bab iv representasi konstruksi wahyu nashr hamid

Upload: agus-sugito

Post on 30-May-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    1/23

    BAB IV

    REPRESENTASI KONSTRUKSI WAHYUNASHR HAMID ABU ZAYD

    TERHADAP EKSISTENSI AL-QURAN

    A. Tema-tema PokokMafhum Al-Nash dan Klasifikasinya

    Ali Harb menyebut Abu Zayd sebagai salah satu

    mutakhashshish (spesialis) dalam studi Al-Quran.1 Abu Zayd

    pertama kali mengkaji Al-Quran melalui bukunya Al-Ittijah

    al-Aqliy fi al-Tafsir; Dirasah fi Qadhiyyah al-Majaz fi Al-Quran

    inda al-Mutazilah (1993), sebuah studi tentang majaz Al-Quran

    menurut Mutazilah. Kajian kedua dalam studi Al-Quran adalah

    Falsafah al-Tawil; Dirasah fi Tawil al-Quran inda Muhidin Ibn

    Araby (1996), sebuah kajian tentang metodologi takwil Ibn

    Araby. Buku Mafhum al-Nass yang sedang dikaji ini merupakan

    kajian ketiga. Beliau secara mendalam (tahliliyan) dan kritis

    (naqdiyan) dalam studi ilmu Al-Quran.

    Seperti umumnya buku dan kitab ilmu-ilmu Al-Quran, baik

    yang klasik maupun kontemporer, Abu Zayd mengkaji ilmu-ilmu

    Al-Quran, mulai dari pengertian wahyu, al-makkiy wa al-

    madaniy, asbab al-nuzul, al-nasikh wa al-mansukh, al-Ijaz, al-

    munasabah, al-manthuq wa al-mafhum, al-amm wa al-khash

    sampai pada polemik tafsir dan takwil. Melihat daftar rujukannya,

    1 Secara khusus Ali Harb mengomentari pemikiran Nasr dalam babberjudul Nashr Hamid Abu Zayd; Khitab Yunahidh al-Ushuliyah walakinnahu

    Yaqifu ala Ardhiha. Lihat Ali Harb, Al-Nash wa al-Haqiqah Ii Naqd al-Nash,(Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Islami, tth), hlm. 199-220.

    1

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    2/23

    bisa dikatakan bahwa buku ini merupakan kajian yang serius

    terhadap ilmu-ilmu Al-Quran. Sesuai dengan jargonnya untuk

    menggauli turats secara kritis (al-taammul al-naqdiy), Abu Zayd

    mengutip dan mengkritisi karya-karya Al-Zarkasyi, Al-Suyuthiy,

    Al-Ghazali, Al-Baqillaniy dan tokoh-tokoh klasik lainnya.2

    Abu Zayd melengkapi buku ini dengan sebuah

    pendahuluan (tamhid) yang cukup sempurna berjudul Al-Khitab

    al-Diniy wa al-Manhaj al-Ilmy (Wacana Keagamaan dan

    Metodologi Ilmiah). Dalam tamhid-nya ini, Beliau menjelaskan

    telasi teks (baca: Al-Quran) dan kebudayaan secara teoritis.

    Selain menuangkan pemikiran orisinalnya, ia juga mengutip

    pendapat Amien Al-Khully (Maddah Tafsir), Hasan Hanafi (al-

    Turrats wa al-Tajdid, 1981), Roman Jakobson (Linguistics and

    Poetics, 1960), Al-Suyuthiy (al-Itqan fi Ulum al-Quran), Yourie

    Lotman (Nadzariyat haul al-Dirasah al-Semiotika li al-Tsaqafat),

    Ibn Quthaibah (Tawil Mukhtalaf al-Hadits, 1326 H.) dan Shahih

    al-Muslim, untuk sekedar menjadi contoh atau untuk mendukung

    pemikirannya. Referensi ini dapat menjadi bukti, betapa kuatnya

    pengaruh linguistik dalam kajian-kajian Abu Zayd.

    Abu Zayd menganggap bahwa peradaban Arab Islam

    adalah peradaban teks. Artinya, seluruh ilmu pengetahuan dan

    kebudayaan Arab Islam tumbuh dan berkembang dalam

    2 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum.., op.cit., hlm. 117-134.

    2

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    3/23

    pengaruh teks. Tapi bukan berarti bahwa hanya teks yang

    menjadi faktor penentu. Beliau menegaskan bahwa peradaban

    lahir sebagai hasil trialektika manusia, realitas dan teks. Ketiga

    unsur inilah yang menentukan lahirnya sebuah peradaban.

    Pergulatan antara manusia dengan realitas dalam bidang

    ekonomi, sosial, politik dan budaya plus satu unsur khas

    geografislah yang melahirkan peradaban. Oleh karena itu, Abu

    Zayd menyebut peradaban Mesir Kuno sebagai peradaban

    eskatologis, peradaban Yunani sebagai peradaban akal dan

    peradaban Arab sebagai peradaban teks.3

    Mafhum al-Nash adalah respons intelektual Abu Zayd

    terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis atas Quran yang

    beliau jumpai selama melakukan kajian atas pemikiran

    Mutazilah, wacana Sufi, dan wacana religio-politik sejak tahun

    1950-an. Beliau yakin bahwa dengan mendefinisikan hakekat

    obyektif teks, interpretasi ideologis dapat direduksi sebesar

    mungkin. Teks haruslah dilihat sebagai sebuah teks linguistik

    historis yang muncul dalam lingkungan kultural dan historis

    tertentu. Langkah selanjutnya adalah bahwa teks haruslah dikaji

    dan diinterpretasikan secara objektif dengan menerapkan

    metodologi dan teori ilmiah yang dikembangkan dalam studi-

    studi tekstual dan linguistik. Dalam hal ini, beliau berargumen

    3Ibid., hlm. 9.

