terusan adbm jilid 414 - gagakseta-2 | melestarikan … · pringgitan itu juga belum tersentuh.”...

84
Terusan Api di Bukit Menoreh Kalau boleh ini disebut sebagai lanjutan dari seri ADBM, naskah ini merupakan jilid keempatbelas dari Seri kelima ADBM. ADBM seri keempat telah ditamatkan oleh mbah_man di jilid 400. 2016 Satpampelangi http://cersilindonesia.wordpress.com 18/05/2016 Jilid 414 Terima kasih kepada mbah_man yang telah bersusah- payah merangkai kisah untuk menyambung kisah dalam ADBM yang “belum diselesaikan” oleh Ki SH Mintardja Semoga mbah_man selalu diberi kesehatan dan kesempatan agar dapat menuliskan (yang benar mengetikkan) buah pikirannya Karya mbah-man

Upload: hoangminh

Post on 02-Mar-2019

358 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Terusan Api di Bukit Menoreh Kalau boleh ini disebut sebagai lanjutan dari seri ADBM, naskah ini merupakan jilid keempatbelas dari Seri kelima ADBM. ADBM seri keempat telah ditamatkan oleh mbah_man di jilid 400.

2016

Satpampelangi http://cersilindonesia.wordpress.com

18/05/2016

Jilid 414

Terima kasih kepada mbah_man yang telah bersusah-payah merangkai kisah untuk menyambung kisah dalam ADBM yang “belum diselesaikan” oleh Ki SH Mintardja

Semoga mbah_man selalu diberi kesehatan dan kesempatan agar dapat menuliskan (yang benar

mengetikkan) buah pikirannya

Karya mbah-man

Terusan ADBM Jilid 414

ii

Terusan ADBM Jilid 414

iii

TERUSAN ADBM

(Lanjutan ADBM versi mbah_man)

Karya mbah_man

ADBM Seri V

Jilid 14 (Jilid 414)

Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo

Terusan ADBM Jilid 414

iv

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan’ gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang terhanyut oleh suara alunan ayat-ayat suci itu, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Barulah ketika suara alunan ayat-ayat suci itu telah berhenti, bagai tersadar dari buaian mimpi yang indah, Mas Rangsang baru menyadari bahwa seorang anak muda telah berdiri di hadapannya.

Dengan segera Raden Mas Rangsang berdiri dari tempat duduknya. Namun sebelum cucu Panembahan Senapati itu membuka suaranya, justru anak muda itulah yang berkata terlebih dahulu, “Ampun Raden. Jika Raden berkenan, Kiai Ajar Mintaraga mengundang Raden untuk singgah sejenak di gubuk kami.”

Raden Mas Rangsang tidak segera menjawab. Dengan kening yang berkerut-merut, sejenak dipandanginya anak muda yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam beberapa langkah di hadapannya itu. Menurut perkiraan putra Panembahan Hanyakrawati itu, usia anak muda itu tentu tidak terpaut banyak dengannya, mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua.

“Mengapa engkau memanggilku Raden? Apakah engkau sudah mengenalku?” bertanya Mas Rangsang kemudian sambil menatap wajah yang selalu menunduk itu.

Anak muda itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ampun Raden. Aku tidak tahu siapakah Raden. Guruku Kiai Ajar Mintaraga hanya memberitahuku bahwa di depan gubuk kami telah datang seorang tamu bangsawan dari Mataram dan aku diminta untuk menjemput Raden.”

Terusan ADBM Jilid 414

2

Kembali kening Raden Mas Rangsang berkerut-merut. Sepagi ini sudah dua orang yang mengetahui dengan jelas akan jati dirinya, walaupun dia sudah berusaha untuk menyamar sebagaimana orang kebanyakan.

“Siapakah Kiai Ajar Mitaraga itu?” bertanya Mas Rangsang kemudian.

“Guruku Raden,” jawab anak muda itu tetap dengan kepala tunduk.

“Maksudku, siapakah sebenarnya Kiai Ajar Mintaraga itu?”

Sejenak anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya anak muda itu pun menjawab, “Ampun Raden. Kiai Ajar Mintaraga adalah seorang Pertapa yang tinggal di pertapaan Mintaraga di puncak pebukitan Menoreh. Selebihnya aku tidak tahu.”

Raden Mas Rangsang menarik nafas dalam-dalam. Betapa pun juga dia tidak akan dapat memaksa anak muda di hadapannya itu untuk memberi keterangan lebih jauh tentang Kiai Ajar Mintaraga.

“Baiklah, aku menerima tawaran Gurumu untuk singgah di pondok kalian,” Mas Rangsang berhenti sebentar. Kemudian sambil melangkahkan kakinya menuju ke gubuk reyot itu dia melanjutkan, “Siapakah namamu? Menurut perkiraanku umurmu lebih tua sedikit dariku. Apakah engkau keberatan jika aku memanggimu kakang?”

Anak muda itu membungkuk dalam-dalam sambil menjawab, “Ampun Raden. Namaku Putut Gatra Bumi. Hamba tidak berani deksura untuk menerima panggilan itu dari Raden.”

“Ah,” Mas Rangsang tertawa pendek sambil menarik lengan Putut Gatra Bumi, “Marilah Kakang Putut Gatra Bumi. Aku lebih senang memanggilmu Kakang, dan jangan risaukan segala macam suba sita itu. Itu hanya berlaku kalau kita sedang mengikuti sebuah pasewakan agung atau acara-acara lain yang memang mengharuskan kita untuk mentaati paugeran-paugeran yang telah ditentukan.”

Terusan ADBM Jilid 414

3

Putut Gatra Bumi tidak menjawab. Dia hanya menurut saja ketika Pangeran Mataram itu menarik lengannya untuk mengikuti langkah calon penerus Trah Mataram itu menuju ke gubuk.

Sebenarnyalah gubuk itu dibuat seperti sebuah panggungan dengan sebuah tangga kecil untuk naik ke atasnya. Dengan sekali pandang, tahulah Raden Mas Rangsang bahwa sebenarnya gubuk itu telah dibuat dengan tergesa-gesa. Gubuk itu sebelumnya pasti tidak ada di tengah hutan itu. Gubuk itu sengaja di buat oleh seseorang hanya beberapa hari yang lalu atau bahkan mungkin baru semalam gubuk itu berdiri. Seseorang tentu dengan sengaja telah membangun gubuk di tengah hutan itu dengan tujuan yang belum diketahuinya.

Ketika Raden Mas Rangsang kemudian mulai memanjat anak tangga, terdengar suara sareh dari dalam gubuk menyambutnya, “Silahkan Raden. Mohon maaf aku tidak dapat menyambut kedatangan Raden sebagaimana mestinya karena keterbatasanku. Semoga Raden berkenan dengan keadaan gubuk yang serba sederhana ini.”

Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Ketika kakinya telah menginjak anak tangga yang terakhir dan kepalanya kemudian melongok ke dalam melalui pintu gubuk yang tidak berdaun, pandangan matanya telah menangkap sesosok tubuh tua renta dengan lemahnya duduk di atas sehelai tikar usang di lantai gubuk yang terbuat dari papan-papan kayu yang kasar.

Dengan berpegangan pada kusen pintu yang terbuat dari bambu, Raden Mas Rangsang pun kemudian dengan berjalan jongkok memasuki gubuk yang beratap rendah itu. Sambil beringsut setapak demi setapak dia mendekat ke depan Kiai Ajar Mintaraga. Sedangkan Putut Gatra Bumi ternyata tidak ikut masuk ke gubuk. Ketika Raden Mas Rangsang menaiki tangga, dia hanya berdiri menunggu saja di bawah tangga.

*****

Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Para pekerja yang sedang memperbaiki atap rumah Ki Gede tampak mulai berkeringat. Dibawah petunjuk Ki

Terusan ADBM Jilid 414

4

Jayaraga, mereka bekerja dengan cepat memperbaiki atap yang jebol itu.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bisik seorang pekerja yang masih muda kepada kawan di sebelahnya, “Atap itu tidak hanya jebol tapi juga terbakar.”

“Aku tidak tahu,” jawab kawannya juga dengan berbisik, “Menurut para tetangga Ki Gede, menjelang dini hari tadi telah terjadi pertempuran di rumah ini.”

“Siapa yang bertempur?” kembali pekerja yang masih muda itu bertanya.

Kawannya tidak segera menjawab. Kedua tangannya sibuk merangkai lonjoran-lonjoran kayu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan.

“Tentu seorang yang sangat sakti telah menyerang rumah Ki Gede,” pekerja yang masih muda itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Pintu pringgitan rumah ini pun juga hancur lebur dan terbakar menjadi abu.”

“Naikkan kayu-kayunya ke atas!” tiba-tiba terdengar seseorang dari atas atap berteriak memotong pembicaraan kedua pekerja itu.

Dengan tergesa-gesa kedua anak muda itu pun segera mengikat kayu-kayu yang telah disusun dengan seutas tali yang panjang. Setelah kayu-kayu itu terikat dengan kuat. Salah seorang segera melemparkan ujung tali yang lain ke atas untuk di tangkap oleh orang yang menunggu di atas atap. Dengan dibantu beberapa orang, kayu-kayu itu pun dengan perlahan-lahan dan sangat hati-hati ditarik ke atas atap.

“Semoga sebelum Matahari tergelincir pekerjaan ini sudah selesai,” berkata Ki Gede Menoreh yang ikut mengawasi.

Ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya, Ki Gede. Semakin cepat semakin baik. Memang bekerja di bawah terik Matahari akan cukup banyak menguras tenaga.”

Terusan ADBM Jilid 414

5

“Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Gede, “Untuk orang-orang yang sudah terbiasa bekerja di alam terbuka dan dibawah terik panas Matahari memang bukan suatu hal yang berat. Akan tetapi alangkah baiknya jika pekerjaan ini segera selesai, sebab pintu pringgitan itu juga belum tersentuh.”

“Tadi pagi aku sudah menyuruh salah seorang pembantu laki-laki Ki Gede untuk memesan pintu pringgitan,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Mungkin diperlukan waktu sekitar satu pekan untuk membuat pintu pringgitan yang bagus dengan ukiran yang cukup rumit dan njlimet.”

“Ah,” desah Ki Gede sambil tersenyum, “Tidak perlu ukiran yang rumit dan jlimet seperti pintu-pintu di istana Mataram. Yang penting pintu itu cukup kuat dan kokoh.”

“Agar tidak dapat dihancurkan lagi oleh orang yang mengaku pengikut keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu,” sahut Ki Jayaraga yang disambut dengan tawa oleh Ki Gede.

“Apakah dinding pringgitan itu akan ditutup untuk sementara?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Ya Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sedang dibuatkan ayaman dari bambu untuk menutup lobang pintu pringgitan sebelum pesanan pintu itu selesai.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepala sambil memandang ke arah pintu regol depan. Tampak beberapa pengawal sedang menyelusuri dan mengamati jalur dari regol sampai di kelokan jalan.

“Mayat kedua orang yang semalam kita jumpai dekat kelokan itu menghilang,” desis Ki Gede tanpa sadar.

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Memang aneh. Sewaktu kita berkuda dengan kencang melewati kelokan jalan itu semalam, dengan jelas terlihat dua orang terbujur dengan jarak yang tidak berjauhan di tepi jalan.”

Ki Gede sejenak merenung. Katanya kemudian, “Mungkin kawan-kawan mereka sempat membawa pergi,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Hampir semua orang sibuk

Terusan ADBM Jilid 414

6

memadamkan api sehingga tidak ada yang memperhatikan kedua mayat itu.”

“Apakah Ki Gede yakin bahwa kedua orang yang tertelungkup di tepi jalan itu sudha menjadi mayat?” tiba-tiba Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan yang tak terduga.

Untuk beberapa saat Ki Gede tidak menjawab. Namun akhir kepala Tanah Perdikan itu berkata, “Menurut pandanganku yang hanya sekilas dini hari tadi, keduanya mengalami luka yang cukup parah. Kemungkinan untuk selamat sangat kecil.”

Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sadar dia berdesis, “Kemampuan Ki Rangga telah merambah pada satu tataran ilmu yang lebih tinggi lagi.”

Ki Gede berpaling sekilas. Sambil menarik nafas dalam, Ki Gede pun kemudian ikut bergumam, “Menurut Ki Waskita Ki Rangga sedang mendalami sebuah ilmu yang disebut aji pengangen-angen.”

“Ya, aji pengangen-angen,” ulang Ki Jayaraga dengan dada yang berdebaran.

Untuk beberapa saat kedua orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka benar-benar merasa bangga dan sekaligus takjub melihat perkembangan ilmu Ki Rangga yang semakin matang dan dahsyat.

“Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Sesuai dengan perintah Ki Patih Mandaraka, Glagah Putih mendapat tugas untuk melawat ke lereng gunung Tidar. Atas perkenan Ki Patih aku akan menyertai perjalanannya.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab. Sekilas ingatannya segera tertuju kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Damar Sasangka dari perguruan Sapta Dhahana di lereng gunung Tidar.

“Aku kira semakin cepat Ki Jayaraga berdua berangkat akan semakin baik. Dengan demikian Ki Jayaraga berdua akan mempunyai cukup waktu untuk menyelidiki kekuatan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Ki Gede kemudian.

Terusan ADBM Jilid 414

7

“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Sebenarnya Ki Patih memerintahkan sepasang suami istri itu untuk melaksanakan tugas ini. Namun keberadaan kesehatan Rara Wulan tidak memungkinkan sehingga aku telah menyediakan diriku untuk mendampingi Glagah Putih.”

Ki Gede mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian, “Apakah Rara Wulan sakit?”

“O, tidak Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Agaknya pasangan suami istri itu akan segera dikaruniai momongan, jika Yang Maha Agung memang berkenan menitipkan amanahNya.”

“O, syukurlah kalau memang demikian,” sahut Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Semoga karunia itu akan semakin mempererat kasih sayang di antara mereka.”

“Ya, Ki Gede. Kita yang tua-tua ini hanya bisa mendoakan.”

Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam sambil mengawasi orang-orang itu bekerja. Matahari telah memanjat semakin tinggi dan panasnya semakin terasa mnyengat sehingga beberapa orang yang berada di atas atap itu telah melepaskan baju mereka.

“Di manakah Ki Rangga dipindahkan?” tiba-tiba Ki Gede bertanya.

“Di gandhok sebelah kanan Ki Gede,” jawab ki Jayaraga, “Selama atap itu diperbaiki, ruang tengah itu untuk sementara dikosongkan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga, kapan rencana Ki Jayaraga berdua berangkat?”

Ki Jayaraga berpikir sejenak. Jawabnya kemudian, “Hari ini aku kira sudah terlalu siang. Kemungkinan besuk pagi-pagi sekali kami berdua akan berangkat.”

“Baiklah, aku mohon Ki Jayaraga berdua menyempatkan diri untuk menghadap Ki Patih Mandaraka di Mataram sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam.”

Terusan ADBM Jilid 414

8

“Benar Ki Gede. Ki Patih harus mendapat laporan secepatnya. Agaknya kebangkitan orang-orang yang mengaku keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen itu harus segera diwaspadai dan ditindak-lanjuti. Kejadian di tanah pekuburan kemarin pagi yang telah melibatkan Ki Patih sendiri dan kejadian semalam menunjukkan bahwa mereka mempunyai kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mungkin beberapa perguruan lain telah melibatkan diri selain sisa-sisa murid perguruan Nagaraga itu sendiri. Yang perlu diwaspadai adalah orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu. Menurut keterangan Ki Waskita, kali ini kekuatan ilmunya memang masih selapis tipis di bawah Ki Rangga, namun aku yakin dalam waktu dekat dia akan segera menempuh laku untuk meningkatkan dan menyempurnakan ilmunya.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai kenangan silih berganti di dalam benaknya. Sejak kejayaan Demak lama dibawah kepemimpinan Sultan Trenggana, kemudian sepeninggal Sultan Trenggana pemerintahan bergeser ke Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya yang semasa mudanya bergelar Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Terakhir wahyu keprabon itu kini telah bergeser ke Mataram dibawah kepemimpinan keturunan Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram.

“Perebutan kekuasan di atas tanah ini selalu saja datang silih berganti,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jika setiap orang merasa berhak atas tahta, kedamaian di atas tanah ini tidak akan mungkin dapat tercapai.”

“Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian membuyarkan lamunan pemimpin tertinggi Perdikan Menoreh itu, “Aku kira para pekerja itu sudah tidak perlu ditunggui lagi. Jika Ki Gede berkenan, sebaiknya kita ke gandhok kanan sebentar untuk menengok Ki Rangga.”

Ki Gede sejenak mengerutkan kening. Katanya kemudian, “Marilah Ki, aku memang ingin bertanya serba sedikit tentang orang yang memiliki keris Kiai Sarpasri itu kepada Ki Rangga.”

Terusan ADBM Jilid 414

9

Demikianlah, kedua orang tua itu pun kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk menjenguk Ki Rangga yang untuk sementara waktu berada di gandhok sebelah kanan.

***

Dalam pada itu di Tegal Kepanasan, Bango Lamatan sedang duduk berlindung dari teriknya Matahari dibawah bayangan sebuah pohon yang rindang. Wajahnya terlihat gelisah. Sesekali dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dibawah pohon di tepi Tegal Kepanasan itu. Entah sudah berapa kali kepalanya mendongak untuk melihat letak Matahari yang masih belum sampai ke puncak.

Ketika dia sudah merasa bosan berjalan mondar-mandir, dihempaskan tubuhnya dibawah pohon sambil mengumpat, “Gila! Aku bisa mati kekeringan di sini. Begawan Cipta Hening itu benar-benar gila. Bagaimana jika orang yang akan aku bunuh itu ternyata tidak lewat di Tegal Kepanasan ini? Atau mungkin Begawan itu hanya ngaya-wara saja?”

Ketika Bango Lamatan benar-benar sudah hampir putus asa, tiba-tiba indera penciumannya yang tajam lamat-lamat mencium bau harum mewangi yang timbul tenggelam dibawa semilirnya angin pegunungan.

“Hem,” desah Bango Lamatan sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bau semerbak mewangi itu memang diluar kewajaran.

Untuk beberapa saat Bango Lamatan belum dapat mengambil sebuah kesimpulan apapun tentang bau semerbak mewangi yang semakin lama menjadi semakin tajam.

“Aku pernah mendengar dongeng tentang peri gunung,” berkata Bango Lamatan dalam hati sambil mencoba mempertajam indera penciumannya, “Tapi aku yakin itu hanyalah cerita ngaya wara sekedar untuk pengantar tidur kanak-kanak.”

Ketika untuk beberapa saat angin kemudian berhenti bertiup, bau semerbak mewangi itu pun tiba-tiba telah menghilang.

Terusan ADBM Jilid 414

10

“Jangan-jangan Begawan gila itu yang membuat ulah!” geram bango Lamatan sambil bangkit berdiri, “Dikiranya aku anak ingusan yang ketakutan begitu mencium bau wangi yang aneh di puncak bukit yang sunyi ini.”

Namun ketika angin pegunungan kembali bertiup dan kali ini agak kencang, bau semerbak mewangi itu pun kembali memenuhi udara di tempat Bango lamatan berdiri, bahkan lebih tajam lagi.

“Setan, demit, gendruwo, tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil mendengus kesal. Tanpa disadarinya bulu-bulu di sekujur tubuhnya telah merinding.

“Mengapa aku menjadi seperti seorang pengecut!” kembali Bango Lamatan mengumpat. Kali ini dengan suara agak keras untuk mengatasi gejolak yang sedang melanda dalam dadanya.

“Aku harus mencari sumber bau ini,” berkata Bango lamatan dalam hati sambil melangkahkan kakinya melawan arah angin, “Dari arah lereng sebelah selatan itu mungkin bau semerbak mewangi ini berasal.”

Dengan langkah lebar Bango lamatan pun kemudian berjalan meninggalkan tegal kepananasan menuju ke lereng pebukitan Menoreh sebelah selatan.

Ketika Bango Lamatan baru saja akan menuruni lereng yang cukup landai itu, tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah melihat sesuatu yang bergerak di bawah sana. Memang jaraknya masih cukup jauh. Di antara batang-batang pohon yang tumbuh menjulang serta gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan, tampak bayangan seseorang dengan langkah yang gemulai berjalan menaiki lereng.

Semakin lama bayangan itu semakin tampak jelas. Dalam siraman cahaya Matahari yang terang benderang, tampak seorang perempuan muda sedang berjalan perlahan menaiki lereng sebelah selatan.

