rasa takut dan pengaruhnya dalam pilihan subjek: …

19
RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: ANALISIS EKSISTENSIALIS MENURUT JEAN PAUL SARTRE Aldair Zerista Hutama, Ikhaputri Widiantini Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru. Abstract Fear And Its Effect On Subjective Choice: Analysis Existentialist According To Jean Paul Sartre The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre‟s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, pra-reflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there‟s a great responsibility adheres our acts whereas there‟s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK:

ANALISIS EKSISTENSIALIS MENURUT JEAN PAUL SARTRE

Aldair Zerista Hutama, Ikhaputri Widiantini

Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang

mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek.

Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa

takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang

dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa

muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan

dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah

menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan

tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya

didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian

membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada

bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan

eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani

melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.

Abstract

Fear And Its Effect On Subjective Choice:

Analysis Existentialist According To Jean Paul Sartre

The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject,

which is not well explained in Sartre‟s existensialism. As a matter of fact, fear is one of

human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even

in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has

a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own

self. At that stage, pra-reflective conciousness will change into reflective conciousnes and

subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there‟s a great

responsibility adheres our acts whereas there‟s never been any certainity about the

consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see

the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 2: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to

choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self.

Key words: Fear, existence, anxiety, nausea, freedom, facticity, responsibility, Negation

counciousness, transcendence.

1. Pendahuluan

Pada dasarnya hidup adalah pilihan. Manusia setiap hari mau atau tidak mau

diharuskan untuk melakukan pilihan. Pilihan yang ia lakukan sangatlah penting bagi hidup

manusia, karena pilihan itu yang akan menentukan eksistensinya kedepan. Ketidakpastiaan

akan hasil dari pilihan bebas mereka membuat manusia mulai merasakan kecemasan terhadap

segala pilihan yang harus mereka ambil. Kecemasan ini juga kemudian dapat memunculkan

rasa takut ketika subjek melihat berbagai konsekuensi yang mungkin mereka hadapi dari

pilihan yang mungkin ia lakukan. Manusia sering merasa tidak siap dan juga takut terhadap

segala konsekuensi yang mungkin terjadi dan harus mereka tanggung. Hal ini kemudian

menjatuhkan manusia ke dalam apa yang Sartre sebut dengan Bad Faith.

Apa sesungguhnya yang akhirnya menjatuhkan manusia kedalam bad faith?

Kecemasan dirasa kurang cukup untuk menjelaskan persimpangan yang terjadi yang

membedakan kenapa manusia akhirnya berbelok ke dalam bad faith atau good faith. Rasa

takut penulis rasa cukup memungkinkan untuk menjelaskan penyebab dari berbeloknya

manusia ke dalam bad faith ini. Akan tetapi rasa takut tidak terlalu mendalam dibahas oleh

Sartre di dalam pemikirannya. Padahal rasa takut sendiri sudah ada dan muncul sejak manusia

kecil dan terus membayangi manusia dalam melakukan pilihan-pilihannya.

Dari sini kemudian timbul pertanyaan tentang bagaimanakah sebenarnya pengaruh

rasa takut yang hadir setelah rasa cemas ketika seseorang hendak melakukan pilihan bebasnya

dapat mempengaruhi eksistensi seorang subjek dalam melakukan pilihan-pilihannya? Dari

pertanyaan itulah penulis akan mencoba membuktikan bahwa rasa cemas menghadirkan rasa

takut sebagai proses melihat konsekuensi dalam pilihannya yang menempatkannya pada

kondisi bad faith atau good faith. dan Mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai

bagaimana rasa takut mempengaruhi pilihan eksistensial yang diambil oleh seorang subjek

dalam perspektif eksistensialisme Jean Paul Sartre.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 3: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

2. Metode Penelitian

Metodologi yang akan penulis gunakan dalam penelitian kali ini adalah metode

penelitian kajian pustaka. Penulis akan melakukan pembacaan utama yang berasal dari buku

Sartre yang berjudul Being and Nothingness (Ada dan Kekosongan) 1943. Kemudian,

berbagai macam karya Jean Paul Sartre seperti: Nausea (Kemuakkan) 1938, No Exit (Tidak

Ada Jalan Keluar) 1944, Existensialism as Humanism (Eksistensialisme Sebagai Humanisme)

1946, Words (Kata-kata) 1964 akan digunakan pula sebagai pendukung. Selain itu penulis

juga akan menggunakan buku-buku dari penulis lain yang juga membahas mengenai Sartre

sebagai sumber pendukung lainnya. Penelitian kali ini juga akan disertai dengan pendekatan

analisa kritis yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu pandangan baru dari apa yang

sudah didapat dari pembacaan mengenai pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre.

3. Hasil dari Pembahasan

Sartre adalah seorang filsuf besar yang berasal dari Perancis. Ia terkenal dengan

pemikirannya mengenai eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri pada dasarnya adalah

cabang pemikiran yang mempercayai bahwa manusia harus menjadi diri yang otentik.

Maksudnya adalah, manusia harus memilih sesuai apa yang dirinya kehendaki sendiri secara

kesadarannya, bukan hanya ikut dengan piihan masyarakat saja. Eksistensialisme Sartre

memiliki tesis besar yang berbunyi “eksistensi mendahuli esensi”. Bagi Sartre manusia

mengada dengan kesadarannya.

