radiografi gigi dan imunitas serlulereprints.ulm.ac.id/388/1/buku radiografi gigi dan imunitas...2...
TRANSCRIPT
Radiografi Gigi Dan
Imunitas serluler Trombosit
Hemoglobin
Leukosit
Bayu Indra Sukmana
Huldani
iii
“Jangan membenci siapapun, tidak peduli berapa
banyak mereka bersalah padamu. Hiduplah dengan
rendah hati, tidak peduli seberapa kekayaanmu.
Berpikirlah positif, tidak peduli seberapa keras
kehidupanmu. Berikanlah banyak, meskipun menerima
sedikit. Tetaplah berhubungan dengan orang-orang
yang telah melupakanmu, dan ampuni yang bersalah
padamu. Jangan berhenti berdoa untuk yang terbaik
bagi orang yang kau cintai” (Ali bin Abi Thalib)
iv
Kata Pengantar
Alhamdulillah Puji Syukur kehadirat Allah SWT buku
dengan judul Pengantar Radiografi Gigi dan Imunologi Seluler
ini dapat diselesaikan penulisannya. Buku ini berisi tinjauan
radiografi gigi dan sel darah yaitu trombosit, hemoglobin dan
leukosit sebagai komponen imunitas seluller.
Buku ini terdiri dari 3 Bab, Bab 1 Pendahuluan yang
berisi tentang sejarah radiologi, klasifikasi dan radiasi sinar x
dalam kedokteran gigi; Bab 2 berisi tentang efek biologi radiasi
sinar X; terakhir Bab 3 berisi pengaruh radiasi sinar X terhadap
sistem hematopoeitik. Semoga buku ini menjadi manfaat bagi
pembaca.
Ucapan terimakasih kepada keluarga tercinta, guru guru
kami yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan,
dan berbagai pihak yang sudah memberikan sumbangsih untuk
penyelesaian buku ini..
Saran dan kritik sangan diharapkan untuk
kesempurnaan buku ini. Terimakasih.
Banjarbaru, Juni 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar…………………….......……………....……… iv
Daftar Isi ………………………………………………………..v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………1
1.1 Sejarah Radiologi ….........…….……..……………………..1
1.2 Radiografi Kedokteran Gigi ......……………………………7
1.3 Klasifikasi Radiografi Kedokteran Gigi …......................…..8
1.3.1 Radiografi Intra Oral…….........................................……..8
1.3.2 Radiografi Ekstra Oral.......................................................10
1.4 Radiasi Sinar-X dalam Kedokteran......................................13
1.5 Radiografi Periapikal............................................................15
1.6 Dosis Radiasi.......................................................................15
1.7 Efek Dosis Radiasi Pada Kedokteran Gigi...........................17
1.8 Pemantauan Dosis Radiasi dan Radioaktivitas....................19
BAB II EFEK BIOLOGI RADIASI SINAR-X..........................20
2.1 Efek Langsung......................................................................20
2.2 Efek Tidak Langsung...........................................................21
BAB III. PENGARUH RADIASI SINAR-X TERHADAP
SEL HEMATOPOIETIK............................................24
3.1 Trombosit.............................................................................25
3.2 Trombositopenia..................................................................28
3.3 Leukosit (sel darah putih).....................................................30
3.4 Leukopenia...........................................................................39
3.5 Hemoglobin..........................................................................40
3.6 Mean Corpuscular Volume (MCV).....................................43
3.7 Anemia.................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Radiologi
Wilhelm Conrad Roentgen seorang ahli fisika di
Universitas Wurzburg, Jerman, pertama kali menemukan sinar
Roentgen pada tahun 1895 sewaktu melakukan eksperimen
dengan sinar katoda. Saat itu dia melihat timbulnya sinar
fluoresensi yang berasal dari krostal barium platinosianida dalam
tabung Crookes-Hittorf yang dialiri listrik. Ia segera menyadari
bahwa fenomena ini merupakan suatu penemuan baru sehingga
dengan gigih ia terus menerus melanjutkan penyelidikannya
dalam minggu-minggu berikutnya. Tidak lama kemudian
ditemukanlah sinar yang disebutnya sinar baru atau sinar X. Baru
di kemudian hari orang menamakan sinar tersebut sinar Roentgen
sebagai penghormatan kepada Wilhelm Conrad Roentgen.
Penemuan Roentgen ini merupakan suatu revolusi dalam
dunia kedokteran karena ternyata dengan hasil penemuan itu
dapat diperiksa bagian-bagian tubuh manusia yang sebelumnya
tidak pernah dapat dicapai dengan cara-cara konvensional. Salah
satu visualisasi hasil penemuan Roentgen adalah foto jari-jari
tangan istrinya yang dibuat dengan mempergunakan kertas potret
2
yang diletakkan di bawah tangan istrinya dan disinari
dengan sinar baru itu.
Roentgen dalam penyelidikan selanjutnya segera
menemukan hampir semua sifat sinar Roentgen, yaitu sifat-sifat
fisika dan kimianya. Namun ada satu sifat yang tidak sampai
diketahuinya, yaitu sifat biologik yang dapat merusak sel-sel
hidup. Sifat yang ditemukan Roentgen antara lain bahwa sinar ini
bergerak dalam garis lurus, tidak dipengaruhi oleh lapangan
magnetic dan mempunyai daya tembus yang semakin kuat
apabila tegangan listrik yang digunakan semakin tinggi,
sedangkan di antara sifat-sifat lainnya adalah bahwa sinar ini
menghitamkan kertas potret. Selain foto tangan istrinya, terdapat
juga foto-foto pertama yang berhasil dibuat oleh Roentgen ialah
benda-benda logam di dalam kotak kayu, diantaranya sebuah
pistol dan kompas.
Setahun setelah Roentgen menemukan sinar-X, maka
Henri Becquerel, di Perancis, pda tahun 1895 menemukan unsur
uranium yang mempunyai sifat hampir sama. Penemuannya
diumumkan dalam kongres Akademi Ilmu Pengetahuan Paris
pada tahun itu juga. Tidak lama kemudian, Marie dan Piere Curie
menemukan unsur thorium pada awal tahun 1896, sedangkan
pada akhir tahun yang sama pasangan suami istri tersebut
3
menemukan unsur ketiga yang dinamakan polonium sebagai
penghormatan kepada negara asal mereka, Polandia. Tidak lama
sesudah itu mereka menemukan unsur radium yang memancarkan
radiasi kira-kira 2 juta kali lebih banyak dari uranium.
Baik Roentgen yang pada tahun-tahun setelah
penemuannya mengumumkan segala yang diketahuinya tentang
sinar X tanpa mencari keuntungan sedikitpun, maupun Marie dan
Piere Curie yang juga melakukan hal yang sama, menerima
hadiah Nobel. Roentgen menerima pada tahun 1901, sedangkan
Marie dan Piere Curie pada tahun 1904. Pada tahun 1911, Marie
sekali lagi menerima hadiah Nobel untuk penelitiannya di bidang
kimia. Hal ini merupakan kejadian satu-satunya di mana
seseorang mendapat hadiah Nobel dua kali. Setelah itu, anak
Marie dan Piere Curie yang bernama Irene Curie juga mendapat
hadiah Nobel dibidang penelitian kimia bersama dengan
suaminya, Joliot pada tahun 1931.
Sebagaimana biasanya sering terjadi pada penemuan-
penemuan baru, tidak semua orang menyambutnya dengan
tanggapan yang baik. Ada saja yang tidak senang, malahan
menunjukkan reaksi negative secara berlebihan. Suatu surat kabar
malamdi London bahkan mengatakan bahwa sinar baru itu yang
memungkinkan orang dapat melihat tulang-tulang orang lain
4
seakan-akan ditelanjangi sebagai suatu hal yang tidak sopan. Oleh
karena itu, Koran tersebut menyerukan kepada semua Negara
yyang beradab agar membakar semua karya Roentgen dan
menghukum mati penemunya.
Suatu perusahaan lain di London mengiklankan penjualan
celana dan rok yang tahan sinar-X, sedangkan di New Jersey,
Amerika Serikat, diadakan suatu ketentuan hokum yang melarang
pemakaian sinar-X pada kacamata opera. Untunglah suara-suara
negatif ini segera hanyut dalam limpahan pujian pada penemu
sinar ini, yang kemudian ternyata benar-benar merupakan suatu
revolusi dalam ilmu kedokteran.
Seperti dikatakan di atas, Roentgen menemukan hampir
semua sifat fisika dan kimia sinar yang diketahuinya, namun yang
belum diketahui adalah sifat biologiknya. Sidat ini baru diketahui
beberapa tahun kemudian sewaktu terlihat bahwa kulit bias
menjadi berwarna akibat penyinaran Roentgen. Mulai saat itu,
banyak sarjana yang menaruh harapan bahwa sinar ini juga dapat
digunakan untuk pengobatan. Namun pada waktu itu belum
sampai terpikirkan bahwa sinar ini dapat membahayakan dan
merusak sel hidup manusia. Tetapi lama kelamaan yaitu dalam
dasawarsa pertama dan kedua abad ke-20, ternyata banyak pionir
pemakai sinar Roentgen yang menjadi korban sinar ini.
5
Kelainan biologik yang diakibatkan oleh Roentgen adalah
berupa kerusakan pada sel-sel hidup yang dalam tingkat dirinya
hanya sekedar perubahan warna sampai penghitam kulit, bahkan
sampai merontokkan rambut. Dosis sinar yang lebih tinggi lagi
dapat mengakibatkan lecet kulit sampai nekrosis, bahkan bila
penyinaran masih saja dilanjutkan nekrosis itu dapat menjelma
menjadi tumor kulit ganas atau kanker kulit.
Selama dasawarsa pertama dan kedua abad ini, barulah
diketahui bahwa puluhan ahli radiologi menjadi korban sinar
Roentgen ini. Nama-nama korban itu tercantum dalam buku yang
diterbitkan pada waktu kongres Internasional Radiologi tahun
1959 di Munich: Das Ehrenbuch der Roentgenologen und
Radiologen aller Nationen.
