puasa bagi pekerja berat

25
Puasa Bagi Pekerja Berat A. Pendahuluan Puasa merupakan ibadah pokok yang ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Dengan demikian karena puasa merupakan ibadah pokok maka dia harus dilaksanakan sebagai salah satu kewajiban bagi orang yang beriman. Kewajiban ini secara jelas dengan menggunakan kata kataba yang terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 183. Apabila diteliti isi kandungan ayat-ayat sesudah ayat 183 dari surat al-Baqarah tersebut, yang menjelaskan masalah siapa saja yang mendapat rukhsah, akan dapat menimbulkan permasalahan bagi pekerja berat yang terus menerus termasuk pada bulan Ramadhan. Bagi mereka puasa adalah persoalan yang dilematis, disatu sisi puasa merupakan perintah agama yang wajib dilaksanakan, sementara di sisi lain tuntutan ekonomi yang membuat mereka tidak bisa untuk meninggalkan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah puasa bagi pekerja berat, apakah ada keringanan bagi mereka tersebut atau tidak. B. Pembahasan 1. Pengertian Puasa Kata puasa dalam bahasa Arab digunakan dengan kata al-shaum, di mana kata al-shaum itu sendiri 1

Upload: aang23

Post on 26-Jun-2015

572 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Puasa Bagi Pekerja Berat

Puasa Bagi Pekerja Berat

A. Pendahuluan

Puasa merupakan ibadah pokok yang ditetapkan sebagai salah satu rukun

Islam. Dengan demikian karena puasa merupakan ibadah pokok maka dia

harus dilaksanakan sebagai salah satu kewajiban bagi orang yang beriman.

Kewajiban ini secara jelas dengan menggunakan kata kataba yang terdapat

dalam surat al-Baqarah ayat 183.

Apabila diteliti isi kandungan ayat-ayat sesudah ayat 183 dari surat al-

Baqarah tersebut, yang menjelaskan masalah siapa saja yang mendapat

rukhsah, akan dapat menimbulkan permasalahan bagi pekerja berat yang terus

menerus termasuk pada bulan Ramadhan. Bagi mereka puasa adalah persoalan

yang dilematis, disatu sisi puasa merupakan perintah agama yang wajib

dilaksanakan, sementara di sisi lain tuntutan ekonomi yang membuat mereka

tidak bisa untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.

Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai masalah puasa

bagi pekerja berat, apakah ada keringanan bagi mereka tersebut atau tidak.

B. Pembahasan

1. Pengertian Puasa

Kata puasa dalam bahasa Arab digunakan dengan kata al-shaum, di

mana kata al-shaum itu sendiri berarti الشيئ عن الكف و اإلمساك

(menahan diri dari sesuatu)1, baik dalam bentuk perkataan ataupun

perbuatan. Terkait masalah puasa ini, dalam al-Qur’an terdapat unkapan

kata shiyam yang terulang sebanyak delapan kali. Kata shiyamdi sini

menurut hukum syara’ berarti puasa, dan pada surat yang lain digunakan

ungkapan shaum, yang berarti menahan diri untuk tidak berbicara2. Hal ini

terlihat dalam surat Maryam ayat 26 :

1. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2002), Juz III, h. 1616.

2. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), Cet-1, h. 52.

1

Page 2: Puasa Bagi Pekerja Berat

�ا ي �س� �ن �و�م� إ �ي �م� ال �ل �ك �ن� أ ح�م�ن� ص�و�م ا ف�ل �لر$ ت� ل �ذ�ر� �ي ن �ن إArtinya: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha

Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada

hari ini".

Demikian ungkapan Maryam yang diajarkan oleh Malaikat Jibril ketika

ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya Isa AS. Kata ini juga

masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, satu

kali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk

kamu” dan satu kali dalam bentuk sebagai pelaku yaitu al-shaimin wa al-shaimat.

Lebih lanjut menurut M. Quraish Shihab, ungkapan kata-kata yang beraneka

ragamtersebut berasal dari akar kata yang sama yakni shawama, yang dari segi

bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti”, atau “tidak bergerak”.

Selanjutnya pengertian kebahasaan dipersempit maknanya oleh hukum syari’at,

sehingga kata shiyam hanya digunakan untuk enahan dari makan, minum dan

upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”3.

