relevansi perpindahan hak wali nikah dalam kitab tabyin al...
TRANSCRIPT
i
Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah
Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Ringayatunnisa‟
NIM : 21114021
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Ringayatunnisa‟
NIM : 21114021
Judul :Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin
Al Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari
Hukum Islam
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 04 September 2018
Pembimbing,
M. Yusuf Khummaini, S.H.I,M.H.
NIP. 19810508 200312 1 00
iii
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah
Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam
Oleh:
Ringayatunnisa‟
NIM : 21114021
telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Selasa, tanggal 2018, dan telah dinyatakan
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Dr. Siti Zumrotun, M.Ag .....................................
Sekretaris Sidang : M. Yusuf Khummaini, S.H.I, M.H .....................................
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si .......................................
Penguji II : Heni Satar N, S.H., M.Si .......................................
Salatiga, 2018
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP.19670115 199803 2 002
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI‟AH Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722
Website : http://syariah.iainsalatiga.ac.id/ E-mail : [email protected]
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ringayatunnisa‟
NIM : 21114021
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi :Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i
Ditinjau Dari Hukum Islam
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam
skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 05 September 2018
Yang menyatakan
Ringayatunnisa‟
NIM: 21114021
v
MOTTO
﴾٦﴿إن مع انعسس سسا
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku ibu Siti Asiyah dan bapak Muhdi yang telah membesarkan dan
mendidikku dengan penuh kasih sayang dan cinta serta pengorbanan baik secara lahir
maupun batin dengan iringan do‟a restu sehingga aku bisa seperti sekarang.
2. Kakakku Mbak Faizah dan Mas Ma‟rufi Ahmad serta Adikku Azmi Latifah dan Azka
Umaya Muflikha terimakasih atas do‟a dan motivasi yang tercurahkan tanpa batas dan
lelah.
3. Kepada bapak M. Yusuf Khummaini, S.H.I, M.H. selaku pembimbing dan sekaligus
sebagai serta motifator juga pengarah sampai selesainya penulisan skripsi ini.
4. Seluruh bapak ibu dosen yang telah bersedia memberikan ilmu kepada penulis dan
terima kasih atas dorongan dan motivasinya.
5. Kepada sahabatku Dhewi Endriani, viani rahmawati, Sinta Marya Dewi, Siti Aisah,
Isnataini Nur Fitriana, Afita Setyowati dan Siti Muzayanah yang selalu mendo‟akan
dan selalu memperhatikanku dalam segala keadaan yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
6. Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2014 terkhusus program studi HKI yang telah
memberikan kebahagiaan, motivasi dan semangat belajar.
7. Seluruh kaum muslimin dan muslimat yang senantiasa menuntut ilmu, selalu senang
belajar, berlatih, berkarya dalam memahami makna hidup hingga mencapai tujuan
keridloan Allah Swt. Sang Pencipta.
vii
8. Sahabat dan sahabati PMII Rayon Zubair Al-Jailani Komisariat Joko Tingkir Kota
Salatiga.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil‟alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, inayah serta hidayahnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan
kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran,
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.). Adapun judul skrisi ini adalah “Relevansi
Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji
Ahmad Rifa‟i Ditinjau Hukum Islam”
Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. selaku Ketua Program Studi HKI IAIN Salatiga.
4. Bapak yusuf khummaini,S.H.I, M.H. sebagai Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, yang
telah mencurahkan tenaga dan pikiran serta mengorbankan waktunya dalam
membimbing sehingga terwujudnya penulisan skripsi ini.
ix
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan seluruh Sivitas Akademik
IAIN Salatiga yang telah banyak membimbing dan membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual, yang selalu
mencurahkan kasih sayang, memberikan semangat dan dukungan serta mendo‟akan
saya, selama saya menempuh studi di IAIN Salatiga yang selalu megharapkan
keberhasilan saya.
7. Sahabat senasib seperjuangan HKI angkatan 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
Dalam hal ini penulis menyadari masih banyak kekurangan baik teknik penyusunan
maupun isi, karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangsih bagi
pengembangan dunia khususnya Hukum Keluarga Islam.
Salatiga, Agustus 2018
Penulis
Ringayatunnisa‟
NIM. 21114021
x
ABSTRAK
Ringayatunnisa‟. 2018 “Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al
Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam”.
Skrispi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam, Institut Agama
Islam Negeri. Pembimbing: Yusuf Khummaini,S.H.I,M.H.
Kata Kunci: perpindahan, hak wali nikah, dan kitab Tabyin Al-Ishlah
Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Yang mana dalam perkawinan itu
sendiri bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam
melaksanakan pernikahan terdapat syarat sah dan rukun yang harus dipenuhi oleh calon
kedua mempelai, Salah satunya yaitu wali nikah. Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah wali
nikah harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan yaitu, adil dan mursyid. Permasalahan
di dalam konsep pernikahan sangat beragam salah satunya permasalahan perwalian nikah.
Yang mana, terdapat konsep perpindahan hak wali, itu terjadi karena wali tersebut merasa
tidak mumpuni untuk menikahkan anaknya, maka perwalian di taukilkan kepada ulil amri
yang mereka percaya akan adil dan kemursyidannya. Berdasarkan latar belakang di atas,
kemudian peneliti merumuskan ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana
perpindahan hak wali dalam kitab tabyin al-ishlah di tinjau dari hukum islam? 2.
Bagaimana konsep perpindahanhak wali dalam kitab tabyin al-ishlah di tinjau dari hukum
islam?
Sehubungan dengan pertanyaan di atas peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan yuridis normatif. Metode yang digunakan
adalah library research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu cara membaca, mencermati,
menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan di teliti.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah konsep perpindahan hak wali nikah
yang dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifa‟i yang kemudian di tuangkan dalam kitab Tabyin
Al-Ishlah. Yang mana jika di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah wali nikah dipindahkan kepada
ulil amri yang dipercaya sifat adil dan kemursyidannya. Perpindahan hak wali nikah dalam
kitab Tabyin Al-Ishlah dipandang kurang relevan apabila diterapkan pada era zaman
sekarang. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dan berguna
bagi masyarakat yang ingin mengetahui konsep perpindahan hak wali nikah yang
dijelaskan di dalam kitb Tabyin Al-Ishlah yang ditinjau dari hukum islam.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL ___________________________________________________ i
NOTA PEMBIMBING _________________________________________ ii
PENGESAHAN ______________________________________________ iii
PERNYATAAN KEASLIAN ____________________________________ iv
MOTTO_____________________________________________________ v
PERSEMBAHAN _____________________________________________ vi
KATA PENGANTAR _________________________________________ viii
ABSTRAK __________________________________________________ x
DAFTAR ISI _________________________________________________ xi
DAFTAR LAMPIRAN _________________________________________ xiii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ___________________________________ 1
B. Rumusan Masalah ________________________________________ 7
C. Tujuan Penelitian _________________________________________ 7
D. Kegunaan Penelitian ______________________________________ 8
E. Penegasan Istilah _________________________________________ 9
F. Telaah Pustaka ___________________________________________ 9
G. Metode Penelitian ________________________________________ 12
H. Sistematika Penulisan _____________________________________ 15
BAB II: PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Konsep Pernikahan _______________________________________ 17
1. Pengertian Pernikahan __________________________________ 17
2. Hukum Pernikahan ____________________________________ 20
3. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan __________________________ 22
4. Rukun Dan Syarat Sah Nikah ____________________________ 25
xii
BAB III: GAMBARAN UMUM BIOGRAFI SYAIKH AHMAD RIFA‟I DAN
KITAB TABYIN AL-ISHLAH
A. Gambaran Umum Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah 40
1. Biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i ____________________________ 40
2. Jamaah Rifa‟iyyah ____________________________________ 51
3. Kitab Tabyin Al-Ishlah _________________________________ 53
B. Konsep Pernikahan Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah ______________ 55
C. Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah _________________________________________ 65
BAB IV: ANALISIS PERPINDAHANN HAK WALI NIKAH
DALAM KITAB TABYIN AL-ISHLAH DI TINJAU
DARI HUKUM ISLAM
A. Analisis Konsep Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah
Di Tinjau Dari Hukum Islam _______________________________ 71
1. Analisis Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Fikih ____ 71
2. Analisis Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Undang-Undang Perkawinan __ 72
B. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Hukum Islam _________________ 72
1. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Fikih __________ 72
2. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Undang-Undang Perkawinan __ 73
C. Analisis Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah Ditinjau Dari Hukum Islam Era Zaman Sekarang _ 75
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan _____________________________________________ 77
B. Saran __________________________________________________ 79
C. Penutup ________________________________________________ 79
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Surat Penunjukkan Pembimbing
2. Lembar Surat Izin Observasi
3. Lembar Konsultasi Skripsi
4. Lembar Surat Keterangan Keaktifan (SKK)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ajaran yang penting dalam islam adalah pernikahan
(perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga
dalam alqur‟an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung
berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud. (Anam, 2015: 1)
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang
dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang yang mengikat kedua pihak
dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan ikatan batin adalah hubungan tidak
formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat
kedua belah pihak. (Hanif, 2015: 1)
Ikatan pernikahan yaitu suatu ikatan yang didalamnya ada kesepakatan
antara seorang suami dan istri bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah tentu berlandaskan tuntunan syariat agama dan atas petunjuk
dari Allah swt dan semata-mata untuk menjalankan perintahNya dan
mengharapkan Ridlo dariNya.Ikatan pernikahan sendiri merupakan suatu ikatan
lahir batin antara suami dan istri yang didalamnya bertujuan untuk hidup harmonis
kekal selamanya sampai akhir hayat memisahkan antara keduanya.
2
Pada hakikatnyaikatan pernikahan sendiri tidak hanya membahas tentang
ikatan lahir batin. Akan tetapi, untuk mewujudkan kehidupan kelaurga yang
harmonis perlu dilihat proses pernikahan seseorang yang dilaksanakan
sebelumnya.Tradisi atau kebiasaan yang terjadi di suatu daerah merupakan
rangkaian prosesi pernikahan yang dilaksanakan seseorang.Dimana, suatu adat atau
kebiasaan yang terjadi dimasyarakat sudah turun temurun dari nenek
moyangnya.Tradisi merupakan sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat,
baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau
agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. (Hanif, 2015: 2)
Islam merupakan agama yang bersifat universal.Didalamnya tidak
menganut ajaran yang kaku.Ia mampu beradaptasi dan berkembang diberbagai
daerah dan disetiap waktu. Akan tetapi terkadang budaya dan tradisi lokal dalam
masyarakat tidak dapat dihindari oleh berbagai kalangan masyarakat muslim.
Karena itu agama dan budaya saling berjalan beriringan tanpa mengurangi nilai-
nilai yang terkandung didalamnya.
Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan tidaklah menjadi kendala untuk
mencapai tujuan islam, dan islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek
kehidupan. Hanya saja pergumulan islam itu beakibat pada adanya keragaman
penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama berkenan dengan tata
3
caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah
tradisi.
Tradisi dalam hukum islam disebut „urf. „urf adalah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan.Atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan
yang dapat saja bersanding dengan hukum islam, dan ini juga disebut dengan adat.
Jadi, dikalangan syariat tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. (munir, 2005:
334)
Pada saat ini tradisi pernikahan juga masih melekat dan dijalankan di
masyarakat.Salah satunya di kalanganJamaah Rifa‟iyah, yangmana Jamaah
Rifa‟iyah adalah kelompok keagamaan pengikut KH.Ahmad Rifa‟i yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 di pesisir utara jawa tengah tepatnya di Desa
Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, pada masa itu masuk dalam
Karesidenan Pekalongan.KH. Ahmad Rifa‟i telah memainkan peranan yang amat
penting dalam sejarah islam dan gerakan keagamaan menantang pemerintah
belanda di Indonesia.
Saat ini pengikut Jamaah Rifa‟iyah cukup banyak yang tersebar di beberapa
daerah di jawa tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen,
Wonosobo, Pati dan bahkan diluar jawa tengah seperti arjowinangun Cirebon,
indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama rifa‟iyah merupakan suatu
penghormatan terhadap pendiri jamaah keagamaan dan untuk mengenang jasa-jasa
KH.bin Muhammad marhum, bukan untuk memuja.Selain sebagai pendiri beliau
4
juga sebagai tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga
sekarang.
Jamaah Rifa‟iyah dalam masalah pernikahan ia berpedoman pada kitab
yang dianut oleh KH. Ahmad Rifa‟i yaitu kitab Tabyin Al-Ishlah.Kitab Tabyin Al-
Ishlahsendiri merupakan suatu kitab yang dikarang sendiri oleh KH. Ahmad Rifa‟i
didalamnya berisi tentang berbagai pelajaran, salah satunya membahas tentang
pernikahan dan proses pernikahan berlangsung. Dan pelajaran-pelajaran yang
terdapat didalamnya khususnya hal pernikahansesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan yang dijelaskan oleh kitab-kitab yang lainnya.Perkawinan dianggap sah
apabila terpenuhi semua syarat dan rukunnya. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A
menjelaskan bahwa tentang rukun-rukun perkawinan terdiri atas lima macam, yaitu
adanya: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. (Rofiq,
2013:55)
Salah satu unsur penting dalam perkawinan adalah adanya wali
nikah.Pendapat tentang keharusan adanya wali dalam perkawinan juga dinyatakan
oleh Imam Syafi‟i, bahwa wali merupakan satu rukun nikah, sehingga tanpa adanya
wali maka perkawinan itu tidak sah.Di dalam kitab al-umm, al-syafi‟i menyatakan
secara tegas bahwa salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya wali bagi
perempuan. (Anam, 2013: 3)
Wali nikah adalah orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang
pria.Karena wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya (pasal 19 KHI).Wanita
5
yang menikah tanpa wali berarti pernikahannya tidak sah. Ketentuan ini didasari
oleh hadis Nabi Muhammad yang mengungkapkan:“tidak sah perkawinan, kecuali
diniahkan oleh wali”.Status wali dalam pernikahan merupakan rukun yang
menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Seorang wali mempunyai
persyaratan yaitu: laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat
halangan perwalian seperti yang diatur dalam pasal 20 KHI ayat (1) bahwa yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
islam, yakni muslim, aqil, dan baligh. Dalam pelaksanaan akad nikah atau yang
biasa disebut ijab qabul. (zainuddin, 2006: 15)
Dalam fenomena sosial sendiri sudah menjadi tradisi dengan perwakilan
perwalian ketika akad nikah, hal ini terjadi karena beberapa alasan seperti kurang
siapnya wali atau bisa juga karena grogi, kurangnya pengetahuan sehingga
mewakilkan kepada orang yang lebih faham tentang agama, bahkan ada juga yang
karena wali tidak bisa hadir ketika akad nikah dikarenakan berada sedang bekerja
di luar negeri atau alasan lainnya. Tradisi yang terjadi biasannya wali tersebut
diwakilkan kepada wali hakim atau penghulu. (Anam, 2013: 3)
Namun ada suatu penjelasan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahyang
membedakan dengan tradisi masyarakat islam pada umumnya, yaitu Jamaah
Rifa‟iyah tidak dapat mengesahkan akad nikah yang dilakukan oleh penghulu atau
orang di luar Jamaah Rifa‟iyah sebab pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan
seperti wali dan saksi nikah dianggap tidak memenuhi syarat syah yang dijelaskan
dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.