Salah seorang korban diantara korban sinar Roentgen ini
ialah dr.Max Hermann Knoch, seorang Belanda kelahiran
Paramaribo yang bekerja sebagai ahli radiologi di Indonesia.
Beliau adalah dokter tentara di Jakarta yang pertama kali
menggunakan alat Roentgen maka ia bekerja tanpa menggunakan
proteksi terhadap radiasi, seperti yang baru diadakan pada tahun
lima puluhan. Misalnya pada waktu ia membuat foto seorang
penderita patah tulang, anggota tubuh dan tangannya pun ikut
terkena sinar, sehingga pada tahun 1904, dr.Knoch telah
6
menderita kelainan-kelainan yang cukup berat, seperti luka yang
tak kunjung sembuh pada kedua belah tangannya. Pada tahun
1905 beliau dikirim kembali ke Eropa untuk mengobati
penyakitnya ini, namun pada tahun 1908 kembali lagi ke
Indonesia dan bekerja sebagai ahli radiologi di RS.Tentara,
Surabaya, sampai tahun 1917. Pada tahun 1924 ia dipindahkan ke
Jakarta, dan bekerja di rumah sakit Fakultas Kedokteran sampai
akhir hayatnya. Akhirnya hamper seluruh lengan kiri dan
kanannya menjadi rusak oleh penyakit yang tak sembuh yaitu
nekrosis, bahkan belakangan ternyata menjelma menjadi kanker
kulit. Beliau sampai di amputasi salah satu lengannya, tetapi
itupun tidak berhasil menyelamatkan jiwanya. Pada tahun 1928,
dr.Knoch meninggal dunia setelah menderita metastasis luas di
paru-parunya.
Setelah diketahui bahwa sinar Roentgen dapat
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang dapat berlanjut sampai
berupa kanker kulit bahka leukemia, maka mulailah diambil
tindakan-tindakan untuk mencegah kerusakan tersebut. Pada
kongres Internasional Radiologi di Kopenhagen tahun 1953
dibentuk The International Committee on Radiation Protection,
yang menetapkan peraturan-peraturan lengkap untuk proteksi
radiasi sehingga diharapkan selama seseorang mengindahkan
7
semua petunjuk tersebut, maka tidak perlu khawatir akan bahaya
sinar Roentgen. Diantara petunjuk-petunjuk proteksi terhadap
radiasi sinar Roentgen tersebut adalah: menjauhkan diri dari
sumber sinar, menggunakan alat-alat proteksi bila harus
berdekatan dengan sinar seperti sarung tangan, rok, jas, kursi
fluoroskopi, berlapis timah hitam (Pb) dan mengadakan
pengecekan berkala dengan memakai film-badge dan
pemeriksaan darah, khususnya jumlah sel darah putih (leukosit).
1.2 Radiografi Kedokteran Gigi
Dibidang kedokteran gigi, pemeriksaan radiografi
mempunyai peranan yang sangat penting. Hampir semua
perawatan gigi dan mulut membutuhkan data dukungan
pemeriksaan radiografi agar perawatan yang dilakukan
mencapai hasil yang optimal
Radiografi kedokteran gigi adalah teknik yang digunakan
untuk mendapatkan gambaran suatu kondisi atau keadaan yang
tidak terlihat secara klinis di rongga mulut dalam bentuk foto
ronsen (bergradasi dari radiolusen sampai radiopak). Radiografi
merupakan langkah awal untuk mendeteksi keparahan penyakit
8
1.3 Klasifikasi Radiografi Kedokteran Gigi
Radiografi kedokteran gigi ada dua macam yaitu
radiografi intra oral dan radiografi ekstra oral.
1.3.1 Radiografi Intra Oral
Adalah radiografi yang memperlihatkan gigi dan
struktur di sekitarnya. Pemeriksaan intra oral adalah pokok
dari radiografi kedokteran gigi.
Tipe radiografi intra oral yaitu :
a. Periapikal radiografi
Bertujuan untuk memeriksa gigi (crown dan root) serta
jaringan disekitarnya. Teknik yang digunakan adalah
paralleling dan bisecting. Pemeriksaan radiografi periapikal
merupakan teknik pemeriksaan radiografi yang paling rutin
dikerjakan di kedokteran gigi karena teknik dianggap lebih
mudah dan praktis dalam pelaksanaannya dibandingkan
dengan teknik kesejajaran. Pada teknik ini penempatan film
adalah sedekat mungkin dengan gigi, sumbu panjang gigi
membentuk sudut terhadap film. Arah sinar adalah tegak lurus
pada bidang bagian yang dibentuk oleh sumbu panjang gigi
dan sumbu film.
9
Keuntungan teknik paralleling yaitu tanpa distorsi,
gambar yang dihasilkan sangat representative dengan gigi
sesungguhnya, mudah dipelajari dan digunakan serta
mempunyai validitas yang tinggi. Kerugian teknik paralleling
yaitu sulit meletakkan film holder, terutama anak-anak dan
pasien yang mempunyai mulut yang kecil serta pemakaian
film holder mengenai jaringan sekitar sehingga mengurangi
kenyamanan. Keuntungan teknik bisecting yaitu teknik ini
dapat digunakan tanpa film holder. Kerugian teknik bisecting
yaitu distorsi mudah terjadi dan masalah angulasi vertikal dan
horizontal.
b. Interproksimal Radiografi
Bertujuan untuk memeriksa crown, crest tulang
alveolar di maksila dan mandibula, daerah interproksimal
dalam satu film yang sama. Film yang dipakai adalah film
khusus.
Keuntungan dari interproksimal radiografi sebagai
berikut yaitu karies dini lebih cepat terdeteksi, puncak tulang
alveolar mudah terlihat dan lebih meringankan pasien dengan
reflek muntah yang tinggi. Kerugian dari interproksimal
radiografi sebagai berikut yaitu tidak terlihat regio periapikal
10
dan ujung akar serta pasien sulit mengoklusikan kedua rahang
(mulut terlalu terbuka) sehingga puncak tulang alveolar tidak
terlihat.
c. Oclusal Radiografi
Bertujuan untuk melihat area yang lebih luas lagi
yaitu maksila atau mandibula dalam satu film. Oklusal
radiografi juga digunakan untuk melihat lokasi akar, lokasi
supernumerary, tidak erupsi (gigi impaksi), salivary tone di
saluran kelenjar submandibular, evaluasi dari perluasan lesi
seperti kista, tumor atau keganasan di mandibula dan maksila,
evaluasi basis sinus maksilaris, evaluasi fraktur di maksila
dan mandibula, pemeriksaan daerah cleft palate serta
mengukur perubahan dalam bentuk dan ukuran dari maksila
dan mandibula. Film yang digunakan adalah film khusus.
1.3.2 Radiografi Ekstra Oral
Merupakan pemeriksaan radiografi yang lebih luas
dari kepala dan rahang. Film berada diluar mulut.
Tipe radiografi ekstra oral sebagai berikut :
a. Panoramik
Tujuannya adalah untuk melihat perluasan suatu lesi
atau tumor,fraktur rahang dan fase gigi bercampur. Panoramik
11
akan memperlihatkan daerah mandibula dan maksila yang
lebih luas dalam satu film.
Keuntungan dari panoramik sebagai berikut gambar
meliputi tulang wajah dan gigi, dosis radiasi lebih kecil,
nyaman untuk pasien, cocok untuk pasien yang susah
membuka mulut, waktu yang digunakan pendek biasanya tiga
sampai empat menit, sangat membantu dalam menerangkan
keadaan rongga mulut pada pasien klinik, membantu
menegakkan diagnostik yang meliputi tulang rahang secara
umum dan evaluasi terhadap trauma, perkembangan gigi
geligi pada fase gigi bercampur, evaluasi terhadap lesi,
evaluasi keadaan rahang dan evaluasi terhadap gigi
terpendam.
Kelemahan dari panoramik yaitu detail gambar
yang tampil tidak sebaik periapikal intra oral radiografi,
tidak dapat digunakan untuk mendeteksi karies kecil dan
pergerakan pasien selama penyinaran akan menyulitkan dalam
interpretasi.
b. Lateral jaw
Foto Ronsen ini digunakan untuk melihat keadaan
sekitar lateral tulang muka, diagnosa fraktur dan keadaan
patologi tulang tengkorak dan muka.
12
c. Lateral cephalometric
Foto Ronsen ini digunakan untuk melihat tengkorak
tulang wajah akibat trauma penyakit dan kelainan
pertumbuhan perkembangan. Foto ini juga dapat digunakan
untuk melihat jaringan lunak nasofaringeal, sinus paranasal
dan palatum keras.
d. Postero Anterior
Foto Ronsen ini digunakan untuk melihat keadaan
penyakit, trauma atau kelainan pertumbuhan dan
perkembangan tengkorak. Foto Ronsen ini juga dapat
memberikan gambaran struktur wajah, antara lain sinus
frontalis dan ethmoidalis, fossanasalis dan orbita.
e. Antero Posterior
Foto Ronsen ini digunakan untuk melihat kelainan
pada bagian depan maksila dan mandibula, gambaran sinus
frontalis, sinus ethmoidalis serta tulang hidung.
f. Proyeksi Water’s
Foto Ronsen ini digunakan untuk melihat sinus
maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis, sinus orbita,
sutura zigomatikus frontalis dan rongga nasal.
13
g. Proyeksi Reverse-Towne
Foto Ronsen ini digunakan untuk pasien yang
kondilusnya mengalami perpindahan tempat dan juga dapat
digunakan untuk melihat dinding postero lateral pada maksila.
h. Proyeksi Submentovertex
Foto ini bisa digunakan untuk melihat dasar tengkorak,
posisi kondilus, sinus sphenoidalis, lengkung mandibula,
dinding lateral sinus maksila dan arcus zigomatikus.
