sejengkal tanah setetes darah · pdf filejilid 1 padepokan “sekar keluwih”...

84
Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh) Panembahan Mandaraka (mbah_man) http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

Upload: dangdan

Post on 13-Feb-2018

1.471 views

Category:

Documents


70 download

TRANSCRIPT

Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH (Serial Api di Bukit Menoreh)

Panembahan Mandaraka (mbah_man)

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/

Cerita fiksi berbasis sejarah semasa Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung. Melanjutkan cerita Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang tidak selesai di jilid 396 dan dilanjutkan oleh Panembahan Mandaraka sampai jilid 416.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

(Lanjutan T ADBM)

Karya mbah_man

Jilid 1

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

MALAM baru saja lewat sirep bocah. Angin malam yang bertiup cukup keras telah menggugurkan daun-daun kering pepohonan yang tumbuh di halaman istana Kepatihan. Di ruang dalam, tampak lima orang sedang duduk terpekur menunggu titah Ki Patih Mandaraka.

Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam lamunan yang mengasyikkan. Berbagai kenangan telah hilir mudik dalam benak mereka. Satu-persatu kenangan itu bagaikan air hujan yang turun membasahi bukit-bukit berbatu. Mengalir di sela-sela bebatuan susul menyusul saling berebut hingga akhirnya sampailah air itu di kaki bukit kenangan mereka.

“Ki Rangga,” tiba-tiba terdengar Ki Patih berkata membuyarkan lamunan mereka, “Bagaimanakah rencana Ki Rangga selanjutnya sehubungan dengan lolosnya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

Ki Rangga Agung Sedayu beringsut setapak ke depan sambil menyembah. Jawabnya kemudian, “Ampun Ki Patih. Pangeran Ranapati telah lolos dari medan pertempuran lemah Cengkar karena ditolong oleh Gurunya, Ki Singawana Sepuh. Menurut perkiraan hamba, mereka kemungkinan besar telah pulang ke Kademangan Cepaga. Hamba mempunyai rencana untuk menyusul mereka.”

Untuk beberapa saat Ki Patih termenung. Ingatannya kembali ke masa puluhan tahun yang silam ketika seorang pemuda yang bernama Jaka Suta bersama Pamannya singgah di padepokan Selagilang, di lereng utara gunung Merapi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

Sejenak suasana kembali sepi. Ki Patih sedang terbawa kenangan sewaktu Panembahan Senapati masih muda dan lebih dikenal dengan nama Raden Sutawijaya.

“Tugas untuk melacak keberadaan pangeran Ranapati itu masih tetap berada di pundakmu, Ki Rangga,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Namun yang perlu engkau waspadai, Ki Ageng Selagilang atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, tentu akan melindungi orang yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri itu. Ki Ageng Selagilang mempunyai ketinggian ilmu yang tak terukur. Engkau harus benar-benar siap lahir maupun batin jika ingin berurusan dengannya lagi,” Ki Patih berhenti sejenak. Setelah menarik nafas panjang Ki Patih melanjutkan, “Tidak menutup kemungkinan jika Ranapati masih dapat bertahan dan selamat, dia akan menyusun kekuatan lagi dengan mempengaruhi dan bergabung dengan para Adipati di pesisir yang sekarang ditengarai sedang bergolak.”

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak terangguk dalam-dalam.

“Nah, Ki Rangga. Untuk sementara persoalan Ranapati itu kita kesampingkan dulu sambil menunggu perkembangan dari para petugas sandi. Mereka telah disebar untuk memantau keberadaan Ranapati.”

Mereka yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu hanya dapat mengangguk-angguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Sekarang aku akan menyampaikan sesuatu hal tentang Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih kemudian sambil membetulkan letak duduknya.

Ki Rangga yang mendengar Kademangan Sangkal Putung disebut, tanpa sadar telah mengangkat wajahnya. Namun begitu disadari Ki Patih sedang memandang ke arahnya, dengan cepat segera ditundukkan kembali wajahnya.

“Mataram sedang mempersiapkan serat kekancingan bagi Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Ki Swandaru telah berjasa ikut menjaga kedaulatan Mataram dari

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

tangan-tangan segolongan orang yang tidak bertanggung jawab. Bentuk penghargaan itu sedang dipikirkan. Mungkin Kademangan Sangkal Putung akan ditingkatkan kedudukannya menjadi sebuah tanah Perdikan yang tidak mempunyai kewajiban membayar upeti, namun kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada Mataram tetap ada.”

Berdesir jantung orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu. Selama ini Ki Demang Sangkal Putung dalam tugas sehari-hari telah diambil alih oleh Ki Swandaru karena kesehatan ki Demang yang sudah menurun serta usianya yang sudah sedemikian sepuh. Sepeninggal Ki Swandaru, Kademangan Sangkal Putung harus segera menunjuk seseorang untuk membantu tugas Ki Demang atau bahkan sekalian mengangkat seorang Pemangku sementara untuk menjalankan tugas sehari-hari sampai saatnya nanti Ki Demang mengundurkan diri.

“Apakah Kademangan Sangkal Putung sudah memutuskan siapa Pemangku sementara untuk membantu Ki Demang yang sudah tua dan sakit-sakitan itu?” tiba-tiba Ki Patih bertanya seolah-olah mengerti apa yang sedang mereka pikirkan.

Orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu untuk sejenak saling berpandangan. Ki Rangga lah yang akhirnya menjawab, “Ampun Ki Patih, beberapa saat yang lalu Pandan Wangi telah menyampaikan rencananya kepada hamba. Bayu Swandana anak laki-laki satu-satunya Ki Swandaru rencananya akan dibesarkan oleh ibunya di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Patih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun bertanya, “Mengapa Pandan Wangi memilih pulang ke Tanah Perdikan Menoreh?”

Ki Rangga yang melihat Ki Patih telah berpaling ke arahnya segera menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Ki Patih. Hamba telah memberikan beberapa pertimbangan kepadanya, namun Pandan Wangi lebih memilih untuk pulang ke Menoreh.”

Kembali Ki Patih mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan, Ki Patih segera maklum apa yang dimaksud oleh Ki Rangga.. Katanya

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

kemudian sambil menghela nafas panjang, “Ya, aku bisa memaklumi sikap Pandan Wangi. Sepeninggal suaminya, Pandan Wangi tentu merasa lebih tenang membesarkan anaknya di tanah kelahirannya sendiri. Sementara di Menoreh, Ki Argapati pun juga memerlukan pendamping untuk menjalankan tugasnya sehari-hari.”

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Biarlah urusan itu dibicarakan oleh keluarga besar kedua wilayah itu. Mataram akan menunggu setiap keputusan yang telah disepakati”, Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang aku ingin mendengar laporan tentang perjalanan Glagah Putih beberapa pekan yang lalu ke Bukit Tidar.”

Glagah Putih yang disebut namanya segera beringsut ke depan. Sambil menyembah, Glagah Putih pun segera memberikan laporannya.

“Mohon ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih kemudian, “Rencana perjalanan kami ke bukit Tidar memang sempat tertunda beberapa hari sehubungan dengan meninggalnya Ki Swandaru,” Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Gunung Tidar selama ini ternyata sedang dalam pengamatan para petugas sandi. Kami telah mengadakan hubungan dengan para petugas sandi di sana. Akhir-akhir ini perguruan Sapta Dhahana yang berada di lereng gunung Tidar sedang giat menjalin hubungan dengan segolongan orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”

Tampak Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar laporan Glagah Putih. Sekilas wajah Ki Patih tampak sedikit muram. Sedangkan orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak saling pandang dengan kening yang berkerut-merut.

Ki Waskita yang duduk di sebelah kiri Ki Rangga memberanikan diri untuk mengajukan pendapatnya, “Ampun Ki Patih. Bukankah orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah membuat keributan di kediaman Ki Gede

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

Menoreh beberapa saat yang lalu? Agaknya berita kebangkitan keturunan dari Pangeran Sekar itu bukan berita ngaya wara.”

“Benar, Ki Waskita,” jawab Ki Patih, “Aku memang sudah mendapat laporan sebelumnya, namun aku ingin Glagah Putih didampingi Ki Jayaraga untuk menelusuri kebenaran berita itu dan melihat kekuatan yang tersimpan di Padepokan Sapta Dhahana serta hubungannya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai trah Sekar Seda Lepen.”

“Sendika Ki Patih,” Ki Jayaraga yang sedari tadi diam saja kini menyahut, “Kami berdua telah mengamati perguruan itu dari dekat. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangko, sering mengadakan hubungan dengan seseorang yang bernama Raden Wirasena yang mengaku sebagai keturunan Pangeran Sekar, putra tertua dari Raden Patah Sultan Demak pertama walaupun dari garwa selir. Raden Wirasena menganggap dirinya lebih berhak atas tahta di tanah ini dari pada keturunan Panembahan Senapati.”

Untuk beberapa saat mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Jayaraga itu terdiam. Orang yang bernama Raden Wirasena dan para pengikutnya itu agaknya sedang berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap para kawula Mataram dengan cara mengungkit kembali akan garis keturunan dari Kerajaan Demak lama. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang masih rindu akan kejayaan Demak lama akan terpengaruh, karena mereka masih beranggapan bahwa penguasa negeri ini harus ada garis keturunan dari kerajaan besar yang pernah ada, yaitu Majapahit. Sedangkan Panembahan Senapati yang kemudian menjadi raja pertama di Mataram itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan garis keturunan dari Majapahit.

“Ampun Ki Patih,” kembali Ki Waskita mengajukan pendapatnya sambil menyembah, “Bukankah jaman sudah berganti dan Wahyu Keprabon sudah berpindah beberapa kali? Dan yang terakhir, sesuai dengan ramalan seorang Wali yang waskita, Wahyu Keprabon ternyata telah jatuh di Alas Mentaok yang sekarang ini telah menjadi kerajaan Mataram.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

“Ki Waskita benar,” jawab Ki Patih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun yang perlu diluruskan adalah, siapakah yang telah mengaku sebagai trah Pangeran Sekar itu? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pangeran Sekar meninggalkan dua orang putra, Harya Penangsang dan Harya Mataram. Harya Penangsang gugur dalam peperangan antara Pajang dan Jipang di pinggir Bengawan Sore, sedangkan Harya Mataram telah lolos dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”

Untuk sejenak ruang dalam Kepatihan itu kembali menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara di luar angin malam bertiup agak kencang sehingga telah mengguncang daun-daun pohon sawo kecik yang ditanam di sebelah regol Kepatihan.

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian, “Persoalan itu akan menjadi pekerjaan para prajurit sandi untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang yang perlu kita ketahui adalah kekuatan sebenarnya dari Padepokan Sapta Dhahana. Ki Rangga pun agaknya sangat berkepentingan dengan berita ini. Mungkin Ki Jayaraga dapat memberikan gambaran.”

Selesai berkata demikian Ki Patih kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun tanggap. Secara singkat segera diceritakan hasil pengamatannya bersama Glagah Putih di Padepokan Sapta Dhahana.

“Ampun Ki Patih, sebagaimana yang pernah Ki Patih sampaikan. Perguruan itu memang mempunyai sebuah ritual yang cukup aneh. Kami berdua sempat menyaksikan walaupun dari jarak yang agak jauh. Setiap murid perguruan itu senang bermain-main dengan api,” Ki Jayaraga memulai kisahnya, “Pada tingkat kemampuan yang paling rendah, murid-murid padepokan itu mampu berjalan dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara api tanpa menderita luka sedikit pun. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang telah dilumuri sekujur tubuhnya dengan sejenis minyak kemudian dibakar. Ternyata tubuh orang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

tersebut tidak mempan dibakar api, bahkan pakaian yang dikenakannya pun tetap utuh, tidak hangus dimakan api.”

Mereka yang hadir di ruangan itu menjadi berdebar-debar. Jika murid-muridnya saja mampu menunjukkan pengeram-eram seperti itu, bagaimana dengan kemampuan gurunya sendiri?

“Semasa mudaku aku memang pernah mendengar perguruan itu,” Ki Patih memberikan tanggapannya, “Seingatku perguruan itu memang senang bermain-main dengan api, sesuai dengan namanya Sapta Dhahana,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengumpulkan daya ingatnya. Lanjutnya kemudian, “Kekuatan yang terpancar dari puncak ilmu perguruan Sapta Dhahana itu, tentu tidak lepas dari kekuatan api, entah itu berupa semburan api yang sangat panas, atau bola-bola api yang sangat panas yang terlontar dengan kekuatan nggegirisi. Aku berharap semua ini akan memberikan sedikit gambaran tentang kekuatan perguruan Sapta Dhahana kepada Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali Ki Patih berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun melanjutkan kata-katanya, “Bukankah janji Kiai Damar Sasangka itu masih berlaku Ki Rangga?”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan dari Ki Patih itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah. Dia segera teringat akan penuturan Kiai Sabda Dadi yang pernah berjumpa langsung dan menerima pesan dari pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Kiai Damar Sasangka telah memberinya waktu sebulan lebih sepuluh hari untuk menyembuhkan luka-lukanya. Jika batas waktu itu telah tercapai, bagaimana pun keadaan dirinya, Pemimpin perguruan di lereng gunung Tidar itu tetap akan membunuhnya, melawan ataupun tidak melawan.

“Sampai kapan aku akan terbebas dari lingkaran dendam yang tak berkesudahan ini?” Ki Rangga hanya dapat mengeluh dalam hati.

Sejenak kemudian, ruang dalam Kepatihan itu pun kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin di luar gedung Kepatihan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

yang bertiup kencang sehingga membuat atap gedung Kepatihan itu berderak-derak.

“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Waskita berkata sambil menghaturkan sembah, “Orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang pernah membuat onar di kediaman Ki Gede Menoreh itu juga mampu mengungkapkan ilmunya melalui pusaran angin bercampur lidah api. Bahkan ketika orang itu telah menghentakkan ilmunya, yang terpancar dari ilmunya benar-benar berupa badai api yang siap melumat apapun yang menghalanginya.”

“Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,” sahut Ki Patih cepat, “Namun orang yang disebut Eyang Guru itu ternyata telah melarikan diri begitu Ki Rangga hadir. Agaknya dia ketakutan begitu melihat cambuk di tangan Ki Rangga.”

Orang-orang yang hadir di ruang itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan cepat dia segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, yang membuat orang yang disebut Eyang Guru itu melarikan diri adalah suara derap kaki kuda Ki Gede Menoreh dan rombongannya yang sudah mencapai regol halaman, bukan hamba. Karena sesungguhnya hamba belum melakukan apa-apa.”

“Engkau benar Ki Rangga,” jawab Ki Patih sambil tersenyum penuh arti, “Bukankah engkau memang hanya berbaring saja di tempat tidur ketika pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu membuat ontran-ontran?”

“Ah,” desah Ki Rangga sambil menundukkan kepala, sementara KI Waskita justru telah tertawa. Sedangkan yang lain hanya dapat mengerutkan kening mereka dalam-dalam karena tidak tahu apa yang maksud oleh Ki Patih.

“Bukankah Kakang Agung Sedayu masih sakit pada waktu itu?” pertanyaan itu telah berputar-putar dalam benak Glagah Putih. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sedikit banyak dia mulai dapat meraba ilmu yang sedang ditekuni oleh kakak sepupu muridnya itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

“Nah, sekarang aku akan memberikan tugas kepada kalian,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebenarnya Ki Rangga dan Glagah Putih saja yang mendapat tugas ini langsung dari Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati.”

Tanpa sadar kelima orang yang menghadap Ki Patih itu telah mengangkat kepala mereka dengan jantung yang berdebaran.

“Namun atas saran Pangeran Pati, dan juga pertimbanganku sendiri, Ki Bango Lamatan juga aku libatkan dalam tugas ini.” Ki Patih melanjutkan penjelasannya.

Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Ki Rangga dan kawan-kawannya terlonjak kaget, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Nama Bango Lamatan tentu saja tidak asing di telinga Ki Rangga karena memang mereka berdua pernah bertemu. Sedangkan yang lainnya mengenal nama itu sebagai pengikut setia Panembahan Cahya Warastra.

Serentak keempat orang itu berpaling ke belakang, kearah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis yang hampir menutupi separuh wajahnya.

Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bango Lamatan yang dulu tidak memelihara kumis dan jambang, namun agaknya sekarang dia lebih senang memeliharanya sehingga orang yang pernah mengenalnya akan kesulitan untuk mengenalinya kembali.

Memang pada saat mereka berempat memasuki ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, di dalam ruangan itu telah hadir seseorang yang hampir seluruh wajahnya tertutup kumis dan jambang yang lebat. Orang itu selalu menundukkan wajahnya sehingga wajahnya sulit untuk dikenali.

Sementara Ki Bango Lamatan yang duduk di belakang sendiri ketika namanya disebut, hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Agaknya Ki Patih dapat membaca wajah-wajah yang penuh tanda tanya itu. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan telah menyediakan dirinya untuk membela tetap tegak dan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

berkibarya panji-panji Mataram di seluruh pelosok negeri ini,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Patih bertanya, “Bukankah begitu, Ki Bango Lamatan?”

Dengan penuh rasa takdim, Ki Bango Lamatan pun menyembah sambil berdesis perlahan, “Sendika Ki Patih,”

Hampir bersamaan, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sesuatu telah terjadi pada diri orang kedua di perguruan Cahya Warastra itu setelah pasukan Panembahan Cahya Warastra dihancurkan oleh pasukan Mataram.

“Nah, tugas kalian adalah memutus hubungan perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang mengaku sebagai trah Sekar Seda Lepen itu sebelum semuanya berkembang menjadi besar,” berkata Ki Patih kemudian yang membuat jantung kelima orang itu tergetar. “Namun kalian tidak diijinkan membawa pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan perguruan itu. Carilah upadaya agar kalian mendapatkan ikannya tanpa harus membuat keruh air di sekelilingnya.”

Jantung kelima orang itu menjadi semakin berdebaran. Agaknya Ki Patih menghendaki cara lain dalam melumpuhkan perguruan Sapta Dhahana dan itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.

