skripsi - digilib.uns.ac.id/studi... · vi kata pengantar puji syukur penulis panjatkan kepada...
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
STUDI PENGARUH KETIDAKMURNIAN (IMPURITY) TERHADAP LAJU KRISTALISASI LAPISAN POLY(ETHYLENE
TEREPHTHALATE) (PET) TIPIS PADA TEMPERATUR 180oC DENGAN VARIASI KETEBALAN
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Fisika
Disusun Oleh
AGUS HARY ADI M0202013
JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2007
ii
SKRIPSI
STUDI PENGARUH KETIDAKMURNIAN (IMPURITY) TERHADAP LAJU KRISTALISASI LAPISAN POLY(ETHYLENE
TEREPHTHALATE) (PET) TIPIS PADA TEMPERATUR 180˚C DENGAN VARIASI KETEBALAN
AGUS HARY ADI M0202013
Dinyatakan lulus ujian skripsi oleh tim penguji Pada hari Jumat tanggal 22 Juni 2007
Tim Penguji
Khairudin, S.Si, M.Phil (Ketua) ………………………….
Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D (Sekretaris) ………………………….
Drs.Hery Purwanto, MSc (Penguji I ) ………………………….
Kusumandari, SSi, MSi (Penguji II ) ………………………….
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana sains
Dekan Ketua Jurusan Fisika
Prof. Drs. Sutarno, M.Sc, Ph.D Drs. Harjana, M.Si,Ph.D NIP. 131 649 948 NIP. 131 570 309
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini menyatakan bahwa isi skripsi ini adalah hasil kerja saya dan
sepengetahuan saya hingga saat isi skripsi tidak berisi materi yang ditulis oleh orang
lain atau materi yang telah diajukan untuk mendapat gelar kesarjanaan di Universitas
Sebelas Maret atau di Perguruan Tinggi lainnya kecuali telah dituliskan di daftar
pustaka skripsi ini dan segala bentuk bantuan dari semua pihak telah ditulis di bagian
ucapan terima kasih.
Surakarta, Juni 2007
Penulis
Agus Hary Adi
iv
MOTTO
’’Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh urusan yang lain’’.(QS. 94:7)
Jangan takut terhadap ruang antara mimpi dan realitas Anda. Jika Anda dapat
mengimpikannya, Anda juga dapat membuatnya.
(Balvis Davis)
Sesungguhnya kelembutan itu tidak terletak pada sesuatu, melainkan
menambah kebagusan dan tiada tercabut dari sesuatu melainkan menambah
kejelekan.
(HR.Muslim)
v
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini dipersembahkan untuk :
’’Bapak-ibu tercinta (M.Kuntoro & Hindun), Terima kasih atas segala
bantuan dana dan doa sehingga masa perkuliahan dan penyusunan skripsi
ini dapat terselesaikan. Kalian adalah yang terbaik dan terpenting bagiku’’
’’Adik-adikku tersayang (Zulva dan Nugroho), Jadilah orang-orang terbaik
bagi agamamu, negaramu dan keluargamu’’
’’Teman-teman seperjuanganku di Kos Palur (Ikhwan dan Abach), tanpamu
aku tiada arti apa-apa, terima kasih banyak atas seluruh bantuannya’’
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, berkat karunia dan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana strata satu Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Khairudin, M.Phil selaku pembimbing I atas perhatian dan kesabarannya
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Ahmad Marzuki, S.Si. Ph.D selaku pembimbing II atas perhatian dan
kesabarannya serta telah meluangkan waktunya untuk membina dan
memberikan bimbingan kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Cari, MA, Ph.D selaku pembimbing akademis atas segala nasehat, dorongan
dan motifasinya. Mohon maaf karena selalu mengecewakan.
4. Bapak, Ibu, dan Adik-adikku yang selalu memberikan nasehat, dorongan, dan
dukungan selama ini.
5. Saudara-saudaraku seperjuangan, Abach, Andi, Failasuf yang telah
memberikan bantuan dan mau bekerja sama untuk saling bertukar fikiran.
6. Fuad & Mahfud (thanks banget atas ngeprintnya, dan seluruh bantuannya).
vii
7. Teman-teman Fisikaku angkatan 2002. Ikhwan (terima kasih untuk
komputernya), Eko, Sriyono, Dedy dan Mbak Budi (terima kasih banyak buat
konsumsinya), Wahyu Kotak dan semua kontingen 2002. Terima kasih atas
persahabatannya. Teruslah berjuang, kehidupan sebenarnya telah menunggu
kita.
8. Semua adik-adik angkatan baik 2003, 2004, 2005 dan 2006.
9. Dan semua pihak yang tidak mungkin dapat saya sebutkan satu persatu
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, maka
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, Juni 2007
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .................................................................................................... i
Halaman Pengesahan .......................................................................................... ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi ............................................................... iii
Motto ................................................................................................................... iv
Persembahan ....................................................................................................... v
Kata Pengantar .................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................ viii
Daftar Gambar ................................................................................................... x
Daftar Tabel ...................................................................................................... xii
Daftar Lampiran ................................................................................................ xiii
Abstrak............................................................................................................... xiv
Intisari ............................................................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 4
1.3. Batasan Masalah ......................................................................... 4
ix
1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
1.6. Sistematika Penulisan .................................................................. 5
BAB II. LANDASAN TEORI
2.1. Polimer......................................................................................... 6
2.2.. Poly(ethylene terephathalate)...................................................... 7
2.3. Kinetika kristalisasi....................................................................... 8
2.3.1 Kinetika nukleasi cair-padat homogen……………………. 8
2.3.2 Kinetika nukleasi cair-padat heterogen................................ 13
2.4. Kristal rantai melipat ................................................................... 16
2.5.. Reflected light microscopy............................................................ 22
2.6 Ellipsometry................ .................................................................. 26
2.7. Metode spin coating………........................................................ .. 28
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan ............................................................................. 31
3.1.1. Alat ……….......................................................................... 31
3.1.2. Bahan …………………………………………………….. 31
3.2. Tahapan Penelitian ....................................................................... 31
3.2.1.Set up program...................................................................... 32
3.2.2.Data sekunder........................................................................ 33
3.2.3. Pengukuran jari-jari gambar spherulite.............................. 34
3.2.4. Menentukan laju kristalisasi................................................ 37
3.2.5 Analisa data.......................................................................... 37
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Struktur Spherulite Dalam Lapisan PET Tipis…………………. 40
4.2 Perbedaan Spherulite ………………………………………….. 41
4.3 Laju pertumbuhan lapisan tipis PET........................................... 42
4.4 Analisis data dengan metode grafik.............................................. 43
x
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 53
5.2 Saran ................................................................................................ 54
Daftar Pustaka
Lampiran
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur kimia poly(ethylene terephthalate) (PET)…………... 7
Gambar 2.2 Struktur spherulite yang berasal dari lipatan lamella ............... 8
Gambar 2.3 Diagram hubungan antara perubahan energi bebas
Gibbs dan suhu.......................................................................... 10
Gambar 2.4 Diagram perubahan energi bebas Gibbs pengintian kristal di bawah
Tm ................................................................................. 12
Gambar 2.5 Nukleus kristal yang tumbuh heterogen, tumbuh pada
permukaan padat sebagai katalis.....………………………..... 14
xi
Gambar 2.6 Laju pengintian untuk pengintian heterogen kristal dari leburan yang
didinginkan .................................................................... 15
Gambar 2.7 Model pertumbuhan lamella melalui helaian susesif batang
molekuler terdekat .................................................................. 17
Gambar 2.8 Perubahan energi bebas ketika batang polimer bergabung dalam
kristal yang tumbuh dari suatu leburan.................................... 19
Gambar 2.9 Laju pertumbuhan kristal sebagai fungsi ketebalan …………. 20
Gambar 2.10 Fungsi eksponensial laju kristalisasi terhadap temperatur ...... 22
Gambar 2.11 Mikroskop optik modern ........................................................ 24
Gambar 2.12 Pantulan dan pembiasan gelombang pada lapisan tipis dengan
ketebalan d antara bulk sampel dan medium......................... 27
Gambar 2.13 Prinsip spin coating.………………...................................... 30
Gambar 3.1 Diagram alir tahap-tahap penelitian ………………………… 32
Gambar 3.2 Bentuk program Corel Draw 12 yang digunakan untuk
mengukur diameter gambar spherulite lapisan PET tipis.......... 35
Gambar 3.3 Posisi pengukuran diameter spherulite lapisan PET tipis........ 36
Gambar 3.4 Panjang layar sebenarnya........................................................... 37
Gambar 4.1 Bentuk morfologi Spherulite lapisan PET. ............................. 40
Gambar 4.2 Spherulite lapisan PET tipis yang didefinisikan bersih dan yang
didefinisikan mengandung pengotor ....……....................... 42
Gambar 4.3 Grafik laju pertumbuhan spherulite murni lapisan PET tipis dengan
ketebalan 1500 Å pada 180 oC yang diukur pada
posisi yang berbeda ...…........................................................... 43
Gambar 4.4 Grafik laju pertumbuhan spherulite tidak murni lapisan PET tipis
dengan ketebalan 1500 Å pada 180 oC yang diukur pada posisi yang
berbeda…............................................................... 45
xii
Gambar 4.5 Grafik laju pertumbuhan spherulite murni dalam suatu lapisan PET
tipis dengan ketebalan 370 Å pada 180 oC diukur dengan posisi
berbeda...............……...................................................... 48
Gambar 4.6 Gambar spherulite PET tipis pada ketebalan 860 Å dan 1380 Å pada
temperatur 180 0 C yang mengalami sentuhan antar sphirulit sehingga
memperlambat laju kristalisasi………………………50
Gambar 4.7 Grafik laju pertumbuhan spherulite tidak murni dalam suatu
lapisan PET tipis dengan ketebalan 860 Å pada 180 oC diukur
dengan posisi berbeda…….........................................................51
Gambar 4.8 Grafik laju pertumbuhan spherulite murni dalam suatu lapisan PET
tipis dengan ketebalan 860 Å pada 180 oC diukur dengan posisi
berbeda…….....................................................................51
Gambar 4.9 Grafik laju pertumbuhan spherulite tidak murni dalam suatu lapisan
PET tipis dengan ketebalan 1380 Å pada 180 oC diukur dengan
posisi berbeda................................................................52
Gambar 4.10 Grafik laju pertumbuhan spherulite t murni dalam suatu lapisan
PET tipis dengan ketebalan 1380 Å pada 180 oC diukur dengan
posisi berbeda……..............……..............................................52
DAFTAR TABEL
Halaman
xiii
Tabel 4.1 Tabel laju pertumbuhan spherulite murni dari lapisan PET tipis
dengan ketebalan 1500 Å dan temperatur 180 oC diukur pada posisi
berbeda…....................................................................... 44
Tabel 4.2 Tabel laju pertumbuhan spherulite berpengotor dari lapisan PET
tipis dengan ketebalan 1500 Å dan temperatur 180 oC diukur pada
posisi berbeda….….......................................................... 46
Tabel 4.3 Tabel laju pertumbuhan spherulite murni dari lapisan PET tipis
dengan ketebalan 370 Å dan temperatur 180 oC diukur pada posisi
berbeda…....................................................................... 48
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Sekunder
Lampiran 2 Data hasil penghitungan
Lampiran 3 Gambar Grafik
xv
ABSTRACT
STUDY OF IMPURITY EFFECT ON CRYSTALLISATION RATE OF THIN POLY(ETHYLENE TEREPHTHALATE) (PET) FILMS AT TEMPERATURE
180oC WITH THICKNESS VARIATION By
Agus Hary Adi M0202013
In this research have been done examination about impurity influence to
crystallisation rate of thin PET films at crystallisation temperature 180oC by measuring change of spherulite diameter to time. There is 4 measurement position have been done, that is vertical, horizontal, right diagonally and left diagonally. Crystallisation rate were obtained from slope of radius as time function graph.