Sartre membedakan kesadaran manusia dalam dua kategori. Kesadaran pra-reflektif,

kesadaran yang diartikan sebagai kesadaran langsung terarah pada objeknya, tanpa usaha

untuk merefleksikan tindak kesadaran tersebut (Adian, 2010:73). Kesadaran pra-reflektif ini

seperti ketika subjek melakukan sesuatu sang subjek hanya melakukannya begitu saja. Sartre

menyebut kesadaran pra-reflektif ini sebagai kesadaran yang tidak disadari. Kesadaran

reflektif adalah kesadaran yang telah menyadari si kesadaran itu sendiri dan merefleksi

tentang kesadarannya sendiri. Dapat dikatakan, dalam kesadaran pra-reflektif ego tidaklah

mengarahkan kesadaran kepada tindakan-tindakan sendiri, melainkan pada objek yang sedang

dikerjakan. (Adian, 2010:73-74)

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 4: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Sartre membuat dualisme mengenai being. Dia memperkenalkan kepada kita istilah

Being-In-It-Self atau dikenal juga dengan etre en soi, dan juga Being-for-it-self atau etre pour

soi. Etre en soi dijelaskan oleh Sartre sebagai tipe eksistensi benda-benda yang tak

berkesadaran, padat, dan tanpa celah. Kepadatan yang tanpa celah ini menyebabkan Being

tersebut dapat dikatakan sudah final. Ia tidak memiliki celah untuk melakukan proses

Becoming (menjadi). Sedangkan berbeda dari etre en soi, etre pour soi didefinisikan sebagai

tipe kesadaran yang kosong melompong dan selalu kekurangan. (Adian, 2010:78) Pembedaan

antara kedua being tersebut dapat dijelaskan juga sebagai berikut.

I define being-in-itself simply as being as it is, what it is , simply being-like the chestnut

root in the park. But being-for-itself I define in terms of negation, as nothing-or to use

one of my favorite paradoxes, it is what it is not, and it is not whatever it is. Being-for-

itself, unlike beings-in-themselves, is not yet anything at all. Being-for-itself has the

power of transcendence. (Solomon, 1981: 17-18).

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan juga bahwa being-for-itself memiliki

kekhususan. Dia berbeda dari being-in-it-self yang secara simple dicontohkan seperti akar

pohon kastanye di taman. Being-for-it-self dijelaskan oleh Sartre dengan paradoks “dia adalah

apa yang bukan. Lubang kosong yang dimiliki oleh being-for-it-self membuat ia tidaklah

padat seperti being-in-it-self. Kekosongan tersebut membuat being-for-it-self dapat terus

menerus berproses. Ia tidak mengenal kata usai, karena ia akan selalu merasa kosong. Dirinya

akan selalu berproses dan terus berproses. Ia akan selalu dalam tahap becoming. Dapat

dikatakan juga bagi Sartre being-for-it-self memiliki kemampuan untuk bertransenden.

“What i mean by transcendence is the ability to imagine alternative possibilities,

to plan ahead,to formulate projects and ambitions, to create one self.”

(Solomon, 1981: 18).

Dari sanalah subjek mampu untuk membuat dirinya dengan berbuat atau melakukan sesuatu,

dengan merubah dunia. Dapat dikatakan juga being yang mampu masuk ke dalam kriteria

being-for-it-self hanyalah manusia, karena untuk mencapai tahap transendensi tersebut being

membutuhkan kesadaran di dalamnya.

Manusia berbeda dengan mahkluk-mahkluk atau benda-benda lain yang tidak

memiliki kesadaran. “Man is nothing else but he makes himself” atau manusia tidak lain

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 5: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

adalah apa yang ia buat bagi dirinya. (Sartre, 1946:15). Bagi Sartre manusia bukanlah sesuatu

yang diatur oleh orang lain, manusia adalah mahkluk berkesadaran yang mengatur dirinya

sendiri. Manusia lahir tidak dengan esensi dulu selayaknya benda-benda lain. Manusia lahir

dengan kebebasan, Kebebasan adalah eksistensi, dan di dalamnya eksistensi mendahului

esensi.

Freedom is existence, and in it existence precedes essence. (Sartre, 1953: 568).

Tesis Sartre ini jelas pandangan yang berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan bahwa

segala sesuatu di dunia ini tentunya termasuk manusia telah ada esensinya terlebih dahulu

sebelum bereksistensi di dunia material. Sartre meyakini bahwa manusia terlebih dahulu

termatrealisasi di dunia. Ia terlempar kedunia bersama kebasannya. Dengan kebebasan itulah

nantinya manusia melakukan proses becoming dalam kehidupannya. Ia sendirilah yang

menentukan akan menjadi siapa dirinya, bukan orang lain.

Man is nothing else but his plan; he exist only to the extent that he fulfills himself; he is

therefore nothing, than the ensamble of his acts, nothing else than his life. (Sartre, 1946:

32)

Manusia adalah apa yang ia rencanakan, dia mengada hanyalah untuk mengisi dirinya, dia

adalah kumpulan dari apa yang ia lakukan. Seseorang yang dalam hidupnya sering menulis

lagu tentunya akan dikenal sebagai seorang komposer, sedangkan seseorang yang dalam

hidupnya rajin menulis buku maka ia akan dikenal sebagai seorang penulis.

Manusia adalah mahkluk yang terus mengalami proses becoming. Manusia memiliki

kemampuan untuk bertransendensi. Ia bukanlah seperti benda-benda yang esensinya sudah

final. Manusia tidak memiliki esensi. Ia terus berubah, eksistensi manusia membawa manusia

terus berproses. Untuk benda, kita dapat memberi definisi mati kepadanya. Misalkan, bangku

adalah alat yang diciptakan manusia untuk dipakai duduk. Bangku yang tidak memiliki

kesadaran ini jelas tidak dapat berkutik terhadap definisi tadi.

What do we mean here by "existence precedes essence"? We mean that man first exists:

he materializes in the world, encounters himself, and only afterward defines himself.

(Sartre, 1996: 22)

Esensi bangku sudah jelas dan ia tidak mengalami proses menjadi dikarenakan ia tidak

dapat bertransendensi. Sedangkan manusia berbeda. Hari ini saya adalah seorang mahasiswa

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 6: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Universitas Indonesia jurusan Ilmu Filsafat. Akan tetapi itu bukanlah definisi mati terhadap

diri saya. Saya mampu dan memiliki kuasa untuk mengajukan surat pengunduran diri esok

hari dan definisi bahwa saya adalah mahasiswa tadi pun akan langsung berubah. Setiap hari

dan setiap waktu manusia terus dalam proses menjadi. Selama manusia masih memiliki

kesadaran hal itu akan terus berlanjut. Dapat juga dikatakan manusia akan menemukan esensi

diri mereka barulah saat mereka mati. Karena disaat sudah mati, manusia hanyalah seperti

benda-benda. Ia tidak lagi memiliki kesadaran dan sudah tidak lagi dapat berproses menjadi.

