prosiding seminar nasional bioteknologi

190
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI 2020 Penyelenggara: Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia – PT Riset Perkebunan Nusantara Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri 4.0 Bogor, 15 – 16 Oktober 2020 ISSN. 2774-1931

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

BIOTEKNOLOGI

2020

Penyelenggara:

Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia –

PT Riset Perkebunan Nusantara

Jalan Taman Kencana No.1 Bogor 16128

Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di

Era Revolusi Industri 4.0

Bogor, 15 – 16 Oktober 2020

ISSN. 2774-1931

Page 2: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

2

KATA PENGANTAR

uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi 2020 ini dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah yang disajikan dalam rangkaian acara Seminar yang

mengambil tema: Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri

4.0. Seminar telah dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Oktober 2020 secara live daring pada platform Zoom yang juga disiarkan pada Live Youtube Channel Pusat Penelitian Bioteknologi dan

Bioindustri Indonesia. Tujuan dari penyelenggaraan Seminar ini adalah untuk tetap membangun semangat produktivitas riset

dan pengembangan para peneliti Indonesia di masa pandemi Covid-19. Terlebih di era revolusi industri 4.0 yang menuntut penguasaan terhadap sains dan teknologi untuk terus ditingkatkan agar tidak tertinggal dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Melalui Seminar ini, diharapkan dapat mendatangkan

inovasi – inovasi baru bioteknologi untuk mendukung pemecahan masalah perkebunan dan pertanian di era revolusi industri 4.0. Sub-tema yang diusung pada makalah – makalah yang telah disampaikan antara lain Agronomi dan Precision Farming, Bioteknologi Tanaman, Bioindustri, Bioteknologi Mikroba dan

Kesehatan, serta Biomolekuler dan Bioinformatika. Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh penulis yang telah menyumbangkan karyanya, juga jajaran manajemen Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, serta seluruh panitia Seminar

Nasional Bioteknologi 2020 yang telah bekerja keras merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan Seminar dengan sebaik – baiknya. Kemudian terimakasih kepada Tim Redaksional Prosiding yang telah berupaya agar naskah yang diterbitkan memenuhi kaidah penulisan ilmiah dan ejaan Bahasa Indonesia

yang disempurnakan dan dari segi tampilan yang disajikan secara menarik. Kami mohon maaf jika dalam penerbitan Prosiding ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Semoga

Prosiding ini dapat memberikan banyak manfaat untuk masyarakat. Semangat berkarya dan maju terus riset dan pengembangan bioteknologi di Indonesia.

Bogor, 30 November, 2020

Ketua Pelaksana,

Irma Kresnawaty, M.Si

P

Page 3: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

3

SUSUNAN REDAKSI

Daftar Isi

01. Re-isolasi mikroba fungsional dari pupuk hayati Promi dan uji antagonismenya

terhadap Ganoderma boninense sebagai kontrol kualitas [Haryo Tejo Prakoso & Ema Imtihana Rosyida]

5-10

02. Profil pertumbuhan tanaman kelapa sawit transgenik P5CS setelah aklimatisasi [Turhadi, Imron Riyadi, Hayati Minarsih, Priyono, Asmini Budiani]

11-20

Editor Kepala :

Irma Kresnawaty, M.Si

Editor Pelaksana :

Rizka Tamania Saptari, M.Si

Fauziatul Fitriyah, M.Agr.Sc

Asisten Editor :

Syifa Fauziah Nurmila, S.E

Layout & Desain :

Cory Diana Lestari, S.Kom

Eka Kristka Versia

Viyan Nugroho, A.Md

03. Optimasi Teknik pemanenan mikroalga Nannochloropsis oceanica secara flokulasi

menggunakan FeCl3 skala laboratorium [Yora Faramitha, Irma Kresnawaty, Fauziatul Fitriyah, Dini Astika Sari]

21-26

04. Teknologi biokilang biomassa lignoselulosa untuk mendukung pengembangan

ekonomi sirkular: Perke bangan global dan tantangan implementasi di Indonesia [Bambang Prasetya, Yopi, Euis Hermiawati, Nanik Rahmani, Ahmad Thontowi, Ario

Betha Juanssilfero, Hans Wijaya]

27-48

05. Keragaman tanaman sirih (Piper sp.) berdasarkan penanda morfologi dan molekuler

[Nur Laela Wahyuni Meilawati, Tias Arlianti]

49-56

06. Intrograsi gen toleran Aluminium MaMt2 dari galur kedelai transgenik ke dalam

varietas unggul kedelai Biosoy [Saptowo Jumali Pardal, Riza Baihaki, Imdadul Aziz, Suharsono, Ratna Utari, Riri

Sundasari]

57-63

07. Analisis filogenetik bakteri Serratia sp. dan Kurthia sp. pada pindang tongkol

(Euthynnus affinis) [Purwaningtyas Kusumaningsih, Gede Mustika]

64-69

08. Analisis dinamika struktur mutan glukosa oksidase IPBCC dalam pengikatan substrat

secara in silico [Asrul Fanani, Laksmi Ambarsari, Popi Asri Kurniatin, Setyanto Tri Wahyudi]

70-77

09. Isolation and characterization of Rhizobium bacterian from various roots nodules legumes crops [Eka Lupitasarim Riki Ruhimat, Sarah Sakinah Umadi, Laudy Arrisa Arumsari Sahana]

78-84

10. Pertumbuhan fitoplankton Chaetoseros calsitrans dengan perlakuan jenis medium

starter pada skala laboratorium [Noor Eka Febryana, Jumrodah]

85-92

11. Karakterisasi morfologi cendawan penyebab antraknosa pada tanaman bawang

merah (Allium ascolonicum L.) di kabupaten Enrekang [Hikmahwati, Muhammad Rifqy Aulia, Fitrianti, Harli A Karim, Nur Ilmi]

93-98

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

TAHUN 2020

ISSN. 2774-1931

Page 4: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

4

12. Theurapeutic potential and safety assessment of fecal microbiota transplantation

(FMT): a review [Qori Emilia, Ryan Haryo Setyawan]

99-107

13. Studi in silico gen – gen dalam metabolisme gibberellin pada tanaman Stevia rebaudiana Bert. melalui pendekatan komparasi genomik [Rizka Tamania Saptari, Riza Arief Putranto, Rizkita Rachmi Esyanti]

108-119

14. Morphological and histological analysis of somatic embryo development of cocoa (Theobroma cacao L.) [Sulistyani Pancaningtyas, Teguh Imam Santoso]

120-131

15. Analisis ekonomi penggunaan bibit kelapa sawit kultur jaringan [Valentina Sokoastri]

132-138

16. Potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor [Valentina Sokoastri, Doni Setiadi, Imron Riyadi]

139-142

17. Metode pemetaan udara area kebun terjangkau dengan drone komersial dan

perangkat lunak open-source [Arif Rakhman Hakim, Andre Dani Mawardhi]

143-151

18. Pendekatan penentuan harga teknologi berdasarkan nilai inovasi bioteknologi [Arif Rakhman Hakim]

152-157

19. Respons pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap jenis

pupuk dan biostimulan [Poppy Arisandy, Galuh Wening Permatasari, Happy Widiastuti]

158-165

20. Viabilitas benih kopi (Coffea sp.) terhadap konsentrasi hormone gibberellin (GA3) dan

perendaman suhu air yang berbeda [Dede Suhendra, Siska Efendi, Aswaldi Anwar]

166-171

21. Protein hydrolysates rejuvenated old callus and improved shoot regeneration in sugarcane tissue culture [Fauziatul Fitriyah, Irma Kresnawaty, Hayati Minarsih, Djoko Santoso]

172-179

22. Desain konsep pemetaan partisipatif untuk lahan kelapa sawit petani untuk

mendukung pertanian presisi di provinsi Jambi [Bobin Sebayang, Mohamad Solahudin, Bambang Pramudya, Supriyanto]

Susunan Acara Seminar Nasional Bioteknologi 2020

Jadwal Sesi Paralel Makalah Peserta Room A

Jadwal Sesi Paralel Makalah Peserta Room B

Jadwal Sesi Paralel Makalah Peserta Room C

180-185

186

187

188

189

Page 5: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

5

Re-isolasi mikroba fungsional dari pupuk hayati Promi dan uji antagonismenya terhadap

Ganoderma boninense sebagai kontrol kualitas

Functional microbe re-isolation from Promi biofertilizer and its antagonistic test towards Ganoderma boninense as quality control

Haryo Tejo Prakoso1* & Ema Imtihana Rosyida2

1) Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor, 16128

2) Jurusan Pendidikan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Jl. Colombo Yogyakarta No. 1, Yogyakarta, 55281

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Saat PBB mencanangkan Sustainable Development Goals pada tahun 2016, kegiatan pertanian berkelanjutan di Indonesia semakin marak belakangan ini. Salah satu komponen dalam pertanian berkelanjutan adalah penggunaan pupuk hayati. PPBBI telah mengembangkan formula pupuk hayati sekaligus biofungisida berbasis konsorsium mikroba fungsional yang dikenal dengan nama Promi. Salah satu kekurangan pupuk hayati dibandingkan dengan pupuk kimia adalah daya simpannya yang tidak bisa selama pupuk kimia dan kurang praktisnya cara aplikasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas populasi mikroba dalam Promi yang sudah tersimpan selama 20 bulan, baik yang langsung diencerkan maupun yang direndam dahulu dalam air selama seminggu, dan menguji efektivitasnya pada Ganoderma penyebab penyakit busuk pangkal batang di kelapa sawit. Sampel diambil dan dilakukan pengenceran serial sampai 10-6 dengan dua jenis larutan pengencer (air dan garam fisiologis) kemudian dicawankan dengan metode cawan tuang untuk dilakukan penghitungan cawan total. Pencawanan diulang sebanyak dua kali. Uji antagonisme terhadap Ganoderma dilakukan menggunakan Trichoderma hasil re-isolasi pada media PDA yang dilanjutkan dengan inokulasi Ganoderma ke media alkali lignin. Hanya dua dari tiga jenis konsorsium mikroba, yaitu Aspergillus dan Trichoderma spp, yang dapat bertahan selama 20 bulan. Populasi Aspergillus setelah diencerkan dengan air dan larutan garam fisiologis dan pada sampel yang direndam air selama seminggu adalah 3.05 x 104, 2.15 x 104, 6.5 x 104 sedangkan populasi Trichoderma adalah 9 x 104, 7.95 x 104, and 3.3 x 104, secara berurutan. Tidak tumbuhnya Ganoderma pada media alkali lignin setelah sebelumnya diantagoniskan dengan Trichoderma hasil re-isolasi mengkonfirmasi keefektifan Promi sebagai agen biofungisida.

[Kata kunci: daya simpan, Ganoderma, pertanian berkelanjutan, uji viabilitas]

Pendahuluan

Peralihan fokus global dari Millenium Development Goals menjadi Sustainable Development Goals (SDG) memberikan perubahan cara pandang dalam hampir setiap lini, tidak terkecuali pertanian di Indonesia. Dahulu, fokus utama pertanian di Indonesia adalah bagaimana memproduksi bahan pangan sebanyak-banyaknya untuk minimal dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang dikenal dengan Revolusi Hijau

(Thorburn, 2015). Akan tetapi, program Revolusi Hijau mengakibatkan kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan (Farawita, 2018). Trend yang sama juga teramati di beberapa negara Asia Tenggara lainnya (Thorburn, 2015) dan juga dunia (Pingali, 2012). Oleh karena itu, program SDG menitikberatkan terhadap apa yang disebut sebagai triple bottom line: pembangunan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan inklusi sosial (Sachs, 2012).

Page 6: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

6

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) juga dibangun di atas ketiga pondasi triple bottom line tersebut. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, fungsi pupuk anorganik berangsur-angsur digantikan oleh pupuk hayati, walaupun tidak dapat menggantikan 100% karena pupuk anorganik tetap dibutuhkan tetapi dosisnya dikurangi. Menurut definisi Permentan No. 70/SR.140/10/2011, pupuk hayati adalah produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah. Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia telah mengembangkan formula pupuk hayati sekaligus biofungisida berbasis konsorsium mikroba fungsional yang dikenal dengan nama Promi. Mikroba fungsional yang terkandung di dalam Promi adalah Aspergillus spp, Trichoderma harzianum DT38, Trichoderma pseudokoningii DT39, dan Polyota spp. Ketiga jenis mikroba tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-berbeda. Aspergillus spp. berfungsi sebagai pelarut fosfat, Trichoderma spp berfungsi sebagai penghasil IAA sekaligus sebagai jamur antagonis, dan Polyota spp berfungsi sebagai jamur pelapuk atau dekomposer.

Promi sebagai pupuk hayati dapat digunakan pada tanaman hortikultura maupun pada tanaman perkebunan. Akan tetapi, kekurangan dari pupuk hayati adalah daya simpannya yang relatif pendek dan aplikasinya yang kurang praktis karena setelah Promi dilarutkan oleh air, larutan tersebut harus segera diaplikasikan sedangkan petani terkadang malas untuk menakar dosis sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, studi kali ini bertujuan ingin mengetahui viabilitas mikroba yang ada dalam Promi yang sudah disimpan selama 20 bulan dan mengetahui efek perendaman dengan air selama seminggu terhadap viabilitas mikroba yang terkandung dalam Promi yang berusia 20 bulan tersebut sebagai simulasi larutan stok yang dibuat petani.

Bahan dan Metode

Uji viabilitas mikroba Dalam percobaan ini, digunakan dua jenis

larutan pengencer, yaitu garam fisiologis (garfis) NaCl 0.85% dan air yang sebelumnya telah disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 15 menit. Sebanyak 10 gram sampel pupuk hayati Promi yang sudah berumur 20

bulan sejak diproduksi diencerkan serial sampai 106. Pengenceran 103 sampai 106 kemudian dicawankan dengan menggunakan metode cawan tuang ke dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) yang sebelumnya telah disterilisasi. Pencawanan diulang sebanyak dua kali. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan sampai hari ke 5. Jumlah koloni yang muncul kemudian dihitung untuk mendapatkan data penghitungan total koloni. Untuk memenuhi prosedur statistik, jumlah koloni dalam satu cawan hanya dapat dihitung apabila berada pada rentang 25-250 koloni.

Pada uji viabilitas dari efek larutan stok, sebanyak 10 gram Promi direndam dalam 90 ml air steril selama seminggu. Setalah seminggu, dilakukan penghitungan total koloni menggunakan metode yang sama dengan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja, kali ini larutan pengencer yang digunakan adalah air ledeng yang sudah disteril.

Uji efektivitas biofungisida

Trichoderma spp hasil re-isolasi kemudian diuji tantang dengan Ganoderma boninese penyebab busuk pangkal batang pada kelapa sawit. Kedua isolat tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media PDA. Inokulum Trichoderma spp kemudian diambil pada bagian hifa yang sedang aktif tumbuh pada inkubasi hari ke tiga sedangkan inokulum Ganoderma diambil pada hari ke tujuh. Kedua inokulum tersebut kemudian diinokulasikan pada satu cawan yang sama berisi media PDA dengan diberi jarak antara satu dengan yang lain kurang lebih 2 cm. Cawan yang berisi kedua inokulum tersebut kemudian diinkubasi selama 1 minggu pada suhu ruang.

Ganoderma boninense hasil uji tantang dengan Trichoderma spp hasil re-isolasi kemudian diinokulasikan ke media alkali lignin (dalam 1 liter aquades: K2HPO4 1 g, MgSO4.7H2O 0.2 g, KCl 0.2 g, NaNO3 2 g, ekstrak ragi 0.2 g, ekstrak malt 1 g, agar 18 g, KOH 2 butir, guaiacol 0.4 ml, alkali lignin 1 g, chloramphenicol 0.5 g, dan benomyl 4 mg). Sampel dicuplik kecil dengan menggunakan scapel steril di area pertemuan antara Tricoderma sp. dengan Ganoderma sp. dan diletakkan di media alkali lignin dengan posisi jamur menghadap ke bawah. Hasil isolasi kemudian diinkubasi pada suhu ruang dan dan diamati setiap hari selama 3 hari.

Page 7: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

7

Hasil dan Pembahasan

Uji viabilitas mikroba Dari ketiga jenis mikroba yang terkandung di

dalam pupuk hayati Promi, hanya dua jenis mikroba saja yang dapat bertahan setelah 20 bulan disimpan, yaitu Aspergillus spp. dan Trichoderma spp. Kedua jamur tersebut dapat tumbuh dengan baik walaupun diencerkan dengan menggunakan dua larutan pengencer yang berbeda (air dan garfis). Populasi Aspergillus spp. yang diencerkan dengan air dan garfis masing-masing adalah 3.05 x 104 dan 2.15 x 104, secara berurutan, sedangkan populasi Trichoderma spp. yang diencerkan dengan air dan garfis masing-masing adalah 9 x 104 dan 7.95 x 104, secara berurutan (Tabel 1). Kedua jamur tersebut pun dapat tumbuh dengan baik setelah direndam dengan air selama seminggu dengan populasi Aspergillus spp. dan Trichoderma spp. masing-masing secara berurutan adalah 6.5 x 104 dan 3.3 x 105 (Tabel 2).

Polyota merupakan jamur yang masuk ke dalam golongan Jamur Pelapuk Putih (JPP). Menurut Baldrian (2008), JPP tidak bisa bertahan lama di tanah karena ia membutuhkan substrat yang sesuai untuk bertahan hidup sehingga daya tahan hidupnya

di tanah tanpa substrat yang sesuai relatif rendah. Bahan pembawa pada pupuk hayati Promi merupakan padatan yang menyerupai tanah sehingga kemungkinan Polyota spp. tidak dapat bertahan lama pada bahan pembawa disebabkan oleh sifat hidup JPP yang tidak dapat bertahan lama di tanah tanpa substrat eksternal yang sesuai.

Lain halnya dengan Aspergillus spp. dan Trichoderma spp., mereka dapat bertahan hidup lama di tanah. Aspergillus dikenal dapat bertahan hidup pada hampir semua jenis substrat, baik tanah, vegetasi yang membusuk, udara bahkan air (Nolard et al., 1988). Trichoderma termasuk organisme yang hidup di dalam tanah dan hampir dapat ditemukan pada semua jenis tanah yang ada di dunia (Samuels, 2006). Oleh karena bahan pembawa dalam pupuk hayati Promi menyerupai tanah, maka Aspergillus spp. dan Trichoderma spp. dapat bertahan lama pada bahan pembawa tersebut, meskipun sudah disimpan selama 20 bulan. Perbandingan jumlah total penghitungan koloni pada sampel pupuk hayati Promi yang berumur 20 bulan yang diencerkan dengan dua jenis larutan pengencer yang berbeda serta direndam air selama seminggu kemudian diencerkan dengan air dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Jumlah koloni yang teramati dari pupuk hayati Promi yang sudah disimpan selama 20 bulan pada dua perlakuan larutan pengencer Table 1. The number of colonies observed from Promi biofertilizer that had been stored for 20 months in two diluent solution treatments

Sampel Sample

Larutan pengencer Diluent solution

Pangkat pengenceran yang dicawankan Dilution power that were plated

10-3 10-4 10-5 10-6

Aspergillus spp.

Air Water Garam Fisiologis Physiological saline

30.5

21.5

TSUD*

TSUD

TSUD

TSUD

0

0

Trichoderma spp.

Air Water Garam Fisiologis Physiological saline

90

79.5

TSUD

TSUD

TSUD

TSUD

0

0

Polyota spp.

Air Water Garam Fisiologis Physiological saline

0

0

0

0

0

0

0

0

*) TSUD = Terlalu sedikit untuk dihitung /Too few to count

Page 8: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

8

Tabel 2. Jumlah koloni yang teramati dari pupuk hayati Promi yang sudah disimpan selama 20 bulan dan direndam air selama seminggu Table 2. The number of colonies observed from Promi biofertilizer that had been stored for 20 months and soaked in water for a week

Sampel Sample

Larutan pengencer Diluent solution

Pangkat pengenceran yang dicawankan Dilution power that were plated

10-3 10-4 10-5 10-6

Aspergillus spp. Air Water

65 TSUD* TSUD 0

Trichoderma spp. Air Water

226 43.5 TSUD 0

Polyota spp. Air Water

0 0 0 0

*) TSUD = Terlalu sedikit untuk dihitung /Too few to count

Gambar 1. Perbedaan populasi mikroba fungsional yang diencerkan menggunakan dua jenis larutan pengencer dan perendaman di air selama seminggu Figure 1. Functional microbe population difference diluted using two types of diluent solution and soaked in water for a week

Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah populasi mikroba fungsional pada pengenceran pupuk hayati Promi menggunakan air sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengen pengenceran menggunakan garam fisiologis, walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Perbedaan yang signifikan terlihat pada Aspergillus spp. dan Trichoderma spp. dari pupuk hayati Promi berumur 20 bulan yang direndam air selama seminggu. Terlihat kenaikan populasi yang cukup drastis pada Trichoderma spp yang mencapai hampir 10 kali lipat jika dibandingkan dengan sampel yang langsung diencerkan menggunakan air. Fungi dikenal dapat tumbuh asalkan permukaan di mana mereka berkembang biak memiliki kadar air yang cukup, apalagi jika tersedia air dalam jumlah yang banyak dan mereka dapat memanfaatkan sumber nutrisi yang berasal hanya dari debu dan kotoran saja (Pasanen et al., 2000). Oleh karena itu, pembuatan larutan Promi di tingkat petani dapat memanfaatkan air saja. Dari hasil percobaan ini, terlihat bahwa

pupuk hayati Promi yang dilarutkan dalam air selama seminggu dapat menaikkan populasi mikroba fungsional. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa air yang digunakan pada percobaan kali ini adalah air yang steril. Pada praktiknya di lapangan, jarang tersedia air yang steril sehingga hasil yang diharapkan bisa jadi bervariasi. Untuk mendapatkan hasil yang kurang lebih sama dengan studi ini, petani bisa merebus air yang akan digunakan untuk melarutkan pupuk hayati Promi kemudian mendinginkannya sebelum dilakukan pencampuran supaya larutan tersebut dapat disimpan. Uji efektivitas biofungisida

Trichoderma spp. hasil re-isolasi mendominasi cawan petri dan tidak memberikan kesempatan bagi Ganoderma boninense untuk bertumbuh (Gambar 2). Trichoderma diketahui memiliki kecepatan pertumbuhan yang pesat dan memiliki kemampuan mikoparasitisme, yaitu kemampuan untuk mengenali dan membunuh jamur

0,00E+00

1,00E+05

2,00E+05

3,00E+05

4,00E+05

5,00E+05

Aspergillus TrichodermaTota

l P

late

Count

(cfu

/ml)

Air Garfis Rendam air seminggu

Page 9: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

9

antagonis dengan cara melilitkan hifanya pada hifa jamur antagonis kemudian ia akan mensekresikan enzim hidrolitik pendegradasi dinding sel (Naher et al., 2014). Untuk mengetahui apakah Ganoderma boninense yang diuji tantang dengan Trichoderma masih hidup atau tidak, sebagian hifa Ganoderma yang berbatasan dengan hifa Trichoderma kemudian dipotong dan diinokulasi ke media alkali lignin.

Ganoderma boninense hasil uji tantang tidak mengubah warna media alkali lignin (Gambar 3a). Ganoderma boninense merupakan jamur yang dapat mendegradasi lignin karena ia memiliki sistem enzim

ligninolitik (Surendran et al., 2017). Jika Ganoderma yang diuji masih hidup, maka system enzim ligninolitik akan bereaksi dengan guaiacol yang terkandung pada media alkali lignin dan akan memberikan warna kecoklatan pada sekitar media (Xu et al., 2015), seperti yang terlihat pada Gambar 3b. Oleh karena itu, jika Ganoderma hasil uji tantang tidak memberikan perubahan warna pada media alkali lignin, maka dapat dipastikan bahwa Ganoderma hasil uji tantang tersebut sudah mati. Dengan demikian, Trichoderma spp. hasil re-isolasi dari pupuk hayati Promi masih dapat menjalankan fungsinya sebagai agen biofungisida

Gambar 2. Uji tantang antara Ganoderma boninense dengan Trichoderma spp. hasil re-isolasi dari pupuk hayati Promi berumur 20 bulan Figure 2. Antagonism test between Ganoderma boninense and Trichoderma spp. re-isolated from Promi biofertilizer that had been kept for 20

months

Gambar 3. Ganoderma boninense hasil uji tantang yang ditumbuhkan pada media alkali lignin (a). Dapat dilihat bahwa tidak terjadi perubahan warna

pada media yang menunjukkan Ganoderma tersebut sudah tidak aktif/mati. Jika masih hidup, Ganoderma pada media alkali lignin akan mengubah warna media menjadi merah kecoklatan (b)

Figure 3. Ganoderma boninense resulted from antagonism test grown on alkali lignin medium (a). It can be seen that no colour change was observed on the medium indicating that Ganoderma was inactive or dead. If it still active, Ganoderma would change the color of alkali lignin medium into brownish red (b)

Page 10: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

10

Kesimpulan

Mikroba fungsional yang dapat bertahan dalam pupuk hayati Promi yang disimpan selama 20 bulan hanya Aspergillus spp. dan Trichoderma spp. sedangkan Polyota spp. tidak teramati. Larutan pengencer untuk melarutkan pupuk hayati Promi dapat menggunakan air karena jumlah populasi mikroba fungsional antara dilarutkan dengan menggunakan air dan garfis tidak terlalu jauh berbeda. Berdasarkan hasil studi ini, larutan stok pupuk hayati Promi dapat dibuat dan disimpan selama seminggu. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa air yang digunakan pada studi ini adalah air yang sudah steril sehingga interpretasi hasil studi di lapangan diharapkan lebih berhati-hati karena hasilnya bisa bervariasi. Hasil uji antagonis Trichoderma spp. hasil isolasi mampu membunuh Ganoderma boninense penyebab busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit. Hal ini membuktikan bahwa Trichoderma spp. dari pupuk hayati Promi masih dapat menjalankan fungsinya walaupun setelah disimpan selama 20 bulan.

Daftar Pustaka

Baldrian P (2008). Wood-inhabiting ligninolytic

basidiomycetes in soils: Ecology and constraints for applicability in bioremediation. Fungal Ecology, 1(1), 4-12.

Farawita F (2018). Degradasi Ekologi dan Kapitalisme

Revolusi Hijau (Analisis Wacana Kritis pada Buku Teks Sejarah Sekolah). Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 1(2), 77-83.

Naher L, UK Yusuf, SG Tan, S Siddiquee & MR Islam

(2014). In vitro and in vivo biocontrol performance of Trichoderma harzianum rifai on

Ganoderma boninense Pat. related to

pathogenicity on Oil palm (Elaeis guineensis

Jacq.). J. Pure Appl. Pure Microbiol, 8(973-978.

Nolard N, M Detandt & H Beguin (1988). Ecology of Aspergillus Species in the Human Environment. In eds. H. V. Bossche, D. W. R. Mackenzie & G.

Cauwenbergh, Aspergillus and Aspergillosis. Boston: Springer.

Pasanen A-L, J-P Kasanen, S Rautiala, M Ikäheimo, J

Rantamäki, H Kääriäinen & P Kalliokoski (2000).

Fungal growth and survival in building materials under fluctuating moisture and temperature

conditions. Journal International Biodeterioration & Biodegradation, 46(2), 117-127.

Pingali P (2012). Green revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(31), 12302-12308.

Sachs JD (2012). From millennium development goals to sustainable development goals. The Lancet, 379(9832), 2206-2211.

Samuels GJ (2006). Trichoderma: Systematics, the Sexual

State, and Ecology. Phytopathology, 96(2), 195-206.

Surendran A, Y Siddiqui, HM Saud & NSAaS Manickam

(2017). The Antagonistic Effect of Phenolic Compounds on Ligninolytic and Cellulolytic

Enzymes of Ganoderma Boninense, Causing

Basal Stem Rot in Oil Palm. INTERNATIONAL JOURNAL OF AGRICULTURE AND BIOLOGY, 19(6), 1437-1446.

Thorburn C (2015). The Rise and Demise of Integrated

Pest Management in Rice in Indonesia. Insects, 6(2), 381-408.

Xu C, D Singh, KM Dorgan, X Zhang & S Chen (2015).

Screening of ligninolytic fungi for biological

pretreatment of lignocellulosic biomass. Canadian Journal of Microbiology, 61(10), 745-752.

Page 11: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

11

Profil pertumbuhan tanaman kelapa sawit transgenik P5CS setelah aklimatisasi

Growth profile of P5CS transgenic oil palm after acclimatization

Turhadi*, Imron Riyadi, Hayati Minarsih, Priyono & Asmini Budiani

Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jl. Taman Kencana No.1, Bogor 16128, Indonesia

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Transformasi genetik untuk merakit tanaman yang toleran kekeringan telah dilakukan dengan mengintroduksikan gen P5CS ke dalam kalus kelapa sawit. Planlet transgenik telah dihasilkan dan telah melalui uji cekaman kekeringan in-vitro. Salah satu tahapan krusial dalam rekayasa genetik adalah aklimatisasi tanaman sebelum ditanam di lapang. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat keberhasilkan aklimatisasi dan mengkarakterisasi pertumbuhan planlet kelapa sawit transgenik P5CS setelah aklimatisasi. Sebanyak 17 planlet non-transgenik dan 26 planlet transgenik P5CS diaklimatisasi pada media tanam dengan komposisi top soil : kompos (1:3; v:v) selama 4 minggu. Tinggi tanaman, kecepatan penambahan tinggi, jumlah daun, panjang, lebar, serta rasio panjang:lebar daun diamati dalam penelitian ini hingga minggu ke-6 setelah aklimatisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya hidup planlet non-transgenik dan transgenik P5CS masing-masing 76,5% dan 76,9% dengan karakter pertumbuhan yang bervariasi antar klon tanaman. Tinggi tanaman transgenik P5CS hasil aklimatisasi pada minggu ke-6 yaitu 8,5-25,4 cm dengan kecepatan penambahan tinggi 0,100-0,267 cm/minggu dan jumlah daun 1-3 helai. Panjang, lebar, serta rasio panjang:lebar daun tanaman transgenik P5CS hasil aklimatisasi yaitu 7,0-17,0 cm, 1,0-3,0 cm, dan 4,4-9,8. Terdapat 4 kelompok tanaman kelapa sawit transgenik P5CS hasil aklimatisasi berdasarkan karakter pertumbuhannya menggunakan teknik Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA). Kelompok 1 terdiri dari tanaman T-30(1). Kelompok 2 terdiri dari tanaman T-12(3), T-12(4), dan T-12(5). Kelompok 3 terdiri dari tanaman T-13, T-14(2), T-22, T-23, T-24, T-25(1), T-25(2), dan T-26. Kelompok 4 terdiri dari tanaman T-1, T-3(1), T-3(2), T-5, T-6, T-10, T-11, dan T-12(2).

[Kata kunci: planlet, rasio panjang:lebar daun, tinggi tanaman, UPGMA]

Pendahuluan

Kebutuhan minyak nabati yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan tantangan terhadap perubahan iklim global berdampak terhadap perkebunan serta penyediaan bahan tanam kelapa sawit. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu melalui pemanfaatan teknologi rekayasa genetika guna menghasilkan bibit kelapa sawit dengan sifat yang diinginkan secara lebih cepat dibandingkan cara konvensional (Masli et al., 2008), salah satunya sifat toleran terhadap cekaman kekeringan.

Toleransi terhadap cekaman kekeringan merupakan sifat yang bersifat poligenik pada tanaman. Banyak gen yang telah dilaporkan bertanggung jawab dalam menentukan sifat toleran terhadap cekaman kekeringan, salah satunya gen P5CS yang bertanggung jawab dalam biosintesis prolin (Riduan et al., 2010; Zarei et al., 2012; Iskandar et al., 2014; Pavei et al., 2016). Pada tahun 2019, gen P5CS yang berperan dalam menyandikan enzim Δ1-pyrroline-5-carboxylate synthetase tersebut juga telah berhasil diintroduksikan ke dalam kalus kelapa sawit (Budiani et al., 2019) dan planlet-planlet transgenik yang

Page 12: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

12

diperoleh telah menunjukkan respon toleran terhadap cekaman kekeringan secara in-vitro (Turhadi et al., 2020). Namun, hingga sejauh ini planlet-planlet transgenik P5CS tersebut belum dilakukan aklimatisasi.

Proses aklimatisasi adalah salah tahapan penting dalam rangkaian perakitan bahan tanam melalui kultur jaringan dan transformasi genetik (Ehirim et al., 2014). Keberhasilan aklimatisasi kelapa sawit hasil kultur jaringan juga telah dilaporkan sebelumnya (Gomes et al. 2015; Yunita 2016; Corrêa et al., 2016; Ernayunita et al., 2019). Untuk mengetahui tingkat keberhasilan selama dan/atau setelah proses aklimatisasi, maka tahap evaluasi bahan tanam sangat diperlukan. Menurut Gomes et al. (2015), keberhasilan tanaman yang diaklimatisasi salah satunya dipengaruhi oleh profil pertumbuhan bagian aerial tanaman. Sehingga, pada penelitian ini evaluasi dilakukan dengan mengamati bagian aerial tanaman.

Strategi evaluasi awal yang mudah dilakukan pada tanaman hasil transformasi genetik yaitu berupa pengamatan profil pertumbuhannya. Pengamatan terhadap profil pertumbuhan tanaman hasil kultur jaringan yang diaklimatisasi telah dilaporkan, misalnya kelapa sawit (Sumaryono & Riyadi 2011), tebu (Dibax et al., 2011), dan kurma (Aslam et al., 2015). Meskipun demikian, klon-klon kelapa sawit transgenik P5CS yang telah diperoleh belum dilakukan evaluasi profil pertumbuhannya selama kondisi aklimatisasi. Sehingga, penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat keberhasilkan aklimatisasi dan mengkarakterisasi pertumbuhan planlet kelapa sawit transgenik P5CS ketika dilakukan aklimatisasi.