    3

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    4/23

    bahwa satu-satunya cara untuk mengkaji dan

    menginterpretasikan Quran adalah melalui metode linguistik (al-

    manhaj al-lughawi) dalam pengertian biasanya. Buku ini

    mengekspresikan proyeknya untuk merekonstruksi studi Quran

    tradisional (Ulum al-Quran). Namun sayangnya, meskipun judul

    buku ini adalah Mafhum al-Nash, beliau tidak mendefinisikan

    secara jelas apa yang beliau maksud dengan nash/teks itu.4

    Memang Abu Zayd tidak mengajukan definisi secara pasti

    tentang apa yang dimaksudkannya dengan teks, terutama

    dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep Teks)), hal yang

    seharusnya dia lakukan.5 Namun meskipun demikian, Abu Zayd

    menyebutkan distingsi antara nash (teks) dan mushaf (buku).

    Yang pertama (teks) lebih merujuk kepada makna (dalalah)

    yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi,

    sedangkan yang kedua (mushaf) lebih merujuk kepada benda

    (syay), baik suatu benda estetik ataupun mistik.6

    4 Tentang kritik Ali Harb dan Hasan Hanafi atas buku ini, lihat AliHarb, Naqd al-Nash. Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-Arabi, 1995, edisi kedua,hlm. 199-220. Hasan Hanafi, Qiraat Mafhum al-Nash. Ard wa Murajaah,Hiwar al-Ajyal. Kairo: Dar Quba, 1998, hlm. 409-32.

    5 Kritik tentang hal ini, lihat Hasan Hanafi, Qiraah Mafhum al-Nash:Ard wa Murajaah, dalam Hiwar al-Ajyal. Kairo: Dar Quba, 1998, hlm. 416; Jabir Aspur, Mafhum al-Nash wa al-Itizal al-Muasir, dalam Hawamish AlaDaftar al-Tanwir. Kuwait: Dar Saad al-Sabah, 1994, hlm. 72-3.

    6 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, op. cit., hlm. 15. Inimengingatkan kita akan distingsi Roland Barthes tentang teks dan karya(work), meskipun tidaklah sama persis. Karya, menurut Barthes, adalahsebuah obyek yang selesai, sesuatu yang dapat dihitung (computable), yangmenempati suatu ruang fisik, sedangkan teks adalah sebuah ranahmetodologis (methodological Field). Karya dipegang dalam tangan, teksdipegang dalam bahasa(The work is held in the hand, the tezt in languange).

    Roland Barthes, Theory of the Text, dalam Robert Young (ed.), Untying theText: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Roudledge and Kegan

    4

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    5/23

    Abu Zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer

    dan teks sekunder. Teks primer dalam pemikiran Islam adalah

    Quran, sedangkan teks sekunder adalah sunnah Nabi, yakni

    adalah komentar tentang teks primer.7Abu Zayd

    mengklasifikasikan teks-teks keagamaan yang diproduksi oleh

    para Sahabat dan Ulama lainnya sebagai teks-teks sekunder

    lain, yang merupakan interpretasi atas teks primer dan teks

    sekunder.8 Oleh karena itu, teks sekunder hanyalah interpretasi-

    interpretasi atas teks primer; yang tidak bisa berubah menjadi

    teks primer. Kalau teks sekunder menggeser teks primer maka

    manipulasi atas teks primer akan menjadi tak terkontrol. Dalam

    hal ini, dalam bukunya Al-Imam al-Syafii wa Tasih al-

    Aydiyulujiya al-Wasatiyyah,9 Abu Zayd menuduh Imam Syafii

    merubah teks sekunder menjadi teks primer, dan teks primer

    menjadi teks sekunder.

    Sebagaimana golongan filosof bahasa lainnya, Abu Zayd

    juga melakukan sekularisasi dan historisasi terhadap semua

    bentuk teks, termasuk Al-Quran. Teks Al-Quran adalah produk

    budaya/peradaban selama kurang lebih 20 tahun. Tapi beliau

    Paul, 1981 (dicetak ulang 1987), hlm. 39. Lihat. Editor: Abdul Mustaqim Sahiron Syamsudin, Studi Al-Quran Kontemporer; Wacana Baru BerbagaiMetodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 153.

    7 Tentang teks primer dan teks sekunder, bandingkan dengan konsepFoucault dalam The Archeology of Knowledge & the Discourse on Language.New York (dll); Harpher Colophon Book, 1972. hlm. 221. Teks primer adalahteks original, sedangkan teks sekunder adalah komentar terhadapnya.

    8 Nashr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir, op.cit., hlm. 134-35.9

    Kritik Abu Zayd atas al-SyafiI, lihatlah Abu Zayd, Al-Imam al-SyafiIwa Tas Is al-Aydiyulujiya al-Wasatiyyah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.