Manusia itu berkesadaran, Dengan adanya kesadaran itulah manusia memiliki

kebebasannya. Kebebasan ini membawa manusia ke dalam pilihan-pilihan dalam hidupnya,

dan pilihan itu tentunya diambil untuk melakukan suatu act, yang mana manusia membetuk

dirinya melalui apa yang ia pilih dan lakukan dalam hidupnya itu. Kebebasan bagi Sartre

adalah suatu fakta yang tidak dapat kita hindari. “To be free, is to be condemned to be free.”

(Sartre, 1953:129). Manusia dikutuk untuk bebas. Mau atau tidak mau manusia lahir dan

terlempar kedunia ini disertai dengan kebebasan. Bahkan untuk memilih hidup yang tidak

bebas, manusia dapat memilihnya karena manusuia mempunyai kebebasan. Kebebasan adalah

suatu fakta yang tidak dapat dihindari. Kebebasan dalam memilih diiringi dengan sesuatu

yang besar dibaliknya, hal itu adalah tanggung jawab. Tanggung jawab ini adalah suatu hal

yang berat pastinya. Hal inilah yang kemudian membuat manusia merasakan bahwa

kebebasan adalah suatu kutukan. Kebebasan yang tak berbatas mengandung di dalamnya

tanggung jawab yang tak berbatas pula, tanggung jawab inilah yang menjadi beban

eksistensial yang berat untuk ditanggung. (Hassan, 2005:132).

I find myself suddenly alone and without help, engaged in a world for which I bear the

whole responsibility without being able, whatever I do, to tear myself away from this

responsibility for an instant. (Sartre, 1953:555-556)

Dalam memilih, manusia mendapatkan kesempatan untuk menentukan apa yang baik

ataupun tidak baik bagi dirinya. Setiap konsekuensi itu harus dipertanggungjawabkan sendiri.

Ia tidak dapat menyalahkan orang lain, ataupun bergantung terhadap Tuhan. (Hassan,

2005:124). Tanggung jawab dari pilihan seperti contoh di atas saja bukanlah hal yang mudah.

Akan tetapi beban tanggung jawab tidak habis sampai di sana saja. Beban tanggung jawab

yang dipikul oleh seorang manusia jauh lebih berat dibanding tanggung jawab terhadap diri

sendiri saja.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 7: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

“Thus our responsibility is much greater that we might have supposed, because it

involves all mankind.” (Shipka & Minton, 1996:231)

Dalam melakukan suatu pilihan, manusia pasti akan memilih pilihan yang dia anggap

paling baik bagi dirinya. Dari sana kita dapat melihat bahwa sesungguhnya ketika manusia

melakukan suatu pilihan tertentu manusia tidak hanya sedang memilih untuk dirinya sendiri,

tetapi dia juga membentuk suatu image yang baik tentang manusia menurut dirinya.

“in creating the man that we want to be, there is not a singel one of our acts which does

not at the same time create an image of a man as we think he ought to be.” (Sartre,

1948:17).

Walaupun pilihan yang subjek lakukan bersifat pribadi, tetapi pada dasarnya tindakan

memilih itu terkait pula dengan image manusia pada umumnya sebagai pribadi yang subjek

cita-citakan. (Hassan, 2005:124). Hal inilah yang semakin menambah beban tanggung jawab

pada diri manusia. Dalam menentukan segala pilihan bebasnya, kini manusia bukan hanya

diharuskan untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri saja, melainkan kepada seluruh

manusia. Hal inilah yang membuat manusia mengkhayati kecemasannya. Segala pilihan

manusia tidak pernah diiringi dengan kepastian padahal tanggung jawab yang harus dipikul

sangatlah besar. Inilah mengapa eksistensi dijalani dengan serba kecemasan dan kemuakan.

(Hassan, 2005:126).

“I’am responsible for myself and for everyone else. I’am creating a certain

image of man of my own choosing. In choosing myself, i chose man.” (Sartre,

1948:17)

Konsep kebebasan pada Jean Paul Sartre sangat terkait erat dengan permasalahan

transendensi. Seorang manusia dapat dengan bebas memproyeksikan dirinya. Manusia tidak

lagi berada dalam tekanan masyarakat, keluarga, norma, bahkan juga takdir dalam

menentukan kehidupan. Kebebasan dalam eksistensialisme bukanlah diartikan dalam bentuk

kehendak yang bebas, melainkan lebih condong kepada kekuatan untuk memilih sebuah

pilihan dan memanefestasikannya ke dalam suatu tindakan. Kebebasan bertindak dengan

berani mengambil tanggung jawab terhadap segala pilihannya adalah ciri manusia yang eksis.

(Mendrofa, 2011:24)

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 8: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Kebebasan mutlak dalam pemikiran Jean Paul Sartre, pada akhirnya harus bertemu

dengan kenyataan-kenyataan yang membuat penghayatan terhadap kebebasan tersebut

berkurang. Hal tersebut adalah faktisitas atau ke-fakta-an. Faktisitas sendiri bukan suatu term

original yang dimunculkan oleh Sartre. Faktisitas, terlebih dalam hubungannya dengan

eksistensialisme, adalah term yang sebelumnya sudah dipergunakan oleh seorang filsuf yaitu

Martin Heidegger.

Dalam pandangan Martin Heidegger, faktisitas adalah kondisi seorang manusia di

masa lampau. Lebih jauh Heidegger mengatakan bahwa permasalahan faktisitas adalah

permasalahan mengenai keterlemparan (Throwness).. Faktisitas dalam pandangan Heidegger

adalah kenyataan bahwa manusia manusia terlempar ke dunia dengan kondisi dan situasi

tertentu. Dasein terlempar ke dalam dunia. Dasein lahir ke dunia bukan atas keinginannya

sendiri. Tanpa ada kompromi di awal, ia tidak dapat mengelak bahwa ia terlampar ke dalam

dunia.

