representasi masyarakat pincalang menghadapi era

23
138 Kajian Linguistik, Februari 2015, 138-160 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660 REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA MODERNISASI DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU Rini Efri Leni [email protected] Asmyta Surbakti, Siti Norma Nasution Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi. Karya sastra sebagai objek penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data berupa prilaku yang diamati dari tokoh dalam novel. Penganalisisan merupakan penerapan dari teori sosiologi sastra dan teori perubahan sosial terhadap karya sastra.Objek penelitian adalah novel Pincalang karya Idris Pasaribu, bercerita tentang perjalanan hidup orang-orang Pincalang (orang perahu) di pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Mereka adalah penjaga habitat laut, termasuk kayu bakau dan terumbu karang, serta diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Sumber data berupa data primer dari teks novel, didukung oleh data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan pengarang dan beberapa informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam upaya menjaga kearifan lokal di tengah benturan tradisional dan modernisasi. Pelestarian alam yang dilakukan oleh Amat dan keluarganya turun temurun, tidak lagi dapat terjaga, karena banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut, sehingga masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada. Kata kunci: representasi, pincalang, modernisasi, hegemoni, kapitalisme REPRESENTATION OF PINCALANG COMMUNITY IN FACING MODERNIZATION ERA IN THE NOVEL PINCALANG BY IDRIS PASARIBU Abstract The matter in this research is how the authors represent the Pincalang people in the age of modernization in Pincalang novel by Idris Pasaribu. This research aims to describe the attempts of Pincalang people to keep their local wisdom trough modernization. Literature as the object of this research using qualitative methods that produce data in the form of the Tahun ke-12, No 1

Upload: hoangtu

Post on 22-Jan-2017

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

138

Kajian Linguistik, Februari 2015, 138-160

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

MODERNISASI DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU

Rini Efri Leni

[email protected]

Asmyta Surbakti, Siti Norma Nasution

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengarang

merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam

novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Tujuan penelitian untuk

mendeskripsikan upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam

menghadapi era modernisasi. Karya sastra sebagai objek penelitian ini

menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data berupa prilaku yang

diamati dari tokoh dalam novel. Penganalisisan merupakan penerapan dari

teori sosiologi sastra dan teori perubahan sosial terhadap karya sastra.Objek

penelitian adalah novel Pincalang karya Idris Pasaribu, bercerita tentang

perjalanan hidup orang-orang Pincalang (orang perahu) di pesisir pantai

barat Pulau Sumatera. Mereka adalah penjaga habitat laut, termasuk kayu

bakau dan terumbu karang, serta diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga

laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Sumber data berupa data

primer dari teks novel, didukung oleh data sekunder berupa sumber-sumber

lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra,

serta wawancara dengan pengarang dan beberapa informan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang

menghadapi era modernisasi dalam upaya menjaga kearifan lokal di tengah

benturan tradisional dan modernisasi. Pelestarian alam yang dilakukan oleh

Amat dan keluarganya turun temurun, tidak lagi dapat terjaga, karena

banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut, sehingga

masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat

merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada.

Kata kunci: representasi, pincalang, modernisasi, hegemoni, kapitalisme

REPRESENTATION OF PINCALANG COMMUNITY IN FACING

MODERNIZATION ERA IN THE NOVEL PINCALANG BY IDRIS PASARIBU

Abstract

The matter in this research is how the authors represent the Pincalang

people in the age of modernization in Pincalang novel by Idris Pasaribu.

This research aims to describe the attempts of Pincalang people to keep

their local wisdom trough modernization. Literature as the object of this

research using qualitative methods that produce data in the form of the

Tahun ke-12, No 1

Page 2: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

139

observed behaviour of the characters in the novel. Analyzing an application

of sociological theory and social-changing theory to the literatures. The

object of this research is Pincalang novel by Idris Pasaribu, tells the journey

of life of Pincalang people (the boat-man) on the west coast of Sumatera

Island. They are the keepers of marine habitats, including coral reefs and

mangrove wood, and are taught by local wisdom to keep the sea in order to

get the best from nature. Sources of data in the form of primary data is taken

from novel texts, supported by secondary data sources such as oral and

written acquired from books, documentations, results of the study of

literature, as well as interviews with the author and several informants. The

results showed that the author represents Pincalang people facing the

modernization and efforts to keep the local wisdom in the midst of the clash

of traditional and modernization. Natural preserving by Amat and his family

for generations, no longer can be maintained, because many capitalist

fishermen simply exploiting the sea, so that Pincalang people slowly become

extinct. This research is expected to revitalize the local wisdom that ever

existed.

Keywords: representation, pincalang, modernization, hegemony,capitalism

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Karya sastra merupakan representasi realitas sosial dalam kajian sosiologi sastra.

Realitas itu hadir dalam karya sastra dengan objeknya adalah realitas faktual masyarakat

melalui kreativitas pengarang yang mempelajari sastra sebagai dokumen sosial dan

sebagai potret kenyataan sosial. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan

fenomena individual, melainkan juga dapat mengidentifikasi dan mengenali perilaku

kelompok masyarakat serta merekam terjadinya perubahan sosial suatu kelompok

masyarakat.

Faruk (2013: 51) menjelaskan bahwa karya sastra dapat menggambarkan objek-

objek dan gerak-gerik yang berbeda dari objek-objek dan gerak-gerik yang terdapat

dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi cara strukturasinya atas objek

dan gerak-gerik itu, karya sastra dapat memperlihatkan persamaan dengan cara strukturasi

dalam dunia sosial. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai fotografi, melainkan

sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas secara jujur, objektif, tetapi juga

dapat mencerminkan kesan realitas subjektif. Oleh karena itu, sebuah karya sastra

merupakan cerminan realitas yang lebih lengkap dan kompleks daripada cermin realitas

itu sendiri.

Sastra sebagai dokumen sosial menjadi perhatian Ratna (2007: 389) yang

menyatakan bahwa sastra warna lokal memerlukan data khusus dalam bentuk fakta-fakta

sosial sesuai dengan semesta yang diacu. Ini menunjukkan bahwa data yang akurat

mengenai fakta-fakta sosial dibutuhkan oleh seorang pengarang untuk diangkat dalam

karyanya. Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang ada di masyarakat

merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas sosial dalam hal

ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa dengan kombinasi

imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi sebuah karya. Karya yang

dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi sekaligus juga bermanfaat. Dengan cara

ini dapat dibuktikan ungkapan yang menyatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat.

Hasil karya sastra berupa novel diciptakan pengarang tidak terlepas dari tiga hal,

seperti yang digambarkan Wellek (1989: 23). Pertama, melalui pengarang. Pada sudut

Rini Efri Leni

Page 3: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

140

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

pandang ini novel adalah cerminan dari pengalaman pengarang yang bercampur dengan

imajinasinya namun bisa juga tidak. Kedua, merupakan representasi fenomena di

masyarakat. Sudut pandang ini memperlihatkan bagaimana novel mampu menjadi alat

penyampai informasi atau fenomena di masyarakat. Ketiga, dampak karya sastra terhadap

pembaca. Pada sudut pandang ini, suatu karya sastra akan berdampak pada masyarakat

dan sejauh mana dampak tersebut mempengaruhi masyarakat atau pembaca.

Representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap

suatu fenomena sosial melalui pengarang sebagai kreator. Representasi merekonstruksi

serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat

dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Sedangkan menurut Sumardjo (2006: 76),

representasi mengandung pengertian penghadiran karya seni oleh seniman. Istilah

representasi dalam seni muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan

bahwa seni sebetulnya hanyalah merupakan cerminan gambaran, bayangan, atau tiruan

(imitasi) kenyataan. Dalam konteks ini representasi seni diartikan sebagai penggambaran

yang melambangkan kenyataan.

Sesuai pengertiannya, model representasi yang penulis gunakan dalam penelitian

ini mengacu pada representasi pendapat Sumardjo, bahwa representasi adalah

penggambaran atau pencerminan dalam novel yang melambangkan kenyataan. Objek

penelitian ini adalah karya sastra Indonesia berupa novel yang sarat dengan aspek-aspek

kemanusiaan dan gambaran realitas, yakni novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan

pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012.

