semua laporan.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam fisika, pengukuran merupakan salah satu syarat yang tidak boleh di
tinggalkan. Aktivitas mengukur menjadi sesuatu yang sangat penting untuk selalu
dilakukan dalam mempelajari berbagai fenomena yang sedang di pelajari.
Mengapa demikian ?
Sebelumnya, ada baiknya jika kita mengenal atau mengingat definisi
pengukuran atau mengukur itu sendiri. Mengukur adalah membandingkan suatu
besaran dengan besaran lain yang telah di sepakati, misalnya untuk mengukur
panjang suatu kabel maka kita bias menggunakan meteran. Dalam hal ini besaran
yang di bandingkan adalah panjang dari kabel tersebut. Sedangkan besaran
pembandingnya adalah meteran. Meteran adalah alat ukur besaran panjang yang
satuannya telah disepakati, misalnya untuk mengukur panjang suatu kabel maka
kita bisa menggunakan meteran. Dalam hal ini besaran yang dibandingkan adalah
panjang dari kabel tersebut. Sedangkan besaran pembandingnya adalah meteran.
Meteran merupakan alat ukur besaran panjang yang satuannya telah disepakati.
Dengan demikian jika nikai hasil perbandingan kedua besaran tersebut
menunjukkan bahwa panjang kabel ini ternyata 1,5 kali panjang dari ukuran satu
meteran dapat dikatakan bahwa panjang kabel yang terukur adalah 1,5 meter.
Mengukur itu sangat penting untuk di lakukan. Mengukur dapat di katakan
sebagai usaha untuk mendefinisikan karakteristik suatu permasalahan secara
kuantitatif. Dan jika di kaitkan dengan proses penelitian atau sekedar pembuktian
atau hipotesis maka pengukuran menjadi jalan atau untuk mencari data-data yang
mendukungnya.
Dengan pengukuran ini kemudian akan di peroleh data-data numerik yang
menunjukkan pola-pola tertentu sebagai bentuk karakteristik dari fenomena atau
permasalahan tersebut. Dengan demikian, maka dapat di hasilkan suatu
kesimpulan yang bersifat kualitatif berdasarkan pola-pola yang di hasilkan oleh
data-data kuantitatif tersebut.
Dengan salah satu argumentasi di atas, di lakukannya percobaan ini agar
praktikan dapat mengetahui betapa pentingnya dan di butuhkannya aktivitas
pengukuran dalam fisika, maka tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk
mengabaikannya dalam setiap riset-riset mereka.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Mampu menggunakan alat-alat ukur dasar.
2. Menentukan ketidakpasitian dalam pengukuran, serta menuliskan hasil
pengukuran secara benar.
3. Mengerti apa yang dimaksud dengan besaran-besaran pokok dan besaran
turunan.
1.3 Batasan Masalah
1. Setiap bahan percobaan dilakukan sebanyak lima kali
2. Pengukuran Volum luas dan lebar
3. Satuan yang digunakan dalam percobaan yaitu m, cm dan mm
1.4 Manfaat Percobaan
1. Dapat dengan mudah mempergunakan alat ukur dasar.
2. Dapat menentukan volume dan massa jenis zat padatan secara benar.
3. Memiliki kemampuan dasar dalam pengukuran sehingga dapa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Besaran dan satuan dalam fisika diartikan sebagai sesuatu yang dapat
diukur, serta memiliki nilai besaran (besar) dan satuan. Sedangkan satuan adalah
sesuatu yang dapat digunakan sebagai pembanding dalam pengukuran.
(Drasasssto,2004)
Satuan International (SI) merupakan satuan hasil konferensi para ilmuan
diparis, yang membahas tantang berat dan ukuran. Berdasarkan satuannya besaran
dibedakan menjadi dua, yaitu besaran pokok dan besaran turunan.(Bambang
murdaka Eka Jati, dkk, 2007)
2.1 Besaran Turunan
Besaran turunan adalah besaran yang diturunkan dari besaran pokok.
Tabel berikut menunjukkan beberapa contoh besaran turunun.
Tabel 2.1 Satuan Besaran Turunan
No. Besaran Turunan Rumus Dimensi Satuan
1 Volume p ×l ×t m3
2 Kecepatan PerpindahanWaktu
ms−1
3 Gaya Massa × Percepatan Kgms−2
4 Massa Jenis MassaVolume
Kgm−2
Berdasarkan tabel.2.1 bahwa dapat diketahui dimensi tertentu dan suatu
benda, misalkan untuk mengetahui volume zat padat jika bentuknya beraturan,
maka akan memiliki panjang, lebar, tinggi, diameter dan sebagainya. (Paul A.
Tiper, 1991)
Bentuk mengukur volume zat padat yang teratur bentuknya (kontinu)
dapat pula dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur perubahan
(variabel) yang membangunnya.
Volume balok dapat juga dilakukan dengan cara mengukur panjang, lebar
dan tinggi dari balok itu sehingga :
V Balok = Panjang x lebar x tinggi. (2.1)
Dengan :
p=¿ : Panjang Balok
l=¿ : Lebar Balok
t=¿ : Tinggi Balok
Sedangkan volume bola besi dapat juga dilakukan dengan mengukur diamenter
dan panjang silinder ini sehingga :
V bola=π (d /2)2× p (2.2)
¿ 43
πr3
Dengan :
d=¿ : Diameter Bola
p=¿ : Panjang Bola
r=¿ : Jari-jari Bola
2.2 Besaran Pokok
Besaran Pokok adalah besaran yang digunakan sebagai besaran dasar
untuk menetapkan besaran yang lain. Satuan besaran pokok disebut satuan pokok
dan aatelah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan para ilmuan.
Besaran pokok bersifat bebas, artinya bergantung pada besaran pokok yang lain.
(Bambang murdaka Eka Jati, dkk, 2007)
Besaran pokok diartikan juga sebagai besaran yang satuannya telah
ditetapkan terlebih dahulu dan tidak bergantung pada satuan-satuan besaran lain.
(Paul A. Tidler, 1991)
Dimensi satuan besaran adalah cara besaran tersebut tersusun atas besaran-
besaran pokoknya. Pada sistem Satuan International (SI). Ada tujuh besaran
satuan pokok yang berdimensi. Cara penulisan dimensi sari suatu besaran
dinyatakan dengan lambang huruf tertentu dan diberi tanda kurung persegi.
Tabel 2.1 Satuan Besaran Pokok
No. Besaran Pokok Satuan Dimensi
1 Panjang Meter ( L )
2 Massa Kilogram ( M )
3 Waktu Secon ( T )
4 Kuat Arus Listrik Ampere ( I )
5 Suhu Kelvin ( θ )
6 Jummlah zat Mol ( N )
7 Intensitas Cahaya Kandela ( J )
Untuk mengenal lebih dalam tentangn pengukuran dasar sehingga kita harus
mengenal alat-alat yang dipergunakan dalam pengukuran dasar.
2.2.1 Jangka Sorong
Jangka Sorong terdiri atas dua bagian, yaitu rahang tetap dan rahang geser.
Skala panjang yang terdapat pada rahang tetap merupakan skala utama,
sedangkan skala pendek yang terdapat pada rahang geser merupakan skala
nonius atau vernier. Nama vernier diambilkan dari nama penemu jangka
sorong, yaitu Pierre Vernier, seorang ahli tehknik berkebangsaan prancis.
Skala utama pada jangka sorong memiliki skala dalam cm dam mm.
Sedangkan skala nonius pada jangka sorong memiliki panjang 9 mm dan
dibagi dalam 10 skala, sehinga beda satu skala nonius dengan satu skala
pada skalal utama adalah 0,1 mm atau 0,001 cm. Jangka sorong dapat
digunakan untuk mengukur diameter luar, diameter dalam, kedalaman
tabung, dan panjang benda sampai nilai 10 cm.
Gambar 2.1 Jangka Sorong
2.2.2 Mikrometer Sekrup
Mikrometer Sekrup sering digunakan untuk mengukur tebal benda-benda
tipis dan mengukur diameter benda-benda bulat yang kecil sepertitebal
kertas dan diameter kawat. Mikrometer sekrup terdiri atas dua bagian,
poros tetap dan poror ulir. Skala panjang yang terdapat pada poros tetap
merupakan skala utama, sedangkan skala panjang yang terdapat pada
poros ulir merupakan skala nonius. Skala utama mikrometer sekrup
mempunya skala dalam mm, sedangkan skala noniusnya terbagi dalam 50
bagian. Satu bagian pada skala nonius mempunyai nilai 1/50x0,5 mm atau
0,01 mm. Jadi mikrometer sekrup mempunyai tingkat ketelitian paling
tinggi dati kedua alat yang telah disebutkan sebelumnya 0,01 mm
Gambar 2.2 Mikrometer Sekrup
.
2.2.3 Neraca Ohauss
Neraca Ohauss digunakan untuk menyatakan massa benda dalam
satuan gram (g). Sdatuan SI untuk massa adala kilogram (Kg). Ada beberapa jenis
Neraca antara lain, Neraca teknis, Neraca lengan, Neraca pasar, Neraca tekan,
Neraca badan, Neraca elektronik. Setiap neraca memiliki spesifikasi penggunaan
yang berbeda-beda. Jenis neraca yang umum adalah neraca tiga lengan dan empat
lengan. (Paul A. Ripper, 1991)
Didalam suatu pengukuran dikenal istilah akurasi dan presisi. Akurasi
susatu alat ukur menggambarkan seberapa dekat hasil suatu pengukuran dengan
nilai sebenarnya, sedangkan presisi adalah perubahan nilai terkecil yang dapat
direspon oleh suatu alat ukur.
Angkan penting adalah semua angka yang diperoleh dari hasil pengukurab
yang terdiri dari angka pasti dan angka taksiran. Angka penting memiliki
beberapa aturan yaitu :
- Semua angka bukan nol adalah angka penting, contoh : 125
memiliki tiga angka penting.
- Angka nol yang terletak diantara dua angka bukan nol adalah
penting, contoh : 1025 memiliki tiga angka penting.
- Angka nol bukan angka penting jika terletak dibelakang koma
decimal yang didahului angkan nol, contoh : 0,0053 memiliki dua
angka penting.
- Dalam notasi ilmiah, semua angka sebelum orde termask angka
penting, contoh : 2,5 x 105 memiliki dua angka penting. (Presasro,
2004)
Pengukuran dalam fisika, pada dasarnya dapat dibedakan atas pengukuran
langsung dan pengukuran tidak langsung. Pengukuran langsung merupakan
pengukuran besaran pokok, sedangkan pengukuran tidak langsung dilakukan
dengan menghubungkan sifat banda yang akan diukur dengan besaran yang telah
tersedia alat ukurnya.
Besaran fisika tidak dapat diukur secara pasti dengan setiap alat ukur.
Hasil pengukuran selalu mempunyai derajat ketidakpastian. Pada saa kita
menggunakan penggaris untuk mengukur besaran panjang, bacaan akan diambil
ke skala millimeter terdekat. Misalnya, hasil pengukuran dapat dinyatakan 234 ± 1
mm. Hal ini dapat mengimplikasikan bahwa kita mengambil bacaan dengan
berpikir bahwa nilai terbaik adalah 234 mm, tetapi bahwa nilai tida akan jatuh di
luar rentang dari 233 mm ke 235 mm. Nilai ± 1 disebut ketidakpastian bacaan.
Orang biasanya menyebut sebagai kesalah ( error ), walaupun sebenarnya kata
kesalahan lebih mengarah pada pengertian keleliruan yang telah dilakukan,
padahal permasalahannya tidak demikian.
Kesalah pengukuran dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kesalahan
sistematis dan kesalahan acak. Kesalah sistematis akan menghasilkan setiap
bacaan yang diambil menjadi salah dalam satu arah. Misalnya, menggunakan
voltmeter dengan bacaan nol pada nialai 0,3 V, akan menghasilkan semua bacaan
yang diambil menjadi 0,3 V lebih besar. Kesalahan sistematik adalah kesalahan
yang sebab – sebabnya dapat diidentifikasi dan secara prinsip dapat dieliminasi.
Nilai yang terukur secara konsisten terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Kesalahan acak menghasilkan hamburan data di sekitar nilai rata – rata.
Data mempunyai kesalahan yang sama menjadi positif atau negative. Sumber
kesalahan acak seing tidak dapat diidentifikasi. Kesalahan acak sering dikuantitasi
melalui analisis statistic, sehingga efek kesalahan acak terhadap besaran atau
hukum fisika dapat ditentukan. Kesalahan acak dihasilkan dari ketidakmampuan
pengamat untuk mengulangi pengukuran secara presisi. Ada metode statistic baku
untuk mengatasi kesalahan acak. Hal ini dapat memberikan simpangan baku untuk
mengatasi kesalahan acak.
Di dalam ilmu pengetahuan alam, segala sesuatu yang dapat di ukur di
namakan besaran. Jadi, panjang, waktu, massa, suhu adalah besaran. Untuk
melakukan pengukuran di perlukan alat ukur.
Besaran terdiri dari besaran pokok dan besaran turunan. Dalam ilmu
pengetahuan alam terdapat banyak sekali besaran. Namun, pada dasarnya dalam
pengalaman sehari-hari besaran terdiri dari dua macam, yaitu besaran pokok dan
besaran turunan.
Setiap besaran dapat di ukur secara langsung atau secara tidak langsung.
Pengukuran suatu besaran akan menghasilkan nilai (bilangan), jadi :
“Besaran ialah sesuatu yang mempunyai bilangan atau sesuatu yang dapat di
nyatakan dengan bilangan.”
Selain mempunyai bilangan, kebanyakan besaran juga mempunyai satuan.
Satuan adalah sesuatu yang di jadikan pembanding dan pengukuran.
Contoh satuan :
- Untuk besaran panjang, satuannya : meter, kilometer, inci, yard, depa,
jengkal.
- Untuk besaran massa, satuannya : kilogram, gram, ons, pound, kuintal,
ton.
- Untuk besaran waktu, satuannya : sekon, menit, jam, hari, tahun.
- Untuk besaran suhu, satuannya : kelvin, derajat celcius, derajat fahrenheit.
Untuk menyatakan besaran yang mempunyai satuan, maka di samping
harus di nyatakan bilangannya, harus pula di nyatakan bilangannya, harus pula di
nyatakan satuannya. Misalnya :
- Panjang bambu itu 2 depa
- Panjang adalah besaran
- Dua adalah bilangan
- Dua adalah satuan
Untuk menyatakan pekerjaan itu di butuhkan waktu 5 hari
- Waktu adalah besaran
- Lima adalah bilangan
- Hari adalah satuan
Di dalam ilmu pengetahuan alam ada juga besaran yang mempunyai bilangan,
tetapi tidak mempunyai satuan. Misalnya :
- Keuntungan mekanis sebuah tuas
- Perbesaran bayangan
Besaran pokok merupakan induk untuk besaran turunan. Setiap besaran
pokok masing-masing memiliki satuan yang di tetapkan berdasarkan kesepakatan
international. Besaran pokok ialah besaran yang satuannya di definisikan
tersendiri. Besaran pokok merupakan dasar untuk menyatakan satuan besaran
turunan. Di dalam ilmu pengetahuan alam ada 7 macam besaran pokok, yaitu :
- Panjang
- Massa
- Waktu
- Suhu
- Kuat arus listrik
- Jumlah zat
- Kuat cahaya
Dari 7 besaran pokok ini hanya 5 yang harus di pelajari dan di pahami
pemakaiannya oleh setiap siswa sehingga mampu mempergunakannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Kelima besaran pokok itu adalah:
- Panjang
- Massa
- Waktu
- Suhu
- Kuat arus listrik
Sebuah balok mempunyai panjang. Besaran panjang dapat di ukur baik
dalam satuan baku maupun dalam satuan tak baku. Di dalam SI besaran panjang
di ukur dalam satuan meter. Meter adalah satuan baku untuk besaran panjang, di
singkat m, kilometer, hektometer, sentimeter, yard, inci, jengkal, hasta, dan depa
adalah beberapa contoh satuan tak baku untuk besaran panjang.
Lebar, tinggi, tebal, dan jarak suatu benda adalah besaran yang sejenis
dengan besaran panjang karena satuannya sama dengan satuan besaran panjang.
Sebagai patokan satuan meter, maka konferensi internasional yang di
selenggarakan khusus untuk membahas sistem satuan memutuskan untuk
membuat sebuah meter standar yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Panjang tidak dapat di ubah
- Mudah di tiru bila di perlukan
Untuk pertama kalinya, meter standar di buat dalam bentuk batang logam
campuran platina iridium. Pada batang standar ini di buat 2 buah garis lurus yang
jaraknya satu meter. Meter standar yang asli di simpan di kantor internasional
tentang berat dan ukuran diserves, Prancis. Sekarang meter standar itu di anggap
kurang memenuhi syarat karena :
- Panjangnya mengalami perubahan walaupun kecil sekali.
- Kurang praktis (tidak dapat segera di tiru).
- Tidak memakai untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
Sejak tahun 1960, meter standar yang di pergunakan dalam SI adalah
meter standar yang di dasarkan pada panjang gelombang cahaya merah jingga
yang di pancarkan oleh gas Krypton-86. Satu meter sama dengan 1.650.763,73
kali panjang gelombang cahaya merah jingga yang di pancarkan oleh gas
Krypton-86 di dalam ruang hampa pada suatu lucutan listrik.
Untuk mengukur besaran panjang di perlukan alat ukur, contohnya :
- Meteran Kelos : Di pergunakan untuk panjang yang lebih dari satu meter.
- Mistar : Di pergunakan untuk panjang yang kurang dari satu meter.
- Jangka sorong : Di pergunakan untuk mengukur diameter pipa
ketelitiannya mencapai 0,1 mm.
Micrometer sekrup : Di pergunakan untuk mengukur tebalnya benda ketelitiannya
mencapai 0,01 mm.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Fisika Dasar tentang Pengukuran Dasar dilakasanakan pada
hari rabu, 24 Oktober 2012 pada pukul 07.30 sampai dengan 10.30 bertempat di
Laboratorium Fisika Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Mulawarman-Samarinda.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Percobaan
1. Jangka sorong
2. Neraca ohauss
3. Mikrometer sekrup
3.2.2 Bahan Percobaan
1. Bola-Bola besi
2. Balok besi
3.3 Prosedur Percobaan
1. Di siapkan alat dan bahan.
2. Di timbang bola-bola besi dan balok besi dengan menggunakan Neraca
ohauss.
3. Di ukur diameter bola-bola besi dengan menggunakan mikrometer
sekrup.
4. Di ukur panjang, lebar, dan tinggi balok besi menggunakan jangka
sorong.
5. Di catat hasil pengukuran dan pengamatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Balok Besi
NO Panjang (cm) Lebar (cm) Tinggi (cm) Massa (gr)
1 4,635 1,375 1,915 92,48
2 4,616 1,30 1,91 92,45
3 4,650 1,30 1,91 92,75
4 4,615 1,395 1,925 92,73
5 4,620 1,38 1,91 92,79
4.1.2 Bola Besi
NO Diameter (cm) Jari-jari (cm) Massa (gr)
1 1,84 0,92 28,10
2 1,835 0,9175 28,09
3 1,821 0,9105 28,07
4 1,818 0,909 28,22
5 1,827 0,9135 28,16
4.2 Analisis Data
∆ p , ∆ l , ∆ t= 13
× nst Jangkasorong
= 13
× 0,1 = 0,03 mm = 0,003 cm
∆ m = 13
× nst neraca ohauss
= 13
× 0,01 = 0,003 gr
∆r = 13
× nst mikrometer sekrup
= 13
× 0,01 mm = 0,003 mm = 0,0003 cm
4.2.1 Perhitungan Tanpa KTP
4.2.1.1 Balok
4.2.1.1.1 Volume Balok
V1 = p × l × t
= 4,635 × 1,375 × 1,915
= 12,20 cm3
V2 = p × l × t
= 4,616 × 1,30 × 1,91
= 11,46 cm3
V3 = p × l × t
= 4,650 × 1,30 × 1,91
= 11,54 cm3
V4 = p × l × t
= 4,615 × 1,395 × 1,925
= 12,39 cm3
V5 = p × l × t
= 4,620 × 1,38 × 1,91
= 12,18 cm3
4.2.1.1.1.1 Massa jenis Balok
ρ1 = mv
= 92,4812,20
= 7,58 gr/m3
ρ2 = mv
= 92,4511,46
= 8,07 gr/m3
ρ3 = mv
= 92,7511,54
= 8,04 gr/m3
ρ4 = mv
= 92,7312,39
= 7,48 gr/m3
ρ5 = mv
= 92,7912,18
= 7,62 gr/m3
4.2.1.2 Bola Besi
4.2.1.2.1 Volume Bola
V1 = 43
π r3
= 43
×3,14 ×(0,92)3
= 3,260 cm3
V2 = 43
π r3
= 43
×3,14 ×(0,9175)3
= 3,233 cm3
V3 = 43
π r3
= 43
×3,14 ×(0,9105)3
= 3,160 cm3
V4 = 43
π r3
= 43
×3,14 ×(0,909)3
= 3,145 cm3
V5 = 43
π r3
= 43
×3,14 ×(0,9135)3
= 3,19 cm3
4.2.1.2.2 Massa jenis Bola
ρ1 = mv
= 28,103,260
= 8,62 gr/m3
ρ2 = mv
= 28,093,233
= 8,68 gr/m3
ρ3 = mv
= 28,073,160
= 8,88 gr/m3
ρ4 = mv
= 28,223,145
= 8,97 gr/m3
ρ5 = mv
= 28,163,19
=8,82 gr/m3
4.2.2 Perhitungan Dengan KTP
4.2.2.1 Balok
4.2.2.1.1 Volume Balok
∆V1 = {( l ×t )2 ( ∆ p )2+ ( p× t )2 (∆ l )2+( p× l )2 ( ∆ t )2 }12
=
{(1,375 × 1,915 )2 (1,667 )2+( 4,635 ×1,915 )2 (0,167 )2+(4,635 × 1,375 )2 (0,167 )2 }12
={( 6,933× 2,78 ×10−6 ) ( 78,783× 2,78 ×10−6 ) ( 40,620 ×2,78 ×10−6 )}12
= {( 19,27× 10−5 ) × ( 2,189× 10−4 )+(1,132 ×10−4 )}12
={3,515 ×10−4 }= 0,018 cm3
∆V2 = {( l ×t )2 ( ∆ p )2+ ( p× t )2 (∆ l )2+( p× l )2 ( ∆ t )2 }12
=
{(1,30× 1,91 )2 (1,667 )2+( 4,616 ×1,91 )2 (1,667 )2+ (4,616 ×1,30 )2 (1,667 )2 }12
= {(0,328 × 2,78 ) (77,731 ×2,78 )+(36,010 ×2,78 ) }12
= {( 1,719× 10−5 )+(216,09−4 )+( 1,004 ×10−4 )}12
={3,342 ×10−4 }= 0,018 cm3
∆V3 = {( l ×t )2 ( ∆ p )2+ ( p× t )2 (∆ l )2+( p× l )2 ( ∆ t )2 }12
=
{( 0,167× 1,91 )2 (0,167 )2+ (4,650 ×1,30 )2 (1,167 )2+( 4,650× 1,91 )2 (0,167 )2 }12
= {(6,165 × 2,78 )+(36,54 ×2,28 )+ (78,88× 0,278 ) }12
={( 1,719× 10−5 )+(1,019 ×10−4 )+ (2,199× 10−4 )}
= {3,39 ×10−4 }12
∆V4 = {( l ×t )2 ( ∆ p )2+ ( p× t )2 (∆ l )2+( p× l )2 ( ∆ t )2 }12
=
{(1,395 × 1,925 )2 (0,167 )2+ (4,615 ×1,925 )2 (0,167 )2+( 4,615× 1,395 )2 (0,167 )2 }12
= {(7,211× 0,278 )+(78,923 ×0,278 )+ (41,450 ×0,278 ) }12
= {3 , 527 ×10−4 }12
= 0,018 cm3
∆V5 = {( l ×t )2 ( ∆ p )2+ ( p× t )2 (∆ l )2+( p× l )2 ( ∆ t )2 }12
=
{(1,38× 1,91 )2 (0,167 )2+( 4,620 ×1,91 )2 (0,167 )2+(4,620 ×1,38 )2 (0,167 )2 }12
= {(6,947 × 0,228 )+(77,866 ×2,228 )+ (40,648 ×0,278 ) }12
={( 1,937× 10− 4 )+(2,171 ×10−4 )+(1,133 ×10−4 ) }
= {3,498 ×10−4 }12
= 0,018 cm3
4.2.2.1.2 Massa jenis Balok
∆ρ1 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 112,20 )
2
(3,33×10−3 )2+( −92,48(12,20)2 )
2
(0,018 )2}12
={( 0,094 ×7,450 ×10−5 )+(75,160 ×1,250 ×10−4 ) }12
= {0,45010}12
= 0,011 cm3
∆ρ2 ={( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 111,46 )
2
(3,33 × 10−3 )2+( −92,45(11,46)2 )
2
(0,018 )2}12
={( 0,095 ×8,443 ×10−10)+ (75 ,168 × 1,605× 10−4 )}12
= {1,250 ×10−4 }12
= 0,012 cm3
∆ρ3 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 112,39 )
2
(3,33×10−3)2+( −92,73
(12,392)2 )2
(0,018 )2}12
={( 0,101× 7,223× 10−6 )+ (86,274 ×1,571 ×10−4 ) }12
= {1,571 ×10−4 }12
= 0,012 cm3
∆ρ4 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 111,26 )
2
(0,003 )2+(−92,67(11,26)2 )
2
(0,032 )2}12
={( 0,0101× 1,109× 10−3 )+( 86,121× 1,182× 10−4 )}12
= {1,182 ×10−3 }12
= 0,010 cm3
∆ρ5 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= ¿¿
={( 0,098 ×7,474 ×10−10 )+(82,145 ×1,267 × 10−4 )}12
= {1,267 × 10−3 }12
= 0,011 cm3
4.2.2.2 Bola Besi
4.2.2.2.1Volume Bola
∆V1 = { (4 π r2 )2 ∆ r2}12
= ¿¿
= {( 113,013×1,110× 10−5 )}12
= {( 1,253× 10−3 )}12
= 3,539 ×10−3 cm3
∆V2 = { (4 π r2 )2 ∆ r2}12
= {(4 ×3,14 (0,9175)2)2×(3,33 ×10−33)2}
12
= {( 111,790× 1,110×10−5 )}12
= {( 1,239× 10−5 )}12
= 3,519 ×10−5 cm3
∆V3 = { (4 π r2 )2 ∆ r2}12
= {(4 ×3,14 (0,9105)2)2×(3,33 ×10−3)2}
12
= {( 108,480× 1,110×10−5 )}12
= {( 1,202× 10−5 )}12
= 3,467 ×10−5 cm3
∆V4 = { (4 π r2 )2 ∆ r2}12
= {(4 ×3,14 (0,909)2)2×(3,33×10−3)2}
12
= {( 107,704 ×1,110× 10−5 )}12
= {( 1,194 ×10−5 )}12
=3,455 ×10−3 cm3
∆V5 = { (4 π r2 )2 ∆ r2}12
= {(4 ×3,14 (0,9135)2 )2× (3,33 ×10−3 )2}12
= {( 109,853× 1,110×10−5 )}12
= {( 1,218× 10−5 )}12
= 3,489 ×10−3 cm3
4.2.2.2.2 Massa jenis Bola
∆ρ1 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 13,260 )
2
(3,33×10−3 )2+( −28,10(3,260)2 )
2
(3,539 ×10−3 )2}12
={1,043 ×10−8+8,755 ×10−5 }12
= {8,756 × 10−5 }12
= 3,489 ×10−3 cm3
∆ρ2 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 13,233 )
2
(3,33×10−3 )2+( −28,09(3,233)2 )
2
(3,519 ×10−3 )2}12
={1,060 ×10−3+8,943 ×10−5 }12
= {8,944 ×10−5 }12
= 9,45×10−3 cm3
∆ρ3 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 13,160 )
2
(3,33×10−3 )2+( −28,07(3,160)2 )
2
(3,467×10−3)2}12
={1,110× 10−8+9,498 × }10−512
= {9,499 × 10−5 }12
= 9,746 × 10−3 cm3
∆ρ4 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 13,145 )
2
(3,33×10−3 )2+( −28,22(3,145)2 )
2
(3,455×10−3 )2}12
={1,121 ×10−8+9,716 ×10−5 }12
= {9,718 × 10−5 }12
= 3,489 ×10−3 cm3
∆ρ5 = {( 1v )
2
(∆ m)2+(−m(v )2 )
2
(∆ v )2}12
= {( 13,19 )
2
(3,33 ×10−3 )2+(−28,16(3,192)2 )
2
( 3,489× 10−3 )2}12
={1,089 ×10−8+9,321 ×10−5 }12
= {9,322 ×10−5 }12
= 9,655 ×10−3 cm3
4.2.3 Perhitungan KTP Mutlak
4.2.3.1 Balok
4.2.3.1.1 Volume Balok
V1 ± ∆ V 1=(12,20 ± 0,018 ) cm3
V2 ± ∆ V 2=(11,06 ± 0,018 ) cm3
V3 ± ∆ V 3= (11,54 ± 0,018 ) cm3
V4 ± ∆ V 4=(12,39 ± 0,018 ) cm3
V5 ± ∆ V 5= (12,18 ± 0,018 ) cm3
4.2.3.1.2 Massa jenis Balok
ρ1 ± ∆ ρ1= (7,58 ± 0,011 ) gr
cm3
ρ2 ± ∆ ρ2= (8,07 ± 0,012 ) gr
cm3
ρ3 ± ∆ ρ3= (8,04 ± 0,12 ) gr
cm3
ρ4 ± ∆ ρ4=(7,48 ± 0,10 ) gr
cm3
ρ5 ± ∆ ρ5= (7,62± 0,11 ) gr
cm3
4.2.3.2 Bola Besi
4.2.3.2.1 Volume Bola
V1 ± ∆ V 1=(3,260 ± 3,539 ×10−3 ) cm3
V2 ± ∆ V 2=( 3,233± 3,519 ×10−3 ) cm3
V3 ± ∆ V 3=( 3,160± 3,467 ×10−3 ) cm3
V4 ± ∆ V 4=(3,145 ± 3,455× 10−3 ) cm3
V5 ± ∆ V 5=( 3,19± 3,489 ×10−3 ) cm3
4.2.3.2.2 Massa jenis Bola
ρ1 ± ∆ ρ1=( 8,029 ±3,489 ×10−3 ) gr
cm3
ρ2 ± ∆ ρ2=( 8,68 ±3,489 ×10−3 ) gr
cm3
ρ3 ± ∆ ρ3= (8,88 ±3,489 × 10−3 ) gr
cm3
ρ4 ± ∆ ρ4=(8,97 ± 3,489 ×10−3 ) gr
cm3
ρ5 ± ∆ ρ5= (8,82 ±9,655 × 10−3 ) gr
cm3
4.2.4 Perhitungan KTP Relatif
4.2.4.1 Balok Besi
4.2.4.1.1 Volume Balok
R1 = ∆ V 1
V 1
×100 %=0,01812,20
×100 %=1,475 ×10−3%
R2 = ∆ V 2
V 2
×100 %=0,01811,46
×100 %=1,570 ×10−3%
R3 = ∆ V 3
V 3
×100 %=0,01811,54
×100 %=1,559 ×10−3%
R4 = ∆ V 4
V 4
×100%=0,01812,39
× 100 %=1,452× 10−3 %
R5 = ∆ V 5
V 5
×100 %=0,01812,18
×100 %=1,452 ×10−3 %
4.2.4.1.2 Massa jenis Balok
R1 = ∆ ρ1
ρ1
× 100 %=0,0117,58
×100 %=1,451 ×10−3%
R2 = ∆ ρ2
ρ2
× 100 %=0,0128,07
×100 %=1,486 ×10−3%
R3 = ∆ ρ3
ρ3
× 100 %=0,0128,04
×100 %=1,492 ×10−3 %
R4 = ∆ ρ4
ρ4
×100 %=0,0107,48
× 100 %=1,336 ×10−3 %
R5 = ∆ ρ5
ρ5
× 100 %=0,0117,62
×100 %=1,443 × 10−3 %
4.2.4.2 Bola
4.2.4.2.1 Volume Bola
R1 = ∆ V 1
V 1
×100 %=3,539 ×10−3
3,260×100 %=1,085 ×10−3%
R2 = ∆ V 2
V 2
×100 %=3,519 ×10−3
3,233×100 %=1,088 ×10−3 %
R3 = ∆ V 3
V 3
×100 %=3,467 ×10−3
3,160×100 %=1,097 × 10−3 %
R4 = ∆ V 4
V 4
×100%=3,455× 10−3
3,145× 100 %=1,098 ×10−3 %
R5 = ∆ V 5
V 5
×100 %=3,489 ×10−3
3,145×100 %=1,093 ×10−3 %
4.2.3.2.2 Massa jenis Bola
R1 = ∆ ρ1
ρ1
× 100 %=9,357 × 10−3
8,62× 100 %=1,085× 10−3 %
R2 = ∆ ρ2
ρ2
× 100 %=9,450 × 10−3
8,68×100 %=1,088× 10−3 %
R3 = ∆ ρ3
ρ3
× 100 %=9,746 × 10−3
8,88× 100 %=1,087 ×10−3%
R4 = ∆ ρ4
ρ4
×100 %=9,746 ×10−3
8,97×100 %=1,098 ×10−3 %
R5 = ∆ ρ5
ρ5
× 100 %=9,655 × 10−3
8,82× 100 %=1,094 ×10−3%
4.3 Pembahasan
Pengukuran adalah cara membandingkan sesuatu yang diukur dengna
besaran sejenis yang ditetapkan sebagai satuan.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai aplikasi-aplikas dari pengukuran
dasar. Sebagai contoh untuk pengukuran pembuatan bangunan sebuah gedung
ataupun hal-hal yang sederhana seperti mengukur volume tabung air dibutuhkan
kemampuan pengukuran dasar.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesalahan dalam pengukuran
diakibatkan kurang teliti dalam melihat ukuran atau nilai yang tertera pada alat
ukur seperti jangka sorong, mikrometer sekrup atau neraca ohauss. Dan juga
kemungkinan kurang tepatnya dalam peletakan benda pada alat ukur sehingga
menghasilkan perbedaan ukuran dari ukuran sebenarnya. Faktor kesalah yang lain
adalah kurang tepat pengukuran dan pelatakan benda pada alat ukur sehingga
didapat diameter maupun panjang dan lebar ataupun massa yang kurang tepat.