“Dasein is something that has been thrown. It has been brought into it’s there

but not of it’s own accord” (Heidegger, 1962:329).

Dalam pandangan mengenai faktisitas, Sartre mengembangkan pandangan mengenai

faktisitas yang dikeluarkan oleh Heidegger. Faktisitas adalah suatu fakta tentang Being yang

tak dapat dihilangkan. Hal ini juga hampir serupa dengan pandangan keterlemparan

Heidegger. Siapa orang tua kita, di mana tempat kita dilahirkan juga termasuk ke dalam ke-

fakta-an yang tidak dapat dielakkan dari diri kita. Hal tersebut tidak mungkin ditiadakan

dalam diri kita, dan tidak dapat dielakkan keberadaannya. Kiranya begitulah faktisitas, suatu

fakta yang tidak dapat ditiadakan keberadaannya. Mungkin terkadang manusia dapat

melupakannya atau menghindarinya, namun tetap tidak mungkin untuk dielakkan

keberadaannya.

Faktisitas adalah suatu yang penting bagi individu untuk memulai eksistensinya.

Faktisitas dan transendensi adalah dua hal yang saling melengkapi dalam individu yang eksis.

Menyangkal faktisitas, bagi Sartre merupakan hal yang sama dengan penyangkalan seseorang

terhadap kemampuan bertransendensinya. Saat manusia hanya mementingkan

transendensinya tetapi tidak mau mengakui faktisitas yang ada dalam dirinya maka hal itu

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 9: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

sama saja dengan manusia yang tidak berani memproyeksikan kesadaran transendensinya

untuk melampaui faktistasnya dan mengubah dunianya (Mendrofa, 2011:29-30)

Kesadaran manusia membuatnya mampu merefleksi tentang dirinya sendiri.

Kesadaran itu akhirnya membuka celah kosong yang membuat being dari manusia bukanlah

being yang keras dan padat, tetapi being yang lentur dan bercelah. Celah itu sendiri, tercipta

karena manusia yang mempunyai kemampuan untuk menegasi. Then between this possibility

and my consciousness I cause a nothingness of being to arise (Sartre, 1953:41). Penegasian

inilah yang kemudian menjadi hal penting dalam eksistensi manusia. Negasi memberikan

penolakan terhadap definisi mati yang sebelumnya terberi kepada suatu individu. Negasi

membuka ruang kosong kepada manusia untuk menjadi sesuatu yang bukan dari dirinya.

Negasi ini membuat manusia dapat terus membuat dirinya dalam proses menjadi.

Dalam permasalah orang lain, Sartre lagi-lagi memiliki pandangan yang cukup unik.

Dalam sebuah karyanya yang berjudul No Exit ia menuliskan kalimat ini dibagian akhir

dialog: "So this is hell. I'd never have believed it. You remember all we were told about the

torture-chambers, the fire and brimstone, the "burning marl." Old wives' tales! There’s no

need for red-hot pokers. HELL IS--OTHER PEOPLE! " (Sartre – 1989:45). Neraka adalah

orang lain bagi Sartre. Hal ini jelas suatu pandangan yang cukup unik tentang permasalahan

sosial yang dikeluarkan oleh Sartre. Sebelum mendapatkan alasan dari Sartre mengangap

orang lain sebagai neraka, kita akan mencoba melihat suatu pandangan lain dari Sartre tentang

relasi manusia terlebih dahulu.

“And this falling to pieces of my monopolized world is precisely the apparation of the

Other in the Universe.” (Sartre, 1953:256)

Dalam hal hubungan dengan orang lain ini, Sartre memperkenalkan suatu masalah

tentang “tatapan”. Keberadaan orang lain itu merusak dunia saya, objek yang tadinya hadir

untuk diri kita kini bukan lagi milik kita seorang. Objek tersebut sudah tidak lagi milik kita

pribadi. Monopoli kita akan dunia pada saat itu pun berkurang karena kemudian kita harus

berbagi dengan orang lain di sana. Dari sana pun kita kemudian tersadar bahwa ternyata dunia

ini bukan hanya milik saya sendiri.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 10: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi Sartre untuk menyatakan bahwa relasi

antara manusia sesungguhnya adalah relasi konflik. Kita tidak akan pernah berhenti

berkonflik dengan manusia lain. Konflik ini adalah semacam pertarungan saling objek-

mengobjekkan dan menjadikan diri sendiri subjek yang lebih dibanding orang lain. Tidak ada

alternatif lain dalam hubungan manusia. Karena usaha mendamaikan konflik ini pada

akhirnya pasti mengorbakan manusia yang satu atau manusia yang lain (Abidin, 2003:196).

Usaha mengobjektifikasi seorang manusia sesungguhnya sudah terjadi sejak manusia

baru lahir ke dalam dunia. Dalam pembahasan psikoanalisa, kita dapat melihat bahwa ada

suatu penanaman struktur tertentu ke dalam diri manusia sejak ia masih kecil. Sudah menjadi

kebiasaan untuk seorang manusia ketika ia memiliki seorang anak, maka anak tersebut akan

diajarkan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat atau aturan-aturan yang dianggap benar

oleh sang orang tua. Orang tua, khususnya ayah, di dalam psikoanalisa menjadi super ego.

Super ego sendiri ialah ego yang berasal dari luar subjek. Ego yang memiliki peran merepresi

hasrat id atau ego yang sesungguhnya (dalam bahasan Freud sendiri hasrat asali manusia

adalah hasrat seks. Si anak yang mempunyai keinginan untuk menguasai sang ibu pada

akhirnya harus berhadapan dengan fakta bahwa sang ibu adalah milik sang ayah. Inilah yang

kemudian menjadi represi ego pertama yang terjadi pada manusia.) Super ego merepresi id

dan membuat ia diatur oleh ketidaksadaran.