1.4 Radiasi Sinar-X dalam Kedokteran Gigi
Pemeriksaan radiografi merupakan alat diagnostik yang
sering digunakan dalam kedokteran gigi untuk menunjang
diagnosis dan merumuskan perawatan yang tepat untuk pasien.
Dr. Otto Walkhoff adalah orang yang pertama menggunakan
sinar-X dalam kedokteran gigi. Empat belas hari setelah publikasi
pertama rontgen (28 Desember 1895), Walkhoff mengambil
radiografi gigi pertamanya pada giginya sendiri dengan
mengundang Fritz Giesel seorang profesor fisika dari
Braunschweig untuk membantunya mengambil radiograf dari
gigi geraham. Walkhoff menerima sinar intraoral pertama
dengan eksposi sinar-X selama 25 menit. Setelah melihat
14
hasilnya, Walkhoff menimbang bahwa pentingnya penemuan
rontgen untuk masa depan kedokteran gigi (Riaud, 2018).
Radiasi-X (tersusun dari sinar-X) adalah bentuk radiasi
elektromagnetik. Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Profesor
Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895. Sinar-X memiliki
panjang gelombang dalam kisaran 0,01 hingga 10 nanometer,
sesuai dengan frekuensi dalam kisaran 30 petahertz hingga 30
exahertz (3 × 1016 Hz hingga 3 × 1019 Hz) dan energi dalam
kisaran 100 eV hingga 100 keV. Sinar-X dapat dianalisis sebagai
partikel daripada gelombang. Tulang apa pun yang ada dapat
menyerap sebagian besar foton X-ray dengan proses fotolistrik
karena tulang memiliki kepadatan elektron yang lebih tinggi
daripada jaringan lunak (Waggiallah, 2013).
Sinar-X memiliki beberapa sifat fisik yaitu mampu
menembus bahan dengan daya tembus yang besar. Semakin
tinggi tegangan tabung yang digunakan (besarnya kV), maka
semakin besar daya tembusnya dan semakin dekat tubuh dengan
sumber radiasi maka radiasi yang diterima juga akan semakin
besar (Aryawijayanti dkk, 2015; Woroprobosari, 2016).
15
1.5 Radiografi Periapikal
Didalam radiografi kedokteran gigi terdapat dua jenis
radiografi yaitu radiografi intraoral dan radiografi ekstraoral
(Rahmiati et al, 2018). Radiografi gigi intraoral digunakan untuk
pemeriksaan radiografi gigi geligi dan struktur di daerah intraoral.
Radiografi periapikal adalah proyeksi lateral yang menampilkan
gambaran gigi berupa mahkota dan akar gigi, jaringan
periodontal, serta tulang alveolar disekitarnya (Thomson and
Jonhson, 2012). Terdapat banyak indikasi klinis untuk radiografi
priapikal yaitu penilaian periodonsium yang meliputi periapikal
dan status periodontal, penilaian patologi apikal dan lesi lain
dalam tulang alveolar, penilaian pra operasi dan pasca operasi
bedah alveolar, apabila ada trauma pada gigi dan tulang alveolar,
lokalisasi gigi dan ada atau tidaknya gigi, sebelum ekstraksi,
untuk melihat morfologi akar selama terapi endodontik, serta
penilaian implan pra operasi dan pasca operasi (Thomson and
Jonhson, 2012; Whitley et al, 2016).
1.6 Dosis Radiasi
Dosis yang diserap adalah suatu ukuran energi yang
diserap pada setiap satuan massa (Reynold, 2016). Satuan
Standar International (SI) untuk dosis yang diserap adalah Gy.
16
Satu Gy sama dengan 1 joule / kg, satuan lain untuk dosis yang
diserap adalah rad, dan 1 Gy sama dengan 100 rads (White dan
Pharoah, 2014).
Alat rontgen adalah suatu alat yang bersumber pada sinar-X
dan digunakan untuk melakukan diagnosa medis. Sebelum
pengoperasian alat rontgen perlu dilakukan seting parameter
untuk mendapatkan sinar-X yang dikehendaki. Parameter
tersebut adalah tegangan listrik dari alat rontgen, arus listrik dari
alat rontgen dan waktu penyinaran (Sianturi dkk, 2018).
Parameter pada alat rontgen tersebut juga mempengaruhi besar
energi yang akan diserap oleh pasien (Whaites dan Drage, 2013).
Tegangan listrik dari alat rontgen mempengaruhi besar energi
yang diserap oleh pasien. Hal ini dikarenakan peningkatan
tegangan listrik pada alat rontgen akan meningkatkan jumlah
elektron yang dihasilkan. Semakin besar jumlah elektron yang
dihasilkan, maka semakin besar energi yang dihasilkan oleh alat
rontgen (White dan Pharoah, 2014). Semakin besar arus listrik
dari alat rontgen, maka semakin besar jumlah energi yang akan
diserap oleh pasien. Hal ini dikarenakan arus listrik merupakan
besarnya elektron yang dihasilkan oleh alat rontgen perdetiknya.
Hal tersebut menunjukkan semakin besar nilai elektron yang
dihasilkan oleh alat rontgen, maka semakin besar energi radiasi
17
yang akan diserap (Carlton dan Adler, 2013). Besar energi yang
diserap juga dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaran.
Semakin lama waktu penyinaran, maka semakin besar jumlah
energi yang akan diserap oleh pasien (Iannuci dan Hawerton,
2012).
1.7 Efek Dosis Radiasi Pada Kedokteran Gigi
Dosis radiasi dinyatakan sebagai dosis efektif diukur
dalam satuan penyerapan energi per unit massa (Joule / kg)
disebut microSievert, μSv Sievert, mewakili sepersejuta Sievert.
Paparan permukaan yang diperoleh secara langsung merupakan
cara paling mudah untuk mencatat paparan pasien terhadap sinar-
X. Rincian jumlah yang kecil tetap dipakai untuk menghitung
dosis yang diterima oleh organ yang berada atau dekat dengan
titik pengukuran :
1. Dosis Aktif Sumsum Tulang
Dosis aktif sumsung tulang berasal dari dosis jaringan
spesifik yang sesuai dengan efek stokastik sebagian, contohnya
leukemia. Dosis akut sumsum tulang adalah dosis radiasi rata-rata
yang terdapat pada seluruh sumsum tulang aktif. Dosis sumsum
tulang aktif yang berasal dari survey intra oral seluruh mulut
dengan sudut bundar sekitar 0,142 mSv. Sekali terekspos dengan
18
sudut rectangular hanya sekitar 0,06 mSv.3 Radiografi
panoramik memberikan dosis sumsum tulang aktif sekitar 0,01
mSv/ film. Sebagai perbandingan dosis tulang aktif dalam 1 film
thorax adalah 0,03 mSv.
2. Dosis Tiroid
Besarnya kelenjar tiroid merupakan faktor penting
dalam menentukan besarnya dosis yang diterima.
Diperkirakan 6000 mrads (0,06 Gy) dosis yang diperlukan
untuk menghasilkan suatu kanker pada kelenjar thyroid.5
Pada foto gigi dalam 20 film serial adalah 6 mrads (0,00006
Gy) atau 1/ 100 dari dosis yang diperlukan dalam
menghasilkan kanker thyroid.5 Pemeriksaan mulut komplit
dengan film A21 memberikan dosis tiroid 0,94 mGy. Nilai ini
1/6 dari pemeriksaan radiografi sinar servikal. Dosis tiroid
dalam radiografi panoramik sekitar 74 μGy, 1% dari
pemeriksaan spina servikal.
3. Dosis Gonad
Radiografi pada abdomen memberikan dosis paling
tinggi pada gonad. Radiografi pada kepala, leher dan
ekstremitas menghasilkan dosis paling rendah. Sebagai kategori
umum, pemeriksaan sinar-X kedokteran gigi hanya memberikan
19
dosis secara umum 1,0 mGy. Kontribusi ini hanya 0,003 %
dari rata-rata paparan pada umumnya.
1.8 Pemantauan Dosis Radiasi dan Radioaktivitas
Untuk mengetahui besar dosis yang diterima oleh
pekerja radiasi maka dilakukan pemantauan dosis. Setiap
pekerja radiasi wajib menggunakan dosimeter perorangan
baik yang dapat dibaca langsung maupun yang tidak dapat
dibaca langsung sesuai dengan jenis sumber radiasi yang
digunakan.
20
BAB II EFEK BIOLOGI RADIASI SINAR-X
Radiasi ionisasi telah dikenal memiliki efek yaitu dapat
menyebabkan kerusakan biologis (Saygin et al, 2014). Sel
memiliki sensitivitas terhadap paparan radiasi. Radiosensitif
merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan
tingkat kerentanan sel dan jaringan tubuh terhadap radiasi, karena
semua sel tidak memiliki sensitivitas yang sama. Sensitivitas sel
terhadap radiasi pertama kali dijelaskan pada tahun 1906 oleh
ilmuwan Prancis bernama Bergonie dan Tribondeau, salah
satunya mereka menyatakan bahwa sel yang melakulan
pembelahan lebih sensitif terhadap radiasi dibandingkan sel yang
tidak mengalami pembelahan (Thomson and Johnson,
2012).Terdapat dua teori umum tentang mekanisme bagaimana
efek radiasi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
biologis, yaitu efek secara langsung dan tidak langsung (R John,
2011).
2.1 Efek Langsung
Efek langsung yaitu terjadinya perubahan melekul
biologis ketika energi foton sinar-X langsung mengionisasi dan
mengenai sel, yang akan mempengaruhi molekul dan dapat
21
berubah secara struktural karena langsung mengenai sktruktur
pada DNA (Sureka and Armpilia, 2017; R John, 2011). Pada
kerusakan DNA terdapat regenerasi sel, jika tidak ada kesalahan
dalam perbaikan sel maka sel dapat menjadi normal kembali.