Demikian halnya ungkapan para fuqaha sebagaimana yang telah dikutip

oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh

menyatakan bahwa definisi puasa (al-shaum) secara istilah adalah:

طلوع من أهلة من بنية المفطرات عن ا نهار اإلمساك

الشمش غروب إلى الفجر“Menahan diri di siang hari dari segala yang membatalkan puasa dengan disertai niat sejak terbitnya fajar sehingga terbenamnya matahari”4.

Dalam redaksi yang sedikit berbeda, Abu Abdullah Muhammad al-

Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’il Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa al-

shaum itu adalah:

3. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 1998), h. 522

4. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit. 2

Page 3: Puasa Bagi Pekerja Berat

طلوع من به النية اقتران مع المفطرات عن اإلمساك

باجتناب كماله و تمامه و الشمش غروب إلى الفجر

المحرمات في الوقوع عدم و المحطورات“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa yang dibarengi dengan niat sejak terbitnya fajar samapai terbenamnya matahari, menyelesaikan dan menyempurnakannya dengan menjauhi perbuatan maksit, serta tidak mendatangi tempat-tempat yang diharamkan”5.

Walaupun dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas

terlihat memiliki perbedaan dalam redaksi, namun pada esensinya

memiliki persamaan yang saling melengkapi terhadap rukun dari puasa itu

sendiri, yaitu niat untuk berpuasa, dan kegiatan menahan diri dari segala

yang dapat membatalkan puasa dalam waktu tertentu (mulai dari terbit

fajar hingga terbenamnya matahari).

2. Kewajiban Puasa Ramadhan

Dasar yang menjadi kewajiban puasa terdapat dalam surat al-Baqarah

ayat 183, 184, 185 dan 187. Ayat-ayat tersebut di antaranya adalah surat

al-Baqarah ayat 183 yaitu :

�ب� ع�ل�ى �ت ا ك �BBم� �ام� ك ي �BBالص ��م �ك �ي �ب� ع�ل �ت وا ك �BBذ�ين� آم�ن $BBه�ا الF ي� �ا أ ي

$ق�ون� �ت �م� ت $ك �ع�ل �م� ل �ك �ل $ذ�ين� م�ن� ق�ب ال"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"

Dalam tuntutan puasa pada ayat di atas tidak dijelaskan siapa yang

mewajibkan, dan tidak pula dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi hanya

disebutkan sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu. Dengan

demikian maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa

tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri, yakni agar menjadi

orang yang bertakwa.

5. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (selanjutnya disebut Imam al-Qurthubi), al-Jami’il Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.th), Jilid I,h.183.

3

Page 4: Puasa Bagi Pekerja Berat

Selanjutnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai

berikut :

Jف�ر �BBو� ع�ل�ى س� ا أ BBم� م�ر�يض� �ك ان� م�ن �BBف�م�ن� ك Jود�ات�د �BBا م�ع BBام$ �ي أ

�ام �BBط�ع Nة �BBف�د�ي �ه �BBون��ط�يق ذ�ين� ي $BBر� و�ع�ل�ى ال �BBخ� J أ $ام �ي ف�ع�د$ةN م�ن� أNر �BBي وم�وا خ� �BBص� �ن� ت �ه� و�أ �رN ل ي ا ف�ه�و� خ� �ر ي �ط�و$ع� خ� ك�ينJ ف�م�ن� ت م�س�

�م�ون� �ع�ل �م� ت �ت �ن �ن� ك �م� إ �ك ل

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hai-hari lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan puasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.

Surat al-Baqarah ayat 184 di atas menjelaskan bahwa kewajiban

puasa itu bukanlah untuk sepanjang tahun, tetapi hanya ا BBام$ �ي أ

Jود�ات� (beberapa hari tertentu). Demikian inipun hanya diwajibkan م�ع�د

bagi setiap mukallaf yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya

(muqim), dan dalam keadaan sehat, sehingga bagi “siapa saja yang sakit

atau dalam perjalanan” maka boleh untuk tidak berpuasa di bulan

Ramadhan tersebut dan menggantinya pada hari-hari di bulan lain.

Sedangkan terhadap “orang-orang yang merasa sangat berat berpuasa,

maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi

makan seorang miskin”.

