respon kelompok non-muslim terhadap perkembangan...

123
RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA PASKA REFORMASI OLEH: DR. M. AMIN NURDIN, MA ISMATU ROPI, MA PENERBIT IDAYUS

Upload: others

Post on 26-Dec-2019

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP

PERKEMBANGAN SOSIAL KEAGAMAAN ISLAM

DI INDONESIA PASKA REFORMASI

OLEH:

DR. M. AMIN NURDIN, MA

ISMATU ROPI, MA

PENERBIT

IDAYUS

Page 2: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dipanjatkan kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmatnya

kepada kita semua. Salawat dan salam juga dihaturkan kepada Nabi Muahmmad

SAW yang telah memberikan bimbingan kepada kita semua.

Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim

terhadap perkembangan sosial kegamaan Islam di Indonesia paska-reformasi ini.

Penelitian ini merupakan bagian dari penguatan dan pengembangan kapasitas riset di

lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011 dengan mendorong

dan memfasilitasi penelitian melalui Lembaga Penelitian UIN Jakarta. Oleh karena

itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah

atas segala bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan

sebaik-baiknya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian UIN

Jakarta dan semua staf di kantor Pusat Penelitian UIN Jakarta yang dengan tulus

memberikan bantuan teknis bagi penelitian ini, serta kepada berbagai pihak yang

membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Secara khusus ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Jaenal Arifin, MA dan

Ismatu Ropi, MA sebagai anggota tim peneliti yang telah bersama-sama meneliti

literatur dan bacaan, melakukan penelitian lapangan ke beberapa daerah dan menulis

laporan akhir. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para narasumber yang

telah meluangkan waktu wawancara bagi kegiatan ini.

Page 3: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

iii

Akhirnya sebagai ketua tim peneliti, semoga hasil penelitian kompetitif ini

memberi manfaat bagi kita semua dalam rangka memperbaiki kehidupan keagamaan

yang jauh lebih baik dan harmonis di negeri ini.

Ciputat, 15 Januari 2011

Dr. M. Amin Nurdin, MA

Ismatu Ropi, MA

Page 4: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

iv

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Trbitan (KDT)

Nurdin, M. Amin dan Ismatu Ropi, 2011

Respon Kelompok Non-Muslim erhadap Perkembangan Sosial

Keagamaan Islam di Indonesia Paska Reformasi

Jakarta, CV. Idayus, 2011

ISBN : 979 8021 29 vii

Lay-ot dan Design Cover : Ali Ma’mun

Penerbit CV. Idayus

Copyright M. Amin Nurdin an Ismatu Ropi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa

pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin foto copy, tanpa izin sah

dari pengarang copyright.

Page 5: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang Masalah 1

Dukungan Terhadap Islamisme? 6

Islamisme dan Kelompok Minoritas 8

Hipotesis dan Perumusan Masalah 10

Tujuan Penelitian 11

Metodologi Penelitian 11

Sistematika Penulisan 13

BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

DI INDONESIA 14

Islam dan Negara: Tinjauan Umum 14

Memahami Islamisme 25

Konstitusi, Negara dan Pengelolaan Agama 32

Kebebasan Beragama dan Kelompok Mayoritas 49

BAB III ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:

TOLERANSI DAN PLURALISME 53

Pandang Doktinal Terhadap Toleransi 54

Memudarnya Budaya Toleran? 63

Kelompok Non Muslim dan Toleransi 66

Pluralisme dan Dialog Umat Beragama 71

Pandangan Kelompok Non Muslim Tentang Pluralisme 76

Page 6: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

vi

BAB IV ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA 82

Mencari Format Ideal Hubungan Agama dan Negara 82

Kelompok Non Muslim dan Hubungan Negara-Agama 102

Desentralisasi dan Penerapa Syariat Islam 106

Kelompok Non Muslim, Partai Politik dan Peraturan Daerah

Berlandaskan Syariat Islam 109

BAB V PENUTUP 114

Kesimpulan 114

Rekomendasi 117

Daftar Pustaka 119

Page 7: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BALAKANG MASALAH

Penelitian ini secara umum mengkaji pandangan dan respon kelompok minoritas

agama di Indonesia tentang munculnya sikap dan prilaku Islamis di sebagian

kalangan Muslim di Indonesia terutama semenjak keruntuhan rezim otoritarian Orde

Baru pada akhir dasawarsa 1990an. Islamisme di sini dipahami sebagai ide tentang

keniscayaan hubungan antara agama dan negara. Sikap ini ditandai secara ‘negatif’

sebagai keinginan untuk menerapkan ‘ajaran Islam’ secara literal dan skriptural

keseluruhan aspek kehidupan seorang Muslim. Dalam prakteknya sikap Islamis

antara lain ditandai dengan merebaknya rasa intoleransi, penolakan terhadap

keberagaman dan pluralisme.

Dalam beberapa level tertentu, budaya Islamis ini juga memberikan kontribusi

bagi konflik-konflik yang berbasis agama. Selain itu, pada tataran yang sama sikap

Islamis ini juga menjadi ‘bagian utama’ dari gerakan penerapan syariat Islam di

beberapa kabupaten di tanah air pada pertengahan tahun 2000an. Pertanyaan dasar

yang diajukan di sini adalah apakah sikap dan prilaku Islamis ini berkaitan dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam sendiri atau apakah ini merupakan

sublimasi dari keinginan untuk menegaskan jatidiri agama setelah sekian dasawarsa

Page 8: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 2

terpinggirkan pada masa rezim Orde Baru atau ia merupakan wajah ril dari Islam di

Indonesia.

Dalam konteks ini, paling tidak terdapat dua domain Islamisme yang

berkembang di dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pertama, Islamisme dalam

bentuk sikap (attitude) yang ditandai dengan kecenderungan atau preferensi

masyarakat Muslim Indonesia terhadap pendefinisian ulang masalah-masalah yang

menyangkut ajaran-ajaran Islam seperti penerapan syariat Islam dalam kehidupan

keseharian. Kedua, pada tingkat tindakan (action) yang ditandai dengan adanya

agenda-agenda seperti penolakan terhadap kelompok minoritas atau agenda-agenda

atau pandangan-pandangan yang memberikan pengakuan terhadap eksistensial

mereka seperti berkembang dalam wacana toleransi dan pluralisme agama. Lebih

lanjut pada tingkatan yang lebih ekstrim, tindakan ini bias berbentuk penutupan atas

rumah ibadah yang ditengarai tanpa izin secara sepihak atau pengrusakan tempat-

tempat publik yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Salah-satu cara pandang memahami Islamisme di Indonesia adalah dengan

melihat sejauhmana faktor-faktor lokal pergumulan Islam di Indonesia dalam sejarah

memberikan kontribusi atas sikap dan prilaku itu. Ini berkaitan erat dengan

bagaimana umat Islam di Indonesia dalam beberapa level mengalami deprivasi

ketika rezim otoritarian memberikan ruang yang sangat terbatasi untuk gerakan Islam

sendiri.

Pada titik ini, ketika ruang publik untuk memainkan peran sebagai kelompok

mayoritas terbuka lebar, katarsis dari perasaan terpinggirkan tersebut menjadi sebab

utama bagi keinginan untuk menjadikan nilai-nilai Islam sebagai criteria penilai bagi

kehidupan sosial masyarakat dan kenegaraan. Pada titik ini pasang surut hubungan

Page 9: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 3

Islam dan negara terutama pada masa Orde Baru menjadi penting untuk didiskusikan

sebagai landasan awal memahami gerakan Islamisme itu sendiri.

Pada sisi lain, Islamisme juga merupakan budaya transnasional dimana

kecenderungan menegaskan diri sebagai Muslim menjadi bagian terpenting dari

pencarian identitas baru. Ini merupakan benturan peradaban sebagaimana yang

diungkap oleh Huntington dimana kelompok non-Muslim (dan Barat) diyakini oleh

sebagian kalangan Muslim selalu berupaya untuk menghegemoni negara-negara

Islam. Di sini perlu juga kemudian ditelaah sejauhmana gerakan transnasional Islam

memberikan warna bagi gerakan Islamis di tanah air.

Secara historis, sikap Islamis bukanlah hal yang baru di tanah air. Ia

mengalami proses metamorfosa yang sangat panjang dengan bentuk yang cukup

beragam. Awalnya ini merupakan bagian yang inheren dari apa yang disebut sebagai

kemunculan kesadaran Islam di kalangan kaum Muslimin di tanah air, utamanya

ketika represi negara terhadap gerakan politik Islam menjadi fitur utama yang terlihat

dalam kurun masa pemerintahan Orde Baru.

Pola gerakan ini bisa dilihat sebagai tindakan kolektif kaum Muslimin tertentu

dalam merespon model hubungan dan norma yang berkembang dalam masyarakat

vis-a-vis kesejatian ajaran Islam. Jadi ia menghubungkan secara kuat antara

pemahaman dan keyakinan dari suatu komunitas tertentu mengenai makna kehidupan

sosial seperti hubungan agama, masyarakat, dan negara yang terorganisir

berdasarkan sentimen dan solidaritas Islam.

Dalam konteks Indonesia, setting sosio-politik dan kultural memiliki imbas

langsung terhadap pola keberagamaan yang berkembang pada kurun tertentu.

Sebagaimana diketahui, sejak tampil ke puncak kekuasaan pada 1965, Pemerintah

Page 10: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 4

Orde Baru di Indonesia segara memberlakukan kebijakan politik dan ekonomi yang

berorientasi pada developmentalism yang lebih mengedepankan program-program

pragmatis yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat umum seperti

pendidikan. Pendekatan pembangunan sosial ekonomi ini tentu saja sangat jauh

berbeda dengan pemerintahan sebelumnya (yakni rezim Orde Lama) yang lebih

menekankan pada partisipasi politik, baik dalam dan luar negeri, yang tidak

diimbangi dengan pembangunan kehidupan ekonomi yang stabil.

Ini seiring dengan kebijakan sosial Pemerintah Orde Baru yang lebih populis

seperti dalam kesehatan (puskesmas dan program keluarga berencana) dan

pendidikan, tetapi pada saat yang sama rezim sangat rigid dan tidak kompromi dalam

hak-hak politik masyarakat. Harus diakui bahwa kebijakan ini memang memberikan

akses utamanya kepada kaum Muslimin sebagai mayoritas di tanah air untuk

mendapatkan pendidikan lebih baik semakin terbuka lebar sehingga pada gilirannya

melahirkan kelas menengah santri baru (new middle class) yang secara langsung

terlibat dalam dunia birokrasi dan profesional.

Opsi pendidikan bagi para sarjana Muslim ini telah membuka kesempatan bagi

mereka untuk secara aktif bersentuhan langsung dengan masalah-masalah aktual

yang menjadi concern bagi masyarakat. Pada titik ini, pilihan artikulatif para sarjana

Muslim itu setelah mendapatkan pendidikan itu bisa berbeda, dan secara sederhana

dapat dikategorikan dalam dua kelompok.

Kelompok pertama secara moderat meminjam khazanah pengalaman tradisi

‘Barat’ sebagai pisau analisis bagi pemecahan masalah-masalah yang berkenaan

dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan bagi kelompok kedua, ‘kembali’ kepada

Page 11: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 5

khazanah Islam-lah yang dianggap juga mampu memberikan jawaban atas persoalan-

persoalan itu.

Genre model keberagamaan kelompok kedua sebagaimana yang akan

didiskusikan lebih lanjut pada Bab II pada gilirannya mendapat kesejatian sebagai

sebuah gerakan Islam baru terutama semenjak kejatuhan Orde Baru. Ia mengambil

bentuk yang lebih ril sebagai gerakan partai politik Islam dan organisasi-organisasi

massa yang menyuarakan secara gambling pentingnya penerapan syariat Islam di

tanah air. Dalam beberapa hal gerakan Islam ini juga memainkan peranan dalam

menyuarakan suara Islam di pentas internasional. Utamanya isu-isu yang berkenaan

dengan kepentingan umat Islam dunia seperti masalah Palestina sebagai misal. Hal

ini memang berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan politik terutama Amerika

terhadap umat Islam dunia yang mendapatkan momentum semenjak tragedi

penyerangan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 yang

menewaskan lebih dari tiga ribu korban. Serangan terhadap Amerika Serikat ini

menjadi titik terpenting bagi memburuknya hubungan Islam-Barat dimana banyak

Muslim termasuk kelompok-kelompok moderat menganggap bahwa kebijakan

terhadap negara Muslim dan kaum Muslim yang dikeluarkan oleh negara-negara

Barat dianggap sangat tidak fair dan jauh dari kesan bersahabat.

Pada titik ini apa yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya terhadap

Afganistan dan Irak sebagai contoh yang sering dikutip untuk menjustifikasi

keangkuhan Barat terhadap negara-negara Islam. Ini disebabkan karena apa yang

dilakukan tentara Amerika di Aghanistan dan Irak juga dapat disaksikan secara

langsung oleh masyarakat Muslim yang berada di tanah air. Hal tersebut memberi

pengaruh terhadap pembentukan citra negatif Barat di mata masyarakat Indonesia

Page 12: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 6

secara umum dan umat Islam secara khusus. Karena itu, apa yang menjadi kegalauan

dan kepedihan orang banyak di negara lain atau umat Islam di tempat lain, juga

dirasakan sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.

Pada titik ini, penyerangan terhadap Irak tidak semata-mata dilihat secara

politis tetapi juga merupakan penyerangan terhadap identitas religius (yakni Islam),

dan juga sebagai merupakan kelanjutan dari Perang Salib antara kaum Muslimin

dengan umat Kristani yang pernah terjadi dalam sejarah pada Abad Pertengahan. Di

sini idiom-idiom agama konvensional seperti jihad atau martir menjadi identitas

pembeda antara kaum Muslimin dan non-Muslimin, dan sofistikasi stereotif atas

Perang Salib masa lampau atau clash of civilization pada masa kini digunakan oleh

semua pihak sebagai rujukan untuk menilai sikap masyarakat Muslim terhadap Barat

dan sebaliknya. Dan dalam kadar tertentu kebijakan politik ini menjadi pupuk

penyubur bagi berkembangnya Islamisme dalam bentuk pemikiran dan gerakan di

dunia Islam termasuk di tanah air.

DUKUNGAN TERHADAP ISLAMISME?

Berkaitan dengan Islamisme ini, satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah

sejauhmana mereka memperoleh tempat di masyarakat Muslim Indonesia?

Pertanyaan ini penting terutama untuk menjelaskan tingkat dukungan Muslim

Indonesia terhadap agenda-agenda yang selama ini diketengahkan kelompok salafi

radikal. Untuk itu, survey PPIM tentang Islam dan demokrasi sejak beberapa tahun

terakhir ini (2001 hingga 2006) penting diacu di sini. Satu hal yang perlu ditekankan

adalah, sebagaimana akan dijelaskan secara rinci di bawah bahwa dukungan Muslim

Page 13: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 7

Indonesia terhadap Islamisme memang memperlihatkan kecenderungan meningkat

signifikan.

Menyangkut isu negara Islam, misalnya, peningkatan tersebut bisa dijelaskan

sebagai berikut ini. Pada 2001, terdapat 57,8% responden yang mendukung gagasan

pemerintah Islam untuk negara Indonesia—yakni pemerintahan atas dasar ajaran-

ajaran al-Qur’an an al-Sunnah dan di bawah kepemimpinan ahli-ahli Islam (ulama

atau kyai). Prosentase tersebut meningkat menjadi 67,1% pada survey 2002 dan

selanjutnya 72,2% pada survey 2004 dan 2006. Begitu pula dalam hal “negara harus

mewajibkan pelaksanaan syari’at Islam bagi semua Muslim dan Muslimah”,

dukungan sebesar 61,4% pada survey 2001 naik menjadi 70,6% pada survey 2002

dan 75,5% pada tahun 2004 serta 82,8% pada survey 2006.

Melihat angka prosentase di atas tentu secara sederhana dapat disimpulkan

bahwa dukungan terhadap agenda-agenda Islamisme memang cenderung meningkat.

Hanya saja, perlu dicatat pula bahwa uniknya dukungan tersebut tidak serta merta

sejalan dengan tingkat dukungan yang diberikan terhadap organisasi-organisasi yang

selama ini menyuarakan agenda-agenda Islamisme seperti Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI) atau Front Pembela Islam (FPI) ternyata cukup rendah. Sebab beberapa

temuan seperti dalam survey LSI (Lembaga Survey Indonesia) pada 2005

menunjukkan kenyataan yang berlawanan. Agaknya dukungan dan akseptabilitas

terhadap organisasi-organisasi mainstream yang secara kultural mewakili Islam

Indonesia selama beberapa dekade seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

jauh lebih tinggi dibanding dengan dukungan yang diberikan terhadap organisasi

yang mengusung agenda Islamisme itu.

Page 14: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 8

ISLAMISME DAN KELOMPOK MINORITAS

Jika survey di atas yang melihat dukungan yang terbatas terhadap sikap dan prilaku

Islamis dari organisasi-organisasi Islam mainsteam menjadi landasan dalam

memahami gejala ini, maka agaknya kekhawatiran kelompok non-Muslim yang

menjadi focus penelitian ini atas munculnya trend baru Islam yang kurang bersahabat

dengan mereka terlihat kurang mendapatkan justifikasi. Hanya saja harus

digarisbawahi pula, bahwa kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebab, walaupun

kelompok Islamis ini relatif kecil dan tidak cukup signifikan namun gaung mereka

untuk bersuara atas nama umat Islam terdengar cukup keras dan ada kalanya mampu

mendapatkan simpati publik. Apalagi kelompok ini cenderung militan dan dalam

berbagai kesempatan menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan mereka. Salah

satu bentuknya adalah pengrusakan terhadap rumah ibadah kelompok agama lain

walau dengan dalih dan alasan tertentu.

Karena itu kecenderungan untuk membenarkan prilaku kekerasan ini untuk

mencapai tujuan-tujuan bermotif agama tentu menjadi catatan kekhawatiran

tersendiri yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang ada. Apalagi dalam kasus-

kasus tersebut, terlihat aparat negara melakukan praktek ‘pembiaran’ terhadap

pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok Islamis ini. Dalam perspektif ini, dengan

konstelasi politik yang memperlihatkan ‘ketidakmampuan’ negara memperlihatkan

otoritasnya menjadi alasan yang sangat kuat bagi kelompok minoritas untuk terus

risau akan eksistensi dan masa depan mereka di tanah air ini.

Secara umum terlihat bahwa sikap dan gerakan Islamis dalam level tertentu

bermuara pada permusuhan (hostility) atau ketidaksetujuan (disapproval) terhadap

Page 15: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 9

perbedaan. Agaknya sangat tipis batas antara sikap sikap prasangka (prejudice) dan

stereotifikasi. Sebuah prejudice, paling tidak dalam bentuknya yang paling dasar,

adalah sebuah pandangan atau sikap, berdasarkan ketidaktahuan atau pengalaman

sederhana, yang berusaha menangkap makna yang kompleks. Biasanya sikap ini

akan berubah atau menjadi jauh berbeda jika orang yang memiliki pandangan tadi

menemukan realitas sebenarnya yang lebih sahih dan akurat.

Hanya saja dalam tahapan tertentu sikap ini tepat dipertahankan sebagai bagian

dari strategi untuk mendukung mimpi tentang masyarakat Islam atau negara Islam

ideal, sebuah harapan messianistik tentang terbentuknya sebuah negara yang

berlandaskan ajaran-ajaran Islam yang menawarkan sebuah “pembebasan dari masa

lampau dan harapan besar untuk masa depan”.

Karena itu pertanyaan lanjutan yang muncul adalah apakah kecenderungan

menyebarnya sikap-sikap dan gerakan Islamisme di kalangan umat Islam tanah air

berkorelasi negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada? Hal ini

penting untuk dicermati mengingat terdapat kecenderungan yang sangat kuat bahwa

para Islamis tersebut cenderung percaya bahwa ajaran Islam-lah yang paling bisa

menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sosial dan politikyang ada dan karena itu

keinginan untuk mendorong penerapan syariat Islam dan nilai-nilai Islam dalam

kehidupan bernegara dan bermasyarakat menjadi bagian terpenting dari mimpi besar

kelompok ini.

Padahal dalam tataran tertentu, ide tentang penerapan nilai-nilai Islam dalam

masyarakat plural di tanah air tentu bertabrakan dengan fakta sosial dan budaya

bahwa Indonesia dibangun pada semangat multi budaya dan dan multi agama. Pada

titik ini dipercaya bahwa masyarakat yang cenderung semakin Islamis akan memberi

Page 16: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 10

ruang bagi tumbuh dan berkembangnya sikap dan tindakan monolitik, vigilante

(main hakim sendiri) dan anti pluralisme.

HIPOTESIS DAN PERUMUSAN MASALAH

Jika memang sikap dan prilaku Islamis menjadi fitur baru dalam khazanah keislaman

di tanah air, maka secara teoritis hal tersebut tentu mendorong munculnya respon

dari kelompok-kelompok minoritas, utamanya kelompok-kelompok agama yang ada

di tanah air. Dengan memberikan perhatian utama terhadap eksistensi kelompok-

kelompok minoritas non-Muslim maka hipotesis utama dari penelitian ini adalah

terdapat kekhawatiran terhadap munculnya sikap dan prilaku Islamis ini.

Karena itu yang akan dilihat di sini adalah sejauhmana pandangan dari para

tokoh non-Muslim terhadap apa perkembangan situasi keagamaan seiring dengen

menguatnya kecenderungan dan prilaku Islamis dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara semenjak keruntuhan Orde Baru dan kemuncul Orde Reformasi.

Berdasarkan hipotesis umum itu maka permasalahan utama yang diangkat

dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan kelompok non-Muslim terhadap

perkembangan sosial keagamaan setelah era reformasi, bagaimana pandangan

mereka tentang sikap dan prilaku Islamisme dan apa implikasinya terhadap

hubungan antar umat beragama di Indonesia; serta bagaimana pemahaman mereka

tentang toleransi ideal harus dikembangkan oleh semua kelompok agama yang ada

untuk menjaga kerukunan kehidupan beragama di Indonesia, dan sejauhmana peran

yang bisa dimainkan oleh negara untuk menjaga kehidupan beragama yang baik.

Page 17: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 11

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian studi ini antara lain adalah pertama untuk memahami

sejauhmana perspektif pemikiran kelompok non-Muslim terhadap perkembangan

sosial kegamaan di Indonesia paska reformasi; dan kedua, adalah melihat

sejauhmana implikasinya terhadap hubungan antar-umat beragama di Indonesia

secara umum. Dengan melakukan pemetaan yang obyektif tentang pemikiran dan

harapan kelompok non-Muslim ini maka diharapkan terdapat pemecahan masalah

(problem solving) yang menguntungkan semua pihak dan bisa dilakukan secara

konsisten berupa rekomendasi untuk kemaslahatan bersama demi menjaga kehidupan

multi-agama dan multi-etnis di tanah air.

METODOLOGI PENELITIAN

Secara garis besar kegiatan utama yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif,

dengan menerapkan 2 (dua) pendekatan pengambilan sample dalam metodologi

yakni (1) review dokumen atau pengamatan; dan (2) wawancara/interview

(ethnographies studies).

Review dokumen ditujukan untuk mendapatkan data-data komprehensif

tentang pandangan para tokok non-Muslim terhadap sikap dan prilaku Islamis. kasus-

kasus dan regulasi-regulasi yang berkenaan dengan aliran keagamaan di tanah air.

Hal ini menjadi penting untuk mengukur tingkat interval geografis bagi kemunculan

gerakan ini. Penelitian ini menggunakan sumber data utama berupa: Analisis

dilakukakan melalui tulisan-tulisan tokoh-tokoh berbagai agama di media cetak dan

Page 18: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 12

elektronik dan pendapat dari tiga nara sumber, yaitu para pengambil kebijakan

agama, tokoh-tokoh agama, dan masyarakat berbagai agama.

Penelitian ini menggunakan metode sosial historis. Penelusuran terhadap

terhadap sejarah pemikiran kelompok non-Islam tidak terlepas dari analisis sejarah

masa lalu dan masa sekarang. Pembahasan penelitian ini merupakan suatu realita dan

prediksi terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa akan datang dengan

melihat kecenderungan-kecenderungan tersebut, lalu membuat kategorisasi persoalan

agar dapat dilakukan analisis.

Indept interview pada ketiga kelompok narasumber, yaitu pengambil kebijakan,

tokokh-tokoh agama, dan masyarakat antar agama. Metode ini digunakan agar para

narasumber dapat memberikan opininya secara pribadi secara lebih mendalam lagi

mengenai eksistensi umat Islam dengan berbagai warna-warna dan implikasinya

terhadap hubungan antar hubungan beragama. Kelompok yang diwawancarai terdiri

dari tokoh-tokoh agama yang ada di Jakarta dan sebagian di luar Jawa dan dipilih

secara random porposive. Begitu pula nara sumber masyarakat antar agama di

Jakarta dan di luar Jawa, khususnya rawan konflik agama.

Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisa melalui tahap sebagai berikut:

pertama, pembuatan kategori data berdasarkan data tentang tulisan/buku yang ada

dan opini tokokh-tokoh agama. Kategorisasi ini dimaksudkan untuk mempermudah

analisis mengenai pendapat mereka dan implikasinya; kedua, melakukan content

analysis terhadap substansi dari opini-opini; ketiga mentabulasi data-data opini yang

diperoleh berdasarkan kelompok tema; dan keempat, menelusuri sejauh mana

implikasi pendapat mereka terhadap realita yang dihadapi.

Page 19: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab I Pendahuluan | 13

SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini akan mengikuti alur penulisan sebagai berikut: Bab I berisi

pendahuluan yang menjelaskan secara umum landasan awal tentang penelitian yang

antara lain latar belakang dan tujuan penelitian. Bab II mendiskusikan pandangan

teoritis tentang tema yang diangkat. Bab III mereview pandangan kelompok non-

Muslim tentang isu toleransi dan pluralism beragama di Indonesia. Lebih lanjut

pembahasan Bab IV akan difokuskan pada respon dan pandangan mereka tentang

agama dan negara agama yang ada dewasa ini, dan yang mereka harapkan secara

ideal untuk Indonesia di masa datang. Termasuk pada pada ini analisis tentang

respon mereka terhadap penegakan syariat Islam di tanah air dalam bentuk

pemberlakukan perda-perda syariat Islam di beberapa propinsi di Indonesia. Bab V

merupakan penutup berupa kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari

penelitian ini.

Page 20: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

BAB II

PASANG SURUT HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

DI INDONESIA

ISLAM DAN NEGARA: TINJAUAN UMUM

Islamisme merupakan ‘anak kandung’ dari gelombang reformasi sosial politik yang

terjadi pada 1998 di tanah air yang memberikan kesempatan luas bagi setiap

kelompok dalam masyarakat untuk menyuarakan keinginan dan kecenderungan

politik yang berbeda-beda. Hal ini bisa terlihat dari munculnya sejumlah organisasi

keislaman baik yang secara eksplisit ingin mendirikan negara Islam atau

menyuarakan pentingnya syariah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kecenderungan seperti ini tentu tak bisa bahkan tak mungkin ditemukan pada masa

Orde Baru.