6
Menurut informasi yang penulis dapatkan, Jamaah Rifa‟iyah mempunyai
tradisi untuk menentukan atau memilih seseorang yang berhak untuk menjadi wali
dan saksi pernikahan dalam setiap pernikahan Jamaah Rifa‟iyah, agar syarat syah
yang sudah ditentukan sebagai wali dan saksi pernikahan dapat terpenuhi.Dalam
Jamaah Rifa‟iyah untuk melaksanakan prosesi pernikahan didalamnya terdapat
tradisi tersendiri.Yang mana, seorang calon pengantin harus mempelajari kitab
yang dianut Jamaah Rifa‟iyah yaitu kitab Tabyin Al-Ishlah. Yang didalamnya berisi
tentang hal ikhwal kehidupan dan salah satunya kehidupan bahtera rumah tanggga
yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Menurut salah satu Jamaah Rifa‟iyah yaitu bapak Nadzir, beliau
berpendapat bahwa seseorang yang ingin melakukan pernikahan dan yang akan
menikahkan (wali nikah) calon pengantin diharuskan untuk mempelajari terlebih
dahulu kitab Tabyin Al-Ishlah, untuk mencapai syarat sah secara fiqiyah dan
pernikahannya bisa dianggap shahih. Jamaah Rifa‟iyah mengenal sebuah prinsip,
bahwasannya tidak bisa sah secara fiqiyah seseorang yang akan melakukan sesuatu
tanpa mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Seorang calon mempelai yang tidak
mempelajari kitab Tabyin Al-Ishlahsebelum pernikahan akan mendapat sanksi,
yaitu dikucilkan dari Jamaah Rifa‟iyah.
Sebagaimana latar belakang tersebut diatas, maka sangat baik untuk
dilakukan penelitian.Untuk mengetahui bagaimana perpindahan hak wali nikah
yang dilakukan oleh masyarakat Jamaah Rifa‟iyah.Maka dari itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian terkait hal tersebut.Hal yang menarik untuk dilakukan
7
penelitian yaitu bagaimana perpindahan hak wali, apa syarat untuk menjadi seorang
wali untuk menikahkan calon mempelai di dalam kitab Tabyin Al-Ishlahyang
diterapkan di dalam Jamaah Rifa‟iyah. Dalam penelitian ini penulis mengambil
judul “Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah
Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah saya sampaikan di atas,
maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:
1. ApaKonsep Perpindahan Hak WaliNikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah
Dalam Hukum Islam?
2. Bagaimana Perpindahan Hak WaliNikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah?
3. Bagaimana Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-
Ishlah Ditinjau Dari Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang pasti mempunyai tujuanyang ingin di capai. Adapun tujuan skripsi
ini adalah:
1. Untuk Mengetahui Konsep Wali nikah dalam Kitab Tabyin Al-ishlah dalam
hukum islam.
2. Untuk Mengetahui Perpindahan Hak Wali nikah dalam Kitab Tabyin Al-ishlah.
3. Untuk Mengetahui Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab
Tabyin Al-Ishlah Ditinjau Dari Hukum Islam.
8
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini diantaranya adalah:
1) Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang
wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai pemikiran
tokoh Rifa‟iyah terhadap perpindahan hak wali nikah.
2) Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan
bagi semua pihak, khususnya bagi:
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan,
dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh
Rifa‟iyahyang berkaitan dengan perpindahan hak wali nikah.
b. Bagi pemerintah yang bergerak dalam bidang perkawinan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai tambahan referensi
untuk memberikan informasi dan memberikan tambahan pengetahuan
terhadap masyarakat khususnya orang tua yang menjadi wali nikah tentang
bagaima ketentuan-ketentuan untuk sah menjadi wali nikah.
c. Masyarakat
Sebagai bahan pengetahuan bagi masyarakat bahwa kitab Tabyin Al-
Ishlah ini sebai penjelas atau syarah dari kita-kitab fiqih yang lainnya,
9
yangmana kitab ini membahas tentang pernikahan yang di dalamnya juga
berisi tentang ketentuan-ketentuan wali nikah.
E. Penegasan istilah
1. Perpindahan, dalam kamus besar bahasa Indonesia adalahperihal berpindah,
peralihan, peranjakan. Perpindahan menurut bapak nadzir yaitu peralihan
perwalian dari seorang bapak kepada wali hakim (adil dan mursyid) yaitu
seorang kiyai.
2. Hak dalam kamus besar Indonesia adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu
(karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya)
3. wali nikah, perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau
wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang
yang sempurna, karena kekurangan tertentupada orang yang dikuasai itu,
demi kemaslahatannya sendiri. (jawad, : 53)
4. Kitab Tabyin Al-Ishlah, adalah salah satu kitab karangan Syaikh Ahmad
Rifa‟i yang di dalamnya berisi penjelasan-penjelasan mengenai segala hal
yang bersangkutan tentang pernikahan.
F. Telaah pustaka
Telaah pustaka pada dasarnya adalah untuk menentukan apa yang telah
diteliti oleh peneliti lain yang berhubungan dengan topik penelitian yang akan
dilakukan. Hal tersebut diharapkan di dalam penelitian sejenis ini tidak
memperoleh kesamaan yang mutlak dengan penelitian orang lain.
10
Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat
kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam
penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu
perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat
dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaan hasil
kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasn
tema yang hampir serupa.Dalam pernikahan wali merupakan salah satu rukun
dalam pernikahan.Apabila ada salah satu rukun tidak terpenuhi maka pernikahan
itu bisa dibatalkan.Wali nikah bisa diganti oleh wali hakim yang sudah memenuhi
aturan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perundang-undangan yang
berlaku.
Penelitian mengenai Jamaah Rifa‟iyah telah banyak dilakukan oleh para
peneliti. Ada yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi maupun
buku. Berikut ini penelitian yang mempunyai topik atau tema yang hampir sama
dengan skripsi ini:
1. Penelitian Abdul Djamil dalam Disertasinya yang kemudian dibukukan
dengan judul perlawanan Kiayi Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH.
Ahmad Rifa‟i Kalisalak. Abdul Djamil lebih memfokuskan pada doktrin dan
pemahaman normatif yang diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa‟i, ia juga sedikit
menyinggung historisitas Jamaah Rifa‟iyah dan ketokohan KH.Ahmad Rifa‟i.
Abdul Djamil menyimpulkan bahwa sepeninggal KH. Ahmad Rifa‟i dari
Kalisalak, pengikut KH. Ahmad Rifa‟i mengalami diaspora. Mereka tersebar
11
dibeberapa tempat di nusantara, karena menghindari kejaran kekuasaan
kolonial belanda. Trauma dari kejaran kolonial belanda ini menghasilkan
sikap bagi para pengikutnya untuk anti terhadap kekuasaan dan terjadi apa
yang dikatakan Abdul Djamal sebagai protes diam. Tentang pernikahan
dalam buku ini Abdul Djamil hanya mengulas tentang pemikiran KH. Ahmad
Rifa‟i dalam kitab tabyin al-islah.
2. Peneltian Muhlisin Saad dalam buku an-naz‟ah al-kharijiyyah fi afkar wa
harakah syaikhAhmad Rifa‟i. Buku ini diterjemahkan oleh KH. Ahmad
Syadzirin Amin, dengan judul mengungkap gerakan dan pemikiran Syaikh
Ahmad Rifa‟i. Buku yang diterbitkan oleh yayasan badan wakaf rifa‟iyah ini
menggambarkan ciri khas pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i terutama berkaitan
dengan hal-hal yang special. Tentang pernikahan, dalam buku tersebut hanya
mengutip pendapat KH. Ahmad Rifa‟i dalam kitab Tabyin Al-Islah, utamanya
tentang persyaratan wali yang harus adil dan mursyid.
3. Penelitian yang dilakukan oleh M. Nasrudin dalam skripsinya yang berjudul
hukum islam dan perubahan sosial: studi pergeseran pemikiran Jamaah
Rifa‟iyah tentang keabsahan nikah yang diadakan oleh penghulu atau PPN.
Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dahulu Jamaah Rifa‟iyah tidak
menerima akad nikah yang dilakukan oleh penghulu, sehingga harus
melakukan kad nikah hingga dua kali. Akad yang pertama dilakukan di PPN
dan akad yang kedua dilakukan di Jamaah Rifa‟iyah itu sendiri. Akan tetapi
setelah diadakan penelitian, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa
12
pemahaman Jamaah Rifa‟iyah terhadap keabsahan nikah sudah mulai
bergeser dengan menerima akad nikah yang dilakukan penghulu walaupun
pergeseran itu tidak terjadi secara keseluruhan di Jamaah Rifa‟iyah, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan persepsi antara tokoh
muda di Jamaah Rifa‟iyah.
G. Metode Penelitian
Penggunaan metode penelitian merupakan sesuatu yang lazim diguakan
dalam setiap penelitan ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah
penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat
berdasarkan tradisi keilmuan ang berlaku agar hasil penemuan tersebut diakui
oleh kmunitas ilmuan terkat kaena memiliki nilai ilmiah dibidangnya.
Oleh sebab itu dalam penelitian bahan skripsi ini penulis menggunakan
teknik sebagai berkut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu
suatu cara membaca, mencermati, dan menelaah buku-buku yangada
kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut zed (2004: 1-2), “riset
pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya”.
2. Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu jenis pendekatan dengan menggunakan ketentuan perundang-undangan
13
yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Pendekatan
yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedekatan
hukum Islam, yaitu menelaah aturan-aturan hukum Islam untuk memperoleh
data yang akurat mengenai relevansinya perpindahan hak wali yang
dijelaskan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahdengan hukum islam yang diterapkan
masyarakat pada era zaman sekarang.
3. Pengumpulan data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini mencakup sumber data
primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer diperoleh dari kitab Tabyin Al-Ishlahyang memuat
masalah tentang perpindahan hak wali nikah dan biografi
pengarangnya.
b. Sumber data sekunder, adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan
yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut
(soemitro, 1990:53). Dalam hal ini yangpenulis gunakan menjadi data
sekunder adalah buku-bukudan informasi dari berbagai media
mengenai perpindahan hak wali nikah seperti kitab-kitab fiqih, KHI,
UUP dan media lainnya.
4. Analisis data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia, kemudian data direduksi metode analisis adalah suatu cara
14
penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilih antara
pengertian yang satu dengan yang lainuntuk mendapatkan pengertian yang
satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang
berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara
menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir yang
bertolak dari fenomena yang khusus dan kemudian menarik kesimpulan
yang bersifat umum.
5. Pengecekan keabsahan data
Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa
kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat, teknik
pemeriksaannya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat adanya
kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan
pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat kecukupan referensi, adanya
kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci.
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin
validitas data akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keprluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (moleong,
2007:330). Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh
15
dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang
berbeda.
6. Tahap-tahap penelitian
a. Penelitian pendahuluan
Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah dan buku
lain yang berhubungan dengan konsep perpindahan hak wali nikah
yang dijelaskan di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.
b. Pengembangan desain
Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang tradisi pernikahan
dalam kitab Tabyin Al-Ishlah, kemudian penulis melakukan observasi
penelitian untuk mencari datayang detail mengenai tradisi pernikihan
yang dijelaskan didalam kitab Tabyin Al-Ishlahkhususnya mengenai
perpindahan hak wali nikah.
c. Penulis melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data-data
dari buku yang berkaitan tentang perpindahan hak wali nikah.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan
masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut:
1. BAB I merupakan pendahuluan yang menjelaskan: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah,
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
16
2. BAB II berisi tentang konsep pernikahan, syarat dan rukun nikah dalam fiqih.
Dan selanjutnya menjelaskan tentang konsep perpindahan hak wali dalam
kitab Tabyin Al-Ishlah.
3. BAB III merupakan hasil penelitian yang berisi tentang gambaran umum
biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i dan kitab Tabyin Al-Ishlah.
4. BAB IV berisi tentang analisis data dari data hasil temuan-temaun yang
terdiri dari: analisis faktor yang melatar belakangi perpindahan hak wali
nikah berdasarkan para ulama fiqih.
5. BAB V, bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan
skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan
kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran.
17
BAB II
PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
A. Konsep Pernikahan
A. Pengertian Nikah
Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakahadan zawaja.Kedua kata
inilah yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur‟an untuk menunjuk
perkawianan (pernikahan).Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan
berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri,
menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra sebagai pasangan.
Menurut sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberikan
faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar
(sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanit, terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis”.Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah
adalah sebuah ungkapan, sebutan atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan
dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual semata”.
Oleh Mazhab Syafi‟iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin
kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau
tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya.” Sedangkan ulama Hanabilah
mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan)
kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).”
(Summa, 2005 : 45)
18
Hal ini sesua dengan ungkapan yang ditulis oleh zakiyah darajat dan
kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
معى ج أ انرص طئ تهفظ انىكاح أ ه إتذح ام ا عقد رضم
“akad yang mengandung ketentuan huum kebolehan hubungan
kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna
keduanya”
Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah
nikah adalah akad yang telah terkenal dan memenuhirukun-rukun serta syarat
(yang telah tertentu) untuk berkumpul.(moh.zuri, 1978:268) Menurut pendapat
shahih, bahwa kata nikah itu menurut makna hakikat adalah akad, sedang
majasnya adalah persetubuhan (zainuddin, 1993:1).
Sedangkan perkawinan menurut istilah, yang mana menurut Muhammad
Abu Zahrah, perkawinan adalah akad (transaksi) yang menghalalkan hubungan
seorang laki-laki (suami) dengan seorang perempuan (isteri), dan saling
menolong di antara keduanya, dan saling memiliki hak dan kewajiban
(Khoiruddin, 2009 : 238- 240)
Nikah artinya, suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah
merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk
hidup bersama dalam suatu rumah tangga yang dilangsungkan menurut
ketentuan-ketentuan syariat islam. (moh. Rifa‟i. 2014:420)
19
Sabda rasulullah saw:
انىكخ سىر فمه أدة فطسذ فهسره تسىر
Artinya: nikah adalah sunahku, maka barang siapa yang menyukai
agamaku, hendaklah ia mengikuti tuntunanku.
Dalam Kitab Tansyirah(1273H), Ahmad Rifa‟i mengatakan: bahwa
pernikahan seseorang hendaknya melalui prosedur hukum yang berlaku
disuatu Negara, misalnya tercatat dalam administrasi di lembaga urusan
agama. Adapun pelaksanaan akad nikahnya melalui prosedur hukum islam.
Karena pernikahan merupakan awal pembangunan rumah tangga yang kelak
diharap akan mendapat keturunan yang sah dan menjadi anak yang solih
solihah, maka pernikahan yang benar dan sah merupakan suatu keharusan.
Pasal 1 UU No. 1/1974 menyebutkan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.Rumusan pasal 1 UU No. 1/1974 juga
mengandung dua pokok pengertian, yaitu arti dan tujuan pernikahan. Arti
pernikahan adalah: ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang seorang
wanita sebagai suami istri” dan tujuannya adalah “untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa arti
perkawinan menurut hukum islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat
20
kuat atau mitsaqan ghalidzanuntuk mentati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Jika dicermati pengertian pernikahan diatas antara UU No. 1/1974 dengan
KHI terdapat pokok pembahasan yang tidak jauh berbeda.Karena pengertian
perkawinan dalam KHI merupakan penegasan dari UU No. 1/1974.Dari
beberapa pengertian pernikahan diatas yang sudah dipaparkan oleh para ulama
dan penjelasan dari Undang-undang, dapat disimpulkan bahwa arti pernikahan
adalah suatu akad anatara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan
untuk membangun rumah tangga yang bahagia sejahtera di dunia hingga
diakhirat dengan dasar sama-sama suka dan sukarela atas kekuasaan Tuhan
Yang Maha Esa, serta dengan akad yang sah sesuai dengan yang telah
ditentukan oleh syariat.
B. Hukum Nikah
Dalam Qur‟ansuratAdzariyat ayat 9 dijelaskan sebagai berikut:
ج مه كم شئ خهقىاش ن س ( 44)انرزح: ه نعهكم ذرك
Artinya: dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Adzariyat: 9)
Dalam buku karangan Drs. Moh.Rifa‟i yang berjudul terjemah
khulashahkifayatul akhyar hukum nikah sangat erat hubungannya dengan
mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, hukumnya wajib.
Kalau ia (mukalaf) tidak mampu maka hukumnya haram. Sedang hukum asal
dari nikah adalah mubah, nikah hukumnya sunah bagi yang
21
memerlukannya.Hukum pernikahan bisa berubah disebabkan oleh faktor
berikut ini:
a. Orang yang diwajibkan menikah adalah orang yang sanggup untuk
menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan
yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan merupakan satu-
satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang
dilarang oleh Allah SWT.
b. Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai
kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari
kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian
melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah
SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.
c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai
kesanggupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai
kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk melakukan pernikahan.
Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan pernikahannya,
karena itu dianjurkan sebaiknya dia tidak melakukan pernikahan.
d. Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai
kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah diduga akan
menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila,
orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat
membahayakan pihak yang lain dan sebagainya. (Muchtar, 1974:23-25).
22
Segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunat
hukumnya.Gologan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedang ulama
Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang,
sunat untuk sebagian lainya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi.
Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran terdapat
kesusahan dirinya.
Fuqaha yang berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang,
sunat untuk sebagianyang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi,
didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.Qiyas seperti inilah yang
dinamakanqiyas mursal, yakni qiyas yang tidak mempunyai dasar
penyandaran.Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, tetapi dalam
Mazhab Maliki tampak jelas dipegangi. (ibnu rusyd, 2007:394-39)
C. Tujuan dan Hikmah pernikahan
Ulama fiqih mengemukakan beberapa tujuan dan hikmah
pernikahan.Tujuan pokok perkawinan adalah untuk membangun keluarga
sakinah (ketenangan) menunjukkan kesejukan dan ketentraman
mendalam.(nasution. 2009: 225-227)
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan
memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang
perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib
ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara
kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah
23
anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang
bertanggung jawab atasnya. (rasjid. 2016: 375)
Keuntungan nikah diantaranya adalah anak yang saleh, meredam birahi,
mengatur rumah tangga, banyak keluarga dan pahala jerih payah dalam
memenuhi kebutuhan nafkah mereka. Jika anaknya saleh, maka berkah doanya
akan menyusulnya, danjika dia mati, maka anaknya yang saleh itu menjadi
pemberi syafaat baginya. (al-ghazali, 2016: 172)
Salah satu tujuan menikah adalah untuk menjalankan perintah sunatullah
dan sebagai fitroh manusia untuk menyempurnakan ibadahnya menuju pada
kehidupan yang terjaga, bahagia, sejahtera serta barokah di dunia hingga
menuju akhirat.
Zakiya darajat dkk, mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal, serta
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentramatas
dasar cinta dan kasih sayang. (tihami, 2009:15-16)
24
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik
bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun
hikmah menikah adalah:
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu
banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena
suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika
dilakukan secara individual. Dengan demikian keberlangsungan keturunan
dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-benar makmur.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah
tangganya teratur. kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan adanya
ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud
kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu. Dengan
alasan itulah maka nikah disyariatkan, sehingga keadaan kaum laki-laki
menjadi tentram dan dunia semakin makmur.
3. Naluri kebapakan dan keibukan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak.
Perkawinan, dapat membuahkan diantaranya: tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat
hubungan masyarakat, yang memang oleh islam direstui, ditopang, dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi
merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. (tahimi, 2009: 20)
25
4. Rukun dan Syarat Sah Nikah
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti membasuh muka untuk wudlu, dan takbiratul ihram untuk
shalat.Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam
perkawinan.(rahman, 2003: 45)
Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaedah,
2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk
shalat.Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya wajib dipenuhi, apabila
tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.Sah, yaitu
sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
Rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan aqad nikah sebanyak
limaperkara. DalamKompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur dalam pasal 14
tentang rukun-rukun nikah yaitu: (1) pengantin laki-laki, (2) pengantin
perempuan, (3) wali pengantin perempuan, (4) dua orang saksi yang adil, (5)
ijab dan qabul.
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting adalah ijab Kabul antara
yang mengadakan dengan yang menerima akad, sedangkan yang dimaksud
dengan syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
26
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, saksi, ijab Kabul, dan
wali. (tihami, 2009:13)
a. Syarat-syarat calon mempelai laki-laki: Bukan mahrom dari calon istri,
Tidak terpaksa atas kemauan sendiri, Orang tertentu, jelas orangnya, Tidak
sedang ihram.
b. Syarat-syarat calon mempelai perempuan: tidak halangan syarak, yaitu
tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas
kemauan sendiri, jelas orangnya, dan tidak sedang dalam ihram
c. Syarat-syarat saksi: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar
dan melihat, bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram, dan
memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.
d. Syarat-syarat wali: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil,
dan tidak sedang dalam ihram
a) KriteriaWali
Didalam KHI tentang wali nikah pasal 20 ayat 1 dijelaskan
bahwasannya yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.Orang
yang rusak akalnya karena tua atau sakit tidak boleh menjadi wali,
kewaliannya harus dipindahkan. Demikian juga menurut suatu pendapat
orang yang sangat bodoh tidak boleh menjadi wali, sebab tidak mengerti
kebaikan untukdirinya apalagi kebaikan untuk orang lain. Dalam hal wali
harus orang islam yang baik (tidak fasik) berdasar pada sabda Nabi:
27
مسشد ن لا وكاح الا ت
Artinya: tidak sah nikah kecuali dengan (oleh) wali yang mursyid.
Sahnya nikah harus hadirnya 4 orang, yaitu wali, calon pengantin
laki-laki dan dua orang saksi yang adil. Kalau keduanya atau salah satunya
hadir tetapi tidak melaksanakan (tugasnya), mewakilkannya kepada orang
lain, dan wakil itu mengakadkan maka akad nikah itu tidak sah, sebab
wakil adalah merupakan pengganti wali.
Dalam buku karangan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA dijelaskan
bahwa, syarat-syarat perkawinan menurut pendapat Imam Syafi‟i, Ahmad
bin Hambal, dan lain-lain, umat Islam di Indonesia dilakukan oleh
mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan atau wakilnya.Alasan
pendapat ini antara lain hadis nabi riwayat Turmudzi dari Aisyah ra. Yang
megatakan, “perempuan yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal
(sampai tiga kali nabi mengatakan “nikahnya batal”)….”.hadis nabi
riwayat Baihaqi dari Imran dan Aisyah ra. Mengatakan, “tidak sah nikah
tanpa wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil”.
Menurut pendapat Abu Hanifah, wali yang harus ada dalam akad
nikah seperti disebutkan dalam hadis di atas hanyalah apabila mempelai
perempuan belum baligh atau tidak sehat akal.Perempuan yang telah
baligh dan berakal sehat dibolehkan menikahkan diri sendiri dengan laki-
laki yang disukai tanpa wali, dengan syarat kufu.Jika mempelai laki-laki
28
tidak kufu, wali berhak minta kepada hakim untuk membatalkan
perkawinan perempuan tersebut.
Alasan pendapat Abu Hanifah itu antara lain hadis Nabi riwayat
Muslim dari Ibnu Abbas yang megajarkan, perempuan janda lebih baik
berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, perempuan perawan diminta
pendapatnya, izinnya adalah jika ia diam”. Hadis ini menegaskan bahwa
perempuan janda dapat bertindak terhadap dirinya sendiri tanpa wali,
perawan pula diminintai pendapat mengenai dirinya dalam masalah
perkawinan.
Imam Malik menurut riwayat Asyhab, berpendapat bahwa nikah
tanpa wali sah. Menurut riwayat Ibnu Qashim, Imam Malik berpendapat
bahwa adanya wali dalam akad nikah tidak wajib, tetapi hanya sunah,
adanya wali merupakan syarat kesempurnaan nikahm bukan syarat sahnya.
Pembahasan mengenai wali meliputi empat persoalan.Pertama,
pensyaratan wali bagi sahnya nikah.Kedua, sifat-sifat wali.Ketiga, macam-
macam wali dan urut-urutannya dalam perwalian berikut hal-hal yang
terkait.Keempat, keberatan wali terhadap orang yang berada dibawah
perwaliannya dan hukum perselisihan yang terjadi antara wali dengan
orang yang diwalikannya.
Didalam kitab bidayatul mujtahid karangan Al-Fakih Abul Wahid
Muhammad Bin Achmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd dijelaskan tentang
Persyaratan wali bagi sahnya nikah. Yang mana, didalamnya terdapat
29
beberapa pendapat imam ahli fikih.Ulama berselisih pendapat apakah wali
menjadi syarat sahnya nikah atau tidak.Berdasarkan riwayat Asyhab,
Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi
syarat sahnya nikah.Pendapat ini juga dikemukakan oleh Syafi‟I, Abu
Hanifah, Zufar, Asy-Sya‟bi, dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila
seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang calon
suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.(ibnu, 2007: 409)
Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik dapat disimpulkan
adanya pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan wali itu sunah
hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari
Malik bahwa ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan
istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, dan wanita
yang tidak terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang lelaki untuk
menikahkannya. Malik juga menganjurkan seorang janda mengajukan
walinya untuk mengawinkannnya. (ibnu, 2007: 410)
Dengan demikian, seolah Malik menganggap wali itu termasuk
syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat syahnya perkawinan. Hal ini
bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki dari Baghdad yang
mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat syahnya perkawinan, bukan
syarat kelengkapan.
Silang pendapat ini disebabkan tidak terdapatnya satu ayat dan satu
hadispun yang berdasarkan lahirnya mensyaratkan adanya wali dalam
30
perkawinan, terlebih lagi yang menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat
dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh fuqaha yang mensyaratkan
wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.Demikian pula ayat-
ayat dan hadis-hadis yang dipakai alasan oleh fuqaha yang tidak
mensyaratkan wali juga hanya memuat kemungkinan yang demikian.
Alasan wali menjadi syarat syahnya nikah yaitu dengan adanya
firman Allah dalam ayat alquran:
Quran surat albaqarah: 232
إذا طهقرم انىساء فثهغه أجهه فلا ذعضه ه أن ىكذه أشاجه )انثقسج:
232)
Artinya: apabila menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah anda (para wali) menghalangi mereka kawin dengan
calon suaminya. (QS. Albaqarah: 232)
Golongan pertama mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada
para wali.Jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu tidak
dilarang untuk menghalanginya.Ayat lainnya terdapat dalam quran surat
albaqarah ayat 221:
(222لا ذىكذا انمشسكاخ در ؤمه)انثقسج:
Artinya: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.
(albaqarah: 221)
31
Dan diantara hadis-hadis terkenal yang menjadi alasan mereka
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari „Urwah dari Aisyah,
yaitu:
عه عائشح قاند: قال زسل الله صهى الله عه سهم: أما امسأج
مساخ إن دخم تا فانمس وكذد تغس إذن نا فىكا دا تا طم، ثلاز
نا تما أصا ب مىا فئن اسرجسا فانسهطاون مه لا ن ن )زاي
انرسمري(
Artinya: Aisyah berkata rasulullah saw. Bersabda: siapapun wanita
yang kawin tanpa izin walinya, maka nikah itu batal (diucapkan tiga
kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya adalah
untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Apabila
mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali.”
Fuqaha golongan kedua, yakni yang tidak menysaratkan wali
mengemukakan alasan dari alquran:
(234فئذا تهغه أجهه فلا جىا ح عهكم فما فعهه ف أوفسه تانمعسف )انثقسج:
Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa
bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut.” (QS. Albaqarah: 234)
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd juga menjelaskan
tentang sifat-sifat seorang wali nikah. Mengenai sifat-sifat positif dan
negatif bagi seorang wali, fuqaha sepakat bahwa sifat-sifat positif tersebut
adalah islam, dewasa, dan laki-laki. Sedang sifat-sifat negatif adalah
kebalikan dari sifat-sifat tersebut yaitu: kufur, belum dewasa dan wanita.
32
Kemudaian fuqaha berselisih pendapat tentang tiga orang, yaitu
hamba sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Mengenai kecerdikan,
menurut pendapat yang populer dalam Madzhab Maliki, tidak menjadi
syarat dalam perwalian. Pendapat ini juga dikemukakan oleh abu hanifah.
Syafi‟i berpendat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian.
Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Malik. Asyhab dan Abu
Mush‟ab juga mengemukakan pendapat yang samadengan Syafi‟i.
Silang pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam
menikahkan dengan kekuasaan alam urusan harta. Bagi fuqaha, yang
berpendapat kecerdikan dalam perwalian harta dapat diperlukan dan bisa
tidak, mengatakan dalam urusan harta, wali tidak disyaratkan cerdik.
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa cerdik mutlak diperlukan
dalam urusan harta, maka kecerdikan menjadi syarat bagi wali harta.
Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua kecerdikan, yaitu
kecerdikan dalam urusan harta dan kecerdikan dalam urusan memilih
memilih calon suami yang patut untuk wanita.Selain syarat yang sudah
dituturkan, syarat lain yang dijelaskan Ibnu Rusyd yaitu tentang sifat wali
yang adil. Para fuqaha berbeda pendapat tentang esensi keadilan. Sebab
keadilan sulit dibuktikan tanpa adanya kekuasaan. Oleh karena itu, pilihan
untuk “kecocokan dan kesesuaian” tanpa keadilan itu sulit diterima.
Dengan kata lain, kondisi para wali ketika memilih calon suami
yang sesuai dan cocok bagi para wanita yang di bawah perwaliannya itu
33
bukan keadilan dalam arti khawatir akan tertimpa kehinaan. Sebab kondisi
ini secara alami ada pada setiap orang. Sedang keadilan selain kondisi
diatas dapat dicapai dengan berbagai upaya. Seorang hamba sahaya,
karena tidak mempuanyai otoritas kekuasaan, diperselisihkan keadilan dan
perwaliannya.
b) Urutan wali
Didalam kitab kifayatul akhyar dijelaskan mengenai Orang-orang
yang berhak menjadi wali yaitu, Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
orang-orang yang menjadi wali adalah:
a. Ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah
c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara
laki-laki kandung atau seayah)
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung seayah)
e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung
atau seayah)
f. Sultan (penguasa tetinggi) yang disebut juga hakim (bukan qadli,
hakim pengadilan)
g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali
muhakkam.
c) Macam-macam wali
34
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali
tersebut di atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali, yaitu:
1) Wali nasab atau kerabat
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali
nasab terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam malik
mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas „shabah, kecuali
anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali.
Tertib wali:ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki,
saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, kemenakan laki-
laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandug, paman
seayah, saudara sepupu laki-lakikandung, saudara sepupu laki-laki
seayah, sultan atau hakim, orang yang ditunjuk oleh mempelai
bersangkutan.Dalam al-mughni terdapat keterangan bahwa kakek
lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki,
karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah
berdasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai ke bawah,
kemudian bekas tuan (almaula).
Imam Syafi‟i berpegang pada „ashabah, yakni bahwa anak laki-
laki termasuk „ashabah seorang wanita, berdasarkan hadisUmar r.a
sebagai berikut:
35
ه انس ها أ أي مه أ ذي انس نا أ طانلا ذىكخ انمسأج إلا تئذن Artinya:“wanita tdak boleh menikah kecuali dengan izin walinya,
atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa”
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali
ab‟ad (jauh). Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad
adalah sebagai berikut: apbila wali aqrabnya non muslim, fasik, belum
dewasa, gila dan bisu/tuli. (tihami, 2009: 96-97)
2) Wali mujbir
Diantara wali nasab yang telah disebutkan, ada yang berhak
memaksa gadis di bawah perwaliannya untuk dikhawatirkan dengan
laki-laki tanpa izin gadis bersangkutan.Wali yang mempunyai hak
memaksa itu disebut wali mujbir.Wali mujbir hanya terdiri dari ayah
dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling
besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya,
selain mereka tidak berhak ijbar.
Wali mujbir yang menikahkan perpempuan gadis dibawah
perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan disyaratkan: laki-laki
pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dinikahkan,
antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan, antara gadis dan
laki-laki calon suami tidak ada permusuhan, calon suami harus
sanggup membayar maskawin dengan tunai,laki-laki pilihan wali akan
dapat memenuhi kewajiban-kewajibanya terhadap istri denganbaik,
36
dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan
istri.
Syarat-syarat tersebut yang harus diperhatikan oleh wali mujbir
apabil akan menggunakan hak ijbarnya sehingga prinsip sukarela
tersebut tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, gadis yang telah dinikahkan walinya tanpa terlebih daulu
diminta persetujuannya itu dapat minta fasakh, minta dirusakkan
nikahnya kepada hakim.
