prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

311

Upload: fppi-unila

Post on 12-Aug-2015

185 views

Category:

Education


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika
Page 2: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika
Page 3: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

i

KATA PENGANTAR

Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah S.W.T, atas karunianya Prosiding Seminar

Nasional Pendidikan Matematika I ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan

Matematika insya Allah merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi

Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah

wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian

ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta.

Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan

terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka

masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan

karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun

internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan

perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,

dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan

seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang

banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa

seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar nasional pendidikan matematika I

mengambil tema ―Membangun Pendidikan Karakter bagi Calon Pendidik‖ yang diselenggarakan di

Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 7 Desember 2011.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas

penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik,

khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung

beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering

Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam

penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan

Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Page 4: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

ii

SAMBUTAN KETUA PANITIA

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

STKIP SILIWANGI BANDUNG

Assalamu’alaikum wr wb,

Salam sejahtera bagi kita semua.

Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.

Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah S.W.T karena telah mempertemukan

kita pada acara seminar nasional pendidikan matematika di STKIP SILIWANGI Bandung dalam

keadaan sehat wal‘afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat

bagi kita semua, Amien.

Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini dengan tema, ―Pendidikan Karakter dalam

Pembelajaran Matematika bagi Para Calon Pendidik‖, bertujuan untuk : 1) memberikan

pemahaman kepada kita semua tentang arti pentingnya karakter dan bagaimana mengintegrasikan

dalam pembelajaran matematika 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam

lingkup pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan,

dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran

matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan

seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP

Siliwangi Bandung.

Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut

adalah Bapak Prof. Dr. H. Wahyudin, M.Pd, Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, dan Prof. H.E.T.

Ruseffendi, PhD. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi

yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerima 35 abstrak dan 29

makalah dari pemakalah dari berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel, dari

kesemua pemakalah hanya 24 makalah yang akan dipresentasikan dalam sesi paralel tersebut.

Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan

Praktisi dunia pendidikan.

Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami

menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP SILIWANGI beserta Jajarannya, Bapak

Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika. Sebagai ketua panitia, saya

menyampaikan penghargaan kepada segenap anggota panitia dan semua pihak yang telah

membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam

penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan

Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Akhirnya, kami berharap seminar ini memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini khususnya

dan dunia pendidikan pada umumnya.

Wassalmu’alaikum wr wb.

Bandung, 7 Desember 2011

Ketua Panitia Seminar Nasional

Rafiq Zulkarnaen, S.Pd., M.Pd.

Page 5: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i

KATA SAMBUTAN ............................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii

PEMBICARA UTAMA

NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA OIeh : H.E.T. Ruseffendi .................................................................................................................... 1

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Utari Sumarmo........................................................................................................................ 22

MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS

Oleh : Wahyudin ................................................................................................................................ 33

MATEMATIKA PENDIDIKAN

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI INDONESIA

Oleh : Euis Eti Rohaeti....................................................................................................................... 43

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh : Asep Ikin Sugandi ................................................................................................................... 50

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS MAHASISWA S-1 MELALUI

PEMBELAJARAN MEAS

YANG DIMODIFIKASI

Oleh : Bambang Avip Priatna Martadiputra(1)

, Didi Suryadi(2)

................................................... 57

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah

Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung

Oleh : Puji Lestari .............................................................................................................................. 64

KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI KOLABORASI

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN JIGSAW II PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH

KEJURUAN

Oleh : Rudy Kurniawan ..................................................................................................................... 73

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA

SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

Oleh : Masta Hutajulu ....................................................................................................................... 83

MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA MELALUI

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Oleh Nur Izzati ................................................................................................................................... 91

PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA

SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi)

Oleh : Yuniawatika ............................................................................................................................ 97

Page 6: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

iv

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI KOOPERATIF JIGSAW

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH

MENENGAH PERTAMA

Oleh : Nitta Puspitasari .................................................................................................................... 107

MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN

MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

Oleh : Anik Yuliani ........................................................................................................................... 115

BERPIKIR INTUITIF (INTUISI) SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DALAM

MENGEMBANGKAN BERPIKIR KREATIF

Oleh : Aan Hasanah .......................................................................................................................... 122

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BERPIKIR KREATIF

GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN

BERBASIS MASALAH BERBANTUAN PROGRAM CABRI GEOMETRY II

Oleh : Atik Krismiati ........................................................................................................................ 130

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN

DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF

Oleh : Tata ......................................................................................................................................... 138

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI

PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA

Oleh : Kartini .................................................................................................................................... 145

PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI DALAM OPERASI

PERKALIAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER KREATIF DAN CINTA

BUDAYA LOKAL MAHASISWA PGSD

Oleh : Supriadi .................................................................................................................................. 154

INTUISI DALAM BERMATEMATIKA: FAKTA DAN IMPLIKASINYA PADA

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh : Agus Sukmana ....................................................................................................................... 159

MENGENALKAN MATEMATIKA MELALUI PENGAMATAN ALAM SEMESTA (Menanamkan

Karakter Rasa Ingin Tahu, Peduli Lingkungan dan Menghargai Prestasi)

Oleh : Agung Prabowo ..................................................................................................................... 166

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK PADA KONSEP PECAHAN DAN PECAHAN SENILAI

Oleh : Wahid Umar........................................................................................................................... 177

PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA (MATHEMATICS ANXIETY) TERHADAP

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP

Oleh : Ika Wahyu Anita ................................................................................................................... 186

PEROLEHAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) MAHASISWA PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN MATEMATIKA UIN BANDUNG BERDASARKAN JALUR MASUK YANG

DITEMPUH DAN ASAL SEKOLAH

Oleh : Rahayu Kariadinata, Asep Jihad, Ni’ma Hilda Mahmudah ............................................. 194

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL CORE

Oleh : Ellisia Kumalasari ................................................................................................................. 221

Page 7: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

v

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM

SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN ADAPTIF SISWA SMA

(Penelitian Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas X SMAN 6 Bandung)

Oleh : Ibrahim Sani Ali Manggala .................................................................................................. 229

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIK SISWA ANTARA YANG

PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN TAHAP-TAHAP VAN HIELE DENGAN

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Oleh : Rita Rudita ............................................................................................................................ 235

PENDIDIKAN KARAKTER TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI

SEKOLAH

Oleh : Sony Hariana ......................................................................................................................... 239

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING

Oleh : Sutirna.................................................................................................................................... 245

MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DENGAN PENDEKATAN KONTEKTUAL

Oleh : Kokom Komariah ................................................................................................................. 249

GURU DAN SISWA BERKARAKTER

Oleh : Reti Damayanti...................................................................................................................... 255

PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI SMP

Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno ............................................................................................... 261

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SEKOLAH

MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIFTHINK-TALK-WRITE

(TTW)

Oleh : Wahyu Hidayat ..................................................................................................................... 272

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ARIAS TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN

MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

Oleh : Hamidah ................................................................................................................................ 280

PENERAPAN METODE SAVI DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF DAN PENINGKATAN

BERFIKIR KREATIF MATEMATIS

Oleh : Haerudin ................................................................................................................................ 287

PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN SAVI BERBANTUAN WINGEOM

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

Oleh : Harry Dwi Putra .................................................................................................................. 292

Page 8: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika
Page 9: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 1

NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

OIeh : H.E.T. Ruseffendi

I. PENDAHULUAN

Naskah Akademik ini tidak memuat rasional umum dibuatnya Naskah Akademik itu, tetapi

langsung mengenai Pendidikan Matematika di jenjang SMP. Sebabnya ialah karena yang secara

umum itu sudah ditulis pada Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Yang akan

diuraikan di bagian pendahuluan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan

ketidakberhasilan siswa belajar. Faktor-faktor itu adalah: Tujuan Pendidikan Nasional sampai

dengan Tujuan Instruksional Khusus atau indikator, hakekat matematika, alasan matematika

diajarkan, matematika sekolah, yang berkepentingan dengan matematika, hakekat pendidikan

matematika, hakekat anak didik, teori belajar-mengajar matematika, guru dan LPTK, kebijaksanaan

penguasa, keadaan masyarakat umum, khususnya matematikawan dan pendidik matematika.

1.1. Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional kita sangat ideal sebab, selain agar manusia Indonesia sehat jasmani

dan rohani, cerdas, dan sebagainya tetapi juga agar manusia Indonesia bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Konsekuensinya, manusia Indonesia harus beragama. Sehingga bila hasil didikan

kita itu tidak berag:rma itu berarti pendidikan kita itu gagal. Bila manusia hasil didikan kita tidak

beragama, manusia-manusia Indonesia itu sama saja dengan hasil pendidikan yang sekuler.

Seperti kita ketahui, tujuan pendidikan nasional itu dijabarkan ke tujuan institusional, ke tujuan

kurikuler, dan ke tujuan instruksional; di yang lama tujuan instruksional umum dan khusus,

sedangkan di yang baru ke standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kedua-duanya

sama saja merupakan jabaran dari aliran tingkah laku (behaviorist). Dalam tujuan institusional

mengenai satuan pendidikan itu semestinya tercantum apakah sampai dengan SMP itu merupakan

jenjang wajib belajar? Dan pada tujuan kurikulernya sudah tercantum tujuan pembentukan

sikapnya. Masalahnya instrumen untuk melihat hasil belajar itu hampir semuanya hanya mengukur

daerah pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan daerah efektif sering terlupakan.

1.2. Hakekat Matematika

Matematika itu sebenarnya apa?

Matematika itu bisa berupa studi deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas

manusia. Berpendapat bahwa matematika itu adalah itu (studi deduktif misalnya) akan berpengaruh

terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Bila kita berpendapat matematika itu studi deduktif

maka pembelajaran matematika di sekolah akan formal, miskin dari penerapan, di SMA-nya penuh

dengan bukti, dan tidak kontekstual. Apakah pengembangan matematika itu ada atau tidak ada

gunanya bagi orang yang berpendapat seperti itu tidak jadi masalah. Maksudnya, bila ada gunanya

syukur, bila tidak ada tidak jadi masalah. Jadi, pengembangan matematika itu tidak menyangkut

anak.

Begitu pula bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu. Matematika itu akan indah

sendiri, terpelihara dari kesalahan-kesalahan, dan akan maju sesuai dengan keinginan sendiri. Bila

kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu, kata metematika, ―Bila perlu aku, datanglah

kepada ku‖.

Bila kita berpendapat, metematika itu sebagai bahasa, maka pembelajaran matematika di sekolah

itu bisa beragam. Bagi anak-anak yang kurang mampu harus tidak formal dan bagi yang mampu

bisa kepada yang formal dan bahkan bisa kepada sistem yang aksiomatik. Tetapi bagaimana pun

bahasanya itu bahasa internasional, hemat, padat, cermat, singkat, dan tidak mendua arti. Misalnya

untuk jumlah bilangan asli dari 1 sampai dengan l00 adalah l + 2 + 3 +... + l00 atau 𝑖100𝑖=1 .

Page 10: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

2 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Menunjukkan kebenaran jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah bisa seperti di sekolah

dasar yaitu memotong-motong sudutnya lalu menyambung-nyambungnya pada sebuah garis lurus,

bisa juga dengan bukti formal secara deduktif. Matematika itu adalah seni, maksudnya ialah

matematika itu sesuatu yang indah. Indahnya itu bukan saja pada bentuk-bentuk geometri yang

indah seperti persegi atau persegipanjang padajendela, tabung pada penyanggah bangunan, bentuk

simetris pada pintu dan lain-lain juga pada pembuktian yang secara deduktif. Pembuktian secara

deduktif itu misalnya pembuktian jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah 180o dan

pembuktian jumlah dua buah bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pada kedua cara itu, bukti bisa

diselesaikan dalam satu-dua kalimat sedangkan dengan bukti cara biasa, sampai kiamat pun tidak

akan selesai. Bila kita berpendapat matematika itu sebagai seni, pembelajaran matematikanya bisa

tidak formal dan bisa formal juga.

Matematika adalah pelayan ilmu artinya matematika itu harus melayani bidang-bidang studi lain;

melayani fisika, kimia, akutansi, dan lain-lain. Dalam hal ini, matematika yang diberikan di sekolah

harus matematika sebagai ilmu terapan; bukan yang teori.

Kemudian matematika disebut kegiatan manusia karena matematika digunakan oleh manusia di

segala lini kehidupan, seperti orang awam di pasar, supir angkot, pengemudi beca, siswa,

mahasiswa, kantor-kantor, bidang studi lain, dan manusia dalam pengembangan teknologi tingkat

tinggi. Bila demikian maka pembelajaran matematika di tingkat bawah harus kontekstual seperti

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).

Demikian sedikit uraian mengenai hakekat matematika.

1.3. Alasan Makanya Matematika Diajarkan di Sekolah

Mengapa Matematika diajarkan di Sekolah?

Alasan makanya matematika diajarkan di sekolah itu banyak. Pertama kegunaan dalam penerapan.

Seperti sebagian sudah diuraikan di bagian l.2, matematika itu untuk orang-orang awam dalam

kehidupan sehari-hari, untuk studi lanjut, untuk kenaikan kelas atau jenjang, sebagai pelajaran atau

kuliah prasyarat, untuk membantu bidang studi lain, dan untuk pengembangan teknologi tingkat

tinggi. Kedua, untuk mencerdaskan bangsa. Mengenai untuk mencerdaskan bangsa ini paling tidak

terdapat tiga orang ahli yang pendapatnya bisa diacu: Hebb, Cattell, dan Thurstone. (Ruseffendi,

2006, h.111-112).

Hebb mengatakan, bahwa kecerdasan manusia itu tergantung dari turunan dan lingkungan.

Mengenai turunan, saya kira tidak diragukan lagi. Seorang anak cerdas karena orang tuanya cerdas.

Kemudian lingkungan dapat mencerdaskan manusia ialah berdasarkan pengalaman orang-orang

yang berwarna kulit hitam di Amerika Serikat. Selama beratus tahun mereka ada dalam keadaan

sebagai budak belian dan ada diskriminasi; lingkungannya sangat jelek dan keadaannya

terbelakang. Tetapi kemudian setelah mereka menjadi manusia bebas, banyak dari mereka yang

menjadi politikus terkenal, dokter, ahli hukum, penyanyi, petinju, dan olahragawan lainnya. Dan

matematika terutama untuk tingkat bawah dapat memperkaya lingkungan seperti mainan banyak

yang bentuknya geometris, alat peraga dan media lainnya, dan permainan matematika.

Cattell berpendapat bahwa dalam otak manusia itu ada bagian yang Kristal dan bagian cair. Bagian

yang kristal hanya dapat menyelesaikan soal-soal rutin yaitu sa'al-soal yang algoritmenya sudah

ada. Sedangkan soal pemecahan masalah dan yang berkenaan dengan kreativitas hanya bisa

diselesaikan dengan otak bagian cair. Dan soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif dalam

matematika itu banyak. Selain itu dengan diberikannya soal-soal pemecahan masalah dan yang

kreatif, kemampuan siswa dalam pemecahan soal itu akan optimal.

Thustone berpendapat ada 7 kemampuan dasar yang dapat dipakai untuk memilah-milah anak-anak

pandai dari yang tidak. Tujuh kemampuan mental dasar itu adalah: kecepatan mengamati, fasih

dalam kata-kata, penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, kemampuan verbal, dan

kemampuan mengenai bilangan. Katanya bila kita membuat soal-soal berdasarkan ketujuh

komponen kemampuan mental pokok itu dan andaikan seorang siswa memperoleh jawaban yang

Page 11: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 3

benar lebih banyak daripada temannya, maka anak yang bisa menjawab lebih banyak benarnya itu

adalah anak yang lebih cerdas. Karena dari tujuh komponen itu paling tidak

empat buah mengenai matematika (penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, dan kemampuan

mengenai bilangan), maka dapat disimpulkan bahwa matematika itu diajarkan di sekolah adalah

untuk mencerdaskan bangsa.

1.4. Matematika untuk Sekolah Itu yang Mana?

Matematika sekolah itu yang mana?

Bila diperhatikan, matematika sekolah di Amerika Serikat itu ada matematika tradisional, New

Math atau Matematika Modern, Back to The Basics, dan Matematika Kontemporer. Kemudian di

sekolah dasar Belanda banyak yang menerapkan PMR (Pendidikan Matematika Realistik).

Seperti kita ketahui, matematika tradisional itu diberikan pada tahun 50-an ke belakang. Ciri-

cirinya itu adalah materinya sedikit, penekanan pembelajarannya stimulus-respon yang

menekankan kepada kecepatan, hafalan, hafalnya algoritma, dan yang serupa. Pada waktu itu

karena alat-alat hitung cepat dan tepat belum banyak, cepatnya dan benamya kita menyelesaikan

soal harus yang utama. Seperti kita ketahui rumus-rumus bagi sekolah dasar seperti luas lingkaran,

keliling linekaran, isi bola, luas bola, dan isi kerucut harus dihapalkan tarrya adanya pengertian.

Seperti kita ketahui tokohnya itu Thorndike.

Kemudian pada awal tahun 50-an timbul untuk pertama kali idea New Math yang kemudian di

negara-negara lain yang menerapkannya berganti nama menjadi matematika Modern. Hampir

semua negara di dunia menerapkannya. yang tidak menerapkan antara lain adalah Negeri Belanda.

Seperti kita ketahui juga ciri-ciri pengajaran matematika modern itu adalah materinya sangat

banyak, penekanan pada pengertian, penekanan pada istilah dan notasi yang ditepatkan, penekanan

pada proses juga, menggunakan metode penemuan dan adanya permainan, dan banyak

menggunakan alat peraga dan media pendidikan lainnya. Tokoh-tokohnya antara lain dalah J.

Piaget, J.S. Bruner, dan J.P. Dienes. Bila dibandingkan banyak buku di SD kita di jaman

Matematika tradisional dengan di jaman matematika modern, di jaman radisional itu hanya sebuah

buku sedangkan di jaman matematika modern 25 buah (per semester sebuah buku siswa, per

semester sebuah buku pedoman khusus, dan sebuah buku pedoman umum).

Pada tahun 1970 sewaktu matematika modern sedang berjalan, skor hasil belajar siswa Amerika

Serikat dalam matematika menumn. Kesempatan ini oleh orang-orang yang tidak suka matematika

modern dipakai alasan untuk menuduh matematika modern sebagai penyebabnya dan diusulkan

tmtuk diganti. pada waktu itu para pendukung matematika modern membantah bahwa rendahnya

hasil belajar anak-anak dalam matematika itu bukan karena matematika modern sebab dalam

pelajaran-pelajaran lain pun skor siswa itu menurun. Walaupun begitu gerakan Back to The Basics

tetap dilaksanakan. Hasilnya adalah sama tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena itu

hidupnya hanya setahun. Dan setelah itu hilang. Selain itu tidak seperti matematika modern,

gerakan back to the basics itu tidak ada falsafahnya, hanya meninggalkan topik-topik tertentu dari

matematika modern seperti himpunan sebagai ilmu, bilangan dasar selain dua dan sepuluh, dan

keketatan dalam istilatr dan notasi.

Oleh orang-orang Indonesia yang tidak menyukai metematika modern gerakan back to the basics

itu dengan sengaja diartikan salah bahwa gerakan itu dipelesetkan menjadi gerakan meninggalkan

metematika modern. Sehingga timbul isu dalam bentuk pertanyaan, "Bila di Negara asalnya

matematika modern sudah ditinggalkan, mengapa kita sebaliknya?". Buku karangan M. Kline yang

bedudul ―Why Johny can‘t add‖, dijadikan alasan agar di sekolah dasar diberikan Berhitung

(matematika lama). Padahal M. Kline itu berpendapat juga bahwa matematika tradisional itu tidak

baik. Yang ia tidak setujui ialah pengajaran matematika modern sebagai pengganti matematika

tradisional tidak baik juga.

Pemerintah kita waktu itu terpengaruh oleh isu itu sehingga slogan CALISTUNG (dari baCa tuLIS

hiTUNG) timbul. Padahal di Amerika Serikat slogan CALISTUNG itu diramaikan di jaman dulu,

sewaktu yang mau bekerja di pabrik-Pabrik itu belum bisa membaca, manulis, dan berhitung.

Page 12: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

4 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Seperti dikatakan Doll (1993, h.I74), ―The three R's ... were late-nineteenth-and early twentieth

century creation to the needs of a developing industrial society‖. Sedangkan waktu itu (tahun 80-

an) keadaan di kita lain. Sehingga slogannya, tepatnya bukan CALISTUNG tetapi CALISMAT.

Akibat dari isu itu di kita terjadi perubahan ke Kurikulum 1984 kemudian ke Kurikulum 1994,

yang kekhasannya berbau matematika tradisional sehingga buku-buku lama yang sudah mati (tidak

dipakai), bermunculan kembali. Sedangkan di negara-negara maju waktu itu tetap pengajaran

matematika modern. Bahkan sudah dilibatkan kalkulator dalam pembelajaran matematika.

Mengingat telah ditemukannya hasil teknologi canggih seperti kalkulator dan komputer, pada tahun

80-an Amerika Serikat menerapkan kedua alat itu dalam pengajaran matematika. Menurut

ceriteranya hasil penelitian penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika sudah

dikumpulkan: oleh Suydam pada tahun 1977 sebanyak 40 buah, oleh Marylindquist pada tahun

1984 sebanyak 150 buah, dan oleh Reys pada tahun 1987 sebanyak 200 buah. Hasilnya konsisten:

47,5% keunggulan bagi pengguna kalkulator, 45% sama saja, dan hanya 7,5% keunggulan bagi

yang tidak menggunakan kalkultor (Ruseffendi, 1990a, h.74-75). Di Inggris pun demikian pula.

Linggard, Johnson, dan O‘Brien mengatakan, ―pada ulangan/ujian pada umunnya, kalkulator boleh

dipergunakan....Yang penting ialah kita harus menghasilkan anak-anak yang dapat berpikir, mampu

menyelesaikan soal pemecahan masalah (problem solving), kreatif dapat memilih matematika

mana yang diperlukan dan mara yang tidak, dan semacamnya‖. (Ruseffendi, 1990b, h. 38-39).

Mengenai penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika pernah timbul pro dan kontra

seperti dikemukakan oleh majalah Tempo dan Koran harian Pikiran Rakyat.

Majalah Tempo pada tanggal 16 Juli 1983 mengetengahkan pendapat dari beberapa guru SD,

Kepala Sekolah SD, dosen IKIP, dan dosen Non-IKIP. Mereka itu adalah: Lasmaria guru SD

simpang Limun Medan, purnomo sidi kepala SD Ungaran III Jawa Tengah, Wirasto dosen UGM,

Suwarsono dosen IKIP Sanata Dharma Andi Hakirn Nasution guru besar IPB, dan Gunarso guru

besar ITB. Tempo menyimpulkan,

Singkat kata yang cenderung pro maupun kontra pemakaian kalkulator terutama untuk siswa

SD masih mengajukan persyaratan. Ialah, minimal, para murid itu telah menguasai konsep

hitung-menghitung. Bila belum, tidak saja bisa ‗membuat anak malas berpikir', tetapi bisa

mengacaukan konsep matematika pula. (1983, h.27).

Pada tanggal 24 Agustus 1987, Pikiran Rakyat mengemukakan pendapat yang berbeda dari

pendapat-pendapat di atas. Menurut Ruseffendi,

Kalkulator itu tidak akan membuat siswa malas berpikir, bodoh, tidak kreatif dan tidak

terampil berhitung. Tetapi sebaliknya akan membuat siswa menjadi cerdas, kreatif,

pengetahuannya menjadi lebih luas dan dalam, serta berjiwa eksploratif. Penggunaan

kalkulaior dapat dimulai di kelas 1 sekolah dasar (Pikiran Rakyat, l987).

Mengenai penggunaan komputer di Amerika Serikat, di Sekolah Dasar digunakan bahasa komputer

LOGO dan di sekolah lanjutannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika waktu itu

menggunakan bahasa komputer Basic.

Selanjutnya, cirri-ciri pengajaran matematika tahun 80-an di Amerika Serikat itu (Ruseffendi,

2006, h. 80-81).

1. Masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika.

2. Keterampilan dasar harus lebih daripada keterampilan berhitung.

3. Untuk semua tingkat, pengajaran matematika harus menggunakan kalkulator dan komputer

sedini mungkin.

4. Efektivitas dan efisiensi pengajaran matematika harus diterapkan.

5. Pengukuran hasil belajar siswa harus lebih daripada hanya dengan alat evaluasi yang

tradisional.

6. Semua siswa harus diberi matematika yang lebih banyak melalui program-program yang

lebih fleksibel.

Page 13: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 5

7. Guru-guru dan teman-temannya supaya meningkatkan diri dalam keprofesionalannya.

8. Masyarakat luas sesuai dengan keperluannya supaya mendukung matematika diberikan di

sekolah.

Mengingat dapat diterapkannya komputer dalam pengajaran matematika, apakah matematika yang

akan dikembangkan itu matematika kontinu (dengan batang kalkulus) atau matematika deskrit.

salah satu keuntungan matematika deskrit, kita bisa menghitung/menyelesaikan soal-soal seperti

berikut dengan kalkulus tidak. Soal-soal itu misalnya:

𝑒𝑥2𝑑𝑥 𝑑𝑎𝑛

1

1 + 𝑥4 𝑑𝑥 (𝑅𝑢𝑠𝑠𝑒𝑓𝑓𝑒𝑛𝑑𝑖, 1990,𝑕. 35)

Sekarang akan disampaikan pengajaran matematika yang lain, yaitu matematika realistik di Negeri

Belanda. Mereka mengembangkannya sejak tahun 70-an dimulai di sekolah dasar. Jadi sewaktu

Negara-negara di dunia menerapkan pengajaran matematika modern, mereka tidak. Kata Treffers,

Negeri Belanda tidak menerapkan matematika modern, ―Contrary to most other countries in the

Western World, New Math did not get an opportunity to manifest in Dutch primary school‖. (1991,

h. 13).

Kita lihat sepintas sasaran atau tujuan pembelajaran matematika untuk siswasiswa sekolah dasar di

Negeri Belanda.

1. General ability

1) The students can count forward and backward with changing units.

2) The students can do addition tables and multiplication up to ten.

3) The students can do easy mental-arithmetic problem in a quick way with insight in the

operations.

4) The students can estimate by determining the answers globally, also with fractions and

decimals.

5) The students have insight in the structure of whole numbers and the place-value sistem of

decimals.

6) The students can use the calculator with insight.

7) The students can convert into a mathematical problem, simple problems which are not

presented in a mathematical way.

2. Written algorithms

8) The students can apply the standard algorithms, or variation of these, for the basic

operations addition, substraction, multiplication and division, in easy context situations.

3. Ratio and percentage

9) The students can compare ratio and percentages.

10) The students can do simple problems on ratio.

11) The students have understanding ofthe concept percentage and can carry out practical

calculations with percentages presented in simple context situation.

12) The students undestand the relation between ratios, fractions, and decimals.

4. Fractions

13) The students know that fractions and decimals several different situalions.

14) The students can locate fractions and decimals on a number line and can convert fractions

into decimals; also with calculator.

15) The students can compare, add, substract, devide, and multiply simple fractions in simple

context situations by means of models.

5. Measurement

16) The students can read the time and calculate time intervals; also with the help of a

calculator.

17) The students can do calculations with money in daily_life context situations.

18) The students know the current units of measurement for length, area, volume, time,

speed, weight, and temperature, and can apply these in simple context situations.

19) The students can read simple tabres and diagrams and produce them based on own

investigations of simpre coitext situations.

Page 14: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

6 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

6. Geometry

20) The students have some basic cohcepts with which they can organize and describe space

in a geometiical way.

21) The students can reason geometrically using block building, ground plans, maps pictures,

and data about place, directions, distance, and scale.

22) The students can explain shadow images, can compound shape, and can divise and

identify nets of reguler objects.

Tujuan pembelajatan matematika di atas bukan untuk SMP tetapi untuk SD. Walaupun begitu kita

bisa memanfaatkannya.

1. Tujuan pembelajaran matematika disana ditulis secara sederhana; tidak menjelimet.

2. Kita akan mengetahui dimulainya topik-topik untuk SMp.

3. Siswa harus dapat menggunakan kalkulator.

4. Soal-soal/permasalahannya harus kontekstual

Mengapa mereka menerapkan PMR, karena menurut Treffers , dilihat dari segi matematisasi

horizontal dan vertikal, PMR itu memiliki kedua-duanya sedang yang mekanistik, empiristik dan

strukturalis tidak. Treffers menggambarkannya dalam sebuah bagan sebagai berikut. (1991, h. 32).

Matematisasi horizontal maksudnya ialah bila kita akan menanamkan konsep matematika, konsep

itu terwujud dalam dunia nyata. Contoh konsep pecahan dibawakan dengan menyajikan serabi

yang dipotong-potong. Sedangkan matematisasi vertical adalah penerapan sifat-sifat dari

matematika itu sendiri. Misalnya 2 + 3 = 3 + 2; 45 = 40 + 5.

Matematisasi

horizontal Vertical

Mekanistik - -

Empiris + -

Strukturalis - +

realistik + +

Catatan: + Artinya ada

- Artinya tidak ada

Mengenai pengelompokan matematika sekolah yang lain adalah dari Keitel (dalam Ernest, 1991, h.

218). Menurut dia, penelompokan matematika sekolah itu,

1. New Math, concerned largely with the introduction of modern mathematical content into the

curriculum, pure or applied.

2. Behaviorist, based on behaviorist psychology, the analisys of content into behavioural

objectives, and in some cases, the use of program instruction.

3. Structuralist, based on the psychological acquisition of the structures and processes of

mathematics, typified by approaches of bruner and dienes.

4. Formative, based on the psychological structures of personal develovement (e.g. Piaget‘s

theory).

5. Integrated-environment, an approach using a multi-disciplinary context, and using the

environment both as a resource and motivating factor.

Berdasarkan kapada pendapat Keitel itu kita melihat bahwa nomor 5 diatas sesuai dengan

pembelajaran tematik yang diterapkan di kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar. Jadi pembelajaran di kelas

1, 2 dan 3 itu harus tematik. Sedangkan dalam PMR (I) yang belum tentu sama dengan

pembelajaran yang tematik. Selain itu yang dimaksud dengan realistik pada PMR (I) itu tidak

selalu harus ada di dunia nyata seperti dikatakan heuvel-Panhuizen (1998),

...the Dutch reform of mathematics education was called ‗realistic‘ is not just connection with

the real-world, but related to the emphasis that RME puts on offering the students problem

situations which they can imagine....For the problems Jo be presented to the students this

means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy

world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for

a problem, as long as they are real in the student‘s mind.

Page 15: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 7

Dari uraian yang agak panjang itu kita mengetahui bahwa matematika yang dapat diberikan itu

banyak; beragam. Mulai dari yang tidak formal sampai dengan yang sangat formal, mulai dari yang

penerapannya banyak sampai kepada yang penerapannya minim. Yang berikutnya yang akan

diuraikan itu adalah menganai yang berkepentingan dengan matematika.

1.5. Yang Berkepentingan dengan Matematika

Seperti telah disinggung pada sub judul alasan matematika diajarkan di sekolah, yang

berkepentingan itu banyak. Tetapi ada dua kelompok yang berkepentingan yang bisaaanya

terlupakan yaitu pemerintah dan matematika itu sendiri.

Di bagian depan sudah disampaikan yang berkepentingan dengan matematika yaitu manusia pada

umumnya atau orang awam, siswa, mahasiswa, bidang-bidang studi lain, petugas di kantor dan

lapangan, para peneliti, dan manusia di tingkat tinggi yang tugasnya mengembangkan teknologi

tingkat tinggi. yang dua lagi yang telah disebutkan di bagian atas adalah pemerintah dan

matematika itu sendiri.

Perhatikan sebuah hasil pertandingan intemasional tingkat SMP dalam matematika yang disebut

TIMSS. Peringkat Indonesia di lomba itu adalah 34 dari 38. Sedangkan peringkat 1 adalah

Singapur dan peringkat 5 adalah Jepang. Dan diantara kedua negara itu adalah Korea, Taiwan, dan

Hongkong.

Alasan apa pun untuk dapat diterima mengapa nilai matematika kita itu rendah dibandingkan nilai

mereka, tidak ada. Misalnya karena kita orangnya kecil dan pendek, bagitu pula mereka; karena

rambut kita berwama hitam, bagitu pula warna rambut mereka; karena kita makan nasi, bagitu pula

mereka. Berbeda dengan bila kita bermain sepak bola dengan orang bule dan kita kalah. Orang-

orang akan menerima alasan itu bila dikatakan karena orang kita kecil-kecil dan pendek.

Dalam keadaan seperti di atas karena secara internasional peringkat matematika anak-anak kita itu

rendah, yang berwajib (dalam hal ini pemerintah) harus segera mencari solusinya. Sebab selain

berkewajiban juga paling mungkin dan berwenang untuk berbuat. Jadi pemerintah termasuk yang

berkepentingan karena pemerintah harus memperbaikinya.

Terakhir yang berkepentingan itu matematika itu sendiri. Kata matematika, ―Agar aku tidak hilang

dari peredaran, pelajarilah aku‖. Bila tidak dipelajari, sesuatu itu bisa hilang. Sebagai contoh dulu

anak-anak SD di JABAR mengetahui Aksara Sunda. Sekarang hilang dari peredaran karena tidak

dipelajari. Contoh kedua, dulu kami siswa SMA mengetahui dan menguasai Ilmu Ukur Lukis.

Sekarang anak-anak SMA tidak mengetahuinya karena Ilmu Ukur Lukis itu tidak dipelajari.

Berikutnya yang akan diuraikan itu adalah pendidikan matematika. Apakah itu disiplin ilmu atau

ilmu rekayasa.

1.6. Apakah Pendidikan Matematika Itu Suatu Disiplin Ilmu?

Apakah pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu atau suatu ilmu rekayasa? Sesuatu itu

disebut ilmu rekayasa bila ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu lain sehingga kombinasinya menjadi

serasi. Seperti arsitektur, adalah ilmu rekayasa. Dalam arsitektur, kita mengaitkan yang satu dengan

yang lain agar bentuknya atau profilnya menarik. Bagitu pula seorang disainer (designer). Ia bukan

seorang pengembang ilmu tetapi seorang perekayasa. Kembali kepada pertanyaan di atas apakah

pendidikan matematika itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.

Bila pendidikan matematika itu ilmu rekayasa, maka seorang ahli pendidikan matematika itu

menghubungkan topik-topik matematika dengan cara mengajar, alat bantu dan lain-lain sehingga

pembelajarnya berhasil. Jaman dahulu, saya kira sebelum terwujudnya Kurikulum PGBK memang

pendidikan matematika itu seperti itu. Jadi pendidikan matematika itu suatu ilmu rekayasa. Tetapi

sekarang, dalam mengembangkan sesuatu, model pembelajaran misalnya, untuk dapat melihat

cocok tidaknya model pembelajaran itu kita harus melakukan penelitian; seperti kita ketahui. dalam

penelitian itu kita menggunakan metode ilmiah. Seperti kita ketahui juga sesuatu itu disebut metode

Page 16: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

8 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

ilmiah bila ada masalah, studi literatur, hipotesis dan atau pertanyaan-pertanyaan yang operasional,

pengumpulan data, pengolahan data, dan kesimpulan. Jadi, karena dalam pengembangannya itu

pendidikan matematika memerlukan penelitian, pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu.

1.4. Hakekat Anak Didik

Apakah seorang anak itu bentuk mikro seorang dewasa?

Bila anak itu bentuk mikro dari orang dewasa, tentunya seorang anak dan seorang dewasa

segalanya sama. Bedanya hanya dalam besar-kecilnya tubuh. Tetapi kenyataanya tidak begitu.

Antara lain, berpikir anak itu lain dari berpikirnya orang dewasa Perhatikan, misalnya dalam

contoh-contoh berikut. Seorang anak yang hukum kekelan materinya belum ada, akan mengatakan

banyak air dalam gelas kecil tetapi tinggi itu lebih banyak daripada yang ada

dalam gelas besar dan pendek walaupun ia melihat air dalam gelas kecil itu

dicurahkan dari gelas besar dan pendek yang sama. Seorang anak yang hukum

kekelan bilangannya belum ada, akan mengatakan kelereng yang ada di atas lebih

banyak daripada yang di bawah.

Berikutnya, anak kecil yang diminta untuk mengambilkan sebuah potlot dari

seonggokan potlot dan pulpen akan mengambilnya dengan benar. Tetapi bila

seluruhnya ―Ambil potlot yang pendek‖ mungkin ia akan mendapat kesukaran.

Apalagi bila suruhannya misalnya, ―Ambil potlot pendek yang berwarna merah‖.

Jadi variabel-variabel yang ada pada anak kecil itu banyaknya masih terbatas.

1.8. Teori Belajar-Mengajar Matematika

Apa teori belajar-mengajar itu?

Teori belajar adalah ilmu yang berbicara mengenai kesiapan siswa untuk belajar. misalnya dalam

teori belajar matematika dibicarakan usia berapa tahun anak dapat memahami bilangan, dalam usia

berapa tahun siswa dapat menjumlahkan bilangan dalam usia berapa tahun siswa dapat berpikir

formal, dalam berapa tahun usia dapat berpikir deduktif dan lain-lain.

sedangkan teori mengajar adarah ilmu yang berbicara mengenai cara membawa anak untuk bisa

mbnjadi dapat sesuatu setelah ia siap untuk dapat sesuatu itu. Contoh, andaikan seorang anak pada

usia 5 tahun sudah memiliki hukum kekekalan bilangan. Daram teori mengajar anak, kita itu

berpikir bagaimana caranya mengajar anak itu agar ia lebih memahami bilangan. Seperti dalam

kehidupan sehari-hari andaikan seorang anak yang berusia satu tahun sudah mulai siap untuk bias

berjalan, maka bapaknya itu bisaanya mencarikan kendaraan roda tiga atau empat untuk

menempatkan/mendudukkan anak itu di tengah-tengahnya. Berpikir menyediakan kendaraan itulah

yang disebut teori mengajar.

Teori belajar-mengajar dalam matematika itu banyak, ada yang sejaran, ada yang tidak sejalan,

bahkan dalam hal tertentu ada yang bertentangan. Teori belajar mengajar dalam pembelajaran

matematika yang sering digunakan antaralain adalah dari Piaget, Bruner, Dienes, Gagne, Skinner,

vigotsky, dan van Hiele. Teori konstruktivisme dari piaget dan Vigotsky adalah cocok untuk

pembelajaran matematika seperti PMR(I) tetapi dalam hal tenentu bertentangan dengan aliran

tingkah laku dari skinner, sebab dalam PMR(I) pembelajaran matematika itu dari bawah ke atas

(bottom up) sedangkan pembel ajaran matematika yang berdasarkan aliran tingkah laku adarah dari

atas ke bawah (top down). Selain itu pada pembelajaran seperti PMR(I) interaksi siswa dapat ke

semua arah (gambar (1)), sedangkan pada pemberajaran dari aliran tingkah laku dapat seperti

gambar (2) (dua arah) dan bahkan bisa.seperti gambar (3) (satu arah). Gambar_gambar itu nampak

di bawah ini.

Page 17: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 9

Berikutnya yang akan diuraikan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah guru dan

LPTK-nya; termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa, dosen, dan sekolah sebagai lembaga.

1.9. Guru dan LPTK

Dalam suatu pembelajaran kita tidak bisa lepas dari kurikulum sekolah

yang direncanakan (C), kurikulum yang diajarkan guru (J), dan hasil

belajar siswa (kurikulum yang diserap siswa (S)). Begitu juga di LPTK

antara kurikulum yang direncanakan (C), kurikulum yang dosen

kuliahkan (J), dan yang mahasiswa peroleh (S). Hubungan antara C, J,

dan S dalam keadaan normal/baik pun dapat seperti di samping ini. Di

LPTK misalnya, tidak semua materi kurikulum bisa diajarkan dosen

kepada mahasiswa, dan tidak semua materi dapat dicernakan oleh calon

guru. Apalagi bila ada dalam keadaan tidak normal, misalnya dosen

tidak memberi kuliah sepenuhnya, cara mengevaluasinya asal-asalan,

dan mahasiswa calon gurunya tidak diseleksi secara ketat (seadanya). Bila demikian mutu guru

yang dihasilkan oleh LPTK seperti itu akan besar dampak negatifnya ke mutu siswa tamatan

sekolah.

Kurikulum LPTK yang betul-betul solid untuk pengembangan pendidikan bidang studi menurut

saya adalah PGBK yang disusun oleh dosen LPTK tahun 1980. Dengan kurikulum itu jelas LPTK

bukan pengembang ilmu rekayasa lagi. Tetapi sayang baru berusia lima tahun, yaitu baru

menghasilkan satu angkatan, kurikulum itu dituduh sebagai biang rendahnya mutu siswa SL.

Menurut saya, tuduhan itu salah sasaran. Kurikulum yang berpengaruh waktu itu adalah kurikulum

LPTK sebelumnya yang justru bobot bidang studinya sangat banyak.

Sebagai pengganti kurikulum PGBK adalah kurikulum Team Basic Science LPTK yang

diprakarsai oleh FMIPA ITB; kerjasama dengan IKIP Bandung. Bedanya antara Kurikulum PGBK

dengan Kurikulum Team Basic Science antara lain adalah: Kurikulum PGBK (KPGBK) memuat

mata kuliah Kapita Selekta Matematika SL sedangkan Kurikulum Team Basic Science (KTBS)

tidak; bobot bidang studi di KPGBK 40% sedangkan di KTBS 60% lebih; KTBS memuat mata

kuliah bersama dari matematika, fisika, kimia dan biologi, sedangkan KPGBK tidak. Tetapi KTBS

ydng dianggap sebagai penyelamat mutu hasil belajar MIPA di SL sampai sekarang belum ada

hasilnya padahal usianya sudah 20 tahun (sudah 15 angkatan).

Adanya perbedaan penekanan bidang studi.di negara lain pun ada misalnya di Negeri Belanda. Di

Twente, mahasiswa tamatan PGBK kita setelah mengambil beberapa mata kuliah-di sana yang non

matematika lanjut dibolehkan mengambil gelar doktor setelah menulis disertasi. Sedangkan di

Utrecht, syarat untuk menjadi mahasiswa 52 pendidikan matematika saja harus bergelar BA dalam

matematika. Materi di S2nya ialah dalam satu tahun hanya matematika, dalam satu semester

berikutnya masih matematika. Baru dalam semester berikutnya menempuh pendidikan matematika

Page 18: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

10 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

yang tidak ada mata kuliah pendidikan umum. Barangkali itulah yang disebut demokrasi di sana;

kedua-duanya disebut ahli pendidikan matematika tetapi matematika yang dimilikinya jauh

berbeda.

sewaktu saya mengambil gelar doktor di osu Amerika Serikat, saya bercerita mengenai visi dan

misi IKIP-IKIP di Indonesia beserta perannya dibandingkan dengan Universitas. Ketua program

pendidikan matematika berkomentar, ―Bila Amerika Serikat memiliki IKIP-IKIP seperti Indonesia,

banyak masalah pendidikan matematika di Amerika Serikat yang bisa dipecahkan‖, katanya.

Sedangkan kebijaksanaan kita terbalik; IKIP-IKIP yang sudah ada dilebur menjadi Fakuitas

Pendidikan Bidang Studi atau Program Pendidikan Bidang Studi di Universitas. Tidaklah

kebijaksanaan kita itu akan bernasib sama seperti di Amerika Serikat?

Mengapa ketua program itu mengatakan begitu karena peran dan pendidikan guru di sana, menurut

saya ―menyedihkan‖ seperti dikatakan Gardner,‖One-fifth of all 4 year colleges in the United

States must accept every high school graduate within the State regardless of program followed or

grade...even if they do not follow a demanding course of study in high school or perform well‖.

(1983, h. 20). Selanjutnya dikatakan, ‖Too many teachers are being drawn from the bottom quarter

of graduating high school and colege students‖. (h.22).

Lebih-lebih, menurut saya, bila kepada tamatan Sl calon guru itu diembel-embeli dengan harus

menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu tertentu. Dan tamatan Sl murninya pun akan

diberi kesempatan mengambil sejumlah mata kuliah untuk bisa menjadi guru. Adilnya kepada

tamatan S1 LPTK pun harus diberi kesempatan untuk menjadi S1 matematikawan.

Alasan kepada diharuskannya Sl tamatan LPTK menempuh program khusus bila ingin menjadi

guru, mungkin karena tamatan fukuitu, kedokteran pun diharuskan seperti itu. Saya kira ini tidak

bisa disamakan sebab bila seorang dokter membuat kesalahan, akibalnya akan sangat fatal. Selain

itu, saya kira, pendidikan kedokteran Sl menjadi 7 tahun pun saya kira peminat menjadi dokter itu

tidak akan berkurang, sebab tamat fakultas kedokteran itu menjanjikan. Sedangkan tamat LPTK,

lain.

Menurut saya bila tamatan Sl LPTK itu tidak atau kurang menguasai bidang studi, solusinya bukan

ditambah jenjang untuk pendidikan profesi, tetapi pertama penggarapan Kapita Selektanya lebih

lama dan setiap calon guru itu sewaktu selesai SMP-nya harus nilainya baik dalam matematika

IPA, dan bahasa. Dididik bagaimana pun kalau tidak memiliki potensi, hasilnya akan tetap jelek.

Kemudian, menurut saya pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu bukan ilmu rekayasa

sehingga programnya itu mestinya menyatu (concurrent). Dan sebaiknya, selama waktu tertenfu

mereka (calon guru) itu harus diasramakan. Sehingga pembentukan kepribadian guru dan

pendidikan karakter budaya bangsa terwujud. Terwujudnya pendidikan karakter itu memerlukan

waktu yang lama. Jadi dalam program yang menyatu itu calon-calon guru akan melihat perilaku,

cara mengajar, cara penilaian, sikap, dan sebagainya yang baik dari seorang dosen yang baik.

Jangan seperti berikut. Kata Bapak dosen senior (alm), ―Saya menatar guru sekolah dasar mengenai

materi baru dalam matematika modern antara lain himpunan. Salah seorang guru bertanya kepada

saya bagaimana caranya mengajarkan himpunan di sekolah dasar‖. Kemudian beliau jawab sambil

marah, kok tanya sama saya, semestinya Anda yang seharusnya lebih mengetahui‖. Jawaban beliau

itu wajar sebab baliau tidak pernah memperoleh pendidikan guru yang sebenarnya.

Selain perlunya dimiliki kepribadian guru oleh seorang guru dan karakter budaya bangsa, yang

dihadapi guru sekarang-sekarang ini lebih berat. Sebab, yang bersekolah dan yang berkemampuan

kurang itu makin banyak. Bila jaman saya dulu yang diterima di SMP dari kelas VI SD yang

banyaknya sekitar 90 orang itu hanya 2 orang, sekarang?

Menurut saya selain karena kualitas tamatan yang masuk ke LPTK itu rendah, bisa jadi juga karena

ulah dari beberapa LPTK sendiri: lamanya/banyak kali kuliah dalam satu set4ester sering paling

lama 8X yang seharusnya 16X; karena kekurangan pelamar, ada yang menerima seluruhnya; dalam

UAS ada yang membiarkan mahasiswa saling meniru; dan ada yang meluluskan semua yang ikut

UAS dengan berpikir nanti pun kalau sudah jadi guru akan bisa. Benarkah itu?

Page 19: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 11

1.10. Kebijaksanaan Penguasa

Peran penguasa dalam pengambilan keputusan bagi pelaksanaan sesuatu itu sangat besar. Bahkan

sering lebih kuat daripada hasil penelitian. Sebagai contoh keunggulan siswa sebagai pengguna

kalkulator dalam pengajaran matematika dibandingkan dengan yang tidak, menurut penelitan

adalah 6:1. Walauprin begitu, karena penguasa tidiak memberi lampu hijau kalkulator boleh

digunakan di sekolah, di sekolah-sekolah kita kalkulator itu tidak digunakan, sampai sekarang.

Contoh kedua, pada tahun 80-an pemerintah menginginkan agar dalam kurikulum matematika itu

ada unsur ―Tung‖. Kebijaksanaan ini diambil dari slogan CALISTUNG. Saya kira, pemerintah

waktu itu terpengaruh oleh isu bahwa Amerika Serikat dan Inggris sudah meninggalkan

matematika modem. Padahal khususnya di Amerika Serikat hanya ada gerakan Back to the Basic

yang usianya hanya satu tahun. Dan di Inggris waktu itu tetap pengajaran matematika modern;

buku-buku yang kita sadur, waktu itu di sana tetap dipakai. Akibat dari kebijaksantan itu – yang

mengrut saya keliru - buku-buku matematika lama dan buku-buku berhitung lama yang semasa

matematika modern sudah dikubur, bermunculan kembali.

Seperti sudah disampaikan peran penguasa (pemerintah) itu sangat penting dan menentukan.

Karena itu pembantu-pembantunya yang akan menjadi pembisik-pembisiknya harus orang-orang

yang ahli dalam bidangnya.

1.11. Matematikawan dan Pendidik Matematika (math educators)

Para matematikawan dan pendidik matematika (mathematics educators) dalam pendidikan

matematika di sekolah dapat berperan besar dan dapat sedikit. Pada tahun 70-an sewaktu

matematika lama diganti oleh matematika modern peran para matematikawan dan pendidik

matematika sangat besar. Perannya itu adalah merumuskan digantinya matematika lama dengan

matematika modern, memilih atau menulis buku sumber, melakukan pemilihan buku sumber,

penggarapan yang harus didahulukan buku siswa atau penguasaan guru. Selain itu besar perannya

itu dalam menentukan bentuk penataran bagi guru-guru; serempak (masal) seperti pengajaran

matematika modern atau bertahap seperti PMRI.

Tetapi bila di DEPDIKNAS sudah banyak ahlinya, baik matematikawan, pendidik matematika dan

para penelitinya maka peran para matematikawan dan pendidik matematika dari universitas itu

akan sangat mengurang; mungkin satu sama lain akan menjadi pelengkap atau pesaing.

II. KEADAAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI KITA SEKARANG

Pendidikan matematika di kita itu sudah melalui berbagai jaman dan berbagai kebijaksanaan.

Tetapi apa yang sudah kita lakukan itu nampaknya tanpa bekas. Pengajaran matematika modern

yang menekankan kepada pengertian, proses, dan penemuan tidak berbekas. CBSA yang pernah

diproyekkan, dilupakan saja. Hasilnya, guru tetap mengajar dengan ceramah atau ekspositori, siswa

belajar pasif, dan hasil belajar siswa tetap minim. Mengapa? Mungkinkah karena: materi

matematikanya salah, gurunya kurang profesional, suasana belajar tidak konduksif, siswanya

kurang dibina, materi kurikulumnya tidak sesuai dengan kemampuan siswa atau mungkin karena

suasana masyarakat kita itu sedang kacau? Bila yang direncanakan dan dilaksanakan secara besar-

besaran hasilnya seperti itu, bagaimana rencana kita dalam pemolesan kurikulum dengan sasaran

budaya karakter bangsa, kewirausahaan, manusia aktif dan ekonomi keratif? Nanti kita lihat

melalui uraian dengan butiran-butiran permasalahan di atas.

2.1. Salahkah Materi Matematika Sekolah Kita?

Perubahan yang paling besar dilihat dari berbagai segi termasuk materi matematika adalah pada

perubahan dari matematika tradisional ke matematika modern. Karena itu perubahan dari

Page 20: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

12 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

matematika tradisional ke matematika modem itu sering disebut revolusi; revolusi pertama. Dan

sejak itu kurikulum matematika kita tidak banyak berubah. Yang terjadi adalah masuknya topik-

topik geometri Euclids kedalam geometri transformasi yang sudah ada. Pemasukan itu sering

menyebabkan konsep dan pembelajaran geometri menjadi rancu. Sebagai contoh seorang pendidik

matematika secara kebetulan berkeliling ke beberapa kota besar di Indonesia dan pada setiap

kesempatan mengajukan pertanyaan, "Apakah setiap persegipanjang itu jajaran genjang?".

Katanya, tidak ada seorang pun yang menjawabnya ,,ya,,. Disimpulkan pemahaman

mahasiswa/guru matematika mengenai geometri itu sangat lemah. Benarkah kesimpulan itu?

Contoh kedua masih mengenai masalah ini.

Pada suatu waktu sekitar tahun 2009, seorang Dosen senior berceritera kirakira, "Pak Rus saya

mengajn mahasiswa ITB sebanyak 30 orang lalu saya menggambar sebuah lingkaran di papan tulis.

Saya penyuruh mereka mencari titik pusat. Seorang pun tidak ada yang bisa. Bila mahasiswa ITB

tidak bisa, apalagi mahasiswa PT lain", katanya. Dapatkah dari contoh 2 ini disimpulkan bahwa

mahasiswa kita makin bodoh?

Menurut saya yang salah di kedua contoh itu bukan mahasiswa atau yang menjawab, tetapi kedua

dosennya. Masalahnya, selama ini generasi muda itu belajar geometrinya terutama geometri

transformasi. Untuk pertanyaan yang pertama, bila dalam geometri Euclids benar bahwa setiap

persegipanjang itu adalah jajarangenjang. Tetapi dalam geometri rransformasi harus pikir-pikir

dulu.

Mengenai pertanyaan kedua juga sama, mereka (mahasiswa) itu tidak mengetahui geometri Euclids

apalagi yang deduktif seperti mencari pusat lingkaran. Generasi tua mengenai hal itu menguasai

karena sejak di SMP pun masalah itu sudah diterima.

Perubahan besar kedua walaupun tidak sebesar revolusi kesatu antara lain ialah mengenai

diterapkannya hasil teknologi canggih sedini mungkin dan masalah menjadi sentralnya pengajaran

matematika. Di negara asalnya revolusi itu terjadi pada awal tahun 80-an. Di kita tidak banyak

berubah karena pertama kalkulator tidak pemah secara resmj dibolehkan dipakai, kedua komputer

di sekolah-sekolah masih belum banyak.

Di negara-negara maju, penggunaan komputer dalam pengajaran matematika itu ada dampaknya

‖yaitu‖ apakah batang tubuh matemaiika itu mau tetap kalkulus atau matematika diskret.

2.2. Gurunya Kurang Profesional

Bagaimana guru yang profesional itu?

Guru professional adalah guru yang pekerjaannya memang guru. Sebagai gurunya itu ia bukan

amatir. Seperti pemain bola ada yang professional karena profesinya memang sebagai pemain

sepak bola. Tetapi ada jugl pemain sepak bola amatir. Pemain bola amatir adalah pemain bola yang

bermain bolanya itu kadangkadang saja. Kalau pun ia sering atau selalu sepak bola bila bermain

bolanya itu tidak menghasilkan uang, maka ia tetap menjadi pemain bola amatiran. Jadi menurut

saya, bila seorang itu PNS dan pekarjaarurya mengajar, maka pasti ia sebagai petugas professional

dengan pekerjaan guru. Bahkan yang bukan PNS pun kalau pencahariannya itu mengajar (guru)

maka ia itu petugas professional. Karena itu saya akan menggunakan kata ―guru efektif‖.

Page 21: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 13

Gambaran dari guru efektif adalah seperti di bawah ini. (Ruseffendi, 206, h.42).

Jadi, menurut saya seseorang yang menguasai bidang studi tertentu dan memiliki sifat-sifat

keguruan serta pekerjaarulya mengajar ia dapat disebut guru professional, walaupun tidak

sempurna. Sedangkan seorang guru professional yang sempurna adalah guru pada tahap IV di

diagramkan di atas.

2.3. Suasana Belajar Kurang Kondusif

Suasana belajar kurang kondusif itu penyebabnya banyak, bisa: ruangannya panas, ruangannya

pengap, bising dari luar, bising dari dalam kelas, gurunya bukan guru yang efektif (profesional)

atau keprofesionalannya kurang, dan sekolahnya ada di lingkungan yang gersang. semuanya itu

akan mengurangi konsentrasi siswa belajar sehingga hasil belajar siswa tidak optimal. Suasana

yang demikian itu dampak jeleknya akan makin besar dalam pelajaran yang memerlukan

konsentrasi yang lebih tinggi seperti pelajaran matematika. Kita lihat beberapa saja yaitu yang

langsung bisa diatasi.

Pertama mengindarkan terjadinya kebisingan atau kegaduhan di dalam kelas. Kegaduhan di dalam

kelas itu bisa terjadi karena ucapan guru tidak jelas. Tidak jelasnya itu mungkin karena bakatnya

begitu (kurang lancar berbicara), ukuran kelasnya besar, dan karena adanya siswa yang suka

merusak suasana belajar mengajar Untuk mengatasinya guru harus pandai mengelola kelas:

memperbaiki diri dan menegur yang berulah tidak baik itu. Kedua, karena guru kurang menguasai

materi pelajaran. Mengatasinya ialah dengan mempelajari materi itu sebelumnya;

lebih lama, lebih luas, dan lebih dalam.

2.4. Siswa Kurang Dibina

Di SMP ini pembinaan siswa harus lebih efektif karena siswanya adalah siswa wajib belajar Besar

kemungkinan siswanya itu ada yang tidak mau melanjutkan bersekolah atau siswa yang bila dibina

secara biasa, belajarnya tidak berhasil. siswa pada kelompok wajib belajar itu mungkin ada yang

bila disuruh belajar itu akan menjawab, "saya ini dari dulu pun tidak mau belajar lagi. Kok

disuruh_suruh. Mau masuk sekolah pun, saya termasuk yang sudah berbuat baik‖.

Selain itu seperti sudah diuraikan, sejak rama prosentase yang masuk ke SMP dari SD itu makin

besar. Sehingga kemungkin annya, banyak siswa yang tidak mampu didik di SMP itu makin besar.

Agar berhasil belajar, pembinaannya harus khusus. Pembinaan khusus itu misalnya, guru

mengajarnya harus lebih lambat, guru harus lebih sabar dan setelah selesai pelajaran guru harus

menyediakan waktu khusus bagi mereka. waktu khusus itu dipakai oleh guru untuk menjelaskan

hal-hal yang belum dimengerti oleh siswa. Sehingga kumulatif karena tidak memahaminya tidak

terlalu bertumpuk.

Page 22: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

14 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2.5. Materi Matematika di Kurikulum tidak Cocok bagi Siswa

Tidak cocoknya materi kurikulum matematika di SMP ini menurut saya disebabkan adanya wajib

belajar. Siswa SMP yang jaman dulu tidak memenuhi syarat untuk diterima di SMP menjadi

terpaksa/harus diterima. Seperti di negara-negara maju, usia wajib belajar itu makin tua.

Maksudnya, belajar di sekolahnya harus makin lama. Lebih jelas lagi, bila usia wajib belajar itu

sampai dengan di SMP, maka mereka yang usianya sekitar 15 tahun ke bawah harus bersekolah.

Sedangkan bila usia wajib belajar itu sampai dengan SMA maka mereka yang usianya 18 tahun ke

bawah harus bersekolah. Itu yang dimaksud usia belajar itu makin tua.

Mengingat hal itu makin maju suatu usia wajib belajar, prosentase siswa yang tidak mampu didik

di jenjang wajib belajar itu makin banyak. Seperti di Inggris misalnya, wajib belajar itu sampai

dengan usia 16 tahun. Ini menyebabkan makin banyak siswa yang kurang memahami topik

tertentu. Topik-topik atau tahap deduktif, di sana hanya dipahami oleh 5% siswa SMA. Karena itu

geometri yang diberikan di sana bukan geometri Euclids tetapi geometri Transformasi. (Elliott

dalam Ruseffendi, 1990c, h.l7). Untung di kita karena kita menggunakan buku mereka masalah itu

tidak begitu banyak terjadi.

Karena hadirnya siswa wajib belajar di SMP, apakah tidak lebih baik bila programnya dibagi dua?

Misalnya program akademik dan non akademik.

2.6. Suasana Masyarakat Luas

Masyarakat kita sekarang, menurut saya sedang sakit. Sedang menderita tekanan darah tinggi: lekas

tersinggung. Kalah bertanding sepak bola mengamuk; sampai-sampai wasitnya dikejar, kereta api

dilempari, dan stadionnya dibakar. Merasa diliciki dalam pemilihan, rakyat protes; panitia

pemilihan lurah misalnya, dikejar karena menghitung suaranya diduga tidak benar. Kampung

dengan kampong berkelahi karena masalah kecil. Dan kadang-kadang wakil rakyat pun bertengkar.

Keadaan seperti itu dapat memberi contoh yang tidak baik kepada generasi muda. Yang sering

dicontoh oleh manusia itu bukan perilaku baik tetapi perilaku yang jelek dan terutama yang bakal

menguntungkan. Perhalikan Percobaan Baruda. Pada percobaannya ia menyediakan 3 ruang

percobaan A, B, dan C dan sebuah ruangan lain D yang berisi orang-orangan; kecuali D isi ruangan

bisa dilihat dari luar.

Di ruang A ada orang yang sedang memukul-mukul orang-orangan. Di ruangan B ada orang dan

orang-orangan yang sama tetapi orang itu tidak memukulinya. Dan di raungan C tidak ada apa-apa

(kosong). Kemudian ada 3 kelompok siswa andaikan kelompok X, Y, dan Z. Mereka masing-

masing dibawa untuk melihat dari luar ruangan A, B, dan C; X ke A saja, Y ke B saja, dan Z ke C

saja. Setelah itu masing-masing secara bergilir disuruh masuk ruangan D. Dari ketiga kelompok

siswa itu ada yang berbuat aneh yaitu kelompok X. Mereka memukuli orang-orangan yang ada di

ruangan D sedangkan kelompok Y dan Z tidak. Di situ kelihatan bahwa mereka berbuat itu karena

meniru. (dalam Ruseffendi 2006,h.171).

Jadi, agar peniruan itu terjadi kepada yang baik-baik, manusia-menusia di masyarakat itu harus

berperilaku baik.

2.7. Bagaimana Bisa Terwujudnya Pendidikan Karakter Budaya Bangsa, Kewirausahaan. Ekonomi

Kreatif dan kepribadian yang aktif?

Dalam Pendidikan Matematik a, adaobjek langsung dan objek tidak langsung. (Gagne dalam

Reseffendi 2006, h. 163). Objek langsung adalah materi matematika yang diberikan. Sedangkan

objek tidak langsung ialah perilaku atau sikap orang yang telah memperoleh objek langsung itu.

Karena matematika itu rasional, hemat, cermat, tepat, indah, dan tidak ambiguity, maka sifat yang

tumbuh itu yaitu objek tidak langsung pada orang yang memperoleh matematika itu. Selain seperti

itu yaitu rasional, hemat, dan sebagainya itu juga akan menjadi manusia yang kreatif dan mampu

memecahkan masalah.

Tentu saja, pembelajarannya pun harus mendorong terhadap terwujudnya objek tidak langsung itu.

Bila objek langsungnya matematika tradisional maka objek tidak langsung yang akan tumbuh itu

Page 23: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 15

akan minim sekali. Begitu pula soal-soalnya harus yang menyebabkan manusia kita berpikir, bukan

dengan soal-soal rutin. Soal-soal yang sifatnya menantang terdapat antara lain pada soal-soal GRE.

Contoh-contoh soalnya seperti sebagai berikut. (Ruseffendi, l99l h.346-349).

cara menjawab: Tulis di titik-titik A bila bersama di A lebih besar, B bila besaran di B lebih besar,

C bila kedua besaran sarna, dan D bila hubungan tidak bisa ditentukan menurut informasi yang di

ketahui.

Soal No. 4-6 didasarkan kepada gambar kubus berikut. Isi titik-titik dengan nama gambar.

4. Gambar yang ada pada alas gambar (3) adalah ...

5. Gambar di seberang gambar lingkaran adalah ...

6. Gambar di seberang gambar bujursangkar adalah ...

Soal no. 7 - 8 didasarkan kepada uraian berikut. Isilah titik-titik. Andaikan kita menggunakan

sistem numerasi baru dengan angka-angka *, I, <, H, ⊡, E, Λ, V, X, dan ∅ yang berturut-turut

sebagai pengganti 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.

7. Jumlah dari V + Λ + H = ....

8. Hitunglah I< Λ+ <⊡

⊡−⊡ 𝑉

9. Andaikan dari sekolah kita untuk menyebrang itu sukar karena banyak kendaraan yang lewat

dan jalannya cepat-cepat. Ditanyakan:

1) Bagaiman kita bisa meyakinkan petugas LLAJR bahwa di depan sekolah kita itu sudah

perlu dipasang jalan penyeberangan.

2) Jalan penyeberangan apa yang bisa kita buat? Beri alasan masing-masing.

10. Berapa cm kubik volum badan Anda? Bagaimana menghitungnya?

Itulah beberapa contoh yang dapat membantu sifat kreatif siswa dalam mewujudkan ekonomi.

Berikutnya ialah bagaimana bisa membentuk budaya karakter bangsa.

Tujuan pendidikan nasional kita antata lain adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya orang-orang Indonesia itu harus beragama. Kemudian

demi mewujudkan manusia Indonesia yang beragama itu bisa melalui pendidikan pancasila dan

pendidikan agama. Jadi dengan berpegang kepada dua hal itu kepribadian bangsa kita yang agamis

dapat terbentuk. Apakah dengan kedua hal itu karakter budaya bangsa Indonesia dijamin bisa

terwujud? Menurut saya sudah sebab kepribadian kita yang diwujudkan oleh agama itu kepribadian

Page 24: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

16 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

yang ideal bagi setiap bangsa mana pun. Jusku bila kita lterobsesi oleh kebudayaan bangsa kita,

kepribadian agama kita itu bisa tercemar, misalnya kita bisa menjadi syirik, kita bisa berbangga,

kita bisa mengutamakan urusan dunia daripada urusan akhirat, dan lain-lain.

Terakhir mengenai kewirausahaan. Kelihatannya masalah ini sukar dijangkau oleh pendidikan

matematika. Satu-satunya yang mungkin ada kontribusinya kepada kewirausahaan adalah

pembentukan sikap yang diharapkan terjadi pada para kewirausahaan agar kewirausahaannya itu

berhasil. Sifat-sifat itu, seperti sudah disampaikan, mampu memecahkan masalah, kreati{ cermat,

rasional/nalar, ekonomis, dan hemat. Ini sesuai dengan kepribadian yang tumbuh kepada mereka

yang mempelaj ari matematika.

Singkatnya uraian mengenai pembelajaran matematika di SMP sekarang adalah sebagai berikut.

Tetapi ini hanya berupa sinyalemen. Tidak bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang kebenarannya

pasti. Sebab kesimpulan yang baik itu harus dilakukan berdasarkan penelitian. Kelihatannya adalah

sebagai berikut.

Permasalahan pembelajaran geometri itu terjadi karena adanya masukan topik-topik geometri

Euclids kepada geometri transformasi. Pembelajarannya seperti pembelajaran matematika

tradisional karena pemah ada kebijaksanaan TUNG pada Kurikulum 1984 dan terutama pada

Kurikulum 1994. Mutunya rendah disebabkan karena tidak sedikit guru dan siswanya kurang

berkualitas. Dan suasananya agar siswa belajar aktif tidak kondusif. Tetapi sebenarnya, sesuai

dengan hakekat matematika, bila pembelajarannya baik manusia aktif dan kreatif itu bisa terjadi.

III. BAGAIMANA PENDIDIKAN MATEMATIKA DI WAKTU YANG AKAN DATANG?

Bagaimana semestinya pendidikan matematika di SMP yang juga membawa empat buah misi itu

yaitu karakter budaya bangsa, kewirausahaan, ekonomi yang kreatif, dan kepribadian yang aktif.

Agar pendidikan matematika kita, khususnya di SMP, terwujud dengan baik terdapat empat pilar

yang harus diyakini bahwa semuanya itu benar. Pertama percaya kepada matematika untuk siswa

dan bahwa matematika itu benar dan berguna. Kedua percaya kepada pendidikan matematika yang

harus dikembangkan secara ilmiah. Ketiga percaya bahwa cara belajar siswa dan cara mengajar kita

itu benar. Dan keempat percaya bahwa kehidupan yang harus diutamakan itu kehidupan beragama.

Apakah setiap orang yang menjadi guru akan dapat berpikir seperti itu? Tentu saja tidak. Yang bisa

berpikir seperti itu hanya orang yang cukup pintar. Menurut saya harus orang yang nilai

matematika, IPA, dan bahasanya baik di jenjang sebelum adarrya pengelompokan ke dalam MIPA

dan NON-MIPA. Dengan singkat, calon guru itu harus orang yang nilai matematika, IPA, dan

bahasanya baik.

3.1. Percaya kepada Matematika yang Baik bagi Siswa

Dalam pendahuluan sudah diuraikan bahwa matematika sekolah itu beragam. Kita harus yakin

bahwa matematika sekolah yang kita pilih itu benar dan cocok bagi siswa kita. Sesuai dengan

keadaan siswa wajib belajar, matematikanya masih perlu ada yang tidak formal dan programnya

beragam atau terbagi dalam dua program; program akademik dan program non akademik.

Walaupun begitu untuk program akademik atau siswa pandai pendekatan deduktifnya yang secara

penuh harus dibatasi. Bila kita akan menerapkan PMRI misalnya maka matematisasi horizontal dan

vertical di SD, SLTP, dan SLTA adalah sebagai berikut.

Page 25: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 17

Menurut saya bila kita akan menerapkan PMRI di sekolah, makin tinggi jenjangnya makin sedikit

matematisasi horizontal diperlukan. Dan bila ingin melihat dari segi keformalannya, pembelajaran

matematika di SMP itu campuran antara yang tidak formal dan yang formal. Di SD tidak formal

sedangkan di SMA formal setelah sistem aksiomatiknya dikeluarkan untuk jadi pelajaran pilihan.

Mengapa kita harus yakin bahwa matematika yang kita pilih itu benar dan berguna bagi siswa,

sebab bila tidak bisa salah seperti dalam contoh berikut.

Pertama seorang ahli PMR dari Negeri Belanda mengatakan dalam ceramahnya bahwa matematika

modern itu maia petaka. Padahal Bell (1978,h. 64) mengatakan, ―In balancing the positive and

negative assessments of the new math revolution, most well - informed people arrive at the

conclusion that new math is neither dismal failure nor an overwhelming success‖.

Ada lagi yang mengatakan, "Bila PMRI kita ingin berhasil kita harus membuang matematika

modern jauh-jauh". Padahal waktu saya menyajikan kegiatan lapangan yang topiknya dan

penyajiannya dari matematika modem (Ruseffendi, 2006, h. 536) seorang ahli PMR dari Belanda

memujinya.

Seorang lagi mengatakan, ―Dalam pengajaran matematika sebelum PMRI rumus-rumus seperti

rumus panjang keliling lingkaran 2𝜋R harus dihapalkan tanpa penjelasan sedangkan dalam PMRI

dijelaskan‖. Pernyataan itu benar, bila bicaranya di Negeri Belanda sebab sebelum PMR di Negeri

Belanda diterapkan pengajaran matematikanya'itu yang mekanistik (matematika lama). Sedangkan

di kita, yang begitu itu sejak pengajaran matematika modern sudah dijelaskan.

orang berikutnya dari Pusat (Jakarta). Katanya,‖siswa tidak bisa menyelesaikan soal seperti 1

4: 2

1

2

Berarti penguasaan matematika dari siswa itu jelek‖. Kata Heuvel-Panhuizen, di Belanda operasi

hitung formal dengan pecahan tidak lagi termasuk dalam kurikulum inti. Tetapi operasi dengan

pecahan itu supaya terjadi pada masalah kontekstual yang sederhana. Bila dikontekstualkan tentu

saja bisa. Misalnya, ada 1

4 karung pupuk. Lalu dimasukkan kedalam sebuah karung yang besarnya

21

2 kali lebih besar. Berapa bagian dari isi karung yang besarnya 2

1

2 kali itu? Tetapi menurut saya

itu adalah soal yang dibuat-buat sehingga menjadi kontekstual.

Berikutnya lagi, seorang doctor dan guru besar dari Negeri Belanda memberitahu saya bahwa ia

kedatangan orang kunci dalam kurikulum di DEPDIKNAS. Ia membawa sebongkah buku-buku

matematika yang pemah digunakan di kita (Indonesia) sewaktu jaman Belanda. Ia bilang, ―Saya

ingin agar matematika yang diberikan di sekolah Indonesia itu seperti ini (menunjuk kepada buku-

buku yang dibawanya) sehingga siswa menjadi pandai dalam matematika seperti saya‖.

Saya Tanya, ―Apa komentar Anda?‖.

Page 26: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

18 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Jawabnya, "Saya tidak memberi komentar, tetapi saya berkata dalam hati,"orang ini tidak

mengetahui bahwa Belanda sendiri sudah berubah", katanya. Orang-orangyangdisebutkan di atas (5

orang) dan dua orang lagi yang sudah dibicarakan di bagian depan sama-sama menyukai

matematika. Yang keliru adalah pemahamannya tentang sesuatu dalam matematika. Dengan kata

lain premisnya salah.

Yang berikut ini dua orang yang cenderung untuk tidak menyukai matematika karena persepsinya

terhadap matematika dan matematikawan itu tidak benar.

Pertama seorang ahli agama terkenal yang bernama Al-Ghazali. Ia mengatakan, "Tidak satu pun

hasil-hasil matematika,katanya,terkait dengan agama. Karena itu, matematika bukanlah subjek

yang diharamkan. Walaupun demikian, kata Al-Ghazali, matematika menyebabkan banyak bahaya

dan sangat seling menjadi penyebab kekafrran". (dalam Hoodbhoy, 1996, h. 184).

Kedua adalah sikap seorang delegasi Saudi pada suatu konperensi tingkat tinggi di Kuwait pada

tahun 1983. Dikatakan, "Delegasi Saudi mengatakan bahwa sains murni condong menghasilkan

'kecenderungan Mu'tazilah' yang secara potensial merupakan keyakinan bid'ah. Sains adalah

sesuatu yang profane karena bersifat sekuler; menurut pendapat mereka, sains menentang

keyakinan Islam. Walaupun..., sains mumi seharusnya dihambat, demikian menurut

delegasi.Saudi". (Hoodbhoy, 1996, h. 66-67). Padahal mereka berbicaranya itu pada konperensi

mengenali dan menyingkirkan kemacetan perkembangan sains dan teknologi di dunia Arab.

Dari pendapat kedua orang terakhir itu kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana orang akan

dapat berhasil membawakan pembelajaran matematika bila ia berpendapat seperti mereka di atas

atau meragukan kegunaannya.

3.2. Percaya bahwa Pendidikan Matematika itu Suatu Disiplin Ilmu

Bahwa pendidikan matematika itu adalah suatu disiplin ilmu dan bukan suatu ilmu rekayasa sudah

diuraikan. Dosen, guru, dan orang-orang yang berkepentingan harus mempercayainya. Dengan

demikian pengembangannya harus dilakukan secara ilmiah dan paling tidak melibatkan anak didik,

matematika yang diajarkan calon guru, guru, dan dosennya. Bahwa untuk menjadi guru yang

professional itu calon guru harus belpengalaman guru sedini mungkin dan terus menerus calon

guru itu memperoleh berbagai ilmu dan pengalaman sehingga ia menjadi seorang guru yang utuh.

Dan seperti sudah disampaikan, dalam jangka waktu tertentu, calon guru itu harus diasramakan.

Karena itu program gurunya bukan program konsekutif tetapi program simultan (concurrent).

Kita yang terlibat di dalamnya harus sepakat untuk melakukan pembelajaran pendidikan untuk

bangsa kita itu bukan hanya melalui impor saja sebab belum tentu hasil penelitian di sana akan

cocok bagi anak-anak kita. Misalnya: apakah perkembangan mental anak-anak kita sesuai dengan

hasil penelitian Piaget bagi bangsanya? Apakah tipe belajar anak-anak kita sesuai dengan yang

Gagne temukan? Apakah tahap-tahap pemaham siswa dalam geometri di kita sama dengan yang

ditemukan Van Hiele? Apakah prosentase siswa SMA yang dapat memahami sistem deduktif

hanya 50lo seperti di Inggris? dan lain-lain.

Masalahnya di kita, penguasa itu sering lebih percaya kepada pemikirannya sendiri daripada

kepada hasil penelitian. Mungkin hasil penelitian orang-orang kita itu dianggapnya belum benar?

3.3. Percaya bahwa Cara Siswa Belajar dan Cara Guru Mengajar yang Dilaksanakan adalah yang

Terbaik

Pada masa sekarang strategi pembelajaran yang guru bawakan itu sangat kurang yaitu: pembawa

materi adalah guru sendiri dengan materi pelajaran yang sempit, penyaji materinya adalah guru

sendiri, pendekatannya kalau tidak formal yang formal, dan ukuran kelasnya pada umumnya adalah

sangat besar. Padahal warna atau macam strategi belajar mengajar itu lebih dari 1400 macam.

Kemungkinannya makanya strategi pembelajaran yang guru gunakan itu hanya sebuah, mungkin

karena guru tidak megnetahui atau mengetahui hanya untuk melakukannya malas, tidak mau cape-

cape. Bila alasannya yang kedua, itu berani strategi pembelajaran yang guru bawakan itu bukan

Page 27: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 19

yang terbaik. Jadi semestinya warna strategi belajar-mengajar yang guru bawakan itu yang terbaik

dan guru yang bersangkutan harus yakin bahwa strategi yang dipilihnya benar.

Dalam melaksanakan tugasnya itu ada kekurangannya. Mungkin karena guru tidak diberi

peluangan untuk itu. Semestinya kalau tugas guru mengajar itu 24 jam per minggu, jangan

seluruhnya dipakai untuk mengajar. Tetapi sebagian daripadanya dipakai untuk responsl: Misalnya

18 jam mengajar dan 6 jam respons/ Enam jam untuk respong dipakai oleh guru setelah guru

memberi pelajaran dan digunakan oleh setiap siswa yang memerlukan. Jadi setelah guru itu

mengajar, waktu itu juga ia masuk kantor dan menerima siswa yang dalam pelajaran tadi siswa

belum mengerti. Dengan demikian ketidakmengertian siswa itu tidak akan kumulatif. Dan, bila

terjadi kumulatif, kemungkinan besar siswa yang bersangkutan menjadi tidak menguasai

matematika.

Kemudian dalam membawakan pembelajarannya guru tidak bisa lepas dari membuat instrumen

sebagai alat evaluasi. Di sini pun guru harus yakin bahwa instrumen yang dibuatnya itu benar dan

baik. Seperti sudah disampaikan untuk tumbuhnya sifat kreatif, nalar, dan mampu memecahkan

masalah siswa supaya diberi soal-soal yang menantang. Sedangkan di kita sering yang rutin-rutin

saja. Dalam menyelesaikan soal sebagai berikut 24 x 17 misalnya perhatikan perbedaan antara

anak-anak di kita pada umumnya dengan anak-anak di Inggris sewaktu saya berkunjung ke London

tahun 1994. waktu saya berkunjung ke sana itu saya

mempunyai kesempatan membuka-buka buku pekerjaannya. Tidak ada seorang pun yang

mengerjakannya seperti di kita. Nampak dengan cara di London itu siswa lebih tejadi mengerti

daripada cara-cara anak-anak kita. Selain itu di sana sudah jarang sekali mengerjakan soal-soal

rutin dalam operasi hitung dengan bilangan-bilangan besar. Sedangkan di kita sewaktu saya

berkunjung ke suatu sekolah dasar, banyak. siswa bedam-jam mengerjakannya sedangkan guru

bertugas sewaktu siswa menyerahkan jawabannya saja; di luar itu nganggur. soal-soal itu misalnya:

274+325+144=;315x86=; dan 39796 : 64

Mengenai tingkat kesukaran soal-soal pun harus dibedakan. Sesuai dengan normalnya kemampuan

sekelompok siswa, maka dalam satu set soal itu yang mudah, sedang, dan sukarnya masing-masing

sekitu 30%, 50%, dan 20%. Begitu pula masing-masing di setiap kelompok lemah, sedang, dan

kuat sekitar itu.

3.4. Dalam Hidup Ini Kita Harus Mendahulukan Kepentingan Agama daripada Urusan Dunia

Seperti sudah disampaikan Tujuan Pendidikan Nasional kita itu antara lain adalah membentuk

manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Konsekuensinya manusia Indonesia itu

harus beragama. Dalam setiap hgama kita tidak boleh mencuri, membunuh, menyakiti makhluk

Tuhan dsb. tetapi harus sebaliknya kita harus menyayangi, membantu, menolong dsb. satu sama

lain. Di dunia, khususnya di kita sekarang-sekarang ini tidak sedikit ada pencurian, perampokan,

pembunuhan, tindakan anarkhis, perbuatan sadis, perbuatan tidak manusiawi, pengrusakan,

pembobolan uang Negara, dan lain-lain. Tindakan perbuatan yang jelek-jelek itu perbuatan orang

yang tidak beragama atau yang agamanya hanya pengakuan saja?

Page 28: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

20 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Mendahulukan urusan agama itu artinya bukan kita hanya melakukan urusan agama dan

meninggalkan urusan dunia, tetapi berbuat dalam urusan dunia itu karena amanah Tuhan. Dengan

kata lain bila kita menjabat, itu bukannya kita mendapat kekuasaan, tetapi memperoleh amanah

dari Tuhan.

Bila kita berpegang kepada prinsip itu dan melaksanakannya, insyaallah dunia ini akan aman.

Sebab bila orang memeluk agana dengan sebagaimana mestinya ia akan menjadi manusia yang

jujur, adil, akan acuh kepada orang lain, akan memegang jabatan sebagai amanah, akan berpikir

rasional dan objektif, dan sebagainya Adanya orang yang berpikir aneh seperti Al-Ghazali dan

wakil Saudi mengenai sains murni (termasuk matematika) adalah karena ketidakpahamannya.

orang-orang yang seperti itu pandangannya mengenai sains harus diluruskan.

Selain dari pihak agama yang berpandangan kolot, dari pihak komunis dan atheis pun harus dijaga.

Bila golongan agama yang berpandangan kolot cenderung untuk menghambat kemajuan

matematika, golongan komunis dan atheis menghalangi kita untuk beragama seperli disampaikan

oleh Habeyb,

Komunisme...paham yang menghendaki kehidupan manusia bersendikan kepunyaan bgrsama

dari segala sesuatunya (lanjutan dari sosialisme). . . .Ffikum-hukum alam, katanya, sudah

terkandung dalam cosmos dan tidak ada hubungannya sarirasekali dengan apa yang disebut

Tuhan. Segala sesuatu dan kepercayaan tentang Tuhan hanyalah khayalan manusia saja yang

harus dibasmi sampai ke akir-akamya. Karena ini adalah musuh besar dari ajaran Komunisme.

(1981, h. l98-199).

Selanjutnya dikatakan,

Dalam hubungannya dengan agama menurut Lenin, Marxisme memandang semua agama

modern dengan segala tempat ibadahnya dan semua organisasi agama sebagai alat-alat dari

kaum borjuis untuk mempertahankan penjajahan mereka dan untuk meracuni masyarakat kelas

buruh.

Agama sebagaimana di-definisikan oleh Marx adalah candu bagi rakyat. Setiap pikiran tentang

agama dan tentang Tuhan dan setiap detik sangkaan bahwa Tuhan itu ada merupakan suatu

kejahatan yang paling berbahaya, suatu penyakit yang paling gila di dunia ini... (1981 ,h.228).

Bila kita beragamanya dengan benar tentunya kita akan mampu menjelaskan kepada orang-orang

komunis dan atheis bahwa Tuhan itu ada. Bahwa agama samawi itu, paling tidak sumbernya adalah

Tuhan yang Maha Esa. Demikianlah sedikit uraian mengenai Naskah Akademik Matematika SMP.

Mudah-mudahan ada gunanya. Amin!

Page 29: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 21

DAFTAR PUSTAKA

Doll, M.E.Jr. (1993). A post-modem perspective on curriculum. New york: Teacher

College Press.

Ernes, P. (1991). The philosophy of mathematics education. Great Britain: The Palmer Press

Gardner, D.P. (1983). A nation at risk. Washington, D.C.: U.S.Government printing Press.

Habeyb, S.F. (1981). Kamus popular. Jakarta: Centra.

Heuvel-Panhuizen, Maja van den (1998). Realistic mathematics education. Bon: Wed-site

Freudenthal Institute http/iwww.fi .uu.nl.

Hoodbhoy, P. (1996). Ikhtiar menegakan rasionalitas antara sains dan ortodoksi Islam. Bandung:

Mizan

Pikiran Rakyat (1997). Tanggal 24 Agustus 1987.

Ruseffendi, H.E.T. (2006). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya

dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E.T. (1990a). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.

Seri 5. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1990b). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.

Seri …. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1990c). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.

Seri 6. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, H.E.T. (1991). Penilaian pendidikan dan hasil belajar siswa khususnya dalam

pengajaran matematika. Bandung: Tarsito.

Tempo (1983). Tanggal 16 Juli 1983.

Treffers, A. (1991). Realistic mathematics edutacion in the Netherland 1980-1990. In L. Streefland

(ed). Realistic mathematics education in primary school. The Netherlands : Freudenthal

Institue.

Page 30: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

22 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Utari Sumarmo

Abstrak

Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari

pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam

tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter meliputi: religius, jujur,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah

air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

sosial, dan tanggung jawab. Pada dasarnya pendidikan karakter tidak diajarkan secara tersendiri namun

bersamaan waktu dengan pembelajaran tiap bidang studi termasuk matematika, melalui: pemahaman,

pembiasaan, keteladanan dan contoh, serta pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran tidak dapat

disederhanakan dalam bentuk resep, karena melibatkan beragam unsur antara lain: pengetahuan bidang studi

dan dan pedagogi pembelajarannya, siswa dan karakteristiknya, dan diskursus atau lingkungan belajar.

Melalui pendekatan pembelajaran apapun, perlu diupayakan agar siswa belajar secara aktif, mencapai belajar

matematika secara bermakna serta memiliki karakter yang terpuji.

Kata kunci: pendidikan karakter dan nilai, pemahaman, pembiasaan, keteladanan dan contoh, pembelajaran

yang berkelanjutan, belajar aktif, belajar bermakna, tugas matematik, diskursus A. Pendidikan Budaya dan Karakter

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai

budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang sesuai dengan

kehidupan masa kini dan masa datang. Pendidikan juga merupakan usaha sadar suatu masyarakat

dan bangsa dalam mempersiapkan generasinya untuk menghadapi tantangan demi

keberlangsungan hidup di masa datang. Proses di atas merupakan proses penting dan berkelanjutan

yang harus dilakukan dalam semua mata pelajaran.

Beberapa alasan esensialnya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dikembangkan pada siswa

dikemukakan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI)

sebagai berikut (Ghozi, 2010):

1) Karakter sebagai perekat kultural yang memuat nilai-nilai: kerja leras, kejujuran, disiplin, etika,

estetika, komitmen, rasa kebangsaan dll.

2) Pendidikan Karakter merupakan proses berkelanjutan

3) Pendidikan Karakter sebagai landasan legal formal untuk tujuan pendidikan dalam ketiga

ranah

4) Proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan karakter dan IPTEKS

5) Melibatkan beragam aspek pengembangan peserta didik

6) Sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik

Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan berfungsi: (1) pemersatu bangsa, (2)

penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 tercantum sebagai berikut: ― Pendidikan Nasional

bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Rumusan tujuan di atas

merupakan rujukan utama untuk penyelenggaraan pembelajaran bidang studi apapun, yang selain

memuat kemampuan kognitif yang disesuaikan dengan bidang studi juga menekankan pada

pengembangan budaya, dan karakter bangsa. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam

pendidikan budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,

Page 31: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 23

kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai

prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,

dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum).

Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, pengembangan

kemampuan dalam bidang studi dan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa di atas

merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran setiap bidang studi

demikian juga dalam pembelajaran matematika. Pengembangan kemampuan matematika dan

nilai di atas termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika yaitu: a) memahami konsep

matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma

secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, b) menggunakan penalaran

pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun

bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, c) memecahkan masalah; d)

mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas

keadaan atau masalah, dan e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan

percaya diri dalam pemecahan masalah (KTSP, 2006).

Butir-butir a) sampai dengan d) dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika di atas

menggambarkan kemampuan matematik dalam ranah kognitif, sedang butir e) melukiskan ranah

afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika. Dalam pembelajaran matematika

pembinaan komponen ranah afektif akan membentuk disposisi matematik yaitu: keinginan,

kesadaran, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat

secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia.

Pengertian disposisi matematik seperti di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang

terkandung dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan demikian pengembangan

budaya dan karakter, kemampuan berpikir dan disposisi matematik pada dasarnya dapat

ditumbuhkan pada siswa secara bersama-sama.

Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik meliputi sikap atau sifat: 1) rasa

percaya diri dalam menerapkan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan

mengkomunikasikan gagasan, 2) lentur dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha

mencari beragam cara memecahkan masalah; 3) tekun mengerjakan tugas matematik; 4) minat,

rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; 5) cenderung memonitor dan

menilai penalaran sendiri; 6) mengaplikasikan matematika dalam bidang studi lain dan kehidupan

sehari-hari; 7) apresiasi terhadap peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat,

dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000)

mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan

metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi

dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat

dengan orang lain.

Pengertian disposisi matematik di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang terkandung

dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu

mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter, kemampuan

berpikir dan disposisi matematik yang terintegrasi dan dilaksanakan secara bersamaan.

Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan upaya menyiapkan

lulusan yang kelak diharapkan dapat memenuhi tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing

yang semakin ketat, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.

Page 32: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

24 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

B. Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Karakter

Pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur

seperti guru, siswa, matematika dan karakteristiknya, dan situasi belajar yang berlangsung. Oleh

karena itulah pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu siswa

belajar. Paling sedikit terdapat dua hal yang menjadi alasan bahwa pembelajaran tidak dapat

dirumuskan dalam bentuk resep. Pertama, pembelajaran melibatkan pengetahuan tentang: topik

matematika yang akan diajarkan, perbedaan siswa, cara siswa belajar, lingkungan kelas, lembaga

pendidikan dan masyarakat. Selain hal umum seperti di atas, guru juga harus mempertimbangkan

hal-hal khusus misalnya: karakteristik topik yang akan diajarkan dan pedagogi mengajarkannya.

Kedua, sebagai implikasi bahwa pembelajaran melibatkan berbagai domain, maka guru juga harus

menetapkan: cara mengajukan dan merespons pertanyaan, cara menyajikan idea matematika secara

tepat, berapa lama diskusi perlu dilaksanakan, jenis dan kedalaman tugas matematika, dan

keseimbangan antara tujuan dan pertimbangan.

Adalah rasional bahwa tak ada satu pembelajaran yang paling sesuai untuk mengembangkan

semua kemampuan, proses, dan disposisi matematik. Namun demikian, dalam pendekatan dan

strategi pembelajaran apapun yang perlu mendapat perhatian adalah ketercapaian belajar bermakna

pada siswa. NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) mengemukakan beberapa saran kepada guru

untuk melaksanakan pembelajaran matematika secara bermakna antara lain: memilih tugas

matematik yang tepat, mendorong berlangsungnya belajar bermakna, mengatur diskursus

(discourse), dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang

kondusif.

a) Memilih tugas hendaknya memperhatikan: topik-topik matematika yang relevan,

pemahaman, minat, dan pengalaman belajar siswa yang sebelumnya, dan mendorong

tercapainya belajar bermakna,

b) Memilih tugas ditujukan untuk: mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematik,

menstimulasi tersusunnya hubungan matematik, mendorong untuk formulasi masalah,

pemecahan masalah dan penalaran matematik, memajukan komunikasi matematik,

menggambarkan matematika sebagai kegiatan manusia, mendorong tumbuhnya disposisi

matematik.

c) Mengatur diskursus dengan cara: memperkenalkan notasi dan bahasa matematika yang tepat,

menyajikan informasi, menjelaskan isu, membuat model, dan memberi kesempatan siswa

mengatasi kesulitan serta meyakinkan diri siswa; mendorong partisipasi siswa untuk

menciptakan suasana kelas yang kondusif; mendengarkan, merespon, dan bertanya melalui

berbagai cara untuk bernalar, membuat koneksi, menyelesaikan masalah, dan saling

berkomunikasi; mengajukan pertanyaan/masalah, contoh dan lawan contoh, konjektur.

d) Menciptakan suasana belajar untuk mendorong pengembangan daya matematik siswa dengan

cara: mengajukan pertanyaan dan menyusun konjektur, idea dan masalah kontekstual yang

sesuai; menghargai idea, cara berfikir dan disposisi matematik siswa melalui belajar

individual atau kolaboratif

e) Menganalisis partisipasi belajar siswa melalui: observasi terhadap apa yang telah dipelajari

siswa.

Untuk mendukung berlangsungnya saran pembelajaran di atas, perlu adanya perubahan

pandangan terhadap pembelajaran seperti tercantum pada Tabel 1.

Page 33: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 25

Tabel 1

Perubahan Pandangan dalam Pembelajaran

No. Dari pandangan No Ke arah pandangan

1. Kelas sebagai kumpulan individu 1. Kelas sebagai masyarakat belajar.

2. Melayani siswa secara serupa untuk

keseluruhan

2. Melayani siswa sesuai dengan minat,

kekuatan, harapan, dan kebutuhan masing-

masing

3. Mengikuti kurikulum secara kaku 3. Seleksi dan menyesuaikan kurikulum secara

fleksibel.

4. Guru sebagai pemegang otoritas

jawaban yang benar

4. Guru membimbing siswa berpikir logis

5. Guru sebagai instruktur 5. Guru sebagai pendidik, motivator, fasilitator,

dan manajer belajar

6. Menekankan pada mengingat

prosedur penyelesaian dan perolehan

informasi

6. Menekankan pada pemahaman, penalaran dan

proses menemukan idea matematika secara

aktif

7. Menekankan pada menemukan

jawaban secara mekanistik

7. Menekankan pada menyusun konjektur,

menemukan, dan memecahkan masalah

8. Kebiasaan guru bekerja sendiri 8. Kerjasama antar guru untuk memajukan

program matematika

9. Suasana kompetitif yang kurang

sehat

9. Masyarakat belajar dengan kerjasama dan

urunan tanggung jawab dan perhatian.

10. Memandang dan memperlakukan

matematika sebagai "body of

isolated concepts and procedures"

10. "Connecting mathematics, its ideas, and its

application”..

Berman, (dalam Costa, Ed. 2001) menyarankan sembilan strategi pembelajaran untuk

mengembangkan berpikir terbuka dan pemahaman yang kritis pada siswa, yaitu: 1) Ciptakan

lingkungan yang aman, 2) Ikuti cara berpikir siswa, 3) Dorong siswa berpikir secara kolaboratif, 4)

Belajarkan cara bertanya dan bukan cara menjawab, 5) Belajarkan tentang keterkaitan, 6) Anjurkan

siswa berpikir dalam multi persepektif, 7) Dorong siswa agar sensitif, 8) Bantu siswa menetapkan

standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan, dan 9) Berikan

kesempatan/peluang kepada siswa untuk berbuat sesuai dengan jalan pikirannya.

Saran lain dikemukakan Meissner (2006) yaitu agar guru memperhatikan perkembangan individual

dan sosial, menyajikan masalah yang menantang atau masalah berkenaan dengan penalaran, serta

mendorong siswa mengajukan idea secara spontan. Kemudian, Nicholl (2006) menyarankan

beberapa langkah agar individu menjadi kreatif yaitu: kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya,

berpikir dari empat arah, ajukan beragam idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang

berlangsung.

Berkenaan dengan pendidikan budaya dan karakter, pada dasarnya nilai-nilai tidak dapat diajarkan

dalam satu bidang studi dan periode waktu tertentu, tetapi dikembangkan secara aktif dan

berkelanjutan dalam semua bidang studi melalui empat cara yaitu: 1) memberi pemahaman yang

benar tentang pendidikan karakter, 2) pembiasaan, 3) contoh atau teladan, dan 4) pembelajaran

bidang studi secara integral (Ghozi, 2010, Sauri, 2010). Berikut ini disajikan ilustrasi keempat cara

pengembangan karakter dalam pembelajaran matematika.

1) Memberi pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter.

Pada dasarnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter

serupa dengan penanaman pemahaman terhadap kemampuan dan disposisi matematik.

Misalnya dalam belajar matematika siswa tidak hanya untuk memiliki kemampuan ranah

kognitif yaitu berpikir matematik namun juga didukung dengan pemilikan disposisi matematik

sedemikian sehingga siswa berkeinginan untuk melaksanakan tugas-tugas matematik

Page 34: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

26 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2) Pembiasaan. Pembiasaan diposisi matematik seperti halnya dengan pembiasaan karakter dan nilai

hendaknya dilakukan secara berkelanjutan melalui pembiasaan selama pembelajaran.

Misalnya pembiasaan bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri dan rasa

ingin tahu dibangun melalui pembiasaan pemberian tugas matematik yang menantang sesuai

dengan kebutuhan dan tahap perkembangan intelektual siswa.

3) Contoh atau teladan.

Nilai dan karakter tidak diajarkan namun dikembangkan melalui teladan perilaku guru.

Andaikan diharapkan siswa bersikap jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri

dan rasa ingin tahu maka guru harus memberi teladan bersikap yang sama. Misalnya: 1) Guru

adil dan jujur dalam menilai hasil belajar siswa, dan dalam menyusun karya ilmiah; 2) Guru

memberi pelayanan kepada siswa sesuai dengan kebutuhannya; 3) Guru kreatif menerapkan

berbagai pendekatan pembelajaran yang relevan disertai dengan tugas matematik yang kritis

dan kreatif dan tidak melaksanakan pembelajaran dan memberikan tugas yang rutin dari

tahun ke tahun

4) Pembelajaran matematika secara integral.

Dalam pembelajaran topik-topik matematika pengembangan kemampuan, disposisi

matematik serta nilai-nilai dilaksanakan secara integral, tidak parsial, dan tidak terpisah-pisah

sehingga pengembangan ranah yang satu mendukung pengembangan nilai-nilai dan ranah

lainnya.

Memperhatikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, isi Tujuan Pendidikan

Nasional dan Tujuan Pembelajaran Matematika, karakteristik disposisi matematik serta beberapa

saran untuk pembelajaran matematika dapat dirangkumkan kesetaraan nilai-nilai tersebut dan

contoh ilustrasi pembelajaran yang relevan seperti tercantum pada Tabel 2. Perlu diperhatikan

bahwa ilustrasi pembelajaran yang tercantum pada kolom terakhir pada Tabel 2 di bawah ini

diawali dengan pemberian pemahaman kepada siswa terhadap pentingnya pendidikan karakter dan

pemilikan kemampuan dan disposisi matematik. Selain itu, kegiatan yang tercantum dalam ilustrasi

pembelajaran tadi perlu dilaksanakan secara integral, saling berkaitan, dan berkelanjutan sesuai

dengan falsafah belajar sepanjang hayat. Dengan demikian diharapkan pembelajaran akan

menghasilkan siswa dengan kemampun dan disposisi matematik yang tinggi serta memiliki

karakter yang terpuji. Tabel 2.

Kesetaraan Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter,

Tujuan Pendidikan Nasional, dan Disposisi Matematik dan

Ilustrasi Suasana Pembelajarannya

N

No

Nilai-nilai dalam

Ilustrasi suasana pembelajaran matematika

berbasis karakter dan

memperhatikan berbagai saran

Pendidikan

karakter

Tujuan Pendidikan Nasional,

Tujuan Pembelajaran dan

Disposisi Matematik

1. Religius Beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa

Dengan memandang kelas sebagai masyarakat

belajar, guru menciptakan diskursus dan suasana

religius selama pembelajaran. Misalnya, melalui

pembiasaan dan teladan, guru berbaha-sa santun,

mengucap salam, mengawali dan mengakhiri

kegiatan dengan doa, menghargai agama dan hari

besar agama masing-masing

2. Jujur Berahlak mulia, jujur dan disiplin

Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap

jujur dan disiplin dalam melaksanakan

pembelajaran, dalam mengerjakan dan menilai

tugas, ulangan/ ujian dan penulisan karya ilmiah

dengan mengikuti aturan/ prinsip/teorema

matematik yang berlaku, dan dorong siswa

sensitif menerima (toleran terhadap) perbedaan

kemampuan, sifat, dan pendapat siswa,

3. Disiplin

4. Toleransi

Page 35: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 27

N

No

Nilai-nilai dalam

Ilustrasi suasana pembelajaran matematika

berbasis karakter dan

memperhatikan berbagai saran

Pendidikan

karakter

Tujuan Pendidikan Nasional,

Tujuan Pembelajaran dan

Disposisi Matematik

5. Menghargai

prestasi

Mengapresiasi peran matematika

dalam kultur dan nilai,

matematika sebagai alat dan

bahasa, dan kegunaan

matematika dalam kehidupan

Melalui pembiasaan dan teladan, guru menghargai

pendapat, hasil karya orang lain, keindahan, peran

dan manfaat matematika sebagai alat, dan sebagai

bahasa dalam kehidupan

6. Kerja keras Bekerja dengan cakap, bergairah,

dan berpikir secara akurat,

efisien, dan tepat

Sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan

manajer belajar, melalui pembiasaan dan teladan,

guru bekerja dengan cakap (cerdas), akurat,

efisien, dan tepat, membimbing siswa belajar

aktif, berpikir logis, menyajikan masalah yang

menantang yang berkenaan dengan pemahaman,

penalaran, menemukan idea, menyusun konjektur.

7. Kreatif Sikap lentur, luwes, kritis, dan

kreatif misalnya: mencipta,

berkayal, dan berinovasi.

Melalui pembiasaan dan teladan, guru

melaksanakan pembelajaran dan menyelesaikan

tugas matematik secara kreatif dan lentur

menyelidiki gagasan matematik, berusaha mencari

beragam cara memecahkan masalah, mendorong

pengembangan daya matematik berpikir secara

kolaboratif; membelajarkan siswa cara bertanya

dan bukan cara menjawab, keterkaitan antar

konsep, dan berpikir multi persepektif

8. Mandiri Sikap rasa percaya diri dan

mandiri dan cenderung memonitor

dan menilai penalaran sendiri

Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap

percaya diri dan mandiri dalam melaksanakan

pembelajaran dan menye-lesaikan tugas

matematik; berkebiasaan memonitor dan menilai

penalaran sendiri; mengikuti cara berpikir siswa,

memberi peluang siswa berbuat sesuai dengan

jalan pikirannya; membantu siswa menetapkan

standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk

masa depan

9. Rasa ingin tahu Menunjukkan sikap rasa ingin

tahu, dalam belajar matematika.

Melalui pembiasaan dan teladan, guru

menunjukkan sikap rasa ingin tahu, dalam

melaksanakan pembelajaran dan menyelesaikan

tugas matematik, memberi tugas latihan kepada

siswa dengan memanfaatkan beragam sumber

10. Gemar

membaca

Menunjukkan sikap senang,

perhatian, dan minat belajar

matematika

Melalui pembiasaan dan teladan guru

menunjukkan perhatian, dan minat dalam

melaksanakan pembelajaran dan belajar

matematika dengan memanfaatkan beragam

sumber, memberi tugas latihan kepada siswa

dengan memanfaatkan beragam sumber

11. Bersahabat/

komunikatif

Berbagi pendapat, berfikir dan

berkomunikasi secara jelas dan

tepat, melalui bahasa matematik

yang tepat.

Melalui pembiasaan dan teladan, guru berbahasa

santun dan berkomunikasi secara jelas dan tepat,

memperkenalkan notasi dan bahasa matematika

dengan tepat, menyajikan informasi, menjelas-

kan isu, membuat model, menjalin kerjasama

antar guru untuk memajukan program matematika,

12. Peduli

lingkungan

Menerapkan matematika dalam

bidang studi lain dan kehidupan

sehari-hari

Melalui pembiasaan dan teladan, guru

menerapkan matematika dalam bidang studi lain

atau kehidupan sehari-hari, mengkaitkan konsep

matematika sesuai dengan konteks yang relevan,

menseleksi topik-topik matematika dalam

kurikulum secara fleksibel.

Page 36: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

28 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

No

Nilai-nilai dalam

Ilustrasi suasana pembelajaran matematika

berbasis karakter dan

memperhatikan berbagai saran

Pendidikan

karakter

Tujuan Pendidikan Nasional,

Tujuan Pembelajaran

Matematika dan Disposisi

Matematik

13. Demokrasi Menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung

jawab.

Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap

demokratis dan bertanggung jawab, memberi

kesempatan yg sama kepada siswa untuk

merespons dan bertanya selama pembelajaran dan

belajar kooperatif dalam kelompok kecil;

melayani siswa sesuai dengan minat, kekuatan,

harapan, dan kebutuhan masing-masing,

membangun masyarakat belajar dengan kerjasama

dan urunan tanggung jawab dan perhatian.

14. Cinta tanah air Menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung

jawab.

Melalui pembiasaan dan teladan guru

menciptakan lingkungan belajar yang aman,

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan matematika

dan lainnya tingkat nasional dan internasional

dengan membawa nama baik bangsa dan negara

15. Cinta damai

16. Semangat

Kebangsaan

Pada dasarnya, untuk melaksanakan pembelajaran matematika berbasis pendidikan karakter dapat

dipilih beragam pendekatan pembelajaran yang inovatif berpandangan pada falsafah

konstruktivisma yang mengutamakan siswa belajar aktif dan bermakna, mengembangkan nilai-nilai

dalam pendidikan karakter serta beragam kemampuan dan disposisi matematik siswa. Namun,

komponen penting yang harus diperhatikan guru dalam merancang pembelajaran adalah

penyusunan bahan ajar dan pemilihan tugas latihan yang tepat.

Beberapa pendekatan pembelajaran matematika inovatif yang telah dilaksanakan dan memberikan

hasil kemampuan dan disposisi matematik siswa yang lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar

melalui pembelajaran konvensional di antaranya adalah sebagai berikut.

1) Gabungan pembelajaran tak langsung dan langsung untuk siswa SMP (Suryadi, 2005,

Sumarni, 2005) dan untuk siswa SMA (Maya, 2005). Dalam pendekatan ini

konsep/prinsip/teori disajikan dalam bentuk yang belum jadi, melalui kasus atau masalah

kontekstual yang kemudian secara bertahap siswa dibimbing menemukan konsep/prinsip/teori

secara bermakna yang dilanjutkan dengan pemecahan masalah yang lebih kompleks.