Pengarang menulis novel ini dengan mengambil latar daerah Sibolga, di pesisir

Pantai Barat Sumatera. Tokoh utama dalam novel ini adalah Amat sebagai orang

Pincalang yang hidup mengelilingi lautan dari pulau ke pulau, membuat arang dari kayu

bakau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan dan membuat ikan asin. Di

atas Pincalang Amat dilahirkan, belajar shalat dan belajar mengaji dari ibunya. Ayahnya

juga mengajarkannya menaik-turunkan layar, mengemudikan perahu, melihat bintang,

merasakan angin, belajar mencium bau karang, dan belajar membaca tanda-tanda alam di

lautan. Amat merupakan sosok seorang Pincalang yang diajarkan oleh kearifan lokal

dalam menjalani hidupnya di atas perahu. Ia selalu menjaga dan melindungi alam

sekitarnya dengan menanami pohon bakau, pohon kelapa, dan menjaga biota laut,

terumbu karang lainnya, seperti yang tergambar dari kutipan novel berikut:

“Isi laut tidak akan pernah habis, asal kita mau menjaganya dengan baik,”, Amat

memberikan nasihat. “Itu sebabnya orangtua selalu mengajarkan kita untuk

menanami bakau dan terumbu karang di habitatnya”.

Melihat karang-karang yang rusak, mereka tanami dengan yang baru. Melihat

bakau yang tertebang dan mulai bertunas, mereka jaga dengan baik. Kapal-kapal

kayu dan Pincalang yang tidak mereka kenal bahasanya dan berbeda kulit dengan

mereka, diusir dari pulau-pulau kecil yang berserakan di dekat mereka.

(Pincalang: 123).

Sibarani (2012: 112) menyatakan bahwa, kearifan lokal atau kearifan setempat

(local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki,

dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh

dari tradisi budaya atau tradisi lisan, karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi

lisan atau tradisi budaya yang secara turun temurun diwarisi atau dimanfaatkan untuk

menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk

mengatur tatanan kehidupan komunitas.

Page 4: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

141

Kearifan lokal seperti yang dimiliki orang Picalang nyaris punah tergerus

keberadaan teknologi yang semakin canggih. Jika kondisi tersebut dibiarkan saja,

kearifan lokal itu sendiri mungkin tidak hanya akan menjadi kabur tetapi juga

menghilang, seiring dengan hilangnya masyarakat Pincalang di pesisir pantai Barat

Sumatera. Lewat novel Pincalang, pengarang mencoba mengembalikan tradisi lisan

yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang hampir punah.

Oleh karena itu pelenyapan atas sumber tradisi lisan yang diawali dengan krisis

sosial sangat merugikan, karena tradisi lisan mengandung nilai budaya yang dapat

dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Sibarani (2012: sampul

belakang) menyimpulkan bahwa kearifan lokal menjadi modal sosiokultural yang dapat

dimanfaatkan untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam penciptaan kedamaian

dan peningkatan kesejahteraannya.

Penelitian ini dipusatkan pada teks dan konteks novel dengan rumusan masalah

berikut ini.

Bagaimanakah upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam

menghadapi era modernisasi yang direperesentasikan pengarang dalam novel

Pincalang?

KAJIAN PUSTAKA

1. Kepustakaan Konseptual

Kepustakaan konseptual merupakan penyajian konsep dasar atau pengertian dasar

secara singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas. Konsep dasar tersebut adalah

rangkuman dari pendapat atau teori-teori para ahli yang akan memberikan gambaran

mengenai permasalahan yang akan dibahas. Fungsi utama kerangka konseptual adalah

untuk menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide maupun gejala-gejala yang

dibicarakan. Sesuai dengan kerangka teori yang disajikan, maka penulis membuat konsep

dasar tentang penelitian ini sebagai berikut.

a. Representasi

Representasi merupakan istilah yang berkembang dalam sastra, muncul

sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya

hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks

ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan

(Teeuw, 1984: 220).

Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari masyarakat, bahan

yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial yang ada dengan sendirinya

dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan

dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan

secara sosial (Ratna, 2003: 36).

Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek

sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Jika

dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan

penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja

melalui pengarang sebagai kreator.

Sumardjo (2006: 128), mengungkapkan bahwa representasi adalah:

(1) penggambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal,

(2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia,

Rini Efri Leni

Page 5: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

142

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

(3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara subyektif

oleh senimannya,

(4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta yang

dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman.

Keempat klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa selain bersifat objektif,

representasi juga bersifat subyektif. Klasifikasi 1 dan 2 menunjukkan bahwa representasi

memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat,

dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4

menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara

subjektif melalui struktur mental, dan struktur nalar senimannya.

Istilah representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,

gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting

dalam dua hal, pertama apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan

sebagaimana mestinya, apa adanya atau ada penambahan citra buruk atau baik. Kedua,

bagaimana representasi tersebut ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan

bantuan foto seperti apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam

pemberitaan kepada khalayak.

Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena

sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi lebih mengarah kepada

penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif

pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karyanya

sangat dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Konsep

inilah yang akan mengupas gambaran sosial budaya, pengaruh modernisasi terhadap

sosial budaya, serta upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam

menghadapi era modernisasi.

b. Pincalang

Judul novel Pincalang ini jelas, lugas, dan singkat. Sesuai judulnya „Pincalang‟

dalam sastra lama ditulis „pencalang‟ adalah semacam perahu kayu ukuran besar untuk

memuat barang-barang dagangan. Sering dipakai untuk memata-matai musuh dengan

memakai sifat dagangnya itu. Jadi, „Pincalang‟ sama dengan „Pencalang‟, yaitu perahu

layar tradisional yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu

3 di ujung depan, 2 di depan, dan 2 di belakang yang digunakan untuk pengangkutan

barang antar pulau.

„Pencalang‟ berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka. „Pencalang‟

memiliki sebuah tiang layar empat persegi dan lantai perahu terbuat dari bahan papan.

Penutup lubang geladak menggunakan keset terbuat dari sabut kelapa, berfungsi

melindungi barang pecah belah dari benturan atau gerakan goncangan gelombang ombak

lautan. „Pencalang‟ memiliki panjang sekitar 40-60 kaki atau 13-20 meter dengan panjang

tiang layar 3 meter dan satu kemudi yang diletakkan di bagian samping sisi kapal.

(Sumber: Pramono http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02 gambaran-kehidupan-

masyarakat pesisir.html).

Jadi pengertian „Pincalang‟ atau „Pencalang‟, adalah perahu besar tradisional,

memakai tiang layar yang digunakan untuk pengangkutan barang dagangan antar pulau,

sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut

yang mengancam harta, jiwa, dan raga. Sementara Pincalang dalam novel ini berfungsi

lebih dari itu. Pincalang berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu

Page 6: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

143

suku (sekelompok orang) yang hidup matinya di laut, memiliki agama, budaya, dan

tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari

musuh dan bersahabat dengan alam.

Di samping pengertian dan fungsi Pincalang yang telah disebutkan terdahulu,

dalam novel juga terdapat pemakaian kata „Pincalang‟, „manusia Pincalang‟, dan „orang-

orang Pincalang‟ yang berarti awak Pincalang dan keluarganya, seperti dalam kutipan

berikut:

Ada dua Pincalang membawa istri dan dua Pincalang tidak membawa istri.

(Pincalang: 14).

Para manusia Pincalang yang ini tak gampang dikalahkan seperti yang lalu-lalu.

(Pincalang: 60)

Sudah menjadi kebiasaan bagi para istri orang-orang Pincalang untuk membeli

emas jika mereka memiliki uang. (Pincalang: 69).

Dengan demikian, pemakaian kata „Pincalang” bukan hanya berarti perahu, tetapi

juga dipakai untuk menyatakan orang dan masyarakatnya. Perahu, dengan berbagai nama

lokal: sampan, biduak, pencalang, pincalang, pelang, kolek, adalah lambang yang sering

digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainnya, baik yang

bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

c. Modernisasi

Secara etimologis modernisasi berasal dari bahasa latin yaitu „modo‟ yang berarti

akhir-akhir ini, dan “ernus” yang berarti periode waktu masa kini, serta mendapatkan

tambahan „isasi‟ yang mengandung arti proses. Jadi, modernisasi berarti proses menuju

masa kini atau akhir-akhir ini. Secara sederhana, modernisasi berarti perubahan dari

masyarakat tradisional menuju kemasyarakat modern. Sedangkan untuk pengertian yang

lebih luas dikemukakan oleh Soekanto (1990: 36), bahwa modernisasi merupakan suatu

transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam artian

teknologis serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri

negara-negara barat yang stabil.

Modernisasi juga adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang

didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning.

Modernisasi yang terjadi bersamaan dengan revolusi industri di Eropa Barat pada abad

ke-17 dimaknai berbeda-beda oleh pakar sosiologi, seperti pendapat para ahli (dalam

Soekanto, 1990: 30) berikut ini;

a. Max Webber melihat modernisasi sebagai gejala perubahan dari cara berpikir

tradisional menjadi rasional. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, kebenaran

adalah sesuatu yang selalu atau terus-menerus dihadapi, sedangkan dalam

kehidupan masyarakat modern, kebenaran adalah sesuatu yang dirumuskan

berdasarkan kalkulasi efisiensi, karena itu bersifat rasional.

b. Karl Marx melihat masyarakat modern bersinonim dengan kapitalisme.