“Karena beratnya tugas ini, aku juga mohon kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk menemani Ki Rangga,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil tersenyum dan memandang ke arah kedua orang tua itu, “Atas nama Mataram aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Sungguh, aku pun secara pribadi rasa-rasanya ingin bergabung dan mengulang kembali masa-masa muda, menjelajahi hutan dan ngarai. Menuruni lembah dan bukit, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah tersentuh oleh tangan manusia.”

Ki Waskita dan Ki Jayaraga sejenak saling pandang. Ki Waskita lah yang kemudian menghaturkan sembah sambil

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

berkata, “Ampun Ki Patih, kami yang tua-tua ini sesungguhnya merasa takut jika keberadaan kami nantinya hanya menjadi beban. Namun sesungguhnya kami pun juga merasa sangat kesepian jika hanya duduk-duduk saja di beranda menunggu waktu berlalu, karena memang kami tidak mempunyai pekerjaan yang dapat mengikat kami. Sehingga jika tenaga kami yang sudah rapuh ini memang masih dibutuhkan, kami siap untuk membantu Ki Rangga.”

“Ah,” Ki Patih tertawa pendek, “Tenaga Kalian berdua memang terlihat rapuh sebagaimana orang tua kebanyakan. Namun aku yakin, Ki Waskita masih mampu membakar hutan dengan tatapan matanya, sedangkan Ki Jayaraga masih mampu meledakkan bukit hanya dengan ujung jarinya.”

Semua yang hadir di ruangan itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih. Dengan cepat Ki Jayaraga beringsut ke depan sambil menyembah. Katanya kemudian, “Ampun Ki Patih sebenarnya hamba sudah dihinggapi penyakit tua, tidak bisa menunjuk ke sasaran dengan tepat karena tangan hamba selalu gemetar. Hamba takut jika harus meledakkan bukit kecil di sebelah istana Kepatihan ini, justru istana ini yang akan hancur.”

“Ah,” kini semua yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu tertawa.

“Nah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Mataram tidak mungkin menyerang padepokan Sapta Dhahana secara terbuka sebelum ada bukti keterlibatan mereka dalam usaha makar yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen. Untuk itulah aku telah mempertimbangkan masak-masak dengan memilih cara ini. Semoga Yang Maha Agung selalu meridhoi setiap langkah kita untuk menuju perdamaian di seluruh penjuru negeri Mataram.”

Hampir bersamaan kelima orang itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah tugas yang memerlukan kesabaran dan ketabahan. Selain tidak boleh menggunakan kekuatan prajurit, tidak menutup kemungkinan di padepokan Sapta Dhahana

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

nantinya mereka akan menghadapi kekuatan yang jauh diluar dugaan mereka .

“Persoalan yang sedang berkembang di gunung Tidar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun jauhkan kesan keterlibatan Mataram dalam peristiwa ini sebelum ada bukti yang nyata tentang usaha mereka untuk menggulingkan Mataram.” Titah Ki Patih kemudian.

Demikianlah untuk beberapa saat mereka yang berada di ruang dalam Kepatihan itu masih membicarakan masalah seputar rencana keberangkatan mereka besuk pagi.

Ketika Ki Patih sudah merasa cukup memberikan pengarahan kepada kelima orang itu, Ki Patih pun segera menutup pertemuan itu dan mempersilahkan mereka untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan.

Dalam pada itu malam hampir mencapai puncaknya ketika kelima orang itu keluar dari ruang dalam Istana Kepatihan. Hampir tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan mereka sehubungan dengan tugas yang telah diberikan oleh Ki Patih.

Ketika mereka telah tiba di halaman samping kanan Istana Kepatihan, tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan telah menghentikan langkahnya. Ki Rangga dan kawan-kawannya pun segera saja ikut menghentikan langkah mereka.

“Ki Rangga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Aku bermalam di Ndalem Kapangeranan. Pangeran Pati telah berkenan menerima suwitaku untuk menjadi pengawal pribadinya.”

“Syukurlah,” berkata Ki Rangga, “Tenaga Ki Bango Lamatan sangat dibutuhkan untuk perkembangan Mataram di masa mendatang.”

“Aku hanya berusaha untuk yang terbaik, Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian. Sementara orang-orang yang ada di sekitarnya hanya mengangguk-angguk tanpa menanggapi sepatah kata pun.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

“Aku mohon diri,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian.

“Silahkan, silahkan..” hampir bersamaan orang-orang yang berada di tempat itu menjawab.

Demikianlah sejenak kemudian mereka segera berpisah menuju ke tempat masing-masing. Ki Bango Lamatan menuju ke Ndalem Kapangeranan sedangkan Ki Rangga dan kawan-kawannya menuju ke gandok sebelah kanan istana Kepatihan.

Namun baru saja Ki Rangga menutup pintu biliknya, pendengarannya yang tajam telah mendengar desir langkah yang menuju ke biliknya.

Sejenak Ki Rangga menunggu. Ketika kemudian terdengar ketukan perlahan di pintu biliknya, dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Rangga pun segera melangkah mendekati pintu sambil bertanya, “Siapa?”

“Aku Ki Rangga, prajurit jaga dari Ndalem Kapangeranan,” terdengar jawaban seseorang dari balik pintu bilik.

KI Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat pintu selarak. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncul seorang prajurit lengkap dengan tanda jaga Ndalem Kapangeranan.

“Ada apa?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Mohon maaf mengganggu istirahat Ki Rangga,” jawab prajurit itu sambil mengangguk dalam-dalam, “Aku diperintah Pangeran Pati untuk menjemput Ki Rangga. Pangeran Pati sedang menunggu kehadiran Ki Rangga di Ndalem Kapangeranan.”

Sebuah desir tajam segera saja menggores jantung Ki Rangga. Bukan masalah Pangeran Pati itu yang akan menjadi persoalan jika dia diperintah untuk menghadap, namun keberadaan seorang perempuan muda yang memiliki kecantikan luar biasa yang kini tinggal di Ndalem Kapangeranan itu yang akan membebani hatinya, Rara Anjani.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

“Apakah Ki Rangga sudah siap?” pertanyaan prajurit jaga itu telah menyadarkan Ki Rangga.

Sejenak Ki Rangga tanpa sadar telah memandang tajam ke arah prajurit jaga itu. Dengan serta merta prajurit jaga itu pun segera menundukkan wajahnya.

“Baiklah, aku sudah siap,” jawab Ki Rangga kemudian sambil melangkah keluar dan menutup pintu bilik.

Demikianlah kedua orang itu segera turun ke halaman Istana Kepatihan yang luas. Setelah terlebih dahulu keluar dari regol penjagaan istana Kepatihan, untuk sejenak mereka harus menyusuri lorong yang menghubungkan istana Kepatihan itu dengan Ndalem Kapangeranan.

Setelah melewati beberapa penjagaan yang sangat ketat, tanpa kesulitan yang berarti Ki Rangga dan prajurit jaga itu pun telah sampai di depan Ndalem Kapangeranan.

“Silahkan Ki Rangga,” berkata prajurit jaga itu mempersilahkan Ki Rangga menaiki tlundak pendapa. Sementara seorang pelayan dalam telah berdiri menunggu di ujung tangga.

“Pangeran Pati berkenan menerima Ki Rangga di ruang dalam,” berkata pelayan dalam itu kemudian sambil mengiringi langkah Ki Rangga menyeberangi pendapa yang luas menuju ke pintu pringgitan.

Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah duduk bersila di ruang dalam. Sementara pelayan dalam yang mengantarkannya itu dengan bergegas segera masuk ke ruang tengah untuk melaporkan kehadiran Ki Rangga kepada Pangeran Pati.

Sambil menunggu kehadiran Pangeran Pati, Ki Rangga Agung Sedayu harus berkali-kali menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Bayangan perempuan cantik yang kini telah menjadi selir Pangeran Pati itu benar-benar telah meresahkan hatinya.

“Apakah sekarang aku harus menyembah kepadanya?” di sudut hatinya yang paling dalam bertanya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

“Tentu saja engkau harus menyembah Ki Rangga,” sudut hatinya yang lain menjawab, “Anjani yang sekarang bukan Anjani yang dulu, perempuan kleyang kabur kanginan yang tidak mempunyai masa depan yang jelas. Sekarang dengan gelar Rara dan menjadi selir Pangeran Pati, semua orang harus menghormatinya, tidak terkecuali engkau.”

“Ah,” Ki Rangga berdesah. Baginya lebih baik menghadapi seribu musuh dengan ilmu yang ngedab-edabi sekalipun dari pada menghadapi satu orang saja, orang yang selama ini dia merasa bersalah karena belum dapat memenuhi janjinya.

“Dengan berkenannya Pangeran Pati mengambil Anjani sebagai selir, janjiku kepada Anjani sudah tidak berlaku lagi,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, “Namun entah mengapa, aku merasa malu bahwa pada akhirnya Anjani telah sinengkakake ing ngaluhur dan tinggal di Ndalem Kapangeranan, sama sekali jauh dengan apa yang pernah aku janjikan, tinggal di Menoreh.”

Ketika Ki Rangga sedang asyik dengan lamunannya, tiba-tiba saja pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tengah terbuka. Pangeran Pati telah muncul sambil tersenyum dan melangkah memasuki ruang dalam.

“Apakah Ki Rangga telah menungguku terlalu lama?” bertanya Pangeran Pati itu sambil melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya.

Dengan cepat Ki Rangga segera bangkit berdiri sambil menyambut uluran tangan Pangeran Pati itu. Jawab Ki Rangga kemudian, “O, tidak Pangeran. Hamba baru saja duduk beberapa saat ketika Pangeran telah datang.”

Pangeran Pati tersenyum sambil mempersilahkan Ki Rangga duduk kembali. Pangeran Pati pun kemudian mengambil tempat duduk di hadapan Ki Rangga.

Setelah sejenak menanyakan keselamatan masing-masing, Pangeran Pati pun segera mengungkapkan tujuan yang sebenarnya untuk memanggil Ki Rangga menghadap.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

“Aku telah menitipkan Ki Bango Lamatan kepada Eyang Buyut Mandaraka untuk menyertakan dia dalam tugas bersama Ki Rangga,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Memang Ki Bango Lamatan telah mendapat gemblengan di pertapaan Mintaraga beberapa saat yang lalu. Kehadirannya di sini atas perintah dan jaminan dari Kanjeng Sunan dan aku tidak mungkin menolaknya. Untuk itulah tugas ke gunung Tidar ini aku anggap sebagai pendadaran baginya sebelum suwitanya di Ndalem Kapangeranan ini benar-benar aku terima.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Pangeran Pati. Terjawab sudah pertanyaan yang selama ini menghantui pikirannya. Pada saat mereka berempat menghadap Ki Patih di ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, Ki Rangga telah dikejutkan dengan kehadiran Ki Bango Lamatan di ruangan itu.

Namun Ki Rangga tidak berani mempermasalahkannya. Dengan hadirnya Ki Bango Lamatan pada saat itu, Ki Rangga sudah dapat menduga, tentu semua itu sudah menjadi tanggung jawab Ki Patih Mandaraka.

“Bagaimana Ki Rangga? Apakah Ki Rangga berkeberatan?” pertanyaan Pangeran Pati telah membuyarkan lamunannya.

Dengan cepat Ki Rangga menghaturkan sembah sambil menjawab, “Justru hamba menghaturkan banyak terima kasih atas perkenan Pangeran Pati memperbantukan Ki Bango Lamatan. Tugas kami ke gunung Tidar benar-benar cukup berat dan semoga kehadiran Ki Bango Lamatan akan memberikan bantuan tenaga yang sangat berarti.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Namun pertanyaan selanjutnya dari Putra Mahkota itu hampir saja membuat jantung Ki Rangga terlepas dari tangkainya.

“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian , “Aku ingin bertanya sesuatu sehubungan dengan Rara Anjani.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

Berdesir jantung Ki Rangga bagaikan tersentuh ujung duri kemarung. Namun dengan cepat Ki Rangga segera menyesuaikan dirinya. Katanya kemudian, “Ampun Pangeran, masalah apakah yang ingin Pangeran sampaikan sehubungan dengan diri Rara Anjani?”

Sejenak Pangeran Pati termenung. Namun sebelum Pangeran Pati menjawab pertanyaan Ki Rangga, tiba-tiba saja pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tengah berderit dan terbuka.

Ketika Ki Rangga kemudian berpaling, yang muncul dari pintu ruang tengah itu adalah sesosok tubuh yang langsing terbalut seperangkat pakaian mewah dan gemerlap, Rara Anjani.

Tertegun Ki Rangga melihat seorang perempuan yang kecantikannya nyaris sempurna. Dalam pakaian yang paling sederhana pun Rara Anjani sudah terlihat begitu menawan. Apalagi kini dengan pakaian yang gemerlap penuh berhiaskan permata, Rara Anjani benar-benar menjelma menjadi seorang Putri Raja yang kecantikannya hanya ada dalam tulisan babat dan dongeng-dongeng.

Ki Rangga benar-benar terpesona seolah-olah baru kali ini dia bertemu Rara Anjani. Segala gerak-geriknya tidak luput dari pengamatan Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu. Langkahnya yang kemudian dengan hati-hati berlutut bertumpu pada kedua lututnya di atas lantai. Dengan cekatan namun tetap terkesan gemulai, diturunkannya dua mangkuk minuman hangat dan beberapa makanan dari atas nampan kayu dan kemudian dihidangkan di hadapan mereka berdua. Sejenak kemudian Rara Anjani pun surut selangkah, berdiri perlahan-lahan sambil membalikkan badan dan akhirnya hilang kembali di balik pintu.

Ketika bayangan Rara Anjani telah hilang di balik pintu yang tertutup rapat, barulah Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan tersadar dari sebuah mimpi yang mengasyikkan.

Dalam pada itu di ruang tengah, dengan setengah berlari Rara Anjani segera menuju ke biliknya. Ketika dia berpapasan dengan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

pelayan dapur yang sedianya bertugas mengantar minuman dan makanan itu ke ruang dalam, nampan kayu itu pun segera diserahkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pelayan dapur itu menerima nampan dengan kening berkerut. Tampak Rara Anjani begitu tergesa-gesa menyerahkan nampan itu kepadanya sehingga tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang memerah delima itu.

“Aneh,” desis pelayan itu begitu bayangan Rara Anjani menghilang di balik pintu, “Tidak biasanya Rara Anjani bertingkah seperti ini. Dia selalu ramah kepada siapa saja termasuk kami para pelayan. Dan yang tak pernah lupa dari Rara Anjani adalah ucapan terima kasih dan senyum yang tulus setiap dia meminta pertolongan kepada siapa saja, khususnya kepada para pelayan Ndalem Kapangeranan.”

Namun pelayan Ndalem Kapangeranan yang sudah cukup berumur itu tidak dapat menarik kesimpulan apa pun dari peristiwa yang baru saja terjadi.

“Mungkin hati Rara sedang suntuk,” berkata pelayan itu dalam hati sambil berjalan kembali ke dapur.

Dalam pada itu sesampainya di bilik, Rara Anjani segera menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan sehingga terdengar suara kayu yang berderak-derak. Wajahnya tampak sebentar pucat sebentar memerah. Tanpa terasa air mata telah menganak sungai dari sudut kedua belah matanya yang terpejam rapat.

Tidak ada isak tangis. Hanya suara desah tertahan serta nafas yang sedikit memburu. Hati Rara Anjani benar-benar sedang didera oleh rasa kecewa.

“Mengapa aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini?” desahnya diantara nafas yang memburu sehingga tampak dadanya bergelombang, ”Aku telah mencoba menyembunyikan perasaan ini dengan mengabdikan diriku seutuhnya di Ndalem Kapangeranan. Dengan demikian aku berharap tidak akan pernah lagi berjumpa dengan Ki Rangga. Biarlah kenangan indah itu terkubur bersama dengan berlalunya waktu. Namun

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

kenyataannya, aku tetap tidak mampu melupakan Ki Rangga, orang yang pertama kali telah menyentuh hatiku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kesabaran serta keteladanan yang selama ini telah ditunjukkannya.”

Tiba-tiba Rara Anjani menjadi gelisah. Tanpa sadar dia bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Berkali-kali dia berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dada sambil menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya dengan ujung bajunya.

“Sengaja aku mengenakan pakaian yang indah ini agar Ki Rangga menjadi silau dan tidak punya keberanian untuk menatapku,” berkata Rara Anjani kemudian sambil matanya menerawang ke langit-langit bilik, “Aku ingin menunjukkan kepada Ki Rangga bahwa ternyata yang aku dapatkan jauh lebih baik dari apa yang dijanjikannya. Namun ternyata Ki Rangga tidak menjadi silau dan menundukkan kepalanya. Dia justru telah menatapku dengan tatapan mata seperti pertama kali kita bertemu. Tatapan yang memancarkan cahaya penuh kekaguman, penuh kedamaian serta penuh harapan namun yang ternyata telah membuatku salah paham.”

Kembali Rara Anjani menarik nafas panjang. Sambil membetulkan letak sanggulnya kembali dia berkata dalam hati, “Sebenarnyalah hati kecilku tidak mampu untuk membenci Ki Rangga. Apa yang ingin aku pamerkan di hadapan Ki Rangga justru telah melukai hatiku sendiri.”

Untuk beberapa saat Rara Anjani masih merenungi dirinya. Tiba-tiba saja sebuah gagasan menyelinap di dalam benaknya dan membuat Rara Anjani tersenyum.

“Aku akan melakukannya,” desisnya kemudian sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke geledek kayu jati berukir indah yang terletak di sudut bilik.

Dalam pada itu di ruang dalam, sepeninggal Rara Anjani, Pangeran Pati yang sedari tadi selalu mengikuti gerak gerik Ki Rangga telah menahan senyumnya. Katanya kemudian, “Ki Rangga, Rara Anjani telah banyak bercerita tentang diri Ki

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

Rangga,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak sambil mengamati perubahan yang terjadi pada wajah Ki Rangga. Namun Ki Rangga tampak hanya diam membisu. Maka kata Pangeran Pati kemudian, “Rara Anjani mengaku telah ditolong oleh Ki Rangga dari cengkeraman kedua gurunya yang jahat.”