Sebagaimana diketahui, sejak tampil ke puncak kekuasaan pada 1965,

pemerintahan Orde Baru memberlakukan kebijakan politik dan ekonomi yang

berorientasi pada apa yang kemudian disebut sebagai ’modernisasi’ dan

’pembangunan’(development). Menggantikan Orde Lama yang terlalu menekankan

pada partisipasi politik, Orde Baru mengetengahkan program-program yang

berorientasi pada persoalan-persoalan praktis yang secara langsung berhubungan

dengan kebutuhan hidup masyarakat. Perbaikan ekonomi dan peningkatan

pendapatan masyarakat menjadi sasaran utama program ekonomi Orde Baru. Oleh

Page 21: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 15

karena itu, pada masa Orde Baru “ekonomi menjadi panglima”, menggantikan Orde

Lama yang menempatkan “politik sebagai panglima”.1

Dalam konteks ini, Orde Baru secara terencana mengembangkan pemikiran-

pemikiran tandingan (counter ideas) terhadap pemikiran Orde Lama. Dari sinilah

pemikiran tentang “deideologisasi”, “deparpolisasi”, dan “pragmatisme” muncul ke

permukaan sebagai wacana dominan dalam sistem sosial dan politik di Indonesia.

Begitu pula gagasan mengenai “program-oriented”, pembangunan-oriented”, dan

gagasan-gagasan lain yang serupa muncul sebagai ideologi baru pemerintah Orde

Baru untuk menggantikan gagasan-gagasan Orde Lama, dan sekaligus berperan

sebagai alat justifikasi akan keabsahan pemerintahan baru. Gagasan-gagasan pada

gilirannya membentuk satu kesadaran baru di kalangan masyarakat Indonesia,

khususnya di perkotaan, yang meyakini pentingnya proses perubahan Indonesia

menuju masyarakat modern. Kasus konkrit perubahan pemikiran ini antara lain

adalah memudarnya pemikiran ideologis dan politis serta meningkatnya

kecendrungan pragmatisme. Perubahan inilah yang kemudian ikut mempengaruhi

pola pemikiran keislaman kelompok menengah kota.2

Sebagaimana juga disinggung dalam Bab I, opsi kebijakan Pemerintah Orde

Baru dalam bidang pendidikan memberikan ruang bagi munculnya kelas menengah

santri baru (new middle class) yang secara langsung terlibat dalam dunia birokrasi

dan profesional yang pada gilirannya bersentuhan secara langsung dengan masalah-

1Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam:

Rekonstruksi Pemikiran Islam masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986). 2M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina,

1995), hal.121-129.

Page 22: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 16

masalah aktual yang menjadi concern bagi masyarakat. Secara sederhana, kelas

menengah santri baru ini juga memainkan peranan kunci dalam proses islamisasi dan

dalam beberapa hal memberikan konstribusi pada munculnya sikap dan prilaku

Islamis pada masa selanjutnya. Dalam konteks ini apa yang dipahami oleh para aktif

Muslim dari wacana Islamisasi dan Islamisme merujuk pada keinginan untuk

menghidupkan kembali masa-masa keemasan Islam.3 Pada titik ini, pilihan

artikulatif para sarjana Muslim itu bisa berbeda. Kelompok pertama secara moderat

meminjam khazanah pengalaman tradisi ‘Barat’ sebagai pisau analisis bagi

pemecahan masalah-masalah yang berkenaan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam

konteks ini, para aktifis Muslim seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo,

Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendy dan lain memberi kontribusi penting

dalam pembentukan dan pengkayaan wacana keislaman dan keindonesiaan.

Dengan latarbelakang kesantrian yang kental—baik yang bersifat tradisionalis

maupun modernis—mereka tampil dengan gagasan-gagasan baru yang berbeda dari

pandangan-pandangan para aktifis Muslim sebelumnya. Modernisasi pendidikan dan

perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi yang berlangsung sepanjang dasa

warsa 70-an dan 80-an, telah mempengaruhi dan membentuk pemikiran-pemikiran

mereka yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern dan pada saat yang sama

mendapatkan tempat dalam naungan negara yang cenderung represif dan otoritarian.

3Lihat teori mengenai fundamentalisme Islam dalam Martin E. Marty and R.

Scott Appleby (eds.), Fundamentalism Comprehended (Chicago and London: The

University of Chicago Press, 1995).

Page 23: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 17

Di sini pandangan yang terpenting yang muncul dari kelompok pertama ini

menyangkut masalah orientasi politik. Berbeda dengan aktifis Muslim generasi

sebelumnya yang cenderung berorientasi pada simbol ikatan-ikatan formal politik

Islam, mereka lebih banyak menekankan substansi dan fungsionalisasi nilai-nilai

Islam dalam kehidupan Indonesia modern. Dalam konteks inilah, pernyataan

Nurcholish Madjid yang pernah memicu perdebatan panjang bisa dipahami. Dalam

salah satu artikelnya, Nurcholish Madjid menulis perlunya perubahan orientasi

gerakan Islam dari politik ke budaya, yang disitilahkan dengan “Islam Yes, Partai

Islam No.”4

Dengan pernyataan tersebut Nurcholish Madjid berpandangan bahwa

pergulatan Islam dalam dunia politik telah menghabiskan potensi intelektual Islam.

Akibatnya mereka tidak mampu terlibat dalam merencanakan perubahan-perubahan

sosial-politik yang jelas-jelas mensyaratkan penguasaan terhadap hal-hal yang

bersifat intelektualistik dan teknokratis yang memadai. Untuk itulah, gerakan Islam

harus diarahkan pada penguatan basis intelektual dan budaya, sehingga

memungkinkan kalangan Muslim dengan mudah memasuki kehidupan baru modern

di Indonesia.

Pada sisi lain, kesadaran baru Muslim juga melahirkan kelompok kedua kelas

menengah santri baru yang cenderung lebih tertarik dalam mengartikulasikan

gagasan ‘kembali’ kepada khazanah Islam, karena mereka yakin bahwa hanya Islam-

4Tentang pemikiran Nurcholish Madjid lihat dalam salah satu karyanya yang

terkompilasi dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,

1987).

Page 24: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 18

lah yang dianggap mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu. Bagi

kelompok kedua ini, kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan

penyelesaian satu-satunya yang harus dilakukan kaum Muslim bila mereka ingin

mencapai kejayaan. Kehidupan Nabi Muhammad dan para Sahabat dianggap sebagai

model yang terbaik yang harus ditiru oleh segenap kaum Muslim. Penegasan

identitas keagamaan harus senantiasa diperbaharui berhadap-hadapan dengan

sekularisme dan materialisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Keyakinan keagamaan demikianlah yang dipegang oleh sebagian besar

kelompok awal ini dimana kembali ke khazanah Islam merupakan pilihan yang

terbaik karena diyakini bahwa hanya Islam yang memiliki pandangan hidup

komprehensif dan bersifat total.

Karena itu kembali kepada khazanah hukum Islam yang sesuai dengan al-

Qur’an, as-Sunnah harus dilakukan untuk membendung kecenderungan ideologi

sekuler dan materialistik yang menjadi ciri dari kebudayaan Barat. Betapapun banyak

dari kelompok ini pernah tinggal dan mengalami kehidupan kultur Barat, namun

posisi mereka, menggunakan istilah Ali Said Damanik, adalah jelas, yakni

nakhtalithu walakin natamayyazu (berinteraksi tanpa harus terkontaminasi).5 Di sini,

mereka merupakan enclave yang terus berkembang secara terukur dan terorganisir

dengan penuh perhitungan yang mencikali tumbuhnya sebuah sub-kultur baru yang

berbeda dengan sub-kultur yang telah ada pada masa sebelumnya.

5Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun

Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), hal. ix.

Page 25: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 19

Kecenderungan dan dorongan untuk menegakkan model Islam yang cenderung

skripturalis dari kelompok kedua ini memang mau tidak mau berhadapan muka

dengan represi yang begitu kuat yang dilakukan oleh Negara di bawah rezim Orde

Baru. Dalam rezim ini, kesempatan untuk menyuarakan ideologi yang berbeda atau

mobilisasi massa relatif terbatas sementara penetrasi negara terhadap bidang-bidang

publik termasuk kehidupan beragama sangat kuat. Ini ditandai dengan marginalisasi

tokoh-tokoh Muslim kenamaan yang dianggap beraliran keras, pemberhangusan

gerakan-gerakan ekstrem kanan; sebuah sebutan pejoratif bagi kelompok Muslim

yang vokal, dan larangan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum bagi para siswi,

serta birokratisasi yang ketat terhadap lembaga Islam yang ada termasuk, pada

gilirannya, kewajiban untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi.

Di dunia pendidikan, sebagai misal, rezim ini juga menerapkan larangan yang ketat

bagi mahasiswa lewat metode-metode korporasi terhadap organisasi kemahasiswaan

melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/1974 tentang

Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (dikenal dengan

NKK/BKK) yang mempersempit ruang dan memandulkan gerakan para aktifis

mahasiswa.

Dalam kurun rezim otoritarian seperti ini, pilihan yang terbaik yang bisa

dilakukan oleh para aktifis Muslim ini adalah melakukan proses internalisasi dan

konsolidasi ke dalam dengan melakukan kaderisasi dan rekruitmen yang hati-hati,

cermat dan terukur. Ini yang dianggap oleh Denny J.A. sebagai perubahan model

pengorganisasian dan kaderisasi, yang sebelumnya lebih mengandalkan mobilisasi

massa menjadi penataan kelompok-kelompok kecil seperti jamaah masjid dan

Page 26: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 20

kelompok usroh dalam sistem sel networking sebagai bentuk diseminasi ideologi

alternatif vis-a-vis ideologi sekular represif yang diadopsi negara dan dianggap tidak

sesuai dengan ajaran Islam dan gagal dalam menjawab permasalahan yang kompleks

dalam masyarakat.6

Dalam perspektif yang sama, persepsi dan perlakuan bahwa negara tidak

memberikan ruang yang besar atas partisipasi kaum Muslimin di tanah air telah

menyemai ‘perasaan tidak adil’ bagi kelompok terdidik ini. Pada gilirannya, perasaan

ini memunculkan apa yang disebut sebagai deprivasi relatif, yakni perasaan berbeda

antara kelompoknya dengan kelompok lain, seperti perasaan ketertinggalan Islam

dibanding kelompok sosial-keagamaan lain, atau keadaan yang dialami sekarang

sangat buruk dibanding keadaan yang dipersepsikan lebih baik sebelumnya.

Perasaan ini dirasakan secara kolektif dan menjadi identitas pembeda semu

yang memicu keinginan yang lebih kuat untuk terlibat dalam gerakan untuk merubah

keadaan pada satu masa yang tepat. Menjadi jelas bahwa keterlibatan mereka dalam

gerakan-gerakan non-negara (non-government organization) dalam pendidikan,

kesehatan dan penyadaran hak-hak dan kewajiban masyarakat Muslim secara khusus

merupakan sublimasi atas langkanya, untuk mengatakan tidak mungkin, kesempatan

bagi mereka dalam mengambil peran struktural dalam pemerintahan untuk

memperjuangkan hak-hak masyarakat Muslim tanah air.

Dan harus dicatat pula bahwa ghirah keberagamaan yang terjadi pada kurun

waktu itu juga tidak terlepas dari suasana psikologis Dunia Islam secara umum,

6Denny J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an (Jakarta:

CV Miswar, 1990), hal. 51-53.

Page 27: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 21

yakni adanya keyakinan yang sedemikian kuat tentang Era Kebangkitan Islam

dengan masuknya tahun 1400 (abad ke-15) Hijriah yang jatuh tepat pada tahun 1980.

Apalagi setahun sebelumnya, masyarakat Dunia juga dihebohkan dengan Revolusi

Iran dimotori oleh Imam Khomeini dan para mullah Syiah yang berhasil mendongkel

kekuasaan Shah Reza yang dianggap sebagai sekuler dan pro-Barat.

Keyakinan milienaristik ini menjadi amunisi efektif bagi kaum Muslimin di

Indonesia, dan pada gilirannya, aspek psikologi sosial ini mampu menjadi daya

dorong yang kuat untuk kembali kepada tradisi yang mereka klaim sebagai ‘lebih

Islami’ atau ‘berdasarkan ajaran Islam’ untuk menjawab tantangan ke depan. Bahkan

dalam pidato pada sebuah muktamar di Jakarta, Sekretaris Jenderal Râbithah Alam

Islamî, Syaikh Âli al-Harakan, sempat menyebut Indonesia sebagai negara yang

diharapkan berperan penting dalam kebangkitan Islam ini.7 Al-Harakan malah

dengan sengaja mengganti kata Indonesia menjadi Andunisia yang secara kasat

pengucapan dekat dengan istilah Andalusia yang pernah mengukir tinta emas

peradaban unggul sejarah Islam. Jadi sekali lagi struktur politik otoritarian yang

represif dan suasana psikologis yang dirasakan bersama adalah variabel penting bagi

maraknya gerakan kontemporer Islam ini.

Namun harus digarisbawahi pula bahwa betapapun mereka begitu intens

menyuarakan keinginan untuk kembali ke khazanah tradisi Islam dan begitu kritis

terhadap ekses-ekses yang ditimbulkan dan proses modernisasi, bukan berarti mereka

7Lebih jauh lihat Alwi Alatas dan Fefrida Desliyanti, Revolusi Jilbab: Kasus

Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek 1982-1991 (Jakarta: Al-I’tishom,

2002), hal. 21-23.

Page 28: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 22

anti modernitas. Sebab, pada dasarnya mereka juga adalah ‘anak’ dari modernisasi

yang dilakukan Negara dengan kebijakan membuka akses yang besar bagi kaum

Muslimin untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan di luar negeri. Karena itu,

dalam takaran tertentu para pemimpin gerakan ini juga dengan semangat

menyerukan keinginan untuk membawa kaum Muslimin ke arah masyarakat

industrial modern yang mengakar pada teknologi maju.

Hal ini tentu tidak mengherankan, sebab kebanyakan para aktifis itu memang

lulusan fakultas teknologi dan ilmu-ilmu alam seperti Universitas Indonesia (UI),

Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB) atau Institut

Pertanian Bogor (IPB) maupun universitas-universitas di Barat. Meminjam istilah

Bjorn Olav Utvik, “kalau ada bentuk pekerjaan yang sangat cocok dengan para

[aktifis] Muslim itu, maka itu adalah menjadi insinyur (if any one vacation is typical

for an Islamist, it is that of the engineer).”8

Lalu apakah aktifis Islam ini memang sejatinya menyuarakan keinginan untuk

kembali ke model Islam masa keemasan? Hal ini yang sering kali disalahpahami dari

gerakan mereka. Sebab, pilihan ideologi, institusi dan cita-cita yang perjuangkan

merefleksikan orientasi, karakter dan agenda yang sama sekali modern. Wacana

gerakan ini, yang dianggap aneh oleh kelompok yang berbeda dengan mereka,

sesungguhnya modern dan rasional, karena mereka mengadopsi bentuk

8Bjorn Olav Utvik, “The Modernizing Force of Islamism,” dalam John L.

Esposito dan François Burgat (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public

Sphere in Europe and the Middle East (New Brunswick New Jersey: Rutger

University Press, 2003), hal. 43-64.

Page 29: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 23

pengembangan diri, mobilitas sosial dan ekonomi dengan bahasa yang sepenuhnya

modern.

Meminjam istilah Foucault, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk

technologies of self, yakni melalui pendidikan praktis mereka mengembangkan diri

dan kelompoknya secara swadaya, atau bantuan yang lain, sejumlah tindakan

terhadap diri mereka, ruh, pikiran, prilaku dan jalan hidup yang mampu

mentransformasikan diri mereka untuk mendapatkan kebahagiaan tertentu, kesucian,

kearifan, kesempurnaan dan keabadian, yang dalam hal ini adalah kemajuan Islam

dan masyarakat Muslim.9

Di sini peran para aktifis ini adalah berusaha memberikan jawaban atas

persoalan-persoalan sosial-ekonomi yang hangat dalam masyarakat dengan spektrum

yang bercirikan keagamaan yang modern. Hal ini, meminjam istilah Pierre Boudieu,

merupakan bentuk penerjemahan cultural capital sebuah masyarakat baru yang

muncul bukan sebagai suatu kebetulan. Sebab bagi para sarjana ini, Islam bukanlah

melulu agama yang berorientasi hanya sebatas nilai-nilai ketuhanan (theological

values) yang mengikat secara universal tapi bersifat impersonal melainkan juga

merupakan modal kultural (cultural capital) yang sifatnya adaftatif merespon

persoalan yang berkembang.10

9Michel Foucault, Technologies of Self: A Seminar with Foucault (London:

Tavistock, 1988) sebagaimana dikutip oleh Connie Carøe Christiansen, “Women’s

Islamic Activism: Between Self-Practices and Social Reform Efforts,” dalam John L.

Esposito dan François Burgat (eds.), Modernizing Islam, hal. 145-165. 10

Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (London: Cambridge

University Press, 1977), hal. 147.

Page 30: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 24

Karena itu yang dilakukan oleh para aktifis ini adalah menyajikan sebuah

pandangan alternatif berdasarkan Islam dengan tidak sepenuhnya bergantung pada

kebudayaan dan pola pikir Barat. Kembali mengutip Utvik, apa yang menjadi

perhatian utama mereka adalah sebuah pencarian otentisitas kultural (cultural

authenticity) dan nasionalisme kultural (cultural nationalism) yang relatif bebas dari

hegemoni Barat.11

Pada saat yang sama, mereka memberikan tekanan yang sungguh-

sungguh pada regenerasi moral pada masyarakat sebagai persyaratan utama bagi

pengembangan kehidupan material, karena pada dasarnya mereka tidak menolak

akumulasi kapital dan model kehidupan duniawi yang makmur.

Bagi mereka, inilah yang menjadi kekurangan yang terpenting dalam

kebudayaan Barat yang cenderung materialistis tanpa memberikan perhatian yang

besar bagi kehidupan moral sebagai esensi dari kehidupan. Model penekanan

reformasi kehidupan moral ini merupakan epithet yang penting dalam gerakan

kontemporer di Dunia Islam secara umum. Ungkapan Yusuf Qardhawi, seorang

tokoh kharismatik gerakan ini menarik untuk dikutip.

Pada dasarnya, kemajuan yang mereka [Barat] tawarkan sarat dengan nilai-

nilai material. Mereka mampu menerobos ruang angkasa atau menciptakan

bom atom, tetapi mereka tidak mampu mencapai akhlak dan esensi manusia

yang oleh orang lain dirasakan sebagai kebahagiaan. Bagi kita, nilai-nilai

kemanusiaan yang diperoleh melalui hubungan harmonis antara ayah dan

anaknya, antara ibu dan anaknya, atau antartetangga merupakan esensi hidup.12

Maka bisa dipahami jika para aktifis Muslim ini sangat kritis dengan korupsi

yang terjadi dalam tubuh Pemerintah, termasuk juga dengan isu-isu kejahatan

11

Utvik, “The Modernizing Force of Islamism,” hal. 43-49. 12

Yusuf Qardhawi, Muslimah: Harapan dan Tantangan (Jakarta: Gema Insani

Press, 1994), hal. 46-47.

Page 31: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 25

ekonomi yang menghancurkan masyarakat banyak. Karena itu, jika mereka

menyerukan untuk kembali ke syariah Islam, pada awalnya mereka bukan

sepenuhnya sepakat dengan isu-isu syariah yang berkembang pada masa Islam

klasik, melainkan syariah yang telah dikodifikasi secara modern dalam teks hukum

yang dilakukan oleh orang-orang pilihan dan diaplikasikan dalam peradilan negara

ketimbang pengadilan agama. Di sini apa yang mereka perjuangkan yakni

mendirikan ‘negara Islam’ atau menerapkan syariah Islam dalam kehidupan

masyarakat mendapatkan pendasaran yang cukup logis.

Namun pada perkembangan memang terlihat bahwa gagasan tentang syariah

Islam yang dimunculkan oleh para aktifis inteletual ini menjadi berbeda ketika

kesempatan politik semenjak kejatuhan rezim Orde Baru untuk mengartikulasi

gagasan syariah Islam literal yang diangkat oleh berbagai kelompok Islamis justru

menjadi domain wacana publik yang terus diperbincangkan. Apalagi kemudian

semangat untuk menegakkan syariah Islam dan ajaran-ajaran agama dilakukan

dengan caa-cara represif yang mengedepankan kekerasan.

MEMAHAMI ISLAMISME

Dalam konteks perbedaan nomenklatur kelompok menengah muslim baru

sebagaimana dijelaskan secara sekilas di atas, aspek terpenting yang perlu ditekankan

dari kecenderungan kelompok kedua adalah dukungan mereka terhadapa sikap dan

prilaku Islamis yang mengambil bentuk dalam partai politik dan organisasi-

organisasi keagamaan. Sebagaimana akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya

Page 32: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 26

dalam bab ini, sikap dan prilaku Islamis cenderung menguat dan mengandung

potensi laten ekstrimitas yang membahayakan kehidupan yang multi budaya dan

agama di Indonesia.

Terhadap perkembangan di atas, sejumlah pertanyaan penting jelas

mengemuka. Dan salah satunya yang terpenting adalah apakah gerakan Islamis

tersebut bisa dianggap mewakili Islam Indonesia? Pertanyaan ini penting, karena

pemikiran dan gerakan Islam radikal pada dasarnya hanya disuarakan oleh

sekelompok kecil Muslim Indonesia. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU

dan Muhammadiyah, bisa dipastikan tidak memiliki agenda yang sama dengan

gerakan Islamis ini. Dan dalam beberapa hal kedua organisasi Islam, baik NU

maupun Muhammadiyah, ini justru secara tegas menentang beberapa agenda Islamis

seperti penerapan syariah Islam dan tindakan kekerasan atau terorisme yang

dilakukan atas nama agama.

Lalu apa sejatinya gerakan Islamis tersebut? Terdapat beberapa karakteristik

utama dari gerakan Islamis ini yang muncul dalam beberapa kurun terakhir.13

Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup

yang komprehensif dan bersifat total, dan karena itu Islam tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan politik, hukum dan kemasyarakatan. Kedua, mereka seringkali

menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung

materialistik harus ditolak. Mareka juga meyakini bahwa masyarakat Muslim di

Indonesia telah gagal dan berpaling dari jalan lurus sesuai dengan ajaran Islam, dan

13

Jamhari dan Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).

Page 33: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 27

oleh karena itu kembali ke ajaran Islam dengan menerapkan syariah Islam menjadi

obsesi penting bagi gerakan ini. Ketiga, mereka percaya bahwa aspek

perorganisasian atau pembentukan kelompok-kelompok yang militan berkarakter

kuat dan terlatih diperlukan dalam membangun masyarakat yang baru di Indonesia.

Awalnya gejala ini oleh Roy disebut sebagai “neo-fundamntalisme radikal”

(radical neo-fundametalism) dimana upaya yang mereka lakukan lebih ditekankan

pada semacam upaya Islamisasi masyarakat melalui kekuatan individu-individu

dengan pendekatan penegakan syariah Islam tanpa diformulasikan dalam sebuah

negara Islam.14

Namun pada gilirannya, ideologisasi atas upaya penegakan syariaf

Islam menggiring mereka untuk menggulirkan kemungkinan penegakan negara Islam

sebagian wacana alternatif ideologi sebagaimana yang terjadi di tanah air pasca

keruntuhan rezim Orde Baru dan kegagalan pemerintah baru untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan ekonomi dan

politik.

Kecenderungan sikap seperti diungkapkan di atas memang merupakan ciri

umum dari kelompok-kelompok Islamis di Indonesia. Melihat bahasa dan simbol

yang mereka gunakan, agak sulit memisahkan simbol agama dengan aksi yang

dilakukan. Dan yang lebih penting untuk ditekankan adalah bahwa beberapa

kelompok Islamis ini dengan secara sadar menggunakan kekerasan seperti

pengrusakan fasilitas-fasilitas milik kelompok lain yang dianggap bertentangan

dengan norma syariah Islam. Pada sisi yang sama mereka juga tidak segan untuk

14

Olivier Roy, The Failure of Political Islam (Massachusettes: Harvard

University, 1994).

Page 34: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 28

melakukan aksi sepihak di luar jalur hukum jika mereka berpendapat bahwa suatu

kelompok masyarakat tidak mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini

terlihat dalam beberapa kasus penutupan rumah ibadah yang dianggap tidak memiliki

izin atau tidak mengikuti prosedur hukum yang berlakuk di negara ini.

Di sini kekerasan atas nama agama menjadi sangat luas dan bervariasi. Ia bisa

berbentuk yakni pertama kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap

individu atau kelompok, baik dari agama yang sama atau berbeda, yang didorong

motivasi keagamaan; kedua, kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok

dengan cara mengucilkan, mengintimidasi, atau mengusir kelompok lain yang

memiliki keyakinan agama yang dianggap menyimpang; dan ketiga, kekerasan

berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab

suci, nabi, dan tempat peribadatan.

Adalah penting untuk diungkap bahwa memang ada disparitas atas Islamisme

sebagai sebuat sikap (attitude) dan Islamisme sebagai prilaku (action) berkenaan

dengan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok lain di ruang publik. Dari

data survei yang dilakukan oleh PPIM pada 2004 sebagai misal menunjukkan bahwa

sikap Islamisme tidak secara otomatis menjadi pendorong utama bagi prilaku

Islamisme. Survei itu menunjukkan bahwa kesediaan seorang Muslim, sebagai

bagian dari sikap Islamisme, untuk merusak gereja yang tidak memiliki izin bekisar

pada 14,7%; mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%; merajam orang berzina 23,2%;

perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%; menyerang atau merusak

tempat penjualan minuman keras 38,4%; dan mengancam orang yangg dianggap

menghina Islam 40,7%.

Page 35: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 29

Lalu apakah angka-angka tersebut menunjukkan grafik yang sama dalam aksi?

Menarik dikemukakan bahwa angka-angka yang mengukur tingkat sikap Islamisme

tersebut tidak secara serta-merta berujung pada prilaku Islamisme. Data-data

menunjukkan tingkat keikutsertaan (participation) dalam prilaku Islamisme ternyata

sangat rendah. Sebab data juga menunjukkan bahwa hanya 0,1% menyatakan pernah

merusak atau membakar gereja yang didirikan tanpa izin; 0,6% mengusir kelompok

Ahmadiyah; 0,8% mengarak orang yang berzina; 3% perang melawan non-muslim

yang mengancam; 1% merusak tempat pelacuran; 1% merusak tempat yang menjual

minuman keras; dan hanya 1,3% mengancam orang yang dianggap menghina agama.

Di sini terlihat ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi orang untuk melakukan

tindakan Islamisme. Namun ini tidak berarti bahwa sikap Islamisme tidak memiliki

potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi sebuah tindakan yang bermotif

keagamaan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauhmana sikap dan prilaku

Islamisme ini terlembaga secara instutusional? Secara umum dapat disebutkan di sini

bahwa beberapa organisasi militan seperti Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan

Front Pembela Islam (FPI) bisa dimasukkan sebagai contoh dari gerakan yang

mengusung Islamisme di tanah air. Meski terdapat beberapa perbedaan, kedua

organisasi tersebut cukup konsisten melakukan perjuangan kaum salafi (manhaj

salafi) seperti dalam penerapan syariah Islam di Indonesia. Bagi tokoh-tokoh yang

ada dalam organisasi tersebut, adalah jelas bahwa syariah Islam adalah aturan-aturan

yang harus diberlakukan sebagaimana apa adanya tanpa harus ditafsirkan ulang. Cara

pandang ini mengasumsikan bahwa memang ajaran Islam bersifat lengkap, universal

Page 36: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 30

dan menyeluruh; dan oleh karena itu ajaran Islam termasuk hukum Islam seperti

hudud dapat dan harus diberlakukan dimana saja dan kapan saja. Pandangan ini tentu

berbeda dengan apa yang diupayakan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer

yang mengsyaratkan pembacaan ulang atas teks-teks keagamaan dalam kaitannya

denga kehidupan sosial yang menjadi ranah dalam hudud itu sendiri.