Menurutnya, modernisasi telah melemahkan tradisi. Selain itu, kapitalisme juga

telah meningkatkan the division of labour dan mengembangkan rasionalitas.

c. Kapitalisme menghendaki rasionalitas yang membutuhkan sistem pembagian

kerja yang spesifik supaya lebih efisien. Dengan kata lain supaya kaum borjuis

(penguasa modal) mendapatkan keuntungan yang berlipat. Oleh karena itu,

modernisasi sebenarnya merupakan sebuah perjalanan yang menyengsarakan

masyarakat, terutama karena telah menghancurkan kebebasan, membelenggu

kreativitas, dan memicu konflik sosial.

Rini Efri Leni

Page 7: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

144

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Kepustakaan Penelitian

Penelitian terhadap representasi novel-novel sastra Indonesia yang menggunakan

metodologi kualitatif dalam kajian sosiologi sastra dan teori perubahan sosial telah

digunakan oleh beberapa peneliti sastra, terutama dalam penulisan skripsi, tesis, dan

disertasi. Hasil penelitian yang menjadi rujukan ini mempunyai kontribusi dan relevansi

terhadap penelitian representasi nilai-nilai tradisional untuk menyelamatkan budaya lokal.

Penelitian ini merujuk pada hasil penelitian sebagai berikut:

1. Representasi Budaya Lokal dalam Kegiatan Festival di Kota Denpasar, oleh Ni

Putu Eka Juliawati, diterbitkan dalam E-Jurnal Kajian Budaya Universitas

Udayana Volume 1, Nomor 1, Desember 2012 ISSN: 2302-7304. Fokus

penelitian ini mengenai kegiatan festival di kota Denpasar yang merupakan

representasi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarkat kota Denpasar untuk

menghadirkan kembali budaya lokal ke dalam sebuah kegiatan. Terkait dengan

penelitian masyarakat Pincalang yang tradisional dan mulai punah, representasi

budaya lokal dan tradisi masyarakat Denpasar memberikan kontribusi terhadap

penelitian ini, dimana kegiatan tradisional direpresentasikan dengan komitmen

berbagai pihak untuk melakukan revitalisasi budaya, mengacu kepada peraturan

pemerintah akan tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam

bidang budaya, beberapa budaya lokal Kota Denpasar yang hampir punah bisa

diselamatkan dan dihadirkan kembali di tengah-tengah masyarakat, dan dari segi

ekonomi, kegiatan ini mampu meningkatkan penghasilan warga yang ikut

berpartisipai langsung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sebagai

metode ilmu-ilmu sosial, khususnya kajian budaya dengan cara penafsiran

bersifat kualitatif interpretatif.

2. Perubahan Huyula dalam Kehidupan Masyarakat Desa Buhu Kecamatan Tibawa

Kabupaten Gorontalo, oleh Rauf Hatu. Tesis S-2 (Magister) Unair, Surabaya.

Penelitian ini memaparkan masalah perubahan sosial budaya yang menjadi topik

pembicaraan, bukan saja oleh ahli Ilmu Kemasyarakatan, bahkan di kalangan

masyarakat luas. Perubahan sosial budaya dalam masyarakat tidak hanya

berfokus dalam kehidupan masyarakat kota, akan tetapi masyarakat desa juga

telah banyak mengalami perubahan maupun perkembangan sebagai akibat dari

teknologi dan transportasi dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Hasil

penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian terhadap perubahan sosial

budaya masyarakat Pincalang, dimana perubahan sosial disebabkan oleh

perkembangan teknologi, yaitu mesinisasi kapal tadisional yang ternyata tidak

dapat menuntaskan permasalahan kesejahteraan masyarakat Pincalang, bahkan

menimbulkan perpecahan.

3. Nilai-nilai Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan

Implementasi di Sekolah, oleh Era Indriati, H. Martono, Sesilia Seli. E-Jurnal

Pendidikan dan Pembelajaran Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, FKIP

Untan.Vol. 2, No. 9 Tahun 2013. Penelitian yang menggunakan pendekatan

sosiologi sastra ini, berkontribusi terhadap penelitian dalam mengungkap

gambaran nilai-nilai budaya masyarakat Pincalang, seperti hubungan manusia

dengan Tuhan, yakni; berdoa, bersyukur, berzikir dan tawakal. Juga nilai-nilai

kearifan tentang hubungan manusia dengan manusia yang tergambar dari cara

menolong orang lain dan menyebar kasih sayang sesama manusia. Kemudian

nilai-nilai kearifan yang mengungkap hubungan manusia dengan dirinya sendiri,

yaitu: sabar, menuntut ilmu, dan menjunjung tinggi kejujuran. Selanjutnya

diungkap juga nilai-nilai kearifan tentang hubungan manusia dengan alam,

Page 8: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

145

dimana alam menyediakan berbagai kebutuhan manusia dan manusia bersahabat

dengan alam yang berkaitan dengan kearifan lokal.

4. Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan oleh Abdul

Rahim Harahap E-Jurnal Keguruan Volume 1 No. 1 ISSN: 2337-6198 Januari –

Juni 2013, membahas tentang perkembangan sastra Indonesia di Sumatera Utara,

terutama dalam penerbitan novel yang secara kuantitas dinilai masih relatif

rendah. Oleh karena itu menurut penulis, penerbitan novel “Pincalang” karya

Idris Pasaribu perlu mendapat perhatian. Penulis juga mengapresiasi kedalaman

isi novel untuk melihat sampai sejauhmana penguatan struktur cerita yang terdiri

dari tema dan bentuk novel serta sejarah keberadaan “orang laut” dilihat dari

nilai-nilai budaya dan agama. Penelitian terhadap representasi masyarakat

Pincalang relevan dengan hasil penelitian ini, karena pertama, objek penelitian

terhadap novel yang sama, yaitu Pincalang karya Idris Pasaribu. Kedua, penulis

juga mengupas nilai budaya dan agama serta sejarah keberadaan „orang laut‟.

1. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan salah satu alat kritis sastra dan sastra sendiri

merupakan bagian dari masyarakat. Jadi, tidak aneh jika dikatakan bahwa sastra adalah

produk kebudayaan sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaban manusia

dikarenakan sastra menceritakan tentang kehidupan dari masyarakat itu sendiri.

Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang sebagai aspek

terkecil dari masyarakat yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan

seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial

tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Zeraffa (dalam Elizabeth, 1973: 38) menyebutkan bahwa sebuah karya sastra

adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran pengarang, bentuk dan

maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang diperolehnya dari para

pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi. Pengarang selalu

memberi perhatian pada suatu gejala yang khusus pada periode tertentu dan ke arah mana

situasi itu akan bergerak. Karya sastra juga berusaha mengungkapkan kenyataan seperti

apa adanya, tidak mengidealkan realita serta menunjukkan aspek-aspek kehidupan yang

tersembunyi yang tidak diterima dari sudut sosial ekonomi atau psikologi, mencari dan

mengekpresikan makna dan esensi kehidupan.

Ratna (2003: 2) menjelaskan bahwa ada sejumlah definisi mengenai sosiologi

sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan

antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:

a. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek

kemasyarakatannya.

b. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan

yang terkandung di dalamnya.

c. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat

yang melatarbelakangi.

d. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan

masyarakat.

e. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra

dengan masyarakat.

Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh

beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Pada dasarnya sebutan ini pun tidak berbeda

dengan sebutan-sebutan lain, masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan

pandangan teoretis. Meskipun pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian

tertentu akan tetapi pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan.

Rini Efri Leni

Rini Efri Leni

Page 9: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

146

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tidak lain

adalah anggota dari masyarakat. (Damono, 2003: 3).

Perbedaan antara sosiologi dan sastra hanya terbatas pada cara penelaahan:

sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sastra lebih mengarah kepada perasaan

seorang pengarang dalam memandang masyarakat. Meskipun demikian, sosiologi dan

sastra dipertemukan dalam beberapa hubungan dan persamaannya, maka muncul suatu

disiplin ilmu yang baru, yaitu sosiologi sastra atau sosiologi dalam sastra (Damono, 2002:

10).

Sebuah karya sastra adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran

pengarang, bentuk dan maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang

diperolehnya dari para pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi.

Endraswara (2012: 89) menyatakan bahwa karya sastra mengalami perjalanan yang

panjang sebelum mencapai pembaca. Naskah yang ditulis oleh pengarang umumnya tidak

bisa langsung diserahkan kepada pembaca tetapi melalui proses reproduksi yang berliku-

liku.

Dalam sosiologi sastra, dikenal strategi yang berhubungan dengan pemahaman aksi

sosial dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat sebagai suatu jaringan yang

kompleks, saling berhubungan, ketergantungan dan bermakna, konstruksi realitas sosial

yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok, komunitas atau masyarakat.

