prosiding seminar nasional pusat kajian pendidikan sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder...

17

Upload: nguyencong

Post on 12-Aug-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,
Page 2: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 i

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL PUSAT KAJIAN PENDIDIKAN SAINS DAN MATEMATIKA (PKPSM)

IKIP MATARAM 2016

“Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Diselenggarakan di Mataram, 12 Maret 2016

oleh Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM)

IKIP Mataram

Pusat Pendidikan Kajian Sains dan Matematika (PKPSM)

IKIP Mataram

2016

Page 3: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 ii

Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM) IKIP Mataram 2016 ISBN: 978-602-74245-0-0

Diterbitkan:

Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM)

IKIP Mataram

Kampus IKIP Mataram Gedung Catur

Lt. 1 Jalan Pemuda, Nomor 59A, Mataram 83125

Telepon/Faksimil.: (0370)-632082

[email protected]

ikipmataram.ac.id

Hak Cipta ©2016 ada pada penulis

Artikel pada prosiding ini dapat digunakan, dimodifikasi, dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersil

(non-profit), dengan syarat tidak menghapus atau mengubah atribut penulis. Tidak diperbolehkan melakukan

penulisan ulang kecuali mendapatkan izin terlebih dahulu dari penulis.

Page 4: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 iii

SUSUNAN PANITIA PENYELENGGARA

SEMINAR NASIONAL PUSAT KAJIAN PENDIDIKAN SAINS DAN MATEMATIKA (PKPSM) IKIP MATARAM

TAHUN 2016

Advisory Committee

Prof. Toho Cholik Mutohir, Ph.D

Dr. Jamaludin, M.Pd

Saiful Prayogi, M.Pd

Muhali, S.Pd., M.Sc.

Agus Mulyadi, M.Pd.

Hunaepi, M.Pd

Organizing Committee

Syahrir, M.Pd Taufik Samsuri, M.Pd Sri Yuliyanti, M.Pd Muhammad Asy’ari, M.Pd Baiq Mirawati, S.P., M.Pd. Masjudin, M.Pd Abdul Aziz, S.Pd

Technical Committee

Laras Firdaus, M.Pd Ali Imran, M.Pd.Si Wirawan Putrayadi, S.T., M.Pd. Sabrun, M.Pd Eliska Juliangkary, M.Pd Syifa’ul Gummah, M.Pd

Suryati, M.Pd Iwan Dody, D., M.Sc Samsun Hidayat, M.Pd Fahriah, M. Pd Citra Ayu Dewi, M.Pd Dwi Sabda Budi P. M.Sc

L. Lian Hari Wangi, S.Pd Supriadi Sahnan

Page 5: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera bagi kita semua.

Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM) IKIP Mataram 2016 ini

mengambil tema “Assessment of Higher Order Thinking Skills” dan diselenggarakan pada tanggal 12 Maret 2016

di Mataram, merupakan suatu kegiatan ilmiah tahunan pertama yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian

Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM) IKIP Mataram. Seminar ini merupakan tempat bertukar pikiran para

pelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru,

mahasiswa, dosen, widyaiswara, dan peneliti.

Seminar ini diikuti oleh sejumlah peserta yang terdiri atas dua orang pembicara kunci yakni Prof. Dr.

Sugiyono, M.Pd (Dosen Pascasarjana Universitas Yogyakarta) dan Dr. Wasis, M.Si. (Dosen PPs Universitas Negeri

Surabaya, UNESA), dengan keynote speaker yaitu Prof. Toho Cholik Mutohir, Ph.D (Rektor IKIP Mataram), serta

dari berbagai kalangan yang mengikuti presentasi paralel.

Segenap upaya penyuntingan Prosiding ini telah diupayakan sebaik-baiknya, namun kami menyadari

sepenuhnya bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam proses penyuntingan, sehingga kritik dan

saran sangat kami harapkan guna perbaikan pada penerbitan yang akan datang. Kami selaku panitia mengucapkan

terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu terselenggaranya Seminar ini serta

terselesaikannya proses penyuntingan dan penerbitan Prosiding ini. Tidak lupa juga kami memohon maaf atas

segala kekurangan dan kesalahan baik selama kegiatan Seminar berlangsung maupun masih adanya kesalahan

dalam isi Prosiding ini. Semoga acara Seminar Nasional PKPSM IKIP Mataram tahun 2016 dan penerbitan

Prosiding ini bermanfaat bagi kita semua. Sampai jumpa pada Seminar Nasional PKPSM IKIP Mataram tahun 2017

yang akan datang.

Mataram, Maret 2016

Ketua Pelaksana

Syahrir, M.Pd.

Page 6: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 v

Copyright Notice

© Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM) IKIP Mataram 2016

Seluruh isi dalam Prosiding ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab masing-masing penulis. Jika dikemudian hari ditemukan

indikasi plagiasi dan berbagai macam kecurangan akademik yang dilakukan oleh para penulis maka pihak penyelenggara

dan tim penyunting (editor) tidak bertanggungjawab atas segala bentuk plagiasi dan berbagai macam kecurangan akademik

yang terdapat pada isi masing-masing naskah yang diterbitkan dalam Prosiding ini. Para penulis tetap mempunyai hak penuh

atas isi tulisannya tetapi mengijinkan bagi setiap orang yang ingin mengutip isi tulisan dalam Prosiding ini sesuai dengan

aturan akademik yang berlaku.

Terbitan Pertama: Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 Penyunting Ahli:

Prof. Toho Cholik Mutohir, Ph.D

Drs. I Ketut Sukarma, M.Pd.

Drs. Wayan Karmana, M.Pd

Muhali, S.Pd., M.Sc.

Saiful Prayogi, M.Pd

Agus Muliadi, M.Pd

Hunaepi, M.Pd.

Penyunting Pelaksana:

Laras Firdaus, M. Pd

Muhammad Asy’ari, M.Pd

Abdul Aziz, S.Pd

Suryati, M.Pd

Herdiana Fitriani, M.Pd

Diterbitkan oleh:

Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika (PKPSM)

IKIP Mataram

© HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Page 7: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 vi

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ................................................................................................................................. i SUSUNAN PANITIAN PENYELENGGARA .............................................................................................. ii KATA PENGANTAR.................................................................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... vi MAKALAH UTAMA ................................................................................................................................... xiv

Abd. Haris1 & Muslim2

Penerapan Model Kooperatif Tipe Tps (Think Pair Share) Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Siswa.......................................................................................................................................................................... 1-5 Abdul Sakban Penerapan Pendekatan Deep Dialog And Critical Thinking Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ............................................................................................................ 6-9 Ade Kurniawan

Peningkatan Penalaran Matematika Dengan Berbantuan Media Software (Program Maple) .................................... 10-12

Agus Fahmi Pengambilan Keputusan Berbasis Kecerdasan Emosi .............................................................................................. 13-15

Ahmad Muzaki Mengukur Kemampuan Advanced Mathematical Thinking Mahasiswa Pada Analisis Real ...................................... 16-18

Ahmad Muzanni Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua Terhadap Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kopang ....................................................................................................................................................................... 19-22

Aniza1, Ismail Efendi2, Saidil Mursali3

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Berbantuan LKS Terhadap Pemahaman Konsep Dan Literasi Sains Siswa .. 23-26

Aris Doyan1, Susilawati2, & Wahyudi3

Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Dan Problem Based Learning Melalui Pola Lesson Study Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Pada Matakuliah Fisika Dasar .......................... 27-30