Hadis nabi riwayat Ahmad, Abu Dawd, dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas menceritakan bahwa ada seorang gadis yang mengadu kepada
nabi karena ayahnya telah menikahkannya dengan laki-laki yang tidak
disenangi. Kemudian nabi memberi hak kepadanya untuk
melangsungkan atau membatalkan perkawinannya. Hadis ini ditinjau
dari jalan perawi-perawinya tidak memenuhi syarat sahih, tetapi
isinya sejalan dengan hadis riwayat muslim yang antara lain
mengajarkan agar anak gadis yang akan dinikahkan diminta
pendapatnya atau izinnya. (azhar, 1999: 40-43)
3) Wali hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadli, Rasulullah
SAW bersabda:
لا ه م ن ان ط ه فا نس ن ن
37
“maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang
yang tidak ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan Nasa‟i)
Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama islam, dalam hal
ini biasanya di Indonesia dilakukan oleh kepala pengadilan agama.
Seorang wali hakim dapat mengangkat orang lain menjadi hakim
(biasanya yang diangkat adalah kepala kantor urusan agama
kecamatan) untuk mengakdnikahkan perempuan yang berwali hakim.
Sabda rasulullah saw:
ل الله صهى الله عه الله عىا قا ند: قا ل زس عه عا ئشح زض
نا فىكا دا تا طم، فان دخم تا فها سهم: اماامساج وكذد تغس اذن
س تما اسرذضم مه ناانم ن مه لا ن هطا ن ا فا نس فسجا فا ن اشرجس
Artinya: “Dari aisyah ra., ia berkata, rasulullah saw. Bersabda,
siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya,
maka batallah pernikahannya, dan jika ia telah bercampur, maka
maskawinnya bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan
kemaluannya; dan jika wali-wali itu enggan menikahkan, maka
sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak
mempunyai‟.”(HR. Imam yang empat, kecuali Nasa‟i dan disahkan
oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat
diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau
orang-orang yang alim. Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari
sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut: (1) tiak ada
wali nasab, (2) tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali
ab‟ad, wali aqrab ghaib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang
38
lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan, wali aqrab di penjara da tidak
bisa ditemui, wali aqrabnya„adlal, wali aqrabnya berbelit-belit
(mempersulit), wali aqrabnya sedang ihram, wali aqrabnya sendiri
yang akan menikahkan wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah
dewasa dan wali mujbir tidak ada.
d) Ketiadan hakperwalian
Moh Rifa‟i dalam buku karangannya yang berjudul fiqih islam
lengkap menjelaskan Sebab Perempuan Berwali Hakim. Diantara
penyebab perempuan berwali hakim adalah: (1) Tidak ada wali nasab,
(2) Wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi persyatan menjadi
wali,sedangkan wali yang lebih jauh (ab‟ad) tidak ada, (3) Wali yang
lebih dekat gaib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan
mengqasar salat, (4) Wali yang lebih dekat sedang mengerjakan ihram
haji atau umrah, (5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak
dapat dijumpai, (6) Wali yang lebih dekat menolak, atau tidak mau
menikahkan, (7) Wali yang lebih dekat hilang, dan tidak diketahui
tempat tinggalnya. (moh.rifa‟i. 2014: 437-438)
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, dijelaskan
Malik berpendapat bahwa apabila wali dekat tidak ada, maka hak
perwalian berpindah pada wali jauh. Sedang Syafi‟i berpendapat
bahwa hak perwalian tersebut berpindah kepada penguasa.Silang
pendapat ini disebabkan, ketiadaan tersebut bisa disamakan
39
kedudukannya dengan kematian atau tidak.Dengan demikian hal
tersebut tidak diperselisihkan lagi di kalangan fuqaha bahwa dalam
hal kematian, perwalian bisa berpindah. (ibnu, 2007: 422-423)
40
BAB III
Gambaran UmumBiografi Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah
A. Gambaran Umum Tentang Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah
1. Biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i (pengarang kitab tabyin al-ishlah)
a. Tempat lahir
KH.Ahmad Rifa‟i dilahirkan di Desa Tempuran Kabupaten Kendal
pada tanggal 10 Muharram 1200 Hijriyah. Ayahnya bernama Raden Kiyai
Haji Muhammad bin Abi Sujak, yang menjadi qadli agama di kabupaten
tersebut. Pada usianya mencapai 30 tahun KH.Ahmad Rifa‟i pergi ke
Mekah untuk menunaikan ibadah haji.Selama 8 tahun di Mekah
KH.Ahmad Rifa‟i mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh
Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al-Aziz al-
Jaisyi. Kemudian KH. Ahmad Rifa‟i melanjutkan belajarnya ke Mesir
selama 12 tahun untuk belajar kitab-kitab dengan petunjuk dan arahan
guru-guru agung seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh
Abdurrahman al-Mirsyi (Saad, 2004:6-7).
b. Silsilah nasab
Raden KH. Abu Sujak alias Soetjowidjojo seorang bangsawan
keturunan darah kraton bekerja sebagai penghulu di Kendal, menikah
dengan seorang gadis primadona di Kendal. Pernikahannya itu
membuahkan hasil keturunan anak sebanyak 5 (lima) orang, yaitu Raden
41
Nyai Nakiyamah, Raden KH. Muhammad Mahrum, Raden KH. Bukhari,
Raden KH. Ahmad Hasan, Raden Kiai Abu Mustofa. Anak kedua hasil
pernikahannya Abu Sujak dengan gadis pilihannya di Kendal itu bernama
Muhammad marhum. Setelah Muhammad marhum mencapai usia dewasa,
menikah dengan Siti Rahmah atau Umi Radjiyah di Kendal.
Kedua pasangan suami istri yang harmonis, penuh rasa kasih sayang
ini kemudian mendapat keturunan 7 (tujuh) anak ialah: KH. Qamarun,
KH.Abdul Karim, Kiai Salamah, KH. Zakaria, Nyai Radjiyah, Nyai
Radijah, Kiai Muhammad Arif dan Syaikh Ahmad Rifa‟i. tujuh anak
keturunan Muhammad marhum itu menjadi ulama besar yang penuh
charisma kemudian menetap di kalisalak batang. Sebagai pemeluk islam
yang taat tentu tidak mengabaikan perintah-perintah agamanya yang
dianut. Untuk menjaga dirinya agar selamat dari perbuatan melanggar
aturan hukum, seperti yang dilakukan leluhurnya, Ahmad Rifa‟i menikah
dengan seorang gadis pilihannya di Kendal. Dari pernikahan yang sakinah,
terjalin kasih sayang (mawaddah wa rahmah)itu kemudian membuahkan
hasil keturunan sebanyak 5 (lima) orang anak, masing-masing bernama:
KH. Chabir, KH. Junaid, Nyai Zaenah, Kiai Djauhari, Nyai Fatimah Alias
Umrah. Sedang pernikahannya dengan Sujainah di Kalisalak Batang,
membuahkan keturunan seorang anak laki-laki. (syadzirin: 1996. 41)
42
c. Cikal bakal ulama besar
Dikisahkan oleh ulama terkemuka generasi kedua Syaikh Ahmad
Bajuri Bin Abdul Muthalib Kendal, bahwa pada diri Ahmad Rifa‟i ada
suatu keistimewaan yang merupakan tanda kekuasaan dan kebesaran Allah
sebagai alamat cikal bakal ulama besar di kemudian hari, diperlihatkan
kepada masyarakat kaum santri di Kaliwungu, terutama kepada kakak
iparnya Kiai Asy‟ari.Pada suatu malam gelap gulita Kiai Asy‟ari secara
diam-diam memeriksa para santri yang sedang berada di dalam asrama
pondok pesantren. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seberkas cahaya menerangi
asrma dan memancar tinggi ke atas. Dia menyangka cahaya itu berasal
lampu milik anak santri yang sedang menelaah kitab.Tetapi sangkaan itu
meleset, karena ternyata cahaya tersebut berasal dari lekuk ditengah pusar
seorang santri kecil yang ternyata santri tersebut yaitu Ahmad
Rifa‟i.singkat cerita, menurut kepercayaan sementara masyarakat bahwa
cahaya itu merupakan cikal bakal akan memperoleh gelar kebesaran dan
keagungan bagi pemiliknya di masa mendatang. (syadzirin: 1996. 44)
d. Masa remaja
Masa remaja Ahmad Rifa‟i hampir sama sekali tidak meluangkan
waktu untuk keperluan lain kecuali menuntut ilmu agama kepada Kiai
Asy‟ari dan kiai lain. tiada hari tanpa mengaji, tiada waktu tanpa menuntut
ilmu, tiada saat tanpa belajar semangat dan tiada hidup tanpa amar ma‟ruf.
Semangat pemuda Ahmad Rifa‟i menuntut ilmu patut dibanggakan,
43
sekaligus menjadi idaman dan panutan.Pola berfikirnya mendasar pada
ulama-ulama dahulu seperti Imam Syafi‟i, Abu Hanifah, Anas Ibnu
Malik,Ahmad Bin Hanbal, Alghazali.Dan Ahmad Rifa‟i juga mendasar
pada cita-cita mulia, pemuda sekarang adalah pemimpin di masa
mendatang.
Ahmad Rifa‟i terus belajar ilmu-ilmu yang dibutuhkan diri pribadi
dan orang lain, terutama ilmu pokok-pokok agama islam. Di dalam
mempelajari ilmu pokok agama, Ahmad Rifa‟i memusatkan pikirannya
untuk memahami dan mendalami ilmu ketuhanan (teologi), ilmu hukum-
hukum syariah (fiqih) dan ilmu perpaduan antara syariat dan haqiqat
dalam praktik ibadah dan muamalah (tasawuf). Dari sebab ketekunan
belajar serta pandai memilih ilmu-ilmu terpenting, ia kemudian tumbuh
menjadi remaja yang mahir sekali dalam soal agama. Untuk memperluas
pemahaman tentang ilmu-ilmu agama, Ahmad Rifa‟i kemudian
mendalami cabang-cabang serta serta ranting-ranting ilmu yang erat sekali
hubungan dengan ketiga ilmu pokok agama tersebut, yaitu sebanyak 14
pan ilmu, ialah: Ulumul Qur‟an, Musthalahul Hadist, Lughatul Arabiyah,
Balaghoh, Mantiq, Falaq, Aruld dan lain-lain. kesadaran mendalami ilmu-
ilmu ini, rupanya yang membawa hikmah di kemudian hari pada diri
Ahmad Rifa‟i tumbuh menjadi ulama terbesar ke-19, hingga mampu
mengarang kitab sebanyak 67 judul lebih di Indonesia.
44
e. Menuntut Ilmu di Mekah Melanjutkan Studi di Mesir
Beliau berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji melalui
pelabuhan Semarang dan kemudian menetap di sana selama delapan tahun
(1833-1841 M). Beliau belajar ilmu agama dengan beberapa guru seperti
Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz, Syaikh
Usman, Syaikh Abdul Malik, dan Syaikh Isa al-Barawi. Dalam riwayat
yang lain, Pada tahun 1230 H/1816 M ketika usianya mencapai 30 tahun,
Ahmad Rifa‟i pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan selama
8 tahun mendalami ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan guru Syaikh
Ahmad Usman dan Syaikh al-Faqih Muhammad ibn Abdul Azis al-Jaisy,
kemudian beliau melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun. Di
Kairo beliau belajar kitab-kitab fiqih madzhab Syafi‟i dengan petunjuk
dan arahan dari guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah
Syaikh Ibrahim al-Bajuri (pengarang kitab al-Bajuri) dan Syaikh
Abdurrahman al-Misry. (Syazdirin: 1996.50-53)
f. Silsilah guru-guru syaikh Ahmad Rifa‟i
KH. Ahmad Rifa‟i berguru ilmu fiqih kepada Syaikh Ibrahim al-
Bajuri al-Misri yang bersambung kepada Abdillah bin Hijazy asy-
Syarqawy dari Syamsyil Khafni dari Ahmad al-Khalifi Dari Ahmad al-
Basybisyi dari Sulthan al-Muzahiy dari Isa ibni al-Halaby dari
Syihabuddin ar-Romly dari Ibni Hajar al-Haitami dari Zakaria al-Ansyari
dari Ahmad bin Hajar al-„Asyqalani dari Abdirrahim al-„Iraqi dari
45
alauddin bin al-„Atthar dari Muhyiddin an-Nawawy dari al-Ardabily dari
Muhammad bin Muhammad Shahibisy Syamilisy Shaghir dari Abdirrahim
ibn Abdil Ghaffar al-Qozwainy dari Abdil Karim ar-Rofi‟i dari Abil
Fadlal bin Yahya dari Hujjatul islam al-Ghozali dari Abdil Mulk bin
Abdillah al-Juwainy dari Abdillah bin Yusuf al-Juwainy dari Abi Bakr al-
Qoffal al-Marwazy dari Abi Yazid al-Marwazy dari Abi Ishaq al-Marwazy
dari Abil „Abbas Ahmad bin Syuraij dari Ibnul Qosim „Usman bi n Sa‟id
al-Anmathy dari Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzany dari Imam al-
Mujtahid Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi‟i dari Muslim bin
Khalid az-Zinji dari Abdil Mulk bin Juraij dari Atha‟ bin Abi Rabbah dari
Abdillah bin Abbas as-Shahaby dari Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril
as. dari Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang
menyekutukan.
KH. Ahmad Rifa‟i belajar qira‟ah imam „Ashim, yang mata rantai
guru beliau bersambung kepada Syaikh Muhammad Ibnu al-Jazari dari
Imam Abi „Abdilla Muhammad bin Khaliq al-Misry as-Syafi‟i dari Imam
Abi Hasan bin asy-Syuja‟i bin Ali bin Musa al-Abbasi al-Misry dari Imam
Abu Qosim asy-Syatibi dari Imam Abil Hasan bin Huzail dari Ibnu Dawud
Sulaiman bin Naijah dari al-Hafiz Abi „Amar ad-Dani dari Abil
HasanṬahir dari Syaikh Abil „Abbas al-Asnani dari „Ubaid Ibnu as-Sabag
dariImam Hafas dari Imam „Asim dari Abdal Rahman as-Salma dari
empat sahabat Nabi ( Ali bin Abu Talib, Zaid bin Sabit, Usman bin Affan
46
dan Ubay bin Ka‟ab) dari Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari
Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang
menyekutukan. KH. Ahmad Rifa‟i belajar ilmu tasawuf pada aliran
tariqah yang diajarkan oleh Imam Abu Qasim Junaidi al-Bagdadi, yang
mata rantai guru beliau bersambung kepada Syaikh Usman dari
Abdurrahim dari Abu Bakar dari Yahya dari Hasamuddin dari Waliyuddin
dari Nuruddin dari Zainuddin dari Syarafuddin dari Syamsuddin dari
Muhammad al-Haski dari Abdul Aziz dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
dari Abil Sa‟id al-Mubarak al-Mahzuum dari Abil hasan Ali al-Hakari dari
Abil Faraji at-Tartusi dari Abdul Wahid at-Tamimi dari Abi Bakar as-Sibli
dari Abi al- Qasim al-Junaidi al-Bagdadi dari Sari as-Saqati dari Ma‟ruf
al-Kurkhi dari Abi al-Hasan Ali bin Musa al-Radi dari Musa al-Kadim
dari Ja‟far as-Sadiq dari Muhammad al-Baqir dari Imam Zainal Abidin
dari Al-Husain bin Fatimah az-Zahra dari Ali bin Abu Talib dari
Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari Tuhan Yang Maha Agung
lagi Maha Suci dari segala apa yang menyekutukan.
KH. Ahmad Rifa‟i juga berguru ilmu fiqih kepada Ahmad „Usman
dari Muhammad Syanwan bin Aly as-Syafi‟i dari Isa bin Ahmad al-
Barawy dari Ahmad al-„Izzi al-Faray bin Salim bin Abdillah al-Bashary
dari Muhammad bin „Alaul Babili dari Ahmad Bin Muhammad al-
Ghanamy dari Syihabuddin ar-Ramli.