Namun, apabila kerusakan DNA sudah parah dapat menyebabkan
sel apoptosis, atau memicu adanya kesalahan dalam perbaikan sel
sehingga menyebabkan apoptosis (Mitchel, 2007). Kerusakan
DNA berupa terputusnya rantai atau untaian DNA dapat terjadi
secara tunggal dan ganda. Kerusakan tunggal pada untaian DNA
disebut single-strand break, pada kondisi ini perbaikan DNA
masih dapat berlangsung sehingga sel dapat kembali menjadi
normal. Kerusakan ganda pada untaian DNA, atau terputusnya
kedua untaian DNA disebut double-strand break, pada kondisi ini
tidak dapat terjadi perbaikan DNA kembali sehingga sel
mengalami kematian (Sureka and Armpilia, 2017; Ardiny et al,
2014).
2.2 Efek Tidak Langsung
Efek tidak langsung dari radiasi adalah karena kombinasi
radikal bebas yang bergabung dan membentuk racun, bukan
karena terkena langsung oleh foton dari sinar-X . Efek tidak
langsung dapat terjadi karena tingginya molekul air dari sel,
22
karena air adalah molekul utama dari system biologis yaitu sekita
70%, ia sering berpartisipasi dalam interaksi antara energi foton
sinar-X dan molekul biologis (White and Pharoal, 2014). Energi
foton sinar-X diserap telebih dahulu oleh air dalam sel yang
kemudian akan mengionisasi beberapa molekul airnya dan
menghasilkan formasi radikal bebas (Kelsey et al, 2014; White
and Pharoal, 2014). Ion yang dihasilkan akan membentuk radikal
bebas dan berinteraksi dengan menghasilkan perubahan dalam
molekul biologis. Radikal bebas ini lah yang akan bergabung
membentuk racun seperti hydrogen peroksida (H2O2) (White and
Pharoal, 2014; Whitley et al, 2016). Radikal bebas dapat diartikan
sebagai sekelompok atom yang memiliki elektron tidak
berpasangan. Karena adanya elektron tidak berpasangan tersebut,
radikal bebas sangat reaktif dan mampu mengubah semua
molekul biologis termasuk lipid, DNA, dan protein. Radikal
bebas bersifat reaktif dan toksik serta dapat menyebabkan
kerusakan pada semua sel (Erma and Supriyadi, 2012; Darlina,
2016). Radikal bebas yang dihasilkan dapat menyebabkan
terputusnya ikatan gula dan phospat pada DNA. Pemutusan
ikatan gula dan phospat pada DNA yang kemudian akan menjadi
kerusakan pada untaian tunggal serta kedua untaian pada DNA.
Kerusakan pada DNA tersebut dapat menyebabkan kerusakan
23
DNA yang dapat diperbaiki, dan kerusakan DNA yang tidak
dapat diperbaiki (Ardiny et al, 2014; Sureka and Armpilia, 2017).
24
BAB III. PENGARUH RADIASI SINAR-X TERHADAP
SEL HEMATOPOIETIK
Sumsum tulang merupakan salah satu organ pembentuk
sel darah di dalam tubuh. Aktivitas mitosis yang tinggi dari sel-
sel sumsum tulang menjadikan jaringan pada sumsum tulang
sangat sensitif terhadap radiasi (Callaway, 2013; Sureka dan
Armpilia, 2017). Radiasi dari radiografi periapikal juga
mempengaruhi keadaan hematopoietik pada sumsum tulang. Hal
ini dikarenakan pemeriksaan radiografi periapikal pada molar
kanan mandibula sumsum tulang disekitar kepala dan leher akan
menyerap radiasi sebesar 0,643 mGy, dan untuk pemeriksaan
radiografi periapikal pada anterior maksila sumsum tulang
disekitar kepala dan leher akan menyerap radiasi sebesar 0,431
mGy (Han, 2012).
Kerusakan hematopoietik setelah radiasi sinar-X
disebabkan oleh energi ionisasi dari radiasi sinar-X yang
menyebabkan apoptosis pada Hematopoietic stem cell (HSC)
(Venkatesrawan dkk, 2016). Dosis radiasi kurang 1 Gy dapat
menyebabkan kerusakan pada HSC pada sumsum tulang. Efek
kerusakan dari HSC dapat menyebabkan penurunan jumlah sel
25
darah trombosit,leukosit, hemoglobin, dan MCV (Garau dkk,
2011; Ghom, 2014).
Menurut penelitian Chen dkk 2017 menyatakan pada hari
pertama dan hari kedua setelah radiasi terjadinya puncak
apoptosis sel-sel darah pada sumsum tulang. Hal ini dikarenakan
pada hari pertama dan kedua setelah radiasi terjadinya puncak
stress pada sel-sel darah di sumsum tulang. Stres yang terjadi
pada sel-sel darah akan memicu terjadinya apoptosis pada sel-sel
darah tersebut. Pada penilitian ini juga ditemukan bahwa setelah
3 hari dilakukan radiasi, sel-sel darah pada sumsum tulang akan
mulai melakukan titik awal perbaikan dari kerusakan yang terjadi
(Chen dkk, 2017). Kerusakan HSC yang terjadi pada satu dan dua
hari setelah radiasi sinar-X dapat menyebabkan penurunan
jumlah sel darah trombosit,leukosit, hemoglobin dan MCV
(Ghom, 2014; Chen dkk, 2017).
3.1 Trombosit
Trombosit adalah keping darah dengan ukuran 2-3 μm,
berbentuk cakram, dan bersifat anukleat atau tidak memiliki inti
(Thon dan Italiano, 2012). Trombosit berada dalam sirkulasi
darah dengan umur hidup 7-10 hari (Sianipar, 2014). Setiap
harinya 100 miliar trombosit harus diproduksi dari megakariosit
26
untuk mempertahankan jumlah trombosit normal (150.000
hingga 400.000 / μL) (Thon dan Italiano, 2012). Trombosit juga
mempunyai regulator utama yaitu hormon trombopoiten yang
disintesis di hepar (Sianipar, 2014).
Gambar 3.1 Trombosit Saat Dilihat dengan Mikroskop Elektron
(Kaushansky dkk, 2010).
Trombosit mengandung RNA , sistem kanalikular , dan
beberapa jenis butiran; lisosom (mengandung asam hidrolase),
badan padat (berisi ADP, ATP, Serotonin dan kalsium) dan
serotonin dan kalsium ) butiran alpha (mengandung fibrinogen,
faktor V, vitronektin , thrombospondin dan von Willebrand
27
factor ), bahwa konten yang diterbitkan pada aktivasi
trombosit. Isi granul ini memainkan peran penting dalam
kedua hemostasis atau respon inflamasi.
Di dalam tubuh trombosit memiliki banyak fungsi dengan
fungsi utama yaitu berperan dalam proses hemostasis, selain
berperan sebagai hemostasis trombosit juga berperan dalam
proses inflamasi dan sebagai sistem imun dalam tubuh manusia
(Lordkipanidzé, 2016). Dalam proses hemostasis trombosit akan
melakukan adhesi, agregasi, dan reaksi pelepasan granula untuk
menghentikan perdarahan (Heijnen dan Korporaal, 2017). Satu
sampai dua menit setelah terjadinya kerusakan pada pembuluh
darah, trombosit akan melakukan adhesi pada kolagen yang
terdapat di pembuluh darah (Schmaier dan Lazarus, 2012;
Turgeon, 2012). Trombosit melanjutkan proses pembekuan darah
ke tahap aggregasi trombosit dengan mengeluarkan reseptor
glikoprotein IIb / IIIa (Turgeon, 2012). Trombosit juga aktif
melepaskan granula-granula untuk mendukung proses
hemostasis. Granula-granula yang dilepaskan oleh trombosit
adalah granula padat, granula alfa, dan vesikel lisosom. ADP dan
serotonin berasal dari granula padat. ADP yang dilepaskan akan
berfungsi untuk mengundang trombosit-trombosit lainnya agar
membentuk agregasi trombosit, sedangkan serotonin akan
28
berfungsi untuk menginduksi vasokontriksi (Schmaier dan
Lazarus, 2012; Heijnen dan Korporaal, 2017).
3.2 Trombositopenia
Trombositopenia secara bahasa berasal dari 2 kata yaitu
trombosit yang berarti keping darah dan penia yang berarti
defisiensi (Schmaier dan Lazarus, 2012). Secara keseluruhan
trombositopenia merupakan suatu keadaan jumlah trombosit
turun dari jumlah normalnya (Izak dan Bussel, 2014). Jumlah
trombosit normal berkisar sekitar 150.000 hingga 400.000 / μL,
dengan demikian trombositopenia adalah salah satu gangguan
yang ditandai dengan penurunan jumlah trombosit dibawah dari
150.000 / μL (Ali dan Auerbacht, 2017).
Manifestasi klinis dari trombositopenia adalah petechiae
yang akan muncul pada area-area yang memiliki tekanan vena
lebih tinggi, seperti di daerah kaki (Sianipar, 2014). Manifestasi
klinis trombositopenia pada rongga mulut adalah perdarahan
spontan pada gingiva karena trauma kecil. Perdarahan pada
gingiva akan terjadi secara berulang-ulang, dan pada akhirnya
warna gingiva akan berubah secara bertahap menjadi warna yang
lebih gelap (Laksmiastuti, 2010).
29
Salah satu etiologi dari trombositopenia adalah penurunan
dan gangguan produksi dari trombosit (Laksmiastuti, 2010).
Penurunan dan gangguan pada produksi trombosit bisa
disebabkan oleh kemoterapi dan radiasi dari sinar-X (Gauer dan
Braun, 2012). Radiasi dari sinar-X dan terapi kemoterapi dapat
menghancurkan megakariosit. Megakariosit berfungsi sebagai
sel-sel prekursor yang menghasilkan trombosit sehingga
kerusakan pada megakariosit dapat menurunkan produksi
trombosit (Laksmiastuti, 2010).