    5

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    6/23

    tetap memandang Al-Quran sebagai sesuatu yang mulia.10 Iman

    dalam hal ini tidak bertentangan dengan historisitas teks Al-

    Quran. Ketika menurunkan wahyu kepada Muhammad, maka

    sebenarnya Allah melakukan pemilihan terhadap aturan-aturan

    bahasa. Dan dalam proses itu, tidak mungkin bahasa mengalami

    kehampaan budaya. Oleh karena itu, tidak mungkin memahami

    teks tanpa memahami konteks dan aturan-aturan bahasa.

    Hubungan dialektis antara teks dan konteks menghasilkan

    dua fungsi teks; fungsi alamiahnya sebagai pemberitahuan (al-

    Ilam) dan fungsinya sebagai penghubung antara pembicara (al-

    mutakallim) dan lawan bicara (al-mukhatab) atau antara

    pengirim (al-mursil) dan penerima (al-mustaqbil). Dalam hal ini,

    adalah tepat mengatakan bahwa Al-quran adalah al-risalah yang

    mengharuskan adanya unsur pengirim (Allah) dan penerima

    (Muhammad).

    Dalam kasus Al-Quran, Allah sebagai al-mursil tidak

    mungkin menjadi obyek kajian ilmiah. Maka kemudian, realitas

    (yaitu aktivitas manusia sebagai mukhathab teks) dan budayalah

    yang menjadi objek kajian itu. Maka selanjutnya adalah sangat

    niscaya melakukan kritisisme ilmiah (metode kritik teks)

    terhadap Al-Quran. Memahami Islam berarti berhadapan dengan

    Al-Quran dan Hadits yang sarat dengan teks. Dan bahwa teks Al-10 Wawancara Prof. Dr. Nashr Hamid Abu Zayd, Tafsir Tidak Pernah

    Berhenti dalam Panji Masyarakat, No. 30 Th 1, 10 Nopember 1997, hlm. 12-14.

    6

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    7/23

    Quran dan Hadis tidak turun atau terjadi dalam seketika, tetapi

    keduanya turun dalam kurun waktu 23 tahun sesuai dengan

    proses perkembangan masyarakat.11

    Abu Zayd mengemukakan tiga ide tentang tekstualitas

    Quran yang didasarkan atas ungkapan Quran sendiri: Pertama,

    kata wahy dalam Quran secara semantik setara dengan

    perkataan Allah (kalam Allah) dan Quran adalah sebuah pesan

    (risalah). Sebagai perkataan dan pesan, Quran meniscayakan

    dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan

    tekstual surat dan ayat dalam teks Quran tidak sama dengan

    urutan kronologis pewahyuan.Urutan kronologis pewahyuan

    (tanjim) Quran merefleksikan historisitas teks, sementara

    struktur dan urutan yang ada seperti sekarang merefleksikan

    tekstualitasnya. Sebuah genre spesifik dalam Ilmu Quran,

    korelasi antara ayat dan surat (Ilm al-munasabah bayn al-ayat

    wa al-suwar), telah diciptakan untuk menyediakan kepada

    penafsir sebuah interaksi aktif dengan teks, karena dalam

    korelasi ini tersimpan kemungkinan-kemungkinan yang bisa

    terungkap dalam proses pembacaan.Ketiga, Quran terdiri dari

    ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas), yang merupakan

    induk (backcone) teks, ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat

    ambigu), yang harus dipahami berdasarkan atas ayat-ayat

    11 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum.., op.cit., hlm. 26-27.

    7

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    8/23

    muhkamat. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang

    pembaca buakn hanya untuk mengidentifikasi ayat-ayat

    mutasyabihat, namun juga melihatnya bisa menentukan bahwa

    ayat-ayat muhkamat adalah kunci untuk melakukan penjelasan

    dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat.12

    Tekstualitas Quran mengarahkan pemahaman dan

    penafsiran seseorang atas pesan-pesan Quran. Tekstualitas

    Quran meniscayakan penggunaan perangkat-perangkat ilmiah,

    yakni, studi-studi tekstual modern. Pengabaian atas aspek

    tekstualitas Quran ini, menurut Abu Zayd akan mengarah

    kepada pembekuan makna pesan, dan kepada pemahaman

    mitologis atas teks. Ketika makna membeku dan baku (Frozen

    and Fixed), ia akan dengan sangat mudah dimanipulasi sesuai

    dengan interes ideologis seseorang atau pembaca.13 Namun,

    pendapat terakhir ini agak membingungkan, karena ditempat

    lain, Abu Zayd juga mengatakan bahwa makna hampir-hampir

    baku (almost fixed) disebabkan karena historisitasnya.14

    Rekontruksi pemikiran Islam yang ditawarkan dalam

    Mafhum al-Nash nampak sejalan dengan proyek Hasan Hanafi

    12 Abu Zayd, The Textuality of the Koran, Islam and Europe in Pastand Present. NIAS, 1997, hlm.47-48; Divine Attributes in the Quran: SomePoetic Aspects, dalam John Cooper at al. (eds.), Islam and Modernity.(London. NY: I.B. Tauris 1998), hlm. 195-97. Lihat. Moch Nur Ichwan, Thesis..,op.cit., hlm. 74.