Terhadap apa yang terkandung pada dua ayat di atas telah

memperlihatkan adanya beberapa aspek hukum yang terkait dengan

keadaan subjek hukum (mukallaf) dalam hubungannya dengan kewajiban

berpuasa, aspek hukum yang dimaksud di antaranya adalah:

1. Orang yang sakit

Dalam bahasa al-Qur’an, keadaan subjek hukum bentuk pertama

ini diungkapkan dengan kalimat مريضا منكم كان فمن

4

Page 5: Puasa Bagi Pekerja Berat

“siapa saja di antara kamu yang menderita sakit”. Menurut Imam al-

Qurthubi, terkait dengan ibadah puasa bagi orang yang sakit dapat

dilihat dari dua keadaan; pertama, keadaan sakit yang sedang dialami

tersebut membuatnya sangat lemah dan sangat berat untuk berpuasa,

maka dalam hal ini wajib hukumnya untuk berbuka. Kedua, orang

yang sakit masih mampu untuk berpuasa dengan penuh resiko dan

kesusahan, maka dalam hal ini sangat dianjurkan untuk berbuka6.

Demikian juga menurut Jumhur Ulama, apabila seseorang yang sakit

itu tetap juga ingin berpuasa, namun dengan puasanya itu ternyata ia

merasa telah menambah sakitnya atau akan menambah lama waktu

penyembuhan, maka berbuka adalah lebih baik baginya.

Sedangkan menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Sirin menyatakan

bahwa penyakit apapun namanya yang diderita oleh seseorang, telah

membolehkannya untuk berbuka. Sebagaimana Tharif bin Tamam

al-‘Utharidi pernah menemui Ibnu Sirin tengah makan di siang hari

bulan Ramadhan dengan alasan jari tangannya sakit dan menurutnya

kebolehan ini sama dengan kebolehan ifthar bagi musafir dengan ‘illat

telah dilakukannya perjalanan (al-safar)7. Dengan demikian bagi

orang yang sakit boleh untuk berbuka dan orang ini diwajibkan untuk

mengqada pada hari lain sebanyak hari yang ia berbuka.

2. Orang yang dalam perjalanan

Keadaan mukallaf yang sedang dalam perjalanan pada bulan puasa

diungkapkan dengan kalimat سفر على atau“ أو dalam

perjalanan”. Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk perjalanan

(al-safar) yang membolehkan pelakunya mengambil rukhsah dalam

bentuk berbuka puasa dan mengqasar shalat8. Perbedaan tersebut

secara garis besar berkisar pada perbedaan yang berkenaan dengan

bagaimana pengaruh dari tujuan suatu perjalanan di satu sisi, dan

berapa jumlah minimal jarak tempuh suatu perjalanan, dan juga

6. Imam al-Qurthubi, op.cit, h. 185 7. Ibid. 8.Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, h.63-66 lihat juga Imam al-urthubi,

op.cit, h. 186. 5

Page 6: Puasa Bagi Pekerja Berat

perbedaan pada masalah ‘illat (sebab) kebolehan iftar, apakah karena

hanya dengan adanya unsur perjalanan (al-safar) atau unsur lain

seperti tingkat keletihan dan kesulitan yang dialami ketika melakukan

perjalanan.

Keumuman lafaz tersebut berkenaan dengan keadaan “sakit” dan

“dalam perjalanan” yang tercantum di dalam al-Qur’an adalah faktor

dari perbedaan pendapat. Namun demikian dapat dikatakan bahwa

Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian guna menyerahkan

kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri

apakah ia sanggup –dalam salah satu dari dua keadaan tersebut (sakit

atau dalam perjalanan) – untuk berpuasa atau tidak9. Di sisi lain harus

diingat bahwa konsekwensi hukum bagi orang yang tidak berpuasa

dengan sebab sakit atau dalam perjalanan adalah dengan mengganti

puasa Ramadhan yang telah dibatalkan dengan puasa pada waktu yang

lain sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan.

3. Orang yang Lemah (merasa sangat berat/sulit untuk berpuasa)

Keadaan orang yang merasa berat menjalankan puasa diungkapkan

dalam al-Qur’an dengan kalimat يطيقونه الذين على و(dan bagi orang yang berat menjalankannya). Penggalan ayat ini

diperselisihkan maknanya oleh para mufassir. Berkenaan dengan siapa

saja yang digolongkan ke dalam makna kata akan يطيقونه

dijelaskan lebih jauh pada pembahasan di bawah ini.