Penting untuk memberikan perhatian khusus atas peran FPI dalam upaya

penegakan syariah Islam di Indonesia, sebab organisasi ini dalam tataran tertentu

memang telah menjadi kekuatan vigilante yang menisbikan peran agama dalam

menegakkan moralitas dalam masyarakat. Organisasi ini memang memainkan peran

yang jelas untuk merazia atau menutup penutupan secara paksa sejumlah tempat

hiburan (kafe, diskotik dan klub) di sejumlah daerah di tanah air dengan asumsi

bahwa tempat-tempat tersebut dianggap bertentangan dengan syariah Islam yang

mereka pahami.

Tentu penting disebut bahwa berbeda halnya dengan organisasi Islamis lain,

FPI memang menjadikan pemberlakuan syari’at Islam sebagai agenda utama yang

secara praktis termanifestasi dalam keinginan penegakan agenda amar ma’ruf nahyi

munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran). Sebab menurut

organisasi ini, Islam merupakan ajaran yang bersifat total. Islam menyediakan

seperangkat aturan yang bisa digunakan dalam kehidupan sepanjang zaman. Bagi

FPI Islam merupakan agama yang harus dipraktekkan dalam kehidupan

bermasyarakat oleh negara. Sebagai agama, syariah Islam wajib dijalankan oleh

setiap Muslim dan juga diproteksi oleh negara. Oleh karena itu, menurut FPI

pemberlakukan syariah Islam merupakan bagian dari hak sipil yang harus diberikan

Page 37: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 31

negara untuk mencapai masyarakat Indonesia yang makmur dan damai. Kemerosotan

ekonomi dan krisis berkepanjangan di tanah air tak lain karena Pemerintah tidak mau

menerapkan syariah Islam dan lebih tertarik menerapkan sistem Barat yang sekular

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hanya saja, berbeda dengan organisasi Islamis yang lain, FPI semenjak awal

memang tidak menjadikan isu pendirian negara Islam sebagai hal yang utama.

Negara memang diperlukan untuk menjamin terlaksananya perintah syariah Islam.

Akan tetapi pada saat yang sama FPI beranggapan bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagai sesuatu yang harus tetap dipertahankan. Dengan kata lain,

organisasi ini lebih mengutamakan agenda syariah Islam dalam masyarakat yang

dirumuskan dalam bingkai ke-Indonesia-an. Bagi lembaga ini, penerapan syariah

Islam dan dukungan negara atas penegakan ajaran ini jauh lebih penting dari isu

negara Islam yang memicu kontroversi yang panjang di kalangan aktifis organisasi

Islam di tanah air.

Berbeda FPI, MMI secara ideologis merupakan gerakan yang berupaya

menegakkan manhaj salafi di tanah air. Dengan menegakkan syari’at Islam (tatbiq

al-syariah) sebagai agenda utama, organisasi ini memang secara cermat melakukan

konsolidasi sikap dan prilaku melalui pembentukan pribadi Muslim pada tingkat

individu, keluarga, maupun masyarakat. Pada titik ini MMI menganggap bahwa

pemberlakuan syariah Islam harus dilakukan melalui tiga tahap, yakni pertama

adalah tansiq al-fardi (penyamaan pada tingkat visi), kedua adalah tansiq al-amali

(penyamaan pada tingkat aksi), dan ketiga adalah tansiq al-nidhami (penyamaan

pada tingkat institusi).

Page 38: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 32

Adalah penting untuk disebutkan bahwa memang beberapa aktifis yang

bergabung dalam MMI memiliki hubungan historis yang cukup kuat dengan Darul

Islam (DI) yakni sebuah gerakan separatis pada masa Orde Lama yang menjadi

prototipe gerakan Islam radikal di Indonesia. Oleh karena itu bagi sebagian kalangan,

aktifisme gerakan ini untuk pemberlakuan syariah Islam di tanah air merupakan

bagian dari upaya mewujudkan cita-cita negara Islam yang pernah gagal di

Indonesia. Dan memang, pada tahap terakhir proses pembentukan masyarakat

Muslim, MMI mensyaratkan adanya sebuah institusi yang memiliki kewenangan

untuk melaksanakan syariah Islam, dan itu adalah negara Islam.

KONSTITUSI, NEGARA DAN PENGELOLAAN AGAMA

Apakah nomenklatur mayoritas dan minoritas ada dalam konstitusi negara Indonesia,

dan sejauhmana kemudian negara secara normatif memberikan jaminan terhadap

kelompok minoritas itu? Sebelum mendiskusikan hal tersebut, ada baiknya diulas

sedikit masalah hak-hak kemanusiaan yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar

1945 (UUD 1945). Sebagaimana diketahui, teks asli UUD 1945 (sebelum

amandemen) itu lebih merupakan ‘instrumen persatuan’ (instrument of unity) atau

‘simbol persatuan nasional’ (symbol of national unity) yang dibuat dalam konteks

sejarah paska-kolonialisme mendapatkan kemerdekaan dengan segala keterbatasan

yang ada pada masa itu.

Sebagaimana yang diketahui UUD 1945 juga memuat pasal yang berkenaan

dengan agama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29. Pada titik ini, Pasal 29 (1)

Page 39: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 33

yang menyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”,

sebenarnya merupakan prasyarat mutlak bagi “negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu” sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal

29 (2). Ini yang disebut sebagai 'karakter keterpisahan level (split-level character)

dalam praktek konstitusi, mengutip pendapat Garvey.15

Dengan kedua artikel itu,

walaupun dalam retorika dinyatakan bahwa kebebasan agama merupakan salah-satu

hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, pada hakekatnya hanya agama

yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang mendapat perlindungan

konstitusional. Karena itu jika suatu kepercayaan yang tidak bisa memenuhi

prasyarat utama ini, maka ia dinyatakan bukan sebagai “agama”.

Pada gilirannya akan terlihat bahwa ide tentang Ketuhanan Yang Maha Esa

menjadi bagian terpenting dalam upaya negara mengelola kebebasan beragama.

Sebab konstitusi kita mensyaratkan Tuhan sebagai bagian terpenting dalam

beragama. Tuhan seperti apa? Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata Yang

Maha Esa. Agaknya inilah satu-satunya bentuk dalam tradisi penulisan konstitusi

sekular di dunia yang menyebutkan secara eksplisit konsep keesaan Tuhan.16

Konsep

ini juga tidak semata-mata sebagai pengakuan bahwa negara memang bertuhan.

15

John H. Garvey, “An Anti-Liberal Arguments for Religious Freedom,”

Journal of Contemporary Legal Issues 7 (1996): h. 276-291. 16

Bandingkan dengan konstitusi di negara-negara dimana kaum Muslim adalah

mayoritas dalam Tad Stahnke and Robert C Blitt, “The Religion-State Relationship

and the Right to Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of

the Constitution of Predominantly Muslim Countries,” Georgetown Journal of

International Law 36, 4 (2005): hal. 947-1078.

Page 40: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 34

Lebih dari itu, secara instititusional, ia pada gilirannya juga menjadi kriteria

pembatas bagi legalitas eksistensial sebuah agama. Di sisi lain, prinsip keesaan

Tuhan ini juga menjadi ‘penghalang’ (perseverence) bagi seseorang atau sekelompok

orang untuk meyakini Tuhan yang plural. Apalagi kalau tidak mengakui Tuhan.

Karena itu jika suatu sistem kepercayaan tidak bisa memenuhi prasayarat utama ini,

maka ia dinyatakan bukan sebagai ‘agama’, atau paling tidak ajarannya dianggap

‘menyimpang’ dari agama.

Konsekuensinya, jaminan yang diberikan negara dalam Pasal 29 UUD 1945

(yakni Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu)

harus dilihat dalam kerangka bahwa agama-agama ini secara prinsipal dan praktis

menerima proposisi Ketuhanan Yang Maha Esa dan berikut elemen yang menjadi

manifestasinya (yakni agama). Dalam logika ini, kebebasan tidak beragama agaknya

diyakini bertabrakan dengan prinsip dan praktek proposisi ini.

Lalu apa memang Ketuhanan Yang Maha Esa ini yang sejatinya diidamkan

oleh pendiri republik ini? Lebih jauh, apakah memang negara bersungguh-sungguh

dalam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama sebagaimana yang

dinyatakan dalam UUD 1945 itu?

Untuk menjawab pertanyaan pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu,

ada baiknya mengutip pidato Sukarno pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau

Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1

Juni 1945 sebagai berikut:

“Prinsip yang kelima kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja

Page 41: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 35

bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya

bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk

Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w.,

orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah

negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang

leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni

dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara

yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun

Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?

Ialah hormat-menghormati satu sama lain…. Nabi Muhammad s.a.w. telah

memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati

agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid.

Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan

itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita,

ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang

luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan

berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia

Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!...”17

Dari pidato ini, betapapun Sukarno jelas menggunakan istilah Ketuhanan Yang

Maha Esa, namun secara prinsipal konsep ketuhanan yang ia bayangkan sangat

sederhana dan lugas. Ia hanya ingin negara yang akan didirikan itu berlandaskan

semangat keagamaan atau mengakui Tuhan.

Seperti Thomas Jefferson, ketika menulis traktat yang kemudian menjadi

amandemen konstitusi Amerika, Sukarno ingin negara Indonesia dibangun pada

semangat yang menjamin kebebasan warganya untuk percaya kepada Tuhan

(‘dimana hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’) dan beragama secara leluasa. Ini

adalah kondisi dimana tiap orang ‘dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang

leluasa’ karena memiliki konsep ber-‘Tuhan secara kebudayaan’ tanpa merasa

paling benar karena ‘egoisme-agama’. Lebih jauh, esensi dari sikap menjalankan

17

Lihat pidato Sukarno dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-

Undang Dasar 1945, vol 1 (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959).

Page 42: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 36

agama ‘dengan cara yang berkeadaban’ itu dalam bayangan Sukarno adalah dengan

‘hormat-menghormati satu sama lain’ sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh

para Nabi sebelumnya sebagai bentuk ‘verdraagzaamheid’ (toleransi). Inilah dalam

pandangannya, berketuhanan ‘yang berkebudayaan, yang berbudi pekerti yang

luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain’.

Konsep Tuhan Yang Maha Esa yang begitu sederhana yang diungkap Sukarno

pada gilirannya menjadi berbeda ketika ia menjadi bagian dari ideologi negara

(yakni Sila Pertama Pancasila) atau menjadi bagian dari sumber terpenting bagi

penulisan hukum (yakni UUD 1945). Ini terutama terjadi sebagai bentuk ‘kompromi

politik’ yang menjembatani ganjalan ideologis antara kelompok Nasionalis dan

Muslim pasca penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Terlepas dari kontroversi kompromi tadi, memang telah menjadi salient

consensus di antara para politisi itu untuk tetap menjadikan agama sebagai elemen

dasar bagi politik negara baru ini. Yang membedakan adalah seberapa besar

porsinya. Di sini, sistem negara memang kelihatannya sekular, namun dalam

realitasnya keinginan untuk menjadikan sistem agama sebagai penafsir politik juga

tetap menjadi cita-cita dan harapan.

Dengan kata lain, keinginan untuk menampilkan agama dalam ruang publik

baik sosial dan politik yang lebih besar tetap menjadi mimpi laten sebagian aktifis

tadi. Ini terlihat ketika kuatnya kelompok Islam di parlemen berimbas pula pada

pemaknaan konsep ketuhanan yang jauh lebih komprehensif di luar imajinasi

sederhana Sukarno sebagai orang yang pertama kali mencetuskan kosa kata itu. Hal

yang sama pada gilirannya juga terjadi pada agama. Keduanya secara involusif

Page 43: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 37

mengalami metamorfosa dimana pemaknaannya menjadi sedemikian dekat dengan

monotheisme (tauhid) Islam seiring juga dengan menguatnya pengertian yang tentu

dekat pula dengan konstruksi makna din dalam ajaran Islam, atau paling tidak dekat

dengan tradisi ‘agama sawami’ lain seperti Kristen. 18

Jika boleh dikatakan, inilah ‘kemenangan diam-diam’ (silent victory) para

politisi Muslim pada waktu itu yang berhasil mengubah kosakata arah negara baru

ini menjadi lebih dekat dengan doktrin teologi Islam. Inilah yang diungkap oleh

Beyer sebagai dominasi kelompok mayoritas dalam memberikan warna yang sangat

kental dalam perumusan hukum. Dan rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan

bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di

berbagai belahan dunia.19

Dalam kaitannya ini, biasanya para aktifis itu menciptakan suatu model

definitif terhadap apa yang diyakini sebagai agama yang sah, dan dengan model ini

mereka kemudian ‘memaksa’ negara untuk melakukan ‘peminggiran’ atau

pembatasan terhadap institusi agama lain yang dianggap tidak sesuai dengan model

yang mereka tawarkan. Ini pada hakekatnya bukan hanya terjadi pada masa itu,

tetapi sejarah kembali berulang semenjak kelompok Islam menjadi kekuatan penting

dalam hukum dan politik pasca reformasi.

18

Jane Monig Atkinson, “Religion in Dialogue: The Construction of an

Indonesian Minority Religion,” American Etnologist 10, 4 (1983): hal. 686-7. 19

Peter Beyer, “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious

Freedom in National, Global, and Legal Context,” Journal for the Scientific Study of

Religion 42, 3 (2003): hal. 333-339.

Page 44: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 38

Model yang lebih ‘halus’ dari proses bargaining ini adalah mengambil saripati

moralitas yang disandarkan pada ajaran agama tertentu tetapi membungkusnya

dengan bahasa yang lebih kelihatan sekular dan umum. Ini dalam level tertentu juga

terjadi di beberapa negara seperti Kanada dan Amerika.20

Hanya dalam konteks

Indonesia, hal ini cenderung ‘berlebihan’ dan ‘memalukan’. Ini kita jumpai dalam

pertarungan yang cukup melelahkan untuk meloloskan Rencana Undang-undang

Anti Pornografi beberapa waktu lalu.

Kembali kepada topik kebebasan beragama untuk menjawab pertanyaan kedua

yang disebutkan di atas. Apakah Pasal 29 UUD 1945 memang sepenuhnya

menjamin atas kebebasan beragama? Penting dijelaskan sebelumnya bahwa UUD

1945 itu yang secara prinsipal merupakan undang-undang sementara bagi negara

yang baru merdeka saja. Sebagaimana dinyatakan oleh Sukarno:

“[T]uan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar

Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan

pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar

yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan,

agar supaya kita ini hari bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar ini.”

Selain karena sifatnya yang sementara tadi, UUD 1945 ini harus dilihat sebagai

‘instrumen persatuan’ (instrument of unity) atau ‘simbol persatuan nasional’ (symbol

of national unity) yang menengahi dua kutub pemikiran yang bertolakbelakang

mengenai bentuk negara yang dicita-citakan, yakni antara paham negara integralistik

(Sukarno dan) Supomo dengan paham negara non-integralistik (‘individualisme’ dan

20

Lori Beaman, “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The

Constitutional Privileging of Protestantism in the United States and Canada,” Journal

for the Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): hal. 118-126.

Page 45: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 39

‘liberalisme’) Muhammad Hatta (dan Muhammad Yamin). Di sini, secara sederhana

dapat dikatakan bahwa paham negara integralistik mengandaikan sebuah sistem yang

berlandaskan negara kekeluargaan dimana individu dianggap bagian dari organ yang

lebur dalam negara, yang menurut Supomo adalah:

“[S]uatu pengertian tentang negara jang bersatu dengan seluruh rakjatnya, jang

mengatasi seluruh golongan jang ada dalam segala lapangan kehidupan. Prinsip-

prinsip jang dikandung dalam staatsidee KEKELUARGAAN adalah: prinsip

persatuan antara pimpinan dan rakjat dan prinsip persatuan dalam negara, dan

dalam hal ini seluruhnja dengan aliran ketimuran.”21

Secara substansial, dalam pandangannya, hakekat dari negara integralistik

adalah anti-individualisme, untuk tidak mengatakan anti ‘hak-hak dasar

kemerdekaan’ (yang secara umum lazim disebut dengan Hak Asasi Manusia),

mengaca pada pengalaman kegagalan beberapa negara di Eropa Barat yang diklaim

oleh Supomo terlalu mengedepankan hak-hak individu.

“ [D]asar susunan hukum negara Eropa Barat ialah perseorangan dan

liberalisme. Sifat perseorangan ini, yang mengenai segala lapangan hidup...

memisah-misah manusia sebagai seseorang dari masyarakatnja, mengasingkan

diri dari segala pergaulan jang lain. Seorang manusia dan negara yang

dianggap sebagai seorang pula, selalu segala-galanya itu menimbulkan

imperialisme dan sistem memeras... bahkan Eropa sendiri pada waktu sekarang

mengalami krisis rohani yang maha berat berhubung dengan jiwa rakyat Eropa

telah jemu kepada keangkara-murkaan, sebagai akibat semangat perseorangan

tersebut.”22

Oleh sebab itu, sebagaimana juga ditambahkan oleh Sukarno:

“[J]ika kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada paham

kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong royong dan keadilan

21

Yamin, Naskah, h. 116. Lebih jauh lihat diskusi tentang paham negara

integralistik yang ditulis dengan begitu memikat oleh Marsilam Simandjuntak,

Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur and Riwayatnya dalam Persiapan

UUD 1945 (Jakarta: Grafiti Press, 1994). 22

Yamin, Naskah, hal. 117.

Page 46: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 40

sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme dan

liberalisme daripadanja.”23

Jadi dapat dikatakan semenjak awal, paham negara integralistik adalah cermin

bagi penulisan UUD 1945 itu. Karenanya, betapapun undang-undang ini merupakan

hasil kompromi yang sangat panjang antara kedua kelompok yang berseberangan

tadi, namun tak dapat dibantah bahwa ia tersebut tetap didominasi oleh unsur-unsur

yang mengedepankan ‘kedaulatan negara’ ketimbang ‘kedaulatan rakyat’.

Karena itu, menjadi tidak aneh jika kita mendapati lebih banyak pasal yang

lebih menekankan ‘kekuasaan negara’ atau ‘kepentingan negara’ dibanding hak-hak

dasar kemanusiaan. Hanya ada tiga pasal yang berkenaan dengan ‘hak’ yang dimiliki

oleh warganegara dalam undang-undang ini: yakni pada Pasal 27 (tentang hak atas

pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan); Pasal 28 (tentang kemerdekaan berserikat

dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan) dan Pasal 29

(tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agamanya

tersebut). Hal lain adalah tentang pendidikan (Pasal 31) serta tentang anak yakin dan

anak terlantar (Pasal 34) yang agak samar-samar sebagai sesuatu yang diklaim

warganegara kepada negara.

Lalu apa konsekuensinya bagi kebebasan dan hak beragama? Dalam konteks

ini, yang harus digarisbawahi adalah kelihatannya penulisan konstitusi pada waktu

itu tidak ‘sungguh-sungguh’ sedang berusaha memperjuangkan kebebasan beragama

dengan Pasal itu. Sebab semangat yang ada pada waktu itu sekali lagi memang

cenderung mengabaikan hak-hak individu dan dan kedaulatan rakyat. Oleh

23

Yamin, Naskah, hal. 79.

Page 47: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 41

karenanya, Pasal 29 tentang kemerdekaan memeluk agama dan beribadat sesuai

dengan agamanya tersebut harus dibaca semata-mata retorika politik yang

menyenangkan warganegara. Karena pada dasarnya ketiga pasal (yakni Pasal 27-29)

yang dicantumkan dalam UUD 1945 ini hanya sebatas, meminjam ungkapan

Sukiman Wirjosandjojo, sebagai “pendorong untuk membesarkan hati rakyat”.24

Jadi dalam perspektif ini Pasal 29 UUD 1945 pada kenyataan sejarah awalnya

memang tidak ditujukan untuk melindungi kemerdekaan beragama secara terencana.

Ini karena UUD 1945 ini memang secara fundamental tidak memberikan pengakuan

bagi hak-hak asasi manusia (apalagi hak-hak minoritas) karena kuatnya semangat

negara integralistik dalam pasal-pasal itu. Selain kuatnya kecenderungan paham

negara integralistik tadi, kelangkaan konseptual bagi perlindungan kebebasan agama

yang hakiki dalam UUD 1945 mungkin juga disebabkan karena memang diskursus

ini belum menjadi perhatian utama bagi para pemikir dan negarawan saat itu.

Kalaupun kemudian terdapat Pasal 29 yang mengatur hal tersebut, maka ini

diperlakukan dengan secara sepintas sesuai dengan semangat untuk menjaga

kepentingan negara (interest of the state) yang dianggap jauh lebih besar dan

penting.

Pada gilirannya, meminjam logika Nikholas Gvosdev, di sini itu terlihat

kepentingan politik negara juga dimana dalam konstitusi yang sama ditemukan

artikel-artikel yang di satu sisi memberikan jaminan kebebasan (yang tercermin

dalam ayat 2 Pasal 29), tapi di sisi lain juga memberikan prasyarat baru yang pada

24

Yamin, Naskah, hal. 325.

Page 48: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 42

ujungnya membatasi kebebasan itu sendiri (dalam ayat 1).25

Di sini terlihat adanya

korelasi antara interest of the state dengan ide kebebasan beragama yang dijamin

konstitusi itu sendiri.

Namun harus dicatat pula ‘tafsir’ tidak selalu monolitik dan sangat dinamis

sesuai dengan konstelasi perubahan politik dan kultur. Pada titik ini, kompetisi

kelompok-kelompok kepentingan (interest groups), baik dalam pemerintahan sendiri

(seperti politisi dari berbagai partai) maupun kelompok sosial (civil society)

mengandaikan adanya negosiasi, kompromi, konsesi dan bargaining yang terus

menerus.26

Sebagaimana distribusi kekuasaan yang terjadi senantiasa berubah dalam

hitungan waktu yang cepat, kecenderungan untuk membawa perubahan makna

semantik dalam konstitusi tertulis itu juga tidak dapat terhindarkan. Ini mendapat

momentum semenjak pendirian Kementerian Agama atau Departemen Agama, yang

pada awalnya diprakasai oleh Ahmad Soebarjo.

Selain menjadi institusi ‘watchdog’ bagi realisasi prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa tadi, Departemen ini memiliki misi utama memberikan bimbingan dan

bantuan dalam mempromosikan gerakan agama yang sehat’ (watching over

individual freedom, giving guidance and support so as to promote healthy religious

movement) seperti yang diungkap van Nieuwenhuijze.27

Tentu istilah gerakan

agama yang sehat mengacu pada tatanan dan pengertian yang ada dalam tradisi

25

Nikolas K. Gvosdev, “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and

Freedom of Religion,” Religion, State and Society 29, 2 (2001): hal. 81-90. 26

Michael Mann, The Sources of Social Power: The Rise of Classes and

Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press. 1993). 27

C.A.O van Nieuwenhuijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia (The

Hague and Bandung, EJ Brill, 1958), hal. 226.

Page 49: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 43

kelompok mayoritas tadi. Ini, dalam konteks Indonesia pada waktu itu, juga secara

implisit ditujukan sebagai penolakan atas eksistensi Aliran Kepercayaan, yang

semenjak awal juga menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak selesai bagi para aktifis

Muslim itu. Selain itu, ia juga menjadi breeding pot bagi perlawanan terhadap

ideologi atheisme komunis yang semakin memiliki pengaruh secara politik dan

sosial.

Karena itu, dalam perpektif yang berbeda, semenjak awal pendirian

Departemen ini juga menjadi perhatian beberapa kalangan agamawan minoritas

seperti Latuharhary dan Sidjabat. Bagi mereka, betapapun kelihatannya pendirian

kementrian ini seperti sebuah ‘konsesi’ untuk mengobati ‘luka’ kelompok Muslim

atas kekalahan mereka dalam perjuangan Piagam Jakarta dengan harapan

pemerintahan yang baru itu tetap mendapat dukungan dari umat Islam, namun tetap

saja pendirian departemen ini telah membuat perasaan umat agama lain menjadi

‘tidak nyaman’ dan waswas.28

Dan harus disebutkan di sini bahwa korban pertama dari kebijakan ini,

sebagaimana diungkap oleh Kroef, adalah umat Hindu dimana pada 1952 untuk

mendapatkan pengakuan resmi dari negara, Departemen Agama mensyaratkan

agama Hindu, selain memang harus dikenal di luar negeri (the religion in question

28

von Wendelin Wawer, Muslime und Christien in der Republik Indonesia

(Weisbaden: Franz Steiner Verlag, 1974), hal. 144-5; dan Bonar Sidjabat, Religious

Tolerance and the Christian Faith: A Study the Concept of Divine Omnipotence in

the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christianity (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1965), hal. 60.

Page 50: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 44

would have to enjoy recognized standing abroad), ia juga harus memiliki kitab suci

dan pendiri agama.29

Jika ditelaah dengan saksama maka semenjak awal memang telah terjadi

reduksi makna agama dan kebebasan beragama dalam konstitusi itu, yakni definisi

kebebasan beragama dalam UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah Amandemen)

diletakkan dalam bingkai konsep Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata

“Yang Maha Esa”. Dalam perspektif ini, semenjak awal, konsep ini kelihatan gagal

memberikan proteksi terhadap hak-hak minoritas yang memiliki cara pandang

“berbeda” tentang siapa dan berapa bilangan Tuhan. Lebih jauh lagi, selain berdasar

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang diadopsi dari prinsip keesaan Tuhan

(tauhid) dalam Islam ini, dibangun pula konstruksi yang menjadi prasyarat bagi

pengakuan atas apa yang menjadi elemen agama, yang hal itu juga diadopsi dari

ajaran Islam tentang pengertian dan lingkup dîn.

Inilah yang pada gilirannya menjadi “dinding pembatas” yang mereduksi hak

dasar seseorang untuk meyakini agama dan menjalankan aktifitas sesuai dengan

keyakinan itu di negara. Dan dinding inilah yang menjadi sandaran utama bagi

negara dalam mengeluarkan berbagai regulasi-regulasi agama pada periode

selanjutnya. Pada gilirannya, ide hegemonisasi konsep Tuhan dan agama ini menjadi

“klop” dengan ide pendirian Departemen Agama di mana salah-satu misi utama dari

kementerian ini, selain “mengawasi kebebasan individu, memberikan bimbingan dan

bantuan dalam mempromosikan gerakan agama yang sehat” (watching over

29

Justus M. Van der, “Conflicts of Religious Policy in Indonesia,” Far Eastern

Survey 22, 10 (September 1953): hal. 123.

Page 51: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 45

individual freedom, giving guidance and support so as to promote healthy religious

movement), menjadi institusi “watchdog” bagi realisasi prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa tadi.7

Perhatian terhadap pengelolaan kehidupan beragama mulai kentara dengan

Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 (juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969)

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang

ditandatangani oleh Sukarno pada tanggal 27 Januari 1965. Ide regulasi, baik

langsung maupun tidak langsung, berasal dari Seminar Hukum Nasional I Tahun

1963 yang salah satunya pembahasannya adalah masalah delik agama dalam KUHP.

Adalah Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa dalam reformasi hukum yang

akan datang, delik-delik agama dalam KUHP harus ditelaah secara mendalam.