“Siapakah perempuan itu?” tanpa sadar bibir bango Lamatan bergumam.

Terusan ADBM Jilid 414

11

Dengan mengerahkan aji sapta pandulu, Bango Lamatan pun kemudian mencoba melihat lebih jelas perempuan muda yang berjalan dengan gemulai menuju ke arahnya.

“He?” seru bango Lamatan dengan nada sedikit tertahan. Darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun begitu dapat melihat dengan jelas wajah perempuan muda itu, “Siapakah perempuan itu? Alangkah cantiknya! Seumur hidupku aku belum pernah berjumpa dengan perempuan secantik itu!”

Tiba-tiba saja dada Bango Lamatan berdesir tajam. Sungguh tidak dapat dinalar, jika di puncak pebukitan Menoreh yang sunyi ini terdapat seorang perempuan cantik dengan bau semerbak mewangi.

“Persetan dengan segala dongeng ngaya wara!” geram Bango Lamatan sambil mencoba mengeraskan hatinya. Dengan dada yang berdebaran dia menunggu perempuan cantik itu sampai di hadapannya.

Dalam pada itu, perempuan muda yang sangat cantik mempesona itu agaknya sudah mengetahui bahwa kehadirannya telah ditunggu oleh seseorang di atas lereng. Dengan sebuah senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya yang mungil kemerahan, perempuan muda itu pun melangkah semakin dekat ke tempat Bango lamatan berdiri menunggu.

Selangkah demi selangkah perempuan yang bagaikan golek kencana itu menjadi semakin dekat. Bango Lamatan yang menunggu di atas lereng hanya dapat berdiri membeku bagaikan terkena sihir. Sepasang matanya tidak berkedip memandangi sekujur tubuh perempuan muda yang penuh dengan lekuk-lekuk indah. Rambutnya disanggul tinggi sehingga dengan sangat jelas memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus mulus. Beberapa helai anak rambutnya yang berjuntai dengan indahnya tampak beriak-riak tertiup angin pegunungan yang lembut. Sementara sepasang matanya yang bagaikan bintang timur itu menatap bening ke arah Bango Lamatan tanpa ada rasa ragu sedikitpun.

Ketika perempuan muda dengan paras cantik bak putri-putri Raja dalam dongeng-dongeng itu tinggal beberapa langkah saja

Terusan ADBM Jilid 414

12

dari tempat Bango Lamatan berdiri, dia segera menghentikan langkahnya dan menghadap penuh ke arah Bango lamatan. Sementara bau semerbak mewangi yang memang berasal dari tubuh perempuan cantik itu semakin lama menjadi semakin menyengat dan memabokkan. Perlahan tapi pasti, bau semerbak mewangi itu telah merasuki otak Bango Lamatan sehingga dia tidak mampu lagi untuk mempergunakan penalarannya secara jernih.

Untuk beberapa saat Bango Lamatan bagaikan membeku di tempatnya. Hanya beberapa langkah di hadapannya sedang berdiri dengan anggunnya seorang perempuan muda yang sangat cantik. Kecantikan yang nyaris sempurna dengan bau semerbak mewangi yang selalu terpancar dari lekuk-lekuk tubuhnya.

Bango Lamatan yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengikatkan dirinya dengan seorang perempuan pun, kini sekujur tubuhnya bagaikan tersiram banyu sewindu, menggigil seperti orang kedinginan. Namun darah di dalam jantungnya justru telah menggelegak dahsyat bagaikan air mendidih yang secara perlahan tapi pasti mengalir ke seluruh urat-urat nadinya dan memanasi setiap jengkal tubuhnya.

“Siapakah Ni Sanak ini?” akhirnya dengan suara parau dan sedikit bergetar Bango Lamatan pun bertanya.

Perempuan muda yang kecantikannya bagaikan puteri-puteri dalam dongeng itu tidak segera menjawab, hanya tersenyum manis, bahkan terlalu manis sehingga dengan sekuat tenaga Bango Lamatan harus menahan hasratnya untuk tidak meloncat dan menubruk perempuan muda di hadapannya itu.

“Namaku Anjani,” akhirnya perempuan muda itu menjawab dengan suara lembut sambil mengangkat kedua tangannya yang lemah gemulai itu untuk membenahi sanggulnya. Gerakan yang wajar bagi seorang perempuan namun yang hampir saja membuat Bango Lamatan jatuh pingsan.

“Anjani?” ulang Bango Lamatan sambil sekuat tenaga menahan gemuruh di dalam rongga dadanya, “Seumur hidupku,

Terusan ADBM Jilid 414

13

belum pernah aku menjumpai perempuan secantik Nimas Anjani ini.”

“Ah,” desah Anjani sambil kembali tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya yang indah itu, “Aku sudah terbiasa menerima pujian setiap laki-laki yang aku jumpai,” Anjani berhenti sejenak sambil sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah Bango Lamatan. Kemudian lanjutnya, “Namun aku merasa selama ini tidak ada seorang pun yang secara tulus memujiku.”

“O, tidak tidak! Itu tidak benar,” sahut Bango Lamatan cepat dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari seraut wajah cantik itu, “Ketahuilah. Aku Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra tidak pernah bicara lelamisan. Jika memang hitam, akan aku katakan hitam. Dan jika memang putih, aku pun akan mengatakan putih.”

Berdesir dada Anjani begitu menyadari orang yang berdiri di hadapannya ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra. Anjani memang belum mengenal bango Lamatan, namun nama Panembahan Cahya Warastra telah sering didengarnya sejak dia bersama Resi Mayangkara berada di Menoreh.

“Bukankah Panembahan Cahya Warastra sudah terbunuh dalam perang tanding melawan Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Anjani dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Kalau yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Bango Lamatan, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra, tentu bukan orang ini yang dimaksud oleh kakek Tanpa Aran yang aku jumpai tadi pagi.”

Sejenak ingatan Anjani kembali ke beberapa saat yang lalu ketika dia sedang menyusuri hutan di kaki bukit menoreh. Matahari baru saja memancarkan sinarnya menerangi pucuk-pucuk pepohonan ketika Anjani menjumpai seorang Kakek sedang duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon.

Pada awalnya Anjani tidak banyak menaruh perhatian kepada Kakek itu. Namun justru kakek itulah yang telah memanggilnya

Terusan ADBM Jilid 414

14

ketika dia berjalan melewati pohon tempat Kakek itu duduk bersimpuh.

“Berhentilah sebentar ngger, apakah aku bisa memohon pertolongan dari angger?” berkata Kakek itu tiba-tiba sambil melambaikan tangan kanannya. Sementara tangan kiri Kakek itu erat memegang sebuah lodong dari bambu yang biasanya untuk menyimpan air.

Anjani segera menghampiri kakek yang bersimpuh di bawah pohon itu. Sesampainya di hadapannya, Anjani segera berlutut sambil menyapa, “Siapakah Kakek ini dan ada apakah Kakek memanggil aku?”

Sejenak Kakek itu menatap Anjani dengan mata yang buram berlinang air mata. Katanya kemudian, “Ngger, orang menyebutku kakek Tanpa Aran. Sudah sejak semalam aku duduk di sini menunggu seseorang yang dapat aku mintai pertolongan. Syukurlah angger telah lewat dan agaknya Yang Maha Agung memang telah mengirim angger untuk menolongku.”

Anjani mengerutkan keningnya. Dia belum mengenal kakek itu dan mungkin sebaliknya kakek itu pun juga belum mengenalnya. Namun mengapa kakek itu begitu yakin dirinya dapat menolongnya?

Berpikir sampai disitu, Anjani pun akhirnya bertanya, “Kakek, kita belum pernah saling bertemu apalagi mengenal satu sama lainnya. Apakah kakek yakin aku dapat menolong mengatasi persoalan yang sedang menimpa Kakek saat ini?”

Kakek itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ngger, aku mempunyai panggraita bahwa anggerlah orang yang akan menolong aku. Bukankah angger akan mendaki pebukitan Menoreh?”

Anjani tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk.

Kembali orang tua itu tersenyum sareh. Lanjutnya kemudian, “Aku mohon angger berkenan menolongku. Carilah cucuku yang sekarang ini mungkin juga sedang berada di sekitar pebukitan Menoreh. Bujuklah dia agar mau mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumah.”

Terusan ADBM Jilid 414

15

Sekali lagi Anjani mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kek, pebukitan Menoreh ini sangat luas. Dimana kah aku harus mencari cucu Kakek? Dan apakah sebenarnya yang sedang dilakukannya di sana?”

Untuk beberapa saat kakek itu tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tertunduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ingin dilonggarkan rongga dadanya dari segala persoalan yang sedang menghimpitnya.

Setelah sekali lagi menarik nafas dalam, akhirnya kakek itu pun menjawab, “Ngger, carilah cucuku itu di sekitar tempat yang bernama Tegal Kepanasan. Dia sedang lelaku untuk mencari kayu gung susuhing angin yang menurut wangsit yang diterimanya melalui sebuah mimpi, berada di sekitar Tegal Kepanasan.”

Untuk ke sekian kali kening Anjani menjadi semakin berkerut-merut. Dia menjadi sedikit ragu-ragu dengan kakek yang duduk bersimpuh di hadapannya itu. Dia belum pernah mendengar sejenis kayu seperti yang dikatakan oleh Kakek itu. Selebihnya, hanya orang yang tidak dapat menggunakan nalar dengan jernih yang mau melakukan sesuatu hal hanya berdasarkan pada sebuah mimpi.

“Bagaimana Nimas Anjani?” tiba-tiba pertanyaan Bango Lamatan telah membuyarkan lamunan Anjani.

“Apa maksudmu, Ki Bango Lamatan?” Anjani justru balik bertanya sambil mengerutkan sepasang alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit.

Sejenak, Bango Lamatan menahan nafasnya sambil memejamkan matanya untuk mengumpulkan keberaniannya. Pengaruh Aji Seribu Bunga dari Anjani ternyata telah memburamkan penalarannya. Katanya kemudian dengan suara bergetar dan penuh tekanan, “Ketahuilah Nimas Anjani. Hanya engkau lah yang telah menjawab mimpi-mimpi di setiap gelisah tidurku selama ini. Yang telah menerangi kegelapan jiwaku akan cinta kasih yang selama ini aku abaikan. Yang menyirami taman hatiku yang selama ini aku biarkan tandus dan gersang. Yang telah…..”

Terusan ADBM Jilid 414

16

“Cukup!” potong Anjani dengan serta merta. Kedua pipinya yang ranum itu kini tampak semakin memerah sehingga menambah kecantikannya saja.

“Ki Bango Lamatan!” lantang terdengar suara Anjani sambil membusungkan dada dan bertolak pinggang. Sebuah pemandangan yang membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasa sangat kering kerontang. Berkata Anjani selanjutnya “Dengar! Aku adalah salah seorang sahabat Ki Rangga Agung Sedayu. Musuh Ki Rangga berarti musuhku juga. Nah, jangan banyak bertingkah. Menyerah sajalah untuk aku bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Engkau harus mempertanggung-jawabkan segala polah tingkahmu selama menjadi pengikut Panembahan Cahya Warastra!”

Bango Lamatan sama sekali tidak menjawab. Seolah-olah tidak didengarnya semua perkataan Anjani. Hanya wajahnya saja yang tampak sebentar merah sebentar pucat dengan sepasang mata yang membelalak serta peluh yang bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Anjani yang berdiri di hadapannya itu kini benar-benar bagaikan seekor domba muda yang gemuk di hadapan seekor serigala tua yang kelaparan.

Namun, sebelum Bango Lamatan memutuskan berbuat sesuatu untuk memuaskan hasratnya yang hampir meledakkan dada, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, terdengar suara tembang yang ngelangut dibawa oleh semilirnya angin pegunungan.

Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani niwah panggawe ala gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno

Terusan ADBM Jilid 414

17

Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning wong lemah miring Myang pakiponing merak

Bagaikan tesadar dari sebuah mimpi buruk, perlahan tapi pasti penalaran Bango Lamatan mulai jernih kembali. Pengaruh bau semerbak mewangi yang memabokkan itu bagaikan asap yang tertiup angin, perlahan tapi pasti secara berangsur-angsur menyusut dari dalam otaknya.

Untuk beberapa saat Bango Lamatan masih termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Namun penalarannya yang mulai jernih segera menyadari tugas apa yang sedang dibebankan di atas pundaknya.

“Terima kasih Begawan,” desah Bango lamatan lirih begitu mengenali suara itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Dipenuhi rongga dadanya dengan angin pegunungan yang segar, yang telah terbebas dari pengaruh bau harum mewangi Aji Seribu Bunga.

Sedangkan Anjani yang juga mendengar kidung itu bagaikan tersirap darahnya sampai ke ubun-ubun. Rasa-rasanya ada hawa dingin yang tajam menusuk ulu hatinya sehingga untuk beberapa saat Anjani telah menggigil kedinginan, walaupun pada saat itu Matahari hampir mencapai puncaknya.

“Gila!” geram Anjani dalam hati sambil menekan dadanya yang terasa sakit dengan telapak tangan kanannya, “Luka dalam dadaku sudah tidak terasa sakit lagi ketika Ki Tanpa Aran tadi pagi memberiku minum dari lodong bambunya, namun kini terasa sakit lagi.”

Menyadari Bango Lamatan sudah terbebas dari pengaruh Aji Seribu Bunganya, Anjani segera bergeser surut untuk

Terusan ADBM Jilid 414

18

mempersiapkan diri jika terjadi perubahan sikap Bango Lamatan terhadap dirinya.

“Ki Tanpa Aran tadi sudah memperingatkan aku bahwa di Tegal Kepanasan banyak berkeliaran para penjahat dan orang-orang yang bermaksud jahat terhadap cucunya,” berkata Anjani dalam hati sambil bergeser setapak lagi ke belakang, “Mungkin yang dimaksud Ki Tanpa Aran salah satunya adalah orang ini.”

“Ngger,” berkata Ki Tanpa Aran kepadanya pagi tadi, “Angger harus waspada pada saat nanti menginjakkan kaki di Tegal Kepanasan. Banyak orang-orang jahat yang menginginkan kayu gung susuhing angin itu dari tangan cucuku. Maka berhati-hatilah ngger.”

Demikianlah, pada saat Anjani mulai mendaki lereng pebukitan Menoreh pagi tadi, secara perlahan tapi pasti Anjani telah mengetrapkan Aji Seribu Bunga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.

“Tidak menutup kemungkinan aku akan menghadapi rintangan lebih dari seorang,” berkata Anjani dalam hati sambil mendaki Perbukitan Menoreh pagi tadi.

Dalam pada itu, Bango Lamatan yang sudah benar-benar menyadari jati dirinya segera bersiap. Katanya kemudian, “Luar biasa. Agaknya engkau memiliki sejenis ilmu sihir yang dapat mempengaruhi daya penalaran seseorang. Untunglah Sang Begawan telah menolong aku. Sekarang engkau harus ikut aku menghadap Sang Begawan untuk menjadi tumbal menemani Pangeran Pati Mataram yang juga akan aku bunuh siang ini.”

Selesai berkata demikian, tanpa sadar Bango Lamatan mendongakkan kepalanya untuk melihat ke langit. Ternyata Matahari sedang bersinar dengan garangnya tepat di atas ubun-ubun.

“Pangeran Pati itu!” seru Bango Lamatan begitu menyadari Matahari telah mencapai puncaknya. Dengan segera dia berbalik dan berlari menuju ke Tegal Kepanasan kembali. Tidak dihiraukan lagi Anjani yang sedang berdiri terheran-heran melihat segala tingkah polahnya.

Terusan ADBM Jilid 414

19

Sejenak kemudian Bango lamatan yang sudah sampai di Tegal Kepanasan itu dengan pandangan mata yang nanar segera mencari bayangan seseorang. Begawan Cipta Hening telah memberitahu dirinya bahwa Pangeran Pati itu akan lewat di tempat itu tepat saat Matahari di atas ubun-ubun.

“Itu dia!” seru Bango Lamatan dengan geram ketika melihat seorang anak muda berjalan dengan tegap dan gagah melintasi gerumbul dan semak belukar menuju ke Tegal Kepanasan.

Dengan beberapa kali loncatan saja Bango Lamatan telah berdiri dengan kedua kaki renggang di tengah-tengah Tegal Kepanasan. Dengan bertolak pinggang, Bango Lamatan pun kemudian berseru keras, “Kemarilah Raden! Aku sudah menunggu Raden sedari Matahari terbit pagi tadi.”

Pemuda yang sedang berjalan menuju Tegal Kepanasan itu memang Raden Mas Rangsang, Pangeran Pati Mataram. Tanpa ada rasa kecurigaan sama sekali, Putra Mahkota itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati tempat Bango Lamatan berdiri menunggu.

Berdesir dada Bango lamatan begitu melihat tatapan mata Raden Mas Rangsang yang seolah berkilat menyala walaupun dalam terik sinar Matahari. Degup jantung orang kepercayaan Panembahan Cahya warastra itu semakin lama semakin kencang seiring dengan langkan Raden Mas Rangsang yang semakin dekat.

Ketika langkah Raden Mas Rangsang tinggal enam langkah dari tempat Bango Lamatan berdiri, Pangeran Pati Mataram itu pun menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke arah orang yang berdiri di hadapannya, Raden Mas Rangsang itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak, aku secara pribadi belum mengenal Ki Sanak. Kalau bukan karena suatu hal yang sangat penting, tentu Ki Sanak tidak akan bersusah payah menungguku untuk sekian lama di tengah Tegal Kepanasan ini.”

Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Raden benar. Sudah sejak dini hari tadi aku menunggu Raden di tempat ini. Bersiaplah Raden, aku tidak boleh terlambat lagi. Aku tidak

Terusan ADBM Jilid 414

20

ingin Sang Begawan menunggu terlalu lama. Nasib Panembahan Cahya Warastra menjadi taruhannya.”

Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan orang yang berdiri di hadapannya itu. Bahkan namanya pun di belum tahu.

“Sebentar Ki Sanak,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian, “Aku tidak mengerti apa yang sedang Ki Sanak bicarakan. Bahkan Ki Sanak pun belum memperkenalkan diri.”

Beberapa saat Bango Lamatan tertegun. Memang karena ketergesa-gesaannya, dia belum sempat memberitahukan namanya. Namun sebenarnya semua basa-basi itu bagi Bango Lamatan tidak penting. Tujuannya hanya satu, membunuh Putra Mahkota Mataram itu dan menyerahkan jasadnya kepada Begawan Cipta Hening.

“Raden,” berkata Bango Lamatan pada akhirnya, “Memang sebaiknya Raden mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum maut menjemput Raden. Ketahuilah Raden, aku Bango Lamatan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra akan membunuh Raden sekarang juga di tengah Tegal Kepanasan ini sebagai persyaratan yang diminta oleh Sang Begawan untuk menghidupkan kembali Panembahan Cahya Warastra.”

Tampak kerut merut semakin dalam di kening Pangeran Pati Mataram itu. Namun lambat laun kerut merut itu memudar seiring dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya.

“Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah sambil menunggu kedatanganku tadi Ki Bango Lamatan sempat menghabiskan berlodong-lodong tuak? Agaknya Ki Bango Lamatan kurang menyadari dengan apa yang telah Ki Bango ucapkan sendiri. Sebaiknya Ki Bango Lamatan beristirahat saja untuk menenangkan pikiran dan memulihkan kesadaran. Aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku akan meneruskan perjalananku.”

“Persetan dengan celotehmu Raden!” bentak Bango Lamatan menggelegar bagaikan guruh di langit, “Raden sangka aku sedang mabok tuak? Tidak Raden, aku sedang bersungguh-sungguh.

Terusan ADBM Jilid 414

21

Lebih baik Raden segera mempersiapkan diri. Bukan salahku jika pada benturan yang pertama Raden dengan sangat mudahnya akan aku lumpuhkan.”

Memerah darah wajah Pangeran Pati itu. Dengan suara sedikit keras dia berkata, “Ki Bango Lamatan, aku merasa di antara kita tidak pernah terjadi silang sengketa. Jadi, apakah sebenarnya niat dibalik semua sandiwara Ki Bango Lamatan ini?”

Bango Lamatan tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seperti yang sudah aku katakan. Nyawa Raden akan menjadi tumbal sebagai pengganti nyawa Panembahan Cahya Warastra. Melawan atau tidak melawan, aku akan tetap membunuh Raden.”

