sawi ilaaaaaaaaa

347
Sawi Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas. Lompat ke: pandu arah , cari Sawi Pengelasan saintifik Alam: Tumbuhan Divisi: Magnoliophyta Kelas: Liliopsida Order: Brassicales Keluarga: Brassicaceae Genus: Brassica Spesies: B. juncea Subspesies: B. juncea rugosa Nama binomial Brassica juncea (L. ) Czerjaew Sawi atau kai choy merupakan sejenis tumbuhan yang dikenali sebagai sayur-sayuran dan ditanam sebagai makanan. Sawi banyak terjual di pasar- pasar termasuk pasar tani, dan pasar sayur. Ia banyak ditanam di kebun- kebun sayur dan di perkarangan rumah dan popular digunakan dalam

Upload: toeny-gepenk-tukikya

Post on 18-Jan-2016

210 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

DD

TRANSCRIPT

Page 1: Sawi ilaaaaaaaaa

SawiDaripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.Lompat ke: pandu arah, cari

Sawi

Pengelasan saintifikAlam: TumbuhanDivisi: MagnoliophytaKelas: LiliopsidaOrder: BrassicalesKeluarga: BrassicaceaeGenus: BrassicaSpesies: B. junceaSubspesies: B. juncea rugosa

Nama binomialBrassica juncea

(L.) Czerjaew

Sawi atau kai choy merupakan sejenis tumbuhan yang dikenali sebagai sayur-sayuran dan ditanam sebagai makanan. Sawi banyak terjual di pasar-pasar termasuk pasar tani, dan pasar sayur. Ia banyak ditanam di kebun-kebun sayur dan di perkarangan rumah dan popular digunakan dalam masakan harian. Rasa sawi adalah lemak manis dan sedikit pahit. Ia bersifat panas dan kering serta rangup apabila dimakan.

Page 2: Sawi ilaaaaaaaaa

Sawi boleh dimakan bagi merawat penyakit sembelit, buasir, pencernaan bermasalah, kegemukan, dan tekanan darah tinggi. Ia juga boleh dimakan bagi meningkatkan selera makan, mendapat kesan awet muda dan sebagai antioksidan.

Isi kandungan

1 Ciri-ciri botani 2 Penanaman 3 Kandungan pemakanan 4 Lihat juga 5 Rujukan 6 Pautan luar

Ciri-ciri botani

Lukisan ciri-ciri botani sawi.

Herba sederhana besar boleh mencecah setinggi 50 cm. Batang tidak berkayu, berwarna hijau. Daun tunggal, sederhana besar, berbentuk bulat melonjong seakan sudu dengan tangkai daun berwarna hijau yang panjang. Tepi daun bergerigi halus, daun bergelombang kasar, urat daun di tengah dan urat selerat jelas kelihatan, pucuk berwarna hijau muda, warna hijau tua setelah matang. Bunga majmuk, kecil, kuning terang, mempunyai kelopak, terdapat dalam jambak bunga yang keluar dari hujung pucuk. Buah kecil, silinder memanjang, berwarna hijau ketika muda dan bertukar menjadi perang apabila telah tua. Mengandungi banyak biji berwarna hitam setelah tua.

Penanaman

Terdapat beberapa cara mudan untuk menanam sawi.[1]

Page 3: Sawi ilaaaaaaaaa

Kandungan pemakanan

Mengandungi air, karbohidrat, alkaloid, kalsium, kalium, zat besi, zink, protein, lemak, vitamin dan serat.[perlu rujukan]

Lihat juga

Sawi putih (Brassica chinensis var. pekinensis Cruciferae) Sawi bunga (Brassica rapa Cruciferac)

Rujukan

1. ↑ Tanam sawi cara mudah. Utusan Malaysia. Capaian 3 April

Page 6: Sawi ilaaaaaaaaa
Page 9: Sawi ilaaaaaaaaa

19 Januari 2012

LAPORAN PENELITIAN SAYURSAWI JALAN BUDI UTOMOATAS NAMA PAK SURYADI

DisusunOLEH :

NAMA : HARDIANTO                                               NIM     : C51111233               

FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2012DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………iiiBAB 1 PENDAHULUAN…………………………1A.LATAR BELAKANG………………………......1

A.SYARAT TUMBUH…………………………....1B.PENGOLAHAN LAHAN ………………….…..1C.PEMBIBITAN………………………………….1

Page 10: Sawi ilaaaaaaaaa

D.PENANAMAN…………………………………1E.PEMILIHARAAN……………………………...1F.PANEN DAN PENGOLAHAN HASIL………..1

BAB 2 PENUTUP…………………………………5 A. KESIMPULAN……………………………..…5B. SARAN……………………………………..….5

KATA PENGANTARAlhamdulillahhirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT,yang telah

memberikan limpahaan karunianya kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.Perkembangan teknologi-teknologi pertanian dewasa ini ditunjukan dalam

praktek yang di lakukan para petani untuk mengembangkan budidaya tanaman pertanian.Tugas ini akan mengupas bagaimana cara tanam sayuran sawi yang dilakukan oleh petani.

Selain itu,secara garis besar tugas ini juga membahas tentang aspek ekonomi bagi pelaku usaha tani.Kami akan memaparkan secara rinci cara-cara petani sayuran sawi membudidayakan tanaman ini seperti syarat tumbuh, pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemiliharaan sampai dengan panen dan pengolahan hasil.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Suryadi yang talah membantu dalam pemberian informasi mengenai cara penanaman sayuran sawi.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dr.Iwan Sasli.SP.M.Si selaku dosen untuk mata kuliah pengantar ilmu pertanian di fakultas pertanian universitas tanjungpura.

Kami sangat menyadari bahwa penelitian kami masih banyak kekurangan untuk itu kritik,saran dan masukan sangat diharapakan untuk perbaikan tugas kami.

Akhirnya, kami berharap apa yang menjadi penelitian kami dapat berguna bagi kita semua.Amin.

                                                            iii

Bab I

Page 11: Sawi ilaaaaaaaaa

                                               PENDAHULUAN

A.Latar  BelakangSawi adalah tanaman yang termasuk dalam famili Brassicaea(Brassica Juncea). Ada beberapa jenis sawi yaitu sawi putih,sawi hijau dan sawi puma. Sawi pada umumnya berdaun halus dan lonjong tapi tidak berbulu dan tidak membentuk krop. Batangnya pendek dan kecil urat daun lebih rapat dan liat. Perakaran tanaman sawi merupakan akar tunggang dan perakaran samping yang banyak dan dangkal. Tanaman sawi berbunga dengan ukuran kuntum

kecil yang berwarna kuning pucat. Sawi memiliki biji berukuran kecil warna hitam kecoklatan. Sawi juga memiliki kandungan vitamin A , B dan C rasa renyah tetapi agak pahit dan biasa di buat sayuran atau campuran makanan bakso.

                                     1

A.  SYARAT TUMBUH

Page 12: Sawi ilaaaaaaaaa

Menurut pak suryadi sayur sawi mempunyai kecocokan terhadap iklim, cuaca dan tanahnya sehingga dikembangkan di indonesia.Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah maupun dataran tinggi. Meskipun demikian pada kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di dataran tinggi menurut pak suryadi.

B.  PENGOLAHAN LAHAN

Menurut pak suryadi Pengolahan tanah melakukan penggemburan dan pembuatan bedengan atau galang. bedengan yang pak suryadi buat tergantung dengan cuaca. untuk bedengan di musim hujan, Pak suryadi membuat bedengan atau galang lebih tinggi dari pada musim panas. Tahap-tahap pengemburan yaitu pencangkulan untuk memperbaiki struktur tanah dan sirkulasi udara dan pemberian pupuk dasar untuk memperbaiki fisik serta kimia tanah yang akan menambah kesuburan tanah.Tanah yang hendak digemburkan harus dibersihkan dari bebatuan, rerumputan, semak atau pepohonan yang tumbuh. Dan bebas dari daerah ternaungi, karena tanaman sawi suka pada cahaya matahari secara langsung.

Page 13: Sawi ilaaaaaaaaa

C.  PEMBIBITAN

Menurut pak suryadi Pembibitan dapat dilakukan bersamaan dengan pengolahan tanah untuk penanaman.  Karena lebih efisien dan benih akan lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungannya. Sedang ukuran bedengan pembibitan kata pak suryadi untuk luas lahan sayuran sawi yang kami interview sekitar 36 galang atau bedengan yang di per kirakan per bedengan adalah 11M x 1,5M.  Dua minggu sebelum di tabur benih, bedengan atau galang pembibitan ditaburi dengan pupuk kandang lalu di tambah  urea,TSP, dan Kcl, benih ditabur, lalu ditutupi tanah setebal 1 – 2 cm, lalu disiram dengan air, kemudian diamati 3 – 5 hari benih akan tumbuh setelah berumur 3 – 4 minggu sejak disemaikan tanaman dipindahkan ke bedengan atau galang.

D.  PENANAMAN

Bedengan dengan ukuran lebar 1,5M dan panjang dengan ukuran 11M. Tinggi bedeng 20 – 30 cm dengan jarak antar bedeng 25 cm, seminggu sebelum penanaman dilakukan pemupukan terlebih dahulu yaitu pupuk kandang 35kg,TSP 10kg, Kcl15 kg. Sedang jarak tanam dalam bedengan 40x40cm, 30x30 dan 20x20cm. Pilihlah bibit yang baik, pindahkan bibit dengan hati-hati, lalu membuat lubang dengan ukuran 4 – 8 x 6 – 10 cm.

E.   PEMILIHARAAN

Page 14: Sawi ilaaaaaaaaa

Pemeliharaan adalah hal yang penting. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan didapat.  Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah penyiraman, penyiraman ini tergantung pada musim, bila musim penghujan dirasa berlebih maka kita perlu melakukan pengurangan air yang ada, tetapi sebaliknya bila musim kemarau tiba kita harus menambah air demi kecukupan tanaman sawi yang kita tanam. Bila tidak terlalu panas penyiraman dilakukan sehari cukup sekali sore atau pagi hari. Tahap selanjutnya yaitu penjarangan, penjarangan dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Selanjutnya tahap yang dilakukan adalah penyulaman, penyulaman ialah tindakan penggantian tanaman ini dengan tanaman baru. Caranya sangat mudah yaitu tanaman yang mati atau terserang hama dan penyakit diganti dengan tanaman yang baru. Penyiangan biasanya dilakukan 2 – 4 kali selama masa pertanaman sawi, disesuaikan dengan kondisi keberadaan gulma pada bedeng penanaman. Biasanya penyiangan dilakukan 1 atau 2 minggu setelah penanaman. Apabila perlu dilakukan penggemburan dan penggulu dan bersamaan dengan penyiangan. Pemupukan tambahan

Page 15: Sawi ilaaaaaaaaa

diberikan setelah 3 minggu tanam, yaitu dengan urea 50 kg. Dapat juga dengan satu sendok teh sekitar 35 gram dilarutkan dalam 45 liter air dapat disiramkan untuk  11M bedengan. jenis hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat, wereng dan gulma. cara pak suryadi untuk membasmi hama tersebut menggunakan cairan insektisida. cairan insektisida yang biasa di pakai adalah rusban dan rasulin. pemberian cairan insektisida dilakukan dengan cara penyemprotan. untuk  penyemprotan petani biasanya melakukan 4 kali penyemprotan dalam 1 kali panan.

F.   PANEN DAN PENGOLAHAN HASIL

Page 16: Sawi ilaaaaaaaaa

untuk masa panen diperkirakan 40-60 hari tergantung cuaca berat tanaman dipengaruhi intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman. untuk penjualan biasanya dijual diagen-agen terdekat yang telah disepakati. harga penjualan sayuran sawi biasanya per kg Rp6000, tergantung cuaca kalau musim hujan harga tinggi sedangkan musim kemarau harga rendah berkisaran Rp2000-Rp3000 per kg. biasanya dalam satu bedengan dapat dihasilakan sekitar 20kg sawi. kendala yang biasanya dihadapi petani dalam pemasaran adalah banyaknya warung-warung yang berhutang kepada pak suryadi sehingga menghambat pendapatan pak suryadi hal ini berdampak pemasaran. pada sulitnya membelih pupuk, bibit. karena uang dari penjualan sangatlah sedikit.

BAB IIPENUTUP

A.KESIMPULANDari hasil pencarian informasi yang kami dapatkan dari para petani. Menurut cara bercocok tanam yang dilakukan petani sudah baik tetapi

Page 17: Sawi ilaaaaaaaaa

masih perlu di lakukan perbaikan-perbaikan dalam hal manejemen waktu karena, pada umumnya petani tidak memperhatikan waktu tanam mereka, hanya melakukan penanaman yang mengakibatkan pendapatan petani menjadi berkurang karena, tidak tepat waktu untuk melakukan pemanenan.Dalam hal pemasaran petani juga  biasanya hanya menjual kepada para pengepul  yang mengakibatkan harga menjadi murah.

B.SARANSebaiknya para petani harus memperhatikan menejemen waktu karena,kalau mereka memperhatikannya pasti dari hasil pendapatannya bertambah dan tidak mengakibatkan lilitan hutang kepada para agen untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dan kami juga menyarankan sebaiknya para petani tidak menjual kepada para pengepul karena dapat mengakibatkan harga menjadi murah sebaiknya para petani membentuk organisasi/kelompok pemasaran supaya harga sesuai dangan harga pasar dalam hal ini otomatis pendapatan petani menjadi lebih meningkat.

5Diposkan oleh ska_one di 23.46 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook RESPON TANAMAN SAWI (Brasica juncea.L.)AKIBAT PEMBERIAN PUPUK NPK DAN PENAMBAHAN BOKASHI PADA TANAH ASAL BUMI WONOREJO NABIREIshak RyanDosen Fakultas Pertanian Universitas Satya Wiyata Mandala - NabireABSTRACTOne of the ways of overcoming the negative effects of chemical fertiliser is by using Effective Microorganisms technology (EM). Using EM4 reduces the use of chemical fertiliser, is environmentally friendly and can increase production. Applying NPK fertiliser and adding bokashi to mustard plant can help the availibility of N, P, and K in the soil while also increasing crop production. The aim of this research was to understand the influence of the application of NPK fertiliser and bokashi on the growth

Page 18: Sawi ilaaaaaaaaa

and productivity of mustard. The research was carried out on the agricultural area land in Bumi Wonorejo, Nabire District, and use the Complete randomised design method (RAL) with 6 treatment types and 6 repetition. The data was analysed using ANOVA analysis and BNJ testing to observe the result from the application of NPK fertiliser and bokashi on the growth and productivity of mustard. The result showed that applying a dose of 75% NPK with the addition of bokashi (EM4) was the best choice for the mustard farmer.Keywords : bokashi, fertiliser, Effective Microorganism, mustard crop.PENDAHULUANLatar BelakangPerhatian masyarakat terhadap soal pertanian dan lingkungan beberapa tahun terakhir ini menjadi meningkat. Keadaan ini disebabkan karena semakin dirasakannya dampak negatif penggunaan bahan-bahan kimia. Jika dibandingkan dengan dampak positifnya bagi peningkatan produktivitas tanaman pertanian pengaruh bahan kimia tersebut tidak sebanding. Bahan-bahan kimia yang selalu digunakan untuk alasan produktivitas dan ekonomi ternyata saat ini lebih banyak menimbulkan dampak negatif baik bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya.Penggunaan pupuk, pestisida, dan bahan kimia lainnya yang terus menerus dapat merusak biota tanah, keresistenan hama dan penyakit, serta dapat mengubah kandungan vitamin dan mineral beberapa komoditi sayuran dan buah. Hal ini tentunya jika dibiarkan lebih lanjut akan berpengaruh fatal bagi siklus kelangsungan kehidupan, bahkan jika sayuran atau buah yang tercemar tersebut dimakan oleh manusia secara terus menerus, tentunya akan menyebabkan kerusakan jaringan bahkan kematian.Bertitik tolak dari hal tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam bidang pertanian adalah mengembangkan pertanian dengan sistem pertanian organik yang prinsip pengelolaannnya kembali ke alam. Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam pelaksanaannya berusaha

Page 19: Sawi ilaaaaaaaaa

menghindarkan penggunaan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Selain itu, juga untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah melalui penggunaan sumber alami seperti mendaur limbah pertanian. Jadi dengan demikian, tidak salah jika istilah pertanian organik sering diidentikkan dengan gerakan pertanian yang kembali ke alam.Dalam pelaksanaannya, pertanian organik adalah membatasi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik dan bahan kimia pertanian lainnya. Gulma, hama, dan penyakit tanaman dikelola melalui pergiliran tanaman, pertanaman campuran, bioherbisida, insektisida organik yang dikombinasikan dengan pengelolaan tanaman yang baik. Pupuk anorganik yang selalu digunakan petani dapat diganti dengan pupuk 311Ishak RyanJurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010organik yang dapat dibuat sendiri dari bahan-bahan alami seperti penggunaan pupuk bokasi dengan menggunakan EM4. Bokashi dapat dibuat dari bahan jerami, hijauan, sampah dan pupuk kandang. Effective microorganism 4 yang disingkat EM4 adalah suatu hasil rekayasa bioteknologi yang dikembangkan dan merupakan kultur campuran dari berbagai organisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman (Higa, T dan J.F. Parr. ,1998; Tuhumena, 2002 ). Dengan demikian setidaknya penggunaan bokashi dan EM 4 dapat mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida.Berdasarkan hasil penelitian saat ini, apabila pertanian organik dapat dilaksanakan dengan baik maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat penggunaan bahan kimia

Page 20: Sawi ilaaaaaaaaa

pertanian. Hal ini terjadi jika fauna tanah dan mikroorganisme yang bermanfaat dipulihkan kehidupannya, dan kualitas tanah ditingkatkan dengan pemberian organik, maka akan terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah kearah keseimbangan.Berdasarkan uraian di atas serta belum adanya penelitian EM4 bagi tanaman di Distrik Nabire, maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan bokashi (EM 4). Dengan demikian penulis mengambil judul penelitiannya adalah Respon Tanaman sawi (Brasica juncea.L) akibat pemberian dosis kombinasi pupuk NPK dan penambahan bokashi pada tanah asal kelurahan Bumi Wonorejo Distrik Nabire. Adapun alasan pelaksanaan pengujian di kelurahan Bumi Wonorejo, dikarenakan kesuburan tanah pertaniannya kurang dengan nilai unsur N, P dan K rendah (Tim Survey UNIPA Manokwari, 2004). Ada dua tujuan dari penelitian ini, yaitu (1) Mengetahui pengaruh pemberian pupuk NPK dan penambahan bokashi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi, (2) Menentukan dosis kombinasi pupuk NPK yang cocok digunakan setelah ditambah bokashi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain : 1) Memperkenalkan penggunaan EM 4 dan bokashi sebagai dasar pupuk organik yang ramah lingkungan.2) Mengurangi penggunaan pupuk kimia yang dapat merusak lingkungan.3. Memberikan informasi tentang dosis kom-binasi pupuk NPK dan penambahan bokashi terhadap pertumbuhan dan produk-

Page 21: Sawi ilaaaaaaaaa

si tanaman sawi.4. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian dan Peter-nakan Kabupaten Nabire untuk pengemban-gan pertanian yang ramah lingkungan.5. Memberikan informasi tentang perlakuan terbaik yang dapat dipakai oleh petani sawi dalam budidaya tanaman sawi.METODE PENELITIANPelaksanaan PenelitianPenelitian ini akan dilaksanakan di lokasi praktek SMK N 1 Nabire yang terletak di Kampung Kaliharapan, Distrik Nabire. Tempat ini dipilih karena mempermudah pengawasan serta sarana dan prasarana yang sudah tersedia, sedangkan tanah pengujian diambil dari Kampung Bumi Wonorejo, Distrik Nabire sebagai lahan perkembangan pertanian. Alat-alat yang diperlukan untuk kegiatan penelitian ini antara lain : Timbangan 10 kg, Timbangan analitik, Plastik bening, Ember 10 liter, Balok 5x10 cm 0,5 m, Rol meter 50m dan 5m, Gelas ukur, Toples bening, Hand sprayer gendong 10 ltr, Kamera, Buku dan pena untuk Pencatatan data penelitian. Adapun bahan-bahan yang digunakan antara lain : Benih sawi caisim Bangkok (Tosakan), Pupuk Urea, TSP, KCl, Kultur EM 4, Pupuk kandang sapi dan kambing, Sekam, Gula pasir, Insektisida nabati daun sirsak dan tembakau, Furadan 3 G, Dithane M-45, Tanah gembur dan Kompos, Polybag 5 x 8 cm dan 30 x 40 cmRancangan PercobaanDalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan. Masing-masing perlakuan dengan 6 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 tanaman. Adapun perlakuan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :1. Perlakuan I, yaitu tanpa pupuk NPK dan bokashi serta larutan EM 4.

Page 22: Sawi ilaaaaaaaaa

312Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010Respon Tanaman Sawi (Brasica Juncea.l.)Akibat Pemberian Pupuk NPK dan Penambahan Bokashi pada Tanah Asal Bumi Wonorejo Nabire2. Perlakuan II, yaitu pemupukan dengan dosis pupuk NPK sesuai anjuran.3. Perlakuan III, yaitu pemupukan dengan dosis pupuk NPK 75% dan diberi bokashi serta larutan EM 4.4. Perlakuan IV, yaitu pemupukan dengan dosis pupuk NPK 50% dan diberi bokashi serta larutan EM 4.5. Perlakuan V, yaitu pemupukan dengan dosis pupuk NPK 25% dan diberi bokashi serta larutan EM 4.6. Perlakuan VI, yaitu tanpa pupuk NPK dan hanya diberi bokashi serta larutan EM 4.Untuk dosis bokashi dan larutan EM 4 pada perlakuan III, perlakuan IV, perlakuan V, dan perlakuan VI diberikan dalam jumlah yang sama. Arah barisan tanaman percobaan adalah melintang dari utara ke selatan. Denah rancangan dapat dilihat pada Gambar 1. 1VI2VI3V4II5II6IV7II8III9VI10III11V

Page 23: Sawi ilaaaaaaaaa

12VI13I14VI15III16III17I18V19VI20I21V22IV23IV24V25I26II27I28III29IV30II31II32IV33I34III35IV36V

Gambar 1. Denah Rancangan PercobaanTahapan Penelitian1. Penyiapan Tempat, Alat, dan BahanAlat dan bahan yang akan digunakan diper-siapkan. Kemudian penyiapan tempat yang akan digunakan sebagai tempat penelitian,

Page 24: Sawi ilaaaaaaaaa

tempat pembibitan, dan tempat pembuatan bokashi. Lahan dan tempat pembuatan bokashi yaitu dengan pembenahan dan pem-bersihan lokasi. Untuk tempat pembibitan dengan memperbaiki bedengan pembibitan dan naungan.2. Pembuatan BokashiPembuatan bokashi pupuk kandang dibuat secara aerobic (Hety, Y. 2003), dengan bahan-bahan terdiri dari : Pupuk kandang 80 kg, Dedak 5 kg, Sekam 15 kg, Gula pa-sir 25 gr, EM 4 100 ml (10 sdm) serta air secukupnya. Langkah-langkah pembuatan bokahsi sebagai berikut :1. Larutkan EM 4, dan gula ke dalam air.2. Pupuk kandang, sekam, dedak dicampur secara merata.3. Siramkan larutan EM 4 dengan gembor secara perlahan-lahan ke dalam adonan secara merata, sampai kandungan air adonan mencapai 30%. Bila adonan dikepal dengan tangan, air tidak keluar dari adonan, dan bila kepalan dilepas, maka adonan akan megar.4. Adonan digundukkan diatas ubin yang kering dengan ketinggian 15-20 cm, kemudian ditutup dengan karung goni, selama 3-4 hari.5. Pertahankan suhu gundukan adonan 40-500

C. Jika suhu lebih dari 500

C, bukalah karung penutup dan gundukan adonan dibalik, kemudian ditutup lagi dengan karung goni. Usahakan tumpukan ado-nan dibalik setiap 12 – 24 jam.6. Setelah 4 hari, bokhasi telah selesai ter-fermentasi dan siap digunakan sebagai pupuk organik.3. Pembuatan Media Pembibitan

Page 25: Sawi ilaaaaaaaaa

Media pembibitan terdiri dari campuran tanah gembur dan kompos dengan perband-ingan 1 : 1. Setelah 4 hari campuran media diberi Furadan 3 G, dengan dosis 20 gr/m2

4. Variabel PengamatanVariabel yang diamati meliputi : a) Tinggi tanaman dilakukan pada saat 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah tanamb) Jumlah daun dilakukan pada saat 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah tanam.c) Produksi (berat basah) per tanaman (kg), dilakukan pada saat panen.Analisa DataAnalisa data untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Apabila perlakuan tersebut menunjukkan pengaruh terhadap masing-313Ishak RyanJurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010masing variabel yang diamati dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur).HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Produksi Sawi1.1.1 1. Tinggi TanamanPengukuran tinggi tanaman dilakukan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4 setelah tanam. Dari Tabel 3 nampak bahwa pemberian dosis kombinasi pupuk NPK dan bokashi dan EM4 pada perlakuan I, II, III, IV, V , dan VI pada minggu ke-1, dan ke-2 tidak ada perbedaan secara nyata terhadap tinggi tanaman. Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman sawi pada umur 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah tanam pada semua perlakuan. PerlakuanTinggi Tanaman (cm)1 MST 2 MST 3 MST 4 MSTIII

Page 26: Sawi ilaaaaaaaaa

IIIIVVVI15.4315.5814.5014.2314.2715.5528.9727.8028.9826.3026.5230.6836.37 b39.68 ab44.02 a39.32 ab39.00 ab41.58 ab40.83 c44.92 abc49.35 a43.38 bc43.03 bc46.00 abF hitung 1.60 tn 2.41 tn 3.55* 6.73**BNJ 5 % 5.90 4.85BNJ 1 % 5.91

Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada Uji BNJ 5 % dan Uji BNJ 1 %tn = tidak berbeda nyata * Berbeda nyata pada taraf 5 %** Berbeda sangat nyata pada taraf 1 %I = Tanpa Pupuk NPK, Bokashi, dan larutan EM4II = Pemupukan NPK 100 % sesuai anjuranIII= Pemupukan NPK 75 % + Bokashi + larutan EM4IV= Pemupukan NPK 50 % + Bokashi + larutan EM4V = Pemupukan NPK 25 % + Bokashi + larutan EM4VI= Bokashi + larutan EM4Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian dosis kombinasi pupuk NPK (Urea, TSP, dan KCl) dengan penambahan bokashi

Page 27: Sawi ilaaaaaaaaa

dan larutan EM 4 terhadap tinggi tanaman pada minggu ke-1 dan ke-2 belum berbeda nyata antara semua perlakuan. Hal ini diduga pada minggu-minggu tersebut kebutuhan unsur hara masih belum banyak dibutuhkan tanaman sehingga masih cukup dari persediaan di dalam tanah. Pada minggu ke-3 dan ke-4 pengaruh pupuk mulai nampak, yaitu dengan ditunjukkan adanya tinggi tanaman dari semua perlakuan memberikan pengaruh nyata. Pada minggu-minggu tersebut kebutuhan unsur hara semakin banyak sehingga tidak mampu lagi dipenuhi oleh unsur hara dari tanah. Pada minggu ke-3 perlakuan III berbeda nyata dengan perlakuan I dan tidak beda nyata dengan perlakuan II, IV, V. Pada minggu ke-4 perlakuan III sangat bada nyata dengan perlakuan I, IV, dan V, dan tidak beda nyata dengan perlakuan II dan VI. Kemudian perlakuan VI beda nyata dengan perlakuan I dan tidak beda nyata dengan perlakuan II, III, IV, dan V. Hal ini diduga disamping adanya penambahan unsur nitrogen juga sudah stabilnya pengaruh bokashi dan EM 4. Pada minggu ke-3, pemberian dosis kombinasi pupuk NPK ditambah bokashi dan larutan EM 4 menunjukkan adanya pengaruh nyata pada semua perlakuan terhadap tinggi tanaman. Sedangkan pada minggu ke-4 menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata. Perlakuan III dan VI baik pada minggu ke-3 dan ke-4 mempunyai tinggi tanaman lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. 2. Jumlah DaunHasil perhitungan jumlah daun yang diperoleh pada saat pertumbuhan tanaman minggu ke-1 sampai minggu ke-4 setelah tanam disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Sawi pada Umur 1, 2, 3, dan 4 Minggu Setelah Tanam pada Semua Perlakuan.Perlakuan

Page 28: Sawi ilaaaaaaaaa

Jumlah Daun (helai)1 MST 2 MST 3 MST 4 MSTIIIIIIIVVVI7.337.337.678.007.677.3311.83 b11.67 b12.50 ab13.33 a12.67 ab11.67 b13.67 b 14.17 b15.33 ab16.83 a15.17 ab13.67 b17.83 b20.33 ab20.83 ab22.33 a20.83 ab17.00 bF hitung 1.64 tn 3.75*4.48**3.91*BNJ 5 % 1.49 2.49 4.41BNJ 1 % 3.04

314Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010Respon Tanaman Sawi (Brasica Juncea.l.)Akibat Pemberian Pupuk NPK dan Penambahan Bokashi pada Tanah Asal Bumi Wonorejo NabireNilai rata-rata yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada Uji BNJ 5 % dan 1 %* Berbeda nyata pada taraf 5 %** Berbeda sangat nyata pada taraf 1 %Pemberian dosis kombinasi pupuk NPK dengan penambahan bokashi dan EM 4 terhadap jumlah daun, pada minggu ke-1 antara 6 perlakuan tidak memberikan beda nyata. Pada minggu ke-

Page 29: Sawi ilaaaaaaaaa

2 sampai minggu ke-4 perlakuan IV dari semua perlakuan mempunyai jumlah daun (helai) yang lebih banyak namun tidak memberikan hasil (berat basah) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan II dan III. Hal ini diduga bahwa jumlah daun yang banyak akan berakibat pada penurunan tinggi tanaman dan hasil (berat basah). Sedangkan tanaman yang mempunyai tinggi yang cukup akan mempunyai jumlah daun yang sedikit tetapi hasil (berat basah) per tanaman lebih besar. Keadaan ini ditunjukkan pada tanaman perlakuan III yang mempunyai tinggi tanaman dan hasil lebih besar dibandingkan perlakuan I, II, IV, V, dan VI. Hal ini diduga adanya unsur hara yang berimbang bagi pertumbuhan tanaman. Tersedianya unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk pertumbuhan tanaman, menyebabkan proses pembelahan, pembesaran, dan perpanjangan sel akan berlangsung cepat yang mengakibatkan beberapa organ tanaman tumbuh cepat. Menurut Buckman dan Brady (1982), untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, maka unsur-unsur hara harus berada dalam keadaan seimbang. Pada perlakuan VI yang hanya diberi bokashi dan EM 4 mempunyai tinggi tanaman rata-rata lebih tinggi (minggu ke-3 dan ke-4) dari perlakuan V dan IV. Namun dari hasil tidak lebih tinggi dari perlakuan V dan VI. Hal ini diduga bahwa perlu adanya kombinasi pupuk organik dan anorganik yang memberikan pengaruh lebih baik pada hasil, sebab terjadi hubungan yang sinergis yang saling menunjang (Tambun, 2002; Syam, 2003). Data Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian dosis kombinasi pupuk NPK ditambah bokashi dan EM4 pada perlakuan I, II, III, IV, V, dan VI pada minggu ke-1 tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun sawi. Namun pada minggu ke-2, ke-3, dan ke-4 sudah memberikan pengaruh. Dari semua perlakuan perlakuan IV mempunyai jumlah daun

Page 30: Sawi ilaaaaaaaaa

yang lebih banyak. 3. Produksi (Berat Basah)Hasi perhitungan produksi (berat basah) tanaman sawi dilakukan pada saat panen. Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa, dari semua perlakuan menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata terhadap produksi. Perlakuan III mempunyai produksi yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Tabel 5. Rata-rata Berat Basah Tanaman Sawi Saat Panen pada Semua Perlakuan.PerlakuanBerat Basah(gr)IIIIIIIVVVI172.50 d286.67 ab319.17 a270.83 ab237.50 bc216.67 cdF hitung 12.43**Uji BNJ 1 % 78.19Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda sangat nyata pada uji BNJ taraf 1 %** Berbeda sangat nyata pada taraf 1 %Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa, pemberian bokashi dan EM 4 memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi (berat basah) sawi. Hal ini disebabkan karena bokashi yang berasal dari pupuk kandang mengandung sejumlah unsur hara dan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Ketersediaan hara dalam tanah, struktur tanah dan tata udara tanah yang baik sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar serta kemampuan akar

Page 31: Sawi ilaaaaaaaaa

tanaman dalam menyerap unsur hara. Adanya EM 4 sebagai elemen bokashi sangat bermanfaat, mengingat cara kerja EM 4 dalam tanah secara sinergis dapat meningkatkan kesuburan tanah, baik fisik, kimia, dan biologis sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman (Wididana dan Higa, 1993). Lebih lanjut, Lingga (1995) menyatakan bahwa tanah yang berstruktur baik, dengan kata lain tanah yang banyak mengandung mikroorganisme dan kepadatan tanah yang berkurang dapat menyerap air dan unsur hara yang terlarut. Bokashi pupuk kandang yang diberikan mengandung EM 4 yang dapat memfermentasi bahan organik sehingga

Page 32: Sawi ilaaaaaaaaa

“Pengaruh Bokashi Pupuk Kandang Ayam Terhadap Hasil Tanaman Terung (Solanun melongena L.)”.

I.     PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Terung merupakan salah satu golongan sayuran buah yang banyak digemari berbagi

kalangan karena rasanya yang enak untuk dijadikan berbagai sayur dan lalapan, juga

mengandung gizi cukup tinggi dan komposisinya lengkap (Rukmana, 2003). Berdasarkan

beberapa hasil pengujian, didalam setiap 100 kg buah terung segar mengandung 24 kalori energi,

1,1 gram protein, 1,2 g lemak, 5,5 g karbohidrat, 15 mg kalsium, 37 mg fospor, 0,4 mg besi, 4 SI

Vitamin A, 5 mg vitamin C, 1,14 mg vitamin B1 dan 92,7 g air (Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono, 2003).

 

Terung memiliki nilai ekonomis dan sosial yang cukup tinggi. Produksi terung tidak

hanya laku di pasaran dalam negeri (domestik), tetapi juga sudah menjadi mata dagang ekspor.

Bentuk produk terung yang sudah menembus pasar ekspor adalah “terung asinan” (Rukmana,

2003). Distribusi pemasarannya tidak hanya dilakukan di pasar-pasar tradisional saja, namun

juga di supermarket ataupun toko-toko swalayan (Samadi, 2001). Selain itu kemajuan di bidang

pengolahan hasil pertanian yang semakin berkembang dapat memperluas pemasaran terung,

misalnya manisan dan asinan terung. Oleh sebab itu, komoditas terung sangat potensial untuk

Page 33: Sawi ilaaaaaaaaa

dikembangkan secara intensif (Rukmana, 2003). Berdasarkan hal tersebut, tehnik budidaya

terung dapat ditingkatkan dengan melakukan pemupukan.

Pemupukan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur

hara yang dibutuhkan selama pertumbuhan tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk

organik maupun pupuk anorganik. Namun, penggunaan pupuk anorganik saat ini kurang

ekonomis karena harganya yang relative mahal, juga dampak negatifnya bagi lingkungan

(Risema, 1986). Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan dan

manusia. Macam-macam pupuk organik antara lain adalah pupuk kandang, pupuk hijau, kompos

dan lain sebagainya.

Pupuk kandang memang dapat menambah ketersediaan bahan makanan (unsur hara) bagi

tanaman yang dapat diserapnya dari dalam tanah. Selain itu, pupuk kandang ternyata mempunyai

pengaruh positif (baik) terhadap sifat fisik dan kimia tanah, mendorong kehidupan

(perkembangan) jasad renik (Sutejo, 1995). Selain itu, pupuk organik tidak menimbulkan polusi

bagi lingkungan terutama tanah.

Pupuk kandang ayam merupakan salah satu pupuk organik yang sangat baik untuk

dikembangkan. Pupuk kandang adalah campuran dari kotoran padat dan cair yang tercampur

dengan sisa makanan dan alas kandang. Kandungan unsur hara pupuk kandang terdiri dari

campuran 0,5% N, 0,25% P2O5 dan 0,5% K2O, hal ini sangat bervariasi tergantung pada kondisi

lingkungan dan pakan yang diberikan. Pupuk kandang mempunyai beberapa sifat yang lebih baik

dari pada pupuk alami lainnya, karena selain sebagai sumber unsur hara, pupuk kandang juga

dapat meningkatkan kadar humus tanah, daya menahan air dan banyak mengandung

mikroorganisme (Sarief, 1986).

Higa (1997) mengatakan bahwa dalam usaha menunjang sistem pertanian yang

berkelanjutan atau sistem pertanian yang peduli lingkungan maka dilakukan dengan pemanfaatan

mikroorganisme untuk meningkatkan pertumbuhan produksi tanaman. Salah satunya dengan

memberikan bahan organik yang terfermentasi (bokashi).

Bokashi adalah hasil fermentasi bahan organik (jerami, sampah organik, sekam, daun-

daunan dan pupuk kandang) dengan bantuan Effektive Mikroorganisme-4 (EM-4). Menurut

Wididana dan Higa (1993), EM-4 merupakan kultur campuran mikroorganisme yang

menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. EM-4 diaplikasikan sebagai inokulan untuk

Page 34: Sawi ilaaaaaaaaa

meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme dalam tanah, yang selanjutnya dapat

meningkatkan pertumbuhan, kualitas dan kuntitas tanaman.

Bokashi pupuk kandang ayam dibandingkan dengan dengan pupuk organik lainnya

(tanpa inokuasi EM-4) mempunyai keunggulan yaitu mampu meningkatkan aktifitas

mikroorganisme indegenus menguntungkan dan meningkatkan fiksasi nitrogen dalam waktu

yang cepat, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Disamping itu bokashi pupuk

kandang ayam juga dapat memperbaiki aerase tanah, memperbesar daya serap tanah terhadap air

dan dapat menekan pathogen pada tanaman (Priyadi, 1996).

Hasil penelitian Mawardi (2001) memperlihatkan bahwa pemberian bokashi memberikan

pengaruh terhadap peningkatan ketersediaan hara N, P, dan K pada dosis 2,5 ton ha-1 dan

memberikan pengaruh terbaik terhadap peningkatan N, P, dan K serta hasil bobot biji kering

tanaman kedelai. Hasil penelitian Saputro (2000), pemberian bokashi pupuk kandang ayam

dengan dosis 7,5 ton ha-1 dapat memberikan pertumbuhan dan hasil yang optimal bagi tanaman

selada.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk memilih proposal penelitian

dengan judul “Pengaruh Bokashi Pupuk Kandang Ayam Terhadap Hasil Tanaman Terung

(Solanun melongena L.)”.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis bokashi pupuk kandang ayam yang

memberikan hasil terbaik pada tanaman terung.

1.3.  Kegunaan Penelitian

Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan informasi

bagi pihak-pihak yang memerlukan dalam usaha peningkatan hasil tanaman terung.

1.4.  Hipotesis

1.    Pemberian berbagai dosis bokashi pupuk kandang ayam, memberikan pengaruh terhadap hasil

tanaman terung.

2.    Didapatkan satu dosis bokashi pupuk kandang ayam yang memberikan hasil terbaik pada

tanaman terung.

Page 35: Sawi ilaaaaaaaaa
Page 36: Sawi ilaaaaaaaaa

II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tanaman Terung

Dalam tatanama (sistematika) tumbuhan, tanaman terung diklasifikasikan ke dalam

Divisio Spermatophyta, Sub-divisio Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae,

Famili Solanaceae, Genus Solanum dan Spesies Solanum melongena L. (Rukmana, 2003).

Terung termasuk tanaman setahun yang berbentuk perdu. Batangnya rendah (pendek),

berkayu dan bercabang dengan tinggi tanaman bervariasi antara 50-150 cm, tergantung dari jenis

ataupun varietasnya. Menurut Soetasad, Muryanti dan Sunarjono (2003) batang tanaman terung

dibedakan menjadi dua macam, yaitu batang utama (batang primer) dan percabangan (batang

sekunder). Batang utama merupakan penyangga berdirinya tanaman, sedangkan percabangan

adalah bagian tanaman yang akan mengeluarkan bunga.

Daun terung terdiri atas tangkai daun dan helaian daun. Tangkai daun berbentuk silindris

dengan sisi agak pipih dan menebal dibagian pangkal, panjangnya bersekitar 5-8 cm. Helaian

daun terdiri atas ibu tulang, tulang cabang dan urat-urat daun (Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono, 2003).

Bunga terung berbentuk mirip bintang, berwarna biru atau lembayung cerah sampai

warna yang lebih gelap. Bunga terung tidak mekar secara serempak dan penyerbukan bunga

dapat terjadi secara silang ataupun menyerbuk sendiri (Rukmana, 2003). Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono (2003) menambahkan bahwa bunga terung disebut bunga banci karena dalam satu

bunga terdapat benang sari (kelamin jantan) dan putik (kelamin betina).

Buah terung merupakan buah sejati tunggal dan berdaging tebal, lunak, serta tidak akan

pecah bila buah telah masak. Daging buah ini merupakan bagian yang enak dimakan dan

berwarna hijau atau keunguan. Biji-biji terdapat bebas dalam daging buah (Soetasad, Muryanti

dan Sunarjono, 2003). Buah menghasilkan biji yang ukurannya kecil-kecil berbentuk pipih dan

berwarna coklat muda.

Tanaman terung mempunyai akar tunggang dan cabang-cabang akar yang dapat

menembus kedalaman tanah sekitar 80-100 cm. Akar-akar yang tumbuh mendatar dapat

menyebar pada radius 40-80 cm dari pangkal batang, tergantung dari umur tanaman dan

kesuburan tanah (Rukmana, 2003).

Page 37: Sawi ilaaaaaaaaa

2.2. Syarat Tumbuh Tanaman Terung

Tanaman terung dapat tumbuh dan berproduksi baik di dataran rendah sampai dataran

tinggi ± 1.000 meter dari permukaan laut. Selama pertumbuhannya, tanaman terung

menghendaki keadaan suhu udara antara 22º-30º C, cuaca panas dan iklim kering, sehingga

cocok ditanam pada musim kemarau. Sebab, pada keadaan cuaca panas akan merangsang dan

mempercepat proses pembungaan maupun pembuahan (Rukmana, 2003).

Menurut Samadi (2001), intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap kualitas buah,

terutama pada penampakkan kulit buahnya. Pada pencahayaan yang cukup, warna kulit buah

terung akan tampak merata dan lebih mengkilap.

Tanaman terung dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Tetapi keadaan tanah

yang paling baik untuk tanaman terung adalah jenis lempung, berpasir, subur, kaya akan bahan

organik, aerasi dan drainasenya baik serta pada pH 5-6 (Soetasad, Muryanti dan Sunarjono,

2003).

2.3.Pengaruh Bokashi terhadap Hasil Tanaman

Dalam usaha menunjang sistem pertanian organik yang merupakan sistem pertanian yang

peduli lingkungan, maka dilakukan usaha untuk memanfaatkan mikroorganisme dan bahan

organik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Menurut Sarief (1986), melalui proses dekomposisi, bahan organik dalam pupuk kandang

akan melepaskan unsur hara seperti N, P dan K yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Isro

(1994) menyatakan bahwa bahan organik berupa pupuk kandang ayam akan diuraikan oleh

mikroorganisme tanah dan menghasilkan bahan humus yang mampu meningkatkan agregasi

tanah. Agregasi tanah ini secara tidak langsung akan memperbaiki ketersediaan unsur hara.

Selain itu agregasi tanah yang baik akan menjamin tata udara tanah dan air sehingga aktifitas

mikroorganisme dapat berlangsung dengan baik dan ketersediaan beberapa hara yang dapat

ditingkatkan.

Menurut Wididana (1994), EM-4 dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman,

karena EM-4 dapat mempercepat dekomposisi bahan organik, sehingga ketersediaan nutrisi

tanaman meningkat. Selain itu EM-4 juga dapat menekan aktifitas hama dan mikroorganisme

patogen.

Higa (1994) menerangkan secara ilmiah bahwa EM-4 dapat meningkatkan produksi

tanaman melalui reaksi fermentasi yang menghasilkan asam organik, hormon tanaman (Auxin,

Page 38: Sawi ilaaaaaaaaa

Giberelin, Sitokinin) dan polisakarida. Selain itu dapat pula memacu pertumbuhan tanaman

dengan memperbaiki dekomposisi bahan organik dan residu serta mempercepat daur unsur hara.

EM-4 merupakan salah satu pemanfaatan mikroorganisme yang bersifat menguntungkan.

Penerapan teknologi EM-4 dapat dilakukan dengan memfermentasikan bahan organik (jerami,

pupuk kandang ayam dan lain sebagainya). Hasil fermentasi bahan organik dengan bantuan EM-

4 disebut dengan bokashi (Wididana, 1998).

Bokashi banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman. Selain itu

pemberian pupuk bokashi dapat memperbaiki daya dukung lahan, baik fisik, biologi maupun

kimia tanah. Secara umum bokashi mengandung unsur hara 4,96 %, P2O5 0,34%, K2O 1,90%,

protein 30,20%, karbohidrat 22,96%, lemak 11,21%, alkohol 114,03% mg/100 g dan kandungan

gula 15,75% serta vitamin C 0,46 mg/100 g, vitamin B12 5,04 mg/100 g, asam amino 80,19

mg/100 g (Wididana dan Wigenasentana, 1991).

EM-4 dalam bokashi dapat memacu aktifitas mikroorganisme yang menguntungkan

seperti rhizobium, bakteri pelarut posfat dan mikoriza. Mikroorganisme ini sangat berperan

dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara, terutama unsur N dan P (Wididana dan Higa,

1993).

Berdasarkan uraian diatas maka bokashi pupuk kandang ayam dapat dijadikan sebagai

salah satu sumber bahan organik yang dapat membantu meningkatkan produksi tanaman.

Penggunaan bokashi secara umum direkomendasikan 200 g m-2 permukaan tanah atau 2 ton ha-1.

Akan tetapi untuk tanah miskin unsur hara atau kandungan unsur haranya sedikit, dianjurkan

maksimum penggunaan bokashi 1 kg m-2 atau 10 ton ha-1. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian

Priyadi (1996), yang melaporkan pemberian bokashi pupuk kandang ayam dapat memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kubis bunga bila di bandingkan dengan bokashi pupuk

kandang ayam tanpa inokulasi EM-4 dan dosis yang terbaik pada 10 ton ha-1.

Hasil penelitian Musdalifah (2000), menunjukkan bahwa pemberiaan bokashi pupuk

kandang ayam dengan dosis 4 ton ha-1 pada tanaman tomat memberikan respon yang baik pada

tinggi tanaman dan rata-rata bobot per buah. Sedangkan dosis 5 ton ha-1 memberikan hasil yang

baik pada jumlah bunga, jumlah buah per tanaman dan bobot kering tanaman.

I.     PENDAHULUAN

Page 39: Sawi ilaaaaaaaaa

1.1. Latar Belakang

Terung merupakan salah satu golongan sayuran buah yang banyak digemari berbagi

kalangan karena rasanya yang enak untuk dijadikan berbagai sayur dan lalapan, juga

mengandung gizi cukup tinggi dan komposisinya lengkap (Rukmana, 2003). Berdasarkan

beberapa hasil pengujian, didalam setiap 100 kg buah terung segar mengandung 24 kalori energi,

1,1 gram protein, 1,2 g lemak, 5,5 g karbohidrat, 15 mg kalsium, 37 mg fospor, 0,4 mg besi, 4 SI

Vitamin A, 5 mg vitamin C, 1,14 mg vitamin B1 dan 92,7 g air (Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono, 2003).

Terung memiliki nilai ekonomis dan sosial yang cukup tinggi. Produksi terung tidak

hanya laku di pasaran dalam negeri (domestik), tetapi juga sudah menjadi mata dagang ekspor.

Bentuk produk terung yang sudah menembus pasar ekspor adalah “terung asinan” (Rukmana,

2003). Distribusi pemasarannya tidak hanya dilakukan di pasar-pasar tradisional saja, namun

juga di supermarket ataupun toko-toko swalayan (Samadi, 2001). Selain itu kemajuan di bidang

pengolahan hasil pertanian yang semakin berkembang dapat memperluas pemasaran terung,

misalnya manisan dan asinan terung. Oleh sebab itu, komoditas terung sangat potensial untuk

dikembangkan secara intensif (Rukmana, 2003). Berdasarkan hal tersebut, tehnik budidaya

terung dapat ditingkatkan dengan melakukan pemupukan.

Pemupukan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur

hara yang dibutuhkan selama pertumbuhan tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk

organik maupun pupuk anorganik. Namun, penggunaan pupuk anorganik saat ini kurang

ekonomis karena harganya yang relative mahal, juga dampak negatifnya bagi lingkungan

(Risema, 1986). Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan dan

manusia. Macam-macam pupuk organik antara lain adalah pupuk kandang, pupuk hijau, kompos

dan lain sebagainya.

Pupuk kandang memang dapat menambah ketersediaan bahan makanan (unsur hara) bagi

tanaman yang dapat diserapnya dari dalam tanah. Selain itu, pupuk kandang ternyata mempunyai

pengaruh positif (baik) terhadap sifat fisik dan kimia tanah, mendorong kehidupan

(perkembangan) jasad renik (Sutejo, 1995). Selain itu, pupuk organik tidak menimbulkan polusi

bagi lingkungan terutama tanah.

Pupuk kandang ayam merupakan salah satu pupuk organik yang sangat baik untuk

dikembangkan. Pupuk kandang adalah campuran dari kotoran padat dan cair yang tercampur

Page 40: Sawi ilaaaaaaaaa

dengan sisa makanan dan alas kandang. Kandungan unsur hara pupuk kandang terdiri dari

campuran 0,5% N, 0,25% P2O5 dan 0,5% K2O, hal ini sangat bervariasi tergantung pada kondisi

lingkungan dan pakan yang diberikan. Pupuk kandang mempunyai beberapa sifat yang lebih baik

dari pada pupuk alami lainnya, karena selain sebagai sumber unsur hara, pupuk kandang juga

dapat meningkatkan kadar humus tanah, daya menahan air dan banyak mengandung

mikroorganisme (Sarief, 1986).

Higa (1997) mengatakan bahwa dalam usaha menunjang sistem pertanian yang

berkelanjutan atau sistem pertanian yang peduli lingkungan maka dilakukan dengan pemanfaatan

mikroorganisme untuk meningkatkan pertumbuhan produksi tanaman. Salah satunya dengan

memberikan bahan organik yang terfermentasi (bokashi).

Bokashi adalah hasil fermentasi bahan organik (jerami, sampah organik, sekam, daun-

daunan dan pupuk kandang) dengan bantuan Effektive Mikroorganisme-4 (EM-4). Menurut

Wididana dan Higa (1993), EM-4 merupakan kultur campuran mikroorganisme yang

menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. EM-4 diaplikasikan sebagai inokulan untuk

meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme dalam tanah, yang selanjutnya dapat

meningkatkan pertumbuhan, kualitas dan kuntitas tanaman.

Bokashi pupuk kandang ayam dibandingkan dengan dengan pupuk organik lainnya

(tanpa inokuasi EM-4) mempunyai keunggulan yaitu mampu meningkatkan aktifitas

mikroorganisme indegenus menguntungkan dan meningkatkan fiksasi nitrogen dalam waktu

yang cepat, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Disamping itu bokashi pupuk

kandang ayam juga dapat memperbaiki aerase tanah, memperbesar daya serap tanah terhadap air

dan dapat menekan pathogen pada tanaman (Priyadi, 1996).

Hasil penelitian Mawardi (2001) memperlihatkan bahwa pemberian bokashi memberikan

pengaruh terhadap peningkatan ketersediaan hara N, P, dan K pada dosis 2,5 ton ha-1 dan

memberikan pengaruh terbaik terhadap peningkatan N, P, dan K serta hasil bobot biji kering

tanaman kedelai. Hasil penelitian Saputro (2000), pemberian bokashi pupuk kandang ayam

dengan dosis 7,5 ton ha-1 dapat memberikan pertumbuhan dan hasil yang optimal bagi tanaman

selada.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk memilih proposal penelitian

dengan judul “Pengaruh Bokashi Pupuk Kandang Ayam Terhadap Hasil Tanaman Terung

(Solanun melongena L.)”.

Page 41: Sawi ilaaaaaaaaa

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis bokashi pupuk kandang ayam yang

memberikan hasil terbaik pada tanaman terung.

1.3.  Kegunaan Penelitian

Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan informasi

bagi pihak-pihak yang memerlukan dalam usaha peningkatan hasil tanaman terung.

1.4.  Hipotesis

1.    Pemberian berbagai dosis bokashi pupuk kandang ayam, memberikan pengaruh terhadap hasil

tanaman terung.

2.    Didapatkan satu dosis bokashi pupuk kandang ayam yang memberikan hasil terbaik pada

tanaman terung.

Page 42: Sawi ilaaaaaaaaa

II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tanaman Terung

Dalam tatanama (sistematika) tumbuhan, tanaman terung diklasifikasikan ke dalam

Divisio Spermatophyta, Sub-divisio Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae,

Famili Solanaceae, Genus Solanum dan Spesies Solanum melongena L. (Rukmana, 2003).

Terung termasuk tanaman setahun yang berbentuk perdu. Batangnya rendah (pendek),

berkayu dan bercabang dengan tinggi tanaman bervariasi antara 50-150 cm, tergantung dari jenis

ataupun varietasnya. Menurut Soetasad, Muryanti dan Sunarjono (2003) batang tanaman terung

dibedakan menjadi dua macam, yaitu batang utama (batang primer) dan percabangan (batang

sekunder). Batang utama merupakan penyangga berdirinya tanaman, sedangkan percabangan

adalah bagian tanaman yang akan mengeluarkan bunga.

Daun terung terdiri atas tangkai daun dan helaian daun. Tangkai daun berbentuk silindris

dengan sisi agak pipih dan menebal dibagian pangkal, panjangnya bersekitar 5-8 cm. Helaian

daun terdiri atas ibu tulang, tulang cabang dan urat-urat daun (Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono, 2003).

Bunga terung berbentuk mirip bintang, berwarna biru atau lembayung cerah sampai

warna yang lebih gelap. Bunga terung tidak mekar secara serempak dan penyerbukan bunga

dapat terjadi secara silang ataupun menyerbuk sendiri (Rukmana, 2003). Soetasad, Muryanti dan

Sunarjono (2003) menambahkan bahwa bunga terung disebut bunga banci karena dalam satu

bunga terdapat benang sari (kelamin jantan) dan putik (kelamin betina).

Buah terung merupakan buah sejati tunggal dan berdaging tebal, lunak, serta tidak akan

pecah bila buah telah masak. Daging buah ini merupakan bagian yang enak dimakan dan

berwarna hijau atau keunguan. Biji-biji terdapat bebas dalam daging buah (Soetasad, Muryanti

dan Sunarjono, 2003). Buah menghasilkan biji yang ukurannya kecil-kecil berbentuk pipih dan

berwarna coklat muda.

Tanaman terung mempunyai akar tunggang dan cabang-cabang akar yang dapat

menembus kedalaman tanah sekitar 80-100 cm. Akar-akar yang tumbuh mendatar dapat

menyebar pada radius 40-80 cm dari pangkal batang, tergantung dari umur tanaman dan

kesuburan tanah (Rukmana, 2003).

Page 43: Sawi ilaaaaaaaaa

2.2. Syarat Tumbuh Tanaman Terung

Tanaman terung dapat tumbuh dan berproduksi baik di dataran rendah sampai dataran

tinggi ± 1.000 meter dari permukaan laut. Selama pertumbuhannya, tanaman terung

menghendaki keadaan suhu udara antara 22º-30º C, cuaca panas dan iklim kering, sehingga

cocok ditanam pada musim kemarau. Sebab, pada keadaan cuaca panas akan merangsang dan

mempercepat proses pembungaan maupun pembuahan (Rukmana, 2003).

Menurut Samadi (2001), intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap kualitas buah,

terutama pada penampakkan kulit buahnya. Pada pencahayaan yang cukup, warna kulit buah

terung akan tampak merata dan lebih mengkilap.

Tanaman terung dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Tetapi keadaan tanah

yang paling baik untuk tanaman terung adalah jenis lempung, berpasir, subur, kaya akan bahan

organik, aerasi dan drainasenya baik serta pada pH 5-6 (Soetasad, Muryanti dan Sunarjono,

2003).

2.3.Pengaruh Bokashi terhadap Hasil Tanaman

Dalam usaha menunjang sistem pertanian organik yang merupakan sistem pertanian yang

peduli lingkungan, maka dilakukan usaha untuk memanfaatkan mikroorganisme dan bahan

organik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

Menurut Sarief (1986), melalui proses dekomposisi, bahan organik dalam pupuk kandang

akan melepaskan unsur hara seperti N, P dan K yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Isro

(1994) menyatakan bahwa bahan organik berupa pupuk kandang ayam akan diuraikan oleh

mikroorganisme tanah dan menghasilkan bahan humus yang mampu meningkatkan agregasi

tanah. Agregasi tanah ini secara tidak langsung akan memperbaiki ketersediaan unsur hara.

Selain itu agregasi tanah yang baik akan menjamin tata udara tanah dan air sehingga aktifitas

mikroorganisme dapat berlangsung dengan baik dan ketersediaan beberapa hara yang dapat

ditingkatkan.

Menurut Wididana (1994), EM-4 dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman,

karena EM-4 dapat mempercepat dekomposisi bahan organik, sehingga ketersediaan nutrisi

tanaman meningkat. Selain itu EM-4 juga dapat menekan aktifitas hama dan mikroorganisme

patogen.

Higa (1994) menerangkan secara ilmiah bahwa EM-4 dapat meningkatkan produksi

tanaman melalui reaksi fermentasi yang menghasilkan asam organik, hormon tanaman (Auxin,

Page 44: Sawi ilaaaaaaaaa

Giberelin, Sitokinin) dan polisakarida. Selain itu dapat pula memacu pertumbuhan tanaman

dengan memperbaiki dekomposisi bahan organik dan residu serta mempercepat daur unsur hara.

EM-4 merupakan salah satu pemanfaatan mikroorganisme yang bersifat menguntungkan.

Penerapan teknologi EM-4 dapat dilakukan dengan memfermentasikan bahan organik (jerami,

pupuk kandang ayam dan lain sebagainya). Hasil fermentasi bahan organik dengan bantuan EM-

4 disebut dengan bokashi (Wididana, 1998).

Bokashi banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman. Selain itu

pemberian pupuk bokashi dapat memperbaiki daya dukung lahan, baik fisik, biologi maupun

kimia tanah. Secara umum bokashi mengandung unsur hara 4,96 %, P2O5 0,34%, K2O 1,90%,

protein 30,20%, karbohidrat 22,96%, lemak 11,21%, alkohol 114,03% mg/100 g dan kandungan

gula 15,75% serta vitamin C 0,46 mg/100 g, vitamin B12 5,04 mg/100 g, asam amino 80,19

mg/100 g (Wididana dan Wigenasentana, 1991).

EM-4 dalam bokashi dapat memacu aktifitas mikroorganisme yang menguntungkan

seperti rhizobium, bakteri pelarut posfat dan mikoriza. Mikroorganisme ini sangat berperan

dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara, terutama unsur N dan P (Wididana dan Higa,

1993).

Berdasarkan uraian diatas maka bokashi pupuk kandang ayam dapat dijadikan sebagai

salah satu sumber bahan organik yang dapat membantu meningkatkan produksi tanaman.

Penggunaan bokashi secara umum direkomendasikan 200 g m-2 permukaan tanah atau 2 ton ha-1.

Akan tetapi untuk tanah miskin unsur hara atau kandungan unsur haranya sedikit, dianjurkan

maksimum penggunaan bokashi 1 kg m-2 atau 10 ton ha-1. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian

Priyadi (1996), yang melaporkan pemberian bokashi pupuk kandang ayam dapat memberikan

pengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kubis bunga bila di bandingkan dengan bokashi pupuk

kandang ayam tanpa inokulasi EM-4 dan dosis yang terbaik pada 10 ton ha-1.

Hasil penelitian Musdalifah (2000), menunjukkan bahwa pemberiaan bokashi pupuk

kandang ayam dengan dosis 4 ton ha-1 pada tanaman tomat memberikan respon yang baik pada

tinggi tanaman dan rata-rata bobot per buah. Sedangkan dosis 5 ton ha-1 memberikan hasil yang

baik pada jumlah bunga, jumlah buah per tanaman dan bobot kering tanaman

Page 45: Sawi ilaaaaaaaaa

BokashiDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Bokashi adalah sebuah metode pengomposan yang dapat menggunakan starter aerobik maupun anaerobik untuk mengkomposkan bahan organik, yang biasanya berupa campuran molasses, air, starter mikroorganisme, dan sekam padi. Kompos yang sudah jadi dapat digunakan sebagian untuk proses pengomposan berikutnya, sehingga proses ini dapat diulang dengan cara yang lebih efisien. Starter yang digunakan amat bervariasi, dapat diinokulasikan dari material sederhana seperti kotoran hewan, jamur, spora jamur, cacing, ragi, acar, sake, miso, natto, anggur, bahkan bir, sepanjang material tersebut mengandung organisme yang mampu melakukan proses pengomposan.

Dalam proses pengomposan di tingkat rumah tangga, sampah dapur umumnya menjadi material yang dikomposkan, bersama dengan starter dan bahan tambahan yang menjadi pembawa starter seperti sekam padi, sisa gergaji kayu, ataupun kulit gandum dan batang jagung (Yusuf, 2000). Mikroorganisme starter umumnya berupa bakteri asam laktat, ragi, atau bakteri fototrofik yang bekerja dalam komunitas bakteri, memfermentasikan sampah dapur dan mempercepat pembusukan materi organik.

Umumnya pengomposan berlangsung selama 10-14 hari. Kompos yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan kompos pada umumnya; kompos bokashi akan terlihat hampir sama dengan sampah aslinya namun lebih pucat. Pembusukan akan terjadi segera setelah pupuk kompos ditempatkan di dalam tanah. Pengomposan bokashi hanya berperan sebagai pemercepat proses pembusukan sebelum material organik diberikan ke alam.

Pupuk Bokashi, menurut Wididana et al (1996) dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, meningkatkan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi tanaman, serta menghasilkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian yang berwawasan lingkungan. Pupuk bokashi tidak meningkatkan unsur hara tanah, namun hanya memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, sehingga pupuk anorganik masih diperlukan (Cahyani, 2003). Pupuk bokashi, seperti pupuk kompos lainnya, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan material organik pada tanah yang keras seperti tanah podzolik sehingga dapat meningkatkan aerasi tanah dan mengurangi bulk density tanah (Susilawati, 2000, dan Cahyani, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Cahyani (2003), Penambahan pupuk bokashi berbahan dasar arang sekam padi dapat meningkatkan nilai batas cair dan batas plastis tanah latosol, namun terjadi peningkatan indeks plastisitas. Penambahan bokashi arang sekam padi juga berpengaruh terhadap kekuatan geser tanah dan peningkatan tinggi maksimum tanaman. Bokashi juga dapat digunakan untuk mengurangi kelengketan tanah terhadap alat dan mesin bajak sehingga dapat meningkatkan performa alat dan mesin bajak (Yusuf, 2000), dengan pengaplikasian bokashi sebelum pengolahan tanah dilakukan.

Referensi

Page 46: Sawi ilaaaaaaaaa

Membuat Starter Bokashi Cahyani, Sri Susanti. 2003. Pengaruh Pemberian Bokashi Terhadap Sifat Fisik dan

Mekanik Tanah serta Pertumbuhan Tanaman Pak Choi (Brassica chinensis L), sebuah skripsi. Dalam IPB Repository diunduh 12 Juni 2010.

Susilawati, Rini. 2000. Penggunaan Media Kompos Fermentasi (Bokashi) dan Pemberian Effective Microorganism - 4 (EM-4) Pada Tanah Podzolik Merah Kuning Terhadap Pertumbuhan Semai Acacia mangium Wild, sebuah skripsi. Dalam IPB Repository diunduh 12 Juni 2010.

Yusuf, Yuslita. 2000. Pengaruh Pemberian Bokashi Batang Jagung Terhadap Kelengketan Tanah (Soil Stickiness) Pada Alat Pengolahan Tanah Bajak Singkal, sebuah skripsi. Dalam IPB Repository diunduh 12 Juni 2010.

Pencarian:

Kategori Penelitian Uncategorized

Arsip

Februari 2013Juni 2012Mei 2012Maret 2012Juni 2011Agustus 2010April 2010Februari 2009September 2008

Tautan WordPress.com WordPress.org

RESPON TANAMAN SELEDRI (Apium graveolus L.) ==   SYAHRUDIN 11 Maret 2012, 7:23 am Filed under: Penelitian

RESPON TANAMAN SELEDRI (Apium graveolus L.) TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA MACAM PUPUK DAUN PADA TIGA JENIS TANAH  (PLANT RESPONSE

celery (Apium graveolus L.) TO GRANT LEAVES SOME KIND OF FERTILIZER IN THREE KINDS OF SOIL)

Page 47: Sawi ilaaaaaaaaa

(Plant Response Celery (Apium Graveolus l.) to Grant Leaves Some Kind of Fertilizer in Three Kinds of Soil)

 Syahrudin

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

ABSTRACT

            The purpose of this research is to study the response of celery plants to giving some kind of foliar fertilizer on three types of soil. The results showed (1) the interaction of three kinds of foliar fertilizer with no significant ground on all the variables of plant growth and yield of celery (2) growth and yield responses of celery which is better shown in Growmore leaf fertilizer (32-10-10 .) This is indicated by the increased plant height, leaf number, fresh yield per plant, dry weight and crown-root ratio, followed Mamigro foliar fertilizer (25-5-10) and Hyponex foliar fertilizer (25-6-6). While no provision of fertilizer leaves show growth and lower yields (3) peat as growing medium in celery plants can give a positive response in enhancing the growth and yield of celery at all the observed variables.Keywords: Celery, leaf fertilizer, soil type

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon tanaman seledri terhadap pemberian beberapa macam pupuk daun pada tiga jenis tanah. Hasil penelitian menunjukkan (1) interaksi pemberian pupuk daun dengan tiga jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pertumbuhan dan hasil tanaman tanaman seledri (2)  respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik ditunjukkan pada pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya  tinggi tanaman, jumlah daun , hasil bobot segar  per tanaman, bobot kering dan ratio tajuk-akar, kemudian diikuti pupuk daun Mamigro (25-5-10) dan pupuk daun Hyponex (25-6-6). Sedangkan tanpa pemberian pupuk daun menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih rendah (3) tanah gambut sebagai media tumbuh pada tanaman seledri mampu memberikan respon yang positif di dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri pada semua variabel pengamatan.