Arshy Prodyanatasari

Implementasi Tutor Sebaya Untuk Melatih Keterampilan Proses Sains .................................................................... 31-34

Aticha Bucit Syamzuli1, Yusran Khery2, Muhali3 Mendorong Motivasi Dan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Penerapan Modul Berkarakter Religius ....................... 35-37

Baiq Rika Ayu Febrilia1 & Indira Puteri Kinasih2 Pengembangan Keterampilan Guru Matematika Pada Perancangan Lembar Kerja Dinamis Menggunakan Geogebra ................................................................................................................................................................... 38-40

Baiq Rina Amalia Safitri Penerapan Model Inkuiri Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Ketuntasan Belajar Siswa SMP IT Putri Abu Hurairah Mataram ..................................................................................................................................................................... 41-42 Baiq Rohiyatun Analisis Keterlibatan Guru Dalam Pengambilan Keputusan (Kajian Teoritis Organisasi Sekolah) ....................... 43-48

Citra Ayu Dewi Pengembangan Media Animasi Dalam Pembelajaran Ikatan Kimia Untuk Mahasiswa Calon Guru .......................... 49-52

Page 8: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 viii

Berpikir Kreatif Kelas VII SMP ................................................................................................................................... 126-130 Happy Febry Monaliata Implementasi Model Pembelajaran Quantum Leraning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VII MTs. Nahdlatul Mujahidin NW Jempong .................................................................................................................... 131-134 Hariadi Ahmad Teknik Structure Learning Approach (SLA) Sebagai Model Pembelajaran Dalam Peningkatan Self Advocacy Siswa.......................................................................................................................................................................... 135-143 Hartati1 & Nikman Azmin2 Pemanfaatan Cairan Buah Gendola (Basella Rubra Linn.) Sebagai Biotinta Untuk Mengantikan Tinta Kimia .......... 144-146 Hasim Asyari1 & Wawan Apriawan Darmawan Putra2

Mewujudkan Pendidikan Untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Model Sekolah AGSI di SDN 5 Mataram ......................................................................................................................................................... 147-150 Herlina Evaluasi Program Pembinaan Lembaga Kursus Terhadap Pelaksanaan Asas Pengembangan Program PLS di Kota Mataram ............................................................................................................................................................. 151-153 Hulyadi Identivikasi Massa, Luas Permukan, Dan Suhu Optimasi Zeolit Sebagai Filter Destilat Terhadap Kemurnian Alkohol ....................................................................................................................................................................... 154-158 Husnul Hatimah Kajian Pengaruh Ion Cd(ii) Dan Cr(vi) Terhadap Efektivitas Fotoreduksi Ion Cu(ii) Yang Terkatalisis Oleh Tio2 ....... 159-163 Husnul Khotimah1, Agus Muliadi2, Ida Royani3 Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray Dengan Media Gambar Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif Dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas X SMAN 1 Bayan........................................... 164-166

I Made Gunawan1 & Dessy Arisanti2

Pengaruh Bimbingan Konseling Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Di SMPN 14 Mataram .......................... 167-169

I Wayan Karta Aplikasi Teori Karl R. Popper Dalam Assesmen Pembelajaran di Indonesia ............................................................. 170-172

I Wayan Tamba1 & Zurriyanti2

Efektivitas Program PKK Kecamatan Praya Dalam Mensukseskan Gerakan Absano Di Kecamatan Praya Lombok

Tengah ....................................................................................................................................................................... 173-177

Ibnu Khaldun Pengertian, Makna, Dan Perkembangan Ilmu Politik ................................................................................................. 178-182 Ida royani1 & Fathatul Hidayah2

Pemanfaatan Limbah Kulit Durian (Durio zibethinus) Sebagai Pupuk Organik Terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Bayam (Amarantus sp) ........................................................................................................ 183-186 Iin Shoaliha Pelanggaran Prinsip Kerjasama Dalam Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Di TV One ......................................... 187-190

Imamul Arif Membangun Kesejahteraan Umat Melalui Revitalisasi Fungsi Keluarga (Perspektif Alquran) .................................. 191-197

Page 9: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 135

TEKNIK STRUCTURE LEARNING APPROACH (SLA) SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DALAM PENINGKATAN SELF ADVOCACY SISWA

Hariadi Ahmad

Dosen Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram E-mail: [email protected]

Abstrak: Wajib belajar diberikan untuk memberikan bekal pengetahuan mendasar yang berguna sebagai bekal dalam berinteraksi dalam lingkungannya. Pendidikan dasar merupakan masa depan yang sangat diperlukan individu untuk hidup, mampu memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam membangun masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar. Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas tugas perkembangan, perkembangan potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Dalam pelaksanaan tugas sebagai seorang konselor dalam sistem pendidikan nasional, konselor di tuntut harus mempunyai sosok kompetensi konselor yang utuh yang mencakup kopetensi akademik dan profesional. Self Advocacy didefinisikan sebagai keterampilan yang dimiliki individu dalam mengenali dan mengetahui kekurangan, kelebihan, keinginan dan minat, dapat berkomunikasi secara efektif dalam menyampaikan pendapat, bernegoasiasi dalam memperoleh hak-haknya, serta dapat bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil tanpa mengorbankan hak dan martabat diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat memperoleh kesuksesan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan lapangan pekerjaan. Komponen-komponen self advocacy terdiri dari: 1) kesadaran diri (self awareness), 2) keterampilan komunikasi, 3) keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, dan 4) kesadaran tanggung jawab. Banyak keuntungan apabila self advocacy diberikan dalam bentuk kelompok, kelompok fokus pada situasi sosial tertentu dan diberikan suatu kesempatan yang realistis untuk menghadapi dan menantang kesulitan tersebut dalam lingkungan yang terstruktur dan aman. Structure Learning Approach memiliki pola langkah-langkah pelatihan yang terdiri atas empat komponen yang bersipat herarhis. aplikasi Structure Learning Approach dalam pelatihan self advocacy ini meliputi tahapan: 1) arahan/tinjauan, 2) pemberian model, 3) bermain peran, 4) pemberian umpan balik, 5) pemberian tugas. Kata Kunci: Structure Learning Approach (Sla), Self Advocacy Siswa. PENDAHULUAN

Pendidikan dasar dicanangkan oleh pemerintah untuk mendukung pemerataan pendidikan yang mencerdaskan bangsa. Pendidikan dasar tersebut dikenal dengan wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar diberikan untuk memberikan bekal pengetahuan mendasar yang berguna sebagai bekal dalam berinteraksi dalam lingkungannya. Melalui pembelajaran yang ada di Sekolah Menengah Pertama diharapkan tidak hanya bekal pendidikan saja yang diperoleh oleh siswa tetapi juga keterampilan tambahan yang berguna bagi masa depannya.

Dalam Naskah Akademik (Departemen Pendidikan Nasional, 2007) melihat bahwa pendidikan dasar merupakan masa depan yang sangat diperlukan individu untuk hidup, mampu memilih apa yang mereka lakukan, mengambil bagian dalam membangun masa depan secara kolektif, dan terus menerus belajar. Dengan demikian pendidikan dasar memberikan sebuah jalan yang sangat penting bagi setiap orang, tanpa terkecuali untuk memasuki kehidupan dalam masyarakat setempat.

Perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling yaitu dari pendekatan yang berorentasi tradisional, klinis, remedial, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorentasi perkembangan atau pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas tugas perkembangan, perkembangan potensi, dan penguasaan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli sehingga pendekatan ini di sebut standar kopetensi kemandirian peserta didik (ABKIN, 2007).