2. Teori Perubahan Sosial

Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai

pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Hooguelt (1995: 56)

membuat definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli, diantaranya

adalah sebagai berikut:

a. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang

terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya

pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalistis, menyebabkan perubahan-

perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan yang kemudian

menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi politik.

b. Gillin mengartikan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu

variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi

geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya

difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

c. Emile Durkheim menyatakan, bahwa perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari

faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat

dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi

masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.

d. Wiliam F. Ogburn menyatakan, ruang lingkup perubahan sosial mencakup,

unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat material maupun yang tidak bersifat

material (immateriil) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur

kebudayaan yang material terhadap unsur-unsur immaterial.

e. Mac Iver mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi

dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan

(ekuilibrium) hubungan sosial.

Perubahan sosial tidak hanya berarti kemajuan, tetapi dapat pula kemunduran,

meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala transformasi (pergeseran) yang

bersifat linear.

Page 10: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

147

Kamanto (2004: 203-205), membagi dua pola perubahan sosial sebagai berikut:

a. Pola Linear

Pemikiran mengenai pola perkembangan linear dapat ditemukan dalam karya

Comte. Menurut Comte kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu

jalan yang alami, pasti, sama, dan tidak terelakan. Dalam teorinya yang dikenal

dengan nama „Hukum Tiga Tahap‟, Comte mengemukakan bahwa sejarah

memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. dapat disebut juga

hukum urutan perkembangan masyarakat yang dimaksud: hukum fundamental

perkembangan pemikiran manusia, yakni tingkat teologis (khayalan), tingkat

metafisik (abstrak), dan tingkat ilmiah (positivis).

b. Pola Siklus

Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda;

kadang kala naik, kadang kala turun. Pandangannnya bahwa kebudayaan tumbuh,

berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, yang muncul mendadak,

berkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan

seseorang manusia melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya

punah.

METODE PENELITIAN

1. Metode

Metode adalah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu,

sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah yang ditemui

dalam melaksanakan prosedur (Semi 1988: 30). Metode dan teknik penelitian merupakan

penerapan dari suatu teori sastra terhadap karya sastra dengan menggunakan sistematika

atau langkah-langkah analisis yang sesuai dengan objek penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang digunakan untuk

memahami sebuah karya sastra secara mendasar dan mendalam dengan prinsip

interpretasi atau penafsiran. Pesan dan tujuan pengarang dapat diinterpretasikan dengan

melihat aspek dalam dan luar dari suatu karya sastra untuk mengungkap makna yang ada

didalamnya. Menurut Bungin (2007: 68), karya sastra sebagai objek penelitian dengan

metode deskriptif kualitatif bertujuan menggambarkan dan menjelaskan makna dibalik

makna berbagai fenomena realitas sosial yang ada dengan mengungkapkan ciri, karakter,

sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Rakhmat (2004: 25), menyatakan bahwa metode deskriptif bertujuan untuk: (1)

mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)

mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku,

(3) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama

dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada

waktu yang akan datang.

Alasan utama metode kualitatif digunakan, karena data yang diperoleh biasanya

tidak terstuktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata,

mengkritisi, dan mengklasifikasikan data. Pengamatan kualitatif cenderung

mengandalkan kekuatan indra peneliti untuk merefleksikan fenomena budaya, dimana

pengamatan indra ini dipertimbangkan lebih akurat untuk melihat kebudayaan yang

cenderung berubah-ubah seiring dengan pergeseran zaman.

Rini Efri Leni

Page 11: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

148

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Data dan Sumber Data

Data adalah fakta empirik yang dikumpulkan untuk memecahkan masalah atau

menjawab pertanyaan penelitian. Data penelitian dapat berasal dari berbagai sumber

yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik selama kegiatan penelitian

berlangsung. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan

masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan wacana

yang terdapat dalam naskah karya sastra.

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer

berupa novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh

Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012. Sampul (kulit) depan novel bergambar Pincalang

yang tengah berlabuh di tengah lautan didesain oleh Gobagsodor. Novel yang berukuran

13,5 x 20,5 cm terdiri atas 255 halaman dan 12 episode, dirangkai dalam peristiwa demi

peristiwa.

Data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku,

dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan Idris Pasaribu sebagai

pengarang novel dan informan yang berkaitan dengan penelitian ini. Moleong (2007:

186) menyebutkan, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Selanjutnya

diungkapkan bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik

tertentu.

3. Paparan Data

Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data utama yang dideskripsikan dan

dianalisis sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini. Dari gambaran realitas

sosial budaya masyarakat Pincalang terlihat upaya masyarakat Pincalang menghadapi era

modernisasi dalam menjaga kearifan lokal. Pola hidup masyarakat yang sebahagian besar

berada di laut, berlayar dari pulau ke pulau, terlihat dari tokoh utama novel, yaitu Amat.

Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu dia

dilahirkan ibunya, dan sejak berusia lima tahun, di atas perahu pula dia belajar shalat dan

mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi,

melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung,

dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu.

Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan

ganas. Di atas Pincalang itu dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas

Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari para uztadz

yang datang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan

kecil atau di kampung-kampung di pantai.

Amat belajar menaik turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar melihat

bintang, belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan,

lambung, dan buritan. (Pincalang: 21)

Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan

ibunya bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Di samping Maryam gadis yang cantik,

ia juga seorang gadis sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan. Ujian terberat

setelah mereka menikah adalah mengarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena

mereka telah diberi Pincalang oleh Ayah Amat. Filosofi hidup berkeluarga, mengarungi

Page 12: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

149

samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan, seperti hujan angin, petir, badai,

dan ombak harus mereka lalui.

Masyarakat Pincalang tergolong orang yang taat melaksanakan ajaran agama, dan

mayoritas pemeluk agama Islam. Hal ini terlihat dari ketaatan keluarga Amat dalam

mendirikan shalat, baik shalat di atas Pincalang, di mesjid atau di manapun berada.

Begitu pun setelah dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang laki-laki, diberi nama

Buyung, dan dua orang anak perempuan, Amat dan istrinya selalu mengajarkan shalat

dan mengaji Alquran kepada ketiga anak-anaknya itu.

Amat yang berpikiran maju mengenai kehidupan, juga berharap anaknya jadi orang

pintar, karena ia tidak ingin terus dibodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang-

orang di darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Tionghoa. Selesai mengikuti

pendidikan dasar, Buyung disekolahkannya di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita-

citakannya. Dalam usaha niaga, Amat dibantu Rohim, Lokot, dan Sangkot membuat

kopra, memasak minyak, menangkap ikan, membuat ikan asin, dan arang dari kayu bakau

untuk dijual.

Ia juga akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Istri dan anak-anaknya

untuk lebih memajukan usaha dagangnya dengan menjadi tauke. Hal tersebut sempat

mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. Selama ini mereka

mengganggap orang-orang darat tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat

meyakinkan, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dia pun cukup sukses

dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Pincalang.

Dari hasil kerja kerasnya, Amat memiliki kapal dengan tenaga mesin, yang disebut

Kapal Keppres karena merupakan proyek pemerintah zaman Orde Baru. Kapal Amat

diberi nama K.M. Pincalang, dan Buyung pun didaulat menjadi Nahkodanya setelah ia

lulus di SMPP (Sekolah Menengah Pelayaran Pertama). Semua keluarga, teman-teman

Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir

dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, dengan rute Nias-Meulaboh.

Pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya masyarakat Pincalang yang

tradisional, diawali sejak masuknya kapal Keppres. Para kapitalis berlomba mengeruk

keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. Hutan bakau

digunduli, biota laut di sapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang

terbaik untuk manusia. Hegemoni pemerintah sangat berpengaruh terhadap

kesewenangan tersebut. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh

tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, seperti terlihat dari

kutipan berikut ini.

Amat sangat marah melihat pohon-pohon bakau ditebang sembarangan. Para

penebang itu tidak sedikitpun menghiraukan Amat yang sedang menanami bibit-

bibit bakau di sela hutan bakau yang menggundul.

“Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung

sana atau di tempat lain!” Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka

yang rakus menebangi pohon bakau.

“Lha.... Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang.

“Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.”

“Apa hutan ini bapakmu punya?”

Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. (Pincalang: 213)

Rini Efri Leni

Page 13: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

150

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Hidup manusia selalu mengalami perubahan, perubahan di satu bidang akan

memengaruhi bidang-bidang lainnya. Meskipun tidak terjadi dalam kecepatan yang sama,

perubahan terus terjadi dan melanda setiap masyarakat, termasuk masyarakat marjinal

seperti masyarakat Pincalang. Perubahan sosial yang direpresentasikan pengarang dalam

novel ini adalah bagaimana Amat berjuang meyekolahkan Buyung agar menjadi anak

yang pintar serta ia dan Maryam juga bersemangat dalam mengikuti pemberantasan buta

huruf serta perjuangan Amat dalam merubah pola pikir orang-orang Pincalang yang

negatif terhadap orang-orang darek, di samping upaya pelestarian alam.