Kata kunci : Seledri, pupuk daun, jenis tanah

PENDAHULUAN

            Seledri (Apium graveolus L) adalah tanaman sayuran bumbu berbentuk rumput yang berasal dari benua Amerika yang digunakan sebagai bumbu penyedap makanan dan bersifat obat yang mujarab menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati kerontokan rambut, mengatasi sukar tidur, meperlancar buang air  seni dan menguatkan urat syarat (Soewito,1991).

Page 48: Sawi ilaaaaaaaaa

Pada dasarnya prospek seledri sangat cerah, baik di pasaran dalam negeri (domestik) maupun luar negeri sebagai komoditas ekspor, namun pembudidayaan seledri di Indonesia pada umumnya masih dalam skala kecil yang dilakukan sebagai sambilan (sampingan). Beberapa bukti tentang budidaya seledri di Indonesia yang belum dikelola secara komersial dan diantaranya dapat merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil survey pertanian tanaman sayuran di Indonesia pada tahun 2008, ternyata belum ditemukan data luas panen dan produksi seledri secara nasional. Demikian pula dalam program penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia pada Pusat Penelitian dan pengembangan (Puslitbang). Hortikultura sampai 2003/2004, ternyata tanaman seledri belum mendapatkan prioritas penelitian, baik sebagai komoditas utama, potensial maupun introduksi (Sutrisna, Sastraatmadja dan Ishaq, 2005).

Di Kalimantan Tengah, tanah-tanah marginal untuk pengembangan lahan pertanian didominasi oleh tanah gambut, tanah berpasir dan tanah Podsolik Merah Kuning, dimana tanah-tanah tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai media tanam, namun didalam pelaksanaannnya mempunyai kendala diantaranya tingkat kesuburan yang rendah dan minimnya unsur hara yang tersedia.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kendala tidak tersedianya unsur hara, baik makro maupun mikro pada berbagai jenis tanah yang kurang subur adalah dengan pemberian pupuk. Pemberian pupuk atau unsur hara ini selain diberikan lewat tanah dapat pula diberikan lewat daun. Menurut Lingga dan Marsono (2001), kelebihan utama dari pupuk daun, yaitu penyerapan haranya berjalan lebih cepat dibanding pupuk yang diberikan lewat akar.

Saat ini banyak produk pupuk daun dengan berbagai merk dagang dengan komposisi hara makro dan mikro yang bervariasi. Namun, secara umum unsur hara yang dominan dalam pupuk daun adalah hara makro dengan tambahan beberapa unsur mikro. Menurut Sutedjo (1999), apabila tanaman sayuran daun seperti bayam, seledri atau selada maka pupuk daun yang digunakan harus berkadar N tinggi. Beberapa contoh pupuk daun yang berkadar N tinggi dengan kadar P dan K yang bervariasi banyak ditemukan di pasaran, seperti Growmore 32-10-10 (32 % N, 10 % P dan 10 % K), Hyponex 25-5-10 (25 % N, 5 % P dan 10 % K) atau Mamigro 25-6-6 (25 % N, 6 % P dan 6 % K).

Beragamnya komposisi unsur-unsur yang dikandung pupuk daun yang dijual di pasaran tersebut, hal ini memerlukan suatu kajian yang ilmiah untuk mengaplikasikannya pada tanaman karena masing-masing tanaman punya tanggapan (respon) yang berbeda kebutuhannya terhadap pupuk (unsur hara). Bertolak dari hal tersebut kiranya perlu dilakukan penelitian tentang respon tanaman seledri terhadap pemberian beberapa macam pupuk daun pada tiga jenis tanah.

BAHAN DAN METODE

            Penelitian dilaksanakan dirumah plastik di Jalan Karanggan No. 34, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober hingga Desember 2010.

Page 49: Sawi ilaaaaaaaaa

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih seledri, pupuk daun (Growmore, Hyponex dan Mamigro), air pengencer, tanah gambut, tanah podsolik merah kuning, tanah berpasir, pupuk kandang kotoran ayam, kapur dolomit dan pestisida (Furadan 3G dan Benlate 20 EC).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain meteran, timbangan, cangkul, parang, gergaji, palu, plastik, kasa, kajang, ayakan, bak persemaian, polybag, handsprayer, neraca analitik, penggaris, alat tulis dan alat-alat tulis yang dianggap perlu.

Penelitian ini meggunakan Rancangan Acal Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk daun (P) yang terdiri dari 4 macam yaitu 0 = tanpa diberi pupuk daun, D1= pemberian pupuk daun Growmore, D2= pemberian pupuk daun Hyponex dan D3           = pemberian pupuk daun Mamigro.Faktor kedua adalah jenis tanah (T) yang terdiri dari 3 jenis, yaitu  :T1= Tanah Gambut, T2= Tanah Berpasir,T3= Tanah podsolik Merah Kuning.Variabel yang diamati  meliputi : Tinggi tanaman (cm) ; Jumlah daun (helai) ;

bobot segar tanaman (g/tanaman)  ;.Bobot kering tanaman (g/tanaman) ; Rasio Tajuk-Akar atau Shoot and Root Ratio (S/R).

 HASIL DAN PEMBAHASAN

             Interakasi antara pupuk daun dan jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pengamatan, hal ini diduga karena kedua perlakuan memiliki peranan yang sama di dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman sedeldri.  Menurut Hanafiah (1995), tidak terjadinya pengaruh interaksi dua faktor perlakuan karena kedua faktor tidak mampu bersinergi (bekerjasama) sehingga mekanisme kerjanya berbeda atau salah satu faktor tidak berperan secara optimal atau bahkan bersifat antagonis, yaitu saling menekan pengaruh masing-masing.

Walaupun tidak terjadi pengaruh interaksi pada kedua perlakuan, namun masing-masing perlakukuan faktor tunggal memberikan pengaruh nyata dalam m,eningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri.

Pengaruh Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Tanaman Seledri

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian pupuk daun menunjukkan respon yang positif  dan berpengaruh  nyata didalam meningkat pertumbuhan dan hasil tanaman seledri serta ratio tajuk-akar (pengamatan terakhir). Pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) cenderung menunjukkan perlakuan yang terbaik dibanding perlakuan lainnya. Daun merupakan variabel utama yang menentukan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis, jadi secara keseluruhan pertumbuhan tanaman seledri dapat dipacu lebih baik dengan pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10).

Tabel 1.  Rata-rata Tinggi Tanaman , Jumlah Daun, Bobot Segar, Bobot Kering dan Ratio Tajuk-Akar Tanaman Seledri  Pengaruh Perlakuan Beberapa Macam Pupuk Daun

Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Daun

Page 50: Sawi ilaaaaaaaaa

Pupuk Daun14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 HST 28 HST

Kontrol (D0) 3.94ab 5.22a 7.44a 2.22a 3.67a 5.89a

Growmore(D1) 8.11c 10.78b 14.06b 3.67b 6.00b 11.11b

Hyponex (D2) 3.50a 3.72a 7.69b 2.39a 4.11a 6.22a

Mamigro (D3) 6.78bc 9.33b 12.11a 2.56a 4.22a 6.67a

 Bobot Segar Tanaman (g)

Bobot Kering Tanaman (g)

Rasio Tajuk-Akar

Kontrol (D1) 0.88p 0.030p 4.34p

Growmore (D2) 1.26q 0.074r 5.94q

Hyponex (D3) 0.97p 0.035p 4.52p

Mamigro (D4) 1.13q 0.045pq 5.22pq

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, umur dan variabel yang sama  tidak berbeda nyata  menurut uji BNJ pada taraf 5 %.

Pada saat pertumbuhan tanaman, seperti halnya pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun seledri tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan ketersediaan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang. Pemberian pupuk daun Growmore dengan kandungan unsur hara N, P dan K yang lebih tinggi dibandingkan pupuk daun lainnya, yaitu 32% (N), 10% (P), dan 10% (K) tampaknya dapat memacu pertumbuhan tanaman seledri yang lebih baik, karena pada saat pertumbuhan tanaman unsur N, P dan K diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak dan berimbang.

            Peran utama unsur N, P dan K bagi pertumbuhan tanaman sesuai pernyataan Lingga dan Marsono (2001), bahwa unsur nitrogen (N) sangat penting untuk pertumbuhan vegetatif tanaman karena dapat merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun. Menurut Laegreid et al (1999, dalam Hindersah dan Simarmata, 2004), ketersediaan unsur nitrogen adalah penting pada saat pertumbuhan tanaman, karena nitrogen berperan dalam seluruh proses biokimia tanaman. Sedangkan fosfor (P) menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) berperan untuk pembentukan sejumlah protein tertentu, berperan dalam fotosintesis dan respirasi sehingga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman keseluruhan, selain itu berperan penting memperbaiki sistem perakaran tanaman. Adapun kalium (K) menurut Sarief (1989) merupakan salah satu unsur hara yang sangat berperan dalam memacu pertumbuhan tinggi tanaman. Apabila tanaman mengalami kekurangan unsur kalium, maka tanaman akan tumbuh lebih pendek, sehingga tanaman menjadi kerdil dan mudah rebah.

Dari unsur hara yang ada di perlukan tanaman, nitrogen (N) adalah unsur yang paling utama menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri, apalagi bagian ekonomis tanaman seledri yang di panen adalah bagian batang dan daun. Tersedianya unsur nitrogen yang lebih besar yang terkandung dari pupuk daun Growmore (32%) dibanding pupuk Hyponex (25%) dan Mamigro (25%), diduga berperan langsung memacu peningkatan pertumbuhan daun. Hal ini sesuai pernyataan Lakitan (1996), bahwa pada saat pertumbuhan daun, diketahui tidak semua unsur hara diperlukan dan berperan langsung terhadap pembentukan daun. Unsur hara yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah nitrogen.

Page 51: Sawi ilaaaaaaaaa

Pertambahan jumlah daun pada akhirnya akan berakibat meningkatnya luas daun secara keseluruhan, hal ini berarti kemampuan tanaman melakukan fotosintesis meningkat, sehingga hasil fotosintesis (fotosintat) yang tersedia juga akan meningkat dan dialokasikan kebagian tanaman yang bernilai ekonomis (Goldworthy dan Fisher, 1996). Selain itu pertambahan jumlah daun juga akan berakibat langsung terhadap biomassa secara keseluruhan, hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya bobot basah dan kering yang lebih tinggi. Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk daun juga berpengaruh sangat nyata terhadap bobot segar, bobot kering dan rasio tajuk- akar tanaman seledri. Pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) lebih baik dibanding jenis pupuk daun lainnya dalam meningkatkan hasil panen (bobot segar) tanaman seledri dan berbanding lurus dengan bobot keringnya. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk daun Growmore mengandung unsur hara makro dan mikro yang lebih tinggi sehingga mampu menyediakan kebutuhan bagi pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman. Selain kandungan unsur hara makro seperti N, P, dan K yang lebih tinggi, kandungan unsur hara mikro yang terkandung dari pupuk daun Growmore juga lebih tinggi dibanding Hyponex dan Mamigro.

Tersedianya hara makro dan mikro yang lebih baik dari pupuk daun Growmore akan dapat mendukung pertumbuhan yang lebih baik, dan pada akhirnya hasil tanaman juga lebih baik.  Menurut Sitompul dan Guritno (1995), hasil tanaman sangat ditentukan oleh produksi biomassa pada saat masa pertumbuhan tanaman dan pembagian biomassa pada bagian yang dipanen. Produksi biomassa tersebut mengakibatkan pertambahan berat dapat pula diikuti dengan pertambahan ukuran tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Kondisi ini menurut Gardner dkk.. (1991) sangat dimungkinkan apabila pada saat pertumbuhan tanaman, unsur hara dan faktor pendukung lainnya tersedia dan tidak menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan pembagian hasil fotosintesis (fotosintat) ke organ hasil berjalan dengan baik.

Demikian pula rasio tajuk-akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya nitrogen. Menurut Loomis (1953, dalam Gardner dkk.. 1991), tersedianya unsur N dan air yang banyak akan dapat menggalakkan pertumbuhan ujung (tajuk). Hasil penelitian Murata (1969 dalam Gardner dkk. 1991) menunjukkan bahwa rasio tajuk-akar tanaman padi meningkat secara nyata akibat diberi nitrogen yang lebih banyak. Meningkatnya rasio tajuk-akar juga akan berakibat langsung terhadap peningkatan bagian ekonomis dari tanaman seledri yang dipanen.

Secara keseluruhan hasil panen tanaman seledri dari penelitian yang telah dilaksanakan masih di bawah standar normal, yaitu ± 1 g/tanaman. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Paishal (2005), bahwa penggunaan pupuk daun dapat menghasilkan bobot segar seledri mencapai 12,67 g/tanaman.  Rendahnya hasil tanaman seledri dari penelitian ini, diduga karena rendahnya intensitas cahaya yang diterima tanaman akibat atap naungan yang dibuat terlalu rapat sehingga ini akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman berfotosintesis sehingga hasilnya rendah.  Penelitian yang sama dari Paishal (2005), menunjukkan bahwa aplikasi naungan berpengaruh nyata menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman, yaitu pada tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, dan jumlah rumpun. Perlakuan naungan juga menurunkan hasil produksi tanaman seledri, yaitu pada jumlah tanaman yang hidup, bobot akar, bobot yang dapat dipasarkan per panel dan bobot yang dapat dipasarkan per tanaman. Tanaman tanpa naungan memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan tanaman dengan aplikasi naungan.

Page 52: Sawi ilaaaaaaaaa

Pengaruh Jenis tanah Terhadap pertumbuhan Tanaman dan Hasil Tanaman Seledri

             Penggunaan jenis berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap variabel pertumbuhan maupun hasil tanaman seledri, yakni pada jumlah daun, bobot segar, bobot kering dan rasio tajuk-akar. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa penggunaan tanah  tanah gambut lebih baik dibandingkan jenis tanah lainnya (tanah PMK dan tanah berpasir) dalam meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman seledri. Hal ini di duga terkait dengan kandungan unsur hara atau sifat kimia tanah dari ke tiga jenis tanah tersebut berbeda sehingga tanaman merespon berbeda pula. Berdasarkan hasil analisis beberapa sifat kimia tanah dari ketiga jenis ini (Tabel 3), memperlihatkan adanya perbedaan. Tanah gambut walaupun pH nya lebih rendah dibandingkan 2 jenis tanah lainnya, namun kandungan N total, P total dan K totalnya lebih tinggi yaitu 0,83%, 217,88 ppm dan 1,28 ppm dibandingkan PMK yaitu 0,11%, 103,16 ppm dan 1,27 ppm dan tanah berpasir yaitu 0,25%, 120,99 ppm dan 0,83 ppm.

Tersedianya N, P dan K yang lebih tinggi pada tanah gambut menjadikan tanah ini mampu mendukung pertumbuhan tanaman seledri lebih baik dibandingkan pada tanah berpasir maupun tanah PMK. Khusus unsur N dan P pada tanah gambut kandungannya jauh lebih tinggi melebihi pada tanah berpasir dan tanah PMK, ini karena pada tanah gambut unsur N dan P bersumber dari bahan organik, berbeda dengan tanah berpasir dan PMK yang merupakan tanah mineral dengan kandungan bahan organik yang rendah (kurang 20%). Menurut Stevenson (1982, dalam Salampak, 1993) bahwa nitrogen dan fosfor yang tinggi pada tanah gambut bersumber dari bahan organik yang tinggi, sedangkan menurut Buckman dan Brady (1982) dan Sarief (1989) pada tanah berpasir dan PMK bahan organiknya rendah sehingga kandungan unsur N dan P pada tanah inipun jadi rendah.

Tersedianya unsur N, P dan K yang lebih tinggi pada tanah gambut ini yang menyebabkan pertumbuhan tanaman seledri lebih baik, hal ini diperlihatkan dengan pertumbuhan daun (jumlah daun) yang lebih baik pula. Unsur hara yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah nitrogen. Sutedjo dan Kartasapoetra (1991) menambahkan bahwa fungsi N antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan daun. Daun tanaman akan menjadi banyak dan lebar dan warna yang lebih hijau. Selain N unsur P juga sangat dibutuhkan daun dalam kegiatan fosforilasi fotosintesis pada daun. Sesuai pernyataan Rosmarkam dan Yuwono (2002) bahwa fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan karena berhubungan dengan senyawa energi sel (ATP) yang dibentuk pertama kali pada saat fosforilasi pada proses fotosintesis daun. Unsur fosfor (P) sangat berperan penting dalam kegiatan ini. Sedangkan unsur K terlibat dalam mempengaruhi membuka dan menutupnya stomata pada daun, sehingga daun dapat mereduksi CO2 yang di perlukan dalam kegiatan fotosintesis.

Tabel 2.  Rata-rata Tinggi Tanaman , Jumlah Daun, Bobot Segar, Bobot Kering dan Ratio Tajuk-Akar Tanaman Seledri  Pengaruh Perlakuan Jenis Tanah

Perlakuan

Jenis Tanah (T)

Tinggi Tanaman Jumlah Daun

14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 HST 28 HST

Gambut(T1) 3.94ab 5.22a 7.44a 2.22a 3.67a 5.89a

Berpasir(T2) 8.11c 10.78b 14.06b 3.67b 6.00b 11.11b

Page 53: Sawi ilaaaaaaaaa

PMK (T3) 3.50a 3.72a 7.69b 2.39a 4.11a 6.22a

 Bobot Segar Tanaman (g)

Bobot Kering Tanaman (g)

Rasio Tajuk-Akar

Gambut (T1) 0.88p 0.030p 4.34p

Berpasi (T2) 1.26q 0.074r 5.94q

PMK(T3) 0.97p 0.035p 4.52p

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, umur dan variabel yang sama  tidak berbeda nyata  menurut uji BNJ pada taraf 5 %.

Berdasarkan fakta yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa tersedianya unsur N, P dan K penting sekali untuk meningkatkan pertumbuhan daun dan aktivitas fotosintesis yang tinggi. Aktivitas fotosintesis yang tinggi menjamin tersedianya fotosintat yang lebih banyak dan ini diperlukan untuk meningkatkan bobot segar dan bobot kering (biomassa) tanaman seledri yang lebih baik. Peningkatan biomassa tanaman ini erupakan akibat dari adanya pembentukan dan pertambahan organ- organ tanaman seperti akar, batang dan daun selama masa tertentu dari pertumbuhan tanaman. Sesuai pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) bahwa tanaman selama masa hidupnya atau selamamasa tertentu membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Produksi biomassa tersebut akan mengakibatkan pertambahan bobot yang diikuti dengan pertambahan ukuran lainnya secara kuantitatif. Produksi biomassa selama masa vegetatif yang lebih baik, umumnya akan menentukan hasil tanaman. Apalagi komponen hasil tanaman (bagian ekonomis) dari tanaman seledri adalah bagian vegetatif yaitu berupa batang dan daun.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1.  Interaksi pemberian pupuk daun dengan tiga jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati

2.  Respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik ditunjukkan pada  pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya tinggi tanaman, jumlah daun, hasil bobot segar, bobot kering dan ratio tajuk-akar tanaman seledri.

3. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri pada tanah gambut lebih baik dibandingkan pada tanah berpasir dan tanah PMK.

 

       Saran

1.    Untuk pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik disarankan untuk menanam pada tanah gambut dan memberikan pupuk daun Growmore             (32-10-10).

Page 54: Sawi ilaaaaaaaaa

2.    Disarankan pula untuk penelitian lanjutan :

a. agar memperhatikan atap naungan tidak terlalu mengurangi intensitas matahari yang diterima tanaman seledri sehingga tanaman dapat etiolasi.

b.  memperhatikan ukuran polybag (tidak terlalu kecil) yang digunakan sebagai tempat media tanam, minimal ukuran polybagnya untuk volume tanah 5 kg.

Tabel 3.  Data hasil analisis tanah

No.Parameter yang

dinalisisTanah Gambut Tanah PMK Tanah Alluvial

1. pH H2O (1:2,5) 4,86 6,26 7,052. N-Total (%) 0,83 0,11 0,253. P-Total (ppm) 217,88 103,16 120,994. K-Total (ppm) 1,28 1,27 0,83

Sumber : Data dianalisis di UPT Laboratorium Dasar dan Analitik (Nopember 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah, 2006, Kalimtan Tengah Dalam Angka     2006, Bidang Geografis. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah Palangka Raya.

Buckman, D.H dan Brandy,H, 1982, Ilmu Tanah, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.  Terjemahan. UI Press. Jakarta.

Goldssworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik (Terjemahan : Tosari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hanafiah, K.A. 1995. Rancangan Percobaan. Rajawali Pers. Jakarta.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada.

Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Paishal, R.  2005.  Pengaruh Naungan Dan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Seledri (Apium Graveolens L) Dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung.  http://repository.ipb.ac.id.  10 Februari 2011.

Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.  Yogyakarta.

Page 55: Sawi ilaaaaaaaaa

Salampak, 1993, Studi Asam Fenol Tanah Gambut Pedalaman Dari Bereng Bengkel pada Keadaaan Anaerob. Thesis.Program Pascasarjana. Bogor.

Sarief, E.S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.

Sitompul,S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soewito. 1991. Bercocok Tanam Seledri. Titik Terang. Jakarta.

Sutedjo, M.,M. 1999. Pupuk dan cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Sutrisna, N., S. Sastraatmadja dan I. Ishaq. 2005. Kajian Sisten Penanaman Tumpangsari Kentang dan Seledri di Lahan Dataran Tinggi Rancabali, Kabupaten Bandung. Jurnal          Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi Pertanian Vol. 8. No. 1, Maret 2005 : 78-87.

Tinggalkan Sebuah Komentar

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI AMELIORAN == KAMBANG V   ASIE 11 Maret 2012, 7:19 am Filed under: Penelitian

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI AMELIORAN DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

 DUA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT PEDALAMAN

(The Effect of combination Ameliorant Application and NPK Fertilizer on the growth and yield of

Two soy variety in inland peat land)

Kambang Vetrani Asie, Hadinnupan Panupesi,  Erina Riak Asie

Dosen Budidaya Pertanian Faperta Unpar

ABSTRACT

         This research was to study the effect of interaction between the gift of combination ameliorant and NPK toward the growth and yield of two soy’s varieties in hinterland peat, to determine the best dose of ameliorant and NPK toward the growth and the plants result of two most responsive of soy’s varieties. The research was arranged by factorial group design with two levels of ameliorant, the first factor that ameliorant and NPK, the second of variety Baluran and Rajabasa. The result showed that applying of ameliorant dolomit 2 ton ha-1, chicken dirt 15 ton ha-1, and (urea 37,5 kg ha-1, SP-36 50 kg ha-1, KCL 50 kg  ha-1) can improve the observation

Page 56: Sawi ilaaaaaaaaa

variables that are amount of contents of soy’s plants -1. The factors variety Baluran and Rajabasa influential to dry seed in partition-1 and the weight dry 100 Soy Seed.

Keyword : Soy, Ameliorant, Fertilizer and NPK, Hinterland Peat

ABSTRAK

         Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kedelai pada lahan gambut pedalaman, untuk menentukan dosis terbaik kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman dua varietas kedelai yang paling responsif. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari dua faktor, faktor pertama yaitu amelioran dan NPK, faktor kedua yaitu kedelai varietas Baluran dan Rajabasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi amelioran dan NPK dengan dosis kombinasi amelioran dolomit 2 ton ha-1, kotoran ayam 15 ton ha-1, dan (urea 37,5 kg ha-1, SP-36 50 kg ha-1, KCL 50 kg ha-1) merupakan perlakuan yang terbaik terhadap variabel jumlah polong isi kedelai tanaman-1. Pada faktor varietas Baluran dan Rajabasa berpengaruh terhadap berat kering biji petak-1 dan berat 100 butir biji.

Kata kunci : Kedelai, Dosis Amelioran dan NPK, Tanah Gambut Pedalaman.

PENDAHULUAN

         Pengembangan kedelai, perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Sumbangan inovasi teknologi hasil penelitian berupa varietas unggul baru spesifik lokasi dan pengelolaan lahan, air, serta tanaman merupakan andalan untuk meningkatkan produksi baik melalui program peningkatan produktivitas maupun perluasan areal (Marwoto dkk., 2005).

Tanah gambut pedalaman mempunyai sifat fisik kimia, dan biologi tanah yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.  Beragam sifat yang perlu diperbaiki pada tanah gambut, tidak mungkin dengan aplikasi satu jenis amelioran, tetapi diperlukan perpaduan dari beberapa amelioran yang saling bersinergi dan dikombinasikan dengan pemberian pupuk untuk memperbaiki kendala budidaya pada tanah gambut.

Selama ini, amelioran yang hanya menggunakan satu jenis amelioran seperti kapur, memiliki kelemahan karena kandungan haranya tidak lengkap dan sedikit mengandung koloid sehingga cenderung tidak membentuk kompleks jerapan serta kurang memperbaiki tekstur tanah.  Kelemahan kapur,

perlu diimbangi dengan pemakaian amelioran lain yang dapat melengkapi kelemahan tersebut, antara lain penggunaan pupuk organik seperti pupuk kotoran ayam.

Penggunaan kapur dan pupuk kotoran ayam dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan beberapa sifat kimia tanah. Namun, hal tersebut belum dianggap mampu menyediakan unsur hara makro utama seperti N, P dan K yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar.

Page 57: Sawi ilaaaaaaaaa

Produksi kedelai baik secara nasional maupun regional khususnya di Kalimantan tengah tergolong masih rendah, disebabkan beberapa faktor, yaitu beralih fungsinya lahan, kurangnya pengetahuan petani dalam pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman kedelai dan kurangnya pengetahuan tentang pemberian pupuk dasar (amelioran), serta kurangnya pemahaman tentang varietas yang digunakan. Sehingga untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut maka  dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui interaksi pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman.

BAHAN DAN METODE

         Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah, dari bulan Juli sampai Oktober 2009. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial 2 faktor. Faktor pertama (A) adalah kombinasi amelioran (dolomit dan pupuk kotoran ayam) dengan dosis pemupukan NPK.  yang terdiri dari  5 taraf yaitu : A0 = Tanpa dolomit + 22,5 ton ha-1 kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL),  A1 = 2 ton ha-1 dolomit + 15 ton ha-1 kotoran ayam + (37, 5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP-36, 50 kg ha-1 KCL), A2 = 2 ton ha-1 dolomit + 15 ton ha-1  kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL), A3 = 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP-36, 50 kg ha-1 KCL), A4 = 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL). Faktor kedua (V) adalah Varietas Kedelai, yaitu: V1 = Varietas Baluran dan V2 = Varietas Rajabasa. Jumlah kombinasi perlakuan 10 percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan.

Benih ditanam dengan ditugal jarak tanam 40 cm x 20 cm. Pemupukan P dan K sesuai perlakuan yang diberikan pada saat penanaman benih, sedangkan pemberian N dilakukan 2 kali. 1/2 dosis perlakuan N diberikan 7 hst dan selanjutnya sisa diberikan saat tanaman berumur 21 hst. Panen dilakukan secara bertahap pada varietas Baluran umur 80 hst dan varietas Rajabasa umur 82 hst.

Variabel yang diamati meliputi : Tinggi tanaman (umur 14, 21, 28, 35 dan 42 HST), Berat kering total tanaman (umur 42 HST), Jumlah polong hampa kedelai tanaman-1, Jumlah polong isi kedelai tanaman-1, Berat kering biji petak-1, Berat 100 butir biji,

Data dilakukan analisis ragam dengan uji F pada taraf  5% dan 1%. Jika terdapat pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji BNJ pada taraf  5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Tinggi Tanaman Kedelai

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai pada semua umur pengamatan. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan tidak ada korelasi atau hubungan dalam memacu proses pertumbuhan tinggi tanaman yang diamati.

Page 58: Sawi ilaaaaaaaaa

Pertumbuhan tanaman merupakan proses dimana terdapatnya pertambahan ukuran, berat dan jumlah sel pada tanaman. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Atas dasar kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan tanaman yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno, 1995).

Gambar 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman Umur 14-42 HST

Secara kualitatif varietas Baluran lebih baik dibandingkan varietas Rajabasa, karena mempunyai dampak positif yang paling besar terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, dan juga secara sifat genetik varietas Baluran lebih tinggi dari varietas Rajabasa. Kombinasi amelioran dan NPK ternyata tidak dapat memacu proses pertumbuhan tinggi tanaman kedelai sampai diakhir pengamatan (42 hst) (Gambar 1). Secara kualitas kombinasi amelioran dan NPK tertinggi terlihat pada A1 (49,18 cm) dan A2(48,17 cm), meningkatnya tinggi tanaman selama pertumbuhannya akibat efek dari proses fisiologis. Disamping itu juga, ketersediaan air bagi tanaman relatif kurang. Padahal faktor lingkungan seperti air sangat diperlukan oleh tanaman kedelai untuk mencapai pertumbuhan yang baik. Rata-rata curah hujan selama penelitian dari bulan Juli-September 2009 adalah 23,57 mm bulan-1) yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Curah hujan seperti ini tidak menguntungkan karena mengakibatkan kurang tersedianya air bagi tanaman.

Berat Kering Total Tanaman

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap berat kering total tanaman. Saat penelitian, terjadi kabut asap sehingga terganggunya proses fotosintesis. Saat pertumbuhan tanaman, dimana penyinaran matahari kurang. Padahal pada saat pertumbuhan, tanaman sangat memerlukan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis.

Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi fotosintesis. Karena cahaya matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses fotosintesis, yang meliputi intensitas cahaya, lama penyinaran dan kualitas cahaya matahari. Cahaya yang berpengaruh pada tanaman dalam kegiatan fotosintesisnya disebut dengan PAR (Photosynthetic Activity Radiation) yang memiliki panjang gelombang sekitar 400 mm dan 750 mm (Jumin, 1994). Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman harus dapat menyerap sebagian besar radiasi tersebut dengan jaringan fotosintesisnya yang hijau. Daun sebagai organ utama untuk menyerap cahaya dan untuk melakukan fotosintesis pada tanaman budidaya, mungkin berkembang dari embrio di dalam biji atau dari jaringan meristem di batang (Gardner dkk., 1991).

Jumlah Polong Isi Tanaman-1

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap jumlah polong isi tanaman-1, sedangkan pada faktor tunggal varietas tidak berpengaruh.

Page 59: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel  1.   Rata-rata Jumlah Polong Isi Kedelai Tanaman-1

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1 12.39 28.06 25.89 23.34 22.67 22.47V2 17.06 26.72 24.83 24.50 23.95 23.41

Rata-rata14.73 a

 27.39 b

25.36 b

23.92 ab

  23.31 a 22.94

BNJ 5 % A = 10.01

Keterangan :    Angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Pada Tabel 1 dan Gambar 2, perlakuan A1 menghasilkan rata-rata polong isi terbesar yaitu A1

(27,39) dan A2 (25,36). Tingginya hasil perlakuan A1 dan A2 dibandingkan dengan perlakuan A0

(14,73), A3 (23,92), dan A4 (23,31), diduga kombinasi amelioran dan NPK cukup baik. Hal ini bisa dilihat dari manfaat pengapuran dan pupuk kandang terhadap jumlah polong isi. Hasil analisis tanah awal pH 3,72, penambahan pupuk kandang ke dalam tanah selain berfungsi untuk memperbaiki permeabilitas tanah juga dapat memperbaiki kesuburan kimia tanah karena mengandung unsur N, P, K, Ca, Mg dan Cl, serta dapat meningkatkan kegiatan mikroorganisme tanah yang berarti juga akan meningkatkan kesuburan tanah  (Sutedjo, 2002). Darung (1999), menambahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang kotoran ayam 14 ton ha-1 dan kapur 1,70 ton ha-1 mampu mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan tanaman dan hasil panen tanaman kedelai ditanam pada tanah gambut pedalaman Kalimantan.

Jumlah Polong Hampa Tanaman-1

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap jumlah polong hampa tanaman-1.

Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Polong Hampa dan Isi Kedelai Tanaman-1

Secara kuantitatif jumlah polong hampa berfluktuasi pada masing-masing perlakuan selain karena terganggunya proses fotosintesis akibat kabut asap selama penelitian, juga karena serangan hama yaitu hama penghisap polong (Riptortus linearis) dan penggerek polong (Etiella zinckenella). Menurut Irwan (2006), hama penghisap polong (Riptortus linearis) menyebabkan polong bercak-bercak hitam dan menjadi hampa. Penggerek polong (Etiela zinchenella) menyerang pada bagian polong terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan kotorannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya hasil dari budidaya tanaman kedelai serangan hama (Rukmana, 2001).

Berat Biji Petak-1

Faktor tunggal varietas pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap berat biji petak-1.

Page 60: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel  2.      Rata-rata Berat Biji Kedelai Petak-1

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1

 193.83

     469.38

370.22 333.67304.56

334.33 b

V2  177.23

239.57 264.27

299.92302.04256.60 a

Rata-rata 185.5

3 354.47317.2

4 316.80303.30  295.47

BNJ 5 % V = 17.43

Keterangan :    Angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Pada Tabel 2, kombinasi amelioran dan NPK tidak berpengaruh antara perlakuan, sedangkan faktor varietas berpengaruh. Perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap berat kering biji petak-1, varietas V1 (Baluran)dengan rata-rata 334,33 gram petak-1 lebih tinggi dibandingkan dengan            V2 (Rajabasa)rata-rata 256,60 gram petak-1. Ini karena adanya unsur hara P yang terdapat pada pupuk dasar amelioran seperti dolomit dan kotoran ayam, dan pupuk NPK mampu meningkatkan hasil berat biji petak-1,

Unsur N yang diserap tanaman pada varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A2V1 (3.22), sedangkan pada varietas Rajabasa lebih rendah A3V2 (3.38). Unsur P yang diserap tanaman pada Varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A1V1 (803.84), sedangkan pada varietas Rajabasa lebih rendah A1V2 (623.26). Unsur K yang diserap tanaman pada varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A1V1 (12336.47), dibandingkan dengan varietas Rajabasa lebih rendah A1V2 (12172.87).

Unsur P pada varietas Baluran yang diserap tanaman tertinggi pada perlakuan A1, sehingga dapat meningkatkan hasil biji dan protein yang terdapat dalam biji (Rukmana, 2001). Unsur N yang diserap varietas Baluran tertinggi pada perlakuan A1 merupakan unsur yang juga berperan dalam meningkatkan hasil tanaman, karena N diperlukan dalam pembentukan bagian vegetatif seperti akar, batang, dan cabang untuk memacu terbentuknya bunga. Menurut Rukman (2001), Pemupukan N dan P sering dapat meningkatkan hasil yang baik, terutama bila kandungan N dan P dalam tanah miskin unsur hara.

Unsur K yang diserap oleh varietas Baluran, lebih besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Berdasarkan hasil analisis jaringan penyerapan unsur K tertinggi pada varietas Baluran A1V1

(12336.47), sedangkan pada varietas Rajabasa A1V2 (12172.87). Tanaman diduga memperoleh suplai unsur hara K yang cukup untuk meningkatkan berat biji petak-1 panen. Menurut Irwan (2006), unsur K sangat penting dan berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat untuk meningkatkan hasil, yaitu berupa biji.

Page 61: Sawi ilaaaaaaaaa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat biji kedelai varietas Baluran adalah 0,56 ton ha-1, dan pada varietas Rajabasa 0,43 ton ha-1. Hasil ini masihlebih rendah dari deskripsi varietas Baluran 2,5 ton ha-1, dan Rajabasa 2,05 ton ha-1 (Saragih, 2004).

Berat Kering 100 Biji

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal varietas akibat pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap berat kering 100 biji.

Tabel  3.      Rata-rata Berat Kering 100 Biji

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1 10.71 13.66 11.44 11.68 10.9511.69  b

V2   7.61   8.83   8.82   9.58   9.94   8.96  aRata-rata 9.16 11.25 10.13 10.63 10.45 10.32BNJ 5 % V = 1.10

Keterangan :  Angka-angka yang diikuti huruf yang sama,   tidakberbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Demikian juga untuk berat 100 biji, berdasarkan pengamatan secara kualitatif bahwa varietas Baluran 11,69 gram memiliki rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Rajabasa 8,96 gram (Tabel 3). Selain berasal dari sifat genetik juga dipengaruhi oleh tingkat adaptasi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Menurut Marwoto (2005), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi tanaman, selain dari tanaman adalah faktor lingkungan seperti tanah yang memberikan unsur hara dan penyinaran dalam bentuk cahaya.

Rendahnya berat biji dan berat 100 biji pada masing-masing varietas yaitu Balurandan Rajabasa dibandingkan dengan deskripsinya, diduga selain faktor genetik juga karena faktor lingkungan yang tidak mendukung, yaitu terjadinya kabut asap hampir selama penelitian berlangsung yang mengakibatkan kurangnya cahaya matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Budi dkk. (2009) menyatakan, bahwa meningkatnya energi radiasi matahari yang dapat diterima tajuk tanaman kedelai menjadikan proses fotosintesis meningkat, sehingga fotosintat yang dihasilkan akan meningkatkan hasil biji, karena memperbesar pasokan fotosintat ke bagian biji.

KESIMPULAN DAN SARAN

         Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Interaksi pemberian kombinasi amelioran dan NPK pada dua varietas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai pada semua variabel pengamatan.

2. Pemberian kombinasi amelioran dan NPK tidak berpengaruh nyata pada variabel pengamatan tinggi tanaman, berat kering total tanaman, dan jumlah polong hampa

Page 62: Sawi ilaaaaaaaaa

terhadap dua varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman. Tetapi pemberian kombinasi amelioran dan NPK pada perlakuan A1 terhadap dua varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah polong isi tanaman-1 yaitu rata-rata27,39 buah.

3. Dua varietas yang digunakan tidak menunjukan pengaruh pada variabel tinggi tanaman, berat total tanaman, jumlah polong hampa tanaman-1, jumlah polong isi tanaman-1, tetapi berpengaruh nyata terhadap berat biji petak-1, dan berat 100 biji. secara kualitatif dan kuantitatif varietas Baluran memberikan efek positif yang paling besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Bila dibandingkan hasil berat biji petak-1 varietas Baluran adalah 0,56 ton ha-1, dan varietas Rajabasa 0,43 ton ha-1,lebih rendah dari standar deskripsi varietas Baluran  2,5 ton ha-1, dan varietas Rajabasa 2,05 ton ha-1.

Varietas Baluran lebih baik dari pada varietas Rajabasa bila ditanam di tanah gambut pedalaman, secara kualitatif dan kuantitatif varietas Baluran memberikan efek positif yang paling besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Meskipun demikian penelitian ini masih mengandung kelemahan dan menyisakan masalah yang perlu dicari lagi jawabannya, kelemahan dari masalah tersebut antara lain : Penelitian  ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2009 dimana pada saat itu terjadi kabut asap sehingga penyinaran matahari rendah (rata-rata 57,97) dan curah hujan rata-rata (23,57 mm). Oleh sebab itu, hasil penelitian ini masih perlu dikoreksi dengan hasil penelitian lain, terutama pada pemilihan waktu penanamannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

         Ucapan terima kasih disampaikan kepada saudara Saiful yang telah membantu dalam penelitian ini, mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan dilapangan untuk mendapatkan data sampai kepada penyusunan laporan hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, G.P., O,D., Hajoeningtijas. 2009. Kemampuan Kompetisi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max) Terhadap GulmaAlang-Alang (Imperata cylindrica) dan Teki (Cyperus rotundus). http://www.trubusonline . co.id/mod.php?mod= publisher&op= vie   warticle &cid (11 November 2009).

Darung, U. 1999. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai pada Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan.http://74.125.153.132/search?q=cache:BCd5E942WoJ:images.soemarno.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RfusgAoKCpkAAFVNQQo1/KEDELAI2.doc%3Fnmid%3D22330493+hasil+penelitian(11No-vember 2009).

Gardner, F., R.B. Pearce dan R.L., Mitchell. 1991. Fisologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Irwan, A. W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai. Fakultas Pertanian UNPAD. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_ kedelai.pdf. ( 3 Juli 2009).

Page 63: Sawi ilaaaaaaaaa

Jumin, Hasan Basri. 1994. Dasar-Dasar Agronomi. Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Marwoto, K.S. Swastika dan P. Simatupang.  2005.  Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia.  Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan.  Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Rukmana, R., 2001. Kedelai Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Jakarta.

Saragih, Bungaran. 2004. Keputusan Menteri Pertanian. http://www.deptan.go.id/bdd/admin/file/SK-171-04.pdf. (15 Juli 2009).

Sitompul, S.M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhab Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Sutedjo, M.M., 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Tinggalkan Sebuah Komentar

ANALISIS SERANGAN TIKUS SAWAH PADA TANAMAN PADI ==   MELHANAH 11 Maret 2012, 6:27 am Filed under: Penelitian

ANALISIS SERANGAN TIKUS  SAWAH PADA TANAMAN PADI SELAMA MUSIM KEMARAU DAN MUSIM HUJAN DI KALIMANTAN TENGAH

(Analysis  of  rat attack on rice plant During dry and  rainy season in central kalimantan) Melhanah1), Warismun2)  dan Giyanto1)

1) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

2) Balai PerlindunganTanaman pangan  dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah

Email : [email protected]

ABSTRACT

The objective of the study was  to analyze the rat attack on rice plant during the dry season and rainy season in Central Kalimantan Province. The data collected consists of 13 districts and 1 city in the province of Central Kalimantan. Data during the period of 7 (seven) years (2002-2008) obtained 12 data sets the planting season, which comprised 6 dry season and 6 rainy season. The results showed that: Exposure category CE), ie the sum of all levels of attack (Light, Medium, Heavy and Puso) and Puso attack rate (P), frequency of  rat attack (F)  and rats endemic areas encountered attacks during the rainy season it is more common than the dry season.

Page 64: Sawi ilaaaaaaaaa

Keywords: Analysis of the attack,  rat field, rice plant, dry and rainy seasons

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serangan tikus pada tanaman padi selama musim kemarau dan musim hujan di Provinsi Kalimantan Tengah.   Data yang dikumpulkan terdiri atas 13 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Data selama periode 7 (tujuh) tahun (2002-2008) diperoleh kumpulan data 12 musim tanam, yang terdiri 6 musim kemarau dan 6 musim hujan.   Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kategori Terkena (T), yaitu jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) dan tingkat serangan Puso (P),  Frekuensi serangan tikus (F), serta daerah serangan endemis tikus  yang dijumpai pada musim hujan justru lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau.

Kata kunci:  Analisis serangan,tikus sawah, tanaman padi, musim kemarau dan hujan

 PENDAHULUAN

Pengembangan produksi padi dewasa ini terus ditingkatkan karena usahatani padi dapat memberikan keuntungan yang cukup tinggi,  dan  dapat dijadikan sumber pendapatan petani.  Data luas panen tanaman padi di Kalimantan Tengah tahun 2007 seluas 229.343 ha dengan produksi sebanyak 561.780 ton dan produktivitas 24,50 ku.ha-1.   Berdasarkan sebaran luas padi, panen terluas terdapat  di wilayah kabupaten Kapuas  dengan luas 93.242 ha dan Pulang Pisau 27.520 ha (Anonim, 2008b).

Dalam usaha peningkatan produksi padi di Kalimantan Tengah,terdapat beberapa kendala salah satunya yaitu serangan hama tikus. Tikus merupakan salah satu hama penting pada tanaman padi di Kalimantan Tengah sehingga harus diperhitungkan dalam setiap budidaya tanaman padi, karena tingkat serangannya selalu dominan  pada setiap musim tanam, baik musim kemarau maupun musim penghujan.  Tikus  menyerang pertanaman  padi sejak stadia persemaian,  hingga vegetatif dan generatif, bahkan sampai padi yang disimpan di gudang  (Anonim, 2003;Anonim,2006  dan Anonim,2008a.). Kumulatif   luas tambah serangan tikus pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2010 mencapai 1239,83 Ha (Anonim, 2010)

Kerusakan tanaman padi karena serangan tikus pada fase vegetstif  terjadi akibat batang padi digigit/dipotong.  Seekor tikus dapat merusak antara 11-176 batang padi per malam.  Sedangkan pada fase generatif pada saat bunting kemampuan merusak meningkat, menjadi 24-246 batang per malam.  Pada kerusakan berat akibat, biasanya hanya tersisa beberapa baris tanaman terutama pada bagian tepi (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman,1992 dan 2001).

Upaya pengendalikan tikus perlu disusun strategi pengendalian yang tepat sesuai dengan skala prioritas berdasarkan kategori serangan. Dalam rangka menyediakan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat perencanaan dalam pengambilan kebijakan pengendalian tikus di Kalimantan Tengah, maka dilakukan analisis dan identifikasi daerah penyebaran serangan tikus di Provinsi Kalimantan Tengah.

Page 65: Sawi ilaaaaaaaaa

Tujuan dari penelitian  ini  adalah: 1). Menganalisis data terkena (T)  dan puso (P) akibat serangan tikus pada musim kemarau dan musim hujan; dan 2). Menganalisis  daerah penyebaran serangan tikus pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan frekuensi dan  daerah serangannya (endemis, sporadik, potensial dan aman).

BAHAN DAN  METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Kalimantan Tengah, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, pada bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010.

Bahan-bahan yang digunakan adalah data sekunder, meliputi data kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus berupa luas tambah serangan (LTS) dalam satuan hektar (Ha), menurut kabupaten/kota (K).   Kategori data serangan tersebut terbagi dalam 4 (empat) yaitu : ringan (R), sedang (S), berat (B) dan puso (P).   Data yang diolah dan dianalisis sebanyak 14 lokasi yang terdiri atas 13 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Tengah.  Selama periode 7 (tujuh) tahun (April 2002 sampai Maret 2008) dapat diperoleh kumpulan data 12 musim tanam yang terdiri dari 6 musim kemarau (data serangan dari bulan April sampai September) dan 6 musim hujan (data serangan dari bulan Oktober sampai Maret).

Analisis data terdiri dari  tiga (3) tahap yaitu: Tahap pertama; Rekapitulasi dan tabulasi data.  Tahap kedua: Menghitung kumulatif luas tambah serangan (KLTS), jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) di kelompokkan ke dalam kategori Terkena (T) dan untuk tingkat serangan Puso (P) dikelompokkan sendiri dalam kategori Puso. Tahap ketiga: menghitung data serangan berdasarkan musim tanam.   Data yang telah terkumpul, selanjutnya dibuat tabulasi menurut musim tanam, baik musim kemarau (MK) maupun musim hujan (MH).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terkena serangan  (T) Tikus Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan

Terkena serangan (T) adalah total luas kerusakan tanaman karena serangan  tikus  berupa kategori serangan ringan, sedang, berat dan puso.  Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa  serangan tikus selama musim  hujan  justru lebih meningkat dibandingkan pada musim kemarau (Tabel 1 dan 2).

Serangan tertinggi tikus pada tanaman padi selama 6 (enam) musim kemarau dijumpai pada Kabupaten Pulang Pisau pada tahun 2007 dan pada Kabupaten Murung Raya dan Kota Palangka Raya tidak penah dijumpai serangan Tikus (Tabel 1).  Pada musim hujan terjadi peningkatan serangan tikus yang sangat tajam hingga mencapai 224% bila dibandingkan serangan tikus pada musim kemarau.  Serangan tertinggi tikus pada musim hujan dijumpai pada Kabupaten Barito Selatan pada tahun 2005/6 dan pada Kota Palangka Raya tidak pernah dijumpai serngan Tikus (Tabel 2) dan Gambar 1.

Page 66: Sawi ilaaaaaaaaa

Luas  Serangan Kategori Puso (P) Pada

Musim Kemarau dan Musim Hujan

Puso (P) adalah tanaman yang menunjukkan gejala kematian akibat serangan dengan tingkat serangan tikus mencapai >90%.  Hasil pengolahan data  menunjukkan bahwa serangan tikus yang mengakibatkan tanaman puso selama musim hujan lebih luas dibandingkan pada musim kemarau. Meskipun demikian pada musim kemarau tahun 2002, 2003 dan 2005 dari data yang dianalisis tidak ditemukan serangan Puso, demikian juga pada musim hujan tidak dijumpai serangan Puso pada tahun   2002/03; 2003/04; dan 2004/05 (Tabel 3).

Tabel 1.     Data luas tekena (T) serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau (2002-2007) di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota

Luas Tanaman (Ha)Terkena Serangan ( T = R + S + B + P )

Musim Kemarau2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Kapuas 83.45 179.70 60.75 139.35 61.87 45.002. Pulang Pisau 0.00 106.00 85.00 22.00 14.00 287.003. Gunung Mas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.554. Ktw. Timur 10.80 15.90 12.70 19.50 9.75 26.205. Seruyan 0.00 0.00 0.00 0.00 8.45 0.006. Katingan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.507. Ktw. Barat 0.00 15.80 3.75 2.50 19.25 49.158. Lamandau 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 3.009. Sukamara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0010. Barito Selatan 22.60 35.50 26.50 67.50 7.50 15.0011. Barito Timur 0.00 7.50 7.00 1.70 9.80 29.0012. Barito Utara 1.83 1.25 5.50 4.30 5.50 2.2813. Murung Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0014. Palangka Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jumlah 118.68 362.15 201.20 256.85 136.12 483.68

Sumber :    Anonim, 2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008.

Tabel 2.  Data luas terkena (T) serangan tikus dari kategori ringan sampai dengan puso selama 6 (enam) musim hujan (2002/2003-2007/2008) di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas Tanaman (Ha) Terkena Serangan ( T = R + S + B + P )

Musim Hujan

Page 67: Sawi ilaaaaaaaaa

2002/03 2003/04  2004/05 2005/06 2006/07 2007/081. Kapuas 69.50 40.00 29.55 7.50 69.20 10.952. Pulang Pisau 29.00 226.00 21.00 1.00 12.00 118.303. Gunung Mas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 18.504. Ktw. Timur 49.50 145.90 324.10 83.50 42.60 65.035. Seruyan 0.00 26.50 0.00 1.00 2.00 342.256. Katingan 0.00 5.00 2.00 18.50 15.00 48.507. Ktw. Barat 13.75 67.65 12.65 68.00 34.25 133.908. Lamandau 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 45.009. Sukamara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0010. Barito Selatan 300.00 584.50 50.00 643.50 54.50 415.6011. Barito Timur 151.20 176.95 120.00 119.00 83.30 131.1012. Barito Utara 32.45 19.50 16.75 5.50 11.00 6.5013. Murung Raya 0.00 0.00 0.00 0.50 0.50 0.0014. Palangka Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jumlah 645.40 1.292.00 576.05 948.00 324.35 1.335.63

Sumber : Anonim,2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008.

Frekuensi serangan tikus pada musim hujan lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau. Daerah  serangan endemis hama tikus pada musim kemarau teridentifikasi pada Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, sedangkan pada musim hujan daerah endemis serangan tikus teridentifikasi  pada Kabupaten Kotawaringin Timur. Barito Selatan dan Barito Timur.  Daerah Serangan adalah lokasi serangan tikus yang ditetapkan berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Daerah serangan dibagi ke dalam kategori daerah endemis, sporadis, potensial dan aman (Tabel 4).

 

 

 

Frekuensi serangan (F) tikus dan Daerah serangan Pada Musim Hujan dan Kemarau

Berdasarkan hasil evaluasi relatif tingginya angka kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus dan frekuensi (banyaknya kejadian) serangan tikus pada setiap musim tanam pada beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah baik musim kemarau (April-September) maupun musim penghujan (Oktober-Maret) teridentifikasi berbagai kendala dan permasalahan yang timbul di lapangan. antara lain yaitu: a).     Berkurangnya budaya gropyokan tikus. padahal gropyokan tikus dapat mengurangi populasi tikus;  b).         Tanam tidak serempak, walaupunmasyarakat tani relatif paham bahwa tanam serempak dapat mengurangi resiko kerusakan oleh

Page 68: Sawi ilaaaaaaaaa

hama tikus, tetapi di lapangan relatif sulit dilaksanakan dan hanya sebagian kecil petani yang melaksanakan tanam serempak; c). Sanitasi lingkungan kurang diperhatikan. Sanitasi lingkungan dilakukan dalam bentuk membersihkan semak-semak dan rerumputan, membongkar liang dan sarang serta tempat perlindungan lainnya. Dengan lingkungan yang bersih, tikus akan merasa kurang mendapat tempat berlindung, d).Berkurangnya musuh alami tikus di lapangan. Di lapangan musuh alami tikus relatif cukup banyak dijumpai. Musuh alami yang dapat memberikan prospek yang baik adalah burung hantu (Tyto alba) karena daya membunuhnya yang tinggi dan dapat dikembangbiakan. Musuh alami lainnya adalah ular, kucing dan anjing. Khususnya ular, populasinya sudah semakin sedikit akibat seringnya di bunuh oleh manusia. Oleh sebab itu usaha konservasinya perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.

Kategori Terkena Serangan (T), yaitu jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) dan tingkat serangan Puso (P).  Frekuensi serangan tikus, serta kategori daerah endemis  yang dijumpai pada musim hujan justru lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau. Kondisi ini merupakan kondisi yang tidak normal, biasanya tingkat maupun frekuensi serangan lebih banyak dijumpai pada musim kemarau.  Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Pusat Informasi Pengembangan Lahan Gambut Pertanian, 1999)  serangan tikus pada pertanaman padi di musim kemarau sangat tinggi (rata-rata 74%), bahkan tidak jarang tanaman menjadi puso. Di musim hujan serangannya lebih kecil paling tinggi 40%.

Tingginya serangan tikus pada musim hujan  diduga karena adanya dampak kejadian iklim ekstrim. Iklim ekstrim diartikan sebagai suatu kondisi dimana salah satu atau beberapa unsur iklim secara signifikan berbeda dengan kondisi normalnya (rata-rata) dan menyebabkan resiko pertanian dan atau perubahan signifikan terhadap kegiatan teknologi budidaya dan produksi pertanian. Fenomena El-Nino (terjadinya kemarau panjang dan atau sangat rendahnya curah hujan dibanding keadaan normal) pada umumnya menyebabkan mundurnya awal musim hujan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2006).

Ket : (1) Kapuas; (2) P.Pisau.; (3) Gunung Mas; (4)   Ktw. Timur;  (5) Seruyan; (6) Katingan; (7) Ktw. Barat; (8)  Lamandau; (9)  Sukamara; (10) Barito Selatan; (11)  Barito Timur; (12) Barito Utara; (13) Murung Raya; (14) Kota P.Raya

 

Gambar 1.       Grafik  rata rata serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan di Provinsi Kalimantan Tengah.

Tabel 3. Data luas puso (P) serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan  di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas Serangan (Ha) Kategori Puso ( P )

Musim Kemarau Musim Hujan2004 2006 2005/06 2006/07 2007/08

1. Kapuas 0 3 0 0 02. Pulang Pisau 0 0 0 0 0

Page 69: Sawi ilaaaaaaaaa

3. Gunung Mas 0 0 0 0 04. Kotawaringin Timur 0 0 0 0 05. Seruyan 0 0 1 2 306. Katingan 0 0 0 0 07. Kotawaringin Barat 3 3.5 0 0 08. Lamandau 0 0 0 0 09. Sukamara 0 0 0 0 0

10. Barito Selatan 0 0 0 0 011. Barito Timur 0 0 0 0 012. Barito Utara 0 0 0 0 013. Murung Raya 0 0 0 0 014. Palangka Raya 0 0 0 0 0

Jumlah 3 6.5 1 2 30

Sumber : Anonim.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008. Palangka Raya.

Tabel 4.  Frekuensi serangan (F) dan Daerah serangan tikus pada tanaman padi di Kalimantan Tengah selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan.

No.Kabupaten

/KotaFS MK FS MH

Kategori daerah serangan musim

kemarau

Kategori daerah serangan musim

hujan

1. Kapuas 6 6 Endemis Sporadis2. Pulang Pisau 5 6 Endemis Sporadis3. Gunung Mas 1 1 Potensial Potensial4. Ktw. Timur 6 6 Sporadis Endemis5. Seruyan 1 4 Potensial Sporadis6. Katingan 1 5 Potensial Sporadis7. Ktw. Barat 5 6 Sporadis Sporadis8. Lamandau 2 1 Potensial Potensial9. Sukamara 0 0 Aman Aman10. Barito Selatan 6 6 Sporadis Endemis11. Barito Timur 5 6 Sporadis Endemis12. Barito Utara 6 6 Sporadis Sporadis13. Murung Raya 0 2 Aman Potensial14. Palangka Raya 0 0 Aman Aman

Kal. Tengah 44 55 - -

Sumber :         Anonim.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun

Page 70: Sawi ilaaaaaaaaa

2007/2008. Palangka Raya. Ket.FSMK = Frekuensi serangan musim kemarau; FSMH = Frekuensi serangan musim hujan

Tabel 5.    Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Provinsi Kalimantan Tengah periode 2002-2008

 

Tahun Curah Hujan Hari Hujan Keterangan2002/2003 75.65 5.36 Bulan Kering2003/2004 126.94 9.30 Bulan Lembab2004/2005 151.45 8.05 Bulan Lembab2005/2006 153.59 9.15 Bulan Lembab2006/2007 104.97 5.67 Bulan Lembab2007/2008 102.49 6.00 Bulan Lembab

Ket :     (Oldeman, 1975 dalam Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan,2000)

Curah hujan > 100 mm. bulan lembab untuk tanaman palawija

Curah hujan  > 200 mm. bulan basah untuk tanaman padi sawah

Curah hujan < 100 mm/bulan. bulan kering

Data pengamatan dan pengolahan mengacu pada musim kemarau (data serangan dari bulan April sampai September) dan  musim hujan (data serangan dari bulan Oktober sampai Maret). Hasil analisis data jumlah curah hujan dan hari hujan rata rata tiap tahun di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan pada Tabel 5.

Analisa data menunjukkan bahwa. meskipun disebut musim hujan tetapi rata rata jumlah curah hujan sedikit dan tidak mencapai bulan basah, bulan yang ideal untuk pertanaman padi.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil  analisis serangan tikus sawah pada pertanaman padi selama musim kemarau dan  musim hujan  di Provinsi Kalimantan Tengah dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Serangan tikus selama 7 tahun terakhir (2002-2008)  yang terdiri dari 6 musim kemarau dan 6 musim hujan  telah menimbulkan kerusakan dan kerugian pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah yang tersebar di 11 kabupaten (78.57%) pada musim kemarau dan 12 kabupaten (85.71%) pada musim hujan.

Page 71: Sawi ilaaaaaaaaa

2.    Rata-rata tertinggi serangan tikus pada tanaman padi selama 6 musim kemarau seluas 95.02 ha terjadi di kabupaten Kapuas. sedangkan pada musim hujan seluas 341.35 ha terjadi di kabupaten Barito Selatan.

3.    Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada musim kemarau. daerah endemis  terdapat di kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. dan pada musim hujan daerah endemis terdapat di  kabupaten Kotawaringin Timur. Barito Selatan dan Barito Timur.

 

Saran

Pengendalian hama tikus pada tanaman padi selain teknologinya harus dikuasai. tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan pengendalian di tingkat petani  yang dilaksanakan secara berkelompok dan bukan perorangan  pada areal yang seluas-luasnya. serentak. tepat waktu dan berkelanjutan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Pengendalian Tikus Dengan Bubu dan Strategi Pengendalian Penggerek Batang Padi-Brosur Cara Pengendalian Perlindungan Tanaman. Balai Proteksi Tanaman Pangan VIII Banjarmasin Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Hal. 1-2.

_________.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008. Palangka Raya.

________. 2006. Pemetaan Daerah Penyebaran Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Padi Di Kalimantan Tengah. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Tengah. Palangka Raya. Hal 1. Tidak dipublikasikan.

_________. 2008a. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007. Palangka Raya.

_________. 2010. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010. Palangka Raya.

Page 72: Sawi ilaaaaaaaaa

_________. 2008b. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007. Palangka Raya.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Hama Tikus. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta. Hal. 1-5, 9-10, 13-14, 16, 42.

_________.  2001. Hama Tikus dan Pengendaliannya. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal. 1-4, 6, 10, 14.

_________. 2006. Pedoman Mitigasi Dampak Fenomena Iklim. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal. 16.

Pusat Informasi Pengembangan Lahan Gambut Pertanian. 1999. Hama Tikus dan Pengendaliannya. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah. Palangka Raya. Hal. 5, 10, 13.

Tinggalkan Sebuah Komentar

KAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI == Edwin Noor   Fikri 11 Maret 2012, 6:14 am Filed under: Penelitian

KAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN PISANG DI DESA SUNGKAI BARU KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

(Study on the Control of Banana Wilt Disease at Sungkai Baru Village in Simpang Empat County in Banjar Regency)

Edwin Noor Fikri dan Elly Liestiany

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Lambung Mangkurat

Email : [email protected]

ABSTRACT

This research is intended to provide healthy young banana plants derived from tissue culture, supplemented with beneficial microorganisms to increase their resistancy against the wilt pathogen, decreasing pathogen population in soil, and protecting plants from wilt disease in field.  This research was done at plant pathology laboratories of the Faculty of Agriculture of Lambung Mangkurat University.  In vivo test was also done in the demonstration plot at Sungkai Baru in Simpang Empat county in Banjar regency.  In vitro test was done to obtain

Page 73: Sawi ilaaaaaaaaa

microorganisms antagonistic to the pathogens through dual culture tests and evaluate their ability to inhibit the pathogens.  Three out of 7 fluorescens pseudomonad isolated recovered, i.e. PfB3, PfB4 and PfB7 were effective antagonists against the pathogens.  Demonstration plot shows that plants fortified with both fluorescens pseudomonads (PfB3, PfB4, and PfB7) and endomycorrhyza (Glomus sp.) planted in planting holes supplied with the crucifer and then with the special organic fertilizer, were more healthier than the untreated plants.

Key Word:  Ralstonia solanacearum, fluorescent Pseudomonad.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan bibit pisang sehat yang telah diproteksi dengan agensia hayati sehingga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen, menurunkan populasi patogen tular tanah, dan mencegah serangan bakteri layu (Ralstonia solanacearum) pada tanaman pisang di lapangan.  Uji in vitro dilakukan di Laboratorium Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, sedangkan uji in vivo dilaksanakan di Desa Sungkai Baru, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar.  Pengujian in vitro antagonis terhadap bakteri layu dilakukan dengan metode uji biakan ganda, dan dievaluasi kemampuan antagonis menghambat patogen.  Dari 7 isolat Pseudomonas berfluoresen yang diperoleh, 3 isolat efektif mengendalikan bakteri layu yaitu isolat-isolat PfB3, PfB4 PfB7.  Hasil demplot (percontohan penanaman pisang) memperlihatkan bahwa pemberian endomikoriza Glomus sp., 3 isolat Pseudomonas berfluoresen spesifik lokasi (PfB3, PfB4 dan PfB7), sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus mampu menahan infeksi patogen penyebab penyakit layu pisang di lapang.

Kata Kunci:  Ralstonia solanacearum, Pseudomonas berfluoresen.

PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu komoditas andalan di Kabupaten Banjar.  Sentra penanaman pisang di Kabupaten Banjar terdapat di kecamatan Sungai Pinang, kecamatan Pengaron, kecamatan Sambung Makmur, dan kecamatan Simpang Empat.  Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Banjar Tahun 2005 menyebutkan produksi pisang dari keempat kecamatan tersebut adalah 78.738 kwintal.  Jenis pisang yang ditanam pada umumnya adalah pisang kepok.  Produksi pisang ini selain untuk keperluan konsumsi lokal, sebagian lagi dikirim ke luar daerah terutama ke pulau Jawa untuk keperluan konsumsi dan ada pula yang diproses menjadi tepung pisang yang berpotensi untuk diekspor.

            Melihat prospek penanaman pisang ini, maka selayaknya pertanaman pisang di kabupaten Banjar mendapat perhatian dalam pengembangannya.   Namun sejak tahun 2006 yang lalu terjadi epidemi penyakit layu pada tanaman pisang  di dua kecamatan yaitu di kecamatan Simpang Empat dan di kecamatan Sambung Makmur yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.  Serangan pada pisang di dua kecamatan tersebut meliputi areal seluas kurang lebih 87 ha hanya dalam periode Juni sampai Agustus 2006, yaitu 32 ha di desa Sungkai Baru (kecamatan Simpang Empat), 29 ha di desa Baliangin dan 26 ha di desa Gunung Batu (keduanya di kecamatan Sambung Makmur).

Page 74: Sawi ilaaaaaaaaa

Serangan Ralstonia solanacearum pada akar dan bonggol menyebabkan tanaman layu.  Sedangkan serangan bakteri pada buah menyebabkan buah mengandung bacterial ooze berupa lendir berwarna merah.

Patogen penyebab penyakit layu ini penyebarannya sangat cepat, dan mampu bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun, maka pengendalian penyakit layu ini perlu dilakukan secara tuntas.  Dikhawatirkan penyakit tersebut akan menyebar ke sentra-sentra produksi pisang lainnya. Ancaman ini tentu akan mengurangi produksi dan kualitas pisang di daerah tersebut yang berdampak pada pendapatan masyarakat dan daerah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, dan penelitian lapangan di desa Sungkai Baru Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2007 sampai dengan bulan April 2008.

Penelitian ini dimulai dengan isolasi bakteri Ralstonia solanacearum dari tanaman sakit yang diambil di desa Sungkai Baru Kecamatan Simpang Empat, sedangkan isolasi Pseudomonas berfluoresen dari akar pisang yang sehat dari Kabupaten Banjar.