Trombosit dan Transfusi
Trombosit dipisahkan dari darah , karena trombosit
mudah rusak ketika darah disimpan dalam kulkas . Dengan
demikian, trombosit disimpan secara terpisah menggunakan tas
yang akhirnya pori-pori yang memungkinkan sirkulasi oksigen
dan karbon dioksida (keluar), suhu antara 20-24 ° C karena suhu
meningkat risiko pertumbuhan bakteri , maka lama menyimpan
hanya sekitar lima hari. Orang kadar trombosit kurang dapat
ditatambaan dengan transfusi trombosit, kecuali pembatasan
karena gangguan autoimun.
30
3.3 Leukosit (sel darah putih)
Leukosit atau sel darah putih adalah unit bergerak dari
sistem pelindung tubuh. Sebagian leukosit terbentuk di sumsum
tulang untuk jenis bergranula (polimorfonuklear) dan jaringan
limpatik untuk jenis tak bergranula (mononuklear) yang akan
disimpan dalam sumsum tulang sampai diperlukan dalam
sirkulasi darah. Apabila kebutuhannya meningkat leukosit akan
diangkut dalam darah ke bagian tubuh yang berbeda di mana
mereka dibutuhkan. Kebanyakan sel darah putih secara spesifik
diangkut ke area infeksi serius dan peradangan, sehingga
menyediakan pertahanan cepat dan ampuh dalam melawan agen
infeksi (Guyton, 2016; Nareswari dkk, 2017).
Jumlah leukosit paling sedikit dalam tubuh manusia
sekitar 4.000-11.000/μL (Aryawijayanti dkk, 2015). Manusia
dewasa memiliki sekitar 7.000 leukosit per mikroliter darah
(Guyton, 2016). Leukosit umumnya mudah diidentifikasi,
biasanya tampak dengan nukleus yang lebih gelap dibandingkan
sitoplasma (Putzu dan Roberto, 2013).
Leukosit sangat berperan penting dalam mempertahankan
tubuh dari virus, bakteri, dan parasit dan dapat dikatakan sebagai
pertahanan yang paling utama ketika terjadi infeksi. Secara umum
granulosit dan monosit melindungi tubuh dalam melawan
31
organisme penyerang dengan cara menelan atau disebut
fagositosis. Limfosit dan sel plasma berfungsi terutama
sehubungan dengan sistem kekebalan. Sedangkan fungsi platelet
dalam sel darah putih secara khusus untuk mengaktifkan
mekanisme pembekuan darah (Guyton, 2016).
Gambar 3.2 Leukosit atau Sel Darah Putih
Leukosit mempertahankan tubuh dari kebanyakan
mikroba patogen melalui dua proses, yaitu:
1. Inflamasi : proses ini berkembang dengan
cepat dan berhubungan dengan
jumlah neutrofil yang tinggi dan jika
berlebihan dapat mengarahkan tubuh
untuk menyerang jaringannya
32
sendiri, dan mengarah ke peradangan
kronis.
2. Respon imun : pada proses ini limfosit aktif
berkembang perlahan selama
beberapa hari atau minggu dan
kemudian di fokuskan kepada
patogen yang menyerang tubuh.
Respon inflamasi dan kekebalan
tubuh saling bekerja sama. Misalnya,
limfosit membuat antibodi yang
mengikat bakteri dan patogen
kemudian mengundang neutrofil dan
monosit untuk membantu
mematikannya. Infeksi terjadi ketika
salah satu atau kedua proses ini
terganggu (Blann, 2014).
Neutrofil
Neutrofil (polymorphonuclear neutrophilic leukocyte,
PMN) adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit.
Bersama dengan dua sel granulosit lain : eosinofil
dan basofil yang mempunyai granula pada sitoplasma, disebut
33
juga polimorfonuklir. Granula neutrofil berwarna merah
kebiruan. Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri dan proses inflamasi lainnya, serta
menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu
tempat. Dengan sifat fagositik yang mirip dengan makrofaga,
neutrofil menyerang patogen dengan serangan respiratori
menggunakan berbagai macam substansi beracun yang
mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen
peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.
Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai
50-60%. Sumsum tulang normal orang dewasa memproduksi
setidaknya 100 miliar neutrofil sehari, dan meningkat menjadi
sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi akut.
Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan
mengalami 6 tahap morfologis: mielocit, metamielocit, neutrofil
non segmen (band), neutrofil segmen. Neutrofil segmen
merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh, yang mengandung
granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder, atau spesifik)
dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang
rusak terlihat sebagai nanah.
34
Eosinofil
Eosinofil atau acidophil adalah sel darah putih dari
kategori granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan
dengan melawan parasit multiselular dan beberapa
infeksi pada makhluk vertebrata. Bersama-sama dengan sel
biang, eosinofil juga ikut mengendalikan mekanisme alergi.
Eosinofil terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi
pada sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam
sirkulasi darah. Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi
antara lain histamin, eosinofil peroksidase,
ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan
beberapa asam amino yang dirilis melalui proses degranulasi
setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksin
terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel
substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan
racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah
penghancuran jaringan yang tidak diperlukan. Individu normal
mempunyai rasio eosinofil sekitar 1 hingga 6% terhadap sel darah
putih dengan ukuran sekitar 12 - 17 mikrometer.
Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan
sambungan antara korteks otak besar dan timus, dan di
dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus, limpa dan lymph
35
nodes. Tetapi tidak dijumpai diparu, kulit, esofagus
dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal, keberadaan
eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu
penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama
8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam
jaringan apabila tidak terdapat stimulasi.
Basofil
Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim,
yaitu sekitar 0,01 - 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil
mengandung banyak granula sitoplasmik dengan dua lobus.
Seperti granulosit lain, basofil dapat tertarik keluar menuju
jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat teraktivasi,
basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin, kondroitin,
elastase dan lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa macam
sitokina. Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi
(seperti asma). Fungsi sel darah putih Basofil diantaranya
memiliki kemampuan untuk mengeluarkan antikoagulan dan
antibodi yang mencegah terjadinya penggumpalan darah dan
mendorong pergerakan sel darah putih. Kemampuan tersebutlah
yang membuat basofil mampu melawan reaksi hipersensitivitas
(alergi) dalam aliran darah. Selain itu, basofil berperan aktif
36
dalam melindungi sistem kekebalan tubuh dengan menangkal
serangan zat asing. Jenis sel darah merah ini
juga mengandung histamin, yang memperlebar pembuluh darah
dan meningkatkan aliran darah ke jaringan yang terluka. Hal
tersebut membuat pembuluh darah lebih permeabel (mudah
ditembus) sehingga neutrofil dan protein pembekuan bisa masuk
dengan mudah ke jaringan ikat. Basofil juga dapat memberikan
sinyal kimia untuk menarik eosinofil dan neutrofil ke daerah
infeksi.
Monosit
Monosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki
ukuran paling besar. Monosit berjumlah sekitar 200-800 sel/ per
mm3 dalam aliran darah. Jenis sel darah putih ini memiliki sedikit
butiran pada sitoplasma. Monosit dapat meninggalkan aliran
darah dan masuk ke jaringan lain dalam tubuh
dan berubah menjadi makrofag.
Setelah menjadi mafrofag jaringan, monosit melakukan
fagositosis atau memakan sel mati serta menyerang
mikroorganisme. Hal tersebut dikarenakan ukuran monosit yang
besar, sehingga mmapu mencerna partikel asing berukuran besar
pada luka tidak seperti jenis sel darah putih lainnya. Monosit juga
37
mampu menggantikan kandungan lisosomalnya dan dianggap
memiliki umur yang jauh lebih lama dibandingkan neutrofil.
Limfosit
Limfosit adalah sel darah putih yang terdapat pada sistem
kekebalan makhluk vertebrata.[1] Limfosit utamanya berperan
dalam imunitas adaptif. Limfosit secara umum dibagi menjadi
limfosit B (sel B), limfosit T (sel T), dan sel pembunuh alami (sel
NK, natural killer).
Sel B dan Sel T
Sel B dinamakan demikian karena berkembang di Bursa
Fabricus (pada unggas) atau pada sumsum tulang (bone marrow,
pada manusia). Sedangkan sel T dinamakan demikian karena
berkembang di timus. Sel B berperan dalam imunitas humoral
(melibatkan antibodi), sedangkan sel T berperan dalam imunitas
dimediasi sel (cell mediated immunity). Fungsi sel T dan sel B
adalah untuk mengenali antigen spesifik "non-self" selama proses
yang dikenal sebagai presentasi antigen. Begitu sel-sel telah
mengidentifikasi penyerang, sel menghasilkan respon tertentu
yang disesuaikan untuk menghilangkan patogen tertentu atau sel
yang terinfeksi. Sel B menanggapi patogen dengan memproduksi
38
dalam jumlah besar antibodi yang kemudian menetralkan benda
asing seperti bakteri dan virus. Subset dari sel T yaitu sel T helper
(sel Th), menghasilkan sitokin yang mengarahkan respon imun,
sedangkan sel T lainnya yang disebut sel T sitotoksik (sel Tc),
menghasilkan granul toksik yang mengandung enzim yang
menginduksi kematian sel target. Setelah aktivasi, sel B dan sel T
meninggalkan sel-sel memori, yang akan "mengingat" setiap
patogen spesifik yang dihadapi, dan mampu memberikan respon
yang kuat dan cepat jika patogen terdeteksi lagi.
Sel Natural Killer (NK)
Sel NK adalah bagian dari sistem imun bawaan dan
memainkan peran utama dalam perlindungan inang dari tumor
dan sel yang terinfeksi virus. Sel NK membedakan sel yang
terinfeksi dan tumor dari sel-sel normal dan tidak terinfeksi
dengan mengenali perubahan dari molekul permukaan yang
disebut MHC kelas I. Sel NK diaktifkan dalam menanggapi
keluarga sitokin yang disebut interferon. Sel NK diaktifkan
melepaskan butiran sitotoksik yang kemudian menghancurkan
sel-sel target [2] Sel-sel diberi nama "sel pembunuh alami" karena
tidak memerlukan aktivasi sebelumnya untuk membunuh sel-sel
yang kehilangan MHC kelas I, berbeda dengan limfosit B dan
39
limfosit T yang memerlukan serangkaian proses aktivasi yang
kompleks.