Kini raden Mas Rangsang menyadari sepenuhnya bahwa orang yang berdiri di hadapannya itu tidak sedang mabok tuak, tetapi benar-benar akan membunuhnya. Tanpa menarik perhatian, Raden Mas Rangsang pun segera mempersiapkan diri.

“Ki Bango Lamatan,” berkata Raden Mas Rangsang kemudian masih mencoba mencari jalan keluar, “Apakah mungkin seseorang yang sudah mati itu dapat dihidupkan lagi dengan cara membunuh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya? Dan selebihnya, aku belum pernah mendengar ada sebuah ilmu yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati.”

Kembali Bango Lamatan tertawa. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Raden. Di sebuah goa yang terletak di puncak tertinggi bukit Menoreh ini, tinggal seorang Begawan Sakti yang menguasai ilmu sulih nyawa. Sang Begawan telah berjanji untuk menukar nyawa Raden dengan kehidupan Panembahan Cahya Warastra.”

Berdesir jantung Raden Mas Rangsang mendengar keterangan Bango Lamatan. Betapapun juga kata-kata orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu sedikit banyak telah menggetarkan dadanya.

“Nah, Raden! Jangan merajuk. Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari esok pagi!”

Selesai berkata demikian, Bango Lamatan pun segera melancarkan serangannya. Dengan sebuah loncatan panjang,

Terusan ADBM Jilid 414

22

kaki kirinya lurus meluncur deras mengarah ke dada Raden Mas Rangsang yang berdiri beberapa tombak di hadapannya.

Raden Mas Rangsang yang telah mempersiapkan diri sebelumnya segera menggeser kedudukannya selangkah ke kiri. Ketika kaki kiri lawannya yang terjulur lurus itu lewat sejengkal dari dadanya, kedua tangan Raden Mas Rangsang itu pun telah berusaha menangkap pergelangan kaki lawannya.

Bango Lamatan yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera menggeliat di udara sambil menarik kakinya yang terjulur lurus. Demikian kaki kirinya itu berhasil ditarik, sebagai gantinya tangan kanan Bango Lamatan terayun deras memukul tenguk.

Tentu saja perawis tahta Mataram itu tidak akan membiarkan tenguknya patah terkena sambaran serangan lawan. Dengan sedikit merundukkan kepalanya, tangan kanan Raden Mas Rangsang yang justru telah mengancam ulu hati Bango Lamatan.

Demikianlah sejenak kemudian pertempuran di Tegal Kepanasan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Walaupun Raden Mas Rangsang masih terhitung sangat muda, namun kemampuan olah kanuragan serta kekuatannya benar-benar ngedab-edabi. Ketika sesekali terjadi benturan yang tak terelakkan antara keduanya, Bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan alang-kepalang. Kekuatan Pangeran Pati Mataram itu benar-benar setara dengan kekuatan seekor banteng ketaton.

Dalam pada itu Matahari telah sejengkal tergelincir dari puncaknya. Sinarnya yang masih garang telah membakar Tegal Kepanasan, namun kedua orang yang sedang menyabung nyawa itu benar-benar sudah tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan dua ekor singa yang sedang berlaga mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati.

Namun Bango Lamatan adalah tokoh angkatan tua yang jauh lebih berpengalaman dari pada Raden Mas Rangsang. Penggunaan nalar serta perhitungannya lebih matang dari lawannya yang masih muda, sehingga lambat laun keadaan pewaris tahta Mataram itu sedikit demi sedikit terlihat mulai terdesak.

Terusan ADBM Jilid 414

23

“Raden,” berkata Bango Lamatan kemudian sambil terus melancarkan serangan mendesak lawannya, “Lebih baik Raden menyerah. Aku berjanji tidak akan menyakiti Raden di saat-saat terakhir Raden.”

“Diam!” bentak Raden Mas Rangsang sambil menloncat mundur beberapa tombak.

Melihat lawannya mengambil jarak, Bango Lamatan tidak mengejar. Dia justru berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang sambil tertawa berkepanjangan.

“Sudahlah Raden. Tidak ada gunanya. Menyerahlah!” berkata Bango Lamatan kemudian masih sambil tertawa.

Namun suara tertawa Bango Lamatan itu tiba-tiba saja terputus begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi pada diri lawannya. Tampak sebuah asap tipis kemerah-merahan mengepul dari ubun-ubun Putra Mahkota itu. Sementara dari kedua bola matanya yang sedang memandang tajam kearahnya, muncul selarik sinar kebiru-biruan bagaikan mata seekor kucing yang bersinar dalam gelap.

“Sebuah pertanda telah menyatunya wahyu keprabon dalam diri anak muda ini,” berkata Bango Lamatan dalam hati dengan jantung yang berdegup semakin kencang.

“Ki Bango Lamatan!” terdengar Pangeran Pati itu menggeram membuyarkan lamunan lawannya, “Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah! Aku akan mengusahakan keringanan hukuman di hadapan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati jika engkau menyerah dengan baik-baik. Namun kalau engkau tetap bersikukuh ingin membunuhku, jangan salahkan aku kalau petualangan seorang Bango Lamatan akan berakhir di Tegal Kepanasan ini.”

“Ah,” Bango Lamatan tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jangan bermimpi Raden, hari masih terlalu siang untuk bermimpi. Sebaiknya Raden menyerah saja secara baik-baik agar urusan ini segera selesai.”

Raden Mas Rangsang tidak menjawab. Dengan sebuah bentakan yang menggelegar, Pangeran Pati Mataram itu pun tiba-

Terusan ADBM Jilid 414

24

tiba telah meloncat dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh pandangan mata wadag menerjang ke arah lawannya.

Sekali ini bango Lamatan benar-benar dibuat terkejut bukan buatan. Kecepatan gerak lawannya bagaikan tatit yang meloncat di udara. Disertai dengan suara angin yang menderu kencang, serangan Raden Mas Rangsang pun melanda Bango Lamatan.

Tidak ada kesempatan bagi Bango Lamatan untuk menghindar. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah menyilangkan kedua lengannya di depan dada disertai dengan pengerahan tenaga cadangan setinggi-tingginya untuk menahan gempuran ilmu lawannya.

Sejenak kemudian terdengar benturan yang dahsyat. Bumi seolah-olah ikut terguncang. Kedua orang yang menyabung nyawa itu sama-sama telah terlempar ke belakangan beberapa tombak sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.

“Setan, Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan sambil meloncat berdiri. Rongga dadanya terasa sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat.

Sedangkan Raden Mas Rangsang ternyata telah mengalami goncangan yang membuat dadanya bagaikan retak. Ketika Putra Mahkota itu kemudian mencoba bangkit berdiri, sejenak dia terhuyung-huyung namun dengan cepat segera dapat menguasai diri dan kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang renggang.

“Aji Bajrageni,” geram Bango Lamatan dalam hati. Aji Bajrageni adalah salah satu dari sekian aji jaya kawijayan yang dimiliki oleh Sultan Trenggana penguasa Demak lama. Agaknya aji itu telah diwariskan kepada Mas Karebet, anak menantunya yang kemudian menjadi Sultan Pajang. Tidak menutup kemungkinan bahwa Sultan Hadiwijaya pun kemudian juga mewariskan ilmu itu kepada anak angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang kemudian berkuasa di Mataram.

“Anak ini masih sangat muda namun sudah mampu menguasai Aji Bajrageni sedemikian dahsyatnya,” berkata Bango Lamatan dalam hati, “Jika di kelak kemudian hari dia berhasil

Terusan ADBM Jilid 414

25

mematangkan ilmunya ini, dia benar-benar akan mampu menggulung jagad.”

Dalam pada itu, Raden Mas Rangsang yang telah mampu memperbaiki kedudukannya segera menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang meluncur dari tebing yang curam. Setelah sejenak memulihkan kekuatannya, Raden Mas Rangsang pun telah siap melancarkan serangannya kembali.

Bango Lamatan yang melihat lawannya telah siap melancarkan serangannya kembali segera mengambil sikap. Dia tidak ingin terlambat lagi dan gagal memenuhi permintaan Begawan Cipta Hening.

Demikianlah ketika Raden Mas Rangsang telah siap dengan serangannya kembali, tiba-tiba saja dia telah dikejutkan oleh keberadaan lawannya yang tiba-tiba saja telah lenyap dari pandangan matanya.

“He! Pengecut!” teriak Raden Mas Rangsang dengan jantung yang berdebaran, “Jangan seperti kanak-kanak yang senang bermain petak umpet!”

Bango Lamatan tertawa berkepanjangan mendengar teriakan lawannya. Suara tawanya terdengar bergema memenuhi Tegal Kepanasan sehingga menyulitkan Raden Mas Rangsang untuk melacak keberadaannya.

“Silahkan Raden menemukan persembunyianku,” terdengar suara Bango Lamatan bergulung-gulung memenuhi tempat itu, “Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh Raden sekarang ini. Dengan sebuah serangan yang sederhana pun Raden tidak akan mampu menghindarinya.”

Raden Mas Rangsang menggeram marah. Dicobanya mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu Bahkan Sapta Pangganda untuk mencari keberadaan lawannya. Namun usaha Pangeran Mataram ini tampaknya sia-sia.

Kembali terdengar suara tertawa Bango Lamatan yang menggelegar dan bergulung-gulung memenuhi udara Tegal Kepanasan. Terdengar suaranya di antara tawa yang

Terusan ADBM Jilid 414

26

berkepanjangan, “Raden, menyerahlah! Aku akan menangkapmu hidup-hidup dan tentu Begawan Cipta Hening akan lebih senang jika dapat mengetrapkan ilmu sulih nyawanya ketika Raden masih dalam keadaan hidup. Dengan demikian Panembahan Cahya Warastra akan kembali hidup dengan sempurna.”

“Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Pati Mataram itu dengan suara tak kalah dahsyatnya. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dengan kekuatan penuh Aji Bajrageni. Namun alangkah kecewanya Raden Mas Rangsang begitu menyadari serangannya hanya mengenai tempat kosong. Justru tanah serta rerumputan liar yang segaris dengan serangan Aji Bajrageni itu bagaikan meledak dan berhamburan ke udara. Butiran-butiran tanah serta rumput-rumput liar itu pun hancur menjadi abu terkena kedahsyatan puncak Aji Bajrageni.

“Gila!” geram Bango Lamatan tanpa sadar begitu melihat akibat dari kekuatan puncak Aji Bajrageni, “Ternyata pada kekuatan puncaknya Aji Bajrageni itu mampu membakar sasarannya menjadi abu. Aku tidak menyangka kalau Putra Mahkota yang masih muda itu ternyata telah tuntas mempelajarinya.”

Diam-diam Bango Lamatan tergetar hatinya. Pada benturan pertama tadi ternyata Raden Mas Rangsang masih belum sampai ke puncak ilmunya.

Dalam pada itu Raden mas Rangsang yang merasa dipermainkan oleh lawannya menjadi semakin marah. Sudah dicobanya untuk mendengar setiap desir langkah lawannya melalui Aji Sapta Pangrungu, atau bayangan sekilas yang mungkin dapat tertangkap oleh Aji Sapta Pandulu, bahkan telah dicobanya pula untuk mengetrapkan Aji Sapta Pangganda barangkali indra penciumannya dapat mengendus bau keringat yang keluar dari tubuh lawannya. Namun semua usahanya itu tampaknya sia-sia. Bango Lamatan benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi.

Tidak ada jalan lain bagi Raden Mas Rangsang selain meningkatkan ilmu yang khusus untuk memperkuat pertahanan

Terusan ADBM Jilid 414

27

diri. Serangan lawan dapat terjadi sewaktu-waktu dan dari arah yang mungkin sangat tidak terduga.

“Nah, Raden,” terdengar suara Bango Lamatan kembali bergaung, “Sekarang giliranku untuk mencoba sampai di mana kekuatan pertahanan Raden.”

Berdesir dada Pangeran Pati Mataram itu. Namun sebelum dia sempat memikirkan kemungkinan dari arah mana datangnya serangan lawan, tiba-tiba saja sebuah serangan yang dahsyat telah melanda punggungnya.

Untunglah Raden Mas Rangsang telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membentengi diri dengan Aji Tameng Waja, sebuah aji yang pernah menggegerkan Kerajaan Demak lama, dimana pada waktu itu Sultan Trenggana masih bertahta.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Punggung Raden Mas Rangsang bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan yang runtuh. Untunglah pangeran Pati Mataram itu sebelumnya telah membentengi dirinya denga Aji Tameng Waja, jika tidak mungkin punggungnya telah hancur terkena serangan Bango Lamatan.

Namun kekuatan serangan Bango Lamtan memang dahsyat tiada taranya. Tubuh Raden Mas Rangsang pun terlempar beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya jatuh tersungkur di atas tanah tak sadarkan diri.

Sementara Bango Lamatan yang sudah pernah merasakan kekuatan Pangeran Pati Mataram itu masih saja terkejut. Rasa-rasanya ilmunya telah membentur sebuah dinding yang terbuat dari baja setebal satu jengkal. Sebuah kekuatan yang dahsyat pun telah berbalik menghantam dirinya.

“Anak iblis!” umpat Bango Lamatan sambil bergulingan di atas tanah. Kekuatan aji Tameng Waja itu ternyata telah melemparkannya beberapa langkah ke belakang dan membuatnya jatuh bergulingan. Pandangan matanya sejenak menjadi gelap dan dunia terasa berputar. Namun ketahanan tubuh Bango Lamatan yang luar biasa telah membuatnya tetap sadarkan diri.

Terusan ADBM Jilid 414

28

Untuk sejenak Bango Lamatan masih terbujur diam di atas tanah dengan kedua mata terpejam untuk mengembalikan keseimbangan nalar dan budinya. Dengan demikian pengetrapan Aji Halimunan Bango Lamatan menjadi terganggu seiring dengan benturan dahsyat yang baru saja dialaminya. Perlahan-lahan ujud Bango Lamatan pun kemudian menjadi kasat mata dan dapat dikenali kembali oleh pandangan mata wadag.

Ketika terasa dunia sudah tidak berputar lagi, dengan perlahan perlahan Bango Lamatan membuka kedua matanya dan mencoba untuk bangkit berdiri. Namun alangkah terkejutnya Bango Lamatan, ketika dia baru saja tegak di atas kedua kakinya yang renggang, seseorang tampak telah berdiri beberapa langkah di hadapannya membelakangi Raden Mas Rangsang yang tergeletak tak sadarkan diri.

“Anjani,” desah Bango Lamatan dengan dada yang berdebaran sambil cepat-cepat melemparkan pandangan matanya ke titik-titik di kejauhan. Ada sebuah keseganan yang membuatnya takut untuk menatap langsung sepasang mata yang indah bak bintang timur itu.

“Terima kasih engkau masih mengingatku, Ki Bango Lamatan,” berkata Anjani sambil menebarkan senyum, “Ternyata Kakek Tanpa Aran yang meminta pertolonganku tadi pagi benar. Banyak orang jahat yang ingin mencederai cucunya. Aku yakin salah satunya adalah engkau Ki Bango Lamatan.”

Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Sekilas pandangan matanya menyambar sesosok tubuh indah semampai yang berdiri menantang hanya beberapa langkah saja di hadapannya. Dan untuk ke sekian kalinya, Bango Lamatan harus dengan susah payah mengendalikan jantungnya yang melonjak-lonjak.

“Anjani,” berkata Bango Lamatan kemudian tanpa berani menentang pandang seraut wajah yang dapat menjerumuskannya ke dalam pusaran hasrat yang tak terkendali, “Aku tidak kenal orang yang engkau sebut kakek atau Ki Tanpa Aran itu. Aku juga tidak mengenal cucunya. Aku harap engkau tidak mencampuri urusanku. Aku akan membawa Pangeran Pati Mataram itu ke hadapan Begawan Cipta Hening sekarang juga.”

Terusan ADBM Jilid 414

29

Anjani sejenak mengerutkan sepasang alisnya yang indah bak semut beriring itu. Sambil bertolak pinggang, Anjani pun kemudian berseru lantang, “Ki Bango Lamatan, siapakah yang engkau sebut dengan Pangeran Pati Mataram itu? Jangan berusaha mengelabuhi aku. Aku yakin yang sekarang sedang tergolek tak sadarkan diri di belakangku ini adalah cucu Kakek Tanpa Aran. Jika engkau berani menyentuhnya, engkau akan berurusan denganku!”

Diam-diam Bango Lamatan mengumpat dalam hati. Usahanya untuk menangkap Raden Mas Rangsang ternyata tidak semudah mijet wohing ranti. Perempuan muda yang cantik bagai bidadari ini merupakan lawan yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Perempuan muda itu ternyata mempunyai sejenis ilmu sihir yang dapat membuat tubuhnya mengeluarkan bau harum mewangi dan memabokkan sehingga dapat mengacaukan penalaran lawannya.

“Hem,” desah Bango Lamatan dalam hati dengan sedikit gelisah, “Mungkinkah aji halimunanku dapat ditembus oleh bau harum mewangi memabokkan yang terpancar dari tubuh perempuan iblis ini?”

“Anjani,” akhirnya Bango Lamatan membuat sebuah keputusan, “Ketahuilah, anak muda yang tak sadarkan diri itu adalah Raden Mas Rangsang, Putra Mahkota Mataram. Jadi semua ini tidak ada hubungannya dengan Kakek Tanpa Aran yang engkau ceritakan,” Bango Lamatan berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang menjadi sedikit memburu. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang minggirlah! Aku akan membawa Raden Mas Rangsang kepada Begawan Cipta Hening. Aku sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain-main.”

Selesai berkata demikian Bango Lamatan segera bersiap. Setapak dia bergeser surut. Sudah menjadi keputusan baginya untuk melumpuhkan Anjani secepat mungkin. Sejenak kemudian, bagaikan segumpal asap yang tertiup angin kencang, tiba-tiba saja tubuh Bango Lamatan menghilang dari pandangan mata lawannya.

Terusan ADBM Jilid 414

30

Beberapa saat tadi dari pinggir Tegal Kepanasan diam-diam Anjani sudah menyaksikan kedahsyatan ilmu Bango Lamatan itu. Namun kali ini Anjani sudah tidak terkejut lagi. Justru dengan menghilangnya Bango Lamatan dari pandangan matanya, Anjani segera mengetrapkan Aji Seribu Bunga sampai ke puncak.

Sejenak kemudian udara di Tegal Kepanasan itu pun segera dipenuhi oleh bau harum semerbak mewangi yang memabokkan. Burung-burung yang sedang terbang melintas serta binatang-binatang lain yang sempat mencium bau memabokkan itu telah menggelepar-gelepar dan berusaha keluar dari arena Tegal Kepanasan yang berubah menjadi medan yang menggerikan. Sementara Bango Lamatan yang bersembunyi dengan Ilmu Halimunannya sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan pemusatan nalar dan budinya agar pengetrapan Ilmu Halimunanya tidak terpengaruh.

Namun serangan pada indra penciumannya itu memang sangat dahsyat. Bau semerbak mewangi itu dengan sangat tajamnya telah merasuk ke dalam syaraf indra penciumannya dan perlahan tetapi pasti mulai mempengaruhi syaraf-syaraf yang berada di dalam otaknya.

“Gila!” teriak Bango lamatan sambil meloncat mundur mengambil jarak. Namun bau semerbak mewangi yang memabokkan itu semakin menyengat syaraf indra penciumannya dan perlahan tapi pasti merajam otaknya sehingga mempengaruhi daya penalarannya.

“Setan, Gendruwo, Tetekan!” umpat Bango Lamatan tak habis-habisnya. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Dengan segera disilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Dengan sekuat tenaga Bango lamatan mencoba melawan pengaruh Aji Seribu Bunga itu dengan kekuatan batinnya.

Namun batin Bango Lamatan tidaklah sebening air di dalam sebuah belanga yang tenang. Batin Bango Lamtan penuh dengan noda-noda seiring dengan perjalanan hidupnya yang kelam. Sehingga perlawanan batin Bango Lamatan pun menjadi sia-sia. Sejalan dengan daya penalarannya yang semakin buram,

Terusan ADBM Jilid 414

31

pengaruh Aji Halimunannya pun semakin melemah, sehingga sejenak kemudian tubuh Bango lamatan yang semula tidak kasat mata, perlahan-lahan mulai muncul beberapa langkah di samping kanan Anjani.