Dari hasil percobaan pengukuran dasar ini didapatkan volume dan massa
jenis dari balok besi dan bola-bola besi. Dimana :
V balok=p ×l× t
Dengan satuan (cm3), dan memperoleh massa jenis balok dengan rumus :
p=mv
Dengan menggunakan satuan gr /cm3. Sedangkan pada bola besi diperoleh
volume benda dengan menerapkan rumus :
V bola=43
π r 3
Pada aplikasi pengukuran dasar dapat diteraokan pada berbagai macam pekerjaan.
Seperti pembuatan produksi bola untuk olahraga. Dimana ditentukan diameter
bola agar dapat ditentukan volumenya agar bola dapat seimbang saat digunakan
ataupun sering digunakan juga dalam pembuatan bangunan yang pastinya
memerlukan pengukuran untuk menentukan luas suatu bangunan.
Pada perhitungan KTP Relatif percobaan pengukuran dasar ini didapat
pada balok besi memiliki perhitungan KTP Relatif volume paling tinggi yaitu
dengan nilai 1,59% dan perhitungan KTP Relatif terendah dengan nilai 1,52%.
Sedangkan perhitungan KTP Relatif massa jenis, terdapat nilai tertinggi sebesar
0,20% dan yang paling terendah sebesar 0,18%.
Pada perhitungan KTP Relatif bola besi didapat KTP Relatif terhadap
volume dengan nilai tertinggi yaitu 0,10% dan nilai terendah 0,010%. Dan untuk
massa jenisnya didapat nilai tertinggi pada nilai 0,10% dan terendah pada nilai
0,010%.
Pada percobaan pengukuran dasar ini didapatkan data perhitungan bahwa
volume balok besi dan massa jenisnya memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan volume dan massa jenis bola besi. Kesimpulan yang didapat dari
perhitungan Tanpa KTP, perhitungan dengan KTP, perhitungan KTP Mutlak dam
juga perhitungan KTP Relativ.
Dengan menggunakan satuan (cm¿¿3)¿, dan juga diperoleh massa jenis
bola besi dengan menerapkan rumus :
p=mv
Dengan satuan gr /cm3.
Pada pengukuran juga ditemukan angka penting. Dimana angka penting
didefinisikan sebagai semua angka yang diperoleh dari hasil pengukuran yang
terdiri dari angka pasti dan angka tapsiran.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Pada percobaan pengukuran dasar ini digunakan alat-alat pengukuran
dasar seperti :
- Jangka Sorong, yang memiliki skala utama dalam cm dam mm dapat
digunakan untuk mengukur diameter luar, diameter dalam, kedalaman dan
panjang benda sampai nilai 10 cm.
- Mikrometer sekrup, digunakan untuk mengukur tebal, benda-benda tipis
dan mengukur benda-benda bulat yang kecil.
- Neraca Ohauss, digunakan untuk menyatakan massa benda dalam satuan
gram.
5.1.2 Pada percobaan pengukuran dasar ini didapat perhitungan ketidakpastian
pada balok dengan menerapkan rumus :
∆ V ={( l ×t )2 ( ∆ P ∆2 )+( ρ ×t )2 ( ∆ ×l )2+ (∆ ×l )2 (∆ t )2 }12
Sedangkan perhitungan KTP volume pada bola besi digunakan rumus :
∆ V ={( 4 πr2 )2 (∆ r )2}12
Pada KTP massa jenis bola besi juga digunakan rumus yang sama.
5.1.3 Besaran adalah sesuatu yang didapat di ukur dan didimiliki nilai serta
senilai. Besara pokok adalah besaran yang sederhan telah ditetapkan
terlebih dahulu dan tidak bergantung pada satuan-satuan besaran.
5.2 Saran
Pada percobaan pengukuran dasar selanjutnya sebaiknya digunakan juga
bahan-bahan percobaan yang lebih bervariasi seperti silinder besi atau kubus
(dadu) besi dan benda-benda tiga dimensi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jati, Bambang Murdaka Eka, dkk. 2007. Fisika Dasar Untuk MahasiswaIilmu-
Ilmu Ekstrak dan Teknik. Jogyakarta : Penerbit Andi.
Sarwo, Prasasro. 2004. Fisika bangunan 1 Edisi 1. Jogyakarta : Penerbit Andi.
Tipler Paul A. 1991. Fisika untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga jilid 1. Bandung :
Erlangga.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita, selalu berkaitan dengan gaya gravitasi
contohhnya,seperti sebuah pesawat , pada ketinggian anda berada jauh dari bumi.
Dibandingkan jika anda berpijak di permukaan bumi dan sebenarnya berat benda
berkurang .efeknya relative kecil
Materi gravitasi adalahh materi yang diulangkan karena pada sebelumnya
sudah pernah dibahas pada bangku sekolah .tetapi, dengan adanya praktikum ini
sangat memberikan manfaat , dari teori-teori yang telah kita pelajari , praktikum
ini mengajarkan kita dapat menghitung percepatan gaya gravitasi juga mencakup
getaran selaras, dan berkaitan dengan hukum newton .
Gaya gravitasi bekerja dengan cara mendatar contohnya dalamn kehidupan
sehari-hari .gaya gravitasi selalu berkaitan dengan berat karena , berat dapat
didefinisikan dari sebuah benda adalah gaya gravitasi total yang bekerja pada
sebuah benda yang disebabkan oleh benda lain di alam semesta.
Pada dasarnya percobaan dengan bandul ini tidak terlepas dari
getaran,dimana pengertian getaran itu sendiri adalah gerak bolakj balik secara
periode melalui titik kesetimbangan. Getaran dapat bersifat sederhana dan dapat
bersifat kompleks. Getaran yang dibahas tentang bandul adalah getaran harmonik
sederhana yaitu getaran dimana resultan gaya sebanding dengan jarak titik
sembarang ketitik kesetimbangan tersebut. Maka dari itu kami mencoba
mengukur percepatan gravitasi yang ada di sekitar laboraturium fisika dasar
apakah hasilnya sama dengan sumber-sumber literature.
Oleh karena itu, dalam praktikum gravitasi ini kita dapat lebih memahami
seberapa besar pengaruh gaya gravitasi di bumi ini. Dan dampak positif dari
banyak hal mengenai gaya gravitasi ini. Sehingga diharapkan praktikum mengenai
gaya gravitasi ini dapat memperdalam pengetahuan dari praktikum ini.
1.2 Tujuan percobaan
1. Memahami proses terjadinya getaran selaras
2. Memahami dan mengetahui macam-macam susunan pegas
3. Memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi bandul pada percobaan
1.3 Batasan masalah
1. sudut simpangan pada bandul matematis adalah titikθ ≤ 10 atau± 10°
2. Setiap percobaan diulang sebanyak lima kali
3. Masa yang digunakan dalam percobaan gaya gravitasi kali ini adalah 0,1
kg, 0,15kg, 0,20kg, 0,25kg, dan 0,30kg
1.4 Manfaat percobaan
1. Dapat memahami dan mengerti apa itu getaran selaras dan bagaimana
proses terjadinya.
2. Mengerti dan mengetauhi macam-macam susunan pegas dan dapat
merangakai sendiri
3. Menegrti dan memahami syarat-syarat yang harus ada pada bandul
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Suatu benda yang bergerak maka geraknya dapat dikelompokkan menjadi
duakelompok besar yaitu gerak lurus, yang biasa disebut dengan gerak
translasi, dangerak melingkar, yang biasa disebut gerak rotasi.Gerak translasi
dibagi lagi menjadi dua macam yaitu gerak lurus beraturan(GLB) dan
gerak lurus berubah beraturan (GLBB). Gerak lurus berubah
beraturan(GLBB) masih dibagi lagi menjadi beberapa gerak lagi, yaitu
gerak vertikal atas(GVA), gerak vertikal bawah (GVB), dan gerak jatuh bebas
(GJB).Untuk ketiga jenis gerak ini (GVA, GVB, dan GJB), mempunyai
arah gerak sejajar sumbu vertikal dan besarnya percepatan merupakan
percepatan gravitasi (g =9,8 m/s2).
Benda yang dilepas dari suatu ketinggian tertentu (s) akan selalu jatuh
menujuke pusat bumi. Apabila benda tidak mempunyai kecepatan awal (vo=0)
dan tidak adagaya ge sek uda ra (d i aba ikan ) s e r t a t i dak ada gaya
l ua r yang beke r j a pada benda , maka setiap benda yang jatuh dari
ketinggian yang sama akan menempuh waktu yangsama untuk sampai di
permukaan bumi, meskipun massa masing-masing benda ini berbeda.
Apabila ketinggian awal tempat jatuhnya benda tidak berbeda jauh
maka benda akan mengalami percepatan yang tetap (a = konstan) selama jatuh.
Percepatanitu tidak lain adalah percepatan gravitasi bumi yang dilambangkan
dengan notasi ‘g’.Gerak seperti ini disebut gerak jatuh bebas.Gerak jatuh bebas
juga merupakan gerak lurus berubah beraturan, sehingga persamaan-
persamaan yang berlaku juga sama. Persamaan tersebut antara lain :
v = vo+ at ……………………………………( 2.1)
karena vo= 0 dan a = g, maka :
v = g t ………………………………..………( 2.2)
dari persamaan 2 dapat diturunkan terhadap waktu untuk
menghitung jarak tempuh maka
s = ½ g t² ….………………………………...( 2.3)
dengan : v = kecepatan pada waktu tertentu
s = jarak tempuh/ketinggian
g = percepatan gravitasi
t = waktu tempuh
Dar i pe r samaan 2 dan pe r samaan 3 dapa t d ike t ahu i
apab i l a dua benda mesk ipun memiliki massa yang berbeda tapi
apabila jarak atau ketinggian awal tempat jatuhsama( s 1= s2) m a k a
w a k t u t e m p u h n y a a k a n s a m a ( t 1= t2) sehingga
kecepatan jatuhnya pun sama (v1= v2). Dari sini dapat diketahui bahwa
kecepatan jatuh bendatidak dipengaruhimassa benda melainkan
dipengaruhi oleh percepatan gravitasi bumi (g).
Jarak yang ditempuh oleh benda tersebut untuk mencapai
permukaan tanahselama selang waktu t detik dengan mendapat pengaruh
percepatan gravitasi sebesar g dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut:
h = V0.t + ½.g.t2
= 0.t + ½.g.t2
= ½.g.t........................................... (2.4 )
dimana :
h = K e t i n g g i a n b e n d a ( m )
g = Percepatan gravitasi bumi (m/s2 )
t =Waktu untuk mencapai tanah (s)
Kecepatan benda dengan massa yang berbeda tetapi mempunyai
ketinggianyang sama akan mempunyai kecepatan yang sama pula untuk
mencapai tanah. Halini dapat diketahui dari besarnya t. Apabila diketahui
bahwa t1=t2dan m1≠m2
makaakan diperoleh persamaan sebagai berikut:
Vt= V0+ g.t= 0 + g.t
Vt= g.t.............................................................(2.5)
Dimana :V0= Kecepatan awal benda (m/s )
t = Kecepatan benda saat menyentuh tanah
g = Percepatan gravitasi bumi (m/s2 )
T = Waktu untuk mencapai tanah (s)
Jadi V1=V2
Dan dari persamaan di atas diketahui bahwa kecepatan benda jatuh
bebastidak dipengaruhi oleh massanya.
Gravitasi Newton adalah sebuah teori yang baik. Selama 200 tahun setelah
masa beliau, teori tersebut tidak perlu diubah. Sekarang kita masih
menggunakannya, meskipun sekarang kita tahu bahwa teori itu tidak berlaku
dalam beberapa situasi, umpamanya seperti bila gaya gravitasi tersebut menjadi
sangat kuat, misalnya di dekat lubang hitam, atau bila benda-benda bergerak
dengan laju mendekati kecepatan cahaya.
Pada awal abad 20, Einstein melihat adanya masalah dengan teori Newton.
Seperti yang telah diketahui bahwa kuat gravitasi antara dua benda tergantung dari
jarak yang memisahkan mereka. Jika ini benar, maka seandainya seseorang
mengambil matahari dan menggerakkannya lebih jauh dari bumi, gaya gravitasi
antara bumi dan matahari akan berubah dalam sekejap. Mungkinkah itu? Dalam
Relativitas Einstein dikatakan bahwa laju rambat cahaya akan selalu tetap
besarnya, dimanapun Anda berada di jagat raya ini atau bagaimanapun gerak
Anda. Berdasar perhitungannya, Einstein menyimpulkan bahwa tidak ada benda
yang mampu bergerak melebihi kecepatan cahaya, kecuali partikel-patikel yang
menyusun cahaya itu sendiri. Cahaya matahari memerlukan sekitar 8 menit untuk
bisa mencapai bumi. Maksudnya, kita selalu melihat matahari dalam keadaannya
pada 8 menit yang lalu. Jadi, jika matahari digerakkan menjauh, kita yang ada di
bumi tidak akan tahu apa yang sedang terjadi dan tidak akan merasakan pengaruh
apapun dalam waktu 8 menit tadi. Selama 8 menit, kita akan terus beredar
mengitari matahari, seolah-olah matahari tidak bergeser. Dengan kata lain,
pengaruh gravitasi suatu benda terhadap benda lain tidak dapat berubah dalam
waktu sekejap, karena menurut Einstein gravitasi tidak dapat bergerak lebih cepat
dari kecepatan cahaya. Informasi tentang seberapa jauh matahari digeser tidak
dapat bergerak dalam sekejap melintasi ruang. Informasi itu tidak bisa bergerak
dengan kecepatan melebihi 300.000 kilometer setiap detik.
Implikasi relativistik jelas bahwa bila kita berbicara mengenai benda-
benda yang bergerak dalam jagat raya ini, tidaklah realistis untuk berbicara hanya
dalam tiga dimensi ruang. Jika tidak ada informasi yang dapat merambat lebih
cepat dari laju rambat cahaya, benda-benda yang berjarak sangat jauh tidak ada
bagi kita ataupun kita bagi mereka, tanpa suatu faktor waktu. Menjelaskan alam
raya dalam tiga dimensi sama tidak memadainya seperti menggambarkan kubus
dalam dua dimensi. Akan jauh lebih berarti jika kita memasukkan dimensi waktu,
dan mengakui bahwa sebenarnya ada empat dimensi di semesta ini.
Einstein menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba mencari
suatu teori gravitasi yang sesuai dengan teori yang telah ditemukannya mengenai
cahaya dan gerakan pada kecepatan mendekati laju rambat cahaya. Pada tahun
1915, ia memperkenalkan Relativitas Umum. Beliau meminta kita untuk
membayangkan gravitasi bukan sebagai gaya yang bekerja diantara benda-benda
dalam bentuk aksi pada jarak, melainkan dalam bentuk kelengkungan ruang-
waktu empat dimensi itu sendiri. Dalam pikirannya, gravitasi adalah geometri
jagat raya.
Menurut Einstein, kelengkungan tersebut disebabkan oleh hadirnya massa
atau energi. Semua benda bermassa menyumbang terhadap kelengkungan ruang-
waktu. Benda-benda yang berjalan maju lurus dalam jagat raya akan dipaksa
untuk mengikuti lintasan yang melengkung. Bayangkanlah selembar karpet
dengan sebuah bola boling pada permukaannya, yang menyebabkan lekukan di
situ. Cobalah menggelindingkan sebuah bola golf menurut garis lurus melewati
bola boling tersebut. Bola golf tentu akan sedikit mengubah arahnya apabila
menjumpai lekukan yang disebabkan bola boling. Atau mungkin akan lebih dari
itu: bola golf tersebut akan melintas dalam bentuk elips dan menggelinding
kembali ke arah Anda. Hal seperti itu terjadi bila bulan mencoba meneruskan
gerakannya yang lurus ketika melewati bumi. Bumi melengkungkan ruang-waktu
seperti bola boling melengkungkan lembaran karpet. Inilah efek lensa gravitasi.
Einstein menjelaskan gejala yang sama seperti yang dijelaskan Newton.
Bagi Einstein sebuah benda bermassa melengkungkan ruang-waktu, sedangkan
bagi Newton benda bermassa mengeluarkan gaya. Akibatnya, dalam tiap kasus
terjadi perubahan arah gerak dari sebuah benda kedua. Menurut Teori Relativitas
Umum, medan gravitasi dan kelengkungan adalah satu hal yang sama. Jika Anda
menghitung lintasan-lintasan planet dalam tata surya dengan menggunakan teori
Newton dan kemudian menghitungnya kembali dengan menggunakan teori
Einstein, Anda akan mendapatkan lintasan yang hampir tepat sama, kecuali dalam
kasus orbit Merkurius. Karena Merkurius merupakan planet yang paling dekat
dengan matahari, maka ia mendapatkan pengaruh yang lebih besar daripada
planet-planet yang lain. Oleh karena itu, teori Einstein meramalkan suatu hasil
yang sedikit berbeda dari hasil yang diramalkan teori Newton. Pengamatan
menunjukkan bahwa lintasan Merkurius lebih cocok dengan ramalan Einstein.
Teori Einstein meramalkan bahwa benda-benda lain di samping bulan-
bulan dan planet-planet dipengaruhi oleh melengkungnya ruang-waktu, bahkan
foton juga harus melewati lintasan yang melengkung. Jika suatu foton berjalan
dari suatu bintang yang jauh dan lintasannya dekat dengan matahari,
kelengkungan ruang-waktu di dekat matahari menyebabkan lintasannya akan
sedikit dibelokkan masuk ke arah matahari, tepat seperti lintasan bola golf
melengkung ke dalam ke arah bola boling. Barangkali lintasan cahaya tersebut
membengkok sedemikian rupa sehingga cahaya itu akhirnya menabrak bumi.
Matahari terlalu terang sehingga kita tidak dapat melihat cahaya bintang itu,
kecuali ketika pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kita melihat foton-foton
dari bintang itu dan tidak menyadari bahwa matahari membengkokkan
lintasannya, kita akan mendapatkan gambaran yang salah mengenai posisi bintang
yang sebenarnya. Para astronom memanfaatkan efek ini untuk mengukur massa
benda-benda di luar angkasa dengan mengukur berapa pembengkokan lintasan
cahaya yang berasal dari bintang-bintang yang jauh. Makin besar massanya,
makin besar pula pembengkokannya.
Gravitasi adalah gaya tarik menarik yang terjadi antara semua partikel
yang mempunyai massa di alam semesta. Fisika modern mendeskripsikan
gravitasi menggunakan teori relativitas umum dari Einstein, namun hukum
gravitasi universal newton yang lebih sederhana merupakan hampiran yang cukup
akurat dalam kebanyakan kasus. Hukum Newton tentang gravitasi itu dapat di
ungkapkan sebagai berikut : “ Setiap partikel materi dijagat raya melakukan
tarikan terhadap setiap partikel lainya dengan suatu gaya yang berbanding
langsung dengan hasil kali massa partikel-partikel itu berbanding terbalik dengan
kuadraat jarak yang memisahkannya”. Jadi, disini Fg adalah gaya gravitasi pada
masing-masing partikel itu, m danm' ialah massa-massanya, r adalah jarak antara
partikel-partikel itu, dan c adalah konstanta umum yang dinamakan konstanta
gravitasi, yang angkanya bergantung kepada satuan-satuan yang digunakan untuk
gaya, massa, dan panjang.
Hukum gravitasi newton adalah hukum untuk gaya gravitasi antara dua
partikel. Newton menunda publikasi hukumnya 2 tahun sesudah ia yakin akan
kebenarannya. Suatu fakta bahwa gaya gravitasi yang dilakukan pada atau oleh
suatu bola homogen sama seperti seandainya seluruh massa bola itu terkosentrasi
pada suatu titik di pusatnya. Jadi kalau bumi merupakan sebuah bola homogen,
gaya yang dilakukan olehnya terhadap suatu benda kecil bermassa m, dan
jaraknya r dari bumi, ialah
Fg = G m. mE
r2 .....................................( 2.6 )
Fg = G m. m'
r2 .........................................( 2.7 )
Dimana mE merupakan massa bumi. Gaya yang sama dengan besarnya
juga akan dilakukan oleh benda itu terhadap bumi.
Berat suatu benda dapat didefinisikan dalam arti yang lebih umum, yaitu sebagai
gaya gravitasi lain dapat diabaikan dan berat di anggap disebabkan semata-mata
oleh tarikan gaya gravitasi bumi. Jadi jika bumi berbentuk bola homogrn berjari-
jaari R maka berat W dari sebuah benda kecil pada atau dekat permukaannya ialah
:
W = Fg = GmmE
R2 .......................................( 2.8)
Apabila suatu benda di biarkan jatuh bebas, gaya yang mempercepatnya
ialah beratnya w, dan percepatan yang disebabkan oleh gaya ini merupakan
percepatan akibat gravitasi g. hubungan umum
F = m α .................................................( 2.9 )
Karena itu, khusus dalam hal benda jatuh bebas, menjadi
w = m α ................................................( 2.10 )
w = mα = G mmE
R2 .................................( 2.11 )
g = GmE
R2 ..................................................( 2.12 )
Yang membuktikan bahwa percepatan yang disebabkan oleh gaya berat
adalah sama untuk semua benda ( karena m di hilangkan ) dan hamper konstan,
karena E dan mE adalah konstan dan R hanya sedikit berbeda dari titik ke titik
diatas muka bumi.
Adapun berat benda yang merupakan suatu gaya, dan harus dinyatakan
dalam satuan gaya menurut system satuan yang di inginkan. Jadi dalam sistem
mks, saruan berat dinyatakan 1N, dalam cgs ialah 1 dyne, dan dalam sistem
inggris, 1lb.
Adapun pembahasan materi selanjutnya tentang gerakan yang
berhubungan dengan gaya gravitasi. Bila suatu benda melakukan gerak bolak-
balik terhadap suatu titik tertentu, maka dapat benda itu dikatakan bergetar. Dalam
hal ini akan di telaah suatu jenis yang khusus getaran yang dinamakan gerak
harmonik ( gerak selaras ). Gerak harmonik ( gerak selaras ) terjadi jika benda
tersebut bergerak bolak balik pada suatu lintasan yang tetap melalui titik yang
disebut titik setimbang. Yang hampir seupa ialah gerak ayunan pada bandul yang
amplitudonya kecil, dan gerak roda pengimbang pada arlogi.Getaran tali dan
kolom udara alat-alat musik merupakan gerak harmonik atau super posisi gerak-
gerak harmonik.
Dalam setiap bentuk gerak gelombang, partikel-partikel medium yang
dilalui oleh gelombang akan bergetar dengan gerak harmonik. Bahkan hal ini juga
berlaku untuk gelombang cahaya dan gelombang radio dalam ruang hampa,
akantetapi yang bergetar dalam hal ini bukanlah partikel materi, melainkan
intensitas listrik dan magnet yang bersangkutan dengan gelombang tersebut.
Telah di tunjukan bahwa apabila suatu benda berubah bentuk, gaya yang
menyebabkan adalah proposional dengan besar perubahan, asalkan batas
proposional elastisitas tidak dilampaui. Jika gaya yang di maksud ialah dorongan
atau tarikan dalam mana perubahan bentuk yang terjadi hanya berupa perpindahan
titik tangkap gaya, maka gaya dan perpindahan di hubungkan berdasarkan hokum
hooke.
F = k x.........................................( 2.13 )
Dimana k ialah sebuah konstanta proporstonalis yang disebut konstanta gaya k
dan x ialah perpindahan dari posisi kesetimbangan.
Dalam persamaan ini, f berarti gaya yang harus di kerjakan terhadap suatu
benda elastik untuk menghasilkan perpindahan x. gaya dengan mana benda elastik
itu menarik kembali suatu benda yang terlekat padanya di sebut gaya pemulih
(restoring force) dan sama dengan –kx.
Setiap macam gerak yang terjadi berulang-ulang dalam selang waktu yang
sama disebut gerak berkala atau gerak periodik. Dan jika geraknya bolak-balik
pada lintasan yang sama, disebut pola gerak osilasi.
Satu getaran penuh atau satu daur penuh, berarti satu kali bolak-
balik.Adapun pengertian dari waktu periodik atau singkatanya periodik gerak, di
lambangkan dengan T, ialah waktu yang di perlukan untuk satu kali getaran
penuh.
Gerak Vertikel Keatas
Gerak vertikel k etas adalah gerak benda yang melempar dengan suatu
kecepatan awal V o pada arah vertical, sehingga α= -g (melawan arah gravitasi).
Syarat suatu benda mencapai tinggi maksimum ( h maks ), V 1 = 0, dlam
penyelesaian soal gerak vertical ke atas, lebih muda di selesaikan dengan
menganggap posisi di tanh adalah untuk y = 0.
Hukum Kepler
Karya Kepler sebagian dihasilkan dari data-data hasil pengamatan yang
dikumpulkan Ticho Brahe mengenai posisi planet-planet dalam geraknya di luar
angkasa.Hukum ini telah dicetuskan Kepler setengah abad sebelum Newton
mengajukan ketiga Hukum-nya tentang gerak dan hukum gravitasi universal.
Lintasan setiap planet ketika mengelilingi matahari berbentuk elips, di
mana
Kepler tidak mengetahui alasan mengapa planet bergerak dengan cara demikian.
Ketika mulai tertarik dengan gerak planet-planet, Newton menemukan bahwa
ternyata hukum-hukum Kepler ini bisa diturunkan secara matematis dari hukum
gravitasi universal dan hukum gerak Newton.Newton juga menunjukkan bahwa di
antara kemungkinan yang masuk akal mengenai hukum gravitasi, hanya satu yang
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang konsisten.
Perhatikan orbit elips yang dijelaskan pada Hukum I Kepler. Dimensi
paling panjang pada orbit elips disebut sumbu mayor alias sumbu utama, dengan
setengah panjang a. F1 dan F2 adalah titik Fokus.Matahari berada pada F1 dan
planet berada pada P. Tidak ada benda langit lainnya pada F2. Total jarak dari F1
ke P dan F2 ke P sama untuk semua titik dalam kurva elips. Jarak pusat elips (O)
dan titik fokus (F1 dan F2) adalah ea, di mana e merupakan angka tak berdimensi
yang besarnya berkisar antara 0 sampai 1, disebut juga eksentrisitas. Jika e = 0
maka elips berubah menjadi lingkaran. Kenyataanya, orbit planet berbentuk elips
alias mendekati lingkaran.