Result of research indicate that spherulite radius increase to time. There are heterogenity of crystallization rate.At thick 370Å and 1500Å , accelerateing bigger spherulite have impurity crystallization than accelerateing spherulite have purity crystallization attendance of Impurity cause rate improvement of crystallization at temperature 180oC caused by surface free energy reduction, but do not too having an effect on to accelerateing crystallization at thick 860Å and 1380Å, the mentioned caused by spherulite at impurity oppressed other spherulit so that crystallization rate of impurity pursued.
Key Words: Crystallisation rate, impurity, spherulite, heterogenity, surface free
energy,slope.
xvi
INTISARI
STUDI PENGARUH KETIDAKMURNIAN (IMPURITY) TERHADAP LAJU KRISTALISASI LAPISAN POLY(ETHYLENE TEREPHTHALATE) (PET)
TIPIS PADA TEMPERATUR 180oC DENGAN VARIASI KETEBALAN
Oleh AGUS HARY ADI
M0202013
Dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian tentang pengaruh
ketidakmurnian (impurity) terhadap laju kristalisasi lapisan PET tipis pada temperatur kristalisasi 180oCmdengan cara mengukur perubahan diameter spherulite terhadap waktu. Ada 4 posisi pengukuran yang dilakukan, yaitu vertikal, horizontal, miring kekanan dan miring kekiri. Laju kristalisasi diperoleh dari slope grafik hubungan jari-jari terhadap waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jari-jari spherulite meningkat terhadap waktu. Terdapat adanya heterogenitas laju kristalisasi. Pada ketebalan 370Å dan 1500Å, laju kristalisasi spherulite berimpurity lebih besar daripada laju krtistalisasi spherulite purity. Kehadiran impurity menyebabkan peningkatan laju kristalisasi pada temperatur 180oC karena adanya pengurangan energi bebas permukaan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap laju kristalisasi pada ketebalan 860Å dan 1380Å , hal tersebut disebabkan karena spherulite pada impurity terhimpit spherulite lain sehingga laju kristalisasi impurity terhambat. Kata kunci : laju kristalisasi, impurity, spherulite, heterogenitas, energi bebas permukaan , slope
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi bidang polimer sangat berkembang pesat
Bahan polimer mempunyai berbagai keunggulan dibanding bahan lainnya. Salah
satu faktor dari keunggulan tersebut adalah berat molekul polimer yang sangat
besar. Sifat-sifat dari bahan polimer banyak sekali yang ditentukan oleh berat
molekulnya, seperti keuletan, kekentalan, kemudahan untuk di cetak dan lain
sebagainya. Salah satu produk polimer yang sangat populer dewasa ini adalah
lapisan polimer tipis. Lapisan polimer tipis telah banyak menarik perhatian untuk
aplikasi dalam bidang industri elektronik dan dalam komponen optik teriintegrasi
karena kemudahan dalam proses pembuatannya, konstanta dielektrik yang rendah
dan sifat-sifat optik. Sifat optik dari lapisan polimer tipis sangat penting dalam
aplikasi optoelektronik dan khususnya dalam sirkuit serta komponen optik
terintegrasi. Optik terintegrasi merupakan teknologi yang akan berperanan besar
pada masa depan antara lain untuk aplikasi dalam bidang sensor fotonik,
komunikasi optik dan switching fotoni (Malcom,2001; Soehianie,2005).
Kemajuan dalam teknologi dielektrikum lapisan polimer, digabungkan
dengan suatu sistem pemprosesan revolusioner telah menghasilkan kapasitor
elektrostatik yang diperkecil dan bernilai tinggi yang sangat bersaing dengan
kapasitor keramik dan kapasitor tantalum di dalam banyak aplikasi penting.
Tantangan di atas dalam beberapa tahun terakhir telah membuat kapasitor
1
2
lapisan polimer menjadi semakin kecil ukurannya dan juga tahan terhadap
temperatur yang tinggi. Aplikasi lain yang dikembangkan terutama dibidang
biomedis ( implantasi, sensor, pelepasan racun, rancang-bangun jaringan), tetapi
dapat juga dalam bidang lain seperti produk kesehatan, pengemasan dan tribologi
(Clelland dan Price,1998).
Despotopoulo et al (1996) melaporkan adanya efek ketebalan film pada
kinetika pembentukan ultra thin film (dengan ketebalan 50-1000Å). Metode
tersebut menggunakan spektroskopi pada poly(di-n-hexyl silane) (PD6S, MW =
2600K). Mereka menemukan adanya reduksi ekstensif pada kristalinitas
sebagaimana reduksi pada film dengan ketebalan kurang dari 500Å dan
menyelesaikan kekurangan kristalinitas pada 50Å. Dengan mencocokkan data
dengan menggunakan teori Avrami-Evan, mereka menemukan bahwa dimensi
pertumbuhan bergantung pada ketebalan film dan temperatur kristalisasi. Pada
temperatur kristalisasi yang rendah (di bawah 0oC) dan untuk film lebih tebal dari
220Å, nukleasi terjadi dengan homogen dan pertumbuhannya terjadi tiga dimensi.
Bagaimanapun, pada temperatur kristalisasi yang lebih tinggi (di atas 3oC) dan
untuk ketebalan film yang kecil (kurang dari 150Å), pertumbuhan kristal
merupakan pertumbuhan satu dimensi dan nukleasi heterogen menjadi penting.
Lebih jauh lagi, kristalisasi tiga dimensi homogen segera berubah menjadi dua
induksi kristalisasi permukaan dua dimensi pada temperatur 3oC dan ketebalan
500Å.
3
Frank et al (1996) dengan menggunakan fluoroscene recovery setelah
pemutihan foto monomer fungsional pada rentang ketebalan 70-10000Å
menemukan bahwa pemisah melebar dalam distribusi waktu relaksasi diteliti
untuk film yang lebih tipis dari 900Å. Kemudian Forest et al (1998) dengan
menggunakan spektroskopi korelasi foton dia melakukan studi relaksasi pada film
polysterene bebas. Penelitian itu mengungkapkan bahwa bentuk fungsi relaksasi
dan dependensi waktu relaksasi terhadap temperatur sama dengan bulk film,
meskipun pergeseran menurut Tg untuk film bebas mengindikasikan bahwa
pembatasan tidak mengubah dinamika relaksasi mikroskopik.
Sama halnya seperti material lainnya, polimer juga bisa membentuk
kristal. Penurunan temperatur mengakibatkan perkembangan laju kristalisasi yang
cepat. Ketika spherulite saling menyentuh, laju kristalisasi menjadi lambat.
Setelah selesai proses kristalisasi spherulite, kristalinitas masih meningkat, namun
lajunya sangat lambat. Penelitian tentang laju kristalisasi lapisan Poly(ethylene
terephthalate) PET tipis telah dilakukan oleh Khairudin (2002) menggunakan
mikroskopi cahaya terefleksi. Penelitian dilakukan pada temperatur kristalisasi
240o -130oC dengan interval 10oC. Dari percobaan tersebut diketahui laju
kristalisasi merupakan fungsi eksponensial terhadap temperatur. Laju kristalisasi
meningkat terhadap penurunan temperatur dari Tm hingga mencapai maksimum
pada temperatur 180oC, kemudian laju menurun seiring dengan penurunan
temperatur menuju Tg. Pada percobaan tersebut, ada data sampingan yang
ditemukan secara tidak sengaja. Itu belum dimasukkan dalam pembahasan(belum
dipublikasikan). Data tersebut berupa informasi tentang ditemukan juga adanya
4
pengotor. Data itu berupa gambar spherulite pada suhu tertentu dan ketebalan
tertentu yang diperoleh dengan tekhnik spin coating, ellipsometri, optik. Jadi
penelitian ini berdasarkan data sekunder, dimana laju kristalisasi akan dihitung
dengan Corel Draw.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dicoba untuk dijawab adalah bagaimana pengaruh
impurity suatu lapisan PET pada suhu 180oC dengan variasi ketebalan tertentu.
1.3 Batasan Masalah
Analisis mengenai pertumbuhan spherulite poly(ethylene terephthalate)
pada ketebalan 370Å, 860Å, 1380Å dan 1500Å dengan suhu kristalisasi 180oC
baik pada sampel yang mengandung pengotor dan yang tidak mengandung
pengotor. Alasan kenapa menggunakan sampel ini adalah karena pada sampel ini
bentuk kristalnya mempunyai bentuk yang paling bagus dibanding data sekunder
lain yang tersedia. Setelah mengamati laju kristalisasi kedua sampel tersebut,
selanjutnya akan membandingkan laju kristalisasi mana yang lebih cepat, apakah
pada sampel yang mengandung pengotor atau yang tidak mengandung pengotor.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
ketidakmurnian (impurity) terhadap laju kristalisasi lapisan tipis PET pada
5
temperatur 180oC pada ketebalan lapisan tipis PET terendah 370Å dan tertinggi
1500Å.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan suatu gambaran secara grafik laju kristalisasi lapisan tipis
PET.
2. Mengetahui pengaruh pengotor terhadap laju kristalisasi lapisan tipis PET.
3. Memberikan suatu gambaran ilmiah yang dapat menjadi acuan untuk
penelitian selanjutnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam bab-bab :
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Bab II merupakan dasar teori yang memuat tentang konsep dan prinsip dasar yang
diperlukan untuk memecahkan masalah penelitian.
Bab III merupakan metodologi penelitian, berisi uraian tentang bahan, alat
penelitian, dan tahap penelitian.
Bab IV merupakan hasil dan pembahasan, berisi penjelasan mengenai hasil
eksperimen yang bersandar pada teori.
Bab V merupakan kesimpulan, berisi pernyataan singkat yang mewakili hasil
penelitian secara umum.
6
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Definisi Dasar Polimer
Kata polimer berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘poly’ yang artinya
banyak dan ‘meros’ yang artinya bagian. Menurut definisi dasar IUPAC
(International Union of Pure and Apllied Chemistry) [Metanomski 1991] :
Polimer adalah suatu zat yang terdiri dari molekul-molekul yang
terkarakterisasi oleh bermacam-macam perulangan dari satu atau
lebih jenis atom atau kelompok atom (susunan unit berulang) yang
dihubungkan satu dengan yang lain dalam jumlah yang cukup
banyak untuk membentuk suatu kelompok yang sifatnya tidak
berubah terhadap penambahan satu atau sejumlah unit berulang.
