pembudayaan yang seharusnya. Akibatnya, jelas bahwa produk budaya,

pendidikan, kualitas moral, dan kecerdasan kreatif tidak pernah dapat bisa

dijalankan dengan jaminan kepastian yang terukur. Pendidikan budaya menjadi

lebih dari sebuah proses perjudian (gambling), penguasa politik, kapitalisme mulai

melemparkan dadu dan hanya bisa berharap atas apa hasil akhirnya. Akibatnya,

politik kebudayaan kita terlalu politis, maka budaya politik pun sangat tak

berbudaya (Kaunang, 2010: 299).

Kebudayaan itu dinamis. Kebudayaan adalah praktik-praktik kehidupan

sehari-hari. Kedinamisan kebudayaan melahirkan daya kreatif manusia dalam

menjawab tantangan zaman dengan berbagai kreativitas kebudayaan untuk

memenuhi kepuasan estetika manusianya, sebagai pendukung budaya upacara

gendang kematian. Menurut Kaunang (2010: 300), terdapat beberapa pola pikir

yang keliru dalam menangani kebudayaan. Ada yang mengira bahwa kebudayaan

hanyalah urusan seni tradisional semata, adat istiadat, sistem kosmologi sejak

zaman nenek moyang dengan segala praktik mistiknya, pokoknya serba masa lalu.

Pemikiran seperti ini memang tidak salah karena apresiasi masyarakat atas

hasil kebudayaan nenek moyangnya merupakan tumpuan berkreasi dalam

melahirkan karya-karya kebudayaan yang lebih tinggi. Namun, fenomena kekinian

menunjukkan bahwa pemahaman kebudayaan pada etnik Karo berkaitan dengan

upacara gendang kematian yang terjadi bahwa pola-pola keseragaman,

Page 381: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

standardisasi selalu diikat oleh aturan yang tanpa peraturan membatasi kreativitas

seniman. Aturan tanpa peraturan dimaksud di sini, seolah-olah keyboard sebagai

instrumen musik tunggal harus hadir dalam suatu ritual pada masyarakat Karo.

Hal ini menyebabkan, bukan saja kreativitas seniman terpangkas dalam hal

penciptaan, melainkan kreativitas berpikir pun terpangkas oleh fenomena ini.

Wujud terkikisnya kreativitas seniman dalam hal ini sangat erat terkait dengan

bagaimana seniman mengenal dirinya sendiri melalui budayanya. Menurut Jenda

Bangun, dengan hadirnya instrumen musik modern dalam kesenian tradisi

masyarakat Karo, yang sebelumnya dimainkan oleh lima orang dengan nilai-nilai

budaya yang tinggi mengakibatkan kreativitas seniman terpasung. Bagaimana

seniman dapat berkreativitas jika mereka meninggalkan nilai-nilai budaya yang

semestinya dipahami.

7.3. Makna Perubahan Kehidupan Sosial

Globalisasi masuk ke rumah kita tanpa mengetuk pintu dan tanpa ada

jendela atau pintu yang rusak. Mungkin itulah sebabnya lebih dari dua dasawarsa

yang lalu globalisasi media sudah sampai ke kampung kita. Media baru

mempunyai kekuatan untuk menyusup lebih jauh ke dalam kebudayaan ‗penerima‘

dibandingkan dengan manifestasi budaya Barat manapun sebelumnya (Subandy,

2007: xviii). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perubahan kehidupan sosisl

tidak akan dapat dibendung tanpa memahami nilai-nilai tradisi leluhur.

Page 382: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Ketidakpahaman akan nilai ini akan membentuk pola pikir sebuah tradisi masuk

ke sendi-sendi kehidupan sosialnya.

Demikian yang dialami oleh masyarakat, khususnya etnik Karo akibat

derasnya hantaman arus globalisasi. Globalisasi membentuk manusia untuk

memudahkan segala sesuatu akibat tuntutan zaman. Hal ini seperti yang diutarakan

oleh Njenap Ginting berikut.

―Kalak Karo, ope denga sigundari emekap sangana kita kujuma denga kai

pe gel-gel lakon silit iras-rasken kerina ndungisa. Anak beru masa sie seh

kal nge jingkatna kerina. Senina ras kalimbubu pe labo lit ketadingen ibas

lakon e, terlebih-lebih ibas kalak mate. Adi gundari lanai bo sieteh kai

situhuna man ayakenta, sebab kai pe nggo banci itukur. Adi gel-gel igiling

denga ura-ura bengkau, adi gundari nggo banci tukur saja, adi gel-gel

kotak mayat pe anak beru erbahansa, gundari itukur saja. Labo e saja tapi

sierdahin pe nggo banci igalari, emaka anak beru si erdahin nggo banci

kundul saja erkiteken nggo lit sierdakan emekap ketring nina. Adi gel-gel I

pebetehken man siergendang lima seendalanen gundari nggo banci kibod

saja. Kai pe gundari banci iergai alu sen”.

(Orang Karo, sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa

agraris segala kegiatan dilakukan secara gotong royong. Anak beru sangat

bertanggung jawab atas semua jenis pekerjaan dalan kegiatan adat tersebut.

Senina dan kalimbubu melaksanakan tugasnya masing-masing, terutama

pada peristiwa kematian. Hari ini saya tidak mengerti apa yang sebenarnya

dikejar orang Karo. Kalau dulu bumbu makanan tidak perlu dibeli, masing-

masing kerabat akan membawa dan mengolahnya bersama-sama. Peti

mayat yang seharusnya dikerjakan anak-beru sekarang hanya cukup

dengan memesannya saja. Anak beru yang semestinya mengerjakan segala

sesuatu, cukup duduk manis karena sudah ada catring yang menggantikan

posisinya dengan cukup membayarnya. Gendang lima sendalanen yang

dulunya dipanggil dengan sebutan kehormatan sebagai sierjabaten cukup

memesan sebuah keyboard untuk menggantikan posisinya. Segala

sesuatunya bisa dibeli dengan uang) (wawancara, 24 Desember 2012).

Jika diperhatikan perubahan upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi, tidak dapat menunjuk pada sebuah faktor tunggal sebagai sumber

Page 383: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dari perubahan dalam upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Lubis, yang

lebih sering perubahan itu terjadi diakibatkan oleh serangkaian peristiwa. Salah

satu dari peristiwa tersebut yaitu inovasi. Inovasi adalah penemuan dan

pengungkapan tentang sesuatu yang baru seperti gagasan, proses, praktik, alat,

atau sarana (Lubis, 2006: 222).

Hal tersebut didukung oleh Jurgen Habermas, yang menjelaskan

bagaimana sistem (kuasa dan uang) telah menjajah dunia kehidupan (komunikasi

intersubjektif). Kita tidak pernah lagi duduk bersama bersepakat tentang apa yang

baik, indah, dan benar. Semuanya dipaksakan dari luar oleh kuasa dan uang yang

bekerja secara utilitaris (Adlin, 2007: 29).

Dalam upacara gendang kematian, masalah perubahan kehidupan sosial

yang timbul bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Hal ini terjadi di luar

kesadaran masyarakat Karo. Oleh sebab itulah, maka lebih tepat disebut sebagai

efek sampingan dari proses perubahan itu sendiri. Mengingat bahwa perubahan

kehidupan sosial merupakan fenomena yang saling mengait, maka tidak

mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek,

dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan

pada aspek lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian

dikategorikan ke dalam masalah perubahan kehidupan sosial.

Berbagai makna perubahan kehidupan sosial dari perubahan upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memandang sistem sosial pada

dasarnya bersifat dinamis. Perubahan sosial sebagai proses yaitu suatu bentuk

Page 384: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sosial beralih ke bentuk-bentuk yang lain. Perubahan sosial meliputi perubahan

yang terjadi, pada keseluruhan sistem sosial maupun pada komponen-komponen

tertentu dari sistem tersebut. Pada umumnya perubahan sistem sosial bermula dari

salah satu komponen. Kemudian menimbulkan perubahan pada komponen-

komponen lainnya. Seluruh mata rantai sebab akibat bergerak sehingga pada

akhirnya akan melahirkan perubahan pada keseluruhan sistem sosial.

Dari sekian banyaknya perubahan spiritualitas upacara gendang kematian

etnik Karo pada era globalisasi adalah upacara sebagai sebuah penanda status

sosial. Wujud penanda status sosial ini, misalnya ketika mengundang musik

modern seperti keyboard dan ensambel tiup (terompet), status keluarga dianggap

lebih terpandang dari pada hanya mengundang gendang lima sendalanen.

Demikian juga halnya peti mayat yang dulu dibuat oleh salah satu sangkep

nggeluh yaitu anak beru cukup dibeli dengan berbagai variasi harga. Harga yang

mahal akan selalu menjadi ukuran dalam tingkat status kehidupan sosial mereka

(lihat gambar L.4.4).

Banyak terjadi dalam upacara gendang kematian memaksakan diri untuk

mengikuti tren yang ada pada upacara kematian keluarganya seperti yang

diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini.

sekarang masyarakat Karo tidak lagi memedulikan bagaiman seharusnya

upacara gendang kematian itu dilakukan. Kita tidak perlu lama-lama

menunggu sampai upacara itu selesai, cukup seperti mengintip jurang yang

dalam saja, bahkan jika kita memberi uang lebih banyak dari sepantasnya

tidak akan ada persoalan meskipun upacara tersebut tidak kita hadiri.