Namun, perjuangan dan upaya yang dilakukan Amat terasa berat, karena banyak

pihak yang tidak peduli untuk menjaga pelestarian alam. Hal ini menyalahi pesan tetua

orang-orang Pincalang, yang secara turun temurun diajarkan oleh kearifan lokal untuk

menjaga laut, agar manusia mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah

pengarang merepresentasikan bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya melestarikan

kehidupan laut. Perlawanan Amat terhadap penguasa tidak bisa terelakkan, ia pun dicari

hendak ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dianggap membahayakan penguasa.

Amat yang tidak takut dengan ancaman itu pun melakukan perlawanan, sehingga banyak

menewaskan petugas yang ingin menangkapnya, namun akhirnya Amat berhasil

ditangkap, diadili, dan dipenjarakan.

Pada saat kebebasannya setelah tiga tahun lebih berada dalam Lembaga

Pemasyarakatan, ia dinyatakan bebas bersyarat. Amat dijemput oleh istri dan anak-

anaknya, serta orangtua dan mertuanya dengan perasaan haru, senang, bahagia yang

bercampur aduk. Amat langsung sujud syukur begitu menghirup udara segar. Ia terkejut

dan terharu saat digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya

dinikahkan dengan anak Tuan haji, yaitu Salamah Binti Haji Ahmad Palindih yang

banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini.

Air mata Amat langsung meleleh. Ditatapnya Buyung lekat-lekat. Dia sudah lama

mengidamkan Buyung agar menikah. Dia sudah ingin menimang cucu. Saat

dalam selnya di penjara, dia selalu membayangkan kematian. Amat tak dapat

menahan tangisnya jika mengenang hidupnya harus mati sebelum menimang

cucu. (Pincalang: 243)

Tiga hari setelah perhelatan pernikahan Buyung, Amat kembali merindukan laut

dan pulau-pulau kecil yang berada di sana. Rindu pada aroma laut dan lumpur pantainya.

Setelah mengantarkan kedua pasang orang tuanya, Amat kembali berlayar bersama adik

angkatnya Sangkot dan Lokot. Mereka bercerita kepada Amat, bahwa hampir semua

teman-teman mereka orang Pincalang bekerja pada kapal penagkap ikan,hanya sedikit

yang setia hidup di atas Pincalang mereka masing-masing, termasuk kedua pasang

orangtua Amat dan anak-anaknya. Semakin hari jumlah orang Pincalang semakin

menyusut.

Bersama Sangkot, Amat menaiki perahu bercadik mengelilingi pulau dan menuju

pulau lainnya untuk menanam kembali biota-biota laut yang sudah banyak digunduli oleh

mesin-mesin pemotong. Bagi Amat, alam adalah nafasnya yang dicintai sepenuh jiwa

raganya. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah SWT. Tidak ada

kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan

memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Ia tidak mengerti mengapa ada manusia

yang tega membabati pohon bakau dan menghancurkan sebuah kehidupan demi

segenggam uang.

Amat bukanlah seorang pahlawan, dia hanya ingin melakukan apa yang

diketahuinya dari pesan leluhurnya untuk selalu menjaga keseimbangan kehidupan alam

di pulau kelahirannya sesuai kemampuannya. Pesan yang sarat dengan norma kehidupan

Page 14: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

151

yang mereka miliki itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal. Amat

adalah salah satu orang Pincalang yang selalu berusaha untuk menjagalingkungan dan

kelestarian alam. Hal ini diungkap pengarang sebagi berikut.

“Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan-

pesan dari leluhurnya. Pesan-pesan yang sangat sarat dengan norma kehidupan

yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang

melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut dan segala isi yang terkandung di

dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi

manusia”. (Pincalang: 253-254).

4. Temuan Penelitian

Temuan penelitian terdiri dari uraian pokok temuan yang sesuai dengan substansi

rumusan masalah, upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam

menghadapi era modernisasi, direpresentasikan dalam bentuk pelestarian alam, dan

benturan yang terjadi antara tradisional dan modernisasi.

Dengan demikian, masalah yang dideskripsikan dapat mengedepankan fakta sosial

masyarakat Pincalang yang direpresentasikan pengarang dalam membantu analisis dan

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

a. Pelestarian Alam

Gambaran masyarakat Pincalang yang selalu menjaga alam terlihat dengan jelas

dalam novel ini. Orang Pincalang selalu menjaga ekosistem laut, menanam lumut-lumut

hijau pada terumbu karang agar tetap hidup, menyisakan beberapa senti batang bakau

agar dapat bertunas, menanami kelapa di lahan yang masih kosong, dan hal lainnya.

Kearifan lokal dalam menjaga alam seperti ini terus dijaga dan diturunkan dari generasi

ke generasi oleh masyarakat Pincalang.

Bentuk kearifan lainnya dideskripsikan pengarang dalam bentuk kerjasama dalam

kehidupan para Pincalang, salah satunya diperlihatkan oleh keluarga Amat. Dalam

kondisi tertentu, semua anggota keluarga harus saling bahu-membahu, menjaga

Pincalangnya tetap utuh, sekaligus juga mempertahankan keselamatan jiwa keluarganya.

Tampak jelas, ketika badai menerjang, Buyung secara spontan memanjat tiang-tiang

layar, lantas menurunkan kemudi angin, sementara sang ayah berjaga-jaga di bawah dan

langsung melipat layar. Setelah keadaan membaik Amat segera menuju buritan,

mengambil alih kemudi dari tangan Maryam, istrinya, kemudian Maryam segera

melanjutkan pekerjaannya di dapur. Begitulah, adegan awal dalam novel yang

menandakan betapa sengitnya perjuangan para Pincalang namun dilakukan dalam

kebersamaan.

Ketika menghadapi modernisasi perlahan kearifan ini mulai luntur, banyak nelayan

dari daerah lain yang datang ke daerah itu dan menjajah laut orang Pincalang. Dengan

kehadiran kapal Keppres, mereka datang dengan mengeksploitasi hasil laut dan hutan

sesuka mereka. Mereka menebang habis hutan bakau untuk dijadikan arang dan dijual ke

pasar. Mereka juga menggunakan pukat harimau yang menghancurkan terumbu karang

dan ekosistem ikan. Menghadapi hal ini, hanya sebagian dari masyarakat Pincalang asli

yang masih melakukan gerakan sukarela untuk menghijaukan kembali terumbu karang,

menanami bakau dan tidak melakukan penangkapan ikan menggunakan bom atau racun

yang sangat membahayakan keberlangsungan ekosistem alam. Jika diabaikan, hilangnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam juga dapat menghacurkan sistem

ekonomi masyarakat itu sendiri yang mayoritas masih bergantung pada laut.

Rini Efri Leni

Page 15: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

152

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Inilah sekilas realitas yang terjadi di tengah masyarakat yang mendiami pesisir

pantai Barat Sumatera, yang dikenal sebagai kawasan yang kaya akan beragam

sumberdaya alam dan seharusnya menikmati dampak-dampak positifnya. Di tengah

kekhawatiran punahnya kearifan lokal, sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan.

Salah satunya adalah membangun kesadaran untuk menggiatkan kembali (revitalisasi)

implementasi beragam kearifan lokal yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada

dalam masyarakat Pincalang. Sibarani (2010: 259) mengingatkan bahwa sebagian besar

tradisi lisan di Indonesia telah mengalami kemunduran, bahkan sebagian telah mengalami

kepunahan. Kemunduran itu ditandai oleh semakin sedikitnya penggemar tradisi lisan

yang diakibatkan oleh berbagai faktor, sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya

tradisi lisan yang tidak lagi hidup di masyarakat. Tradisi lisan itu telah kehilangan

pemiliknya dan generasi pemiliknya tidak pernah lagi melihat tradisi lisan itu. Akibatnya,

bentuk dan isi tradisi lisan itu semakin tidak dikenal komunitasnya.

Secara sederhana, kearifan lokal dipahami sebagai pengetahuan kebudayaan yang

dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya sejumlah pengetahuan

kebudayaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam

secara lestari. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kehidupan orang

Pincalang, terdapat orang-orang yang sadar dan peduli akan kelestarian alam seperti

Amat dan keluarganya yang dilakukan turun temurun. Dari kelompok orang seperti inilah

kearifan lokal tersebut berasal, dan dengan memiliki kepedulian alam ini mereka

menciptakan aturan-aturan sederhana yang pada awalnya didapatkan melalui cara

meneruskan aktivitas yang diyakini dapat melestarikan alam dan meninggalkan praktek-

praktek yang berujung pada kerusakan.