3. Puasa Bagi Pekerja Berat

Sebelum menguraikan bagaimana kedudukan ataupun pengaruh dari

keadaan yang dialami oleh seseorang yang berpropesi sebagai pekerja

berat terhadap pelaksanaan puasa Ramadhan, terlebih dahulu akan

dijelaskan beberapa makna dari istilah-istilah yang biasanya selalu terkait

dengan aktifitas subjek hukum dalam melaksanakan berbagai kewajiban,

di antaranya adalah bagaimana majna yang terkandung dari kata ithaqah,

istitha’ah dan wus’u.

9. M.Quraish Shihab, op.cit., h.525 6

Page 7: Puasa Bagi Pekerja Berat

1. Makna ithaqah

Kata ithaqah berasal dari kata thaqa-yathiqu, yang secara bahasa

berarti kemampuan, kekuatan10. Sedangkan menurut istilah ulama

tafsir, seperti Muhammad Syaltut dan Muhammad Ali al-Sayis dalam

kitabnya menyatakan bahwa ithaqah adalah:

المشقة و الشدة مع شيئ على للقدرة اسم“Istilah yang menggunakan untuk menunjukkan adanya kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan keadaan yang sangat berat dan sulit”

Demikianlah pendapat kebanyakan ulama, hanya saja al-Shabuni

dengan mengutip pendapat al-Ragib mengomentari kata tersebut

dengan mengibaratkannya kepada keadaan leher yang terlilit oleh

sesuatu (tercekik)11. Selanjutnya kata ithaqah dengan makna

kesanggupan dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 249

sebagai berikut :

Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia Telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang Telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."

Kata “ طاقة “ dalam ayat ini menggambarkan betapa sulitnya

pasukan Thalut melawan tentara Jalut yang begitu banyak dan

memiliki persenjataan yang lengkap. Secara logika keadaan ini

memperlihatkan betapa sulit atau tidak mungkinnya pasukan Thalut

untuk melawan apalagi mengalahakan pasukan Jalut, sehingga

pasukan Thalut ragu dan bimbang. Namun demikian, sebagian lainnya

tetap optimis sehingga dengan pertolongan Allah (tentu dengan

10. Atabik ‘Ali dan A. Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), cet-9,h. 1219.

11. Muhammad Ali al-Ssabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Beirut: Dar al Qur’an al-Karim, t.th), Juz I, h. 133.

7

Page 8: Puasa Bagi Pekerja Berat

caranya sendiri) dengan mengirim seseorang yang masih muda belia

yaitu Daud yang dipersiapkan untuk menjadi seorang Nabi. Meskipun

belum begitu banyak pengalamannya di Medan pertempuran, namun

dengan kecerdasan dan lepintarannya menyusun strategi dalam

merancang medan tempur, tentara jalut dapat dilumpuhkan12. Dengan

demikian maka kata thaqah dimaksudkan untuk memikul beban yang

tidak sanggup dipikul karena begitu beratnya. Keadaan ini seperti

orang tua dan wanita hamil yang sudah lemah, serta orang sakit yang

sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh, sehingga mereka ini tidak

mungkin lagi untuk melakukan pekerjaan yang begitu berat.

2. Kata Istitha’ah

Kata istitha’ah terbentuk dari tsilasi mazid tiga huruf yang terambil

dari kata tha’a yathi’u-thauan, yang secara etimologi berarti taat,

patuh dan tunduk13. Istitha’ah adalah pecahan dari kata tha’a dalam

bentuk benda, yang biasanya dimaksudkan dengan kemampuan dan

kesanggupan. Oleh karena itu, kata istitha’ah dalam bentuk ini dapat

dipahami dengan keadaan seseorang yang tunduk untuk melakukan

sesuatu yang diperintahkan agama sesuai dengan kondisinya.

Sedangkan dalam al-Qur’an, bentuk yang seperti ini nyaris tidak

ditemukan, karena yang ditemukan hanya dalam bentuk kata kerja,

baik dalam bentuk fi’il madhi ataupun fi’il mudhari’. Ungkapan

seperti ini dapat ditemukan sebanyak 42 kali dalam surat dan ayat

yang kesemuanya berarti sanggup dan mampu14.