Bahan penelitian yang digunakan terdiri atas médium untuk uji biokimia dan fisiologi bakteri, buffer fosfat ph 7 + 0,1 % pepton, bibit pisang kepok, isolat bakteri yang diisolasi dari pisang kepok bergejala layu, dan tujuh isolat bakteri berfluoresen yang diisolasi dari rizosfer tanaman pisang yang sehat.  Alat-alat yang digunakan terdiri atas cawan petri, neraca analitis, vortex, drigalsky spatula, sirakus, sentrifus, tabung efendorf, mikropipet, lampu UV dengan panjang gelombang 365 nm, otoklaf dan oven.

Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui sifat biokimia dan fisiologi dari bakteri patogen dan bakteri antagonis.  Metode yang digunakan untuk menguji sifat-sifat tersebut yaitu metode yang dikemukakan oleh Lelliot & Stead (1987).  Sifat-sifat yang diuji adalah uji reaksi gram, uji katalase, pembentukan figmen, produksi levan, hidrolisis pati, uji oksidatif-fermentatif , hidrolisis gelatin, uji oksidase dan hidrolisis Tween 80.

Uji Antagonisme In Vitro pada Medium King’s B

            Uji antagonisme in vitro Pseudomonas berfluorescen terhadap R solanacearum dilakukan untuk melihat agresivitas dari bakteri antagonis terhadap bakteri patogen penyebab penyakit layu.  Digunakan metode uji biakan ganda, dan dievaluasi sifat pertumbuhan dan zona hambatan. Pseudomonas berfluoresen dan R. solanacearum ditumbuhkan secara oposisi langsung pada cawan petri berdiameter 9 cm berisi 10 ml médium King’s B.  Setelah masa inkubasi selama 48 jam pada suhu kamar, diameter zona hambat yang terbentuk disekitar bakteri antagonis diukur dengan jangka sorong dan diamati sifat antagonismenya.

Uji Antagonisme In Vivo di Lokasi Demplot

Page 75: Sawi ilaaaaaaaaa

            Bibit pisang kepok yang akan ditanam di lokasi demplot adalah hasil kultur jaringan.  Bibit pisang ditanam dalam polibag berisi tanah steril, kemudian diberi endomikoriza (Glomus sp.) dan tiga isolat Pseudomonas berfluoresen (isolat-isolat PfB3, PfB4 dan PfB7).  Sebagai kontrol, bibit pisang tidak diinokulasi dengan Glomus sp. dan tiga isolat Pseudomonas berfluoresen (isolat-isolat PfB3, PfB4 dan PfB7).

Tanah bekas pertanaman pisang yang terserang bakteri layu dibersihkan dan dibajak sebanyak satu kali, digaru sebanyak dua kali, kemudian dibuat lubang tanam berukuran 50 x 50 x 50 cm dan jarak antar lubang 3 x 3 m.  Setelah lubang dibuat, sawi pahit sebanyak 10 tanaman (yang sudah dicacah halus) dimasukkan ke setiap lubang tanam, kemudian ditimbun dengan sedikit tanah dan dibiarkan selama 1 bulan sampai tanaman sawi pahit terurai (terdekomposisi).  Satu bulan setelah aplikasi sawi pahit, ke dalam setiap lubang tanam dimasukkan pupuk organik fermentasi plus sebanyak 1 kg  per lubang. Pupuk organik fermentasi plus adalah bokashi kotoran sapi yang telah difermentasi dengan EM4 dan ditambah dengan tiga isolat Pseudomons berfluoresen.  Sebagai kontrol, lubang tanam tidak diberi tanaman sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.

Bibit pisang kepok yang telah diproteksi dengan endomikoriza dan Pseudomonas berfluoresen ditanam pada lubang tanam yang telah diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.  Pada kontrol, bibit pisang yang tidak diberi endomikoriza dan antagonis ditanam pada lubang tanam yang tidak diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.

Pengamatan ditujukan terhadap gejala penyakit pada tanaman pisang, yaitu kelayuan pada daun, adanya lendir (ooze) berwarna kemerahan yang keluar dari batang, dan kerusakan pada bonggol pisang yang berwarna kemerahan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Gejala Layu Bakteri di Lapangan

            Hasil pengamatan serangan bakteri layu pisang pada lahan pertanaman pisang di desa Sungkai Baru di Kecamatan Simpang Empat, desa Baliangin dan desa Gunung Batu di Kecamatan Sambung Makmur, menunjukkan persentase serangan lebih dari 90 %.  Serangan bakteri layu ini cepat sekali, dan menurut laporan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan(2006) persentase serangan bakteri layu pada pisang di Kabupaten Banjar mencapai 82,2 %.

            Gejala yang terlihat di pertanaman pisang milik petani menunjukkan daun tanaman menguning dan akhirnya mengering.  Gejala akan nampak jelas setelah batang tanaman pisang dipotong.  Pembuluh batang yang terinfeksi oleh bakteri layu akan berwarna kemerahan.

            Gejala yang terlihat pada pangkal dan bonggol batang sama dengan pada batang tanaman pisang, hanya lendir lebih banyak sehingga dapat dilihat dengan jelas kumpulan lendir yang

Page 76: Sawi ilaaaaaaaaa

menetes.  Lendir tersebut keluar dari berkas pembuluh pengangkutan.  Apabila pada batang terdapat luka, maka cairan merah akan keluar melalui luka tersebut.

            Gejala pada buah baru terlihat pada tahap pemasakan buah, sehingga serangan pada buah baru dapat diketahui lebih lambat dibandingkan serangan pada bagian tanaman lainnya.  Buah pisang yang terinfeksi akan menguning dan bagian tengah buah berisi cairan berupa lendir, sedangkan daging buah menjadi berkurang volumenya, sehingga buah nampak kempes dan lunak.  Gejala serangan pada tangkai buah pisang sama dengan gejala pada batang yaitu berkas pembuluh berwarna kemerahan.

            Karena dari bidang potongan batang pisang yang sakit keluar lendir (ooze) berwarna kemerahan, maka penyakit ini disebut penyakit darah.  Menurut Semangun (1991), survei yang dilakukan oleh Pusat Karantina Pertanian pada tahun 1983 telah mendapatkan penyakit darah pada pisang ini di Kalimantan Selatan.

Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang

            Hasil isolasi patogen penyebab penyakit layu yang menginfeksi tanaman pisang di desa Sungkai Baru  (Kecamatan Simpang Empat), desa Baliangin dan Gunung Batu (Kecamatan Sambung Makmur) adalah bakteri.   Bakteri berbentuk batang dengan pengecatan negatif dan dengan pengecatan gram serta uji KOH 5% bersifat gram negatif.

            Koloni berwarna putih pada medium NA.  Pada medium TTC (triphenyl tetrazolium chloride) koloni bakteri berwarna putih dengan pusat merah jambu  berbentuk fluidal dan berdiameter > 5 mm.  Menurut Goto (1992), tipe koloni seperti ini menunjukkan bahwa isolat yang didapat mempunyai tingkat virulensi yang tinggi.  Pada médium King’s B, koloni bakteri yang berumur 48 jam bila dilihat di bawah sinar ultra violet tidak membentuk pigmen fluoresen.  Menurut Goto (1992) pigmen fluoresen adalah salah satu variabel untuk membedakan bakteri R. solanacearum dengan bakteri lain terutama dengan bakteri P. fluorescens yang dapat membentuk pigmen fluoresen pada médium King’s B.  Ciri-ciri bakteri ini sesuai dengan ciri-ciri dari R solanacearum yang dikemukakan oleh Schaad et al (2001).

          Hasil pengujian sifat-sifat biokimia dan fisiologi menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi dari tanaman sakit bersifat gram negatif,  katalase positif, bersifat oksidatif atau bersifat aerob, bereaksi positif pada uji kovac’s oksidase, tidak mampu merombak gelatin, tidak mendegradasi amilum, dan tidak menghasilkan Levan. Sifat-sifat bakteri tersebut  memperlihatkan sifat-sifat yang mirip dengan R solanacearum yang didiskripsikan oleh Hayward (1976), He (1983), dan Hayward (1994).  Sehingga  dapat disimpulkan bahwa bakteri yang diisolasi dari pisang bergejala layu  adalah R solanacearum (Tabel 1).

Tabel 1.  Hasil uji biokimia dan fisiologi untuk bakteri layu pisang dibandingkan dengan sifat-sifat fisiologi R solanacearum

Pengujian Hasil isolasiHayward (1976)

He (1983)Hayward (1994)

Gram - - - -

Page 77: Sawi ilaaaaaaaaa

Katalase + + + +Kovac’s oksidase + + + +Oksidatif-fermentatif O O O OPencairan Gelatin - + - -Hidrolisis pati - - - -Produksi Levan - - -

Keterangan :+: reaksi positif,  -: reaksi negatif, O: oksidatif

Identifikasi Pseudomonas Berfluoresen

            Hasil isolasi mikroorganisme antagonis dari akar tanaman pisang sehat mendapatkan 7 isolat bakteri yang menghasilkan pigmen fluoresen pada medium King’s B yang jelas terlihat di bawah sinar ultra violet.  Menurut Rudolp et al. (1990), jika koloni bakteri diamati di bawah sinar ultra violet gelombang panjang (365 nm) maka bakteri akan menghasilkan pigmen berpendar kehijauan / kebiruan.   Bakteri berbentuk batang dengan pengecatan negatif dan dengan pengecatan gram serta uji KOH 5% bersifat gram negatif.  Hasil pengamatan morfologi sel ini sesuai dengan ciri-ciri  Pseudomonas berfluoresen yang dibuat oleh Stolp & Gadkari (1981) dan Palleroni (1984).

Hasil pengujian sifat-sifat biokimia dan fisiologi dari isolat-isolat yang didapat menunjukkan bahwa semua isolat bersifat katalase positif, bersifat oksidatif atau bersifat aerob, bereaksi positif pada uji kovac’s oksidase, mampu merombak gelatin, tidak mampu mendegradasi amilum, tidak menghidrolisis Tween 80 dan mampu menghasilkan Levan (Tabel 2).  Sifat-sifat bakteri tersebut  memperlihatkan sifat-sifat yang dimiliki  Pseudomonas fluorescens yang dikemukakan oleh Stolp & Gadkari (1981) dan Holt (1994).

Uji hipersensitif dilakukan dengan cara suspensi bakteri (konsentrasi 108 cfu/ml) diinfiltrasikan ke jaringan daun tembakau.  Pengamatan sampai 10 hari setelah perlakuan tidak terlihat adanya gejala nekrotik pada daun yang diinfiltrasi.  Menurut Klement et al. (1990), jika suspensi bakteri diinfiltrasikan ke daun tembakau dan tidak menimbulkan gejala nekrotik maka bakteri tersebut bukan patogen tumbuhan.  Karena itu isolat-isolat Pseudomonas berfluoresen yang didapat bukan patogen tumbuhan.  Pada uji antagonisme  in vitro yaitu menumbuhkan antagonis dan patogen dengan oposisi langsung pada médium King’s B, menunjukkan bahwa ketujuh isolat-isolat bakteri memiliki sifat antagonistik terhadap R. solanacearum yang ditandai dengan terdapatnya zona hambatan disekeliling bakteri antagonis.

Berdasarkan pengujian sifat biokimia, sifat fisiologi, uji patogenisitas dan uji antagonisme in vitro, dapat disimpulkan bahwa isolat-isolat bakteri yang ditemukan adalah Pseudomonas fluorescens.

Uji Antagonisme In Vitro

            Ketujuh isolat Pseudomonas berfluoresen yang diuji mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum.  Pengaruh Pseudomonas berfluoresen terhadap pertumbuhan R solanacearum pada uji antagonistik dalam medium King’s B menyebabkan terbentuknya lingkaran bening yang

Page 78: Sawi ilaaaaaaaaa

tidak ditumbuhi R solanacearum (zona hambatan).  Adanya zona hambatan ini menunjukkan bahwa bakteri Pseudomonas berfluoresen yang diuji berpengaruh sangat nyata dalam menghambat pertumbuhan R solanacearum pada medium King’s B.

Pseudomonas berfluoresen menghasilkan siderofor berfluoresen yang dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum.  Menurut Xio & Kisaalita (1995),  pada medium King’s B yang kandungan ion besinya rendah maka bakteri Pseudomonas berfluoresen akan menghasilkan siderofor yaitu agen transport ion besi yang mengkelat Fe3+ untuk dipindahkan ke sel bakteri.

            Hasil pengujian menunjukkan bahwa 7 isolat Pseudomonas berfluoresen yang diperoleh menghasilkan zona hambatan dengan diameter yang bervariasi yaitu  12 – 35  mm (Tabel 3).

Tabel 2.  Hasil uji biokimia dan fisiologi untuk bakteri antagonis dibandingkan dengan

sifat-sifat fisiologi Pseudomonas berfluoresen

Sifat bakteriIsolat yang diuji Stolp & Gadkari (1981) Holt et al.(1994)

1 2 3 4 5 6 7 Pp Pf Pp PfGram - - - - - - - - - - -Katalase + + + + + + + + +Kovac’s oksidase + + + + + + + + + + +Oksidasi-Fermentasi

O O O O O O O O O

Pigmen (King’s B) + + + + + + + + + + +Hidrolisis Tween 80

- - - - - - -

Hidrolisis Pati - - - - - - - - - - -Hidrolisis Gelatin + + + + + + + - + - +Produksi Levan + + + + + + + - VPatogenisitas - - - - - - - - - - -Antagonisme + + + + + + + + + + +

Keterangan:     +: reaksi positif, -: reaksi negatif, O: Oksidatif

Pp: Pseudomonas putida, Pf: Pseudomonas fluorescens

 Tabel 3.  Penghambatan pertumbuhan R solanacearum oleh Pseudomonas berfluoresen

Zona hambat (mm) Isolat< 10 -

10 – 20 PfB1,  PfB5> 20 – 30 PfB2,  PfB6

> 30 PfB3,  PfB4,  PfB7

Page 79: Sawi ilaaaaaaaaa

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa zona hambatan yang terbentuk bervariasi diameternya. Perbedaan kemampuan antagonistik dapat diketahui berdasarkan diameter zona hambatan yang terbentuk, terjadi antar daerah maupun dalam daerah yang sama.  Hal ini berarti bahwa kemampuan bakteri untuk menghasilkan reaksi antibiosis atau kemampuan antagonistik bakteri Pseudomonas berfluoresen juga berbeda-beda.

   Perbedaan daya antagonisme ini bisa terjadi pada bakteri, demikian juga pada bakteri Pseudomonas berfluoresen.  Menurut Goto (1992), jumlah siderofor yang dihasilkan menentukan adanya perbedaan dalam daya antagonisme bakteri.

Untuk aplikasi ke lapang, maka isolat yang digunakan adalah  3 isolat yang memberikan zona hambatan yang lebih lebar yaitu PfB3, PfB4 dan PfB7. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat Pseudomonas berfluoresen tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai agen pengendalian hayati R solanacearum.

Uji Antagonisme In Vivo di Lapang

Pertumbuhan pisang kepok yang ditanam di bekas kebun pisang yang terinfeksi R solanacearum di desa Sungkai Baru sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan.  Tanaman pisang hasil kultur jaringan yang telah diproteksi dengan endomikoriza Glomus sp dan Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7) yang ditanam pada lubang yang telah difumigasi dengan sawi pahit serta pemberian pupuk organik fermentasi plus mampu tumbuh dengan baik sampai menghasilkan buah (panen).  Di pihak lain,   pisang hasil kultur jaringan yang tidak diberi perlakuan pratanam dan lubang tanamnya tidak diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus menunjukkan gejala layu, kemudian mati sebelum pembungaan.  Hasil pengamatan terhadap keadaan tanaman pisang yang berada di lokasi demplot ditunjukkan pada Tabel 4.

Aplikasi mikoriza dimaksudkan agar tanaman pisang mendapatkan keuntungan karena perbaikan dalam hara mineral.  Mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro.  Kebanyakan mikoriza sangat menguntungkan tanaman, dan bahkan untuk Pinus, suatu keharusan adanya mikoriza untuk menyokong pertumbuhannya.  Menurut Adriana et al. (1999), tanaman pisang sangat tinggi ketergantungannya terhadap endomikoriza.

Aplikasi mikoriza pada bibit pisang juga dimaksudkan sebagai pelindung biologi bagi tanaman terhadap infeksi bakteri layu.  Adanya lapisan hifa yang berfungsi sebagai pelindung fisik terhadap serangan patogen dan pelindung kimiawi berupa antibiotik yang dilepaskannya dapat mematikan patogen tular tanah.  Menurut Imas et al. (1989), akar yang bermikoriza dapat berfungsi lebih lama dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza, dan lebih sedikit kemungkinannya terserang oleh patogen tertentu.  Di samping itu endomikoriza menunjang keberadaan mikroorganisme rizosfer yang bermanfaat bagi tanaman (Azcon-Aguilar & Barea 1996).

            Berdasarkan hasil pengamatan tersebut (Tabel 4) dapat dinyatakan bahwa bibit pisang kepok yang sehat dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan bakteri layu apabila Pseudomonas berfluoresen diinokulasikan pada bibit sebelum tanam maupun dicampur dengan 

Page 80: Sawi ilaaaaaaaaa

pupuk organik fermentasi.   Pseudomonas berfluoresen mampu menghasilkan antibiotik yang bersifat anti jamur dan anti bakteri, sehingga selain bersifat antagonis terhadap patogen juga dapat bersifat antagonis terhadap beberapa jamur patogen (Steven & Elkins 1996).  Mekanisme penghambatannya sebagian besar adalah bersifat bakterisidal dan sebagian kecil bersifat bakteristatik (Arwiyanto 1997).

            Strain-strain tertentu P fluorescens dan Pseudomonas putida mampu mengoloni akar berbagai jenis tanaman, sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman secara nyata.  Meningkatnya pertumbuhan tanaman seringkali terjadi dengan penekanan terhadap populasi beberapa jamur dan bakteri patogenik (Schroth & Hancock 1982).

Tabel 4.   Keadaan pertumbuhan tanaman pisang di lokasi demplot untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada pisang

Asal bibit pisangPerlakuan pratanam

pada bibit pisangPerlakuan pada lubang

tanamKeadaan tanaman

Pisang kepok hasil kultur jaringan

Diinokulasi dengan endomikoriza Glomus sp dan 3 jenis Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7)

Pemberian 10 batang sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus

Tumbuh dengan baik, tidak memperlihatkan gejala terserang bakteri layu sampai panen

Pisang kepok hasil kultur jaringan

Tidak ada Tidak ada Tanaman pisang memperlihatkan gejala layu, kemudian mati  sebelum pembungaan

            Pseudomonas berfluoresen merupakan bakteri pengoloni akar yang agresif dan efektif, dan mempunyai waktu generasi yang cepat pada zona perakaran.  Hal ini diduga karena keperluan nutrisinya yang mudah karena mampu menggunakan berbagai sumber karbon serta kemampuannya membentuk berbagai senyawa penghambat, sehingga Pseudomonas berfluoresen mampu berkembang biak dengan cepat.  Pseudomonas berfluoresen yang diaplikasikan ke tanaman akan memperbanyak diri dan bertahan selama beberapa waktu untuk berkompetisi dengan mikroorganisme lain (Weller 1988).    Pseudomonas berfluoresen memiliki kemampuan menggunakan berbagai senyawa karbon, mampu berkembang biak dengan cepat, serta mampu menghasilkan berbagai senyawa penghambat (Weller 1988).  Menurut Arwiyanto (1997), pada tahun 1980 Defago et al. menyebutkan beberapa senyawa penghambat yang dihasilkan oleh Pseudomonas berfluoresen yaitu HCN, monoacetilchloroglucinol, siderofor, 2,4-diacetilphloroglucinol, pyoluteorin, asam salisilat, pyrrolnitrin, altericidins dan cepacin.

            Pemberian sawi pahit pada lubang tanam sebelum penanaman bibit pisang adalah untuk biofumigasi tanah, sehingga dapat mematikan patogen tular tanah seperti bakteri layu.  Tanaman dari suku Brassicaceae antara lain sawi mengandung banyak senyawa kimia glukosinolat. Tanaman ini dikenal sebagai biofumigan karena dapat mengganti peran fumigan sintetik.  Tanaman ini kalau dibenamkan ke tanah, dalam proses dekomposisinya glukosinolat diubah menjadi isothiocyanat yang berfungsi sebagai fumigan  (Brown & Morra 1997).

Page 81: Sawi ilaaaaaaaaa

Sementara itu tanaman pisang kepok walaupun berasal dari bibit yang sehat tidak akan dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya mati jika ditanam di lahan bekas serangan bakteri layu pisang apabila tidak diberi perlakuan pada bibit sebelum tanam dan perlakuan pada lubang tanam. Hal ini disebabkan tidak adanya pelindung biologi pada bibit pisang maupun pada tanaman yang ditanam di lapang.

KESIMPULAN

            Bibit pisang kepok hasil kultur jaringan yang diproteksi dengan endomikoriza (Glomus sp.) dan 3 isolat Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7), serta pemberian sawi pahit dan pupuk organik fermentasi  plus pada lubang tanam mampu menahan infeksi patogen penyebab penyakit layu  bakteri (R solanacearum) pada tanaman pisang di lapang.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, M.Y., O.J. Saggin Jr., J.M. Lima-Filho & N.F. Melo.  1999.  Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on the acclimatization of micropropagated banana plant lets.  Mycorrhiza 9: 119-123.

Arwiyanto, T.  1997.  Pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau:  1. Isolasi bakteri antagonis.  Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3:54-60.

Azcon-Aguilar,C. & J.M. Barea.  1996.  Arbuscular mycorrhizas and biological control of soil-borne plant pathogens – an overview of the mechanisms involved.  Mycorrhiza 6: 457-464.

Brown, P.D. & M.J. Morra.  1997.  Control of soil-borne plant pests using glucosinolate containing plants.  Advance in Agronomy 61: 167-231.

Goto, M.  1992.  Fundamentals of Bacterial Plant Pathology.  Academic Press Inc.  San Diego, California.

Hayward, A.C.  1976.  Systematic and relationship of Pseudomonas solanacearum. P. 6-13.  In: Sequeira, L. & Kelman, A. (eds.). Proc. First Int. Conf. Of Bacterial Wilt Caused By Pseudomonas solanacearum.  Raleigh, North Carolina.

Hayward, A.C.  1994.  Systematic and phylogeny of Pseudomonas solanacearum and related bacteria.  Dalam A.C. Hayward & G.L. Hartman (eds.), Bacterial Wilt :  The Diseases and its Causative Agents Pseudomonas solanacearum.  CAB International, Wallingford.

He, L.Y.  1985.  Bacterial wilt in the People’s Republic of China. Pp. 40-48.  In Persley, G.J. (Ed.) Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pacific.  ACIAR. Los Banos, Philippines.

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley & S.T. Williams.  1994.  Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.  Ninth edition.  Williams & Wilkins, Baltimore, MD.

Page 82: Sawi ilaaaaaaaaa

Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan & Y. Setiadi.  1989.  Mikrobiologi Tanah II.  Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Klement, Z. K. Rudolph & D.C. Sands.  1990.  Methods in Phytobacteriology.  Akademiai Kiado, Budapest.

Lelliott, R.A. & D.E. Stead.  1987.  Methods for the Diagnosis of Bacterial Diseases of Plants.  Blackwell Scientific Publications.

Rudolph, K., M.A. Roy, M. Sasser, D.E. Stead, M. Davis, J. Swings & F. Gossele.  1990.  Isolation of Bacteria. P.43-94. In Klement, Z., K. Rudolph & D.C. Sand.  Methods in Phytobacteriology.  Akademiai Kiado, Budapest.

Schaad , N.W., J.B. Jones & W. Chun.  2001.  Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria.  Third Edition.  APS Press.  St. Paul, Minnesota.

Schroth, M.N. & Hancock, J.G.  1982.  Diseases suppressive soils and root colonizing bacteria.  Science 216: 1376-1381.

Steven, E.M. & R. Elkins.  1996.  Interaction of antibiotic with Pseudomonas fluorescens in the control of fire blight and frost injury to pear.  Phytopathology 86: 841-848.

Stolp, H. & D. Gadkari.  1981.  Nonpathogenic members or the genus Pseudomonas.  Dalam M.P. Starr (ed.), The Prokaryotes A Handbook on Habitats,   Isolation, and Identification of Bacteria :  Phytopathogenic Bacteria.  University of California. New York

Weller, D.M.  1988.  Biological control of soilborne plant pathogen in the rhizosphere with bacteria.  Ann. Rev. Phytopathology 26: 1021-1027.

Xiao, R. & W.S. Kisaalita.  1995.  Purification of pyoverdines of Pseudomonas fluorescens 2-79 by copper-chelatenchromatography.  App. And Env. Microbiol. 61(11): 3769-3774.

2 Komentar

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG BAHAYA PIRIT (FeS2) =   Sustiyah 11 Maret 2012, 5:57 am Filed under: Penelitian

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG BAHAYA PIRIT (FeS2) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA USAHA PERTANIAN PASANG SURUT DI

DAERAH MENTAREN KALIMANTAN TENGAH

(Improvement of farmer’s knowledge on the dangerous of pirite (FeS2) and its preventive efforts on agriculture activity in tidal area in Mentaren Central Kalimantan)

Page 83: Sawi ilaaaaaaaaa

 Sustiyah, Y. Sulistiyanto, Fengky F. Adji

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengetahui karakteristik, kedalaman pirit, cara pengendalian, dan mengatasi pirit (FeS2), yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan hasil pertanian pada lahan pasang surut di daerah Mentaren Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan ini  dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2010 dengan melibatkan pula PPL, Perangkat desa dan Dinas Pertanian.  Hasil pengukuran di lapangan diperoleh bahwa kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah di daerah Mentaren berkisar antara 15 – 50 cm untuk lahan sawah dan di tanggul  >50 cm di Rei 8, sedangkan di Rei 7 untuk lahan sawah < 5 cm dan  10 cm untuk lahan di tanggul. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal (5-15 cm), maka pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul dan traktor yang dilakukan petani selama ini harus mendapat perhatian. Jika pirit teroksidasi akan mempengaruhi  pertumbuhan tanaman. Pada awalnya,  pengetahuan dasar mengenai karakteristik pirit tdak diketahui oleh petani, perangkat desa, bahkan penyuluh lapangan di daerah Mentaren, namun setelah program Iptek bagi Masyarakat (IbM) ini dilaksanakan pengetahuan mitra/masyarakat/petani meningkat. Salah satu alternative untuk mengatasi  terjadinya oksidasi pirit adalah dengan melakukan pengolahan tanah secara minimal (minimum tillage) yakni dengan menggunakan herbisida.

Kata Kunci : Pirit, Pertanian Pasang Surut.

ABSTRACT

Aim of the activity is to improve  the farmer’ s knowledge on the characteristic, depth of pyrite, and how to overcome the pyrite’s problem, and at the end, farmer could   increase the agriculture production on tidal area in Mentaren, Pulang Pisau Central Kalimantan. This activity was carried out from October to December 2010, “PPL” and other stake holders get involve in this activity too. Result of practice in the study show that depth of pyrite in Mantaren “Rei” 8 at lower part (rice filed) is from 15 to 50 cm and upper part (Tegalan) is > 50 cm. Mentaren “Rei” 7 at lower part (rice filed) is < 5 cm and upper part (Tegalan) is 10 cm. Due to pyrite is near to the surface (5-10 cm depth), so tillage using hoeand tractor should be pay attention seriously. If pyrite oxidized, the growth of plant will be stagnant. In the beginning, farmer, PPL and other stake holders did not know about pyrite, after this activity (Ibm) was carried out, the knowledge of farmer, PPL and other stake holders improved on pyrite’s knowledge.  One of several alternatives to over come the pyrite’s problem is minimum tillage that is using herbicide technique.

Keyword : pirite, agriculture activity in tidal area.

Page 84: Sawi ilaaaaaaaaa

PENDAHULUAN

Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang terbentuk dari proses reduksi ion-ion sulfat menjadi sulfida oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anerobik. Pembentukan Pirit (FeS2) berlangsung melalui pengembangan senyawa FeS dengan penjenuhan S elementer, atau pengendapan langsung Fe2+ terlarut setelah bereaksi dengan ion- ion polisulfida. Unsur- unsur penting pembentukan pirit adalah : besi, sulfat, bahan organic (dalam formula CH2O), bakteri pereduksi sulfat, dan kondisi reduksi yang diselingi oleh aerasi terbatas. Unsur- unsur dalam kondisi demikian secara optimum terdapat pada lahan rawa pasang surut dengan vegetasi mangrove, yang telah berkembang sejak dulu (Dent (1986), Langenhoff (1987) dalam PPT (1997).

Pada proses oksidasi pirit akan dilepaskan asam- asam sulfat yang menyebabkan pH tanah turun menjadi < 4. Secara agronomis, kondisi demikian menimbulkan beberapa masalah diantaranya: 1) keracunan aluminium, pada kondisi sangat masam (pH < 4) kelarutan aluminium meningkat drastis. Aluminium dapat meracuni tanaman pada konsentrasi 1-2 ppm (Rorison, 1973) dalam (PPT, 1997); 2) keracunan besi, peningkatan pH akibat genangan air hujan atau irigasi akan menyebabkan reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sehingga konsentrasi Fe2+ meningkat dan pada konsentrasi Fe2+ kira- kira 30 ppm sudah dapat meracuni tanaman secara umum termasuk padi sawah, menimbulkan ketersediaan hara tanaman rendah (Van Bremen dan Voormann, 1978) dalam (PPT, 1997); dan 3) defisiensi unsur hara,  tanah pada pH < 4 menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena sejumlah unsur hara tidak tersedia. Ketersediaan fosfat sangat terbatas (Dent, 1986). Bllomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi difesiensi Ca, Mg, K, Mn, Zn, Cu, dan Mo pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropis.

Tanah yang mempunyai lapisan bahan sulfidik/ pirit, sering dinamakan tanah sulfat masam. Apabila lapisan pirit tersebut masih dalam suasana alami, selalu jenuh air, dan tanah masih netral atau agak masam, tanahnya dinamakan Tanah Sulfat Masam Potensial. Sebaliknya, apabila lapisan pirit telah mengalami oksidasi baik mengalami kekeringan atau didrainase, reaksi tanah menjadi sangat masam, tanahnya disebit sebagai Tanah Sulfat Masam Aktual. Adanya karatan- karatan jarosit berwarna kuning pucat di dalam penampang tanah sulfat masam aktual sering disebut cat clay.

Daerah Mentaren merupakan daerah transmigrasi dengan mata pencaharian utamanya pertanian lahan pasang surut yang hingga saat ini sudah mulai berkembang.  Daerah ini sebagaian besar lahanya terbentuk dari bahan endapan lumpur dan dalam keadaan jenuh air. Pada tanah yang mengarah dekat dengan sungai (tanggul sungai), lapisan atas`merupakan endapan lumpur yang sepenuhnya dipengaruhi oleh sungai besar, bahan-bahan pembentuk tanahnya dinamakan bahan aluvium sungai. Sedangkan pada lapisan tanah bagian bawah, pengendapan lumpur terjadi lebih dahulu (lebih tua), lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas air laut, dan umumnya mengandung pirit (bahan sulfidik), sehingga bahan pembentuk tanah disebut bahan aluvium marine. Permasalahan yang dihadapi dalam usaha tani di lahan pasang surut termasuk di daerah Mentaren , Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah adalah potensi terjadi Oksidasi pirit,   keracunan Aluminium, dan keracunan besi dan defisiensi hara pada lahan pertanian. Hal ini didukung oleh peta tanah yang dilaporkan (PPT, 1997) dan pengamatan penulis (penulis ikut dalam survey pembuatan RTSP di daerah Mentaren pada Oktober 2007 ), dapat dikatakan bahwa

Page 85: Sawi ilaaaaaaaaa

daerah Mentaren mempunyai potensi munculnya permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pirit tersebut. Jika petani tidak dapat mengetahui dan mengatasi permasalahan ini maka akan mengakibatkan rawan/gagal panen.

Petani transmigran di daerah ini sebagian besar berasal dari Jawa dan Bali yang hampir 100% tidak mengetahui masalah yang dihadapi pada lahan pasang surut, terutama masalah Pirit (FeS 2) dan cara mengatasinya untuk usaha pertanian. Hal ini dibuktikan saat pengusul melakukan survey / wawancara di daerah tersebut pada bulan Oktober tahun 2008. Seandainya ada yang mengetahui, itupun hanya teori tanpa melihat dan praktek di lapangan dan berhadapan dengan pirit.

Dengan mengetahui karakteristik pirit dan cara mencegah dan mengatasinya maka petani dapat menghindari masalah yang akan ditimbulkan oleh pirit tersebut dan rawan/gagal panen dapat diatasi.

 

PERMASALAHAN MITRA

Permasalahan yang dihadapi dalam usaha tani di lahan pasang surut termasuk di daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah:

1. Potensi terjadi Oksidasi pirit pada lahan pertanian2. Keracunan Aluminium3. Keracunan besi dan defisiensi hara.

Dengan mengetahui karakteristik pirit dan cara mencegah dan mengatasinya maka petani dapat menghindari masalah yang akan ditimbulkan oleh pirit tersebut.

Berdasarkan pada peta tanah yang dilaporkan (PPT, 1997) dan didukung pengamatan penulis (penulis ikut dalam survey pembuatan RTSP di daerah Mentaren pada Oktober 2007), dapat dikatakan bahwa daerah Mentaren mempunyai potensi munculnya permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pirit tersebut.

 

SOLUSI YANG DITAWARKAN

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam:

1. Mengetahui karakteristik pirit2. Cara pengendalian pirit3. Mengatasi pirit4. Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut

Page 86: Sawi ilaaaaaaaaa

Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah ceramah (penyuluhan dan pembagian leaflet), Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara/penyuluhan peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam : 1) Mengetahui karakteristik pirit, 2) Cara pengendalian pirit, 3) Mengatasi pirit, dan 4) Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut.

Demplot/peragaan praktek di lapangan, dan Praktek serta demplot.

Kegiatan pelatihan ini lebih difokuskan pada sasaran yang dianggap  strategis, yaitu :  ketua- ketua kelompok tani, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan beberapa anggota kelompok tani yang ada di daerah Mentaren dan sekitarnya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Keterkaitan kegiatan ini dengan instansi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Instansi dan keterlibatannya dalam kegiatan IbM

No. Instansi Terkait dalam Sumbangannya1. Dinas Transmigrasi dan

kependudukanPenyediaan Fasilitas -Penyediaan Lahan Praktek-Ruang

Pertemuan2. Dinas Pertanian Informasi Kelompok Tani -Mengumpulkan Ketua Kelompok

Tani

TARGET LUARAN

Peserta pelatihan mampu dan terampil dalam mengenali dan mengendalikan permasalahan pirit dilahan pasang surut sehingga dalam melaksanakan kegiatan usaha tani dapat meningkatkan hasil pertaniannya dan mampu menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh serta melatih para transmigran lainnya, dengan rincian spesifik sebagai berikut:

a)      Terampil mengenal dan dapat mengatasi permasalahan pirit.

b)      Terampil melaksanakan pengelolaan lahan dan melaksanakan pengolahan tanah dengan baik dan benar sesuai dengan teknologi pertanian yang ada.

c)      Mampu melakukan budidaya tanaman dengan baik dan benar

d)   Mampu menjadi pelatih bagi transmigran lainnya, mengimbas pengetahuan dan keterampilannya kepada para transmigran sesuai materi pelajaran yang diterima.

EVALUASI KINERJA PROGRAM

a) Kerangka Pemecahan Masalah

Lahan di Daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah merupakan tanah mineral, lapisan atas merupakan pengendapan lumpur yang sepenuhnya dipengaruhi oleh sungai

Page 87: Sawi ilaaaaaaaaa

besar; bahan-bahan pembentuk tanahnya dinamakan bahan aluvium sungai. Sedangkan pada lapisan tanah bagian bawah, pengendapan lumpur terjadi dahulu (lebih tua), lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas air laut, dan umumnya mengandung pirit (bahan sulfidik), sehingga bahan pembentuk tanah disebut bahan aluvium marine.

Pirit (FeS2) bila teroksidasi, terutama ketika lahan didrainase, akan terbentuk asam sulfat (H2SO4) dan pH tanah turun menjadi <4, yang akibatnya : Pada kondisi sangat masam (pH < 4), kelarutan aluminium meningkat drastis, kelarutan Fe yang meningkat sehingga dapat meracuni tanaman dan terjadi defisiensi hara.

Teknologi/cara yang dapat digunakan untuk menekan munculnyapirit adalah :

1. Senyawa pirit hanya stabil pada kondisi reduksi sehingga diusahakan lapisan pirit selalu dalam keadaan jenuh air, dan usaha ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan muka air tanah melalui pengaturan drainase. Ataupun pengelolaan tanah yang minimal (minimal tillage) dengan tidak membalikkan tanah yang mengandung pirit, sehingga lapisan pirit menjadi tidak terangkat ke atas.

2. Jika pengaruh pirit sudah muncul maka usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian amelioran tanah, yang dapat berupa kaptan, rock phosphat, maupun bahan organik yang dapat mengurangi pengaruh buruk peningkatan aluminium.

3. Cara lain yang lebih dianjurkan adalah menggabungkan dua cara yang tersebut di atas.

b) Realisasi Pemecahan Masalah

Dalam melaksanakan pemecahan masalah dilakukan sesuai dengan teknologi yang tersebut di bawah ini :

Teknologi  yang Diterapkan

1.      Uji lapisan pirit di lapangan

Bor tanah digunakan untuk mengambil tanah mulai dari permukaan tanah sampai dengan kedalaman 150 cm. Tanah yang telah terambil tersebut, kemudian disusun berurutan dengan saat pengambilan, dibuat lubang pada setiap 5 cm mulai dari permukaan hingga kedalaman 150 cm. Pada lubang yang telah dibuat tersebut diberi hidrogen peroksida (H2O2). Pada tanah yang tidak mengandung pirit tidak akan berbuih, sedangkan pada tanah yang mengandung pirit akan berbuih kuat. Pada kedalaman yang tidak berbuih tersebut (misal 25 cm dari permukaan tanah), maka pada kedalaman tersebut diusahakan dalam keadaan jenuh air, sehingga pirit tidak teroksidasi.

2.      Usaha agar lapisan pirit tidak teroksidasi maka dilakukan usaha

Pengaturan muka air tanah dengan jalan mengatur drainase. Usaha ini dilakukan dengan pengaturan muka air tanah dengan jalan membuka atau menutup pintu air yang berada di lahan usaha tani sehingga lapisan pirit (contoh : 25 cm) selalu dalam keadaan jenuh air.

Page 88: Sawi ilaaaaaaaaa

Pemberian amelioran tanah berupa kaptan, rock phosphat, bahan organik tanah, jika sudah terlanjur sebagian pirit teroksidasi. Pemberian amelioran dilakukan dengan cara menabur di atas lahan secara merata kemudian baru dilakukan pengolahan lahan secara tipis dilapisi olah.

Usaha pengelolaan tanah secara minimal (minimum tillage). Usaha ini dilakukan dengan jalan mengolah lahan secara minimum dan mencangkul tanah jangan sampai terlalu dalam sampai ke lapisan pirit dan dibalik ke atas akan terjadi oksidasi pirit.

c)  Hasil Kegiatan/Evaluasi Kinerja Program

Pelaksanaan Kegiatan

Untuk menjelaskan lebih detail mengenai permasalahan di lahan pasang surut, yang disebabkan oleh oksidasi pirit (FeS2), maka dilakukan pengukuran langsung di lapangan (lahan pertanian). Pelaksanaan Kegiatan penyuluhan dan demplot/ peragaan praktek di lapangan dilaksanakan di 2 (dua) tempat yaitu di Rei 8 dan Rei 7 (Kantor Balai Penyuluh Pertanian). Dari hasil pengukuran di lapangan didapatkan bahwa kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah sebagaimana disajikan pada tabel 2.

Dari hasil pengukuran tersebut di atas menunjukkan bahwa kondisi lahan di lokasi pertanian di daerah Mentaren relatif tidak aman untuk melakukan pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul atau traktor.  Selama kegiatan berlansung, tim pengabdian melakukan pengamatan dan memperoleh input bahwa pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani selama ini menggunakan traktor dan cangkul, serta menggunakan herbisida. Dari hasil diskusi dengan masyarakat dan hasil pengamatan di lapangan ternyata permasalahan yang timbul akibat oksidasi pirit sudah terjadi di daerah Mentaren. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal khususnya di lahan sawah, maka dalam pengolahan tanah tidak diperbolehkan menggunakan traktor dan cangkul tetapi pengelolaan tanah dapat dilakukan secara minimal (minimum tillage) seperti pengolahan menggunakan herbisida.

Pengaruh buruk yang dapat terjadi penurunan pH yang drastis yang berpengaruh pada lahan usaha dan pada tanaman yang diusahakan dapat diuraikan sebagai berikut :

Tabel 2.  Hasil Pengukuran dan Tempat Pengambilan Sampel di Daerah Mentaren

No.Lokasi Pengambilan

Sampel

Kedalaman Pirit (FeS2)

+1. Rei 8; lokasi 1 di sawah 15 – 50 cm2. Rei 8; lokasi 2 di

tanggul sawah>50 cm

3. Rei 8; lokasi 3 di sawah 15 – 50 cm4. Rei 7; lokasi 1 di sawah < 5 cm5. Rei 7; lokasi 2 di

tanggul sawah10 cm

Page 89: Sawi ilaaaaaaaaa

Sumber : Hasil Pengukuran In situ, 2010

1. a.    Penurunan Kualitas Tanah

Perubahan kualitas tanah dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain karena drainase lahan yang menyebabkan turunnya permukaan air tanah dan mengakibatkan terjadi kontak antara tanah yang berpirit dengan udara. Oksigen dari udara ini akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penurunan permukaan air tanah terjadi karena pengamatan di lakukan pada musim kemarau, selanjutnya lapisan pirit sudah teroksidasi karena sudah ada yang terangkat ke permukaan tanah.

Selajutnya sebagian besar pirit sudah teroksidasi sebagai akibat dari kegiatan pengolahan tanah yang berkali-kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kedalaman pirit, sehingga yang terjadi adalah pirit teroksidasi yang pada akhir menurunkan hasil pertanian.

1. b.    Penurunan Kualitas Air

Perubahan kualitas air umumnya terjadi pada saluran. Hal ini terjadi karena pembuatan galian mengangkat lapisan pirit, tetapi hasil pengangkatan tersebut dibuatkan selokan diantara hasil pengangkatan tanah. Sehingga tidak mempengaruhi keadaan pH air tanah di lahan petani. Dengan berlalunya waktu, air selokan tersebut tergelontor keluar karena hujan, yang pada akhirnya akan menurunkan keasaman air pada selokan tersebut.

Keterlibatan/Peran Serta Petani/Penyuluh Dalam Kegiatan

Selama dilaksanakan kegiatan ini, baik pihak petani, maupun penyuluh lapangan mengikuti dengan aktif dan baik sampai selesainya kegiatan penyuluhan/pelatihan dan demplot/peragaan praktek di lapangan. Disamping itu, mitra juga menyediakan/memfasilitasi prasarana pendukung dalam kegiatan tersebut (seperti tempat pertemuan, lahan untuk praktek lapangan, membantu dalam menyaipkan konsumsi selama kegiatan berlangsung). Hal ini menunjukkan antusiasisme khalayak sasaran dalam mengikuti/ingin mengetahui tentang pirit dan cara pengendaliannya di lahan pasang surut daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

 

Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan

Sebelum dan sesudah kegiatan dilaksanakan serta pada saat praktek di lahan petani, dilakukan tanya jawab. Hasil yang didapatkan adalah pengetahuan dari petani meningkat karena pada awalnya mitra tidak mengenal sama sekali apa itu pirit. Disamping itu, setelah kegiatan pengabdian ini dilakukan evaluasi baik melalui uji kemampuan secara lisan dan atau tertulis serta uji keterampilan melalui kegiatan praktek di lapangan, menunjukkan bahwa program Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) ini cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan terjawabnya pertanyaan dasar mengenai sifat dan karakteristik pirit di lapangan baik secara tertulis maupun dalam kegiatan paraktek cukup lancar setelah kegiatan pelatihan/penyuluhan dan demplot/peragaan praktek di

Page 90: Sawi ilaaaaaaaaa

lapangan dilaksanakan. Di samping itu, tolok ukur keberhasilan dalam kegiatan ini dapat ditunjukkan dari hasil evaluasi bahwa rata-rata peserta pelatihan dapat menjawab diatas 70 persen dari pertanyaan secara keseluruhan, bahkan ada beberapa peserta  pelatihan mampu menjawab 100% dari pertanyaan yang tersedia. Dan saat ini mitra juga telah mengetahui tentang pirit serta menyadari pentinya pirit dalam pengelolaan tanaman, yang sebelumnya sama sekali belum pernah mendengar dan mengetaui tentang pirit. Keberhasilan dalam kegiatan ini juga terlihat dari aktivitas peserta dalam pelatihan, sehingga mampu dalam menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek di lapangan serta mampu memeragakan/ melaksanakan praktek di lapangan dengan bagus secara baik dan runut.

Indikator Kinerja

Indikator kinerja yang telah ditetapkan sejak awal yang digunakan untuk menetukan keberhasilan program ini meliputi :

1) Uji kemampuan secara lisan dan atau tertulis melalui penyebaran angket/quesioner, dengan indikator capaian tujuan dan tolok ukur yaitu dengan melihat nilai rata-rata peserta pelatihan mencapai di atas 60 persen pertanyaan dapat dijawab secara keseluruhan,

2) Uji keterampilan secara praktek di lapangan, dengan indikator capaian tujuan dan tolok ukur yaitu peserta pelatihan dapat menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek secara baik dan dapat melaksanakan praktek dilapangan dengan bagus.

Impact factor (keberlanjutan kegiatan atau ketepatan solusi)

Keberlanjutan kegiatan

Kegitan IbM yang telah dilaksanakan hingga saat ini masih berlanjut (mitra menyambut positif untuk keberlanjutan kegiatan tersebut, karena tes keberadaan pirit telah dilakukan di lahan masing-masing mitra dan kegiatan ini juga ditularkan ke masyarakat lain disekitarnya yang tidak terlibat).

Ketepatan Solusi

Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam: a) Mengetahui karakteristik pirit, b) Cara pengendalian pirit, c) Mengatasi pirit, dan d) Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini: a) Ceramah (penyuluhan dan pembagian leaflet), b) Peragaan dan praktek, dan c) Praktek dan demplot/peragaan di lapangan.

Dari hasil evaluasi yang telah dilaksanakan di awal dan akhir kegiatan maupun pada saat kegiatan berlangsung, bahwa solusi yang ditawarkan dan metode yang digunakan dalam kegiatan ini cukup tepat. Hal ini dapat terlihat bahwa pengetahuan, kemampuan dari mitra/masyarakat di Mentaren meningkat setelah dilakukan kegiatan IbM karena pada awalnya mitra tidak mengenal sama sekali apa itu pirit. Dan saat ini mitra juga telah mengetahui tentang pirit serta menyadari

Page 91: Sawi ilaaaaaaaaa

pentinya pirit dalam pengelolaan tanaman, yang sebelumnya sama sekali belum pernah mendengar dan mengetaui tentang pirit. Keberhasilan dalam kegiatan ini juga terlihat dari aktivitas peserta dalam pelatihan, sehingga mampu dalam menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek di lapangan serta mampu memeragakan/melaksanakan praktek di lapangan dengan bagus secara baik dan runut. Hal ini juga didukung dari hasil evaluasi kemampuan dan keterampilan mitra/masyarakat di Mentaren baik kemampuan secara lisan dan atau tertulis, maupun keterampilan secara praktek di lapangan menunjukkan hasil di atas dari indikator capaian tujuan dan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelum kegiatan dilaksanakan, sebagaimana dijelaskan pada uraian di atas.

 

Produktivitas (Jumlah artikel/kegiatan)

Produktivitas yang diperoleh dari program/kegiatan ini adalah:

1. Mengasilkan Leaflet yang telah disebarkan kepada mitra, juga telah disebarkan ke dinas-dinas terkait seperti Dinas Pertanian dan Balai Penyuluh Pertanian di Kalimantan Tengah Khususnya di Kabupaten Pulang Pisau yang langsung berhadapan dengan petani.

2. Hasil tes/pengukuran keberadaan pirit di lapangan (lahan milik petani) menunjukkan bahwa kedalaman lapisan pirit di daerah Mentaren berkisar antara 15 – 50 cm untuk lahan sawah dan di tanggul  >50 cm di Rei 8, sedangkan di Rei 7 untuk lahan sawah < 5 cm, 10 cm untuk lahan di tanggul.

3. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal pada lapisan pirit 5-15 cm, maka pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul dan traktor yang dilakukan petani selama ini harus mendapat perhatian, karena pirit mudah teroksidasi dan berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Mengingat petani di Mentaren pada kondisi tertentu juga melakukan pengolahan tanah secara minimal (minimum tillage) yakni dengan menggunakan herbisida, maka alternative pengolahan tanah inilah yang harus diterapkan untuk mengurangi teroksidasinya pirit di lahan pertaniannya.

4. Pada awalnya pengetahuan dasar mengenai karakteristik, sifat dari pirit bagi petani, petugas penyuluh lapangan di daerah Mentaren masih kurang bahkan tidak mengetahui tentang pirit, namun setelah program IbM ini dilaksnakan pengetahuan mitra atau  masyarakat atau petani meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Buurman, P., and Balsem, T. 1990. Land Unit Classification for the Reconnaissance Soil Survey of Sumatera. Tech. Rep. No. 3. LREP. Center for Soil and Agroclimate Research. Bogor.

Dent, D. 1986. Acid sulphate soils: a basaline for research and development. Wageningen, The Netherlands.

Page 92: Sawi ilaaaaaaaaa

PPT, 1997. Laporan Survey dan pemetaan tanah tinjau mendalam Daerah kerja A Proyek Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar. Bogor.

Haryono dan Vadari, T. 2007. Peningkatan kualitas lahan sulfat masam terlantar melalui optimasi teknik pengelolaan tanah dan air. dalam: Proseding HITI IX. Yogyakarta. 319 – 326.

Salampak, Sulistiyanto, Y., Basuki, Ichriani, G. I., Setiawati, M., 2005. Lahan Gambut dan Pasang Surut. 97 hal. Fakultas Pertanian. Palangka Raya.

Subgyono K, H. Suwardjo, IPG. Widjaja-Adi, 1993. Reklamasi Tanah Sulfat Masam dengan Pengelolaan Air.

—————–, 1988. pola tanam di lahan pasang surut. Proyek Informasi Pertanian Kalimantan Tengah.

Supriyo, A., Hikmat, M. Dan Hatmoko, D. 2007. Identifikasi potensi sumber daya lahan dan arahan pertanian di lahan pasang surut (studi kasus: Desa Kumpai Batu Bawah, Kabupaten Kota Waringin Barat) dalam: Proseding HITI IX. Yogyakarta. 178 – 193.

Sutedjo, M.M dan Kartasapoetra A.G, 1988. Budidaya Tanaman Padi di Lahan Pasang Surut. Bina Aksara. Jakarta.

———-, 1983. Tidal Swamp Agro Ecosystem of Southern Kalimantan. Banjarmasin.

Widjaja-Adhi, IPG. 1988. Physical and chemical characteristics of peat soil of Indonesia IARD Journal. Vol 10 No:3: 59 – 64p.

Tinggalkan Sebuah Komentar

KAJIAN PENGGUNAAN ASAM PEROKSIDA DALAM MEDIA ASAM == Sri   Hidayati 18 Juni 2011, 3:44 pm Filed under: Penelitian

KAJIAN PENGGUNAAN ASAM PEROKSIDA DALAM MEDIA ASAM ASETAT UNTUK PEMUTIHAN TERHADAP SIFAT KIMIA PULP AMPAS TEBU HASIL

ORGANOSOL

(Usage Study Of Peroxide Acid In Acetic Acid Media For Whitening To Bagasse Pulp Chemical Property Result Of Organosol)

Sri Hidayati

Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Lampung

E-mail: hidayati_thp@[email protected], telp 085841147700

Page 93: Sawi ilaaaaaaaaa

 

ABSTRACT

Baggase represent waste of lignocellulose yielded by sugar mill after sugar cane taken its.  Especial component of bagasse for example fiber about 43-52%, lignine content of  20% and pentosan content of 27%.  pulp had been made from bagasse fiber.  This research conducted to know the bleaching methode using various concentration peracetic acid viewed from their chemical properties.  The bleaching process was carried out using peracetic acid 0, 3, 6, 9, 12 and 15% at 850C for 3 hours.  After works, the pulp was washed and dried at room temperature, analyzed for cellulose, hemicellulose and number of kappa and brightness. The result showed that higher peracetic acid concentration descreased in cellulose, hemicelluse, lignin, permangant number and kappa number.  The best result was obtained at the concentration of 6% with content of cellulose 70,16%, hemicellulose of 18,2%,  and permanganat 24,2 and brightness of  18,4 oGE respectively.

 

Keywords:  bagasse, peracetic acid, cellulose

ABSTRAK

 

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan derajat putih pulp dari ampas tebu yang dihasilkan melalui proses organosolve. Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar  43 – 52 %, air 46 – 52 %, dan padatan terlarut 2 – 3 %. Penelitian ini yang betujuan untuk mengetahui methode pemutihan dengan menggunakan asam peroksida dengan berbagai senyawa kimia. Proses pemutihan itu dilaksanakan dengan asam peroksida 0, 3, 6, 9, 12 dan 15% pada 850C selama 3 jam. Semakin tinggi konsentrasi perasetat akan menurunkan kadar selulosa, hemiselulosa, dan bilangan permanganat serta meningkatkan derajat putih. Hasil terbaik pada proses pemutihan adalah menggunakan konsentrasi perasetat sebanyak 6% yang menghasilkan rendemen  20,39 %, kadar selulosa 70,16 %, hemiselulosa 18,2%, dan  bilangan permanganat 24,2 dengan derajat putih 18,4 oGE.

Kata Kunci : Ampas Tebu, Asam Peroksida, Gula

 

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu produsen kertas yang berencana menjadi produsen pulp dan kertas terbesar dunia (Syafii, 2000).  Saat ini, produksi kertas Indonesia menduduki peringkat ke-

Page 94: Sawi ilaaaaaaaaa

12 dunia, dengan pangsa pasar 2,3% dari total produksi dunia yang mencapai 318,2 juta ton pertahun (www.wartaekonomi.com).  Di tahun 2010, kebutuhan proyeksi kertas dunia akan naik sampai 425 juta ton per tahun (Hurter, 1998).  Pembuatan pulp dan kertas di Indonesia pada umumnya menggunakan kayu hutan seperti pinus.  Eksploitasi hutan yang terus menerus menimbulkan banyak masalah terutama penggundulan hutan dan isu pemanasan global serta semakin menipisnya cadangan kayu dan luas hutan di Indonesia (Biro, 2001, Deperindag dan APKI, 2001, Barr, 2001).  Laju kerusakan hutan pada periode 2001-2004 meningkat menjadi 3,6 juta hektar pertahun karena penggunaan kayu untuk industri pulp (www.kompas.com, 2006). Maka pemerintah perlu mencari alternatif bahan baku lain yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pulp dan kertas seperti ampas tebu.  Potensi ampas tebu di Indonesia sangat besar yaitu mencapai 39.539.944 ton/tahun (Anonim, 2005).

Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang dihasilkan oleh pabrik gula setelah tebu diambil niranya.  Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar  43 – 52 %, air 46 – 52 %, dan padatan terlarut 2 – 3 % (Paturau, 1982).  Serat ampas tebu memenuhi syarat sebagai bahan baku kertas yaitu  mempunyai serat yang panjang lurus dengan kadar hemiselulosa tinggi.  Menurut Passaribu (1998), kandungan holosellulosa ampas tebu adalah 75,64%, hemiselulosa 29,05% dan lignin 21,42%, panjang serat rata-rata 2,26 mm, diameter tebal dinding 3,21 mikrometer, dan bilangan Runkel 0,85. 

Ada beberapa proses pengolahan pulping di dunia.  Proses kimia menggunakan soda/pulping sulfat merupakan salah satu proses pengolahan ampas tebu menjadi pulp yang saat ini banyak digunakan.  Hariyadi (1994), Darwis dkk (1994) dan Saptariyani (1992) melakukan penelitian pembuatan pulp dengan menggunakan proses sulfat.  Keuntungan proses ini adalah  biayanya lebih murah dan hampir semua bahan baku dapat menghasilkan pulp dengan kekuatan yang sangat baik.  Tetapi proses ini menimbulkan pencemaran lingkungan karena lindi hitam yang tinggi dan kemampuan daur ulang rendah.  Sementara itu tuntutan masyarakat, baik ditingkat nasional dan internasional, akan mutu lingkungan semakin gencar.  Industri pulp dihadapkan pada kenyataan yang menunjukkan bahwa industri ini merupakan salah satu industri yang mencemari lingkungan hidup yang berat (Syafii, 2000; Suratmaji, 2001, KLH, 2005).  Oleh karena itu, agar produksi pulp tersebut dapat diterima di pasar internasional, maka usaha-usaha pencarian teknologi alternatif yang ramah lingkungan harus dilakukan salah satunya dengan metode organosolv.  Proses ini menggunakan bahan-bahan organik seperti alkohol, asam asetat dan phenol, yang dikenal dengan proses organosolv (Fengel dan Wegener, 1995, Muladi et al., 2002).

Penggunaan bahan-bahan organik dalam proses pembuatan pulp memiliki beberapa keunggulan antara lain, yaitu bebas senyawa sulfur, impregnasi senyawa pelarut organik lebih baik dari pelarut anorganik, dan proses daur ulang limbah lebih mudah dan murah dengan kemurnian cukup tinggi, selain itu rendemen pulp yang dihasilkan lebih tinggi dan dapat diperoleh hasil samping berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif tinggi dan ekonomis dalam skala yang relatif kecil (Aziz dan Sarkanen, 1989).  Baskoro (1986), Ruwelih (1990), dan Hidayati (2000) melakukan penelitian pembuatan pulp dari pada ampas tebu, tetapi metode pulping yang digunakan adalah proses soda.  

Page 95: Sawi ilaaaaaaaaa

Untuk memperoleh pulp dengan mutu tinggi perlu dilakukan proses pemutihan.  Secara umum dasar proses pemutihan adalah menghilangkan warna gelap pada pulp, tingkat rendemen yang tinggi, residu kimia serendah mungkin dan biaya proses yang rendah.  Hal ini dipengaruhi oleh jenis bahan pemutih dan jumlah bahan pemutih yang dipakai (Goyal, 1994).  Salah satu bahan pemutih yang digunakan adalah hidrogen peroksida dalam media asam asetat atau dikenal sebagai asam perasetat  Asam ini mempunyai bilangan oksidasi yang lebih tinggi dan kuat dibandingkan dengan oksidasi dari hidrogen peroksida (Muladi, 2000).  Proses oksidasi pemutihan tergantung beberapa faktor yaitu  pH, suhu, konsentrasi asam perasetat dan lama waktu reaksi.  Keuntungan menggunakan pemutihan perasetat adalah tidak merusak selulosa dan bebas klor.  Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan derajat putih pulp dari ampas tebu yang dihasilkan melalui proses organosolve.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp adalah 8 kg bagase (kering oven) dari PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang, larutan pemasak (asam asetat glasial teknis, 98%), larutan pemutih (asam peroksida 30% dan asam aetat glasial teknis 95%); senyawa-senyawa kimia untuk analisis: KMNO4, KI, Na2S2O3, asam sulfat pekat (72%), asam hidroklorat (HClO3), NaOH, Na2CO3, etanol 95%, dan petroleum eter. 

Alat yang digunakan adalah rotary digester, flat refiner, alat penentu bilangan Kappa, alat penentu gramatur dan alat analisis.

 

Metode Penelitian

Semua perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari knsentrasi perasetat 0, 3, 6, 9, 12 dan 15%.   Data dianalisis sidik ragam dengan taraf 1% dan 5%.  Homogenitas diuji dengan uji Bartlet dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey.  Analisis lanjutan dilakukan dengan uji Duncant pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1980). 

 

Pelaksanaan Penelitian

1. A.   Persiapan bagase

Page 96: Sawi ilaaaaaaaaa

Proses pembuatan pulp dimulai dengan bagase dicuci, dijemur sampai kering, kemudian dihilangkan empelurnya dengan menumbuk bagase sampai tinggal serat-seratnya dan ditampi, lalu diambil 1000 g. 

1. B.   Pemasakan pulp

Pemasakan pulp dilakukan dengan menggunakan proses acetosolv.  Sebanyak 1000 g bagase dimasukkan ke dalam rotary digester (alat pemasak).  Kondisi pemasakan mengacu pada penelitian Gottlieb et al. (1992).  Pemasakan dilakukan dengan menggunakan larutan asam asetat dalam air dengan konsentrasi 80 (v/v), dan rasio larutan pemasak dengan serpih bagase 8:1 (v/b).  Suhu pemasakan maksimum 1600C pada tekanan yang terjadi pada suhu 1600C (± 2 atm), waktu tuju ke suhu maksimum 90 menit, waktu pada suhu maksimum 90 menit. 

 

 

 

1. C.   Pencucian pulp

Pulp hasil pemasakan selanjutnya dicuci dengan menggunakan air pada suhu 800C dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan air pada suhu ruangan hingga jenuh.

 Defibrilisasi

Defibrilisasi adalah proses yang bertujuan untuk memisahkan serat.  Proses ini dilakukan dengan menggunakan defibrator yang memiliki prinsip kerja seperti blender.  Pulp yang telah jenuh dimasukkan ke dalam defibrator menggunakan air sebagai media pemisahan serat.  Defibrisasi dilakukan hingga pulp terurai menjadi serat-serat mandiri (selama 3–5 menit). 

E. Pemutihan pulp bagase

Pulp dipanaskan pada asam perasetat dengan konsentrasi perlakuan pada suhu 85oC selama 3 jam.  Selanjutnya dilakukan pencucian dan pengeringan pada suhu kamar.  Kemudian dilakukan pengamatan seperti yang dilakukan pada pulp sebelum diputihkan.  Pulp yang sudah diputihkan selanjutnya diuji sifat-sifat kimia (kadar selulosa, hemiselulosa (Metode Datta, 1981), dan bilangan permanganat (SNI 0494-89).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen

Page 97: Sawi ilaaaaaaaaa

Rendemen pulp yang dihasilkan berkisar antara 15,93 persen sampai 20,39 persen dengan rata-rata akhir adalah 18,67 persen.  Gambar 1 menunjukkan rendemen yang diperoleh dari hasil penelitian. 

                   

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Rendemen pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi asam perasetat (0%, 3%, 6%, 9%, 12%, dan 15%) tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen pulp.  Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa rendemen yang dihasilkan cenderung meningkat sampai pada konsentrasi 6% kemudian menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam prasetat, hal ini diduga disebabkan oleh adanya degraadasi dari selulosa.  Dence dan Reeve (1996) menyebutkan bahwa selama pemutihan pulp, degradasi selulosa dapat terjadi.  Degradasi selulosa ini diakibatkan sifat selulosa yang mudah terhodrolisis oleh asam.  Akibatnya, fragmen-fragmen  selulosa menjadi terlarut sehingga rendemen pulp yang dihasilkan lebih rendah.

Selulosa

Kandungan selulosa sangat perlu diketahui sebab selulosa berpengaruh terhadap kekuatan kertas yang akan dihasilkan.  Presentase selulosa yang dihasilkan berkisar antara 43,41 sampai 70,16 dengan rata-rata akhir adalah 55,74 (Gambar 2). 

 

 

 

 

 

Page 98: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Gambar 2.  Kadar selulosa pulp hasil pemutihan dengan asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Dari Gambar 2, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam perasetat maka kadar sampai pada konsentrasi 6% akan meningkatkan kadar selulosa tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi selulosanya semakin menurun.  Peningkatan selulosa disebabkan karena asam perasetat merupakan bahan kimia yang sangat selektif.  Terjadinya reaksi asam perasetat pada akarbohidrat melalui rekasi hidrolisis tidak terlalu tajam, tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, penggunaan asam perasetat akan menyebabkan oksidasi polisakarida melalui pembentukan radikal hidroksi (Nevell dan Zeronian, 1985).  MacDonald dan Franklin (1969) yang menyatakan bahwa selama pemutihan pulp dapat terjadi modifikasi oksidatif dan hidrolitik serta degradasi selulosa.  Gugus fungsi dalam selulosa yang terserang adalah gugus hidroksil dan aldehid ujung menghasilkan aldehid, keton, dan formasi gugus karboksil.

Bilangan Permanganat

Bilangan Permanganat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan atau daya terputihkan dari suatu  pulp kimia (Dewan Standarisasi Nasional, 1989).  Nilai bilangan permanganat  hasil penelitian berkisar antara 6,11 sampai 33,92 (Gambar 3).                                   

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 99: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Gambar 3.  Bilangan Permanganat pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

 

Dengan meningkatnya konsentrasi asam perasetat yang digunakan, penetrasi bahan pemutih tersebut tersebut ke dalam serat menjadi lebih sempurna yang mengakibatkan delignifikasi pulp akan semakin bertambah sehiungga menurunkan bilangan permanganat.  Kandungan lignin dalam pulp sangat erat hubungannya dengan bilangan permanganat. Ini didasarkan pada prinsip bahwa lignin akan menkonsumsi kalium permanganat dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari pada komponen-komponen karbohidrat di dalam pulp. Sehingga penggunaan kalium permanganat bisa digunakan untuk mengukur kandungan lignin didalam pulp. Kandungan lignin di dalam pulp semakin rendah dengan rendahnya bilangan kappa dan bilangan permanganat (Fuadi dan Sulistiya, 2008).

 

Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan salah satu komponen utama dalam pulp sebab menurut Dence dan Reeve (1996) hemiselulosa memegang peranan penting dalam pengolahan serat dan pengikatan serat dalam lembaran kertas.  Selain itu Casey (1952) menyatakan bahwa hemiselulosa dapat mempengaruhi ketahanan tarik, retak, dan lipat karena berfungsi sebagai perekat antar serat.  Kadar hemiselulosa pulp berkisar antara 15,89 persen sampai 24,36 persen (Gambar 4) dengan rata-rata akhir adalah 18,78 persen. 