2) Pembelajaran berbasis masalah, penemuan, eksplorasi, kontekstual dan investigasi untuk siswa

SMP (Mahmudi, 2010, Rohayati, 2005, Rohaeti, 2009) dan untuk siswa SMA (Ratnaningsih

dan Herman, 2006, Sugandi, 2010, Syaban, 2008, Wardani, 2009). Pendekatan pembelajaran

di atas hampir serupa dengan pendekatan pada Butir 1) yang diawali dengan penyajian

masalah kontekstual yang tertutup dan yang open-ended.

3) Pendekatan IMPROVE untuk siswa SMP (Rohaeti, 2003), pendekatan metakognitif untuk

siswa SMA (Muin.2005, Nindiasari, 2004); pendekatan Analitik Sintetik pada siswa SMA

(Mulyana, 2008); pendekatan Model – Eliciting Activities (Permana, 2010). Dalam pendekatan

ini kepada peserta didik diajukan sejumlah pertanyaan yang bukan sekadar hafalan namun

yang mendorong peserta didik memberikan jawaban disertai dengan alasannya.

4) Berbagai strategi belajar kooperatif untuk siswa SMP dan SMA (Kariadinata, 2002, Mudzakir,

2004, Pomalato, 2005, Sugandi, 2001, Wardani, 2002). Dalam strategi ini siswa belajar

menelaah bahan ajar yang didiskusikan dalam kelompok kecil, kemudian masing-masing

membuat laporan berdasarkan hasil diskusi dan atau merevisi laporan awalnya.

5) Pembelajaran dengan memanfaatkan ICT untuk siswa SMA (Kariadinata, 2001, 2005,

Rohendi, 2009, Yaniawati, 2005, Yonandi, 2009). Bahan ajar dalam pembelajaran ini dikemas

dengan memanfaatkan fasilitas ICT dan menggunakan bahasa pemograman tertentu atau

disajikan dalam website yang dapat diakses peserta didik di kelas atau di laboratorium

komputer.

Page 37: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 29

Berikut ini disajikan beberapa contoh tugas latihan dalam kemampuan matematik tingkat tinggi

(tidak rutin), bersifat menantang dan mendorong tumbuhnya disposisi matematik dan

pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter.

Contoh 1. Butir soal mengukur kemampuan pemahaman matematik siswa SMA (Permana, 2010)

Pak Aman memiliki kebun sperti pada gambar di bawah ini. Ukuran sudut BDA adalah

θ, BD = CD dan panjang sisi AB adalah a unit. Nyatakan panjang BC dalam a and θ.

B

A D C

a. Tulis semua konsep matematika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

b. Nyatakan arti konsep tersebut dengan kata-katamu sendiri.

c. Tulis model matematika masalah tersebut dan selesaikanlah.

Contoh 2. Butir tes komunikasi matematik (Yonandi, 2010)

Sebuah kompleks perumahan mempunyai beberapa blok. Di sebuah blok yaitu blok melati terdapat

beberapa rumah bernomor terdiri dari tiga angka yang berbeda dan nilainya lebih besar dari 640

tetapi lebih kecil dari 860 serta hanya mengandung angka 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9.

a. Ilustrasikan permasalahan tersebut ke dalam bentuk bagan !

b. Dari gambar tersebut, buatlah model matematika kemudian selesaikanlah model yang kamu

buat untuk menentukan banyak rumah yang ada di blok melati !

Contoh 3. Butir tes pemecahan masalah matematik siswa SMP (Mahmudi, 2009)

Budi dan Adi berjalan dari rumahnya ke sekolah. Adi berangkat pukul 6 lebih a menit dan tiba di

sekolah pukul 7 kurang b menit Budi berangkat pukul 6 lebih b menit dan tiba di sekolah pukul 7

kurang a menit. Perjalanan Adi dan Budi dari rumah ke sekolah berturut-turut selama 25 menit dan

15 menit. Pukul berapa Adi dan Budi tiba di sekolah? Jelaskan jawabanmu.

Contoh 4: Butir tes mengukur kemampuan penalaran analogi matematik siswa SMA (modifikasi dari

Sumarmo, 1987)

Perhatikan gambar kubus di bawah ini!

A B

C

D

EF

GH

Kedudukan garis BE dengan garis

GH pada kubus ABCD.EFGH di

atas,

Kedudukan antara garis yang

mempunyai persamaan

2x – 3y = 5 dengan garis

yang mempunyai persamaan

A. 3x - 2y = -5

B. 3y = 2x + 10

C. 2x = 3y + 5

D. 2x + 3y = 10

Berikan penjelasan tentang keserupaan konsep dalam soal di atas.

Contoh 5. Butir tes mengukur kemampuan penalaran generalisasi untuk siswa SMA, (Syaban, 2008).

Perhatikan gambar di bawah ini

Serupa

dengan

Page 38: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

30 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

A1

B1

A2 A3 A4 A5

B2

B3

B4

B5

C1

030

Dari gambar di atas diketahui panjang A1 B1 = 10 cm. Tentukan jumlah panjang garis A1B1 + A2B2

+ A3B3 + A4B4 + A5B5 + ... Sifat apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut?

Berikan penjelasan.

Contoh 6: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik. (untuk siswa SMA)

Jika fungsi g dua kali fungsi f, maka absis titik ekstrim g dua kali absis titik ekstrim fungsi f.

Benarkah pernyataan di atas? Berikan penjelasan disertai dengan ilustrasi/contoh yang relevan.

Contoh 7: Butir tes mengukur kemampuan berfikir kritis matematik

Perhatikan penyelesaian di bawah ini

Cara pertama:

Cara kedua:

Analisislah tiap langkah kedua penyelesaian di atas! Kemudian tetapkan pada langkah mana terjadi

kesalahan pada masing-masing cara penyelesaian di atas. Sertakan teorema atau aturan yang

mendasari tiap langkah penyelesaian tersebut

Contoh 8. Butir tes mengukur kemampuan berfikir kreatif matematik siswa SMA

a) Diberikan fungsi g dengan persamaan g(x) = ax2 + bx + c dan garis y = mx +n. Susun

beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan grafik g dan grafik y = mx +n dan kemudian

selesaikanlah.

b) Nilai ulangan matematika siswa kelas I sebagai berikut:

5, 7, 8, 4, 7, 7, 9, 6, 7, 5, 6, 6, 8, 4, 4, 7, 8, 8, 6, 7, 5, 8, 6, 9, 8, 7, 7, 6, 8, 7, 8

i) Sajikan data tersebut dalam model matematika yang mudah dipahami, dan sertakan alasan

mengapa anda pilih model tersebut.

ii) Perkirakan apakah kelas tersebut memperoleh nilai yang baik? Jelaskan alasanmu

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP). Jakarta: BNSP.

Berman, S. (2001) ―Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical

Understanding‖ dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for

Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum

Development. Virginia USA

Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam

Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru

Bahasa Perancis Tanggal 24 Okober s.d 6 November 2010

Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan

Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada Sekolah Pasca

Sarjana UPI : tidak diterbitkan.

Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan

Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

0

2xsin 4- lim

3

2x cos 2 lim

3x

2xsin lim

0x0x0x

3

2

3

2 x 1

3

2 x

2x

2xsin lim

3x

2xsin lim

0x0x

Page 39: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 31

Kardianata, R. (2001) Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika Siswa

SMU melalui Pembelajaran Kooperatif Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi.

Kariadianata, R (2006). Pengembangan berfikir matematik tingkat tinggi siswa SMU melalui

pembelajaran dengan multimedia Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasi.

Mahmudi, A.(2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap

Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis,

serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak

diterbitkan .

Maya, R. (2005). Mengembangkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui

Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Mudzakir, H. (2005). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematik Siswa SMP

melalui Strategi Think-talk-write. Tesis pada SPs UPI, tidak dipublikasikan.

Muin, A. (2005). Meningkatkan Kemampuan Berfikir matematik Tingkat tinggi Siswa SMA

melalui Pendekatan Metakognitif . Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi.

Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan berpikir

Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, Virginia:

NCTM. INC.

NCTM [National Council of Teachers of Mathematics] (2000). Principles and Standards for

School Mathematics. Reston,Virginia: NCTM

Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan

Penalaran Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Tahap Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis

pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan

Pomalato, S.W. (2005). Penerapan Model Treffingger dalam Pembelajaran Matematika

untuk Meningkatkan Kemampuan Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Kelas II SMP. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan.

Permana, Y. (2010). Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi serta Disposisi Matematik:

Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui Model – Eliciting Activities

Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Polking J. (1998). Response To NCTM's Round 4 Questions [Online] In

http://www.ams.org/government/argrpt4.html.

Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis

Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi

pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan

Ratnaningsih, N. and Herman, T. (2006): ―Developing the Mathematical Reasoning of High School

Students through Problem Based Learning‖. Transaction of Mathematical Education for

College and university Vol.9 No.2 Japan Society of Mathematics Education, Division for

College and University

Ratnaningsih, N (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir

Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah

Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan.

Rohayati , A. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika

melalui pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI

: tidak diterbitkan.

Rohaeti E. E, (2003), Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode IMPROVE untuk

Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik siswa SLTP. Tesis

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Rochaeti, E.E.(2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Mengembangkan

Kemampuan Berfikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama,

Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan

Page 40: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

32 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik:

Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui E-Learning. Disertasi pada PPs UPI, tidak

dipublikasikan.

Sauri, S. (2010). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembinaan Profesionalisme Guru Berbasis

Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol.2. No.2.

Sugandi, A.I. (2001) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika melalui Model Belajar

Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada Siswa Sekolah Menengah

Umum Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi.

Sugandi, A. I. (2010). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui

Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Belajar Koopertaif JIGSAW. Disertasi pada

Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan

dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Komponen Proses Belajar Mengajar.

Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi.

Sumarni, E. (2006). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMP

melalui Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis pada Pascasarjana UPI, tidak

dipublikasikan

Suryadi, D. (2005) Penggunaan variasi pendekatan pembelajaran langsung dan tak langsung

dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir matematik tingkat tinggi siswa SLTP.

Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan.

Syaban, M. (2008). Menumbuhkan daya dan disposisi siswa SMA melalui pembelajaran

investigasi. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak

dipublikasi.

Wardani, S. (2002) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematka melalui Model Kooeratif Tipe

Jigsaw Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasi.

Wardani, S. (2009) Meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan disposisi matematik siswa

SMA melalui pembelajaran dengan pendekatan model Sylver. Disertasi pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan di

Jepang (2011)

Yaniawati, P. (2001) Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan

Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMA. Tesis pada PPs UPI, tidak dipublikasikan.

Yaniawati, P. (2006) Pengembangan Daya Matematik mahasiswa calon guru melalui E-Learning.

Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan

Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik

melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa Sekolah Menengah

Atas. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan

Page 41: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 33

MEMBANGUN KARAKTER MELALUI

PENDIDIKAN MATEMATIKA

YANG BERKUALITAS

Oleh : Wahyudin

Fakultas Pendidikan MIPA

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Abstrak

Pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan masih belum dapat dijalankan

oleh kebanyakan sekolah. Bidang pendidikan karakter selama ini penuh dengan kontroversi teoretis dan

filosofis yang terutama terkait definisi karakter itu sendiri, fokus dari pendidikan karakter, dan beragam

pendekatan untuk implementasinya. Pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, kita

perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh

para penggagas dan pengembang program pendidikan karakter untuk menekan kemungkinan terjadinya

kesalahpahaman dan kekaburan terkait arah dan pelaksanaannya. Enam nilai yang diintegrasikan ke dalam

matematika ternyata juga merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk berhasil

mempelajari matematika. Pendidikan matematika yang berkualitas dapat memberikan konteks bagi

pengembangan keenam nilai yang diintegrasikan ke dalamnya saat matematika hadir sebagai ―doing

mathematics,‖ yaitu: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi. PENDAHULUAN

Pada peringatan hari Pendidikan Nasional tahun ini yang bertemakan "Pendidikan Karakter sebagai

Pilar Kebangkitan Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti," Menteri

Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa manusia dalam dunia pendidikan

merupakan subjek sekaligus objek. Keilmuan sebagai medianya, memanusiakan manusia sebagai

salah satu tujuannya. "Inilah yang membuat pendidikan itu kompleks, menantang namun sangat

mulia." Namun demikian, pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai

diberlakukan tampaknya masih belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun

sekolah menengah. Beberapa alasan yang mungkin untuk keadaan tersebut antara lain sekolah-

sekolah belum sedemikian ―siap,‖ dan masalah ketersediaan referensi yang memadai dan

komprehensif untuk pelaksanaan pendidikan karakter di lapangan. Peristiwa baru-baru ini terkait

perilaku kekerasan oleh sejumlah siswa SMA kembali menekankan perlunya pendidikan karakter

sebagai salah satu prioritas dalam bidang pendidikan.

Saat ini, buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang

dikeluarkan oleh pihak Balitbang Kemdiknas tampaknya masih menjadi satu-satunya acuan yang

dapat diakses secara mudah oleh banyak orang, selain, tentu saja, dokumen Desain Induk

Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Terkait pendidikan matematika, dalam

buku pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dicantumkan enam nilai

untuk diintegrasikan dan dikembangkan dalam mata pelajaran matematika, yaitu: kerja keras,

tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, dokumen resmi dari

pemerintah yang cakupannya umum tersebut tidak mencantumkan referensi-referensi buku atau

pedoman lainnya yang mungkin membantu para pelaksana pendidikan karakter di lapangan,

terutama terkait bidang studi.

Dengan mengingat situasi dan kebutuhan pada periode awal pemberlakuan pendidikan karakter di

negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka mengangkat referensi-referensi yang memang telah

dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para penggagas dan pengembang program tersebut. Hal ini

dimaksudkan supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan dapat pula secara langsung

mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan mereka terkait

pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka biasa berlakukan

selama ini.

Page 42: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

34 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

TREND PENDIDIKAN KARAKTER DI AMERIKA SERIKAT

Pendidikan karakter di Indonesia tampaknya tidak lepas dari pengaruh sejumlah program

pendidikan karakter yang telah lebih dahulu digagas dan diprogramkan di negara-negara lain,

misalnya Amerika Serikat. Program pendidikan karakter yang terkemuka di Amerika Serikat antara

lain adalah Character Counts yang mengangkat ―The Six Pillars of Character‖ dan Character

Education Partnership yang mengangkat ―Eleven Principles of Effective Character Education‖ dan

―Character Education Quality Standards‖ (ini dapat diakses melalui website: www.character.org).

Namun demikian, terdapat kenyataan bahwa bidang pendidikan karakter selama ini penuh dengan

kontroversi teoretis dan filosofis. Ini terutama terkait definisi karakter itu sendiri, fokus dari

pendidikan karakter, dan beragam pendekatan untuk implementasinya. Misalnya, sebagai refleksi

kemelut tersebut, Michael Davis (2003) dalam artikelnya ―What‘s Wrong with Character

Education‖1 merangkumkan program-program pendidikan karakter yang dominan di Amerika

Serikat ke dalam: 1) pendidikan moral sederhana (esensinya, pendidikan moral Kohlbergian2 di

dalam kelas), di mana para siswa belajar bagaimana berpikir melalui situasi-situasi moral untuk

dapat tiba pada pertimbangan atau keputusan moral terbaik dari suatu situasi; (2) pendidikan moral

just-community (praktek pendidikan karakter berdasarkan pandangan Dewey yang menekankan

pengambilan keputusan demokratis di luar kelas), di mana para siswa diundang untuk ikut serta

dalam proses demokrasi untuk mendiskusikan semua aspek kehidupan sekolah; dan, (3) pendidikan

karakter sederhana (mencoba untuk membangun karakter baik di dalam maupun di luar kelas

dengan menekankan perilaku yang baik), di mana nilai-nilai tertentu telah ditetapkan sejak awal

dan para siswa diminta untuk mempraktekkannya secara berulang-ulang.

Dalam artikel tersebut, Davis menyatakan bahwa pendidikan moral sederhana hanya memiliki efek

kecil pada karakter, dan bahwa just-community tidak memiliki efek lebih besar, dibanding

pendidikan moral sederhana, meski memiliki resiko dan biaya jauh lebih tinggi. Senada demikian,

jenis pendidikan karakter yang paling dominan yaitu pendidikan karakter sederhana dipandang oleh

Davis memiliki tiga kelemahan yang mengarahkan kita untuk menolaknya: kelemahan dari segi

empirik (tidak adanya bukti bahwa pendidikan karakter jenis ini memang melakukan apa yang

diklaimnya), kelemahan dari segi konseptual (konflik antara apa yang dimaksud karakter yang baik

dan cara yang pendidikan karakter sederhana usulkan untuk mengajarkannya), dan kelemahan dari

segi moral (kegagalan untuk melakukan hal-hal yang benar untuk alasan-alasan yang benar).

Kritikan Davis berangkat dari posisi bahwa pendidikan karakter adalah sebarang upaya yang

dilakukan sekolah untuk meningkatkan karakter siswa sedemikian hingga mereka lebih cenderung

untuk melakukan apa yang sepantasnya dilakukan—bukan hanya saat ini tetapi dalam rentang

waktu panjang di masa yang akan datang. Berdasarkan definisi yang diyakininya, efek-efek jangka

pendek bukan bagian dari karakter, dan karakter merupakan ―disposisi yang tertanamkan.‖

Secara umum, Davis (2003) melihat bahwa kebanyakan program pendidikan karakter

memperlakukan pendidikan karakter layaknya pendidikan yang bersifat fisik, dalam arti bahwa

semakin seseorang mengulang kata-kata terkait karakter, maka semakin mungkin seseorang itu

menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan penggunaan istilah ―moral

calisthenics,‖ yang ―meliputi antara lain menyimak cerita-cerita tertentu, mengulang kata-kata

tertentu, melakukan sekian pengabdian kepada masyarakat yang disyaratkan, atau mematuhi

aturan-aturan tertentu‖ untuk mendeskripsikan pendidikan karakter seperti itu, Davis mengkritik

bahwa kita tidak dapat memaksa siswa untuk menginternalisasikan karakter yang baik melalui

perulangan. Namun demikian, meski tidak ada evidensi yang kuat mendukung pendidikan karakter

sederhana, pendidikan karakter seperti demikian terus berkembang digunakan di Amerika Serikat.

Selain itu juga terdapat kritikan-kritikan lain mengenai hal bahwa pendidikan karakter di Amerika

1 M. Davis, ―What‘s Wrong with Character Education‖ dalam American Journal of Education, Vol. 110, No. 1 (The

University of Chicago, 2003): 32-57. 2 L. Kohlberg, The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2 (New York: Harper and

Row, 1984).

Page 43: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 35

Serikat bersifat mengurangi motivasi intrinsik, fokus pada perilaku bukan pada perkembangan

moral sebenarnya, kegagalan menyoroti realitas sosioekonomi, kurangnya asesmen, kurangnya

penyiapan guru, serta banyak argumen lain yang menempatkan keraguan kuat pada gerakan

pendidikan karakter secara keseluruhan (Noll, 2006; Burke, et al., 2001; Rossides, 2004; Colorado

Board of Education, 2000; Wakefield, 1997).

Namun demikian, pihak lain, misalnya Character Education Partnership (2005)3, mengemukakan

klaim sebaliknya bahwa terdapat banyak program pendidikan karakter yang efektif mengangkat

perkembangan karakter dalam diri siswa. Selain itu, Battistich4 merangkumkan sekumpulan

evidensi bahwa pendidikan karakter yang berkualitas tidak saja efektif untuk mengangkat

perkembangan karakter yang baik, tetapi juga merupakan pendekatan pencegahan yang

menjanjikan bagi berbagai masalah dewasa ini seperti perilaku agresif dan antisosial,

penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seksual bawah umur, tindak kejahatan, prestasi akademik

yang buruk, dan kegagalan dalam persekolahan.

TREND PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

Di dalam dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter yang dikeluarkan oleh Kemdiknas (2010)

ditegaskan pandangan bahwa perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan

perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif,

afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial kultural dalam konteks interaksi dan

berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat

dikelompokkan dalam: Olah Hati, Olah Pikir, Olah Raga dan Kinestetik, dan Olah Rasa dan Karsa.

Keempat proses psikososial ini secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling

melengkapi yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai

luhur. Secara diagramatik, koherensi keempat proses psikososial tersebut dapat digambarkan

menggunakan diagram Venn sebagai berikut.

Gambar 1. Koherensi Karakter dalam Konteks Totalitas Proses Psikososial

(Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas, 2010)

Dokumen tersebut juga menegaskan bahwa Pendidikan karakter di Indonesia mempercayai adanya

keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral absolute perlu diajarkan kepada generasi muda

agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Selain itu, pendidikan karakter kurang

sepaham dengan cara pendidikan moral reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai

strategi dasar pendidikan karakter di Amerika Serikat, karena sesungguhnya terdapat nilai moral

3 M.W. Berkowitz, et al., What Works in Character Education: A research driven guide for educators (Character

Education Partnership, 2005). 4 Victor Battistich, Character Education, Prevention, and Positive Youth Development, (Univeristy of Missouri, St.

Louis. Character Education Partnership. Website.)

OLAH PIKIR Cerdas, Kreatif

OLAH RAGA Sehat dan Bersih

Perilaku Berkarakter

OLAH HATI Jujur Bertanggung jawab

OLAH RASA DAN KARSA Peduli Gotong royong

jawab

Page 44: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

36 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

universal bersifat absolut yang bersumber dari agama-agama, disebut the golden rule. Misalnya,

berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan bertanggung jawab. Selanjutnya

dinyatakan pula bahwa pendidikan karakter di Indonesia mempunyai makna lebih tinggi daripada

pendidikan moral, karena ia bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,

tetapi lebih dari itu juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga

peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu

merasakan (domain afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (domain perilaku).

Dengan pandangan tersebut, pendidikan karakter di Indonesia tampaknya terkait erat dengan habit‖

atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan. Dalam hal pembentukan dan

rekayasa lingkungan yang mencakup antara lain lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen

sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar, dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter

menggariskan bahwa pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan

melalui strategi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten,

dan (4) penguatan. Dengan kata lain dokumen itu menegaskan bahwa perkembangan dan

pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui

proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan yang terus-menerus dalam jangka panjang secara

konsisten dan penguatan, serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.

Salah satu dokumen resmi lain yang penting terkait pendidikan karakter di Indonesia adalah

dokumen pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dari Puskur Balitbang

Kemdiknas (2010). Berdasarkan dokumen tersebut, pada prinsipnya pengembangan budaya dan

karakter bangsa, atau singkatnya pendidikan karakter, tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan

tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.

Pada prinsipnya, pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan karakter di Indonesia

mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa

sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan

mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai

sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut, peserta didik belajar melalui proses

berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan

peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri

sendiri sebagai mahluk sosial.

Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, program pengembangan nilai/karakter dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

Gambar 2. Konteks Makro Pengembangan Karakter

(Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas, 2010)

PERANGKAT PENDUKUNG

Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya, Lingkungan, Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen

pemangku kepentingan

PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN

INTERVENSI

SATUAN PENDIDIKAN KELUARGA

MASYA- RAKAT

Agama, Pancasila, UUD 1945, UU No. 20/2003 tentang

Sisdiknas

Nilai-nilai Luhur

Teori Pendidikan,

Psikologi, Nilai, Sosial

Budaya

HABITUASI

Perilaku Berkarakter

Pengalaman terbaik (best practices), dan

praktek nyata

Page 45: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 37

Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan formal dan nonformal

secara holistik. Secara mikro pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan

belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan

pendidikan formal dan nonformal, kegiatan kokurikuler dan/atau ekstrakurikuler, serta kegiatan

keseharian di rumah dan masyarakat. Ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Gambar 3. Konteks Mikro Pengembangan Karakter

(Diadaptasi dari Desain Induk Pendidikan Karakter Kemdiknas)

Di lingkup sekolah, ini menuntut para guru dan sekolah untuk mengintegrasikan nilai-nilai yang

dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP), silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa memerlukan berbagai perubahan dalam

proses pendidikan yang sedang berlangsung di sekolah saat ini. Meski demikian, perubahan itu

tidak mengubah kurikulum yang berlaku, melainkan menghendaki sikap baru dan keterampilan

baru dari para guru, kepala sekolah, dan konselor sekolah.

Ringkasnya, dengan mengkaji pandangan dari kedua dokumen resmi di atas kita dapat

menggarisbawahi bahwa pendidikan karakter di Indonesia tidak menganjurkan penerapan moral

reasoning dan value clarification. Tampak pula kecenderungan ke arah penekanan habituation

dalam prosesnya, di mana karakter yang diuraikan sebagai nilai-nilai dikembangkan dalam mata

pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah.

PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS

Matematika telah dapat ditelusuri keberadaannya dalam peradaban-peradaban silam seperti

Babilonia Kuno, Mesir Kuno, China Kuno, dan Yunani Kuno. Masing-masing peradaban dan

jaman dalam sejarah matematika memiliki sekurang-kurangnya satu tokoh yang luar biasa dan

tetap dikenang sampai kini. Dari fakta tersebut, tampaknya kita boleh berpikir bahwa mungkin saja

pendidikan matematika yang berkualitas telah hadir di setiap peradaban dan jaman, meski dengan

sifat dan kecenderungan beragam, yang relevan dengan berbagai kondisi dan realitas pada masing-

masing peradaban dan jaman tersebut. Misalnya, kecenderungan sifat terapan dari matematika

Mesir Kuno, dan sifat teoretis dari matematika Yunani Kuno. Pada masa selanjutnya, kita

menyaksikan bagaimana matematika berkembang sangat pesat pada sekitar abad ke-17 sampai ke-

19 seiring perkembangan revolusioner di bidang sains yang terpahatkan dalam sejarah dan berbagai

temuan para matematikawan besar seperti Isaac Newton, Gottfried Wilhelm Leibniz, Léonard

Euler, dan Carl Friedrich Gauss.

KBM DI KELAS

BUDAYA SEKOLAH: (KEGIATAN KEHIDUPAN KESEHARIAN DI SATUAN PENDIDIKAN)

KEGIATAN EKSTRA KURIKULER

KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH

Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel

Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan

Integrasi ke dalam kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka, Olahraga, Karya Tulis, dsb.

Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah yang sama dengan di satuan pendidikan

Page 46: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

38 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Di Amerika Serikat, salah satu peristiwa sejarah yang berpengaruh menentukan terhadap

matematika, dan pendidikan matematika khususnya, adalah peluncuran Sputnik 1 oleh Uni Soviet

pada tahun 1957. Peristiwa ini menandai dimulainya era ruang angkasa dan perlombaan ruang

angkasa di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keprihatinan bangsa Amerika Serikat bahwa

mereka telah tertinggal dalam bidang matematika dan sains memicu reformasi besar secara

nasional dalam kedua bidang tersebut.

Upaya reformasi pendidikan matematika ketika itu memunculkan program ―New Math‖ pada tahun

1960 dan 1970-an. Penekanan New Math adalah pada bahasa dan sifat-sifat himpunan, bukti, dan

abstraksi. Namun demikian, kurikulum New Math ternyata gagal memenuhi tantangan untuk

meningkatkan kemampuan matematis bangsa Amerika Serikat secara utuh. Beberapa bahkan

menilai bahwa New Math malah menimbulkan lebih banyak kebingungan matematis, bukan

menghilangkannya, sehingga kemudian muncul trend Back to Basics pada akhir tahun 1970-an dan

awal 1980-an. Program Back to Basics ketika itu menekankan komputasi aritmetik dan

―penghafalan semata‖ algoritma dan fakta-fakta aritmetik dasar. Kemudian, pada rentang

selanjutnya di tahun 1980-an, fokus pendidikan matematika bergeser ke berpikir kritis.

Selanjutnya, suatu nuansa baru dalam pendidikan matematika di Amerika Serikat dimulai dengan

dipublikasikannya dokumen Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics oleh

NCTM pada tahun 1989. Dokumen ini menghimbaukan penekanan lebih besar pada pemahaman

konseptual dan pemecahan masalah (lengkapnya, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, dan

penalaran) yang diwarnai pemahaman konstruktivis tentang bagaimana para siswa belajar.

Selanjutnya, pada tahun 1991, NCTM mengeluarkan dokumen Professional and Assessment

Standards for Teaching Mathematics, seiring fokus utama dari reformasi pendidikan matematika

saat itu yang diarahkan pada pedagogi. Pada tahun 2000, dokumen Principles and Standards for

School Mathematics dipublikasikan oleh NCTM sebagai update terutama bagi dokumen NCTM

Standards tahun 1989. Akhirnya, pada tahun 2006 dipublikasikan dokumen Curriculum Focal

Points, di mana diidentifikasi apa yang diyakini sebagai topik-topik matematika paling penting

untuk tiap tingkat kelas, termasuk berbagai gagasan, konsep, skil, dan prosedur yang berkaitan

yang membentuk fondasi bagi pemahaman dan belajar yang langgeng.

Dari uraian singkat di atas kita dapat selintas melihat semangat dan bagaimana The National

Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1920

sebagai suatu organisasi profesional dapat terus berkembang dan memangku peran sebagai suara

publik pendidikan matematika, mendukung para guru untuk menjamin pembelajaran dan belajar

matematika berkualitas yang berkeadilan bagi semua siswa melalui visi, kepemimpinan,

pengembangan profesional, dan penelitian.

Dengan populasi umat manusia yang sedemikian besar di Bumi saat ini dan laju pertumbuhannya,

berikut juga kompleksitas kehidupan, dunia kerja, kebutuhan, dan tantangan, serta begitu cepatnya

perubahan, tidak berlebihan jika diangkat nilai penting matematika dan kesetaraan atau keadilan

terkait akses menuju matematika bagi semua orang. Selaras dengan realitas tersebut, pembelajaran

matematika berkualitas tentulah menyimpulkan perlunya sehimpunan prinsip dan standar kualitas

untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh penelitian yang memadai.

Sebagai contoh, terkait prinsip dan standar untuk mata pelajaran matematika yang berkualitas,

dokumen Principles and Standards for School Mathematics yang dikeluarkan oleh NCTM (2000),

menekankan bahwa matematika seharusnya untuk semua siswa—tanpa memperbedakan jenis

kelamin, ras, status sosioekonomi, atau faktor-faktor lain apa pun yang mungkin telah

menyebabkan ketidakadilan. NCTM menyatakan bahwa tercapainya visi yang dicurahkan dalam

dokumen tersebut tidak akan mudah, tetapi tugas tersebut sangat penting. Para siswa harus

mendapatkan pendidikan matematika yang terbaik yang mungkin diberikan, untuk memungkinkan

mereka mencapai ambisi pribadi dan sasaran-sasaran karier di dunia yang terus-menerus berubah

dengan cepat. Untuk mengilustrasikan suatu contoh struktur dan muatan dari prinsip dan standar

pendidikan matematika, berikut ini diberikan gambaran ringkas tentang dokumen Principles and

Standards for School Mathematics dari NCTM (2000) yang telah kita sebutkan lebih awal tadi.

Page 47: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 39

Dokumen tersebut memiliki empat komponen utama. Pertama, Prinsip-prinsip untuk matematika

sekolah mencerminkan perspektif dasar pada mana para pendidik hendaknya mendasarkan

keputusan-keputusan yang mempengaruhi matematika sekolah. Prinsip-prinsip ini memberi fondasi

bagi program-program matematika sekolah dengan menyoroti isu-isu yang luas terkait

kesetaraan/keadilan, kurikulum, pengajaran, pembelajaran, penilaian, dan teknologi. Setelah

Prinsip-prinsip tersebut, Standar-standar matematika sekolah mendeskripsikan sehimpunan tujuan

yang ambisius dan komprehensif untuk pembelajaran matematika. Lima Standar pertama

menyajikan sasaran dalam area-area muatan matematika terkait bilangan dan operasi, aljabar,

geometri, pengukuran, serta analisis data dan probabilitas. Lima Standar yang kedua

mendeskripsikan sasaran untuk proses-proses pemecahan masalah, penalaran dan bukti, koneksi,

komunikasi, dan representasi. Secara keseluruhan, Standar-standar tersebut mendeskripsikan

keterampilan dan pemahaman dasar yang para siswa akan perlukan untuk berfungsi secara efektif

pada abad kedua puluh satu.

Selanjutnya, komponen utama ketiga, kesepuluh Standar tersebut dibahas secara lebih rinci dalam

empat bab menurut kelompok rentang kelas: TK-Kelas 2, Kelas 3-5, Kelas 6-8, dan Kelas 9-12.

Untuk tiap Standar Isi, masing-masing bab rentang kelas memberikan sekumpulan harapan yang

spesifik bagi rentang kelas tersebut. Akhirnya diuraikan isu-isu terkait pelaksanaan Prinsip-prinsip

ke dalam tindakan dan menguraikan peran-peran yang dimainkan berbagai kelompok dan

masyarakat dalam mewujudkan visi dari dokumen Principles and Standards for School

Mathematics tersebut.

Sementara itu, di Indonesia, pendidikan matematika yang berkualitas dibangun dengan bersandar

pada Standar Nasional Pendidikan—yang meliputi: Standar Kompetensi Lulusan; Standar Isi;

Standar Proses; Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan; Standar Sarana dan Prasarana;

Standar Pengelolaan; Standar Pembiayaan Pendidikan; dan, Standar Penilaian Pendidikan—sebagai

upaya menjamin mutu pendidikan secara umum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejauh

ini tampaknya NCTM dengan berbagai dokumen dan rekomendasinya menjadi salah satu sumber

yang banyak dikutip sebagai tolak ukur terkait penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran

matematika yang berkualitas di Indonesia. Meski demikian, sekali lagi, semangat NCTM untuk

memberikan pendidikan matematika yang berkualitas dan upaya untuk menjadikan matematika

aksesibel bagi semua siswa tampaknya memang pantas dicatat untuk diperhatikan.

NILAI-NILAI YANG DIINTEGRASIKAN KE DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA

Di dalam pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, kita melihat

kecenderungan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, termasuk

matematika, diarahkan pada nilai-nilai tertentu yang dipandang lebih potensial untuk

dikembangkan dalam mata pelajaran tertentu, atau mata pelajaran-mata pelajaran tertentu, bukan

dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. Saat ini, dalam pedoman tersebut dideskripsikan

secara eksplisit delapan belas nilai.

Untuk matematika kelas 1-12, yang dibagi ke dalam empat jenjang (yaitu, jenjang kelas 1-3, 4-6, 7-

9, dan 10-12), teramati bahwa pedoman tersebut mengintegrasikan secara keseluruhan enam nilai

yang disebarkan untuk dikembangkan dalam matematika, yaitu kerja keras, tekun, teliti, pantang

menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu. Namun demikian, di dalam pedoman Pendidikan Budaya

dan Karakter Bangsa tersebut, nilai-nilai tekun, teliti, dan pantang menyerah belum tercantumkan

di antara delapan belas nilai yang dideskripsikan dan diuraikan ke dalam indikator-indikator.

Berdasarkan situasi pendidikan karakter yang tampak saat ini di Indonesia, terdapat beberapa

masalah yang mungkin muncul di lapangan terkait pengintegrasian nilai-nilai tersebut ke dalam

mata pelajaran matematika. Pertama, apakah keenam nilai tersebut bersifat wajib atau hanya

merupakan anjuran untuk diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika? Kedua, apakah

terdapat pedoman baku atau sekedar contoh yang tegas, kuat, dan terdukung data, terkait

bagaimana keenam nilai tersebut hendaknya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika?

Dan, ketiga, apakah terdapat sumber-sumber atau referensi yang direkomendasikan untuk

membangun dan mengembangkan pemahaman dan keterampilan para guru terkait pengintegrasian

Page 48: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

40 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

nilai-nilai tersebut ke dalam mata pelajaran matematika? Dilihat dari sifat dan otoritasnya, ketiga

pertanyaan tersebut mengharapkan jawaban, atau sekurang-kurangnya respon, dari pihak

penggagas dan pengembang pendidikan karakter di Indonesia (yaitu, pemerintah) terlebih dahulu,

demi terjalinnya keseragaman tataran untuk kajian, wacana, penelitian, dan penyelenggaraan

pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika itu sendiri.

Tanpa adanya ketegasan dan keterbukaan terkait tiga perkara di atas, dikhawatirkan terjadi

akumulasi miskonsepsi dan kekaburan terkait arah dan pelaksanaan pendidikan karakter, dan

sebagai akibatnya, tidak efisiennya waktu dan sumber daya di tengah-tengah tuntutan implementasi

program pendidikan karakter yang efektif dan harapan-harapan yang telah mulai tertanamkan dari

berbagai kalangan.

POTENSI MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG

BERKUALITAS

Pada sekitar tiga dekade silam di Inggris telah disuarakan bahwa matematika adalah suatu mata

pelajaran yang sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari (Cockcroft, 1982), dan bahwa

matematika adalah bidang studi yang sangat hirarkis (Romberg, 1983). Pada praktek pembelajaran

seringkali terungkap bahwa setiap orang memiliki langit-langit matematika yang tersendiri karena

kecepatan anak-anak maupun orang dewasa dalam mempelajari matematika sangat berbeda-beda.

Sebuah konsep yang bisa dikuasai dalam satu kali pertemuan saja oleh seseorang mungkin

memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk dikuasai oleh orang lainnya,

dan mungkin tidak dapat terpecahkan oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman tentang

konsep-konsep prasyarat yang diperlukan untuk memahami konsep itu.

Di sisi lain, suatu keuntungan bagi matematika yang dipelajari dalam hirarki yang tepat, penelitian

menunjukkan bahwa suatu pendekatan bertahap, di mana konsep dan skil dibangun pada konsep,

skil, dan pengetahuan yang telah dibangun lebih awal, sangatlah efektif bagi daya ingat siswa

terhadap materi (Klingele & Reed, 1984).

Saat kita memegang keyakinan bahwa matematika untuk semua siswa, maka kita perlu

memperhatikan penelitian tentang pembelajaran matematika yang efektif. Di dalam kumpulan

penelitian tersebut terdapat banyak sekali evidensi tentang bagaimana mengatur kelas, bagaimana

mengangkat masalah-masalah yang bermakna dan memotivasi, serta bagaimana menggunakan

teknologi dan strategi-strategi pembelajaran seperti belajar kooperatif untuk mewadahi gaya belajar

dan tingkat kepercayaan diri para siswa yang sangat beragam di ruang kelas. Pada esensinya,

penekanan pembelajaran matematika masa kini hendaknya adalah pada aktivitas matematika,

“doing mathematics,” yang menyangkut kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran,

komunikasi, koneksi, dan representasi. Kelima elemen ini tercantum dalam Principles and

Standards for School Mathematics (NCTM, 2000) sebagai standar-standar proses, yaitu metode-

metode dengan mana pengetahuan muatan dapat diperoleh. Dari sinilah kita akan berangkat

melihat potensi membangun karakter melalui pendidikan matematika yang berkualitas.

Lickona5 menyebutkan, ―Karakter... memiliki tiga bagian yang saling berkaitan: pengetahuan

moral, perasaan moral, dan perilaku moral... kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan

tindakan‖ (51). Dengan memperhatikan deskripsi untuk karakter tersebut, bagaimanakah mata

pelajaran matematika yang hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai kerja keras, tekun, teliti,

pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu dapat membangun karakter? Selain itu, pertanyaan

kedua, yang lebih khusus, bagaimanakah matematika dapat memberikan konteks bagi

pengembangan nilai-nilai tersebut? Uraian di bawah ini akan mencoba untuk memberikan

pandangan ke arah jawaban bagi dua pertanyaan tadi.

Untuk pertanyaan pertama diajukan pandangan berikut. Dari dua sifat matematika yang telah

dikutip lebih awal, yaitu bahwa matematika sulit untuk diajarkan maupun untuk dipelajari dan

sangat hirarkis, kita melihat bahwa keenam nilai yang diintegrasikan ke dalam matematika tampak

jelas merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk berhasil mempelajari

5 T. Lickona, Educating for character: How our schools can teach respect and Responsibility (New York: Bantam, 1991).

Page 49: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 41

matematika. Selanjutnya, terkait pertanyaan kedua, matematika dapat memberikan konteks bagi

pengembangan keenam nilai yang diintegrasikan ke dalamnya saat matematika hadir sebagai

―doing mathematics.‖ Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi—

yaitu cara memperoleh pengetahuan matematis, sekaligus juga merupakan skil-skil matematis yang

hendaknya diasah, bukan muatan itu sendiri—dapat hadir dari waktu ke waktu dalam perjalanan

matematika seseorang dan menjadi konteks yang subur bagi pengembangan nilai-nilai tersebut.

Akhirnya, terdapat harapan bahwa pendidikan matematika berkualitas yang mengintegrasikan nilai-

nilai kerja keras, tekun, teliti, pantang menyerah, kreatif, dan rasa ingin tahu6 dapat membentuk

tidak hanya para siswa yang memiliki daya matematis tetapi juga pribadi-pribadi masa depan yang

berorientasi kepada eksplorasi, penemuan, kemandirian, dan prestasi. (Simpulan ini diperoleh dari

analisis kategorisasi keenam nilai tersebut ke dalam tabel Value Content dari Schwartz & Sagie

(2000).7

SIMPULAN

Pendidikan karakter di Indonesia yang rencananya sudah mulai diberlakukan tampaknya masih

belum dapat dijalankan oleh kebanyakan sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pada periode

awal pemberlakuan pendidikan karakter di negara ini, tampaknya kita perlu secara terbuka

mengangkat referensi-referensi yang memang telah dikaji, diadopsi, dan digunakan oleh para

penggagas dan pengembang program tersebut supaya para pengkaji dan pelaksana di lapangan

dapat pula secara langsung mengkaji, berwacana, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan

mereka terkait pengintegrasikan nilai-nilai ke dalam praktek pembelajaran yang sudah mereka

biasa berlakukan selama ini.

Pendidikan dan pembelajaran matematika yang berkualitas menyimpulkan perlunya sehimpunan

prinsip dan standar kualitas untuk pendidikan matematika yang teruji, terukur, dan diperkuat oleh

penelitian yang memadai. Saat disoroti dua sifat matematika yaitu bahwa matematika sulit untuk

diajarkan maupun untuk dipelajari dan sangat hirarkis, kita dapat melihat bahwa keenam nilai itu

juga merupakan nilai-nilai yang diperlukan dalam diri seseorang untuk mempelajari matematika

secara berhasil.

Dalam pendidikan matematika yang mengintegrasikan karakter, tampak suatu potensi bahwa

―doing mathematics‖ dapat menjadi konteks yang strategis untuk membangun karakter di

sepanjang perjalanan matematika siswa, sekaligus mengasah dari waktu ke waktu aspek-aspek dari

―doing mathematics‖ itu sendiri: pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, dan

representasi.

6 Untuk deskripsi keenam nilai tersebut dan ceklis diri untuk masing-masingnya, lihat Lampiran 1a-f.

7 Lihat Lampiran 2.

Page 50: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

42 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Bell, E.T. (1986). Men of Mathematics. New York: Simon and Schuster.

Berkowitz, M.W. (1997). ―The Complete Moral Person: Anatomy and Formation‖ dalam J.M.

Dubois, ed., Moral Issues in Psychology: Personalist Contributions to Selected Problems,

11-42. Lanham, Md.: University Press of America.

--------------------. (2002). ―The Science of Character Education‖ dalam W. Damon, ed., Bringing in

a New Era in Character Education, 43-63. Stanford, Cal.: Hoover Institution Press.

Burke, Nancy, Cru, Sharon, Genzler, Mary, Shaub, Dee, & Sheets, Jayne. (2001). (ERIC Document

Reproduction Service No. ED453144).

Cockcroft, W.H. (1982). “Mathematics Counts: Report of the Committee of Inquiry into the

Teaching of Mathematics in Schools.” London: Her Majesty‘s Stationery Office.

Colorado State Department of Education, Denver. (2000). Shaping the future through character

education: Colorado state conference on character education. (ERIC Document

Reproduction Service No. ED468627).

Damon, W. (1988). The Moral Child. New York: Free Press.

Davis, Michael. (2003). What‘s wrong with character education. American Journal of Education,

110(1), 32-57.

Isaacs, D. (2006). Character Building. Portland, OR: Four Courts Press.

JIST. (2006) Young Person‟s Character Education Handbook. St. Paul, MN: JIST Publishing

Kail, R.V., & Zolner, T. (2005). Children. Toronto: Prentice Hall.

Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Jakarta:

Kemdiknas.

Klingele, W. E., & Reed, B. W. (1984). An examination of an incremental approach to

mathematics. Phi Delta Kappan, 65(10), 712-713.

Kohlberg, L. (1984). The Psycology of Moral Development, Essays on Moral Development, Vol. 2.

New York: Harper and Row.

Lickona, T. (1991). Educating for Character. New York: Bantam.

NCTM . (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Noll, J. W. (2006). Taking sides: clashing views on controversial educational issues (13th ed.).

Guilford, CT: Dushkin/McGraw-Hill.

Nucci, L. (2001). Education in the Moral Domain. New York: Praeger.

Posamentier, A.S., & Stepelman, J. (2002). Teaching Secondary Mathematics. New Jersey:

Pearson Education.

Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur

Balitbang Kemdiknas.

Resnick, L.B., & Ford, W.W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillsdale,

NJ: Erlbaum.

Reys, E.R. (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn & Bacon.

Rossides, Daniel W. (2004). Knee-jerk formalism: Reforming American education. Journal of

Higher Education, 75(6), 667-704.

Schwartz, S.H., & Sagie, G. (2000). ―Value Consensus and Importance: A Cross National Study,‖

Journal of Cross-cultural Psychology 31, 465-70.

Wakefield, D. (1997). Who‘s teaching teachers about character education instruction? (ERIC

Document Reproduction Service No. ED 429068).

Page 51: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 43

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI INDONESIA

Oleh : Euis Eti Rohaeti

Program Studi Pendidikan Matematika

STKIP Siliwangi Bandung

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur yang memegang teguh nilai-nilai

budaya ketimuran yang terkenal ramah, santun, dan memiliki rasa kebersamaan yang

diimplementasikan dalam budaya gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. Namun

fenomena yang terjadi pada saat ini, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang selama ini

dikenal dimiliki oleh bangsa ini dan sudah menjadi ciri khas yang mencerminkan jati diri Bangsa

Indonesia. Di berbagai media massa kini dihiasi dengan berita maraknya tawuran, kasus bullying,

kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba,

plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-

lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang

penyandang gelar akademis pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral. Hasil riset tahun 2004,

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan

kepala sekolah bersama komite sekolah, dan pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan (Mayyadah,

2010).

Kasus-kasus tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan fungsi Pendidikan Nasional,

sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, dan tujuan Pendidikan

Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya tidak

berlebihan jika bangsa Indonesia selama ini digambarkan sebagai bangsa yang mengalami

penurunan kualitas karakter bangsa. Persoalan ini muncul karena lunturnya nilai-nilai karakter

bangsa yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan

pola pikir yang dimiliki oleh bangsa ini.

Untuk mengatasi semua itu Pemerintah telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter yang

menjadi fokus Kementerian Pendidikan Nasional di seluruh jenjang pendidikan. Pendidikan

karakter ini diharapkan mampu menjadi pondasi utama sebagai upaya penguatan jati diri generasi

bangsa menuju sukses Indonesia Emas 2025. Para penggagas kebijakan pendidikan di Indonesia

gencar menggaungkan pendidikan karakter ini sebagai penawar masalah pendidikan kita yang

dinilai telah salah arah. Dengan memprioritaskan pendidikan karakter, mereka berharap komunitas

pendidik dan masyarakat akan menggali sisi afektif siswa, dan pendidikan tidak melulu ditekankan

pada sisi kognitif untuk mengejar nilai semata. Dengan lebih memperhatikan karakter, diharapkan

sekolah bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cerdas, dan kreatif.

Untuk membangun karakter bangsa tersebut , haruslah diawali dari lingkup yang terkecil.

Khususnya di sekolah, ada baiknya kita menganalogikan proses pembelajaran di sekolah dengan

proses kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut di atas dapat dilaksanakan

melalui pembelajaran. Tentu saja pembelajaran yang dapat mengadopsi semua nilai-nilai karakter

bangsa yang akan dibangun. (Mulyo, 2009).

B. Pendidikan Karakter di Jepang

Untuk membangun pendidikan karakter di sekolah-sekolah negara kita ada baiknya kita belajar dari

pendidikan karakter di Jepang. Mengapa harus Jepang? Pertama, masyarakat Jepang merupakan

salah satu grup masyarakat yang paling homogen baik secara ras, kultur, dan etnisnya. Hal ini

Page 52: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

44 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

serupa dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa, dan

adat istiadat. Kedua, ketika gempa besar menghantam bagian timur laut Jepang, dunia dibuat

kagum dengan kekuatan mental masyarakat Jepang. Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa

bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat

Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu

berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang

seharusnya dilakukan pada masa depan. Ketiga, Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi

mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran.

Untuk memberi gambaran tentang karakter masyarakat Jepang, penulis membaginya dalam dua

bagian yaitu:

1. Pada Saat Terjadi Gempa dan Tsunami di Jepang

Ketika gempa besar dan tsunami menghantam bagian timurJepang, masyarakat Jepang telah

menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa yang berkarakter kuat yang ditunjukkan dengan sikap

sebagai berikut:

a. Mereka mampu menempatkan kepentingan umum dan keselamatan bersama jauh di atas

kepentingan pribadi dalam keadaan genting sekalipun. Pada malam setelah gempa, orang-

orang yang mengungsi di salah satu sekolah dasar, bisa tetap mengantre dengan sabar untuk

mendapatkan makanan dalam keadaan gelap gulita sekalipun (Christian, 2011)

b. Mereka memiliki kemauan melakukan otokritik untuk bangkit kembali dengan semangat

kebersamaannya tersebut sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami,

disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi. Pakar bencana dan gempa

Jepang mengakui setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan

dan antisipasi yang telah dilakukan. Mereka sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami,

juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar

dari perhitungan.Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri

lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya. (Patristik, 2011)

c. Masyarakat Jepang sangat kuat dan tidak mengeluh di saat distribusi bantuan datang tersendat.

Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para

pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di

bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib. (Patristik, 2011)

d. Media massa di Jepang juga kooperatif dan memiliki peran penting dalam membangun

karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah

untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat

baik. (Patristik, 2011)

Page 53: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 45

2. Pendidikan Karakter di Persekolahan

Karakter mental dan kepribadian masyarakat Jepang itu tentu bukan datang begitu saja. Pendidikan

dan sekolah memiliki peran besar di dalamnya, berjalan dinamis dengan tradisi dan nilai-nilai yang

ditanamkan keluarga. Pembinaan karakter merupakan salah satu pilar utama pendidikan yang

dilakukan sejak dini di Jepang.

a. Di Tingkat Pendidikan Usia Dini (Houikuen dan Youchien)

Houikuen atau setingkat penitipan anak

merupakan yurisdiksi Kementerian

Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang,

sedangkan youchien atau TK, diawasi oleh

Kementrian Pendidikan Jepang. Meski

dilaksanakan oleh kementerian yang

berbeda, aktivitas di dua jenis sekolah ini

sama-sama ditekankan pada pengembangan

kecerdasan sosial dan emosional, serta

keseimbangan tubuh dan daya pikir. Di TK,

anak-anak menghabiskan waktu dengan

beragam permainan yang ditujukan untuk

menumbuhkan kepekaan sosial serta

semangat kebersamaan, karakter yang kemudian kita lihat melekat pada bangsa Jepang. Guru-

guru maupun siswa TK sering memperdengarkan yelyel seperti ‗tomodachi ni naro‘ (mari

berteman), ‗saigo made gambaru‘ (berusaha sampai selesai), atau ‗kokoro kara otagai o

tasukete mimashou‘ (mari saling menolong dengan tulus). Seluruh aktivitas sekolah selalu

dilakukan dengan semangat kebersamaan (tomodachi, shinsetsu, nakayoku), semangat kerja

keras (gambaru), antusiasme (genki), dan tanggung jawab (jibun no koto o jibun de suru).

Pada akhir pendidikan TK, ketika anak harus memberikan kesan singkat seusai menerima

diploma, banyak dari mereka, bahkan hampir semuanya, akan berbicara tentang gambaru,

tomodachi, dan jibun no koto o jibun de suru tersebut. Proses internalisasi hasil pendidikan

karakter terlihat sangat jelas (Christian, 2011)

b. Di Tingkat Sekolah Dasar (shougakkou)

Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD

negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki.

Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau

enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat

sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap

kelompok dipimpin seorang ketua. Berjalan kaki dan pergi-

pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa

pandang bulu. Ada 3 hal yang terkandung dari kewajiban di

atas. Semangat juang, kebersamaan, dan Tanggung jawab

yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung.

Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di

negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam

arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki,

naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja &

kebersamaan. Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak

dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD

meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka

gantikan (Setiawan, 2011).

Page 54: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

46 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

c. Di tingkat Sekolah Menengah (chuugakkou dan kotougakkou)

Pada tingkat sekolah menengah (chuugakkou) dan

sekolah menengah atas (koukou) pola pendidikan

serupa pun masih diterapkan, namun dengan cara

yang berbeda. Pada murid diharapkan dapat

dengan aktif memberikan pendapat atau jawaban

mengenai suatu masalah umum yang diberikan

oleh gurunya. Bahkan para murid pun dengan

berani memberitahu yang benar apabila sang guru

salah dalam memberi jawaban. Pada musim panas,

sekitar pertengahan Agustus, setiap tahun juga

diadakan Pertandingan Baseball (Yakyuu) yang

diikuti oleh seluruh sekolah seantero Jepang. Melalui seleksi yang ketat, setiap prefektur

diwakili oleh satu sekolah. Pada sekolah yang telah lolos akan diadu kembali dalam suatu

Kejuaraan yang bernama Koushien, yang diadakan di Lapangan Koushien, di Kobe, Prefektur

Hyougo. Mereka bertanding dengan sepenuh tenaga walaupun hari terik dan hujan turun.

Teman-teman dan guru pun datang dari tempat yang jauh untuk mendukung tim yang

bertanding. Setiap akhir pertandingan walaupun ada tim yang menang atau kalah, walaupun

ada yang menangis ataupun tersenyum gembira, selalu diakhiri oleh pemberian hormat, dan

saling bersalaman (rei). Disinilah salah satu bukti nyata pendidikan karakter Jepang. Para

murid diajarkan untuk berusaha dengan keras dan bekerja sama dalam tim, tapi walaupun

kalah ataupun gagal, mereka diajarkan untuk menerimanya dengan lapang dada, dan tidak

berbuat curang. Satu hal yang sangat patut dicontoh. Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada

siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan

mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalau pun terlalu jauh siswa boleh pergi

dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen

utama kendaraan bermotor. Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit

yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar

keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda

motor. Betapa manjanya anak-anak kita.

d. Ada kerjasama yang baik antara sekolah dan orang tua siswa dalam pendidikan karakter

Bersama dengan sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan karakter di

Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak keluarga dan sekolah dilakukan sangat

intensif melalui buku sekolah, surat elektronik, atau telepon. Meski orang Jepang terkenal

sangat sibuk, mereka merasa "wajib" menghadiri upacara hari pertama sekolah putra-putri

mereka. Hal ini menunjukkan perhatian orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya serta

komitmen mereka terhadap budaya sekolah. Dari sinilah kerjasama, komunikasi serta harmoni

antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun. Orangtua juga dengan

sukarela membuat sendiri, semacam tas kecil yang berisi bekal makan siang, sejenis celemek

untuk pelajaran memasak di sekolah, baju khusus untuk kegiatan souji (membersihkan kelas

setelah pulang sekolah), dan keperluan sekolah lainnya (Christian, 2011)

e. Adanya penanaman faham kepada siswa untuk tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan

dan memandang hina pekerjaan lainnya.

Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi

juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita

mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang

tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Berbeda dari bocah

Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi

seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan

menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi

Page 55: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 47

kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul

tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar

hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas (Setiawan, 2011).

f. Adanya pendekatan kultural atau pendekatan budaya dalam membangun karakter individu dan

bangsanya.

Filosofinya sederhana, kalau seseorang mau aktif berolah budi dan berolah rasa melalui

budaya khususnya kesenian bangsanya maka secara otomatis akan tertanam karakter yang

baik dan mantap pada dirinya. Dalam skala bangsa juga demikian adanya, kalau suatu bangsa

mau aktif berolah budi dan berolah rasa maka akan tertanam karakter yang baik dan mantap

pada bangsanya. Pendekatan kultural tersebut terlihat pada beberapa sekolah di Jepang; mulai

masuk lingkungan sekolah sudah terasa nuansa budayanya. Dari segi fisik banyak meski tidak

semua sekolah yang dibangun dengan bangunan khas Jepang dengan segala asesorinya. Ketika

masuk di dalam bangunan sekolah banyak didapati aneka tulisan yang ditulis dengan tulisan

Jepang, Huruf Kanji, Huruf Hiragana dan/atau Huruf Katakana, yang disajikan secara artistik.

Umumnya tulisan itu berisi slogan yang melukiskan semangat berbakti kepada bangsa dan

negara. Di samping aneka tulisan juga terlihat banyak lukisan dinding (kake-jiku) serta aneka

tanaman bunga (chabana) yang memperindah suasana persekolahan. Kesenian tradisional

Jepang diajarkan di sekolah; misalnya saja seni merangkai bunga (ikebana), seni teater khas

Jepang (kabuki), seni lipat kertas dan kain (origami), seni lukis cukil kayu atau (ukiyo-e), seni

sandiwara boneka tradisional Jepang (bunraku), seni drama musik Jepang klasik atau (noh),

seni bercerita humor gaya Jepang (rakugo), permainan tradisional air atau (onsen), seni

upacara minum teh (chato atau cha no yu), dan masih banyak yang lain.

Ketika saya mengunjungi Showa University yang berada di Tokyo pun ternyata berbagai seni

tersebut, khususnya seni merangkai bunga dan seni upacara minum teh, juga dibelajarkan

kepada para mahasiswanya. Menurut pengampunya, merangkai bunga bukanlah sekadar seni

akan tetapi lebih daripada itu ialah merangkai kesinambungan antara batin seseorang dengan

keindahan alami (Supriyoko, 2011).

g. Pendidikan karakter langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau ada orangtua siswa bertemu dengan guru maka sang orangtua tersebut apa pun status

sosialnya pasti menghormat sang guru. Katakanlah Sang orangtua tersebut adalah pejabat

tinggi, pasti tetap memberikan penghormatan yang cukup bagi sang guru. Di Jepang, guru

adalah profesi yang sangat dihormati oleh semua orang. Kalau ada orangtua (sepuh) masuk

kereta, dan di dalam kereta terse-but sudah tidak tersedia tempat duduk karena semuanya telah

berisi maka dapat dipastikan anak muda akan memberikan tempat duduknya tersebut kepada

sang orangtua. Kalau kita naik atau turun lift bersama anak-anak muda Jepang maka hampir

dapat dipastikan yang memencet tombol lift adalah anak-anak muda Jepang tersebut; dan

keluar atau masuk lift pun kita yang lebih tua akan dipersilakan lebih dulu keluar dari atau

masuk ke dalam lift. Praktik pendidikan karakter tersebut dipraktikkan oleh orang Jepang

tidak hanya di negaranya akan tetapi di mana saja mereka berada. Pernah sekolah dan

pesantren yang berlokasi di Sleman Yogyakarta ketamuan orang Jepang yang sangat terkenal,

Prof Hideo Moriyama, dosen dan pejabat di Kyushu University, Jepang, beserta isteri dan

asistennya yang nota bene berpendidikan doktor. Mereka bertiga sengaja menginap di

pesantren. Dan ketika tidur, mereka tidak mau di kamar yang disediakan tersendiri akan tetapi

memilih tidur bersama para santriwan dan santriwati yang nota bene kebanyakan adalah anak

yatim dan dhuafa.

Itulah pendidikan karakter ala Jepang yang langsung dipraktikkan. Pendidikan seperti itu pantas

kita jadikan referensi untuk mengembangkan dan membentuk karakter bangsa (Supriyoko, 2011).

Page 56: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

48 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

C. Penerapan Pendidikan Karakter Ala Jepang dalam Pembelajaran Matematika

Banyak hal yang bisa kita contoh dari karakter masyarakat Jepang dan pendidikan karakter yang

dilakukan di Negara tersebut. Tentu untuk melaksanakan pendidikan karakter secara menyeluruh di

sekolah-sekolah di Indonesia haruslah dimulai dari adanya kebijakan yang komprehensif dari para

pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia. Seperti kebijakan di Jepang yang mewajibkan siswa

sekolah dasar pulang pergi berjalan kaki dan berjalan dan berkelompok, tentu harus ada kebijakan

dari pemerintah yang mewajibkan peraturan itu berlaku untuk semua sekolah dasar di Indonesia.

Tetapi sambil menunggu adanya kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang jelas dari

pemerintah untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah-sekolah, ada baiknya kita

memulainya dengan hal-hal yang langsung bisa kita lakukan dalam pembelajaran matematika yang

sedang kita tangani saja.

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter ala Jepang dalam Pembelajaran matematika kita

bisa melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mulailah dari diri kita sendiri sebagai seorang guru untuk menjadi model dan suri tauladan

bagi anak didik kita. Tidak ada salahnya kita sebagai seorang guru matematika memulai

pembelajaran dengan berdoa dan ceramah-ceramah singkat yang berisi pendidikan karakter,

kemaslah dengan mengaitkannya dengan materi matematika yang akan kita ajarkan. Awali

dan akhiri pembelajaran sesuai dengan waktu yang ditetapkan, dan berprilaku sesuai dengan

tuntutan professional seorang guru.

2. Untuk para siswa di pendidikan dasar (PAUD, TK, SD) sajikanlah pembelajaran matematika

dengan banyak menggunakan metode-metode permainan yang dikerjakan secara

berkelompok. Berilah mereka permasalahan-permasalahan kontekstual yang berhubungan

dengan materi matematika untuk dipecahkan bersama dalam kelompoknya. Agar

pembelajaran menjadi lebih menarik sajikan nuansa kompetisi dalam bentuk game yang

menyenangkan.

3. Sekali-kali tugaskanlah siswa untuk pulang atau pergi sekolah berjalan kaki dalam kelompok

tertentu. Kemudian kelompok tersebut diberi tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan

materi matematika. Misalnya mereka diminta untuk berangkat dari rumah seorang siswa

kemudian diminta menghitung jarak antara rumah dan sekolah, bagaimana mereka mengatur

waktu supaya bisa datang tepat waktu, bagaimana mereka mengatur uang jajan dari orang

tuanya, dan sebagainya. Kemudian mereka diminta berdiskusi untuk membuat laporan kepada

guru tentang pengalaman mereka selama berjalan kaki dan menuliskan kesan-kesan mereka

tersebut.

4. Kita juga bisa bekerja sama dengan para orang tua, untuk memberi tugas pada siswa pada saat

liburan. Misalkan mencuci piring dan belanja ke pasar menjadi tugas mereka selama libur.

Mintalah kepada orang tua untuk memberi sejumlah uang untuk belanja dalam seminggu,

biarkan anak itu menghitung dan mengatur uang belanjaan tersebut untuk keperluan rumahnya

selama seminggu. Kemudian diminta membuat laporan penggunaan uang tersebut.

5. Dalam memberikan masalah-masalah kontekstual ada baiknya pendekatan kultural untuk

memperkenalkan budaya-budaya kita kepada generasi muda menjadi salah satu alternatif cara

penyajian materi. Mulailah dari budaya lokal sesuai dengan domisili siswa atau sekolah kita,

kemudian bergerak kepada keanekaragaman budaya yang ada di negara kita, dan akhiri

dengan mengenalkan budaya dunia secara keseluruhan. Sajikan persoalan-persoalan

matematika dengan menyajikan muatan budaya tersebut di dalamnya.

6. Ajaklah sekali-kali para siswa ke tempat-tempat yang dapat memupuk kekayaan dan kekuatan

karakter mereka, seperti ke pesantren-pesantren, tempat-tempat bencana alam, panti-panti

sosial, tempat-tempat budaya, dan sebagainya. Berilah tugas-tugas yang menghubungkan

antara tempat yang dikunjungi dengan materi-materi matematika.

Page 57: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 49

D. Penutup

Karakter adalah kemampuan untuk mengatasi secara efektif situasi sulit, tak enak, tidak nyaman,

atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani,

kepekaan diri dan lingkungan, kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran

jasmani. Lingkungan sekolah berperan besar dalam pembentukan karakter pada anak. Intensitas

pertemuan yang hampir setiap hari dengan guru dan teman-teman sekolah tentunya membuat anak

mencari-cari jati dirinya melalui hal yang mereka lihat, rasakan, dengar dan tiru dari lingkungan

sekitar. Matematika sebagai salah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah terbentuk sebagai hasil

pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Melalui matematika anak

bernalar untuk bisa membedakan yang baik atau buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan

bernalar anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Pendidikan karakter ala

Jepang dapat diintegrasikan dengan materi matematika sehingga tahap demi tahap perkembangan

karakter anak mulai terbentuk melalui pembelajaran matematika ini. Mudah-mudahan usaha ini

dapat membuat pembelajaran matematika lebih berwarna dan lebih memberikan sumbangsih bagi

pembentukan karakter generasi muda Bangsa Indonesia. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

Christian, D dan Christian, N (2011). Pendidikan karakter: Berkaca dari Jepang. [Online].

Tersedia:http://ourstoryingod.blogspot.com/2011/08/pendidikan-karakter-berkaca-dari-

jepang.html 10 September 2011)

Mayyadah(2010). Pendidikan Berbasis ESQ Sebuah Solusi Dekadensi Moral Bangsa. Kairo:

Fakultas Syariah Islamiah Universitas Al Azhar Mesir.

Mulyo, K (2009). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Kontekstual. [Online].

Tersedia:http://agupenajateng.net/2009/06/06/membangun-karakter-bangsa-melalui-

pembelajaran-kontekstual/ (6 Januari 2010)

Patristik, E (2011). Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar. [Online]. Tersedia:

http://internasional.kompas.com/read/2011/03/22/07373026/Bangsa.Jepang.Bangsa.Pembela

jar. ( 5 Juli 2011)

Setiawan, E (2011). Pendidikan Karakter. Online]. Tersedia:

http://www.facebook.com/topic.php?uid=95186059600&topic=8986 ( 1 September 2011)

Supriyoko, K (2011). Pendidikan Karakter Ala Jepang. Online]. Tersedia:

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=241773&actmenu=39 ( 10 Juli 2011)

Page 58: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

50 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Asep Ikin Sugandi

Program Studi Pendidikan Matematika

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak.

Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini sangat dirasakan mendesak. Hal ini disebabkan makin

meningkatnya tawuran antar pelajar, korupsi, perilaku kekerasan dan peruksakan, kejahatan seksual, pola

hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, meningkatnya jumlah remaja yang terjebak

dalam narkoba. Sebagai tindak lanjut dari upaya persoalan budaya dan karakter bangsa tersebut, kini

pendidikan karakter dikembangkan dengan cara diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Di dalam mata

pelajaran matematika saat ini enam nilai dintegrasikan untuk diKembangkan : teliti, tekun, kerja keras, rasa

ingin tahu, panyang menyerah dan kreatif. Dengan dintegrasikannya pendidikan karakter pada mata pelajaran

matematika diharapkan prestasi siswa akan meningkat dan terbentuknya pribadi-pribadi masa depan yang

berorientasi pada nilai-nilai luhur dari Pancasila.

Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Matematika

I. PENDAHULUAN

Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Hal ini

disebabkan dari fenoma di masyarakat baik yang tampak maupun yang tidak, menunjukkan

fenomena yang menggelisahkan seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, pengrusakan,

perkelahian antar pelajar, perkelahian massal, kehidupan ekonomi yang konsumtif serta kehidupan

politik yang tidak produktif.

Disamping itu, pendidikan karakter ini menjadi penting dewasa ini didukung oleh amanat

mendiknas pada hardiknas 2 Mei 2011 menyangkut tema pendidikan yaitu : ―Pendidikan karakter

sebagai pilar kebangkitan bangsa‖ dengan sub tema : ―raih prestasi, junjung tinggi budi pekerti‖,

pendidikan karakter di mulai semenjak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, pendidikan

formal dan non formal dan menyiapkan generasi 2045. Hal tersebut didukung oleh tujuan dan

fungsi pendidikan nasional pasal 3/UU.20/2003 pasca reformasi, yaitu berkembangnya potensi

peserta didik agar jadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrastis serta

bertanggung jawab.

Pengintegrasian pendidikan budaya dan karakter dewasa ini menuntut para guru khususnya untuk

mengintegrasikan nilai-nilai luhur yang dikembangkan dalam pendidika budaya dan karakter

bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) yang sudah ada. Dengan demikian keberhasilan program tersebut bergantung

kepada kemampuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh guru. Oleh sebab itu para guru

dituntut untuk memiliki sikap dan keterampilan baru yang pada akhirnya dituntut adanya

keteladanan pada guru sebagai sebagai pesyaratan untuk keberhasilan implemntasi pendidikan dan

karakter bangsa pada mata pelajaran. Perubahan sikap dan penguasaan keterampilan yang

dipersayaratkan ini selanjutnya dapat dikembangkan melalui pendidikan dalam jabatan yang

terfokus, sistemik dan berkelanjutan.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Karakter

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) karakter

merupakan sifat-sifat kejiwaan , akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan

yang lainnya. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri

dan terenjawantahkan dalam prilaku.

Screrenko (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau cirri-ciri

yang membentuk dan membedakan cirri pribadi, ciri ethis, dan kompleksitas mental dari seseorang,

Page 59: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 51

suatu kelompok atau bangsa. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai

dasar perilaku yangbmenjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal berbagai

karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian, menghargai,

kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kasih saying, tanggung jawab,

kesederhanaan tleransi, dan persatuan (Samani dan Hariyanto, 2011 : 42).

Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mendefinisikan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak

atau kepribadian seserang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini

dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut di atas, serta factor-faktor yang

dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun

pribadi seserang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun p-engaru lingkungan, yang

membedakannya dengan rang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan prilakunya dalam kehidupan

sehari-hari.

B. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-

nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan

karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai

anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif .(Puskur

Balitbang kemendiknas, 2010)

Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi

keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan

melalui perencanaan yang baik, pendekatan yangsesuai, dan metode belajar serta pembelajaran

yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha

bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin

sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya

sekolah.

Untuk lebih jelasnya, pada konteks makro, pengembangan karakter dideskripsikan sebagai berikut :

PENDIDIKAN FORMAL & NON FORMAL

PENDIDIKAN INFORMAL

Perilaku

Berkarakter

MASYA-

RAKAT

Agama, Pancasila,

UUD 1945,

UU No. 20/2003 ttg

Sisdiknas

Teori

Pendidikan,

Psikologi,

Nilai, Sosial

Budaya

Pengalaman terbaik

(best practices)dan

praktik nyata

Nilai-nilai

Luhur

PERANGKAT PENDUKUNG

Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya,

Lingkungan, Sarana dan Prasarana,

Kebersamaan, Komitmen pemangku

kepentingan.

KELUARGASATUAN

PENDIDIKAN

PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN MENUJU

PRILAKU BERKARAKTERPERAN

PENDIDIK

Gambar 1.

Konteks Makro Pengembangan karakter

(diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)

Page 60: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

52 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Sedangkan pada kontek mikro, pengembangan karakter dideskripsikan sebagai berikut :

KEGIATAN

KESEHARIAN

DI RUMAH DAN MASYARAKAT

KEGIATAN

EKSTRA

KURIKULER

Integrasi ke dalam kegiatan

Ektrakurikuler : Pramuka,

Olahraga, Karya Tulis, Dsb.

Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel

Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan

Penerapan pembiasaan

kehidupan keseharian di

rumah yang sama dengan

di satuan pendidikan

BUDAYA SEKOLAH:

(KEGIATAN/KEHIDUPAN

KESEHARIAN DI SATUAN PENDIDIKAN)

STRATEGI MIKRO DALAM SEKOLAH

Gambar 2.

Kontek Mikro Pengembangan Karakter

(diadaptasi dari Desain IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)

Berdasarkan Grand Design Pendidikan karakter dari kemendiknas, yaitu :

1. Olah Hati (Spiritual and Emotinal Development) melahirkan nilai Jujur

2. Olah Fikir (Intelectual Development) melahirkan nilai Cerdas

3. Olah Raga (Phsycal and Kinestik Development) melahirkan nilai Bersih dan Sehat

4. Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creative Development) melahirkan nilai Peduli dan

Kreatif

Berdasarkan Grand Design Pendidikan dari kemendiknas dapat digambarkan sebagai berikut :

OLAH HATI

OLAH PIKIR

OLAH RASA/KARSA

OLAH RAGA

beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab,

berempati, berani mengambil resiko,

pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa

patriotik

ramah, saling menghargai, toleran,

peduli, suka menolong, gotong royong,

nasionalis, kosmopolit , mengutamakan

kepentingan umum, bangga menggunakan

bahasa dan produk Indonesia, dinamis,

kerja keras, dan beretos kerja

bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,

bersahabat, kooperatif,

determinatif, kompetitif, ceria,

dan gigih

cerdas, kritis, kreatif, inovatif,

ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks,

dan reflektif

KONFIGURASI NILAI (SOSIAL-KULTURAL-PSIKOLOGIS)

7

Gambar 3.

Keterpaduan Olah Hati, Olah Pikir, Olah Ragadan Olah Rasa dan Karsa (diadaptasi dari Desain

IndukPendidikan Karakter Kemendiknas, 2010)

Page 61: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 53

Sedangkan berdasarkan Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas merumuskan 18 Karakter

sebagai berikut :

a. Religius, adalah sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama

yangdianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun

dengan pemeluk agama lain.

b. Jujur, adalah perilaku yang menunjukkan dirinya sebagai orang yang dapatdipercaya,

konsisten terhadap ucapan dan tindakan sesuai dengan hati nurani. Pengembangan

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika di SD

c. Toleransi, adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan, baik perbedaan

agama, suku, ras, sikap atau pendapat dirinya dengan orang lain.

d. Disiplin, adalah tindakan yang menunjukkan adanya kepatuhan, ketertibanterhadap

ketentuan dan peraturan yang berlaku.

e. Kerja keras, adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh

dalammenghadapi dan mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas atau yang lainnya

dengan sungguh-sungguh dan pantang menyerah.

f. Kreatif, adalah kemampuan olah pikir, olah rasa dan pola tindak yang dapat

menghasilkan sesuatu yang baru dan inovatif.

g. Mandiri, adalah sikap dan perilaku dalam bertindak yang tidak tergantung pada orang

lain dalam menyelesaikan suatu masalah atau tugas.

h. Demokratis, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak dengan menempatkanhak

dan kewajiban yang sama antara dirinya dengan orang lain.

i. Rasa ingin tahu, adalah sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk

mengetahui lebih dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari.

j. Semangat kebangsaan, adalah cara berpikir, bertindak dan cara pandang yanglebih

mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan

kelompok.

k. Cinta tanah air, adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa

kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.

l. Menghargai prestasi, adalah sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk

secara ikhlas mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya.

m. Bersahabat/komunikatif, adalah tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan

rasa senang dalam berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain.

n. Cinta damai, adalah sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang

lain merasa senang, tentram dan damai.

o. Gemar membaca, adalah sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca

buku-buku yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau

orang lain.

p. Peduli lingkungan, adalah sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan

dan memperbaiki lingkungan hidup.

q. Peduli sosial, adalah sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan

kepentinganorang lain dalam hidup dan kehidupan.

r. Tanggung jawab, adalah sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.

C. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika

Pengertian pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan

nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian

nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang

berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan

pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang

ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,

menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

Page 62: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

54 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Berikut adalah

deskripsi singkat cara integrasi yang dimaksudkan.

1. Perencanaan Pembelajaran

Pada tahap ini silabus, RPP, dan bahan ajar disusun. Baik silabus, RPP, dan bahan ajar dirancang

agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter.

Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan

karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan

menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilai-

nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut adalah contoh

model silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalamnya.

a) Silabus

Silabus dikembangkan dengan rujukan utama Standar Isi (Permen Diknas nomor 22 tahun

2006). Silabus memuat SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator

pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran, kegiatan

pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang

dirumuskan di dalam silabus pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik

menguasai SK/KD. Agar juga memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta

didik mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan pada tiga

komponen silabus berikut:

(1) Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan

pembelajaran yang mengembangkan karakter

(2) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang terkait

dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter

(3) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang dapat

mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter

b) RPP

RPP disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan oleh sekolah. RPP secara umum

tersusun atas SK, KD, Indikator, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah

pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang terumuskan pada silabus, tujuan

pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran,

sumber belajar, dan penilaian yang dikembangkan di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk

menciptakan proses pembelajaran untuk mencapai SK dan KD. Oleh karena itu, agar RPP

memberi petunjuk pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada

pengembangan karakter, RPP tersebut perlu diadaptasi.

c) Bahan/buku ajar

Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa

yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan

semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah

dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti.

2. Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan

dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan

sebagaimana disebutkan di depan.

3. Evaluasi Pencapaian Belajar

Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur

pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa.

Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan

kepribadian siswa sekaligus.

Page 63: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 55

Di antara teknik-teknik penilaian tersebut, beberapa dapat digunakan untuk menilai

pencapaian peserta didik baik dalam hal pencapaian akademik maupun kepribadian. Teknik-

teknik tersebut terutama observasi (dengan lembar observasi/lembar pengamatan), penilaian

diri (dengan lembar penilaian diri/kuesioner), dan penilaian antarteman (lembar penilaian

antarteman).

4. Tindak Lanjut Pembelajaran

Tugas-tugas penguatan (terutama pengayaan) diberikan untuk memfasilitasi siswa belajar

lebih lanjut tentang kompetensi yang sudah dipelajari dan internalisasi nilai lebih lanjut.

Tugas-tugas tersebut antara lain dapat berupa PR yang dikerjakan secara individu dan/atau

kelompok baik yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat ataupun panjang

(lama) yang berupa proyek. Tugas-tugas tersebut selain dapat meningkatkan penguasaan yang

ditargetkan, juga menanamkan nilai-nilai.

Secara Ringkas pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa dalam pembelajaran matematika dapat

dinyatakan sebagai :

―Doing mathematics‖:

Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, koneksi, representasi dan pemahaman konseptual;

Silabus dan RPP yang mengintehrasikan pendidikan

karakter.

�Pembangunan sikap dan

keterampilan baru;Pemahaman pendidikan

karakter secara umum dan

khusus dalam matematika;Refleksi dan pengembangan

karakter dirinya sebagai teladan

bagi siswa;Ketekunan, kesabaran,

optimisme.

�Penggunaan berbagai teknik dan strategi

pembelajaran yang relevan dan inovatif;Situasi-situasi dan pengalaman belajar

matematika yang mengakomodasi

pendidikan karakter di mana para siswa terlibatkan secara aktif;

Penerapan prinsip personalisasi dan

pengembangan karakter siswa berdasarkan tingkat kematangan psikologis dan intelektual.

�Peningkatan prestasi belajar dalam matematika;

Perkembangan nilai-nilai tertentu dalam diri siswa, terbentuknya secara bertahap karakter yang

berorientasi kepada eksplorasi, penemuan,

kemandirian dan prestasi.

Guru Mata Pelajaran Matematika

Pembelajaran Matematika

Nilai-nilai yang Di Integrasikan ke dalam Mata

Pelajaran Matematika (teliti, tekun, kerja keras, rasa ingin

tahu, pantan gmenyerah & kreatif)

Muatan Nilai/Nilai-nilai motivasional:

pengarahan diri dan pencapaian

MATA PELAJARANMATEMATIKA

Gambar 4. Implementasi Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Matematika

(Diadopsi dari makalah Prof. H. Wahyudin, M.Pd)

Page 64: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

56 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Kemendiknas.(2010). Desain Induk Pendidikan Karakter. Kementrian Pendidikan

Nasional.

Musclih M. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimen-

Onal. Jakarta : Bina Aksara

Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Puskur

Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional

Samani M. dan Hariyanto (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung :

Rosda Karya

Wahyudin (2011). Membangun Karakter malalui Pendidikan Matematika yang

Berkualitas. Makalah seminar di Universitas Negeri Padang. Padang : Universitas

Negeri Padang

Wardani S. dan Sustriati A. (2011). Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Matematika di SD. Jakarta : P4TK Kementrian Pendidikan

Nasional

Page 65: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 57

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS

MAHASISWA S-1 MELALUI PEMBELAJARAN MEAS

YANG DIMODIFIKASI

Oleh: Bambang Avip Priatna Martadiputra(1)

Didi Suryadi(2)

Jurusan Matematika - Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak

Makalah ini berisi hasil penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir statisis mahasiswa S1 melalui

pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) yang dimodifikasi dari MEAs yang telah dikembangkan

oleh Garfield, delMas dan Zieffler (2010) dengan memasukan Didactical Design Research (DDR) pada

saat pembuatan bahan ajar. Dalam penelitian ini dilakukan metode kuasi eksperimen dengan disain pretes-

postes. Penelitian dilakukan terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Pada

kelas kontrol (mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi

pembelajaran konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat

angkatan 2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan

2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang

dimodifikasi. Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi,

sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis (TKAS). Data

tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan berpikir statistis (TKBS),

sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan menggunakan skala disposisi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang signifikan

antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Peningkatan kemampuan berpikir statistis

mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Ada perbedaan

peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas

eksperimen 2. Peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang menggunakan pembelajaran MEAs yang

dimodifikasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan

pembelajaran konvensional.

Kata kunci: DDR, Kemampuan berpikir statistis, MEAs yang dimodifikasi. A. Pendahuluan

Berpikir statistis adalah kemampuan untuk mengerti dan memahami proses statistis secara

keseluruhan, serta mengaplikasikan pemahaman pada masalah nyata dengan memberikan kritik,

evaluasi, dan membuat generalisasi berkaitan dengan mendeskripsikan data; 2) mengorganisasikan

data; 3) merepresentasikan data; dan 4) menganalisis dan menginterpretasikan data. Berdasarkan

tahapan berpikir kognitif pada model SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome)

dari Biggs dan Collis (1991), Jones, et.al (2000) membagi level berpikir statistis menjadi empat

yaitu: 1) Idiosyncratic; 2) Transitional; 3) Quantitative; dan 4) Analytical.

Dari hasil penelitian Martadiputra (2010) terhadap guru-guru matematika SMP/SMA yang

mengikut kegiatan PPM Dosen Jurdikamat UPI di Kabupaten Subang dan sebagian peserta PLPG

sertifikasi guru matematika SMP di BMI Lembang diperoleh informasi bahwa rata-rata

kemampuan berpikir statistis (statistical thinking) guru SMP/SMA baru mencapai 32,15 %,

sehingga dapat dikatagorikan rendah. Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra (2010.a)

diperoleh informasi bahwa: 1) Secara umum, kemampuan berpikir statistis mahasiswa program

studi pendidikan maupun program studi non kependidikan, mahasiswa yang sudah lulus S1

maupun mahasiswa yang belum lulus S1 di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI masih

rendah karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Jadi belum memasuki level

analytical; 2) Nilai rata-rata kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang telah lulus S1 relatif

Page 66: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

58 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

lebih tinggi daripada mahasiswa yang belum lulus S1; dan 3)Mata kuliah Statistika Dasar

mempunyai hubungan signifikan dengan kemampuan berpikir statistis mahasiswa, sedangkan mata

kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika, dan Pengolahan data tidak berhubungan

signifikan.

Selanjutnya dari hasil penelitian Martadiputra dan Tapilouw (2011) diperoleh informasi bahwa

kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 yang sedang mengikuti perkuliahan Statistika Dasar

masih belum optimal karena baru mencapai level transitional dan quantitative. Hanya sebagaian

kecil mahasiswa yang kemampuan berpikir statistisnya sampai pada level analytical. Khusus

untuk kemampuan berpikir statistis berkaitan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data

ternyata tidak ada satu orangpun yang sampai pada level analytical.

Hasil-hasil penelitian Martadiputra (2010, 2010.a, dan 2011) tersebut sejalan dengan AEC (1994)

dan SCAA & CAAW (1996) (dalam Jones, et.al, 2000) bahwa dalam merespons pentingnya data

dan informasi dalam masyarakat di era globalisasi ini dibutuhkan adanya reformasi pendidikan

statistika secara internasional di semua tingkatan pendidikan. Alasan lain perlunya reformasi

pendidikan statistika dikemukakan oleh Ben-Zvi & Friedlander (2010) bahwa pembelajaran

statistika tradisional belum bisa mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis siswa karena

biasanya hanya menekankan perhitungan dan mengabaikan pengembangan pandangan terpadu

yang lebih luas dari pemecahan masalah statistika. Siswa diwajibkan untuk menghafal fakta dan

prosedur. Konsep statistik jarang berasal dari masalah nyata, lingkungan belajar yang kaku, dan

secara umum hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap masalah yang diberikan. Ketika

diberikan masalah yang nyata, dalam pembelajaran statistika tradisional kegiatan cenderung

menjadi "tidak nyata" dan relatif dangkal. Selain itu, biasanya siswa mendapatkan statistika dari

kurikulum berbentuk sekumpulan materi yang terpisah-pisah, teknik pembelajaran tidak bermakna

dan tidak relevan, membosankan, dan bersifat rutin.

Pada tahun 2010 proyek CATALST (Change Agents for Teaching and Learning Statistics)

disponsori oleh the National Science Foundation yang dimotori oleh Joan Garfield, Robert

delMas and Andrew Zieffler mencoba memfokuskan penggunaan Model-Eliciting Activities

(MEAs) pada beberapa ide statistik dengan menggunakan data "realistis" dan fokus pada model

matematika yang mendasarinya. MEAs dengan sifat ini akan membantu siswa mempersiapkan diri

untuk mempelajari statistika yang mengarah pada pemahaman konseptual, pemecahan masalah,

retensi, dan transfer pengetahuan yang lebih baik. MEAs juga harus dapat membantu siswa

mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan untuk bekerja sama dalam

memecahkan masalah.

Pada penelitian ini, penulis memodifikasi. MEAs yang telah dikembangkan oleh Garfield, delMas

& Zieffler (2010) yang semula hanya untuk siswa menjadi untuk mahasiswa serta memasukan

Didactical Design Research (DDR) pada saat pendesainan MEAs yang selanjutnya penulis

sebut MEAs yang dimodifikasi. DDR adalah sebuah metodologi penelitian baru yang

dikembangkan oleh Suryadi sejak tahun 2005 yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) Analisis

situasi didaktis; 2) Analisis metapedadidaktik; dan 3) Analisis retrosfektif.

MEAs yang dimodifikasi adalah suatu pembelajaran untuk melihat masalah otentik, dunia nyata

yang mengharuskan mahasiswa untuk bekerja dalam suatu tim yang terdiri dari tiga sampai empat

orang untuk menghasilkan solusi masalah melalui deskripsi tertulis, penjelasan dan konstruksi

dengan cara mengungkapkan pengujian berulang kali, dan memperluas cara-cara berpikir mereka.

Ada enam prinsip dari MEAs, yaitu: (1) Prinsip konstruksi; (2) Prinsip realitas; (3) Prinsip self-

assessment; (4) Prinsip dokumentasi; (5) Prinsip reusability dan berbagi-kemampuan; dan (6)

Prinsip prototipe yang efektif. Disamping keenam prinsip tesebut, MEAs juga mempunyai tiga sifat

tambahan, yaitu: (1) Mencerminkan masalah yang nyata; (2) Memiliki konteks saat ini dan

menarik; dan (3) Menggunakan data nyata. Dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi

ini¸pendekatan pembelajarannya berpusat pada mahasiswa, dosen hanya sebagai fasilitator.

Page 67: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 59

Strategi pembelajarannya bersifat individu, kelompok, maupun kelas. Strategi pembelajaran

individual dilakukan pada saat awal pembelajaran. Pada saat itu, dosen menanyakan kesiapan

masing-masing mahasiswa berkaitan dengan materi yang akan disajikan. Strategi pembelajaran

kelompok/tim dilakukan pada saat mahasiswa menyelesaikan masalah dan mempresentasikan hasil

pekerjaannya. Sedangkan strategi pembelajaran kelas dilakukan pada akhir pembelajaran, yaitu

pada saat diskusi berkaitan dengan materi pembelajaran.

Selanjutnya teknik dan taktik dalam pembelajaran MEAs yang dimodifikasi adalah sebagai berikut:

dosen memberikan masalah kontektual yang bersifat open-ended. Masalah dipahami terlebih

dahulu oleh setiap mahasiswa secara individual. Selanjutnya dosen mengajukan beberapa

pertanyaan yang harus dipecahkan oleh tim yang terdiri dari 3 - 4 orang mahasiswa. Mahasiswa

mengumpulkan pekerjaannya kepada dosen. Dosen memeriksa pekerjaan mahasiswa sepintas.

Dosen meminta beberapa tim yang jawabannya bereda untuk mempresentasikan jawabannya di

depan kelas. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk membahas permasalahan yang

diberikan. Pada akhir pembelajaran, mahasiswa dengan dipandu dosen membuat kesimpulan dan

rangkuman.

Selanjutnya dengan diperkenalkannya MEAs yang dimodifikasi ini khususnya untuk

pembelajaran statistika dasar diharapkan akan melengkapi teori-teori pembelajaran statistika yang

telah ada serta diperoleh suatu informasi bahwa pemilihan suatu model pembelajaran dan

penyusunan bahan ajar statistika yang tepat dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir mahasiswa

atau kemampuan berpikir statistis siswa. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam tentang

bagaimana cara mengoptimalkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa atau kemampuan

berpikir statistis siswa.

B. Pembahasan

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan selama setengah semester

terhadap seluruh mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI yang sedang

mengikuti perkuliahan Statistika Dasar pada semester ganjil tahun akademik 2011/2012. Dalam

penelitian ini digunakan metode kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes. Pada kelas kontrol

(mahasiswa kelas A prodi Pend. Mat angkatan 2010/2011 sebanyak 39 orang) diberi pembelajaran

konvensional sedangkan pada kelas eksperimen 1 (mahasiswa kelas B prodi Pend. Mat angkatan

2010/2011 sebanyak 41 orang) dan kelas eksperimen 2 (mahasiswa prodi Pend. Mat angkatan

2008/2009 yang mengulang Statistika Dasar sebanyak 12 orang) diberi pembelajaran MEAs yang

dimodifikasi.

Selanjutnya pada masing-masing kelas, mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tinggi,

sedang, dan rendah. Pengelompokkan didasarkan pada skor hasil tes kemampuan awal statistis

(TKAS). Data tentang kemampuan berpikir statistis mahasiswa diperoleh melalui tes kemampuan

berpikir statistis (TKBS), sedangkan data disposisi statistis mahasiswa diperoleh dengan

menggunakan skala disposisi.

B.1 Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis

Peningkatan kemampuan berpikir statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara

skor pretes dengan skor postes yang diperoleh dengan menggunakan instrumen TKBS yang sama.

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data peningkatan kemampuan berpikir

statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi,

kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji

homogenitas variansi dengan menggunakan Levene‘s Test diketahui bahwa keseluruhan data

kemampuan berpikir statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi α = 0,05.

Page 68: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

60 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi α = 0,05 diketahui bahwa:

1) Ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang sifnifikan

antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Perlakuan yang diberikan

(pembelajaran MEAs yang dimodifikasi) berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan

kemampuan berpikir statistis mahasiswa sebesar 31,0 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes

diketahui:

a. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang menggunakan

pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang menggunakan

pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis tersebut

adalah sebesar 0,227.

b. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (mengulang) yang

menggunakan pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir

statistis tersebut adalah sebesar 0,295.

c. Rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa (reguler) yang

menggunakan pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa

(mengulang) yang juga menggunakan pembelajaran MEAs. Perbedaan peningkatan

kemampuan berpikir statistis tersebut hanya sebesar 0,069.

2) Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa yang

signifikan antara kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh

pengelompokan (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis

mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,9 %. Selanjutnya dari hasil posthoc tes

diketahui:

a. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah

dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,048 (tidak signifikan).

b. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok rendah

dengan kelompok sedang hanya sebesar 0,075 (tidak signifikan).

c. Perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara mahasiswa kelompok sedang

dengan kelompok tinggi hanya sebesar 0,027 (tidak signifikan).

3) Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang,

rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa.

Pengaruh dari interaksi antara kelas dan kelompok berpengaruh terhadap peningkatan

kemampuan berpikir statistis mahasiswa hanya sebesar 3,5 %.

Gambar 1

Page 69: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 61

Dari gambar 1 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak

mempengaruhi peningkatan kemampuan berpikir statistis mahasiswa.

1) Untuk kelompok kontrol, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh

kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi

perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok

sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan.

Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran konvensional tidak terjadi perubahan urutan

peningkatan kemampuan berpikir statistis. Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis

masih tetapi didominasi oleh kelompok tinggi, kemudian kelompok sedang, dan terakhir

kelompok rendah.

2) Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh

oleh kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi

perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok

sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan

pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis.

Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa

kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi

pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa

kelompok sedang.

3) Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh

oleh kelompok rendah, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi

perbedaan peningkatan kemampuan berpikir statistis antara kelompok rendah, kelompok

sedang, dan kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan

pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan kemampuan berpikir statistis.

Artinya peningkatan kemampuan berpikir statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa

kelompok sedang, kemudian kelompok tinggi, dan terakhir kelompok rendah. Jadi

pembelajaran MEAs dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir statistis mahasiswa

kelompok sedang.

B.2 Peningkatan Disposisi Statistis

Peningkatan disposisi statistis dihitung dengan menggunakan gain ternormalisasi antara skala

disposisi awal dengan skala disposisi akhir yang diperoleh dengan menggunakan skala disposisi

statistis yang sama. Dari hasil statistika deskriptif diketahui bahwa:

1) Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain disposisi) mahasiswa kelas kontrol, kelas

eksperimen1, dan kelas eksperimen 2 masing-masing adalah: 0,1328; 0,3444; dan 0,3342.

Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelas kontrol, kelas eksperimen 1, dan kelas

eksperimen 2 masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; sedang; dan sedang. Peningkatan

terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelas eksperimen 1 sedangkan yang terendah diperoleh

oleh kelas kontrol.

2) Rata-rata peningkatan disposisi statiistis (N-Gain KBS) mahasiswa kelompok tinggi,

kelompok sedang, dan kelompok rendah masing-masing adalah: 0,2776; 0,2679; dan 0,1607.

Jadi peningkatan disposisi statiistis mahasiswa kelompok rendah, kelompok sedang, dan

kelompok tinggi masing-masing dapat dikatagorikan: rendah; rendah; dan rendah. Peningkatan

terbesar diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah sedangkan yang terendah diperoleh oleh

kelompok tinggi.

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa diketahui bahwa data peningkatan disposisi

statistis mahasiswa untuk kelas kontrol, kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, kelompok tinggi,

kelompok sedang, dan kelompok rendah semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya dari hasil uji

homogenitas variansi dengan menggunakan Levene‘s Test diketahui bahwa keseluruhan data

disposisi statistis mahasiswa bervariansi homogen pada taraf signifikansi α = 0,05.

Page 70: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

62 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berdasarkan hasil uji ANOVA dua jalur pada taraf signifikansi α = 0,05 diketahui bahwa:

1) Ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa antara kelas kontrol, kelas

eksperimen 1, dan kelas eksperimen 2. Pembelajaran MEAs berpengaruh secara signifikan

terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa sebesar 19,0 %. Selanjutnya dari hasil

posthoc tes diketahui:

a. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan

pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaannya sebesar 0,2116.

b. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (mengulang) yang menggunakan

pembelajaran MEAs lebih tinggi secara signifikan dari pada mahasiswa yang

menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedannya sebesar 0,2013.

c. Rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa (reguler) yang menggunakan

pembelajaran MEAs tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa (mengulang)

yang juga menggunakan pembelajaran MEAs.

2) Tidak ada perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa yang signifikan antara

kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Pengaruh pengelompokan

mahasiswa menjadi kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah terhadap

peningkatan disposisi statistis mahasiswa tidak signifikan karena hanya sebesar 1,4 %.

Selanjutnya dari hasil posthoc tes diketahui:

a. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan

kelompok sedang hanya sebesar 0,098 (tidak signifikan).

b. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok rendah dengan

kelompok sedang hanya sebesar 0,1169 (tidak signifikan).

c. Perbedaan peningkatan disposisi statistis antara mahasiswa kelompok sedang dengan

kelompok tinggi hanya sebesar 0,1072 (tidak signifikan).

3) Interaksi antara kelas (kontrol, eksperimen 1, eksperimen 2) dan kelompok (tinggi, sedang,

rendah) tidak berpengaruh terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa. Pengaruh

interaksi antara kelas dan kelompok terhadap peningkatan disposisi statistis mahasiswa hanya

sebesar 5,5 %.

Gambar 2. Interaksi antara Kelas dan Kelompok

Dari gambar 2 terlihat bahwa ada interaksi antara kelas dengan kelompok akan tetapi tidak

mempengaruhi peningkatan disposisi statistis mahasiswa.

1) Untuk kelompok kontrol, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh kelompok

sedang, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok rendah. Akan tetapi perbedaan

peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan kelompok

tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan pembelajaran

konvensional terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya peningkatan

disposisi statistis didominasi oleh kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir

kelompok tinggi.

Page 71: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 63

2) Untuk kelompok eksperimen 1, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh

kelompok rendah, kemudian kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Akan tetapi

perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan

kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan

pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya

peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok rendah, kemudian

kelompok sedang, dan terakhir kelompok tinggi. Jadi pembelajaran MEAs dapat lebih

meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok rendah.

3) Untuk kelompok eksperimen 2, peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh

kelompok tinggi, kemudian kelompok rendah, dan terakhir kelompok sedang. Akan tetapi

perbedaan peningkatan disposisi statistis antara kelompok rendah, kelompok sedang, dan

kelompok tinggi tidak berbeda secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa dengan

pembelajaran MEAs terjadi perubahan urutan peningkatan disposisi statistis. Artinya

peningkatan disposisi statistis tertinggi diperoleh oleh mahasiswa kelompok tinggi, kemudian

kelompok rendah, dan terakhir kelompok sedang. Jadi pembelajaran MEAs pada kelas

eksperimen 2 dapat lebih meningkatkan disposisi statistis mahasiswa kelompok tinggi.

C. Penutup

Kemampuan berpikir statistis mahasiswa S1 dapat ditingkatkan lebih optimal dengan menggunakan

pembelajaran MEAs yang dimodifikasi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Pembelajaran MEAs yang dimodifikasi juga dapat disposisi statistis mahasiswa. MEAs yang

dimodifikasi ini merupakan suatu pembelajaran statistika dasar yang relatif baru di Indonesia

bahkan di dunia. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam pada semua

jenjang pendidikan. Peneliti selanjutnya dapat mengaplikasikan MEAs yang dimodifikasi ini pada

jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hasil-hasil penelitian tersebut tentulah sangat diperlukan

dalam mereformasi pendidikan statistika sehingga pembelajaran statistika menjadi lebih bermakna

bagi siswa dan siswa dapat diaplikasikannya dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan

nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Ben-Zvi, D., & Friedlander, A. (1997). Statistical investigations with spreadsheets (in

Hebrew). Rehovot, Israel: Weizmann Institute of Science.

Biggs, J. B., & Collis, K. F. (1982). Evaluating the quality oflearning: The SOLO taxonomy

(Structure of the Observed Learning Outcome). New York: Academic

Garfield, delMas & Zieffler. (2010). Developing Tertiary-Level Students‘ Statistical Thinking

Through the Use of Model-Eleciting Activities. ICOTS8 (2010) Invited Paper

Jones, Thornton, Langrall & Mooney. (2000). A Framework for Characterizing Children‘s

Statistical Thinking. Mathematical Thinking and Learning, 2(4), 269–307 Copyright ©

2000, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Martadiputra. (2010). Diklat Kemampuan Melek Statistis (Statistical literacy), Penalaran Statistis

(Statistical Reasoning) dan Berpikir Statistis (Statistical Thinking) Guru SMP/SMA.

Bandung: Jurnal Albamas tahun 10, No. 10, Oktober 2010, ISSN 1412-1891.

Martadiputra. (2010.a). Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Berpikir Statistis (Statistical

Thinking). Bandung: PPs UPI, Tugas Mata Kuliah MT. 911 Studi Individual.

Martadiputra dan Tapilouw.(2011). Kajian tentang Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa S1

Jurusan Pendidikann Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika

FPMIPA UPI. Laporan Penelitian.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

PendekatanGabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: SPS UPI.

Suryadi, D. (2010). Didactical Design Researh (DDR) dalam Pengembangan Pembelajaran

Matematika I. Bandung: Seminar Nasional Pembelajaran MIPA di UM Malang, 13

November 2010.

Page 72: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

64 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA

SMK MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung)

Oleh : Puji Lestari

Jurusan Pendidikan Matematika STKIP Garut

Abstrak

SMK merupakan lembaga pendidikan yang mempersiapkan siswa siswinya agar dapat memenuhi kebutuhan

dunia kerja saat ini. Matematika sebagai mata pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan lulusan menjadi

tenaga kerja terampil dan memiliki bekal penunjang bagi penguasaan keahlian profesi, diharapkan dapat

membantu siswa untuk menjadi Sumber Daya Manusia yang handal sesuai kebutuhan dunia kerja. Untuk

mampu mengaplikasikan konsep-konsep dasar matematika sebagai bekal penunjang bagi penguasaan

keahlian profesi, maka dibutuhkan kemampuan koneksi matematis siswa yang baik. Pendekatan

pembelajaran yang tepat untuk dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa adalah pendekatan

pembelajaran kontekstual yaitu pendekatan yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalam kehidupan mereka.

Kata Kunci: Kontekstual, Koneksi Matematis.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sekolah Menengah Kejuruan yang merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di bidang

kejuruan yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) dalam berbagai program

keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, menyiapkan para siswa menjadi manusia

produktif yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam

bidang tertentu. Agar hal tersebut dapat dicapai dengan baik maka para siswa harus dapat

menyelesaikan seluruh mata pelajaran dan program diklat dengan berbagai macam standar

kompetensi yang telah ditetapkan. Matematika adalah salah satu pelajaran yang bertujuan untuk

menyiapkan lulusan menjadi tenaga kerja terampil dan memiliki bekal penunjang bagi penguasaan

keahlian profesi, sehingga matematika mempunyai peranan dalam pengembangan diri siswa dan

menunjang penguasaan keahlian profesi. Dalam tujuan kurikulum SMK, siswa diharapkan mampu

mengembangkan diri untuk bekerja di dalam suatu bidang keahlian, maka siswa dituntut untuk

selalu siap dan terampil dalam berbagai situasi. Sedangkan pada kenyataannya, situasi yang terjadi

dalam setiap bidang keahlian selalu menghadapi masalah-masalah yang relatif baru yang selalu

memerlukan penyelesaian.

Kondisi serupa juga dialami oleh Rusgianto (2002) juga menunjukkan bahwa kemampuan siswa

mengaplikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya dalam kehidupan yang nyata masih

belum memuaskan. Ruspiani (dalam Kurniawan, 2007) mengungkap bahwa rata-rata nilai

kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang

dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain,

44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik

dengan kehidupan keseharian. Kenyataan ini memberi isyarat bahwa tujuan pembelajaran

matematika seperti yang digariskan dalam kurikulum SMK sebagai pelajaran adaptif yang

diharapkan dapat membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan produktifnya dan

permasalahan sehari-hari masih belum tercapai.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat

pembelajaran kontekstual ?

Page 73: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 65

2. Apakah terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa

kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual ?

3. Apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih

baik dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah

mendapat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

2. Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa

kelompok atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.

3. Untuk mengetahui apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran

kontekstual lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran

konvensional.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran dengan

pendekatan kontekstual.

2. Ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah

dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.

3. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik

secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

II. KAJIAN TEORI

2. 1. Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2003) adalah pendekatan yang

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan

mereka sebagai anggota keluarga. Pada pembelajaran kontekstual, sesuai dengan tumbuh-

kembangnya ilmu pengetahuan, konsep dikonstruksi oleh siswa melalui proses tanya-jawab dalam

bentuk diskusi. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu

konstruksivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar

(learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan asesmen otentik (authentic

assesment). Pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan mengembangkan

ketujuh komponen utamanya sebagai langkah penerapan dalam pembelajaran (Depdiknas, 2003:

10), yaitu:

1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,

menentukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2. Melaksanakan sebisa mungkin kegiatan penemuan dalam proses pembelajarannya.

3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pertanyaan.

4. Ciptakan suasana ‗masyarakat belajar‘ dengan melakukan belajar dalam kelompok.

5. Hadirkan ‗model‘ sebagai alat bantu dan contoh dalam pembelajaran.

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaian yang sebenarnya dilakukan

dengan mempertimbangkan setiap aspek kegiatan yang dilakukan siswa selama proses

pembelajaran berlangsung.

Page 74: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

66 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2.2. Koneksi dalam Matematika

Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-konsep matematika baik

antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep

dalam bidang lainnya (Ruspiani, 2000: 68). Kuatnya koneksi antar konsep matematika berimplikasi

bahwa aspek koneksi matematis juga memuat aspek matematis lainnya atau sebaliknya.

Koneksi di dalam dan antar ide matematika menekankan kepada hubungan-hubungan matematis,

yaitu bagaimana para guru dapat membangun siswa-siswa membangun disposisi untuk

memamnfaatkan hubungan-hubungan dalam memecahkan permasalahan masalah, bukannya

memandang matematika sebagai konsep-konsep dan skill-skill tersendiri yang tidak saling

berhubungan (Wahyudin, 2008 : 535). Sebagai contoh hubungan diantara diameter dan keliling dari

suatu lingkaran bisa dipelajari secara empiris dengan mengunpulkan berbagai benda bulat dan

mengukur keliling serta diameternya. Para siswa dikelas boleh mengumpulkan data dan membuat

grafik data untuk kedua variabel tadi, yaitu keliling (k) dan diameter (d).

Koneksi dengan dunia nyata serta mata pelajaran lain keduanya termasuk koneksi di luar

matematika. Sebagai contoh, koneksi dengan kehidupan nyata yang berkaitan dengan materi luas

dan keliling bangun rata misalnya menghitung luas maupun keliling suatu kebun, bagaimana

mengukur luas tanah, ataupun luas sebuah rumah, dan hal ini merupakan aktifitas sehari-hari yang

lazim terjadi di dunia sekitar kita.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Dikarenakan kondisi lapangan yang tidak memungkinkan untuk penulis melaksanakan pretes pada

kelas kontrol, sehingga desain pada penelitian ini berubah menjadi bentuk :

O X O

---------------------

O

Keterangan :

O : Pretes dan postes (tes kemampuan koneksi matematis).