Lihatlah, setelah selesai makan siang orang yang tinggal upacara orang-

orang yang memang tidak bisa meninggalkannya secara adat. Kebanyakn

Page 385: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

orang hanya melihat apa saja unsur-unsur yang berubah dan mengikuti

perkembangan zaman seperti, peti mati, keyboard, ensambel tiup dan

bahkan hanya melihat properti yang digunakan. Budaya lama itu kuno

menurut mereka, segala sesuatu dipersingkat. Masyarakat kita sekarang

adalah masyarakat konsumer (Wawancara, 27 Desember 2013).

Pernyataan di atas, seperti yang diungkapkan Baudrillard bahwa

masyarakat konsumer adalah masyarakat yang mengalami kelelahan. Kelelahan ini

sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kelelahan otot atau kelelahan

tenaga. Kelelahan ini tidak datang dari penggunaan tenaga fisik. Akan tetapi,

justru dari kelelahan nonfisik, yang menyebabkan masyarakat konsumer mutakhir

menjadi ‖masyarakat stres‖, masyarakat yang tertekan karena kita digiring dalam

masyarakat persaingan menyeluruh, totaliter, yang bermain dalam semua

tingkatan, ekonomi, pengetahuan, keinginan, tubuh, tanda, dan dorongan (Subandi,

2007: 157).

Perubahan kehidupan sosial tidak terlepas dari agama wahyu yang

dipercaya sekarang. Kalau dulu, semua urusan dari awal hingga selesai dalam

upacara dilaksanakan oleh sangkep nggeluh. Akan tetapi, banyak perubahan akibat

agama sekarang memayungi upacara dari awal hingga selesai. Sebagai sebuah

lembaga besar dan terlegitimasi, dengan tidak susah mengubah pola-pola

kehidupan sosial yang ada seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.

Tidak semata-mata perubahan kehidupan sosial ini kearah negatif tetapi banyak

perubahan kehidupan sosial kearah yang positif.

Untuk itu menurut Subandi, menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman

yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti saat ini, yang dibutuhkan

Page 386: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

adalah ruang-ruang untuk menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi

dalam setiap aksi yang dilakukan. Hal itu penting karena dalam deraan masyarakat

konsumer ini, betapa sering kebenaran yang sederhana ini dilupakan. Manusia

ingin melakukan kebaikan tanpa terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin

mengubah dunia tanpa terlebih dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi,

tetapi meremehkan kontemplasi (Subandi 2007: 161).

7.4 Strategi Pewarisan

7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah

Tradisi pada umumnya tidak seperti ‖budaya pop‖ yang ditunjang oleh

industri budaya populer yang bertumbuh dan berkembang secara masif dan global.

Terdengar dan terlihat dimana-mana. Dimediasi oleh kekuatan industri global itu,

anak-anak muda belajar dan berlomba untuk menjadi bagian budaya pop itu.

Setiap saat dan setiap tempat selalu disuguhkan secara silih berganti berbagai jenis

budaya pop dan sekaligus dengan itu berniat menjadi bagian budaya tersebut.

Televisi, radio, film, media cetak, dan terutama media elektronik seperti sosial

media terus menyebarkan pesona budaya pop. Pengetahuan akan segala aspek

budaya pop ini menunjukkan seberapa luas tingkat pergaulan seorang remaja.

Dengan itu semua budaya pop bertumbuh seperti jamur di masyarakat.

Berbeda dengan budaya tradisi, sejak awalnya tradisi selalu bersifat lokal

yang terbatas pada wilayah geografis masyarakat pemiliknya dan tidak seperti

olahraga sepak bola atau kemampuan mengutak-atik komputer yang ada di

Page 387: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sekolah-sekolah formal dan tersedia banyak tempat belajar secara nonformal

seperti tempat-tempat kursus. Kebanyakan tradisi tidak ada sekolah formalnya.

Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan bagaimanakah strategi pewarisan

tradisi. Tradisi dengan berbagai bentuk dan di berbagai kawasan mampu bertahan

sebagai suatu pengetahuan maupun keterampilan karena di antaranya ada sistem

pewarisan yang bersifat kultural. Tradisi pada umumnya bermuara pada pewarisan

yang berbasis pada keluarga, masyarakat dan pemerintah. Seorang budayawan

akan menjadikan anak atau cucunya sebagai budayawan, atau keturunannya secara

kultural jejak ayah atau kakeknya menjadi budayawan, meneruskan keahlian

keluarganya. Demikian juga masyarakat yang menjadi bagian dari budaya itu

sendiri dan peran pemerintah sebagai sebuah strategi pewarisan.

Pengetahuan dan keahlian itu ditrasmisikan secara tidak formal, dan

melalui pola yang bermacam-macam. Dalam hal tradisi mendalang di Jawa

Tengah misalnya, menurut Rahayu Supanggah, proses pewarisan itu berjalan

secara otomatis karena lingkungan keluarga. Caranya bermacam-macam, yaitu

lewat nonton, melihat sejak kecil, misalnya sanak familinya yang nabuh, atau

membantu. Yang jelas tidak ada semacam prosedur guru murid seperti dikenal

dalam sekolah formal (Suroto, 2007: 26).

Ungkapan tersebut di atas berlaku pada tradisi lisan upacara gendang

kematian etnik Karo dimana sampai sekarang belum ada pewarisan secara formal

akan tetapi pewarisan itu ada dari lingkungan keluarga. Hal ini dipertegas oleh

Darwan Tarigan sebagai berikut.

Page 388: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

‖Jika keluarga memiliki waktu banyak dengan anak-anak atau

keturunannya dan selalu bermain atau membicarakan tentang tradisi, itulah

sistem pewarisan yang paling baik. Di samping itu, jika ada upacara-

upacara tradisi sebaiknya mereka diikut sertakan dalam upacara tersebut

meskipun sebenarnya mereka belum tertarik dengan rangkaian-rangkaian

adat istiadat yang dilakukan pada upacara tersebut. Dari intensitas

kehadiran mereka maka proses pewarisan itu berjalan secara otomatis

(Wawancara, 20 Desember 2012).

Menurut pengamatan penulis, bukan berarti tradisi yang diwariskan itu

akan begitu-begitu saja. Sering ada pengembangan baru, suatu kreativitas, dari

tradisi yang diwarisi. Setidaknya tradisi yang dilakukan kemudian si anak itu

berbeda meski kelihatan dikembangkan pendahulunya. Hal ini disebabkan karena

regenerasi mengisyaratkan dua generasi yang berbeda zaman yang kemudian

menentukan perbedaan pula dalam interpretasi terhadap tradisi itu. Apalagi

mengingat si anak tidak berguru kepada ayahnya saja, tetapi juga berguru, baik

secara diam-diam maupun atas anjuran orang tuanya sendiri, pada budayawan lain,

atau melengkapinya dengan pendidikan formal. Seperti yang dikatakan Supanggah

dalam Suroto (2007: 27) biasanya seorang anak tidak bisa belajar secara serius

kepada bapaknya, walaupun bapaknya adalah idolanya. Mungkin karena sungkan,

dari segi ayahnya juga begitu. Misalnya, jika anaknya salah pasti takut untuk

menyalahkan anaknya, biasanya Cuma dicantrikkan atau belajar ke orang lain atau

kekeluarga yang lain.

Sebagai tradisi lisan tidak dapat terlepas dari upaya masyarakat pemiliknya

dalam menjaga kelestarian tradisi tersebut. Tentu saja dalam melakukan upaya

pelestarian itu berbagai tantangan akan dihadapi. Mulai dari internal

Page 389: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

masyarakatnya, maupun datangnya pengaruh dari budaya luar. Tentu saja

menyikapi kondisi ini, dituntut kecerdasan, kejelian dan kemampuan masyarakat

pemiliknya dalam menjaga kelangsungan tradisi upacara gendang kematian.

Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan pemahaman

dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini ditegaskan oleh

Sedyawati, masyarakat pemilik warisan budaya mestinya memahami yang

tangible, yaitu warisan budaya yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang

pada umumnya berupa benda yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat

untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya

yang ―tak benda atau tak tersentuh. (Sedyawati, 2006: 160).

Upacara gendang kematian etnik Karo memiliki warisan budaya yang

tangilbe seperti alat musik ensambel gendang lima sendalanen yang menghasilkan

bunyi musik untuk kebutuhan upacara tersebut. Meskipun instrumen musik ini

merupakan suatu benda yang bersifat tangible, tetapi karena sifat budayanya tentu

memiliki sejumlah aspek intangible tak benda atau tak dapat diraba yang melekat

padanya (Lihat, 7.1.1). Sedyawati mengungkapkan setidaknya ada enam aspek

intangible atau ―tak benda‖ dapat berkenaan dengan (1) konsep mengenai benda

itu sendiri, (2) perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, (3)

kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, (4) isi pesan yg

terkandung di dalamnya, (5) teknologi untuk membuatnya, dan (5) pola tingkah

laku yang terkait dengan pemanfaatannya. Tidak semua dari keenam aspek

tersebut harus sekaligus semaua ada pada sebuah benda, namun sebuah benda pada

Page 390: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

umumnya mempunyai lebih dari dua aspek intangible yang melekat padanya

(Sedyawati 2006: 161--162).

Warisan budaya intangible di luar yang terdapat pada benda konkret

tersebut, juga memerlukan upaya pelestarian, yaitu (1) sastra, yang dapat

digolongkan berdasarkan lisan atau tertulis, seperti mitos, legenda, dongeng,

kefilsafatan dan lain-lain, (2) musik, yang digolongkan atas vokal, instrumental,

dan gabungan, (3) tari, yaitu tari ‗murni‘, tari bercerita , dan gabungan, (4)

olahraga tradisional, (5) teater, (6) tata upacara, dan (7) ilmu pengetahuan. Aspek

di atas hampir semua terdapat pada upacara gendang kematian etnik Karo yang

memerlukan pewarisan seperti, perekaman, maupun upaya untuk memupuk

kehidupannya agar tetap aktual, sama-sama penting untuk dilakukan, yaitu karena

diperlukan oleh peneliti maupun bagi pewaris sumber daya budaya itu sendiri.