Karena menurutnya:

“[T]idakkah pengakuan sila ke-Tuhanan yang Maha Esa sebagai kausa prima

dalam Negara Pancasila, dengan Pasal 29 UUD 1945 yang harus menjadi dasar

dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, membenarkan bahkan mewajibkan

penciptaan delik-delik agama dalam KUHP?... Agama dalam kehidupan dan

kenyataan hukum kita merupakan faktor fundamental, dapatkan dimengerti

apabila faktor tersebut dapat digunakan sebagai landasan kuat dihidupkannya

delik-delik agama.”30

Agaknya pendapat hukum Oemar Seno Adji inilah kemudian yang mengilhami

munculnya Penetapan Presiden itu yang kemudian diadopsi dalam penulisan KUHP

Pasal 156 a). Lebih lanjut, regulasi ini juga harus dibaca dalam konteks konteks

30

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Propeksi sebagaimana yang

dikutip oleh Sarwini, “Tinjauan Yuridis-Kriminologis terhadap RUU KUHP:

‘Kriminalisasi’ atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama,” Catatan

Seminar Kriminalisasi atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama oleh

Komnas HAM, ELSAM, PUSHAM Ubaya, KAHAM Undip dan PAHAM Unpad di

Surabaya tanggal 13 Desember 2005.

Page 52: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 46

sejarah sosial pada waktu itu dimana kontestasi kekuatan politik antara kelompok

agama, aliran kepercayaan dan komunisme dirasakan cukup mencemaskan. Potensi

konflik komunal berbasis kekuatan primordial ini memang sangat besar dan menjadi

bagian dari faktor penting yang memecah-belah persatuan bangsa.

Dalam kerangka sosial politik tadi, regulasi ini muncul. Dan dalam regulasi itu

pula kita mendapatkan penjelasan mengenai agama mana saja (yakni 6 agama besar:

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) yang tidak hanya mendapat

‘bantuan-bantuan’ (yang agaknya merupakan dukungan yang bersifat moral dan

material terhadap lembaga keagamaan itu dalam fungsi sosial kesehariannya), tetapi

lebih jauh lagi mendapatkan ‘perlindungan’ selain untuk menjalankan aktifitas

keagamaan sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, juga perlindungan

dari kejahatan penyalahgunaan dan penodaan. Dua bentuk layanan negara itu (yakni

‘bantuan’ dan ‘perlindungan’) agaknya mengingatkan kita pada konsep ‘list

cultuelle’ di Perancis dan the Law of Blasphemy dalam tradisi kerajaan Inggris.31

Lebih jauh, dengan semangat melindungi agama-agama yang dipeluk oleh

penduduk Indonesia dalam prakteknya Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 juncto

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ini lebih dari sekedar regulasi untuk

melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan tetapi juga menjadi secara

legal politis menjadi pijakan paling kuat untuk menguji otentitas dan eksistensi

31

Lihat T. Jeremy Gunn, “Under God but Not the Scarf: The Founding Myths

of Religious Freedom in the United States and Laïcité in France,” Journal of Church

and State 46, 1 (2004): hal. 7-24.; dan Javier Garcia Oliva, “The Legal Protection of

Believers and Beliefs in the United Kingdom,” The Ecclesiastical Law Society 9

(2007): hal. 66-86.

Page 53: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 47

agama. Kasus Konghucu adalah contoh awal. Setelah Pemberontakan PKI 1965

dimana kebanyakan orang-orang Cina dituduh terlibat dan diasosiasikan dengan

komunisme, maka semenjak itu pula Konghucu secara gradual dikeluarkan dari

‘definisi’ agama yang dipeluk secara de facto. Untungnya seiring dengan angin

reformasi, pengakuan terhadap eksistensi mereka secara de jure diakui kembali pada

tahun 2000.

Jika kita telaah secara saksama, karena sifatnya pencegahan atas penodaan

agama yang banyak memicu konflik sosial pada waktu itu (seperti kasus Ten Berge

pada tahun 1959 dan maraknya aliran kepercayaan dan kuatnya pengaruh

komunisme), dalam Penjelasan UU itu, dinyatakan bahwa agama yang “biasa dianut”

oleh rakyat Indonesia ada 6 (enam) yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha

dan Konghucu. Ada pernyataan lain yang juga termaktub dalam penjelasan UU ini

yang tidak pernah muncul dalam diskursus teori agama, yakni bahwa agama-agama

lain seperti Taoisme, Yahudi dan lain-lain juga mungkin diakui selama agama-agama

itu tidak melanggar hukum.

Karena itu logika bahwa hanya ada 6 agama yang diakui negara pada dasarnya

tidak cukup kuat. Hanya saja agama-agama yang disebut terakhir itu, bisa jadi tidak

mendapat bantuan dan perlindungan dari negara sebagaimana yang didapatkan oleh 6

agama 'resmi' itu. Uniknya, dalam perkembangan selanjutnyanya, definisi agama

mana yang diakui atau tidak ternyata begitu rentan ketika dihadapkan pada realitas

perubahan politik. Ini terlihat dari kasus Konghucu. Setelah Pemberontakan PKI

1965 di mana kebanyakan orang-orang Cina dituduh terlibat dan diasosiasikan

dengan komunisme, maka semenjak itu pula Konghucu secara gradual dikeluarkan

Page 54: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 48

dari “definisi” agama yang biasa dianut tadi. Dan ini diperkuat dengan beberapa

regulasi khusus tentang agama ini, sampai kemudian seiring dengan angin reformasi,

pengakuan terhadap eksistensi mereka secara de jure diakui kembali pada tahun

2000.

Kebijakan politik ”identitas agama” sebagai bagian dari ”identitas

keindonesiaan” terus menguat seiring dengan menguatnya konsolidasi politik

otoritarian Orde Baru. Hal ini tak ubahnya seperti cek kosong (unpaid bill) yang

memberikan porsi yang sangat besar bagi rezim untuk meregulasi agama sampai ke

akar-akarnya. Meminjam istilah Foucoult, inilah apa yang disebut dengan

govermentalization of the state yakni negara begitu obsesif dengan manajemen

perbaikan diri (correct management) terhadap warganya sendiri. Singkat kata, pada

titik ini negara (rezim) tidak hanya pemain utama dalam proses legislasi, tapi pada

saat yang sama ia juga bertindak sebagai eksekutor sekaligus yudikator atas regulasi-

regulasi itu yang dibuat lebih massif. Sebagai gambaran umum saja, semenjak 1967

sampai 1995, sebagaimana yang terekam dalam buku Peraturan Perundang-

undangan Kehidupan Beragama Departemen Agama RI, terdapat paling tidak 110

(seratus sepuluh) aturan tentang agama dalam bentuk Undang-Undang, Surat

Keputusan atau Surat Keputusan Bersama, Instruksi, Surat Edaran,

Radiogram/Telegram, Pedoman Dasar yang ditandatangani oleh Presiden, Jaksa

Agung, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.8

Page 55: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 49

KEBEBASAN AGAMA DAN KELOMPOK MAYORITAS

Selain konstitusi sebagaimana digambarkan di atas, hal lain yang penting

diperhatikan dalam kaitannya dengan kebebasan beragama ini adalah eksistensi

kelompok mayoritas.32

Sebagaimana diungkap oleh Beyer, eksistensi kelompok

mayoritas yang dominan memberikan warna yang sangat kental dalam perumusan

hukum negara dan pada gilirannya rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan

bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di

berbagai belahan dunia.33

Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, kelompok inilah yang kerap

menciptakan suatu model definitif terhadap apa yang diyakini sebagai agama yang

sah, dan dengan model ini mereka kemudian ‘memaksa’ negara untuk melakukan

peminggiran atau membatasi kebebasan terhadap institusi agama lain yang dianggap

32

Derajat suatu kelompok disebut sebagai mayoritas atau minoritas bisa dilihat

dari berbagai sisi. Pertama, dari sisi keanggotaan dan afiliasi. Contohnya, kaum

Muslimin di Indonesia adalah mayoritas dibanding dengan umat agama yang lain

seperti Kristiani. Kedua, dari sisi pengakuan legal negara, sebagai misal, eksistensi

agama-agama resmi yang diakui negara seperti yang terjadi di tanah air vis-à-vis

agama-agama murba di beberapa daerah. Di sini agama-agama resmi itu adalah

mayoritas dan agama murba itu adalah minoritas. Ketiga, dilihat dari sisi gerakan

pemikiran agama seperti agama mainstream dan new religious movement (NRM).

Taman Eden Lia Aminuddin atau Ahmadiyah adalah kelompok minoritas dalam

kalangan mainstream pemikiran Islam di Indonesia, sebagaimana Rajnesh dan

Brahma Kumaris dalam tradisi Hindu atau Gate to Heaven dan Scientology bagi

agama Kristen. Yang keempat dilihat dari perspektif gerakan sosial keagamaan baru

dan dalam konteks Indonesia JIL (Jaringan Islam Liberal) sebagaimana juga FPI

(Front Pembela Islam) sama-sama minoritas vis-à-vis mainstream gerakan Islam

Indonesia. 33

Peter Beyer, “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious

Freedom in National, Global, and Legal Context,” Journal for the Scientific Study of

Religion 42, 3 (2003): hal. 333-339.

Page 56: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 50

tidak sesuai dengan model yang mereka tawarkan.34

Dan dalam beberapa kasus

ekstrem atau pada saat sebuah regim begitu lemah seperti pada masa transisi (seperti

yang terjadi di tanah air), kelompok dominan ini bisa menjelma menjadi ‘instutusi

negara bayangan’ (quasi-governing institution) yang lebih banyak mudharatnya

ketimbang memberikan pelayanan bagi semua.

Apa yang menyebabkan otoritas pilitik yang sah seperti negara kerap kali

memberikan preferensi terhadap kelompok mayoritas ini? Jawabannya, paling tidak

ada dua alasan. Pertama, regim yang berkuasa hampir bisa dipastikan memiliki

kaitan atau memang berasal dari kelompok mayoritas itu. Memang terjadi pula

sebuah regim muncul dengan menggunakan kekerasan (atau kudeta) dan tidak

mendapatkan legitimasi dari kelompok mayoritas, atau regim yang berasal dari

kelompok minoritas tetapi mendapatkan legitimasi dari mayoritas, namun hal ini

cukup jarang dan merupakan ‘pengecualian’. Karena kebanyakan regim itu berasal

dari mayoritas ini, maka konsekuensinya menjadi wajar jika kelompok itu meminta

imbalan jasa untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di berbagai level.

Kedua, regim yang berkuasa tentu mengharapkan legitimasi yang stabil dari

kelompok mayoritas bagi keberlangsungan otoritas politiknya. Dengan kata lain,

patronase dan legitimasi yang didapat dari kelompok mayoritas bukan hanya penting

untuk menjaga reputasi negara yang kredibel dalam waktu yang lama, tetapi juga

34

Lori Beaman, “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The

Constitutional Privileging of Protestantism in the United States and Canada,” Journal

for the Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): hal. 118-126.

Page 57: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 51

untuk mempertahankan suasana yang stabil dalam melaksanakan program-program

yang direncanakan.

Jika kita turunkan dalam tataran dalam kehidupan beragama, model konsesi

dan tawar menawar ini sangat jelas terlihat ketika negara mengeluarkan berbagai

peraturan dimana hal itu tidak hanya sebagai merupakan manifestasi kepentingan

negara untuk mengatur masyarakat secara umum tetapi pada saat yang sama (dan

dalam tataran tertentu) ia juga mencerminkan kontestasi kontrol hegemoni yang

secara esensial merujuk pada kepentingan dan nilai-nilai kelompok mayoritas itu.

Karena itu, mengutip Gill, kelompok mayoritas biasanya lebih cenderung

mendukung banyaknya regulasi yang dikeluarkan pemerintah, sementara minoritas

kan bersikap sebaliknya. Bagi kelompok mayoritas, betapapun setiap regulasi secara

potensial mengintervensi kehidupan pribadi mereka, pada dasarnya regulasi itu tetap

dianggap penting untuk mempertahankan hegemoni dan kompetisi dengan kelompok

yang lain (minoritas) dimana dalam beberapa kasus regulasi itu digunakan sebagai

senjata yang efektif untuk mempertahankan hegemoni dan memonopoli kebenaran.35

Contoh yang bisa disebutkan di sini adalah betapapun kelompok mayoritas

secara teoritis setuju dengan ide kebebasan agama, namun mereka biasanya ‘diam’

dan mendukung beberapa kebijakan negara seperti pembatasan wilayah operasional

kelompok minoritas dalam menyebarkan agama, atau pembatasan izin bagi tenaga

dan bantuan dari missionaris asing, pembatasan pembangunan rumah ibadah bagi

kelompok minoritas ini. Dalam kasus-kasus tertentu, ketika kelompok ini berusaha

35

See Anthony Gill, “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical

Outline,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): hal. 15.

Page 58: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab II Pasang Surut Hubungan Agama dan Negara | 52

melindungi pandangan hegemonik dalam pasar bebas keberagamaan (free market of

religiousity), mereka juga menggunakan tangan besi negara untuk melarang

diseminasi ajaran dan praktek yang dianggap menyimpang dari pandangan agama

umum.

Inilah potret awal bagaimana pengelolaan kehidupan beragama terjadi pada

masa rezim Orde Baru. Penting untuk dicatat kemudian bahwa regulasi-regulasi ini

tetap menjadi bagian penting bagi negara mengatur kehidupan agama pada masa

pasca keruntuhan Orde Baru ini. Dan seiring dengan menguatnya posisi tawar

menawar kelompok Muslim di Indonesia, maka pertarungan untuk menjadikan nilai-

nilai Islam sebagai nilai utama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

menjadi fitur terpenting pada masa reformasi ini. Pada konteks inilah kemudian

pentingnya mendapatkan pandangan dari kelompok non-Muslim atas apa yang

sedang terjadi di negara ini.

Page 59: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III

ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:

TOLERANSI DAN PLURALISME

Pada bab ini dibahas temuan-temuan penelitian tentang pandangan kelompok non-

Muslim tentang toleransi dan pluralisme di tanah air. Ini penting mengingat berbagai

kekerasan bermotif agama terjadi secara sporadis di Indonesia. Hal ini tentu sangat

merisaukan dan harus menjadi persoalan bersama yang perlu secepatnya diselesaikan

secara terencana. Dalam konteks ini sikap toleransi antar kelompok dan agama

menjadi sangat penting untuk didiskusikan.

Toleransi dalam penelitian ini dipahami sebagai sikap dan prilaku untuk

menerima sebagian atau seluruhnya atas perbedaan baik yang berkaitan dengan suku,

rasa tau agama. Sikap dan prilaku toleran memiliki makna yang sangat penting dalam

masyarakat heterogen seperti di Indonesia. Semakin tinggi kadar kadar penerimaan

sebuah kelompok terhadap pandangan, sikap atau prilaku kelompok lain maka akan

semakin tinggi kepercayaan sosial (social trust) yang dibangun dan semakin rendah

kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan. Begitu juga sebaliknya, semakin

rendah kadar penerimaan suatu kelompok atas keberadaan dan nilai-nilai kelompok

lain maka semakin rendah kepercayaan sosial dan semakin tinggi kemungkinan

konflik dan kekerasan itu.

Secara teoritis toleransi yang baik tentu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

nilai-nilai baik agama maupun adat dan komposisi mayoritas-minoritas. Beberapa

Page 60: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 54

penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyatakan bahwa semakin berimbang

komposisi antar-kelompok maka semakin besar kemungkinan sebuah sikap dan

prilaku toleran terjaga; dan semakin tinggi disparitas mayoritas-minoritas terjadi,

semakin rendah pula sikap dan prilaku toleran ini.

Tentu pula kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian di atas bukan berarti

berlaku secara universal kapan saja dan dalam konteks apa saja. Sebab, dalam

kaitannya dengan penerimaan terhadap kelompok lain, ajaran agama dalam kadar

tertentu tentu memberikan mendapat justifikasi yang sangat penting bagi terciptanya

sikap dan prilaku itu.

Untuk itu, dalam konteks normatif adalah penting melihat sejauhmana Islam

sebagai agama mayoritas di Indonesia memahami pluralism dan bagaimana

diseminasi nilai-nilai pluralism itu berkembang di tanah air. Penting untuk dijelaskan

pula bahwa pemaknaan Muslim atas ajaran Islam tentang toleransi juga mengalami

perkembangan sesuai dengan pengalaman historis mereka.

Selanjutnya akan dilihat pula bagaimana konstruksi social atas toleransi yang

berkembang semenjak kejatuhan rezim Orde Baru yang memberikan ruang bagi

berkembangnya sikap dan prilaku Islamisme yang terlihat kurang ‘toleran’. Respon

kelompok non-Muslim atas memudarnya sikap dan prilaku toleran ini akan juga

dibahas pada bab ini.

PANDANGAN DOKTRINAL TERHADAP TOLERANSI

Secara historis konsep toleransi dalam tradisi Islam memang berkaitan erat dengan

hubungan antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi dan Kristen dan mengambil

Page 61: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 55

bentuk beragam sejalan dengan pola hubungan sosial-politik pada masa tertentu.

Sebagai sebuah entitas agama baru, al-Qur’an mendefinisikan mereka sebagai non-

Muslim dan secara tegas membuat batas demarkasi dengan pernyataan ”untukku

agamaku dan untukmu agamamu” (QS 109: 6). Ayat serupa juga ditemukan di

beberapa tempat seperti pernyataan pada QS 2: 256 bahwa “sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar (agama Islam) daripada jalan yang sesat (agama non-Islam)”, dan

oleh karena itu “tidak ada paksaan dalam beragama.” Dalam konteks ini cukup jelas

bahwa ajaran Islam mengakui perbedaan teologis dengan agama-agama tersebut, dan

secara implisit tidak membenarkan pemaksaan atas nama agama.

Lebih dari sekadar teologis, al-Qur’an lebih jauh membuat perbedaan tegas

antara Muslim dan non-Muslim dalam kerangka hubungan sosial dan politik. Dalam

hal ini, non-Muslim dilihat memiliki potensi untuk tidak hanya berseberangan, tapi

juga tidak menerima secara penuh keberadaan kaum Muslim. QS 5: 51 misalnya

menekankan kaum Muslim untuk tidak “mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani

menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi yang

lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka

sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. Begitu juga penting dikutip

ayat lain dalam QS 2: 120 yang bernada serupa: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani

tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:

‘sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika

kamu mengikuti kamauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka

Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Beberapa ayat al-Qur’an di atas jelas menyediakan kaum Muslim suatu ajaran

untuk bersikap tidak toleran terhadap pemeluk non-Islam, tepatnya Yahudi dan

Page 62: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 56

Kristen. Paling tidak, ayat-ayat di atas membekali kaum Muslim untuk merumuskan

Yahudi dan Kristen sebagai komunitas keagamaan yang berbeda, dan selanjutnya

memiliki pandangan dan sikap sosial-politik berlainan.

Tentu saja, doktrin di atas harus dipahami dalam konteks historis Islam masa

awal, di mana usaha penyebaran Islam oleh Muslim dihadapkan pada pemeluk

Yahudi dan Kristen, yang saat itu telah berkembang sebagai agama yang sudah

mapan di Timur Tengah. Dan pengalaman historis antara Muslim dan non-Muslim—

di mana pertentangan dan konflik menjadi bagian penting di dalamnya—telah

memberi sumbangan penting menjadikan doktrin di atas berfungsi sebagai sumber

tumbuhnya pandangan dan sikap tidak toleran di kalangan Muslim. Demikianlah,

seperti dijelaskan Lewis,1 baik doktrin dan pengalaman sejarah telah menjadi

landasan penting yang mendasari kaum Muslim untuk tidak menerima Yahudi dan

Kristen sebagai bagian dari komunitas Islam. Dan ini antara lain menjadi pemicu

konflik sosial-keagamaan yang kerap kali terjadi di antara mereka.

Konsisten dengan historisitas doktrin di atas, al-Qur’an pada saat yang

bersamaan juga mengandung sejumlah ayat yang menekankan prinsip-prinsip

toleransi. Dan ini tentu saja berdasar pada sifat fluktuatif hubungan yang terjalin

antara Muslim dengan Yahudi dan Kristen. Jadi, sebagaimana halnya doktrin

intoleransi di atas, ajaran dalam al-Qur’an tentang toleransi memiliki basis historis

dalam hubungan Muslim dengan pemeluk non-Islam yang juga kerap diwarnai corak

hubungan harmonis. Salah satu isu istilah dalam al-Qur’an yang menekankan prinsip

toleransi adalah “ahli kitab” (ahl al-kitāb). Mengacu terutama pada kaum Yahudi dan

1Bernard Lewis, The Jews of Islam, (Princeton: Princeton University Press,

1985).

Page 63: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 57

Nasrani, istilah ahli kitab digunakan al-Qur’an antara lain sebagai ungkapan peng-

hargaan yang tinggi, seraya menggambarkan konsistensi mereka berpegang pada

ketuhanan yang monotheistik. Hal itu bisa dilihat dari empat ayat dalam al-Qur’an.

Dalam QS 3: 64 diingatkan kepada ahli kitab agar berpegang “kepada suatu kalimat

(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami (Muslim) dan kamu (ahli kitab),

bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan

sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai

tuhan selain Allah.”

Lebih lanjut, QS 3: 110 juga mengajak mereka kepada kalīmah sawā’ yakni

“menjadi umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang

ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli

Kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka.” Sementara dalam ayat yang lain,

al-Qur’an (3: 113) juga menggambarkan bahwa ahli kitab itu tidak sama, bahwa “di

antara ahli kitab ada golongan yang yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat

Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud

(sembahyang).” Dan keragaman ahli kitab ini selanjutnya dipertegas dalam ayat lain

dalam QS 3: 1999, di mana dikatakan “Sesungguhnya di antara ahli kitab itu ada

orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan

yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan

mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.”

Berbeda dari ayat-ayat yang menyuguhkan sikap dan pandangan intoleransi,

empat ayat yang baru saja dikutip jelas-jelas mendorong kaum Muslim untuk hidup

secara harmonis berdampingan dengan pemeluk agama non-Islam, tepatnya Yahudi

dan Kristen. Dan pesan al-Qur’an tersebut juga ditegaskan kembali dalam ayat lain

Page 64: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 58

sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-

orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-

benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan

menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan

tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS 2: 62). Ayat ini, di samping empat ayat lain

yang dikutip di atas, mengindikasikan secara kuat bahwa Islam mengandung ajaran

inklusif, dan selanjutnya menjadi basis bagi toleransi keagamaan di kalangan

Muslim.

Dengan demikian, al-Qur’an mengandung ajaran yang menekankan baik

toleransi maupun intoleransi sekaligus. Dan manifestasi keduanya berlangsung

sejalan dengan pengalaman historis kedua pemeluk Islam dan non-Islam dalam

setting historis tertentu. Dalam satu periode tertentu, doktrin Islam tentang toleransi

ini berlaku efektif dalam praktik sosial-keagamaan Muslim. Namun, dalam suatu

periode yang lain, ajaran Islam yang tidak toleran bisa secara dominan mewarnai

persepsi dan hubungan kaum Muslim dengan non-Muslim. Dalam konteks inilah,

pernyataan Lewis yang mengalokasikan problem di sekitar hubungan Islan dengan

pemeluk agama lain menjadi penting diperhatikan, sebagaimana dikutip berikut ini:

In most tests of tolerance, Islam, both in theory and in practice, compares

unfavorably with Western democracies as they have developed during the last

two or three centuries, but very favorably with most other Christian and post-

Christian societies and regimes. There is nothing in Islamic history to compare

with the emancipation, acceptance, and integration of other believers and non-

believers in the West; but equally, there is nothing in Islamic history to

compare with the Spanish expulsion of Jews and Muslims, the Inquisition, the

auto da fé's, the wars of religion, not to speak of more recent crimes of

commission and acquiescence. There were occasional persecutions, but they

were rare, and usually of brief duration, related to local and specific

circumstances. … In modern times, Islamic tolerance has been somewhat

diminished. After the second Turkish siege of Vienna in 1683, Islam was a

retreating, not an advancing force in the world, and Muslims began to feel

Page 65: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 59

threatened by the rise and expression of the great Christian empires of Eastern

and Western Europe. … In the present mood, a triumph of militant Islam

would be unlikely to bring a return to traditional Islamic tolerance - and even

that would no longer be acceptable to minority elements schooled on modern

ideas of human, civil, and political rights.2

Perubahan dan perkembangan persepsi Muslim terhadap pemeluk non-Islam,

di mana ia menjadi toleran dan tidak toleran, tampak dengan jelas pada wacana yang

berkembang di sekitar makna ahli kitab. Sebab proses historis yang dialami kaum

Muslim telah membuat makna ahli kitab menjadi sedemikian sempit, sehingga ia

jauh dari pesan inklusif dan universalis sebagaimana empat ayat dalam al-Qur’an

yang menegaskan hal tersebut.

Di sini, ahli kitab dipahami secara statis dan definitif, menutup kemungkinan

adanya perluasan makna itu sendiri. Ia menjadi cermin dari keberagamaan normatif-

idealistik yang mengukur tingkat keberagamaan dari aspek-aspek formal. Istilah ahli

kitab lebih berfungsi sebagai kriteria penilai bagi hubungan beragama yang secara

apologetis untuk digunakan menjustifikasi bahwa agama Islam telah memberikan

batasan-batasan yang menjadi kriteria pembenar dan pengesah bagi kaum Muslim

untuk mengambil jarak teologis dengan umat lain. Dengan kata lain, fenomena ahli

kitab digeneralisir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang umum yang bisa diterapkan

dimana saja dan kapan saja; dan secara sah berlaku pada masyarakat Muslim di

tempat lain di dunia.3

Penyempitan makna tersebut disebabkan oleh keinginan kaum Muslimin pada

masa awal untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai komunitas agama baru. Pada

2Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern

Response, (Oxford: Oxford Univerity Press, 2002), hal. 114. 3Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab,” Paramadina 1, no. 1 (1999):

hal. 99-101.

Page 66: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 60

sebuah masa pembentukan dan transisi dalam konstelasi hubungan politik yang

cukup rumit ini, tipifikasi dianggap sebagai salah-satu cara yang cukup aman bagi

upaya peneguhan jati diri yang berwawasan sejarah. Inilah yang kerap disebut

sebagai “sakralisasi dan transendentalisasi sejarah duniawi”, di mana masalah sosial

dan politik dalam sebuah wacana budaya dan waktu yang sangat terbatas

ditransformasikan ke tingkat transendental suci dengan justifikasi ayat-ayat al-

Qur’an.

Oleh karena itu, bisa dipahami jika para sarjana Muslim klasik memiliki

persepsi ‘berlebihan’ tentang komunitas ahli kitab. Hal ini bisa dilihat dari klaim-

klaim stereotif yang menyatakan bahwa ahli kitab telah melakukan penyimpangan

atau perubahan (tahrīf) yang sangat signifikan terhadap kitab suci mereka, khususnya

yang berkenaan dengan keesaan Tuhan dan pandangan messianistik tentang

kedatangan Nabi baru yang diyakini oleh kaum Muslimin sebagai Muhammad Saw.4

Dalam kaitan inilah, penting mengungkapkan apa yang oleh Fazlur Rahman

disebut sebagai usaha sia-sia (exercise themselves fruitlessly) para sarjana penafsir

al-Qur’an ketika memahami makna sebenarnya yang dikandung dalam QS 2: 62 dan

QS 4: 69, yang memberi kemungkinan keselamatan bagi kaum beragama selain

kaum Muslimin. Menurut Rahman:

Mayoritas penafsir Muslim dengan sia-sia berusaha untuk menolak maksud

yang jelas yang dinyatakan dalam dua ayat al-Qur’an itu: bahwa mereka (orang

beriman), dari kaum apapun, yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir serta

melakukan kebajikan akan memperoleh keselamatan. Mereka (para penafsir

itu) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani,

dan Shabi’in dalam ayat-ayat tersebut adalah mereka yang telah menjadi

“Muslim”. Suatu penafsiran ini jelas keliru sebab seperti yang termaktub dalam

4Andrew Rippin, “Interpreting the Bible Through the Qur’an”, dalam G.R.

Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (eds.), Approaches to the Qur’an (London:

Routledge, 1993), hal. 249-256.

Page 67: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 61

ayat itu, orang-orang Muslim adalah yang pertama (disebut) di antara empat

kelompok “orang-orang yang percaya”. Atau para penafsir itu mengatakan

bahwa mungkin yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan

Shabi’in yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Ini malah

penafsiran yang lebih salah. Terhadap pernyataan orang-orang Yahudi dan

Nasrani yang berkata bahwa di akhirat nanti hanya mereka saja yang

memperoleh keselamatan, al-Qur’an menyatakan: “Sebaliknya! Yang berserah

diri kepada Allah dan melakukan kebajikan yang akan memperoleh pahala dari

Allah; tiada sesuatupun yang dikhawatirkan dan ia tidak akan sedih.5

Logika di balik pengakuan kebaikan universal bagi agama-agama lain, dengan

syarat mereka beriman kepada Tuhan, percaya pada Hari Akhir dan beramal saleh,

menurut Rahman, meletakkan kaum Muslimin duduk berdampingan dan sejajar

dengan umat agama lain dalam mencapai kebenaran.6 Bagi Rahman, kaum

Muslimin bukanlah satu-satunya, tapi hanya satu dari sekian banyak yang berlomba

menuju kebenaran (1983: 167).

Hal yang hampir sama juga pernah diisyaratkan oleh Muhammad Asad.7

Menurutnya, sesuai dengan al-Qur’an (QS 5: 48), untuk semua agama Tuhan telah

menyiapkan hukum suci yang berbeda (different divine law) dan jalan yang terbuka

(an open road). Salah-satu tema yang terpenting dari doktrin Islam adalah kelanjutan

sejarah yang berkaitan dari berbagai bentuk dan fase wahyu Ilahi, akan tetapi esensi

dari ajaran agama itu sendiri selalu identik, dan dapat dikatakan juga bahwa semua

agama memproklamirkan kepercayaan yang sama.

Lebih lanjut, sesuai dengan QS 2: 62, Asad mempercayai bahwa ahli kitab juga

akan mendapat ganjaran dari Tuhan sepanjang mereka tetap memegang teguh “ide

keselamatan” yang terdiri atas tiga elemen, yakni percaya kepada Tuhan, Hari Akhir,

5Lihat Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Pustaka,

1983), hal. 239. 6Rahman, Tema-Tema Pokok, hal. 167.

7Muhammad Asad, This Law of Ours (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hal.

153-154.

Page 68: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 62

dan berbuat kebajikan. Mereka dapat dianggap benar secara Qur’ani jika percaya

kepada keesaan dan keunikan Tuhan, sadar akan kewajiban terhadapNya dan hidup

sesuai dengan ajaran-ajaran agama.

Salah-satu prinsip fundamental dari ajaran Islam adalah setiap agama yang

mempercayai Tuhan sebagai focus point, walaupun berbeda dalam beberapa hal yang

menyangkut ajaran agama, harus dihormati dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya.

Muslim memiliki kewajiban untuk menjamin setiap rumah ibadah yang

didedikasikan atas nama Tuhan, dan setiap upaya yang menghalangi para penganut

agama itu untuk mengagungkan Tuhan dalam rumah-rumah ibadat merupakan suatu

hal yang tercela menurut kacamata al-Qur’an.8

Dengan demikian, semangat al-Qur’an telah mengisyaratkan pluralitas di mana

setiap kelompok dipersilakan berlomba-lomba dalam mencapai kebenaran (fastabiqū

al-khayrāt). Jelas sekali, pernyataan khayrat yang ditulis dalam bentuk plural

mengandung arti bahwa ada berbagai bentuk kebaikan di dunia, termasuk di

dalamnya kebaikan atau kebenaran agama, dan untuk mendapatkannya setiap

kelompok haruslah berlomba dengan cara yang wajar dan terhormat. Inilah

sebenarnya yang menjadi elan vital dari konsep al-Qur’an tentang ahli kitab bagi

dunia kontemporer.

Cara pandang normatif Islam tentang toleransi tentu juga berkembang dalam

khazanah inteletualisme Islam di Indonesia. Beberapa cendikiawan Muslim

terkemuka seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah contoh yg

penting dikemukakan di sini. Bagi Nurcholish Madjid sebagai misal sikap toleransi

Islam memang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam sendiri.

8Asad, This Law of Ours, hal. 154.

Page 69: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 63

Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), dan cita-cita Islam sejalan dengan

cita-cita kemanusiaan pula. Menurut Nurcholish, secara etimologis istilah ‘Islam’

sendiri berarti sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang karena itu ia percaya bahwa

setiap agama pasti mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sikap ini pada ujungkan

akan mengantarkan pada penghargaan terhadap kelompok dan agama lain karena

setiap kelompok itu memiliki kesamaan sikap kepasrahan terhadap Tuhan.9

Hal yang sama juga diungkap oleh Abdurrahman Wahid yang melihat bahwa

universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam memang memberikan kesejatian

kepada semua kelompok agama yang ada. Menurutnya, inilah cita-cita toleransi

Islam yang memberikan jaminan pada semua kelompok dan warga berdasarakan

lima dasar jaminan utama yakni pertama, jaminan keselamatan fisik warga

masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; kedua, jaminan

keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada rasa paksaan untuk

berpindah agama; ketiga, jaminan keselamatan atas keluarga dan keturunan;

keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;

dan kelima bagi keselamatan untuk memilih profesi pekerjaan.10

MEMUDARNYA BUDAYA TOLERAN?

Bahwa pandangan ideal tentang toleransi menurut ajaran Islam di atas tentu

merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat yang heterogen di Indonesia.

9Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk Generasi

Mendatang,”dalam Ulumul Qur’an 1, IV (1993). 10

Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme

Peradaban Islam,” Budhy Munawar-Rachman, Kontektualisasi Doktrin Islam dan

Sejarah (Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina, 1994), hal. 545-552.

Page 70: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 64

Sebab secara faktual sebuah kondisi toleran yang ideal dalam sebuah kurun tertentu

dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kondisi politik pada masa

transisi di sebuah negara seperti yang terjadi di tanah air. Legitimasi yang lemah atas

otoritas pemerintah dan kuatnya kecenderungan mayoritas untuk menegaskan peran

dan nilai-nilainya dalam kehidupan bernegara menjadi fitur baru yang muncul

semenjak zaman reformasi di tanah air. Konflik bermotif keagamaan seperti yang

terjadi di Poso dan Maluku, menguatnya sentiment suku dan agama, dan kekerasan

terhadap kelompok-kelompok minoritas sebagaimana yang dialami oleh Ahmadiyah

merupakan antitesa dari sikap toleran yang diajarkan oleh ajaran Islam itu sendiri.

Data survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian melihat bahwa

terdapat peningkatan kecenderungan intoleransi pada masyarakat Indonesia secara

umum. Secara umum, hasil survei menunjukkan bahwa komunitas Muslim Indonesia

memperlihatan sikap yang kurang tidak toleran baik secara teologis maupun sosial.

Hal ini bisa dilihat dari besarnya jumlah responden yang menyatakan setuju dan

sangat setuju terhadap sejumlah peryataan berikut: setiap Muslim berkewajiban

dakwah terhadap orang non-Muslim atau kafir (73%), Muslim adalah sebaik-baiknya

umat dibanding yang lain (92,5%), anggota keluarga tidak boleh menikah dengan

non-Muslim (85,7%), anggota keluarga boleh menikah dengan non-Muslim, asal

non-Muslim itu masuk Islam terlebih dahulu (88%), kriteria utama bagi calon istri

atau suami bagi anak adalah ketaatan dalam menjalankan perintah agama Islam

(94,6%), tidak boleh mengucapkan salam (‘assalamualaikum’) dan selamat hari raya

(‘selamat natal’ misalnya) kepada orang non-Muslim (73,5%), orang-orang non-

Muslim tidak akan senang dengan Muslim sebelum orang Islam itu ikut agamanya

Page 71: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 65

(61,6%), dan hanya agama Islam yang benar dan karena itu non-Islam harus masuk

agama Islam (58,7%).

Tentu dapat dilihat bahwa pandangan intoleransi teologis di atas memberi

justifikasi bagi hubungan sosial yang dibangun oleh sebagian umat islam dengan

kelompok agama atau etnis lain. Jika masalah menyangkut kepentingan sosial-politik

dan keagamaan kaum Muslim, tingkat toleransi juga terlihat cenderung kecil. Hal ini

tampak dari rendahnya dukungan responden misalnya terhadap hak non-Muslim

menjadi presiden di negeri ini. 74,9% menyatakan sikap menolak, hanya 6,5% yang

membolehkan non-Muslim menjadi presiden Indonesia. Tentu saja ini sama sekali

tidak mengherankan. Hal inin tentu bisa dipahami sebab sebagai mayoritas,

keinginan untuk mendudukkan seorang Muslim sebagai Presiden tetap menjadi

pilihan politik yang cukup kuat. Alasannya antara lain adalah bahwa jabatan presiden

memang sangat strategis dan menentukan kepentingan kaum Muslim dalam

kehidupan sosial-politik, budaya dan juga keagamaan di Indonesia.

Begitu pula sikap intoleransi atas beberapa isu sensitif juga terlihat dalam hal-

hal yang menyangkut kehidupan keagamaan di Indonesia yang selama ini kerap

menjadi akar persoalan dari berbagai konflik sosial di berbagai wilayah di Indonesia.

Isu-isu tersebut terutama berkenaan dengan hak keagamaan tepatnya menyangkut

praktik ritual non-Muslim di wilayah tempat tinggal mayoritas Muslim. Dalam hal

ini, hanya 20,1%, yang membolehkan orang non-Muslim mengadakan acara

kebaktian keagamaan di daerah atau tempat di mana responden tinggal. Sejalan

dengan itu, juga hanya 36,2% yang memboleh non-Muslim membangun tempat

ibadah di wilayah tempat tinggal.

Page 72: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 66

Lalu apakah sikap intoleransi di atas merupakan hal yang statis dan

mencerminkan cara pandang kaum Muslim di tanah air terhadap kelompok lain?

Menarik untuk diungkap bahwa terdapat banyak faktor yang menumbuhkan cara

pandang tersebut. Pengalaman sejarah diperlakukan secara tidak adil dalam

kehidupan bernegara pada masa Orde Baru, dan munculnya fenomena baru

Islamisme dalam satu dekade terakhir ini menyemai sikap dan prilaku tersebut.

Selain itu penting ditegaskan pula bahwa banyak aktifis Islam yang memang

semenjak awal memberikan pembatasan atas konsep itu yang membedakan antara

toleransi sosial dan toleransi teologis. Adakalanya memang pembagian dua domain

ini memang terlihat kabur dan karena itu penerapan konsep ini bergantung pada

berbagai faktor yang sifatnya kondisional.

KELOMPOK NON-MUSLIM DAN TOLERANSI

Disparitas cara pandang tentang toleransi kaum Muslim di Indonesia tentu memiliki

pengaruh yang sangat besar bagi eksistensi kelompok-kelompok agama non-Islam

yang ada. Dari wawancara dan penelusuran literatur yang dilakukan, secara umum

dapat disimpulkan bahwa hampir semua pemuka dan aktifis kelompok non-Muslim

cukup khawatir dengan kecenderungan peningkatan sikap intoleransi dalam

hubungan beragama di Indonesia.

Sebagian pemuka agama itu melihat bahwa menguatnya Islamisme yang

enggan menerima pemeluk agama lain pada posisi sejajar pada semua aspek

kehidupan merupakan salah-satu faktor bagi sikap dan prilaku intoleran. Ini

diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan solusi bagi

Page 73: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 67

masalah-masalah sosial seperti rumah ibadah yang memiliki potensi konflik yang

sangat tinggi.11

Benny Susetyo juga melihat bahwa sikap aparat negara yang

membiarkan kekerasan atas agama terjadi seperti pengrusakan rumah ibadah atau

pengusiran suatu kelompok agama seperti yang terjadi di Lombok menjadi amunisi

yang efentif bagi tumbuhnya sikap dan prilaku intoleran itu.

Pandangan tentang hubungan Islamisme dan intoleransi di Indonesia juga

ditengarai oleh Stanley Rambitan, Pendeta Gereja Kristen Jawa yang juga menjadi

tenaga pengajar pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.12

Menurut Stanley, Islamisme

dalam beberapa hal mirip dengan fenomena fundamentalime dalam tradisi Kristen

dan juga terjadi pada beberapa agama besar yang ada. Tentu menurutnya terdapat

perbedaan karakter dalam gerakan-gerakan itu. Beberapa beberapa fundamentalisme

lebih menekankan pada pemahaman dan penerapan ajaran (doktrin) yang ditujuakn

pada kesalehan hidup dan mnjelma menjadi gerakan anti obat-obatan terlarang, anti-

aborsi, anti-korupsi dan anti-perang. Yang lain berbentuk militant dengan

membentuk kelompok bersenjata untuk mempertahankan diri dan ajarannya seperti

yang terjadi dalam kasus David Koresh di Waco Texas.

Stanley juga melihat bahwa fenomena fundamentalisme Kristen juga terjadi di

Indonesia. Ini muncul sebagi respon atas untuk berbagai faktor dan tampil dalam

bentuk-bentuk fanatisme ajaran dan praktek hidup yang radikal dalam hal

teologi/ajaran dan penekanan pada hidup puritan/pemurnian dan pietis/kesalehan.

Yang membedakan dengan gerakan Islamisme di tanah air adalah bahwa

11

Wawancara dengan Romo Benny Susetyo, Pr. di Kantor KWI Jakarta pada

20 September 2010. 12

Wawancara dengan Stanley Rambitan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

pada, 9 Nov 2010.

Page 74: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 68

fundamentalisme Kristen Indonesia tidak bermuara pada pada pembentukan gerakan

militan yang memperkenankan kekerasan. Ia bukan geraka bersenjata dan juga tidak

anti-negara atau ingin mendirikan Negara baru dengan corak keagamaan.

Bagi Stanley, munculnya gerakan Islamisme di Indonesia seperti FPI dan HTI

memang cukup mengkhawatirkan karena gerakan-gerakan itu umumnya menyatukan

antara perjuangan keagamaan dan perjuangan sosial-politik. Ini menurutnya memang

dapat dimengerti karena ajaran Islam yang tidak memisahkan secara tegad antara

kehidupan keagamaan dengan kehidupan sosial politik. Namun problemnya adalah

ketika gerakan itu memaksakan sutau agenda tertentu ke dalam masyarakat Indonesia

dimana menurut Stanley kondisi masyarakatnya sangat plural. Ini terjadi bukan saja

dalam hubungan antar agama-agama, tapi dalam hubungan antar golongan di dalam

Islam sendiri. Pemaksaan ideologi dan perjuangan, apalagi dengan kekerasan seperti

yang sudah ditunjukkan oleh beberapa kelompok radikal itu tentu menimbulkan

gangguan sosial, keamanan dan kemanusiaan. Ini tentu adalah tragedi yang tidak

dikehendaki bangsa ini yang tentu tentu mengkuatirkan dan bahkan menakutkan jika

terus berlangsung.

Harapan agar budaya toleransi yang baik diungkap pula oleh Bhikku

Saddhaviro, kepala Vihara Ratana Graha di Jakarta.13

Ia menyatakan bahwa

keinginan untuk menegaskan nilai-nilai kelompok dalam wacana publik memang

merupakan suatu yang alamiah dalam sejarah kemanusiaan. Hanya saja hal tersebut

jangan sampai memaksakan kehendak masing-masing kelompok dan merasa paling

benar, karena akan menimbulkan kekerasan-kekerasan yang sebenarnya hal itu

13

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro di Vihara Ratana Graha Jakarta Barat

pada 18 Nov. 2010.

Page 75: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 69

merugikan pada diri sendiri, berpikir untuk melakukan kekerasan itu saja sudah

merugikan dirinya sendiri. Sebab menurutnya hal itu justru bertentangan dengan

sudut pandang keluhuran, kemuliaan dari ajaran agama itu sendiri.

Menurut Bhikhu Saddhaviro, yang dibutuhkan untuk kebaikan bersama adalah

bagaimana anggota masyarakat atau bagian dari pada bangsa-bangsa di dunia ini bisa

berprilaku yang baik untuk membuat kesejahteraan, kedamaian, kebahagiaan dan itu

sebenarnya yang utama. Agaknya keinginannya tersebut dilandasi pada semakin

menguatnya intoleransi ini yang pada ujungnya berimbas pada hubungan yang

kurang harmonis antara mayoritas dan minoritas. Ia dengan tegas mengisyaratkan

kekhawatirannya dengan wacana negara Islam, sebagaimana yang diungkap sebagai

berikut:

“Harapan dari kami sebagai agama Buddha yang minoritas agar FPI dan HTI

tidak perlu mendirikan negara Islam. Kita ini yang minoritas tidak ada artinya

jika berhadapan dengan yang mayoritas. Karena itu menurut saya atau harapan

saya agar mayoritas hendaknya bisa melindungi yang minoritas, dan itu kan

bagian dari ibadah. Saya sering mendengar dalam ajaran Islam juga ada

semacam ajaran antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan

manusia dengan manusia termasuk melindungi manusia yang tidak berbuat

salah atau yang berbeda dari keyakinannya itu. Kalau dianggap kafir, dalam

pandangan Islam jenis kafir itu kan juga banyak macamnya. Seandainya

sampai ke paham yang ekstrem misalnya mengkafirkan orang lain yang

berbeda, namun dalam pandangan Islam kan ada kafir yang tidak sampai harus

dimusuhi walau beda kepercayaan karena tetap dianggap mempunyai perilaku

yang baik yang memberikan manfaat kepada banyak orang. Toleransi hanya

dalam hal keimanan karena tiap agama memiliki kepercayaan yang berbeda-

beda atau sudah memiliki acuan sendiri dari agamanya masing-masing.

Sejatinya toleransi bagaimana kemudian pikiran, perkataan dan perbuatan kita

yang dapat memberikan manfaat dalam kehidupan ini. Secara sederhana

toleransi memberikan kebebasan pada tiap pemeluk agama untuk menjalankan

kegiatan keberagamaannya tanpa merugikan orang lain, bahkan harus

memberikan manfaat bagi kehidupan keberagamaan itu sendiri tanpa adanya

konfrontasi antar agama. Semuanya bermuara pada sifat dan sikap yang

membawa dan menghasilkan kebaikan. Agama harus bisa membawa kesejukan

dalam keseharian tanpa memandang orang lain dalam hal agama, suku dan

tradisi. Kita harus memiliki niat bersama dalam hal kebajikan. Ironisnya kita

Page 76: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 70

malah sudah menjadi Tuhan dengan menghukum dan menilai sendiri dan orang

lain.”14

Lalu apakah gerakan Islamis ini memang berakar di tanah air? Pada poin ini

menarik untuk kembali mengutip Stanley. Ia optimis bahwa gerakan-gerakan seperti

itu akan hilang dengan sendiri dikarenakan adanya penolakan masyarakat dan

menguatnya peran pemerintah kemudian dalam menyelesaikan masalah-masalah

yang ada. Untuk itu, ia berharap agar umat beragama terus mendorong pemerintah

untuk mengambil peran yang tegas dalam menjaga toleransi kehidupan beragama di

tanah air sebab pada dasarnya gejala ini bersifat musiman saja.

Lebih lanjut, beberapa tokoh seperti Aritonang misalnya melihat bahwa

intoleransi ini sebenarnya juga dipicu oleh utamanya isu-isu lama seperti Kristeniasi

yang menjadi diskursus yang sangat kontroversial dalam relasi Islam dan Kristen di

tanah air.15

Beberapa responden yang diwawancarai juga menaruh perhatian pada sikap

intoleransi yang berlaku secara internal dalam kaitannya dengan gerakan Ahmadiyah

dalam Islam. Betapapun mereka cenderung menganggap hal tersbut sebagai bagian

dari diskursus internal kaum Muslim di tanah air, namun mereka juga sangat

menyesalkan sikap beberapa tokoh agama yang terlihat memberikan justifikasi bagi

pelakuan yang kurang baik terhadap mereka seperti pengrusakan masjid Ahmadiyah

dan pengusiran mereka dari rumah-rumah yang mereka miliki. Secara implisit

terdapat kekhawatiran di antara para aktifis dan pemuka agama non-Muslim itu

14

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro. 15

Lihat Jan S. Aritonang, ”Dinamika Perkembangan Kristen [Protestan] di

Indonesiadalam Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang

Ditinjau dari Perspektif Historis,” makalah disampaikan pada acara seminar “Studi

Agama-agama: Belajar Bersama Kelompok Antar-Iman,” Manado, Sulawesi Utara

pada 19-22 November 2007.

Page 77: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 71

bahwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah bisa saja terjadi pada kelompok

mereka.

Oleh karena itu, beberapa aktifis itu seperti yang diungkap Romo Benny

misalnya dengan tegas menyerukan pentingnya peran pemerintah untuk turun tangan

menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana. Bagi para aktifis itu, apapun

dalih yang dikeluarkan oleh para Islamis ini dalam masalah yang berkenaan dengan

Ahmadiyah, kelompok yag terakhir ini tetap berhak mendapatkan jaminan

keselamatan dari negara karena mereka adalah juga warganegara yang sah. Oleh

karena itu mereka berhak untuk hidup di tanah air.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa betapapun Islamisme terlihat menguat

namun mereka tetap berharap bahwa hal ini tidak akan merusak hubungan antar

agama yang selama ini secara relatif terbangun dengan baik.

PLURALISME DAN DIALOG UMAT BERAGAMA

Sebab sebagai fakta deskriptif, pluralisme merupakan fakta alamiah sebagaimana

fakta-fakta lain seperti keragaman budaya, etnis atau jenis kelamin yang berbeda.

Agaknya dalam batas-batas tertentu, semua orang berakal paling tidak mengakui hak

tersebut, dan oleh karena kita tidak perlu mengutip ajaran agama untuk

menjustifikasi keragaman itu.

Karena itu pembicaraan tentang pluralisme agama tidak semata-mata sebagai

fakta sosiologis (social pluralism) sebagaimana pembicaraan tentang perbedaan

kelamin atau etnis. Terdapat perbedaan yang cukup kental bagaimana keragamanan

budaya/etnis dan keragamaan agama masing-masing dievaluasi. Sebab dalam

Page 78: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 72

masyarakat modern sering kali muncul konsensus yang sopan tapi superfisial yang

menyatakan bahwa pluralisme/keragaman budaya adalah sesuatu yang asasi dan

memperkaya kehidupan manusia. Karena itu, dalam konteks ini, sikap dan tendensi

menganggap satu budaya atau etnis satu jauh ‘lebih baik’ dari yang lain bisa

dianggap sebagai rasis, problematis dan inappropriate dalam masyarakat yang begitu

majemuk dewasa ini.

Diskursus pluralisme agama jauh lebih kompleks dari penerimaan tentang

adanya perbedaan budaya sebagaimana yang dijelaskan di atas. Sebab, dalam

kenyataannya, umat beragama membangun dengan sengaja suatu keyakinan

chauvinistik bahwa agama mereka-lah yang lebih superior atau lebih baik dari yang

lain, dan keyakinan ini dianggap sebagai komponen penting dari komitmen

keberagamaan yang harus terus dijaga. Pada titik tertentu, ada kalanya ajaran agama

juga mengajarkan pandangan yang kurang bersahabat (hostility) dengan menyatakan

bahwa agama yang lain bukan hanya berbeda (different) tetapi juga menyesatkan

(demonic) atau, paling tidak, jauh lebih inferior.

Problem etis sebagaimana di atas, tentu bukan satu-satunya wajah agama,

sebab pada waktu yang bersamaan, agama juga berbicara tentang kebaikan (goodness

atau khayr) dan kebenaran (truth atau al-haq). Di sini ada perbedaan antara kebaikan

dan kebenaran itu. Dalam diskursus moral pluralism, teori kebaikan (goodness)

identik dengan perbincangan tentang kebahagiaan (seperti J.S. Mills), keindahan

(Schumacher) dan kebebasan (Isaiah Berlin) yang semuanya menjadi tujuan hidup

manusia.

Dalam tataran ini, apa yang dianggap baik, membahagiakan, indah atau bebas

tentu satu sama lain berbeda secara fondasional (foundational pluralism)

Page 79: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 73

sebagaimana menurut Judith Jarvis Thomson dan G.E. Moore.16

Sebagai contoh,

menolong orang lain adalah ‘kebaikan’ dan ‘tepat waktu’ adalah juga ‘kebaikan’.

Kedua bentuk ‘kebaikan’ itu berbeda satu sama lain dan karena itu, kebaikan dalam

teori ini bersifat plural dan sederhana. Ini dalam bahasa agama dikenal istilah

fastabiq al-khayrat (berlomba dalam kebaikan-kebaikan) karena pada dasarnya ia

memiliki sifat yang plural, sederhana dan unanalyzable.

Dalam pembicaraan tentang pluralisme agama, betapapun kita tentu

membicarakan konsep kebaikan, namun secara prinsipal kita sebenarnya telah

bergeser kepada wacana tentang kebenaran (truth) dan inilah simpul yang terpenting

yang mungkin bisa ‘membelah agama. Sebab bagi para penganut agama, apa yang

diyakini sebagai kebenaran adalah tunggal dan absolut. Karena itu, pembicaraan

tentang pluralisme agama dalam konteks sejarah agama menjadi ahistoris dan

sebagai konsekuensi realitas pluralisme secara normatif adalah contradictio in

terminus dengan kebenaran itu sendiri. Yang ada hanyalah pluralisme kebaikan dan

bukan kebenaran. Dan kalaupun postulat kedua harus diterima maka ia

mengandaikan adanya satu ‘kebenaran hakiki’ di antara ‘kebenaran-kebenaran

palsu’. Pada titik ini, mengutip Decherf (2001), “yang sulit bagi mereka (para

agamawan) adalah menerima kenyataan bahwa ada keyakinan berbeda yang

dianggap menyimpang (supposedly erronous beliefs) dari kebenaran hakiki tadi”.

Karena itu, tak ada satupun agama dalam sejarahnya yang benar-benar mau

berbagi kebenaran dengan umat yang lain. Maka menjadi logis jika perjalanan

16

Judith Jarvis Thomson, “The Right and the Good,” Journal of Philosophy 94

(1997): hal. 273-98; dan G.E. Moore, Principia Ethica. Cambridge: Cambridge

University Press, 1983.

Page 80: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 74

sejarah agama-agama memang penuh dengan pertumpahan darah, kekerasan dan

hegemoni atas nama kebenaran tadi. Dan kalaupun ada rambu-rambu ‘toleransi’

dalam ajaran agama, maka ia biasanya cenderung normatif. Maksudnya, bahwa

rambu-rambu itu memang berkembang secara ideal tetapi dalam praktek sejarahnya

mungkin tidak (atau sedikit sekali) terjadi. Sebab secara teoritis, konsep toleransi

agama berada tepat di tengah antara indifferensi (keacuhan) dan ignoransi

(ketidakpedulian).

Dan seandainya sebuah institusi agama mengakui eksistensi yang lain, biasanya

hal itu didasarkan pada kepentingan sosiologis (dan politis) institusi yang

bersangkutan dan bersifat kondisional atau ad-hoc (yakni hanya berlaku untuk

komunitas itu dan bisa jadi sama sekali tidak berlaku untuk komunitas yang lain

dalam kelompok agama yang sama apalagi untuk bisa diterapkan bagi kelompok

agama lain).