Anjani tersenyum puas. Ternyata pengaruh aji seribu bunga itu sedemikian dahsyatnya sehingga orang setangguh Bango Lamatan pun dibuat tak berdaya.

“Ki Bango Lamatan,” desah Anjani perlahan sekali namun cukup membuat orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu mengangkat kepalanya, “Apakah Ki Bango Lamatan akan tetap bersikukuh membawa anak muda ini? ataukah Ki Bango Lamatan mempunyai keinginan yang lain?”

Selesai berkata demikian, dengan langkah yang lemah gemulai Anjani berjalan mendekat sambil melemparkan sebuah senyuman yang manis, bahkan teramat manis sehingga membuat Bango Lamatan lali ing purwa duk sina.

“Hem,” geram Bango Lamatan sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada. Sementara matanya yang membelalak kemerahan dengan nanar menatap sesosok tubuh yang meliuk-liuk indah gemulai berjalan setapak demi setapak mendekat ke arahnya.

“Anjani.. oh..Anjani!” geram Bango Lamatan dengan dada yang hampir meledak. Dia benar-benar sudah tidak mampu mengendalikan gejolak di dalam dadanya. Dengan gerakan seperti seekor monyet yang sedang marah, dia meloncat dan menubruk Anjani yang tinggal berjarak dua langkah saja di depannya.

Anjani yang menyadari Bango lamatan telah tenggelam dalam pengaruh Aji Seribu Bunga segera bergeser setapak ke samping. Dengan sedikit menggeliatkan pinggangnya yang ramping, tubrukan Bango Lamatan hanya lewat sejengkal dari tubuhnya.

“Anjani..oh Anjani..!” kembali Bango Lamatan menggeram seperti seekor beruang, “Jangan lari …ikutlah denganku. Anjani. Aku berjanji akan selalu membahagiakanmu.. sayangku..!”

Terusan ADBM Jilid 414

32

Dengan gerakan yang simpang siur bagaikan orang yang sedang mabok tuak, kembali Bango Lamatan berusaha merangkul Anjani yang tersenyum manis hanya selangkah di hadapannya. Namun sekali lagi Bango Lamatan harus berseru kecewa karena dengan gerakan yang indah dan gemulai, Anjani mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi sambil meliukkan tubuhnya ke samping. Gerakan yang indah ini membuat jantung Bango Lamatan bagaikan terlepas dari tangkainya.

Anjani benar-benar menikmati permainannya. Lawan setangguh Bango Lamatan itu dibuatnya tak berdaya. Apa yang dilakukan Bango Lamatan tak ubahnya seperti kanak-kanak yang sedang berlari-larian kesana kemari berebut mainan.

Ketika Anjani sedang sibuk mempermainkan orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu, tanpa disadarinya seseorang sedang memperhatikan semua peristiwa yang sedang terjadi itu dari tepi Tegal Kepanasan. Seseorang yang sudah sangat tua dengan sebuah lodong bambu yang tersangkut di pundaknya.

“Aji seribu bunga memang mempunyai pengaruh yang dahsyat bagi mereka yang tidak mempunyai pribadi yang kuat,” berkata orang itu perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Beberapa orang memang menganggap aji itu berasal dari sisi gelap kehidupan manusia. Namun sesungguhnya semua ilmu itu tergantung pada pengetrapnya dan niat baik yang melambarinya.”

Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan kejadian yang berlangsung di tengah Tegal Kepanasan dengan kening yang berkerut-merut. Namun akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam orang itu pun kemudian melangkah mendekat memasuki Tegal Kepanasan.

“Harus segera dihentikan,” berkata orang itu dalam hati sambil terus mengayunkan langkahnya, “Betapapun jahatnya seseorang, namun sebaiknya perlakuan kesewenang-wenangan terhadap dirinya pun tidak boleh dibiarkan.”

Terusan ADBM Jilid 414

33

Ketika jarak orang tua itu tinggal beberapa langkah lagi, dengan suara yang sareh dia segera berseru, “Angger Anjani, hentikanlah permainan ini. Sudah cukup angger membuat Ki Bango Lamatan dalam kesulitan.”

Anjani yang sedang asyik menikmati permainannya itu terkejut. Seruan itu tidak begitu keras namun cukup menghentak isi dadanya. Dengan cepat dia segera meloncat surut sambil mencoba memperhatikan dari arah mana datangnya seruan itu.

Namun agaknya Bango Lamatan merasa terganggu dengan kedatangan orang tua itu. Dengan menggeram marah dia segera berbalik sambil membentak, “He! Siapakah yang berani menggangu kesenangan Bango Lamatan?”

Orang tua itu tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Ki Bango Lamatan, tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam dadaku untuk mengganggu kesenanganmu, namun aku justru ingin menghentikan permainan yang sudah tidak pada tempatnya ini. Marilah kita selesaikan setiap persoalan yang terjadi di antara kita dengan duduk bersama serta dilambari dengan niat yang tulus.”

“Omong kosong!” kembali Bango Lamatan membentak sambil meloncat menerjang ke arah orang tua itu, “Enyahlah engkau orang tua!”

Orang tua itu ternyata tidak menjadi gugup atau ketakutan mendapat serangan dari orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu. Bahkan dengan tenangnya dia mengangkat tangan kanannya ke depan dengan telapak tangan terbuka, mengarah dada Bango Lamatan yang sedang menerjang ke arahnya.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Segumpal asap tipis tampak meluncur dari telapak tangan orang tua itu dan menerjang dada Bango Lamatan.

Tidak ada sebuah teriakan atau pun keluhan tertahan yang keluar dari mulut Bango Lamatan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke belakang kemudian jatuh terhempas dengan derasnya di atas tanah yang berdebu tak sadarkan diri.

Terusan ADBM Jilid 414

34

“Kakek?” seru Anjani dengan terheran-heran. Dia sama sekali tidak menyangka jika orang tua yang dikenalnya sebagai Kakek Tanpa Aran itu ternyata mempunyai kemampuan yang nggegirisi.

“Sudahlah ngger,” berkata Kakek Tanpa Aran kemudian sambil melangkah mendekati tempat Raden Mas Rangsang tergeletak, “Biarlah aku membantu menyadarkan Putra Mahkota Mataram ini terlebih dahulu. Sementara engkau dapat mengurai Ilmu Sasra Kembangmu karena sudah tidak diperlukan lagi.”

Sejenak Anjani bagaikan membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergejolak di dalam dadanya. Ada perasaan marah, heran juga bercampur kagum terhadap orang tua itu. Namun yang pasti Anjani segera mengikuti saran Kakek Tanpa Aran untuk mengurai pemusatan nalar dan budinya dalam mengetrapkan Aji Seribu Bunga. Sejenak kemudian udara di Tegal Kepanasan pun kembali mengalir segar dan jernih.

“Kakek,” berkata Anjani pada akhirnya begitu melihat Kakek itu berjongkok di sisi tubuh Raden Mas Rangsang, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang Kakek lakukan? Dan sepertinya aku telah menjadi salah satu korban permainan Kakek.”

Kakek itu tidak menjawab. Dengan perlahan dia memijat bagian belakang leher Raden Mas Rangsang sambil bibirnya bergetar memanjatkan doa.

Anjani yang merasa tidak diperhatikan oleh Kakek itu menjadi marah. Katanya kemudian dengan sedikit keras, “Aku tidak mengira, kakek Tanpa Aran yang aku jumpai pagi tadi ternyata hanyalah seorang pembohong besar, seorang penipu. Aku menyesal telah berjanji untuk menolong mencarikan cucunya di Tegal Kepanasan ini. Ternyata semua ini adalah sebuah permainan yang memuakkan!”

Selesai berkata demikian Anjani tanpa menoleh lagi dengan tergesa-gesa segera melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

“Angger Anjani,” tiba-tiba terdengar suara sareh di belakangnya, “Berhentilah sebentar. Putra Mahkota Mataram

Terusan ADBM Jilid 414

35

ingin menyampaikan rasa terima kasih atas pertolongan angger melindunginya dari niat jahat Ki Bango Lamatan.”

Sejenak langkah kaki Anjani tertahan. Ketika dia kemudian membalikkan tubuhnya, tampak Raden Mas Rangsang telah berdiri tegak di sebelah kakek Tanpa Aran.

Ketika tanpa sadar Anjani memandang ke arah Pangeran Pati Mataram itu yang juga sedang memandang ke arahnya. Dada Anjani pun telah berdesir tajam. Sepasang mata Putra Mahkota itu begitu berwibawanya, begitu tenang bagaikan sebuah telaga yang jernih dan dalam.

“Mbokayu,” terdengar suara berat dan dalam meluncur dari bibir Raden Mas Rangsang, “Aku atas nama pribadi dan Ayahanda Panembahan Hanyakrawati sebagai penguasa Mataram, mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikan hatimu melindungi aku dari niat jahat Ki Bango Lamatan. Jasa mBokayu Anjani sangat besar terhadap Mataram,” Pangeran Pati itu sejenak berhenti. Lanjutnya kemudian, “Sebutlah sebuah permintaan, atas nama Mataram aku akan memohonkan permintaan itu kepada Ayahanda Prabu.”

Anjani mengerutkan keningnya. Disudut hatinya yang paling dalam ada sedikit ketersinggungan dengan kata-kata Pangeran Pati itu. Namun dengan cepat dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Jawabnya kemudian, “Raden, bukan maksudku untuk mencari pamrih pribadi. Aku tidak tahu bahwa yang aku lindungi dari maksud jahat Ki Bango Lamatan adalah Putra Mahkota Mataram. Apa yang aku lakukan hanyalah menuruti permintaan Kakek Tanpa Aran untuk menolong cucunya.”

Sekarang giliran Raden Mas Rangsang yang mengerutkan kening. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Kakek Tanpa Aran yang berdiri di sebelahnya.

Menyadari dirinya sedang menjadi pusat pertanyaan, kakek Tanpa Aran pun kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Raden, semua yang aku lakukan hanyalah menuruti sebuah perintah. Perintah dari seseorang yang tidak mungkin aku tolak, karena orang itu sangat aku hormati dan sekaligus telah aku anggap sebagai guruku.”

Terusan ADBM Jilid 414

36

“Guru?” hampir bersamaan Raden Mas Rangsang dan Anjani berseru keheranan.

“Siapakah guru kakek itu?” tanpa sadar pertanyaan itu terloncat begitu saja dari bibir Anjani yang mungil.

Sejenak Kakek Tanpa Aran itu termenung. Setelah menarik nafas dalam-dalam, barulah kakek itu menjawab, “Aku tidak diperkenankan menyebut namanya. Lebih baik kita segera menghadap di puncak tertinggi perbukitan Menoreh ini. Disanalah aku diperintahkan untuk membawa kalian berdua menghadap.”

Sebuah desir tajam segera saja menggores dada mereka berdua. Jantung keduanya pun menjadi berdebar debar. Siapakah guru Kakek Tanpa Aran itu? Tentu seseorang yang telah mendapat karunia dari Yang Maha Agung sehingga diijinkan untuk melihat jantraning jagad di masa mendatang.

“Marilah,” berkata Kakek Tanpa Aran kemudian, “Matahari sudah tergelincir semakin jauh. Sebaiknya kita segera menghadap.”

“Bagaimana dengan Ki Bango Lamatan?” bertanya Raden Mas Rangsang dengan serta merta sambil menunjuk Bango Lamatan yang masih tergeletak tak bergerak di atas tanah yang berdebu.

“Biarlah aku yang mendukungnya,” jawab kakek Tanpa Aran sambil berjalan menghampiri ke tempat Bango Lamatan yang terbaring diam, “Lebih baik kita membawa orang ini dalam keadaan tak sadarkan diri agar tidak banyak membuat ulah.”

Raden Mas Rangsang yang melihat Kakek itu membungkuk untuk mengangkat tubuh Bango Lamatan segera berkata sambil berjalan mendekat, “Kakek, biarlah aku saja yang mendukung Ki Bango Lamatan. Silahkan kakek berjalan di depan bersama mBokayu Anjani. Aku akan menyusul kemudian.”

“Sudahlah Raden. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini,” jawab Kakek Tanpa Aran sambil mengangkat tubuh Bango Lamatan yang tinggi besar, “Silahkan Raden berjalan di depan dengan Ni Anjani.”

Terusan ADBM Jilid 414

37

Raden Mas Rangsang mengurungkan langkahnya. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Anjani yang berdiri beberapa langkah saja di sampingnya. Untuk sejenak Putra Mahkota Mataram itu bagaikan terkesima. Sejak pandangan pertama tadi, terasa ada sesuatu yang bergetar di rongga dadanya setiap kali pandangan matanya menatap seraut wajah yang kecantikannya tidak kalah dengan putri-putri keraton.

Anjani yang menyadari Putra Mataram itu sedikit canggung terhadap dirinya segera berusaha membuat suasana menjadi sedikit cair. Maka katanya kemudian sambil mengangguk hormat dan tersenyum kecil, “Marilah Raden. Jika Raden menghendaki, Raden dapat berjalan di depan. Biarlah aku dan Kakek Tanpa Aran saja yang mengikuti Raden dari belakang.”

“Ah, mengapa mesti begitu?” bertanya Raden Mas Rangsang dengan wajah sedikit semburat memerah, “Apakah mBokayu Anjani berkeberatan jika aku berjalan di samping mBokayu?”

“O, bukan begitu maksudku, Raden,” jawab Anjani dengan serta merta sambil membungkukkan badan dalam-dalam, “Adalah sangat deksura jika aku yang trah pidak pedarakan ini berani berjalan bersama Raden yang mempunyai trah kusuma rembesing madu.”

“Ah!” Raden Mas Rangsang tertawa pendek, “Mengapa orang-orang masih merisaukan tentang trah dan kedudukan? Jika aku terlahir tidak dari lingkungan istana dan hanya menjadi anak seorang petani miskin, namun karena Yang Maha Agung menggariskan nasibku untuk menduduki tahta, bagaimanakah pandangan orang tentang garis keturunanku? Apakah aku tetap termasuk trah pidak pedarakan ataukah kemudian menjadi trah kusuma rembesing madu?”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Anjani tidak mampu menjawab pertanyaan Raden Mas Rangsang dan hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara Kakek Tanpa Aran yang sudah memanggul tubuh Bango Lamatan di pundak kanannya itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sejarah memang telah membuktikan. Ken Arok, anak angkat seorang penjudi yang kemudian setelah dewasa juga menjadi penyamun

Terusan ADBM Jilid 414

38

di Padang Karautan, telah berhasil menaklukkan Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singasari yang kemudian bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Tidak ada yang tahu asal usul Ken Arok yang sebenarnya, sehingga para Pujangga menulis dalam serat dan kidung bahwa Ken Arok adalah keturunan Dewa.

“Raden benar,” akhirnya kakek Tanpa Aran memberikan pendapatnya sambil berjalan mendekat, “Semulia-mulianya seseorang di hadapan Yang Maha Agung adalah dinilai dari ketaqwaannya, bukan kedudukan, keturunan ataupun kekayaan.”

Hampir bersamaan Raden Mas Rangsang dan Anjani mengangguk-angguk.

“Sudahlah, marilah kita segera berangkat,” berkata Kakek Tanpa Aran kemudian, “Kita sudah banyak kehilangan waktu.”

Demikinlah, akhirnya mereka bertiga pun berjalan beriringan. Namun Anjani masih merasa segan untuk berjalan di samping Putra Mahkota itu sehingga dia memilih berjalan di samping kiri kakek Tanpa Aran. Sementara Raden Mas Rangsang berjalan di samping kanan kakek Tanpa Aran yang terlihat sama sekali tidak merasa berat memanggul tubuh Bango Lamatan yang sedang tak sadarkan diri itu.

Dalam pada itu Matahari semakin jauh tergelincir dari puncaknya. Namun sinarnya yang garang terasa masih membakar Tegal Kepanasan. Beberapa binatang melata tampak berusaha berlindung dari terik Matahari dibawah naungan tanaman perdu yang hampir mengering. Seekor lipan tampak menyusup di antara ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar di sekitar tegal kepanasan.

Sepeninggal tiga orang itu dari tegal kepanasan, tampak di bawah rimbunan sebatang pohon yang tumbuh cukup jauh dari Tegal Kepanasan, seseorang sedang berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Hem,” desah orang itu kemudian, “Kali ini nyawa penerus Mataram itu masih selamat. Tapi tunggulah saatnya nanti, trah Sekar Seda Lepen akan kembali merajai tanah jawa. Ternyata batin Bango Lamatan terlalu ringkih menghadapi seorang

Terusan ADBM Jilid 414

39

perempuan cantik. Aku masih menghindari benturan langsung dengan orang dari Gunung Muria itu. Namun jika waktunya telah tiba nanti, aku tidak akan segan-segan lagi untuk beradu dada langsung dengan orang dari Gunung Muria itu.”

Selesai berkata demikian, orang itu pun kemudian segera bergeser menjauh dan berjalan menuruni lereng sebelah utara Pegunungan Menoreh. Dengan merunduk-runduk dia menyusup diantara rimbunnya pepohonan dan akhirnya menghilang di dalam lebatnya hutan di lembah perbukitan Menoreh.

Dalam pada itu, di gandhok kanan kediaman Ki Gede Menoreh, di salah satu bilik yang digunakan untuk merawat Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang sakit, tampak Ki Gede, Ki Jayaraga dan Ki Waskita sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

“Ki Waskita,” berkata Ki Gede sambil membetulkan letak duduknya di sebuah dingklik kayu di samping pembaringan Ki Rangga, “Apakah Ki Waskita mempunyai sedikit gambaran tentang orang yang disebut Eyang Guru itu?”

Untuk sejenak Ki Waskita berpaling ke arah Ki Rangga yang terbaring. Namun agaknya Ki Rangga pun tidak dapat membantu Ki Waskita menjawab pertanyaan Ki Gede. Maka jawab Ki Waskita kemudian, “Ki Gede, banyak orang sakti di tanah ini yang tersebar dari satu ujung sampai ke ujung yang lain. Dalam petualanganku semasa masih muda dahulu, memang banyak aku jumpai perguruan-perguruan yang memiliki ciri yang mirip dengan kemampuan orang yang menyebut dirinya Eyang Guru itu. Namun biasanya, perguruan-perguruan itu hanya menekuni salah satu kekuatan saja, misalnya kekuatan angin, atau api. Sedangkan yang kita saksikan semalam adalah kekuatan gabungan antara api dan angin. Kekuatan itu bersatu dalam ujud pusaran badai yang dahsyat. Selama dalam petualanganku, aku belum pernah menjumpai ilmu sejenis itu.”

“Barangkali Ki Jayaraga pernah mengalaminya,” tiba-tiba Ki Rangga yang terbaring menyahut, “Bukankah perguruan Ki Jayaraga juga berlandaskan pada kekuatan api, air dan udara?”

Terusan ADBM Jilid 414

40

Untuk beberapa saat Ki Jayaraga termenung. Berbagai kejadian di masa lalu bagaikan berlarian di dalam benaknya. Kejadian di masa-masa muda memang penuh dengan gejolak dan gairah dalam meraih masa depan. Kenangan di masa muda itu lah yang telah mengingatkan Ki Jayaraga kepada seseorang.

“Tetapi itu tidak mungkin,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Ilmu yang aku serap tidak mampu menciptakan badai api sebagaimana cerita Ki Waskita tentang orang yang menyebut dirinya Eyang Guru itu. Seandainya Guru sekalipun jika beliau masih hidup, tidak akan mampu membuat pengeram-eram seperti itu.”

“Tetapi Guru mempunyai dua orang saudara seperguruan,” kembali angan-angan Ki Jayaraga menelusuri masa lalu, “Paman Sapu Angin dan Paman Sapu Geni mempunyai tataran kemampuan yang tidak jauh dari kemampuan Guru. Tidak menutup kemungkinan dari kedua orang itulah lahir sebuah ilmu yang nggegirisi.”

“Bagaimana Ki Jayaraga?” pertanyaan Ki Waskita telah membangunkan Ki Jayaraga dari lamunan masa lalunya.

“Ah,” desah Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-dalam, “Perguruan kami adalah sebuah perguruan kecil. Ilmu yang kami pelajari pun sangat terbatas. Kami tidak diajari untuk membuat badai api sebagaimana cerita Ki Waskita tadi. Ilmu yang kami pelajari hanyalah mengungkapkan kekuatan api, air dan udara untuk menjadi sebuah kekuatan yang pada kenyataan tidak terlalu ngedab-edabi bagi segolongan orang yang ilmunya telah mencapai tataran tinggi.”