Bahan dan Metode

Bahan tanaman Klon-klon tanaman kelapa sawit yang berasal

dari planlet umur 2 tahun hasil kultur in-vitro yang terdiri dari 17 tanaman non-transgenik dan 26

tanaman transgenik P5CS digunakan dalam penelitian ini. Kondisi aklimatisasi

Proses aklimatisasi dilakukan di dalam fasilitas Rumah Kaca Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Bogor. Akar planlet tanaman kelapa sawit dicuci dengan air mengalir. Akar selanjutnya dikeringkan menggunakan kertas tisu dan kemudian direndam dalam larutan 2 mM 1-Naphthaleneacetic acid (NAA) selama 10 menit (Sumaryono & Riyadi 2011). Planlet ditanam pada media tanam berupa top soil : kompos dengan perbandingan 1 : 3 (v:v) di dalam pot plastik transparan ukuran 300 mL. Permukaan media tanam yang telah ditanami planlet disemprot dengan larutan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g/L pada minggu ke-0 dan minggu ke-2 setelah tanam. Selama proses aklimatisasi yang dilakukan selama 4 minggu, pada masing-masing tanaman dilakukan penyungkupan dengan menggunakan pot plastik transparan ukuran 300 mL. Perawatan berupa penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali. Konfirmasi keberadaan transgen P5CS dengan teknik PCR

Konfirmasi keberadaan transgen P5CS dilakukan melalui PCR dengan menggunakan DNA sebagai template yang diisolasi dari daun tanaman kelapa sawit mengikuti prosedur dari Orozco-Castillo et al. (1994). Primer Actin dan NPTII digunakan untuk konfirmasi keberadaan transgen P5CS pada tanaman kelapa sawit (Tabel 1). Proses amplifikasi daerah target dilakukan dengan 35 siklus dengan kondisi PCR sebagai berikut: pre-denaturasi (95 °C; 1 menit), denaturasi (95 °C; 15 detik), annealing (55 °C; 15 detik), ekstensi (72 °C; 10 detik), dan post-ekstensi (72 °C; 10 menit). Produk PCR selanjutnya divisualisasikan pada 1% gel agarose melalui elektroforesis 80 Volt selama 35 menit. Dokumentasi hasil elektroforesis dilakukan dengan menggunakan UV-Gel Doc.

Tabel 1. Primer yang digunakan untuk konfirmasi keberadaan transgen P5CS Table 1. Primer used for P5CS transgen confirmation

Nama primer Primer name

Sekuen Sequnce

Panjang amplikon (pb) Amplicon length (bp)

Actin-F CCCACCTGAACGGAAATACA 400

Actin-R CGGATGGCACCTCAGTCTTA NPTII-F GAGGCTATTCGGCTATGACT

700 NPTII-R ATCGGCAGCGGCGATACCGT

Page 13: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

13

Pengamatan pertumbuhan Evaluasi pertumbuhan klon-klon tanaman

kelapa sawit dilakukan dengan mengamati tinggi tanaman, jumlah, panjang serta lebar daun. Tinggi tanaman dan jumlah daun diamati pada minggu ke-0, 2, 4, dan 6 setelah tanam. Panjang dan lebar daun diamati pada minggu ke-6 setelah tanam. Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif, analisis korelasi, dan analisis klaster. Analisis korelasi dilakukan menggunakan paket Corrplot pada perangkat lunak R-Studio. Analisis klaster berupa Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean (UPGMA) digunakan pada penelitian ini untuk mengelompokkan klon-klon kelapa sawit berdasarkan tingkat kemiripan karakter-karakter pertumbuhannya. Sebelum dianalisis menggunakan teknik UPGMA pada setiap data distandarisasi untuk mengurangi efek bias satuan dari setiap karakter mengikuti prosedur Jolliffe & Cadima (2016). Analisis klaster dilakukan menggunakan program PAST 3.06 (Hammer et al., 2001).

Hasil dan Pembahasan

Persentase keberhasilan aklimatisasi Sebanyak 43 klon tanaman kelapa sawit yang

terdiri dari 17 klon non-transgenik dan 26 klon transgenik P5CS digunakan dalam tahapan aklimatisasi. Empat minggu setelah tanaman kelapa sawit ditanam pada media aklimatisasi, sebanyak 76,5% tanaman non-transgenik dan 76,9% tanaman transgenik P5CS menunjukkan keberhasilan (Tabel 2). Tingginya persentase baik

tanaman transgenik dan non-transgenik tersebut mengindikasikan bahwa tahap aklimatisasi berhasil dilakukan dengan baik. Aklimatisasi tanaman lainnya hasil kultur jaringan juga menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi, misalnya tebu dan stevia. Perbanyakan tebu varietas RB931003 dan RB98710 melalui kultur jaringan berhasil diaklimatisasi masing-masing mencapai 85% dan 100% (Dibax et al., 2011). Aklimatisasi tanaman stevia yang berasal dari umur eksplan 0, 1, 2, dan 3 minggu masing-masing sebesar 6,7%, 83,3%, 13,3%, dan 0% (Sinta & Amanah 2019). Konfirmasi keberadaan transgen P5CS

Konfirmasi keberadaan transgen P5CS dilakukan pada tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik. Kualitas DNA baik klon non-transgenik maupun transgenik P5CS menunjukkan kualitas yang baik yang diindikasikan dengan teramplifikasinya pita Actin berukuran 400 pb. Hasil konfirmasi yang dilakukan menunjukkan bahwa 20 nomor klon kelapa sawit telah membawa sisipan gen P5CS yang diindikasikan dengan adanya pita NPTII berukuran 700 pb, sedangkan tanaman non-transgenik tidak menunjukkan adanya pita tersebut (Gambar 1). Semua nomor klon transgenik yang diaklimatisasi menunjukkan keberhasilan adanya sisipan gen P5CS dikarenakan sebelum aklimatisasi telah dilakukan konfirmasi keberadaan transgen sebagai salah satu tahapan dalam penelitian uji in-vitro cekaman kekeringan (Turhadi et al. 2020). Sehingga, tanaman yang diaklimatisasi adalah tanaman yang positif membawa transgen P5CS.

Tabel 2. Persentase daya hidup tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS Table 2. Percentage of survival rate of non-transgenic and P5CS transgenic oil palm

Jumlah tanaman Plant number Daya hidup (%)

survival rate (%) Hidup Life

Mati Dead

Non-transgenik / Non-transgenic 13 4 76,5 Transgenik P5CS / P5CS transgenic 20 6 76,9

Page 14: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

14

Gambar 1. Hasil PCR menggunakan primer Actin dan NPTII pada tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS. M = Penanda DNA 100

pb; K- = kontrol negatif (H2O); NT = tanaman kelapa sawit non-transgenik; T = tanaman kelapa sawit transgenik P5CS. Figure 1. PCR result based on Actin and NPTII primers in non-transgenic and P5CS transgenic oil palm. M = DNA marker 100 bp; K- = negative control

(H2O); NT = non-transgenic oil palm; T = P5CS transgenic oil palm.

Pertumbuhan tanaman

Proses aklimatisasi baik klon non-transgenik maupun transgenik P5CS diawali dengan merendam akar setiap individu tanaman di dalam larutan hormon NAA (Gambar 2A). Langkah ini bertujuan untuk membantu menginduksi akar-akar baru dari setiap individu dikarenakan tidak semua tanaman yang diaklimatisasi mempunyai akar yang baik. Salah satu tahapan dalam proses aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan yaitu penyungkupan. Proses penyungkupan pada penelitian ini dilakukan selama 4 minggu dengan menggunakan pot plastik transparan (Gambar 2B). Penyungkupan ini dilakukan untuk menjaga tingkat kelembaban di sekitar lingkungan tumbuh tanaman yang sedang diaklimatisasi (Sumaryono et al., 2012; Ehirim et al., 2014). Hingga minggu ke-6 pertumbuhan baik tanaman non-transgenik (Gambar 2C) maupun transgenik P5CS (Gambar 2D) menunjukkan pertumbuhan yang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman ini dinilai baik karena juga diindikasikan dengan munculnya akar-akar baru yang terlihat (Gambar 2E-F). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Sumaryono & Riyadi (2011) yang menunjukkan adanya akar-akar baru pada tanaman kelapa sawit yang berhasil diaklimatisasi. Namun, beberapa tanaman

transgenik P5CS tidak berhasil diaklimatisasi yang ditunjukkan dengan mengeringnya daun dan kemudian mati (Gambar 2G). Banyak hal yang memengaruhi tingkat keberhasilan tanaman hasil kultur jaringan ketika diaklimatisasi. Menurut Gomes et al. (2015) faktor yang berkaitan dengan fase pengakaran, misalnya keberadaan akar, jumlah akar, panjang akar utama, dan tinggi tajuk dari planlet sangat berkaitan dengan daya hidup selama proses aklimatisasi.

Evaluasi terhadap pertumbuhan klon-klon transgenik P5CS yang diaklimatisasi telah dilakukan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat variasi tinggi tanaman transgenik yaitu 8,5-25,4 cm pada 6 minggu setelah tanam (Tabel 3). Tanaman paling tinggi yaitu klon T-10, sedangkan tanaman paling pendek yaitu T-12(5). Selain tinggi tanaman, variasi pertumbuhan tanaman transgenik P5CS juga ditunjukkan oleh kecepatan penambahan tinggi. Klon T-3(1) memperlihatkan kecepatan penambahan tinggi terbesar (0,267 cm/minggu) dibandingkan klon-klon transgenik P5CS lainnya dan non-transgenik (Gambar 3). Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa sebagian besar klon transgenik P5CS mempunyai kecepatan penambahan tinggi yang lebih kecil dibandingkan tanaman non transgenik (Gambar 3).

Page 15: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

15

Gambar 2. Profil planlet tanaman kelapa sawit saat direndam di dalam larutan 2 mM NAA (A), selama aklimatisasi di dalam sungkup plastik minggu ke-

4 (B), setelah sungkup plastik dibuka pada minggu ke-6 pada tanaman non-transgenik (C) dan transgenik P5CS (D), profil pertumbuhan akar tanaman non-transgenik (E) dan transgenik P5CS (F), dan tanaman yang tidak berhasil hidup saat aklimatisasi (G). Tanda panah warna merah menunjukkan akar tanaman kelapa sawit.

Figure 2. Oil palm plantlet profile when soaked on 2 mM NAA solution (A), during acclimatization on plastic cover at 4th week (B), after opened plastic cover at 6th week on non-transgenic (C) and P5CS trangenic, growth profile of non-transgenic (E) and P5CS transgenic root (F), and died clones under acclimatization (G). red arrows showed oil palm root.

Page 16: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

16

Tabel 3. Tinggi tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS Table 3. Plant height of non-transgenic and P5CS transgenic oil palm

Klon Tinggi tanaman minggu ke- (cm)

0 2 4 6 Non-transgenik (n=13) 18,8 19,2 19,7 20,1 T-1 18,7 19,0 19,3 19,4 T-3(1) 18,8 19,2 19,4 20,4 T-3(2) 20,3 20,5 21,0 21,2 T-5 16,4 16,8 17,2 17,2 T-6 18,6 18,9 19,4 19,6 T-10 24,7 25,0 25,4 25,4 T-11 17,0 17,4 18,2 18,2 T-12(2) 18,6 19,0 19,2 19,2 T-12(3) 15,1 15,6 16,2 16,5 T-12(4) 15,6 15,7 16,2 17,1 T-12(5) 7,6 8,0 8,5 8,5 T-13 17,5 17,8 18,0 18,3 T-14(2) 17,6 17,9 18,2 18,5 T-22 13,1 13,6 14,0 14,2 T-23 20,8 21,0 21,4 22,1 T-24 16,5 16,9 17,2 18,0 T-25(1) 16,8 17,1 17,6 17,6 T-25(2) 16,9 17,1 17,5 18,3 T-26 17,6 18,0 18,4 18,4 T-30(1) 20,7 20,9 21,4 22,0

Gambar 3. Kecepatan penambahan tinggi tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS Figure 3. Shoot elongation rate of non-transgenic and P5CS transgenic oil palm

0,267

0,250

0,250

0,233

0,233

0,217

0,217

0,192

0,200

0,183

0,167

0,150

0,150

0,150

0,133

0,133

0,133

0,133

0,117

0,117

0,100

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300

T-3(1)

T-12(4)

T-24

T-25(2)

T-12(3)

T-23

T-30(1)

NT (n=13)

T-11

T-22

T-6

T-12(5)

T-3(2)

T-14(2)

T-5

T-13

T-25(1)

T-26

T-1

T-10

T-12(2)

Kecepatan penambahan tinggi (cm/minggu) /shoot elongation rate (cm/week)

Klo

n /

clone

Page 17: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

17

Salah satu bentuk evaluasi pertumbuhan tanaman transgenik P5CS juga dilakukan pada ukuran daun. Hingga minggu ke-6, jumlah daun baru yang sudah berkembang penuh dari tanaman transgenik P5CS yaitu 1-3 helai, sedangkan tanaman non-transgenik rata-rata jumlah daun yaitu 1 helai (Tabel 4). Varisasi fenotipe daun baru yang terbentuk setelah pengkondisian secara ex-vitro bergantung pada beberapa hal, meliputi spesies tanaman, lingkungan kultur serta aklimatisasi, dan umur planlet (Kumar & Rao 2012).

Baik panjang, lebar, dan rasio panjang:lebar daun tanaman transgenik P5CS memperlihatkan adanya variasi dibandingkan tanaman non-transgenik. Mayoritas tanaman transgenik P5CS mempunyai daun yang lebih pendek dibandingkan tanaman non-transgenik. Terdapat tiga klon transgenik P5CS yang mempunyai daun yang lebih panjang dibandingkan tanaman non-transgenik yaitu T-23, T-26, dan T-30(1), masing-masing 16,2, 17,0, dan 16,0 cm (Gambar 4a). Selain itu, berdasarkan pengamatan yang dilakukan juga diketahui bahwa mayoritas tanaman transgenik P5CS mempunyai daun yang sempit dibandingkan tanaman non-transgenik. Lebar daun tanaman transgenik P5CS yaitu 1,0-3,0 cm (Gambar 4b). Sama halnya dengan panjang dan lebar daun, rasio

panjang:lebar daun tanaman transgenik P5CS lebih kecil dibandingkan tanaman non-transgenik yaitu berkisar 4,4-9,8 (Gambar 4c). Variasi profil pertumbuhan ini merupakan hal yang umum terjadi pada tanaman-tanaman hasil kultur jaringan saat dilakukan aklimatisasi. Menurut Pospíšilová et al. (1999) menyebutkan bahwa abnormalitas pada karakter morfologi, anatomi, dan fisiologi planlet hasil perbanyakan secara in vitro dapat diatasi setelah dikondisikan pada lingkungan ex vitro melalui aklimatisasi.

Analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif secara signifikan (p<0.05) antara kecepatan penambahan tinggi, panjang daun, lebar daun, dan rasio panjang:lebar daun (Gambar 5). Koefisien korelasi (r) antar karakter-karakter pertumbuhan tersebut berkisar antara 0,84-0,96. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hubungan yang sangat kuat antar keempat karakter tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa tidak adanya korelasi tinggi tanaman dan jumlah daun terhadap keempat karakter lainnya lainnya. Berdasarkan profil pertumbuhannya diketahui mengindikasikan bahwa baik klon kelapa sawit non transgenik maupun transgenik P5CS telah berhasil diaklimatisasi pada lingkungan ex vitro.

Tabel 4. Jumlah daun tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS Table 4. Leaves number of non-transgenic and P5CS transgenic oil palm

Nomor tanaman Jumlah daun minggu ke-

0 2 4 6 Non-transgenik (n=13) 1 1 1 1 T-1 1 2 2 2 T-3(1) 1 2 2 2 T-3(2) 1 1 1 1 T-5 1 2 2 2 T-6 1 1 1 1 T-10 2 3 3 3 T-11 1 1 1 1 T-12(2) 1 1 1 1 T-12(3) 2 3 3 3 T-12(4) 1 2 2 2 T-12(5) 1 1 1 2 T-13 1 1 1 1 T-14(2) 1 1 1 1 T-22 1 1 1 1 T-23 1 1 1 1 T-24 1 1 1 1 T-25(1) 1 1 1 1 T-25(2) 1 1 1 1 T-26 1 1 1 1

Page 18: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

18

T-30(1) 1 1 1 1

Gambar 4. Panjang, lebar, dan rasio panjang:lebar (p:l) daun tanaman kelapa sawit non-transgenik dan transgenik P5CS Figure 4. Length, width, and length:width (l:w) ratio of leaves of non-transgenic and P5CS transgenic oil palm

Gambar 5. Koefisien korelasi Pearson antar peubah pertumbuhan tanaman kelapa sawit transgenik P5CS hasil aklimatisasi. KPT: Kecepatan

penambahan tinggi, JD6: jumlah daun minggu ke-6 minggu setelah tanam (MST), PD= panjang daun, LD: lebar daun, dan RPLD: rasio

panjang: lebar daun. Analisis korelasi dilakukan dengan taraf signifikansi (α) = 5%. Warna biru mengindikasikan adanya korelasi yang negatif secara signifikan; warna kuning mengindikasikan adanya korelasi yang positif secara signifikan; warna putih mengindikasikan tidak adanya korelasi yang signifikan.

Figure 5. Pearson correlation coefficient between growth characters of acclimatized P5CS transgenic oil palm. KPT: Shoot elongation rate, JD6: leaves number at 6th week after planting (WAP), PD: leaf length, LD: leaf width, and RPLD: length:width (l:w) ratio of leaf. Correlation analysis was done with significance level (α) = 5%. Blue color indicated significantly negative correlation; Yellow color indicated significantly positive correlation; White color indicated non-significantly correlation.

17,0

16,2

16,0

15,7

15,5

15,3

14,7

14,6

14,3

14,1

14,0

14,0

13,7

13,6

13,5

13,4

13,2

12,4

12,2

12,0

7,0

0 10 20

T-26T-23

T-30(1)NT (n=13)

T-3(1)T-10T-24T-1

T-3(2)T-14(2)

T-6T-11

T-12(2)T-5

T-25(2)T-12(4)T-12(3)T-25(1)

T-22T-13

T-12(5)

Panjang daun (cm)

Klo

n

3,0

2,9

2,9

2,8

2,7

2,6

2,5

2,5

2,4

2,3

2,3

2,3

2,2

2,0

1,8

1,8

1,6

1,6

1,5

1,4

1,0

0 2 4

T-10T-3(1)

T-23T-6

T-13T-25(2)T-12(4)T-30(1)

NT (n=13)T-1

T-3(2)T-26T-22T-11

T-12(3)T-25(1)T-14(2)

T-24T-5

T-12(2)T-12(5)

Lebar daun (cm)

Klo

n

9,8

9,2

9,1

8,8

7,4

7,3

7,0

7,0

6,9

6,7

6,4

6,3

6,2

5,6

5,5

5,4

5,3

5,2

5,1

5,0

4,4

0 5 10 15

T-12(2)T-24T-5

T-14(2)T-26

T-12(3)T-11

T-12(5)T-25(1)

NT (n=13)T-30(1)

T-1T-3(2)

T-23T-22

T-12(4)T-3(1)

T-25(2)T-10T-6

T-13

Rasio p:l daun

Klo

n

Page 19: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

19

Adanya variasi profil pertumbuhan 20 klon tanaman transgenik P5CS dalam penelitian ini diperlihatkan oleh hasil pengelompokkan yang menghasilkan 4 kelompok (Gambar 6). Kelompok 1 terdiri dari tanaman T-30(1). Kelompok 2 terdiri dari tanaman T-12(3), T-12(4), dan T-12(5). Kelompok 3 terdiri dari tanaman T-13, T-14(2), T-22, T-23, T-24, T-25(1), T-25(2), dan T-26. Kelompok 4 terdiri dari tanaman T-1, T-3(1), T-3(2), T-5, T-6, T-10, T-11, dan T-12(2). Kelompok 1 merupakan klon dengan yang mempunyai kecepatan penambahan

tinggi yang cepat serta ukuran daun yang panjang dan lebar. Kelompok 2 merupakan klon-klon dengan penambahan tinggi dengan kecepatan sedang serta ukuran daun yang panjang tetapi tidak terlalu lebar. Kelompok 3 merupakan klon-klon dengan penambahan tinggi dengan kecepatan sedang serta ukuran daun yang panjang dan sempit. Kelompok 4 merupakan klon-klon dengan kecepatan penambahan tinggi yang lambat serta ukuran daun yang pendek dan sempit.

Gambar 6. Pengelompokkan klon-klon kelapa sawit transgenik P5CS berdasarkan tingkat kemiripan karakter pertumbuhan menggunakan teknik UPGMA

clustering Figure 6. Grouping of P5CS transgenic oil palm clones based on the similarity level of growth characters using UPGMA clustering technique.

Kesimpulan

Aklimatisasi telah berhasil dilakukan dengan tingkat keberhasilan pada klon non-transgenik dan transgenik P5CS masing-masing 76,5% dan 76,9% dengan karakter pertumbuhan yang bervariasi antar klon tanaman. Hasil analisis klaster berdasarkan kemiripan karakter pertumbuhan yang terdiri dari tinggi tanaman, kecepatan penambahan tinggi, jumlah daun, panjang, lebar, serta rasio panjang:lebar daun mengelompokkan 20 klon tanaman kelapa sawit transgenik P5CS menjadi 4 kelompok. Kelompok 1 terdiri dari tanaman T-30(1). Kelompok 2 terdiri dari tanaman T-12(3), T-12(4), dan T-12(5). Kelompok 3 terdiri dari tanaman T-13, T-14(2), T-22, T-23, T-24, T-25(1), T-25(2), dan T-26. Kelompok 4 terdiri dari tanaman T-1, T-3(1), T-3(2), T-5, T-6, T-10, T-11, dan T-12(2).

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Badan Pengelola Dana Penelitian Kelapa Sawit (BPDPKS) atas pembiayaan secara parsial untuk penelitian ini.

Daftar Pustaka

Aslam J, SA Khan & MAK Azad (2015). Agrobacterium-mediated genetic transformation of date palm (Phoenix dactylifera L.) cultivar “Khalasah” via somatic embryogenesis. Plant Sci Today 2(3), 93-101.

Budiani A, IB Nugroho, H Minarsih & I Riyadi (2019). Regeneration of P5CS-transformed oil palm plantlets mediated by Agrobacterium tumefaciens. Menara Perkebunan 87(2), 123-130.

Corrêa TR, SY Motoike, APdS Andrade, SM Coser, V Queiroz, MMC Granja, DDN Caetano, CNMendoza Peña & EAdT Picoli (2016). Accelerated in vitro propagation of elite oil

Page 20: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

20

palm genotypes (Elaeis guineensis Jacq.) by substituting cytokinin with putrescine. African J Biotechnol 15(50), 2767-2775.

Dibax R, GB de Alcântara, JCB Filho, MP Machado, Y de Oliveira & ALL da Silva (2011). Plant regeneration of sugarcane cv. RB931003 and RB98710 from somatic embryos and acclimatization. J Biotechnol Biodivers 2(3), 32-37.

Ehirim BO, MN Ishaq, S Agboire, C Solomon, AN Ejizu & A Diarra (2014). Acclimatization: an important stage in tissue culture. Asian American Plant Sci Res J 1(1), 1-7.

Ernayunita, H Rahmadi, Y Yenni, RD Setiowati, & IY Harahap (2019). Vegetative characterization to identify oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) plantlet abnormalities. AIP Conference Proceedings 2099, 020004.

Gomes HT, PMC Bartos & JE Scherwinski-Pereira (2015). Optimizing rooting and survival of oil palm (Elaeis guineensis) plantlets derived from somatic embryos. In Vitro Cell Dev Biol Plant 51, 111-117.

Hammer O, DAT Harper, & PD Ryan (2001). PAST: palaentological statictics software package for education and data analysis. Palaentologia Electronica 4(1).

Iskandar HM, D Widyaningrum & S Suhandono (2014). Cloning and characterization of P5CS1 and P5CS2 genes from Saccharum officinarum L under drought stress. J Tropical Crop Sci 1(1), 23-30.

Jolliffe IT, J Cadima (2016). Principal component analysis: a review and recent developments. Philos Trans A Math Phys Eng Sci, 20150202.

Kumar K, Rao IU (2012) Morphophysiological problems in acclimatization of micropropagated plants in-ex vitro conditions-a review. J Ornament Hortic Plants 2, 271-283.

Masli DIA, A Parveez, G Kadir, & AMM Yunus (2008). Transgenic oil palm mediated by Agrobacterium tumefaciens. MPOB Information Series, PI 20071240 (Patent).

Orozco-Castillo C, KJ Chalmers, R Waugh & W Powell (1994). Detection of genetic diversity and selective gene introgression in coffee using

RAPD markers. Theor Appl Genet 87: 934-940.

Pavei D, MC Gonçalves-Vidigal, AR Schuelter, I Schuster, ESN Vieira, ECG Vendruscolo & JP Poletine (2016). Response to water stress in transgenic (p5cs gene) wheat plants (Triticum aestivum L.). Australian J Crop Sci 10(6), 776-783.

Pospóšilová J, I Tichá, P Kadleček, D Haisel & Š Plzáková (1999). Acclimatization of micropropagated plants to ex vitro conditions. Biol Plant 42, 481-497.

Riduan A, H Aswidinnoor, Sudarsono, D Santoso & Endrizal (2010). Toleransi tembakau transgenik yang mengekspresikan gen P5CS terhadap stres kekeringan. J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 13(2), 107-118.

Sinta MM, DM Amanah (2019). Acclimatization and early growth of tissue culture-derived Stevia rebaudiana at low altitude area in Bogor, Indonesia. Menara Perkebunan 87(1), 68-76.

Sumaryono, I Riyadi (2011). Ex vitro rooting of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) plantlets derived from tissue culture. Indonesian J Agric Sci 12(2): 57-62.

Sumaryono, MM Sinta & Nurhaimi-Haris (2012). Daya hidup planlet karet asal in vitro microcutting pada berbagai periode penutupan sungkup plastik dan komposisi media tumbuh. Menara Perkebunan 80(1), 25-31.

Turhadi, Minarsih H, Riyadi I, Priyono & Budiani A (2020). Physiological responses and P5CS gene expression of transgenic oil palm plantlet induced by drought stress. Menara Perkebunan 88(2), 69-78.

Yunita R, I Mariska, R Purnamaningsih, EG Lestari, S Utami (2016). Induksi akar tunas kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) secara in vitro dan ex vitro. J Littri 22(1), 37-42.

Zarei S, AA Ehsanpour & J Abbaspour (2012). The role of over expression of P5CS gene on proline, catalase, ascorbate peroxidase activity and lipid peroxidation of transgenic tobacco (Nicotiana tabacum L.) plant under in vitro drought stress. J Cell Molecular Res 4(1), 43-49.

Page 21: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

21

Optimasi teknik pemanenan mikroalga Nannochloropsis oceanica secara flokulasi menggunakan

FeCl3 skala laboratorium

Optimization of microalgae harvesting technique of Nannochloropsis oceanica by flocculation using FeCl3 in laboratorium scale

Yora Faramitha*, Irma Kresnawaty, Fauziatul Fitriyah & Dini Astika Sari

Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jl. Taman Kencana No. 1 Bogor, Indonesia 16128

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Nannochloropsis oceanica merupakan mikroalga laut bersel tunggal yang mengandung protein dan lemak yang tinggi. Nannochloropsis telah banyak digunakan sebagai pellet dalam budidaya ikan dan berpotensi besar dimanfaatkan sebagai sumber nutrien omega 3 dan bahan bakar nabati yang menjanjikan. Akan tetapi, pemanfaaatan mikroalga secara umum mempunyai kendala dalam teknik pemanenan. Nannochloropsis oceanica mempunyai ukuran yang lebih kecil dibanding Chlorella sp sehingga lebih sulit untuk dipanen. Sentrifugasi merupakan teknik yang paling efektif tetapi mahal sedangkan sedimentasi dinilai aman dan hemat biaya tetapi membutuhkan waktu. Flokulasi menggunakan bahan kimia lebih disukai karena efektif dan cepat, walaupun kemungkinan merusak produk akhir. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kecepatan dan waktu pengadukan terhadap efektifitas pemanenan N. oceanica menggunakan FeCl3 dan menentukan dosis minimum FeCl3 yang dibutuhkan untuk secara efektif mengendapkan N. oceanica. Efisiensi flokulasi (EF) dari tiap perlakuan ditentukan berdasarkan kerapatan optis (OD pada 440 nm) dan kerapatan sel (CD) pada medium kultur sebelum dan sesudah perlakuan flokulasi. Sebagai hasil, diperoleh Teknik pemanenan N. oceanica yang optimum pada kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm selama 15 menit dengan konsentrasi FeCl3 sebesar 80 ppm. Pada kondisi tersebut, nilai EF_OD dan EF_CD yang diperoleh masing-masing sebesar 92,26±1,95% dan 95,81±2,17%. [Kata kunci: Efisiensi flokulasi, kerapatan optis, kerapatan sel]

Pendahuluan

Nannochloropsis oceanica merupakan jenis mikroalga laut sel tunggal yang mempunyai daya tarik tinggi karena mengandung protein dan lemak yang tinggi (Suda & Miyashita, 2019). Nannochlorpsis umumnya mempunyai kandungan protein kasar sekitar 50% dari berat keringnya (Hulatt et al., 2017; Skrede et al., 2011) dan kandungan lemak berkisar antara 37-60% dari berat keringnya (Ma et al., 2014). Tidak hanya itu, Nannochloropsis juga mengandung asam lemak omega-3 tidak jenuh, khususnya Eicosa Pentaenoic Acid (EPA) dalam jumlah yang sangat tinggi (Ma et

al., 2016). Senyawa ini umum dikenal sebagai minyak ikan dan mempunyai manfaat kesehatan yang besar khususnya dalam mencegah penyakit kardiovaskular dan inflamasi dan sumber makanan yang baik untuk perkembangan otak janin dalam kandungan (Molino et al., 2019).

Kandungan protein dan lemak yang tinggi pada Nannochloropsis membuat mikroalga ini mempunyai pemanfaatan yang luas. Nannochloropsis banyak digunakan sebagai sumber makanan (aquafeed) dalam budidaya ikan laut, udang, dan zooplankton, baik dalam bentuk kultur alga maupun konsentrat (Al-Hoqani, et al., 2017).

Page 22: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

22

Nannochloropsis juga diyakini berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati generasi ketiga yang menjanjikan (Maity et al., 2014). Sorigue et al. (2016) menemukan beberapa senyawa hidrokarbon alkana dan alkena, seperti heptadekana, pentadekana, dan heptadekena pada beberapa spesies Nannochloropsis. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa Nannochloropsis mampu mengubah asam lemak bebas menjadi hidrokarbon melalui pencahayaan.

Potensi pemanfaatan Nannochloropsis yang cukup besar ini perlu diselaraskan dengan sistem produksi yang efektif dan hemat biaya. Hingga saat ini, proses pemanenan mikroalga masih menjadi salah satu kendala utama karena tingginya biaya pemamenan, yaitu 20-30% dari total biaya produksi (Christenson & Sims, 2011). Ukuran mikroalga yang sangat kecil (2-20 µm), konsentrasi biomassa yang cukup sedikit (0,5-5 g/L), dan sifatnya yang stabil dalam air membuat proses pemisahan mikroalga dari medium air menjadi sangat sulit (Vandamme et al. 2013).

Secara umum, terdapat empat teknik pemanenan biomassa mikroalga diantaranya sentrifugasi, filtrasi, sedimentasi dan flokulasi. Sentrifugasi sangat cocok digunakan untuk aplikasi produk makanan dan farmasetikal. Pemanenan menggunakan sentrifugasi mempunyai tingkat perolehan biomassa tertinggi (>90%) namun memerlukan biaya modal dan operasional yang sangat besar dan boros energi. Pemanenan menggunakan filtrasi lebih cocok untuk mikroalga bersel besar dengan tingkat perolehan biomassa 70-90% namun biaya yang diperlukan juga cukup tinggi dan rentan terhadap permasalahan membran tersumbat atau rusak. Sebaliknya, pemanenan secara sedimentasi sangat hemat biaya dan aman, akan tetapi memerlukan waktu yang sangat lama. Dibanding teknik-teknik lainnya, flokulasi banyak digunakan karena dinilai efektif dengan tingkat perolehan biomassa diatas 90% dan hemat biaya baik modal maupun operasional. Akan tetapi pemanenan menggunakan flokulan kimia dikhawatirkan dapat merusak atau mengkontaminasi produk akhir (Christenson & Sims, 2011; Milledge & Heaven, 2013).

Flokulasi terjadi saat adanya penambahan flokulan (bahan kimia, biopolimer, atau mikroorganisme) ke dalam kultur mikroalga

sehingga sel-sel mikroalga membentuk flok atau agregat dan dapat dipisahkan dari media secara mudah dengan sedimentasi (Vandamme et al., 2013). Alumunium sulfat (Al2(SO4)3), ferri klorida (FeCl3) dan NaOH adalah flokulan kimia yang umum digunakan dan sudah diuji efektivitasnya dalam pemanenan berbagai jenis mikroalga, seperti: Nannochloropsis oculata, Nannochloropsis sp., Thalassiosira weissflogii, Acutodesmus obliquus, dan Scenedesmus sp (Borges et al., 2016; Chua et al., 2018; Lemos et al., 2016; Shen et al., 2013; Wu et al. 2015). Sepengetahuan kami, riset terkait optimasi pemanenan N. oceanica menggunakan flokulan FeCl3 belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kecepatan dan waktu pengadukan terhadap efektifitas pemanenan Nannochloropsis oceanica menggunakan FeCl3 dan menentukan dosis minimum FeCl3 yang dibutuhkan untuk secara efektif mengendapkan N. oceanica.