Sampai disini Ki Rangga masih diam membisu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia belum dapat menebak ke arah mana pembicaraan Putra Mahkota itu.

“Rara Anjani juga bercerita tentang janji Ki Rangga untuk membawanya ke Menoreh,” berkata Pangeran Pati selanjutnya.

Sampai disini jantung Ki Rangga benar-benar bagaikan ditusuk ujung duri kemarung. Sejenak dada Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu menjadi pepat bagaikan tertindih berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari lereng bukit.

Akhirnya setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, barulah Ki Rangga menjawab sambil menyembah, “Ampun Pangeran. Jika diperkenankan, hamba akan menjelaskan tentang Rara Anjani dalam hubungannya dengan hamba.”

Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Tampak Putra Mahkota itu sedikit ragu-ragu. Namun katanya kemudian, “Ki Rangga, bukan maksudku untuk mengungkit masa lalu Rara Anjani. Aku sudah menerima dia sebagaimana adanya,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada Ki Rangga adalah kesetiaannya kepada Mataram. Rara Anjani adalah bekas murid perguruan Tal Pitu yang dengan jelas telah berpihak pada Kadipaten Panaraga pada saat pemberontakan Pamanda Jayaraga. Apakah Rara Anjani dapat dipercaya atas kesetiaannya kepada Mataram?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga justru telah membeku. Dia tidak pernah menduga bahwa arah pembicaraan Pangeran Pati itu justru telah mengarah kepada peran kedua guru Rara Anjani pada saat terjadi pemberontakan Adipati Panaraga.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

“Ampun Pangeran,” jawab Ki Rangga pada akhirnya setelah gelora di dalam dadanya sedikit mereda, “Hamba memang telah terlibat perang tanding dengan kedua guru Rara Anjani, Goh Muka dan Roh Muka. Kedua orang guru Rara Anjani itu adalah murid dari perguruan Tal Pitu. Mereka menuntut kematian guru mereka, Ajar Tal Pitu.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Rara Anjani telah bercerita kepadaku tentang perang tanding itu,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah Ki Rangga telah mengajukan syarat Rara Anjani sebagai taruhannya?”

“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Hamba mempunyai panggraita bahwa kedua guru Rara Anjani itu pada akhirnya pasti akan berbuat curang dengan mengeroyok hamba. Padahal perjanjian perang tanding itu hanya dengan salah satu dari mereka. Untuk itulah hamba berusaha memancing kemarahan mereka dengan mengajukan syarat Rara Anjani sebagai taruhannya.”

“Dan ternyata Ki Rangga lah yang keluar sebagai pemenang,” sahut Pangeran Pati cepat.

Berdesir dada Ki Rangga mendengar ucapan Pangeran Pati itu. Namun dengan cepat Ki Rangga segera menghilangkan segala syak wasangka dengan menjawab, “Sendika Pangeran. Atas pertolongan dan dikabulkannya doa hamba kepada Yang Maha Agung, hamba masih diberi keselamatan sampai saat ini.”

Pangeran Pati sejenak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk kecil. Setelah terdiam beberapa saat, barulah Pangeran Pati mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat jantung Ki Rangga berpacu kencang kembali.

“Bagaimanakah selanjutnya nasib Rara Anjani? Apakah Ki Rangga jadi membawanya ke Menoreh?”

“Ampun Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil beringsut dari duduknya setapak, “Setelah kedua gurunya tewas, sebenarnya hamba mengira Rara Anjani akan bela pati, namun ternyata Rara

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

Anjani merasa bersyukur telah terbebas dari cengkeraman kedua gurunya,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Mohon beribu ampun Pangeran, setelah mengetahui keadaan Rara Anjani yang sebenarnya, hamba telah memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih sendiri masa depannya dengan pertimbangan bahwa Rara Anjani sama sekali tidak terlibat dengan pemberontakan di Panaraga.”

Kembali calon pewaris tahta Mataram itu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ki Rangga. Namun pertanyaan selanjutnya telah membuat jantung Ki Rangga yang sudah agak tenang itu melonjak-lonjak kembali.

“Menurut pengakuan Rara Anjani, dia lebih memilih mengikuti Ki Rangga ke Menoreh,” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Apakah keberatan Ki Rangga yang sebenarnya jika Rara Anjani memang berkeinginan untuk menjadi bagian dari keluarga Ki Rangga di Menoreh?”

Sampai disini Ki Rangga benar-benar tidak mampu untuk menjawab. Berbagai pertimbangan memang bergolak di dalam dadanya dan ingin disampaikan kepada Pangeran Pati. Namun hati kecilnya telah mencegahnya. Ki Rangga merasa lebih baik diam saja dan menunggu titah dari Pewaris Mataram itu.

Melihat Ki Rangga hanya diam termangu tanpa menjawab pertanyaannya, Pangeran Pati pun maklum, tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ki Rangga tidak mampu menjawab pertanyaannya.

Untuk beberapa saat suasana di ruang dalam Ndalem Kapangeranan itu menjadi sepi. Di luar lamat-lamat terdengar kentongan ditabuh dengan nada dara muluk, menunjukkan malam telah sampai ke puncaknya.

“Sudahlah Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Malam sudah semakin larut dan Ki Rangga harus beristirahat untuk mempersiapkan perjalanan besok pagi,” Pangeran Pati itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian “Aku mengerti jalan pikiran Ki Rangga. Memang untuk sebagian laki-laki, dengan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

mudahnya mereka akan mengambil selir tanpa rasa ewuh pekewuh. Namun bagi Ki Rangga mungkin akan sangat sulit untuk membagi cinta dengan perempuan lain. Tapi percayalah Ki Rangga, menyia-nyiakan sebuah cinta dan harapan yang tulus dari seorang perempuan adalah termasuk sebagian dari dosa, jika kita tidak mampu menjelaskannya secara bijak. Dan semua itu akan menjadi sebuah penyesalan yang tiada akhirnya sepanjang kehidupan kita nantinya.”

Kalimat demi kalimat dari Pangeran Pati itu satu demi satu bagaikan ujung sebuah pisau bermata rangkap yang terhunjam ke jantungnya perlahan-lahan. Menimbulkan rasa sakit dan pedih yang tak terperikan.

“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian begitu melihat Ki Rangga hanya diam termangu, “Kesalahan yang kadang tidak kita sadari adalah, memberi harapan yang berlebih padahal kita hanya berusaha menjalin sebuah tali persaudaraan. Semua itu harus dijelaskan secara bijak agar tidak terjadi kesalah-pahaman di kemudian hari,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Rara Anjani, aku tidak bisa menyalahkan dia karena janji yang disampaikan Ki Rangga sudah jelas. Jika Ki Rangga keluar sebagai pemenang dalam perang tanding itu, Ki Rangga akan membawanya ke Menoreh. Semua orang pasti paham dengan maksud yang terkandung dalam janji itu. Tidak mungkin dengan membawa Rara Anjani ke Menoreh kemudian Ki Rangga akan menempatkannya di sembarang tempat, di gardu peronda atau di banjar padukuhan misalnya. Semua orang tentu maklum bahwa Ki Rangga secara tidak langsung telah berjanji untuk mengambil Rara Anjani sebagai istri.”

Jika saja ada guntur yang meledak di langit saat itu, tentu Ki Rangga tidak akan sekaget mendengar kata-kata pewaris Mataram itu. Betapa penyesalan telah merajam hatinya atas keterlanjuran sikapnya ketika menghadapi perang tanding dengan murid perguruan Tal Pitu itu. Seharusnya dia tidak perlu mengikut-sertakan Rara Anjani sebagai persyaratan dalam perang tanding itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

Namun semua itu sudah menjadi masa lalu, dan kini Rara Anjani telah menjadi selir pangeran Pati. Maka jawab Ki Rangga kemudian sambil menyembah dalam-dalam, “Mohon ampun Pangeran, semua itu memang salah hamba. Hamba tidak mengira bahwa tanggapan Rara Anjani menjadi begitu dalam atas persyaratan yang hamba minta dalam perang tanding itu. Namun hamba kira semuanya kini telah berlalu dan Rara Anjani telah hidup berbahagia di Ndalem Kapangeranan.”

“Siapa bilang Rara Anjani telah hidup berbahagia?” sergah Pangeran Pati itu sedikit keras, “Aku mengambilnya menjadi selirku karena aku tidak tahu dengan gamblang latar belakangnya. Demikian juga Rara Anjani, dia menerima pinanganku dengan harapan untuk membuka lembaran baru,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun seiring dengan berlalunya waktu, aku sering melihat Rara Anjani termenung berlinang air mata di malam-malam yang sunyi. Kadang aku memergoki Rara Anjani hampir seharian duduk di taman Ndalem Kapangeranan tanpa berbuat apa-apa, hanya berlinang air mata dengan tatapan mata yang kosong menerawang ke kejauhan.”

Kali itu jantung Ki Rangga bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi.

“Sudahlah Ki Rangga. Bukan maksudku mengungkit masa lalu kalian berdua. Namun aku di sini merasa ikut bertanggung-jawab atas masa depan Rara Anjani. Jujur saja, aku ingin melihat Rara Anjani meraih kebahagiaan yang diimpikannya. Demikian juga aku harap Ki Rangga menjadi laki-laki yang tangguh tanggon bukan hanya dalam hal olah kanuragan jaya kawijayan saja, namun juga kuat dalam menjalani kehidupan bebrayan khususnya dalam membina sebuah keluarga.”

Ki Rangga masih terdiam belum berusaha menjawab. Hatinya telah teraduk-aduk oleh perasaan bersalah.

“Sekarang aku akan memberitahu Ki Rangga, tentang rencanaku sehubungan dengan masa depan Rara Anjani” berkata

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

Pangeran Pati kemudian tanpa memperdulikan Ki Rangga yang terlihat semakin gelisah, “Rara Anjani sekarang sedang mendapat karunia dari Yang Maha Agung untuk mengemban amanahNYA. Dalam beberapa bulan kedepan jika Yang Maha Agung mengijinkan, Rara Anjani akan segera melahirkan anakku, darah dagingku.”

Entah sudah untuk ke berapa kalinya jantung Ki Rangga terkoyak-koyak. Namun senapati pasukan khusus itu tetap bertahan dalam kediamannya.

“Setelah anakku lahir, aku akan memberikan kebebasan kepada Rara Anjani,” berkata Pangeran Pati selanjutnya yang membuat dada Ki Rangga semakin berdebar-debar. Lanjut Pangeran Pati kemudian, “Jika Rara Anjani merasa tidak bahagia tinggal di Ndalem Kapangeranan, aku akan menawarkan kepadanya untuk menjadi Putri Triman.”

Jantung Ki Rangga kali ini benar-benar meledak. Gemuruhnya terasa sampai ke dasar hatinya yang paling dalam. Sejenak nafas kakak sepupu Glagah Putih itu bagaikan tersumbat. Dia menyadari sepenuhnya, siapakah yang akan menerima Rara Anjani itu nantinya sebagai Putri Triman.

“Yang akan mendapat kehormatan menerima Putri Triman itu nantinya adalah seorang Tumenggung,” berkata Pangeran Pati selanjutnya yang membuat Ki Rangga terlonjak. Tanpa sadar Ki Rangga pun telah mengangkat wajahnya. Sementara Pangeran Pati pun segera melanjutkan kata-katanya, “Seorang Tumenggung yang bergelar Tumenggung Ranakusuma, yang mengandung makna bunga peperangan, karena selama ini namanya selalu harum di setiap medan pertempuran.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga justru telah diam membeku. Dia tidak mengerti akan arah pembicaraan Pangeran Pati. Sedangkan Pangeran Pati justru telah tersenyum melihat Ki Rangga yang kebingungan itu.

“Penerimaan Putri Triman itu nantinya akan digelar bersamaan dengan wisuda kenaikan pangkat seorang prajurit yang berpangkat Rangga. Atas jasa-jasanya selama ini dalam

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

menegakkan panji-panji Mataram, dia akan dianugrahi pangkat menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Ranakusuma.”

Dengan dada yang berdebaran Ki Rangga mencoba memandang ke arah Pangeran Pati. Kali ini agaknya Pangeran Pati sudah tidak sampai hati untuk berteka teki. Maka katanya kemudian, “Ki Rangga, sudah menjadi ketetapan Ayahanda Prabu Hanyakrawati dan juga atas saran Eyang Buyut Patih Mandaraka, sudah waktunya pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh dipimpin oleh seorang Tumenggung, dan Ki Rangga akan segera diwisuda menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Ranakusuma.”

Kali ini sekujur tubuh Ki Rangga terasa dingin bagaikan diguyur banyu sewindu. Bahkan seluruh persendiannya bagaikan terlepas satu-persatu. Ki Rangga benar-benar tidak menduga bahwa dirinya akan mendapat anugrah diwisuda menjadi seorang Tumenggung. Namun yang paling mendebarkan dari semua peristiwa yang rencananya akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan itu adalah hadiah Putri Triman itu.

“Ki Rangga.” berkata Pangeran Pati selanjutnya, “Nama Tumenggung Ranakusuma itu adalah pilihan Ayahanda Prabu Hanyakrawati sendiri. Apakah Ki Rangga mempunyai pilahan gelar tersendiri?”

Kalimat terakhir dari Pangeran Pati itu barulah membangunkan Ki Rangga dari mimpi panjangnya. Dengan merangkapkan kedua tangannya yang gemetar, Ki Rangga pun segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Mohon beribu ampun Pangeran. Hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Hamba tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang Tumenggung.”

“Bagaimana dengan Putri Triman itu?” bertanya Pangeran Pati kemudian dengan serta merta.

Untuk sesaat lidah Ki Rangga bagaikan kelu. Namun Ki Rangga segera menyadari bahwa titah seorang Pangeran Pati tidak mungkin ditolak. Maka jawabnya kemudian sambil menyembah dan membungkuk dalam-dalam, “Hamba akan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

menjunjung tinggi setiap titah dari paduka Pangeran Pati Mataram.”

Pangeran Pati tampak tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Rangga, semua yang kita bicarakan tadi masih bersifat rahasia. Belum ada yang mengetahui rencana ini kecuali tiga orang, Ayahanda Prabu, Eyang Buyut Mandaraka dan aku sendiri. Sengaja hal ini aku sampaikan agar hatimu telah siap sejak awal terutama tentang Rara Anjani,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bicarakanlah masalah ini dengan istrimu dari hati ke hati. Jangan hanya menurutkan hawa nafsu saja. Ingat, laki-laki memang diciptakan untuk mengatur perempuan namun bukan berarti kita berhak untuk memaksakan sebuah kehendak.”

Sejenak suasana menjadi sepi. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benak Ki Rangga. Namun akhirnya Ki Rangga hanya dapat berpasrah diri kepada Yang Maha Mengetahui apapun yang akan terjadi esok hari.

“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian memecah sepi, “Apakah Ki Rangga masih mempunyai persoalan yang ingin disampaikan?”

Ki Rangga tidak segera menjawab. Sejenak ingatannya tiba-tiba saja kembali ke peristiwa pertempuran Lemah Cengkar beberapa saat yang lalu.

“Ampun Pangeran,” segera Ki Rangga menghaturkan sembah sambil bertanya, “Jika memang hamba diperkenankan untuk mengetahui, siapakah orang tua yang pernah bersama Pangeran di Lemah Cengkar beberapa saat yang lalu?”

Pangeran Pati tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat dipandangi Ki Rangga yang duduk di hadapannya. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, akhirnya justru terlontar sebuah pertanyaan dari Pewaris tahta Mataram itu, “Mengapa Ki Rangga ingin mengetahui jati diri orang tua itu?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

Dengan cepat Ki Rangga menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Pangeran, hamba rasa-rasanya pernah mengenal orang tua itu, namun hamba kurang yakin akan pengamatan hamba pada saat itu.”

Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Orang tua itu bernama Ki Tanpa Aran, atau kadang-kadang orang memanggilnya kakek Tanpa Aran. Beliau adalah murid dan juga sekaligus sahabat dari Kanjeng Sunan.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Ki Rangga. Segera saja ingatan Ki Rangga melayang pada selembar kain gringsing yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi di Padukuhan Merjan.

“Mungkinkah..?” bertanya Ki Rangga dalam hati. Namun pertanyaan itu hanya disimpannya saja di dalam hati.

“Mohon ampun Pangeran. Di manakah Ki Tanpa Aran itu tinggal?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Sekarang Ki Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan atas permintaanku,” jawab Pangeran Pati, “Sebenarnya Ki Tanpa Aran menolak untuk tinggal di sini, namun atas perkenan Kanjeng Sunan, Ki Tanpa Aran diminta untuk membimbing aku dalam kawruh lahir maupun batin sehingga mau tidak mau harus tinggal di Ndalem Kapangeranan.”

Dada Ki Rangga terasa bergemuruh begitu mendengar Ki Tanpa Aran itu ternyata sekarang ini tinggal di Ndalem Kapangeranan. Maka katanya kemudian, “Ampun Pangeran, jika diperkenankan suatu saat hamba ingin mengenal Ki Tanpa Aran itu lebih dekat.”

“O, silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati dengan serta merta, “Namun agak sulit untuk menemui orang tua itu. Walaupun sudah disediakan sebuah bilik khusus baginya, namun bilik itu lebih sering kosong.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Panggraitanya yang tajam sedikit banyak mulai dapat meraba jati diri orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

“Nah, Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Apakah masih ada permasalahan lagi yang ingin engkau sampaikan?”

“Hamba kira sudah cukup Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Jika diperkenankan hamba segera mohon diri.”

“Silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati sambil bangkit berdiri yang segera diikuti oleh Ki Rangga, “Sampaikan salamku kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga serta Glagah Putih. Ingat, apa yang kita bicarakan tadi hanya sebatas pengetahuan untuk diri Ki Rangga saja.”