Pada titik ini, hampir bisa dipastikan bahwa penghargaan terhadap pluralisme

secara otentik justru hanya bisa dilakukan dalam kondisi dimana sebuah nilai umum

(yang mungkin saja diderivasi dari segala unsur termasuk agama sendiri) dan

dijadikan sebagai kreateria bagi hubungan itu. Sebab dalam sebuah masyarakat atau

negara yang menjadikan agama sebagai basis penilai utama, maka secara teoritis,

pluralisme agama mungkin menjadi mustahil. Pluralisme yang ‘sehat’ bisa

berkembang dalam sebuah sistem sosial dimana agama tidak diperlakukan sebagai

entitas terpisah atau distinct17

dimana semua nilai baik agama, budaya, etnis dan

sebagainya diperlakukan seimbang dan proporsional.

17

David W Machacek, “The Problem of Pluralism,” Sociology of Religion 64,

no. 2 (2003): hal. 145-161.

Page 81: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 75

Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal

kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John Rawls atau William Galston.

Secara sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa value pluralism melihat bahwa

setiap nilai baik dari moralitas, agama maupun filsafat adalah sangat absolut

(absolute depth). Yang harus ditemukan dalam pada ini adalah comprehensive

doctrines sebagai modus vivendi bagi hubungan nilai-nilai itu.18

Bagaimana sejatinya pluralisme di Indonesia? Menarik untuk didiskusikan

bahwa secara normatif memang pengakuan terhadap pluralisme agama bisa

ditemukan di dalam UUD 1945 dimana negara berkewajiban memberi jaminan bagi

setiap agama untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Namun dalam prakteknya, tentu ada kalanya politik pengakuan pluralisme itu

kehilangan pengaruhnya ketika kelompok mayoritas terus menerus berusaha untuk

menjadikan nilai-nilai mereka sebagai nilai yang diterapkan dalam kehidupan

bernegara. Ini akan terlihat pada kasus penerapan peraturan daerah yang berkenaan

dengan syariah Islam yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Dalam kaitan ini

adalah penting pula untuk menegaskan bahwa regulasi yang hegemonik seperti itu

tentu saja bukan saja mengancam pluralisme agama, tetapi pada prinsipnya memiliki

‘potensi’ mengancam kebebasan beragama.

Sikap Islamisme dalam hal yang berkenaan dengan pluralisme agama terlihat

pada fatwa kontroversial dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai

Sekularisasi, Pluralisme dan Liberalisme. Dalam fatwanya, MUI mendefinisikan

pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah

18

Robert B. Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The

Harvard Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): hal. 57-72.

Page 82: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 76

sama dan karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Karana itu, setiap

pemeluk agama tak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar, sedangkan

agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua agama mengajarkan

akan masuk dan hidup berdampingan di syorga. Paham pluralisme agama yang

demikian itu dinilai oleh MUI bertentangan dengan ajaran Islam, maka dari itu haram

hukumnya paham pluralisme berkembang di Indonesia. MUI hanya membolehkan

pluralitas sejauh itu menyangkut keragaman masyarakat secara sosiologis bukan atas

dasar keragaman iman.

Apakah memang pluralisme sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran

Islam sebagaimana yang diungkap dalam fatwa MUI itu? Penting ditegaskan bahwa

semangat al-Qur’an tentang pluralisme memang mengalami pasang-surut sejalan

dengan perkembangan sejarah. Adalah penting untuk dilohat bahwa memori kolektif

di kalangan umat Islam yang selanjutnya diperkuat pengalaman sejarah yang pahit

dalam hubungan mereka dengan dunia Barat, membuat seolah-olah doktrin Islam

menjadi anti-pluralisme. Dari sinilah tumbuh persepsi bahwa agama Islam pada

dasarnya adalah tidak toleran dan anti pluralisme, yang selanjutnya melahirkan

konflik keagamaan sebagaimana yang diungkap oleh Huntington.19

PANDANGAN KELOMPOK NON-MUSLIM TENTANG PLURALISME

Kembali dalam konteks Indonesia, gerakan anti-pluralisme juga menjadi bagian dari

terpenting dari menguatnya Islamisme, dan oleh karena itu pandangan dan tanggapan

19

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization: Remaking of the World

Order (New York: Simon and Schister, 1997), hal. 210-212.

Page 83: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 77

dari para aktifis kelompok non Muslim juga mengemuka. Bikkhu Saddhaviro sebagai

missal melihat bahwa meredupnya penghargaan terhadap pluralisme beragama ini

juga tak lepas dari ketidakmampuan Negara untuk memainkan peran yang baik di

antara kelompok-kelompok agama yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan:

“Seharusnya negara menyikapi dengan bijak dan harus terus menyadarkan

warganya akan pluralisme dan segala macam kemajemukan yang ada dalam

NKRI ini. Tapi ya negara kok tidak bijak dan bajik sehingga saya prihatin

terhadap apa yang menimpa saudara-saudara kita Jamaah Ahmadiyah itu,

kasihan mereka. Negara kok tidak melindungi.”20

Oleh karena itu, menurut Bhikku Saddhaviro, umat beragama harus secara

proaktif untuk memperkuat solidaritas berdasarkan semangat kemanusiaan dengan

secara bersama sekecil apapun mesti memulai mewujudkan ide-ide itu dengan

langkah konkret, misalnya jika ada bencana seperti saat ini, sekecil apapun

membantu entah tanpa melihat asal usul agama apakah itu Islam, Kristen, Hindu atau

Buddhis. Ini ungkapnya sangat penting ketimbang memperdebatkan secara doktrinal

atau konseptual apakah agama tertentu memiliki atau tidak pandangan-pandangan

yang berkenaan dengan pluralisme. Sebab, sesekecil bekerjasama antar pemeluk

agama yang berbeda untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial,

pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang konkret lainnya tentu memiliki nilai yang jauh

lebih penting dari simbol-simbol agama. Sebagaimana yang dikatanya:

“Jangan sampai kita kerdil atau terhalang dalam berbuat kebaikan karena sekat-

sekat agama tertentu. Kita sudah tidak membutuhkan wacana atau seminar lagi,

melainkan kita butuh wujud konkret berupa gerakan atau aksi tanpa melihat

agama orang yang kita bantu. Kalau kemudian kita memperhitungkan agama

ini, orang itu agamanya itu, maka hanya akan merugikan diri kita sendiri

karena kesempatan untuk berbuat kebajikan malah terhalang karena sempit dan

kerdilnya pemikiran kita.”21

20

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro. 21

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro.

Page 84: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab III Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Toleransi dan Pluralisme | 78

Kekhawatiran tentang menguatnya anti-pluralisme juga tercermin dari

pandangan yang disampaikan oleh Stanley.22

Menurutnya, ada beberapa hal yang

bias dilakukan bersama agar penghargaan terhadap pluralisme tetap berkembang di

tanah air, yakni pertama, melibatkan seluruh komponen bangsa (atau suku, agama,

ras dan antar-golongan yang bias disebut dengan SARA dalam pengelolaan negara

secara optimal, mulai dari pembentukan ideologi, dasar dan undang-undang negara

(dan ini sudah terjadi ketika pembentukan negara Indonesia oleh para pendiri bangsa

(dengan adanya Pancasila dan UUD ’45), serta peratura-peraturan negara maupun

daerah. Kedua, membagi-bagikan berkat yakni kue-kue pembangunan yang dimiliki

negara kepada seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berprikemanusiaan tanpa

membeda-bedakan latar-belakang SARA itu sendiri.

Jika hal itu dapat dilakukan secara optimal, maka menurut Stanley, hal itu tentu

dapat membangkitkan dan mempertahankan semangat nasionalisme yang kuat bagi

seluruh rakyat Indonesia, dan dengan itu persatuan kuat, bangsa kuat, kemakmuran

yang adil dan beradab tercapai sehingga bibit-bibit segregasi atau keinginan untuk

menjadikan nilai kelompok tertentu sebagai kriteria utama dalam kehiupan bernegara

akan sedikit demi sedikit dihilangkan. Dalam konteks ini, Stanley melihat bahwa

salah satu alasan kenapa kecenderungan untuk menegaskan sebuah simbol agama

dalam kehidupan bersama ini lebih karena banyak kebijakan yang kerap tidak

didasarkan pada pemenuhan kebutuhan bersama tetapi lebih sebagai keinginan untuk

mendapatkan legitimasi dari satu kelompok tertentu saja.

22

Wawancara dengan Stanley Rambitan.

Page 85: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV

ISLAMISME DAN RESPON KELOMPOK NON MUSLIM:

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

MENCARI FORMAT IDEAL HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Sebagai mana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa semenjak berdirinya negara

ini kontestasi antara negara dengan agama sebenarnya belum dapat dikatakan selesai.

Secara teoritis terdapat persoalan yang cukup mendasar dalam UUD 1945 untuk

dijadikan landasan yang kuat bagi kebebasan beragama dan bagi hubungan ideal

yang dibangun menjembatani kepentingan negara (pemerintah) dan kepentingan

agama dalam kehidupan berbangsa. Hal ini penting ditekankan sebab dalam konteks

pembicaraan tentang kebebasan agama tidak bisa dilepaskan dari peran negara.

Di sini, kebebasan beragama bukan melulu sebagai natural right milik setiap

individu tapi suka atau tidak-suka juga merupakan given right yang diberikan oleh

negara sebagai otoritas politik. Maksudnya, walau memang secara teoritis, negara

adalah pemegang amanat rakyat dan berjuang untuk kepentingan dan keteraturan

bersama (order) sebagai bentuk kontrak sosial tapi ini juga, sebagai konsekuensinya,

mengandaikan negara berhak melakukan tindakan-tindakan dalam menjaga

keteraturan tadi yang pada gilirannya secara prinsipal mungkin bisa membatasi hak-

hak masyarakat itu sendiri termasuk di dalamnya yang berkenaan dengan agama.

Page 86: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 83

Karena itu, ada beberapa hal yang penting didiskusikan. Pertama, bagaimana

dan sejauhmana hukum internasional menjamin kebebasan beragama secara

normatif; yang kedua, bagaimana potret umum berbagai konstitusi negara ketika

membicarakan kebebasan agama, dan ketiga, sejauhmana kebebasan itu secara

praktis dipengaruhi oleh kondisi seperti konsep ranah publik (public sphere) dan

eksistensi kelompok mayoritas yang dominan.

Secara umum dalam sejarahnya dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip

kebebasan beragama (freedom of religion atau liberty of religion) berakar pada

konsep ‘kebebasan berpikir dan berkesadaran’ (liberty of thought and liberty of

conscience); sebuah frase yang muncul pertama kali dalam Perjanjian Westphalia

tahun 1648 yang menyudahi peperangan panjang atas nama agama di Eropa.1 Ide ini

terus berkembang dan mendapatkan kesejatian pada abad keduapuluh seiring dengan

munculnya negara-negara merdeka baru (new sovereign nations) sering dengan

konsep negara-bangsa (nation state). Dan pada gilirannya, kebebasaan beragama

menjadi identik sebagai hak asasi (natural) dan suci (divine) secara bersamaan.2

Di sini, pengakuan legal atas kebebasan beragama, baik secara prinsipal

maupun praksis, muncul sebagai bagian langsung maupun tidak langsung dari

ratifikasi perjanjian-perjanjian antar-negara. Studi yang dilakukan oleh Bates yang

1Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan agama sebagai diktum

internasional dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnaswami tahun 1960, “Study

of Discrimination in the Matter of Religious Rights and Practice,” U.N.

Doc.E/CN.4/Sub.2 /200/Rev.1, U.N. Sales No. 6.XIV.2. Karya ini adalah salah-satu

bahan terpenting tentang kebebasan agama yang menjadi dokumen resmi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan ini dicetak ulang dalam Tad Stahnke

dan J. Paul Martin, Religion and Human Rights: Basic Documents (New York:

Center for the Study of Human Rights Columbia University, 1998), hal. 2-54. 2James E. Wood, JR., “Religious Rights and a Democratic State,” Journal of

Church and State 46 (Autumn 2004): hal. 739-765.

Page 87: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 84

dilakukan lebih dari lima puluh tahun yang lalu menunjukkan bahwa semenjak pada

abad kesembilanbelas, beberapa negara berdaulat memasukkan klausula-klausula

tentang hak ekspresi keberagamaan (right of religious expression) ke dalam

perjanjian yang dibuat dengan negara-negara lain, baik yang bertradisi agama yang

sama (atau malah berbeda) dengan mereka.3

Sebagai contoh, Perjanjian Berlin (Treaty of Berlin) tahun 1878 antara Rusia

dengan Turki, yang dianggap sebagai ekspresi terpenting dalam perjanjian

international menyangkut kebebasan agama (the most important single expression of

international agreement for religious liberty), memasukkan klausula tentang hak

setara dan penghargaan bagi kelompok agama minoritas di kedua negara masing-

masing. Hal yang serupa juga termaktub dalam Pakta Umum tentang Kepemilikan

Amerika (General Act relating American Possessions) dan Perjanjian-Perjanjian

Minor (Minorities Treaties) tahun 1919-1923 setelah Perang Dunia I.4

Lebih jauh, argumen normatif tentang kebebasan agama secara lebih rinci tentu

ditemukan dalam dokumen-dokumen internasional seperti Deklarasi Universal PBB

tentang Hak Asasi Manusia (UN Declaration of Human Rights atau UNDHR) tahun

1948 yang diperkuat dengan beberapa instrumen internasional lain seperti UN

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966 dan

Principles of the Helsinsi Final Act tahun 1975 yang dikuti dengan UN Declaration

on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on

3Lebih jauh lihat M. Searle Bates, Religious Liberty: An Inquiry (New York:

Harper and Brothers, 1945), hal. 476. 4Lihat Richard B. Lillich dan Hurst Hannum, International Human Rights

(Buffalo, New York: William S. Hein, 1995), hal. 324.

Page 88: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 85

Religion or Belief [untuk selanjutnya disebut Deklarasi Anti-Diskriminasi] tahun

1981.5

Inilah tonggak terpenting dalam hukum internasional semenjak Perang Dunia

II mengingat hampir semua negara di dunia menandatangani Deklarasi Universal

PBB itu dan lebih khusus ada 38 negara telah meratifikasi ICCPR, termasuk pula

beberapa negara yang terkenal sangat kaku (highly restrictive) sekalipun. Karena itu,

sebagaimana diungkap Padelford, “jaminan tentang kebebasan beragama merupakan

postulat yang diterima secara umum dalam hukum international dimana setiap negara

memiliki kewajiban untuk mencantumkan kebebasan beragama dalam wilayah

jurisdiksi hukum masing-masing.”6

Dalam dokumen dan instrumen internasional itu, sangat jelas dinyatakan bahwa

kebebasan agama adalah hak non-derogable (yakni hak yang tidak bisa

ditangguhkan) sebagaimana hak hidup atau hak mempertahankan diri. Kebebasan

agama dalam arti ‘bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama tertentu’,

termasuk pindah dari satu agama ke yang lain, merupakan forum internum

(kebebasan internal) yang absolut dan tidak dapat dibatasi oleh apa dan apapun.

Lalu agama dan kepercayaan apa dan bagaimana yang diakui dan mendapat

perlindungan secara universal? Adalah penting diperhatikan bahwa tidak ada definisi

yang jelas dan mengikat tentang apa yang dimaksud dengan ‘agama’ (dan

5Paling tidak ada 39 dokumen internasional dalam bentuk Declarations, Bills,

Treaties, Covenants, Protocols, Agreements dan lain-lain yang berkenaan tentang

hak-hak atau kebebesan beragama sebagaimana ditemukan dalam Stahnke dan

Martin, Religion and Human Rights: Basic Documents. Diskusi lebih jauh untuk hal

ini lihat Natan Lerner, Religion, Beliefs and International Human Rights (Maryknoll,

New York: Orbis, 2000). 6Norman J. Padelford, International Guarantees of Religious Liberty (New

York: International Missionary Council, 1942) sebagaimana dikutip oleh Wood, JR.,

“Religious Rights,” hal. 740.

Page 89: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 86

‘kepercayaan’) dalam dokumen-dokumen itu karena sampai sekarangpun, tak ada

satu definisi-pun yang memuaskan semua pihak dalam hukum internasional (dan

juga dokumen-dokumen hak asasi manusia).7 Yang menjadi travaux préparatoires

hanya sepakat untuk memberikan perlindungan terhadap apapun model ekspresi

agama dan kepercayaan baik yang bersifat theistik, non-theistik maupun atheistik

(the expression ‘religion or belief’ shall include theistic, non-theistic and atheistic

beliefs). Tidak ada penjelasan tentang elemen-elemen agama maupun penyebutan

spesifikasi varian agama (seperti Islam, Kristen dsb).8

Apa yang dilindungi oleh hukum internasional tadi adalah ‘hak’ seseorang atau

kelompok untuk menganut dan pada saat yang sama juga ‘hak’ seseorang untuk tidak

menganut suatu agama dan kepercayaan; dan bukan pada apa dan bagaimana agama

dan kepercayaan diyakini dan dilaksanakan. Karena itu, sebagaimana diungkap

Gunn, cakupan kategori ini memang sangat umum. Apa yang menjadi concern di sini

adalah bukan agama atau kepercayaan apa yang boleh bebas dan dilindungi tapi

yang lebih substansial adalah bagaimana sebuah sistem kebenaran, kepercayaan, inti

7Lihat sebagai contoh review tentang hal ini dalam T. Jeremy Gunn, “The

Complexity of Religion and the Definition of ‘Religion’ in International Law,”

Harvard Human Right Journal 16 (2003): hal. 189-215. 8Dalam komentar ICCPR, berdasarkan kategori itu disepakati bahwa apa yang

dipahami sebagai agama mencakup adalah kepercayaan yang monotheistik,

politheistik, agnostik, free thought and animistik. Masuk pula dalam kategori ini

rasisme, Nazisme dan apartheid, walaupun pada perkembangannya tiga model

‘agama semu’ ini dikeluarkan dari penjelasan itu. Lihat Donna J. Sullivan,

“Advancing the Freedom of Religion or Belief Through the UN Declaration on the

Elimination of Religious Intolerance and Discrimination,” The American Journal of

International Law 82 (1988): hal. 487-520.

Page 90: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 87

dari identitas lingustik dan bahasa, serta bagian integral dari kehidupan politik

manusia ini, mendapat pengakuan dan perlindungan secara universal.9

Namun, harus dicermati bahwa hak untuk memeluk agama atau keyakinan tadi

tidak secara sejajar atau secara otomatis melahirkan hak untuk memanifestasikan (to

manifest) atau menyiarkan (to promote) agama itu secara publik. Inilah yang ‘sedikit

membedakan’ antara UNDHR dan ICCPR. Dalam ICCPR, betapapun manifestasi

agama merupakan bagian integral (de facto) dari hak-hak dasar manusia, tapi ia

adalah hak forum externum (kebebasan eksternal) yakni hak kondisional yang bisa

(dan mungkin) menjadi subyek pembatasan karena secara intrinsik menyangkut pula

hak-hak asasi orang lain.

Secara ekstrem bisa dicontohkan bahwa manifestasi keberagamaan satu

kelompok tertentu, seperti pengorbanan manusia (yang terjadi pada

agama/kepercayaan ‘primitif’) atau praktek ‘sati’ (yakni seorang istri terjun ke dalam

api yang membakar jasad suaminya yang meninggal dalam tradisi India kuno),

memang harus dilarang karena secara langsung terjadi pertentangan antara

manifestasi keagamaan dengan kewajiban negara untuk menyelamatkan dan

melindungi kehidupan dan hak hidup yang merupakan hak asasi warga yang lain.

Dan menurut Artikel 18 (3) ICCPR sebagai misal, pembatasan menjadi mungkin jika

(1) berdasarkan hukum; (2) untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban,

kesehatan, atau moralitas atau hak-hak fundamental dan kebebasan yang lain (to

protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and

9T. Jeremy Gunn, “Majorities, Minorities and the Rights of Religion and

Belief,” Helsinki Monitor 3 (1998): h. 38-44.

Page 91: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 88

freedoms of others); serta (3) hal itu dianggap penting untuk mencapai tujuan yang

dimaksud.10

Di sini jelas bahwa hanya negara sebagai institusi yang berhak untuk melakukan

pembatasan itu karena ia adalah pemegang otoritas politik dan hukum yang

mengatasi masyarakat. Hanya negara-lah yang berhak melakukan regulasi, dan

bukan kelompok dominan (sosial maupun agama) yang ada dalam negara itu. Dan

penting ditegaskan bahwa validitas regulasi negara atas nama ketertiban umum

(public order) atau moralitas, paling tidak, mensyaratkan antara lain bahwa (1)

regulasi itu diatur dalam hukum yang tidak diskriminatif; (2) ia berlaku untuk semua

kelompok dan individu secara ekual; (3) proporsional; dan (4) terdapat hubungan

yang langsung antara kebutuhan masyarakat banyak dengan kepercayaan yang

dibatasi tadi.11

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah negara-negara yang

menandatangani atau meratifikasi piagam-piagam internasional itu memang sejatinya

memperjuangkan kebebasan agama yang diamanatkan dalam dokumen-dokumen

tadi? Inilah hal cukup krusial dan pelik yang merupakan salah-satu indikator

terpenting yang mengukur kemampuan sebuah negara dalam memberikan pelayanan

dan perlindungan terbaik bagi warganya. Sebab, ketika negara gagal melindungi hak

ini, maka pada hakekatnya ia ‘gagal’ menjalankan fungsi yang diamanatkan dalam

kontrak sosial. Namun harus disaksamai pula bahwa negara adalah entitas politik

yang penuh kepentingan dan tawar menawar dengan kelompok sosial yang ada, dan

10

Karen Musalo, “Claims for Protection Based on Religion or Belief,

“International Journal of Refugee Law 16, no. 2 (2004): h. 165-226. 11

Lihat lebih jauh Martin Scheinin, “Freedom of Thought, Conscience and

Religion,” Studia Theologia 54 (2000): h. 5-18; dan juga Lerner, Religion, Beliefs

and International Human Rights, h. 131.

Page 92: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 89

ini merupakan karakter fundamental (asal-usul) negara sebagaimana diungkapkan

oleh Joel Migdal.

Dalam perspektif ini, kapasitas institusional dasar negara adalah untuk

melakukan penetrasi dan regulasi terhadap masyarakat melalui aturan-aturan dan

sumber daya yang diciptakan secara cermat. Dengan model dominasi inilah,

utamanya menggunakan mesin birokrasi (dan dalam beberapa kasus juga dengan

bantuan militer) yang sistematis, sebuah negara bisa dinyatakan sebagai kuat (strong

state) atau lemah (weak state). Semakin besar dominasi negara terhadap kelompok

sosial yang ada dan semakin kecil konsesi yang diberikan kepada mereka, semakin

kuat negara itu; sebaliknya semakin kecil dominasi yang dilakukan negara dan

semakin besar konsesi yang diberikan kepada kelompok itu, semakin lemah pula

negara.12

Harus diakui bahwa argumen tentang strong dan weak state ini tentu kurang

memadai mengingat bahwa negara yang kuat tidak secara otomatis ‘berhasil’ dalam

mengembangkan sayap otoritas politiknya karena model kekuasaan yang dimiliki

negara dan kelompok sosial itu sendiri tidak homogen dan sangat dinamis sesuai

dengan konstelasi perubahan politik dan kultur. Pada titik ini, kompetisi kelompok-

kelompok kepentingan (interest groups), baik dalam pemerintahan sendiri (seperti

politisi dari berbagai partai) maupun kelompok sosial (civil society) mengandaikan

adanya negosiasi, kompromi, konsesi dan bargaining yang terus menerus.13

Karena

itu, distribusi kekuasaan yang terjadi senantiasa berubah atau berbeda satu sama lain,

12

Lihat lebih jauh Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States (New

Jersey: Princeton University Press, 1988). 13

Michael Mann, The Sources of Social Power: The Rise of Classes and

Nation-States (Cambridge: Cambridge University Press. 1993).

Page 93: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 90

sehingga pada gilirannya menghasilkan berbagai bentuk tata pemerintahan

(statehood) yakni: (a) pluralis, (b) elitis dan (c) korporatis, serta bentuk regim yang

secara tipologis bisa dibagi paling tidak menjadi: (1) demokratis liberal, (2) sosialis

atau komunis (dan paska komunisme), dan (3) regim otoriter, sebagaimana yang

diungkap oleh Alan Ball.14

Penjelasan sederhana tentang model dan sistem pemerintahan di atas mungkin

terlalu arbitrer dan subyektif. Maksudnya, tidak berarti bahwa negara pluralis dengan

demokrasi liberal (a+1) merupakan satu-satunya model pemerintahan terbaik bagi

masyarakat dalam pelayanan keamanan, ketertiban sosial, kebebasan dan

kemakmuran ekonomi. Hanya saja dalam takaran tertentu adalah mudah

menyimpulkan bahwa negara dengan model itu mungkin akan jauh lebih baik

daripada negara korporatis dengan regim otoriter (c+3). Dan dalam kaitan dengan

kebebasan beragama, beberapa studi menyimpulkan adanya hubungan yang kuat

antara bentuk regim negara dengan eksistensi kebebasan itu di satu sisi, dan antara

kebebasan beragama dengan munculnya berbagai regulasi yang berkenaan dengan

agama di sisi lain. Di sini, seperti diungkap Anthony Gill, dapat dikatakan bahwa

’semakin otoriter sebuah regim, semakin kecil kebebasan agama di negara itu;

semakin kecil kebebasan beragama dalam negara itu, semakin banyak pula regulasi

yang dikeluarkan’.15

Kembali ke masalah konstitusi negara berkenaan dengan kebebasan beragama.

Jika kita mencermati model dan sistem kenegaraan sebagaimana dijelaskan secara

14

Alan R. Ball, Modern Politics and Government (London: Macmillan, 1994),

h. 31-36. 15

Anthony Gill, “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical

Outline,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): h. 3-35.

Page 94: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 91

sederhana di atas, maka dalam prakteknya, betapapun negara-negara itu (baik negara

yang bersifat demokratis atau otoriter; maupun pluralis atau korporatis sekalipun)

mungkin menyetujui ide umum tentang kebebasan beragama, mereka dalam takaran

tertentu juga melakukan proses redefinisi, modifikasi atau penyaringan (filtering)

untuk praktek kebebasan beragama di wilayah konstitusi masing-masing. Hal ini

akan terlihat ketika kita nanti mencermati artikel-artikel/pasal-pasal yang ada dalam

konstitusi negara-negara itu.

Memang harus dicatat bahwa ada beberapa konstitusi yang ditulis jauh sebelum

dokumen-dokumen internasional itu disahkan dan ditandatangani, sehingga masuk

akal jika konstitusi-konstitusi itu mungkin agak jauh dari ‘kesan’ melindungi

kebebasan agama karena mungkin diskursus ini bukan/belum menjadi perhatian

utama. Tetapi banyak pula konstitusi yang ditulis (atau direvisi) setelah ratifikasi

dokumen internasional itu namun tetap saja ide kebebasan beragama ‘diperlakukan’

dengan sangat hati-hati sesuai dengan semangat untuk menjaga kepentingan negara

(interest of the state) atau ada hal lain yang dianggap jauh lebih besar dan penting.

Jadi agak jelas kiranya bahwa ‘ruang pengecualian’ sebagaimana diatur dalam

dokumen-dokumen tadi merupakan loophole yang cukup meyakinkan bagi sebuah

negara atau regim untuk memberhangus atau paling tidak membatasi praktek

kebebasan agama dengan alasan misalnya untuk menjaga kohesi dan stabilitas sosial.