Dalam pelaksanaan tugas sebagai seorang konselor dalam sistem pendidikan nasional, konselor di tuntut harus mempunyai sosok kompetensi konselor yang utuh yang mencakup kopetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan yang merupakan landasan ilmiah dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang

meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan (Permen Diknas RI, No 27 Tahun 2008).

Dalam rambu-rambu penyelengaraan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal (ABKIN, 2007) dikemukakan standar kompetensi kemandirian peserta didik terdiri dari beberapa aspek perkembangan yaitu: 1) landasan hidup religius, 2) landasan perilaku etis, 3) kematangan emosi, 4) kematangan intelektual, 5) kesadaran tanggung jawab sosial, 6) kesadaran gender, 7) pengembangan pribadi, 8) perilaku kewirausahaan, 9) wawasan dan kesiapan karir, 10) kematangan hubungan dengan teman sebaya.

Dalam self advocacy siswa SMP dikembangkan beberapa standar kompetensi kemandirian peserta didik antara lain: 1) kematangan emosi, 2) kematangan intelektual, dan 3) kesadaran tanggung jawab sosial. Pada kompetensi perkembangan kematangan emosi, di kembangkan melalui komponen kesadaran diri (self awareness). Kompetensi kematangan intelektual, di kembangkan melalui dua komponen yaitu; a) komponen pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, b) komponen keterampilan komunikasi. Sedangkan kompetensi kesadraan tanggung jawab sosial, dikembangkan melalui komponen kesadaran tanggung jawab. PEMBAHASAN A. Self Advocacy

Brinckerhoff (1994) mengatakan self advocacy merupakan keterampilan yang dimiliki oleh individu untuk mengenali, mengetahui kebutuhan dan ketidakmampuan dalam belajar tanpa mengorbankan hak dan martabat diri sendiri atau orang lain. Ada tiga keterampilan yang saling terkait dalam self advocacy yaitu: a) pengetahuan tentang apa

Page 10: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 136

yang diinginkan, b) pengetahuan tentang hak yang harus dimiliki secara hukum, c) kemampuan yang efektif dalam mencapai tujuan.

Menurut Van Reusen (1994;1996) mengatakan self advocacy sebagai keterampilan yang dimiliki oleh individu dalam berkominikasi secara efektif, menyampaikan pendapat, bernegosiasi, menyatakan minat, keinginan, kebutuhan, dan hak-haknya, serta kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang di ambil (Van Reusen, Bos, Schumaker, & Deshler, 1994; Van Reusen, 1996).

Self advocacy sebagai pembelajaran bagi siswa sekolah menengah yang berfokus pada pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab, keterampilan negosiasi, mengidentifikasi dan meminta akomodasi dan intruksi untuk berpartisipasi dan mengarahkan pendidikan sendiri (Pacock, 2002). Self advocacy didefinsikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam berbicara sesuai dengan apa yang diinginkan, dibutuhkan dan diharapkan dalam mencapai kesuksesan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan lapangan pekerjaan (Schreiner, 2007).

Self advocacy didefinisikan sebagai mempersiapkan diri dengan keterampilan yang diperlukan agar seorang individu agar merasa nyaman terhadap diri sendiri, menyatakan dengan jelas tentang kebutuhan, dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang di ambil (Kurpius & Rozecki, dalam Steele, 2008). Sementara itu Dr. Patricia Ganz menyatakan self advocacy mengetahui tentang kekurangan dan kelebihan dan secara potensial yang dapat memberdayaan diri untuk bertanggung jawab (NCCS, 2009).

Menurut Astramovich dan Harris (2007) menyatakan ada beberapa kompetensi self advocacy yang dapat dikembangkan kepada siswa dalam membantu menghilangkan hambatan dalam meraih kesuksesan pendidikan mereka, kompetensi tersebut berupa: kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi self advocacy yang dapat dilatihkan dan dikembangkan kepada calon konselor dan konselor sekolah antara lain pengetahuan dan keterampilan (Toporek, Lewis, & Crethar, 2009).

Dari pendapat ahli di atas self advocacy didefinisikan sebagai keterampilan yang dimiliki individu dalam mengenali dan mengetahui kekurangan, kelebihan, keinginan dan minat, dapat berkomunikasi secara efektif dalam menyampaikan pendapat, bernegoasiasi dalam memperoleh hak-haknya, serta dapat bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil tanpa mengorbankan hak dan martabat diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat memperoleh kesuksesan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan lapangan pekerjaan.

Van Reusen (1996) mengemukakan ada empat komponen self advocacy, yaitu: 1) Keterampilan komunikasi, 2) Negosiasi, 3) Pengambilan keputusan, 4) Kesadaran tanggung jawab. Menurut Oregon Department of Education (2001) mengemukakan ada empat komponen self advocacy sebagai berikut: pertama, self awareness (kesadaran diri), kedua, Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, Ketiga, merencanakan tujuan masa depan, keempat, Keterampilan komunikasi.

Dari pendapat Van Reusen (1996) dan Oregon Department of Education (2001) tentang komponen-komponen self advocacy diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komponen yang dikembangkan dalam ini terdiri dari : 1) kesadaran diri (self awareness), 2) keterampilan komunikasi, 3)

keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, dan 4) kesadaran tanggung jawab. 1. Komponen Self Advocacy

Dalam self advocacy ini, ada empat komponen yang dikembangkan sebagai berikut: 1) Kesadaran diri (self awareness), 2) Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, 3) Keterampilan komunikasi, dan 4) Kesadaran tanggung jawab. a. Kesadaran Diri (self awareness)

Self awareness merupakan kemampuan individu dalam menyadari kelebihan dan kelemahan, minat dan pilihan, dan individu di tuntut untuk dapat memahami ketidakmampuan yang dimiliki (Van Reusen, 1996). Goleman (1997; 2001) mengatakan kesadaran diri merupakan kemampuan individu untuk mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

Kesadaran diri merupakan kemampuan individu dalam menyadari kekurangan serta kelebihan yang dimiliki (Solso, 2008). Zeman (2001) membagi kesadaran ke dalam beberapa kategori antara lain: (1) kondisi terjaga, merupakan kondisi saat individu memprsepsi dan berintraksi, (2) pengalaman, yang merupakan kesiagaan individu terhadap peristiwa yang berlangsung disekelilingnya, (3) kondisi mental individu, yang meliputi keyakinan, harapan, niat dan hasrat, dan (4) kesadaran diri, yang meliputi rekognisi diri, pengetahuan diri, perasaan kepemilikian atas pikiran-pikiran, ide-ide, dan perasaan-perasaan individu sendiri.

Karasteristik kesadaran diri meliputi: attention, wakefulness, architecture, recall of knowledge, dan emotive (Solso, 2008). Attention atau perhatian: pemusatan sumber daya mental ke hal-hal eksternal maupun internal. Individu memperhatikan suatu objek dari luar dirinya untuk mendapatkan kesadaran. Selain isyarat-isyarat eksternal, individu dapat mengalihkan perhatian perhatian ke dalam diri dan merenungkan pikiran-pikiran pribadi, memori-memori, cita-cita, sehingga kesadaran diri akan dapat terbentuk.

Wakefull atau kesiagaan merupakan suatu kondisi mental yang dialami seorang sepanjang hidupnya, dalam setiap hari. Architecture sebuah aspek struktur fisiologis, dimana kesadaran bukanlah sebuah proses tunggal yang dilakukan oleh sebuah neuron tunggal, melainkan dipertahankan melalui sejumlah proses-proses neorologis yang diasosiasikan dengan interprestasi terhadap fenomena sensorik, sematik, kognitif, dan emosional, yang ada secara fisik maupun secara imajinatif. Tindakan-tindakan tersebut tampaknya berlangsung otomatis sebagai hasil dari pengalaman.