Beranjak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa semakin tinggi

daya kemampuan seseorang, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk

mengerjakan suatu perbuatan. Maka begitu juga sebaliknya, seseorang

tidak akan dituntut untuk melakukan perbuatan yang melebihi

12.Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1993), Juz 2, h. 385. 13. Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),

h.430. 14.Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Negeri Baru van

Hoese, 1997), Jilid III, h. 783. 8

Page 9: Puasa Bagi Pekerja Berat

kemampuannya. Demikian ini sebagaimana firman Allah yang

terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut:

ع�ه�ا �ال و�س� ا إ �ف�س $ه� ن �ل�ف� الل �ك ال ي “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

Selanjutnya kata istitha’ah dalam kajian fiqh merupakan kajian yang

fundamental, demikian karena kata tersebut terkait dengan sejauh mana seseorang

diberi kewajiban dalam bertindak hukum atas dirinya sebagai subjek hukum. Kata

istitha’ah ini dibahas secara lengkap oleh para fuqaha secara detail dalam

pembahasan tentang haji dan umrah, serta nikah, sebab ketiga hal tersebut

berhubungan lansung dengan kemampuan jasmaniah, meterial, dan keamanan.

Karena itu dapat disimpulkan bahwa kata istitha’ah ini konotasinya adalah suatu

kemampuan yang dimiliki seseorang secara prima, baik dari segi fisik, mental

maupun dalam bentuk material. Sebagai contoh pelaksanaan ibadah haji, di mana

dalam pelaksanaannya seseorang dituntut untuk mempunyai kemampuan prima

dari berbagai aspek.

3. Makna kata al-wus’u

Kata al-wus’u terambil dari kata wasa’a- yausa’u- was’an yang

secara etimologi berarti tidak sempit, luas, lapang, kekayaan, punya

kekuatan, kesanggupan atau kemampuan15. Secara istilah al-wus’u

menurut Muhammad Ali al-Sayis adalah :

السهولة الشيئ على للقدرة اسم

“Suatu istilah yang menunjukkan adanya kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu dengan sangat mudah”

Dalam al-Qur’an kata yang seakar dengan kata wus’u dapat

ditemukan dalam beberapa surat dengan makna yang berbeda-beda, di

antaranya dengan makna kemampuan sebagaiman yang terdapat

dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

ع�ه�ا �ال و�س� �ف�سN إ �ل$ف� ن �ك ال ت

15. Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhar, op. cit,h. 2017 9

Page 10: Puasa Bagi Pekerja Berat

“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya”

Pada permulaan ayat di atas berbicara tentang

bolehnya seorang ibu menyusukan anaknya kepada

orang lain, di samping petunjuk yang menyatakan

tentang tanggung jawab seorang ibu untuk

menyusukan anaknya, dan sekaligus tanggung jawab

seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian

menurut cara yang patut dan sesuai dengan

kesanggupannya.

Makna wus’u dalam arti kesanggupan dapat

ditemukan dalam surat al-An’am ayat 152 sebagai

berikut :

�ف�س �ل$ف� ن �ك ع�ه�ااال ت �ال و�س� إ

“ … kami tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya…”

Keseluruhan ayat tersebut secara umum

membicarakan tentang larangan untuk mengambil

harta anak yatim secara tidak sah. Makna yang sama

juga ditemukan dalam surat al-A’raf ayat 42 yang

memaparkan tentang tempat orang-orang yang

beramal saleh setelah menggambarkan keadaan

neraka. Surat al-mukminun ayat 62 tentang kewajiban

menjalankan agama, yang kesemuanya itu diperintah

menurut kadar kemampuan manusia.

Pada ayat yang lain kata wus’u berarti luas,

sebagaimana terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 100

sebagai berikut :

ا �ير �ث اغ�م ا ك �ج�د� ف�ي األر�ض� م�ر� $ه� ي �يل� الل ب �ه�اج�ر� ف�ي س� و�م�ن� ي

ع�ة و�س�

10

Page 11: Puasa Bagi Pekerja Berat

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.”

Kata wus’u terkadang juga bermakna lapang,

sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nur ayat 22:

�ول�ي وا أ �BBؤ�ت� �ن� ي ع�ة� أ $BBم� و�الس� �ك ل� م�ن �BBف�ض� و ال �BBول� ل� أ �BBت� �أ و�ال ي$ه� �يل� الل ب �م�ه�اج�ر�ين� ف�ي س� �ين� و�ال اك �م�س� �ى و�ال ب �ق�ر� ال

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah…

Selanjutnya kata wus’u juga bisa bermakna

kecukupan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-

Nisa’ ayat 130 sebagai berikut :

ع ا �BBو�اس �ه $BBان� الل �BBه� و�ك� ع�ت �BBال م�ن� س� ه� ك $BBغ�ن� الل� ا ي �BBق �ف�ر$ �ت �ن� ي و�إ

ح�ك�يم اJika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.