47
g. Langkah-langkah perjuangannya
Setelah 20 tahun belajar di Timur Tenggah, kemudian KH.Ahmad
Rifa‟i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh
Muhammad Kholil Bangkalan Madura.Dan pada waktu ingin kembali ke
Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk
menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk tulisan
dan mereka bersepakat bahawa setiap individu wajib mengembangkan
ajarannya, pendidikannya dan keagamaannya. (Saad, 2004:7)
h. Karya-karya karangan syaikh Ahmad Rifa‟i
Dalam perkembangan dunia keilmuan, khususnya dakwah
Islamiyah, KH. Ahmad Rifa‟i dinilai sangat mengerti kebutuhan
masyarakat yang akan beliau dakwahi pada masa itu. Sehingga dengan
cerdas beliau membuat puluhan kitab yang berbentuk syair dengan
berbahasa Jawa (Tarajumah) supaya lebih cepat dipaham dan dihafal oleh
masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, Dr. Karel A. Steenbrink seorang sarjana
Belanda yang diperbantukan sebagai dosen di IAIN Jakarta dan
Yogyakarta dalam kunjungannya ke pesantren IKSAP Pekalongan pada
tanggal 15 November 1987 mengatakan kalau KH. Ahmad Rifa‟i adalah
seorang mujaddid (pembaharu) dalam metode dakwah. Dalam kesimpulan
bukunya, Mukhlisin sa‟ad mengatakan KH. Ahmad Rifa‟i adalah seorang
yang alim, mualif (pemikir dan pengarang kitab), muballig,
mujahid(pendakwah dan berjihad), mujaddid (pembaharu), dan seorang
48
mujtahidyang memperjelas persoalan-persoalan agama dan menyelesaikan
problem sosial kemasyarakatan.
Kitab-kitab tarjumah karangan KH. Ahmad Rifa‟i di pulau Jawa
sejak tahun 1225 sampai akhirnya diasingkan ke Ambon sebanyak 53
buah, yang isinya mencakup tiga bidang ilmu agama islam,ilmu
ushuluddin, ilmufiqih dan ilmu tasawuf. Kitab tarjumah yang membahas
tentang ketiga ilmu agama islam itu adalah kitab Ri‟ayatul Himmahdua
jilid, Abyanalhawa‟ij enam jilid, Husnul Mithalabsatu jilid, Asnal
Miqasaddua jilid dan Jam‟ul Masa‟ilsatu jilid.
Adapun kitab yang membahas masalah iman serta yang
berhubungan dengan iman ialah syariatul iman satu jilid, tahyirah
mukhtashar, dan lain-lainnya.Kitab absyar membicarakan qiblat shalat,
kitab rukhshiyah membahas ilmu qasar jama‟ dan kitab taisir membahas
ilmu shalat jum‟at.
Tahsinah, suatu kitab yang menguraikan ilmu tajwid, kitab tazkiyah
membahas ilmu memotong hewan, hewan halal, hewan haramdimakan,
kitab wadlihah membicarakan masalah ilmu manasik haji, kitab muslihat
(maslahat) membahas ilmu membagi waris, Tasyrihatal Mukhtajmengulas
tentang hukum jual beli, Minwaril Himmatberisi talqin mayit. Arja
mengupas mengenai isra‟ mi‟raj, Tabyin Alishlahmengupas mengenai
pernikahan, harta wakaf dan lain sebagainya, sedangkan kitab Jam‟ul
Masa‟il kecil menjabarkan tentang ilmu tasawuf.
49
Selain kitab yang berjilid-jilid, ada beberapa ratus bismillah kitab
tanbih dan beberapa ratus lagi kitab nadzam do‟a dan jawabnya.Semua ini
diterjemahkan ke bahasa jawa dengan nadzam (puisi) atau natsar (prosa)
atau natsrah, (puisi dan prosa menjadi satu kitab). Lima puluh tiga kitab
yang dikarang oleh Syaikhina haji Ahmad Rifa‟i di pulau Jawa ini dapat
dilihat pada daftar kitab yang disusun oleh Syaikhina Kiai Ahmad
Nasihun.
e) Perjuangan kh. Ahmad rifa‟i dan wafat beliau
Setelah pulang dari Timur Tenggah KH.Ahmad Rifa‟i tinggal di
Kaliwungu Kabupaten Kendal dan memusatkan perhatiannya
merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-
kitab Tarjumah.Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan
mengarang kitab, KH.Ahmad Rifa‟i bekerja keras menanamkan
keislaman kepada murid-muridnya dan masyarakat umumnya.
Pada waktu pemerintah Belanda dan sekutunya menjajah penduduk
dantan ahairnya, KH.Ahmad Rifa‟i memandang bahwa pemerintah
Belanda yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan yang telah
menimpa umat Islam pada waktu itu. Kemudian KH. Ahmad Rifa‟i
membuat gerakan Ahmad Rifa‟i untuk melawan pemerintah Belanda dan
menyebabkan KH.Ahmad Rifa‟i harus berhadapan dengan pemerintah
Belanda.
50
Karena takut dengan gerakan Ahmad Rifa‟i, pemerintah Belanda
memanggil Ahmad Rifa‟i dan Pemerintah Belanda memenjarakan
KH.Ahmad Rifa‟i di Kendal dan Semarang.Setelah keluar dari penjara
KH.Ahmad Rifa‟i pindah ke Desa Kalisalak. Di Desa Kalisalak KH.
Ahmad Rifa‟i menikah dengan Sujinah, setelah istri pertamanya Ummil
Umroh meninggal dunia.Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di
Kecamatan Limpung Kabupaten Batang.Di Desa Kalisalak pertama kali
KH.Ahmad Rifa‟i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya
semakin terkenal di kalangan orang banyak dan berdatangan para murid
dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan, Wonosobo dan daerah
lainya (Saad, 2004:8).
Ketika pemerintah Belanda mengetahui bahwa gerakan KH. Ahmad
Rifa‟i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka
pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan KH. Ahmad Rifa‟i ke
Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 (19 Mei 1859).Walaupun diasingkan
dari khayalak ramai KH.Ahmad Rifa‟i tidak meninggalkan mengarang
kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah.Dan kemudian KH.Ahmad
Rifa‟i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa,
Manado dan meninggal disana setelah berumur 89 tahun (Saad, 2004:9).
2. Jamah Rifa‟iyah
Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa'i tidak pernah
memproklamasikan berdirinya Jamaah Rifa‟iyah sebagai nama bagi sebuah
51
organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri sebagai pengikut
KH. Ahmad Rifa'i. Mereka biasa menyebut diri sebagai santri Tarjumah atau
santri Rifa‟iyah.Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri
Tarjumah masih tersebar dalam berbagai organisasi dan lembaga.Beberapa di
antaranya masih menutup diri dengan dunia luar.Belum lagi ada semacam
trauma sejarah, dan kehilangan panutan kala KH.Ahmad Rifa'i diasingkan ke
Kampung Jawa, Tondano, Minahasa.Baru pada 1965, didirikan Yayasan Islam
Rifa'iyah di Randudongkal, Pemalang.Yayasan ini menaungi Madrasah
Ibtidaiyah dan pesantren yang melestarikan pengajaran kitab-kitab Tarjumah
(Nasrudin, 2009:90).
Dengan bendera yayasan, para santri Tarjumah mulai bersinggungan
dengan komunitas lain di luar mereka. Karena belum ada institusi resmi yang
menggabungkan mereka, santri Tarjumah masih terfregmentasi.Sehingga,
gerakan keagamaan mereka masih bersifat sporadis, terpolarisasi, dan tidak
fokus. Di beberapa daerah, mereka masih harus berhadapan dengan organisasi
keislaman lain yang sudah mapan, seperti NU dan Muhammadiyah.
Kegiatan yayasan yang telah didirikan tidak leluasa.Bahkan, di beberapa
daerah, Santri Tarjumah dipersulit mendirikan yayasan.Dalam kondisi terdesak
ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan menawarkan kebebasan
berkegiatan.Tapi dengan catatan mau bergabung dengan Sekber
Golkar.Tawaran ini diterima setelah para Kyai Tarjumah memutuskannya
dalam sebuah musyawarah.
52
Dengan bergabungnya santri Tarjumah kepada Golkar, mereka mendapat
banyak kemudahan dalam beraktifitas dan akses yang cukup luas terhadap
kekuasaan. Pada 24-25 Desember 1990 diadakanlah Seminar Nasional
Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX: GerakanKH. Ahmad Rifa'i,
Kesinambungannya dan Perubahannya di Jogjakarta.Seminar ini
merekomendasikan berdirinya Jamaah Rifa'iyah (Nasrudin, 2009:91).
Tepat pada 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H),
dideklarasikanlah Jamaah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jamaah
ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah
organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan
agamadi satu sisi, serta melestarikan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i yang
masih relevan dan dinamis di sisi lain (Nasrudin, 2009:92).
Jamaah Rifa'iyah berakidah, berasaskan Islam ala ahlu sunah, mengikuti
salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi‟i. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, Jamaah Rifa‟iyah berpedoman kepada
Pancasila.Sedang secara keumatan, Jamaah Rifa'iyah bersifat sosial
keagamaan, memperjuangkan nilai-nilai kemaslahatan umat, kesejahteraan,
dan kemanusiaan.
3. Kitab Tabyin Al-Ishlah
KH. Ahmad Rifa‟i menulis sebuah kitab panduan bagi seorang muslim
untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan sebuah pernikahan yang sesuai
53
dengan syari‟at Islam. Kitab tersebut berjudul Tabyin al-Islahli muridi an-
Nikah Bi as-Sawab ditulis pada tahun 1264 H/ 1847 M, berisi11 koras atau 220
halaman, khusus membicarakan hukum perkawinan Islam. Kitab tersebut
memuat pembahasan mengenai hukum nikah, hikmah nikah, rukun nikah,
talak, nafkah, hadhanah dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan masalah
pernikahan. Isi kitab tersebut cukup lengkap dalam membicarakan perkawinan,
akan tetapi KH. Ahmad Rifa‟i sedikit menyebutkan dalil al-Qur‟an maupun
Hadis yang dijadikan landasan hukum. Metode fiqih yang beliau pakai juga
tidak disampaikan secara eksplisit. Praktis kitab yang beliau karang itu hampir
berupa doktrin yang harus pembaca akui kebenarannya dengan tanpa
meragukan keilmuan KH. Ahmad Rifa‟i. Dalam membicarakan perihal wali
nikah KH. Ahmad Rifa‟i memulai dengan kata faslun nyataaken wali
wadonan, artinya pasal yang menjelaskan wali bagi perempuan. Kata-kata
faslun umum digunakan dalam penulisan kitab yang berfungsi sebagai pemisah
antara satu masalah dengan masalah yang lain. Dalam tulisan beliau ketika
membicarakan wali nikah tidak ditemukan devinisi wali itu sendiri, namun dari
tulisan beliau secara umum dalam membicarakan wali nikah dapat diambil
pemahaman bahwa wali nikah ialah orang yang bertindak menikahkan calon
pengantin perempuan dengan calon pengantin laki-laki.
Pada dasarnya kitab ini juga merujuk pada kitab-kitab kuning, seperti fathu
al-Mu‟in, Kifayah al-Ahyar, Mugni al-Muhtaj, al-Bajuri,Fathu al-Qarib, fathu
al-Wahhab, dll. Kitab Tabyin al-Islah sendiri terdiri dari 2 bab, yang masing-
54
masing bab mempunyai pembahasan sendiri-sendiri. Bab 1 membahas tentang
rukun perkawinan, wali bagi wanita,susunan wali, wali hakim, saksi
perkawinan, ijab qabul, larangan perkawinan, kafa‟ah, mas kawin, walimah,
menggilir dan nusyuz, serta khulu‟. Sedangkan bab 2 membahas tentang
talak.Kitab Tabyin al-Ishlah ditulis mengunakan arab pegon (tulisan arab
berbahsa jawa). Pengunaan tulisan arab pegon dilakukan dengan tujuan untuk
memudahkan orang awam (orang yang tidak bisa membaca tulisan berbahasa
arab) yang akan mempelajari kitab Tabyin al-Ishlah.Kitab tabyin al-ishlah
ditulis tangan oleh Syaikh Ahmad Rifa‟i sendiri dengan menggunakan kertas
putih biasa.Kitab ini di setiap bab ditulis dengan tinta merah dan berada di
samping bait-bait penjelasnya, yang bertujuan untuk membedakan pembahasan
di setiap bab. Kemudian kalimat penjelasnya ditulis dengan tinta hitam yang
sebelum penjelasan biasanya Syaikh Ahmad Rifa‟i mengutipkan syair-syair
ataupun ayat alqur‟an dan hadis.
Kitab tersebut mengundangkontroversi dari pihak pemerintah, karena
banyak mengandung kritik terhadap penguasa, diantaranya dengan tidak
mengesahkan perkawinan yang dilaksanakan oleh pejabat yang diangkat oleh
pemerintah Hindia-Belanda karena mereka dianggap tidak memenuhi syarat,
fasik, danadanya pemaksaan membayar uang dalam jumlah tertentu
(menindas).
55
B. Konsep Pernikahan dalam Kitab Tabyinal Ishlah
Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa‟i tidak pernah
memproklamasikan berdirinya Jam‟iyah Rifa‟iyah sebagai nama bagi sebuah
organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri sebagai pengikut KH.
Ahmad Rifa‟i. Mereka biasa menyebut diri sebagai santri Tarjumah atau santri
Rifa‟iyah.Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah
masih tersebar dalam berbagai organisasi dan lembaga.Kemudian Tepat pada
tanggal 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H), dideklarasikanlah Jama‟ah
Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jamaah Rifa'iyah ini merupakan
puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah organisasi dalam
menghadapi berbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan agama.
1. Faktor yang Melatar Belakangi konsep Pernikahan dalam kitab tabyin al-
ishlah
Jamaah Rifa‟iyah dalam menetapkan landasan hukum masih menggunakan
tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i. Tradisi pemikiran KH.Ahmad Rifa‟i juga
digunakan dalam masalah pernikahan, sehinga di kalangan Jamaah Rifa‟iyah
terdapat tradisi pernikahan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya.
Berikut ini tradisi pernikahan di Jamaah Rifa‟iyah:
a. Mempelajari kitab tabyin al-ishlah sebelum pernikahan
Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Ishlah sebelum pernikahan adalah
calon mempelai laki-laki dan perempuan di Jamaah Rifa‟iyah diharuskan
mempelajari kitab Tabyin al-Ishlah sebelum pernikahan dilakukan.Faktor yang
56
melatar belakangi Mempelajari Kitab Tabyin al-Ishlah Sebelum Pernikahan
yaitu: Menurut pandangan ulama Jamaah Rifai‟yah, seseorang yang akan
menikah atau melakukan suatu hubungan muamalah dengan sesama manusia
maka harus mempelajari dan memahami maksud dan tujuan yang akan dicapai
supaya ibadah yang dilakukan tidak sia-sia begitu saja. Serta dengan cara ini
kita akan tahu bagaimana tata cara beribadah dan semua hal mengenai ibadah
itu sendiri. Ada prinsip dalam ajaran Jamaah Rifai‟yah yaitu barang siapa yang
beramal tanpa ilmu, maka segala amalnya akan sia-sia di tolak. Prinsip Jamaah
Rifa‟iyah ini tidak hanya berlaku bagi perkawinan saja, tetapi juga haji, jual
beli, toharoh, yang juga ada kitab tersendiri.