Bahan dan Metode

Mikroalga dan kondisi kultivasi Mikroalga Nannochloropsis oceanica (NIES-

2145) diperoleh dari NIES Microbial Culture Collection, Jepang. Perawatan dan perbesaran kultur isolat ini dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Bogor. Isolat N. oceanica dikulturkan menggunakan air laut sintetis (Monsterlaut ASW Salt Mix +) yang diperkaya dengan media F/2 dengan tingkat salinitas 20 ppt, pH 8.5, dan pencahayaan rutin meggunakan lampu LED 16 watt. Kultur dipanen pada fase eksponensial, yaitu pada nilai kerapatan optis (optical density / OD) sekitar 0,6 yang diukur pada panjang gelombang 440 nm.

Eksperimen flokulasi menggunakan FeCl3 Feri klorida (FeCl3) diperoleh dari Sigma dan

digunakan sebagai agen flokulan. Larutan stok FeCl3 dengan konsentrasi 10.000 ppm disiapkan dengan melarutkan 0,6 g garam FeCl3 dalam 60 mL air akuades. Sebanyak 100 mL kultur N. oceanica dalam wadah erlenmeyer 100 mL digunakan sebagai sampel. Desain penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Eksperimen flokulasi yang dilakukan mengacu metode Chua et al. (2019) dengan sedikit modifikasi. Sejumlah FeCl3 ditambahkan secara perlahan ke dalam sampel sambil diaduk pelan

Page 23: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

23

meggunakan magnetic stirrer pada kecepatan dan waktu pengadukan sesuai perlakuan yang diuji. Sampel kemudian didiamkan selama 30 menit untuk proses sedimentasi.

Dalam penelitian ini terdapat dua tahapan eksperimen. Pertama, perlakuan yang diuji adalah variasi kecepatan dan waktu pengadukan yang terdiri dari perlakuan A yaitu pengadukan dengan kecepatan 100 rpm selama 15 menit dan perlakuan B yaitu pengadukan dengan kecepatan 300 rpm selama 5 menit. Dosis yang diberikan untuk perlakuan A dan B adalah 100 ppm. Eksperimen kedua adalah variasi dosis FeCl3 untuk perlakuan A dan B. Untuk perlakuan A, variasi konsentrasi FeCl3 yang diuji adalah 20,40, 60, 80, dan 100 ppm sedangkan untuk perlakuan B terdiri dari 100, 200, 300, 400, dan 500 ppm. Efisiensi flokulasi

Sampel yang sudah didiamkan selama 30 menit diukur nilai kerapatan optis (optical density/ OD) dan kerapatan selnya (cell density/CD) untuk menentukan nilai efisiensi flokulasi (EF). Sebanyak 350 µm supernatan diambil dari setengah ketinggian larutan sampel dan diukur nilai kerapatan optisnya (optical density / OD) pada panjang gelombang 440 nm. Sebagai kontrol, diukur nilai OD sampel kultur N. oceanica sebelum ditambahkan FeCl3. Rumus efisiensi flokulasi berdasarkan nilai OD (EF_OD) ditunjukkan pada persamaan 1. Selain itu, sebanyak 100 µm supernatan sebelum dan sesudah ditambahkan FeCl3 juga diambil untuk dihitung jumlah selnya menggunakan hemacytometer. Efisiensi flokulasi (EF) dari hasil kerapatan sel (EF_CD) dihitung menggunakan persamaan 2.

Analisis statistik

Pengaruh perbedaan perlakuan waktu dan kecepatan pengadukan terhadap efisiensi flokulasi biomassa N. Oceanica dianalisis dengan Uji T sedangkan pengaruh konsentrasi FeCl3 dianalisis dengan One-way annova menggunakan aplikasi statistik IBM SPSS 16.0. Perbedaan signifikansi tiap perlakuan ditentukan dengan menggunakan uji Tukey HSD pada P <0,05.

Hasil dan Pembahasan

Pada penambahan flokulan FeCl3 100 ppm, eksperimen dengan pengadukan pada kecepatan 100 rpm selama 15 menit (Perlakuan A) mempunyai performa efisiensi flokulasi yang jauh lebih baik dibanding pengadukan dengan kecepatan 300 rpm selama 5 menit (Perlakuan B) (Gambar 2). Nilai EF_OD dan EF_CD dari perlakuan A masing-masing sebesar (96,29±0,83 % dan 98,60±0,34 %). Akan tetapi, nilai EF_OD dan EF_CD dari perlakuan B hanya setengah dari nilai EF perlakuan A. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh dari kecepatan dan lama waktu pengadukan terhadap nilai efisiensi flokulasi.

Kemampuan FeCl3 dalam mengendapkan biomassa N. oceanica meningkat seiring pertambahan konsentrasi yang ditunjukkan dengan peningkatan persentase EF (Gambar 2 & Gambar 3). Pada perlakuan A, nilai EF_OD dan EF_CD tertinggi diperoleh dari perlakuan FeCl3 100 ppm (96,29±0,83 % dan 98,60±0,34 %). Akan tetapi, nilai tersebut tidak berbeda signifikan dengan nilai EF dari perlakuan FeCl3 80 ppm (92,26±1,95 % dan 95,81±2,17%). Oleh sebab itu, konsentrasi FeCl3 optimum untuk perlakuan A adalah 80 ppm. Pada perlakuan B, konsentrasi FeCl3 optimum berdasarkan nilai EF_OD adalah pada konsentrasi 300 ppm dengan nilai EF_OD sebesar 91,83 ± 0,13. Adapun berdasarkan nilai EF_CD, konsentrasi FeCl3 optimum adalah 400 ppm dengan nilai EF_CD sebesar 97,79 ± 0,40. Konsentrasi optimum yang diperoleh dari perlakuan B sangat tinggi, yaitu sekitar 4-5 kali dari konsentrasi optimum FeCl3 dari perlakuan A. Hal ini semakin memperkuat bahwa teknik pengadukan yang tidak tepat, khususnya ditinjau dari kecepatan dan lama pengadukan, dapat berdampak pada pemborosan dosis FeCl3 yang diperlukan.

Sebagai flokulan, FeCl3 menginduksi terjadinya flokulasi sel-sel N. oceanica melalui mekanisme netralisasi muatan (Vandamme et al., 2013). Mikroalga sel pada umumnya, termasuk N. oceanica, membawa muatan negatif yang mencegah terjadinya agregasi antar sel di dalam media kultur (Shen et al., 2013). Penambahan flokulan berupa multivalen kation (seperti Al2(SO4)3 dan FeCl3) ke dalam kultur membuat muatan pada permukaan sel mikroalga menjadi netral yang mengakibatkan

Page 24: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

24

hilangnya tolakan elektrostatis antar sel. Sel kemudian dapat saling berdekatan membentuk flok-

flok melalui interaksi Van der Waals (Muyleart et al., 2015).

Gambar 1. Perbandingan efisiensi flokulasi N. oceanica menggunakan perlakuan A dan B pada konsentrasi FeCl3 100 ppm Figure 1. Comparison of efficiency flocculation of N. oceanica using treatment A and B at FeCl3 concentration of 100 ppm

Gambar 2. Efisiensi flokulasi N. oceanica dari berbagai konsentrasi FeCl3 pada kecepatan pengadukan 100 rpm selama 15 menit (Perlakuan A) Table 2. Flocculation efficiency of N. oceanica from various concentration of FeCl3 at stirring speed of 100 rpm for 15 minutes (Treatment A)

Gambar 3. Efisiensi flokulasi N. oceanica dari berbagai konsentrasi FeCl3 pada kecepatan pengadukan 300 rpm selama 5 menit (Perlakuan B) Table 2. Flocculation efficiency of N. oceanica from various concentration of FeCl3 at stirring speed of 300 rpm for 5 minutes (Treatment B)

96,29 98,60

42,5748,14

0

20

40

60

80

100

FE (OD) FE (CD)

Efi

sien

si f

lokula

si (

%)

Flo

ccula

tion e

ffic

iency

(%

)

A

B

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 20 40 60 80 100

Efi

sien

si f

lokula

nsi

(%

)F

locc

ula

tion e

ffic

iency

(%

)

Dosis (ppm)Dosage (ppm)

EF_OD

EF_CD

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0 100 200 300 400 500

Efi

sien

si f

lokula

si (

%)

Flo

ccula

tion e

ffic

iency

(%

)

Dosis FeCl3 (ppm)Dosage of FeCl3 (ppm)

EF_OD

EF_CD

a a

b

b

b

a a

a a

c

d c

b b

a

Page 25: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

25

Proses pengadukan menggunakan magnetic

stirrer ditujukan untuk mengoptimalkan proses kontak antara N. oceanica dengan FeCl3. Akan tetapi, dalam penelitian ini diperoleh bahwa pada kecepatan yang lebih tinggi (300 rpm) nilai efisiensi flokulasi justru malah menurun. Hal ini diduga bahwa pada pengadukan yang cepat, kemungkinan proses kontak antara flokulan dan mikroalga menjadi singkat sehingga tidak sempat terjadi netralisasi muatan. Selain itu, waktu pengadukan juga mempengaruhi nilai efisiensi flokulasi. Pengadukan yang lebih lama memungkinkan waktu kontak yang lebih lama antara N. oceanica dengan FeCl3, sehingga lebih banyak muatan negatif sel yang dinetralkan dan kemudian mengendap.

Selain itu, dosis flokulan yang diberikan berbanding lurus dengan kemampuannya dalam menetralkan muatan negatif pada permukaan sel mikroalga (Chua et al., 2019). Hal tersebut sejalan dengan hasil dalam penelitian ini (Gambar 2 & 3). Pada perlakuan A, pemberian FeCl3 20 ppm mengendapkan paling sedikit biomassa sedangkan pemberian FeCl3100 ppm mampu mengendapkan biomassa terbanyak, yaitu mendekati 100%. Meskipun kultur mikroalga yang ditambahkan FeCl3 20 ppm didiamkan dalam waktu yang lebih lama, sel-sel mikroalga N. oceanica yang kemudian mengendap tidak akan bertambah banyak. Hasil pengamatan visual juga menunjukkan perbedaan gradasi warna kultur dari perlakuan dengan konsentrasi FeCl3 antara 20-100 ppm (Gambar 4). Sampel kultur yang diberikan FeCl3 80 dan 100 ppm mempunyai supernatan yang jernih dengan biomassa N. oceanica mengendap di dasar Erlenmeyer.

Beberapa penelitian sebelumnya juga menggunakan FeCl3 untuk mengendapkan biomassa mikroalga dengan genus Nannochloropsis. Valdes et al. (2008) memanen Nannochloropsis sp. menggunakan FeCl3 70 µM dan diperoleh nilai EF sebesar 90%. Shen et al. (2013) melakukan optimasi flokulasi mikroalga Nannochloropsis oculata menggunakan FeCl3 dan diperoleh biomassa alga dengan konsentrasi awal 2,2 g/L yang diberi FeCl3 dengan dosis 438,1 µM mempunyai nilai EF sebesar 77,6%. Chua et al. (2019) memanen Nannochloropsis sp. BR2 menggunakan FeCl3 87,5 ppm dan diperoleh EF sebesar 95,6±1,1 %. Dari hasil riset-riset ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis optimum FeCl3 yang diperlukan untuk memanen mikroalga genus Nannochloropsis adalah 80 - 100 ppm. Adapun perbedaaan dosis optimum antar riset mungkin dikarenakan perbedaan kepadatan sel awal kultur mikroalga.

Sedimentasi yang terjadi pada biomassa mikroalga yang diberi flokulan dengan dosis optimum jauh lebih cepat dibanding proses sedimentasi secara alami. Dalam penelitian ini, biomassa N. oceanica yang diberi perlakuan dosis FeCl3 80 ppm mampu mengendap dengan tingkat EF diatas 93% dalam waktu 30 menit. Secara alami, mikroalga N. oceanica cukup sulit mengendap bahkan membutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk mengendap karena mepunyai ukuran sel yang sangat kecil. Oleh karena itu, proses pemanenan mikroalga menjadi lebih efisien dalam hal penghematan waktu, energi, dan biaya dengan menggunakan metode flokulasi.

Gambar 4. Kultur N. oceanica yang ditambahkan FeCl3 dengan berbagai dosis setelah 30 menit. a) 20 ppm; b) 40 ppm; c) 60 ppm; d) 80 ppm;

e) 100 ppm Figure 4. Culture of N. oceanica added with FeCl3 in various dosages after 30 minutes. a) 20 ppm; b) 40 ppm; c) 60 ppm; d) 80 ppm; e) 100

ppm

Page 26: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

26

Kesimpulan

Dalam penelitian ini, Pemanenan N. oceanica menggunakan FeCl3 yang efektif diperoleh dari perlakuan pengadukan dengan kecepatan 100 rpm selama 15 menit pada dosis optimum 80 ppm dengan nilai efisiensi flokulasi kerapatan optis (EF_OD) dan kerapatan sel (EF_CD) masing-masing sebesar 92,26±1,95% dan 95,81±2,17%.

Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada BPDPKS (Badan Pengelola Dana Penelitian Kepala Sawit) Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini di tahun 2020. Terimakasih juga kepada saudari Indriana Damaiyanti dan Ayu Rahayu Saraswati yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Al-Hoqani U, R Young & S Purton (2016). The biotechnological potential of Nannochloropsis. Perspectives in Phycology, 1-15.

Borges L, S Caldas, MGM D’Oca & PC Abreu (2016). Effect of harvesting processes on the lipid yield and fatty acid profile of the marine microalga Nannochloropsis oculata. Aquaculture Reports, 4, 164-168.

Chua ET, E Eltanahy, H Jung, M Uy, SR Thomas-Hall & PM Schenk (2019). Efficient Harvesting of Nannochloropsis Microalgae via Optimized Chitosan-Mediated Flocculation. Global Challenges, 3(1), 1800038.

Christenson L & R Sims (2011). Production and harvesting of microalgae for wastewater treatment, biofuels, and bioproducts. Biotechnology Advances, 29(6), 686-702.

Hulatt CJ, RH Wijffels, S Bolla & V Kiron (2017). Production of fatty acids and protein by Nannochloropsis in flat-plate photobioreactor. PloSone, 12(1),e0170440

Lemos JS, JVC Vargas, AB Mariano, V Kava & JC Ordonez (2016, October). A flocculation strategy for harvesting high lipid content microalgae biomass. In 2016 IEEE Conference on Technologies for Sustainability, 240-245.

Ma Y, Z Wang, C Yu, Y Yin & G Zhou (2014). Evaluation of the potential of 9

Nannochloropsis strains for biodiesel production. Bioresource technology, 167, 503-509.

Ma XN, TP Chen, B Yang, J Liu & F Chen (2016). Lipid production from Nannochloropsis. Marine drugs, 14(4), 61.

Maity JP, J Bundschuh, CY Chen & P Bhattacharya (2014). Microalgae for third generation biofuel production, mitigation of greenhouse gas emissions and wastewater treatment: Present and future perspectives–A mini review. Energy, 78, 104-113.

Milledge JJ & S Heaven (2013). A review of the harvesting of micro-algae for biofuel production. Reviews in Environmental Science and BioTechnology, 12(2), 165-178.

Molino A, M Martino, V Larocca, G di Sanzo, A Spagnoletta, T Marino, ... & D Musmarra (2019). Eicosapentaenoic acid extraction from Nannochloropsis gaditana using carbon dioxide at supercritical conditions. Marine drugs, 17(2), 132.

Muylaert K, D Vandamme, I Foubert & PV Brady (2015). Harvesting of microalgae by means of flocculation. In Biomass and Biofuels from Microalgae (pp. 251-273). Springer, Cham.

Skrede A, LT Mydland, Ø Ahlstrøm, KI Reitan, HR Gislerød & M Øverland (2011). Evaluation of microalgae as sources of digestible nutrients for monogastric animals. J of Animal and Feed Sciences, 20(1), 131-142.

Sorigué D, B Legeret,…& P Müller (2017). An alga photoenzyme converts fatty acids to hydrocarbons. Science, 357(6354),903-907.

Suda & Miyashita (2019). The biology of Nannochloropsis oceanica Suda & Miyashita (a microalga). Australia, Office of the gene technology regulator.

Vandamme D, I Foubert & K Muylaert (2013). Flocculation as a low-cost method for harvesting microalgae for bulk biomass production. Trends in biotechnology, 31(4), 233-239.

Wu J, J Liu, L Lin, C Zhang, A Li, Y Zhu, & Y Zhang (2015). Evaluation of several flocculants for flocculating microalgae. Bioresource technology, 197, 495-501.

Page 27: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

27

Teknologi biokilang biomassa lignoselulosa untuk mendukung pengembangan ekonomi sirkular :

Perkembangan global dan tantangan implementasi di Indonesia

Biorefinery of lignocellulosic biomass for supporting circular economy: Global trends and implementation challenges in Indonesia

Bambang Prasetya1*, Yopi1, Euis Hermiati2, Nanik Rahmani3, Ahmad Thontowi3, Ario Betha Juanssilfero3 &

Hans Wijaya3,

1) Pusat Riset dan Pengembangan SDM-BSN, PUSPIPTEK Serpong, 15314 2)P usat Penelitian Biomaterial-LIPI, CSC-BG Cibinong 16911

3) Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI , CSC-BG Cibinong 16911

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Meningkatnya pencemaran lingkungan oleh berbagai jenis plastik yang merupakan produk turunan minyak bumi, telah mendorong semakin intensifnya penelitian dan pengembangan produk biodegradable. Dorongan pengembangan produk biodegradable khususnya pengganti bahan kemasan plastik ini juga disebabkan oleh masih minimalnya ketersediaan produk tersebut di pasar. Salah satu potensi produk pengganti yang melimpah adalah biomassa lignoselolusa seperti yang berasal dari perkebunan (kelapa sawit, tebu dll), limbah pertanian dan juga limbah pengolahan kayu. Pemanfaatan limbah ini sudah lama dilakukan, namun masih terbuka lebar pemanfaatan dengan mengembangkan teknologi yang lebih berorientasi pada rantai pasok (supply chain) dan sebagai pendukung ekonomi sirkular. Salah satu teknologi yang banyak dikembangkan saat ini adalah biokilang yang merupakan perkembangan dari teknologi konversi biomassa, dengan pendekatan lebih terintegrasi. Pada umumnya teknologi biokilang diarahkan untuk pembuatan biofuel dan beberapa produk samping untuk bahan dasar biopolimer. Konsep teknologi biokilang memungkinan pengembangan teknologi nir limbah sehingga dapat meningkatkan ragam produk (diversifikasi). Di samping itu, konsep ini dapat ditujukan untuk memperpanjang umur pakai masing-masing komponen turunan biomassa, yang sangat signifikan dalam pengembangan ekonomi sirkular. Teknologi nir limbah akan memanfaatkan semua komponen bahan sehingga fleksibel dalam pemilihan produk turunan dalam rangka mendapat nilai tambah. Dalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas trend perkembangan teknologi biokilang dan beberapa aktor kunci dalam pengembangan biokilang seperti perlakuan awal (pretreatment), pemilihan proses dan produk, aspek tekno ekonomi dan scaling up. Lebih lanjut juga diulas beberapa tantangan pengembangan biokilang di Indonesia dan aspek standardisasi. [Kata kunci: biodegradable, diversifikasi, faktor kunci, standardisasi, nir limbah]

Pendahuluan

Upaya pencarian alternatif produk ramah lingkungan seperti produk biodegradable sebagai pengganti plastik yang bersifat tidak mudah terdegradasi di alam (non-biodegradable) sudah berjalan cukup lama, namun ketersediaan produk biodegradable di pasar masih sangat terbatas. Beberapa produk plastik biodegradable yang beredar di pasar

umumnya berasal dari pencampuran (blending) antara tepung atau serat alam dengan biji plastik petrokimia. Salah satu yang menjadi alasan, kurang berkembangnya produk plastik biodegradable adalah faktor harga. Produk plastik yang tersedia di pasar relatif lebih murah dan mudah didapat. Oleh karena itu, upaya pengembangan produk biodegradable lebih diintensifkan dengan tujuan

Page 28: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

28

mencari proses yang lebih tepat dan efisien sehingga dapat dihasilkan produk yang lebih kompetitif terhadap produk yang ada. Produk substitusi plastik dapat dihasilkan dari biomassa, yang jumlahnya sangat melimpah di Indonesia. Limbah biomasa dapat diperoleh dari berbagai sumber perkebunan (kelapa sawit, kelapa, tebu, tanaman serat dll), limbah pertanian (jerami, batang jagung, batang tanaman tembakau dll), limbah industri pengolahan kayu, limbah industri pengolahan pulp dan kertas, limbah industri tapioka, sampah perkotaan dll. Belakangan ini biomasa diperoleh bukan dari limbah tetapi penamanan secara langsung seperti menamam sorghum, bambu, kenaf, alang-alang dll. Potensi yang besar ini diperoleh dari potensi fotosintesa yang relatif besar di daerah tropis basah seperti Indonesia dibandingkan dengan di negara subtropis. Meskipun potensi biomassa ini cukup besar namun pemanfaatannya relatif masih kurang optimal. Dikaitkan dengan kebutuhan bahan polimer atau plastik biodegradable, pemanfaatan biomasa sebagai bahan baku pengganti petrokimia di Indonesia masih sangat minim, sementara di negara maju sedang berjalan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peta jalan (road map) pemanfaatan biomasa (green polymer) menjadi pengganti petrokimia telah banyak dipublikasikan (Natrass 2016, Aeschelmann & Carus 2017). Kesiapan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pengolahan biomassa menjadi produk biodegradable masih sangat minim, Namun demikian, tantangan ini dapat dipakai sebagai

wahana untuk juga mengembangkan konsep ekonomi sirkular dan teknologi biokilang yang dalam 5 tahun terakhir ini sedang berkembang di negara maju seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Ekonomi Sirkular

Ekonomi sirkular (circular economy) merupakan konsep yang sangat intens dibahas 5 tahun ke belakang ini di berbagai belahan dunia. Meskipun konsep ini sebagian prinsipya sudah lama diterapkan seperti dalam menerapan prinsip industri hijau kementerian perindustrian yang menggunakan prinsip 4 R (reduce, reuse, recycle, recovery) (Gambar 1). Penerapan prinsip ini juga dipakai di berbagai negara, namun dalam perjalanannanya konsep ekonomi sirkular di tingkat global sampai sekarang masih disempurnakan. Salah satu alasan yang kuat antara lain adalah bagaimana upaya menggantikan penggunaan energi fossil yang menghasilkan berbagai gas polutan yang tidak bisa didaur ulang, meskipun dengan perkembangan teknologi bisa dikurangi tingkat pollutannya. Ekonomi sirkular merupakan salah satu konsep yang dianggap sangat relavan untuk menjawab pertanyaan ini. Meningkatknya popularitas konsep ekonomi sirkular, juga sebagai salah satu pendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutann (Sustainable Development Goals, SDGs) (Mardawati 2018, Prasetya 2018, Wardoyo 2020).

Page 29: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

29

Gambar 1. Konsep industri hijau, Kemenperin (Khayam, 2020) Figure 1. Green industry concept, Ministry of Industry (Khayam, 2020).

Pada awal tahun 1990-an konsep pembangunan berkelanjutan menjadi fokus utama, kemudian satu dasarwarsa berikutnya terjadi pengarus-utamaan ekonomi hijau (2000-an) dan pada tahun 2010-an konsep ekonomi sirkular mulai dikembangkan hingga saat ini banyak negara sudah menjadikan suatu kebijakan tersendiri (Taranic ert.al. 2016). Meskipun demikian, pendalaman dan pengembangan konsep di berbagai negara melalui berbagai forum multilateral terus dilakukan. Misalnya, perdebatan di Eropa belakangan ini, memberikan wahana berbagai pihak untuk mengeksplorasi lebih komprehensif hubungan antara ekonomi sirkular dan bioekonomi. Salah satu yang menjadi fokus utama adalah menyoroti kebutuhan untuk menentukan siklus mana yang paling berkontribusi untuk ekonomi masa depan yang berkelanjutan. Motivasi yang kuat dalam mencari konsep ekonomi sirkulair yang baik adalah adanya fakta tentang perkembangan mutu lingkungan. dalam kurun waktu 1900-2015, tingkat sirkularitas (kedalam siklus sistem ekonomi sirkular) menurun dari 43% menjadi 27%, sementara diluar sistem itu meningkat menjadi 16 kali lipat. Kontribusi siklus ekologis terhadap sirkularitas menurun dari 91% menjadi 76%. Untuk mewujudkan konsep ekonomi sirkular yang bersifat tranformatif, perlu memperhatikan beberapa hal

antara lain mendefinisikan kriteria yang jelas untuk siklus ekologis, mengurangi atau menghilangkan produksi biomassa yang tidak berkelanjutan, mengintegrasikan dekarbonisasi sistem energi dengan ekonomi melingkar dan lebih memprioritaskan alur produksi dalam siklus sirkulasi dari pada proses daur ulang produk akhir (Leipold & Petit-boiz, 2018, Hass et al., 2020). Gambar 2 dan 3 memberikan ilustrsi ekonomi sirkular.

Apabila dikaitkan dengan konsep ekologi industri dan manajemen rantai pasokan, konsep ekonomi sirkuler dapat mencakup pada pengelolaan sumber daya, pengembangan metode baru atau konsep baru untuk mendapatkan nilai sirkularitas yang lebih tinggi. Di tingkat produksi mulai kegiatan dimulai dari peningkatan efisiesn, pemeliharaan sistem, dan perbaikan yang berkalanjutan (continous improvement). Untuk mendukung efektifitas ekonomi sirkular, konsumen memiliki peran kunci dalam penerapan ekonomi sirkuler. (Kovács 2017). Ekonomi sirkuler pada hakekatnya memanfataakan nilai sumber daya semaksimal mungkin dan tanpa batas waktu, sehingga hampir tidak ada limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali. Biomassa sangat penting dalam ekonomi sirkuler dalam hal produk material dan penyediaan energi. Untuk membangun bioekonomi sikurlar penggunaan biomassa sangat penting dalam

Page 30: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

30

menciptakan rantai nilai yang bermanfaat dimulai dari pemilihan dan desain produk hingga pengelolaan limbah (Sherwood 2020).

Pada forum standar internasional, melalui komite teknik (Technical Committee) ISO TC 323 dimulai pada tahun 2018 hingga sekarang masih dalam pembuatan agenda perumusan yang terkait

dengan ekonomi sirkular. Target pembahasan adalah huntuk mengembangkan kerangka kerja, petunjuk teknis (quidance) dan persyaratan serta perangkat pendukungnya untuk penerapanan dalam suatu organisasi untuk memaksimalkan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Gambar 2. Ekonomi linear dan ekonomi sirkular (Annevelink, 2020) Figure 2. Linear economy and circular economy (Annevelink, 2020)

Gambar 3. Ekonomi sirkular (Annevelink, 2020) Figure 3. Circular economy (Annevelink, 2020)

Page 31: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

31

Signifikansi Biomassa Lignoselulosa dalam Ekonomi Sirkular

Ditinjau dari komponen kimiawi penyusun biomasa lignoselulosa, yang secara umum terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagai komponen utama (80-90 persen dari berat kering) dan beberapa zat ekstraktif dan kandungan mineral. Tinggi rendahnya dan masing masing komponen kimiawi tersebut sangat bergantung pada spesies/jenis tumbuhan, umur, posisi pada batang dan lokasi tumbuh. Biomasa lignoselulosa terdiri dari 40-50% selulosa, 25-30% hemiselulosa dan 15-20% lignin (Alonso 2010). Selulosa adalah polimer linier dengan berat molekul tinggi yang terdiri dari β-glukosa (5000-10000 unit) dan terhubung oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Sebagian besar selulosa berbentuk kristalin. Sifat ini menyebabkan senyawa ini tidak larut dalam air dan sulit untuk diubah menjadi gula monomer melalui hidrolisis (Brethauer dan Studer 2015). Hemiselulosa adalah polimer bercabang amorf dan mengandung gula C5 (xilosa, arabinosa, dan rhamnosa) dan gula C6 (glukosa, mannosa, dan galaktosa), serta komponen asam uronat. Hemiselulosa mengandung sekitar 150unit monosakarida berulang, dan jenis gula monomer yang ada bervariasi tergantung pada jenis bahannya. Sebagai contoh, pada kayu daun lebar dan tanaman pertanian, hemiselulosa terutama mengandung xilan (Maki-Arvela et al. 2011), suatu polimer dari xilosa, sedangkan pada kayu daun jarum hemiselulosa terutama teridiri dari glukomanan, polimer dari D-mannosa dan D-glukosa, yang ditautkan oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Hemiselulosa bersifat amorf, sangat larut dalam air, dan dengan demikian mudah terhidrolisis menjadi gula monomer yang sesuai sebagai lawan selulosa. Komponen lignin merupakan biopolimer tiga dimensi non-kristal yang berikatan dengan hemiselulosa melalui ikatan kovalen dan membentuk komplek lignin-karbohidrat (LCC) melalui berbagai keterkaitan seperti benzil eter, benzil ester, ikatan glikosidik atau fenil glikosidik, ikatan hemiasetal atau asetal, dan ferulasi atau diferulasi ester yang dalam konversi semuanya harus terdegradasi untuk membebaskan ikatan dari holoselulosa (Tarasov, et al 2018). Matrik lignin dibentuk oleh 3 komponen aromatik, yaitu p-coumaryl alcohol, coniferyl alcohol,

dan sinapyl alcohol, biasanya disebut juga sebagai unit p-hydroxyphenyl (H), guaiacyl (G), dan syringyl (S). Secara mikroskopis selulosa sebagai komponen penyusun kerangka struktur dalam bentuk mikrofibril, di mana hemiselulosa adalah senyawa matriks yang berada di antara mikrofibril-mikrofibril selulosa. Lignin, di lain pihak, adalah senyawa yang keras yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel. Struktur ini memberikan kekuatan mekanik dari sebuah pohon seperti konstruksi bangunan. (Fujita & Harada; 1991, Sjöström & Alen 2010, Kumar & Sharma, 2017). Struktur selulosa, hemiselulosa dan lignin diilustrasikan pada Gambar 4 (Martin-Martinez, 2018)

Bahan ligoselulosa sudah lama berperan mendukung penyediaan bahan baku industri dan sebagai wahana penyimpan carbon yang efektif. Menurut Sheldon (2020), salah satu tantangan yang sedang dihadapi di abad 21 adalah upaya penghijauan industri kimia dan transisi menuju ekonomi yang berbasis biomasa atau bahan nabati lainnya sebagai bahan baku alternatif (bio-based economy). Limbah biomassa lignoselulosa, terutama residu pertanian dan kehutanan serta limbah industri pengolahan pangan (food waste), dapat diubah menjadi bahan bakar cair, bahan kimia komoditas, dan biopolimer menggunakan proses biokatalitik, Pemanfaatan biokatalisis dengan menafaatkan reksi enzimatik dapat menghasilkan proses yang lebih bersih. Enzim bersifat biokompatibel, dapat terurai secara alami, dan pada dasarnya tidak berbahaya. Berkat kemajuan spektakuler dalam biologi molekuler, peta pengembangan biokatalisis telah berubah secara cepat dalam dua dekade terakhir. Perkembangan (meta) genomik yang dikombinasikan dengan analisis 'data besar' telah merevolusi penemuan enzim baru dan perkembangan dalam rekayasa protein dengan evolusi terarah telah memungkinkan peningkatan dramatis dalam kinerja mereka. Perkembangan teknologi biokatalis ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam mengembangkan ekonomi sikurlar (Sheldon 2020).

Berkaitan dengan aspek pemanfaatan limbah dari industri yang sudah lama beroperasi, terutama yang pengolahannya menggunakan biomasa sebagai bahan baku utama dan lignin sebagai produk sampingan. Industri semacam ini dapat disebutkan seperti industri pengolahan pulp, kertas,

Page 32: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

32

serat rayon dll. Di masa mendatang lignin akan banyak diperoleh dari industri bioetanol biodiesel dengan bahan baku dari biomasa Lignin merupakan komponen utama lignoselulosa (15-30% dari berat kering) dari total biomassa lignoselulosa. Studi terbaru berfokus pada pemanfaatan biopolimer lignin yang efektif menjadi berbagai produk seperti

mikro lignin dan nanocapsules, biosensor, bahan kimia platform, senyawa farmasi, biopolimer, elektroda dalam elektrokimia, adsorben yang dapat digunakan kembali, resin dan produksi biodiesel melalui mikroba oleaginous. Pengembangan teknnologi pengolahan limbah lignin sangat relevan dengan konsep ekonomi (Kumar, et al. 2020).

Gambar 4. Struktur selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Martin-Martineza, 2018) Figure 4. Structures of cellulose, hemicellulose, and lignin (Martin-Martineza, 2018)

Teknologi Biokilang

Biokilang (Biorefinery) menurut IEA (International Energy Agency) didefinisikan sebagai proses pengolahan yang berkelanjutan dari biomasa menjadi berbagai produk (biobased products) yang dapat dipasarkan dan bioenergi. Produk yang berpotensi pasar antara lain untuk bahan pangan, pakan, kimia, materials, bahan bakar cair, energi, bahan mineral, CO2, sedangkan untuk bioenergi antara lain meliputi bahan bakar, tenaga pembangkit dan tenaga panas (Van Ree 2017, de Jong 2020). Terdapat tiga fase pengembangan biokilang. Pada fase I biokilang menggunakan satu bahan baku, memiliki kemampuan pemrosesan tetap dan menghasilkan satu produk primer. Contoh pada fase ini adalah biodiesel dari minyak nabati, pabrik pulp dan kertas, dan produksi etanol dari biji jagung, Pada fase ke II proses biokilang masih menggunakan satu bahan baku, tetapi mampu menghasilkan berbagai produk. Sebagai contoh pada fase ini adalah produksi berbagai bahan kimia dari pati dan produksi berbagai turunan karbohidrat dan bioetanol dari biji-bijian serealia. Pada fase III

proses biokilang dapat memanfaatkan berbagai jenis bahan baku, teknologi pemrosesan dan menghasilkan berbagai jenis produk. Pada fase ini digolongkan dalam empat katagori yaitu 1. Biorefinery tanaman utuh, 2. Biorefinery hijau, 3. Biorefinery Lignoselulosa, 4. Biorefinery dengan konsep dua platform (Takkellapati et al. 2018)

IEA, suatu badan yang merupakan konsorsium berbagai negara, memberikan gambaran tentang biokilang. Bahan baku biomasa melalui suatu proses perlakuan pendahulan yang sesuai dapat menghasilkan protein, monomer karbohidrat (gula), lignin, minyak/lemak dan berbagai tipe serat. Bahan-bahan ini dapat dikonversi menjadi berbagai produk dan energi. Gradasi dari produk dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai tambah yang diinginkan. Misalnya, dari nilai tambah rendah ke yang lebih tinggi akan sangat tergantung pada proses yang dilalui dan keekonomian produk akhir apakah untuk energi, bahan kimia, biomaterial, bahan pangan, bahan pakan, bahan obat-obatan, kosmetik dan kimia adhi (fine chemicals) (Van Ree 2017).