 

 

 

 

 

Page 100: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 4.     Kadar hemiselulosa pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Kadar hemiselulosa semakin  menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam perasetat, selain itu penurunan kadar hemiselulosa ini pun seiring dengan penurunan kadar  selulosa pulp.  Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin banyak selulosa yang terdegradasi oleh larutan asam asetat maka semakin banyak pula hemiselulosa yang terdegradasi. Dimana sebagian besar  hemiselulosa terikat bersamaan dengan seluklosa dalam dinding sel sedangkan sebagian kecil terikat dengan lignin (Fuadi dan Sulistiya, 2008).

Hemiselulosa berbentuk non kristal dan mudah dihidrolisis dan terikat kuat dengan selulosa dan lignin.  Bila selulosa mengalami degradasi akibat pengaruh konsentrasi asam perasetat maka hemiselulosa akan mudah terdegradasi menjadi unit-unit yang lebih sederhana dan larut dalam air sehingga menurunkan kadar hemiselulosa (Fengel dan wagener, 1989).  Menurut Hatakeyama et all (1968), xilan dan mannan dari hemiselulosa lebih mudah terputus dibandingkan selulosa.                                     

 

Derajat Keputihan

Derajat putih adalah perbandingan antara intensitas cahaya biru dengan panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh permukaan lembaran pulp dengan cahaya sejenis yang dipantulkan oleh permukaan lapisan magnesium oksida (MgO) pada kondisi sudut datang cahaya 450 dan sudut pantul 00 serta dinyatakan dalam persen (%) (SNI 14-0438-1989).  Derajat putih yang didapatkan setelah dilakukan pemutihan dengan asam perasetat, berkisar antara 15,0100oGE sampai dengan 32,0050oGE. Derajat keputihan tertinggi didapat pada pulp yang diberi perlakuan pemutihan dengan konsentrasi asam perasetat 15%. Sedangkan derajat keputihan terendah didapatkan pada pulp dengan perlakuan pemutihan asam perasetat 0%. (Gambar 5).

 

 

 

 

 

Page 101: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 5.     Derajat putih pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

 

            Peningkatan konsentrasi asam perasetat akan meningkatkan derajat putih pulp yang dihasilkan dari proses pemutihan.   Hal ini dapat terjadi karena menurut Lai dan Sarkanen (1968) proses oksidasi akan mengalir melalui ion-ion OH-.  Sedangkan Casey (1952) mengemukakan bahwa bahan aktif pemucat dalam proses pemucatan pulp dengan peroksida adalah ion OOH-

yang berasal dari ionisasi H2O2. Ion ini menyerang lignin dan bahan-bahan pewarna lain dalam pulp secara selektif. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hidayati (2000) yaitu OOH- mengoksidasi gugus kromofor pada lignin.  Goyal (1994) mengemukakan bahwa setiap peningkatan 1% asam perasetat akan meningkatkan derajat putih sampai batas tertentu.   Pemakaian H2O2 meningkat dengan naiknya pH, ini disebabkan karena dekomposisi H2O2

dipercepat dengan pH. Di sisi lain, perhydroxyl anion (HOO-) yang memberikan efek terhadap pemutihan terbentuk dari penambahan alkali terhadap hidrogen peroksida (Fuadi dan Sulistya, 2008).

 

KESIMPULAN

Semakin tinggi konsentrasi perasetat akan menurunkan kadar selulosa, hemiselulosa, dan bilangan permanganat serta meningkatkan derajat putih. Hasil terbaik pada proses pemutihan adalah menggunakan konsentrasi perasetat sebanyak 6% yang menghasilkan rendemen  20,39 %, kadar selulosa 70,16 %, hemiselulosa 18,2%, dan  bilangan permanganat 24,2 dengan derajat putih 18,4 oGE.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim.  2005.  Pemanfaatan Ampas Tebu untuk Pulp dan Kertas.  Informasi hotspot 25 September 2005.

Page 102: Sawi ilaaaaaaaaa

Aziz, S.B dan K. Sarkanen.  1989.  Organosolv Pulping.  TAPPI Journal.  March    1989.  169-175.

I.B.W.  1986.  Pengaruh Antrakinon-Soda terhadap Sifat-sifat Pulp Ampas Tebu dan Jerami.  Skripsi.  Teknologi Hasil Hutan.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Barr, C.  2001.  The Financial Collapse of asi Pulp & Paper:  Moral Hazardand Implication for Indonesia’s Forest, dalam Asian Development Forum-3, Bangkok.

BIRO.  2001.  Indonesia Pulp and Paper Industry.  Jakarta: PT Biro Data Indonesia.

Casey, J.P.  1952.  Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology I.  John and Wiley and Son.  New York.

Datta, R.  1981.  Acidogenic fermentation of lignocellulose acid yields and confertion of component.  Biotech Bioneg 23:2167-2170.

Darwis, A.A., Muliah, M. Yani, dan Rohmat.  1994.  Pengaruh Umur dan Konsentrasi Alkali Aktif terhadap Sifat-sifat Pulp Sulfat Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).  Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. IV:1. 8-14.

Dence, C.V. dan D. W. Reeve.  1996.  Pulp Bleaching, Principle and Practice.  TAPPI PRESS.  Atlanta, Georgia.  Hal 10 dan 50.

Dewan Standardisasi Indonesia.  1989.  SNI 0494-1989-A.  Cara Uji Bilangan Permanganat, Bilangan Kappa, dan Bilangan Khlor Pulp.  Departemen Perindustrian. Jakarta.

Deperindag dan APKI.  2001. Industri Pulp dan Kertas 1999-2003: Realisasi 1999-2000 dan Proyeksi 2001-2003. Jakarta: Direktorat Industri Pulp dan Kertas.

Fengel, D. dan G. Wegener.  1995.  Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.  Diterjemahkan oleh Hardjono Sastromiharjo.  Gadjah  Mada  University   Press. Yogjakarta.  155 – 159.

Fuadi, A.M dan Sulistya, H.  2008.  Pemutihan Pulping dengan Hidrogen Peroksida.  Reaktor, Vol. 12 No. 2, Desember 2008, Hal. 123-128

Gottlieb, J.P., A.W. Preuss, J. Meckel, A. Berg.  1992.  Acetocell Pulping of Spurce and Chlorine Free Bleaching.  Proceding of the TAPPI Solvent Pulping Symposium.  Boston, November 5-6.

Goyal, S.K.  1994.  Bagasse bleaching Parameter Optimazition Pay.  IPPTA Vol 6 (3).

Haryadi, M.B.  1994.  Pengaruh Pengelompokkan Bobot Jenis, Kondisi Alkali Aktif, serta Jenis Pemutihan terhadap Sifat Pulp Sulfat Putih Kayu Campuran.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor. 4-22.

Page 103: Sawi ilaaaaaaaaa

Hatakeyama, H, nakano, M.J and Migita, N.  1968.  Degradation of Cellulose with Peracetic Acid.  Kogua Kgaku Zusshin71 (1), p: 153-156.

Hidayati, S. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu Sebagai Bahan Dasar Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains Vol.13(1).

K.L.H.  2005.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 228 tahun 2005 Tentang Hasil Penilaian Peringkat Kerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.

Macdonald, R.G. dan J.N.  Franklin, Ed.  1969.  Pulp and Paper Manufacture.  Second Edition.  Mc. Graw-Hill Book Company, Inc.  New York.

Muladi, S, E.T Arung,, N.M Nimz dan O.Faix.  2002.  Organosolv Pulping and Bleaching of Pulp with Ozone.  Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman Samarinda.

Muladi, S., I.W Kusuma., O K Orsadchia and R. Pratt.  2000.  The elementary chlorine free bleaching (ECF) of some Indonesia timber estate wood species, hlm 335-340.  Di dalam M. Shimada, T Watanabe and T Yoshimura (Ed).  Sustinable Utilization of Forest Product:  Socio economical and Ecological management of tropical forest.  Proceeding of the third wood science symposium.  Japan.

Nevell, T.D daan Zeronian, S.H.  1985.  Oxidant of cellulose in Cellulose Chemistry and Its applications, Ellis Hardwood Limited Chiccherter-West Sussex, p: 243-265.

Pasaribu, R.A dan H. Roliadi.1989.Pengolahan Pulp Secara Kimia. Disajikan Dalam Rangka Alih Ilmu Pengetahuan dan Industri Pulp Kertas dan Papan Serat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan Bogor.

Paturau, J.M. 1982. Sugar Series 3 : By product of The Care Sugar Industry on Introduction to Their Industrial Utilization. 2nd ed Elsevier Publ. Comp, New York.

Ruwelih.  1990.  Mempelajari Pengaruh Suhu Pemasakan dan Konsentrasi Soda terhadap Sifat Pulp dan Lindi Hitam dari Pemasakan Kayu Albasia (Albazzia falcataria Bucker) dan Ampas Tebu dengan Proses Soda.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Syafii, W.  2000.  Sifat Pulp Daun Kayu Lebar dengan Proses Organosolv.  Jurnal     Teknik Industri Pertanian.

Saptariyani, A.K.P.  1992.  Pengaruh Umur Kayu Albasia (Albazzia fulcataria (L) Fosberg).  Dan Kayu Karet (Hevea brasiliensis muell. Arg) terhadap Sifat Fisik Pulp Sulfat yang Diputihkan.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Steel, R. G. D and Torrie, J. H. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendeketan Biometrik. Gramedia. Jakarta.

Page 104: Sawi ilaaaaaaaaa

Suratmaji, T.  2001.  Perkembangan Teknologi Proses Pembuatan Pulp & Kertas Menyongsong Perkembangan 10 tahun KTT Bumi, Peran Penguasaan Teknologi Lingkungan, Jakarta.

www.kompas.com.

www.wartaekonomi.com

Tinggalkan Sebuah Komentar

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA CHINENSIS) == Astuti K,   dkk 18 Juni 2011, 3:43 pm Filed under: Penelitian

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA CHINENSIS) TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA MIKROBA DAN ABU JANJANG KELAPA

SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

(Aloe Plant Growth Response (Aloe vera chinensis) To Gift Some Microbes And palm bunch Ash on Peatland)

Astuti Kurnianingsih1), Sudradjat2), Sudirman Yahya2)

1)Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

2)Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat proses dekomposisi tanah gambut dengan menambahkan mikroba pada gambut sebagai starter dan menentukan dosis abu janjang yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman lidah buaya, Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit  PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian bahan organik + mikroba yaitu; tanpa starter mikroba/tanah gambut, tanah gambut + starter Lactobacillus, tanah gambut + starter Bacillus, dan tanah gambut + starter Trichoderma sp. Faktor kedua adalah dosis abu janjang kelapa sawit yaitu; 0 g/tanaman,  25 g/tanaman,  50 g/tanaman, 100 g/tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah. Dari persamaan regresi didapatkan bahwa dosis optimum abu janjang terhadap panjang daun 84.7 g/tanaman (27%), lebar daun sebesar 73.3g/tanaman (16,2%), tebal daun sebesar 65.7 g/tanaman (14,1%) dan bobot basah sebesar 97.8 g/tanaman (91%). Bahan organik yang diaplikasikan belum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan terhadap bobot basah pelepah lidah buaya.

Page 105: Sawi ilaaaaaaaaa

Kata Kunci : Lidah Buaya, Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikroba, Gambut.

ABSTRACT

The objective of this research was increased decomposition peatland with kind of microbe as starter and determine dosages of palm bunch ash on growth and leaf fresh weight of Aloe vera chinensis. The research was conducted at PT. Bhumireksa Nusasejati Plantation Indragiri Hilir, Riau. The treatment were arranged factorially Randomized Block Design with 2 factors and 3 replication. The first factors was peat, peat + lactobacillus, peat + bacillus, peat + Trichoderma sp. The second factors was dosages of palm bunch ash,  0 g/plant, 25 g/plant,  50 g/plant, 100 g/plant. Result showed that the application kind of microbe not increased to crop on growth and fresh weight leaf. The application of dosages palm bunch ash significantly increased the plant height about 30.2 %, leaf lenght about 27 %,  leaf  width about  16.2 %,  leaf thickness about 14.1 %, number of leaf about   57.8 %, number of suckers about 14,4 % and leaf fresh weight  about 91 %. Generally the application of palm bunch ash showed kuadratic response to plant height, leaf lenght, leaf width,  leaf thickness, number of leaf, number of suckers and leaf fresh weight.

Keyword : Aloe vera chinensis, palm bunch ash, microbe, peatland.

 

PENDAHULUAN

Lidah buaya (Aloe vera) merupakan  tanaman sukulen yang termasuk dalam famili Liliaceae. Berdasarkan hasil penelitian, lidah buaya memiliki kandungan zat nutrisi seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida, protein dan komponen lain. Tanaman ini menghendaki tanah yang mengandung bahan organik tinggi, dan tumbuh baik pada daerah gambut yang berpH rendah.

Tanah gambut termasuk dalam lahan marjinal, akhir-akhir ini usaha perluasan areal pertanian lebih diarahkan pada lahan marjinal yang biasanya terdapat di luar pulau Jawa.  Tanah  gambut  mempunyai   reaksi    masam   sampai sangat masam dengan KTK tinggi,  kejenuhan basa yang rendah. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju  dan penyediaan hara yang memadai untuk pertumbuhan tanaman terutama basa-basa seperti K, Ca, Mg dan unsur mikro.

Beberapa hasil penelitian pada lahan gambut menunjukkan bahwa teknologi pengelolaan tanah, pemampatan/pemadatan tanah, pemberian bahan amelioran berupa kapur, pupuk kandang, abu sawmil dan berbagai sumber pupuk fosfat alam serta pemberian pupuk makro N dan K, pupuk mikro CuSO4 (terusi),   FeSO4 dan ZnSO4 dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut dan hasil tanaman padi, palawija serta hortikultura (Irawan,1999).

Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan tanaman karena tambahan hara dari abu, tetapi memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut

Page 106: Sawi ilaaaaaaaaa

(Ismunadji dan Soepardi, 1984).  Penggunaan tandan atau janjang kosong ini dapat menggantikan abu bakaran tanah gambut guna meningkatkan pH gambut.  Menurut Sanchez (1976), pembakaran sisa panen akan meningkatkan pH tanah serta dapat memberikan masukan unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman meskipun jumlahnya relatif kecil.  Penggunaan abu janjang kelapa sawit adalah salah satu cara untuk menaikkan pH di lahan gambut. Menurut Pandjaitan  et al., (1983), abu janjang  kelapa sawit dapat menaikkan  pH tanah dimana semakin tinggi dosis abu janjang kelapa sawit semakin naik pula pH tanah. Dari hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa limbah abu janjang kelapa sawit menandung K2O  35 – 40 % (Chan et al., 1982), tingginya kandungan K2O pada  abu janjang tersebut merupakan potensi sebagai sumber hara kalium bagi tanaman. Penambahan bahan organik yang tingkat dekomposisinya sudah lanjut merupakan tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman untuk meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat pupuk sehingga efesiensinya meningkat. Disamping itu dengan menambah populasi mikroorganisme seperti Lactobacillus, Bacillus, maupun Trichoderma di dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat proses dekomposisi tanah gambut dengan menambahkan mikroba pada gambut sebagai starter dan menentukan dosis abu janjang yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman lidah buaya.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit  PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah bahan organik + starter mikroba yaitu;  (M1) tanpa starter mikroba/tanah gambut), tanah gambut + starter Lactobacillus (M2), tanah gambut + starter Bacillus (M3), dan tanah gambut + starter Trichoderma sp (M4). Faktor kedua adalah dosis abu janjang kelapa sawit yaitu; A0 = 0 g/tanaman, A1 = 25 g/tanaman, A2 = 50 g/tanaman, A3 = 100 g/tanaman. Dari kedua faktor tersebut diperoleh  16 kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga didapatkan 48 unit percobaan.

          Sistem pengomposan dilakukan dengan sistem anaerob. Perlakuan Lactobacilus dan Bacilus  diberikan dalam media biakan dengan takaran 1 liter untuk 1 ton bahan organik,  Trichoderma sp diberikan dalam media biakan dengan 0,5 % bahan kering dicampur dengan dedak dan di inkubasikan selama 2 minggu, hasil inkubasi ini dicampur dengan tanah gambut dan diinkubasikan selama 1 bulan. Abu janjang diperoleh dari limbah padat kelapa sawit yaitu berupa tandan kosong yang dibakar di dalam incenerator, hasil pembakaran berupa abu yang digunakan sebagai pupuk. Lahan yang digunakan dibersihkan, selanjutnya dibuat parit keliling yang berfungsi untuk membuang air tanah yang berlebihan (drainase). Ukuran lubang tanam 20 cm x 20 cm x 20 cm, jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Lubang tanam diberi abu dan diinkubasikan selama 7 hari. Bibit tanaman lidah buaya yang siap tanam dicirikan dengan tinggi 25 – 30 cm dengan jumlah 5–6 pelepah. Pada saat awal penanaman diberikan pupuk Urea (20g/tanaman) dan RP (10g/tanaman).

Pemeliharaan meliputi penyiraman, pembumbunan, penyiangan, pemupukan susulan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemisahan anakan. Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, pertumbuhan daun (panjang daun, jumlah daun, lebar daun tebal daun), dan bobot basah daun.

Page 107: Sawi ilaaaaaaaaa

Data hasil penelitian dari tiap peubah dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata 5 % dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil analisis tersebut berpengaruh nyata. Untuk mengetahui keeratan dan menentukan bentuk respon dari kurva hubungan peubah dengan taraf faktor perlakuan dilakukan Uji polinomial orthogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Pertumbuhan Tanaman Lidah Buaya

Jenis mikroba tidak berpengaruh secara nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, dan jumlah anakan), sedangkan dosis abu janjang berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, dan jumlah anakan) serta bobot basah pelepah tanaman lidah buaya. Interaksi antara jenis mikroba dan dosis abu janjang tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah.

Tinggi tanaman

Dosis abu janjang memberikan pengaruh yang nyata. Perbedaan yang nyata sudah tampak sejak tanaman berumur 4 MST. Terdapat perbedaan sebesar 30.2 % antara perlakuan abu janjang dosis A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman) pada minggu ke-28.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap tinggi tanaman yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. Dari Gambar 1 menunjukkan peubah tinggi tanaman mempunyai nilai  regresi  Y = 4.0365 + 0.551744x – 0.00405x2 dengan R2 = 0.623 sehingga didapatkan dosis optimum sebesar  68.1 g/tanaman.

Panjang daun.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dosis A2 (50 g/tanaman) dan A3 (100 g/tanaman) tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan dosis A1 (25 g/tanaman) dan A0 (0 g/tanaman). Perbedaan yang nyata baru mulai tampak pada minggu ke-10 setelah tanam. Pemberian abu janjang meningkatkan panjang daun sebesar 27 %.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap panjang daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 2) dengan nilai  persamaan regresi     Y = 28.992 + 0.262482x – 0.00155x2 dengan R2 = 0.648. Dosis optimum dari pemberian abu janjang terhadap panjang daun sebesar 84.7 g/tanaman.

Page 108: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel 1. Pengaruh pemberian abu janjang terhadap rata-rata tinggi  tanaman (cm)

Perlakuan

Minggu ke-4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A024.9 b

27.3 b

29.4 b

31.6 b

33.4 b

36.1 b

37.9 b

39.6 b

41.4 b

41.8 b

41.9 b

42.0  b

42.6 b

A125.6 a

29.4 a

33.0 a

35.8 a

38.2 a

42.0 a

45.1 a

47.4 a

50.5 a

51.5 a

53.1 a

54.5 a

55.4 a

A225.9 a

29.6 a

33.1 a

35.2 a

38.1 a

43.2 a

46.6 a

49.1 a

52.4 a

53.5 a

56.0  a

57.6 a

59.6 a

A325.5 a

29.7 a

33.4 a

36.0 a

39.0 a

43.9 a

47.4 a

50.1 a

52.3 a

53.5 a

54.9 a

56.4 a

57.8 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Gambar 1. Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Tinggi Tanaman (cm) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTGambar 2. Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Panjang Daun (cm) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MST

Tabel 2. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata panjang daun (cm)

PerlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A022.3 a

23.08 a

24.09 a

24.38 b 25 b

25.01 b

25.86 b

26.93 b

28.01 b

28.51 b

28.7 b

28.79 c

28.96 c

A122.5 a

23.62 a

24.75 a

25.29 a

26.23 a

26.92 a

28.14 a

29.99 a

31.85 a

32.35 a

33.06 a

33.7 b

34.67 b

A223.1 a

24.03 a

24.9a

25.78 a

26.67 a

27.06 a

28.53 a

30.73 a

32.93 a

33.43 a

35.63 a

36.8 a

38.18 a

A322.8 a

23.91 a

25.05 a

25.72 a

26.41 a

27.26 a

28.77 a

30.91 a

33.05 a

33.55 a

35.18 a

36.73 a

39.73 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 3. Pengaruh pemberian abu janjang terhadap rata-rata lebar daun (cm)

Page 109: Sawi ilaaaaaaaaa

PerlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A02.65

a 2.8 a2.93

c3.01

c3.04

c3.08

d3.09

d3.23

c3.33

c3.34

c3.38  

c3.45

c4.25

c

A12.81

a2.96

a3.21 ab

3.25 b

3.33b

3.39 c

3.41 c

3.54 b

3.77 b

4.05 b

4.25 b

4.45 b

4.77 b

A22.8 a

2.95 a

3.12 a

3.27 b

3.43 b

3.58 b

3.85 b

4.16 a

4.53 a

4.76 a

5.04 a

5.32 a

5.72 a

Gambar 3.     Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Lebar daun (cm) Terhadap  PemberianAbu Janjang umur 28 MST

Gambar 4.    Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Tebal daun (cm) Terhadap      Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTA3

2.82 a

2.97 a

3.28 a

3.42 a

3.64 a

3.83 a

4.01 a

4.24 a

4.57 a

4.69 a

4.91 a

5.14 a

5.42 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

 

 

Lebar daun

Page 110: Sawi ilaaaaaaaaa

Lebar daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata mulai tampak pada minggu ke-8 setelah tanam. Terdapat perbedaan sebesar 16.2 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman).

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap lebar daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 3) dengan persamaan regresi Y = 3.342217 + 0.0695x – 0.000494x2 dan nilai R2 =0.807. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar 73.3 g/tanaman.

Tebal daun.

Tebal daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata mulai tampak pada minggu ke-6. Terdapat perbedaan sebesar 14.1 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman).

Tebal daun menunjukkan pengaruh yang nyata dengan respon bersifat kuadratik (Gambar 4) dengan persamaan regresi yaitu Y = 1.14636 + 0.0159x – 0.000121x2 dan nilai R2 = 0.702. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar 65.7 g/tanaman.

Jumlah daun

Jumlah daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata sudah mulai tampak pada umur tanaman 4 MST hingga tanaman berumur 14 MST. Terdapat perbedaan sebesar  57.8 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan  A1 (25 g/tanaman), terdapat peningkatan sebesar 57.8 % setelah pemberian abu janjang dengan dosis 25 g/tanaman.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap jumlah daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (gambar 5) dengan persamaan regresi yaitu Y = 10.2435 + 0.0873x  – 0.000608x2 dan nilai R2 =0.67. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar  71.8 g/tanaman.

Jumlah anakan

Jumlah anakan hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Jumlah anakan mulai tampak perbedaan nyata pada umur 12 MST. Terdapat perbedaan sebesar  144 % antara perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A1 (25 g/tanaman),

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap jumlah anakan yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik (Gambar 6) dengan persamaan regresi yaitu Y = 1.31392 + 0.108395x   – 0.000664x2 dan nilai R2 =0.613. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar  81.6 g/tanaman.

Tabel 4. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata tebal daun (cm)

perlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Page 111: Sawi ilaaaaaaaaa

A00.63

a0.78

b0.93

c 1 b1.04

b1.08

c 1.1 c1.11

c1.11

c 1.111.11

b1.11

b1.11

b

A10.69

a0.89

a 1.1 b1.28

a1.28

a1.28

b1.28

b1.29

b1.29

b 1.361.46

a 1.5 a1.57

a

A20.06

a 0.9 a1.11

b 1.2 a1.26

a1.32

a1.33 ab

1.34 ab

1.34 ab 1.36

1.46 a 1.5 a

1.57 a

A30.69

a0.94

a1.18

a1.27

a1.31

a1.36

a1.37

a1.38

a1.38

a 1.391.46

a 1.5 a1.54

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 5. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata jumlah daun (helai)

PERLKMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A04.68

c5.49

b6.23

b 6.7 b 7.16

b7.53

b7.78

c8.01

c8.18

c8.88

c8.93

c9.85 

b10.11 b

A14.85 bc

5.93 a

7.01 a

7.59 a

8.06 a

8.68 a 8.8 b

9.16 b

9.96 b

10.36 bc

10.41 bc

12.25 a

12.38 a

A25  b

6.14 a

7.21 a

7.64 a

8.16 a

8.91 a

9.48 a

10.36 a

10.9 a

12.6 a

12.83 a

13.5 a

13.5 a

A35.1 a 6.2 a 7.3 a

7.82 a

8.35 a

9.05 a

9.55 a

10.31 a

10.95 a

11.75 a

11.78 a

12.6 a

12.93 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 6. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata jumlah anakan (buah)

PERLK28Minggu ke-

10 12 14 16 18 20 22 24 26A0 0.64 0.75 b 0.77 b 0.77 b 0.77 c 0.91 c 1.1 c 1.1 c 1.1 b 1.15 bA1 1.25 1.61 a 1.93 a 1.95 a 2.51 b 2.92 b 3.8 b 4.04 b 5.02 a 6.23 a

A21.69 1.72 a 2.16 a 2.24 a

3.43 ab  3.49 b 4.04 b

4.18 ab 4.32 a 4.75 a

A31.37

1.43 ab 2.18 a 2.3 a 3.93 a 4 .97 a 5.17 a 5.2 a 5.23 a 5.57 a

Gambar 6.   Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Jumlah anakan (buah) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTGambar 5.    Grafik Regresi Respon Pertumbuhan jumlah daun (helai) Terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MST

Page 112: Sawi ilaaaaaaaaa

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 7. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata bobot basah (buah) umur 32 MST

PERLKPelepah  ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

A04.91 b 13 b

24.75 b

55.41 c

98.33 d

144.17 c

171.25 a

176.33 d

162.5 d

140  d

121.25 d

100.45 d

A15.25 b

12.5 b 31 b

74.58 b

133.33 c

208.75 b

286.25 c

309.17 c

311.67 c

284.58 c

260.83 c

225.83 c

A28.41 ab

17.91 a 45 a

97.91 a

173.75 b

295.83 a 395 b 445 b

462.5 b

452.08 b

411.67 b

377.92 b

A3

Gambar 7. Grafik Regresi Respon Bobot basah (g) terhadap Pemberian Abu Janjang umur    32 MST9.75 a 21 a

52.08 a

110.41 a 205 a

322.92 a

457.5 a

517.08 a

530.83 a

524.58 a

486.67 a

442.08 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 113: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Bobot basah pelepah

Bobot basah pelepah hanya nyata dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Terdapat perbedaan sebesar 91 % terhadap bobot basah pelepah dengan pemberian abu janjang 25 g/tanaman. Gambar 6 menunjukkan bahwa bobot basah pelepah terbesar rata-rata dari semua perlakuan terdapat pada daun   ke-9.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap lebar daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 7) dengan persamaan regresi  yaitu Y = 156.273 + 7.88455x – 0.0402x2 dan nilai R2 = 0.823. Dosis optimum yaitu sebesar  97.8 g/tanaman.

Pembahasan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa jenis mikroba yang diberikan dalam pengomposan tanah gambut belum dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya, diduga pada saat pengomposan belum terjadi perombakan sempurna mikroba dan  faktor lingkungan yang belum optimal dalam perombakan tanah gambut oleh mikroba diantaranya adalah pH. Agustina (1996) mengatakan bahwa aktivitas biologi di dalam tanah juga dipengaruhi oleh pH tanah, pengaruhnya di dalam kecepatan penguraian bahan organik, pada pH 6 –7 mikroorganisme tanah paling aktif menguraikan bahan organik dan membantu cepatnya ketersediaan unsur hara dalam tanah dan menurut Soepardi (1983), bakteri memerlukan nilai pH antara 6,5 – 7,5 dan ragi memerlukan pH 4,0 – 4,5.  Diduga pula tanah gambut yang digunakan telah mengalami dekomposisi hampir sempurna, sehingga keberadaan mikroba-mikroba yang ditambahkan ke dalam tanah gambut sebagai inokulum untuk mempercepat laju dekomposisi belum memberikan pengaruh terhadap perubahan tanah gambut menjadi lebih matang.

Gambut adalah timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya perombakan pada tanah gambut karena aktivitas mikroorganisme yang rendah. Perombakan dikatakan lebih sempurna jika nisbah C/N < 20. Dari tabel lampiran analisis tanah awal bahwa C-organik tanah sebesar 53,84 dan kandungan N sebesar 0,44 % ini berarti C/N tanah gambut sangat tinggi yaitu sebesar 122. Kussow (1971) mengatakan bahwa jasad mikro dapat memineralisasi bahan organik bilamana cukup tersedia N, kebutuhan N akan terpenuhi bilamana bahan organik mengandung 1,5 – 2,0 % N dan nisbah C/N sama dengan 20 atau 25. Bila bahan

Page 114: Sawi ilaaaaaaaaa

organik mengandung kurang dari 1,5 % N dengan C/N lebih besar dari 25, maka besarnya dekomposisi ditentukan oleh seberapa banyak N-anorganik dalam tanah yang dapat digunakan oleh jasad mikro. Kondisi asam (pH rendah) juga menjadi penghambat aktivitas mikrooganisme. Hasil penelitian Komariah et al., (1993) menunjukkan penggunaan mikroorganisme perombak selulosa dapat meningkatkan ketersediaan hara dan pH gambut, tetapi belum dapat menurunkan nisbah C/N.

Abu janjang kelapa sawit merupakan sumber hara kalium. Pemberian abu janjang memberikan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tidak diberi abu janjang pada semua taraf perlakuan jenis bahan organik tanah gambut. Tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun dan bobot basah pelepah nilainya lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan abu janjang (Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8). Pemberian abu janjang dapat meningkatkan bobot tanaman, jumlah daun dan cabang pada tanaman kacang buncis (Safo et al., 1997).

Fiksasi K tidak terjadi dalam tanah gambut sehingga  K dalam bentuk terlarut akan mudah tercuci bila tidak segera digunakan. Namun pemberian abu janjang sebagai pengganti K yang terus menerus dapat meningkatkan kandungan hara K di dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada penelitian ini pemberian abu janjang sampai batas tertentu meningkatkan kandungan hara K.

Respon kuadratik menunjukkan bahwa pemberian abu janjang dengan kisaran dosis 67 – 95 g/tanaman masih dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya tetapi jika dilakukan penambahan dosis maka pertumbuhannya akan konstan dan cenderung menurun.  Kemungkinannya adalah  unsur K diserap jauh lebih banyak dibandingkan unsur hara lain. Meningkatnya kandungan K daun sejalan dengan meningkatnya pemberian K pada tanah. Pemberian abu janjang memberikan informasi bahwa abu janjang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi dari pupuk KCl. Menurut Nelson (1982) bahwa tingginya kandungan K dalam tanah meningkatkan pengambilan kalium oleh tanaman. Tetapi dengan meningkatnya dosis K yang berasal dari abu janjang akan menurunkan kandungan hara, hal tersebut sesuai dengan penelitian Viro dalam Mengel dan Kirkbly (1982) bahwa meningkatnya konsentrasi K dalam kultur larutan hara akan menurunkan kandungan Na, Ca dan Mg daun maupun akar.

KESIMPULAN

1. Proses pembentukan kompos tanah gambut dengan penambahan mikroba belum dapat terdekomposisi secara sempurna diduga karena faktor lingkungan untuk pertumbuhan mikroba tidak optimal, sehingga kompos yang diaplikasikan belum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan terhadap bobot basah pelepah lidah buaya.

1. Pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah.

2. Dari persamaan regresi didapatkan bahwa dosis optimum abu janjang terhadap panjang daun 84.7 g/tanaman, lebar daun sebesar 73.3g/tanaman, tebal daun sebesar 65.7 g/tanaman dan bobot basah sebesar 97.8 g/tanaman.

Page 115: Sawi ilaaaaaaaaa

DAFTAR PUSTAKAChan F, Suwandi , Tobing EL. 1982. Penggunaan abu janjang sebagai pupuk kalium pada pertanaman kelapa sawit. Pedoman TeknisPusat Penelitian. Marihat.

Irawan. 1999. Analisis Ekonomi Penerapan Teknologi Rehabilitasi Lahan Gambut Bongkor: Studi Kasus Di Kalampangan Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Puslittanak. BPPT. Lido 6 – 8 Des 1999.

Komariah ST, Prihartini dan ME Suryadi. 1993. Aktivitas Mikroorganisme dalam Reklamasi Tanah Gambut. Dalam: Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Puslittanak. Bogor.

Kussow WR. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Mengel K and Kirkby EA. 1982. Principal of Plant Nutrition. 3rd. International Potash Institut. Bern.Switzerland. 655.

Nelson WL. 1982. Interaction Of Potasium with Moisture and Temperature. Potash Review. Subject 16 No 1. Int Potash Institut Bern.Switzerland.

Panjaitan A. 1983. Pengaruh Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Keasaman (pH) Tanah Podsolik, Regosol dan Alluvial. Bul. Penelitian Perkebunan Medan. 14 (3) : 97 – 106.

Safo EY, Ankomah, AB Brandford dan Arthur J. 1997. Palm bunch ash effects on growth of cowpea and the characteristic of Ghanian soil. Afican Crop Science Journal. 5(3): 303 -308

Sanchez PA. 1976.  Properties and Management of Soils in the Tropics. John Wiley and Sons. NewYork.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah.  Institut Pertanian Bogor. Bogor

Tinggalkan Sebuah Komentar

Pengaruh Pupuk Majemuk Terhadap Pertumbuhan == M Irwansyah Noor   dkk 18 Juni 2011, 3:42 pm Filed under: Penelitian

PENGARUH BEBERAPA PUPUK MAJEMUK TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT KELAPA SAWIT PADA TANAH ALUVIAL DAN PODSOLIK MERAH KUNING

Page 116: Sawi ilaaaaaaaaa

(Effects of Compound Fertilizer to the Growth of Oil Palm Young Plant on Alluvial and Red Yellow Podsolic)

 

M. Irwansyah Noor1, Kamillah2; Kambang Vetrani Asie2

1) Alumni Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya

2) Staf Pengajar Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

 

ABSTRACT

The aims of this experiment were to analyze the effects of different compound fertilizers to the growth of oil palm young plants on alluvial and red yellow podsolic, and the interaction between soil’s types and compound fertilizers. This experiment was held on a factorial completely randomized design consisting of two factors, first factor was the type of soil; Alluvial and Red Yellow Podsolic and the second factor was the type of compound fertilizer; Without Compound Fertilizer, Compound Fertilizer Dekastar Plus, Compound Fertilizer Mutiara, and Compound Fertilizer Bintang. The result indicated that application of compound fertilizers Mutiara, Dekastar Plus and Bintang on alluvial and red yellow podsolic gave better responses to the growth of oil palm young plants than control. Among the three types of compound fertilizers, compound fertilizers Mutiara gave better growth to oil palm young plant compared to compound fertilizer Dekastar Plus and Bintang, the different of soil types was not response significantly to the growth of oil palm young plant and there was not any interaction between soil types and compound fertilizer’s types to the growth of oil palm young plant.

 

Key words: oil palm young plants, Compound Fertilizer, Alluvial, Red Yellow Podsolic

 

ABSTRAK

Tujuan dari  penelitian ini untuk mengetahui kadar unsur beberapa pupuk majemuk yang berbeda terhadap pertumbuhan bibit tanaman kelapa sawit di tanah alluvial dan podsolik merah kuning, dan interaksi antara jenis pupuk majemuk dengan jenis tanah. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial terdiri dari dua faktor, faktor pertama adalah jenis tanah yaitu tanah alluvial dan Podsolik Merah Kuning, dan faktor kedua adalah jenis dari pupuk majemuk yaitu Tanpa Pupuk Majemuk, Pupuk Majemuk Dekastar Plus, Pupuk Majemuk Mutiara, dan Pupuk Majemuk Bintang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk majemuk Mutiara, Dekastar Plus dan Bintang di tanah alluvial dan podsolik merah kuning memberi tanggapan lebih baik terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit dibanding kontrol. Di

Page 117: Sawi ilaaaaaaaaa

antara tiga jenis pupuk majemuk, pupuk majemuk Mutiara memberikan hasil pertumbuhan lebih baik terhadap bibit tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan pupuk majemuk Dekastar Plus dan Bintang. Perbedaan kedua jenis tanah tidak berbeda nyata responsnya pada pertumbuhan bibit kelapa sawit, serta tidak terdapat interaksi antara perbedaan jenis tanah dengan jenis pupuk majemuk dalam pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

Key words : Bibit Kelapa Sawit, Pupuk Majemuk, Alluvial,  Podsolik Merah Kuning

 

 

 

 

PENDAHULUAN

          Dalam budidaya tanaman kelapa sawit banyak tahapan yang harus diperhatikan, salah satunya adalah tahap pembibitan, dimana tahap ini sangat penting agar dapat menghasilkan bibit kelapa sawit yang berkualitas baik dan tumbuh dengan optimal.

          Pada umumnya Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas jenis-jenis tanah podsolik merah kuning, organosol, laterit, regosol, aluvial, podsol, lithosol dan latosol. Dominasi terbesar oleh jenis tanah podsolik merah kuning dengan luas 6.033.693 ha, sedangkan jenis tanah aluvial memiliki luasan lahan 1.452.305 ha (BPS Kalteng, 2006). Dengan kondisi luas lahan seperti itu, menjadikan kawasan tersebut banyak dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit.

          Podsolik merah kuning memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah untuk tanaman pangan. Podsolik merah kuning juga memiliki pH yang rendah, dan seringkali mengalami keracunan aluminium, namun podsolik merah kuning memiliki tanggapan yang baik terhadap pemupukan, sehingga dengan perbaikan tanah dan pemberian pupuk, podsolik merah kuning dapat dikembangkan untuk lahan pertanian (Hardjowigeno, 2003; Foth, 1994).

          Tanah aluvial hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horizon. Keadaan tekstur tanah tergolong kepada proses transportasi dan akumulasinya. Pada umumnya, tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika terletak berdekatan dengan sungai dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir (flood plain) (Darmawijaya, 1990; Rafi’i, 1980).

Page 118: Sawi ilaaaaaaaaa

          Baik tanah podsolik merah kuning maupun tanah aluvial, merupakan tanah yang tingkat kesuburannya kurang sehingga memerlukan pengolahan yang intensif untuk memperbaiki kualitas tanah agar dapat digunakan sebagai media tanam. Seperti podsolik merah kuning yang memiliki karakteristik pH, bahan organik, KTK, KB, Ketersediaan P dan retensi (daya simpan) air yang cukup rendah, serta tingginya kejenuhan Al, Fe dan tingkat erodibilitas tanah yang kurang standar untuk media tanam (Koedadiri, 2004).

          Pemberian pupuk majemuk yang baik kepada kedua jenis tanah tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penanaman tanaman. Pupuk majemuk memiliki unsur hara makro yang sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya, oleh karena itu pemberian pupuk majemuk dapat menambahkan unsur hara ke dalam tanah seperti unsur hara N, P dan K (Sutedjo, 1995).

          Pentingnya pembibitan kelapa sawit menyebabkan begitu pentingnya perawatan pada tahap pembibitan. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi tahapan ini, dimana tingkat kesuburan tanah yang baik akan dapat menyediakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan cara pemberian pupuk untuk menambahkan unsur hara yang tidak tersedia bagi tanaman. Pupuk majemuk merupakan salah satu contoh pupuk yang dapat digunakan, dimana pupuk ini memiliki kandungan unsur hara yang diperlukan tanaman dan baik untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara.

            Sebagian besar perkebunan kelapa sawit tersebar di daerah tanah podsolik merah kuning dan aluvial, sehingga pembibitan kelapa sawit sering menggunakan kedua jenis tanah tersebut. Kendala yang dihadapi kedua jenis tanah ini adalah kurang tersedianya unsur hara yang diperlukan tanaman, karena itu pemupukan dengan pupuk majemuk sangat membantu untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara tersebut.

            Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah podsolik merah kuning dengan pemberian pupuk majemuk yang berbeda, pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah aluvial dengan pemberian pupuk majemuk yang berbeda dan interaksi antara perbedaan jenis pupuk majemuk dengan tanah podsolik merah kuning dan aluvial pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

          Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah jenis tanah yang terdiri dari dua taraf, yaitu :

S1 = Tanah aluvial

S2 = Tanah podsolik merah kuning

Page 119: Sawi ilaaaaaaaaa

          Faktor kedua adalah perlakuan tiga jenis pupuk majemuk yang berbeda kandungan hara NPK-nya dan satu tanpa pupuk majemuk.

P0 = Tanpa Pupuk Majemuk

P1 = Pupuk Dekastar plus (13: 13: 13: TE )

P2 = Pupuk Mutiara (16: 16: 16 )

P3 = Pupuk Bintang (15: 15: 15 )

          Dengan demikian terdapat delapan kombinasi perlakuan (Tabel 1), masing-masing kombinasi diulang sebanyak 3 (tiga) kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 24 satuan percobaan. Satu kombinasi perlakuan terdiri dari enam tanaman.

 

Tabel 1. Kombinasi perlakuan jenis pupuk dan jenis tanah

Jenis Tanah (S)Jenis Pupuk (P)

P0 P1 P2 P3

S1 S1P0 S1P1 S1P2 S1P3

S2 S2P0 S2P1 S2P2 S2P3

 

     Model linear aditif yang digunakan dalam penelitian ini, menurut  Yitnosumarto (1993) adalah sebagai berikut :

Yijk = m + Si + Pj + (SP)ij + eijk

 

Dimana :

Yijk    = Nilai pengamatan perlakuan pemberian pupuk majemuk ke-j terhadap jenis tanah ke-i pada ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

m       = Nilai tengah umum seluruh pengamatan (rata-rata umum)

Si       = Pengaruh jenis tanah taraf ke-i (i = 1, 2)

Pj      = Pengaruh jenis pupuk majemuk taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4)

(SP)ij =  Pengaruh interaksi antara jenis tanah ke-i dan jenis pupuk majemuk ke-j

Page 120: Sawi ilaaaaaaaaa

eijk   =    Galat percobaan untuk jenis tanah ke-i, jenis pupuk majemuk ke-j pada ulangan ke-k.

            Variabel pengamatan meliputi tinggi tanaman, luas daun yang diukur menggunakan metode kertas milimeter blok, bobot basah dan bobot kering biomass tanaman, serta kandungan N, P dan K dalam jaringan tanaman.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman

Pemberian pupuk majemuk yang berbeda memberikan hasil pertambahan tinggi bibit kelapa sawit yang signifikan dibandingkan dengan bibit kelapa sawit yang tidak diberikan pupuk majemuk (kontrol).

Dari ketiga jenis pupuk majemuk tersebut terlihat bahwa pemberian pupuk majemuk Dekastar Plus (P1) menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk majemuk Mutiara dan Bintang (Gambar 1).

Tinggi tanaman merupakan salah satu parameter pertumbuhan yang dapat digunakan untuk mengukur atau menduga pengaruh pengelolaan lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).

         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 121: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

Gambar 1.        Pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 9 – 21 minggu setelah tanam (mst)

          Hingga umur 17 mst, pengaruh perlakuan pemberian pupuk majemuk tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun mulai bibit kelapa sawit berumur 19 mst hingga 21 mst baru pengaruh perlakuan terlihat nyata terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

          Pada umur 19 mst terlihat jelas laju pertumbuhan bibit kelapa sawit, dimana pada bibit kelapa sawit yang digunakan sebagai kontrol hanya memiliki rata-rata tinggi sebesar 24,15 cm sedangkan pada bibit kelapa sawit yang diberikan perlakuan pemberian pupuk majemuk mutiara memberikan pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi sebesar 27,95 cm.

          Pada umur 21 mst tampak jelas pemberian pupuk majemuk berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit, dimana jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol) hanya memiliki tinggi rata-rata sebesar 26,2 cm, sedangkan perlakuan pemberian pupuk majemuk dekastar plus menghasilkan tinggi rata-rata tanaman sebesar 32,5 cm.   

 

Luas daun

          Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman budidaya harus dapat menyerap sebagian besar radiasi matahari tersebut dengan jaringan fotosintesis yang hijau (Serano dkk, 1995). Daun sebagai organ utama untuk menyerap cahaya dan untuk melakukan fotosintesis pada tanaman daerah tropis memiliki struktur daun yang hampir menutup sebagian besar permukaan tanah (Lubis, 1992).

 

         

 

 

 

 

 

 

Page 122: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Perkembangan luas daun bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

         

          Kelapa sawit termasuk dalam spesies tanaman budidaya golongan C4, dimanatanaman golongan C4 efisien dalam menggunakan radiasi matahari pada proses fotosintesis, dan cenderung menginvestasikan sebagian besar hasil fotosintesis pada awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun (Salisbury dan Ross, 1995). Oleh sebab itu luas daun sering dijadikan sebagai parameter pertumbuhan untuk menduga adanya pengaruh perlakuan dalam penelitian.

          Hasil analisis ragam menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada perkembangan luas daun dari setiap perlakuan yang diberikan. Hasil analisis ragam perkembangan luas daun menunjukkan pemberian pupuk majemuk mutiara memberikan perkembangan luas daun bibit kelapa sawit yang lebih luas dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 2).

          Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara jenis tanah dan jenis pupuk majemuk pada bibit kelapa sawit. Dari semua pengamatan pada umur 13 – 21 mst terlihat perlakuan pemberian pupuk majemuk Mutiara menunjukkan hasil yang baik di setiap jenis tanah, dimana pada pemberian pupuk majemuk Mutiara, perkembangan luas daun selalu meningkat. Hal ini dikarenakan pupuk majemuk Mutiara memiliki kandungan kadar unsur yang lebih tinggi dibanding jenis pupuk majemuk lainnya, dimana pupuk majemuk Mutiara memiliki kandungan NPK dengan komposisi 16:16:16. Selain itu pupuk majemuk Mutiara juga memiliki kandungan unsur hara sekunder seperti CaO dan MgO (Sutedjo, 1995).           

 

Bobot Basah Biomasa Bibit Kelapa Sawit

          Bobot basah tanaman budidaya hanya dapat digunakan untuk menggambarkan hasil asimilasi secara umum, bukan hasil asimilasi bersih karena masih mengandung sejumlah air dan sebagian kecil hara mineral. Meskipun demikian, jika kondisi air tanah stabil pada kapasitas lapang, maka bobot basah tanaman juga dapat untuk memprediksikan hasil bersih fotosintesis

Page 123: Sawi ilaaaaaaaaa

dan dengan demikian bobot basah tanaman bisa dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengukur pengaruh lingkungan tumbuh.

          Laju pertumbuhan tanaman budidaya adalah bertambahnya berat dalam komunitas tanaman persatuan luas tanah dalam satu satuan waktu, dan dapat digunakan secara luas dalam analisis pertumbuhan tanaman budidaya di lapangan (Gardner dkk, 1991)

          Hasil analisis ragam bobot basah biomasa bibit kelapa sawit pada umur 13, 17 dan 21 mst menunjukkan pada umur 21 mst, pemberian pupuk majemuk Dekastar Plus dan Mutiara kepada kedua jenis tanah bobot basah biomassa bibit lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol dan pemberian pupuk majemuk Bintang.    

Interaksi antara jenis tanah dan jenis pupuk majemuk tidak menunjukkan interaksi yang signifikan, dimana hasil analisis ragamnya tidak  berbeda nyata.

          Terjadinya keragaman perkembangan bobot basah bibit kelapa sawit yang signifikan diantara perlakuan pupuk majemuk menunjukkan bahwa secara kualitatif ada perbedaan diantara pupuk majemuk tersebut. Hal ini di karenakan pupuk majemuk Mutiara mengandung unsur hara N, P, dan K dengan perbandingan (16:16:16), yang berarti kandungan N sebesar 16%, P2O5 sebesar 16%, dan K2O sebesar 16%. Dimana dengan perbandingan tersebut menunjukkan kandungan hara N, P dan K yang terdapat pada pupuk majemuk Mutiara lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pupuk majemuk Bintang (15: 15: 15) dan pupuk majemuk Dekastar Plus (13: 13: 13).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 124: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.      Bobot basah biomassa bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

         

Bobot Kering Biomasa Bibit Kelapa Sawit

          Bobot kering total tanaman budidaya di lapangan merupakan akibat dari penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 sepanjang pertumbuhannya, faktor utama yang mempengaruhi bobot kering total tanaman adalah radiasi matahari yang diabsorbsi dan efisiensi pemanfaatan energi matahari tersebut untuk asimilasi CO2 oleh daun (Gardner dkk, 1991).

          Hasil analisis ragam boot kering bibit kelapa sawit menunjukkan perbedaan yang nyata dari perbedaan jenis pupuk majemuk pada umur 21 mst. Pemberian pupuk majemuk terhadap dua jenis tanah memberikan pertumbuhan yang signifikan yang dapat dilihat dari bobot kering bibit kelapa sawit, dimana pemberian pupuk majemuk memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada kedua jenis tanah

          Pada umur tanaman 21 mst terlihat pemberian pupuk majemuk Mutiara menunjukkan Bobot kering bibit kelapa sawit yang lebih berat dibandingkan pupuk majemuk lainnya. Bobot kering tanaman budidaya di lapangan merupakan akibat dari penimbunan hasil bersih fotosintesis (asimilasi CO2) sepanjang musim pertumbuhan, yang telah dipengaruhi oleh berbagai dampak faktor penghambat dan pendukung dari lingkungan (Gardner dkk, 1991).

         

 

 

 

 

Page 125: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.   Bobot kering bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

 

          Terlihat perbandingan yang cukup signifikan pada bobot kering bibit kelapa sawit tanpa pupuk majemuk (kontrol) dengan bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan, tetapi antar perlakuan pupuk majemuk tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan dimana bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan pupuk majemuk memberikan hasil yang hampir sama. (Gambar 4).

          Interaksi dari tiga jenis pupuk majemuk dan dua jenis tanah tidak menunjukkan interaksi yang signifikan, dimana dari hasil analisis ragam tidak terjadi interaksi antara ketiga jenis pupuk majemuk terhadap jenis media tanah yang digunakan.

 

Kandungan Total Hara Bibit Kelapa Sawit

          Analisis kandungan unsur hara N, P, dan K dalam jaringan bibit kelapa sawit dilakukan secara komposit, yaitu dengan cara mencabut (destruktif) bibit kelapa sawit yang ditanam pada polibag, diambil satu bibit kelapa sawit sebagai sampel pada setiap kombinasi perlakuan dan ulangan, selanjutnya seluruh bagian tanaman (akar, batang dan daun) dianalisis kandungan unsur hara lebih lanjut. Hasil analisis kandungan unsur hara disajikan pada

          Hasil analisis jaringan tanaman menunjukkan bahwa kandungan hara tanaman kelapa sawit terbesar pada jenis tanah aluvial yang mendapat perlakuan pupuk majemuk Mutiara, dengan jumlah N-total tertinggi sebesar 1,59 %, kandungan P-total sebesar 626,31 ppm dan kandungan K-total sebesar 8.317,39 ppm, sedangkan pada tanah podsolik merah kuning, kandungan hara bibit kelapa sawit yang terbaik adalah perlakuan pemberian pupuk majemuk

Page 126: Sawi ilaaaaaaaaa

Mutiara juga, dengan nilai N-total sebesar 1,11 %, P-total sebesar 322,70 ppm dan K-total sebesar 6.094,58 ppm.

          Pada kedua jenis tanah tersebut pemberian pupuk majemuk memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan bibit kontrol, dimana pemberian jenis pupuk majemuk Mutiara memberikan nilai kandungan unsur lebih besar dibanding dengan jenis pupuk majemuk yang lain. Hal ini dikarenakan pupuk majemuk Mutiara merupakan pupuk yang memiliki komposisi terbesar diantara jenis pupuk lainnya dan pupuk majemuk Mutiara ini merupakan jenis pupuk majemuk yang mudah terlarut di dalam tanah, sehingga dapat diserap dengan cepat oleh tanaman (Sutedjo, 1995).

Dari kedua jenis tanah tersebut terlihat perlakuan pemberian pupuk majemuk Mutiara memberikan pengaruh yang berbeda dari pemberian jenis pupuk majemuk lainnya. Terlihat jenis tanah aluvial memberikan respons yang lebih baik dibanding jenis tanah podsolik merah kuning, dimana nilai kandungan N-total, P-total dan K-total lebih tinggi dibandingkan pada jenis tanah podsolik merah kuning (Gambar 5).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 127: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 5. Hasil analisis kandungan N, P dan K dalam jaringan tanaman  bibit kelapa sawit pada masing-masing perlakuan

 

KESIMPULAN

          Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh beberapa pupuk majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah aluvial dan podsolik merah kuning dapat disimpulkan:

1. Pemberian jenis pupuk majemuk Mutiara, Dekastar Plus dan Bintang pada tanah aluvial dan podsolik merah kuning memberikan respons pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih baik dibandingkan kontrol. Dari ketiga jenis pupuk majemuk, pupuk majemuk Mutiara memberikan hasil pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk majemuk Dekastar Plus dan Bintang.

2. Perbedaan kedua jenis tanah tidak berbeda nyata responsnya pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

3. Tidak terdapat interaksi antara perbedaan jenis tanah dengan jenis pupuk majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BPS Kalteng. 2006. Kalimantan Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Kalimantan Tengah. Palangka Raya

Darmawidjaja, M. I. 1990. Klasifikasi Tanah Dasar Teori Bagi Peneliti dan Pelaksana Pertanian Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Foth, H. D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Purbayanti, E.D., Lukiwati dan Trimulatsih, R. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gardner, F. P., R. B., Pearce dan R. L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (Terjemahan). UI Press. Jakarta

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta

Page 128: Sawi ilaaaaaaaaa

Koedadiri, A. D. 2004. Produktivitas Kelapa Sawit Generasi Pertama Pada Tanah Ultisol di Beberapa Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. PPKS (Avalable on-line with updates at http://www.iopri.orgindex.phpoption/com_content&task/section&id/105&Itemid/47.htm (verified 09 Okt. 2008)

Lubis, L. 1992. Usaha dan Budidaya Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta

Rafi’i. 1980. Ilmu Tanah. Angkasa. Bandung

Salisbury, F. B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 1 (terjemahan). ITB. Bandung

Serrano L., J. A. Pardos, F. I. Pugnaire dan F. Domingo. 1995. Absorption of Radiation, Photosynthessis and Biomass Production in Plants. In Pessarakli M. (ed.) 1995. Handbook of Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker, inc. New York – Hongkong.

Setyamidjaja, D. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta

Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Sutedjo, M. M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta

Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan Analisis dan Interprestasinya. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tinggalkan Sebuah Komentar

Aplikasi Trichoderma Isolat PLK-1 == Rahmawati Budi Mulyani   dkk 18 Juni 2011, 3:35 pm Filed under: Penelitian

APLIKASI TRICHODERMA ISOLAT PLK-1 DAN WAKTU INKUBASI PUPUK KANDANG AYAM  DI TANAH GAMBUT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

BUSUK PANGKAL BATANG  JAGUNG MANIS  

(Application of Trichoderma  Plk-1 Isolates and Chicken Manure Incubation Time on Peat Soil Against

 Stem Rot Disease of Sweet Corn)

Rahmawati Budi Mulyani1), Melhanah1), dan Radityo2)

1)        Staf Pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

2)        Alumni Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Palangka Raya

Page 129: Sawi ilaaaaaaaaa

 

ABSTRACT

Effect of incubation time of manure chicken in combination with application of Trichoderma sp. Plk-1 isolates in suppressing the intensity of the stem rot disease on sweet corn plants in peat soils have been studied from June 2007 until January 2008. Research using factorial completely randomized design, with the first factor is application of Trichoderma sp. Plk-1 isolates (with Trichoderma sp., Trichoderma sp. + manure chicken manure), while the second factor is the incubation time of manure (without incubation, incubation of 4 weeks, and 8-week incubation). The control group was treated without Trichoderma inoculation and chicken manure. The results showed that the application of Trichoderma isolates Plk-1 and chicken manure were significantly inhibits the development of disease up to age 4 wap (week after planting) did not cause the formation of sclerotium pathogens (4 weeks after planting). The addition of chicken manure to increase the effectiveness of antagonists was to be very good up to 100%. The longer incubation time of chicken manure which is accompanied by the addition of Trichoderma isolates Plk-1 tended to further improve plant resistance to stem rot disease due to renovation process of organic material will get better and viability sclerotia decreased.

Simak

Baca secara fonetik

Keywords: Trichoderma isolates Plk-1, incubation time, chicken manure, stem rot disease

ABSTRAK

Pengaruh waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam dikombinasikan dengan pemberian Trichoderma  sp. isolat Plk-1 dalam menekan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman jagung manis pada tanah gambut telah diteliti dari bulan Juni 2007 sampai Januari 2008.  Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor pertama adalah aplikasi Trichoderma  sp. isolat Plk-1 (dengan Trichoderma sp., Trichoderma sp. + pupuk kandang kotoran ayam), sedangkan faktor kedua adalah waktu inkubasi pupuk kandang (tanpa inkubasi, inkubasi 4 minggu, dan inkubasi 8 minggu). Perlakuan kontrol adalah perlakuan tanpa diinokulasi Trichoderma dan pupuk kandang ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 dan pupuk kandang kotoran ayam sangat nyata menghambat perkembangan penyakit hingga umur tanaman 4 mst dan menyebabkan tidak terbentuknya sklerotium patogen (4 minggu setelah tanam). Penambahan pupuk kandang kotoran ayam meningkatkan  efektivitas antagonis menjadi sangat baik  hingga mencapai 100%. Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam yang disertai dengan  penambahan Trichoderma isolat Plk-1 cenderung semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk pangkal batang karena proses perombakan bahan organik akan semakin baik dan viabilitas sklerotia semakin menurun.

Kata Kunci : Trichoderma isolat Plk-1, waktu inkubasi, pupuk kandang ayam, penyakit busuk batang

Page 130: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

PENDAHULUAN

Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii Sacc., merupakan jamur patogen yang inangnya sangat banyak, dilaporkan mempunyai tanaman inang antara 200-500 spesies (Punja, 1988). Infeksi jamur ini menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil hingga 80% (Widyanti, 2001). Jamur ini relatif sulit dikendalikan karena selain mempunyai banyak inang juga dapat membentuk sklerotium yang mampu bertahan di dalam tanah dalam waktu lama (Semangun, 2001). 

Sklerotium umumnya tidak mati oleh tindakan pengendalian kimiawi. Penggunaan jamur antagonis Trichoderma sp.sejauh ini telah teruji kemampuannya dalam mengendalikan jamur patogen tular tanah  seperti Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, dan F. o. f.sp. cubense (Darnetty et al., 2003). Isolat-isolat lokal Trichoderma spp. asal Kalimantan Tengah memiliki kemampuan antagonis yang cukup tinggi dalam menghambat pertumbuhan F. o.  f.sp. cubense secara in vitro (Saraswati et al., 2004).  Trichoderma isolat Plk-1 menunjukkan kemampuan yang lebih baik, namun keefektipan penggunaannya di lapangan dalam mengendalikan penyakit layu Fusarium masih cukup rendah  (Mulyani dan Djaya, 2006).

Lahan gambut memiliki potensi cukup besar sebagai alternatif pengembangan pertanian di Kalimantan Tengah, namun memiliki kendala sehubungan dengan tingkat kesuburannya yang rendah. Gambut yang belum terdekomposisi sempurna biasanya kurang subur. Bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kesuburan tanah.  Peranan mikroorganisme tanah terhadap dekomposisi  bahan organik sangat besar (Lestari, dan Indrayati,  2000).      Trichoderma sp.  merupakan jamur saprofit tanah yang mampu merombak bahan-bahan organik untuk digunakan sebagai  sumber nutrisinya.  Pemberian pupuk kandang diperkirakan akan meningkatkan kemampuan dan aktivitas jamur tersebut sebagai antagonis terhadap jamur S. rolfsii

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam pada tanah gambut terhadap efektivitas Trichoderma  sp. isolat PLK-1 dalam menekan intensitas serangan S. rolfsii pada tanaman jagung manis pada tanah gambut.

BAHAN DAN METODE

Isolat S. rolfsii, Trichoderma sp. dan Bahan Tanaman.  Trichoderma sp. isolat Plk-1 dan isolat S. rolfsii merupakan koleksi Laboratorium Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Isolat diremajakan pada media potato dextrose agar (PDA), diinkubasikan pada suhu ruang selama 7 hari. Selanjutnya isolat diperbanyak pada substrat

Page 131: Sawi ilaaaaaaaaa

dengan komposisi  serbuk gergaji, dedak dan beras jagung (perbandingan 2 : 2: 1), untuk digunakan di lapangan sebagai inokulum maupun antagonis. 

Media tanam merupakan tanah gambut pedalaman pada tingkat kematangan hemik diambil dari lokasi yang belum pernah ditanami. Media tanam yang sudah dikering anginkan  dimasukkan dalam polibag dan ditambahkan pupuk Urea (6 g polibag-1), SP-36 (4,5 g polibag-1), dan  KCl (3,5 g polybag-1), substrat Trichoderma sp. dan pupuk kandang, selanjutnya diinkubasikan sesuai dengan perlakuan.  Patogen S. rolfsii  diberikan sebanyak 10g polibag-1 bersamaan dengan penanaman benih jagung manis, sedangkan Trichoderma diberikan sebanyak 1,2 kg polibag-

1.Trichoderma diaplikasikan bersamaan dengan inkubasi pupuk kandang ayam, sedangkan S. rolfsii diinokulasikan bersamaan pada saat benih ditanam.

Rancangan dan Perlakuan.  Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama aplikasi  Trichoderma isolat Plk-1 (T1), aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 + pupuk kandang kotoran ayam (T2). Faktor kedua waktu inkubasi pupuk kandang ayam yaitu tanpa inkubasi (W0), waktu inkubasi 4 minggu (W1) dan waktu inkubasi 8 minggu (W2).  Setiap perlakuan diulang empat kali, keseluruhan terdapat 24 satuan percobaan.

Jumlah Sklerotium, Intensitas Penyakit, dan Efektivitas Antagonis.  Jumlah sklerotium  dihitung pada minggu keempat setelah tanam dengan metode wet sieving technique (Punja et al., 1985) dengan cara mengambil sampel media tanam sebanyak 10 gram, sampel tanah dicuci dengan air mengalir dalam ayakan 600 mm. Hasil ayakan dikeringanginkan dan sklerotia dihitung menggunakan hand tally counter.  Gejala penyakit busuk batang diamati pada pangkal batang dengan memberi nilai skor 0 =            tanaman sehat, 1= gejala nekrosis dengan luasan ½ lingkar batang, 2 = gejala nekrosis antara ½ – ¾ lingkar batang, 3        = gejala nekrosis telah melingkari batang, bercak cokelat telah meluas, dan kulit batang kadang-kadang sobek, 4 = batang yang terserang mulai terkulai dan sebagian daun layu, dan 5 = tanaman mati (Yusnita dan Sudarsono, 2004).  Intensitas penyakit (IP)  digunakan untuk menentukan keparahan serangan S. rolsii dengan rumus Djatmiko et al. 2000).

 IP = {∑(nixvi)/(NxZ)} x 100%

dimana i : 0-5, ni : jumlah tanaman yang bergejala dengan nilai skor tertentu, zi : nilai skor gejala, N : jumlah total tanaman yang diamati, dan Z : nilai skor gejala tertinggi.

Efektivitas antagonis ditentukan dengan rumus (Sukamto, 2003)

Ea = IPk-Ipp/IPk x 100%

Dimana :

 Ea = efektivitas antagonis, IPk = intensitas

penyakit pada kontrol (tanpa perlakuan), dan  IPp= intensitas penyakit dengan perlakuan. Nilai keefektifan antagonis ditentukan dengan kategori Sangat Baik (Ea > 69 %), Baik (Ea = 50-69 %), Kurang Baik (Ea = 30-49 %), dan Tidak Baik (Ea < 30 %).

Page 132: Sawi ilaaaaaaaaa

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Sklerotium.  Ketika menginfeksi tanaman S. rolfsii mengeluarkan asam oksalat dan sejumlah enzim yang dapat menyebabkan kebocoran elektrolit sel inang yang terserang.  Selain itu dalam proses infeksinya, sklerotia dapat dihasilkan dalam jumlah banyak baik di permukaan tanaman yang terserang atau di permukaan tanah sekitar tanaman.  Pada percobaan ini, sklerotia terbentuk pada perlakukan pemberian Trichoderma saja, walaupun jumlahnya cenderung menurun dengan lamanya waktu inkubasi.  Sedangkan pada perlakuan interaksi pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dan waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam patogen tidak membentuk sklerotium (Tabel 1). 

Tabel 1. Rerata Jumlah Sklerotium (4 mst)

Trichoderma

(g/polybag)

Lama inkubasi (minggu)  

W0 W1 W2  

T1 19.00 c 10.75 b 13.00 b  T2 0.25 a 0.25 a 0.25 a  

BNJ 5 % 8.5  

Keterangan :     Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan menurut uji BNJ pada taraf kepercayaan 95%

 

                  

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 133: Sawi ilaaaaaaaaa

 

Gambar 1.        Interaksi pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dan waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam

Hal ini akibat peranan dari jamur Trichoderma isolat Plk-1 sebagai antagonis yang mampu menekan perkembangan  S.rolfsii dan menghambat pembentukan sklerotium sebagai struktur bertahan patogen pada media yang kaya akan bahan organik.  Menurut Yulianti (1996), penambahan bahan organik (pupuk kandang)  ke dalam tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba antara lain actinomycetes, bakteri dan jamur.  Genera Trichoderma, Aspergillus, dan Penicillium adalah jamur yang sering ditemukan meningkat populasinya pada tanah yang kaya akan bahan organik, dan seringkali bersifat antagonis terhadap jamur-jamur patogen tanah seperti S. rolfsii. Perlakukan Trichoderma ditambah dengan pemberian pupuk kandang ayam sampai dengan inkubasi 8 minggu mampu menekan pembentukan sklerotium (Gambar 1).  Sesuai dengan hasil penelitian Yulianti (1996), bahwa pupuk kandang ayam setelah diinkubasikan satu bulan mampu menurunkan viabilitas sklerotia S. rolfsii, kemampuan penurunan viabilitas dan degradasi sklerotia semakin besar dan habis setelah tiga bulan inkubasi.

Pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dengan  penambahan pupuk kandang kotoran ayam tanpa inkubasi maupun yang diinkubasikan selama 4-8 minggu nyata menghambat pembentukan sklerotium.  Tersedianya bahan organik pada media tumbuh mampu menyediakan nutrisi yang cukup bagi mikroba antagonis sehingga koloninya berkembang cepat dan menghambat perkembangan koloni S. rolfsii. 

Pengamatan mikroskopis pada biakan oposisi Trichoderma isolat Plk-1 dan S. rolfsii memperlihatkan adanya malformasi miselium yang dilanjutkan dengan  degradasi dan lisisnya miselium patogen. Trichoderma isolat Plk-1 diduga mengeluarkan enzim selulase yang mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii dan miselianya mengalami lisis.  Kemampuan Trichoderma sp. memparasit jamur patogen merupakan komponen penting dalam mekanisme pengendalian hayati penyakit  tanaman.  Mulya dan Harmen (2003) melaporkan kemampuan T. harzianum mendegradasi dinding sel Phytophthora capsici karena menghasilkan enzim endoglukanase atau carboxymethyl cellulase (CMC-ase) yang termasuk dalam kompleks enzim selulase.

Intensitas Penyakit.  Gejala penyakit pada kontrol mulai terlihat pada umur 3 hari setelah inokulasi (hsi) dan semua tanaman pada kontrol menjadi layu dalam waktu yang singkat (umur 7 hsi).  Perlakuan aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 pada media tanam tanpa penambahan pupuk kandang ayam nampaknya belum mampu menekan intensitas penyakit busuk pangkal batang (Tabel 2). Tingginya intensitas penyakit pada perlakuan tersebut diasumsikan bahwa Trichoderma isolat Plk-1 kurang mampu berkembang secara optimal pada media tanah gambut hemik yang memiliki tingkat dekomposisi pertengahan, sehingga koloninya kurang berkembang dengan baik bila dibandingkan dengan patogen S. rolsii. Pada perlakuan ini masih terdapat serangan penyakit busuk pangkal batang.

Tabel 2. Rerata Intensitas Serangan Penyakit Busuk Pangkal  Batang (Sclerotium rolfsii)

 

Page 134: Sawi ilaaaaaaaaa

Umur Tanama

n

 (mst)

Perlakuan

Waktu Inkubasi

W0 W1 W2

1 T1 24.00 b

41.50 b

28.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 19.66

2 T1 32.50 c

31.00 c 21.00 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 6.92

3 T1 36.50 b

25.50 b

44.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 20.07

4 T1 44.00 b

37.50 b

34.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 18.85

Keterangan :     Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan menurut uji BNJ pada taraf kepercayaan 95%              

 

Kurang optimalnya  perkembangan Trichoderma dalam tanah  gambut akibat kurang tersedianya sumber nutrisi  berupa bahan organik yang bersumber dari pupuk kandang kotoran ayam.  Walaupun Trichoderma dapat mengkoloni pada media gambut ini namun laju perombakan bahan organik tidak dipengaruhi oleh populasinya. Menurut Lestari dan Indrayati (2000), semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang maka rasio C/N tanah gambut yang diinokulasi Trichoderma cenderung menurun.  Hal ini menunjukkan bahwa pelapukan bahan organik berlangsung dengan baik.  Bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kesuburan tanah. Peranan mikroorganisme tanah, antara lain Trichoderma, terhadap dekomposisi bahan organik sangat besar.

 

 

 

 

Page 135: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.   Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 pada media tanam tanpa penambahan pupuk kandang ayam.

  

Pemberian Trichoderma yang disertai dengan penambahan pupuk kandang ayam tanpa diinkubasi, inkubasi 4 dan 8 minggu nyata menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang mulai umur 1 mst (Tabel 2). Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang asumsinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut oleh Trichoderma semakin baik, sehingga unsur-unsur hara seperti nitrogen, fosfor,  kalium, kalsium dan magnesium yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia. Ketersediaan unsur-unsur tersebut diasumsikan meningkatkan pertumbuhan tanaman dan  mampu mengimbas ketahanan tanaman yang pada akhirnya melindungi tanaman dari serangan patogen S. rolfsii. Lestari dan Indrayati (2000) melaporkan bahwa unsur hara N, P, dan K, serta pH tanah gambut meningkat akibat perombakan bahan organik dengan pemberian Trichoderma. Selain itu, menurut Yulianti (1996), pupuk kandang ayam setelah diinkubasikan satu hingga tiga bulan mampu menurunkan viabilitas sklerotia S. rolfsii dan terjadi degradasi sklerotia.  Hal inilah yang menyebabkan penurunan intensitas serangan penyakit busuk pangkal batang.

Efektivitas Antagonis. Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 dengan penambahan  pupuk kandang kotoran ayam  mempunyai efektivitas pengendalian sangat baik hingga mencapai 100%. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan Trichoderma dan pupuk kandang kotoran ayam walaupun tanpa diinkubasi efektivitasnya masih sangat baik bila dibandingkan dengan aplikasi Trichoderma tanpa penambahan pupuk kandang kotoran ayam (Tabel 3)

 

Tabel 3. Rerata Efektivitas Antagonis (%)

Page 136: Sawi ilaaaaaaaaa

No. PerlakuanEfektevitas

Rerata Kriteria1   2     3    4  

1 T1W0 44.19    38.10   42.52     5.38   28.90 TB2 T1W1 3.49   40.95   59.84     19.35   26.38 TB3 T1W2 33.7   60   29.92     25.81   32.60 KB4 T2W0 100    100   100    100   100 SB5 T2W1 100    100   100    100   100 SB6 T2W2 100    100   100    100   100 SB

Keterangan :     TB = Tidak Baik; KB = Kurang Baik;

SB = Sangat Baik.

         

Efektivitas antagonis yang sangat baik sebagai akibat tersedianya bahan organik yang cukup dan terdekomposisi dengan baik, sehingga mekanisme antagonis yang dimiliki oleh Trichoderma dapat berjalan dengan baik.  Mekanisme antagonis yang dimiliki Trichoderma sp. yaitu berupa kompetisi, mikoparasit dan antibiosis. Mikoparasit merupakan mekanisme yang paling berperan, karena Trichoderma sp. menghasilkan enzim litik, terutama kitinase dan ß 1-3 glukanase yang dapat mengakibatkan lisisnya dinding sel jamur patogen (Elfina et  al., 2001).

Hasil analisis tanah pada perlakuan Trichoderma dengan pupuk kandang ayam menunjukkan pengaruh yang lebih baik pada kondisi kimia tanah gambut yaitu terjadi peningkatan pH tanah (5,2),  penurunan rasio C/N (33,55), peningkatan N-total (1,92%), kadar P (346,33 ppm) dan K-dd (2,88 me/100g) (Kamillah et al., 2007).  Kondisi ini sangat mendukung perkembangan dari antagonis, karena unsur-unsur hara hasil dekomposisi bahan organik pada tanah gambut  merupakan sumber nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan Trichoderma. Menurut Yulianti (1996), pupuk kandang ayam mempunyai kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang sapi ataupun babi, antara lain adalah nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium.

 

KESIMPULAN

Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 yang disertai dengan penambahan pupuk kandang ayam tanpa diinkubasi, inkubasi 4 dan 8 minggu sangat nyata menghambat pembentukan sklerotia sekaligus menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang hingga umur 4 mst.  Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang asumsinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut oleh Trichoderma semakin baik, sehingga unsur-unsur hara seperti nitrogen, fosfor,  kalium, kalsium dan magnesium yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia.

Penambahan pupuk kandang kotoran ayam meningkatkan   efektivitas antagonis Trichoderma isolat Plk-1 menjadi sangat baik  hingga mencapai 100% sampai umur 4 mst.

Page 137: Sawi ilaaaaaaaaa

 

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdri. Kamillah SP., MP selaku ketua Tim Hibah Penelitian PHK A-2 tahun 2007. 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Darnetty, Y. Liswarni, dan N. Litania.  2003.  Uji Kemampuan Tiga Spesies Trichoderma dalam Menekan Pertumbuhan F.o. f.sp. cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Secara In Vitro. Didalam : Prosiding Kongres XVII dan Seminar Ilmiah Nasional; Bandung,  6-8 Agustus 2003.  Bandung: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 116 – 118

Djatmiko, H.A. , Kharisun, Prihatiningsih N. 2000. Potensi Trichoderma harzianum, Pseudomonas fluorescens dan Zeolit Terhadap Penekanan Layu Scelrotium, Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai. J. Penel. Pert. Agron. 4: 14-24.

Elfina, Y., Mardinus, T. Habazar, dan A. Bachtiar.  2001.  Studi Kemampuan Isolat-isolat Jamur Trichoderma spp. yang Beredar di Sumatera Barat untuk Pengendalian Jamur Patogen Sclerotium rolfsii pada Bibit Cabai.  Di dalam:  Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah;  Bogor, 22-24 Agustus 2001.  Bogor: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 167 – 173

Kamillah, R.B. Mulyani, Basuki, S. Wibowo, dan L. Widyastuti.  2007.  Pengaruh Lama Waktu  Inkubasi Trichoderma isolat Plk-1 dan Pupuk Kandang Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis pada Tanah Gambut Pedalaman.  Laporan Penelitian PHK A-2, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya.

Lestari, Y., dan L. Indrayati.  2000.  Pemanfaatan Trichoderma dalam Mempercepat Perombakan Bahan Organik pada Tanah Gambut. Dalam Prosiding Seminar Hasil Peneltian Tanaman Pangan Lahan Rawa.  Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. hlm 160-165

Mulya, K., dan M. Harmen. 2003.  Degradasi Dinding Sel Phytophthora capsici oleh Enzim Karboksimetil Selulase Asal Trichoderma harzianum.  J. Penelitian Tanaman Industri 9 (2). p. 74-79 

Mulyani, R.B., dan  A.A. Djaya. 2007. Kajian Ketahanan Terimbas Beberapa Kultivar Pisang Lokal Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Trichoderma spp. Isolat Kal-Teng. Jurnal Agripeat  8 (1). Hlm 1-8

Page 138: Sawi ilaaaaaaaaa

Punja, Z.K.  1988.  Sclerotium (Athelia) rolfsii, a pathogen of many plant species.  Dalam Sidhu GS (ed.) Advances in Plant Pathology San Diego: Academic Pr. Hlm 523-534

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yulianti, T.  1996.  Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme pada Pupuk Kandang dengan Pengendalian Penyakit Tanaman.  Didalam : Kumpulan Makalah Penunjang Seminar Regional III PFI Komda Jateng dan DIY.  Salatiga,  9 November 1996. 9 hlm (makalah 1-13)

 

 

 

 

 

Yustina dan Sudarsono. 2004. Metode Inokulasi dan Reaksi Ketahanan 30 Genotipe Kacang Tanah terhadap Penyakit Busuk Batang Sclerotium.  Hayati 11 (2) : hlm 53-58

Sukamto, S. 2003. Pengendalian Secara Hayati Penyakit Busuk Buah Kakao dengan Jamur Antagonis Trichoderma harzianum. Prosiding Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah PFI, Bandung 6-9 Agustus 2003. Hlm 134 – 137

Widyanti.  2001.  Uji Daya Hasil dan Respon terhadap Penyakit dari Berbagai Kacang Tanah Unggul Nasional (Skripsi) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2 Komentar

Pertyumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kedelai == Erina Riak Asie   dkk 18 Juni 2011, 3:29 pm Filed under: Penelitian

PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS KEDELAI ( Glycine max L. Merr.)

PADA TANAH GAMBUT PEDALAMAN DENGAN  PEMBERIAN

KOMBINASI AMELIORAN DAN N, P, K  

(Growth and Yield of three varieties of soybean (Glycine max L. Merr.) on Inland Peat Soil

Page 139: Sawi ilaaaaaaaaa

 Fertilized by  ameliorant combination and N, P, K)

 Erina Riak Asie 1), Titin Apung Atikah1), Hajianur2)

1) Dosen Jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

               2) Alumni Jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K terhadap pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok bifaktorial, faktor pertama adalah kombinasi dosis amelioran dan N, P, K  yang terdiri atas 5 taraf, yaitu A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1

SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) ; faktor kedua adalah varietas kedelai (V) terdiri atas 3 varietas, yaitu V1 : varietas Wilis; V2 : varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara pemberian kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan varietas kedelai  terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Ketiga veriaetas yang diujicobakan memiliki respons yang sama terhadap pemberian amelioran dan N, P, K.  Pemberian kombinasi amelioran bersama pupuk N, P, K dengan dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-

1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.

Kata kunci: amelioran, N, P, K, varietas kedelai, gambut pedalaman

 

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of the combination of ameliorant and N, P, K on growth and yield of three varieties of soybean in inland peat soil. The design used was randomized block design (RBD) bifaktorial, the first factor is the combination dosage ameliorant and N, P, K which consists of five levels; A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 chicken manure + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (75 kg    ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 chicken manure + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 on ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) ; second factor is the soybean varieties, consists of three varieties : V1 : varietas Wilis; V2 :

Page 140: Sawi ilaaaaaaaaa

varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa.  Results showed that there was no interaction between dosage combination of ameliorant and N, P, K with soybean varieties on the growth and yield of soybean. Three varieties tested have a similar response on ameliorant and N, P, K. Giving ameliorant combination with fertilizer N, P, K with a dosage of 2,0 ton ha-1 dolomite + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP 36; 50 kg ha-1 KCl) can increase growth and yield. 

Keywords: ameliorant, N, P, K, soybean variety, inland peat soil.

 

PENDAHULUAN

 

Kedelai merupakan komoditi tanaman pangan yang penting artinya. Sebagai bahan makanan, kedelai banyak mengandung protein, lemak dan vitamin serta unsur mineral lainnya. Kebutuhan masyarakat akan kedelai setiap tahun terus meningkat baik untuk bahan makanan, keperluan industri maupun untuk bahan makanan ternak. Kebutuhan kedelai dalam negeri tidak seimbang dengan produksinya, sehingga untuk mengatasi hal tersebutIndonesiaperlu mengimpor kedelai. Setiap tahunIndonesiaharus mengimpor kedelai lebih dari 1juta ton (BPS, 2009).

Kendala peningkatan produksi kedelai dalam negeri saat ini semakin beragam.  Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mempengaruhi luas areal pertanaman kedelai secara nasional.  Perluasan areal pertanaman kedelai masih dimungkinkan, yaitu dengan memanfaatkan tanah-tanah marjinal yang masih tersedia cukup luas, seperti tanah gambut. 

Terbatasnya pemanfaatan tanah gambut sebagai lahan pertanian karena adanya faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman, terutama pH dan  kandungan hara yang rendah (Munir, 1996), sehingga untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi lahan demikian, diperlukan upaya antara lain penanaman varietas unggul yang toleran terhadap kemasaman tanah dan penggunaan amelioran sebagai bahan pembenah tanah serta pemupukan. 

Beragam sifat yang perlu diperbaiki pada tanah gambut pedalamn tidak mungkin hanya dengan aplikasi satu jenis amelioran saja, tetapi diperlukan perpaduan dari beberapa amelioran yang saling bersinergi dan dikombinasikan dengan pemberian pupuk anorganik untuk memperbaiki kendala budidaya kedelai pada tanah gambut.  Beberapa amelioran yang telah digunakan untuk ameliorasi tanah gambut antara lain kapur, abu, tanah mineral, dan pupuk organik.  Menurut Najiyati dkk., (1995),  penggunaan amelioran secara tunggal belum mampu meningkatkan hasil tanaman secara nyata, hal itu disebabkan masing-masing amelioran memiliki kelebihan dan kekurangan.  Selain itu, penggunaan amelioran secara tunggal akan memerlukan dosis yang cukup tinggi.

Page 141: Sawi ilaaaaaaaaa

Penggunaan kapur dan pupuk kotoran ayam akan dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan sifat kimia tanah, namun masih belum mampu menyediakan unsur hara makro seperti N, P dan K yang diperlukan tanaman dalam jumlah relatif besar.  Oleh karena itu, pemberian kombinasi amelioran yang diberikan bersama dengan pupuk N, P, K bervariasi dosis diduga dapat meningkatkan produktivitas tanah gambut melalui perbaikan sifat-sifat tanah tersebut secara keseluruhan.

Bertitik tolak dari uraian tersebut, pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada tanah gambut pedalaman terhadap tiga varietas kedelai masih perlu dikaji, karena setiap varietas mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap lingkungan dan tindakan budidaya.

 

BAHAN DAN METODE

 

Penelitian dilakukan di lahan petani yang bertempat di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah.  Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober 2009.

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih kedelai (Varietas Wilis, Baluran, Rajabasa), dolomit, pupuk kotoran ayam, pupuk N, P, K, yang bersumber dari Urea, SP-36 dan KCl serta Pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah alat pengolahan tanah, alat-alat pemeliharaan dan pengamatan tanaman.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah kombinasi dosis amelioran dan N, P, K (A) yang terdiri atas 5 taraf yaitu : A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg  ha-

1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-

1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 on ha-1

dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl). Faktor kedua adalah varietas tanaman kedelai (V) yang terdiri atas 3 varietas, yaitu : V1 : varietas Wilis; V2 : varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa.

Variabel yang diamati adalah luas daun, bobot kering tanaman, dan hasil biji per petak.

Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam (Uji F) pada taraf α. = 0,05. Apabila terdapat pengaruh perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf  α  = 0,05.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 142: Sawi ilaaaaaaaaa

 

Luas Daun

            Luas daun merupakan salah satu variabel yang dapat menjadi indikator pertumbuhan maupun sebagai variabel yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diberikan.

Pengaruh interaksi antara kombinasi amelioran bersama N, P, K dengan varietas terhadap luas daun tanaman kedelai tidak teruji nyata. Sedangkan faktor tunggal pemberian kombinasi amelioran bersama N, P, K berpengaruh nyata.  Luas daun tanaman yang diberi amelioran tunggal berupa dolomit (A0), lebih rendah dibandingkan luas daun tanaman yang diberi dua jenis amelioran, yaitu dolomit dan pupuk kotoran ayam (A1 – A4) pada berbagai kombinasi dosis N, P, K (Tabel 1).

Pemberian kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg    ha-1

urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) mampu meningkatkan luas daun tanaman dibandingkan dengan perlakukan lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan luas daun tanaman yang diberi 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-

1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl.

 

Tabel 1. Luas daun (cm2) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada umur 42 hst.

Kombinasi

Amelioran (A)

Varietas (V) 

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

  831,78

1303,31

1256,44

1143,90

1026,57

  997,43

1305,33

1324,89

1227,21

1046,22

  917,34

1632,89

1070,67

1085,33

1002,03

  915,52 a

1413,84 c

1217,33 bc

1152,15 ab

1024,94 ab

Rata-rata 1112,40 1180,22

1141,65  

Page 143: Sawi ilaaaaaaaaa

BNJ 5 % A = 259,00

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ α = 0,05

Hal ini menunjukkan bahwa perpaduan dosis amelioran mampu mengurangi pemakaian pupuk anorganik sampai setengan dari dosis rekomendasi.  Pada kombinasi dosis amelioran 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam mampu memperbaiki kondisi kesuburan tanah gambut, sehingga mampu meningkatkan ketersediaan hara melalui peningkatan pH dan suplai unsur hara dari pupuk kotoran ayam, sehingga dengan setengah dosis rekomendasi N, P, K, yaitu masing-masing sebesar  37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl, mampu mendukung pertumbuhan tanaman kedelai yang terlihat dengan semakin besarnya luas daun. Pertambahan luas daun tanaman dengan pemberian kombinasi 2 jenis amelioran merupakan salah satu indikator kecukupan unsur nitrogen yang disuplai oleh pupuk kotoran ayam dan pupuk N yang bersumber dari Urea.  Hal itu ditunjang dengan peningkatan pH tanah akibat pemberian dolomit yang akan semakin meningkatkan ketersediaan unsur N di dalam tanah. Nitrogen merupakan unsur yang dapat mengatur penggunaan fosfor, kalium dan unsur hara lainnya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002), sehingga suplai N yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.  Nitrogen berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tananaman dan penting untuk pembentukan protein. Nitrogen merupakan bahan penting penyusun asam amino dan esensial untuk pembelahan dan pembesaran sel (Loveless, 1991), yang karenanya berlangsung pertumbuhan tanaman, antara lain pertambahan luas daun.

 

Bobot Kering Tanaman

Tanaman selama masa hidupnya atau selama masa tertentu membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Oleh karena itu, perubahan akumulasi biomassa dengan umur tanaman yang tercermin melalui bobot kering tanaman akan terjadi sehingga dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan.

            Pengaruh interaksi antara kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan varietas tidak teruji nyata.  Pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman. Pemberian amelioran tunggal berupa dolomit (A0) belum mampu meningkatkan bobot kering tanaman dibandingkan dengan pemberian 2 jenis amelioran (A1-A4) (Tabel 2).  Hal itu disebabkan karena pemberian dolomit dan pupuk kotoran ayam secara bersamaan akan saling bersinergi untuk memperbaiki kondisi kesuburan tanah gambut pedalaman yang memiliki pH dan kandungan basa yang rendah.  Dolomit adalah salah satu amelioran dengan kandungan Ca2+ dan Mg2+ yang tinggi sehingga mampu meningkatkan kejenuhan basa dan pH tanah.  Sedangkan pupuk kotoran ayam adalah amelioran yang memberikan efek yang baik bagi perbaikan kesuburan tanah gambut karena mengandung unsur hara lengkap.

Kelemahan kapur sebagai amelioran ialah karena kandungan unsur haranya tidak lengkap, sehingga pemberian kapur perlu diikuti dengan pemberian pupuk N, P, K.  Sedangkan kelemahan pupuk kotoran ayam sebagai amelioran adalah karena kemampuannya meningkatkan

Page 144: Sawi ilaaaaaaaaa

kandungan basa dan pH terbatas, sehingga memerlukan dosis yang cukup banyak dalam aplikasinya.  Oleh karena itu, pemberian kedua amelioran itu perlu dilakukan secara bersamaan sehingga bisa mengatasi kelemahan dari pemberian tunggal amelioran itu.

 

 

 

Tabel 2.  Bobot kering tanaman (g) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada umur 42 hst.

Kombinasi Amelioran

(A)

Varietas (v)  

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

10,49

11,42

12,92

11,62

9,64

11,06

13,89

11,79

11,71

11,90

10,79

13,63

11,55

12,43

11,32

10,78 a

12,98 b

12,09ab

11,92 ab

10,95 aRata-rata 11,22 12,07 11,94  BNJ 5 % A = 1,67

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda menurut uji BNJ α = 0,05

 

Diimbangi dengan pemberian pupuk N, P, K akan semakin meningkatkan produkstivitas tanah gambut dalam menunjang pertumbuhan tanaman kedelai yang ditunjukkan dengan semakin tingginya bobot kering tanaman pada tanaman yang diberi dua jenis amelioran dibandingkan dengan tanaman yang hanya diberi amelioran tunggal.  Hal itu berkaitan erat dengan ketersediaan unsur N, P, K akibat perbaikan pH karena pemberian dolomit.  Peran unsur N dan P dalam pertumbuhan sangat penting.  Kekurangan N dan P akan menghambat pertumbuhan tanaman (Fitchner dan Schulze, 1992 ; Bethlenfalvay et al., 1998). Goldsworthy dan Fisher (1996) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman terlihat pada perkembangan akar, daun dan batang yang berhubungan dengan proses pembelahan sel atau pembentukan jaringan yang dapat dipelajari melalui bobot kering tanaman.  Pembelahan dan pembesaran sel sangat memerlukan unsur hara N, P, dan K.

 

Page 145: Sawi ilaaaaaaaaa

   Bobot Kering Biji per Petak

Pengaruh interaksi antara kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan verietas tidak teruji nyata. Pengaruh faktor tunggal pemberian amelioran dan N, P, K teruji nyata. Bobot biji yang dihasilkan oleh tanaman yang diberi amelioran tunggal (A0) lebih rendah dibandingkan dengan bobot biji tanaman yang diberi dua jenis amelioran (Tabel 3). 

 

Tabel 3.           Bobot kering biji per petak (g) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan      N, P, K.

Kombinasi Amelioran

(A)

Varietas (v)  

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

61,98

84,27

54,80

74,63

62,63

53,82

103,31

84,13

69,02

68,58

62,86

82,53

77,64

67,25

65,83

59,55a

90,04b

86,18b

70,30a

65,68a

Rata-rata 67,66 75,77 71,22  BNJ 5 % A = 15,67

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda menurut uji BNJ α = 0,05

Hal itu karena adanya sinergi dari kedua jenis amelioran dalam memperbaiki sifat-sifat tanah gambut pedalaman. Sejak pertumbuhannya, tanaman yang diberi dua jenis amelioran (A1 – A4) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman yang hanya diberi amelioran tunggal (A0).

            Daun merupakan organ tanaman tempat terjadinya proses fotosistesis, dengan semakin luasnya daun tanaman sampai batas tertentu akan diikuti oleh peningkatan proses fotosintesis yang terlihat dengan semakin tingginya bobot kering tanaman. Pemberian dolomit bersama dengan pupuk kotoran ayam mampu meningkatkan pH dan ketersediaan unsur hara. Dengan demikian, ketersediaan unsur hara N, P, K, baik yang berasal dari pupuk kotoran ayam maupun dari pupuk N, P, K, dapat memenuhi kebututahan tanaman, yang terlihat dari lebih luasnya daun tanaman dan lebih beratnya bobot kering tanaman pada ketiga varietas yang diberi kombinasi dua jenis amelioran tersebut. Pasaribu dan Suprapto (1993) mengemukakan bahwa suplai hara N , P, K yang tepat sangat membantu pertumbuhan tanaman untuk mencapai hasil kedelai yang tinggi.  Hasil penelitian Selvakumari et al., (2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk

Page 146: Sawi ilaaaaaaaaa

organik dapat meningkatkan suplai nutrien, memperbaiki aerasi, memperluas zona perakaran dan meningkatkan absorbsi hara sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman.

            Bobot biji kering per petak tertinggi diperoleh pada pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg    ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) atau kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg    ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl)

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

            Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, disimpulkan bahwa dalam upaya perbaikan dan pengembangan budidaya tanaman kedelai pada tanah gambut pedalaman, pemberian dua jenis amelioran yang dipadukan dengan pemberian N, P, K berpengaruh positif bagi pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai.  Hal itu didukung oleh berbagai hal sebagaimana tercantum dalam butir-butir berikut :

1.  Aplikasi perpaduan dari dua jenis amelioran yang dipadukan dengan pupuk N, P, K mampu bersinergi dan teruji lebih baik bila dibandingkan dengan aplikasi satu jenis amelioran saja. Perpaduan itu mampu meningkatkan luas daun dan bobot kering tanaman serta bobot kering biji per petak.

2.   Ketiga verietas yang diujicobakan memberikan respons yang sama terhadap pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K.

3.   Hasil biji kering per petak tertinggi diperoleh pada kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg   ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) atau kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37.5 kg   ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl)

 

Saran

      Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan hasil tanaman kedelai pada tanah gambut pedalaman dianjurkan untuk menggunakan dosis kombinasi amelioran 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl).

 

 

Page 147: Sawi ilaaaaaaaaa

DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Pusat Statistik. 2009.  http://www.bps.go.id.

Bethlenfalvay, G.J., M.S. Brown, R.L. Franson, and K.L. Mihara.1998.  The Glycine-Glomus-Bradyrhizobium Symbiosis.  Nutritional Morphological and Physiological Responses of Nodulating Soybean to Georaphic Isolates of Mycorrhyza Fungus Glomus mossae.  Physiol. Plant. 76 : 226-232.

Fitchner, K., and E.D. Schulze.  1992.  The Effect of Nitrogen Nutrition on Growth and Biomass Partititoning of Annuals Originating from Habitats of Differents Nitrogen Availability.  Oecologia 92: 236-241.

Goldssworthy, P.R. dan N.M. Fisher.  1996.  Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik  Terjemahan Tosari. GadjahMadaUniversity Press,Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 148: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lovelles, A. R.  1991.  Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik.  Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Munir, M.  1996.  Tanah-tanah Utama di Indonesia.  Pustaka Jaya,Jakarta.

Najiyati, S., Lili Muslihat dan IN.N. Suyadiputra.  2005.  Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan.  Wetlands International –Indonesia,   Bogor.

Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono.  2002.  Ilmu Kesuburan Tanah.  Kanisius, Yogyakarta.

Selvakumari, G., M. Baskar, D. Jayanthi, and K.K. Mathan.2000.  Effect of Integration of Flays with Fertilizers and Organic Manures on Nutrient Availability, Yield and Nutrient Uptake of Rice in Alfisols. J. Indian Soc.  Soil Sci. 48(2):268-278.

Pasaribu, D., dan S. Suprapto. 1993.  pemupukan NPK pada Kedelai. p.159-170. Dalam S. Somaatmadja, Ismunadji, Sumarmo, M.Syam, S.O. manurung, dan Yuswandi (ed.)  Kedelai.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,Bogor.

 

Tinggalkan Sebuah Komentar

« Older PostsNewer Posts »

Page 149: Sawi ilaaaaaaaaa

Blog pada WordPress.com.Tema: Benevolence oleh Theron Parlin.sindikasi masukan menggunakan RSS dan Komentar (RSS).

Ikuti

Follow “JURNAL ILMIAH AGRIPEAT FAPERTA UNPAR”

Get every new post delivered to your Inbox.

Powered by WordPress.com

Pencarian:

Kategori Penelitian Uncategorized

Arsip

Februari 2013Juni 2012Mei 2012Maret 2012Juni 2011Agustus 2010April 2010Februari 2009September 2008

Tautan WordPress.com WordPress.org

RESPON TANAMAN SELEDRI (Apium graveolus L.) ==   SYAHRUDIN 11 Maret 2012, 7:23 am Filed under: Penelitian

RESPON TANAMAN SELEDRI (Apium graveolus L.) TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA MACAM PUPUK DAUN PADA TIGA JENIS TANAH  (PLANT RESPONSE

celery (Apium graveolus L.) TO GRANT LEAVES SOME KIND OF FERTILIZER IN THREE KINDS OF SOIL)

Page 150: Sawi ilaaaaaaaaa

(Plant Response Celery (Apium Graveolus l.) to Grant Leaves Some Kind of Fertilizer in Three Kinds of Soil)

 Syahrudin

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

ABSTRACT

            The purpose of this research is to study the response of celery plants to giving some kind of foliar fertilizer on three types of soil. The results showed (1) the interaction of three kinds of foliar fertilizer with no significant ground on all the variables of plant growth and yield of celery (2) growth and yield responses of celery which is better shown in Growmore leaf fertilizer (32-10-10 .) This is indicated by the increased plant height, leaf number, fresh yield per plant, dry weight and crown-root ratio, followed Mamigro foliar fertilizer (25-5-10) and Hyponex foliar fertilizer (25-6-6). While no provision of fertilizer leaves show growth and lower yields (3) peat as growing medium in celery plants can give a positive response in enhancing the growth and yield of celery at all the observed variables.Keywords: Celery, leaf fertilizer, soil type

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon tanaman seledri terhadap pemberian beberapa macam pupuk daun pada tiga jenis tanah. Hasil penelitian menunjukkan (1) interaksi pemberian pupuk daun dengan tiga jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pertumbuhan dan hasil tanaman tanaman seledri (2)  respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik ditunjukkan pada pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya  tinggi tanaman, jumlah daun , hasil bobot segar  per tanaman, bobot kering dan ratio tajuk-akar, kemudian diikuti pupuk daun Mamigro (25-5-10) dan pupuk daun Hyponex (25-6-6). Sedangkan tanpa pemberian pupuk daun menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang lebih rendah (3) tanah gambut sebagai media tumbuh pada tanaman seledri mampu memberikan respon yang positif di dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri pada semua variabel pengamatan.

Kata kunci : Seledri, pupuk daun, jenis tanah

PENDAHULUAN

            Seledri (Apium graveolus L) adalah tanaman sayuran bumbu berbentuk rumput yang berasal dari benua Amerika yang digunakan sebagai bumbu penyedap makanan dan bersifat obat yang mujarab menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati kerontokan rambut, mengatasi sukar tidur, meperlancar buang air  seni dan menguatkan urat syarat (Soewito,1991).

Page 151: Sawi ilaaaaaaaaa

Pada dasarnya prospek seledri sangat cerah, baik di pasaran dalam negeri (domestik) maupun luar negeri sebagai komoditas ekspor, namun pembudidayaan seledri di Indonesia pada umumnya masih dalam skala kecil yang dilakukan sebagai sambilan (sampingan). Beberapa bukti tentang budidaya seledri di Indonesia yang belum dikelola secara komersial dan diantaranya dapat merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil survey pertanian tanaman sayuran di Indonesia pada tahun 2008, ternyata belum ditemukan data luas panen dan produksi seledri secara nasional. Demikian pula dalam program penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia pada Pusat Penelitian dan pengembangan (Puslitbang). Hortikultura sampai 2003/2004, ternyata tanaman seledri belum mendapatkan prioritas penelitian, baik sebagai komoditas utama, potensial maupun introduksi (Sutrisna, Sastraatmadja dan Ishaq, 2005).

Di Kalimantan Tengah, tanah-tanah marginal untuk pengembangan lahan pertanian didominasi oleh tanah gambut, tanah berpasir dan tanah Podsolik Merah Kuning, dimana tanah-tanah tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai media tanam, namun didalam pelaksanaannnya mempunyai kendala diantaranya tingkat kesuburan yang rendah dan minimnya unsur hara yang tersedia.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kendala tidak tersedianya unsur hara, baik makro maupun mikro pada berbagai jenis tanah yang kurang subur adalah dengan pemberian pupuk. Pemberian pupuk atau unsur hara ini selain diberikan lewat tanah dapat pula diberikan lewat daun. Menurut Lingga dan Marsono (2001), kelebihan utama dari pupuk daun, yaitu penyerapan haranya berjalan lebih cepat dibanding pupuk yang diberikan lewat akar.

Saat ini banyak produk pupuk daun dengan berbagai merk dagang dengan komposisi hara makro dan mikro yang bervariasi. Namun, secara umum unsur hara yang dominan dalam pupuk daun adalah hara makro dengan tambahan beberapa unsur mikro. Menurut Sutedjo (1999), apabila tanaman sayuran daun seperti bayam, seledri atau selada maka pupuk daun yang digunakan harus berkadar N tinggi. Beberapa contoh pupuk daun yang berkadar N tinggi dengan kadar P dan K yang bervariasi banyak ditemukan di pasaran, seperti Growmore 32-10-10 (32 % N, 10 % P dan 10 % K), Hyponex 25-5-10 (25 % N, 5 % P dan 10 % K) atau Mamigro 25-6-6 (25 % N, 6 % P dan 6 % K).

Beragamnya komposisi unsur-unsur yang dikandung pupuk daun yang dijual di pasaran tersebut, hal ini memerlukan suatu kajian yang ilmiah untuk mengaplikasikannya pada tanaman karena masing-masing tanaman punya tanggapan (respon) yang berbeda kebutuhannya terhadap pupuk (unsur hara). Bertolak dari hal tersebut kiranya perlu dilakukan penelitian tentang respon tanaman seledri terhadap pemberian beberapa macam pupuk daun pada tiga jenis tanah.

BAHAN DAN METODE

            Penelitian dilaksanakan dirumah plastik di Jalan Karanggan No. 34, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober hingga Desember 2010.

Page 152: Sawi ilaaaaaaaaa

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih seledri, pupuk daun (Growmore, Hyponex dan Mamigro), air pengencer, tanah gambut, tanah podsolik merah kuning, tanah berpasir, pupuk kandang kotoran ayam, kapur dolomit dan pestisida (Furadan 3G dan Benlate 20 EC).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain meteran, timbangan, cangkul, parang, gergaji, palu, plastik, kasa, kajang, ayakan, bak persemaian, polybag, handsprayer, neraca analitik, penggaris, alat tulis dan alat-alat tulis yang dianggap perlu.

Penelitian ini meggunakan Rancangan Acal Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk daun (P) yang terdiri dari 4 macam yaitu 0 = tanpa diberi pupuk daun, D1= pemberian pupuk daun Growmore, D2= pemberian pupuk daun Hyponex dan D3           = pemberian pupuk daun Mamigro.Faktor kedua adalah jenis tanah (T) yang terdiri dari 3 jenis, yaitu  :T1= Tanah Gambut, T2= Tanah Berpasir,T3= Tanah podsolik Merah Kuning.Variabel yang diamati  meliputi : Tinggi tanaman (cm) ; Jumlah daun (helai) ;

bobot segar tanaman (g/tanaman)  ;.Bobot kering tanaman (g/tanaman) ; Rasio Tajuk-Akar atau Shoot and Root Ratio (S/R).

 HASIL DAN PEMBAHASAN

             Interakasi antara pupuk daun dan jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pengamatan, hal ini diduga karena kedua perlakuan memiliki peranan yang sama di dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman sedeldri.  Menurut Hanafiah (1995), tidak terjadinya pengaruh interaksi dua faktor perlakuan karena kedua faktor tidak mampu bersinergi (bekerjasama) sehingga mekanisme kerjanya berbeda atau salah satu faktor tidak berperan secara optimal atau bahkan bersifat antagonis, yaitu saling menekan pengaruh masing-masing.

Walaupun tidak terjadi pengaruh interaksi pada kedua perlakuan, namun masing-masing perlakukuan faktor tunggal memberikan pengaruh nyata dalam m,eningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri.

Pengaruh Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Tanaman Seledri

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian pupuk daun menunjukkan respon yang positif  dan berpengaruh  nyata didalam meningkat pertumbuhan dan hasil tanaman seledri serta ratio tajuk-akar (pengamatan terakhir). Pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) cenderung menunjukkan perlakuan yang terbaik dibanding perlakuan lainnya. Daun merupakan variabel utama yang menentukan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis, jadi secara keseluruhan pertumbuhan tanaman seledri dapat dipacu lebih baik dengan pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10).

Tabel 1.  Rata-rata Tinggi Tanaman , Jumlah Daun, Bobot Segar, Bobot Kering dan Ratio Tajuk-Akar Tanaman Seledri  Pengaruh Perlakuan Beberapa Macam Pupuk Daun

Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Daun

Page 153: Sawi ilaaaaaaaaa

Pupuk Daun14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 HST 28 HST

Kontrol (D0) 3.94ab 5.22a 7.44a 2.22a 3.67a 5.89a

Growmore(D1) 8.11c 10.78b 14.06b 3.67b 6.00b 11.11b

Hyponex (D2) 3.50a 3.72a 7.69b 2.39a 4.11a 6.22a

Mamigro (D3) 6.78bc 9.33b 12.11a 2.56a 4.22a 6.67a

 Bobot Segar Tanaman (g)

Bobot Kering Tanaman (g)

Rasio Tajuk-Akar

Kontrol (D1) 0.88p 0.030p 4.34p

Growmore (D2) 1.26q 0.074r 5.94q

Hyponex (D3) 0.97p 0.035p 4.52p

Mamigro (D4) 1.13q 0.045pq 5.22pq

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, umur dan variabel yang sama  tidak berbeda nyata  menurut uji BNJ pada taraf 5 %.

Pada saat pertumbuhan tanaman, seperti halnya pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun seledri tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan ketersediaan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang. Pemberian pupuk daun Growmore dengan kandungan unsur hara N, P dan K yang lebih tinggi dibandingkan pupuk daun lainnya, yaitu 32% (N), 10% (P), dan 10% (K) tampaknya dapat memacu pertumbuhan tanaman seledri yang lebih baik, karena pada saat pertumbuhan tanaman unsur N, P dan K diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak dan berimbang.

            Peran utama unsur N, P dan K bagi pertumbuhan tanaman sesuai pernyataan Lingga dan Marsono (2001), bahwa unsur nitrogen (N) sangat penting untuk pertumbuhan vegetatif tanaman karena dapat merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun. Menurut Laegreid et al (1999, dalam Hindersah dan Simarmata, 2004), ketersediaan unsur nitrogen adalah penting pada saat pertumbuhan tanaman, karena nitrogen berperan dalam seluruh proses biokimia tanaman. Sedangkan fosfor (P) menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) berperan untuk pembentukan sejumlah protein tertentu, berperan dalam fotosintesis dan respirasi sehingga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman keseluruhan, selain itu berperan penting memperbaiki sistem perakaran tanaman. Adapun kalium (K) menurut Sarief (1989) merupakan salah satu unsur hara yang sangat berperan dalam memacu pertumbuhan tinggi tanaman. Apabila tanaman mengalami kekurangan unsur kalium, maka tanaman akan tumbuh lebih pendek, sehingga tanaman menjadi kerdil dan mudah rebah.

Dari unsur hara yang ada di perlukan tanaman, nitrogen (N) adalah unsur yang paling utama menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman seledri, apalagi bagian ekonomis tanaman seledri yang di panen adalah bagian batang dan daun. Tersedianya unsur nitrogen yang lebih besar yang terkandung dari pupuk daun Growmore (32%) dibanding pupuk Hyponex (25%) dan Mamigro (25%), diduga berperan langsung memacu peningkatan pertumbuhan daun. Hal ini sesuai pernyataan Lakitan (1996), bahwa pada saat pertumbuhan daun, diketahui tidak semua unsur hara diperlukan dan berperan langsung terhadap pembentukan daun. Unsur hara yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah nitrogen.

Page 154: Sawi ilaaaaaaaaa

Pertambahan jumlah daun pada akhirnya akan berakibat meningkatnya luas daun secara keseluruhan, hal ini berarti kemampuan tanaman melakukan fotosintesis meningkat, sehingga hasil fotosintesis (fotosintat) yang tersedia juga akan meningkat dan dialokasikan kebagian tanaman yang bernilai ekonomis (Goldworthy dan Fisher, 1996). Selain itu pertambahan jumlah daun juga akan berakibat langsung terhadap biomassa secara keseluruhan, hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya bobot basah dan kering yang lebih tinggi. Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk daun juga berpengaruh sangat nyata terhadap bobot segar, bobot kering dan rasio tajuk- akar tanaman seledri. Pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) lebih baik dibanding jenis pupuk daun lainnya dalam meningkatkan hasil panen (bobot segar) tanaman seledri dan berbanding lurus dengan bobot keringnya. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk daun Growmore mengandung unsur hara makro dan mikro yang lebih tinggi sehingga mampu menyediakan kebutuhan bagi pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman. Selain kandungan unsur hara makro seperti N, P, dan K yang lebih tinggi, kandungan unsur hara mikro yang terkandung dari pupuk daun Growmore juga lebih tinggi dibanding Hyponex dan Mamigro.

Tersedianya hara makro dan mikro yang lebih baik dari pupuk daun Growmore akan dapat mendukung pertumbuhan yang lebih baik, dan pada akhirnya hasil tanaman juga lebih baik.  Menurut Sitompul dan Guritno (1995), hasil tanaman sangat ditentukan oleh produksi biomassa pada saat masa pertumbuhan tanaman dan pembagian biomassa pada bagian yang dipanen. Produksi biomassa tersebut mengakibatkan pertambahan berat dapat pula diikuti dengan pertambahan ukuran tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Kondisi ini menurut Gardner dkk.. (1991) sangat dimungkinkan apabila pada saat pertumbuhan tanaman, unsur hara dan faktor pendukung lainnya tersedia dan tidak menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan pembagian hasil fotosintesis (fotosintat) ke organ hasil berjalan dengan baik.

Demikian pula rasio tajuk-akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya nitrogen. Menurut Loomis (1953, dalam Gardner dkk.. 1991), tersedianya unsur N dan air yang banyak akan dapat menggalakkan pertumbuhan ujung (tajuk). Hasil penelitian Murata (1969 dalam Gardner dkk. 1991) menunjukkan bahwa rasio tajuk-akar tanaman padi meningkat secara nyata akibat diberi nitrogen yang lebih banyak. Meningkatnya rasio tajuk-akar juga akan berakibat langsung terhadap peningkatan bagian ekonomis dari tanaman seledri yang dipanen.

Secara keseluruhan hasil panen tanaman seledri dari penelitian yang telah dilaksanakan masih di bawah standar normal, yaitu ± 1 g/tanaman. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Paishal (2005), bahwa penggunaan pupuk daun dapat menghasilkan bobot segar seledri mencapai 12,67 g/tanaman.  Rendahnya hasil tanaman seledri dari penelitian ini, diduga karena rendahnya intensitas cahaya yang diterima tanaman akibat atap naungan yang dibuat terlalu rapat sehingga ini akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman berfotosintesis sehingga hasilnya rendah.  Penelitian yang sama dari Paishal (2005), menunjukkan bahwa aplikasi naungan berpengaruh nyata menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman, yaitu pada tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, dan jumlah rumpun. Perlakuan naungan juga menurunkan hasil produksi tanaman seledri, yaitu pada jumlah tanaman yang hidup, bobot akar, bobot yang dapat dipasarkan per panel dan bobot yang dapat dipasarkan per tanaman. Tanaman tanpa naungan memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dibandingkan tanaman dengan aplikasi naungan.

Page 155: Sawi ilaaaaaaaaa

Pengaruh Jenis tanah Terhadap pertumbuhan Tanaman dan Hasil Tanaman Seledri

             Penggunaan jenis berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap variabel pertumbuhan maupun hasil tanaman seledri, yakni pada jumlah daun, bobot segar, bobot kering dan rasio tajuk-akar. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa penggunaan tanah  tanah gambut lebih baik dibandingkan jenis tanah lainnya (tanah PMK dan tanah berpasir) dalam meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman seledri. Hal ini di duga terkait dengan kandungan unsur hara atau sifat kimia tanah dari ke tiga jenis tanah tersebut berbeda sehingga tanaman merespon berbeda pula. Berdasarkan hasil analisis beberapa sifat kimia tanah dari ketiga jenis ini (Tabel 3), memperlihatkan adanya perbedaan. Tanah gambut walaupun pH nya lebih rendah dibandingkan 2 jenis tanah lainnya, namun kandungan N total, P total dan K totalnya lebih tinggi yaitu 0,83%, 217,88 ppm dan 1,28 ppm dibandingkan PMK yaitu 0,11%, 103,16 ppm dan 1,27 ppm dan tanah berpasir yaitu 0,25%, 120,99 ppm dan 0,83 ppm.

Tersedianya N, P dan K yang lebih tinggi pada tanah gambut menjadikan tanah ini mampu mendukung pertumbuhan tanaman seledri lebih baik dibandingkan pada tanah berpasir maupun tanah PMK. Khusus unsur N dan P pada tanah gambut kandungannya jauh lebih tinggi melebihi pada tanah berpasir dan tanah PMK, ini karena pada tanah gambut unsur N dan P bersumber dari bahan organik, berbeda dengan tanah berpasir dan PMK yang merupakan tanah mineral dengan kandungan bahan organik yang rendah (kurang 20%). Menurut Stevenson (1982, dalam Salampak, 1993) bahwa nitrogen dan fosfor yang tinggi pada tanah gambut bersumber dari bahan organik yang tinggi, sedangkan menurut Buckman dan Brady (1982) dan Sarief (1989) pada tanah berpasir dan PMK bahan organiknya rendah sehingga kandungan unsur N dan P pada tanah inipun jadi rendah.

Tersedianya unsur N, P dan K yang lebih tinggi pada tanah gambut ini yang menyebabkan pertumbuhan tanaman seledri lebih baik, hal ini diperlihatkan dengan pertumbuhan daun (jumlah daun) yang lebih baik pula. Unsur hara yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan daun adalah nitrogen. Sutedjo dan Kartasapoetra (1991) menambahkan bahwa fungsi N antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan daun. Daun tanaman akan menjadi banyak dan lebar dan warna yang lebih hijau. Selain N unsur P juga sangat dibutuhkan daun dalam kegiatan fosforilasi fotosintesis pada daun. Sesuai pernyataan Rosmarkam dan Yuwono (2002) bahwa fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan karena berhubungan dengan senyawa energi sel (ATP) yang dibentuk pertama kali pada saat fosforilasi pada proses fotosintesis daun. Unsur fosfor (P) sangat berperan penting dalam kegiatan ini. Sedangkan unsur K terlibat dalam mempengaruhi membuka dan menutupnya stomata pada daun, sehingga daun dapat mereduksi CO2 yang di perlukan dalam kegiatan fotosintesis.

Tabel 2.  Rata-rata Tinggi Tanaman , Jumlah Daun, Bobot Segar, Bobot Kering dan Ratio Tajuk-Akar Tanaman Seledri  Pengaruh Perlakuan Jenis Tanah

Perlakuan

Jenis Tanah (T)

Tinggi Tanaman Jumlah Daun

14 HST 21 HST 28 HST 14 HST 21 HST 28 HST

Gambut(T1) 3.94ab 5.22a 7.44a 2.22a 3.67a 5.89a

Berpasir(T2) 8.11c 10.78b 14.06b 3.67b 6.00b 11.11b

Page 156: Sawi ilaaaaaaaaa

PMK (T3) 3.50a 3.72a 7.69b 2.39a 4.11a 6.22a

 Bobot Segar Tanaman (g)

Bobot Kering Tanaman (g)

Rasio Tajuk-Akar

Gambut (T1) 0.88p 0.030p 4.34p

Berpasi (T2) 1.26q 0.074r 5.94q

PMK(T3) 0.97p 0.035p 4.52p

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kolom, umur dan variabel yang sama  tidak berbeda nyata  menurut uji BNJ pada taraf 5 %.

Berdasarkan fakta yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa tersedianya unsur N, P dan K penting sekali untuk meningkatkan pertumbuhan daun dan aktivitas fotosintesis yang tinggi. Aktivitas fotosintesis yang tinggi menjamin tersedianya fotosintat yang lebih banyak dan ini diperlukan untuk meningkatkan bobot segar dan bobot kering (biomassa) tanaman seledri yang lebih baik. Peningkatan biomassa tanaman ini erupakan akibat dari adanya pembentukan dan pertambahan organ- organ tanaman seperti akar, batang dan daun selama masa tertentu dari pertumbuhan tanaman. Sesuai pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) bahwa tanaman selama masa hidupnya atau selamamasa tertentu membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Produksi biomassa tersebut akan mengakibatkan pertambahan bobot yang diikuti dengan pertambahan ukuran lainnya secara kuantitatif. Produksi biomassa selama masa vegetatif yang lebih baik, umumnya akan menentukan hasil tanaman. Apalagi komponen hasil tanaman (bagian ekonomis) dari tanaman seledri adalah bagian vegetatif yaitu berupa batang dan daun.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1.  Interaksi pemberian pupuk daun dengan tiga jenis tanah berpengaruh tidak nyata pada semua variabel pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati

2.  Respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik ditunjukkan pada  pemberian pupuk daun Growmore (32-10-10) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya tinggi tanaman, jumlah daun, hasil bobot segar, bobot kering dan ratio tajuk-akar tanaman seledri.

3. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman seledri pada tanah gambut lebih baik dibandingkan pada tanah berpasir dan tanah PMK.

 

       Saran

1.    Untuk pertumbuhan dan hasil tanaman seledri yang lebih baik disarankan untuk menanam pada tanah gambut dan memberikan pupuk daun Growmore             (32-10-10).

Page 157: Sawi ilaaaaaaaaa

2.    Disarankan pula untuk penelitian lanjutan :

a. agar memperhatikan atap naungan tidak terlalu mengurangi intensitas matahari yang diterima tanaman seledri sehingga tanaman dapat etiolasi.

b.  memperhatikan ukuran polybag (tidak terlalu kecil) yang digunakan sebagai tempat media tanam, minimal ukuran polybagnya untuk volume tanah 5 kg.

Tabel 3.  Data hasil analisis tanah

No.Parameter yang

dinalisisTanah Gambut Tanah PMK Tanah Alluvial

1. pH H2O (1:2,5) 4,86 6,26 7,052. N-Total (%) 0,83 0,11 0,253. P-Total (ppm) 217,88 103,16 120,994. K-Total (ppm) 1,28 1,27 0,83

Sumber : Data dianalisis di UPT Laboratorium Dasar dan Analitik (Nopember 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Tengah, 2006, Kalimtan Tengah Dalam Angka     2006, Bidang Geografis. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah Palangka Raya.

Buckman, D.H dan Brandy,H, 1982, Ilmu Tanah, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.  Terjemahan. UI Press. Jakarta.

Goldssworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik (Terjemahan : Tosari). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hanafiah, K.A. 1995. Rancangan Percobaan. Rajawali Pers. Jakarta.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada.

Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Paishal, R.  2005.  Pengaruh Naungan Dan Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Seledri (Apium Graveolens L) Dengan Teknologi Hidroponik Sistem Terapung.  http://repository.ipb.ac.id.  10 Februari 2011.

Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.  Yogyakarta.

Page 158: Sawi ilaaaaaaaaa

Salampak, 1993, Studi Asam Fenol Tanah Gambut Pedalaman Dari Bereng Bengkel pada Keadaaan Anaerob. Thesis.Program Pascasarjana. Bogor.

Sarief, E.S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.

Sitompul,S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soewito. 1991. Bercocok Tanam Seledri. Titik Terang. Jakarta.

Sutedjo, M.,M. 1999. Pupuk dan cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Sutrisna, N., S. Sastraatmadja dan I. Ishaq. 2005. Kajian Sisten Penanaman Tumpangsari Kentang dan Seledri di Lahan Dataran Tinggi Rancabali, Kabupaten Bandung. Jurnal          Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi Pertanian Vol. 8. No. 1, Maret 2005 : 78-87.

Tinggalkan Sebuah Komentar

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI AMELIORAN == KAMBANG V   ASIE 11 Maret 2012, 7:19 am Filed under: Penelitian

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI AMELIORAN DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL

 DUA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT PEDALAMAN

(The Effect of combination Ameliorant Application and NPK Fertilizer on the growth and yield of

Two soy variety in inland peat land)

Kambang Vetrani Asie, Hadinnupan Panupesi,  Erina Riak Asie

Dosen Budidaya Pertanian Faperta Unpar

ABSTRACT

         This research was to study the effect of interaction between the gift of combination ameliorant and NPK toward the growth and yield of two soy’s varieties in hinterland peat, to determine the best dose of ameliorant and NPK toward the growth and the plants result of two most responsive of soy’s varieties. The research was arranged by factorial group design with two levels of ameliorant, the first factor that ameliorant and NPK, the second of variety Baluran and Rajabasa. The result showed that applying of ameliorant dolomit 2 ton ha-1, chicken dirt 15 ton ha-1, and (urea 37,5 kg ha-1, SP-36 50 kg ha-1, KCL 50 kg  ha-1) can improve the observation

Page 159: Sawi ilaaaaaaaaa

variables that are amount of contents of soy’s plants -1. The factors variety Baluran and Rajabasa influential to dry seed in partition-1 and the weight dry 100 Soy Seed.

Keyword : Soy, Ameliorant, Fertilizer and NPK, Hinterland Peat

ABSTRAK

         Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kedelai pada lahan gambut pedalaman, untuk menentukan dosis terbaik kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman dua varietas kedelai yang paling responsif. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri dari dua faktor, faktor pertama yaitu amelioran dan NPK, faktor kedua yaitu kedelai varietas Baluran dan Rajabasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi amelioran dan NPK dengan dosis kombinasi amelioran dolomit 2 ton ha-1, kotoran ayam 15 ton ha-1, dan (urea 37,5 kg ha-1, SP-36 50 kg ha-1, KCL 50 kg ha-1) merupakan perlakuan yang terbaik terhadap variabel jumlah polong isi kedelai tanaman-1. Pada faktor varietas Baluran dan Rajabasa berpengaruh terhadap berat kering biji petak-1 dan berat 100 butir biji.

Kata kunci : Kedelai, Dosis Amelioran dan NPK, Tanah Gambut Pedalaman.

PENDAHULUAN

         Pengembangan kedelai, perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Sumbangan inovasi teknologi hasil penelitian berupa varietas unggul baru spesifik lokasi dan pengelolaan lahan, air, serta tanaman merupakan andalan untuk meningkatkan produksi baik melalui program peningkatan produktivitas maupun perluasan areal (Marwoto dkk., 2005).

Tanah gambut pedalaman mempunyai sifat fisik kimia, dan biologi tanah yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.  Beragam sifat yang perlu diperbaiki pada tanah gambut, tidak mungkin dengan aplikasi satu jenis amelioran, tetapi diperlukan perpaduan dari beberapa amelioran yang saling bersinergi dan dikombinasikan dengan pemberian pupuk untuk memperbaiki kendala budidaya pada tanah gambut.

Selama ini, amelioran yang hanya menggunakan satu jenis amelioran seperti kapur, memiliki kelemahan karena kandungan haranya tidak lengkap dan sedikit mengandung koloid sehingga cenderung tidak membentuk kompleks jerapan serta kurang memperbaiki tekstur tanah.  Kelemahan kapur,

perlu diimbangi dengan pemakaian amelioran lain yang dapat melengkapi kelemahan tersebut, antara lain penggunaan pupuk organik seperti pupuk kotoran ayam.

Penggunaan kapur dan pupuk kotoran ayam dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan beberapa sifat kimia tanah. Namun, hal tersebut belum dianggap mampu menyediakan unsur hara makro utama seperti N, P dan K yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar.

Page 160: Sawi ilaaaaaaaaa

Produksi kedelai baik secara nasional maupun regional khususnya di Kalimantan tengah tergolong masih rendah, disebabkan beberapa faktor, yaitu beralih fungsinya lahan, kurangnya pengetahuan petani dalam pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman kedelai dan kurangnya pengetahuan tentang pemberian pupuk dasar (amelioran), serta kurangnya pemahaman tentang varietas yang digunakan. Sehingga untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut maka  dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui interaksi pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman.

BAHAN DAN METODE

         Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah, dari bulan Juli sampai Oktober 2009. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial 2 faktor. Faktor pertama (A) adalah kombinasi amelioran (dolomit dan pupuk kotoran ayam) dengan dosis pemupukan NPK.  yang terdiri dari  5 taraf yaitu : A0 = Tanpa dolomit + 22,5 ton ha-1 kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL),  A1 = 2 ton ha-1 dolomit + 15 ton ha-1 kotoran ayam + (37, 5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP-36, 50 kg ha-1 KCL), A2 = 2 ton ha-1 dolomit + 15 ton ha-1  kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL), A3 = 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP-36, 50 kg ha-1 KCL), A4 = 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCL). Faktor kedua (V) adalah Varietas Kedelai, yaitu: V1 = Varietas Baluran dan V2 = Varietas Rajabasa. Jumlah kombinasi perlakuan 10 percobaan diulang 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan.

Benih ditanam dengan ditugal jarak tanam 40 cm x 20 cm. Pemupukan P dan K sesuai perlakuan yang diberikan pada saat penanaman benih, sedangkan pemberian N dilakukan 2 kali. 1/2 dosis perlakuan N diberikan 7 hst dan selanjutnya sisa diberikan saat tanaman berumur 21 hst. Panen dilakukan secara bertahap pada varietas Baluran umur 80 hst dan varietas Rajabasa umur 82 hst.

Variabel yang diamati meliputi : Tinggi tanaman (umur 14, 21, 28, 35 dan 42 HST), Berat kering total tanaman (umur 42 HST), Jumlah polong hampa kedelai tanaman-1, Jumlah polong isi kedelai tanaman-1, Berat kering biji petak-1, Berat 100 butir biji,

Data dilakukan analisis ragam dengan uji F pada taraf  5% dan 1%. Jika terdapat pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji BNJ pada taraf  5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Tinggi Tanaman Kedelai

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman kedelai pada semua umur pengamatan. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan tidak ada korelasi atau hubungan dalam memacu proses pertumbuhan tinggi tanaman yang diamati.

Page 161: Sawi ilaaaaaaaaa

Pertumbuhan tanaman merupakan proses dimana terdapatnya pertambahan ukuran, berat dan jumlah sel pada tanaman. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Atas dasar kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan tanaman yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno, 1995).

Gambar 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman Umur 14-42 HST

Secara kualitatif varietas Baluran lebih baik dibandingkan varietas Rajabasa, karena mempunyai dampak positif yang paling besar terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, dan juga secara sifat genetik varietas Baluran lebih tinggi dari varietas Rajabasa. Kombinasi amelioran dan NPK ternyata tidak dapat memacu proses pertumbuhan tinggi tanaman kedelai sampai diakhir pengamatan (42 hst) (Gambar 1). Secara kualitas kombinasi amelioran dan NPK tertinggi terlihat pada A1 (49,18 cm) dan A2(48,17 cm), meningkatnya tinggi tanaman selama pertumbuhannya akibat efek dari proses fisiologis. Disamping itu juga, ketersediaan air bagi tanaman relatif kurang. Padahal faktor lingkungan seperti air sangat diperlukan oleh tanaman kedelai untuk mencapai pertumbuhan yang baik. Rata-rata curah hujan selama penelitian dari bulan Juli-September 2009 adalah 23,57 mm bulan-1) yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Curah hujan seperti ini tidak menguntungkan karena mengakibatkan kurang tersedianya air bagi tanaman.

Berat Kering Total Tanaman

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap berat kering total tanaman. Saat penelitian, terjadi kabut asap sehingga terganggunya proses fotosintesis. Saat pertumbuhan tanaman, dimana penyinaran matahari kurang. Padahal pada saat pertumbuhan, tanaman sangat memerlukan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis.

Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi fotosintesis. Karena cahaya matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses fotosintesis, yang meliputi intensitas cahaya, lama penyinaran dan kualitas cahaya matahari. Cahaya yang berpengaruh pada tanaman dalam kegiatan fotosintesisnya disebut dengan PAR (Photosynthetic Activity Radiation) yang memiliki panjang gelombang sekitar 400 mm dan 750 mm (Jumin, 1994). Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman harus dapat menyerap sebagian besar radiasi tersebut dengan jaringan fotosintesisnya yang hijau. Daun sebagai organ utama untuk menyerap cahaya dan untuk melakukan fotosintesis pada tanaman budidaya, mungkin berkembang dari embrio di dalam biji atau dari jaringan meristem di batang (Gardner dkk., 1991).

Jumlah Polong Isi Tanaman-1

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap jumlah polong isi tanaman-1, sedangkan pada faktor tunggal varietas tidak berpengaruh.

Page 162: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel  1.   Rata-rata Jumlah Polong Isi Kedelai Tanaman-1

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1 12.39 28.06 25.89 23.34 22.67 22.47V2 17.06 26.72 24.83 24.50 23.95 23.41

Rata-rata14.73 a

 27.39 b

25.36 b

23.92 ab

  23.31 a 22.94

BNJ 5 % A = 10.01

Keterangan :    Angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Pada Tabel 1 dan Gambar 2, perlakuan A1 menghasilkan rata-rata polong isi terbesar yaitu A1

(27,39) dan A2 (25,36). Tingginya hasil perlakuan A1 dan A2 dibandingkan dengan perlakuan A0

(14,73), A3 (23,92), dan A4 (23,31), diduga kombinasi amelioran dan NPK cukup baik. Hal ini bisa dilihat dari manfaat pengapuran dan pupuk kandang terhadap jumlah polong isi. Hasil analisis tanah awal pH 3,72, penambahan pupuk kandang ke dalam tanah selain berfungsi untuk memperbaiki permeabilitas tanah juga dapat memperbaiki kesuburan kimia tanah karena mengandung unsur N, P, K, Ca, Mg dan Cl, serta dapat meningkatkan kegiatan mikroorganisme tanah yang berarti juga akan meningkatkan kesuburan tanah  (Sutedjo, 2002). Darung (1999), menambahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang kotoran ayam 14 ton ha-1 dan kapur 1,70 ton ha-1 mampu mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan tanaman dan hasil panen tanaman kedelai ditanam pada tanah gambut pedalaman Kalimantan.

Jumlah Polong Hampa Tanaman-1

Pemberian kombinasi amelioran dan NPK terhadap dua varietas kedelai tidak berpengaruh terhadap jumlah polong hampa tanaman-1.

Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Polong Hampa dan Isi Kedelai Tanaman-1

Secara kuantitatif jumlah polong hampa berfluktuasi pada masing-masing perlakuan selain karena terganggunya proses fotosintesis akibat kabut asap selama penelitian, juga karena serangan hama yaitu hama penghisap polong (Riptortus linearis) dan penggerek polong (Etiella zinckenella). Menurut Irwan (2006), hama penghisap polong (Riptortus linearis) menyebabkan polong bercak-bercak hitam dan menjadi hampa. Penggerek polong (Etiela zinchenella) menyerang pada bagian polong terdapat lubang kecil. Waktu buah masih hijau, di dalam polong terdapat ulat gemuk hijau dan kotorannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya hasil dari budidaya tanaman kedelai serangan hama (Rukmana, 2001).

Berat Biji Petak-1

Faktor tunggal varietas pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap berat biji petak-1.

Page 163: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel  2.      Rata-rata Berat Biji Kedelai Petak-1

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1

 193.83

     469.38

370.22 333.67304.56

334.33 b

V2  177.23

239.57 264.27

299.92302.04256.60 a

Rata-rata 185.5

3 354.47317.2

4 316.80303.30  295.47

BNJ 5 % V = 17.43

Keterangan :    Angka-angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Pada Tabel 2, kombinasi amelioran dan NPK tidak berpengaruh antara perlakuan, sedangkan faktor varietas berpengaruh. Perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap berat kering biji petak-1, varietas V1 (Baluran)dengan rata-rata 334,33 gram petak-1 lebih tinggi dibandingkan dengan            V2 (Rajabasa)rata-rata 256,60 gram petak-1. Ini karena adanya unsur hara P yang terdapat pada pupuk dasar amelioran seperti dolomit dan kotoran ayam, dan pupuk NPK mampu meningkatkan hasil berat biji petak-1,

Unsur N yang diserap tanaman pada varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A2V1 (3.22), sedangkan pada varietas Rajabasa lebih rendah A3V2 (3.38). Unsur P yang diserap tanaman pada Varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A1V1 (803.84), sedangkan pada varietas Rajabasa lebih rendah A1V2 (623.26). Unsur K yang diserap tanaman pada varietas Baluran lebih banyak dengan perlakuan kombinasi amelioran dan NPK A1V1 (12336.47), dibandingkan dengan varietas Rajabasa lebih rendah A1V2 (12172.87).