Jamaah Rifa‟iyah juga beranggapan bahwa orang yang tidak mempelajari
lebih dulu kitab Tabyin al-Ishlah, perkawinannya akan dianggap tidak shahih
dan pernikahannya tidak akan kekal dan bahagia. Dan jika ada salah satu
Jamaah Rifa‟iyah yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Ishlah sebelum
pernikahan maka dia akan mendapatkan sanksidari Jama‟ah Rifa‟iyah yaitu dia
akan setengah dikucilkan dari Jamaah Rifa‟iyah. Walaupun tradisi mempelajari
kitab Tabyinal-Ishlah sebelum pernikahan terlihat memberatkan bagi pasangan
yangakan melakukan pernikahan, tetapi tradisi mempelajari kitab Tabyin al-
Ishlah diJamaah Rifa‟iyah hingga sekarang masih dilakukan olehJamaah
Rifa‟iyah karena Jamaah Rifa‟iyah sangat memegang teguh ajaran-ajaran dari
KH. Ahmad Rifa‟i dan tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Ishlah sebelum
57
pernikahan dipandang dapat mengajarkankepada pasangan mempelai
bagaimana mencapai pernikahan yang bahagia dan kekal.
b. Pemilihan Saksi Pernikahan
Tradisi pemilihan saksi pernikahan adalah pemilihan saksi pernikahan yang
sesuai dengan kualifikasi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah.Faktor yang
Melatar belakangi Pemilihan Saksi Pernikahan yaitu, Terjadinya kualifikasi
saksi pernikahan adalah faktor yang melatar belakangi tradisi pemilihan saksi
pernikahan. Jamaah Rifa‟iyah melakukan pemilihan dan seleksi tersendiri saksi
pernikahan. Masyarakat mengusulkan beberapa namawarga yang dianggap
memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jamaah
Rifa‟iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi
pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif,
sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6
orang inilah yang bisa menjadi saksi dimana mereka tinggal, akan tetapi
terkadang mereka juga diundang untuk menjadi saksi pernikahan di Jamaah
Rifa‟iyah lain biasanya dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan antara
mempelai pernikahan dengan para saksi tersebut.
Mengenai kualifikasi saksi pernikahan KH.Aḥmad Rifa‟i memasukkannya
ke dalam salah satu rukun nikah, sebagaimana tertulis dalam kitabnya Tabyin
al-Iṣhlah.Dalam masalah kualifikasi pernikahan KH.Ahmad Rifa‟i mengikuti
Imam Syafi‟i.Berikut ini bukti KH. Ahmad Rifa‟i mengikuti ajaran Imam
Syafi‟i:
58
a. Islam, akil (berakal), baligh, dua laki-laki, dan merdeka.
Kualifikasi Islam, akil, baligh, dua laki-laki, dan merdeka bagi saksi
pernikahan sebagaimana dituliskan KH. Aḥmad Rifa‟i dalam Tabyin al-
Islah-nya, ternyata juga terdapat dalam kitab Taqrib karangan Abu
Syuja‟ (salah satu ulama madzhab Syafi‟i) halaman 44 tertulis sebagai
berikut:
Yang artinya: “Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: (1) islam,
(2) baligh, (3) berakal, (4) merdeka, (5) laki-laki, (6) adil”.
b. Bisa melihat (tidak buta) dan bisa mendengar (tidak tuli).
Dalam kitab tabyin al ishlah dijelaskan sebagai berikut:
انصخ انذضسج شا ده شس طما دسح ذكزج عدانح سمع تصس...
Artinya: “tidak sah akad nikah kecuali dengan hadirnya dua saksi,
syarat-syaratnya adalah merdeka, laki-laki, adil, bisa
mendengar dan bisa melihat”.
c. Bisa berbicara (tidak bisu)
Saksi disyaratkan harus orang yang bisa berbicara, tidak bisu. Syarat ini
juga dijelaskan dalam kitab al-iqna karangan Muhammad Syabirin Rasyid
salah satu ulama Madzhab Syafi‟i halaman 632 dituliskan sebagai berikut:
Yang artinya: “dan syarat saksi yang kedelapan yaitu orang yang bisa
berbicara, tidak diterima kesaksian orang yang bisu walaupun
bahasa isyaratnya bisa difahami”.
d. Bukan anak dan bapaknya
Kualifikasi saksi pernikahan ini dapat kita lihat di dalam kitab Hasyiyah
al-Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jaml ala Syarhal-Minhaj karangan
59
Sulaiman al-Jamal (salah satu ulama madzhabSyafi‟i) halaman 384
dituliskan sebagai berikut:
Artinya: “Dan ditolak kesaksiannya kepada sebagiannya, yakni
dariasal (bapak) atau cabang (anak)nya .....”.
e. Bukan musuhnya.
Tidak diperbolehkan seorang musuh menjadi saksi. Pernyataan ini
dipertegas ulama madzhab Syafi‟i bisa dilihat dalam kitab Fath al-
Wahhab karanagan Abi Yahya Zakaria al Anshori halaman 221 dituliskan
sebagai berikut:
Artinya:“Dan tidak diterima kesaksian seorang musuh
terhadapnya”
f. Bukan orang yangfasiq
Bukan orang yang pernah melakukan dosa besar dan bukan orang yang
sering menjalankan dosa kecil atau adil. Syarat ini dituliskan di dalam
kitab Tabyin al-Islah dan diperkuat dalam kitab ulama madzhab Syafi‟i
yaitu dalam kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman
632 dituliskan sebagai berikut:
Artinya: “dan syarat saksi yang kelima adalah adil, tidak
diterimakesaksian orang fasiq”
g. Terjaga kehormatannya
Orang yang di komunitasnya terjaga dari kejelekan tempat tersebut,
contoh: makan di warung pinggir jalan, tidak memakai penutup kepala
ketika hendak ke sawah, tidak memakai baju di luar rumah, dan lain-lain.
60
Syarat ini juga dituliskan dalam kitabFath al-Wahhab karangan Abi
Yahya Zakaria al Anshori halaman 221tertulis sebagai berikut:
Artinya:“Saksi adalah orang yang merdeka, mukallaf, dan mempunyai
harga diri”.
h. Terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya, yakni bukan orang
Qadariyyah dan Jabariyyah.
i. Keberadaan saksi pernikahan yang diharuskan orang yang terjaga i‟tiqad
atau keyakinannya. ini tertulis di kitab-kitab karangan ulama madzhab
Syafi‟i dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Baijuri karangan Ibrahim al-
baijurri halaman 663 tertulis sebagai berikut:
Artinya:“dan yang ketiga dari syarat adil adalah terjaga keyakinannya, tidak diterima kesaksian pelaku bid‟ah yang mengakibatkan kufur atau fasiq”.
Dalam hal ini, baik Imam Syafi‟i maupun para pengikutnya tidak
secara langsung bahwa orang yang berakidah Qadariyyah dan Jabariyyah
tidak boleh menjadi saksi. Akan tetapi Imam Syafi‟i dan para pengikutnya
hanya menyebutkan orang yang selamat i‟tiqadnya yang bisa menjadi
saksi.Jadi jelaslah bahwa ini adalah salah satu sumbangsih pemikiran
KH.Aḥmad Rifa‟i.
j. Terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak
pemarah, dan orang yang lemah).
61
Syarat ini tertulis di kitab ulama madzhab Syafi‟i yaitu kitab al-Iqna‟
karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman 634 tertulissebagai
berikut:
Artinya: “dan bagian yang keempat dari adil adalah seseorang
yangterjaga dari kemarahannya .....”.
Kualifikasi saksi harus orang yang terjaga kehormatannya, orang
yang terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya dan orang yang terjaga
pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah,
dan orang yang lemah) ini dalam kitab-kitab ulama madzhab Syafi‟i
adalah bagian dari adil, akan tetapi KH. Aḥmad Rifa‟i merinci satu
persatu sebagai syarat saksi nikah, tidak heran ketika syarat saksi yang
disebutkan dalam kitab-kitab Syafi‟iyah lebih sedikit daripada di dalam
kitab Tabyin al-Iṣhlah.
Dalam masalah saksi pernikahan bukan orang yang fasiq Jamaah
Rifa‟iyah berpendapat bahwa bukan orang yang fasiq adalah orang
muslim mukallaf yang tidak menjalankan dosa besar, tidak
mengesampingkan dosa kecil dan menolak orang yang bukan
fasiqberdasarkan cerita orang. Kualifikasi ini di kalangan Jamaah
Rifa‟iyah dianggap paling sulit dipenuhi oleh seorang saksi
pernikahan.Sehingga kualifikasi bukan orang fasiq merupakan faktor
utama yang melatar belakangi adanya pemilihan saksi pernikahan di
Jamaah Rifa‟iyah.
62
c. Tradisi shihah(pengulangan akad nikah)
Tradisi shihah adalah tradisi pengulangan akad nikah yang sebelumnya
telah dilakukan.Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah yaitu, Pada masa
KH. Ahmad Rifa‟i pengulangan pernikahan atau tradisi shihah dikarenakan
wali hakim atau penghulu pada masa KH. Ahmad Rifa‟i melakukan
penyelewengan dan para penghulu hanya memikirkan kepentingan pribadi
dengan mengatas namakan dan memanfaatkan agama, guna mengeruk
keuntungan pribadi.Dalam kondisi ini, KH. Ahmad Rifa‟i memahami bahwa
penghulu tidak memenuhi kualifikasi adil. Konsekuensinya, perwalian dan
akad nikah tidak sah. Lalu dibuatlah institusi shihah guna menanggulangi
ketidak absahan akad nikah dan diharapkan, pernikahan tersebut benar-benar
sah. (Hanif. 2015: 50 )
KH. Ahmad Rifa'i tidak mengeluarkan fatwa bahwa shihah itu sebagai
keharusan. Ia juga tidak mengklaim pernikahan yang diakadkanpenghulu tidak
sah secara mutlak. Dalam Tabyin al-Ishlah, ia hanya menyebutkan ghalib
qadhi (mayoritas penghulu). Dengan demikian, jika ada qadhi yang masih
bertahan dan berpegang teguh kepada syari‟ah, maka akad nikah sah. Akan
tetapi, orang seperti ini benar-benar langka. Secara politis, posisi qadhi waktu
itu teramat lemah. Ia menjadi bawahan, diperintah oleh pejabat pemerintah
Belanda atau pemimpin kafir.
Dalam perjalanan waktu, ada pergeseran pemahaman di Jamaah Rifa‟iyah
dalam mengambil kesimpulan, bahwa pendapat hukum yang dikeluarkan oleh
63
KH. Ahmad Rifa'i adalah sebuah produk hukum yang tidak selalu mengikat
bagi para pengikutnya untuk seterusnya. Walaupun fatwa ketidak absahan
nikah yang diakadkan oleh penghulu dianggap sebagai keputusan final. Dan
membatu dan membeku dalam logika berfikir di Jamaah Rifa'iyah selama
beberapa waktu.
Setelah masa kemerdekaan pemahaman Jamaah Rifa‟iyah sedikit demi
sedikit mulai mengalami pergeseran. Pergeseran ini seiring dengan munculnya
kesadaran bahwa bangsa ini sudah merdeka dari jajahan pemerintah kafir.
Pemerintah Indonesia meski tidak berasaskan Islam bukanlah negara kafir. Di
sini umat Islam bebas beribadah, bebas dari tekanan orang kafir dan tidak
dipaksa menjalankan maksiat oleh negara. Kondisi sosial-politik yang berubah
mendorong perubahan kadar maslahat bagi bangsa ini. Bila Jamaah Rifa‟iyah
masih mempertahankan pandangan bahwa penghulu itu anak buah pemerintah
kafir, maka hal ini tidak akan membawa maslahat, bagi Jamaah Rifa'iyah
sendiri maupun bagi bangsa. Lagi pula, perbuatan mencampur syara‟dengan
bathil dan tidak adil kini sudah berkurang di kalanganpenghulu. Sebagian
besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup mumpuni.
Mereka banyak yang berasal dari kalangan pesantren, tempat yang sangat
disegani oleh Jamaah Rifa'iyah. Karenanya, akad nikah yang diakadkan oleh
penghulu dianggap sah.
Namun demikian, di Jamaah Rifa'iyah masih ada yang tetap
mempertahankan pemikiran ini. Mereka merasa nyaman dengan pemahaman
64
seperti ini. Hal ini dapat dilihat dengan kecenderungan yang ada untuk tetap
menyelenggarakan tradisi shihah, meskipun hanya sekedar penyebutannya
saja. Pergeseran pemikiran inilah yang kemudian berusaha membawa Jamaah
Rifa'iyah ke alam yang lebih modern dan moderat.Akan tetapi, perubahan ini
belum sepenuhnya terjadi. Dan pernikahan yang diakadkan penghulu baru bisa
dihitung dengan jari.
Boleh jadi, masih ada ketakutan dan keengganan di Jamaah Rifa‟iyah untuk
melangar ajaran KH. Ahmad Rifa‟i. Kebanyakan Jama‟ah Rifa'iyah masih
melimpahkan hak perwalian kepada Kyai (tahkim), dimana dulu menimba
ilmu. Tradisi shihah karenanya masih tetap dilangsungkan hingga kini.
Namun, Jamaah Rifa'iyah mewanti-wanti, bahwa tradisi shihah dilangsungkan
tidak untuk menghakimi akad nikah yang dilaksanakan oleh penghulu
sebelumnya.Tradisi shihah lebih ditujukan untuktabarukan, mengharap berkah
kepada sang Guru, itu yang pertama. Kedua, dilakukan karena untuktajdid,
memperbaharui pernikahan. Ketiga, untuktajamul nikah atau memperindah
pernikahan.
C. Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-ishlah
Setelah penulis mengkaji tentang wali nikah, baik dalam kerangka fiqih
pada umumnya, maupun spesifik wali nikah yang di tetapkan KH. Ahmad Rifa‟i,
penulis memahami bahwa sebenarnya ketentuan wali nikah yang ditetapkan KH.
65
Ahmad Rifa‟i secara umum adalah sama dengan fiqih-fiqih Syafi‟iyah yang lain.
Sebagaimana Fathu al-Qarib, Fathu al-Mu‟in, Kifayah al-Ahyar, I‟anah at-Talibin,
Iqna,‟ Mugni al-Muhtaj, al-Bajuri, Fathu al-Wahhab, Tanwir al-Qulub, dll. Dalam
hal hukum danpersyaratan wali nikah misalnya, kitab-kitab tersebut juga
mengharuskan nikah dengan wali dan mensyaratkan beberapa syarat bagi wali,
yang diantaranya wali harus adil.
Sedangkan Imam al-Ghazali mengesahkan wali fasik karena dimana-mana
tersebar wali fasik dan pengantin yang akan dinikahkan juga banyak yang fasik.
(saleh: 208) Oleh karena itu menurut Sayyid Sabiq wali nikahtidak harus adil.Para
Imam Madzhab mensyaratkan adil hanya bagi hakim dan bukan wali yang dekat,
akan tetapi menurut imam Ahmad bin Hambal syarat adil adalah bagi setiap wali
nikah, baik itu wali hakimmaupun wali yang dekat.Syarat adil ini diperselisihkan
ulama karena tidak ada jaminan bahwa mereka yang tidak adil tidak dapat
memilihkan calon suami yang seimbang bagi wanita yang ada di bawah
perwaliannya. Sebagaimana syarat adil, kewalian seorang hamba sahaya
jugadiperselisihkan para ulama‟. Hal ini karena tidak sempurnannya hambasahaya
dari segi ahliyah-nya.
Beberapa ulama Jamaah Rifa‟iyah berpendapat, bahwa apabila seorang
wanita mempunyai wali yang ghoib atau berpergian lebih dari 2 marhalah maka
tahkiya tidak sah diberikan pada orang adil karena haknya wali ghoib itu harus
diberkan pada qodhi dan apabila itu aqrob atau berpergian kurang dari 2 marhalah
maka wewenang wali tidak bisa diberikan pada hakim, akan tetapi arus menunggu
66
walinya atau diberikan pada orang lain yanga bisa di percaya menurut syariat,
bersifat adil, alimmuktamat (bisa bertanggung jawab) tidak boleh meninggalkan
syariat untuk mengikuti adat dan biasanya yang ditunjuk untuk menikahkan adalah
seorang kiai yang sudah dipercayai sifat keadilannya dan mursyidnya.