“Ki Jayaraga terlalu merendah,” sahut Ki Gede cepat sambil tersenyum, “Sekarang ini kita tidak sedang menilai ilmu dari perguruan masing-masing. Namun yang sedang kita bicarakan di sini adalah sumber ilmu dari orang yang menyebut dirinya Eyang Guru itu, sehingga kita akan mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang orang itu serta kekuatan yang mungkin berdiri di belakangnya.”

Mereka yang ada di dalam bilik itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan mengetahui dari perguruan mana orang itu

Terusan ADBM Jilid 414

41

berasal, sedikit banyak mereka akan mendapat gambaran tentang kekuatan yang tersembunyi di belakangnya.

“Bukankah orang itu datang bersama-sama dengan sisa-sisa murid Perguruan Nagaraga?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Benar ngger,” jawab Ki Waskita, “Selebihnya keris Kiai Sarpasri itu memang milik perguruan Nagaraga. Beberapa orang murid terpercaya telah dikirim dengan berbekal keris Kiai Sarpasri untuk membunuh Panembahan Senapati pada waktu itu.”

“Dan setiap kali keris itu selalu dapat kembali kepada pemiliknya,” sahut Ki Jayaraga, “Aku tidak yakin kalau keris itu benar-benar pusaka piyandel Perguruan Nagaraga. Aku lebih cenderung menganggap keris pusaka itu hanya sebagai pinjaman atau sarana dari pemilik keris itu untuk memutus trah Mataram. Seorang Wali yang waskita memang telah meramalkan bahwa keturunan Ki Gede Pemanahan lah yang akan merajai Tanah Jawa, bukan keturunan dari Demak atau pun Majapahit.”

Untuk beberapa saat orang-orang yang berada di dalam bilik itu terdiam. Masing-masing hanyut dalam kenangan masa lalu, masa-masa Demak masih berdiri tegak yang kemudian wahyu keprabon itu justru telah bergeser ke Pajang, kepada seorang anak gembala dari Tingkir.

“Sebenarnyalah Jaka Tingkir itu bukan seorang gembala biasa,” berkata Ki Gede dalam hati, “Jaka Tingkir yang bernama asli Mas Karebet itu adalah putra Ki Kebo Kenanga yang merupakan trah Majapahit dari jalur Pangeran Handayaningrat. Namun agaknya kedua trah itu kini telah tenggelam dalam arus jaman seiring dengan bersinarnya trah Mataram.”

“Apakah tidak sebaiknya kita memohon arahan kepada Ki Patih Mandaraka?” tiba-tiba Ki Waskita mengajukan sebuah pertanyaan yang membangunkan semua orang yang ada di dalam bilik itu dari lamunan masing-masing.

“Sebaiknya memang begitu,” jawab Ki Gede, “Bukankah Ki Jayaraga dan Glagah Putih akan berangkat ke gunung Tidar besuk pagi-pagi? Dengan demikian Ki Jayaraga dan Glagah Putih

Terusan ADBM Jilid 414

42

mempunyai kesempatan untuk singgah di Mataram dan menghadap Ki Patih.”

“Kami memang sudah merencanakan demikian Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga, “Ki Patih Mandaraka mempunyai pengalaman dan pandangan yang sangat luas. Semoga segera dapat diketahui siapakah sebenarnya yang berdiri di belakang orang yang menyebut dirinya Eyang Guru itu.”

“Demikian juga orang yang mengaku mempunyai garis keturunan dengan Pangeran Sekar Seda Lepen,” sahut Ki Gede, “Seingatku Pangeran Sekar Seda Lepen hanya mempunyai dua orang putra, Arya Penangsang dan Arya Mataram.”

“Benar Ki Gede,” berkata Ki Waskita, “Namun tidak menutup kemungkinan seseorang yang mempunyai garis keturunan yang jauh ataupun bahkan tidak ada hubungan sama sekali telah mengaku sebagai keturunan Sekar Seda Lepen.”

“Kemungkinan itu memang ada,” sahut Ki Gede, “Aku masih ingat ketika terjadi pertempuran antara Mataram dan Pajang. Pertempuran yang sebenarnya dari kedua belah pihak memang tidak terjadi, namun para pengikut Kakang Panji yang mengaku masih keturunan Majapahit telah menyerang pasukan Mataram pada waktu itu. Tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan bahwa Kakang Panji itu benar-benar keturunan Majapahit.”

Orang-orang yang berada di dalam bilik itu mengangguk-anggukkan kepala. Segera saja Ki Rangga Agung Sedayu teringat kepada Pangeran Ranapati, orang yang mengaku keturunan langsung dari Panembahan Senapati.

“Menurut cerita Glagah Putih dan Rara Wulan yang sempat bertemu dengan ibu kandung orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu, Panembahan Senapati yang pada saat itu masih muda juga tidak pernah meninggalkan sebuah pertanda bahwa anak yang sedang dikandung Rara Ambarasari pada waktu itu adalah keturunan Panembahan Senapati,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Walaupun Raden Sutawijaya pada saat itu telah memberikan sebuah kenang-kenangan kepada Rara Ambarasari berupa sebuah lencana. Namun lencana itu pun tidak akan dapat

Terusan ADBM Jilid 414

43

membuktikan sesuatu yang berhubungan dengan kisah cinta mereka berdua.”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing sedang tenggelam dalam kenangan masa lalu yang terasa sangat indah untuk dikenang, namun tak jarang kenangan masa lalu itu pun terasa sangat pahit dan menyesakkan dada.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian memecah kesunyian, “Bagaimanakah sebenarnya perkembangan kesehatan Ki Rangga akhir-akhir ini? Kami orang-orang tua ini kadang dihinggapi rasa cemas yang berlebihan. Sedikit banyak kami memang sudah mengetahui tentang usaha Ki Rangga untuk menekuni sebuah ilmu. Namun sejalan dengan laku yang sedang Ki Rangga tempuh dalam mendalami ilmu itu, apakah tidak akan memperburuk kesehatan Ki Rangga sendiri?”

Ki Rangga yang mendapat pertanyaan dari Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu tidak segera menjawab. Justru pandangan matanya mengarah kepada Ki Waskita yang duduk di atas sebuah dingklik di ujung pembaringan.

Ki Waskita agaknya tanggap atas maksud pandangan mata Ki Rangga. Maka katanya kemudian, “Ki Gede, menurut pengamatan Kiai Sabda Dadi yang mengerti tentang pengobatan, sebenarnya lah keadaan wadag Ki Rangga sudah tidak bermasalah. Adapun Ki Rangga keadaannya masih tetap seperti ini adalah sebuah bentuk lelaku yang harus dijalaninya dalam rangka menyempurnakan ilmu yang sedang ditekuninya. Bahkan nanti Ki Rangga memerlukan waktu sepuluh hari sepuluh malam untuk tapa ngebleng dan sekaligus pati geni. Dalam sepuluh hari sepuluh malam itu Ki Rangga tidak diperkenankan untuk makan dan minum sebagaimana biasa, namun ada sejenis empon-empon dan reramuan khusus dalam jumlah yang berbeda untuk setiap harinya.”

“Dari manakah kita akan mendapatkan empon-empon dan reramuan khusus itu?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Aku lah yang akan menyiapkan segala uba rampe Ki Rangga selama menjalani lelaku nanti,” jawab Ki Waskita.

Terusan ADBM Jilid 414

44

Mereka yang hadir dalam bilik itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sekarang menyadari, mengapa Ki Rangga Agung Sedayu yang terlihat sudah cukup sehat itu masih senang berbaring dan terlihat tidak berusaha untuk melakukan suatu kegiatan apa pun. Ternyata semua itu adalah salah satu syarat dalam menjalani laku untuk menyempurnakan sebuah ilmu yang nggegirisi, sebuah ilmu yang sudah sangat jarang bahkan hampir tidak ada yang mampu menguasainya, Aji Pengangen-angen.

“Baiklah,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil bangkit berdiri, “Sebaiknya kita memberi kesempatan Ki Rangga untuk beristirahat.”

Hampir bersamaan orang-orang tua itu pun segera mengikuti Ki Gede bangkit dari tempat duduknya.

“Beristirahatlah ngger,” bisik Ki Waskita perlahan sambil menepuk pundak Ki Rangga sebelum meninggalkan bilik, “Nanti menjelang sirep bocah, aku akan kembali ke bilik ini untuk membicarakan sesuatu yang mungkin perlu angger ketahui.”

Sesuatu terasa berdesir di dada Ki Rangga. Namun Ki Rangga tidak menjawab hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk kecil.

Sedangkan Ki Jayaraga dan Ki Gede yang samar-samar mendengar bisikan Ki Waskita hanya dapat saling memandang sambil menarik nafas dalam-dalam. Mereka berdua maklum, tentu Ki Waskita akan membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu yang sedang didalami Ki Rangga.

Sejenak kemudian, setelah terlebih dahulu satu persatu menyalami Ki Rangga, orang-orang tua itu pun segera keluar bilik dan meninggalkan Ki Rangga di dalam biliknya sendirian.

Dalam pada itu di puncak tertinggi perbukitan Menoreh, di dalam sebuah goa yang letaknya cukup tersembunyi, beberapa orang tampak sedang berkumpul menghadap seseorang yang duduk di atas sebuah batu hitam yang terletak tepat di tengah-tengah goa.

Terusan ADBM Jilid 414

45

“Ampun Kanjeng Sunan,” berkata seseorang yang tampak sudah sangat sepuh, “Ijinkan kami semua menghadap. Sesuai pesan Kanjeng Sunan kepada kami, kami telah membawa penerus Mataram itu kemari.”

Orang yang dipanggil Kanjeng Sunan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Terima kasih Ki Ajar, ternyata semua telah berjalan sesuai dengan rencana,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah seorang anak muda yang duduk tepat di hadapannya, Kanjeng Sunan melanjutkan kata-katanya, “Selamat datang Raden. Aku mohon maaf jika selama ini telah membuat Raden bertanya-tanya. Namun percayalah semua ini demi kebaikan Raden di masa mendatang.”

Raden Mas Rangsang yang duduk paling depan segera membungkukkan badan sambil menghaturkan sembah. Jawabnya kemudian dengan suara sedikit bergetar, “Hamba Kanjeng Sunan.”

Kanjeng Sunan kembali tersenyum sareh. Sejenak diedarkan pandangan matanya ke seluruh sudut goa. Ketika pandangan Kanjeng Sunan tertumbuk pada sesosok tubuh tinggi besar yang tergeletak dekat mulut goa, Kanjeng Sunan pun segera berpaling kepada orang tua yang duduk di belakang Raden Mas Rangsang, “Ki Tanpa Aran, sebaiknya Ki Bango Lamatan disadarkan terlebih dahulu. Ada baiknya dia mendengarkan perbincangan kita ini.”

“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab Ki Tanpa Aran sambil beringsut mundur. Sesampainya dia di dekat tubuh Bango Lamatan yang terbaring diam, sambil berjongkok segera saja dipijat-pijatnya leher bagian belakang Bango Lamatan. Sejenak kemudian terdengar keluhan tertahan dari mulut orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.

“Duduklah Ki Bango Lamatan,” bisik Ki Tanpa Aran begitu mengetahui Bango Lamatan mulai membuka matanya, “Kita sedang menghadap Kanjeng Sunan. Aku harap Ki Bango Lamatan menjaga sikap.”

Terusan ADBM Jilid 414

46

Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan dari Bango Lamatan, Ki Tanpa Aran segera bangkit berdiri dan berjalan kembali ke tempat duduknya.

Untuk beberapa saat Bango Lamatan masih berusaha menilai keadaannya. Sambil bertelekan pada kedua tangannya, dia berusaha untuk duduk dengan tegak. Dengan pandangan yang masih sedikit buram dicobanya untuk mengenali tempat di mana dia sekarang ini berada.

“Goa tempat Begawan Cipta Hening,” desis Bango Lamatan dalam hati dengan jantung yang berdebaran begitu mengenali tempat itu.

“Siapakah orang-orang itu?” bertanya Bango Lamatan sambil mengamati orang-orang yang duduk membelakanginya. Ketika pandangan matanya sudah menjadi semakin jelas, dicobanya untuk mengenali mereka satu persatu dari tempatnya duduk.

“Mungkin yang duduk di atas batu itu yang disebut Kanjeng Sunan,” gumam Bango Lamatan dalam hati sambil pandangan matanya bergerak mengamati orang-orang yang duduk di depan Kanjeng Sunan, “Putra Mataram itu, Ki Tanpa Aran, orang tua yang sangat aneh,” dia berhenti sejenak. Seolah tak percaya dengan pandangan matanya begitu melihat sesosok tubuh yang ramping dengan rambut yang disanggul tinggi. Walaupun orang itu duduk membelakanginya dan seumur hidup Bango Lamatan baru sekali saja bertemu dengannya, namun dia tak akan pernah melupakannya, Anjani.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” kembali Bango Lamatan bertanya-tanya dalam hati, “Aku yakin Begawan Cipta Hening sudah tidak ada di sini. Namun apa hubungannya orang-orang ini dengan Sang Begawan?”

Bango Lamatan masih mencoba mengamati lebih jauh lagi. Seorang kakek yang sudah sangat renta serta seorang pemuda tanggung yang duduk di sebelahnya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku tidak mengenal mereka berdua,” berkata Bango Lamatan kemudian dalam hati, “Namun menilik sikap orang-orang itu

Terusan ADBM Jilid 414

47

yang begitu hormat kepada orang yang disebut Kanjeng Sunan, serta keberadaan Putra Mahkota itu di sini, mereka pastilah orang-orang yang berpihak kepada Mataram.”

Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul keinginannya untuk mencoba meloloskan diri dari tempat itu dengan mengetrapkan ilmunya yang dibangga-banggakan, aji Halimunan. Namun alangkah terkejutnya Bango Lamatan, dia merasakan tiba-tiba saja sekujur tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga sejalan dengan pengerahan tenaga cadangannya untuk mengungkapkan ilmu andalannya itu. Rasa-rasanya sekujur tubuhnya hanya terdiri dari seonggok daging dan tulang, tanpa kekuatan sama sekali.

“Gila!” geram Bango Lamatan dalam hati dengan nafas sedikit memburu. Keringat dingin pun mengucur deras dari sekujur tubuhnya, “Ternyata sekarang ini aku sedang berada di tengah-tengah sekumpulan orang-orang gila. Tidak menutup kemungkinan orang yang bernama Tanpa Aran itu yang telah membuatku menjadi begini.”

Bango Lamatan masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Maka sekali lagi dia mencoba untuk memusatkan nalar dan budinya mengungkapkan ilmu andalannya itu. Namun ternyata hasilnya sama saja.

Sejenak Bango Lamatan menghentikan usahanya untuk mengungkapkan ilmunya. Ketika pandangan matanya kemudian menatap ke depan, tampak Kanjeng Sunan sedang berbicara dengan Raden Mas Rangsang.

“Atau mungkin orang yang disebut Kanjeng Sunan itu yang telah menyihirku!” kembali Bango Lamatan menggeram dalam hati. Namun untuk selanjutnya dia sudah tidak bernafsu lagi untuk mencoba mengetrapkan ilmunya lagi. Yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah duduk pasrah sambil menanti apa yang akan terjadi kemudian.

“Raden,” terdengar suara Kanjeng Sunan yang berat dan dalam namun mengandung wibawa yang sangat luar biasa, “Apakah Raden masih ingat dengan apa yang pernah aku sampaikan dahulu di tepian kali Praga, tentang tujuh pilar yang

Terusan ADBM Jilid 414

48

akan menjadi bekal Raden dalam membentuk negara yang gemah ripah loh jinawi?”

“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Raden Mas Rangsang perlahan sambil membungkuk dan menghaturkan sembah.

Kanjeng Sunan itu tersenyum. Lanjutnya kemudian, “Selain itu, Raden. Segala sesuatu, mobah mosiking jagad yang gumelar serta buwenging bawana gung adalah terletak pada lepasing wardaya, terletak pada keikhlasan hatimu dalam mengemban amanah. Kerja kerasmu, jerih payahmu, semangat serta perjuanganmu hendaknya selalu dilandasi dengan niat yang baik dan hati yang ikhlas.”

Kembali Raden Mas Rangsang membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun kali ini tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Semua menunggu sabda dari Kanjeng Sunan.

“Raden,” terdengar kembali suara Kanjeng Sunan memecah kesunyian, “Sebelum dirimu memulai menata negeri ini beserta dengan seluruh kawula yang ada di dalamnya, mulailah dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu pribadi terlebih dahulu sebelum engkau mencoba mengenali segala watak dan tingkah laku kawula di seluruh tlatah Mataram ini.”

Untuk beberapa saat Putra Mataram itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dengan memberanikan diri, Raden Mas Rangsang pun kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan. Apakah Hamba diperkenankan untuk mengetahui bagaimanakah caranya mengenali diri pribadi hamba?”

Kembali Kanjeng Sunan tersenyum. Jawabnya kemudian, “Kenalilah hubungan pribadimu dengan Yang Maha Agung yang telah menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya ini sebelum Raden menjalin hubungan dengan bebrayan agung.”

Sejenak Pangeran Pati itu termenung. Setelah terdiam beberapa saat, kembali dia mengajukan sebuah pertanyaan,

Terusan ADBM Jilid 414

49

“Ampun Kanjeng Sunan, hamba benar-benar belum mengerti bagaimanakah caranya mengenali hubungan kita dengan Yang Maha Agung sebagai Dzat yang telah menciptakan alam semesta berserta isinya ini?”

“Raden,” jawab Kanjeng Sunan sambil menarik nafas dalam-dalam, “Pengenalan diri pribadimu terhadap Yang Maha Agung tentu saja melalui sesuatu yang disebut dengan iman. Sedangkan iman itu tidak akan terwujud kecuali jika kita dengan sepenuh hati dan sepenuh keyakinan mengakui keberadaanNYA yang mutlak. DIA lah Dzat yang tidak ada Tuhan selain DIA yang patut disembah dengan segala kerendahan hati untuk mengharap rahmatNYA, serta dengan sepenuh rasa takut akan kemurkaanNYA. Jangan pernah mengambil sekutu bagiNYA. Tidak ada yang berhak disembah dan diESAkan kecuali DIA Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.”

Orang-orang yang hadir di dalam goa itu tampak mengangguk-anggukkan kepala kecuali Bango Lamatan.

“Belajarlah mengenal Asma-AsmaNYA yang Agung dan sebutlah dalam setiap doamu. Semakin dalam pengenalan kita terhadap Asma-AsmaNYa yang Agung, akan semakin bertambah ketaqwaan kita kepadaNYA. Sesungguhnya di antara hamba-hamba yang paling mulia di sisiNYA adalah dinilai dari ketaqwaannya,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Belajarlah hidup beserta Asma-AsmaNYA yang Agung, niscaya engkau tidak akan pernah ragu dalam menjalani kehidupan ini. Jiwamu akan tenang tanpa ada rasa takut selain kepadaNYA. Hatimu akan bening, sebening air telaga di tengah hutan belantara yang tak pernah tersentuh sehingga setiap bayangan di atasnya akan terpantul dengan jelas, sejelas setiap langkah yang akan engkau perbuat di kehidupan bebrayan ini. Setiap langkahmu adalah cermin beningnya hatimu sehingga diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan subur perasaan malu untuk berbuat diluar batas kewajaran yang melanggar aturan-aturanNYA. Hatimu akan selalu dipenuhi oleh rasa kerinduan, kerinduan untuk selalu bersujud kepadaNYA dan selalu siap sedia di setiap waktu untuk memenuhi panggilanNYA. Sehingga ketika telah tiba waktunya engkau kembali

Terusan ADBM Jilid 414

50

keharibaanNYA, akan dalam keadaan disucikan dari segala noda dan dosa. Oleh karena itu ambillah yang sedikit dari dunia ini dan perbanyaklah beramal untuk kehidupan alam kelanggengan. Disitulah engkau akan menjumpai manisnya iman.”

Orang-orang yang ikut mendengarkan pitutur Kanjeng Sunan kepada Raden Mas Rangsang itu menjadi tergetar hatinya. Masing-masing mencoba memahami nasehat itu dengan kemampuan penalaran masing-masing.

Anjani yang duduk di samping Kakek Tanpa Aran hampir tak kuasa menahan air bening yang mulai menyembul di kedua sudut matanya. Kepalanya semakin lama semakin tunduk. Sementara bibirnya bergetar menahan isak tangis yang terasa menyesakkan rongga dadanya.