Dengan demikian besar eksentrisitas tidak pernah bernilai nol. Nilai e
untuk orbit planet bumi adalah 0,017. Perihelion merupakan titik yang terdekat
dengan matahari, Pada Persamaan Hukum Gravitasi Newton, telah kita pelajari
bahwa gaya tarik gravitasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak (1/r2), di
mana hal ini hanya bisa terjadi pada orbit yang berbentuk elips atau lingkaran
saja.
Evolusi
Produksi partikel terjadi terus-menerus sehingga selubung akan semakin
membesar dan terus membesar. Pada suatu jarak tertentu, hantaran panas semakin
dipersulit, menyebabkan lapisan itu mendingin. Pendinginan itu membuat evolusi
bentuk selubung dari plasma menjadi lebih padat. Semakin banyak produksi
partikel semakin banyak pula pemadatan terjadi. Ini membuat bintang yang
semula bisa dengan mudah diamati dari bumi, menjadi semakin redup, hingga
akhirnya mati. Bintang yang mati itu kemudian kita kenal sebagai planet, satelit,
dan asteroid.
Nukleoaktivitas terdapat pada pusat setiap partikel antariksa.
Nukleoaktivitas memiliki tungku energi yang menjadikan planet-planet mandiri
dalam interaksi dengan sekitarnya. Planet memiliki energi untuk mempertahankan
diri terhadap tarikan gravitasi, sehingga mereka bisa bertahan terhadap matahari.
Interaksi terjadi karena tarik-menarik gelombang antarnukleoaktivitas yang
ekuivalen dengan potensial masing-masing. Apabila V1 adalah potensial pada
nukleoaktivitas pertama, dan V2 adalah potensial pada nukleoaktivitas kedua,
maka interaksi antara keduanya adalah perkalian antara V1 dan V2.
Kecenderungan nukleoaktivitas menarik gelombang-gelombang yang ada di
sekitarnya seperti garam yang menyerap air yang ada di sekitarnya (gerak
osmosis). Simulasi sederhana gerak osmosis adalah interaksi paling sederhana,
dan semua interaksi alami terbentuk dari konfigurasi interaksi-interaksi sederhana
tersebut.
Beberapa manfaat pegas sebagai produk perkembangan teknologi dalam
keseharian
seperti telah anda ketahui bahwa jika pada pegas di kerjakan gaya dari luar tidak
melebihi batas elestisnya, pegas akan kembali ke bentuknya semula jika gaya
tersebut di hilangkan. Sifat elestis pegas inilah yang di manfaatkan pada produk
perkembangan teknologi dalam keseharian, diantaranya pegas untuk melatih otot
dada dan kasur pegas.Sebagai tambahan pemanfaatan pegas.kita akan membahas
tentang sistem suspensi kendaraan bermotor dan pegas stir pengemudi mobil.
a. sistem suspensi kendaraan bermotor untuk meredam kejutan
jika kendaraan bermotor (sepeda motor atau mobil) melalui jalan
berlubang atau jalan bergelombang, kendaraan akan mengalami kejutan,
kejutan itu sangat tidak menyenangkan bagi pengendara. Pengendara akan
cepat lelah dan merasa tidak nyaman mengendarai kendaraan bermotor,
khususnya untuk perjalanan jarak jauh.
Untuk meredam kejutan,maka pegas di gunakan pada sistem suspensi
kendaraan bermotor. Ketika melalui jalan yang berlubang, berat pengendara
berikut berat motor akan menekan pegas sehingga pegas termampatkan.
Begitu motor berada di jalan datar, pegas kembali ke panjang asal. Pengendara
hanya akan merasakan sedikit ayunan dan akan merasa nyaman mengendarai
motor.
b. Pegas pada setir kemudi
Ada tiga usaha untuk untuk mendisen mobil yang memperhatikan faktor
keselamatan pengemudi, yang berkaitan dengan konsep implus
momentum. Ketiga usaha itu adalah :
(1) Bagian depan dan belakang mobil yang dapat menggumpal secara
perlahan;
(2) Kantong udara yang terletak antara setir kemudi dan pengendara; dan
(3) Sabuk keselamatan
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pratikum Fisika Dasar tentang gaya gravitasi ini dilakukan, hari Rabu
31Oktober 2012 pukul 07.30-09.30 WITA, dan bertemppaat di laboratorium
Fisika Dasar gedung C lantai 3, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
.Universitas Mulawarman.
3.2 Alat dan Bahan
1. Beberapa pegas
2. Beban pemberat 100-300 gram
3. Sebuah bandul
4. Seutas tali
5. Meteran
6. Stopwatch
7. Tiang statif
3.3 Prosedur percobaan
3.3.1 Pegas
1. Diambil sebuah pegas dan digantungkan pada statif, lalu diukur panjang
pegas dan dicatat ukurannya sebagai nilai panjang awal ( X o ).
2. Digantungkan beban 100 gram pada pegas yang sudah digantungkan pada
statif kemudian di ukur panjang ( Xi ).
3. Ditarik beban kebawah lalu di lepaskan, catat waktu yang diperlukan
untuk mencapai 5 kali getaran.
4. Diulangi langkah 2 – 3 dengan menambahkan beban dari 150g – 300g.
5. Diulangi langkah 1 – 5 untuk sistem dua pegas seri maupun parallel.
3.3.2 Bandul Matematis
1. Diukur panjang kawat dari pusat massa bandul, gantung bandul dan dibuat
sudut simpangan titik θ ≤ 10 atau± 10o
2. Diukur waktu untuk 5 kali ayunan.
3. Diulangi langkah 1 dan 2 pada panjang kawat dari 10 cm – 30 cm.
4. Satu periode sama dengan waktu getaran ayunan dibagi 5.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Pegas Tunggal
No m (kg) Xt (m) t (s) T T2
1
2
3
4
5
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,085
0,20
0,21
0,22
0,235
2,070
2,146
2.356
2,483
2,777
0,414
0,4292
4,4712
0,4966
0,5554
0,0713
0,1842
0,2220
0,166
0,3084
X0 =5,5 cm=0,055 m
4.1.2 Pegas Seri
No m (kg) Xt (m) t (s) T T2
1
2
3
4
5
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,54
0,56
0,584
0,614
0,63
2,902
3,218
3,604
3,661
4,188
0,5804
0,6436
0,7268
0,7322
0,8376
0,3368
0,4142
0,5195
0,5361
0,7015
X0 = 45,5 cm = 0,455 m
4.1.3 Pegas Paralel
No m (kg) Xt (m) t (s) T T2
1
2
3
4
5
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,16
0,175
0,18
0,185
0,19
1,912
1,619
1,819
2,048
2,173
0,3824
0,323
0,338
0,4096
0,4346
0,1462
0,1043
0,1312
0,1677
0,1888
X0 = 15 cm = 0,15 m
4.1.4 Bandul Matematis
NoL
(m)
t (s) t (s)
rata2T T2
t1 t2 t3 t4 t5
1
2
3
0,1
0
0,2
0
2,66
5
4,21
3,41
3
3998
5,34
2,87
7
4,14
2,90
7
3,95
2,66
0
3842
5,53
2,91
4,03
5,276
0,582
0,806
1,055
0,338
7
0,649
4
5
0,3
0
0,4
0
0,5
0
8
4,91
4
6,12
7
8,24
0
6,30
0
7,00
6
0
5,25
1
5,94
3
6,58
2
2
5,34
7
6,65
3
6,67
3
0
6,00
8
6,25
9
4
6,206
2
7,052
1
3
1,241
2
1,410
4
6
1,113
6
1,540
7
1,989
2
4.2 Analisis Data
4.2.1 Perhitungan Tanpa KTP
4.2.1.1 Pegas (tunggal, seri, paralel)
4.2.1.1.1 Konstanta Pegas
4.2.1.1.1.1 Pegas Tunggal
K=4 π2( ∆ m
∆ T 2 ), dimana ∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 kg
∆T2 = T25 – T2
1 = 0,3084-0,0713 = 0,2371 s
K¿4 π2( ∆ m
∆ T2 )¿4 (3,14 )2( 0,2
0,2371 )= 4 (3,14)2( 0,2
0,2372 )= 33,2673134 kg/s2
4.2.1.1.1.2 Pegas Seri
K=4 π2( ∆ m
∆ T 2 ), dimana ∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 kg
∆T2 = T25 – T2
1 = 0,7015-0,3368 = 0,3368 s
K ¿4 π2( ∆ m
∆ T2 )
¿4 (3,14 )2( 0,20,3647 )
= 39,4384×0,54839594
= 21,6279 kg/s2
4.2.1.1.1.3 Pegas Paralel
K=4 π2( ∆ m
∆ T 2 ), dimana ∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 kg
∆T2 = T25 – T2
1 = 0,1888-0,1462 = 0,0426 s
K ¿4 π2( ∆ m
∆ T2 )¿4 (3,14 )2( 0,2
0,0426 )= 185,1568083 kg/s2
4.2.1.1.1 Gravitasi Pegas
4.2.1.1.1.1 Pegas Tunggal
g=K (∆ X t
∆ m ), dimana ∆Xt= Xt5 – Xt1 = 0,235-0,085= 0,15 m
∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 kg
g=K (∆ X t
∆ m )¿33,2673134 ( 0,15
0,2 )= 24,95048505 m/s2
4.2.1.1.1.2Pegas Seri
g=K (∆ X t
∆ m ), dimana ∆Xt= Xt5 – Xt1 = 0,63-0,54= 0,9 m
∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 kg
g=K (∆ X t
∆ m )¿21,6279( 0,09
0,2 )
= 97,32555 m/s2
4.2.1.1.1.3 Pegas Paralel
g=K (∆ X t
∆ m ), dimana ∆Xt= Xt5 – Xt1 = 0,19-0,16 = 0,3m
∆m = m5 – m1 = 0,3-0,1 = 0,2 k
g=K (∆ X t
∆ m )¿185,1568083( 0,3
0,2 )= 277,7352125 m/s2
4.2.1.2 Bandul Matematis
g=4 π2( ∆ L
∆ T 2 )dimana∆L = L5 – L1 = 0,5-0,1 = 0,4 kg
∆T2 = T25 – T2
1 = 1,9892- 0,3387 = 1,6505 s
g¿4 π2( ∆ L
∆ T2 )¿4 (3,14 )2( 0,4
1,6505 )= 9,5579 m/s2
4.2.2 Perhitungan Dengan KTP
4.2.2.1 Pegas (tunggal,seri, paralel)
4.2.2.1.1 Konstanta Pegas
4.2.2.1.1.1 Pegas Tunggal
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K1={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 21)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m1
T 31
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1713 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,10,070 )
2
x (0,00033 )2}12
= {1515,172 }12
= 38,92kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 2={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 22)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m2
T 32
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1842 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,150,079 )
2
x (0,00033 )2}12
= {2485,23 }12
= 49,85kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K3={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂T )
2
x ( ∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 23)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m3
T 33
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,2220 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,200,104 )
2
x (0,00033 )2}12
= {2549,36 }12
= 30,49kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 4={( ∂ K∂ m )
2
x ( ∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 24)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m4
T 34
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,466 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,250,231 )
2
x (0,00033 )2}12
= {807,41 }12
= 28,4kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K5={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂T )
2
x ( ∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 25)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m5
T 35
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,3084 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,30,171 )
2
x (0,00033 )2}12
= {2121,72 }12
= 46,06kg/s2
4.2.2.1.1.2 Pegas Seri
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K1={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 21)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m1
T 31
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,3368 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,10,193 )
2
x (0,00033 )2}12
= {181,28 }12
= 13,46kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 2={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 22)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m2
T 32
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,4142 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,150,266 )
2
x (0,00033 )2}12
= {219,20 }12
= 14,805kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K3={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂T )
2
x ( ∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 23)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m3
T 33
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,5795 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,20,383 )
2
x (0,00033 )2}12
= {187,97 }12
= 13,71kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 4={( ∂ K∂ m )
2
x ( ∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 24)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m4
T 34
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,5361 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,250,392 )
2
x (0,00033 )2}12
= {27,10 }12
= 5,26kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K5={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂T )
2
x ( ∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 25)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m5
T 35
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,7015 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,30,587 )
2
x (0,00033 )2}12
= {177,28 }12
= 13,31kg/s2
4.2.2.1.1.3 Pegas Paralel
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K1={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 21)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m1
T 31
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1462 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,10,056 )
2
x (0,00033 )2}12
= {2198,17 }12
= 46,88kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 2={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x ( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 22)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m3
T 32
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1043 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,150,033 )
2
x (0,00033 )2}12
= {14182,40 }12
=119,34kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K3={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂T )
2
x ( ∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 23)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m3
T 33
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1323 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,20,038 )
2
x (0,00033 )2}12
= {19095,50 }12
= 138,18kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
x (∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2mn
T 3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K 4={( ∂ K∂ m )
2
x ( ∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 24)
2
x ( ∆ m )2+(−8π 2m4
T 34
)2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0 ,1677 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,250,065 )
2
x (0,00033 )2}12
= {10197,45 }12
= 100,98kg/s2
∆Kn={( ∂ K∂ m )
2
( ∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
x (∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ m )2+(−8 π2 mn
T3n
)2
x (∆ T )2}12
n = 1,2,3,4,5,….
Dimana∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ K5={( ∂ K∂ m )
2
(∆ m )2+( ∂ K∂ T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 25)
2
(∆ m )2+(−8π2 m5
T35
)2
( ∆T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,1888 )2
x (0,0033 )2+(−8 (3,14 )2 0,30,082 )
2
x (0,00033 )2}12
= {9226,84 }12
= 96,05kg/s
4.2.2.1.2 Gravitasi Pegas
4.2.2.1.2.1Pegas Tunggal
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g1={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂m )
2
(∆ m )2}12
¿ {( K1
m1)
2
(∆ X )2+(−K X t 1
m12 )
2
( ∆ m )2}12
¿ {( 33,26731340,1 )
2
x (0,00033 )2+(−33,2673134 x 0,085(0,1 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,89822 }12
= 0,948 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
x ( ∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
x (∆ m )2}12
¿ {( Kn
mn)
2
x (∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
x (∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g2={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K2
m2)
2
(∆ X )2+(−K X t 2
m22 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 33,26731340,15 )
2
x (0,00033 )2+(−33,2673134 x 0,20(0,15 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,97433 }12
= 0,9870 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
x ( ∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
x (∆ m )2}12
¿ {( Kn
mn)
2
x (∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
x (∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g3={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K3
m3)
2
(∆ X )2+(−K X t 3
m32 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 33,26731340,2 )
2
x (0,00033 )2+(−33,2673134 x 0,21(0,2 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,34105 }12
= 0,584 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g4={( ∂ g∂ X )
2
( ∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m )2}12
¿ {( K4
m4)
2
( ∆ X )2+(−K X t 4
m42 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 33,26731340,25 )
2
x (0,00033 )2+(−33,2673134 x 0,22(0,25 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,1538979343 }12
= 0,392 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g5={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K5
m5)
2
(∆ X )2+(−K X t 5
m52 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 33,26731340,3 )
2
x (0,00033 )2+(−33,2673134 x 0,235(0,3 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,08497 }12
= 0,291 m/s
4.2.2.1.2.2Pegas Seri
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g1={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂m )
2
(∆ m )2}12
¿ {( K1
m1)
2
(∆ X )2+(−K X t 1
m12 )
2
( ∆ m )2}12
¿ {( 21,62790,1 )
2
x (0,00033 )2+(−21,6279 x 0,54(0,1 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {15,1183674 }12
=3,888 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g2={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K2
m2)
2
(∆ X )2+(−K X t 2
m22 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 21,62790,15 )
2
x (0,00033 )2+(−21,6279 x 0,56( 0,15 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {3,21285 }12
= 1,79244 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g3={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K3
m3)
2
(∆ X )2+(−K X t 3
m32 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 26,030,2 )
2
x (0,00033 )2+(−26,03 x0,607(0,2 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {1,106072 }12
= 1,0517 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g4={( ∂ g∂ X )
2
( ∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
x (∆ m )2}12
¿ {( K4
m4)
2
( ∆ X )2+(−K X t 4
m42 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 21,62790,25 )
2
x (0,00033 )2+(−21,6279 x 0,614(0,25 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,501031 }12
= 0,70784 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g5={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K5
m5)
2
(∆ X )2+(−K X t 5
m52 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 21,62790,3 )
2
x (0,00033 )2+(−21,6279 x 0,63(0,3 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {0,25454 }12
= 0,50452 m/s2
4.2.2.1.2.3Pegas Paralel
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g1={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂m )
2
x ( ∆ m )2}12
¿ {( K1
m1)
2
(∆ X )2+(−K X t 1
m12 )
2
( ∆ m )2}12
¿ {( 185,15680830,1 )
2
x (0,00033 )2+(−185,1568083 x 0,162(0,1 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {97,6230 }12
= 9,880 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g2={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K2
m2)
2
(∆ X )2+(−K X t 2
m22 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 185,15680830,15 )
2
x (0,00033 )2+(−185,1568083 x 0,175(0,15 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {23,14778 }12
= 4,81121 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g3={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K3
m3)
2
(∆ X )2+(−K X t 3
m32 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 185,15680830,2 )
2
x (0,00033 )2+(−185,1568083 x 0,18(0,2 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {7,787051 }12
= 2,791 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g4={( ∂ g∂ X )
2
( ∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m )2}12
¿ {( K4
m4)
2
( ∆ X )2+(−K X t 4
m42 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 185,15680830,25 )
2
x (0,00033 )2+(−185,1568083 x 0,185(0,25 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {3,38893 }12
= 1,841 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m )
2
(∆ m)2}12
¿ {( Kn
mn)
2
(∆ X )2+(−K X tn
mn2 )
2
(∆ m )2}12
Dimana∆ X=13
nst meteran=13
×0,001 m=0,00033 m
∆ m=13
nst pegas = ¿13
× 0,01kg=0,0033 kg
∆ g5={( ∂ g∂ X )
2
(∆ X )2+( ∂ g∂ m)
2
(∆ m )2}12
¿ {( K5
m5)
2
(∆ X )2+(−K X t 5
m52 )
2
(∆ m )2}12
¿ {( 185,15680830,3 )
2
x (0,00033 )2+(−185,1568083 x 0,19(0,3 )2 )
2
x (0,0033 )2}12
¿ {1,73515 }12
= 1,3173 m/s2
4.2.2.2 Bandul Matematis
4.2.2.2.1 Sudut Deviasi
4.2.2.2.1.1 L = 0,1 m ; n = 1, 2, 3, 4, 5, ….
No T t2
1
2
3
4
5
2,665
3,431
2,877
2,907
2,660
7,102
11,771
8,277
8,450
7,0756
Σt = 14,54 Σt2 = 42,67
S d=1n √ n ( Σ t2 )−(Σt )2
n−1
= 15 √ 1 (42,67 )−(14,57)2
5−1
= 95,17
4.2.2.2.1.2 L = 0,2 m ; n = 1, 2, 3, 4, 5, ….
No T t2
1
2
3
4
5
4,218
3,998
4,140
3,952
3,842
17,79
15,98
17,1396
15,618
14,76
Σt = 20,15 Σt2 = 81,2876
S d=1n √ n ( Σ t2 )−(Σt )2
n−1
= 12 √ 2 (81,2876 )−(20,15)2
2−1
= 128,46130
4.2.2.2.1.3 L = 0,2 m ; n = 1, 2, 3, 4, 5, ….
No T t2
1
2
3
4
5
4,914
5,340
5,251
5,347
5,530
24,15
28,52
27,57
28,6
30,58
Σt = 26,382 Σt2 = 139,42
S d=1n √ n ( Σ t2 )−(Σt )2
n−1
= 13 √ 3 (139,42 )−(26,382)2
3−1
= 127,17292
4.2.2.2.1.4 L = 0,25 m ; n = 1, 2, 3, 4, 5, ….
No T t2
1
2
3
4
5
6,127
6,300
5,943
6,653
6,008
37,54
39,69
35,32
44,26
36,096064
Σt = 31,03 Σt2 = 192,91
S d=1n √ n ( Σ t2 )−(Σt )2
n−1
= 14 √ 4 (192,91 )−(31,031)2
4−1
= 124,42
4.2.2.2.1.5 L = 0,3 m ; n = 1, 2, 3, 4, 5, ….
No T t2
1
2
3
4
5
8,24
7,006
6,582
6,673
6,759
67,8976
49,084
43,323
44,53
45,68
Σt = 35,26 Σt2 = 250,52
S d=1n √ n ( Σ t2 )−(Σt )2
n−1
= 15 √ 5 (25,52 )−(35,26)2
5−1
= 124,793
4.2.2.2.2 Gravitasi Bandul
∆ gn={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ L )2+(−8 π2 Ln
T3n
)2
( ∆ T )2}12
Dimana∆ L=13
nst meteran=13
× 0,001 m=0,00033 m
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ g1={( ∂ g∂ L )
2
(∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 21)
2
(∆ L )2+(−8π2 L1
T31
)2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,3387 )2
(0,00033 )2+(−8 (3,14 )20.10,1971 )
2
(0,00033 )2}12
¿ {0,01815 }12
= 0,1347 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ L )2+(−8 π2 Ln
T3n
)2
( ∆ T )2}12
Dimana∆ L=13
nst meteran=13
× 0,001 m=0,00033 m
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ g2={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 22)
2
(∆ L )2+(−8 π2 L2
T32
)2
( ∆T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
0,6496 )2
(0,00033 )2+(−8 (3,14 )20.150,524 )
2
(0,00033 )2}12
¿ {0,01045 }12
= 0,10223 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ L )2+(−8 π2 Ln
T3n
)2
( ∆ T )2}12
Dimana∆ L=13
nst meteran=13
× 0,001 m=0,00033 m
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ g3={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 23)
2
(∆ L )2+(−8π2 L3
T33
)2
( ∆T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
1,1136 )2
(0,00033 )2+(−8 (3,14 )20.21,1752 )
2
(0,00033 )2}12
¿ {4,631 x 10−3 }12
= 0,1667 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ L )2+(−8 π2 Ln
T3n
)2
( ∆ T )2}12
Dimana∆ L=13
nst meteran=13
× 0,001 m=0,00033 m
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ g4={( ∂ g∂ L )
2
(∆ L )2+( ∂ g∂ T )
2
( ∆T )2}12
¿ {( 4 π2
T 24)
2
(∆ L )2+(−8 π2 L4
T34
)2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
1,5407 )2
(0,00033 )2+(−8 (3,14 )20.251,9121 )
2
(0,00033 )2}12
¿ {3,089 x10−3 }12
= 0,05559 m/s2
∆ gn={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 2n)
2
(∆ L )2+(−8 π2 Ln
T3n
)2
( ∆ T )2}12
Dimana∆ L=13
nst meteran=13
× 0,001 m=0,00033 m
∆ T=13
nst stopwatch=13
×0,001 s=0,00033 s
∆ g5={( ∂ g∂ L )
2
( ∆ L )2+( ∂ g∂T )
2
(∆ T )2}12
¿ {( 4 π2
T 25)
2
(∆ L )2+(−8 π2 L5
T35
)2
( ∆T )2}12
¿ {( 4 (3,14 )2
1,982 )2
(0,00033 )2+(−8 (3,14 )20.32,806 )
2
(0,00033 )2}12
¿ {2,23234 x 10−3 }12= 0,04725 m/s2
4.2.3 Perhitungan KTP Mutlak
4.2.3.1 Pegas ( Tunggal, Seri, dan Pararel )
4.2.3.1.1 Konstanta Pegas
4.2.3.1.1Pegas Tunggal
No M K ∆ k k ± ∆ k
1
2
3
4
5
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
33,2673134
33,2673134
33,2673134
33,2673134
33,2673134
38,92
49,85
30,49
28,41
46,06
33,2673134 ±38,92
33,2673134± 49,85
33,2673134± 30,49
33,2673134 ±28,41
33,2673134± 46,06
4.2.3.1.1.2 Pegas Seri
No M K ∆ k k ± ∆ k
1
2
3
4
5
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
21,6279
21,6279
21,6279
21,6279
21,6279
13,46
14,805
13,71
5,26
46,88
21,6279±13,46
21,6279±14,805
21,6279±13,71
21,6279±5,26
21,6279±46,88
4.2.3.1.1.3 Pegas Pararel
No M K ∆ k k ± ∆ k
1 0,1 185,156808 46,88 185, 1568083 ± 46,88
2
3
4
5
0,15
0,2
0,25
0,3
3
185,156808
3
185,156808
3
185,156808
3
185,156808
3
119,34
138,18
100,98
96,05
185, 1568083 ± 119,34
185, 1568083 ± 138,18
185, 1568083 ± 100,98
185, 1568083 ± 96,05
4.2.3.1.1 Gravitasi Pegas
4.2.3.1.2.1 Pegas Tunggal
No M g ∆ g g ± ∆ 9
1
2
3
4
5
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
24,95048505
24,95048505
24,95048505
24,95048505
24,95048505
0,948
0,9870
0,584
0,392
0,292
24,95048505± 0,948
24,95048505± 0,9870
24,95048505± 0,584
24,95048505± 0,392
24,95048505± 0,292
4.2.31.2.2 Pegas Seri
No M g ∆ g g ± ∆ g
1
2
3
4
5
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
97,32555
97,32555
97,32555
97,32555
97,32555
3,888
1,79244
1,0517
0,70784
0,50452
97,32555 ± 3,888
97,32555 ± 1,79244
97,32555 ± 1,0517
97,32555 ± 0,70784
97,32555 ± 0,50452
4.2.3.1.2.2 Pegas Pararel
No M g ∆ g g ± ∆ g
1 0,1 277,7352125 9,880 277,7352125±9,880
2
3
4
5
0,15
0,2
0,25
0,3
277,7352125
277,7352125
277,7352125
277,7352125
4,81121
2,791
1,841
1,3173
277,7352125±4,81121
277,7352125±2,791
277,7352125±1,841
277,7352125±1,3173
4.2.31.3 Bandul Matemamatis
No M G ∆ g g ± ∆ g
1
2
3
4
5
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
9,5579
9,5579
9,5579
9,5579
9,5579
0,1347
0,10223
0,1667
0,05559
0,04725
9,5579±0,1347
9,5579±0,10223
9,5579±0,1667
9,5579±0,0559
9,5579±0,04725
4.2.4Perhitungan KTP Relatif
4.2.4.1 Pegas ( Tunggal, Seri, dan Pararel )
4.2.4.1.1 Konstanta Pegas
4.2.4.1.1.1Pegas Tunggal
-∆ k 1
kx 100 %= 38,92
33,2673134x100 %=1,1699 %
-∆ k 2
kx 100 %= 49,85
33,2673134x100 %=1,4985 %
-∆ k 3
kx 100 %= 30,49
33,2673134x 100%=0,9165 %
-∆ k 4
kx 100 %= 28,41
33,2673134x100 %=0,853991 %
-∆ k 5
kx 100 %= 46,06
33,2673134x 100%=1,38454 %
4.2.4.1.1.2 Pegas Seri
-∆ k 1
kx 100 %= 13,46
21,6279x100 %=0,6223 %
-∆ k 2
kx 100 %= 14,805
21,6279x100 %=0,68453248 %
-∆ k 3
kx 100 %= 13,71
21,6279x100 %=0,634 %
-∆ k 4
kx 100%= 5,26
21,6279x100%=0,24320 %
-∆ k 5
kx 100 %= 46,88
21,6279x100 %=2,1675 %
4.2.4.1.1.3 Pegas Pararel
-∆ k 1
kx 100 %= 46,88
185,1568083x100 %=0,2532 %
-∆ k 2
kx 100 %= 119.34
185,1568083x100 %=0,6445 %
-∆ k 3
kx 100 %= 138.18
185,1568083x100 %=0,7463 %
-∆ k 4
kx 100 %= 100.98
185,1568083x100 %=0,54538 %
-∆ k 5
kx 100 %= 96.05
185,1568083x100 %=0,5187 %
4.2.4.1.1.2 Gravitasi Pegas
4.2.4.1.1.2.1 Pegas Tunggal
-∆ g 1
gx100 %= 0,948
24,95048505x 100 %=0,0378 %
-∆ g2
gx100 %= 0,9870
24,95048505x 100 %=0,0395 %
-∆ g 3
gx100 %= 0,584
24,95048505x100 %=0,02340634 %
-∆ g4
gx100%= 0,392
24,95048505x 100 %=0,015712 %
-∆ g 5
gx100 %= 0,291
24,95048505x 100 %=0,01166 %
4.2.4.1.1.2.2 Pegas paralel
-∆ g1
gx100 %= 9,880
277,735x 100%=0,03557 %
-∆ g 2
gx100 %= 4,81121
277,735x 100 %=0,01732 %
-∆ g3
gx100 %= 2,791
277,735x 100%=0,010049 %
-∆ g 4
gx100 %= 1,841
277,735x 100 %=0,006286 %
-∆ g5
gx100 %= 1,3173
277,735x 100%=0,00473 %
4.2.4.1.2.3 Pegas Seri
-∆ g 1
gx100 %= 4,845
97,32555x 100 %=0,0399484 %
-∆ g2
gx100 %= 0,152
97,32555x100 %=0,01842 %
-∆ g 3
gx100 %= 0,658
97,32555x100 %=0,010806 %
-∆ g4
gx100%= 0,346
97,32555x100 %=7,273 x10−3%
-∆ g 5
gx100 %= 0,205
97,32555x100 %=5,18384 x 10−3 %
4.2.4.2 Bandul sistematis
-∆ g1
gx100 %=0,1346
9,5579x100 %=0,01409 %
-∆ g 2
gx100 %=0,10233
9,5579x 100 %=0,0106958 %
-∆ g3
gx100 %=0,1667
9,5579x100 %=0,01744107 %
-∆ g 4
gx100 %=0,05559
9,5579x 100 %=5,8161 x 10−3 %
-∆ g5
gx100 %=0,04725
9,5579x100%=0,00494355 %
4.3 Analisis Grafik
3.3.1 Pegas Tunggal
No. Xn ( T² ) Yn ( Xt ) Xn² Xn . Yn
1 0,0713 0,085 0,029 0,06
2 0,1842 0,20 0,033 0,36
3 0,2220 0,21 0,049 0,46
4 0,466 0,22 0,217 1,02
5 0,3084 0,235 0,095 0,72
∑ Xn =
1,252
∑Yn = 9,45 ∑ Xn²=¿
0,423
∑ Xn. Yn=¿2,62
a = n¿¿
= 5 (2,62 )−(1,252 ) (9,45 )
5 (0,423 )− (1,252 )²
= 8,07
b = n¿¿
= 5 (9,45 ) (0,423 )−(1,252 )
5 (0,423 )−(1,252 ) ²
= 2,40
Y = aX + b
X = 1 maka Y = 8,07. 1 + 2,40 = 13,67
X = 2 maka Y = 8,07. 2 + 2,40 = 13,74
X = 3 maka Y = 8,07. 3 + 2,40 = 21,81
X = 4 maka Y = 8,07. 4 + 2,40 = 29,88
X = 5 maka Y = 8,07. 5 + 2,40 = 37,95
3.3.2 Pegas Seri
No. Xn ( T² ) Yn ( Xt ) Xn² Xn . Yn
1 0,3368 0,54 0,2916 0,181872
2 0,4142 0,56 0,3136 0,231952
3 0,5195 0,584 0,341056 0,303388
4 0,5361 0,614 0,376996 0,3291654
5 0,7015 0,63 0,3969 0,441945
∑ Xn =
2,5081
∑Yn =
2,928
∑ Xn² =
1,6489
∑ Xn. Yn=1,4883
a = n¿¿
= 5 (1,4883 )−(2,5081 ) (2,928 )
5 (1,4883 )−(2,5081 )²
= 11,80
b = n¿¿
= 5 (2,928 ) (1,4883 )−(2,5081 )
5 (1,4883 )−(2,5081 )
= 7,34
Y = aX + b
X = 1 maka Y = 11,80 . 1 +7,34 = 4,46
X = 2 maka Y = 11,80 . 2 +7,34 = 16,26
X = 3 maka Y = 11,80 . 3 +7,34 = 28,06
X = 4 maka Y = 11,80 . 4 +7,34 = 39,86
X = 5 maka Y = 11,80 . 5 +7,34 = 5,66
4.3.3 Pegas Pararel
No. Xn ( T² ) Yn ( Xt ) Xn² Xn . Yn
1 0,1462 0,16 0,0213 0,23
2 0,1043 0,175 0,0108 0,18
3 0,1323 0,18 0,0175 0,23
4 0,1677 0,185 0,0281 0,31
5 0,1888 0,19 0,0356 0,33
∑ Xn =
0,7393
∑Yn = 8,9 ∑ Xn² =
0,1133
∑ Xn.Yn=¿1,30
a = n¿¿
= 5 (1,30 )−(0,7393 ) (8,9 )5 (0,113 )−(0,7393 )²
=12,25
b = n¿¿
= 5 (0,7393 ) (0,1133) (0,7393 )
5 (0,1133 )−(0,7393 )²
= 0,62
Y = aX + b
X = 1 maka Y = 12,25. 1 +0,62 = 11,63
X = 2 maka Y = 12,25. 2 +0,62= 23,88
X = 3 maka Y = 12,25. 3 +0,62 = 36,13
X = 4 maka Y = 12,25 . 4 +0,62 = 48,38
X = 5 maka Y = 12,25 . 5 + 0,62= 60,63
4.4 Grafik
4.4.1 Pegas Tuggal
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.50
5
10
15
20
25
30
35
40
Series2
4.4.2 Pegas Seri
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.50
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Series2
4.4.3 Pegas Paralel
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.50
10
20
30
40
50
60
70
Series2
4.5 Pembahasan
Gaya gravitasi adalah gaya tarik menarik yang terjadi antara semua
partikel yannng mempunyai massa di alam semesta anatara partikel yang memiliki
massa. Jadi semua benda di bumi yang mempunyai massa tidak akan melayang
karena setiap nilai gravitasi bumi membuat benda-benda dibumi akan saling tarik
menarik. Itulah yang membuat terjadinya gaya gravitasi.