KH. Ahmad Rifa‟i juga menetapkan syarat-syarat tersebut bagi wali dan
menetapkan bahwa wali termasuk rukun nikah, sehingga tidak sah nikahnya
seorang perempuan tanpa wali. Berbeda dengan ulama Hanafiah maupun Daud ad-
Dahiri yang mengatakan wali bukan termasuk syarat sah nikah. Meskipun secara
umum sama dengan fikih-fikih Syafi‟iyah lainnya, akan tetapi KH. Ahmad Rifa‟i
terkesan lebih menekankan dalam penerapannya, seperti contoh penekanan syarat
adil bagi wali nikah. Akibatnya beliau harus berhadapan dengan pemerintah
Belanda karena kritik keras beliau terhadap hakim-hakim pemerintah yang dinilai
fasik. Dalam hal tertentu KH. Ahmad Rifa‟i juga mengemukakan pendapat yang
berbeda dari pendapat mayoritas ulama‟ Syafi‟iyah. Pendapat berbeda tersebut
seperti halnya dalam masalah wali tahkim.
a. Rukun dan syarat sahnya wali
Islam, tidak sah walinya orang kafir kecuali kafir kitabi, Aqil, tidak sah
walinya orang yang rusak atau hilan akalnya, Baligh, tidak sah walinya orang yang
masih kecil, Laki-laki, tidak sah walinya orang yang khuntsa (wandu) yang muskil
(yang suli untuk dibedakan kecerendungannya dari sisi laki-laki atau perempuan),
67
Merdeka, tidak sah walinya seorang budak, Mursyid, tidak sah walinya orang yang
fasiq kecuali dalam tingkah dhorurot. Definisi mursyid atau adil yang ditetapkan
oleh KH. Ahmad Rifa‟i adalah sebagai berikut :
Wajib mukalaf weruha adil diraghib
Ikilah kalam ulama pahamen ya thalib
Wahuwal muslimul mukallafulladzi lam yartakib
Kabiratan walam yusirru ala sagiratin dzanid.
Artinya: wajib mukalaf mengetahui definisi adil, yaitu orang muslim yang
mukalaf, tidak melakukan dosa besar dan tidak melanggengkan perbuatan dosa
kecil.
Dalam hal wali nikah, syarat adil ini sangat ditekankan oleh KH. Ahmad
Rifa‟i, sehingga beliau menolak para wali hakim pemerintah penjajah dan ketika
wali aqrab itu fasik sementara wali ab‟ad itu adil, maka yang berhak menjadi wali
nikah ialah wali ab‟ad. (maryani. 2013: 53)
Sementara untuk istilah fasik, KH. Ahmad Rifa‟i memberikan penjelasan
sebagai berikut:
Aran fasik akil baligh sifate manungsa
Ngelakani dosa gede sawiji dirasa
Tuwin ngekelaken haram cili dosa
Ikulah wong fasik arep tinemu mirsa.
Artinya: Yang dinamakan fasik ialah orang berakal, dewasa Melakukan suatu
dosa besar terasa Atau melanggengkan dosa kecil Itulah orang fasik untuk
diketahui.
Meski demikian, ketika terjadi ta‟azur(halangan) seperti halnya tidak ada wali
yang adil, dalam arti semua wali yang ada itu fasik, maka KH. AhmadRifa‟i
mengesahkan juga nikah dengan menggunakan wali fasik. Seorang wali rela
menjadi wali (ikhtiyar) maka tidak sah walinya orang yang dipaksa. Makna
ikhtiyar di sini ialah tidak terpaksa. Artinya seorang wali ketika bertindak menjadi
68
wali nikah tidak dipaksa oleh pihak tertentu melainkan ia menjadi wali nikah
dengan kemauan sendiri. Jika seorang wali nikah itu dipaksa, maka tidak sah
akadnya.
b. Pernikahan Yang Diulang
Jamaah Rifa‟iyyah dalam melakukan pernikahan mereka memliki adat atau
tradisi serta aturan-aturan yang harus dijalankan, salah satunya yaitu pernikahan
yang diulang.Pernikahan yang dilakukan oleh penghulu, menurut Ahmad Rifa‟i
tidak benar, karena masih banyak kekurangan yang harus dipenuhi. Maka untuk
mengabsahkan pernikahan tersebut harus diulang kembali. Kekurangan-
kekukarangan yang dimaksud ialah pada status wali, saksi dan ijab Kabul dalam
pernikahan.
Sebagai seorang wali pernikahan harus bersifat mursyid, artinya dia harus
selamat dari perbuatan safih, baik safih duniawi maupun ukhrawi karena orang
safih itu dibatasi kehidupannya oleh agama.Demikian juga syahid atau saksi harus
orang-orang yang memenuhi kriteria syahid, sebagaimana digariskan syariat yang
tertulis dalam kitab-kitab fiqih.
Syaikh Ahmad Rifa‟i mengklasifikasikan saksi pernikahan ini diatas saksi
ru‟yatul hilal (melihat tanggal) dan dibawah saksi had perzinaan. Dua saksi yang
adil sangat dibutuhkan dalam pernikahan untuk mengetahui keabsahannya.Selain
itu, dalam ijab Kabul nikah harus memakai bahasa yang bisa dipahami oleh pihak
wali pengantin putrid, calon pengantin putra dan para saksi.
69
Masalah lain yang mendapat sorotan ialah brkumpulnya kaum lelaki dan
perempuan dewasa terbuka auratnya dalam majelis tanpa adanya tabir pemisah.
Biasanya pengantin putra dan pengantin putrid, wali, para saksi dan sanak kerabat
berlainan jenis duduk bersama dalam satu majelis akad nikah, pada umumnya di
masjid. Hal ini merupakan kemungkaran yang segera harus dihilangkan, sebelum
acara akad nikah dimulai. Karena jika hal itu dibiarkan, jelas akan merusak
keadilan dan berakibat gugur status kesaksian dua saksi itu. Dengan demikian, akad
nikah yang dilaksanakan tidak memenuhi syarat dan rukun, sehingga pernikahan itu
dianggap tidak sah atau batal.
Para ulama ahlu sunah sudah sepakat, bahwa pernikahan yang tidak memenuhi
rukun dan syarat, hukumnya tidak sah (batal) dan harus diulang kembali jika syarat
dan rukun nikah sudah terpenuhi. Syaikh Ahmad Rifa‟i menyetujui atas
kesepakatan para ulama tersebut. Dalam bait-bait syair yang tertera pada kitabnya
Tabyinal Ishlah, Ahmad Rifa‟i mengemukakan:
Ngendika „ulama, lan anapun wicaraane
Barang amal kang ora wajib panggerane
Koyo adol tuku lan “nikah” penggawene
Maka nekani atas wong iku nejane
Durung ngaweruhi partikele kebeneran
Lan sakeh syarate sah kelakuan
Iku haram moho taqsir linakonan
Ning panggerane syiariat kinawaruhan
Terjemahannya:
Ulama berkata, “dan adapun pembicaraannya
Barang amal yang tidak wajib peraturannya
Seperti pekerjaan jual beli dan nikah pekerjaannya
Maka mendatangi orang itu tujuannya
70
Belum mengerti tatacara kebenaran
Dan semua syarat sahnya perbuatan
Itu haram menyengaja taqsir dijalankan
Di dalam aturan dapat diketahui
Dalam kitab tansyirah (1273 H), Ahmad Rifa‟i mengatakan: bahwa pernikahan
seseorang hendaknya melalui prosedur hukum yang berlaku disuatu Negara,
misalnya tecatat dalam administrasi di lembaga urusan agama. Adapun pelaksanaan
akad nikahnya melalui prosedur hukum islam. Karena pernikahan merupakan awal
pembangunan rumah tangga yang kelak diharap akan mendapat keturunan yang sah
dan menjadi anak yang salih salihah, maka pernikahan yang benar dan sah
merupakan suatu keharusan.
71
BAB IV
Perpindahan Wali nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah
Ditinjau Dari Hukum Islam
A. Analisis Konsep Wali Nikah Di Kitab Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Hukum
Islam
1. Analisis konsep perpindahan hak wali nikah di kitab Tabyin Al-
Ishlahdalam Fiqih
Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah karya Syaikh Ahmad Rifa‟i, terdapat
konsep perpindahan hak wali nikah, yang mana dijelaskan bahwasannya ketika
akad nikah perwalian dipindahkan kepada wali hakim, dengan alasan
bahwasannya dikhawatirkan wali nasab tidak mumpuni persyaratan untuk
menjadi wali nikah, maka dalam hal ini perwalian harus dipindahkan atau
dengan istilah lain di taukilkan kepada wali hakim yang mana menurut kitab
tabyin al-ishlah yaitu orang alim yang bersifat adil dan mursyid.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan kitab-kitab fikih seperti
Kifayatul Akhyar, Bidayatul Mujtahid dan yang lainnya, wali nikah dapat
dipindahkan dengan beberapa alasan diantaranya, ketika wali nasab tidak
sanggup dalam hal ini tidak mampu karena kurang yakin, maka boleh untuk
dipindahkan kepada wali hakim, kemudian ketika wali nasab sudah meninggal
atau sedang dalam bepergian jauh juga boleh dipindahkan kepada wali .
72
2. Analisis konsep perpindahan hak wali nikah di kitab tabyin al-ishlah dalam
Undang-undang perkawinan
Sebelumnya sudah dibahas mengenai konsep perpindahan hak wali nikah di
dalam kitab Tabyin Al-Ishlah, setelah penulis mengkajinya di dalam undang-
ndang perkawinan juga membahasnya.Jika di dalam kitab Tabyin Al Ishlah
sendiri menjelaskan bahwa konsep perpindahan hak wali yaitu dipindahkan
kepada seseorang yang dianggap terjaga sifat adil dan mursyidnya yaitu
kiyai.Akan tetapi jika di dalam undang-undang perkawinan menjelaskan bahwa
wali nikah atau wali nasab dapat perpindah kepada wali hakim ketika wali nasab
tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali dalam arti cacat, tidak yakin,
atau sedang dalam bepergian jauh. Dan yang di tetapkan untuk menjadi wali
hakim yaitu wali nikah yang ditugaskan oleh petugas kantor urusan agama
(KUA).
B. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah Ditinjau
Dari Hukum Islam
1. Analisis perpindahan hak wali nikah dalam fikih
Setelah penulis mengkaji tentang wali nikah, baik dalam kerangka fiqih
pada umumnya, maupun tentang wali nikah yang di tetapkan KH. Ahmad Rifa‟i,
penulis memahami bahwa sebenarnya ketentuan wali nikah yang ditetapkan KH.
Ahmad Rifa‟i secara umum adalah sama dengan fiqih-fiqih Syafi‟iyah yang lain.
Sebagaimana Fathu al-Qarib, Fathu al-Mu‟in, Kifayah al-Ahyar, I‟anah at-
Talibin, Iqna,‟ Mugni al-Muhtaj, al-Bajuri, Fathu al-Wahhab, Tanwir al-Qulub,
73
dll. Dalam hal hukum danpersyaratan wali nikah misalnya, kitab-kitab tersebut
juga mengharuskan nikah dengan wali dan mensyaratkan beberapa syarat bagi
wali, yang diantaranya wali harus adil, mursyid, dan tidak fasiq.
Namun yang dimaksud adil dalam kitab Tabyin Al-Ishlah sendiri yaitu
seorang wali yang terhindar dari dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil
mursyid yaitu seorang yang dipercaya kealimannya dan fasiq yaitu terhindar
dari sifat safih. Jika penulis simpulkan, seperti yang sudah dijelaskan
bahwasannya antara ketiga sifat yang sudah disebutkan di atasada
ketersinambungannya, dimana seorang wali yang dimaksud yaitu dia seorang
alim yang tidak diragukan lagi sifat-sifat yang sudah disebutkan yang di
dalamnya juga di pertimbangkan tingkah lakunya setiap hari contoh kecilnya
dalam berpakaian tidak menggunakan kaos pendek dan celana pendek, juga
selalu menutup kepalanya dengan peci. Dan dalam menghadiri suatu
perkumpulan tidak bersamaan dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Jika
semua itu dalam kesetiap hariannya terjadi, maka dapat diragukan kefasiqannya
dan tidak bisa menjadi wali nikah karena tidak memenuhi kualifikasi untuk
menjadi wali nikah.
2. Analisis perpindahan hak wali nikah dalam undang-undang perkawinan
Mengenai pembahasan wali nikah Dalam Pasal 20 ayat 2hanya
menyebutkan wali itu terdiri dua macam, yaitu KHI wali nasab dan wali hakim.
KHI tidak mengakui wali tahkim, karena KHI tidak mensyaratkan wali itu harus
adil, di Indonesia ada hakim yang ditetapkan oleh Negara.Perkawinan selain di
74
atur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diatur di dalam undang-
undang no.1 tahun 1974.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 6 ayat (2) bahwasannya ” untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin dari kedua orang tua”. Akan tetapi di dalam ayat (3) apabila
dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.Dan di dalam ayat (4) dijelaskan
bahwasannya “dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Kemudian di dalam ayat (5) dijelaskan
bahwa apabila dari kedua orang tua ataupun wali keturunan garis lurus keatas
tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan pernikahan atas permintaan orang tersebut.
Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, akad
nikah dilakukan oleh wali sendiri atau diwakilkan kepada pegawai pencatat
nikah atau P3NTR atau orang lain yang menurut pegawai pencatat nikah
(P3NTR) dianggap memenuhi syarat.
75
Dalam pasal 25 peraturan menteri agama nomor 3 tahun 1975 dijelaskan
bahwasannya “apabila calon suami atau wali nikah tidak hadir pada waktu
akad nikah disebabkan keadaan memaksa, maka dapat diwakilkan kepada
orang lain.
C. Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah Pada
Zaman Sekarang Ditinjau Dari Hukum Islam
Islam merupakan agama yang bersifat universal.Didalamnya tidak
menganut ajaran yang kaku.Ia mampu beradaptasi dan berkembang diberbagai
daerah dan disetiap waktu. Akan tetapi terkadang budaya dan tradisi lokal dalam
masyarakat tidak dapat dihindari oleh berbagai kalangan masyarakat muslim.
Karena itu agama dan budaya saling berjalan beriringan tanpa mengurangi nilai-
nilai yang terkandung didalamnya.
Seperti halnya mengenai pembahasan perpindahan hak wali nikah yang
terjadi di kalangan masyarakat pengikut Syaikh Ahmad Rifa‟i yang mana mereka
berpegangan pada kitab Tabyin Al-Ishlah dalam pembahasan pernikahan,
khususnya wali nikah. Di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang harus
dipenuhi oleh kedua mempelai nikah untuk melangsungkan suatu rangkaian
pernikahan harus mempelajari kitab Tabyin Al-Ishlah itu sendiridan tidak semua
daerah dalam menentukan kualifikasi untuk menjadi wali nikah itu sama dengan
yang sudah dijelaskan di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.
Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah sudah disebutkan bahwasannya yang
berhak menjdi wali nikah ialah dia seorang wali hakim yang sudah mumpuni
76
untuk menjadi wali nikah. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bpembahasan
sebelumnya yangmana, kualifikasi untuk menjadi walinikah yang sesuai dengan
ketentuan kitab Tabyin Al-Ishlahyaitu seseorang yang tidak lagi diragukan sifat
adil dan mursyidnya dan dalam berperilaku setiap harinya terhindar dari dosa
besar dan tidak melanggengkan dosa kecil.