    13

    Abu Zayd, Divine,Ibid., hlm. 192; The Textuality, hlm. 43.14 Abu Zayd, The Textuality, ibid., hlm. 51.

    8

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    9/23

    tentang tradisi dan pembaharuan (al-turas wa al-tajdid), yang

    merupakan bagian dari pembaharuan yang meletakkan secara

    bersama otentisitas dan kekontemporeran (al-asalah wa al-

    mumarasah).15 Namun Abu Zayd membedakan dirinya dari

    Hasan Hanafi dengan menekankan bahwa pembaharuan yang

    didasarkan atas dasar-dasar ideologis dan mengabaikan

    kesadaran ilmiah atas tradisi tidak lebih dari pada adopsi buta

    (taqlid).16 Kritik Abu Zayd terhadap kecenderungan ideologis

    Hasan Hanafi di sini masih lebih lunak ketimbang kritiknya dalam

    Naqd al-Khitab al-Din.

    Abu Zayd mempunyai dua tujuan dalam melakukan studi

    Quran, yang juga merupakan tujuan ditulisnya Mafhum al-Nash.

    Yakni, pertama adalah untuk mengaitkan kembali studi Quran

    dengan studi sastra dan studi kritis (al-Dirasat al-Adabiyyah wa

    al-Naqdiyyah). Menurutnya, studi Islam dan Quran didasarkan

    pertama dan utamanya atas teks. Studi tentang Quran

    sebagai sebuah teks linguistik meniscayakan penggunaan studi

    linguistik dan sastra. Mengkaji Quran sebagai sebuah teks

    semacam ini, baginya adalah jawaban terhadap seruan Amin al-

    15 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah Fi Ulum al-Quran. Kairo: Al-Hayah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993, hlm. 18;Hasan Hanafi, al-Turas wa al-Tajdid, hlm. 11, 13. Lihat. Moch Nur Ichwan ,Thesis, op. cit., hlm. 20.

    16 Inna al-tajdid ala asas al-Aidiyuluji duna istinadin ila wayinilmiyyin bi al-turas la yaqillu fi khuturatihi an al-taqlid, Nashr Hamid AbuZayd, Mafhum, op.cit., hlm. 17. Statemen ini merupakan kritik general ataskecenderungan ideologis para pemikir pencerahan sejak Jalal al-Din al-Afghani

    sampai Hasan Hanafi.

    9

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    10/23

    Khuli dalam Manahij al-Tajdid-nya.17 Untuk melakukan hal ini,

    Abu Zayd mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang

    linguistik, semiotik, dan hermeneutik dalam kajian-kajiannya

    tentang Quran. Tujuan yang kedua adalah untuk mendefinisikan

    pemahaman obyektif tentang Islam (al-mafhum al-mawdui li

    al-Islam) yang terhindar dari kepentingan-kepentingan ideologis.

    Abu Zayd sadar akan kenyataan bahwa selalu saja ada

    kelompok-kelompok yang menggunakan Islam secara ideologis

    untuk mendukung tujuan-tujuan politik dan ekonomi mereka.18

    Mafhum al-Nash Dirasah Fi Ulum al-Quran diterjemahkan

    akan berbunyi Konsep Teks (Kajian atas Ilmu-ilmu Al-Quran).

    Teks dalam judul ini, dan juga dalam buku ini pula, maksudnya

    adalah Al-Quran itu sendiri. Al-Quran adalah salah satu teks

    dengan kandungan universal yang mengenainya sudah banyak

    orang berbicara dan menulis, namun demikian tetap saja belum

    diketahui dengan baik.19 Al-Quran dianggap sebagai kitab suci

    yang lengkap, sempurna dan mampu mengatasi serta

    melampaui teks-teks lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Al-

    Quran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui

    17 Editor: Abdul Mustaqim Sahiron Syamsudin, Studi Al-QuranKontemporer.., op.cit., hlm. 152. Lihat. Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid Fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab. Kairo: Dar al-Marifah, 1961,hlm. 304-315.

    18 Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas}s}, op. cit., hlm. 21-2.19 Dengan mengambil kasus masyarakat Perancis sebagai contoh,

    harus diakui bahwa, walaupun sudah terdapat berbagai macam terjemahanQuran, kitab ini masih berada pada dataran gagasan-gagasan sederhana,

    bahkan terkena berbagai prasangka berabad-abad. Lihat. Mohammed Arkoun,Berbagai Pembacaan Quran, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 47-8.

    10

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    11/23

    Malikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh dan spirit keilahian Al-

    Quran-lah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan

    gempuran.

    Salah satu isu sentral yang dimunculkan dalam buku ini

    adalah perbincangan di seputar Teks. Di sini, konsep Teks

    merupakan konsep sentral dalam ilmu-ilmu Al-Quran. Al-Quran

    sebagai sebuah teks, pada dasarnya merupakan produk budaya.