Page 33: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

33

Secara teoritis potensi produk yang dapat dikembangkan diilustrasikan seperti pada Gambar 6. Bahan baku biomasa yang berupa limbah serpihan kayu, serbuk gergaji, jerami, rumput-rumputan, batang tanaman penghasil pati, limbah peternakan, limbah pengolahan minyak nabati dan sumber lainnya, melalui proses fraksinasi mekanis, pembuburan, kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis baik secara enzimatis, atau kimiawi, filtrasi dan sebagian melaui pirolisis cepat dapat menghasilkan berbagai bahan seperti pulp, serat, lignin, minyak, gula (monosakarida) C5 dan C6. Bahan-bahan ini melalui proses lebih lanjut seperti fermentasi, distilasi, gasifikasi, pirolisis, pereaksian dengan menggunakan katalis, esterifikasi, pengering, forming dll. Produk lanjutan dapat diperoleh dalam bentuk bioenergi seperti bioetanol, biodisel, biometan, tenaga listrik dan panas, sedangkan sebagai produks lain seperti metanol, asam amino, asam laktat, glieserin, phenol, omega-3, gas H2 dan Gas CO2, pulp/kertas dan produk lain yang dapat dipakai sebagai bahan pembuatan kertas, pupuk, pakan ternak, dan biomaterial lain seperti terlihat pada Gambar 5 dan 6 (Natrass 2016, Aeschelmann & Carus 2017, de Jong 2020). Produk monomer dan gas dapat diolah menjadi berbagai produk pengganti plastik yang berasal dari petrokimia. Potensi yang luar biasa ini dalam implementasi harus melalui pengkajian mendalam terkait dengan aspek teknologi dan ke-ekonomian termasuk potensi pasar dan kompatibilitas pabrik-pabrik yang sudah eksis, serta integrasi unit-unit pengolahan yang ada.

Dengan meningkatnya perhatian ekonomi sirkular dalam setengah dekade terakhir dengan penekanan pada aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial sektor industri secara holistik, biorefinery bertindak sebagai mekanisme strategis untuk mewujudkan bioekonomi sirkuler. Peran penting biokilang dalam transisi berbagai industri berbasis

biomassa dalam bioekonomi sirkular dilaporkan oleh Ubando et. al (2020). Studi kasus dilakukan terhadap biomasa lignoselulosa, alga, limbah pertanian, limbah industri, limbah industri pengolahan pangan dan limbah padat lainya. Dinyatakan bahwa limbah biomassa telah memainkan peran vital dalam penerapan teknologi biokilang untuk mendukung bioekonomi sirkuler. Limbah biomasa dapat dimaksimalkan dalam sirkulasi rantai pasok yang ditunjukan dengan hubungan (loop) yang saling mengait dan tertutup. Dengan demikian, posisi biokilang berada pada posisi strategis karena dapat dijadikan untuk menampung berbagai limbah dari berbagai produk yang berbasis bio. Kegiatan terkait dengan distribusi dan konsumsi di masyarakat akan menghasilkan limbah. Limbah sebagian dapat digunakan kembali di tingkat konsumen, sebagian masuk sebagai bahan baku proses biokilang kembali dan sebagian dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kembali ke level produksi biomasa melalui kegiatan pertanian dalam arti luas.

Untuk meningkatkan efektifitas biokilang, telah banyak dilakukan riset untuk meningkatkan efisiensi proses konversi biomasa. Pemanfaatan multi enzim dalam suatu proses dengan memanfaatkan teknologi Arming Yeast mempunyai prospek menjanjikan. Proses ini dilakukan dengan cara mencangkokkan secara molekular beberapa enzime ke dalam sel khamir (yeast). Dengan demikian satu kali proses dapat dihasilkan beberapa produk. Disamping penggunaan multi enzim dalam sel khamir, efisiensi juga didapat melalui penggunaan temperatur yang rendah sehingga dapat mengurangi energi yang diperlukan. Kondisi proses dapat dilakukan dalam konsentrasi yang relatif lebih pekat sehingga dapat berkontribusi juga pada pengurangan energi untuk pemisahan ataupun distilasi (Ishii et al. 2012, Hara, 2018, Ogino, et al. 2018).

Page 34: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

34

Gambar 5. Building blocks chemicals dalam biorefinery Figure 5. Building blocks chemicals in biorefinery

Gambar 6. Konversi biomassa menjadi turunannya (IAE dalam De jong, 2020) Figure 6. Biomass conversion into its derivates (IAE in De Jong, 2020)

Page 35: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

35

Aspek Kritis Dalam Pengembangan Biokilang

Perlakuan awal (Pretreatment)

Ditinjau sifat fisik mekanik, biomasa lignoselulosa secara umum mempunyai struktur yang kuat sehingga secara alami mempunyai peran seperti konstruksi bangunan. Sifat tersebut tercermin juga dalam tingkat kompleksitas struktural, kristalinitas, derajat polimerisasi, distribusi serat dan porositas. Secara ultrastruktur lignoselulosa hingga fitur molekuler dan kimiawinya sedemikian komplek sehingga mengakibatkan secara signifikan terhadap rumitnya penguraian komponennya (Pingali, et al. 2020). Untuk menguraikan komponen lignoselulosa, pemilihan proses dan tahapannya menjadi sangat krusial. Perlakuan awal atau pendahuluan (pretreatment) merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan komponen yang sesuai dengan target konversi. Hasil perlakukan awal akan menentukan proses perlakuan selanjutanya. Pemilihan metode pretreatment sangat menentukan hasil dekomposisi biomasa menjadi polimer dengan berat molekul lebih rendah dan monomer (gula dengan C5 dan C6). Penelitian dan pengembangan proses saat ini mengarah pada upaya hemat energi, ramah lingkungan dan hemat biaya. Sampai saat ini, metode pretreatment yang hemat biaya dan ramah lingkungan masih sangat terbuka (Baruah, et al. 2018).

Pretreatment lignoselulosa pada awalnya berkembang dalam teknologi pengolahan pulp dan kertas (pulping), di mana target komponen utama adalah serat holoselulosa. Berbagai proses mekanik, kimia dan kombinasi telah terimplemntasikan di berbagai pabrik pulp, kertas dan rayon. Konsentrasi teknologi ini adalah bagaimana mngurangi komponen lignin yang tinggi rendahnya tergantung produk pulp kertas yang disasar. Dinamika pengembangan teknologi dari waktu ke waktu menuju proses yang lebih ramah lingkungan, dengan memanfaatkan berbagai kombinasi perlakukan seperti pelarut organik, kombinasi perlakukan uap panas, ozon, enzimatik (Prasetya et al. 2002, Demuner et al, 2011). Untuk tujuan pengembangan proses biokilang, tujuan perlakuan awal antara lain adalah menghilangkan lignin dan hemiselulosa, menurunkan kristalinitas

selulosa, dan meningkatkan porositas bahan lignoselulosa. Perlakuan awal untuk mendapatkan hasil hidrolisis yang efisien dan untuk produksi biofuel harus memenuhi persyaratan berikut: (1) meningkatkan pembentukan gula, (2) menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat, (3) menghindari pembentukan produk samping yang menghambat proses hidrolisis dan fermentasi berikutnya, dan (4) hemat biaya. Metode pretreatment secara umum dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu fisik (milling dan grinding), fisikokimia (pretreatment uap/ autohidrolisis, hidrotermolisis, dan basah oksidasi), kimia (alkali, asam encer, zat pengoksidasi, dan pelarut organik), biologis, listrik, atau kombinasi dari berbagai perlakuan tsb (Kumar et al, 2009).

Pretreatment yang efektif harus meminimalkan kebutuhan energi, berbiaya rendah, membatasi pembentukan produk sampingan, meningkatkan aksesibilitas selulosa ke enzim, dan menghasilkan konsentrasi tinggi gula yang dapat difermentasi. Metode pretreatment yang saat ini digunakan meliputi fisik (misalnya gelombang mikro, ultrasound), kimia (misalnya alkali, asam encer, ozonolisis, organosolven), fisikokimia (misalnya ledakan uap, hidrotermolisis dan oksidasi basah), atau kombinasinya (Aguilar-Reynosa et al., 2017; Gabhane et al., 2014; Kumar dan Sharma, 2017; Rosen et al., 2019; Peretz et al., 2020).

Perlakuan awal dengan asupan energi lebih rendah, banyak dikembangkan dengan memanfaatkan pemanasan gelombang mikro (microwave), Disamping hemat energi, efisinesi konversi dapat ditingkatkan dan pengoperasiannya lebih mudah baik skala kecil maupun skala besar (Jones et al., 2002, Hoogenboom et al., 2009, Li et al., 2016). Lebih lanjut perlakuan awal dengan gelombang mikro pada bahan lignoselulosa telah terbukti memodifikasi ultrastruktur selulosa (Chen et al., 2011), menurunkan lignin dan hemiselulosa, dan meningkatkan akses reaksi enzimatik (Azuma et al., 1984; Ooshima et al., 1984), menghasilkan hasil gula dan produksi etanol yang lebih baik (Binod et al., 2012; Intanakul et al, 2003; Sasaki et al., 2011). Pretreatment biomassa dengan gelombang mikro ditunjukkan untuk bahan baku yang berbeda, termasuk kayu daun lebar dan kayu daun jarum (Ooshima et al., 1984), ampas tebu (Binod et al.,

Page 36: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

36

2012; Sasaki et al., 2011), jerami padi (Zhu et al., 2005; Ma et al., 2009), jerami gandum (Xu et al., 2011; Zhu et al., 2006), biomassa switch-grass (Hu dan Wen, 2008), onggok limbah industri tapioka (Hermiati et. al. 2012) dan bambu (Fatriasari et al, 2016). Dalam upaya lebih menghemat energi dalam perlakukan awal, kombinasi perlakuan gas CO2 superkritikal, dan gelombang mikro suhu rendah, dapat mengasilkan penghematan energi yang siginifakan dengan hasil fraksinasi lebih baik. Pengurangan dampak efek rumah kaca mencapai lebih dari 75 %. Studi ini dilakukan pada jerami gandum untuk pembuatan biosurfaktan berbasis pada alkil poliglukosida (Lokesh et al., 2020).

Anu et. al (2020) mengulas perkembangan teknologi pretreatment dimana beberapa teknologi baru telah berkontribusi terhadap efektifitas pretreatment seperti perlakukan dengan gelombang mikro, ekstrusi, ultrasonik. ozonolysis, ionic liquids, wet oxidation, steam explosion, CO2 explosion, SO2 explosion, ammonia fibre explosion, electrical catalysis pretreatment dan kombinasi diantara proses yang ada. Perkembangan lain, dilaporkan juga bahwa dengan bantuan simulasi hamburan neutron dan dinamika molekul, mengungkapkan perubahan morfologi lignoselulosa pada kayu poplar yang tingkat gradasinya bergantung pada suhu. Perlakuan awal dengan menggunakan pelarut organik tetrahidrofuran (THF) dengan beberapa kombinasi air dan THF dan larutan asam dan THF. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa hasil pengamatan ini dapat dipakai untuk mengetahui mekanisme degradasi komponen lignin yang efektif (Pingali et. al. 2020).

Untuk mendapatkan hasil yang maksimuam dalam proses biokilang, maka perlakuan awal dengan meminilisasi degradasi lignin, banyak diteliti. Hal ini disebabkan karena proses yang

dikembangkan bertumpu pada komponen utama selulosa, sementara lignin yang didapat sebagai hasil samping akan dimanfaatkan nilai termalnya sebagai bahan bakar dan mengejar proporsi nilai yang menguntungkan untuk selulosa dan hemiselulosa; namun, lignin biasanya digunakan terutama untuk nilai energi termalnya. Untuk memaksimalkan nilai tambah biokilang maka karateristik lignin dijaga sehingga pemanfaatan lignin semakin luas. Salah satu metode yang dikembangkan adalah transformasi elektrokimia untuk mendapatkan proses depolimerisasi lignin. Mekanisme dipelajari dengan menggunakan berbagai sumber lignin, dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang depolimerisasi lignin secara elektrokimia. Secara umum dilaporkan bahwa elektrokatalisis dapat medegradasi struktur polimer lignin dan menghasilkan monomer aromatik. Efisiensi proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kerapatan arus dan kompleksitas struktur molekul lignin. (Garedew et al. 2020).

Pemilihan Proses Konversi dan Produk

Dalam proses biokilang tahapan setelah pretreatment adalah proses konversi menjadi bahan kimia platform yang merupakan komponen dasar (building block chemical) untuk proses konversi lebih lanjut menjadi produk produk yang lain yang lebih bernilai. Pemetaan bahan baku biomasa dan pemilihan jenis pretretmen untuk menghasilkan komponen dasar/monomer (building block chemical) diilustrasikan pada Gambar 7. Selanjutnya dari gula monomer/komponen dasar tersebut akan dip roses selanjutnya menjadi berbagai produk melalui proses fermentasi. Pemilihan proses hilir dari komponen dasar dan produk yang dihasilkan diilustrasikan pada Gambar 8.

Page 37: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

37

Gambar 7. Pemetaan bahan baku biomassa dan pemilihan jenis pretreatment untuk menghasilkan komponen dasar/monomer (Taylor et al., 2015) Figure 7. Mapping of biomass raw materials and selecting the type of pretreatments to produce building blocks chemical (Taylor et al., 2015)

Page 38: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

38

Gambar 8. Ilustrasi pemilihan proses hilir dari komponen dasar menjadi bioproduk (Taylor et al., 2015) Figure 8. Illustration of downstream process selection from basic components to bioproducts (Taylor et al., 2015)

Tergolong bahan kimia platform yang

mempunyai prospek pasar adalah etanol, furfural, hidroksimetilfurfural, asam 2,5-furandikarboksilat, gliserol, isoprena, asam suksinat, asam 3-hidroksipropionat / aldehida, asam levulinat, asam laktat, sorbitol, dan xilitol. Semua bahan kimia platform yang teridentifikasi ini, kecuali gliserol dan isoprena, dapat diproduksi dari sumber karbohidrat yang diturunkan dari biomassa (Bozell dan Petersen 2010). Menurut perkiraan McKinsey & Co. (BIO 2016), penjualan produk berbasis bio pada tahun 2012 adalah $ 252 miliar dan penjualan bahan kimia berbasis terbarukan sekitar 9% dari penjualan bahan kimia di seluruh dunia dan diharapkan tumbuh sebesar 4% setiap tahun. Penjualan produk berbasis bio diharapkan meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 8% menjadi $ 375 hingga $ 441 miliar pada tahun 2020 (Takkellapati et al. 2018)

Dari platform glukosa C6 dapat dikonversi menjadi beberapa jenis produk misalnya etanol dan sorbitol. Etanol mempunyai pemakaian sangat luas baik sebagai biofuel, bahan kimia yang dipakai berbagai keperluan, maupun sebagai bahan kimia platform untuk diproses lebih lanjut. Ada dua jenis

proses yang digunakan untuk menghasilkan etanol dari biomassa lignoselulosa. Yang pertama menggunakan proses gasifikasi termal untuk menghasilkan gas sintetik, yang kemudian diubah menjadi etanol dengan metode katalitik kimia. Yang kedua didasarkan pada proses fermentasi biokimia dimana sebelumnya diawali dengan proses sakarifikasi/hidrolisis. Secara umum, proses fermentasi dibagi dalam dua kelompok, pertama proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan secara simultan (SSF), yang kedua proses hidrolisis dan fermentasi (SHF) dilakukan terpisah. Dalam perkembangannya proses SSF menunjukan lebih unggul karena mampu menghasilkan etanol dengan rendemen lebih tinggi (Schwab et al. 2016). Meskipun sebagian besar bioetanol yang diproduksi di AS digunakan sebagai bahan bakar aditif, sebagian kecil juga digunakan sebagai bahan kimia platform untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Bioetanol dapat berfungsi sebagai pengganti bahan dasar petrokimia, misalnya memproduksi etilena, propilena, dan butadiena yang merupakan bahan dasar penting untuk sintesis polimer. Beberapa pabrik besar seperti Dow, Solvay, dan Braskem

Page 39: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

39

telah membangun pabrik untuk mengubah bioetanol menjadi etilen. Dow dan Braskem kemudian mengubah etilen menjadi polietilen hijau (masing-masing 320.000 ton / tahun, 180.000 ton / tahun); sedangkan Solvay menggunakan etilen berbasis bio untuk produksi polivinil klorida, 55.000 ton / tahun. Selain itu, bioetanol dapat dengan mudah diubah menjadi bahan kimia komoditas lain seperti asetaldehida, dan asam asetat. (Takkellapati et al. 2018)

Hasil konversi lignoselulosa yang berupa monomer glukosa dapat dikonversi lebih lanjut menjadi asam laktat melalui proses fermentasi. Produksi asam laktat global sekitar 350.000 ton / tahun dan diperkirakan akan tumbuh pesat dalam dekade berikutnya. Lebih lanjut, dengan proses esterifikasi asam laktat dapat diubah menjadi ester laktat, yang dapat digunakan sebagai pelarut hijau (Pereira et al. 2011). Asam laktat juga dapat dikonversi menjadi asam akrilat, asam propanoat dan poli asam laktat (PLA) yang dapat digunakan sebagai plastik biodegradable (Maki-Arvela et al. 2014, Yao dan Tang 2013). Polimer PLA mempunyai karakteristik dan sifat fisik mekanik seperti polistirena yang selama ini dihasilkan dari petrokimia,

Sorbitol dihasilkan dari glukosa melalui proses hiodrogensasi dengan bantuan logam. Sorbitol adalah pengganti gula yang paling umum digunakan dengan perkiraan produksi global tahunan sebesar 800.000 ton, dan banyak digunakan dalam makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan untuk menghasilkan bahan kimia yang memiliki nilai tambah lebih besar (Zhang et al., 2013).

Gula C5 hasil konversi lignoselulosa tahap awal dapat dikonversi lebih lanjut menjadi furfural. Produksi furfural di seluruh dunia diperkirakan sekitar 300.000 ton / tahun. Furfural diproduksi secara komersial melalui dehidrasi xilosa dengan mengunakaan katalis asam. Produksi furfural dari batang jagung, ampas tebu dan kayu ekaliptus menggunakan berbagai konsentrasi asam mineral juga telah dilaporkan (Barbosa et al. 2014). Sebagai bahan kimia industri, furfural juga dapat diubah menjadi asam suksinat dan asam levulinat

(Mariscal et al. 2016). Furfural telah banyak digunakan dalam industri plastik, farmasi dan agrokimia, perekat dan bahan suplemen pangan.

Fruktosa sebagai hasil konversi tahap awal lignoselulosa dapat diubah menjadi hydroxymethylfurfural (HMF). HMF diproduksi dari fruktosa melalui dehidrasi yang dikatalisis oleh asam (Verma et al. 2017). Berbagai pelarut organik telah dievaluasi untuk produksi HMF, dan di antara pelarut yang diuji, dimetil sulfoksida (DMSO) ditemukan paling sesuai untuk konversi gula menjadi HMF (Esposito dan Antonietti 2015). HMF kemudian dapat diubah menjadi bahan dasar poliester seperti 2,5-furandicarboxylic acid (FDCA), 2,5-bis (hydroxymethyl) furan, 2,5-dimetilfuran, 5-etoksimetilfurfural, etil levulinat, dan γ-valerolakton, yang nilai tambahnya lebih tinggi. HMF juga dapat diubah menjadi 1,6-heksanadiol (1,6-HDO), yang digunakan dalam pembuatan polikarbonat untuk produksi poliuretan untuk digunakan dalam pelapis, elastomer, dan perekat. Selain itu, 1,6-HDO dapat diubah menjadi 1,6-heaxanediamine dan ε-caprolactone, yang digunakan dalam sintesis berbagai polimer ((Li et al.2016; van Putten et al.2013, Isikgor dan Becer 2015).

Masih banyak contoh produk-produk yang dihasilkan dari bahan lignoselulosa yang mempunyai potensi menggantikan produk turunan petrokimia seperti asam suksinat, asam levulinat, furfural, 2,5-furandicarboxylic acid (FDCA):, 3-hydroxypropionic acid (3-HP), 3-hydroxypropionaldehyde (3-HPA), xilitol, isoprena, gliserol, dan lain lain, Dari uraian contoh di atas terlihat jelas potensi bahan ligonselulosa mengantikan produk yang berbahan baku petrokimia. Trend subtitusi bahan petrokimia oleh bahan dasar lignoselulosa akan semakin terbuka lebar sejalan dengan perkembangan riset di bidang biokatalis dan diimplemntasikannya konsep ekonomi sirkuler. Gambar 9 dan 10 memberikan ilustrasi sintesis produk hasil degradasi dari lignoselulosa menjadi bahan polimer dan bahan kimia pengganti produk petrokimia.

Page 40: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

40

Gambar 9. Ilustrasi sintesis produk hasil degradasi dari ligoselulosa menjadi bahan polimer dan bahan kimia pengganti produk petrokimia (PHA) Figure 9. Illustration of synthesis of products degraded from lignocellulose into polymeric materials and chemicals substitutes for petrochemical product

(PHA)

Gambar 10. Ilustrasi sintesis produk hasil degradasi dari lignoselulosa menjadi bahan polimer plastik pengganti produk petrokimia

Figure 10. Illustration of synthesis of products degraded from lignocellulose into plastic polymer substitute for petrochemical product

Aspek tekno ekonomi dalam pengembangan Biokilang

Tinjauan analisis teknoekonomi biofuel dan produksi bahan kimia yang bernilai tambah dari biomassa lignoselulosa diulas oleh Ellamla & Apparia (2020). Biofuel dan produk lain yang berasal dari biomassa lignoselulosa disimpulkan memiliki keunggulan energetik, ekonomis, dan lingkungan dibandingkan dengan produk primer seperti pati atau gula. Konversi bahan baku menjadi produk merupakan proses intensif energi yang memerlukan berbagai unit operasi yang memerlukan berbagai bentuk energi seperti arus, panas dalam

bentuk uap, air pendingin, pendinginan, dll. Aliran material dan energi memainkan peran penting dalam estimasi ekonomi proses. Evaluasi teknoekonomi memungkinkan untuk jenis proses yang harus dipilih untuk menentukan modifikasi desain sehingga dapat menguntungkan. Proses pretreatment selalu menjadi pertimbangan utama dalam menentukan proses biorefinery selanjutnya. Untuk mendapat gambaran kajian teknoekonmi yang mendalam di beberapa negara telah dilaporkan penggunaan metode pretreatment dan nilai ekonomi untuk produksi bioetanol sebagai produk utama, Pada tahun 2016-2018 terdapat 12 kajian teknoekonomi pada pilot plant dengan menggunakan bahan baku

Page 41: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

41

biomasa: batang jagung, jerami, ampas tebu, tendan kosong kelapsa sawit, limbah kayu. serbuk gergaji, limbah kulit kayu, rumput gajah (Ngoc Dao et al. 2018).

Pengembangan biokilang dalam ekonomi sirkular sebagaimana dilaporkan oleh Ubando et al (2020), menunjukkan bahwa aspek sosial-ekonomi dari sektor industri memiliki pengaruh besar terhadap adopsi penuh teknologi biokilang dalam bioekonomi sirkuler. Untuk menjamin kepastian keberlanjutan teknologi biokilang dari aspek socio-ekonomi dan lingkungan perlu dilakukan berbagai pengkajian seperti analisis LCA (Life Cycle Assessment) atau Social LCA, analisis tekno-ekonomi, analisis sosial-ekonomi, analisis MCDA (Multi-criteria Decision Analysis), Sayangnya, masih ada beberapa masalah yang mempengaruhi perilaku pembelian mereka, terutama arus informasi yang berlebihan terkait dengan produk dan kebutuhan serta keinginan akan barang baru (Kovács . 2017)

Penerapan biokilang untuk biomassa masih belum dilakukan di Indonesia, namun kajiaan bersama produk utama yang bukan limbah dilakukan pada pengolahan minyak kelapa sawit. Misalnya, studi yang dilakukan untuk mengkaji penerapan teknologi biorefinery pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) melalui pemanfaatan kembali dan daur ulang limbah atau produk samping, dapat meningkatkan efisiensi proses serta nilai tambah dari diversifikasi produk. Studi dilakukan pada kapasitas terpasang 45 ton-TBS per jam, yang berlokasi di Riau. Opsi teknologi biorefinery yang dikaji ada 4 skenario, yaitu: (a) Skenario 1: PLT Biogas + Pabrik Pellet, (b) Skenario 2: PLT Biogas + Pabrik Kompos, (c) Skenario 3: Biogas Cofiring dan (d) Skenario 4: Biogas Cofiring + Activated Carbon. Hasil analisis tekno- ekonomi menunjukkan bahwa keempat opsi teknologi biorefinery di atas, layak untuk diterapkan di PKS. Instalasi PLTBg dapat menghasilkan listrik yang lebih murah daripada PLN, sehingga teknologi pellet maupun kompos memiliki kelayakan finansial yang cukup menarik (Hilmawan et. al. 2020). Studi tekno-ekonomi biomasa dari kelapa sawit dilakukan untuk produk pelet sebagai bahan bioenergi menunjukan produk pelet yang dihasilkan memenuhi pesyaratan standar dan dari hasil kajian teknoekomi menunjukan IRR 35,63 %, dan pay back period (PBP) 2,81 tahun (Alamsyah & Supriatna 2018).

Tantangan Implementasi di Indonesia

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa di tataran global konsep ekonomi sirkular dan peran biokilang yang berbasis pada biomassa dari bahan lignoselulosa telah menjadi perhatian. Kemajuan pesat implementasi terlihat dalam kurun lima tahun terakhir. Di Indonesia, konsep ekonomi sirkular dua tahun ini menjadi fokus beberapa kementerian, namun konsep biokilang dari biomasa masih pada level penelitian. Beberapa studi tekno-ekonomi umumnya tidak fokus pada biomasa lignoselulosa. Biokilang yang telah diteliti dan dikaji misanya limbah pabrik pulp dan kertas, tanda kosong kelapa sawit yang terintegrasi dengan minyak sawit (Hilmawan 2020), tandan kelapa sawit untuk biopelet sebagai bahan bakar energi (Alamsyah et. al. 2018) dan tandan kosong kelapa sawit untuk xilitol (Kresnowati et. al, 2015), xilitol, enzim dan bioetanol dari tongkol jagung, arabitol dari limbah gliserol dari produksi biodiesel (Mardawati 2018).

Dalam upaya meningkatkan kegiatan riset yang mendukung pengembangan biokilang dengan bahan baku tanda kosong kelapa sawit, dalam kerjasama Indonesia Jepang melalui skema pembiayaan SATREPS telah dilakukan berbagai penelitian yang mengacu pada tahapan biokilang. Kegiatan dibagi dalam 5 katagori yaitu pretreatment, secrening mikroorganisme yang potensial dalam proses konversi, dan teknologi fermentasi dengan menggunakan arming yeast, pengembangan produk PLA sebagai bahan plastik dan studi keekonomian biokilang. Dari hasill penelitian didapatkan parameter penting dalam optimalisasi pretreatment, isolat mirkorganisme potensial dengan karakteristiknya dalam substrat tandan kosong kelapa sawit, cloning dan teknik pencangkokan enzime ke dalam khamir (arming yeast), optimasi fermentasi termasuk proses pengendalian inhibitor dan optimasi pembuatan PLA (Hermiati 2018, Juanssilfero et al., 2018, Rahmawati et al., 2019, Thontowi et al., 2020 dan Wijaya et al., 2020).

Beberapa tantangan utama yang bersifat non teknis dalam pengembangan biokilang adalah kondisi iklim usaha di suatu negara dan kondisi pasar. Iklim usaha yang kondusif dapat menjamin kepastian usaha dan akan mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi di sektor ini. Hal ini menyangkut

Page 42: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

42

kalkulasi ekonomi yang sejak perencanaan hingga pengoperasian industri menuntut adanya kepastian hukum dan regulasi. Kelangsungan industri biokilang juga dipengengaruhi oleh kontinuitas pasokan bahan baku (Pertiwi 2013), ketersedian teknologi, ketrampilan-keahlian SDM yang terlibat, akses pasar baik dalam negeri maupun ekspor. Faktor non teknis lain yang tidak kalah pentingnya adalah standardisasi, sertifikasi dan bentuk penilaian kesesuian yang lain.

Terkait dengan sistem pasokan bahan baku maka perhitungan kelangsungan rantai pasok harus diperhitungan secara baik. Banyak terjadi dalam pengalaman pabrik berdiri kemudian gulung tikar karena pasokan bahan baku tidak terjamin. Pemilihan lokasi biokilang, sarana logistik dan transportasi merupakan faktor kunci terhadap pengumpulan bahan baku, Di beberapa negara untuk mendekati bahan baku didesain biokilang untuk skala kecil dan dipasang di daerah yang memnjamin ketersediaan bahan baku, Selanjutnnya untuk proses berikutnya dilakukan di suatu tempat yang letaknya mendekat pasar. Ketersedian bahan baku ini dapat diprediksi sejalan dengan kesadaran masyarakat untuk mengumpulkan limbah untuk didaur ulang. Apabila hal ini terjadi maka konsep ekonomo sirkular dan biokilang dapat dijalankan,

Kebijakan terkait dengan pengembangan biokilang untuk mendukung ekonomi sirkular misalnya pengembangan industri hijau oleh kementerian perindustrian. Terkait dengan pengembangan ekonomi sirkular telah diprogramkan transformasi ekonomi linier menuju ekonomi sirkular. Hal ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan sumber daya, meregenerasi sumber bahan baku, serta menggali potensi ekonomi yang belum termanfaatkan. Implementasi ekonomi sirkular harus mempertimbangkan kompleksitas industri dengan peta jalan yang terukur, serta peran aktif dari semua pemangku kepentingan. Dukungan penelitian dan pengembangan yang aplikatif sangat diperlukan untuk menjaga siklus daur ulang plastik dalam konteks ekonomi sirkular. Program ini harus melibatkan banyak pemangku kepentingan, sehingga akan berjalan efektif jika kepentingan semua pihak dapat terakomodasi, pemerintah harus menyediakan iklim yang kondusif seperti pembangunan infrastruktur, harmonisasi kebijakan, serta pemberian insentif kepada pihak yang

berkontribusi. Kebijakan yang diterbitkan harus mempertimbangkan rantai ekonomi sirkular yang sudah terbentuk dimana keberadaan dan keterlibatan pemulung memainkan peran yang besar. Selanjutnya, investasi asing pada bidang ini sebaiknya dibatasi untuk menjaga iklim yang baik di dalam negeri. Kebijakan kewajiban kandungan minimum bahan daur ulang (minimum recycle content) pada produksi barang-barang plastik akan memberikan dampak positif pada penerapan ekonomi sirkular. Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) mempunyai peran yang penting dalam mempercepat pembentukan ekonomi sirkular di Indonesia (Khayam, 2020, Wardoyo, 2020).

Pengembangan standar produk untuk berbagai produk menjadi sangat penting untuk memfasilitasi pengenalan produk sampai ke pemasaran. Standar lain yang juga berperan dalam memperkuat pengembangan biokilang dan ekonomi sirkular adalah standar proses, standar pengujian dan standar sistem manajemen. Pengujian laboratorim yang terkareditasi dengan SNI ISO 17025 dapat membantu pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor. Untuk meningkatkan efisiensi berbagai standar sistem manajemen SNI ISO 9001:2015 perlu juga diperhitungkan. Beberapa pasar di luar negeri juga mensyarakatkan penerapan standar sistem manajemen, misalnya terkait dengan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, perlu juga dikembangkan lembaga penilaian kesesuaian yang diakui secara internasional. Terkait dengan pengembangan SDM sertifikasi kompetensi berbasi pada SNI ISO 17024 juga dapat mendukung implementasi biokilang dan ekonomi sirkular yang menjamin adanya proses perbaikan yang berkesinambungan.

Pasar internasional terkait dengan produk hijau diperkirankan semakin besar, sejalan dengan keasadaran masyarakat terhadap lingkungan. Forum-forum internasional di berbagai event mendorong implementasi kesepakatan global untuk produksi bioenergi dan produk ramah lingkungan termasuk produk biodegradable. Konsensus internasional agar lebih efisien dalam memanfaatkan biomassa sebagai baku industri. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia dalam mengembangkan konsep biokilang dan ekonomi sirkular perlu direncanakan secara komprehensif. Beberapa kegiatan penelitian, pengkajian, pembuatan pilot percontohan dan

Page 43: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

43

sosialisasi perlu dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kendala dan tantangan dalam pengembangan biokilang antara lain adalah belum dipahaminya konsep secara utuh. Kegiatan sosialisai diperlukan untuk meningkatkan pemahaman baik para pelaku usaha, regulator/pengambil kebijakan, dan mahasiswa serta masyarakat.