Sedangkan kata wus’u dalam bentuk isim fa’il dapat

ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 236 :

ا BBاع� ه� م�ت ��ر� ق�د�ر �م�ق�ت ه� و�ع�ل�ى ال �ع� ق�د�ر �م�وس� �ع�وه�ن$ ع�ل�ى ال و�م�ت

�ين� ن �م�ح�س� وف� ح�ق�ا ع�ل�ى ال ��م�ع�ر �ال بdan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

11

Page 12: Puasa Bagi Pekerja Berat

Dari beberapa ayat yang terdapat dalam beberapa

surat di atas, maka kata wus’u dapat dikatakan lebih

mengarah kepada kemampuan untuk berbuat dengan

tidak ada unsur paksaan. Oleh karena itu seseorang

tidak dituntut memikul beban yang dirasa

memberatkan lagi menyulitkan. Seperti anjuran

berinfak, Allah SWT hanya memerintahkan kepada

orang-orang yang punya harta lebih dari cukup untuk

dapat menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah

SWT.

Beranjak dari uraian seputar penggunaan ketiga

kata di atas, secara umum jelas terdapat perbedaan

mendasar di samping adanya persamaan. Untuk lebih

memperjelas terhadap persoalan yang dibahas, maka

akan dikemukakan hal-hal penting dari ketiga ungkapan

tersebut. Kata ithaqah yang terdapat dalam surat al-

Baqarah ayat 286 memiliki pengertian sama dengan

kata ithaqah yang terdapat dalam ayat 249. Artinya

pemakaian kata tersebut hanya digunakan untuk

pekerjaan yang berat dan tidak sanggup untuk

dilaksanakan. Sebagai contoh kekuatan yang dimiliki

tentara Jalut seperti yang disonyalir dalam ayat 249

tersebut tidak mampu untuk dilawan, karena di

samping mereka memiliki jumlah yang begitu besar

juga punya persenjataan yang lebih lengkap

dibandingkan tentara Thalut. Begitu pula halnya kata

ithaqah yang terdapat dalam ayat 286, sehingga ayat

seolah-olah hendak mengatakan bagi siapa saja yang

benar-benar lemah atau tidak sanggup melaksanakan

puasa, maka silakan untuk tidak berpuasa. Barangkali

pemahaman inilah yang menyebabkan para mufassir

dan fuqaha memasukkan orang yang sudah tua renta,

12

Page 13: Puasa Bagi Pekerja Berat

ibu hamil dan orang sakit yang sudah tidak dapat

diharapkan lagi kesembuhannya ke dalam golongan

yathiqunah.

Selanjutnya dapat dipahami bahwa Allah SWT dalam

berbagai keadaan hanya memberikan tuntutan sesuai

dengan kemampuan hambanya (al-wus’u), yang oleh

Muhammad ali al-sayis kata al-wus’u ini berada dia

atas kata al-ithaqah. Di sisi lain, Allah SWT juga hanya

memberikan kewajiban untuk berbuat kepada

hambanya yang istitha’ah, seperti dalam hal

pelaksanaan ibadah haji, dan masalah pelaksanaan

perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam hadits

Rasulullah SAW. Di mana kata istitha’ah itu sendiri

secara sederhana dapat dipahami denga kemampuan

yang prima.

Sedangkan cakupan makna yang terkandung pada

kata yathiqunah menurut sebagian ulama sebagaimana

yang dikemukakan Muhammad Ali al-Sayis dalam

kitabnya menyatakan bahwa dalam kata itu hanya

mencakup orang yang sudah tua renta, wanita hamil

dan wanita yang sedang menyusui.

Demikian halnya menurut al-Jashas, di mana

menurutnya hanya ada tiga golongan yang termasuk ke

dalam cakupan ayat tersebut yaitu; pertama, orang tua

renta dan bagi mereka diwajibkan membayar fidyah.

Kedua, orang yang terlalu berat memikul beban

sehingga tidak mampu melaksanakannya, seperti

wanita hamil. Dan ketiga, orang yang merasa sangat

sukar (betul-betul kesulitan) melaksanakannya maka

bagi mereka juga wajib fidyah. Lebih jauh ia

mengemukakan bahwa orang-orang tersebut

13

Page 14: Puasa Bagi Pekerja Berat

ditetapkan berdasarkan akal, tetapi berdasarkan pada

tauqif dari rasulullah SAW16.