3.4 Leukopenia
Penurunan jumlah leukosit dibawah normal dapat
menyebabkan leukopenia. Leukopenia adalah kondisi penurunan
jumlah leukosit pada darah tepi, di mana jumlah leukosit dalam
darah kurang dari 4000/μL (Nareswari dkk, 2017). Dampak
penurunan jumlah leukosit tersebut yaitu menurunnya imunitas
tubuh, karena leukosit berperan memfagosit patogen yang masuk
kedalam tubuh (Lubis dkk, 2017).
Kondisi klinis yang dikenal sebagai leukopenia terkait
dengan keadaan dimana sumsum tulang menghasilkan sangat
sedikit sel darah putih. Kondisi ini membuat tubuh tidak
terlindungi dari banyak bakteri, virus dan agen lain yang dapat
menyerang jaringan. Tubuh manusia hidup bersimbiosis dengan
banyak bakteri dikarenakan membran mukosa tubuh terus-
menerus terkena sejumlah bakteri. Mulut hampir selalu
mengandung berbagai bakteri seperti spirocethal, pneumokokus,
dan streptococcus. Bakteri ini juga hadir pada tingkat yang lebih
rendah di seluruh saluran pernapasan. Saluran gastrointestinal
distal terutama diisi oleh bacilli usus besar. Setiap penurunan
40
jumlah leukosit akan segera memungkinkan invasi jaringan yang
berdekatan dengan bakteri yang sudah ada sehingga
memungkinkan ulser muncul di rongga mulut. Bakteri yang
terkandung di dalam ulser akan cepat menyerang jaringan sekitar
dan apabila tidak diberi pengobatan akan menyebabkan kematian
dalam waktu kurang dari seminggu setelah leukopenia akut total
dimulai (Guyton, 2016; Nareswari dkk, 2017). Infeksi virus
dimulai dengan invasi lokal, misalnya pada epitel dan mukosa.
Setelah virus berhasil menginfeksi sel target, mekanisme imun
akan berperan dalam mengendalikan infeksi. Ketika sistem imun
turun akibat penurunan jumlah leukosit maka infeksi dapat
menyebar secara cepat. Infeksi jamur paling sering terjadi pada
pasien immunocompromised dan rentan terhadap kandidiasis.
Infeksi kandida invasif memiliki angka kematian rata-rata antara
25 dan 38% (Thiel dkk, 2012; Pascutti dkk, 2016).
3.5 Hemoglobin
Darah terdiri dari dua komponen, yaitu komponen cair
yang disebut plasma dan komponen padat yaitu sel-sel darah. Sel
darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit.
Eritrosit memiliki fungsi yang sangat penting dalam tubuh
manusia. Fungsi terpenting eritrosit adalah mengangkut O2 dan
41
CO2 antara paru-paru dan jaringan. Salah satu protein eritrosit
yaitu hemoglobin (Hb) berperan penting pada kedua proses
transport tersebut. Hemoglobin adalah protein utama yang
terkandung dalam sel darah merah yang matang (concise).
Hemoglobin adalah suatu protein tetramerik eritrosit yang
mengikat molekul bukan protein, yaitu senyawa profin besi yang
disebut heme. Hemoglobin mempunyai dua fungsi penting yaitu
pengangkutan oksigen ke jaringan dan pengangkutan
karbondioksida dan proton dari jaringan perifer ke organ respirasi
(Gunadi, 2016).
Gambar 3.3 Struktur Hemoglobin (Turgeon, 2012)
Hemoglobin mengikat oksigen adalah protein pembawa
oksigen yang ditemukan dalam semua sel darah merah.
Hemoglobin mengangkut oksigen dari paru-paru dimana
42
kandungan oksigen banyak, kemudian melepaskan oksigen
diseluruh tubuh. Hemoglobin juga memberi warna pada sel darah
merah. Hemoglobin teridiri dari “heme” (cincin yang
mengandung besi) dan “globin” (protein). Setiap hemoglobin
tersusun dari 4 globin, 2 rantai alfa, dan 2 rantai beta (Turgeon,
2012). Dua rantai globin berasal dari lokus alfa globin (α-globin)
pada kromosom 16, dan dua rantai globin yang tersisa (β-globin)
berasal dari lokus beta globin pada kromosom 11 (Schaimer,
2012). Kelompok heme mengandung atom besi dapat mengikat
satu molekul oksigen, karena setiap hemoglobin mengandung
empat globin, maka dapat mengangkut hingga empat molekul
oksigen (Turgeon, 2012).
Di paru-paru molekul hemoglobin dikelilingi oleh
oksigen yang berkonsentrasi tinggi, oleh karena itu hemoglobin
mengikat oksigen. Dalam jaringan, konsentrasi oksigen lebih
rendah sehingga hemoglobin melepaskan oksigen. Respon
hemoglobin terhadap kebutuhan oksigen dari jaringan jauh lebih
cepat. Faktor lain yang mempengaruhi hemoglobin mengikat
oksigen termasuk kadar bikarbonat plasma pH, tingkat bikarbonat
plasma dan tekanan oksigen di udara (Turgeon, 2012).
43
3.6 Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah volume rata-
rata eritrosit yang terdapat di dalam darah. MCV merupakan
indikator ukuran eritrosit (sel darah merah) yang berguna untuk
evaluasi awal anemia (Bain et al, 2012). MCV dapat menentukan
klasifikasi dari anemia berdasarkan morfologi (Oehadian, 2012).
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi didasarkan pada
hubungan antara indeks eritrosit dan penyebab anemia.
Perhitungan manual MCV didapat dari nilai hematokrit dikali 10
dan dibagi jumlah eritrosit (Ganong, 2005). Hematokrit adalah
persentase eritrosit terhadap volume darah total (Herawati et al,
2011). MCV dinyatakan dengan satuan femtoliter (fl). Nilai MCV
normal dapat dikategorikan kedalam normositik yang memiliki
nilai MCV 80-96 fl. Nilai MCV dibawah normal yaitu MCV <80
fl disebut mikrositik, dan diatas normal yaitu MCV >98 fl disebut
makrositik (Noviana et al, 2012; Hoffbrand and Moss, 2013;
Barret et al, 2016).
3.7 Anemia
Anemia adalah suatu keadaan penurunan kapasitas
penyaluran oksigen dari darah yang biasanya sebagai akibat dari
penguranan jumlah sel darah merah sampai dibawah batas normal
44
(Kummar et all, 2015). Pada anemia penurunan jumlah sel darah
merah yang mengangkut oksigen dan karbondioksida
mengurangi kemampuan tubuh untuk pertukaran gas. Penurunan
dapat terjadi akibat kehilangan sel darah merah (hemolisis), atau
penurunan produksi sel darah merah (Maakaron, 2017). Anemia
dapat dikategorikan sebagai anemia mikrositik apabila nilai MCV
dibawah normal. Anemia mikrositik antara lain anemia defisiensi
zat besi serta anemia akibat berkurangnya sintesis hemoglobin
pada sel darah merah (Oehadian, 2012; Thomas and DeLoughery,
2014).
Pada dasarnya ada tiga penyebab anemia yaitu terjadinya
kehilangan darah, peningkatan kerusakan eritrosit (hemolisis),
dan penurunan produksi eritrosit. Anemia yang disebabkan oleh
penurunan produksi eritrosit diakibatkan oleh perawatan
radioterapi penderita kanker dan radiasi sinar-X yang
menyebabkan kerusakan sel-sel hematopoietik (Kodrat dan
Novirianthy, 2016). Regimen kemoterapi atau radioterapi dapat
menyebabkan penurunan eritrosit yang berakibat pada penurunan
hemoglobin yaitu protein dalam eritrosit dan juga dapat berakibat
penurunan MCV yaitu volume eritrosit dalam darah (Zulkarnain
et al, 2017). Anemia juga dapat menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya kelainan di rongga mulut misalnya recurrent
45
aphthouse stomatitis (RAS). RAS adalah ulserasi pada rongga
mulut yang dapat menimbulkan rasa sakit dapat terjadi dalam
beberapa hari atau sampai beberapa bulan (Apriasari, 2010).
Gambar 3.3 Gambar Jenis Anemia
Manifestasi klinis RAS berupa ulser rekuren, tunggal atau
jamak, nyeri, berbentuk bulat atau oval, dasar ulser bewarna
kuning sampai abu-abu dan dikelilingi eritematous (Nurdiana and
Jusri, 2011; Thantawi et al, 2014).
Anemia adalah penyakit darah yang sering ditemukan.
Beberapa anemia memiliki penyakit dasarnya. Anemia bisa
diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau morfologi sel darah
merah, etiologi yang mendasari, dan penampakan klinis.
Penyebab anemia yang paling sering adalah perdarahan yang
berlebihan, rusaknya sel darah merah secara
46
berlebihan hemolisis atau kekurangan pembentukan sel darah
merah ( hematopoiesis yang tidak efektif).
Seorang pasien dikatakan anemia bila
konsentrasi hemoglobin (Hb) nya kurang dari 13,5 g/dL
atau hematokrit (Hct) kurang dari 41% pada laki-laki, dan
konsentrasi Hb kurang dari 11,5 g/dL atau Hct kurang dari 36%
pada perempuan.
Gejala anemia:
Bila anemia terjadi dalam waktu yang lama, konsentrasi
Hb ada dalam jumlah yang sangat rendah sebelum gejalanya
muncul. Gejala- gejala tersebut berupa:
- Asimtomatik: terutama bila anemia terjadi dalam waktu
yang lama
- Letargi
- Nafas pendek atau sesak, terutama saat beraktfitas
- Kepala terasa ringan
- Palpitasi
- Pucat
- Kekebalan Tubuh Menurun
Sedangkan, tanda-tanda dari anemia yang harus diperhatikan
saat pemeriksaan yaitu:
47
- Pucat pada membran mukosa, yaitu mulut, konjungtiva,
kuku.