Unit berulang ini disebut juga monomer, ‘mono’ yang berarti tunggal dan
‘meros’ yang artinya bagian. Corak yang mencirikan polimer dari molekul
lainnya adalah adanya pengulangan dari unit serupa atau sub-unit molekular
komplementer di dalam rantai ini. Sub-unit ini, monomer, adalah molekul
kecil yang dihubungkan satu sama lain melalui suatu reaksi kimia yang
disebut polimerisasi. Perbedaan antar monomer dapat mempengaruhi sifat-
sifat polimernya seperti daya larut, fleksibilitas, dan kekuatan. Suatu molekul
yang hanya tersusun dari sedikit unit berulang disebut oligomer. Sifat fisis
suatu oligomer berubah dengan penambahan atau perpindahan satu atau
sebagian kecil unit berulang molekul-molekulnya (Gedde,1999).
6
7
2.2 Poly(ethylene terephathalate)
Poly(ethylene terephathalate) ( PET) adalah salah satu jenis semi-
cristalline polimer dari group thermoplastics yang banyak dimanfaatkan dalam
aplikasi industri dalam bentuk serat, lapisan tipis, tape, moulding, dan kontainer
cair.Seperti polimer semi crystalline lainnya, sifat-sifat fisik dan mekanik dari
PET bergantung pada microstructur dimana mikrostruktur ditentukan oleh laju
kristalisasi, derajat dan kualitas kristaliniti dengan menggunakan perhitungan
termodinamik melaporkan bahwa ketidakmurnian pada polimer dapat mempunyai
efek pada kinetika kristalisasi dengan mengurangi energi perintang (barrier
energy) untuk pengintian dalam proses kristalisasi menyebabkan pengintian
heterogen terjadi.Banyak tehnik eksperimen telah diaplikasikan untuk studi-studi
ini termasuk calorimetry, dilatometry, infrared spectroscopy, X-ray diffraction,
light scattering (Price,1968; Lu dan Hay,2001; Jones(2002).
Gambar 2.1. Struktur kimia poly(ethylene terephthalate) (PET)
(http://www.polymerprocessing.com/polymers/PET.html)
PET mempunyai temperatur transisi glass Tg sebesar 76oC dengan
titik lebur Tm adalah sebesar 250oC. Kerapatan PET pada fase amorf pada
suhu kamar 25oC adalah 1.33 g/cm3, sedang kerapatan pada fase kristal pada
8
suhu kamar adalah 1.50 g/cm3, sedang berat molekulnya adalah 192.2 g/mol
(http://www.polymerprocessing.com/polymers/PET.html).
2.3 Kinetika Kristalisasi
2.3.1 Kinetika nukleasi cair-padat homogen
Pada dasarnya polimer bisa mengkristal, kristalisasi terjadi ketika rantai
polimer saling melipat dalam bentuk simetris dan repetitif. Pada PET rantai
polimer yang panjang cenderung saling membelit, hal ini mencegah terjadinya
kristalisasi penuh. Batas kristalisasi PET pada umumnya adalah
60%(http//en.wikipedia.org/wiki/Polyethylene_terepthalate.htm).
Unit dasar polimer adalah lipatan lamela. Ketebalan lamella tidak
bergantung pada berat molekul, tapi merupakan fungsi supercooling ketika kristal
dibentuk. Nilai ketebalan lamela berkisar antara 10nm. Bagian amorf polimer
berada di luar lamella dan juga diantara lamella(Jones, 2002).
Gambar 2.2. Struktur spherulite yang berasal dari lipatan lamela(Jones, 2002).
9
Lipatan rantai menyatu dalam struktur yang lebih besar yang disebut
spherulite. Strukturnya terdiri dari lamella tunggal yang tumbuh dari pusat
nukleus, sampai akhirnya semua volume terisi oleh struktur ini. Pertumbuhan inti
kristal secara umum dapat melalui satu, dua atau tiga dimensi. Pertumbuhan
kristal polimer selanjutnya dimanifestasikan sebagai perubahan dimensi lateral
lamella atau perubahan jari-jari spherulite selama proses kristalisasi. Perubahan
linier pertumbuhan yang terjadi pada temperatur kristalisasi tertentu selalu linier
terhadap waktu. Artinya bahwa jari-jari spherulite, r akan dipengaruhi waktu, t
sehingga persamaannya
tvr = (2.1)
Dimana v adalah laju pertumbuhan. Persamaan ini sesuai jika spherulite cukup
besar dan belum saling menyentuh (Gedde, 1999).
Penurunan temperatur mengakibatkan perkembangan laju kristalisasi
yang cepat. Ketika spherulite saling menyentuh, laju kristalisasi menjadi lambat.
Akhirnya setelah selesai proses kristalisasi spherulite, kristalinitas masih
meningkat tapi dengan laju yang sangat lambat (Strobl,1997).
Parameter utama yang digunakan untuk mengkarakterisasi proses kinetika
kristalisasi adalah energi bebas Gibbs, G. Energi bebas Gibbs suatu sistem
dihubungkan dengan entalpi, H dan entropi, S dengan persamaan
STHG −= (2.2)
Dimana T adalah temperatur termodinamika. Sistem akan setimbang ketika G
minimum. Dari persamaan 2.2 diperoleh perubahan energi bebas, G∆ kristalisasi
pada temperatur konstan adalah
10
STHG ∆−∆=∆ (2.3)
Dimana H∆ adalah perubahan entalpi dan S∆ perubahan entropi
Perubahan fungsi bebas Gibbs spesifik karena perubahan keadaan sistem
yang melibatkan perubahan fase ditunjukkan oleh gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Diagram hubungan antara perubahan energi bebas Gibbs dan suhu. (Jones,2002)
Pada Gambar 2.3 G1 adalah fungsi Gibbs spesifik fase cair dan G2
adalah fungsi Gibbs spesifik fase padat. Pada titik transformasi kesetimbangan
memperlihatkan keadaaan transisi dimana terjadi perubahan fase dari cair ke fase
padat dan pada keadaan transisi belaku G1=G2. Untuk merubah material cair ke
padat akan terjadi pelepasan energi, sebaliknya untuk merubah padatan ke bentuk
cairan akan diperlukan energi. Dari dua peristiwa tersebut, bahwa proses untuk
mengembalikan suatu material ke bentuk semula pada temperatur pendinginan
T Tm Suhu
Padat
Cair
G1
G2
ΔGb
11
yang sama terdapat selisih energi bebas Gibbs. Perubahan energi bebas per unit
volume dari fase cair ke fase padat pada derajat pendinginan T∆ adalah
(Jones,2002)
TTH
Gm
mb ∆
∆−=∆ (2.4)
Dimana bG∆ adalah selisih energi bebas Gibbs, mH∆ adalah selisih entalpi bahan
saat melebur, T∆ adalah selisih temperatur sedangkan Tm merupakan titik lebur
dari sampel.
Kristalisasi leburan polimer ditandai munculnya inti kristal baru secara
spontan saat cairan didinginkan dibawah Tm. Dapat dibayangkan bahwa pada
tahap nukleasi primer sedikit molekul terbungkus bagian demi bagian menjadi
sebuah bola kristal kecil dengan jari-jari r. Proses ini melibatkan perubahan energi
bebas permukaan kristal, yang mana energi permukaan cenderung menjadikan G
bertambah. Sehingga perubahan energi bebas Gibbs )(rG∆ pengintian kristalnya
adalah :
slb rGrrG γπ∆π∆ 23 434)( += (2.5)
dimana slγ adalah energi bebas interfasial (permukaan).
Ikatan molekul dalam kristal menyebabkan pengurangan G yang
besarnya tergantung dari volume kristal. Dari kombinasi persamaan (2.4) dan
(2.5) akan diperoleh persamaan.
slm
m rT
THrrG γπ
∆∆π∆ 23 4
34)( +−= (2.6)
fungsi dari persamaan diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
12
Gambar 2.4 Diagram perubahan energi bebas Gibbs pengintian kristal dibawah T m. (Jones, 2002)
Perubahan entropi dalam leburan adalah
m
m
p
l
p
sm T
HTG
TGS ∆
=
∂∂
−
∂∂
=∆ (2.7)
di sini subskrip s menunjukkan solid (padat) dan l menunjukkan liquid (cair).
Persamaan (2.6) dapat digunakan untuk mendapatkan nilai r. Peristiwa
terjadinya keadaan kritis panjang r akan tercapai dan akan stabil jika )0)(( =∆ rG
atau 0)(=
drrdG maka :
THT
rm
msl
∆∆γ2* = (2.8)
Jari-jari kristal kritis )( *r yaitu besarnya jari-jari minimum yang diperlukan agar
kristal dapat terbentuk. Kristal dengan jari-jari lebih kecil dari jari-jari kritis r*
tidak stabil dan akan melebur kembali. Sedangkan kristal dengan jari-jari lebih
besar dari jari-jari kritis akan tumbuh secara kontinyu (Jones, 2002).
Dalam pertumbuhannya kristal tidak lepas dari energi perintang *G∆ ,
yaitu energi yang harus dilampaui untuk membentuk nukleus. Energi perintang ini
ΔG Volum
34πr3ΔGb
(menurunkan energi bebas)
ΔG permukaan 4πr2γsl
(menaikkan energi
TOTAL + 0
Jari-jari r*
13
berhubungan dengan jari-jari nukleus. Besarnya energi bebas perintang agar
sebuah kristal dapat tumbuh bisa ditetukan dengan mengkombinasi persamaan
(2.6) dan persamaan (2.8), yaitu :
2
23 1
316*
THT
Gm
msl ∆
∆
=∆ γπ (2.9)
Sedangkan laju nukleasi untuk kristal homogen dirumuskan dengan
persamaan Arrhenius
∆
−kTGv *exp~ (2.10)
Dengan demikian jika energi bebas perintang *G∆ besar, maka laju
pengintiannya kecil.
2.3.2 Kinetika nukleasi cair-padat heterogen
Nukleasi homogen hanya relevan untuk cairan murni. Kenyataannya
cairan mengandung partikel debu atau kontaminasi lainnya. Ketidak murnian ini
memberikan tempat nukleasi untuk pertumbuhan kristal dengan energi aktivasi
yang lebih rendah dari pada nukleasi homogen.
Kebanyakan nukleasi berawal dari permukaan pre-eksis padatan
pengotor yang ada pada leburan yang didinginkan. Aditif ini berlaku sebagai
katalis untuk kristalisasi dengan cara mengurangi supercooling. Katalis ini
menurunkan energi aktivasi untuk nukleasi kristal baru. Gambar 2.5 menunjukkan
pertumbuhan nukleus heterogen pada padatan pengotor, di sini γ adalah gaya
kesetimbangan kontak yang besarnya dirumuskan dengan persamaan Young :
14
csclsl γγθγ −=cos (2.11)
dengan θ adalah sudut kontak, csclsl γγγ ,, masing-masing adalah tegangan
interface solid-liquid, katalis-liquid, dan katalis-solid (Jones, 2002).
Gambar 2.5. Nukleus kristal yang tumbuh heterogen, tumbuh pada permukaan padat sebagai katalis
Jika tidak ada pengotor pada material atau material tersebut berada
dalam wadah yang sangat besar sehingga dinding wadah tidak berpengaruh pada
cairan, maka tidak akan terjadi pembekuan. Hal ini karena untuk menciptakan
kristal diperlukan energi bebas untuk menciptakan interface padat-cair yang
mempunyai energi γsl. Tapi perubahan energi bebas per-unit volume dari cair ke
padat adalah nol pada titik lebur, karena pada titik ini energi pada fase padat dan
cair adalah sama. Oleh karena itu untuk memulai pembekuan / kristalisasi tanpa
pengotor maka diperlukan pendinginan di bawah titik lebur (dengan kata lain
diperlukan energi yang lebih besar)(Jones, 2002).