Unsur P pada varietas Baluran yang diserap tanaman tertinggi pada perlakuan A1, sehingga dapat meningkatkan hasil biji dan protein yang terdapat dalam biji (Rukmana, 2001). Unsur N yang diserap varietas Baluran tertinggi pada perlakuan A1 merupakan unsur yang juga berperan dalam meningkatkan hasil tanaman, karena N diperlukan dalam pembentukan bagian vegetatif seperti akar, batang, dan cabang untuk memacu terbentuknya bunga. Menurut Rukman (2001), Pemupukan N dan P sering dapat meningkatkan hasil yang baik, terutama bila kandungan N dan P dalam tanah miskin unsur hara.

Unsur K yang diserap oleh varietas Baluran, lebih besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Berdasarkan hasil analisis jaringan penyerapan unsur K tertinggi pada varietas Baluran A1V1

(12336.47), sedangkan pada varietas Rajabasa A1V2 (12172.87). Tanaman diduga memperoleh suplai unsur hara K yang cukup untuk meningkatkan berat biji petak-1 panen. Menurut Irwan (2006), unsur K sangat penting dan berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat untuk meningkatkan hasil, yaitu berupa biji.

Page 164: Sawi ilaaaaaaaaa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat biji kedelai varietas Baluran adalah 0,56 ton ha-1, dan pada varietas Rajabasa 0,43 ton ha-1. Hasil ini masihlebih rendah dari deskripsi varietas Baluran 2,5 ton ha-1, dan Rajabasa 2,05 ton ha-1 (Saragih, 2004).

Berat Kering 100 Biji

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal varietas akibat pemberian kombinasi amelioran dan NPK berpengaruh terhadap berat kering 100 biji.

Tabel  3.      Rata-rata Berat Kering 100 Biji

Varietas Kedelai

(V)

Amelioran (A)Rata-rataA0 A1 A2 A3 A4

V1 10.71 13.66 11.44 11.68 10.9511.69  b

V2   7.61   8.83   8.82   9.58   9.94   8.96  aRata-rata 9.16 11.25 10.13 10.63 10.45 10.32BNJ 5 % V = 1.10

Keterangan :  Angka-angka yang diikuti huruf yang sama,   tidakberbeda nyata menurut uji BNJ 5 %.

Demikian juga untuk berat 100 biji, berdasarkan pengamatan secara kualitatif bahwa varietas Baluran 11,69 gram memiliki rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Rajabasa 8,96 gram (Tabel 3). Selain berasal dari sifat genetik juga dipengaruhi oleh tingkat adaptasi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Menurut Marwoto (2005), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi tanaman, selain dari tanaman adalah faktor lingkungan seperti tanah yang memberikan unsur hara dan penyinaran dalam bentuk cahaya.

Rendahnya berat biji dan berat 100 biji pada masing-masing varietas yaitu Balurandan Rajabasa dibandingkan dengan deskripsinya, diduga selain faktor genetik juga karena faktor lingkungan yang tidak mendukung, yaitu terjadinya kabut asap hampir selama penelitian berlangsung yang mengakibatkan kurangnya cahaya matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Budi dkk. (2009) menyatakan, bahwa meningkatnya energi radiasi matahari yang dapat diterima tajuk tanaman kedelai menjadikan proses fotosintesis meningkat, sehingga fotosintat yang dihasilkan akan meningkatkan hasil biji, karena memperbesar pasokan fotosintat ke bagian biji.

KESIMPULAN DAN SARAN

         Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Interaksi pemberian kombinasi amelioran dan NPK pada dua varietas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai pada semua variabel pengamatan.

2. Pemberian kombinasi amelioran dan NPK tidak berpengaruh nyata pada variabel pengamatan tinggi tanaman, berat kering total tanaman, dan jumlah polong hampa

Page 165: Sawi ilaaaaaaaaa

terhadap dua varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman. Tetapi pemberian kombinasi amelioran dan NPK pada perlakuan A1 terhadap dua varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah polong isi tanaman-1 yaitu rata-rata27,39 buah.

3. Dua varietas yang digunakan tidak menunjukan pengaruh pada variabel tinggi tanaman, berat total tanaman, jumlah polong hampa tanaman-1, jumlah polong isi tanaman-1, tetapi berpengaruh nyata terhadap berat biji petak-1, dan berat 100 biji. secara kualitatif dan kuantitatif varietas Baluran memberikan efek positif yang paling besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Bila dibandingkan hasil berat biji petak-1 varietas Baluran adalah 0,56 ton ha-1, dan varietas Rajabasa 0,43 ton ha-1,lebih rendah dari standar deskripsi varietas Baluran  2,5 ton ha-1, dan varietas Rajabasa 2,05 ton ha-1.

Varietas Baluran lebih baik dari pada varietas Rajabasa bila ditanam di tanah gambut pedalaman, secara kualitatif dan kuantitatif varietas Baluran memberikan efek positif yang paling besar dibandingkan dengan varietas Rajabasa. Meskipun demikian penelitian ini masih mengandung kelemahan dan menyisakan masalah yang perlu dicari lagi jawabannya, kelemahan dari masalah tersebut antara lain : Penelitian  ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2009 dimana pada saat itu terjadi kabut asap sehingga penyinaran matahari rendah (rata-rata 57,97) dan curah hujan rata-rata (23,57 mm). Oleh sebab itu, hasil penelitian ini masih perlu dikoreksi dengan hasil penelitian lain, terutama pada pemilihan waktu penanamannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

         Ucapan terima kasih disampaikan kepada saudara Saiful yang telah membantu dalam penelitian ini, mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan dilapangan untuk mendapatkan data sampai kepada penyusunan laporan hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, G.P., O,D., Hajoeningtijas. 2009. Kemampuan Kompetisi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max) Terhadap GulmaAlang-Alang (Imperata cylindrica) dan Teki (Cyperus rotundus). http://www.trubusonline . co.id/mod.php?mod= publisher&op= vie   warticle &cid (11 November 2009).

Darung, U. 1999. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai pada Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan.http://74.125.153.132/search?q=cache:BCd5E942WoJ:images.soemarno.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/RfusgAoKCpkAAFVNQQo1/KEDELAI2.doc%3Fnmid%3D22330493+hasil+penelitian(11No-vember 2009).

Gardner, F., R.B. Pearce dan R.L., Mitchell. 1991. Fisologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Irwan, A. W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai. Fakultas Pertanian UNPAD. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_ kedelai.pdf. ( 3 Juli 2009).

Page 166: Sawi ilaaaaaaaaa

Jumin, Hasan Basri. 1994. Dasar-Dasar Agronomi. Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Marwoto, K.S. Swastika dan P. Simatupang.  2005.  Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia.  Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan.  Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Rukmana, R., 2001. Kedelai Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Jakarta.

Saragih, Bungaran. 2004. Keputusan Menteri Pertanian. http://www.deptan.go.id/bdd/admin/file/SK-171-04.pdf. (15 Juli 2009).

Sitompul, S.M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhab Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Sutedjo, M.M., 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

Tinggalkan Sebuah Komentar

ANALISIS SERANGAN TIKUS SAWAH PADA TANAMAN PADI ==   MELHANAH 11 Maret 2012, 6:27 am Filed under: Penelitian

ANALISIS SERANGAN TIKUS  SAWAH PADA TANAMAN PADI SELAMA MUSIM KEMARAU DAN MUSIM HUJAN DI KALIMANTAN TENGAH

(Analysis  of  rat attack on rice plant During dry and  rainy season in central kalimantan) Melhanah1), Warismun2)  dan Giyanto1)

1) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

2) Balai PerlindunganTanaman pangan  dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah

Email : [email protected]

ABSTRACT

The objective of the study was  to analyze the rat attack on rice plant during the dry season and rainy season in Central Kalimantan Province. The data collected consists of 13 districts and 1 city in the province of Central Kalimantan. Data during the period of 7 (seven) years (2002-2008) obtained 12 data sets the planting season, which comprised 6 dry season and 6 rainy season. The results showed that: Exposure category CE), ie the sum of all levels of attack (Light, Medium, Heavy and Puso) and Puso attack rate (P), frequency of  rat attack (F)  and rats endemic areas encountered attacks during the rainy season it is more common than the dry season.

Page 167: Sawi ilaaaaaaaaa

Keywords: Analysis of the attack,  rat field, rice plant, dry and rainy seasons

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serangan tikus pada tanaman padi selama musim kemarau dan musim hujan di Provinsi Kalimantan Tengah.   Data yang dikumpulkan terdiri atas 13 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Data selama periode 7 (tujuh) tahun (2002-2008) diperoleh kumpulan data 12 musim tanam, yang terdiri 6 musim kemarau dan 6 musim hujan.   Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kategori Terkena (T), yaitu jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) dan tingkat serangan Puso (P),  Frekuensi serangan tikus (F), serta daerah serangan endemis tikus  yang dijumpai pada musim hujan justru lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau.

Kata kunci:  Analisis serangan,tikus sawah, tanaman padi, musim kemarau dan hujan

 PENDAHULUAN

Pengembangan produksi padi dewasa ini terus ditingkatkan karena usahatani padi dapat memberikan keuntungan yang cukup tinggi,  dan  dapat dijadikan sumber pendapatan petani.  Data luas panen tanaman padi di Kalimantan Tengah tahun 2007 seluas 229.343 ha dengan produksi sebanyak 561.780 ton dan produktivitas 24,50 ku.ha-1.   Berdasarkan sebaran luas padi, panen terluas terdapat  di wilayah kabupaten Kapuas  dengan luas 93.242 ha dan Pulang Pisau 27.520 ha (Anonim, 2008b).

Dalam usaha peningkatan produksi padi di Kalimantan Tengah,terdapat beberapa kendala salah satunya yaitu serangan hama tikus. Tikus merupakan salah satu hama penting pada tanaman padi di Kalimantan Tengah sehingga harus diperhitungkan dalam setiap budidaya tanaman padi, karena tingkat serangannya selalu dominan  pada setiap musim tanam, baik musim kemarau maupun musim penghujan.  Tikus  menyerang pertanaman  padi sejak stadia persemaian,  hingga vegetatif dan generatif, bahkan sampai padi yang disimpan di gudang  (Anonim, 2003;Anonim,2006  dan Anonim,2008a.). Kumulatif   luas tambah serangan tikus pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2010 mencapai 1239,83 Ha (Anonim, 2010)

Kerusakan tanaman padi karena serangan tikus pada fase vegetstif  terjadi akibat batang padi digigit/dipotong.  Seekor tikus dapat merusak antara 11-176 batang padi per malam.  Sedangkan pada fase generatif pada saat bunting kemampuan merusak meningkat, menjadi 24-246 batang per malam.  Pada kerusakan berat akibat, biasanya hanya tersisa beberapa baris tanaman terutama pada bagian tepi (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman,1992 dan 2001).

Upaya pengendalikan tikus perlu disusun strategi pengendalian yang tepat sesuai dengan skala prioritas berdasarkan kategori serangan. Dalam rangka menyediakan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat perencanaan dalam pengambilan kebijakan pengendalian tikus di Kalimantan Tengah, maka dilakukan analisis dan identifikasi daerah penyebaran serangan tikus di Provinsi Kalimantan Tengah.

Page 168: Sawi ilaaaaaaaaa

Tujuan dari penelitian  ini  adalah: 1). Menganalisis data terkena (T)  dan puso (P) akibat serangan tikus pada musim kemarau dan musim hujan; dan 2). Menganalisis  daerah penyebaran serangan tikus pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan frekuensi dan  daerah serangannya (endemis, sporadik, potensial dan aman).

BAHAN DAN  METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Kalimantan Tengah, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya, pada bulan November 2009 sampai dengan Januari 2010.

Bahan-bahan yang digunakan adalah data sekunder, meliputi data kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus berupa luas tambah serangan (LTS) dalam satuan hektar (Ha), menurut kabupaten/kota (K).   Kategori data serangan tersebut terbagi dalam 4 (empat) yaitu : ringan (R), sedang (S), berat (B) dan puso (P).   Data yang diolah dan dianalisis sebanyak 14 lokasi yang terdiri atas 13 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Tengah.  Selama periode 7 (tujuh) tahun (April 2002 sampai Maret 2008) dapat diperoleh kumpulan data 12 musim tanam yang terdiri dari 6 musim kemarau (data serangan dari bulan April sampai September) dan 6 musim hujan (data serangan dari bulan Oktober sampai Maret).

Analisis data terdiri dari  tiga (3) tahap yaitu: Tahap pertama; Rekapitulasi dan tabulasi data.  Tahap kedua: Menghitung kumulatif luas tambah serangan (KLTS), jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) di kelompokkan ke dalam kategori Terkena (T) dan untuk tingkat serangan Puso (P) dikelompokkan sendiri dalam kategori Puso. Tahap ketiga: menghitung data serangan berdasarkan musim tanam.   Data yang telah terkumpul, selanjutnya dibuat tabulasi menurut musim tanam, baik musim kemarau (MK) maupun musim hujan (MH).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terkena serangan  (T) Tikus Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan

Terkena serangan (T) adalah total luas kerusakan tanaman karena serangan  tikus  berupa kategori serangan ringan, sedang, berat dan puso.  Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa  serangan tikus selama musim  hujan  justru lebih meningkat dibandingkan pada musim kemarau (Tabel 1 dan 2).

Serangan tertinggi tikus pada tanaman padi selama 6 (enam) musim kemarau dijumpai pada Kabupaten Pulang Pisau pada tahun 2007 dan pada Kabupaten Murung Raya dan Kota Palangka Raya tidak penah dijumpai serangan Tikus (Tabel 1).  Pada musim hujan terjadi peningkatan serangan tikus yang sangat tajam hingga mencapai 224% bila dibandingkan serangan tikus pada musim kemarau.  Serangan tertinggi tikus pada musim hujan dijumpai pada Kabupaten Barito Selatan pada tahun 2005/6 dan pada Kota Palangka Raya tidak pernah dijumpai serngan Tikus (Tabel 2) dan Gambar 1.

Page 169: Sawi ilaaaaaaaaa

Luas  Serangan Kategori Puso (P) Pada

Musim Kemarau dan Musim Hujan

Puso (P) adalah tanaman yang menunjukkan gejala kematian akibat serangan dengan tingkat serangan tikus mencapai >90%.  Hasil pengolahan data  menunjukkan bahwa serangan tikus yang mengakibatkan tanaman puso selama musim hujan lebih luas dibandingkan pada musim kemarau. Meskipun demikian pada musim kemarau tahun 2002, 2003 dan 2005 dari data yang dianalisis tidak ditemukan serangan Puso, demikian juga pada musim hujan tidak dijumpai serangan Puso pada tahun   2002/03; 2003/04; dan 2004/05 (Tabel 3).

Tabel 1.     Data luas tekena (T) serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau (2002-2007) di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota

Luas Tanaman (Ha)Terkena Serangan ( T = R + S + B + P )

Musim Kemarau2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Kapuas 83.45 179.70 60.75 139.35 61.87 45.002. Pulang Pisau 0.00 106.00 85.00 22.00 14.00 287.003. Gunung Mas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.554. Ktw. Timur 10.80 15.90 12.70 19.50 9.75 26.205. Seruyan 0.00 0.00 0.00 0.00 8.45 0.006. Katingan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11.507. Ktw. Barat 0.00 15.80 3.75 2.50 19.25 49.158. Lamandau 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 3.009. Sukamara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0010. Barito Selatan 22.60 35.50 26.50 67.50 7.50 15.0011. Barito Timur 0.00 7.50 7.00 1.70 9.80 29.0012. Barito Utara 1.83 1.25 5.50 4.30 5.50 2.2813. Murung Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0014. Palangka Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jumlah 118.68 362.15 201.20 256.85 136.12 483.68

Sumber :    Anonim, 2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008.

Tabel 2.  Data luas terkena (T) serangan tikus dari kategori ringan sampai dengan puso selama 6 (enam) musim hujan (2002/2003-2007/2008) di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas Tanaman (Ha) Terkena Serangan ( T = R + S + B + P )

Musim Hujan

Page 170: Sawi ilaaaaaaaaa

2002/03 2003/04  2004/05 2005/06 2006/07 2007/081. Kapuas 69.50 40.00 29.55 7.50 69.20 10.952. Pulang Pisau 29.00 226.00 21.00 1.00 12.00 118.303. Gunung Mas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 18.504. Ktw. Timur 49.50 145.90 324.10 83.50 42.60 65.035. Seruyan 0.00 26.50 0.00 1.00 2.00 342.256. Katingan 0.00 5.00 2.00 18.50 15.00 48.507. Ktw. Barat 13.75 67.65 12.65 68.00 34.25 133.908. Lamandau 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 45.009. Sukamara 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0010. Barito Selatan 300.00 584.50 50.00 643.50 54.50 415.6011. Barito Timur 151.20 176.95 120.00 119.00 83.30 131.1012. Barito Utara 32.45 19.50 16.75 5.50 11.00 6.5013. Murung Raya 0.00 0.00 0.00 0.50 0.50 0.0014. Palangka Raya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Jumlah 645.40 1.292.00 576.05 948.00 324.35 1.335.63

Sumber : Anonim,2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008.

Frekuensi serangan tikus pada musim hujan lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau. Daerah  serangan endemis hama tikus pada musim kemarau teridentifikasi pada Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, sedangkan pada musim hujan daerah endemis serangan tikus teridentifikasi  pada Kabupaten Kotawaringin Timur. Barito Selatan dan Barito Timur.  Daerah Serangan adalah lokasi serangan tikus yang ditetapkan berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Daerah serangan dibagi ke dalam kategori daerah endemis, sporadis, potensial dan aman (Tabel 4).

 

 

 

Frekuensi serangan (F) tikus dan Daerah serangan Pada Musim Hujan dan Kemarau

Berdasarkan hasil evaluasi relatif tingginya angka kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus dan frekuensi (banyaknya kejadian) serangan tikus pada setiap musim tanam pada beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah baik musim kemarau (April-September) maupun musim penghujan (Oktober-Maret) teridentifikasi berbagai kendala dan permasalahan yang timbul di lapangan. antara lain yaitu: a).     Berkurangnya budaya gropyokan tikus. padahal gropyokan tikus dapat mengurangi populasi tikus;  b).         Tanam tidak serempak, walaupunmasyarakat tani relatif paham bahwa tanam serempak dapat mengurangi resiko kerusakan oleh

Page 171: Sawi ilaaaaaaaaa

hama tikus, tetapi di lapangan relatif sulit dilaksanakan dan hanya sebagian kecil petani yang melaksanakan tanam serempak; c). Sanitasi lingkungan kurang diperhatikan. Sanitasi lingkungan dilakukan dalam bentuk membersihkan semak-semak dan rerumputan, membongkar liang dan sarang serta tempat perlindungan lainnya. Dengan lingkungan yang bersih, tikus akan merasa kurang mendapat tempat berlindung, d).Berkurangnya musuh alami tikus di lapangan. Di lapangan musuh alami tikus relatif cukup banyak dijumpai. Musuh alami yang dapat memberikan prospek yang baik adalah burung hantu (Tyto alba) karena daya membunuhnya yang tinggi dan dapat dikembangbiakan. Musuh alami lainnya adalah ular, kucing dan anjing. Khususnya ular, populasinya sudah semakin sedikit akibat seringnya di bunuh oleh manusia. Oleh sebab itu usaha konservasinya perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.

Kategori Terkena Serangan (T), yaitu jumlah dari seluruh tingkat serangan (Ringan, Sedang, Berat dan Puso) dan tingkat serangan Puso (P).  Frekuensi serangan tikus, serta kategori daerah endemis  yang dijumpai pada musim hujan justru lebih banyak terjadi dibandingkan musim kemarau. Kondisi ini merupakan kondisi yang tidak normal, biasanya tingkat maupun frekuensi serangan lebih banyak dijumpai pada musim kemarau.  Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Pusat Informasi Pengembangan Lahan Gambut Pertanian, 1999)  serangan tikus pada pertanaman padi di musim kemarau sangat tinggi (rata-rata 74%), bahkan tidak jarang tanaman menjadi puso. Di musim hujan serangannya lebih kecil paling tinggi 40%.

Tingginya serangan tikus pada musim hujan  diduga karena adanya dampak kejadian iklim ekstrim. Iklim ekstrim diartikan sebagai suatu kondisi dimana salah satu atau beberapa unsur iklim secara signifikan berbeda dengan kondisi normalnya (rata-rata) dan menyebabkan resiko pertanian dan atau perubahan signifikan terhadap kegiatan teknologi budidaya dan produksi pertanian. Fenomena El-Nino (terjadinya kemarau panjang dan atau sangat rendahnya curah hujan dibanding keadaan normal) pada umumnya menyebabkan mundurnya awal musim hujan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2006).

Ket : (1) Kapuas; (2) P.Pisau.; (3) Gunung Mas; (4)   Ktw. Timur;  (5) Seruyan; (6) Katingan; (7) Ktw. Barat; (8)  Lamandau; (9)  Sukamara; (10) Barito Selatan; (11)  Barito Timur; (12) Barito Utara; (13) Murung Raya; (14) Kota P.Raya

 

Gambar 1.       Grafik  rata rata serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan di Provinsi Kalimantan Tengah.

Tabel 3. Data luas puso (P) serangan tikus selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan  di Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas Serangan (Ha) Kategori Puso ( P )

Musim Kemarau Musim Hujan2004 2006 2005/06 2006/07 2007/08

1. Kapuas 0 3 0 0 02. Pulang Pisau 0 0 0 0 0

Page 172: Sawi ilaaaaaaaaa

3. Gunung Mas 0 0 0 0 04. Kotawaringin Timur 0 0 0 0 05. Seruyan 0 0 1 2 306. Katingan 0 0 0 0 07. Kotawaringin Barat 3 3.5 0 0 08. Lamandau 0 0 0 0 09. Sukamara 0 0 0 0 0

10. Barito Selatan 0 0 0 0 011. Barito Timur 0 0 0 0 012. Barito Utara 0 0 0 0 013. Murung Raya 0 0 0 0 014. Palangka Raya 0 0 0 0 0

Jumlah 3 6.5 1 2 30

Sumber : Anonim.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008. Palangka Raya.

Tabel 4.  Frekuensi serangan (F) dan Daerah serangan tikus pada tanaman padi di Kalimantan Tengah selama 6 (enam) musim kemarau dan 6 (enam) musim hujan.

No.Kabupaten

/KotaFS MK FS MH

Kategori daerah serangan musim

kemarau

Kategori daerah serangan musim

hujan

1. Kapuas 6 6 Endemis Sporadis2. Pulang Pisau 5 6 Endemis Sporadis3. Gunung Mas 1 1 Potensial Potensial4. Ktw. Timur 6 6 Sporadis Endemis5. Seruyan 1 4 Potensial Sporadis6. Katingan 1 5 Potensial Sporadis7. Ktw. Barat 5 6 Sporadis Sporadis8. Lamandau 2 1 Potensial Potensial9. Sukamara 0 0 Aman Aman10. Barito Selatan 6 6 Sporadis Endemis11. Barito Timur 5 6 Sporadis Endemis12. Barito Utara 6 6 Sporadis Sporadis13. Murung Raya 0 2 Aman Potensial14. Palangka Raya 0 0 Aman Aman

Kal. Tengah 44 55 - -

Sumber :         Anonim.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun

Page 173: Sawi ilaaaaaaaaa

2007/2008. Palangka Raya. Ket.FSMK = Frekuensi serangan musim kemarau; FSMH = Frekuensi serangan musim hujan

Tabel 5.    Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Provinsi Kalimantan Tengah periode 2002-2008

 

Tahun Curah Hujan Hari Hujan Keterangan2002/2003 75.65 5.36 Bulan Kering2003/2004 126.94 9.30 Bulan Lembab2004/2005 151.45 8.05 Bulan Lembab2005/2006 153.59 9.15 Bulan Lembab2006/2007 104.97 5.67 Bulan Lembab2007/2008 102.49 6.00 Bulan Lembab

Ket :     (Oldeman, 1975 dalam Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan,2000)

Curah hujan > 100 mm. bulan lembab untuk tanaman palawija

Curah hujan  > 200 mm. bulan basah untuk tanaman padi sawah

Curah hujan < 100 mm/bulan. bulan kering

Data pengamatan dan pengolahan mengacu pada musim kemarau (data serangan dari bulan April sampai September) dan  musim hujan (data serangan dari bulan Oktober sampai Maret). Hasil analisis data jumlah curah hujan dan hari hujan rata rata tiap tahun di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan pada Tabel 5.

Analisa data menunjukkan bahwa. meskipun disebut musim hujan tetapi rata rata jumlah curah hujan sedikit dan tidak mencapai bulan basah, bulan yang ideal untuk pertanaman padi.

 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil  analisis serangan tikus sawah pada pertanaman padi selama musim kemarau dan  musim hujan  di Provinsi Kalimantan Tengah dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Serangan tikus selama 7 tahun terakhir (2002-2008)  yang terdiri dari 6 musim kemarau dan 6 musim hujan  telah menimbulkan kerusakan dan kerugian pada tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah yang tersebar di 11 kabupaten (78.57%) pada musim kemarau dan 12 kabupaten (85.71%) pada musim hujan.

Page 174: Sawi ilaaaaaaaaa

2.    Rata-rata tertinggi serangan tikus pada tanaman padi selama 6 musim kemarau seluas 95.02 ha terjadi di kabupaten Kapuas. sedangkan pada musim hujan seluas 341.35 ha terjadi di kabupaten Barito Selatan.

3.    Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pada musim kemarau. daerah endemis  terdapat di kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. dan pada musim hujan daerah endemis terdapat di  kabupaten Kotawaringin Timur. Barito Selatan dan Barito Timur.

 

Saran

Pengendalian hama tikus pada tanaman padi selain teknologinya harus dikuasai. tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan pengendalian di tingkat petani  yang dilaksanakan secara berkelompok dan bukan perorangan  pada areal yang seluas-luasnya. serentak. tepat waktu dan berkelanjutan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Pengendalian Tikus Dengan Bubu dan Strategi Pengendalian Penggerek Batang Padi-Brosur Cara Pengendalian Perlindungan Tanaman. Balai Proteksi Tanaman Pangan VIII Banjarmasin Bekerjasama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Hal. 1-2.

_________.2002-2008. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah  Mulai Tahun 2002/20003 sampai dengan Tahun 2007/2008. Palangka Raya.

________. 2006. Pemetaan Daerah Penyebaran Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Padi Di Kalimantan Tengah. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Tengah. Palangka Raya. Hal 1. Tidak dipublikasikan.

_________. 2008a. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007. Palangka Raya.

_________. 2010. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010. Palangka Raya.

Page 175: Sawi ilaaaaaaaaa

_________. 2008b. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007. Palangka Raya.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Hama Tikus. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta. Hal. 1-5, 9-10, 13-14, 16, 42.

_________.  2001. Hama Tikus dan Pengendaliannya. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal. 1-4, 6, 10, 14.

_________. 2006. Pedoman Mitigasi Dampak Fenomena Iklim. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal. 16.

Pusat Informasi Pengembangan Lahan Gambut Pertanian. 1999. Hama Tikus dan Pengendaliannya. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi Kalimantan Tengah. Palangka Raya. Hal. 5, 10, 13.

Tinggalkan Sebuah Komentar

KAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI == Edwin Noor   Fikri 11 Maret 2012, 6:14 am Filed under: Penelitian

KAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN PISANG DI DESA SUNGKAI BARU KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

(Study on the Control of Banana Wilt Disease at Sungkai Baru Village in Simpang Empat County in Banjar Regency)

Edwin Noor Fikri dan Elly Liestiany

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Lambung Mangkurat

Email : [email protected]

ABSTRACT

This research is intended to provide healthy young banana plants derived from tissue culture, supplemented with beneficial microorganisms to increase their resistancy against the wilt pathogen, decreasing pathogen population in soil, and protecting plants from wilt disease in field.  This research was done at plant pathology laboratories of the Faculty of Agriculture of Lambung Mangkurat University.  In vivo test was also done in the demonstration plot at Sungkai Baru in Simpang Empat county in Banjar regency.  In vitro test was done to obtain

Page 176: Sawi ilaaaaaaaaa

microorganisms antagonistic to the pathogens through dual culture tests and evaluate their ability to inhibit the pathogens.  Three out of 7 fluorescens pseudomonad isolated recovered, i.e. PfB3, PfB4 and PfB7 were effective antagonists against the pathogens.  Demonstration plot shows that plants fortified with both fluorescens pseudomonads (PfB3, PfB4, and PfB7) and endomycorrhyza (Glomus sp.) planted in planting holes supplied with the crucifer and then with the special organic fertilizer, were more healthier than the untreated plants.

Key Word:  Ralstonia solanacearum, fluorescent Pseudomonad.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyiapkan bibit pisang sehat yang telah diproteksi dengan agensia hayati sehingga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen, menurunkan populasi patogen tular tanah, dan mencegah serangan bakteri layu (Ralstonia solanacearum) pada tanaman pisang di lapangan.  Uji in vitro dilakukan di Laboratorium Fitopatologi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, sedangkan uji in vivo dilaksanakan di Desa Sungkai Baru, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar.  Pengujian in vitro antagonis terhadap bakteri layu dilakukan dengan metode uji biakan ganda, dan dievaluasi kemampuan antagonis menghambat patogen.  Dari 7 isolat Pseudomonas berfluoresen yang diperoleh, 3 isolat efektif mengendalikan bakteri layu yaitu isolat-isolat PfB3, PfB4 PfB7.  Hasil demplot (percontohan penanaman pisang) memperlihatkan bahwa pemberian endomikoriza Glomus sp., 3 isolat Pseudomonas berfluoresen spesifik lokasi (PfB3, PfB4 dan PfB7), sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus mampu menahan infeksi patogen penyebab penyakit layu pisang di lapang.

Kata Kunci:  Ralstonia solanacearum, Pseudomonas berfluoresen.

PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu komoditas andalan di Kabupaten Banjar.  Sentra penanaman pisang di Kabupaten Banjar terdapat di kecamatan Sungai Pinang, kecamatan Pengaron, kecamatan Sambung Makmur, dan kecamatan Simpang Empat.  Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Banjar Tahun 2005 menyebutkan produksi pisang dari keempat kecamatan tersebut adalah 78.738 kwintal.  Jenis pisang yang ditanam pada umumnya adalah pisang kepok.  Produksi pisang ini selain untuk keperluan konsumsi lokal, sebagian lagi dikirim ke luar daerah terutama ke pulau Jawa untuk keperluan konsumsi dan ada pula yang diproses menjadi tepung pisang yang berpotensi untuk diekspor.

            Melihat prospek penanaman pisang ini, maka selayaknya pertanaman pisang di kabupaten Banjar mendapat perhatian dalam pengembangannya.   Namun sejak tahun 2006 yang lalu terjadi epidemi penyakit layu pada tanaman pisang  di dua kecamatan yaitu di kecamatan Simpang Empat dan di kecamatan Sambung Makmur yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.  Serangan pada pisang di dua kecamatan tersebut meliputi areal seluas kurang lebih 87 ha hanya dalam periode Juni sampai Agustus 2006, yaitu 32 ha di desa Sungkai Baru (kecamatan Simpang Empat), 29 ha di desa Baliangin dan 26 ha di desa Gunung Batu (keduanya di kecamatan Sambung Makmur).

Page 177: Sawi ilaaaaaaaaa

Serangan Ralstonia solanacearum pada akar dan bonggol menyebabkan tanaman layu.  Sedangkan serangan bakteri pada buah menyebabkan buah mengandung bacterial ooze berupa lendir berwarna merah.

Patogen penyebab penyakit layu ini penyebarannya sangat cepat, dan mampu bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun, maka pengendalian penyakit layu ini perlu dilakukan secara tuntas.  Dikhawatirkan penyakit tersebut akan menyebar ke sentra-sentra produksi pisang lainnya. Ancaman ini tentu akan mengurangi produksi dan kualitas pisang di daerah tersebut yang berdampak pada pendapatan masyarakat dan daerah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, dan penelitian lapangan di desa Sungkai Baru Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2007 sampai dengan bulan April 2008.

Penelitian ini dimulai dengan isolasi bakteri Ralstonia solanacearum dari tanaman sakit yang diambil di desa Sungkai Baru Kecamatan Simpang Empat, sedangkan isolasi Pseudomonas berfluoresen dari akar pisang yang sehat dari Kabupaten Banjar.

Bahan penelitian yang digunakan terdiri atas médium untuk uji biokimia dan fisiologi bakteri, buffer fosfat ph 7 + 0,1 % pepton, bibit pisang kepok, isolat bakteri yang diisolasi dari pisang kepok bergejala layu, dan tujuh isolat bakteri berfluoresen yang diisolasi dari rizosfer tanaman pisang yang sehat.  Alat-alat yang digunakan terdiri atas cawan petri, neraca analitis, vortex, drigalsky spatula, sirakus, sentrifus, tabung efendorf, mikropipet, lampu UV dengan panjang gelombang 365 nm, otoklaf dan oven.

Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui sifat biokimia dan fisiologi dari bakteri patogen dan bakteri antagonis.  Metode yang digunakan untuk menguji sifat-sifat tersebut yaitu metode yang dikemukakan oleh Lelliot & Stead (1987).  Sifat-sifat yang diuji adalah uji reaksi gram, uji katalase, pembentukan figmen, produksi levan, hidrolisis pati, uji oksidatif-fermentatif , hidrolisis gelatin, uji oksidase dan hidrolisis Tween 80.

Uji Antagonisme In Vitro pada Medium King’s B

            Uji antagonisme in vitro Pseudomonas berfluorescen terhadap R solanacearum dilakukan untuk melihat agresivitas dari bakteri antagonis terhadap bakteri patogen penyebab penyakit layu.  Digunakan metode uji biakan ganda, dan dievaluasi sifat pertumbuhan dan zona hambatan. Pseudomonas berfluoresen dan R. solanacearum ditumbuhkan secara oposisi langsung pada cawan petri berdiameter 9 cm berisi 10 ml médium King’s B.  Setelah masa inkubasi selama 48 jam pada suhu kamar, diameter zona hambat yang terbentuk disekitar bakteri antagonis diukur dengan jangka sorong dan diamati sifat antagonismenya.

Uji Antagonisme In Vivo di Lokasi Demplot

Page 178: Sawi ilaaaaaaaaa

            Bibit pisang kepok yang akan ditanam di lokasi demplot adalah hasil kultur jaringan.  Bibit pisang ditanam dalam polibag berisi tanah steril, kemudian diberi endomikoriza (Glomus sp.) dan tiga isolat Pseudomonas berfluoresen (isolat-isolat PfB3, PfB4 dan PfB7).  Sebagai kontrol, bibit pisang tidak diinokulasi dengan Glomus sp. dan tiga isolat Pseudomonas berfluoresen (isolat-isolat PfB3, PfB4 dan PfB7).

Tanah bekas pertanaman pisang yang terserang bakteri layu dibersihkan dan dibajak sebanyak satu kali, digaru sebanyak dua kali, kemudian dibuat lubang tanam berukuran 50 x 50 x 50 cm dan jarak antar lubang 3 x 3 m.  Setelah lubang dibuat, sawi pahit sebanyak 10 tanaman (yang sudah dicacah halus) dimasukkan ke setiap lubang tanam, kemudian ditimbun dengan sedikit tanah dan dibiarkan selama 1 bulan sampai tanaman sawi pahit terurai (terdekomposisi).  Satu bulan setelah aplikasi sawi pahit, ke dalam setiap lubang tanam dimasukkan pupuk organik fermentasi plus sebanyak 1 kg  per lubang. Pupuk organik fermentasi plus adalah bokashi kotoran sapi yang telah difermentasi dengan EM4 dan ditambah dengan tiga isolat Pseudomons berfluoresen.  Sebagai kontrol, lubang tanam tidak diberi tanaman sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.

Bibit pisang kepok yang telah diproteksi dengan endomikoriza dan Pseudomonas berfluoresen ditanam pada lubang tanam yang telah diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.  Pada kontrol, bibit pisang yang tidak diberi endomikoriza dan antagonis ditanam pada lubang tanam yang tidak diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus.

Pengamatan ditujukan terhadap gejala penyakit pada tanaman pisang, yaitu kelayuan pada daun, adanya lendir (ooze) berwarna kemerahan yang keluar dari batang, dan kerusakan pada bonggol pisang yang berwarna kemerahan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Gejala Layu Bakteri di Lapangan

            Hasil pengamatan serangan bakteri layu pisang pada lahan pertanaman pisang di desa Sungkai Baru di Kecamatan Simpang Empat, desa Baliangin dan desa Gunung Batu di Kecamatan Sambung Makmur, menunjukkan persentase serangan lebih dari 90 %.  Serangan bakteri layu ini cepat sekali, dan menurut laporan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan(2006) persentase serangan bakteri layu pada pisang di Kabupaten Banjar mencapai 82,2 %.

            Gejala yang terlihat di pertanaman pisang milik petani menunjukkan daun tanaman menguning dan akhirnya mengering.  Gejala akan nampak jelas setelah batang tanaman pisang dipotong.  Pembuluh batang yang terinfeksi oleh bakteri layu akan berwarna kemerahan.

            Gejala yang terlihat pada pangkal dan bonggol batang sama dengan pada batang tanaman pisang, hanya lendir lebih banyak sehingga dapat dilihat dengan jelas kumpulan lendir yang

Page 179: Sawi ilaaaaaaaaa

menetes.  Lendir tersebut keluar dari berkas pembuluh pengangkutan.  Apabila pada batang terdapat luka, maka cairan merah akan keluar melalui luka tersebut.

            Gejala pada buah baru terlihat pada tahap pemasakan buah, sehingga serangan pada buah baru dapat diketahui lebih lambat dibandingkan serangan pada bagian tanaman lainnya.  Buah pisang yang terinfeksi akan menguning dan bagian tengah buah berisi cairan berupa lendir, sedangkan daging buah menjadi berkurang volumenya, sehingga buah nampak kempes dan lunak.  Gejala serangan pada tangkai buah pisang sama dengan gejala pada batang yaitu berkas pembuluh berwarna kemerahan.

            Karena dari bidang potongan batang pisang yang sakit keluar lendir (ooze) berwarna kemerahan, maka penyakit ini disebut penyakit darah.  Menurut Semangun (1991), survei yang dilakukan oleh Pusat Karantina Pertanian pada tahun 1983 telah mendapatkan penyakit darah pada pisang ini di Kalimantan Selatan.

Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang

            Hasil isolasi patogen penyebab penyakit layu yang menginfeksi tanaman pisang di desa Sungkai Baru  (Kecamatan Simpang Empat), desa Baliangin dan Gunung Batu (Kecamatan Sambung Makmur) adalah bakteri.   Bakteri berbentuk batang dengan pengecatan negatif dan dengan pengecatan gram serta uji KOH 5% bersifat gram negatif.

            Koloni berwarna putih pada medium NA.  Pada medium TTC (triphenyl tetrazolium chloride) koloni bakteri berwarna putih dengan pusat merah jambu  berbentuk fluidal dan berdiameter > 5 mm.  Menurut Goto (1992), tipe koloni seperti ini menunjukkan bahwa isolat yang didapat mempunyai tingkat virulensi yang tinggi.  Pada médium King’s B, koloni bakteri yang berumur 48 jam bila dilihat di bawah sinar ultra violet tidak membentuk pigmen fluoresen.  Menurut Goto (1992) pigmen fluoresen adalah salah satu variabel untuk membedakan bakteri R. solanacearum dengan bakteri lain terutama dengan bakteri P. fluorescens yang dapat membentuk pigmen fluoresen pada médium King’s B.  Ciri-ciri bakteri ini sesuai dengan ciri-ciri dari R solanacearum yang dikemukakan oleh Schaad et al (2001).

          Hasil pengujian sifat-sifat biokimia dan fisiologi menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi dari tanaman sakit bersifat gram negatif,  katalase positif, bersifat oksidatif atau bersifat aerob, bereaksi positif pada uji kovac’s oksidase, tidak mampu merombak gelatin, tidak mendegradasi amilum, dan tidak menghasilkan Levan. Sifat-sifat bakteri tersebut  memperlihatkan sifat-sifat yang mirip dengan R solanacearum yang didiskripsikan oleh Hayward (1976), He (1983), dan Hayward (1994).  Sehingga  dapat disimpulkan bahwa bakteri yang diisolasi dari pisang bergejala layu  adalah R solanacearum (Tabel 1).

Tabel 1.  Hasil uji biokimia dan fisiologi untuk bakteri layu pisang dibandingkan dengan sifat-sifat fisiologi R solanacearum

Pengujian Hasil isolasiHayward (1976)

He (1983)Hayward (1994)

Gram - - - -

Page 180: Sawi ilaaaaaaaaa

Katalase + + + +Kovac’s oksidase + + + +Oksidatif-fermentatif O O O OPencairan Gelatin - + - -Hidrolisis pati - - - -Produksi Levan - - -

Keterangan :+: reaksi positif,  -: reaksi negatif, O: oksidatif

Identifikasi Pseudomonas Berfluoresen

            Hasil isolasi mikroorganisme antagonis dari akar tanaman pisang sehat mendapatkan 7 isolat bakteri yang menghasilkan pigmen fluoresen pada medium King’s B yang jelas terlihat di bawah sinar ultra violet.  Menurut Rudolp et al. (1990), jika koloni bakteri diamati di bawah sinar ultra violet gelombang panjang (365 nm) maka bakteri akan menghasilkan pigmen berpendar kehijauan / kebiruan.   Bakteri berbentuk batang dengan pengecatan negatif dan dengan pengecatan gram serta uji KOH 5% bersifat gram negatif.  Hasil pengamatan morfologi sel ini sesuai dengan ciri-ciri  Pseudomonas berfluoresen yang dibuat oleh Stolp & Gadkari (1981) dan Palleroni (1984).

Hasil pengujian sifat-sifat biokimia dan fisiologi dari isolat-isolat yang didapat menunjukkan bahwa semua isolat bersifat katalase positif, bersifat oksidatif atau bersifat aerob, bereaksi positif pada uji kovac’s oksidase, mampu merombak gelatin, tidak mampu mendegradasi amilum, tidak menghidrolisis Tween 80 dan mampu menghasilkan Levan (Tabel 2).  Sifat-sifat bakteri tersebut  memperlihatkan sifat-sifat yang dimiliki  Pseudomonas fluorescens yang dikemukakan oleh Stolp & Gadkari (1981) dan Holt (1994).

Uji hipersensitif dilakukan dengan cara suspensi bakteri (konsentrasi 108 cfu/ml) diinfiltrasikan ke jaringan daun tembakau.  Pengamatan sampai 10 hari setelah perlakuan tidak terlihat adanya gejala nekrotik pada daun yang diinfiltrasi.  Menurut Klement et al. (1990), jika suspensi bakteri diinfiltrasikan ke daun tembakau dan tidak menimbulkan gejala nekrotik maka bakteri tersebut bukan patogen tumbuhan.  Karena itu isolat-isolat Pseudomonas berfluoresen yang didapat bukan patogen tumbuhan.  Pada uji antagonisme  in vitro yaitu menumbuhkan antagonis dan patogen dengan oposisi langsung pada médium King’s B, menunjukkan bahwa ketujuh isolat-isolat bakteri memiliki sifat antagonistik terhadap R. solanacearum yang ditandai dengan terdapatnya zona hambatan disekeliling bakteri antagonis.

Berdasarkan pengujian sifat biokimia, sifat fisiologi, uji patogenisitas dan uji antagonisme in vitro, dapat disimpulkan bahwa isolat-isolat bakteri yang ditemukan adalah Pseudomonas fluorescens.

Uji Antagonisme In Vitro

            Ketujuh isolat Pseudomonas berfluoresen yang diuji mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum.  Pengaruh Pseudomonas berfluoresen terhadap pertumbuhan R solanacearum pada uji antagonistik dalam medium King’s B menyebabkan terbentuknya lingkaran bening yang

Page 181: Sawi ilaaaaaaaaa

tidak ditumbuhi R solanacearum (zona hambatan).  Adanya zona hambatan ini menunjukkan bahwa bakteri Pseudomonas berfluoresen yang diuji berpengaruh sangat nyata dalam menghambat pertumbuhan R solanacearum pada medium King’s B.

Pseudomonas berfluoresen menghasilkan siderofor berfluoresen yang dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum.  Menurut Xio & Kisaalita (1995),  pada medium King’s B yang kandungan ion besinya rendah maka bakteri Pseudomonas berfluoresen akan menghasilkan siderofor yaitu agen transport ion besi yang mengkelat Fe3+ untuk dipindahkan ke sel bakteri.

            Hasil pengujian menunjukkan bahwa 7 isolat Pseudomonas berfluoresen yang diperoleh menghasilkan zona hambatan dengan diameter yang bervariasi yaitu  12 – 35  mm (Tabel 3).

Tabel 2.  Hasil uji biokimia dan fisiologi untuk bakteri antagonis dibandingkan dengan

sifat-sifat fisiologi Pseudomonas berfluoresen

Sifat bakteriIsolat yang diuji Stolp & Gadkari (1981) Holt et al.(1994)

1 2 3 4 5 6 7 Pp Pf Pp PfGram - - - - - - - - - - -Katalase + + + + + + + + +Kovac’s oksidase + + + + + + + + + + +Oksidasi-Fermentasi

O O O O O O O O O

Pigmen (King’s B) + + + + + + + + + + +Hidrolisis Tween 80

- - - - - - -

Hidrolisis Pati - - - - - - - - - - -Hidrolisis Gelatin + + + + + + + - + - +Produksi Levan + + + + + + + - VPatogenisitas - - - - - - - - - - -Antagonisme + + + + + + + + + + +

Keterangan:     +: reaksi positif, -: reaksi negatif, O: Oksidatif

Pp: Pseudomonas putida, Pf: Pseudomonas fluorescens

 Tabel 3.  Penghambatan pertumbuhan R solanacearum oleh Pseudomonas berfluoresen

Zona hambat (mm) Isolat< 10 -

10 – 20 PfB1,  PfB5> 20 – 30 PfB2,  PfB6

> 30 PfB3,  PfB4,  PfB7

Page 182: Sawi ilaaaaaaaaa

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa zona hambatan yang terbentuk bervariasi diameternya. Perbedaan kemampuan antagonistik dapat diketahui berdasarkan diameter zona hambatan yang terbentuk, terjadi antar daerah maupun dalam daerah yang sama.  Hal ini berarti bahwa kemampuan bakteri untuk menghasilkan reaksi antibiosis atau kemampuan antagonistik bakteri Pseudomonas berfluoresen juga berbeda-beda.

   Perbedaan daya antagonisme ini bisa terjadi pada bakteri, demikian juga pada bakteri Pseudomonas berfluoresen.  Menurut Goto (1992), jumlah siderofor yang dihasilkan menentukan adanya perbedaan dalam daya antagonisme bakteri.

Untuk aplikasi ke lapang, maka isolat yang digunakan adalah  3 isolat yang memberikan zona hambatan yang lebih lebar yaitu PfB3, PfB4 dan PfB7. Hal ini menunjukkan bahwa isolat-isolat Pseudomonas berfluoresen tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai agen pengendalian hayati R solanacearum.

Uji Antagonisme In Vivo di Lapang

Pertumbuhan pisang kepok yang ditanam di bekas kebun pisang yang terinfeksi R solanacearum di desa Sungkai Baru sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan.  Tanaman pisang hasil kultur jaringan yang telah diproteksi dengan endomikoriza Glomus sp dan Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7) yang ditanam pada lubang yang telah difumigasi dengan sawi pahit serta pemberian pupuk organik fermentasi plus mampu tumbuh dengan baik sampai menghasilkan buah (panen).  Di pihak lain,   pisang hasil kultur jaringan yang tidak diberi perlakuan pratanam dan lubang tanamnya tidak diberi sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus menunjukkan gejala layu, kemudian mati sebelum pembungaan.  Hasil pengamatan terhadap keadaan tanaman pisang yang berada di lokasi demplot ditunjukkan pada Tabel 4.

Aplikasi mikoriza dimaksudkan agar tanaman pisang mendapatkan keuntungan karena perbaikan dalam hara mineral.  Mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro.  Kebanyakan mikoriza sangat menguntungkan tanaman, dan bahkan untuk Pinus, suatu keharusan adanya mikoriza untuk menyokong pertumbuhannya.  Menurut Adriana et al. (1999), tanaman pisang sangat tinggi ketergantungannya terhadap endomikoriza.

Aplikasi mikoriza pada bibit pisang juga dimaksudkan sebagai pelindung biologi bagi tanaman terhadap infeksi bakteri layu.  Adanya lapisan hifa yang berfungsi sebagai pelindung fisik terhadap serangan patogen dan pelindung kimiawi berupa antibiotik yang dilepaskannya dapat mematikan patogen tular tanah.  Menurut Imas et al. (1989), akar yang bermikoriza dapat berfungsi lebih lama dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza, dan lebih sedikit kemungkinannya terserang oleh patogen tertentu.  Di samping itu endomikoriza menunjang keberadaan mikroorganisme rizosfer yang bermanfaat bagi tanaman (Azcon-Aguilar & Barea 1996).

            Berdasarkan hasil pengamatan tersebut (Tabel 4) dapat dinyatakan bahwa bibit pisang kepok yang sehat dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan bakteri layu apabila Pseudomonas berfluoresen diinokulasikan pada bibit sebelum tanam maupun dicampur dengan 

Page 183: Sawi ilaaaaaaaaa

pupuk organik fermentasi.   Pseudomonas berfluoresen mampu menghasilkan antibiotik yang bersifat anti jamur dan anti bakteri, sehingga selain bersifat antagonis terhadap patogen juga dapat bersifat antagonis terhadap beberapa jamur patogen (Steven & Elkins 1996).  Mekanisme penghambatannya sebagian besar adalah bersifat bakterisidal dan sebagian kecil bersifat bakteristatik (Arwiyanto 1997).

            Strain-strain tertentu P fluorescens dan Pseudomonas putida mampu mengoloni akar berbagai jenis tanaman, sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman secara nyata.  Meningkatnya pertumbuhan tanaman seringkali terjadi dengan penekanan terhadap populasi beberapa jamur dan bakteri patogenik (Schroth & Hancock 1982).

Tabel 4.   Keadaan pertumbuhan tanaman pisang di lokasi demplot untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada pisang

Asal bibit pisangPerlakuan pratanam

pada bibit pisangPerlakuan pada lubang

tanamKeadaan tanaman

Pisang kepok hasil kultur jaringan

Diinokulasi dengan endomikoriza Glomus sp dan 3 jenis Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7)

Pemberian 10 batang sawi pahit dan pupuk organik fermentasi plus

Tumbuh dengan baik, tidak memperlihatkan gejala terserang bakteri layu sampai panen

Pisang kepok hasil kultur jaringan

Tidak ada Tidak ada Tanaman pisang memperlihatkan gejala layu, kemudian mati  sebelum pembungaan

            Pseudomonas berfluoresen merupakan bakteri pengoloni akar yang agresif dan efektif, dan mempunyai waktu generasi yang cepat pada zona perakaran.  Hal ini diduga karena keperluan nutrisinya yang mudah karena mampu menggunakan berbagai sumber karbon serta kemampuannya membentuk berbagai senyawa penghambat, sehingga Pseudomonas berfluoresen mampu berkembang biak dengan cepat.  Pseudomonas berfluoresen yang diaplikasikan ke tanaman akan memperbanyak diri dan bertahan selama beberapa waktu untuk berkompetisi dengan mikroorganisme lain (Weller 1988).    Pseudomonas berfluoresen memiliki kemampuan menggunakan berbagai senyawa karbon, mampu berkembang biak dengan cepat, serta mampu menghasilkan berbagai senyawa penghambat (Weller 1988).  Menurut Arwiyanto (1997), pada tahun 1980 Defago et al. menyebutkan beberapa senyawa penghambat yang dihasilkan oleh Pseudomonas berfluoresen yaitu HCN, monoacetilchloroglucinol, siderofor, 2,4-diacetilphloroglucinol, pyoluteorin, asam salisilat, pyrrolnitrin, altericidins dan cepacin.

            Pemberian sawi pahit pada lubang tanam sebelum penanaman bibit pisang adalah untuk biofumigasi tanah, sehingga dapat mematikan patogen tular tanah seperti bakteri layu.  Tanaman dari suku Brassicaceae antara lain sawi mengandung banyak senyawa kimia glukosinolat. Tanaman ini dikenal sebagai biofumigan karena dapat mengganti peran fumigan sintetik.  Tanaman ini kalau dibenamkan ke tanah, dalam proses dekomposisinya glukosinolat diubah menjadi isothiocyanat yang berfungsi sebagai fumigan  (Brown & Morra 1997).

Page 184: Sawi ilaaaaaaaaa

Sementara itu tanaman pisang kepok walaupun berasal dari bibit yang sehat tidak akan dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya mati jika ditanam di lahan bekas serangan bakteri layu pisang apabila tidak diberi perlakuan pada bibit sebelum tanam dan perlakuan pada lubang tanam. Hal ini disebabkan tidak adanya pelindung biologi pada bibit pisang maupun pada tanaman yang ditanam di lapang.

KESIMPULAN

            Bibit pisang kepok hasil kultur jaringan yang diproteksi dengan endomikoriza (Glomus sp.) dan 3 isolat Pseudomonas berfluoresen (PfB3, PfB4 dan PfB7), serta pemberian sawi pahit dan pupuk organik fermentasi  plus pada lubang tanam mampu menahan infeksi patogen penyebab penyakit layu  bakteri (R solanacearum) pada tanaman pisang di lapang.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, M.Y., O.J. Saggin Jr., J.M. Lima-Filho & N.F. Melo.  1999.  Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on the acclimatization of micropropagated banana plant lets.  Mycorrhiza 9: 119-123.

Arwiyanto, T.  1997.  Pengendalian hayati penyakit layu bakteri tembakau:  1. Isolasi bakteri antagonis.  Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 3:54-60.

Azcon-Aguilar,C. & J.M. Barea.  1996.  Arbuscular mycorrhizas and biological control of soil-borne plant pathogens – an overview of the mechanisms involved.  Mycorrhiza 6: 457-464.

Brown, P.D. & M.J. Morra.  1997.  Control of soil-borne plant pests using glucosinolate containing plants.  Advance in Agronomy 61: 167-231.

Goto, M.  1992.  Fundamentals of Bacterial Plant Pathology.  Academic Press Inc.  San Diego, California.

Hayward, A.C.  1976.  Systematic and relationship of Pseudomonas solanacearum. P. 6-13.  In: Sequeira, L. & Kelman, A. (eds.). Proc. First Int. Conf. Of Bacterial Wilt Caused By Pseudomonas solanacearum.  Raleigh, North Carolina.

Hayward, A.C.  1994.  Systematic and phylogeny of Pseudomonas solanacearum and related bacteria.  Dalam A.C. Hayward & G.L. Hartman (eds.), Bacterial Wilt :  The Diseases and its Causative Agents Pseudomonas solanacearum.  CAB International, Wallingford.

He, L.Y.  1985.  Bacterial wilt in the People’s Republic of China. Pp. 40-48.  In Persley, G.J. (Ed.) Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pacific.  ACIAR. Los Banos, Philippines.

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley & S.T. Williams.  1994.  Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.  Ninth edition.  Williams & Wilkins, Baltimore, MD.

Page 185: Sawi ilaaaaaaaaa

Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan & Y. Setiadi.  1989.  Mikrobiologi Tanah II.  Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Klement, Z. K. Rudolph & D.C. Sands.  1990.  Methods in Phytobacteriology.  Akademiai Kiado, Budapest.

Lelliott, R.A. & D.E. Stead.  1987.  Methods for the Diagnosis of Bacterial Diseases of Plants.  Blackwell Scientific Publications.

Rudolph, K., M.A. Roy, M. Sasser, D.E. Stead, M. Davis, J. Swings & F. Gossele.  1990.  Isolation of Bacteria. P.43-94. In Klement, Z., K. Rudolph & D.C. Sand.  Methods in Phytobacteriology.  Akademiai Kiado, Budapest.

Schaad , N.W., J.B. Jones & W. Chun.  2001.  Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria.  Third Edition.  APS Press.  St. Paul, Minnesota.

Schroth, M.N. & Hancock, J.G.  1982.  Diseases suppressive soils and root colonizing bacteria.  Science 216: 1376-1381.

Steven, E.M. & R. Elkins.  1996.  Interaction of antibiotic with Pseudomonas fluorescens in the control of fire blight and frost injury to pear.  Phytopathology 86: 841-848.

Stolp, H. & D. Gadkari.  1981.  Nonpathogenic members or the genus Pseudomonas.  Dalam M.P. Starr (ed.), The Prokaryotes A Handbook on Habitats,   Isolation, and Identification of Bacteria :  Phytopathogenic Bacteria.  University of California. New York

Weller, D.M.  1988.  Biological control of soilborne plant pathogen in the rhizosphere with bacteria.  Ann. Rev. Phytopathology 26: 1021-1027.

Xiao, R. & W.S. Kisaalita.  1995.  Purification of pyoverdines of Pseudomonas fluorescens 2-79 by copper-chelatenchromatography.  App. And Env. Microbiol. 61(11): 3769-3774.

2 Komentar

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG BAHAYA PIRIT (FeS2) =   Sustiyah 11 Maret 2012, 5:57 am Filed under: Penelitian

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG BAHAYA PIRIT (FeS2) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA PADA USAHA PERTANIAN PASANG SURUT DI

DAERAH MENTAREN KALIMANTAN TENGAH

(Improvement of farmer’s knowledge on the dangerous of pirite (FeS2) and its preventive efforts on agriculture activity in tidal area in Mentaren Central Kalimantan)

Page 186: Sawi ilaaaaaaaaa

 Sustiyah, Y. Sulistiyanto, Fengky F. Adji

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengetahui karakteristik, kedalaman pirit, cara pengendalian, dan mengatasi pirit (FeS2), yang tujuan akhirnya dapat meningkatkan hasil pertanian pada lahan pasang surut di daerah Mentaren Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan ini  dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2010 dengan melibatkan pula PPL, Perangkat desa dan Dinas Pertanian.  Hasil pengukuran di lapangan diperoleh bahwa kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah di daerah Mentaren berkisar antara 15 – 50 cm untuk lahan sawah dan di tanggul  >50 cm di Rei 8, sedangkan di Rei 7 untuk lahan sawah < 5 cm dan  10 cm untuk lahan di tanggul. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal (5-15 cm), maka pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul dan traktor yang dilakukan petani selama ini harus mendapat perhatian. Jika pirit teroksidasi akan mempengaruhi  pertumbuhan tanaman. Pada awalnya,  pengetahuan dasar mengenai karakteristik pirit tdak diketahui oleh petani, perangkat desa, bahkan penyuluh lapangan di daerah Mentaren, namun setelah program Iptek bagi Masyarakat (IbM) ini dilaksanakan pengetahuan mitra/masyarakat/petani meningkat. Salah satu alternative untuk mengatasi  terjadinya oksidasi pirit adalah dengan melakukan pengolahan tanah secara minimal (minimum tillage) yakni dengan menggunakan herbisida.

Kata Kunci : Pirit, Pertanian Pasang Surut.

ABSTRACT

Aim of the activity is to improve  the farmer’ s knowledge on the characteristic, depth of pyrite, and how to overcome the pyrite’s problem, and at the end, farmer could   increase the agriculture production on tidal area in Mentaren, Pulang Pisau Central Kalimantan. This activity was carried out from October to December 2010, “PPL” and other stake holders get involve in this activity too. Result of practice in the study show that depth of pyrite in Mantaren “Rei” 8 at lower part (rice filed) is from 15 to 50 cm and upper part (Tegalan) is > 50 cm. Mentaren “Rei” 7 at lower part (rice filed) is < 5 cm and upper part (Tegalan) is 10 cm. Due to pyrite is near to the surface (5-10 cm depth), so tillage using hoeand tractor should be pay attention seriously. If pyrite oxidized, the growth of plant will be stagnant. In the beginning, farmer, PPL and other stake holders did not know about pyrite, after this activity (Ibm) was carried out, the knowledge of farmer, PPL and other stake holders improved on pyrite’s knowledge.  One of several alternatives to over come the pyrite’s problem is minimum tillage that is using herbicide technique.

Keyword : pirite, agriculture activity in tidal area.

Page 187: Sawi ilaaaaaaaaa

PENDAHULUAN

Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang terbentuk dari proses reduksi ion-ion sulfat menjadi sulfida oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anerobik. Pembentukan Pirit (FeS2) berlangsung melalui pengembangan senyawa FeS dengan penjenuhan S elementer, atau pengendapan langsung Fe2+ terlarut setelah bereaksi dengan ion- ion polisulfida. Unsur- unsur penting pembentukan pirit adalah : besi, sulfat, bahan organic (dalam formula CH2O), bakteri pereduksi sulfat, dan kondisi reduksi yang diselingi oleh aerasi terbatas. Unsur- unsur dalam kondisi demikian secara optimum terdapat pada lahan rawa pasang surut dengan vegetasi mangrove, yang telah berkembang sejak dulu (Dent (1986), Langenhoff (1987) dalam PPT (1997).

Pada proses oksidasi pirit akan dilepaskan asam- asam sulfat yang menyebabkan pH tanah turun menjadi < 4. Secara agronomis, kondisi demikian menimbulkan beberapa masalah diantaranya: 1) keracunan aluminium, pada kondisi sangat masam (pH < 4) kelarutan aluminium meningkat drastis. Aluminium dapat meracuni tanaman pada konsentrasi 1-2 ppm (Rorison, 1973) dalam (PPT, 1997); 2) keracunan besi, peningkatan pH akibat genangan air hujan atau irigasi akan menyebabkan reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sehingga konsentrasi Fe2+ meningkat dan pada konsentrasi Fe2+ kira- kira 30 ppm sudah dapat meracuni tanaman secara umum termasuk padi sawah, menimbulkan ketersediaan hara tanaman rendah (Van Bremen dan Voormann, 1978) dalam (PPT, 1997); dan 3) defisiensi unsur hara,  tanah pada pH < 4 menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena sejumlah unsur hara tidak tersedia. Ketersediaan fosfat sangat terbatas (Dent, 1986). Bllomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi difesiensi Ca, Mg, K, Mn, Zn, Cu, dan Mo pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropis.

Tanah yang mempunyai lapisan bahan sulfidik/ pirit, sering dinamakan tanah sulfat masam. Apabila lapisan pirit tersebut masih dalam suasana alami, selalu jenuh air, dan tanah masih netral atau agak masam, tanahnya dinamakan Tanah Sulfat Masam Potensial. Sebaliknya, apabila lapisan pirit telah mengalami oksidasi baik mengalami kekeringan atau didrainase, reaksi tanah menjadi sangat masam, tanahnya disebit sebagai Tanah Sulfat Masam Aktual. Adanya karatan- karatan jarosit berwarna kuning pucat di dalam penampang tanah sulfat masam aktual sering disebut cat clay.

Daerah Mentaren merupakan daerah transmigrasi dengan mata pencaharian utamanya pertanian lahan pasang surut yang hingga saat ini sudah mulai berkembang.  Daerah ini sebagaian besar lahanya terbentuk dari bahan endapan lumpur dan dalam keadaan jenuh air. Pada tanah yang mengarah dekat dengan sungai (tanggul sungai), lapisan atas`merupakan endapan lumpur yang sepenuhnya dipengaruhi oleh sungai besar, bahan-bahan pembentuk tanahnya dinamakan bahan aluvium sungai. Sedangkan pada lapisan tanah bagian bawah, pengendapan lumpur terjadi lebih dahulu (lebih tua), lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas air laut, dan umumnya mengandung pirit (bahan sulfidik), sehingga bahan pembentuk tanah disebut bahan aluvium marine. Permasalahan yang dihadapi dalam usaha tani di lahan pasang surut termasuk di daerah Mentaren , Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah adalah potensi terjadi Oksidasi pirit,   keracunan Aluminium, dan keracunan besi dan defisiensi hara pada lahan pertanian. Hal ini didukung oleh peta tanah yang dilaporkan (PPT, 1997) dan pengamatan penulis (penulis ikut dalam survey pembuatan RTSP di daerah Mentaren pada Oktober 2007 ), dapat dikatakan bahwa

Page 188: Sawi ilaaaaaaaaa

daerah Mentaren mempunyai potensi munculnya permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pirit tersebut. Jika petani tidak dapat mengetahui dan mengatasi permasalahan ini maka akan mengakibatkan rawan/gagal panen.

Petani transmigran di daerah ini sebagian besar berasal dari Jawa dan Bali yang hampir 100% tidak mengetahui masalah yang dihadapi pada lahan pasang surut, terutama masalah Pirit (FeS 2) dan cara mengatasinya untuk usaha pertanian. Hal ini dibuktikan saat pengusul melakukan survey / wawancara di daerah tersebut pada bulan Oktober tahun 2008. Seandainya ada yang mengetahui, itupun hanya teori tanpa melihat dan praktek di lapangan dan berhadapan dengan pirit.

Dengan mengetahui karakteristik pirit dan cara mencegah dan mengatasinya maka petani dapat menghindari masalah yang akan ditimbulkan oleh pirit tersebut dan rawan/gagal panen dapat diatasi.

 

PERMASALAHAN MITRA

Permasalahan yang dihadapi dalam usaha tani di lahan pasang surut termasuk di daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah:

1. Potensi terjadi Oksidasi pirit pada lahan pertanian2. Keracunan Aluminium3. Keracunan besi dan defisiensi hara.

Dengan mengetahui karakteristik pirit dan cara mencegah dan mengatasinya maka petani dapat menghindari masalah yang akan ditimbulkan oleh pirit tersebut.