Jika hal tersebut terlaksana, akan terbangun komitmen dari para anggota

masyarakat terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang ada sebagai tatanan hidup

bermasyarakat, sehingga individu, kelompok, perkumpulan maupun komunitas yang ada

di dalam masyarakat masih dapat memenuhi keinginan dasar dari individu-individu yang

berinteraksi di dalam masyarakat. Menurut penulis, pengarang menggambarkan

kehidupan masyarakat Pincalang agar pembaca dapat mengubah cara pandang dan cara

berpikir dengan mempertimbangan bahwa sebuah solusi masalah justru dapat

menimbulkan masalah tersendiri yang bahkan jauh lebih parah dari masalah sebelummya.

Menelaah kembali masalah pendidikan dan teknologi yang seharusnya diterapkan

untuk membantu masyarakat Pincalang, dalam penelitian ini khusus kepada masyarakat

nelayan di Sumatera Barat. Dalam kehidupan sosial budayanya yang saling menghargai

sesama nelayan harusnya mereka juga melakukan perubahan dengan ikut berinteraksi

dengan kemajuan teknologi dan tidak menutup diri terhadap perkembangan informasi

guna perbaikan taraf hidup mereka.

Nilai budaya dalam novel ini tercermin dalam pola dan tingkah laku tokoh-

tokohnya yang ditandai dengan tinggal dan menetapnya mereka di atas Pincalang. Lewat

tradisi mengarungi lautan inilah mereka banyak belajar dari tanda-tanda alam dan

gejalanya, sehingga laut sebagai tempat tinggal mereka sangat bernilai sehingga harus

selalu dijaga kelestariannya. Pesan-pesan yang sarat dengan norma kehidupan yang

mereka miliki berupa kearifan lokal, yang sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal

jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut dan segala isi yang terkandung

di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia.

Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga kelestarian laut dengan merawat terumbu

karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-ikan dan binatang laut lainnya tumbuh dan

berkembang biak.

Page 16: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

153

Menurut Ratna (2011: 90), kearifan lokal menjadi isu utama dalam teori

kontemporer. Globalisasi, baratisasi di satu pihak, dominasi Orde Baru selama tiga

dasawarsa dengan intensitas homogenisasi di pihak lain dianggap sebagai pemicu utama

bangkitnya kearifan lokal. Lokal tidak harus diartikan sebagai makna sederhana, sempit,

rendah dan nilai-nilai peyoratif yang lain. Sebaliknya, berbagai bentuk kebijaksanaan

lokal, pengetahuan tradisional, dan berbagai bentuk kebudayaan setempat yang lain,

sebagai sesuatu yang pernah dipinggirkan, dimarginalisasikan, sebagai „perempuan‟,

diangkat kembali ke permukaan, dijadikan sebagai isu utama, bahkan ditempatkan pada

posisi pusat. Dalam banyak hal kebijaksanaan lokal ini mampu mengantisipasi berbagai

permasalahan, termasuk yang terjadi di dunia kontemporer.

Terkait dengan hal tersebut, pengetahuan tradisional yang dijaga masyarakat

merupakan suatu proses belajar individu dalam berperilaku sesuai dengan standar

kebudayaan masyarakatnya. Upaya pembentukan karakter dan kepribadian ini, sangat

penting artinya bagi anggota keluarga nelayan di pesisir pantai Barat Sumatera, terutama

generasi muda. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan

anak yang menjadi lingkungan pertama bagi anggota keluarga untuk belajar berbagai

pengetahuan, keterampilan, nilai, norma dan sebagainya, dalam menjaga alam sekitar.

Melalui lingkungan keluarga, anak mengenal dunia sekitarnya dan pola-pola

pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari, oleh karena itu keluarga merupakan salah satu

agen sosialisasi pertama bagi seorang anak untuk belajar, sehingga dapat dikatakan

bahwa terbentuknya watak dan kepribadian sangat dipengaruhi oleh cara dan corak

orangtua memberikan pendidikan dan bimbingan bagi anak-anaknya dalam menjaga

alam. Salah satu upaya pelestarian alam yang diajarkan orang Pincalang secara turun

temurun dilakukan Amat dalam bentuk nyata seperti kutipan berikut.

Amat mengitari laut sekitar dengan perahunya. Dari beningnya air ia bisa melihat

karang-karang berwarna hijau. Amat menyelam dan dengan sigap ia memunguti

lumut-lumut hijau itu, lalu memasukkannya ke dalam perahunya. Ia melakukan

hal itu beberapa kali. Setelah itu, Amat menuju areal yang karangnya sudah

memutih bersama perahunya. Amat memecah-mecah lumut itu dan

menjatuhkannya ke bawah, mengenai karang-karang yang menunggu. Amat

yakin seminggu kemudian lumut-lumut itu akan berkembang biak dengan cepat

dan ikan kembali berkumpul di sana. Bertelur dan beranak pinak serta siap untuk

ditangkap. (Pincalang: 30)

Kearifan lokal dalam menjaga laut sebenarnya juga menguntungkan mereka

sendiri. Laut dan orang Pincalang adalah sebuah simbiosis mutualisme, di mana kedua

pihak saling mendapat keuntungan. Orang Pincalang menjaga laut dan karangnya

sehingga banyak ikan berkembang biak di sekitarnya, dan mereka dapat menjaringnya

sebagai bahan makanan dan sumber pendapatan ekonomi dengan menjual ikan tangkapan

tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian alam

merupakan proses pendidikan dan nilai-nilai kecakapan hidup di lingkungan keluarga

nelayan Pincalang, yaitu suatu proses akomodasi di mana individu menjaga, melindungi

dan merealisasikan suatu sikap kearifan sebagaimana yang dilakukan Amat sebagai

berikut.

Amat memutuskan untuk menyelam ke dasar laut dan dilihatnya perputaran arus

yang deras di bawahnya. Karang-karang yang kokoh tak berwarna hijau lagi. Dia

ingat apa yang dikatakan oleh ayahnya, “Kalau warna hijau melilit karang, itu

adalah makanan ikan. Jika lumut-lumut berwarna hijau itu hilang, harus ditanam

lagi”. (Pincalang: 30)

Rini Efri Leni

Page 17: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

154

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni

sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang

memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk

dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan

makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang

berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.

Oleh sebab itu mereka berusaha memperbaiki terumbu karang yang berserakan.

Meletakkan ganggang-ganggang di sela-sela karang dan membiakkannya untuk makanan

ikan. Pekerjaan mulia mereka sering menjadi bahan ejekan, karena mereka dianggap

konyol, tidak mau beralih dari kehidupannya. Setidaknya mereka bisa menjadi pekerja di

atas kapal-kapal hasil kredit yang diamanahkan oleh keppres.

Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan

biota laut dan pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir pantai,

karang di laut, pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan manusia yang

mengancam kelestarian laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian

pantai disebabkan telah hilangnya hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan

pelindung alami terhadap gempuran ombak.

Terkait dengan uapaya pelestarian alam dan lingkungan laut, Azwir (54 tahun)

pada wawancara tanggal 14 Februari 2014, memberikan pendapat bahwa;

“Sebenarnya persoalan lingkungan hidup, bukan hanya sekadar soal pencemaran,

sampah dan upaya penanggulangannya. Tapi persoalan lingkungan adalah

persoalan yang terkait erat dengan pandangan hidup, sikap dan prilaku manusia

dalam hubungannya dengan alam. Akar persoalan pencemaran dan pengrusakan

lingkungan hidup alam laut, terdapat pada pandangan manusia terhadap alam.

Bila pandangan kita benar dan baik, maka sikap, prilaku dan tindakan kita

terhadap alam juga benar dan baik. Kita mestinya memandang lingkungan alam

atau bumi ini adalah sahabat, bahkan sebagai ibu yang menghidupi kita.

Sebagaimana seorang anak harus sayang, hormat, akrab dengan ibunya, kita

semestinya harus hormat, akrab, sayang kepada alam atau bumi yang disebut ibu

pertiwi itu”.

Beberapa hal penting yang harus dilakukan terkait dengan upaya pelestarian alam

laut dan pantai adalah sebagai berikut.

1) Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di

areal sekitar pantai.

2) Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di dasar

laut, karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.

3) Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam mencari

ikan.

4) Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan.

Representasi Amat dan keluarganya, mewakili masyarakat Pincalang memiliki

adat atau kebiasaan yang sangat bernilai, yaitu menjaga dan melestarikan kehidupan biota

laut yang menjadi sumber dari kehidupan mereka. Sebuah catatan yang mengakhiri

sebagai nilai kearifan lokal dalam novel ini adalah gambaran bahwa, Amat yang lahir,

besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas Pincalang hafal betul kondisi

pulau-pulau di sana dan hafal tentang cuaca, serta menguasai seluk beluk laut. Dia dan

keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai

dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari sebuah rumpun, ada yang

dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang tulus. Amat termasuk salah

Page 18: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

155

satu orang yang berusaha untuk mempertahankan alam yang diciptakan oleh-Nya.