Jika radius dari kristal r, maka volume kristal yang timbul diatas katalis
adalah
)cos2()cos1(31 23 θθπ +−= rV (2.12)
Luasan interface solid-liquid Ssl adalah
15
)cos1(2 2 θπ −= rS sl (2.13)
dan luasan interface katalis-solid Scs adalah
θπ 22 sinrScs = (2.14)
Jika kita mengulangi sesi terdahulu untuk menemukan energi bebas
perintang ∆ G* untuk pengintian dengan interface dan kontribusi volume yang
tepat untuk tutup bola kita mendapatkan :
( ) ( )4
cos2cos113
16*23
2
2θθγπ +−
∆
∆
=∆ sl
m
m
THTG (2.15)
Pada persamaan di atas slγ menunjukkan energi bebas interfacial solid-
liquid. Keberadaan pengotor akan menurunkan nilai slγ ini, dengan menurunnya
energi interfacial maka energi bebas perintang juga akan turun.
Gambar 2.6 Laju pengintian untuk pengintian heterogen kristal dari leburan yang didinginkan.
16
Untuk sudut kontak kurang dari 90o faktor geometris ini secara drastis
menurunkan derajad pendinginan yang dibutuhkan untuk mendapatkan laju
pengintian yang dapat diukur. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 2.6. Gambar di
atas menunjukkan bagaimana besarnya pengaruh suatu permukaan kontak dalam
mengkatalisasi proses kristalisasi.
2.4 Kristal Rantai Melipat
Teori Louritzen-Hoffman menyatakan bahwa laju pertumbuhan linear,
misalnya laju di mana spherulite tumbuh secara radial, sebagai fungsi derajat
supercooling ( TTT m −=∆ ∞ ) diman ∞mT adalah titik lebur keseimbangan dan T
adalah temperatur kristalisasi). Dalam teori kinetik LH, pertumbuhan kristal
polimer terjadi pada proses pengintian sekunder. Permukaan baru per unit
volume kristal yang terbentuk lebih kecil dibandingkan pada pengintian primer
sehingga penghalang aktivasinya lebih rendah. Pada proses pengintian sekunder
tahap pertama adalah bentangan batang polimer diatas permukaan kristal halus,
kemudian diikuti dengan penambahan segmen selanjutnya melalui proses lipatan
rantai. Kristal rantai-panjang didapatkan dari molekul yang lebih mantap,
sedangkan lipatan rantai hanya ada pada molekul polimer fleksibel. Diasumsikan
bahwa lamella polimer mempunyai energi permukaan yang melipat eγ , energi
permukaan lateral γs, dan perubahan energi bebas Gibbs kristalisasi bG∆ per unit
volum. Peningkatan energi bebas dalam n batang molekuler dengan panjang l
dilukiskan pada Gambar 2.7
esn nabblpermukaanG γγ∆ 22)( += (2.16)
17
Dimana setiap untai mempunyai area cross-section ab. Dikarenakan adanya
penggabungan batang molekuler dalam kristal, ada pengurangan energi bebas
sebagai berikut
bn GnablkristalG ∆∆ −=)( (2.17)
Gambar2.7 model pertumbuhan lamela melalui helaian susesif batang molekuler terdekat. Young (1981)
Lalu perubahan energi bebas ketika n batang dibentangkan adalah
besn GnablnabblG ∆−+=∆ γγ 22 (2.18)
Karena normalnya n besar sehingga pernyataan sblγ2 diabaikan dan kemudian
persamaan 2.18 dibentuk menjadi :
em
mn nabnlab
TTH
G γ2+∆∆
−=∆ ∞ (2.19)
Dimana mH∆ perubahan entalpi dari leburan per unit volume, dan supercooling
TTT m −=∆ ∞ . Jika a sama dengan b, maka area cross- sectionnya adalah a2
18
sehingga perubahan energi bebas tiap batang yang bergabung dengan kristal
adalah
em
m alaT
THG γ22 2
)(+
∞∆∆
−=∆ (2.20)
Lipatan rantai pada kristal lamella adalah unit dasar dari polimer semi-
kristal. Titik lebur kristal lamella yang berketebalan l, Tm(l) diturunkan dari nilai
termodinamik ideal, ∞mT . Kondisi titik lebur kristal dengan ketebalan minimum
diberikan oleh 0=nG∆ , yang menghasilkan
∆
−= ∞
lHTlT
m
cmm
γ21)( (2.21)
Gambar 2.8 melukiskan peningkatan energi ketika sebuah batang
ditambahkan kedalam kristal. Sehingga bergabung dengan kristal, panjang rantai,
yang dalam leburan mempunyai konfigurasi rantai random, harus meluruskan diri
untuk mengurangi entropi S∆ . Hanya ketika fluktuasi random telah di hasilkan
seperti rantai lurus dapat membuat batang bergabung dengan permukaan kristal
tumbuh, akhirnya dengan energi bebas G∆ lebih kecil dari pada energi dalam
leburan.
19
Gambar 2.8 perubahan energi bebas ketika batang polimer bergabung dalam kristal yang tumbuh dari suatu leburan. Jones (2001)
Laju ketika segmen rantai bergabung dengan kristal yang sedang tumbuh
dari leburan adalah
−=−→ −
BkSlajukristalleburan ∆
τ exp1 (2.22)
Dan laju ketika segmen meninggalkan kristal untuk bergabung dengan leburan
lagi adalah
−−=−→ −
TkGSTlajuleburankristal
B
∆∆τ
(exp1 (2.23)
Dimana 1−τ adalah frekuensi mikroskopi, G∆ menjadi negatif ketika kristal
stabil. Laju kristalisasi bersih u yang didefinisikan jumlah batang yang terikat per
unit waktu diberikan oleh perbedaan antara dua persamaan laju ( 2.22) dan
(2.23):
−
−= −
TkG
TkSu
BB
∆∆τ exp1exp1 (2.24)
20
Untuk menyederhanakan, diasumsikan TkG B/∆ cukup kecil untuk menambah
eksponensial. Laju pertumbuhan kristal ditulis v = ua dimana a adalah diameter
cross-section rantai polimer
TkG
kSav
BB
∆∆τ
−= − exp1 (2.25)
Pengurangan entropi S∆ pada pelurusan rantai dengan panjang l sebanding
dengan jumlah segmen dalam panjang yang diluruskan sehingga ditulis
alS µ∆ = dimana μ konstanta dimensi. Persamaan (2.25) menjadi,
−
−= ∞
−
alla
TTH
aakonstvm
mc
µ∆∆γτ exp2)( 221 (2.26)
Gambar 2.9 menunjukkan ketebalan kristal lc dalam keadaan setimbang dengan
leburan pada temperatur yang diberikan dan tidak semuanya tumbuh, kemudian
ada ketebalan tertentu l* ketika laju pertumbuhan maksimum.
Gambar 2.9 laju pertumbuhan kristal sebagai fungsi ketebalan. Jones (2001)
21
Ketebalan kristal l* mendominasi morfologi akhir dengan:
TH
Talm
mc
∆∆γ
µ
∞
+=2* (2.27)
Frekuensi mikroskopi 1−τ memberikan ukuran laju konformasi rantai
polimer dalam leburan, diberikan oleh bentuk Vogel-Fulcher sebagai berikut,
−
−= −−
V
A
TTT
exp10
1 ττ (2.28)
Dimana TA adalah temperatur aktivasi dan TV temperatur Vogel-Fulcher dengan
memasukan ketebalan kristal pertumbuhan tercepat l* dan frekuensi mikroskopi,
didapatkan laju pertumbuhan kristal
−
−=
∞
∞
−
THaT
TTT
TTekTHaa
vm
mc
V
V
mB
m
∆∆µγ
µ∆∆τ 2
expexp31
0 (2.29)
Bagian kedua dan ketiga pada persamaan menghasilkan pengaruh yang kuat
terhadap laju pertumbuhan sebagai fungsi temperatur. Untuk menyederhanakan,
persamaan 2.29 dapat dibentuk:
−
−
−
−∞ TT
BTT
TvmV
A 0expexp~ (2.30)
Dimana konstanta B0 adalah
=
∞
m
mc
HaT
B∆γµ2
0 (2.31)
Pada persamaan 2.30, laju pertumbuhan pada temperatur tinggi di kontrol oleh
ukuran driving force termodinamik melalui eksponensial kedua sedangkan pada
temperatur rendah, mobilitas menurun dengan cepat mendekati glass transisi
22
yang menahan pertumbuhan kristal dan diperlihatkan melalui eksponensial
pertama.
Gambar 2.10 Fungsi eksponensial laju kristalisasi terhadap temperatur. Penurunan grafik sebelah kanan disebabkan oleh drifing force, penurunan grafik sebelah kiri disebabkan mobilitas segmen.Gedde ( 1999)
2.5 Reflected light microscopy
Reflected-light microscopy sering dihubungkan dengan kilatan cahaya,
epi-iluminasi, dan metode pemilihan fluorosene dan imaging specimen yang
memerlukan keadaan gelap bahkan ketika mereka mempunyai ketebalan 30
mikron. Hal tersebut sangat berguna untuk menganalisa tekstur, seperti dalam
kebanyakan kasus logam, keramik, polimer, kertas, dll. Karena cahaya tidak
mampu menembus spesimen, maka cahya itu diarahkan dipermukaan dan
akhirnya dikembalikan ke lensa objektif mikroskop dengan pemantulan spekular
dan menyebar. Istilah iluminasi yang disebutkan di atas mengacu pada iluminasi
epicospik, epi-iluminasi, atau iluminasi vertikal, berlawanan dengan iluminasi
diascopik (ditransmisikan) yang lewat melalui suatu spesimen.
Temperatur
Tm Tg
23
Dua teknik yang banyak digunakan adalah mikroskop cahaya
terpolarisasi (polaryzed light mycroscopy), dan mikroskop kontras bertingkat
(phase contrast mycroscopy). Polarized light mycroscopy merupakan teknik yang
umum yang memungkinkan material kristal untuk memutar bidang cahaya
polarisasi. Teknik ini digunakan untuk mempelajari spekulasi, dengan sampel di
antara polarisasi melintang, dan titik lebur kristal diambil sebagai temperatur
penghilangan teras terakhir kristal ketika menggunakan mikroskop polarisasi hot-
stage. Phase-contrast microscopy merupakan teknik yang lainnya untuk
mengamati sifat struktural yang lebih melibatkan perbedaan dalam indeks refraksi
dari pada absorbsi cahaya seperti dalam kasus sederhana. Mikroskop interferensi
memungkinkan pengukuran ketebalan dalam orde angstrom telah membuktikan
studi yang sangat berguna dalam mempelajari kristal. Resolusi dibatasi kepada
ukuran objek sebesar setengah panjang gelombang sekitar 2000Å.
Mikroskop optik mempunyai dua eyepiece viewing tube (okuler) dan
sebuah trinocular tube head untuk mengumpulkan sistem kamera video /digital.