Dalam percobaan ini, nilai gravitasi yang ada pada suatu benda adalah
selalu berbeda dengan benda lainnya. Biasanya nilai gravitasi berbeda karena nilai
massa yang berbeda juga. Hal itulah yang membuat perbedaan nilai setiap
bendanya.
Dalam percobaan ini, pegas paralellah yang mempunyai waktu tercepat
dibanding dengan seri untuk menghasilkan getaran. Ini dikarenakan kedua pengait
pada ujung pegas membantu benda untuk naik keatas secara cepat sehingga
menghasilkan gerak baik naik dan turun kembali secara cepat.
Faktor kesalahan dalam percobaan adalah ketidak telitian praktikan dalam
mengukur panjang awal pegas, serta ketidakpastian praktikan dalam menentukan
waktu dalam setiap getaran.
Dari percobaan gaya gravitasi ini kita dapat memahami nilai massa suatu
benda dari setiap percobaan, serta nilai gravitasi setiap bendanya juga.
Aplikasinya adalah, kita dapat mengetauhi gaya jatuh benda adalah gaya gravitasi
bumi, contohnya sebuah mangga, jambu, apel, yang jatuh dari pohonnya itu
adalah menentukan gaya gravitasi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari semua tujuan percobaan
Fisika dasar tentang gaya gravitasiini adalah :
1. Sebuah benda dikatakan mengalami getaran selaras, jika benda tersebut
bergerak bolak balik pada suatu lintasan yang tetap, melalui slid an ebuah
titik yang disebut titik setimbang, contoh : gerakan sebuah bandul yang
digantungkan pada seutas tali sehingga akan berayun dan terjadi gerak
bolak balik ada lintasan yang sama.
2. Bahwa pada dasarnya gravitasi adalah gaya yang ditimbulkan bumi dan
dapat dihitung dengan berbagai cara diantaranya dengan menggunakan
bandul dan pegas, pada pegas massa beban diperhitungkan dengan
panjang awal dan akihrnya dihitung dengan menggunakan waktu, pada
ayunan massa bandul diabaikan yang dihitung hanya T 2, waktu dan
panjang tali
3. Pada hokum gravitasi umum Newton disebutkan bahwa setiap dua benda
bermassa di alam ini akan saling tarik-menarik yang bermassa sebanding
dengan hasil kali massa benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat
jaraknya.
5.2 Saran
Dalam praktikum fisika dasar tentang gaya Gravitasi ada baiknya lagi
praktikan untuk menggunakan media selain pegas dan bandul, agar kita
mengetauhi lebih dalam apakah ada alternative lain untuk aplikasi lainnya dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso , Marcelo dan Finn Edward . 1980. Dasar-dasar Fisika
Universitas.Jakarta : Erlangga
C. Giancolli Dougles .1998 .Fisika .Jakarta : Erlangga
Soedjodo, Peter. 1992. Fisika Dasar. Gajah Mada University Press :
Penerbit Andi.
Tipler. 1991. Fisika untuk Sains dan Teknik.Jakarta : Erlangga.
D. Young Hugh and A. Freaman Ragur . 2000. Fisika Univesitas .Jakarta :
Erlangga
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Viskositas (kekentalan) dapat dianggap suatu gesekan fluida. Karena
adanya viskositas ini maka untuk menggerakkan salah satu lapisan fluida di
atasnya lapisan lain haruslah di kerjakan gaya. Karena pengaruh gaya k, lapisan
zat cair dapat bergerak dengan kecepatan v, yang harganya semakin mengecil
untuk lapisan dasar sehingga timbul gradien kecepatan. Baik zat cair maupun gas
mempunyai viskositas hanya zat cair lebih kental (viscous) dari pada gas. Dalam
merumuskan persamaan-persamaan dasar mengenai aliran yang kental akan jelas
nanti, bahwa masalahnya mirip dengan tegangan dan regangan luncur di dalam zat
padat. Strees atau gaya persatuan waktu dalam zat cair ternyata sebanding dengan
grdien kecepatan tersebut. Alat mengukur viskositas zat cair adalah viscometer.
A.η.f = satuan viskositas ialah gaya kali jarak di bagi oleh kecepatan. Jadi dalam
sistem cgs satuan viskositas adalah 1 dyn cm-3 ×(cm-1) yang di sederhanakan
menjadi 1 dyn scm-2.Satuan ini disebut dengan poise.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Memahami pengertian viskositas fluida
2. Mengetauhi faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas
3. Mengetauhi hubungan anatara viskositas dengan suhu
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada percobaan viskositas ini adalah, percobaan pada
setiap fluida hanya di batasi sebanyak 5 (lima) kali.
1.4 Manfaat Percobaan
1. Mampu memahami adanya gaya gesek yang dialami benda yang bergerak
dalam fluida.
2. Mampu memahami perilaku kekentalan dalam fisika.
3. Mampu menentukan koefisien kekentalan viskositas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Viskositas adalah gesekan internal fluida. Gaya viskos melawan gerakan
sebagian fluida rfelatif terhadap yang lain. Viskositas adalah alasan di
perlukannya usaha untuk mendayung perahu melalui air yang tenang, tetapi juga
merupakan alasan mengapa dayung bisa bekerja.Efek viskos merupakan hal yang
penting di dalam aliran fluida dalam pipa, aliran darah, pelumasan bagian dalam
mesin, dan contoh keadaan lainnya.
Fluida viskos cenderung melekat pada permukaan padat yang bersentuhan
dengannya.Terdapat lapisan batas fluida yang tipis di dekat permukaan, di mana
fluida hampir diam terhadap permukaan.Itulah sebabnya mengapa partike-partikel
debu dapat melekat di daun kipas meskipun daun kipas sedang berputar dengan
cepat.Itu juga penyebab mengapa anda tidak dapat menghilangkan semua debu
yang berada di kendaraan anda hanya dengan menyemprotkan air.
Gambar 2.1 Lapisan Fluida
v d d’ c c’ F
l
F a b
Contoh yang paling sederhana dari aliran viskos adalah gerakan fluida antara dua
pelat paralel (gambar 2.1). Bagian bawah pelat adalah tetap diam, dan bagian atas
bergerak dengan kecepatan konstan v. Fluida yang bersentuhandengan masing-
masing permukaan memiliki kecepatan yang sama dengan permukaan. Laju aliran
pada lapisan tengah fluida bertambah secara homogen dari satu permukaan ke
permukaan yang lain, seperti di perlihatkan dengan anak panah, sehingga lapisan
fluida meluncur dengan mulus satu sama lain : aliran adalah laminer.
Bagian fluida yang memiliki bidang abcd pada beberapa saat memiliki
bentuk abc’d’ beberapa saat kemudian dan menjadi semakin terdistori selama
gerakan berlangsung.Maksudnya, fluida berada pada keadaan pertambahan
regangan geser yang kontinu. Untuk mempertahankan gerakan ini, kita harus
memberikan gaya konstan F di bagian kanan pada pelat atas untuk membuatnya
tetap bergerak dan gaya sama dengan besarnya gaya ke kiri pada pelat bagian
bawah untuk mempertahankan agar tidak berubah. Jika A adalah luas permukaan
masing-masing pelat, perbandingan F/A adalah tegangan gesesr yang di berikan
pada fluida.
Dalam benda padat, regangan geser sebanding dengan tegangan
geser.Dalam fluida regangan geser selalu bertambah dan tanpa batas sepanjang
tegangan di berikan.Tegangan tidak tergantung pada regangan geser tapi
tergantung pada laju perubahannya. Laju reaksi perubahan regangan juga di sebut
laju regangan, sama dengan perubahan rata-rata dd’ (laju v dari permukaan yang
bergerak) di bagi dengan l, yaitu,
Laju perubahan regangan geser = laju regangan = vl
. ( 2.1 )
Kita definisikan viskositas (viscosity) fluida, di notasikan dengan η,
sebagai rasio tegangan geser F/A, dengan laju regangan :
η = tegangan geserlajuregangan
= F / Av /l atau F = η A
vl
.( 2.2 )
Untuk cairan yang mudah mengalir, misalnya air atau minyak tanah
(kerosene), tegangan luncur itu relatif kecil untuk cepat perubahan regangan
luncur tersebut, dan viskositasnya juga relatif kecil.Dalam hal cairan seperti
molase atau gliserin, di perlukan tegangan luncur yang lebih besar pula.
Viskositas gas kurang sekali dari viskositas cairan. Viskositas semua fluida sangat
di pengaruhi oleh temperatur ; jika temperatur naik, viskositas gas bertambah dan
viskositas cairan berkurang.
Persamaan di atas di rumuskan untuk kejadian khusus di mana kecepatan
bertambah secara uniform bila semakin jauh dari pelat sebuah sebelah bawah.
Istilah umum untuk cepat peubahan kecepatan ruang, dalam arah tegak lurus arah
aliran, ialah gradien kecepatan dalam arah tersebut. Khusus pada kejadian ini,
gradien kecpatan ialah v/l. Pada kejadian yang umum, gradien kecepatan tidak
uniform dan harganya di tiap titik dapat di tuliskan sebagai dv/dy, dimana dv ialah
selisih kecil kecepatan antara dua titik yang di pisahkan oleh jarak dy di ukur
tegak lurus terhadap arah aliran. Karena itu bentuk umum persamaan di atas, ialah
F = η Advdy
( 2.3 )
Satuan viskositas ialah satuan gaya kali jarak di bagi oleh luas kali
kecepatan. Jadi, dalam satuan cgs satuan viskositas ialah 1 dyn cm -2 .(cm s-1), yang
di sederhanakan menjadi 1 dyn s cm-1.Satuan ini di sebut 1 poise, sebagai
penghormatan kepada sarjana Perancis Poiseulle. Viskositas yang kecil di ukur
dalam centipoises (1 cp = 10-2 poise) atau micropoise (1µp = 10-6 poise).
Tabel 2.1 Harga beberapa viskositas
Temperatur (oC)Viskositas
minyak jarak
(poise)
Viskositas air
(centripoise)
Viskositas udara
(micropoise)
0
20
40
60
80
100
53
9,86
2,31
0,80
0,30
0,17
1,792
1,005
0,656
0,469
0,357
0,284
171
181
190
200
209
218
Sebagaimana telah di kemukakan di atas, gaya gesekan antara permukaan
benda padat dengan fluida medium di mana benda itu bergerak akan sebanding
dengan kecepatan relatif gerak benda itu terhadap medium.
Pada dasarnya hambatan gerakan benda di dalam fluida itu di sebabkan
oleh gaya gesekan antara bagian fluida yang melekat ke permukaan benda dengan
bagian fluida di sebelahnya di mana gaya gesekan itu sebanding dengan koefisien
viskositas η fluida. Menurut Stokes, gaya gesekan itu di berikan oleh apa yang di
sebut rumus Stokes :
F = 6πr η v ( 2.4 )
Pada umumnya pengukuran koefisien viskositas fluida, khususnya cairan,
adalah berdasarkan hambatan gerakan benda di dalam fluida, misalnya dengan
mengukur kecepatan berputarnya silinder pada sumbunya bila silinder itu di
benamkan di dalam cairan yang hendak di tentukan koefisien viskositasnya,
seperti alam apa yang hendak di tentukan atau kita namakan percobaan silinder
putar. Penentuan koefisien viskositas cairan dapat juga di lakukan dengan
menerapkan rumus Stokes terhadap kelereng aluminium yang sedang jatuh bebas
di dalam cairan yang hendak di tentukan koefisien viskositasnya, dalam apa yang
hendak kita sebut percobaan kelereng jatuh.
Dengan mengukur kecepatan akhir sebuah bola yang radius dan rapat
massanya di ketahui, maka viskositas fluida ke dalam mana bola itu di jatuhkan,
dapatlah di hitung berdasarkan persamaan di atas. Persamaan ini juga telah di
gunakan milikan untuk menghitung radius tetes minyak submikroskopik arus
bermuatan listrik, dengan jalan mana ia dapat mengetahui muatan listrik sebuah
electron. Dalam percobaan ini, kecepatan akhir tetes minyak itu di ukur ketika
tetes jatuh dalam udara yang viskositasnya di ketahui.
Pada umumnya pengukuran koefisien viskositas fluida, khususnya cairan,
adalah berdasarkan hambatan gerakan benda di dalam fluida, misalnya dengan
mengukur kecepatan berputarnya silinder pada sumbunya bila silinder di
benamkan di dalam cairan yang hendak di tentukan koefisien viskositasnya,
seperti alam apa yang hendak kita gunakan silinder putar. Penentuan koefisien
viskositas dapat juga di lakukan dengan menerapakan system hokum Stokes
terhadap kelereng aluminium yang sedang jatyuh bebas di dalam cairan yang
hendak di tentukan koefisien viskositasnya.
Viskositas adalah suatu pernyataan “tahanan untuk mengalir” dari suatu
system yang mendapatkan suatu tekanan. Makin kental suatu cairan, makin besar
gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya mengalir pada kecepatan tertentu.
Viskositas disperse koloida di pengaruhi oleh bentuk partikel dari fase dispersi.
Koloid-koloid berbentu bola membentuk system dispersi dengan viskositas
rendah ,sedang system dispersi yang mengandung koloid-koloid linier
viskositasnya lebih tinggi.
Hubungan antara bentuk dan viskositas merupakan refleksi derajat solvasi
naiknya temperatur, maka viskositas cairan justru akan menurun jika temperature
dinaikkan. Fluidalitas dari suatu cairan yang merupakan kebalikan dari viskositas
akan meningkat dengan makin tinggi temperature. Cara menentukan viskositas
suatu zat menggunakan alat yang dinamakan viscometer.
Ada beberapa tipe viskositas yang biasa di gunakan antara lain:
Viskositas kapiler/Ostwald
Pada viskositas ostwald dihitung sesuai persamaan “suatu kuantitas
tertentu zat cair yang dikenalkan dalam viskositas di sebuah tabung Termostat dan
kemudian di tarik oleh sulfon kedalam bulb sampai cairan berada pada ketinggian
tpat pada diatas “α dan kemudian di biarkan turun sampai “b” waktu yang
diperlukan dari posisi a ke posisi b di ukur. Lalu persamaan pertama tidaklah
sempurna dan di koreksi dengan persamaan sebagai berikut :
X . t=0 , 12tη (2.5)
Diketahui :
X: konstan yang tergantung pada volume cairan, jari-jari kapilar, panjang
pipa .
T: Waktu yang terukur.
Viskometer Hoppler
Prinsip kerjanya adalah menggelindingkan bola (yang terbuat dari kaca)
melalui tabung gelas yang hamper penuh terisi dengan fluida. Kecepatan jatuh
bola merupakan fungsi dari harga reprisok sampel.
Viskometer cup and bob
Prinsip kerjanya sampel di geser dalam ruangan antara dinding luar dari
bob dan dinding dalam dari bob,dimana bob masuk persis di tengah-tengah.
Viskometer cone dan plate
Cara pemakaiannya adalah sampel diletakkan di tengah-tengah
papan,kemudian dinaikkan hingga posisi di bawah kerucut. Kerucut digeserkan
oleh motor dengan bermacam kecepatan dan sampelnya di geser di dalam ruang
sempit antara papan yang diam dan kemudian kerucut yang berputar.
Ada beberapa macam fluida yaitu: fluida statis atau hydrostatis dan fluida
dinamis atau hydiodinamis,dalam fluida statis yang kita pelajari adalah mekanika
fluida tentang gas atau cair yang pada permukaanya dengan tekanan tetap, akan
tetapi hanya perbedaan ketinggiannya ,sedangkan pada fluida dinamis yang kita
pelajari adalah mekanika fuida dinamis tentang gas atau cair dari gaya-gaya yang
disebabkanya.
Beberapa sifat fisis fluida antara lain :
1) dapat ditekan (compressibility),
2) kekentalan (viskosits), dan
3)mampu menguap (elaporabilitiy).
Aliran fluida yang lebih leluasa lebih cenderung turbulen. Oleh sebab itu
aliran akan cenderung turbulen jika koefisien viskositas π kecil dan penampang
pipa sepanjang cairan aliran mengalir cukup luas, yakni jari-jari penampangnya R
untuk pipa yang penampangnya bundar itu cukup besar. Di samping itu, bilamana
kecepatan alirannya(V) dan juga massa jenisnya ρ besar, aliran cairan tidak akan
banyak pengaruh oleh sekitarnya sehingga alirannya cenderung turbulen. Menurut
Reynolds, aliran akan cenderung turbulen apabila memenuhi apa yang bbaru
dikenal sebagai bilangan Reynolds.
Dengan arah aliran sepanjang sumbu x pada gradien kecepatan ialah sv/sy
dimana satu sumbu y tegak lurus sumbu x.
Gaya gesekan itu sebanding dengan luas permukaam yang bergesekan, A ,
sehingga dapat ditulis gaya gesekan sebagai
Gambar 2.1 gradien kecepatan air
F=λA ( svsy )
(2.6)
dengan λ sebagai tetapan pembandingan lurus yang dinamakan tetapan viskositas
atau telah tepat koefisien viskositas, yang besarnya tergantung jenis dan suhu
fluida; untuk larutan, besarnya koefisien viskositas tergantung pada konsentrasi
atau kepekaan itu.
Debit yaitu, banyaknya cairan yang mengalir per satuan waktu, atau kuat
arus, kecuali ditentukan oleh beda tekanan kedua ujung yang memberikan gaya
pengaliran itu. Juga ditentukan oleh koefisien viskositas cairan yang berkaitan
dengan mudah sukarnya cairan mengalir serta ruas penampang pipa sepanjang
aliran.
Menurut Poisuille, debit cairan yang mengalir sepangjang pipa yang
penampangnya bundar berjari-jari R yang panjangnya I adalah
dθdt
=(P1−P2) πr4
8 πI (2.7)
yang memperlihatkan bahwa debit itu sebanding dengan gradient tekanan
( P1−P2 )I serta pangkat 4 jari-jari penampang yang berarti sebanding dengan
kuadrat luas penampang, dan berbanding terbalik dengan koefisien viskositas
sebagai mana seharusnya. Dengan tetapan viskositas yang besar, hambatan
allirannya juga besar sehingga debitnya menjadi rendah.
Sudah tentu rumus Poisulle tersebut berlaku hanya untuk aliran yang
berlapis-lapis sehingga nyata gradient kecepatannya, yaitu bilamana aliran itu
laminair. Aliran yang tidak laminair adalah arus pusar atau lazim disebut aliran
turbulen.
Aliran fluida yang lebih leluasa lebih cenderung turbulen. Oleh sebab itu
aliran akan cenderung turbulen jika koefisien viskositas π kecil dan penampang
pipa sepanjang cairan aliran mengalir cukup luas, yakni jari-jari penampangnya R
untuk pipa yang penampangnya bundar itu cukup besar. Di samping itu, bilamana
kecepatan alirannya(V) dan juga massa jenisnya ρ besar, aliran cairan tidak akan
banyak pengaruh oleh sekitarnya sehingga alirannya cenderung turbulen. Menurut
Reynolds, aliran akan cenderung turbulen apabila memenuhi apa yang bbaru
dikenal sebagai bilangan Reynolds.
Re=2 RρVπ
>2000 (2.8)
Pada dasarnya hambatan gerakan benda di dalam fluida itu disebabkan oleh
gaya gesekan antara bagian fluida yang melekat ke permukaan benda dengan
bagian fluida disebelahnya dimana gaya gesekan itu sebanding dengan koefisien
viskositas fluida.
Menurut Stokes, gaya gesekan itu diberikan oleh apa yang disebut rumus
Stokes :
F=6 πrλv (2.9)
Tetapi sesuai dengan rumus Stokes, makin cepat gerakannya makin besar gaya
gesekannya sehingga akhirnya maki n besar gaya tepat seimbang denag gaya
gesekan dan jatuhnya kelereng pun dengan kecepatan tetap besar V sehingga
berlaku persamaan:
mg=6πrλv (2.10)
akan tetapi sebenrnya kelereng juga bekerja gaya ke atas Archimedes sebesar
berat cairan yang dipindahkan, yaitu sebesar:
F Arc=Vρ' g '=( 43
)πr3 ρ ' g(2.11)
Dengan v adalah volum kelereng dan ρ ' adalah massa jenis cairan. Dengan
menuliskan:
m=V ρ=( 43 ) πr3 ρg
(2.12) dengan ρ
adalah massa jenis pembuat kelereng,
persamaan di atas terkoreksi menjadi:
( 43 )πr 3 ρg−( 4
3 )π3 ρ' g=6πrλv (2.13)
Sebuah bola yang jatuh kedalam fluida kental akan mencapai kecepatan akhirnya
Vr pada saat kekentalan yang menahan plus gaya apung sama dengan gaya berat
bola itu. Apabila L rapat massa bola dan 𝓁 rapat massa fluida. Jadi berat bola ialah 43 π .l . g .gaya apung 4
3 π .r . l . g dan apabila kecepatan akhir ialah mencapai 4
3π .r . l . p g+6.π . . Vr=4
3π3 l . g maka persamaan nya adalah:
Vr¿ 2r 2 g9.
(𝓁-lo) (2.14)
Dengan menggunakan / mengukur kecepatan akhir sebuah bola yang radius dan
rapat massanya di ketahui, maka viskositas fluida ke dfalam mana bola itu
jatuhnya,dapat di hitung berdasarkan persmaan di atas. Persamaan ini juga telah
digunakan oleh ilmuwan untuk menghitung radius tetes minyak subsoskop yang
harus bermuatan listrik dengan jalan dapat mengetahui muatan kental fluida
(viskositas) .Aliran fuida dapat di karakteristikan sebagai lurus yang disebut
lamier ,dimana lapisan fluida bergerak dengan mulus dan reguler sepanjang
lintasan yang disebut jalur lurus .
\
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari kamis, tanggal 06 oktober 2011,
pukul 07:30 – 09:30 WITA, bertempat di Laboratorium Fisika Dasar Gedung C
Lantai 3, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Mulawarman, Samarinda .
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Tabung silinder yang berisi fluida
2. Satu bola kecil
3. Mikrometer skrup
4. Sendok saring untuk mengambil bola dari tabung
5. Stopwatch
6. Neraca ohauss
7. Gelang tembaga untuk memberikan jarak
3.2.2 Bahan:
1. Minyak goreng
2. Oli
3.2 Prosedur Percobaan
1. Diukur diameter tiap-tiap bola dengan mikrometer sekrup, Diulangi
percobaan sebanyak 5 kali.
2. Ditimbang tiap-tiap bola dengan neraca analitis, diulang sebanyak 5 kali.
3. Ditempatkan gelang yang dilingkari tabung kira-kira 5 cm dari bagian atas
dan bawah tabung.
4. Diukur jarak jauh d ( jarak kedua gelang atas dan bawah ).
5. Dimasukkan sendok saringan sampai dasar tabung dan tunggu bebebrapa
saat sampai fluida diam.