Dari dua sisi kehidupan sumber daya budaya mempunyai kaidah-kaidah

pewarisannya sendiri, yaitu di satu sisi dokumentasi dan pengarsipan yang sebaik-

baiknyauntuk kepentingan ilmiah, dan di sisi lain pengeya sebagai substansi

industri budaya untuk pemenuhan kebutuhan penikmatan serta ‗pemihakan‘ oleh

khalayak ramai. Upaya yang disebut terakhir itulah yang dewasa ini sangat

memerlukan perhatian dari semua pihak yang peduli terhadap mutu kebudayaan

bangsa, karena banyaknya warisan budaya tradisi takbenda yang terancam tergusur

selama-lamanya oleh industri budaya yang semata-mata berancangan komersial

(Sedyawati, 2006: 164).

Page 391: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Pedentia (2008), mengatakan seperti halnya yang terjadi di berbagai negara

lain, di Indonesia pun warisan budaya makin lama makin menghilang dan

beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam tradisi juga yang

mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti pada upacara

ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan situasi dan

migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses perubahan dan bahkan

punahnya tradisi (seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi)

berarti juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional, kearifan lokal,

dan nilai-nilai budaya sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu

masyarakat. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas

berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsur-

angsur. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus

dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebab-

sebab terjadinya perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari

globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan.

Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan

yang tetap dan berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses

pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan

penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut, baik sebagai living

tradition maupun sebagai memory tradition.

Menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya

tradisi bersamaan dengan ―punah‖ nya penutur atau pemilik tradisi berarti

Page 392: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara

langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia

yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana

budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada

hilangnya identitas dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam,

dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam

artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam

berbagai bidang.

Selanjutnya menurut Pudentia, untuk melaksanakan hal tersebut, peran

masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD 45,

pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat

berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan upaya

memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja

sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis

masyarakat yang tidak hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk

turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran

bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya.

Masyarakat tempat pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling

mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana

mereka masih memerlukannya.

Tradisi lisan, sebagai bagian dari warisan budaya yang intangible, sadar

atau tidak telah berada dalam tahap penghancuran. Keberadaan tradisi lisan

Page 393: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

upacara gendang kematian saat ini, menimbulkan banyak kekhawatiran bagi

pemerhati budaya lokal, yang sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak,

seperti pemerintah daerah, lembaga nonpemerintah, para tokoh masyarakat, dan

tentu masyarakat Karo sendiri yang menjadi pendukung utama tradisi lisan

tersebut. Hal ini menjadi krusial karena keberadaan unsur yang paling penting

pada upacara, yaitu gendang lima sendalanen telah terpinggirkan dari tempat

semestinya ia berada, demikian juga unsur-unsur yang lain. Ismail Bangun

mengungkapkan sebagai berikut.

‖Sejauh ini pemerintah belum ada upaya untuk melestarikan tradisi. Saya

dan beberapa teman seniman dan budayawan sempat menyarankan kepada

pemerintah melalui dinas pariwisata, untuk melakukan revitalisasi

kebudayaan yang menyangkut adat istiadat yang ada pada etnik Karo.

Namun belum terealisasi karena tempat saja yang masih dapat disediakan

oleh pemerintah, sedangkan kebutuhan lain belum ada. Sudah dimulai

beberapa tahun terakhir namun sama sekali tidak ada kemajuan akibat

kurangnya dukungan pemerintah setempat. Akibatnya minat orang yang

belajar juga kurang antusias terhadap hal seperti ini. Ini juga tidak terlepas

dari peran pemerintah dalam mempublikasikannya‖ (Wawancara, 15 Juli

2012).

Warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible, tidak boleh

dibiarkan terbengkalai namun sebaliknya harus tetap ditumbuhkan dalam iklim

yang sesehat-sehatnya. Alih-alih menguatkan, pemerintah memegang andil yang

signifikan dalam kepunahan warisan budaya. pembubaran badan pengembangan

kebudayaan dan pariwisata dlam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

menghilangkan sandaran bagi pengembangan kebudayaan. Secara normatif, hal ini

berarti bahwa pemerintah kini tidak menangani pelaksanaan kerja dan hanya

berperan sebagai pengarah kebijakan. Perlindungan peninggalan sejarah

Page 394: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

purbakala, serta berbagai warisan buday intangible tidak lagi menjadi tanggung

jawab pemerintah dan dilepas ke khalayak ramai. Ini akan berdampak pada

kemunduran dan kepunahan warisan budaya milik etnik tertentu, yang secara

politis dan ekonomis tidak memiliki posisi tawar yang kuat (Sedyawati, 2008:

162).

Menurut Majid (2010: 139), Pemerintah sebagai pengemban amanat

undang-undang memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh

kembangkan warisan budaya. Di tangan merekalah ekspos tradisi dapat

diwujudkan, selain karena ditunjang oleh segi finansial juga memiliki akses dalam

membuka dan memfasilitasi warisan tradisi dalam skala yang lebih besar. Media

massa, bagaimanapun juga, telah menjadi tumpuan untuk dujadikan medium

pengembangan budaya. tanpa peran pemerintah dan media massa, warisan budaya

tradisional tidak dapat berbuat banyak, apalagi menumbuhkan kesadaran

masyarakat akan pentingnya peran dan fungsi kekayaan tradisi.

7.4.2 Pewarisan Melalui Revitalisasi

Revitalisasi tradisi lisan upacara gendang kematian merupakan pengokohan

jati diri etnik Karo yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa

strategisnya tradisi lisan upacara gendang kematian, sebagai falsafah hidup, dalam

menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan

memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan

Page 395: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

sebagai kelanjutan identitas Karo dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat

bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya.

Menurut Keesing, revitalisasi adalah perubahan komunitas karena

kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup

dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang

sudah lampau. Kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan

masyarakat yang sudah menyinggung dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat

berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap

mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap

mengikuti pola lama yang telah diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya (Keesing, 1999: 257).

Sibarani (2004: 30) bahwa revitalisasi kebudayaan adalah proses dan usaha

memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat

kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Kebudayaan harus menjadi bagian masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus

diusahakan untuk bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk lebih

menyejahterakan masyarakat.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa untuk melakukan revitalisasi

tradisi lisan dibutuhkan kepedulian kepedulian berbagai kalangan, baik dari

pemerintah daerah, pemerhati budaya, dan tentu saja masyarakat. Namun, yang

menjadi kunci utama dari revitalisasi tradisi lisan adalah sikap dari masyarakat

pendukungnya. Jekmen Sinulingga mengungkapkan sebagai berikut.

Page 396: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

‖Etnik Karo saat ini mengalami ambivalen dalam menyikapi upaya

pelestarian tradisi. Disatu sisi sangat antusias terhadap tradisi yang dimiliki

seolah olah tanpa menjalankan tradisi orang Karo tidak beradap, disisi lain

menganggap tradisi adalah kebiasaan yang ketinggalan zaman. Semestinya

generasi muda Karo saat ini diberi pencerahan dan motivasi untuk untuk

mencintai warisan budaya mereka (Wawancara, 26 Desember 2013).

Ungkapan diatas minyiratkan bahwa, dorongan yang sifatnya motivatif dan

proaktif kepada generasi muda harus terus ditanamkan dalam menjaga dan

memelihara keberadaan tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal sebagai

identitas etnik Karo. Pemerhati budaya sering mengungkapkan bahwa tradisi lisan

merupakan bagisn dari kebudayaan dan hidupnya tradisi lisan mencerminkan

hidup ebudayaan. Tradisi lisan yang tangguh adalah yang tetap hidup dalam

komunitas, hadir dalam kegiatan masyarakat, dan menjalankan fungsi dalam

konteks kehidupan. Selain itu, penyebaran dan penerusan kepada masyarakat

pendukung, baik segenerasi maupun antargenerasi terus berlangsung.

Tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

mengalami kemunduran bahkan sebagian dari unsur di dalamnya mengalami

kepunahan. Kemunduran ini ditandai oleh berbagai faktor yang memengaruhinya,

sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya tradisi lisan yang tidak hidup lagi

di masyarakat. Tradisi lisan itu telah kehilangan pemiliknya dan generasi

pemiliknya tidak pernah lagi melihat tradisi lisan itu. Akibatnya bentuk dan isi

tradisi lisan itu semakin tidak dikenal komunitasnya. Atas dasar itu, menurut

Sibarani, tradisi lisan sangat perlu membuat model revitalisasi untuk

menghidupkan tradisi lisan itu dan sekaligus memfungsikan nilai dan norma

Page 397: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

budaya yang terkandung di dalamnya untuk menata kehidupan komunitasnya

(Sibarani, 2012: 292).

Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu

yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan

maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara terorganisir oleh

individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang

memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran

akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya

timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari warisan

leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.

Hal tersebut di atas, sesuai dengan pendapat Astra (2004: 115--116)

menyatakan pentingnya mendayagunakan atau merevitalisasi tradisi lisan atau

kearifan lokal untuk tujuan pembangunan. Memilah upaya-upaya revitalisasi, yaitu

menggali serta merumuskan dengan tepat kearifan lokal yang ‖masih terpendam‖

dalam berbagai aspek kehidupan atau budaya, memupuk kearifan lokal yang sudah

berfungsi dengan baik, dan merevitalisasi kearifan lokal secara sistematis dan

terencana sehingga dapat berfungsi secara tepat dan optimal.