Hidup tanpa refleksi terhadap kesadaran kita, sebenarnya sering sekali terjadi bagi

manusia. Saya rasa tidak sedikit orang diluar sana yang tidak pernah memikirkan kenapa

manusia harus mencium tangan orang tua ketika bertemu dengan mereka? Mengapa seorang

laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga dan diharuskan bekerja untuk membiayai

rumah tangga? Mengapa seorang perempuan harus dapat memasak? Mengapa membunuh

seseorang dapat dijadikan suatu kewajiban ketika orang tersebut dianggap kafir oleh suatu

ajaran tertentu?

Keadaan seperti ini adalah suatu kesadaran pra-reflektif, di mana kita hanya sadar

melakukan suatu hal tetapi tidak pernah mencoba untuk merefleksikan. Keadaan pra-reflektif

ini bukanlah suatu keadaan yang menetap terus di dalam diri manusia. Akan ada suatu masa

di mana manusia mulai merasakan kejenuhan dengan apa yang sebelumnya ia lakukan begitu

saja tanpa ia refleksikan. Rasa itu dikemudian dapat menjadi suatu pemicu yang kemudian

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 11: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

membuat pandangan seseorang terhadap dunia berubah. Hal ini seperti gambaran yang

diberikan oleh Sartre dalam sebuah novelnya tentang kemuakkan yaitu Nausea.

Rasa jenuh dan muak yang teramat akan rutinitas yang seseorang jalani tersebut

akhirnya membawa ia kepada pilihan apakah ia berani untuk merubah rutinitas yang biasa ia

jalani ini atau tidak. Disinlah kemuakkan akhirnya membawa manusia pada persimpangan

pilihan apakah manusia berani hidup sebagai for-itself, ataukah akan bertahan dengan

kehidupan sebelumnya sebagai in-itself. Kemuakkan menjadi pemicu bagi kesadaran pra-

reflektif untuk merefleksikan dirinya. Dari perefleksian tersebut kita dapat menyadari

kebebasan kita sebagai seorang subjek.

Kecemasan adalah suatu tema penting yang dikeluarkan oleh Sartre dalam pandangan

mengenai eksistensialismenya. Selain Sartre, filsuf eksistensialis yang juga membicarakan

mengenai kecemasan adalah Martin Heidegger. Dalam pemikiran Heidegger, kecemasan

(Angst atau Anxiety) adalah kondisi mencekam di mana manusia berhadapan dengan

ketiadaan (Nicht, No-Thing, Non-being). (Abidin, 2003:164). Heidegger membedakan

kecemasan dan ketakutan. Bagi Heidegger ketakutan memiliki objek yang jelas, misalnya,

saya takut akan tikus, atau saya takut akan gelap. Tikus dan gelap merupakan suatu objek

yang jelas dan dapat kita lihat keberadaannya. Berbeda dengan ketakutan, kecemasan sendiri

tidaklah memiliki objek yang jelas.

Jean Paul Sartre. Sartre membedakkan antara Fear (Rasa Takut) dan Anxiety (Rasa

Cemas). Fear memiliki objek yang jelas. Contohnya rasa takut terhadap ketinggian, atau rasa

takut terhadap orang tua. Sedangkan untuk kecemasan, dalam pandangannya, Sartre

memberikan pandangan yang lebih praktis dibandingkan pandangan Heidegger. Sartre

mengaitkan kecemasan dengan kebebasan dan tanggung jawab. (Abidin, 2003:187).

Kecemasan bagi Sartre lebih menyangkut kepada diri sendiri, di mana masa depan saya akan

bergantung terhadap diri saya sendiri dan bukanlah orang lain. Ketakutan lebih karena objek.

Sedangkan kecemasan lebih mengenai si subjek di mana dia memiliki kebebasan untuk

memilih dan segala pilihannya adalah tanggung jawabnya pribadi. Manusia tidak punya

tempat bergantung, segala pilihannya harus dipertanggungjawabkannya sendiri. Bukan Tuhan

yang harus menanggungnya, bukan masyarakat, bukan pula orang tua, ataupun teman. Apa

yang kita pilih sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita. Beban ini makin terasa berat karena

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 12: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

setiap manusia memilih, manusia seolah memberikan gambaran bagaimana manusia yang

baik menurut subjektifitas dirinya. Oleh karenanya segala pilihan yang diambil tanggung

jawabnya bukanlah hanya pada diri si subjek sendiri, tetapi juga harus bertanggung jawab

kepada seluruh manusia di dunia. Beban tanggung jawab ini jelas terasa semakin berat. Oleh

karena itulah eksistensi manusia dijalani dengan kecemasan di dalamnya. Rasa kecemasan ini

terkadang membuat manusia lari dan berusaha untuk menghilangkannya. Manusia dapat

berpura-pura tidak mengakui, menutupi atau melarikan diri dari kecemasan dengan

menyangkal kebebasan dirinya. Manusia pada akhirnya banyak yang berusaha menyangkal

adanya kebebasan dirinya dan berusaha untuk menghindar dari beban tanggung jawab berat

yang harus dipikulnya. Ia kemudian menggantungkan diri pada sesuatu yang lain, hal itu

dapat berupa keluarga, negara, atau mungkin Tuhan. Keadaan penyangkalan akan kebebasan

ini yang kemudian oleh Sartre disebut sebagai Bad Faith atau Malafide.

Sartre memiliki istilah tersendiri untuk memisahkan mereka yang siap bertanggung

jawab dan yang tidak. Istilah itu kita kenal dengan Good Faith (Iman yang baik) dan Bad

Faith (Iman yang buruk). Good Faith adalah keadaan di mana subjek berani untuk menjalani

kebebasannya. Ia mengakui bahwa dirinya bebas dan siap bertanggung jawab terhadap segala

pilihan yang ia pilih. Keadaan good faith ini adalah keadaan yang terbaik yang seharusnya

dipilih oleh manusia dalam pemikiran Sartre. Karena dengan begitu manusia sebagai subjek

benar-benar telah menghayati eksistensinya. Ia tidaklah sama dengan benda-benda. Good

faith mengantarkan kita menjadi being yang terus bertransendesi terus dalam proses menjadi.