X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

---- : Subyek dipilih secara purposive berdasarkan hasil diskusi dengan pihak sekolah yang

memandang penting aplikasi matematika dalam bidang pariwisata.

3.2. Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Bandung

Kelompok Pariwisata. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X bidang keahlian

Restoran. Penentuan kelas eksperimen berdasarkan pertimbangan kelas yang tersedia yang belum

menerima materi luas dan keliling bangun datar, serta konsep aplikasi yang lebih relevan

diterapkan di kelas restoran.

3.3. Pengolahan Data

Data yang didapat dalam penelitian ini berupa tes kemampuan koneksi matematis. Untuk instrumen

tes kemampuan koneksi, pengolahan data dilakukan dengan pengujian hipotesis sebagai berikut:

1. Ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran

dengan pendekatan kontekstual.

2. Ada perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok atas, tengah, dan

bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.

3. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik

secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Page 75: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 67

Keseluruhan hipotesis diatas akan diuji dengan melihat nilai rata-rata gain ternormalisasi.

Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut:

H0 : postes-pretes = 0

H1 : postes-pretes ≠ 0

g-postes-pretes > 0

Hipotesis 1 :

H0 : tidak ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

H1 : ada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

Untuk menguji hipotesis ke-2 dilakukan analisa dengan menggunakan nilai rata-rata gain

ternormalisasi serta pengujian rerata 3 variabel.

H0 : g-atas = g-tengah = g-bawah

H1 : minimal satu pasangan tidak sama

Hipotesis 2 :

H0 : tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok

atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.

H1 : terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelompok

atas, tengah, dan bawah setelah mendapat pembelajaran kontekstual.

Untuk menguji hipotesis ke-3 dilakukan analisa dengan uji perbedaan dua rata-rata kelas

eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian dilakukan berdasarkan hipotesis statistik berikut:

H0 : eksperimen = kontrol

H1 : eksperimen ≠ kontrol

eksperimen > kontrol

Hipotesis 3 :

H0 : kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual dan

siswa yang mendapat pembelajaran konvensional sama.

H1 : kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual

lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran

konvensional.

IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis

Statistik Deskriptif Skor Pretes & Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen

Aspek Skor

Ideal

Skor Pretes Skor Postes

𝐱𝐦𝐢𝐧 𝐱𝐦𝐚𝐱 𝐱 S Asymptotic

Significance

𝐱𝐦𝐢𝐧 𝐱𝐦𝐚𝐱 𝐱 S Asymptotic

Significance

Kemampuan

Koneksi

Matematis

17 0 7

2,42

1,87 0,115 4 16

12,69

3,02 0,005 14,24% 74,65%

Dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 maka untuk skor pretes berditribusi normal sedangkan

skor pretes berdistribusi tidak normal, sehingga untuk melihat adanya peningkatan kemampuan

koneksi matematis siswa kelas eksperimen setelah pembelajaran kontekstual tidak dapat

Page 76: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

68 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

menggunakan uji-t data berpasangan, melainkan menggunakan uji non parametrik untuk menguji

perbedaan rerata.

Uji Non Parametrik untuk Perbedaan Rerata

Uji non Parametrik yang akan digunakan adalah uji non parametrik Mann-Whitney. Hasil Uji

Mann-Whitney Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ditampilkan pada tabel

berikut :

Aspek Asymptotic

significance

Taraf

Signifikansi

Kemampuan Koneksi

matematis 0 0,05

Karena nilai probalitas kemampuan ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 ini berarti 𝐻0 ditolak,

artinya ada perbedaan kemampuan koneksi matematis siswa setelah mendapat pendekatan dengan

pembelajaran kontekstual.

Aspek

Kelas Eksperiman

Rata-rata Gain

Ternormalisasi Kategori

Kemampuan

Koneksi

Matematis 0,70 Sedang

Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa

setelah diberikan pembelajaran kontesktual tidak terlalu tinggi. Peningkatan kemampuan koneksi

matematis kelas eksperimen secara rinci dapat dilihat dari skor gain ternormalisasi per butir soal

seperti yang terlihat pada Tabel berikut :

Rekapitulasi Rata-rata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Kelas Eksperimen

Nomor

Soal

Rata-rata

Skor

Pretes

Rata-rata

Skor

Postes

Rata-rata Skor

Gain

Ternormalisasi

Kategori Aspek Kemampuan

Koneksi

1 1,22 3,5 0,80 Tinggi

Menerapkan secara

matematika pada

kehidupan sehari-hari

2 0,42 2,53 0,45 Sedang

Mengenali dan

menerapkan konsep-

konsep matematika

untuk menentukan

keserupaan hubungan

dari konsep-konsep

tersebut

3 0,67 3,58 0,84 Tinggi

Menghubungkan

prosedur matematis pada

konsep dasar siswa

4 0,11 3,08 0,76 Tinggi

Menerapkan secara

matematika didalam

konteks berdasarkan

pekerjaan (karier)

Rata-rata 0,61 3,17 0,71 Tinggi Gabungan

Page 77: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 69

Dari Tabel dapat dilihat bahwa besarnya peningkatan dari rata-rata skor gain dari keempat soal tes

kemampuan koneksi matematis yang diberikan, rata-rata berada pada kategori tinggi, dimana nilai

rata-rata skor gain ternormalisasi berkisar antara 0,45 sampai dengan 0,84. Hal ini menunjukkan

bahwa kemampuan koneksi siswa setelah mendapat pembelajaran kontekstual mengalami

peningkatan yang sangat baik.

4.2. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan Tingkat Kemampuan

Aspek Kelompok

S

Skor

I

ideal

Pretes Postes

x

min

x

maks 𝒙 S xmin xmaks 𝒙 S

Kemampuan

Koneksi

Matematis

Atas

1

7

3

3

7

7 4,90 1,20 6 16 12,1 3,67

Tengah 1

1

3

3 2,06 0,68 4 15 13,13 2,85

Bawah 0

0

1

1 0,50 0,53 8 15 12,6 2,80

Untuk kemampuan koneksi matematis skor rata-rata kemampuan awal siswa kelompok atas adalah

4,90 yaitu 28,82% skor ideal, kelompok tengah 2,06 sebesar 12,12% skor ideal dan kelompok

bawah 0,50 sebesar 2,94% skor ideal. Sedangkan kemampuan koneksi matematis setelah

mendapatkan pembelajaran kontekstual untuk kelompok atas rata-ratanya bernilai 12,1 yaitu

sebesar 71,18% skor ideal, kelompok tengah 13,13 yaitu 77,24% skor ideal dan kelompok bawah

12,6 yaitu sebesar 74,12% skor ideal. Terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis sebelum

dan sesudah mendapatkan pembelajaran kontekstual yaitu untuk kelompok atas sebesar 42,36%,

kelompok tengah 65,12%, dan kelompok bawah sebesar 71,18%. Dari nilai tersebut, terlihat bahwa

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis setelah mendapatkan pembelajaran

kontekstual.

Perbedaan Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Siswa

Kelompok Atas, Tengah, dan Bawah

Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen

Aspek Kelompok Rata-rata skor Gain

ternormalisasi Kriteria

Kemampuan

Koneksi

Matematis

Atas 0,59 Sedang

Tengah 0,74 Tinggi

Bawah 0,73 Tinggi

Pada kemampuan koneksi matematis, peningkatan dengan kriteria sedang diperoleh kelompok atas,

sedangkan kelompok tengah dan kelompok bawah peningkatannya berada pada kategori tinggi.

0

5

10

15

atas tengah bawah

pretes

postes

Page 78: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

70 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Uji perbedaan rerata untuk melihat adanya perbedaan peningkatan koneksi matematis berdasarkan

tingkat kemampuan siswa menggunakan perhitungan Anova Satu Jalur oleh program SPSS secara

lengkap ditampilkan pada tabel berikut :

Perhitungan Anova Satu Jalur Kemampuan Koneksi Siswa Kelas Eksperimen

Aspek Significance Kelompok Significance

Kesimpulan uji Scheffe

Kemampuan

Koneksi

Matematis

0,204

Atas Tengah 0,243 H0 diterima

Bawah 0,352 H0 diterima

Tengah Atas 0,243 H0 diterima

Bawah 0,996 H0 diterima

Bawah Atas 0,352 H0 diterima

Tengah 0,996 H0 diterima

Dari Tabel terlihat bahwa kolom signifikansi kemampuan koneksi matematis seluruh kelompok

menunjukkan skor masing-masing 0,204. Karena taraf signifikansi yang digunakan adalah 𝛼 = 0,05 dan probabilitasnya lebih besar dari taraf signifikansi, maka 𝐻0 diterima.

Selanjutnya untuk melihat adanya perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis

berdasarkan tingkat kemampuan siswa digunakan uji Scheffe. Untuk kemampuan koneksi

matematis, kelompok atas-tengah memiliki probabilitas 0,243; kelompok atas-bawah 0,352 dan

kelompok tengah-bawah probabilitas 0,996. Masing-masing kelompok untuk kemampuan koneksi

matematis memiliki probabilitas lebih besar dari taraf signifikasi 0,05. Ini berarti 𝐻0 diterima,

artinya tidak ada perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan tingkat

kemampuan setelah siswa mendapat pembelajaran kontekstual.

4.3. Hasil Pengolahan Data Kemampuan Koneksi Matematis Siswa kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol

Karena desain yang digunakan adalah ‖Perbandingan Kelompok Statik‖, maka kemampuan awal

siswa kelas eksprimen maupun kelas kontrol diasumsikan sama. Asumsi tersebut berdasarkan

kepada skor pretes kelas eksperimen dan nilai rata-rata harian kelas kontrol.

Skor Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Aspek Skor

Ideal

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

xmin xmaks 𝒙 s xmin xmaks x S

Kemampuan

Pemahaman

Matematis

20 4 20 15,44 2,43 4 17 10,55 3,69

Kemampuan

Koneksi

Matematis

17 4 16 12,54 3,04 4 13 9,88 2,13

Dari Tabel diatas diketahui bahwa kemampuan koneksi matematis, skor rata-rata siswa kelas

eksperimen adalah 12,54 yaitu sebesar 73,77% skor ideal sedangkan kelas kontrol adalah 9,88 yaitu

sebesar 58,12% skor ideal.

Hasil perhitungan uji normalitas postes kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan

kelas kontrol ditampilkan dalam Tabel berikut ini

Page 79: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 71

Hasil Uji Normalitas Postes Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Aspek

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Asymptotic

significance

Taraf

Signifikansi Kesimpulan

Asymptotic

significance

Taraf

Signifikansi Kesimpulan

Kemampuan

Koneksi

Matematis

0,005 0,05 Tidak

Normal 0,180 0,05 Normal

Dengan demikian, karena terdapat kemampuan yang tidak berdistribusi normal, maka pengujian

perbedaan dua rata-rata kemampuan koneksi matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol

menggunakan uji non parametrik.

Uji Perbedaan Rerata Kemampuan Koneksi Matematis antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Uji perbedaan rerata kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol

adalah uji non parametrik yaitu uji U dari Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney dilakukan

menggunakan program SPSS dengan hasil perhitungan sebagai berikut :

Aspek Asymptotic

significance

Taraf

Signifikansi

Kemampuan

Koneksi

Matematis

0,0 0,05

Dari hasil uji Mann-Whitney, untuk kemampuan koneksi matematis kolom Asymptotic significance

dua sisi menunjukkan nilai 0,0 ini berarti 𝐻0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan kemampuan

koneksi matematis yang cukup signifikan antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan data dan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan pembelajaran kontekstual

mengalami peningkatan kemampuan koneksi matematis, yaitu secara rata-rata peningkatannya

sekitar 60,41% dan peningkatan tersebut didominasi oleh soal-soal yang penerapan

matematika pada kehidupan sehari-hari ataupun pada konteks berdasarkan pekerjaan atau

karir.

2. Terdapat perbedaan rerata peningkatan kemampuan koneksi matematis yang tidak signifikan

pada siswa kelompok atas, tengah, dan bawah setelah memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan kontekstual, dikarenakan antara kelompok atas, tengah, dan bawah peningkatan

berkisar antara sedang dan tinggi.

3. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual lebih baik

secara signifikan dibandingkan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Hal ini

membuktikan bahwasanya pendekatan pembelajaran secara kontekstual telah membuat siswa

merasa ―mengalami‖ sendiri pengetahuannya bukan hanya ―mengetahui‖ dan hal tersebut

otomatis membuat siswa menjadi lebih baik kemampuannya terutama kemampuan koneksi

matematisnya.

Page 80: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

72 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, M. 2007. Memahami Matematika SMK 2. Armico: Bandung.

-----------------. Dukungan Media Pembelajaran Matematika Berbasis TIK Untuk Peningkatan Pemahaman

Konsep Keliling dan Luas Segi Empat.

Tersedia Online :

Http://4riif.wordpress.com/2008/07/10/proposal-penelitian-dukungan-media-pembelajaran-matematika-

berbasis-tik-untuk-peningkatan

Departemen Pendidikan Nasional. Pembelajaran Berbasis Kontekstual 1. Sosialisasi KTSP.

Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis

Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.

Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Lesson from Research and Practise. Second Edition.

Australia : Social Science Press.

Krismanto, A. (2003). Beberapa Tehnik, Model, dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah.

PPPG Matematika Yogyakarta.

Kurniawan, R. (2007). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Koneksi

Matematik Siswa SMK. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika:

Yogyakarta.

Laily, A. H. (2007). Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa

Mengaplikasikan Konsep Matematika. Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.

New Jersey State Board of Education. (1996). The New Jersey Mathematics Curriculum Framework was

developed to provide information, guidance, and assistance to teachers and curriculum

developers in implementing the mathematics standars.

Tersedia online :

Http://dimacs.rutgers.edu/nj_math_coalition/framework/acrobat/chap01-4.pdf. Diakses pada tanggal 21

Maret 2009.

Nugroho, S. Statistik Non Parametrik. Makalah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Dinas Pendidikan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Dinas

Pendidikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Ruseffendi, H. E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non eksaksta Lainnya.

Semarang : UNNES Press.

Rusgianto. (2002). Contextual Teaching and Learning. Disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika 3

November 2002. FMIPA UNY: tidak diterbitkan.

-----------------------. Statistik Uji Non Parametrik Uji Data Dua Sampel Independent. Makalah.

Siegel, S. dkk. (2000). Tata Hidangan dan Minuman untuk edisi Indonesia. S. Trauner : Austria.

Stewart, J. Correcting The Normalized Gain. University of Arkansas.

Sudjiono, A. (1998). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada.

Suhendar. (2007). Meningkatkan Komunikasi dan Koneksi Matematis siswa SMP yang berkemampuan

Rendah melalui Pendekatan Kontekstual dengan Pemberian Tugas Tambahan. Tesis UPI

Bandung. Tidak dipublikasikan.

Suherman, E. dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. FMIPA-JICA UPI Bandung :

Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. & Permana, Y. 2007. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi matematik Siswa

SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal. EDUCATIONIST.

Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Tidak Dipublikasikan.

---------------------------------. What is contextual teaching and learning?. TeachNET.

Tersedia Online :

http://www.cew.wisc.edu/teachnet/ctl/ diakses pada tanggal 5 Juni 2009.

Van de Wall, J., A. (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Edisi

Keenam. Jakarta : Erlangga.

Page 81: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 73

KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH

MELALUI KOLABORASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

DENGAN JIGSAW II PADA

SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

Oleh : Rudy Kurniawan

Dosen Tetap STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Penelitian eksperimen ini berupaya mengungkap perbedaan kemampuan pemahaman matematis (KPM) dan

kemampuan pemecahan masalah matematis (KPMM) siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan

kolaborasi pendekatan kontekstual dan jigsaw II (CTLJ), siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan

kontekstual (CTL) dan siswa yang pembelajarannya secara konvensioanl (PK). Populasi penelitian ini adalah

seluruh siswa SMK kelompok teknologi se-kabupaten Majalengka, dengan sampel yang dipilih secara acak

kelas. Instrumen yang digunakan adalah tes pengetahuan awal matematis (PAM), tes KPM, tes KPMM,

sedangkan analisis data menggunakan uji Anova 1 jalur dan Anova 2 jalur. Kesimpulan hasil penelitian

secara keseluruhan adalah: (1) KPM dan KPMM siswa kelompok CTLJ dan CTL secara signifikan lebih baik

dari pada siswa kelompok PK; (2) Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM ataupun level

sekolah terhadap kemampuan KPM siswa; (3) Terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM ataupun

level sekolah terhadap KPMM siswa.

Kata Kunci: Kemampuan pemahaman matematis dan pemecahan masalah matematis serta pendekatan

kontekstual dan metode jigsaw II.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang baik dan tepat dipandang sebagai aset sektor yang strategis dalam mempersiapkan

SDM yang berbudi pekerti luhur dan mumpuni dalam menyelesaikan setiap permasalahan, harus

benar-benar ditangani secara profesional. Dengan demikian, usaha-usaha yang intensif dalam

meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan sudah selayaknya lebih diperhatikan, karena

melalui pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon

SDM yang handal untuk dapat bersikap dan berprilaku kritis, kreatif, logis dan inovatif dalam

menghadapi serta menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut senada dengan pendapat

Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa hasil dari pendidikan matematika yaitu siswa

berpeluang memiliki kepribadian yang kreatif, kritis, berpikir ilmiah, jujur, hemat, disiplin, tekun,

berprikemanusiaan, mempunyai perasaan keadilan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan

bangsa dan negara.

Oleh karena itu salah satu tujuan pembelajaran matematika tingkat SMK kelompok teknologi

(Depdiknas: 2008) untuk mencetak SDM yang handal adalah:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan

konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model

matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

Dengan demikian, salah satu tujuan yang harus menjadi prioritas dalam pembelajaran matematika

adalah kemampuan pemahaman matematis (KPM) dan pemecahan masalah matematis (KPMM).

Namun berdasarkan kenyataan di lapangan pendidikan menunjukkan indikasi yang berbeda, guru

terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, sehingga KPM dan KPMM belum dapat

diperoleh sebagaimana mestinya. Hal tersebut, didukung fakta belum memuaskannya KPM terlihat

dalam nilai rata-rata matematika siswa SMK pada Ujian Nasional lima tahun terakhir, relatif

merupakan nilai terendah dari semua mata pelajaran yang diujiankan (Depdiknas, 2008),

sedangkan rendahnya KPMM siswa terlihat juga dari rendahnya prestasi kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa di ajang Program for International Student Assesment (PISA) tahun 2003

bahwa Indonesia masih berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Syaban,

2008).

Page 82: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

74 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Salah satu pembelajaran yang diduga berpeluang untuk mencapai KPM dan KPMM adalah

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

(Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai

dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada

kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam

konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Menurut Berns dan Ericson (2001), pembelajaran dengan

pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru

menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat

koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai

anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja

keras dalam menerapkan hasil belajarnya.

Salah satu kekuatan CTL yaitu pada awal pembelajarannya siswa diberi permasalahan-

permasalahan situasional yang dikemas dalam bentuk basis-basis konteks permasalahan yang

berkaitan dengan konsep matematika, ilmu pengetahuan lain atau kehidupan nyata, dimana cara

penyelesaiannya dapat dilakukan secara mandiri atau melalui diskusi, sharing idea dengan teman,

melakukan ekplorasi, investigasi serta pemecahan masalah yang dapat melibatkan bukan saja satu

bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin bidang studi lain, sehingga proses kegiatan tersebut

akan merangsang siswa menggunakan segala kemampuannya dalam mengkonstruksi pengetahuan

untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagaimana Sabandar (2006) menyatakan bahwa situasi

pemecahan masalah merupakan tahapan dimana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah

ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih

mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang berpeluang memaksa siswa

untuk berpikir matematis. Berpikir matematis tersebut diantaranya yaitu kemampuan pemahaman

dan pemecahan masalah matematis.

Seting pembelajaran kontekstual melalui diskusi kelompok dapat dikolaborasikan dengan metode

jigsaw II (CTLJ). Dengan kolaborasi metode pembelajaran jigsaw II, selain siswa mempunyai

kelebihan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk memahamai spesialisasi

tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi

atau mempelajari suatu materi pelajaran lebih dari dua kali. Dengan demikian, pembelajaran

dengan kolaborasi pendekatan kontekstual dan jigsaw II, selain siswa digiring menuju

pengkontruksian pengetahuannnya dengan permasalahan-permasalahan kontekstual, juga mereka

dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan dan menyampaikan suatu

materi/permasalahan hasil diskusi di kelompok ahli pada teman-teman anggota kelompok asalnya.

Penelitian dengan subjek populasi siswa SMK, khususnya pada SMK kelompok teknologi harus

segera dilaksanakan, hal tersebut karena berdasarkan pada program pemerintah bidang

kependidikan yang akan membuka sekolah kejuruan, sehingga prosentase antara sekolah kejuruan

dan sekolah umum adalah 70% berbanding 30%. Bahkan menurut Sabandar (Kurniawan, 2006)

penelitian dengan subjek siswa-siswa SMK perlu segera dilakukan, karena penelitian-penelitian

pada sekolah kejuruan masih sedikit, yaitu sekitar 5% dari penelitian-penelitian yang sudah

dilakukan mahasiswa. Oleh karena itu maka penulis termotivasi untuk meneliti tentang kemampuan

pemahaman dan pemecahan masalah matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan

kontekstual dan implementasinya pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan dan batasan masalah yang

diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada perbedaan KPM atau KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ, CTL dan PK

ditinjau dari siswa secara keseluruhan?

2. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan PAM terhadap KPM atau KPMM

siswa secara keseluruhan?

3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah terhadap KPM atau

KPMM siswa secara keseluruhan?

Page 83: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 75

Setting Pembelajaran dengan Kolaborasi Pendekatan Kontekstual dan Metode Jigsaw II

Slavin (2008) menggambarkan pembelajaran dengan metode jigsaw II adalah pembelajaran dalam

sebuah tim yang heterogen sebagaimana pembelajaran kooperatif yang biasa. Namun saat

pembelajaran dengan menggunakan metode jigsaw II, para siswa diberi tugas untuk membaca dan

mempelajari beberapa bab atau unit yang berisi suatu ‘lembar ahli‘. Suatu ‘lembar ahli‘ berisi suatu

materi yang terdiri atas topik-topik berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing

anggota tim saat mereka membaca dan mempelajari materi yang diberikan. Setelah semua siswa

selesai membaca dan mempelajari materi yang diberikan, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang

mempunyai fokus topik materi yang sama bertemu dalam ‘kelompok ahli‘ untuk mendiskusikannya

sekitar 30 menit. Para ahli tersebut kemudian kembali pada tim mereka masing-masing dan secara

bergantian mengajari dan sharing dengan teman satu timnya mengenai topik mereka. Sebagai

langkah terakhir, para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan

menjadi skor tim, artinya setiap perolehan nilai/skor kuis dari masing-masing anggota tim

berkontribusi pada perolehan skor timnya secara keseluruhan. Para siswa yang memperoleh skor

tim yang tertinggi akan memperoleh suatu penghargaan berupa penghargaan/sertifikat ataupun

bentuk-bentuk rekognisi yang lainnya.

Dengan memperhatikan penjelasan pembelajaran tersebut di atas, maka setting pembelajaran CTLJ

pada penelitian ini adalah :

1. Saat pembelajaran dimulai, guru memberikan apersepsi dan motivasi tentang materi yang akan

diberikan. Siswa duduk sesuai dengan teman sebangkunya.

2. Saat kegiatan inti pembelajaran, siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan

kemampuan yang heterogen. Tidak ada siswa yang duduk membelakangi papan tulis.

3. Kelompok siswa diberikan permasalahan dalam bentuk kontekstual atau yang disimulasikan.

Permasalahan dipilih yang menantang siswa untuk mencari solusinya, dalam bentuk LKS.

4. Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkonstruksi, asimilasi serta akomodasi

pengintegrasian pengetahuan yang ia miliki dalam menyelesaikan/mempelajari semua

permasalahan yang dihadapi dengan kelompok asalnya.

5. Siswa berdiskusi tentang satu segmen permasalahan dengan kelompok/tim ahlinya masing-

masing.

6. Setelah tim ahli mempelajari dan berdiskusi pada segmennya masing-masing, maka setiap

anggota dalam tim ahli kembali pada kelompok jigsaw asalnya masing-masing.

7. Setiap siswa mempresentasikan hasil diskusi di kelompok ahli pada kelompok jigsawnya

masing-masing.

8. Guru hendaknya berkeliling kelas, guru menjadi fasilitator, motivator, dan negoisator, serta

memperhatikan setiap kelompok jigsaw dan memberikan bantuan seperlunya pada kelompok

yang bermasalah.

9. Setelah diskusi pada kelompok asal jigsaw selesai, guru mengadakan kuis. Setiap siswa

mengerjakan soal kuis secara mandiri.

10. Pada akhir kegiatan dilakukan refleksi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa

dibimbing agar mampu menyimpulkan hasil pembelajaran, kemudian siswa diberi pekerjaan

rumah berupa soal-soal latihan atau mempelajari materi yang akan datang.

Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis

Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika siswa memahami sesuatu objek matematika maka ia

mampu mengkontruksi dan mengkomunikasikan pesan-pesan intruksional tentang objek

matematika dengan kata-kata, tulisan atau grafik. Dari pengertian tersebut ada enam indikator KPM

yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu menginterpretasikan, memberikan contoh,

mengklasifikasikan, merangkum, membandingkan dan menjelaskan.

Sumarmo (2004) menjelaskan pemecahan masalah sebagai kemampuan adalah suatu kemampuan

mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan,

merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk

Page 84: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

76 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika,

menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model

matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara

bermakna (meaningful).

Metode

Penelitian eksperimen ini menggunakan teknik analisis data yang diolah secara kuantitatif. Tiga

kelompok siswa dipilih secara acak kelas, yaitu kelompok eksperimen-1 memperoleh perlakuan

berupa pembelajaran CTLJ, kelompok eksperimen-2 memperoleh perlakuan pembelajaran CTL

dan kelompok kontrol menggunakan PK. Sebelum perlakuan, kedua kelompok diberi tes PAM, dan

setelah perlakuan diadakan postes.

Disain penelitian ini adalah:

A X1 O

A X2 O

A O

Keterangan: A = Pengambilan sampel secara acak

O = Postes kompetensi Bilangan Real dan Program Linier

X1 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTLJ

X2 = Perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan CTL

Populasi dan Sampel

Populasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK kelompok teknologi se-

Kabupaten Majalengka. Pemilihan subyek sekolah diambil secara purposive sampling untuk

memilih satu sekolah level atas (SA) dan satu sekolah level tengah (ST). Level SA adalah SMKN 1

Panyingkiran, dan level ST adalah SMK PUI Majalengka. Selanjutnya dari tiap level sekolah

dipilih sampel secara acak kelas sebanyak tiga kelas. Jumlah sampel penelitian yang terlibat adalah

201 siswa.

Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa

tes PAM, Tes KPM dan tes KPMM. Untuk patokan kegiatan pembelajaran dibuat rencana

pembelajaran dengan pendekatan CTLJ dan CTL serta bahan ajar yang disertai soal-soal yang

berpeluang menumbuhkan kemampuan pemahaman, pemecahan masalah dan disposisi matematis.

1. Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)

Tes pengetahuan awal adalah tes yang memuat soal-soal yang dapat menunjang pemahaman dan

pemecahan masalah dari konsep materi Bilangan Real dan Program Linier. Tes PAM berbentuk

uraian sebanyak 15 buah soal. Sebelum digunakan pada subyek penelitian, tes PAM divalidasi

terlebih dahulu secara logis.

2. Tes KPM dan Tes KPMM

Tes KPM dan tes KPMM berupa uraian sebanyak 9 buah soal, sedangkan skor rubrik jawabannya

disesuaikan dari skala Evaluating Problem Solving in Mathematics (Chicago Public Schools

Bureau of Student Assesment: 2009), namun sebelum digunakan instrumen tes divalidasi secara

logis dan empirik.

Pengembangan Bahan Ajar dan Validasinya

Pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS). Penyusunan

LKS mempertimbangkan tugas, partisipasi, dan motivasi siswa yang dirancang dalam pembelajaran

dengan pendekatan kontekstual sesuai materi ajar yang akan diteliti. Validasi LKS dilakukan secara

logis oleh pakar pendidikan.

Page 85: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 77

Teknik Pengolahan Data

Seluruh perhitungan statistik menggunakan SPSS-16, dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis

pengolahan data rerata kemampuan PAM, KPM dan KPMM menggunakan uji Anova satu jalur,

Anova dua jalur. Namun sebelumnya, normalitas data diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov-

Smirnov Z (K-S-Z) dan homogenitas data diuji dengan menggunakan uji Levene.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Analisis Kemampuan Pengetahuan Awal Matematis

Tujuan tes kemampuan PAM adalah untuk mengetahui pengetahuan awal siswa sebelum proses

pembelajaran berlangsung dan untuk mengetahui kesetaraan sampel penelitian serta menentukan

peringkat siswa (tinggi, sedang dan rendah).

Berdasarkan hasil analisis uji Anova 1 jalur terhadap rerata skor tes PAM siswa yang mendapatkan

CTLJ, CTL dan PK siswa ST, SA dan keseluruhan, ternyata semua kelompok pembelajaran

memiliki kemampuan PAM yang setara. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan matematis

seluruh kelompok pembelajaran berasal dari kelompok yang sama.

2. Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis

Deskripsi statistik rerata KPM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah disajikan

sesuai Tabel 1. Dari tabel tersebut memberikan gambaran bahwa rerata KPM kelompok siswa

peringkat tinggi dari setiap pembelajaran (CTLJ, CTL, PK) lebih besar dibandingkan dengan

kelompok sedang dan rendah, serta rerata KPM kelompok siswa peringkat sedang dari setiap

pembelajaran lebih besar dibandingkan dengan kelompok rendah.

Tabel 1

Deskripsi Statistik Rerata KPM dan KPMM

Level

Sekolah PAM

CTLJ CTL PK

Postes n

Postes n

Postes n

KPM KPMM KPM KPMM KPM KPMM

Atas

(SA)

Tinggi 52,923 58,000 13 53,667 53,444 9 40,600 43,000 10

Sedang 45,200 46,800 15 39,190 42,286 21 31,471 41,176 17

Rendah 38,833 40,917 12 35,625 39,250 8 25,250 33,750 12

Total 45,800 48,675 40 41,868 44,290 38 31,897 39,359 39

Tengah

(ST)

Tinggi 40,220 35,560 9 46,830 42,670 6 33,750 32,620 8

Sedang 39,450 33,090 11 39,240 37,410 17 31,700 35,200 10

Rendah 37,430 35,140 7 39,500 38,170 6 31,800 33,800 10

Total 39,185 34,440 27 40,862 38,660 29 32,320 33,964 28

SA+ ST

Tinggi 51,313 56,190 16 49,600 49,130 15 35,920 41,292 24

Sedang 41,971 39,030 35 39,889 40,810 36 31,650 36,450 20

Rendah 37,500 38,250 16 37,250 37,380 16 28,430 33,304 23

Total 43,134 42,940 67 41,433 41,850 67 32,070 37,104 67

Keterangan: Skor maksimum tes KPM adalah 70 dan skor maksimum tes KPMM adalah 90

Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM

terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 2.

Page 86: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

78 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 2

Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPM Siswa

Source Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Pembelajaran 1531,389 2 765,694 19,209 0,000

PAM 3671,832 2 1835,916 46,058 0,000

Interaksi 239,374 4 59,843 1,501 0,203

Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ, CTL dan PK) dan faktor PAM

memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai

signifikansinya (0,000) lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya

(0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara

pembelajaran dengan PAM terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.

Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPM disajikan pada

Gambar.1.

Gambar 1. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan PAM

dalam Pencapaian KPM Siswa Secara Keseluruhan

Pada Gambar 1 tampak bahwa ditinjau berdasarkan PAM siswa ternyata rerata KPM seluruh

kelompok siswa yang mendapatkan CTLJ dan CTL lebih besar dari pada PK. Artinya secara

keseluruhan pembelajaran berbasis kontektual dapat diterapkan pada semua siswa.

Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan level sekolah

terhadap KPM siswa, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3

Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah terhadap KPM Siswa

Source Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Pembelajaran 1244,261 2 622,130 11,882 0,000

Level Sekolah 919,766 1 919,766 17,566 0,000

Interaksi 284,312 2 142,156 2,715 0,069

Tabel 3. menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor level sekolah memberikan perbedaan

yang signifikan terhadap KPM siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansinya (0,000)

lebih kecil dari 0,05. Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari

0,05, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM

terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.

Page 87: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 79

Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan

pada Gambar.2.

Gambar 2. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis

Dari gambar 2, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam mencapai KPM,

sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua pembelajaran yang

lainnya.

3. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Deskripsi statistik rerata KPMM siswa dari setiap pembelajaran berdasarkan level sekolah

disajikan sesuai Tabel 1 (hal.9). Tabel tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan masing-masing

peringkat siswa, ternyata rerata KPMM siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih tinggi dari

pada kelompok PK.

Deskripsi hasil uji Anova dua jalur untuk mengetahui interaksi pembelajaran dengan PAM

terhadap KPMM siswa, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran dan faktor PAM memberikan perbedaan yang

signifikan terhadap peningkatan KPMM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikan sebesar 0,000

lebih kecil dari 0,05. Selain itu, berdasarkan nilai probabilitas interaksi (0,002) lebih kecil dari

0,05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap

pencapaian KPMM.

Tabel 4

Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan PAM terhadap KPMM Siswa

Source Sum of

Squares Df

Mean

Square F Sig.

Pembelajaran 5690,814 2 2845,407 49,523 0,000

PAM 4710,517 2 2355,258 40,992 0,000

Interaksi 1027,050 4 256,763 4,469 0,002

Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan PAM terhadap KPMM disajikan pada

Gambar 3.

Atas Tengah

Page 88: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

80 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Gambar 3. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan PAM

dalam Pencapaian KPMM Siswa Secara Keseluruhan

Pada Gambar 3, ditinjau dari PAM siswa ternyata tampak bahwa rerata KPMM seluruh kelompok

siswa yang mendapatkan CTLJ atau CTL lebih besar dari pada PK.

Deskripsi hasil analisis uji Anova dua jalur interaksi pembelajaran dengan level sekolah terhadap

KPMM siswa, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5

Hasil Uji Anova Dua Jalur Interaksi Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap KPMM Siswa secara Keseluruhan

Source Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Pembelajaran 3844,464 2 1922,232 29,386 0,000

Level Sekolah 2051,932 1 2051,932 31,369 0,000

Interaksi 1756,898 2 878,449 13,429 0,000

Dari Tabel 5 tersebut tampak bahwa nilai signifikansi faktor pembelajaran, faktor level sekolah

maupun faktor interaksi (0,000) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

dan level sekolah membawa dampak perbedaan terhadap KPMM siswa, selain itu terdapat interaksi

antara kedua faktor tersebut terhadap KPMM siswa secara keseluruhan.

Secara grafis, gambaran interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap KPMM disajikan

pada Gambar 4.

Gambar 4. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Atas Tengah

Page 89: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 81

PEMBAHASAN

Hasil Anova dua jalur seperti tersaji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor pembelajaran (CTLJ,

CTL dan PK) dan faktor PAM memberikan perbedaan yang signifikan terhadap KPM siswa.

Namun berdasarkan nilai probabilitas interaksinya (0,203) lebih besar dari 0,05, hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap

kemampuan pemahaman matematis siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat

diterapkan pada semua jenjang PAM siswa dalam mencapai KPM.

Tabel 3. menunjukkan bahwa nilai probabilitas interaksinya (0,069) lebih besar dari 0,05, hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap KPM

siswa. Artinya bahwa pembelajaran CTLJ dan CTL dapat diterapkan pada siswa di semua level

sekolah. Selain itu, untuk siswa level SA dan secara keseluruhan CTLJ lebih baik daripada CTL

maupun PK, namun untuk level ST ternyata CTL lebih baik daripada CTLJ ataupun PK. Hal ini

sesuai dengan pendapat Kurniawan (2006) bahwa CTL lebih cocok dilakukan pada siswa dengan

kemampuan sedang dan rendah dibandingkan siswa kelompok tinggi, karena pada sebagian siswa

kelompok tinggi bila pengkonstruksian konsep selalu menggunakan basis-basis masalah

kontekstual dapat membuat mereka bosan.

Berdasarkan hasil uji Anova dua jalur pada Tabel 4, diketahui bahwa terdapat interaksi antara

pembelajaran dengan PAM terhadap pencapaian KPMM, tetapi karena nilai Fhitung untuk faktor

pembelajaran lebih besar dari pada Fhitung faktor PAM, artinya bahwa pembelajaran CTLJ atau CTL

lebih dominan terhadap KPMM siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Johson (Kurniawan, 2006)

yang menyatakan bahwa orang yang sering mendapat stimulus respon saat pembelajarannya maka

akan berpeluang lebih besar dalam meningkatkan kemampuan matematisnya.

Selain itu dari gambar 4, terlihat bahwa pada level ST pembelajaran CTL lebih baik dalam

mencapai KPMM, sedangkan pada level SA CTLJ lebih baik dilakukan dibandingkan kedua

pembelajaran yang lainnya. Dengan demikian, berdasarkan Level sekolah secara keseluruhan maka

CTLJ dan CTL lebih baik dari pada PK. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmo (2005:3) bahwa

pembelajaran matematika untuk berpikir kreatif dan berpikir tinggkat tinggi dapat dilakukan

melalui belajar dalam kelompok kecil, menyajikan tugas non rutin dan tugas yang menuntut

strategi kognitif dan metakognitif peserta didik serta menerapkan pendekatan scaffolding.

KESIMPULAN

Pembelajaran CTLJ dan CTL secara signifikan lebih baik dalam mencapai kemampuan

pemahaman ataupun kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional.

Tidak terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan

pemahaman matematis, hal ini menunjukan bahwa untuk mencapai KPM maka pembelajaran CTLJ

ataupun CTL dapat diterapkan untuk seluruh siswa ataupun seluruh level sekolah.

Terdapat interaksi pembelajaran dengan PAM siswa atau level sekolah terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematis. Artinya, untuk mencapai KPMM maka penerapan pembelajaran

CTLJ ataupun CTL perlu memperhatikan PAM siswa ataupun level sekolah. Walaupun demikian

faktor pembelajaran lebih dominan dalam pencapaian KPMM.

SARAN

Mengingat bahwa sekolah kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menerapkan

semua pengetahuan yang didapat dari sekolah pada kehidupan nyata sehingga siswa akan siap

bekerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, maka pembelajaran CTLJ ataupun CTL sangatlah

potensial untuk segera diimplementasikan di lapangan.

Page 90: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

82 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Agar dapat mencapai hasil yang maksimal, maka penerapan pembelajaran CTLJ atau CTL perlu

mempersiapkan PAM siswa, serta kerangka teoritik model pembelajaran berbasis kontesktual yang

sudah ada. Selain itu, agar siswa tidak merasa bosan hendaknya guru dalam pelaksanaan

pembelajarannya dapat mengkombinasikan pembelajaran CTLJ, CTL maupun PK.

Untuk para pengambil kebijakan pendidikan, kiranya pembelajaran CTLJ ataupun CTL menjadi

salah satu alternatif model pembelajaran matematika di SMK yang ditindak lanjuti dengan

pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang pembelajaran ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson dan Krathwohl (2001). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of

Bloom‟s Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme.

Tersedia: http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008)

Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone :

Research a Work No. 5 (Online) Available: http:

//www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.

Chicago Public Schools Bureau of Student Assesment (2009). Analytical Scale for Problem

Solving. Tersedia: http://intranet.cps.kl2.il.us/ Assesment/Ideas and Rubrics/Rubrics

Bank/Math Rubrics.pdf. (1 April 2009).

Departemen Pendidikan Nasional (2008). KTSP SMK Edisi 2008. Jakarta : Dirjen Dikmenjur

Kurniawan, R (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan

Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis. Bandung: UPI. Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.

Sumarmo (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Makalah. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Makalah Disajikan Pada

Pertemuan MGMP Matematika SMP Tasikmalaya.

Sumarmo, U (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU

serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan

Penelitian. Bandung: Lemlit UPI. Tidak diterbitkan.

Syaban, M (2008). Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah

Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi. Desertasi. Bandung: UPI. Tidak

diterbitkan.

Sabandar, J (2006). ―Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Kemampuan Berpikir Kritis dan

Kreatif dalam Pembelajaran Matematika‖. Artikel Ilmiah. Bandung: UPI. Jurnal

Pendidikan No 2 Thn XXV 2006.

Slavin, R.E (2008). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Page 91: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 83

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN

MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

Oleh : Masta Hutajulu

Program Studi Pendidikan Matematika – MIPA

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman dan penalaran dan peningkatan

kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa SMA khususnya siswa SMA Negeri 15 Bandung.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan instrumen penelitian yang digunakan adalah tes

kemampuan pemahaman dan penalaran matematik, bahan ajar berupa LKS dan non-tes (yang terdiri dari

skala sikap siswa dan lembar observasi). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1) Peningkatan

kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran

inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik di kelompok kelas inkuiri terbimbing

atau konvensional) berada dalam kategori sedang dan terdapat perbedaan kemampuan pemahaman

berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok

kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional; 2) Peningkatan kemampuan penalaran matematik

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan

siswa yang memperoleh dengan model konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut (baik

di kelompok kelas inkuiri terbimbing atau konvensional) berada dalam kategori sedang dan terdapat

perbedaan kemampuan penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas,

tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional; 3) Secara

umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing memiliki sikap yang positif

terhadap pembelajaran yang menggunakan model konvensional.

Kata Kunci: Pembelajaran Model Inkuiri Terbimbing, Pemahaman dan Penalaran Matematik

I. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan

berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Sehingga matematika mempunyai peran

penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia untuk menguasai dan

menciptakan teknologi di masa depan. Sumarmo (2005) mengemukakan bahwa pendidikan

matematika hakikatnya mempunyai dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan

masa kini dan kebutuhan masa yang akan datang. Kebutuhan masa kini yang dimaksud yaitu

mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep dan ide matematika yang

kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan masa yang akan datang adalah pembelajaran

matematika memberikan kemampuan menalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat,

menumbuhkan rasa percaya diri, dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, serta

mengembangkan sikap objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan

yang senantiasa berubah.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum

siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan

peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang dimiliki, percaya

pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3)

menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam

memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang

simbol, lambang dan kaidah matematik, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat

konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematik.

Page 92: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

84 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tujuan tersebut menunjukkan betapa pentingnya belajar matematika, karena dengan belajar

matematika sejumlah kemampuan dan keterampilan tertentu berguna tidak hanya saat belajar

matematika namun dapat diaplikasikan dalam memecahkan berbagai masalah sehari-hari. Menurut

Wahyudin (2008:392) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti

mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut pemahaman dan apresiasi yang

signifikan terhadap matematika. Kita akan mengalami kesukaran, jika memang bisa mustahil,

untuk bisa berhasil dalam dunia nyata, tanpa memiliki pengetahuan, skills, dan aplikasi matematika

yang perlu.

Uraian di atas menggambarkan pentingnya usaha mengembangkan dan meningkatkan kemampuan

pemahaman konsep dan penalaran matematik siswa. Kemampuan pemahaman dan penalaran

matematik membantu siswa senantiasa berpikir secara sistematis, mampu menyelesaikan masalah

matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mampu menerapkan matematika pada displin ilmu

lain serta mampu meminimalisir gejala-gejala pada siswa yang dapat membuat kemampuan

matematikanya rendah.

Menyadari keadaan tersebut maka menggali dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan

penalaran matematik siswa perlu mendapat perhatian guru dalam pembelajaran matematika. Siswa

mestinya mendapat kesempatan yang banyak untuk menggunakan pemahaman dan kemampuan

bernalarnya, berlatih, merumuskan, berkecipung dalam memecahkan masalah yang kompleks yang

menuntut usaha-usaha yang sangat besar dan kemudian didorong untuk merefleksi pada pemikiran

mereka.

Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengembangan dua aspek kemampuan

pemahaman dan penalaran matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan metode inkuiri

terbimbing. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kemampuan pemahaman

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kemampuan pemahaman

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

3. Bagaimanakah peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa apabila ditinjau

berdasarkan model pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok

atas, tengah dan bawah)?

4. Bagaimanakah peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa apabila ditinjau

berdasarkan model pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok

atas, tengah dan bawah)?

5. Bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran matematika, terhadap diskusi kelompok, dan

pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing?

Hipotesis Penelitian

1. Kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada kemampuan

pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model

pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada kemampuan penalaran

matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3. Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa

berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah).

Page 93: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 85

4. Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa

berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah).

II. METODOLOGI

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian semu (quasi eksperimen).

Desain penelitian ini digunakan karena penelitian ini menggunakan kelompok kontrol,

adanya dua perlakuan yang berbeda. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu sebelum proses

pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes.

Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pendekatan inkuiri terbimbing

terhadap kemampuan pemahaman dan penalaran matematik dan sikap positif siswa

terhadap matematika, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan siswa

(tinggi, sedang dan rendah).

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di SMA Negeri 15 Bandung tahun

ajaran 2009-2010 yang terdiri dari 9 kelas. Sedangkan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 2 kelas atau 70 siswa. Dan yang menjadi kelas eksperimen adalah

kelas X6 dan kelas kontrol kelas X7.

Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes tulis

dalam bentuk uraian dan non tes dalam bentuk angket (skala sikap). Perangkat

pembelajaran yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

Teknik analisis data yang diguanakan teknik analisis data kuantitatif berupa hasil tes

kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa, dan data kualitatif berupa hasil

observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru berkaitan dengan pandangan guru

terhadap pembelajaran yang dikembangkan. Uji yang digunakan adalah uji perbedaan rata-

rata, yang kemudian dilanjutkan dengan anova dua jalur.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian.

1. Deskripsi Kemampuan Pemahaman dan Penalaran matematik

Deskripsi kemampuan pemahaman dan penalaran matematik merupakan gambaran

peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran siswa baik secara keseluruhan

maupun berdasarakan jenis model pembelajaran (model pembelajaran inkuiri terbimbing

dan konvensional) yang digunakan dan klasifikasi kemampuan awal matematika

(kelompok atas, menengah dan bawah). Deskripsi statistika yang dimaksud meliputi rerata,

standar deviasi, nilai maksimum dan minimum serta jumlah siswa berdasarkan model

pembelajaran dan klasifikasi kemampuan awal matematika yang dapat dilihat dan disajikan

dalam Tabel 1 berikut:

Page 94: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

86 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 1.

Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik berdasarkan

Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal Matematik Siswa

Jenis

Kemampuan

Kemampuan

Matematika

Awal*

Model Inkuri Terbimbing Model Konvensional

N Tes

Awal

Tes

Akhir Gain N

Tes

Awal

Tes

Akhir Gain

Pemahaman

Matematik

Kelompok Atas 9 𝒙 6.500 14.750 0.867

9 𝒙 4.889 12.111 0.647

s 1.300 0.841 s 1.027 0.884

Kelompok

Tengah 17

𝒙 7.188 13.250 0.689 17

𝒙 4.941 9.647 0.419

s 1.106 0.827 s 1.094 0.838

Kelompok

Bawah 9

𝒙 8.750 12.125 0.460 11

𝒙 6.111 7.778 0.159

s 1.220 0.914 s 1.240 0.816

Total 35 𝒙 7.486 13.371 0.678

35 𝒙 5.229 9.800 0.411

s 1.264 1.091 s 1.153 1.315

Rerata Total Kemampuan Pemahaman Kelas Eksperimen : 13.371 (83,569%)

Penalaran

Matematik

Kelompok Atas 9 𝒙 3.436 6.567 0.683

9 𝒙 2.656 5.622 0.550

s 1.110 0.705 s 0.979 0.682

Kelompok

Tengah 17

𝒙 3.920 6.105 0.535

17

𝒙 3.389 5.249 0.398

s 0.947 0.686

s 0.987 0.702

Kelompok

Bawah 9

𝒙 5.111 5.967 0.293 9

𝒙 4.522 5.094 0.157

s 0.903 0.756 s 0.895 0.763

Total 35 𝒙 4.101 6.188 0.511 𝒙 3.492 5.305 0.375

s 1.064 0.733 s 1.064 0.733

Rerata Total Kemampuan Penalaran Kelas Eksperimen: 6,188 (77,350%)

*Skor Ideal Pemahaman 16, Skor ideal Penalaran 8. Gain yang dimaksud adalah gain

Ternormalisasi Pengelompokan siswa (kelompok atas, tengah dan bawah) berdasarkan nilai harian

siswa yang berasal dari guru matematika.

Dari Tabel 1 dapat disimpulkan secara keseluruhan kemampuan pemahaman matematik siswa

(ditinjau dari hasil tes akhir/postes) mempunyai rerata 13,371 (atau sebesar 83,569% dari skor

ideal). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman siswa secara keseluruhan termasuk

kategori tinggi. Tetapi kemampuan penalaran matematik tergolong pada kemampuan kategori

cukup karena keseluruhan 6,188 (atau sebesar 77,350% dari skor ideal).

Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri

terbimbing adalah 0.678. Sedangkan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa

berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0,411. Artinya peningkatan kemampuan

pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing

lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional.

Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa berdasarkan model pembelajaran inkuiri

terbimbing adalah 0.511. Sedangkan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa

berdasarkan model pembelajaran konvensional adalah 0.375.

Page 95: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 87

2. Skala Sikap Siswa

Adapun sikap yang diamati pada penelitian ini adalah sikap siswa terhadap pembelajaran

matematika, terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing,

dan terhadap belajar kelompok. Dari 24 pernyataan, secara umum respon yang diberikan siswa

dalam hal kesukaan, kesungguhan, minat, dan belajar berkelompok, siswa terhadap pembelajaran

dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

siswa memberikan sikap positif terhadap model pembelajaran inkuiri terbimbing dalam upaya

meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa.

3. Hasil Observasi

Observasi dilakukan untuk menginventarisasikan data tentang aktivitas siswa dan guru dalam

pembelajaran, interaksi antara siswa dan guru dalam pembelajaran, dan interaksi antar siswa dalam

pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri terbimbing. Dalam observasi

diperoleh data dengan harapan agar hal-hal yang tidak teramati oleh peneliti ketika penelitian

berlangsung dapat ditemukan. Observasi yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebanyak

enam kali, yaitu satu kali observasi untuk setiap pertemuan. Adapun yang menjadi observer atau

pengamat dalam penelitian ini adalah guru matematika pengampu kelas eksperimen dan Guru

matematika kelas XII_IPA

Secara umum, pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran berjalan

dengan baik. Pada awal pembelajaran, guru menjelaskan mengenai model pembelajaran yang akan

dilaksanakan dan menjelaskan tentang tujuan pembelajaran. Kemudian guru membagi siswa

kedalam kelompok-kelompok. Guru menggali pengetahuan prasyarat siswa mengenai materi yang

akan dipelajari. Dengan demikian terjadi proses komunikasi antar siswa dan guru. Agar proses

komunikasi antar siswa terjadi, guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dalam menyelesaikan

permasalahan yang diberikan.

Setelah bahan ajar yang berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berisi permasalahan matematik

dibagikan, guru memberikan petunjuk dan membimbing siswa dalam menyelesaikan permasalahan

dan memilih strategi untuk menyelesaikan masalah matematik. Untuk menyelesaikan permasalahan

yang terdapat di lembar kerja siswa (LKS), siswa berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Setelah

seluruh kelompok menemukan solusi dari permasalahan matematik, guru membimbing siswa untuk

berdiskusi dan guru mengarahkan siswa lain untuk berkomentar terhadap jawaban teman.

Pada bagian akhir, guru meminta siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang yang telah

dipelajari. Kemudian guru menyarikan kesimpulan-kesimpulan yang telah diberikan siswa. Pada

bagian akhir pula, guru memberikan kesempatan bagi murid untuk bertanya mengenai materi yang

belum dipahami .

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil pretes kemampuan pemahaman matematik antara kelompok kontrol dan eksperimen memiliki

perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Dari skor maksimum 16, kelompok kontrol memperoleh

rerata 5,229, sementara kelompok eksperimen memperoleh rerata 7,486. Kelas kontrol perolehan

skor pretes yang berkisar pada sepertiga bagian atau hanya 32,681% dari nilai total yang

seharusnya. Dan Kelas eksperimen memperoleh skor pretes yang berkisar 46,787% dari nilai total

yang seharusnya, dan menunjukkan bahwa secara umum kemampuan pemahaman matematik

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berada pada rentang yang rendah.

Selanjutnya, terhadap kelompok kedua tersebut diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok

eksperimen mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran inkuiri terbimbing, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran konvensional (ekspositori).

Rerata perolehan skor postes dari kemampuan pemahaman matematik kelompok kontrol adalah

9,800, sementara perolehan rerata skor skor kelompok eksperimen adalah 13,371 Secara deskriptif,

hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan pada kedua kelompok kelas. Pertanyaan yang

Page 96: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

88 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

muncul selanjutnya adalah peningkatan kelompok manakala yang lebih baik di antara kedua

kelompok tersebut?

Berdasarkan hasil perhitungan gain normalisasi, secara keseluruhan kelompok eksperimen

menunjukan peningkatan kemampuan pemahaman sebesar 67,800%, sedangkan kelompok kontrol

mendapat 41,100%. Ini berarti, peningkatan kemampuan pemahaman yang dialami oleh kelompok

kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan pemahaman kontrol.

Kondisi serupa juga terjadi pada kemampuan penalaran matematik siswa kelompok kelas kontrol

dan kelas eksperimen, di mana perolehan rerata skor pretes kelompok kontrol sebesar 3,492 dan

5,305 untuk rerata skor postesnya (dengan skor maksimum). Untuk kelas eksperimen, perolehan

rerata skor pretes kemampuan penalaranya 4,101 sedangkan skor postesnya adalah 6,188. Di

kelompok kontrol, kenaikan nilai rerata setelah diberikan perlakuan adalah sekitar 22,663%, di

kelompok eksperimen kenaikan rerata skor mencapai 26,086% Hal ini mengiindikasikan bahwa

perlakuan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing

mampu memberikan peningkatan yang lebih baik daripada pembelajaran dengan metode

konvesional.

Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor

kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dimana nilai rerata gain

ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebsar 37,500% sedangkan nilai rerata gain

ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 51,100%.

Simpulan tersebut juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap gain ternormalisasi skor

kemampuan penalaran kelompok kontrol dan kelompok eksperimen,di mana nilai rerata gain

ternormalisasi untuk kelompok kelas kontrol adalah sebesar 46% sedangkan nilai rerata gain

ternormalisasi kelompok eksperimen adalah 59%.

Dengan adanya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik pada siswa

kelompok eksperimen,selain dikarenakan oleh model pembelajaran yang dilakukan, yaitu dengan

menggunakan model inkuiri terbimbing juga diakibatkan oleh iklim belajar yang tercipta di dalam

kelas. Pada kelas eksperimen,dominasi siswa dalam proses belajar mengajar sangatlah

optimal.mereka terlibat hampir dalam semua tahapan pembelajaran. Sehingga peran guru selaku

fasilitator untuk memberikan stimulant belajar sangat diringankan. Berbeda dengan kelas

kontrol,siswa berada dikelas kontrol adalah siswa yang pasif dalam belajar. Mereka cenderung

diam dalam sesi tanya jawab atau bahkan tidak mengetahui bagian mana dari matematika yang

dapat dijadikan sebagai materi belajar. Dalam sesi Tanya jawab, paling tidak hanya terdapat 6

orang siswa yang memberikan respon yang positif. Guru harus terus memberikan intervensi agar

materi prasyarat yang dibutuhkan dapat benar-benar optimal digunakan.mengenai kondisi ini, guru

mata pelajaran matematika kelas kontrol pun menyatakan hal yang sama.dalamsuatu sesi

wawancara, terungkap bahwa siswa kelas kontrol cenderung sulit belajar. Kondisi ini kemudian

menjadi alasan dilakukannya analisa lajutan terhadap peningkatan gain ternormalisasi kelompok

eksperimen dari kemampuan pemahaman dan penalaran matematik, yaitu dengan mencoba

membandingkan model pembelajaran yang diberikan terhadap klasifikasi kemampuan awal

matematika siswa.klasifikasi kemampuan ini diambil dari nilai rata-rata ulangan harian siswa yang

diminta dari guru mata pelajaran matematika di kelas eksperimen. Kemudian dikelompokkan

menjadi siswa kelompok atas,tengah dan bawah. Secara deskriptif, dapat diketahui bahwa siswa

kelompok tengah dari kelompok eksperimen memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan siswa yang berada pada siswa kelompok atas. Begitupula dengan siswa

yang berada pada kelompok atas, memiliki rerata gain ternormalisasi yang lebih tinggi dari siswa

kelompok rendah.

Secara inferensial, dengan menggunakan uji ANOVA Dua-Jalur, dapat diketahui bahwa pada

kemampuan pemahan matematik, jika ditinjau dari sudut pandang model pembelajaran, terdapat

perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang dalam

pembelajarannya digunakan model inkuiri terbimbing dan siswa yang dalam pembelajarannya

digunakan model konvensial. Begitu pula dengan klasifikasi kemampuan awal matematika dari

Page 97: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 89

kemampuan pemahaman matematik siswa. Pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah dari

kelompok eksperimen. Dari sudut pandang klasifikasi kemampuan awal matematika dari

kemampuan penalaran matematik siswa, pengujian yang dilakukan menyatakan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara siswa yang berada pada kelompok atas,tengah dan bawah dari

kelompok eksperimen. Artinya, peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa di kelompok

atas lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan penalaran siswa kelompok tengah,

begitu pula dengan peningkatan kemampuan penalarah kelompok bawah.

Penelitian ini juga membuat pengujian perbedaan rerata penigkatan antara kelompok siswa yang

mendapatkan pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing dengan siswa yang mendapatkan

pembelajaran dengan model konvensional berdasarkan pembagian klasifikasi kemampuan awal

matematika. Hasil pengujian ini menyatakan bahwa model inkuiri terbimbing cenderung lebih

meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran pada kelompok atas.

Sehubungan dengan sikap siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini, secara umum memiliki

sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika. Tentu saja sikap ini didukung oleh faktor

keberadaan guru yang tidak statis dalam mengembangkan konsep belajar dan mengajar.

Aktivitas siswa selama proses pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, diskusi awal,

kemandirian dan penarikan kesimpulan. Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsep

prasyarat yang dimiliki oleh siswa, yaitu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan

memancing siswa untuk bertanya mengenai konsep prasyarat yang belum dikuasai. Dengan

demikian, pada awal pembelajaran terjadi proses pengembangan kesadaran metakognisi.

Dalam tahap kemandirian, siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama untuk kemudian

diselesaikan secara perseorangan. Guru berkeliling untuk memberikan feedback secara individual.

Pada tahap kemandirian ini, karakteristik khas yang terlihat adalah aktivitas pembelajaran dengan

melatihkan metakognisi, memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar mandiri, di mana setiap

siswa mengisi lembar kerja yang diberikan.

Dalam tahap penyimpulan, siswa merekapitulasi apa yang dilakukan di kelas dengan cara menulis,

merangkum dan membuat kesimpulan. Di pertemuan-pertemuan awal, banyak siswa yang bingung

terhadap apa yang harus disimpulkan dari keseluruhan aktivitas kelas. Namun pada akhirnya

seiring berjalannya diskusi, sedikit demi sedikit mereka mampu membuat simpulan sesuai dengan

materi yang telah diberikan.

Secara keseluruhan aktivitas pembelajaran matematika dengan menggunakan model inkuiri

terbimbing dapat dijadikan rujukan untuk dapat lebih memberdayakan ruangan kelas dan lebih

memotivasi siswa. Hal ini sangat beralasan karena pembelajaran dengan menggunakan model

inkuiri terbimbing menyajikan bahan ajar yang melatih metakognisi, intervensi guru dan interaksi

kelas.

IV. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang memperoleh pembelajaran

matematik dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional.

Terdapat perbedaan kemampuan pemahaman berdasarkan klasifikasi kemampuan awal

matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan

kelompok kelas konvensional. Artinya, siswa yang berada pada kelompok atas mengalami

peningkatan yang lebih baik dari kelompok tengah dan kelompok bawah.

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran

matematika dengan model inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan model konvensional. Terdapat perbedaan kemampuan

penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan

bawah) antara kelompok kelas inkuiri terbimbing dan kelompok kelas konvensional. Artinya,

Page 98: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

90 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

siswa yang berada pada kelompok atas mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan

dengan siswa yang berada pada kelompok tengah dan bawah. Begitupula siswa yang berada

pada kelompok tengah mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa

yang berada pada kelompok bawah.

3. Secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing

memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran yang menggunakan model konvensional.

V. Saran-saran

Dari hasil dan simpulan penelitian, dapat disarankan sebagai berikut:

1. Pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri terbimbing dapat dijadikan salah satu

alternatif pembelajaran matematika, utamanya untuk meningkatkan kemampuan pemahaman

dan penalaran matematik di setiap kelompok klasifikasi (atas, tengah dan bawah). Model

pembelajaran ini mampu secara signifikan meningkatkan kemampuan pemahaman dan

penalaran siswa.

2. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan untuk meneliti kemampuan matematik lainnya yang

belum terjangkau oleh penulis, seperti kemampuan berfikir kreatif, multiple representative dan

pengembangan dari kemampuan penalaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia:

NCTM

Dahar, R.W. (1989). Teori – Teori Belajar. Jakarta : Erlangga

Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematik Siswa

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi pada PPs

UPI. Bandung : Tidak Dipublikasikan.

Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah, Penalaran Logis, Berpikir Kritis & Pengkomunikasian.

Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.

Meltzer,D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning

Gains in Physics. American Journal of Physics. Vol.70. No. 7.

NCTM. (2000). Princip And Standards For School Mathematics. Reston : Virginia.

Rusefendi, H.E.T. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung:

Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif. Makalah pada Seminar Nasional Matematika 2007.

Bandung : tidak dipublikasikan.

Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Sudjana. (1996). Metode Statistik. Tarsito: Bandung.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan

Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar.

Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan

Pendekatan Gabungan Langsung Dan Tidak Langsung Dalam Rangka Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Matematika Tingkt Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPs UPI.

Bandung: tidak dipublikasikan.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma

Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

Wahyudin (2003). Matematika dan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mimbar Pendidikan. No.2

Tahun XXII. Bandung : University Press UPI.

................. (2008). Pembelajaran Dan Model-Model Pembelajaran. Diktat Kuliah. Bandung: tidak

dipublikasikan.

Page 99: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 91

MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA

DALAM MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN

PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Oleh : Nur Izzati Dinas Pendidikan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Abstrak

Kemandirian belajar dalam matematika merupakan salah satu faktor penting dari keadaan individu yang

mempengaruhi belajar matematika. Kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif terhadap pembelajaran

dan pencapaian hasil belajar. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian

dalam proses belajar menjadi penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar. Selain itu, adanya pergeseran

paradigma pendidikan turut menuntut siswa untuk menjadi pebelajar yang mandiri. Dimana sebelumnya

proses belajar mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi

tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Karena itu, kemandirian belajar dalam matematika perlu

dikembangkan pada peserta didik. Sehubungan dengan itu, makalah ini bertujuan untuk memaparkan secara

teoritis tentang kemandirian belajar siswa dalam matematika dan memuat kajian tentang pendekatan

pendidikan matematika realistik sebagai pendekatan pembelajaran yang diduga kuat dapat memberikan

kontribusi terhadap pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika.

Kata Kunci: kemandirian belajar siswa dalam matematika, pendidikan matematika realistik

A. LATAR BELAKANG

Salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan belajar adalah kemandirian belajar. Banyak

data hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif

terhadap pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Seperti temuan dari studi Darr dan Fisher

(2004), Reyero dan TourÓn (dalam Mantalvo dan Torres, 2004), Pintrich dan Groot (1990), dan

Zimerman dan Martinez-Pons (dalam Abdullah, 2007), yang menunjukkan bahwa kemampuan

belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa. Sebaliknya, hasil studi yang

dilakukan oleh Schloemer dan Brenan, Borkowski dan Thorpe, Zimmerman (dalam Abdullah,

2007) menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian dalam proses belajar menjadi

penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar.

Hal serupa, dikemukakan oleh Long (dalam Sumarmo, 2006), ia memandang belajar sebagai proses

kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; keadaan individu, pengatahuan

sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu diantara sub-faktor

penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah kemandirian belajar.

Akhir-akhir ini terjadi pergeseran paradigman pendidikan, dimana sebelumnya proses belajar

mengajar sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, namun sekarang cenderung menjadi

tanggungjawab bersama antara guru dan siswa. Konsep ini, menuntut siswa untuk menjadi

pebelajar yang mandiri, misalnya dalam hal menentukan strategi belajar, mamantau kemajuan

pencapaian akademik, mengevaluasi diri, dll. Karena itu, tidaklah heran kalau Pintrich, Reynolds

dan Miller (dalam Montalvo dan Torres, 2004) sepakat menyatakan bahwa akhir-akhir ini,

kemandirian belajar telah menjadi fokus penelitian dan merupakan salah satu akses penting

pelaksanaan pendidikan.

B. PEMBAHASAN

1. Kemandirian Belajar Matematika

Kemandirian belajar dalam matematika yang dimaksud pada makalah ini adalah kemandirian

belajar pada pembelajaran matematika. Siswa-siswa yang mandiri dalam belajar matematika,

mengerjakan tugas-tugas matematika dengan percaya diri, rajin, dan cerdik. Mereka secara proaktif

mencari informasi ketika dibutuhkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

Page 100: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

92 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

menguasainya. Ketika mereka menghadapi kesulitan seperti kondisi belajar yang buruk, guru yang

membingungkan, buku teks yang sulit dipahami, mereka tidak lantas putus asa. Menurut

Zimmerman (1990), siswa mandiri memandang kemahiran sebagai suatu proses sistematik dan

dapat dikontrol, serta mereka menerima tanggungjawab yang lebih besar untuk mencapai hasil

yang baik.

Secara umum, studi menunjukkan bahwa karakteristik berikut membedakan siswa yang belajar

mandiri dengan siswa yang tidak (Corno, 2001; Weinstein, Husman dan Dierking, 2000;

Zimmerman, 1998, 2000, 2001, 2002; dalam Montalvo dan Torres, 2004):

a) Mereka mengenal dan mengetahui bagaimana menggunakan serangkaian strategi kognitif

(repetisi, elaborasi, dan pengorganisasian), yang membantu mereka untuk menghadirkan,

mengubah, mengatur, mengelaborasi, dan memperoleh informasi.

b) Mereka mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol dan mengatur proses-proses

mental mereka kepada pencapaian tujuan personal (metacognition).

c) Mereka menunjukkan serangkaian keyakinan motivasi dan meyesuaikan emosi, seperti

pemahaman yang tinggi tentang self-efficacy akademik, menerima tujuan pembelajaran,

pengembangan emosi positif terhadap tugas (misalnya; sukacita, rasa puas, antusiasme), serta

kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasi ini, menyesuaikannya untuk persyaratan

tugas dan juga situasi belajar tertentu.

d) Mereka merencanakan serta mengontrol waktu dan usaha untuk menyelesaikan tugas-tugas,

dan mereka mengetahui bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menguntungkan,

seperti menemukan tempat yang cocok untuk belajar, dan mencari bantuan dari guru dan

teman sekelas ketika mereka mengalami kesulitan.

e) Sedapat mungkin mereka menunjukkan usaha yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam

mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, struktur kelas dan iklim (misalnya,

bagaimana seseorang akan dinilai, persyaratan tugas, desain tugas kelas, mengatur kerja

kelompok).

f) Mereka dapat menerapkan serangkaian strategi-strategi berkenaan dengan kemauan, dengan

tujuan untuk menghindari ganguan internal dan eksternal, untuk menjaga konsentrasi, usaha,

dan motivasi mereka ketika melakukan tugas akademik.

Dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa mandiri adalah siswa yang mampu melihat diri

mereka sebagai agen dari perilaku mereka sendiri, mereka percaya bahwa belajar adalah sebuah

proses proaktif, mereka memotivasi diri sendiri, dan mereka menggunakan strategi-strategi yang

memungkinkan mereka untuk mencapai hasil akademik yang diinginkan.

Berikut ini adalah beberapa definisi kemandirian belajar yang dikemukakan oleh sejumlah pakar,

diantaranya Corno dan mardiah (dalam Cho, 2003), mendefinisikan kemandirian belajar sebagai

proses perencanaan dan monitoring yang disengaja dan menekankan pada pentingnya aktifitas

kognitif dan metakognitif dalam kemandirian belajar.

Lebih luas dari Corno dan mardiah, Zimmerman mendefinisikan kemandirian belajar sebagai

kemampuan menjadi siswa yang aktif dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut metakognitif,

motivasi, dan perilaku (dalam Zimmerman, 1990 dan Cobb, 2003). Dari sudut metakognitif, siswa

yang mandiri merencanakan, menentukan tujuan, mengatur, memonitor diri, dan mengevaluasi diri

terhadap berbagai hal selama proses memperoleh kemahiran. Dari sudut motivasi, siswa mandiri

menyadari kompetensinya, memperlihatkan keyakinan yang tinggi terhadap dirinya (high self-

efficacy), dan ketertarikan terhadap tugas.

Siswa yang menyadari kompetensinya, memiliki self- efficacy yang tinggi dan mempunyai

ketertarikan terhadap tugas, memulai pembelajaran dengan menampilkan usaha yang luar biasa

dan tekun selama belajar. Dari segi perilaku, siswa mandiri memilih, menyusun, dan menciptakan

lingkungan mereka untuk bisa belajar optimal. Mereka mencari petunjuk, informasi dan tempat

dimana mereka paling suka belajar.

Page 101: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 93

Sementara, Pintrich dan Zusho (dalam Nicol dan Dick, 2005), mengemukakan definisi operasional

kemandirian belajar sebagai suatu proses konstruktif aktif dimana siswa menentukan tujuan belajar

mereka, mengamati, mangatur, dan mengontrol prilaku, motivasi dan kognisi mereka, dipandu dan

dikendalikan oleh tujuan mereka dan fitur-fitur kontekstual dari lingkuangan.

Dari berbagai definisi tentang kemandirian belajar, Pintrich dan Groot (1990) menyimpulkan hanya

tiga komponen penting untuk kecakapan di kelas. Pertama, kemandirian belajar meliputi strategi

metakognitif siswa untuk merencanakan, memonitor dan memodifikasi kognisi mereka. Kedua,

manajemen dan pengontrolan siswa terhadap usaha mereka pada tugas-tugas akademik di kelas.

Misalnya, siswa yang cakap bertahan pada tugas-tugas sulit, mereka tidak cepat menyerah, dan

mereka tetap konsentrasi dalam tugasnya, walaupun ada gangguan di kelas, sehingga

memungkinkan mereka untuk melakukan yang lebih baik. Ketiga, aspek penting kemandirian

belajar meliputi konsep keberadaan strategi kognitif yang digunakan siswa untuk belajar,

mengingat dan memahami materi. Lebih jauh Pintrich dan Groot (1990) mengemukakan bahwa

pengetahuan strategi kognitif dan metakognitif saja tidaklah cukup untuk meningkatkan

kemampuan siswa. Siswa juga harus dimotivasi untuk menggunakan strategi-strategi itu, dan juga

mengatur kongisi dan usaha mereka.

Menurut Eccles, ada tiga komponen motivasi yang berhubungan dengan komponen-komponen

kemandirian belajar, yaitu; komponen pengharapan, komponen penilaian, dan komponen sikap

(Pintrich dan Groot, 1990). Komponen pengharapan meliputi keyakinan siswa tentang kemampuan

mereka untuk melakukan tugas, seperti kesadaran terhadap kemampuan, self-efficacy, attibutional

style, dan keyakinan mengendalikan. Komponen pengharapan melibatkan jawaban dari pertanyaan,

―Dapatkah saya melakukan tugas ini?"

Komponen penilaian meliputi keyakinan dan tujuan siswa tentang pentingnya dan ketertarikan

terhadap tugas. Meskipun komponen ini telah dibentuk dalam berbagai cara, (misalnya: tujuan

melakukan atau belajar, orientasi instrinsik dan ekstrinsik, penilaian tugas dan ketertarikan

instrinsik) esensi komponen motivaasi ini adalah alasan siswa untuk melakukan tugas. Dengan kata

lain, merupakan jawaban dari pertanyaan, ―Mengapa saya melakukan tugas ini?‖

Komponen sikap meliputi reaksi emosi siswa terhadap tugas. Persoalan penting bagi siswa

berhubungan dengan komponen ini melibatkan pertanyaan, ―Bagaimana perasaan saya tentang

tugas ini?‖ Ada berbagai reaksi sikapyang mungkin relevan, misalnya; rasa marah, bangga, rasa

bersalah, tapi dalam konteks belajar di sekolah, kelihatannya ada satu yang paling penting yaitu tes

anxiety. Tes anxiety berkaitan dengan persepsi terhadap kemampuan.

2. Kontribusi Pendekatan Pendidikan Matematika Relaistik Terhadap Pengembangan

Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika

Kemandirian belajar bukan merupakan keterampilan yang secara otomatis berkembang seiring

dengan bertambahnya usia siswa, namun kemandiriran belajar ini perlu diajarkan dan dipelihara.

Schunk and Zimmerman (dalam Abdullah, 2007), menekankan bahwa latihan kemandirian belajar

dapat meningkatkan semangat siswa dan guru dengan meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas,

kualitas diskusi, dan ketertarikan siswa terhadap warga sekolah. Konsekwensinya adalah membuat

proses pembelajaran yang lebih nyaman untuk setiap siswa.

Lebih rinci, De corte, dkk. (dalam Dar dan Fisher, 2004), mengemukakan komponen-komponen

pengajaran yang membantu perkembangan kemandirian, yaitu: 1) Memberikan tugas-tugas realistik

dan menantang. 2) Adanya variasi dalam metode pengajaran, latihan terbimbing, bekerja dalam

kelompok kecil dan pengajaran klasikal. 3) Menciptakan ruang kelas yang membantu

perkembangan disposisi positif terhadap pembelajaran matematika.

Hal senada juga dikemukakan oleh Montalvo dan Torres, (2004). Menurut mereka model-model

pengajaran dalam mengajar kemandirian menekankan pada pentingnya praktek refleksi diri,

scaffolding dan pembelajaran kolaboratif. Lebih jauh, ditekankan bahwa intervensi dalam model

pengajaran harus difokuskan pada pengadaan lingkungan belajar yang alami, tidak ada paksaan,

Page 102: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

94 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

menggunakan tugas-tugas kontekstual yang menarik dan diperlukan siswa, karena ini akan

memungkinkan mereka untuk menggeneralisasikan apa yang telah mereka pelajari.

Menggunakan tugas-tugas kontekstual dan berdiskusi dalam proses pembelajaran (interaktif)

merupakan karakteristik pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Karakteristik PMR

lainnya adalah menggunakan kontribusi siswa (menggunakan sumbangan pemikiran dari siswa),

karakteristik ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya diskusi kelas yang hangat. Tiga

dari lima karateristik PMR ini diduga mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan

kemandirian belajar siswa dalam matematika. Karena itu kuat dugaan kemandirian belajar siswa

dalam matematika dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan pendekatan PMR. Kaitan

ketiga karakteristik PMR ini dengan pengembangan kemandirian belajar siswa dalam matematika

disajikan berikut ini.

a. Menggunakan Masalah Kontekstual.

Menggunaan masalah kontekstual yang ada kaitan dengan kehidupan siswa ataupun yang riil dalam

pikiran siswa, akan memicu hasrat dan kesediaan siswa untuk memecahkannya, sehingga siswa

dapat berkontribusi dalam pembelajaran. Dengan demikian siswa mempunyai pengalaman belajar,

dengan kata lain matematika diperoleh siswa tidak karena diberi tahu tetapi melalui pengalaman,

sehingga matematika akan lebih melekat pada pikirannya. Jika hasrat dan kesediaan siswa untuk

memecahkan persoalan matematika dapat ditumbuhkan terus menerus, tentunya sifat tersebut akan

menjadi kepribadian siswa. Ini menjadi modal dasar siswa untuk menjadi pribadi yang mandiri di

dalam belajar matematika.

b. Menggunakan Metode Interaktif dalam Belajar Matematika dan Menggunakan Sumbangan

Pemikiran Siswa.

Pembelajaran dengan metode interaktif ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih

keberaniannya untuk mengemukakan pendapat. Apalagi pada PMR, konsep-konsep matematika

ditemukan kembali oleh siswa dengan memanfaatkan sumbangan pemikiran dari siswa tersebut.

Tentunya siswa merasa bangga karena ide-idenya berguna, hal ini diharapkan mampu memicu

perkembangan motivasi dan self-efficacy siswa. Kedua aspek ini merupakan karakteristik dari

kemandirian belajar siswa. Dengan demikian diharapkan penerapan pendekatan PMR pada

pembelajaran matematika dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan

kemandirian belajar siswa dalam matematika.

C. MENILAI KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA

Kemandirian belajar siswa dalam matematika dinilai melalui angket yang terdiri dari pernyataan-

pernyataan yang dikembangkan dari indiktor-indikator kemandirian belajar dalam matematika.

Indikator-indikator tersebut diantaranya adalah (1) menggunakan strategi metakognitif (seperti:

memonitor dan mengevaluasi diri, dan memonitor serta mengevaluasi diri), (2) menggunakan

strategi kognitif (seperti: membaca ulang/latihan, mengelaborasi, dan mengorganisasikan), (3)

memanajemen sumber daya (seperti: manajemen waktu belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar

dan mencari serta memanfaatkan sumber belajar yang relevan), (4) Keyakinan motivasi (seperti:

keyakinan akan pentingnya matematika dan ketertarikan terhadap matematika, self efficacy, dan

orientasi instrinsik dan ekstrinsik).

Berikut ini diberikan contoh angket skala kemandirian belajar siswa SMP dalam matematika. Skala

tersebut berupa pernyataan positif dan negatif dengan lima kategori pilihan, yaitu SS (Sangat

Setuju), S (Setuju), TY (bila tidak yakin/ragu-ragu atau tidak tahu), TS (Tidak Setuju), dan STS

(Sangat Tidak Setuju).

Page 103: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 95

SKALA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP DALAM MATEMATIKA (Contoh)

NO PERNYATAAN PILIHAN JAWABAN

SS S TY TS STS

1 Saya ingin mendapatkan nilai matematika yang lebih bagus dari sebagian

besar teman sekelasku.

2 Pada matematika banyak ditemui soal-soal yang menantang, hal ini

mendorong saya untuk belajar lebih giat lagi.

3 Matematika adalah pelajaran yang paling saya takuti, karena itu saya

tidak yakin mampu mengerjakan soal-soal matematika.

4 Penggunaan LKS dalam pembelajaran matematika, sangat membantu

saya untuk memahami matematika.

NO PERNYATAAN PILIHAN JAWABAN

SS S TY TS STS

5 Saya tidak punya waktu untuk membahas soal-soal matematika.

6 Ketika diskusi kelas, saya memanfaatkan untuk bertanya kepada guru

atau teman-teman tentang apa yang belum saya pahami.

7 Saya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk belajar matematika.

8 Saya ceroboh dalam menyelesaikan soal-soal matematika.

9 Ketika ujian, saya memeriksa ulang jawaban saya sebelum dikumpulkan

10 Saya kesulitan dalam menentukan strategi pemecahan soal-soal

matematika.

11

Ketika saya belum memahami suatu materi matematika, saya membaca

catatan atau buku pelajaran matematika tentang materi tersebut berkali-

kali.

12

Untuk menambah pemahaman saya terhadap konsep matematika yang

baru dipelajari, saya menyelesaikan soal-soal yang ada di dalam buku

pelajaran matematika atau di Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

13 Menyelesaikan soal-soal matematika merupakan kegiatan yang

menyenangkan.

14 Matematika merupakan pelajaran yang menakutkan.

15 Setiap akhir pembelajaran di kelas, saya membuat kesimpulan atau

rangkuman.

Nama : …………………………………………………………

No.Urut Absen : …………………………………………………………

Kelas : …………………………………………………………

Nama sekolah : …………………………………………………………

PETUNJUK:

1. Tulislah nama, nomor urut absen, kelas, dan nama sekolah pada tempat yang telah

disediakan!

2. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti, kemudian beri tanda ceklis (√) pada kolom (SS)

bila kamu sangat setuju, (S) bila kamu setuju, (TY) bila kamu tidak yakin atau tidak

tahu, (TS) bila kamu tidak setuju, dan (STS) bila kamu sangat tidak setuju.

3. Jawablah dengan jujur berdasarkan pendapat dan keyakinan sendiri.

4. Jawaban yang kamu berikan tidak akan mempengaruhi nilai matematika yang kamu

peroleh.

Page 104: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

96 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Kemandirian belajar siswa dalam matematik perlu dikembangkan pada peserta didik, karena

kemandirian belajar tersebut tidak akan berkembang sendirinya seiring dengan bertambahnya usia.

Ditambah lagi, kemandirian belajar mempunyai korelasi positif terhadap hasil belajar. PMR

merupakan pendekatan pembelajaran yang diduga sangat cocok diterapkan pada pembelajaran

matematika untuk mengembangkan kemandirian belajar siswa dalam matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.N.L. Y. (2007). ―Exploring Children‘s Self-Regulated Learning Skills‖. The 1st

International Conferences on Eductional Reform November 9-11, 2007. Thailand:

Mahasarakham University.

Cho, M. H. (2003). The Effects of Design Strategies for Promoting Students‟Self-Regulated

Learning Skill on Students‟Self-Regulation and Achievements in Oline Learning

Environments [online]. Tersedi: http://www.eric.ed.gov [29 Mei 2010].

Cobb, R. (2003). The Relationship between Self-Regulated Learning Behaviors and Academic

Performance in Web-Based Courses. Disertasi. State University: Tidak diterbitkan.

Darr, C. Dan Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning In The Mathematics Class. [online].

Tersedia: http://www.nzcer.org.nz/pdfs/13903.pdf [15 Maret 2010].

Montalvo, F.T. dan Torres, M.C.G. (2004). Self-Regulated Learning: Current and Future

Directions. Electronic Journal of Research Psychology, 2 (1), 1-34.

Nicol, D.J. dan Dick, D.B. (2005). Formative Assessment and Self-Regulated Learning: A Model

and seven Principles of Good Feedback Practice. [online]. Tersedi:

http://www.psy.gla.ac.uk/~steve/rap/docs/nocol.feedback.pdf [12 Maret 2010].

Pintrich, P. R. dan Groot, E. V. D. (1990). ―Motivational and Self-Regulated Learning Components

of Classroom Academic Performance‖. Journal of Education Psychology, 82 (1), 33-34.

Somarmo, U. (2006). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada

Peserta Didik. [online]. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wp-content [6 Maret 2010]

Zimmerman, B. J. (1990). Sel-Regulated Learning and Academic Achievement: An Overview.

Journal of Education Psychology, 25 (1), 3-17.

16

Saya tidak tahu bagaimana menggunakan pengetahuan matematika yang

sudah saya miliki untuk memahami konsep matematika yang baru

dipelajari.

17 Saya binggung, sumber manakah yang dapat membantu saya dalam

mengatasi kesulitan belajar matematika.

18

Saya suka dengan proses pembelajaran matematika di kelas, karena

membahas masalah-masalah yang sering saya temui dalam kehidupan

sehari-sehari.

19 Sepulang sekolah, saya dan teman-teman belajar bersama untuk

membahas soal-soal matematika yang sulit.

20 Saya memeriksa tugas saya untuk meyakinkan bahwa yang saya kerjakan

adalah benar.

21 Saya belajar matematika jika ada ulangan saja.

Page 105: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 97

PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN

STRATEGI REACT UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK

SISWA SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi)

Oleh : Yuniawatika [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk menelaah apakah pembelajaran matematika dengan strategi REACT lebih baik

dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa dibandingkan dengan strategi

konvensional, serta memperoleh informasi mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan

strategi REACT. Penelitian ini menggunakan desain ―Nonequivalent Control Group Design‖. Sampel dalam

penelitian ini adalah siswa kelas V SD dari sekolah berlevel baik dan sedang sebanyak 4 kelas dengan 2 kelas

kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran strategi REACT, dan 2 kelas kelompok kontrol

mendapatkan pembelajaran konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika

dengan strategi REACT secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan

representasi matematik siswa sekolah dasar dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran

dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah maupun dari kemampuan matematika siswa. Selain

itu, sebagian besar siswa menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.

Kata kunci: Strategi REACT, Kemampuan Koneksi Matematik Siswa, Kemampuan Representasi

Matematik Siswa.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

National Council of Teacher Mathematics (2000) menetapkan bahwa terdapat 5 keterampilan

proses yang perlu dimiliki siswa melalui pembelajaran matematika yang tercakup dalam standar

proses, yaitu: (1) problem solving; (2) reasoning and proof; (3) communication; (4) connection;

dan (5) representation. Keterampilan-keterampilan tersebut termasuk pada berpikir matematika

tingkat tinggi (high order mathematical thinking) yang harus dikembangkan dalam proses

pembelajaran matematika. Setiap aspek dalam berpikir matematik tingkat tinggi mempunyai ruang

lingkup yang sangat luas, sehingga agar tidak terlalu melebar, dalam penelitian ini yang akan

diukur hanya dua aspek yaitu kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa.

Menurut Sumarmo (Tim JICA, 2010) dalam belajar matematika siswa dituntut memahami koneksi

antara ide-ide matematik dan antar matematik dan bidang studi lainnya. Jika siswa sudah mampu

melakukan koneksi antara beberapa ide matematik, maka siswa akan memahami setiap materi

matematika dengan lebih dalam dan baik. Sehingga siswa akan menyadari bahwa matematika

merupakan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan berkaitan (connected), bukan sebagai

sekumpulan materi yang terpisah-pisah. Artinya materi matematika berhubungan dengan materi

yang dipelajari sebelumnya. Dengan demikian maka kemampuan koneksi matematik ini sangat

diperlukan oleh siswa sejak dini karena melalui koneksi matematik maka pandangan dan

pengetahuan siswa akan semakin luas terhadap matematika sebab semua yang terjadi di kehidupan

sehari-hari maupun materi yang dipelajari saling berhubungan.

Selain koneksi, kemampuan representasi juga merupakan salah satu komponen penting dan

fundamental untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa, karena pada proses pembelajaran

matematika kita perlu mengaitkan materi yang sedang dipelajari serta merepresentasikan

ide/gagasan dalam berbagai macam cara. Menurut Jones (Hudiono, 2005), terdapat beberapa alasan

Page 106: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

98 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

perlunya representasi, yaitu: memberi kelancaran siswa dalam membangun suatu konsep dan

berpikir matematik serta untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat dan

fleksibel yang dibangun oleh guru melalui representasi matematik. Wahyudin (2008) juga

menambahkan bahwa representasi bisa membantu para siswa untuk mengatur pemikirannya.

Penggunaan representasi oleh siswa dapat menjadikan gagasan-gagasan matematik lebih konkrit

dan membantu siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dianggap rumit dan kompleks

menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi matematika yang digunakan

sesuai dengan permasalahan.

Menurut penjelasan di atas, kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa perlu

dikembangkan melalui proses pembelajaran khususnya dalam materi pelajaran yang berisi

pengetahuan dan logika berpikir yaitu matematika tentu saja dengan mempertimbangkan tahap

perkembangan khususnya bagi siswa SD yang sedang memasuki fase operasional kongkrit.

Namun permasalahan yang terjadi adalah kemampuan koneksi dan representasi matematik di

tingkat pendidikan dasar belum tertangani akibatnya kemampuan koneksi dan representasi

matematik siswa rendah. Salah satu indikasi rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa yaitu

berdasarkan beberapa hasil penelitian, Kusuma (2003) menyatakan tingkat kemampuan siswa kelas

III SLTP dalam melakukan koneksi matematik masih rendah. Ruspiani (2000) mengungkap bahwa

rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih tegolong rendah.

Selanjutnya, berkenaan dengan rendahnya kemampuan representasi matematik, Hutagaol (2007)

menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam penyampaian materi pembelajaran

matematika, yaitu kurang berkembangnya daya representasi siswa, khususnya pada siswa SMP,

siswa tidak pernah diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri tetapi harus

mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh gurunya. Kemudian, hasil studi Hudiono (2005)

menunjukkan bahwa terjadinya kelemahan representasi siswa seperti tabel, gambar, model

disampaikan kepada siswa karena hanya sebagai pelengkap dalam penyampaian materi.

Keadaan yang terjadi di lapangan dalam hal kemampuan koneksi dan representasi matematik yaitu

guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional atau menurut Turmudi (2008) proses

pembelajaran yang disampaikan selama ini menggunakan sistem transmission of knowledge. Hal

ini membuat kelas hanya terjadi interaksi satu arah. Begitu pula dengan pengetahuan yang dimiliki

oleh siswa hanya terbatas pada apa yang telah diajarkan oleh guru saja. Oleh karena itu,

kemampuan berpikir tingkat tinggi yang seharusnya berkembang dalam diri siswa, menjadi tidak

berkembang secara optimal.

Berdasarkan fenomena dan pendapat di atas kemudian muncul pertanyaan: strategi apa yang cocok

untuk siswa agar memperoleh kemampuan koneksi dan representasi matematik yang baik

melibatkan aktivitas siswa secara optimal, dan membuat pelajaran matematika menjadi lebih

bermakna dan menyenangkan. Karena matematika harus dipelajari dalam konteks yang bermakna

yang mengaitkannya dengan subyek lain dan dengan minat dan pengalaman siswa. Alternatif

strategi pembelajaran dalam upaya untuk menumbuhkembangkan kemampuan koneksi dan

representasi matematik siswa dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran kontekstual

melalui strategi REACT.

Strategi REACT ini dijabarkan oleh COR (Center of Occupational Research) di Amerika yang dari

lima strategi yang harus tampak yaitu: Relating (mengaitkan), Experiencing (mengalami), Applying

(Menerapkan), Cooperating (Bekerjasama), Transferring (Mentransfer) (Muslich, 2008). Relating

(mengaitkan) adalah pembelajaran dengan mengaitkan materi yang sedang dipelajarinya dengan

konteks pengalaman kehidupan nyata atau pengetahuan yang sebelumnya. Experiencing

(mengalami) merupakan pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan

matematika (doing math) melalui eksplorasi, penemuan dan pencarian. Berbagai pengalaman

dalam kelas dapat mencakup penggunaan manipulatif, aktivitas pemecahan masalah, dan

Page 107: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 99

laboratorium. Applying (menerapkan) adalah belajar dengan menerapkan konsep-konsep yang

telah dipelajari untuk digunakan, dengan memberikan latihan-latihan yang realistik dan relevan.

Cooperating (bekerjasama) adalah pembelajaran dengan mengkondisikan siswa agar bekerja sama,

sharing, merespon dan berkomunikasi dengan para pembelajar yang lainnya. Kemudian

Transferring (mentransfer) adalah pembelajaran yang mendorong siswa belajar menggunakan

pengetahuan yang telah dipelajarinya ke dalam konteks atau situasi baru yang belum dipelajari di

kelas berdasarkan pemahaman. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Martheen (2009) bahwa

pembelajaran kontekstual melalui strategi REACT yang berpusat pada siswa merupakan pilihan

yang tepat, karena banyak siswa yang termotivasi untuk mengembangkan kemampuan matematik

yang mereka miliki

Sebagai tindak lanjut dan sesuai rekomendasi Tapilouw Marthen (2009) dan Ena Suhena (2009),

peneliti berkeinginan untuk mengetahui apakah penerapan strategi REACT ini dapat meningkatkan

kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa SD. Berdasarkan hal tersebut penulis

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapan strategi REACT untuk meningkatkan

kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa SD.

2. Rumusan Masalah

a. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran

dengan menggunakan strategi REACT lebih baik daripada kemampuan koneksi matematik

siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari level sekolah

(baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang,

rendah)?

b. Apakah peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran

dengan menggunakan strategi REACT lebih baik daripada kemampuan representasi

matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari

level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa

(tinggi, sedang, rendah)?

c. Bagaimanakah sikap siswa terhadap penerapan pembelajaran matematika dengan

menggunakan REACT?

3. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik antara siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan

koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau

dari level sekolah (baik dan sedang).

b. Mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik antara siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan

koneksi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau

dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

c. Mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematik antara siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan

representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional

ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang).

d. Mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematik antara siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT dibandingkan dengan kemampuan

representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional

ditinjau dari tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

e. Mengetahui gambaran sikap siswa terhadap matematika yang mengikuti pembelajaran

matematika melalui REACT.

Page 108: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

100 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

4. Hipotesis Penelitian

a. Peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan

menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi

matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari

level sekolah (baik dan sedang).

b. Peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan

menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi

matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari

tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

c. Peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan

menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan representasi

matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari

level sekolah (baik dan sedang).

d. Peningkatan kemampuan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan

menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan representasi

matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional ditinjau dari

tingkat kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

B. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, subjek yang akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan

kelasnya masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara

acak. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi

eksperimen, dan desain yang digunakan adalah ―Disain kelompok kontrol non-ekivalen‖

(Ruseffendi, 1994:47). Pada desain ini, peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok

dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua

kelompok diberikan tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang

berbeda dengan kelompok kontrol. Penggunaan strategi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh

mana pengaruh variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah

pembelajaran dengan strategi REACT dan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi dan

representasi matematik siswa SD.

Diagram desain penelitiannya sebagai berikut:

O X O

------------------

O O (Ruseffendi, 1994:47)

Keterangan:

O = Pretes = Postes Kemampuan koneksi dan representasi matematik

X = Pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan

untuk memperoleh gambaran tentang sikap siswa secara umum terhadap pembelajaran matematika

dengan menggunakan strategi REACT terhadap koneksi dan representasi matematik siswa selama

penelitian. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang

kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa berdasarkan hasil tes.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kota Cimahi.

Dari sebanyak 118 sekolah, terlebih dahulu digolongkan sekolah ke dalam 4 kategori, yaitu sekolah

dengan kualifikasi sangat baik, baik, sedang, dan rendah berdasarkan urutan hasil perolehan nilai

rata-rata UASBN tahun 2010, dari setiap level baik dan sedang dipilih satu sekolah. Sampel

penelitian terdiri dari 56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT dan

56 orang siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi konvensional (tanpa perlakuan).

Page 109: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 101

C. HASIL PENELITIAN

1. Hasil Pretes dan Postes

Sebelum pembelajaran diberikan dilakukan pretes untuk mengukur kemampuan awal siswa dan

setelah pembelajaran dilakukan diberikan postes. Dari hasil analisis data dan uji statistik dengan

taraf signifikansi 5% terhadap data pretes diperoleh bahwa hasil pretes di kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol secara signifikan tidak terdapat perbedaan baik ditinjau dari level sekolah

maupun kemampuan matematika siswa, sedangkan pada hasil postes kedua kelompok

menunjukkan perbedaan yang signifikan baik ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan

matematika siswa.

2. Peningkatan Kemampuan Koneksi dan Kemampuan Representasi Matematik

Peningkatan pada penelitian ini menggunakan normalisasi gain, berikut penyajian normalisasi gain:

Gambar 1

Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Menurut Level Sekolah

Gambar 2

Diagram Batang N-Gain Kemampuan Koneksi Matematik Berdasarkan

Level Sekolah, Strategi Pembelajaran, dan KMA Siswa

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

Baik Sedang

REACT Konvensional

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah

Baik Sedang

REACT Konvensional

Page 110: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

102 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Gambar 3

Diagram Batang Rerata N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Menurut Level Sekolah

Gambar 4. Diagram Batang N-Gain Kemampuan Representasi Matematik Berdasarkan Level Sekolah, Strategi

Pembelajaran, dan KMA Siswa

Untuk mengetahui apakah perbedaan peningkatan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol berbeda secara signifikan ditinjau dari level sekolah maupun kemampuan

matematika siswa, dilakukan uji Anova dua jalur.

Berdasarkan perhitungan uji Anova dua jalur diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan

peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik antara siswa yang mengikuti

pembelajaran dengan strategi REACT dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional

ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) maupun kemampuan matematika siswa (tinggi,

sedang, dan rendah).

Untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik dalam kemampuan koneksi dan representasi

matematik siswa, dilakukan uji statistik lanjutan melalui uji-t. Berdasarkan perhitungan uji-t

diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa

yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik

daripada kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran

dengan strategi konvensional ditinjau dari keseluruhan, level sekolah (baik dan sedang) dan tingkat

kemampuan matematika siswa (tinggi, sedang dan rendah).

0

0,2

0,4

0,6

0,8

Baik Sedang

REACT Konvensional

00,10,20,30,40,50,60,70,8

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah

Baik Sedang

REACT Konvensional

Page 111: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 103

3. Hasil Penelitian tentang Skala Sikap Siswa

Berdasarkan tanggapan siswa melalui skala sikap dan wawancara diperoleh temuan bahwa secara

umum tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi REACT cukup positif.

Tanggapan para siswa tentang strategi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, LAS yang diberikan,

dan soal-soal kemampuan koneksi dan representasi matematik menunjukkan suatu persetujuan dan

minat serta motivasi yang tinggi terhadap pembelajaran yang dikembangkan.

D. PEMBAHASAN

Dilihat dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional, pembelajaran dengan strategi REACT menunjukkan peran yang berarti dalam

meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa. Hal ini dimungkinkan

karena dalam pembelajaran strategi REACT, fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa

yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk memahami

suatu konsep dan prosedur matematika. Karena kekuatan dari pembelajaran melalui REACT

terletak pada memotivasi dan memfasilitasi siswa belajar secara aktif. Untuk itu guru menjadi

instrumen pembelajaran yang utama yaitu sebagai fasilitator terjadinya aktivitas belajar di kelas

dalam upaya untuk mengarahkan siswa agar dapat membuat siswa belajar aktif.

Keberhasilan pembelajaran dengan strategi REACT dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan

representasi siswa terjadi karena pada pembelajaran dengan stratgi REACT siswa terstimulus

secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga kemampuan matematika siswa berkembang dan

meningkat. Temuan ini sesuai dengan pernyataan Crawford (2001) yang menyatakan bahwa

strategi REACT memiliki kelebihan diantaranya dapat memperdalam pemahaman siswa serta

membuat belajar menyeluruh dan menyenangkan.

Kemampuan koneksi merupakan tingkatan kedua dari berpikir matematik. Terdapat temuan yang

diperoleh penulis ketika melaksanakan pretes yaitu kemampuan siswa dalam menemukan dan

menggunakan kemampuan koneksi matematik sangat rendah. Berdasarkan kajian penulis terhadap

masalah ini, penyebab rendahnya hasil pretes ini adalah karena pembelajaran yang berlangsung

selama ini mengabaikan aspek keterkaitan matematik dengan topik matematik sebelumnya, dengan

disiplin ilmu lain dan dengan masalah-masalah nyata di sekitar kehidupan sehari-hari siswa.

Selanjutnya, jika dilihat dari skor hasil postes dalam penelitian ini menunjukkan terjadi

peningkatan kemampuan koneksi matematik setelah perlakuan, baik pada kelompok eksperimen

maupun kelompok kontrol. Dari jawaban yang diberikan siswa, terlihat bahwa yang paling

membingungkan siswa adalah soal yang berkaitan dengan antar pokok bahasan lain. Hal ini

dimungkinkan karena masih lemahnya kemampuan koneksi siswa atau siswa masih menganggap

tiap pokok bahasan dalam pelajaran matematika merupakan bagian-bagian yang saling lepas. Salah

satu penyebabnya dikarenakan mereka belum terbiasa dengan soal-soal seperti itu. Penemuan ini

diperkuat pula dari hasil penelitian Ruspiani (2000) yang mengungkap bahwa kemampuan koneksi

terendah ada pada kemampuan koneksi antar topik matematika.

Temuan terakhir yang menjawab rumusan masalah adalah hasil tes koneksi pada siswa kelas

eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT, menunjukkan

peningkatan kemampuan koneksi secara signifikan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa

kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa siswa-siswa

yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih mengutamakan proses

penyelesaian dengan cara mengkaitkan pengetahuan yang berbeda-beda untuk menyelesaikan

setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa

yang pembelajarannya secara konvensional lebih mengutamakan hasil akhir.

Dari hasil penelitian di lapangan, didapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT kemampuan

koneksi siswa meningkat lebih baik dibandingkan dengan kemampuan koneksi yang menggunakan

Page 112: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

104 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

pembelajaran dengan strategi konvensional, pertama karena dalam proses pembelajaran terdapat

kegiatan relating dimana siswa dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang

sebelumnya yang didapatkan siswa juga dapat menghubungkan ide yang berkaitan dengan objek

tertentu.

Selain itu dengan pembelajaran dengan strategi REACT telah merubah paradigma pembelajaran

yang berpusat pada guru kepada pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri yang secara tidak langsung siswa mengkonstruksi

pengetahuannya dengan mengaitkan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki sebelumnya.

Temuan ini melengkapi temuan-temuan sebelumnya yaitu mengenai penerapan REACT yang telah

dilakukan di SMP dan di perguruan tinggi.

Kemampuan representasi matematik adalah salah satu keterampilan proses yang berkaitan dengan

kemampuan siswa menyampaikan laporan, gagasan, dan ide. Berdasarkan hasil tes representasi

pada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran matematika dengan strategi REACT,

menunjukkan peningkatan kemampuan representasi yang lebih baik secara signifikan dibandingkan

dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini jelas menunjukkan

bahwa siswa-siswa yang pembelajarannya dengan strategi REACT pada umumnya lebih

mengutamakan proses penyelesaian dengan cara merepresentasikan suatu masalah dengan berbeda-

beda untuk membantu proses menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan

hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya secara konvensional lebih

mengutamakan hasil akhir.

Dalam strategi REACT siswa diberi alat bantu berupa benda-benda konkrit. Menurut Herman

(2004), benda konkrit dapat berperan sebagai representasi alternatif yang menghubungkan

representasi suatu konsep yang baru terhadap konsep sebelumnya, sehingga representasi terkoneksi

dalam jaringan dengan struktur yang lebih terorganisasi. Jadi, dengan menggunakan bantuan benda

konkrit, sifat matematika yang abstrak dapat lebih mudah diterima oleh siswa, khususnya siswa

sekolah dasar yang kemampuan berpikirnya berada pada tahap berpikir konkrit.

Selain itu, pada kelas eksperimen siswa diberikan kesempatan untuk merepresentasikan suatu

permasalahan secara bebas tanpa dibatasi sehingga siswa menjadi lebih kreatif untuk

merepresentasikan suatu permasalahan. Hal ini berbeda yang terjadi di kelas kontrol dimana siswa

harus melakukan prosedur atau langkah-langkah yang baku yang telah ditetapkan oleh guru

kelasnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum siswa yang pembelajarannya

dengan strategi REACT menunjukkan kemampuan representasi yang lebih baik dibandingkan

dengan siswa yang pembelajarannya dengan strategi konvensional.

E. KESIMPULAN

Peningkatan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran

dengan menggunakan strategi REACT secara signifikan lebih baik daripada kemampuan koneksi

dan representasi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi konvensional

ditinjau dari level sekolah (baik dan sedang) dan ditinjau dari tingkat kemampuan matematika

siswa (tinggi, sedang, rendah).

Sebagian besar siswa menunjukkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah

dilakukan. Dengan kata lain, pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT

dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Hal ini ditunjukkan melalui pendapat siswa

dalam angket maupun pada hasil wawancara serta dari aktivitas siswa seperti siswa terlihat lebih

aktif dan memiliki semangat yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan, berdiskusi antar

sesama siswa, bertanya pada guru dan terjadi interaksi multi arah.

Page 113: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 105

F. SARAN

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan

strategi REACT dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik yang lebih

baik daripada menggunakan strategi konvensional, baik ditinjau berdasarkan level sekolah maupun

kemampuan matematika siswa. Oleh karena itu disarankan pembelajaran dengan strategi REACT

dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat digunakan guru matematika dalam menyajikan

materi matematika untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan representasi matematik siswa.

Strategi REACT memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses pembelajarannya karena

memerlukan beberapa langkah yang sudah ditentukan, sehingga jika guru ingin menggunakan

strategi ini disarankan untuk sehingga melakukan persiapan yang matang agar pembelajaran dapat

berjalan dengan lancar dengan mempertimbangkan pengalokasian waktu pada setiap langkah-

langkah tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga terciptalah proses pembelajaran yang efektif dan

efisien sepanjang waktu yang sudah ditetapkan. (a) LAS yang digunakan harus mengarahkan siswa

dalam mengkonstruksi konsep dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti

dari setiap tingkatan kemampuan matematika siswa baik tinggi, sedang maupun rendah. (b)

intervensi guru dalam pembelajaran harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa jangan

berlebihan agar perkembangan aktual berjalan dengan efektif. (c) Disarankan REACT diterapkan

pada topik-topik matematika yang esensial yang dapat ditunjang oleh kegiatan hands-on untuk

menunjang tahapan eksplorasi dan penyelidikan sehingga konsep topik-topik ini dapat lebih

dipahami secara mendalam.

Untuk mengurangi kelemahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi dan representasi

matematik yaitu guru hendaknya selalu memberi masalah-masalah koneksi dan representasi

matematika untuk dikerjakan di rumah baik secara individu maupun secara kelompok yang

selanjutnya dibahas dan didiskusikan bersama. Hal ini diperlukan sebagai upaya untuk mengatasi

keterbatasan waktu di sekolah.

Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat dilengkapi dengan meneliti aspek-

aspek lain secara lebih terperinci yang belum terjangkau oleh penulis saat ini seperti ditinjau dari

jenis kelamin, meneliti sekolah yang mewakili semua level sekolah yaitu sangat baik, baik, sedang

dan rendah.

Sehubungan dengan ditemukannya bahwa siswa dari kemampuan matematika rendah hasil belajar

kemampuan koneksinya yang menggunakan strategi REACT tidak berbeda jauh dengan

kemampuan matematika siswa rendah di strategi konvensional, hal ini berarti bahwa guru

mempunyai peranan yang penting dalam upaya meningkatkan kemampuan koneksi siswa. Oleh

karena itu dianjurkan bila guru ingin berhasil dengan baik dalam mengajarkan dengan strategi

REACT maka guru harus lebih memperhatikan siswa dengan kemampuan matematika siswa yang

rendah misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan bantuan yang dapat membantu siswa untuk

menemukan jawaban yang diharapkan.