Upacara gendang kematian adalah salah satu tradisi lisan yang sangat

penting di kalangan etnik Karo. Pada upacara ini setiap individu dituntut dapat

menempatkan dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana

kemajemukan yang dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan

kekerabatan sangkep nggeluh. Dalam perjalanannya, tradisi lisan ini berhadapan

Page 398: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

dengan berbagai kekuatan, seperti masyarakat, dan para pewaris upacara gendang

kematian tersebut. Tradisi lisan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya,

merupakan wujud pencarian identitas bagi masyarakat atau etnik tertentu sehingga

dapat memahami keberadaannya di tengah-tengah kemajemukan masyarakat saat

ini. Identitas diperoleh, dikelola, dan ditrasformasikan melalui berbagai proses

sosial. Identitas sangat penting karena dia membentuk prilaku etnik. Tradisi lisan

mampu membentuk identitas etnik dan membedakannya dari etnik lain. perbedaan

perilaku etnik bertentangan dengan prinsip yang dianut masyarakat global.

Globalisasi menjadikan universalitas sebagai tujuan utamanya sehingga

memungkinkan terciptanya hegemonisasi budaya.

Hegemoni budaya tidak terlepas dari peran media massa yang

menghasilkan budaya massa, dan penguasa yang terus-menerus mengembangkan

praktik-praktik kekuasaan. Kapitalisme global tidak hanya berkaitan dengan

ekspansi kapital dan pasar, tetapi juga merambah pada nilai-nilai kultural.

Kapitalisme global dibangun atas fondasi individualisme, dibangun berdasarkan

persaingan untuk menguasai dan mendominasi. Hal ini sangat bertentangan

dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh budaya lokal, seperti semangat

kebersamaan, kesederhanaan, tenggang rasa, dan kasih sayang. Jika hegemoni

kultural terus berlanjut, maka akan terjadi proses penghancuran budaya lokal

beserta warisan-warisan budaya lainnya (Majid, 2010: 134).

Oleh sebab itu, budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari

zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh

Page 399: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi

yang begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya

lokal, maka perlu dimunculkan revitalisasi tradisi lisan/kearifan lokal. Seperti yang

diungkapkan Majid (2010: 21), revitalisasi menjadi hal yang sangat penting untuk

dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang

menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan

untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang

telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin

disikapi dan ditindaklanjuti. Revitalisasi meniscayakan nilai-nilai budaya lokal

menjawab berbagai tantangan globalisasi.

Revitalisasi tradisi melingkupi kesadaran kolektif masyarakat lokal untuk

memperkokoh jati diri dan identitas bangsa dengan menumbuhkan kembali norma

dan nilai-nilai budaya lokal yang telah didefinisikan di masa lalu secara kolektif,

dan diwariskan secara turun temurun sehingga mampu memberikan arah pada

perkembangan budaya lokal yang mengandung nilai-nilain kebenaran.

Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya

lokal sehingga dapat mengaktualisasikan diri dalam konteks global.

Pengembangan budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran

budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas

lokalsehingga mampub menumbuhkan kesadaran cultural tanpa mengorbankan

nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan

budaya lokal sebagai kebutuhan dalam mensejahterakan masyarakat. Adapun

Page 400: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

indicator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan, antara lain sebagai berikut. (1)

menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam

menghadapi derasnya arus globalisasi, (2) kesadaran untuk memnanamkan cara

hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya likal dalam memperkokoh

jati diri masyarakat lokal, (3) membangkitkan kembali atau pemberdayaan,

pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat, (4)

memulihkan dan membangklitlan kembali ingatan dan keadaran klektif

masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya, dan (5) dorongan untuk

menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan

budaya lokal Majid (2010: 27--28).

Seharusnya ditengah perubahan masyarakat, tradisi lisan upacara gendang

kematian etnik Karo mampu menyesuaikan struktur dan fungsinya sehingga dapat

hadir dalam wujud yang serasi dengan perilaku manusia penggunanya. Namun,

kenyataan ini bertentangan dengan kondisi yang dialami saat ini, dimana

implementasi tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo jauh melenceng

dari yang seharusnya. Tradisi lisan tidak lagi menjadi cerminan masyarakat

pendukungnya, bahkan makin menjauh dan tidak lagi memiliki daya pikat sesuai

dengan semestinya. Oleh sebab itu revitalisasi tradisi lisan ini harus dilakukan.

Revitalisasi tradisi lisan adalah proses dan usaha melestarikan kearifan

lokal dalam kehidupan masyarakat atau usaha membuat tradisi lisan menjadi suatu

yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Merevitalisasi

tradisi lisan menurut Sibarani (2004: 33--34), (1) mendorong setiap tradisi lisan

Page 401: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

suatu etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi. Agar semua tradisi di Indonesia

ini dapat hidup dan berkembang, kita harus menghindari dominasi kebudayaan

mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan penyeragaman kebudayaan, (2)

membuat tradisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai

tontonan masyarakatnya. Hakikat tradisi lisan harus dicari, doformulasikan, dan

dimanfaatkan dalam rangka revitalisasinya, (3) kebudayaan bangsa (kebudayaan

nasional) kita merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan

keseluruhan kebudayaan baru. Dalam pemikiran ini, tidak ada tradisi suatu etnik

yang lebih rendah daripada tradisi etnik lain, semuanya sama. Ini memungkinkan

dan memotivasi pemilik tradisi mensinergikan kemampuannya untuk

merevitalisasi dan menghargai tradisinya sendiri karena dia tidak akan bingung

mencari puncak-puncak kebudayaan daerah yang tidak berpuncak itu. Marilah kita

meratakan ‖puncak-puncak‖ itu supaya semua transfaran dan hidup berdampingan,

(4) membangun perkampungan budaya (culture village) pada setiap kabupaten.

Perkampungan budaya pada setiap wilayah etnik atau kabupaten sangat perlu

dibangun agar dapat dimanfaatkan sebagai wadah transfer budaya secara sosial,

sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya, (5) segala bentuk

pembangunan harus dilandasi oleh tradisi masyarakat setempat. Penyeragaman

pembangunan selama ini terjadi telah terbukti gagal karena tidak

memperhitungkan kebudayaan masyarakat setempat. Berapa banyak penbangunan

KUD yang menjadi kandang hewan di desa-desa, berapa banyak perumahan guru

tidak ditempati. Ini semua terjadi karena pembangunan tidak didasarkan pada

Page 402: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

aspek-aspek sosial-budaya masyarakat setempat, (6) melibatkan masyarakat

setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima

untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan. Dengan

metode seperti ini, masyarakat akan merasa memiliki, menghargai, dan menguasai

kebudayaannya. Kebudayaan adalah masalah kebiasaan, dan (7) melibatkan

‖orang-orang budaya‖ dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap

pembangunan. Perencanaan pembangunan di masa mendatang harus melibatkan

perencanaan dari orang-orang budaya, baik itu dari latar belakang humaniora

maupun dari latar belakang sosial.

7.5 Temuan Penelitian

Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi, menghasilkan temuan yang merupakan pemahaman baru terhadap

permasalahan penelitian. Adapun temuan yang dapat dikemukakan dan perlu

dicermati dalam penelitian ini adalah seperti berikut ini.

Pertama, etnik Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai

tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain

yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh

sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan

alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk

lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait

dengan kosmologi etnik Karo.

Page 403: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan

jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup

dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan

keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi

begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika

seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam

hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari

ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi

hantu.

Ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara

gendang kematian, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging

jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut

menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah,

tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut

menggambarkan bahwa eksistensi etnik Karo adalah bagian integral dari

lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai

satu kesatuan menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam.

Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya.

Kedua, ditemukan bahwa etnik Karo pada era globalisasi menganggap

dirinya tidak dipengaruhi oleh sesuatu dalam tumbuh kembangnya perubahan

unsur-unsur upacara gendang kematian yang sudah tergerus dari keasliannya.

Mereka menganggap perubahan itu bukan sebagai sebuah kekuasaan modern yang

Page 404: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menimpa nilai-nilai budayanya, melainkan hanya merupakan kelumrahan dijalani

tanpa resistensi. Namun, dalam penelitian ini ditemukan hal-hal yang signifikan

dari globalisasi sebagai agen perubahan yang berwujud kristenisasi, industri

budaya, dan media elektronik. Bahkan masyarakat Karo menyandingkan atau

menyejajarkan antara nilai dan harga. Hantaman spiritualitas modern

menyebabkan harga di atas nilai, yang semestinya spiritualitas tradisi menjunjung

tinggi nilai diatas harga.

Ketiga, ditemukan bahwa gendang lima sendalanen bukan musik ―kafir‖,

seperti yang dikatakan oleh misionaris dari Belanda. Setelah ditelaah lebih dalam

penelitian ini menemukan bahwa gendang lima sendalanen adalah representasi

identitas Karo yang dapat mewakili kekerabatan yang ada. Sarune adalah

sukut/sembuyak, gendang singindungi adalah kalimbubu, gendang singanaki

adalah senina, penganak adalah anak beru, dan gung adalah anak beru minteri.

Dengan demikian gendang lima sendalanen adalah sistem kekerabatan yang ada

pada masyarakat Karo sesuai dengan prilaku masyarakat baik dari instrumen

maupun bunyi musik yang dihasilkan ensambel tersebut.