Memilih good faith jelas bukan perkara mudah. Beban tanggung jawab yang diberikan

oleh kebebasan dan selalu melekat dalam diri itu, banyak membuat manusia akhirnya

menampikkan kebebasan itu sendiri. Istilah kedua yang dipakai oleh Sartre untuk

menggambarkan keadaan ini adalah Bad Faith atau Malafide. Gejala penolakan terhadap

kebebasan ini sesungguhnya juga merupakan bukti tersendiri bahwa kita memiliki kesadaran

akan kebebasan dan kecemasan. Hanya saja dalam gejala bad faith ini hal itu tidak diakui atau

ditutup-tutupi. Dalam gejala ini guna menutupi kecemasannya, manusia pun menyangkal

kebebasannya. (Abidin, 2003:188).

Jika dalam good faith manusia telah benar-benar menjadi subjek seutuhnya yang

berkesadaran bebas dan mampu bertransendensi (etre-pour-soi); Maka di dalam bad faith

manusia malah menyamakan diri mereka dengan benda-benda dan mematikan eksistensi

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 13: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

mereka. Mereka menjadikan dirinya tak ubahnya bongkahan kayu saja. Tidak lagi mau

membuka celah untuk bertransendensi dan membekukan eksistensi mereka sendiri. Manusia

yang memilih untuk bad faith, melepaskan tanggung jawab yang dipikulnya dengan bersandar

pada sesuatu yang lain dari dirinya. Ia tidak menyatakan apa yang ia lakukan sebagai murni

pilihan dirinya. Ia akan mengatasnamakan orang lain, pemerintahan (negara), atau Tuhan

guna melepaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya ia pikul dari pilihannya itu.

Dari semua penjelasan diatas tentu kita dapat melihat bagaimana jalan pikiran dari

Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Akan tetapi di sana belum jelas tentang bagaimana posisi

rasa takut sesunguhnya berada dalam diri subjek dan apa pengaruhnya pada pilihan yang akan

diambil oleh seorang subjek. Ketakutan adalah suatu bentuk emosi dasar yang hampir dimiliki

oleh semua manusia. Rasa takut muncul menjadi sebuah bentuk pertahanan diri bagi manusia

terhadap ancaman. Orang yang mengalami rasa takut pada suatu hal biasanya lebih berusaha

untuk menghindari hal yang ia takuti tersebut. Misalnya orang yang takut terhadap film seram

maka ketika diajak untuk menyaksikan film horor pasti akan menolak ajakan tersebut. Hampir

dapat dikatakan bahwa setiap manusia pasti memiliki rasa takut, walaupun rasa takut yang

dimiliki atau dialami oleh tiap individu tersebut berbeda-beda. Penyebab timbulnya rasa takut

ini pun berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak mengetahui penyebab ia takut terhadap

suatu hal tertentu. Contohnya orang yang takut akan gelap terkadang tidak mengerti kenapa ia

dapat memiliki rasa takut tersebut, karena rasa takut itu sudah ada sejak dahulu di dalam

dirinya. Ada juga mereka yang menakuti sesuatu karena traumatis. Contoh untuk kasus ini

adalah seseorang yang akhirnya menjadi takut terhadap anjing setelah dirinya pernah digigit

oleh anjing di masa lalu. Rasa takut juga dapat muncul sebagai bentuk antisipasi tersendiri

agar manusia terlepas atau tidak berkenaan dengan masalah yang tidak ingin atau tidak berani

ia hadapi.

Rasa takut berbeda dengan rasa cemas ataupun rasa muak. Rasa muak tidak selalu

diderita oleh manusia, ia ada kalanya tiba-tiba muncul dalam kehidupan seseorang.

Sedangkan rasa cemas adalah ketika manusia menyadari eksistensinya yang bebas dan harus

bertanggung jawab akan segala pilihan-pilihannya. Rasa takut dapat dikatakan jauh lebih

mendasar di dalam emosi manusia dibandingkan kemuakkan atau kecemasan. Rasa takut

hampir membayangi individu disetiap kegiatannya. Untuk lebih jelasnya dapat saya

gambarkan ke dalam tabel berikut:

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 14: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Kesadaran Pra-

Reflektif

Kondisi Muak

(Pemicu Berubahnya

Kesadaran Pra-

Reflektif Menjadi

Kesadaran Reflektif)

Kesadaran

Reflektif

Muak X X

Cemas X X

Takut

= Ada „rasa‟ tersebut di dalam „kondisi‟ yang ditunjuk.

X = Tidak ada „rasa‟ tersebut di dalam kondisi yang ditunjuk.

Tabel 1.1: Kondisi-Kondisi Dalam Diri Manusia Serta Rasa Yang Muncul Pada Kondisi Tersebut

Dari tabel yang saya buat, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya rasa takut selalu

membayangi disetiap keadaan yang kita alami. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Sartre

membedakan kesadaran ke dalam dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran pra-reflektif dan

kesadaran reflektif. Dalam kondisi kesadaran pra-reflektif, rasa muak dan rasa cemas belum

dirasakan oleh subjek. Akan tetapi rasa takut sudah ada di dalam diri subjek. Dalam

mengambil pilihan, sebuah pilihan yang dilakukan oleh seorang subjek dalam kondisi pra-

reflektif ini bukan merupakan pilihan yang didasari kesadaran yang reflektif. Ia mengambil

suatu pilihan tanpa penghayatan. Pilihan yang diambil dalam kondisi ini jelaskan bukan suatu

pilihan-pilihan yang eksistensial karena dilakukan tidak berdasarkan kesadaran-reflektif.

Akan tetapi ketakutan sudah memberi pengaruh pada pilihan-pilihan yang kemudian akan

diambil oleh seorang individu pada kondisi ini. Keadaan selanjutnya adalah kondisi

kemuakkan. Dalam kondisi ini kemuakkan sudah muncul tapi belum untuk kecemasan.