- Sirkulasi hiperdinamik, seperti takikardi, pulse yang
menghilang, aliran murmur sistolik
- Gagal jantung
- Pendarahan retina
Tanda-tanda spesifik pada pasien anemia diantaranya:
- Glossitis: terjadi pada pasien anemia
megaloblastik, anemia defisiensi besi
- Stomatitis angular: terjadi pada pasien anemia
defisiensi besi.
- Jaundis (kekuningan): terjadi akibat hemolisis, anemia
megaloblastik ringan.
- Splenomegali: akibat hemolisis, dan anemia
megaloblastik.
- Ulserasi di kaki: terjadi pada anemia sickle cell
- Deformitas tulang: terjadi pada talasemia
- Neuropati perifer, atrofi optik, degenerasi spinal,
merupakan efek dari defisiensi vitamin B12.
- Garing biru pada gusi (Burton’s line), ensefalopati, dan
neuropati motorik perifer sering terlihat pada pasien
yang keracunan metal
48
Klasifikasi
Klasifikasi anemia akibat Gangguan Eritropoiesis
1. Anemia defisiensi Besi:
Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan defek pada
sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah
yang hipokrom dan mikrositer.
2. Anemia Megaloblastik
Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan
gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA,
efek yang timbul adalah pembesaran prekursor sel darah
(megaloblas) di sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak efektif,
dan pansitopenia.
3. Anemia Aplastik
Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat
hiposelularitas. Hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan
racun, radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada
perbaikan DNA serta gen.
49
4. Anemia Mieloptisik
Anemia yang terjadi akibat penggantian sumsum tulang
oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang
menyebabkan pelepasan eritroid pada tahap awal.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel
- Anemia mikrositik: penyebab utamanya yaitu defisiensi
besi dan talasemia (gangguan Hb)
- Anemia normositik: contohnya yaitu anemia akibat
penyakit kronis seperti gangguan ginjal.
- Anemia makrositik: penyebab utama yaitu anemia
pernisiosa, anemia akibat konsumsi alkohol, dan anemia
megaloblastik
Etiologi
Secara garis besar, anemia dapat disebabkan karena:
Peningkatan destruksi eritrosit, contohnya pada penyakit
gangguan sistem imun, talasemia.
Penurunan produksi eritrosit, contohnya pada penyakit anemia
aplastik, kekurangan nutrisi.
50
Kehilangan darah dalam jumlah besar, contohnya akibat
perdarahan akut, perdarahan kronis, menstruasi, ulser kronis, dan
trauma
Diagnosa
Pemeriksaan darah sederhana bisa menentukan adanya
anemia. Persentase sel darah merah dalam volume darah total
(hematokrit) dan jumlah hemoglobin dalam suatu contoh darah
bisa ditentukan. Pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari
hitung jenis darah komplet (CBC).
Manajemen Terapi
Terapi langsung ditujukan pada penyebab anemia, dapat
berupa:
1. Transfusi darah
2. Pemberian kortikosteroid atau obat-obatan lain yang dapat
menekan sistem imun.
3. Pemberian eritropoietin, hormon yang berperan pada proses
hematopoiesis, berfungsi untuk membantuk sumsum tulang
pada proses hematopoiesis.
4. Pemberian suplemen besi, vitamin B12, vitamin-vitamin,
dan mineral lain yang dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA
Abbas K. Abul et. al. 2015 Innate Imunity in Cellular and
Moleculer Immunology 8thEdition p 61-64.
Abbas A, Murphy K, Sher A (1996). "Functional diversity of
helper T lymphocytes". Nature. 383 (6603): 787–93. PMID
8893001.
Akbar B. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang
Berpotensi sebagai Bahan Antifertilitas. Penerbit Adbalas:
Jakarta; 2010.p 7-8.
Ali N, Auerbacht H.E. New-onset Acute Thrombocytopenia in
Hospitalized Patient: Pathophysiology and Diagnostic Approach.
Journal of Community Hospital Internal Medicine Perspective.
2017; 7(3) : 157-167.
Ardiny K, Supriyadi, Subiyantoro S. Jumlah Sel pada Isolat
Monosit Setelah Paparan Tunggal Radiasi Sinar X dari
Radiografi Periapikal. E-Jurnal Pustaka Kesehatan. 2014; 2 (3) :
564.
Aryawijayanti R, Susilo, Sutikno. Analisis Dampak Radiasi
Sinar-X pada Mencit Melalui Pemetaan Radiasi di Laboratorium
Fisika Medik. Jurnal MIPA. 2015; 38 (1): 25-30.
Aryawijayanti R, Susilo, Sutikno. Analisis Dampak Radiasi
Sinar-X pada Mencit Melalui Pemetaan Radiasi di Laboratorium
Fisika Medik. Jurnal MIPA. 2015; 38 (1): 25-30.
Apriasari M, Tuti H. Stomatitis Aftosa Rekuren oleh karena
Anemia. Dentofasial. 2010; 9 (1): 39-46.
Alberts, Bruce (2017). Molecular Biology of the Cell, Sixth
Edition. New York and London: Garland Science. ISBN 978-0-
8153-4464-3.
Andersen MH, Schrama D, Thor Straten P, Becker JC (2006).
"Cytotoxic T cells". J Invest Dermatol. 126 (1): 32–41. PMID
16417215.
Annello A, Debbeche O, Samarani S, Ahmad A., 2008, Antiviral
NK cell responses in HIV infection: I. NK cell receptor genes as
determinants of HIV resistance and progression to AIDS. J
Leukoc Biol. 84(1):1-26. doi: 10.1189/jlb.0907650.
Anonymous. http://atro-amalbhaktimedan.ac.id/atro-_biasa-115-
sejarah_radiologi.html diakses tgl 21 Juni 2019
Anonymous, "Understanding the Immune System: How it
Works"(PDF). National Institute of Allergy and Infectious
Diseases (NIAID). Diakses tanggal 2019-05-01.
Bain B, Bates I, Laffan M, Lewis S. Dacie and Lewis: Practical
Haematology. 11th ed. Churchill Livingstone: Elsevier; 2012.
Barret K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of
Medical Physiology. 25th ed. United States: McGraw Hill
Education; 2016. p. 555-557
Baliga, Ragavendra (2007). Crash Course Internal medicine.
Elsevier Mosby. ISBN 978-0-7234-3114-5.
Blann A. Functions and Diseases of Red and White Blood Cells.
Nursing Times. 2014; 110 (8): 16-18.
Callaway W. Comprehensive Review of Radiography 6th
Edition.Mosby Elsevier. USA: 2013.p.23.
Carlton R, Adler A. Principles of Radiograpic Imaging 5th
Edition. Delmar Cencage Learning. USA: 2013.p.179-180.
Chen F, Shen M, Zeng D, Wang C. Effect of radiation-induced
endothelial cell injury on platelet regeneration by
megakaryocytes. Journal of Radiation Research. 2017; 58(4):
456–463.
Coleman D, Dagg C, Fuller J.,Green M. Biology of laboratory
Mouse Second Edition. Dover Publication: New York;
2007.p.110.
Cossart, P (2005), Cellular Microbiology, Washington DC:
American Society for Microbiology Press, ISBN 1-55581-302-X
Edwards, Steven W.; Bucknall, Roger C.; Moots, Robert J.;
Wright, Helen L. (2010-09-01). "Neutrophil function in
inflammation and inflammatory diseases". Rheumatology 49 (9):
1618–1631. doi:10.1093/rheumatology/keq045. ISSN 1462-
0324.
Erma N, Supriyadi. Penurunan Jumlah Eritrosit Darah Tepi
Akibat Radiasi Sinar-X Dosis Radiografi Periapikal.
Stomatognatik Jurnal Kedokteran Gigi Unej. 2012; 9 (3): 140-
144.
Fitria L, Sarto M. Profil Hematologi Tikus (Rattus norvegicus
Berkenhout, 1769) Galur Wistar Jantan dan Betina Umur 4, 6,
dan 8 Minggu. Jurnal Biogenesis. 2014; 2(2): 94-100.
Forthal, Donald N. (2014-08-15). "Functions of
Antibodies". Microbiology Spectrum. 2 (4): 1–17. ISSN 2165-
0497. PMID 25215264.
Gannie J, Vinoj, Shrivastav. Effects of gonadotropin releasing
hormone conjugate
Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 22.
Translations: Pendit B. Jakarta: EGC; 2005. p. 552
Garau M.M.I, Calduch A.L,Lopez E.C. Radiobiology of The
Acute Radiation Syndrome. Journal of Practical Oncology and
Radiotherapy. 2011; 16(2011): 123-130.
Gauer .R, Braun M. Thrombocytopenia. American Family
Physician. 2012; 85(6): 612-622.
Ghom A.G. Basic Oral Radiology. Jaypee medical . India;
2014.p.41.
Guyton, HJE. Textbook Of Medical Physiology. Thirteenth
Edition. Elsevier Saunders; 2016. p. 455-463.
Gunadi VI, Mewo YM, Tiho M. Gambaran Kadar Hemoglobin
pada Pekerja Bangunan. Jurnal e-Biomedik (eBm). 2016: 4 (2).
Gabrielli S, Ortolani C, Del Zotto G, Luchetti F, Canonico B,
Buccella F, Artico M, Papa S, Zamai L (2016). "The Memories
of NK Cells: Innate-Adaptive Immune Intrinsic
Crosstalk". Journal of Immunology Research. 2016:
1376595. doi:10.1155/2016/1376595. PMID 28078307.
Han W. Absorbed and effective dose for periapical radiography
using portable and wall type dental X-ray machines. Journal Acad
Korean Prosthodont. 2012; 50(3): 184-190.