“Alangkah kotornya hidup yang selama ini aku jalani. Setelah terbebas dari kekejaman kedua Guruku, justru sekarang ini aku telah berusaha merusak rumah tangga Ki Rangga, orang yang telah menyelamatkan hidupku. Bahkan aku telah berpura-pura tidak mengenal Ki Rangga di hadapan mBokayu Sekar Mirah yang dengan tulus menerima aku sebagai bagian dari keluarganya, padahal ada sepercik niat jahat di hatiku untuk merebut suaminya. Ah, aku benar-benar orang yang tak tahu membalas budi.” desah Anjani dalam hati sambil berusaha mengusap air mata yang mulai menganak sungai dengan ujung bajunya.

“Namun aku tidak mampu untuk menipu kata hatiku,” kali ini suara hati Anjani yang berbicara, “Aku telah menyangkutkan harapan masa depanku terlalu melambung. Aku telah salah menilai kebaikan hati Ki Rangga selama ini. Ternyata hati Ki Rangga ibarat sebuah benteng yang kokoh, tak tergoyahkan oleh panas hujan dan badai yang menderanya. Hati Ki Rangga ternyata hanya berisi sebuah bilik yang telah dikhususkan hanya untuk mBokayu Sekar Mirah. Ataukah sebenarnya di dalam hati Ki Rangga juga terdapat bilik-bilik yang lain? Namun Ki Rangga telah menutup rapat-rapat pintu bilik-bilik itu dan menyelaraknya dengan selarak ganda. Seakan Ki Rangga memang sengaja tidak mengijinkan cinta lain untuk bersemayam di dalamnya.”

Terusan ADBM Jilid 414

51

Sampai disini Anjani hampir saja tidak mampu menguasai dirinya. Dadanya bergetar dengan dahsyatnya menahan tangis yang ingin meledak, sehingga nafasnya menjadi sedikit tersengal-sengal.

Sedangkan Bango Lamatan yang duduk di paling belakang dekat pintu goa hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Berbagai kenangan dalam hidupnya bermunculan dan satu-persatu mulai mengalir memenuhi benaknya. Kenangan itu seolah-olah saling berkejaran bagaikan kuda-kuda yang dipacu di tengah padang. Kemudian hanyut satu persatu hilang dari dalam benaknya dan akhirnya sampailah dia di ujung kenangannya.

“Hem..” desah Bango Lamatan dalam hati sambil menebarkan pandangan matanya ke seluruh sudut ruangan goa. Sejenak pandangan matanya terhenti pada sebuah gundukan tanah yang terlihat masih basah di salah satu sudut goa.

“Sepertinya tanah gundukan itu sebuah kuburan baru,” berkata Bango Lamatan kemudian dalam hati, “Apakah mungkin itu kuburan Panembahan Cahya Warasta? Kalau memang demikian berarti janji Begawan Cipta Hening itu ternyata hanyalah sebuah omong kosong. Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan,” sejenak Bango Lamatan berhenti berangan-angan. Setelah menarik nafas dalam terlebih dahulu untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak, barulah dia melanjutkan angan-angannya, “Mungkin kedatangan Kanjeng Sunan itulah yang membuat Sang Begawan menghindar. Aku sekarang tinggal menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Putra Mahkota itu kepadaku. Hukuman gantung atau picis tentu sangat pantas dan setimpal dengan perbuatanku yang ingin membunuh penerus Tahta Mataram itu.”

Kembali Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil mendongakkan wajahnya memandang ke depan. Ketika tanpa sadar dia memandang ke arah Kanjeng Sunan yang sedang duduk di atas sebuah batu hitam di tengah-tengah goa, ternyata Kanjeng Sunan pun sedang memandang ke arahnya.

Berdesir dada Bango Lamatan. Dengan segera ditundukkan kembali wajahnya.

Terusan ADBM Jilid 414

52

“Ki Bango Lamatan,” tiba-tiba terdengar suara Kanjeng Sunan yang penuh wibawa itu bagaikan sebongkah batu padas sebesar kerbau mendera dadanya, “Begawan Cipta Hening yang engkau tunggu-tunggu itu telah pergi begitu aku dan cantrik Gatra Bumi sampai disini. Aku menemukan jasad Panembahan Cahya Warastra tergeletak di lantai goa tanpa ada seorang pun yang mengurusnya. Sehingga aku telah menyuruh cantrik Gatra Bumi untuk menyelenggarakan pemakaman baginya.”

Untuk beberapa saat Bango Lamatan tidak mampu menjawab, hanya kepalanya saja yang tertunduk dalam-dalam. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam dadanya.

“Apakah engkau mendengarkan, Ki Bango Lamatan?” tiba-tiba terdengar kembali suara Kanjeng Sunan menghentak jantungnya.

Dengan tetap menundukkan kepalanya, Bango Lamatan pun kemudian dengan sedikit memaksakan diri segera merangkapkan kedua tangannya di depan dada sambil sedikit mencondongkan badannya ke depan. Jawabnya kemudian hampir tak terdengar, “Hamba Kanjeng Sunan.”

Kanjeng Sunan tersenyum maklum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan, sekarang engkau bebas untuk memilih jalanmu. Setelah orang yang menyebut dirinya Begawan Cipta Hening itu meninggalkanmu dan Panembahan Cahya Warastra telah bersatu kembali dengan bumi, sepertinya engkau sudah tidak mempunyai tanggungan apapun,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ataukah mungkin engkau masih mempunyai keinginan yang lain yang belum terpenuhi, Ki Bango Lamatan?”

Tergetar hati Bango Lamatan mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Kanjeng Sunan. Dia benar-benar seperti sedang bermimpi. Bukankah dia telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan tak mungkin diampuni? Mencoba membunuh Putra Mahkota Mataram adalah termasuk perbuatan makar, dan tidak ada hukuman yang paling pantas kecuali mati.

Kanjeng Sunan yang waskita itu segera tanggap dengan apa yang tersirat di dalam hati Bango Lamatan. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan, engkau memang telah dibebaskan

Terusan ADBM Jilid 414

53

dari segala tuntutan. Akulah yang akan memintakan ampunan itu kepada Raden Mas Rangsang yang akan bertindak atas nama penguasa tertinggi Mataram, Panembahan Hanyakrawati. Bukankah memang begitu seharusnya, Raden?”

Selesai berkata demikian Kanjeng Sunan segera berpaling ke arah Pangeran Pati yang duduk di hadapannya dengan kepala tunduk.

Raden Mas Rangsang yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu sejenak bagaikan membeku. Kesalahan Bango Lamatan memang sangat besar dan tidak dapat dengan mudahnya dibebaskan begitu saja dari segala tuntutan. Namun jika semua itu memang atas kehendak Kanjeng Sunan, tentu Wali yang waskita itu telah mempunyai pertimbangan tersendiri.

Berpikir sampai disitu Raden Mas Rangsang segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Hamba Kanjeng Sunan. Hamba memang telah memaafkan kesalahannya. Selebihnya, tentu saja hamba tidak berani menolak perintah Kanjeng Sunan.”

“Ah,” Kanjeng Sunan tertawa kecil, “Bukan maksudku untuk mempermainkan paugeran yang telah berlaku di Mataram. Namun aku melihat kehadiran Ki Bango Lamatan di masa mendatang akan sangat bermanfaat bagi perkembangan Mataram.”

Berdesir dada orang-orang yang hadir di tempat itu, tak terkecuali Bango Lamatan sendiri. Dengan segera dia menghaturkan sembah sambil membungkukkan badannya sampai keningnya hampir menyentuh tanah. Katanya kemudian dengan suara bergetar menahan gejolak di rongga dadanya, “Ampun Kanjeng Sunan. Hamba benar-benar merasa serendah-rendahnya makhluk yang berada di atas bumi ini. Kesalahan hamba yang setinggi Gunung Mahameru itu benar-benar tidak pantas untuk mendapatkan ampunan. Hamba pasrah apapun hukuman yang akan dijatuhkan kepada diri hamba, hamba ikhlas.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan yang tak berujung pangkal.

Terusan ADBM Jilid 414

54

Sementara angin sore pegunungan bertiup lembut menyusur tebing berbatu-batu di puncak Perbukitan Menoreh sebelum akhirnya meliuk memasuki lorong goa dan membelai serta menyejukkan hati setiap orang yang berada di dalamnya.

“Ki Bango Lamatan,” akhirnya terdengar suara Kanjeng Sunan memecah kesunyian, “Engkau memang telah dibebaskan dari segala tuntutan dan bebas untuk memilih jalanmu. Namun aku ingin mengetahui yang sebenar-benarnya tersirat di lubuk hatimu yang paling dalam. Apakah Ki Bango Lamatan mempunyai keinginan untuk memperbaiki jalan hidup yang selama ini engkau yakini?”

Dengan serta merta Bango Lamatan segera menjawab, “Hamba Kanjeng Sunan. Sebenarnyalah ada sepercik keinginan di lubuk hati hamba untuk memohon ampun dan kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhoiNYA. Namun apakah permohonan ampun hamba ini akan diterima, mengingat dosa-dosa hamba yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya.”

Kanjeng Sunan tersenyum sareh menanggapi keluh-kesah Bango Lamatan. Sambil memandang tajam ke arah Bango Lamatan, Kanjeng Sunan pun kemudian berkata, “Ketahuilah Ki Bango Lamatan dan kalian semua yang hadir di sini. Yang Maha Agung tidak pernah menolak permohonan ampun dari hambaNYA yang datang bersimpuh kepadaNYA dengan sepenuh jiwa raga, walaupun semisal dosanya itu sudah sampai empat penjuru langit dan sepenuh bumi. Sebenarnyalah Yang Maha Agung akan sangat murka kepada orang-orang yang selalu berbuat dosa. Namun jika orang itu telah datang dengan sepenuh jiwa raga untuk bertobat, maka Yang Maha Agung akan mendahulukan RahmatNYA dari pada siksaNYA.”

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir semua orang tahu siapakah Bango Lamatan itu, orang kepercayaan Panembahan Cahya Warastra yang telah berusaha menggulingkan pemerintahan Mataram. Namun jika Bango Lamatan telah menyadari semua kesalahannya di masa lalu, pintu tobat akan selalu terbuka untuknya.

Terusan ADBM Jilid 414

55

“Terima kasih Kanjeng Sunan,” berkata Bango Lamatan dengan suara sendat, menahan keharuan yang merobek-robek dadanya, “Hamba mohon bimbingan dan petunjuk agar di sisa hidup hamba ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi bebrayan agung.”

“Tentu Ki Bango Lamatan. Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita bersama untuk saling tolong menolong dalam hal kebajikan,” jawab Kanjeng Sunan dengan serta merta.

Sejenak suasana kembali menjadi sunyi. Masing-masing mencoba menilai diri sendiri, sejauh mana mereka telah mengikuti dan menetapi jalan yang telah digariskan olehNYA.

“Nah, agaknya kita harus segera membagi tugas,” berkata Kanjeng Sunan kemudian memecah kesunyian, “Raden Mas Rangsang untuk beberapa hari kedepan akan tinggal di dalam goa ini ditemani oleh Ki Tanpa Aran. Sedangkan Ki Bango Lamatan akan mengikuti Ki Ajar meninggalkan tempat ini menuju pertapaan Mintaraga. Sementara aku dan cantrik Gatra Bumi akan ke Menoreh. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu.”

Orang-orang yang telah disebut namanya oleh Kanjeng Sunan itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Anjani saja yang tampak gelisah. Dicobanya mengangkat wajahnya dan memandang kearah Kanjeng Sunan agar mendapat tanggapan. Namun agaknya Kanjeng Sunan tidak sedang memperhatikannya.

“Aku memang tidak cukup berharga untuk dilibatkan dalam pembicaraan ini,” desah Anjani dalam hati dengan mata yang kembali berkaca-kaca, “Aku ini memang orang kleyang kabur kanginan. Kehadiranku disini hanya kebetulan saja dan memang tidak banyak membawa pengaruh.”

Berpikir sampai disini Anjani telah membulatkan tekadnya untuk kembali ke Gunung Kendalisada menghadap tokoh yang selama ini oleh kebanyakan orang hanya dianggap sebagai dongeng belaka, Resi Mayangkara.

“Aku akan menghadap Sang Resi untuk memohon maaf. Beberapa saat yang lalu ketika di Menoreh aku sempat menolak

Terusan ADBM Jilid 414

56

tawarannya untuk tinggal di Gunung Kendalisada. Sekalian aku akan memohon untuk diterima kembali menjadi muridnya. Akan aku habiskan sisa umurku di Gunung Kendalisada yang sunyi sampai saatnya nanti Yang Maha Agung berkenan memanggilku,” berkata Anjani dalam hati. Tak terasa air yang bening mulai mengalir lagi di kedua belah pipinya yang kemerah-merahan.

“Ni Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Kanjeng Sunan yang lembut menyadarkan Anjani dari lamunannya, “Akan kemanakah engkau meneruskan langkah? Ni Anjani bebas memilih sesuai dengan pembagian tugas yang telah kita sepakati. Namun tentu saja aku tidak akan menyarankan Ni Anjani untuk ikut menunggui Raden Mas Rangsang disini atau pun mengikuti Ki Bango Lamatan ke pertapaan Mintaraga, karena keduanya mempunyai keperluan khusus yang tidak boleh diganggu,” Kanjeng Sunan berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku dan Cantrik Gatra Bumi akan pergi ke Menoreh. Jika Ni Anjani ada keinginan untuk kembali ke Menoreh, Ni Anjani dapat pergi bersama-sama kami. Namun jika Ni Anjani mempunyai keperluan lain yang lebih penting, aku tidak dapat memaksa.”

Jika saja orang-orang yang hadir di tempat itu dapat mendengarkan suara hati Anjani, tentu mereka akan mendengar kidung asmaradana yang ngelangut. Kesedihan yang membalut hatinya seakan-akan terenggut begitu saja dan berganti dengan segala suka cita.

“Aku akan memohon maaf kepada Nyi Sekar Mirah,” berkata Anjani dalam hati, “Dan sekaligus aku akan berterus terang tentang janji Ki Rangga yang akan membawaku ke Menoreh. Terserah apa tanggapan suami istri itu nanti terhadapku. Aku tidak akan menuntut janji Ki Rangga itu secara berlebihan. Cukup senang hatiku jika aku bisa diterima sebagai bagian dari keluarga itu.”

“Bagaimana, Ni Anjani?” pertanyaan Kanjeng Sunan telah menyadarkan Anjani dari mimpi indahnya.

“Ampun Kanjeng Sunan,” jawab Anjani sambil cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya. Sambil menghaturkan sembah, terdengar suaranya lirih hampir tak

Terusan ADBM Jilid 414

57

terdengar, “Hamba pasrah kepada petunjuk Kanjeng Sunan. Hamba yakin itulah jalan terbaik bagi masa depan hamba.”

Sejenak Kanjeng Sunan mengerutkan keningnya. Namun hanya sekilas kesan itu segera menghilang dari wajahnya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian sambil tersenyum penuh arti, “Ni Anjani. Aku tidak dapat menentukan masa depan seseorang. Banyak-banyaklah memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung di setiap doamu. Selain itu usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan niat baik dan ikhlas, akan membawamu ke masa depan yang engkau cita-citakan. Namun semua itu tetap di dalam kuasaNYA. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, tiada seorang pun yang mampu menolaknya.”

Rona merah segera saja mewarnai wajah Anjani. Dia menyesal bukan alang kepalang. Mengapa dia mengatakan tentang masa depan segala, padahal Kanjeng Sunan hanya menawari untuk ikut bersama-sama pergi ke Menoreh. Namun semua sudah terlanjur dan yang dapat dilakukan oleh Anjani hanyalah menundukkan wajahnya dalam-dalam untuk menyembunyikan perasaan yang bergolak di dalam dadanya.

“Raden,” berkata Kanjeng Sunan kemudian kepada Raden Mas Rangsang, “Pergunakanlah waktu beberapa hari ke depan ini dengan sebik-baiknya. Ki Tanpa Aran akan membimbingmu untuk mengenal lebih dekat Dzat yang menciptakan alam semesta berserta seluruh isinya ini melalui Asma-AsmaNYA yang Agung. Jika urusanku di Menoreh sudah selesai dan Yang Maha Agung masih berkenan memberiku umur panjang, aku akan kembali lagi ke tempat ini untuk melihat perkembangan Raden.”

“Hamba Kanjeng Sunan,” hampir bersamaan Raden Mas Rangsang dan Ki Tanpa Aran menjawab.

“Ki Ajar,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya kepada Ki Ajar yang duduk di sebelah Cantrik Gatra Bumi, “Ki Ajar aku perkenankan berangkat sekarang. Bimbinglah Ki Bango Lamatan untuk mendapatkan pencerahan sehingga kelak di kemudian hari dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi kehidupan bebrayan.”

Terusan ADBM Jilid 414

58

“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab Ki Ajar sambil menghaturkan sembah.

Demikianlah akhirnya, sejenak kemudian mereka yang berada di dalam goa itu segera berpisah setelah terlebih dahulu saling mengucapkan salam perpisahan dan memanjatkan doa untuk keselamatan mereka bersama. Bango Lamatan dengan sangat telaten menuntun Ki Ajar yang sudah sangat sepuh itu berjalan tertatih-tatih menuruni lereng yang tidak begitu terjal menuju ke pertapaan Mintaraga. Sedangkan Kanjeng Sunan diikuti oleh Cantrik Gatra Bumi dan Anjani menuruni lereng sebelah selatan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Raden Mas Rangsang ditemani oleh Ki Tanpa Aran tetap tinggal di dalam goa untuk beberapa hari ke depan dalam rangka menjalani lelaku sebagai persiapan mengemban amanah jika kelak waktunya telah tiba.

Dalam pada itu, Matahari sudah semakin condong ke barat. Sinarnya tidak lagi segarang seperti beberapa saat tadi. Angin pegunungan yang sejuk kadang bertiup agak keras dan menerobos dedaunan sehingga menimbulkan suara berkerosakan seperti air bah yang sedang menerjang ceruk-ceruk dan tempat-tempat rendah di lembah pebukitan.

Anjani tampak sedang berjalan dengan riang beberapa langkah di sebelah Cantrik Gatra Bumi. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah anak yang masih sangat muda itu. Namun Cantrik Gatra Bumi tampaknya acuh tak acuh saja dengan keadaan di sekelilingnya. Dia berjalan sambil menundukkan wajahnya, seolah-olah ingin menghitung setiap jengkal tanah yang telah dilewatinya.

“Anak muda yang aneh dan sedikit sombong,” berkata Anjani dalam hati, “Apakah dia benar-benar salah satu Cantrik Kanjeng Sunan di gunung Muria? Kalau memang demikian dalam usia yang masih semuda itu tentu dia sudah menguasai ilmu yang tinggi. Pantas saja dia menjadi sombong.”

Namun Anjani menjadi sedikit ragu-ragu. Anak muda yang berjalan beberapa langkah di sampingnya itu sama sekali tidak menggambarkan seorang anak muda yang berilmu tinggi.

Terusan ADBM Jilid 414

59

Langkah kakinya terdengar seperti langkah orang kebanyakan. Bahkan dari tempatnya berjalan Anjani dapat mendengarkan desah nafasnya yang memburu pertanda dia mengalami kelelahan.

“Mungkin dia berguru di Gunung Muria tidak untuk mempelajari olah kanuragan dan jaya kawijayan serta guna kasantikan,” berkata Anjani dalam hati selanjutnya, “Mungkin dia hanya mempelajari kawruh kasampurnaning ngaurip untuk bekal hidupnya kelak di alam kelanggengan. Namun dengan demikian seharusnya semua itu tidak menjadikannya sombong dan tinggi hati.”

Tiba-tiba Anjani teringat akan keadaan dirinya sendiri. Dia menjadi malu sendiri begitu menyadari bahwa selama ini dia benar-benar masih jauh pengenalannya dari kawruh batin itu. Ketika di Gunung Kendalisada pun dia hampir tidak pernah mendapat wejangan dari Sang Resi mengenai kawruh kasampurnaning ngaurip selain ilmu-ilmu jaya kawijayan dan guna kasantikan.