“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil membungkuk dalam-dalam.

Demikianlah akhirnya Ki Rangga pun segera minta diri. Setelah diantar oleh Pelayan Dalam sampai ke regol depan, Ki Rangga pun memilih melanjutkan perjalanannya kembali ke Istana Kepatihan seorang diri.

“Apakah Ki Rangga memerlukan kawan?” bertanya prajurit jaga Ndalem Kapangeranan yang menjemputnya tadi.

“O, tidak. Terima kasih,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku sudah tahu jalannya. Jika aku nanti tersesat, aku bisa bertanya kepada para prajurit yang berada di gardu penjagaan sepanjang jalan menuju istana Kepatihan.”

“Atau kalau ragu-ragu, Ki Rangga dapat kembali ke penjagaan ini untuk bertanya,” jawab prajurit itu yang disambut dengan gelak tawa.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga pun telah menyusuri jalan yang menuju ke istana Kepatihan.

Dalam pada itu, malam telah melewati puncaknya. Angin malam yang dingin bertiup lembut mengusap tubuh Ki Rangga yang sedikit basah oleh keringat. Suara binatang malam yang terdengar bersahut-sahutan dalam irama ajeg menambah suasana malam yang sepi itu menjadi semakin ngelangut.

Namun baru beberapa puluh langkah meninggalkan Ndalem Kapangeranan, tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

telah mendengar suara yang asing di antara nyanyian binatang malam. Ketajaman panggraitanya telah memberitahukan kepadanya bahwa suara itu bukan suara yang berasal dari sejenis binatang malam.

Suara itu sedikit berbeda dengan suara binatang-binatang yang lain. Suara itu sesekali terdengar bagaikan desis seekor ular namun dengan nada yang berubah-ubah. Kadang meninggi tajam seperti jeritan seekor bilalang, namun tiba-tiba dengan cepat menurun seperti derik seekor jengkerik.

Dengan segera Ki Rangga menghentikan langkahnya. Dengan aji sapta pangrungu dicobanya untuk mengetahui arah sumber suara itu. Tiba-tiba dada Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Sumber suara itu berasal dari arah belakang Ndalem Kapangeranan.

Untuk beberapa saat Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Seumur hidup Ki Rangga memang belum pernah mendengar suara isyarat semacam itu kecuali yang pernah diperagakan oleh gurunya pada waktu itu. Suara yang dia dengar itu adalah semacam isyarat dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa Kerajaan Majapahit, perguruan Windujati. Bahkan menurut cerita gurunya, beberapa perguruan lain yang masih sealiran dengan perguruan Windujati juga telah menggunakan isyarat semacam itu untuk kepentingan bersama.

Sebagai murid orang bercambuk, tentu saja Ki Rangga juga mendapat pengetahuan tentang bahasa isyarat itu dari gurunya. Namun sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh gurunya, isyarat semacam itu hampir tidak pernah dijumpai lagi semenjak pemerintahan Demak lama berpindah ke Pajang dan kemudian sampai Mataram berdiri.

Kini pada saat Ki Rangga berada di dekat Ndalem Kapangeranan justru telah mendengar suara isyarat semacam itu.

“Ki Tanpa Aran?” tiba-tiba terlintas sebuah nama di dalam benak Ki Rangga, “Mungkinkah Ki Tanpa Aran yang telah melontarkan isyarat itu untuk memanggilku?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja sekujur tubuh Ki Rangga menjadi gemetar. Dugaan sementara tentang orang tua yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu memang mengarah kepada gurunya, Kiai Gringsing yang tidak pernah diketahui tempat kuburnya.

Dengan mengerahkan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh gesekan pergerakan tubuhnya dengan alam sekitarnya, Ki Rangga pun segera bergeser mendekati ke arah sumber bunyi tersebut.

Setelah meloncati beberapa pagar rumah-rumah yang berada di sekitar Ndalem Kapangeranan, Ki Rangga berusaha untuk semakin dekat dengan sumber bunyi itu.

Namun begitu Ki Rangga telah semakin dekat dengan sumber bunyi itu, ternyata sumber bunyi itu justru mulai bergeser menjauh. Agaknya orang yang dengan sengaja telah melontarkan isyarat itu mengetahui bahwa seseorang telah tertarik dengan isyaratnya dan sedang berusaha mendekat ke arahnya.

Sejenak kemudian sumber bunyi itu ternyata telah bergerak semakin menjauhi Ndalem Kapangeranan. Ki Rangga harus meloncati pagar dan menyeberangi halaman beberapa rumah untuk mengikuti sumber bunyi itu sebelum akhirnya sampai di dinding yang membatasi Kota Mataram sebelah utara. Sumber bunyi itu agaknya memperhitungkan juga keadaan di sekitarnya dan tidak ingin mendapat kesulitan dengan para prajurit yang sedang meronda sehingga memilih jalur di luar kewajaran.

Untuk beberapa saat Ki Rangga justru diam membeku di bawah dinding. Ada sedikit keragu-raguan yang menyelinap di dalam dadanya. Tidak menutup kemungkinan bahaya sedang mengintainya di balik dinding.

Namun anggapan itu segera ditepisnya sendiri. Dengan mengetrapkan aji sapta pangrungu, Ki Rangga mencoba meraba apa yang sedang terjadi di balik dinding. Sementara sumber bunyi itu justru telah berhenti dan tidak terdengar lagi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

Dengan dada yang berdebaran Ki Rangga semakin mempertajam pengetrapkan aji sapta pangrungunya untuk menelisik keadaan di balik dinding. Namun yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan Ki Rangga. Pendengarannya yang sangat tajam justru menangkap langkah-langkah yang sangat halus nyaris tak terdengar dari arah belakangnya.

Dengan segera Ki Rangga menghilang di balik sebuah gerumbul perdu yang banyak tumbuh di sekitar dinding.

“Ki Waskita,” desis Ki Rangga dalam hati begitu melihat bayangan seorang tua yang berjalan mendekati dinding. Hampir saja Ki Rangga menampakkan dirinya, namun dengan segera niat itu diurungkannya.

Untuk beberapa saat Ki Waskita masih termangu-mangu di bawah dinding. Namun setelah yakin tidak ada suatu gerakan pun yang didengarnya dari balik dinding, Ki Waskita pun segera bergerak meloncatinya.

Sejenak kemudian bayangan ayah Rudita itu pun segera menghilang di balik dinding.

“Agaknya Ki Waskita pun mengenali isyarat itu,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil perlahan-lahan muncul dari balik gerumbul. Dengan tetap mengetrapkan aji sapta pangrungunya, Ki Rangga pun akhirnya memutuskan untuk menyusul Ki Waskita.

Demikianlah, dengan tanpa sepengetahuan orang yang telah dianggap sebagai gurunya selain Kiai Gringsing itu, Ki Rangga mengikuti langkah-langkah Ki Waskita menyusuri sebuah bulak yang cukup panjang. Sementara sumber bunyi itu sudah terdengar lagi namun sudah cukup jauh di depan.

Untuk beberapa saat Ki Rangga harus berjalan di bawah tanggul di kiri jalan. Tanggul itu cukup tinggi sehingga jika dengan tiba-tiba Ki Waskita berpaling ke belakang, ada kesempatan bagi Ki Rangga untuk melekatkan dirinya di dinding tanggul.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

“Apakah tidak sebaiknya aku menampakkan diriku saja?” berkata Ki Rangga dalam hati, “Tidak sepatutnya aku bersembunyi dari Ki Waskita, orang yang telah memberiku kesempatan untuk membaca dan mempelajari kitabnya.”

Berpikir sampai disitu, Ki Rangga segera mempercepat langkahnya dengan tanpa menyembunyikan lagi bunyi yang ditimbulkan dari gerakan tubuhnya.

Agaknya Ki Waskita pun segera mendengar langkah tergesa-gesa di belakangnya. Ketika Ki Waskita pun kemudian berpaling ke belakang, seraut wajah yang sudah sangat dikenalnya telah tersenyum sambil mempercepat langkah menuju ke tempatnya.

“Engkau ngger?” sapa Ki Waskita juga sambil tersenyum.

“Ya Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menjajari langkah Ki Waskita, “Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama.”

“Ya ngger,” jawab Ki Waskita, “Suara itu sangat menarik perhatian. Dulu aku pernah melakukan hal yang serupa dan ternyata dugaanku benar, gurumu sangat tertarik dengan suara isyaratku itu dan telah mendatangi ke tempat aku menunggu.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Gurunya tidak pernah bercerita tentang peristiwa itu. Maka tanyanya kemudian, “Bagaimana Ki Waskita bisa mengetahui tentang isyarat itu? Bukankah Ki Waskita dan guru bukan berasal dari satu sumber?”

“Engkau benar ngger,” jawab Ki Waskita, “Kami memang bukan saudara seperguruan, namun isyarat itu memang telah digunakan bersama oleh orang-orang yang berkepentingan dalam menegakkan Demak sepeninggal Majapahit.”

Tak terasa langkah mereka berdua hampir mencapai tengah-tengah bulak ketika tiba-tiba saja suara desis yang mirip dengan desis seekor ular itu berhenti.

“Suara itu berhenti, Ki,” bisik Ki Rangga sambil memperlambat langkahnya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

“Ya, ngger. Suara itu telah berhenti,” jawab Ki Waskita. Kemudian sambil menunjuk ke depan, Ki waskita melanjutkan, “Lihatlah, di depan ada seseorang yang sedang menunggu kita.”

Pandangan mata Ki Rangga yang tajam segera saja mengenali seseorang yang berperawakan tinggi sedang berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang beberapa puluh tombak di depan mereka.

Dalam pada itu di Ndalem Kapangeranan, Rara Anjani telah keluar dari biliknya. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke dapur. Namun alangkah terkejutnya Rara Anjani, begitu dia membuka pintu dapur yang terhubung dengan ruang tengah, tampak pelayan tua itu sedang duduk terkantuk-kantuk di bibir amben bambu yang terletak di sudut dapur.

“Mbok,” sapa Rara Anjani, “Mengapa belum tidur?”

Perempuan tua itu terkejut dan berpaling. Sambil mengusap kedua matanya dia menyahut, “O, Rara kiranya. Aku menunggu titah Pangeran jika ada sesuatu yang diperlukan.”

Rara Anjani tersenyum. Katanya kemudian, “Tidurlah mbok. Malam telah larut. Aku kira Pangeran Pati tidak membutuhkan apa-apa lagi.”

Sejenak pelayan tua itu memandangi Rara Anjani tanpa berkedip. Katanya kemudian, “Nah, Rara sendiri mau kemana malam-malam begini?”

“Aku akan ke pakiwan sebentar, mbok?”

“Mengapa tidak memakai pakiwan yang ada di dalam?”

“Aku terbiasa dengan pakiwan yang berada di halaman belakang mbok,” jawab Rara Anjani sambil melangkah menuju pintu keluar.

“Bawalah dlupak Rara, diluar sangat gelap.”

“Tidak mbok, terima kasih. Aku sudah terbiasa melihat dalam gelap.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

Pelayan tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi bayangan Rara Anjani yang hilang di balik pintu.

Dalam pada itu, begitu Rara Anjani melangkah keluar pintu, kegelapan yang pekat segera menyergapnya. Namun Rara Anjani bukanlah perempuan kebanyakan. Dengan menajamkan indera penglihatannya, Rara Anjani tanpa ragu-ragu segera mengayunkan langkahnya menuju ke sebelah Pakiwan, ke sebuah pohon nangka yang tumbuh menjulang tinggi.

“Untung aku tadi menggunakan pakaian rangkap,” desis Rara Anjani dalam hati sambil tersenyum kecil, “Sekarang aku dapat dengan bebas mencegat Ki Rangga dengan memakai pakaian khususku.”

Namun sebelum Rara Anjani sempat melepaskan pakaian luarnya, tiba-tiba pandangan matanya yang tajam menangkap sesuatu yang aneh sedang bergerak di dahan rendah dari pohon nangka itu.

Sejenak Rara Anjani mengerutkan keningnya. Bayangan hitam itu mirip seekor kera yang cukup besar sedang bergelantungan di dahan yang rendah. Dengan tenangnya bayangan itu berayun-ayun tanpa menimbulkan suara. Seolah-olah bayangan itu terpisah dari alam sekitarnya.

Rara Anjani masih terdiam di tempatnya. Dia benar-benar tidak mengerti sedang berhadapan dengan makhluk apa. Ketika dia sedang berusaha mempertajam pandangan matanya, tiba-tiba saja makhluk itu menjatuhkan dirinya ke tanah dan menggelinding ke arahnya.

Hampir saja Rara Anjani menjerit. Untung kesadaran masih menguasai nalarnya. Dengan gerak naluriah, Rara Anjani pun bergerak mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.

Sejenak makhluk yang aneh itu diam melingkar di atas tanah yang lembab. Tidak terlihat gerakan sama sekali kecuali hanya terdengar samar-samar tarikan nafas yang halus dan teratur.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

“Siapa?” bertanya Rara Anjani menguatkan hatinya. Seumur hidup Rara Anjani memang belum pernah melihat atau pun bertemu hantu. Namun kali ini penalarannya yang sedikit buram telah mengarah kesana.

Tidak terdengar jawaban dari benda yang lebih mirip dengan sebongkah batu padas itu. Ketika dengan memberanikan diri Rara Anjani mencoba maju selangkah, benda itu pun segera berguling menjauh dengan jarak yang sama.

Rara Anjani benar-benar menjadi tidak sabar. Ada sedikit rasa gusar yang menyelinap di dalam dadanya. Dia merasa dipermainkan oleh seseorang yang barangkali ingin menggagalkan rencananya untuk mencegat Ki Rangga Agung Sedayu.

“Siapapun Ki Sanak, aku merasa tidak punya urusan,” geram Rara Anjani. Sebagai perempuan yang telah mempelajari olah kanuragan jaya kawijayan, harga dirinya merasa terusik. Lanjutnya kemudian dengan suara sedikit membentak, “Pergilah! Atau aku akan menyingkirkan ujudmu yang sangat tidak menarik ini dari hadapanku secara paksa!”

Agaknya kali ini ujud yang mirip sebongkah batu padas itu menanggapi kata-kata Rara Anjani. Tiba-tiba ujud itu terlihat melunak dan melumer menjadi sebentuk seperti selembar kain panjang yang teronggok begitu saja di atas tanah. Namun sebelum Rara Anjani menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja makhluk aneh itu melenting tinggi dan kemudian hilang dalam rimbunnya pepohonan di halaman belakang Ndalem Kapangeranan.

Jantung Rara Anjani benar-benar hampir terlepas dari tangkainya. Ketika baru saja dia menarik nafas lega, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih hanya selangkah di belakangnya.

Dengan cepat Rara Anjani segera memutar tubuhnya. Tampak hanya selangkah di hadapannya berdiri seorang yang sangat pendek dan berwajah tua bangka.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

Berdesir dada Rara Anjani. Dengan cepat dia segera mengambil jarak mundur beberapa langkah. Walaupun dia adalah salah satu perempuan perkasa yang menguasai olah kanuragan jaya kawijayan, namun menghadapi seseorang yang sangat aneh di malam yang pekat itu, tidak urung membuat jantungnya bergetar juga.

“Maafkan aku Rara,” terdengar makhluk pendek itu bersuara mirip suara kanak-kanak, “Sengaja aku mengganggumu malam ini, karena terdorong oleh rasa tanggung jawabku sebagai pemomong para trah Mataram sejak Panembahan Senapati masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sampai dengan saat ini cucunda Raden Mas Rangsang telah diwisuda sebagai Pangeran Pati.”

Degub di dalam dada Rara Anjani semakin kencang. Menurut pengenalannya selama ini di Ndalem Kapangeranan, tidak pernah ditemui pemomong Pangeran Pati yang berujud seperti yang sekarang ini berdiri di hadapannya. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak jangan ngayawara. Aku mengetahui seluruh penghuni Ndalem Kapangeranan ini sampai para pekatik dan jajar, emban dan pelayan,” Rara Anjani berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tidak ada penghuni Ndalem Kapangeranan yang mempunyai ujud seperti Ki sanak ini. Apakah maksud Ki sanak yang sebenarnya?”

Tiba-tiba makhluk pendek itu mengambil ujudnya seperti batu kembali dan menggelinding menjauh. Katanya kemudian sambil tertawa lirih, “Aku adalah pemomong para calon Raja Mataram sejak Raden Sutawijaya masih muda. Karena pada saat itu aku merasa ajalku sudah dekat, aku kemudian minta ijin untuk bertapa di lereng Merapi. Ternyata permohonanku dikabulkan dan aku menjadi mrayang dan diberi gelar Kiai Dandang Wesi yang bertugas memomong dan menjangkungi calon pewaris tahta Mataram turun temurun.”

Rara Anjani mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cerita makhluk itu sama sekali tidak mengena di hatinya. Maka katanya kemudian, “Aku tidak mengerti dengan cerita Ki Sanak dan aku

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

juga tidak melihat adanya hubungan antara diriku pribadi dengan cerita Ki Sanak.”

Makhluk yang sekarang mengambil ujud seperti batu padas itu terdengar tertawa. Jawabnya kemudian, “Rara adalah selir dari Pangeran Pati. Apakah aku masih harus menjelaskan hubungannya dengan tugasku?”

Kembali Rara Anjani mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Memang benar aku adalah selir Pangeran Pati. Namun Ki sanak adalah pemomong Pangeran Pati jika memang pengakuan Ki Sanak dapat dipercaya,” Rara Anjani berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, silahkan Ki Sanak mengurusi momongan Ki sanak dan jangan ikut campur dengan urusanku, karena kita sama sekali tidak ada sangkut pautnya.”

Selesai berkata demikian Rara Anjani sudah bersiap melangkah pergi kalau saja tidak didengarnya makhluk itu berkata perlahan namun telah membuat sekujur tubuh Rara Anjani menggigil.

“Apa tanggapan orang jika selir dari momonganku telah bertemu dengan laki-laki lain di tempat dan waktu yang tidak sewajarnya?”