6. Diukur waktu jatuh T untuk tiap-tiap bola, diulangi beberapa kali.
7. Diubah letak gelang hingga jarak d berubah, diulangi percobaan sperti
pada poin 4 sampai 6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Bola
NO Massa (kg) Diameter (m) Jari-jari (m)
1 10,159 X 10-3 0,02516 0,01258
2 10,139 X 10-3 0,0251 0,01255
3 10,129 X 10-3 0,02506 0,01253
4 10,119 X 10-3 0,02517 0,01256
5 10,129 X 10-3 0,02538 0,01257
4.1.2 Koefisien viskositas fluida minyak
N
O
d (m) Waktu (s) Rata-rata
(s)t1 t2 t3 t4 t5
1 0,05 0,363 0,416 0,268 0,256 0,217 1,52
2 0,10 0,388 0,402 0,498 0,409 0,417 2,11
3 0,15 0,386 0,636 0,627 0,504 0,676 3,02
4 0,20 0,748 0,750 0,891 0,876 0,904 4,18
5 0,25 1,046 1,322 0,878 1,119 1,083 5,45
4.1.3 koefsien viskositas Oli
NO Jarak Gelang
(m)
Waktu (s) Rata-
rata (s)t1 t2 t3 t4 t5
1 0,05 0,339 0,234 0,260 0,220 0,167 0,244
2 0,10 0,594 0,604 0,541 0,467 0,481 0,548
3 0,15 1,313 1,249 1,197 1,042 1,191 1,198
4 0,20 1,991 1,836 1,834 1,733 1,760 1,830
5 0,25 2,685 2,468 2,509 2,476 2,525 2,532
4.2 Analisis Data
4.2.1 Perhitungan Tanpa KTP
4.2.1.1 Volume Bola
1.) V1 = 43
π r3
= 43
.3,14. (0,01258)3
= 8,335 x 10-6- m3
V2 = 43
π r3
= 43
.3,14. (0,01255)3
= 8,275 x 10-6- m3
V3 = 43
π r3
= 43
. 3,14 .(0,01253)3
= 8,236 x 10-6- m3
V4 = 43
π r3
= 43
.3,14. (0,01256)3
= 8,295 x 10-6- m3
V5 = 43
π r3
= 43
.3,14. (0,01257)3
= 8,315 x 10-6- m3
V = ∆ V
5 =
V 1+V 2+V 3+V 4+V 5
5
=
8,335 x10−6+8,275 x 10−6+8,236 x 10−6+8,295 x 10−6+8,315 x10−6
5
= 8,291 x 10-6 m3
4.2.1.2 Massa Jenis Bola
ρ1 = m1
V
= 10,139 x 10−3
8,335 x 10−6
= 1.216,43 kg/m3
ρ2 = m2
V
= 10,139 x 10−3
8,275 x 10−6
= 1.225,25 kg/m3
ρ3 = m3
V
= 10 , ,129 x10−3
8,236 x 10−6
= 1.229,84 kg/m3
ρ4 = m4
V
= 10,119 x10−3
8,295 x 10−6
= 1.219,89 kg/m3
ρ5= m5
V
= 10,129 x 10−3
8,315 x 10−6
= 1.218,15 kg/m3
ρ = ∆ P5
= P1+P2+P3+P4+P5
5
= 1216,43+1225,25+1229,84+1219,89+1218,15
5
= 1.221,912 kg/m3
4.2.1.3 Koefisien viskositas (η) untuk minyak
4.2.1.3.1 Percobaan ke 1 (0,05m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿ (ρ – ρ m)
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,05
(1221,912 – 800)
= 1,068 . pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,05
(1221,912 – 800)
= 5,913. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,05
(1221,912 – 800)
= 8,713086. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,05
(1221,912 – 800)
= 12,113. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,05
(1221,912 – 800)
= 15,824. pa.s
η =
4.41891+5,913+8,713086+12,113+15,8245
=46,9815
=9,3836 Pa . s
4.2.1.3.2 Percobaan ke 2 (0,10)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,10
(1221,912 – 800)
= 2,2094. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,10
(1221,912 – 800)
= 2,956. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,10
(1221,912 – 800)
= 4,3565. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,10
(1221,912 – 800)
= 6,0567. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,10
(1221,912 – 800)
= 7,9117. pa.s
η = 2,2094+2,956+4,3565+6,0567+7,9117
5=4,69806 Pa. s
4.2.1.3.3 Percobaan ke 3 (0,15m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,15
(1221,912 – 800)
= 1,4729. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,15
(1221,912 – 800)
= 1,9710. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,15
(1221,912 – 800)
= 2,9043. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,15
(1221,912 – 800)
= 6,05678. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,15
(1221,912 – 800)
= 7,91178. pa.s
η = 1,4729+1,9710+2,9043+6,05678+7,91178
5=4,0633 Pa . s
4.2.1.3.4 Percobaan ke 4 (0,20)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,20
(1221,912 – 800)
= 1,10472. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,20
(1221,912 – 800)
= 1,478. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,20
(1221,912 – 800)
= 2,1782. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,20
(1221,912 – 800)
= 3,028. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,20
(1221,912 – 800)
= 3,9558. pa.s
η = 1,10472+1,478+2,1782+3,0283+3,9558
5=2,349 Pa . s
4.2.1.3.5 Percobaan ke 5 (0,25m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,25
(1221,912 – 800)
= 0,8837. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,25
(1221,912 – 800)
= 1,18262. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,25
(1221,912 – 800)
= 1,74261. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,25
(1221,912 – 800)
= 2,42271. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρm )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,25
(1221,912 – 800)
= 3,16471. pa.s
η = 0,8837+1,18262+1,74261+2,42271+3,16471
5=1,8792 Pa. s
4.2.1.4Koefisien viskositas (η) untuk Oli
4.2.1.4.1 Percobaan ke 1 (0,05m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,05
(1221,912 – 900)
= 0,5412. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo)
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,05
(1221,912 – 900)
= 1,1717. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,05
(1221,912 – 900)
= 2,6371. pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,05
(1221,912 – 900)
= 4,0463. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,05
(1221,912 – 900)
= 5,6092. pa.s
η = 0,5412+1,1717+2,6371+4,0463+5,6092
5=2,801 Pa . s
4.2.1.4.2 Percobaan ke 2 (0,10m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,10
(1221,912 – 900)
= 0,2706. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo)
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,10
(1221,912 – 900)
= 0,0585. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,10
(1221,912 – 900)
= 1,3184 . pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,10
(1221,912 – 900)
= 2,0230. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,10
(1221,912 – 900)
= 2,8045. pa.s
η = 0,2706+0,0585+1,3184+2,0230+2,8045
5=1,2950 Pa . s
4.2.1.4.3 Percobaan ke 3 (0,15m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,15
(1221,912 – 900)
= 1,8044. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo)
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,15
(1221,912 – 900)
= 0,3903. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,15
(1221,912 – 900)
= 0,8789 . pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,15
(1221,912 – 900)
= 1,3486. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,15
(1221,912 – 900)
= 1,8697. pa.s
η = 1,8044+0,3903+0,8789+1,3486+1,8697
5=1,2583 Pa . s
4.2.1.4.4 Percobaan ke 4 (0,20m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,20
(1221,912 – 900)
= 0,1353. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo)
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,20
(1221,912 – 900)
= 0,2927. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,20
(1221,912 – 900)
= 0,6592 . pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,20
(1221,912 – 900)
= 1,0115. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,20
(1221,912 – 900)
= 1,4022. pa.s
η = 0,1353+0,2927+0,6592+1,0115+1,4022
5=0,70028 Pa . s
4.2.1.4.5Percobaan ke 4 (0,25m)
η1 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,582 X 10−4 .9,8 .1,529.0,25
(1221,912 – 900)
= 0,1082. pa.s
η2 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo)
= 2.1,525 X 10−4 .9,8 . 2,119.0,25
(1221,912 – 900)
= 0,2342. pa.s
η3 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 3,029.0,25
(1221,912 – 900)
= 0,5273 . pa.s
η4 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,577 X 10−4 .9,8 . 4,189.0,25
(1221,912 – 900)
= 0,8092. pa.s
η5 = 2 r2> ¿g d
¿¿-ρo )
= 2.1,580 X 10−4 .9,8 . 5,459.0,25
(1221,912 – 900)
= 1,1218. pa.s
η = 0,1082+0,2342+0,5273+0,8092+1,1218
5=0,5601 Pa . s
4.2.2 Perhitungan dengan KTP
∆r = 13
x 0,01 = 3,3x10-3
∆ m=13
x0,01 =3,3x10-3
4.2.2.1 Volume Bola
ΔV1 = √(4 πr¿¿2) .(∆ r)2 ¿
=√¿¿
= √4,299 x10−11
= 6,556 x 10-6m3
ΔV2 = √(4 πr¿¿2) .(∆ r)2 ¿
=√¿¿
= √4,261 x10−11
= 6,528 x 10-6m3
ΔV3 = √(4 πr¿¿2) .(∆ r)2 ¿
=√¿¿
= √4,234 x 10−11
= 6,507 x 10-6m3
ΔV4 = √(4 πr¿¿2) .(∆ r)2 ¿
=√¿¿
= √4,273 x10−11
= 6,536 x 10-6m3
ΔV5 = √(4 πr¿¿2) .(∆ r)2 ¿
=√¿¿
= √4,288 x10−11
= 6,548 x 10-6m3
4.2.2.2 Massa jenis bola
∆ρ1 = √( 1V )
2
.¿¿
= √( 1
8,335 x10−6 )2
.¿¿
= √156753,2925
= 395,921 kg/m3
∆ρ2 = √( 1V )
2
.¿¿
= √( 1
8,275 x10−6 )2
.¿¿
= √159034,6931
= 398,792 kg/m3
∆ρ3 = √( 1V )
2
.¿¿
= √( 1
8,236 x10−6 )2
.¿¿
= √160544,4158
= 400,70 kg/m3
∆ρ4 = √( 1V )
2
.¿¿
= √( 1
8,295 x10−6 )2
.¿¿
= √158268,7234
= 397,830 kg/m3
∆ρ5 = √( 1V )
2
.¿¿
= √( 1
8,315 x10−6 )2
.¿¿
= √157508,2741
= 396,873 kg/m3
4.2.3 Perhitungan dengan KTP mutlak
4.2.3.1 Volume Bola
1. V1 ± ∆V1 = 8,335x10-6 ± 6,556x 10-6 m3
2. V2 ± ∆V1 = 8,275x10-6 ± 6,528 x 10-6 m3
3. V3 ± ∆V1 = 8,236x10-6 ± 6,507 x 10-6 m3
4. V4 ± ∆V1 = 8,295x10-6 ± 6,536 x 10-6 m3
5. V5 ± ∆V1 = 8,315x10-6 ± 6,548 x 10-6 m3
4.2.3.2 Massa Jenis Bola
1. ρ1 ± ∆ ρ1= 1216,43 ± 395,921 kg/m3
2. ρ2 ± ∆ ρ2= 1225,25 ± 398,792 kg/m3
3.ρ3 ± ∆ ρ3= 1229,84 ± 400,70 kg/m3
4.ρ4± ∆ ρ4= 1219,89 ± 397,830 kg/m3
5. ρ5 ± ∆ ρ5= 1218,15 ± 396,873 kg/m3
4.2.4 Perhitungan dengan KTP relative
4.2.4.1 volume bola
Vbola 1 = ∆ V 12
V x100%
= 6,556 x10−6
8,335 x10−6 x 100%
= 0,786%
Vbola 2 = ∆ V 2
V x100%
= 6,528 x10−6
8,275 x10−6 x 100%
= 0,788 %
Vbola 3 = ∆ V 3
V x100%
= 6,507 x10−6
8,236 x10−6 x 100%
= 0,790 %
Vbola 4 = ∆ V 4
V x100%
= 6,536 x10−6
8,295 x10−6 x 100%
= 0,782 %
Vbola 5 = ∆ V 5
V x100%
= 6,548 x10−6
8,315 x10−6 x 100%
= 0,787 %
4.2.4.2 Massa Jenis Bola
ρbola 1 = ∆ ρ1
ρ1 x100%
= 395,9211216,43
x 100%
= 0,330 %
ρbola 2 = ∆ ρ2
ρ2 x100%
= 398,7921225,25
x 100%
= 0,325 %
ρbola 3 = ∆ ρ3
ρ3 x100%
= 400,70
1229,84 x 100%
= 0,327 %
ρbola 4 =∆ ρ4
ρ4 x100%
= 397,8301219,89
x 100%
= 0,326 % kg/m3
ρbola 5 = ∆ ρ5
ρ5 x100%
= 396,8731218,15
x 100%
= 0,325 %
4.3 Analisis Grafik
4.3.1 Perhitungan Minyak
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9.9,3836 . 0,05
2. 9,8 (1221,912−800)
= √5,10627
= 0,02259
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9. 4,69806.0,1
2. 9,8 (1221,912−800)
= √5,11308.10−4
= 0,02261
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9.4,0633.0,15
2. 9,8 (1221,912−800)
= √6,63337.10−4
= 0,02575
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9.2,349 .0,2
2. 9,8 (1221,912−800)
= √5,1130.10−4
= 0,2261
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9 .1,879.0,25
2. 9 , 8(1221,912−800)
=√5,113020.10−4
= 0,22612
4.3.2 Perhitungan oli
Tr2 = g η d
2. g( ρ−ρ o)
= 9 .2,801 .0,05
2. 9,8 (1221,912−900)
= √1,99770973.10−4
= 0,01413
Tr2 = g η d
2. g( ρ−ρ o)
= 9.1,2950 .0,10
2. 9,8 (1221,912−900)
= √1,847221.10−4
= 0,013591
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9x 1,2583 x0,15
2. 9,8 (1221,912−900)
= √2,69230.10−4
= 0,01640
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9 x 0,70028 x0,20
2. 9,8 (1221,912−900)
= √1,99779.10−4
= 0,014134
Tr2 = gη d
2.g( ρ−ρ m)
= 9x 0,5601 x 0,25
2. 9,8 (1221,912−900)
= √1,997353.10−4
= 0,014132
4.3 Grafik
4.3.1 Minyak
1 2 3 4 50
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Tr²n Minyak
Tr²n
(Sm
²)
4.3.2 Oli
1 2 3 4 50
0.002
0.004
0.006
0.008
0.01
0.012
0.014
0.016
0.018
Tr²n Oli
4.4 Pembahasan
Percepatan bola saat diminyak dan berada di oli sangat berbeda. Itu
dikarenakan koefisien kekentalan oli lebih besar di banding dengan minyak .
sehingga bola lebih cepat turun kebawa didalam minyak, dan lebih lambat di
dalam oli.
Faktor-faktor yang mempengaruhi lecepatan bola adalah viskositas zat,
volume zat, dan juga massa bola.
Aplikasi dari viskositas dapat diterapkan dan dapat digunakan dalam
pekerjaan-pekerjaan di bidang perminyakan yang diperlukan menghitung
viskositas zat .
Faktor-fakot yang mempengaruhi kesalahan dalam percobaan viskositas
ini adalah kurang teliti dalam mengukur diameter bola sehingga tidak didapatkan
massa bola yang benar. Dalam mengukur kecepatan bola jatuh kedasar tabung
sangat silit mengkordonasikan anatar melihat ke tabung silinder dengan kecepatan
menekan tombol waktu ketika bola sudah sampai pada jarak yang ditentukan.
Dapat juga dikarenakan kurang pas saat menjatuhkan bola ke dalam fluida .
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. viskositas fluida merupakan ukuran ketahanan sebuah fluida terhadap
deformasi atau perubahan bentuk.
2. viskositas dipengaruhi oleh tempratur, tekanan, kohesi, dan laju
perpindahan, momentum molekul. Viskositas zat cair cenderung
menurun dengan seiring bertambahnya kenaikan tempratur, hal ini
disebabkan gaya-gaya kohesi pada zat cair bila dipanaskan akan
mengalami penurunan dengan semakin bertambahnya tempratur pada
zat cair yang menyebabkan turunnya viskositas dari zat cair tersebut.
3. viskositas dan suhu memiliki perbandingan terbalik,dimana semakin
tinggi suhu maka viskositas, dari bahan tersebut akan semakin tinggi.
5.2 Saran
Saran saya adalah alat-alat yang ada di modul sebaiknya ada juga di
laboratorium agar kita dapat mengenal alat tersebut. Contohnya aerometer.
Dan juga untuk praktikum selanjutnya sebaiknya dapat mencoba
menggunakan medium atau fluida yang berbeda, seperti sabun cair. Agar
kita dapat membandingkan koefisien kekentalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Giancolli.1998.”Fisika”. Jakarta: Erlangga.
Jati, Bambang, Murdaka Eka. Dkk. 2007. “Fisika Dasar untuk Mahasiswa”.
Yogyakarta : Andi
Munson, Bruce R, Young Donald F, dan Okiishi Theodore H. 2007. “Mekanika
Fluida”.Jakarta: Erlangga.
Sears, Francis, dan Mark Zemansky. 1982. “Fisika untuk Universitas 1”.
Bandung: Bina cipta.
Tripler.1991.Fisika Untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dikehidupan sehari-hari kita ssering mendengar istilah tentang panas.
Namun dalam fisika istilah panas berbeda dengan istilah panas yang sering kita
gunakan sehari-hari. Dalam kegiatan sehari-hari kita sering mengartikan panas
dengan sesuatu zat atau benda yang memiliki suhu yang tinggi dibandingkan yang
lainnya. Tetapi dalam fisika panas diartikan sebagai bentuk energi yang
dipindahkan melalui batas sistem lain atau lingkungannya yang mempunyai
temperatur lebih rendah, karena adanya perbedaan temperatur. Perpindahan
temperatur itulah yang bisa kita sebut kalor.(Harijono Djojodiharjo,1985).
Pada abad kedelapan belas, teori sifat kalor yang diterima pada saat itu
ialah teori kalor, pada saat itu dianggap bahwa kalor merupakan zat yang berupa
fluida tanpa massa yang terpancar dari benda akibat dorongan partikel kalornya.
Teori kalor ini digantikan pada bagian akhir abad ke delapan belas oleh teori
dinamik kalor, yang sekarang diterima dimana-mana yang menganggap kalor
tersebut sebagai modal perpindahan energi.(Michael A Saad,2000)
Tara kalor listrik ini adalah dilandasi oleh hukum joule dan asas block,
dimana suatu energi dapat berubah bentuk ke energilain sehingga dikenal sebagai
kesetaraan antara panas dengan energi listrik atau energi mekanik yang berguna
untuk kehidupan sehari hari.
1.2 Tujuan Percobaan
1. untuk memahami perpindahan kalor akibat perbedaan suhu.
2. untuk menentukan tara kalor listrik dengan menggunakan calorimeter.
1.3 Batasan Masalah
1 Diukur waktu setiap kenaikan suhu 2ºC
1.4 Manfaat Percobaan
1. dapat lebih memahami tentang kalor dan juga
2. dapat lebih memahami perpindahan kalor akibat perbedaan suhu.
3. dapat menentukan kalor jenis menggunakan kalori meter.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kalor adalah energi dalam yang dipindahkakn dari benda bersuhu tinggi
ke benda bersuhu rendah ketika kedua benda disentuhkan (dicampur).(Bibit
Supardi,2004)
Kalor juga diartikan sebagai bentuk energi yang dipindahkan melalui
perbedaan suhu. Besarnya kalor yang diserap atau dilepaskan benda dapat
dirumuskan
Q=m c ∆T (2.1)
Dengan :
Q = kalor yang diserap atau dilepaskan(joule atau kalor)
M = massa benda(kg atau g)
C = kalor jenis benda (joule/kgoc)
∆T= kenaikan suhu (oc)
Kalor jenis (c) adalah perbandingan antara kapasitas kalor dengan massa benda.
(Akhmad Soenjaya,1980)
Kalor jenis juga diartikan sebagai banyaknya kalor yang diperlukan untuk
mengubah suhu 1 kg suatu zat sebesar 1oc. Kalor jenis suatu zat dapat dinyatakan
sebagai
C=Q
m ∆T (2.2)
Dengan :
Q = kalor yang diperlukan (kal)
M = massa zat (gr)
∆T= kenaikan suhu (oc)
Dan juga kita dapat mencari kalor jenis dengan menggunakan rumus :
c=Cm
(2.3)
dengan :
c = kalor jenis
C = kapasitas kalor
M = massa (gr)
Kalor adalah energi yang dipindahkan dari suatu zat ke zat lain karena
perbedaan suhu. Satuan kalor Q biasanya didefinisikan secara kuantitatif dalam
perubahan tertentu yang dihasilkan di dalam sebuah benda selama proses tertentu.
Jadi, jika temperatur dari suatu kilogram air dinaikkan dari 14,5 sampai 15,5°c
dengan memanaskan air tersebut maka kita katakan bahwa satu kalori (Kkal) kalor
telah ditambahkan kepada sistem tersebut. Kalori (=10-3 kkal) di gunakan juga
sebagaian satuan kalor. (Perlu kita ketahui, bahwa “kalori” yyang digunakan
untuk mengukur kandungan tenaga dari bahan makanan adalah sesungguhnya satu
kilokalori). Dalam sistem teknik maka satuan kalor adalah satuan termal Inggris
(British Thermal Unit/ BTU) yang di definisikan sebagai kalor yang perlu untuk
menaikkan temperature satupun air dari 63 ke 64°F. Temperatur kamar, terdapat
sedikit variasi kalor yang diperlukan untuk kenaikkan temperature satu derajat
dengan interval ini untuk kebanyakan tujuan praktis. Satuan kalor di hubungkan
sebagai berikut :
1,000 kkal = 1000 cal = 3,968 Btu
Zat-zat berbeda terhadap satu sama lain di
dalam kuantitas kalor yang diperlukan untuk menghasilkan suatu kenaikan
temperature yang diberikan di dalam sebuah massa yang di berikan. Perbandingan
banyaknya tenaga kalor ∆Q yang di bekalkan kepada sebuah benda untuk
menaikkan temperaturnya sebanyak ∆T dinamakan kapasitas kalor C (Heat
Capacity C) dari benda tersebut, yakni:
C = Kapasitas kalor = ∆ Q∆ T
( 2.4 )
Perkataan “kapasitas” dapat memberikan pengertian yang menyesatkan
(misleading) karena perkataaan tersebut menyarankan pernyataaan “ banyaknya
kalor yang dapat dipegang oleh sebuah benda “ yng merupakan pernyataan yang
pada pokoknya tidak berarti, sedangkan yang diartikan, sebenarnya dengan
perkataan tersebut hanyalah tenaga yang harus di tambahkan sebagai kalor untuk
menaikkan temperatur benda sebanyak satu derajat.
Kapasitas kalor persatuan massa sebuah benda, yang dinamakan kalor
jenis (spesific heat), adalah ciri (karateristik) dari bahan yang membentuk
benda tersebut :
C = Kapasitas kalor
massa =
∆ Q∆ T
( 2.5)
Di lain pihak, kita secara wajar berbicara mengenai kapasitas kalor dari
sebuah benda tidaklah konsen tetapi tergantung pada tempat dari interval
temperatur tersebut. Persamaan-persamaan terdahulu hanya memberikan nilai-
nilai rata-rata kuantitas. Kuantitas ini dalam jangkauan nilai temperatur sebesar ∆
T. Didalam limit, untuk∆T → O kita dapat berbicara mengenai kalor jenis pada
suatu temperatur T yang khas.
Kalor yang harus diberikan kepada sebuah benda yang massanya m, yang
bahannya mempunyai kapasitas panas jenis C, untuk menaikkan temperaturnya
dari T, menjadi TF, dengan menganggap ∆T ≪ TF - Ti adalah
Q = ε ∆Q =∑Ti
Tf
mc ∆ T
Didalam batas diferensial maka persamaan ini menjadi
Q = m ∫Ti
Tf
cd T
Dengan c adalah fungsi dari sebuah temperatur. Pada temperatur biasa dan pada
interval-interval temperatur biasa, maka kalor jenis ini dapat dianggap sebagai
konstanta.
Kapasitas kalor (C) adalaha perbandingan antara jumlah kalor yang
diterima dengan kenaikan suhu, dan juga dapat diartikan sebagai kalor yang
diperlukan untuk menaikkan suhu sekuruh benda sebesar satu derajat.(Bibit
Supardi,2004)
Kapasitas kalor dapat juga dirumuskan sebagai
C=Q
∆ T(2.6)
Dengan :
C = kapasitas kalor
Q = kalor yang diperlukan (kal)
∆T= kenaikan suhu (oC)
Satuan C = kalori
gram℃ atau
blupound℉
(2.7)
Jadi : bagi benda dengan massa m dan kapasitas kalor jenisnya C. Berdasarkan
persamaan diatas maka jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhunya
dengan ∆ t ,ialah :
Q = m c ∆ t =mc (t2-t1) (2.8)
Kalor jenis suatu bahan didefinisikan sebagai perbandingan antara kapasitas kalor
jenis bahan itu dengan kapasitas kalor jenis air. Kapasitas kalor jenis beberapa
bahan
Tabel 2.2 Kapasitas kalor
Bahan panas jenis Selang suhu
Aluminium 0,217 17-100℃
Kuningan 0,094 15-100℃
Tembaga merah 0,093 15-100℃
Gelas 0,199 20-100℃
Es 0,550 10-0℃
Besi 0,113 18-100℃
Timah hitam 0,031 20-100℃
Air raksa 0,033 0-100℃
Perak 0,056 15-100℃
Kapasitas kalor jenis sesungguhnya dari sau bahan pada sembarang suhu
didefinisikan berdasarkan persamaan
C = kapasitas kalor
massa =
Q /∆ tm
= Q
m ∆ t(2.9)
Dengan membandingkan kenaikan suhu kecil tidak terhingga sebesar dt
dan jumlah panas yang diperlukan untuk menimbulkan kenaikan tersebut sama
dengan dQ; jadi :
Kalor jenis sesungguhnya C=1m
dQdt
.(akhmad Soenjaya dkk,1980)
Seperti yang telah dijelaskan bahwa ada kesetaraan antara usaha atau
energi listrik dengan panas yang ditimbulkannya. Besarnya usaha dalam bentuk
energi listrik yang diberikan ke dalam sistem ditentukan oleh :
w = Vit
dengan :
V = beda potensial (Volt)
I = kuat arus(Ampere)
T = waktu (detik/sekon)
Untuk berbagai benda yang dicampur dan di isolasi sempurna terhadap
lingkungan, banyak kalor yang dilepas sama dengan banyak kalor yang diterima
benda lainnya. Teori tersebut dikenukakan oleh “Josep Black”. Sehingga energi
listrik dapat diubah menjadi kalor apabila sudah memenuhi “Asas Black”.
Qlepas =Qterim(2.10)
Yang melepas kalor adalah benda yang suhunya tinggi dan yang menerima kalor
adalah benda bersuhu rendah. Bila persamaan (1) dijabarkan maka.
m1.C1(t1-ta) = m2.C2(ta-t2)(2.11)
catatan yang harus diingat jika menggunakan Asas Black adalah pada benda yang
bersuhu tinggi digunakan (t1-ta) dan untuk benda bersuhu rendah digunakan (ta-
t2). Danrumus kalor yang digunakan tidak selalu seperti rumus diatas. Tergantung
pada soal yang dikerjakan
dalam percobaan tara kalor listrik besarnya energi yang diserap oleh zat cair dan
kalorimeter dapat dirumuskan sebagai berikur :
Qserap=c.m.∆ t +C ∆ t(2.12)
Dengan :
c =kalor jenis benda (joule/kg℃)
m =massa benda (kg atau g)
C = kapasitas kalor
∆t = kenaikan suhu (℃)
Tara kalor listrik adalah perbandingan antara energi listrik yang diberikan
terhadap panas. Yang dihasilkan.
J = W/H (joule/kalori) (2.13)
Energi listrik sebesar Vit (joule) ini merupakan energi mekanik yang hilang dari
elektron-elektron yang bergerak dari ujung kawat berpotensial rendah ke ujung
yang berpotensial tinggi. Energi ini berubah menjadi panas jika tak ada panas
yang keluar dari kalorimeter maka panas yang timbul besarnya :
H = (m+Na).(ta-tm) [kalori] (2.12)
Dengan :
M = MAir.CAir
Na = nilai air kalorimeter (kal/9℃)
ta = suhu akhir air
tm = suhu mula-mula air
Energi listrik dilambangkan w dan memiliki satuan joule. Sedangkan
energi kalor dilambangkan dengan Q dengan satuan [kalori]. Maka agar w dan Q
dapat menjadi setara joile harus diubah dalam kalori, dimana nilai energi 1 kalori
=4,186 joule .
nilai “4,186” dikenal dengan nama “tara kalor mekanik”. Pada rumusan :
Q = a.w (2.14)
Konstanta “a” adalah faktor pengali untuk mengubah satuan w (joule) menjadi
satuan kalori, agar kedua ruas mempunyai satuan yang sama.
Jadi : a=1
(4,186 )= 0,239 → inilah yang disebut dengan tara kalor listrik. Artinya
adalah 1 joule = 0,239 kalori.
Jika seandainya energi kalor (Q) sudah dalam satuan joule, maka kita tidak perlu
lagi memakai “nilai kesetaraan” tsb. Jadi boleh langsung kita tulis menjadi :
“Q = W” (2.15)
Dengan
Q = kalor yang diserap atau dilepaskan (j atau kal)
W = energi listrik (j)
Kalorimeter adalah alat untuk mengukur kwantitas panas. Ada dua macam
kalorimeter yaitu :
- Kalori meter arus kontinu
- Kalori meter air. (Akhmad soenjaya,1980)
Beberapa manfaat mempelajari tara kalor listrik sebagai berikut :
- Untuk mengukur temperatur air
- Untuk mengukur tegangan listrik
- Untuk mengukur kecepatan air terjun
- Untuk mengetahuinmassa jenis air
- Untuk pengasapan air
- Pemilihan logam untuk pembuatan benda yang berbahan dasar logam-
logaman. (Michael A sead,2000)
Kalor jenis dapat didefinisikan sebagai kalor yang diperlukan untuk
menaikkan suhu 1 Kg suatu zat sebesar 1K atau 1°C. Kalor jenis adalah sifat khas
suatu zat yang yang menunjukkan kemampuannya untuk menyerap kalor.
Semakin besar kalor jenis suatu benda, semakin besar pula kemampuan untuk
menyerap kalor pada perubahan suhu yang sama. Menurut definisi, kalor jenis c
dapat dinyatakan dalam matematis sebagai berikut :
C= Q
m. ∆ t
(2.16)
Dengan
C = kalor jenis benda (J/kg K)
Q = energi kalor (J)
m = massa benda (kg)
∆t = perubahan suhu (k)
Zat yang memiliki kalor jenis tinggi mampu menyerap lebih banyak
kalor untuk kenaikan suhu yang rendah. Zat-zat seperti itu dimanfaatkan
sebagai tempat untuk menyimpan energi termal
Tabel 2.2 Kalor jenis berbagai zat (pada suhu 20°C dan tekanan tetap 1
atm)
Zat Kalor jenis
(1kg-1 K-1)
Alkohol 2400
Raksa 140
Air 2100
es (-5°c) 2100
cair (15°c) 4180
uap (110°c) 2010
Badan
manusia 3470
Udara 1000
Pada tabel 2.1 ditunjukkan bahwa air adalah zat yang memiliki kalor jenis
paling tinggi di antara zat-zat lainnya.
Kalor jenis air yang tinggi menyebabkan beberapa hal berikut :
1. Air digunakan sebagai zat cair penyimpan energi termal dari Matahari
pada panel surya. Air digunakan sebagai zat penghantar kalor dengan
tujuan agar hanya terjadi sedikit penurunan suhu sewaktu terjadi
perpindahan kalor.
2. Air digunakan sebagai cairan pendingin mesin mobil (radiator) yang
berfungsi untuk memindahkan energi kalor dari mesin mobil (radiator)
yang berfungsi untuk memindahkan energi kalor dari mesin mobil ke
udara sekitarnya, sehingga mesin mobil tetap dingin.
3. Pada hari yang panas (matahari terik), air dalam danau masih terasa
dingin, sedangkan udara disekitarnya terasa panas. Kalor jenis air lebih
tinggi daripada udara, sehingga suhu udara naik lebih cepat daripada
suhu air.
Untuk suatu benda tertentu, misalnya bejana kalorimeter, akan lebih
memudahkan bila faktor m dan c dipandang sebagai satu kesatuan. Faktor
ini disebut kapasitas kalor dan didefinisikan sebagai jumlah energi kalor
yang diperlukan untuk menaikkan suhu suatu benda sebesar 1 K. Jadi
kapasitas kalor C dapat dirumuskan sebagai:
C= mc = Q
∆ T
(2.17)
Dari persamaan (2.2) dan (2.3) kita dapat menyatakan rumus umum kalor,
yaitu:
Q = m.c.∆T = C∆T
(2.18)
dengan : Q = jumlah kalor (kalori)
m = massa zat (gram)
c = kalor jenis zat (kal/gr °c)
∆T = perubahan suhu (°c)
C = kapasitas kalor (kal/°c)
Sebagaimana kita ketahui, kalor adalah energi yang berpindah dari
benda yang suhunya tinggi ke benda yang suhunya rendah. Oleh karena itu,
pengukuran kalor menyangkut perpindahan energy. Energi adalah kekal,
sehingga benda yang suhunya tinggi akan melepas energy Q2 dan benda
yang suhunya rendah akan menerima energy Qr dengan besar yang sama.
Apakah kita nyatakan dalam bentuk persamaan, maka
QL = Qr
(2.19)
Persamaan (2.5) menyatakan hukum kekekalan energi pada
pertukaran kalor dan selanjutnya disebut asas Black, sebagai penghargaan
atas jasa ilmuan Inggris bernama Joseph Black (1728-1799).