Page 114: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

106 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Crawford. (2001). Teaching Contextually. Texas: CCI Publishing, Inc.

Herman, T. (2004). Mengajar dan Belajar Matematika dengan Pemahaman. Jurnal Mimbar

Pendidikan No.1 Tahun XXIII. Bandung: University Press UPI.

Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap Pengembangan

Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa. Disertasi PPS UPI Bandung:

tidak diterbitkan.

Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan

Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis PPS UPI Bandung: tidak

diterbitkan.

Kusuma, D. A. (2003). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SLTP dengan

Menggunakan Metode Inkuiri. Tesis PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Marthen, T. (2009). Pengembangan Kemampuan Matematis Siswa SMP Melalu Pembelajaran

Kontekstual dengan Pendekatan REACT. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan.

Muslich, M. (2008). KTSP. Jakarta: Bumi Aksara.

National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for

School Mathematics. Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc.

____________________________________. (2000). Principles and Standars for School

Mathematics. Reston VA: The National Council of Teachers of Mathematics Inc.

Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.

Semarang:IKIP Semarang Press.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis PPS UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Suhena, E. (2009). Pengaruh Strategi REACT dalam Pembelajaran Matematika Terhadap

Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Penalaran, dan Komunikasi Matematis Siswa

SMP. Disertasi UPI : Tidak diterbitkan.

Tim JICA. (2010). Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam konteks

Indonesia. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika. Jakarta: Leuser Cita

Pustaka.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Diktat Perkuliahan UPI

Bandung: Tidak diterbitkan.

Page 115: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 107

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI

KOOPERATIF JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH

PERTAMA

Oleh : Nitta Puspitasari

STKIP GARUT

Abstrak

Matematika selalu berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sekarang

ini matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang pola dan hubungan,

dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Penelitian eksperimental dengan desain

kelompok control pretest-posttest ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi

matematis siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif

Jigsaw dan siswa yang mengikuti pendekatan konvensional, keterkaitan antara pendekatan pembelajaran

berbasis masalah dengan strategi Jigsaw dan kualifikasi sekolah, serta sikap siswa terhadap pembelajaran

berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw. Subjek populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP

Negeri Garut. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified sampling. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa: (1) kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis

masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional; (2) tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan kualifikasi sekolah terhadap koneksi

matematis; (3) terdapat perbedaan sikap siswa yang signifikan terhadap pembelajaran berbasis masalah

dengan strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah.

PENDAHULUAN

Matematika selalu berkembang sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga

sekarang ini matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu, ilmu tentang

pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami dunia sekitar. Oleh karena itu,

untuk menjawab berbagai tantangan dan tuntutan pada era seperti sekarang ini, kemampuan

berpikir tingkat tinggi siswa seperti kemampuan memecahkan masalah, berargumentasi secara

logis, bernalar, menjelaskan dan melakukan justification, memanfaatkan sumber informasi,

berkomunikasi, bekerja sama, menyimpulkan dari berbagai situasi, pemahaman instrumental, dan

pemahaman fungsional, perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika.

Matematika pada dasarnya adalah ilmu yang abstrak dan bersistem deduktif-aksiomatik, yang

dimulai dengan unsur-unsur yang tidak terdefinisi. Hal ini berarti bahwa matematika merupakan

aktivitas mental, sehingga kegiatan berpikir matematika tidak dapat dilepaskan dari kegiatan

kognitif (Akib, 2003: 1). Sejalan dengan pendapat Ruseffendi (1991: 260) yang mengatakan bahwa

matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan

penalaran.

Menurut Hirdjan (2000), ―matematika tidak diajarkan secara terpisah antartopik. Masing-masing

topik dapat dilibatkan atau terlibat dengan topik lainnya‖. Oleh karena itu, pemahaman siswa pada

satu topik akan membantu untuk memahami topik yang lain, tetapi hal ini dapat terjadi jika siswa

mampu mengkoneksikan topik-topik tersebut.

Pendapat di atas sesuai dengan standar NCTM (2000: 274):

Thinking mathematically involves looking for connections, and making connections

builds mathematical understanding. Without connections, students must learn and

remember too many isolated concepts and skills. With connections, they can build new

understandings on previous knowledge.

Page 116: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

108 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dengan koneksi, siswa mampu membangun pemahaman baru berdasarkan pada pengetahuan

sebelumnya.

Agar proses pembelajaran matematika dapat bermakna bagi siswa, maka diperlukan perencanaan

yang sistematis dari guru sehingga siswa dapat memahami dan mengkoneksikan berbagai topik

secara lebih baik dan efisien. Bruner (TIM MKPBM, 2001: 43) menyatakan bahwa ‗belajar

matematika akan lebih berhasil jika proses pembelajarannya diarahkan pada konsep-konsep dan

struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan-

hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan kata lain, belajar

matematika akan berhasil jika siswa dapat melihat koneksi antartopik dalam matematika. Konsep

atau topik yang dia pelajari sebelumnya harus dapat dijadikan sebagai modal untuk mempelajari

topik yang sedang dan akan dipelajari. Hal ini dapat tercapai bila dalam pembelajaran siswa diberi

kesempatan untuk memahami konsep secara mendalam dan mencoba untuk mengembangkan

konsep baru dari konsep yang telah ia ketahui.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang tampaknya dapat mengembangkan kemampuan

pemahaman dan koneksi matematis adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis

masalah menuntut aktivitas mental siswa dalam memahami suatu konsep, prinsip dan kompetensi

matematis melalui situasi atau masalah yang disajikan di awal pembelajaran. Ruspiani (2000)

mengatakan bahwa pada saat siswa mampu memahami suatu permasalahan, maka siswa mampu

membuat koneksi dengan topik-topik yang terkait. Jadi dalam pembelajaran ini situasi atau masalah

menjadi titik tolak untuk memahami konsep, prinsip, dan mengembangkan kompetensi matematis.

Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya, masalah disajikan pada akhir pembelajaran setelah

memahami konsep, prinsip dan kompetensi matematis, pendekatan ini mencakup pengumpulan

informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya

terhadap situasi atau masalah yang dijumpai orang lain.

Agar pembelajaran berbasis masalah berjalan secara optimal, perlu diciptakan suatu kondisi yang

memungkinkan siswa lebih aktif dalam melakukan eksplorasi, investigasi, mengemukakan

pendapat, saling membantu dan berbagi pendapat dengan teman untuk menyelesaikan masalah

yang diberikan dalam pembelajaran. Kondisi yang memungkinkan timbulnya hal-hal tersebut yaitu

melalui belajar dengan kelompok-kelompok kecil yang disebut belajar kooperatif (cooperative

learning) (Slavin,1995).

Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe. Salah satunya yaitu belajar kooperatif tipe

Jigsaw yang dikemukakan oleh Arronson (1978). Scott (dalam Hariyanto, 2000: 3) menyatakan

bahwa Jigsaw merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang sangat fleksibel

(cocok) untuk semua kelas/tingkatan. Dalam model pembelajaran ini, setiap siswa ditugaskan

mempelajari sebuah topik/masalah tertentu. Siswa-siswa bertemu dengan anggota dari kelompok

lain yang mempelajari masalah yang sama. Setelah bertukar pendapat dan informasi, para siswa

tersebut kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mendiskusikan atau menjelaskan apa yang

telah dipelajarinya kepada anggota kelompok sendiri. Dengan demikian, pembelajaran berbasis

masalah dengan menggunakan strategi kooperatif tipe Jigsaw memberi peluang untuk

menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam koneksi matematis.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penelitian yang berjudul ―Pembelajaran Berbasis

Masalah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Koneksi Matematis Siswa

Sekolah Menengah Pertama‖.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada uraian latar belakang, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran

berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik daripada siswa yang mengikuti

pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah

dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa?

Page 117: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 109

3. Apakah terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan

strategi kooperatif Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah?

TINJAUAN PUSTAKA

1. Koneksi Matematis

Koneksi matematis berasal dari bahasa Inggris ―Mathematical Connection‖ yang kemudian

dipopulerkan oleh NCTM yang mengulas masalah ini untuk pembelajaran matematika dari tingkat

dasar sampai menengah. Koneksi dengan kata lain dapat diartikan sebagai keterkaitan.

Menurut NCTM (2000), terdapat tiga tujuan koneksi matematis di sekolah. Pertama, memperluas

wawasan pengetahuan siswa. Kedua, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang

terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi dan manfaat baik

di sekolah maupun di luar sekolah.

Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan di atas, koneksi matematis diklasifikasikan menjadi

tiga macam yang meliputi:

a. Koneksi antartopik dan proses matematika;

b. Koneksi antara konsep matematika dengan disiplin ilmu lain;

c. Koneksi antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Dari klasifikasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup matematika tidak hanya mencakup

permasalahan yang berkaitan dengan bidang studi matematika saja, tetapi meliputi bidang studi lain

dan dengan kehidupan sehari-hari. Representasi pemikiran yang berbeda dari suatu permasalahan

yang dikemukakan, merupakan suatu sudut pandang siswa yang sesuai dengan interpretasi siswa

terhadap masalah dan penyelesaiannya. Bila siswa menjadi lebih memahami secara matematis,

maka mereka akan lebih fleksibel untuk mendekati situasi dalam berbagai cara dan mampu

mengenal cara pandang yang berbeda.

Pengalaman koneksi matematis siswa memiliki karakteristik dasar sebagai berikut:

a. Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

b. Menghubungkan kemampuan prosedural dan konseptual.

c. Melihat matematika secara keseluruhan yang saling berkaitan.

d. Menerapkan berpikir matematis dan membuat model pemecahan masalah yang berasal dari

disiplin ilmu lain.

e. Menggunakan nilai-nilai yang berkaitan di antara topik-topik matematika.

f. Mengenali kesamaan representasi dari konsep yang serupa (Coxford dalam Juandi, 2006: 44).

Sumarmo (2002: 15) menyatakan bahwa beberapa indikator kemampuan koneksi matematis

diantaranya adalah: mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami

hubungan antartopik matematis; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan

sehari-hari; memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama; mencari koneksi

satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antartopik

matematika dan antara matematika dengan topik lain.

Kemampuan koneksi matematis yang akan dikaji dalam penelitian ini akan terfokus pada

kemampuan memahami relevansi ekuivalensi konsep atau prosedur yang sama, mencari koneksi

satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, dan menggunakan matematika

dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning) adalah sebuah pendekatan yang lahir

dari adanya perubahan yang sangat mendasar disebabkan pergeseran pandangan dalam memahami

bagaimana siswa belajar matematika. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses menerima

Page 118: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

110 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

informasi untuk disimpan pada memori siswa yang diperoleh melalui pengulangan praktek dan

penguatan, namun siswa belajar dengan mendekati setiap persoalan baru dengan pengetahuan yang

telah ia miliki, mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri. Sebagaimana

diungkapkan oleh Duch (1995) bahwa,

Problem-based learning (PBL), at its most fundamental level, is instructional method

characterized by the use of „real world‟ problem as a context for student to learn

critical thinking and problem solving skill, and acquire knowledge of the essential

concept of the course.

Ini mengandung arti bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan metode pengajaran yang

mempunyai ciri menggunakan masalah nyata sebagai konteks bagi siswa untuk belajar berpikir

kritis, keterampilan pemecahan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai esensi konsep.

Ibrahim dan Nur (2000) memberikan karakteristik masalah yang diketengahkan dalam PBM

sebagai berikut:

1. Autentik, yaitu masalah harus lebih berakar pada pengalaman dunia nyata siswa daripada

berakar pada prinsip-prinsip dasar disiplin ilmu tertentu.

2. Tidak terdefinisi dengan baik, maksudnya adalah masalah tidak terspesifikasikan dan kurangnya

informasi yang diberikan sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi,

eksplorasi, konjektur sebelum pemecahan masalah.

3. Sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual.

4. Konsisten dengan tujuan kurikulum.

Secara garis besar langkah-langkah dalam PBM ditinjau dari indikator kegiatan siswa dan aktivitas

guru adalah sebagai berikut (Ibrahim dan Nur, 2000: 13):

Tabel 1

Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Indikator Kegiatan Guru

1 Mengorientasikan siswa

pada masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik

yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas

pemecahan masalah yang dipilihnya.

2 Mengorganisasikan siswa

untuk belajar

Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan

tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3 Membimbing penyelidikan

mandiri dan kelompok

Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang

sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk penjelasan dan

pemecahan masalah.

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan

karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka

untuk berbagi tugas dengan temannya.

5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang

mereka gunakan.

3. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Jigsaw

Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam

menguasai materi atau konsep untuk mencapai pemahaman yang maksimal adalah pembelajaran

kooperatif Jigsaw. Adapun tahap-tahap pembelajarannya sebagai berikut:

a. Tahap pertama, pembentukan kelompok-kelompok kecil dengan kriteria setiap kelompok

heterogen terdiri dari empat sampai enam orang. Pembentukan kelompok ini disebut sebagai

kelompok asal.

b. Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk memecahkan masalah tertentu yang

diberikan pada pembelajaran. Kemudian siswa-siswa dari kelompok lain yang memiliki masalah

yang sama berkumpul untuk secara bersama-sama melakukan investigasi, memunculkan atau

Page 119: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 111

mengkonstruksi pertanyaan, melakukan eksplorasi dan observasi, mengemukakan jawaban

sementara (hipotesis), yang pada akhirnya diperoleh pemecahan masalahnya. Pembentukan

kelompok ini disebut sebagai kelompok ahli.

c. Tahap ketiga, setelah dalam kelompok ahli diperoleh pemecahan masalah dari masalah yang

ditugaskan, kemudian masing-masing perwakilan tersebut dalam kelompok ahli kembali ke

kelompok asal. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman

satu kelompoknya sehingga teman satu kelompok dapat pula memecahkan masalah yang

diberikan.

d. Tahap keempat, siswa diberi tes/kuis oleh guru untuk mengevaluasi proses pembelajaran.

Adapun tahapan PBM melalui model kooperatif Jigsaw disajikan pada Tabel berikut:

Tabel 2

Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

dengan Strategi Kooperatif Jigsaw

Fase Indikator Kegiatan Guru

1 Mengorientasikan siswa

pada masalah

Mengajukan masalah (melalui soal), selanjutnya guru

meminta siswa untuk mengemukakan ide, teori yang dapat

digunakan dalam memecahkan masalah tersebut.

2 Mengorganisasikan siswa

untuk belajar

Mengorganisir siswa untuk belajar melalui model

kooperatif Jigsaw.

3 Membimbing penyelidikan

mandiri dan kelompok

Pada tahap ini siswa melakukan pemecahan masalah

bersama kelompok ahli kemudian menerangkan kembali

kepada teman kelompoknya di kelompok asal. Guru

sifatnya membantu dan mendorong siswa sehingga benar-

benar mengerti permasalahannya.

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Menyuruh salah satu kelompok ahli untuk

mempresentasikan hasil pemecahan masalah di depan

kelas, diberikan kesempatan kepada kelompok ahli lain

untuk mengajukan pertanyaan atau komentar, guru

membantu jika siswa mengalami kesulitan.

5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Membantu menganalisis dan mengevaluasi hasil

pemecahan masalahnya sehingga ditemukan suatu formula

atau definisi yang diinginkan.

4. Sikap Siswa terhadap Pembelajaran

Indikator keberhasilan siswa dalam belajar tidak hanya dilihat dari nilai tes yang diperolehnya.

Sikap siswa dalam proses belajar pun merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa dalam

belajar. Oleh karena itu, sikap siswa dalam belajar matematika menjadi penting karena matematika

akan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, apabila siswa memiliki sikap yang positif. Sikap

terbentuk dari adanya interaksi yang dialami individu. Azwar (1995: 30) menyatakan bahwa dalam

interaksinya, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologi yang

dihadapinya.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain kelompok control pretest-posttest.

Unit-unit eksperimen dilakukan di dua kelas yang masing-masing menggunakan pembelajaran

berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan pembelajaran konvensional. Kategori

sekolah ditetapkan menurut kualifikasi sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional setempat.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified sampling. Instrumen yang digunakan adalah

tes dan non tes.

Page 120: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

112 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

HASIL PENGOLAHAN DATA

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil sebagai berikut. Nilai pretest menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan awal koneksi matematis antara

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Hasil perhitungan uji rerata gain ternormalisasi kemampuan koneksi matematis, disajikan pada

Tabel berikut. Tabel 3

Hasil Perhitungan Uji Rerata Gain Ternormalisasi Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Tabel 4

Hasil Uji Chi-Kuadrat (2 ) Gain Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah

Kualifikasi Sekolah Asym.Sig. α Kesimpulan

Atas 0,008 0,05 Tolak H0

Tengah 1,000 0,05 Terima H0

Bawah 0,008 0,05 Tolak H0

Dari skor gain ternormalisasi secara keseluruhan diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan

koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif

Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Namun, berdasarkan kualifikasi sekolah kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti

pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan

daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional hanya terjadi pada kualifikasi sekolah

atas dan bawah. Sedangkan pada kualifikasi sekolah tengah tidak terdapat perbedaan peningkatan

secara signifikan antara kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran

berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional.

Selanjutnya untuk interaksi pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah

dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan

koneksi matematis. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 5

Hasil Uji Anova Dua Jalur Perbedaan Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kualifikasi Sekolah

Sumber Jumlah

Kuadrat Df

Rerata

Kuadrat F Sig H0

Pembelajaran 5,735 1 5,735 34,799 0,000 Tolak

Kualifikasi Sekolah 14,725 2 7,363 44,674 0,000 Tolak

Interaksi 0,346 2 0,173 1,050 0,474 Terima

Total 749,219 230

Test Statisticsa

4221.500

10326.500

-4.734

.000

Mann-Whitney U

Wilcoxon W

Z

Asy mp. Sig. (2-tailed)

KONEKSI

Grouping Variable: KELOMPOKa.

Page 121: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 113

Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa faktor pendekatan pembelajaran memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis. Demikian pula halnya dengan

faktor kualifikasi sekolah, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi

matematis. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan koneksi matematis siswa

berdasarkan kelompok pendekatan pembelajaran dan kualifikasi sekolah. Secara bersamaan, kedua

kelompok tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis.

Dari hasil uji Anova yang terdapat pada Tabel 5, diperoleh nilai F = 1,050 dengan nilai probabilitas

(sig) = 0,474 lebih besar dari , maka hipotesis nol (H0) diterima. Hal ini berarti tidak terdapat

interaksi pembelajaran yang digunakan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan

koneksi matematis. Semakin tinggi kualifikasi sekolah, maka nilai rerata gain yang diperoleh

semakin tinggi. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada interaksi sama sekali antara pendekatan

pembelajaran dan kualifikasi sekolah.

Dari hasil uji kontingensi untuk sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan

strategi kooperatif Jigsaw diperoleh nilai hubungan positif sebesar 0,567. Hal ini berarti terdapat

perbedaan sikap siswa yang signifikan terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi

kooperatif Jigsaw.

KESIMPULAN

Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah

dengan strategi kooperatif Jigsaw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti

pembelajaran konvensional.

Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan kualifikasi sekolah dalam

peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Secara umum pendekatan pembelajaran tidak

berkaitan dengan kualifikasi sekolah dalam peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa.

Terdapat perbedaan sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif

Jigsaw berdasarkan kualifikasi sekolah. Semakin tinggi kualifikasi sekolah, sikap siswa semakin

positif.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi berikut :

1. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw hendaknya terus

dikembangkan dan dijadikan alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika. Hal ini

disebabkan pendekatan tersebut secara umum memberikan pengaruh yang positif terhadap

koneksi matematis. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kooperatif

Jigsaw dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif, meningkatkan aktivitas

siswa dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa.

2. Tidak adanya interaksi antara pembelajaran dan kualifikasi sekolah terhadap kemampuan

koneksi matematis siswa berarti bahwa nilai rerata yang diperoleh siswa sesuai dengan

kualifikasi sekolah artinya siswa yang berada pada kualifikasi atas memiliki nilai yang tinggi,

demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, ketentuan penerimaan siswa baru yang telah

ditetapkan Dinas Pendidikan pada saat ini sudah tepat dan dapat terus digunakan.

3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan pembelajaran berbasis

masalah dengan strategi kooperatif Jigsaw terhadap kemampuan daya matematis lainnya

(komunikasi, pemecahan masalah, dan representasi matematis), dengan waktu pelaksanaan

penelitian yang lebih lama dan materi yang lebih luas.

Page 122: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

114 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Akib, I. (2003). Pembelajaran Matematika dalam Perspektif Budaya Lokal. Makalah. Makassar:

UNM.

Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Duch, B. J. (1995). What is Problem-Based Learning. [Online]. Tersedia:

http://www.undel.edu/pbl/cte/jan95-what.html.[10 Maret 2008].

Hariyanto, (2000). Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara siswa yang Pembelajarannya

Menggunakan Model Kooperatif Jigsaw dan Model Konvensional. Tesis UPI: Tidak

Diterbitkan

Ibrahim, M. dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA

University Press.

Juandi, D. (2006). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui

Pembelajaran Berbasis Masalah). Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan.

NCTM. (2000). Professional Standard School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi matematis. Tesis. UPI: Tidak

diterbitkan.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Boston: Allyn and

Bacon.

Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Makalah pada Seminar Matematika Tingkat Nasional yang Diselenggarakan

BEM Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Bandung: Bandung.

TIM MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI, (2001). Strategi Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: JICA UPI Bandung.

Page 123: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 115

MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS

SISWA SMP DENGAN MODEL PEMBELAJARAN

INKUIRI TERBIMBING

Anik Yuliani

Jurusan Pendidikan Matematika – MIPA

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak.

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan generalisasi matematis yang memperoleh

model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dipilih

dua kelas secara acak dengan cara mengundi untuk dijadikan sampel penelitian, kelas yang terpilih sebagai

sampel penelitian yaitu kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII E sebagai kelas kontrol. Setiap

kelas terdiri dari 40 siswa yang terbagi kedalam tiga kemampuan awal matematika yang berbeda, yaitu siswa

berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap rataan gain ternormalisasi

kedua kelompok sampel dengan menggunakan Uji ANOVA Dua Jalur. Analisis kualitatif dilakukan untuk

menelaah aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan generalisasi matematis

siswa, demikian juga dilihat dari kategori kemampuan awal matematika siswa.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing, Kemampuan Generalisasi Matematis.

A. Pendahuluan

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 1989) mengungkapkan bahwa belajar dan

menggunakan matematika adalah aspek yang penting dari keseluruhan kurikulum sekolah. Oleh

karena itu, tidaklah mengherankan bila matematika merupakan mata pelajaran yang terdapat dalam

setiap jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Adapun tujuan matematika

diberikan kepada siswa menurut NCTM (2000) yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan:

belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); belajar untuk bernalar (mathematical

reasoning); belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); belajar untuk

mengkaitkan ide (mathematical connections); dan pembentukan sikap positif terhadap matematika

(positive attitudes toward mathematics).

Hal tersebut menjadi acuan Depdiknas (2006) dalam menyusun tujuan pembelajaran matematika di

Indonesia yaitu diantaranya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep

matematika; mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi; mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,

diagram, atau media lain serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

Upaya untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran matematika bukanlah hal yang mudah.

Diperlukan suatu usaha dari semua pihak, baik dari guru maupun dari siswa itu sendiri. Salah satu

aspek penting yang tertera dalam tujuan pembelajaran matematika adalah kemampuan penalaran.

Aplikasi penalaran sering ditemukan dalam proses pembelajaran matematika, karena materi

matematika dan penalaran matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini

menunjukkan bahwa matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan

dilatihkan melalui belajar matematika (NCTM, 1989). Nasoetion (Priatna, 2003) menyebutkan

bahwa manfaat melakukan penalaran dalam pembelajaran matematika yaitu, dari hanya yang

sekedar mengingat fakta, aturan, prosedur kepada kemampuan pemahaman.

Masih rendahnya kualitas kemampuan penalaran dalam hal ini kemampuan generalisasi matematis

merupakan indikasi bahwa tujuan pembelajaran matematika belum tercapai secara optimal. Agar

tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan

melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas.

Page 124: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

116 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Salah satu model pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan keterlibatan siswa secara

aktif adalah model pembelajaran inkuiri. Pada model pembelajaran inkuiri pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,

tetapi hasil dari menemukan sendiri (Trianto, 2007). Hal ini sejalan dengan pendapat Hutabarat

(2009) yang menyatakan bahwa sebagai ciri khas dari inkuiri adalah induktif, karena pembuktian

rumus tanpa dipengaruhi oleh teori-teori yang sudah ada. Siswa diharapkan dapat mencari dan

menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dengan cara melakukan

pengamatan, mengumpulkan data, menganalisis dan menarik kesimpulan. Dengan demikian model

pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan dapat meningkatkan kemampuan generalisasi

matematis, dimana generalisasi merupakan bagian dari penalaran induktif.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model

pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat

dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menelaah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model

pembelajaran inkuiri terbimbing dengan siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional.

2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat dari

kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat memberikan masukan

yang berarti dalam memperbaiki mutu pendidikan matematika di kelas, khususnya dalam

mempertajam kemampuan generalisasi matematis. Masukan-masukan yang dapat diperoleh sebagai

berikut :

a. Memberi informasi tentang pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing

terhadap peningkatan kemampuan generalisasi matematis.

b. Jika ternyata terdapat pengaruh yang positif, maka model pembelajaran inkuiri terbimbing

dapat dijadikan sebagai salah satu pembelajaran yang bermanfaat dalam pembelajaran

matematika di sekolah.

c. Melatih siswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran serta melatih siswa dalam

menemukan konsep matematika dengan cara bereksplorasi sendiri.

d. Menjadi bahan rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai penerapan

pembelajaran matematika dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing di sekolah.

E. Kemampuan Generalisasi Matematis dan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

1. Kemampuan Generalisasi Matematis

Generalisasi merupakan terjemahan dari generalization, generalisasi menurut Copi et al.

(Sumarmo, 1987) adalah proses penalaran memperoleh kesimpulan umum berdasarkan data

empiris. Selanjutnya menurut NCTM (2000) mendeskripsikan proses generalisasi adalah mencatat

keteraturan dan memformulasikan konjektur. Sementara itu Shurter dan Pierce (Dahlan, 2004)

mendefinisikan generalisasi sebagai proses penalaran yang dihasilkan dari pengujian contoh yang

secukupnya menuju sebuah kesimpulan mengenai semua atau beberapa contoh.

Page 125: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 117

Begitu juga dengan Rahman (2004) mengungkapkan bahwa generalisasi adalah proses penarikan

kesimpulan dimulai dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran

tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan pola atau aturan yang

melandasinya. Proses generalisasi matematika menurut Mason (Rahman, 2004) terdiri dari 4 tahap

yaitu:

(1) Perception of generality

Pada tahap ini siswa baru sampai pada tahap mengenal sebuah aturan/pola.

(2) Expression of generality

Pada tahap ini siswa telah mampu menguraikan sebuah aturan atau pola, baik secara numerik

maupun verbal.

(3) Symbolic expression of generality

Pada tahap ini siswa telah mampu menghasilkan sebuah aturan dan pola umum.

(4) Manipulation of generality

Pada tahap ini siswa telah mampu menerapkan aturan atau pola dari berbagai persoalan.

Pola-pola dalam matematika sangat membantu anak di dalam membuat generalisasi. Ada beberapa

pola yang dapat digunakan diantaranya pola tumbuh, pola berulang. Pola-pola tersebut dinyatakan

dengan gambar (geometri) dan bilangan (aritmatika). Kemampuan untuk melakukan generalisasi

adalah sangat penting dalam pembelajaran matematika, sebagaimana dikatakan Hudoyo (Rahman,

2004) bahwa proses generalisasi merupakan aspek atau bagian yang esensial dari berpikir

matematik.

Dari beberapa pengertian generalisasi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

generalisasi adalah kemampuan untuk mempersepsi (menyatakan pola), menentukan

struktur/data/gambaran/suku berikutnya, dan memformulasikan keumuman secara simbolis.

2. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Gulo (2002) mendeifinisikan strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang

melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara

sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan

penuh percaya diri. Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya (2009) strategi pembelajaran inkuiri

adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan

analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Sund, Trowbridge dan Leslie (Gani, 2007) menjelaskan bahwa model pembelajaran inkuiri

terbimbing yaitu model pembelajaran inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan

dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran

aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Model pembelajaran inkuiri

terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan model

pembelajaran inkuiri. Dengan model pembelajaran ini siswa belajar lebih beorientasi pada

bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada

model pembelajaran inkuiri terbimbing ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan

untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu

menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.

Langkah-langkah dalam pendekatan inkuiri dalam penelitian ini adalah:

a. Merumuskan masalah

b. Mengembangkan hipotesis

c. Mengumpulkan data

d. Menguji hipotesis

e. Menarik kesimpulan

Page 126: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

118 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

F. Metode dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut :

Kelas Eksperimen : O X O

Kelas Kontrol : O O

Keterangan :

O : Pretest dan posttest (tes kemampuan generalisasi matematis siswa)

X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing

Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di

Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. Kemudian dari sekolah tersebut diambil siswa kelas

VIII sebagai subyek sampel.

G. Instrumen Penelitian

Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan generalisasi matematis terdiri dari 5 butir soal

yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes kemampuan generalisasi, diawali dengan

penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun alternatif jawaban untuk masing-

masing butir soal.

Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa sebelum

dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =skorpretesskorideal

skorpretesskorpostes

(Hake, 1999)

Tabel G.1

Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi

Besarnya Gain (g) Interpretasi

0,7 ≤ 𝑔 ≤ 1 Tinggi

0,3 ≤ 𝑔 < 0,7 Sedang

0 ≤ 𝑔 < 0,3 Rendah

H. Analisis Data dan Pembahasan

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan generalisasi matematis, antara siswa yang memperoleh

model pembelajaran inkuiri terbimbing dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional,

maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh

model pembelajaran inkuiri terbimbing dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi

menurut model pembelajaran dan kategori kemampuan siswa di kelas eksperimen dan kelas

kontrol.

Page 127: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 119

Tabel H.1

Statistik Deskriptif Gain Ternormalisasi Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut

Model Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa

Pembelajaran Kategori_siswa Mean Std. Deviation N

MPIT

Tinggi 0,786 0,108 11

Sedang 0,634 0,130 18

Rendah 0,313 0,084 11

Total 0,587 0,213 40

PK

Tinggi 0,591 0,123 11

Sedang 0,449 0,104 18

Rendah 0,263 0,066 11

Total 0,437 0,158 40

Total

Tinggi 0,688 0,150 22

Sedang 0,541 0,149 36

Rendah 0,288 0,078 22

Total 0,512 0,201 80

Beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis yang dapat

diungkap dari Tabel H.1, yaitu:

a. Rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh MPIT (0,587)

terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,437) atau MPIT > PK

b. Untuk siswa berkemampuan tinggi, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa

yang memperoleh MPIT (0,786) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,591) atau

MPIT > PK

c. Untuk siswa berkemampuan sedang, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa

yang memperoleh MPIT (0,634) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,449) atau

MPIT > PK

d. Untuk siswa berkemampuan rendah, rataan gain kemampuan generalisasi matematis siswa

yang memperoleh MPIT (0,313) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan PK (0,263) atau

MPIT > PK

Untuk mengetahui perbedaan rataan data skor gain kemampuan generalisasi matematis siswa yang

memperoleh MPIT dengan siswa yang memperoleh PK digunakan uji analisis varians pada General

Linear Model (GLM)-Univariate. Dilakukan pada taraf signifikansi 5% (α = 0,05), rangkumannya

dapat dilihat pada Tabel H.2 berikut ini:

Tabel H.2

Analisis Varians Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Menurut Model Pembelajaran dan Kategori

Kemampuan Siswa

Sumber

Jumlah

Kuadrat

(JK)

df Rataan JK F Sig.

Model Pembelajaran 0,388 1 0,388 33,384 0,000

Kategori Siswa 1,823 2 0,911 78,508 0,000

Model Pembelajaran *

Kategori Siswa 0,076 2 0,038 3,278 0,043

Inter 0,859 74 0,012

Total 24,223 80

Page 128: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

120 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

Hipotesis 1

Hipotesis penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa

berdasarkan model pembelajaran adalah, ―Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa

yang memperoleh model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.‖ Untuk menguji hipotesis tersebut, dirumuskan hipotesis

statistik sebagai berikut:

Ho : 𝜇1 = 𝜇2

H1 : 𝜇1 > 𝜇2

Keterangan:

𝜇1: rata-rata gain ternormalisasi generalisasi kelas eksperimen

𝜇2 : rata-rata gain ternormalisasi generalisasi kelas kontrol

Kriteria pengujian adalah tolak H0 jika Asymp.Sig.(1-tailed) < 𝛼 = 0,05. Menurut Whidiarso

(2007) hubungan nilai signifikansi uji satu arah dan dua arah dari output ialah Sig.(1-tailed) = ½

Sig.(2-tailed). Hipotesis nol ditolak, artinya peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa

yang memperoleh MPIT secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional.

Hipotesis 2

Hipotesis penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dengan

faktor kategori kemampuan siswa adalah, ―Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan

generalisasi matematis siswa dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.‖

Untuk menguji hipotesis tersebut, dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:

Ho : 𝜇1 = 𝜇2 = 𝜇3

H1 : Paling sedikit satu tanda ―sama dengan‖ tidak berlaku.

Setelah dilakukan perhitungan ANOVA dua jalur, hasilnya dapat dilihat pada Tabel H.2 yang

diperoleh nilai signifikansi (sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari = 0,05, sehingga hipotesis nol

ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa dilihat

dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah.

Karena peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berbeda pada faktor kategori

kemampuan siswa, maka untuk mengetahui rataan mana saja yang berbeda secara signifikan, akan

dilihat hasil Post Hoc Multiple Comparison dengan uji Scheffe yang disajikan pada Tabel H.3

berikut.

Tabel H.3

Perbedaan Rataan Gain Kemampuan Generalisasi Matematis Berdasarkan Kategori Kemampuan Siswa

(I) kategori (J) kategori Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence

Interval

Lower

Bound

Upper

Bound

Tinggi Sedang ,14690

* ,029155 ,000 ,07407 ,21974

Rendah ,40068* ,032484 ,000 ,31953 ,48183

Sedang Tinggi -,14690

* ,029155 ,000 -,21974 -,07407

Rendah ,25378* ,029155 ,000 ,18095 ,32661

Rendah Tinggi -,40068

* ,032484 ,000 -,48183 -,31953

Sedang -,25378* ,029155 ,000 -,32661 -,18095

Page 129: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 121

Tabel H.3 memperlihatkan perbedaan rataan di antara masing-masing kemampuan. Sebagai contoh,

perbedaan rataan antara kemampuan tinggi dan kemampuan sedang adalah 0,146 dengan standar

kesalahan 0,029, dan signifikansinya 0,000 (kurang dari 0,05), maka kesimpulannya adalah

terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kemampuan tinggi dan rata-rata kemampuan sedang.

Pada post hoc, variabel yang diberi tanda * berarti ada perbedaan yang signifikan, sehingga

berdasarkan Tabel H.3 dapat disimpulkan bahwa diantara masing-masing kemampuan terdapat

perbedaan yang signifikan pada peningkatan generalisasi matematis.

I. Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian dan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan

hipotesis-hipotesis penelitian, antara lain:

1. Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang memperoleh model

pembelajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional. Walaupun demikian, kedua peningkatan tersebut

(baik di kelas inkuiri terbimbing dan kelas konvensional) berada dalam kategori sedang.

2. Terdapat perbedaan secara signifikan peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa

dilihat dari kategori kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah. Dalam hal ini,

peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa berbeda antara kemampuan siswa

tinggi dan sedang, tinggi dan rendah, serta antara kemampuan siswa sedang dan rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Jarnawi A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika

Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) melalui Pendekatan Pembelajaran

Open-Ended. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:

http://www.physics.indiana.edu/∼sdi/Analyzingchange-Gain.pdf.

Hutabarat, D. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis

pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.

NCTM, (1989) Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. United States of

America: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan.

Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi

Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Dikaitkan

dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar

Mengajar. Disertasi UPI: Tidak diterbitkan.

Trianto. (2007). Model – Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :

Prestasi Pustaka.

Whidiarso, W. (2007). Uji Hipotesis Komparatif. [online]. Tersedia:

http://elisa.ugm.ac.id/files/wahyu_psy/maaio0d2/Membaca_t-tes.pdf (27 Juni 2009).

Page 130: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

122 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

BERPIKIR INTUITIF (INTUISI)

SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

DALAM MENGEMBANGKAN BERPIKIR KREATIF

Oleh : Aan Hasanah

Jurusan Matematika - Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak:

Tujuan penulisan artikel ini adalah mengungkapkan hasil analisis pendahuluan yang diberikan pada salah

seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua terhadap alur berpikir siswa yang melibatkan intuisi

dalam menyelesaikan soal problem solving - topic Geometri dalam mencari luas daerah segitiga. Hasil

observasi mengindikasikan adanya siklus berpikir antara intuisi-berpikir kritis-berpikir kreatif di dalam

menyelesaikan soal problem solving

Kata Kunci: intuisi, berpikir kritis, berpikir kreatif

PENDAHULUAN

Kemajuan dan ekses globalisasi di seluruh dunia pada berbagai bidang saat kini tidak dapat

dielakkan, baik dalam bidang perdagangan, komunikasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu

pula dalam bidang pendidikan. Satu sisi globalisasi telah menuntut adanya inovasi-inovasi dalam

berbagai bidang, tetapi sisi lain juga telah memberikan permasalahan yang makin kompleks dan

rumit sehingga dituntut adanya kemampuan-kemampuan yang tinggi dan kreatif untuk dapat

memecahkan masalah tersebut. Seperti diungkapkan di dalam NCTM (1989) dan National

Research Council (1989), tuntutan dunia yang semakin komplek menuntut individu yang memiliki

kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kreatif, kepribadian yang jujur dan mandiri (berjiwa

independen), serta sikap responsive terhadap perkembangan yang terjadi di sekelilingnya.

Kurikulum Matematika sekarang ini, pemecahan masalah (problem solving) merupakan fokus

dalam pembelajaran matematika. Namun kenyataannya sering sekali pembelajaran matematika di

kelas menghadapkan siswa pada suatu situasi atau permasalahan yang justru menimbulkan ambigu

bagi diri siswa, keambiguan dapat terjadi karena memiliki dua pengertian yang munculnya secara

bersamaan tetapi keduanya saling bertentangan ataupun karena memiliki ketidaksesuaian intuisi

yang dimiliki siswa dengan pemahaman konsep yang sudah atau sedang dipelajarinya.

Secara historis alur berpikir para ahli matematika pada awalnya bukanlah sebagai ilmu deduktif

tetapi diawali dengan adanya pengamatan dan dugaan kuat (berupa intuisi) terhadap fenomena

yang dihadapinya yang mengawali untuk membuat hipotesis dan seterusnya melakukan konjektur

dan terus berkembang menjadi suatu struktur yang logis dan deduktif berdasarkan eksperimen serta

pemikiran kritis dan kreatif yang dilakukan oleh para ahli matematika. Artinya intuisi dapat

menjadi ―gerbang pembuka‖ bagi proses berpikir kritis dan kreatif dari para ahli matematika,

sebagaicontoh, Geometri Euclide didasarkan pada lima dugaan kuat yang jelas dengan sendirinya

bagi Euclide tanpa perlu adanya pembuktian (merupakan intuisi) yang kemudian disebut ―postulat‖

yang dibangun berdasarkan pada pengalamannya sehari-hari. Contoh lain, Blaise Pascal menduga

kuat bahwa sifat-sifat segitiga ada kaitannya dengan barisan dan deret, dan berdasarkan usaha keras

pemikiran kritisnya dan kreatifitasnya, Pascal dapat menunjukkan adanya pola-pola istimewa

dalam segitiga yang dikenal dengan Segitiga Pascal (Byers, 2007, h.88-96).

Fischbein (1987) intuisi merupakan cara berpikir khusus yang terutama dicirikan oleh immediacy

dan self-evidence (jelas dengan sendirinya). Istilah lain yang sepadan dengan intuisi diantaranya

“common sense”, “naïve reasoning”, “interpretasi empiris” dan “insight” untuk mengindikasikan

suatu pemahaman yang datangnya tiba-tiba, penyusunan kembali data menyeluruh di dalam

kognitif yang akan membawa pada suatu pandangan baru, interpretasi baru atau penyelesaian

terhadap situasi yang diberikan. Bahkan psikologi terkenal Perancis M. Reuchelin mengatakan

Page 131: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 123

“natural thinking” memiliki fungsi penting sebagai immediacy, kekongkritan, kemampuan yang

tiba-tiba dan evaluasi yang bersifat global berpadanan dengan intuisi. Sedangkan Piaget

menggunakan istilah “natural thinking” tersebut sebagai “self-evidence” (Beth dan Piaget dalam

Fischbein, 1987, h.5).

Mengapa intuisi perlu dilibatkan di dalam proses pembelajaran? Ada hal menarik dari cara berpikir

seorang pengintuitif yaitu cara berpikir global yang mengerahkan segala sudut pandang berpikirnya

dan pengalamannya yang dipadu secara koheren namun munculnya secara cepat dan tidak

memerlukan jastifikasi terperinci terlebih dahulu (spontan). Berbeda dengan cara berpikir analitik

atau algoritmik yang terjadi melalui suatu rentetan langkah yang bersifat eksplisit dan biasanya

dapat disampaikan kepada orang lain. Peranan intuisi di dalam pembelajaran matematika menurut

Fischbein (1987), Keith (1993), Stavy dan Tirosh (2000), Khazanov (2008), intuisi berperan disaat

seseorang harus memilih dan mengambil keputusan kritis. Misal, ketika seorang siswa harus

menentukan pilihan yang tepat dari option-option yang diberikan untuk menentukan nilai perkalian

dari 1.804 × 2,98 tanpa menggunakan kalkulator dan harus dijawab dalam waktu yang sangat

singkat. Ilustrasi, Manakah jawaban yang tepat dari perkalian 1804 × 2,98. Apakah (A) 54,0602 ;

(B) 50,7596 ; (C) 37,7342. Jawaban yang tepat dari seorang pengintuitif adalah (A) 54,0602,

jawaban ini didasarkan pada pemilihan akan adanya petunjuk-petunjuk praktis yang seolah adanya

pembatas (boarder) angka yaitu 1804 lebih dekat ke angka 1800 dan angka 2,98 lebih dekat ke

angka 3, sehingga pemikir intuitif akan memusatkan perhatiannya untuk mengalikan 18 dengan 3

yaitu sekitar 54 untuk susunan angka paling depan dan angka akhir adalah 2.

Seorang pemikir intuitif yang baik mempunyai kekhususan tertentu yang sifatnya inheren, tetapi

kadar efektifitas intuisinya dilandasi oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan

dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis telah dikuasainya dapat

menunjang terbentuknya intuisi, atau variabel-variabel yang mempengaruhi kemampuan

intuitifnya. Melalui berpikir intuitif, seseorang mungkin sampai pada jawaban atau pemecahan

yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila ia menggunakan langkah pemecahan

melalui proses analitik. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah bahwa pada suatu saat seorang

pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan oleh pemikir

analitik.

Pengetahuan yang dibangun secara intutitif dapat disajikan dalam dua ilustrasi berikut ini. Ilustrasi

pertama, seseorang telah cukup lama menghadapi suatu persoalan, tiba-tiba ia menemukan

pemecahannya walaupun belum memperoleh pembenaran secara formal, misal ketika siswa novice

atau seseorang yang sebelumnya belum pernah menemukan menghadapi permasalahan di bawah,

diminta oleh gurunya untuk mencari nilai suku ke-50 dari barisan berikut: 1

2,

1

6,

1

12,

1

20,

1

30, …

Setelah sekian lama memikirkan dan mencari jawabnya, tiba-tiba dia mengatakan ―oh aku tahu

sekarang jawabnya 1

50(51) ― walaupun jawaban formal belum diperolehnya. Ilustrasi kedua, seorang

dapat dengan cepat memberikan jawaban dalam bentuk dugaan terhadap sesuatu persoalan secara

benar dan spontan, misal seseorang diberikan barisan sebagai berikut : 4,7,10,13,… kemudian

diminta untuk menentukan suku ke-n. Seorang pengintuitif yang baik akan dengan segera

menjawab bahwa suku ke-n adalah 3n + 1.

Berdasarkan kaitan antara intuisi dan jawaban (Fischbein, 1987, h.201-202), jenis intuisi terbagi

atas : (a) affirmatory intuition, yaitu representasi-representasi atau interpretasi-interpretasi dari

berbagai fakta yang diterima sebagai sesuatu yang pasti, self-evident (jelas dengan sendirinya), dan

self-consistent (konsisten diri) yang berkaitan dengan kebermaknaan konsep, pernyataan, dan

inferensi; (b) anticipatory intuition, yaitu konjektur-konjektur yang muncul karena adanya

aktivitas problem solving. dan (c) intuisi conclusive, yaitu pandangan global ide-ide penting untuk

mencari penyelesaian yang sebelumnya dielaborasi.

Page 132: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

124 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, tampaknya intuisi dapat hadir secara spontan pada diri

seseorang sebagai akibat seseorang telah memperoleh pemahaman konsep yang mendalam, serta

dapat menginterpretasi pernyataan-pernyataan (statements) secara self-evident (jelas dengan

sendiriya) dan self-consistent (konsisten diri). Ilustrasi intuisi affirmatory yang berkaitan dengan

konsep dapat dilihat pada contoh berikut, ketika siswa diminta untuk menyusun besarnya peluang

anak panah akan menancap pada sasaran A, B, dan C seperti pada gambar di bawah,

Siswa yang telah memiliki konsep mendalam tentang peluang akan secara spontan dan jelas bagi

dirinya bahwa pada Gambar (i) urutan besarnya peluang P(A)≥P(B)≥P(C). Meskipun tampilan

Gambar (i) diubah menjadi tampilan Gambar (ii) seorang pengintuitif akan tetap konsisten (self-

consistent) dengan pemahaman konsepnya bahwa P(A)≤P(B)≤P(C). Sedangkan ilustrasi intuisi

affirmatory yang berkaitan dengan suatu statement dan inferensi, misalkan seorang siswa

dihadapkan pada pernyataan berikut, A = B dan B = C. Jika terhadap pernyataan ini siswa

kemudian secara spontan dan self-evidence mengklaim bahwa A = C, maka hal ini dapat dipandang

sebagai suatu bentuk intuisi.

Selain kehadiran intuisi yang dapat muncul langsung secara spontan dan self-evident seperti

pada intuisi affirmatory di atas, kehadiran intuisi juga dapat muncul ketika seseorang berhadapan

dengan masalah yang sama sekali baru bagi dirinya (novice) atau problem solving. Namun

kehadiran intuisinya tidak langsung muncul sebagai self-evidence tetapi dipicu kehadirannya

melalui adanya noticing, kegiatan inquiri, observasi, membuat hipotesis, konjektur, dan penarikan

kesimpulan terhadap masalah yang dihadapinya. Menurut Fischbein (1987, h. 61) Intuisi

antisipatory merupakan perasaan yakin yang mendalam pada diri seseorang yang hadir sebelum

munculnya konjektur yaitu semacam evaluasi dan prediksi pasti terhadap masalah tadi sebagai

akibat pengalaman yang dilaluinya setelah observasi yang digabungkan dengan perasaan

confidence. Tidak setiap hipotesis merupakan intuisi, hanya hipotesis yang digabungkan dari sejak

awal dengan perasaan pasti dan jelas merupakan intuisi anticipatory. Sedangkan intuisi konklusi

merupakan ringkasan secara global akan pandangannya yang terstruktur terhadap penyelesaian

masalah yang sebelumnya dielaborasi secara terus menerus disertai perasaan yakin sehingga

membawa seseorang pada konklusi.

Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif, berpikir kritis dan intuisi terdapat dua pandangan.

Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis)

yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir

yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan

menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta-fakta

yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak

kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak

bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.

Johnson (2002) membedakan antara berpikir Kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis merupakan

pengorganisasian proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah,

pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir

kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang terorganisasi.

Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas

pemikiran diri sendiri dan orang lain. Sedangkan berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental

A

B

C

C B

Gambar (ii) Gambar (i)

A

Page 133: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 125

yang memperhatikan keaslian dan wawasan (ide). Sedangkan berpikir kreatif melibatkan pencarian

kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas

mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari

pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi, mengungkapkan (to reveal)

kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan

inspirasi ide-ide yang tidak diprediksikan sebelumnya. Berpikir dengan kritis dan kreatif

memungkinkan siswa mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali

tantangan dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif

dan merancang/mendesain solusi-solusi yang asli.

De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir

lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru

dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan ide-ide dan

pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan

yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah

generatif yang dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran

lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan kategori-kategori, klasifikasi

atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih pendekatan-pendekatan yang sangat

menjanjikan pada suatu masalah selama pemikiran lateral membangun banyak alternatif

pendekatan. Berpikir kreatif merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang

saling melengkapi. Pengertian ini mengindikasikan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan

berpikir logis ataupun analitis sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua dalam pengertian

berpikir kreatif.

ANALISIS PENDAHULUAN

Analisis pendahuluan dilakukan terhadap salah seorang siswa SMA kelas 2 untuk melihat cara

berpikir siswa melalui rangkaian berpikir intuitif, berpikir kritis, dan berpikir kreatif pada konsep

Geometri dalam mencari luas daerah segitiga.

Tampilan jawaban siswa, awalnya siswa menduga (intuisi awal) akan mencari sumbu simetri

dengan menarik garis tegak lurus dari salah satu titik dari segitiga ABC untuk memperoleh tinggi ∆

ABC kemudian mencari luas daerah segitiga kecil ditengah yang akan memberikan luas daerah

= 1

3 luas daerah ∆ ABC sehingga tak perlu lagi mencari luas daerah segitiga lainnya. Namun, tiba-

tiba mengganti strateginya setelah dia mencermati kembali kata-kata ―segitiga sebarang‖ serta

menggambarkan segitiga lain (tampilan 2) yang berbeda dengan tampilan pertama. Karena dia

menduga kalo mencarinya seperti pada tampilan 1, tidak akan mungkin memperoleh luas segitiga

kecil lainnya sama besar luasnya.

Situasi :

Sebuah segitiga sebarang akan dibagi menjadi tiga bagian yang sama luas

daerahnya.

a) Dugalah terlebih dahulu bagaimana kamu akan membagi segitiga

sebarang tersebut agar memperoleh tiga bagian segitiga yang sama luas

daerahnya.

b) Setelah kamu menduganya, gunakan perhitungan secara rinci untuk

memperoleh masing-masing luas daerahnya.

c) Apakah kamu punya cara lain untuk menunjukkannya?

Page 134: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

126 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dia memutuskan untuk memisalkan luas daerah ∆ ABC 300 cm2 pada tampilan ke 2. Selanjutnya

melakukan perhitungan untuk masing-masing segitiga yang telah diasumsikan seperti tampak pada

pekerjaannya di bawah. Dia berkeyakinan bahwa dengan menentukan luas daerah segitiga kecil I

dan luas daerah segitiga kecil III, tidak perlu lagi mencari luas daerah segitiga II, karena luas

daerahnya pasti sama dengan luas daerah ke I dan ke III. Untuk mencari alas dan tinggi masing-

masing segitiga I dan III, yaitu dengan 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼𝐼𝐼 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 ∆ 𝐼𝐼 =1

2𝑎1𝑡1 =

1

2𝑎2𝑡2 =

100 𝑐𝑚2. Untuk luas daerah segitiga I dicari perkalian alas dan tingginya harus menghasilkan nilai

200, sehingga diperoleh banyak kemungkinan, bisa alasnya 50 cm dan tingginya 4 cm, alas 100 cm

dan tinggi 2 cm, alasnya 20 cm tinggi 10 cm dan lain-lain. Begitupun untuk menentukan luas

daerah segitiga III.

Kemudian dia menduga bahwa untuk mencari luas daerah dari segitiga sebarang yang paling aman

adalah dengan mencari perbandingan alas AB dan BC serta tinggi tAB dan tAC yang menghasilkan

nilai 2

3𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎𝑕 ∆𝐴𝐵𝐶.

Kemudian dia juga mencoba menunjukkan cara lain yaitu dengan menggeser-geser penggaris tegak

lurus terhadap alas AB dan BC dengan membuat segitiga sebarang seperti di bawah, dan

menentukan tABC dengan menggunakan penggaris tegak lurus dari terhadap sisi AB, diperoleh tABC

= 6 cm, sehingga luas segitiga kecil harus 2

3𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎𝑕 ∆𝐴𝐵𝐶 = 24 𝑐𝑚. Karena panjang sisi AC

= 6 maka tAC = 4 cm . Karena panjang sisi BC = 10 cm maka tBC = 2.4 cm

A B

50

100

C

1

A

2 3

Tampilan 1

C

A

B Tampilan 2

B C

Page 135: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 127

Selanjutnya siswa juga diberikan pertanyaan lain, apakah masih ada cara yang lebih efisien untuk

mencari jawaban tadi? Siswa menjawab ―saya yakin pasti ada, dengan mencari titik di dalam

segitiga ABC yang bisa membagi menjadi tiga bagian segitiga lainnya sama besar, tapi secara

detail saya belum bisa menunjukkan perhitungan matematisnya‖ kemudian siswa tersebut mencoba

melipat-lipat kertas untuk mencari titik (dalam bayangan pikiran siswa) yang diduganya akan

memberikan tiga buah luas daerah segitiga yang sama, dan kemudian dia menarik garis dari

perpotongan jejak lipatan seperti gambar di bawah,

Setelah menggarisi jejak lipatan seperti di atas dan memperhatikan terus gambar tersebut, tiba-tiba

dia tergugah pula untuk menarik garis dari salah satu titik ke sisi yang berada dihadapan titik tadi,

sisinya dibagi menjadi tiga bagian sama besar dan mengukur dengan menggunakan dua buah

penggaris untuk mencari tinggi dan alas dari masing-masing segitiga.

A B

C

6 10

12

4

2

2.4

Page 136: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

128 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dari hasil pengukuran dengan penggaris diperoleh tinggi segitiga ABC tABC = 5 cm dan alasnya =

10.8 cm, sehingga diperoleh luas ∆ABC = 27 cm2 .Karena luas ∆ABC = 27 cm

2 maka luas ∆ABD

= luas ∆ADE = luas ∆AEC = 9 cm2. Berdasar pengukuran diperoleh luas ∆ABD = 9.005 ≈ 9 cm

2 ;

luas ∆ADE = 8.985 ≈ 9 cm2 ; luas ∆AEC = 9.01 cm

2 ≈ 9 cm

2 . Setelah melakukan perhitungan,

dia juga bertanya ―apa cara ini bisa berlaku untuk penarikan garis dari titik lain?‖ Dia berintuisi

―bisa‖ namun untuk lebih meyakinkan dugaannya, dia juga mencoba menarik garis dari salah satu

titik lainnya ke sisi yang berada dihadapannya dan melakukan perhitungan seperti cara

sebelumnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pendahuluan, kegiatan berpikir yang diawali dengan intuisi dapat mendorong

siswa untuk megevaluasi apa yang diduganya dengan melakukan pengecekan jawaban dari

berbagai sudut pandang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan pertanyaan

serta arahan dari guru, memicu siswa untuk merinci lebih dalam analisisnya dengan cara

mengeksplorasi dan mengobservasi setiap kemungkinan jawaban atau data/informasi yang

diperolehnya, siswa tersebut berangsur-angsur menjadi lebih sensitive, kritis dalam mengecek

kemungkinan-kemungkinan jawaban lain yang muncul, serta lebih kreatif untuk mecari jalan/cara

menyelesaikan jawaban.

Melalui kegiatan tersebut, secara tidak disadarinya akan memunculkan pertanyaan baru dan

dugaan/intuisi baru, sebagai misal ‗adakah cara lain yang lebih efisien untuk mencari jawabannya?‘

Berdasar jawaban siswa yang diperoleh melalui analisis pendahuluan ini, pada akhiir kegiatan dia

memperoleh jawaban lain yang dianggapnya lebih praktis dan diyakininya benar namun dia tidak

mengetahui bagaimana mencari perhitungan matematisnya (intuisi baru). Dengan hadirnya intuisi

baru ini, mendorong siswa untuk mencari lebih lanjut keinginannya memecahkan permasalahan

tersebut.

Berdasar analisis pendahuluan yang penulis kaji, tampak bahwa keterlibatan intuisi mendorong

untuk berpikir kritis selanjutnya mendorong siswa untuk berintuisi kembali dalam mencari cara lain

untuk memperoleh jawaban (berpikir kreatif). Rangkaian kegiatan berpikir siswa yang terjadi

seperti tampak pada gambar berikut,

Intuisi di dalam pembelajaran matematika perlu mendapat perhatian, namun intuisi janganlah

hanya terhenti sebagai tujuan saja tetapi harus terus dikembangkan dan dibudayakan

keterlibatannya di dalam proses berpikir sehinga dapat memicu dan mengembangkan kemampuan

berpikir tingkat tinggi. Kebiasaan cara berpikir melalui intuisi, berpikir kritis dan berpikir kreatif

yang terus menerus digunakan sehingga membudaya di dalam cara berpikir siswa, lama kelamaan

akan menumbuhkan belief seseorang.

Intuisi

Berpikir Kritis

Intuisi

Berpikir Kreatif

A

B

C

D E

Page 137: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 129

DAFTAR PUSTAKA

Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The

Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2.

http://scholar.lib.vt.edu/ejournals.

Developing Mathematical reasoning in Grades K-12. 1999 Year book. h.138-145. Reston: The

National Council of teachers of Mathematics, Inc.

Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati:

South-Western Publishing Co.

Fischbein, E. (1987). Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht:Reidel

Infinite innovation. Ltd. 2001. (2001). Creativity and Creative Thinking.

http://www.brainstorming.co.uk/tutorials/tutorialcontents.html.

Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and why it‟s here to stay.

Thousand Oaks: Corwin Press,Inc

Keith, J. (1993). Researching Geometrical Intuition. http://mat.coe.uga.edu/

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar

Isi.

Stavy, R dan Tirosh, D. (2000). How students (mis-) understandscience and mathematics: intuitive

rules. New York:Teachers College Press

Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem

Solving and Thinking in Problem Posing.

http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. ZDM Volum 29 (June 1997) Number

3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.

Page 138: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

130 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

DAN BERPIKIR KREATIF GEOMETRI

SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERBANTUAN

PROGRAM CABRI GEOMETRY II

Atik Krismiati

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah,

kemampuan berpikir kreatif geometri, dan sikap positif terhadap matematika, serta kinerja siswa. Secara

acak, dipilih kelas kontrol dan kelas eksperimen, kelas eksprimen diberi perlakuan dengan menggunakan

Cabri Geometry II, dan kelas kontrol diberi perlakuan Pendekatan Matematika Biasa. Instrumen yang

digunakan terdiri dari: tes kemampuan pemecahan masalah, tes kemampuan berpikir kreatif, angket sikap

skala Likert, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Secara keseluruhan siswa yang pembelajaran

berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah, berpikir kreatif. Berdasarkan respon yang ditunjukkan melalui angket yang diberikan, siswa yang

diajar melalui Cabri Geometry II menunjukkan aktivitas, dan kinerja yang lebih baik dibanding siswa yang

diajar melalui pembelajaran biasa.

Kata kunci : “Pemecahan Masalah, Berpikir Kreatif, Berbasis Masalah, Cabri Geometry II.”

A. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi komputer yang demikian cepat serta penerapannya yang semakin luas ke

berbagai bidang tak terkecuali dalam pengajaran, menjadikan komputer mendapat perhatian besar

untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Komputer memiliki kemampuan untuk secara cepat

berinteraksi dengan individu, menyimpan dan memproses sejumlah besar informasi, dan mampu

digabung dengan piranti lain seperti: proyektor dan sound system, yang menjadikan komputer

sebagai media potensial dalam bidang pembelajaran.

Dengan menggunakan pembelajaran komputer yang interaktif, dapat mempermudah pemahaman

materi matematika bagi sebagian besar siswa masih dirasakan sulit. Hal ini dikarenakan objek-

objek matematika bersifat abstrak. Menurut Suharta (2001), banyak siswa mengalami kesulitan

dalam matematika karena objek matematika bersifat abstrak. Penggunaan metode-metode

pembelajaran yang bervariasi sangat perlu dilakukan guru di dalam memberikan pengertian dan

pemahaman konsep matematika kepada siswa.

Piaget menegaskan, pengetahuan dibentuk seseorang melalui interaksi dengan pengalaman

terhadap objek (Suparno, 1997), sehingga penting mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak

dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran dikelas (Soedjadi, 2000; Price, 1996; Zamroni,

2000 dalam Suharta, 2001). Kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru (calon guru)

hendaknya dapat menguasai perangkat lunak yang mendukung bidang matematika seperti MS

Word, MS PowerPoint, MS Exel, MS FrontPage, Turbo Pascal, Visual Basic, MATLAB, MApple,

Mathcad, atau program aplikasi lainnya. Hal ini dimaksudkan para pendidik matematika dapat

menyiapkan sendiri bahan pembelajaran berbasis komputer.

Menurut Sabandar (2002) Pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan

kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di

antara bangun-bangun geometri serta penggolongan-penggolongan diantara bangun-bangun

tersebut. Karena itu perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang memadai agar siswa bias

mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsip-prinsip geometri lewat

aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal dan menerapkannya apa

yang mereka pelajari.

Page 139: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 131

Eric Bainville (2005) menyatakan, bahwa Cabri Geometry II menawarkan suatu dimensi

keseluruhan baru dalam membangu objek-objek geometris di suatu komputer, seperti menggambar,

menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke yang paling rumit pada tahap

yang manapun untuk menguji kontruksi, membuat dugaan, mengukur, menghitung, menghilangkan

objek, membuat peruahan atau mengembalikan gambar semula secara lengkap. Cabri Geometry II

adalah alat untuk mengajar dan belajar ilmu ukur, yang dirancang untuk para guru seperti juga

untuk para siswa pada semua tingkat, dari sekolah dasar ke universitas.

Bagaimana kaitan pemecahan masalah geometri dengan pembelajaran berbantuan program Cabri

Geometry II? Pembelajaran berbantuan program Cabri Geometry II haruslah konsisten dengan

prinsip pemecahan masalah geometri, yaitu : (1) Membangun pengetahuan matematika yang baru

melalui pemecahan masalah, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II

yang dilakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah dengan

memformulasikan masalah tersebut; (2) Memecahkan masalah yang ada dalam matematika

maupun dalam konteks lain, dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II

dapat memberikan informasi-informasi yang lebih geometris dan eksak; (3) Menerapkan dan

menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, dengan menggunakan

pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa alternatif jawaban soal.

Dalam tahap ini juga dilakukan pemecahan masalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan;

(4) Mengamati dan merefleksikan dalam proses pemecahan masalah matematika, dengan

menggunakan pembelajaran berbantuan Cabri Geometry II dapat dilakukan pengecekan terhadap

jawaban sesuai dengan apa yang ditanyakan.

B. PEMBAHASAN

Cabry geometry II adalah suatu software yang sangat membantu kita yang ingin mempelajari

konstruksi geometri. Dengan Cabri Geometry II kita bisa membuat konstruksi berbagai bangun-

bangun geometri (dimensi 2) beserta hubungan di antara mereka. Di Cabri Geometry II tersedia

berbagai menu menggambar, mulai dari menggambar garis (dan ruas garis) sampai menggambar

konflik antara lingkaran dan garis (yang akan menghasilkan dua buah parabola). Walaupun terlihat

sederhana karena banyaknya menu yang disediakan, tetapi untuk mengkonstruk gambar ternyata

tidak sederhana karena kita masih harus berpikir berbagai macam konsep geometri.

Salah satu media pembelajaran yang kiranya tepat digunakan dalam pembelajaran berbasis

komputer di sekolah dikategorikan oleh Alessi dan trollip (2001) adalah berbentuk tools. Dalam

pendidikan matematika dengan menggunakan tools seperti program Cabri Geometri II, maka siswa

dapat melakukan pengamatan dan investigasi berbagai konsep matematika seperti geometri. Guru

dapat menggunakan tools yang ada pada program Cabry Geometry II untuk membantu siswa

mempelajari matematika melalui proses berpikir siswa.

Cabri Geometry II memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek

geometris, bereksplorasi, serta melakukan proses penemuan (Eric Bainville, 2005). Cabri Geometri

II menawarkan suatu dimensi keseluruhan baru dalam membangun obyek-obyek geometris di suatu

komputer, seperti menggambar, menarik, dan mengolah figur-figur dari yang paling sederhana ke

yang paling rumit pada tahap yang manapun untuk menguji konstruksi, membuat dugaan,

mengukur, menghitung, menghilangkan obyek, membuat perubahan atau mengembalikan gambar

semula secara lengkap.

Program Cabri geometry II berguna untuk memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi obyek-obyek

geometri, akan tetapi kurang efektif apabila guru tidak mengontrol kegiatan belajar karena siswa

cenderung membuang-buang waktu. Hal ini dapat diatasi dengan meminta siswa mengkonstruksi

obyek-obyek geometri sesuai dengan langkah-langkah konstruksi yang telah disiapkan.

Page 140: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

132 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Secara umum program Cabri Geometry II terdiri dari Menu, Toolbar, dan Drawing Area. Pada

bagian Menu ditampilkan File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Menu ditampilkan

File, Edit, Option, Window, dan Help. Pada bagian Toolbar ditampilkan toolbox yang bisa

digunakan untuk menciptakan dan memodifikasi satu figure. Toolbox terdiri dari Pointer, Points,

Lines, Curves, Construct, Transform, Macro, Check Property, Measure, Display, Draw. Bagian

Drawing Area adalah Screen tempat menggambar. Tampilan Program Cabri Geometry II dapat

dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar work sheet Cabry Geometry II

Gambar tool box Cabry Geometry II

Program Cabri Geometry II memiliki sifat dasar seperti :

1. Suatu obyek dapat diubah dengan cara menarik semua bagian obyek pada layar monitor ke

suatu tempat lokasi baru. Setiap titik basic atau obyek independen dapat ditarik secara langsung.

Suatu obyek yang independen tidak bisa ditarik, tetapi obyek dependen itu dapat diubah dengan

cara menarik titik-titik basic atau obyek independen yang digunakan dalam mengkonstruksi

obyek tadi.

2. Dengan menghapus/menghilangkan suatu obyek dari konstruksi yang dependen (bergantung)

pada obyek tersebut akan hilang.

3. Tampilan dari obyek-obyek (gambar pada layar monitor dapat di ubah dengan menggunakan

kotak menu Draw.

4. Titik, garis, atau lingkaran dapat diberikan Label dengan memilih menu Label pada kotak menu

Display. Kemudian pindahkan krusor ke obyek yang akan diberi label, tunggu sampai kursor

berganti menjadi I dan muncul pesan-pesan ―This Point‖, ―This Line‖.

5. Pengukuran panjang, luas, kemiringan dan sudut pada obyek-obyek yang dikonstruksi dapat

dilakukan dengan cara menggunakan perangkat yang ada dalam kotak menu Measure (ukuran).

Pilih menu area dari kotak menu Measure. Pindahkan kursor ke suatu sisi dari segitiga sehingga

kursor berganti menjadi jari telunjuk dan muncul pesan ―This triangle‖ muncul dan klik satu

kali. Akan segera muncul suatu bilangan dengan satuan luasnya.

Page 141: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 133

Dalam melaksanakan pembelajaran dengan fasilitas Cabri Geometry II ada beberapa yang perlu

diperhatikan, yaitu :

a. Persiapan

Pada tahap persiapan ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru diantaranya ; (a)

memilih jenis pokok bahasan; (b) mempersiapkan komputer dengan fasilitas Cabri Geometry

II; (c) menyusun bahan ajar; (d) mengidentifikasi tingkat kesiapan dan potensi yang dimiliki

siswa berkaitan dengan implementasi penggunaan software dalam pembelajaran.

b. Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru yaitu (a)

melaksanakan rencana pembelajaran yang telah disusun; (b) mengidentifikasi kelebihan dan

kelemahan dari program Cabri Geometry II; (c) melaksanakan bimbingan kepada siswa yang

memerlukan.

1. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif Geometri

Berdasarkan hasil analisis terhadap pretes, ternyata tidak ada perbedaan pada kemampuan

pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas dengan pembelajaran berbasis

masalah berbantuan Cabri Geometry II dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Sedangkan hasil

analisis terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif setelah

pembelajaran dilakukan, ditemukan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah

berbantuan Cabri Geometry II mempunyai peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan

berpikir kreatif geometri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini

menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih efektif

untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif pada siswa.

Temuan ini memperkuat, bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II

memiliki kekuatan yaitu siswa lebih aktif dalam pembelajarannya, siswa memahami benar bahan

pelajaran karena siswa mengalami sendiri proses menemukannya, mengasimilasi secara mental dan

mengakomodasi informasi, melatih siswa untuk belajar sendiri (Suherman, 2001).

Dilihat dari rentang postes, standar deviasi postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain

kemampuan pemecahan masalah pada kedua kelompok pembelajaran adalah 25, 7,36, 60,78, dan

7,98 pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II, sedangkan pada

pembelajaran biasa adalah 27, 7,69, 28,66, dan 7,71. Kemudian rentang postes, standar deviasi

postes, rata-rata postes, dan standar deviasi gain kemampuan berpikir kreatif pada kedua kelompok

pembelajaran adalah 18, 5,45, 41,55, dan 4,76, pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan

Cabri Geometry II, sedangkan pada pembelajaran biasa adalah 16, 5,44, 22,22, dan 6,02. Artinya

bahwa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelompok

pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih menyebar dibandingkan

dengan kelompok pembelajaran biasa. Temuan kemampuan ini menunjukkan bahwa perbedaan

antara siswa yang pandai dan lemah mencolok pada pembelajaran berbasis masalah berbantuan

Cabri Geometri II. Walaupun demikian, secara umum gain kemampuan pemecahan

masalah(54,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (32,27) pada siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II lebih baik daripada gain kemampuan

pemecahan masalah (25,05) dan gain kemampuan berpikir kreatif (15,5) pada siswa yang

memperoleh pembelajaran biasa. Hal ini juga dapat dilihat normal gain kemampuan pemecahan

masalah kelompok pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II (0,65) lebih baik

daripada pembelajaran biasa (0,28). Normal gain kemampuan berpikir kreatif kelompok

pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II adalah 0,63 lebih baik daripada

pembelajaran biasa yakni 0,28.

Page 142: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

134 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2. Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah

Sebelum pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah siswa diberi pengenalan mengenai

pembelajaran menggunakan Cabri Geometry II selama 4 kali pertemuan. Selanjutnya dilaksanakan

pembelajaran berbasis masalah yang berbantuan Cabri Geometry II, pelaksanaan berlangsung baik.

Pada tahap awal guru memberikan motivasi kepada siswa dengan cara tanya jawab yang disebut

dengan tahap orientasi. Selanjutnya guru menjelaskan bagaimana langkah-langkah pokok kegiatan

pembelajaran yang akan diterapkan didalam kelas, termasuk peran serta dan keaktifan siswa dalam

diskusi antar siswa dan penyajian hasil di depan kelas. Guru selanjutnya menjelaskan tujuan

pembelajaran yang akan dicapai dalam pertemuan ini, menyampaikan kepada siswa perlunya

memahami konsep-konsep matematika secara mendalam dengan cara terlibat secara aktif

menemukan kembali ide-ide tersebut menggunakan pengetahuan dan pengalaman belajar geometri

sebelumnya. Oleh karena itu, guru menekankan betapa pentingnya mengemukakan alasan-alasan

logis pada setiap langkah penyelesaian masalah yang dilakukan.

Tahap kedua guru membagikan LKS kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah

yang disajikan dalam LKS tersebut. setelah beberapa menit berlangsung, guru mempersilahkan

berdiskusi dengan teman di sebelahnya. Pada tahap berikutnya guru mengajak dan mengarahkan

agar setiap siswa berpartisipasi dalam diskusi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Setiap

siswa harus saling bekerjasama dan berani mengemukakan ide atau pendapatnya. Guru mengamati

jalannya diskusi, mengarahkan siswa untuk memahami masalah, mengidentifikasi apa yang

diketahui, apa yang harus dicari dan memikirkan cara menyelesaikan masalah.

Tahap ketiga guru berkeliling mengamati jalannya proses diskusi siswa sambil memantau seberapa

jauh hasil yang telah dicapai oleh siswa dalam menyelesaikan masalah. Apabila selama diskusi

berlangsung terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, maka melalui

teknik scaffolding, guru memberi bantuan dan mendorong siswa tersebut untuk menemukan

penyelesaian masalah.

Tahap keempat adalah siswa menyajikan hasil pekerjaannya didepan kelas. Dari kelompok yang

telah terpilih untuk menyajikan hasil kerjanya, diutus salah seorang siswa untuk menyajikannya di

depan kelas. Siswa yang lain mengamati dan membandingkannya dengan hasil yang telah mereka

temukan. Guru membuka ruang tanya jawab terhadap siswa-siswa lain agar memberikan

tanggapannya dengan hasil yang disajikan. Selama ruang tanya jawab berlangsung guru bertindak

sebagai fasilitator (guru memandu jalannya tanya jawab dan mengarahkan siswa ke arah jawaban

yang benar).

Tahap terakhir menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa

melakukan refleksi atau mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri terhadap penyelesaian

masalah yang telah ditemukan mulai dari langkah awal hingga sampai menemukan

penyelesaiannya. Guru mengajukan kepada siswa apakah sudah merasa yakin dengan langkah-

langkah penyelesaian yang telah ditemukan sudah benar beserta alasan-alasannya? Bagaimana kita

sampai kepada proses penyelesaian seperti ini? Apakah ada cara lain? Guru mengajak dan

mengarahkan siswa untuk melihat dan memikirkan hubungan antara masalah yang telah ditemukan

penyelesaiannya dengan sebuah konsep baru matematika sebagai kesimpulan dalam pertemuan ini.

Menurut pengamatan peneliti, pada awal-awal proses pembelajaran berbasis masalah bebantuan

Cabri Geometri II, partisipasi siswa untuk terlibat secara aktif masih belum optimal. Siswa tampak

antusias tentang apa yang harus dikerjakan terutama pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa

tidak enggan dan ragu-ragu dalam melakukan aktivitas yang mengarah kepada pemecahan masalah

yang dihadapi, siswa aktif mengemukakan ide atau gagasan dalam proses membangun rumus-

rumus sendiri dari serangkaian kasus yang diberikan. Hal ini menurut dugaan peneliti disebabkan

karena siswa terbiasa melakukan hal yang sebaliknya yaitu mendapatkan rumus-rumus kemudian

mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah geometri.

Page 143: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 135

Pertemuan kedua, pembelajaran sudah bisa terlaksana dengan optimal, justru pada pertemuan

kedua ini siswa meminta untuk mendiskusikan tugas-tugas yang belum selesai didiskusikan pada

pertemuan sebelumnya dan mereka siap menyajikan hasil kerjanya. Permintaan ini peneliti penuhi

melihat keinginan mereka yang cukup besar untuk menyajikan hasil kerja mereka didepan kelas.

Dari hasil diskusi ini siswa memberikan respon yang sangat positif terhadap soal-soal yang ada.

Berikut ini gambaran umum respon siswa terhadap soal-soal pemecahan masalah dan berpikir

kreatif, soal-soal ini diberikan setelah pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan:

Pada pertunjukkan sirkus, seorang anak berjalan di atas bambu yang disandarkan

dari lantai ke atas bola besar sedemikian sehingga ujung bambu menyinggung bola

tersebut. Diameter bola 5 meter sedangkan jarak dari ujung bamboo yang berada di

lantai dengan pusat bola 4 meter. Dapatkah kalian menghitung panjang bambu yang

digunakan? Namun sebelumnya kalian harus membuktikan terlebih dahulu bahwa

bambu (garis AB) tegak lurus dengan jari-jari (OB) !

Berdasarkan hasil kerja yang disajikan siswa untuk membuktikan bahwa panjang AB, Pertama,

siswa menyatakan bahwa sudut OBA adalah siku-siku maka dapat menggunakan teorema

phytagoras. Kedua siswa juga dapat menyebutkan ciri-ciri sebuah garis disebut garis singgung

lingkaran. Dan siswa dapat menggunakan Cabri Geometry II dapat menemukan beberapa bentuk

gambar yang memungkinkan terjadi.

Pertemuan ketiga penulis menyajikan persoalan mengenai lingkaran dalam segitiga, di dalam

pembelajaran ini siswa dituntut untuk dapat menggambar sebuah lingkaran dalam segitiga dengan

menggunakan Cabri Geometry II. Berdasarkan pengamatan penulis siswa sangat berkreatif dalam

melakukan pengerjaannya, mereka menyajikannya dalam beberapa bentuk dan model yang

berbeda-beda. Sehingga siswa dapat menemukan beberapa garis singgung lingkatan yang mungkin

dapat terbentuk, dan siswa juga menemukan kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Pertemuan keempat penulis masih melanjutkan materi lingkaran dalam segitiga akan tetapi

disajikan dalam bentuk masalah sebagai berikut :

Permasalahan 1

Sebuah cermin berbentuk lingkaran diletakkan dalam bingkai berbentuk segitiga

sama sisi. Jika panjang sisi segitiga tersebut 5 cm. Tunjukkan berapa panjang OA,

panjang OB, panjang OC. Dapatkah kamu menarik kesimpulan? Jelaskan!

Permasalahan 2

Gambarlah pola segitiga berikut di bawah, dengan menggunakan Cabri Geometry II.

Pola ke-1 Pola ke-2 Pola ke-3 ....

B

A O

Page 144: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

136 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dari dua permasalahan yang disajikan penulis, siswa sangat antusias mengerjakannya, dan sangat

terlihat siswa berusaha dapat menemukan penyelesaiannya, yaitu antara lain dengan berdiskusi

dengan teman ataupun bertanya kepada guru. Permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa

membutuhkan penguasaan-pengusaan materi sebelumnya. Selain itu juga membutuhkan

pengetahuan pola bilangan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ke dua. Walaupun hanya

beberapa anak yang berhasil menyelesaikan permasalahan yang ke dua, akan tetapi rasa ingin tau

siswa yang lain sangat besar, terlihat terjadi diskusi antar siswa sangat tinggi pada permasalahan

ini.

Waktu yang tersedia 2 x 45 menit setiap satu kali pertemuan dirasakan kurang oleh siswa pada

pertemuan-pertemuan awal, sedangkan untuk pertemuan berikutnya dalam berjalan dengan lancar

dan siswa semakin termortivasi dalam belajarnya. Menurut siswa, diskusi sangat membantu mereka

untuk bisa saling berbagi, saling membantu dalam memecahkan masalah dan berpikir kreatif.

Keberanian untuk mengemukakan ide atau gagasan mulai tampak, dan siswa bisa menikmati

pembelajaran yang sedang berlangsung.

3. Deskripsi Tanggapan Guru terhadap Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Cabri

Geometry II

Tanggapan atau pendapat guru mengenai pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri

Geometry II diperoleh melalui daftar isian yang telah disediakan. Daftar isian ini diberikan kepada

guru matematika yang menjadi pengamat dalam pembelajaran. Berikut ini beberapa tanggapan dari

guru tersebut:

a. Guru mengatakan belum mengenal pembelajaran berbasis masalah apalagi berbantuan Cabri

Geometry II. Namun kegiatan diskusi sesekali pernah dilakukan tetapi tidak dalam tahapan

seperti pembelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah. Biasanya yang didiskusikan adalah

penerapan atau latihan soal-soal. Guru juga tertarik untuk mengetahui dan menerapkan

pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dalam pembelajaran geometri.

b. Pembelajaran ini mempunyai kelebihan: siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif

dalam menyelidiki ide-ide geometri, pengetahuan yang diperoleh lebih bertahan lama, anak

terampil dalam memecahkan masalah, dan dengan diskusi memberikan kesempatan kepada

anak untuk saling berbagi. Sedangkan kekurangan dari pembelajaran ini: sulit dilaksanakan jika

dibatasi oleh target pencapaian dan sedikitnya waktu yang tersedia, kurang berhasil jika

persiapan anak tidak memadai, dan memerlukan persiapan yang matang dari guru untuk

menyiapkan LKS

c. Secara umum guru memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah

berbantuan Cabri Geometry II. Pembelajaran ini melatih anak mengerjakan soal-soal yang

menantang, bekerjasama, berbagi dan mandiri dalam belajar.

d. Soal-soal pemecahan masalah dan berpikir kreatif sangat membantu dan melatih kemampuan

berpikir geometri siswa dalam memecahkan masalah. Selama ini soal-soal pemecahan masalah

dan berpikir kreatif geometri jarang diberikan dan soal-soal seperti ini kemungkinan

menyulitkan bagi anak.

Berdasarkan analisis data ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan

Cabri Geometry II secara signifikan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir

kreatif geometri siswa dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran

biasa. Untuk mendukung hasil analisis dan kesimpulan ini, tampaknya terdapat beberapa alasan

yang dapat dikemukakan sehubungan kontribusi pembelajaran berbasis masalah yang

menyebabkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa

kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol.

Temuan ini didukung pula hasil analisis skala sikap siswa bahwa secara umum siswa memberikan

tanggapan yang positif terhadap pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II dan

soal-soal yang sifatnya menantang. Dengan demikain, maka berdasarkan uraian diatas, diperoleh

kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II menyebabkan

peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas

Page 145: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 137

eksperimen relatif lebih baik dibanding dengan kelas kontrol. Meskipun demikian, terjadinya

peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa pada kelas

eksperimen menunjukkan hasil yang belum optimal. Hal ini tampak dari hasil analisis data tes

akhir kelas eksperimen, bahwa skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah geometri siswa

hanya sebesar 60,7 dari skor ideal 90 Sedangkan pada rata-rata kemampuan berpikir kreatif

geometri siswa hanya sebesar 41,5 Dari skor ideal 60

Terdapat beberapa kemungkinan yang menurut peneliti menjadi penyebab belum optimalnya hasil

peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa kelompok

eksperimen. Pertama adalah faktor lamanya siswa dalam belajar menggunakan pendekatan

pembelajaran berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II yang relatif tidak terlalu lama

sehingga siswa masih belum terbiasa dengan pendekatan berbasis masalah atau siswa baru terbiasa

belajar pembelajaran berbasis masalah pada waktu memasuki fase akhir penelitian. Pembelajaran

berbasis masalah berbantuan Cabri Geometry II memerlukan waktu yang cukup lama agar bisa

dijalani siswa dengan baik, sebab memerlukan pengenalan yang matang terhadap program Cabri

Geometry II. Hal ini sejalan dengan Burkhardt (Herman, 2006) yang menyatakan bahwa secara

matematik dan pedagogis, pembelajaran dengan penyelesaian masalah sangatlah sukar, karena

menuntut keahlian guru dalam memberikan stimulus yang tepat pada saat siswa menyelesaikan

masalah.

C. Kesimpulan

1. Siswa kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kreatif geometri siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan Program Cabri Geomety II

lebih baik daripada kemampuan siswa tinggi yang memperoleh pembelajaran secara

konvensional.

2. Dalam kelas dengan pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah berbantuan

Cabri Geometry II, siswa yang memiliki rasa antusias dan minat untuk lebih mendalami lebih

lanjut matematika, selain itu berdasarkan slaka sikap siswa, siswa lebih tertarik dengan

pembelajaran-pembelajaran yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case Study of

Institutional Change in Undergraduate Education. Dalam B.J. Duch, S.E. Groh, dan D.E.

Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia, Amerika: Stylus Publishing.

Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The Mathematics

Teacher. Vol. 92, No. 6, pp. 516-521

Hackett, G. dan Betz, N. E. (1989). An Exploration of the Mathematics Self-Efficacy/Mathematics

Performance Correspondence. Journal for Research in Mathematics Education, 20.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Tingkat Tinggi Siswa SMP. Bandung: Disertasi UPI. Tidak dipublikasikan.

http://www.chartwellyorke.com/gettingstarted.pdf

http://www.pf.jcu.cz/cabri/examples/index.html

Sabandar, J. 2002. Pembelajaran Geometri Dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan

Makalah, Pelatihan. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruksivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Page 146: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

138 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN

PENDEKATAN METAKOGNITIF

Oleh : Tata

Program Studi Pendidikan Matematika - MIPA

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pembelajaran matematika dengan pendekatan

metakognitif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis. Desain penelitian ini adalah eksperimen

kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok eksperimen memperoleh

pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran biasa.

Untuk memperoleh data penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kritis berbentuk

uraian. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII sebuah Sekolah Menengah Pertama di Cianjur dengan

mengambil sampel dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dilakukan dengan

cara purposive sampling. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap hasil tes berupa skor pretes, postes, dan gain

ternormalisasi kemampuan berpikir kritis dengan mengunakan uji-t dan ANOVA satu jalur. Berdasarkan

analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang belajar dengan

pendekatan metakognitif lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. Di samping itu,

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok tinggi dengan siswa

kelompok sedang, antara siswa kelompok tinggi dengan siswa kelompok rendah, serta tidak terdapat

perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok sedang dengan siswa kelompok

rendah setelah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif.

Kata Kunci : Berpikir kritis, Pendekatan metakognitif

Pendahuluan

Menurut hasil studi Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) yang

diselenggarakan International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang

diumumkan secara internasional pada 14 Desember 2004 menunjukkan bahwa kemampuan

matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada

di peringkat ke-35 dari 46 negara dan soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan

kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh

sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2005). Fakta tersebut menunjukan bahwa kemampuan berpikir

tingkat tinggi siswa diantaranya kemampuan berpikir kritis dalam matematika masih rendah.

Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah

keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam

kehidupannya antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya

memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Keterampilan berpikir dapat

dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai

keterampilan berpikir tingkat tinggi (Liliasari, 2000).

Ennis (1985) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola

pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi

tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas dua belas komponen yaitu: (1)

merumuskan masalah; (2) menganalisis argumen; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan; (4)

menilai kredibilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil

observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat induksi dan menilai induksi;

(8) mengevaluasi; (9) mendefinisikan dan menilai definisi; (10) mengidentifikasi asumsi; (11)

memutuskan dan melaksanakan; (12) berinteraksi dengan orang lain.

Page 147: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 139

Kusumah (2008) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan

berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan

memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, melakukan evaluasi, dan

kemampuan menciptakan sesuatu dalam bentuk produk atau pengetahuan baru yang memiliki ciri

orisinalitas. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai

permasalahan dalam kehidupan. Seseorang dapat mengatur, menyesuaikan proses berpikirnya

untuk dapat mengambil keputusan secara tepat.

Menurut Ennis (1985) indikator kemampuan berpikir kritis dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (1)

memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), (2) membangun keterampilan dasar

(basic support), (3) membuat kesimpulan (inferring), (4) membuat penjelasan lebih lanjut

(advanced clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).

Seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam

mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Saat ini, guru dalam

mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa

memperhatikan dimensi proses kognitif, seperti memperhatikan apa yang perlu dipelajari,

memantau ingatan siswa tentang apa yang sedang dipelajari, merangsang siswa untuk berusaha

mengetahui yang mana konsep-konsep yang belum dipahami, akibatnya upaya-upaya untuk

melihat kemampuan kognitif dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat

kurang atau bahkan cenderung diabaikan. Proses yang dilakukan siswa untuk menyadari

kemampuan kognitifnya merupakan keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat

menyadari apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui serta bagaimana mereka

memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan. Menurut Nitko (Nindiasari, 2004) metakognitif

mencakup kemampuan untuk mengembangkan sebuah cara yang sistematik selama memecahkan

masalah dan membayangkan serta mengevaluasi produktivitas dari proses berpikir.

Menurut Suherman dkk (2001), metakognitif ialah ―suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada

diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal‖. Metakognitif merupakan

kata sifat dari metakognisi, Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui oleh seseorang

tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana mengontrol serta menyesuaikan

prilakunya. Siswa perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi

adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat

terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki

kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dikerjakan

senantiasa muncul pertanyaan: ‖Apa yang saya kerjakan?‖, ―Mengapa saya mengerjakan ini?‖,

―Hal apa yang bisa membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?‖ Menurut Hetler, Child, dan

Walberge (Nindiasari, 2004), kegiatan metakognitif dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

1. Kesadaran (kemampuan seseorang untuk mengenali informasi baik eksplisit maupun

implisit);

2. Pengaturan (bertanya pada diri sendiri dan menjelaskan dengan kata-kata sendiri untuk

menstimulasi pemahaman);

3. Regulasi (membandingkan dan membedakan jawaban yang lebih masuk akal dalam

memecahkan masalah);

Guru dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif di dalam kelas harus berusaha

mengajari siswa untuk merencanakan, memantau, dan merevisi pekerjaan mereka sendiri termasuk

tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa yang mereka tahu tapi juga apa yang bisa mereka

lakukan ketika mereka gagal untuk memahami. Dengan demikian guru harus terfokus dalam

mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan soal serta rasa percaya diri siswa di dalam

kemampuan memecahkan soal (Nindiasari, 2004).

Page 148: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

140 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Sedangkan menurut Elawar (Nindiasari, 2004), pembelajaran dengan pendekatan metakognitif

dapat diupayakan melalui tiga tahap yaitu:

1. Diskusi Awal

Guru memberikan soal, siswa dibimbing untuk bertanya pada diri sendiri dalam menyelesaikan

soal tersebut.

contohnya:

a. Apakah saya memahami semua kata dalam soal ini?

b. Apakah saya mempunyai semua informasi untuk menyelesaikannya?

c. Apakah saya mengetahui bagaimana saya harus mengatur informasi ini?

d. Apakah saya tahu bagaimana menghitung penyelesaiannya?

2. Kemandirian

Siswa bekerja sendiri dan guru berkeliling kelas, memberikan pengaruh timbal balik (feedback)

secara individual.

3. Penyimpulan

Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di

kelas. Contoh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru :

a. Apa yang kamu pelajari hari ini?

b. Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam menyelesaikan soal matematika?

Metode

Tujuan penelitian ini, adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa

yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang

memperoleh pembelajaran biasa, serta untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan

berpikir kritis siswa subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelompok siswa yang

memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.

Eksperimen dilaksanakan pada satu SMP Negeri di Cianjur, disain eksperimen berbentuk disain

kelompok kontrol pretes-postes dengan menggunakan dua kelompok. Kelompok pertama sebagai

kelompok eksperimen dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol. Semua kelompok diberi

pretes dan postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran melalui pendekatan

metakognitif sedangkan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran secara biasa, dengan

ilustrasi desain sebagai berikut.

A O X O

A O O

Keterangan:

A = Pengambilan sampel secara acak menurut kelas

O = Pretes = Postes

X = Pembelajaran melalui pendekatan metakognitif.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil Pretes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Dalam penelitian ini, kemampuan berpikir kritis siswa dianalisis melalui data hasil pretes dan

postes terhadap dua kelas penelitian yang mendapatkan perlakuan yang berbeda. Satu kelas

eksperimen menggunakan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif, sedangkan satu kelas

kontrol menggunakan pembelajaran secara biasa. Penelitian dimulai dengan memberikan pretes,

kemudian melaksanakan pembelajaran matematika, dan diakhiri dengan pemberian postes. Pretes

dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis siswa sebelum mendapatkan

pembelajaran matematika, sedangkan postes dilakukan untuk mengetahui kemampuan berpikir

kritis siswa setelah mendapatkan pembelajaran matematika.

Page 149: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 141

Rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol yang merupakan kemampuan awal berpikir

kritis siswa sebelum mendapatkan pembelajaran matematika disajikan pada Tabel 1, di bawah.

Tabel 1.

Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretes

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

Eksperimen Kontrol

30 29,33 5,868 1,071

30 30,47 7,176 1,310

Berdasarkan Tabel 1, hasil uji kesamaan rerata skor pretes kelas kontrol dan kelas eksperimen

diperoleh hitungt = -0,670 dan P-Value (Sig) = 0,506. Dengan = 0,05 ternyata P-Value (Sig) >

, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis

kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol.

Hasil Postes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Postes dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan akhir berpikir kritis siswa antara siswa

yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh

pembelajaran biasa. Rerata dan simpangan baku skor postes kelas eksperimen dan kelas kontrol

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.

Rerata dan Simpangan Baku Skor Postes

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

Eksperimen

Kontrol

30 68,03 8,373 1,529

30 53,37 5,780 1,055

Berdasarkan Tabel 2, hasil uji perbedaan rerata skor postes kelas kontrol dan kelas eksperimen

diperoleh :

hitungt = 7,896 dan P-Value (Sig 2-tailed) = 0,000. Serta P-Value (Sig 1-tailed) = 0,000

2= 0,000.

Sehingga Dengan = 0,05 ternyata P-Value (Sig 1-tailed) < . Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan

dengan siswa kelas kontrol. Ini berarti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh

pembelajaran melalui pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran biasa.

Analisis Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen

Sebelum dilakukan analisis peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen,

terlebih dahulu siswa pada kelas tersebut dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu subkelompok

tinggi, sedang, dan rendah dengan persentase berturut-turut adalah 27%, 46%, dan 27% dari jumlah

seluruh siswa yang diurutkan berdasarkan nilai rerata harian (Suherman dan Kusumah, 1990).

Tabel 4 berikut adalah hasil uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan berpikir kritis (normal

gain %) subkelompok tinggi, sedang, dan rendah kelas eksperimen.

Page 150: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

142 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 4.

Hasil Uji Perbedaan Rerata Normal Gain % Kemampuan Berpikir Kritis Subkelompok Tinggi,

Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1307,349 2 653,675 9,563 ,001

Within Groups 1845,610 27 68,356

Total 3152,960 29

Jadi berdasarkan Tabel 4 diperoleh F hitung = 9,563 dan P-Value (Sig) = 0,001. Sehingga dengan

= 0,05 ternyata P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu

kelompok yang reratanya berbeda dari yang lain. Setelah dilakukan uji perbedaan rerata normal

gain% antara ketiga subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen dengan

menggunakan ANOVA satu jalur, ternyata paling tidak ada satu kelompok yang reratanya berbeda

dari yang lain. Untuk melihat perbedaan rerata normal gain% antara ketiga subkelompok tersebut

dan variansinya homogen maka dilakukan Uji Scheffe. Uji Scheffe merupakan uji lanjutan untuk

melihat perbedaan rerata yang telah dilakukan dengan ANOVA satu-jalur. Perhitungan uji Scheffe

menggunakan sofware SPSS-16.

Tabel 5.

Hasil Uji Scheffe Subkelompok Tinggi, Sedang, dan Rendah Kelas Eksperimen

(I) Keterangan (J) Keterangan

Mean

Difference (I-

J)

Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tinggi Sedang 14,61036* 3,66430 ,002 5,1197 24,1010

Rendah 15,43000* 4,13388 ,004 4,7231 26,1369

Sedang Tinggi -14,61036* 3,66430 ,002 -24,1010 -5,1197

Rendah ,81964 3,66430 ,975 -8,6710 10.3103

Rendah Tinggi -15,43000* 4,13388 ,004 -26,1369 -4,7231

Sedang -,81964 3,66430 ,975 -10,3103 8,6710

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Berdasarkan Tabel 5, P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok

sedang pada kelas eksperimen adalah 0,002. Pada taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) <

, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata normal gain% antara siswa

subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang. Rerata normal gain% subkelompok tinggi

lebih besar daripada subkelompok sedang. P-Value (Sig) antara siswa subkelompok tinggi dan

siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,004. Pada taraf signifikan = 0,05

maka P-Value (Sig) < , sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan rerata normal gain%

antara siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok rendah. Rerata normal gain%

subkelompok tinggi lebih besar daripada subkelompok rendah. P-Value (Sig) antara siswa

subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah pada kelas eksperimen adalah 0,975. Pada

taraf signifikan = 0,05 maka P-Value (Sig) > , sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat

perbedaan rerata normal gain% antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah.

Dari uji rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kritis di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tingi dari pada

siswa subkelompok sedang dan rendah. Sedangkan pada subkelompok sedang dan rendah tidak

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Jadi pembelajaran melalui pendekatan

metakognitif baik diterapkan kepada siswa subkelompok tinggi.

Page 151: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 143

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pretes kemampuan awal berpikir kritis siswa terhadap kelas eksperimen dan

kelas kontrol, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal berpikir kritis antara

kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor pretes kelas eksperimen

sebesar 29,33 dengan simpangan baku 5,87 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar 30,47 dengan

simpangan baku 7,18. Dari hasil pengujian data rerata skor pretes kelas eksperimen dan kelas

kontrol dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan awal yang sama atau

tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Setelah kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas

kontrol mendapatkan pembelajaran biasa, selanjutnya diberikan postes untuk mengetahui

kemampuan berpikir kritis siswa, diperoleh bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis

siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rerata skor postes kelas

eksperimen sebesar 68,03 dengan simpangan baku 8,37 sedangkan rerata kelas kontrol sebesar

53,37 dengan simpangan baku 5,78. Berdasarkan data tersebut kemampuan awal kelas eksperimen

lebih merata dan kelas kontrol lebih beragam, namun setelah kelas eksperimen mendapatkan

pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelas kontrol mendapatkan pembelajaran biasa

diperoleh hasil bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih beragam

dibandingkan kelas kontrol. Dari hasil pengujian perbedaan dua rerata skor postes dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan

metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara biasa.

Dari hasil analisis terhadap perbedaan rerata gain ternormalisasi siswa subkelompok tinggi, sedang,

dan rendah pada kelas eksperimen diperoleh bahwa rerata gain ternormalisasi kemampuan berpikir

kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa subkelompok sedang, rerata gain

ternormalisasi kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi berbeda dengan siswa

subkelompok rendah, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata gain ternormalisasi kemampuan

berpikir kritis antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok rendah. Penyebab

perbedaan itu dimungkinkan oleh kemampuan mengolah dan memonitor proses berpikir siswa

yang diterapkan dalam pendekatan metakognitif berpengaruh terhadap kecepatan siswa dalam

mengenali permasalahan dan informasi yang dihadapinnya, sehingga kemampuan metakognitif

lebih dirasakan oleh siswa kelompok atas.

Berdasarkan hasil analisis perbedaan rerata gain ternormalisasi subkelompok tinggi, sedang, dan

rendah pada kelas eksperimen dengan menggunakan uji Scheffe diperoleh hasil bahwa peningkatan

kemampuan berpikir kritis siswa subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok

sedang dan rendah. Sedangkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

antara siswa subkelompok sedang dan rendah. Berdasarkan hasil temuan tersebut bahwa

pembelajaran dengan pendekatan metakognitif cocok diterapkan pada siswa yang berkemampuan

di atas rerata. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa

subkelompok tinggi lebih tinggi daripada siswa subkelompok sedang dan rendah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan kemampuan berpikir kritis siswa melalui

pembelajaran dengan pendekatan metakognitif didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang memperoleh

pembelajaran biasa. Hal ini ditunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang

pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang memperoleh pembelajaran biasa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan

metakognitif baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis

siswa.

Page 152: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

144 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara

siswa subkelompok tinggi dan siswa subkelompok sedang, terdapat perbedaan peningkatan

kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok tinggi dan

siswa subkelompok rendah, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir

kritis siswa dalam matematika antara siswa subkelompok sedang dan siswa subkelompok

rendah yang memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional (2003). Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah

Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Ennis, Robert H. (1996). Critical Thinking. University of Illinois : Prentice Hall, Upper Saddle

River, NJ 07458

Ennis, Robert H. (1985). Practical Strategies for the Direct Teaching of Thinking Skill. In A.L.

Costa (ed) Developping Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria :

ASCD, 43 -45

Kusumah, Y. (2008). Konsep Pengembangan dan Implementasi Computer-Based Learning dalam

Peningkatan Kemampuan High-Order Thinking. Bandung: UPI Bandung.

Liliasari (2000). Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis untuk Mempersiapkan Calon Guru

IPA Memasuki Era Globalisasi. Dalam Proceeding National Science and Mathematics

Education Seminar, Science and Mathematics Education Development in Global Era.

Yogyakarta: JICA-IMSTEP FMIPA UNY.

Mullis, I.V.S., et.al. (2003). TIMSS 2003 International Mathematics Report. Lynch School of

Education. Boston College. http://timss.bc.edu/PDF/t03_

download/T03INTLMATRPT.pdf (diakses 6 Maret 2007)

Mulyati, T (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa dalam Matematik melalui

Reciprocal Teaching. Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nindiasari. H, (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi

Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada PPS UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Rohayati, A (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika

melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis pada SPs UPI Bandung:

tidak diterbitkan.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common Textbook

JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung.

Suherman dan Kusumah (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan

Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.

Suryadi,D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan

Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan

berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak

diterbitkan.

Suzana. Y, (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMU

melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung:

tidak diterbitkan.

Syukur. M, (2004). Pengembangan Kemampuan berpikir Kritis Siswa SMU melalui Pembelajaran

Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak

diterbitkan.

Page 153: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 145

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS

SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI

MODEL ALBERTA

Oleh : Kartini

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau

Abstrak

Kemampuan berpikir kreatif penting bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini terutama dalam era

globalisasi dan informasi seperti saat ini. Oleh karena itu kemampuan berpikir kreatif perlu dikembangkan

dalam pembelajaran di sekolah. Namun demikian, kemampuan berpikir kreatif siswa belum berkembang

sebagaimana yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif

matematis (KBKM) siswa melalui penerapan pembelajaran inkuiri model Alberta (IMA). Penelitian kuasi-

eksperimen ini melibatkan 137 siswa SMAN kelas X dari sekolah level tinggi dan sedang di Pekanbaru.

Siswa kelas eksperimen mendapat pembelajaran inkuiri model Alberta dan siswa kelas kontrol mendapat

pembelajaran konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang

mendapatkan pembelajaran IMA lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran konvensional pada

keseluruhan siswa dan setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Peningkatan KBKM siswa yang mendapat

pembelajaran IMA dari level sekolah tinggi lebih baik daripada siswa level sekolah sedang. Terdapat

interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor level sekolah terhadap peningkatan KBKM siswa.

Kata kunci: berpikir kreatif, pembelajaran inkuiri model Alberta.

A. PENDAHULUAN

Kemampuan berpikir kreatif penting bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini terutama

dalam era globalisasi dan informasi seperti saat ini. Kemajuan teknologi seperti yang kita rasakan

sekarang ini adalah berkat pemikiran orang-orang yang kreatif. Orang yang kreatif mempunyai

potensi untuk sukses dalam hidupnya. Oleh karena itu berpikir kreatif perlu dikembangkan bagi

setiap orang. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Munandar (1999) bahwa salah satu alasan

mengapa kreativitas penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak adalah karena

kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi kemampuan

berpikir kreatif perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah.

Berpikir kreatif telah didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Filsaime (2008)

menyatakan belum ada satu pun teori berpikir kreatif yang betul-betul diterima oleh semua peneliti.

Pengertian yang paling sederhana dari kreativitas menurut Evans (1991) adalah kemampuan

menemukan hubungan atau keterkaitan baru untuk melihat subjek dari perspektif baru, dan untuk

membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang ada dalam pikiran.

Terkait dengan aspek-aspek atau komponen-komponen berpikir kreatif, dari sejumlah ahli seperti

Torrance (dalam Silver, 1997; Filsaime, 2008), Guilford (dalam Ratnaningsih, 2007), Evans

(1991), dan Williams (dalam Killen, 1998) telah mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan

berpikir kreatif. Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif yang telah dijelaskan mereka tersebut

dapat dirangkum menjadi lima aspek yaitu aspek kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan

sensitivitas. Hal ini juga sesuai dengan Holland (dalam Mann, 2005) mengidentifikasi aspek-aspek

kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan

kepekaan.

Kreativitas dalam matematika lebih ditekankan pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh

karena itu kreativitas dalam matematika lebih tepat diistilahkan sebagai berpikir kreatif matematis.

Kemampuan berpikir kreatif dalam matematika selanjutnya disebut kemampuan berpikir kreatif

matematis.

Page 154: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

146 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Meskipun kemampuan berpikir kreatif matematis telah dinyatakan sebagai salah satu tujuan dalam

kurikulum KTSP yang harus dicapai siswa melalui pembelajaran matematika, namun kompetensi

tersebut belum berkembang secara optimal.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di dua Sekolah Menengah Atas di kota Pekanbaru diperoleh

bahwa siswa mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Ketika siswa

berhadapan dengan soal seperti itu, siswa tidak tahu harus berbuat apa dan tidak berani mencoba

karena takut salah. Kebanyakan di antara mereka tidak menjawab atau meninggalkan soal-soal

yang demikian. Mereka kelihatan kesal karena soal-soal seperti itu belum pernah diberikan di

kelas. Mereka hanya mengerjakan soal-soal yang rutin dan menyelesaikannya dengan cara yang

telah diberikan oleh guru di kelas. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir kreatif

matematis siswa masih rendah.

Berdasarkan hasil obervasi dan wawancara dengan beberapa orang guru SMA di kota Pekanbaru

diperoleh bahwa dalam melaksanakan pembelajaran matematika, guru menjelaskan materi dan

memberikan beberapa contoh soal, kemudian siswa mengerjakan latihan. Guru cenderung

memberikan soal-soal rutin saja dan lebih menekankan pada hasil daripada proses. Akibatnya,

siswa kurang berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematisnya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan (Meissner, 2007) bahwa pembelajaran konvensional tidak

memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dalam matematika.

Keterbatasan pengetahuan guru tentang cara meningkatkan kemampuan tersebut dan kebiasaan

belajar di kelas dengan cara konvensional belum memungkinkan untuk menumbuhkan atau

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa secara optimal. Selain itu, guru lebih

memfokuskan pada penyelesaian materi yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Hal ini sejalan

dengan Munandar (1999) bahwa perhatian sekolah terhadap potensi belajar siswa masih terbatas

pada aspek berpikir konvergen dan masih kurang memperhatikan proses berpikir divergen atau

berpikir kreatif dalam pembelajarannya. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.

Kemampuan berpikir kreatif matematis akan tumbuh dan berkembang pada lingkungan

pembelajaran yang kondusif. Hal ini sebagaimana dinyatakan Ruseffendi (2006) bahwa kreativitas

siswa akan tumbuh apabila dilatih untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan, dan

memecahkan masalah. Selain itu, menurut (Fisher, 1995) untuk dapat berpikir kreatif, perlu adanya

stimulus untuk memicu siswa berpikir. Stimulus dapat berupa pemberian masalah yang menantang

di awal pembelajaran. Oleh karena itu, guru dapat menunjang perkembangan berpikir kreatif siswa

dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pembelajaran seperti demikian.