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Rara Anjani pun terperanjat bukan alang kepalang. Ternyata makhluk aneh itu telah mengetahui rencana rahasianya untuk menemui Ki Rangga Agung Sedayu.

“Rara,” kembali terdengar makhluk itu berbicara, namun kini terdengar nada suaranya sangat sareh, “Rara telah bersuami. Apapun yang terjadi, hargailah suami Rara. Betapapun Rara masih mencintai laki-laki itu, namun Rara sudah menjadi milik suami Rara, Pangeran Pati yang suatu saat nanti jika waktunya telah tiba akan menggantikan kedudukan Ayahandanya sebagai Raja Mataram.”

Jika saja ada batu-batu padas yang berguguran dari lereng bukit dan menimpa dadanya satu persatu, niscaya tidak akan sedahsyat rasa sakit yang mendera dadanya saat itu begitu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

mendengar kata-kata makhluk aneh itu yang secara langsung telah menyadarkan dirinya akan kedudukannya sekarang ini.

“Nah, kembalilah ke bilikmu Rara,” kembali makhluk aneh itu berkata dengan suara yang berat dan dalam, “Apa kata Pangeran Pati nantinya jika mendapatkan bilikmu kosong?”

Kalimat terakhir dari makhluk aneh itu benar-benar telah membuka penalaran Rara Anjani yang semula buram sedikit demi sedikit menjadi terang.

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Rara Anjani lirih hampir tak terdengar, “Ki Sanak telah berhasil menyadarkan aku akan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami.”

Terdengar sebuah tarikan nafas yang berat dari makhluk itu sebelum akhirnya dia melenting tinggi dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan.

Sepeninggal makhluk aneh itu, Rara Anjani pun dengan kepala tunduk telah berjalan kembali memasuki Ndalem Kapangeranan melalui pintu dapur.

Dalam pada itu, langkah Ki Waskita dan Ki Rangga telah menjadi semakin dekat dengan orang yang berperawakan tinggi itu. Sekilas Ki Rangga segera dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka ikuti itu bukanlah Ki Tanpa Aran.

“Ki Tanpa Aran memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan guru, sedang-sedang saja.” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sedangkan orang ini berperawakan tinggi dan cenderung agak kurus.”

Sedangkan Ki Waskita yang telah banyak makan asam garamnya kehidupan, samar-samar mempunyai gambaran tentang orang yang berperawakan tinggi itu, walaupun masih penuh keraguan.

“Sepertinya bentuk tubuh itu tidak begitu asing bagiku,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Walaupun di Mataram ini banyak orang yang mempunyai bentuk tubuh yang hampir sama,

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

namun hanya sedikit yang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi. Apalagi kemampuan dalam melontarkan isyarat khusus ini.”

Berbekal keyakinan itulah, Ki Waskita pun mulai menilai setiap gerak dan tingkah orang berperawakan tinggi itu.

Semakin dekat mereka dengan orang itu, dada Ki Waskita dan Ki Rangga pun menjadi semakin berdebaran. Ternyata orang itu telah menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam agar sulit untuk dikenali.

Sebenarnyalah Ki Rangga telah mencoba mengetrapkan aji sapta pandulu untuk melihat dengan jelas wajah orang itu. Namun agaknya orang itu pun dengan sengaja telah mengetrapkan sebuah ilmu yang dapat untuk menyamarkan jati dirinya sehingga pengamatan Ki Rangga melalui aji sapta pandulu pun mengalami kesulitan.

“Akan aku coba untuk mengenalinya dengan aji sapta panggraita,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun apa yang telah dikenali oleh Ki Rangga melalui aji sapta panggraita itu justru telah membuat jantung Ki Rangga semakin berdebaran.

“Menurut bentuk wadag dan pengenalanku melalui aji sapta panggraita, memang dugaan itu mengarah kesana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun semua itu masih harus tetap dibuktikan.”

Demikianlah akhirnya kedua orang itu pun berhenti hanya beberapa langkah saja di hadapan orang yang berperawakan tinggi itu.

“Hem,” tiba-tiba orang itu mendengus keras. Katanya kemudian dengan nada yang rendah dan dalam, “Mengapa kalian mengikuti aku, he?!”

Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Rangga justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

“Maaf Ki Sanak,” Ki Waskita lah yang akhirnya menjawab sambil maju selangkah, “Justru kami berdua yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu kepada Ki sanak. Untuk apa Ki Sanak melontarkan isyarat itu kepada kami berdua?”

“Gila!” umpat orang itu sambil menunjuk ke arah Ki Waskita dan Ki Rangga ganti berganti. Kali ini nada suaranya terdengar melengking aneh. Lanjutnya kemudian sambil membentak, "Kalian kira, kalian ini siapa, he?! Aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Apalagi mengundang kalian dengan bahasa isyarat khusus ini. Ketahuilah, isyarat ini hanya diketahui oleh perguruan-perguruan besar semasa Demak lama masih berdiri. Kami para murid perguruan yang mempunyai kepentingan bersama untuk menegakkan Demak sebagai penerus kerajaan besar Majapahit telah bersepakat dengan isyarat ini. Kalian tentu saja tidak akan memahami,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Pergilah dari tempat ini sebelum orang yang aku panggil dengan isyarat ini datang. Jika orang itu telah datang, aku tidak akan bertanggung jawab terhadap apa yang akan terjadi kemudian.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sangat sulit untuk mengenali orang berperawakan tinggi itu hanya dari nada suaranya. Dengan sengaja dia telah mengubah-ubah nada suaranya. Namun yang pasti, baik Ki Waskita maupun Ki Rangga telah mulai dapat menduga siapakah orang itu dari bentuk tubuh dan gerak-geriknya.

“Ki Sanak,” Ki Rangga akhirnya membuka suara, “Ki Sanak tidak usah ingkar. Apapun alasan Ki Sanak, namun yang jelas Ki Sanak telah berusaha memancing persoalan dengan kami,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, lebih baik Ki Sanak segera membuka penutup wajah Ki sanak serta mengatakan apa sebenarnya tujuan Ki Sanak melontarkan isyarat ini?”

Orang berperawakan tinggi itu sejenak terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara tawanya yang meledak. Katanya kemudian di antara derai tawanya, “O, alangkah menakutkan jika harus

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

berurusan dengan senapati agul-agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu? Siapa yang tak kenal namanya yang harum di seluruh penjuru tanah ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke seberang lautan,” orang itu berhenti sejenak. Kemudian sambil menggeram dia melanjutkan, “Akan tetapi aku tidak gentar. Apa yang aku takutkan dengan ilmu cambuk anak gembala di padang-padang perdu itu? Atau ilmu kakang kawah adi wuragil yang tak lebih dari permainan semu yang menjemukan? Atau ilmu lewat sorot matamu yang mampu meluluh lantakkan bukit dan mengeringkan lautan? Atau ilmumu yang mana lagi yang akan engkau banggakan di hadapanku he?”

Bagaikan disengat kalajengking kedua orang itu terutama Ki Rangga Agung Sedayu mendengar perkataan orang berperawakan tinggi itu. Namun dengan demikian secara tidak sengaja orang itu telah sedikit banyak membuka jati dirinya sendiri. Orang itu pasti sudah mengenal secara pribadi kepada Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga dugaan Ki Waskita dan Ki Rangga semakin mendekati kenyataan.

Ki Waskita yang merasa lebih banyak berpengalaman dibanding dengan Ki Rangga segera maju selangkah lebih dekat sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Sebenarnya kami bukanlah segolongan orang yang senang dengan keributan. Akan tetapi agaknya Ki Sanak sendiri yang memang sengaja sedang mencari perkara dengan kami.”

Sejenak orang itu tampak mengerutkan kening. Jawabnya kemudian sambil menggeram, “Silahkan! Majulah bersama-sama agar sebelum terang tanah pekerjaan ini sudah dapat aku tuntaskan.”

Kembali Ki Waskita dan Ki Rangga saling berpandangan. Hanya satu sebenarnya yang mereka berdua perlukan untuk mengungkap jati diri orang itu, nada suara aslinya. Namun agaknya sampai saat ini orang itu masih mampu menyembunyikannya.

Akhirnya kesabaran Ki Rangga pun ada batasnya. Maka katanya kemudian sambil mengurai cambuknya, “Baiklah Ki

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

Sanak, ternyata kita memang terpaksa harus bersilang jalan. Kami memang tidak yakin akan dapat menandingi ilmu Ki Sanak. Namun setidaknya suara ledakan cambukku ini akan memancing para prajurit yang sedang meronda untuk mendatangi tempat ini dan membantu kami bersama-sama untuk menangkap Ki Sanak.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera mengangkat cambuknya dan memutarnya di atas kepala. Siap untuk meledakkan cambuknya dengan sebuah lecutan sendal pancing.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba orang itu berteriak sambil mengangkat tangannya. Agaknya orang itu terpengaruh oleh permainan Ki Rangga sehingga tanpa sadar telah mengeluarkan nada suara aslinya.

Begitu mendengar orang itu telah berkata dengan nada suara aslinya, Ki Rangga pun segera menurunkan cambuknya dan menyimpannya kembali di balik bajunya. Sementara Ki Waskita telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh Ki Rangga, “Mohon ampun, Ki Patih. Jika kami berdua telah mengganggu permainan Ki Patih. Sungguh kami berdua hanya mengikuti bunyi isyarat itu tanpa mengetahui maksud yang sebenarnya.”

Tampak orang itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa kecil sambil merenggut secarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Katanya kemudian, “Sudahlah Ki Waskita, Ki Rangga. Permainan ini kelihatannya memang kurang menarik bagi kalian berdua. Namun sesungguhnya aku memang sedang berusaha menarik perhatian seseorang untuk hadir di tempat ini.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dugaan mereka berdua memang tepat. Orang berperawakan tinggi yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain itu memang Ki Patih Mandaraka.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Waskita kemudian begitu Ki Patih melangkah mendekat, “Siapakah sebenarnya yang Ki Patih kehendaki untuk hadir memenuhi panggilan isyarat itu?”

Ki Patih tersenyum sambil melangkah. Jawabnya kemudian, “Marilah kita berbincang sambil berjalan. Agaknya sudah lama sekali aku tidak berjalan-jalan menghirup udara dini hari yang begitu segar ini.”

Kedua orang itu tidak menyahut. Hanya tampak kepala mereka yang terangguk-angguk sambil mengiringi langkah Ki Patih.

“Nah, aku akan memulai sebuah cerita yang cukup menarik,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil mengayunkan langkahnya perlahan-lahan, “Cerita ini bermula saat Kanjeng Sunan menyerahkan Ki Bango Lamatan sebagai pengawal pribadi Pangeran Pati,” Ki Patih berhenti sejenak. Dihirupnya udara dini hari yang sejuk untuk memenuhi rongga dadanya. Lanjutnya kemudian, “Selain Ki Bango Lamatan, ternyata Kanjeng Sunan juga menyarankan seseorang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran untuk menjadi penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati dalam hal kawruh lahir maupun batin yang berhubungan dengan kehidupan bebrayan.”

Kedua orang itu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ki Rangga lah yang kemudian bertanya, “Ampun Ki Patih, siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu?”

“Itulah yang aku sendiri juga belum mengetahuinya,” jawab Ki Patih, “Sejauh yang aku ketahui, menurut keterangan Pangeran Pati, dia adalah murid dan juga sekaligus sahabat Kanjeng Sunan.”

Mendengar jawaban Ki Patih, Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang dengan wajah kecewa. Keterangan itu juga yang dia dapatkan dari Pangeran Pati, tidak lebih dan tidak kurang.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

“Ampun Ki Patih,” sekarang giliran Ki Waskita yang mengajukan pertanyaan, “Apakah Ki Patih pernah bertemu muka dengan Ki Tanpa Aran itu?”

Ki Patih menggeleng. Jawabnya kemudian, “Dia selalu menghindar untuk bertemu muka denganku. Pernah suatu saat aku perintahkan Pangeran Pati menghadap dengan membawa serta Ki Tanpa Aran itu. Namun selalu saja ada alasan darinya untuk menghindari pertemuan denganku.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Ampun Ki Patih. Apakah Ki Patih mempunyai sebuah dugaan tentang diri orang yang bernama Ki Tanpa Aran itu?”

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Dipandanginya langit yang terlihat bersih tanpa awan selembar pun. Berjuta bintang tampak berkerlap-kerlip menghiasi langit.

“Aku hanya menduga-duga saja,” akhirnya Ki Patih menjawab pertanyaan Ki Rangga, “Namun dugaanku ini belum berdasar. Maka untuk itulah aku mencoba memancingnya dengan isyarat khusus ini,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku masih ingat pada saat terjadi pertentangan Pajang dengan Jipang. Telah muncul orang yang mengaku bernama Kiai Pager Wesi dari goa susuhing angin di sebelah utara gunung Merbabu yang berpihak kepada Kadipaten Jipang dan mengancam akan membunuh Adipati Pajang. Perguruan-perguruan yang mendukung Pajang pun telah bersiap untuk menghadapinya. Kita telah sepakat menggunakan sebuah isyarat khusus dalam menyusun kekuatan. Bukankah Ki Waskita juga mengenal isyarat khusus ini walaupun agak sedikit berbeda?”

KI Waskita tersenyum sambil mengangguk-angguk mendengar pertanyaan Ki Patih. jawabnya kemudian, “Sendika Ki Patih. Memang pada saat itu perguruan-perguruan yang mendukung Pajang telah bersepakat untuk menghadapi bersama jika para penghuni Goa susuhing angin di sebelah utara gunung Merbabu itu akan melaksanakan ancamannya,” Ki Waskita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan ternyata Raden Pamungkas dari perguruan Windujati lah yang terlebih dahulu bertindak sehingga Kiai Pager Wesi dan para pengikutnya menarik diri dari perselisihan itu.”

Ki Rangga yang mendengar perguruan Windujati disebut telah berpaling ke arah Ki Waskita. Sengaja Ki Waskita menggunakan nama Raden Pamungkas agar muridnya itu tidak mengetahui bahwa Kiai Gringsing lah yang dimaksud oleh Ki Waskita.

Ki Patih tersenyum mendengar Ki Waskita menyebut nama Raden Pamungkas. Tanpa sadar Ki Patih berpaling ke arah Ki Rangga yang hanya dapat mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Aku menduga Ki Tanpa Aran ini adalah tokoh sakti di masa lalu,” lanjut Ki Patih kemudian, “Entah dia berasal dari masa Demak lama atau pada saat Pajang mengalami benturan dengan Jipang. Semoga saja kehadirannya di masa kini akan memberikan manfaat kepada Mataram di masa mendatang.”

Kembali Ki Waskita dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bagi Ki Rangga cerita masa lalu itu hanya diketahuinya sepotong-sepotong, tidak utuh dan runut. Pengetahuannya tentang jati diri gurunya pun sangat terbatas. Sesuai dengan kitab peninggalan gurunya, bahwa ilmu yang mereka warisi adalah bersumber pada sebuah perguruan yang pernah mempunyai nama besar di akhir masa pemerintahan kerajaan Majapahit, perguruan Windujati.

Untuk sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar langkah-langkah ketiga orang itu menapaki jalan tanah berbatu-batu. Tanpa terasa langkah mereka telah mendekati gerbang kota. Beberapa oncor yang dipasang di kanan kiri gerbang sinarnya tampak menerangi jalan masuk yang dijaga ketat oleh beberapa prajurit.

Agaknya para prajurit jaga itu telah melihat ketiga orang yang berjalan perlahan-lahan menuju ke arah pintu gerbang. Serentak beberapa prajurit segera berloncatan menghadang jalan.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

Namun alangkah terkejutnya para prajurit itu begitu mengenali salah satu dari ketiga orang yang sedang berjalan menuju ke pintu gerbang itu adalah ki Patih Mandaraka.

“Segera laporkan kepada Ki Lurah Adiwaswa,” bisik salah seorang prajurit itu kepada kawannya.

Tanpa diperintah dua kali, prajurit itu pun segera meloncat dan berlari ke arah gardu penjagaan yang berada di sisi dalam gerbang.

“Ada apa?” bertanya Ki Lurah Adiwaswa yang sedang duduk di dalam gardu sambil menikmati jenang alot dan wedang sere hangat.

“Ki Lurah,” berkata prajurit itu dengan nafas setengah memburu, “Ki Patih Mandaraka!”

“He?!” bagaikan tersengat kalajengking sebesar ibu jari kaki, Ki Lurah terloncat dari tempat duduknya sambil membentak, “Jangan main-main. Mana ada Ki Patih dini hari begini datang ke gerbang kota?”

“Mereka bertiga,” jawab prajurit itu sambil menunjuk ke arah jalan yang membujur di luar gerbang.

Malam memang masih cukup gelap walaupun sudah mendekati fajar. Namun pandangan tajam Ki Lurah Adiwaswa segera melihat bayangan tiga orang yang berjalan dengan perlahan menuju gerbang kota.

“Dari mana Ki Patih sepagi ini?” gumam Ki Lurah sambil bergegas mengayunkan langkahnya.

Setibanya di depan gerbang, ki Lurah segera memimpin para prajurit jaga untuk berbaris menyambut kehadiran Ki Patih.

Ki Patih yang melihat kesiap-siagaan para prajurit penjaga gerbang kota tersenyum. Begitu mereka bertiga tinggal tiga langkah saja dari pintu gerbang, Ki Lurah pun segera memberi aba-aba penghormatan.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

“Terima kasih,” jawab Ki Patih sambil tersenyum. Sementara Ki Rangga yang mengenal Ki Lurah Adiwaswa telah mengerutkan keningnya.

“Ki Lurah bertugas di sini?” bertanya Ki Rangga.

“Ya Ki Rangga,” jawab Ki Lurah, “Sepulang dari Lemah Cengkar, aku dipindah-tugaskan untuk menjaga keamanan kota Raja.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Patih yang tidak begitu mengenal Ki Lurah justru telah bertanya, “Di mana Ki Lurah tinggal?”