Recall of knowledge adalah proses pengambilan informasi tentang pribadi yang bersangkutan dan dunia disekelilingnya. Kesadaran memampukan manusia mendapatkan akses ke pengetahuan melalui proses recall dan rekognisi terhadap informasi mengenai diri pribadi dan mengenai dunia ini. Kesadaran diri ini memiliki tiga komponen antara lain:

Page 11: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 137

1) Self knowlege (pengetahuan diri) adalah pemahaman tentang informasi jati diri pribadi seseorang, individu akan sadar dengan dirinya sendiri, bahwa individu memiliki kekurangan serta kelebihan, serta dalam kesehariannya individu sadar hal tersebut adalah dirinya.

2) World knowledge (pengetahuan tentang dunia) merupakan kemampuan individu dalam mengingat sejumlah fakta dari memori jangka panjang. Kesadaran akan terbentuk dengan mengingat peristiwa-peristiwa di luar dirinya.

3) Activation of knowledge (aktivitas pengetahuan), merupakan kemampuan individu dalam menyadari tindakan-tindakannya melalui orang lain. Kesadaran akan terbentuk dengan melihat orang lain sebagai contoh nyata.

Emotive, suatu kondisi sadar, sebagai bentuk perasaan atau emosi. Emosi ditimbulkan oleh kondisi internal saat individu merespon peristiwa-peristiwa eksternal, saat individu berusaha mendeskrifsikan emosi-emosi subyektif tersebut kepada orang lain, perasaan-persaan tersebut persis sebagaimana yang individu rasakan.

Kesadaran diri berfungsi memampukan individu dalam merencanakan perilaku, kemampuan yang diperkuat dengan adanya kesadaran diri, memberikan individu kemampuan bertahan hidup yang lebih besar dalam lingkungan (Damasio, 1999).

b. Keterampilan Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan

Van Reusen (1996) mengatakan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu dalam mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi masalah, mengetahui sebab-akibat masalah, mengambil keputusan, menyampikan pilihan, berani mengambil dan menerima resiko.

Dubrin (2009: 110 – 128 dan 2011: 150 -180) mengatakan terdapat enam langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yaitu : (1) Kesadaran akan adanya masalah, (2) mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah, (3) mencari alternatif pemecahan, (4) mempertimbangkan alternatif dan membuat pilihan, (5) menerapkan pilihan, dan (6) mengevaluasi pilihan. Langkah-langkah pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diatas dapat dilihat dalam gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Langkah-langkah pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan menurut DuBrint (2011: 156).

Menurut Friend & Cook (2010: 26 - 53) menjelaskan langkah-langkah dalam pemecahan masalah antara lain: 1) Analisis konteks pemecahan masalah; langkah ini

terdiri dari (1) menilai faktor yang berhubungan dengan keberhasilan dalam proses pemecahan masalah; pada tahap ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (a) apakah peserta dapat berkomitmen untuk terlibat dalam pemecahan masalah, (b) apa yang akan terjadi bila masalah tersebut tidak ditangani?, (c) apakah peserta memiliki kemampuan yang diperlukan dalam mengatasi masalah?, (d) apakah masalah itu seimbang dengan waktu dan kemampuan dalam mengatasi masalah; (2) membuat keputusan bersama orang lain apakah pemecahan masalah secara interpersonal merupakan pendekatan yang tepat.

2) Identifikasi masalah; (1) mencari data dan informasi dari berbagai sumber sehingga dapat menjelaskan masalah, serta menjaga pandangan dan pikiran yang berbeda pada peserta yang ikut dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan masalah sebagai dasar penyataan dan bahasa yang secara spesifik, (3) memastikan bahwa semua peserta menyetujui diskrifsi dan identifikasi masalah yang akan dibahas.

3) Memilih solusi yang cocok; langkah-langkahnya sebagai berikut (1) menggunakan berbagai strategi khusus dalam mengusulkan solusi sebanyak mungkin untuk penyelesaian masalah, (2) membuat aturan seluas mungkin yang dapat diterima dalam mendorong berpikir, dan pandangan yang berbeda: termasuk mengevaluasi perbedaan soulusi, ide solusi yang bisa dan tidak bisa untuk dicatat secara tertulis.

4) Evaluasi potensi pemecahan masalah; (1) menghilangkan solusi yang tidak mungkin untuk dilaksanakan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, (2) mempertimbangkan solusi yang tidak digunakan dengan menggunakan strategi kusus dan mempertimbangkan masing-masing kekurangan, (3) memilih salah satu atau lebih dari solusi yang potensial untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan secara rinci, (4) membuat rencana secara rinci untuk solusi yang akan dilaksanakan, (5) mengatur waktu pelasanaan secara efektif dari berbagai solusi yang dipilih.

5) Penerapan solusi masalah; (1) melaksanakan solusi yang telah direncanakan, (2) memantau konsitensi pelaksanaan.

6) Evaluasi hasil; (1) menggunakan data, untuk menentukan apakah solusi yang diimplementasikan itu tepat atau memiliki efek yang diinginkan, (2) membuat keputusan untuk (a) melanjutkan pelaksaan, (b) menghentikan solusi karena masalah sudah dapat teratasi, (c) mervisi solusi untuk meningkatkan pengaruh pada hasil, atau (d) menghentikan karena solusi yang tidak efektif untuk dilaksanakan, (3) jika solusi yang ditawarkan tidak efektif, menentukan alasan dan kembali memasuki pada titik proses pemecahan

Page 12: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 138

masalah (contoh, menghasilkan solusi yang lebih baik), (4) memiliki koneksi selama pemecahan masalah sehingga dapat membantu lebih banyak, sebagai contoh: dapat menggunakan bahan-bahan dari luar dalam mencari rincian materi permasalahan yang dihadapi.

c. Keterampilan Berkomunikasi Keterampilan komunikasi merupakan simbol

dan sikap tubuh dalam menyatakan ide, menyatakan pikiran, mengungkapkan pendapat, mengungkapkan perasaan, mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, menyatakan pertayaan, menerima kritikan dan komentar dari orang lain, serta memiliki keterampilan negosiasi dalam berkomunikasi secara verbal maupun non verbal (Van Reusen, 1996).

Komunikasi meliputi pengirim pesan, penerima pesan, pesan atau informasi, media, dan umpan balik. Informasi dapat berupa bahasa atau simbol yang disampikan melalui media tertulis atau tidak tertulis atau melalui lambang dan gambar. Umpan balik berguna bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan yang disampaikan kepada penerima pesan sudah dimengerti atau belum, sehingga terdapat kesamaan presepsi atara pengirim pesan dan penerima pesan (Rakhmat, 2009).

Dalam buku Understanding Human Communication oleh Adler dan Rodman (2006), menjelaskan dalam proses komunikasi atara dua orang atau lebih terdapat beberapa elemen mendasar yang perlu di mengerti antara lain: 1) Tujuan, gagasan, dan perasaan pesan, cara

mengirim pesan, dan pesan yang akan dikirim. 2) Simbol pesan dari pengirim: memaknai ide,

perasaan dan maksud pesan yang dikirimkan dengan tepat

3) Mengirimkan pesan kepada penerima pesan 4) Tahap memaknai pesan 5) Pemaknaan oleh penerima pesan yaitu

menginterprestasikan maksud pesan yang disampaiakan. Interprestasi penerima pesan tergantung bagaimana penerima pesan memahami isi pesan dan maksud pengirim pesan.

