siti maimunah dan masyarakat adat mungkubaru · status legal adalah menyatukan visi dan misi...

4
SITI MAIMUNAH DAN MASYARAKAT ADAT MUNGKUBARU USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Oleh: Indra Nugraha Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau sering dise- but “bulian” atau kayu besi merupakan jenis pohon endemik daerah Kalimantan. Kayu ulin termasuk je- nis pohon berukuran cukup besar yang tumbuh dan berkembang secara alami di hutan tropika basah di Indonesia terutama Sumatera bagian selatan dan Ka- limantan. Kayu ulin terbesar di Indonesia berada di Taman Nasional Kutai dengan tinggi 20 meter dan diameter 2,47 meter. Bahkan kayu diperkirakan be- rusia 1.000 tahun. Kayu ulin ini sangat istimewa karena memiliki 10 ke- gunaan/manfaat dari sisi ekonomi, ekologi, kesehatan dan lainnya. Manfaat ekonomi misalnya sebagai ba- han konstruksi bangunan karena tekstur kayu yang kuat dan keras, tahan lama (tidak mudah membusuk, tahan air, maupun dimakan rayap). Usia bangunan dengan kayu ulin dapat mencapai ratusan tahun se- hingga menghemat biaya. Dalam kaitan dengan fung- si ekologi, kayu ulin menjadi sarang bagi kehidupan orang utan karena daun muda kayu ini menjadi makanan utamanya. Dewasa ini, populasi pohon ulin sudah kian langka dan terancam kelangsungannya. Ini tidak lepas dari aktivitas pembalakan liar dan alihfungsi lahan hutan menjadi kebun dan tambang secara masif. Disamp- ing upaya konservasi dan penanaman pohon (kayu) ulin sangat kurang dilakukan baik oleh pemerintah, “Sudah menjadi janji saya kepada masyarakat Mungkubaru untuk selalu mendampingi sesuai hak masyarakat atas kawasan hutan adat yang terancam punah. Ini karena masyarakat menganggap bahwa hutan ulin sebagai milik- nya maka pemanfaatan dan pe- ngelolaannya sesuka-sukanya. Bahkan sebagian masyarakat memanfaatkan untuk pengadaan lahan semata ,” katanya. USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Upload: dangmien

Post on 16-May-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SITI MAIMUNAH DAN MASYARAKAT ADAT MUNGKUBARU

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Indra Nugraha

Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau sering dise-but “bulian” atau kayu besi merupakan jenis pohon endemik daerah Kalimantan. Kayu ulin termasuk je-nis pohon berukuran cukup besar yang tumbuh dan berkembang secara alami di hutan tropika basah di Indonesia terutama Sumatera bagian selatan dan Ka-limantan. Kayu ulin terbesar di Indonesia berada di Taman Nasional Kutai dengan tinggi 20 meter dan diameter 2,47 meter. Bahkan kayu diperkirakan be-rusia 1.000 tahun.

Kayu ulin ini sangat istimewa karena memiliki 10 ke-gunaan/manfaat dari sisi ekonomi, ekologi, kesehatan dan lainnya. Manfaat ekonomi misalnya sebagai ba-han konstruksi bangunan karena tekstur kayu yang kuat dan keras, tahan lama (tidak mudah membusuk, tahan air, maupun dimakan rayap). Usia bangunan dengan kayu ulin dapat mencapai ratusan tahun se-hingga menghemat biaya. Dalam kaitan dengan fung-si ekologi, kayu ulin menjadi sarang bagi kehidupan orang utan karena daun muda kayu ini menjadi makanan utamanya.