Etnomusikologi mencurahkan perhatiannya untuk mengumpulkan fakta-

fakta kemudian mencari penyelesaian masalah-masalah mendasar di dalam

hubungan dengan studi tentang musik sebagai bagian dari budaya manusia.

Menurut Merriam, hal ini ditekankan di dalam literatur etnomusikologi yang

cenderung untuk mengarahkan perhatiannya terhadap analisis suara-suara musik

dan menghubungkan dengan matris budayanya. Di samping itu, juga terhadap

Page 405: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

deskripsi fisik instrumen-instrumen musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan

analisis tentang musik itu dan apa peranannya di dalam masyarakat (Merriam,

1995: 91).

Keempat, ditemukan bahwa spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi disebabkan oleh ketertinggalan pengembangan dan

perkembangan seni budaya Nusantara apabila dibandingkan dengan seni budaya

Barat, baik di sokolah-sekolah formal maupun nonformal. Perbandingan ini dapat

diibaratkan sebagai situasi deret ukur (berdasarkan waktu). Dalam hal ini

perkembangan seni budaya Nusantara berdasarkan deret waktu terus mengalami

penyusutan, sedangkan perkembangan seni budaya Barat terus mengalami

kenaikan secara sugnifikan. Sebagai konsekuensinya, komunitas budaya tradisi

terpinggirkan (identitas melemah). Hal ini berkebalikan dengan komunitas budaya

modern. Secara kajian budaya, fenomena ini merupakan sebuah kerugian besar

bagi budaya yang terpinggirkan.

7.6 Refleksi

Kondisi perubahan dengan bertumbuhkembangnya unsur-unsur

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dan

semakin tergesernya sisi-sisi ritual dengan beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke

modern, terkikisnya budaya Karo, serta menurunnya kreativitas seniman, maka

dianggap perlu strategi kebudayaan dalam menata upacara gendang kematian

untuk masa yang akan datang, jangan sampai di tinggalkan oleh generasi yang

Page 406: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

berikutnya. Pola strategi budaya yang dibutuhkan dari warisan leluhur seperti

tradisi lisan masa lampau dengan adanya tafsiran-tafsiran baru khususnya terhadap

eksistensi upacara gendang kematian ke depan, dengan rasa kebanggaan,

kecintaan, dan kepercayaan terhadap upacara gendang kematian sebagai tradisi

yang unggul dan menjadi bagian penting dari identitas kekaroan.

Dalam melakukan strategi itu ada tiga hal yang mesti diperhatikan.

Pertama, upaya untuk menciptakan persepsi dan resepsi terhadap upacara gendang

kematian sebagai budaya yang komprehensif yang mempunyai peran dan cakupan

luas atas sendi-sendi kehidupan masyarakat pemilik dan pendukung upacara

gendang kematian tersebut. Tentu saja dilakukan dengan cara menjawab tantangan

kontestasi global yang deras. Tradisi suatu masyarakat merupakan faktor penentu

eksistensi masyarakat tersebut. Gendang kematian sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan urusan masa lalu tentu saja tidak sepaham dengan hakikat kebudayaan

yang dinamis bahwa kebudayaan selalu mengikuti perubahan masyarakat untuk

mencapai suatu kehidupan yang baik dari sebelumnya. Kedua, menjadikan upacara

gendang kematian sebagai media ampuh dalam menghadapi berbagai tantangan

globalisasi, perputaran waktu yang sangat cepat. Ketiga, upacara gendang

kematian sebagai ikon budaya Karo, jati diri, dan identitas kekaroan, harus

didekatkan pada falsafah pembudayaan yang diarahkan pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat Karo.

Selain ketiga aspek di atas, diperlukan visi (tujuan) dan misi (rencana

program) yang sama dalam usaha pengembangan dan pelestarian upacara gendang

Page 407: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

kematian. Budayawan/seniman, masyarakat pendukung gendang kematian

semestinya harus secara bersama merumuskan secara tepat strategi membangun

upacara gendang kematian. Bagaimana peran upacara gendang kematian dalam

pengembangan masyarakat dan bagaimana peran masyarakat dalam

pengembangan upacara gendang kematian. Kedua peran ini harus diciptakan

sebagai suatu gerakan terpadu dan tidak dalam oposisi biner, tetapi posisinya

dalam satu garis linear hubungan kausalitas.

Berdasarkan pemahaman bahwa upacara gendang kematian memiliki

kekuatan dan potensi lebih sempurna daripada upacara-upacara yang lain, maka

hal ini penting dijawab sebagai tantangan komunitasnya. Artinya,

budayawan/seniman, etnik Karo, dan pemerintah daerah perlu menciptakan

berbagai momen yang berujung pada meningkatnya pemahaman dan minat

masyarakat Karo khususnya dan dunia untuk mempelajari dan memperlakukan

upacara gendang kematian sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa di berbagai

forum.

Untuk itu, pengembangan dan pemberdayaan upacara gendang kematian

dapat dilakukan dengan menyentuh filosofi hidup, yakni erpenungkunen man

senina (bermusyawarah dengan senina), mehamat er kalimbubu (menghormati

kalimbubu), dan metami er anak beru (menyayangi anak beru). Filosofi

masyarakat terhadap kematian itu sendiri, yakni buk mulih ku ijuk (rambut menjadi

ijuk), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu), dareh milih ku lau (darah menjadi

air), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), kesah mulih ku angin (napas

Page 408: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

menjadi angin) dan tendi jadi begu (roh menjadi hantu). Hal tersebut berarti

manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain, sedangkan manusia mati untuk

menghidupkan manusia lain. Tidak ada manusia yang tetap hidup, sampai saatnya

akan meninggal. Dengan demikian, ada rasa memiliki, dan menjadikan upacara

gendang kematian sebagai alat kontrol sosial dalam peradaban etnik Karo, baik

pada masa lampau, dan masa kini, maupun masa depan.

Page 409: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumya mengenai

penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

dapat dihasilkan temuan dan refleksi dalam penelitian ini. Adapun simpulan dalam

penelitian ini sebagai berikut.

Pertama, dalam paham tradisional etnik Karo menganggap ada

keterbatasan hidup manusia di dunia ini, tetapi dipahami juga bahwa ada

kehidupan setelah kematian. Ada hubungan yang berkelanjutan antara orang yang

hidup dan orang mati. Dengan denikian, dalam spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi

ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (nafas menjadi

angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang

menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi begu).

Spirituaitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi telah

mengalami proses historis yang panjang yang diawali dengan adanya gejala

perubahan ke dalam unsur-unsur upacara yang cenderung mengarah pada nilai-

nilai upacara gendang kematian mengikuti pola-pola modern. Pergeseran dari

tradisi (gendang lima sendalanen) ke modern (keyboard/trompet) beserta unsur-

unsur yang lain dalam upacara gendang kematian kelihatan indah dinikmati dan

Page 410: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

disaksikan, bahkan terasa menyatu, baik secara individu maupun bersama, tetapi

perlahan kesakralan akan terabaikan. Pemakaian keyboard dalam musik tradisi

Karo pada mulanya dalam konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada

gendang patam-patam (repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron

muda-mudi). Pemakaian keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat

memberikan aksen tertentu pada komposisi tersebut. Dengan melakukan

eksperimen pencarian bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru

berbagai pola melodi sarune dan pola ritmis gendang singanaki, gendang

singindungi, penganak, dan gung. Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik

yang diprogram dalam keyboard sehingga menggantikan posisi gendang lima

sendalanen menjadi keyboard tunggal dalam ensambel musik Karo yang kemudian

digunakan pada upacara gendang kematian.

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian

etnik Karo pada era globalisasi mencakup faktor intern dan faktor ekstern. Faktor

intern adalah faktor-faktor yang muncul dari konstruksi budaya lokal itu sendiri,

seperti adanya masyarakat pendukung, budayawan/seniman dengan kreativitasnya,

dan konstruksi identitas dalam lokalitasnya di tengah-tengah pusaran arus budaya

global. Sebaliknya, faktor ekstern adalah faktor yang cenderung mengarah kepada

faktor penguasaan, standardisasi, keseragaman budaya yang dapat melengserkan

budaya lokal yang plural dalam kekaroan. Bahkan, dapat menghilangkannya

apabila tidak memiliki strategi ketahanan budaya upacara gendang kematian.

Faktor ekstern yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian etnik Karo pada

Page 411: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

era globalisasi, seperti kristenisasi, industri budaya dimana bertemunya budaya

global dengan budaya lokal, dan media elektronik.

Ketiga, makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi, yaitu makna spiritualitas pramodern yang diuraikan dari unsur upacara

gendang kematian, seperti gendang lima sendalanen, yang merujuk pada karya

seni musik, tradisi, kosmologi, dan religi pada etnik Karo. Gendang lima

sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak,

mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidupnya. Kehadiran keyboard/trompet

dalam upacara gendang kematian etnik Karo merupakan spiritualitas modern, yaitu

bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah

konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi

status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai

catatan baru dalam sejarah dinamika spiritualitas kultural etnik Karo.

Makna perubahan budaya seperti beralihnya nilai tradisi ke modern adalah

teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ke

agama Kristen. Terkikisnya spiritualitas etnik Karo akibat arus glonalisasi

menyebabkan nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian mengalami perubahan

ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada terjadinya krisis identitas. Di

samping itu menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan

dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang

kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern dengan menekan satu

Page 412: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

tombol saja terhadap perubahan budaya Karo. Sangkep nggeluh sebagai

kekerabatan berangsur-angsur berubah fungsi dengan hantaman arus globalisasi.

Strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo yang menyangkut

keluarga, masyarakat, pemerintah dapat berpartisipasi dalam menjaga keutuhan

dan kelangsungan upacara gendang kematian. Dalam menghadapi derasnya arus

globalisasi, upacara gendang kematian sebagai kearifan lokal untuk melakukan

revitalisasi tradisi lisan yang membutuhkan kepedulian berbagai kalangan

keluarga, masyarakat, dan pemerintah

8.2 Saran

Sesuai dengan tujuan dan temuan penelitian spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dapat disampaikan sebagai

berikut.

Pertama, para peneliti yang tertarik dengan gendang kematian etnik Karo

atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil

penelitian ini terbuka untuk dikritik. Selain itu, juga terbuka untuk penelitian

lanjutan, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih

kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisasi.

Kedua, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan

pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan,

para penentu kebijakan di berbagai tingkatan, baik ekskutif maupun legislatif,

Page 413: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

pimpinan organisasi kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman,

budayawan, praktisi seni dalam memecahkan berbagai permasalahan

pembangunan untuk kesejahteraan bersama, lebih khususnya pembangunan seni

budaya pada era globalisasi.

Ketiga, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan

kemajuan disiplin kajian budaya. Di samping itu, juga sebagai sumber rujukan

utama ataupun sumber alternatif dalam dinamika kreativitas kehidupan

berkesenian masyarakat di daerah Karo khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan

Indonesia pada umumnya.

Keempat, disadari bahwa dalam penelitian terdapat keterbatasan-

keterbatasan. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

yang lebih mendalam, lebih luas, dan lebih komprehensif.

Page 414: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan dan Iqbal, Ibnu. 2008. (ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam

Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, Taufik. 1994. Sumatera Utara dalam Lintas Sejarah: Sejarah

Perkembangan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Adlin, Alfahri (ed.). 2007. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.

Yogyakarta: Jalasutra.

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Akbar, Ali. 2011. Tradisi Lisan sebagai Sumber Pencarian dan Pengidentifikasian

dalam Jurnal ATL, Edisi April. Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi

Peneliti dan Tradisi Lisan. Hal. 42--47. Jakarta: ATL.

Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta:

UI Press.

Astra, I Gde Semadi. 2004. ―Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya

Memperkokoh Jadi Diri Bangsa‖ dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra

(ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra

Universitas Udayana dan Balimangsi Press.

Bakan, Michael B. 1999. Music of Death and New Creation, Experiences in the

World of Balinese Gamelan Beleganjur Chicago: University of Chicago.

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat tentang Kosmos sebagai

Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

Bakker, SJ J.W.M. 2005. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Kanisius.

Banawiratma, J.B., S.J. 1990. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan

Ekumenis. Yogyakarta: Kanisius.

Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indayu Press

Page 415: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Bangun, Tridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta:

Yayasan Merga Silima.

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (terj. Nurhadi).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhaidi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks : Analisis Semiologi atas Fotografi,

Iklan, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. (terj.

Agustinus Hartono) Yogyakarta: Jalasurta.

Berry, Thomas. 2013. Kosmologi Kristen. (terj. Amelia Hendani). Maumere:

Ledalero.

Bevans, Stephen B. 2002. Model-Model Teologi Kontekstual. (terj. Yosef Maria

Florisan). Maumere: Ledalero.

Boskoff, Alvin. 1964. ‖Recent Theories of Social Change‖ dalam Werner J.

Cahnman dan Alvin Boskoff, Sosiology and History : Theory and Reserch.

London: The Free Press of Glencoe.

Budiarto, C. Teguh. 2001. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta:

Tarawang Press.

Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat-istiadat Karo Kabanjahe: Toko Bukit

Capra, Fritjof. 1999. Menyatu dengan Semesta: Menyikap Batas antara Sains dan

Spiritualitas (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Capra, Fritjof. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistomologi dan

Kehidupan (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. (terj.

Laily Rahmawati) Yogyakarta: Niagara.

Cooley, Frank L. 1976. Tim Penelitian GBKP dan Staf Proyek Survei Menyeluruh

DGI, Benih Yang Tumbuh IV, Suatu Survei Mengenai Gereja Batak Karo

Protestan. Jakarta: LPGI.

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.

Jakarta: Grafiri.

Page 416: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai

Semiotika dan Teori Komunikasi. (Terj. Setyarini dan Piantari).

Yogyakarta: Jalasutra.

Dharmojo. 2005 Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. (terj. Kelompok

‖Driarkara‖). Yogyakarta: Kanisius.

Dibia, I Wayan. 2005. ‖Karya Seni Lintas Budaya dan Beberapa

Permasalahannya‖ dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang

Pendekatan Emik Nusantara, Waridi (ed.) Surakarta: FF dan STSI, hlm.

376--386.

Dibia, I Wayan. 2006. ‖Kesenian Rakyat yang Terpinggirkan‖ (Makalah)

Matrikulasi Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, 5-19

Agustus. Universitas Udayana.

Dibia, I Wayan. F.X. Widaryanto dan Endo Suanda. 2006. Tari Komunal. Jakarta:

Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.

Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Simbol (terj. A.

Widyamatataya). Yogyakarta: Kanisius.

Djohan. 2005. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.

Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu: Penciptaan, Pemeliharaan, dan

Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramita.

Eco, Umberto. 2004. Tamasya dalam Hiperealitas. (terj. Iskandar Zulkarnaen).

Yogyakarta: Jalasutra.

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta

Teori Produksi Tanda. (terj. Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Kreasi

Wcana.

Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah.

(terj. Cuk Ananta). Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:

Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Page 417: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Chambridge: Polity Press.

Fasya, Teuku Kemal. 2006. Kata dan Luka Kebudayaan Isu-Isu Gerakan

Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. Medan: USU Press.

Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (terj. Misbah

Elizabeth). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gahral Adian, Donny. 2006. ―Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi‖ dalam

Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 23--

33. Yogyakarta: Jalasutra.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan, Kebudayaan dan Agama, Politik

Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. (terj. Ali Noer Zaman).

Yogyakarta: IRCiSoD.

Gie, The Liang. 2004. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB.

Ginting, Bobking Sidney. 2009. Analisis Komunikasi Transendental pada

Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa Daulu,

Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Tesis S2 Studi Komunikasi UDA.

Medan.

Gintings. E.P. 1997. Adat Karo Ibas Kalak Mate: Kinata Berita Si Meriah kerna

Kematen i bas Masyarakat Karo. Kabanjahe: Abdi Karya.

Gintings. E.P. 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru.

Kabanjahe: Abdi Karya.

Ginting, Nalinta (peny.). 1983. Seminar Adat Istiadat Karo, 16 s.d. 19 Pebruari

1977 di Kabanjahe.

Ginting, Pulumun P. 2012. Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada

Masyarakat Karo. Seminar Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi

Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal.

2--3 Agustus

Gourlay, K.A. 1995. ‖Perumusan Kembali Peran Etnomusikologi di dalam

Penelitian‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan

Benteng Budaya dan MSPI. hal, 123--176.

Page 418: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Griffin, David Ray. 2005. Visi-Visi Postmodern Spiritualitas dan Masyarakat (terj.

Gunawan Admiranto). Yogyakarta: Kanisius.

Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.

Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:

Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan

Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Buku Kompas.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

https://groups.yahoo.com/neo/groups/gbkp/conversations/topics/13572

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Musik_Pop_Theodor_Adorno

http://pariwisatakaro.blogspot.com/

http:/wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro

Ibrahim, Abd Syukur (ed.). 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (Advances in

Semiotics). Terj. Ibrahim dkk. Surabaya: Airlangga University Press.

Ibrahim, Idi Subandy. (ed.). 1997. Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam

Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. ―Chaospirituality di Taman Kontemplasi Batin:

Refleksi atas Fenomena Spiritualitas Akhir-akhir ini‖ dalam Adlin (ed.)

Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer Hal. 153-161

Yogyakarta: Jalasutra.

Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gondrang Simalungun Struktur dan Fungsi dalam

Masyarakat Simalungun. Medan: Bina Media.

John, Liku Ada. 2006. Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Konferensi

Waligereja Indonesia.

Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:

Paradigma.

Page 419: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Kayam, Umar. 2004. ―Budaya Massa Indonesia‖ (dalam Lifestyle Ecstasy:

Kebudayaaaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Ibrahim,

ed., Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 27--43).

Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.

(terj. Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga.

Kipp, Rita Smith. 1976. The Ideology of Kinship in Karo Batak Ritual. Degree of

Doktor of Philosophy University of Pittsburgh.

Kleden, Leo. 2003 ‖Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma

Kebudayaan‖ dalam Murgiyanto dkk (ed). Mencermati Seni Pertunjukan I

Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. hal 1--18 Surakarta: FF & STSI.

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan. Yogyakarta: Djembatan.

Krader, Barbara. 1995. ‖Etnomusikologi‖ dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi.

Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal 1--32.

Kunst, Jaap. 1955. Ethnomusicology: A Study of its Nature, its Problems, Methods,

and Representative Personalities to which is added a Bibliography.

Netherlands: Martinus Hijhoff.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai

Postmodrnitas. Yogyakarta: Kanisius.

Liembeng, Julianus. 2007. Erpangir Kulau, Mandi Ritual pada Masyarakat Karo.

Jakarta: Depbudpar.

Liliweri, Alo. 2005. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.

Yogyakarta: PT Lkis.

List, George. 1995. ‖Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya‖ dalam

Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya

dan MSPI. hal 33--39.

Page 420: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari

Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies.

Jakarta: Pusaka Indonesia Satu (PIS).