6) Tanggapan pribadi penerima pesan untuk mengiterprestasikan pesan

7) Gangguan-gangguan dalam proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Gangguan yang dimakasud adalah beberapa aspek yang mempengaruhi proses komunikasi. Gangguan pada pengirim pesan seperti sikap, prasangka, kerangka berfikir, kesesuaian bahasa atau ekspresi dari pesan. Gangguan pada penerima pesan berupa sikap, latar belakang, pengalaman yang mempengaruhi proses pemahaman pesan. Pada saluran komunikasi bentuk gangguan seperti: 1) situasi lingkungan, apakah tenang, atau ramai. 2) masalah pengucapan seperti: gagap, dan 3) perilaku-perilaku yang mengganggu, seperti kecenderungan mengomel dan lain-lain (Adler & Rodman, 2006).

Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif manalkala kedua belah pihak yaitu pengirim dan

penerima pesan terjadi kesamaan dalam meninterprestasikan pesan, maka komunikasi tersebut dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif (Rakhmat, 2009).

Dalam mengungkapkan pendapat, perasaan, mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, menyatakan pertayaan harus dikemukakan secara verbal kepada orang lain secara langsung, jujur, tidak menyakiti orang lain dan sesuai dengan situasi. Ada bebrapa alasan mengapa mengungkapkan pendapat, ide persaaan kepada orang lain itu sangat penting karena dapat: 1) meingkatkan konsep diri yang positif, 2) meningkatkan keterampilan komunikasi, 3) dapat memberi kepuasan pada hubungan antara pribadi, 4) orang lain dapat mengenal diri anda dengan lebih baik (Rakhmat, 2009).

d. Kesadaran Tanggung Jawab Tanggung jawab adalah perilaku yang

menentukan bagimana individu bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral (Raths, 1978: 131). Tanggung jawab merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dirinya dengan cara yang tidak merugikan, merampas atau mengorbankan orang lain dalam memenuhi kebutuhan mereka (Glesser dalam Rosjidan, 1994: 44).

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja atau tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tirtaraharja dan Sulo (2008: 8) membagi wujud tanggung jawab diantaranya: 1) tanggung jawab kepada diri sendiri, berarti menanggung tuntutan kata hati misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. 2) tanggung jawab kepada masyarakat, artinya menaggung tuntutan norma-norma sosial. 3) tanggung jawab kepada Tuhan yaitu tanggung jawab menaggung tuntutan norma-norma agama.

Menurut Cooper & Sawaf (2002: 70) kesadaran tanggung jawab mempunyai manfaat sebagai berikut: 1) Dapat melatih individu menjadi lebih sigap dan waspada dalam bertindak. 2) Dapat menjadi lebih serius. 3) Dapat menjadi lebih diperhitungkan. 4) Dapat mempraktekkan semua nilai yang baik tanpa ragu. 5) Dapat menjadikan individu jarang membuat keputusan yang gegabah yang berakhir dengan akibat buruk pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. 6) Menjadikan individu makin jujur secara emosi kepada diri sendiri dan orang lain. 7) Menjadikan individu mengerahkan perhatian yang lebih terhadap apa yang dikerjakan dan perilakunya. 8) Menjadikan individu tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang menyakiti diri sediri dan orang lain.

Individu bisa dikatakan memiliki kesadaran tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, jika individu tersebut memiliki beberapa ciri-ciri tingkah laku seperti: 1) Menerima tanggung jawab. Mempunyai keyakinan

terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

2) Berorentasi tujuan. Individu dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan

Page 13: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 139

kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara rasional, tidak atas dasar paksaaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya.

3) Penerimaan sosial, yaitu individu dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

4) Berorentasi keluar, artinya individu bersifat resfek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedualian terhadap situasi dan masalah-maslah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan menngorbankan orang lain

5) Dapat mengontrol emosi, merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustasi, depresi, atau stres secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak)

6) Mengakui kekurangan dan kesalahan, menerima akibat dari kesalahan yang dilakukan. Tanggung jawab, kesiapan individu untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Mau menerima resiko secara wajar dan tidak melarikan diri dari resiko yang dihadapi.

7) Memiliki komitmen terhadap tugas atau kewajiban. Yang ditandai dengan adanya ketetapan dan keteguhan terhadap dorongan-dorongan negatif dari luar yang tidak sesuai dengan prinsip yang dimilikinya.

8) Memiliki rasa percaya diri. Hal ini terbentuk saat sesorang mengenali kemampuannya dan memiliki kepercayaan untuk melakukan apa yang mampu dikerjakan sendiri.

9) Memiliki jiwa disiplin. Kedisiplinan mengajarkan pada siswa tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk memutuskan sikap yang layak bagi mereka dan siapa yang bertanggung jawab dalam menyakinkan bahwa mereka bersikap layak di masyarakat (Cooper & Sawaf, 2000).

2. Manfaat Self Advocacy Memiliki keterampilan self advocacy bukanlah hal

yang mudah, karena dalam self advocacy seorang individu dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula pada orang lain dalam mengekspresikan perasaan, keinginan, kemauan, cita-cita, harapan, pendapat, dan kebutuhan secara propesional tanpa bermaksud untuk memanipulasi atau menderamatisir, memanfaatkan dan merugikan dirinya dan pihak lainnya (Astramovich and Harris, 2007).

Ada beberapa manfaat self advocacy yang dapat dikemukakan antara lain: Pertama, self advocacy akan memudahkan siswa dalam mengontrol perasaan dalam hidupnya. Kedua, dengan menguasai self advocacy siswa dapat membangun rasa percaya diri. Ketiga, dengan memiliki self advocacy siswa dapat mengubah rasa putus asa dan ketidakberdayaan menjadi perasaan penuh harapan. Keempat, self advocacy akan memudahkan siswa bersosialisai dan menjalin hubungan dengan lingkungan dan luar lingkungannya, dengan kemampuan

untuk mengungkapkan apa yang diinginkan dan dirasakan secara langsung dan terus terang maka siswa bisa menghindari munculnya ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyiapkan sesuatu yang ingin diutarakannya. Kelima, dengan memiliki keterampilan self advocacy maka para siswa dapat dengan mudah mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atau permasalahan yang dihadapi secara efektif, sehingga tidak akan menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keenam, self advocacy dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya, memperluas wawasan tentang lingkungan, mengembangkan kesadaran diri (self awareness) yang dimilikinya, dan dapat menghargai perbedaan tata/cara pandang yang terjadi dalam masyarakat, memahami kelebihan dan kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut. (Van Reusen, 1994; 1996).

Tujuan yang diharapakan ketika siswa memiliki keterampilan self advocacy yang efektif berupa: 1) Siswa dapat mengembangkan kesadaran diri dan dapat menghargai perbedaan tata/cara pandang masyarakat, 2) Siswa dapat mengembangkan pengetahuan tentang individu, kelompok dan konsekuensi sosial terhadap prasangka dan tekanan, 3) Siswa dapat mengembangkan keterampilan self advocacy secara efektif dalam mempromosikan keseimbangan dan keadilan sosial dilingkungan pendidikan dan dalam masyarakat, 4) siswa dapat mengembangkan kesadaran tanggung jawab serta berani mengambil resiko dalam pengambilan keputusan atau pilihan (Astramovich and Harris, 2007).