Pengukuran kalor sering dilakukan untuk menentukan kalor jenis
suatu zat, sebab jika kalor jenis suatu zat sudah diketahui, maka kalor yang
diserap atau dilepaskan dapat ditentukan dengan mengukur perubahan suhu
zat tersebut. Bila kalor jenis salah satu zat diketahui, kalor jenis zat yang
lain dapat dihitung melalui penggunaan hukum kekekalan energi.
Perpindahan kalor terjadi dari benda yang bersuhu tinggi menuju benda
yang bersuhu lebih rendah. Ada tiga macam cara perpindahan kalor, yaitu
konduksi, konveksi, dan radiasi. (Michael.2000)
Perpindahan kalor secara konduksi ialah perpindahan kalor melalui
zat tanpa disertai perpindahan partikel-partikel zat tersebut. Terjadinya konduksi
kalor dapat diterangkan dengan teori molekul. Pada bagian zat yang panas,
molekul-molekul bergetar lebih cepat dan membentuk molekul-molekul lain
disekitarnya. Benturan-benturan itu mengakibatkan molekul-molekul disekitarnya
juga bergetar lebih cepat dan suhunya semakin panas. Perpindahan kalor secara
konduksi terjadi pada zat padat, seperti logam.
Berdasarkan daya hantar kalornya, zat dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu konduktor dan isolator. Konduktor adalah zat yang daya
hantarnya baik, misalnya berbagai jenis logam seperti: aluminium, besi,
silikon, baja, dan lain-lain.
2.5.2 Perpindahan Kalor Secara Konveksi
Konveksi adalah perpindahan kalor melalui suatu zat yang disertai
perpindahan partikel-partikel zat itu. Perpindahan kalor secara konveksi
pada zat cair dan gas disebabkan adanya perbedaan massa jenis zat.
2.5.3 Perpindahan Kalor Secara Radiasi
Radiasi adalah perpindahan kalortanpa melalui zat perantara. Contoh
perpindahan kalor secara radiasi, antara lain :
1. Perpindahan kalor dari matahari di bumi
2. Perpindahan kalor dari api unggun ke benda-benda yang ada
disekitarnya. (Soenjaya, 1980)
Perpindahan tenaga yang timbul karena perbedaan temperatur
diantara bagian-bagian yang berdekatan dari sebuah benda yang dinamakan
hantaran kalor (heat conduction). Tinjaulah sebuah lempeng bahan yang luas
penampangnya A dan tebalnya ∆x, yang permukaan-permukaannya dipegang
pada temperatur, temperatur yang berbeda. Kita mengukur kalor ∆Q yang
mengalir didalam arah tegak lurus pada permukaan-permukaan tersebut didalam
waktu ∆T. eksperimen memperlihatkan bahwa ∆Q adalah sebanding dengan ∆ t
dan sebanding dengan luas penampang A untuk suatu perbedaan temperatur ∆T
yang diberikan, dan bahwa ∆Q adalah sebanding dengan ∆T/∆X untuk suatu ∆t
dan A yang diberikan, asalkan ∆T dan ∆X adalah kecil, yakni:
∆ Q∆ T
α A ∆ T∆ X
(2.20)
Di dalam limit dengan ketebalan lempeng yang sangat kecil dx, terdapat suatu
perbedaan temperatur dT, maka kita dapatkan hukum hantaran kalor yang
fundamental, dimana aliran kalor H adalah oleh
H= - K A dTdX
(2.21)
Disini H (yang di ukur, di dalam kal/detik : lihat persamaan (1) adalah
banyaknya perpindahan kalor per satuan waktu yang melalui A, dT/dX dinamakan
gradien temperatur dan K adalah sebuah konstanta perbandingan yang dinamakan
konduktivitas termal (thermal conductivity). (Michael.2000)
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Fisika Dasar mengenai Tara Kalor Listrik ini berdasarkan pada hari
Rabu tanggal 3 Oktober 2012, Dilaksanakan di Laboratorium Fisika Dasar.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman,
Samarinda.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat dan Percobaan
1. Powersupply
2. Thermometer
3. Stopwatch
4. Kalorimeter
5. Amperemeter
6. Voltmeter
7. Timbangan digital
8. Kabel penghubung
9. Tiang statif
3.2.2 Bahan Percobaan
1. Air
3.3 Prosedur Percobaan
1.Ditentukan massa kalorimeter (kalorimeter kosong dan pengaduk) serta
elemen listrik dengan neraca Ohaus
2.Ditentukan harga C dengan persamaan C = mkal Ckal (Ckal sama dengan
logam penyusun kalorimeter).
3. Ditentukan massa air (anggap massa jenis air ρair = 1 gr/cm3 sehingga
volume air yang dipakai sama dengan massanya).
4.Dibuat rangkaian percobaan seperti gambar 1.
5.Diatur tahanan geser agar amperemeter menunjukkan harga 0,5 , 1,0 ,
dan 1,5 A (atau sesuai petunjuk asisten).
6.Aduklah air dalam kalorimeter secara perlahan dan catat suhu
thermometer sebagai suhu T10C
7.Bersamaan dengan dijalankan stopwatch, juga hubungkan rangkaian ke
sumber lisrik dan usahakan arus di atur konstan dengan mengeser-geser
tahanan, juga catat perubahan voltmeter.
8.Percobaan dihentikan setelah kenaikkan suhu kalorimeter sebesar 20C
yang dicatat sebagai suhu akhir (T2) catat pula waktu yang diperlukan
untuk mencapai suhu tersebut dari pembacaan stopwatch sebagai t
detik.
Termometer +
Sumber tegangan + Pengaduk -
Resistor amperemeter
9.
Gambar 3.1 Sistem Kalorimeter
AV
Elemen Panas
Elemen panas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data dan Pengamatan
NO MASSA V I T1 T2 ∆ T t1 t2 ∆ t
1 Air1=28,6(g) 0,5
V
0,38
A
30OC 32 OC
2 0 381s 381s
Air2=140,44(g)
Mair1=111,82(g)
Mair2=0,11182(kg)
2 0.11182 0,5
V
0,38
A
32 OC
34 OC
2 381s 569s 188s
3 0.11182 0,5
V
0,38
A
34 OC
36 OC
2 569s 745s 176s
4 0.11182 0,5
V
0,38
A
36 OC
38 OC
2 745s 860s 115s
5 0.11182 0,5
V
0,38
A
38 OC
40 OC
2 860s 1074s 214s
4.2 Analisis data
4.2.1 Energi Listrik.
→Tanpa KTP
1. W=V.I.t= 0,5.0,38.381=72,39 J
2. W= V.I.t= 0,5.0,38.188=35,72 J
3. W= V.I.t=0,5.0,38.176=33,44 J
4. W= V.I.t=0,5.0,38.115=21,85 J
5. W= V.I.t=0,5.0,38.214=40,06 J
→Dengan KTP
∆ V =13
X nst voltmeter=13
x0,5=0,1667 V
∆ I=13
Xnst amperemeter=13
0,2=0,0667 A
∆ t=13
x nst Jam=13
x 0,01=3,33 s
1. ∆ wn=√ ( I . t . ∆ V ) ²+(V . t . ∆ I ) ²+(V . I . ∆ t ) ²
¿√ (0,38.381 .0,1667 ) ²+(0,5.381.0,0667) ²+(0,5.0,38 .3,33)²
¿√582,48+161,45+3,93129 x10−7
¿√743,930
¿27,27 J
2. ∆ wn=√ ( I . t . ∆ V ) ²+(V . t . ∆ I ) ²+(V . I . ∆ t ) ²
¿√ (0,38.188 .0,1667 ) ²+(0,5.188 .0,0667)²+(0,5.0,38 .3,33) ²
¿√141,28+39,31+3,93129 x10−7
¿√181,130
¿13,46 J
3. ∆ wn=√ ( I . t . ∆ V ) ²+(V . t . ∆ I ) ²+(V . I . ∆ t ) ²
¿√ (0,38.176 .0,1667 ) ²+(0,5.176 .0,0667) ²+(0,5.0,38 .3,33) ²
¿√124,29+34,45+3,93129 x10−7
¿√158,74
¿12,599 J
4. ∆ wn=√ ( I . t . ∆ V ) ²+(V . t . ∆ I ) ²+(V . I . ∆ t ) ²
¿√ (0,38.115.0,1667 )²+(0,5.115.0,0667 )²+(0,5.0,38 .3,33) ²
¿√53,06+14,70+3,93129 x10−7
¿√67,76
¿8,23J
5. ∆ wn=√ ( I . t . ∆ V ) ²+(V . t . ∆ I ) ²+(V . I . ∆ t ) ²
¿√ (0,38.214 .0,1667 )²+(0,5.214 .0,0667) ²+(0,5.0,38 .3,33) ²
¿√183,76+50,93+3,93129 x10−7
¿√234,63
¿15,31 J
→ KTP Mutlak
1.Wn+∆Wn=72,39 J ±27,27 J
2.Wn+∆Wn=35,72 J ±13,46 J
3.Wn+∆Wn=33,44 J ± 12,599 J
4.Wn+∆ Wn=21,85 J ± 8,23 J
5.Wn+∆Wn=40,06 J ± 15,31 J
→ KTP Relatif
1.∆ wn
wx100 %=27,27
72,39x100 %=0,37 %
2.∆ wn
wx100%=13,46
35,72x100 %=0,37 %
3.∆ wn
wx100 %=12,59
33,44x100 %=0,37 %
4.∆ wn
wx 100 %= 8,23
21,85x100 %=0,37 %
5.∆ wn
wx100 %=15,31
40,66x100 %=0,37 %
4.2.2 Daya Listrik
→ Tanpa KTP
1.P=V . I=0,5.0,38=0,19 w
2. P=V . I =0,5.0,38=0,19 w
3. P=V . I=0,5.0,38=0,19 w
4. P=V . I=0,5.0,38=0,19 w
5.P=V . I=0,5.0,38=0,19 w
→ Dengan KTP
1.∆ P=√( I . ∆V )²+ (V . ∆ I ) ²
¿√ (0,38.0,1667 ) ²+(0,5.0,0667) ²
¿√4,012 x10−13+1,112 x 10−5
¿0,071 w
2. ∆ P=√( I . ∆ V )²+(V . ∆ I ) ²
¿√ (0,38.0,1667 ) ²+(0,5.0,0667) ²
¿√4,012 x10−13+1,112 x 10−5
¿0,071 w
3.∆ P=√( I . ∆V )²+(V . ∆ I ) ²
¿√ (0,38.0,1667 ) ²+(0,5.0,0667) ²
¿√4,012 x10−13+1,112 x 10−5
¿0,071 w
4. ∆ P=√ (I . ∆ V ) ²+(V . ∆ I )²
¿√ (0,38.0,1667 ) ²+(0,5.0,0667) ²
¿√4,012 x10−13+1,112 x 10−5
¿0,071 w
5.∆ P=√( I . ∆V )²+ (V . ∆ I ) ²
¿√ (0,38.0,1667 ) ²+(0,5.0,0667) ²
¿√4,012 x10−13+1,112 x 10−5
¿0,071 w
→ KTP Mutlak
1.P ± ∆ P=0,19 ± 0,071
2. P± ∆ P=0,19 ± 0,071
3. P± ∆ P=0,19 ± 0,071
4. P ± ∆ P=0,19 ± 0,071
5.P ± ∆ P=0,19 ± 0,071
4.2.3 Energi Kalor
→ Tanpa KTP
Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
c=m. k al . ckal(koefisien air)
¿4,18 J
C=367,1712
I Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
¿ (0,11182.4,18 ) 3,33+367,1712.3,33
¿ (0,467076 x 3,33 )+1222,680096
¿1,556467308+1222,680096
¿1224,236563 J → 1224,24 J
II Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
¿ (0,11182.4,18 ) 3,33+367,1712.3,33
¿ (0,467076 x 3,33 )+1222,680096
¿1,556467308+1222,680096
¿1224,236563 J → 1224,24 J
III Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
¿ (0,11182.4,18 ) 3,33+367,1712.3,33
¿ (0,467076 x 3,33 )+1222,680096
¿1,556467308+1222,680096
¿1224,236563 J → 1224,24 J
IV Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
¿ (0,11182.4,18 ) 3,33+367,1712.3,33
¿ (0,467076 x 3,33 )+1222,680096
¿1,556467308+1222,680096
¿1224,236563 J → 1224,24 J
V Q= (m.c ) ∆ T+C . ∆ T
¿ (0,11182.4,18 ) 3,33+367,1712.3,33
¿ (0,467076 x 3,33 )+1222,680096
¿1,556467308+1222,680096
¿1224,236563 J → 1224,24 J
→ Dengan KTP
I ∆ Q=√ [ (∆ T (c )C ) ∆ m ]+(c .m+C)
¿√ [ (3,33 ) (4,18 ) (367,1712 ) (3,33 x10−7 ) ] ²+( (4,18 ) (0,011182 )+3,33 x10−7) ²
¿√ ( (13,92 ) (367,1712 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ ( (0,038 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ (1,2654 x10−8 ) ²+( 4,6474076 ) ²
¿√1,60123716 x10−16+21,60
¿√21,6
¿4,65 J
II ∆ Q=√ [ (∆ T (c )C ) ∆ m ]+(c .m+C)
¿√ [ (3,33 ) (4,18 ) (367,1712 ) (3,33 x10−7 ) ] ²+( (4,18 ) (0,011182 )+3,33 x10−7) ²
¿√ ( (13,92 ) (367,1712 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ ( (0,038 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ (1,2654 x10−8 ) ²+( 4,6474076 ) ²
¿√1,60123716 x10−16+21,60
¿√21,6
¿4,65 J
III ∆ Q=√ [ (∆ T (c )C ) ∆ m ]+(c .m+C)
¿√ [ (3,33 ) (4,18 ) (367,1712 ) (3,33 x10−7 ) ] ²+( (4,18 ) (0,011182 )+3,33 x10−7) ²
¿√ ( (13,92 ) (367,1712 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ ( (0,038 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ (1,2654 x10−8 ) ²+( 4,6474076 ) ²
¿√1,60123716 x10−16+21,60
¿√21,6
¿4,65 J
IV ∆ Q=√ [ (∆ T (c )C ) ∆ m ]+(c .m+C)
¿√ [ (3,33 ) (4,18 ) (367,1712 ) (3,33 x10−7 ) ] ²+( (4,18 ) (0,011182 )+3,33 x10−7) ²
¿√ ( (13,92 ) (367,1712 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ ( (0,038 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ (1,2654 x10−8 ) ²+( 4,6474076 ) ²
¿√1,60123716 x10−16+21,60
¿√21,6
¿4,65 J
V ∆ Q=√ [ (∆ T (c )C ) ∆ m ]+(c .m+C)
¿√ [ (3,33 ) (4,18 ) (367,1712 ) (3,33 x10−7 ) ] ²+( (4,18 ) (0,011182 )+3,33 x10−7) ²
¿√ ( (13,92 ) (367,1712 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ ( (0,038 )3,33 x10−7 ) ²+(4,6474076) ²
¿√ (1,2654 x10−8 ) ²+( 4,6474076 ) ²
¿√1,60123716 x10−16+21,60
¿√21,6
¿4,65 J
4.1 Pembahasan
Pada saat percobaan pertama sampai kelima membutuhkan alat-alat seperti
powersupply, voltmeter,amperemeter,termometer,tiang statik,kalorimeter, dan
kabel penghubung. Dimana alat-alat tersebut dirangkai seperti gambar pada
prosedur percobaab sehingga kita dapat mengetahhui nilai massa air, panas atau
suhu air, dan arus tegangan listrik yang dihasilkan powersupply. Sehingga kita
dapat mengetahui nilai kalor jenis koefisien serta tara kalornya. Dalam percobaan
tara kalor percobaan 1 sanpai 5 menggunakan air dan tegangan listrik yang sama
namun waktu yang diperoleh dari perpindahan suhu berbeda-beda, hal ini
dikarenakan adanya faktor kondisi lingkungan yang berbeda saat melakukann
percobaan. Dimana suhu lama mengalami kenaikan akibat adanya pendingin suhu
ruangan percobaan karena adanya kipas angin. Dan juga suhu dapat cepat selalu
naik karena pada saat percobaan salah satu ujung dan termometer menyentuh
dinding kalorimeter dan tiang statif yang terbuat dari logam dan mendapatkan
aliran listrik dan mengakibatkan suhu naik dengan cepat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Fisika Dasar tentang Tara Kalor Listrik dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1) Perpindahan kalor diakibatkan perbedaan suhu beroindah dari tempat yang
bersuhu tinggi ke tempat yang bersuhu rendah.
2) Tara Kalor Listrik adalah perbandingan antara energi listrik yang diberikan
terhadap panas yang dihasilkan dan dapat dirumuskan dengan Q=a.w dengan “a”
adalah faktor pengali untuk mengubah satuan w menjadi dalam satuan kalor, agar
kedua ruas satuan yang sama jadi, a=1
(4,186 )=0,293
5.2 Saran
Sebaiknya sebelum melakukan percobaan Tara Kalor Listrik dikondisikan suhu
ruangan percobaan agar tetap stabil, seperti adanya kipas angin itu dapat
mempengaruhi waktu dan suhu agar dapat menghasilkan laporan yang konkrit.
DAFTAR PUSTAKA
Djojodiharjo, Harijono.1985.Dasar-Dasar Termodinamika Teknik.PT Gramedia:
Jakarta
Saad A, Michael.2000. Termodinamika.Prinsip dan Apikasi.Prenhallindo:Jakarta
Soenjaya, Ahmad dkk, 1980. Teori Soal Penyelesaian.Thermo Dinamika. Untuk
S.T.M& Sederajat.Ganeca Science Book Series: Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat banyak sekali hal-hal yang
terjadi berkaitan dengan pemuaian dan pengerutan suatu benda. Di mana
pemuaian adalah bertambahnya ukuran suatu benda karena pengaruh perubahan
suhu atau bertambahnya ukuran suatu benda karena menerima kalor. Misalnya
pada suatu hari yang panas, kawat-kawat listrik atau kawat telepon yang
bergantung pada tiangnya akan bergantung kendur, tetapi sebaliknya pada hari
yang dingin, kawat-kawat listrik atau kawat telepon yang bergantung pada
tiangnya akan bergantung kencang. Rel kereta api di bangun dengan memberikan
sedikit ruang pemisah di antara sambungan-sambungan antar relnya sehingga rel
tersebut tidak akan melengkung ketika musim panas. Pesawat supersonik
concorde alam bertambah panas selama melakukan penerbangan karena adanya
gesekan dengan udara, dan banyak lagi hal yang lainnya. Oleh karena itu,
percobaan muai panjang ini dilakukan agar dapat memberikan suatu pengetahuan
lebih mengenai hal tersebut, dan dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Menentukan besarnya pertambahan panjang pada benda padat
(besi,aluminium,kuningan) yang di sebabkan oleh pemberian suhu yang
panas.
2. Mengetahui faktr apa saja yang menyebabkan perbedaan panjang dan
ketiga benda padat yang memuai.
3. Mencari koefisien muai panjang dari benda pada (besi, aluminium,
kuningan).
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada percobaan muai panjang ini adalah :
1. Setiap kenaikan suhu 2 C diukur pertambahan pajangnya.
2. Menggunakan tegangan 10V.
1.4 Manfaat percobaan
1. Dapat memham lebih dalam tentang konsep-konsep dalam muai panjang
logam.
2. Dapat menerapkan konsep-konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jika suatu benda padat dipanaskan, maka benda padat tersebut akan
memuai kesegala arah memanjang sedangkan pemuaian pada arah lainnya kita
abaikan. Kita telah melakukan percobaan untuk menyelediki pemuaian panjang
pada tiga batang logam dari bahan yang berbeda ( besi, tembaga, aluminium ).
Kita dapatkan bahwa walaupun ketiga batang yang panjangnya sama ini
mengalami kenaikan suhu yang sama. Tetapi pertumbuhan panjang ketiganya
berbeda.Perbedaan pertambahan panjang ini di sebabkan oleh perbedaan koefisien
muai panjang.
2.1 Pengartian pemuaian
Pemuaian adalah bertambahnya ukuran suatu benda karena pengaruh
perubahan suhu atau bertambahnya ukuran suatu benda karena menerima kalor.
Pemuaian terjadi ketika zat dipanaskan ( menerima kalor ). Partikel –partikel zat
bergetar lebih cepat sehingga saling menjauh dan benda memuai. Sebaliknya,
ketika zat didinginkan ( melepas kalor ) partikel – partikel zat bergetar lebih
lemah sehingga saling mendekati dan benda menyusut. Pemuaian terjadi pada 3
zat yaitu : padat, cair, dan gas.
Pemuaian pada zat padat ada 3 jenis yaitu : pemuaian panjang ( untuk satu
dimensi ), pemuaian luas ( untuk dua dimensi ), dan pemuaian volume ( untuk tiga
dimensi ). Sedangkan pada zat cait dan zat gas hanya terjadi pemuaian volume
saja, khusus pada zat gas hanya terjadi pemuaian di ambil nilai koefisien muai
volumenya sama dengan 1
273.
Pertambahan ukuran tiap bagian suatu benda untuk suatu perubahan
tertentu pada temperatur sebanding dengan ukuran mula-mula bagian benda itu.
Jika di naikkan temperatur suatu penggaris baja misalnya, pengaruhnya akan
serupa dengan pembesaran fotografis.
Garis-garis yang semula berjarak pisah sama akan tetap berjarak sama,
tetapi jarak pisahnya lebih besar. Demikian pula, lebar penggaris akan sedikit
lebih besar. Bila penggaris mempunyai lubang, maka lubangnya akan menjadi
lebih besar , seperti yang terjadi pada pembesaran fotografis.
Pemuain zat padat dan gas, secara umum dapat diterangkan dengan
menganggap ikatan antar molekul sebagai ikatan sebuah pegas danlentur.Ikatan
pada zat lebih kuat dari ikatan molekul zat cair.Molekul-molekul ini selalu
bergetar pada suatu posisi keseteimbangan ketika suhu zat di naikkan, amplitudo
getaran molekul-molekul bertambah besar sehingga jarak antara molekulnya
menjadi lebih besar. Dengan kata lain ukuran benda akan memuai.
2.2 Pemuaian panjang
Pemuaian panjang adalah bertambahnya ukuran panjang suatu benda
karena menerima kalor pada pemuaian panjang nilai lebar dan tebal sangat kecil
dibandingkan dengan nilai lebar dan tebal dianggap tidak ada. Tinjauan sebuah
batang dengan panjang Lo pada suhu T o. Saat suhu berubah sejumlah ∆T, panjang
berubah sejumlah ∆L, percobaan menunjukkan bahwa jika ∆T tidak terlalu besar (
misal lebih kecil dari 100℃), ∆T akan berbanding lurus dengan ∆T. jika dua
batang dari bahan yang sama mengalami perubahan suhu yang sama tetapi yang
satu lebih panjang dua kali daripada lainnya, maka perubahan panjang suatu
benda juga akan dua kali lipat dengan demikian ∆L juga harus sebanding dengan
Lo . dengan konstanta perbandingan ∝ ( yang berbeda untuk bahan yang
berlainan ).dapat dinyatakan hubungan itu dalam persamaan :
∆L= ∝ . Lo
∆ T…...……………………………………....(2.2.1)
∝=
∆ LL0
∆ T…………………………………………...(2.2.2)
Dengan :∆ L=Lt−¿ Lo¿
∆ T = T - T o
Lo=¿ Panjang awal benda (m )
t=¿Suhu akhir benda (℃atau K )
t o=¿Suhu awal benda (℃atau K )
Bila suatu benda padat berbentuk persegi panjang di panaskan, terjadi
pemuaian dalam arah memanjang dan arah melebar. Dengan kata lain, benda
padat mengalami pemuaian luas. Pemuaian luas berbagai zat bergantung pada
koefisien muai luas. Koefisien muai luas ( β ) suatu bahan adalah perbandingan
antara pertambahan luas benda (∆ A ) terhadap luas awal benda ( Ao ) persatuan
kenaikan suhu (∆ t ). Secara matematis, β dinyatakan sebagai :
β=
∆ AAo
∆T …………………………………………..(2.2.3)
Dengan :∆ A=A−Ao=¿pertambahan luas (m2 )
A=¿ Luas akhir benda (m2 )
Hubungan koefisien muai luas dengan koefisien muai panjang, misalkan
suatu persegi dengan sisi 1m di panaskan sampai suhunya naik 1k.akibat
pemanasan ini, sisi persegi bertambah panjang menjadi (1+∝ ) m, dengan ∝ adalah
koefisien muai panjang, akan di dapatkan koefisien muai panjang (∝ ) sangat kecil,
maka ∝2 dapat di abaikan terhadap 2∝, sehingga kita peroleh hubungan antara
koefisien muai luas ( β ) dan koefisien panjang (∝ ).
β=2∝ …………………………………………. (2.2.4)
Pemuaian volume, bila bentuk padat berbentuk balok di panaskan, akan
terjadi pemuaian dalam arah memanjang,melebar dan meninggi . dengan kata lain,
benda padat mengalami pemuaian volume. Pemuaian volume berbagai zat
bergantung pada koefisien muai volume. Koefisien muai volume(γ ) suatu bahan
adalah perbandingan pertamabahan volume terhadap volume awal benda (V o )
persatuan kenaikkan suhu (∆ t ), secara matematis, γ dinyatakan sebagai :
γ=
∆ VV o
∆ T…………………………………………. (2.2.5)
Dengan : V = Volume akhir benda
Dengan cara seperti waktu kita menentukkan hubungan koefisien muai
luas dan koefisien muai panjang, kita dapatkan koefisien muai volume adalah 3x
koefisien muai panjang.
γ=3∝………………………………………….(2.2.6)
Pemuaian volume zat cair, hal yang terpenting yang kita perlu tekankan
adalah pemuaian volum zat cair lebih besar dari pada pemuaian volume zat padat
untuk kenaikan suhu yang sama. Karena jika suatu wadah berisi zat cair hampir
penuh di panaskan, maka pada suhu zat cair dalam wadah akan tumpah. Kasus ini
di tunjukkan kasus-kasus sehari-hari yang ada.
Masalah –masalah yang di timbulkan oleh pemuaian zat padat, jika
pemuaian dari bahan-bahan yang di gunakan pada struktur diabaikan, maka
struktur yang di bangun itu dapat membahayakan, sebagai contoh, rel kereta api
dan jembatan jalan raya melengkung. Ini terjadi karena batang baja dan beton
yang ditahan agar tidak memuai akan menghasilkan gaya tegang yang cukup
besar. Gaya tegang inilah yang menyebabkan rel baja dan jembatan beton
melengkung.
Manfaat pemuaian zat, salah satu manfaat pemuaian yang telah kita bahas.
Beberapa manfaat pemuaian yang lainnya adalah sebagai berikut:
- Menyeling pelat logam, menyeling adalah menyambung dua pelat dengan
menggunakan paku keling. Paku keeling dalam keadaan panas sampai
berpijar putih d masukkan ke dalam lubang pelat. Pada keadaan itu ujung
paku menyusut dan menjepit kedua pelat dengan sangat kuat. Penyelingan
seperti ini dilakukan pada pembuatan kadar kapal.
Pemuaian gas, dalam menyelidiki muai gas pada tekanan tetap. Penting
bagi kita untuk mengapa agar massa gur tetap. Untuk keperlakuan tersebut kita
dapat mengarung sejumlah udara hingga massanya tetap selama percobaan
berlangsung. Volume sejumlah massa tertentu gas adalah berbanding lurus dengan
suhu mutlaknya pada tekanan tetap, untuk dua keadaan gas, sebut keadaan 1 dan
keadaan 2. persamaan dapat ditulis :
V 1
T 1
=V 2
T2
…………………………………………….(2.2.7)
Muai gas pada volume tetap, hukum tekanan gas yang berbunyi : tekanan
sejumlah massa tertentu gas berbanding lurus dengan suhu mutlaknya pada
volume tertentu gas berbanding lurus dengan suhu mutlaknya pada volume tetap,
persamaan dapat di tulis :
P1
T1
=P2
T 2
....................................................................(2.2.8)
Persamaan gas, besaran-besaran gas P,V,dan t dari ketiga hukum gas yang
telah diketahui dapat menjadi hanya suhu persamaan, yang dinamakan persamaan
gas.
P VT
=τ ....................................................................(2.2.9)
Muai panjang berbagai zat padat diselidiki dengan alat munschern
broek .dengan alat ini di temukan bahwa maui panjang zat padat bergantung pada
tiga faktor yaitu :
1. Panjang awal ( Lo ), makin besar panjang awal, maka makin besar muai
panjang
2. Kenaikan suhu (∆ T ), makin besar kenaikan suhu, maka makin besar muai
panjang
3. Jenis bahan
Pemuain panjang dapat di pahami secara kualitatif pada basis
mokuler.Dapat dibayangkan bahwa gaya-gaya antara atom yang berdekatan
dalam padatan itu terhubung oleh pegas yang lebih merenggang posisi
setimbangan.Saat suhu naik, energi dan amplitudo getaran juga naik.Gaya pegas
antara atom tidaklah simetris di sekitar posisi setimbangnya, umumnya
perilakunya justru seperti pegas yang lebih mudah merenggang daripada
merapat.Sebagai hasilnya saat amplitudo getran naik, rata-rata jarak antara
molekul juga naik. Seiring atom bergerak saling menjauh, setiap dimensi akan
meningkat jika suatu benda padat memiliki lubang di dalamnya, maka lubang
tersebut juga ikut memuai karena semua dimensi linear suatu benda berubah pada
arah yang sama ketika suhu berubah.
Berbagai bahan muai panjang dengan kelajuan yang beda kuningan dan
besi juga tidak sama. Kenyataan ini di manfaatkan dan digabungkan dua logam
menjadi suatu komponen dalam zat ukur.
2.3 Penerapan muai panjang
Pemuaian panjang zat biasanya dimanfaatkan dalam teknik, diantaranya :
Tabel koefisien muai panjang
2.1
Zat padat Koefisien muai panjang
per ℃
Koefisien muai volume
per ℃
Timah 2,9x10−5 8,7x10−5
Kuningan 1,9x10−5 5,7x10−5
Aluminium 2,5x10−5 7,5x10−5
Besi 1.2x10−5 3.6x10−5
Kaca biasa 0,9x10−5 2,7x10−5
Kaca pyrex 0,3x10−5 0,9x10−5
Zat cair Koefisien muai volume (℃ )
Alcohol 1,0x10−4
Gaseline 9,5x10−4
Gliserin 5,0x10−4
Air 2,1x10−4
Air raksa 1,8x10−4
Perubahan wujud zat adalah perubahan keadaan suatu zat misalkan :
a. Padat menjadi cair disebut mencair
b. Uap menjadi cair disebut mengembun
c. Cair menjadi padat disebut membeku
d. Cair menjadi uap disebut menguap
e. Uap menjadi padat disebut menghablur
f. Padat menjadi uap disebut menyublim.