“Ampun Ki Patih, hamba masih tinggal di barak prajurit,” jawab Ki Lurah sambil membungkuk hormat.

“He?” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru heran.

“Berapa umur Ki Lurah?” Ki Patih bertanya kemudian.

Untuk sejenak lidah ki Lurah bagaikan kelu. Namun pertanyaan Ki Patih itu pun akhirnya dijawab, “Hampir tiga puluh, Ki Patih.”

Ki Patih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah keluarga,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Lurah belum mempunyai calon.”

Mendapat pertanyaan seperti itu Ki Lurah hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara para prajurit yang berada di pintu gerbang itu tampak dengan sekuat tenaga berusaha untuk menahan senyum mereka.

Ki Patih agaknya menyadari hal itu. Maka katanya kemudian sambil menepuk pundak ki Lurah, “Bersabarlah dan berdoalah. Semoga Yang Maha Agung segera memberikan jodoh Ki Lurah seorang perempuan yang cantik dan setia.”

“Dari keluarga yang terpandang dan kaya raya,” tambah Ki Rangga sambil tersenyum.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

“Anak tunggal yang tidak punya saudara,” Ki Waskita yang sedari tadi diam saja telah ikut bicara.

“Yang kedua orang tuanya sudah tua renta, sehingga warisan segera jatuh ke tangannya,” Ki Patih menambahkan.

Seketika meledaklah tawa di tempat itu.

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Lanjutkan tugas kalian. Kami akan kembali ke Kepatihan.”

“Sendika Ki Patih,” berkata Ki Lurah kemudian. Begitu Ki Patih melangkah meninggalkan pintu gerbang, dengan sigap Ki Lurah segera memberi aba-aba para prajurit jaga untuk melaksanakan penghormatan.

Demikianlah mereka bertiga segera berjalan kembali ke Kepatihan. Di sepanjang jalan sesekali mereka masih membicarakan jati diri Ki Tanpa Aran. Namun dalam pembicaraan itu Ki Patih sama sekali tidak menyinggung nama Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Ki Tanpa Aran, karena Ki Patih memang belum pernah bertemu muka dengan penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati itu.

Dalam pada itu malam terasa semakin mendekati ujungnya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Barulah Ki Rangga dan Ki Waskita menyempatkan sejenak untuk berbaring setelah menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba yang selalu bersyukur kepada Tuhannya.

Ketika seorang pelayan kemudian memberitahukan kepada mereka untuk bersiap makan pagi, keempat orang itu pun segera berkemas.

Ternyata Ki Bango Lamatan telah terlebih dahulu hadir di ruang tengah kepatihan. Setelah menunggu beberapa saat, Ki Patih pun berkenan hadir dan bersama-sama dengan para tamunya untuk menikmati makan pagi.

“Memang masih terlalu pagi,” berkata Ki Patih sambil menyenduk nasi putih yang masih hangat, “Aku juga kurang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

terbiasa makan terlalu pagi. Namun karena kalian akan berangkat pagi ini, aku menyempatkan diri untuk menemani kalian makan pagi.”

“Terima kasih Ki Patih,” hampir bersamaan mereka menjawab.

“Kuda-kuda kalian telah disiapkan,” berkata Ki Patih kemudian, “Dengan berkuda, diharapkan perjalanan akan ditempuh lebih cepat,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengunyah makanan. Lanjutnya kemudian, “Sesampainya di Tanah Perdikan Matesih, kalian dapat berhubungan dengan salah satu petugas sandi yang berada di sana. Titipkan kuda-kuda kalian sebelum mendaki lereng gunung Tidar sebelah barat.”

Mereka berlima hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perintah ki Patih memang sudah sangat jelas. Mereka harus dapat memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen tanpa ada kesan keterlibatan Mataram.

Demikianlah setelah jamuan makan pagi itu selesai, Ki Patih telah mengantarkan tamu-tamunya ke halaman kepatihan. Di halaman telah menunggu lima ekor kuda yang terlihat biasa-biasa saja, bukan kuda yang besar dan tegap.

Untuk sejenak Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah termangu-mangu di tlundak pendapa sambil mengamati-amati kelima ekor kuda yang terlihat agak kecil.

Ki Patih tertawa melihat keragu-raguan yang tersirat di wajah kelima orang itu. Katanya kemudian, “Sengaja aku perintahkan untuk menyiapkan kuda-kuda ini agar tidak terlalu menarik perhatian di sepanjang perjalanan kalian,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil menuruni tlundak pendapa dan menghampiri salah satu kuda itu, Ki Patih meneruskan kata-katanya, “Kuda-kuda ini terlihat agak kecil namun cukup kuat untuk mengantar kalian sampai ke gunung Tidar. Jika kalian meragukan kemampuannya, kalian dapat mengambil istirahat di tepian kali Krasak sebelum meneruskan perjalanan.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

Mereka berlima tampak mengangguk-anggukkan kepala. Ki Rangga selaku pemimpin rombongan segera menjawab, “Sendika Ki Patih. Memang sebaiknya kami memberi kesempatan kuda-kuda ini nantinya untuk beristirahat di tepian kali Krasak.”

Ki Patih tersenyum sambil mengangguk. Katanya kemudian, “Nah apakah masih ada sesuatu yang ingin kalian sampaikan sebelum berangkat?”

Sejenak kelima orang itu saling berpandangan. Kembali Ki Rangga yang menjawab, “Ampun Ki Patih, kelihatannya kami sudah siap untuk berangkat,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kami berlima segera mohon diri.”

“Silahkan,” jawab Ki Patih, “Semoga Yang Maha Agung senantiasa melindungi hambaNYa dalam setiap langkah dan usaha untuk menciptakan kedamaian di bumi Mataram ini.”

Demikianlah sejenak kemudian lima ekor kuda segera berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan regol istana Kepatihan. Kuda-kuda itu berderap di jalan-jalan kota yang sudah mulai ramai. Sesekali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang sarat memuat hasil bumi dari luar kota menuju pasar besar yang terletak di dekat alun-alun. Tak jarang mereka juga bertemu dengan para prajurit yang sedang menjaga sudut-sudut jalan untuk mencegah segala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

“Mengapa para prajurit itu disiagakan di sudut-sudut jalan?” bertanya Ki Waskita yang berkuda di sebelah Ki Rangga, “Apakah tidak cukup menempatkan mereka di gardu-gardu penjagaan saja? Sedang di malam hari mereka memang dibutuhkan untuk meronda ke seluruh sudut kota.”

Ki Rangga tersenyum mendapat pertanyaan Ki Waskita. Sambil berpaling sekilas dia menjawab, “Prajurit-prajurit yang bersiaga di sudut-sudut jalan itu selain memberikan rasa aman kepada kawula Mataram, mereka juga mengawasi setiap gerak-gerik orang yang lalu lalang di jalan. Beberapa saat yang lalu memang telah tumbuh kelompok-kelompok anak muda yang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

meresahkan dan mengganggu keamanan. Mereka menamakan kelompok-kelompok itu dengan nama yang menyeramkan seperti, Sidat macan, Kelabang Ireng dan lain-lain. Mereka sering membuat onar dengan tingkah yang aneh-aneh. Walaupun perbuatan mereka itu masih dapat digolongkan sebagai kenakalan anak-anak muda, namun jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan mereka akan terjerumus dalam perbuatan yang mengarah pada tindak kejahatan.”

Orang-orang yang mendengar keterangan Ki Rangga itu tampak mengangguk-angguk. Sedangkan Glagah Putih yang berkuda di samping Ki Jayaraga hanya tersenyum- senyum saja.

Tanpa terasa perjalanan mereka telah mencapai pintu gerbang kota sebelah utara. Karena Ki Rangga dan Glagah Putih tidak mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa menarik perhatian mereka segera keluar melalui pintu gerbang untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menghubungkan kota Mataram dengan padukuhan terdekat.

Dalam pada itu di Ndalem Kapangeranan, seorang pelayan dalam dengan sangat hati-hati telah mengetuk pintu bilik Pangeran Pati.

“Siapa?” terdengar suara Pangeran Pati dari dalam bilik.

“Hamba Pangeran, pelayan dalam,” jawab pelayan dalam itu dengan suara rendah.

Sejenak kemudian terdengar langkah-langkah kaki mendekat sebelum akhirnya terdengar selarak pintu diangkat dan pintu bilik itupun terbuka.

“Ada apa sepagi ini engkau menghadap?” bertanya Pangeran Pati yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik.

“Ampun Pangeran,” jawab pelayan itu, “KI Tanpa Aran mohon menghadap.”

Sejenak Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Adalah bukan kebiasaan Ki Tanpa Aran menghadap di saat seperti itu. Jika Pangeran Pati dan Ki Tanpa Aran akan membicarakan sesuatu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

hal yang berhubungan dengan kawruh kehidupan, biasanya mereka akan bertemu ketika waktu menjelang sepi uwong.

“Di manakah Ki Tanpa Aran?” bertanya Pangeran Pati itu kemudian.

“Ampun Pangeran, Ki Tanpa Aran menunggu di pringgitan.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sampaikan kepadanya untuk menunggu sebentar. Aku akan berbenah.”

“Sendika Pangeran,” jawab pelayan dalam itu sambil menyembah dan kemudian mengundurkan diri.

Beberapa saat kemudian, Pangeran Pati pun telah hadir di pringgitan untuk menemui Ki Tanpa Aran.

Setelah menanyakan keselamatan dan kesehatan masing-masing, Pangeran Pati pun mulai menanyakan keperluan Ki Tanpa Aran menghadap pagi itu.

“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian, “Untuk beberapa hari ke depan, mungkin satu atau dua pekan, hamba mohon ijin untuk mengurus sebuah keperluan. Jika Pangeran memerlukan hamba dalam waktu dekat ini, mungkin hamba tidak ada di tempat.”

Untuk beberapa saat Pangeran Pati termenung. Hampir saja Pangeran Pati menanyakan apa keperluan Ki Tanpa Aran, namun pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya itu segera ditelannya kembali. Maka jawabnya kemudian, “KI Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan ini adalah atas permintaanku, sehingga jika Ki Tanpa Aran mempunyai keperluan khusus dan akan bepergian untuk beberapa hari kedepan, aku tidak mempunyai kewenangan untuk mencegah apalagi melarang.”

“Ah,” desah Ki Tanpa Aran, “Ampun Pangeran, bukan maksud hamba untuk memaksakan kehendak, namun karena suatu urusan pribadi yang sangat penting, hamba mohon ijin meninggalkan Ndalem Kapangeranan untuk beberapa hari saja.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Silahkan Ki, semoga urusan pribadi Ki Tanpa Aran segera selesai dan kembali dengan selamat ke Ndalem Kapangeranan,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Tanpa Aran akan menempuh perjalanan bersama Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya? Mereka rencananya pagi ini akan berangkat dari Istana Kepatihan menuju ke gunung Tidar.”

Tiba-tiba wajah Ki Tanpa Aran yang biasanya tenang dan sareh itu berubah tegang. Namun perubahan itu hanya sekejap. Dengan tertawa Ki Tanpa Aran pun kemudian menjawab, “Tentu tidak Pangeran. Hamba mempunyai keperluan yang berbeda dengan mereka.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun hanya sekejap, perubahan wajah Ki Tanpa Aran itu sempat ditangkap oleh pewaris Trah Mataram itu.

“Baiklah Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Silahkan mengurus keperluan pribadi Ki Tanpa Aran. Semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik sesuai dengan harapan kita.”

“Terima kasih Pangeran. Hamba mohon diri,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian.

“Kapan Ki Tanpa Aran akan berangkat?” bertanya Pangeran Pati sambil bangkit dari duduknya diikuti oleh Ki Tanpa Aran.

“Hari ini juga Pangeran,” jawab Ki tanpa Aran.

”Hari ini juga?” bertanya Pangeran Pati dengan wajah keheranan, “Begitu tergesa-gesa?”

“Hamba Pangeran. Hamba berharap semakin cepat hamba mengurus keperluan pribadi ini, akan semakin cepat pula urusan ini selesai.”

“Baiklah, Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil berjalan ke arah pintu pringgitan, “Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi perjalanan Ki Tanpa Aran.”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

“Terima kasih Pangeran,” jawab Ki Tanpa Aran sambil mengikuti langkah Pangeran Pati menuju pintu yang membatasi pringgitan dengan pendapa.

Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Sinarnya yang garang terasa mulai menggatalkan kulit. Lima ekor kuda berderap dengan kencang melintas di jalan tanah yang berbatu-batu dan meninggalkan debu berhamburan yang membumbung tinggi ke udara.

“Apakah kita akan beristirahat sejenak di Kali Krasak, ngger?” bertanya Ki Waskita kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya.

Untuk sejenak Ki Rangga terdiam. Pandangan matanya terlempar jauh ke depan, ke titik-titik di kejauhan. Kenangannya pun terlempar ke beberapa saat yang lalu ketika menghadap Pangeran Pati di Ndalem Kapangeranan.

“Tumenggung Ranakusuma,” desis Ki Rangga dalam hati, “Dan Putri Triman itu. Aku benar-benar belum siap untuk mendapatkan kedua-duanya.”

“Bagaimana Kakang?” tiba-tiba Glagah Putih yang berkuda di belakangnya bertanya sehingga membuyarkan lamunannya.

Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu berpaling sekilas ke belakang. Jawabnya kemudian, “Sesuai pesan Ki Patih, ada baiknya kita beristirahat sebentar di tepian kali Krasak untuk sekedar memberi waktu kuda-kuda minum dan merumput,” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sebentar. Sambil berpaling ke penunggang di sebelahnya dia melanjutkan, “Ki Waskita, ada baiknya kita memasuki Perdikan Matesih sebelum senja agar tidak banyak menarik perhatian.”

Ki Waskita tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak mengangguk-angguk. Sementara di belakangnya Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan tampak ikut mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Demikianlah ketika jalan yang mereka lalui mulai menurun dan menikung tajam, mereka pun segera menyadari bahwa tepian

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

kali Krasak telah semakin dekat. Dengan segera mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka. Ketika tanah di bawah kaki kuda-kuda mereka itu mulai bercampur pasir dan bau khas air sungai serta gemuruh arus air mulai lamat-lamat terdengar , mereka pun segera menghentikan kuda-kuda mereka dan meloncat turun.

“Kita mencari tepian yang landai dan teduh,” berkata Ki Rangga sambil menuntun kudanya.

“Dan yang banyak batu-batu besarnya,” sahut Glagah Putih beberapa langkah di belakang Ki Rangga.

Ki Bango Lamatan yang berada di belakang Glagah Putih sejenak mengerutkan kening. Tanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Untuk apa?”

Ki Jayaraga yang mendengar pertanyaan Ki Bango Lamatan itu segera menyahut, “Untuk apa lagi kalau bukan untuk alas tidur?”

Mereka yang mendengar jawaban Ki Jayaraga itu tertawa kecuali Ki Bango Lamatan. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Ki Bango Lamatan masih memerlukan waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan mereka.

Demikianlah ketika mereka menemukan tempat yang benar-benar nyaman untuk sekedar melepaskan lelah, kuda-kuda mereka pun sengaja di lepas agar dapat minum sepuas-puasnya serta merumput di tepian.

Glagah Putih yang melihat ada sebuah batu besar yang sedikit menjorok ke air segera meloncat ke atasnya. Sejenak kemudian anak laki-laki Ki Widura itu pun segera merebahkan dirinya dan mulai dibuai oleh rasa kantuk yang tak tertahankan.

Ketika rasa kantuk itu hampir saja membuatnya jatuh tertidur, tiba-tiba saja pendengarannya yang sangat terlatih telah mendengar sayup-sayup suara derap beberapa ekor kuda.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

Pada awalnya Glagah Putih mengira suara derap kaki-kaki kuda itu berada di dalam alam mimpinya. Namun ketika suara derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras, Glagah Putih pun perlahan-lahan mulai menemukan kesadarannya kembali.

Dengan perlahan-lahan Glagah Putih bangkit dan kemudian duduk bersila. Ketika pandangan matanya menyapu ke sekitar tepian, tampak Ki Rangga dan yang lainnya masih tetap pada sikap mereka semula.

Ki Rangga masih tetap duduk di bawah sebatang pohon yang rindang ditemani Ki Waskita. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu hal dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Jayaraga justru sedang bermain mul-mulan dengan Ki Bango Lamatan. Mereka membuat garis-garis di atas tanah sebagai bidang permainan serta menggunakan batu-batu kecil sebagai alat bermain.

Glagah Putih tersenyum. Orang-orang tua kadang bersikap seperti kanak-kanak kembali, bermain mul-mulan bahkan sesekali untuk mengurangi kejenuhan mereka juga senang bermain engklek bersama anak-anak di bawah siraman Bulan purnama.

Untuk beberapa saat Glagah Putih tidak tahu harus berbuat apa. Sementara suara derap kaki-kaki kuda itu semakin keras dan akhirnya dari tanggul seberang sungai yang cukup tinggi, muncul tiga ekor kuda dengan penunggangnya.

Sejenak ketiga penunggang kuda itu segera mengekang tali kendali kuda masing-masing. Tanpa turun dari kuda, mereka mengamat-amati Ki Rangga dan kawan-kawannya yang sedang duduk-duduk melepaskan lelah di seberang tepian.

“Orang-orang miskin,” geram seorang yang bertubuh besar dan berjambang lebat.

“Belum tentu kakang,” jawab orang yang di sebelahnya, bertubuh pendek tapi terlihat sangat kekar, “Kelihatannya saja mereka miskin. Kuda yang kecil dan cenderung kurus, pakaian yang lusuh dan wajah-wajah tak bergairah. Namun siapa tahu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

mereka justru menyimpan kepingan uang emas serta keris-keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”

“Ah, macam kau!” geram orang yang dipanggil kakang itu, “Engkau selalu bermimpi yang muluk-muluk setiap kali kita bertemu dengan calon mangsa. Ingat, di saat terakhir kita menjumpai seorang pengembara tua itu, engkau bermimpi dia membawa emas berlian di balik baju kumalnya. Ternyata yang kita jumpai benar-benar seorang gelandangan yang hampir mati kelaparan.”