Kesimpulan

Dengan meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan, khususnya upaya mengurangi limbah produk turunan petrokimia seperti plastik, upaya penyediaan produk alternatif yang bersifat biodegradeble menjadi kunci penting. Melihat potensi limbah biomasa lignoselulosa di Indonesia yang melimpah dan umumnya berasal dari limbah industri atau kegiatan perkebunan, pemanfaatn limbah biomasa di Indonesia relatif belum maksimal. Teknologi biokilang memberikan alternatif untuk memanfaatkan bahan baku tersebut menjadi produk yang bernilai lebih tinggi dan bersamaan itu untuk mengembangkan produk substitusi dari produk turunan petrokimia. Teknologi ini juga sangat berperan dalam mendukung ekonomi sirkular, karena bahan baku biomassa dapat diperoleh dari limbah. Perkembangan teknologi biokilang di tataran global semakin berkembang dan umumnya dikaitkan dengan konsep ekonomi sirkular yang semakin proven. Untuk mendukung implementasi teknologi dan konsep ini Indonesia harus didorong lebih kuat lagi menerapkan konsep ini yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi. Beberapa potensi dari riset yang terkait biokilang menunjukan terdapat potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Beberapa hasil riset dan kajian di berbagai negara lain dapat dijadikan bahan masukan untuk pengembangan teknologi biokilang dan pengembangan ekonomi sirkular.

Daftar Pustaka

Aeschelmann F & M Carus (2017). Bio-based Building Blocks and Polymers. Global Capacities and Trends 2016–2021.Diunduh dari http://bio-based.eu/media/edd/2017/03/17-02-Bio-based-Building-Blocks-and-Polymersshort-version.pdf [1 Oktober 2020].

Aguilar-Reynosa, A., A Romaní, RM Rodríguez-Jasso, CN Aguilar, G Garrote & HA Ruiz 2017).

Microwave heating processing as alternative of pretreatment in second-generation biorefinery: An overview. Energ. Convers. Manage. 136, 50–65.

Alamsyah R & D Supriatna (2018). Analisis Teknik dan Tekno Ekonomi Pengolahan Biomassa. Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Menjadi Pelet sebagai Bahan Bakar Terbarukan Skala Produksi. WartaIHP Journal of Agro-based Industry 35 (1), 1-11.

Annevelink B (2020).An introduction to the IEA Bioenergy Task 42 Biorefining in a Circular Economy. Diunduh dari http://task42.ieabioenergy.com/wpcontent/uploads/2020/01/1-Annevelink-An introduction-to-the-IEA-Bioenergy-Task-42-Biorefining-in-a-Circular.pdf[1Oktober 2020].

Alonso DM, JQ Bond & JA Dumesic (2010) Catalytic conversion of biomass to biofuels. Green Chem 12, 1493–1513.

Anu, A Kumar, A Rapoport, G Kunze, S Kumar, D Singh & B Singh. (2020). Multifarious pretreatment strategies for the lignocellulosic substrates for the generation of renewable and sustainable biofuels: A review. Renewable Energy. 160, 1228-1252.

Azuma J, F Tanaka & T Koshijima (1984). Enhancement of enzymatic susceptibility of lignocellulosic wastes by microwave irradiation. J. Ferm. Technol. 62(4), 377–384.

Barbosa BM, JL Colodette, DJr Longue,FJB Gomes & DC Martino (2014) Preliminary studies on furfural production from lignocellulosics. J Wood Chem Technol 34,178–190.

Baruah J, BK Nath,R Sharma, S Kumar, RC Deka, DC Baruah & E Kalita (2018). Recent trends in the pretreatment of lignocellulosic biomass for value-added products. Front. Energy Res. 6, 141.

Binod, P, K Satyanagalakshmi, R Sindhu, KU Janua, RK Sukumaran & A Pandey (2012). Short duration microwave assisted pretreatment enhances the enzymatic saccharification and fermentable sugar yield from sugarcane bagasse. Renew. Energy. 37, 109–116.

Bozell JJ, & GR Petersen (2010) Technology development for the production of biobased

Page 44: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

44

products from biorefinery carbohydrates-the US Department of Energy’s Green Chem 12, 539–554.

Braz J. DN Pereira & AMS Antunes (2011). Technology Prospecting on Enzymes for the Pulp and Paper Industry. J. Technol. Manag Innov. 6(3).

Brethauer S & MH Studer (2015) Biochemical conversion processes of lignocellulosic biomass to fuels and chemicals – A Review. Chimia 69, 572–581.

Chen W.H, YJ Tu & HK Sheen (2011). Disruption of sugarcane bagasse lignocellulosic structure by means of dilute sulfuric acid pretreatment with microwave-assisted heating. Appl. Energy. 88, 2726–2734.

de Jong E, H Stichnothe, G Bell & H Jørgensen (2020). Bio-Based Chemicals. A 2020 Update. Diunduh dari http://task42.ieabioenergy.com/publications/bio-based-chemicals-a-2020-update/attachment/bio-based-chemicals-a-2020-update-final-200213/ [3 September 2020].

Demuner BJ, NP Junior & MS Adelaide (2011). Antunes Technology Prospecting on Enzymes for the Pulp and Paper Industry Journal of Technology Management and Innovation 6(3), 148-158.

Fatriasari W, W Syafii, N Wistara, K Syamsu & B. Prasetya (2016). Lignin and Cellulose Changes of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) Pretreated Microwave Heating. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology 6(2).

Fujita M & H Harada (1991). Ultrastructure and formation of wood cell wall. p. 3–57. In D.N.S. Hon and N. Shiraishi (Ed.). Wood and Cellulosic Chemistry. Ne York. Marcel Dekker, Inc.p. 3-57.

Gabhane J, SP William, A Gadhe, R Rath, AN Vaidya & S, Wate (2014). Pretreatment of banana agricultural waste for bio-ethanol production: individual and interactive effects of acid and alkali pretreatments with autoclaving, microwave heating and ultrasonication. Waste Manag. 34 (2), 498–503.

Garedew M, F Lin, B Song, M. Tamara, DeWinter, JE Jackson, CM. Saffron & C. Ho Lam PT Anastas. (2020). Greener Routes to Biomass Waste Valorization: Lignin Transformation through Electrocatalysis for Renewable Chemicals and Fuels Production. Chemistry Sustainability Energy Materials. Volume13, Issue17 Special Issue: Lignin Valorization: From Theory to Practice.

Haas W, F Krausmann, D Wiedenhofer, C Lauk & A Mayer (2020). Spaceship earth's odyssey to a circular economy - a century long perspectiv. Resources, Conservation & Recycling 163, 105076.

Hara H. (2018). Sustainable Resource and Energy Supply for Yeast Cell Factories 5th International Symposium on Innovative Bio-Production Indonesia.

Harikishan RE & S Appari (2020). Technoeconomic Analysis of Biorefinery Processes for Biofuel and Other Important Products. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/9781119568858.ch15

Hermiati E, D Mangunwidjaja, TC Sunarti, O Suparno, B Prasetya. (2012). Microwave-assisted Acid Hydrolysis of Starch Polymer in Cassava Pulp in The Presence of Activated Carbon. Procedia Chemistry 4, 238 – 244.

Hermiati, E. (2018). The Establishment of Pretreatment Protocol for Lignocellulose Biomass from Oil Palm and Sugarcane Industry. 5th International Symposium on Innovative Bio-Production Indonesia.

Hiba N, A Tayeh, H Azaizeh & Y Gerchman (2020). Circular economy in olive oil production – Olive mill solid waste to ethanol and heavy metal sorbent using microwave pretreatment. Waste Management 113, 321–328.

Hilmawan E, A Widiatia ALFebriyania, REP Dewi (2020) Analisis Teknoekonomi Penerapan Biorefinery pada Pabrik Kelapa Sawit. Majalah Ilmiah Pengkajian Industri 14 (1).

Hoogenboom R, TFA Wilms, T Erdmenger, US Schubert (2009). Microwave- assisted chemistry: a closer look at heating efficiency. Aust. J. Chem. 62 (3), 236–243.

Hu Z & Z Wen (2008). Enhancing enzymatic digestibility of switchgrass by microwave-

Page 45: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

45

assisted alkali pretreatment. Biochem. Eng. J. 38, 369–378.

Ishii J, N Yoshimoto, K Tatematsu, S Kuroda, C Ogino, H Fukuda & A Kondo (2012). Cell Wall Trapping of Autocrine Peptides for Human G-Protein-Coupled Receptors on the Yeast Cell Surface. PLoS ONE 7(5): e37136.

Intanakul P, M Krairish & P Kitchaiya (2003). Enhancement of enzymatic hydrolysis of lignocellulosic wastes by microwave pretreatment under atmospheric pressure. J. Wood Chem. Technol. 23 (2), 217–225.

Isikgor FH & CR Becer (2015) Lignocellulosic biomass: a sustainable platform for the production of bio-based chemicals and polymers. Poly Chem 6:4497–4559

Jones DA, TP Lelyveld, SD Mavrofidis, SW Kingman & NJ Miles (2002). Microwave heating applications in environmental engineering—a review. Resour. Conserv. Recy. 34 (2), 75–90.

Juanssilfero AB, P Kahar, RL Amza, N Miyamoto, H Otsuka, H Matsumoto, C Kihira, A Thontowi, Yopi, C Ogino, B. Prasetya & A. Kondo (2018). Selection of oleaginous yeasts capable of high lipid accumulation during challenges from inhibitory chemical compounds. Biochemical Engineering Journal 137, 182-191.

Khayam, M. (2020). Dampak implementasi ekonomi sirkular pada industri plastik, Workshop ’’Peran Standar Circular Economy untuk Keberlangsungan Bisnis dan Kelestarian Lingkungan “Circular Economy mengubah Pola Pengembangan Bisnis?”.Diunduh dari www-bsn.go.id. (24 Juni 2020.

Kovács G (2017.) Circular economy vs. closed loop supply chains: what is new under the sun?. dalam. Munjur E. Moula Jaana Sorvari Pekka Oinas. Constructing A Green Circular Society.

Kresnowati MTAP, E Mardawati & T Setiadi (2015). Production of Xylitol from Oil Palm Empty Fruits Bunch: A Case Study on Bioefinery Concept. Modern Applied Science 9 (7), 20.

Kumar A & R Chandra (2020). Ligninolytic enzymes and its mechanisms for degradation of lignocellulosic waste in environment. journal homepage: www.cell.com/heliyon

Kumar P, DM. Barrett, MJ Delwich & P Stroeve (2009). Methods for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass for Efficient Hydrolysis and Biofuel Production. Industrial and Engineering Chemistry Research. 48(8), 3713–3729.

Kumar S, SP Singh, IM Mishra & D Adikari (2009). Review- Recent advances in production of bioethanol from lignocellulosic biomass. Chem. Eng. Technol. 32 (4), 517–526.

Kumar V.G Anuj, K Chandel, SPJ Kumar & S Sharma (2020). Circular economy aspects of lignin: Towards a lignocellulose biorefinery. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 130, 109977.

Kumar AK & S Sharma (2017). Recent updates on different methods of pretreatment of lignocellulosic feedstocks: a review. Bioresour. Bioprocess. 4, 7.

Leipold S & A Petit-Boix (2018.) The circular economy and the bio-based sector - Perspectives of European and German stakeholders. Journal of Cleaner Production.www.elsevier.com/locate/jclepro.https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.08.019.

Lokesh K, C West, I Kuylenstiernam, J Fan, V Budarin, P Priecel, JA Lopez-Sanchez & JH Clark (2019). Economic and agronomic impact assessment of wheat straw-based alkyl polyglucoside produced using green chemical approaches. Journal of Cleaner Production 209, 283-296.

Li H, Y Qu, Y Yang, S Chang & J Xu (2016). Microwave irradiation – A green and efficient way to pretreat biomass. Bioresour, Technol 199, 34–41.

Li H, S Yang, A Riisager, A Pandey, RS Sangwan, S Saravanamurugan & R Luque (2016). Zeolite and zeotype-catalysed transformations of biofuranic compounds. GreenChem 18, 5701–5735.

Ma H, WW Liu, X Chen, YJ Wu & ZL Yu (2009). Enhanced enzymatic saccharification of rice straw by microwave pretreatment. Bioresour. Technol. 100, 1279–1284.

Maki-Arvela P, T Salmi, B Holmbom, S Willfor & DY Murzin (2011) Synthesis of sugars by

Page 46: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

46

hydrolysis of hemicelluloses – a review. Chem Rev 111, 5638–5666.

Mardawati E (2018). Peran Biorefinery atau kilang biomasa dalam teknologi industri pertanian menunjang poembangunan berkelanjutan (SDGs Goals). Diunduh dari http://sdgcenter.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/Dr.-Efri-Mardawati-Peran-capaian-SDGs.pdf.[9 Oktober 2020]

Mariscal R, P Maireles-Torres, M Ojeda, L Sadaba & M Lopez Granados (2016) Furfural: a renewable and versatile platform molecule for the synthesis of chemicals and fuels. Energy Environ Sci 9, 1144–1189.

Martin-MartinezFJ (2018). Designing nanocellulose materials from the molecular scale. Diunduh dari https://www.pnas.org/content/pnas/115/28/7174.full.pdf [1 Oktober 2020].

Nattrass L, C Biggs, A Bauen, C Parisi, E Rodríguez-Cerezo & M Gómez-Barbero (2016). The bio-based industry: Results from a survey. Diunggah dari https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/bitstream/JRC100357/jrc100357.pdf [9 September 2020].

Ngoc Dao C, E Mupondwa, L Tabi, Xue Li, E Cristina & C López (2018). A Review on Techno-Economic Analysis and Life- Cycle Assessment of Second-Generation Bioethanol Production via Biochemical Processes.

Ogino C, P Kahar & A Kondo (2018). Overview and Perspectiveof Our Collaboration in Indonesia for Future. 5th International Symposium on Innova tive Bio-Production Indonesia

Ooshima H, K Aso &Y Harano (1984). Microwave treatment of cellulosic materials for their enzymatic hydrolysis. Biotechnol. Lett. 6, 289–294.

Pertiwi DS (2013). Konsep dan Tantangan Pengembangan Biorefinery. Jurnal Itenas Rekayasa 17, 1.

Pereira CSM, VMTM Silva & AE Rodrigues (2011) Ethyl lactate as a solvent: Properties, applications and production processes – a review. Green Chem 13, 2658–2671.

Peretz R, H Mamane, E Wissotzky, E Sterenzon, Y Gerchman (2020). Making cardboard and paper recycling more sustainable - recycled paper sludge for energy production and water-treatment applications. Waste and Biomass Valori. In press.

Petit-Boix A & S Leipold (2018). Circular economy in cities: Reviewing how environmental research aligns with local practices. Journal of Cleaner Production 195.

Pingali V S, MD Smith, SH Liu, TB Rawal, Y Pu, R Shah, BR Evans, VS Urban, BH Davison, CM Cai, AJ. Ragauskas, HM O’Neill, JC Smith &L Petridis (2020). Deconstruction of biomass enabled by local demixing of cosolvents at cellulose and lignin surfaces. Diunduh dari https://doi.org/10.1073/pnas.1922883117 [5 Oktober 2020].

Prasetya B (2018). The Importance of Development of Biorefinery Technology to address the Sustainable Development Goals (SDGs). 5th International Symposium on Innovative Bio-Production Indonesia.

Prasetya B, I Idiyanti, DH Goenadi, RM Siagian & T Watanabe (2002). Production of manganese peroxidase from fungal isolate CPN01 and their in vitro bleaching-ability on kraft pulp. Puslit Biotek Perkebunan.

Rahmani N, A Oktavia, Nuryati, D Astuti, S Nugraha, F Nuro, E Mulyani, E Hermiati, K Ramadhan, P Lisdiyanti, Yopi & B Prasetya (2020). Endo-xylanase Enzyme Production using Agroindustrial Biomass as Feedstock by Kitasatospora sp. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 1315/439/1/012028

Rosen Y, H Mamne & Y Gerchman (2019). Short ozonation of lignocellulosic waste as energetically favorable pretreatment. BioEnergy Res. 12 (2), 292–301.

Sasaki, C., R Takada, T Watanabe, Y Honda, S, Karita, Y Nakamura & T Watanabe (2011) Surface carbohydrate analysis and bioethanol production of sugarcane bagasse pretreated with the white rot fungus, Ceriporiopsis subvermispora and microwave hydrothermolysis. Bioresour. Technol. 102, 9942–9946.

Page 47: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

47

Schwab A, E Warner &J Lewis (2016) Survey of Non-Starch Ethanol and Renewable Hydrocarbon Biofuels Producers. NREL/TP- 6A10-65519.

Sheldon R.A (2020). Biocatalysis and biomass conversion: enabling a circular economy. Philosophical Transactions of Royal Society A.. Diunduh dari https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rsta.2020.0060 [29 September 2020].

Sherwood J (2020). The significance of biomass in a circular economy. Bioresource volume 300.

Sjöström E & R Alen (2010). Analytical Methods in Wood Chemistry, Pulping, and Papermaking. Springer p, 318.

Takkellapati, S. Tao Li & MA. Gonzalez (2018). An Overview of Biorefinery Derived Platform Chemicals from a Cellulose and Hemicellulose Biorefinery. Clean Technol Environ Policy. 20(7), 1615–1630.

Taranic I, A Behrens & C Topi (2016). Understanding the Circular Economy in Europe, from Resource Efficiency to Sharing Platforms. CEPS Energy Climate House.

Tarasov D, M. Leitch & P Fatehi (2018). Biotechnol. Biofuels, 11, 269-269.

Taylor R, L Nattrass, G Alberts, P Robson, C Chudziak, A Bauen, IM Libelli, G Lotti, M Prussi, R Nistri, D Chiaramonti, A López Contreras, H Bos, G Eggink, J Springer, R Bakker & R van Ree (2015). From the Sugar Platform to biofuels and biochemicals. Diunduh dari https://ec.europa.eu/energy/sites/ener/files/documents/EC%20Sugar%20Platform%20final%20report.pdf [1 Oktober 2020].

Thontowi A, U Perwitasari, LN Kholida, AKanti, Yopi & B Prasetya (2020). Furfural and 5-(Hydroxymethyl) furfural Tolerance Candida strains in Bioethanol Fermentation. Annales Bogorienses 24 (1), 1-10.

Ubando A T, C B Felix & W H Chen (2020). Biorefineries in circular bioeconomy: A comprehensive review. Bioresource Technology 299, 122585.

Van Putten R-J, JC van der Waal, E de Jong, CB Rasrendra, HJ Heeres, & JG de Vries (2013). Hydroxymethylfurfural, A versatile platform chemical made from renewable resources. Chem.

Hidayat T & Y Setiawan (2015). Pemanfaatan Rejek Hidropulper untuk Meningkatkan Nilai Kertas Kertas Bekas Sebagai Bahan Baku Kertas. Jurnal Selulosa. Vol 5, No 02. 59-68

Van Ree R & B Annevelink (2007). Status Report Biorefinery 2007, Report 847 by Agrotechnology and Food Sciences Group, Wageningen.

Van Ree R (2017). Biorefinery Approach in the EU and Beyond. Diunduh dari https://ec.europa.eu/newsroom/document.cfm?doc_id=42343.BiorefineryApproachintheEUandbeyond-RenvanRee.pdf [26 September 2020].

Verma S, RBN Baig RBN, MN Nadagouda, C Len & RS Varma (2017). Sustainable pathway to furanics from biomass via heterogeneous organo-catalysis. GreenChem 19, 164–168.

Wardoyo NA. (2020). Circular Economy dalam perpestive enviromental. Workshop’’ Peran Standar Circular Economy untuk Keberlangsungan Bisnis dan Kelestarian Lingkungan “Circular Economy mengubah Pola Pengembangan Bisnis?”. Diunduh dari www-bsn.go.id. (24 Juni 2020).

Wang W, T Yuan, B Cuia & Y Dai (2013). Investigating lignin and hemicellulose in white rot fungus-pretreated wood that affect enzymatic hydrolysis. Bioresource Technology 134, 381-385.

Wijaya H. K Sasaki, P Kahar, N Rahmani, E Hermiati, Yopi, C Ogino, B Prasetya & A Kondo (2020). High Enzymatic Recovery and Purification of Xylooligosaccharides from Empty Fruit Bunch via NanofiltrationHigh Enzymatic Recovery and Purification of Xylooligosaccharides from Empty Fruit Bunch via Nanofiltration. Processes 8 (5), 619.

Xu, J., H Chen, Z Kádár, AB Thomsen, J Ejbye & H Peng (2011). Optimization of microwave pretreatment on wheat straw for ethanol production. Biomass Bioenerg. 35, 3859–3864.

Yao K & C Tang (2013) Controlled polymerization of next-generation renewable monomers and beyond. Macromolecules 46,1689–1712.

Zhang J, J Li, Wu S & Y Liu (2013) Advances in the catalytic production and utilization of

Page 48: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

48

sorbitol. Ind Eng Chem Res 52,11799–11815.

Zhu, S., Y Wu, Z Yu, J Liao & Y Zhang 2005). Pretreatment by microwave/alkali of rice straw and its enzymatic hydrolysis. Process Biochem. 40, 3082–3086.

Zhu, S., Y Wu, Z Yu, X Zhang, C Wang, F Yu & S Jin (2006). Production of ethanol from microwave-assisted alkali pretreated wheat straw. Process Biochem. 41, 869–873.

Page 49: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

49

Keragaman tanaman sirih (Piper sp) berdasarkan penanda morfologi dan molekuler

Diversity of betle (Piper sp) based on morphology and molecular markers

Nur Laela Wahyuni Meilawati* & Tias Arlianti

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No. 3 Cimanggu, Bogor 16111

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak Tanaman sirih (Piper sp.) merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki banyak manfaat. Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) memiliki enam koleksi sirih dengan asal daerah berbeda. Identifikasi dan karakterisasi plasma nutfah sirih tersebut akan bermanfaat sebagai informasi pengembangan dan pemanfaatan lebih lanjut.

Karakterisasi dilakukan berdasarkan penanda morfologi dan molekuler. Pengamatan morfologi dilakukan pada karakter daun

dan batang, sementara analisa molekuler menggunakan tujuh primer RAPD. Analisa kekerabatan dilakukan menggunakan

program PBSTAT dan NTSYS. Berdasarkan hasil penelitian terdapat perbedaan pada karakter bentuk daun, bentuk pangkal daun, dan ukuran daun, warna daun dan warna tangkai daun. Keenam spesies sirih terbagi menjadi dua kelompok pada nilai kekerabatan 40% berdasarkan karakter morfologi kelompok satu terdiri atas sirih hitam, sirih papua dan sirih hijau sedangkan kelompok dua yaitu sirih silver, sirih merah, dan sirih macan. Analisa kekerabatan berdasarkan marka RAPD memperlihatkan hasil yang sama dengan penanda morfologi. [Kata kunci: spesies, karakterisasi, kekerabatan, plasma nutfah, RAPD]

Pendahuluan

Tanaman obat merupakan salah satu komoditas potensial untuk dikembangkan. Tanaman obat dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku obat tradisonal ataupun sebagai tanaman hias. Salah satu jenis tanaman obat yang banyak dimanfaatkan di Indonesia adalah sirih. Tanaman ini banyak dijumpai di pekarangan rumah sebagai hiasan, dibudidayakan atau dimanfaatkan sebagai obat. Bagian tanaman sirih yang umumnya digunakan sebagai obat adalah daun. Kandungan daun sirih antara lain saponin, polifenol, minyak atsiri, dan flavonoid. Sirih dapat dimanfaatkan sebagai obat batuk (Widiastuti 2001), antidiabetes,

munomodulator, antioksidan, dan antikanker (Bhalerao et al. 2013).

Berdasarkan klasifikasi taksonomi, sirih termasuk ke dalam suku piperaceae dan marga piper. Suku pipperaceae terdiri dari 13 marga dan diperkirakan mencapai sekitar 2.658 nama jenis yang valid (The 2013). Sirih memiliki penyebaran yang luas di Indonesia, dimana dapat dijumpai hampir di seluruh daerah (Manalu dan Sinaga

2013). Keragaman plasma nutfah sirih merupakan sumber genetik pengembangan dan pemanfaatan sirih lebih lanjut Sirih yang berasal dari daerah yang berbeda tentunya memiliki karakteristik tersendiri. Untuk dapat mengoptimalkan sumber genetik yang ada, perlu dilakukan penggalian informasi genetik, antara lain melalui karakterisasi dan analisis keragaman. Karakterisasi merupakan suatu kegiatan pemuliaan untuk mengetahui sifat morfologi yang dapat dimanfaatkan dalam membedakan antar spesies, menilai besarnya keragaman genetik, mengindentifikasi varietas, menilai jumlah spesies, dan sebagainya (Bermawie 2005). Keragaman dan karakterisasi merupakan hal penting dalam pemuliaan tanaman, karena dapat ditemukan berbagai bahan genetik untuk perbaikan sifat suatu tanaman dan upaya peningkatan hasil benih.

Karakterisasi dan analisis keragaman dapat dilakukan menggunakan penanda genetik, salah satunya penanda morfologi dan molekuler. Menurut Gembong (2004) untuk memudahkan pengklasifikasian jenis tumbuhan, bentuk morfologi merupakan salah satu indikator yang

Page 50: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

50

besar perannya dalam mengidentifikasi tumbuhan secara visual, sehingga keanekaragaman tumbuhan dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan. Morfologi yang didukung dengan pendekatan molekuler dianggap lebih akurat karena molekuler tidak dipengaruhi lingkungan, langsung berinteragasi dengan gen dan menggambarkan genom tanaman (Douaihy et al. 2012; Jonah et al. 2011).

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) memiliki enam koleksi sirih dari berbagai daerah. Koleksi plasma nutfah sirih tersebut belum dikarakterisasi sehingga belum diketahui tingkat keragamannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman sirih melalui penanda morfologi dan molekuler.

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat Penelitian dilakukan mulai bulan Januari

hingga Juni 2020. Lokasi penelitian adalah rumah kaca dan laboratorium molekuler pemuliaan BALITTRO, Bogor.

Bahan tanaman dan alat Bahan tanaman yang digunakan adalah

enam spesies sirih koleksi BALITTRO (Tabel 1). Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cutter, penggaris, alat tulis, jangka sorong digital, kain, Colour Chart Royal Horticultural Society ((RHS 2007)

Tabel 1. Spesies sirih dan daerah asal Table 1. Species of betle and its origins

No Spesies Asal Daerah

1 Sirih Hijau Jawa Tengah

2 Sirih Merah Yogyakarta

3 Sirih Hitam Cianjur Selatan

4 Sirih Silver Yogyakarta

5 Sirih Macan Kalimantan

6 Sirih Papua Kraton Yogyakarta

Pengamatan Morfologi

Pengamatan dilakukan terhadap 21 karakter morfologi habitus, daun dan batang. Pengukuran karakter kuantitatif daun menggunakan daun ke-3 dan ke-4 tiap tanaman sampel. Panjang daun diukur dari pangkal daun hingga ujung daun, lebar daun diukur dari bagian

tengah sisi kanan ke kiri, panjang tangkai daun diukur dari pangkal daun sampai ujung tangkai, panjang ruas batang diukur dari ruas antara daun ke-3 dan ke-4. Karakter kualitatif (tipe habitus, bentuk daun, tekstur permukaan daun, tipe duduk daun dan tipe akar) diamati berdasarkan pedoman (IPGRI 1995). Sementara karakter warna daun, batang dan tangkai diukur menggunakan Colour Chart Royal Horticultural Society (RHS 2007).

Analisa molekuler Isolasi DNA dilakukan menggunakan

metode CTAB, dengan sampel daun muda. Analisis molekuler dilakukan menggunakan tujuh primer RAPD dan Taq Polymerase merk Bioline. Skooring pola pita dilakukan pada tiap pola pita yang muncul pada tiap spesies dalam setiap primer yang digunakan.

Analisa data Data kuantitatif dirata-rata menggunakan

program excel. Skoring pola pita dan tingkat polymorpisme primer dihitung berdasarkan banyaknya pita polymorpisme dalam tiap primer. Dendogram kekerabatan baik karakter morfologi dan molekuler dianalisis menggunakan program PBSTAT dan NTSYS.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian pada morfologi kualitatif dan kuantitatif pada enam spesies sirih memperlihatkan beberapa karakter pembeda. Secara umum, keenam spesies sirih memiliki tipe habitus memanjat dan menjalar, dengan bentuk batang silindris, tipe duduk daun berseling dan tipe akar panjat. Karakter tersebut mencirikan karakter umum pada suku piperaceae, dimana menurut (Mangion 2011) piperaceae memiliki ciri habitus berupa semak, tumbuhan merambat atau epifit.

Perbedaan morfologi terutama terlihat pada karakter warna daun, warna tangkai daun dan warna akar (Tabel 2). Sarjani et al. (2017) menyatakan yang membedakan morfologi sirih kuning (Piper betle), sirih merah (Piper crocatum) dan sirih hijau (Piper betle) adalah perbedaan warna daun yang mencolok. Perbedaan warna pada tiap spesies juga terlihat pada warna tangkai dan warna akar. Keragaman antar spesies juga dapat dilihat melalui bentuk pangkal daun dan bentuk tepi daun. Bentuk daun berkisar dari

Page 51: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

51

bentuk hati, bulat meruncing, bulat panjang dan lanset (Gambar 1). Keragaman sirih ini juga terdapat di India lebih kurang 125 sampai 150 kultivar sirih (Lakshmi dan Naidu 2010). Moeljanto (2003) menyebutkan berdasarkan bentuk daun,

rasa dan aromanya, sirih dibedakan menjadi beberapa jenis. Pengenalan bentuk morfologi daun, warna dan aroma sangat penting untuk mengetahui keragaman jenis-jenis sirih.

Tabel 2. Hasil pengamatan morfologi kualitatif enam spesies sirih (Piper sp) Table 2.The results of qualitative morphological observations of six betel accessions (Piper sp)

No Bagian Tanaman

Jenis Sirih

Sirih Hijau Sirih Merah Sirih Hitam Sirih Silver Sirih Macan Sirih Papua

1 Habitus Memanjat, Menjalar

Memanjat, Menjalar

Memanjat, Menjalar

Memanjat, Menjalar

Memanjat, Menjalar

Memanjat, Menjalar

2 Bentuk Batang

Silindris Silindris Silindris Silindris Silindris Silindris

3 Warna Batang

GG 143 B YGG 146 A GPG N187A GG 143 A RPG 59 A GG 143 C

4 Bentuk Daun

Hati (Cordate) Bulat Meruncing (Ovate-Lancolate)

Hati (Cordate) Hati (Cordate)

Bulat Panjang (Ovate-eliptic)

Lanset (Eliptic-Lanceolate)

5 Bentuk Pangkal Daun

Hati (Cordate) Bulat (Round) Hati (Cordate) Hati (Cordate) Hati (Cordate)

Miring (Oblique)

6 Bentuk Tepi Daun

Rata (Event/entire)

Rata (Event/entire)

Rata (Event/entire)

Rata (Event/entire)

Bergelombang (Wavy)

Rata (Even/entire)

7 Bentuk Tulang Daun

Menjari (Acrodramous)

Campylodromous Menjari (Acrodramous)

Campylodromous

Menyirip (Eucamptodromous)

Menyirip (Eucamptodromous)

8 Warna Permukaan Daun

GG 137 A GG 135 A dan RPG 64 D

GG 137 A GG 139 A dan GG 136 D

GGG N189 A dan GGG 188 D

GG 143 A

9 Warna Bawah Daun

GG 138 B RPG 59 A YGG 148 A GG N138C RPG 59 A GG 138 B

10 Warna Tangkai

YGG 144 D GRG 1 C VBG N92 YGG 147 B RPG 59 A GOG 166 A

11 Duduk Daun

Berseling Berseling Berseling Berseling Berseling Berseling

12 Permukaan Licin, Halus Licin, Halus Licin, Halus Kasar Kasar Licin, halus

13 Aroma Kuat Kurang Kuat Kurang Kuat Kurang Kuat Kurang Kuat Kuat

14 Tipe Akar Akar Panjat Akar Panjat Akar Panjat Akar Panjat Akar Panjat Akar Panjat

15 Warna Akar WG N155B YGG 145B PG N79A GWG 157A GPG N186 WG N155B

Page 52: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

52

Gambar 1. Perbedaan karakteristik daun enam spesies sirih Figure 1. Differences in the characteristic of the leaves of the six betel species

Secara kuantitatif sirih macan memiliki

kisaran ukuran daun paling kecil diantara aksesi aksesi yang lain (Tabel 3). Lebar daun aksesi sirih macan hanya berkisar antara 3-3,5 cm sementara aksesi lain mencapai 5-9,5cm. Dapat disimpulkan ukuran daun yang cenderung kecil merupakan salah satu karakteristik sirih macan. Penelitian Priya et al. (2013) memperlihatkan karakter luas daun, panjang daun serta jumlah daun/ha memberikan kontribusi terbesar pada keragaman sirih.

Analisis keragaman Hasil analisis keragaman spesies sirih

menggunakan 21 karakter morfologi kualitatif dan kuantitatif menunjukkan spesies sirih terbagi menjadi dua kelompok pada nilai disimilarty 40% (Gambar 2). Kelompok 1 terdiri atas sirih macan, sirih silver, sirih hitam dan sirih merah. Kelompok kedua terdiri dari sirih papua dan sirih hijau. Kedua kelompok tersebut terpisah berdasarkan karakteristik aroma daun, dimana kelompok 1 memiliki aroma daun yang kurang kuat, sementara

spesies pada kelompok 2 memiliki aroma yang kuat.