B. Structure Learning Approach (SLA) Remaja sering tidak terampil untuk menyatakan

keinginan, kebutuhan, ide dan perasaan secara akurat dan benar kepada orang lain. Beberapa perilaku yag tidak efektif mungkin terjadi karena adanya paksaan kepada remaja untuk berperilaku pasif atau dikarenakan remaja kekurangan pengetahuan dan keterampilan untuk menegaskan keberadaan dirinya sendiri. Sebagaian remaja berperilaku agresif atau pasif mungkin karena perilaku agresif sangat efektif untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan hanya itulah cara yang diketahui untuk mempertahankan dirinya dilingkungannya. Pendekatan lainnya bisa menghasilkan perasaan-perasaan yang negatif, tidak dihargai, merasa bersalah, marah pada diri sendiri dan orang lain serta tidak berdaya. Mempelajari perbedaan antara perilaku bagaimana mempertahankan diri mereka sendiri dan keterampilan-keterampilan yang dikaitkan dengan self advocacy adalah cara-cara remaja dapat mengembangkan ekspresi diri dan meningkatkan tanggung jawab.

Kemampuan memberikan respon secara efektif sangat penting khususnya bagi siswa yang berada di dalam fase perkembangan. Dalam kaitannya dengan pemerolehan keterampilan-keterampilan hubungan interpersonal dimana siswa belajar untuk lebih mandiri dalam beberapa hal namun pada saat yang sama mereka sering merasakan adanya hubungan yang tidak nyaman dengan teman sebaya dan bergantung pada keputusan orang lain. Siswa yang tidak terampil dalam menyatakan sesuatu secara efektif, tidak bisa melawan tekanan yang berasal dari teman, orang tua, guru, lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat dan mungkin merasa kehilangan harga diri atau self esteem yang lemah atau

Page 14: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 140

yang disebabkan oleh keyakinan yang dimiliki untuk dapat berhasil lemah, yang biasa disebut self-eficacy yang lemah.

Upaya konselor dalam membantu siswa agar terhindar dari cara-cara penyesuaian diri yang keliru dalam komunikasi interpersonal antara lain dengan menfasilitasi perubahan perilaku siswa melalui self advocacy. Self Advocacy adalah suatu proses yang sistematis mencakup kesadaran diri (self Awareness), pengetahuan (Knowledge) dan keterampilan (skills) yang dapat mengembangkan dan melatih kemampuan individu untuk menyampaikan secara langsung dan jujur atas pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya tanpa menghilangkan martabat diri sendiri dan orang lain serta dapat bertanggung jawab atas apa yang mereka putuskan (Brinckerhoff, 1994). Melalui pelatihan siswa diberikan kesempatan untuk berlatih melakukan penyesuaian keterampilan sosial melalui ekspresi diri tentang perasaan, sikap, harapan, pendapat dan haknya baik secara verbal mapun nonverbal yang akan diajarkan, dilatihkan dan diitegrasikan ke dalam rangkaian perilakunya.

Pelatihan keterampilan self advocacy diberikan dalam kelompok. Seluruh anggota kelompok yang dilatih diberikan itruksi, modeling, selanjutnya anggota kelompok bermain peran dalam meningkatkan keterampilan self advocacy. Setelah latihan atau bermain peran, setiap anggota mendapatkan umpan balik untuk memperbaiki serta meningkatkan keterampilan self advocacy. Setiap anggota diharapkan dapat menunjukkan keterampilan self advocacy secara tepat pada berbagai situasi (Brinckerhoff, 1994).

Banyak keuntungan apabila self advocacy diberikan dalam bentuk kelompok. Kelompok fokus pada situasi sosial tertentu dan diberikan suatu kesempatan yang realistis untuk menghadapi dan menantang kesulitan tersebut dalam lingkungan yang terstruktur dan aman. Namun perlu di ingat bahwa pelatihan secara kelompok tidak cocok bagi semua orang oleh karena tidak semua individu dapat diperlakukan dengan cara yang sama (Brinckerhoff, 1994).

Salah satu aspek penting dalam pelatihan adalah metode pelatihan. Metode pelatihan yang seseuai akan memberikan konstribusi yang sangat penting, apakah sebuah pelatihan dapat diterima atau tidak. Dalam metode pelatihan yang dipilih hendaknya mengandung unsur-unsur feeling, thinking, dan doing. Unsur tersebut diharapkan akan membentuk pemahaman yang integral dalam diri peserta pelatihan terhadap materi-materi yang dilatihkan.

Structure Learning Approach memiliki pola langkah-langkah pelatihan yang terdiri atas empat komponen yang bersipat herarhis. Komponen tersebut adalah modeling, feed back dan transfer of training masing-masing ditetapkan sebagai prosedur pelatihan. Dalam pelatihan ini menggunakan Structure Learning Approach dan dikembangkan sebuah komponen lagi yaitu; intruksi. Komponen tersebut perlu ditabahkan karena termasuk dalam keterampilan sosial memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kognitif dan dimensi perilaku. Intruksi dimaksudkan untuk mengembangkan aspek kognitif perilaku sosial (Handarini, 2000).

self advocacy adalah latihan berperilaku yang diharapkan (Cooksley & Catt. 1995). Tujuan latihan berperilaku adalah agar seseorang belajar bagaimana mengganti sesuatu respon yang tidak sesuai, dengan respon yang baru dan sesuai dengan tuntutan sosial. Self advocacy dilakukan dengan mengacu pada prosedur model intervensi dalam kelompok

psikoedukasi karena terbukti efektif bagi anak-anak dan remaja dalam seting sekolah.

Menurut Nelson-Jones (dalam Supratiknya, 2008) psikoedukasi sebagai gerakan pemberian layanan publik di bidang konsultasi psikologi tidak bermakna tunggal, tetapi sebaliknya bermakna ganda meliputi upaya: a) melatih orang dalam mempelajari aneka life skills, b) pendekatan akdemik/ekspernsial dalam mengajarkan psikologi, c) pendidikan humanistik, d) melatih tenaga profesioal dalam bidang bimbingan dan konseling, e) melatih serangkaian kegiatan pelayanan kepada masyarakat, dan f) memberi pendidikan tentang psikologi kepada publik.

Model intervensi psikoedukasi menurut Rosemary (2003), merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dan sistematik dalam meremedisi dan meningkatkan keefektifan intrapersonal dan interpersonal. Sistem pelatihan keterampilan yang komprehensif ini menekankan model pengembangan kecakapan hidup, antara lain dengan asumsi bahwa siswa adalah subyek yang mampu dalam mengembangkan keterampilan hidup dan membuat perencanaan untuk mengatur hidupnya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa pendekatan experiental graup lebih tepat diterapkan dari pada pendekatan yang bersifat mendidik individu secara perorangan dalam rangka menigkatkan tingkah laku yang merugikan diri.

Model intervensi psikoedukasi keterampilan hidup atau life skills dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran sosial. Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan pandangan-pandangan behavioral tentang belajar yang dilengkapi dengan kajian tentang paengaruh sosial yang terjadi dalam belajar melalui observasi terhadap orang lain. Melalui pembelajaran sosial individu tidak hanya belajar bagaimana melakukan sebuah perilaku, tetapi juga apa yang akan terjadi pada diri individu dalam situasi tertentu jika hal itu dilakukan.