Orang ketiga yang sedari tadi diam saja telah tertawa. Sementara orang yang berperawakan pendek itu hanya dapat mendengus sambil bersungut-sungut.

“Sudahlah. Lupakan saja,” berkata orang berjambang itu sambil bergerak menghela kudanya menjauhi tanggul.

“Kakang tunggu,” tiba-tiba orang yang pendek itu berbisik, “Lihatlah timang yang dipakai orang yang sedang bermain mul-mulan itu.”

Orang berjambang yang sudah memutar kudanya itu tertegun. Tanpa sadar dia menghela kudanya mendekati tanggul kembali. Ketika matanya yang tajam itu kemudian melihat ke arah pinggang Ki Bango Lamatan, hati orang berjambang itupun berdesir tajam. Timang itu tampak berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang sesekali menerobos rimbunnya dedaunan.

“Gila!” umpat orang berjambang itu kemudian, “Engkau benar. Mereka kelihatannya memang orang-orang kaya yang sedang berpura-pura miskin. Marilah. Ini kesempatan kita untuk mendapatkan hasil yang banyak dan akan semakin menambah kepercayaan Ki Lurah kepada kita.”

“Dan di lain kesempatan kita akan dipercaya untuk melaksanakan tugas yang lebih menantang,” sahut orang yang ketiga.

Orang berjambang yang sudah menggerakkan kendali kudanya itu sejenak tertegun. Sambil berpaling kearah orang itu

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

dia bertanya, “Apa maksudmu dengan tugas yang lebih menantang?”

Orang itu tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku sudah bosan menjadi penyamun. Mungkin sesekali kita diberi tugas untuk merampok rumah Ki Gede Matesih barangkali dan menculik anak gadisnya yang cantik itu.”

“Dan besoknya kepalamu akan dipenggal oleh Raden Mas Harya Surengpati,” geram orang berjambang itu.

Selesai berkata demikian orang berjambang itu segera memutar kudanya menjauhi tanggul. Sedangkan kedua kawannya sejenak masih termangu-mangu sebelum akhirnya .bergerak ikut menuruni tanggul.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedari tadi mengawasi ketiga orang berkuda itu dengan sudut matanya telah menarik nafas dalam-dalam sambil memalingkan wajahnya ke arah kakak sepupunya. Namun tampaknya Ki Rangga dan Ki Waskita tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena sedang terlibat pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

Glagah Putih yang tadi sempat mengetrapkan aji sapta pangrungu telah mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Ketiga orang berkuda itu kemungkinannya sedang mencari tanggul yang landai untuk mendekat ke arah mereka.

“Siapakah mereka itu?” bertanya Glagah Putih dalam hati sambil meluruskan kedua kakinya, “Mereka tidak mungkin hanya perampok kecil yang bernyali terlalu besar. Kelihatannya mereka tidak berdiri sendiri. Salah satu telah menyebut nama Ki Lurah dan seorang pemimpin yang agaknya sangat mereka segani, Raden Mas Harya Surengpati.”

Ada keinginan dari Glagah Putih untuk memberi tahu yang lain. Namun niat itu segera ditepisnya. Keempat orang itu adalah orang-orang yang linuwih, tentu mereka sudah mengetahui dan menyadari serta memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

“Di sebelah timur itu agaknya ada tanggul sungai yang agak rendah dan kelihatannya memang sudah menjadi jalur jalan selama ini,” berkata Glagah Putih dalam hati kemudian sambil mengawasi tanggul sebelah timur yang berjarak sekitar lima puluh tombak, “Kemungkinannya mereka akan lewat dari tanggul yang rendah itu.”

Ternyata dugaan Glagah Putih tidak meleset. Sejenak kemudian, ketiga penunggang kuda itupun telah muncul dari balik tanggul yang rendah dan segera menghela kuda-kuda mereka untuk menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa.

Ketika kaki-kaki kuda itu mulai menapak tanah berpasir di tepian, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan cepat dia segera meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.

“Mereka telah tertarik dengan timang emas yang dipakai Ki Bango Lamatan,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Mungkin timang itu hadiah dari Pangeran Pati karena Ki Bango Lamatan telah diangkat menjadi pengawal pribadinya.”

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih melihat kuda-kuda itu berderap dengan lambat di atas tepian yang berpasir, namun ketiga penunggangnya dengan keras telah melecutnya. Sedangkan kuda-kuda Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah meringkik keras-keras begitu kuda-kuda ketiga orang itu telah melangkah semakin dekat.

Ki Jayaraga yang duduk membelakangi arah datangnya kuda-kuda itu telah berpaling ke belakang. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedatangan kuda-kuda itu segera berdiri dari tempat duduknya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang kotor terkena pasir di tepian.

Ketika jarak kuda yang paling depan hanya tinggal lima langkah saja, barulah dengan malasnya Ki Jayaraga bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

“Selamat siang,” berkata orang yang berjambang itu sambil melompat turun dari kudanya dan diikuti oleh kedua kawannya, “Maaf jika kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu istirahat Ki Sanak semuanya.”

Glagah Putih yang mendengar cara orang berjambang itu berbicara telah mengerutkan keningnya. Tingkah laku maupun nada suara orang berjambang itu cukup sopan dan mengenal unggah-ungguh. Padahal sewaktu di atas tanggul tadi, apa yang didengarnya sangatlah jauh berbeda. Mereka datang ke tempat itu hanyalah bertujuan untuk merampas barang-barang berharga yang dimiliki oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.

“O, tidak-tidak,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil tersenyum lebar, “Marilah, silahkan duduk. Kami sudah terbiasa berbagi tempat. Demikian juga jika Ki Sanak sekalian membutuhkan bekal, kami juga ada. Kami membawa juadah bakar, ketela rebus yang dicampur dengan santan dan gula kelapa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tentu saja kuah santan gula kelapanya dibuat kental agar mudah membawanya.”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sekilas dia berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketika orang yang pendek kekar itu menganggukkan kepalanya, orang berjambang itupun segera menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kedatangan kami ke tempat ini bukan untuk beristirahat. Kami telah cukup beristirahat di padukuhan Salam tadi,” orang berjambang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kedatangan kami adalah untuk mengajak kalian semua menyadari apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di tanah ini, tanah tercinta kita ini.”

Dalam pada itu, Ki Rangga dan Ki Waskita agaknya mulai tertarik dengan percakapan itu sehingga keduanya telah berdiri dan berjalan mendekat.

“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sesampainya di samping Ki Jayaraga, “Kami sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Ki Sanak. Menurut hemat kami, di tanah ini tidak sedang terjadi apa-apa? Sejak kami dilahirkan kemudian menjadi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

setua ini, di tanah kita yang tercinta ini keadaannya tidak pernah ada bedanya. Dari hari ke hari, minggu menjadi minggu. Bahkan telah bertahun tahun kami menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, kami sama sekali tidak melihat adanya banyak perubahan.”

Untuk sejenak orang berjambang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang tajam ke arah Ki Rangga, dia pun bertanya, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

“Kami adalah pedagang wesi aji dan perhiasan dari Prambanan,” sahut Ki Waskita yang juga telah berdiri di samping Ki Jayaraga, “Kami menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk menawarkan barang dagangan kami,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun kami juga siap untuk membeli barang-barang berharga yang sekiranya menarik minat kami dari siapapun.”

Sejenak mata ketiga orang itu berbinar begitu mengetahui bahwa calon mangsa yang berdiri di hadapan mereka kali ini adalah pedagang weji aji dan barang-barang berharga.

“Ki Sanak,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami adalah anggota dari sekelompok orang-orang yang menginginkan perubahan. Wahyu keprabon di tanah ini seharusnya tetap tegak lurus dari Trah Majapahit. Namun pada kenyataannya wahyu keprabon sekarang telah dicuri oleh keturunan pidak pedarakan yang berasal dari Sela,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Sanak pernah mendengar sebuah cerita tentang buah kelapa milik Ki Ageng Giring? Nah, sudah waktunya wahyu keprabon saat ini kembali kepada yang berhak.”

Dengan nada sedikit ragu-ragu Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas wahyu keprabon itu?”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Jawabnya kemudian, “Siapa lagi kalau bukan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

Ki Rangga dan kawan-kawannya sejenak tertegun. Ternyata pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu telah jauh menyebar dan agaknya orang-orang semacam inilah yang telah berusaha dengan tak mengenal lelah untuk menyebar luaskan pengaruh itu.

“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bukankah Harya Penangsang sebagai keturunan Sekar Seda Lepen telah gugur di pinggir Bengawan Sore? Sedangkan Harya Mataram telah hilang dan tidak ketahuan lagi rimbanya?”

“Itu bukan urusan Ki Sanak,” jawab orang berjambang itu, “Sekarang yang perlu kami ketahui adalah, apakah Ki Sanak mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk kembali menduduki tahta atau tetap mendukung keturunan para petani dari Sela itu?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat diam termangu. Sementara Glagah Putih yang masih berdiri bersandaran pada batu sebesar kerbau itu tidak ingin ikut campur. Dia telah percaya sepenuhnya kepada Ki Rangga dan orang-orang tua itu.

“Ki Sanak,” akhirnya orang berjambang itu berkata untuk memecah kesunyian, “Kalian tidak harus bergabung dengan barisan kami jika memang ingin mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk menduduki Tahta kembali. Ki Sanak cukup menyumbangkan benda-benda berharga yang Ki Sanak miliki. Kami memerlukan dana yang sangat besar untuk mewujudkan tanah ini kembali gemah ripah loh jinawi sebagaimana di masa kejayaan Majapahit dahulu.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata itulah pokok permasalahan sebenarnya yang ingin disampaikan oleh orang berjambang itu, pengumpulan dana baik secara suka rela maupun paksaan untuk mewujudkan cita-cita kelompok mereka.

Selagi Ki Rangga berpikir untuk menyelesaikan persoalan itu tanpa menimbulkan kekerasan, tiba-tiba Ki Waskita telah maju dua langkah sambil kedua tangannya mengangsurkan sebuah keris berpendok emas dan bertretes berlian. Kata Ki Waskita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

kemudian, “Inilah Ki Sanak. Mungkin aku tidak bisa membantu dengan tenagaku yang sudah tua renta ini. Semoga keris ini akan bermanfaat bagi perjuangan kalian.”

Ketiga orang itu terkejut begitu melihat keris berpendok emas dan bertretes berlian di tangan Ki Waskita. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya telah mengerutkan kening mereka dalam-dalam, namun itu hanya terjadi sesaat. Sejenak kemudian tampak kepala mereka terangguk-angguk.

Dengan cepat orang berjambang itu meraih keris di tangan Ki Waskita. Katanya kemudian, “Terima kasih. Bantuan Ki Sanak tidak akan pernah kami lupakan,” orang itu berhenti sejenak. Katanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Bagaimana dengan Ki Sanak yang lain? Apakah tidak ingin menyumbangkan harta benda kalian demi sebuah perjuangan suci ini?”

Mendengar pertanyaan itu Ki waskita segera tanggap. Sambil berjalan menghampiri kawan-kawannya kecuali Glagah Putih, Ki Waskita pun berkata, “Tentu, tentu Ki Sanak. Dengan senang hati kawan-kawan kami akan ikut berderma untuk perjuangan ini.”

Segera saja di tangan Ki Waskita terkumpul beberapa benda berharga, sebuah timang emas, tiga buah cincin emas bermata merah delima dan beberapa batu permata.

Dengan sebuah senyum lebar orang berjambang itu menerima barang-barang tersebut dari tangan Ki Waskita. Kemudian katanya kepada kawannya yang bertubuh pendek kekar, “Masukkan semua ke dalam kantong di pelana kudamu. Hari ini kita benar-benar sangat beruntung.”

Kawannya segera maju untuk menerima barang-barang itu dan selanjutnya menyimpannya ke dalam sebuah kantong besar yang disangkutkan di pelana kudanya.

“Nah, Ki sanak semua,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih atas semua bantuan kalian. Semua ini akan aku laporkan kepada Ki Lurah. Kelak jika perjuangan kami berhasil, kalian semua pasti akan ikut

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

menikmatinya. Sebuah Kerajaan baru akan lahir dibawah pemerintahan seorang Raja yang adil dan bijaksana sehingga akan tercipta sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.”

Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak menyahut. Hanya kepala mereka saja yang terlihat terangguk-angguk.

“Nah, aku mohon diri. Semoga hari kalian menyenangkan.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, orang berjambang itu segera meloncat ke punggung kudanya dan diikuti oleh kawan-kawannya. Sejenak kemudian mereka segera menghela kuda masing-masing untuk berbalik arah dan kemudian berderap meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat ketiga kuda itu masih tampak menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa. Setelah kuda-kuda itu naik ke tepian dan kemudian hilang di balik tanggul yang rendah, barulah Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Ternyata Ki Waskita masih senang bermain-main dengan bayangan semu. Kita harus segera meninggalkan tepian ini sebelum mereka menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Marilah ngger,” sahut Ki Waskita kemudian, “Untung mereka tidak tertarik dengan kuda-kuda kita. Ternyata perhitungan Ki Patih Mandaraka benar.”

“Bukankah Ki Waskita juga mampu membuat bayangan semu seekor kuda atau bahkan lebih, seribu kuda barangkali?” bertanya Ki Jayaraga sambil melangkah mendekati kudanya.

“Membuat yang tidak ada menjadi seolah-olah ada, itulah ilmu bayangan semu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sebentar sambil membenahi pelana kudanya. Lanjutnya kemudian, “Namun jika sudah ada lima ekor kuda dan kemudian aku harus membuat bayangan semu lima ekor kuda yang lain, bagaimana aku harus menyembunyikan lima ekor kuda yang sebenarnya dari penglihatan mereka?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

Mereka yang mendengar keterangan Ki Waskita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Demikian juga Glagah Putih yang sedang sibuk mempersiapkan kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang selama kejadian itu hanya berdiam diri saja, telah semakin mengerti dan mendalami akan kemampuan kawan-kawan seperjalanannya.

“Selama ini aku memang ibarat seekor katak dalam tempurung,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata Mataram memiliki sekumpulan orang-orang yang pilih tanding dan ngedab edabi,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih yang berkuda di sebelah Ki Jayaraga, dia kembali berkata dalam hati, “Anak muda itupun kelihatannya bukan anak muda sembarangan. Sorot matanya terlihat begitu meyakinkan serta gerak-geriknya penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi.”

Demikianlah, sejenak kemudian kelima ekor kuda itupun segera menyeberangi kali Krasak yang airnya cukup dangkal untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menuju ke padukuhan Ngadiluwih.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil berpaling kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya, “Sebaiknya sebelum mencapai hutan kecil di depan, kita mengambil jalan ke kiri menuju ke padukuhan Gesik. Setelah itu kita menyusuri tepian kali Praga sampai memasuki padukuhan Klangon. Sebaiknya kita menghindari padukuhan Salam.”

“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Ketiga orang tadi menyebut-nyebut padukuhan Salam dan agaknya sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Kemungkinannya mereka memang bersarang di sana.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya diikuti oleh yang lainnya.

“Apakah angger mempunyai dugaan siapakah yang dimaksud dengan Raden Mas Harya Surengpati?” bertanya Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sewaktu masih di

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

atas tanggul tadi, orang berjambang itu telah menyebut namanya.”

Ki Rangga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Mungkin banyak orang yang mengaku masih kerabat dekat dengan Sekar Seda Lepen dan bergabung dengan kelompok itu. Namun aku yakin bahwa mereka masing-masing mempunyai pamrih pribadi yang lebih kuat dibanding dengan apa yang mereka sebut sebagai sebuah perjuangan itu.”

Kembali Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya dan diikuti oleh yang lainnya.

“Kita harus membuat hubungan terlebih dahulu dengan para petugas sandi sebelum memasuki Perdikan Matesih,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Kita tidak tahu apakah pengaruh kelompok orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu telah merambah sampai ke Perdikan Matesih.”

“Kemungkinan itu ada ngger,” sahut Ki Waskita, “Tanah Perdikan Matesih letaknya tidak jauh di sebelah barat Gunung Tidar. Tidak menutup kemungkinan ada sebagian penduduk terutama para pemudanya yang menjadi murid Perguruan Sapta Dhahana.”

“Dan Perguruan Sapta Dhahana menurut keterangan para petugas sandi telah menjalin hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen,” Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga menyahut.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Menilik pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen sudah sampai di padukuhan Salam dan sekitarnya, kuat dugaanku Perdikan Matesih pun tidak luput dari pengaruh itu.”

“Jadi bagaimana kakang?” Glagah Putih yang sedari tadi hanya diam saja tidak mampu lagi menahan hati, “Apakah kita akan tetap bermalam di Perdikan Matesih?”

“Seperti yang telah aku katakan tadi, kita membuat hubungan dengan para petugas sandi terlebih dahulu,” jawab Ki Rangga

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

kemudian, “Petugas sandi yang terdekat berada di padukuhan Klangon.”

Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan kakak sepupunya itu. Sementara yang lainnya pun telah ikut mengangguk-angguk pula.

Demikianlah sejenak kemudian mereka segera memacu kuda masing-masing menyusuri bulak yang cukup panjang itu sebelum mencapai hutan kecil di pinggir padukuhan Ngadiluwih.

Dalam pada itu, orang berjambang dan kedua kawannya sedang memacu kuda-kuda mereka keluar pintu gerbang padukuhan Ngadiluwih. Setelah melewati sebuah bulak pendek, mereka akan memasuki sebuah padukuhan kecil yang selama ini mereka pergunakan sebagai tempat tinggal sementara, Padukuhan Salam.

Perjalanan itu hanya memerlukan waktu yang sangat pendek. Ketika pintu gerbang padukuhan yang sangat sederhana telah mereka lalui, orang berjambang beserta kedua kawannya itu segera mengambil jalur ke kanan menyusuri sebuah jalan setapak.