Nilai koefisien pada dasarnya menerangkan tentang besarnya variasi keanekaragaman fenotipe (Purnomo dan Asmarayani 2004). Nilai koefisien 40% menyatakan bahwa keragaman tertinggi pada enam spesies sirih berada pada nilai 40%. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa kekerabatan antara spesies sirih tersebut cukup dekat. (Arrijani 2003) menyatakan bahwa kekerabatan dalam sistematik tumbuhan dapat diartikan sebagai pola hubungan atau total kesamaan antara kelompok tumbuhan berdasarkan sifat atau ciri tertentu, sehingga dapat ditentukan jauh dekatnya kekerabatan antar tumbuhan tersebut.

Spesies yang terletak dalam satu kelompok memiliki kesamaan sifat lebih banyak dibandingkan dengan spesies pada kelompok berbeda. Meskipun demikian perbedaan tertentu pada spesies dalam satu kelompok dapat membentuk sub kelompok. Spesies pada kelompok satu

Page 53: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

53

terbagi menjadi dua sub kelompok pada nilai perbedaan 35% (persamaan 75%). Sub kelompok pertama terdiri dari sirih macan sedangkan sub kelompok dua terdiri atas sirih silver, sirih hitam dan sirih merah. Kedua sub kelompok terbagi karena karakter tepi daun dan ukuran daun. Sirih macan memiliki tepi daun bergelombang, bentuk daun bulat panjang dan ukuran daun kecil dengan kisaran lebar daun 3-3,5 cm, sedangkan ketiga

sirih dalam kelompok yang lain (sirih silver, hitam dan merah) memiliki tepi daun yang rata dan ukuran daun lebih besar. Sirih merah dalam sub kelompok dua terpisah sendiri karena karakter bentuk pangkal daun bulat. Sirih papua dan sirih hijau pada kelompok dua terpisah pada jarak perbedaan 32%berdasarkan karakter bentuk daun dan bentuk pangkal daun.

Tabel 3. Hasil pengamatan morfologi kuantitatif enam spesies sirih (Piper sp) Table 3.The results of quantitative morphological observations of six betel accessions (Piper sp)

Bagian Tanaman

Jenis Sirih

Sirih Hijau Sirih Merah Sirih Hitam Sirih Silver Sirih Macan Sirih Papua

Panjang Ruas (cm) 5,5-11 5-6,5 3-4,5 4-7 5-6 4-10

Diameter Batang (mm) 2,2-2,4 1,8-2,2 1,7-1,9 1,8-2,0 1,4-1,9 1,9-2,4

Panjang Daun (cm) 7,5-11 8-12 5-6 4-7,5 4,5-5,5 6,5-15

Lebar Daun (cm) 6-9,5 4-8 4,5-5 3-5 3-3,5 3,5-7,5

Tebal Daun (mm) 0,17-0,30 0,18- 0,20 0,25- 0,29 0,21- 0,26 0,20-0,24 0,19- 0,28

Panjang Tangkai (cm) 4,5-12 4,5-7 2-5 3-6 2-3,5 2-6

Gambar 2. Dendogram keragaman enam spesies sirih berdasarkan 21 karakter morfologi. S.Mc = Sirih Macan, S.S = Sirih silver, S.Ht = Sirih

Hitam, S.M = Sirih Merah, S.P = Sirih Papua, S.Hj = Sirih Hijau. Figure 2. Dendogram of the diversity of six betel species based on 21 morphological characters

Page 54: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

54

Analisis keragaman molekuler menggunakan 7 primer RAPD menunjukkan 44 jumlah lokus yang terdiri dari 43 pita polimorfik dan 1 pita monomorfik, sehingga dihasilkan tingkat polimorfik 66-100%, dan 33,3% pita monomorfik (Tabel 4). Gupta et al. (1999) menyatakan bahwa penanda DNA dapat digunakan untuk mengetahui adanya introgresi gen, pemetaan gen, penandaan gen, dan konservasi plasma nutfah. Penelitian (Pandin 2009) memperlihatkan hasil analisis kekerabatan menggunakan marka RAPD antara Kelapa Dalam Mapanget (DMT) dan Dalam Tenga (DTA) cukup jauh (52%. Perbaikan sifat melalui persilangan kedua populasi tersebut akan sangat memberikan harapan untuk memperoleh hasil

persilangan yang membawa karakter yang diharapkan, yaitu melalui efek heterosis yang tinggi.

Hasil dendogram molekuler memperlihatkan pada tingkat kesamaan 33% spesies sirih terbagi menjadi dua kelompok (Gambar 3). Kelompok 1 terdiri dari sirih hitam, sirih silver dan sirih macan. Kelompok dua terdiri dari sirih papua, sirih merah dan sirih hijau. Kedua kelompok dibedakan oleh primer OPN 20. Kelompok satu terbagi menjadi sub kelompok 1 dan sub kelompok 2. Sub kelompok 1 terdiri dari sirih hitam, sedangkan sub kelompok 2 terdiri dari sirih silver dan macan pada kesamaan 40%, yang dibedakan oleh primer OPM 15.

Tabel 4. Jumlah lokus, jumlah pita polimorfik dan jumlah pita monomorfik 7 primer RAPD pada 6 spesies sirih Table 4. Number of loci, number of polymorphic bands and number of monomorphic bands of 7 RAPD primers in 6 betle accessions

Primer Jumlah Lokus/ Number of loci

Pita polimorfik/ number of polymorphic bands

Pita monomorfik/ number of monomorphic bands

Jumlah/number % Jumlah/ number %

OPM 15 3 2 66.7 1 33.3

OPD 2 3 3 100 0 0

OPC 9 7 7 100 0 0

OPC 5 8 8 100 0 0

OPN 20 9 9 100 0 0

OPN 13 8 8 100 0 0

OPB 18 6 6 100 0 0

Total lokus/ Total of loci

44

Total pita polimorfisme/ Total of polimorphic bands

43 1

Total persentase/ Total of persentation

95.24 4.76

Gambar 3. Dendrogram keragaman enam spesies sirih dengan 7 primer RAPD Figure 3. Dendrogram for the diversity of six betel species with 7 RAPD primers

Page 55: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

55

Kelompok dua terdiri dari dua sub kelompok yaitu sub kelompok 1b (sirih papua dan sirih merah), dan kelompok 2b (sirih hijau) pada tingkat kesamaan 41.5%. Kedua subkelompok ini dibedakan oleh primer OPC 5. Kesamaan kelompok diatas dapat menandakan bahwa masing masing individu yang berada dalam satu kelompok memiliki tingkat kesamaan genetik yang sama dibandingkan dengan individu pada kelompok lainnya. Tingkat kesamaan berdasarkan penggunaan primer RAPD akan sangat tergantung pada genotipe tanaman yang digunakan. Pada penelitian kelapa West African Tall (WAT) tingkat keragaman berdasarkan RAPD yang diperoleh adalah 14% (Lengkong dan Runtunuwu 2005). Sementara penelitian Karsinah et al. (2002) menggunakan 30 koleksi plasma nutfah jeruk menghasilkan empat kelompok dengan kesamaan genetik 75% berdasarkan 10 primer RAPD. Semakin tinggi tingkat persamaan antar spesies maka diasumsikan kekerabatan antar spesies tersebut semakin dekat. Keragaman berdasarkan karakter morfologi bernilai 40% dan berdasarkan molekuler bernilai 33%. Hal ini menandakan bahwa secara umum keenam spesies tersebut memiliki kekerabatan cukup dekat, meskipun terdapat perbedaan khusus pada karakter tertentu.

Kesimpulan

Karakter pembeda utama spesies sirih adalah bentuk daun, bentuk pangkal daun, bentuk tepi daun dan

ukuran daun. Keenam spesies sirih terbagi menjadi dua kelompok pada nilai keragaman 40% berdasarkan 21 karakter morfologi. Kelompok satu terdiri atas sirih hitam, sirih macan, sirih merah dan sirih silver, sedangkan kelompok dua terdiri atas sirih papua dan sirih hijau. Analisa kekerabatan berdasarkan marka RAPD memperlihatkan hasil yang sama dengan penanda morfologi.

Daftar Pustaka

Arrijani (2003) Kekerabatan Fenetik Marga Knema, Horsfiedia dan Myristica di Jawa berdasarkan Bukti Morfologi Serbuk Sari. Jurnal Biodiversitas. 4 (2), 83–88.

Bermawie, N. (2005) Karakterisasi Plasma Nutfah Tanaman, Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Bhalerao, S.A., Verma, D.R., Gavankar, R. V., Teli, N.C., Rane, Y.Y., Didwana, V.S. & Trikannad, A. (2013) Phytochemistry, Pharmacological Profile and Therapeutic Uses of Piper betle Linn. An Overview. Research and Reviews. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 1 (2), 10–19.

Douaihy, B., Sobierajska, K., Jasińska, A.K., Boratynska, K., Ok, T., Romo, A., Machon, N., Didukh, Y., Bou Dagher-Kharrat, M. & Boratyński, A. (2012) Morphological Versus Molecular Markers to Describe Variability in Juniperus excelsa subsp. excelsa (Cupressaceae). AoB Plants. 1–14. doi:10.1093/aobpla/pls013.

Gembong, T. (2004) Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Gupta, P.K., Balyan, H.S., Sharma, P.C. & Ramesh, B. (1999) Microsatellite in Plants: A New Class of Molecular Markers. Current Science. 70 (1), 45–54.

IPGRI, (International Plant Genetic Resources Institut) (1995) Descriptors for black pepper (Piper nigrum L.).In: International Plant Genetic Resources Institut, Rome.

Jonah, P.M., Bello, L.L., Lucky, O., Midau, A. & Moruppa, A. (2011) The Importance of Moleculer Markers in Plant Breeding Programs. Global Journal of Science frontier Research. 11 (5), 5–12.

Karsinah, S., Setyobudi, L. & Aswidinnoor, H. (2002) Keragaman Genetik Plasma Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (1), 8–16.

Lakshmi, B.S. & Naidu, K.C. (2010) Comparative Morphoanatomy of Piper betle L. Cultivars in India. Annals of Biological Research. 1 (2), 128–134.

Lengkong, E.F. & Runtunuwu, S.D. (2005) Penggunaan Penanda Molekuler Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk Analisis Keragaman Genetik Kelapa West African Tall (WAT). Eugenia. 11 (3), 210–217. doi:10.35791/eug.11.3.2005.7391.

Manalu, N.Y. & Sinaga, M.S. (2013) Ekstrak Daun Sirih Hijau dan Merah sebagai Antioksidan pada Minyak kelapa. Jurnal Teknik Kimia USU. 2 (1), 37–43.

Mangion, C.P. (2011) Flora of the Darwin Region

Page 56: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

56

(Northern Territory Herbarium, Department of Natural Resources, Environment, the arts and sport). 1 (1), 1–3.

Moeljanto, R.D. (2003) Khasiat dan Manfaat Daun Sirih : Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Pandin, D.S. (2009) Keragaman genetik kultivar kelapa dalam mapanget (DMT) dan dalam tenga (DTA) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Buletin Palma.

Priya, B.T., Devi, P.R. & Sunita, P. (2013) Genetic Divergence in Betelvine (Piper betle L.). Journal of Spices and Aromatic Crops. 22 (1), 1–5.

Purnomo & Asmarayani, R. (2004) Hubungan Kekerabatan Antar Spesies piper

berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta. Biodiversitas. 6 (1), 12–16.

RHS, (Royal Horticultural Society) (2007) RHS Colour Chart: Fifth edition. The Royal Horticultural Society, London.

Sarjani, T.M., Mawardi, M., Pandia, E.S. & Wulandari, D. (2017) Identifikasi Morfologi Dan Anatomi Tipe Stomata Famili Piperaceae Di Kota Langsa. Jurnal IPA & Pembelajaran IPA. 1 (2), 182–191. doi:10.24815/jipi.v1i2.9693.

The, Plant List (2013) Version, 1.1. http://www.theplantlist.org/.2013

Widiastuti, R. (2001) Uji Aktivitas Mukolitik Infusa Daun Sirih (Piper betle L.) pada Mukus Sapi secara In Vitro. Universitas Muhammadiah Surakarta (UMS).

Page 57: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

57

Introgresi gen toleran aluminium MaMt2 dari galur kedelai transgenik ke dalam varietas unggul

kedelai Biosoy

Introgresion of aluminum tolerant gene MaMt2 from transgenic soybean line into elite soybean variety, Biosoy

Saptowo Jumali Pardal1*, Riza Baihaki2, Imdadul Aziz2, Suharsono3, Ratna Utari1, Riri Sundasari1

1)BB Biogen, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

2)Fakultas Pertanian, UNSOED Purwokerto. 3)Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM Departemen Biologi, FMIPA-IPB, Kampus Dramaga- Bogor.

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat tiap tahun, namun produksi nasional belum mencukupi, sehingga perlu upaya peningkatan produksi dan perluasan areal tanam di luar Jawa. Namun lahan di luar Jawa umumnya bersifat masam sehingga kurang sesuai untuk penanaman kedelai. Beberapa varietas kedelai toleran lahan masam telah dihasilkan, namun produksi masih rendah. Dua galur kedelai transgenik GM2 dan GM5 telah dihasilkan melalui rekayasa genetik dan menunjukkan toleransi terhadap tanah masam pH 3,7-4,8 di fasilitas uji terbatas. Namun galur ini berasal dari varietas Lumut dengan produktivitas rendah dan biji kecil, sehingga perlu disilangkan dengan varietas unggul kedelai produktifitas tinggi. Pada penelitian ini telah dilakukan persilangan galur kedelai transgenik GM2 dan GM5 dengan varietas Biosoy 1 dan Biosoy 2 dengan produktivitas 3,2 - 3,5 ton/ha. Tujuan penelitian adalah untuk memindahkan gen toleran Al, MaMt2 dari galur GM2 dan GM5 ke Biosoy 1 dan Biosoy 2 agar diperoleh kedelai produktivitas tinggi dan dapat ditanam di lahan masam. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan pembentukan polong sebesar 14,4% pada Biosoy 1 x GM2 dan 13,7% pada Biosoy 1 x GM5. Persilangan Biosoy 2 x GM2 sebesar 11,1% dan Biosoy 2 x GM5 sebesar 15%. Hasil analisis PCR gen MaMt2 terhadap 24 sampel DNA tanaman F1 hasil persilangan Biosoy 1 x galur GM2 dan GM5 diperoleh 16 sampel positif membawa gen MaMt2 (66,7%) dan 8 sampel F1 negatif (33,3%). Hasil PCR terhadap 17 sampel tanaman F1 hasil persilangan, Biosoy 2 x GM2 dan GM5 diperoleh 15 sampel positif gen MaMt2 (88,2%) dan 2 sampel negatif (11,8). Tanaman F1-MaMt2 telah disilangbalik (backcross) dengan Biosoy dan diperoleh biji BCIF1.

[Kata Kunci: Lahan, masam, persilangan, produktivitas, tinggi]

Pendahuluan

Kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Menurut data dari Kementerian Pertanian (2016) diproyeksikan kebutuhan kedelai pada tahun 2020 mencapai 2.874.144,15 ton. Akan tetapi, kebutuhan kedelai yang tinggi di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah produksi kedelai. Berdasarkan prognosa Produksi dan Kebutuhan Pangan Pokok/ Strategis Tahun 2019 dari Kementerian Pertanian, perkiraan produksi kedelai tahun 2019 ini sebesar 2.8 juta ton. Data sementara Kementerian Pertanian, bulan Januari hingga Februari 2019 ini

perkiraan produksi kedelai sebesar 514 ribu ton, sedangkan untuk bulan Maret 2019 perkiraan produksi kedelai hanya sebesar 225 ribu ton. Salah satu upaya yang untuk peningkatan produksi adalah dengan perluasan areal tanam kedelai dengan memanfaatkan lahan marjinal. Indonesia memiliki lahan marjinal yang luas berupa tanah masam dan tanah kering yang banyak terdapat di luar Jawa, namun umumnya kandungan aluminium (Al) yang tinggi sehingga menyebabkan keracunan bagi tanaman. Kandungan Al yang tinggi ini juga menyebabkan unsur hara makro dalam tanah terikat oleh Al sehingga tidak dapat diserap tanaman.

Page 58: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

58

Penggunaan kedelai toleran Al atau adaptif lahan masam merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan tanah marjinal di luar Jawa. Perakitan varietas toleran Al dapat dihasilkan melalui Pemuliaan konvensional (persilangan biasa) atau pemuliaan modern (transformasi genetik). Menurut Darjanto & Satifah (1990) perkawinan silang antar dua jenis tanaman unggul dan memiliki sifat yang berbeda dari induknya, terkadang keturunannya memiliki sifat baru yang lebih baik dari kedua induknya atau lebih menguntungkan daripada sifat yang dimiliki induknya. Semua keturunan dapat menunjukkan variasi, contohnya yaitu dalam hal percabangan, pembungaan sampai ketahanan. Beberapa varietas toleran lahan masam telah dihasilkan, diantaranya varietas Slamet (Handara, 2014), Demas, Anjasmoro dan Tanggamus (Balitkabi, 2015), namun verietas tersebut produksinya masih rendah. Empat galur kedelai transgenik (GM2, GM5, GM10, GM14) telah dihasilkan melalui rekayasa genetik dengan insersi gen MaMt2 ke dalam kedelai varietas Lumut melalui bantuan Agrobacterium tumefaciens (Anggraito, 2012). Gen MaMt2 merupakan gen yang bertanggung jawab dalam pembentukan protein Metallothionein tipe 2 yang memiliki kemampuan mengikat logam berat dan bertanggung jawab dalam proses akumulasi logam berat, diantaranya Aluminium (Suharsono et al, 2009). Dua galur diantaranya telah menunjukkan toleransi terhadap laham masam dengan pH 3,7-4,8 pada uji di Fasilitas Uji Terbatas BB Biogen (Pardal dan Suharsono, 2016). Namun, galur kedelai ini berasal dari varietas Lumut dengan ukuran biji kecil, produktivitas rendah dan tidak toleran terhadap lahan masam, sehingga perlu disilangkan dengan varietas kedelai unggul produksi tinggi. Biosoy 1 dan Biosoy 2 merupakan dua varietas unggul baru kedelai yang dilepas oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tahun 2018. Kedua varietas ini memiliki keunggulan ukuran biji lebih besar dari varietas Grobogan dan produktivitas tinggi, yaitu 3,3-3,5 ton/ha (Dispertan, 2020). Namun kedua VUB ini kurang adaptif untuk lahan masam dengan kandungan Al tinggi (Balitbangtan, 2018). VUB ini dapat disilangkan dengan galur kedelai transgenik MaMt2 sehingga akan diperoleh kedelai Biosoy dengan produktivitas tinggi dan

adaptif untuk lahan masam dengan kandungan Al tinggi.

Pada penelitian ini telah dilakukan persilangan galur kedelai transgenik MaMt2 dengan varietas Biosoy dengan tujuan untuk memasukkan (introgresi) gen MaMt2 dari galur kedelai transgenik ke varietas unggul kedelai, Biosoy melalui persilangan biasa, sehingga akan diperoleh kedelai unggul produktivitas tinggi dan toleran atau adaptif lahan masam. Untuk mengetahui keberhasilan pemindahan gen MaMt2 ke dalam varietas Biosoy telah dilakukan analisis molekuler terhadap tanaman F1 (hasil persilangan) dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik gen MaMt2.

Bahan dan Metode

Bahan penelitian Penelitian menggunakan dua galur kedelai

transgenik MaMt2, GM2 dan GM5 sebagai tetua jantan (donor gen toleran Al) dan VUB Biosoy 1 dan Biosoy 2 sebagai tetua betina (resipien gen toleran Al). Penelitian dilaksanakan di dalam Screenhouse Fasilitas Uji Terbatas (FUT) BB Biogen pada bulan Maret-September 2020.

Metode penelitian Tahapan penelitian meliputi penanaman

kedelai tetua, persilangan kedelai, penanaman kedelai hasil persilangan, analisis PCR, persilangan balik (backcross) 1 dan pemanenan benih BC1F1. Benih kedelai tetua jantan (galur GM2 dan GM5) dan tetua betina (Biosoy 1, Biosoy 2) ditanam di pot ember ukuran 5 kg dengan media campuran tanah dan kompos 1:1 lalu dipelihara di screenhouse FUT. Penanaman dilakukan secara bertahap dengan selang 12 hari dimana tetua jantan ditanam lebih dahulu agar dapat diperoleh saat berbunga yang bersamaan. Tanaman dipupuk dengan NPK sesuai dosis anjuran untuk kedelai dan dilakukan pengendalian hama dan penyakit jika diperlukan. Persilangan dilakukan pada 5 MST (Minggu Setelah Tanam). Persilangan kedelai dilakukan dengan cara menyerbuki putik bunga Biosoy (tetua betina) dengan serbuk sari dari bunga galur transgenik (tetua jantan). dan diberi tanda dengan cara mengikatkan benang warna pada tangkai bunga. Bunga hasil persilangan dipelihara dan diamati perkembangan dan keberhasilannya. Keberhasilan persilangan

Page 59: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

59

ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan polong dan biji kedelai. Polong dipelihara dan diamati hingga siap dipanen.

Benih hasil persilangan yang telah diproses (dikeringkan) selanjutnya di tanam pada pot ember yang diisi dengan 1/3 bagian pupuk kompos dan sisanya diisi dengan tanah untuk seleksi tanaman F1. Penanaman dilakukan sesuai dengan denah yang sudah ditentukan. Pada lubang tanam untuk benih kedelai ditaburkan fungisida dan nematisida untuk menghindari serangan jamur dan nematode. Perawatan kedelai dilakukan dengan penyiraman, penyiangan dan pemupukan. Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari, sedangkan penyiangan dilakukan setiap seminggu sekali dengan cara mekanis, dan pemupukan dilakukan seminggu sekali dengan cara ditabur. Sebagai calon tetua betina pada persilangan balik (Backcross), ditanam pula benih kedelai Biosoy 1 dan Biosoy 2 dengan jumlah yang memadai.

Untuk mengetahui keberhasilan persilangan secara dini dapat dilakukan analisis molekuler terhadap tanaman F1 dengan Teknik PCR (Degen et al., 2006). Tanaman yang positif membawa gen MaMt2 hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) menunjukkan bahwa tanaman tersebut merupakan hasil persilangan bukan hasil penyerbukan sendiri (selfing). Analisis molekuler diawali dengan ekstraksi DNA genom tanaman F1 menggunakan Extract-N-Amp plant PCR kits. Ekstraksi dilakukan dengan mengambil potongan daun menggunakan tutup tube ukuran 1.5 ml sehingga didapat piringan daun. Extraction solution ditambahkan sebanyak 100 µl kemudian di vortex. Larutan tersebut diinkubasi selama 10 menit pada suhu 95oC. Delution solution ditambahkan sebanyak 100 µl kedalam tube dan vortex sampai tercampur. Uji kualitatif dan kuantitatif DNA dilakukan dengan menggunakan alat spektofotometer NanoDrop 2000. DNA diukur konsentrasinya pada absorbansi A260 dan A280. Sampel DNA yang telah memenuhi syarat selanjutnya di PCR dengan mytaq-HS-redmix PCR kits. DNA hasil ekstraksi sebanyak 5 µl dimasukan ke dalam tube PCR lalu ditambah 5 µl PCR mix, 2 µl ddH20, 0,5 µl primer forward dan reverse (SMt2F-SMt2R) dan divortex sampai merata. Program PCR yaitu pre-heating 94 oC selama 5 menit 94 oC selama 60 detik,

dilanjutkan dengan annealing dengan suhu 58 oC selama 60 detik, dan diakhiri dengan extension pada suhu 72oC selama 1 menit 40 detik. Tahapan ini berjalan sebanyak 25 siklus. Tahapan terakhir yaitu post-extension pada suhu 72oC selama 5 menit. Tahapan pendinginan dilakukan dengan suhu 10 oC selama 30 menit (Azmi, 2016).

Hasil PCR atau amplikon divisualisasikan pada gel elektroforesis. Gel yang digunakan adalah agarosa 1,5 %. Gel agarose dibuat dengan mencampur 0.15 gr bubuk agarosa pada 100 ml Tris Bromida EDTA (TBE). Campuran tersebut kemudian dipanaskan. Sampel DNA 5 µl dimasukkan ke sumuran yang tersedia, lalu dielektroforesis pada 70 volt dengan arus sebesar 300 mA selama 60 menit. Gel hasil elektroforesis direndam pada etidium bromida lalu divisualisasikan dengan UV transluminator (λ = 320 nm).

Tahap selanjutnya, tanaman F1 yang positif membawa gen MaMt2 dipelihara terus di screenhouse bersamaan dengan varietas Biosoy 1 dan Biosoy 2. Setelah tanaman mulai berbunga, dilakukan persilangan balik (backcross) antara tanaman F1 sebagai tetua jantan (donor gen MaMt2) dengan Biosoy sebagai tetua betina (resipien gen MaMt2). Bunga Biosoy yang telah disilangkan diberi tanda benang berwarna dan label. Kemudian polong hasil persilangan yang diperoleh dipelihara hingga matang/tua lalu dipanen dan didata sebagai benih BC1F1.

Variabel pengamatan adalah jumlah bunga yang disilangkan, jumlah bunga yang gugur (gagal), jumlah bunga yang berhasil (tidak gugur), jumlah polong hasil persilangan yang terbentuk, jumlah biji F1 yang dihasilkan. Sedangkan pengamatan hasil analisis molekuler adalah pita hasil amplifikasi.

Hasil dan Pembahasan

Persilangan kedelai Benih kedelai tetua secara umum dapat

tumbuh dengan baik dan berbunga hampir bersamaan. Persilangan kedelai mulai dilakukan pada 4-5 minggu setelah tanam (MST). Kuncup bunga kedelai Biosoy 1 dan Biosoy 2 sebagai tetua betina dikastrasi lalu disilangkan dengan serbuk sari dari bunga galur kedelai GM2 dan GM5 sebagai tetua jantan.

Page 60: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

60

Persilangan telah dilakukan dengan baik dan dihasilkan beberapa polong dari bunga Biosoy yang telah disilangkan. Namun jumlah polong dan biji yang dihasilkan sangat sedikit (Gambar 1). Pada penelitian ini kedelai Biosoy berbunga lebih cepat dari perhitungan, sehingga jumlah bunga yang disilangkan hanya sedikit. Penyebab lain, tingkat keberhasilan persilangan yang kecil salah satunya disebabkan oleh waktu persilangan yang tidak tepat (Fatimah et al., 2019). Menurut Sitepu et al. (2015) tingkat keberhasilan penyerbukan buatan yang diikuti oleh pembuahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah keterampilan dari penyilang, tidak setiap varietas cocok dengan varietas lain, waktu reseptif, dan waktu antesis serta faktor lingkungan.

Hasil persilangan Biosoy1 x galur GM2 hanya menghasilkan polong sebesar 11,6% dan Biosoy 1 x galur GM5 hanya 13,8%. Secara total persentase pembentukan polong pada persilangan Biosoy 1 x GM 2 dan GM5 hanya 12,6%. Persentase pembentukan polong pada persilangan Biosoy 2 X GM2 sebesar 11,1% dan Bisoy 2 X GM5 sebesar 15%. Secara total persentase polong hasil persilangan Biosoy 2 x GM2 dan GM5 hanya 12,6%. Namun hal ini sesuai pernyataan Talukdar & Shivakumar (2012) bahwa persentase keberhasilan persilangan kedelai rata-rata sangat rendah, yaitu 11-15%. Hasil persilangan kedelai varietas Biosoy 1 dan 2 dengan galur GM2 dan GM5 ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Gambar. 1. Persilangan kedelai Biosoy X GM: A. Tananaman Kedelai Biosoy mulai berbunga, B. Bunga galur GM (anthesis), C. Kastrasi kuncup bunga Biosoy dan D. Polong muda hasil persilangan (diikat benang)

Figure 1. Biosoy X GM Crossing: A. Biosoy early flowering, B. GM lines flower (anthesis), C. Castration of Biosoy flower bud, D. Young pods from crossing (tied with thread)

Tabel. 1. Data hasil persilangan kedelai Biosoy 1 x GM2 dan GM5 Table 1. Data from Biosoy 1 X GM2 and GM5 Crossings

Persilangan Jml. bunga disilangkan Jml.bunga berhasil Jml.bunga gugur Jumlah polong Jumlah biji

Biosoy 1 X GM2 69 10

(14,5 %) 51

(73,9 %) 8

(11,6 %) 19

Biosoy 1 X GM5 58 8

(13,8 %) 50

(86,2 %) 8

(13,8 %) 11

TOTAL 127 18 (14,2%) 101

(79,5 %) 16

(12,6%) 30

Page 61: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

61

Tabel. 2. Data hasil persilangan kedelai Biosoy 2 x GM2 dan GM5 Table 2. Data from Biosoy 2 X GM2 and GM5 Crossings

Persilangan Jml. bunga disilangkan Jml.bunga berhasil Jml.bunga gugur Jumlah polong Jumlah biji

Biosoy 2 X GM2 63 7

(11,1%) 56

(88,8%) 7

(11,1%) 13

Biosoy 2 X GM5 40 6

(15,0 %)

34

(85,0 %)

6

(15,0%)

13

TOTAL 103 13 (12,6%) 90

(87,4 %) 13

(12.6%) 26

Analisis PCR tanaman F1

Benih kedelai F1 hasil persilangan selanjutnya ditanam di screenhouse FUT BB Biogen (Gambar 2). Tanaman kedelai F1 ini masih bersifat putatif, untuk itu perlu dilakukan seleksi untuk menentukan tanaman mana yang benar-benar F1 hasil persilangan (introgresi) atau hanya hasil selfing (penyerbukan sendiri). Untuk seleksi tanaman F1 digunakan teknik deteksi secara molekuler dengan PCR untuk mengetahui ada tidaknya gen MaMt2 pada tanaman F1. Tanaman F1 yang membawa gen MaMt2, merupakan tanaman F1 hasil persilangan. Deteksi gen MaMt2 dilakukan dengan mengambil sampel daun muda dari setiap tanaman F1 umur 2-3 minggu setelah tanam. Dari 30 biji hasil persilangan Biosoy 1 x galur GM2 dan GM5 yang ditanam hanya 24 biji yang dapat tumbuh. Kemudian dari 26 biji hasil persilangan Biosoy 2 x GM2 dan GM5 hanya 17 tanaman yang selamat (Gambar 2). Hal ini terjadi karena adanya serangan jamur tular tanah jenis Sclerotium rolfsii ditandai dengan munculnya miselium berwarna putih pada biji kedelai (Semangun, 1993).

Hasil analisis PCR terhadap 24 sampel DNA tanaman F1 (Biosoy 1 x GM2 dan Biosoy 1 x GM5) menunjukkan 16 sampel positif gen MaMt2 (menghasilkan pita DNA ukuran 280 bp) dan 8 sampel negatif (tidak menghasilkan pita DNA). Sedangkan hasil analisis PCR terhadap 17 sampel DNA tanaman F1 (Biosoy 2 x GM2 dan Biosoy 2 x GM5) diperoleh 15 sampel positif gen MaMt2 dan 2 sampel negatif. Tanaman yang negatif merupakan tanaman bukan hasil persilangan, tetapi hasil penyerbukan sendiri (selfing). Hal ini

dimungkinkan karena kedelai termasuk tanaman yang kleistogami (menyerbuk sendiri). Kuncup bunga yang disilangkan kemungkinan besar telah menyerbuk sendiri sebelum disilangkan dan berkembang menjadi polong (Arifianto et al., 2015). Saat masih kuncup, posisi kepala sari (antheridium) berada di bawah kepala putik (stigma). Pada saat kepala sari akan pecah, tangkai sari akan memanjang sehingga kepala sari dan menyentuh kepala putik, kemudian terjadi penyerbukan (Sumarno, 1999). Menurut Syukur et al., (2012) pada persilangan tanaman hermaprodit atau tanaman lainya, biji yang dihasilkan belum tentu merupakan hasil persilangan buatan karena bisa terjadi self-pollinated. Hasil analisis PCR terhadap sampel DNA tanaman hasil persilangan ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 2. Tanaman kedelai hasil persilangan (F1 putatif) di

screenhouse siap untuk analisis PCR gen MaMt2 Figure 2. Soybean plants from crossing (putative F1) in

screenhouse, ready for PCR analysis of MaMt2 gene

Page 62: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

62

Gambar 3. Visualisasi hasil PCR sampel kedelai F1 (Biosoy 1 x GM2 dan GM5) dengan primer SMt2F-SMt2R. L= Ladder, (+) kontrol positif, (-)=

kontrol negatif, P1-P4= Tetua persilangan, 12-42 = tanaman F1 (hasil persilangan). Figure 3. Visualization of PCR results of FI soybean samples (Biosoy 1 x GM2 and GM5) with SMt2F-SMt2R primers.

Gambar 4. Visualisasi hasil PCR sampel kedelai F1 (Biosoy 2 x GM2 dan GM5) dengan primer SMt2F-SMt2R. L= Ladder, (+) kontrol positif, (-)=

kontrol negatif, P1-P4= Tetua persilangan, 12-42 = tanaman F1 (hasil persilangan). Figure 4. Visualization of PCR results of FI soybean samples (Biosoy 2 x GM2 and GM5) with SMt2F-SMt2R primers.

Persilangan balik (Backcrossing)

Tanaman kedelai F1 yang positif membawa gen MaMt2 selanjutnya dipelihara terus di screenhouse hingga dewasa bersamaan dengan varietas Biosoy 1 dan Biosoy 2 sebagai calon resipien (tetua betina) pada persilangan balik. Setelah tanaman mulai berbunga, dilakukan persilangan balik antara tanaman F1-MaMt2 (tetua jantan) dengan Biosoy (tetua betina). Hasil persilangan ditandai dengan benang berwarna dan polong hasil persilangan dipelihara hingga matang, lalu dipanen. Dari hasil silang balik ini hanya diperoleh 24 biji BC1F1 dari Biosoy 1 X [F1-(Biosoy 1 x GM2)] dan 21 biji BC1F1 dari Biosoy 1 X [F1-(Biosoy 1 x GM5)]. Sedangkan dari persilangan balik antara Biosoy 2 X [F1-(Biosoy 2 x GM2)] dan Biosoy 2 X [F1-(Biosoy 2 x GM5)] tidak diperoleh biji BC1F1 karena polong hasil persilangan tidak berkembang dengan sempurna (Tabel 3). Biji BC1F1 selanjutnya dipanen dan dikeringkan untuk bahan persilangan balik berikutnya.