Berbicara mengenai perpindahan hak wali nikah, sebenarnya di dalam
kompilasi hukum islam (KHI) dan juga undang-undang perkawinan no. 1 tahun
1974 tidak ada yang membahas secara spesifik tentang perpindahan hak wali
nikah. Jika di dalam KHI pasal 22 hanya menyebutkan “perwalian dapat
dipindahkan kepada wali hakim ketika wali tersebut tuli, tuna netra dan terdapat
udzur”.Sedangkan di dalam undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 49
hanya menyebutkan bahwa perwaliannya dapat dicabut ketika wali nikah
berkelakuan buruk dan melakukan kewajiban anaknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa relevansi perpindahan hak wali
nikah dalam kitab Tabyin Al-Ishlah dalam pandangan hukum islam diperbolehkan
akan tetapi apabila diterapkan pada era zaman sekarang kurang relevan karena,
kualifikasi seorang wali nikah yang ditentukan dalam kitab tabyin al-ishlah masih
condong pada era zaman dahulu ketika kolonial belanda menjajah Negara ini,
yangmana wali nikah pada saat itu dipandang kurang cakap untuk menjadi wali
nikah karena tidak mumpuni melakukan tugasnya sebagai wali nikah. Dimana
seorang wali nikah itu harus memiliki sifat adil and mursyid.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari analisis yang dilakukan penulis dari skripsi yang
berjudul “perpindahan hak wali dalam kitab Tabyinal Ishlah di tinjau dari hukum
islam”, yang mana kiyai H. Ahmad Rifa‟i sebagai imam Jamaah Rifa‟iyyah dan
beliau menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang konsep perpindahan hak wali
kedalam kitab Tabyinal Ishlah.
Penulis menyimpulkan ada beberapa kesimpulan yang akan dipaparkan:
1. Konsep perpindahan hak wali yang dijelaskan di dalam kitab Tabyinal Ishlah,
yaitu wali nasab dipindahkan kepada wali hakim yaitu seorang kiyai. Pada
masa KH. Ahmad Rifa‟i mayoritas wali hakim atau penghulu belum bisa adil
mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir atau pemerintah belanda dan
hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan agama guna
mengeruk keuntungan pribadi. Setelah Indonesia merdeka pengulangan
pernikahan atau tradisi shihah di Jam‟aah Rifa‟iyah sudah mengalami
pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan
kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar
penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni.
Namun demikian, di Jamaah Rifa‟iyah masih ada yang tetap mempertahankan
tradisi Shihah dengan pemahaman yang berbeda pada masa KH. AhmadRifa‟i.
78
Tradisi shihah lebih ditujukan sebagai bentuk tabarukan, mengharap berkah
kepada sang Guru, itu yang pertama.Kedua,dilakukan bertujuan untuk
tajdid,memperbaharuipernikahan.Ketiga, untuk
tajamulnikahataumemperindahpernikahanuntukmewujudkankeluargayangbaha
gia, tentramdan sejahtera.
Sedangkan di dalam KHI tentang wali nikah pasal 20 ayat 1 dijelaskan
bahwasannya yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.
Orang yang rusak akalnya karena tua atau sakit tidak boleh menjadi wali,
kewaliannya harus dipindahkan. Demikian juga menurut suatu pendapat orang
yang sangat bodoh tidak boleh menjadi wali, sebab tidak mengerti kebaikan
untuk dirinya apalagi kebaikan untuk orang lain. Dalam hal wali harus orang
islam yang baik (tidak fasik).
2. Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah karangan beliau Syaikh Ahmad Rifa‟i,
terdapat beberapa syarat wali, yang mana wali nikah sah jika memenuhi
beberapa syarat yang telah ditentukan, yaitu: Sebagai seorang wali pernikahan
harus bersifat mursyid, artinya dia harus selamat dari perbuatan safih, baik
safih duniawi maupun ukhrawi karena orang safih itu dibatasi kehidupannya
oleh agama. Demikian juga syahid atau saksi harus orang-orang yang
memenuhi kriteria syahid. Sedangkan di dalam KHI disebutkan syarat seorang
wali nikah: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dantidak
sedang dalam ihram.
79
3. Relevansi perpindahan hak wali nikah dalam kitab Tabyin Al-Ishlah dalam
pandangan hukum islam diperbolehkan akan tetapi apabila diterapkan pada era
zaman sekarang kurang relevan karena, kualifikasi seorang wali nikah yang
ditentukan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahmasih condong pada era zaman dahulu
ketika kolonial belanda menjajah Negara ini, yangmana wali nikah pada saat
itu dipandang kurang cakap untuk menjadi wali nikah karena tidak mumpuni
melakukan tugasnya sebagai wali nikah. Dimana seorang wali nikah itu harus
memiliki sifat adil dan mursyid.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian dan menganalisa hasil yang didapat dari data-
data, penulis bermaksud memberikan saran bagi masyarakat umum. Bahwasannya,
bagi masyarakat umum dalam menunjuk wali nikah harus mempunyai prinsip
keati-hatian, dimana prinsip tersebut merupakan pegangan dalam mewujudkan
keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Sedangka bagi Jamaah Rifa‟iyah
jangan hanya terpaku terhadap pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i harus membuka diri
dengan pemikiran-pemikiran ulama lain.Konsep pernikahan Jamaah Rifa‟iyah
dalam ajaran agama Islam termasuk konsep yang diperbolehkan, sehingga
pertahankan konsep tersebut.Namun dalam mempertahankan konsep tersebut
Jamaah Rifa‟iyyah harus melihat perkembangan zaman.
C. Penutup
Dengan memanjatkan puji syukur dan ucapan Alhamdulillah atas segala
karunia, petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
80
skripsi ini dalam bentuk sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
penulis.Untuk itu penulis mengharapkan pengembangan terus menerus, yang
terpenting adalah saran dan kritik demi kesempurnaan selanjutnya.
Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis, umumnya bagi para pembaca dan juga bermanfaat untuk
masyarakat umum.
81
DAFTAR PUSTAKA
Summa Amin Muhammad, Hukum Keluarga Islam di Dunia. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta: 2004
Nasution khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim. ACAdeMIA +
TAZZAFA. Yogyakarta: 2009
Rifa‟i Moh, Fiqih Islam Lengkap. PT. Karya Toha Putra.
Semarang:2014
Saleh Hassan, Kajian Fiqihnabawi Dan Fiqih Kontemporer. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta: 2008
Attihami Ibnul Madani Muhammad, Konsep Isam Di Malam Pertama
Dan Bulan Madu Di Alik Tirai Pernikahan. Ampel Suci.Surabaya:
2000
Abdullah Aljan Erfani, Pembaruan Hukum Perdata Islam. UII Press.
Yogyakarta: 2017
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah. PT. Alma‟arif. Bandung: 1980
Jumantoro Totok, Amin Munir Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Amzah. 2005
Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 2016
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta: 1995
82
Qardhawi Yusuf, Problematika Islam Masa Kini Qardhawi
Menjawab. Trigenda Karya. 1995
Mubarok Jain, Kaidah Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta:
2002
Moh Zuhri.dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. PT. Karya
Thoha Putra. Semarang: 1978
Rusyd Ibnu,Bidayaul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Pustaka
Amani. Jakarta: 2007
Syalthut Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab. CV. Pustaka Setia.
Bandung: 2000
Al-ghazali,Ringkasan Ihya‟ „Ulumuddin. Sinar Baru Algensio.
Bandung: 2016
Tim Redaksi Nuansa Aulia,Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: CV. Nuansa
Aulia. 2015
Amin Syadzirin Ahmad,Gerakan Syaikh Ahmad Rifa‟i Dalam
Menentang Kolonial Belanda. Jamaah Masjid Baiturrahman. Jakarta:
1996
Zed, Mestika,Metode Penelitian Kepustakaan.Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta: 2004
Soekanto, Soeryono Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. CetIV. PT. Raja Pers, Jakarta: 1995
83
Mariyani Dewi, Konsep Wali Nikah (Analisis Pemikiran KH. Ahmad
Rifa‟i Relevansinya Dengan KHI pasal 19-23). IAIN Walisongo.
Semarang: 2013
Safuddin Ahmad Hanif, Tradisi Pernikahan Jam‟iyah Rifa‟iyah Di
Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. IAIN.
Salatiga: 2015
SURAT KETERANGAN KEAKTIFAN (SKK)
Nama : Ringayatunnisa‟ Fakultas : Syariah
Nim : 21114021 Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Dosen PA : Heni Satar N, S.H., M.Si
No. Nama Kegiatan Pelaksanaan Keterangan Poin
1. Sertifikat OPAK
STAIN Salatiga
“Aktualisasi Gerakan
Mahasiswa yang
Beretika, Disiplin dan
Berfikir Terbuka”
Oleh : DEMA STAIN
Salatiga
18-19
Agustus
2014
Peserta 3
2. Sertifikat OPAK
SYARIAH
“Membangun
Mahasiswa Jurusan
Syari‟ah dan
Ekonomi Islam yang
Cerdas dan Peduli”
Oleh : HMJ Syariah
21 Agustus
2014
Peserta 3
3. Sertifikat Orientasi
Keislaman
“Pemahaman Islam
Rahmatan Lil
„Alamin Sebagai
Langkah Awal
Menjadi Mahasiswa
Berkarakter” Oleh:
LDK Darul Amal dan
Ittaqo STAIN Salatiga
21 Agustus
2014
Peserta 2
4. Sertifikat Seminar
Nasional
“Implementasi
Kurikulum 2013 pada
Mapel Bahasa Arab
Tingkat Dasar, dan
Tingkat Menengah
4
November
2014
Peserta 6
Dalam Upaya
Menjawab Tantangan
Pengajaran Bahasa
Arab ” Oleh: ITTAQO
STAIN Salatiga
5. Sertifikat Achievement
Motivation Training
“Dengan AMT
Menyongsong
Prestasi” Oleh: CEC
dan JQH STAIN
Salatiga
23 Agustus
2014
Peserta 2
6. Sertifikat Library
User Education Oleh:
UPT PERPUSTAKAN
STAIN Salatiga
28 Agustus
2014
Peserta 2
7. Sertifikat “Training
Pembuatan Makalah”
Oleh: LDK STAIN
Salatiga
17
September
2014
Peserta 3
8. Sertifikat “Training
Pengembangan Diri
dan Komunikasi”
Oleh: KAMMI
Komisariat Salatiga
18
September
2014
Peserta 3
9. Sertifikat “Bedah
Buku Membidik
Bintang” Oleh: LDK
Darul Amal Salatiga
01 Oktober
2014
Peserta 2
10. Sertifikat “Seminar
Nasional
Entrepreneurship” Oleh: Racana Kusuma
Dilaga Woro Srikandi
STAIN Salatiga
16
November
2014
Peserta 6
11. Sertifikat Bedah Buku
“Metode Tafsir
Kontemporer Model
Pedekatan
Hermeneutika Sosio-
Tematik dalam Tafsir
Al Qur‟an Hasan
27
November
2014
Peserta 2
Hanafi” Oleh: HMPS
IAT STAIN Salatiga
12. Seminar Nasional
“Mencegah Generasi
Pemuda Islam dari
Pengaruh
Radikalisme ISIS”
Oleh: Kelompok
Anjangsana AS IAIN
Salatiga
06 Mei
2015
Peserta 6
13. Seminar Internasional
“Petani Untuk
Negeri”
24
September
2016
Peserta 8
14. Seminar Nasional
“Perbankan Syari‟ah
di Indonesia : antara
Teori dan Praktik”
Oleh: HMJ HES IAIN
Salatiga
4
November
2015
Peserta 6
15. Seminar Nasional
“Perempuan
Indonesia di Mata
Hukum dan HAM”
Oleh: Fakultas
Syari‟ah IAIN Salatiga
21
Desember
2016
Peserta 8
16. Seminar Nasional
“Hak Gender Kaum
Difabel dalam
Perspektif Sosiologi
dan Hukum Islam”
Oleh HMJ AS
24
Desember
2015
Peserta 8
17. Bedah Buku “Agama
Baha‟i Dalam
Lintasan Sejarah di
Jawa Tengah” Oleh:
Fakultas Syari‟ah
26 April
2016
Peserta 2
18. Seminar Nasional
“Esensi Dakwah
Kontemporer” Oleh:
LDK IAIN Salatiga
21 Mei
2016
Peserta 6
19. Kuliah Umum
“Gerakan Revivalis
02 Juni
2016
Peserta 2
Islam Modern dan
Perkembangan
Hukum di Indonesia”
Oleh: Fakultas
Syari‟ah
20. Seminar Nasional
“Rekontruksi Ideal
Sistem Peradilan di
Indonesia” Oleh HMJ
AS IAIN Salatiga
22
September
2016
Peserta 8
21. Seminar internasional
“Menjadi
Mobilepreuneur
dalam E-Commerce”
Oleh: Country Director
Tap Indonesia Kota
Salatiga
25 April
2017
Peserta 8
22. Seminar Nasional
“Perbaikan Mutu
Pendidikan Melalui
Profesionalitas
Pendidikan” Oleh
HMJ Fakultas
TARBIYAH STAIN
Salatiga
13
November
2014
Peserta 6
23. Seminar regional
“Menumbuhkan
Semangat Berbagi
Dan Kebersamaan
Sesama Muslim di
Bulan Suci
Ramadhan” Oleh:
dema fakultas
23 Juni
2016
Peserta 4
24. Surat Keputusan
Pengangkatan
Pengurus pondok
pesantren sunan giri
salatiga Tahun 2017
13
Desember
2016
Pengurus 3
25. Participant In Art and
Language Exhibition
2017 “Kidung
Katresnan Dewi
26 April
2017
Peserta 2
Arimbi” Oleh:
Organized
Internasional Class
Program IAIN Salatiga
26. Kuliah Umum
“Kontribusi Fatwa-
Fatwa DSN MUI
terhadap
Perkembangan
Hukum Ekonomi
Syari‟ah di
Indonesia” Oleh: HMJ
HES IAIN Salatiga
8 Mei 2017 Peserta 2
27. Kuliah Umum
“Reorientasi Hukum
Keluarga Islam”
Oleh: HMJ HKI
Fakultas Syariah IAIN
Salatiga
Mei 2017 Peserta 2
28. Seminar Nasional
“Peluang Mahasiswa
dalam Berinvestasi
Menuju Kemandirian
Ekonomi” Oleh
DEMA Fakultas
Syari‟ah IAIN Salatiga
8
November
2017
Peserta 6
29. Kuliah Umum “Peran
Partai Politik Islam
Dalam Pentas Politik
Nasional Untuk
Mewujudkan
Indonesia Emas”
Oleh: Fakultas Syariah
IAIN Salatiga
19
september
2016
Peserta 2
30. Seminar Nasional “Ide
dan Gerakan
Penegakan Khilafah
dalam Dunia Islam
Kontemporer” Oleh:
Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga dan MUI Kota
Salatiga
20
Desember
2017
Peserta 6
31. Surat Keputusan
Pengangkatan
Pengurus Pondok
Pesantren Salatiga
Tahun 2018
25 Juni
2018
Pengurus 3
32. Seminar nasional “Fun
Training Nasonal
Pendidikan Gerakan
Masyarakat Salatiga”
oleh: GEMAS Salatiga
27 februari
2016
Peserta 6
33. Seminar Nasional
“Perlindungan
Hukum terhadap
Usaha Mikro
Menghadapi Pasar
Bebas Asean ” Oleh:
Fakultas Ushuluaddin,
Adab dan Humaniora
IAIN Salatiga
Desember
2014
Peserta 6
34. Seminar Nasional
“Mewujudkan
Indonesia Kita,
Bukan Indonesia
Kami :
Meningkatkan
Stabilitas Ekonomi di
Tengah Gejolak
Politik Indonesia”
Oleh : HMJ HES
Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga
2 Mei 2018 Peserta 6
35. Seminar Nasional
“Kesehatan Islami”
Oleh: Ormas dan
Gemas Salatiga
10 Agustus
2015
Peserta 6
63. Masa Penerimaan
Anggota Baru
“Rekontruksi Mental
Mahasiswa dalam
Kerangka
Pergerakan” Oleh:
PMII Rayon Syari‟ah
17-19
Oktober
2014
Peserta 3
Salatiga, 02 Agustus 2018
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan
Kerjasama Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Dr. Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si
NIP. 197909302003121001
dan Ekonomi Islam
Komisariat Joko
Tingkir Kota Salatiga
37. Sertifikat “Pentas Seni
Dalam Rangka
Meriahkan Hari
Kemerdekaan Ri Ke-
72” ole Desa Ledok
Kota Salatiga tahun
2017
19 Agustus
2017
Panitia 2
Total Point 161