Salah satu pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah pembelajaran inkuiri. Karena

pembelajaran inkuiri adalah suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses

berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu

masalah yang dipertanyakan (Sanjaya, 2008). Selain itu Ernest (1991) juga menyatakan bahwa

inkuiri dan investigasi seharusnya menempati posisi sentral dalam kurikulum matematika sekolah.

Ia menambahkan bahwa objek atau fokus dari inkuiri adalah adanya masalah atau diawali dengan

proses investigasi. Oleh karena itu pembelajaran inkuiri menyebabkan siswa berkembang potensi

intelektualnya. Dengan menemukan hubungan dan keteraturan dari materi yang sedang dipelajari,

siswa menjadi lebih mudah mengerti struktur materi yang dipelajari. Siswa lebih mudah mengingat

konsep, struktur atau rumus yang telah ditemukan.

Selain itu, dalam pembelajaran inkuiri materi pelajaran (konsep dan prosedur) yang akan dipelajari

merupakan hal yang baru bagi siswa atau belum diketahui sebelumnya, dan tidak diberikan secara

langsung. Untuk itu siswa berperan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Oleh karena itu

beberapa petunjuk perlu diberikan kepada siswa apabila mereka belum mampu menunjukkan ide

atau gagasan yang dipelajari. Sebaiknya siswa tidak dilepas begitu saja bekerja untuk menemukan

atau menyelidiki, tetapi diberikan bimbingan atau scaffolding agar siswa tidak putus asa.

Kemudian, untuk sampai kepada konsep atau masalah yang harus ditemukan, sangat tergantung

Page 155: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 147

kepada pengetahuan siswa sebelumnya dan pengetahuan siswa yang baru saja diperolehnya. Oleh

karena itu metode inkuiri yang lebih tepat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah

metode inkuiri yang telah dimodifikasi yang dapat membimbing siswa menemukan konsep dengan

bimbingan guru dan melalui diskusi kelompok. Hal ini sejalan dengan pemikiran dan penelitian

Gani (2007). Pembelajaran inkuiri yang dimaksud adalah pembelajaran inkuiri model Alberta.

Pembelajaran inkuiri model Alberta menurut Donham (dalam Alberta Learning, 2004) terdiri dari

tahap-tahap yaitu merencanakan (planning), mengingat kembali (retrieving), menyelesaikan

(processing), mencipta/menghasilkan (creating), memberi dan menerima (sharing), dan

mengevaluasi (evaluating). Pada tahap planning, siswa diarahkan agar memahami permasalahan

yang diberikan dengan jelas dengan cara membaca dan memahami masalah secara sendiri-sendiri,

membuat pertanyaan, dan merencanakan pemecahan masalah tersebut. Tahap retrieving, siswa

diminta untuk mengingat kembali materi-materi yang relevan dengan masalah yang akan

diselesaikan dengan cara menyimak dan memahami materi yang relevan, kemudian memilih

informasi mana yang sesuai dengan permasalahan. Kemudian masalah diselesaikan sendiri-sendiri

terlebih dahulu pada tahap processing. Pada tahap creating, siswa menghasilkan sesuatu atau

mendapatkan solusi dari permasalahannya dan siswa diarahkan untuk kreatif sehingga dapat

menyelesaikan lebih dari satu cara. Selanjutnya pada tahap sharing, secara bergantian masing-

masing kelompok mempresentasikan hasil kelompoknya dan siswa yang lain

memeriksa/mengoreksi, membandingkan dan menanggapi. Pada tahap terakhir yaitu evaluating,

masing-masing siswa memeriksa kembali hasil yang telah diperolehnya, memperbaiki,

menambahkan jika ada kesalahan atau belum lengkap.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap-tahap pembelajaran tersebut dapat melatih siswa

mengeksplorasi ide-ide matematis sehingga dapat memicu siswa untuk mencoba berbagai

kemungkinan alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan logika dan nalarnya. Dari

berbagai alternatif penyelesaian masalah tersebut sangat memungkinkan menghasilkan cara

penyelesaian masalah yang unik atau baru bagi siswa. Dengan demikian kebiasaan tersebut dapat

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Selain itu, faktor level sekolah juga perlu diperhatikan dalam meningkatkan kemampuan berpikir

kreatif matematis siswa. Karena kemampuan berpikir kreatif akan berkembang dalam suatu

lingkungan belajar yang mendukung, maka level sekolah akan mencerminkan suatu lingkungan

belajar tertentu. Oleh karena itu level sekolah diduga dapat mempengaruhi dalam peningkatan

kemampuan berpikir kreatif matematis.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran Inkuiri Model Alberta (IMA) diduga dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa Sekolah Menengah Atas.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah (1) Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang

mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional

ditinjau dari: a) keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang)? (2) Pada level

sekolah yang manakah implementasi pembelajaran IMA memberikan dampak peningkatan KBKM

yang paling tinggi? (3) Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?

Dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah

(1) Menganalisis peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat

pembelajaran IMA dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: a)

keseluruhan, b) faktor level sekolah (tinggi dan sedang); (2) Menganalisis dampak implementasi

pembelajaran IMA terhadap peningkatan KBKM siswa ditinjau dari level sekolah; (3)

Menganalisis interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan

kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Page 156: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

148 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

B. METODE PENELITIAN

Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota

Pekanbaru. Sampel penelitian ini adalah siswa SMAN kelas X dari level sekolah tinggi dan sedang

di Pekanbaru.

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan desain kelompok kontrol non-

ekivalen (Ruseffendi, 2005: 52) dan melibatkan dua kategori kelas sampel, yaitu kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Di kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut dilaksanakan pembelajaran

inkuiri model Alberta dan pembelajaran konvensional. Pada awal dan akhir pembelajaran, siswa

kedua kelas diberi tes, yaitu tes kemampuan berpikir kreatif matematis.

Untuk melihat secara lebih mendalam dampak pembelajaran inkuiri model Alberta terhadap

kemampuan berpikir kreatif matematis siswa maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor level

sekolah (tinggi dan sedang) sebagai variabel kontrol. Variabel terikatnya adalah kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa. Sedangkan variabel bebasnya adalah pembelajaran inkuiri model

Alberta dan pembelajaran konvensional.

Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat tes kemampuan awal matematika, tes

kemampuan berpikir kreatif matematis, lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam

pembelajaran inkuiri model Alberta.

Data dianalisis dengan menggunakan uji uji–t dan ANAVA. Untuk persyaratan uji–t dan ANAVA

dilakukan uji normalitas distribusi data dan uji homogenitas data. Peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa dapat diketahui dengan analisis skor gain dinormalisasi (N-gain)

dari skor pre-test dan post-test. Uji normalitas distribusi data dilakukan dengan menggunakan uji

normalitas Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov) yang terdapat dalam prosedur SPSS Explor (Uyanto,

2009), sedangkan uji homogenitas data dilakukan dengan menggunakan uji Levene (uji-F).

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum mengenai rata-rata KBKM siswa sebelum dan setelah penelitian serta N-gain

berdasarkan kelompok pembelajaran dan level sekolah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1

Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain KBKM Siswa

Berdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah

Kategori Stat P-IMA P-KV

Pre-

test

Post-

test N-gain

Pre-

test

Post-

test N-gain

Level

Sekolah

Tinggi

n 31 31 31 28 28 28

Rerata 1,677 17,226 0,289 2,536 9,500 0,132

SB 1,681 9,646 0,164 1,795 3,448 0,050

Sedang

n 38 38 38 40 40 40

Rerata 1,474 13,000 0,198 1,500 7,500 0,111

SB 1,370 5,643 0,087 1,783 2,918 0,040

Keseluruhan Siswa

n 69 69 69 68 68 68

Rerata 1,565 14,899 0,239 1,927 8,324 0,120

SB 1,510 7,928 0,134 1,847 3,276 0,045

Keterangan: Skor ideal maksimal pretest dan posttest adalah 56.

N-gain maksimal adalah 1.

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada masing-masing level sekolah dan secara

keseluruhan, siswa yang mendapat pembelajaran IMA memiliki rata-rata skor KBKM yang lebih

tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional (KV). Begitu juga dengan rata-

rata N-gain KBKM siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih tinggi daripada N-gain KBKM

siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Page 157: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 149

Sebelum menganalisis data peningkatan KBKM siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyatan

analisis data. Hasil uji normalitas distribusi data peningkatan KBKM siswa menunjukkan bahwa

data peningkatan KBKM siswa kelas eksperimen (pembelajaran IMA) dan kelas kontrol

(pembelajaran konvensional) berdistribusi normal pada taraf signifikansi α = 0,05. Sedangkan

hasil uji homogenitas data peningkatan KBKM menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak

homogen atau memiliki varians yang tidak sama. Oleh karena itu untuk menguji perbedaan

peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat

pembelajaran KV menggunakan uji–t' atau uji–t tanpa asumsi kesamaan varians.

Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa antara yang mendapat pembelajaran IMA dan yang

mendapat pembelajaran KV dengan menggunakan uji–t' disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2

Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa

Kedua Kelompok Pembelajaran

Pembelajaran N Rata-

rata

Beda

Rata-rata t dk Sig. H0

IMA 69 0,239 0,091 6,98 83 0,000 Ditolak

KV 68 0,120

Hasil pada Tabel 2, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran

IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV. Hasil ini

menyatakan bahwa pembelajaran IMA berperan dalam meningkatkan KBKM siswa.

Sebelum melakukan uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang

mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional terlebih dahulu

dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians kedua kelompok data. Hasil uji normalitas data

adalah bahwa kedua kelompok data berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas varians

diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut tidak homogen. Oleh karena itu untuk menguji

perbedaan rata-rata peningkatan KBKM siswa antara kedua kelompok pembelajaran untuk setiap

level sekolah menggunakan uji–t'.

Hasil uji perbedaan peningkatan KBKM siswa setiap level sekolah antara yang mendapat

pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran KV disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3

Uji Signifikansi Perbedaan Peningkatan KBKM

Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level Sekolah Pembelajaran N Rata-

rata

Beda

Rata-rata t dk Sig. H0

Tinggi IMA 31 0,289

0,157 5,09 36 0,000 Ditolak KV 28 0,132

Sedang IMA 38 0,197

0,087 5,61 51 0,000 Ditolak KV 40 0,111

Page 158: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

150 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Hasil pada Tabel 3, menunjukkan bahwa peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran

IMA lebih baik daripada peningkatan KBKM siswa yang mendapat pembelajaran KV pada setiap

level sekolah (tinggi dan sedang).

Berdasarkan hasil uji normalitas data sebelumnya bahwa kedua kelompok data yakni data N-gain

KBKM siswa dari level sekolah tinggi dan sedang yang mendapat pembelajaran IMA berdistribusi

normal. Selanjutnya, hasil uji homogenitas varians diperoleh bahwa kedua kelompok data tersebut

tidak homogen. Oleh karena itu, untuk menguji perbedaan peningkatan KBKM siswa kedua level

sekolah setelah mendapat pembelajaran IMA menggunakan uji–t'. Hasil uji - t' tersebut disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4

Uji Perbedaan Peningkatan KBKM Siswa Kedua Level Sekolah

Setelah Mendapat Pembelajaran IMA

Level Sekolah N Rata-

rata

Beda

Rata-rata t dk Sig. H0

Tinggi 31 0,289 0,091 2,80 43 0,004 Ditolak

Sedang 38 0,197

Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 ditolak.

Dengan demikian, terdapat perbedaan rata-rata peningkatan KBKM yang signifikan antara siswa

level sekolah tinggi dan sedang setelah mendapat pembelajaran IMA. Karena rata-rata peningkatan

KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih besar daripada KBKM

siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA, maka dapat disimpulkan bahwa

peningkatan KBKM siswa level sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada

peningkatan KBKM siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. Implikasi

dari temuan ini adalah bahwa pembelajaran IMA lebih cocok digunakan pada sekolah level tinggi

di SMAN Kota Pekanbaru guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah

terhadap peningkatan KBKM siswa digunakan ANAVA dua jalur. Interaksi tersebut disajikan pada

Tabel 5.

Tabel 5

Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap Peningkatan KBKM

Sumber Jumlah

Kuadrat dk

Rata-rata

Kuadrat F Sig. H0

Pembelajaran 0,499 1 0,499 54,726 0,000 Ditolak

Level Sekolah 0,106 1 0,106 11,581 0,001 Ditolak

Interaksi 0,042 1 0,042 4,588 0,034 Ditolak

Total 6.265 137

Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah dalam peningkatan KBKM

diperlihatkan pada Diagram 1.

Page 159: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 151

Diagram 1. Interaksi antara Pembelajaran dengan Level Sekolah

terhadap Peningkatan KBKM

Pada Tabel 5, terlihat bahwa ada perbedaan peningkatan KBKM siswa yang signifikan berturut-

turut berdasarkan perbedaan pembelajaran dan level sekolah. Begitu juga, terdapat interaksi antara

pembelajaran (IMA dan KV) dengan level sekolah (tinggi dan sedang) dalam peningkatan KBKM

siswa.

Pada Diagram 1, nampak adanya interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV) dengan level

sekolah. Hal ini dapat dilihat dari selisih peningkatan KBKM siswa pada sekolah tinggi antara yang

mendapat pembelajaran IMA dan yang mendapat pembelajaran konvensional lebih besar

dibandingkan dengan siswa sekolah level sedang. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa

pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada siswa level sekolah

sedang dalam peningkatan KBKM siswa di kota Pekanbaru.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran IMA

dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Siswa yang mendapat

pembelajaran IMA memiliki peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis lebih tinggi

daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan siswa,

maupun setiap level sekolah (tinggi dan sedang). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian

Kuhne bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat membantu siswa menjadi lebih kreatif, lebih

positif, dan lebih mandiri. Ini berlaku untuk semua siswa, termasuk mereka yang membutuhkan

perhatian yang lebih individu selama proses (dalam Alberta Learning, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian di atas juga ditemukan bahwa peningkatan KBKM siswa level sekolah

tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada siswa level sekolah sedang yang juga

mendapat pembelajaran IMA. Berarti level sekolah berpengaruh terhadap peningkatan KBKM siswa.

Hasil yang demikian tidaklah mengherankan, karena berdasarkan hasil pengamatan selama proses

pembelajaran IMA ditemukan bahwa siswa sekolah level tinggi lebih mandiri dan bantuan guru lebih

sedikit daripada siswa di sekolah level sedang. Hal ini karena jumlah siswa berkemapuan atas pada

sekolah level tinggi lebih banyak daripada di sekolah level sedang dan jumlah siswa berkemampuan

bawah pada sekolah level sedang lebih banyak daripada di sekolah level tinggi, sehingga tiap

kelompok yang dibentuk secara heterogen pada sekolah level tinggi, terdapat siswa berkemampuan

atas yang bisa memimpin diskusi dan membantu siswa berkemampuan tengah dan bawah.

Akibatnya, diskusi kelompok di sekolah level tinggi lebih efektif dan efisien daripada di sekolah

level sedang.

Selain itu, aspek lingkungan dan disiplin sekolah juga memberikan dampak terhadap pencapaian

belajar siswa, dalam hal ini pencapaian KBKM. Pada sekolah level tinggi, lingkungan sekolahnya

luas, nyaman dan tenang, sehingga kondusif untuk belajar. Sebaliknya, pada sekolah level sedang

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

0,300

0,350

Sekolah Tinggi Sekolah Sedang

N-g

ain

KB

KM

P-IMA

P-KV

Page 160: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

152 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

tidak demikian, lingkungan sekolahnya agak sempit sehingga suara ribut dari luar lapangan olahraga

yang berada di depan ruang kelas mengganggu konsentrasi belajar siswa. Pada sekolah level tinggi

lebih disiplin daripada sekolah level sedang. Akibatnya, siswa di sekolah level tinggi sudah terbiasa

disiplin dan patuh kepada guru, lebih mudah untuk diarahkan dan diatur, sehingga belajar lebih tertib

daripada sekolah level sedang.

Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran (IMA dan KV)

dengan level sekolah (tinggi dan sedang) terhadap peningkatan KBKM siswa. Dengan kata lain,

terdapat pengaruh bersama (simultan) antara level sekolah dan model pembelajaran terhadap

peningkatan KBSM dan KBKM siswa.

Hal ini berarti pembelajaran IMA lebih tepat digunakan pada siswa level sekolah tinggi daripada

siswa level sekolah sedang dalam peningkatan KBKM siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan

hasil penelitian Ratnaningsih (2007) yang menemukan bahwa terdapat interaksi yang signifikan

antara pembelajaran (kontekstual dan konvensional) dengan level sekolah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan berikut : (1) Peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik daripada yang

mendapat pembelajaran konvensional baik secara keseluruhan siswa maupun pada setiap level

sekolah (tinggi dan sedang). (2) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa level

sekolah tinggi yang mendapat pembelajaran IMA lebih baik dari peningkatan kemampuan berpikir

kreatif matematis siswa level sekolah sedang yang juga mendapat pembelajaran IMA. (3) Terdapat

interaksi antara faktor pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir

kreatif matematis.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bahwa pembelajaran IMA dapat digunakan sebagai salah

satu model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa terutama

pada siswa level sekolah tinggi. Sebelum melaksanakan pembelajaran IMA sebaiknya guru

memperhatikan masalah yang akan diberikan kepada siswa, agar masalah yang diberikan merupakan

masalah yang menantang dan membuat siswa penasaran ingin menyelesaikannya. Guru juga perlu

memperhatikan kesulitan siswa terhadap materi-materi yang terkait dengan penyelesaian masalah

tersebut dan membuat suatu antisipasi nya. Hal ini diperlukan terkait dengan pemberian scaffolding

kepada siswa dalam proses pembelajaran.

Page 161: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 153

DAFTAR PUSTAKA

Alberta Learning. (2004). Focus On Inquiry: A Teacher‟s Guided to Implementing Inquiry-Based

Learning. [Online]. Tersedia: http://www.learning.gov.ab.ac/ k-12/ curriculum/bySubject/

focusoninquiry. pdf. [20 Juni 2009].

Ernest, P. (1991). The Philosophy of Mathematics Education. London: The Falmer Press.

Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati, Ohio:

South-Western Publishing Co.

Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi

Pustakaraya.

Gani, R. A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan

Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Desertasi

pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies. Katoomba: Social Science Press.

Mann, E. L. (2005). Mathematical Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical

Creativity in Middle School Students. Disertasi pada University of Connecticut. [Online].

Tersedia: http://www.gifted. uconn.edu/Siegle/ Dissertations/Eric%20Mann.pdf [15

November 2009].

Meissner, H. (2007). Creativity and Mathematics Education. [Online]. Tersedia:

http://www.math.ecnu.edu.cn/earcome3/sym1/sym104.pdf [15 November 2009].

Munandar, S.C. Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan KreativitasAnak Sekolah. Petunjuk

Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta.: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir

Kritis dan Kreatif Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.

Disertasi pada PPs UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non Eksakta lainnya.

Bandung: Depdiknas.

---------------------- (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Grup.

Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem

Solving and Problem Posing. Dalam Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM)–The

International Journal on Mathematics Education. [Online]. Vol 97(3), 75 – 80. [Online].

Tersedia: http://www.emis.de/ journals/ ZDM/zdm973a3.pdf. [15 Januari 2010].

Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 162: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

154 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI

DALAM OPERASI PERKALIAN MATEMATIKA

UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER KREATIF DAN CINTA

BUDAYA LOKAL MAHASISWA PGSD

Supriadi

Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika SPS UPI

Dosen UPI Kampus Serang Abstrak

Lidi merupakan sebuah media dalam pembelajaran matematika yang sudah lama membudaya dalam

pembelajaran matematika SD. Operasi perkalian dapat disajikan dengan kreatif menggunakan lidi. Karakter

kreatif dan cinta budaya dapat meningkat dalam perkuliahan pemecahan masalah mahasiswa PGSD.

Pembelajaran matematika berbasis budaya (ethnomatematika) diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu

inovasi dalam pendidikan berbasis karakter bangsa.

Kata Kunci: Lidi,Etnomatematika,Mahasiswa PGSD

PENDAHULUAN

Tidak bisa dipungkiri sebuah ungkapan ―matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam

kehidupan seseorang‖. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas

dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut

Ruseffendi (1991), sehingga tugas pengajar selain menyampaikan materi matematika dengan baik

juga harus dapat membantu pembentukan sikap peserta didiknya. Budaya kita telah lama ada,

namun banyak siswa kita yang tidak tahu budayanya sendiri. Pembelajaran berbasis budaya dalam

pembelajaran matematika merupakan salah satu inovasi dalam menghilangkan anggapan bahwa

matematika itu kaku.

Ethnomathematics adalah studi matematika yang mempertimbangkan budaya di mana matematika

muncul . Etnomatematika adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan realitas

hubungan antara budaya lingkungan dan matematika saat mengajar. (Kurumeh, 2004). Jika kita

tengok negara-negara lain, keberhasilan negara Jepang dan Tionghoa dalam pembelajaran

matematika karena mereka menggunakan Etnomatematika dalam pembelajaran

matematikanya.(Tereziaha, 1999; Obodo, 2000; Kurumeh, 2004; Uloko dan Imoko, 2007).

Isu pendidikan berbasis karakter menjadi tujuan utama dalam penelitian pendidikan matematika

saat ini. Menurunnya karakter mahasiswa terlihat dari nilai kognitif yang rendah, kemampuan

kreatif yang rendah. Walaupun penggunaan tekhnologi komputer, internet sudah dipenuhi oleh

mahasiswa, namun kemampuan masih rendah.Itu terlihat dari rata-rata nilai UTS dan UAS yang

rendah. Mahasiswa yang beragam dalam perkuliahan dari latarbelakang yang berbeda seperti

IPA,IPS dan bahasa turut mempengaruhi akan rendahnya prestasi tersebut (Supriadi,2005)

Pemahaman budaya daerah yang dimiliki mahasiswa PGSD masih rendah, banyak yang lebih

mengetahui budaya asing sampai penampilan seseorang mahasiswa dalam perkuliahan banyak

yang dipengaruhi budaya asing. Seperti nilai budaya sunda yang banyak melekat di kehidupan

mahasiswa, banyak yang tidak memahaminya.

Karakter mahasiswa PGSD berdasarkan pengamatan Supriadi (2005) adalah pertama, mahasiswa

PGSD cenderung menyenangi soal-soal yang berbentuk rutin sehingga saat diberikan soal-soal

yang bersifat tidak rutin mereka cenderung kesulitan, suasana kegiatan belajar mengajar mahasiswa

PGSD cenderung tidak terlalu aktif dan kumunitas belajar yang saling belajar yang belum

terbentuk secara optimal.

Page 163: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 155

Dengan adanya sejumlah informasi permasalahan tersebut memunculkan pemikiran dari pengajar

untuk mencari solusi yaitu diperlukannya suatu strategi pembelajaran yang dapat menciptakan

suasana saling belajar antara dosen dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan mahasiswa.

Pendekatan etnomatematika (Pembelajaran Matematika Berbasis Budaya) dapat dijadikan untuk

mengatasi permasalahan di atas.

KAJIAN PUSTAKA

Pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih

mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki,

diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar

dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian (Sardjiyo Paulina Pannen, 2005). Pembelajaran

berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan

budaya, dan belajar melalui budaya (Goldberg, 2000). Teori Konstrukstivisme dalam pendidikan

terutama berkembang dari hasil pemikiran Vygotsky (Social and Emancipatory Contructivism).

Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya, yaitu substansi dan

kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan proses pembelajaran, penilaian hasil

belajar, serta peran budaya .Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya

pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada sekedar pemahaman mendalam

(inert understanding) (Krajcik, Czemiak, Berger,1999.

Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa

komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksiaktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara

kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks & Brooks,1993, dan

Krajcik, Czerniak Berger, 1999). Penilaian hasil belajar tidak semata-mata diperoleh dari

siswa dengan mengerjakan tes akhir atau tes hasil belajar yang berbentuk uraian (terbatas) atau

objektif saja. Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya adalah beragam

perwujudan (multiplerepresentations). Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi

sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk dan

prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu Salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya adalah

etnomatematika (Ethnomathematics).

Ethnomathematics adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya

di mana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka

gunakan. (Ubiratan D'Ambrosio,1985). Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika

mencakup segala bidang:arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabata, ornamen, dan

spiritual dan praktik keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam atau

memerintahkan sistem ide-ide abstrak.

Lidi merupakan perkakas budaya sunda yang banyak digunakan dalam filosofi-filosofi budaya.

Media lidi sudah bersahabat dengan guru dan siswa SD di kelas rendah saat mempelajari operasi

penjumlahan dan pengurangan. Lidi dapat digunakan juga dalam operasi perkalian yang dapat

digunakan dalam mengamati kemampuan kreatif siswa dan mahasiswa PGSD pada khususnya.

Penggunaan tekhnologi yang berasal dari luar dan dari dalam harus saling mengimbangi dalam

pembelajaran matematika. Penggunaan lidi bukan berarti kita kembali ke tradisional material,

namun bertujuan untuk menggali aspek kecintaan budaya local dalam pembelajaran matematika.

PROSEDUR, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji substansi yang mendalam pada penelitian ini, Pendekatan

ethnomatematika dirancang dalam suatu pembelajaran matematika, yaitu pada operasi perkalian

dengan cara yang tidak biasa dilakukan di SD. Media yang digunakan adalah lidi yang dikaitkan

dengan perkakas budaya sunda. Filosofi-filosofi dalam perkakas lidi banyak dijelaskan seperti

makna persatuan, adat, dan lain-lain.

Page 164: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

156 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Metode penelitian adalah penelitian tindakan kelas, yaitu pada kelas semester VII pada matakuliah

pemecahan masalah sebanyak dua siklus pembelajaran. Menurut data yang diperoleh oleh para

mahasiswa adalah para guru pada umumnya kurang memiliki cara atau strategi yang lain dalam

mengajarkan operasi perkalian pada siswa. Kemudian, dosen dengan mahasiswa merancang suatu

strategi yang lain. Suatu strategi yang menghubungkan budaya setempat, yaitu dikhususkan pada

perkakas budaya sunda yaitu sapu lidi. Kemudian strategi tersebut diberi nama ―perkalian

lidimatika‖.

Contoh: 11 x 11=

Kemudian dosen membuat kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari mahasiswa PGSD, yang

semuanya terdiri dari 12 kelompok. Satu kelompok terdiri dari 3 orang. 1 orang akan menjadi

guru model dan 2 orang akan menjadi observer. Tahap perencanaan yang ditekan kan adalah posisi

duduk awal siswa yang konvensional . Lembar kerja siswa terdiri satu soal agar lebih mudah dalam

menganalisis hasil pekerjaan siswa. Setelah tahap perencanaan (plan) dianggap selesai, minggu

depannya para mahasiswa mengimplementasikan rancangan pembelajaran pada setiap sekolah

dasar yang di pilih oleh setiap kelompok. Jenjang kelas yang diobservasi adalah kelas tinggi, yaitu

kelas 6 Pada tahap pelaksanaan ini (do) para mahasiswa diharapkan dapat menemukan temuan-

temuan yang berharga terhadap semua aktivitas siswa terutama permasalahan, apakah siswa

mengalami kesulitan dalam menggunakan strategi yang tidak biasa? Bagaimana guru memberikan

perbaikan terhadap permasalahan tersebut. Setelah setiap pembelajaran selesai, maka tahap refleksi

dilakukan di kelas saat perkuliahan selanjutnnya berlangsung. Pada tahap refleksi ini sejumlah

temuan ditemukan:

1. Strategi ini sangat di senangi oleh siswa yang belum mahir dengan cara perkalian bersusun.

Namun bagi siswa yang sudah terbiasa dengan cara perkalian bersusun siswa kurang

menyenanginya.

2. Sebagian siswa mengalami kesulitan dalam menentukan posisi satuan, puluhan, ratusan dst.

3. Siswa kurang bisa berdiskusi dengan teman-teman lainnya, karena dengan posisi duduk yang

konvensional

Para mahasiswa membahas hasil temuan-temuan di atas dengan tetap fokus pada aktivitas siswa.

Hasil rangkuman refleksi diperoleh: Siswa yang belum menyesuaikan pada strategi perkalian

garis belum tentu karena tidak senang dengan strategi yang diberikan oleh Guru model, karena

boleh jadi penyajian strategi perkalian lidimatika tersebut kurang jelas untuk lebih mudah dipahami

oleh pemahaman siswa. Sehingga diperlukan suatu perubahan terhadap penyajian strategi perkalian

garis tersebut agar lebih mudah dipahami oleh siswa. Kesulitan seperti letak garis dan titik potong

yang berfungsi sebagai satuan,puluhan atau ratusan? Kemampuan berpikir kreatif dalam kasus ini

ditekankan pada proses berpikir mahasiswa dalam membuat sesuatu yang baru dan original.

1

2

1

Page 165: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 157

Dari hasil diskusi antar mahasiswa dengan dosen, diperoleh beberapa perbaikan untuk kegiatan

pembelajaran berikutnya yaitu: posisi duduk diubah dengan huruf U dengan dibagi kelompok

dengan 4 orang tiap kelompok, LKS diberikan 1 soal yaitu tetap. Strategi operasi perkalian

dimodifikasi dengan diberikan nama lambang bilangannya seperti satuan,puluhan atau ratusan dan

diberikan narasi agar siswa masih bisa mengingat penjelasan guru. Seperti pada gambar di bawah

ini: 11 x 11=121

1 puluhan 1 satuan

1 puluhan

1 satuan

Kemudian dalam tahap perencanaan untuk siklus 2 dipersiapkan langkah-langkah dalam perbaikan

pembelajaran berikutnya:1. Guru model bergantian 2. Posisi duduk 3. LKS 4. Modifikasi strategi

operasi perkalian 5. Untuk open lesson 2 di tentukan kelas yang berbeda walaupun masih satu

tempat. Kemudian pada tahap implementasi (do), semua rancangan dalam tahap perencanaan

dilakukan oleh guru model. Selanjutnya dalam tahap refleksi (see) semua permasalahan dapat

teratasi dengan baik. Siswa SD sebagian besar lebih mudah memahami dan tertarik untuk

menggunakan cara perkalian karena unik.

Penggunaan media lidi yang berasal dari perkakas budaya sunda dapat menjadi awal kecintaan

mahasiswa dalam memahami hasil budaya daerahnya sendiri. Kerjasama, gotong royong antar

mahasiswa merupakan karakter bangsa Indonesia yang harus selalu ditanamkan.

KESIMPULAN

1. Pembelajaran Etnomatematika menumbuhkan komunitas belajar yang baik, walaupun

mahasiswa konsentrasi IPS, namun matematika menjadi semakin menyenangkan bagi mereka.

Jika pembelajarannya mengutamakan nilai-nilai budaya antara dosen dan mahasiswa.

2. Media Lidi sangat sederhana namun memiliki manfaat dalam meningkatkan kreativitas

mahasiswa PGSD.

3. Penggunaan lidi dalam pembelajaran matematika dapat menjadi sisipan akan budaya persatuan

bangsa yang digambarkan dalam lidi.

4. Pembelajaran matematika menjadi tidak kaku, yang hanya mengacu pada matematikanya

sendir. Namun pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang dinamis dengan dikaitkan

budaya yang baik.

5. Penelitian ini dapat menjadi motivasi bagi penulis,pembaca dan mahasiswa untuk terus

menggali lebih dalam lagi akan penelitian ethnomatematika. Agar tujuan pembelajaran

matematika dalam membentuk karakter bangsa dapat tercapai.

Narasi Guru:

Bilangan 11 pertama

Pertama: Buatlah 1 ruas garis horizontal sejajar yang

kita beri jarak saling berjauhan dengan 1 garis

horizontal lainnya

Bilangan 11 kedua

Kedua: Buatlah 1 ruas garis vertical sejajar yang kita

beri jarak saling berjauhan dengan 1 gari vertikal

lainnya

Ketiga: Lihatlah ada 1 titip potong untuk satuan,2 titik

potong untuk ratusan dan 1 titik potong untuk ratusan.

Sehingga 11x11=121

1 titik

potong

2 titik

potong

1 titik

potong

Page 166: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

158 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Kurumeh MSC (2004). Pengaruh pendekatan pengajaran ethnomathematics

pada prestasi siswa dan minat dalam geometri dan pengukuran. Tesis Ph.D yang tidak

dipublikasikan. Universitas Nigeria, Nsukka.

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-Dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sardjiyo Paulina Pannen (2005). Pembelajaran Berbasis Budaya: Model Inovasi Pembelajaran

dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi:Universitas Terbuka. Makalah

Supriadi (2005). Pengamatan Kemajuan Pembelajaran Matematika PGSD UPI Serang. Makalah.

Uloko ES, Imoko BI (2007). Pengaruh ethnomathematics mengajar pendekatan dan jenis

kelamin terhadap prestasi siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ.

Res. 5 (1): 31-36.

Page 167: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 159

INTUISI DALAM BERMATEMATIKA: FAKTA DAN

IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh : Agus Sukmana Jurusan Matematika, Universitas Katolik Parahyangan

Abstrak

Intuisi merupakan konsep yang kontroversial dalam filsafat pengetahuan. Ada kelompok yang berpendapat

intusi sebagai sumber pengetahuan sejati (Spinoza dan Descartes), sebaliknya ada yang berpendapat intusi

harus dihindari dalam penalaran ilmiah karena dapat menyesatkan (Hahn dan Bunge). Bagaimana kedudukan

intuisi menurut matematikawan dalam proses bermatematika mereka dan bagaimana implikasinya terhadap

pembelajaran dan penelitian pendidikan matematika akan dibahas dalam makalah ini. Dari hasil kajian

literatur, banyak matematikawan berpendapat intuisi memiliki peranan penting dalam kegiatan

bermatematika dan bagaimana menumbuh kembangkannya melalui pembelajaran menjadi masalah menarik

untuk dikaji dalam penelitian pembelajaran matematika.

Kata kunci : Intuisi, Aha! Experience, Pembelajaran Matematika

PENDAHULUAN

Intuisi merupakan istilah yang sudah tidak asing digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat

namun dimaknai sangat beragam. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendesripsikan intuisi sebagai:

(1).―kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari‖, (2).

―bisikan hati‖. Sedangkan Macquarie Encyclopedic Dictionary mendeskripsikannya: ―Direct

perception of truths, facts, etc. Independently of any reasoning process. A truth or fact thus

perceived. The ability to perceive in this way”. Deskripsi-deskripsi tersebut kiranya sejalan dengan

pemahaman masyarakat umumnya bahwa intuisi tidak dihasilkan melalui proses berpikir atau

penalaran, melainkan hasil dari suatu ―proses yang unik‖. Sampai saat ini belum ada definisi tegas

dan definitif mengenai intuisi dan juga bagaimana proses intuisi bekerja, definisi intusi masih

sangat bergantung pada ranah yang dikaji (Burton, 1999; Ben-Zeev & Star, 2001; Blacker, 2006:

17).

Disisi yang lain Matematika dikenal memiliki karateristik pola pikir deduktif yang bertumpu pada

penalaran dan logika, sehingga menyandingkan intuisi dengan matematika nampaknya seperti

sesuatu yang dipaksakan. Namun dugaan tersebut dibantah oleh beberapa peneliti diantaranya Van

Dooren, De Bock, & Verschaffel (2007) melalui makalahnya ― Intuïties en wiskunde: een

verstandshuwelijk?” Mereka mencari jawaban atas keraguan apakah intuisi dan matematika dapat

disandingkan dengan serasi, khususnya pada pemecahan masalah matematik. Selanjutnya

pembahasan intuisi dalam makalah ini dibatasi pada kegiatan bermatematika, atau disebut intuisi

matematik.

Intuisi matematik menurut Reuben Hersh (1997: 61-62) memiliki karakteristik antara lain :

1. Intuitif lawan dari rigorous (arti harafiah: teliti, ketat, tepat). Makna rigorous tidak pernah

didefinisikan dengan tepat dan cenderung intuitif;

2. Intuitif bermakna visual;

3. Intuitif bermakna masuk akal, dapat dipercaya, dapat diterima (plausible) sebagai sebuah

konjektur tanpa melalui kehadiran suatu bukti;

4. Intuitif bermakna tidak lengkap (incomplete);

5. Intuitif bermakna didasarkan pada model atau beberapa contoh khusus, dan dekat dengan

perngertian heuristik;

6. Intuitif bermakna holistik atau integratif sebagai lawan dari rinci (detailed) atau analitik.

Page 168: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

160 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Meskipun uraian karakteristik intuisi tersebut masih samar, tetapi cukup memberikan gambaran

mengenai intuisi matematik yang akan dikaji dalam makalah ini.

Makalah ini merupakan paparan hasil kajian terhadap beberapa sumber pustaka mengenai

bagaimana peranan intuisi menurut beberapa matematikawan dalam proses bermatematika mereka

dan bagaimana implikasinya pada kegiatan dan penelitian pembelajaran matematika.

Pembahasan diawali dengan mengutip beberapa pandangan dan kisah matematikawan terkemuka

mengenai keterlibatan intusi dalam kegiatan bermatematika yang mereka rasakan, kemudian

pandangan umum kelompok berdasarkan hasil penelitian. Selanjutnya akan dibahas beberapa

implikasinya pada pembelajaran matematika dari aspek teoritis dan praktis.

PANDANGAN MATEMATIKAWAN MENGENAI INTUISI

Pandangan beberapa orang matematikawan terkenal, seperti: Albert Einstein (1879-1955), Jules

Henri Poincaré (1854-1912), Christian Felix Klein (1849-1925), dan Srīnivāsa Aiyangār

Rāmānujam (1887-1920) mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam kegiatan bermatematika

mereka dapat disimak melalui kisah-kisah berikut:

Albert Einstein (1879-1955) melalui sebuah suratnya (dapat dibaca pada:

http://www.dialogus2.org/EIN/intuition.html) mengemukakan pernyataan terkenal mengenai

intuisi: “La seule chose qui vaille au monde, c'est l'intuition” (satu-satunya yang berharga di

dunia ini adalah intuisi). Pernyataan tersebut dikemukakanya ketika menjawab pertanyaan

apakah intuisi telah memandunya untuk memperoleh capaian dalam penelitian yang

dilakukannya. Didalam surat tersebut, Einstein menceriterakan sebuah pengalaman bagaimana

intuisinya berperan ketika ia meneliti ruang pseudo-Euclidean Minkowski pada teori relativitas

umum. Menurut Einstein bisa saja sebuah penemuan lahir melalui intuisi. Ketika suatu

pengamatan atau observasi tidak dapat dilanjutkan dengan deduksi logis karena nampaknya

tidak ada ―jalur logis‖ yang menghubungkan fakta dengan ide teoritis, untuk itu diperlukan

suatu lompatan imajinasi bebas melampaui suatu fenomena yang disebut intuisi.

Matematikawan Perancis Jules Henri Poincaré (1854-1912) saat menyampaikan kuliahnya yang

terkenal dihadapan para anggota Société de Psychologie pada tahun 1908 di Paris juga

memaparkan bahwa proses penemuan teorema-teoremanya tidak lepas dari peran intuisi.

Poincaré memaparkan pengalamannya bagaimana kehadiran intuisi ketika ia sedang mengalami

kebuntuan dalam memecahkan sebuah masalah Matematika:

Disgusted at my want of succes, I went away to spend a few days at the seaside, and

thought of entirely different things. One day, as I was walking on the cliff, the idea came

to me, again with the same characteristics of brevity, suddenness, and immediate

certainty .... (Poincaré, 1914/ 2009: 53-54)

Poincaré menceriterakan bahwa sebuah gagasan hadir secara tiba-tiba dalam benaknya justru

ketika ia tidak sedang memikirkannya, tapi ia tetap meyakini kebenaran gagasan tersebut yang

kemudian telah memandunya kearah penemuan fungsi Fuchsian, itulah yang menurutnya

sebuah intuisi. Demikian pentingnya intuisi bagi Poincaré, menurutnya: “It is by logic that we

prove. It is by intuition that we invent ... logic remains barren unless fertilized by intuition”

(Raidl & Lubart, 2000: 217). Tidak akan ada aktivitas kreatif sejati dalam Matematika dan Sains

tanpa intuisi. Meskipun matematika dikenal deduktif, banyak gagasan matematika dari Poincaré

diawali proses berfikir pada tingkat bawah sadar unconscious level (Van Moer, 2007: 172-173).

Kajian terhadap gagasan Poincaré dan tentang intuisi matematis dibahas antara lain oleh

Godlove (2009).

Christian Felix Klein (1849-1925) menuturkan pengalamannya mengenai penemuan sebuah

teorema yang gagasan awalnya diperoleh melalui intuisi dalam bukunya (Klein, 1928/1979:

360):

But during my last night, the 22- 23 of March, [1882] -- which I spent sitting on the sofa

because of asthma -- at about 3:30 there suddenly arose before me the Central

Theorem, as it has been prefigured by me through the figure of the 14-gon in (Ges.

Page 169: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 161

Abh., vol. 3, p. 126). The next afternoon, in the mail coach (which then ran from Norden

to Emden) I thought through what I had found, in all its details. Then I knew I had a

great theorem.

Meskipun gagasan intuitif mengenai teorema tersebut telah ia peroleh dan yakini kebenarannya,

namun ternyata cukup sulit untuk membuktikannya. Bahkan pembuktian lengkap teorema

tersebut baru terpecahkan tuntas 40 tahun kemudian oleh Koebe, dikenal dengan Teorema

Klein-Koebe.

Srīnivāsa Aiyangār Rāmānujam (1887-1920) matematikawan India menulis surat kepada

beberapa matematikawan besar pada masanya mengenai rumus-rumus yang menakjubkan untuk

penjumlahan, perkalian, pecahan, dan akar takberhingga yang dikemukakannya secara intuitif.

Namun tidak ada seorangpun meresponnya kecuali G. H. Hardy seorang matematikawan

Inggris. Hardy dapat menerima kebenaran rumus-rumus tersebut tanpa melalui proses

pembuktian formal yang biasa dipergunakan dalam matematika, yang dikenal sebagai intuisi

matematik. Kejeniusan Rāmānujam tercermin dari gagasan-gagasannya tersebut, dan telah

memberikan kontribusi besar pada matematika meskipun beberapa gagasannya tidak sempat ia

buktikan sebelum meninggal dunia pada usia 32 tahun.

Dari paparan kisah tersebut tampaknya beberapa temuan penting dalam matematika oleh

matematikawan besar ternyata diperoleh melalui proses ―yang tidak biasa‖: (i). Mereka melakukan

lompatan-lompatan pemikiran ketika tidak/ belum ditemukan jalur logis yang menghubungkan

antara fakta baru dengan gagasan teoritis yang ada, seperti yang dilakukan oleh Einstein, Klein,

ataupun Ramanujam; atau (ii). Mereka memperoleh gagasan secara spontan atau ketika tidak

sedang mencurahkan pikirannya untuk menyelesaikan masalah matematika yang mereka hadapi.

Selanjutnya, bagaimana pendapat matematikawan kini yang tidak sekaliber Einstein, Poincaré,

Klein, dan Ramanujam? Mungkin mereka tidak berada pada aras menemukan teori-teori tetapi

lebih pada pengembangan teori yang sudah ada dalam Matematika. Penelitian Leone Burton (1999)

dan Liljedahl (2004) akan diulas untuk tujuan tersebut.

Leone Burton (1999) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi dalam

kegiatan ―bermatematika‖ para matematikawan dengan meminta pendapat 70 orang subyek

penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra mengenai hal ini karena intuisi

masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Menurut hasil penelitian Burton, ternyata cukup

banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui bahwa kehadiran intuisi telah membantu mereka dalam

kegiatan bermatematika mereka meskipun dengan kadar yang beragam. Dua contoh pernyataan

berikut mewakili pendapat mereka yang mengakui adanya keterlibatan intuisi dalam kegiatan

bermatematika:“ ...the ability to pick up that kind of connection in mathematics is mathematical

intuition and is a central feature”, dan “I don‟t think you would ever start anything without

intuition”. Sedangkan dari mereka yang menyatakan tidak ada keterlibatan intuisi, contohnya

adalah: ―there is no such thing as intuition in mathematics”. Penelitian Burton berhasil menggali

pemahaman matematikawan mengenai intusi matematik sebagai upaya mereka untuk

menghubungkan / membuat ―lompatan‖ ketika mereka tidak/belum menemukan adanya ―jalur

logis‖ yang menghubungkan beberapa fakta/gagasan teoritis.

Penelitian Peter Gunnar Liljedahl (2004) yang ditulis dalam disertasinya mengarah kepada

pemahaman bahwa intuisi matematik sebagai suatu gagasan spontan yang biasa disebut sebagai

Aha! Experience. Liljedahl memberikan ilustrasi bagaimana Aha! Experience ia alami ketika

dihadapkan pada penyelesain permasalahan matematika yang sudah diupayakan dalam jangka

waktu lama, namun gagasan luar biasa ia dapatkan seketika saat dosennya meminta penjelasan

mengenai penyelesain yang ia peroleh padahal saat itu dia sedang memikirnya. Gagasan seketika

tersebut samasekali berbeda dengan yang sudah ia pikirkan sebelumnya. Gagasan seketika tersebut

baginya adalah Aha! Experience. Kisah ini mirip dengan yang dialami oleh Poincaré, dan

mendorongnya untuk mengkaji lebih lanjut mengenai Aha! Experience dalam pemecahan masalah

matematika. Liljedahl melakukan penelitian terhadap 64 orang subyek. Aha! Experience

Page 170: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

162 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya (Liljedahl, 2004: 196-197) ternyata berada

dalam ranah afektif dan kalaupun ada aspek kognitifnya tidak berada dalam peranan yang penting,

hal ini berbeda dengan kebanyakan yang mengasumsikan bahwa gagasan takbiasa dari Aha!

Experience merupakan hasil dari proses-proses kognitif yang tersembunyi (hidden cognitive

processes). Aha! Experience atau intuisi secara umum melibatkan rasa dan emosi dari pelaku

matematika.

Dari paparan-paparan tersebut tampak bahwa banyak matematikawan yang mengakui kehadiran

intuisi dalam kegiatan bermatematika mereka. Para matematikawan besar cukup banyak yang

mengandalkan intuisi dalam proses penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan

intuisi dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika juga diakui oleh banyak matematikawan

lain setidaknya berdasarkan hasil penelitian Burton (1999) dan Liljedahl (2004).

INTUISI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Telah dipaparkan cukup banyak matematikawan mengakui pentingnya peranan intuisi dalam

kegiatan bermatematika mereka. Persoalannya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Burton: ―

Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics education?“,

menurutnya intuisi telah hilang dan diabaikan dalam pembelajaran matematika. Jauh sebelum

Burton mempertanyakan hal tersebut, Albert Einstein juga pernah menyampaikan keprihatinan

serupa melalui pernyataannya yang terkenal dan menginspirasi penelitian mengenai intuisi : ― The

intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have created a society

that honors the servant and has forgotten the gift “ (dalam Waks, 2006: 386). Ia mengingatkan

bahwa berpikir intuitif merupakan suatu karunia mulia (a sacred gift) yang dianugerahkan Tuhan

kepada setiap individu, namun berpikir intitif cenderung diabaikan dalam masyarakat yang lebih

menghargai berpikir rasional.

Kurangnya perhatian terhadap intuisi dalam pembelajaran matematika didukung oleh Waks (2006:

386) dan untuk memperkuat argumennya tersebut ia menunjukkan bahwa unsur atau entri

mengenai intuisi tidak dijumpai pada beberapa ensiklopedia pendidikan, seperti: Encyclopedia of

Education (New York: Macmillan Reference Library, 2002) dan Encyclopedia of Educational

Research, 6th ed. (New York: Macmillan Reference Library, 1992). Dari berbagai sumber yang

tersedia nampak masih luasnya bagian dari intuisi matematik yang belum diteliti dan dikaji.

Setidaknya ada dua sumber utama yang mendorong minat mendalami intuisi dalam pembelajaran

matematika, yaitu:

1. Kecenderungan matematikawan untuk terus meningkatkan keketatan dan ―kemurnian‖

konseptual pada masing-masing domain. Kecenderungan dasarnya adalah untuk memurnikan

pengetahuan kita dari unsur-unsur: subyektifitas, interpretasi langsung dan keyakinan (belief)

serta menjadikannya sesuai dengan data objektif yang diperoleh secara ketat. Hal ini

menyebabkan meningkatnya kontradiksi antara apa yang tampaknya menjadi jelas dengan apa

yang didapatkan sebagai hasil yang diperoleh dari analisis 'ilmiah' terhadap data (Fischbein,

1999: 12). Sebelum abad 19 Geometri (Euclidean) didasarkan pada aksioma-aksioma yang

self-evidence tetapi kemudian muncul gagasan-gagasan dari Lobachevsky, Bolyai, Riemann

yang menunjukkan bahwa geometri lain (Geometri non-Eucledian) juga logis. Geometri non-

Eucledian tersebut menimbulkan konflik dengan intuisi kita mengenai gambaran alamiah

tentang dunia dan sifat-sifat ruangnya.

2. Kecenderungan adanya hambatan kognitif dalam mempelajari matematika karena pengetahuan

intuitif siswa seringkali berbeda dengan penafsiran ilmiah. Contohnya, gagasan sebuah

persegi adalah jajaran genjang secara intuitif dirasakan aneh oleh banyak siswa. Gagasan

mengalikan dua bilangan dapat memperoleh hasil yang lebih kecil dari salah satu atau kedua

bilangan yang dikalikan juga sulit diterima oleh siswa yang mengalami hambatan kognitif.

Page 171: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 163

Berikut adalah gambaran beberapa situasi yang mendeskripsikan keadaan intusi dalam

pembelajaran matematika:

a. Pernyataan matematika dapat diterima tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut, hanya

berdasarkan pada intuitisi siswa saja. Misalnya pernyataan ‖hanya ada tepat satu garis lurus

yang menghubungkan dua titik‖ pada geometri Euclides (Fischbein, 1987, 1999).

b. Pernyataan matematika yang secara intuitif dapat diterima kebenarannya, namun demikian

diperlukan pembuktikan lebih lanjut. Misalnya pernyataan ―Sudut-sudut berhadapan dari dua

buah garis yang berpotongan adalah sama besar ― dalam geometri Euclides dapat diterima

kebenarannya dan kita perlu membuktikan kebenarannya (Fischbein, 1987, 1999).

c. Pernyataan matematika yang tidak serta merta dapat diterima dan memerlukan pembuktian

lebih lanjut agar dapat diterima. Misalnya teorema Phytagoras dalam geometri Euclides

(Fischbein, 1987).

d. Pernyataan matematika bertentangan dengan respon intuitif siswa. Situasi ini banyak dijumpai

dalam masalah probabilitas (Fischbein & Schnarch, 1997; Jun, 2000; Kahneman, 2002;

Sukmana & Wahyudin, 2011a).

e. Representasi yang berbeda untuk suatu permasalahan matematika yang sama memunculkan

pertentangan intuisi. Misalnya himpunan bilangan asli (1, 2, 3, 4, 5, 6. . .) secara intuitif tidak

ekivalen dengan himpunan bilangan genap, tetapi akan tampak ekivalen bila direpresentasikan

sebagai berikut:

(1, 2, 3, 4, 5, 6, ....)

(2, 4, 6, 8, 10, 12, ....)

karena setiap bilangan asli berpadanan dengan tepat satu bilangan genap (Fischbein, 1987,

1999).

Situasi-situasi tersebut memberikan implikasi terhadap pembelajaran matematika, antara lain:

a. Situasi yang paling menguntungkan dalam pembelajaran matematika adalah dimana intuisi

siswa dengan konsep matematika secara formal sejalan. Seringkali siswa dalam situasi trivial

menafsirkan fakta-fakta matematika dengan mengacu pada realitas konkret dan menganggap

bukti formal sebagai tuntutan yang berlebihan. Implikasinya siswa diarahkan untuk memahami

matematika yang berpola pikir deduktif formal. Penerimaan pernyataan matematika secara

intuitif tidak mengecualikan keharusan untuk memenuhi struktur deduktif matematika yang

formal, ketat sesuai dengan aksiomatik.

b. Situasi yang sering kali terjadi dalam pengajaran matematika adalah penerimaan siswa secara

intuitif bertentangan dengan konsep matematika secara formal dan mengakibatkan terjadinya

konflik kognitif bahkan bias kognitif yang dapat merintangi siswa untuk mempelajari

matematika. Dalam kasus ini pembelajaran harus dapat merekonstruksi intuisi matematik dan

pengetahuan awal siswa, hal ini dimungkinkan karena intuisi sekunder menurut (Fischbein,

1987) dapat direkonstruksi melalui pembelajaran yang sesuai. Membantu siswa mengatasi

kesulitan ini dengan membuatnya menyadari terjadinya konflik dan membantu untuk

memahami fakta-fakta dalam matematika yang mengarah pada pemahaman konsep yang

benar. Beberapa penelitian berupaya merekonstruksi intuisi sekunder siswa seperti:

pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Pfannkuch & Brown, 1996; Linchevski &

Williams, 1999; Sukmana & Wahyudin, 2011b), melalui pendekatan diskoveri dan ekspositori

(Schwartz & Bransford, 1998; delMas & Garfield, 1999; Swaak & De Jong, 2001; Swaak, De

Jong, & Van Joolingen, 2004; Kapur, 2010a, 2010b).

c. Situasi dimana intuisi tidak diperlukan atau tidak berkaitan dengan situasi formal, kebenaran

hanya memerlukan bukti formal.

Upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir intuitif siswa melalui proses pembelajaran

tampak telah dilakukan seiring dengan kajian mengenai intuisi dalam pembelajaran matematika.

Demikian pula secara filosofis Emmanuel Kant dan Charles Parsons memberikan dukungan teori

terhadap peranan intuisi dalam bermatematika maupun dalam pembelajaran matematika (Parsons,

1993; Sher & Tieszen, 2000; Marsigit, 2006; Chen, 2008; Folina, 2008; Godlove, 2009) ditengah

perbedaan yang takberkesudahan dikalangan para filsuf mengenai peranan intuisi dalam

membangun pengetahuan termasuk matematika(Fischbein, 1999: 11).

Page 172: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

164 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Secara umum dalam pengajaran matematika, sangatlah penting guru/dosen memahami interaksi

antara intuitif, formal dan aspek-aspek prosedural dalam proses memahami, bernalar dan

pemecahan masalah siswa. Jika kekuatan intuitif yang dimiliki siswa diabaikan bagaimanapun terus

mempengaruhi kemampuan siswa bermatematika. Bila berpikir intuitif tidak dikendalikan juga

dapat mengganggu proses berpikir matematis. Jika aspek formal diabaikan dan siswa akan

cenderung mengandalkan hanya pada argumen intuitif, dan apa yang akan diajarkan bukanlah

matematika.

PENUTUP

Keterlibatan dan pentingnya peranan intuisi dalam proses bermatematika faktanya diakui oleh

banyak matematikawan telah membantu mereka untuk memahami, mengembangkan dan

menemukan teori-teori baru dalam matematika. Banyak yang mempertanyakan mengapa

kemampuan berpikir intuitif justru tidak dikembangkan dalam pembelajaran matematika? Adanya

keraguan terhadap intuisi dalam membangun matematika adalah salah satu faktor penyebabnya.

Keraguan tersebut secara filosofis sudah dijawab oleh Emmanuel Kant dan Charles Parsons yang

memberikan dukungan terhadap pemanfaatan intuisi dalam mengembangkan matematika.

Kecenderungan untuk mengesampingkan peranan intuisi dalam bermatematika maupun upaya

untuk menekan intuisi siswa dalam pembelajaran matematika telah menimbulkan masalah bagi

siswa untuk mempelajari matematika pertentangan kognisi yang terjadi menjadi berlarut-larut dan

menjauhkan matematika dari aspek humanis.

Dari apa yang telah dipaparkan dalam makalah ini, diharapkan dapat menggugah penelitian

mengenai intuisi matematik yang masih jarang dilakukan agar dapat memberikan kontribusi pada

pembelajaran matematika. Dari aspek praktis diharapkan dapat menggugah guru atau dosen untuk

mulai memperhatikan interaksi intuisi dengan matematika formal, membangun jembatan diantara

keduannya, mengupayakan untuk merekonstruksi intuisi matematik yang ―keliru‖ yang telah

terlanjur tertanam dalam pikiran siswa dan memperkuat intuisi matematik siswa melalui

pembelajaran matematika dikelas.

DAFTAR PUSTAKA

Ben-Zeev, T., & Star, J. (2001). Intuitive mathematics: Theoretical and educational implications.

Dalam B. Torff & R. J. Sternberg (Eds.), Understanding and teaching the intuitive mind :

student and teacher learning (pp. 29-56). Mahwah, N.J. : Lawrence Erlbaum Associates.

Blacker, A. (2006). Intuitive Interaction with Complex Arthefacts: Emperically-based research.

Berlin: VDM Verlag Dr. Muller.

Burton, L. (1999). Why is intuition so important to mathematicians but missing from mathematics

education? For the Learning of Mathematics, 19(3), 27-32.

Chen, H. (2008). The role of intuition in Kant's conceptualization of causality and purposiveness.

Disertasi, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong: tidak diterbitkan.

delMas, R. C., & Garfield, J. (1999). A Model of Classroom Research in Action: Developing

Simulation Activities to Improve

Students' Statistical Reasoning. Journal of Statistics Education, 7(3).

Fischbein, E. (1987). Intuition in science and mathematics : an educational approach Dordrecht D.

Reidel.

Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in

Mathematics, 38(1), 11-50.

Fischbein, E., & Schnarch, D. (1997). The Evolution with Age of Probabilistic, Intuitively Based

Misconceptions. Journal for Research in Mathematics Education, 28(1), 96-105.

Folina, J. (2008). Intuition Between the Analytic-Continental Divide: Hermann Weyl's Philosophy

of the Continuum. Philosophia Mathematica, 16(1), 25-55.

Godlove, T. F. (2009). Poincare, Kant, and The Scope of Mathematical Intution. The Review of

Metaphysics, 62(4), 779-801.

Page 173: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 165

Hersh, R. (1997). What Is Mathematics, Really? New York: Oxford University Press.

Jun, L. (2000). Chinese Students‟ Understanding of Probability. Disertasi, Nanyang Technological

University, Singapore: tidak diterbitkan.

Kahneman, D. (2002). Maps of Bounded Rationality: A Perspective on Intuitive Judgement and

Choices. [Online]. Tersedia di,

http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2002/kahnemann-lecture.pdf [21

Oktober, 2010]

Kapur, M. (2010a). Productive Failure in Learning the Concept of Variance. Working paper.

National Institute of Education, Singapore. tidak diterbitkan.

Kapur, M. (2010b). Productive failure in mathematical problem solving. Instructional Science,

38(6), 523-550.

Klein, F. (1928/1979). Development of Mathematics in the 19th Century (R. Hermann,

Terjemahan.). Brookline: Math Sci Press.

Liljedahl, P. G. (2004). The Aha! Experience: Mathematical Contexts, Pedagogical Implications

Disertasi, Simon Fraser University, Burnaby, BC Canada: tidak diterbitkan.

Linchevski, L., & Williams, J. (1999). Using Intuition From Everyday Life in 'Filling' the gap in

Children's Extension of Their Number Concept to Include the Negative Numbers.

Educational Studies in Mathematics, 39(1), 131-147.

Marsigit. (2006). Peranan Intuisi dalam Matematika Menurut Emmanuel Kant. Makalah disajikan

pada Konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang,

Parsons, C. (1993). On Some Difficulties Concerning Intuition and Intuitive Knowledge. Mind,

102(406), 233-246.

Pfannkuch, M., & Brown, C. M. (1996). Building on and Challenging Students' Intuitions About

Probability: Can We Improve Undergraduate Learning? . Journal of Statistics Education,

4(1),

Poincaré, H. (1914/ 2009). Science and Method (F. Maitland, Terjemahan.). New York: Cosimo

Classic.

Raidl, M.-H., & Lubart, T. I. (2000). An Emperical Study of Intuition and Creativity. Imagination,

Cognition and Personality, 20(3), 217-230.

Schwartz, D. L., & Bransford, J. D. (1998). A Time for Telling. Cognition and Instruction, 16(4),

475-522.

Sher, G., & Tieszen, R. L. (2000). Between logic and intuition : essays in honor of Charles Parsons

(C. Parsons, G. Sher & R. L. Tieszen, Terjemahan.). Cambridge, U.K. ; New York ::

Cambridge University Press.

Sukmana, A., & Wahyudin. (2011a). A Study of the Role of Intutition in Students' Understanding

of Probability Concepts. Proceeding of the International Conference on Numerical

Analysis and Optimization (ICeMATH2011): UAD

Sukmana, A., & Wahyudin. (2011b). A Teaching Material Development for Developing Students'

Intuitive Thinking Through REACT Contextual Teaching Approach. Mat Stat, 11(2), 75-

81.

Swaak, J., & De Jong, T. (2001). Discovery simulations and the assessment of intuitive knowledge.

Journal of Computer Assisted Learning, 17(3), 284-294.

Swaak, J., De Jong, T., & Van Joolingen, W. R. (2004). The effects of discovery learning and

expository instruction on the acquisition of definitional and intuitive knowledge. Journal of

Computer Assisted Learning, 20(4), 225-234.

Van Dooren, W., De Bock, D., & Verschaffel, L. (2007). Intuïties en wiskunde: een

verstandshuwelijk? disajikan pada Internationaal symposium ter gelegenheid van de

100ste verjaardag van het Vliebergh, Leuven

Van Moer, A. (2007). Logic and Intuition in Mathematics and Mathematical Education. . Dalam K.

François & J. P. Van Bendegem (Eds.), Philosophical Dimensions in Mathematics

Education (pp. 157-179). New York: Springer.

Waks, L. J. (2006). Intuition in Education:Teaching and Learning Without Thinking. Dalam D.

Vokey (Ed.), Philosophy of Education (pp. 379-388).

Page 174: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

166 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

MENGENALKAN MATEMATIKA MELALUI

PENGAMATAN ALAM SEMESTA (Menanamkan Karakter Rasa Ingin Tahu, Peduli Lingkungan dan Menghargai Prestasi)

Oleh : Agung Prabowo

Program Studi Matematika - Fakultas Sains dan Teknik

Universitas Jenderal Soedirman - Purwokerto

Abstrak.

Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar berkualitas yang sekaligus

diarahkan untuk pembentukan karakter. Tiga buah karakter yaitu karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan

dan menghargai prestasi diintegrasikan dalam materi matematika yang dikembangkan dari Masalah Kelinci

Fibonacci. Hasilnya berupa materi matematika yang didisain untuk menanamkan ketiga buah karakter

tersebut. Makalah ini disusun dengan tujuan memaparkan materi pembelajaran matematika yang dapat

digunakan oleh guru/calon guru dalam mencangkokkan konsep matematika dan menanamkan tiga buah

karakter tersebut. Untuk mewujudkan tujuan tersebut siswa didorong untuk menemukan sendiri rumus atau

model matematika, menyelidiki hasilnya, membuat persamaan matematika dan menyelesaikannya,

melakukan pengamatan lingkungan sekitar dan pemberian informasi mengenai aplikasi dan kaitan antara

matematika dengan fenomena alam. Dengan demikian, kemasan materi yang dibuat dapat membuka

wawasan para siswa mengenai manfaat matematika dalam kehidupan manusia, menumbuhkan minat

terhadap matematika pada diri siswa, dan tumbuhnya kesadaran adanya keterkaitan matematika dengan

berbagai hal.

Kata kunci: matematika, Fibonacci, alam semesta, pengamatan, karakter

1. PENDAHULUAN

Apakah matematika mencerminkan realitas? Pandangan bahwa matematika adalah ratu (queen) dan

pelayan (servant) menunjukkan bahwa matematika mempunyai kaitan dengan realitas atau dapat

melepaskan diri dari ikatannya dengan realitas. Tidak ada yang salah apabila para matematikawan

teoritik menyatakan bahwa pengetahuan matematika ―murni‖ sama sekali tidak memiliki hubungan

apapun dengan dunia material. Beberapa fisikawan teoritik menyatakan dukungan terhadap

fenomena matematika yang melepaskan diri dari dunia fisik. Kesahihan model matematika mereka

tidaklah tergantung pada pembenaran yang diperoleh secara empirik, melainkan semata-mata pada

kualitas estetik dari persamaan-persamaan matematika yang menyusunnya (Woods dan Grant,

2006). Menurut J.P. Stewart (Widodo, 2010: 2), ―Mathematics is the logical and abstract study of

pattern.‖ Ini berarti salah satu pengertian dari matematika adalah ilmu yang mempelajari logika

(cara berpikir) dan pola-pola yang abstrak. Matematika pada tingkat yang abstrak tidak bersedia

lagi berhubungan dengan realitas fisik. Namun demikian, matematika tetap didisain (secara

sembunyi-sembunyi) dengan harapan dapat membantu di dalam menyelesaikan seluruh masalah

yang terkait dengan beragam fenomena fisik yang terjadi.

Sama halnya dengan tidak ada yang salah apabila matematika dikenalkan melalui interaksinya

dengan hal-hal fisik yang nyata. Perkembangan matematika adalah hasil dari kebutuhan manusia

yang sangat material, sehingga matematika perlu diajarkan melalui pengamatan berbagai fenomena

alam semesta yang dekat dengan siswa. Aristoteles menulis (Woods dan Grant, 2006: 457), ―Objek

matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material).‖

Fakta tak terbantahkan bahwa awal mula matematika terkait dengan fenomena fisik dan masa

dewasa matematika lebih disajikan sebagai proses abstraksi membawa gagasan perlunya

matematika dikenalkan kepada siswa dengan memulainya pada tingkat yang paling kongkret yaitu

mengajarkan matematika berdasarkan fenomena alam semesta. Dengan porsi yang lebih kecil,

siswa setingkat SLTP dan SLTA pun masih perlu untuk mengenal matematika dari fenomena alam.

Mereka perlu mengenal dan mengetahui atau mengalami secara fisik mengapa sin 450 = ½

sehingga mereka mengetahuinya bukan karena diberitahu oleh guru, tabel, alat hitung tetapi benar-

benar tahu setelah membuktikannya. Dengan demikian, keyakinan mereka akan semakin kuat.

Page 175: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 167

Semua siswa tentu saja belajar matematika baik di Indonesia maupun seluruh dunia, dengan porsi

jam belajar yang lebih besar dibanding mata pelajaran lainnya. Setelah mereka meninggalkan

bangku sekolah, jauh lebih banyak siswa yang tidak tertarik dengan matematika. Banyak siswa

yang kemudian tidak dapat memperoleh manfaat apapun sebagai hasil dari belajar matematika.

Bagi mereka matematika adalah aktifitas berpikir yang tidak dapat diikuti. Tidak ada kesan positif

yang terekam dalam benak mereka setelah 12 tahun belajar matematika. Bagi mereka, matematika

bukanlah kebutuhan. Padahal, hasil paling penting dari belajar matematika adalah cara berpikirnya

yang dapat diterapkan pada segala bidang sehingga lulusan prodi matematika yang bekerja di luar

bidang matematika dapat sukses dan berhasil berkat cara berpikir yang diperolehnya selama belajar

di prodi matematika.

Cara berpikir akan dapat diperoleh para siswa atau mahasiswa setelah mereka belajar matematika

apabila ada ketertarikan. Syarat utamanya adalah rasa tertarik, rasa ingin tahu (curiosity), kemudian

tumbuh minat dan akhirnya matematika akan menjadi kebutuhan. Apabila matematika telah

menjadi kebutuhan maka belajar matematika akan dilakukan dengan senang. Salah satu cara untuk

mengarahkan siswa kepada gagasan matematika sebagai kebutuhan adalah dengan

memperkenalkan siswa dengan berbagai fenomena alam sehingga mereka merasa tertarik dan

tumbuh rasa ingin tahunya untuk tujuan klarifikasi dan memuaskan rasa tersebut lebih dalam lagi.

Minat pada matematika, apabila selama ini sulit diwujudkan melalui pembelajaran matematika

dalam bentuk konsep matematika yang sudah jadi, maka konsep matematika dapat ditanamkan

dengan bantuan pengamatan terhadap berbagai fenomena alam semesta. Siswa dengan melalui

pengamatan dapat menemukan sendiri konsep matematika sehingga dapat membangkitkan minat

mereka pada matematika.

Makalah ini disusun dengan suatu rumusan masalah mengenai strategi atau cara yang dapat

digunakan oleh guru/calon guru dalam menanamkan konsep matematika pada diri siswa yang dapat

menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi. Strategi atau

cara yang ditawarkan adalah dengan membelajarkan konsep-konsep matematika melalui fenomena

yang terjadi di sekitar siswa. Siswa diajak untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika

untuk selanjutnya menggunakan konsep yang telah diperolehnya tersebut pada masalah matematika

atau masalah di luar matematika. Keterkaitan dengan fenomena alam diharapkan dapat membantu

meningkatkan daya tarik dan minat siswa terhadap matematika, disamping memperluas wawasan

siswa bahwa matematika bukanlah pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi mempunyai kaitan

dengan berbagai bidang dan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, manfaat yang dapat diraih

setelah implementasi strategi atau cara di atas adalah tertanamnya beberapa karakter pada diri

siswa yaitu karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan, menghargai prestasi, tumbuhnya minat

pada matematika, dan tumbuhnya kesadaran adanya keterkaitan matematika dengan berbagai hal.

Makalah ini memaparkan konsep matematika mengenai pola abstrak dari suatu barisan bilangan.

Pola tersebut tidak langsung diperkenalkan dalam bentuk rumus matematika, tetapi diawali dari

fenomena yang akrab bagi siswa untuk kemudian dikembangkan menjadi pengetahuan matematika

formal. Siswa difasilitasi dengan menemukan keterkaitan pola barisan bilangan tersebut dengan

berbagai hal ada terjadi di alam semesta. Dengan demikian siswa akan mengerti bahwa matematika

berguna bagi dirinya, bermanfaat bagi bidang ilmu pengetahuan lainnya dan dapat memberikan

sumbangan bagi kesejahteraan umat manusia. Dari pola barisan tersebut juga dapat dikembangkan

konsep-konsep matematika lainnya, seperti konstanta Phi, Golden Rectangle, pentagram, dan lain-

lain

2. PEMBAHASAN

2.1 Karakter

Karakter merupakan identitas yang menggambarkan kualifikasi atau kualitas pribadi seseorang.

Pembentukan karakter dapat dilakukan dengan menyisipkan, melekatkan atau mengintegrasikannya

dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada. Cukuplah apabila seorang siswa sudah benar-benar

meyakini dan mengalaminya sendiri, bahwa hari ini ternyata lebih baik dari hari kemarin, maka

kualifikasi pribadinya telah memperlihatkan keunggulan sebab secara internal siswa tersebut akan

selalu terdorong untuk berubah dari hari ke hari menjadi semakin baik. Juga harus ditanamkan

Page 176: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

168 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

bahwa pengembangan karakter pada akhirnya akan menjadi tanggung jawab pribadi. Karakter

tanpa disertai tanggung jawab pada pribadinya sendiri ibarat bulir padi yang hampa.

Menciptakan lebih banyak siswa yang menguasai matematika adalah penting. Namun demikian,

jika pengalaman sejak Indonesia merdeka hingga saat ini menunjukkan tidak ada peningkatan yang

berarti dalam hal jumlah/banyaknya siswa yang mampu belajar matematika, tidak ada salahnya jika

pembelajaran matematika sedikit digeser dengan tidak sekedar mengajarkan materi matematika,

tetapi juga mendidik untuk membangun dan memahat karakter (Prabowo dan Pramono, 2010).

Pembelajaran matematika dijadikan sebagai media dan wahana untuk pembentukan karakter

tersebut. Materi matematika dikemas sehingga karakter-karakter yang hendak ditanamkan dapat

muncul pada materi tersebut. Dengan melekatkan pendidikan karakter dalam pembelajaran

matematika, maka pembelajaran matematika tidak lagi untuk mendukung pengembangan ranah

kognitif saja tetapi juga mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik.

Dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dipaparkan 18 jenis karakter

yang harus ditumbuhkan dalam pembelajaran. Tiga dari delapan belas karakter tersebut yaitu rasa

ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dicoba untuk dapat ditanamkan dalam

pembalajaran matematika dengan mengambil topik Barisan Bilangan Fibonacci. Menurut buku

tersebut, rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih

mendalam dan lebih luas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar. Peduli lingkungan

berkaitan dengan upaya mencegah kerusakan alam dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki

kerusakan alam yang telah terjadi. Menghargai prestasi berkaitan dengan sikap dan tindakan yang

mendorong untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta

menghormati hasil karya orang lain. Apabila dikaitkan dengan atribut-atribut dalam penelitian

matematika yang meliputi PEACE-AG yaitu proof (bukti), extension (perluasan), application

(aplikasi-penerapan), characterization (karakterisasi-ciri), existence (eksistensi), abstraction

(abstraksi) dan generalization (generalisasi), maka menurut Widodo (2010), karakter rasa ingin

tahu dapat ditumbuhkan melalui atribut extension, existence, abstraction, dan generalization,

sedangkan karakter peduli lingkungan dapat diintegrasikan melalui application. Sementara itu

karakter semangat berprestasi dapat ditanamkan melalui proof dan characterization. Hal ini

menjelaskan bahwa pada tingkat selanjutnya, karakter-karakter yang telah ditanamkan juga

dibutuhkan dan dikembangkan terus melalui penelitian matematika.

Hal senada diungkapkan oleh Suryadi (2010), ―...apabila materi ajarnya berkualitas dan metodenya

tepat, maka hasilnya tentu bisa diharapkan lebih optimal. Apalagi jika pembelajaran matematika

tidak hanya diarahkan pada penguasaan kemampuan matematikanya, melainkan juga pada

pembentukan karakter bangsa ....‖ Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan

materi ajar yang berkualitas yang juga diarahkan untuk pembentukan karakter.

2.2 Barisan Bilangan Fibonacci

Barisan Bilangan Fibonacci (BBF) diperkenalkan oleh Leonardo Fibonacci dalam karyanya

berjudul Liber Abaci yang diterbitkan pada tahun 1202 dengan maksud memperkenalkan bilangan

Hindu-Arab kepada masyarakat barat (Eropa). Dalam bukunya tersebut, Fibonacci

mempromosikan untuk meninggalkan sistem bilangan Romawi dan beralih ke sistem bilangan

Hindu-Arab yang sangat efisien. Dengan hanya 10 buah digit (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9) dan

penggunaan sistem nilai tempat, sistem bilangan Hindu-Arab dapat mengungguli sistem bilangan

Romawi. Keunggulan lainnya adalah adanya bilangan 0 dan kemudahan dalam perhitungan

aritmatika. Atas jasanya ini, seluruh dunia dan matematika saat ini menggunakan sistem bilangan

Hindu-Arab dan nama Fibonacci tetap harum mewangi, tetap dikenal hingga hari ini.

Fibonacci tidak hanya dikenal dalam matematika. Bidang-bidang seperti arsitektur, psikologi, pasar

saham, botani, zoologi, biologi dan lain-lain mengenal Fibonacci melalui Barisan Bilangan

Fibonacci, Spiral Fibonacci, Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle), Persegi Fibonacci, Sudut

Emas (Golden Angle), Segitiga Emas (Golden Triangle), Phi (Nisbah Emas/Golden Ratio) dan lain-

lain.

Page 177: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 169

Dalam Liber Abaci juga terdapat permasalahan yang disebut The Reproductive Habits of Rabbits in

an Enclosed Area (Masalah Kelinci Fibonacci). Sepasang kelinci yang baru lahir (jantan dan

betina) segera menjadi dewasa sebulan kemudian dan melahirkan sepasang anak (jantan dan betina)

sebulan berikutnya dan tiap bulan selanjutnya akan melahirkan sepasang kelinci. Hal yang sama

berlaku untuk semua pasang anak kelinci. Proses perkembangan dan banyaknya pasang kelinci

pada bulan pertama, kedua dan seterusnya diberikan pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Proses Perkembangbiakan Kelinci dalam Masalah Kelinci Fibonacci

Sumber: www.google.com

Persoalan yang diajukan adalah berapakah jumlah pasang kelinci dalam tiap bulannya. Masalah

nyata ini (dengan sedikit rekayasa) dapat digunakan untuk memperkenalkan kepada siswa

mengenai pola bilangan. Siswa dapat diarahkan pada cara memperoleh bilangan selanjutnya dan

menemukan rumus (model) matematika dari Masalah Kelinci Fibonacci. Dengan cara seperti ini,

siswa disadarkan bahwa matematika dapat berasal dari masalah nyata sehari-hari. Dengan

demikian, dalam diri siswa akan tertanam karakter menemukan sesuatu dan menghargai hasil

penemuan orang lain.

Dari masalah yang diajukan Fibonacci dalam Liber Abaci, diperoleh barisan bilangan yang saat ini

disebut dengan namanya: Barisan Bilangan Fibonacci (Fibonacci‟s Sequence): 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13,

21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, 610, 987, .... Barisan bilangan Fibonacci sangat istimewa. Bilangan

berikutnya diperoleh dengan menjumlahkan dua buah bilangan sebelumnya yang berturutan.

Secara matematika, 21 nnn FFF dengan ,....5,4,3n dan 11 F , 12 F . Tentu

saja, rumus (model) matematika tersebut harus ditemukan sendiri oleh siswa dengan mengamati

pola pada barisan bilangan tersebut. Guru dapat membantu dengan memberikan pertanyaan yang

mengarahkan siswa pada proses penemuan rumus tersebut.

2.3 Menumbuhkan Karakter Rasa Ingin Tahu

Siswa dapat diajak untuk melakukan eksplorasi lebih dalam terhadap Barisan Bilangan Fibonacci

(BBF). Kepada siswa dapat diajukan pertanyaan membimbing berkaitan dengan rasio/perbandingan

dua buah bilangan yang berturutan dalam BBF, dengan tujuan siswa dapat menemukan kesimpulan

yang tepat dan menyadari keistimewaan BBF. Hasil eksplorasi siswa dapat dibuatkan dalam bentuk

tabel seperti pada tabel 1

Tabel 1.

Perbandingan Dua Buah Bilangan Fibonacci yang Berturutan

Bilangan

Fibonacci

Perbandingan

i

i

-keBilangan

)1( -keBilangan

1 -

1 1/1 = 1,000

2 2/1 = 2,000

3 3/2 = 1,500

5 5/3 = 1,667

8 8/5 = 1,600

dst dst

Page 178: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

170 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Perbandingan dua buah bilangan yang berturutan semakin lama semakin mendekati konstanta yang

dinamakan Golden Ratio (Nisbah Emas) yaitu 1,618 (pendekatan). Perhatikan bahwa 89/55 =

1,6182, 144/89 = 1,6180, 233/144 = 1,6181 dan seterusnya. Konstanta nisbah emas 1,618 saat ini

disebut Phi dan dilambangkan dengan huruf Yunani Phi yaitu Φ (baca: vi). Phi tentu saja berbeda

dengan Pi (baca: pi) yang dilambangkan dengan π dan bernilai 3,14. Inilah keistimewaan BBF.

Apabila siswa sudah belajar penyelesaian persamaan kuadrat, dapat diajukan masalah matematika

berupa penyelesaian persamaan kuadrat x2

– x – 1 = 0 yang seharusnya sudah dapat diselesaikan

oleh siswa SMP kelas 1. Solusi pertama disebut Phi yaitu Φ = 1,618 dan solusi kedua disebut phi

yaitu φ = 0, 618. Hubungan keduanya adalah Phi = 1/phi. Konstanta Phi mempunyai beragam

nama, tergantung masa dan penggunaanya misalnya golden section dan divine proportion.

Konstanta phi juga mempunyai beragam nama yaitu mean ratio, golden mean, dan golden ratio.

Saat ini, semua istilah tersebut (golden section, divine proportion, mean ratio, golden mean, dan

golden ratio) tidak lagi dibedakan dan dinamakan Phi dengan nilai Φ = 1,618, diambil dari nama

Phidias yang membangun Kuil Parthenon dan patung-patungnya.

2.4 Menanamkan Karakter Peduli Lingkungan

Ekplorasi lebih lanjut mengenai BBF dapat dilakukan dengan cara mengajukan masalah di luar

matematika yang dapat mengantarkan siswa untuk memiliki rasa peduli pada lingkungan (alam

semesta). Tujuannya agar mereka dapat menyadari pentingnya merawat alam semesta, menjaga dan

tidak merusaknya. Seperti apa kaitan BBF dengan lingkungan tempat tinggal siswa? Ternyata,

bunga-bunga yang indah adalah bunga-bunga yang memiliki jumlah daun, kuntum atau kelopak

(petals) yang berupa bilangan Fibonacci. Sebutlah bunga-bunga tersebut sebagai bunga-bunga

Fibonacci. Siswa dapat diarahkan untuk secara langsung menyelidiki atau mencari bunga-bunga

yang jumlah kelopaknya 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, atau 89 dan selanjutnya. Bagian ini tentu saja dapat

dikaitkan dengan biologi khususnya botani, seperti nama-nama ilmiah untuk bunga-bunga

Fibonacci. Contoh bunga-bunga Fibonacci adalah (angka dalam kurung adalah jumlah

daun/kelopak) diberikan pada gambar 2.

Lily (3) Iris (3) Trilium (3) Wild Rose (5) Pinks (5) Buttercup (5)

Delphiniums (8) Blood Root (8) Ragwort (13) Black Eyed Susan (13) Aster (21) Chamomile (21)

Pyrethrum (34) Gaillardia (34) Michaelmas Daisy (55) Asteracae (89)

Gambar 2. Bunga-Bunga Fibonacci

Sumber: www.google.com

Langkah selanjutnya adalah mengarahkan dan mendorong siswa secara persuasif untuk bersedia

membuat Taman Bunga Fibonacci yaitu taman bunga yang khusus ditanami bunga-bunga

Fibonacci, baik di halaman sekolah maupun halaman rumah masing-masing. Siswa juga dapat

dibimbing untuk memahami kaitan matematika dengan biologi, khususnya zoologi yaitu dengan

beternak lebah. Isilah taman bunga Fibonacci dengan koloni-koloni lebah. Di masa dewasanya

siswa dapat mengembangkan gagasan ini dengan menjadi peternak/petani madu. Apa kaitannya

matematika dengan lebah? Dalam satu koloni lebah, jumlah lebah betina akan jauh lebih banyak

dibanding lebah jantan dan perbandingan keduanya adalah bilangan Nisbah Emas atau Phi yaitu Φ

Page 179: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 171

= 1,618. Masih ada lagi keistimewaan koloni lebah. Ternyata, proses perkembangbiakan lebah

mengikuti Barisan Bilangan Fibonacci. Perkembangan lebah pun seperti perkembangan kelinci

sehingga jumlah lebah pada setiap generasi merupakan barisan bilangan Fibonacci.

Generasi Gambar Jumlah Lebah Keterangan

1

2

3

4

5

6

1

1

2

3

5

8

Jantan

Betina

Gambar 3. Barisan Bilangan Fibonacci pada Proses Perkembangbiakan Lebah

2.5 Menanamkan Karakter Menghargai Prestasi

Masalah Kelinci Fibonacci juga dapat didisain untuk menanamkan karakter menghargai prestasi

dengan mengajarkan siswa untuk menghargai hasil karya dan prestasi orang lain. Pengakuan ini

dapat didorong untuk menjadi semangat berprestasi dan berkontribusi yang dilakukan oleh diri

sendiri. Kepada siswa dapat ditanamkan sifat jujur dan menghindari plagiarisme, bangga, dan

keinginan untuk memberi kontribusi dalam hidup.

Banyak hasil karya seni dan budaya yang dalam disain pembuatannya menggunakan konsep

Nisbah Emas. Fakta-fakta yang akan dibeberkan dapat membantu para siswa untuk lebih

memahami peran matematika dalam arsitektur dan seni lukis. Tentu saja siswa sudah mengenal

piramida, tetapi sangat mungkin mereka belum mengetahui bahwa disain piramida Giza didasarkan

pada konsep Nisbah Emas 1,618. Masyarakat Yunani Kuno menyebutnya Golden Section. Plato

(~428 SM – 347 SM) juga telah menggunakan Golden Section dalam bukunya, Timaeus. Euclid

dalam the Elements, membagi sebuah garis pada titik 0,6180399. Titik ini dinamakan Mean Ratio.

Euclid juga menggunakan Mean Ratio dalam pembuatan pentagram. Pada perkembangan

selanjutnya, istilah Mean Ratio diganti dengan Golden Mean. Istilah Golden Ratio juga digunakan

untuk menggantikan Mean Ratio. Phidias dari Yunani Kuno menggunakannya dalam kuil

Parthenon dan patung-patung di dalamnya.

Phidias (500 SM – 432 SM) adalah seorang pematung (pemahat) dan matematikawan Yunani,

mempelajari Nisbah Emas 1,618 dan menggunakannya untuk membangun Kuil Parthenon dan

mendisain patung-patung yang ditempatkan dalam kuil tersebut. Sebagai penghargaan kepada

Phidias, konstanta 1,618 dinamakan Phi, diambil dari huruf pertama namanya.

Gambar 4. Kuil Parthenon

Sumber: https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/

Istilah lain untuk Phi adalah Divine Proportion (Proporsi Ilahi) yang diperkenalkan oleh Luca

Pacioli pada tahun 1509 dalam karyanya De Divine Proportione. Dalam karyanya tersebut, Pacioli

menjelaskan karya-karya Leonardo da Vinci yang dibuat dengan menggunakan Golden Section dan

Page 180: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

172 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

berdasarkan lima benda Platonic. Da Vinci adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah

Latin Sectio Aurea (Ing: Golden Section).

Lukisan Monalisa dan Perjamuan Terakhir ‗The Last Supper‘ (keduanya karya Leonardo da Vinci)

juga menggunakan konsep Nisbah Emas dalam pembuatannya. Di dalam ruang kelas dapat

dipajang beragam karya seni yang disain pembuatannya menggunakan konsep Nisbah Emas, agar

siswa terus menerus menyadari kaitan matematika dengan alam sekitar dan hasil karya manusia.

Johannes Kepler (1571-1630), menemukan orbit eliptik dari planet dengan memanfaatkan divine

proportion, seperti yang dikatakannya. "Geometry has two great treasures: one is the theorem of

Pythagoras; the other, the division of a line into extreme and mean ratio. The first we may compare

to a measure of gold; the second we may name a precious jewel."

(http://www.phiforex.com/en/phi_in_financial.html)

Gambar 5. Lukisan Monalisa dan Perjamuan Terakhir

Sumber: https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/

2.6 Keterkaitan Matematika dengan Bidang-Bidang Lainnya

Masalah Kelinci Fibonacci pada akhirnya menghasilkan Barisan Bilangan Fibonacci, dan menjadi

sarana untuk memperoleh konstanta Nisbah Emas (Phi). Banyak bidang-bidang lain yang

memanfaatkan Barisan Bilangan Fibonacci maupun Phi dalam disain pembuatan atau

penciptaannya.

Bidang Matematika Lainnya (Golden Rectangle)

Persegi Panjang Emas (Golden Rectangle) diyakini sebagai bentuk persegi panjang dengan

proporsi yang indah. Rasio (perbandingan) antara panjang dan lebar pada Golden Rectangle adalah

Golden Ratio atau Phi = 1,6180339887.... Apabila sisi panjang dilambangkan dengan p dan sisi

lebar dengan l, maka pada Golden Rectangle berlaku

lp

p

p

l

atau l

p

p

lp

Bagaimana cara memperoleh Golden Rectangle? Salah satu cara sederhana untuk memperoleh

Golden Rectangle adalah:

Page 181: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 173

1. Buat persegi ABCD dengan ukuran 1 x 1.

2. Tentukan titik tengah DC sebut titik M.

3. Hubungkan titik M dengan titik B.

4. Buat lingkaran dengan titik pusat M dan jari-jari MB

5. Perpanjang ruas garis DC

sampai bertemu dengan lingkaran.

Selesai. Diperoleh Persegi Panjang dengan perbandingan panjang dan lebar adalah golden ratio.

Sebut persegi panjang tersebut AEFD.

Gambar 6. Pembuatan Golden Rectangle

Secara umum, Golden Geometry akan diperoleh dengan melibatkan Golden Ratio dalam ukuran-

ukuran yang digunakan. Salah satu penggunaannya adalah pada logo majalah National Geographic

yang berupa Golden Rectangle. Demikian juga dengan berbagai logo seperti logo Apple, Pepsi,

iCloud, dan Toyota juga dibuat berdasarkan Golden Ratio.

Gambar 7. Penggunaan Golden Ratio pada Logo National Geographic dan Apple

Sumber: http://www.google.com

Fenomea Phi juga ditemukan pada banyak benda yang sehari-hari digunakan. Benda-benda yang

mengambil bentuk persegi panjang banyak yang merupakan perwujudan dari Persegi Panjang

Emas (Golden Rectangle) misalnya kartu ATM, KTP, chips kartu HP, perangko, kartu pos, dan

lain-lain.

Bidang Matematika Lainnya (Pentagram)

Gagasan mengenai pentagram mengandung kesan mistik. Pentagram berupa bintang sehingga

secara matematika pentagram merupakan bentuk geometri. Tidak lebih. Matematika mempunyai

cara untuk membuat atau menggambar pentagram, tanpa perlu membawa penjelasan-penjelasan

yang bersifat mitos dan teologis.

Buatlah segilima sama sisi (regular pentagon), misalkan dengan panjang sisi 1 (gambar 8a).

Selanjutnya hubungkan titik-titik sudutnya dengan garis diagonal hingga diperoleh bentuk bintang

yang disebut pentagram (gambar 8b). Perbandingan antara diagonal dengan sisi regular pentagon

adalah Phi.

Page 182: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

174 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Gambar 8. Pembuatan Pentagram dari Regular Pentagon

Pembuatan pentagram juga dapat dimulai dengan membuat lingkaran. Bagilah lingkaran tersebut

menjadi 5 juring lingkaran bersudut sama (720). Buatlah segilima sama sisi di dalam lingkaran

tersebut dan seperti cara sebelumnya, dapat diperoleh pentagram (gambar 12 a). Besar sudut setiap

ujung pentagram adalah 360. Apabila pentagram tersebut dipotong hingga diperoleh bentuk

segitiga, maka segitiga yang diperoleh disebut Segitiga Emas atau Golden Triangle (gambar 12 b)

(a) (b)

Gambar 8. Pembuatan Pentagram dari Lingkaran (a) dan Segitiga Emas (b)

Biologi (khususnya Genealogi)

Untuk siswa tingkat SMA, Masalah Kelinci Fibonacci dapat diangkat menjadi contoh dalam

pembelajaran genealogi (ilmu pohon silsilah/keturunan) dalam biologi.

1. Seluruh pasangan kelinci yang lahir pada bulan yang sama dikelompokkan dalam satu

generasi yang sama sehingga pada genealogi (pohon keturunan/pohon silsilah) ditempatkan

pada level yang sama.

Nenek moyang kelinci ditandai dengan angka 0

Pada bulan kesatu belum ada kelahiran

Pada bulan kedua terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 1)

Pada bulan ketiga terdapat 1 pasang kelahiran (ditandai dengan angka 2)

Pada bulan keempat terdapat 2 pasang kelahiran (ditandai angka 3 dan 4)

Pada bulan kelima terdapat 3 pasang kelahiran (angka 5, 6, dan 7) dst

2. Urutan penomoran untuk setiap pasang kelinci yang lahir pada generasi yang sama,

dilakukan berdasarkan urutan nomor induknya. Dengan demikian, kelinci dengan nomor 5, 6

dan 7 berturut-turut dilahirkan oleh induk dengan nomor 0, 1, dan 2

Gambar 9. Pohon Silsilah pada Masalah Kelinci Fibonacci

Page 183: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 175

Dari pohon silsilah tersebut diperoleh beberapa pengetahuan berikut ini: (1) pasangan kelinci

dengan nomor berupa bilangan Fibonacci, semuanya dilahirkan oleh nenek moyang (nomor 0).

Perhatikan bahwa pasangan kelinci dengan nomor 0 melahirkan pasangan kelinci dengan nomor 1,

2, 5, 8, 13, 21; (2) pada setiap generasi yang sama, selalu terdapat pasangan kelinci dengan nomor

berupa bilangan Fibonacci; (3) jumlah pasangan kelinci pada satu generasi yang sama adalah

bilangan Fibonacci.

Struktur DNA yang ditemukan pada semua sel di tubuh manusia juga didasarkan pada bilangan

Fibonacci dan Golden Ratio. Jean-Claude Perez, penemu DNA menyatakan bahwa dalam DNA

setiap organisme hidup akan ditemukan Thiamine (T), Cytosine (C), Adenine (A), dan Guanine (G)

atau CTAG. Dalam 144 nukleotida yang berdekatan, akan ditemukan 55 basis T dan 89 basis CAG.

Angka 55 dan 89 merupakan bilangan Fibonacci. Selanjutnya, perbandingan Bobot Atom antara

Bio-Atom yang terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen dan hidrogen yang menghasilkan basis-basis

nukleat TCAG dengan Bio-Atom yang menghasilkan junk DNA (DNA sampah) yang tidak dapat

diterjemahkan menjadi informasi genetik atau yang terkait dengan sintesa protein adalah Phi yaitu

Golden Ratio 1,618.

Sesungguhnya, untuk setiap segala sesuatu telah ada ketentuan-ketentuan yang berlaku baginya dan

tidak ada kreasi Sang Pencipta yang tidak seimbang. Jari tangan manusia juga memperlihatkan

adanya bilangan Fibonacci dalam disainnya, seperti dapat dilihat pada gambar :

Gambar 10. Bilangan Fibonacci pada Jari Tangan Manusia

Sumber: http://www.google.com

3. Kesimpulan dan Saran

Pembelajaran matematika memerlukan metode yang tepat dan materi ajar yang berkualitas yang

juga diarahkan untuk pembentukan karakter. Contoh materi ajar yang didisain dengan tujuan

menanamkan karakter rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan menghargai prestasi dapat diambil

dari topik mengenai Masalah Kelinci Fibonacci. Pengembangan topik ini sangat luas, berkaitan

dengan berbagai bidang dan dapat diberikan pada jenjang SD, SMP maupun SMA. Masalah

Kelinci Fibonacci dapat digunakan untuk menanamkan karakter menemukan sesuatu dan

menghargai hasil penemuan orang lain. Karakter rasa ingin tahu dapat dikembangkan dengan

mendorong siswa mengekplorasi lebih jauh hasil yang diperoleh dari Masalah Kelinci Fibonacci

sehingga mereka menemukan sendiri konstanta Phi. Rasa ingin tahu yang lebih dalam dapat

dimunculkan dalam bentuk mengarahkan siswa untuk sampai pada bentuk persamaan kuadrat dan

menemukan solusinya. Dengan pengalaman ini siswa dapat menyadari bahwa Phi atau Golden

Ratio dapat diperoleh baik dari fenomena alam maupun permasalahan matematika. Dampaknya,

siswa mempunyai kesadaran bahwa matematika dan alam semesta mempunyai kaitan yang erat.

Selanjutnya, siswa dapat diarahkan untuk menikmati berbagai karya seni budaya yang didalamnya

menggunakan konstanta Phi sehingga pada diri siswa tertanam karakter menghargai hasil karya

orang lain serta keinginan untuk selalu jujur, menghindari sikap plagiat dan hasrat untuk

berkontribusi dengan menciptakan karyanya sendiri. Pemberian informasi mengenai penggunaan

Nisbah Emas dan bilangan Fibonacci pada Golden Rectangle, logo National Goegraphis dan Apple,

pentagram, genealogi, DNA dan jari manusia dapat membuka wawasan lebih jauh mengenai

manfaat matematika dalam kehidupan manusia.

Sebagai saran, perlunya diekplorasi berbagai materi matematika lainnya dan dikemas dalam bentuk

bahan ajar yang dapat digunakan untuk menanamkan berbagai karakter pada diri siswa.

Page 184: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

176 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

http://www.phiforex.com/en/phi_in_financial.html [11 November 2011].

https://taicarmen.wordpress.com/tag/patterns-in-nature/ [11 November 2011].

Prabowo, A. dan Pramono, S. (2010). Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika.

Makalah pada Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join

Conference UPI & UPSI Bandung, 8-10 November 2010.

DIKNAS (2010). Pengembangan Karakter Budaya dan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia:

http://www.puskur.net/files/1_%20Pendidikan%20Budaya%20dan%20Karakter%20Bangsa.p

df [17 Juli 2011].

Suryadi, D. (2010). Penelitian Pembelajaran Matematika untuk Pembentukan Karakter Bangsa.

Makalah Utama pada Booklet Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika,

Universitas Negeri Yogyakarta, 27 November 2010.

Widodo (2010). Peran Penelitian Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa.

Makalah Utama pada Booklet Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika,

Universitas Negeri Yogyakarta, 27 November 2010.

Woods, A. dan Grant, T. (2006). Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Yogyakarta:

IRE Press.

Page 185: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 177

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK PADA KONSEP

PECAHAN DAN PECAHAN SENILAI

Oleh : Wahid Umar

FKIP Unkhair Ternate

Abstrak

Kemampuan representasi matematis adalah salah satu standar proses yang perlu ditumbuhkan dan dimiliki

siswa. Standar proses ini hendaknya disampaikan selama proses belajar matematika. Karakteristik

Pendidikan Matematika Realistik (PMR) berpotensi dapat membelajarkan siswa menciptakan dan

menggunakan representasi.

Penelitian ini difokuskan pada kemampuan representasi matematis siswa SD melalui pendidikan matematika

realistik pada konsep pecahan dan pecahan senilai. Permasalahan yang akan dicari solusinya adalah: Apakah

kemampuan representasi matematis siswa SD kelas IV melalui pendidikan matematika realistik pada konsep

pecahan dan pecahan senilai?‖

Tempat penelitian, di SD Negeri Bastiong I Ternate. Subjek penelitian sebanyak 4 siswa, diambil masing-

masing satu siswa peringkat tinggi, dua siswa peringkat sedang, dan satu siswa peringkat rendah. Penelitian

dilakukan dalam dua tindakan pembelajaran. Hasil analisis data ditemukan: (1) siswa peringkat tinggi (S1),

sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, senang belajar kelompok. Pada tindakan I persentase

kemampuan representasi matematisnya terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat

mengerjakan LKS maupun pada tes akhir tindakan I. Modus level kemampuan representasinya berada pada

level 4 (menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat), (2) siswa peringkat sedang (S2 dan S3),

senang bekerja dalam kelompok. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis

oleh S2 mengerjakan LKS adalah 94% dan pada tes akhir tindakan adalah 100%. Persentase pencapaian skor

kemampuan representasi matematis oleh S3 mengerjakan LKS adalah 99,5% dan pada tes akhir tindakan

adalah 96%. Modus level kemampuan representasi matematis S2 dan S3 adalah berada pada level 4, (3)

siswa peringkat rendah (S4), senang bekerja sendiri. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan

representasi matematis oleh S4 mengerjakan LKS 72% dan pada tes akhir tindakan 78%, (4) siswa senang

mempelajari materi konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan matematika realistik.

Penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa aktif

bekerja secara berpasangan dan senang mengikuti pembelajaran, (5) siswa mampu menggunakan alat peraga

untuk memecahkan masalah, (6) siswa mampu memanipulasi gambar untuk memecahkan masalah.

Dalam pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai, peneliti menyarankan kepada para guru untuk

menggunakan (1) pendekatan Pendidikan Matematika Realistik, (2) bahan manipulatif, (3) LKS yang

memberi kesempatan bagi siswa menciptakan dan menggunakan representasi dengan benar.

Kata Kunci: kemampuan representasi matematis, konsep pecahan, konsep pecahan senilai, matematika

realistik.

PENDAHULUAN

Pada dasarnya siswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memahami konsep pecahan

dibandingkan dengan materi matematika lainnya. Hal ini disebabkan ide-ide tentang pecahan sudah

dikenal dan diakrabi siswa sebelum mereka masuk sekolah. Anak-anak sering mendengar

penggunaan bilangan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anak-anak sering disuruh

ibunya untuk membeli 1

2 kg minyak goreng. Namun kenyataan menunjukkan, materi pecahan

adalah topik yang sering sukar dipahami oleh kebanyakan siswa.

Menurut Hadi (2005:65), membangun pemahaman konsep pecahan bagi siswa SD tidaklah mudah

dilakukan. Hasil penelitian Sa‘dijah (1989), tingkat penguasaan konsep pecahan dan pecahan

senilai siswa SD rendah. Sejalan dengan itu, Saxe dkk. (2005:137) mengemukakan, penguasaan

terhadap konsep pecahan adalah salah satu kesulitan terbesar bagi siswa sekolah dasar (SD).

Page 186: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

178 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

D‘Augustine dan Smith (1992 : 72) mengemukakan, anak-anak masuk SD dengan miskonsepsi-

miskonsepsi tentang pecahan. Beberapa miskonsepsi berawal dari penggunaan pecahan dalam

bahasa sehari-hari. Misalnya, ketika orang tua mengatakan, ―Tolong berikan setengah gelas susu,‖

biasanya gelas tersebut tidak berisi setengah. Selanjutnya dikatakan, ungkapan-ungkapan seperti itu

seringkali mengundang rasa ingin tahu, namun itu mengaburkan konsep matematika pada anak.

Demikian juga, ketika seorang anak mengatakan ia makan apel ―setengah‖ biasanya berarti

―sebagian dari satu‖, bukan konsep matematika yakni satu dari dua bagian yang sama dari

keseluruhan.

Berdasarkan studi awal dan hasil wawancara dengan guru yang mengajar mata pelajaran

matematika SD Negeri Bastiong I Ternate, diperoleh informasi masih banyak siswa yang

mengalami kesulitan dalam mempelajari materi pecahan. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain

sebagai berikut. Siswa sering kesulitan memahami konsep pecahan sebagai bagian dari

keseluruhan. Siswa juga sering kesulitan menjelaskan mengapa 2

3=

4

6 Disisi lain, guru menyajikan

soal-soal konsep pecahan, tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan

satu. Dengan tidak mencantumkan bahwa satu daerah keseluruhan mewakili bilangan satu, siswa

sering memahami notasi pecahan sebagai bilangan cacah. Soal yang diberikan kepada siswa

misalnya, ‖notasi pecahan untuk satu bagian yang diarsir dari empat bagian yang sama suatu

lingkaran adalah...‖. Menurut siswa, notasinya bisa ditulis ‖1‖, karena perhatian siswa hanya tertuju

pada ‖satu‖ bagian yang diarsir. Sebaliknya, beberapa siswa menulis notasi 1

3, menurut siswa ‖1‖

merujuk pada bagian yang diarsir dan ‖3‖ adalah bagian yang lain. Selanjutnya, siswa jarang

menggunakan representasi gambar untuk membantunya berpikir dalam menyelesaikan soal.

Dengan demikian, representasi tidak dipandang sebagai alat untuk berpikir dan alat untuk

memecahkan soal. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan representasi matematika siswa

masih kurang.

Kemampuan representasi adalah salah satu standar proses pembelajaran matematika yang perlu

ditumbuhkan dan dimiliki siswa. Standar proses ini hendaknya disampaikan tidak secara terpisah

dengan materi matematika. Sayang sekali, representasi sering diajarkan dan dipelajari seolah-olah

berdiri sendiri tanpa ada kaitan dalam matematika (Depkdiknas, 2005:51). Padahal, dengan

representasi diharapkan dapat menunjang pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika

dan hubungannya dalam mengkomunikasikan matematika, argumen, dan pemahaman seorang

terhadap ide lainnya, dalam mengenal hubungan antar konsep-konsep matematika (NCTM, 2000:

76).

Dalam belajar matematika dari TK sampai kelas XII siswa dimungkinkan melakukan representasi

matematis. Menurut NCTM (2000: 78), program pembelajaran matematika harus memungkinkan

semua siswa: (1) menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan

mengkomunikasikan ide-ide matematika, (2) memilih, menerapkan dan menerjemahkan

representasi matematis guna memecahkan soal, (3) menggunakan representasi dengan model dan

menafsirkan fenomena fisik, sosial dan matematika.

Menurut Hudojo (2005 : 14) representasi menjadi penting sebagai alat komunikasi maupun alat

berpikir. Selanjutnya, representasi menjadikan matematika lebih konkret sehingga memudahkan

untuk melakukan refleksi. Di samping itu, siswa terbantu dalam mengembangkan penalaran, karena

siswa terbantu dalam mengorganisasikan berpikirnya sehingga memudahkan untuk

mengembangkan pendekatan yang bervariasi. Oleh karena itu, menurut Brener dkk., (1997 : 54),

pengajaran mengenai jenis-jenis representasi yang berbeda dapat meningkatkan keterampilan siswa

dalam memecahkan masalah.

Representasi di kelas-kelas awal sekolah dasar berbeda dengan representasi di kelas 3-5. Menurut

NCTM (2000 : 20), di kelas-kelas awal sekolah dasar siswa belajar dan mulai menggunakan

representasi berupa simbol dan grafik. Di kelas 3-5, siswa harus menciptakan representasi yang

lebih rinci dan akurat.

Page 187: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 179

Representasi memberikan kemampuan siswa untuk mengkonstruk pemahaman dengan

penalarannya, yang kemudian mengkomunikasikan serta mendemonstrasikan penalarannya

(Hudojo, 2005 : 34). Dalam konteks ini, guru dalam pembelajarannya di kelas perlu memberikan

kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Jika guru menganggap siswa harus mengkonstruk pengetahuan sendiri, maka guru harus

mempertimbangkan bahwa pikiran mereka tidak kosong tanpa isi (Sutawidjaja, 2002 : 28). Ini

berarti guru harus mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa. Menurut

Van de Henvel-Panhuizen dalam Suharta (2001 : 3), bila anak belajar matematika terpisah dari

pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan

matematika.

Gravemeijer (1994) mengemukakan, matematika harus dimulai dari suatu tingkat di mana konsep

yang digunakan mempunyai familiaritas yang tinggi bagi para siswa. Artinya, proses belajar

matematika harus ditekankan pada konsep yang dikenal siswa. Hal ini dikarenakan, setiap siswa

mempunyai seperangkat pengetahuan yang telah dimilikinya sebagai akibat dari interaksi dengan

lingkungan ‖riil‖.

Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah yang sesuai dengan pengalaman dan tingkat

pengetahuan siswa, merupakan salah satu ciri pendidikan matematika realistik. Pembelajaran

dimulai dari sesuatu yang riil sehingga siswa dapat terlibat dalam proses secara bermakna (Hadi,

2005:37).