    Maksudnya adalah bahwa teks terbentuk dalam realitas dan

    budaya lewat rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Apabila

    teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya maka banyak

    unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks

    tersebut. Terjadilah dialektika yang dinamis antara teks dengan

    kebudayaan (lebih luas lagi: peradaban). Maka, salah satu hal

    yang urgen untuk dikaji dalam buku ini adalah mengenai

    mekanisme-mekanisme teks dari segi hubungan teks dengan

    teks-teks lain dalam peradaban di satu pihak, dan dari segi

    mekanisme-mekanismenya dalam memproduksi makna di pihak

    lain. Selain itu juga diungkapkan perubahan yang menimpa

    konsep teks dalam pemikiran (keagamaan).20

    Pemilihan kata teks yang merujuk pada Al-Quran

    dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistis dalam

    kajian ini. Sebagai kajian ilmiah, kesan semacam itu dibuang

    20

    Pengantar Penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Quran..,op. cit., hlm. Vii.

    11

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    12/23

    jauh-jauh seiring dengan tujuan Abu Zayd untuk menciptakan

    kesadaran ilmiah terhadap tradisi intelektual Arab-Islam. Oleh

    karena itu, Al-Quran sebelum disebut sebagai Al-Quran dalam

    pengertian sucinya, diperlakukan sebagai teks tanpa atribut apa

    pun sebagaimana teks-teks yang lain. Ini dilakukan untuk melihat

    teks Al-Quran secara polos tanpa harus dimasuki bias-bias

    ideologis yang selalu membayangi kajian kitab suci.

    Sebagaimana pesan yang tertulis dalam buku ini, Al-Quran

    menampik untuk dihadiri secara dogmatis dan ideologis. Menurut

    Nashr Hamid Abu Zayd, Sebagaimana Allah tidak memiliki

    ujung, demikian pula tidak ada ujung bagi pemahaman kalam-

    Nya; setiap orang dapat memahami Al-Quran, sesuai dengan

    potensi yang dibukakan kepadanya.Dan sejalan apa yang

    dikutip Abdul Karim Soroush, Bahwa Tak ada yang sakral di

    dalam masyarakat manusia. Kita semua adalah manusia-

    manusia yang bisa salah. Meskipun agama itu sakral,

    penafsirannya tidak sakral. Yang abadi adalah agama itu sendiri

    dan bukan pemahaman kita tentangnya. Dan oleh karena itu

    dapat dikritik, dimodifikasi, diverifikasi, dan didefinisikan

    kembali21.

    Dalam buku ini terdiri dari tiga bab dan persoalan penting,

    yaitu format dan formatisasi oleh teks, mekanisme teks, dan

    21

    Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas Dan Tradisi Agama,(Bandung: Mizan, 2002), hlm. XVII.

    12

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    13/23

    pergeseran konsep dan fungsi teks.22 Dalam bab pertama, format

    dan formatisasi oleh teks (Tasyakkul dan Tasykil), Al-Quran

    ditempatkan dalam bingkai proses komunikasi. Apabila dalam

    proses pembentukan formatnya, Al-Quran berhenti sampai

    dengan meninggalnya Nabi maka dalam proses formatisasi oleh

    teks, Al-Quran terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui

    penafsirnya. Oleh karena Al-Quran yang ada di hadapan kita

    merupakan hasil proses komunikasi maka dalam pembentukan

    formatnya banyak faktor yang terlibat, seperti kondisi penerima

    pertama (Muhammad), sasaran daya yang mengelilingi mereka.

    Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, Al-Quran

    membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan

    budaya menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara

    langsung, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya.

    Sebagai teks agama, aspek inilah yang menjadi karakter

    utamanya. Namun demikian, konsep semacam ini dalam

    kesadaran umat pada umumnya justru terabaikan.

    Apabila dalam proses pembentukan formatnya, teks

    diimani sebagai cuplikan dari teks yang azali maka dalam proses

    formatisasi oleh teks, teks Al-Quran dianggap mampu mengubah

    situasi dan kondisi secara langsung tanpa perantara nalar

    manusia yang menafsirkannya. Hal ini terlihat sangat menonjol

    22

    Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,loc.cit..

    13

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    14/23

    dalam penggunaan dalil-dalil Al-Quran untuk memberikan

    penilaian suatu persoalan yang terjadi. Apabila dalam fase

    pertama wahyu memperhatikan situasi dan kondisi maka dalam

    fase belakangan wahyu dipakai untuk memaksa situasi dan

    kondisi, dalam pengertian penggunaan dalil-dalil tersebut

    mengabaikan situasi. Ini dapat terjadi sebagai akibat dari aspek

    sakral yang menjadi tekanan di dalam memahami fenomena Al-

    Quran maupun dalam pembentukan format dan formatisasi oleh

    Al-Quran.