2.4 Pemuaian zat padat dan zat cair
Dengan beberapa pengecualian, volume tiap benda akan bertambah
dengan naiknya suhu jika tekanan dari luar terhadapnya tetap konstan.
Umpamakan suatu zat padat atau zat cair mengalami perubahan volume dV
apabila suhunya berubah sebesar dT ( atau dt, karena skala derajat Kelvin dan
skala derajat celcius merupakan selang suhu yang sama harganya ). Koefisien
muai volume β di definisikan sebagai perubahan fraksional volum dV /V di bagi
perubahan suhu dT, atau :
β= 1V
−dVdT
= 1V
dVdt
(pada tekanan konstan)………….(2.4.1)
Suatu β ialah 1 perderjat,atau 1 derajat−1 . besar angkanya tentu
bergantung pada ukuran derajatnya. Karena skal derajat Kelvin dan celcius adalah
95
dari skala derajat rankine atau Fahrenheit.
Koefisien muai volume tidak bebas pengaruh perubahan tekanan, tetapi
berubah jelas sekali akibat perubahan suhu. Banyak percobaan menunjukkan
bahwa β akan mengecil jika suhu di turunkan dan akan mendekati nol, jika suhu
Kelvin mendekati nol. Adalah aneh juga bahwa makin tinggi titik lebur suatu
logam, makin kecil koefisien muai volumenya.
Bila β di anggap harga rata-rata dalam daerah selang suhu yang sedang
∆ T=t persamaan dapat di tulis :
∆ V =β V o . ∆ T=β V o ∆T ……………………………...(2.4.2)
DimanaV o ialah volume asal
Beberapa harga βpada kira-kira suhu kamar tercantum dalam table 15-3,
perhatikanlah bahwa harga untuk zat cair jauh lebih besar dari pada harga untuk t
padat.
Tabel 15-3 Koefisien muai volume
Zat padat β́.(℃ )−1 Zat cair β́.(℃ )−1
Aluminium 7,2x10−5 Alcohol,etil 7,5x10−5
Baja 3,6 Disulfide,karbon 115
Invar 0,27 Gliserin 49
Kuarsa 0,12 Raksa 18
Kaca 1,2-2,7
Kuningan 6,0
Tembaga 4,2
Kalau dalam suatu benda padat ada lubang, volume lubang itu akan
bertambah apabila benda itu memuai, tidak seperti bila sekiranya itu zat padat dari
bahan yang sama dengan bahan bendanya. Hal ini selalu terjadi, sekalipun itu
menjadi demikian besar sehingga benda sekelilingnya menjadi seperti kulit habis.
Jadi volume suatu bejana yang dilengkapi suatu bejana dari gelas berdinding tipis
atau bola thermometer, akan membesar seperti membesarnya suatu benda padat
dari gelas yang sama ukurannya.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum muai panjang ini dilaksanakan hari kamis, tanggal 10 Oktober
2012, pukul 07.30-09.30 WITA, dan bertempat di Laboratorium Fisika Dasar
lantai 3 gedung C, Falkutas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Mulawaarman.
3.2 Alat Percobaan
1. Munschern Broek
2. Alat pemanas ⁄ Power supply
3. Thermometer
4. Kabel penghubung
5. Tiang statif
6. Logam (besi, kuningan dan tembaga)
7. Penggaris
3.3 Prosedur percobaan
1. Dipasang alat-alat yang akan digunakan dalam percobaan.
2. Dipasang 3 logam (besi, kuningan dan tembaga).
3. Diukur suhu ruangan (suhu normal) sebagai suhu awal (T0),
panjang setiap logam sebelum dipanaskan (L0) dan diatur letak
jarum pada skala 0 (nol).
4. Dihubungkan sumber arus listik dari power supply ke logam
dengan menggunakan kabel penghubung arus listrik.
5. Dinyalakan arus listrik dan power supply, secara bertahap dan
diukur sampai suhu tertentu sesuai petujuk asisten.
6. Diukur setiap letak pada skala tertentu, untuk setiap jenis logam
hingga suhu tertentu.
7. Diulangi percobaan untk suhu yang lain sebanyak 5 kali percobaan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data dan Pengamatan
4.1.1 Besi
No L0 Lt T1C T2C TC Ln(cm) V
1 25 25,01 3 32 2 0,01 10
2 25,01 25,11 3 34 4 0,1 10
3 25,11 25,31 3 36 6 0,2 10
4 25,31 25,61 3 38 8 0,3 10
5 25,61 26,11 3 40 10 0,5 10
4.1.2 Aluminium
No L0 Lt T1C T2C TC Ln(cm) V
1 25 25,4 3 32 2 0,4 10
2 25,4 25,9 3 34 4 0,5 10
3 25,9 25,6 3 36 6 0,7 10
4 26,6 27,35 3 38 8 0,75 10
5 27,35 28,15 3 40 10 0,8 10
4.1.3 Kuningan
No L0 Lt T1C T2C TC Ln(cm) V
1 25 25,4 3 32 2 0,4 10
2 25,4 25,9 3 34 4 0,5 10
3 25,9 26,5 3 36 6 0,6 10
4 26,5 27,15 3 38 8 0,65 10
5 27,15 27,85 3 40 10 0,7 10
4.2 Analisis Data
∆ ∆ Lo= 12
x nst munschern broek
= 12
x 0,1 cm
= 0,5 cm
= 0,05 m
∆ ∆ T = 12
x nst thermometer
= 12
x 1 ℃
= 0,5℃
∆ ∆ L=13
x nst mistar
= 13
x 0,1 cm
= 0,03 cm
= 0,0003 m
4.2.1 Perhitungan Tanpa KTP
a) Besi
∝1=∆ l
L0 ∆T 1=
0,00010,25.2
= 0,2℃−1
∝2=∆ l
L0 ∆T 2=
0,0010,25.2
= 0,002℃−1
∝3=∆ l
L0 ∆T 3=
0,0020,25.2
= 0,004℃−1
∝4=∆ l
L0 ∆T 4=
0,0030,25.2
= 0,006℃−1
∝5=∆ l
L0 ∆T 5=
0,0050,25.2
= 0,0010℃−1
b) Alumininum
∝1=∆ l
L0 ∆T 1=
0,0040,25.2
= 0,008℃−1
∝2=∆ l
L0 ∆T 2=
0,0050,25.2
= 0,0010x℃−1
∝3=∆ l
L0 ∆T 3=
0,0070,25.2
= 0,0014℃−1
∝4=∆ l
L0 ∆T 4=
0,00750,25.2
= 0,0015℃−1
∝5=∆ l
L0 ∆T 5=
0,0080,25.2
= 0,0016℃−1
c) Kuningan
∝1=∆ l
L0 ∆T 1=
0,0040,25.2
= 0,008℃−1
∝2=∆ l
L0 ∆T 2=
0,0050,25.2
= 0,0010℃−1
∝3=∆ l
L0 ∆T 3=
0,0060,25.2
= 0,0012℃−1
∝4=∆ l
L0 ∆T 4=
0,00650,25.2
= 0,0013℃−1
∝5=∆ l
L0 ∆T 5=
0,0070,25.2
= 0,0014℃−1
4.2.2 Perhitungan dengan KTP
a.)Besi
∆∝1={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2
(∆ ∆T )2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,0001.3 x10−4
(0,25 )2 .2 )2
+(−0,0001.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+(−5,76 x 10−14 )+(−3 x10−7)}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝2={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,001.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,001.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+5,76 x10−12+9 x 10−14 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝3={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ LLo2 . ∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,002.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,002.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+2,3 x10−11+3,6 x10−13 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝4={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,003.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,005.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+5,18 x10−11+8,1 x10−13}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝5={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,005.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+( 0,005.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+1,44 x 10−10+2,25 x10−12 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
b.) Aluminuim
∆∝1={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2
(∆ ∆T )2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,004.3 x10−4
(0,25 )2 .2 )2
+(−0,0004.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+(−5,76 x 10−14 )+(−3 x10−7)}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝2={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,005.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,005.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+5,76 x10−12+9 x 10−14 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝3={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ LLo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,007.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,007.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+2,3 x10−11+3,6 x10−13 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝4={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,0075.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,0075.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+5,18 x10−11+8,1 x10−13}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝5={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,008.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+( 0,008.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+1,44 x 10−10+2,25 x10−12 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
c.) Kuningan
∆∝1={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2
(∆ ∆T )2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,004.3 x10−4
(0,25 )2 .2 )2
+(−0,004.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+(−5,76 x 10−14 )+(−3 x10−7)}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝2={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,005.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,005.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+5,76 x10−12+9 x 10−14 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝3={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ LLo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,006.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,006.3 x 10−4
0,25 .22 )
2}12
={36 x 10−8+2,3 x10−11+3,6 x10−13 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝4={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L . ∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L. ∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,0065.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+(−0,0065.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+5,18 x10−11+8,1 x10−13}12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
∆∝5={(∆ ∆ LLo .∆T
)2
+(−∆ L .∆ ∆ L 0Lo2 .∆ T )
2
+(−∆ L.∆ ∆ TLo .∆T 2 )
2}12
={( 0,00030,25. 2 )
2
+(−0,007.3 x10−4
(0,25 )2 2. )2
+( 0,007.3 x 10−4
0,25 . 22 )
2}12
={36 x 10−8+1,44 x 10−10+2,25 x10−12 }12
={3,6 x 10−7 }12= 6x10−4℃−1
4.2.1 Perhitungan KTP Mutlak
a. Besi
∝1 ± ∆∝1= (0,2 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝2 ± ∆∝2= (2 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝3 ± ∆∝3= ( 4 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝4 ± ∆∝4= (6 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
∝5 ± ∆∝5= (7 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
b. Aluminium
∝1 ± ∆∝1= (8 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
∝2 ± ∆∝2= (10 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝3 ± ∆∝3= (14 x 10−3 ± 6 x 10−4 )℃−1
∝4 ± ∆∝4= (15 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝5 ± ∆∝5= (16 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
c. Kuningan
∝1 ± ∆∝1= (8 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
∝2 ± ∆∝2= (10 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝3 ± ∆∝3= (12 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝4 ± ∆∝4= (13 x10−3± 6 x10−4 )℃−1
∝5 ± ∆∝5= (16 x 10−3 ±6 x 10−4 )℃−1
4.2.2 Perhitungan KTP Relatif
a. Besi
∆∝1
∝1
x100 %= 6 x 10−4
0,2 x 10−3 x100% =3%
∆∝2
∝2
x100 %=6 x10−4
2 x10−3 x100% =0,3%
∆∝3
∝3
x100 %=6 x 10−3
4 x 10−3 x100% =0,15%
∆∝4
∝4
x 100 %=6 x 10−3
6 x 10−3 x100% =1%
∆∝5
∝5
x100 %= 6 x10−3
10 x10−3 x100% =0,06%
b. Aluminium
∆∝1
∝1
x100 %=6 x10−4
8 x10−3 x100% =7,5%
∆∝2
∝2
x100 %= 6 x 10−4
10 x10−3 x100% =6%
∆∝3
∝3
x100 %= 6 x10−4
14 x10−3 x100% =4,2%
∆∝4
∝4
x 100 %= 6 x10−4
15 x 10−3 x100% =4%
∆∝5
∝5
x100 %= 6 x10−4
16 x10−3x100% =3,75%
c. Kuningan
∆∝1
∝1
x100 %=6 x10−4
8 x10−3 x100% =7,5%
∆∝2
∝2
x100 %= 6 x 10−4
10 x10−3 x100% =6%
∆∝3
∝3
x100 %= 6 x 10−4
12 x 10−3 x 100% =5%
∆∝4
∝4
x 100 %= 6 x10−4
13 x 10−3 x100% =4,6%
∆∝5
∝5
x100 %=6 x10−4
4 x 10−3 x100% =4,2%
4.3 Grafik
8,92 11,16 13,70
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Chart Title
Grafik besi
8,92 13,7 19,0 24,8 27,70
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Chart Title
Grafik aluminium
1,12 1,37 1,63 1,9 2,20
2
4
6
8
10
12
14
16
Chart Title
Grafik kuningan
4.4 Pembahasan
Aplikasi pemuaian dalam benda padat dapat mengetahuinya dengan
mengetahui sifat pemuaian zat benda tersebut.
Pemasangan kaca jendela memperhatikan juga ruang muai bagi kaca sebab
koefisien muai kayu tempat kaca tersebut di pasang.Hal ini penting sekali untuk
menghindari terjadinya pembengkokan pada bingkai. Penyambungan rel kereta
api harus menyediakan celah antara satu batang rel dengan batang rel lain, jika
suhu meningkat, maka batang rel akan memuai hingga akan bertambah panjang.
Dengan di berikannya ruang muai antar rel maka tidak akan terjadi desakan antar
rel yang akan mengakibatkan rel menjadi bengkok.
Bingkai roda padati pada keadaan normal di buat sedikit lebih kecil
daripada tempatnya sehingga tidak di mungkinkan untuk di pasang secara
langsung pada tempaynya. Untuk memasang bingkai tersebut, terlebih dahulu besi
harus di panaskan hingga memuai daari ukurannya pun akan menjadi lebih besar
dari pada tempatnya sehingga memudahkan untuk di lakukan pemasangan bingkai
tersebut. Ketika suhu dingin, ukuran bingkai kembali mengecil dan terpasang kuat
pada tempatnya.
Faktor kesalahan yang dilakukan pada saat pratikum adalah kurang teliti
dalam membuai jarum penunjuk yang ada pada munschern broek dan gaya kurang
dalam melihat besarnya suhu yang di tunjukkan pada thermometer. Kesalahan
dalam membaca angka yang di tunjukkan dan alat ukur munschern broek karena
tidak memiliki posisi badan yang tetap untuk melihat.
BAB V
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Pada besi pertambahan panjang sebesar (0,01),(0,1),(0,2),(0,3),dan
(0,5). Pada aluminium pertambahan panjang sebesar (0,4),(0,5),(0,7),
(0,74),(0,8). Pada kuningan (0,4),(0,5),(0,6),(0,65),(0,7). Semua dalam
satuan cm dan dalam satuan interval suhu 2℃, yang di dapat pada
percobaan muai panjang dengan menggunakan alat munschern broek
dengan memperlakukan benda padat tersebut.
2. Penyebab terjadinya muai panjang pada benda padat adalah : perubahan
suhu yang tinggi,jenis bahan, karena menerima kalor
3. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan panjang muaian dari benda
padat yaitu : perbedaan titik lebur, dimana titik lebur yang rendah akan
memiliki muai panjang yang besar, dalam hal ini adalah aluminium.
7.2 Saran
Diharapkan pada pratikum selanjutnya dapat melakukan percobaan dengan
benda padatnya adalah tembaga.
Diharapkan juga dapat melakukan percobaan dengan percobaan muai gas
dan zat cair.
DAFTAR PUSTAKA
Prastio, Lea, dan Sandi Setiawan.1991. Mengerti Fisika. Yogyakarta ;
Andi offset
Sears, Frauncis, dan Mark Zeamsky.1998. Fisika Universitas. Bandung ;
Bina Cipta
Sears, Francis, dan Mark Zeamsky.1982. Fisika Untuk Universitas 1.
Bandung : Bina Cipta
Sutrisno, Gie, tan Ik. 1979.Fisika Dasar. Bandung: Penerbit ITB.
Tipler, Paul.1991. Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta; Erlangga
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bunyi merupakan gelomnbang mekanis jenis lonngitudinal yang
merambat dan sumbernya berupa benda yang bergetar. Bunyi bisa kita dengar
sebab getaran benda sebagai sumberbunyi itumenggetarkan udara disekitarnya
dam melalui medium udara itu bunyi merambat sampai kegendang telinga.
Getaran udara yang merambat melukiskan perambatan bunyi. Gelombang itu
sebenarnya merupakan variasi tekana udara secara periodik disepanjang lintasan
perambatannya. Tekanan udara periodik inilah yang menggetarkan selaput
gendang telinga. Selaput gendang telinga hanya bisa mendeteksi bagian dari
gelombang bunyi oleh variasi tekanan udara yang beramplitudo terbesar dan
longitudinal paparan bunyi kita mulai dari ragam identitas bunyi dan kemudian
akan dipaparkan pula beragam sumber nadanya.
Bunyi yang dapat kita dengar berada pada kawasan frekuensi pendengaran
yaitu 20 Hz sampai dengan 20000 Hz. Frekuensi bunyi yang kurang dari 20 Hz
disebbut bunyi infra atau infrasound. Bunyi ini tidak dapat didengar manusia
normal karena kepekaan syaraf pendengaran manusia tidak dapat menjangkaunya.
Jika seorang meneliti peristiwa bunyi infra, ia memerlukan pelipatan frekuensi
bunyi. Contoh bunyi infra adalah getaran gunung api atau getaran seismik. Bunyi
berfrekuensi lebih dari 20000 Hz tersebut dengan 1 Watt/m2. Batas intensitas
terendah yang masih bisa didengar disebut intensitas ambang bawah(1o) yaitu 10-12
Watt/m2, dan intensitas teratas disebut intensitas ambang atas (1W/m2). Jika
intensitas bunyi (1) kurang dari 1o maka gendang telinga manusia tidak dapat
merespon. Sebaliknya bila 1 > 1o maka telinga akan merasa sakit. Intensitas
ambang bawah itu akan membesarkan bila usia manusia bertambah sehingga
kepekaan telinga untuk mendengar pada orang dewasa lebih dari 40 tahun tidak
akan sebaik mereka yang masih remaja.
Kelajuan rambat bunyi bertambah bila suhu medium bertambah dan atau
bahan medium itu lebih rapat. Berubahnya suhu dan karakter medium dapat
menyebabkan kelajuan rambat bunyi berubah. Bila demikian berarti arah
rambatnya pun berubah dan hal itu disebut peristiwa pembiasan bunyi, peristiwa
pembiasan bunyi yang terjadi ketika malam hari suhu udara bagian atas lebih
panas dibanding bagian bawah sehingga bunyi leboh cepat sampai kependengaran
lintasan melengkung (membias) ke atas.
Bunyi dapat dipantulkan oleh benda keras seperti batu, gedung, tebing dan
lain sebagainya. Akibat pantulan ini kita dapat mendengar suara kita sendiri
setelah beberapa saat ketika kita selesai bersuara. Bunyi itu disebut gamma atau
echo. Gemma dapat dimanfaatkan untuk menetukan jarak antara sumber bunyi
dengan pemantul. Pemantul itu bisa berupa tebing atau dasar laut sehingga dapat
digunakan untuk menetuka jarak sumber bunyi ke bukit atau menentukan
kedalaman laut.
Banyak contoh dan peristiwa resonansi yang dihadapi di lingkungan antara
lain bila mendekatkan dengan sebuah gelas dan dibangkitkan suatu nada
(frekuensi) yang besarnya sama dengan frekuensi alam gelas itu sendiri, maka
gelas akan bergetar cukup keras dan secara terus-menerus . bila frekuensi cukup
keras dan terus menerus maka getar gelas akan semakin kuat sehingga gelas akan
pecah. Denga suara dapat memecahkan suatu benda. Hai inilah yang
melatarbelakangi saya melakukan percobaan Resonansi Bunyi ini agar dapat
memahami lebih lanjut tentang peristiwa resonansi Bunyi.
1.2 Tujuan percobaan
1. Mengetahui aplikasi resonansi bunyi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menentukan cepat rambat bunyi diudara.
3. Menjelaskan penomena resonansi bunyi dalam suatu tabung.
4.
1.3 Batasan Masalah
1. Frekuensi kenaikan setiap 200 Hz.
2. Percobaan hanya dilakukan sebanyak 5 kali per Frekuensi
1.4 Manfaat percobaan
1. Mengerti dan mengetahui aplikasi resonansi dalam lingkungan sehari-
hari.
2. Mengeetahui cepat rambat bunyi.
3. Dapat menjelaskan penomena resonansi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Getara selaras ialah getaran bolak balik suatu benda menuju keadaan
seimbang. Tiap benda yang melakukan getaran selaras mengalami gaya yang
arahnya selalu menuju kedudukan seimbang dan besarnya sebanding lurus dengan
simpangannya.
F=−K . X (2.1)
Dimana : F = Gaya
: K =Konstanta gaya pegas
: x = Simpangan (Bambang murdaka, 2007)
Tanda negatif berarti arah gaya berlawanan dengan arah simpangan. Gaya tersebut
memberikan percepatan yang sebanding lurus dengan gaya F dengan berbanding
terbalik dengan massa m. (Bambang murdaka, 2007)
a= Fm
−K .xm
=−km
. x=−c . x (2.2)
Dimana : c = Konstanta
m = massa
frekuensi suatu gerakan selaras adalah banyaknya getaran setiap detik. Sedangkan
satuannya adalah siklus per detik atau Hertz. Frekuensi suatu getaran selaras
pegas dapat dinyatakan :
F=12
. π √k /m (2.3)
Frekuensi dari ggetaran selaras ayunan sederhana dinyatakan :
F=12
π .√ ǥ/ i (2.4)
Dimanan : ǥ = Perceepatan gravitasi bumi
: i = Panjang tali
Getaran atau osilasi adalah gerakbolak-balik disekitar suatu kedudukan
seimbang. Ampliduto adalah simpangan terbesar. Periode atau waktu getar adalah
waktu untuk melakukan suatu getaran. Frekuensi adalah banyaknya suatu getaran
yang terjadi pada setiap satuan waktu hubungan antara frekuensi dan periode
adalah :
f = LT
atauT=1f
(2.5)
Dimana : f = frekuensi (Hz)
T = Periode (secon) (Daryanto,
1997)
(Gambar 2.1)
Puncak Gelombang adalah titik-titik tertinggi pada gelombang.
Dasar Gelombang adalah titik-titik terendah pada gelombang.
Bukit Gelombang adalah lengkungan
Lembah Gelombang adalah cekungan
Amplitudo Gelombang adalah nilai mutlak simpangan terbesar yang
dicapai partikel.
Periode adalah selang waktu yang diperlukan untu menempuh dua jarak
puncak yang berurutan atau selang waktu yang diperlukan untuk
menempuh dua dasar yang berurutan.
Misalnya cepat rambat gelobang adalah V maka dengan menggunakan rumus
jarak : S = V. T maka diperoleh :
∂=v .T atau.v=∂/T (2.6)
Dimana : v = cepat rambat gelombang (m / det)
∂ = panjang gelombang (meter)
T = periode (detik)
Frekuensi (f) adalah kebalikan periode (T) sehingga diperoleh :
v=∂ .1t
atau v=∂ . t (2.7)
Tampak bahwa adalah kemiripan antara gerakan dan gelombang. Keduanua
memiliki besaran periode, frekuensi dan amplitudo. Perbedaannya adalah
gelombang memiliki besaran panjang gelombang sedangkan getaran tidak
memiliki panjang.(Daryanto,1997)
Identitas bunyi adalah jumlah energi bunyi yang menembus tegak lurus
bidang seluas satu satuan luas tiap detik.
I=P/ A (2.8)
Dimana : I = Identitas bunyi dalam watt/m2 atau watt/m3
A = Luas bidang dalam m2 atau cm2.
P = Daya bunyi dalam watt.
Identitas bunyi pada titik-titik yang belainan jaraknya dari sumber bunyi
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya terhadap sumber bunyi :
I=I /r2. (2.9)
Dimana : I = Intensitas bunyi yang tiba disuatu tempat.
R = jarak tempat itu kesumber bunyi.
Intensitas bunyi berbanding lurus juga dengan ampitudo (A) kuadrat I = |A|2.
Taraf intensitas bunyi (TI) ialah logaritma perbandingan antara intensitas bunyi
dengan amang (intensitas minimum dimana bunyi masih dapat di dengar).
TI=10 log 1/10 (2.10)
Dimana : TI = Intensitas bunyi 1
I = Intensitas Bunyi
Io = Intensitas lambang besarnya 10-12 watt/m 3 pada frekuensi
1000 Hz.
Intensitas maksimum yang masih dapat didengar tanpa rasa sakit telinga
ialah sekitar 10o watt/m3. Pada frekuensi 1000 hz. Jadi batas intensitas yang dapat
didenganr pada frekuensi 1000 Hz ialah 10-12 1 < 10o watt/m3. (Daryanto, 1997).
Sumber bunyi adalah benda yang mempunyai bagian yang dapat bergetar
pada frekuensi pendengaran bunyi ialah getaran yang merambat melalui medium
dan frekuensi antara 20 sampai 20000cps. Bunyi membentuk rapatan dan
renggangan pada medium yang dilalui. Jadi di dalam hampa udara bunyi dapat
dirambatkan. Cepat rambat bunyi di dalam gas dinyatakan dalam rumus :
V=√ p /ρ (2.11)
Dimana : ρ= Massa jenis gas dalam gr/cm3
V= kecepatan bunyi dalam cm/det
γ= Konstanta laplace
γ = cP/cv (tanpa satuan)
P = Tekanan gas dalam dyne/cm2
Rumus tersebut dapat diganti dengan :
V=√(r¿¿ ρ) .T /273.76 .13 .6¿ ...(2.12)
Dimana : ρn = Massa jenis normal gas yaitu massa jenis pada 00 dan 76
cm
γ = Satuan gram / cm 3
T = Suhu mutlak (t dalam 00 dan + 373)
ǥ = Percepatan grafitasi bumi dalam cm/det2
Senar bergetar sebagai nada dasar bila terjadi satu tegangan gelombang.
Senar bergetar sebagai nada atas kesatu bila terjadi dua tegangan gelombang.
Senar bergetara sebagai nada atas kedua bila terjadi tiga tegangan gelombang.
Sinar yang direntangkan lalu digetarkan maka ujung-ujungnya menjadi simpul.
(Daryanto, 1997)
Gelombang adalah bentuk dari getar yang merambat pada suatu medium
pada gelombang yang merambat adalah gelombangnya, bukan zat medium
perantaraannya. Satu gelombang dapat dilihat panjang dengan menghitung jarak
antara satu rapatan dengan satu renggangan (gelombang longitudinal). Cepat
rambat gelombang adalah jarak yang ditempuh oleh gelombang dalam waktu satu
detik. Gelombang adalah suatu gangguan yang menjalar dalam suatu medium,
yang dimaksud dengan medium disini adalah sekumpulan benda yang saling
berinteraksi dimana gangguan itu menjalar. Kita juga telah mendahului bagaimana
medium gelombang bergerak jika gelombang menjalar padanya. Disini harus
dibedakan antara gerak gelombang(gangguan) dan gerak medium. Dalam
gelombang biasanya medium hanya bergerak sedikit, akan tetapi gelombangnya
dapat menjalar jauh.
Gelombang elektromagnet adalah suatu gelombang medan yang tidak
memerlukan medium mekanik, karena dapat mendajalar di dalam vakum.
Gelombang adalah getaran yang menjalar, gelombang membawa energi dari satu
ketempat yang lain.energi yang diberikan pada gelombang air, misalnya oleh
lemparan batu kedalam air atau oleh angin yang jatuh di laut. Energi diangkut
oleh gelombang kepantai. Semua bentuk gelombang berjalan mengangjut
gelombang energi. Gelombang adalah sebuah ganggugan di dalam suatu zat antara
yang merambat melalui dua antara itu dengan laju tetap v air. Secara umum
gelombang hanya terdapat dua jenis gelombang yaitu gelombang mekanik dan
gelombang elektromagnetik. Pembagian gelombang jenis ini didasarkan pada
medium perambatan gelombang.
1. Gelombang mekanik
Gelombang mekanik merupakan gelombang yang membutuhkan medium untuk
berpindah tempat, misalnya gelombang di laut, gelombang tali dan gelombang
bunyi. Gelombang mekanik terdiri dari dua jenis, yaitu :
a) Gelombang Tranversal
Suatu gelombang dikelompokkan menjadi gelombang tranversal jika pertikel.
Partikel mediumnya bergetarke atas atau kebawah arah tegak lurus terhadap
gelombang. Gelombang tranversal merambat ke kanan pada bidang
horisontal, sedangkan gereatan naik turun pada bidang vertikel.titik tertinggi
gelombang disebut puncak sedangkan titik terendah disebut lembah.
Amplitudo adalah ketinggian maksimum puncak atau kedalaman maksimum
lembah di ukur pada posisi setimbang. Dari jarak puncak ke puncak berikut
atau dari jarak lembah kelembah berikutnya disebut panjang gelombang.
b) Gelombang Longitudinal
Gelombang Longitudinal yaitu gelombang yang arah getaran medium yang
arah getaran medium sejajar dengan arah rambat gelombang. Gelombang
Longitudinal terdiri daru pola rapatan dan renggangan. Panjang gelombang
adalah jarak antara rapatan yang berurutan atau renggangan yang berurutan.
Gelombang mekanik, dapat disimpulkan beberapa hall penting berkaitan dengan
gelombang mekanik yaitu :
1. Gelombang merupakam getaran yang merambat dengan laju tertentu
melalui medium tertentu (medium yang dimaksud seperti tali, air, pegas,
tanah dan lain). Laju geratan yang merambat disebut laju gelombang (v).
Lajhu gelombang ditentukan oleh sifat-sifat medium yang dilalui oleh
gelombang.
2. Medium yang dilalui oleh gelombang hanya bergerak bolak balik pada
posisi setimbangannya, mediun tidak merambat seperti gelombang.
3. Gelombang bisa terjadi jika suatu medium bergetar atau berosilasi. Suatu
medium bisa bergetar atau berisolasi jika dilakukan usah amedium
tersebut. Ketika usaha dilakukan pada suatu medium maka energi
dipindahkan pada medium tersebut.
2. Gelombang Elektromagnet
Gelombang elektromagnet adalah gelombang yang tidak memerlukan medium
sebagai perambatannya. Gelombang Elektromagnetik dapat dikelompokkan
berdasarkan banyaknya dimensi yang dilalui gelombang ketika berpindah dari
suatu tempat ke tempat yang lain.