Ini merupakan peralatan standar untuk penguatan sebesar 10x, dilengkapi dengan
nosepiece memuat lima lensa objektif. Stage dikontrol dengan specimen holder
yang bisa digeser ke arah sumbu x dan y. Keseluruhan unit stage bisa bergerak ke
atas dan bawah dengan mekanisme pemfokusan fine dan coarse (pemfokusan
halus dan kasar). Cahaya yang melewati lamp house melalui iluminator vertikal
menyela di atas nosepiece. Permukaan atas spesimen menghadap ke lensa
objektif. Iluminator vertikal diarahkan secara horizontal pada sudut 90o dari
24
sumbu optik mikroskop. Knob adjustment coarse and fine disesuaikan untuk
mendapatkan fokus spesimen yang sesuai.
Gambar 2.11. Mikroskkop optik moderen yang bisa digunakan sebagai reflected light microscopy dan transmitted light microscopy(Davidson and Abravowitz,2002)
Pada iluminator vertikal, cahaya merambat dari sumber cahaya melalui
lubang variable aperture iris diaphragm dan melewati lubang variable and
centerable pre-focused field iris diaphragm. Kemudian cahaya membentur
reflektor kaca yang berwarna perak sebagian, atau membentur ke cermin perak
utuh dengan lubang elips untuk mengiluminasi bagian yang gelap. Reflektor kaca
berwarna perak sebagian untuk kaca yang menghadap ke sumber cahaya dan kaca
dengan anti refleksi menghadap ke observation tube pada bagian yang terkena
cahaya pantulan (brightfield reflected illumination). Kemudian cahaya dibelokkan
menuju ke objektif. Cermin dimiringkan pada sudut 45o pada jalur lintasan cahaya
menuju iluminator vertikal.
25
Cahaya mencapai spesimen yang mungkin saja menyerap cahaya dan
merefleksikan cahaya dalam bentuk terfokus dan terpencar. Cahaya yang
dikembalikan ke atas bisa ditangkap oleh objektif menurut banyaknya objektif dan
kemudian berjalan melewati cermin perak sebagian. Cahaya paralel memasuki
tabung lensa, yang membentuk image spesimen pada bidang lubang diafragma
pada okuler. Sangat penting untuk mencatat bahwa dalam sistem refleksi cahaya
ini, lensa objektif mempunyai fungsi ganda, yaitu: ketika bergerak turun sebagai
pengkoreksi apakah kondenser telah seajar, dan ketika bergerak naik berfungsi
sebagai objektif pembentuk image.
Absorbsi dan difraksi cahaya oleh spesimen merupakan image yang bisa
dibedakan, dari hitam melewati berbagai bayangan cahaya, atau warna. Spesimen
seperti itu dikenal sebagai amplitude specimen dan mungkin tidak memerlukan
metode kontras khusus untuk melihat imagenya detailnya. Spesimen yang lain
menunjukkan sedikit perbedaan dan /atau warna yang sifatnya sulit untuk dilihat
dan dibedakan pada bagian terang mikroskop optik.
Untuk menyimpan image sampel untuk analisa lebih lanjut, reflected
mycroscope dihubungkan dengan kamera yang dioperasikan dengan menangkap
image yang diproyeksikan langsung kepada mikrochip komputer tanpa
menggunakan fil. Image digital memberikan kesempatan bagi komputer untuk
mengontrol manipulasi image, panajaman gambar dan juga penyimpanan digital
permanen.
26
Kamera elektronik yang digunakan di sini adalah kamera CCD (Charged
Coupled Device), yang bisa merespon gelombang cahaya yang tidak tampak
dengan mata manusia.
Dengan Reflected Light Microscopy, sampel ditempatkan pada hot stage
tertutup. Semua sampel dikristalisasi pada suhu konstan. Untuk temperatur
kristalisasi tertentu, hot stage Linkam didinginkan dengan nitrogen.
Evolusi morfologis film dimonitor dengan menggunakan kamera CCD.
Data dianalisa dengan menggunakan software komputer yang dihubungkan
dengan mikroskop tersebut. Pertumbuhan kristal ditentukan dengan cara
mengikuti pertumbuhan bagian terdepan spherulite dalam satuan waktu.
(Khairuddin, 2002).
2.6 Ellipsometry
Pengukuran indeks bias dari lembaran PET dilakukan menggunakan
ellpisometer. Prinsip kerja dari instrumen ini berdasarkan teknik optik dengan
mendeteksi perubahan polarisasi dari gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan atau ditransmisikan oleh interface datar dan lapisan tipis. Gambar
2.12 menunjukkan skema dari gelombang elektromagnetik datang dengan sudut
φo pada interface datar dari system yang terdiri dari medium (udara)-lapisan tipis-
bulk sampel dengan indek bias no (udara), n1 (lapisan tipis), dan n2 (sampel atau
substrate) sebagian gelombang dipantulkan pada sudut φo , sebagian dibiaskan
dalam lapisan tipis dengan sudut φ1, dan lainnya dibiaskan dalam sampel dengan
sudut φ2. Dengan berdasar pada hukum Snell dan dari perbandingan koefisien
27
pantul dari gelombang p yang vektor medan listriknya parallel terhadap bidang
datang dan gelombang s yang vektor medan listrik tegak lurus terhadap bidang
datang, diperoleh hubungan matematik berikut yang merupakan persamaan
mendasar dalam ellipsometry (Azzam dan Bashara (1977); Kim dan Irene (1995).
))(1()1)((
tan 21201
21201
21201
21201
ixss
ixpp
ixss
ixppi
errerrerrerr
e −−
−−∆
++
++=ψ (2.32)
oonndx φλπ 222
1 sin)()(2−= (2.33)
11
1101 coscos
coscos
oo
oop nn
nnr
+−
=φ
φφdan
11
1101 coscos
coscosnn
nnr
oo
oos +
−=
φφφ
(2.34)
2112
211212 coscos
coscosnn
nnrp +−
=φ
φφdan
2211
2121112 coscos
coscosnn
nnrs +−
=φ
φφ (2.35)
2211 sinsinsin φφφ nnn oo == (2.36)
Gambar 2.12 Pantulan dan pembiasan gelombang pada lapisan tipis dengan ketebalan d antara bulk sampel dan medium φo3(Khairuddin,2003)
Normal Sinar datang Sinar
pantul
Lapisn tipis, n1
Medium,no
Bulk sampel, n2
d1
φ G
φ
φ
28
Tanda ψ dan ∆ masing-masing menyatakan rasio amplitudo dan perbedaan fase
dari gelombang p dan s, rp,s01 adalah koefisien pantulan Fresnel untuk interface
udara-lapisan tipis, x adalah ketebalan fase, d adalah ketebalan lapisan.
Dalam prakteknya, ellipsometer mengukur sudut ellipsometry ψ dan ∆
dari gelombang pantul, dimana pada instrumen ellipsometer sudut-sudut ini
diperoleh dengan menggunakan compensator fase dan polariser. Dengan
demikian nilai indeks bias dan ketebalan dari lapisan tipis dapat diketahui.
2.7 Metode Spin Coating
Metode spin coating adalah metode percepatan larutan pada substrat yang
diputar. Material coating dideposisi atau diletakkan pada bagian tengah substrat
baik dengan cara manual maupun bantuan robot. Material tersebut dituangkan
atau disemprotkan di atas substrat. Prinsip fisika di balik spin coating adalah
keseimbangan antara gaya viskositas yang dijelaskan oleh viskositas pelarut
dengan gaya sentrifugal yang dikontrol oleh kecepatan
spin(http://www.cise.columbia.edu./clean/process/spintheory.pdf).
Metode spin coating ini memuat empat tahapan dasar :
a. Tahap penetesan cairan (dispense)
Pada bagian ini cairan dideposisikan di atas permukaan substrat, kemudian
diputar dengan kecepatan tinggi. Kemudian lapisan yang telah dibuat akan
dikeringkan sampai pelarut pada lapisan tersebut benar-benar sudah menguap.
Proses dispense dibagi menjadi dua macam, yaitu :
29
1) Static dispense, proses disposisi sederhana yang dilakukan pada larutan di
atas pusat substrat. Pada proses ini menggunakan kecepatan 1 sampai 10
cc, bergantung pada kekentalan cairan dan ukuran substrat yang
digunakan. Adanya kecepatan yang sangat tinggi dan ukuran substrat yang
lebih besar dapat memastikan cairan benar-benar telah tersebar rata di atas
substrat.
2) Dynamic dispense, proses deposisi dengan kecepatan putar yang kecil
kira-kira 500 rpm. Pada prosese ini cairan yang tersebar di atas substrat
akan sedikit terbuang dan substrat menjadi lebih basah, sehingga lapisan
yang terbentuk akan lebih tebal.
b. Tahap percepatan spin coating
Setelah tahap penetesan cairan, larutan dipercepat dengan kecepatan yang
relatif tinggi. Kecepatan yang digunakan pada substrat ini akan mengakibatkan
adanya gaya sentrifugal dan turbulensi cairan. Kecepatan yang digunakan antara
1500-6000 rpm dan tergantung pada sifat cairan terhadap substrat yang
digunakan. Waktu yang digunakan kira-kira 10 menit.
c. Tahap pengeringan,
Pada tahap ini terbentuk lapisan tipis murni dengan suatu ketebalan
tetentu. Tingkat ketebalan lapisan yang terbentuk bergantung pada tingkat
kelembaban dasar substrat. Adanya kelembaban yang kecil menyebabkan
ketebalan lapisan murni yang terbentuk akan menjadi semakin besar.
Beberapa variabel parameter proses yang termasuk dalam spin coating
adalah sebagai berikut(http:www.cpmt.org/mm/pkglab/theory/spin_theory.html).
30
a. Viskositas atau kekentalan larutan
b. Kandungan material
c. kecepatan anguler
d. Waktu putar atau spin time
e. Temperatur
f. Pelarut
spinner
Glass substrat
Solusion
Gambar2.13 Prinsip pembuatan lapisan tipis dengan metode Spin Coating(http:www.cpmt.org/mm/pkglab/theory/spin_theory.html).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Seperangkat personal komputer
2. Program grafis Corel Draw 12
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah data sekunder berupa gambar spherulite dari
lapisan Poly(ethylene terephthalate) tipis dengan temperatur 180oC dan variasi
ketebalan 370Å, 860Å, 1380Å dan 1500Å. Gambar diamati dengan menggunakan
mikroskop optik dan direkam dengan kamera CCD(Charged Coupled Device).
3.2 Tahapan Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan meliputi tahap-tahap: Set up program
pengukur pada alat, Persiapan data sekunder, Pengukuran diameter gambar
spherulite, menentukan laju kristalisasi dengan metode grafik, Analisa data,
kesimpulan. Secara rinci tahap-tahap ini disajikan dalam diagram alir berikut ini:
31
32
Gambar 3.1 Diagram alir tahap-tahap penelitian
3.2.1 Set up program pengukur pada alat
Set up program pada penelitian ini berupa penginstalan program Corel
Draw 12 kedalam personal komputer.