Dewasa ini, populasi pohon ulin sudah kian langka dan terancam kelangsungannya. Ini tidak lepas dari aktivitas pembalakan liar dan alihfungsi lahan hutan menjadi kebun dan tambang secara masif. Disamp-ing upaya konservasi dan penanaman pohon (kayu) ulin sangat kurang dilakukan baik oleh pemerintah,

“Sudah menjadi janji saya kepada masyarakat Mungkubaru untuk selalu mendampingi sesuai hak masyarakat atas kawasan hutan adat yang terancam punah. Ini karena masyarakat menganggap bahwa hutan ulin sebagai milik- nya maka pemanfaatan dan pe- ngelolaannya sesuka-sukanya. Bahkan sebagian masyarakat memanfaatkan untuk pengadaan lahan semata ,” katanya.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

perusahaan maupun masyarakat. Badan Penelitian Kehutanan Banjarbaru mencatat populasi kayu ulin di wilayah Kalimantan Selatan contohnya tinggal 20%. Sehingga oleh IUC 1997, kayu ulin dikategorikan se-bagai tanaman (pohon) yang rentan atau rawan.

Ditengah-tengah rendahnya kesadaran dan minat berbagai pihak melakukan perlindungan pohon ulin, maka suatu kelangkaan jika terdapat komunitas yang justru melakukan hal ini. Salah satu contohnya di hutan adat Desa Mungkubaru Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kawasan hutan adat ini didominasi pohon ulin, sehingga sering disebut juga sebagai hutan ulin. Meskipun berada tepat di KM 28 kawasan konsesi pengusahaan hutan dari PT Taiyoung Engreen, namun hutan adat ini masih terjaga dengan baik. Masyarakat sekitarnya dan perusahaan itu sendiri mempunyai kepedulian menjaga kelestarian dari hutan ulin seluas 400 hektar.

Kesadaran masyarakat melestarikan hutan adat (ulin) Mungkubaru tak lepas dari peran seorang akademisi bernama Siti Maimunah. Dekan Fakultas Kehutanan dan Pertanian Universitas Muhammadi-yah Palangka Raya. Beliau cukup setia mendampingi warga Mungkubaru terkait dengan penyadaran dan pengelolaan kawasan hutan yang ada secara lestari. Termasuk melakukan advokasi ke pemerintah untuk mendorong adanya pengakuan secara legal atas sta-tus hutan adat Mungkubaru yang dikelola masyarakat sekitar secara berkelanjutan.

“Saya ingin mendampingi masyarakat untuk mengelola hutan adat ini secara lestari dimanapun dan kapan-pun,” ujar Siti Maimunah kala dihubungi Mongabay awal bulan Juli 2016.

Perempuan kelahiran Wonosobo, 31 Januari 1976 itu mengatakan, secara kebetulan hutan adat ulin Mungkubaru tersebut terletak di dekat hutan pendi-

dikan yang dikelola oleh kampus tempat ia mengab-dikan diri. Hutan ulin itu dianggap sebagai kawasan adat oleh masyarakat adat Mungkubaru.

“Sudah menjadi janji saya kepada masyarakat Mungkubaru untuk selalu mendampingi sesuai hak masyarakat atas kawasan hutan adat yang terancam punah. Ini karena masyarakat menganggap bahwa hutan ulin sebagai miliknya maka pemanfaatan dan pengelolaannya sesuka-sukanya. Bahkan sebagian masyarakat memanfaatkan untuk pengadaan lahan semata ,” katanya.

Pada dasarnya sebelum mendapat pendampingan dari Ibu Siti Maimunah, ada sebuah lembaga yang telah membantu masyarakat untuk mengelola hutan adat ini. Namun menurut warga tidak terlalu jelas bagaimana hutan ini dikelola. Bahkan di tengah jalan, lembaga tersebut meninggalkan mereka. Warga menduga jika pengelolaan hutan adat ini sepenuhn-ya menjadi kewenangan dari lembaga tersebut. Menurut Ibu Siti, kawasan hutan dikuatirkan justru akan berpindah tangan ke masing-masing pribadi dari pengurus lembaga.