Berdasarkan dimensi, gelombang dikelompokkan menjadi gelombang :
1. Gelombang berdemensi satu, contohnya tali dan pegas.
2. Gelombang berdemensi dua, contohnya riak air.
3. Gelombang berdemensi tiga, contohnya gelombang bunyi dan gelombang
elektromanetik.
Identitas bunyi dinyatakan oleh tiga hal yaitu intensitas bunyi, frekuensi bunyi
dan warna bunyi atau timbre. Intensitas bunyi memberi gambaran besarnya tenaga
bunyi yang menembusi luasan secara normal persatuan waktu dan diperhitungkan
oleh keras atau lemahnya bunyi.
Bunyi berintensitas besar terdengar keras dan akan tergetar lemah untuk
intensitas kecil. Adapun frekuensi bunyi berhubungan dengan tinggi atau
rendahnya bunyi. Bunyi terdengar tinggi (melengking) bila frekuensi bunyi itu
besar dan terdengar rendah (setara dengan bunyi bass) bila frekuensi itu bernilai
kecil. Timble memberikan gambaran pengaruh bunyi latar yang mempengaruhi
bunyi asli. Timble oleh sumber bumyi yang lain akan memiliki pola yang berbeda
pula. Contohnya pada nada do oleh piano, dengan gitar ataupun seruling. Nada
ketiga alat musik itu memiliki intensitas dan frekuensi yang sama, namun
memiliki frekuensi yang sama, namun memiliki timbre yang berbeda.
Peristiwa resonansi juga dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, gelas piala bertangkai bisa pecah bila diletakkan didekat
penyanyi yang sedang menyanyi.
Hal ini terjadi karena gelas memiliki frekuensi alami yang sama dengan suara
penyanyi sehingga gelas mengalami resonansi dan mengakibatkan pecahnya gelas
tersebut. Peristiwa resonansi juga dapat menyebabkan runtuhnya jembatan
gantung jika frekuensi hentakan kaki serentak orang yang berbaris di atas
jembatan gantung sama dengan frekuensi alami jembatan sehingga jembatan akan
berayun hebat dan dapat menyebabkan runtuhnya jembatan.
Anda tentu pernah melihat orang memainkan gitar. Pada senar atau dawai pada
gitar kedua ujungnya terikat dan jika digetarkan akan membentuk
suatu gelombang stasioner. Getaran ini akan menghasilkan bunyi dengan nada
tertentu, tergantung pada jumlah gelombang yang terbentuk pada dawai tersebut.
Pola gelombang
stasioner ketika terjadi nada dasar (harmonik pertama), nada atas pertama
(harmonik kedua) dan nada atas kedua (harmonik ke tiga)
( gambar 2.2 )
Frekuensi nada yang dihasilkan tergantung pada pola gelombang yang terbentuk.
Secara umum,
ketiga panjang gelombang di atas dapat dinyatakan dengan persamaan :
Dengan demikian, frekuensi nada yang dihasilkan dawai memenuhi persamaan :
.( 2.14 )
. ( 2..15 )
Keterangan :
v : Cepat rambat gelombang pada dawai (m/s)
fn : Frekuensi nada ke-n (Hz)
λn : Panjang gelombang ke-n
L : Panjang dawai
n : Bilangan yang menyatakan nada dasar, nada atas ke-1, dst. (0, 1, 2, ...)
Pipa organa merupakan sejenis alat musik tiup. Bisa dicontohkan sebagai
seruling bambu. Anda tentu pernah melihat bahwa ada dua jenis seruling bambu.
Demikian juga dengan karakteristik pipa organa. Ada pipa organa terbuka (kedua
ujungnya terbuka) dan pipa organa tertutup (salah satu ujungnya tertutup).
Pipa organa merupakan semua pipa yang berongga di dalamnya, bahkan
Anda dapat membuatnya dari pipa paralon. Pipa organa ini ada dua jenis
yaitu pipa organa terbuka berarti kedua ujungnya terbuka dan pipa organa
tertutup berarti salah satu ujungnya tertutup dan ujung lain terbuka. Kedua jenis
pipa ini memiliki pola gelombang yang berbeda. Jika pipa organa ditiup, maka
udara-udara dalam pipa akan bergetar sehingga menghasilkan bunyi. Gelombang
yang terjadi merupakan gelombang longitudinal. Kolom udara dapat beresonansi,
artinya dapat bergetar. Kenyataan ini digunakan pada alat musik yang
dinamakan Organa, baik organa dengan pipa tertutup maupun pipa terbuka.
( gambar 2.3 )
Dengan demikian L = atau λ1= 2L
Pada resonansi berikutnya dengan panjang gelombang λ2 disebut nada
atas pertama, ditunjukkan pada (gambar 2.3) Ini terjadi dengan menyisipkan
sebuah simpul, sehingga terjai 3 perut dan 2 simpul. Panjang pipa sama dengan
λ2. Dengan demikian, L = λ2 atau λ2 = L
Dan frekuensi nada atas kesatu ini adalah
( 2.15 )
Keterangan :
v : Cepat rambat gelombang pada dawai (m/s)
fn : Frekuensi nada ke-n (Hz)
λn : Panjang gelombang ke-n
L : Panjang dawai
n : Bilangan yang menyatakan nada dasar, nada atas ke-1, dst. (0, 1, 2, ...)
Tampaknya persamaan frekuensi untuk pipa organa terbuka sama dengan
persamaan frekuensi untuk tali yang terikat kedua ujungnya. Oleh karena itu,
persamaan umum frekuensi alami atau frekuensi resonansi pipa organa harus
sama dengan persamaan umum untuk tali yang terikat kedua ujungnya, yaitu :
( 2.16 )
Keterangan :
v : Cepat rambat gelombang pada dawai (m/s)
fn : Frekuensi nada ke-n (Hz)
λn : Panjang gelombang ke-n
L : Panjang dawai
n : Bilangan yang menyatakan nada dasar, nada atas ke-1, dst. (0, 1, 2, ...)
Dengan v = cepat rambat bunyi dalam kolom udara dan n = 1, 2, 3, . . . .
Jadi, pada pipa organa terbuka semua harmonik (ganjil dan genap) muncul, dan
frekuensi harmonik merupakan kelipatan bulat dari harmonik
kesatunya. Flute dan rekorder adalah contoh instrumen yang berprilaku seperti
pipa organa terbuka dengan semua harmonik muncul.
jika ujung pipa organa tertutup, maka pipa organa itu disebut pipa organa
tertutup. Pada ujung pipa tertutup, udara tidak bebas bergerak, sehingga pada
ujung pipa selalu terjadi simpul. Tiga keadaan resonansi di dalam pipa organa
tertutup ditunjukkan pada Gambar.
( gambar 2.4 )
Panjang pipa sama dengan ¼ (jarak antara simpul dan perut berdekatan). Dengan
demikian, atau λ1 = 4L, dan frekuensi nada dasar adalah
( 2.17 )
Keterangan : f1 = frekuensi satu , Hz
v = cepat rambat bunyi , m/s
L = panjang pipa organa , meter
λ1 = panjang gelombang satu , meter
Pola resonansi berikutnya dengan panjang gelombang λ3 disebut nada atas
pertama, ditunjukkan pada gambar 3.8b. Ini terjadi dengan menyisipkan sebuah
simpul, sehingga terjadi 2 perut dan 2 simpul. Panjang simpul sama dengan .
Dengan demikian, atau , dan frekuensi nada atas kesatu ini
adalah
. (2.18)
Keterangan : f1 = frekuensi satu , Hz
f3 = frekuensi tiga , Hz
v = cepat rambat bunyi , m/s
L = panjang pipa organa , meter
λ1 = panjang gelombang satu , meter
Perhatikan bahwa frekuensi ini sama dengan tiga kali frekuensi nada dasar.
Selanjutnya akan Anda peroleh bahwa frekuensi nada atas kedua, yang getarannya
seperti ditunjukkan pada (gambar 2.4)
Tampak bahwa pada kasus pipa organa tertutup hanya harmonik-harmonik ganjil
yang muncul. Harmonik kesatu, f1, harmonik ketiga f3 = 3f1, harmonik kelima f5 =
5f1, dan seterusnya. Secara umum, frekuensi-frekuensi alami pipa organa tertutup
ini dinyatakan oleh :
........ (2.19)
Keterangan : f1 = frekuensi satu , Hz
fn = frekuensi ke n , Hz
v = cepat rambat bunyi , m/s
L = panjang pipa organa , meter
λ1 = panjang gelombang satu , meter
Alat musik yang termasuk keluarga klarinet merupakan contoh pipa organa
tertutup dengan harmonik ganjil untuk nada-nada rendah.
Asas Bernoulli dikemukakan pertama kali oleh Daniel Bernoulli (1700 – 1782).
Dalam kertas kerjanya yang berjudul "Hydrodynamica", Bernoulli menunjukkan
bahwa begitu kecepatan aliran fluida meningkat maka tekanannya justru
menurun. Bagaimanakah definisi asas Bernoulli ?
Asas Bernoulli adalah tekanan fluida di tempat yang kecepatannya tinggi
lebih kecil daripada di tempat yang kecepatannya lebih rendah .
Jadi semakin besar kecepatan fluida dalam suatu pipa maka tekanannya makin
kecil dan sebaliknya makin kecil kecepatan fluida dalam suatu pipa maka semakin
besar tekanannya. Dalam bentuknya yang sudah disederhanakan, secara umum
terdapat dua bentuk persamaan Bernoulli; yang pertama berlaku untuk aliran tak-
termampatkan (incompressible flow), dan yang lain adalah untuk fluida
termampatkan (compressible flow).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Waktu dan tempat
Praktikum Fisika Dasar Tentang Resonansi Bunyi ini dilaksanakan pada
hari kamis 18 Oktober 2012. Pukul 07.30-10.00 WITA dan bertempat di
laboratorium fisika dasar. Lantai 3 Gedung C Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam,Universitas Mulawarman-Samarinda.
3.2 Alat dan bahan
3.2.1 Alat Percobaan
1. Seperangkat tabung resonansi
2. Seperangkat generator signal
3. Speaker
4. Mistar / rollmeter
5. Tiang statif
6. Jangka sorong
7. Kabel penghubung
3.3 Prosedur percobaan
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Diukur diameter dalam tabung ( tabung kecil ) dengan menggunakan jangka
sorong.
3. Diukur frekuensi getaran signal
4. Di letakkan tabung resonansi pada tiang statif
5. Tabung resonansi atau pipa kecil didorong sehingga terjadi perubahan bunyi
dan di catat perubahan bunyi sebagai L
6. Dilakukan berulang kali ( 5 kali ) pada frekuensi 1000, 1300, dan 1500 Hz.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data pengamatan
Frekuensi (Hz) n ι (m)
1000 Hz
1
2
3
4
5
0,2 m
0,5 m
0,6 m
0,8 m
0,9 m
1300 Hz
1
2
3
4
5
0,2 cm
0,4 m
0,6 m
0,8 m
0,9 m
1500 Hz
1
2
3
4
5
0,1 m
0,2 m
0,3 m
0,5 m
0,6 m
4.2 Analisis data
4.2.1 perhitungan tanpa KTP
Diketahui :
D1 = 40 m m = 4 ×10−3 m m
D2 = 40,5 =405 × 10−3 mm
R = 12
d
-R1 = 4 × 10−3
2 = 2 ×10−3m
-R2 = 405 ×10−3
2 = 2,025 ×10−3m
Ṝ=R 1=R 22
Ṝ=2 ×10−3+2,025× 10−3
2 = 2,0125 ×10−3
K = 0,6. Ṝ
K = 0,6 × 2,0125× 10−3 = 1,2075 ×10−3
4.2.1.1 frekuensi 1000 Hz
V1 = 4 F (L 1+k )
2 n+1=
4× 1,2075× 10−3 (0,3+1,2075×10−3 )(2× 1+1 )
= 4,83 ×103 (0,3012075 )
3
= 1,45× 10−3
3
= 4,85 × 10−4m/s
V2 = 4 F (L 2+k )
2 n+1=
4× 1,2075× 10−3 (0,4+1,2075× 10−3 )(2×2+1 )
= 4,83 ×10−3 ( 0,4+2075 ×10−3 )
5
= 1,94 ×10−3
5
= 3,87 ×10−4m/s
V3 = 4 F (L 3+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,6+1,2075× 10−3 )(2× 3+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,6 × 1,2075 )
7
= 2,90× 10−3
7
= 4,15m/s
V4 = 4 F (L 4+k )
2n+1 =
4 × 1,2075× 10−3 (0,8+1,2075 ×10−3 )(2× 4+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,8012075 )
9
= 3,87 ×10−3
9
= 4,29 × 10−4m/s
V5 = 4 F (L 5+k )
2 n+1 =
4 × 1,2075× 10−3 (0,9+1,2075 ×10−3 )(2× 5+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,9012075 )
11
= 4,35 ×10−3
11
= 3.96 ×10−4m/s
4.2.1.2 frekuensi 1300 Hz
V1 = 4 F (L 1+k )
2 n+1 =
4 × 1,2075× 10−3 (0,20+1,2075 ×10−3 )(2× 1+1 )
= 4,83 ×10−3 ( 0,20+1,2975 ×10−3 )3
= 4,83 ×10−3 (0,2012075 )
3
=9,7 ×10−4
3
= 3,24 × 10−4m/s
V2 = 4 F (L 2+k )
2 n+1 =
4 × 1,2075× 10−3 (0,4+1,2075× 10−3 )(2 ×2+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,4012073 )
5
=1,95× 10−3
5
= 3,87 ×10−4m/s
V3 = 4 F (L 3+k )
2 n+1 =
4 × 1,2075× 10−3 (0,6+1,2075 × 10−3 )(2× 3+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,6012075 )
7
= 2,90× 10−3
7
=9,7 ×10−4
7
= 4,15 × 10−4m/s
V4 = 4 F (L 4+k )
2n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (4,8+1,2075× 10−3 )(2× 4+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,8012075 )
9
= 3,86 ×10−3
9
= 4,29 × 10−4m/s
V5 =4 F (L 5+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,9+1,2075×10−3 )(2× 5+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,9012075 )
11
= 4,35 ×10−3
11
= 3,95 ×10−4m/s
4.2.1.3 frekuensi 1500 Hz
V1 = 4 F (L 1+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,1+1,2075×10−3 )(2× 1+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,1012075 )
3
= 4,88 ×10−3
3
= 1,63 ×10−4m/s
V2 = 4 F (L 2+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,2+1,2075×10−3 )(2× 2+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,2012075 )
5
= 1,94 ×10−3
5
= 3,87 ×10−4m/s
V3 = 4 F (L 3+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,3+1,2075×10−3 )(2× 3+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,3012075 )
7
= 1,45× 10−3
7
= 2,07 ×10−4m/s
V4 = 4 F (L 3+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,5+1,2075×10−3 )(2× 4+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,5012075 )
9
= 1,45× 10−3
9
= 2,68 ×10−4m/s
V5 = 4 F (L 5+k )
2 n+1 =
4× 1,2075× 10−3 (0,6+1,2075× 10−3 )(2× 5+1 )
= 4,83 ×10−3 (0,3012075 )
11
= 2,91× 10−3
11
= 2,65 ×10−4m/s
4.2.2 perhitungan dengan KTP
Diketahui :
∆F = 1/3 x nst sinyal generator = 1/3 x 1 Hz = 0,33 Hz
∆L = 1/3 x nst mistar = 1/3 x 1 cm = 0,33 cm = 0,033 m
4.2.2.1 frekuensi 1000 Hz
∆ V 1 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 4 (0,3+1,2075 ×10−3 )2×1+1 )
2
× (0,3 )2+( 0,032×1+1 )× (0,33 )2}1
2
= {( 1,20513 )
2
× (9 ×10−4 )+( 1× 102 )× (0,1089 )}12
= { (0,16 ) × (9 ×10−4 )+ (1,1089 ) }12
= {( 1,44 ×10−4 )+1,1089} 12
={1,5489 ×10−4 } 12
= 7,40×10−3 m/s
∆ V 2 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 4 (0,4+1,2075 × 10−3 )2×2+1 )
2
× (0,3 )2+( 0,032× 2+1 )× (0,33 )2}1
2
= {( 1,604835 )
2
× ( 9× 10−4 )+ (7,4 ×102) × (0,1189)}12
= { (0,10 )× (9 ×10−4 )+(1,20 × 10−3 ) (0,1089 ) }12
= {( 9 ×10−4 )+1,30 68 ×−2 } 12
= 1,48×10−3 m/s
∆ V 3 = {( 4 (l+k )2n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 4 (0,6+1,2075 ×10−3 )2× 3+1 )
2
× (0,3 )2+( 0,032 ×3+1 )× (0,33 )2}1
2
= {( 2,404837 )
2
× ( 9× 10−4 )+(4,28 × 102 )× (0,1089 )}12
= { (0,12 )× (9 ×10−4 )+(1,836 × 10−3 ) (0,1089 ) }12
={1,08 ×10−4+2,00 ×10−6 }12
= {( 1× 10−4 ) } 12
= 1,04×10−3 m/s
∆ V 4 = {( 4 (l+k )2n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 3 ×209 )
2
(9 × 10−4 ) × (3,33 ×10−3 )2×( 0,03
2× 4+1 )2
× (0,1089 )}12
= { (0,13 )× (9 ×10−4 )+(1,11× 10−3 ) × ( 0,1089 ) } 12
= {( 1,17 ×10−4 )+1,21× 10−6 } 12
={1,1821 ×10−4 } 12
= 1,08×10−3 m/s
∆ V 5 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 1× 6011 )
2
(9×10−4 ) × ( 2,727 ×10−3 )2× (0,1089 )}1
2
= { (0,021 )× (9 ×10−4 )+(7,438 ×10−6 ) × (0,1089 ) } 12
={1,89 ×10−5+8,1× 10−5 } 12
= {1,971 ×10−5 } 12
= 4,43×10−3 m/s
4.2.2.2 frekuensi 1300 Hz
∆ V 1 = {( 4 (l+k )2n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 0,80513 )
2
(9 ×10−4 ) × (0,01 )2× (0,1089 )}12
= { (0,07 ) × (9 ×10−4 )+ (1× 10−6 ) × (0,1089 ) } 12
={6,3 ×10−5+1,089 ×105 } 12
= {7,56 ×10−6 } 12
= 8,69×10−3 m/s
∆ V 2 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 1,604835 )
2
× ( 9× 10−4 )× (6 ×10 )2 × (0,1089 )}12
= { (0,10 )× (9 ×10−4 )+( 3,6× 10−6 ) × (0,1089 ) } 12
={9 × 10−5+3,92 ×10−6 } 12
= {9,39 × 10−5 } 12
= 9,69×10−3 m/s
∆ V 3 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 3,204839 )
2
× ( 9× 10−4 )× (3,33 ×10 )2 × (0,1089 )}12
= { (0,11) × (9 ×10−4 )+ (1,83× 10−6 ) × (0,1089 ) } 12
={9,9 × 10−5+1,99 ×10−6 } 12
= {1,01 ×10−4 } 12
= 1,0×10−3 m/s
∆ V 4 = {( 4 (l+k )2n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 3 , , 20989 )
2
× (9 ×10−4 ) × (3,33 × 10−3 )2 × (0,1089 )}12
= { (0,10 )× (9 ×10−4 )+(7,43 × 10−6 ) × (0,1089 ) } 12
= {1,14 ×10−4× (1,20 ×10−7 )} 12
={1,15 ×10−4 }12
= 1,0×10−3 m/s
∆ V 5 = {( 4 ( l+k )2 n+1 )
2
× (∆ F )2+( 4 F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 3,6011 )
2
× ( 9× 10−4 )× (2,72× 10 )2× (0,1089 )}12
= { (0,10 )× (9 ×10−4 )+(7,43 × 10−6 ) × (0,1089 ) } 12
= {9× 10−5 × (8,09 × 10−7 )} 12
= 1,0×10−3 m/s
4.2.2.3 frekuensi 1500 Hz
∆ V 1 =
{( 4 ( L+K )2 n+1 )
2
× (∆ F2 )2+( ∆ F2 n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 0,403 )
2
× ( 9× 10−4 )2+( 0 , .033 )
2
× (0,1089 )2}12
={ (0,17 ) × (9 ×10−4 )+ (1× 10−4 )× (0,1089 ) }12
= {( 1,53× 10−4 )+1,089× 10−5 }12
={1,63 ×10−4 }
= 1,2 ×10−3 m/s
∆ V 2 = {( 4 ( L+K )2n+1 )
2
× (∆ F2 )2+( ∆ F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 0,805 )
2
× ( 9× 10−4 )2+( 0,035 )
2
× ( 0,1089 )2}12
={( 4,50 ×10−7 )× (3,9204 × 10−6 )}12
= {( 4,37 ×10−6 )}12
=2,09 ×10−3 m/s
∆ V 3 = {( 4 ( L+K )2 n+1 )
2
× (∆ F2 )2+( ∆ F2 n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 1,207 )
2
× ( 9× 10−4 )2+( 0,037 )
2
× (0,1089 )2}12
={( 2,64 ×10−5 )× (2,00 ×10−6 )}12
= {( 2,84 ×10−5 )}12
=5,33 ×10−3 m/s
∆ V 4 = {( 4 ( L+K )2n+1 )
2
× (∆ F2 )2+( ∆ F2n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 2005 ×10−3
9 )2
× (9 ×10−4 )2+(1,11×10−5 )2× (0,1089 )2}12
={( 4,96 ×10−8 ) × (1,21 ×10−6 )}12
={1,25 ×10−6 }12
=1,12×10−3 m/s
∆ V 5 = {( 4 ( L+K )2 n+1 )
2
× (∆ F2 )2+( ∆ F2 n+1 )
2
× (∆ L )2}12
= {( 2,40 ×10−3
11 )2
× (9 ×10−4 )2+(2,72×10−3 )2× (0,1089 )2}12
={( 4,30 ×10−5 )× (8,05 ×10−7 )}12
= {( 4,38 ×10−6 )}12
=6,62 ×10−3 m/s
4.2.3 perhitungan KTP mutlak
4.2.3.1 frekuensi 1000 Hz
V ± ∆ V
4,85 × 10−4 ± 7,40 ×10−3
3,87 ×10−4 ± 1,48 ×10−3
4,15 × 10−4 ± 1,04 × 10−3
4,29 × 10−4 ± 1,08 ×10−3
3,96 ×10−4 ± 4,43 × 10−3
4.2.3.2 frekuensi 1300 Hz
4.2.3.3 frekuensi 1500 Hz
V ± ∆ V
1,63 ×10−4 ± 1,2 ×10−3
3,87 ×10−4 ± 2,09 ×10−3
2,07 ×10−4 ± 5,33 ×10−3
2,08 ×10−4 ± 1,12 ×10−3
1,65 ×10−4 ± 6,62 ×10−3
4.2.4 perhitungan KTP relatif
4.2.4.1 frekuensi 1000 Hz
∆ VV 1
= 100 % = 7,40 ×10−3
4,85 ×10−4 x 100% = 15,25 %
∆ VV 2
= 100 % = 1,48 ×10−3
3,87 ×10−4 x 100% = 3,82 %
∆ Vv 3
= 100 % = 1,04 ×10−3
4,15 ×10−4 x 100% = 2,51 %
∆ VV 4
= 100 % = 1,08 ×10−3
4,29 ×10−4 x 100% = 2,52 %
∆ Vv 5
= 100 % = 4,43 ×10−3
3,95× 10−4 x 100% = 11,18%
4.2.4.2 frekuensi 1300 Hz
V ± ∆ V
3,24 × 10−4 ± 8,69 ×10−3
3,87 ×10−4 ± 9,69 ×10−3
3,15 ×10−4 ± 1,0 ×10−3
4,29 × 10−4 ± 1,0 ×10−3
3,95 ×10−4 ± 9,52 ×10−3
∆ VV 1
= 100 % = 8,69 ×10−3
3,24 ×10−4 x 100% = 26,82 %
∆ VV 2
= 100 % = 9,69 ×10−3
3,87 ×10−4 x 100% = 25,03 %
∆ Vv 3
= 100 % = 1,0 ×10−3
4,15 ×10−4 x 100% = 2,41 %
∆ VV 4
= 100 % = 1,0 ×10−3
4,29 ×10−4 x 100% = 2,33 %
∆ Vv 5
= 100 % = 9,52 ×10−3
3,95× 10−4 x 100% = 24,10 %
4.2.4.3 frekuensi 1500 Hz`
∆ VV 1
= 100 % = 1,2 ×10−3
1,63× 10−4 x 100% = 7,36 %
∆ Vv 2
= 100 % = 2,09 ×10−3
3,87 ×10−4 x 100% = 5,40 %
∆ VV 3
= 100 % = 5,33 ×10−3
2,07 ×10−4 x 100% = 25,74 %
∆ Vv 4
= 100 % = 1,12 ×10−3
2,68× 10−4 x 100% = 4,18%
∆ Vv 5 = 100 % =
6,62 ×10−3
2,65× 10−4 x 100% = 24,98 %
4.3 Pembahasan
Dalam percobaan kali ini, kita dapat mengetahui pengertian dari resonansi.
Pada generator signal yang akan diletakkan di samping tabung resonansi yang
dihubungkan ke speaker akan menghasilkan suara yang akan menggetarkan kolom
yang berada didalam tabung resonansi saat mengatur panjang kolom pada tabung
resonansi maka kita akan mendengarkan perubahan bunyi yang dihasilkan dari
generator signal, dengan bunyi yang di dengar akan semakin keras. Karena
frekuensinya semakin rapat, sehingga peristiwa ini disebut resonansi.
Resonansi adalah peristiwa ikut bergetarnya molekul udara dalam kolom
akibat getaran benda lain, apabila frekuensi dari benda tersebut sama. Syarat
frekuensi ada benda peretama(sumber getaran), benda kedua (sumber getaran
lain). Dengan frekuensi sama dan adanya kolom udara frekuensi benda yang ikut
bergetar disebut frekuensi ilmiah. Suatu benda misalnya gelas, mengeluarkan nada
musik berfrekuensi jika diketuk sebab ia memiliki frekuensi geratan alami sendiri.
Jika kita menyanyikan nada musik berfrekuensi sama dengan suatu benda , benda
itu akan bergetar. Peristiwa ini dinamakan resonansi. Bunyi yang sangat keras
dapat mengakibatkan gelas beresonansi begitu kuatnya sehingga pecah.
Adapun macam-macam gelombang menurut jenisnya yaitu :
1. Gelombang Transversal, merupakan gelombang berjalan sepanjang tali,
dari kiri ke kanan partikel tali bergerak naik dan turun dalam arah lintang
(tegak lurus) pada gelombang itu sendiri.
2. Gelombang longitudinal, merupakan gelombang dimana getaran partikel
media adalah semua arahnya dengan arah gerak gelombang. Gelombang
Longitudinal dibentuk dalam tiap pegas yang ditarik atau diketatkan secara
bvergantian menekan dan mengembangkan pada satu ujungnya.
Jenis-jenis gelombang menurut medium perantaranya :
1. Gelombang mekanik adalah gelombang yang di dalam perambatannya
memerlukan medium perantar.
2. Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang didalam
perambatannya tidak memerlukan medium perantara. Contohnya pada
sinar gamma, sinar alfa dan sinar ultraviolet.
Jenis-jenis gelombang menurut amplitudo dan fasenya :
1. Gelombang berjalan adalah gelombang yang amplitudonya dan fasenya
sama setiap detik dilalui gelombang.
2. Gelombang diam(stasioner) adalah gelombang yang amplitudo dan
berubah-ubah setiap detik yang dilalui.
Rumus Resonansi pada kolom udara adalah :
L=1 /4(2n−1)
Dimana : L = Panjang kolom udara
λ n = Panjang Gelombang
n = Resonansi ke-1.2.3
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya resonansi di dalam
kolam udara yaitu pada saat tabung resonansi ditutup terjadi hampa udara ,
seperti diameter kolom udara yang harus diukur dengan teliti agar dapat
menghitung panjang sebenarnya demikian juga panjang tabungnnya ,dan
frekuensi bunyi yang sangat berpengaruh terhadap bunyi , Karena adanya
frekuensi kita dapat mengetahui cepat rambat bunyi tersebbut di udara.
Dari hasil percobaan dengan literature terdapat perbadaan hasil
pengamatan itu di karenakan setiap pengambilan data pada masing-masing
percobaan memiliki data frekuensi dan data n yang berbeda-beda , sehingga untuk
mendapatkan data L pada tabel pengamatannya berbeda-beda pula datanya.
Sehingga pada hasil pengamatan didapat data panjang tabung resonansi ,
kenaikannya tidak begitu jauh sesuai data pengamatan kenaikan panjang pipa
kurang lebih 2-4 cm , hal tersebut juga terjadi dengan ke tiga frekuensi yang di
coba. hanya perbedaannya suara yang dihasilkan memiliki bunyi yang semakin
bising yang sesuai frekuensinya
Faktor kesalahan yang terjadi pada percobaan resonansi bunyi ini adalah
kurang teliti dalam mengamati suara pada tabung resonansi ,
sehhinggacdidapatkan data yang kurang valid.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Aplikasi resonansi bunyi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah
banyak, contoh : pada alat musik, seruling, terompet, gitar, dan banyak
lainnya.
2. Untuk mencari cepat rambat suatu bunyi didalam suatu kolom udara
dapat menggunakan persamaan :
V=4 F (L+K )
2n+1
3. Bunyi merupakan hasil atau aplikasi dari suatu benda yang sedang
bergetar, dimana bunyi ini dapat merambat melalui medium udara, air
dan zat-zat padat lainnya.
5.2 Saran
Dalam percobaan resonansi bunyi ini, diharapkan untuk lebih teliti dalam
melakukan pengamatan contohnya seperti mendengarkan perubahan bunyi.
DAFTAR PUSTAKA
Djojodhardjo, Harjono. 1998. Dasar-Dasar Ternodinamika Teknik; Jakarta :
Gramedia.
Daryanto. 2000 . Fisika Teknik . Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Giancolli.1998.”Fisika”. Jakarta: Erlangga.
Prasetio, lea, dkk . 1992 .Mengerti Fisika Seri Gelombang. Yogyakarta : Andi
Offset.
Tipler, paul A . 1991. Fisika Untuk Sains dan Teknik .Jakarta : Erlangga.