Sedangkan ketakutan tetap ada di dalam kondisi ini. Di dalam kondisi kemuakkan, jelas rasa

muak mulai terasa kehadirannya. Rasa muak atau kejenuhan yang teramat membuat manusia

mulai mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Sebagaimana sudah dicontohkan dalam

sub bab sebelumnya, ini adalah saat di mana seorang manusia merasa jenuh akan

kehidupannya. Di sinilah manusia mulai mengubah kesadarannya yang sebelumnya pra-

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 15: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

reflektif menjadi kesadaran yang reflektif. Di sini rasa takut juga ada. Akan tetapi, ia tidak

mempengaruhi hal apapun dalam perpindahan kesadaran ini.

Keadaan selanjutnya adalah keadaan reflektif. Keadaan ini jelas membuat manusia

kemudian bertemu dengan kecemasan. Kemuakkan tidak lagi ditemui dalam perasaan sang

subjek. Ia mulai menyadari kebebasan eksistensinya di sinilah timbul kecemasan akan setiap

pilihan yang hendak ia lakukan. Ia sadar bahwa pilihan yang akan ia ambil akan menentukan

eksistensi dirinya kedepannya. Hal itu merupakan sesuatu yang teramat penting, namun

sayangnya tidak pernah diiringi dengan hasil yang pasti. Ketidakjelasan akan hasil ini diiring

pula dengan beban bahwa segala pilihan itu adalah tanggung jawab yang harus kita pikul

pribadi. Dalam kesadaran reflektif ini, subjek juga akan menyadari tentang ketakutan yang

membayangi dirinya dalam melakukan pilihan. Ketika dihadapkan dengan ketidakpastian di

masa depan akan hasil dari pilihannya, seorang subjek pasti akan melihat berbagai

konsekuensi yang mungkin terjadi dari setiap pilihan. Dari sana akan terlihat pilihan mana

yang dapat dikatakan paling banyak mengandung beban dan mana yang paling sedikit

mengandung beban di dalamnya. Di sini manusia akhirnya dapat jatuh untuk memilih ke

dalam pilihan yang ia rasa lebih aman untuk dirinya ketimbang pilihan yang terbaik bagi

dirinya. Pilihan ini dapat dikatakan telah diarahkan oleh rasa takutnya akan beban-beban yang

mungkin lebih membuatnya merasa sulit. Hal ini merupakan sebuah pelarian awal dari

seorang individu dari tanggung jawabnya. Ia memang melakukan pilihan berdasarkan

kesadaran tetapi ia dikendalikan oleh rasa takutnya dalam memilih. Pilihannya bukan murni

berdasarkan hati nuraninya tentang apa yang terbaik tetapi apa yang teraman untuk ia jalani.

Rasa takut sesungguhnya tidak lantas membawa kita ke dalam bad faith. Permasalahannya

adalah sanggup atau tidakkah kita untuk melangkah keluar dari ketakutan itu dan memilih

sesuai dengan pilihan yang terbaik.

Bagan 2.1: Letak Ketakutan dan Pengaruhnya Dalam Proses Pilihan Eksistesialis Subjek.

Bad Faith Pra-Reflektif

Takut Kemuakkan Kesadaran

Good Faith Cemas Kesadaran

Reflektif

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 16: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Bagan 2.1 yang saya buat ini, menggambarkan dengan jelas dimana letak ketakutan di

dalam mempengaruhi pilihan subjek. Kemuakkan mengatarkan manusia menuju kesadaran

reflektif. Kesadaran reflektif membuat manusia ingat bahwa ia bebas, dan kebebasan punya

beban tanggung jawab. Hal ini membuat manusia menjadi cemas. Kecemasan akan

ketidakpastian dari hasil pilihan membuat manusia mencoba melihat konsekuensi yang

mungkin terjadi dari pilihan-pilihan yang ia ambil. Bayangan akan konsekuensi itu

memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk yang mungkin terjadi. Dari Sana

kemudian ketakutan muncul sebagai bentuk usaha memilih pilihan dengan konsekuensi buruk

yang lebih sedikit atau lebih tidak merugikan. Jika ia memilih sesuatu karena di dorong oleh

rasa takutnya ia sudah tergolong bad faith. Akan tetapi, jika ia memilih tetap apa yang terbaik

baginya dan siap apapun konsekuensi kedepannya walaupun itu mungkin menghilangkan rasa

nyamannya, ia tergolong masuk ke dalam good faith.

Subjek selalu dikelilingi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat terjadi

dari pilihannya dan dari beberapa kemungkinan yang terjadi ada beberapa kemungkinan yang

merupakan rasa takut dari si subjek itu sendiri dan mengancam kenyamanan dirinya. Pada

akhirnya, jika ia lebih memilih pilihan yang dirasa lebih aman ketimbang pilihan yang dirasa

benar baginya, hal itu merupakan bentuk ketidaksiappan terhadap tanggung jawab yang

seharusnya ia pikul. Belum lagi jika sumber ketakutan adalah orang lain seperti keluarga atau

masyarakat. Pada dasarnya kita sama saja sudah diobjekkan oleh mereka. Kita tidak berani

menjadi subjek yang otentik karena takut dengan pandangan masyarakat dan memilih jalan

aman yaitu ikut tenggelam dan membekukan eksistensi diri di dalam masyarakat.

Menerima ketakutan kita, artinya kesadaran kita tidak bekerja untuk menegasi.

Menegasi adalah suatu hal penting di dalam eksistensi seorang manusia di mana negasi adalah

cara bagi individu untuk membuka celah transendensi. Ketika kesadaran tidak bertindak

sebagai usaha bertransendensi artinya di sana eksistensi seorang manusia telah dibekukan. Di

sini ketakutanlah yang telah membekukan eksistensi individu tersebut. Eksistensi yang

sifatnya lentur dan banyak celah menjadi keras dan padat. Akhirnya manusia pun hanya

bagaikan benda-benda saja setelah menutup celah kemungkinan untuk becoming. Ia tidak bisa

menjadi diri yang baru dengan melepaskan rasa takut yang menghantui diri tersebut. Jika

seorang individu tetap memilih dan mengatasi rasa takutnya itu, barulah dia di sana adalah

individu yang eksis dan telah mengubah dunianya.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 17: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

4. Kesimpulan

Eksitensialisme Sartre berdasar pada tesisnya mengenai “Eksistensi mendahului

Esensi” yang mana hal ini menjelaskan bahwa manusia ada terlebih dahulu di dunia baru

kemudian memberikan makna pada eksistensinya. Manusia tidaklah memiliki suatu esensi

tertentu, manusia adalah being-for-it-self, being yang terus dalam tahap becoming. Ia bukan

seperti benda-benda yang esensinya sudah tertutup dan padat. Being-for-it-self lebih bersifat

kosong, ia memiliki kelebihan untuk dapat bertransendensi. Transendensi ini sendiri ada

karena manusia memiliki suatu kespesialan yang tidak dimiliki oleh being lain, yaitu memiliki

kesadaran.