    Dalam bab kedua, (Aliyyat al-Nash) mekanisme teks, buku

    ini berbicara tentang bagaimana teks bekerja dalam

    memproduksi makna, menurut logika apa teks bekerja. Ada dua

    hal yang dikemukakan di sini. Pertama, teks bekerja, tentunya

    melalui nalar mufassir, secara intertekstual. Fenomena Al-Quran

    dilihat dalam kaitannya dengan teks-teks lain yang mendahului

    atau yang ada pada saat Al-Quran muncul. Dalam tradisi Arab

    dikenal teks-teks semacam syiir, nashr, sajperdukunan, amtsal,

    risalah dengan karakteristiknya masing-masing. Dalam kaitannya

    dengan teks-teks yang ada di dalam budaya ini teks Al-Quran

    memiliki dua wajah, persamaan dan perbedaan. Melalui wajah

    persamaan fenomena Al-Quran dipahami dalam perspektif teks-

    teks tersebut. Melalui wajah perbedaan Al-Quran menempatkan

    dirinya sebagai sesuatu yang lain dari teks-teks tersebut. Ia

    14

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    15/23

    memiliki wajah persamaan karena ia muncul dalam realitas

    budaya yang memiliki muatan teks-teks tersebut. Sementara

    wajah perbedaan yang dimilikinya mencerminkan kreatifitasnya

    sebagai sesuatu yang baru bagi budaya terkait. Aspek kelainan

    teks Al-Quran inilah yang justru mengundang perhatian

    masyarakat Arab pada saat itu sedemikian rupa sehingga

    mereka tidak dapat mengklasifikasikan teks tersebut ke dalam

    teks-teks yang sudah ada. Kedua, teks Al-Quran bekerja secara

    otonom setelah teks tersebut diubah menjadi mushhaf. Apabila

    dalam bagian pertama teks bekerja dalam kaitannya dengan

    teks di luar maka bagian kedua teks bekerja dalam kaitannya

    dengan teks-teks lain dalam mushhaf itu sendiri. Dalam bahasa

    ulama Al-Quran yufassiru badhuhu badhan (antar bagian-

    bagian Al-Quran saling menafsirkan satu sama lain).

    Dalam bab ini, Abu Zayd menjelaskan (1) relasi teks Al-

    Quran dengan teks-teks lain dalam perjalan budaya dan (2)

    proses produksi dilalah. Al-Ijaz, al-munasabah bayn al-Ayat wa

    al-Suwar, al-Gumush wa al-Wudhuh, al-Am wa al-Khash, dan al-

    Tafsir wa al-Tawil, merupakan bagian-bagian bab ini.

    Lebih menarik lagi, pada bab terakhir, ketiga, (Tahwil

    Mafum al-Nash wa Wadzhifatuhu) Abu Zayd menjelaskan proses-

    proses pendefinisian teks, sehingga kemudian teks menempati

    posisi khusu (tinggi) dalam peradaban Arab Islam, bahkan

    15

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    16/23

    sampai sekarang. Buku ini mengupas pergeseran konsep dan

    fungsi teks, dari teks yang berfungsi sebagai tanda dengan

    kekayaan makna yang dikandungnya, menjadi sesuatu yang

    mati, tertutup dan miskin makna. Kajian ini didasarkan pada

    tulisan Al-Ghazali mengenai Al-Quran dalam bukunyaJawahir Al-

    Quran. Al-Ghazali dipakai sebagai objek kajian dalam masalah

    ini karena Al-Ghazali dianggap sebagai tokoh ulama yang paling

    berpengaruh di dalam mengubah realitas masyarakat umat Islam

    pada masanya dan setelahnya. 23

    Pada dasarnya apa yang dijelaskan oleh Nashr Hamid Abu

    Zayd dalam buku ini tidak ada yang baru selain membahasakan

    kesadaran yang pernah ada dengan bahasa kontemporer. Hal ini

    didasarkan pada ilmu-ilmu yang dibahas di dalamnya merupakan

    ilmu-ilmu lama. Penggunaan ilmu-ilmu tersebut sebagai objek

    kajian dalam buku ini justru memperlihatkan bahwa ada

    kesadaran ulama kuno terhadap tekstualitas Al-Quran meskipun

    dalam kadar yang tidak menonjol. Pengakuan terhadap asbab

    an-nuzul, nasikh-mansukh, dan makki-madani dalam ilmu-ilmu

    Al-Quran menujukkan bahwa ada hubungan antara teks Al-

    Quran dengan realitas. Faktor-faktor latar belakang, tempat dan

    waktu ikut mempengaruhi format teks Al-Quran. Demikian pula

    dengan mekanisme teks yang dijelaskan dalam bagian kedua

    23

    Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,op.cit., hlm.xi.

    16

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    17/23

    buku ini. Kesadaran bahwa Al-Quran bekerja secara otonom dan

    juga intertekstual dalam memproduksi makna dapat dilihat dari

    bab-bab yang diketengahkan dalam buku ini diambil dari ilmu-

    ilmu Al-Quran.

    Kajian tentang konsep teks sebenarnya upaya untuk

    menguak watak teks yang menjadi sentral kebudayaan kita.

    Upaya mengkaji konsep teks berarti usaha mengungkapkan

    hubungan ganda; pertama, hubungan teks dengan budaya,

    dimana teks itu terbentuk, dan kedua, hubungan teks dengan

    budaya dimana teks membentuk budaya. Dua poros ini akan

    menjadi topik bahasan pada bagian pertama dalam buku ini.

    Bagian ini terbagi menjadi lima bab secara berurutan, sebagai

    berikut: konsep wahyu, penerima pertama teks, makki dan

    madani, asbab an-nuzul, nasikh dan mansukh. Dalam bab-bab

    tersebut, didasarkan atas asas dua poros tersebut (yaitu kaitan

    antara teks dengan peradaban, baik teks sebagai yang terbentuk

    oleh budaya maupun teks sebagai pembentuk budaya).