Lubis, Nur A Fadhil. 2006 ―Agama sebagai Poros Perubahan Sosial‖ dalam Fasya,

Teuku Kemal (ed) Kata dan Luka Kebudayaan Isu-isu Gerakan

Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. hal, 215--235. Medan: USU

Press.

Mack, Dieter. 2001a. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Bandung:

Artiline.

Mack, Dieter. 2001b. Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia dan MSPI.2

Majid, Bakhtiar. 2010. ―Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Bololo dalam

Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya‖. Tesis S2 Kajian

Budaya Universitas Udayana Denpasar.

Marianto, Dwi M. 2006. Quantum Seni. Semarang: Dahara Prize.

Marsden, William. t.t. Sejarah Sumatera. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mbete, Aron Meko (peny.). 2009. Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme:

Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Kajian Budaya Universitas

Udayana.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music, Chicago: Northwestern

University Press.

Merriam, Alan P. 1995. ‖Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif‘ dan

‘Entomusikologi‘: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis‖ dalam Supanggah

(ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI.

hal, 40-64.

Merriam, Alan P. 1995. ‖Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi‖

dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi, Yogyakarta: Yayasan Benteng

Budaya dan MSPI. hal 89--122.

Milala, Terang Malem. 2008. Utang Adat Kematian dalam Adat Karo. Medan:

Maranatha.

Page 421: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Minawati, Rosta. 2010. ―Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas

Agama di Kabupaten Karo, Sumatera Utara‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian

Budaya Universitas Udayana. Bali.

Moleong, MA Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas dan Kritik Penalaran

Poskolonial. (terj. Wiwin Indiarti). Yogyakarta: Pararaton.

Munro, Thomas. 2007. Estetika Timur: Sebuah Kajian bagi Pertemuan antara

Budaya Timur dan Barat. (terj. Heribertus B. Sutopo). Surakarta: Seni

Rupa UNS.

Murgiyanto, Sal. (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif

Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: Ford Foundation dan Sekolah

Tinggi Seni Indonesia.

Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari Di Indonesia.

Jakarta: Weda Tama Widia Sastra.

Nakagawa, Shin. 1999. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Neumann, J.H. 1972. Sedjarah Batak-Karo Sebuah Sumbangan. Djakarta:

Bhratara.

Norris, Christoher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (terj.

Insyak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Parto, Suhardjo F.X. 1996. Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pasaribu, Ben M. 2004. Pluralitas Musik Etnik. Medan: Universitas HKBP

Nommensen.

Pasaribu, Ben M. 2008. Arkeomusikologi. Medan: Balai Arkeologi.

Pasaribu, M. Patar. 2005. Dr. Ingwer Ludwing Nommensen Opostel di Tanah

Batak. Medan: Universitas HKBP Nommensen.

Page 422: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Patria, Nezar dan Andi, Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pelly, Usman. 2010. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Wujud

Budaya Spiritual (Kata Pengantar). dalam Ibrahim Gultom. Agama

Malim di Tanah Batak. hal. v – xvi. Jakarta: Bumi Aksara.

Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera

Timur Laut (terj. Saraswati Wardhany) Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Peursen. C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta:

Mizan Publika.

Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. (terj. Samanjaya). Bandung:

Ultimus.

Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media.

Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media.

Pudentia, MPSS (ed). 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL

Pujaastawa, Ida Bagus Gde. 2011. ―Komodifikasi Lingkungan dan Implikasinya

terhadap Sistem Sosiokultrural di Desa Taro‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian

Budaya Universitas Udayana. Bali.

Purba, Rehngenana. 2000. Lembaga Musyawarah Adat (Runggu) dan Perdamaian

Desa sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di

Tanah Karo. Medan: Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas

Sumatera Utara.

Puspa, Ida Ayu Tari. 2014 Bali Dalam Perubahan Ritual: Komodifikasi Ngaben di

Era Globalisasi. Provinsi Bali: Buku Arti.

Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Yayasan Massa

Page 423: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Rahyono. F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta : Wedatama Widya

Sastra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu

Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ried, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia.

(terj. Masri Maris). Jakarta: KITLV dan OBOR.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. (terj. Muhammad Taufik).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ruly Darmawan. 2007. ”Spiritualitasi dan Kontekstualisasi Objek Visual‖ dalam

Alfathri Adlin (ed) Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.

hal. 143--151 Yogyakarta: Jalasutra.

Rumengan, Perry. 2010. Hubungan Fungsional Struktur Musikal - Aspek

Ekstramusikal Musik Vokal Etnik Minahasa. Yogyakarta: Institut Seni

Indonesia.

Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstruksi ala Foucauld dan Derrida.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Safari, Agus & Hermana, W. (peny.) 2008. Ketika Musik Bambu Dibicarakan.

Bandung: Balai Pengelolaan TBJB.

Sangti, Batara (Ompu Buntilan Simanuntak). 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl

Sianipar Company.

Santosa dkk. 2007. Etnomusikologi Nusantara Perspektif dan Masa Depannya.

Surakarta: ISI Press.

Page 424: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Santoso, Heri. 2009. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik atas Metafisika

dan Epistemologi Modern. Dalam Santosa, Listyono (ed.). Epistemologi

Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media. Hal. 247--259.

Santoso, Listyono (ed.). 2009. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media.

Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta:

Jalasutra.

Schacht, Richard. 2005. Alienasi: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (terj.

Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra.

Sediawati, Edy. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta :

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Sediawati, Edy. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.

Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Sembiring, Norita N. 2010. Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam

Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dalam Budiawan (ed.)

Ambivalensi Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di

Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 73--92.

Sembiring, Terbit. 1987. Song of Evacuation: Song of Fighting for Independence

in Indonesia (Lagu ‘Mengungsi‘: Sada Lagu Perjuangan Kemerdekaan i

Indonesia). Dalam Rainer Carle (ed.) Cultures and Societies of North

Sumatra Berlin: Reimer. hal, 395--426.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik

Antropologi. Medan: Poda.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi

Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Silado, Remy. 1995. ‖Nyanyian Kematian dalam Tradisi Sinkretisme di

Minahasa‖ dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya. hal. 107--118.

Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku dalam

Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas

Kristen Simalungun. Yogyakarta: LkiS.

Page 425: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sinar, Luckman Tengku. 2005. The History of Medan In The Olden Times. Medan:

PERWIRA.

Singarimbun, Masri. 1960. Seribu Perumpamaan Karo. Medan Ulih Saber.

Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak.

USA: California University Press.

Sinuraya. P. 2000. Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Suka

Makmur: BPPM GBKP.

Sitepu, Bujur. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.

Soedarso, S.P. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.

Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta; Kanisius.

Spivak, Gayatri Cakravorty. 2003. Membaca Pemikiran Derrida: Sebuah

Pengantar. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Steedly, Mary Margaret. 1993. Hanging Without A Rope: Narrative Experience in

Colonial and Postcolonial Karoland. New Jersey: Princeton University

Press.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar

Komprehensif Teori dan Metode. (terj. Laily Rahmawati). Yogyakarta:

Jalasutra.

Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.

Suanda, Endo dan Sumaryono. 2006. Tari Tontonan Buku Pelajaran Kesenian

Nusantara. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.

Suastika, I Made. (ed.). 2008. Isu-Isu Kontemporer Cultural Studies. Denpasar:

CV Bintang Warli Artika.

Page 426: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Sugiartha, I Gede Arya. 2012. ―Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota

Denpasar‖. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Bali.

Sugiharto, Bambang. 2006. ―Kebudayaan Filsafat dan Seni‖ dalam Alfahtri Adlin

(ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 3--21.

Yogyakarta: Jalasutra.

Sugiharto, Bambang. (ed). 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.

Sukerta, Pande Made. 2009. Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan

Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar. Surakarta: Program Pascasarjana ISI

dan ISI Press.

Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB

Sumardjo, Jakob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI.

Supanggah, Rahayu. (Ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng

Budaya dan MSPI.

Sutrisnaatmaka. A.M. 2006 Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Budaya

Suku-Suku. Dalam John Liku Ada, (Ed). Dialog Antara Iman dan

Budaya. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Hal 95--121.

Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed.). 2005. Teori-Teori Kebudayaan.

Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. (terj.

Pipit Maizier). Yogyakarta: Jalasutra.

Takwin, Bagus. 2006. ―Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya

Hidup‖ dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan

Realitas. hlm. 35--54. Yogyakarta: Jalasutra.

Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi

dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.

Tamboen, P. 1952. Adat-Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 427: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Tarigan, Hendry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga

Silima.

Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Antusen Bilangen ibas Kalak Karo, Makna

Bilangan pada Masyarakat Karo. Bandung: FPBS IKIP.

Tarigan, Kumalo. 2006. ―Mangmang: Analisis dan Perbandingan Senikata dan

Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara‖. Penang: Tesis S2,

Etnomusikologi Universitas Sains Malaysia.

Tarigan, Prikuten. 2004. ―Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Karo Sumatera

Utara‖. Tesis S2 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.

Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

Turner, Bryan. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waridi (ed). Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik

Nusantara. Surakarta: STSI Press.

Weber, Max. 2006a. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. (terj. Utomo T.W.

Yusup Pria Sudiarja). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winfried, Noth. 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (terj. Abd. Syukur

Ibrahim). Surabaya: Airlangga University Press.

Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas.

Yogyakarta: UII Press.