Pada gilirannya, sebagaimana dikemukakan oleh Nikholas Gvosdev, dalam

penulisan konstitusi masing-masing negara itu akan terlihat kepentingan politik

dimana dalam konstitusi yang sama sebagai misal ditemukan artikel-artikel yang di

satu sisi memberikan jaminan kebebasan, tapi di sisi lain juga memberikan prasyarat

Page 95: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 92

baru yang pada ujungnya membatasi kebebasan itu sendiri.16

Di sini akan terlihat

adanya korelasi antara interest of the state dengan kebebasan beragama yang dijamin

konstitusi sebagaimana tergambar dalam model-model di bawah ini:

Kebebasan Beragama dan Kepentingan Negara: Sejajar tapi Tidak Sama

Model pertama adalah meletakkan artikel-artikel berkenaan tentang interests of

the state dengan artikel mengenai kebebasan agama secara primus interpares (sejajar

tapi yang satu lebih tinggi dari yang lain). Sebagai misal dapat ditemukan dalam

Konstitusi Vietnam dimana di satu sisi negara menjamin kebebasan beragama

(Artikel 70) tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa ‘setiap orang tidak boleh

menyalahgunakan keyakinan dan agama yang bertentangan dengan hukum dan

kebijakan-kebijakan negara’ (no one can misuse belief and religions to contravene

the law and the State policies).

Hal yang serupa juga didapati dalam Konstitusi Cina (khususnya pada Bab II).

Setelah menguraikan hak-hak yang dilindungi oleh negara, Artikel 51 pada

Konstitusi itu juga menyebutkan bahwa ‘praktek kebebasan dan hak-hak

warganegara Cina tidak boleh bertentangan dengan kepentingan negara, masyarakat

dan kelompok, dan tidak boleh berada di atas kebebasan hukum dan hak-hak

warganegara yang lain’ (the exercise by citizens of the Poeple’s Republic of China of

their freedom and rights may not infringe upon the interests of the state, of society,

and of the collective, or upon the lawful freedoms and rights of other citizens). Lebih

16

Nikolas K. Gvosdev, “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and

Freedom of Religion,” Religion, State and Society 29, 2 (2001): h. 81-90.

Page 96: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 93

jauh dikatakan dalam Article 36 bahwa, ‘tak ada seorangpun yang boleh

mempergunakan agama untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ... berbenturan

dengan sistem pendidikan negara’ (no one may make use of religion to engage in

activities that … interfere with the educational system of the state). Apa sejatinya

yang dimaksud dengan sistem pendidikan negara itu? Dalam Artikel 19 disebutkan

bahwa sistem pendidikan negara berarti pendidikan sosialisme yang mengacu pada

Marxisme–Leninisme dan berdasarkan konsep atheis materialistik universal. Ini

secara implisit menunjukkan bahwa agama, yang percaya dengan eksistensi Tuhan

dan dunia spiritual, dianggap akan mengganggu sistem pendidikan negara yang

berorientasi pada diseminasi pandangan materialistik kepada anak didik.17

Contoh lain yang bisa disebutkan adalah Konstitusi Venezuela (Artikel 66) yang

menyatakan bahwa ‘praktek ibadah keagamaan harus berada di bawah pengawasan

badan penyelenggara negara tertinggi’ (worship shall be subject to the supreme

inspection of the National Executive) dimana ‘tidak seorangpun yang boleh

menggunakan kepercayaan atau praktek keagamaan untuk menghindari pelaksanaan

hukum’ (no one may invoke religious beliefs or disciplines in order to avoid

complying with the laws). Atau juga ditemukan dalam Artikel 24 (2) Konstitusi

Turki yang menyebutkan bahwa ‘ibadah, layanan dan acara-acara keagamaan harus

dilakukan secara bebas’ (acts of worship, religious services and ceremonies shall be

conducted freely) dengan catatan (sebagaimana dalam Artikel 13) ‘tidak melanggar

17

Lebih jauh tentang kebebasan beragama di Cina lihat antara lain Pitman B.

Potter, “Belief in Control: Regulation of Religion in China,” The China Quarterly

(2003): h. 317-337; Beatrice Leung, “China’s Religious Freedom Policy: The Art of

Managing Religious Activity,” The China Quarterly (2005): h. 894-913; and Eric R.

Carlson, “China’s New Regulation on Religion: A Small Step, Not a Great Leap,

Forward,” Brigham Young University Law Review 3 (2005): h. 747-797.

Page 97: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 94

integritas negara yang kukuh dengan batas teritori dan bangsa, dan tidak

membahayakan eksistensi Negara dan Republik Turki’ (of violating the indivisible of

the State with its territory and nation, of endangering the existence of the Turkish

State and Republic). Jika hal tersebut terjadi maka, ‘pemerintah memiliki perangkat

kekuatan legal yang utuh untuk mengikis kebebasan beragama’ (the government has

at its disposal powerful legal tools for diminishing religious freedom).18

Ambiguitas lain yang mengemuka adalah mengaitkan kebebasan beragama

dengan keamanan nasonal (national security) sebagaimana ditemukan dalam

Konstitusi Mongolia tahun 1992. Artikel 16 (15) secara jelas menyebutkan jaminan

hak kebebasan beragama, tapi dalam Artikel 19 (3) dinyatakan pula bahwa ‘dalam

pelaksanaan hak-hak dan kebebasan, seseorang tidak boleh membahayakan

keamanan nasional atau hak-hak dan kebebasan orang lain atau mengganggu

ketertiban umum’ (in exercising one’s rights and freedoms, one may not infringe the

national security or rights and freedoms of others or violate public order). Apa yang

dimaksud dengan keamanan nasional dan ketertiban umum dalam konstitusi itu tetap

tidak terdefinisikan dan kabur.

Ungkapan yang serupa juga ada dalam Konstitusi Singapura dimana negara

melindungi hak individual untuk melaksanakan atau menganut agama, namun

dikatakan pada bagian lain bahwa ‘Artikel dimaksud itu tidak memberikan

wewenang bagi suatu perbuatan yang akan bertentangan dengan hukum-hukum

umum yang berkenaan dengan ketertiban umum, keselarasan umum dan moralitas’

18

Tentang Turki lihat Mostafa Erdodan, “Religious Freedom in the Turkish

Constitution,” Muslim World 89, 3-4 (1999): h. 377-388.

Page 98: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 95

(this Article does not authorize any act contrary to any general law relating to public

order, public health or morality).

Atau dalam kasus Konstitusi Syria (Artikel 26) yang berlandaskan ajaran

Islam, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk melakukan ibadah, dan dimana

negara berkewajiban untuk memberikan jaminan ‘kebebasan pelaksanaan ritus-ritus

keagamaan sepanjang tidak menggangu ketertiban umum’ (the freedom to hold any

religious rites, provided they do not disturb the public order).

Bahasa samar tentang ketertiban umum, moralitas dan yang sejenisnya juga

ditemukan dalam berbagai konstitusi seperti di Italia, Belanda, Denmark dan

beberapa negara lain. Belajar dari pengalaman konstitusi-konsitusi itu maka secara

umum dapat dikatakan bahwa ide tentang ketertiban umum dan moralitas ini

memang menjadi tema yang paling populer bagi beberapa negara (terutama bagi

negara-negara otoriter dan semi-otoriter) untuk memodifikasi ide dan praktek

kebebasan beragama.

Subordinasi Kebebasan Agama di Bawah Kepentingan Negara

Model kedua adalah pencantuman artikel/pasal yang menyangkut kebebasan agama

itu yang ‘bertabrakan’ dengan artikel/pasal lain yang menyangkut interests of the

State, dan dimana artikel/pasal tentang kebebasan negara secara praksis

tersubordinasi dalam artikel/pasal lain itu.

Contoh untuk model ini adalah Konstitusi Pakistan. Dalam Artikel 20

dikatakan bahwa ‘setiap warganegara mempunyai hak untuk meyakini,

melaksanakan dan menyebarkan agamanya’ (every citizen shall have the right to

Page 99: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 96

profess, practise, and propagate his religion). Namun pada Article 27 juga

disebutkan bahwa ‘semua hukum yang ada harus sesuai dengan ajaran Islam yang

bersumber dari Alquran dan Assunah’ (all existing laws shall be brought into

conformity with the injunctions of Islam as laid down in the Holy Quran and

Sunnah). Di sini jelas bahwa barometer hak-hak kebebasan agama dalam Konstitusi

itu harus sesuai dengan kaidah dan pandangan konvensional hukum Islam mengenai

masyarakat non-Muslim.

Yang lain adalah Konstitusi Mesir. Dalam Artikel 46 dinyatakan bahwa

‘negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan mempraktekkan hak-hak

agama‘ (the State shall guarantee the freedom of belief and the freedom of practising

religious rights), namun pada sisi lain kebebasan ini dikontraskan dengan pernyataan

(sebagaimana dalam Artikel 2) bahwa Islam adalah agama negara... dan sumber

utama hukum adalah hukum Islam’ (Islam is the religion of the state … and the

principal source of legislation is Islamic Jurisprudence).19

Lebih lanjut, ada beberapa konstitusi yang membuat relasi unik antara

kebebasan beragama dengan keinginan untuk menghormati dan menjaga kebudayaan

atau tradisi nasional seperti dalam kasus Turkmenistan. Dinyatakan dalam Artikel 37

bahwa ‘pelaksanaan hak-hak dan kebebasan itu tidak dapat dipisahkan dari

keharusan individu dan warganegara melaksanakan kewajiban terhadap masyarakat

dan pemerintah. Setiap orang yang hidup dan berada dalam teritori Turkmenistan

diwajibkan untuk tunduk terhadap Konstitusi and hukum-hukum dan menghormati

19

Lebih detail tentang konstitusi di berbagai negara Muslim dunia dapat

ditemukan dalam Tad Stahnke and Robert C Blitt, “The Religion-State Relationship

and the Right to Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of

the Constitution of Predominantly Muslim Countries,” Georgetown Journal of

International Law 36, 4 (2005): h. 947-1078.

Page 100: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 97

tradisi nasional bangsa Turkmenistan’ (the exercise of rights and freedoms is

inseparable from fulfillment by persons and citizens of their obligations before

society and the government. Everyone living in or located on the territory of

Turkmenistan is required to obey the Constitution and laws and respect the national

traditions of Turkmenistan).

Dalam Konstitusi Yordania, juga dinyatakan hal serupa bahwa ‘negara akan

melindungi kebebasan pelaksanaan ibadah dan ritus agama yang sesuai dengan

kebiasaan yang dilakukan di Kerajaan’ (the State shall safeguard the free exercise of

all forms of worship and religious rites in accordance with the customs observed in

the Kingdom) dan karena dalam Konstitusi negara ini (Artikel 2) juga menyebutkan

bahwa Islam adalah agama negara, maka secara implisit kebebasan itu bukan hanya

harus sesuai dengan tradisi kerajaan tetapi lebih spesifik lagi harus sesuai juga

dengan tradisi yang berkembang dalam Islam. Dalam kaitan ini, ketika agama (dalam

hal ini adalah Islam) dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan identitas

nasional, maka itu berarti bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok minoritas agama

lain atau para missionaris dapat dilarang dengan alasan bahwa kegiatan mereka

tersebut merupakan ‘ancaman’ bagi kebudayaan nasional. Karena pelarangan ini

adalah bentuk reservasi budaya dari inflitrasi tradisi luar yang mengancam maka

secara logis hal itu bukan dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap kebebasan

beragama.

Di beberapa negara Barat yang dianggap maju hal yang sama juga terjadi.

Dalam Konstitusi Irlandia dikatakan bahwa atas nama ‘the Most Holy Trinity’ dan

kewajiban kepada ‘our Divine Lord, Jesus Christ’, kebebasan beragama dan praktek-

praktek keagamaan dalam Artikel 44 (2) yang dijamin kepada setiap warganegara

Page 101: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 98

harus tunduk kepada ketertiban umum dan moralitas sesuai dengan semangat

penghormatan terhadap ‘the Most Holy Trinity’ dan ‘our Divine Lord’ tadi.

Karenanya, dalam Artikel 40 (6.1.i) pemerintah berhak untuk membatasi pandangan-

pandangan yang bisa berakibat kepada ‘penistaan ketertiban umum, moralitas atau

otoritas negara. Pemerintah juga berhak melarang ‘publikasi atau ucapan yang

menghina, membangkang atau hal lain yang menyimpang’ (publication or utterance

of blasphemous, seditious, or indecent matter).

Penyempitan Makna Kebebasan Beragama

Sedangkan model ketiga adalah negara membuat definisi dalam konstitusi tentang

kebebasan beragama dan/atau istilah agama yang lebih sempit dan jauh dari

pengertian umum istilah-istilah itu sendiri. Dalam Konstitusi Yunani, sebagai misal,

Artikel 13 (2) menyebutkan bahwa negara menjamin kebebasan beribadah tetapi

melarang usaha-usaha penyebaran agama karena itu bertentangan dengan kedudukan

Gereja Ortodoks sebagai agama resmi negara (Artikel 3). Contoh lainnya adalah

Konstitusi Turki dimana setiap orang memiliki hak kebebasan menganut agama dan

menjalankannya namun kebebasan itu hanya berlaku di tingkat individual saja dan

bukan institusi korporatif agama.

Hal yang agak unik ditemukan dalam Konstitusi Argentina, dimana

warganegara memiliki ‘hak yang bebas untuk menganut agama mereka’ (freely

profess their religion) (Artikel 14), hanya saja upaya-upaya yang dilakukan secara

pribadi oleh beberapa orang selama itu tidak mengganggu ketertiban atau moralitas

dan tidak merugikan pihak ketiga, dianggap sebagai bentuk penyerahan diri kepada

Page 102: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 99

Tuhan (the private actions of men which in no way offend public order or morality,

nor injure a third party, are only reserved to God) (Artikel 19). Artikel ini

merupakan justifikasi bagi kegiatan-kegiatan missionarisme Katolik karena sesuai

dengan Konstitusi Argentina ini, Gereja Katolik adalah agama resmi negara (Artikel

2). Untuk itu kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan aktifitas religius gereja

dipahami sebagai bagian dari upaya pengabdian kepada Tuhan, dan bentuk

pengabdian ini harus didukung secara konstitusional.20

Penyempitan makna kebebasan beragama juga terdapat dalam Konstitusi

negara kita (Indonesia) dimana definisi tentang kebebasan beragama dalam UUD

1945 (baik sebelum maupun sesudah Amandemen) diletakkan dalam bingkai konsep

Tuhan yang diimbuhi (qualifying) dengan kata Yang Maha Esa. Pada titik ini, Artikel

29 (1) yang menyatakan bahwa ‘negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha

Esa’, merupakan prasyarat mutlak bagi ‘negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribabat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana yang dijelaskan pada Artikel 29 (2).

Dengan kedua artikel itu walaupun dalam retorika dinyatakan bahwa kebebasan

agama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia,

pada hakekatnya hanya agama yang memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa-lah

yang mendapat perlindungan konstitusioonal. Karena itu jika suatu kepercayaan yang

tidak bisa memenuhi prasayarat utama ini, maka ia dinyatakan bukan sebagai agama.

20

Untuk kasus Argentina, lebih jauh lihat Juan G. Navarro Floria, “Religious

Freedom in the Argentine Republic: Twenty Years after the Declaration on the

Elimination of Intolerance and Religious Discrimination,” Brigham Young University

Law Review 2 (2002): h. 341-352.

Page 103: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 100

Hal lain yang dapat ditemukan selain contoh di atas adalah penyempitan makna

agama itu sendiri. Dalam beberapa konstitusi ada kecederungan untuk

mengasosiasikan agama dengan sejarah atau kebudayaan yang telah berkembang

sedemikian lama di satu wilayah tertentu seperti Islam di Timur Tengah atau Gereja

Ortodoks di Eropa Timur. Contoh yang bisa disebutkan adalah Konstitusi Lithuania

tahun 1992 dimana kata ‘churches’ memiliki paling tidak 2 elemen penting yakni

‘societal support’ dan ‘cultural heritage’. Karena itu, ketika kata itu dikaitkan

dengan kebebasan beragama maka apa yang dilindungi oleh negara di bawah hukum

adalah ‘tradisi’ yang telah berkembang terus menerus selama lebih dari 300 tahun di

Lithuania. Jika ada tradisi lain yang baru berkembang atau kurang dari 300 tahun,

maka berdasarkan Artikel 43 (1), institusi-institusi itu akan mendapatkan

perlindungan jika memang ‘memiliki akar dalam masyarakat dan dimana ajaran dan

ibadahnya tidak bertentangan dengan moralitas atau hukum itu sendiri’ (provided

that they have a basis in society and their teaching and rituals do not contradict

morality or the law). Di sini, apa yang dipahami sebagai memiliki akar atau basis

dalam masyarakat ini tentu sangat umum dan multi-tafsir, dan pada gilirannya ini

membuka ruang negara untuk melakukan pembatasan bagi kemunculan baik agama-

agama konvensional seperti Islam, Hindu atau Buddha misalnya maupun gerakan

agama-agama baru (new religious movement) yang marak dewasa ini.

Dalam kaitan ini, menjadi penting pula untuk disebutkan bahwa beberapa

dokumen internasional seperti ICCPR dokumen memang membolehkan suatu negara

untuk mengadopsi tradisi agama yang dominan (dan/atau beberapa tradisi) sebagai

agama resmi negara (official or traditional state religion). Contoh mengenai hal

tersebut bisa ditemui dalam Konstitusi Sudan yang menjadi Islam sebagai agama

Page 104: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 101

resmi negara, Yunani dan Bulgarian dengan Gereja Ortodoks Timur, Georgia dengan

Gereja Ortodoks Apostolik Autochepal, Argentina dengan Gereja Katolik. Thailand

adalah satu-satunya negara yang jelas-jelas mengakui Buddhisme sebagai agama

resmi tapi pada saat yang sama secara konstitusional mengakui hak agama-agama

lain untuk berkembang dan mendapatkan perlindungan yang sama sebagaimana yang

diberikan terhadap Buddhisme itu.

Lalu apa kaitannya model-model itu dengan pengelolaan agama terutama di

tanah air? Sebagaimana dijelaskan di atas, secara kategoris Indonesia dimasukkan

dalam kategori ketiga dalam hubungannya dengan negara dan kebebasan agama.

Artinya, semenjak awal peran negara dalam kehidupan beragama tentu sangat besar.

Ini tidak semata-mata bahwa negara mengakui agama tetapi juga bahwa negara juga

bertindak sebagai regulator bagi kehidupan beragama. Ini dibuktikan dengan

berdirinya Departemen atau Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang

mengurusi hal-hal yang menyangkut kehidupan agama.

Pada gilirannya, dalam pengelolaan kehidupan beragama, negara juga

mengeluarkan beberapa kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung

membatasi kebebasan beragama itu sendiri. Ini terlihat semenjak dikeluarkannya

Penetapan Presiden No. 1/PnPs/1965 (juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969)

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.. Pada level ini,

akan terlihat adanya apa yang disebut sebagai ‘karakteristik keterpisahan level’

(split-level character) dalam praktek penyelenggaran pengaturan kehidupan

beragama. Pada titik ini, beberapa kasus penting mengindikasikan terdapatnya

kecenderungan kuat yang dilakukan oleh untuk melindungi kebebasan bagi mereka

yang mempercayai sebuah keyakinan agama secara tradisional saja. Tetapi tidak

Page 105: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 102

untuk mereka yang memiliki perbedaan dengan pandangan traditional mainstream

itu.

Disparitas ini tentu dapat menjelaskan bahwa terdapat perlakuan ‘diskriminatif’

yang melanggar prinsip fairness (yakni resiprok) bagi mereka yang tidak menjadi

bagian dari komunitas agama tradisional. Karena memang pada hakekatnya ada

kecenderungan dalam argumen kebebasan beragama yang secara instrinsik

diasosiasikan dengan kegiatan-kegiatan peribadatan umat beragama semata, dan

(sekali lagi) tidak mencakup mereka yang tidak beragama secara tradisional.

Inilah yang membuat sebagian kalangan merasa bahwa negara secara sengaja

atau tidak juga memainkan peranan dalam praktek-praktek diskriminasi berdasarkan

agama sebagaimana halnya terjadi dalam beberapa kasus seperti pelarangan berbagai

kelompok dan ajaran yang dianggap menyimpang dari kepercayaan mainstream yang

ada di Indonesia. Kecederungan ini kemudian diperparah dengan munculnya sikap

dan prilaku Islamisme semenjak kejatuhan rezim Orde Baru yang sering kali

menggunakan atribut simbol-simbol agama mainstream dalam melakukan kekerasan

atas nama menjaga otentitas dan kemurnian agama. Dalam konteks inilah pandangan

para aktifis dan pemuka kelompok non-agama dalam penelitian ini diletakkan

sebagaimana yang dijelaskan pada bagian berikut ini.

KELOMPOK NON MUSLIM DAN HUBUNGAN NEGARA-AGAMA

Menurut Stanley, secara prinsipil negara tidak boleh mencampuri urusan internal

agama, khususnya dalam hal penentuan pokok-pokok ajaran sebagaimana yang

pernah terjadi dalam sejarah agama Kristen dimana akibat dari campur tangan ini

Page 106: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 103

negara dengan mudah memberikan label sesat bagi kelompok atau ajaran yang

berbeda dengan apa yang menjadi kebijakan negara itu sendiri. Akan tetapi, Stanley

setuju bahwa Negara atau pemerintah berhak dan berwenang melakukan tindakan

tegas bagi mereka yang melakukan penodaan agama tertentu atau ketika pemahaman

atau ajaran dan praktek yang dilakukan umat beragama sudah mengarah kepada dan

atau sudah merupakan tindakan kriminal. Dalam kasus inilah, negara harus

melaksanakan tugasnya, yaitu mengamankan, mendamaikan dan mensejahterakan

dengan menegakkan hukum demi kemenusiaan. Di sini, negara berhak membawa

orang yang bersalah dan melanggar hukum untuk “go to cell” (yang merupakan

wewenang hukum negara) tapi tidak untuk “go to hell” (yang merupakan urusan

umat beragama).21

Stanley juga melihat bahwa hubungan yang ideal antara Negara dan agama

harus bersifat akomodatif dalam pengertian ada unsur-unsur agama yang dapat

diadopsi oleh negara. Pada titik ini ia menandaskan bahwa apa yang dipahami

sebagai unsure aadalah nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama sebagai

substansi, dan bukan pada simbol-simbol agama. Dengan itu maka Stanley percaya

bahwa di dalam menjalankan tugasnya, negara harus betul-betul memberikan

kebebasan bagi warganya untuk memiliki agama dan menjalankan ajaran agamanya,

agama apapun itu (termasuk aliran kepercayaan dan agama suku). Kelanjutan dari

itu, negara juga harus menjamin bahwa hak-hak beragama ini dapat dilaksanakan

oleh penganutnya secara bebas. Jaminan kebebasan beragama dari pemerintah ini

dapat berwujud dalam pengakuan dan penerimaan secara resmi agama-agama atau

21

Wawancara dengan Stanley Rambitan di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

pada 9 November 2010.

Page 107: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 104

umatnya yang menyatakan dirinya sebagai agama, dan yang beraktifitas sebagai

suatu organisasi agama. Selanjutanya, jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan

beragama dapat menyangkut penyediaan fasilitas agama misalnya lahan untuk

pendirian tempat atau pusat kegiatan agama, keamanan dan kedamaian dalam

beragama, serta pembinaan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut Stanley mengungkapkan bahwa pemberian kebebasan dan

penjaminan pelaksanaan kehidupan beragama oleh negara atau pemerintah kepada

masyarakat yang seturut dengan UUD 1945, tentu tidak memberikan kebebasan

sebebas-bebasnya. Seperti disinggung di atas, umat beragama di Indonesia sangat

banyak dan beragam. Indonesia adalah negara dengan masyarakat plural, sebab:

“Kebebasan mutlak bagi kelompok umat satu agama dapat menyebabkan

masalah jika itu dilakukan dengan tidak mngindahkan kaidah-kaidah sosial-

budaya dan hukum yang ada. Oleh karena itu, kaidah dan aturan yang ada itu

perlu mendapat perhatian dari umat beragama dan perlindungan dari negara.

Ketika kaidah dan aturan itu dilanggar maka di sini negara (masyarakat dan

pemerintah) harus bertindak secata tegas. Ini adalah wewenang negara, yang

melindungi masyarakat, hak-hak-asasi manusia, kemanusiaan yang universal

dan peradaban yang tinggi.”22

Pandangan yang sama juga diungkap oleh beberapa responden dimana

hubungan Negara dan agama harus diletakkan dalam bingkai dimana orang

beragama dapat mempraktekkan agama yang diyakini masing-masing, namun di sisi

lain umat beragama itu juga harus mematuhi segala peraturan negara yang telah

disepakati. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh Bhikku Saddhaviro harus

disepakati pula bagaimana pengelolaan negara terhadap agama yang dapat membawa

kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman hidup semua umat beragama

22

Wawancara dengan Stanley Rambitan.

Page 108: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 105

sebagaimana yang bisa dilakukan oleh negara Amerika dan beberapa Negara lain

yang sekuler. Sistem ini sangat penting sebab tanpa itu hubungan antara keduanya

tidak akan bias berjalan dengan baik. Ini mengandaikan, ungkap Bhikku Saddhaviro,

bahwa peraturan yang dibuat harus menjadi landasan bersama dimana negara harus

terus mengawal, membimbing dan mengarahkan warga negara untuk taat kepada

ajaran agama yang diyakini masing-masing. Pada kesempatan yang sama para

pemeluk agama juga diharapkan untuk taat dengan aturan Negara, dan dengan itu,

Bhikku Saddhaviro percaya bahwa sinergi ini tidak akan menimbulkan banyak

masalah yang mengganggu kehidupan bermasyarakat.23

Adalah penting untuk dijelaskan bahwa hampir semua responden tidak terlalu

khawatir dengan wacana pendirian negara Islam di Indonesia. Bagi mereka ide untuk

mendirikan negara Islam tidak akan mendapatkan dukungan dari semua orang

Muslim di Indonesia karena pada dasarnya menurut mereka ide tentang negara Islam

sendiri kurang memiliki landasan historis dan konseptual di negara ini. Lebih lanjut

Stanley sebagai misal mengatakan bahwa:

“Soal cita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia (atau Khilafah Islamiyah

di daerah Asia/Tenggara), ini tidak mengkuatirkan. Hal ini karena, idealisme

demikian tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat Islam dan apalagi

masyarakat internasional. Idealisme seperti itu tidak mendapat dukungan

karena sudah tidak relevan untuk jaman globalisasi (dengan penekanan pada

rasionalisme, liberalisme dan humanisme) serta IPTek yang sudah sangat

merakyat di mana-mana, termasuk di Indonesia. Apalagi, contoh negara-negara

yang mencerminkan ideologi dan corak Islam yang kuat juga tidak ideal, di

mana masalah sosial-politik, ekonomi, dan kemanusiaan masih sangat

menonjol, seperti di Iran, Irak, Afganistan dan Pakistan.”24

23

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro di Vihara Ratana Graha Jakarta Barat

pada 18 November 2010. 24

Wawancara dengan Stanley Rambitan.

Page 109: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 106

DESENTRALISASI DAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM

Secara umum ide tentang penerapan syariat Islam tidak semata-mata merupakan

eforia politik agama kelompok Islamis, tetapi juga merupakan unintended

consequence dari amandemen UUD 1945 yang dilakukan 4 kali. Memang dapat

diakui bahwa amandemen konstitusi itu membawa banyak perubahan dalam

konstruksi dasar hukum konstitusi kita dimana hak-hak individu (individual rights)

yang juga merupakan hak-hak asasi (human rights) mendapat perlindungan secara

maksimal. Hampir semua prinsip yang berkenaan dengan hak asasi manusia

(principles of human rights) dapat ditemukan dalam amandemen UUD 1945 ini

seperti hak untuk hidup (Pasal 28A), mendapat informasi (Pasal 28F), hak untuk

tidak disiksa dan mencari suaka (Pasal 28H), hak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum serta untuk diperlakukan sama di hadapan hukum

(Pasal 28D) atau hak bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I). Karena

itu secara umum dapat dikatakan bahwa komitmen konstitusional bagi penegakan

hak-hak individu (individual rights) itu layak untuk diapresiasi.