Persiapan data sekunder
Pengukuran diameter gambar spherulite
Menentukan laju kristalisasi dengan
metode grafik
Analisa data
Kesimpulan
Set up program pengukur pada
alat
33
3.2.2 Persiapan data sekunder
Data sekunder berasal dari penelitian Khairudin (2002). Adapun gambaran
eksperimennya adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan lapisan tipis dengan metode spin coating
Membuat larutan PET konsentrasi 5% dengan cara memotong PET
kecil-kecil kemudian ditimbang. Mencampurkan pelarut 2-
chlorophenol yang sebelumnya juga telah ditimbang dengan potongan-
potongan PET, kemudian diaduk untuk melarutkan. Substrat dipotong-
potong dengan ukuran 1 x 1 cm, dibersihkan dengan menggunakan
ultra sonik cleaning kemudian divakumkan agar menguap, ini
dimaksudkan supaya tidak ada kotoran yang menempel pada substrat.
Larutan diteteskan di atas substrat, lalu diputar dengan kecepatan 2500
rpm kurang lebih selama 3 menit.
2. Mengukur ketebalan lapisan tipis dengan elipsometri
Lapisan tipis PET diletakkan di tengah-tengah stage elipsometer.
Kompensator (lengan sebelah kiri) dan filter selektor (lengan sebelah
kanan) diatur pada posisi 633 nm (cahaya merah). Sinar akan bergerak
dari kompensator kemudian mengenai lapisan tipis, sebagian
diteruskan dan sebagian dipantulkan menuju filter selektor. Agar sinar
yang terpantul tepat masuk kedalam selektor maka stage dapat digeser-
geser. Karena elipsometer telah terhubung dengan sistem komputer
34
maka dengan program aplikasi DAFIBM akan langsung dapat teramati
ketebalan lapisan PET tipisnya.
3. Mengamati kristalisasi dengan mikroskop optik
Lapisan PET tipis diletakkan diatas Linkam Hot Stage. Linkam Hot
Stage berfungsi untuk mengatur temperatur kristalisasi yang
diinginkan. Linkam diletakkan diatas Mekanikal stage mikroskop
optik. Temperatur dinaikkan hingga 280oC dengan laju cepat ( 10
0/min), tahan hingga 3 menit agar yakin mencapai kesetimbangan.
Turunkan ke temperatur 180oC dengan sangat cepat menggunakan
nitrogen cair yang dialirkan melalui Linkam Hot Stage. Mengamati
kristalisasi dengan mikroskop optik. Untuk mendapatkan gambar yang
paling baik, maka digunakan perbesaran 50x. Gambar direkam dengan
menggunakan kamera CCD yang telah terhubung dengan sistem
komputer, sehingga kristalisasi dapat teramati secara langsung melalui
komputer.
3.2.3 Pengukuran jari –jari Gambar Spherulite
Pengukuran diameter dilakukan pada gambar spherulite dengan
menggunakan program Corel Draw 12. Gambar diimpor ke dalam program Corel
Draw 12. Untuk memudahkan pengukuran mengingat gambar spherulite yang
cukup kecil dan tidak terlalu jelas, maka dilakukan beberapa modifikasi
sederhana. Untuk menanggulangi ukuran gambar yang kecil, maka gambar
dizoom secukupnya menggunakan Zoom Tool (Gambar 3.2 no.1). Zoom tool tidak
35
akan menyebabkan perubahan ukuran gambar asli, jadi hasilnya tidak akan
jauh berbeda, bahkan gambar yang sudah diperbesar akan lebih mudah diukur dan
lebih teliti Untuk menanggulangi gambar yang buram dan tidak terlalu jelas,
digunakan Effect Auto Equalize (Gambar 3.2 no. 2).
Gambar 3.2 Bentuk program Corel Draw 12 yang digunakan untuk mengukur diameter gambar spherulite lapisan PET tipis. (1) Zoom Tool, (2) Effect Auto Equalize, (3) Smart Drawing Tool, (4) Skala ukur (ruler), (5) Rotasi
Pengukuran diameter dilakukan dengan membuat sebuah garis dari tepi atas
hingga tepi bawah gambar spherulite untuk pengukuran vertikal (Gambar 3.3 no
a) dan tepi kiri hingga tepi kanan untuk pengukuran horizontal (Gambar3.3 no b)
dengan menggunakan Smart Drawing Tool (Gambar 3.2 no. 3), sedangkan untuk
pengukuran miring ke kanan dan miring ke kiri dilakukan dengan membuat garis
1
2
3
4
5
36
diagonal (Gambar 3.3 no c dan 3.3 no d) kemudian merotasinya sebesar 45o
(Gambar 3.2 no. 5) sehingga terbaca dalam skala ukur (ruler) nya.
Posisi-posisi pengukuran yang dilakukan adalah vertikal (a), horizontal (b), miring
ke kanan (c) dan miring ke kiri (d)
Gambar 3.3 suatu teknik pengukuran dengan 4 posisi.Tekhnik ini dalam penerapan dan pengukurannya menggunakan software Corel Draw
Dalam pengukuran pada objek akan mudah bila bentuk spherulite
mendekati bentuk lingkaran. Apabila bentuk tidak begitu mendekati sempurna
maka akan sulit dalam mengukur. Agar data yang dihasilkan mendekati akurat
a b
c d
37
maka digunakan teknik dengan empat posisi ini sehingga hasil data dapat
dibandingkan antara empat posisi tersebut.
3.4 panjang layar sebenarnya
Diameter yang dihasilkan pada pengukuran tersebut bukanlah ukuran yang
sebenarnya karena gambar telah mengalami perbesaran. Untuk mendapatkan
ukuran sebenarnya maka dilakukan konversi dengan cara perbandingan
mXdr µ8004.1932
=
Dimana d adalah diameter gambar spherulite (dengan satuan mm) yang diukur.
193.04 mm adalah panjang layar yang diukur. r adalah ukuran jari-jari sebenarnya
dan 80 μm adalah panjang layar sebenarnya.
3.2.4 Menentukan Laju Kristalisasi
Untuk menentukan laju kristalisasi diperoleh dengan cara metode grafik
menggunakan program Microsoft excel, dimana waktu yang ada berbanding
80 μm
38
dengan jari-jari yang didapatkan dari pengukuran Corel Draw yang sudah diolah.
Dari grafik tersebut akan diperoleh slope atau gradien yang besarnya
menunjukkan hasil dari laju kristalisasi.
3.2.5 Analisa Data
Analisa data berupa pembahasan hasil penelitian yang berlandaskan teori
tentang perubahan jari-jari terhadap fungsi waktu, perbedaan laju pertumbuhan
spherulite pada tiap posisi pengukuran, perbedaan laju pertumbuhan spherulite
yang impurity dengan spherulite purity pada temperatur tertentu pada ketebalan
yang bervariasi yang dijelaskan secara singkat dan jelas.
3.2.6 Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini berupa poin-poin penting yang diperoleh
dari penelitian yang dilakukan tentang pengaruh ketakmurnian terhadap laju
kristalisasi lapisan PET tipis pada temperatur tertentu dan dengan ketebalan yang
bervariasi.
39
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini pengukuran menggunakan bahan PET(polyethylen
tetraphalate) yang dengan berat molekul _
wM sebesar 25000, dibuat lapisan tipis
dengan teknik spin coating pada suhu 180oC. Bahan ini kemudian dicampur
dengan solvent 2-chlorophanol dan substrat silikon. Untuk pengamatan digunakan
mikroskop optik. Pengukuran ketebalan bahan dengan elipsometry. Ketebalan
bahan yang kita gunakan adalah 370Å, 860Å, 1380Å dan 1500Å. Pada
pengamatan ini kita akan mendapatkan beberapa gambar yang menunjukkan
dimana akan terdapat spherulite yang impurity dan purity.
Dengan variasi ketebalan tertentu dan tiap ketebalan kita mengukur diameter
gambar baik yang impurity dan purity sampai spherulite tidak bisa teramati lagi
sehingga kita mendapatkan batas waktu maksimum. Perbandingan antara diameter
dan waktu dapat menunjukkan suatu laju kristalisasi dari bahan dengan ketebalan
tertentu. Sesuai teori, pada bahan dengan ketebalan yang sama maka laju
kristalisasi impurity lebih besar daripada laju kristalisasi purity. Hal tersebut
disebabkan pada impurity ada zat pengotor yang memperkecil energi bebas
permukaan sehingga perintang laju kristalisasi akan semakin kecil dan laju
kristalisasi bahan menjadi lebih besar. Tetapi, pada data yang kita dapatkan ada
yang sesuai teori dan ada yang laju kristalisasi impurity lebih kecil daripada laju
kristalisasi purity. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, untuk yang purity tidak pasti murni, hal tersebut karena wadah bahan
39
40
yang tidak pasti bersih dan diperkirakan ada zat pengotornya walaupun
prosentasenya sangat kecil, tetapi sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya laju
kristalisasi. Zat pengotor tersebut juga bisa datang dari udara bebas, walaupun
sangat mikro tetapi berpengaruh baik secara visual yang berdampak pada saat
pengambilan data. Kedua, pada gambar terlihat beberapa spherulite yang saling
bersentuhan. Perkembangan spherulite tersebut terhambat oleh spherulite yang
lain yang saling bersentuhan dan berdesakan. Sehingga spherulite sebagai objek
yang kita hitung sangat berkurang laju kristalisasinya.
4.1 Struktur Spherulite Dalam Lapisan PET Tipis
Kristal polimer mempunyai struktur yang berbeda pada skala panjang yang
berbeda. Secara hirarki strukturnya dimulai dengan lamella sebagai unit dasar
penyusun kristal, kemudian struktur yang lebih luas yang disebut spherulite.
Lamella memiliki ukuran yang sangat kecil yaitu dalam orde nm, sedangkan
spherulite memiliki rentang ukuran yang lebih besar yaitu 0.5 μm -100 μm.
Gambar 4.1 Bentuk morfologi Spherulite lapisan PET tipis hasil pengamatan dengan mikroskop optik (gambar telah diperbesar).
41
Gambar 4.1 memperlihatkan spherulite yang teramati oleh mikroskop optik.
Spherulite tumbuh dan berkembang dari suatu inti kecil. Spherulite tumbuh secara
radial untuk tiap pertambahan waktu.
4.2 Perbedaan Spherulite dari Lapisan PET Tipis yang Didefinisikan
Bersih dan Mengandung Pengotor
Dalam pertumbuhannya spherulite dari lapisan PET tipis tidak lepas dari
ketidak murnian, ketidak murnian ini berasal dari masuknya bahan asing pada
spherulite PET. Bahan asing yang masuk itu bisa berasal dari wadah atau debu di
ruangan tempat di mana spherulite lapisan PET tipis ditumbuhkan. Bisa juga
ketidak murnian itu sengaja ditambahkan pada spherulite PET untuk merubah
sifat fisik polimer sehingga didapatkan polimer dengan sifat-sifat tertentu sesuai
dengan yang diinginkan. Pada kasus pertumbuhan spherulite PET yang penulis
bahas ini, bahan pengotor pada spherulite PET kemungkinan berasal dari debu
ruangan tempat di mana spherulite PET ditumbuhkan.
Gambar 4.2 menunjukkan bagaimana perbedaan spherulite dari lapisan
PET tipis yang didefinisikan bersih dan yang didefinisikan mengandung pengotor.
Pada spherulite b terdapat butiran pengotor yang cukup besar di mana ini tidak
terlihat pada spherulite a. Butiran inilah yang definisikan sebagai pengotor.
42
.
Gambar 4.2 Spherulite lapisan PET tipis yang didefinisikan bersih dan yang didefinisikan mengandung pengotor.