Padahal esensi dari hutan adat adalah masyarakat adat Mungkubaru sendiri yang berkewajiban dan bertanggung jawab mengelola hutan ulin tanpa men-gubah bentang alamnya. Keyakinan inilah yang men-dasari Ibu Siti untuk setiap saat menyadarkan mas-yarakat melalui diskusi dan beragam kegiatan lainnya agar masyarakat mau menjaga hutan ulin Mungkuba-ru. Secara intensif kegiatan pendampingan dimulai tahun 2012. Meski pada tahun sebelumnya, Ibu Siti sudah melakukan bimbingan meskipun non intensif.

“Mulainya survei keanekaragaman hayati kawasan hutan pendidikan. Saat itu saya sampaikan kepada tokoh masyarakat bahwa mereka punya hutan adat namun status legal-nya belum jelas,“ ujar Ibu Siti.

Foto: Ibu Siti Maimunah bersama para pakar kehutanan dari UGM

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

Sayangnya, inisiatif awal penyadaran ini tidak diteri-ma oleh sebagian besar masyarakat. Terutama oleh kelompok masyarakat yang lebih mengutamakan pengambilan kayu ulin semata. Termasuk sebagian anggota masyarakat yang bertujuan menguasai hutan adat. Bahkan kelompok warga mengaitkan dengan masalah agama yang kebetulan berbeda. Dimana masyarakat desa mayoritas beragama nasrani, se-mentara Ibu Siti sendiri beragama Islam. Masalah perbedaan agama inilah yang membuat masyarakat ragu-ragu menerima ajakan Ibu Siti dalam mengelola hutan ulin secara lestari.

“Banyak hasutan dan omongan yang menganggap apa yang saya lakukan ini seperti Gafatar atau aliran sesat. Namun lambat laun warga mulai menyadari dan memahami jika hasutan tersebut tidak berdasar. Karena apa yang saya sampaikan dan lakukan dengan masyarakat terkait dengan kegiatan pertanian mandi-ri,” ujarnya.

Sebagai sarjana kehuatanan, Siti mengerti betul tentang nilai penting hutan adat bagi kelangsun-gan ekonomi masyarakat dan lingkungan. Beliau menamatkan pendidikan S1 Kehutanan di STIPER Yogyakarta tahun 1999 dan S2 Ilmu Kehutanan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 2005. Sekalipun demikian, masih juga sebagian kecil warga yang mempersoalkan isu agama sebagai mo-tivasinya dalam mendampingi masyarakat. Namun dengan menjelaskan bahwa agama apapun menga-jarkan tentang pentingnya perlindungan alam (hutan) maka masyarakat mulai mengerti meski tidak selalu mengikuti kegiatan yang dilakukan.

Sesudah isu agama tidak berdaya dalam menghasut warga, sebagian warga yang kepentingannya tergang-gu mencoba memisahkan Siti dengan masyarakat adat Mungkubaru melalui isu ‘suruhan perusahaan’. Padahal Ibu Siti merupakan penghubung dengan

PT Taiyoung Engreen untuk kegiatan di hutan adat. Bahkan Ibu Siti sering meminta pada pihak Taiyoung untuk menindak oknum perusahaan maupun mas-yarakat yang menyebabkan kerusakan hutan adat (ulin) ini. Siti sendiri mengaku merasa sedih dengan begitu banyaknya pihak yang mencoba menghasut masyarakat. Namun hal tersebut tak membuatnya gentar. Ia berkomitmen akan terus mendampingi masyarakat adat Mungkubaru hingga mendapatkan pengakuan atas hutan ulinnya dan dikelola secara le-stari.

“Saya jalan terus untuk bisa membuat masyarakat percaya akan tujuan saya. Beberapa tokoh mas-yarakat mendukung saya termasuk kepala desa. Saya janji untuk membantu mereka mendapatkan status legal dan saya yang akan menjadi penghubung den-gan pihak PT Taiyoung,” ujarnya.

Tidak ada istilah mundur kebelakang. Sekali melang-kah harus sampai tujuan itulah tekadnya. Lambat laun tapi pasti, respon postif dari pemerintah juga sudah nampak terkait dengan soal legalitas hutan adat. Se-hingga, ia mencoba memfasilitasi pertemuan antara warga, PT Taiyoung dan Dinas Kehutanan Kalimana-tan Tengah. Hasil pertemuan itu cukup menggembi-rakan mengingat semua pihak sepakat untuk menjaga hutan ulin Mungkubaru.