Sebagai suatu pendekatan pembelajaran matematika, menurut Gravemeijer (1994 : 15) pendidikan

matematika realistik memiliki lima karakteristik. Pertama, menggunakan masalah kontekstual (the

use of context): proses pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual yang dikenal. Kedua,

menggunakan instrumen vertikal (bridging by vertical instruments): penggunaan instrumen-

instrumen vertikal berupa model, skema, diagram ataupun simbol sebagai jembatan antara

prosedur informal dengan bentuk formal. Ketiga, kontribusi siswa (student contribution): siswa

aktif mengkostruksi sendiri bahan matematika strategi pemecahan masalah dengan bimbingan

guru. Keempat, kegiatan interaktif (interactivity): siswa diberi kesempatan menyampaikan ide-ide,

melakukan negosiasi secara eksplisit, berkolaborasi, dan evaluasi antar sesama siswa, siswa

terhadap perangkat belajar, dan interaksi siswa dengan guru secara konstruktif. Kelima, keterkaitan

(Intertwining): dalam matematika, struktur dan konsep saling terkait. Oleh karena itu, keterkaitan

antar konsep atau materi pelajaran harus dieksplorasi guna mendukung proses pembelajaran

matematika yang lebih bermakna. Melalui pengintegrasian antar konsep, topik, dan materi

pelajaran tersebut akan membantu siswa memecahkan masalah.

Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa

jika guru menghadirkan soal kontekstual. Soal kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal

pembelajaran dalam membantu siswa mengembangkan pemahaman terhadap materi pecahan yang

dipelajari.

Beberapa penelitian terkait dengan pembelajaran pecahan menggunakan pendidikan matematika

realistik pernah dilakukan. Antara lain penelitian Tahir tahun 2007 dan Jasmaniah tahun 2004.

Hasil penelitian Tahir (2007), pembelajaran menggunakan pendidikan matematika realistik dapat

meningkatkan pemahaman siswa pada materi penjumlahan dan pengurangan pecahan, siswa dapat

menerapkan materi dalam kehidupan sehari-hari, dan respon siswa terhadap pembelajaran positif.

Temuan Jasmaniah (2004), hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran pecahan

menggunakan pendidikan matematika realistik lebih baik.

Hasil penelitian Tahir dan Jasmaniah memberikan hasil yang positif dalam pembelajaran pecahan.

Meskipun demikian, sejauh ini penulis belum menemukan telaah tentang pembelajaran konsep

pecahan dan pecahan senilai menggunakan pendidikan matematika realistik yang memfokuskan

pada kemampuan representasi matematis siswa.

Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai menggunakan pendidikan matematika realistik

diharapkan dapat membelajarkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat.

Page 188: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

180 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Melalui pendekatan ini siswa diberi kesempatan mengkonstruk sendiri pengetahuan berdasarkan

pengalaman sebelumnya untuk menemukan konsep pecahan dan pecahan senilai di bawah

bimbingan guru. Dalam konteks ini, peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan

representasi matematis Siswa SD Kelas IV melalui Pendidikan Matematika Realistik pada Konsep

Pecahan dan Pecahan Senilai.

METODE

Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan representasi matematika

siswa SD kelas IV pada konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendekatan matematika

realistik. Penelitian ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang

baik diharapkan akan memberikan hasil akhir pembelajaran yang baik. Dalam penelitian ini,

peneliti adalah instrumen utama. Hal ini adalah karena peneliti yang merencanakan, merancang,

melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisa data, menarik kesimpulan dan membuat laporan.

Hal ini sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) skor kemampuan

representasi matematis siswa. Data skor kemampuan representasi diperoleh dari hasil pekerjaan

siswa pada LKS, tes awal dan tes akhir, (2) hasil pengamatan aktivitas siswa dan hasil pengamatan

aktivitas guru dalam pembelajaran, (3) hasil wawancara dengan subjek penelitian. Sumber data

dalam penelitian ini adalah Siswa Kelas IV SD Negeri Bastiong I Ternate tahun pelajaran

2009/2010 yang mengikuti pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan

matematika realistik. Sedangkan yang menjadi subjek penelitian diambil 4 siswa yang terdiri atas 1

siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa berkemampuan rendah.

Keempat subyek penelitian yaitu, Reno (peringkat tinggi), Devi dan Elok (peringkat sedang), dan

Dwiki (peringkat rendah).Selanjutnya dalam penelitian ini Reno, Elok, Devi, dan Dwiki berturut-

turut disebut S1, S2, S3, dan S4. Prosedur pengumpulan data yang dilaksanakan adalah tes,

observasi dan wawancara. Tes diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi matematika

siswa dengan berpedoman pada format penilaian kemampuan representasi matematika siswa.

Lembar pengamatan dibuat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang aktivitas siswa da

guru selama proses pembelajaran berlangsung. Wawancara berfungsi sebagai salah satu metode

untuk menilai keefektifan pembelajaran, sekaligus untuk mengetahui kelemahan siswa terkait

dengan kemampuan representasi matematika. Pelaksanaan penelitian dibagi ke dalam dua tindakan,

yaitu tindakan I dan tindakan II. Tindakan I adalah pembelajaran konsep pecahan dan tindakan II

kegiatan pembelajaran konsep pecahan senilai. Model penelitian tindakan kelas yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model spiral dari Kemmis dan Taggart (Wiriaatmadja, 2007: 66) yang

merupakan alur pelaksanaan tindakan yang berlangsung dalam siklus yang diulang. Tiap siklus

terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Data

dianalisis dengan langkah-langkah mendeskripsikan data, menganalisis secara kuantitatif untuk

data berupa skor, dan menyimpukan data. Kesimpulan data disesuaikan dengan kriteria yang

ditetapkan. Kriteria kemampuan representasi yang ditetapkan sebagai berikut :

1. Tidak menggunakan representasi matematika...........................Level 1

2. Lebih banyak tidak tepat dalam menggunakan

representasi matematika ................. .........................................Level 2

3. Lebih banyak tepat dalam menggunakan

representasi matematika ........... ................................................Level 3

4. Menggunakan representasi matematika

secara tepat ................................................................................Level 4

Kriteria keberhasilan tindakan ditetapkan berdasarkan modus level pencapaian kemampuan

representasi matematika siswa, persentase pencapaian kemampuan representasi, dan keberhasilan

proses belajar. Indikator keberhasilan proses belajar ditentukan dengan mengamati aktivitas siswa

dan guru dengan menggunakan lembar observasi.

Page 189: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 181

HASIL

Berdasarkan hasil pengamatan dan catatan lapangan peneliti dan 2 orang pengamat selama kegiatan

penelitian diperoleh hal-hal sebagai berikut.

1. Siswa peringkat tinggi (S1), sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, senang belajar

kelompok/berpasangan. Pada tindakan I persentase kemampuan representasi matematikanya

terhadap skor maksimal ideal adalah 100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes

akhir tindakan I. Kemampuan representasinya berada pada level 4.

2. Siswa peringkat sedang (S2 dan S3), senang bekerja dalam kelompok. Rata-rata persentase

pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 mengerjakan LKS 94% dan pada

tes akhir tindakan 100%. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi

matematis oleh S3 mengerjakan LKS 99,5% dan pada tes akhir tindakan 96%. Kemampuan

representasi matematis S2 dan S3 adalah berada pada level 4.

3. Siswa peringkat rendah (S4), cenderung bekerja sendiri. Rata-rata persentase pencapaian skor

kemampuan representasi matematis oleh S4 mengerjakan LKS 72% dan pada tes akhir

tindakan 78%. Kemampuan representasi matematis S4 berada pada level 2.

4. Bila dibandingkan persentase kemampuan representasi matematika dari keempat subyek

penelitian, S1 adalah yang paling konsisten menciptakan dan menggunakan representasi

dengan tepat.

5. Siswa senang mempelajari materi konsep pecahan dan pecahan senilai melalui pendidikan

matematika realistik. Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti

untuk konsep pecahan dan konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti

pembelajaran.

6. Pada umumnya siswa aktif bekerja secara berpasangan. Menurut siswa, dengan bekerja sama

akan mudah menyelesaikan masalah karena dapat saling membantu, berdiskusi.

7. Siswa mampu menggunakan alat peraga model roti persegi untuk memecahkan soal.

8. Siswa mampu menggunakan manipulasi gambar untuk memecahkan soal. Dengan cara itu

siswa dapat menyelesaikan soal dengan benar.

PEMBAHASAN

Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 berada pada kategori sangat baik (90% ≤ RS

≤ 100%). Sedangkan kemampuan representasi matematis S4 berada pada kategori cukup (70% ≤

RS ≤ 80%). Pencapaian kemampuan representasi oleh S1, S2, dan S3 berada pada taraf

perkembangan yang optimal. Dengan kata lain S1, S2, dan S3 memperoleh keuntungan yang

banyak melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik. Sebaliknya, S4 hanya mendapat

keuntungan sedikit melalui pembelajaran pendidikan matematika realistik sehingga memerlukan

bantuan lebih banyak lagi dari guru atau teman sejawat. Keadaan ini sesuai dengan Vigotsky

(dalam Dworetzky, 1990) bahwa Zone of Proximal Development (ZPD) bersifat individual atau

khas untuk tiap-tiap siswa.

Kemampuan representasi matematika S1, S2, dan S3 yang berada pada kategori sangat baik

didukung oleh beberapa hal sebagai berikut. Siswa peringkat tinggi (S1) dan siswa peringkat

sedang (S2 dan S3) sejak awal tindakan I sampai akhir tindakan II, aktif dan senang belajar

kelompok/berpasangan. Sedangkan siswa peringkat sedang (S4) cenderung tidak aktif dan bekerja

sendiri.

Representasi yang diciptakan oleh S1, S2, dan S3 memudahkan mereka untuk aktif menyampaikan

pemikirannya kepada siswa lain dalam diskusi kelompok. Sedangkan, untuk S1 lebih banyak

bekerja sendiri. Keadaan tersebut sesuai dengan NCTM (2000 : 205), representasi membantu siswa

menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain.

Keaktifan S1, S2, dan S3 juga didukung oleh keseriusan mereka memahami tujuan pembelajaran.

Berbeda dengan S4, pada awal pembelajaran, S1, S2, dan S3 serius memperhatikan penyampaian

tujuan pembelajaran oleh guru. Dengan memperhatikan tujuan pembelajaran, mereka mengetahui

tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sehingga dapat memusatkan perhatian dalam belajar dan

terarah pada satu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1988 : 178)

Page 190: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

182 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

bahwa tujuan pembelajaran dapat membantu siswa untuk aktif dan dapat memusatkan perhatiannya

terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran.

Selanjutnya, S1, S2, dan S3 termotivasi dengan pembelajaran yang mengaitkan materi konsep

pecahan dan pecahan senilai dengan kehidupan sehari-hari. Orton (1992 : 10) menyatakan bahwa

siswa yang termotivasi, tertarik, dan mempunyai keinginan untuk belajar, akan belajar lebih

banyak.

S1, S2 dan S3 mampu mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya.

Kegiatan siswa dalam mengerjakan LKS, dirancang agar siswa dapat mengaitkan materi yang

sedang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya. Misalnya, pada kegiatan II nomor 1c dan

nomor 2c LKS II, mengarahkan siswa mengaitkan materi konsep pecahan senilai dengan konsep

pecahan dan dengan konsep dua daerah yang sama. Berdasarkan penelitian, S1, S2 dan S3 mampu

mengerjakan LKS kegiatan II nomor 1c dan 2c. Representasi yang dibuat adalah tepat. Dapat

dikatakan S1, S2 dan S3 telah belajar secara bermakna, mengaitkan materi konsep pecahan senilai

dengan konsep pecahan dan dengan konsep dua daerah yang memiliki luas yang sama. Hal ini

sejalan dengan pendapat Ausubel (Orton, 1994:155), belajar bermakna terjadi jika siswa mampu

mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya yang ada dalam struktur

kognitifnya.

S1, S2, dan S3 menfaatkan dengan sebaiknya-baiknya media yang diberikan guru untuk

menyelesaikan tugas kelompok. Media yang dibagikan berupa LKS dan alat peraga model roti

berbentuk persegi. Pemanfaatan media sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996 : 305)

bahwa siswa perlu diberi sumber-sumber belajar yang mendukung pelaksanaan kerja kelompok.

Baik tindakan I maupun tindakan II, S1, S2, dan S3 menunjukkan rasa percaya diri, mereka tampak

akrab dengan teman sekelompoknya, aktif bekerja berpasangan mengerjakan LKS, tukar pendapat

dengan pasangannya. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Hadi (2005) bahwa dalam

pendidikan matematika realistik siswa harus lebih percaya diri. Sejalan dengan itu, Vygotsky

menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih

baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb dalam Suparno, 1997 :

46).

Representasi yang dibuat siswa melalui tahap menyelesaikan masalah, memberikan kemampuan

siswa untuk mengkonstruk pemahaman materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Dengan

representasi memudahkan siswa mengkomunikasikan pemahamannya dalam diskusi. Hal ini

didukung oleh Hudojo (2005 : 44) bahwa representasi memberikan kemampuan siswa untuk

mengkonstruk pemahaman dengan penalarannya, yang kemudian mengkomunikasikan serta

mendemonstrasikan penalarannya.

Masalah yang diberikan kepada siswa adalah masalah kontekstual berupa aktivitas membagi roti

berbentuk persegi. Masalah kontekstual tersebut relevan dengan taraf berpikir siswa dan sesuai

dengan konteks kehidupan siswa. Hal ini didukung oleh Hadi (2005:80) bahwa masalah

kontekstual yang diberikan harus memenuhi syarat relevansi dan familiaritas, yaitu relevan dengan

taraf berpikir siswa dan sudah dikenal siswa karena diambil dari konteks kehidupan siswa.

Penggunaan soal kontekstual dan penggunaan alat peraga model roti untuk konsep pecahan dan

konsep pecahan senilai membuat siswa senang mengikuti pembelajaran. Kebanyakan siswa mampu

menggunakan alat peraga untuk menyelesaikan soal. Misalnya, pada tahap menyelesaikan LKS

konsep pecahan senilai, kebanyakan siswa mampu menunjukkan bahwa 1

3 senilai dengan

2

6.

Keadaan ini sesuai dengan pendapat Bruner, apabila di dalam mengkonstruk gagasan siswa

menggunakan benda-benda konkret, siswa akan cenderung ingat gagasan tersebut dan

mengaplikasikan ke dalam situasi yang tepat (Orton, 1994).

Kemampuan representasi matematika subyek penelitian pada tahap menyelesaikan soal kontekstual

menggunakan model roti persegi pada umumnya berada pada level 4. Beberapa siswa, termasuk

S1, S2, dan S3 mampu menggunakan manipulasi gambar untuk menyelesaikan soal. Hal ini dapat

dilihat pada hasil pekerjaan siswa mengerjakan soal nomor 4b tes akhir tindakan I. Para siswa

Page 191: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 183

tersebut memutuskan bahwa mereka perlu memanipulasi gambar dalam membantu memecahkan

soal. Keadaan ini sesuai dengan NCTM (2000:206), representasi yang dibuat siswa akan

mendukung dan memperluas penalarannya sekaligus menjadi cara untuk menunjukkan jawaban

siswa dan untuk menjustifikasi jawabannya.

Dari hasil wawancara dengan subjek penelitian, diperoleh keterangan bahwa siswa senang materi

konsep pecahan dan konsep pecahan senilai dipelajari melalui pendidikan matematika realistik.

Siswa senang menemukan masalah sendiri dari pada diberitahukan langsung oleh guru. Mereka

beralasan bahwa dengan menemukan sendiri akan lebih mudah memahami materi pelajaran dan

dapat mengingat lebih lama. Sutawidjaja (2002 : 58) mengemukakan, guru dapat mengaktifkan

kegiatan siswa mengkonstruk, dengan memberi kesempatan untuk menyelesaikan soal yang

diberikan.

Pada saat bekerja untuk menyelesaikan soal kontekstual materi konsep pecahan dan konsep

pecahan senilai, siswa melewati dua bentuk pematematikaan, yaitu pematematikaan horisontal dan

vertikal. Pematematikaan horisontal terjadi ketika siswa: (1) menggunakan alat peraga model roti

untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan, dan (2) menggunakan alat peraga

model roti untuk memecahkan masalah kontekstual materi konsep pecahan senilai. Ketika siswa

diperhadapkan dengan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai untuk diselesaikan

tanpa menggunakan alat peraga lagi, berarti sedang terjadi pematematikaan vertikal.

Pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal yang dilakukan oleh siswa pada dasarnya

merupakan suatu reinvention. Siswa dibawa pada suatu situasi bagaimana siswa menemukan cara

menyelesaikan soal/masalah konsep pecahan dan konsep pecahan senilai.

Pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik dapat membelajarakan siswa menciptakan

dan menggunakan representasi matematika siswa pada konsep pecahan dan pecahan senilai. Siswa

dengan mudah memahami materi konsep pecahan dan pecahan senilai. Hal ini sejalan dengan

pendapat ahli mengenai keuntungan dari pendidikan matematika realistik. Menurut Suwarsono

(2001:5-8) bahwa keuntungan dari pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik, antara

lain sebagai berikut, (1) siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Mereka bertanya, mengungkapkan

ide-idenya untuk menyelesaikan soal yang diberikan, (2) pemahaman siswa terhadap konsep

matematika lebih kuat dan mendalam. Hal ini terjadi karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi

sendiri oleh siswa, (3) siswa semakin tertarik untuk belajar karena materi yang dipelajari berkaitan

dengan pengalaman siswa, (4) pembelajaran matematika lebih bermakna, karena yang dipelajari

dikaitkan dengan pengetahuan siswa sebelumnya.

Pembelajaran yang dilaksanakan bercorak PAKEM. Berdasarkan hasil observasi pada umumnya

siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa guru kreatif

melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil tes akhir tindakan, pembelajaran efektif. Hasil

wawancara, siswa senang mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan melalui PMR.

S4 paling lemah dalam representasi simbolik dan gambar. Kemampuan S4 dalam menciptakan dan

menggunakan representasi simbolik dan gambar, umumnya berada pada level 2. Level 2 artinya

lebih banyak tidak tepat menciptakan dan menggunakan representasi matematis. Pada tahap

menyelesaikan masalah, S4 cenderung bekerja sendiri dan tidak aktif dalam berdiskusi. Kelemahan

S4 dalam menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat sangat dimungkinkan oleh

karena S4 tidak aktif dalam berdiskusi. Artinya, S4 tidak memandang representasi sebagai alat

untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya kepada siswa lain. Padahal, representasi dapat

berperan sebagai alat berpikir, memecahkan soal dan membantu siswa menyampaikan

pemikirannya (NCTM:2005).

Kelemahan siswa dalam representasi matematika melalui pendidikan matematika realistik yang

ditemukan oleh peneliti, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2007:13), yaitu

sebagai berikut. (1) kebanyakan siswa masih kesulitan dalam menciptakan sendiri representasi

dengan tepat, (2) siswa yang pasif dan lemah cenderung semakin tertinggal dari kawannya yang

lebih aktif. Hal ini disebabkan para siswa terbiasa dengan pola pemberian informasi yang dominan

oleh guru, (3) proses pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.

Page 192: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

184 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

KESIMPULAN

1. Pembelajaran melalui pendidikan matematika realistik dapat membelajarkan siswa

menciptakan dan menggunakan representasi matematis siswa pada konsep pecahan dan pecahan

senilai.

2. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat tinggi (S1) berada pada level 4. Level 4

artinya menciptakan dan menggunakan representasi dengan tepat. Pada tindakan I dan II, rata-

rata persentase kemampuan representasi matematisnya terhadap skor maksimal ideal adalah

100% baik pada saat mengerjakan LKS maupun pada tes akhir tindakan I.

3. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat sedang (S2 dan S3) berada pada modus

level 4. Rata-rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S2 pada

tindakan I dan II mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 97%. Sedangkan Rata-rata

persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S3 pada tindakan I dan II

mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 98%.

4. Kemampuan representasi matematis siswa peringkat rendah berada pada modus level 2. Rata-

rata persentase pencapaian skor kemampuan representasi matematis oleh S4 pada tindakan I dan

II mengerjakan LKS dan tes akhir tindakan adalah 75%. Siswa peringkat rendah (S4),

cenderung bekerja sendiri.

5. Pencapaian kemampuan representasi siswa peringkat rendah (S4) dalam mengerjakan tes akhir

tindakan selalu lebih baik dibandingkan dengan mengerjakan LKS. Misalnya pada tindakan I,

persentase pencapaian kemampuan representasi oleh S4 mengerjakan LKS adalah 75%.

Sedangkan persentase pencapaian kemampuan representasi mengerjakan tes akhir tindakan I

adalah 80%.

6. Penggunaan alat peraga dapat membantu siswa memahami konsep pecahan dan konsep pecahan

senilai.

7. Penggunaan alat peraga sangat membantu siswa menciptakan dan menggunakan representasi

matematika.

8. Siswa peringkat tinggi dan peringkat sedang yakni S1, S2, dan S3 senang bekerja

kelompok/berpasangan.

9. Siswa peringkat rendah yaitu S4 lemah dalam menciptakan dan menggunakan representasi

simbolik dan gambar.

SARAN

Berkenaan dengan kemampuan representasi matematika sebagai salah satu kemampuan dasar yang perlu

dimiliki oleh siswa, maka pengembangan kemampuan representasi matematis siswa hendaknya dilakukan

selama proses pembelajaran matematika. Sebagai syarat perlu untuk mengembangkan kemampuan

representasi matematis siswa, antara lain sebagai berikut.

a. Guru hendaknya menerapkan pembelajaran pendidikan matematika realistik tentang konsep pecahan dan

pecahan senilai yang mengarahkan siswa menciptakan dan menggunakan representasi. Penting bagi guru

mengelola pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendidikan

matematika realistik, yaitu memahami masalah kontekstual, menyelesaikan masalah kontekstual,

membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan menyimpulkan.

b. Guru hendaknya dapat menciptakan aktivitas pembelajaran yang memberi kesempatan pada pebelajar

mengutak-atik alat peraga.

c. Untuk memberikan pengalaman pada siswa menciptakan dan menggunakan representasi, guru hendaknya

merancang LKS yang memberi ruang bagi aktivitas siswa menciptakan dan menggunakan representasi

dengan tepat. LKS perlu dirancang sedemikian rupa dapat memberi ruang bagi aktivitas siswa

menyelesaikan masalah kontekstual yang meliputi kegiatan sebagai berikut (1) kegiatan enaktif

(representasi enaktif), berupa pemecahan masalah kontekstual yang melibatkan benda konkret dan

tindakan fisik siswa, (2) kegiatan ikonik (representasi ikonik), siswa mendeskripsikan dan memecahkan

masalah kontekstual dengan memakai model gambar, (3) kegiatan simbolik (representasi simbolik),

kematangan siswa dalam representasi ikonik akan mengantarnya pada representasi simbolik yang

melibatkan penggunan simbol untuk menyatakan penalaran siswa.

d. Untuk mengembangkan kemampuan siswa menggunakan representasi matematis, guru harus menyiapkan

alat peraga yang memadai dan tepat.

e. S4 perlu bantuan guru lebih banyak.

Page 193: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 185

DAFTAR PUSTAKA

Brener dkk., 1999. Cross National Comparison of Representation Competence. Journal for

Research in Mathematics Education.

Dahar, R.W. 1998. Teori-teori Belajar. Jakarta:Depdikbud.

D‘Augustine, C dan Smith, Jr.C.W. 1991. Teaching Elementary School Mathematics. New York:

Harper Collins.

Depdiknas, 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Jakarta:Depdiknas

Depdiknas, 2005. Pedoman Penulisan Buku Ajar. Jakarta:Pusat Perbukuan.

Dworetzky, P. 1990. Introduction to Child Development. New York West: Publishing Company.

Eggen, P.D.& Kauchak, D.P.1996. Strategies for Teachers, Teaching Content and Thinking Skill.

Boston: Allyn & Bacon.

Gravemeijer. 1991. An Instruction-Theoritical Reflection on The Use of Manipulatives. Freudenthal

Institute. Utrecht.

Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute. Utrecht.

Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah

Disajikan pada Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam

Era Globalisasi. PPS IKIP Malang. 4 April

Jasmaniah, 2004. Pembelajaran Penjumlahan Pecahan melalui Open Ended Problem Dengan

Pendekatan Realistik di Kelas V SD Negeri percobaan Malang. Tesis. PPS UM.

NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics.United States of America.

NCTM, 2001. The Roles of Representations in School Mathematics. Reston Virginia.

Orton, 1994. Learning Mathematics(Issues, Theory and Classroom Practice). Cassell.

Sa‘dijah, 1989. Hubungan Antara Penguasaan Konsep Pecahan dan Penguasaan Kesamaan

Pecahan dengan Penguasaan Penjumlahan Pecahan Siswa Kelas V dan VI SD N di Kec.

Lamongan, Tesis FPS IKIP Malang.

Suharta, 2001. Pembelajaran Pecahan dalam Matematika Realistik. Makalah Seminar Nasional.

FMIPA Unesa Surabaya. 24 Februari.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah disajikan pada Stadium General,

Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 27 Oktober.

Sutawidjaja, A. 2002. Konstruktivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika.

Jurnal Matematika dan Pembelajarannya, tahun VIII (Edisi Khusus). Juli 2002. Malang:

Universitas Negeri Malang.

Tahir, B. 2007. Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan

Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Pada Siswa Kelas IV SD Donto-Dontoa

Kabupaten Goa. Tesis. PPS UM

Wiriaatmadja, R. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Remaja Rosdakarya

Page 194: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

186 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA (MATHEMATICS ANXIETY)

TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP

Oleh : Ika Wahyu Anita

Abstrak

Penelitian ini untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara kecemasan matematika dengan kemampuan

pemecahan masalah dan koneksi matematis. Data diolah menggunakan metode regresi-korelasi ganda.

Sampel penelitian 72 siswa SMP kelas VII. Menggunakan instrumen angket kecemasan matematika yang

terbagi dalam tiga kriteria kecemasan matematika, tes kemampuan pemecahan masalah dan koneksi

matematis berbentuk soal uraian. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan

matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan

pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi

matematis. Jika masing-masing jenis kecemasan matematika meningkat maka kemampuan pemecahan

masalah dan koneksi matematis turun sebesar koefisien regresinya dan sebaliknya.

Kata kunci : kemampuan pemecahan masalah, kemampuan koneksi matematis siswa, kecemasan matematika PENDAHULUAN

Matematika seringkali dipandang sebagai bidang studi yang sangat obyektif serta bersih dari

perasaan (Wahyudin, 2010:5). Maksudnya karakteristik matematika yang dianggap kaku dan

teoritis menjadikan siswa merasa bahwa saat belajar matematika perasaan dan emosi mereka

terabaikan. Akibatnya, siswa merasakan ketidaknyamanan saat harus berhadapan dengan pelajaran

dan ujian matematika. Hal ini masih relevan dengan pendapat klasik bahwa matematika adalah

mata pelajaran yang sulit untuk dipelajari (Cockroft dalam Wahyudin, 1999).

Siswa yang mengalami masalah serius pada saat belajar matematika baik dikelas maupun saat

belajar diluar kelas akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal matematika sehingga

merasa frustasi, trauma dan tidak lagi bergairah dalam belajar matematika, bahkan menghindari

pelajaran matematika. Dalam teori prilaku, rasa frustasi dan trauma yang terus-menerus dan tidak

tertangani akan menyebabkan munculnya kecemasan dalam diri siswa (Prawirohusodo dalam Pri‘e,

2009). Kecemasan itulah yang menyebabkan penghindaran terhadap sumber kecemasan. Jika hal

ini dibiarkan, maka akan mempengaruhi kondisi psikologi dan emosi siswa saat belajar

matematika. Kecemasan menurut Depkes RI (1990) adalah ketegangan, rasa tidak aman dan

kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Kecemasan

yang dialami siswa pada mata pelajaran matematika sering disebut sebagai kecemasan matematika

(Mathematics Anxiety). Kecemasan terhadap matematika tidak bisa dipandang sebagai hal biasa,

karena ketidak mampuan siswa memahami dan menguasai pelajaran menyebabkan siswa kesulitan

dalam menyelesaikan masalah matematis serta ketakutan dan fobia terhadap matematika yang pada

akhirnya menyebabkan hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika rendah.

Kecemasan matematika juga terlahir dari kondisi pembelajaran dikelas yang kurang menyenangkan

atau berasal dari guru pengajar matematika. Seperti dinyatakan oleh Wahyudin (2010:21) bahwa

kecemasan matematika seringkali tumbuh dalam diri para siswa di sekolah, sebagai akibat dari

pembelajaran oleh para guru yang juga merasa cemas tentang kemampuan matematika mereka

sendiri dalam area tertentu. Pada akhirnya, kecemasan matematika ini akan sangat berpengaruh

pada hasil belajar dan prestasi siswa dalam matematika. Menurut Ma (Zakaria & Nordin, 2007:27)

ada hubungan antara kecemasan matematika dengan prestasi siswa dalam matematika. Prestasi dan

hasil belajar matematika siswa secara terperinci dijabarkan dalam beberapa penguasaan

kemampuan matematis sesuai dengan jenjang pendidikan.

Page 195: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 187

Menurut Soedjadi (Riajanto, 2010:3) pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang

meliputi: 1) Tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta

pembentukan pribadi anak; 2) Tujuan yang bersifat material, yang memberi tekanan pada

penerapan matematika serta kemampuan pemecahan masalah. Sehingga dengan tidak

mengesampingkan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa belajar menyelesaikan masalah

merupakan tujuan utama dalam mempelajari matematika. Standar kompetensi dalam Kurikulum

2006 salah satunya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran

matematika mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak

tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Menyelesaikan masalah matematis

dengan cara yang tidak rutin termasuk dalam kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa di tingkat

sekolah menengah selain kemampuan matematis yang lain. Untuk meningkatkan kemampuan

memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model

matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Hal ini menimbulkan keengganan

dan kecemasan pada siswa menghadapi soal-soal yang menurut mereka sulit. Sebenarnya hal ini

bukan disebabkan karena siswa tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah tetapi lebih

disebabkan karena siswa belum dapat mengembangkan kemampuan matematikanya.

Kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dikuasai siswa dengan baik jika siswa

menguasai kemampuan matematis yang lain, salah satunya adalah kemampuan koneksi matematis.

Hodgson (Herlan, 2006:2) mengutip bahwa dalam standar kurikulum NCTM, koneksi matematik

digolongkan sebagai ―alat‖ bagi pemecahan masalah. Para pembaharu dalam pendidikan

matematika sepakat bahwa matematika hendaknya ditampilkan sebagai disiplin ilmu yang

berkaitan dan bukan sebagai sekumpulan topik yang terpisah-pisah baik antara topik-topik dalam

matematika itu sendiri maupun dengan topik-topik bahasan ilmu yang lain. Sehingga kemampuan

koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah saling berkaitan dan saling

mempengaruhi.

Agar kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa dapat dilatih dan

dikembangkan terutama dalam proses pembelajaran di kelas, guru perlu merancang sebuah

pembelajaran yang tepat sehingga meminimalkan munculnya kecemasan. Banyak usaha dilakukan

untuk mengembangkan model-model pembelajaran kontemporer sebagai usaha menjadikan

pelajaran matematika menjadi menyenangkan, berorientasi pada pengembangan proses berpikir dan

penguasaan konsep dan prosedur matematis, serta menunjukkan keindahan serta elegansi

matematika. Yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kecemasan dan fobia terhadap

matematika. Seperti yang dianjurkan oleh NCTM (Wahyudin, 2010:23) dalam upaya yang dapat

dilakukan guru, yaitu : mengakomodasi gaya-gaya belajar yang berbeda, membuat suasana atau

lingkungan ujian yang beraneka ragam, merancang pengalaman-pengalaman positif diruang kelas

matematika, tidak mengikatkan harga diri dengan kesuksesan dalam matematika, menekankan

bahwa setiap orang melakukan kesalahan dalam matematika, membuat matematika lebih relevan,

membolehkan pendekatan-pendekatan sosial yang berbeda pada saat belajar matematika,

menekankan nilai penting dari berfikir yang berkualitas dan original dibanding manipulasi-

manipulasi rumus secara hafalan.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini ditujukan untuk menelaah hubungan dan pengaruh kecemasan matematika dengan

kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa SMP. Pada akhirnya dapat

dihasilkan studi baru untuk memperkaya inovasi dalam pendidikan matematika yang dapat

dimanfaatkan oleh semua kalangan.

KECEMASAN MATEMATIKA

Taylor (1953) dalam Tailor Manifest Anxiety Scale (TMAS) mengemukakan bahwa kecemasan

merupakan suatu perasaan subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai

reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Terdapat

tiga komponen kecemasan menurut teori Dacey (dalam Anggreini, 2010:31), yaitu sebagai berikut :

Page 196: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

188 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

1. Komponen psikologis, yaitu perasaan siswa berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa

tidak aman, takut dan cepat terkejut;

2. Komponen fisiologis, yaitu respon yang timbul melalui organ tubuh untuk merespon suatu

perasaan, misalkan : jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah

meninggi (mulai emosi), respon kulit terhadap sentuhan dari luar berkurang, gerak peristaltik

(gerakan berulang-ulang) tanpa disadari, gejala fisik berupa otot dan sensorik, gengguan

pernafasan, pencernaan dan urogenital (perkemihan dan kelamin);

3. Komponen sosial, yaitu sebuah prilaku yang ditunjukkan oleh individu dilingkungannya

berupa tingkah laku (sikap) yang ditunjukkan dan gangguan tidur.

Tobias (Wahyudin, 2010:7) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan

tegang dan cemas yang mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah

matematis dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Siswa yang

mengalami kecemasan terhadap matematika merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak bisa

mempelajari materi matematika dan mengerjakan soal-soal matematika. Ashcraft (2002: 1)

mendefinisikan kecemasan matematika sebagai perasaan ketegangan, cemas atau ketakutan yang

mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika cenderung

menghindari situasi dimana mereka harus mempelajari dan mengerjakan matematika. Sedangkan

Richardson dan Suinn (1972) menyatakan bahwa kecemasan matematika melibatkan perasaan

tegang dan cemas yang mempengaruhi dengan berbagai cara ketika menyelesaikan soal

matematika dalam kehidupan nyata dan akademik. Dalam The Revised Mathematics Anxiety Rating

Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray (1989) skala kecemasan dibagi

dalam tiga kriteria, yaitu : kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap tes

atau ujian matematika dan kecemasan terhadap tugas-tugas dan perhitungan numerikal matematika.

Dari ketiga kriteria tersebut, gejala-gejala kecemasan matematika yang muncul dapat terdeteksi

secara psikologis, fisiologis dan aktivitas sosial atau sikap dan tingkah lakunya.

Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab kecemasan matematika dapat

diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu sebagai berikut :

1. Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)

Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief),

kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy

value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak

menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma.

2. Faktor lingkungan atau sosial

Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan

oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas

terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat

terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21). Faktor yang lain yaitu keluarga

terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam

matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.

Vann (dalam Sahin, 2008) menyatakan bahwa kecemasan matematika yang dialami seorang

ibu mempengaruhi secara signifikan terhadap kecemasan matematika yang dialami anak.

Lingkungan dan teman-teman bermain pun dapat menjadi penyebab bagaimana pandangan

dan anggapan seorang anak terhadap matematika.

3. Faktor intelektual

Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat

dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashcraft &

Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecemasan matematika

dan kemampuan verbal atau bakat serta Intelectual Quotion (IQ).

Page 197: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 189

KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

Menurut Sumarmo (1994:8) pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, atau

menemukan teknik atau produk baru. Sedangkan pemecahan masalah menurut Turmudi (2001:86)

adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak

dengan segera dapat dicapai.

Branca (Krulik dan Reys, 1980:3) menyatakan bahwa klasifikasi aktivitas yang termasuk

pemecahan masalah dalam matematika meliputi memecahkan masalah sederhana yang muncul

dalam buku teks, memecahkan masalah teka-teki non rutin, menerapkan matematika pada masalah

dunia nyata, serta membuat dan menguji konjektur matematika yang mungkin mengarah pada

bidang kajian baru. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan

ketrampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah dan

menafsirkan solusinya dalam matematika. Sudjimat (Sukasno, 2002:18) menyatakan bahwa belajar

pemecahan masalah pada hakekatnya adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar

bernalar (learning to reason), yaitu berpikir atau bernalar mengaplikasikan pengetahuan-

pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya untuk memecahkan masalah-masalah baru yang

belum pernah dijumpai sebelumnya. Karena itu pembelajaran yang bernuansa pemecahan masalah

harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang siswa untuk berpikir dan

mendorong siswa menggunakan pikirannya secara sadar untuk memecahkan masalah. Sabandar

(2005) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika

individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya,

bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan.

Woods (Stice, 1988) menyarankan bahwa keberhasilan dalam pemecahan masalah tergantung pada

sejauh mana memfungsikan unsur-unsur berikut:

1. Kesadaran bahwa masalah itu ada;

2. Keterampilan prasyarat meliputi:

a. Pengetahuan dasar yang berhubungan dengan masalah;

b. Keterampilan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk penyelesaian;

c. Motivasi untuk menyelesaikan problem;

d. Pengalaman yang menyediakan feeling (dugaan) tentang asumsi apa yang mungkin dibuat

dan bagaimana masuk akalnnya sebuah jawaban;

e. Kemampuan untuk mengkomunikasikan hasil;

f. Keterampilan kelompok, jika pendekatan kelompok digunakan.

3. Menyusun strategi secara keseluruhan;

4. Memilih strategi sebagai langkah-langkah tertentu (kontradiksi, penalaran dengan analogi,

pemeriksaan kembali, mengerjakan masalah yang sederhana terlebih dahulu, dan lain-lain);

5. Pengetahuan heuristik yang memberikan pedoman tentang apa yang akan dilakukan

berikutnya;

6. Kemampuan untuk membuat, menggeneralisasi, dan menyederhanakan.

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS

NCTM (1989) merumuskan bahwa koneksi matematis atau mathematical connections merupakan

bagian penting yang harus mendapat penekanan di setiap jenjang pendidikan. Koneksi matematis

terbagi dalam tiga macam yaitu koneksi antar topik matematis, koneksi dengan disiplin ilmu

pengetahuan yang lain, dan koneksi dengan dunia nyata. NCTM juga menyebutkan tujuan siswa

memiliki kemampuan koneksi matematis agar siswa mampu untuk :

1. Mengenali dan menggunakan koneksi antara gagasan-gagasan matematik,

2. Memahami bagaimana gagasan-gagasan matematik saling berhubungan dan berdasar pada

satu sama lain untuk menghasilkan suatu keseluruhan yang koheren (padu);

3. Mengenali dan menerapkan matematika baik didalam maupun diluar konteks matematika.

Page 198: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

190 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Sedangkan tiga tujuan koneksi matematis di sekolah menurut NCTM (dalam Wahyuni, 2010:17)

yaitu :

1. Memperluas wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi matematis, siswa diberi suatu

materi yang bisa menjangkau ke berbagai aspek permasalahan baik disalam maupun diluar

sekolah, sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi yang sedang

dipelajari saja tetapi secara tidak langsung siswa memperoleh banyak pengetahuan yang pada

akhirnya dapat menunjang peningkatan kualitas hasil belajar secara menyeluruh;

2. Memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang padu bukan materi yang berdiri

sendiri;

3. Menyatakan relevansi dan manfaat baik disekolah maupun diluar sekolah.

Sumarmo (dalam Gordah, 2009:27) memberikan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat

digunakan sebagai berikut :

1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur;

2. Memahami hubungan antar topik matematika;

3. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari;

4. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep;

5. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dan representasi yang ekuivalen;

6. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik yang

lain.

METODE DAN INSTRUMEN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode korelasi regresi untuk

melihat adanya hubungan dan pengaruh antara tingkat kecemasan matematika (Mathematics

Anxiety) dengan kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Sampel dipilih

dengan metode purposive sampling pada siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 2 Panji. Diperoleh sampel sejumlah 72 siswa.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes untuk mengukur tingkat kecemasan

matematika (Mathematics Anxiety), tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah

matematis dan tes untuk mengukur kemampuan koneksi matematis. Tes mengukur kecemasan

matematika diadaptasi dari beberapa tes kecemasan matematika yang telah ada. adaptasi diambil

dari Mathematics Anxiety Rating Scale (MARS) (Richardson & Suinn, 1972), Mathematics Anxiety

Scale-Revised (MAS-R) adaptasi dari Betz‘s (1978), skala kecemasan dari The Revised

Mathematics Anxiety Rating Scale (RMARS) yang dikembangkan oleh Alexander & Martray

(1989), dan Mathematics Anxiety-Apprehension Survey (MAAS) yang dikembangkan oleh Ikegulu

(1998). Skala kecemasan tersebut dijawab dengan mengacu pada skala Likert. Selain itu juga

digunakan Mathematics Anxiety Questionnaire yang dikembangkan oleh Meece (1981) berbentuk

kuisioner terbuka sebagai tambahan. Siswa diminta untuk menjawab dengan memberi tanda

centang (checklist) pada hanya satu pilihan jawaban yang telah tersedia. Pemberian skor pada tiap

pilihan jawaban berpedoman pada skala Likert dengan empat opsi jawaban berupa ―sangat sering‖,

―sering‖, ―jarang‖, dan ―tidak pernah sama sekali‖, yaitu sangat sering (SS) diberikan skor 4, sering

(S) diberikan skor 3, jarang (J) diberikan skor 2, dan tidak pernah (TP) diberikan skor 1.

Sedangkan tes mengukur kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis terdiri dari 8

soal uraian dengan materi bangun datar segiempat dan garis-garis pada segitiga.

ANALISIS DATA

Data diolah menggunan uji asumsi klasik atau uji prasyarat pada analisis data model regresi linier

ganda (Multiple Regression). Uji statistik menggunakan regresi linier berganda disebut sebagai

model yang baik jika memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) yang dicapai bila

memenuhi asumsi klasik yaitu : uji normalitas, uji linearitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas

dan uji heterokedastisitas. Pengolahan data berikutnya adalah uji koefisien korelasi sederhana dua

variabel, korelasi parsial dan korelasi ganda. Untuk mendapatkan model matematika di lakukan uji

regresi linier ganda. Model matematika yang diperoleh berupa model matematika untuk

kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis.

Page 199: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 191

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menggambarkan pengelompokan siswa untuk kemampuan pemecahan masalah dan

koneksi matematis.

Tabel 1

Pengelompokan Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis

Tinggi (%) Sedang (%) Rendah (%)

Pemecahan Masalah 15 20,83 39 54,17 18 25

Koneksi Matematis 14 19,44 43 59,72 15 20,83

Sedangkan uji koefisien korelasi ganda antara kecemasan matematika dengan kemampuan

pemecahan masalah dan koneksi matematis disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2

Hasil Uji Korelasi Ganda

Kemampuan Pemecahan

Masalah

Kemampuan Koneksi

Matematis

Koefisien Korelasi -0,682 -0,903

Dari tabel 2 tampak bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kamampuan

pemecahan masalah sebesar 0,682, sedangkan hubungan antara kecemasan matematika dengan

kemampuan koneksi matematis ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat

signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang

menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan

pemecahan masalah dan koneksi matematika.

Model matematis yang terbentuk dari uji regresi linier ganda ditunjukkan sebagai berikut :

Y1 = 41,664 – 0,284 X1 – 0,300 X2 – 0,457 X3 + e1

Y2 = 19,178 – 0,191 X1 – 0,183 X2 – 0,173 X3 + e2

Y1 menunjukkan skor kemampuan pemecahan masalah dan Y2 menunjukkan skor kemampuan

koneksi matematis, sedangkan variabel X1 adalah kecemasan terhadap pembelajaran matematika,

X2 adalah kecemasan terhadap ujian matematika dan X3 adalah kecemasan terhadap perhitungan

numerikal.

Tanda koefisien regresi menunjukkan arah pengaruh antara kecemasan matematika dengan

kemampuan pemecahan masalah. Tanda positif (+) berarti bahwa ada hubungan searah antara

variabel bebas dan variabel terikatnya. Sedangkan tanda negatif (-) berarti bahwa ada hubungan

tidak searah antara variabel bebas dan terikatnya. Nilai error berasal daro kriteria kecemasan

matematikayang lain selain dari yang dikaji oleh peneliti atau berasal dari faktor-faktor lain diluar

kecemasan matematika.

Tampak dari koefisien regresi pada kemampuan pemecahan masalah bahwa pengaruh terbesar dari

tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap perhitungan numerikal. Yaitu

kecemasan siswa yang timbul saat harus berhubungan dengan bilangan-bilangan dan operasi

matematis yang ada didalamnya. dilihat dari kemampuan pemecahan masalah yang menuntut siswa

untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan untuk mencapai tujuan yang tidak dengan

segera dapat dicapai (Turmudi, 2001:86). Kemampuan pemecahan masalah tidak hanya melibatkan

kecakapan siswa membuat prosedur penyelesaian masalah, namun juga pada kemampuan

merancang dan menemukan cara penyelesaian masalah hingga meninjau kembali jawabannya.

Sehingga siswa yang hanya menghafal rumus akan mengalami kesulitan untuk mencapai

kemampuan pemecahan masalah matematis.

Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika menunjukkan koefisien regresi tertinggi

dibandingkan variabel kecemasan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang

Page 200: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

192 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

dilakukan peneliti memberikan kontribusi lebih besar untuk menimbulkan kecemasan dalam diri

siswa. Hal ini tidak berarti bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak berhasil, tetapi proses

pembelajaran yang baru dan siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran tersebut. Hasil ini

juga menunjukkan bahwa selama ini siswa hanya terbiasa dengan satu pembelajaran yaitu

pembelajaran konvensional.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa setiap peningkatan skor kecemasan matematika

berupa kecemasan terhadap pembelajaran matematika, kecemasan terhadap ujian matematika dan

kecemasan terhadap perhitungan numerikal mengakibatkan menurunnya skor kemampuan

pemecahan masalah dan koneksi matematis siswa. Hal ini berarti pula bahwa penurunan tingkat

kecemasan matematika yang dialami siswa menyebabkan naiknya tingkat kemampuan pemecahan

masalah dan koneksi matematis siswa. Masing-masing kriteria kecemasan matematika memberikan

pengaruh negatif terhadap kemampuan pemecahan masalah dan koneksi matematis, artinya setiap

kenaikan masing-masing skor kecemasan matematika kecemasan terhadap pembelajaran

matematika, skor kecemasan terhadap ujian matematika dan skor kecemasan terhadap perhitungan

numerikal berpengaruh pada penurunan skor kemampuan pemecahan masalah dan koneksi

matematis siswa.

Faktor kecemasan yang berpengaruh paling tinggi terhadap kemampuan pemecahan masalah

adalah kecemasan terhadap perhitungan-perhitungan numerikal, ini diakibatkan karena siswa

terbiasa menghafalkan rumus matematika dan kurang terlatih untuk mengerjakan soal tidak rutin

pada pembelajaran-pembelajaran konvensional yang dilakukan guru dan belum terbiasa dengan

pembelajaran yang dilakukan peneliti. Sedangkan kecemasan terhadap pembelajaran matematika

memberikan kontribusi paling tinggi terhadap kemampuan koneksi matematis, ini diakibatkan

karena pembelajaran yang dilakukan peneliti menuntut siswa untuk mengingat kembali materi yang

telah dipelajari dan mampu mengkoneksikannya dengan materi yang sedang dipelajari, pada

pembelajaran ini siswa dilatih untuk meninggalkan kebiasaannya untuk sekedar menghafalkan

rumus matematika dan menggantinya dengan belajar memahami dan memaknai konsep dan rumus

matematika serta lebih banyak melakukan latihan soal. Dan proses ini membutuhkan waktu untuk

siswa beradaptasi.

Page 201: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 193

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, L. & Martray, C. (1989). ―The Development of An Abbreviated Version of The

Mathematics Anxiety Rating Scale‖. Measurement and Evaluation in Counseling and

Development, 22, 143-150.

Anggreini, T. (2010). Hubungan Antara Kecemasan dalam Menghadapi Mata Pelajaran

Matematika dengan Prestasi Akademik Matematika pada Remaja. Skripsi. Univ.

Gunadarma.

Ashcraft, M.H. (2002). ―Math Anxiety: Personal, Educational, and Cognitive Consequences‖.

Directions in Psychological Science. 11.

Betz, N. (1978). ―Prevalence, Distribution, and Correlates of Mathematics Anxiety in College

Students‖. Journal of Counseling Psychology. 25 (5), 441-448

Gordah, E.K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik

Melalui Pendekatan Open Ended. Tesis. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Herlan, A. (2006). Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Komputer Untuk Meningkatkan

Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Tesis. PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Ikegulu, T.N. (1998). Mathematics Anxiety-Apprehension Survey. [Online]. Tersedia:

http://mathforum.org/epigone/math-teach/skimpplenkhand/robmu g8st251@legacy. [10

April 2011].

Johnson, D. (2003). Math Anxiety. Literature Review.

Krulik, S. & Reys, R. E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston: NCTM.

Meece, J. L. (1981). Individual Differences in The Affective Reactions of Middle and High School

Students to Mathematics. Unpublished Doctoral Dissertation, University of Michigan.

Peker, M. (2009). ―Pre-Service Teachers‘ Teaching Anxiety about Mathematics and Their Learning

Styles‖. Eurasia Journal of Mathematics, Science, & Technology Eductaion. 5 (4), 335-345.

Pri‘e. (2009). Teori Kecemasan. [Online]. Tersedia : http://perawatpskiatri.

blogspot.com/2009/03/teori-kecemasan.html. [10 Juli 2011]

Riajanto, M.L.E.J. (2010). Pencapaian Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Pemecahan

Masalah Geometri Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik Berbantuan

Software Geometer‟s Sktechpad. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Richarson, F.C. dan Suinn, R.M. (1972). ―The Mathematics Anxiety Rating Scale: Psychometric

Data‖. Journal of Counseling Psychology, 19 (6), 551-554.

Sabandar, J. (2005). Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam

Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar MIPA di JICA: tidak diterbitkan.

Sukasno. (2002). Model Pembelajaran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Trigonometri.

Tesis. PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Sumarmo, dkk. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematik Pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP

Bandung: tidak diterbitkan.

Turmudi. (2001). Pendekatan Matematika Realistik Sebagai Suatu Alternatif Pembelajaran

Matematika Sekolah. Makalah pada Seminar GMM-99, UPI Bandung.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam

Pelajaran Matematika. Disertasi IKIP Bandung. Bandung: tidak diterbitkan.

Zakaria, E., Nordin, N. M. (2008). ―The Effects of Mathematics Anxiety on Matriculation Student

as Related to Motivation and Achievement‖. Eurasia Journal of Mathematics, Science, &

Technology Eductaion. 4 (1), 27-30.

Page 202: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

194 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PEROLEHAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) MAHASISWA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UIN BANDUNG

BERDASARKAN JALUR MASUK YANG DITEMPUH

DAN ASAL SEKOLAH

Oleh : Rahayu Kariadinata

Asep Jihad

Ni’ma Hilda Mahmudah

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perolehan indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa

Program Studi (Prodi) Pendidikan Matematika UIN Bandung berdasarkan jalur masuk yang ditempuh dan

asal sekolah mereka. Jalur masuk yang ditempuh mahasiswa yaitu jalur : (1) Seleksi Nasional Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), (2) Penelusuran Potensi Akademik (PPA), dan (3) Ujian Lokal yang

diselenggarakan oleh UIN Bandung, sedangkan asal sekolah mereka adalah Sekolah Menengah Atas atau

sederajatnya (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA).

Pengambilan sampel menggunakan teknik Propotionates Stratified Random Sampling, yaitu pengambilan

sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Sebanyak 90 mahasiswa

angkatan 2008/2009 sebagai subjek sampel yang masuk melalui 3 jalur dan berasal dari 2 jenis sekolah.

Sehingga desain eksperimen yang digunakan adalah dua jalur 2 X 3 model faktorial dan dianalisis dengan

program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) untuk menguji ANOVA (Analisys Of Variances)

dua jalur. Instrumen dalam penelitian ini adalah wawancara dan dokumentasi.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh: 1) secara keseluruhan, terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara

yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih

baik daripada IPK mahasiswa Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Tidak terdapat perbedaan IPK mahasiswa

antara yang masuk melalui Jalur PPA dengan Jalur Ujian Lokal; 2) berdasarkan asal sekolah terdapat

perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

Mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada mahasiswa

yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Mahasiswa yang berasal dari SMA

pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.

Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari

MA pada Jalur Ujian Lokal. Terlihat perbedaan yang sangat tipis antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA

pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA; 3) tidak terdapat

keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini menunjukkan

bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak memberikan pengaruh terhadap IPK mahasiswa.

Kata kunci : Jalur masuk dan asal sekolah

A. Pendahuluan

Sejak tahun akademik 2008/2009, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung

merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang mengadakan seleksi penerimaan mahasiswa

baru dengan 3 jalur bagi para calon mahasiswanya yang berasal dari berbagai sekolah menengah

atas atau sederajatnya.

Seleksi penerimaan mahasiswa baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dilakukan melalui tiga

jalur yaitu melalui : (1) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), (2)

Penelusuran Potensi Akademik (PPA), dan (3) Ujian Lokal yang diselenggarakan oleh UIN

Bandung. Jalur PPA dan Ujian Lokal berlaku bagi para mahasiswa yang akan masuk ke semua

jurusan yang ada di universitas tersebut, namun pada Jalur SNMPTN hanya dilakukan pada

beberapa jurusan saja. Berikut ini daftar jurusan yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN

Page 203: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 195

Tabel 1.

Jurusan/Program Studi yang dapat ditempuh melalui jalur SNMPTN

pada tahun 2008/2009

No Jurusan /Program Studi Fakultas

1 Sosiologi Ushuluddin

2 Pendidikan Matematika Tarbiyah dan Keguruan

3 Ilmu Hukum

Syari‘ah dan Hukum 4 Administrasi Negara

5 Manajemen

6 Ilmu Komunikasi Jurnalistik Dakwah dan Komunikasi

7 Ilmu Komunikasi Humas

8 Sastra dan Bahasa Inggris Adab dan Humaniora

9 Matematika

Sains dan Teknologi

10 Biologi

11 Fisika

12 Kimia

13 Teknik Informatika

14 Teknik Elektro

15 Teknologi Pertanian

16 Psikologi Psikologi

Sumber : Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)

Tahun akademik 2008/2009 merupakan tahun pertama kalinya penerimaan mahasiswa Program

Studi (Prodi) Pendidikan Matematika melalui Jalur SNMPTN. Sebelumnya mahasiswa diterima

melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

Untuk mahasiswa yang diterima melalui Jalur PPA adalah mahasiswa yang di jenjang pendidikan

sebelumnya yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya dan Madrasah Aliyah (MA)

termasuk peringkat 10 besar dengan nilai rata-rata raport minimal 7. Calon mahasiswa yang masuk

melalui jalur ini tidak dibebankan untuk mengikuti tes namun mereka mengikuti penyeleksian

administrasi yang telah ditentukan yang dilanjutkan dengan tahap yaitu wawancara. Jalur PPA

dilakukan terlebih dahulu sebelum jalur-jalur yang lainnya, dengan tujuan apabila terdapat calon

mahasiswa yang tidak lulus pada jalur ini dapat mengikuti di jalur yang lainnya. Dalam hal ini yang

menjadi panitia adalah pihak UIN Bandung.

Sedangkan jalur Ujian Lokal calon mahasiswa harus mengikuti tes secara tertulis di UIN Bandung

secara serentak baik bagi calon mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika maupun prodi yang

lainnya. Sama halnya dengan Jalur PPA, jalur Ujian Lokal memiliki beberapa tahap yaitu setelah

penyeleksian administrasi kemudian pelaksanaan tes dan wawancara. Sama halnya pada jalur PPA,

panitia penyeleksian pada jalur Ujian Lokal adalah pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Jalur SNMPTN adalah jalur masuk perguruan tinggi negeri yang dilakukan secara serentak di

seluruh Indonesia. Bagi yang memilih UIN Bandung, setelah lulus mereka diharuskan mengikuti

tahap wawancara.

Mahasiswa baru yang diterima di Prodi Pendidikan Matematika yang berasal dari SMA atau

sederajatnya dan MA serta lulus melalui ketiga jalur akan menerima pembelajaran berbagai mata

kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan diterima oleh mahasiswa tiap semester

tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh program studi yang

bersangkutan.

Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang

diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah

mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan

evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada

akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa. Nilai-nilai mata

kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi.

Page 204: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

196 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Indeks prestasi adalah nilai atau angka yang menunjukan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa

dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). Dengan adanya

indeks prestasi dapat diketahui kemampuan mahasiswa dalam satu semester atau lebih, sesuai

dengan perhitungan yang berlaku. Pada akhir kuliah atau pada akhir semester tertentu biasanya

indeks prestasi tersebut akan diakumulasikan menjadi indeks prestasi kumulatif (IPK). IPK

merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar mahasiswa secara kumulatif

mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau sampai semester akhir termasuk skripsi

(Sudarman, 2004:71).

Berdasarkan uraian tersebut akan terdapat kemampuan yang bervariasi dari mahasiswa Pendidikan

Matematika pada tahun akademik tersebut yang dilatarbelakangi oleh asal sekolah yang beragam

serta jalur masuk yang bervariasi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebagai gambaran tentang

IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, berikut ini disajikan IPK mahasiswa tahun

akademik 2006/2007 dan 2007/2008 yang penerimaannya hanya melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal.

Gambar 1. Rata-rata Perolehan IPK melalui Jalur PPA dan Ujian Lokal

Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika

UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)

Pada Gambar 1, terlihat bahwa rata-rata IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika yang

melalui jalur PPA dan Ujian Lokal tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata IPK mahasiswa kedua

jalur tersebut apabila dikonversikan pada standar kelulusan di UIN keduanya mendapat predikat B.

Hasil IPK tersebut hanya di dasarkan pada jalur masuk yang ditempuh saja dan tidak

diklasifikasikan berdasarkan asal sekolah.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan mendorong peneliti untuk melakukan penelitian

tentang perbedaan IPK mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berdasarkan asal sekolah dan

jalur masuk yang ditempuh. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui IPK

mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan asal

sekolah mereka (SMA atau sederajatnya dan MA) serta untuk mengetahui jalur masuk manakah

yang lebih unggul atau bahkan ada atau tidaknya interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1) Apakah terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan

Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah

2) Apakah terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa

PPA

Ujian Lokal

0

1

2

3

4

2007/20082006/2007

2,992,84

2,962,82

Page 205: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 197

2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini yaitu:

1) Menelaah tentang IPK mahasiswa berdasarkan variasi jalur masuk (Jalur SNMPTN, Jalur

PPA dan Jalur Ujian Lokal)

2) Menelaah tentang IPK mahasiswa berdasarkan asal sekolah (SMA dan MA)

3) Menelaah tentang keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa

3. Manfaat Penelitian

Kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

1) Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi

dalam menjaring mahasiswa baru

2) Bagi mahasiswa sebagai tolak ukur kemampuan dan dapat dijadikan motivasi untuk selalu

meningkatkan prestasi.

4. Batasan Masalah

Untuk mencegah meluasnya permasalahan, maka dalam penelitian ini bahasan dibatasi sebagai

berikut:

1) Mahasiswa yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika

2) Mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini

dikarenakan seleksi melalui jalur SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati

pada tahun akademik 2008/2009.

3) Rata-rata IPK yang dibicarakan dalam penelitian adalah rata-rata IPK mahasiswa angkatan

2008 semester I sampai semester V

B. Kajian Pustaka

1. Indeks Prestasi

Sistem pendidikan di Perguruan Tinggi di Indonesia adalah Sistem Kredit Semester (SKS) yang

merupakan sistem pendidikan yang menempatkan beban mengajar, beban belajar, serta praktikum

diatur sedemikian rupa sehingga dosen, mahasiswa maupun penyelenggara pendidikan mempunyai

tanggung jawab yang sama. (Sudarman, 2004:45)

Adanya SKS tentunya akan berpengaruh pada sistem penilaian yang berlaku di perguruan tinggi.

Sistem penilaian di perguruan tinggi tentunya berbeda dengan sistem penilaian yang ada di sekolah

dasar maupun sekolah menengah. Pada dasarnya sistem penilaian dalam pendidikan tidak terlepas

dari kemampuan menjawab soal ujian, kegiatan praktikum, kehadiran dalam mengikuti

pembelajaran dan pengerjaan tugas. Pemenuhan masing-masing bagian dari komponen sistem

penilaian tersebut di perguruan tinggi dapat menolong mahasiswa dalam kelulusan suatu mata

kuliah yang pada akhirnya disimbolkan dalam sebuah nilai. Nilai-nilai yang didapatkan oleh

mahasiswa akan digabungkan dalam sebuah indeks prestasi.

Indeks prestasi (IP) adalah nilai atau angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan belajar

mahasiswa dalam satu semester yang dihitung setiap akhir semester (Sudarman, 2004:71). IP dalam

perkuliahan merupakan hasil yang diperoleh tiap mahasiswa di universitas yang mempunyai sistem

administrasi berupa SKS. IP di bangku perkuliahan merupakan salah satu bukti adanya evaluasi

pembelajaran yang hasilnya berupa nilai/score. Di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, perhitungan

IP dapat dilakukan sebagai berikut:

IP = 𝑋𝑌

𝑌

Keterangan: IP : Indeks Prestasi

X : Bobot nilai ujian mata kuliah

Y : Bobot kredit (sks) mata kuliah

𝑌 : Jumlah sks

UIN (2008:60)

Page 206: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

198 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Penghitungan IP dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prestasi mahasiswa ataupun kemajuan

belajar mahasiswa yang dapat dilihat tiap semester, sehingga mahasiswa dapat melihat hasil belajar

yang dilakukan selama satu semester atau beberapa semester sampai akhir perkuliahan.

2. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Indeks prestasi kumulatif (IPK) merupakan angka yang menunjukkan prestasi atau kemajuan

belajar mahasiswa secara kumulatif mulai dari semester pertama sampai semester tertentu atau

sampai semester akhir termasuk skripsi (Sudarman, 2004:71).

Pengertian lain dari IPK adalah gambaran kumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan

program kurikulum yang dihitung pada akhir program pendidikan. Adapun IPK yang dipakai

dalam penelitian ini adalah IPK semester yang merupakan gambaran kumulatif nilai prestasi yang

dicapai sampai dengan semester yang dilalui, yaitu gabungan seluruh nilai mata kuliah yang

ditempuh (termasuk yang bernilai E).

Selain menunjukkan prestasi mahasiswa, IPK pun dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi

mahasiswa ketika mereka akan mengontrak mata kuliah semester berikutnya ataupun dapat

dijadikan sebagai salah satu nilai pokok yang akan dijadikan acuan untuk melanjutkan studi ke

jenjang yang lebih tinggi. Di bangku perkuliahan khususnya di UIN Sunan Gunung Djati

Bandung, nilai setiap mahasiswa yang akan dijadikan IP sebelumnya berupa angka akan

dikonversikan ke dalam nilai yang berbentuk huruf A, B, C, D dan E masing-masing berbobot nilai

4, 3, 2, 1 dan 0. Standar rentang skor, nilai dan bobot penilaian hasil studi tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2.

Standar Rentang Skor, Nilai dan Bobot Penilaian Hasil Studi

Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 54)

Akumulasi prestasi hasil studi mahasiswa dari keseluruhan program kurikulum dihitung pada akhir

program pendidikan. Standar predikat kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersaji pada

Tabel 3.

Tabel 3.

Standar Predikat Kelulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sumber : Pedoman Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2007: 61) \

3. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

memiliki tiga jenis penyeleksian mahasiswa yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal. Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah satu Prodi di Jurusan Pendidikan MIPA

yang mulai tahun akademik 2008/2009 menerima mahasiswa dari tiga jalur tersebut.

No Rentang Skor Nilai Nilai Bobot

1 80 – 100 A 4,00

2 70 – 79 B 3,00

3 60 – 69 C 2,00

4 50 – 59 D 1,00

5 0 – 49 E 0

No Indeks Prestasi Predikat Kelulusan

1 3,50 – 4,00 Cumlaude

2 3,00 – 3,49 Amat Baik

3 2,50 – 2,99 Baik

4 2,00 – 2,49 Cukup

5 0,00 – 1,99 Tidak Lulus

Page 207: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 199

Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai ketiga jalur penerimaan mahasiswa pada tahun

akademik 2008/2009 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, berikut dipaparkan proses penerimaan

mahasiswa baru melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

a. Jalur SNMPTN

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) adalah kegiatan seleksi calon

mahasiswa untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di tingkat Nasional dengan pola

ujian tulis dan ujian keterampilan khusus bagi Program Studi tertentu. Penyelenggaraan seleksi ini

dilaksanakan oleh Panitia SNMPTN dan ditempatkan di kota-kota yang strategis dimana Perguruan

Tinggi Negeri berada. Ujian tulis SNMPTN diselenggarakan secara serentak dan terpadu pada jam

dan hari yang sama dengan soal yang sama di seluruh PTN di Indonesia, sehingga peserta

diharapkan dapat memilih lokasi yang terdekat dengan penyelenggaraan kegiatan seleksi tersebut.

Proses pengolahan hasil dilakukan secara terpadu di beberapa wilayah yang ditentukan, dengan

demikian program studi pilihan pertama menjadi prioritas penerimaan di PTN yang dipilih, apabila

pilihan pertama sudah penuh maka pilihan jath pada pilihan kedua, begitu juga untuk IPC yang

dapat mengisi pilihan ketiga. Penerimaan calon mahasiswa melalui seleksi ini terbatas pada daya

tampung masing-masing prodi, sehingga apabila daya tampungnya sudah terisi penuh maka calon

mahasiswa tidak dapat diterima. Persyaratan untuk mengikuti SNMPTN tahun 2008, yakni: Peserta

SNMPTN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) lulusan SMA / MA / SMK / MAK atau

yang setara tahun 2006, 2007 dan 2008 dan 2) memiliki kesehatan yang memadai sehingga tidak

mengganggu kelancaran proses belajarnya di Perguruan Tinggi.

Sebelum diperkenalkan SNMPTN, SNMPTN berasal dari nama SPMB (Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru) yang sebelumnya juga bernama UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi

Negeri). Untuk mengetahui sejarah singkat mengenai sistem penerimaan mahasiswa batu untuk

PerguruanTinggi Negeri (PTN) di Indonesia, berikut ini disajikan ringkasan sejarah berdirinya

SNMPTN (Dhimasheri, 2008).

Tabel 4.

Ringkasan Sejarah SNMPTN

No Tahun Nama Perguruan Tinggi yang dituju

1 1976 SKALU (Sekretariat Kerja

sama antar Lima Universitas)

Universitas Indonesia

Institut Pertanian Bogor

Institut Teknologi Bandung Universitas

Gadjah Mada, dan Universitas

Airlangga.

2 1977

SKASU (Sekretariat Kerja

sama Antar Sepuluh

Universitas). SKASU Dinamai

pula sebagai Proyek Perintis 1

Kelima perguruan tinggi pada SKALU

ditambah dengan Universitas

Padjadjaran,

Universitas Diponegoro

Universitas Brawijaya

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

dan

Universitas Sumatera Utara.

3 1983

Sistem Penerimaan

Mahasiswa Baru (Sipenmaru)

diadakan secara resmi oleh

Depdikbud

Perguruan Tinggi

4 1989 Ujian Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (UMPTN) Perguruan Tinggi Negeri

5 2001 Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) 30 Perguruan Tinggi Negeri

6 2008 SNMPTN 60 Perguruan Tinggi Negeri

Page 208: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

200 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Pada dasarnya adanya perubahan nama dari sistem penyeleksian mahasiswa baru di PTN tidak

mengubah tujuan dari pengadaan penyeleksian mahasiswa baru tersebut. Tujuan diadakannya

penyeleksian mahasiswa baru di PTN untuk menyeleksi dan memperoleh calon mahasiswa yang

memiliki kemampuan akademik guna mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Depdiknas, 2011:2)

UIN Sunan Gunung Djati Bandung merupakan universitas yang terdaftar dalam data Perguruan

Tinggi Negeri pada SNMPTN. Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi anggota SNMPTN terdaftar

pada tiga regional yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun pembagian regional dari SNMPTN

(UIN, 2008: 62) yaitu:

a) Regional I adalah PTN yang terletak di Sumatera, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan

Kalimantan Barat.

b) Regional II adalah PTN yang terletak di Jawa tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

c) Regional III adalahPTN yang terletak di Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Kepulauan

Maluku dan Papua.

Dari penjelasan di atas, UIN Sunan Gunung Djati Bandung masuk pada regional I dalam panitia

lokal bersama Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan

Institut Teknologi Bandung (ITB).

b. Jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA)

Calon mahasiswa yang akan memasuki UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA harus

memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh panitia penyelenggara penerimaan mahasiswa baru.

Biasanya mahasiswa yang masuk melalui jalur ini menjadikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung

sebagai universitas pilihan pertama yang akan dimasuki, karena jalur ini diadakan lebih awal dari

jalur-jalur yang lainnya.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Program Reguler Sarjana (S-1) dan Diploma melalui jalur PPA

dimaksudkan pada upaya calon penjaringan mahasiswa unggul dari lulusan Sekolah Menengah

Atas/ Madrasah Aliyah dan Keagamaan yang diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan

tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang ditetapkan. Adapun persyaratan calon

mahasiswa yang masuk melalui jalur PPA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Siswa kelas 12 MAN,MAS, MAKS, SMAN dan SMAS tahun pelajaran 2007/2008 yang

selama sekolah memiliki rata-rata nilai raport minimal 7 (tujuh) setiap semester.

2) Pada semester 1 kelas 12 menduduki peringkat/ranking 1sd.10 di kelasnya.

3) Bagi yang memilih Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan Matematika,

Pendidikan Biologi, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, dan Fakultas Sains dan Teknologi

Program Studi Teknik Informatika, Pertanaian, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia di

utamakan jurusan IPA.

4) Lancar membaca dan menulis Al-Qur‘an dan Hadits Nabi SAW.

5) Mengisi formulir yang di sediakan dengan melampirkan (masing –masing rangkap dua);

a. Photo copy kartu UAN ,yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya;

b. Photo copy Raport setiap semester yang dilegalisir dengan menunjukkan asalnya;

c. Mengisi/menempel pas poto (hitam putih/berwarna) 3x4 pada kolom yang tersedia dalam

formulir.

6) Membayar uang pembayaran Rp.150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah).

7) Seluruh persyaratan dimasukkan dalam map.

Page 209: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 201

Adapun pilihan Program Studi/Jurusan sebagai berikut :

1) Calon peserta diberi kesempatan untuk memilih 2 (dua) pilihan Program studi/Jurusan yang

di minatinya. (Pilahan I dan Pilihan II).

2) Khusus Pilihan II dan dialokasikan kepada pemenuhan Formasi Program Studi/jurusan yang

belum terpenuhi dari Pilihan I, apabila ranking nya memungkinkan.

c. Jalur Ujian Lokal

Seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur Ujian Lokal diselenggarakan oleh UIN Sunan Gunung

Djati Bandung dalam upaya penjaringan calon mahasiswa unngul lulusan SMA/MA dan

Keagamaan. Mahasiswa-mahasiswa tersebut diperkirakan akan dapat menyelesaikan pendidikan

tinggi dengan hasil yang lebih baik dalam waktu yang telah ditetapkan. Selain itu Ujian Lokal

dilaksanakan dalam rangka asas pemerataan kesempatan belajar bagi putra-putri Indonesia.

Ujian Lokal diperuntukan bagi siswa-siswi lulusan SMA atau sederajatnya dan MA yang tentunya

harus memenuhi persyaratan yang berlaku. Banyaknnya lulusan disesuaikan dengan pengajuan

yang diajukan oleh fakultas dan jurusan masing-masing. Materi yang diujikan pada jalur ini terdiri

dari materi pengetahuan Agama Islam, pengetahuan Bahasa dan Pengetahuan Umum. Soal-soal

pada jalur ini dibuat oleh panitia yang terdiri dari dosen-dosen yang ahli dalam bidangnya.

Kelulusan peserta ujian Ujian Lokal ini disesuaikan dengan standar yang ditetapkan oleh pihak

universitas.

4. Kurikulum dan Mata Kuliah pada Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati

Bandung

Kurikulum UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada umumnya sejak tahun 2006/2007 dan

seterusnya diatur sesuai dengan Ketetapan Rektor. (UIN, 2007:19). Ketetapan Rektor yang

diberlakukan dalam penetapan kurikulum disesuaikan dengan kompetensi lulusan dengan

pencapaian tujuan Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam.

Kompetensi tersebut terdiri atas kompetensi dasar, kompetensi utama, kompetensi pendukung dan

kompetensi lainnya. Adapun penjelasan mengenai empat kompetensi dasar yang mendukung

kurikulum perguruan tinggi sebagai berikut :

a) Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sebagai dasar bagi

kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya.

b) Kompetensi Utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa setelah

menyelesaikan pendidikannya pada suatu program pendidikan tertentu.

c) Kompetensi Pendukung adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa untuk

mendukung kompetensi utama dan kompetensi dasar.

d) Kompetensi lainnya adalah kompetemsi yang dianggap perlu dimilikioleh mahasiswa sebagi

bekal untuk mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun tidak.

Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung menyajikan mata kuliah yang

sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan empat kompetensi yang telah disebutkan. Empat

kompetensi mata kuliah tersebut tersaji pada Tabel 5.

Page 210: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

202 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 5.

Mata Kuliah Berdasarkan Kompetensi yang Disajikan di Prodi

Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung

NO. KODE

MATA KULIAH MATA KULIAH BOBOT SKS

I. KOMPETENSI DASAR

1 KDU-0001 Al-Qur'an/Ilmu Tafsir 2

2 KDU-0002 Hadits/Ilmu Hadits 2

3 KDU-0003 Ilmu Fiqh 2

4 KDU-0004 Ilmu Tauhid/Aqidah 2

5 KDU-0005 Akhlak/Tasawuf 2

7 KDU-0007 Ilmu Sosial Dasar (ISD) 2

8 KDU-0008 Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan 2

9 KDU-0009 Bahasa Indonesia 2

10 KDU-0010 Bahasa Inggris 3

11 KDU-0011 Bahasa Arab 4

Jumlah 25

II. KOMPETENSI UTAMA

1 KU-40501 Landasan Pendidikan 2

2 KU-40502 Perkembangan Peserta Didik 2

3 KU-40503 Bimbingan Konseling 2

4 KU-40504 Pengembangan Kepribadian Guru 2

5 KU-40505 Pengelolaan Pendidikan 2

6 KU-40506 Kurikulum dan Pembelajaran Matematika 3

7 KU-40507 Belajar dan Pembelajaran Matematika 3

8 KU-40508 Evaluasi Pembelajaran Matematika 3

9 KU-40509 Perencanaan Pembelajaran Matematika 3

10 KU-40510 Media Pembelajaran Matematika 2

11 KU-40511 Micro Teaching 2

12 KU-40512 Program Profesi Lapangan 4

13 KU-40513 Komunikasi dan T.I. Pendidikan 2

14 KU-40514 Statistik Dasar 2

15 KU-40515 Matematika Dasar 2

16 KU-40516 Geometri 3

17 KU-40517 Trigonometri 2

18 KU-40518 Teori Bilangan 2

19 KU-40519 Pembelajaran Matematika MI/SD 3

20 KU-40520 Pembelajaran Matematika MTs/SLTP 3

21 KU-40521 Pembelajaran Matematika MA/SLTA I 3

22 KU-40522 Pembelajaran Matematika MA/SLTA II 3

23 KU-40523 Metode Riset Matematika 3

24 KU-40524 Kalkulus I 3

25 KU-40525 Kalkulus II 3

Page 211: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 203

26 KU-40526 Kalkulus III 3

27 KU-40527 Aljabar Matriks 2

28 KU-40528 Aljabar Linier 3

29 KU-40529 Geometri Analitik 3

30 KU-40530 Struktur Aljabar I 3

31 KU-40531 Geometri Transformasi 3

32 KU-40532 Statistik Matematika I 3

33 KU-40533 Persamaan Diferensial 3

35 KU-40535 Analisis Real I 3

36 KU-40536 Program Komputer 4

37 KU-40537 Komprehensif 2

38 KU-40538 Skripsi 6

Jumlah 105

III. KOMPETENSI PENUNJANG

KP-40539 Analisis Real II* 2

2 KP-40540 Struktur Aljabar II* 2

3 KP-40541 Statistik Matematika II 2

4 KP-40542 Stat Penelitian Pend. Mat. 3

5 KP-40543 KKN 2

6 KP-40544 Praktek Ibadah 0

7 KP-40545 Praktek Tilawah 0

8 KP-40546 Matematika Diskrit * 2

9 KP-40547 Program Linier * 2

10 KP-40548 Filsafat Matematika 2

Jumlah 17

IV. KOMPETENSI LAINNYA

1 KL-40549 Seminar Matematika 3

2 KL-40550 Teknik Penulisan Skripsi 2

3 KL-40551 Sejarah Matematika * 2

4 KL-40552 Metode Analisis Numerik * 2

5 KL-40553 Kewirausahaan * 2

Jumlah 11

Jumlah Total 158

Nb. *) Mata Kuliah Pilihan

No. Jenis Kompetensi SKS Prosentasi/%

1 Kompetensi Dasar 25 15,82

2 Kompetensi Utama 105 66,46

3 Kompetensi Pendukung 17 10,76

4 Kompetensi Lainya 11 6,96

∑ 158 100,00

Sumber: Bagian Administrasi Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung 4 Mei 2011)

Dari Tabel 5 dapat diketahui berbagai mata kuliah yang disajikan pada Prodi Pendidikan

Matematika sesuai dengan klasifikasi kompetensinya. Jumlah dari keseluruhan mata kuliah yang

disajikan adalah 58 mata kuliah dengan bobot SKS sebanyak 158.

Page 212: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

204 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

5. Keadaan mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika berasal dari calon mahasiswa yang mengikuti jalur-jalur

penyeleksian yang diadakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pada tahun akademik

2008/2009 Prodi Pendidikan Matematika merupakan salah saru program studi yang mahasiswa

didalamnya berasal dari tiga jalur seleksi yaitu Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

Mahasiswa yang lulus melalui tiga jalur tersebut, akan menerima pembelajaran berbagai mata

kuliah dari dosen. Mata kuliah yang disajikan dan yang diterima oleh mahasiswa tiap semester

tergantung pada prosedur yang berlaku atau yang ditetapkan oleh Prodi yang bersangkutan. Pada

mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang menjadi subyek dalam penelitian ini

telah melewati perkuliahan selama lima semester.

Dalam mengikuti perkuliahan setiap mahasiswa diharuskan mengikuti prosedur perkuliahan yang

diberikan oleh dosen dan tentunya berlaku di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah

mengikuti perkuliahan dengan berbagai mata kuliah yang disajikan, tentunya akan diadakan

evaluasi baik itu berupa tugas individu, tugas kelompok, UTS dan UAS. Evaluasi tersebut pada

akhirnya akan menghasilkan sebuah penilaian terhadap kemampuan mahasiswa yang berupa nilai.

Nilai-nilai mata kuliah yang ada akan diakumulasikan menjadi sebuah indeks prestasi yang pada

akhirnya diakumulasikan menjadi IPK.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mata kuliah yang disajikan dapat

diklasifikasikan ke dalam berbagai kompetensi. Adanya klasifikasi tersebut dapat menjadikan

bahan acuan untuk melihat keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa. Keunggulan

tersebut berupa nilai yang dapat diakumulasikan berdasarkan kompetensi yang sudah ada.

6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1) Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA

dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah.

2) Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur

PPA ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah

3) Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur

Ujian Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah

4) Terdapat perbedaan IPK antara mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal ditinjau dari : a) keseluruhan dan b) asal sekolah

5) Terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK mahasiswa

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kausal-komparatif (causal-comparative reasearch). Menurut

Suryabrata (2004:84) tujuan dari penelitian kausal komparatif adalah untuk menyelidiki hubungan

sebab akibat dengan cara berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dan mencari kembali

faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu. Penelitian ini bersifat ex post facto,

artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Menurut

Suryabrata (2004:87) dalam penelitian kausal komparatif dapat dilakukan langkah-langkah sebagai

berikut:

1) Definisikan masalah

2) Lakukan penelaahan pustaka

3) Rumusan hipotesis-hipotesis

4) Rumuskan asumsi-asumsi yang mendasari hipotesis-hipotesis itu serta prosedur yang akan

dikerjakan

Page 213: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 205

5) Rancang cara pendekatannya:

a. Pilihlah subjek-subjek yang akan digunakan serta sumber-sumber yang relevan

b. Pilihlah atau susunlah teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data

c. Tentukan kategori-kategori untuk mengklasifikasikan data yang jelas sesuai dengan

tujuan studi, dan dapat menunjukan kesamaan atau saling hubungan.

a) Validasikan teknik untuk mnegumpulkan data itu, dan interpretasikan hasilnya dalam

cara yang jelas dan cermat.

b) Kumpulkan dan analisis data

c) Susun Laporan

Berdasarkan pada langkah-langkah diatas, maka penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah

tersebut.

1. Populasi , Pengambilan Sampel dan Ukuran Sampel

a. Populasi

Menurut Asyari (dalam Suryana, 2009:175) populasi adalah keseluruhan obyek penelitian,

mungkin berupa manusia, gejala-gejala, benda-benda, pola sikap, tingkah laku dan sebagainya

yang menjadi obyek penelitian.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada batasan masalah bahwa mahasiswa yang dijadikan subjek

penelitian adalah mahasiswa angkatan 2008/2009, hal ini dikarenakan seleksi melalui jalur

SNMPTN baru diberlakukan di UIN Sunan Gunung Djati pada tahun akademik 2008/2009.

Dengan demikian mahasiswa tersebut menjadi populasi dalam penelitian ini. Berdasarkan data dari

bagian akademik Prodi Pendidikan Matematika terdapat 114 orang mahasiswa angkatan 2008/2009

yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal serta berasal dari SMA dan

MA. Sebaran datanya tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6.

Sebaran Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2008

berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah

No Jalur Masuk Asal sekolah

Jumlah SMA MA

1 SNMPTN 27 3 30

2 PPA 18 19 37

3 Ujian Lokal 36 11 47

Jumlah 81 33 114 Sumber : Bagian Administrasi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2011)

Pada Tabel 6, jumlah mahasiswa yang menjadi populasi adalah 114 orang. Jumlah tersebut

merupakan populasi yang heterogen, sehingga harus diubah menjadi bagian-bagian populasi yang

homogen. Setelah mendapatkan populasi yang homogen, selanjutnya untuk menentukan sampelnya

digunakan teknik Propotionates Stratified Random Sampling yaitu pengambilan sampel dari

anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Teknik ini digunakan apabila

anggota populasi berkaitan dengan karakteristik. Dalam teknik ini terjadi proses pembentukan sub

populasi yang disebut strata.

b. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi.

Pengambilan sampel dari populasi yang homogen dapat dilakukan dengan cara terlebih dahulu

menentukan persentase ketidak-telitian yang akan dipakai. Langkah kerja teknik Stratified Random

Sampling adalah sebagai berikut :

1) Tentukan anggota populasi secara keseluruhan (N)

2) Berdasarkan variabel tertentu (kriteria tertentu), populasi dibagi ke dalam strata-strata.

Page 214: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

206 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

3) Satuan sampling untuk setiap strata didaftar sehingga diperoleh kerangka sampling untuk

masing-masing strata (N1, N2, dan seterusnya untuk setiap strata ke i) dimana N = N1 + N2 +

……+ Ni

4) Dari sebuah populasi selanjutnya kita menentukan ukuran sampel keseluruhan yang disebut

overall sample size.

5) Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan ke setiap strata (n1, n2, dan seterusnya)

dimana n = n1 + n2 + …. + ni. Penyebaran ini disebut alokasi sampel yang bisa dilakukan

cara alokasi proporsional yaitu ukuran sampel untuk setiap strata sesuai dengan proporsi

ukuran strata tersebut terhadap ukuran sampel keseluruhan, misal : 𝑛1 = 𝑛

𝑁 𝑋 𝑁1 ,

𝑛2 = 𝑛

𝑁 𝑋 𝑁2 , ………….. dan seterusnya.

c. Ukuran Sampel

Dalam menentukan ukuran sampel ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu :

a) Derajat keseragaman (degree of homogeneity) dari populasi.

b) Presesi (ketelitian) yang dikehendaki oleh peneliti, makin tinggi tingkat presisi yang

dikehendaki, makin besar sampel yang diambil.

c) Rencana analisis.

d) Tenaga, biaya dan waktu.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini penentuan sampel

menggunakan teknik Stratified Random Sampling, berikut perhitungannya

a) Menentukan anggota populasi secara keseluruhan (N) : N = 114

b) Populasi dibagi kedalam strata-strata, seperti yang terlihat pada Tabel 6, yaitu Jalur

SNMPTN yang berasal dari SMA (N1) = 27, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA (N2) = 3,

Jalur PPA yang berasal dari SMA (N3) = 18, Jalur PPA yang berasal dari MA (N4) = 19,

Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA (N5) = 36, dan Jalur Ujian Lokal yang berasal dari

MA (N6) = 11.

c) Agar sampel yang diambil dalam penelitian ini dapat mewakili populasi maka jumlah sampel

dihitung dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :

1 : konstanta

n : ukuran sampel

N : ukuran populasi

e : persentase kelonggaran ketidak-telitian (presesi) karena

kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir

Dalam penelitian ini diketahui N = 114 ,tingkat kelonggaran ketidak-telitian ditetapkan sebesar 5%.

Dengan menggunakan rumus diatas, untuk menentukan sampel dari populasi awal yang masih

heterogen didapat:

n = N

1 + N(e)2

N = 114, ; e = 5% = 0,05

8971,88

05,01141

1142

n

Jadi jumlah minimal sampel yang diambil oleh peneliti adalah sebesar 89

Ukuran sampel sebesar n selanjutnya dialokasikan kesetiap strata yaitu mahasiswa Jalur SNMPTN

yang berasal dari SMA, Jalur SNMPTN yang berasal dari MA, Jalur PPA yang berasal dari SMA,

n = N

1 + Ne2

Page 215: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 207

Jalur PPA yang berasal dari MA, Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan Jalur Ujian Lokal

yang berasal dari MA. Selanjutnya dihitung secara proportional dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

n1 = banyaknya sampel

n = banyaknya populasi

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berikut perhitungan untuk mendapatkan sampel dari tiap-tiap Jalur masuk dan asal sekolah :

a. Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA sebanyak 27 orang, pengambilan

sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑛1 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

n1 = banyaknya sampel Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA

n = banyaknya populasi Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berdasarkan data sebelumnya telah didapat :

n = 27 ; N = 114 dan N1 = 89

Sehingga diperoleh :

27

114× 89 = 21,07 ≈ 21

Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari SMA (n1) adalah 21 orang

b. Mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari MA sebanyak 3 orang, jumlah mahasiswa

tersebut akan dijadikan sampel semuanya ( n2 = 3 orang)

c. Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA sebanyak 18 orang, pengambilan sampelnya

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑛3 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

n3 = banyaknya sampel Jalur PPA yang berasal dari SMA

n = banyaknya populasi Jalur PPA yang berasal dari SMA

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berdasarkan data sebelumnya telah didapat :

n = 18 ; N = 114 dan N1 = 89

Sehingga diperoleh :

18

114× 89 = 14,05 ≈ 14

Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA (n3) adalah 14 orang

d. Mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA sebanyak 19 orang, pengambilan sampelnya

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑛4 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

n 4 = banyaknya sampel Jalur PPA yang berasal dari MA

n = banyaknya populasi Jalur PPA yang berasal dari MA

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berdasarkan data sebelumnya telah didapat :

𝑛1 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

Page 216: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

208 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

n = 19 ; N = 114 dan N1 = 89

Sehingga diperoleh :

19

114× 89 = 14,83 ≈ 15

Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari MA (n4) adalah 15 orang

e. Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari SMA sebanyak 36 orang, pengambilan

sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑛5 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

n5 = banyaknya sampel Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA

n = banyaknya populasi Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berdasarkan data sebelumnya telah didapat :

n = 36 ; N = 114 dan N1 = 89

Sehingga diperoleh :

36

114× 89 = 28,1 ≈ 28

Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA (n5) adalah 28 orang

f. Mahasiswa Jalur Ujian Lokal dan berasal dari MA sebanyak 11 orang, pengambilan

sampelnya dihitung dengan rumus sebagai berikut :

𝑛6 = 𝑛

𝑁 𝑥 𝑁1

n6 = banyaknya sampel Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA

n = banyaknya populasi Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA

N = banyaknya seluruh populasi

N1 = banyaknya sampel penelitian

Berdasarkan data sebelumnya telah didapat :

n = 11 ; N = 114 dan N1 = 89

Sehingga diperoleh : 11

114× 89 = 8,58 ≈ 9

Jadi banyaknya sampel mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari MA (n6) adalah 9 orang

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka didapatkan proporsi sampel (proportional sampling)

untuk masing-masing jalur masuk dan asal sekolah seperti pada Tabel 7.

Tabel 7.

Proporsi Sampel Mahasiswa berdasarkan

Jalur Masuk dan Asal Sekolah

No Jalur Masuk Asal sekolah

Jumlah SMA MA

1 SNMPTN 21 3 24

2 PPA 14 15 29

3 Ujian Lokal 28 9 37

Jumlah 63 27 90

Sumber : Data Sekunder diolah 2011

2. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Wawancara atau yang lebih sering dikenal dengan interview adalah sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 2002:132). Pada

Page 217: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 209

penelitian ini digunakan wawancara bebas terpimpin. Menurut Arikunto (2002:132), wawancara

bebas terpimpin adalah wawancara kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin.

Wawancara bebas terimpin dilakukan dengan alasan agar wawancara dapat bersifat santai, namun

terarah sesuai dengan garis pertanyaan yang dipersiapkan. Pelaksanaan wawancara dilakukan oleh

penulis kepada Bagian Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Wawancara dilakukan

dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang seleksi penerimaan mahasiswa baru yang

melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal dan yang berasal dari berbagai asal

sekolah pada tahun akademik 2008/2009.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek

penelitian namun melalui dokumen (Suryana, 2009:213). Dalam hal ini penulis mendapatkan

dokumentasi data mahasiswa yang masuk Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati

Bandung melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal pada tahun akademik

2008/2009. Data tersebut penulis dapatkan saat melakukan survey ke bagian akademik UIN Sunan

Gunung Djati Bandung pada tanggal 16 Desember 2010.

Instrumen dokumentasi akan dijadikan sebagai alat bantu untuk menjawab rumusan masalah yaitu

pengumpulan data IPK mahasiswa semester I sampai V dan data asal sekolah yang diperoleh dari

bagian nilai Prodi Pendidikan Matematika serta dari data mahasiswa yang terdapat di bagian

akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

3. Analisis Data

Data IPK dan asal sekolah mahasiswa yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan

statistika untuk membuktikan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan SPSS yaitu ANOVA (Analisys Of Variances) dua jalur 2 x 3 faktorial,

yaitu 2 kategori asal sekolah (SMA dan MA) dan 3 kategori jalur masuk UIN Bandung (Jalur

SNMPTN, Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal). Analisis ini merupakan analisis yang digunakan

untuk menganalisis perbedaan tiga variabel atau lebih.

Untuk memudahkan maka data berupa IPK mahasiswa dikelompokkan berdasarkan jalur masuk

dan asal sekolah. Pengelompokkan tersebut tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8.

Pengelompokkan Data IPK Mahasiswa

Berdasarkan Jalur Masuk dan Asal Sekolah

Asal

Sekolah

IPK Mahasiswa

Jalur Masuk

Jalur SNMPTN Jalur PPA Jalur Ujian Lokal

SMA IPK – SNMPTN -SMA IPK – PPA - SMA IPK- Ujian Lokal - SMA

MA IPK – SNMPTN -MA IPK – PPA - MA IPK- Ujian Lokal - MA

Total IPK – SNMPTN IPK – PPA IPK- Ujian Lokal

Keterangan :

1) IPK – SNMPTN : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN

2) IPK – PPA : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA

3) IPK – Ujian Lokal : IPK Mahasiswa yang masuk melalui Jalur Ujian Lokal

Dalam penelitian ini ada dua macam tahapan pengolahan data untuk suatu masalah, yaitu : pertama,

menguji semua persyaratan statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam rangka pengujian

hipotesis. Persyaratan statistik yang diuji terlebih dahulu adalah uji normalitas sebaran data subjek

sampel, baik untuk bagian-bagiannya maupun untuk gabungannya. Setelah itu dilanjutkan dengan

pengujian homogenitas varians antara kelompok sesuai permasalahannya. Kedua, menentukan

statistik tertentu sesuai permasalahannya, dalam rangka pengujian hipotesis. Pada langkah ini

digunakan ANOVA satu dan dua jalur. Keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, kelompok data

yang diolah, dan jenis uji statistik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9

Page 218: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

210 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 9.

Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, Kelompok Data, dan Jenis Uji Statistik

yang digunakan dalam Analisis Data

Permasalahan Hipotesis

Penelitian Kelompok Data

Jenis Uji

Statistik

Perbedaan IPK Mahasiswa yang

masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur

PPA dan Jalur Ujian Lokal

1 (a)

2 (a)

3 (a)

4 (a)

IPK-SNMPTN

IPK-PPA

IPK-Ujian Lokal

ANOVA

satu jalur

Perbedaan IPK Mahasiswa yang

masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur

PPA dan Jalur Ujian Lokal ditinjau

dari kategori asal sekolah

1 (b)

2 (b)

3 (b)

4 (b)

IPK-SNMPTN-SMA

IPK-SNMPTN-MA

IPK-PPA-SMA

IPK-PPA-MA

IPK-Ujian Lokal –SMA

IPK-Ujian Lokal -MA

ANOVA

dua jalur

Keterkaitan (interaksi) antara jalur

masuk dan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa

5 ANOVA

dua jalur

4. Skema Penelitian

Alur penelitian yang akan penulis lakukan dapat digambarkan dalam sebuah skema yang ada pada

Gambar 2.

Kesimpulan Penelitian

Siswa Lulusan SMA Siswa Lulusan MA

Calon Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati

Bandung

Seleksi Mahasiswa Baru di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang akan masuk

berbagai jurusan atau program studi termasuk Program Studi Pendidikan Matematika

SNMPTN PPA Ujian

Lokal

Mahasiswa yang lolos seleksi dan masuk Prodi Pendidikan Matematika

Mengikuti perkuliahan selama lima semester

Mendapatkan nilai tiap mata kuliah yang disajikan selama lima

semester

Akumulasi nilai selama lima semester (IPK Semester I

sampai V)

Pengolahan data IPK

Hasil pengolahan data

Temuan

Page 219: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 211

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

a. IPK Mahasiswa Angkatan 2008 pada Semester I sampai Semester V

IPK yang diklasifikasikan merupakan akumulasi dari 39 mata kuliah yang terdiri dari 12 mata

kuliah kompetensi dasar, 22 mata kuliah kompetensi utama dan 5 kompetensi pendukung. Ke-39

mata kuliah tersebut yaitu Ulumulqur‘an (UQ), Bahasa Inggris (BING), Bahasa Arab (BA1/BA2),

Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), Bahasa Indonesia (BI), Ulumulhadis (UH), Ilmu Sosial

Dasar (ISD), Filsafat Matematika (FilM), Ilmu Ahlak (IA), Sejarah Peradaban Islam (SPI), yaitu

Landasan Pendidikan (LP), Perkembangan Peserta Didik (PPD), Matematika Dasar (MD),

Trigonometri (TRI), Kapita Selekta MI, MTs, MA (KSEL), Aljabar Matrik (AM), Perkembangan

Kepribadian Guru (PKG), Statistika dasar (SD), Kalkulus (KL 1/2/3), Aljabar Linier (AL),

Evaluasi (Eva), Bimbingan Konseling (BK), Belajar dan Pembelajaran Matematika (BPM),

Perencanaan Pembelajaran Matematika (PPM), Struktur Aljabar I (SAI), Analisis Vektor (AV),

Pengelolaan Pendidikan (PP), Program Linear (PL), Statistika Penelitian (SPP), Program Komputer

(PK), Struktur Aljabar 2 (SA2), Matematika Diskrit (MD). Berikut ini data rata-rata IPK

Mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah. Berikut statistik deskriptif tentang IPK

mahasiswa.

Tabel 10.

Statistik Deskriptif Rata-rata IPK mahasiswa

Berdasarkan Asal Sekolah Dan Jalur Masuk

Jalur masuk Asal sekolah Rata-rata Standar Deviasi

(SD) N

Jalur SNMPTN

SMA 3,2881 0,25294 21

MA 3,0200 0,73899 3

Total 3,2546 0,33365 24

Jalur PPA

SMA 2,9432 0,49968 14

MA 2,7080 0,53061 15

Total 2,7486 0,50846 29

Jalur Ujian Lokal

SMA 2,7921 0,38571 25

MA 2,7600 0,45873 12

Total 2,8838 0,41357 37

Total

SMA 3,0287 0,42136 60

MA 2,7600 0,51166 30

Total 2,9391 0,46821 90

Berdasarkan Tabel 10 rata-rata IPK mahasiswa yang melalui ketiga jalur masuk dan berasal dari

SMA maupun SMA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu

bernilai baik. Sedangkan rata-rata IPK yang melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA maupun

MA memiliki rata-rata IPK yang apabila dikonversikan dalam bentuk nilai yaitu bernilai amat baik.

Selanjutnya berikut ini data tentang IPK mahasiswa berdasarkan jalur masuk.

Tabel 11.

Statistik Deskriptif IPK mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk

Jalur masuk IPK

terbesar

IPK

terkecil Rata-rata SD

SNMPTN 3,67 2,18 3,2546 0,33365

PPA 3,42 1,34 2,7486 0,50846

Ujian Lokal 3,44 1,74 2,8838 0,41357

Page 220: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

212 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Histogram dari statistika deskriptif berdasarkan data IPK yang diklasifikasikan berdasarkan jalur

masuk diperlihatkan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.

Gambar 3. Histogram IPK mahasiswa Jalur SNMPTN

Berdasarkan Gambar 3. pada mahasiswa jalur SNMPTN terdapat 1 orang yang mendapat IPK

antara rentang 2,10-2,39, 4 orang pada rentang 2,70-2,99, 5 orang pada rentang 3,00-3,29, 13 orang

pada rentang 3,30-3,59, 1 orang oada rentang 3,60-3,89.

Gambar 4. Histogram IPK mahasiswa Jalur PPA

Berdasarkana Gambar 4. pada mahasiswa jalur PPA terdapat 1 orang yang mendapat IPK antara

rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 12 orang pada

rentang 2,50-2,99, 9 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99

.

Gambar 5. Histogram IPK mahasiswa Jalur Ujian Lokal

Berdasarkan Gambar 5 pada mahasiswa jalur Ujian Lokal terdapat 1 orang yang mendapat IPK

antara rentang 1,50-1,79, 2 orang pada rentang 2,10-2,39, 9 orang pada rentang 2,40-2,69, 9 orang

pada rentang 2,70-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,29 dan 6 orang pada rentang 3,30-3,59.

Selanjutnya data tentang IPK mahasiswa berdasarkan asal sekolah diperlihatkan pada Tabel 8.

Page 221: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 213

Tabel 8.

Statistik Deskripsi IPK mahasiswa berdasarkan Asal Sekolah

Asal Sekolah IPK terbesar IPK terkecil Rata-rata SD

SMA 3,67 1,67 3,0287 0,42136

MA 3,57 1,34 2,7600 0,51166

Histogram dari statistika deskriptif data IPK mahasiswa yang diklasifikasikan menurut asal sekolah

akan diperlihatkan pada Gambar 6 dan Gambar 7

Gambar 6. Histogram IPK mahasiswa yang berasal dari SMA

Berdasarkan Gambar 6. Pada mahasiswa yang berasal dari SMA terdapat 1 orang yang mendapat

IPK antara rentang 1,60-1,89, 1 orang pada rentang 1,90-2,19, 6 orang pada rentang 2,20-2,49, 11

orang pada rentang 2,50-2,79, 15 orang pada rentang 2,80-3,09, 14 orang pada rentang 3,10-3,39,

dan 15 orang pada rentang 3,40-3,69.

Gambar 7. Histogram IPK mahasiswa yang Berasal dari MA

Berdasarkan Gambar 7. Pada mahasiswa yang berasal dari MA terdapat 1 orang yang mendapat

IPK antara rentang 1,00-1,49, 1 orang pada rentang 1,50-1,99, 5 orang pada rentang 2,00-2,99, 9

orang pada rentang 2,50-2,99, 10 orang oada rentang 3,00-3,49 dan 1 orang pada rentang 3,50-3,99.

b. Perbedaan IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk

Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan rerata IPK mahasiswa berdasarkan ketiga jalur masuk

digunakan uji ANOVA satu jalur terlebih dahulu harus ditentukan hipotesis. Adapun hipotesis

dalam hal ini adalah sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan

Jalur Ujian Lokal.

Ha: Terdapat perbedaan IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur

Ujian Lokal.

Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:

- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.

- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

(Kariadinata, 2010:69)

Page 222: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

214 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel 12.

Uji ANOVA satu Jalur

Sum of

Squares

df Mean

Square

F Sig.

Between Groups 3.534 2 1.767 9,689 .000

Within Groups 15.957 87 .183

Total 19.511 89

Pada Tabel 12, terlihat bahwa F hitung untuk jalur masuk yaitu 9,689 dengan probabilitas 0,000.

Karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak atau terdapat perbedaan IPK mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal. Selanjutnya untuk melihat mana saja

kelompok pembelajaran yang berbeda dan mana saja yang tidak berbeda ? Masalah ini akan

dibahas pada analisis Scheffe dalam Post Hoc test yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 13.

Tabel Post Hoc Test

Multiple Comparisons

Dependent Variable:IPK

(I)

Jalur masuk

(J)

Jalur masuk

Mean

Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence

Interval

Lower

Bound

Upper

Bound

Scheffe

SNMPTN PPA .5060* .11833 .000 .2111 .8008

Ujian Lokal .3708* .11238 .006 .0907 .6509

PPA SNMPTN -.5060* .11833 .000 -.8008 -.2111

Ujian Lokal -.1352 .10635 .449 -.4002 .1299

Ujian Lokal SNMPTN -.3708* .11238 .006 -.6509 -.0907

PPA .1352 .10635 .449 -.1299 .4002

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Berdasarkan table Post Hoc Test untuk melihat ada tidaknya perbedaan dapat dilihat dari ada atau

tidaknya tanda * di ujung bilangan pada kolom mean difference (perbedaan tara-rata). Dalam Post

Hoc Test tahap ini akan diuji signifikansi perbedaan rata-rata IPK mahasiswa berdasarkan jalur

masuk.

1) Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA

Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,5060 dan pada kolom 95%

confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,2111 sampai 0,8008

Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk

melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis

sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN

dan Jalur PPA.

Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan

Jalur PPA.

Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:

- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.

- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:71)

Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.000 < 0,05 maka Ho ditolak

atau terdapat perbedaan rata-rata IPK yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA.

Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *. Perbedaan

rata-rata IPK mahasiswa jalur SNMPTN lebih besar dari jalur PPA. Dengan demikian IPK

mahasiswa jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa jalur PPA.

Page 223: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 215

2) Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui jalur SNMPTN dan jalur Ujian Lokal

Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh 0,3708 dan pada kolom 95%

confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara 0,0907sampai 0,6509.

Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang nasuk

melalui jalur SNMPTN dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik

hipotesis sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN

dan Jalur Ujian Lokal

Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur

Ujian Lokal

Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:

- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.

- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:72)

Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabolitasnya adalah 0.006 < 0,05 maka Ho ditolak

atau terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur SNMPTN dan Jalur

Ujian Lokal. Perbedaan tersebut sangat signifikan karena pada perbedaan rerata terdapat tanda *.

Perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari jalur SNMPTN lebih besar dari jalur Ujian

Lokal. Dengan demikian IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih unggul daripada mahasiswa Jalur

Ujian Lokal.

3) Uji signifikansi IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

Pada kolom Mean Difference atau perbedaan rata-rata diperoleh - 0,1352 dan pada kolom 95%

confidence interval terlihat perbedaan rata-rata tersebut berkisar antara -0,4002 sampai 0,1299.

Selanjutnya dilakukan uji signifikansi perbedaan rata-rata IPK antara mahasiswa yang masuk

melalui jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal. Berdasarkan probabilitas yang ada dapat ditarik hipotesis

sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan

Jalur Ujian Lokal

Ha: Terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur

Ujian Lokal

Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:

- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.

- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:71)

Pada Tabel Post Hoc Test terlihat bahwa probabilitasnya adalah 0,449 0,05 maka Ho diterima

atau tidak terdapat perbedaan rata-rata IPK mahasiswa yang masuk melalui Jalur PPA dan Jalur

Ujian Lokal.

c. Perbedaan IPK Mahasiswa berdasarkan Jalur Masuk dan asal sekolah serta interaksinya.

Selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan Uji ANOVA dua jalur yang bertujuan

untuk mengetahui apakah ada interaksi (hubungan) yang signifikan antara dua faktor, yang dalam

kasus ini akan diuji apakah ada interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK

Mahasiswa .

Hipotesis dalam kasus ini sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap

IPK Mahasiswa.

Ha: Terdapat interaksi interaksi antara Jalur masuk UIN Bandung dengan asal sekolah terhadap

IPK Mahasiswa.

Page 224: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

216 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Pengambilan keputusan dari hipotesis diatas yaitu:

- Jika nilai probabilitas > 0,05 maka Ho diterima.

- Jika nilai probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak. (Kariadinata, 2010:69)

Tabel 14.