Berdasarkan pada peta tanah yang dilaporkan (PPT, 1997) dan didukung pengamatan penulis (penulis ikut dalam survey pembuatan RTSP di daerah Mentaren pada Oktober 2007), dapat dikatakan bahwa daerah Mentaren mempunyai potensi munculnya permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pirit tersebut.

 

SOLUSI YANG DITAWARKAN

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam:

1. Mengetahui karakteristik pirit2. Cara pengendalian pirit3. Mengatasi pirit4. Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut

Page 189: Sawi ilaaaaaaaaa

Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah ceramah (penyuluhan dan pembagian leaflet), Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara/penyuluhan peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam : 1) Mengetahui karakteristik pirit, 2) Cara pengendalian pirit, 3) Mengatasi pirit, dan 4) Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut.

Demplot/peragaan praktek di lapangan, dan Praktek serta demplot.

Kegiatan pelatihan ini lebih difokuskan pada sasaran yang dianggap  strategis, yaitu :  ketua- ketua kelompok tani, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan beberapa anggota kelompok tani yang ada di daerah Mentaren dan sekitarnya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Keterkaitan kegiatan ini dengan instansi lainnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Instansi dan keterlibatannya dalam kegiatan IbM

No. Instansi Terkait dalam Sumbangannya1. Dinas Transmigrasi dan

kependudukanPenyediaan Fasilitas -Penyediaan Lahan Praktek-Ruang

Pertemuan2. Dinas Pertanian Informasi Kelompok Tani -Mengumpulkan Ketua Kelompok

Tani

TARGET LUARAN

Peserta pelatihan mampu dan terampil dalam mengenali dan mengendalikan permasalahan pirit dilahan pasang surut sehingga dalam melaksanakan kegiatan usaha tani dapat meningkatkan hasil pertaniannya dan mampu menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh serta melatih para transmigran lainnya, dengan rincian spesifik sebagai berikut:

a)      Terampil mengenal dan dapat mengatasi permasalahan pirit.

b)      Terampil melaksanakan pengelolaan lahan dan melaksanakan pengolahan tanah dengan baik dan benar sesuai dengan teknologi pertanian yang ada.

c)      Mampu melakukan budidaya tanaman dengan baik dan benar

d)   Mampu menjadi pelatih bagi transmigran lainnya, mengimbas pengetahuan dan keterampilannya kepada para transmigran sesuai materi pelajaran yang diterima.

EVALUASI KINERJA PROGRAM

a) Kerangka Pemecahan Masalah

Lahan di Daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah merupakan tanah mineral, lapisan atas merupakan pengendapan lumpur yang sepenuhnya dipengaruhi oleh sungai

Page 190: Sawi ilaaaaaaaaa

besar; bahan-bahan pembentuk tanahnya dinamakan bahan aluvium sungai. Sedangkan pada lapisan tanah bagian bawah, pengendapan lumpur terjadi dahulu (lebih tua), lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas air laut, dan umumnya mengandung pirit (bahan sulfidik), sehingga bahan pembentuk tanah disebut bahan aluvium marine.

Pirit (FeS2) bila teroksidasi, terutama ketika lahan didrainase, akan terbentuk asam sulfat (H2SO4) dan pH tanah turun menjadi <4, yang akibatnya : Pada kondisi sangat masam (pH < 4), kelarutan aluminium meningkat drastis, kelarutan Fe yang meningkat sehingga dapat meracuni tanaman dan terjadi defisiensi hara.

Teknologi/cara yang dapat digunakan untuk menekan munculnyapirit adalah :

1. Senyawa pirit hanya stabil pada kondisi reduksi sehingga diusahakan lapisan pirit selalu dalam keadaan jenuh air, dan usaha ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan muka air tanah melalui pengaturan drainase. Ataupun pengelolaan tanah yang minimal (minimal tillage) dengan tidak membalikkan tanah yang mengandung pirit, sehingga lapisan pirit menjadi tidak terangkat ke atas.

2. Jika pengaruh pirit sudah muncul maka usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian amelioran tanah, yang dapat berupa kaptan, rock phosphat, maupun bahan organik yang dapat mengurangi pengaruh buruk peningkatan aluminium.

3. Cara lain yang lebih dianjurkan adalah menggabungkan dua cara yang tersebut di atas.

b) Realisasi Pemecahan Masalah

Dalam melaksanakan pemecahan masalah dilakukan sesuai dengan teknologi yang tersebut di bawah ini :

Teknologi  yang Diterapkan

1.      Uji lapisan pirit di lapangan

Bor tanah digunakan untuk mengambil tanah mulai dari permukaan tanah sampai dengan kedalaman 150 cm. Tanah yang telah terambil tersebut, kemudian disusun berurutan dengan saat pengambilan, dibuat lubang pada setiap 5 cm mulai dari permukaan hingga kedalaman 150 cm. Pada lubang yang telah dibuat tersebut diberi hidrogen peroksida (H2O2). Pada tanah yang tidak mengandung pirit tidak akan berbuih, sedangkan pada tanah yang mengandung pirit akan berbuih kuat. Pada kedalaman yang tidak berbuih tersebut (misal 25 cm dari permukaan tanah), maka pada kedalaman tersebut diusahakan dalam keadaan jenuh air, sehingga pirit tidak teroksidasi.

2.      Usaha agar lapisan pirit tidak teroksidasi maka dilakukan usaha

Pengaturan muka air tanah dengan jalan mengatur drainase. Usaha ini dilakukan dengan pengaturan muka air tanah dengan jalan membuka atau menutup pintu air yang berada di lahan usaha tani sehingga lapisan pirit (contoh : 25 cm) selalu dalam keadaan jenuh air.

Page 191: Sawi ilaaaaaaaaa

Pemberian amelioran tanah berupa kaptan, rock phosphat, bahan organik tanah, jika sudah terlanjur sebagian pirit teroksidasi. Pemberian amelioran dilakukan dengan cara menabur di atas lahan secara merata kemudian baru dilakukan pengolahan lahan secara tipis dilapisi olah.

Usaha pengelolaan tanah secara minimal (minimum tillage). Usaha ini dilakukan dengan jalan mengolah lahan secara minimum dan mencangkul tanah jangan sampai terlalu dalam sampai ke lapisan pirit dan dibalik ke atas akan terjadi oksidasi pirit.

c)  Hasil Kegiatan/Evaluasi Kinerja Program

Pelaksanaan Kegiatan

Untuk menjelaskan lebih detail mengenai permasalahan di lahan pasang surut, yang disebabkan oleh oksidasi pirit (FeS2), maka dilakukan pengukuran langsung di lapangan (lahan pertanian). Pelaksanaan Kegiatan penyuluhan dan demplot/ peragaan praktek di lapangan dilaksanakan di 2 (dua) tempat yaitu di Rei 8 dan Rei 7 (Kantor Balai Penyuluh Pertanian). Dari hasil pengukuran di lapangan didapatkan bahwa kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah sebagaimana disajikan pada tabel 2.

Dari hasil pengukuran tersebut di atas menunjukkan bahwa kondisi lahan di lokasi pertanian di daerah Mentaren relatif tidak aman untuk melakukan pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul atau traktor.  Selama kegiatan berlansung, tim pengabdian melakukan pengamatan dan memperoleh input bahwa pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani selama ini menggunakan traktor dan cangkul, serta menggunakan herbisida. Dari hasil diskusi dengan masyarakat dan hasil pengamatan di lapangan ternyata permasalahan yang timbul akibat oksidasi pirit sudah terjadi di daerah Mentaren. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal khususnya di lahan sawah, maka dalam pengolahan tanah tidak diperbolehkan menggunakan traktor dan cangkul tetapi pengelolaan tanah dapat dilakukan secara minimal (minimum tillage) seperti pengolahan menggunakan herbisida.

Pengaruh buruk yang dapat terjadi penurunan pH yang drastis yang berpengaruh pada lahan usaha dan pada tanaman yang diusahakan dapat diuraikan sebagai berikut :

Tabel 2.  Hasil Pengukuran dan Tempat Pengambilan Sampel di Daerah Mentaren

No.Lokasi Pengambilan

Sampel

Kedalaman Pirit (FeS2)

+1. Rei 8; lokasi 1 di sawah 15 – 50 cm2. Rei 8; lokasi 2 di

tanggul sawah>50 cm

3. Rei 8; lokasi 3 di sawah 15 – 50 cm4. Rei 7; lokasi 1 di sawah < 5 cm5. Rei 7; lokasi 2 di

tanggul sawah10 cm

Page 192: Sawi ilaaaaaaaaa

Sumber : Hasil Pengukuran In situ, 2010

1. a.    Penurunan Kualitas Tanah

Perubahan kualitas tanah dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain karena drainase lahan yang menyebabkan turunnya permukaan air tanah dan mengakibatkan terjadi kontak antara tanah yang berpirit dengan udara. Oksigen dari udara ini akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penurunan permukaan air tanah terjadi karena pengamatan di lakukan pada musim kemarau, selanjutnya lapisan pirit sudah teroksidasi karena sudah ada yang terangkat ke permukaan tanah.

Selajutnya sebagian besar pirit sudah teroksidasi sebagai akibat dari kegiatan pengolahan tanah yang berkali-kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kedalaman pirit, sehingga yang terjadi adalah pirit teroksidasi yang pada akhir menurunkan hasil pertanian.

1. b.    Penurunan Kualitas Air

Perubahan kualitas air umumnya terjadi pada saluran. Hal ini terjadi karena pembuatan galian mengangkat lapisan pirit, tetapi hasil pengangkatan tersebut dibuatkan selokan diantara hasil pengangkatan tanah. Sehingga tidak mempengaruhi keadaan pH air tanah di lahan petani. Dengan berlalunya waktu, air selokan tersebut tergelontor keluar karena hujan, yang pada akhirnya akan menurunkan keasaman air pada selokan tersebut.

Keterlibatan/Peran Serta Petani/Penyuluh Dalam Kegiatan

Selama dilaksanakan kegiatan ini, baik pihak petani, maupun penyuluh lapangan mengikuti dengan aktif dan baik sampai selesainya kegiatan penyuluhan/pelatihan dan demplot/peragaan praktek di lapangan. Disamping itu, mitra juga menyediakan/memfasilitasi prasarana pendukung dalam kegiatan tersebut (seperti tempat pertemuan, lahan untuk praktek lapangan, membantu dalam menyaipkan konsumsi selama kegiatan berlangsung). Hal ini menunjukkan antusiasisme khalayak sasaran dalam mengikuti/ingin mengetahui tentang pirit dan cara pengendaliannya di lahan pasang surut daerah Mentaren, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

 

Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan

Sebelum dan sesudah kegiatan dilaksanakan serta pada saat praktek di lahan petani, dilakukan tanya jawab. Hasil yang didapatkan adalah pengetahuan dari petani meningkat karena pada awalnya mitra tidak mengenal sama sekali apa itu pirit. Disamping itu, setelah kegiatan pengabdian ini dilakukan evaluasi baik melalui uji kemampuan secara lisan dan atau tertulis serta uji keterampilan melalui kegiatan praktek di lapangan, menunjukkan bahwa program Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) ini cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan terjawabnya pertanyaan dasar mengenai sifat dan karakteristik pirit di lapangan baik secara tertulis maupun dalam kegiatan paraktek cukup lancar setelah kegiatan pelatihan/penyuluhan dan demplot/peragaan praktek di

Page 193: Sawi ilaaaaaaaaa

lapangan dilaksanakan. Di samping itu, tolok ukur keberhasilan dalam kegiatan ini dapat ditunjukkan dari hasil evaluasi bahwa rata-rata peserta pelatihan dapat menjawab diatas 70 persen dari pertanyaan secara keseluruhan, bahkan ada beberapa peserta  pelatihan mampu menjawab 100% dari pertanyaan yang tersedia. Dan saat ini mitra juga telah mengetahui tentang pirit serta menyadari pentinya pirit dalam pengelolaan tanaman, yang sebelumnya sama sekali belum pernah mendengar dan mengetaui tentang pirit. Keberhasilan dalam kegiatan ini juga terlihat dari aktivitas peserta dalam pelatihan, sehingga mampu dalam menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek di lapangan serta mampu memeragakan/ melaksanakan praktek di lapangan dengan bagus secara baik dan runut.

Indikator Kinerja

Indikator kinerja yang telah ditetapkan sejak awal yang digunakan untuk menetukan keberhasilan program ini meliputi :

1) Uji kemampuan secara lisan dan atau tertulis melalui penyebaran angket/quesioner, dengan indikator capaian tujuan dan tolok ukur yaitu dengan melihat nilai rata-rata peserta pelatihan mencapai di atas 60 persen pertanyaan dapat dijawab secara keseluruhan,

2) Uji keterampilan secara praktek di lapangan, dengan indikator capaian tujuan dan tolok ukur yaitu peserta pelatihan dapat menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek secara baik dan dapat melaksanakan praktek dilapangan dengan bagus.

Impact factor (keberlanjutan kegiatan atau ketepatan solusi)

Keberlanjutan kegiatan

Kegitan IbM yang telah dilaksanakan hingga saat ini masih berlanjut (mitra menyambut positif untuk keberlanjutan kegiatan tersebut, karena tes keberadaan pirit telah dilakukan di lahan masing-masing mitra dan kegiatan ini juga ditularkan ke masyarakat lain disekitarnya yang tidak terlibat).

Ketepatan Solusi

Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya petani di daerah mitra, maka perlu dilakukan suatu temu wicara peserta pelatihan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dalam: a) Mengetahui karakteristik pirit, b) Cara pengendalian pirit, c) Mengatasi pirit, dan d) Peningkatan hasil pertanian pada lahan pasang surut. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini: a) Ceramah (penyuluhan dan pembagian leaflet), b) Peragaan dan praktek, dan c) Praktek dan demplot/peragaan di lapangan.

Dari hasil evaluasi yang telah dilaksanakan di awal dan akhir kegiatan maupun pada saat kegiatan berlangsung, bahwa solusi yang ditawarkan dan metode yang digunakan dalam kegiatan ini cukup tepat. Hal ini dapat terlihat bahwa pengetahuan, kemampuan dari mitra/masyarakat di Mentaren meningkat setelah dilakukan kegiatan IbM karena pada awalnya mitra tidak mengenal sama sekali apa itu pirit. Dan saat ini mitra juga telah mengetahui tentang pirit serta menyadari

Page 194: Sawi ilaaaaaaaaa

pentinya pirit dalam pengelolaan tanaman, yang sebelumnya sama sekali belum pernah mendengar dan mengetaui tentang pirit. Keberhasilan dalam kegiatan ini juga terlihat dari aktivitas peserta dalam pelatihan, sehingga mampu dalam menjelaskan langkah-langkah kegiatan praktek di lapangan serta mampu memeragakan/melaksanakan praktek di lapangan dengan bagus secara baik dan runut. Hal ini juga didukung dari hasil evaluasi kemampuan dan keterampilan mitra/masyarakat di Mentaren baik kemampuan secara lisan dan atau tertulis, maupun keterampilan secara praktek di lapangan menunjukkan hasil di atas dari indikator capaian tujuan dan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelum kegiatan dilaksanakan, sebagaimana dijelaskan pada uraian di atas.

 

Produktivitas (Jumlah artikel/kegiatan)

Produktivitas yang diperoleh dari program/kegiatan ini adalah:

1. Mengasilkan Leaflet yang telah disebarkan kepada mitra, juga telah disebarkan ke dinas-dinas terkait seperti Dinas Pertanian dan Balai Penyuluh Pertanian di Kalimantan Tengah Khususnya di Kabupaten Pulang Pisau yang langsung berhadapan dengan petani.

2. Hasil tes/pengukuran keberadaan pirit di lapangan (lahan milik petani) menunjukkan bahwa kedalaman lapisan pirit di daerah Mentaren berkisar antara 15 – 50 cm untuk lahan sawah dan di tanggul  >50 cm di Rei 8, sedangkan di Rei 7 untuk lahan sawah < 5 cm, 10 cm untuk lahan di tanggul.

3. Mengingat keberadaan pirit cukup dangkal pada lapisan pirit 5-15 cm, maka pengolahan tanah dengan menggunakan cangkul dan traktor yang dilakukan petani selama ini harus mendapat perhatian, karena pirit mudah teroksidasi dan berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Mengingat petani di Mentaren pada kondisi tertentu juga melakukan pengolahan tanah secara minimal (minimum tillage) yakni dengan menggunakan herbisida, maka alternative pengolahan tanah inilah yang harus diterapkan untuk mengurangi teroksidasinya pirit di lahan pertaniannya.

4. Pada awalnya pengetahuan dasar mengenai karakteristik, sifat dari pirit bagi petani, petugas penyuluh lapangan di daerah Mentaren masih kurang bahkan tidak mengetahui tentang pirit, namun setelah program IbM ini dilaksnakan pengetahuan mitra atau  masyarakat atau petani meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Buurman, P., and Balsem, T. 1990. Land Unit Classification for the Reconnaissance Soil Survey of Sumatera. Tech. Rep. No. 3. LREP. Center for Soil and Agroclimate Research. Bogor.

Dent, D. 1986. Acid sulphate soils: a basaline for research and development. Wageningen, The Netherlands.

Page 195: Sawi ilaaaaaaaaa

PPT, 1997. Laporan Survey dan pemetaan tanah tinjau mendalam Daerah kerja A Proyek Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar. Bogor.

Haryono dan Vadari, T. 2007. Peningkatan kualitas lahan sulfat masam terlantar melalui optimasi teknik pengelolaan tanah dan air. dalam: Proseding HITI IX. Yogyakarta. 319 – 326.

Salampak, Sulistiyanto, Y., Basuki, Ichriani, G. I., Setiawati, M., 2005. Lahan Gambut dan Pasang Surut. 97 hal. Fakultas Pertanian. Palangka Raya.

Subgyono K, H. Suwardjo, IPG. Widjaja-Adi, 1993. Reklamasi Tanah Sulfat Masam dengan Pengelolaan Air.

—————–, 1988. pola tanam di lahan pasang surut. Proyek Informasi Pertanian Kalimantan Tengah.

Supriyo, A., Hikmat, M. Dan Hatmoko, D. 2007. Identifikasi potensi sumber daya lahan dan arahan pertanian di lahan pasang surut (studi kasus: Desa Kumpai Batu Bawah, Kabupaten Kota Waringin Barat) dalam: Proseding HITI IX. Yogyakarta. 178 – 193.

Sutedjo, M.M dan Kartasapoetra A.G, 1988. Budidaya Tanaman Padi di Lahan Pasang Surut. Bina Aksara. Jakarta.

———-, 1983. Tidal Swamp Agro Ecosystem of Southern Kalimantan. Banjarmasin.

Widjaja-Adhi, IPG. 1988. Physical and chemical characteristics of peat soil of Indonesia IARD Journal. Vol 10 No:3: 59 – 64p.

Tinggalkan Sebuah Komentar

KAJIAN PENGGUNAAN ASAM PEROKSIDA DALAM MEDIA ASAM == Sri   Hidayati 18 Juni 2011, 3:44 pm Filed under: Penelitian

KAJIAN PENGGUNAAN ASAM PEROKSIDA DALAM MEDIA ASAM ASETAT UNTUK PEMUTIHAN TERHADAP SIFAT KIMIA PULP AMPAS TEBU HASIL

ORGANOSOL

(Usage Study Of Peroxide Acid In Acetic Acid Media For Whitening To Bagasse Pulp Chemical Property Result Of Organosol)

Sri Hidayati

Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Lampung

E-mail: hidayati_thp@[email protected], telp 085841147700

Page 196: Sawi ilaaaaaaaaa

 

ABSTRACT

Baggase represent waste of lignocellulose yielded by sugar mill after sugar cane taken its.  Especial component of bagasse for example fiber about 43-52%, lignine content of  20% and pentosan content of 27%.  pulp had been made from bagasse fiber.  This research conducted to know the bleaching methode using various concentration peracetic acid viewed from their chemical properties.  The bleaching process was carried out using peracetic acid 0, 3, 6, 9, 12 and 15% at 850C for 3 hours.  After works, the pulp was washed and dried at room temperature, analyzed for cellulose, hemicellulose and number of kappa and brightness. The result showed that higher peracetic acid concentration descreased in cellulose, hemicelluse, lignin, permangant number and kappa number.  The best result was obtained at the concentration of 6% with content of cellulose 70,16%, hemicellulose of 18,2%,  and permanganat 24,2 and brightness of  18,4 oGE respectively.

 

Keywords:  bagasse, peracetic acid, cellulose

ABSTRAK

 

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan derajat putih pulp dari ampas tebu yang dihasilkan melalui proses organosolve. Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar  43 – 52 %, air 46 – 52 %, dan padatan terlarut 2 – 3 %. Penelitian ini yang betujuan untuk mengetahui methode pemutihan dengan menggunakan asam peroksida dengan berbagai senyawa kimia. Proses pemutihan itu dilaksanakan dengan asam peroksida 0, 3, 6, 9, 12 dan 15% pada 850C selama 3 jam. Semakin tinggi konsentrasi perasetat akan menurunkan kadar selulosa, hemiselulosa, dan bilangan permanganat serta meningkatkan derajat putih. Hasil terbaik pada proses pemutihan adalah menggunakan konsentrasi perasetat sebanyak 6% yang menghasilkan rendemen  20,39 %, kadar selulosa 70,16 %, hemiselulosa 18,2%, dan  bilangan permanganat 24,2 dengan derajat putih 18,4 oGE.

Kata Kunci : Ampas Tebu, Asam Peroksida, Gula

 

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu produsen kertas yang berencana menjadi produsen pulp dan kertas terbesar dunia (Syafii, 2000).  Saat ini, produksi kertas Indonesia menduduki peringkat ke-

Page 197: Sawi ilaaaaaaaaa

12 dunia, dengan pangsa pasar 2,3% dari total produksi dunia yang mencapai 318,2 juta ton pertahun (www.wartaekonomi.com).  Di tahun 2010, kebutuhan proyeksi kertas dunia akan naik sampai 425 juta ton per tahun (Hurter, 1998).  Pembuatan pulp dan kertas di Indonesia pada umumnya menggunakan kayu hutan seperti pinus.  Eksploitasi hutan yang terus menerus menimbulkan banyak masalah terutama penggundulan hutan dan isu pemanasan global serta semakin menipisnya cadangan kayu dan luas hutan di Indonesia (Biro, 2001, Deperindag dan APKI, 2001, Barr, 2001).  Laju kerusakan hutan pada periode 2001-2004 meningkat menjadi 3,6 juta hektar pertahun karena penggunaan kayu untuk industri pulp (www.kompas.com, 2006). Maka pemerintah perlu mencari alternatif bahan baku lain yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pulp dan kertas seperti ampas tebu.  Potensi ampas tebu di Indonesia sangat besar yaitu mencapai 39.539.944 ton/tahun (Anonim, 2005).

Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang dihasilkan oleh pabrik gula setelah tebu diambil niranya.  Komponen utama ampas tebu antara lain fiber (serat) sekitar  43 – 52 %, air 46 – 52 %, dan padatan terlarut 2 – 3 % (Paturau, 1982).  Serat ampas tebu memenuhi syarat sebagai bahan baku kertas yaitu  mempunyai serat yang panjang lurus dengan kadar hemiselulosa tinggi.  Menurut Passaribu (1998), kandungan holosellulosa ampas tebu adalah 75,64%, hemiselulosa 29,05% dan lignin 21,42%, panjang serat rata-rata 2,26 mm, diameter tebal dinding 3,21 mikrometer, dan bilangan Runkel 0,85. 

Ada beberapa proses pengolahan pulping di dunia.  Proses kimia menggunakan soda/pulping sulfat merupakan salah satu proses pengolahan ampas tebu menjadi pulp yang saat ini banyak digunakan.  Hariyadi (1994), Darwis dkk (1994) dan Saptariyani (1992) melakukan penelitian pembuatan pulp dengan menggunakan proses sulfat.  Keuntungan proses ini adalah  biayanya lebih murah dan hampir semua bahan baku dapat menghasilkan pulp dengan kekuatan yang sangat baik.  Tetapi proses ini menimbulkan pencemaran lingkungan karena lindi hitam yang tinggi dan kemampuan daur ulang rendah.  Sementara itu tuntutan masyarakat, baik ditingkat nasional dan internasional, akan mutu lingkungan semakin gencar.  Industri pulp dihadapkan pada kenyataan yang menunjukkan bahwa industri ini merupakan salah satu industri yang mencemari lingkungan hidup yang berat (Syafii, 2000; Suratmaji, 2001, KLH, 2005).  Oleh karena itu, agar produksi pulp tersebut dapat diterima di pasar internasional, maka usaha-usaha pencarian teknologi alternatif yang ramah lingkungan harus dilakukan salah satunya dengan metode organosolv.  Proses ini menggunakan bahan-bahan organik seperti alkohol, asam asetat dan phenol, yang dikenal dengan proses organosolv (Fengel dan Wegener, 1995, Muladi et al., 2002).

Penggunaan bahan-bahan organik dalam proses pembuatan pulp memiliki beberapa keunggulan antara lain, yaitu bebas senyawa sulfur, impregnasi senyawa pelarut organik lebih baik dari pelarut anorganik, dan proses daur ulang limbah lebih mudah dan murah dengan kemurnian cukup tinggi, selain itu rendemen pulp yang dihasilkan lebih tinggi dan dapat diperoleh hasil samping berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif tinggi dan ekonomis dalam skala yang relatif kecil (Aziz dan Sarkanen, 1989).  Baskoro (1986), Ruwelih (1990), dan Hidayati (2000) melakukan penelitian pembuatan pulp dari pada ampas tebu, tetapi metode pulping yang digunakan adalah proses soda.  

Page 198: Sawi ilaaaaaaaaa

Untuk memperoleh pulp dengan mutu tinggi perlu dilakukan proses pemutihan.  Secara umum dasar proses pemutihan adalah menghilangkan warna gelap pada pulp, tingkat rendemen yang tinggi, residu kimia serendah mungkin dan biaya proses yang rendah.  Hal ini dipengaruhi oleh jenis bahan pemutih dan jumlah bahan pemutih yang dipakai (Goyal, 1994).  Salah satu bahan pemutih yang digunakan adalah hidrogen peroksida dalam media asam asetat atau dikenal sebagai asam perasetat  Asam ini mempunyai bilangan oksidasi yang lebih tinggi dan kuat dibandingkan dengan oksidasi dari hidrogen peroksida (Muladi, 2000).  Proses oksidasi pemutihan tergantung beberapa faktor yaitu  pH, suhu, konsentrasi asam perasetat dan lama waktu reaksi.  Keuntungan menggunakan pemutihan perasetat adalah tidak merusak selulosa dan bebas klor.  Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam perasetat terhadap sifat kimia dan derajat putih pulp dari ampas tebu yang dihasilkan melalui proses organosolve.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp adalah 8 kg bagase (kering oven) dari PTPN VII Unit Usaha Bunga Mayang, larutan pemasak (asam asetat glasial teknis, 98%), larutan pemutih (asam peroksida 30% dan asam aetat glasial teknis 95%); senyawa-senyawa kimia untuk analisis: KMNO4, KI, Na2S2O3, asam sulfat pekat (72%), asam hidroklorat (HClO3), NaOH, Na2CO3, etanol 95%, dan petroleum eter. 

Alat yang digunakan adalah rotary digester, flat refiner, alat penentu bilangan Kappa, alat penentu gramatur dan alat analisis.

 

Metode Penelitian

Semua perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari knsentrasi perasetat 0, 3, 6, 9, 12 dan 15%.   Data dianalisis sidik ragam dengan taraf 1% dan 5%.  Homogenitas diuji dengan uji Bartlet dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey.  Analisis lanjutan dilakukan dengan uji Duncant pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1980). 

 

Pelaksanaan Penelitian

1. A.   Persiapan bagase

Page 199: Sawi ilaaaaaaaaa

Proses pembuatan pulp dimulai dengan bagase dicuci, dijemur sampai kering, kemudian dihilangkan empelurnya dengan menumbuk bagase sampai tinggal serat-seratnya dan ditampi, lalu diambil 1000 g. 

1. B.   Pemasakan pulp

Pemasakan pulp dilakukan dengan menggunakan proses acetosolv.  Sebanyak 1000 g bagase dimasukkan ke dalam rotary digester (alat pemasak).  Kondisi pemasakan mengacu pada penelitian Gottlieb et al. (1992).  Pemasakan dilakukan dengan menggunakan larutan asam asetat dalam air dengan konsentrasi 80 (v/v), dan rasio larutan pemasak dengan serpih bagase 8:1 (v/b).  Suhu pemasakan maksimum 1600C pada tekanan yang terjadi pada suhu 1600C (± 2 atm), waktu tuju ke suhu maksimum 90 menit, waktu pada suhu maksimum 90 menit. 

 

 

 

1. C.   Pencucian pulp

Pulp hasil pemasakan selanjutnya dicuci dengan menggunakan air pada suhu 800C dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan air pada suhu ruangan hingga jenuh.

 Defibrilisasi

Defibrilisasi adalah proses yang bertujuan untuk memisahkan serat.  Proses ini dilakukan dengan menggunakan defibrator yang memiliki prinsip kerja seperti blender.  Pulp yang telah jenuh dimasukkan ke dalam defibrator menggunakan air sebagai media pemisahan serat.  Defibrisasi dilakukan hingga pulp terurai menjadi serat-serat mandiri (selama 3–5 menit). 

E. Pemutihan pulp bagase

Pulp dipanaskan pada asam perasetat dengan konsentrasi perlakuan pada suhu 85oC selama 3 jam.  Selanjutnya dilakukan pencucian dan pengeringan pada suhu kamar.  Kemudian dilakukan pengamatan seperti yang dilakukan pada pulp sebelum diputihkan.  Pulp yang sudah diputihkan selanjutnya diuji sifat-sifat kimia (kadar selulosa, hemiselulosa (Metode Datta, 1981), dan bilangan permanganat (SNI 0494-89).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen

Page 200: Sawi ilaaaaaaaaa

Rendemen pulp yang dihasilkan berkisar antara 15,93 persen sampai 20,39 persen dengan rata-rata akhir adalah 18,67 persen.  Gambar 1 menunjukkan rendemen yang diperoleh dari hasil penelitian. 

                   

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Rendemen pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi asam perasetat (0%, 3%, 6%, 9%, 12%, dan 15%) tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen pulp.  Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa rendemen yang dihasilkan cenderung meningkat sampai pada konsentrasi 6% kemudian menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam prasetat, hal ini diduga disebabkan oleh adanya degraadasi dari selulosa.  Dence dan Reeve (1996) menyebutkan bahwa selama pemutihan pulp, degradasi selulosa dapat terjadi.  Degradasi selulosa ini diakibatkan sifat selulosa yang mudah terhodrolisis oleh asam.  Akibatnya, fragmen-fragmen  selulosa menjadi terlarut sehingga rendemen pulp yang dihasilkan lebih rendah.

Selulosa

Kandungan selulosa sangat perlu diketahui sebab selulosa berpengaruh terhadap kekuatan kertas yang akan dihasilkan.  Presentase selulosa yang dihasilkan berkisar antara 43,41 sampai 70,16 dengan rata-rata akhir adalah 55,74 (Gambar 2). 

 

 

 

 

 

Page 201: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Gambar 2.  Kadar selulosa pulp hasil pemutihan dengan asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Dari Gambar 2, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam perasetat maka kadar sampai pada konsentrasi 6% akan meningkatkan kadar selulosa tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi selulosanya semakin menurun.  Peningkatan selulosa disebabkan karena asam perasetat merupakan bahan kimia yang sangat selektif.  Terjadinya reaksi asam perasetat pada akarbohidrat melalui rekasi hidrolisis tidak terlalu tajam, tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, penggunaan asam perasetat akan menyebabkan oksidasi polisakarida melalui pembentukan radikal hidroksi (Nevell dan Zeronian, 1985).  MacDonald dan Franklin (1969) yang menyatakan bahwa selama pemutihan pulp dapat terjadi modifikasi oksidatif dan hidrolitik serta degradasi selulosa.  Gugus fungsi dalam selulosa yang terserang adalah gugus hidroksil dan aldehid ujung menghasilkan aldehid, keton, dan formasi gugus karboksil.

Bilangan Permanganat

Bilangan Permanganat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan atau daya terputihkan dari suatu  pulp kimia (Dewan Standarisasi Nasional, 1989).  Nilai bilangan permanganat  hasil penelitian berkisar antara 6,11 sampai 33,92 (Gambar 3).                                   

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 202: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Gambar 3.  Bilangan Permanganat pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

 

Dengan meningkatnya konsentrasi asam perasetat yang digunakan, penetrasi bahan pemutih tersebut tersebut ke dalam serat menjadi lebih sempurna yang mengakibatkan delignifikasi pulp akan semakin bertambah sehiungga menurunkan bilangan permanganat.  Kandungan lignin dalam pulp sangat erat hubungannya dengan bilangan permanganat. Ini didasarkan pada prinsip bahwa lignin akan menkonsumsi kalium permanganat dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari pada komponen-komponen karbohidrat di dalam pulp. Sehingga penggunaan kalium permanganat bisa digunakan untuk mengukur kandungan lignin didalam pulp. Kandungan lignin di dalam pulp semakin rendah dengan rendahnya bilangan kappa dan bilangan permanganat (Fuadi dan Sulistiya, 2008).

 

Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan salah satu komponen utama dalam pulp sebab menurut Dence dan Reeve (1996) hemiselulosa memegang peranan penting dalam pengolahan serat dan pengikatan serat dalam lembaran kertas.  Selain itu Casey (1952) menyatakan bahwa hemiselulosa dapat mempengaruhi ketahanan tarik, retak, dan lipat karena berfungsi sebagai perekat antar serat.  Kadar hemiselulosa pulp berkisar antara 15,89 persen sampai 24,36 persen (Gambar 4) dengan rata-rata akhir adalah 18,78 persen. 

 

 

 

 

 

Page 203: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 4.     Kadar hemiselulosa pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

Kadar hemiselulosa semakin  menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi asam perasetat, selain itu penurunan kadar hemiselulosa ini pun seiring dengan penurunan kadar  selulosa pulp.  Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin banyak selulosa yang terdegradasi oleh larutan asam asetat maka semakin banyak pula hemiselulosa yang terdegradasi. Dimana sebagian besar  hemiselulosa terikat bersamaan dengan seluklosa dalam dinding sel sedangkan sebagian kecil terikat dengan lignin (Fuadi dan Sulistiya, 2008).

Hemiselulosa berbentuk non kristal dan mudah dihidrolisis dan terikat kuat dengan selulosa dan lignin.  Bila selulosa mengalami degradasi akibat pengaruh konsentrasi asam perasetat maka hemiselulosa akan mudah terdegradasi menjadi unit-unit yang lebih sederhana dan larut dalam air sehingga menurunkan kadar hemiselulosa (Fengel dan wagener, 1989).  Menurut Hatakeyama et all (1968), xilan dan mannan dari hemiselulosa lebih mudah terputus dibandingkan selulosa.                                     

 

Derajat Keputihan

Derajat putih adalah perbandingan antara intensitas cahaya biru dengan panjang gelombang 457 nm yang dipantulkan oleh permukaan lembaran pulp dengan cahaya sejenis yang dipantulkan oleh permukaan lapisan magnesium oksida (MgO) pada kondisi sudut datang cahaya 450 dan sudut pantul 00 serta dinyatakan dalam persen (%) (SNI 14-0438-1989).  Derajat putih yang didapatkan setelah dilakukan pemutihan dengan asam perasetat, berkisar antara 15,0100oGE sampai dengan 32,0050oGE. Derajat keputihan tertinggi didapat pada pulp yang diberi perlakuan pemutihan dengan konsentrasi asam perasetat 15%. Sedangkan derajat keputihan terendah didapatkan pada pulp dengan perlakuan pemutihan asam perasetat 0%. (Gambar 5).

 

 

 

 

 

Page 204: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 5.     Derajat putih pulp hasil pemutihan dengan  asam perasetat dalam berbagai konsentrasi.

 

            Peningkatan konsentrasi asam perasetat akan meningkatkan derajat putih pulp yang dihasilkan dari proses pemutihan.   Hal ini dapat terjadi karena menurut Lai dan Sarkanen (1968) proses oksidasi akan mengalir melalui ion-ion OH-.  Sedangkan Casey (1952) mengemukakan bahwa bahan aktif pemucat dalam proses pemucatan pulp dengan peroksida adalah ion OOH-

yang berasal dari ionisasi H2O2. Ion ini menyerang lignin dan bahan-bahan pewarna lain dalam pulp secara selektif. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hidayati (2000) yaitu OOH- mengoksidasi gugus kromofor pada lignin.  Goyal (1994) mengemukakan bahwa setiap peningkatan 1% asam perasetat akan meningkatkan derajat putih sampai batas tertentu.   Pemakaian H2O2 meningkat dengan naiknya pH, ini disebabkan karena dekomposisi H2O2

dipercepat dengan pH. Di sisi lain, perhydroxyl anion (HOO-) yang memberikan efek terhadap pemutihan terbentuk dari penambahan alkali terhadap hidrogen peroksida (Fuadi dan Sulistya, 2008).

 

KESIMPULAN

Semakin tinggi konsentrasi perasetat akan menurunkan kadar selulosa, hemiselulosa, dan bilangan permanganat serta meningkatkan derajat putih. Hasil terbaik pada proses pemutihan adalah menggunakan konsentrasi perasetat sebanyak 6% yang menghasilkan rendemen  20,39 %, kadar selulosa 70,16 %, hemiselulosa 18,2%, dan  bilangan permanganat 24,2 dengan derajat putih 18,4 oGE.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim.  2005.  Pemanfaatan Ampas Tebu untuk Pulp dan Kertas.  Informasi hotspot 25 September 2005.

Page 205: Sawi ilaaaaaaaaa

Aziz, S.B dan K. Sarkanen.  1989.  Organosolv Pulping.  TAPPI Journal.  March    1989.  169-175.

I.B.W.  1986.  Pengaruh Antrakinon-Soda terhadap Sifat-sifat Pulp Ampas Tebu dan Jerami.  Skripsi.  Teknologi Hasil Hutan.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Barr, C.  2001.  The Financial Collapse of asi Pulp & Paper:  Moral Hazardand Implication for Indonesia’s Forest, dalam Asian Development Forum-3, Bangkok.

BIRO.  2001.  Indonesia Pulp and Paper Industry.  Jakarta: PT Biro Data Indonesia.

Casey, J.P.  1952.  Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology I.  John and Wiley and Son.  New York.

Datta, R.  1981.  Acidogenic fermentation of lignocellulose acid yields and confertion of component.  Biotech Bioneg 23:2167-2170.

Darwis, A.A., Muliah, M. Yani, dan Rohmat.  1994.  Pengaruh Umur dan Konsentrasi Alkali Aktif terhadap Sifat-sifat Pulp Sulfat Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).  Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. IV:1. 8-14.

Dence, C.V. dan D. W. Reeve.  1996.  Pulp Bleaching, Principle and Practice.  TAPPI PRESS.  Atlanta, Georgia.  Hal 10 dan 50.

Dewan Standardisasi Indonesia.  1989.  SNI 0494-1989-A.  Cara Uji Bilangan Permanganat, Bilangan Kappa, dan Bilangan Khlor Pulp.  Departemen Perindustrian. Jakarta.

Deperindag dan APKI.  2001. Industri Pulp dan Kertas 1999-2003: Realisasi 1999-2000 dan Proyeksi 2001-2003. Jakarta: Direktorat Industri Pulp dan Kertas.

Fengel, D. dan G. Wegener.  1995.  Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.  Diterjemahkan oleh Hardjono Sastromiharjo.  Gadjah  Mada  University   Press. Yogjakarta.  155 – 159.

Fuadi, A.M dan Sulistya, H.  2008.  Pemutihan Pulping dengan Hidrogen Peroksida.  Reaktor, Vol. 12 No. 2, Desember 2008, Hal. 123-128

Gottlieb, J.P., A.W. Preuss, J. Meckel, A. Berg.  1992.  Acetocell Pulping of Spurce and Chlorine Free Bleaching.  Proceding of the TAPPI Solvent Pulping Symposium.  Boston, November 5-6.

Goyal, S.K.  1994.  Bagasse bleaching Parameter Optimazition Pay.  IPPTA Vol 6 (3).

Haryadi, M.B.  1994.  Pengaruh Pengelompokkan Bobot Jenis, Kondisi Alkali Aktif, serta Jenis Pemutihan terhadap Sifat Pulp Sulfat Putih Kayu Campuran.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor. 4-22.

Page 206: Sawi ilaaaaaaaaa

Hatakeyama, H, nakano, M.J and Migita, N.  1968.  Degradation of Cellulose with Peracetic Acid.  Kogua Kgaku Zusshin71 (1), p: 153-156.

Hidayati, S. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu Sebagai Bahan Dasar Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains Vol.13(1).

K.L.H.  2005.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 228 tahun 2005 Tentang Hasil Penilaian Peringkat Kerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.

Macdonald, R.G. dan J.N.  Franklin, Ed.  1969.  Pulp and Paper Manufacture.  Second Edition.  Mc. Graw-Hill Book Company, Inc.  New York.

Muladi, S, E.T Arung,, N.M Nimz dan O.Faix.  2002.  Organosolv Pulping and Bleaching of Pulp with Ozone.  Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman Samarinda.

Muladi, S., I.W Kusuma., O K Orsadchia and R. Pratt.  2000.  The elementary chlorine free bleaching (ECF) of some Indonesia timber estate wood species, hlm 335-340.  Di dalam M. Shimada, T Watanabe and T Yoshimura (Ed).  Sustinable Utilization of Forest Product:  Socio economical and Ecological management of tropical forest.  Proceeding of the third wood science symposium.  Japan.

Nevell, T.D daan Zeronian, S.H.  1985.  Oxidant of cellulose in Cellulose Chemistry and Its applications, Ellis Hardwood Limited Chiccherter-West Sussex, p: 243-265.

Pasaribu, R.A dan H. Roliadi.1989.Pengolahan Pulp Secara Kimia. Disajikan Dalam Rangka Alih Ilmu Pengetahuan dan Industri Pulp Kertas dan Papan Serat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan Bogor.

Paturau, J.M. 1982. Sugar Series 3 : By product of The Care Sugar Industry on Introduction to Their Industrial Utilization. 2nd ed Elsevier Publ. Comp, New York.

Ruwelih.  1990.  Mempelajari Pengaruh Suhu Pemasakan dan Konsentrasi Soda terhadap Sifat Pulp dan Lindi Hitam dari Pemasakan Kayu Albasia (Albazzia falcataria Bucker) dan Ampas Tebu dengan Proses Soda.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Syafii, W.  2000.  Sifat Pulp Daun Kayu Lebar dengan Proses Organosolv.  Jurnal     Teknik Industri Pertanian.

Saptariyani, A.K.P.  1992.  Pengaruh Umur Kayu Albasia (Albazzia fulcataria (L) Fosberg).  Dan Kayu Karet (Hevea brasiliensis muell. Arg) terhadap Sifat Fisik Pulp Sulfat yang Diputihkan.  Skripsi.  Fakultas Teknologi Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Steel, R. G. D and Torrie, J. H. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendeketan Biometrik. Gramedia. Jakarta.

Page 207: Sawi ilaaaaaaaaa

Suratmaji, T.  2001.  Perkembangan Teknologi Proses Pembuatan Pulp & Kertas Menyongsong Perkembangan 10 tahun KTT Bumi, Peran Penguasaan Teknologi Lingkungan, Jakarta.

www.kompas.com.

www.wartaekonomi.com

Tinggalkan Sebuah Komentar

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA CHINENSIS) == Astuti K,   dkk 18 Juni 2011, 3:43 pm Filed under: Penelitian

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (ALOE VERA CHINENSIS) TERHADAP PEMBERIAN BEBERAPA MIKROBA DAN ABU JANJANG KELAPA

SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

(Aloe Plant Growth Response (Aloe vera chinensis) To Gift Some Microbes And palm bunch Ash on Peatland)

Astuti Kurnianingsih1), Sudradjat2), Sudirman Yahya2)

1)Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

2)Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB Bogor

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat proses dekomposisi tanah gambut dengan menambahkan mikroba pada gambut sebagai starter dan menentukan dosis abu janjang yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman lidah buaya, Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit  PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian bahan organik + mikroba yaitu; tanpa starter mikroba/tanah gambut, tanah gambut + starter Lactobacillus, tanah gambut + starter Bacillus, dan tanah gambut + starter Trichoderma sp. Faktor kedua adalah dosis abu janjang kelapa sawit yaitu; 0 g/tanaman,  25 g/tanaman,  50 g/tanaman, 100 g/tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah. Dari persamaan regresi didapatkan bahwa dosis optimum abu janjang terhadap panjang daun 84.7 g/tanaman (27%), lebar daun sebesar 73.3g/tanaman (16,2%), tebal daun sebesar 65.7 g/tanaman (14,1%) dan bobot basah sebesar 97.8 g/tanaman (91%). Bahan organik yang diaplikasikan belum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan terhadap bobot basah pelepah lidah buaya.

Page 208: Sawi ilaaaaaaaaa

Kata Kunci : Lidah Buaya, Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikroba, Gambut.

ABSTRACT

The objective of this research was increased decomposition peatland with kind of microbe as starter and determine dosages of palm bunch ash on growth and leaf fresh weight of Aloe vera chinensis. The research was conducted at PT. Bhumireksa Nusasejati Plantation Indragiri Hilir, Riau. The treatment were arranged factorially Randomized Block Design with 2 factors and 3 replication. The first factors was peat, peat + lactobacillus, peat + bacillus, peat + Trichoderma sp. The second factors was dosages of palm bunch ash,  0 g/plant, 25 g/plant,  50 g/plant, 100 g/plant. Result showed that the application kind of microbe not increased to crop on growth and fresh weight leaf. The application of dosages palm bunch ash significantly increased the plant height about 30.2 %, leaf lenght about 27 %,  leaf  width about  16.2 %,  leaf thickness about 14.1 %, number of leaf about   57.8 %, number of suckers about 14,4 % and leaf fresh weight  about 91 %. Generally the application of palm bunch ash showed kuadratic response to plant height, leaf lenght, leaf width,  leaf thickness, number of leaf, number of suckers and leaf fresh weight.

Keyword : Aloe vera chinensis, palm bunch ash, microbe, peatland.

 

PENDAHULUAN

Lidah buaya (Aloe vera) merupakan  tanaman sukulen yang termasuk dalam famili Liliaceae. Berdasarkan hasil penelitian, lidah buaya memiliki kandungan zat nutrisi seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida, protein dan komponen lain. Tanaman ini menghendaki tanah yang mengandung bahan organik tinggi, dan tumbuh baik pada daerah gambut yang berpH rendah.

Tanah gambut termasuk dalam lahan marjinal, akhir-akhir ini usaha perluasan areal pertanian lebih diarahkan pada lahan marjinal yang biasanya terdapat di luar pulau Jawa.  Tanah  gambut  mempunyai   reaksi    masam   sampai sangat masam dengan KTK tinggi,  kejenuhan basa yang rendah. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju  dan penyediaan hara yang memadai untuk pertumbuhan tanaman terutama basa-basa seperti K, Ca, Mg dan unsur mikro.

Beberapa hasil penelitian pada lahan gambut menunjukkan bahwa teknologi pengelolaan tanah, pemampatan/pemadatan tanah, pemberian bahan amelioran berupa kapur, pupuk kandang, abu sawmil dan berbagai sumber pupuk fosfat alam serta pemberian pupuk makro N dan K, pupuk mikro CuSO4 (terusi),   FeSO4 dan ZnSO4 dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut dan hasil tanaman padi, palawija serta hortikultura (Irawan,1999).

Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan tanaman karena tambahan hara dari abu, tetapi memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut

Page 209: Sawi ilaaaaaaaaa

(Ismunadji dan Soepardi, 1984).  Penggunaan tandan atau janjang kosong ini dapat menggantikan abu bakaran tanah gambut guna meningkatkan pH gambut.  Menurut Sanchez (1976), pembakaran sisa panen akan meningkatkan pH tanah serta dapat memberikan masukan unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman meskipun jumlahnya relatif kecil.  Penggunaan abu janjang kelapa sawit adalah salah satu cara untuk menaikkan pH di lahan gambut. Menurut Pandjaitan  et al., (1983), abu janjang  kelapa sawit dapat menaikkan  pH tanah dimana semakin tinggi dosis abu janjang kelapa sawit semakin naik pula pH tanah. Dari hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa limbah abu janjang kelapa sawit menandung K2O  35 – 40 % (Chan et al., 1982), tingginya kandungan K2O pada  abu janjang tersebut merupakan potensi sebagai sumber hara kalium bagi tanaman. Penambahan bahan organik yang tingkat dekomposisinya sudah lanjut merupakan tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman untuk meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat pupuk sehingga efesiensinya meningkat. Disamping itu dengan menambah populasi mikroorganisme seperti Lactobacillus, Bacillus, maupun Trichoderma di dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat proses dekomposisi tanah gambut dengan menambahkan mikroba pada gambut sebagai starter dan menentukan dosis abu janjang yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman lidah buaya.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit  PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktorial, yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah bahan organik + starter mikroba yaitu;  (M1) tanpa starter mikroba/tanah gambut), tanah gambut + starter Lactobacillus (M2), tanah gambut + starter Bacillus (M3), dan tanah gambut + starter Trichoderma sp (M4). Faktor kedua adalah dosis abu janjang kelapa sawit yaitu; A0 = 0 g/tanaman, A1 = 25 g/tanaman, A2 = 50 g/tanaman, A3 = 100 g/tanaman. Dari kedua faktor tersebut diperoleh  16 kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga didapatkan 48 unit percobaan.

          Sistem pengomposan dilakukan dengan sistem anaerob. Perlakuan Lactobacilus dan Bacilus  diberikan dalam media biakan dengan takaran 1 liter untuk 1 ton bahan organik,  Trichoderma sp diberikan dalam media biakan dengan 0,5 % bahan kering dicampur dengan dedak dan di inkubasikan selama 2 minggu, hasil inkubasi ini dicampur dengan tanah gambut dan diinkubasikan selama 1 bulan. Abu janjang diperoleh dari limbah padat kelapa sawit yaitu berupa tandan kosong yang dibakar di dalam incenerator, hasil pembakaran berupa abu yang digunakan sebagai pupuk. Lahan yang digunakan dibersihkan, selanjutnya dibuat parit keliling yang berfungsi untuk membuang air tanah yang berlebihan (drainase). Ukuran lubang tanam 20 cm x 20 cm x 20 cm, jarak tanam adalah 1 m x 1 m. Lubang tanam diberi abu dan diinkubasikan selama 7 hari. Bibit tanaman lidah buaya yang siap tanam dicirikan dengan tinggi 25 – 30 cm dengan jumlah 5–6 pelepah. Pada saat awal penanaman diberikan pupuk Urea (20g/tanaman) dan RP (10g/tanaman).

Pemeliharaan meliputi penyiraman, pembumbunan, penyiangan, pemupukan susulan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemisahan anakan. Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman, pertumbuhan daun (panjang daun, jumlah daun, lebar daun tebal daun), dan bobot basah daun.

Page 210: Sawi ilaaaaaaaaa

Data hasil penelitian dari tiap peubah dianalisis menggunakan uji F pada taraf nyata 5 % dan dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil analisis tersebut berpengaruh nyata. Untuk mengetahui keeratan dan menentukan bentuk respon dari kurva hubungan peubah dengan taraf faktor perlakuan dilakukan Uji polinomial orthogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Pertumbuhan Tanaman Lidah Buaya

Jenis mikroba tidak berpengaruh secara nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, dan jumlah anakan), sedangkan dosis abu janjang berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, dan jumlah anakan) serta bobot basah pelepah tanaman lidah buaya. Interaksi antara jenis mikroba dan dosis abu janjang tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah.

Tinggi tanaman

Dosis abu janjang memberikan pengaruh yang nyata. Perbedaan yang nyata sudah tampak sejak tanaman berumur 4 MST. Terdapat perbedaan sebesar 30.2 % antara perlakuan abu janjang dosis A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman) pada minggu ke-28.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap tinggi tanaman yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. Dari Gambar 1 menunjukkan peubah tinggi tanaman mempunyai nilai  regresi  Y = 4.0365 + 0.551744x – 0.00405x2 dengan R2 = 0.623 sehingga didapatkan dosis optimum sebesar  68.1 g/tanaman.

Panjang daun.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dosis A2 (50 g/tanaman) dan A3 (100 g/tanaman) tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan dosis A1 (25 g/tanaman) dan A0 (0 g/tanaman). Perbedaan yang nyata baru mulai tampak pada minggu ke-10 setelah tanam. Pemberian abu janjang meningkatkan panjang daun sebesar 27 %.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap panjang daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 2) dengan nilai  persamaan regresi     Y = 28.992 + 0.262482x – 0.00155x2 dengan R2 = 0.648. Dosis optimum dari pemberian abu janjang terhadap panjang daun sebesar 84.7 g/tanaman.

Page 211: Sawi ilaaaaaaaaa

Tabel 1. Pengaruh pemberian abu janjang terhadap rata-rata tinggi  tanaman (cm)

Perlakuan

Minggu ke-4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A024.9 b

27.3 b

29.4 b

31.6 b

33.4 b

36.1 b

37.9 b

39.6 b

41.4 b

41.8 b

41.9 b

42.0  b

42.6 b

A125.6 a

29.4 a

33.0 a

35.8 a

38.2 a

42.0 a

45.1 a

47.4 a

50.5 a

51.5 a

53.1 a

54.5 a

55.4 a

A225.9 a

29.6 a

33.1 a

35.2 a

38.1 a

43.2 a

46.6 a

49.1 a

52.4 a

53.5 a

56.0  a

57.6 a

59.6 a

A325.5 a

29.7 a

33.4 a

36.0 a

39.0 a

43.9 a

47.4 a

50.1 a

52.3 a

53.5 a

54.9 a

56.4 a

57.8 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Gambar 1. Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Tinggi Tanaman (cm) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTGambar 2. Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Panjang Daun (cm) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MST

Tabel 2. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata panjang daun (cm)

PerlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A022.3 a

23.08 a

24.09 a

24.38 b 25 b

25.01 b

25.86 b

26.93 b

28.01 b

28.51 b

28.7 b

28.79 c

28.96 c

A122.5 a

23.62 a

24.75 a

25.29 a

26.23 a

26.92 a

28.14 a

29.99 a

31.85 a

32.35 a

33.06 a

33.7 b

34.67 b

A223.1 a

24.03 a

24.9a

25.78 a

26.67 a

27.06 a

28.53 a

30.73 a

32.93 a

33.43 a

35.63 a

36.8 a

38.18 a

A322.8 a

23.91 a

25.05 a

25.72 a

26.41 a

27.26 a

28.77 a

30.91 a

33.05 a

33.55 a

35.18 a

36.73 a

39.73 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 3. Pengaruh pemberian abu janjang terhadap rata-rata lebar daun (cm)

Page 212: Sawi ilaaaaaaaaa

PerlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A02.65

a 2.8 a2.93

c3.01

c3.04

c3.08

d3.09

d3.23

c3.33

c3.34

c3.38  

c3.45

c4.25

c

A12.81

a2.96

a3.21 ab

3.25 b

3.33b

3.39 c

3.41 c

3.54 b

3.77 b

4.05 b

4.25 b

4.45 b

4.77 b

A22.8 a

2.95 a

3.12 a

3.27 b

3.43 b

3.58 b

3.85 b

4.16 a

4.53 a

4.76 a

5.04 a

5.32 a

5.72 a

Gambar 3.     Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Lebar daun (cm) Terhadap  PemberianAbu Janjang umur 28 MST

Gambar 4.    Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Tebal daun (cm) Terhadap      Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTA3

2.82 a

2.97 a

3.28 a

3.42 a

3.64 a

3.83 a

4.01 a

4.24 a

4.57 a

4.69 a

4.91 a

5.14 a

5.42 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

 

 

Lebar daun

Page 213: Sawi ilaaaaaaaaa

Lebar daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata mulai tampak pada minggu ke-8 setelah tanam. Terdapat perbedaan sebesar 16.2 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman).

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap lebar daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 3) dengan persamaan regresi Y = 3.342217 + 0.0695x – 0.000494x2 dan nilai R2 =0.807. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar 73.3 g/tanaman.

Tebal daun.

Tebal daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata mulai tampak pada minggu ke-6. Terdapat perbedaan sebesar 14.1 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A2 (50 g/tanaman).

Tebal daun menunjukkan pengaruh yang nyata dengan respon bersifat kuadratik (Gambar 4) dengan persamaan regresi yaitu Y = 1.14636 + 0.0159x – 0.000121x2 dan nilai R2 = 0.702. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar 65.7 g/tanaman.

Jumlah daun

Jumlah daun hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Perbedaan yang nyata sudah mulai tampak pada umur tanaman 4 MST hingga tanaman berumur 14 MST. Terdapat perbedaan sebesar  57.8 % pada perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan  A1 (25 g/tanaman), terdapat peningkatan sebesar 57.8 % setelah pemberian abu janjang dengan dosis 25 g/tanaman.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap jumlah daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (gambar 5) dengan persamaan regresi yaitu Y = 10.2435 + 0.0873x  – 0.000608x2 dan nilai R2 =0.67. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar  71.8 g/tanaman.

Jumlah anakan

Jumlah anakan hanya dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Jumlah anakan mulai tampak perbedaan nyata pada umur 12 MST. Terdapat perbedaan sebesar  144 % antara perlakuan A0 (0 g/tanaman) dengan A1 (25 g/tanaman),

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap jumlah anakan yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik (Gambar 6) dengan persamaan regresi yaitu Y = 1.31392 + 0.108395x   – 0.000664x2 dan nilai R2 =0.613. Dosis optimum dari pemberian abu janjang yaitu sebesar  81.6 g/tanaman.

Tabel 4. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata tebal daun (cm)

perlakuanMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Page 214: Sawi ilaaaaaaaaa

A00.63

a0.78

b0.93

c 1 b1.04

b1.08

c 1.1 c1.11

c1.11

c 1.111.11

b1.11

b1.11

b

A10.69

a0.89

a 1.1 b1.28

a1.28

a1.28

b1.28

b1.29

b1.29

b 1.361.46

a 1.5 a1.57

a

A20.06

a 0.9 a1.11

b 1.2 a1.26

a1.32

a1.33 ab

1.34 ab

1.34 ab 1.36

1.46 a 1.5 a

1.57 a

A30.69

a0.94

a1.18

a1.27

a1.31

a1.36

a1.37

a1.38

a1.38

a 1.391.46

a 1.5 a1.54

a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 5. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata jumlah daun (helai)

PERLKMinggu ke-

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

A04.68

c5.49

b6.23

b 6.7 b 7.16

b7.53

b7.78

c8.01

c8.18

c8.88

c8.93

c9.85 

b10.11 b

A14.85 bc

5.93 a

7.01 a

7.59 a

8.06 a

8.68 a 8.8 b

9.16 b

9.96 b

10.36 bc

10.41 bc

12.25 a

12.38 a

A25  b

6.14 a

7.21 a

7.64 a

8.16 a

8.91 a

9.48 a

10.36 a

10.9 a

12.6 a

12.83 a

13.5 a

13.5 a

A35.1 a 6.2 a 7.3 a

7.82 a

8.35 a

9.05 a

9.55 a

10.31 a

10.95 a

11.75 a

11.78 a

12.6 a

12.93 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 6. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata jumlah anakan (buah)

PERLK28Minggu ke-

10 12 14 16 18 20 22 24 26A0 0.64 0.75 b 0.77 b 0.77 b 0.77 c 0.91 c 1.1 c 1.1 c 1.1 b 1.15 bA1 1.25 1.61 a 1.93 a 1.95 a 2.51 b 2.92 b 3.8 b 4.04 b 5.02 a 6.23 a

A21.69 1.72 a 2.16 a 2.24 a

3.43 ab  3.49 b 4.04 b

4.18 ab 4.32 a 4.75 a

A31.37

1.43 ab 2.18 a 2.3 a 3.93 a 4 .97 a 5.17 a 5.2 a 5.23 a 5.57 a

Gambar 6.   Grafik Regresi Respon Pertumbuhan Jumlah anakan (buah) terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MSTGambar 5.    Grafik Regresi Respon Pertumbuhan jumlah daun (helai) Terhadap Pemberian Abu Janjang umur 28 MST

Page 215: Sawi ilaaaaaaaaa

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

Tabel 7. Pengaruh pemberian abu janjang  terhadap rata-rata bobot basah (buah) umur 32 MST

PERLKPelepah  ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

A04.91 b 13 b

24.75 b

55.41 c

98.33 d

144.17 c

171.25 a

176.33 d

162.5 d

140  d

121.25 d

100.45 d

A15.25 b

12.5 b 31 b

74.58 b

133.33 c

208.75 b

286.25 c

309.17 c

311.67 c

284.58 c

260.83 c

225.83 c

A28.41 ab

17.91 a 45 a

97.91 a

173.75 b

295.83 a 395 b 445 b

462.5 b

452.08 b

411.67 b

377.92 b

A3

Gambar 7. Grafik Regresi Respon Bobot basah (g) terhadap Pemberian Abu Janjang umur    32 MST9.75 a 21 a

52.08 a

110.41 a 205 a

322.92 a

457.5 a

517.08 a

530.83 a

524.58 a

486.67 a

442.08 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf a = 0,05 %

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 216: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

Bobot basah pelepah

Bobot basah pelepah hanya nyata dipengaruhi faktor  tunggal dosis abu janjang. Terdapat perbedaan sebesar 91 % terhadap bobot basah pelepah dengan pemberian abu janjang 25 g/tanaman. Gambar 6 menunjukkan bahwa bobot basah pelepah terbesar rata-rata dari semua perlakuan terdapat pada daun   ke-9.

Berdasarkan uji polinomial ortogonal  abu janjang berpengaruh  nyata  terhadap lebar daun yang ditunjukkan dengan respon bersifat kuadratik. (Gambar 7) dengan persamaan regresi  yaitu Y = 156.273 + 7.88455x – 0.0402x2 dan nilai R2 = 0.823. Dosis optimum yaitu sebesar  97.8 g/tanaman.

Pembahasan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa jenis mikroba yang diberikan dalam pengomposan tanah gambut belum dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya, diduga pada saat pengomposan belum terjadi perombakan sempurna mikroba dan  faktor lingkungan yang belum optimal dalam perombakan tanah gambut oleh mikroba diantaranya adalah pH. Agustina (1996) mengatakan bahwa aktivitas biologi di dalam tanah juga dipengaruhi oleh pH tanah, pengaruhnya di dalam kecepatan penguraian bahan organik, pada pH 6 –7 mikroorganisme tanah paling aktif menguraikan bahan organik dan membantu cepatnya ketersediaan unsur hara dalam tanah dan menurut Soepardi (1983), bakteri memerlukan nilai pH antara 6,5 – 7,5 dan ragi memerlukan pH 4,0 – 4,5.  Diduga pula tanah gambut yang digunakan telah mengalami dekomposisi hampir sempurna, sehingga keberadaan mikroba-mikroba yang ditambahkan ke dalam tanah gambut sebagai inokulum untuk mempercepat laju dekomposisi belum memberikan pengaruh terhadap perubahan tanah gambut menjadi lebih matang.

Gambut adalah timbunan bahan organik yang mempunyai laju perombakan lambat. Lambatnya perombakan pada tanah gambut karena aktivitas mikroorganisme yang rendah. Perombakan dikatakan lebih sempurna jika nisbah C/N < 20. Dari tabel lampiran analisis tanah awal bahwa C-organik tanah sebesar 53,84 dan kandungan N sebesar 0,44 % ini berarti C/N tanah gambut sangat tinggi yaitu sebesar 122. Kussow (1971) mengatakan bahwa jasad mikro dapat memineralisasi bahan organik bilamana cukup tersedia N, kebutuhan N akan terpenuhi bilamana bahan organik mengandung 1,5 – 2,0 % N dan nisbah C/N sama dengan 20 atau 25. Bila bahan

Page 217: Sawi ilaaaaaaaaa

organik mengandung kurang dari 1,5 % N dengan C/N lebih besar dari 25, maka besarnya dekomposisi ditentukan oleh seberapa banyak N-anorganik dalam tanah yang dapat digunakan oleh jasad mikro. Kondisi asam (pH rendah) juga menjadi penghambat aktivitas mikrooganisme. Hasil penelitian Komariah et al., (1993) menunjukkan penggunaan mikroorganisme perombak selulosa dapat meningkatkan ketersediaan hara dan pH gambut, tetapi belum dapat menurunkan nisbah C/N.

Abu janjang kelapa sawit merupakan sumber hara kalium. Pemberian abu janjang memberikan pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman yang tidak diberi abu janjang pada semua taraf perlakuan jenis bahan organik tanah gambut. Tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun dan bobot basah pelepah nilainya lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan abu janjang (Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8). Pemberian abu janjang dapat meningkatkan bobot tanaman, jumlah daun dan cabang pada tanaman kacang buncis (Safo et al., 1997).

Fiksasi K tidak terjadi dalam tanah gambut sehingga  K dalam bentuk terlarut akan mudah tercuci bila tidak segera digunakan. Namun pemberian abu janjang sebagai pengganti K yang terus menerus dapat meningkatkan kandungan hara K di dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada penelitian ini pemberian abu janjang sampai batas tertentu meningkatkan kandungan hara K.

Respon kuadratik menunjukkan bahwa pemberian abu janjang dengan kisaran dosis 67 – 95 g/tanaman masih dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya tetapi jika dilakukan penambahan dosis maka pertumbuhannya akan konstan dan cenderung menurun.  Kemungkinannya adalah  unsur K diserap jauh lebih banyak dibandingkan unsur hara lain. Meningkatnya kandungan K daun sejalan dengan meningkatnya pemberian K pada tanah. Pemberian abu janjang memberikan informasi bahwa abu janjang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi dari pupuk KCl. Menurut Nelson (1982) bahwa tingginya kandungan K dalam tanah meningkatkan pengambilan kalium oleh tanaman. Tetapi dengan meningkatnya dosis K yang berasal dari abu janjang akan menurunkan kandungan hara, hal tersebut sesuai dengan penelitian Viro dalam Mengel dan Kirkbly (1982) bahwa meningkatnya konsentrasi K dalam kultur larutan hara akan menurunkan kandungan Na, Ca dan Mg daun maupun akar.