Kesadaran membawa manusia pada kenyataan bahwa sesungguhnya dirinya memiliki

kebebasan mutlak untuk menentukan bagaimana ia ingin membentuk dirinya. Kesadaran itu

membuat manusia menyadari bahwa ia tidak memiliki karena esensi dasar manusia adalah

bebas oleh karenanya ia tidak memiliki esensi. Hal itu dikarenakan ia bisa menegasi dan

negasi itulah yang memberi celah kosong terhadap manusia untuk bertransendensi dan

memproses dirinya kedalam tahap menjadi. Akan tetapi kebebasan bukan menjadi berita

membahagiakan. Karena sesunggunhya ia membawa beban berat yaitu tanggung jawab yang

membuat eksistensi manusia dilanda serba kecemasan dan kemuakkan.

Kebebasan mutlak harus berhadapan suatu fakta yang tidak dapat dielakkan dari

kehidupan manusia yaitu faktisitas. Contoh kefaktaan itu ialah masa lalu, lingkungan,

ketubuhan, bahasa,orang lain, dan juga kematian. Faktisitas dan transendensi menjadi dua hal

penting dalam eksistensi manusia. Salah satu faktisitas yaitu “orang lain” mendapat suatu

perhatian khusus. Berbeda dengan yang lainnya orang lain bukan hanya objek, tapi ia juga

subjek yang dapat menatap kita dan mengobjektifikasikan diri kita. Inilah yang menyebabkan

relasi antar manusia selalu berada dalam keadan konflik.

Rasa Takut adalah rasa yang hampir dimiliki oleh semua manusia. Rasa takut sendiri adalah

suatu rasa yang sangat mendasar bagi manusia. Rasa takut berbeda dengan kemuakkan juga

kecemasan. Kemuakkan dan kecemasan lebih kemunculannya ada di fase-fase tertentu. Muak

baru muncul ketika ada kejenuhan di dalam hidup. Sedangkan kecemasan muncul karena

adanya beban tanggung jawab dari kebebasan. Rasa takut sendiri sesungguhnya sudah

terstruktur lebih dahulu dari dalam diri manusia karena berbagai macam hal. Rasa takut pada

akhirnya menjadi suatu bentuk antisipasi manusia dari sebuah ancaman.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 18: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Rasa takut akan sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan seorang subjek.

Sejak dalam tahap pra-kesadaran saja rasa takut sudah ada dan dapat mempengaruhi subjek

dalam mengambil pilihannya. Ketika masa kesadaran reflektiflah baru manusia menyadari

rasa takutnya itu sendiri menganggu eksistensi si subjek. Akan tetapi, menyadari keberadaan

rasa takut bukan berarti dengan itu manusia mampu secara mudah menghilangkannya. Rasa

takut yang muncul ini pada akhirnya sangat memungkinkan subjek untuk menjadikannya

alasan untuk memilih suatu pilihan yang dirasa aman bagi dirinya. Konsekuensi yang muncul

setelah rasa cemas akhirnya menimbulkan rasa takut yang kemudian mendorong manusia

untuk menghindari pilihan yang dirasa akan menjadikan dirinya tidak nyaman. Penerimaan

terhadap ketakutan itu hanyalah bentuk bad faith. Seharusnya manusia mampu menegasi

dirinya dan tidak terdefinisi mati oleh ketakutan itu. Dari sana manusia lalu harus berusaha

melampaui rasa takutnya itu, bukan tenggelam dalam ketakutannya.

5 Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. (2003). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:

Remaja Rosadakarya.

Achmadi, Asmoro. (2010). Filsafat Umum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Adian, Donny Gahral. (2006). Pengantar Fenomenologi. Jakarta: Koekoesan.

Hassan, Fuad. (2005). Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Heidegger, Martin. (2008). Being and Time, terjemahan. John Macquarrie & Edward

Robinson. New York: Harper & Row.

Mendrofa, James Farlow. (2011). Eksistensialisme Naturalistik: Kajian Perspektif

Naturalistik Terhadap Konsep Eksistensialisme Mengenai Kebebasan dan Faktisitas.

Depok: FIB Press.

Sartre, Jean Paul. (1953). Being and Nothingness, terjemahan. Hazel Barnes, New York:

Philosophical Library.

_____________. (1948). Existensialism & Human Emotions, terjemahan. Bernard

Frechtman, New York: Philosophical Library.

_____________. (2007). Existensialism Is a Humanism, terjemahan. Carol

Macomber. New Heaven: Yale University Press.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013

Page 19: RASA TAKUT DAN PENGARUHNYA DALAM PILIHAN SUBJEK: …

Sartre, Jean Paul. (2009). Kata-Kata, terjemahan. Jean Couteau. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama

_____________. (1964). Nausea. terjemahan. Lloyd Alexander. New York: A New

Directions Publishing Corporation

_____________. (1989). No Exit and Three Other Plays. New York: Vintage International.

Shipka. Thomas A, Minton, Arthur J. (1996). Philosophy: Paradox and Discovery. United

States America: McGraw-Hill

Solomon, Robert C. (1981). Introducing The Existensialists: Imaginary Interviews with

Sartre, Heidegger, and Camus. Indianapolis: Hackett Publishing Company.

Zizek, Slavoj. 2007. How to Read Lacan. New York: W. W. Norton & Company.

Rasa takut..., Aldair Zerista Hutama, FIB UI, 2013