Uji ANOVA Interaksi Dua Jalur

Dependent Variable : IPK

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Jalur masuk * Asal sekolah .076 2 .038 .208 .813

Pada Tabel 14 terlihat bahwa nilai F hitung untuk interaksi jalur masuk dan asal sekolah (Jalur

masuk * asal sekolah) adalah 0,208 dengan probabilitas 0,813. Karena probabilitas > 0,05 maka Ho

diterima atau tidak terdapat interaksi antara Jalur masuk dengan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa. Interaksi antara Jalur masuk dan asal sekolah tersaji pada Gambar 8

Gambar 8. Interaksi IPK mahasiswa berdasarkan Jalur masuk dan asal sekolah

Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jalur masuk dan asal sekolah

terhadap IPK mahasiswa. Berikut ini uraian tentang grafik interaksi tersebut :

a) Mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur SNMPTN (garis putus-putus paling

atas), IPKnya lebih baik daripada mahasiswa yang berasal dari SMA dan MA pada Jalur PPA

(garis putus-putus yang tengah ) dan Jalur Ujian Lokal (garis paling bawah)

b) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa

yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.

c) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPK nya lebih baik daripada mahasiswa

yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal.

d) Terlihat perbedaan yang sangat tipis antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur

Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.

Selanjutnya semua hipotesis yang telah diuji dirangkum dalam Tabel 15

Page 225: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 217

Tabel 15.

Rangkuman Pengujian Hipotesis pada Taraf Signifikansi 5%

Permasalahan Hipotesis

Penelitian

Jenis Uji

Statistik

Pengujian

Ho Hasil Uji

Perbedaan IPK mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan

Jalur Ujian Lokal

1(a) ANOVA satu

jalur Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN, Jalur PPA dan

Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal

sekolah

1(b) ANOVA dua

jalur Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA 2(a) Scheffe Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN dan Jalur PPA

berdasarkan asal sekolah

2 (b) ANOVA dua

jalur Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian

Lokal

3(a) Scheffe Ho ditolak Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur SNMPTN dan Jalur Ujian

Lokal berdasarkan asal sekolah

3 (b) ANOVA dua

jalur Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal

4(a) Scheffe Ho diterima Tidak berbeda

signifikan

Perbedaan IPK Mahasiswa yang masuk

melalui Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal berdasarkan asal sekolah

4 (b) ANOVA dua

jalur Ho ditolak

Berbeda

signifikan

Keterkaitan (interaksi) antara jalur

masuk dan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa

5 ANOVA dua

jalur Ho ditolak

Tidak terdapat

interaksi

2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian perbedaan rata-rata IPK terjadi berdasarkan asal sekolah yang

menempatkan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA lebih unggul dari mahasiswa yang

berasal dari MA. Hal ini terjadi karena karakteristik mata pelajaran di SMA yang berbeda dengan

mata pelajaran di MA. Walaupun untuk mata pelajaran umum di MA kurikulumnya sama dengan

SMA. Di MA masih ada tambahan pelajaran Agama sedangkan di SMA cukup satu jenis pelajaran

agama yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Sehingga jumlah mata pelajaran di MA lebih banyak

dibandingkan dengan di SMA.

Mata kuliah kematematikaan yang diberikan di Prodi Pendidikan Matematika merupakan

pengembangan mata pelajaran matematika yang ada di tingkat menengah atas. Sehingga apabila

kualitas penguasaan materi seorang siswa pada pelajaran matematika di tingkat menengah atas

kurang baik maka akan berpengaruh pada penguasaan materi siswa tersebut apabila menjadi

mahasiswa perkuliahan di Perguruan Tinggi. Sementara itu berdasarkan data empiris kualitas SMA

pada umumnya lebih baik daripada MA dari segi sarana, proses pembelajaran dan latar belakang

siswa yang masuk ke MA.

Berdasarkan data pada pembahasan sebelumnya IPK mahasiswa semester I sampai V pada

mahasiswa Jalur SNMPTN didapat rata-ratanya 3,25 (amat baik), Jalur PPA dengan rata-rata 2,75

dan Jalur Ujian Lokal dengan rata-rata 2,86. Jalur SNMPTN merupakan jalur yang memiliki rata-

rata IPK paling unggul dan berpredikat amat baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang

Page 226: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

218 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur

SNMPTN adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi di bidang pendidikan matematika

sehingga mereka bisa lolos dalam SNMPTN. Berdasarkan data didapat pula bahwa mahasiswa

yang diterima melalui jalur SNMPTN dan berasal dari SMA, nilai mata kuliah yang termasuk

kelompok kompetensi utama (lihat Tabel 5) pada umumnya baik. Selain itu, kompetisi melalui

jalur ini sangat ketat dan berskala nasional, SNMPTN memang sarat dengan persaingan. Tingginya

persaingan, membuat calon mahasiswa harus pintar-pintar menetapkan strategi, baik pemilihan

jurusan maupun dalam pengerjaan soal. Persaingan untuk mendapatkan kursi melalui Jalur

SNMPTN dari tahu ke tahu tahun semakin ketat.

Tes tertulis pada SNMPTN tidak sama dengan ujian nasional maupun dengan ujian-ujian lainnya.

Jika menjawab soal benar memiliki bobot nilai 4, kalau kosong nilai 0. Sedangkan jika salah, nilai

akan dikurangi 1. Dengan demikian calon mahasiswa harus berhati-hati, tidak bisa asal jawab.

karena kalau salah berimbas pada nilai. Tingkat kesulitan pada soal SNMPTN lebih tinggi

dibandingkan ujian nasional. Terlebih, variasi soal yang diberikan, membuat calon mahasiswa

harus lebih cermat atau teliti. Soal-soal dalam SNMPTN adalah soal-soal yang dibuat oleh para

ahli yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Sehingga mereka yang lolos Jalur SNMPTN adalah

calon mahasiswa yang unggul.

Pada urutan kedua jalur masuk Ujian Lokal merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan

predikat baik. Hal ini mmengindikasikan bahwa kebanyakan mahasiswa yang masuk ke Prodi

Pendidikan Matematika di UIN Sunan Gunung adalah mahasiswa yang berprestasi dan berpotensi

dibidang pendidikan matematika sehingga mereka bisa lolos pada jalur Ujian Lokal. Soal-soal

dalam jalur Ujian Lokal adalah soal-soal yang dibuat oleh para ahli dicivitas akademika UIN

Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Hanya saja dalam soal-soal

pada jalur Ujian Lokal tidak di klasifikasikan sesuai dengan jurusan yang diambil oleh mahasiswa

melainkan disamaratakan, sehingga fakta dilapangan banyak calon mahasiswa yang mengeluhkan

penyamarataan soal-soal Ujian Lokal tersebut.

Pada urutan ketiga jalur masuk PPA merupakan jalur yang memiliki rata-rata IPK dengan predikat

baik. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa yang masuk ke Prodi Pendidikan Matematika di

UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui jalur PPA adalah mahasiswa yang berprestasi sehingga

mereka bisa lolos pada jalur PPA. Sebagaimana persyaratan mengikuti jalur ini. Mahasiswa yang

masuk melalui jalur ini adalah mahasiswa yang memiliki prestasi sepuluh besar disekolahnya.

Namun karena setiap sekolah memiliki kualitas yang berbeda baik itu dalam segi akademik

maupun sarana yang ada, sehingga meskipun mahasiswa bersangkutan memiliki prestasi sepuluh

besar dari asal sekolahnya tapi belum tentu akan memiliki prestasi yang sama di bangku

perkuliahan. Hal tersebut bergantung pada usaha yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut dalam

mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi yang dimiliki.

Berdasarkan analisis didapat bahwa tidak terdapatnya keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan

asal sekolah terhadap IPK mahasiswa. Hal ini mengindikasikan bahwa jalur masuk dan asal

sekolah tidak berpengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi

keberhasilan akademik mahasiswa diantaranya motivasi, minat, kerja keras , lingkunga keluarga

dan lingkungan kampus.

E. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,

maka penelitian ini disimpulkan sebagai berikut

1. IPK mahasiswa berdasarkan Jalur SNMPTN, Jalur PPA, dan Jalur Ujian Lokal ditinjau dari

a. Keseluruhan :

1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur

PPA dan Jalur Ujian Lokal.

Page 227: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 219

2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan

Jalur PPA.

(i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur PPA.

(ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN

adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,7486.

3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN dengan

Jalur Ujian Lokal.

(i) IPK mahasiswa Jalur SNMPTN lebih baik daripada IPK mahasiswa Jalur Ujian

Lokal.

(ii) Bila ditinjau dari rata-rata IPK, didapat rata-rata IPK mahasiswa Jalur SNMPTN

adalah 3,2546 sedangkan rata-rata IPK mahasiswa Jalur PPA adalah 2,8838

4) Tidak terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur PPA dengan

Jalur Ujian Lokal.

b. Asal sekolah :

1) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara yang masuk melalui Jalur SNMPTN, Jalur

PPA dan Jalur Ujian Lokal berdasarkan asal sekolah.

2) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari

SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA dan MA.

(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.

(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881

dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432

(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA.

(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200

dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080

(v) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian Lokal.

(vi) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200

dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA dan Jalur Ujian

Lokal masing-masing adalah 2,9432 dan 2,7921

3) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur SNMPTN yang berasal dari

SMA dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA.

(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.

(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur SNMPTN adalah 3,2881

dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah

2,7921

(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal.

(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur SNMPTN adalah 3,0200

dan rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal adalah

2,7600

4) Terdapat perbedaan IPK mahasiswa antara mahasiswa Jalur PPA yang berasal dari SMA

dan MA dengan mahasiswa Jalur Ujian Lokal yang berasal dari SMA dan MA.

(i) Mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal.

(ii) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA adalah 2,9432 dan

rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah

2,7921.

(iii) Mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA, IPKnya lebih baik daripada

mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur Ujian Lokal

Page 228: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

220 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

(iv) Rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari MA pada Jalur PPA adalah 2,7080 dan

rata-rata IPK mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur Ujian Lokal adalah

2,7600

(v) Perbedaan yang sangat tipis terlihat antara IPK mahasiswa yang berasal dari MA

pada Jalur Ujian Lokal dengan mahasiswa yang berasal dari SMA pada Jalur PPA.

5) Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antara jalur masuk dan asal sekolah terhadap IPK

mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa jalur masuk dan asal sekolah tidak memberikan

pengaruh terhadap IPK mahasiswa. Banyak faktor yang mempengaruhi IPK mahasiswa

diantara minat, motivasi, usaha dan lingkungan kampus serta lingkungan keluarga.

2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan poembahasan, maka dikemukakan saran sebagai berikut :

1. Bagi pihak UIN Sunan Gunung Djati Bandung seskiranya dapat terus meningkatkan kualitas

baik itu dalam segi penyeleksian calon mahasiswa yang berasal dari berbagai asal sekolah dan

jalur masuk. Terutama dalam pembuatan soal pada Ujian Lokal , diharapkan dapat disesuaikan

dengan Jurusan ataupun Program Studi yang dituju oleh calon mahasiswa.

2. Bagi pihak Prodi Pendidikan Matematika sekiranya dapat merekomendasikan kepada pihak

UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk memperbanyak mahasiswa yang berasal dari SMA

dan mahasiswa yang melalui jalur SNMPTN.

Daftar Pustaka

Arikunto Suharsimi. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Rhineka

Cipta

________________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta.

Depdiknas. 2011. Buku Panduan Peserta SNMPTN 2011. http://snmptn.ac.id. Akses tanggal 20

April 2011(11:15 AM)

Dimasheri. 2008. SNMPTN Dulu dan Kini. http://neutronik.wordpress.com. Akses tanggal 20 April

2011(11:45 AM)

Kariadinata Rahayu. 2010. Modul Praktikum Mengolah Data Statistik Inferensial dengan SPSS 17.

Bandung: Tidak dipublikasikan.

Nurgana Endi. 1985. Statistika untuk Penelitian. Bandung:Permadi.

Setiawan Beni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional.Yogyakarta: Ar-Aruz Media Group.

Sudarman Paryati. 2004. Belajar Efektif di Perguruan Tinggi. Bandung: Simbiosa Rekatama

Media.

Sudjana Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: Remaja Rosda Karya

Sudjana. 2006. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suryabrata Sumadi. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suryana Yaya dan Tedi Priyatna. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Azkia Pustaka

Utama.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Buku Panduan Penerimaan Mahasiswa Baru UIN

Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2008/2009. Bandung : UIN Sunan Gunung

Djati Bandung.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2008. Petunjuk Penerimaan Calon Mahasiswa Melalui

Penelusuran Potensi Akademik. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Buku Panduan Akademik Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun akademik 2007/2008. Bandung : UIN

Sunan Gunung Djati Bandung.

UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2007. Kurikulum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung

Djati bandung. Bandung : UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

UNSRI. 2008. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2008.

http://snmptn2008UNSRI.wordpress.com. Akses tanggal 20 April 2011(10:06 AM)

Page 229: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 221

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL CORE

Oleh: Ellisia Kumalasari

Jurusan Pendidikan Matematika, MIPA

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

antara siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan pembelajaran model CORE dan siswa

yang mendapatkan pembelajaran dengan pembelajaran konvensional. Subyek populasi dalam penelitian ini

adalah siswa SMP dengan kriteria sekolah peringkat: baik, sedang, dan rendah. Berdasarkan hasil analisis

data, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran matematika dengan model CORE dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Selain itu, faktor peringkat sekolah tidak berpengaruh

terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis tersebut. Pembelajaran dengan model

CORE dapat menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan di Sekolah Menengah

Pertama mana saja tidak tergantung tingkat peringkat sekolah. Kata kunci : CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending), Pemecahan Masalah Matematis. A. Pendahuluan

Pada era sekarang ini, pendidikan nasional sedang mengalami perubahan-perubahan ke arah yang

lebih baik. Salah satu faktor utama yang mendorong perubahan tersebut adalah perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan

memiliki kemampuan untuk memproses informasi sehingga dapat digunakan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat bersaing dalam menghadapi tantangan global.

Berbicara mengenai pendidikan, tidak lengkap bila tidak melibatkan matematika sebagai salah satu

mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah dan memiliki peran besar dalam dunia pendidikan.

Keberadaan matematika menjadi posisi sentral karena dua alasan, yaitu (1) Ilmu Pengetahuan dan

teknologi (IPTEK) sejak tahun 1940 menegaskan bahwa kita hidup di peradaban sains dan (2)

Perangkat keilmuan yang mendukung peradaban sains dan teknologi seperti fisika, kimia,

keteknikan, sains manajemen, ilmu ekonomi, sains biologi dan medis, serta sains behavorial, yang

kesemuanya memerlukan matematika untuk pemahaman dan pengembangan lebih lanjut

(Wahyudin, 2008). Senada dengan yang disampaikan di atas, Santosa (Hudojo, 2001) menyatakan

bahwa salah satu aspek pendorong negara-negara maju dapat berkembang hingga sekarang,

ternyata 60% - 80% karena menggantungkan pada matematika. Begitupun bagi Indonesia sebagai

negara yang sedang berkembang sudah seharusnya turut serta melibatkan matematika dalam dunia

pendidikan.

Dalam proses belajar-mengajar, matematika merupakan suatu arena bagi siswa-siswa untuk

menyelesaikan suatu masalah dan memperoleh kepercayaan bahwa untuk menghasilkan suatu

penyelesaian yang benar bukan hanya dari perkataan gurunya, tetapi karena logika berpikir dari

siswa tersebut dan proses memecahkan masalah yang dilaluinya. Menurut Sumarmo (1994)

kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu hasil belajar yang akan di capai dalam

pengajaran matematika di tingkat sekolah manapun.

Siswa yang dapat memecahkan masalah adalah siswa yang memiliki kemampuan memandang

sesuatu dengan cara yang berbeda sehingga siswa tersebut dapat memecahkan masalah secara

kreatif agar dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan siswa yang lain. Ironisnya

kemampuan pemecahan masalah siswa bahkan mahasiswa masih kurang. Hasil studi internasional

dalam bidang matematika dan IPA (TIMSS) untuk kelas dua SLTP, menunjukkan bukti bahwa

soal-soal matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada

umumnya tidak berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia yang mengikuti studi

Page 230: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

222 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

itu, prestasi Indonesia di bawah rata-rata (Gulo, 2009). Selain itu Hendrayana (2008) menyatakan

bahwa hasil nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa SMP kurang dari 50% dari skor

maksimal. Dari data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, hal utama yang menjadi perhatian

saat ini adalah meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya pemecahan masalah

matematis siswa.

Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas adalah

pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran model CORE. Seperti yang

diungkap Calfee, et al (2004) bahwa yang dimaksud pembelajaran model CORE adalah model

pembelajaran yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri

dengan cara menghubungkan (connecting) dan mengorganisasikan (organizing) pengetahuan baru

dengan pengetahuan lama kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari (reflecting) serta

diharapkan siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar mengajar

berlangsung (extending). CORE diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat

pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat

pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang

mendapat pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional jika dilihat dari peringkat sekolah?

D. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian dan diperoleh hasil yang baik, maka diharapkan penelitian ini

dapat memberikan manfaat pada pihak terkait, antara lain:

1. Bagi peneliti: Penelitian ini dapat menjawab keingintahuan serta memberikan informasi

mengenai peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa

melalui pembelajaran model CORE.

2. Bagi sekolah: Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan atau

menerapkan pembelajaran melalui model CORE di kelas-kelas lain, serta menjadi

pertimbangan bagi pihak sekolah untuk melengkapi fasilitas yang sudah ada agar

pembelajaran dapat berjalan dengan baik.

3. Bagi guru: Jika pembelajaran model CORE ini berhasil maka model ini dapat menjadi

alternatif untuk pembelajaran matematika lainnya guna meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa.

4. Bagi siswa: Melalui pembelajaran model CORE, siswa dapat lebih berpikir kritis dalam

memecahkan masalah, melatih siswa belajar dalam kelompok, menumbuhkan minat siswa

terhadap matematika.

5. Bagi praktisi pendidikan: Mengenalkan model pembelajaran yang dapat dijadikan rujukan

untuk penelitian selanjutnya.

Page 231: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 223

E. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Pembelajaran Model CORE

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Suatu keadaan dapat dikatakan masalah jika seseorang menyadari bahwa keadaan tersebut

memerlukan tindakan dan orang tersebut tidak dapat menemukan pemecahannya saat itu juga.

Gaugh (Fatah, 2008) mendefinisikan masalah sebagai suatu tugas yang apabila kita membacanya,

melihatnya atau mendengarnya pada waktu tertentu, dan kita tidak mampu untuk segera

menyelesaikannya pada saat itu juga. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah diartikan sebagai

suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak

secara mudah dapat dicapai. Dari definisi itu dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai

suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan

memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian

masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip

matematika.

Sumarmo (1994) memaparkan ada beberapa indikator yang harus diperhatikan dalam pemecahan

masalah, diantaranya sebagai berikut:

a) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang

diperlukan;

b) merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik;

c) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)

dalam atau di luar matematika;

d) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal;

e) menggunakan matematika secara bermakna.

Pembelajaran pemecahan masalah dijelaskan Cooney et al. (1975: 242) sebagai berikut “... the

action by which a teacher encourage students to accept a challenging question and guides them in

their resolution”. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu

tindakan (action) yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan

yang ada pada pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya. Jadi

dalam kegiatan pemecahan masalah siswa haruslah memiliki keingintahuan, kemauan, dan merasa

tertantang untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Jika siswa merasa termotivasi untuk

menyelesaikan masalah yang diberikan, maka siswa dengan sendirinya dapat melakukan aktivitas

pemecahan masalah dan guru dapat memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan siswa, serta

pada saat itu secara bersamaan penilaian pemecahan masalah dapat dilakukan guru.

2. Pembelajaran Model CORE

CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) adalah salah satu model pembelajaran yang

berdasarkan pada teori konstruktivisme bahwa siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuannya

sendiri, melalui interaksi diri dengan lingkungannya.

a. Connecting

Connecting berarti menghubungkan. Seperti yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa:

―An effective lesson connects students to the topic. Connectedness is the link between what

the reader knows and what is being learned. Teachers should connect students to the

content and the text structure”. Hal ini perlu diterapkan kepada siswa, karena dengan adanya

koneksi yang baik, maka siswa akan mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan

metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya. Sesuai dengan apa yang

dipaparkan Novak (Susanna, 2003) bahwa dalam belajar orang mengkonstruksi

pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi

sebelumnya.

Page 232: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

224 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

b. Organizing

Organizing digunakan oleh siswa untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang

diperolehnya. Untuk membantu proses pengorganisasian informasi yang didapat siswa bisa

dilakukan dengan cara diskusi kelompok

c. Reflecting

Reflecting merupakan tahap saat siswa memikirkan secara mendalam terhadap konsep yang

dipelajarinya. Menurut Sagala (Tamalene, 2010) refleksi adalah cara berpikir ke belakang

tentang apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Hal ini sejalan dengan

yang dikemukakan oleh Dymock (2005) bahwa: “Reflect is where students explain or

critique content, structures, and strategies”. Jadi siswa mengendapkan apa yang baru

dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau

revisi dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang

apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Dengan proses ini dapat dilihat bahwa

kemampuan siswa menjelaskan informasi yang telah mereka peroleh dan akan terlihat bahwa

tidak setiap siswa memiliki kemampuan yang sama.

d. Extending

Extending adalah tahap saat siswa dapat menggeneralisasikan pengetahuan yang mereka

peroleh selama proses belajar mengajar berlangsung. Sedangkan untuk perluasan

pengetahuan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa. Pengetahuan

deklaratif dan procedural siswa diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti tentang

jawaban atas pertanyan yang mereka miliki, pengetahuan metakognitif meningkat sehingga

mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan

guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model CORE adalah model pembelajaran yang

mengharapkan siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara

menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama

kemudian memikirkan konsep yang sedang dipelajari serta diharapkan siswa dapat

memperluas pengetahuan mereka selama proses belajar-mengajar berlangsung.

F. Metode dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitiannya sebagai berikut :

Kelas Eksperimen : O X O

Kelas Kontrol : O -- O

Keterangan :

O : Pretest dan posttest (tes kemampuan pemecahan masalah matematis)

X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Model CORE

Subyek dalam penelitian ini tiga sekolah, masing-masing mewakili karakteristik secara acak, yaitu:

satu sekolah peringkat baik, satu sekolah peringkat sedang dan satu sekolah peringkat rendah. Dari

level sekolah peringkat baik, peringkat sekolah sedang dan peringkat sekolah rendah dipilih satu

SMP secara acak sederhana. Kemudian dari sekolah tersebut dipilih siswa kelas VII sebagai subyek

sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.

G. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan instrumen dalam bentuk tes yakni

seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis. Dalam

penyusunan soal tes diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun

alternatif jawaban untuk masing-masing butir soal.

Page 233: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 225

Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

sebelum dan setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =skorpretesskorideal

skorpretesskorpostes

(Hake, 1999)

Tabel G.1

Tingkat Perolehan Skor Gain Ternormalisasi

Besarnya Gain (g) Interpretasi

0,7 ≤ 𝑔 ≤ 1 Tinggi

0,3 ≤ 𝑔 < 0,7 Sedang

0 ≤ 𝑔 < 0,3 Rendah

H. Analisis Data dan Pembahasan

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, antara siswa yang

memperoleh pembelajaran model CORE dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional,

maka dilakukan analisis terhadap kelompok data gain ternormalisasi siswa yang memperoleh

pembelajaran model CORE dan gain ternormalisasi siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional. Berikut ini disajikan statistik deskriptif data gain ternormalisasi menurut model

pembelajaran dan kriteria sekolah di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tabel H.1

Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Kriteria

Sekolah

Eksperimen Kontrol

Pretes Postes g Pretes Postes g 𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 𝑿 𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 𝑿 𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 𝑿 𝑿𝒎𝒊𝒏 𝑿𝒎𝒂𝒌𝒔 𝑿

Baik 3 16 7,54 14 30 21,26 0,62 2 19 9.69 10 30 21,08 0,56

Sedang 0 15 8,61 10 30 22,09 0,65 0 14 7,69 10 28 20,96 0,60

Rendah 0 12 6,48 15 30 22,30 0,69 0 11 5,91 10 25 17,91 0,50

Skor ideal = 30

Dari tabel di atas, terlihat pola perbedaan skor prestasi belajar siswa memakai memakai model

kontrol dan eksperimen. Pada kriteria sekolah baik, rata-rata skor kontrol lebih rendah dari rata-rata

skor kontrol pada kriteria sekolah sedang. Namun pada kriteria sekolah sedang, rata-rata skor

kontrol lebih tinggi dari rata-rata skor kontrol pada kriteria sekolah baik dan rendah. Pola tersebut

tidak bersesuaian dengan pola rata-rata kelompok perlakuan eksperimen, dimana rata-rata skor

kriteria sekolah baik lebih rendah dari rata-rata skor kriteria sekolah sedang dan rata-rata skor

kelompok perlakuan eksperimen terus meningkat lebih tinggi seiring menurunnya kriteria sekolah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa antara kriteria sekolah dengan kelompok perlakuan tidak

menunjukkan adanya interaksi yang saling mendukung. Artinya, setelah diberi perlakuan pada

kelas eksperimen, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada tiap-tiap peringkat

sekolah berbeda, dan tidak sejalan dengan peringkat sekolah tersebut. Sekolah dari peringkat

rendah justru hasil peningkatannya jauh lebih tinggi daripada di sekolah dengan peringkat sedang

bahkan jika dibandingkan dengan sekolah peringkat baik. Jadi peringkat sekolah tidak memberikan

pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Untuk

membuktikannya, maka selanjutnya akan dilakukan pengujan komparatif menggunakan Anova dua

jalur.

Page 234: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

226 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

1. Analisis Anova Dua Jalur

Untuk melihat apakah ada atau tidaknya pengaruh faktor perlakuan dan faktor kriteria sekolah serta

interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap aspek-aspek yang diteliti digunakan analisis

menggunakan Anova dua jalur. Jika terdapat perbedaaan yang signifikan, selanjutnya akan

dilakukan pengujian perbandingan berganda antar elemen di dalam masing-masing faktor tersebut.

Berikut akan ditampilkan tabel-tabel berikut sebagai hasil analisis Anova dua jalur untuk

kemampuan pemecahan masalah matematis.

Tabel H.2

Anova Dua Jalur Skor Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Sig.

Kelompok Perlakuan 0,002

Kriteria Sekolah 0,571

Interaksi Kelompok perlakuan dengan

kriteria sekolah 0,170

Dari Tabel di atas tampak bahwa faktor model perlakuan memperoleh nilai sig. sebesar 0,002, nilai

ini lebih kecil dari nilai = 0,05. Hal ini berarti faktor model perlakuan memberi pengaruh yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya,

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa

dikelompokan berdasarkan model perlakuannya.

Berbeda halnya dengan faktor kriteria peringkat sekolah, dari data diketahui nilai sig. dari faktor

kriteria peringkat sekolah adalah 0,571. Nilai ini jauh lebih besar dari nilai = 0,05. Hal ini berarti

bahwa faktor kriteria peringkat sekolah tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Artinya, tidak terdapat perbedaan

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, jika siswa dikelompokkan berdasarkan

kriteria peringkat sekolahnya.

Begitu pula pada faktor interaksi antara model perlakuan dengan kriteria peringkat sekolah yang

nilai sig. lebih besar dari nilai = 0,05, yakni 0,170. Hal ini juga berarti bahwa tidak terdapat

interaksi antara faktor model perlakuan dengan faktor kriteria peringkat sekolah terhadap

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan kata lain, faktor model

perlakuan dan faktor kriteria peringkat sekolah secara bersama-sama tidak memberi pengaruh yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

2. Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara skor kelompok perlakuan kontrol dengan kelompok

perlakuan eksperimen pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis diuji menggunakan

uji t untuk sampel yang saling independen.

Pengujian hipotesis:

H0 : µ1 µ2

H1 : µ1 µ2

α : 5%.

Kriteria pengujian:

H0 ditolak jika p-value < 0,05

H0 diterima jika p-value 0,05

Berikut disajikan tabel uji perbedaan rata-rata antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen

pada aspek kemampuan pemecahan masalah matematis.

Page 235: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 227

Tabel H.3

Uji Perbandingan Rata-rata antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen pada Aspek Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis

Kriteria Sekolah Sig. (2 tailed) Sig. (1 tailed) Kesimpulan

Baik 0,272 0,136 H0 diterima

Sedang 0,397 0,198 H0 diterima

Rendah 0,000 0.000 H0 ditolak

Dari tabel di atas dapat dilihat pada kriteria sekolah berperingkat baik memiliki sig (1 tailed)

sebesar 0,136. Nilai ini lebih kecil dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan

peringkat baik, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,

walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.

Begitu pula pada kriteria sekolah berperingkat sedang yang memiliki sig (1 tailed) sebesar 0,198.

Nilai ini lebih besar dari =0,05 sehingga H0 diterima. Jadi untuk sekolah dengan peringkat

sedang, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,

walaupun kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.

Lain halnya dengan sekolah peringkat rendah, nilai sig.( 1 tailed) sekolah ini sebesar 0,000. Nilai

ini kurang dari =0,05 sehingga H0 ditolak dan hipotesis diterima. Jadi untuk sekolah dengan

peringkat rendah, terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol,

dimana kelompok eksperimen yang lebih baik daripada kelompok kontrol.

3. Uji Perbandingan Berganda antara Kriteria Sekolah dengan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis

Uji ini digunakan untuk mengetahui perbandingan skor antar peringkat sekolah mana yang lebih

baik dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah matematis siswa.

Tabel H.4

Uji perbandingan Berganda Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Games-

Howell

Kriteria Sekolah

( I )

Kriteria Sekolah

( J )

Mean Difference

( I – J ) Sig.

Baik Sedang -0,0376 0,610

Rendah -0,0027 0,997

Sedang Baik 0,0376 0,610

Rendah 0,0349 0,620

Rendah Baik 0,0027 0,997

Sedang -0,0349 0,620

Pada tabel di atas dapat kita lihat sekolah mana yang lebih baik peningkatannya dalam aspek

kemampuan pemecahan masalah. Pada kemampuan pemecahan masalah ini, sekolah peringkat baik

jika dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang menempati peringkat terakhir. Hal ini karena

peningkatan pada sekolah peringkat baik lebih kecil dibanding dengan peningkatan pada sekolah

sedang dan rendah. Jika dilihat dari mean difference, sekolah peringkat sedang lebih baik dari

sekolah peringkat baik dengan mean difference 0,0376. Begitu pula jika dibandingkan dengan

sekolah peringkat rendah yang lebih baik dari sekolah peringkat baik dengan mean difference

sebesar 0,0027. Akan tetapi jika sekolah peringkat sedang dibandingkan dengan sekolah peringkat

rendah, masih jauh lebih baik sekolah peringkat sedang dengan mean difference 0,0349. Perbedaan

peningkatan antara semua sekolah tidak signifikan, karena nilai sig. lebih besar dari = 0,05.

Page 236: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

228 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

I. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian selama pembelajaran matematika melalui model CORE dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok eksperimen, siswa yang

belajar dengan model CORE, lebih baik daripada kelompok kontrol, siswa yang belajar

melalui konvensional.

2. Jika dilihat dari peringkat sekolahnya, baik sekolah dengan peringkat baik, sedang dan

rendah, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat

pembelajaran matematika melalui model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Calfee, et al. (2004). Making Thingking Visible. National Science Education Standards.University

of California, Riverside

Cooney, et al. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton

Mifflin Company.

Dymock, S. (2005). Teaching Expository Text Structure Awareness. New Zealand: School of

Education – University of Walkato.

Fatah, A. (2008). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui

Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung:

Tidak diterbitkan.

Gulo.S. (2009). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam

Matematika melalui Pendekatan Advokasi. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak

diterbitkan

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:

http://www.physics.indiana.edu/∼sdi/Analyzingchange-Gain.pdf

Hendrayana, A. (2008). Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika. Tesis Magister pada SPs UPI

Bandung: Tidak diterbitkan

Hudojo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Universitas

Negeri Malang. Malang

Polya, G.(1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Methods. New Jersey: Pearson

Education, Inc.

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan

Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP

Bandung:tidak diterbitkan.

Susanna S. Epp. (2003) The American Monthly: “The Role of Logic in Teaching Proof”. Volume

110, number 10, December 2003

Tamalene, H. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Model CORE melalui Pendekatan

Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis

Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: Tidak

diterbitkan.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran (Pelengkap Untuk

Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional).

Bandung

Page 237: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 229

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE

THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS)

UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN ADAPTIF SISWA SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas X SMAN 6 Bandung)

Oleh : Ibrahim Sani Ali Manggala

Abstrak

Matematika memegang peran penting dalam kehidupan termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah

satu aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah penalaran adaptif. Sebagai tindak lanjut, maka dilakukan

penelitian kuasi eksperimen untuk mengetahui kualitas peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa

SMA melalui pembelajaran matematika dengan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).

Sampel yang dipilih secara acak yang terdiri atas dua kelas dari keseluruhan kelas dalam satu SMA yang

selanjutnya salah satu dijadikan sebagai kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran matematika

dengan metode TAPPS dan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran matematika dengan metode non-

TAPPS (pembelajaran biasa). Dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen, instrumen yang digunakan

dalam pengumpulan data penelitian ini adalah tes penalaran adaptif bentuk uraian untuk mengetahui

kemampuan penalaran adaptif siswa sebelum perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Selain itu, lembar

observasi digunakan untuk memastikan keberlangsungan pembelajaran dan hal-hal yang ditemukan selama

pembelajaran. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan penalaran

adaptif siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode TAPPS secara signifikan lebih baik dari pada

siswa yang mendapat pembelajaran metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).

Kata kunci:

metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), penalaran adaptif.

LATAR BELAKANG MASALAH

Matematika memegang peran penting dalam kehidupan termasuk kemampuan berpikir tingkat

tinggi. Salah satu aspek berpikir matematis tingkat tinggi adalah penalaran adaptif. Namun pada

kenyataannya masih banyak siswa-siswa mengalami kesukaran dalam penalaran. Menurut laporan

hasil studi TIMSS 1999 yang dilakukan di 38 negara yang salah satunya termasuk Indonesia,

Mullis, dkk (dalam Suryadi, 2005:2) antara lain menjelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran

matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik siswa. Belum banyak

pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan penalaran terutama

penalaran adaptif sehingga diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan

kemampuan penalaran adaptif siswa.

RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―Apakah peningkatan kemampuan penalaran adaptif

siswa melalui pembelajaran matematika dengan metode TAPPS secara signifikan lebih baik

dibandingkan dengan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa)?‖

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan

penalaran adaptif siswa yang melalui pembelajaran matematika menggunakan metode

pembelajaran TAPPS secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan metode non-TAPPS

(pembelajaran biasa). Ada pun manfaat untuk berbagai pihak di antaranya pembelajaran

matematika dengan metode TAPPS diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif

siswa. Selain itu metode pembelajaran ini dapat menjadi alternatif metode pembelajaran yang dapat

meningkatkan penalaran adaptif siswa di sekolah. Sekolah dapat merekomendasikan penggunaan

metode pembelajaran TAPPS sebagai aternatif pada materi yang lain atau bahkan pada mata

pelajaran yang lain dalam rangka meningkatkan prestasi di sekolah.

Page 238: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

230 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

TEORI

Kilpatrick, et al. (2001:116) menyimpulkan bahwa terdapat lima jenis kompetensi matematis yang

perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di sekolah, di antaranya adalah Conseptual

understanding (Pemahaman Konsep), Procedural fluency (Kemahiran Prosedural) Strategic

competence (Kompetensi Strategis), Adaptive reasoning (Penalaran Adaptif), dan Productive

disposition (Sikap Produktif). Dari uraian di atas, nampak bahwa penalaran adaptif merupakan

salah satu bagian tak terpisahkan dari kompetensi matematik lainnya sekaligus memiliki peranan

penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Penalaran merupakan

salah satu aspek kompetensi dasar matematika. Dengan penalaran ini, siswa merasa yakin bahwa

matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan dan dievaluasi. Penalaran merupakan tahapan

berpikir matematik tingkat tinggi, mencakup kapasitas untuk berpikir secara logis dan sistematis.

Salah satu kelebihan dari penalaran adaptif adalah kemampuan untuk memeriksa pekerjaan

seseorang. Pengertian memeriksa di sini maksudnya ―menyediakan untuk dinalar‖ (Kilpatrick, et

al. 2001:130). Bukti adalah bentuk pemeriksaan, tetapi tidak semua pemeriksaan adalah

pembuktian. Pemeriksaan dan pembuktian adalah ciri khas matematika formal, yang seringkali

terlihat dimiliki siswa senior.

Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pertama kali diperkenalkan oleh

Claparade, yang kemudian digunakan oleh Bloom dan Broder untuk meneliti proses pemecahan

masalah pada siswa SMA. Art Whimbey dan Jack Lochhead telah mengembangkan metode ini

pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa di kelas dibagi menjadi

beberapa tim, setiap tim terdiri atas dua orang. Satu orang siswa menjadi Problem Solver dan satu

orang lagi menjadi Listener. Setiap anggota tim memiliki tugas masing-masing yang akan

mengikuti aturan tertentu (Stice, 1987).

Menurut Whimbey dan Lochhead (dalam Hartman, 1998), metode ini menggambarkan pasangan

yang bekerja sama sebagai Problem Solver dan Listener untuk memecahkan suatu permasalahan,

dan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa memiliki tugas masing-masing, dan guru

dianjurkan untuk mengarahkan siswa sesuai prosedur yang telah ditentukan. Satu orang siswa

menjadi Problem Solver. Hal yang pertama harus dia lakukan adalah membaca soal dan kemudian

dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah

dalam soal tersebut. Satu orang lagi sebagai Listener. Seorang Listener harus membuat Problem

Solver tetap berbicara. Tugas utama seorang Listener adalah memahami setiap langkah maupun

kesalahan yang dibuat Problem Solver. Seorang Listener yang bagus tidak hanya mengetahui

langkah yang diambil Problem Solver tetapi juga memahami alasan yang digunakan untuk memilih

langkah tersebut. Listener harus berusaha untuk tidak menyelesaikan masalah Problem Solver.

Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila telah terjadi kesalahan tetapi tidak

menyebutkan letak kesalahannya. Setelah suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa saling

bertukar tugas. Sehingga semua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi Problem Solver dan

Listener.

Terdapat nilai nyata menggunakan metode TAPPS ini di dalam kelas. Seperti yang diungkapkan

oleh Whimbey dan Lochhead bahwa metode ini telah diperagakan dan sangat efektif untuk

membantu siswa belajar. Selain itu, Kyungmoon Jeon (1995) mengatakan bahwa metode TAPPS

lebih efektif dalam mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, terutama

dalam mengingat kembali konsep-konsep yang terkait serta dalam menyelesaikan soal matematika.

Sejalan dengan pendapat di atas, Caruso dan Tudge (Majumder, 2006) mengungkapkan bahwa

metode TAPPS adalah metode yang efektif dan efisien membangun kemampuan menjelaskan

analitis siswa karena metode ini melibatkan pertukaran konsepsi antar siswa, yang membantu

mereka meningkatkan pembelajaran dan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran sehingga

membantu mereka dalam memahami konsep dengan pemahaman yang lebih baik.

Page 239: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 231

Metode TAPPS ini mengacu pada dua teori yaitu teori interaksi sosial Piaget dan teori Vygotsky

tentang perkembangan sosial. Dalam teorinya, Piaget (Sujiono, 2009:58) percaya bahwa anak-anak

itu membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan. Sehubungan dengan hal

tersebut terdapat dua teori yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses

asimilasi terjadi ketika seorang anak menerima konsep, keterampilan dan informasi yang diperoleh

dari pengalaman mereka dengan lingkungan dalam rangka mengembangkan pola atau skema

pemahaman, sedangkan proses akomodasi terjadi ketika skema mental harus diubah untuk

menyesuaikan dengan konsep, keterampilan dan informasi baru. Jika teori Piaget dikaitkan dengan

metode pembelajaran TAPPS yang terdapat kolaborasi antar siswa maka diharapkan dapat

meningkatkan pemahaman dan penalaran siswa terhadap suatu konsep serta lebih mampu

memecahkan masalah-masalah kompleks.

Selain Piaget, metode TAPPS juga berhubungan dengan teori Vygotsky. Vygotsky (Sujiono,

2009:60) berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain,

melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa

belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajar

aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Metode TAPPS

mengharuskan siswa untuk mengartikulasikan pikiran mereka kepada seorang listener ketika

mereka memecahkan masalah yang diajukan. Dalam proses tersebut, siswa belajar untuk

mengorganisasikan dan menilai kualitas pemikiran mereka sendiri. Sebagai listener, siswa belajar

untuk menghargai berbagai cara logis yang digunakan oleh problem solver dalam memecahkan

suatu masalah.

HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : ―Peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA

melalui pembelajaran matematika menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem

Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika

menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).‖

METODE DAN DESAIN PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen karena subjek yang

akan diteliti merupakan siswa-siswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-masing,

sehingga tidak dimungkinkan untuk membuat kelompok baru secara acak. Desain yang digunakan

adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen. Pada desain ini, peneliti mengelompokkan tidak

secara acak, tetapi peneliti memilih dua kelompok secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai

kelompok eksperimen dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol. Kedua kelompok diberikan

tes awal dan tes akhir. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yang berbeda dengan

kelompok kontrol. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah pembelajaran

dengan metode TAPPS dan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran adaptif siswa SMA.

Diagram desain penelitiannya sebagai berikut:

O X O

---------------------

O O (Ruseffendi, 1994:47)

Keterangan:

O = Pretes/Tes awal atau Postes/Tes akhir

X = Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS

Page 240: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

232 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen sebagai alat pengumpul data, yaitu tes dan non-

tes. Instrumen soal tes untuk mengetahui kemampuan penalaran adaptif siswa yang memuat lima

butir soal uraian. Instrumen non-tes terdiri atas lembar observasi. Data yang diperoleh dari

instrumen tersebut akan diolah untuk dianalisis menyangkut data hasil tes awal, data hasil tes akhir,

pengamatan terhadap aktivitas siswa dan pengamatan terhadap pengelolaan metode TAPPS.

Tes penalaran matematik dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum pembelajaran (tes awal) dan

sesudah pembelajaran (tes akhir). Tes ini diberikan kepada kelompok eksperimen yang

memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS dan kelompok kontrol yang memperoleh

pembelajaran biasa/konvensional. Tes kemampuan penalaran adaptif diberikan pada kelompok

eksperimen yang terdiri dari 36 siswa dan kelompok kontrol terdiri dari 36 siswa.

Pada tes awal kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu

34,92 pada kelompok kontrol dan 38,61 pada kelompok eksperimen. Secara sekilas terlihat sedikit

perbedaan, namun perlu diuji secara statistik. Dalam pengujian statistik, kedua kelompok diuji

normalitas. Pada pengujian normalitas, diperoleh bahwa data tes awal kelompok kontrol tidak

berdistribusi normal, sedangkan data tes awal kelompok eksperimen berdistribusi normal dengan

taraf signifikan 5%. Karena salah satu data kelompok tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan

dengan uji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji non-parametrik yaitu uji Mann-

Whitney U pada taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software SPSS for

windows menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor-skor kedua

kelompok. Dengan kata lain, rata-rata skor kedua kelompok dapat dikatakan bernilai sama.

Cara selanjutnya untuk melihat pembelajaran dengan metode mana yang mengalami peningkatan

lebih baik adalah cukup dengan melihat perbedaan skor rata-rata tes kemampuan akhir penalaran

adaptif siswa kedua kelompok. Hal ini dilakukan karena skor rata-rata tes awal kemampuan

penalaran adaptif siswa adalah sama atau dengan kata lain, kondisi kemampuan penalaran adaptif

siswa-siswa pada kedua kelompok adalah sama. Lain hal jika skor rata-rata tes awal kedua

kelompok berbeda, maka perlu dilihat perbedaaan rata-rata indeks gain kedua kelompok untuk

diketahui kelompok mana yang mengalami peningkatan lebih baik secara signifikan.

Pada tes akhir kemampuan penalaran adaptif siswa diperoleh skor rata-rata kedua kelompok, yaitu

40,83 pada kelompok kontrol dan 51,33 pada kelompok eksperimen. Nampak adanya perbedaan

yang cukup besar antara rata-rata skor tes akhir kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen,

namun perlu diuji secara statistik. Kedua kelompok berdistribusi normal dan homogen dengan taraf

signifikan 5%. Uji selanjutnya adalah uji perbedaan dua rata-rata secara parametrik yaitu uji-t satu

pihak. Setelah melalui perhitungan, diperoleh hasil bahwa skor tes akhir rata-rata kelompok

ekpserimen secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol dengan taraf signifikan 5%.

Berdasarkan pengolahan data hasil tes akhir, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan penalaran

adaptif matematik siswa SMA melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan metode

TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) lebih baik secara signifikan daripada siswa yang

mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran

biasa).

Berdasarkan pengolahan dan analisis data kedua tes masing-masing kelompok, yaitu kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran

adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran matematika dengan menggunakan metode

TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran

biasa). Dengan demikian penerapan metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan penalaran

adaptif siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Whimbey dan Lochhead (1987) serta

Slavin (1995) bahwa metode ini terbukti efektif dalam membantu siswa belajar karena dapat

membentuk suatu pemahaman mendalam terhadap suatu konsep.

Page 241: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 233

Selain itu, hasil penelitian metode TAPPS juga sejalan dengan teori interaksi sosial Piaget dan teori

Vygotsky tentang perkembangan sosial. Teori Piaget menyebutkan bahwa kolaborasi di antara

siswa sangat diperlukan karena kegiatan ini akan menunjukkan pandangan yang berbeda dari yang

lainnya agar dapat memperbaiki dan meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu konsep serta

lebih mampu memecahkan masalah-masalah kompleks dibandingkan dengan siswa yang belajar

secara individu. Selain Piaget, Vygotsky juga berpendapat bahwa pengetahuan tidak diperoleh

dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan

oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dipaksa dari

luar karena anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan

perilaku belajarnya.

Dari hasil observasi, baik terhadap aktivitas siswa, aktivitas guru dan proses pembelajarannya,

metode TAPPS telah berjalan dengan baik dan lancar, walau ada saja kendala-kendala kecil. Kelas

yang memperoleh pembelajaran dengan metode TAPPS, siswa lebih terlihat aktif, komunikatif dan

memiliki semangat yang tinggi dalam memecahkan masalah yang diberikan, meskipun awalnya

mereka terlihat pasif dan bingung. Pembelajaran matematika dengan metode TAPPS ini juga lebih

mudah diterapkan kepada kelas dengan kemampuan siswa yang cukup setidaknya setengah dari

jumlah siswa di kelas tersebut. Jika hal itu tidak terpenuhi maka dimungkinkan akan menemukan

kelompok-kelompok yang berkendala untuk memecahkan masalah yang diberikan. Akibatnya,

guru harus bekerja lebih untuk membantu kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan.

Penerapan metode TAPPS ini memang cocok untuk kelas dengan siswa berjumlah genap sehingga

setiap kelompok memiliki anggota sepasang.

KESIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan

bahwa peningkatan kemampuan penalaran adaptif siswa SMA yang memperoleh pembelajaran

matematika dengan menggunakan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving) secara

signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan

menggunakan metode non-TAPPS (pembelajaran biasa).

REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa rekomendasi

yaitu penelitian terhadap metode pembelajaran TAPPS ini disarankan untuk dilanjutkan dengan

aspek penelitian yang lain pada kajian yang lebih luas, misalnya pada materi, populasi, variabel

yang diperkirakan mempengaruhi kompetensinya ataupun kompetensi matematik lainnya. Selain

itu, metode pembelajaran TAPPS dianjurkan hanya untuk kelas dengan jumlah siswa genap,

sehingga setiap siswa memiliki pasangan.

Page 242: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

234 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Hartman. (1998). Improving Student‟s Problem Solving Skills [Online]. Tersedia :

http://www.ccny.cuny.edu/ctl/handbook/hartman.html[16 Desember 2006]

Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn

Mathematics . Washington, DC: National Academy Press

Kyungmoon, Jeon. (2005). The Effects of Thinking Aloud Pair Problem Solving on High School

Students‟ Chemistry Problem-Solving Performance and Verbal Interactions [Online].

Tersedia: http://jchemed.chem.wisc.edu

/Journal/Issues/2005/OctACS/ACSSub/V82N10/p1558.pdf [16 Desember 2006]

Majumder, Towfiq. (2006). How do students learn to solve problems to develop conceptual

understanding of a subject? [Online]. Tersedia: www.sci.

ccny.cuny.edu/~chemwksp/Posters-Spring2006/Majumder-poster-Sp-6.ppt [16 Desember

2006]

Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.

Semarang : CV. IKIP Semarang Press.

Slavin. (1995). Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) [Online]. Tersedia:

http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/CL/doingcl/tapps.ht [16 Desember 2006]

Stice, J.E. (1987). Teaching Problem Solving [Online]. Tersedia: http://wwwcsi.

unian.it/educa/problemsolving/stice_ps.html [16 Desember 2006]

Sujiono, Yuliani N. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Indeks.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan

Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak

diterbitkan.

Page 243: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 235

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIK SISWA

ANTARA YANG PEMBELAJARANNYA

MENGGUNAKAN TAHAP-TAHAP VAN HIELE

DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Oleh: Rita Rudita

Mahasiswa S-1 Program Studi Pendidikan Matematika

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar matematika khususnya

geometri antara siswa yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan yang

menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen,

karena ada pemanipulasian perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran menggunakan tahap-

tahap Van Hiele dan kelas yang lain mendapat pembelajaran berbasis masalah. Eksperimen dilakukan di satu

SMP di Cianjur, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan hasil belajar siswa antara yang

pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah, diperoleh

kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara yang pembelajarannya

menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah.

Kata Kunci: Hasil Belajar, Tahap-tahap Van Hiele, Pembelajaran Berbasis Masalah.

PENDAHULUAN

Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta

memiliki ketrampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (UU no. 20

tahun 2004).

Namun demikian mutu pendidikan matematika di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, seperti

yang diungkapkan oleh Sunardi (Purniati, 2004 : 2) bahwa dari 433 siswa kelas III SMP yang

diteliti terdapat 86,91% siswa yang menyatakan bahwa persegi bukan persegi panjang, 64,33%

yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan jajar genjang, dan 36,34% siswa yang menyatakan

bahwa pada persegi dua sisi yang berhadapan saling tegak lurus.

Menurut Ruseffendi (1991): agar pembelajaran geometri lebih menarik bagi siswa dan konsep-

konsep geometrinya lebih dapat dipahami siswa secara benar, kita dapat memanfaatkan hasil-hasil

penelitian dalam pembelajaran geometri, misalnya hasil penelitian Van Hiele, karena hasil

penelitian Van Hiele menunjukkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri.

Menurut Van Hiele (Suherman; 2001) tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,

materi pengajaran dan metode pengajaran diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat

meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Selanjutnya

Van Hiele menyatakan terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu: tahap

pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi. Siswa dalam

belajar geometri harus melalui tahapan-tahapan tersebut dan tidak boleh ada tahapan yang

diloncati.

Teori Van Hiele (Tata; 2009) mengemukakan bahwa dalam mempelajari geometri para siswa

mengalami perkembangan kemampuan berpikir dengan melalui tingkat-tingkat berikut:

Tingkat 1 : Tingkat Visualisasi: Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini,

siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan, sesuatu yang holistic. Pada

tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan

demikian meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum

mengamati cirri-ciri bangun dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu bahwa

suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari cirri-ciri dari bangun yang

bernama persegipanjang tersebut.

Page 244: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

236 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tingkat 2 : Tingkat Analisis: Tingkat ini sering disebut juga tingkat deskriptif. Pada tingkat ini

siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan cirri-ciri dari masing-masing bangun

dan siswa sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri. Dengan kata

lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan

mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini

siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu ―

mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku‖.

Tingkat 3 : Tingkat Abstraks: Tingkat ini disebut juga pengurutan atau tingkat relasional. Pada

tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antara ciri yang satu dan ciri yang lain pada

suatu bangun. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang

kita kenal dengan sebutan berfikir deduktif. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa

mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang

berhadapan itu juga sama panjang. Disamping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya

definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara

bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami

bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang karena persegi juga memiliki cirri-ciri

persegipanjang.

Tingkat 4 : Tingkat deduksi formal: Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertia-

pengetian pangkat, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema pada geometri. Pada

tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini bearti bahwa pada

tingkat ini siswa sudah memahami proses berfikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu

menggunakan proses berfikir tersebut.

Tingkat 5 : Tingkat Rigor: Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini siswa

mampu melakukan penalaran secara formal tentang system-sistem matematika (termasuk sistem-

sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini

siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.

Selain Pembelajaran geometri berdasarkan tahap Van Hiele, ada beberapa pendekatan

pembelajaran yang lain, salah satunya adalah pembelajaran berbasis masalah (PBM). Menurut

Herman (2007): Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan

siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat

mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki

ketrampilan untuk memecahkan masalah.

Karakteristik Pembelajaran berbasis masalah: 1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2) Masalah

yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa. 3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar

masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa

dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5)

Menggunakan kelompok kecil. 5) Menuntut siswa untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka

pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.

Metode dan Desain Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan,

dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran berdasarkan tahap-tahap Van Hiele dan kelas yang

lain mendapat pembelajaran berbasis masalah. Pada awal dan akhir pembelajaran kedua kelas

diberi tes sehingga disain penelitiannya adalah sebagai berikut. A O X1 O

A O X2 O

Keterangan: A = Pengambilan sampel secara acak menurut kelas

O = Pretes = Postes

X1 = Pembelajaran berdasarkan tahap-tahap Van Hiele

X2 = Pembelajaran berbasis masalah

Page 245: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 237

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, tes kemampuan awal hasil belajar matematik terhadap kelas

eksperimen-1 dan kelas eksperimen-2 diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan

kemampuan awal hasil belajar matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah,

hal ini dapat dilihat dari hasil tes kemampuan awal kelas eksperimen-1 dengan rerata sebesar 61,5

dan eksperimen-2 dengan rerata 62,6. Seperti pada Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1:

Uji Signifikansi Perbedaan Rata-rata Skor Tes Awal

Kelompok siswa yang

Pembelajarannya X StDev N Uji-t

Interpretasi hitt P

Menggunakan tahap-tahap

Van Hiele 61,5 8,84 39

-0,6 0,539

Tidak

terdapat

perbedaan Berbasis Masalah 62,6 7,21 36

Setelah kelas eksperimen-1 memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van

Hiele dan kelas eksperimen-2 memperoleh pembelajaran berbasis masalah diperoleh perbedaan

rerata antara kelas eksperimen-1 dan kelas eksperimen-2 yaitu 75,2 untuk kelas eksperimen-1 dan

69,3 untuk kelas eksperimen-2, artinya terdapat perbedaan hasil belajar matematik antara siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van Hiele dan siswa yang

memperoleh pembelajaran berbasis masalah. Hasil tes akhir disajikan pada Tabel 2 di bawah:

Tabel 2:

Uji Signifikansi Perbedaan Rata-rata Skor Tes Akhir

Kelompok siswa yang

pembelajarannya X StDev N Uji-t

Interpretasi hitt P

Menggunakan tahap-tahap

Van Hiele 75,2 7,33 39

3,46 0,001 Terdapat

perbedaan Berbasis Masalah 69,3 7,44 36

Karena kelas eksperimen-1 yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan tahap-tahap Van

Hiele mempunyai rerata tes akhir 75,2 dan kelas eksperimen-2 yang memperoleh pembelajaran

berbasis masalah mempunyai rerata tes akhir 69,3, dan diperoleh nilai p = 0,001 lebih kecil dari α =

0,05 berarti bahwa terdapat perbedaan rerata antara kelas eksperimen-1 dengan kelas eksperimen-2

pada α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa

antara yang pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang

menggunakan pembelajaran berbasis masalah.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan hasil belajar siswa antara yang

pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan pembelajaran berbasis masalah,

diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematik siswa antara yang

pembelajarannya menggunakan tahap-tahap Van Hiele dengan siswa yang belajar dengan

pembelajaran berbasis masalah.

Page 246: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

238 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Herman, T (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. UPI

Bandung: Educationist Vol. 1 No.1 Januari 2007.

Purniati, T (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-Tahap Awal Van Hiele

dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common

Textbook JICA, Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA: UPI Bandung.

Tata (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran

dengan Pendektan Metakognitif Berorientasi Teori Van Hiele. Tesis pada SPs

UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Page 247: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 239

PENDIDIKAN KARAKTER TERINTEGRASI DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH

Oleh : Sony Hariana

Abstrak

Tujuan pendidikan nasional merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus

dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi

dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Salah satu prinsip yang digunakan

dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah melalui semua mata pelajaran termasuk

mata pelajaran matematika dalam pembelajaranya di sekolah. Disadari atau tidak, beberapa sekolah

cenderung lebih memperhatikan pembelajaran matematika serta memfasilitasi proses belajar siswa untuk

menguasai berbagai kompetensi matematis, lebih memikirkan ranking sekolah dan prestasi akademik namun

lalai dan cenderung mengabaikan pembentukan karakter peserta didik. Sebaiknya, siswa bukan saja dapat

menguasai berbagai kompetensi matematis namun juga dapat mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai

budaya dan karakter bangsa. Hal ini memberi pengertian bahwa pembelajaran matematika dapat turut

membangun budaya dan karakter bangsa.

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi

diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku

peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas

pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik

menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta

didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai serta menjadikannya perilaku.

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah (di dalam kelas)dilaksanakan mulai

dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran termasuk

mata pelajaran matematika. Sebuah kegiatan belajar (task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas

enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah: tujuan, input, aktivitas, pengaturan

(Setting), peran guru dan peran peserta didik.

A. Pendahuluan

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam

mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, ―Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab‖. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan

mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.

Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan

pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil

internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara

pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma,

seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang

dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu,

pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu

seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka

pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan

budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat

Page 248: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

240 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan

sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta

didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi

mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.

Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat

dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi

generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan

kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya

dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses

internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat,

mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan

bangsa yang bermartabat.

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu

ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan

bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi

untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya

bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta

mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan

budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Adapun prinsip-prinsip

yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu berkelanjutan;

melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; nilai tidak diajarkan tapi

dikembangkan; proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa salah satu prinsip yang digunakan dalam

pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah melalui semua mata pelajaran

termasuk mata pelajaran matematika dalam pembelajaranya di sekolah. Disadari atau tidak,

beberapa sekolah cenderung lebih memperhatikan pembelajaran matematika serta memfasilitasi

proses belajar siswa untuk menguasai berbagai kompetensi matematis, lebih memikirkan ranking

sekolah dan prestasi akademik namun lalai dan cenderung mengabaikan pembentukan karakter

peserta didik. Sebaiknya, siswa bukan saja dapat menguasai berbagai kompetensi matematis namun

juga dapat mengembangkan dan mewujudkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Hal ini

memberi pengertian bahwa pembelajaran matematika dapat turut membangun budaya dan karakter

bangsa.

Para guru, termasuk guru-guru matematika, sebagai agen pembelajaran sekaligus agen perubahan,

dapat menjadi guru-guru terbaik bagi peserta didiknya. Untuk itu, guru dituntut menjadi sumber

inspirasi sekaligus menjadi inspirator bagi mereka. Untuk membentuk karakter setidaknya perlu

tiga hal, yaitu teladan, pembiasaan dan koreksi atau kontrol (Rachman, 2010). Hal ini

mengisyaratkan bahwa membangun karakter tidaklah dapat dilakukan hanya dengan memberikan

materi atau pengetahuan mengenai karakter, tetapi lebih ditekankan pada praktek langsung baik

oleh pendidik (guru) untuk kemudian ditiru oleh peserta didik. Dengan demikian, pendidikan

karakter tidak hanya sekedar lips-service, tetapi satunya kata, pikiran dan tindakan. Guru haruslah

mempunyai karakter tertentu yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) dan menjadi

contoh bagi siswa-siswanya. Berkaitan dengan uraian di atas, penulis akan mencoba untuk

mengupas mengenai ―Pendidikan Karakter Terintegrasi di dalam Pembelajaran Matematika di

Sekolah.”

B. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai,

fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke

Page 249: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 241

dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di

dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran,

selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga

dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan

menginternalisasi nilai-nilai serta menjadikannya perilaku.

Keberhasilan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal 1980-an dicontohkan

Megawangi (2007). Terkandung pertanyaan, apakah pendidikan karakter menjadi satu-satunya

solusi atau minimal menjadi solusi yang paling mujarab bagi masalah-masalah tersebut? Dalam

masalah ini, tentunya bukan menjadi satu-satunya solusi tetapi dapat menjadi solusi yang mujarab

untuk menangani berbagai masalah tersebut. Keberhasilan Cina dalam pendidikan karakter untuk

mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good

(Megawangi, 2007) dapat menjadi teladan yang memberikan ekspektasi besar dalam menangani

krisis multidimensi di Indonesia.

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah (di dalam

kelas)dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada

semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran matematika. Sebuah kegiatan belajar (task), baik

secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud

adalah: tujuan, input, aktivitas, pengaturan (Setting), peran guru dan peran peserta didik.

Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan kegiatan tersebut

tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru perlu

menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar dengan pencapaian sikap atau

nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri, kerja keras, saling menghargai, dan sebagainya.

Pembelajaran matematika dapat dikembangkan guru matematika dengan mengintegrasikan

dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter bangsa dalam kegiatan

pembelajaran. Sebagai contoh, guru dapat memulai dengan merencanakan proses pembelajaran

matematika yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam penyusunan

silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Nilai-nilai itu dapat diintegrasikan dalam rancangan

kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, dan/atau tujuan pembelajaran.

Input dapat didefinisikan sebagai bahan/rujukan sebagai titik tolak dilaksanakannya aktivitas

belajar oleh peserta didik. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis, grafik, diagram,

gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan sebagainya. Input yang dapat

memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya menyajikan materi/pengetahuan, tetapi yang

juga menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan materi/pengetahuan tersebut.

Satu hal yang mendukung adalah penggunaan BSE untuk pendidikan karakter. Buku-buku

pelajaran SMP yang telah masuk dalam daftar BSE (Buku Sekolah Elektronik) memenuhi

kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika. Dalam hal isi, setiap BSE memuat semua SK/KD

sebagaimana ditetapkan melalui Permen Diknas 22/2006 dengan cakupan dan kedalaman

pembahasan yang memadai. Selanjutnya isi/materi disajikan dan/atau dibelajarkan melalui

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Banyak di antara kegiatan-kegiatan

pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pelaku pembelajaran yang aktif. Bahasa

untuk menyajikan materi merupakan bahasa Indonesia yang baku, sesuai dengan tingkat

perkembangan kognitif siswa SMP, dan gagasan/pesan disajikan secara koheren. Dari sisi grafika,

BSE memenuhi berbagai ketentuan kegrafikaan. Jika diperhatikan ciri-ciri tersebut di atas, BSE

memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan mengembangkan karakter peserta didik secara

terpadu dalam pembelajaran. Hanya dengan melakukan sejumlah revisi, buku-buku tersebut dapat

digunakan untuk melaksanakan pendidikan karakter secara terintegrasi dalam pembelajaran.

Page 250: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

242 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dalam hubungannya dengan aktivitas maka yang dimaksudkan adalah aktivitas belajar. Aktivitas

belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input

belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu peserta didik

menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas belajar aktif yang berpusat pada siswa sedemikian

hingga secara otomatis akan membantu siswa memperoleh banyak nilai. Pembelajaran matematika

mulai banyak mengalami pergeseran paradigma, salah satunya dari paradigma teacher centered ke

paradigma student centered. Pergeseran paradigma ini membawa implikasi terhadap pengelolaan

pembelajaran matematika yang memberi kesempatan lebih luas bagi peserta didik untuk belajar

matematika. Contoh-contoh aktivitas belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi,

eksperimen, pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan proyek.

Pengaturan (setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan,

berapa lama, apakah secara individu, berpasangan, atau dalam kelompok. Masing-masing setting

berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik. Setting waktu penyelesaian tugas yang pendek

(sedikit), misalnya akan menjadikan peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai

waktu dengan baik. Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan siswa memperoleh

kemampuan bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain.

Seorang guru matematika dituntut untuk mampu mengatasi setiap tantangan yang ditemuinya

dalam pembelajaran matematika. Guru matematika dapat mengupayakan beberapa hal seperti

mengubah model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan pembelajaran sedemikian

hingga memungkinkan lebih berkembangnya segenap potensi belajar siswa, baik fisik maupun

mental. Penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, misalnya metode penemuan terbimbing,

tanya jawab, dan penugasan secara individu dan berkelompok, mungkin dapat lebih mengaktifkan

belajar siswa daripada hanya menggunakan metode ceramah, ekspositori, atau penugasan individu.

Penggunaan open-ended approach dalam pembelajaran matematika dapat lebih mengoptimalkan

berkembangnya inovasi dan kreasi siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika di

samping mengoptimalkan berkembangnya kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

dan kreatif. Penggunaan berbagai model pembelajaran kooperatif dapat lebih mengoptimalkan

kemampuan bekerjasama antarsiswa daripada penggunaan model pembelajaran langsung. Namun

perlu dicatat, bahwa penggunaan model, strategi, pendekatan, metode, atau teknik pengelolaan

pembelajaran itu sangat tergantung pada kebutuhan pembelajaran matematika pada waktu dan

situasi tertentu di sekolah.

Selanjutnya peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara

eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena

cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap peran guru pada

kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak tersedia.Peran guru yang memfasilitasi

diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan,

dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan

efisien mengembangkan karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan

guru berperan sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah

peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani (di

belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik).

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru matematika dapat mengelola pembelajaran

matematika yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, misalnya sikap jujur,

rasa ingin tahu, kreatif, inovatif, ulet, tekun, percaya diri, pantang menyerah, bertanggung jawab,

dan teguh dalam pendirian. Untuk itu, prasyarat yang harus dimiliki seorang guru matematika tentu

adalah penerapan nilai-nilai itu terlebih dahulu dan pola sikap, pola tutur, dan pola tingkah laku

‗sang guru‘ sendiri. Ini artinya, guru perlu menjadi teladan terlebih dahulu bagi peserta didiknya!

Pendidikan karakter tentunya harus diberikan oleh guru yang berkarakter (mempunyai karakter).

Sebagai orang dewasa, pada diri guru tentulah sudah melekat sekian banyak karakter yang dapat

Page 251: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 243

diwariskan kepada peserta didiknya sehingga untuk membangun karakter tidaklah perlu bagi guru

memperoleh pembelajaran terlebih dahulu mengenai pendidikan karakter. Cukuplah para guru

menguatkan niatnya untuk menjadi teladan dan diteladani para siswanya. Jika guru yang

diteladaninya sudah tidak dijumpainya lagi (misalnya karena siswa lulus atau guru pindah) maka

siswa tidak akan kehilangan orientasi dan siswa akan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi

dirinya sendiri. Keyakinan dirinya akan tumbuh semakin kuat dan ia akan tahu ke arah mana mesti

melangkah.

Dalam membangun karakter tidak pernah ada yang instan, semuanya butuh proses panjang dan

pembiasaan. Pembiasaan tidak akan bisa terlaksana tanpa ada keteladanan. Jika seorang guru

mengatakan X tetapi berbuat Y, maka siswa pun akan dengan mudah tahu bahwa guru tersebut

kontradiktif. Dalam kasus seperti ini tidak akan ada pembiasaan sebab tidak ada teladan dan

karakter yang hendak diteladani dan dijadikan kebiasaan (habit) oleh siswa. Oleh karena itu,

pendidikan karakter harus ditekankan pada program pembiasaan yang mengarah pada aksi moral

dan keteladanan seluruh warga sekolah.

Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar, peran peserta didik

biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga. Pernyataan eksplisit peran peserta didik pada

umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru

perlu melakukan inferensi terhadap peran peserta didik pada kebanyakan kegiatan pembelajaran.

Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi karakter,

peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut antara lain sebagai

partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil diskusi dan eksperimen, pelaksana

proyek, dsb.

Berdasarkan pengalaman dan hasil observasi penulis terhadap beberapa guru mata pelajaran

matematika menunjukkan bahwa masih banyak siswa belum menyenangi atau menyukai bahkan

cinta terhadap matematika. Ketika mereka ditanya mengenai mata pelajaran apa yang paling

mereka senangi, umumnya, mereka tidak mengatakan bahwa mata pelajaran matematika

merupakan mata pelajaran yang paling mereka senangi. Hanya sebagian kecil siswa yang

mengatakan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang mereka senangi.

Pembelajaran matematika di Indonesia masih belum seperti di Rumania seperti perasaan yang

diungkapkan seorang sopir taksi di sana (Preston, 2005: 83), ‖Di Rumania, ketika orang tahu kau

seorang matematikawan, orang tersebut akan bilang, ‘Aku pun dulu pintar matematika. Matematika

adalah mata pelajaran favoritku‘. Demikianlah keadaannya‖, maka membangun karakter melalui

pembelajaran matematika perlu dilakukan. Setidaknya, jika seorang siswa tidak begitu gemilang

dalam matematika, atau benar-benar gagal, siswa tersebut masih bisa menyerap karakter-karakter

yang dapat ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika, dengan tetap percaya diri menyatakan

bahwa matematika bukanlah pelajaran yang tidak dapat diselesaikan, meskipun yang

menyatakannya pada akhirnya tidak harus menjadi matematikawan atau profesor matematika.

Kasus tersebut menggambarkan bagaimana pembelajaran matematika berhasil menanamkan

kepercayaan diri pada mereka yang pernah belajar matematika.

Jika selama ini pembelajaran matematika lebih dominan pada ranah kognitif, maka sudah saatnya

untuk mengeksplorasi ranah-ranah lainnya, salah satunya dapat dilakukan dengan membangun

karakter melalui pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika di kelas dapat dilakukan

dengan mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan penghayatan. Dengan cara seperti ini,

sesungguhnyalah pembelajaran matematika dapat menanamkan dan menguatkan motivasi,

apresiasi atau penghargaan siswa terhadap matematika, kontribusi siswa dalam pembelajaran,

interest (minat kuat), beliefs (sikap mental yakin), confidence (sikap mental percaya) dan

perseverance (ketekunan, kekuatan hati, kegigihan).

Page 252: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

244 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.

Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama

Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta

Preston, Richard., et al. (2005): Gunung Pi Kisah-Kisah Matematika Paling Asyik. Banana

Publisher. Depok

Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya. Jakarta:

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.

Rachman, Arief. (2010): Urgensi Pendidikan Karakter dalam Membangun Bangsa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

http://pirdauslpmp.wordpress.com/2011/05/28/tantangan-dan-peluang-pembelajaran-matematika-

dalam-upaya-turut-membangun-budaya-dan-karakter-bangsa/

http://file.upi.edu/.../memahat_karakter_melalui_pembelajaran_matematika

Page 253: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 245

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING

Oleh : Sutirna

Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Mahasiswa S-3 Bimbingan dan Konseling UPI Bandung

Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utama dalam

pendidikan secara sinergis, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau

pembelajaran, serta bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Pendidikan yang hanya

melaksanakan bidang administratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan

mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi

kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. (Djawad Dahlan &

Juntika, 2007: 173; Sunaryo, 2008: 185).

Dari pernyataan tersebut, kenyataan ini dengan tidak menyudutkan keadaan pembelajaran

matematika yang telah berjalan selama ini, hampir seluruhnya proses pembelajaran matematika

yang terjadi baru menjalankan bidang administrasi pembelajaran dan pembelajaran matematikanya

saja, sehingga aspek bimbingan dan konseling seharusnya masuk dalam proses pembelajaran

terabaikan bahkan berparadigma bahwa bimbingan dan konseling merupakan tugas guru bimbingan

dan konseling.

Kedaan nyata seperti inilah yang menjadi matematika oleh para peserta didik dianggap sulit dan

sukar bahkan menakutkan sehingga dari satu kelas sebanyak 40 siswa yang bisa menguasai

matematika tidak lebih dari 5 orang atau hanya rata-rata 12,5% bahkan guru matematikanya sendiri

belum memahami tentang bimbingan dan konseling secara menadalam sehingga berparadigma

bukan tugas dan tanggungjawabnya.

Mari kita perhatikan gambar berikut ini:

Manajemen& Supervisi

Pembelajaran Bidang

Studi

Bimbingan &

Konseling

Wilayan Manajemen& Kepemimpinan

Wilayah Pembelajaran yang mendidik

Wilayah Bimbingan & Konselingyang Memandirikan

Tujuan:PerkembanganOptimal

Setiap

Peserta Didik

Gambar 2.1:

Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (Depdiknas, 2008)

Gambar tersebut dengan jelas bahwa tiga komponen yang tidak bisa ditinggalkan satu

komponenpun dalam melaksanakan PBM, ketika diabaikan salah satu dari ketiga komponen

tersebut, maka tujuan perkembangan yang optimal setiap peserta didik akan tidak tercapai.

Rochman Natawidjaja (1987:37) yang mengartikan bahwa bimbingan sebagai proses pemberian

bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat

memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar,

sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada

umumnya. Dengan demikian dia akan dapat menikmati kebahagiaan hidupnya, dan dapat memberi

sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu

individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.

Page 254: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

246 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berdasarkan pengertian bimbingan tersebut di atas, pembelajaran matematika yang bernuansa

bimbingan dan konseling akan memberikan nuansa yang harmonis dan menyenangkan, karena

nuansa bimbingan dan konseling berangkat dari landasan dasar hakikat manusia yang memiliki

keunikan masing-masing dan wajib melaksanakan bantuan kepada seluruh peserta didik tanpa

memandang kemampuan yang rendah, sedang dan tinggi sehingga peserta didik merasa dihargai

keadaan dirinya.

Selain itu pembelajaran yang menerapkan nuansa bimbingan dan kosneling dalam pembelajaran

matematika akan merasa bahagia dan menyenangkan ketika bapak/ibu gurunya selalu

berpenampilan sosok yang menjadi panutan dengan bahasa penyampaian yang bijak dan penuh

etika sehingga peserta didik akan menjadi tidak takut lagi ketika pembelajaran matematika

berlangsung.

Namun, apa yang terjadi selama ini dalam proses pembelajaran matematika? Hal ini akan saya

sampaikan pengalaman pribadi menjadi guru matematika di SMP sejak tahun 1986 sampai dengan

1999 dengan tidak menggunakan nuansa bimbingan dan konseling serta tutur bahasa penyampaian

yang memojokan atau menyudutkan peserta didik yang kemampuannya rendah bahkan tidak

memperdulikan peserta didik yang tidak mampu mencapai nilai minimum yang telah ditetapkan.

Bahkan berparadigma radikal dalam pikiran saya ―biarkan saja anak pribadi bukan, saudara bukan,

tetangga bukan dan lain-lain‖. Akhirnya saya pun dengan mata pelajaran matematika tidak

disenangi bahkan menjadi masalah bagi peserta didik ketika ada mata pelajaran matematika. Tetapi

setelah mengetahui dan mempelajari dunia pendidikan bimbingan dan konseling secara mendalam,

pengalaman saya tersebut di atas merupakan kesalahan besar yang saya lakukan sehingga saya

merubah dalam pembelajaran kepada pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Inilah

pengalaman empiric saya yang tidak usah menjadi fantasi bagi guru matematika yang lainnya,

marilah kita merubah diri karena guru adalah agen perubahan, bagaimana matematika akan

menjadi mata pelajaran yang disenangi jika guru matematika selama ini masih menakutkan dan

menyeramkan bagi peserta didik.

PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan) yang sedang digalakan oleh

para Guru Matematika dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika sangatlah

tepat dengan pembelajaran matematika bernuansa bimbingan dan konseling.

Mari kita bersama-sama merefleksi, ketika akan berlangsungnya Ujian Nasional dimana mata

pelajaran matematika menjadi salah satu pelajaran penentu bagi standar kelulusan, padahal jika kita

kaji lebih dalam tentang nilai batas lulus Ujian Nasional adalah angka yang buruk atau jelek yaitu

5,50, tetapi mengapa rasanya takut oleh angka tersebut? Dari kepala sekolah, guru matematika,

peserta didik dan bahkan orang tua tidak menutup kemungkinan pihak dinas pendidikanpun

menjadi ketakutan dengan nilai seperti itu.

Inilah kenyataan nyata yang tidak bisa ditutup-tutupi, mau tidak mau hal ini akibat dari proses

pembelajaran yang tidak optimal mengedepankan kepentingan peserta didik atau pembelajarannya

tidak menggunakan aspek bimbingan dan konseling sehingga terjadilah mutu pendidikan

matematika selama ini secara menyeluruh jauh dari mutu yang diharapkan.

Wahyudin (2007) mengatakan dalam tulisannya di Majalah Pendidikan Universitas Pasundan

Bandung mengatakan bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak membutuhkan matematika. Bahkan

Ruseffendi (2008) mengatakan bahwa matematika itu adalah ratunya ilmu pengetahuan ―King Of

The Siant‖. Dengan demikian jelas sekali proses menghasilkan kualitas matematika dibutuhkan

guru yang memiliki ilmu matematika secara penuh dan teori pembelajaran yang utuh memandang

manusia sebagai makhluk yang sempurna dan unik.

Bagaimana dan seperti apa pembelajaran matematika bernuansa bimbingan dan konseling? Marilah

kita lihat tabel di bawah ini tentang prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan konseling yang

ditransfer ke dalam nuansa pembelajaran matematika.

Page 255: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 247

Tabel 2.1

Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling diaplikasikan

Dalam pembelajaran matematika

No Prinsip Prinsip Pelaksanaan Bimbingan dan

Konseling Diaplikasikan dalam PBM Matematika

1 Bimbingan dan Konseling diperuntukan bagi semua

konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan

kepada semua konseli, baik yang tidak bermasalah

maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita;

baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini

pendekatan yang digunakan lebih bersifat preventif dan

pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan

lebih diutamakan teknik kelompok dari pada

perseorangan (individual)

Dalam pembelajaran matematika tidak boleh

diskriminasi layanan bimbingan dalam PBM

matematika.

2 Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi.

Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya)

dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk

memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut.

Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus

sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan

bimbingannya menggunakan teknik kelompok.

Setiap peserta didik unik, PBM matematika

harus dapat memfasiltasi tanpa memandang

kemampuan peserta didik (guidance for all).

Dengan keharmonisan, kehangatan,

keceriaan, dan penuh keakraban di dalam

kelas.

3 Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam

kenyataannya masih ada konseli yang memiliki persepsi

yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan

dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi.

Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan

sebenarnya merupakan proses bantuan yang

menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena

bimbingan merupakan cara untuk membangun

pandangan yang positif terhadap diri sendiri,

memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.

Bantuan dalam PBM matematika harus

mengarah kepada hal yang positif bagi

peserta didik, dengan memberikan contoh

teladan dihadapan peserta didik.

4 Bimbingan dan konseling merupakan usaha bersama.

bimbingan bukan hanya tugas atau tanggungjawab

konselor, tetapi juga tugas guru-guru (tutor) dan kepala

sekolah/madrasah sesuai dengan tugas dan peran

masing-masing. Mereka bekerja sebagai team work.

Bimbingan dalam PBM matematika harus

bekerjasa sama dengan seluruh pihak terkait

(networking) khsusnya kepada guru BK jika

permasalahannya diperlukan bantuan lain.

5 Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial

dalam bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan

membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan

mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan

untuk memberikan informasi dan nasihat kepada

konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam

mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan

oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli

untuk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan

menyempurnakan tujuan melalui pengambilan

keputusan yang tepat. Kemampuan untuk mengambil

keputusan yang tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi

kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama

bimbingan mengembangkan kemampuan konseli untuk

memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.

Pengambilan keputusan harus berangkat dari

peserta didik dan guru matematika hanya

membantu untuk memahami tentang

permasalahannya, khususnya dalam PBM

Matematika.

6 Bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai

setting (adegan) kehidupan. Pemberian pelayanan

bimbingan tidak hanya berlangsung di

sekolah/madrasah saja, tetapi juga di lingkungan

keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga

pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya.

Bidang pelayanan bimbingan pun bersufat multi aspek,

yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan

pekerjaan.

Bimbingan dapat dilakukan diberbagai aspek

setting, bisa ketika mengajar atau di luar

mengajar dengan membuat perjanjian terlebih

dahulu.

Page 256: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

248 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berkaitan dengan pendidikan karakter yang sedang digalakan pemerintah dalam segala bidang

khususnya dalam bidang pendidikan, pembelajaran bernuansa bimbingan dan konseling sudah

sangat tepat dilakukan oleh semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, baik dia seorang yang

sudah menjadi guru maupun yang sedang menempuh pendidikan di kependidikan. Karena karakter

itu merupakan bagian dari kepribadian. Abin Syamsudin (2003) yang mengatakan bahwa karakter

yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang

pendirian atau pendapat. Dengan demikian pembelajaran yang menggunakan situasi bimbingan dan

konseling akan berkaitan erat dengan apa yang dinamakan karakter, oleh karena itu yang selama ini

karakter guru dan calon guru yang tidak konsekuen dengan etika, perilaku, dan tidak konsisten

dengan tugas tanggunggjawabnya selaku pendidik yang sudah mendarah daging harus segera

berbalik 1800 jika perubahan ingin kita raih demi masa depan pendidikan yang bermutu.

Selanjutnya dikaitan dengan peran guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing masih berjalan

hanya dua yang dilakukan para guru, yaitu sebagai pendidik dan sebagai pengajar, sedangkan

sebagai pembimbing inilah yang hilang bahkan tidak dilakukan di dalam proses pembelajaran.

Oleh karena itu, tepatlah sekali bahwa dibagian pertama dikatakan bahwa pendidikan yang

bermutu, ketika ketiga komponen berjalan dengan sinergis dilakukan guru dalam proses

pembelajaran.

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang selama ini

pembelajaran matematika menakutkan, menyeramkan, dan tidak harmonis serta banyak persepsi

negatif terhadap matematika sehingga sangatlah wajar mutu pendidikan atau mutu matematika

selalu tidak ada perubahan yang sangat berarti bagi peserta didik maupun perkembangan

matematika. Oleh karena itu dengan moto ―Guru adalah Agen Perubahan ― atau ―Teacher is Agen

of The Change‖ marilah kita berjalan bersama untuk memahami pentingnya aspek bimbingan dan

konseling pada saat proses pembelajaran dengan nuansa bimbingan dan konseling sehingga

pembelajaran konsep PAIKEM akan berjalan dan terlaksana dengan baik sehingga matematika

bukan lagi mata pelajaran yang menakutkan dan menyeramkan dikalangan peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Djawad Dahlan dan Juntika. (2007). Konsep Bimbingan dan Konseling. Bandung :

Pedagogia Press.

Sunaryo (2008). Kompilasi Materi Perkulihan Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Bandung :

SPS UPI Bandung.

ABKIN (2008). Prinsip-prinsip pelaksanaan bimbingan dan konseling. Bandung : ABKIN

Bandung.

Wahyudin (2007). UNPAS Bandung

Ruseffendi (2008). Matematika Modern: untuk siswa dan guru. Bandung : Tarsito

Abin Syamsudin (2003). Kompilasi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Bandung: UNPAD.

Page 257: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 249

MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA

MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DENGAN PENDEKATAN KONTEKTUAL

Oleh : Kokom Komariah

Guru SMP 3 Cimahi

Abstrak

Karakter bangsa yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah karakter cerdas yang dilandasi

oleh nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Pembelajaran matematika yang

berorientasi pada potensi pengembangan potensi olah pikir siswa, sangat strategis berkontribusi

pada pencapaian tujuan tersebut. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat menumbuhkan

karakter bangsa adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Kontektual.

Kata kunci: Pendekatan , Kontektual, Karakter, Bangsa

I. PENDAHULUAN

Pembelajaran merupakan hal yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kurikulum

KTSP mengisyaratkan bahwa pembelajaran diharapkan diselenggarakan secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,

minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Pada sisi lain, dalam proses

pembelajaran pendidik diharapkan dapat memberikan keteladanan bagi peserta didiknya.

Kemudian ditegaskan pula Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta Badan Standar

Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa peserta didik dari mulai sekolah dasar perlu dibekali dengan

kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama.

Sejalan dengan hal itu, termasuk dengan penerapan KTSP, saat ini pemerintah memberikan

perhatian yang lebih terhadap dunia pendidikan dengan membuat beberapa program dengan skala

prioritas tertentu. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010, pemerintah

mengeluarkan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Pendidikan budaya dan karakter

bangsa merupakan bagian dari program penguatan metodologi dan kurikulum dalam Prioritas

Pembangunan Nasional Tahun 2010 di atas. Upaya ini berupa penyempurnaan kurikulum dan

metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan

karakter bangsa.

Kondisi saat ini di lapangan pada umumnya pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas

siswa secara optimal. Hal ini sesuai hasil studi Sumarmo (1993, 1994) terhadap siswa SMU, SLTP,

dan guru di Kodya Bandung yang hasilnya antara lain pembelajaran matematika pada umumnya

kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar.

Temuan Sumarmo didukung pula oleh temuan Sutiarso (2000) dengan mengemukakan bahwa

kenyataan di lapangan justru menunjukkan siswa pasif dalam merespon pembelajaran. Siswa

cenderung hanya menerima transfer pengetahuan dari guru, demikian pula guru pada saat kegiatan

pembelajaran hanya sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam

proses yang aktif dan generatif. Padahal menurut Darr dan Fisher (Ratnaningsih, 2007) jika siswa

diharapkan menjadi siswa yang mandiri, mereka perlu aktif dan dihadapkan pada kesempatan-

kesempatan yang memungkinkan mereka berpikir, mengamati dan mengikuti pikiran orang lain.

Disamping itu, akhir-akhir ini makin marak muncul fenomena yang kurang mendidik, seperti

korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang

konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya. Fenomena ini merupakan

tantangan yang besar dan kuat terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu, upaya mengembangkan

pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah-sekolah merupakan sebuah keniscayaan.

Page 258: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

250 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah melalui pembelajaran matematika

melalui pendekatan Kontektual . Alasan mengapa memilih pembelajaran pendekatan kontektual

diantaranya dengan menyajikan masalah kontekstual pada awal pembelajaran merupakan salah satu

stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Pada keadaan ini, masalah bertindak sebagai kendaraan

proses belajar untuk mencapai tujuan. Pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa

melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah. Sabandar (2005) mengemukakan

bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan

kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses

penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak

menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir matematika tingkat tinggi. Hal ini

memungkinkan untuk menumbuhkan sifaf sabar, tekun dan menjadi manusia Indonesia yang

tangguh dalam menyelesiakan suatu masalah

Alasan lain, melalui pembelajaran dengan pendekatan kontektual, siswa juga belajar untuk

bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif,

namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang ia miliki.

Dalam PBM dengan pendekatan kontektual, siswa dituntut untuk terampil bertanya dan

mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber yang tersembunyi,

mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling

efektif untuk menyelesaikan masalah. Dalam situasi pemecahan masalah seperti ini tidak mustahil

siswa mengalami kebuntuan, sehingga mengharuskannya untuk meninjau ulang cara berpikir yang

telah ia gunakan. Dengan demikian, jelaslah bahwa melalui pembelajaran matematika berbasis

masalah, siswa dikondisikan untuk mampu berpikir fleksibel, mengajukan konjektur dan

menjustifikasinya, menyelesaikan masalah, dan menemukan aturan umum. Hal-hal tersebut

merupakan ciri dari karakter bangsa yang akan dibangun melalui pendidikan.

PBM dengan dengan pendekatan kontektual, siswa dimungkinkan terlibat aktif pada proses

pembelajaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan siswa dalam

memehami suatu konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979), ―... jika siswa aktif

melibatkan dirinya di dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu akan mengerti konsep

tersebut lebih baik, mengingat lebih lama, dan mampu menggunakan konsep tersebut dalam

konteks yang lain‖.

II. DISKUSI

1. Konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Dalam Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas) maka pendidikan nasional bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab. Pengembangan potensi peserta didik tersebut meliputi tataran individu, kolektif

maupun untuk kepentingan ekstensi bangsa.

Pada buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya (Pusat Kurikulum,

2010) dijelaskan mengenai pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis budaya dan

karakter. Budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), pikiran yang dianut oleh suatu

masyarakat atau bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat,

dan warga negara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar,

baik, dan indah. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak aatau kepribadian yang diyakini dan

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri

dari sejumlah nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, bersikap, dan cara

bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud

dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.

Page 259: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 251

Buku tersebut lebih lanjut mendefinisikan Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah

pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga

menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam mengembangkan dirinya

sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa

yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warga negara Indonesia yang

memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.

Terdapat cukup banyak nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam

pembelajaran atau pendidikan di sekolah. Nilai-nilai itu adalah: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4)

disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat

kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komuniktif, 14) cinta

damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung-jawab.

2. Pendekatan Kontektual

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar

yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa

dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Triato, 2007).

Menurut Trianto (2007) untuk penerapannya, pendekatan kontektual memiliki tujuah komponen

utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning),

masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan

penilaian yang sebenarnya (Authentic).

3. Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontektual

Beberapa hal yang menyebabkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Kontektual

diprediksi dapat membangun karakter bangsa, diantaranya :

a. Konstruktivisme (constructivism)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontektual, yang menekankan bahwa

belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses

belajar mengajar, siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh

struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Siswa mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang

sudah dikenal siswa. Dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan

informasi baru. Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana

menyelesaikan persoalan , namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk

menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Para siswa diberdayakan

oleh pengetahuannya yang berada pada diri siswa. Siswa berbagi strategi dan penyelesaian, debat

antara satu dengan yang lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan

setiap masalah. Dengan komponen Kontruktivisme seperti ini diharapkan siswa mempunyai sifat :

1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas

2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari

sesuatu yang telah dimilikinya.

b. Penemuan (Inkuiri)

Penemuan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena

pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat

fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Pengetahuan yang didapat dari hasil belajar sendiri

akan tertanam lebih lama dalam pikiran siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudoyo (1979 :

109), ―... jika siswa aktif melibatkan dirinya di dalam menemukan suatu prinsip dasar, siswa itu

akan mengerti konsep tersebut lebih baik, mengingat lebih lama, dan mampu menggunakan konsep

tersebut dalam konteks yang lain‖.

Page 260: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

252 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dengan komponen penemuan seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut :

1) Tanggung jawab yaitu sikap dan prilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan

kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan

(Alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

2) Menumbuhkan rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif, rasa ingin tahu dan pantang menyerah

c. Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi

utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi,

2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh

mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan

perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan

dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Dengan komponen bertanya seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut :

1) Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku etnis, pendapat,

sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dengan orang lain.

2) Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban

dirinya dan orang lain.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari

orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‗sharing‘ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu

ke yang belum tahu. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau

lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

Dengan komponen masyarakat belajar seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:

1) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir, berindak, berwawasan yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

2) Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, cara bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetian,

kepedulian dan penghargaan yang tinggi dalam bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi dan politik bangsa.

3) Bersahabat, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja

sama dengan orang lain.

4) Cinta damai, yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang

dan aman atas kehadiran dirinya.

5) Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingim memberi bantuan kepada orang lain

dan masyarakat yang membutuhkan

e. Pemodelan (Modeling)

Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru

menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya

melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat

dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.

Dengan komponen pemodelan seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:

1) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari

sesuatu yang telah dimilikinya.

2) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan

sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang

lain.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir

kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru

menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang

apa yang diperoleh hari itu.

Page 261: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 253

Dengan komponen Refleksi seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:

1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas

2) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

3) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari

sesuatu yang telah dimilikinya.

g. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)

Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai

perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar

siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang

benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian

dilakukan terhadap proses maupun hasil.

Dengan komponen Assemen Autentik seperti ini diharapkan siswa memiliki sikap sebagai berikut:

1) Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas

2) Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu

dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

3) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

4) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari

sesuatu yang telah dimilikinya.

5) Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan

sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang

lain.

4) Gemar membaca, yaitu Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang

memberikan kebajikan bagi dirinya

5) Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih

mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis mempunyai kesimpulan

sebagai berikut :

1) Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual diprediksi dapat membangun

karakter bangsa.

2) Dalam pelaksanaan Pembelajaran matematika melalui pendekatakan Kontektual dalam

membangun karakter bangsa diperlukan keteladanan para guru.

3) Pada prakteknya, dalam mata pelajaran matematika saat ini enam nilai diintegrasikan untuk

dikembangkan : teliti, tekun,kerja keras, rasa ingin tahu, pantang menyerah dan kreatif.

Selain itu, berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1) Keberhasilan peserta didik menyelesaikan pendidikannya di suatu satuan pendidikan lebih

diseimbangkan antara aspek kongnitif/psikomotor dengan aspek afektif.

2) Pembelajaran matematika yang ‗kering nilai‘ dapat dikembangkan guru matematika dengan

mengintegrasikan dan/atau menekankan pentingnya nilai-nilai positif dari budaya dan karakter

bangsa dalam kegiatan pembelajaran.

Page 262: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

254 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Matematika SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Effendy. O. U. (1993). Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Hamzah, (2003). Kemampuan pengajuan masalah dan pemecahan masalah siswa SMU melalui

teknik probing. Disertation at Post Graduate Studies, Indonesia University of Education,

Bandung. Not published.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Tingkat Tinggi Siswa SMP. Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of

Education, Bandung , Indonesia, not published

Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional.

Jakarta : Kemendiknas.

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Virginia : The

NCTM Inc.

NCTM. (2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. USA : Reston. V.A

Puskur. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Puskur

Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional.

Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir

Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.

Disertation at Post Graduate Studies at Indonesia University of Education, Bandung ,

Indonesia, not published

Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Indonesia University

of Education, Bandung , not published

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan

Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Research Report at Indonesia

University of Education, Bandung , not published

Suparno, P. (1997). Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan

Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertation at Post Graduate Studies at

Indonesia University of Education, Bandung , Indonesia, not published

Trianto (2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta : Prestasi

Pustaka Publisher.

Page 263: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 255

GURU DAN SISWA BERKARAKTER

Oleh : Reti Damayanti

Abstrak

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi

komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk

komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,

penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-

kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.

Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam

menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Mengingat cukup banyaknya steakholder yang terlibat dalam mengembangkan pendidikan karakter, maka

penulis mencoba membatasinya dengan hanya mengemukakan mengenai guru dan siswa yang berkarakter.

Tiap guru memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik dan mengajar , ada yang menjadi sosok teman dan

sahabat yang sangat dekat dengan siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok galak hingga ditakuti siswa-

siswinya, ada yang menjadi sosok yang sangat lucu hingga para siswa antusias saat pelajarannya, yang jelas

mereka memiliki metode sendiri sesuai karakter mereka.

Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru,

cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait

lainnya. Guru berkarakter bisa saja sosok guru dengan kualitas hidup baik dengan empat kompetensi

(pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian). Adapun cara memperoleh kualitas dan nilai hidup yang baik

itu bisa diperoleh melalui alam lingkungan kehidupannya, pendidikan, dan kebiasaan.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.

Tujuannya adalah membentuk pribadi anak (siswa), supaya menjadi manusia yang baik. Adapun kriteria

manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau

bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan

bangsanya.

A. Pendidikan Karakter

Sudah menjadi suatu topik pembahasan yang hangat di media massa, seminar, dan di berbagai

kesempatan bahwa persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, perusakan,

perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,

dan sebagainya. Untuk itu berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-

undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.

Beberapa alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah

budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai

alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih

baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan

kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi

penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari

pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan

dan dampak yang kuat di masyarakat.

Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi

kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa

telah dilakukan di berbagai direktorat dan bagian di berbagai lembaga pemerintah, terutama di

berbagai unit Kementrian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan

berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat

dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa, akhirnya

Page 264: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

256 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

berakumulasi pada kebijakan pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan

menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak untuk masa 5 (lima) tahun

mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam

pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:

1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini

bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan

karakter bangsa;

2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam

pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan

3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Salah satu program utama Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka meningkatkan mutu

proses dan output pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah pengembangan

pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan

nasional Indonesia. Pembinaan watak melalui mata pelajaran di kelas belum membuahkan hasil

yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama, di dalam mata pelajaran cenderung baru

membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui materi/substansi mata pelajaran. Kedua,

kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran pada umumnya belum secara memadai mendorong

terinternalisasinya nilai-nilai oleh masing-masing peserta didik sehingga ia berperilaku dengan

karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak peserta didik di dalam

pembelajaran tidak cukup. Pengembangan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih

terinntegrasi mata semua mata pelajaran. Selain itu, kegiatan pembinaan kesiswaan dan

pengelolaan sekolah dari hari ke hari perlu juga dirancang dan dilaksanakan untuk mendukung

pendidikan karakter.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang

meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-

nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)

harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses

pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,

pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan

ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai

sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus

berkarakter.

Mengingat cukup banyaknya steakholder yang terlibat dalam mengembangkan pendidikan

karakter, maka penulis mencoba membatasinya dengan hanya mengemukakan mengenai guru dan

siswa yang berkarakter. Tiap guru memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik dan mengajar ,

ada yang menjadi sosok teman dan sahabat yang sangat dekat dengan siswa-siswinya, ada yang

menjadi sosok galak hingga ditakuti siswa-siswinya, ada yang menjadi sosok yang sangat lucu

hingga para siswa pasti antusias saat pelajarannya, yang jelas mereka memiliki metode sendiri

sesuai karakter mereka. Yang penting outputnya adalah materi yang disampaikan dapat diserap

dengan baik oleh anak didiknya.

Seiring perkembangan jaman, pendidikan yang hanya bertumpu pada bagaimana menghasilkan

lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang

pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan interaksi sosial sebab ini sangat penting

dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan

santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

Page 265: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 257

B. Guru dan Siswa Berkarakter

Hal yang menjadi perbincangan hangat hari-hari ini adalah Pendidikan karakter untuk menunjang

siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral. Sepintas penulis kemukakan satu kasus yang

menyangkut pernyataan salah seorang siswa pada jejaring sosial Facebook. Dalam satu kasus

ditemukan bahwa terdapat seorang siswa yang tidak menerima atas tugas yang diberikan oleh

gurunya. Dalam statusnya siswa tersebut memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan

membuat sang guru meradang, ditambah bumbu dari rekan-rekannya (siswa) yang memberikan

jempol tanda setuju (menyukai) dan komentar-komentar lain yang mendukung atas perkataan tidak

senonoh (dengan bahasa yang tidak baik dan tidak sopan) dari siswa yang bersangkutan. Melihat

perilaku tersebut, pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah

tersebut karena selain menyangkut individu guru juga menyangkut lembaga sekolah yang terlibat.

Kasus seperti tersebut di atas secara nyata akan ditemui dilapangan, walaupun dengan kasus yang

berbeda. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal

praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh

demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam

suasana demokrasi yang sopan dan santun. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan

identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan.

Jika melihat kenyataan yang ada sampai saat ini, masih banyak sekolah yang terlalu trobsesi untuk

menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif

hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang

target tinggi nilai KKM dan kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses

merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang

diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah

siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi

bagian dari masyarakat seutuhnya. Kiranya amat disayangkan apabila ada guru yang memang

pandai secara akademik, tetapi mereka tidak pandai dalam menyampaikan pengetahuannya kepada

para siswa. Akibatnya anak didik tidak antusias saat kelas berlangsung, tidak paham materi yang

disampaikan dan banyak yang nyontek saat ujian.

Berikut ini penulis sampaikan temuan yang didapat saat berbincang-bincang dengan salah seorang

guru SMP di salah satu kota di Jawa Barat. Guru tersebut menceritakan bahwa ada salah satu siswa

yang telah diberi pelajaran cara-cara menyontek oleh salah satu gurunya sejak kelas 1 sampai kelas

5 Sekolah Dasar (saat itu SD nya di daerah Jawa Tengah) sehingga ia terbiasa untuk

melakukannya. Siswa tersebut mengaku bahwa kebiasaannya tersebut selalu ia lakukan meskipun

sekolahnya pindah ke salah satu kota di Jawa Barat semenjak kelas 6 SD sampai di bangku kelas 7

SMP. Namun setelah kebiasaannya diketahui dan dipergoki oleh rekan penulis tersebut (guru)

maka siswa tersebut berjanji tidak akan mengulangi kembali kebiasaannya dalam hal mencontek,

dan Alhamdulillah menurut pantauan beberapa guru di sekolah tersebut sampai saat ini siswa yang

bersangkutan dapat merubah kebiasaan buruknya.

Apabila kita perhatikan kasus di atas, tentunya sangat erat berhubungan dengan pendidikan

karakter. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu

mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini

mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi,

bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan

pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang

baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara

umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan

Page 266: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

258 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di

Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya

bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan kaitannya dengan proses

pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2)

sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses

pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran

dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual,

pembelajaran PAIKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya.

Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang secara sistematis

sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh

Guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai

hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan

berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan

karakteristik materi dan peserta didik.

Dalam hubungannya dengan nilai karakter, maka ada banyak nilai (80 butir) yang dapat

dikembangkan pada peserta didik. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang

sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu sebagai nilai utama yang

penanamannya diprioritaskan. Untuk tingkat SMP, nilai-nilai utama tersebut disarikan dari butir-

butir SKL, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Bertanggung jawab, Bergaya hidup sehat,

Disiplin, Kerja keras, Berjiwa wirausaha, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, Mandiri, Ingin

tahu, Cinta ilmu, Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, Patuh pada aturan-aturan

sosial, Menghargai karya dan prestasi orang lain, Santun, Demokratis, Peduli lingkungan,

Nasionalis, Menghargai keberagaman.

Di antara butir-butir nilai tersebut di atas, enam butir dipilih sebagai nilai-nilai pokok sebagai

pangkal tolak pengembangan, yaitu: Religius, Jujur, Cerdas, Tangguh, Peduli dan Demokratis.

Keenam butir nilai tersebut ditanamkan melalui semua mata pelajaran dengan intensitas

penanaman lebih dibandingkan penanaman nilai-nilai lainnya. Adapun untuk mata pelajaran

matematika di SMP karakter yang dikembangkan adalah Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin tahu, mandiri, percaya diri.

Terkait dengan pendidikan karakter, maka sekali lagi bahwa kunci utama dalam penyelenggaraan

dan proses pendidikan itu justru pada aktor-aktornya. Mereka ini adalah guru-guru yang tidak

sekadar profesional di bidangnya, namun mereka juga sebagai guru yang berkarakter. Dengan kata

lain, karakter itu diasumsikan sudah melekat di dalam pribadi guru-guru di sekolah di di negeri ini.

pembentukan karakter seseorang bisa di dalam tiga wadah proses, yaitu, alam, forma pendidikan,

dan kebiasaan-kebiasaan hidup seseorang itu dalam sejarah kehidupannya. Dengan melalui tiga

wadah itu, maka seseorang bisa menjadi orang berkarakter. Kumpulan serangkain nilai atau

beberapa kualitas hidup yang baik dan melekat pada diri seseorang ini yang membentuk karakter

seseorang.

Nah, sekarang timbul pertanyaan bagaimanakah guru yang berkarakter itu? Untuk menjawabnya,

kita bisa mulai dahulu dari definisi guru yang terdapat dalam UU no 14 tahun 2005, Pasal 1, ayat

(1) yaitu guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada usia dini jalur pendidikan

formal, dasar, dan menengah. Selanjutnya tugas utama guru adalah memiliki kualitas hidup atau

nilai-nilai baik yang berguna untuk dirinya, orang lain (peserta didik) lingkungannya dan

masyarakat luas.

Page 267: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 259

Dalam UU tersebut guru diharapkan memiliki empat keterampilan yaitu keterampilan pedagogik,

keterampilan kepribadian, keterampilam sosial, dan keterampilan profesional. Dengan demikian,

empat kompetensi itu sebagai kompetensi yang bisa membentuk nilai dan kualitas hidup seorang

guru. Guru berkarakter bisa saja sosok guru dengan kualitas hidup baik dengan empat kompetensi

itu. Adapun cara memperoleh kualitas dan nilai hidup yang baik itu bisa diperoleh melalui alam

lingkungan kehidupannya, pendidikan, dan kebiasaan. Jika dirinci, maka, lingkungan kehidupan

tidak hanya di sekolah saja melainkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kebisaan hidup sehari-

hari pula. Karakter seperti di dalam definisi di atas, diperoleh dan kahirnya melekat secara koheren

di dalam diri seorang guru.

Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan karakter yang dicuatkan pada fenomena kahir-akhir

ini memerlukan kunci utama dalam penggerak proses pendidikan. Mereka itulah guru-guru yang

berkarakter dan digembleng di dalam wadah tidak hanya formal saja melainkan alam lingkungan

dan kebiasaan-kebiasaan. Pendidikan karakter bisa dibangun melalui kinerja sistem pendidikan dan

instrumen pemerintah lainnya yang sama-sama sinergis. Dalam arti bahwa, guru merupakan kunci

utama, sehingga yang lebih penting adalah kebutuhan guru berkarakter baru kemudian mendidik

peserta didik menjadi insan-insan berkarakter.

Sebagai seorang guru hendaklah kita berusaha untuk menjadi yang terbaik. Meski dengan tugas

berat, karena guru selain sebagai pengajar juga sebagai mendidik. Dengan tugas ini hendaknya

mengajar dimaknai sebagai sebuah amanah bukan sekedar tugas sampingan yang ringan. Untuk itu

kerja ikhlas dan keras hendaknya senantiasa menyemangati hati dan jiwa kita sebagai pendidik.

Pembentukan jiwa dengan semangat tinggi akan mewujud dan membentuk seorang guru yang

―Berkarakter‖. Karakteristik yang humble dapat dengan mudah membawa siswa untuk tunduk dan

patuh pada perintah yang baik. Mereka membutuhkan guru yang pantas menjadi suri tauladan

baginya. Rasa penasaran, haus akan ilmu pengetahuan menjadi terpuaskan tatkala seorang guru

dengan sikap lemah lembutnya mampu menenagkan siswa di saat yang tepat.

Oleh karena itu guru harus memiliki karakter karena tugas guru sebagai pembentuk karakter.

Bagaimana nasib bangsa ini kelak sangat dipengaruhi oleh bagaimana karakter guru dalam

mendidik. Apabila gurunya memiliki sifat temperamental dan suka melakukan kekerasan, maka

jangan salahkan siswanya kalau mereka senang tawuran, anarki dan emosional. Pembentukan

karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting dan mutlak. Adanya krisis yang terus

berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini jelas menunjukkan bahwa bangsa

kita masih belum memiliki karakter yang kuat dalam menyelesaikan permasalahannya.