KESIMPULAN

1. Proses pembentukan kompos tanah gambut dengan penambahan mikroba belum dapat terdekomposisi secara sempurna diduga karena faktor lingkungan untuk pertumbuhan mikroba tidak optimal, sehingga kompos yang diaplikasikan belum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, tebal daun, jumlah daun, jumlah anakan) dan terhadap bobot basah pelepah lidah buaya.

1. Pemberian abu janjang kelapa sawit meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan bobot basah pelepah.

2. Dari persamaan regresi didapatkan bahwa dosis optimum abu janjang terhadap panjang daun 84.7 g/tanaman, lebar daun sebesar 73.3g/tanaman, tebal daun sebesar 65.7 g/tanaman dan bobot basah sebesar 97.8 g/tanaman.

Page 218: Sawi ilaaaaaaaaa

DAFTAR PUSTAKAChan F, Suwandi , Tobing EL. 1982. Penggunaan abu janjang sebagai pupuk kalium pada pertanaman kelapa sawit. Pedoman TeknisPusat Penelitian. Marihat.

Irawan. 1999. Analisis Ekonomi Penerapan Teknologi Rehabilitasi Lahan Gambut Bongkor: Studi Kasus Di Kalampangan Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Puslittanak. BPPT. Lido 6 – 8 Des 1999.

Komariah ST, Prihartini dan ME Suryadi. 1993. Aktivitas Mikroorganisme dalam Reklamasi Tanah Gambut. Dalam: Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Puslittanak. Bogor.

Kussow WR. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Mengel K and Kirkby EA. 1982. Principal of Plant Nutrition. 3rd. International Potash Institut. Bern.Switzerland. 655.

Nelson WL. 1982. Interaction Of Potasium with Moisture and Temperature. Potash Review. Subject 16 No 1. Int Potash Institut Bern.Switzerland.

Panjaitan A. 1983. Pengaruh Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Keasaman (pH) Tanah Podsolik, Regosol dan Alluvial. Bul. Penelitian Perkebunan Medan. 14 (3) : 97 – 106.

Safo EY, Ankomah, AB Brandford dan Arthur J. 1997. Palm bunch ash effects on growth of cowpea and the characteristic of Ghanian soil. Afican Crop Science Journal. 5(3): 303 -308

Sanchez PA. 1976.  Properties and Management of Soils in the Tropics. John Wiley and Sons. NewYork.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah.  Institut Pertanian Bogor. Bogor

Tinggalkan Sebuah Komentar

Pengaruh Pupuk Majemuk Terhadap Pertumbuhan == M Irwansyah Noor   dkk 18 Juni 2011, 3:42 pm Filed under: Penelitian

PENGARUH BEBERAPA PUPUK MAJEMUK TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT KELAPA SAWIT PADA TANAH ALUVIAL DAN PODSOLIK MERAH KUNING

Page 219: Sawi ilaaaaaaaaa

(Effects of Compound Fertilizer to the Growth of Oil Palm Young Plant on Alluvial and Red Yellow Podsolic)

 

M. Irwansyah Noor1, Kamillah2; Kambang Vetrani Asie2

1) Alumni Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya

2) Staf Pengajar Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

 

ABSTRACT

The aims of this experiment were to analyze the effects of different compound fertilizers to the growth of oil palm young plants on alluvial and red yellow podsolic, and the interaction between soil’s types and compound fertilizers. This experiment was held on a factorial completely randomized design consisting of two factors, first factor was the type of soil; Alluvial and Red Yellow Podsolic and the second factor was the type of compound fertilizer; Without Compound Fertilizer, Compound Fertilizer Dekastar Plus, Compound Fertilizer Mutiara, and Compound Fertilizer Bintang. The result indicated that application of compound fertilizers Mutiara, Dekastar Plus and Bintang on alluvial and red yellow podsolic gave better responses to the growth of oil palm young plants than control. Among the three types of compound fertilizers, compound fertilizers Mutiara gave better growth to oil palm young plant compared to compound fertilizer Dekastar Plus and Bintang, the different of soil types was not response significantly to the growth of oil palm young plant and there was not any interaction between soil types and compound fertilizer’s types to the growth of oil palm young plant.

 

Key words: oil palm young plants, Compound Fertilizer, Alluvial, Red Yellow Podsolic

 

ABSTRAK

Tujuan dari  penelitian ini untuk mengetahui kadar unsur beberapa pupuk majemuk yang berbeda terhadap pertumbuhan bibit tanaman kelapa sawit di tanah alluvial dan podsolik merah kuning, dan interaksi antara jenis pupuk majemuk dengan jenis tanah. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial terdiri dari dua faktor, faktor pertama adalah jenis tanah yaitu tanah alluvial dan Podsolik Merah Kuning, dan faktor kedua adalah jenis dari pupuk majemuk yaitu Tanpa Pupuk Majemuk, Pupuk Majemuk Dekastar Plus, Pupuk Majemuk Mutiara, dan Pupuk Majemuk Bintang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk majemuk Mutiara, Dekastar Plus dan Bintang di tanah alluvial dan podsolik merah kuning memberi tanggapan lebih baik terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit dibanding kontrol. Di

Page 220: Sawi ilaaaaaaaaa

antara tiga jenis pupuk majemuk, pupuk majemuk Mutiara memberikan hasil pertumbuhan lebih baik terhadap bibit tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan pupuk majemuk Dekastar Plus dan Bintang. Perbedaan kedua jenis tanah tidak berbeda nyata responsnya pada pertumbuhan bibit kelapa sawit, serta tidak terdapat interaksi antara perbedaan jenis tanah dengan jenis pupuk majemuk dalam pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

Key words : Bibit Kelapa Sawit, Pupuk Majemuk, Alluvial,  Podsolik Merah Kuning

 

 

 

 

PENDAHULUAN

          Dalam budidaya tanaman kelapa sawit banyak tahapan yang harus diperhatikan, salah satunya adalah tahap pembibitan, dimana tahap ini sangat penting agar dapat menghasilkan bibit kelapa sawit yang berkualitas baik dan tumbuh dengan optimal.

          Pada umumnya Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas jenis-jenis tanah podsolik merah kuning, organosol, laterit, regosol, aluvial, podsol, lithosol dan latosol. Dominasi terbesar oleh jenis tanah podsolik merah kuning dengan luas 6.033.693 ha, sedangkan jenis tanah aluvial memiliki luasan lahan 1.452.305 ha (BPS Kalteng, 2006). Dengan kondisi luas lahan seperti itu, menjadikan kawasan tersebut banyak dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit.

          Podsolik merah kuning memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah untuk tanaman pangan. Podsolik merah kuning juga memiliki pH yang rendah, dan seringkali mengalami keracunan aluminium, namun podsolik merah kuning memiliki tanggapan yang baik terhadap pemupukan, sehingga dengan perbaikan tanah dan pemberian pupuk, podsolik merah kuning dapat dikembangkan untuk lahan pertanian (Hardjowigeno, 2003; Foth, 1994).

          Tanah aluvial hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horizon. Keadaan tekstur tanah tergolong kepada proses transportasi dan akumulasinya. Pada umumnya, tekstur tanah yang demikian memperlihatkan tekstur kasar jika terletak berdekatan dengan sungai dan bertekstur halus jika berjauhan dari sungai atau di luar jalur dataran banjir (flood plain) (Darmawijaya, 1990; Rafi’i, 1980).

Page 221: Sawi ilaaaaaaaaa

          Baik tanah podsolik merah kuning maupun tanah aluvial, merupakan tanah yang tingkat kesuburannya kurang sehingga memerlukan pengolahan yang intensif untuk memperbaiki kualitas tanah agar dapat digunakan sebagai media tanam. Seperti podsolik merah kuning yang memiliki karakteristik pH, bahan organik, KTK, KB, Ketersediaan P dan retensi (daya simpan) air yang cukup rendah, serta tingginya kejenuhan Al, Fe dan tingkat erodibilitas tanah yang kurang standar untuk media tanam (Koedadiri, 2004).

          Pemberian pupuk majemuk yang baik kepada kedua jenis tanah tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penanaman tanaman. Pupuk majemuk memiliki unsur hara makro yang sangat diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya, oleh karena itu pemberian pupuk majemuk dapat menambahkan unsur hara ke dalam tanah seperti unsur hara N, P dan K (Sutedjo, 1995).

          Pentingnya pembibitan kelapa sawit menyebabkan begitu pentingnya perawatan pada tahap pembibitan. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi tahapan ini, dimana tingkat kesuburan tanah yang baik akan dapat menyediakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan cara pemberian pupuk untuk menambahkan unsur hara yang tidak tersedia bagi tanaman. Pupuk majemuk merupakan salah satu contoh pupuk yang dapat digunakan, dimana pupuk ini memiliki kandungan unsur hara yang diperlukan tanaman dan baik untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara.

            Sebagian besar perkebunan kelapa sawit tersebar di daerah tanah podsolik merah kuning dan aluvial, sehingga pembibitan kelapa sawit sering menggunakan kedua jenis tanah tersebut. Kendala yang dihadapi kedua jenis tanah ini adalah kurang tersedianya unsur hara yang diperlukan tanaman, karena itu pemupukan dengan pupuk majemuk sangat membantu untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara tersebut.

            Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah podsolik merah kuning dengan pemberian pupuk majemuk yang berbeda, pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah aluvial dengan pemberian pupuk majemuk yang berbeda dan interaksi antara perbedaan jenis pupuk majemuk dengan tanah podsolik merah kuning dan aluvial pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

          Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah jenis tanah yang terdiri dari dua taraf, yaitu :

S1 = Tanah aluvial

S2 = Tanah podsolik merah kuning

Page 222: Sawi ilaaaaaaaaa

          Faktor kedua adalah perlakuan tiga jenis pupuk majemuk yang berbeda kandungan hara NPK-nya dan satu tanpa pupuk majemuk.

P0 = Tanpa Pupuk Majemuk

P1 = Pupuk Dekastar plus (13: 13: 13: TE )

P2 = Pupuk Mutiara (16: 16: 16 )

P3 = Pupuk Bintang (15: 15: 15 )

          Dengan demikian terdapat delapan kombinasi perlakuan (Tabel 1), masing-masing kombinasi diulang sebanyak 3 (tiga) kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 24 satuan percobaan. Satu kombinasi perlakuan terdiri dari enam tanaman.

 

Tabel 1. Kombinasi perlakuan jenis pupuk dan jenis tanah

Jenis Tanah (S)Jenis Pupuk (P)

P0 P1 P2 P3

S1 S1P0 S1P1 S1P2 S1P3

S2 S2P0 S2P1 S2P2 S2P3

 

     Model linear aditif yang digunakan dalam penelitian ini, menurut  Yitnosumarto (1993) adalah sebagai berikut :

Yijk = m + Si + Pj + (SP)ij + eijk

 

Dimana :

Yijk    = Nilai pengamatan perlakuan pemberian pupuk majemuk ke-j terhadap jenis tanah ke-i pada ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)

m       = Nilai tengah umum seluruh pengamatan (rata-rata umum)

Si       = Pengaruh jenis tanah taraf ke-i (i = 1, 2)

Pj      = Pengaruh jenis pupuk majemuk taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4)

(SP)ij =  Pengaruh interaksi antara jenis tanah ke-i dan jenis pupuk majemuk ke-j

Page 223: Sawi ilaaaaaaaaa

eijk   =    Galat percobaan untuk jenis tanah ke-i, jenis pupuk majemuk ke-j pada ulangan ke-k.

            Variabel pengamatan meliputi tinggi tanaman, luas daun yang diukur menggunakan metode kertas milimeter blok, bobot basah dan bobot kering biomass tanaman, serta kandungan N, P dan K dalam jaringan tanaman.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman

Pemberian pupuk majemuk yang berbeda memberikan hasil pertambahan tinggi bibit kelapa sawit yang signifikan dibandingkan dengan bibit kelapa sawit yang tidak diberikan pupuk majemuk (kontrol).

Dari ketiga jenis pupuk majemuk tersebut terlihat bahwa pemberian pupuk majemuk Dekastar Plus (P1) menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk majemuk Mutiara dan Bintang (Gambar 1).

Tinggi tanaman merupakan salah satu parameter pertumbuhan yang dapat digunakan untuk mengukur atau menduga pengaruh pengelolaan lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).

         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 224: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

Gambar 1.        Pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 9 – 21 minggu setelah tanam (mst)

          Hingga umur 17 mst, pengaruh perlakuan pemberian pupuk majemuk tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun mulai bibit kelapa sawit berumur 19 mst hingga 21 mst baru pengaruh perlakuan terlihat nyata terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

          Pada umur 19 mst terlihat jelas laju pertumbuhan bibit kelapa sawit, dimana pada bibit kelapa sawit yang digunakan sebagai kontrol hanya memiliki rata-rata tinggi sebesar 24,15 cm sedangkan pada bibit kelapa sawit yang diberikan perlakuan pemberian pupuk majemuk mutiara memberikan pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi sebesar 27,95 cm.

          Pada umur 21 mst tampak jelas pemberian pupuk majemuk berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi bibit kelapa sawit, dimana jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol) hanya memiliki tinggi rata-rata sebesar 26,2 cm, sedangkan perlakuan pemberian pupuk majemuk dekastar plus menghasilkan tinggi rata-rata tanaman sebesar 32,5 cm.   

 

Luas daun

          Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman budidaya harus dapat menyerap sebagian besar radiasi matahari tersebut dengan jaringan fotosintesis yang hijau (Serano dkk, 1995). Daun sebagai organ utama untuk menyerap cahaya dan untuk melakukan fotosintesis pada tanaman daerah tropis memiliki struktur daun yang hampir menutup sebagian besar permukaan tanah (Lubis, 1992).

 

         

 

 

 

 

 

 

Page 225: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Perkembangan luas daun bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

         

          Kelapa sawit termasuk dalam spesies tanaman budidaya golongan C4, dimanatanaman golongan C4 efisien dalam menggunakan radiasi matahari pada proses fotosintesis, dan cenderung menginvestasikan sebagian besar hasil fotosintesis pada awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun (Salisbury dan Ross, 1995). Oleh sebab itu luas daun sering dijadikan sebagai parameter pertumbuhan untuk menduga adanya pengaruh perlakuan dalam penelitian.

          Hasil analisis ragam menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada perkembangan luas daun dari setiap perlakuan yang diberikan. Hasil analisis ragam perkembangan luas daun menunjukkan pemberian pupuk majemuk mutiara memberikan perkembangan luas daun bibit kelapa sawit yang lebih luas dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 2).

          Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara jenis tanah dan jenis pupuk majemuk pada bibit kelapa sawit. Dari semua pengamatan pada umur 13 – 21 mst terlihat perlakuan pemberian pupuk majemuk Mutiara menunjukkan hasil yang baik di setiap jenis tanah, dimana pada pemberian pupuk majemuk Mutiara, perkembangan luas daun selalu meningkat. Hal ini dikarenakan pupuk majemuk Mutiara memiliki kandungan kadar unsur yang lebih tinggi dibanding jenis pupuk majemuk lainnya, dimana pupuk majemuk Mutiara memiliki kandungan NPK dengan komposisi 16:16:16. Selain itu pupuk majemuk Mutiara juga memiliki kandungan unsur hara sekunder seperti CaO dan MgO (Sutedjo, 1995).           

 

Bobot Basah Biomasa Bibit Kelapa Sawit

          Bobot basah tanaman budidaya hanya dapat digunakan untuk menggambarkan hasil asimilasi secara umum, bukan hasil asimilasi bersih karena masih mengandung sejumlah air dan sebagian kecil hara mineral. Meskipun demikian, jika kondisi air tanah stabil pada kapasitas lapang, maka bobot basah tanaman juga dapat untuk memprediksikan hasil bersih fotosintesis

Page 226: Sawi ilaaaaaaaaa

dan dengan demikian bobot basah tanaman bisa dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengukur pengaruh lingkungan tumbuh.

          Laju pertumbuhan tanaman budidaya adalah bertambahnya berat dalam komunitas tanaman persatuan luas tanah dalam satu satuan waktu, dan dapat digunakan secara luas dalam analisis pertumbuhan tanaman budidaya di lapangan (Gardner dkk, 1991)

          Hasil analisis ragam bobot basah biomasa bibit kelapa sawit pada umur 13, 17 dan 21 mst menunjukkan pada umur 21 mst, pemberian pupuk majemuk Dekastar Plus dan Mutiara kepada kedua jenis tanah bobot basah biomassa bibit lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol dan pemberian pupuk majemuk Bintang.    

Interaksi antara jenis tanah dan jenis pupuk majemuk tidak menunjukkan interaksi yang signifikan, dimana hasil analisis ragamnya tidak  berbeda nyata.

          Terjadinya keragaman perkembangan bobot basah bibit kelapa sawit yang signifikan diantara perlakuan pupuk majemuk menunjukkan bahwa secara kualitatif ada perbedaan diantara pupuk majemuk tersebut. Hal ini di karenakan pupuk majemuk Mutiara mengandung unsur hara N, P, dan K dengan perbandingan (16:16:16), yang berarti kandungan N sebesar 16%, P2O5 sebesar 16%, dan K2O sebesar 16%. Dimana dengan perbandingan tersebut menunjukkan kandungan hara N, P dan K yang terdapat pada pupuk majemuk Mutiara lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pupuk majemuk Bintang (15: 15: 15) dan pupuk majemuk Dekastar Plus (13: 13: 13).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 227: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.      Bobot basah biomassa bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

         

Bobot Kering Biomasa Bibit Kelapa Sawit

          Bobot kering total tanaman budidaya di lapangan merupakan akibat dari penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 sepanjang pertumbuhannya, faktor utama yang mempengaruhi bobot kering total tanaman adalah radiasi matahari yang diabsorbsi dan efisiensi pemanfaatan energi matahari tersebut untuk asimilasi CO2 oleh daun (Gardner dkk, 1991).

          Hasil analisis ragam boot kering bibit kelapa sawit menunjukkan perbedaan yang nyata dari perbedaan jenis pupuk majemuk pada umur 21 mst. Pemberian pupuk majemuk terhadap dua jenis tanah memberikan pertumbuhan yang signifikan yang dapat dilihat dari bobot kering bibit kelapa sawit, dimana pemberian pupuk majemuk memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada kedua jenis tanah

          Pada umur tanaman 21 mst terlihat pemberian pupuk majemuk Mutiara menunjukkan Bobot kering bibit kelapa sawit yang lebih berat dibandingkan pupuk majemuk lainnya. Bobot kering tanaman budidaya di lapangan merupakan akibat dari penimbunan hasil bersih fotosintesis (asimilasi CO2) sepanjang musim pertumbuhan, yang telah dipengaruhi oleh berbagai dampak faktor penghambat dan pendukung dari lingkungan (Gardner dkk, 1991).

         

 

 

 

 

Page 228: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.   Bobot kering bibit kelapa sawit umur 13, 17 dan 21 mst

 

          Terlihat perbandingan yang cukup signifikan pada bobot kering bibit kelapa sawit tanpa pupuk majemuk (kontrol) dengan bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan, tetapi antar perlakuan pupuk majemuk tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan dimana bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan pupuk majemuk memberikan hasil yang hampir sama. (Gambar 4).

          Interaksi dari tiga jenis pupuk majemuk dan dua jenis tanah tidak menunjukkan interaksi yang signifikan, dimana dari hasil analisis ragam tidak terjadi interaksi antara ketiga jenis pupuk majemuk terhadap jenis media tanah yang digunakan.

 

Kandungan Total Hara Bibit Kelapa Sawit

          Analisis kandungan unsur hara N, P, dan K dalam jaringan bibit kelapa sawit dilakukan secara komposit, yaitu dengan cara mencabut (destruktif) bibit kelapa sawit yang ditanam pada polibag, diambil satu bibit kelapa sawit sebagai sampel pada setiap kombinasi perlakuan dan ulangan, selanjutnya seluruh bagian tanaman (akar, batang dan daun) dianalisis kandungan unsur hara lebih lanjut. Hasil analisis kandungan unsur hara disajikan pada

          Hasil analisis jaringan tanaman menunjukkan bahwa kandungan hara tanaman kelapa sawit terbesar pada jenis tanah aluvial yang mendapat perlakuan pupuk majemuk Mutiara, dengan jumlah N-total tertinggi sebesar 1,59 %, kandungan P-total sebesar 626,31 ppm dan kandungan K-total sebesar 8.317,39 ppm, sedangkan pada tanah podsolik merah kuning, kandungan hara bibit kelapa sawit yang terbaik adalah perlakuan pemberian pupuk majemuk

Page 229: Sawi ilaaaaaaaaa

Mutiara juga, dengan nilai N-total sebesar 1,11 %, P-total sebesar 322,70 ppm dan K-total sebesar 6.094,58 ppm.

          Pada kedua jenis tanah tersebut pemberian pupuk majemuk memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan bibit kontrol, dimana pemberian jenis pupuk majemuk Mutiara memberikan nilai kandungan unsur lebih besar dibanding dengan jenis pupuk majemuk yang lain. Hal ini dikarenakan pupuk majemuk Mutiara merupakan pupuk yang memiliki komposisi terbesar diantara jenis pupuk lainnya dan pupuk majemuk Mutiara ini merupakan jenis pupuk majemuk yang mudah terlarut di dalam tanah, sehingga dapat diserap dengan cepat oleh tanaman (Sutedjo, 1995).

Dari kedua jenis tanah tersebut terlihat perlakuan pemberian pupuk majemuk Mutiara memberikan pengaruh yang berbeda dari pemberian jenis pupuk majemuk lainnya. Terlihat jenis tanah aluvial memberikan respons yang lebih baik dibanding jenis tanah podsolik merah kuning, dimana nilai kandungan N-total, P-total dan K-total lebih tinggi dibandingkan pada jenis tanah podsolik merah kuning (Gambar 5).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 230: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

Gambar 5. Hasil analisis kandungan N, P dan K dalam jaringan tanaman  bibit kelapa sawit pada masing-masing perlakuan

 

KESIMPULAN

          Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh beberapa pupuk majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah aluvial dan podsolik merah kuning dapat disimpulkan:

1. Pemberian jenis pupuk majemuk Mutiara, Dekastar Plus dan Bintang pada tanah aluvial dan podsolik merah kuning memberikan respons pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih baik dibandingkan kontrol. Dari ketiga jenis pupuk majemuk, pupuk majemuk Mutiara memberikan hasil pertumbuhan bibit kelapa sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk majemuk Dekastar Plus dan Bintang.

2. Perbedaan kedua jenis tanah tidak berbeda nyata responsnya pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

3. Tidak terdapat interaksi antara perbedaan jenis tanah dengan jenis pupuk majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BPS Kalteng. 2006. Kalimantan Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Kalimantan Tengah. Palangka Raya

Darmawidjaja, M. I. 1990. Klasifikasi Tanah Dasar Teori Bagi Peneliti dan Pelaksana Pertanian Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Foth, H. D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Purbayanti, E.D., Lukiwati dan Trimulatsih, R. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gardner, F. P., R. B., Pearce dan R. L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (Terjemahan). UI Press. Jakarta

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta

Page 231: Sawi ilaaaaaaaaa

Koedadiri, A. D. 2004. Produktivitas Kelapa Sawit Generasi Pertama Pada Tanah Ultisol di Beberapa Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. PPKS (Avalable on-line with updates at http://www.iopri.orgindex.phpoption/com_content&task/section&id/105&Itemid/47.htm (verified 09 Okt. 2008)

Lubis, L. 1992. Usaha dan Budidaya Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta

Rafi’i. 1980. Ilmu Tanah. Angkasa. Bandung

Salisbury, F. B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 1 (terjemahan). ITB. Bandung

Serrano L., J. A. Pardos, F. I. Pugnaire dan F. Domingo. 1995. Absorption of Radiation, Photosynthessis and Biomass Production in Plants. In Pessarakli M. (ed.) 1995. Handbook of Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker, inc. New York – Hongkong.

Setyamidjaja, D. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta

Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Sutedjo, M. M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta

Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan Analisis dan Interprestasinya. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tinggalkan Sebuah Komentar

Aplikasi Trichoderma Isolat PLK-1 == Rahmawati Budi Mulyani   dkk 18 Juni 2011, 3:35 pm Filed under: Penelitian

APLIKASI TRICHODERMA ISOLAT PLK-1 DAN WAKTU INKUBASI PUPUK KANDANG AYAM  DI TANAH GAMBUT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

BUSUK PANGKAL BATANG  JAGUNG MANIS  

(Application of Trichoderma  Plk-1 Isolates and Chicken Manure Incubation Time on Peat Soil Against

 Stem Rot Disease of Sweet Corn)

Rahmawati Budi Mulyani1), Melhanah1), dan Radityo2)

1)        Staf Pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

2)        Alumni Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Palangka Raya

Page 232: Sawi ilaaaaaaaaa

 

ABSTRACT

Effect of incubation time of manure chicken in combination with application of Trichoderma sp. Plk-1 isolates in suppressing the intensity of the stem rot disease on sweet corn plants in peat soils have been studied from June 2007 until January 2008. Research using factorial completely randomized design, with the first factor is application of Trichoderma sp. Plk-1 isolates (with Trichoderma sp., Trichoderma sp. + manure chicken manure), while the second factor is the incubation time of manure (without incubation, incubation of 4 weeks, and 8-week incubation). The control group was treated without Trichoderma inoculation and chicken manure. The results showed that the application of Trichoderma isolates Plk-1 and chicken manure were significantly inhibits the development of disease up to age 4 wap (week after planting) did not cause the formation of sclerotium pathogens (4 weeks after planting). The addition of chicken manure to increase the effectiveness of antagonists was to be very good up to 100%. The longer incubation time of chicken manure which is accompanied by the addition of Trichoderma isolates Plk-1 tended to further improve plant resistance to stem rot disease due to renovation process of organic material will get better and viability sclerotia decreased.

Simak

Baca secara fonetik

Keywords: Trichoderma isolates Plk-1, incubation time, chicken manure, stem rot disease

ABSTRAK

Pengaruh waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam dikombinasikan dengan pemberian Trichoderma  sp. isolat Plk-1 dalam menekan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada tanaman jagung manis pada tanah gambut telah diteliti dari bulan Juni 2007 sampai Januari 2008.  Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor pertama adalah aplikasi Trichoderma  sp. isolat Plk-1 (dengan Trichoderma sp., Trichoderma sp. + pupuk kandang kotoran ayam), sedangkan faktor kedua adalah waktu inkubasi pupuk kandang (tanpa inkubasi, inkubasi 4 minggu, dan inkubasi 8 minggu). Perlakuan kontrol adalah perlakuan tanpa diinokulasi Trichoderma dan pupuk kandang ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 dan pupuk kandang kotoran ayam sangat nyata menghambat perkembangan penyakit hingga umur tanaman 4 mst dan menyebabkan tidak terbentuknya sklerotium patogen (4 minggu setelah tanam). Penambahan pupuk kandang kotoran ayam meningkatkan  efektivitas antagonis menjadi sangat baik  hingga mencapai 100%. Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam yang disertai dengan  penambahan Trichoderma isolat Plk-1 cenderung semakin meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk pangkal batang karena proses perombakan bahan organik akan semakin baik dan viabilitas sklerotia semakin menurun.

Kata Kunci : Trichoderma isolat Plk-1, waktu inkubasi, pupuk kandang ayam, penyakit busuk batang

Page 233: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

PENDAHULUAN

Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii Sacc., merupakan jamur patogen yang inangnya sangat banyak, dilaporkan mempunyai tanaman inang antara 200-500 spesies (Punja, 1988). Infeksi jamur ini menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil hingga 80% (Widyanti, 2001). Jamur ini relatif sulit dikendalikan karena selain mempunyai banyak inang juga dapat membentuk sklerotium yang mampu bertahan di dalam tanah dalam waktu lama (Semangun, 2001). 

Sklerotium umumnya tidak mati oleh tindakan pengendalian kimiawi. Penggunaan jamur antagonis Trichoderma sp.sejauh ini telah teruji kemampuannya dalam mengendalikan jamur patogen tular tanah  seperti Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, dan F. o. f.sp. cubense (Darnetty et al., 2003). Isolat-isolat lokal Trichoderma spp. asal Kalimantan Tengah memiliki kemampuan antagonis yang cukup tinggi dalam menghambat pertumbuhan F. o.  f.sp. cubense secara in vitro (Saraswati et al., 2004).  Trichoderma isolat Plk-1 menunjukkan kemampuan yang lebih baik, namun keefektipan penggunaannya di lapangan dalam mengendalikan penyakit layu Fusarium masih cukup rendah  (Mulyani dan Djaya, 2006).

Lahan gambut memiliki potensi cukup besar sebagai alternatif pengembangan pertanian di Kalimantan Tengah, namun memiliki kendala sehubungan dengan tingkat kesuburannya yang rendah. Gambut yang belum terdekomposisi sempurna biasanya kurang subur. Bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kesuburan tanah.  Peranan mikroorganisme tanah terhadap dekomposisi  bahan organik sangat besar (Lestari, dan Indrayati,  2000).      Trichoderma sp.  merupakan jamur saprofit tanah yang mampu merombak bahan-bahan organik untuk digunakan sebagai  sumber nutrisinya.  Pemberian pupuk kandang diperkirakan akan meningkatkan kemampuan dan aktivitas jamur tersebut sebagai antagonis terhadap jamur S. rolfsii

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam pada tanah gambut terhadap efektivitas Trichoderma  sp. isolat PLK-1 dalam menekan intensitas serangan S. rolfsii pada tanaman jagung manis pada tanah gambut.

BAHAN DAN METODE

Isolat S. rolfsii, Trichoderma sp. dan Bahan Tanaman.  Trichoderma sp. isolat Plk-1 dan isolat S. rolfsii merupakan koleksi Laboratorium Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Isolat diremajakan pada media potato dextrose agar (PDA), diinkubasikan pada suhu ruang selama 7 hari. Selanjutnya isolat diperbanyak pada substrat

Page 234: Sawi ilaaaaaaaaa

dengan komposisi  serbuk gergaji, dedak dan beras jagung (perbandingan 2 : 2: 1), untuk digunakan di lapangan sebagai inokulum maupun antagonis. 

Media tanam merupakan tanah gambut pedalaman pada tingkat kematangan hemik diambil dari lokasi yang belum pernah ditanami. Media tanam yang sudah dikering anginkan  dimasukkan dalam polibag dan ditambahkan pupuk Urea (6 g polibag-1), SP-36 (4,5 g polibag-1), dan  KCl (3,5 g polybag-1), substrat Trichoderma sp. dan pupuk kandang, selanjutnya diinkubasikan sesuai dengan perlakuan.  Patogen S. rolfsii  diberikan sebanyak 10g polibag-1 bersamaan dengan penanaman benih jagung manis, sedangkan Trichoderma diberikan sebanyak 1,2 kg polibag-

1.Trichoderma diaplikasikan bersamaan dengan inkubasi pupuk kandang ayam, sedangkan S. rolfsii diinokulasikan bersamaan pada saat benih ditanam.

Rancangan dan Perlakuan.  Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama aplikasi  Trichoderma isolat Plk-1 (T1), aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 + pupuk kandang kotoran ayam (T2). Faktor kedua waktu inkubasi pupuk kandang ayam yaitu tanpa inkubasi (W0), waktu inkubasi 4 minggu (W1) dan waktu inkubasi 8 minggu (W2).  Setiap perlakuan diulang empat kali, keseluruhan terdapat 24 satuan percobaan.

Jumlah Sklerotium, Intensitas Penyakit, dan Efektivitas Antagonis.  Jumlah sklerotium  dihitung pada minggu keempat setelah tanam dengan metode wet sieving technique (Punja et al., 1985) dengan cara mengambil sampel media tanam sebanyak 10 gram, sampel tanah dicuci dengan air mengalir dalam ayakan 600 mm. Hasil ayakan dikeringanginkan dan sklerotia dihitung menggunakan hand tally counter.  Gejala penyakit busuk batang diamati pada pangkal batang dengan memberi nilai skor 0 =            tanaman sehat, 1= gejala nekrosis dengan luasan ½ lingkar batang, 2 = gejala nekrosis antara ½ – ¾ lingkar batang, 3        = gejala nekrosis telah melingkari batang, bercak cokelat telah meluas, dan kulit batang kadang-kadang sobek, 4 = batang yang terserang mulai terkulai dan sebagian daun layu, dan 5 = tanaman mati (Yusnita dan Sudarsono, 2004).  Intensitas penyakit (IP)  digunakan untuk menentukan keparahan serangan S. rolsii dengan rumus Djatmiko et al. 2000).

 IP = {∑(nixvi)/(NxZ)} x 100%

dimana i : 0-5, ni : jumlah tanaman yang bergejala dengan nilai skor tertentu, zi : nilai skor gejala, N : jumlah total tanaman yang diamati, dan Z : nilai skor gejala tertinggi.

Efektivitas antagonis ditentukan dengan rumus (Sukamto, 2003)

Ea = IPk-Ipp/IPk x 100%

Dimana :

 Ea = efektivitas antagonis, IPk = intensitas

penyakit pada kontrol (tanpa perlakuan), dan  IPp= intensitas penyakit dengan perlakuan. Nilai keefektifan antagonis ditentukan dengan kategori Sangat Baik (Ea > 69 %), Baik (Ea = 50-69 %), Kurang Baik (Ea = 30-49 %), dan Tidak Baik (Ea < 30 %).

Page 235: Sawi ilaaaaaaaaa

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Sklerotium.  Ketika menginfeksi tanaman S. rolfsii mengeluarkan asam oksalat dan sejumlah enzim yang dapat menyebabkan kebocoran elektrolit sel inang yang terserang.  Selain itu dalam proses infeksinya, sklerotia dapat dihasilkan dalam jumlah banyak baik di permukaan tanaman yang terserang atau di permukaan tanah sekitar tanaman.  Pada percobaan ini, sklerotia terbentuk pada perlakukan pemberian Trichoderma saja, walaupun jumlahnya cenderung menurun dengan lamanya waktu inkubasi.  Sedangkan pada perlakuan interaksi pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dan waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam patogen tidak membentuk sklerotium (Tabel 1). 

Tabel 1. Rerata Jumlah Sklerotium (4 mst)

Trichoderma

(g/polybag)

Lama inkubasi (minggu)  

W0 W1 W2  

T1 19.00 c 10.75 b 13.00 b  T2 0.25 a 0.25 a 0.25 a  

BNJ 5 % 8.5  

Keterangan :     Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan menurut uji BNJ pada taraf kepercayaan 95%

 

                  

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 236: Sawi ilaaaaaaaaa

 

Gambar 1.        Interaksi pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dan waktu inkubasi pupuk kandang kotoran ayam

Hal ini akibat peranan dari jamur Trichoderma isolat Plk-1 sebagai antagonis yang mampu menekan perkembangan  S.rolfsii dan menghambat pembentukan sklerotium sebagai struktur bertahan patogen pada media yang kaya akan bahan organik.  Menurut Yulianti (1996), penambahan bahan organik (pupuk kandang)  ke dalam tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba antara lain actinomycetes, bakteri dan jamur.  Genera Trichoderma, Aspergillus, dan Penicillium adalah jamur yang sering ditemukan meningkat populasinya pada tanah yang kaya akan bahan organik, dan seringkali bersifat antagonis terhadap jamur-jamur patogen tanah seperti S. rolfsii. Perlakukan Trichoderma ditambah dengan pemberian pupuk kandang ayam sampai dengan inkubasi 8 minggu mampu menekan pembentukan sklerotium (Gambar 1).  Sesuai dengan hasil penelitian Yulianti (1996), bahwa pupuk kandang ayam setelah diinkubasikan satu bulan mampu menurunkan viabilitas sklerotia S. rolfsii, kemampuan penurunan viabilitas dan degradasi sklerotia semakin besar dan habis setelah tiga bulan inkubasi.

Pemberian Trichoderma isolat Plk-1 dengan  penambahan pupuk kandang kotoran ayam tanpa inkubasi maupun yang diinkubasikan selama 4-8 minggu nyata menghambat pembentukan sklerotium.  Tersedianya bahan organik pada media tumbuh mampu menyediakan nutrisi yang cukup bagi mikroba antagonis sehingga koloninya berkembang cepat dan menghambat perkembangan koloni S. rolfsii. 

Pengamatan mikroskopis pada biakan oposisi Trichoderma isolat Plk-1 dan S. rolfsii memperlihatkan adanya malformasi miselium yang dilanjutkan dengan  degradasi dan lisisnya miselium patogen. Trichoderma isolat Plk-1 diduga mengeluarkan enzim selulase yang mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii dan miselianya mengalami lisis.  Kemampuan Trichoderma sp. memparasit jamur patogen merupakan komponen penting dalam mekanisme pengendalian hayati penyakit  tanaman.  Mulya dan Harmen (2003) melaporkan kemampuan T. harzianum mendegradasi dinding sel Phytophthora capsici karena menghasilkan enzim endoglukanase atau carboxymethyl cellulase (CMC-ase) yang termasuk dalam kompleks enzim selulase.

Intensitas Penyakit.  Gejala penyakit pada kontrol mulai terlihat pada umur 3 hari setelah inokulasi (hsi) dan semua tanaman pada kontrol menjadi layu dalam waktu yang singkat (umur 7 hsi).  Perlakuan aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 pada media tanam tanpa penambahan pupuk kandang ayam nampaknya belum mampu menekan intensitas penyakit busuk pangkal batang (Tabel 2). Tingginya intensitas penyakit pada perlakuan tersebut diasumsikan bahwa Trichoderma isolat Plk-1 kurang mampu berkembang secara optimal pada media tanah gambut hemik yang memiliki tingkat dekomposisi pertengahan, sehingga koloninya kurang berkembang dengan baik bila dibandingkan dengan patogen S. rolsii. Pada perlakuan ini masih terdapat serangan penyakit busuk pangkal batang.

Tabel 2. Rerata Intensitas Serangan Penyakit Busuk Pangkal  Batang (Sclerotium rolfsii)

 

Page 237: Sawi ilaaaaaaaaa

Umur Tanama

n

 (mst)

Perlakuan

Waktu Inkubasi

W0 W1 W2

1 T1 24.00 b

41.50 b

28.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 19.66

2 T1 32.50 c

31.00 c 21.00 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 6.92

3 T1 36.50 b

25.50 b

44.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 20.07

4 T1 44.00 b

37.50 b

34.50 b

T2 0.00 a 0.00 a 0.00 aBNJ 5 % 18.85

Keterangan :     Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan menurut uji BNJ pada taraf kepercayaan 95%              

 

Kurang optimalnya  perkembangan Trichoderma dalam tanah  gambut akibat kurang tersedianya sumber nutrisi  berupa bahan organik yang bersumber dari pupuk kandang kotoran ayam.  Walaupun Trichoderma dapat mengkoloni pada media gambut ini namun laju perombakan bahan organik tidak dipengaruhi oleh populasinya. Menurut Lestari dan Indrayati (2000), semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang maka rasio C/N tanah gambut yang diinokulasi Trichoderma cenderung menurun.  Hal ini menunjukkan bahwa pelapukan bahan organik berlangsung dengan baik.  Bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kesuburan tanah. Peranan mikroorganisme tanah, antara lain Trichoderma, terhadap dekomposisi bahan organik sangat besar.

 

 

 

 

Page 238: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.   Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 pada media tanam tanpa penambahan pupuk kandang ayam.

  

Pemberian Trichoderma yang disertai dengan penambahan pupuk kandang ayam tanpa diinkubasi, inkubasi 4 dan 8 minggu nyata menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang mulai umur 1 mst (Tabel 2). Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang asumsinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut oleh Trichoderma semakin baik, sehingga unsur-unsur hara seperti nitrogen, fosfor,  kalium, kalsium dan magnesium yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia. Ketersediaan unsur-unsur tersebut diasumsikan meningkatkan pertumbuhan tanaman dan  mampu mengimbas ketahanan tanaman yang pada akhirnya melindungi tanaman dari serangan patogen S. rolfsii. Lestari dan Indrayati (2000) melaporkan bahwa unsur hara N, P, dan K, serta pH tanah gambut meningkat akibat perombakan bahan organik dengan pemberian Trichoderma. Selain itu, menurut Yulianti (1996), pupuk kandang ayam setelah diinkubasikan satu hingga tiga bulan mampu menurunkan viabilitas sklerotia S. rolfsii dan terjadi degradasi sklerotia.  Hal inilah yang menyebabkan penurunan intensitas serangan penyakit busuk pangkal batang.

Efektivitas Antagonis. Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 dengan penambahan  pupuk kandang kotoran ayam  mempunyai efektivitas pengendalian sangat baik hingga mencapai 100%. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan Trichoderma dan pupuk kandang kotoran ayam walaupun tanpa diinkubasi efektivitasnya masih sangat baik bila dibandingkan dengan aplikasi Trichoderma tanpa penambahan pupuk kandang kotoran ayam (Tabel 3)

 

Tabel 3. Rerata Efektivitas Antagonis (%)

Page 239: Sawi ilaaaaaaaaa

No. PerlakuanEfektevitas

Rerata Kriteria1   2     3    4  

1 T1W0 44.19    38.10   42.52     5.38   28.90 TB2 T1W1 3.49   40.95   59.84     19.35   26.38 TB3 T1W2 33.7   60   29.92     25.81   32.60 KB4 T2W0 100    100   100    100   100 SB5 T2W1 100    100   100    100   100 SB6 T2W2 100    100   100    100   100 SB

Keterangan :     TB = Tidak Baik; KB = Kurang Baik;

SB = Sangat Baik.

         

Efektivitas antagonis yang sangat baik sebagai akibat tersedianya bahan organik yang cukup dan terdekomposisi dengan baik, sehingga mekanisme antagonis yang dimiliki oleh Trichoderma dapat berjalan dengan baik.  Mekanisme antagonis yang dimiliki Trichoderma sp. yaitu berupa kompetisi, mikoparasit dan antibiosis. Mikoparasit merupakan mekanisme yang paling berperan, karena Trichoderma sp. menghasilkan enzim litik, terutama kitinase dan ß 1-3 glukanase yang dapat mengakibatkan lisisnya dinding sel jamur patogen (Elfina et  al., 2001).

Hasil analisis tanah pada perlakuan Trichoderma dengan pupuk kandang ayam menunjukkan pengaruh yang lebih baik pada kondisi kimia tanah gambut yaitu terjadi peningkatan pH tanah (5,2),  penurunan rasio C/N (33,55), peningkatan N-total (1,92%), kadar P (346,33 ppm) dan K-dd (2,88 me/100g) (Kamillah et al., 2007).  Kondisi ini sangat mendukung perkembangan dari antagonis, karena unsur-unsur hara hasil dekomposisi bahan organik pada tanah gambut  merupakan sumber nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan Trichoderma. Menurut Yulianti (1996), pupuk kandang ayam mempunyai kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang sapi ataupun babi, antara lain adalah nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan magnesium.

 

KESIMPULAN

Aplikasi Trichoderma isolat Plk-1 yang disertai dengan penambahan pupuk kandang ayam tanpa diinkubasi, inkubasi 4 dan 8 minggu sangat nyata menghambat pembentukan sklerotia sekaligus menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang hingga umur 4 mst.  Semakin lama waktu inkubasi pupuk kandang asumsinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut oleh Trichoderma semakin baik, sehingga unsur-unsur hara seperti nitrogen, fosfor,  kalium, kalsium dan magnesium yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia.

Penambahan pupuk kandang kotoran ayam meningkatkan   efektivitas antagonis Trichoderma isolat Plk-1 menjadi sangat baik  hingga mencapai 100% sampai umur 4 mst.

Page 240: Sawi ilaaaaaaaaa

 

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdri. Kamillah SP., MP selaku ketua Tim Hibah Penelitian PHK A-2 tahun 2007. 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Darnetty, Y. Liswarni, dan N. Litania.  2003.  Uji Kemampuan Tiga Spesies Trichoderma dalam Menekan Pertumbuhan F.o. f.sp. cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Secara In Vitro. Didalam : Prosiding Kongres XVII dan Seminar Ilmiah Nasional; Bandung,  6-8 Agustus 2003.  Bandung: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 116 – 118

Djatmiko, H.A. , Kharisun, Prihatiningsih N. 2000. Potensi Trichoderma harzianum, Pseudomonas fluorescens dan Zeolit Terhadap Penekanan Layu Scelrotium, Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai. J. Penel. Pert. Agron. 4: 14-24.

Elfina, Y., Mardinus, T. Habazar, dan A. Bachtiar.  2001.  Studi Kemampuan Isolat-isolat Jamur Trichoderma spp. yang Beredar di Sumatera Barat untuk Pengendalian Jamur Patogen Sclerotium rolfsii pada Bibit Cabai.  Di dalam:  Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah;  Bogor, 22-24 Agustus 2001.  Bogor: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 167 – 173

Kamillah, R.B. Mulyani, Basuki, S. Wibowo, dan L. Widyastuti.  2007.  Pengaruh Lama Waktu  Inkubasi Trichoderma isolat Plk-1 dan Pupuk Kandang Kotoran Ayam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis pada Tanah Gambut Pedalaman.  Laporan Penelitian PHK A-2, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya.

Lestari, Y., dan L. Indrayati.  2000.  Pemanfaatan Trichoderma dalam Mempercepat Perombakan Bahan Organik pada Tanah Gambut. Dalam Prosiding Seminar Hasil Peneltian Tanaman Pangan Lahan Rawa.  Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. hlm 160-165

Mulya, K., dan M. Harmen. 2003.  Degradasi Dinding Sel Phytophthora capsici oleh Enzim Karboksimetil Selulase Asal Trichoderma harzianum.  J. Penelitian Tanaman Industri 9 (2). p. 74-79 

Mulyani, R.B., dan  A.A. Djaya. 2007. Kajian Ketahanan Terimbas Beberapa Kultivar Pisang Lokal Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Trichoderma spp. Isolat Kal-Teng. Jurnal Agripeat  8 (1). Hlm 1-8

Page 241: Sawi ilaaaaaaaaa

Punja, Z.K.  1988.  Sclerotium (Athelia) rolfsii, a pathogen of many plant species.  Dalam Sidhu GS (ed.) Advances in Plant Pathology San Diego: Academic Pr. Hlm 523-534

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yulianti, T.  1996.  Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme pada Pupuk Kandang dengan Pengendalian Penyakit Tanaman.  Didalam : Kumpulan Makalah Penunjang Seminar Regional III PFI Komda Jateng dan DIY.  Salatiga,  9 November 1996. 9 hlm (makalah 1-13)

 

 

 

 

 

Yustina dan Sudarsono. 2004. Metode Inokulasi dan Reaksi Ketahanan 30 Genotipe Kacang Tanah terhadap Penyakit Busuk Batang Sclerotium.  Hayati 11 (2) : hlm 53-58

Sukamto, S. 2003. Pengendalian Secara Hayati Penyakit Busuk Buah Kakao dengan Jamur Antagonis Trichoderma harzianum. Prosiding Kongres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah PFI, Bandung 6-9 Agustus 2003. Hlm 134 – 137

Widyanti.  2001.  Uji Daya Hasil dan Respon terhadap Penyakit dari Berbagai Kacang Tanah Unggul Nasional (Skripsi) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2 Komentar

Pertyumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kedelai == Erina Riak Asie   dkk 18 Juni 2011, 3:29 pm Filed under: Penelitian

PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS KEDELAI ( Glycine max L. Merr.)

PADA TANAH GAMBUT PEDALAMAN DENGAN  PEMBERIAN

KOMBINASI AMELIORAN DAN N, P, K  

(Growth and Yield of three varieties of soybean (Glycine max L. Merr.) on Inland Peat Soil

Page 242: Sawi ilaaaaaaaaa

 Fertilized by  ameliorant combination and N, P, K)

 Erina Riak Asie 1), Titin Apung Atikah1), Hajianur2)

1) Dosen Jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

               2) Alumni Jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K terhadap pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok bifaktorial, faktor pertama adalah kombinasi dosis amelioran dan N, P, K  yang terdiri atas 5 taraf, yaitu A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1

SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) ; faktor kedua adalah varietas kedelai (V) terdiri atas 3 varietas, yaitu V1 : varietas Wilis; V2 : varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara pemberian kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan varietas kedelai  terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Ketiga veriaetas yang diujicobakan memiliki respons yang sama terhadap pemberian amelioran dan N, P, K.  Pemberian kombinasi amelioran bersama pupuk N, P, K dengan dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-

1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.

Kata kunci: amelioran, N, P, K, varietas kedelai, gambut pedalaman

 

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of the combination of ameliorant and N, P, K on growth and yield of three varieties of soybean in inland peat soil. The design used was randomized block design (RBD) bifaktorial, the first factor is the combination dosage ameliorant and N, P, K which consists of five levels; A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 chicken manure + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (75 kg    ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 chicken manure + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 on ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl) ; second factor is the soybean varieties, consists of three varieties : V1 : varietas Wilis; V2 :

Page 243: Sawi ilaaaaaaaaa

varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa.  Results showed that there was no interaction between dosage combination of ameliorant and N, P, K with soybean varieties on the growth and yield of soybean. Three varieties tested have a similar response on ameliorant and N, P, K. Giving ameliorant combination with fertilizer N, P, K with a dosage of 2,0 ton ha-1 dolomite + 15,0 ton ha-1 chicken manure + (37,5 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP 36; 50 kg ha-1 KCl) can increase growth and yield. 

Keywords: ameliorant, N, P, K, soybean variety, inland peat soil.

 

PENDAHULUAN

 

Kedelai merupakan komoditi tanaman pangan yang penting artinya. Sebagai bahan makanan, kedelai banyak mengandung protein, lemak dan vitamin serta unsur mineral lainnya. Kebutuhan masyarakat akan kedelai setiap tahun terus meningkat baik untuk bahan makanan, keperluan industri maupun untuk bahan makanan ternak. Kebutuhan kedelai dalam negeri tidak seimbang dengan produksinya, sehingga untuk mengatasi hal tersebutIndonesiaperlu mengimpor kedelai. Setiap tahunIndonesiaharus mengimpor kedelai lebih dari 1juta ton (BPS, 2009).

Kendala peningkatan produksi kedelai dalam negeri saat ini semakin beragam.  Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mempengaruhi luas areal pertanaman kedelai secara nasional.  Perluasan areal pertanaman kedelai masih dimungkinkan, yaitu dengan memanfaatkan tanah-tanah marjinal yang masih tersedia cukup luas, seperti tanah gambut. 

Terbatasnya pemanfaatan tanah gambut sebagai lahan pertanian karena adanya faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman, terutama pH dan  kandungan hara yang rendah (Munir, 1996), sehingga untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi lahan demikian, diperlukan upaya antara lain penanaman varietas unggul yang toleran terhadap kemasaman tanah dan penggunaan amelioran sebagai bahan pembenah tanah serta pemupukan. 

Beragam sifat yang perlu diperbaiki pada tanah gambut pedalamn tidak mungkin hanya dengan aplikasi satu jenis amelioran saja, tetapi diperlukan perpaduan dari beberapa amelioran yang saling bersinergi dan dikombinasikan dengan pemberian pupuk anorganik untuk memperbaiki kendala budidaya kedelai pada tanah gambut.  Beberapa amelioran yang telah digunakan untuk ameliorasi tanah gambut antara lain kapur, abu, tanah mineral, dan pupuk organik.  Menurut Najiyati dkk., (1995),  penggunaan amelioran secara tunggal belum mampu meningkatkan hasil tanaman secara nyata, hal itu disebabkan masing-masing amelioran memiliki kelebihan dan kekurangan.  Selain itu, penggunaan amelioran secara tunggal akan memerlukan dosis yang cukup tinggi.

Page 244: Sawi ilaaaaaaaaa

Penggunaan kapur dan pupuk kotoran ayam akan dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan sifat kimia tanah, namun masih belum mampu menyediakan unsur hara makro seperti N, P dan K yang diperlukan tanaman dalam jumlah relatif besar.  Oleh karena itu, pemberian kombinasi amelioran yang diberikan bersama dengan pupuk N, P, K bervariasi dosis diduga dapat meningkatkan produktivitas tanah gambut melalui perbaikan sifat-sifat tanah tersebut secara keseluruhan.

Bertitik tolak dari uraian tersebut, pengaruh pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada tanah gambut pedalaman terhadap tiga varietas kedelai masih perlu dikaji, karena setiap varietas mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap lingkungan dan tindakan budidaya.

 

BAHAN DAN METODE

 

Penelitian dilakukan di lahan petani yang bertempat di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah.  Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober 2009.

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih kedelai (Varietas Wilis, Baluran, Rajabasa), dolomit, pupuk kotoran ayam, pupuk N, P, K, yang bersumber dari Urea, SP-36 dan KCl serta Pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah alat pengolahan tanah, alat-alat pemeliharaan dan pengamatan tanaman.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah kombinasi dosis amelioran dan N, P, K (A) yang terdiri atas 5 taraf yaitu : A0 : 0 ton ha-1 dolomit + 22,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A1 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg  ha-

1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); A2 : 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl); A3 : 4 ton ha-1 dolomit + 7,5 ton ha-

1 pupuk kotoran ayam + (75 kg ha-1 urea ; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl); dan A4 : 4 on ha-1

dolomit + 7,5 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl). Faktor kedua adalah varietas tanaman kedelai (V) yang terdiri atas 3 varietas, yaitu : V1 : varietas Wilis; V2 : varietas Baluran dan V3 : varietas Rajabasa.

Variabel yang diamati adalah luas daun, bobot kering tanaman, dan hasil biji per petak.

Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam (Uji F) pada taraf α. = 0,05. Apabila terdapat pengaruh perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf  α  = 0,05.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 245: Sawi ilaaaaaaaaa

 

Luas Daun

            Luas daun merupakan salah satu variabel yang dapat menjadi indikator pertumbuhan maupun sebagai variabel yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diberikan.

Pengaruh interaksi antara kombinasi amelioran bersama N, P, K dengan varietas terhadap luas daun tanaman kedelai tidak teruji nyata. Sedangkan faktor tunggal pemberian kombinasi amelioran bersama N, P, K berpengaruh nyata.  Luas daun tanaman yang diberi amelioran tunggal berupa dolomit (A0), lebih rendah dibandingkan luas daun tanaman yang diberi dua jenis amelioran, yaitu dolomit dan pupuk kotoran ayam (A1 – A4) pada berbagai kombinasi dosis N, P, K (Tabel 1).

Pemberian kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg    ha-1

urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) mampu meningkatkan luas daun tanaman dibandingkan dengan perlakukan lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan luas daun tanaman yang diberi 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-

1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl.

 

Tabel 1. Luas daun (cm2) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada umur 42 hst.

Kombinasi

Amelioran (A)

Varietas (V) 

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

  831,78

1303,31

1256,44

1143,90

1026,57

  997,43

1305,33

1324,89

1227,21

1046,22

  917,34

1632,89

1070,67

1085,33

1002,03

  915,52 a

1413,84 c

1217,33 bc

1152,15 ab

1024,94 ab

Rata-rata 1112,40 1180,22

1141,65  

Page 246: Sawi ilaaaaaaaaa

BNJ 5 % A = 259,00

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ α = 0,05

Hal ini menunjukkan bahwa perpaduan dosis amelioran mampu mengurangi pemakaian pupuk anorganik sampai setengan dari dosis rekomendasi.  Pada kombinasi dosis amelioran 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam mampu memperbaiki kondisi kesuburan tanah gambut, sehingga mampu meningkatkan ketersediaan hara melalui peningkatan pH dan suplai unsur hara dari pupuk kotoran ayam, sehingga dengan setengah dosis rekomendasi N, P, K, yaitu masing-masing sebesar  37,5 kg ha-1 urea ; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl, mampu mendukung pertumbuhan tanaman kedelai yang terlihat dengan semakin besarnya luas daun. Pertambahan luas daun tanaman dengan pemberian kombinasi 2 jenis amelioran merupakan salah satu indikator kecukupan unsur nitrogen yang disuplai oleh pupuk kotoran ayam dan pupuk N yang bersumber dari Urea.  Hal itu ditunjang dengan peningkatan pH tanah akibat pemberian dolomit yang akan semakin meningkatkan ketersediaan unsur N di dalam tanah. Nitrogen merupakan unsur yang dapat mengatur penggunaan fosfor, kalium dan unsur hara lainnya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002), sehingga suplai N yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.  Nitrogen berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tananaman dan penting untuk pembentukan protein. Nitrogen merupakan bahan penting penyusun asam amino dan esensial untuk pembelahan dan pembesaran sel (Loveless, 1991), yang karenanya berlangsung pertumbuhan tanaman, antara lain pertambahan luas daun.

 

Bobot Kering Tanaman

Tanaman selama masa hidupnya atau selama masa tertentu membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Oleh karena itu, perubahan akumulasi biomassa dengan umur tanaman yang tercermin melalui bobot kering tanaman akan terjadi sehingga dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan.

            Pengaruh interaksi antara kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan varietas tidak teruji nyata.  Pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman. Pemberian amelioran tunggal berupa dolomit (A0) belum mampu meningkatkan bobot kering tanaman dibandingkan dengan pemberian 2 jenis amelioran (A1-A4) (Tabel 2).  Hal itu disebabkan karena pemberian dolomit dan pupuk kotoran ayam secara bersamaan akan saling bersinergi untuk memperbaiki kondisi kesuburan tanah gambut pedalaman yang memiliki pH dan kandungan basa yang rendah.  Dolomit adalah salah satu amelioran dengan kandungan Ca2+ dan Mg2+ yang tinggi sehingga mampu meningkatkan kejenuhan basa dan pH tanah.  Sedangkan pupuk kotoran ayam adalah amelioran yang memberikan efek yang baik bagi perbaikan kesuburan tanah gambut karena mengandung unsur hara lengkap.

Kelemahan kapur sebagai amelioran ialah karena kandungan unsur haranya tidak lengkap, sehingga pemberian kapur perlu diikuti dengan pemberian pupuk N, P, K.  Sedangkan kelemahan pupuk kotoran ayam sebagai amelioran adalah karena kemampuannya meningkatkan

Page 247: Sawi ilaaaaaaaaa

kandungan basa dan pH terbatas, sehingga memerlukan dosis yang cukup banyak dalam aplikasinya.  Oleh karena itu, pemberian kedua amelioran itu perlu dilakukan secara bersamaan sehingga bisa mengatasi kelemahan dari pemberian tunggal amelioran itu.

 

 

 

Tabel 2.  Bobot kering tanaman (g) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada umur 42 hst.

Kombinasi Amelioran

(A)

Varietas (v)  

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

10,49

11,42

12,92

11,62

9,64

11,06

13,89

11,79

11,71

11,90

10,79

13,63

11,55

12,43

11,32

10,78 a

12,98 b

12,09ab

11,92 ab

10,95 aRata-rata 11,22 12,07 11,94  BNJ 5 % A = 1,67

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda menurut uji BNJ α = 0,05

 

Diimbangi dengan pemberian pupuk N, P, K akan semakin meningkatkan produkstivitas tanah gambut dalam menunjang pertumbuhan tanaman kedelai yang ditunjukkan dengan semakin tingginya bobot kering tanaman pada tanaman yang diberi dua jenis amelioran dibandingkan dengan tanaman yang hanya diberi amelioran tunggal.  Hal itu berkaitan erat dengan ketersediaan unsur N, P, K akibat perbaikan pH karena pemberian dolomit.  Peran unsur N dan P dalam pertumbuhan sangat penting.  Kekurangan N dan P akan menghambat pertumbuhan tanaman (Fitchner dan Schulze, 1992 ; Bethlenfalvay et al., 1998). Goldsworthy dan Fisher (1996) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman terlihat pada perkembangan akar, daun dan batang yang berhubungan dengan proses pembelahan sel atau pembentukan jaringan yang dapat dipelajari melalui bobot kering tanaman.  Pembelahan dan pembesaran sel sangat memerlukan unsur hara N, P, dan K.

 

Page 248: Sawi ilaaaaaaaaa

   Bobot Kering Biji per Petak

Pengaruh interaksi antara kombinasi dosis amelioran dan N, P, K dengan verietas tidak teruji nyata. Pengaruh faktor tunggal pemberian amelioran dan N, P, K teruji nyata. Bobot biji yang dihasilkan oleh tanaman yang diberi amelioran tunggal (A0) lebih rendah dibandingkan dengan bobot biji tanaman yang diberi dua jenis amelioran (Tabel 3). 

 

Tabel 3.           Bobot kering biji per petak (g) tiga varietas kedelai pada tanah gambut pedalaman dengan pemberian kombinasi amelioran dan      N, P, K.

Kombinasi Amelioran

(A)

Varietas (v)  

RerataV1 V2 V3

A0

A1

A2

A3

A4

61,98

84,27

54,80

74,63

62,63

53,82

103,31

84,13

69,02

68,58

62,86

82,53

77,64

67,25

65,83

59,55a

90,04b

86,18b

70,30a

65,68a

Rata-rata 67,66 75,77 71,22  BNJ 5 % A = 15,67

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda menurut uji BNJ α = 0,05

Hal itu karena adanya sinergi dari kedua jenis amelioran dalam memperbaiki sifat-sifat tanah gambut pedalaman. Sejak pertumbuhannya, tanaman yang diberi dua jenis amelioran (A1 – A4) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman yang hanya diberi amelioran tunggal (A0).

            Daun merupakan organ tanaman tempat terjadinya proses fotosistesis, dengan semakin luasnya daun tanaman sampai batas tertentu akan diikuti oleh peningkatan proses fotosintesis yang terlihat dengan semakin tingginya bobot kering tanaman. Pemberian dolomit bersama dengan pupuk kotoran ayam mampu meningkatkan pH dan ketersediaan unsur hara. Dengan demikian, ketersediaan unsur hara N, P, K, baik yang berasal dari pupuk kotoran ayam maupun dari pupuk N, P, K, dapat memenuhi kebututahan tanaman, yang terlihat dari lebih luasnya daun tanaman dan lebih beratnya bobot kering tanaman pada ketiga varietas yang diberi kombinasi dua jenis amelioran tersebut. Pasaribu dan Suprapto (1993) mengemukakan bahwa suplai hara N , P, K yang tepat sangat membantu pertumbuhan tanaman untuk mencapai hasil kedelai yang tinggi.  Hasil penelitian Selvakumari et al., (2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk

Page 249: Sawi ilaaaaaaaaa

organik dapat meningkatkan suplai nutrien, memperbaiki aerasi, memperluas zona perakaran dan meningkatkan absorbsi hara sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman.

            Bobot biji kering per petak tertinggi diperoleh pada pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K pada dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg    ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) atau kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg    ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl)

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

            Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, disimpulkan bahwa dalam upaya perbaikan dan pengembangan budidaya tanaman kedelai pada tanah gambut pedalaman, pemberian dua jenis amelioran yang dipadukan dengan pemberian N, P, K berpengaruh positif bagi pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai.  Hal itu didukung oleh berbagai hal sebagaimana tercantum dalam butir-butir berikut :

1.  Aplikasi perpaduan dari dua jenis amelioran yang dipadukan dengan pupuk N, P, K mampu bersinergi dan teruji lebih baik bila dibandingkan dengan aplikasi satu jenis amelioran saja. Perpaduan itu mampu meningkatkan luas daun dan bobot kering tanaman serta bobot kering biji per petak.

2.   Ketiga verietas yang diujicobakan memberikan respons yang sama terhadap pemberian kombinasi amelioran dan N, P, K.

3.   Hasil biji kering per petak tertinggi diperoleh pada kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (75 kg   ha-1 urea; 100 kg ha-1 SP 36 ; 100 kg ha-1 KCl) atau kombinasi dosis 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37.5 kg   ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl)

 

Saran

      Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan hasil tanaman kedelai pada tanah gambut pedalaman dianjurkan untuk menggunakan dosis kombinasi amelioran 2 ton ha-1 dolomit + 15,0 ton ha-1 pupuk kotoran ayam + (37,5 kg   ha-1 urea; 50 kg ha-1 SP 36 ; 50 kg ha-1 KCl).

 

 

Page 250: Sawi ilaaaaaaaaa

DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Pusat Statistik. 2009.  http://www.bps.go.id.

Bethlenfalvay, G.J., M.S. Brown, R.L. Franson, and K.L. Mihara.1998.  The Glycine-Glomus-Bradyrhizobium Symbiosis.  Nutritional Morphological and Physiological Responses of Nodulating Soybean to Georaphic Isolates of Mycorrhyza Fungus Glomus mossae.  Physiol. Plant. 76 : 226-232.

Fitchner, K., and E.D. Schulze.  1992.  The Effect of Nitrogen Nutrition on Growth and Biomass Partititoning of Annuals Originating from Habitats of Differents Nitrogen Availability.  Oecologia 92: 236-241.

Goldssworthy, P.R. dan N.M. Fisher.  1996.  Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik  Terjemahan Tosari. GadjahMadaUniversity Press,Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 251: Sawi ilaaaaaaaaa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lovelles, A. R.  1991.  Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik.  Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Munir, M.  1996.  Tanah-tanah Utama di Indonesia.  Pustaka Jaya,Jakarta.

Najiyati, S., Lili Muslihat dan IN.N. Suyadiputra.  2005.  Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan.  Wetlands International –Indonesia,   Bogor.

Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono.  2002.  Ilmu Kesuburan Tanah.  Kanisius, Yogyakarta.

Selvakumari, G., M. Baskar, D. Jayanthi, and K.K. Mathan.2000.  Effect of Integration of Flays with Fertilizers and Organic Manures on Nutrient Availability, Yield and Nutrient Uptake of Rice in Alfisols. J. Indian Soc.  Soil Sci. 48(2):268-278.

Pasaribu, D., dan S. Suprapto. 1993.  pemupukan NPK pada Kedelai. p.159-170. Dalam S. Somaatmadja, Ismunadji, Sumarmo, M.Syam, S.O. manurung, dan Yuswandi (ed.)  Kedelai.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,Bogor.

 

Tinggalkan Sebuah Komentar

« Older PostsNewer Posts »

Page 252: Sawi ilaaaaaaaaa

Blog pada WordPress.com.Tema: Benevolence oleh Theron Parlin.sindikasi masukan menggunakan RSS dan Komentar (RSS).

Ikuti

Follow “JURNAL ILMIAH AGRIPEAT FAPERTA UNPAR”

Get every new post delivered to your Inbox.

Powered by WordPress.com