Dengan keyakinan yang teguh, dia berusaha mempertahankan kebenaran.

b. Benturan Antara Tradisional dan Modernisasi

Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggantungkan seluruh hidupnya dari

kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun-temurun dengan menggunakan alat

tangkap yang sederhana. Dari pengertian ini jelas bahwa, nelayan tradisional diukur

dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan, serta aktivitas

penangkapan ikan itu dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, dan

mereka tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan.

Nelayan tradisional merupakan salah satu komponen dalam usaha pengelolaan

sumberdaya laut dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat, terutama nelayan. Hal ini senada dengan isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,

yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi

kewenangan melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan

menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama

kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya

kelautan dan perikanan tersebut pemerintah dituntut harus mampu mewujudkan keadilan

dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional.

Terkait dengan hal tersebut, masyarakat Pincalang dalam novel merupakan

representasi kehidupan nelayan tradisi dan bagian dari kelas sosial yang juga harus

mendapatkan perbaikan dan perubahan dalam tatanan hidup mereka. Sastra terkadang

mengungkapkan perubahan dan pertentangan-pertentangan antar kelas yang terjadi di

masyarakat, juga mengungkapkan ketimpangan dan benturan di tengah masyarakat,

karena itulah salah satu tugas karya sastra. Lenin (Luxemburg, 1982: 25) mengungkapkan

bahwa sastra dapat membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sastra juga dapat

berperan sebagai guru yang menjalankan fungsi mengajarnya. Sastra tidak hanya

membuka mata para pelaku pertentangan antar kelas sosial, tetapi memberikan

pembelajaran atas apa yang terjadi. Pandangan kaum Marxis terhadap karya sastra dan

kelas sosial adalah karya sastra merupakan perwakilan kelas sosial tertentu sebab karya

sastra digunakan untuk menyampaikan aspirasi kelasnya.

Endraswara (2012: 146) membagi tiga karakteristik pokok tindakan manusia terkait

dengan cipta sastra, yaitu (1) Kecenderungan terhadap adaptasi dengan realitas

lingkungan, sehingga bentuk karakteristik berhubungan dengan lingkungan yang

melingkupi, (2) Kecenderungan menuju konsistensi secara keseluruhan dan untuk

menciptakan bentuk struktural, (3) Kecenderungan dinamis, yaitu ke arah memodifikasi

dan mengembangkan struktur. Dari tiga kecenderungan ini, nampak bahwa dalam sastra

jelas merefleksikan perilaku yang tidak stabil.

Perilaku masyarakat Pincalang yang masih memercayai segala sesuatu berdasarkan

tradisi adalah salah satu bentuk penolakan terhadap modernisasi. Mereka masih meyakini

kemampuan dan kejelian secara alami, seperti kutipan berikut.

“...Bintang-bintang di langit sangat banyak. Terang dan mengirimkan cahaya

biru, kecil-kecil, berkelip-kelip. Dalam pelayaran malam bintang-bintang itu

menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan pertanda apakah angin akan datang

atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan dan langit menjadi tumpuan

harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya

Rini Efri Leni

Page 19: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

156

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah”.

(Pincalang: 97-98)

Kemampuan orang Pincalang melihat tanda-tanda alam seperti itu merupakan

tradisi lisan yang mengandung nilai dan norma budaya luhur yang dapat dimanfaatkan

masyarakat selama beberapa generasi secara turun temurun.

Sibarani (2012: 124) mengatakan bahwa nilai dan norma budaya semacam itu

dimanfaatkan leluhur kita di nusantara ini sejak dahulu untuk mengatur berbagai tatanan

kehidupan secara arif terutama untuk kesejahteraan dan kedamaian mereka. Pada zaman

dahulu, kearifan itulah satu-satunya pedoman hidup masyarakat karena pada waktu itu

belum ada undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh negara.

Di dalam kisah lain digambarkan bahwa Amat sebagai orang Pincalang tidak dapat

memercayai semua kemampuan teknologi, karena menurutnya alat tersebut tidak

melebihi kemampuannya dalam mendeteksi tanda-tanda alam, yang dideskripsikan

pengarang sebagai berikut.

“Amat manggut-manggut. Dia tak mengerti sama sekali walau sudah melihat

radar itu. Amat tak mampu membedakan mana kapal, pulau, atau Pincalang. Dia

tetap lebih percaya pada pengalamannya berpuluh tahun sebagai orang Pincalang.

Dia mampu mencium bau karang dari jarak duapuluh mil. Mampu melihat rasi

bintang dan mengetahui apakah kawasan itu banyak ikan atau tidak. Amat juga

bisa mengetahui kapan datangnya hujan, deras atau rintik. Angin yang kencang

menderu-deru atau angin biasa. Bahkan angin berputar pun Amat mampu

mengetahuinya hanya dari tanda-tanda alam. Dari arah mana datangnya angin

kencang, dari haluan, buritan, atau dari lambung kanan dan kiri”. (Pincalang:

169-170).

Masyarakat dengan latar belakang tradisional yang kuat akan menjaga adat serta

tradisinya masing-masing dengan kuat pula. Bahkan, ketika menjadi kaum minoritas pun

tradisi serta adat yang dibawa dari tanah kelahirannya akan tetap dipertahankan. Namun,

dalam multikulturalisme persinggungan yang tak terhindarkan dari adat dan tradisi

seharusnya menjadikan masyarakatnya lebih menghargai serta memahami satu sama lain

tanpa harus meninggalkan prinsip serta identitasnya masing-masing.

Ketika menghadapi modernisasi dengan mulai masuknya isu tentang kapal

Keppres, orang-orang darat yang digambarkan lebih maju dalam perolehan informasi

mulai memikirkan keuntungan dari pengaruh kapal Keppres untuk perekonomian mereka.

Namun orang Pincalang memperoleh informasi sangat terbatas, termasuk Amat,

walaupun dia sering duduk bersama orang darat tapi tidak terlalu mengerti tentang

medernisasi. Yang dia pikirkan hanya lautnya. Sebagai sesama orang Pincalang, mereka

hanya mempunyai peraturan tidak tertulis untuk menjaga laut dan menanam tunas-tunas

bakau yang mereka temukan:

Setengah hari mereka memotong kayu-kayu bakau yang besar, tidak sampai ke

akar. Pohon itu tersisa beberapa puluh senti agar bertunas dan hidup lagi. Tanah

berlumpur yang kosong mereka tanami dengan anak-anak bakau yang tumbuh

liar. (Pincalang: 25)

Cara yang dilakukan Amat dalam menebang pohon termasuk salah satu cara

memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan

(Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi

hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih atau tebang habis. Akan tetapi untuk

Page 20: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

157

menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan cara

tebang pilih, dan penanaman kembali dilakukan secara alamiah dan buatan.

Sebagai seorang Pincalang, Amat tentu tidak mengetahui adanya peraturan seperti

itu, tetapi kearifan budaya yang diajarkan kepadanya mengajarkannya untuk menjaga

alam. Secara garis besar, kita dapat melihat bahwa budaya dan sifat asli masyarakat

Pincalang dalam menjaga alam sangat sesuai dengan peraturam perundangan dimana

keduanya berfungsi untuk melindungi alam dari kehancuran. Lahan yang tampak kosong

akan digunakan orang Pincalang untuk menanam bibit baru:

Amat melompat dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain. Setiap usai

menjatuhkan buah-buah kelapa dengan tandannya, Maryam memungutinya

dengan telaten. Beberapa kelapa yang terjatuh sendiri karena tua, bahkan yang

sudah mulai kelihatan tumbuh, ikut dia pungut. Yang tunasnya sudah panjang

atau menunjukkan sudah berdaun dipungut untuk ditanam di tanah yang masih

kosong. (Pincalang: 27)

Ketika modernasisi dan kemajuan teknologi telah menjadi bagian dalam kehidupan

masyarakat Pincalang, terutama sejak masuknya kapal Keppres, banyak nelayan yang

datang dari luar masyarakat Pincalang yang mengabaikan kelestarian alam. Ini

merupakan benturan yang harus dihadapi masyarakat tradisional, dan tergambar pada

kutipan berikut, ketika Amat marah melihat mereka menebang pohon-pohon bakau

sembarangan, sementara Amat sedang menanami bibit bakau.

“Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung

sana atau di tempat lain! Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang

rakus menebangi pohon bakau.”

“Lha… Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang.

“Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.”

“Apa hutan ini bapakmu punya?”

Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. “Pokoknya tak

boleh”. (Pincalang, hal. 213)

Sehubungan dengan adanya perubahan yang dialami masyarakat tradisional ini,

Ratna (2011: 400-401) mengatakan bahwa perkembangan peradaban manusia yang

diduga mencapai titik puncak di zaman modern, diikuti oleh perubahan orientasi

kehidupan. Dengan ditopang oleh perkembangan teknologi maka peralatan berkembang

pesat, tenaga manusia digantikan oleh mesin yang pada gilirannya melahirkan zaman

industri. Birokrasi melahirkan pegawai negeri, terjadi jual beli intelektualitas dan

berbagai bentuk keterampilan lain, pengetahuan melahirkan kekuasaan. Pada dasarnya

sejak zaman purba hingga zaman modern, bahkan postmodern hukum rimba tetap

berlaku, kelompok yang berkuasa adalah mereka yang memiliki kekuatan.

Perdebatan di atas berlanjut hingga menjadi serangan fisik. Ketika lawan bicara

Amat tersebut berusaha memukulnya, Amat secepat kilat memukul kepala salah satu dari

mereka dan mengejar satu lainnya yang lari lalu memukulinya hingga terkapar. Hal

tersebut menunjukkan salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait

dengan sikap temperamental dan harga diri, yang juga dapat disimak dalam pernyataan

antropolog Belanda, Boelaars (1984: 62), berikut ini ini.

Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan

kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat

marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang

cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki

rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada

Rini Efri Leni

Page 21: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

158

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat

penghargaan yang tinggi.

Secara ekonomi, tokoh Amat dalam cerita ini sebenarnya tidak kesulitan menerima

Keppres tersebut sebab dia mampu mengkredit kapal itu. Bahkan dia mampu membuat

KM. Pincalang, sebuah kapal bermuatan 20 ton, dengan fasilitas kredit dari bank. Namun

meski ia mampu, sebagai orang Pincalang, ia tidak tega melihat penderitaan saudara-

saudaranya yang miskin. Inilah nilai kearifan lokal lainnya yang terus dibawa Amat.

Untuk itu, dia mencoba mengadu ke DPRD/Parpol, dan wartawan. Sayangnya, anggota

DPRD/Parpol tempatnya mengadu malah di-recall dari DPRD, wartawan pun digari

penanya pakai amplop atau diintimidasi. Bahkan Amat dianggap provokator, lalu diburu

patroli hingga ke sudut pulau, ditembak, ditangkap, diadili dan dipenjarakan tanpa

ampun. Begitulah nasib Amat, orang Pincalang yang ingin memertahankan kelestarian

alam dan masyarakatnya.

Penebangan kayu secara sembarangan ini juga menyebabkan surutnya ekonomi.

Dalam novel ini dikisahkan ketika tidak ada lagi kayu bakau yang bisa ditebang, nelayan-

nelayan pendatang itu pindah ke daerah lain. Tapi ketika bakau yang ditanami Amat

tumbuh, mereka kembali untuk menebangnya dengan dikawal anggota yang bersenjata.

Penurunan produksi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman akan

kemampuan hutan untuk berproduksi sehingga yang dipanen melebihi produksi hutan,

ditambah dengan kurangnya kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat tetap

berproduksi dalam jangka panjang. Kurangnya kesadaran tersebut bukan saja pada para

pengusaha tetapi juga pada petugas kehutanan dan kelautan yang mengawasi

pelaksanaan pengusahaan hutan dan laut. Para pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan)

tidak berkeinginan untuk mengelola hutan secara lestari apalagi izin yang diberikan

adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam waktu yang terbatas,

dan bukan izin usaha pengelolaan hutan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya

kerusakan hutan, karena tidak dikelola dengan baik.

Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan-

pesan dari leluhurnya, pesan yang sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki.

Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula.

Baginya laut serta segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang

memberikan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga

kelestarian laut dengan merawat terumbu karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-

ikan dan binatang laut lainnya berkembang biak.

Amat yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas

Pincalang hafal betul kondisi pulau-pulau di sana, hafal tentang cuaca, dan menguasai

seluk beluk laut. Dia dan keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras

bertahan untuk hidup sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari

sebuah rumpun, ada yang dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang

tulus untuk menjaga alam dan lingkungannya. Amat termasuk salah satu orang yang

berusaha untuk memertahankan alam yang diciptakan Allah, dengan keyakinannya yang

teguh.

Pelestarian alam yang dilakukan oleh Amat dan keluarganya turun temurun, tidak

lagi dapat terjaga, karena banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut,

sehingga masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat

merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada.

Page 22: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

159

SIMPULAN

Dari hasil deskripsi dan analisis melalui penelitian terhadap novel Pincalang karya

Idris pasaribu penulis menyimpulkan bahwa;

Upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era

modernisasi nampak dari upaya mereka yang selalu menjaga alam dan kehidupan laut

yang diturunkan dari generasi ke generasi. Orang Pincalang selalu menjaga ekosistem

laut, menanam lumut-lumut hijau pada terumbu karang agar tetap hidup, menyisakan

beberapa senti batang bakau agar dapat bertunas, menanami kelapa di lahan yang masih

kosong.

Bentuk kearifan lainnya juga dideskripsikan pengarang dalam bentuk kerjasama

dalam kehidupan masyarakat Pincalang dalam menghadapi berbagai permasakahan dalam

menjaga Pincalangnya dari perompak, sekaligus juga memertahankan keselamatan jiwa

keluarganya. Ketika menghadapi modernisasi perlahan kearifan ini mulai luntur dan

masyarakat Pincalangpun punah.

Saran

Masyarakat Pincalang yang saat ini telah punah dan digantikan oleh nelayan

tradisional, adalah masyarakat dengan mata pencaharian utamanya mencari dan

menangkap ikan dan memanfaatkan jenis-jenis biota laut lainnya yang bernilai ekonomi

dengan menggunakan alat bantu berupa jaring dan lainnya. Meskipun masyarakat

Pincalang telah punah, namun Penulis menyarankan kepada setiap orang untuk menjaga

habitat laut dan mewariskan kearifan lokal yang baik sebagai warisan budaya kepada

generasi berikutnya.

Penelitian terhadap novel Pincalang masih perlu diteliti dari perspektif lainnya.

Oleh sebab itu penulis berharap agar penelitian lebih diperluas dari sumber data dan

penerapan metodologi yang dapat dilakukan pada masa yang akan datang. Dengan

demikian hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan pemikiran atas keberlanjutan

pelestarian alam dan lingkungan laut, dan merevitalisasi kearifan lokal yang diwariskan

nenek moyang kita secara turun temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Boelaars, Yan. (1984). Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi

Budaya. Jakarta: Gramedia.

Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis & Disertasi (2012). Medan: Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Damono, Sapardi Djoko. (2002). Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat

Bahasa.

Damono, Sapardi Djoko. (2003). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat

Bahasa.

Elizabeth, Tom Burns (Ed). (1973). Sociology of Literature and Drama. Middlesex:

Penguin books.

Endraswara, Suardi. (2012). Teori Pengkajian Sosiologi Sastra Yogyakarta: Gadjah UNY

Press.

Rini Efri Leni

Page 23: REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

160

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Faruk. (2013). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post

Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hatu, Rauf. (1999). Perubahan Huyula dalam Kehidupan Masyarakat Desa Buhu

Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Tesis S2 Unair. Surabaya.

Hooguelt, Ankle MM. (1995). Sosiologi Sedang Berkembang: Jakarta. Raja Grafindo

Persada.

Kamanto, Sunarto. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Luxemburg, Jan Van, dkk. (1982). Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta:

PT Gramedia.

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda

Karya.

Pasaribu, Idris. (2012). Pincalang. Jakarta: Salsabila, Pustaka Alkautsar.

Rakhmat, Jalaludin. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda

Karya

Ratna, Nyoman Kutha. (2003). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksidan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Antropologi Sastra, Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan

dalam Prosese Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. (1988), Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal. Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi

Lisan.Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Sumardjo, Jakob. (2006). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori Kesusasteraan (diindonesiakan oleh

Melani Budianta dari Theory of Literature). Jakarta: Gramedia

Website

Harahap, Abdul Rahim. (2013). Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah

Kritikan. E-Jurnal Keguruan Volume 1 No. 1 ISSN : 2337-6198 Januari – Juni

2013 E-mail: [email protected]

Indriati, Era, H. Martono, Sesilia Seli. (2013). Nilai-nilai Budaya dalam Novel Para

Priyayi Karya Umar Kayam dan Implementasi di Sekolah.Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran Vol.2, No. 9 Tahun 2013.

Juliawati, Ni Putu Eka. (2012). Representasi Budaya Lokal dalam Kegiatan Festival di

Kota Denpasar. E-Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana ISSN: 2302-7304

Volume 1, Nomor 1, Desember 2012.

Pramon: http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02 gambaran-kehidupan-masyarakat-

pesisir.html).