Tabel 3. Data hasil persilangan balik Biosoy X F1-MaMt2 di screenhouse-FUT

Table 3. Data of Biosoy X F1-MaMt2 back crossing in screenhouse-FUT

Persilangan Balik

Jumlah Biji

BC1F1

Keterangan

Biosoy 1 X [F1-(Biosoy 1 x GM2)] 24 Biji telah dipanen

Biosoy 1 X [F1-(Biosoy 1 x GM5)] 21 Biji telah dipanen

Biosoy 2 X [F1-(Biosoy 2 x GM2)] 0 Polong tidak berkembang baik

Biosoy 2 X [F1-(Biosoy 2 x GM5)] 0 Polong tidak berkembang

Kesimpulan

Persilangan antara kedelai Biosoy dengan galur kedelai transgenik MaMt2 telah berhasil dilakukan dengan persentase keberhasilan pembentukan polong sebesar 12,6 %. Keberhasilan introgresi gen MaMt2 dari galur kedelai transgenik ke dalam varietas Biosoy sebesar 66,7% pada Biosoy 1 dan 88,2% pada Biosoy 2 berdasarkan analisis PCR. Persilangan balik (backcross) antara tanaman F1-MaMt2 dengan Biosoy telah dilakukan, namun hanya diperoleh benih BC1F1 dari Biosoy 1.

Page 63: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

63

Daftar Pustaka

Anggraito, Y.U. 2012. Transformasi Genetik Nicotiana benthamiana L., dan Kedele dengan Gen MaMt2 penyandi metallothionein tipe II dari Melastoma malabathricum L. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arifianto, H., Hanafiah, D.S., & Kardhinata, E.H. 2015. Uji F1 dari persilangan genotip antara beberapa varietas kedelai (Glycine max L. Merril) terhadap tetua masing-masing. Jurnal Online Agroteknologi, 3(3): 257-263.

Azmi, S.A. 2016. Analisis Pewarisan Gen MaMt2 Penyandi Metallothionein Tipe 2 dan Gen Hpt Penyandi Higromisin Fosfotransferase Pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Kultivar Kasalath Transgenik. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Balitbangtan. 2018. Balitbangtan Lepas Kedelai Hasil Tinggi Berbiji Besar Biosoy 1 dan Biosoy 2.http://biogen.litbang.pertanian.go.id/2018/07/balitbangtan-lepas-kedelai-hasil-tinggi-berbiji-besar-Biosoy-1-dan-Biosoy-2/ diakses 9 Februari 2019.

Balitkabi. 2015. Demas 1: Varietas Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam. http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/infotek/demas-1-varietas-kedelai-adaptif-lahan-kering-masam/ diakses pada 25 februari 2019.

Darjanto & Satifah, S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. Gramedia, Jakarta.

Degen, H., Deufel, A., Eisel, D., Janho, S.G., & Keesey, J. 2006. PCR Application Manual. Third Edition. Roche Diagnotics GmbH, Mannheim. Germany.

Dispertan. Grobogan. Kedelai Varietas Baru Biosoy 2 Beradaptasi Baik Di Grobogan.http://dispertan.grobogan.go.id/berita/kedelai_varietas_baru_biosoy_2_bera

daptasi_baik_di_grobogan diakses 31 Agustus 2020.

Fatimah, L.N., S.J. Pardal, & D. Saptiadi. 2019. Persilangan kedelai (Glycine max L. Merrill.) varietas Anjasmoro dan Grobogan dengan galur GM2 dan GM5 toleran alumunium (Al). Jurnal Produksi Tanaman, 7(4): 660-665.

Handara, N., Suharsono., & Mustikarini, E. D. 2014. Uji adaptasi galur harapan kedelai di lahan podsolik merah kuning di Kabupaten Bangka. Enviagro, 7(2): 1-48

Kementerian Perdagangan, 2019. Bapok Bulan Maret 2019. http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2019/04/BAPOK_BULAN_MARET_2019.pdf diakses 25 februari 2020.

Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Kedelai 2016. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Jakarta.

Pardal, S.J. & Suharsono, 2016. Evaluasi galur kedelai transgenik toleran alumunium pada fasilitas uji terbatas. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 35(2): 155-161.

Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Sitepu, M.B., Rosmayanti, B., & Mbue, K. 2015. Persilangan genotipe-genotipe kedelai (Glycine max L. Merrill.) hasil seleksi pada tanah salin dengan tetua betina varietas anjasmoro. Jurnal Online Agroteknologi, 3(1): 257-263.

Sumarno. 1999. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor, 16 Maret 1999. Puslitbangtan Bogor. hlm. 7–22

Syukur, M., Sujipriharti, S., & Yunianti, R. 2012. Teknik pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Talukdar, A. & Shivakumar, M. 2012. Pollination without emasculation: an efficient method of hybridization in soybean (Glycine max (L.) Merrill). Current Science, 103(6): 628-630.

Page 64: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

64

Analisis filogenetik bakteri Serratia sp. dan Kurthia sp. pada pindang tongkol (Euthynnus affinis)

Phylogenetic analysis of Serratia sp. and Kurthia sp. bacterial in Kawakawa (Euthynnus affinis)

Purwaningtyas Kusumaningsih*, I Gede Mustika

Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura, Jl. Raya Padang Luwih, Tegaljaya, Dalung, Kuta Utara, Bali Indonesia 80361

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode identifikasi yang menggunakan deoxyribose nukleotida (DNA) mikroorganisme. Metode ini memiliki sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi untuk mengenali identitas mikroorganisme. Pada penelitian ini digunakan primer 16S rRNA (63f 5’-CAGGCCTAACACATGCAAGTC-3’ dan 1387r 5’-166 GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’) dalam mengamplifikasi bakteri isolat K1 dan K9 dari pindang tongkol (Euthynnus affinis). Hasil sekuensing nukleotida kedua sampel dilanjutkan dengan analisis BLAST di NCBI. Nukleotida isolat K1 dan K9 teridentifikasi ke dalam grup bakteri Serratia sp. dan Kurthia sp. Analisis pohon filogenetik dilakukan untuk membandingkan dan mengetahui kemiripan sekuens isolat dengan nukleotida spesies-spesies Serratia dan Kurthia yang diperoleh dari hasil Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) di GenBank. Pohon filogenetik dibuat menggunakan Neighbor-joining dengan pendekatan bootstrap pada program MEGA X. Hasil pohon filogenetik kedua isolat K1 dan K9 menunjukkan kemiripan dengan nukleotida Serratia surfactantfaciens strain YD25 dan Kurthia gibsonii strain NCIMB 9758.

[Kata kunci: kekerabatan, pengawetan, molekuler]

Pendahuluan

Proses identifikasi suatu mikroorganisme sangat memerlukan keakuratan yang tinggi. Semakin tinggi tingkat senitivitas dan spesifikasinya, maka tidak akan terjadi kesalahan identifikasi suatu mikroorganisme (Yeung & Thorsen, 2016). Hal ini berkaitan dengan tahap proses selanjutnya setelah diketahuinya identitas bakteri tersebut. Berdasarkan identitas bakteri, dapat diketahui sifat dari suatu mikroorganisme, apakah bersifat zoonosis (Karoki et al., 2018). Pencarian sumber pencemaran, pengamatan pola distribusi, pencegahan dan pengobatannya apabila tergolong patogen (Gill, 2017). Terlebih lagi apabila bakteri tersebut bersumber dari makanan, minuman atau lingkungan disekitar manusia yang dapat menimbulkan permasalahan bagi kesehatan bagi manusia (Ribeiro Júnior et al., 2018); (Nile et al., 2020). Selain itu, dapat dilihat dampaknya bagi perekonomian dan pariwisata (Lee, 2017). Penyebab kemunculan spesies

bakteri baru atau spesies bakteri yang umumnya tidak ada di suatu daerah kemudian merebak kejadiannya, disebabkan mobilisasi manusia, hewan ataupun terbawa oleh lingkungan seperti air dan udara. Pemakaian antibiotik yang tidak terkendali juga menjadi faktor perkembangan bakteri mutan (Djaouda et al., 2013); (Sebastião et al., 2015). Oleh karena itu analisis identifikasi dapat dipakai sebagai metode pendukung penegakan diagnosis bakteri (Rogina et al., 2014).

Terdapat beberapa metode identifikasi bakteri seperti pewarnaan, media selektif, biokemikal test dan terakhir analisis nukleotida. Metode terakhir yaitu genomik yang digunakan dan dibahas dalam penelitian ini. Metode analisis nukleotida dipilih karena tingkat keakuratannya tinggi untuk mengenali identitas bakteri. Karena setiap mikroorganisme memiliki susunan nukleotida yang berbeda (Tran et al., 2017). Amplifikasi nukleotida 16S rRNA merupakan pilihan gen yang paling baik dipakai sebagai penanda atau ciri khusus dan spesifik dalam analisis taksonomi

Page 65: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

65

dan filogenetik. Panjang basa cukup panjang untuk memberikan informasi dan perwakilan profil dari suatu mikroorganisme (Johnson et al., 2019). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui identitas isolat bakteri K1 dan K9 dari pindang tongkol (Euthynnus affinis) dan hubungan kekerabatan dengan spesies bakteri pada data base nukleotida di GenBank menggunakan analisis pohon filogenetik.

Bahan dan Metode

Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam

penelitian ini: Media nutrient agar (NA), blood agar, Tryptic Soy Broth (TSB), PCR reagent, Isolasi DNA reagent. Alat-alat yang digunakan berupa inkubator, laminar, mikropipet, microtube 1.5 ml dan 0.5 ml, cawan petri dan tabung reaksi.

Isolasi bakteri Isolat bakteri diambil dari 15 sampel

pindang tongkol (Euthynnus affinis) pada bagian kulit, perut dan insang, masng-masing sebanyak 1 gram. Kelima belas isolate sampel dilarutkan dalam larutan NaCl dengan pengenceran 10-2 hingga 10-

3. Kemudian masing-masing diambil 10 mikroliter dan ditanam pada media Nutrient dan Blood agar. Koloni yang tumbuh setelah inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, diamati koloni yang berbeda dan dilanjutkan pemurnian isolasi. Dua isolat yang terlihat berbeda morfologinya diambil dinamai menggunakan jarum oase dan ditanam di media Nutrient agar, dinamai isolat K1 dan K9 kemudian diinkubasi di suhu 37°C selama 24 jam.

Isolasi nukleotida, Polymerase Chain Reaction (PCR) dan analisis nukleotida

Hasil pemurnian kultur bakteri diambil 1 koloni dan ditumbuhkan dalam 1 ml media TSB di microtube, kemudian diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Isolasi nukleotida dilakukan dengan mengambil 100 mikroliter mengunakan metode chelax. Hasil isolasi nukleotida diamplifikasi menggunakan primer 16S rRNA (63f 5’-CAGGCCTAACACATGCAAGTC-3’ dan 1387r 5’-166 GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’). Hasil PCR dirunning di gel elektroforesis dan disekuensing ke perusahaan Genetika di Jakarta. Hasil sekuensing nukleotida diolah di website National Center for Biotechnology Information (NCBI) dan MEGA X software untuk proses identifikasi.

Konstruksi pohon filogenetik Sekuens hasil Basic Local Alignment Search

Tool (BLAST) dipilih 5 sekuens nukleotida teratas yang memiliki kemiripan. Kelima sekuens dari data base GenBank dan sekuens isolat disejajarkan secara Multiple Sequences Alignment (MSA) menggunakan MEGA X. Hasil MSA disimpan dalam bentuk mega file dan dipakai sebagai dasar konstruksi pohon filogenetik di MEGA X. Analisis berdasarkan metode Neighbor-Joining dan jarak genetik menggunakan parameter Kimura’s 2-parameter di MEGA X.

Hasil dan Pembahasan

Pensejajaran sekuensing nukleotida Analisis sekuens dengan pohon filogenetik

dimaksudkan untuk melihat hubungan kekerabatan antara sekuens isolat dengan sekuens nukleotida yang terdapat dalam data base. Pada penelitian ini digunakan metode Neighbor-Joining sehingga diketahui hubungan kedekatan secara tepat dan benar dari posisi masing-masing sekuens nukleotida dari data base dengan sekuens nukleotida isolat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu K1 dan K9 (Hikmawati et al., 2019). Nilai bootstrap di penelitian ini menggunakan replikasi 1000. Anjuran (Hall, 2013) menyarankan pemakaian nilai bootstrap test antara 200-2000, akan tetapi karena memakai MEGA X seperti pada (De Moraes Russo & Selvatti, 2018) lebih dipilih memakai 1000 replikasi. Sehingga diketahui apakah sekuens yang diperoleh di penelitian ini merupakan spesies bakteri baru atau mirip atau sama dengan bakteri yang pernah ditemukan. Apakah bakteri tersebut ditemukan dengan kondisi dan dari lingkungan yang sama dengan bakteri temuan kita, hasilnya dapat dijadikan masukan (Tran et al., 2017). Sekuensing nukleotida isolat K1 dan K9 bagian forward dan reverse disejajarkan menggunakan software MEGA X sebelum dilakukan BLAST pada NCBI. Hasil BLAST sekuensing nukleotida isolat K1 dan K9 pada NCBI tergolong dalam genus bakteri Serratia sp. dan Kurthia sp.

Konstruksi pohon filogenetik Isolat K1 teridentifikasi sebanyak 100

sekuens genus Serratia sp. terseleksi identik. Identifikasi molekular, terdapat kemiripan antara sekuens nukleotida isolate K1 dengan lima group Serratia sp. teratas berkisar antara 97.60-97.30%

Page 66: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

66

dengan panjang nukleotida ±1300 bp. Filogenetik analisis dibuat dengan mengambil 5 sekuens teratas tersebut dan disejajarkan secara multiple sequences alignment (MSA) dengan sekuens isolat K1. Hasil analisis pohon filogenetik menunjukkan dari kelima sekuens terdekat, isolat K1 paling dekat kemiripannya dengan S. surfactantfaciens dapat dilihat di Gambar 1. Apabila dilihat pada nilai bootstrap di pohon filogenetik pada pengulangan 100 kali pensejajaran, sebanyak 92 kali pengulangan menunjukkan kemiripan. Nilai ulangan bootstrap ≥ 70% menandakan kekuatan dari hasil sekuens yang kita miliki. Sedangkan jarak genetik antara isolat K1 dengan S. surfactantfaciens sebesar 0.02, nilai yang kecil berarti isolat K1 dekat atau sama dengan S. surfactantfaciens (Irawan et al., 2016); (Su et al., 2016). Sedangkan jarak genetik antara isolat K1 dengan S. nematodiphila DZ0503SBS1 jarak genetiknya 0.021, terpaut perbedaan lebih besar 0.001. Melalui hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nukleotida isolat K1, satu klaster dengan S. surfactantfaciens strain YD25 dan memiliki hubungan evolusi (Anggraini et al., 2019).

Pada penjelasan artikel di NCBI, peneliti yang memasukkan sekuens nukleotida S. surfactantfaciens strain YD29 (NR. 169468.1) tahun publikasi di 2016. Peneliti meneliti tentang produksi metabolisme sekunder prodogiosin dan serrawettins yang dihasilkan S. surfactantfaciens.

Metabolit ini memiliki fungsi sebagai antimikroba. Serratia surfactantfaciens strain YD29 (NR. 169468.1) di penelitian (Su et al., 2016), diisolasi dari tanah yang mengandung rhizoid hasil penanaman tembakau. Bila dilihat dari latar belakang pengambilan isolat S. surfactantfaciens memang berbeda dengan isolat K1 yang berasal dari pindang tongkol. Umumnya Serratia sp. dapat ditemukan di air, udara, tanah, tanaman, hewan dan manusia (Li et al., 2015). Jadi tidak menutup kemungkinan bakteri S. surfactantfaciens ditemukan di lingkungan dan kondisi yang berbeda. Sama halnya penemuan S. oryzae yang diisolasi dari nasi namun ditemukan juga di danau (Zhang et al., 2017); (Hugouvieux-Cotte-Pattat et al., 2019).

Sekuens nukleotida isolate K9 yang termasuk dalam genus Kurthia sp. dari hasil BLAST, kemudian diambil salah satu strain K. gibsonii (NR_118298.1) yang identik dengan isolat K9 sebagai nukleotida outgroup. Kedudukan sekuens K. gibsonii (NR_118298.1) pada pohon filogenetik memang tidak memiliki kesamaan ataupun kemiripan nukleotida dengan spesies-spesies Serattia sp. dan isolat K1. Hal ini ditunjukkan masing-masing dengan jarak genetik ±0.333 dan 0.357. Sekuens yang memiliki kekerabatan yang jauh berbeda dari sekuens ingroup disebut sebagai sekuens outgroup (Hall, 2013).

Gambar 1. Pohon filogenetik Isolat K1 yang dikontruksi menggunakan metode Neighbor-Joining dalam software MEGA X. K. gibsonii dipakai sebagai

outgroup. Nilai bootstrap disetiap percabangan ≥ 50%. Skala dibawah pohon filogenetik menunjukkan perbedaan nukleotida Figure 1. The K1 isolate phylogenetic tree constructed using the Neighbor-Joining method in MEGA X. K. gibsonii software was used as the outgroup.

Bootstrap value in each branch ≥ 50%. The scales under the phylogenetic tree show nucleotide differences

Page 67: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

67

Gambar 2. Pohon filogenetik Isolat K9 yang dikontruksi menggunakan metode Neighbor-Joining dalam software MEGA X. K. gibsonii dipakai sebagai

outgroup. Nilai bootstrap disetiap percabangan ≥ 50%. Skala dibawah pohon filogenetik menunjukkan perbedaan nukleotida Figure 2. The K9 isolate phylogenetic tree constructed using the Neighbor-Joining method in MEGA X. K. gibsonii software was used as the outgroup.

Bootstrap value in each branch ≥ 50%. The scales under the phylogenetic tree show nucleotide differences

Sama halnya dengan analisis pohon filogenetik isolat K9, setelah dilakukan multiple sequence alignment dengan 5 spesies-spesies Kurthia sp. teratas, dilanjutkan konstruksi pohon filogeni, diperoleh hasil seperti pada gambar 2. Homologi sekuens isolat K9 dengan spesies-spesies Kurthia sp. 5 deretan teratas berkisar antara 97.92-97.05%. Jarak genetik isolat K9 dengan K. gibsonii strain NICMB 9758 (NR_118298.1) sebesar 0.018 lebih dekat dibandingkan K. gibsonii (NR_118298) hanya terpaut sedikit yaitu 0.019. Jarak genetik S. nematodiphila sebagai outgroup dengan spesies-spesies Kurthia dan isolat K9 sebesar ±0.334 dan 0.351. Menunjukkan nilai yang cukup besar, sehingga dapat diartikan tidak memiliki hubungan kekerabatan. Nilai bootstrap antara isolat K9 dengan Kurthia gibsonii strain NICMB 9758 (NR_118298.1) adalah 55% masih diatas 50% yang berarti moderate (Jain et al., 2014). Meskipun demikian nilai bootstrap rendah tidak selalu menjadi tolak ukur tingkat kepercayaan keseluruhan pohon filogenetik. Akan tetapi bagaimana kita memilah sekuens yang disejajarkan tersebut, mana yang dekat hubungan kekerabatannya dan yang tidak. Nilai bootstrap akan membantu dalam mengevaluasi hasil nukleotida isolat penemuan dengan ketepatan identitas di GenBank (Hall, 2013).

Sayangnya pada keterangan sekuens nukleotida K. gibsonii (NR_118298.1), tidak

mencantumkan referensi peneliti serta artikel penelitiannya. Tetapi terdapat judul artikel yang mencantumkan uraian tentang penemuan bakteri spesies baru Kurthia pada keterangan referensi K. gibsonii (NR_118298.1) di NCBI. Penelitian tersebut mengklaim bahwa sekuens nukleotida isolat temuan Veronique Roux beserta team yang berasal dari feses manusia sehat sebagai spesies baru di genus Kurthia setelah dianalisis dengan pohon filogenik dan DNA-DNA hybridization (DDH). Hal ini berdasarkan nilai bootstrap 82% dan perkiraan DNA-DNA hybridization (DDH)-generalized linier model (GLM) yaitu 21% (< 70%) setelah dibandingkan dengan spesies-spesies Kurthia di GenBank. Termasuk K. gibsonii dan terakhir K. massiliensis yang ditemukan sebelumnya oleh peneliti yang sama. Maka penemuan bakteri ini dinamakan K. senegalensis, karena ditemukan di Senegal (Roux et al., 2012); (Roux et al., 2015).

Referensi artikel dari K. gibsonii strain NICMB 9758 (NR_118298.1), dicantumkan hanya satu di tahun 1994. Artikel ini membahas hasil penelitian hubungan Kurthia sebagai salah satu golongan taksonomi asporogenous dengan Bacillus aminovorans. Hasilnya sekuens B. aminovorans tidak memiliki hubungan secara spesifik dengan genus Kurthia (Farrow et al., 1994).

Kedua identitas isolat bakteri diatas yaitu Serratia surfactantfaciens strain YD29 dan Kurthia

Page 68: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

68

gibsonii strain NICMB 9758 didasarkan penelitian sebelumnya kedua strain tersebut tidak bersifat patogen. Serratia surfactantfaciens strain YD29 diketahui menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki kemampuan sebagai antimikroba. Begitu pula dengan Kurthia senegalensis diisolasi dari feses orang sehat, yang dapat diartikan bakteri ini termasuk flora normal didalam saluran pencernaan manusia. Penemuan kedua spesies strain bakteri diatas pada pindang tongkol (Euthynnus affinis) bisa disebabkan karena kemampuan bakteri Serratia surfactantfaciens strain YD29 dalam menghasilkan enzim pectate lyase untuk memecah pectin sebagai sumber karbon yang bisa diperoleh di lingkungan sekitar bakteri seperti di air laut. Kurthia gibsonii strain NICMB 9758 sedikit informasi yang bisa didapat. Tetapi salah satu penelitian melaporkan berhasil mengisolasi strain K. gibsonii B38 dari daun bayam (Mukhopadhyay et al., 2019). Genus Serratia dan Kurthia termasuk golongan bakteri halophilik yang mampu beradaptasi di lingkungan bergaram (Sowmya et al., 2014); (Vora et al., 2014). Sehingga memungkinkan ditemukan di ikan ataupun produk olahan makanan laut seperti pindang tongkol (Euthynnus affinis).

Kesimpulan

Analisis pohon filogenetik dapat dipakai untuk melihat kedekatan dan kemiripan sekuens isolate K1 dan K9 yang belum diketahui dengan membandingkan di data GenBank, sehingga diperoleh identitas mikroorganisme. Jarak genetik yang dekat dapat diartikan suatu mikroorganisme masuk kedalam kluster yang sama dengan spesies yang ada di GenBank. Nilai bootstrap ≥ 50% dapat diartikan hasil sekuens memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan menunjukkan kedekatan hubungan kekerabatan antar spesies.

Saran

Sekuens nukleotida isolat K1 dan K9 perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk dapat ditentukan sebagai isolat bakteri baru dalam genus Kurthia sp., berbeda dengan Kurthia gibsonii strain NICMB 9758, berdasarkan analisis bioinformatika.

Daftar Pustaka

Anggraini, L., Marlida, Y., Wizna, W., Jamsari, J., Mirzah, M., Adzitey, F., & Huda, N. (2019).

Molecular identification and phylogenetic analysis of gaba-producing lactic acid bacteria isolated from indigenous dadih of west sumatera, indonesia. F1000Research, 7, 1–15.

De Moraes Russo, C. A., & Selvatti, A. P. (2018). Bootstrap and rogue identification tests for phylogenetic analyses. Molecular Biology and Evolution, 35(9), 2327–2333.

Djaouda, M., Gaké, B., Ebang Menye, D., Zébazé Togouet, S. H., Nola, M., & Njiné, T. (2013). Survival and Growth of Vibrio cholerae , Escherichia coli , and Salmonella Spp. in Well Water Used for Drinking Purposes in Garoua (North Cameroon) . International Journal of Bacteriology, 2013, 1–7.

Farrow, J. A. E., Wallbanks, S., & Collins, M. D. (1994). Phylogenetic Interrelationships of Round-Spore-Forming Bacilli Containing Cell Walls Based on Lysine and the NonSpore-Forming Genera Caryophanon, fiiguobacterium, Kurthia, and Planococcus. INTERNATIONAL JOURNAL OF SYSTEMATIC BACTERIOLy, 2(2), 74–82.

Gill, A. (2017). The importance of bacterial culture to food microbiology in the age of genomics. Frontiers in Microbiology, 8(MAY), 1–6.

Hall, B. G. (2013). Building phylogenetic trees from molecular data with MEGA. Molecular Biology and Evolution, 30(5), 1229–1235.

Hikmawati, F., Susilowati, A., & Setyaningsih, R. (2019). Colony morphology and molecular identification of Vibrio spp. On green mussels (Perna Viridis) in Yogyakarta, Indonesia tourism beach areas. Biodiversitas, 20(10), 2891–2899.

Hugouvieux-Cotte-Pattat, N., Jacot-des-Combes, C., & Briolay, J. (2019). Genomic characterization of a pectinolytic isolate of Serratia oryzae isolated from lake water . Journal of Genomics, 7, 64–72.

Irawan, P. D., Tallei, T. E., & Kolondam, B. J. (2016). Analisis sekuens dan filogenetik beberapa tumbuhan Syzygium (Myrtaceae) di Sulawesi Utara berdasarkan gen matK. Jurnal Ilmiah Sains, 16(2), 43.

Jain, P., Reza, H. M., & Pal, S. (2014). Molecular phylogenetic analysis of bacterial community and characterization of Cr(VI) reducers from

Page 69: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

69

the sediments of Tantloi hot spring, India. Aquatic Biosystems, 10(1), 1–11.

Johnson, J. S., Spakowicz, D. J., Hong, B. Y., Petersen, L. M., Demkowicz, P., Chen, L., Leopold, S. R., Hanson, B. M., Agresta, H. O., Gerstein, M., Sodergren, E., & Weinstock, G. M. (2019). Evaluation of 16S rRNA gene sequencing for species and strain-level microbiome analysis. Nature Communications, 10(1), 1–11.

Karoki, W. H., Karanja, D. N., Bebora, L. C., & Njagi, L. W. (2018). Isolation, Characterization, and Quantification of Bacteria from African Sausages Sold in Nairobi County, Kenya. International Journal of Food Science, 2018.

Lee, B. (2017). Foodborne disease and the need for greater foodborne disease surveillance in the Caribbean. Veterinary Sciences, 4(3).

Li, P., Kwok, A. H. Y., Jiang, J., Ran, T., Xu, D., Wang, W., & Leung, F. C. (2015). Comparative genome analyses of Serratia marcescens FS14 reveals its high antagonistic potential. PLoS ONE, 10(4), 1–22.

Mukhopadhyay, B. C., Mitra, S., Kazi, A., Mandal, S., & Biswas, R. (2019). Draft Genome Sequence of Cold-Tolerant Kurthia gibsonii B83, Isolated from Spinach Leaf. Microbiology Resource Announcements, 8(11), 1–2.

Nile, S. H., Baskar, V., Selvaraj, D., Nile, A., Xiao, J., & Kai, G. (2020). Nanotechnologies in Food Science: Applications, Recent Trends, and Future Perspectives. In Nano-Micro Letters (Vol. 12, Issue 1). Springer Singapore.

Ribeiro Júnior, J. C., de Oliveira, A. M., …, de Oliveira, A. L. M., & Beloti, V. (2018). The main spoilage-related psychrotrophic bacteria in refrigerated raw milk. Journal of Dairy Science, 101(1), 75–83.

Rogina, P., Skvarc, M., & Kaasch, A. (2014). Diagnostic utility of broad range bacterial 16S rRNA gene PCR with degradation of human and free bacterial DNA in bloodstream infection is more sensitive than an in-house developed PCR without degradation of human and free bacterial DNA. Mediators of Inflammation, 2014.

Roux, V., El Karkouri, K., Lagier, J. C., Robert, C., & Raoult, D. (2012). Non-contiguous finished genome sequence and description of Kurthia

massiliensis sp. nov. Standards in Genomic Sciences, 7(2), 221–232.

Roux, V., Lagier, J. C., Gorlas, A., Robert, C., & Raoult, D. (2015). Non-contiguous finished genome sequence and description of Kurthia senegalensis sp. nov. Standards in Genomic Sciences, 9(3), 1319–1230.

Sebastião, F. A., Furlan, L. R., Hashimoto, D. T., & Pilarski, F. (2015). Identification of Bacterial Fish Pathogens in Brazil by Direct Colony PCR and 16S rRNA Gene Sequencing. Advances in Microbiology, 05(06), 409–424.

Sowmya, M., Rejula, M. P., Rejith, P. G., Mohan, M., Karuppiah, M., & Hatha, A. A. M. (2014). Heavy metal tolerant halophilic bacteria from vembanad lake as possible source for bioremediation of lead and cadmium. Journal of Environmental Biology, 35(4), 655–660.

Su, C., Xiang, Z., Liu, Y., Zhao, X., Sun, Y., Li, Z., Li, L., Chang, F., Chen, T., Wen, X., Zhou, Y., & Zhao, F. (2016). Analysis of the genomic sequences and metabolites of Serratia surfactantfaciens sp. nov. YD25T that simultaneously produces prodigiosin and serrawettin W2. BMC Genomics, 17(1), 1–19.

Tran, Q., Pham, D. T., & Phan, V. (2017). Using 16S rRNA gene as marker to detect unknown bacteria in microbial communities. BMC Bioinformatics, 18(Suppl 14).

Vora, J. U., Jain, N. K., & Modi, H. A. (2014). Extraction , Characterization and Application studies of red pigment of halophile Serratia marcescens KH1R KM035849 isolated from Kharaghoda soil. International Journal of Pure and Applied Bioscience, 2(6), 160–168.

Yeung, M., & Thorsen, T. (2016). Development of a more sensitive and specific chromogenic agar medium for the detection of vibrio parahaemolyticus and other vibrio species. Journal of Visualized Experiments, 2016(117), 1–9.

Zhang, C. W., Zhang, J., Zhao, J. J., Zhao, X., Zhao, D. F., Yin, H. Q., & Zhang, X. X. (2017). Serratia oryzae sp. Nov., isolated from rice stems. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 67(8), 2928–2933.

Page 70: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

70

Analisis dinamika struktur mutan glukosa oksidase IPBCC dalam pengikatan substrat secara in

silico

Analysis dynamic of structure mutan glucose oxsidase IPBBC as substrate binding in silico

Asrul Fanani1, Laksmi Ambarsari1*, Popi Asri Kurniatin1, Setyanto Tri Wahyudi2

1)Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia 2)Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Glukosa oksidase (GOD) merupakan enzim oksidoreduktase yang mengkatalisis oksidasi β-D-Glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida menggunakan oksigen molekuler sebagai akseptor elektron. Pemanfaatan enzim ini paling banyak digunakan sebagai bahan biosensor gula darah. Saat ini tengah berkembang penelitian mengenai pemanfaatan enzim glukosa oksidase sebagai biofuel cell, namun penggunaannya masih belum efektif. Dari penelitian yang telah dilaporkan enzim glukosa oksidase kehilangan aktifitasnya ketika konsentrasi glukosa (substrat) meningkat (100 mM). Dengan demikian diperlukan enzim GOD yang memiliki nilai Km tinggi untuk dapat digunakan sebagai biofuel cell. Enzim glukosa oksidase dari Aspergilus niger IPBCC-08.610 (GOD-IPBCC) dalam keadaan murni memiliki aktivitas total sebesar 92.87 U dan nilai Km sebesar 17.41 mM sebagai biosensor. Berdasarkan kemampuan kerja enzim GOD-IPBCC perlu dilakukan modifikasi untuk meningkatkan nilai Km enzim agar dapat diaplikasikan sebagai biofuel cell. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis prediksi mutasi terbaik pada sturktur enzim GOD-IPBCC yang mampu meningkatkan nilai Km. Analisis molekuler docking dilakukan menggunakan Autodock Vina, dan analisis hasil molekuler docking menggunakan Ligplus+. Penelitian ini menggunakan tiga jenis mutasi yaitu E412C, E412K, dan E412W. Hasil analisis menunjukkan mutasi E412C memberikan kenaikan pada nilai Km (47.06 µM) dari nilai Km wild-tipe (39.75 µM). Hasil ini menunjukkan bahwa mutan E412C memiliki potensi yang dapat meningkatkan enzim GOD-IPBCC sebagai biofuel cell. [Kata kunci: Biofuel cell, biosensor, molekuler docking, wild-type]

Pendahuluan

Glukosa oksidase (GOD) merupakan enzim oksidoreduktase yang mengkatalisis oksidasi β-D-Glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida menggunakan oksigen molekuler sebagai akseptor elektron (Mano 2019). GOD memiliki struktur homodimer yang terdiri dari dua subunit identik dengan berat molekul 150.000 Dalton. Setiap monomer GOD mengandung satu molekul kofaktor yaitu flavin adenina dinukleotida (FAD), kofaktor ini terikat secara non-kovalen dan bertindak sebagai pembawa redoks dalam reaksi

enzimatisnya (Gutierrez et al. 2018; Tu et al. 2019). Glukosa oksidase dapat diaplikasikan sebagai bahan pemutih tekstil, pengawet makanan dan untuk produksi asam glukonat (Dubey et al., 2017; Cruz et al., 2012; Reyes et al., 2018; Ferri et al., 2011), dan aplikasi GOD yang paling banyak digunakan adalah sebagai biosensor glukosa darah (Subiyono et al. 2016). Kelebihan dari enzim GOD dibandingkan dengan enzim lain adalah karena sifat enzim ini memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap glukosa, potensial redoks rendah dan memiliki termostabilitas yang baik sehingga banyak digunakan (Vogt et al., 2014; Leskovac et

Page 71: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

71

al., 2005). Penelitian baru-baru ini tengah mengembangkan potensi GOD untuk dapat digunakan sebagai biofuel cell (Bobrowski and Schuhmann 2018; Bollella and Gorton 2018; Ostafe et al., 2020). Dalam pengembangannya GOD menemui beberapa permasalahan diantaranya adalah enzim GOD kehilangan aktifitasnya ketika konsentrasi glukosa (substrat) meningkat (100 mM). Dengan demikian diperlukan pengembangan lebih lanjut terhadap enzim GOD untuk dapat diaplikasikan sebagai biofuel cell. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melakukan modifikasi terhadap struktur enzim untuk menaikkan konstanta Michaelis-menten (Km).