Menurut Bandura (dalam Woolfolk, 2009) pembelajaran sosial melibatkan empat elmen penting, yaitu: anensi, retensi, produksi, motivasi dan penguatan. Keterampilan self advocacy sebagai bagian dari keterampilan sosial-interpersonal pada dasarnya diperoleh melalui pembelajaran dengan cara mengamati, memodel, melatih ulang dan memberikan feedback dan selanjutnya dioptimalkan melalui reinfocement (penguatan sosial: respon-respon positif dari lingkungan sosial seseorang) dan pelatihan ulang serta pembinaan secara behavioaral dapat memperkuat pembelajaran itu sendiri (Brinckerhoff, 1994).

Berdasarkan uarian-uaraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa psyhcoeducational life skills intervention model adalah suatu model intervensi psikoedukasi pada setting sekolah, yang mencakup pelayanan pada bidang perkembangan pribadi-sosial, belajar dan karir peserta didik dan berorentasi pada perkembangan aneka keterampilan yang diselenggarakan berbasis kelompok dan melalui aneka pendekatan program atau Structure Learning Approach. Adapun aplikasi Structure Learning Approach dalam pelatihan self advocacy ini meliputi tahapan: 1) arahan/tinjauan, 2) pemberian model, 3) bermain peran, 4) pemberian umpan balik, 5) pemberian tugas (Sprafkin, Gershaw, dan Goldstein, 1993, yang selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003)

Tahap-tahapan structure learning approach berdasarkan Psyhcoeducational life skills intervention model dalam rangka pelatihan keterampilan self advocacy ini lebih komprehensif dibandingkan dengan tahapan pembelajaran terstruktur menurut (Sprafkin, Gershaw, dan Goldstein, 1993;

Page 15: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 141

Thompson, 2003), karena rangkaian pembelajaran diawali dengan tahap intruksi atau pemberian arahan/tinjauan tentang topik keterampilan yang dilatihkan. Berikut uraian tentang tahapan dalam Structure Learning Approach: 1. Langkah pertama: intruction (arahan atau tinjauan

tentang topik pelatihan). Pengarahan yang dilakukan pada awal pelatihan

berupa penjelasan tentang tujuan dan makna dari seluruh rangkaian kegiatan yang akan dilakukan selama pelatihan. Arahan sangat penting diberikan pada tahap ini yang berkaitan dengan berbagai keuntungan mempelajari topik-topik pelatihan keterampilan self advocacy untuk meningkatkan hubungan interpersonal dengan orang lain, dan juga gambaran tentang dampak negatif karena mempelajari topik-topik keterampilan self advocacy. Arahan atau tinjauan dapat diakhiri dengan mengajukan pertayaan yang dapat membantu siswa untuk mendifinisikan makna topik keterampilan self advocacy yang dilatihkan.

2. Langkah kedua: Modeling (pemberian model) Modeling adalah suatu metode untuk melahirkan

perilaku baru atau prosedur dimana orang dapat belajar perilaku yang diharapkan melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain. Pemberian model dalam pelatihan self advocacy, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan self advocacy dengan asumsi mengamati perilaku orang lain yang sukses dalam perilaku tertentu disertai dengan pemberian informasi tentang bagaimana kesuksesaan itu diperoleh akan memunculkan reinforcement dan akan memotivasi seseorang untuk berbuat hal yang sama.

Penggunaan metode tersebut mengisyaratkan kemampuan fasilitator (konselor, guru) untuk memberikan model kepada seluruh anggota kelompok mengenai hal-hal yang dianggap perlu atau tepat untuk menguasai jenis-jenis keterampilan self advocacy yang dilatihkan. Hal ini memungkinkan setiap anggota kelompok untuk memvisualisasikan proses itu sendiri. Model dapat berupa demonstrasi secara langsung ataupun simulasi dengan menggunakan presentasi media.

3. Langkah ketiga: Bermain peran (Role Playing). Bermain peran mempunyai beberapa arti, yaitu: (1)

sesuatu yang bersifat sandiwara, yaitu pemain memainkan peran tertentu sesuai dengan tujuan tertentu, (2) sesuatu yang bersifat sosiologis atau pola-pola perilaku yang ditentukan oleh norma-norma sosial, (3) sesuatu perilaku tiruan, dimana seseorang berusaha mengelalui orang lain dengan jalan berperilaku yang berlawanan dengan apa yang sebenarya, dan (4) sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan dalam hal ini individu memerankan situasi imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku, atau menunjukkan pada orang lain bagaimana seseorang harus berperilaku (Cohen, Manion, & Morridon, 2007: 448-456)

Metode role playing efektif digunakan dalam pelatihan karena: 1) dapat memberikan gambaran mengenai tingkah laku yang bermasalah dan membantu peserta terfokus pada keterampilan tertentu yang spesifik. Latihan keterampilan baru yang dilakukan secara berulang-ulang dapat membantu siswa mampu merasakan beberapa reaksi yang sama yang akan tanpak ketika tingkah laku terjadi diluar seting kelompok. 2) role playing

dilakukan dengan tujuan memberi siswa pengalaman pelatihan keterampilan-keterampilan tertentu serta membahas dan mengidentifikasi tingkah laku yang efektif dan tidak efektif. 3) role playing dapat meningkatkan tingkat kepercayaan diri dan kenyamanan pada seting kehidupan nyata. 4) semakin nyata berlatih bermain peran maka emosi akan semakin terlibat dan meningkatkan pembelajaran siswa terhadap keterampilan baru yang dilatihkan. 5) melalui bermain peran terkait berbagai situasi yang serupa dengan kehidupan nyata akan memungkinkan siswa untuk mencoba beraneka cara dalam menghadapi situasi-situasi tanpa megalami konsentrasi yang serius bila mana metode-metode yang dicoba tersebut gagal (Rosemary, 2003).

Role playing dalam model intervensi psikoedukasi, di nilai efektif dalam rangka: 1) mencoba, melatih ulang dan mempraktekkan pembelajaran baru dalam suatu setting yang aman bagi siswa, 2) mengetahui sejauh mana suatu keterampilan/tingkah laku yang baru dapat memberikan rasa nyaman bagi siswa, 3) menilai alternatif tindakan yang paling sesuai bagi siswa, 4) melatihkan pembelajaran yang sesuai dengan realita.

Berdasarkan pengertian tersebut maka metode bermain peran yang digunakan dalam pelatihan ini lebih bermakna edukatif bagi para siswa untuk memahami, meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku serta menunjukkan pada orang lain tentang pentingnya keterampilan self advocacy.

4. Langkah keempat: Pemberian umpan balik (performance feedback)

Fokus pemberian umpan balik berkenaan dengan cara-cara untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan siswa dalam proses bermain peran, pada langkah tersebut perlu diperhatikan keseimbangan antara pemberian pujian dan saran-saran yang konstruktif. Saran yang diberikan haruslah merupakan hal-hal yang dapat dilakukan siswa melalui latihan.

Hal-hal teknis perlu diperhatikan fasilitator (konselor) dalam memberikan umpan balik terhadap penampilan siswa dalam bermain peran: a) hal-hal positif perlu disampaikan terlebih dahulu sebelu informasi yang lebih sesitif, b) jelaskan tingkah laku yang dimaksudkan, c) umpan balik berfokus pada tingkah laku yang dapat diubah bukan pada kepribadiannya, d) memberikan penjelasan secara spesifik tentang tingkah laku dan bukti-buktinya, e) anggota kelompok yang melakukan role playing diharapkan agar dapat secara seksama mendengarkan komentar yang diberikan, f) para observer diminta melaporkan seberapa baik langkah-langkah pelatihan telah dilakukan, g) para observer diminta melaporkan tentang hal-hal khusus yang disukai dan tidak disukai, serta berbagai komentar tentang peran yang anggota kelompok yang melakukan latihan ulang, h) para anggota kelompok yang melakukan latihan ulang diminta memberikan respon mengenai seberapa baik penampilannya dalam mengikuti setiap tahapan atau langkah pelatihan keterampilan yang dilakukan.