    Bagian kedua dari kajian ini mengenai mekanisme-

    mekanisme teks, hubungan teks dengan teks-teks lain dalam

    kebudayaan di satu pihak, dan mekanisme-mekanisme teks

    dalam memproduksi makna di pihak lain. Di bawah bagian

    terdapat lima bab yang secara berurutan sebagai berikut: Ijaz,

    kesesuaian antar ayat dan surat, ambiguitas dan distingsi, amm

    17

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    18/23

    dan khash, tafsir dan tawil. Bagian ketiga dan terakhir

    dimaksudkan untuk menyingkapkan perubahan yang dialami

    oleh konsep dan fungsi teks. Perubahan ini menjadikannya

    dominan dalam peradaban Arab-Islam hingga masa modern ini.24

    B. Konsep dan Signifikansi Wahyu

    C. Menentukan Wahyu Dalam Studi Al-Quran

    Sebelum menetapkan keberpihakan dan memberikan judgement tentang

    pandangan siapa yang benar dan salah dalam persoalan ini, ada baiknya untuk

    melihat porsi dan proporsi persoalan tentang status al-Quran ini sebenarnya atau

    secara umum untuk mengetahui serta memahami terlebih dahulu mengenai aspek-

    aspek keberadaan al-Quran. Al-Quran yang sekarang ada di tangan umat Islam

    adalah sebentuk mushaf yang sudah tertib terkodifikasi dan bahkan untuk saat ini

    bisa dicetak dalam jumlah jutaan di atas kertas dan tinta. Apabila melihat

    kenyataan semacam ini, dan kemudian dikaitkan dengan berbagai argumen, baik

    historis, fenomenologis, maupun naqly, tentang status keberadaan al-Quran ini,

    maka dapat dikatakan setidaknya al-Quran memiliki beberapa aspek:

    1. Ketika al-Quran masih berupa Kalamullah murni yang belum

    diwahyukan.

    2. Ketika al-Quran diwahyukan secara verbatim oleh Allah kepada

    Muhammad dan untuk selanjutnya Muhammad menyampaikannya juga

    secara verbatim kepada umatnya.

    24

    Pengantar penerjemah, Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas..,op.cit., hlm. 24

    18

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    19/23

    3. Ketika Muhammad, generasi awal yang dilanjutkan dengan generasi-

    generasi selanjutnya memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran al-

    Quran dalam praksis nyata kehidupan.

    4. Ketika al-Quran mewujud dalam sebentuk naskah tertulis dalam bahasa

    Arab yang dikodifikasi, diperbanyak dengan kertas dan tinta; lalu dibaca

    dan dipahami oleh Umat Islam seluruh dunia.

    Pada level pertama, yaitu ketika al-Quran masih berupa Kalamullah yang

    murni dan belum diwahyukan, jelas tidak ada seorang pun yang mampu

    mengaksesnya. Nilai sakralitas al-Quran pada dataran ini tidak perlu diragukan

    lagi, meskipun tidak seorang pun mampu menjangkaunya. Pada level ini hanya

    Allah yang tahu apa dan bagaimananya.

    Pada level kedua, yaitu ketika al-Quran diwahyukan secara verbatim kepada

    Muhammad dan Muhammad kemudian menyampaikannya kepada umatnya, ada

    beberapa hal yang perlu diperhatikan. Ketika Allah mewahyukan kepada

    Muhammad tentu saja Allah memakai bahasa, idiom, logika yang bisa dipahami

    oleh Muhammad agar wahyu bisa dipahami maksudnya oleh Muhammad. San

    karena yang mendapat wahyu ini adalah seorang Arab, maka media yang dipakai

    oleh Allah adalah bahasa Arab dan juga struktur logis informasi yang bisa

    dipahami dalam konteks budaya Arab. Kenyataan bahwa al-Quran diturunkan di

    Arab dan memakai bahasa serta logika Arab tentunya tidak harus

    mengimplikasikan muatan pesan yang disampaikan hanya bernilai lokal dan tidak

    bisa diaplikasikan untuk konteks yang berbeda. Di sisi lain, meskipun memakai

    wahana bahasa Arab dan logika budaya Arab, tidak kemudian sakralitas al-Quran

    19

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    20/23

    dianggap turun. Sakralitas al-Quran ini tentunya lebih terletak dalam muatan

    pesan yang disampaikan dan juga sumber pesan itu sendiri, yaitu Allah.

    Selanjutnya, Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya kepada

    umatnya, juga secara verbatim, sebagaimana diyakini oleh Jumhur umat Islam.

    Karena disampaikan secara verbatim, maka untuk ini sebenarnya Muhammad

    tidak melakukan perubahan apa-apa, termasuk perubahan hasil pemahamannya

    sendiri. Dalam hal ini posisi Muhammad dapat diibaratkan sebagai speakeryang

    akan berbunyi sesuai dengan suara yang masuk pada dirinya. Dalam hal ini tidak

    perlu ada kekhawatiran bahwa umatnya tidak mampu memahami apa yang

    disampaikan oleh Muhammad kalau Muhammad tidak mengolahnya terlebih

    dahulu untuk menyesuaikan dengan pemahaman masyarakatnya, karena sejak

    awal Allah pasti lebih tahu kondisi masyarakat yang akan menjadi audiens

    pertama bagi wahyu dan kemudian menurunkan wahyu sesuai dengan konteks

    masyarakat penerimanya. Dari titik ini terlihat bahwa ungkapan wahyu yang

    disampaikan oleh Muhammad kepada umatnya masih bernilai sakral karena

    Muhammad belum melakukan intervensi selain bahwa bahasa Muhammad

    (bahasa Arab) dan logika budaya Muhammad (logika budaya Arab) dipinjam

    oleh Allah sebagai media untuk membumikan wahyunya.