Spherulite a merupakan spherulite PET yang didefinisikan bersih sedangkan spherulite b merupakan spherulite yang didefinisikan mengandung pengotor.
4.3 Laju pertumbuhan lapisan tipis PET
Untuk mengetahui laju pertumbuhan spherulite, maka dilakukan
pengukuran diameternya tiap waktu. Karena pertumbuhan spherulite adalah radial
keluar, sedangkan bentuk spherulite tidak bulat 100% maka dilakukan empat
posisi pengukuran sehingga dapat mewakili keseluruhan ukuran diameternya.
Posisi-posisi pengukuran yang dilakukan adalah vertikal, horizontal, miring ke
kanan dan miring ke kiri.
Dari pengukuran yang dilakukan diketahui bahwa diameter spherulite
bertambah terhadap pertambahan waktu, hal ini membuktikan bahwa spherulite
terus mengalami perkembangan terhadap fungsi waktu hingga akhirnya melambat
ketika spherulite saling menyentuh. Untuk mengetahui laju pertumbuhan pada
tiap sisi spherulite, maka yang digunakan adalah jari-jarinya terhadap fungsi
waktu. Namun perlu diketahui bahwa nilai yang terukur tersebut bukanlah ukuran
yang sebenarnya, karena gambar spherulite yang diukur telah mengalami
a
b
43
perbesaran dari mikroskop optik. Oleh karena itu perlu dilakukan konversi skala
untuk mengetahui ukuran aslinya.
4.4 Analisis data dengan metode grafik
Dengan mengetahui slope garis tren yang secara langsung menunjukkan
laju pertumbuhan spherulite PET, maka bisa dengan mudah membandingkan
bagaimana laju pertumbuhan pada spherulite PET yang diamati.
Dari data 1 didapatkan grafik pertumbuhan spherulite PET yang
merupakan hasil dari pengukuran keempat sisi spherulite pada ketebalan 1500Å
(yang didefinisikan sebagai spherulite yang tidak mengandung pengotor), yaitu
sebagai berikut
y = 0.3337x + 5.2434y = 0.3367x + 7.562
y = 0.2961x + 5.7371
y = 0.5074x + 6.8648
0123456789
10
0 2 4 6
waktu(s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
Gambar 4.3. Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET tipis,
dengan ketebalan 1500Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan tanpa zat pengotor
44
Grafik dari spherulite pertama menunjukkan gradien persamaan garis tren
untuk keempat sisi pengukuran yang masing-masing bernilai: m =0,3337;0.3367;
0,2961; dan 0,5074. Dari sini dapat disimpulkan bahwa spherulite yang tidak
mengandung zat pengotor pada ketebalan 1500Å menunjukkan laju pertumbuhan
spherulite PET yang tidak homogen untuk keempat sisi spherulite PET dengan
kisaran 0,2961 sampai dengan 0,5074.
Tabel 4.1. Hasil penghitungan laju kristalisasi spherulite pada ketebalan 1500Å (yang didefinisikan sebagai spherulite PET yang tidak mengandung pengotor)
Sisi pengukuran
Laju kristalisasi
( mµ /s)
horizontal 0,3337
tegak 0,3367
miring kiri 0,2961
miring kanan 0,5074
Dari tabel 4.1 ini dengan jelas bisa dilihat bahwa laju kristalisasi spherulite pada
ketebalan 1500Å tidak homogen. Perbedaan laju kristalisasi untuk sisi-sisi
spherulite ini bisa dibandingkan dalam bentuk persentase laju kristalisasi. Di sini
diukur persentase ketidak homogenan laju kristalisasi keempat sisi spherulite
untuk mengetahui seberapa besar nilai ketidak homogenan laju kristalisasi untuk
spherulite tersebut. Untuk keseragaman digunakan laju terkecil sebagai bilangan
pembagi dalam menentukan laju kristalisasi, sehingga didapatkan :
45
1. 126,02961,0
2961,03337,0=
−
2. 137,02961,0
2961,03367,0=
−
3. 713,02961,0
2961,05074,0=
−
Dari perhitungan di atas maka didapatkan bahwa pertumbuhan spherulite PET
pada ketebalan 1500Å (yang didefinisikan sebagai spherulite yang bersih)
mempunyai rata-rata nilai heterogenitas sebesar
325,03
713,0137,0126,0=
++
Dari data.2 didapatkan grafik pertumbuhan spherulite PET yang merupakan hasil
dari pengukuran keempat sisi spherulite pada ketebalan 1500Å (yang
didefinisikan sebagai spherulite yang mengandung pengotor), yaitu :
y = 0.4697x + 5.0108y = 0.6289x + 5.2562y = 0.5481x + 5.4555y = 0.5989x + 4.9243
4.6
5.1
5.6
6.1
6.6
7.1
7.6
8.1
0 1 2 3 4 5 6
waktu (s)
jari
-jari
(um
)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
Gambar 4.4. Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET tipis dengan ketebalan 1500Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada dengan zat pengotor
46
Pada spherulite kedua ini juga dibuat grafik pertumbuhan spherulite yang
dilanjutkan dengan pembuatan garis tren-nya. Di sini dapat dilihat bahwa ke-
empat garis tren menunjukkan persamaan garis dengan nilai gradien masing-
masing : m = 0,4697; 0,6289; 0,5481; 0,5989. Untuk mempermudah pengamatan,
dirangkum hasil pengukuran dari spherulite ke-2 ini dalam tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil penghitungan laju kristalisasi spherulite (yang didefinisikan sebagai spherulite PET yang mengandung pengotor)
Sisi pengukuran
Laju kristalisasi
( mµ /s)
horizontal 0,4697
tegak 0,6289
miring kiri 0,5481
miring kanan 0,5989
Pada tabel 4.2 ini bisa dilihat bahwa laju kristalisasi untuk keempat sisi
pengukuran tidak sama. Sehingga dari sini, sementara disimpulkan bahwa
heterogenitas laju kristalisasi pada spherulite lapisan tipis PET tidak dipengaruhi
oleh adanya impurity, dengan ada atau tidaknya impurity pada spherulite,
pertumbuhan spherulite cenderung heterogen.
Dilakukan hal yang sama untuk data 2 ini, di sini dibandingkan persentase
laju kristalisasi untuk keempat sisi pengukuran spherulite dengan nilai laju
kristalisasi terkecil digunakan sebagai bilangan penyebut, sehingga didapatkan :
1. 3389,04697,0
4697,06289,0=
−
47
2. 1669,04697,0
4697,05481,0=
−
3. 2750,04697,0
4697,05989,0=
−
Dari perhitungan di atas didapatkan nilai rata-rata heterogenitas laju
kristalisasi untuk keempat sisi pengukuran, yaitu :
2602,03
2750,01669,03389,0=
++
Jadi nilai heterogenitas rata-rata untuk data 2 adalah sebesar 0,2602
Dari tabel 4.1 dan tabel 4.2 bisa dilihat bahwa laju kristalisasi dari data 2
yang didefinisikan sebagai spherulite yang mengandung pengotor memiliki laju
kristalisasi yang paling besar. Ini bersesuaian dengan teori yang telah
dikemukakan di depan, bahwa adanya pengotor pada polimer akan mengakibatkan
turunnya energi interfacial dan energi bebas perintang, yaitu energi yang harus
dilewati untuk membentuk kristal, sesuai dengan persamaan 2.15 (Strobl,1999).
Dari data 3 juga dibuat grafik perubahan jari-jari spherulite PET terhadap waktu
yang merupakan hasil dari pengukuran keempat sisi spherulite pada ketebalan
370Å (tanpa zat pengotor) , yaitu :
48
y = 0.0291x + 1.0124
y = 0.0355x + 1.0873y = 0.0495x + 0.9569
y = 0.0475x + 1.0342
0.8
0.9
1
1.1
1.2
1.3
1.4
0 2 4 6 8
waktu(s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
Gambar 4.5 Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET
tipis dengan ketebalan 370Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan tanpa zat pengotor
Pada spherulite dari lapisan PET tipis data 3 juga dibuat grafik jari-jari
terhadap waktu untuk mengetahui berapa laju pertumbuhannya. Di sini didapatkan
gradien garis tren m = 0,0291; 0,0485; 0,0475; 0,0355. Dari hasil tersebut
dirangkum dalam tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3. Hasil penghitungan laju kristalisasi spherulite (yang didefinisikan sebagai spherulite PET yang tidak mengandung pengotor)
Serupa dengan hasil dari spherulite data 1 dan 2, bahwa laju kristalisasi
untuk spherulite data 3 tidak homogen, dengan persentase ketidak homogenannya
adalah sebagai berikut:
Sisi pengukuran
Laju kristalisasi
( mµ /s)
horizontal 0,0291
tegak 0,0485
miring kiri 0,0475
miring kanan 0,0355
49
1. 1857,04379,0
4379,05192,0=
−
2. 0336,04379,0
4379,04526,0=
−
3. 1470,04379,0
4379,05023,0=
−
Nilai heterogenitas rata-rata untuk spherulite data 3 adalah
1221,03
1470,00336,01857,0=
++
Sedangkan untuk data 1 juga dibandingkan dengan data 3. Persentase
perbedaan laju tumbuh spherulite pada data 1 dan 3 juga bisa dihitung dengan
cara serupa, yaitu :
%1,266%1001221,0325,0
=×
Ternyata untuk spherulite yang sama-sama didefinisikan bersih (yaitu
spherulite 1 dan 3) juga mempunyai selisih laju kristalisasi. Tetapi selisihnya bisa
dikatakan signifikan, yaitu 266,1% atau perbandingannya adalah 1 : 2,66. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena kristalisasi PET pada data 1 mengalami
pertumbuhan optimalnya, sedangkan PET pada data 3 belum mengalami
pertumbuhan optimalnya, masih ada waktu untuk untuk tumbuh lagi.
Berikutnya dibandingkan juga laju kristalisasi spherulite pada data 2 (yang
didefinisikan mengandung pengotor) dengan spherulite pada data 1 (yang
didefinisikan tidak mengandung pengotor). Jika dibandingkan laju kristalisasi sisi
horizontal untuk spherulite 1 dan 2 maka diperoleh
50
%7,137%1003337,04697,0
=×
laju kristalisasi untuk spherulite yang didefinisikan mengandung pengotor di sini
adalah 137,7% lebih cepat dibandingkan dengan spherulite yang didefinisikan
tidak mengandung pengotor.
Dari perbandingan di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa laju
kristalisasi spherulite lapisan tipis PET memang dipengaruhi oleh adanya
pengotor. Kecepatan kristalisasi oleh adanya pengotor ini disebabkan karena
keberadaan pengotor akan mengurangi energi interfacial dan energi bebas
peintang, sehingga energi laju kristalisasi lapisan tipis PET akan semakin besar.