Harmening, Denise. (2009). Clinical Hematology and
Fundamentals of Hemostasis. F.A. Davis. ISBN 978-0-8036-
1732-2.
Heijnen, Korporaal. Platelet Morphology and Ultrastructure.
Spinger International Publishing : Netherlands ; 2017.p.21-22.
Heo H, Chen L, An B, Kim K. Hormonal Regulation of
Hematopoietic Stem Cell and Their Niche: a Focus on Estrogen.
International Journal of Stem Cells. 2015; 8(1): 18-23.
Herawati F, Andrajati R, Umar F. Pedoman Interpretasi Data
Klinik. Kemenkes RI; 2011. p. 9-14
Hoffbrand A, Moss P. Essential Haematology. Ed. 6.
Translations: Pendit B, Setiawan L, Iriani A. Jakarta: EGC;
2013. p. 23.
Iannuci J.M, Howertin L.J. Dental Radiography Principles and
Techniques. Elsevier. USA; 2012. p.30.
Iwasaki A, Medzhitov R. (2015). "Control of adaptive immunity
by the innate immune system". Nat Immunol. 16 (4): 343–
53. PMID 25789684.
Izak M, Bussel J. Management of thrombocytopenia. Jurnal
F1000 prime. 2014; 6(45): 1-29.
Kaushansky K, Lichtman M.A, Beutler E, Kipps T, Seligshon U.
Wiliam Hematology Eight Edition. McGraw-Hill Companies:
California; 2010.p.
Kelsey CA, Heintz PH, Chambers GD, Sandoval DJ, Adolphi
NL, Paffett KS. Radiation Biology of Medical Imaging. New
Jersey: John Wiley & Sons Inc; 2014. p. 3, 42, 70, 126-128, 163.
Kodrat H , Novirianthy R. Prinsip Dasar Radioterapi. Jurnal
Kedokteran Indonesia. 2016; 1(6): 318–323.
Kariyawasam H, Robinson D (2006). "The eosinophil: the cell
and its weapons, the cytokines, its locations". Semin Respir Crit
Care Med. 27 (2): 117–27. PMID 16612762.
Kawai T, Akira S (2006). "Innate immune recognition of viral
infection". Nat Immunol. 7 (2): 131–7. PMID 16424890.
Kehry M, Hodgkin P (1994). "B-cell activation by helper T-cell
membranes". Crit Rev Immunol. 14 (3–4): 221–38. PMID
7538767.
Kumar, Vinay (2007). Robbin Basic Pathology. Saunders
Elsevier. ISBN 978-1-437-71781-5
Kurosaki T, Kometani K, Ise W (Maret 2015). "Memory B
cells". Nature Reviews. Immunology. 15 (3): 149–
59. doi:10.1038/nri3802. PMID 25677494.
Lang, TJ (2004). "Estrogen as an immunomodulator". Clin
Immunol. 113: 224–230. PMID 15507385.
Lubis RA, Efrida, Elvira D. Perbedaan Jumlah Leukosit pada
Pasien Kanker Payudara Pasca Bedah Sebelum dan Sesudah
Radioterapi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2017; 6 (2): 276-282.
Laksimiastuti R. Clinical consideration of thrombocytopenia in
children. Dental Journal Kedokteran Gigi. 2010; 43(4) : 163-167.
Lordkipanidzé M. Platelet Function Tests. Seminars in
Thrombosis & Hemostasis. 2016; 42(3) : 258-267. 114.
Maakaron JE. Anemia. Available from
https://reference.medscape.com. Accessed November, 9 2017
Mitchel R. Low Doses of Radiation Reduce Risk In Vivo.
Radiation Biology and Health Physics Branch. Canada. 2007. 1-
4. doi: 10.2203/dose-response.06-109.
Nareswari I, Haryoko NR, Mihardja H. Peran Terapi Akupuntur
pada Kondisi Leukopenia Kanker Payudara Pasien Kemoterapi.
Indonesian Journal of Cancer. Oktober-Desember 2017; 11 (4):
179-188.
Noviana D, Griv S, Ulum M, Estuningsih S. Radioprotective
Effect of Ethanolic Roselle Extract (Hibiscus sabdariffa L.) in
Recurrent Radiodiagnostic Ionizing Radiation: The Study of Red
Blood Cells Peripheral Blood in Mice. International Conference:
Research and Application on Traditional Complementary and
Alternative Medicine in Health Care (TCAM). Surakarta; 2012.
P. 85, 88-89, 93.
Nurdiana, Jusri M. Penatalaksanaan Stomatitis Aftosa Rekuren
Mayor dengan Infeksi Sekunder. Dentofasial. 2011; 10 (1): 42-
46.
Oehadian A. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. CDK-94.
2012; 39 (6): 407-408.
Pascutti MF, Martje N, Erkelens, Martijnn A, Nolten, Impact of
Viral Infection on Hematopoiseis from beneficial to Detrimental
effect on Bone Marrow. Journal Frontiers in Immunology.
September 2016; 7: 1-12
Putzu L, Ruberto CD. White Blood Cells Identification and
Counting from Microscopic Blood Image. World Academy of
Science. Italy; 2013; 363-370.
R John. Textbook of Dental Radiology. 2nd ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher; 2011: 23-24, 40-41.
Rahmiati A, Sukmana B.I, Hatta I. Correlation Betwaan the
Radiographers Working Time with Procedures Comprehension
of Intraoral Periapical
Reynold . Basic Guide to Dental Radiography. Wiley Blacwell:
India; 2016.p.88.
Riaud X. First Dental Radiograph. J Dent Health Oral Disord
Ther. 2018; 9 (1): 1-2.
Santos EW, Oliveira DCD. Hastreiter A, Silva G.B
Hematological and biochemical reference values for C57BL/6,
Swiss Webster and BALB/c mice. Braz. J. Vet. Res. Anim. Sci.,
São Paulo. 2016; 53(2) : 138-145
Saygin M, Yasar S, Kayan M, Balci U, Ongel K. Effects of
Ionizing Radiation on Respiratory Function Tests and Blood
Parameters in Radiology Staff. West Indian Med J. 2014; 63 (1):
41.
Schmaier AH. Lazarus HM. Concise Guide to Hematology.
Wiley-Blackwell: USA; 2012. p.9-11.
Sianipar N.P. Trombositopenia dan Berbagai Penyebabnya.
Jurnal CDK-217. . 2014; 41 (6) : 216-221.
Sianturi H.A, Rianna M, Sembiring T, Situmorang M.
Pengukuran dan Analisis Dosis Radiasi Keluaran pada Pesawat
Sinar-X Pesawat Sinar-X yang Berusia Lebih dari 10 Tahun pada
Rumah Sakit 51 di Kota Medan. Jurnal Aceh Phy. Soc. 2018;
7(1): 1–5.
Sureka CS, Armpilia C. Radiation Biology for Medical Physicist.
Boca Raton: Taylor and Francis Group; 2017. p. 50, 93.
Thantawi A, Khairiati, Nova M, Marlisa S, Bakar A. Stomatitis
Aphtosa Rekuren (SAR) Minor Mutiple Pre Menstruasi.
ODONTO Dental Journal. 2014; 1 (2): 57-58
Thiel DHV, George M, Moore CM. Fungal Infections: Their
Diagnosis and Treatment in Transplant Recipients. International
Journal of Hepatology. 2012; 2: 1-19.
Thomas G, DeLoughery. Microcytic Anemia. The New England
Journal of Medicine. 2014; 371 (14): 1324-1331.
Thomson EM, Johnson ON. Essentials of Dental Radiography for
Dental Assistans and Hygienist. 9th Edition. New Jersey: Pearson
Education Inc; 2012. p. 2-3, 48-49, 78, 185.
Turgeon M.L. Clinical hematology Theory and procedures fitfth
edition. Wolters Kluwer: Florida; 2012. p.406.
Venkatesrawan K, Shrivastava A, Agrawala, Prasad A, Kalra N.
Mitigation of radiationinduced hematopoietic injury by the
polyphenolic acetate 7, 8-diacetoxy-4-methylthiocoumarin in
mice. Journal Scientific Repots. 2016; 6(37305) : 1-20.
Waggiallah H. The Effect of X-Ray Radiationon Hematopoietic
Tissue Among Radiology Technologists. NJIRM. 2013; 4 (2): 16-
20.
Walker, Jennifer A; Jillian L. Barlow; Andrew N. J. McKenzie
(2013). "Innate lymphoid cells—how did we miss them". Nature
Reviews Immunology. 13 (2): 7587. doi:10.1038/nri3349
ISSN 1474-1733. Diakses tanggal 2013-08-03.
Whaites E, Drage N. Essentials of Dental Radiography and
Radiology Fifth Edition. Elsevier: London; 2013.p.65-66.
White, Phroah M.J. Oral Radiology Principles and Interpretation
Sevenxth Edition. Mosby Elsevier: Canada; 2014.p.38.
Whitley A, Sloane C, Hoadley G, More A, Alsop C. Clark’s
Positioning in Radiogradhy. Koster C, Burrows S, Ueberberg A,
editors. 13th ed. London: Hodder Arnold; 2016: 41, 280, 295-297,
305, 337.
Woroprobosari NR. Efek Stokastik Radiasi Sinar-X Dental pada
Ibu Hamil dan Janin. Odonto Dental Journal. 2016; 3 (1): 60-66.
Young, Barbara; Lowe, James S.; Stevens, Alan; Heath, John
W. (2006). Wheater's Functional Histology (edisi ke-5).
Elsevier Limited. ISBN 0-443-06850-X.
Zulkarnain, I., Surarso, B., & Purnami, N. Penurunan
Hemoglobin, Neutrofil, Dan Trombosit Pascakemoterapi
Cisplatin-Paclitaxel Pada Penderita Tumor Ganas Kepala Dan
Leher. Jurnal THT. 2017; 10(1):1–10