    Namun pada level ketiga, ketika Muhammad dan Umatnya memahami dan

    menjalankan pesan-pesan al-Quran, maka pemahaman dan aplikasi mereka ini

    tidak bernilai sakral sebagaimana al-Quran yang sakral. Pemahaman dan

    pelaksanaan tersebut pasti sangat dipengaruhi oleh konteks hidup orang-orang

    yang melakukan pemahaman dan aplikasi. Muhammad sebagai pengemban

    20

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    21/23

    Risalah juga termasuk disini, karena selain kedudukannya sebagai Rasul yang

    memiliki amanah menyampaikan Risalah tanpa manipulasi, ia juga manusia biasa,

    seorang Muslim yang terkena khitab al-Quran. Pada dataran ini tentu saja

    aplikasi nilai-nilai al-Quran oleh Muhammad tidak bernilai sakral sebagaimana

    sakralitas al-Quran, meskipun pernyataan tidak sakral ini tidak kemudian harus

    diterjemahkan bahwa hasil pemahaman dan perilaku Muhammad jangan diikuti,

    karena selain keyakinan Umat Islam bahwa perilaku Muhammad akan selalu

    mendapat kontrol dari-Nya, jelas Muhammad-lah mendapatkan wahyu, sehingga

    pasti dia adalah orang yang lebih memahami maksud pesan wahyu dibandingkan

    yang lain. Oleh karena itu, mengikuti perilaku Muhammad dalam menerjemahkan

    pesan al-Quran merupakan sesuatu yang logis, khususnya dalam tata hubungan

    vertikal dengan Allah. Meskipun demikian, tetap saja harus disadari aspek-aspek

    historis kehidupan Muhammad dan aspek-aspek normatif universal ajaran

    Islamnya.

    Sementara itu pada level keempat, yakni al-Quran yang sekarang ada di

    hadapan kita, yang dicetak di penerbitan dengan kertas dan tinta serta dijilid rapi

    berbentuk buku; maka kertas, tinta dan jilidan tersebut tidak bernilai sakral.

    Namun itu tidak berarti orang bisa bersikap sembarangan terhadap benda yang

    bernama al-Quran itu, karena dibalik benda tersebut terkandung Kalamullah,

    wahyu langsung dari Allah. Hal ini bisa dianalogikan-meskipun mungkin terlalu

    kasar-dengan surat cinta yang berasal dari sang kekasih. Kertas dan tinta yang

    tergores di atasnya adalah kertas dan tinta yang bisa dijumpai dimana-mana,

    namun surat cinta tersebut sangat bernilai dan disakralkan oleh yang

    21

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    22/23

    memilikinya karena di dalamnya terkandung ungkapan hati sang kekasih.

    Meskipun demikian, penghargaan yang berlebihan pada kertas dan tinta surat

    cinta tersebut yang sampai melebihi penghargaan terhadap pesan dan ungkapan

    hati yang terkandung di dalamnya, tentunya dapat dikatakan sebagai sebuah sikap

    yang tidak selayaknya.

    Dari empat tataran ini mungkin dapat dipetakan kembali pada dataran mana

    al-Quran itu merupakan produk budaya dan pada dataran mana dia merupakan

    produk ketuhanan. Pada level pertama jelas Kalamullah adalah bersifat murni

    ilahiah sehingga tidak diragukan lagi sifat ketuhanannya. Pada level kedua-pun

    mungkin agak susah untuk menyebut bahwa al-Quran itu produk budaya,

    sebagaimana pandangan Abu Zayd. Tidak sebagaimana asumsi Abu Zayd,

    sebenarnya variabel budaya yang terlibat dalam level ini lebih sekedar dipinjam

    untuk memunculkan ide-ide ketuhanan (Kalamullah). Paling jauh mungkin bisa

    dikatakan bahwa Kalamullah memakai media variabel budaya.25 Sementara itu

    pada level ketiga dan keempat tidak bisa dipungkiri bahwa pada dataran

    lahiriahnya, yaitu ketika umat Islam mengejawantahkan pesan al-Quran dalam

    kehidupan nyata dan ketika al-Quran dikodifikasi dan diterbitkan melalui kertas

    dan tinta, maka ekspresi perilaku dan hasil terbitan al-Quran tersebut adalah

    produk budaya.

    D. Relevansi Konsep dan Konstruksi Wahyu Nashr Hamid Abu Zayd

    25 Mungkin ini yang dimaksud Abu Zayd bahwa Marhalahal-Tasyakkul dan Marhalah

    al-Tasykil itu tidak bersifat kronologis, dimana yang satu harus mendahului yang lain. Abu Zayd

    menyebutkan dua fase itu untuk menggambarkan dua aspek teks yang bisa saja terjadi pada saatbersamaan. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash..., h. 86

    22

  • 8/14/2019 Bab IV Representasi Konstruksi Wahyu Nashr Hamid

    23/23

    Dalam Pemahaman Studi al-Quran

    23