Sdangkan menurut Imam al-Maraghi cakupan kata

yathiqunah dalam ayat 184 di atas adalah bagi setiap

orang yang berat menjalankannya, mereka itu adalah

orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang sudah

tidak dapat lagi diharapkan kesembuhannya, pekerja

berat, narapidana yang dijatuhi hukuman berat seumur

hidup, wanita hamil dan menyusui apabila khawatir

terhadap dirinya, anaknya17

Untuk itu, kata yathiqunah yang secara sederhana

dapat dimaknai dengan beban yang disertai dengan

kesulitan yang sangat berat, maka terhadap pekerja

berat, seperti buruh tambang sebagaimana yang

dikemukakan oleh Imam al-Maraghi hanya akan dapat

digolongkan kepada apa yang terkandung pada kata

yathiqunah dalam surat al-Baqarah ayat 184, apabila

pekerjaan itu memang dilakukan sepanjang masa dan

tidak ada pilihan mata pencaharian lain baginya. Sebab

apabila para pekerja berat dimaksud tidak dimasukkan

kepada bagian dari makna yathiqunah, dalam artian

tetap harus berpuasa maka terhadap pekerja itu hanya

ada dua pilihan yaitu berhenti bekerja yang berakibat

akan pada terancamnya kelansungan kehidupan

keluarganya, atau nekad tetap bekerja yang berimbas

pada kesusahan dan kesulitan yang bersangatan atas

dirinya atau bahkan mengancam keselamatan dirinya.

Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip dalam Islam

yang senantiasa menghendaki kemudahan bagi setiap

16. Abu Bakar bin Ali al-Razi al Jashass, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al –‘Ilmiyah, t.th), Juz I h.216.

17. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al Fikr, 1974), Jilid I, h. 72.

14

Page 15: Puasa Bagi Pekerja Berat

umatnya bukan sebaliknya, sebagaimana yang terdapat

dalam surat al-Baqarah ayat 185 :

ر� �ع�س� �م� ال �ك �ر�يد� ب ر� و�ال ي �س� �ي �م� ال �ك $ه� ب �ر�يد� الل ي…Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…

Dengan demikian bagi pekerja berat , mereka dapat

diklasifikasikan dalam dua bagian . Pertama , pekerja

berat yang sifatnya kontinyu sehingga tidak mempunya

waktu luang untuk mengqadha lantaran sehari-hari

pekerjaan keras dan kasar. Sebagai gantinya mereka

harus membayar fidyah. Sesuai dengan firman Allah

yang artinya “Dan wajib bagi orang-orang yang berat

menjalankannya, membayar fidyah, yaitu memberi

makan orang miskin. Kedua, pekerja berat yang

sifatnya temporer yang masih memiliki waktu luang

untuk melakukan qadha. Karenanya mereka ini wajib

mengqadha puasanya sebagai mana orang sakit yang

masih diharapkan sembuh dan musafir.

C. Penutup.

Berdasarkan uraian yang terkandung dari makna keumuman lafazh yang

ditelaah dari berbagai pendapat para mufasir sebagaimana yang telah

dikemukakan di atas, dan dari prinsip dalam Islam yang selalu

menghendaki kemudahan bagi setiap umatnya, maka dapat disimpulkan

bahwa bagi pekerja berat seperti pekerja tambang atau pekerja jenis

lainnya yang tidak mempunyai pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan

pokok keluarganya, dan itu dilakukan sepanjang hidupnya, maka terhadap

mereka dapat digolongkan kepada kelompok yathiqunah artinya mereka

dapat diberikan rukhsah dalam bentuk kebolehan membatalkan puasa dan

mengganti kewajiban tersebut dengan membayar fidyah. Wallahu a’lam.

15

Page 16: Puasa Bagi Pekerja Berat

Daftar Pustaka

Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (selanjutnya disebut Imam al-Qurthubi), al-Jami’il Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.th

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al Fikr, 1974

Al Jashass, Abu Bakar bin Ali al-Razi, Ahkam al-Qur’an Beirut: Dar al-Kutub al –‘Ilmiyah

Al-Isfahani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr

‘Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 2002

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Negeri Baru van Hoese, 1997

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Panji Masyarakat, 1993

Muhammad Ali al-Ssabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Beirut: Dar al Qur’an al-Karim

Muhammad Ali Al-Sayis, Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam

16

Page 17: Puasa Bagi Pekerja Berat

M. Quraish Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat, Jakarta: Mizan, 1998

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh,(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003

17