Guru sebagai bagian dari orang tua siswa di sekolah perlu mewujudkan agar siswanya menjadi

manusia-manusia shaleh yang bertaqwa. Fitrah kecintaan guru kepada siswa membuat segala upaya

telah dilakukan agar siswa menjadi jauh lebih baik. Banyak guru mencita-citakankan agar siswanya

menjadi shaleh, namun tidak mendukung support system yang bisa mendukung tumbuh

kembangnya keshalihah ini. Misalnya siswa diharapkan rajin beribadah, berakhlak mulia, tetapi

gurunya tidak mencontohkan dirinya menjadi sosok yang rajin beribadah. Tentu saja sulit bagi

siswa untuk membentuk karakter yang shaleh tersebut. Orang yang berperilaku tidak jujur, rakus,

atau kejam dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku

jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Pendidikan karakter akan

menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri

dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.

Berikut ini penulis sampaikan Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

yang tertuang dalam ―Panduan guru Mata Pelajaran mengenai Pendidikan Karakter di Sekolah

Menengah Pertama‖ yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama

Kementerian Pendidikan Nasional.

Page 268: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

260 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

NILAI DESKRIPSI

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang

dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup

rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

ketentuan dan peraturan.

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan

sebaik-baiknya.

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru

dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih

mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan

didengar.

10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan

bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu

yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati

keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat/

Komuniktif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja

sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa

senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang

memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada

lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk

memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan

masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,

yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan

(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.

Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama

Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Budaya. Jakarta:

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

http://indonesiaposnews.com/2011/05/31/pendidikan-dan-kebutuhan-guru-berkarakter/

http://pundi-pundi-pundi-pundi.blogspot.com/2011/09/menjadi-guru-berkarakter.html

http://infokomtek.com/berita-nasional/guru-pelopor-pembentukan-karakter-bangsa

http://mustafatope.wordpress.com/2011/08/02/guru-berkarakter-cerminan-siswa-berkarakter

Page 269: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 261

PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME

DALAM PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN MATEMATIKA

DI SMP

Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno

STKIP Siliwangi - Bandung

Abstrak

Makalah ini menggambarkan penerapan teori konstruktivisme pada prinsip-prinsip pembelajaran di Sekolah

Menengah Pertama (SMP). Prinsip pembelajaran terdiri dari apersepsi, peragaan, motivasi, aktivitas,

kerjasama, mandiri, penyesuaian dengan individu, korelasi, dan evaluasi yang teratur. Prinsip-prinsip

pembelajaran merupakan prinsip didaktisasi yang sangat dipengaruhi oleh teori-teori pembelajaran. Prinsip

pembelajaran matematika pun memiliki kesamaan dengan prinsip didaktisasi ini. Pada makalah ini, penulis

mengadopsi prinsip didaktisasi untuk diterapkan pada pembelajaran matematika. Setiap prinsip

pembelajaran didaktisasi dipaparkan contoh-contoh yang cukup aplikatif untuk diterapkan pada tingkat

SMP. Contoh-contoh yang dipaparkan tersebut merupakan penerapan teori konstruktivisme pada

pembelajaran.

Kata kunci: Konstruktivisme, prinsip-prinsip pembelajaran, matematika SMP

1. Pendahuluan

Usaha berbagai pihak dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama hasil belajar siswa

dalam mata pelajaran matematika terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum,

materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi

(1994: 36) bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu

kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan

kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.

Salah satu reformasi pembelajaran (di Indonesia) yang gaungnya sudah semakin dirasakan di

sekolah-sekolah adalah pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan ini pada

awalnya begitu monumental bahkan terus menerus diperbincangkan setiap pelaku dan pemerhati

pendidikan. Akan tetapi, bagi para guru yang belum banyak mendapat informasi tentang inovasi

pembelajaran, pendekatan ini menjadi barang mewah yang sukar diraih bahkan sukar ditiru seperti

apa melaksanakannya di depan kelas.

Konstrutivisme berawal dari aliran kognitifisme, oleh karena itu sering juga disebut

konstruktivisme kognitif. Aliran inilah yang pertama kali menyatakan bahwa siswa (anak) adalah

mahluk aktif, ia dapat mengkonstruk sendiri pengetahuan dari informasi-informasi yang

didapatkannya atau dari pengalamannya. Salah satu pencetus dari aliran ini adalah Piaget, yang

terkenal dengan teorinya bahwa konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh anak melalui fase

perkembangan kognitif. Fase perkembangan kognitif anak oleh Piaget dibagi menjadi empat, yaitu

sensori motorik (0-2 tahun), pra operasional konkrit (3-6 tahun), operasional konkrit (7-12 tahun),

dan operasional formal (> 12 tahun). Siswa usia sekolah dasar menurut Piaget berada pada fase

operasional konkrit.

Konstruktivisme kemudian berkembang menjadi konstruktivisme sosial yang dimotori oleh

Vygosky, dan konstruktivisme emosional yang dimotori oleh Kohlberg. Pengusung

konstruktivisme kognitif pun bertebaran, diantaranya Ausuble, dan Bruner.

Vygotsky menawarkan suatu teori yang mengatakan bahwa potensi untuk perkembangan kognitif

dibatasi oleh suatu rentang tertentu dan bersifat unik bagi setiap individu belajar. Teori itu Zone of

Proximal Development (ZPD), dapat didefinisikan sebagai rentang antara tingkat perkembangan

kecerdasan aktual dan kecerdasan potensial. Teori Vygotsky juga mengklaim bahwa pembelajaran

akan sangat efektif ketika individu belajar ditempatkan dalam suatu lingkungan belajar yang

supportive dan ketika mereka menerima bimbingan yang sesuai. Peran bimbingan yang dilakukan

adalah untuk mengorganisasikan dukungan dinamis yang dapat digunakan pembelajar dalam

menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan sampai pada batas atas ZPD yang dimiliki pembelajar.

Page 270: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

262 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Interpretasi akan optimal dan sesuai dengan harapan tujuan pembelajaran ketika mendapatkan

dukungan dari lingkungan, dan ia dapat mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan apa yang

diberi interpretasi. Dalam menciptakan suasana lingkungan yang dapat mendukung interpretasi

siswa dalam pembelajaran, peran guru pada saat ini sangat dibutuhkan. Guru tidak hanya berperan

sebagai fasilitator namun dapat lebih dari itu, yang dapat membangkitkan motivasi, dan dapat

mendorong siswa untuk membangun pengetahuan baru.

Pengetahuan dapat dibangun apabila pembelajaran itu memiliki makna bagi siswa, seperti yang

dikatakan Ausubel, bahwa dalam belajar bermakna, materi yang diperolehnya dimengerti dan

siswa mampu mengembangkan ke dalam keadaan lain. Selanjutnya, Ausubel membedakan antara

belajar menerima dan menemukan. Belajar menerima, maksudnya siswa hanya menerima materi

dan menghapalkannya. Adapun belajar menemukan menurut Ausubel penting karena dengan

memberikan pengulangan secara garis besar tentang apa-apa yang akan dipelajari mengarahkan

siswa kepada proses pemahaman.

Sejalan dengan teori konstruktivisme yang mengatakan bahwa pengetahuan baru dibangun atas

dasar pengalaman dan pengetahuan yang ada sebelumnya, prinsip-prinsip pembelajaran

menganggap bahwa sistem memori yang paling krusial untuk memindahkan informasi menjadi

berbagai pengetahuan yang bermakna ke dalam memori jangka panjang (long term memory) adalah

memori jangka pendek. (short term memory). Seluruh informasi yang masuk ke otak manusia

diorganisasikan dan diproses dalam memori jangka pendek melalui proses interaksi dengan memori

jangka panjang. Tetapi mengingat memori jangka pendek hanya mampu mengolah informasi antara

8 – 11 unit informasi (psychological unit) setiap proses dilakukan (Schenck, J., Building Memory

Bank), maka untuk membangun pengetahuan dalam jumlah yang besar pemrosesan informasi

semestinya dilakukan secara bertahap.

Pada makalah ini, penulis mencoba memberikan alternatif pembelajaran seperti apa yang

diinginkan dalam konstruktivisme, khususnya dalam pembelajaran matematika sehingga

pembelajaran dapat bermakna. Akan tetapi, penulisannya dibatasi hanya pada pengembangan dan

penerapan prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dengan kaidah-kaidah konstruktivisme.

Prinsip-prinsip yang dikemukakan para pengembang konstruktivis pada umumnya belum secara

operasional seperti apa pembelajarannya di depan kelas. Karena itu, dalam makalah ini penulis

mencoba menafsirkannya melalui beberapa contoh pembelajaran matematika.

2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Matematika Menggunakan Konstruktivisme dan Penerapannya

Konstruktivisme sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi

pembelajaran matematika, terutama pendekatan mengajar yang disampaikan guru serta posisi dan

peran guru dalam proses pembelajaran matematika. Sebagaimana pernyataan Suparno (1997:12),

konstruktivisme sangat mempengaruhi praktek pendidikan sains dan matematika, banyak cara

mengajar di sekolah didasarkan pada konstruktivisme seperti cara belajar yang menekankan

peranan murid dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai

fasilitator yang membantu keaktifan murid tersebut dalam pembentukan pengetahuannya.

Pembelajaran matematika yang konstruktivis dapat dikembangkan dengan mengacu pada prinsip-

prinsip pembelajaran yang relevan. Dari sekian banyak teori yang dikemukakan para konseptor

dan pengembang konstruktivisme, penulis mencatat beberapa prinsip pembelajaran konstruktivis,

seperti apersepsi, peragaan, motivasi, aktivitas, kerjasama, mandiri, penyesuaian dengan

individu, korelasi, dan evaluasi yang teratur. Prinsip didaktisasi matematika yang dikemukakan di

atas sangat dipengaruhi oleh filsafat dan psikologi pembelajaran matematika.

Filsafat berpengaruh pada didaktisasi matematika, terutama dalam menentukan tujuan pendidikan

matematika serta menentukan pandangan kita sebagai anak manusia serta hubungan antara guru

dan siswa. Salah satu filsafat yang banyak mempengaruhi pendidikan matematika saat ini adalah

filsafat konstruktivisme. Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran matematika adalah

perlunya guru meyakini perannya sebagai fasilitator dalam membuat siswa aktif

mengkonstruksikan sendiri ide, konsep, prosedur, dan prinsip matematika.

Page 271: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 263

keliling2

1 l = rr 2

2

1

Psikologi memberikan sumbangan di dalam didaktisasi dari segi perkembangan anak dan

bagaimana anak belajar, termasuk bagaimana anak belajar matematika serta bagaimana guru dapat

memberikan bimbingan yang efektif sehingga hasil belajar siswa menjadi optimal. Salah satu

psikologi yang kini sangat berpengaruh dalam pendidikan matematika adalah aliran psikologi

kognitif yang lebih mengutamakan proses berpikir dalam memahami realitas dan kebenaran.

Tokohnya seperti Piaget, Bruner, Vygotsky, dan Van Hiele.

a. Prinsip Apersepsi

Apersepsi digunakan dalam mengajar dengan maksud untuk membangun pemahaman ide yang

baru dipelajari dengan mengaitkan pada pemahaman ide yang telah dimiliki siswa. Apersepsi

diperlukan untuk menafsirkan tanggapan-tanggapan baru. Apersepsi juga digunakan untuk

membangkitkan minat dan perhatian terhadap sesuatu berdasarkan pengetahuan yang ada. Contoh

apersepsi yang dapat dikembangkan guru di antaranya sebagai berikut.

Contoh 1

Pada pembelajaran dengan materi fungsi linear dan grafiknya (Puskur, 2002), pada saat hendak

masuk ke pembicaraan tersebut perlu diawali dengan kegiatan apersepsi seperti :

Menugasi siswa untuk menggambar titik-titik A(2,5), B(-3,5), C(0,4), D(6,6) pada bidang

koordinat Cartesius

Mengisi tabel yang memenuhi persamaan y

= x untuk (x,y) bilangan bulat antara -5 dan

5, kemudian menggambarkannya pada

bidang koordinat Cartesius.

Kegiatan apersepsi dapat dilanjutkan dengan kegiatan menggambar 2 titik sembarang pada bidang

koordinat dan menghubungkannya menjadi sebuah segmen garis.

Contoh 2

Untuk memasuki pelajaran tentang mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang jari-

jarinya, digunakan apersepsi di antaranya sebagai berikut.

Tanya jawab dengan siswa tentang konsep unsur-unsur lingkaran seperti jejari, diameter,

sektor, keliling.

Tanya jawab tentang pemahaman mencari luas daerah lingkaran yang diketahui panjang dan

lebarnya. Konsep-konsep terebut diperlukan untuk memahami luas daerah lingkaran secara

informal.

Dibuat daerah lingkaran dari kertas manila dengan panjang jejarinya tertentu, dipotong-potong

menurut sektor-sektornya dan dibentuk menyerupai persegi panjang seperti gambar di bawah

ini.

x

y

Page 272: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

264 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2

4

10

n

x

. 5

7

13

n+3

x+3

.

. .

. .

. .

. .

f

A B

b. Prinsip Peragaan

Banyak ahli psikologi belajar, terutama penganut psikologi kognitif mengajarkan kepada kita

bahwa untuk mengajarkan konsep yang abstrak harus dimulai dari sesuatu yang konkrit lalu

semikonkrit, kemudian abstrak. Salah satunya yang dikembangkan oleh Bruner, yaitu dengan

mengkonstruksi (enactive, iconic, simbolik), menyusun notasi, dan mengkontraskan. Misalnya pada

teori menyusun notasi, siswa mempelajari matematika yang menggunakan begitu banyak simbol,

hendaknya memahami secara bertahap mulai dari yang paling sederhana sesuai dengan tingkat

pemahamannya.

Contoh 3.

Untuk mengajarkan notasi fungsi linear (Puskur, 2002), tidak diajarkan dengan serta merta melalui

pendekatan f : x f(x), tetapi dimulai dari diagram Venn terlebih dahulu.

Hubungan dari suatu himpunan ke himpunan sebagai berikut.

Selanjutnya dijelaskan ada fungsi dari himpunan A ke himpunan B dan ditulis:

f : A → B

f : n → n + 3

f(n) → n + 3

f(x) → x + 3

y = x + 3

c. Prinsip Motivasi

Salah satu fungsi yang melekat pada diri guru adalah peran sebagai motivator, yang mampu

mendorong siswa memiliki semangat dan kemauan belajar yang lebih tinggi. Motivasi yang dapat

ditanamkan bisa berupa motivasi intrinsik (yang didorong oleh cita-cita, harapan pribadi dari

siswa) atau motivasi ekstrinsik (tumbuh dari luar diri siswa). Misalnya, guru dapat melakukan

beberapa tindakan seperti memberi nilai secara obyektif, memberi hadiah dan penghargaan,

menumbuhkan rasa sukses, membiasakan sikap bekerja sama, membangun suasana kelas yang

menyenangkan.

d. Prinsip Belajar Aktif

Makna aktif dapat bermacam-macam bentuknya seperti mendengarkan, menulis, membuat,

mendiskusikan. Tetapi, ada pula keaktifan yang tak dapat diamati secara langsung, misalnya

menggunakan khasanah ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah, memilih teorema untuk

membuktikan, melakukan asimilasi dan akomodasi untuk memperoleh pengetahuan baru. Apalagi

dalam matematika syarat dengan aktivitas abstrak. Karena itu, pembelajaran yang dapat dilakukan

hendaknya tidak seutuhnya mengedepankan metode ceramah, tetapi hendaknya bervariasi dengan

metode lain yang dapat membangkitkan keaktifan siswa, seperti cooperative learning atau Problem

Based Instruction.

Page 273: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 265

Contoh 4.

Pembelajaran matematika di SMP melalui Problem Based Instruction.

Pokok bahasan : Statistika

Kelas : Kelas 2

Topik : Penyajian Data

Kegiatan 1: Mengumpulkan data

Pilihlah olehmu satu topik kegiatan berikut ini.

Penimbangan berat badan teman-teman sekelasmu sampai kg terdekat

Pengukuran tinggi badan teman-teman sekelasmu sampai cm terdekat

Menanyakan usia teman-temanmu sampai tahun terdekat

Rekamlah data yang kamu peroleh tadi melalui tabel atau diagram.

Kegiatan 2: Menganalisis data

Urutkanlah data yang diperoleh kemudian tentukanlah mean, median, dan modus dari data itu.

Jelaskan ukuran manakah yang lebih mewakili jawaban itu. Mengapa?

Kegiatan 2: Memamerkan hasil

Sajikan atau tunjukkan data hasil pengukuran atau hasil survey tersebut ke dalam tiga diagram

berbeda (diagram batang, diagram garis, dan diagram lingkaran)

Menurut pendapatmu, diagram mana yang sesuai untuk menyajikan data hasil pengukuran atau

hasil survey tersebut? Mengapa

e. Prinsip Kerjasama

Di dalam pembelajaran siswa perlu diberikan kesempatan untuk berlatih belajar bagaimana hidup

dalam kelompok. Wujud nyatanya, siswa diharapkan terlibat dalam tugas-tugas kelompok. Guru

bertugas memfasilitasi kegiatan kelompok agar berlangsung produktif dan dinamis. Untuk

mengefektifkan kerja kelompok dapat digunakan pendekatan cooperative learning tipe jigsaw.

Pelaksanaan diskusi tipe jigsaw akan dapat menghilangkan ketergantungan kelompok pada

anggota tertentu saja, dan semua anggota dapat berpartisipasi aktif. Kegiatan diskusi model jigsaw

yang bisa disarankan untuk pembelajaran matematika di sini seperti contoh berikut ini.

Contoh 5

Misalkan satu kelas yang terdiri atas 30 siswa dibagi ke dalam 3 kelompok sebut kelompok

Pythagoras (P), Euclid (E), dan Cartesius (C). Masing-masing anggotanya sebanyak 10 orang.

Kelompok P terdiri atas P1, P2, P3, ... P10. Kelompok E terdiri atas E1, E2, E3, ... E10. Kelompok

C terdiri atas C1, C2, C3, ... C10.

Guru menyiapkan 10 macam tugas yang berbeda antara tugas yang satu dengan yang lainnya.

Kemudian anggota ke-1 dari setiap kelompok (P1, E1, C1) mengerjakan tugas 1, anggota ke-2

dari setiap kelompok kelompok (P2, E2, C2) mengerjakan tugas 2, dan seterusnya hingga tugas

10 oleh anggota ke-10 setiap kelompok (P10, E10, C10)

Setelah selesai menyelesaikan tugas di kelompok kecil, setiap anggota menjadi narasumber di

kelompok besar mengenai soal atau tugas yang dikerjakan pada kelompok kecil. Misalnya, P1

sebagai nara sumber pada kelompok P dalam memecahkan soal/tugas 1. E1 sebagai nara

sumber pada kelompok E dalam memecahkan soal/tugas 1, dan seterusnya hingga C10 sebagai

nara sumber pada kelompok C dalam memecahkan soal/tugas 10.

Diskusi pada kelompok besar (P, E, dan C) berupa pembahasan soal/tugas 1 , soal/tugas 2, dan

seterusnya hingga soal/tugas 10.

Gambaran prosedur kegiatan di atas seperti diperlihatkan skema berikut ini.

Page 274: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

266 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

P1

P7

P3P

8

P4

P10

P2

P5

P6

P9

E1

E7

E3E

8

E4

E10

E2

E5

E6

E9

C1

C7

C3C

8

C4

C10

C2

C5

C6

C9

C1E

1

P1

C2E

2

P2

. . . . . . C10E

10

P10

30 siswa disebar

f. Prinsip Mandiri

Paham konstruktivisme merupakan paham yang sesuai untuk mengembangkan kemandirian pada

proses berpikir siswa karena esensi konstruktivisme mampu mengkonstruk ide berdasarkan

pengetahuan/pengalaman yang pernah didapatkan tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada

penjelasan guru sebagai salah satu nara sumber. Menurut penulis tugas-tugas membaca dan

metode proyek dapat dijadikan sarana untuk memupuk kemandirian siswa. Berikut ini contoh yang

dapat diterapkan guna memupuk kemandirian belajar siswa.

P1

P7

P3P

8

P4

P10

P2

P5

P6

P9

E1

E7

E3E

8

E4

E10

E2

E5

E6

E9

C1

C7

C3C

8

C4

C10

C2

C5

C6

C9

C1E

1

P1

C2E

2

P2

. . . . . . C10E

10

P10

30 siswa disebar

Page 275: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 267

4

5 2

3

2 1

1

Susunan ke- gambar

1

2

dst dst

Contoh 6

Sekolah Menengah Pertama/

Madrasah Tsanawiyah

………………………………………..........

Kelas : 1 Semester : 2

Kompetensi matematika : Geometri

Topik : Luas

Kompetensi dasar : kekekalan luas

Hasil belajar : memahami konsep kekekalan luas

Indikator : dapat menyusun potongan gambar (tangram) dalam berbagai

susunan

Model Pembelajaran : Permainan

Penilaian :Asesmen Proyek dengan cara scoring holistic rubriks

Tugas : Siswa diminta untuk menjiplak gambar

tangram berikut ini beberapa kali. Hasil

jiplakan itu dipotong-potong sesuai

gambar, kemudian dipakai untuk

membentuk bangun geometri yang lain,

misalnya kucing-kucingan, anjing-

anjingan, lilin menyala, perahu layar,dan

lain-lain

Lakukan pembagian tugas di antara teman- teman

sekelompokmu!

Susunlah setiap hasil kerja kelompokmu pada

tabel berikut ini.

Tampilkan hasil pekerjaan kelompokmu itu

g. Prinsip Korelasi

Prinsip korelasi yang penulis dimaksudkan di sini adalah upaya mengaitkan satu topik matematik

dengan topik lain dalam matematika juga atau dengan mata pelajaran lain serta dengan kehidupan

keseharian. Tujuannya agar selama mengkonstruk pengetahuan yang baru siswa mendapatkan

kesenangan dan kemanfaatan dari pengetahuan yang dipelajarinya itu.

Contoh 7

Ketika guru mengajarkan basis bilangan perlu dijelaskan betapa peran pentingnya perubahan basis

decimal ke sistem biner sehingga kemudian dapat diterapkan untuk menyusunkan kode-kode

atau simbol-simbol ke dalam rangkaian angka 0 dan 1 yang dikaitkan dengan rangkaian arus

listrik, kemudian menjadi sistem pengolahan informasi yang dikenal dalam komputer.

Page 276: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

268 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

h. Prinsip Asesmen Otentik

Model asessmen yang dikembangkan adalah penilaian yang sesungguhnya (assessmen authentic).

Maksudnya, penilaian terhadap hasil kerja siswa saat berlangsung proses kegiatan siswa belajar dan

di akhir pembelajaran. Jadi, tidak hanya pada saat siswa mengerjakan tes akhir suatu pokok

bahasan saja. asesmen otentik yang dikembangkan meliputi Paper and Pencil Tes, Performance

Assessment, Project Assessment, Product Assessment, Portfolio. Berikut beberapa contoh asesment

tersebut yang dapat dikembangkan para guru matematika.

Contoh 8 Asesmen Kinerja

Sekolah Menengah Pertama/

Madrasah Tsanawiyah

………………………………………..........

Kelas : 3 (tiga) Semester : 1 (satu)

Kompetensi matematika : Statistika dan Peluang

Topik : Statistika

Kompetensi dasar : Melakukan kegiatan statistika

Hasil belajar : Menyajikan dan menafsirkan data

Indikator :

Menghitung mean (rata-rata)

Menjelaskan makna mean (rata-rata)

Model pembelajaran : Cooperative Learning tipe STAD

Penskoran : Menggunakan rubrics untuk setiap respon yang diberikan siswa

pada setiap langkah pekerjaannya

SOAL 1 a. Guntinglah seutas benang menjadi tiga potong yang berbeda panjangnya.

b. Tanpa menggunakan alat ukur panjang, carilah rata-rata panjang ketiga benang tersebut.

c. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata panjang ketiga benang tersebut.

SOAL 2 Siswa berkumpul dalam kelompok masing-masing

Dalam setiap kelompok siswa dibagi permen/kerikil/kelereng atau yang sejenisnya dengan

jumlah permen/kerikil/kelereng yang berbeda setiap orangnya.

a. Hitunglah jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu dapatkan dan ingat baik-baik jumlah

permen/kerikil/kelereng tersebut.

b. Pilihlah seorang teman dalam kelompokmu, tanya berapa jumlah permen/kerikil/kelereng

yang ia dapat. Jumlah permen/kerikil/kelereng yang paling banyak dari pasanganmu itu

berikan pada teman pasanganmu yang memiliki permen/kerikil/kelereng lebih sedikit,

sehingga jumlah permen/kerikil/kelereng yang kamu miliki dengan pasanganmu sama atau

lebihnya satu.

c. Pilih kembali teman yang lain sebagai pasanganmu dan lakukan seperti langkah b di atas.

Demikian seterusnya sampai setiap orang dalam kelompokmu memiliki jumlah permen

yang sama.

d. Tulislah rumus yang mungkin untuk menyatakan rata-rata dari banyaknya permen yang

didapat setiap orang dalam kelompokmu.

Lembar Penilaian Rubriks

Nama

Siswa Kelompok

Skor tiap Langkah

a b c D

Jumlah skor

Page 277: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 269

Contoh 9 Asesmen Proses

Sekolah Menengah Pertama/

Madrasah Tsanawiyah

………………………………………..........

Kelas : 3 (tiga) Semester : 1 (satu)

Kompetensi matematika : Pengukuran dan Geometri

Topik : Kesebangunan

Kompetensi dasar : Menerapkan konsep kesebangunan

Hasil belajar : Menentukan perbandingan kesebangunan dua bangun datar

Indikator : Menggambar bangun-bangun yang sebangun dengan

menggunakan bidang koordinat

Model pembelajaran : cooperative learning

Penskoran : Rubriks

Kisi-Kisi Pertanyaan

Nomor Soal Jenis Pertanyaan

1a reasoning, connecting

1b measuring, using tools

1c Visualizing

1d measuring, using tools

1e comparing, reasoning, counting

1f comparing, reasoning, counting

1g comparing, reasoning, connecting

Langkah Kerja

Perhatikan gambar kepala boneka di samping ini.

1. a. Tentukan letak titik-titik sudut pada gambar di

samping ini (lihat tabel 1 kolom 3)

b. Lengkapilah tabel 1 untuk kolom 4

c. Gambarlah bayangan dari gambar kepala boneka

pada kertas berpetak yang lain sesuai dengan tabel

1 kolom 6.

d. Lengkapilah tabel 1 kolom 6

e. Bandingkan panjang sisi-sisi yang bersesuaian

antara bangun 1 dan bangun 2

f. Bandingkan besar sudut yang bersesuaian antara bangun 1 dan bangun 2

g. Kesimpulan apa yang kamu peroleh tentang bangun 1 dan bangun 2 ? Jelaskan

2. Lakukan seperti soal 1 (b) s.d. (g) untuk tabel kolom 7 dan kolom 8 (bangun 3) !

Tabel 1

Kelom-

pok

Titik

Sudut

Bangun 1 Bangun 2 Bangun 3

Koordinat

(x,y)

Besar

sudut

Koordinat

(x+2,y+2)

Besar

Sudut

Koordinat

(x-2,y-2)

Besar

Sudut

Wajah A (2,12) ........... ........... ........... ........... ...........

B (1,10) 153o43‘ ........... ........... ........... ...........

C (1,4) 153o43‘ ........... ........... ........... ...........

D (2,2) 153o43‘ ........... ........... ........... ...........

E (10,2) ........... ........... ........... ........... ...........

F (11,4) ........... ........... ........... ........... ...........

G (11,10) ........... ........... ........... ........... ...........

H (10,12) ........... ........... ........... ........... ...........

Mulut ... ........... ........... ........... ........... ........... ...........

... ... ... ... ... ... ... ...

dst dst dst Dst dst dst Dst dst

O

Y

X

Page 278: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

270 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Contoh 10 Penilaian Proses

Sekolah Menengah Pertama/

Madrasah Tsanawiyah

………………………………………..........

Kelas : 3 Semester : 2

Kompetensi matematika : Penalaran

Topik : Pembuktian induktif dan deduktif

Kompetensi dasar : Menerapkan konsep barisan/deret bilangan

Hasil belajar : Menentukan banyak loncatan minimal pada permainan menara

Hanoi

Indikator : Menemukan rumus untuk banyak loncatan minimal pada

permainan menara Hanoi

Model pembelajaran : permainan

Penskoran : kartu evaluasi

Soal

Berikut ini dua model penalaran dalam matematika untuk menentukan banyak loncatan minimal

pada permainan menara Hanoi.

Lengkapilah langkah-langkah tersebut dengan cara mengisi titik-titik a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k

yang ada

Model Penalaran induktif

Pin Loncatan Selisih Loncatan

1

2

3

4

5

.

.

. k – 1

k

k + 1

.

.

.

N

1

3

7

15

31

21 – 1 = 1

22 – 1 = 3

23 – 1 = 7

......(a)......

25 – 1 = 31

........(c).......

2k - 1

2k+1

– 1

.......(e).......

2

4

8

.......(b)......

2k-1

.......(d).....

Model Penalaran deduktif

Untuk n = 1 benar bahwa banyak loncatannya adalah 21 – 1 = 1

Andaikan benar untuk n = k, yaitu banyak loncatannya adalah 2k – 1, maka akan dibuktikan

bahwa benar pula untuk n = k + 1, yaitu .....(f).....

Dengan demikian, untuk n = .....(g)..... berlaku

(2k – 1) + selisihnya = 2

k – 1 + .....(h).....

= ......(i).....

= 2k+1

– 1.

Jadi, terbukti bahwa untuk pin sebanyak n = k+1, loncatannya sebanyak 2k+1

– 1 = 1

Penskoran

Skor tertinggi adalah 9. Skor +1 untuk setiap tempat kosong

Page 279: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 271

3. Penutup

Demikianlah ilustrasi pembelajaran yang bisa dikembangkan dalam mengimplementasikan filsafat

konstruktivisme dalam pembelajaran matematika di SLTP. Teringat pada sebuah pendapat

mengatakan sebaik apapun suatu teori belajar mengajar, maka tidak ada teori belajar mengajar yang

paling unggul. Semuanya tergantung kepada si penyampai pelajaran, penerima pelajaran, dan

lingkungan belajarnya, alias guru, siswa, dan sekolah itu sendiri. Tiga hal itu mengait dan saling

mendukung untuk mewujudkan PBM yang bermutu sehingga hasil belajar siswa tercapai sesuai

dengan tujuan.

Prinsip-prinsip didaktisasi pembelajaran matematika berdasarkan konstruktivisme di atas bermuara

pada kompetensi guru, baik secara profesional maupun akademik. Dengan demikian, harapan

semakin baiknya kualitas dan hasil pembelajaran matematika di masa datang diharapkan menjadi

kenyataan. Semoga.

DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Paul (1994). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology and Mathematics

Education. London: The Falmer Press.

Puskur (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTS. Jakarta:

Pusat Kurikulum – Balitbang Depdiknas.

Soedjadi (1994).Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan

Pembudayaan Penalaran. Surabaya: PPS IKIP Surabaya

Suparno, Paul (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius

Vygotski (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes. London :

Harvard University Press.

Page 280: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

272 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KREATIF MATEMATIK

SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF

THINK-TALK-WRITE (TTW)

Oleh: Wahyu Hidayat

Jurusan Pendidikan Matematika - MIPA STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen berbentuk kelompok kontrol pretes-postes, dengan perlakuan

pendekatan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) dan pembelajaran konvensional.Berdasarkan

hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa

yang memperoleh pembelajaran dengan cara konvensionalberdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi,

sedang, dan kurang ( = 5%); (2) Tidak terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan TKAS

dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa ; (3) Faktor Pendekatan Pembelajaran

memiliki peran yang lebih besar dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dibanding

faktor Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS).

Kata kunci : berpikir kreatif matematik, Think-Talk-Write (TTW) A. Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,

mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir

manusia.Pembelajaranmatematika diberikan pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah,

bertujuan agar siswa dapat menggunakan matematika sebagai cara bernalar (berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama). Hal ini menunjukkan bahwa salah satu

tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP adalah dapat mengembangkan berpikir kritis dan

kreatif siswa yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran

divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. Dengan

demikian pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengembangkan

kemampuan berpikir kritis, logis, kreatif dan bekerja sama yang diperlukan siswa dalam kehidupan

modern.

Pada dasarnya sejak masih kanak-kanak manusia sudah cenderung memiliki kemampuan berpikir

kritis dan kreatif.Sebagai makhluk rasional dan pemberi makna, manusia selalu terdorong untuk

memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya.Kecenderungan itu dapat kita temukan pada seorang

anak kecil yang memandang berbagai benda di sekitarnya dengan rasa ingin tahu dan menguji coba

segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya lalu menarik kesimpulan dari hal-hal yang

ditemuinya.

Dalam upaya meningkatkan kualitas matematika, maka perlu terus dilakukan usaha-usaha untuk

mencari penyelesaian terbaik guna meningkatkan kreativitas berupa pengembangan kemampuan

berpikir kritis dan kreatif siswa dalam matematika. Untuk itu diperlukan usaha-usaha apa yang

dilakukan oleh guru berupa inovasi-inovasi dalam pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar

dapat lebih bermakna bagi siswa. Hendriana (2009 : 5) mengatakan bahwa pola pembelajaran

ceramah dan ekspositori ini kurang menanamkan pemahaman konsep, karena siswa kurang aktif.

Sehingga, jika siswa diberi soal yang berbeda dengan soal yang telah diselesaikan oleh gurunya,

maka siswa akan kesulitan untuk menyelesaikan, karena mereka tidak memahami konsep.

Page 281: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 273

Hasil studi awal di Kota Cimahi terhadap siswa SMA, kecenderungan mereka menganggap bahwa

matematika adalah pelajaran yang sulit untuk dipelajari dan jika diperbolehkan mereka berusaha

menghindar dari bidang studi matematika.Kecenderungan ini berakibat pada motivasi siswa untuk

belajar matematika sangat rendah.Ini juga berakibat pada tingkat Kemampuan Awal Siswa

terhadap matematika (TKAS) yang rendah.

Tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap Matematika (TKAS) memberi pengaruh langsung atau

tidak terhadap kemampuan matematika selanjutnya. Karena orang yang belajar matematika harus

memiliki pengetahuan matematika sebelumnya (Sumarmo, 2002). Ada kemungkinan kemampuan

siswa baik, sedang ataupun kurang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa.

Salah satu solusi dari permasalahan-permasalahan di atas adalah pembelajaran matematika di

sekolah dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) yang diupayakan

dapat membuat siswa lebih aktif terlibat dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Melalui

keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika tersebut, maka diharapkan

kemampuan berpikir kreatif matematik siswa akan dapat terlatih dengan baik. Pembelajaran

Kooperatif TTW diharapkan dapat memicu keaktifan siswa di dalam kelas yang sasarannya dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan cara biasa berdasarkan tingkat kemampuan siswa tinggi,

sedang, dan kurang?

2. Apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajarandan Tingkat Kemampuan Awal

Siswa (TKAS)dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?

3. Mana di antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang

lebih berperan dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran dengan cara biasa berdasarkan tingkat kemampuan

siswa tinggi, sedang, dan kurang.

2. Mengetahui apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat

Kemampuan Awal Siswa (TKAS)dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa.

3. Mengetahui mana di antara pendekatan pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa

(TKAS) yang lebih berperan dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa.

D. Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat :

1. Bagi siswa, penerapan pembelajaran dengan Kooperatif Think-Talk-Write (TTW) sebagai

salah satu sarana untuk melibatkan aktivitas siswa secara optimal dalam memahami konsep

matematika sehingga konsep yang semula abstrak akan lebih cepat dipahami secara

terintegrasi. Dengan menggunakan pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write (TTW) belajar

siswa menjadi bermakna karena ia dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya

dengan konsep yang dikenalnya. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya

Page 282: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

274 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

dengan tidak menganggap lagi matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya

memiliki kemampuan untuk mempelajari mata pelajaran ini sehingga pada akhirnya siswa

diharapkan lebih mempunyai kepercayaan diri dalam belajar matematika.

2. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga sehingga dapat dijadikan bahan

pertimbangan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik pada

berbagai jenjang pendidikan.

E. Berpikir Kreatif Matematik dan Think-Talk-Write (TTW)

1. Berpikir KreatifMatematik

Kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk menghasilkan atau mengembangkan

sesuatu yang baru, yaitu sesuatu yang berbeda dari ide-ide yang dihasilkan kebanyakan orang.

Coleman dan Hammen (Yudha, 2004: 63) menyatakan bahwa berpikir kreatif merupakan cara

berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep, pengertian, penemuan dan karya

seni. Sejalan dengan pendapat Coleman dan Hammen, (Sukmadinata, 2004:177) mengemukakan,

―Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan

ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating)‖.

Munandar (Nurlaelah, 2009 : 37) mengemukakan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur

kreativitas yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibiliy), keaslian (originality), dan keterincian

(elaboration). Sejalan dengan pendapat munandar tersebut, nurlaelah (2009 : 18) menyatakan

bahwa kreativitas matematika adalah tingkat kemampuan matematika mahasiswa yang memiliki

ciri-ciri kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterincian.

Nicholl (Rohaeti, 2008 : 18) mengatakan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk

menjadi orang kreatif adalah: mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya; berpikir empat arah;

memunculkan banyak gagasan; mencari kombinasi terbaik dari gagasan-gagasan itu; memutuskan

mana kombinasi terbaik; dan melakukan tindakan.

Berpikir kreatif matematik adalah kemampuan yang meliputi keaslian, kelancaran, kelenturan, dan

keterperincian respon siswa dalam menggunakan konsep-konsep matematika.

2. Think-Talk-Write (TTW)

Pembelajaran TTW dimulai dengan bagaimana siswa memikirkan penyelesaian suatu tugas atau

masalah, kemudian diikuti dengan mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui forum diskusi,

dan akhirnya melalui forum diskusi tersebut siswa dapat menuliskan kembali hasil pemikirannya.

Aktivitas berpikir, berbicara, dan menulis adalah salah satu bentuk aktivitas belajar-mengajar

matematika yang memberikan peluang kepada siswa untuk berpartisipasi aktif.Melalui aktivitas

tersebut siswa dapat mengembangkan kemampuan berbahasa secara tepat, terutama saat

menyampaikan ide-ide matematika.

a. Think

Menurut Marzuki (2006 : 27) bahwa berpikir yang dilakukan manusia meliputi lima dimensi yaitu :

1) Metakognisi, merupakan kesadaran seseorang tentang proses berpikirnya pada saat melakukan

tugas tertentu dan kemudian menggunakan kesadaran tersebut untuk mengontrol apa yang

dilakukan.

2) Berpikir kritis dan kreatif, merupakan dua komponen yang sangat mendasar. Berpikir kritis

merupakan proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu

seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang

diyakini serta dilakukan. Sedangkan berpikir kreatif merupakan kemampuan yang bersifat

spontan, terjadi karena adanya arahan yang bersifat internal dan keberadaannya tidak bisa

diprediksi.

3) Proses berpikir, memiliki delapan kompenen utama yaitu pembentukan konsep, pembentukan

prinsip, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, penelitian, penyusunan,

dan berwacana secara oral.

Page 283: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 275

4) Kemampuan berpikir utama, juga memiliki delapan komponen yang memfokuskan,

kemampuan mendapatkan informasi, kemampuan mengingat, kemampuan

mengorganisasikan, kemampuan menganalisis, kemampuan menghasilkan, kemampuan

mengintegrasi, serta kemampuan mengevaluasi.

5) Berpikir matematik tingkat tinggi, pada hakekatnya merupakan non-prosedural yang antara

lain mencakup hal-hal berikut : kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola, kemampuan

menggunakan fakta-fakta, kemampuan membuat ide-ide matematik, kemampuan berpikir dan

bernalar secara fleksibel, serta menetapkan bahwa suatu pemecahan masalah bersifat logis.

b. Talk

Diskusi dapat menguntungkan pendengar yang baik, karena dapat memberi wawasan baru baginya.

Baroody (Ansari, 2003:25) menguraikan beberapa kelebihan dari diskusi kelas, yaitu :

1) Dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi.

2) Membantu siswa mengkonstruksi matematika.

3) Menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri-

sendiri, tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim.

4) Membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana.

c. Write

Aktivitas menulis berarti mengonstruksi ide, karena setelah berdiskusi antar teman kemudian

mengungkapkannya melalui tulisan. Shield dan Swinson(Ansari, 2003:39)menyatakan, bahwa

menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan pembelajaran, yaitu

pemahaman siswa tentang materi yang ia pelajari.Aktivitas selama tahap ini adalah :

1) Menulis solusi terhadap masalah yang diberikan termasuk perhitungan.

2) Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah.

3) Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan yang tertinggal.

4) Meyakini bahwa pekerjaannya lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya.

F. Metode dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain penelitiannya sebagai berikut :

O X O (Ruseffendi, 2005 : 53)

O O

Keterangan :

O : Tes Kemampuan berpikir kreatifmatematik

X : Perlakuan dengan pembelajaran Kooperatif TTW

Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota

Cimahi. Kemudian dari sekolah tersebutdiambil siswa kelas XI sebagai subyek sampel.Disamping

skenario pembelajaran untuk pendekatan TTW, dalam penelitian ini digunakan Instrumen berupa

tes kemampuan berpikir kreatif matematik.

G. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan beberapa macam instrumen, yaitu

seperangkat tes kemampuan berpikir kreatifmatematik.Didalam penelitian ini disamping tes awal,

kedua sampel dikelompokkan berdasarkan Tingkat Kemampuan Awal Siswa (TKAS) yang data

kuantitatifnya diperoleh dari data nilai guru pada tiga standar kompetensi terakhir. Untuk

mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa sebelum dan

setelah kegiatan pembelajaran, dilakukan analisis skor gain ternormalisasi yang dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

g = skor tes akhir −skor tes awal

skor maksimum ideal −skor tes awal

Page 284: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

276 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tingkat perolehan skor gain ternormalisasi dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu :

0,70 < g : Tinggi

0,30 ≤ g ≤ 0,70 : Sedang

g < 0,30 : Rendah

H. Analisis Data dan Pembahasan

Deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik merupakan gambaran kualitas

peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran

(pendekatan pembelajaran TTW dan pendekatan pembelajaran KONV) dan Tingkat Kemampuan

Awal Siswa (TKAS) kelompok tinggi, sedang atau kurang. Deskripsi yang dimaksud adalah rata-

rata dan standar deviasiberdasarkan pendekatan pembelajarandan klasifikasi Tingkat Kemampuan

Awal Siswa (TKAS). Tabel E.1

Deskripsi Data Gain Ternormalisasi

Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik Siswa

Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan TKAS

Pend

Pemb TKAS

Skor Rata-rata

Simp.

Baku Min. Maks.

TTW

TINGGI 0,63 0,83 0,75 0,07

SEDANG 0,53 0,82 0,71 0,10

KURANG 0,59 0,76 0,68 0,07

TOTAL 0,53 0,83 0,72 0,08

KONV

TINGGI 0,38 0,61 0,51 0,08

SEDANG 0,25 0,53 0,39 0,09

KURANG 0,31 0,59 0,47 0,10

TOTAL 0,25 0,61 0,44 0,10

Catatan: Skor Maksimum Ideal 1,00

Berdasarkan Tabel E.1, dapat dikemukakan deskripsi peningkatan kemampuan berpikir

kreatifmatematiksiswa sebagai berikut:

1) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa secara keseluruhan

berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata 0,72>0,44;

standar deviasi 0,08 <0,10;Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir

kreatif matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik

daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional.

2) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari

TKAS tinggi berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata

0,75>0,51; standar deviasi 0,07<0,08. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

berpikir kreatifmatematik siswa pada TKAS tinggiyang pembelajarannya menggunakan

kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara

konvensional.

3) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari

TKAS sedang berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata

0,71> 0,39; standar deviasi 0,10> 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

berpikir kreatifmatematik siswa pada TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan

kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara

konvensional.

4) Perbandingan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang berasal dari

TKAS kurang berdasarkan jenis pendekatan pembelajaran (TTW dan KONV) adalah rerata

0,68> 0,47; standar deviasi 0,07< 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS kurang yang pembelajarannya menggunakan

kooperatif TTW lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara

konvensional.

Page 285: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 277

5) Dari faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor pendekatan pembelajaran lebih

berperan daripada faktor TKAS dalam pencapaian kemampuan berpikir kreatifmatematik

siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa

TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan kooperatif TTW lebih baik daripada

peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa TKAS tinggi yang

pembelajarannya menggunakan carakonvensional. Begitu pula peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematik siswa TKAS kurang yang pembelajarannya menggunakan

kooperatif TTW lebih baik daripada peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik

siswa TKAS sedang yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional. Dengan

demikian dari kedua faktor yaitu pendekatan pembelajaran dan TKAS maka faktor

pendekatan pembelajaran yang lebih berperan dalam pencapaian peningkatan kemampuan

berpikir kreatifmatematik siswa.

Untuk mendukung deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatifmatematik yang telah

dijelaskan, maka dilakukan analisis data berpikir kreatif matematik siswa melalui uji statistik

dengan menggunakan ANOVA dua jalur.

Tabel E.2

Rangkuman Uji Anova Dua Jalur

Peningkatan Kemampuan Berpikir KreatifMatematik

Berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan TKAS

SUMBER JK dk RJK F hit Sig

Pendekatan Pembelajaran (A) 1,051 1 1,051 149,246 0,000

TKAS (B) 0,079 2 0,039 5,573 0,006

AxB 0,030 2 0,018 2,624 0,081

Inter 0,402 57 0,007

(Diambil dari output SPSS. 17)

a) Pendekatan Pembelajaran

H0 : e = k

HA : ke

Kriteria pengujian :

Jika sig> 0,05 maka H0 diterima

Dari Tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,000; atau dengan kata lain sig< 0,05. Hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif

matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif TTW dengan yang

pembelajarannya menggunakan cara konvensional pada taraf signifikansi 5%.

b) Peringkat Sekolah

H0 : ''' kst

HA : Paling tidak terdapat satu TKAS yang berbeda secara signifikan dengan TKAS lainnya

Kriteria pengujian :

Jika sig> 0,05 maka H0 diterima

Dari tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,006; atau dengan kata lain sig< 0,05; hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu kelompok siswa dengan TKAS tertentu yang

kemampuan berpikir kreatif matematik siswanya berbeda secara signifikan dengan TKAS lainnya

pada taraf signifikansi 5%. Untuk mengetahui TKAS mana yang berbeda secara signifikan

dilakukan uji scheffe. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel E.3

Page 286: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

278 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel E.3

Uji Scheffe Skor Rerata Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik

Berdasarkan TKAS

TKAS (I) TKAS(J) Sig H0

Tinggi Sedang 0,000 Ditolak

Sedang Kurang 0,359 Diterima

Tinggi Kurang 0,024 Ditolak

(Diambil dari output SPSS.17)

Dari Tabel E.3 disimpulkan bahwaterdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir

kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang dibandingkan siswa dengan TKAS sedang

pada taraf signifikansi 5%. Dalam hal ini kemampuan berpikir kreatif matematik siswa dengan

TKAS tinggi dan kurang lebih baik daripada siswa dengan TKAS sedang. Implikasinya

Kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada TKAS tinggi dan kurang lebih berkembang dari

TKAS sedang.

c) Efek Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan TKAS

H 0 : Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah

H A : Paling tidak ada satu selisih yang berbeda secara signifikan dari yang lainnya.

Dari tabel E.2 diperoleh nilai sig = 0,081 lebih besar dari 0,05; hal tersebut dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat efek interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran (TTW dan

KONV) dengan TKAS dalam menghasilkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada

taraf signifikansi 5%.

F. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang pembelajarannya

menggunakan pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW) lebih baik daripada yang

pembelajarannya menggunakan cara konvensional (KONV) berdasarkan kemampuan siswa

tinggi, sedang, dan kurang.Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran TTW pada siswa yang kemampuannya tinggi

dan sedang berada dalam kualifikasi tinggi, sedangkan yang lainnya berada dalam kualifikasi

sedang.

2. Tidak terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan Tingkat Kemampuan

Awal Siswa (TKAS) dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa.

Berarti secara bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan TKAS tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematik siswa pada taraf

signifikansi 5%.

3. Faktor Pendekatan Pembelajaran memiliki peran yang lebih besar dalam pencapaian

kemampuan berpikir kreatifmatematik siswa dibanding faktor Tingkat Kemampuan Awal

Siswa (TKAS).

Page 287: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 279

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, B. I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa

Sekolah Menengah Umum (SMU) melalui Strategi Think Talk Write. Disertasi Sekolah Pasca

Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Hendriana, H. (2009). Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik Dan Kepercayaan Diri Siswa

Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Marzuki, A. (2006). Implementasi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Dalam Upaya

Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Tesis pada PPS

UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Nurlaelah, E. (2009). Pencapaian Daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa Calon Guru Melalui

Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Disertasi pada SPS UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.

Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran Dengan Pendekatan Eksplorasi Untuk Mengembangkan Kemampuan

Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah

Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung :

Tarsito

Sukmadinata, N.S (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kesuma

Karya.

Sumarmo,U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Makalah disajikan pada Seminar Nasional FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan

Yudha, A. S. (2004). Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas Cyber Media.

Page 288: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

280 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ARIAS

TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN

MATEMATIS SISWA SMP

DITINJAU DARI TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

Hamidah

Jurusan Pendidikan Matematika - MIPA

STKIP Siliwangi

Abstrak.

Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman dapat membantunya mengembangkan bagaimana untuk

berfikir dan bagaimana untuk membuat keputusan. Sehingga, rendahnya kemampuan pemahaman matematis

siswa dapat mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi siswa di sekolah.

Salah satu upaya mengatasinya adalah dengan menciptakan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa

serta memotivasi siswa saat pembelajaran berlangsung, yaitu dengan model pembelajaran ARIAS. Sampel

pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII. Selanjutnya, penelitian ini juga ditinjau dari tingkat

kecerdasan emosional siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS memberikan

pemahaman yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Kemudian,

ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional siswa, diketahui bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional

siswa maka semakin baik kemampuan pemahamannya. Namun pembelajaran dengan model ARIAS tidak

dapat membedakan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diberikan pada siswa dengan

tingkat kecerdasan emosional tinggi, sedang, ataupun rendah. Selanjutnya, dilihat dari aktivitas menunjukkan

siswa sangat aktif pada saat pembelajaran dengan model ARIAS terlebih aktivitas diskusinya. Kemudian,

dari respon siswa diketahui bahwa siswa merespon positif terhadap pembelajaran dengan model ARIAS.

Kata kunci: pembelajaran ARIAS, pemahaman matematis, kecerdasan emosional.

A. Latar Belakang Masalah

Menurut National Research Council (1989), bahwa sebenarnya semua keterampilan matematis itu

didasarkan pada pemahaman matematis. Siswa yang memiliki kemampuan pemahaman dapat

membantunya mengembangkan bagaimana untuk berfikir dan bagaimana untuk membuat

keputusan (Allen, 1992; Borasi & Rose, 1989; Burton & Morgan, 2000; Countryman, 1992;

Noraini, 2009). Dengan demikian, membangun pemahaman matematis dapat mengembangkan

kemampuan matematis lainnya.

Menurut Sardiman (2006), dalam interaksi belajar mengajar yang terpenting adalah guru sebagai

pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta

memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangkan potensi dan kreatifitasnya

melalui kegiatan belajar. Untuk itu, perlu suatu rancangan model pembelajaran yang

dapatmengaktifkan siswa, menarik minat siswa, serta mengajak siswa untuk terlibat saat proses

pembelajaran.

Model pembelajaran ARIAS dikembangkan oleh Keller dan Thomas (1987) yang merupakan

modifikasi dari model ARCS (attention, relevance, convidence, satisfaction). Model pembelajaran

ARIAS terdiri dari lima komponen yaitu assurance (percaya diri), relevance (relevan), interest

(minat/perhatian), assessment (evaluasi), dan satisfaction(kepuasan/rasa bangga).

Modelpembelajaran ARIAS merupakan acuan kegiatan guru dalam proses belajar mengajar yang

dirancang untuk memotivasi siswa serta mengaktifkan siswa saat proses pembelajaran berlangsung.

Namun pada umumnya, siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi hasil belajarnya akan

tinggi. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar,

seseorang harus memiliki IQ yang tinggi. Inteligensi dianggap merupakan satu-satunya bekal

potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi

belajar yang optimal. Di lain pihak, Goleman (2000) menyatakan bahwa tidak sedikit orang yang

Page 289: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 281

memiliki IQ tinggi namun tidak sesukses orang yang memiliki IQ sedang bahkan IQ rendah

sekalipun. Dengan kata lain, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang

menentukan keberhasilan seseorang, namun kecerdasan emosional juga diperlukan.

Berdasarkan uraian di atas,maka judul pada penelitian ini yaitu ―Pengaruh model pembelajaran

ARIAS terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa SMP ditinjau dari tingkat kecerdasan

emosional‖.

B. Masalah Penelitian

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran

ARIAS lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional?

2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat

kecerdasan emosional?

3. Apakah terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap

kemampuan pemahaman matematis?

4. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model ARIAS?

5. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model ARIAS?

C. TujuanPenelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis antara siswa

yang mendapatkan model pembelajaran ARIAS dan yang mendapatkan pembelajaran

tradisional.

2. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis ditinjau dari

tingkat kecerdasan emosional.

3. Menelaah dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemahaman matematis ditinjau dari

interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional.

4. Mengetahui aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan model ARIAS.

5. Mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan model ARIAS.

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian pada penelitian ini adalah :

1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model

ARIAS lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat

pembelajaran tradisional.

2. Terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa ditinjau dari tingkat

kecerdasan emosional.

3. Terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap kemampuan

pemahaman matematis.

E. Definisi Operasional

Istilah-istilah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kemampuan:

a. menjelaskan konsep secara tulisan dengan kata-kata sendiri;

b. menyatakan suatu permasalahan ke dalam model matematis;

c. mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dalam memecahkan persoalan matematis;

d. menggunakan model untuk memecahkan persoalan matematis;

e. melihat dan menggunakan hubungan antar konsep dalam memecahkan suatu

persoalanmatematis.

Page 290: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

282 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2. Model pembelajaran ARIAS yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu:

a. Assurance (percaya diri), misalnya dengan memberikan soal-soal yang relatif mudah

pada awal pembelajaran atau dengan memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan

kemampuannya.

b. Relevance (relevan), misalnya dengan mengemukakan tujuan pembelajaran,

menggunakan contoh-contoh yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata,

mengadakan kegiatan yang relevan dengan kehidupan nyata dan pengalaman atau

pengetahuan siswa sebelumnya.

c. Interest (minat dan perhatian), misalnya dengan mengajukan pertanyaan atau

mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan, atau dengan mengadakan diskusi,

demonstrasi, menggunakan media atau alat peraga.

d. Assessment (evaluasi), misalnya dengan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri

mengenai materi yang belum dipahami, atau dengan mengajak siswa mengevaluasi

hasil pekerjaan temannya.

e. Satisfaction (rasa puas dan bangga), misalnya dengan memberi penghargaan baik

secara verbal (ucapan ―selamat‖ atau ―bagus sekali‖) maupun non-verbal (senyuman)

kepada siswa yang berani menampilkan kemampuannya, atau dengan mengadakan

pembelajaran yang mengajak siswa menemukan konsep matematika.

3. Kecerdasan emosional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk

mengenali dan mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain

(empati) dan kemampuan untuk membina kerjasama dengan orang lain (keterampilan sosial).

4. Aktivitas yang dimaksud pada penelitian ini adalah aktivitas dalam melakukan hal yang

relevan (aktif menulis, aktif berdiskusi, dan aktif membaca) dan aktivitas dalam melakukan

hal yang tidak relevan.

F. Kajian Pustaka

1. Pemahaman Matematis

Menurut Bloom (dalam Anderson & Krathwohl, 2001), pemahaman adalah kemampuan untuk

menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Sedangkan menurut Driver (1993),

pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Ruseffendi

(1991) mengemukakan tiga jenis pemahaman yaitu translation (pengubahan), interpretation

(pemberian arti), dan extrapolation (pembuatan ekstrapolasi). Jadi pemahaman merupakan

kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan, dan menarik

kesimpulan dari informasi yang didapat.

2. Model Pembelajaran ARIAS

Model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest,

assessment, dan satisfaction). Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan

saat kegiatan pembelajaran dalam upaya menciptakan pembelajaran yang dapat memotivasi dan

mengaktifkan siswa.

3. Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur

kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui

keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Untuk itu penting bagi individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih

bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia serta dapat lebih mengontrol

pikiran dan tingkah laku.

Goleman (2002)menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan

emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan

utama, yaitu mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali

emosi orang lain, dan membina hubungan.

Page 291: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 283

G. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Penelitian ini berbentuk kuasi eksperimen dengan desain faktorial (factorial design). Factorial

design dapat dilihat interaksi antara variabel bebasnya (X) dengan variabel kontrol (Y), yang dalam

hal ini adalah kecerdasan emosional (Fraenkel & Wallen, 1993). Berdasarkan hal tersebut maka

desain penelitiannya adalah sebagai berikut.

Eksperimen : Y O X O

Kontrol : Y O O

2. SubjekPenelitian

Subjek pada penelitian ini dilakukan dengan purpose yang didasarkan kepada kelompokyaitusiswa

kelas VIII di salah satu SMP Negeridi Bandung.

3. InstrumenPenelitian

Berdasarkan jenis data yang diharapkan dalam penelitian ini, maka untuk memperoleh data

digunakan empat instrumen yaitu tes kemampuan pemahaman matematis, tes kecerdasan

emosional, observasi aktivitas, dan angket respon siswa.

4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan bantuan software SPSS dan software Micosoft

Excel dengan kriteria untuk menolak atau menerima OH didasarkan harga P value yaitu sebagai

berikut: Jika P value , maka OH ditolak,

Jika P value , maka OH diterima.

a. Data Tes Kecerdasan Emosional

Data yang diperoleh dari tes kecerdasan emosional dikategorikan berdasarkan tingkatnya yaitu

tinggi, sedang, dan rendah.

b. Data pretes kemampuan pemahaman matematis

Data yang diperoleh dari hasil pretes, dihitung perbedaan reratanya. Tujuannya adalah untuk

mengetahui kemampuan awal kedua kelas apakah sama atau berbeda. Untuk mengetahui statistik

apa yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata, dilakukan uji normalitas dan homogenitas

dengan bantuan software SPSS pada taraf signifikansi 5%. Jika hasil menunjukkan data

berdistribusi normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji parametrik yaitu uji-t, namun jika data

berdistribusi normal tapi tidak homogen digunakan uji- 't . Selanjutnya, jika salah satu data atau

keduanya tidak berdistribusi normal dilakukan uji non parametrik Mann Whitney. Perhitungan

dilakukan dengan bantuan software SPSS.

c. Data postes kemampuan pemahaman matematis

Menganalisis data postes sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian, digunakan teknik statistika

ANOVA (Analysis of variance), dan apabila diperoleh hasil ada perbedaan pengaruh maka untuk

menentukan signifikansinya digunakan Post HocMultiple Comparison yaitu uji Bonferroni. Namun

jika datanya tidak berdistribusi normal, maka dilakukan Uji Friedman untuk Desain Acak Blok.

Page 292: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

284 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

H. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Kemampuan Pemahaman Matematis

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diketahui bahwa kemampuan pemahaman

matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model ARIAS memiliki perbedaan yang

signifikan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran tradisional. Lebih lanjut, ditemukan

bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model

ARIAS lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran tradisional. Hal ini dikarenakan

pembelajaran dengan model ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa selama

pembelajaran berlangsung. Lima komponen dalam model ARIAS masing-masing memberi

kontribusi yang besar dalam membangun kemampuan pemahaman matematis siswa.

Secara keseluruhan, kontribusi model pembelajaran ARIAS terhadap pemahaman matematis siswa

adalah bahwa model pembelajaran ARIAS dirancang untuk memotivasi dan mengaktifkan siswa

dalam pembelajaran. Dengan motivasi dapat mendorong aktivitas belajar siswa dan dengan

motivasi dapat memupuk optimisme siswa dalam belajar. Lebih lanjut, menarik minat siswa untuk

terlibat dan memperhatikan pada saat proses pembelajaran. Sikap seperti ini jika dipertahankan

pada saat pembelajaran akan sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam memahami materi

yang sedang disampaikan. Sehingga mampu memberikan kemampuan pemahaman matematis yang

baik kepada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model ARIAS.

2. Pemahaman Matematis Ditinjau dari Tingkat Kecerdasan Emosional

Hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa

ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional memiliki perbedaan. Hasil analisa lebih lanjut,

menunjukkan bahwa untuk semua pasangan kelompok tingkat kecerdasan emosional memiliki

perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan pemahaman matematisnya. Hal ini

mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional siswa secara signifikan berpengaruh terhadap

peningkatan kemampuan pemahaman matematis.

Hasil diketahui bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat

kecerdasan emosional tinggi lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis

kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional sedang dan rendah. Lebih lanjut, diketahui juga

bahwa rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat kecerdasan emosional

sedang lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa tingkat

kecerdasan emosional rendah. Hasil ini menggambarkan bahwa semakin tinggi kecerdasan

emosional siswa maka kemampuan pemahaman matematisnya semakin baik.

3. Kemampuan Pemahaman Matematis Ditinjau dari Interaksi antara Jenis Pembelajaran dan

Kecerdasan Emosional

Hasil ANOVA 2-jalur, menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan

tingkat kecerdasan emosional siswa. Selisih kemampuan pemahaman matematis antara

pembelajaran tradisional dan pembelajaran ARIAS pada setiap tingkat kecerdasan emosional tidak

menunjukkan perbedaan yang jauh. Lebih lanjut, hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa pada

masing-masing pasangan jenis pembelajaran berdasarkan kemampuan pemahamannya ditinjau dari

tingkat kecerdasan emosional tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan

bahwa pembelajaran dengan model ARIAS dapat diberikan kepada siswa yang kecerdasan

emosional tinggi, sedang, ataupun rendah. Karena yang diteliti adalah siswa sekolah

berkemampuan sedang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model ARIAS

dapat diterapkan di sekolah berkemampuan sedang baik untuk siswa yang memiliki kecerdasan

emosional tinggi, sedang, maupun rendah.

Page 293: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 285

4. Korelasi antara Kecerdasan Emosional dan Kemampuan Pemahaman Matematis

Hasil korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara kecerdasan

emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas eksperimen dan kontrol. Selanjutnya diketahui

bahwa hubungan antara kecerdasan emosional dan pemahaman matematis siswa di kelas

eksperimen tergolong cukup. Sedangkan di kelas kontrol hubungan antara kecerdasan emosional

dan kemampuan pemahaman matematisnya tergolong kuat.

5. Pemahaman Matematis Kelas Eksperimen Ditinjau dari Butir Soal

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa secara rata-rata, pembelajaran dengan model ARIAS belum

optimal dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam aspek menggunakan

model untuk memecahkan persoalan matematis. Hal ini disebabkan, pembelajaran lebih sering

mengajak siswa untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah dengan mengidentifikasi sifat-sifat

atau menggunakan hubungan antar konsep dalam memecahan persoalan matematis, namun kurang

mengajak siswa untuk mengotak-atik model atau menyelesaikan masalah matematis dengan

menggunakan model.

6. Aktivitas Siswa selama Pembelajaran dengan Model ARIAS

Secara keseluruhan hasil menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa meningkat dalam setiap

pertemuan yaitu dalam melakukan aktivitas yang relevan dengan pembelajaran yaitu aktif menulis,

berdiskusi, dan membaca yang diberikan pada 8 pernyataan observasi. Dengan kata lain, siswa

menunjukkan sikap yang aktif dan relatif meningkat saat diberikan model pembelajaran ARIAS.

7. Respon Siswa terhadap Pembelajaran dengan Model ARIAS

Selama 14 kali pertemuan, siswa diberikan pembelajaran dengan model ARIAS. Lampiran F.1

menunjukkan rata-rata siswa merespon positif terhadap pembelajaran yang diberikan. Rata-rata

keseluruhan indikator menunjukkan respon positif yang diberikan siswa terhadap pembelajaran

dengan kriteria tergolong kuat.

I. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis temuan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

ARIAS lebih baik daripada kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan

pembelajaran tradisional.

2. Ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional, disimpulkan bahwa kelompok siswa tingkat

kecerdasan emosional tinggi, sedang, dan rendah memiliki perbedaan kemampuan

pemahaman matematis yang signifikan satu sama lain. Hasil korelasi menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosional siswa dengan kemampuan

pemahamannya, yaitu semakin rendah kecerdasan emosional siswa maka semakin rendah

pula kemampuan pemahaman matematisnya.

3. Ditinjau dari interaksi antara jenis pembelajaran dan tingkat kecerdasan emosional siswa

terhadap kemampuan pemahaman matematisnya, disimpulkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan. Artinya, tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran

dengan tingkat kecerdasan emosional siswa terhadap kemampuan pemahaman

matematisnya.

4. Secara umum, siswa menunjukkan aktivitas yang aktif pada saat proses pembelajaran dengan

model ARIAS. Lebih lanjut, ditemukan aktivitas diskusi siswa menunjukkan kegiatan yang

paling aktif.

5. Secara umum, dari skor rata-rata yang diperoleh tampak bahwa siswa merespon positif

terhadap proses pembelajaran dengan model ARIAS.

Page 294: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

286 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

J. Rekomendasi dan Saran

Rekomendasi dan saran pada penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Penelitian ini hanya dilakukan pada jenjang SMP. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya

dilakukan pada jenjang sekolah yang berbeda, misalnya SD, SMA/SMK, atau tingkat

perguruan tinggi.

2. Penelitian ini hanya meninjau aspek kecerdasan emosional. Pada penelitian selanjutnya dapat

ditinjau aspek yang berbeda, misalnya bakat, motivasi, atau (Emotional Spiritual Quotient –

ESQ).

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. W dan Krathwohl. (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing. New

York. Addison Wesley Longman, Inc.

Allen, N. B. R. (1992). A Study of Metacognitive Skills as Influenced by Expressive Writing in

College Introductory Algebra Classes. Dissertation Abstract International, 53, 432A.

Borasi, R. dan Rose, B. J. (1989). Educational Studies in Mathematics. Journal Writing and

Mathematics Instruction, 20, 347-365.

Burton, L., dan Morgan, C. (2000). Mathematics Writing. Journal for Research in Mathematics

Education, 31, 420-453.

Countryman, J. (1992). Writing to Learn Mathematics. Portsmouth: Heinemann.

Driver, R., Leach, J. (1993). A constructivist view of learning: Children‟s conceptions and nature

of science. In what research says to science teacher. 7, 103-112. Washington: National

Science Teachers Assosiation.

Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education

(secon ed.). Singapore: McGraw-Hill.

Goleman, D. (2000). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.

----------------- (2002). Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Keller, J. M. dan Thomas W. K. (1987). An Application of the Arcs Model of Motivational Design,

dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale,

NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

National Research Council. (1989). Everybody Counts: A Report to The Nation on The Future of

Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.

Noraini, I. (2009). Enhancing Student‟s Understanding in Calculus Through Writing. International

Electronic Journal of Mathematics Education, 4, 37-55.

Ruseffendi, H.E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sardiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Page 295: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 287

PENERAPAN METODE SAVI DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF

DAN PENINGKATAN BERFIKIR KREATIF MATEMATIS

Oleh : Haerudin

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika

STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Banyak siswa mengalami kesulitan belajar matematika. Faktor-faktor yang mempengaruhinya mungkin

antara lain masih adanya anggapan bahwa matematika itu pelajaran yang sulit, abstrak, kurang sinergisnya

unsur-unsur penunjang lainnya. Oleh karena itu, perlu dicarikan metode yang cocok agar matematika mudah

dipahami dan mudah dimengerti. Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa dipilih

menjadi alternatif untuk memudahkan siswa belajar matematika dan akhirnya kemampuan berfikir kreatif

matematis bisa berkembang dengan baik. Metode pembelajaran SAVI mampu mengaktifkan seluruh

komponen yang ada pada diri siswa yaitu menggabungkan semua gerak fisik, intelektual, dan aktivitas

intelektual yang mengaktifkan semua indera. Dalam makalah ini akan dikaji lebih mendalam tentang apa dan

bagaimana metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif bisa diterapkan dalam meningkatan

berfikir kreatif matematis.

Kata kunci: Metode SAVI, kemampuan berfikir kreatif matematis

A. PENDAHULUAN

Menurut pengamatan dan diskusi dengan beberapa guru matematika di Kota Bandung, terlihat

bahwa sebagian besar siswa prestasi belajar matematiknya masih rendah. Salah satu penyebab

rendahnya prestasi belajar matematika adalah siswa kurang berpartisipasi dalam aktivitas

pembelajaran di kelas, sehingga siswa kurang aktif dalam mengikuti pelajaran matematika.

Hasil belajar siswa selain dipengaruhi oleh metode pembelajaran juga dipengaruhi oleh partisipasi

siswa. Jika siswa aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran maka bukan hanya aspek

prestasi saja yang dapat diraihnya namun ada aspek lain yang diperoleh yaitu aspek afektif dan

aspek social. Mengingat pentingnya partisipasi siswa dalam pembelajaran, maka guru diharapkan

bisa menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang memberikan lebih banyak partisipasi

siswa, sedangkan siswa hendaknya dapat memotivasi dirinya sendirinya agar aktif di dalam proses

pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi siswa dalam pembelajaran maka diharapkan

prestasi belajar siswa semakin meningkat dan kemampuan berfikir kratif semakin terlatih.

Salah satu metode pembelajaran yang dapat mengatasi masalah rendahnya partisipasi siswa adalah

dengan metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif. Hernowo (2004: 13-14)

mengatakan,‖ SAVI ini adalah semacam metode belajar yang jika diterapkan secara serempak akan

memfungsikan seluruh indera dan otak‖. Jadi metode SAVI adalah metode pembelajaran yang

melibatkan seluruh anggota tubuh dari gerakan tubuh, pendengaran, kemampuan membayangkan,

dan mampu bersifat cendikia atau berkait dengan kemampuan merenungkan, merumuskan, dan

mengait-ngaitkan dengan memfungsikan pikiran secara baik dan benar.

Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif

untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan

kritis. Tujuannya adalah melatih siswa untuk belajar mengumpulkan, mengorganisasikan,

kemudian membuat suatu kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan.

Jadi metode SAVI dengan pendekatan induktif bisa diartikan suatu proses pembelajaran yang

melibatkan gerak fisik, indera, dan intelektualitas untuk memahami, mempelajari, dam mengambil

kesimpulan dari apa yang telah

diamati.

Page 296: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

288 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

B. Metode Pembelajaran SAVI

Menurut Dave Meier (2002: 91),‖Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang

berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas

intelektual dan pengunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya

namakan ini belajar SAVI. Unsur-unsurnya mudah diingat.‖

1. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat.

Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan

menggunakannya serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan

pikiran bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Keduanya adalah satu. Maksudnya tubuh

adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti dapat

menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya.

2. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar.

Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan audotori (pendengaran). Ketika

telingan menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi

aktif.dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori

(pendengaran), guru bisa melakukan tindakan seperti membicarakan materi apa yangsedang

dipelajari. Siswa diharapkan mampu mengungkapkan pendapat atas informasi yang

didengarkan atas penjelasan guru.

3. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan.

Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan

alasan bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual

daripada indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran yang menarik kemampuan visual,

seoarng gur dapat melakukan tindakan seperti meminta siswa menerangkan kembali

materi yang sudah diajarakan.

4. Intelektual : Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.

Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka

secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman

dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pangalaman tersebut. Belajar

intelektuan adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun

makna. dalam membangun proses belajar intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal

dari materi yang sudah diajarkan dan dijelaskan oleh guru.

C. Pendekatan Induktif

Pendekatan induktif adalah salah satu pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif

untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi, berfikir kreatif, dan

kritis. Pada pendekatan induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang

akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru

membimbing siswa untuk merumuskan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan

tadi.

Pada pendekatan induktif guru harus terampil dalam memberikan pertanyaan (questioning),

membimbing dan mengarahkan siswa dapat memahami materi pelajaran yang disampaikan, dan

mampu menumbuhkan dan membangun ide-ide kreatif kreatif siswa. Bagi siswa diberikan keluasan

bertanya tanpa takut salah dan malu saat memberikan pendapat, bertanya, bersikap kritis, atau

membuat konklusi dan jawaban.

Page 297: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 289

Pendekatan induktif dikembangkan atas dasar:

1. Kemampuan berfikir dapat dikembangkan.

2. Berfikir merupakan transaksi aktif antara individu dengan data. Siswa belajar

mengorganisasikan fakta kedalan suatu system konsep, yaitu:

a. Saling menghubung-hubungkan data yang diperoleh satu sama lain kemudian membuat

kesimpulan berdasarkan hubungan-hubungan tersebut.

b. Menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahuinya dlam rangka

membangun hipotesis.

c. Memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu .

3. Proses berfikir merupakan suatu urutan tahapan yang beraturan.

D. Berfikir Kreatif

Johnson (2007:214) mengatakan, ‖Bagian dari berfikir kreatif−berlawanan dengan berfikir

merusak−adalah mencari kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Pemikir kreatif

melihat diri mereka tinggal di sebuah konteks, konteks keluarga, sekolah, kota, atau ekosistem, dan

mereka mencoba untuk memperbaiki konteks ini.‖

Menurut saya berfikir kreatif adalah suatu proses berfikir untuk menemukan sesuatu yang bisa

mengubah atau memperbaiki kondisi apapun sehingga menjadi lebih baik. Lebih lanjut Johnson

(2007: 214) mengemukakan,‖Berfikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih

dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-

kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang

tidak terduga.‖

Berfikir kreatif dapat menumbuhkan siswa sikap rasa ingin tahu dan banyak bertanya, mendorong

siswa untuk mengkaji dan meneliti masalah-masalah dan berusaha mencari solusinya. Mampu

menemukan pola tertentu yaitu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya untuk menemukan

makna.

Ciri-ciri kreativitas yang aptitude adalah:

a. Keterampilan Berfikir Lancar (fluency)

Definisi

Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan.

Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan bebagai hal.

Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

Perilaku siswa

Mengajukan banyak pertanyaan.

Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan.

Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah.

Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya.

Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak daripada anak-anak

yang lainnya.

Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu obyek atau

situasi. b. Keterampilan Berfikir Luwes (Flexibility)

Definisi

Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi.

Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda.

Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

Page 298: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

290 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Perilaku Siswa

Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap

suatu obyek.

Memberikan macam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah.

Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda.

Memberikan pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang diberikan orang

lain.

Dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi mempunyai posisi yang berbeda

atau bertentangan dari mayoritas kelompok.

Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara yang

berbeda-beda untuk menyelesaikannya.

Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang

berbeda-beda.

Mampu mengubah arah piker secara spontan. c. Keterampilan Berfikir Orisinal (Originality)

Definisi

Mempu melahirkan ungkapan yang baru dan unik.

Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri.

Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau

unsur-unsur.

Prilaku Siswa

Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang

lain.

Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan

cara-cara yang baru.

Memilih a-simetris dalam menggambar dan membuat desain.

Lebih senang mensintetis daripada menganalisa situasi. d. Keterampilan Memperinci (Elaboration)

Definisi

Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk.

Menambah atau memperinci secara detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi

sehingga menjadi lebih menarik.

Perilaku Siswa

Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan

masalah dengan melakukan langkah-langkah terperinci.

Mengembangkan dan memperkaya gagasan orang lain.

Mencoba atau menguji secara detail untuk melihat arah yang akan ditempuh.

Mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang

kosong atau sederhana.

Menambah garis-garis,warna-warna, dan detail-detail, atau bagian –bagian terhadap

gambarnya sendiri atau gambarnya orang lain. e. Keterampilan Menilai (Evaluation)

Definisi

Menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan suatu

pernyataan benar atu tidak.

Mampu mangambil keputusan terhadap situasi yang terbuka.

Tidak hanya mencetuskan gagasn tetapi juga melaksanakannya.

Perilaku Siswa

Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri.

Menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal.

Menganalisis masalah atau penyelesaian secara kritis.

Page 299: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 291

Mampu mempunyai alasan atau rasional yang dapat dipertanggungjawabkan untuk

mencapai suatu keputusan.

Merancang suatu rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus.

Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan-gagasan tetapi

menjadi peneliti atau penilai yang kritis.

Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya.

E. Hasil Dan Pembahasan

Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif belum dikemukakan hasil penelitiannya

karena masih merupakan Proposal Skripsi yang sedang diajukan untuk diadakan penelitian lebih

lanjut. Tapi paling tidak telah memberikan gambaran yang baik sebagai masukan dan saran bagi

proses pembelajaran yang baik yang dapat meningkatkan berfikir kreatif matematis.

F. Kesimpulan

Metode pembelajaran SAVI dengan pendekatan induktif merupakan metode yang mungkin bisa

digunakan untuk meningkatkan berfikir kreatif matematis. Membiasakan berfikir kreatif akan

menumbuhkan rasa keingintahuan dan banyak pertanyaan serta akan memberikan warna yang baru

dan bermakna bagi kehidupannya.

Page 300: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

292 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN SAVI

BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

Oleh : Harry Dwi Putra

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan analogi matematis

antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan

siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selain itu diungkap pula aktivitas dan sikap

siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Desain penelitian ini

adalah kelompok eksperimen dan kontrol dengan pretest dan posttest. Kelompok eksperimen

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom dan kelompok kontrol

memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk memperoleh data penelitian digunakan instrumen

berupa tes kemampuan analogi matematis, skala sikap siswa, dan lembar observasi. Penelitian ini

dilakukan di Sekolah Menengah Pertama dengan level menengah (sedang). Populasi penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 29 Bandung dengan sampel adalah siswa kelas VII-I

sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII-F sebagai kelompok kontrol yang dipilih dengan

teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan tujuan siswa di kelas tersebut

mampu mengoperasikan komputer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan analogi

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom

lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data

skala sikap siswa menunjukkan sikap siswa yang positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan

SAVI berbantuan Wingeom.

Kata kunci: pembelajaran SAVI berbantuan Wingeom, kemampuan analogi matematis.

A. Pendahuluan

Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan mampu melahirkan sumber daya manusia

(SDM) yang memenuhi tuntutan global, sebab pendidikan merupakan suatu wadah kegiatan untuk

membangun masyarakat dan karakter bangsa secara berkesinambungan, yaitu membina mental,

intelektual, dan kepribadian dalam rangka membentuk manusia seutuhnya. Oleh karena itu,

pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif dari pemerintah,

masyarakat, maupun pengelola pendidikan.

Pembelajaran merupakan suatu proses yang tidak hanya mentransfer informasi dari guru kepada

siswa, tetapi juga melibatkan berbagai tindakan dan kegiatan agar hasil belajar menjadi lebih baik.

Namun, pembelajaran di kelas masih berfokus kepada guru sebagai satu-satunya sumber

pengetahuan dengan metode ceramah sebagai pilihan utama, sehingga proses pembelajaran yang

terjadi secara satu arah, siswa hanya mengetahui dan tidak mengalami apa yang dipelajarinya.

Dalam hal ini, guru aktif sedangkan siswa pasif. Paradigma ―guru mengajar‖ masih dipertahankan

dan belum berubah menjadi paradigma ―siswa belajar‖. Meier (2002: 42) mengatakan bahwa:

Learning doesn't automatically improve by having people stand up and move around. But

combining physical movement with intellectual activity and the use of all the senses can

have a profound effect on learning.

Guru ditekankan untuk lebih memenuhi target pencapaian kurikulum daripada target penguasaan

materi. Proses ini telah mengabaikan sisi perkembangan individu siswa sebagai manusia yang tidak

hanya diajar secara intelektual, tetapi diperlukan kemampuan mengambil makna dari apa yang

diperolehnya. Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran 45 menit secara

Page 301: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 293

tidak efektif dan rutinitas. Hal ini dapat membahayakan dan merusak seluruh minat siswa (Sobel

dan Maletsky, 2004).

Realitas inilah yang terus mengukuhkan posisi pelajaran matematika sebagai pelajaran yang

menakutkan bagi sebagian siswa dan menggejala baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA

(Turmudi, 2008). Bagi banyak orang, nama matematika menimbulkan kenangan masa sekolah yang

merupakan beban berat. Bahkan Piaget mengungkapkan bahwa siswa cerdas sekalipun secara

sistematis menemui kegagalan dalam pelajaran matematika (Maier, 1985). Hal ini diperkuat oleh

Ruseffendi (1991) yang menyatakan bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada

umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan mata pelajaran yang paling

dibenci. Hal ini terlihat dari rendahnya hasil belajar matematika yang diperoleh siswa. Lebih dari

itu suasana belajar menjadi tidak menarik, cenderung membosankan, dan rutinitas belaka (Asyhadi,

2005).

Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu

pengetahuan. Ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan.

Faktor klasik yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa salah satunya adalah

pembelajaran yang diselenggarakan guru di sekolah. Widdiharto (2004) menyatakan bahwa

pembelajaran matematika di SMP cenderung berorientasi pada buku teks, guru mendominasi

pembelajaran, dan materi matematika kurang berkaitan dengan konteks dunia nyata siswa.

Kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau

dengan kata lain tidak mempertimbangkan tingkat kognitif siswa sesuai dengan perkembangan

usianya.

Berbagai penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, yang

secara spesifik pada kemampuan matematisnya. Salah satu kemampuan matematis yang berperan

penting dalam keberhasilan siswa adalah kemampuan penalaran. Hal ini dikarenakan matematika

dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Matematika dipahami melalui penalaran,

sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Hal ini diperkuat dengan

hasil penelitian yang dilakukan Prowsri dan Jearakul (Priatna, 2003) pada siswa sekolah menengah

Thailand, terdapat keterkaitan yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan hasil belajar

matematika mereka. Hal ini menunjukkan kemampuan penalaran berperan penting dalam

keberhasilan siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang baik diharapkan memiliki prestasi

belajar matematika yang baik pula.

Salah satu penalaran yang penting dikuasai oleh siswa adalah analogi. Sastrosudirjo (1988)

mengungkapkan bahwa analogi merupakan kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya

hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan

hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Soekadijo (1999) mengemukakan

bahwa analogi berbicara tentang dua hal yang berlainan, dari dua hal yang berlainan itu

dibandingkan satu sama lain. Dalam mengadakan perbandingan, dicari persamaan dan perbedaan di

antara hal-hal yang dibandingkan. Jika perbandingan itu hanya memperlihatkan persamaannya saja

tanpa melihat perbedaannya, maka timbulah analogi, yaitu persaman (keserupaan) di antara dua hal

yang berbeda.

Berdasarkan hasil penelitian, Wahyudin (1999) menemukan bahwa salah satu kelemahan yang ada

pada siswa adalah kurang memiliki kemampuan bernalar yang logis dalam menyelesaikan

persoalan atau soal-soal matematika. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Rif‘at (Suzana, 2003) juga

menunjukkan kelemahan kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar.

Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika disebabkan karena kesalahan

menggunakan logika deduktif. Hal senada juga dikemukakan oleh Matz (Priatna, 2003) bahwa

kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika

dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika.

Page 302: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

294 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Beberapa temuan di atas menunjukkan kemampuan penalaran siswa khususnya analogi masih

rendah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003) yang

menemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi) matematika siswa SMP masih rendah

karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Kemampuan analogi matematis siswa yang rendah serta

sikap negatif siswa terhadap pelajaran matematika, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang

dilakukan di kelas. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk menggali dan menemukan sendiri

konsep-konsep matematika dengan lebih banyak terlibat di dalam proses pembelajaran.

Salah satu cabang matematika di sekolah yang memiliki ruang lingkup yang luas adalah geometri.

Berdasarkan penyebaran standar kompetensi untuk satuan pendidikan SMP, materi geometri

mendapatkan porsi yang paling besar (41%) dibandingkan dengan materi lain seperti aljabar (29%),

bilangan (18%), serta statistika dan peluang (12%). Namun, penguasaan siswa dalam memahami

konsep geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan (Abdussakir, 2009). Begitu juga dengan

Jiang (2008) yang menuturkan bahwa salah satu bagian dari matematika yang sangat lemah diserap

oleh siswa di sekolah adalah geometri, di mana kebanyakan siswa yang memasuki sekolah

menengah atas memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang terbatas mengenai geometri.

Menurut Sabandar (2002) pengajaran geometri di sekolah diharapkan akan memberikan sikap dan

kebiasaan sistematik bagi siswa untuk bisa memberikan gambaran tentang hubungan-hubungan di

antara bangun-bangun tersebut. Oleh karena itu, perlu disediakan kesempatan serta peralatan yang

memadai agar siswa bisa mengobservasi, mengeksplorasi, mencoba, serta menemukan prinsip-

prinsip geometri lewat aktivitas informal untuk kemudian meneruskannya dengan kegiatan formal

menerapkannya apa yang mereka pelajari.

Mengingat pentingnya pembelajaran geometri di sekolah, tetapi kurangnya penguasaan konsep

geometri bagi siswa menyebabkan terhambatnya penguasaan materi ajar lainnya. Kemungkinan

terbesar penyebab dari permasalahan ini adalah cara pengajaran guru yang selalu berfokus pada

buku ajar dan kurangnya strategi atau pendekatan pembelajaran yang dapat memudahkan siswa

dalam belajar geometri. Ruseffendi (1991) menyatakan apabila menginginkan siswa belajar

geometri secara bermakna, tahap pengajaran disesuaikan dengan tahap berfikir siswa, sehingga

siswa dapat memahaminya dengan baik untuk memperkaya pengalaman dan berfikir siswa, juga

untuk persiapan meningkatkan berfikirnya pada tahap yang lebih tinggi.

NCTM (Siregar, 2009) menyatakan bahwa secara umum kemampuan geometri yang harus dimiliki

siswa adalah: (1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik 2D atau 3D,

dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang

lainnya, (2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran

hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan

sistem yang lain, (3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk

menganalisis situasi matematika, (4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model

geometri untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu NCTM (Mulyana, 2003) menganjurkan agar

dalam pembelajaran geometri siswa dapat memvisualisasikan, menggambarkan, serta

memperbandingkan bangun-bangun geometri dalam berbagai posisi, sehingga siswa dapat

memahaminya.

Salah satu pendekatan yang dipandang dapat memfasilitasi pembelajaran geometri adalah

pendekatan SAVI. Meier (2002) mengemukakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah

pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan

semua indra yang dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Unsur-unsur dari pendekatan SAVI

antara lain: Somatis (belajar dengan berbuat), misalnya siswa diminta menggambarkan bangun

geometri ruang. Auditori (belajar dengan mendengarkan), seperti siswa diminta mengungkapkan

pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru, misalnya siswa diminta

menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat. Visual (belajar dengan mengamati dan

menggambarkan), melalui bantuan program Wingeom siswa diharapkan dapat mengamati bangun-

Page 303: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 295

bangun geometri secara jelas dan mampu menggambarkannya. Intelektual (belajar dengan

memecahkan masalah dan merenungkan), misalnya siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan

dari materi yang telah dijelaskan oleh guru.

Menurut Meier (2002) pembelajaran geometri menjadi optimal apabila keempat unsur SAVI

tersebut terdapat dalam satu peristiwa pembelajaran. Siswa akan belajar sedikit tentang konsep-

konsep geometri dengan menyaksikan presentasi (Visual), tetapi mereka dapat belajar lebih banyak

jika mereka dapat melakukan sesuatu (Somatis), membicarakan atau mendiskusikan apa yang

mereka pelajari (Auditori), serta memikirkan dan mengambil kesimpulan atau informasi yang

mereka peroleh untuk diterapkan dalam menyelesaikan soal (Intelektual).

Dalam pembelajaran dengan pendekatan SAVI digunakan dynamic geometry software, yaitu

Wingeom sebagai media visual bagi siswa. Program Wingeom memuat geometri dimensi dua dan

tiga dalam jendela yang terpisah. Salah satu fasilitas menarik yang dimiliki program ini adalah

fasilitas animasi yang begitu mudah, misalnya benda-benda dimensi dua atau tiga dapat diputar

sehingga visualisasinya akan tampak begitu jelas.

Menurut David Wees (Rahman, 2004) ada beberapa pertimbangan tentang penggunaan dynamic

geometry software seperti Wingeom dalam pembelajaran matematika, khususnya geometri, di

antaranya memungkinkan siswa untuk aktif dalam membangun pemahaman geometri. Program ini

memungkinkan visualisasi sederhana dari konsep geometris yang rumit dan membantu

meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep tersebut. Siswa diberikan representasi visual yang

kuat pada objek geometri, siswa terlibat dalam kegiatan mengkonstruksi sehingga mengarah

kepada pemahaman geometri yang mendalam, sehingga siswa dapat melakukan penalaran yang

baik, terutama pada kemampuan analogi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri

dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh

pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan

Wingeom?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang pembelajaran dengan

pendekatan SAVI berbantuan Wingeom terhadap kemampuan analogi matematis siswa. Secara

khusus, penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran geometri

dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom.

2. Mengkaji sikap siswa terhadap pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan

Wingeom.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti bagi pihak-

pihak tertentu yang berperan dalam dunia pendidikan, di antaranya:

1. Bagi guru, pembelajaran dengan pendekatan SAVI dapat menjadi alternatif pembelajaran

matematika lainnya dan memberikan pengalaman mengembangkan strategi dengan

menggunakan media komputer dalam pembelajaran.

2. Bagi siswa, pembelajaran dengan pendekatan SAVI memberikan pengalaman baru dalam

belajar matematika, mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran di kelas, serta

membantu siswa meningkatkan kemampuan bernalarnya.

Page 304: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

296 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

3. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan

dalam menerapkan inovasi model pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan

Wingeom guna meningkatkan mutu pendidikan.

4. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan/referensi tambahan

untuk melakukan penelitian mengenai pembelajaran dengan pendekatan SAVI di sekolah.

E. Kemampuan Analogi Matematis dan Pendekatan SAVI

1. Kemampuan Analogi Matematis

Analogi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai persamaan atau persesuaian antara dua

hal yang berbeda. Menurut Kane (Suriadi, 2006) analogi merupakan tipe khusus perbandingan,

subjek kedua dikenalkan untuk menunjukkan kemiripan yang dapat menjelaskan topik lama.

Menurut Shapiro (Suriadi, 2006) dalam pembelajaran analogi dapat memuat informasi baru lebih

konkrit dan lebih mudah untuk membayangkan.

Sastrosudirjo (1988) mengungkapkan bahwa analogi kemampuan melihat hubungan-hubungan,

tidak hanya hubungan benda-benda tetapi juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian

mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Alamsyah (2002)

juga mengungkapkan bahwa dalam analogi yang dicari adalah keserupaan dari dua hal yang

berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan itu. Dengan demikian analogi dapat

dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran.

Analogi terdiri dari dua macam, yaitu: analogi induktif dan analogi deklaratif/penjelas (Mundiri,

2000). Analogi induktif yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada

dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi

pula pada fenomena kedua. Misalnya, terdapat keserupaan antara Bumi dengan planet-planet lain

seperti Venus, Mars dan Jupiter. Planet-planet ini semuanya mengelilingi matahari sebagaimana

Bumi, berputar dalam porosnya, menjadi subjek gravitasi yang kesemuanya itu sama seperti Bumi.

Atas dasar keserupaan itulah tidak salah apabila kita menyimpulkan bahwa kemungkinan planet-

planet tersebut dihuni oleh makhluk hidup sebagaimana Bumi. Analogi deklaratif/penjelas yaitu

metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang abstrak atau belum dikenal atau masih

samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Misalnya, untuk menjelaskan

struktur ilmu yang masih samar bagi orang yang mendengarnya, dapat dijelaskan melalui sesuatu

yang sudah dikenalnya, yaitu dengan menganalogikan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun oleh

fakta-fakta, sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu. Meskipun tidak semua kumpulan

fakta itu ilmu, sebagaimana tidak semua kumpulan batu itu rumah.

Lawson (Suriadi, 2006) mengungkapkan keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain: 1)

memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengaitkan atau

membandingkan pengetahuan analogi yang dimiliki siswa, 2) pengaitan tersebut akan membantu

mengintegrasikan struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur

kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses

pengungkapan kembali pengetahuan baru, dan 3) dapat dimanfatkan dalam menanggulangi salah

konsep.

2. Pendekatan SAVI

Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang menyediakan kondisi yang merangsang dan mengarahkan

kegiatan belajar siswa sebagai subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai,

dan sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun kesadaran diri sebagai pribadi

(Kamulyan dan Surtikanti,1999).

Pembelajaran dengan pendekatan SAVI merupakan pembelajaran dengan menggabungkan gerakan

fisik dan aktifitas intelektual serta melibatkan semua indera yang berpengaruh besar dalam

pembelajaran. Pendekatan SAVI dikembangkan oleh Dave Meier dalam bukunya The Accelerated

Page 305: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 297

Learning Handbook, yang berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi, yaitu tubuh atau

somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual (V), dan pemikiran atau

Intelektual (I). Prinsip dasar pendekatan SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning, yaitu:

pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh, pembelajaran berarti berkreasi bukan

mengkonsumsi, bekerjasama membantu proses pembelajaran, pembelajaran berlangsung pada

banyak tingkatan secara simultan, belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan

umpan balik, emosi positif sangat membantu pembelajaran, dan otak-citra menyerap informasi

secara langsung dan otomatis.

Pendekatan SAVI juga menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan bahwa belajar

yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman

serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang

belajar dengan cara-cara yang berbeda.

Unsur-unsur pendekatan SAVI adalah belajar Somatis, belajar Auditori, belajar Visual, dan belajar

Intelektual. Apabila keempat unsur ini berada dalam setiap pembelajaran, maka siswa dapat belajar

secara optimal. Berikut akan dijelaskan unsur-unsur pendekatan SAVI tersebut.

a. Belajar Somatis

Belajar somatis berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, praktis melibatkan fisik dan

menggunakan serta menggunakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian, tubuh dan pikiran

bukan merupakan dua bagian yang tak terpisahkan. Keduanya adalah satu. Intinya, tubuh adalah

pikiran dan pikiran adalah tubuh. Menghalangi fungsi tubuh dalam belajar berarti kita menghalangi

fungsi pikiran sepenuhnya. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh dalam pembelajaran

matematika, maka perlu diciptakan suasana belajar yang dapat membuat siswa bangkit dan berdiri

dari tempat duduk serta aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Kegiatan dalam belajar somatis ini

misalnya, siswa diminta menggambarkan bangun geometri ruang.

b. Belajar Auditori

Belajar auditori berarti belajar dengan melibatkan kemampuan auditori (pendengaran). Ketika

telinga menangkap dan menyimpan informasi auditori, beberapa area penting di otak menjadi aktif.

Dengan merancang pembelajaran matematika yang menarik saluran auditori, guru dapat melakukan

tindakan seperti mengajak siswa membicarakan materi apa yang sedang dipelajari. Siswa diminta

mengungkapkan pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penjelasan guru. Dalam hal

ini siswa diberi pertanyaan oleh guru tentang materi yang telah diajarkan. Misalnya, siswa diminta

menjelaskan perbedaan persegi dengan belah ketupat.

c. Belajar Visual

Belajar visual adalah belajar dengan melibatkan kemampuan visual (penglihatan), dengan alasan

bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi visual daripada indera

yang lain. Dalam merancang pembelajaran matematika yang menarik kemampuan visual,

digunakan program Wingeom agar siswa dengan jelas dapat mengetahui bangun-bangun geometri

yang dipelajari.

d. Belajar Intelektual

Belajar intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan, masalah dan

membangun makna. Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam

pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu

pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.

Dalam proses belajar Intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan dari materi yang

telah dijelaskan oleh guru.

Page 306: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

298 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

F. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan eksperimental. Penelitian dilakukan dengan

cara memberikan perlakuan terhadap subjek berupa penggunaan metode pembelajaran yang

berbeda. Pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom diberikan kepada siswa

kelompok eksperimen, sedangkan pembelajaran konvensional diberikan kepada siswa kelompok

kontrol. Pada penelitian ini diperlukan sekolah yang memiliki laboratorium komputer dan siswanya

mampu mengoperasikan komputer.

Desain penelitian yang digunakan adalah non randomized pretest-posttest control group design

(Fraenkel dan Wallen, 1993).

O X O

O ‒ O

Keterangan:

O : Pretest dan posttest (tes kemampuan analogi matematis siswa).

X : Pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 29 Bandung kelas VII pada

Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011. SMP Negeri 29 Bandung dipilih sebagai tempat penelitian

karena merupakan sekolah dengan level menengah (sedang). Pengambilan sampel dalam penelitian

ini dilakukan dengan teknik purposive sampling (sampel acak bertujuan). Teknik purposive

sampling merupakan teknik pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan tertentu

(Sugiyono, 2008). Sampel yang nantinya terpilih tidak berdasarkan pengacakan, peneliti menerima

sampel yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pada penelitian ini diperlukan

sekolah yang memiliki laboratorium komputer dan siswanya mampu mengoperasikan komputer.

G. Instrument Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga jenis instrumen, yaitu tes kemampuan analogi matematis, skala

sikap siswa, serta lembar observasi. Tes yang digunakan terdiri dari tes awal (pretest) dan tes akhir

(posttest). Tes yang diberikan pada setiap kelas eksperimen dan kontrol, baik soal-soal untuk

pretest maupun posttest adalah sama. Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal

siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol dan digunakan sebagai tolak ukur peningkatan

prestasi belajar sebelum mendapatkan pembelajaran dengan metode yang akan diterapkan,

sedangkan tes akhir dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada tidaknya pengaruh

yang signifikan setelah mendapatkan pembelajaran dengan metode yang telah diterapkan. Jadi,

pemberian tes pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar kemampuan

analogi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SAVI

berbantuan Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap proses pembelajaran dengan

pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Skala sikap ini berupa angket yang terdiri dari pernyataan

positif dan negatif. Pembuatan skala sikap berpedoman pada bentuk skala Likert dengan lima

option, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral atau ragu-ragu atau tidak tahu (N), Tidak Setuju

(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran

dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom berlangsung. Aktivitas guru yang diamati adalah

kemampuan guru melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom. Hal

ini bertujuan untuk memberikan refleksi pada pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya menjadi

lebih baik. Aktivitas siswa yang diamati adalah keaktifan siswa dalam memperhatikan penjelasan

guru, bekerjasama dalam kelompok, menanggapi dan mengemukakan pendapat, serta keterampilan

dalam menggunakan program Wingeom. Observasi dilakukan oleh peneliti dan guru matematika.

Page 307: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 299

H. Analisis Data dan Pembahasan

1. Kemampuan Analogi Matematis Siswa

Berdasarkan skor pretest dan posttest kemampuan analogi matematis siswa diperoleh skor

minimun (xmin), skor maksimum (xmaks), skor rerata (𝑥 ), persentase (%), dan standar deviasi (s)

seperti pada tabel berikut.

Tabel H.1. Rekapitulasi Skor Pretest dan Posttest

Kemampuan Analogi Matematis Siswa

Kelas Data Skor

Ideal

Pretest Posttest

xmin xmaks 𝒙 % s xmin xmaks 𝒙 % s

Eksperime

n 36 16 3 8 5,56 34,72 1,18 9 16 13,11 81,94 1,94

Kontrol 36 16 4 8 5,58 34,90 1,18 7 16 11,47 71,70 2,21

Berdasarkan Tabel H.1 terlihat bahwa rerata skor pretest kelas eksperimen dan kontrol berturut-

turut 5,56 dan 5,58. Hal ini menjukkant tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor

pretest kelas eksperimen dan kontrol. Sedangkan rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol

berturut-turut 13,11 dan 11,47. Secara kasat mata, rerata skor posttest kelas eksperimen meningkat

sebesar 7,55 sedangkan kelas kontrol meningkat sebesar 5,59 dari skor pretest. Selisih perbedaan

rerata skor posttest kelas eksperimen dan kontrol sebesar 1,64. Selanjutnya diuji apakah perbedaan

rerata tersebut signifikan menggunakan uji-t. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa rerata kelas

eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan

SAVI berbantuan Wingeom lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

konvensional. Hal ini disebabkan karena pembelajaran dengan pendekatan SAVI membuat siswa

aktif dalam belajar. Selain daripada itu, dengan berbantuan program Wingeom siswa menjadi lebih

mudah memahami konsep matematika dengan mencari keserupaan dari bangun segiempat yang

ditampilkan pada layar komputer.

2. Skala Sikap Siswa

Analisis sikap siswa meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan

pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom. Skor netral siswa adalah 3,00.

Berdasarkan Tabel H.2 di bawah ini, terlihat bahwa sikap siswa terhadap pelajaran matematika

menunjukkan rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap

pelajaran matematika.

Begitu juga dengan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan SAVI menunjukkan

rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pembelajaran

dengan pendekatan SAVI.

Sama halnya dengan sikap siswa terhadap pembelajaran berbantuan Wingeom juga menunjukkan

rerata yang positif, karena skor sikap siswa berada diatas skor netralnya. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai sikap yang positif terhadap pelajaran

matematika, pembelajaran dengan pendekatan SAVI, dan pembelajaran berbantuan Wingeom.

Page 308: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

300 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Tabel H.2. Rerata Sikap Siswa

Aspek Indikator Rerata/

Persentase

Sikap siswa terhadap

pelajaran matematika

Minat siswa terhadap pelajaran matematika 4,30

85,93%

Manfaat pelajaran matematika 4,09

81,85%

Sikap siswa terhadap

pembelajaran dengan

pendekatan SAVI.

Minat siswa terhadap pembelajaran dengan

pendekatan SAVI.

4,07

81,39%

Manfaat pembelajaran dengan pendekatan SAVI. 4,38

87,59%

Penggunaan LKS dalam pembelajaran. 4,17

83,33%

Sikap siswa terhadap

pembelajaran

berbantuan program

Wingeom.

Kesenangan dan kesanggupan siswa

menggunakan program Wingeom. 4,14

82,78%

Manfaat pembelajaran berbantuan program

Wingeom.

3,82

76,39%

3. Aktivitas Guru dan Siswa

Aktivitas guru dan siswa diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan seorang

guru matematika pada setiap pertemuan. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang

dilakukan terhadap kegiatan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan SAVI, menunjukkan

peningkatan rerata aktivitas dari pertemuan ke-1 s.d ke-6. Hal ini disebabkan karena pembelajaran

dengan pendekatan SAVI membuat siswa aktif dalam belajar. Keempat aspek SAVI dilakukan

siswa dengan baik. Siswa mendengarkan penjelasan guru (Auditori), siswa melihat dengan jelas

konsep bangun segiempat dengan jelas melalui program Wingeom (Visual), siswa berdiskusi dalam

kelompoknya membahas permasalahan dalam LKS dengan program Wingeom (Somatis), dan

siswa mengerjakan latihan untuk menguji pemahamannya (Intelektual).

Hasil pengamatan juga menunjukkan siswa menjadi lebih kreatif memanipulasi bangun segiempat

yang ada pada komputer mereka. Siswa bersemangat berdiskusi dengan temannya mencari solusi

dari permasalahan dalam LKS. Peran guru mulai berkurang dalam pembelajaran. Guru hanya

sebagai fasilitator, motivator, dan moderator bagi siswa. Pembelajaran tidak lagi terpusat pada

guru, siswa yang lebih aktif, keberhasilan siswa ditentukan oleh dirinya sendiri. Berikut ini

disajikan grafik peningkatan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran dengan pendekatan

SAVI berbantuan Wingeom.

Gambar H.1. Perkembangan Aktifitas Guru dan Siswa Pada Pembelajaran

dengan Pendekatan SAVI berbantuan Wingeom

0%

50%

100%

1 2 3 4 5 6

76% 80% 85% 91% 91% 94%

Pe

rse

nta

se

Aktivitas Guru Pada Setiap Pertemuan

76%

78%

80%

82%

84%

1 2 3 4 5 6

79% 79%

81%82%

83% 83%

Pe

rse

nta

se

Aktivitas Siswa Pada Setiap Pertemuan

Page 309: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 301

I. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan mengenai perbedaan kemampuan analogi matematis

antara siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan

Wingeom dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, diperoleh kesimpulan sebagai

berikut:

1. Siswa yang memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan

Wingeom memiliki kemampuan analogi matematis yang lebih baik daripada siswa yang

memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Setelah memperoleh pembelajaran geometri dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom,

siswa menunjukkan sikap positif. Aktivitas belajar siswa meningkat dari pertemuan ke-1 s.d

ke-6.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah. (2002). Suatu Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Analogi

Matematika. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Asyhadi, A. (2005). Pengenalan Laboratorium Matematika di Sekolah. IHT Media Bagi Staf

LPMP Pengelola Laboratorium Matematika Tanggal 5 s.d. 11 September 2005 di PPPG

Matematika Yogyakarta.

Fraenkel, J. R dan Wallen, N. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education.

Singapore: Mc. Graw Hill.

Kamulyan, Mulyadi, S., dan Surtikanti. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Maier, H. (1985). Kompendium Didaktik Matematika. Bandung: CV Remaja Karya.

Mulyana, E. (2003). Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTP Kelas 1.

Makalah FPMIPA UPI.

Mundiri. (2000). Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 SLTP di

Kota Bandung. Disertasi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Siswa

SMA melalui pembelajaran Berbalik. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dan Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2002). Pembelajaran Geometri dengan Menggunakan Cabri Geometry II. Kumpulan

Makalah, Pelatihan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sastrosudirjo, S. S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar Untuk Siswa

SMP. Jurnal Kependidikan no.1 Tahun ke 18: IKIP Yogyakarta.

Siregar, N. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Madrasah

Tsanawiyah Pada Kelas yang Belajar Geometri Berbantuan Geometer‟s Sketchpad dengan

Siswa yang Belajar Geometri Tanpa Geometer‟s Sketchpad. Tesis UPI Bandung: tidak

diterbitkan.

Sobel, M. A. dan Maletsky, E. M. terj. Dr. Suyono, M.Sc. (2004). Mengajar Matematika. Ed. 3.

Jakarta: Erlangga.

Soekadijo, G. R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Gramedia.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.

Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi

Untuk Menigkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa SMA.

Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa

Sekolah Menengah Umum melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif. Tesis UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Page 310: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika

Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2

302 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (berparadigma

Eksploratif dan Investigasi). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam

Pelajaran Matematika. Laporan penelitian IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Widdiharto. R. (2004). Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG

Matematika.

Page 311: Prosiding seminar-nasional-pendidikan-matematika