“Mungkin Sang Resi memandang belum waktunya bagiku untuk mempelajari kawruh yang rumit dan njlimet itu,” berkata Anjani dalam hati sambil terus mengayunkan langkahnya mengikuti Kanjeng Sunan yang berjalan beberapa langkah saja di depannya, “Tetapi bukankah antara Resi Mayangkara dan Kanjeng Sunan mempunyai pandangan dan keyakinan hidup yang berbeda walaupun tujuannya sama, yaitu meraih kehidupan yang mapan di alam kelanggengan nanti?”

Untuk beberapa saat Anjani menjadi bingung menilai kedua Priyagung itu. Sepertinya ada dorongan kuat yang mendesak hatinya untuk segera mendalami kawruh batin itu semenjak dia mendengar pitutur Kanjeng Sunan di dalam goa beberapa saat tadi. Namun dia belum dapat menentukan, jalan terbaik manakah yang akan dipilihnya.

“Aku memerlukan pertimbangan dari seseorang yang aku percaya untuk memilih jalan hidupku nantinya yang berhubungan dengan kawruh kasampurnaning ngaurip,” berkata Anjani sambil menghirup udara pegunungan yang segar.

Terusan ADBM Jilid 414

60

Dipenuhi rongga dadanya dengan udara yang bersih dan murni sebelum akhirnya dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ingin dibuang semua persoalan yang sedang membelit hatinya.

Tiba-tiba Kanjeng Sunan yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Tak terasa perjalanan mereka telah sampai di ujung lereng yang landai dan kini di hadapan mereka telah terhampar hutan lebat yang membujur di sepanjang lembah Perbukitan Menoreh.

Sejenak Kanjeng Sunan tampak terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap kedua orang dibelakangnya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Semoga Yang Maha Agung mengijinkan kita sampai di kediaman Ki Gede sebelum Matahari benar-benar terbenam.”

“Sendika Kanjeng Sunan,” jawab Cantrik Gatra Bumi sambil membungkukkan badannya. Sementara Anjani yang berdiri beberapa langkah di sebelahnya hanya diam termangu-mangu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Marilah,” berkata Kanjeng Sunan kemudian sambil berbalik dan melangkah kembali. Dengan perlahan Kanjeng Sunan itu pun mulai menyusup lebatnya hutan rimba diikuti oleh cantrik Gatra Bumi.

Anjani untuk sejenak masih berdiri diam di tempatnya. Ketika tanpa sadar dia berpaling ke arah barat, tampak Matahari sudah sedemikian rendahnya, namun masih ada waktu beberapa saat sebelum Matahari itu benar-benar terbenam.

Untuk beberapa saat Anjani masih ragu-ragu untuk melangkah. Namun ketika bayangan cantrik Gatra Bumi hampir hilang ditelan rimbunnya dedaunan hutan, dengan tergesa-gesa dilangkahkan kakinya menyusul dua orang yang sudah tidak tampak bayangannya itu.

Segera saja bau tanah yang lembab tercium begitu Anjani mulai memasuki hutan. Hutan itu begitu pepatnya sehingga semakin dalam Anjani memasukinya, semakin lembab dan gelap. Hampir tidak ada secercah sinar Matahari pun yang mampu menerobos rimbunnya dedaunan.

Terusan ADBM Jilid 414

61

“Aneh,” desis Anjani dalam hati sambil menerobos rimbunnya dedaunan hutan serta sulur-sulur yang berjuntai menghadang langkahnya, “Perjalanan dari lereng ini sampai ke kediaman Ki Gede mungkin memerlukan waktu satu malam lebih. Tadi pagi menjelang Matahari sepenggalah aku baru mencapai tepi hutan ini dan bertemu dengan Kakek Tanpa Aran. Padahal aku telah semalaman berjalan tanpa henti dari kediaman Ki Gede menuju ke Bukit Menoreh.”

Dengan sesekali menyibakkan dedaunan yang lebat serta sulur-sulur pepohonan yang silang melintang, tak jarang Anjani harus meloncati batang-batang pohon yang tumbang. Bahkan kadang dia harus merunduk-runduk untuk menyusup lorong-lorong sempit di antara pohon-pohon yang tumbuh rapat berjajar-jajar dan menjulang tinggi.

“Mengapa Kanjeng Sunan memilih jalan seperti ini?” keluh Anjani dalam hati sambil mencoba mengamati keberadaan kedua orang di depannya. Sesekali punggung cantrik Gatra Bumi sempat terlihat di antara lebatnya hutan, “Aku yakin di tempat lain dari hutan ini ada jalan yang tidak begitu pepat seperti ini, yang lebih mudah untuk dilewati.”

Ketika Anjani kemudian merunduk untuk menyusup sebuah lorong yang sangat sempit di antara batang-batang pohon sebesar pelukan orang dewasa, Anjani benar-benar dibuat terkejut. Begitu kepalanya tersembul di antara dedaunan yang lebat, dia melihat sesuatu yang beberapa saat tadi tidak dilihatnya, sinar Matahari. Betapapun lemahnya, sinar Matahari itu masih mampu menerobos dedaunan hutan dan pohon-pohon yang terlihat sudah tidak sepepat sebelumnya.

“He!” seru Anjani keheranan, “Rasanya baru beberapa langkah saja aku menembus hutan ini. Mengapa pohon-pohon sudah menjadi sedemikian jarang dan bayang-bayang sinar Matahari sore sudah terlihat?”

Tanpa sadar Anjani memandang ke sekelilingnya. Terasa debar jantung Anjani menjadi semakin cepat begitu menyadari hutan yang dilewatinya sudah tidak selebat tadi. Pohon-pohon sudah sangat jarang walaupun demikian pandangan matanya

Terusan ADBM Jilid 414

62

masih belum leluasa untuk melihat jalan di depannya. Ketika dia kemudian dengan bergegas maju beberapa langkah lagi, jantungnya benar-benar bagaikan terlepas dari tangkainya. Begitu pohon terakhir telah dilewatinya, di hadapannya kini telah terbentang sebuah jalur jalan yang sangat dikenalnya, jalan membujur yang menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.

“Gila!” desis Anjani begitu saja tanpa disadarinya sambil menoleh ke belakang. Hutan di belakangnya yang lebat itu bagaikan hilang ditelan bumi, dan sebagai gantinya adalah rumah-rumah para penghuni padukuhan yang berjajar-jajar di sebelah-menyebelah jalan.

“Apakah aku sedang bermimpi?” desis Anjani sambil kembali memandang ke depan. Tampak Kanjeng Sunan dan cantrik Gatra Bumi telah sampai di kelokan jalan yang langsung terhubung dengan rumah Ki Gede Menoreh.

“Ah, sudahlah,” desah Anjani perlahan sambil menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Semua ini tentu kesengajaan dari Kanjeng Sunan untuk mempercepat perjalanan agar segera sampai di kediaman Ki Gede Menoreh.”

Begitu teringat akan kediaman Ki Gede Menoreh, Anjani segera meloncat dan berlari menyusul kedua orang yang sudah agak jauh di depannya. Dia tidak ingin terlambat memasuki halaman rumah Ki Gede sendirian. Dia harus datang bersama-sama dengan Kanjeng Sunan dan cantrik Gatra Bumi agar tidak banyak menimbulkan pertanyaan.

Dalam pada itu, Matahari telah semakin rendah dan mulai terbenam di langit sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan dengan lemahnya hinggap di pucuk-pucuk pepohonan. Sementara di langit yang mulai suram tampak burung-burung terbang berkelompok-kelompok untuk kembali ke sarang mereka. Setelah seharian mereka meninggalkan sarang untuk mencari makan, kini saatnya untuk memberi makan anak-anak mereka agar dapat tumbuh besar dan tetap sehat serta diharapkan akan menjadi generasi penerus mereka di masa mendatang.

Dalam pada itu, di dalam sebuah goa yang tersembunyi di puncak Perbukitan Menoreh, Ki Tanpa Aran dan Raden Mas

Terusan ADBM Jilid 414

63

Rangsang tampak sedang khusuk bersembahyang. Beberapa waktu yang lalu sebelum matahari benar-benar terbenam, mereka telah menyempatkan diri untuk turun ke sendang yang terletak tidak seberapa jauh dari goa. Setelah membersihkan diri dan kemudian bersuci, mereka berdua pun kemudian memanjat naik dan memasuki goa kembali.

“Ki Tanpa Aran,” berkata Raden Rangsang kemudian setelah mereka selesai melaksanakan kewajiban sebagai hamba kepada Tuhannya sambil duduk bersila menghadap penuh kepada orang tua itu, “Aku merasa sangat heran dengan kalian berdua, terutama dengan Ki Ajar Mintaraga. Bagaimana mungkin Ki Ajar yang sudah sangat sepuh itu mampu menempuh perjalanan sampai ke tempat ini dalam waktu yang sangat singkat?” Raden Mas Rangsang berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Padahal, aku berjumpa dengan Ki Ajar di tengah hutan di kaki Pegunungan Menoreh menjelang matahari sepenggalah tadi pagi. Namun ketika kita kemudian menuju ke goa ini, ternyata Ki Ajar Mintaraga telah terlebih dahulu sampai di tempat ini.”

Ki Tanpa Aran tersenyum menanggapi kata-kata Raden Mas Rangsang. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Raden, Kanjeng Sunan telah mengajarkan sebuah doa kepada kami berdua, dimana di dalam doa itu dipanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung untuk diperkenankan mempercepat sebuah perjalanan. Sehingga kami yang tua-tua ini tidak terbebani dengan jarak tempuh yang cukup jauh jika kami sedang bepergian.”

Sejenak Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah itu sejenis aji atau sebuah ilmu yang mampu membuat pemiliknya bergerak secepat kilat?”

“O, tidak tidak,” jawab Ki Tanpa Aran dengan cepat, “Kami merasa tidak mempunyai kemampuan untuk bergerak secepat itu. Justru kami hanya berjalan seperti biasa sambil berdoa dan pasrah kepada Yang Maha Agung. Bumi seolah-olah telah dilipat dan didekatkan kepada kami sehingga sebuah perjalanan yang cukup jauh pun hanya memerlukan waktu sebentar.”

Terusan ADBM Jilid 414

64

Kembali Raden Mas Rangsang mengerutkan keningnya. Kali ini bahkan lebih dalam sehingga tampak keningnya yang berkerut-merut.

Setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Raden Mas Rangsang akhirnya berdesis perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Tentu diperlukan sebuah laku yang cukup berat untuk menguasai ilmu itu.”

“O, itu sama sekali tidak benar, Raden,” sahut Ki Tanpa Aran dengan serta merta, “Doa yang diajarkan Kanjeng Sunan kepada kami berdua itu tidak menuntut sebuah laku apapun. Kami hanya diajari untuk berdoa dengan khusuk dan sepenuh hati.”

“Jadi? Bagaimana mungkin sebuah ilmu dapat kita kuasai tanpa menjalankan sebuah laku?”

“Disitulah letak perbedaan antara ilmu yang selama ini kita pelajari dengan doa-doa yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Ilmu menuntut sebuah laku yang kadang sangat berat dan rumit untuk dapat menguasainya. Sedangkan doa tidak menuntut sebuah laku apapun. Hanya kebeningan hati dan kesucian niat kita yang selalu dituntut untuk dijaga agar doa yang kita panjatkan senantiasa mendapat RidhoNYA.”

Sejenak Raden Mas Rangsang termenung. Pandangan matanya lurus menatap keluar goa. Seolah-olah ingin ditembusnya tabir hitam kelam yang mulai menyelimuti bumi.

“Aku tidak mengerti,” desis Raden Mas Rangsang perlahan sambil pandangan matanya tetap memandang ke kegelapan malam, “Menjaga kebeningan hati dan kesucian niat itulah yang terasa masih sangat sulit aku terapkan dalam kehidupan bebrayan ini.”

“Raden benar,” sahut Ki Tanpa Aran, “Laku yang sebenarnya dalam menjaga kebeningan hati dan kesucian niat itulah yang sangat berat. Tidak ada batasannya kecuali sampai akhir hayat dikandung badan.”

Terusan ADBM Jilid 414

65

Kali ini penerus trah Mataram itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah Kanjeng Sunan memberi nama doa itu?”

Ki Tanpa Aran menggeleng. Jawabnya kemudian, “Kanjeng Sunan tidak pernah memberi nama sebuah doa dengan nama yang khusus. Kanjeng Sunan hanya menyebutkan bahwa yang diajarkan itu adalah sebuah doa untuk mempercepat sebuah perjalanan,” Ki Tanpa Aran berhenti sejenak, lanjutnya kemudian, “Namun kami berdua telah sepakat untuk memberi nama doa itu sebagai Aji Pangrupak Jagad.”

“Aji Pangrupak Jagad?” tanpa sadar bibir Raden Mas Rangsang berdesis perlahan mengulang nama aji itu sambil mengerutkan keningnya.

“Benar Raden,” sahut Ki Tanpa Aran cepat, “Atas seijin Yang Maha Agung, kami berdua yang sudah renta ini dengan berbekal Aji Pangrupak Jagad masih mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan Kanjeng Sunan kepada kami.”

Raden Mas Rangsang untuk sejenak terdiam. Pandangan matanya masih saja terpaku pada kegelapan yang semakin dalam di luar goa.

“Raden,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian memecah kesunyian, “Sesuai dengan pesan Kanjeng Sunan, sebaiknya kita segera memulai untuk mengkaji Asma-AsmaNYA Yang Maha Agung untuk kita dalami dan resapi sehingga nantinya akan bermanfaat dalam kehidupan bebrayan kita.”

Raden Mas Rangsang bagaikan tersadar dari sebuah mimpi panjang. Sambil menarik nafas panjang terlebih dahulu, dia segera membenahi letak duduknya. Katanya kemudian sambil memandang Ki Tanpa Aran, “Baiklah Ki, aku kira memang sudah waktunya untuk dimulai.”

Demikianlah sejenak kemudian kedua orang yang umurnya terpaut sangat jauh itu segera tenggelam dalam perbincangan yang sarat dengan ilmu sangkan paraning dumadi.

Dalam pada itu, sebuah rombongan orang-orang berkuda tampak sedang berderap menyusuri sebuah jalan setapak di

Terusan ADBM Jilid 414

66

pinggir hutan. Jalan itu tampak menjelujur dalam keremangan malam. Rombongan berkuda itu sengaja tidak membawa alat penerangan apapun. Agaknya rombongan orang berkuda itu memang sudah terbiasa dengan perjalanan malam.

“Ma’af Pangeran. Apakah pangeran memerlukan waktu untuk sejenak beristirahat?” tiba-tiba seseorang yang berkuda di sebelah laki-laki yang sudah cukup berumur membuka suara.

Orang yang dipanggil Pangeran itu sejenak menengadahkan wajahnya ke langit. Dipandanginya langit yang bersih tanpa selembar awan pun. Sambil menggeleng lemah, barulah dia menjawab, “Tidak perlu Ki Tumenggung. Rasa-rasanya aku ingin segera sampai di hadapan Kakanda Panembahan, agar aku segera mendapat hukuman yang setimpal dan dapat memulai takdirku untuk menyesali segala perbuatanku di masa lalu.”

Ki Tumenggung yang berkuda di sebelah Pangeran itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Sambil menghentak perut kudanya agar berlari sedikit kencang untuk menjajari kuda orang yang dipanggilnya Pangeran itu, dia pun kemudian menyahut, “Perjalanan memang masih cukup jauh, Pangeran. Namun malam baru saja sampai sirep bocah. Kalau tidak ada aral melintang di jalan, kemungkinan setelah lewat tengah malam kita baru akan sampai di Kademangan Sangkal Putung.”

Orang yang dipanggil Pangeran itu tidak menjawab. Hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk.

Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun dipacu semakin cepat. Setelah melewati sebuah padang perdu yang cukup luas, sampailah rombongan berkuda itu di sebuah bulak panjang yang langsung terhubung dengan sebuah kademangan yang subur di dataran rendah sebelah selatan Gunung Merapi, Kademangan Sangkal Putung.

Tumenggung yang memimpin rombongan berkuda itu sejenak menebarkan pandangan matanya ke sekeliling sebelum meneruskan perjalanannya menyusuri bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung.

Terusan ADBM Jilid 414

67

Hatinya sedikit tergetar begitu menatap bulak yang panjang dan lengang di bawah siraman bulan tua yang baru muncul.

“Jika berita prajurit sandi itu memang benar, tentu penyergapan itu dapat terjadi di mana saja dan kapan saja sesuai dengan perhitungan Pangeran Ranapati dan pengikutnya,” berkata Tumenggung itu dalam hati sambil terus berpacu, “Semoga perhitungan Pangeran Pringgalaya tidak meleset sehingga rombongan ini tidak akan terjebak dan dengan selamat sampai ke Mataram.”

Sore tadi sebelum Matahari benar-benar terbenam di langit sebelah barat, pasukan Mataram segelar sepapan yang sedang dalam perjalanan pulang dari Panaraga telah berencana untuk singgah dan bermalam di Kademangan Ngadireja. Begitu memasuki tapal batas Kademangan Ngadireja, Pangeran Pringgalaya segera memerintahkan beberapa prajurit penghubung untuk mendahului dan memberitahukan rencana tersebut kepada Ki Demang Ngadireja.

Ki Demang Ngadireja dengan tergopoh-gopoh telah menyambut kedatangan sekelompok prajurit penghubung itu di pendapa Kademangan.

“Selamat datang di Kademangan Ngadireja,” sambut Ki Demang dengan tersenyum ramah sambil menuruni tlundak pendapa, “Kalau aku yang sudah pikun ini tidak salah, para Ki Sanak ini adalah prajurit Mataram.”

Para prajurit penghubung itu tidak segera menjawab pertanyaan Ki Demang. Setelah mereka turun dari kuda masing-masing, barulah prajurit yang tertua maju ke depan sambil mengangguk hormat, “Benar, kami adalah prajurit Mataram yang baru pulang dari Panaraga. Maaf, apakah kami sekarang ini sedang berhadapan dengan Ki Demang Ngadireja?”

“Benar, Ki sanak. Aku adalah Demang Ngadireja,” Ki Demang berhenti sejenak. Kemudian dengan sebuah isyarat dia memerintahkan para pembantunya yang berdiri termangu-mangu di sudut pendapa untuk menerima kendali kuda para prajurit Mataram itu.

Terusan ADBM Jilid 414

68

Namun prajurit yang tertua segera menyela, “Maaf Ki Demang, kami tidak lama. Kami harus segera kembali ke perbatasan Kademangan Ngadireja untuk memberikan laporan.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Maksud Ki Sanak?”

“Kami hanya sebagai utusan untuk menyampaikan kepada Ki Demang, bahwa sebentar lagi pasukan segelar sepapan Mataram yang baru pulang dari Panaraga dan dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik penguasa Mataram Panembahan Adi Prabu Hanyakrawati berkenan untuk singgah dan bermalam di Kademangan ini.”

“He?” bagaikan tersengat ribuan kalajengking Ki Demang terlonjak kaget. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa di sore menjelang malam itu akan kedatangan tamu pasukan segelar sepapan, dan terlebih lagi pasukan itu dipimpin oleh adik penguasa Mataram, Pangeran Pringgalaya.

“Nah, Ki Demang,” berkata prajurit tertua itu menyadarkan Ki Demang yang hampir saja menjadi pingsan, “Apakah yang harus aku laporkan kepada Pangeran Pringgalaya?”

“O, tentu, tentu,” jawab Ki Demang serta merta dengan suara sedikit bergetar, “Kami akan sambut dengan senang hati dan tangan terbuka. Akan kami persiapkan yang terbaik untuk Pangeran Pringgalaya dan seluruh pasukannya.”

“Terima kasih,” berkata prajurit tertua itu kemudian sambil tersenyum, “Kami akan kembali dan melaporkan kesiapan Ki Demang untuk menerima Pangeran Pringgalaya beserta pasukannya.”

“Silahkan, silahkan,” dengan tergopoh-gopoh Ki Demang pun kemudian mengantarkan tamu-tamunya sampai ke regol. Sejenak kemudian kelompok prajurit penghubung itu pun telah berderap kembali menuju ke induk pasukannya.

Sepeninggal tamu-tamunya, Ki Demang segera memerintahkan Nyi Demang dan pembantu-pembantunya untuk menyiapkan makan bagi pasukan Mataram yang akan bermalam di Kademangan Ngadireja.

Terusan ADBM Jilid 414

69

“Bagaimana kita akan menjamu pasukan segelar sepapan, Ki Demang?” bertanya Nyi Demang dengan wajah yang tegang. Menjamu pasukan segelar sepapan merupakan pengalaman baru bagi Nyi Demang.