Di sisi lain, UUD 1945 hasil amandemen ini juga memuat pasal yang

berkenaan dengan kebijakan desentralisasi yang memberikan porsi bagi daerah untuk

mengatur pemerintahannya sendiri sesuai dengan sumber daya yang dimiliki secara

ekonomis dan politis (Pasal 18). Tentu saja hal yang baru dari kebijakan

desentralisasi ini adalah bahwa pemerintah lokal memiliki daya tawar untuk

membuat kebijakan lokal yang independen dari pengaruh pemerintah pusat.

Dalam konteks ini, pada prinsipnya, apa yang diamanatkan dalam kebijakan

desentralisasi itu menjadi semacam ‘pengakuan’ atas collective rights dalam bentuk

Page 110: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 107

dan semangat yang agak berbeda. Memang sejatinya collective rights adalah hak-

hak yang bisa diusung oleh warganegara (atau kelompok) ketika ia menjadi bagian

dari kelompok tertentu yang ‘didefinisikan’ dalam aturan negara.25

Karena itu secara

teoritis collective rights biasanya ditujukan kepada kelompok minoritas, dimana hak-

hak yang bersifat pengecualian (circumstances) dan afirmatif ini identik dengan

minority rights atau hak-hak minoritas baik secara kultural, etnis maupun agama

untuk memproteksi atau mempertahankan eksistensi mereka.26

Hanya saja dalam kasus Indonesia, kebijakan desentralisasi ini (yang

diletakkan dalam konteks kabupaten) secara tidak sengaja telah menciptakan

enclave-enclave yang berafiliasi dalam etnis dan kelompok agama secara umum

bersifat homogen (dengan variasi yang tidak cukup signifikan). Pada

perkembangannya, dalam kehidupan keagamaan, enclave yang dihasilkan dari

kebijakan desentralisasi itu secara logis memunculkan regulasi yang pastinya

memihak kelompok mayoritas dalam enclave itu saja. Ini ditandai dengan semakin

maraknya kemunculan peraturan-peraturan daerah penegakan syariah Islam di

beberapa kabupaten di tanah air.

Jika kita kembali kepada unintended consequence dari kebijakan desentralisasi

tadi, maka jelas bahwa enclave dimana kelompok mayoritas (yang secara politis

25

Gary F. Bell, “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will

Constitutional Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore

Journal of International and Comparative Law 5 (2001): h. 793-4. 26

Dalam prakteknya collective rights atau minority rights ini terdiri atas 2 (dua)

macam yakni hak-hak yang diajukan secara individual (individually exercised

minority rights) misalnya hak untuk mendapatkan pengajaran bahasa ibu bagi suku

aborigin di Kanada dan hak-hak yang diajukan secara kolektif (collectively exercised

minority rigths) seperti pemberlakuan hukum-hukum lokal sebagaimana terjadi di

Australia. Lihat pula Douglas Sanders, “Collective Rights,” Human Rights Quarterly

13 (1991), h. 368-386.

Page 111: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 108

memperjuangkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok untuk masuk dalam ranah

regulasi) menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan multikultur

bangsa ini ke depan. Lebih jauh lagi, enclave-enclave ini di beberapa tempat juga

diduga menjadi ladang subur bagi persemaian ‘campaign against heresy’, meminjam

istilah Olle,27

yakni ideologi anti toleran atas ajaran-ajaran atau kelompok yang

dianggap berbeda sebagaimana yang dilakukan terhadap Jemaah Ahmadiyah, Jemaah

Taman Eden Lia Aminuddin dan beberapa kelompok yang dianggap menyimpang

dari keyakinan mayoritas.

Munculnya enclave-enclave berdasarkan agama seiring dengan semangat

desentralisasi tadi mungkin saja hanya sebuah kebetulan. Namun jika disaksamai,

terlihat suatu pola yang cukup runtun dari apa yang disebut dengan the creeping

shariatisation di Indonesia dewasa ini. Secara politis, agak sulit rasanya untuk

memisahkan antara semangat penerapan syariah Islam di beberapa kabupaten dengan

munculnya kesadaran untuk melakukan penyerangan fisik atas mereka yang dituduh

sebagai ‘penoda agama’ seperti Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah baru-baru

ini, atau memobilisir penolakan atas ideologi Islam yang liberal, plural dan sekular,

pengrusakan gereja-gereja yang dianggap ilegal, dan demontrasi RUU anti-

pornografi yang terjadi beberapa waktu lalu.

Secara teoritis, hampir bisa dipastikan bahwa penghargaan terhadap

multikulturalisme dan hak-hak minoritas secara otentik justru hanya bisa dilakukan

dalam kondisi dimana tidak ada satu nilai tertentu yang dijadikan sebagai basis

utama. Sebuah perjuangan hak-hak yang ‘sehat’ bisa berkembang dalam sebuah

27

John Olle, “The Campaign Against ‘Heresy’: State and Society in

Negotiation in Indonesia,” Paper presented to the 16th

Biennial Conference of the

Asian Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.

Page 112: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 109

sistem sosial dimana satu nilai seperti agama tidak diperlakukan sebagai entitas

terpisah atau distinct tetapi seimbang dan sama.28

Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal

kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John Rawls dengan konsep

comprehensive doctrine itu.29

Secara sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa value

pluralism melihat bahwa setiap nilai baik dari moralitas, agama maupun filsafat

adalah sangat absolut (absolute depth). Yang harus ditemukan dalam pada ini adalah

comprehensive doctrines sebagai modus vivendi bagi hubungan nilai-nilai itu.30

KELOMPOK NON-MUSLIM, PARTAI POLITIK ISLAM DAN

PERATURAN DAERAH BERLANDASKAN SYARIAT ISLAM

Penting untuk ditegaskan bahwa kebanyakan dari para responden tidak terlalu risau

dengan fenomena munculnya berbagai partai politik Islam di pentas nasional. Bagi

mereka, pilihan artikulasi politik dengan membawa simbol agama merupakan hal

yang wajar dalam negara demokrasi. Di sini mereka percaya bahwa ketangguhan dan

kemampuan untuk bertahan sebuah partai politik akan ditentukan oleh

kemampuannya untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan kelompok-

kelompok lain dan kemampuan untuk melakukan konsolidasi secara konsisten. Oleh

karena itu, secara prinsipal mereka juga tidak terlalu risau dengan banyaknya partai

28

David W. Machacek, “The Problem of Pluralism,” Sociology of Religion 64,

no. 2 (2003): hal. 152-3. 29

John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia Univeristy Press,

1996). 30

Robert B. Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The

Harvard Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): hal. 57-72.

Page 113: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 110

yang mengusung agenda-agenda Islamisme, dan dalam kenyataannya memang

agenda-agenda itu memang bersifat instan dan abstrak sebatas sebagai cara efektif

untuk mendapat dukungan dan tidak memiliki perangkat konseptual yang memadai.

Lain halnya dengan pandangan mereka tentang penerapan beberapa peraturan

daerah yang mengusung wacana Islamisme dan syariat Islam. Bagi mereka

munculnya peraturan ini bukannya mensegregasi masyarakat tetapi juga memiliki

potensi untuk terjadinya diskrimanasi layanan yang diberikan oleh pemerintah

terhadap semua warganegaranya.31

Kekhawatiran atas peraturan-peraturan ini juga diungkap oleh Stanley yang

secara tegas menyatakan bahwa:

“Soal perda-perda bercorak Islam/syariah, cukup mengkuatirkan karena

mengancam kebinekaan. Saya kuatir, bukan hanya karena saya sebagai seorang

Kristen, tapi juga sebagai warga masyarakat/negara. Sebagai seorang Kristen,

saya melihat Perda seperti itu sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif;

bahwa ada hukum atau peraturan yang memperlihatkan dasar atau corak agama

Islam; jadi ada keberpihakan negara terhadap satu kelompok di dalam

masyarakat. Padahal negara dan hukum negara seharusnya tidak berdasar pada

atau memihak ke satu agama apa pun. Perda seperti itu dapat menimbulkan

kecemburuan bagi penganut agama lain. Ini dapat menyebabkan apatisme

bernegara dari umat agama yang berbeda. Sebagai warga negara, saya melihat

Perda seperti itu melanggar hukum atau UU atau peraturan di negara

Indonesia; bahwa seharusnya Perturan apapun yang dibuat dan diterapkan di

Indonesia seharusnya berdasar pada Pancasila dan UUD’45. Jika ada peraturan

yang tidak berdasar pada pancasila dan UUD’45 itu maka peraturan itu tidak

sesuai dengan dasar, ideologi dan konstitusi negara. Jadi perda-perda demikian

tidaklah konstitusional.”32

Hal yang sama juga diutarakan oleh Jans Aritonang yang melihat bahwa perda-

perda tersebut memiliki segregasi jangka panjang yang menodai cita-cita perjuangan

para pendiri bangsa ini. Bhikku Saddhaviro juga melihat bahwa perda-perda itu juga

31

Bertholomeus Bolong, “Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Prespektif

Gereja Katolik,” Al-Mawarid XVI (2006): hal 146-161 32

Wawancara dengan Stanley Rambitan.

Page 114: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab IV Islamisme dan Respon Kelompok Non Muslim: Agama dan Negara | 111

lebuih merupakan komoditas politik intan yang jauh dari semangat untuk mengakui

eksistensi kelompok lain dalam kehidupan berbaangsa yang multi etnis dan agama

seperti Indonesia.33

Lebih jauh ia mengatakan:

“[Perda-perda] iItu sangat berbahaya dalam konteks eksistensi keberadaan

agama-agama, termasuk menodai cita-cita para pendiri bangsa yang tentu

berpikir bukan hanya untuk kepentingan sendiri tapi berpikir jangka panjang.

Perda-perda syari’ah mengancam kebijakan nilai-nilai universal yang dulu

telah dirumuskan para para pendiri negara ini. Perda-perda itu tidak

mengakomodir semua kepentingan warga dan masyarakat bangsa Indonesia.

Tentu saja hasil dari perda-perda itu tidak semudah apa yang dibayangkan

meskipun mungkin telah dipersiapkan dengan matang dan sedemikian rupa,

karena jelas para pembuat perda-perda itu tidak mengakomodir semua

kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.Jika kita kembali kepada

teologi agama, Tuhan sendiri menciptakan manusia beraneka ragam. Kita—

secara bersama-sama—harus terus berusaha melakukan penyadaran kepada

saudara-saudara pembuat perda itu untuk tidak memaksakan kehendak karena

akan mengancam kebersamaan dan pluralism sebagai dasar-dasar bernegara

dan beragama di negeri ini.”

33

Wawancara dengan Bhikku Saddhaviro

Page 115: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab V

PENUTUP

KESIMPULAN

Toleransi adalah sikap individu yang muncul ketika ia berhadapan dengan sejumlah

perbedaan dan bahkan pertentangan baik di tingkat sikap, pandangan, keyakinan dan

juga tindakan yang tumbuh di tengah masyarakat. Toleransi memiliki peran penting

untuk melihat tingkat kesadaran masyarakat hidup di tengah alam pluralis dan

heterogen sebagaimana dewasa ini.

Menarik untuk diungkap bahwa terdapat banyak faktor yang menumbuhkan

perbedaan cara pandang dalam hal toleransi ini di tanah air seperti pengalaman

sejarah diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupan bernegara pada masa Orde

Baru, dan fenomena munculnya fenomena baru Islamisme dalam satu dekade

terakhir. Tentu perbedaan cara pandang tentang toleransi kaum Muslim di Indonesia

tentu memiliki pengaruh bagi pemahaman mereka terhadap eksistensi kelompok-

kelompok agama non-Islam.

Dari wawancara dan penelusuran literatur yang dilakukan, secara umum dapat

disimpulkan bahwa hampir semua pemuka dan aktifis kelompok non-Muslim cukup

khawatir dengan kecenderungan peningkatan sikap intoleransi dalam hubungan

beragama di Indonesia. Ini diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk

Page 116: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab VI Penutup | 115

memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapai dim masyarakat sosial

seperti rumah ibadah yang memiliki potensi konflik yang sangat tinggi.

Beberapa tokoh non-Muslim menyoroti semakin berkembangnya pemaksaan

atas suatu nilai dan simbol dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh beberapa

kelompok garis keras di tanah air, dimana kekerasan tersebut sebenarnya justru

bertentangan dengan sudut pandang keluhuran, kemuliaan dari ajaran agama itu

sendiri. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah umat beragama terus secara bersama-

sama mendorong pemerintah untuk mengambil peran yang tegas dalam menjaga

toleransi kehidupan beragama di tanah air.

Lebih lanjut, beberapa tokoh non-Muslim melihat bahwa intoleransi ini

sebenarnya juga dipicu oleh utamanya isu-isu lama seperti Kristeniasi dan perbedaan

nomenklatur keagamaan secara internal sebagaimana yang terjadi dalam kasus

Ahmadiyah. Betapapun mereka menganggap hal tersbut sebagai bagian dari

diskursus internal kaum Muslim di tanah air, namun mereka juga sangat

menyesalkan sikap beberapa tokoh agama yang terlihat memberikan justifikasi bagi

pelakuan yang kurang baik terhadap mereka seperti pengrusakan masjid Ahmadiyah

dan pengusiran mereka dari rumah-rumah yang mereka miliki. Sebab menurut

mereka, jika terjadi proses pembiaran politik maka terdapat gerakan-gerakan agama

baru yang dianggap menyimpang itu maka tida mentup kemungkinan jika kekerasan

yang sama juga bisa saja terjadi terhadap kelompok mereka.

Oleh karena itu, sekali lagi mereke dengan tegas menyerukan pentingnya peran

pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana.

Bagi para aktifis itu, apapun dalih yang dikeluarkan oleh para Islamis ini dalam hal

penyelesaian kasus-kasus internal keagamaan. Adalah penting untuk ditegaskan

Page 117: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab VI Penutup | 116

bahwa kelompok-kelompok kecil itu tetap berhak mendapatkan jaminan keselamatan

dari negara karena mereka adalah juga warganegara yang sah.

Gerakan anti-pluralisme menurut para tokoh non Muslim ini juga menjadi

bagian dari terpenting dari menguatnya Islamisme, dan sekali lagi ketidakmampuan

negara untuk memainkan peran yang baik di antara kelompok-kelompok agama yang

ada menjadi amunisi efektf bagi berkembagnya wacana itu. Solidaritas atas umat

beragama menjadi sangat penting untuk menghadapi gerakan anti pluralisme ini

demi kehidupan dan kemaslahatan bersama di tanah air. Sebab, sesekecil

bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan sosial, pendidikan, ekonomi dan hal-hal yang konkret lainnya tentu

memiliki nilai yang jauh lebih penting.

Dalam hal hubungan ideal antara negara dan agama, beberapa aktifis kelompok

non-Muslim melihat bahwa secara prinsipil negara tidak boleh mencampuri urusan

internal agama, khususnya dalam hal penentuan pokok-pokok ajaran. Sebab label-

label yang diberikan agama, seperti sesat misalnya justru memicu konflik yang

berkepanjangan dalam masyarakat. Akan tetapi, beberapa tokoh tentu tetap setuju

jika negara atau pemerintah melakukan tindakan tegas bagi mereka yang melakukan

penodaan agama tertentu atau ketika pemahaman atau ajaran dan praktek yang

dilakukan umat beragama sudah mengarah kepada dan atau sudah merupakan

tindakan kriminal. Bagi mereka dalam kasus-kasus ini, negara harus melaksanakan

tugasnya dengan menegakkan hukum demi kemanusiaan. Di sini, negara berhak

membawa orang yang bersalah dan melanggar hukum untuk “go to cell” (yang

merupakan wewenang hukum negara) tapi tidak untuk “go to hell” (yang merupakan

urusan umat beragama).

Page 118: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab VI Penutup | 117

Karena itu yang hubungan yang ideal antara negara dan agama harus bersifat

akomodatif dalam pengertian ada unsur-unsur agama (tetapi bukan simbol-simbol

agama) yang dapat diadopsi oleh negara. Pada titik ini ia menandaskan bahwa apa

yang dipahami sebagai unsur adalah nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh agama

sebagai substansi agama.

Lebih lanjut, sebagaimana diungkap oleh beberapa responden dimana

hubungan negara dan agama harus diletakkan dalam bingkai dimana orang beragama

dapat mempraktekkan agama yang diyakini masing-masing, namun di sisi lain umat

beragama itu juga harus mematuhi segala peraturan negara yang telah disepakati.

Adalah penting untuk dijelaskan bahwa hampir semua responden tidak terlalu

khawatir dengan wacana pendirian negara Islam di Indonesia. Bagi mereka ide untuk

mendirikan negara Islam tidak akan mendapatkan dukungan dari semua orang

Muslim di Indonesia karena pada dasarnya menurut mereka ide tentang negara Islam

sendiri kurang memiliki landasan historis dan konseptual di negara ini.

REKOMENDASI

Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini, maka terdapat beberapa

rekomendasi yang bisa diajukan: Pertama, diperlukan sebuah strategi bersama untuk

mengeliminir munculnya budaya intoleransi dan anti-pluralisme yang cenderung

menguat dengan mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tegas terhadap

kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan sebuah

kepentingan. Negara harus mampu memberikan jaminan bagi terciptanya kehidupan

keagamaan yang kondusif.

Page 119: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Bab VI Penutup | 118

Kedua, diperlukan kebijakan-kebijakan yang mampu mengawal kehidupan

keagamaan yang sehat dan fair dalam mengatur kehidupan keagamaan. Adalah fakta

bahwa beberapa kebijakan yang diambil oleh negara cenderung bersifat ad hoc dan

atas tekanan politis dari suatu kelompok dan bukan untuk menyelesaikan masalah

dalam waktu yang panjang.

Ketiga, diperlukan pula keterlibatan perguruan tinggi Islam yang secara

proaktif terlibat dalam pembuatan dan pengawasan kebijakan negara dalam

kehidupan keagamaan secara kontinum.

Page 120: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Daftar pustaka

Alatas Alwi dan Desliyanti, Fefrida. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di

SMA Negeri Se-Jabotabek 1982-1991. Jakarta: Al-I’tishom, 2002.

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.

Aritonang, Jan S. ”Dinamika Perkembangan Kristen [Protestan] di Indonesiadalam

Konteks Pluralitas Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang Ditinjau dari

Perspektif Historis.” makalah disampaikan pada acara seminar “Studi Agama-

agama: Belajar Bersama Kelompok Antar-Iman.” Manado, Sulawesi Utara

pada 19-22 November 2007.

Asad, Muhammad. This Law of Ours. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.

Atkinson, Jane Monig. “Religion in Dialogue: The Construction of an Indonesian

Minority Religion.” American Etnologist 10, 4 (1983): 686-699.

Ball, Alan R. Modern Politics and Government. London: Macmillan, 1994.

Bates, M. Searle. Religious Liberty: An Inquiry. New York: Harper and Brothers,

1945.

Beaman, Lori. “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The Constitutional

Privileging of Protestantism in the United States and Canada.” Journal for the

Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): 118-126.

Bell, Gary F. “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional

Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore Journal of

International and Comparative Law 5 (2001): 793-804.

Beyer, Peter. “Constitutional Privilege and Constituting Pluralism: Religious

Freedom in National, Global, and Legal Context.” Journal for the Scientific

Study of Religion 42, 3 (2003): 333-339.

Bolong, Bertholomeus. “Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Prespektif Gereja

Katolik.” Al-Mawarid XVI (2006): 146-161.

Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University

Press, 1977.

Carlson, Eric R. “China’s New Regulation on Religion: A Small Step, Not a Great

Leap, Forward.” Brigham Young University Law Review 3 (2005): 747-797.

Christiansen, Connie Carøe. “Women’s Islamic Activism: Between Self-Practices

and Social Reform Efforts.” Dalam Esposito, John L dan Burgat, François

(eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the

Middle East. New Brunswick New Jersey: Rutger University Press, 2003.1

Page 121: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Daftar Pustaka dan Wawancara | 120

Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan

Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.

Erdodan, Mostafa. “Religious Freedom in the Turkish Constitution.” Muslim World

89, 3-4 (1999): 377-388.

Floria, Juan G. Navarro. “Religious Freedom in the Argentine Republic: Twenty

Years after the Declaration on the Elimination of Intolerance and Religious

Discrimination.” Brigham Young University Law Review 2 (2002): 341-352.

Foucault, Michel. Technologies of Self: A Seminar with Foucault (London:

Tavistock, 1988).

Garvey, John H. “An Anti-Liberal Arguments for Religious Freedom.” Journal of

Contemporary Legal Issues 7 (1996): 276-291.

Gill, Anthony. “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical Outline.”

Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): 1-15.

_______. “The Political Origins of Religious Liberty: A Theoretical Outline.”

Interdisciplinary Journal of Research on Religion 1 (2005): 3-35.

Gunn, T. Jeremy. “Majorities, Minorities and the Rights of Religion and Belief.”

Helsinki Monitor 3 (1998): 38-44.

_______. “The Complexity of Religion and the Definition of ‘Religion’ in

International Law.” Harvard Human Right Journal 16 (2003): 189-215.

_______. “Under God but Not the Scarf: The Founding Myths of Religious Freedom

in the United States and Laïcité in France.” Journal of Church and State 46, 1

(2004): 7-24.

Gvosdev, Nikolas K. “Constitutional Doublethink, Managed Pluralism and Freedom

of Religion.” Religion, State and Society 29, 2 (2001): 81-90.

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilization: Remaking of the World Order.

New York: Simon and Schister, 1997.

J.A., Denny. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Jakarta: CV

Miswar, 1990.

Jamhari dan Jahroni Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2004.

Krishnaswami, Arcot. “Study of Discrimination in the Matter of Religious Rights

and Practice,” U.N. Doc.E/CN.4/Sub.2 /200/Rev.1, U.N. Sales No. 6.XIV.2.

Lerner, Natan. Religion, Beliefs and International Human Rights. Maryknoll, New

York: Orbis, 2000.

Leung, Beatrice. “China’s Religious Freedom Policy: The Art of Managing

Religious Activity.” The China Quarterly (2005): 894-913.

Lewis, Bernard. The Jews of Islam. Princeton: Princeton University Press, 1985.

_______. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.

Oxford: Oxford Univerity Press, 2002.

Page 122: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Daftar Pustaka dan Wawancara | 121

Lillich Richard B. dan Hannum, Hurst. International Human Rights. Buffalo, New

York: William S. Hein, 1995.

Machacek, David W. “The Problem of Pluralism.” Sociology of Religion 64, no. 2

(2003): 145-161.

Madjid, Nurcholish. “Beberapa Renungan tentang Keagamaan untuk Generasi

Mendatang.”Dalam Ulumul Qur’an 1, IV (1993).

_______. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

Mann, Michael. The Sources of Social Power: The Rise of Classes and Nation-States.

Cambridge: Cambridge University Press. 1993.

Marty, Martin E. and Appleby R. Scott (eds.). Fundamentalism Comprehended.

Chicago and London: The University of Chicago Press, 1995.

Migdal, Joel S. Strong Societies and Weak States. New Jersey: Princeton University

Press, 1988.

Moore, G.E. Principia Ethica. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.

Musalo, Karen. “Claims for Protection Based on Religion or Belief. “International

Journal of Refugee Law 16, no. 2 (2004): 165-226.

Nieuwenhuijze, C.A.O van. Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia. The Hague

and Bandung, EJ Brill, 1958.

Oliva, Javier Garcia. “The Legal Protection of Believers and Beliefs in the United

Kingdom.” The Ecclesiastical Law Society 9 (2007): 66-86.

Olle, John. “The Campaign Against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in

Indonesia.” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian

Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.

Padelford, Norman J. International Guarantees of Religious Liberty. New York:

International Missionary Council, 1942.

Potter, Pitman B. “Belief in Control: Regulation of Religion in China.” The China

Quarterly (2003): 317-337.

Qardhawi, Yusuf. Muslimah: Harapan dan Tantangan. Jakarta: Gema Insani Press,

1994.

Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1983.

Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia Univeristy Press, 1996.

Rippin, Andrew. “Interpreting the Bible Through the Qur’an.” Dalam Hawting, G.R.

dan Shareef Abdul-Kader A. (eds.). Approaches to the Qur’an. London:

Routledge, 1993): 249-256.

Ropi, Ismatu. “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab.” Paramadina 1, no. 1 (1999): 79-101.

Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Massachusettes: Harvard University,

1994.

Sanders, Douglas. “Collective Rights.” Human Rights Quarterly 13 (1991): 368-386.

Page 123: RESPON KELOMPOK NON-MUSLIM TERHADAP PERKEMBANGAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Laporan Penelitian ini berkenaan dengan Respon Kelompok Non Muslim terhadap

Daftar Pustaka dan Wawancara | 122

Sarwini. “Tinjauan Yuridis-Kriminologis terhadap RUU KUHP: ‘Kriminalisasi’ atas

Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama.” Catatan Seminar Kriminalisasi

atas Penghinaan Agama dan Kehidupan Beragama oleh Komnas HAM,

ELSAM, PUSHAM Ubaya, KAHAM Undip dan PAHAM Unpad di Surabaya

tanggal 13 Desember 2005.

Scheinin, Martin. “Freedom of Thought, Conscience and Religion.” Studia Theologia

54 (2000): 5-18.

Sidjabat, Bonar. Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study the Concept of

Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and

Christianity. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965.

Simandjuntak, Marsilam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur and

Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Grafiti Press, 1994.

Stahnke, Tad dan Blitt, Robert C. “The Religion-State Relationship and the Right to

Freedom of Religion or Belief: A Comparative Textual Analysis of the

Constitution of Predominantly Muslim Countries.” Georgetown Journal of

International Law 36, 4 (2005): 947-1078.

Stahnke, Tad dan Martin, J. Paul. Religion and Human Rights: Basic Documents.

New York: Center for the Study of Human Rights Columbia University, 1998.

Sullivan, Donna J. “Advancing the Freedom of Religion or Belief Through the UN

Declaration on the Elimination of Religious Intolerance and Discrimination.”

The American Journal of International Law 82 (1988): 487-520.

Talisse, Robert B. “Liberalism, Pluralism, and Political Justification.” The Harvard

Review of Philosophy XIII, no. 2 (2005): 57-72.

Thomson, Judith Jarvis. “The Right and the Good.” Journal of Philosophy 94 (1997):

273-98.

Utvik, Bjorn Olav. “The Modernizing Force of Islamism.” Dalam Esposito, John L

dan Burgat, François (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere

in Europe and the Middle East. New Brunswick New Jersey: Rutger University

Press, 2003.

Van der, Justus M. “Conflicts of Religious Policy in Indonesia.” Far Eastern Survey

22, 10 (September 1953): 123-142.

Wahid, Abdurrahman. “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban

Islam.” Dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontektualisasi Doktrin Islam

dan Sejarah. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994): 545-552.

Wawer, von Wendelin. Muslime und Christien in der Republik Indonesia.

Weisbaden: Franz Steiner Verlag, 1974.

Wood JR., James E. “Religious Rights and a Democratic State.” Journal of Church

and State 46 (Autumn 2004): 739-765.

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Vol. 1.

Jakarta: Jajasan Prapantja, 1959.