Sebelumnya pada tahun 2014, Siti bersama Tim Fo-rum Multi Pihak (dibentuk oleh Proyek USAID IF-ACS) yang dipimpin Dr. Herrie Saksono juga aktif melobi Bupati Gunung Mas untuk berdialog den-gan masyarakat adat Mungkubaru sebagai pengelo-la hutan ulin. Ini dikarenakan sekalipun masyarakat Mungkubaru sendiri berada dalam kawasan admin-istratif Kota Palangka Raya, namun lokasi hutann-ya sendiri masuk kawasan administratif Kabupaten Gunung Mas. Akhirnya, pertemuan dan dialog antara warga Mungkubaru dan Bupati Gunung Mas ber-

Foto: Ibu Siti Maimunah bersama rekan-rekan para pakar kehutanan.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

langsung dengan hasil yang menggembirakan. Bupa-ti Gunung Mas mendukung pelestarian hutan ulin Mungkubaru oleh masyarakat dan tak memperma-salahkan soal wilayah administratif.

“Waktu itu Bupati Gunung Mas sangat apresiatif dan menyetujui masyarakat untuk kelola hutan adatnya. Yang menarik bagi saya, meski bukan sebagai orang dayak namun kepedulian terhadap hutan ulin dihar-gai dan menjadi sesuatu yang sangat berarti. Bahkan Bapak Siun Jarias, Sekretaris Daerah Propinsi Kalteng bertanya “Maaf, apa ibu orang dayak” Saya jawab, saya Indonesia Pak. Saat itu Pak Siun tersenyum. Saya peduli dan terus bergerak karena sebagai Indonesia,” paparnya.

Bapak Siun Jarias sebagai Setda Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah akhirnya percaya dengan kesung-guhan Siti untuk mendampingi dan memperjuangkan hak hutan ulin Mungkubaru. Padahal kala itu, per-mohonan dari sebuah lembaga juga sudah masuk di meja beliau. Namun melihat kesungguhan Siti, per-mohonan dari lembaga tersebut akhirnya ditolak. Pe-merintah Propinsi Kalimantan Tengah lebih percaya dengan usulan Siti dan teman-temannya. Memang perjuangan Siti belum usai. Status hutan adat ulin kini masih belum diakui oleh pemerintah. Masih banyak hal yang harus ia dan rekan-rekannya lakukan demi memperjuangkan hak masyarakat adat Mungkubaru dalam mengelola hutan ulin mereka.

“Strategi yang tepat dan cepat untuk mendapatkan status legal adalah menyatukan visi dan misi mas-yarakat satu tujuan pelestarian. Kemudian dibuat kesepakatan bersama dengan PT Taiyoung sebagai pihak yang punya kawasan. Dengan kesepakatan yang difasilitasi oleh Dishut Provinsi Kalteng dan diu-sulkan ke Gubernur Kalteng. Setelah itu diusulkan ke KLHK.” pungkasnya.

Pada tahun 2014, Siti mendapatkan penghargaan Green Award dari USAID IFACS atas perannya membangun hutan pendidikan. Selain aktif men-dampingi masyarakat adat Mungkubaru, Siti juga ikut membidani peresmian hutan pendidikan Rakumpit dengan luas mencapai 5.000 ribu hektar sebagai ka-wasan penelitian dan tujuan ekowisata.

Penghargaan lainnya dari PT Hutan Amanah Lestari atas keberhasilan melakukan riset ujicoba Aerial Seeding di Hutan Kota Palangka Raya. Pada tahun 2016, ia lolos seleksi ICCTF Project sebagai Direktur Proyek untuk bidang mitigasi lingkungan dengan judul Conservation and Rehabilitation of Hutan Amanah Lestari Peat Swamp Forest as a working classroom for Universitas Muhammadiyah Palangka Raya.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 4