Page 428: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Lampiran 1

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Ngambat Ginting

Umur : 86 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SR

Pekerjaan : Veteran/ Pemerhati Kebudayaan

Alamat : Kuta Mbaru

2. Nama : Kebun Tarigan

Umur : 84 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Seniman/Penarune

Pendidikan : SR

Alamat : Jl. Luku, Padang Bulan, Medan

3. Nama : Gantar Sembiring

Umur : 72

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pensiunan guru/ Singerunggui

Pendidikan : SPG

Alamat : Barus Jahe

4. Nama : Njenap Ginting

Umur : 71 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pensiunan/ Tokoh Masyarakat

Alamat : Barus Jahe

5. Nama : Amat Depari

Umur : 68 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Penggual, Perajin alat musik

Alamat : Seberaya

Page 429: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

6. Nama : Norma Br Tarigan

Umur : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Perkolong-kolong/Penyanyi

Alamat : Seberaya

7. Nama : Joker Barus

Umur : 62 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Guru (dukun)

Alamat : Barus Jahe

8. Nama : Ismail Bangun

Umur : 60 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Budayawan

Alamat : Batukarang

9. Nama : Drs. Samion Pinem

Umur : 60 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Pemain Musik Tiup

Alamat : Simalingkar, Medan

8. Nama : Darwan Tarigan

Umur : 58 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Penarune/ Seniman

Alamat : Kaban Jahe

9. Nama : Sorensen Tarigan

Umur : 55 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Seniman, Perajin alat musik

Alamat : Medan

Page 430: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

10. Nama : Jasa Tarigan

Umur : 54 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Penarune, Perkulcapi/Seniman

Alamat : Lona Garden Medan

11. Nama : Kumalo Tarigan

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Dosen Etnomusikologi/ Seniman Karo

Alamat : Tanjung Sari, Medan

12. Nama : Jenda Bangun

Umur : 52 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Pekerajaan : Budayawan/ Seniman / Wartawan

Alamat : Delitua

13. Nama : Jekmen Sinulingga

Umur : 52 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Magister

Pekerjaan : Dosen USU/ Pemerhati kebudayaan

Alamat : Koserna, Medan

14. Nama : Raja Edward Sebayang

Umur : 48 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Seniman, Kepala Desa Perbesi

Alamat : Perbesi

15. Nama : Siti Aminah Br Ginting

Umur : 45 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Perkolong-kolong/Penyanyi

Alamat : Kabanjahe

Page 431: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara untuk penelitian ―Spiritualitas Upacara Gendang

Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi‖ diklasifikasikan berdasarkan rumusan

masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Klasifikasi yang dimaksud berdasarkan

(A) gambaran umum (B) rumusan masalah 1, (C) rumusan masalah 2, dan (D)

rumusan masalah 3. Sebagai pedoman wawancara, daftar pertanyaan ini disusun

menurut pokok-pokok kenyataan dan akan dikembangkan sesuai dengan

konteksnya di lapangan dan penyampaiannya disesuaikan dengan situasi, bahasa,

dan latar belakang para informan yang dipilih.

A. Gambaran umum

1. Bagaimanakah letak, sejarah georafis, penduduk, dan sosial masyarakatnya?

2. Bagaimanakah bentuk organisasi sosial?

3. Bagaimanakah adat istiadat etnik Karo?

4. Bagaimanakah asal usul gendang lima sendalanen dalam gendang kematian

etnik Karo?

5. Adakah cerita rakyat yang berkaitan dengan gendang kematian etnik Karo?

B. Pertanyaan tentang wujud spiritualitas upacara gendang Kematian

etnik Karo pada era globalisasi

1. Bagaimanakah wujud upacara gendang kematian pada etnik Karo dulu?

2. Bagaimanakah menurut kepercayaan masyarakat Karo terhadap manusia yang

sudah meninggal?

3. Apakah dalam upacara gendang kematian ada unsur-unsur atau nilai-nilai

dasar dalam kehidupan masyarakat Karo sehari-hari?

Page 432: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

4. Bagaimanakah proses upacara gendang kematian pada masyarakat Karo?

5. Bagaimanakah praktik masyarakat Karo dalam gendang kematian?

C. Pertanyaan tentang faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

1. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi gendang lima sendalanen dalam

upacara gendang kematian masyarakat Karo? Sejak kapan?

2. Apakah faktor ekonomi pada masyarakat Karo dapat dijadikan penyebab

perubahan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian

masyarakat Karo? Jelaskan?

3. Apakah ada pengaruh dari agama Kristen terhadap perubahan upacara gendang

kematian pada masyarakat Karo?

4. Apakah kreativitas antarseniman dapat dijadikan penyebab perubahan gendang

lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik Karo? Kalau ya,

jelaskan? Kalau tidak, jelaskan?

5. Sampai kapan gendang lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik

Karo dapat bertahan? Jelaskan!

6. Apa yang semestinya dilakukan oleh masyarakat pendukung dalam hal

perubahan ini?

D. Pertanyaan tentang makna spiritualitas dan strategi pewarisan

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

1. Dalam kehidupan sehari-hari, makna apa yang bisa masyarakat Karo dapatkan

dari upacara gendang kematian?

2. Apa sebenarnya makna sangkep nggeluh dalam upacara gendang kematian?

3. Perubahan telah terjadi dalam upacara gendang kematian, kira-kira apa makna

perubahan ini, baik yang menguntungkan maupun merugikan bagi orang Karo?

4. Apakah makna keyboard bagi masyarakat Karo?

Page 433: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

5. Apakah makna gendang lima sendalanen bagi budaya Karo dan masyarakat

Karo?

6. Apa makna gendang kematian bagi budaya Karo dan masyarakat Karo?

7. Usaha apa yang dilakukan masyarakat Karo dalam mempertahankan gendang

lima sendalanen sampai saat ini?

8. Apakah gendang lima sendalanen memiliki potensi untuk berdaya kembali?

Jelaskan!

9. Apakah makna landek (menari) pada upacara gendang kematian?

10. Adakah makna filosofi yang menjadi pegangan masyarakat Karo terkait

dengan upacara gendang kematian?

11. Unsur-unsur dalam upacara gendang kematian, salah satunya adalah gendang

lima sendalanen, apakah gendang mempunyai hubungan dengan sistem

kekerabatan pada masyarakat Karo?

12. Perubahan apa yang paling tampak pada etnik Karo terkait dengan upacara

gendang kematian?

13. Apakah masyarakat Karo masih berharap mewariskan gendang lima

sendalanen pada upacara gendang kematian kegenerasi berikut sebagai

warisan leluhur orang Karo. Jika tidak, mengapa? Jika ya, strategi apa yang

harus dilakukan terkait dengan pewarisan ini?

Page 434: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Lampiran 3

Pulau Sumatera Sumatera Utara

Kabupaten Karo

Page 435: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Lampiran 4

Daftar Foto

Gambar L.4.1

Sang Istri meratapi suami yang meninggal

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.2

Kalimbubu simada dareh mem-bulangi anak beru-nya yang meninggal

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 436: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.3

Petuah dari Kalimbubu sebelum mayat dibawa ke losd/Jambur

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.4

Anak beru mengangkat peti mayat ke tempat upacara dilaksanakan

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 437: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.5

Ucapan selamat jalan dari sukut saudara yang meninggal

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.6

Pihak sukut meratapi saudaranya yang meninggal

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 438: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.7

Anak beru mengiris pohon pisang untuk dijadikan persiapan makan siang

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.8

Anak beru mempersiapkan makan siang untuk keluarga dalam upacara

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 439: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.9

Anak beru mengucapkan selamat jalan kepada kalimbubu-nya

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.10

Pihak sukut sedang menari dalam acara upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 440: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.11

Anak beru, dari sukut menyerahkan utang adat kepada kalimbubu simada dareh

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.12

Kalimbubu simada dareh, erlebuh sambil

memanggil kembali seolah-olah mayat masih hidup

(Dokumen Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 441: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.13

Pihak sukut sedang menyelimuti mayat dengan dagangen kehormatan

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.14

Cucu-cucu yang meninggal sedang membawa dagangen sebagai tanda kasih

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 442: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.15

Liturgi gereja sebelum mayat dibawa ke kuburan

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.16

Sebagai simbol, pengurus gereja melemparkan tanah ke dalam

kuburun yang akan diikuti oleh semua keluarga

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 443: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.17

Penaburan bunga oleh keluarga setelah selesai liturgi gereja

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.18

Penaburan bunga oleh sukut keluarga setelah selesai liturgi gereja

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Page 444: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.19

Jip Sembiring sebagai Anak beru sedang memberikan petunjuk kepada perkolong-

kolong Sabarta Br Sitepu, tentang apa yang harus disampaikan dalam katoneng-

katoneng pada acara berikutnya.

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Page 445: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.20

Gendang Lima Sendalanen dalam gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.21

Wawancara dengan sierjabaten usai upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Page 446: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.22

Unsur-unsur instrumen musik yang terdapat dalam ensambel

gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian etnik Karo

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Page 447: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.23

Saat peneliti mewawancarai salah seorang penggual singindungi

pada upacara gendang kematian.

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Gambar L.4.24

Peneliti sedang memainkan gendang singindungi pada

upacara gendang kematian dalam rangka observasi

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Page 448: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.25

Suasana wawancara peneliti dengan seorang pemain keyboard

pada upacara gendang kematian etnik Karo.

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.26

Sarune dan Keyboard dalam upacara gendang kematian,

pemain keyboard terlihat diam karena bunyi untuk kebutuhan upacara

yang sebelumnya sudah diprogram

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Page 449: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.27

Organ tunggal/ Kibod pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.28

Wawancara dengan Seniman Karo Ismail Bangun, Yuanto Ginting dan Bangun

Tarigan usai latihan keteng-keteng di dinas Pariwisata Kab. Karo Berastagi

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Page 450: spiritualitas upacara gendang kematian etnik karo pada era

Gambar L.4.29

Ensambel Tiup, yang dikenal pada etnik Karo dengan istilah

trompet pada upacara gendang kematian

(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)