5. Langkah kelima: Pemberian tugas dan pemeliharaan (transfer of training and maintenance)

Tujuan dari program pelatihan ini tidak hanya melihat bagaimana penampilan peserta di dalam pelatihan, tetapi juga seberapa baik penampilan peserta di dalam

Page 16: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 142

kehidupan nyata. Dalam hal ini pemberian tugas rumah merupakan kegiatan yang umum digunakan untuk mentransfer keterampilan (transfer of training) baru yang dipelajari (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993; Thompson, 2003).

Pemberian tugas merupakan komponen yang sangat penting dalam rangkaian proses pelatihan keterampilan atau kecakapan hidup tertentu. Para partisipan perlu diberi kesempatan untuk mentransfer kecakapan hidup yang baru tersebut kedalam berbagai situasi yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Anggota kelompok yang melakukan latihan ulang tingkah laku tertentu yang ditugaskan untuk melakukan tugas rumah.

Tugas rumah yaitu tugas yang diberikan kepada anggota kelompok yang melakukan pelatihan ulang untuk diterapkan diantara sesi-sesi pertemuan sesi pertemuan kelompok berikutnya. Pemberian tugas rumah dimaksudkan untuk menigkatkan kerja anggota kelompok dalam setiap sesi, menimbulkan kesadaran anggota kelompok tentang berbagai keterampilan yang ingin ditingkatkan serta melatihkan berbagai tingkah laku baru dalam berbagai setting yang alamiah (Thompson, 2003).

DAFTAR PUSTAKA ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelengaraan Bimbingan dan

Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.

Adler, R. B. & Rodman, G. 2006. Understanding Human Communication, Ninth Edition. New York. Oxford University Press.

Astramovich R. L. and Harris K. R. 2007. Promoting Self-Advocacy Among Minority Students in School Counseling. Journal of Counseling & Development. Vol 85: 269-276.

Brinckerhoff, L. C. 1994. Developing Effective Self-Advocacy Skills in College Bound Students with Learning Disablities. Jurnal Intervention in School and Clinic, Vol 29. No 4: 229-237.

Cohen, L., Manion, L., Morrison, K. 2007. Research Methods in Education. Sixth Edition. London. Routledge Taylor & Francis Group.

Cooksley, R. H., and Catt. R. 1995. Classroom Staregies for Teacher and Pupil Support. Dalam Philip Garner and Sarah Sandow (Ed.), Self-advocacy and Special Needs (hlm 43-65). London. David Fulton Publishers.

Cooper, R. K., dan Sawaf, A. 2002. Executive EQ Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Damasio, A. 1999. The Feeling of What Hoppen: Baby, Emotion and the Making Conciousness. London. Heineman.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pedidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dan Siswa dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Rambu-rambu Penyelengaraan Bimbingan dan Konseling

dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Depaartemen Pendidikan Nasional.

DuBrin, A, J. 2009. Human Relations Interprersonal Job Oriented Skills. Tenth edition. New jersey. Pearson Prentice Hall.

DuBrin, A, J. 2011. Human Relations for Career and Personal Sucess, Consepts, Application, and Skill. Boston. Pearson Prentice Hall.

Friend, M & Cook, L. 2010. Interactions Collaboration Skills for School Professionals. sixth edition. Boston. Pearson.

Goleman, D. 1997. The groundbreaking book that redefines what it means to be smart, Emotional Intelligence Why it can matter more than IQ. The 10th anniversary edition. New York. Bantam Books.

Goleman, D. 2001. Working Whit Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta. PT Garamedia.

Handarini, D. M. 2000. Pengembangan Model Pelatihan Keterampilan Sosial Bagi Siswa Sekolah Menengah Umum Terpadu. Disertasi tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Lewis, J. A., Arnold., & Toporek, R. L. 2003. Advocacy Competencies. Edoresed by the ACA Governing Council March 20-22.

National Coalition for Cancer Survivorship (NCCS). 2009. Self-Advocacy A Cancer Survivor’s Hand Book. National Coalition For Cancer Suvervivorship.

Oregon Department of Education. 2001. Self-Determination Handbook: A Resurce Guide for Teaching and Facilitating Transition and Self-Advocacy Skills. Oregon.Public Service Building.

Pacock A. L., Stan. L., Meagan. K., David. W. T., Bob A., Wendy. W., and James E. M. 2002. Successful Strategies for Promoting Self-Advocacy Among Student With LD: The LEAD Group. Intervention in School and Clinic. Vol. 37 No 4: 209-216.

Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional

Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Raths, L. E., Harmin, M. & Simon, S. B. 1978. Velues and Teaching: Working with Velues in the clasroom, second edition. Colombus: Charles E Merrill Publishing Company.

Rosemary. S C. 2003. Planning Programs for Adult Learner A Practical Guide for Educators, Trainers, and Staff Developers. Second edition. San Francisco. Jossey Bass.

Rosjidan. 1994. Modul Pendekatan-pendekatan Konseling Kelompok. Malang. IKIP. FIP. BKP.

Skinner. M. E. 1998. Promoting Self Advocacy Among College Students with Learning Disablities. Intervention in School and Clinic. Vol. 33. No. 5: 278-283.

Solso, R. L. 2008. Psikologi Kognitif (terjemahan).Jakarta. Erlangga.

Sprafkin, R. P., Gershaw, N. J. & Goldstein, A. P. 1993. Social Skills for Mental Health, a structured learning approach. Boston. Allyn and Bacon.

Steele, J M. 2008. Counselor Preparation. Preparing Counseling To Advocate For Social Justice: A Liberation Model. Journal Counselor Education & Supervision. Desember Vol 48: 74 – 85.

Page 17: Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajian Pendidikan Sains ... filepelaku, pemerhati, dan stakeholder pada bidang sains, terapan, pembelajaran sains dan umum yang meliputi guru, mahasiswa,

Prosiding Seminar Nasional Pusat Kajin Pendidikan Sains dan Matematika Tahun 2016 “Assessment of Higher Order Thinking Skills”

Mataram, 12 Maret 2016

ISBN: 978-602-74245-0-0 143

Supratiknya, A. 2008. Merancang Program dan Modul Psikoedukasi. Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.

Thompson, A. R. 2003. Counseling Techniques, Second Edition, New York.

Tirtaraharja, U & Sulo, L. 2008. Pengantar pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.

Toporek, R.L., Lewis, Judith A., & Crethar, Hugh C., 2009. Promoting Systemic Change Through the ACA Advocacy Competencies. Journal of Counseling & Development. Vol 87: 260 – 268.

Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32. No.1: 49 – 54.

Van Reusen, A. K., Bos, C. S., Schumaker, J. B., & Deshler, D. D. (1994). The self advocacy strategy for education and transition planing. Lawrence, KS: Edge Enterprises.

Woolfolk, A. 2009. Educational Psychologi Active Learning Edition, Tenth Edition (Alih Bahasa: Helly Prajitno Soetjipto, Sri Mulyantini S), Yogyakarta. Pustaka Belajar.

Zeman, A.Z. 2001. Conciousness. London. Yale University Press.