“Mintalah bantuan kepada para tetangga untuk menyiapkan jamuan,” Ki Demang berhenti sejenak, “Sebagian pasukan akan aku tempatkan di banjar-banjar padukuhan sekitar padukuhan induk. Rumah-rumah di sekitar banjar-banjar itulah yang nanti akan aku tugasi memasak. Selebihnya Pangeran Pringgalaya sendiri beserta para pemimpin pasukan akan aku tempatkan di banjar padukuhan induk. Dan itu menjadi tugasmu untuk menghidangkan jamuan yang terbaik.”

Nyi Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dia baru menyadari bahwa dia harus melibatkan banyak orang untuk membantunya menyambut kedatangan pasukan segelar sepapan itu.

Dalam pada itu, pasukan yang berada di perbatasan Kademangan Ngadireja telah bergerak memasuki Kademangan setelah Pangeran Pringgalaya menerima laporan prajurit penghubung. Dengan derap langkah yang tegap, para prajurit itu berbaris dengan penuh kebanggaan menyusuri lorong-lorong sepanjang jalan Kademangan Ngadireja. Segala macam umbul-umbul, rontek dan panji-panji berkibar dengan megahnya. Sementara para prajurit yang berpangkat perwira saja yang berkuda, namun kuda-kuda itu tidak dipacu, hanya dibiarkan saja berjalan mengikuti irama langkah para prajurit Wira Tamtama.

Para penghuni padukuhan-padukuhan yang dilewati pasukan itu segera berhamburan keluar. Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Tak jarang mereka meminta kepada bapak-bapak mereka untuk didudukkan di dinding pembatas rumah mereka yang tinggi agar dapat melihat pasukan yang lewat itu dengan lebih jelas. Sementara para lelaki padukuhan tua maupun muda hanya berdiri di tepi jalan dengan dada yang bergemuruh penuh kebanggaan melihat kebesaran pasukan Mataram. Sedangkan

Terusan ADBM Jilid 414

70

perempuan-perempuan dan gadis-gadis hanya berani mengintip dari balik dinding-dinding pagar pembatas rumah mereka.

“Maaf Pangeran” bisik Tumenggung Purbarana yang berkuda di sebelah Pangeran Pringgalaya, “Ada berita lagi dari prajurit sandi tentang orang-orang yang selalu mengikuti perjalanan kita semenjak pasukan ini keluar dari Kadipaten Panaraga.”

Pangeran Pringgalaya menarik nafas dalam dalam sambil berpaling ke belakang. Ketika pandangan matanya kemudian tertumbuk pada seseorang yang duduk di atas seekor kuda dengan wajah yang selalu tertunduk dalam-dalam, hati kecil Pangeran Mataram itu pun berdesir tajam.

“Mengapa pertikaian ini harus terjadi justru di antara para kerabat istana sendiri?” berkata pangeran Pringgalaya dalam hati sambil memalingkan kembali wajahnya ke depan, “Tidak seharusnya Kakangmas Pangeran Jayaraga memberontak kepada Mataram hanya karena hasutan orang yang mengaku trah dari Ayahanda Panembahan Senapati. Sayang orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu telah lolos. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang selama ini selalu mengikuti pergerakan pasukan ini adalah orang-orangnya Ranapati.”

Ingatan Pangeran Pinggalaya pun tiba-tiba terlempar ke beberapa waktu yang lalu ketika terjadi peperangan yang dahsyat antara prajurit Mataram melawan pasukan Kadipaten Panaraga. Pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan prajurit kadipaten-kadipaten bawahan Mataram dan para pengawal dari Kademangan-Kademangan serta prajurit Mataram itu sendiri telah berhasil mengancurkan benteng pertahanan kota Panaraga.

Bagaikan air bah yang meluncur turun dari lereng-lereng bukit, pasukan gabungan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Purbarana dan Tumenggung Untaradira itu segera memasuki kota dan menerjang apa saja yang dilewatinya. Pasukan Panaraga yang berada di sisi barat kota segera mundur begitu benteng kota Panaraga dapat ditembus pasukan Mataram. Pasukan yang dipimpin oleh Raden Mas Panji Wangsadrana itu hanya dapat bertahan menghadapi gempuran pasukan Mataram yang bagaikan gelombang pantai yang tak henti-hentinya

Terusan ADBM Jilid 414

71

menerjang tebing-tebing. Perlahan tapi pasti pasukan Panaraga pun semakin terdesak mundur dan mundur terus sampai akhirnya tidak dapat mundur lagi karena telah mendekati pertahanan terakhir, Istana Kadipaten Panaraga.

Sedangkan Pangeran Ranapati yang memimpin pertahanan di sebelah selatan telah menghadapi kekuatan yang dahsyat tiada taranya, pasukan yang langsung dipimpin oleh Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.

Masih segar dalam ingatan Pangeran Pringgalaya, bagaimana dia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi orang yang mengaku trah Mataram itu. Kekuatan lawannya benar-benar bagaikan banteng ketaton, sedangkan kelincahan gerakannya bagaikan burung sikatan yang menyambar-nyambar di padang ilalang.

Namun Pangeran Pringgalaya bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan selangkah dua langkah. Berbagai ilmu jaya kawijayan dan guna kasantikan telah lebur dan menyatu di dalam dirinya. Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Julik itu telah ditempa dan digembleng langsung oleh Ayahandanya sendiri, Panembahan Senapati.

Demikianlah pertempuran yang dahsyat telah terjadi di sisi selatan kota Panaraga. Jumlah pasukan kedua belah pihak memang dapat dikatakan seimbang. Namun satu hal yang berada diluar perhitungan Pangeran Ranapati, hampir separoh lebih pasukan di bawah pimpinan Pangeran Pringgalaya adalah pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.

Pasukan khusus itu benar-benar telah menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya, baik kemampuan pribadi maupun kemampuan tempur dalam kelompok. Lampat laun pasukan Panaraga di bawah pimpinan Pangeran Ranapati mulai mengalami tekanan yang tak tertahankan.

“Maaf Pangeran. Pasukan kita mengalami tekanan di setiap lini,” bisik Senapati pengapit pangeran Ranapati. Seorang prajurit penghubung baru saja memberikan laporan kepadanya.

Terusan ADBM Jilid 414

72

“Gila!” geram Pangeran yang keras hati itu sambil tetap bertempur, “Usahakan pasukan kita bertempur dalam kelompok-kelompok kecil jika secara orang-perorang mereka mengalami kesulitan.”

“Justru itulah kelebihan pasukan Mataram,” jawab Senapati pengapitnya sambil menghindari sabetan senjata lawannya, “Mereka dapat bertempur dalam setiap medan dan keadaan. Mereka kelihatannya berasal dari satu kesatuan khusus yang telah terlatih.”

“Dugaan kalian memang benar,” tiba-tiba Pangeran Pringgalaya yang sedari tadi mendengarkan pembicaran itu menyahut sambil tersenyum. Sambil melenting kesamping menghindari libatan senjata lawannya, adik Panembahan Hanyakrawati itu pun melanjutkan kata-katanya, “Kalian sedang menghadapi kekuatan pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh. Tidak ada gunanya kalian melawan. Kalian akan terlindas bagaikan buah mentimun melawan buah durian. Menyerahlah! Atas nama kuasa Mataram, aku Pangeran Pringgalaya akan memperlakukan kalian sebagai tawanan dengan baik sesuai dengan paugeran yang berlaku.”

“Tutup mulutmu!” bentak pangeran Ranapati menggelegar sambil menerjang dahsyat ke arah lawannya. Keris di tangannya telah melontarkan percikan-percikan boal-bola api sebesar kepalan tangan orang dewasa dan meluncur menghantam lawannya.

Sejenak pangeran Pringgalaya darahnya bagaikan tersirap sampai ke ubun-ubun. Dia tidak menyangka jika lawannya itu mulai merambah pada tataran tinggi ilmunya.

Segera saja Pangeran Pringgalaya membentengi dirinya dengan Aji Lembu Sekilan, salah satu aji kebanggaan Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya ketika berhasil menduduki singgasana Pajang. Aji Lembu Sekilan itu pun kemudian diajarkan kepada mas Ngabehi Loring Pasar yang telah diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Pajang. Ketika Loring Pasar kemudian menjadi penguasa Mataram dan bergelar

Terusan ADBM Jilid 414

73

Panembahan Senapati, Aji Lembu Sekilan itu pun telah diturunkan pula kepada putra-putranya.

“Bagaimana Pangeran?” tiba-tiba pertanyaan Ki Tumenggung Purbarana telah menyadarkan Pangeran Pringgalaya dari lamunannya.

Untuk beberapa saat Pangeran Pringgalaya masih terdiam. Ketika teringat akan keadaan lawannya disaat-saat terakhir justru telah melarikan diri dari medan pertempuran, tiba-tiba timbul niat Pangeran Pringgalaya untuk memancing dan sekaligus mengungkap siapa sebenarnya yang telah mengikuti perjalanan mereka sejauh ini dan untuk kepentingan apa. Tidak menutup kemungkinan mereka ada hubungannya dengan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.

“Siapkan tiga puluh pasukan berkuda yang terbaik,” tiba-tiba Pangeran Pringgalaya memberi perintah dengan suara sedikit berbisik, “Kita akan memecah perhatian orang-orang yang selama ini membuntuti kita. Ki Tumenggung Purbarana sendiri yang aku tunjuk untuk memimpin pasukan berkuda itu. Bawalah tawanan kita Pangeran Jayaraga secepatnya menghadap Kakanda Panembahan Hanyakrawati di Mataram sekarang juga.”

Untuk sejenak Ki Tumenggung Purbarana bagaikan membeku di atas punggung kudanya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat tugas yang sangat berbahaya untuk membawa tawanan khusus itu langsung ke Mataram malam itu juga. Jika dia gagal, taruhannya adalah nyawanya sendiri.

Namun sebagai seorang prajurit, pantang bagi Tumenggung Purbarana untuk mengelak. Maka dengan menengadahkan dadanya, dia pun menjawab, “Sendika Pangeran. Titah Pangeran akan aku junjung tinggi, setinggi taruhan nyawaku sendiri.”

“Bagus,” desis Pangeran Pringgalaya, “Atur agar kepergian kalian tidak begitu mencolok. Sebaiknya kalian segera memisahkan diri dari pasukan ini. Sebelum pasukan ini memasuki bulak panjang di depan, kalian dapat mengambil jalan ke kiri melewati pinggir hutan menuju ke Kademangan Sangkal Putung. Jika sebelum fajar menyingsing kalian telah mencapai

Terusan ADBM Jilid 414

74

Jati Anom, kalian dapat meminta bantuan para prajurit yang di tempatkan di sana.”

Begitu Pangeran Pringgalaya menyebut Jati Anom, Ki Tumenggung Purbarana segera teringat kepada Ki Tumenggung Untaradira yang juga ikut dalam pasukan segelar sepapan itu.

“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Purbarana kemudian, “Apakah tidak sebaiknya aku sekalian meminta bantuan Ki Tumenggung Untaradira untuk menemani perjalanan ini?”

“Tidak perlu,” jawab Pangeran Pringgalanya dengan serta merta, “Biarlah Ki Tumenggung Untaradira tetap di pasukan ini, aku masih memerlukan tenaga dan pikirannya. Perjalanan ke Mataram masih cukup jauh dan segala sesuatunya bisa saja terjadi di perjalanan. Namun engkau dapat meminta bantuan beberapa perwiranya agar tidak terjadi salah paham setibanya kalian di Jati Anom.”

“Hamba Pangeran,” sahut Ki Tumenggung Purbarana, “Sekali lagi, hamba mohon jika Pangeran tidak berkeberatan, sebaiknya satu atau dua orang pengawal Sangkal Putung juga diikut sertakan karena kemungkinannya menjelang tengah malam nanti rombongan kami akan melewati Kademangan itu.”

Pangeran Pringgalaya tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk.

“Jika demikian, hamba mohon diri, Pangeran,” berkata Ki Tumenggung Purbarana kemudian yang dijawab oleh pangeran Pringgalaya dengan anggukkan.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Purbarana segera bergeser dengan menarik kendali kudanya sehingga berhenti. Ketika kuda orang yang selalu menundukkan wajahnya itu lewat beberapa langkah di sampingnya, Ki Tumenggung segera menjajari langkah kuda kedua Lurah Wira Tamtama yang mengawal di sebelah menyebelah orang itu.

Sambil tetap mengikuti irama langkah kuda-kuda itu, Ki Tumenggung Purbarana kemudian berbisik kepada Lurah Wira Tamtama yang berkuda tepat di sebelahnya, “Perintah Pangeran

Terusan ADBM Jilid 414

75

Pringgalaya, sekarang juga kita berangkat mendahului dengan kekuatan tiga puluh pasukan berkuda. Segeralah berkemas,”

Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu agaknya mendengar bisikan Ki Tumenggung kepada Lurah Wira Tamtama yang mengapitnya. Tanpa disadarinya dia mengangkat wajahnya sambil pandangan matanya tertuju ke arah Pangeran Pringgalaya yang berkuda beberapa tombak di hadapannya. Namun ternyata Pangeran Pringgalaya sama sekali tidak berpaling.

“Maafkan kami Pangeran,” bisik Ki Tumenggung Purbarana ketika melihat orang itu justru telah berpaling ke arahnya, “Kami hanya menjalankan tugas.”

Orang itu kembali menundukkan wajahnya. Betapa penyesalan yang tiada taranya telah menghujam jantungnya. Penyesalan itu baru disadarinya ketika pasukan Mataram telah berada di halaman istananya beberapa saat yang lalu ketika pecah perang antara Mataram dan Panaraga.

“Kakangmas Adipati, keluarlah!” teriak Pangeran Pringgalaya pada saat itu dari halaman istana Kadipaten Panaraga yang telah dikuasai penuh oleh pasukan Mataram.

Penyesalan benar-benar telah melanda hatinya. Ada perasaan marah bercampur malu begitu mendapat laporan bahwa Pangeran Ranapati yang telah diangkat menjadi Senapati Agung Kadipaten Panaraga dan diharapkan akan menjadi tumpuan kekuatan Panaraga ternyata telah melarikan diri dari medan pertempuran.

“Licik! Pengecut!” geram Adipati Jayaraga. Namun semua itu tinggal penyesalan dan sekarang adiknya, Pangeran Pringgalaya telah menunggunya di halaman istana Kadipaten Panaraga dengan senjata terhunus.

Ketika Adipati Panaraga itu kemudian sekilas berpaling ke belakang, hatinya bagaikan sebuah belanga yang jatuh di atas tanah berbatu-batu, hancur berkeping-keping. Tampak istrinya sedang duduk bersimpuh sambil memeluk anak laki-laki satu-satunya yang masih kanak-kanak. Beberapa perempuan pelayan istana kadipaten ikut berkumpul mengerumuni bendara mereka.

Terusan ADBM Jilid 414

76

Tidak ada suara, tidak ada isak tangis yang terdengar. Hanya air mata yang mengucur deras membasahi wajah-wajah yang diliputi ketakutan dan kesedihan serta pandangan mata yang kosong tanpa harapan.

“Persetan Pringgalaya!” geram Adipati Jayaraga dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengeraskan hatinya, “Walaupun aku menyadari tidak akan mampu mengimbangi kesaktianmu, harga diriku sebagai laki-laki di atas segala-galanya. Mukti atau sekalian mati.”

Namun baru saja Pangeran yang kecewa itu akan melangkahkan kakinya, terasa seseorang telah menggamit bahunya.

Ketika dia kemudian berpaling, seseorang yang berwajah seteduh lautan dan bermata sebening embun pagi sedang menatapnya dengan tatapan yang sejuk dan sebuah senyuman yang sareh.

“Kanjeng Sunan,” bergetar bibir Pangeran Jayaraga menyebut nama orang itu. Sambil memutar tubuhnya dan membungkuk dalam-dalam, diraihnya tangan kanan Kanjeng Sunan dan kemudian dengan sepenuh hati diciumnya. Tak terasa butir-butir air mata menetes satu-persatu membasahi tangan orang yang sangat dihormati itu.

“Maaf Pangeran, kita harus segera berkemas,” tiba-tiba terdengar suara Ki Tumenggung Purbarana membuyarkan lamunannya.

Orang yang selalu menundukkan wajahnya itu memang Pangeran Jayaraga yang kini telah menjadi tawanan pasukan Mataram. Sejenak dia masih mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk sekedar melonggarkan kepepatan dadanya yang bagaikan tertimbun berbongkah-bongkah batu padas dari lereng bukit yang runtuh. Dengan tanpa mengangkat wajahnya, akhirnya terdengar kata-katanya lirih hampir tak terdengar, “Laksanakan tugasmu Ki Tumenggung.”

Terusan ADBM Jilid 414

77

Ki Tumenggung beserta kedua Lurah yang berkuda di sebelah menyebelahnya itu hanya dapat saling berpandangan sambil menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah tanpa menarik perhatian, ketika langit mulai disentuh oleh kegelapan, sepasukan berkuda dipimpin langsung oleh ki Tumenggung Purbarana telah memisahkan diri dari pasukan Mataram dan mengambil jalan ke kiri. Dua orang perwira dari Jati Anom dan seorang pengawal dari Kademangan Sangkal Putung telah ikut dalam rombongan itu.

Sepeninggal rombongan Ki Tumenggung Purbarana, kademangan Ngadireja benar-benar sedang mengalami kesibukan yang luar biasa. Berita kedatangan pasukan Mataram segelar sepapan itu ternyata telah menarik perhatian hampir seluruh penghuni Kademangan. Para penghuni padukuhan-padukuhan yang tidak dilewati oleh pasukan itu dengan berbondong-bondong segera mendatangi banjar padukuhan induk kademangan untuk melihat pasukan Mataram itu dari dekat.

Ki Demang Ngadireja adalah orang yang paling sibuk di antara mereka. Para Perangkat Kademangan segera dipanggilnya untuk membantu menyelenggarakan jamuan makan malam yang akan diselenggarakan di banjar padukuhan induk kademangan.

“Apakah gamelan yang di simpan banjar itu masih bisa dibunyikan?” bertanya Ki Demang kepada salah seorang perangkat Kademangan, “Kita akan menghibur pasukan yang tentu saja telah mengalami kelelahan lahir maupun batin setelah peperangan yang dahsyat di Panaraga.”

“Tidak ada masalah dengan gamelan itu Ki Demang,” jawab salah satu perangkat Kademangan itu, “Namun diperlukan waktu untuk mengumpulkan para niyaga, dan yang tidak kalah penting adalah Sindennya, Ki Demang.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Sejenak dia masih ragu-ragu. Namun akhirnya terlontar juga pertanyaannya, “Bagaimana dengan Nyi Laras?”

Terusan ADBM Jilid 414

78

Para perangkat Kademangan itu sejenak saling pandang. Salah satu segera menjawab, “Nyi Laras sedang sakit. Dua hari yang lalu Ki Jarot mempunyai hajat dan Nyi Laras tidak dapat hadir karena sakit. Bukankah Ki Demang juga hadir pada waktu itu? Sebagai gantinya Ki Jarot mengundang Nyi Sekarwangi.”

“Ya,ya aku tahu kalau Nyi Laras pada saat itu sedang sakit. Untuk itulah aku bertanya. Mungkin sekarang dia sudah sehat kembali,” sahut Ki Demang cepat.

“Kelihatannya dia masih sakit Ki Demang,” berkata salah seorang perangkat kademangan itu, “Tinggal Nyi Sekarwangi saja sinden di kademangan ini. Jika ingin mengundang sinden dari kademangan lain, tentu diperlukan waktu dan belum tentu ada.”

Kembali Ki Demang mengerutkan keningnya. Nama Nyi Sekarwangi memang cukup terkenal di kademangan Ngadireja, terutama di kalangan para pemudanya. Sedangkan untuk para orang-orang tua dan para pini sepuh kurang berkenan dengan Sinden yang satu itu. Karena selain Nyi Sekarwangi itu seorang janda kembang yang masih muda, dia juga dianggap terlalu berani dan sedikit genit.

“Bagaimana Ki Demang?” desak salah seorang perangkat Kademangan yang terlihat masih muda.

Bersambung ke TADBM 415

Diupload di http://cersilindonesia.wordpress.com

Terusan ADBM Jilid 414

79

Terusan ADBM Jilid 414

80