Berbeda pada saat mengamati pada ketebalan 1380Å dan 860Å, pada
ketebalan tersebut spherulite yang mempunyai zat pengotor laju pertumbuhannya
terhimpit oleh spherulite lain sehingga laju kristalisasi akan berkurang atau
dengan kata lain terhambat. Hal tersebut akan lebih jelas pada Gambar di bawah :
Gambar 4.6 spherulite PET tipis pada ketebalan 860Å dan 1380Å pada temperatur 180˚C yang mengalami sentuhan antar spherulite sehingga memperlambat laju kristalisasi
Ketebalan 860Å Ketebalan 1380 Å
51
y = 0.0915x + 2.778
y = 0.0664x + 2.3614
y = 0.128x + 2.482y = 0.0728x + 2.8198
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
0 1 2 3 4 5
waktu (s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.2695x + 4.3064
y = 0.6078x + 3.9298
y = 0.5634x + 3.911y = 0.3553x + 4.3384
3.6
4.1
4.6
5.1
5.6
6.1
6.6
0 1 2 3 4 5
waktu (s)
jari
-jari
(um
)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
Gambaran secara grafik pada ketebalan 860Å tersebut memperlihatkan laju
pertumbuhan purity lebih besar daripada impurity.
Gambar 4.7 Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET
tipis dengan ketebalan 860Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan dengan zat pengotor
Gambar 4.8 Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET tipis dengan ketebalan 860Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan dengan tanpa zat pengotor
52
y = 0.091x + 1.8353y = 0.05x + 1.674
y = 0.1645x + 1.6765
y = 0.112x + 1.839
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2
2.1
2.2
0 1 2 3
waktu(s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.6335x + 3.8042
y = 0.382x + 3.945y = 0.675x + 3.5937
y = 0.5315x + 4.0412
3.43.63.8
44.24.44.64.8
55.2
0 1 2 3
waktu(s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
Demikian juga untuk grafik pada ketebalan 1380Å memperlihatkan laju
kristalisasi pada keadaan impurity lebih kecil daripada keadaan purity.
Gambar 4.9 Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET tipis dengan ketebalan 1380Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan dengan zat pengotor
Gambar 4.10 Grafik laju pertumbuhan spherulite dari lapisan PET
tipis dengan ketebalan 1380Å pada suhu kristalisasi 180˚C pada keadaan tanpa zat pengotor
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN
Dalam penelitian tentang pengaruh ketidakmurnian pada lapisan tipis PET
yang mempunyai ketebalan yang bervariasi serta temperatur pada suhu
tertentu,diperoleh suatu hasil mengenai laju kristalisasi baik impurity maupun
purity dengan metode grafik. Dari hasil pengukuran objek untuk mendapatkan
data, pengolahan data dan kemudian analisis data yang dilakukan selama proses
penelitian maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pada ketebalan 1500Å dan 370Å laju kristalisasi impurity lebih besar
daripada laju kristalisasi purity, karena spherulite impurity tumbuh tidak
terhalang spherulite lain.
2. Pada ketebalan 860Å dan 1380Å laju kristalisasi impurity lebih kecil dari
pada laju kristalisasi purity, karena spherulite impurity tumbuh terhalang
spherulite lain.
3. Perbedaan laju kristalisai antara setiap tekhnik pengukuran akan
mempengaruhi heterogenitas.
4. Untuk spherulite yang sama-sama didefinisikan bersih mempunyai selisih
laju kristalisasi.
53
54
5. Kecepatan kristalisasi oleh adanya pengotor ini disebabkan karena
keberadaan pengotor akan mengurangi energi interfacial dan energi bebas
perintang, sehingga energi laju kristalisasi lapisan tipis PET akan semakin
besar.
6. Pengukuran jari-jari lapisan tipis dengan menggunakan empat teknik yaitu
horizontal, tegak, miring kiri dan miring kanan akan mempunyai variasi
data yang berbeda-beda.
.
5.2 SARAN
Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang laju kristalisasi
lapisan tipis PET, karena masih banyak hal yang perlu diteliti dalam penelitian ini
antara lain:
1. Dalam proses pengukuran data, perlu dilakukan pengambilan data yang
sebanyak mungkin.
2. Perlu adanya penghitungan besaran fisis yang lain, yang mempengaruhi
laju kristalisasi sehingga analisis data lebih kompleks.
3. Penggunaan alat pengukur yang lain, selain program Corel Draw sehingga
ada variasi data dengan alat pengukur yang lain.
LAMPIRAN
I.Data Sekunder
• Kristalisasi lapisan PET tipis dengan ketebalan 370 Å pada temperatur
180oC.
(5s) (4s)
(0s) (1s)
(2s) (3s)
• Kristalisasi lapisan PET tipis dengan ketebalan 860Å pada temperatur 180
oC.
(6s)
(1s) (0s)
(2s) (3s)
(7s)
• Kristalisasi lapisan PET tipis dengan ketebalan 1380Å pada temperatur
180oC.
(4s)
(1s) (2s)
(3s)
• Kristalisasi lapisan PET tipis dengan ketebalan 1500Å pada temperatur
180oC.
(2s)
(0s) (1s)
(3s)
(4s) (5s)
II.Tabel data Tabel A
teknik pengukuran (jari-jari dalam mm) ketebalan keadaan waktu
horizontal tegak miring kiri
miring kanan
370Å impurity 0
1,11 1.053 1.153 1.068 1 1.169 1.186 1.208 1.216 2 1.185 1.202 1.239 1.322 3 1.186 1.219 1.251 1.334 4 1.203 1.234 1.275 1.346 5 1.236 1.253 1.299 1.354 6 1.277 1.278 1.305 1.366 7 1.329 1.284 1.372 1.382 purity 0 0,943 0,837 1,093 0,933 1 1.068 1,069 1,117 1,133 2 1.118 1,124 1,129 1,133 3 1.127 1,152 1,194 1,239 4 1.136 1,169 1,269 1,257 5 1.152 1,169 1,269 1,299 6 1.160 1,219 1,31 1,299 7 1.211 1,302 1,31 1,311 860Å impurity 0 2,739 2,323 2,829 2,502 1 2,897 2,48 2,878 2,622 2 2,994 2,495 2,978 2,687 3 3,06 2,556 3,02 2,852 4 3,115 2,617 3,122 3,027 purity 0 4,158 3,929 3,72 4,109 1 4,642 4,626 4,558 4,925 2 5,054 5,127 5,196 5,094 3 5,093 5,528 5,798 5,538 4 5,28 6,517 5,917 5,579 1380Å impurity 0 1,813 1,671 1,638 1,828 1 1,971 1,73 1,918 1,973 2 1,995 1,771 1,967 2,052 purity 0 3,71 3,845 3,433 3,9 1 4,626 4,527 4,59 4,855 2 4,977 4,609 4,783 4,963 1500Å impurity 0 4,747 5,08 5,562 5,033 1 5,453 6,029 5,691 5,397 2 6,184 6,543 6,535 6,029
3 6,75 7,217 7,453 6,866 4 6,958 7,841 7,71 7,27 5 7,019 8,26 8,004 7,934 purity 0 5,05 7,057 5,435 6,747 1 5,712 8,316 6,242 7,499 2 6,077 8,465 6,572 7,859 3 6,223 8,671 6,609 8,555 4 6,55 8,879 6,903 8,702 5 6,854 9,035 7,104 9,438
Tabel B
Ketebalan Keadaan Jari-jari hasil rata-rata dari 4 tekhnik pengukuran(μm)
Impurity
1,096 1,195 1,237 1,245 1,26 1,285 1,306 1,34
370Å
Purity
0,9515 1,096 1,126 1,129 1,21 1,222 1,247 1,283
Impurity
2,598 2,719 2,788 2,872 2,97
860Å
Purity
3,978 4,687 5,117 5,489 5,923
1380Å
Impurity
1,737 1,898 1,946
Purity
3,722 4,649 4,833
Impurity
4,097 5,642 6,322 7,071 7,292 7,804
1500Å
Purity
6,072 6,942 7,243 7,514 7,758 8,107
y = 0.0267x + 1.1184
y = 0.0265x + 1.1702y = 0.0267x + 1.1201
y = 0.0364x + 1.17121
1.051.1
1.151.2
1.251.3
1.351.4
0 2 4 6 8
waktu (t)
jari
-jari(
um)
horizontal
tegak
miring kiri
miring kanan
y = 0.0291x + 1.0124
y = 0.0355x + 1.0873y = 0.0495x + 0.9569
y = 0.0475x + 1.0342
0.8
0.9
1
1.1
1.2
1.3
1.4
0 2 4 6 8
waktu(s)
jari
-jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.0915x + 2.778
y = 0.0664x + 2.3614
y = 0.128x + 2.482y = 0.0728x + 2.8198
2
2.2
2.4
2.6
2.8
3
3.2
0 1 2 3 4 5
waktu (s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
III.Grafik 1.Grafik laju kristalisasi pada pengukuran dengan 4 tekhnik pada variasi ketebalan tertentu a.Pada ketebalan 370Å (dengan zat pengotor) b.Pada ketebalan 370Å (tanpa zat pengotor) c.Pada ketebalan 860Å (dengan zat pengotor)
y = 0.2695x + 4.3064
y = 0.6078x + 3.9298
y = 0.5634x + 3.911y = 0.3553x + 4.3384
3.6
4.1
4.6
5.1
5.6
6.1
6.6
0 1 2 3 4 5
waktu (s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.091x + 1.8353y = 0.05x + 1.674
y = 0.1645x + 1.6765
y = 0.112x + 1.839
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2
2.1
2.2
0 1 2 3
waktu(s)
jari
-jari
(um
)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.6335x + 3.8042
y = 0.382x + 3.945y = 0.675x + 3.5937
y = 0.5315x + 4.0412
3.43.63.8
44.24.44.64.8
55.2
0 1 2 3
waktu(s)
jari-
jari(
um)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
d.Pada ketebalan 860Å (tanpa zat pengotor) e.Pada ketebalan 1380Å (dengan zat pengotor) f. Pada ketebalan 1380Å (tanpa zat pengotor)
y = 0.4697x + 5.0108y = 0.6289x + 5.2562y = 0.5481x + 5.4555y = 0.5989x + 4.9243
4.6
5.1
5.6
6.1
6.6
7.1
7.6
8.1
0 1 2 3 4 5 6
waktu (s)
jari-
jari
(um
)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.3337x + 5.2434y = 0.3367x + 7.562
y = 0.2961x + 5.7371
y = 0.5074x + 6.8648
0123456789
10
0 2 4 6
waktu(s)
jari-
jari
(um
)
horizontaltegakmiring kirimiring kanan
y = 0.0288x + 1.1446y = 0.041x + 1.0145
0.8
0.9
1
1.1
1.2
1.3
1.4
0 2 4 6 8
waktu (t)
jari
-jari
(um
) impuritypurity
g. Pada ketebalan 1500Å (dengan zat pengotor) h. Pada ketebalan 1500Å (tanpa zat pengotor) 2.Grafik laju kristalisasi berdasarkan jar-jari rata-rata dari ke empat tekhnik
a. Pada ketebalan 370Å
y = 0.1045x + 1.7558
y = 0.5555x + 3.8458
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0 1 2 3
waktu(s)
jari
-jari
(um
)
impuritypurity
y = 0.0897x + 2.61
y = 0.4692x + 4.1004
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
0 1 2 3 4 5
waktu (s)
jari-
jari(
um)
impuritypurity
y = 0.6924x + 4.6403
y = 0.3684x + 6.3517
3.54
4.55
5.56
6.57
7.58
8.5
0 1 2 3 4 5 6
waktu (s)
jari
-jari
(um
)
impurity
purity
b. Pada ketebalan 860Å
c. Pada ketebalan 1380Å
d. Pada ketebalan 1500Å