Tidak banyak yang memperhatikan jalan setapak itu. Sebuah jalan setapak yang menembus pategalan yang sangat luas. Di kanan kiri jalan setapak itu tumbuh beberapa jenis pepohonan yang berkayu keras. Beberapa gerombol pohon pisang juga tampak tumbuh di beberapa tempat di sepanjang jalur jalan setapak itu.

“Ki Lurah pasti akan terkejut melihat hasil kerja kita hari ini,” berkata orang berjambang itu kepada kedua kawannya yang berkuda di belakangnya, “Matahari baru mendekati puncaknya, namun kita sudah pulang dengan membawa hasil yang sedemikian banyaknya.”

Kedua kawannya tidak menyahut dan hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sadar salah seorang telah mendongakkan wajahnya ke langit. Di sela-sela rimbunnya

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

dedaunan, tampak Matahari memang belum sampai pada puncaknya.

Untuk beberapa saat mereka masih menyusuri jalan setapak di pinggir pategalan yang tidak terurus itu. Kelihatannya pemilik pategalan itu sudah lama tidak menengoknya dan dibiarkan saja semak belukar tumbuh subur di pategalan itu. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Masing-masing sedang berangan-angan untuk mendapatkan hadiah dari pemimpin mereka serta di masa mendatang akan lebih dipercaya untuk melaksanakan tugas yang lebih besar.

Semakin lama jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit sehingga mereka harus berkuda berurutan. Setelah melewati sebuah pohon randu yang batangnya sebesar hampir dua pelukan orang dewasa, mereka pun kemudian berbelok ke kiri dan melalui jalan setapak yang mulai menurun.

“Kita hampir sampai,” berkata orang berjambang itu sambil berpaling sekilas ke belakang, “Aku tidak bisa membayangkan wajah Ki Lurah yang akan terheran-heran melihat hasil kerja kita hari ini.”

Kawannya yang bertubuh pendek dan berkuda tepat di belakangnya tersenyum mendengar angan-angan orang berjambang itu. Tanpa sadar tubuhnya agak membungkuk ke depan sambil tangan kirinya meraba kantong besar yang tersangkut di pelana kudanya.

Namun alangkah terkejutnya orang yang bertubuh pendek itu. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak dengan tiba-tiba. Tangan kirinya yang meraba kantong itu tidak menemukan sesuatu apapun. Dicobanya sekali lagi untuk meremas-remas kantong itu, namun hasilnya tetap sama. Kantong itu sama sekali kosong dan tidak ada isinya.

“Kakang..!” terdengar suaranya gemetar memanggil orang berjambang di depannya.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

Orang berjambang itu mengerutkan keningnya sambil menoleh. Tanyanya kemudian, “Ada apa?”

“Kantong itu..” orang bertubuh pendek itu tidak mampu menyelesaikan kata-katanya. Dadanya rasa-rasanya telah pepat seolah tertimbun bebatuan yang longsor dari puncak bukit.

Kembali orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Sekarang dia tidak hanya menoleh, namun telah menghentikan kudanya. Katanya kemudian setengah membentak, “Ada apa, he?!”

Orang yang bertubuh pendek itu sekarang benar-benar telah menggigil seperti orang kedinginan. Sambil gemetaran tangannya meraih kantong yang terikat di pelana kudanya dan kemudian diangkatnya. Katanya kemudian dengan suara yang memelas, “Kakang, barangnya tidak ada. Kantong ini kosong.”

“He?” bagaikan disambar petir di siang bolong orang berjambang itu berteriak sambil meloncat turun dari kudanya. Dengan tergesa-gesa dia segera melangkah mendekat.

Orang yang pendek dan orang yang satunya segera ikut meloncat turun. Sementara orang yang bertubuh pendek itu segera melepas tali yang mengikat kantong itu di pelana kudanya.

Tanpa menunggu waktu lagi orang berjambang itu segera menyambar kantong yang diangsurkan kepadanya. Dengan menggeram marah dibongkarnya kantong itu yang ternyata memang kosong melompong tidak ada isinya.

“Gila..!” umpat orang berjambang itu sambil membanting kantong itu ke tanah. Sejenak matanya yang memerah darah menatap tajam ke arah orang yang bertubuh pendek yang berdiri di hadapannya dengan tubuh gemetar. Tiba-tiba saja tangan kirinya mencengkeram leher orang itu.

“Kau? Kau?” geram orang berjambang itu dengan suara menggelegar, “Pengkhianat busuk! Di mana kau sembunyikan barang-barang itu, he?!”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

Orang yang bertubuh pendek itu benar-benar telah kehilangan nyali. Nyawanya rasa-rasanya sudah berada di ubun-ubun, siap untuk meloncat keluar dari raganya. Sementara wajahnya pucat pasi dengan sekujur tubuh yang telah basah kuyup oleh keringat dingin.

"Aaku.. tidak tahu Kakang.." jawab orang itu terbata-bata.

“Bohoong..! Kau memang pantas mampus!” umpat orang berjambang itu sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap menghancurkan kepala orang yang bertubuh pendek itu.

“Kakang tunggu!” tiba-tiba orang ketiga yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat peristiwa itu segera berteriak sambil meloncat maju, “Pendek belum tentu bersalah. Aku sedari tadi berkuda di sampingnya dan kemudian di belakangnya. Aku tidak melihat dia menyentuh kantong itu kecuali beberapa saat tadi. Aku yakin, Pendek tidak akan mengkhianati perjuangan kita.”

Untuk beberapa saat orang berjambang itu masih tetap pada sikapnya. Namun tiba-tiba cengkeramannya di leher orang bertubuh pendek itu semakin keras sambil berteriak, “Kalian sengaja bersekongkol untuk menipu aku, he? Kalian akan mengangkangi barang-barang itu berdua saja dan menipu aku! Sebaiknya kalian berdua aku bunuh saja!”

Selesai berkata demikian, kembali tangan kanan orang berjambang itu terangkat tinggi-tinggi siap menghancurkan kepala orang yang selama ini telah menjadi kawan seperjuangannya.

“Kakang, ampun..kakang. Aku benar-benar tidak melakukannya..” rengek orang bertubuh pendek itu dengan suara memelas. Sementara orang yang satunya hanya dapat memandang peristiwa itu dengan wajah yang sangat tegang.

Tiba-tiba di saat yang menegangkan itu terdengar sebuah tawa terbahak-bahak memenuhi tempat itu.

Serentak ketiga orang itupun segera berpaling ke arah mana suara tawa itu berasal.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

“Ki Lurah,” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru tertahan.

Orang yang dipanggil Ki Lurah itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Sambil memberi isyarat kepada orang yang berjambang itu dia berkata, “Jambang, lepaskan si Pendek.”

Dengan segera orang yang berjambang itu melepaskan cengkeramannya kepada Pendek. Begitu cengkeraman itu terlepas dari lehernya, Pendek segera menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Agaknya dia tidak ingin bermasalah lagi dengan si Jambang itu.

“Aku dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi pada kalian,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian telah menjadi korban permainan dari orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian kita akan menjadi lebih waspada.”

Ketiga orang itu sejenak saling pandang. Orang berjambang itu yang akhirnya bertanya mewakili kawan-kawannya, “Maaf Ki Lurah. Kami tidak mengerti maksud Ki Lurah. Kami merasa tidak pernah bertemu atau bahkan bertempur dengan orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Kalian memang terlalu bodoh!” geram Ki Lurah, “Bukankah seseorang telah memberikan sesuatu yang menurut kalian itu merupakan barang-barang berharga?”

“Benar Ki Lurah,” serempak mereka menjawab. Sementara si Jambang segera meneruskan, “Kami bertemu lima orang di tepian kali Krasak. Ketika aku menjelaskan kepada mereka tentang perjuangan kami, dengan serta merta salah seorang dari mereka yang terlihat paling tua telah menyerahkan sebuah keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”

“Itulah,” sahut Ki Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang tua itu pasti tukang sihir, dan kalian telah disihirnya,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah orang-orang yang lainnya juga menyerahkan barang-barang berharga mereka?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

Kembali ketiga orang itu saling berpandangan. Seingat mereka, orang-orang yang lainnya memang hanya berdiam diri saja. Orang yang paling tua itulah yang mengambil barang-barang berharga dari mereka dan kemudian menyerahkannya.

“Tidak Ki Lurah,” jawab si Jambang yang kini mulai menyadari kebodohannya, “Memang kita mendapat tambahan beberapa barang berharga lagi, namun orang tua itulah yang mengambil dari masing-masing orang dan menyerahkannya kepadaku.”

Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Kemanakah sebenarnya tujuan orang-orang itu?”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang peristiwa yang baru saja mereka alami.

“Ki Lurah,” tiba-tiba orang yang bertubuh pendek itu membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya kita mengejar orang-orang yang telah mempermainkan kami itu?”

Ki Lurah menggeleng sambil tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya. Mereka tentu sudah jauh dan jika kita dapat menemukan mereka, aku tidak yakin kekuatan kita akan mampu untuk menghadapi mereka.”

Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka mendengar jawaban Ki Lurah. Memang segala sesuatunya harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum bertindak.

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian dapat beristirahat sebentar. Aku akan ke Perdikan Matesih untuk melaporkan kejadian ini kepada Raden Mas Harya Surengpati.”

Ketiga orang itu tidak menjawab dan hanya melangkah sambil menuntun kuda-kuda mereka mengikuti Ki Lurah menuju ke sebuah bangunan yang terletak tidak jauh dari tempat itu.

Tidak banyak yang memperhatikan bangunan itu. Sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Sebuah bangunan yang lebih cocok disebut sebuah gubuk

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

dari pada sebuah rumah. Di gubuk itulah orang yang dipanggil Ki Lurah itu tinggal bersama mereka.

Dalam pada itu Ki Rangga dan kawan-kawannya telah sampai di Padukuhan Gesik, sebuah padukuhan kecil dan sepi. Mereka berlima sengaja tidak melewati jalan satu-satunya yang berada di padukuhan itu, namun mereka lebih senang menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat. Hutan itu melingkari Padukuhan Gesik dari sebelah selatan kemudian membujur ke arah sisi barat padukuhan.

Beberapa saat kemudian rombongan berkuda itu telah memasuki sebuah padang rumput yang luas di pinggir hutan sebelah barat Padukuhan Gesik. Rombongan itu pun segera keluar dari jalur jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan itu. Kuda-kuda itu pun kemudian dapat berpacu dengan cepat di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu yang banyak tersebar di padang rumput itu.

Sesekali mereka tampak mendongakkan wajah mereka ke langit. Awan yang gelap mulai tampak bergerombol dan berarak-arak di cakrawala langit sebelah barat. Kelihatannya musim kemarau akan segera berakhir dan sudah saatnya hujan turun membasahi bumi yang kering.

“Mungkin ini akan menjadi hujan yang pertama yang akan turun,” desis Ki Waskita yang berkuda di samping Ki Rangga.

Ki Rangga mendongakkan wajahnya sekilas. Jawabnya kemudian, “Semoga sebelum hujan kita sudah memasuki Padukuhan Klangon.”

Yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun telah mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang berharap tidak sampai kehujanan di tengah perjalanan.

Ketika hutan di sebelah barat padukuhan itu menjadi semakin tipis dan pohon-pohon yang besar telah berganti dengan tanaman perdu serta semak belukar, padang rumput yang mereka lalui itu pun telah menyempit. Sejenak kemudian di hadapan mereka telah terbentang tanah persawahan yang luas. Jalan setapak di

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

pinggir hutan itu pun telah tersambung dengan sebuah bulak panjang. Di sepanjang bulak, banyak pepohonan yang tumbuh atau memang sengaja ditanam di kiri kanan jalan. Sementara di langit awan hitam mulai bergerak menutupi sinar Matahari sehingga pemandangan di sepanjang bulak itu terlihat mulai remang-remang.

Sambil memperlambat laju kuda-kuda mereka, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian membelokkan arah kuda-kuda mereka ke bulak yang sangat panjang dan sekarang terlihat agak gelap. Angin yang dingin dan basah mulai bertiup sedikit kencang menggugurkan daun-daun yang sudah menguning dari tangkainya. Di langit sesekali halilintar mulai bersabung. Suaranya terdengar menggelegar memekakkan telinga.

“Kelihatannya para petani sudah mulai mempersiapkan tanah mereka untuk digarap,” berkata Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga sambil mengamati orang-orang yang sedang bekerja di sawah. Sebagian tampak sedang memperbaiki tanggul, sebagian lainnya tampak sedang mencangkul.

“Ya, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga sambil berpaling sekilas, “Apakah Ki Jayaraga tertarik untuk membantu?”

“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Aku lupa membawa cangkul, Ki Rangga.”

Kali ini semua orang yang berada di dalam rombongan itu tertawa cukup keras sehingga membuat orang-orang yang bekerja di sawah itu telah berpaling.

Demikianlah rombongan berkuda itu pun kemudian tanpa berusaha menarik perhatian telah berpacu kembali di bulak panjang. Dari kejauhan tampak debu yang mengepul tinggi di belakang rombongan berkuda itu.

Ketika rombongan itu telah melewati tengah-tengah bulak, dari kejauhan mereka melihat seseorang tampak sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon di sebelah kiri jalan, hanya beberapa puluh tombak saja dari regol padukuhan Klangon.

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

Orang itu terlihat duduk bersila dengan kedua tangan bersilang di dada serta kepala yang tertunduk dalam-dalam. Sebuah caping di atas kepalanya telah menutupi sebagian wajahnya.

Terasa dada Ki Rangga berdesir, demikian juga Glagah Putih. Sebagai prajurit mereka cukup mengenal tanda-tanda yang ditunjukkan oleh orang yang sedang beristirahat di tepi jalan itu.

Ki Rangga segera memberi isyarat untuk memperlambat kuda-kuda mereka begitu rombongan itu mendekati tempat orang bercaping itu duduk.

Ki Waskita sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Rangga. Ketika Ki Rangga kemudian mengangguk, barulah Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Glagah Putih yang berkuda di samping gurunya telah berkata dengan suara yang sedikit lantang, “Angin timur atau angin barat kah yang bertiup membawa hujan kali ini?”

Tidak terdengar suara jawaban sama sekali. Bahkan ketika rombongan berkuda itu telah tepat berhenti di depannya, orang bercaping itu tetap pada sikapnya semula, menunduk dengan caping menutupi sebagian wajahnya.

Sejenak Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Namun segala sesuatunya harus segera diyakinkan. Maka dengan cepat Ki Rangga segera meloncat turun dari kudanya dan bergegas menghampiri orang itu.

Ketika jarak Ki Rangga dengan orang itu tinggal selangkah, jantung Ki Rangga pun bagaikan berhenti berdetak. Ki Rangga melihat sesuatu yang janggal telah terjadi pada diri orang itu. Orang itu bagaikan sebuah patung yang diletakkan begitu saja di bawah pohon, sama sekali tidak bergerak. Bahkan gerakan tubuh yang menandakan bahwa dia masih bernafas pun tidak terlihat.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan, dengan gerak cepat Ki Rangga maju selangkah sambil membungkuk. Ketika tangan Ki Rangga kemudian terjulur untuk membuka caping itu, alangkah

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

terkejutnya Ki Rangga. Terlihat sebuah paser kecil telah menancap dalam-dalam di leher orang itu.

“Gila!” geram Ki Rangga sambil berusaha meraba detak nadi di leher dan kedua pergelangan tangan orang itu. Namun Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya.

Perlahan Ki Rangga mengembalikan caping itu di atas kepala orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang berdebaran. Ketika Ki Rangga kemudian menegakkan tubuhnya dan berbalik, yang pertama-tama dilakukannya adalah menggeleng sambil berdesis, “Orang itu telah mati.”

“Mati?” hampir serentak mereka yang masih berada di atas punggung kuda itu mengulang. Dengan bergegas mereka pun kemudian segera berloncatan turun dari atas punggung kuda masing-masing.

Sejenak kemudian kelima orang itupun telah mengerumuni orang bercaping yang telah menjadi mayat dalam keadaan duduk dibawah sebatang pohon itu.

“Paser beracun,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati paser yang menancap dalam-dalam di leher orang itu.

“Ya Ki Waskita,” sahut Ki Rangga, “Kelihatannya seseorang dengan sengaja telah melontarkan paser kecil itu melalui sebuah sumpit,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Lanjutnya kemudian, “Hanya orang yang mempunyai kemampuan tinggi yang mampu melakukan semua ini.”

Yang mendengar keterangan Ki Rangga telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tentu diperlukan tenaga yang sangat kuat untuk dapat melontarkan paser kecil itu sehingga menancap hampir seluruhnya di leher orang itu.

“Bagaimana kakang,” bertanya Glagah Putih kemudian, “Menilik ciri-cirinya, dia adalah petugas sandi Mataram. Apakah kita akan menguburkannya?”

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78

Mendengar pertanyaan Glagah Putih, Ki Rangga segera menyingkap baju orang itu untuk melihat timang ikat pinggangnya. Dan apa yang diduga oleh Glagah Putih memang benar. Timang itu bagi orang kebanyakan memang tidak akan banyak berarti, namun bagi sesama petugas sandi atau prajurit Mataram, tanda yang berada di lempengan timang itu mengandung arti tersendiri.

“Seharusnya memang demikian,” jawab Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah adik sepupunya itu, “Namun kita harus mencari tempat yang layak dan tidak begitu banyak menarik perhatian orang.”

“Baik kakang,” sahut Glagah Putih kemudian sambil maju mendekat untuk mengangkat tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

Namun sebelum Glagah Putih menyentuh tubuh itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan riuh rendah yang berasal dari arah regol padukuhan Klangon.

Serentak mereka berpaling. Tampak berpuluh-puluh orang sedang berlari-larian dari arah regol padukuhan Klangon menuju ke tempat mereka berkerumun.

“Tangkap pembunuh..!” teriak beberapa orang dengan senjata yang teracu.

bersambung ke STSD jilid 2

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

79

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

80