Enzim glukosa oksidase dari Aspergilus niger IPBCC-08.610 (GOD-IPBCC) diketahui memiliki aktivitas total sebesar 92.87 U (Triana 2013) dan nilai Km sebesar 17.41 mM sebagai biosensor (Nurlita 2017). Berdasarkan kemampuan kerja enzim GOD-IPBCC perlu dilakukan modifikasi pada struktur enzim untuk meningkatkan nilai Km. Penelititan ini dilakukan untuk mengetahui dinamika struktur mutan enzim GOD-IPBCC pada peningkatan nilai Km dan untuk mengetahui pengaruh mutasi terhadap pengikatan substrat secara komputasi. Struktur 3 dimensi enzim GOD-IPBCC yang digunakan dalam penelitian ini merupakan struktur hasil prediksi dari urutan kode genetik yang telah dilakukan simulasi dinamika molekuler (MD) 50ns (Maulana et al., 2019).

Bahan dan Metode

Bahan penelitian Bahan utama yang digunakan dalam

penelitian ini adalah struktur 3 dimensi enzim GOD-IPBCC hasil prediksi (Maulana et al., 2019) dari urutan asam amino yang diperoleh dari NCBI dengan nomor akses MH593586.1 (Khanza 2016) dan ligan yang digunakan adalah β-D-Glukosa dengan struktur ligan didapat dari database PubChem.

Preparasi ligan dan reseptor Struktur ligan yang diunduh melalui situs

web PubChem dalam format *sdf dan dikonversi ke format *pdb menggunakan perangkat lunak Marvin View. Atom hidrogen polar ditambahkan

menggunakan Discovery Studio Visualizer 2019 Client dan disimpan sebagai Ligan.pdb.

Reseptor GOD-IPBCC hasil simulasi MD 50ns dibersihkan dari molekul pengotor seperti ligan dan air yang masih melekat pada protein, kemudian atom hidrogen polar ditambahkan. Preparasi ini menggunakan perangkat lunak Discovery Studio Visualizer 2019 Client. Reseptor kemudian disimpan dalam format *pdb.

Mutasi reseptor menggunakan Chimera 1.14 Pada penelitian ini mutasi dilakukan pada

residu E412 dengan mengganti residu E (glutamate) menjadi C (sistein), K (lisin), dan W (triptofan) dengan penulisan secara umum E412C, E412K, dan E412W (Gambar 1). File reseptor dalam format *.pdb dibuka menggunakan software Chimera 1.14. Mutasi dilakukan dengan membuka jendela urutan asam amino pembangun struktur enzim dan memilih residu yang akan dimutasi. Sebelum dilakukan mutasi, perlu ditampilkan residu-residu yang ada di sekitar asam amino dengan rentang 5 angstroms untuk mengetahui probabilitas kedekatan gugus R dari masing-masing asam amino. Pemilihan berubahan bentuk residu asam amino ditentukan dari probilitas kedekatan gugus R terbaik yang tidak saling bertabrakan dengan residu asam amino lainnya dalam rentang 5 angstroms. Reseptor bermutasi yang dihasilkan kemudian disimpan dalam format *pdb.

Simulasi docking ligan dan reseptor File reseptor dan ligan dibuka

menggunakan AutoDockTools 1.5.6. Jumlah torsi ligan ditentukan dan disimpan sebagai Ligan.pdbqt. dan juga reseptor disimpan dengan format *pdbqt. Parameter docking dilakukan dengan memilih Ligan.pdbqt dan reseptor.pdbqt. Penempatan koordinat ligan (Grid Box) diposisi berada dalam kordinat residu katalitiknya, dan simulasi docking dilakukan dengan menggunakan file config.txt hasil output dari penentuan Grid-box dan dijalan simulasi docking menggunakan perangkat autodock vina dengan bantuan Command Prompt (CMD).

Analisis interaksi antara ligan dan reseptor menggunakan LigPlot + 1.5.4

File hasil docking dibuka menggunakan Discovery Studio Visualizer 2019. Langkah

Page 72: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

72

pertama dengan energi Gibbs terbaik dipilih dan disalin ke file reseptor. File reseptor yang dipilih berisi struktur ligan dalam format .pdb. File tersebut kemudian dianalisis menggunakan Ligplot + 1.4.5. Hasil analisis yang terdiri dari gambar 2D interaksi antara ligan dan protein menunjukkan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dengan panjang/jarak ikatan

Hasil dan Pembahasan

Karakterisasi struktur GOD-IPBCC Dalam penelitian sebelumnya telah

dilaporkan urutan kode genetik enzim GOD-IPBCC, kode genetik didapat dari amplifikasi DNA genom dengan primer spesifik dan dikarakterisasi melalui teknik restriksi dengan endonuklease EcoRI dan PstI. Selain itu, kode genetik disisipkan pada vektor pGEM®T-Easy dan ditransformasikan pada sel kompeten E. coli DH5α untuk mendapatkan urutan basa nitrogennya dan untuk mengakses kode genetik enzim dapat dilihat pada database NCBI dengan nomor akses MH593586.1 (Khanza 2016). Berdasarkan urutan kode genetik yang

didapat, struktur 3 dimensi dari enzim GOD-IPBCC berhasil diprediksi melalui metode homologi atau pensejajaran struktur asam amino dengan struktur enzim glukosa oksidase lain yang sudah ada sebelumnya. Hasil yang diperoleh struktur genetik GOD-IPBCC memiliki kesamaan terbaik dengan GOD 1CF3 sebesar 97%.

Kualitas kedua struktur prediksi GOD_IPBCC dievaluasi secara geometri menggunakan distribusi tiap-tiap residu yang diplot dalam satu koordinat Ramachandran. Hasil plot menunjukkan 89.4% residu pembentuk struktur GOD-IPBCC-1CF3 menempati daerah yang disukai dan 89.2% untuk GOD-IPBCC-5NIT. Hasil analisis residu katalitik, diketahui bahwa enzim GOD-IPBCC memiliki dua daerah fungsional dan tiga residu katalitik (E412, H516 dan H559). Lebih jauh, struktur 3 dimensi GOD_IPBCC dianalisis menggunakan simulasi dinamika molekul (MD) dan memperoleh hasil struktur enzim GOD-IPBCC mampu bertahan hingga akhir waktu simulasi, yang menandakan struktur enzim stabil dalam suhu lingkungan (Maulana et al., 2019).

Gambar 1. Lokasi mutasi dan jenis mutasi yang dilakukan pada struktur GOD-IPBCC (E : glu; C : cys; K : lys; W : trp) Figure 1. Location of mutations and types of mutation carried out in the GOD-IPBCC (E : glu; C : cys; K : lys; W : trp)

Tabel 1. Perbandingan prediksi struktur GOD-IPBCC bedasarkan Ramachandran plot (Maulana et al., 2019) Table 1. Comparison of prediction structure GOD-IPBCC based on Ramachandran plot (Maulana et al., 2019)

Page 73: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

73

Gambar 2. Struktur enzim GOD-IPBCC dan letak residu katalitik Figure 2. Enzyme structure of GOD-IPBCC and its active site location

Gambar 3. Perbandingan struktur prediksi GOD-IPBCC a) menggunakan template 1CF3, b) menggunakan template 5NIT (Maulana et al., 2019) Figure 3. Comparison of structure prediction of GOD-IPBCC a) using template 1CF3, b) using template 5NIT (Maulana et al., 2019)

Page 74: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

74

Molekuler docking dan penentuan daerah penambatan

Penambatan molekuler yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan ligan β-D-Glukosa dan reseptor GOD-IPBCC hasil MD 50ns. Hasil penambatan molekuler akan diperoleh data energy afinitas (∆G) dan root mean square deviation (RSMD). Hasil pose ligan kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan software Ligplot+ untuk mengetahui pose ikatan ligan dan reseptor yang terjadi. Molekuler docking yang dilakukan memperoleh hasil ligan β-D-Glukosa tertambat pada reseptor dengan afinitas energi sebesar -6.0 kcat/mol, membentuk ikatan hidrogen dengan residu Thr110, Arg512, Asn514, His559, FAD dan ikatan hidrofobik dengan Trp426, Tyr515. Untuk memvalidasi hasil docking dilakukan pembandingan dengan model pose pengikatan ligan oleh glukosa oksidase 1CF3. Pemilihan β-D-Glukosa sebagai ligan dalam penelitian ini didasarkan pada kualitas β-D-Glukosa yang memberikan aktivitas terbaik pada kerja enzim glukosa oksidase (Leskovac et al., 2005; Wohlfahrt et al., 1999). β-D-Glukosa memiliki afinitas 20 kali lipat lebih baik jika dibandingkan dengan monosakarida lain.

Mutasi struktur GOD-IPBCC Dalam penelitian ini mutasi pada struktur

GOD-IPBCC dilakukan pada residu katalitik E412. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh mutasi pada residu katalitik, tersebut, karena dalam peran katalitiknya residu ini tidak berikatan secara langsung dengan ligan melainkan berperan sebagai penstabil residu H559 (histidine 559) yang berikatan langsung dengan ligan, sehingga mutasi ini perlu dilakukan.

Bentuk mutasi yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan menggantikan residu E412 menjadi menjadi bentuk residu lain, yaitu E412C (sistein), E412K (lisin), dan E412W (triptofan). Proses mutasi dilakukan menggunakan software Chimera 1.14. Setelah dilakukan mutasi, analisis lebih jauh dilakukan untuk mengetahui kualitas struktur mutan GOD-IPBCC yang dievaluasi secara geometri melalui distribusi tiap-tiap residu yang diplot dalam satu koordinat Ramachandran. Hasil plot Ramachandran diperoleh data bahwa mutan E412C, E412K dan E412W menempati daerah yang disukai sebesar 91.2%, 90.8% dan 90.6% secara berurutan, dan menempati daerah yang diizinkan sebesar 8.8%, 9.2%, dan 9.4%, dan tidak berada di daerah yang terlarang (0%).

Table 2. Perbandingan data hasil analisis Ramachandran plot reseptor wild-type dan mutan GOD-IPBCC

Table 2. Comparison of data from the analysis of the Ramachandran wild type receptor plot analysis and the GOD-IPBCC mutant

RESEPTOR

DAERAH YANG

DISUKAI (%)

DAERAH YANG

DIIZINKAN (%)

DAERAH YANG

DILARANG (%)

WILD-TYPE 91,0 9,0 0,0 E412C 91,2 8,8 0,0 E412K 90,8 9,2 0,0 E412W 90,6 9,4 0,0

Analisis geometri menggunakan Ramachandran plot untuk mengukur kualitas struktur protein dikatakan sebagai struktur yang baik apabila besar presentase residu yang terlokalisasi pada daerah yang disukai minimal 90%. Dari hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa struktur mutan E412C memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan struktur WT dan struktur mutan lainnya.

Gambar 4. Visualisasi hasil analisis Ligplus+ antara ligan β-D-Glukosa (Glc 700) dengan GOD 1CF3 (kiri) dan antara ligan β-D Glukosa (Unk0)

dengan GOD-IPBCC (kanan)

Figure 4. Results visualization of ligplus+ analysis between β-D-Glucose ligand (Glc 700) with GOD 1CF3 (left) and between β-D-Glucose ligands (Unk0) and GOD-IPBCC (right)

Page 75: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

75

a b c

Gambar 5. Ramachandran plot mutan GOD-IPBCC a) E412C, b) E412K, c) E312W Figure 5. Ramachandran plot of mutan GOD-IPBCC a) E412C, b) E412K, c) E412W

Molekuler docking mutan GOD-IPBCC

Mutasi merupakan metode yang membuat perubahan terhadap struktur enzim dari urutan genetikanya, ketika terjadi perubahan urutan kode genetik hal tersebut akan memicu perubahan struktur dan juga akan mengakibatkan perubahan selektifitas dan kemampuan kerja dari enzim. Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan banyak berkembang berbagai jenis mutasi untuk meningkatkan efektifitas penggunaan enzim glukosa oksidase dalam berbagai bidang terutama sebagai biosensor dan biofuel cell (Leskovac 2005, Mu 2019, Petrovic 2017, Dubey 2017). Biofuel cell adalah jenis sel bahan bakar yang didasarkan pada kemampuan enzim sebagai katalis. Pemanfaatan enzim glukosa oksidase sebagai biofuel cell masih belum efektif penggunaannya, karena umur yang pendek dan tidak menghasilkan banyak tenaga (Elouarzaki et al. 2018). Menurut penelitian Chen dan Yu (2009) densitas daya maksimum (Pmax) biofuel cell mencapai jenuh ketika [Glukosa] ≥ 20 mM, hal ini menjelaskan mengapa biofuel cell dengan glukosa 100 mM tidak memiliki respon. Untuk glukosa tambahan dalam penelitiannya. Dengan demikian peningkatan nilai Km dapat meningkatkan pemanfaatan enzim sebagai biofuel cell.

Dalam reaksi kimia, konstanta Michaelis-Menten secara numerik sama dengan konsentrasi substrat pada setengah dari laju reaksi maksimum (Vmax), dimana nilai Km sama dengan nilai Kd. Dalam penelitian ini nilai Kd diasumsikan sama

dengan nilai Km. Dalam penentuan nilai Km menggunakan persamaan sebagai berikut:

∆G = RT ln(Km)

*Keterangan: ∆G: energy affinity (cal/mol), R: konstanta gas (cal/K), T: suhu (K), Km: konstanta Michaelis-menten

Dari hasil molekuler docking mutan GOD-IPBCC diketahui bahwa profil energi afinitasnya (∆G) tidak memberikan hasil yang berbeda secara signifikan, karena hanya menyebabkan perubahan ± 0.1 kcat/mol dari keadaan WT-nya. Sedangkan profil nilai Km mutan GOD-IPBCC memberikan hasil yang terlihat jelas perbedaannya, pada mutan E412C menyebabkan perubahan nilai Km menjadi 47,06 µM, mutan E412K tidak mengalami perubahan atau tetap (39,47 µM) dan mutan E412W menurunkan nilai Km menjadi 33,57 µM. Data perbandingan dapat dilihat pada Tabel 3.

Analisis lebih lanjut dilakukan menggunakan software Ligplus+ untuk mengetahaui residu-residu yang berperan dalam pengikatan ligan β-D-Glukosa dari hasil molekuler docking. Dari hasil analisis diketahui tiga struktur mutan enzim GOD-IPBCC tidak mengalami perubahan pengikatan ligan oleh reseptor, yaitu pose pengikatannya sama dengan struktur wild-type, baik dalam ikatan hidrogen dan juga hidrofobiknya. Hal ini memberikan informasi bahwa mutasi yang dilakukan pada residu E412 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengikatan ligan.

Page 76: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

76

Tabel 3. Data interaksi hasil molekuler docking dan nilai Km reseptor wild-type dan mutan GOD-IPBCC dengan ligan β-D-Glukosa

Table 3. Data interaction of docking molecular results and Km values of wild-type receptor and GOD-IPBCC mutants with β-D-Glucose ligand

LIGAN RESEPTOR ∆G

(KCAT/MOL) KM

(µM) IKATAN HIDROGEN IKATAN HIDROFOBIK

Β-D-GLUKOSA

Wild-type -6,0 39,75 Thr110, Arg512, Asn514, His559,

FAD Trp426, Tyr515

E412C -5,9 47,06 Thr110, Arg512, Asn514, His559,

FAD Trp426, Tyr515

E412K -6,0 39,75 Thr110, Arg512, Asn514, His559,

FAD Trp426, Tyr515

E412W -6,1 33,57 Thr110, Arg512, Asn514, His559,

FAD Trp426, Tyr515

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa mutan E412C memberikan hasil positif yaitu meningkatan nilai Km enzim GOD-IPBCC sehingga mutasi ini dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas penggunaan enzim GOD-IPBCC sebagai enzymatic fuel cell.

Daftar Pustaka

Bobrowski, Tim, and Wolfgang Schuhmann. 2018. Long-Term Implantable Glucose Biosensors. Current Opinion in Electrochemistry 10: 112–19.

Bollella, Paolo, and Lo Gorton. 2018. Enzyme Based Amperometric Biosensors. Current Opinion in Electrochemistry 10: 157–73.

Cruz, A G, W F Castro, J A F Faria, P C B Lollo, J Amaya-Farfán, M Q Freitas, D Rodrigues, C A F Oliveira, and H T Godoy. 2012. Probiotic Yogurts Manufactured with Increased Glucose Oxidase Levels: Postacidification, Proteolytic Patterns, Survival of Probiotic Microorganisms, Production of Organic Acid and Aroma Compounds. Journal of Dairy Science 95 (5): 2261–69.

Dubey, Manish K, Andleeb Zehra, Mohd Aamir, Mukesh Meena, Laxmi Ahirwal, Siddhartha Singh, Shruti Shukla, Ram S Upadhyay, Ruben Bueno-Mari, and Vivek K Bajpai. 2017. Improvement Strategies, Cost Effective Production, and Potential Applications of Fungal Glucose Oxidase (GOD): Current Updates. Frontiers in Microbiology 8: 1032.

Ferri, Stefano, Katsuhiro Kojima, and Koji Sode.

2011. Review of Glucose Oxidases and Glucose Dehydrogenases: A Bird’s Eye View of Glucose Sensing Enzymes. J Diabetes Sci Technol 5 (5): 1068–76.

Gutierrez A, Erik, Anne-Maria Wallraf, Alexandra Balaceanu, Marco Bocola, Mehdi D Davari, Thomas Meier, Hartmut Duefel, and Ulrich Schwaneberg. 2018. How to Engineer Glucose Oxidase for Mediated Electron Transfer. Biotechnology and Bioengineering 115 (10): 2405–15.

Khanza, ADA. 2016. Karakterisasi Dan Kloning Gen Penyandi Glukosa Oksidase (GGOx) Dari Aspergillus Niger IPBCC 08.610. Institut Pertanian Bogor.

Leskovac, V, S Trivić, G Wohlfahrt, J Kandrač, and D Peričin. 2005. Glucose Oxidase from Aspergillus Niger: The Mechanism of Action with Molecular Oxygen, Quinones, and One-Electron Acceptors. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 37 (4): 731–50.

Mano, Nicolas. 2019. Engineering Glucose Oxidase for Bioelectrochemical Applications. Bioelectrochemistry 128: 218–40.

Maulana, Farhan Azhwin, Laksmi Ambarsari, and Setyanto Tri Wahyudi. 2019. Homology Modeling and Structural Dynamics of the Glucose Oxidase. Indonesian Journal of Chemistry 20 (1): 43–53.

Nurlita, SD. 2017. Variasi Dimensi Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi Polianilin Sebagai Biosensor Berbasis Glukosa Oksidase Aspergillus Niger IPBCC.08.610. Institut Pertanian Bogor.

Page 77: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

77

Ostafe, Raluca, Nicolas Fontaine, David Frank, Matthieu Ng Fuk Chong, Radivoje Prodanovic, Rudy Pandjaitan, Bernard Offmann, Frédéric Cadet, and Rainer Fischer. 2020. One-Shot Optimization of Multiple Enzyme Parameters: Tailoring Glucose Oxidase for PH and Electron Mediators. Biotechnology and Bioengineering 117 (1): 17–29.

Reyes-De-Corcuera, José I, Hanna E Olstad, and Rosalía García-Torres. 2018. Stability and Stabilization of Enzyme Biosensors: The Key to Successful Application and Commercialization. Annual Review of Food Science and Technology 9: 293–322.

Subiyono, Subiyono, M Atik Martsiningsih, and Denni Gabrela. 2016. Gambaran Kadar Glukosa Darah Metode GOD-PAP (Glucose Oxsidase–Peroxidase Aminoantypirin) Sampel Serum Dan Plasma EDTA (Ethylen Diamin Terta Acetat). Jurnal Teknologi Laboratorium 5 (1): 45–48.

Triana R. 2013. Pemurnian Dan Karakterisasi

Enzim Glukosa Oksidase Dari Isolat Lokal Aspergillus Niger (IPBCC.08610). Institut Pertanian Bogor.

Tu, Tao, Yuan Wang, Huoqing Huang, Yaru Wang, Xiao Jiang, Zhenxing Wang, Bin Yao, and Huiying Luo. 2019. Improving the Thermostability and Catalytic Efficiency of Glucose Oxidase from Aspergillus Niger by Molecular Evolution. Food Chemistry 281: 163–70.

Vogt, Stephan, Marcel Schneider, Heiko Schäfer-Eberwein, and Gilbert Nöll. 2014. Determination of the PH Dependent Redox Potential of Glucose Oxidase by Spectroelectrochemistry. Analytical Chemistry 86 (15): 7530–35.

Wohlfahrt G, Witt S, Hendle J, Schomburg D, Kalisz HM, Hecht HJ. 1999. 1.8 and 1.9 Å Resolution Structures of the Penicillium Amagasakiense and Aspergillus Niger Glucose Oxidases as a Basis for Modelling Substrate Complexes. Acta Crystallogr. Sect. D Biol. Crystallogr, 969–77.

Page 78: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

78

Isolation and characterization of Rhizobium bacteria from various roots nodules legumes crops

Isolasi dan karakterisasi bakteri Rhizobium dari berbagai nodul akar tanaman legume

Eka Lupitasari1*, Riki Ruhimat1, Sarah Sakinah Umadi2, Laudy Arrisa Arumsari Sahana1

1)Department of Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, JL Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680

2)Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Jl Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680

*)Corresponding author: [email protected]

Abstract

A study was conducted to isolate and characterize Rhizobium from the roots nodules of soybean (Glycine max), peanuts (Arachis hypogaea) and Bambara beans (Vigna subterranea). The results showed total of 7 isolates were isolated from those various legume root nodules on YEMA + Congo red & YEMA + Bromtimol blue after 2 days of incubation. All isolates are morphologically characterized as round, slimy white with raised elevation, they were Gram negative bacteria. The results of biochemical tests showed 7 Rhizobium were able to survived with various pH, temperatures, and sanility ranges. These also reacted positively to the catalase, urease, oxidase, and carbohydrate fermentation tests, also lives in aerobic condition and able to move (motile). The results showed that the seven isolates that have been characterized have the potential to be developed as symbiotic N2-fixing biofertilizer.

[Keywords: biofertilizer, N2 fixation symbiotic, physiological character]

Introduction

The requirments of a few palawija commodity especially legume crops increased (Badan Pusat Statistik 2018). But recently occurred is nitrogen generally deficient in agriculture land. There are several important factors to increase availability of nitrogen which will affect productivity, one of the ways is improve the cultivation system by integrating with N2 fix biofertilizer. Legume crops can increase growth and yields through association with Rhizobium bacteria to fix N2 from atmosphere and change to ammonia (NO3) (Thilakaratna et al. 2019). N2 at the atmosphere cannot be directly absorbed by legume plants, they need role of Rhizobium bacteria which can symbiosis with root of legumes plants.

The role of Rhizobium in fixing N2 gas is very important and potentially develop to be biofertilizer. The mechanism of N2 fixation is by associating with root nodules has a significant advantage to growth and physiological properties

of plants (Thilakaratna et al. 2019). Rhizobium also contributed in several function such as dissolving phosphate, produce organic acids, produce growth hormones (ethylene, auxin, gibberellin) and as antibiotics (Qureshi et al. 2019; Ullah et al. 2017; Gopalakrishnan et al. 2015). Those functions showed that interaction between plants and Rhizobium in root nodul not only affect to yield but also played important roles as a PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria).

Production of biofertilizer use strain Rhizobium bacteria can be conduct through a several process such as exploration, isolation, and characterization. This study aims to isolate Rhizobium from root nodules of various legumes crops (Soybean, peanuts, and Bambara bean).

Material and Methods

Place and date This research was conducted at the

Laboratory of Soil Biotechnology, Department of Soil Science and Land Resource, Faculty of

Page 79: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

79

Agriculture, IPB University from August to November 2019.

Root nodules sampling Determination of sampling location in this

study-based exploration survey with purposive sampling in agricultural land planted with soybean and peanuts (experimental garden Cikabayan of the faculty of agriculture IPB), then Bambara beans in experimental garden of LIPI Cibinong). This research conducted of several steps such root nodules exploration, isolation and purification of Rhizobium bacteria, observing morphological characteristics, pathogenity tests, and biochemical tests. The collected data analyzed descriptively and presented in a tables and figures.

Root nodules sterilization Root nodules sterilized by distilled water

and HgCl2, sterilization process started by cleaning the root nodules in a solution of HgCl2 (0.01 g HgCl2 in 100 ml of aquadest) for 30 seconds, then rinsing with distilled water for 30 seconds and repeated 10 times (Dhiman et al. 2019).

Isolation of Rhizobium from root nodules Isolation was conducted used medium

YEMA (Yeast Extract Mannitol Agar) + Congo Red and YEMA+Bromtimol Blue with a composition of 10 g Manitol, 0.5 g K2HPO4, 0.2 g MgSO4.7H2O, 0.1 g NaCl, 0.5 g Yeast Extract, and 20 g agar. A total of 1 g of root nodules were added to 9 ml of 0.85% physiological solution, then crushed using a stirring rod and homogenized using a vortex for 2 minutes (Dhiman et al. 2019). Isolates were incubated for 2 x 24 hours at room temperature and their growth was observed, then isolates were purified by separating the single colony new medium YEMA used streak plate method and incubated for 2x24 hours at room temperature.

Morphological characterization Rhizobium Morphological characterization of

Rhizobium observed macroscopically and microscopically. The morphological observations included colony color, colony shape, colony edge, and elevation based on the Hadioetomo (1993) morphological identification book, also identification of Gram staining.

Phatogenity tests The phatogenity test conducted by

inoculating Rhizobium into leaves of Tobacco plants and blood agar medium. The inoculation isolates on tobacco leafs carried by injection of Rhizobium isolates in liquid YEMA media with a density population was reached 107 ml-1 counted using a hemocytometer, then injected 2 ml inoculum to Tobacco leaf used a syringe and observed as long as 2x24 hours. Tobacco leaf was also inoculated with Pseudomonas sp as a positive control. A positive test is indicated by damage or necrosis to the plant, while a negative test if there is no change/damage to the plant leaf. The pathogenicity test on blood agar was carried out by the streak plate method and incubated for 2x24 hours, the positive test was indicated by the presence of either partial or complete lysis of the media, while the negative test was if the isolate continued to grow and didn’t cause of lysis on the

Biochemical tests of Rhizobium Isolates of Rhizobium bacteria that have

been observed morphologically and selected through a pathogenicity tests, then a biochemical test to characterize physiologically. Biochemical tests used various parameters including nitrogenase, pH, temperature, salinity, catalase, urease, oxidase, motility, O2 demand, and fermentation of carbohydrates (lactose, sucrose, and glucose).

Nitrogenase tests was conducted isolates Rhizobium in 29 ml of Nutrient Broth (NB), then incubated by shaking for 3x24 hours. After incubation, isolates centrifuged at 13,000 rpm for 15 minutes. After that, pippet 3 ml of supernatant and adjusted to the pH of by addition of 1 N NaOH, then add 0.07 ml of EDTA, 0.07 ml of sodium potassium tartrate, and 0.13 ml of Nessler's reagent, then incubate for 30 minutes and observe the color change (Hartono and Jumadi 2014).

pH test was conducted by inoculating the isolates in 10 ml of liquid YEMA with a range of pH of 3, 5, 6, 7, and 9. While the temperature test conducted by inoculating the isolates into Nutrient Broth (NB) medium and incubate at -20, 2, 27, and 34 oC. Indicator of Rhizobium survival characterized by turbidity in the medium (Wadhwa et al. 2017).

Page 80: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

80

The motility test was streak 1 loop of isolate into 10 ml of semi-solid NB medium and incubated for 24 hours at 25 ºC. A positive test is indicated by the growth of bacteria that spreads then the bacteria are moving (motile) in media, and if the growth of the bacteria does not spread, then the bacteria are not moving (non-motile) (Yulvizar 2013). The catalase test by added two drops of 3% hydrogen peroxide (H2O2) to the isolate on the object glass. A positive test is characterized by the formation of oxygen bubbles which indicate that Rhizobium produces the enzyme catalase which converts hydrogen peroxide (H2O2) into water and oxygen (Yulvizar 2013). The urease test was streaked 1 loop isolate in a zigzag on the surface of the Urea Base media and incubated for 24 hours. A positive test is marked by discoloration of the medium to blue or pink and a negative test is marked by a yellow color or the color doesnt change in the medium (Sudarsono 2008). Motility test was done by inoculation of 1 loop of isolate into 10 ml NB medium and incubated for 24 hours. Indicator observation by growth of bacteria presence of turbidity in the medium (the surface, middle, bottom or spread in the medium).

The salinity test carried out 1 loop of bacterial isolate into 10 ml of NB medium with concentration of 2%; 3%; 5%; and 10% NaCl, then incubate for 24 hours and observe reaction by turbidity of medium (Triyanto et al. 2009). The oxidase test of Rhizobium streaked on Oxidase Test Strip paper, then let for 1 minute and observe the results. A positive test is marked by discoloration to blue violet and a negative test is indicated by the absence of a color change (Rasool et al. 2015). The carbohydrate fermentation test was conducted by inoculation of 1 loop isolate into a durham tube containing NB + Brom Tymol Blue (BTB) as an indicator, then added source of carbohydrate to be fermented including glucose, sucrose, and lactose, then incubated for 24 - 48 hours. Indicators of lactic acid formation if there is discoloration of the medium from green to yellow with produces gas (CO2).

Results and Discussion

Morphological characteristic of Rhizobium Table 1 showed morphological

characteristics of the colony indicated that the

seven Rhizobium have the same characteristics. Observation of colony morphology begins with observing the colony color of the isolates, which all isolates of Rhizobium observed in white. Observation of shape showed these 6 isolates were round and 1 isolate was round with raised edges. The research of Soekartadiredja (1992) reported that the characteristics of Rhizobium bacteria are Gram-negative, round with a surface like a dome or cone, and are white like milk or clear like water. Isolates that showed a milky white color means that they are able to produce acid after incubation for 48 hours and are classified as fast grow (Datta et al. 2015).

Pathogenity tests of Rhizobium The pathogenicity test with blood media to

detect the ability of bacterial hemolysis, while the test on tobacco plants to detect the ability of bacteria to damage plant leaf. The results of the pathogenicity test observations through blood agar and tobacco plants seen in Table 2. The results of the pathogenicity test on blood media showed negative reaction, all isolates didn’t cause hemolysis on the media, indicated by growth without absorb blood media, there is no inhibition zone or lysing the media (Table 2). The results of the pathogenicity test on tobacco plants after 3x24 hours of observation showed that all isolates of Rhizobium didn’t damage plant leafs (Table 2), while isolates with positive control showed a positive response by damaged plant leaf, marked at yellowing then followed by damaged.

Physiological characterzation of Rhizobium The results of physiological

characterization from seven isolate Rhizobium including results of pH, temperature, salinity and nitrogenase tests seen in Table 3. Results showed from pH test on Table 3 that 7 isolates Rhizobium is an isolate can adapted to various pH conditions, it seen from their ability to grow in various pH ranges such as 5, 6, 7, and 9. Kumar et al. (2018) also reported that Rhizobium bacteria have the ability to grow in a wide pH ranges.

Temparature test showed 7 isolates able to grow at low temperature conditions (2 oC), room temperature (27 oC) to mesophyll temperature (34 oC), but cannot at very low temperatures (-20 oC) (Table 3). Based on Mujahidy et al. (2013)

Page 81: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

81

mentioned that Rhizobium were able to grow in the temperature range of 28-35 oC. The same case with Datta et al. (2015) also mentioned Rhizobium

phaseolii and Rhizobium trifolii were able to grow in a temperature range of 27oC to 34o.

Table 1. Results of morphological characteristic of isolates Rhizobium from various root nodules

Isolates Colony color Colony shape Colony Edge Colony Elevation Gram

KDE1 White slimy Round Smooth Granular Negative KDE2 White slimy Round with edge Smooth Granular Negative KCT1 White slimy Round Smooth Granular Negative KBP1 White slimy Round Smooth Granular Negative KBP2 White slimy Round Smooth Granular Negative KBP3 White slimy Round Smooth Granular Negative KBP4 White slimy Round Smooth Granular Negative

Desc. KDE = Soybean, KCT = Peanuts, KBP = Bambara beans

Table 2. Results of pathogenity tests isolates Rhizobium in Blood media and Tobacco leaf

Isolates Blood Agar Tobacco plant

KDE1 - - KDE2 - - KCT1 - - KBP1 - - KBP2 - - KBP3 - - KBP4 - -

Table 3. Results of pH, temperature, sanility and nitrogenase tests to isolates Rhizobium

Isolates pH Temperature (oC) Salinity (%)

Nitrogenase

5 6 7 9 -20 2 27 34 2 3 5 10

KDE4 + + + + - + + + + + + - +

KDE5 + + + + - + + + + + + - +

KCT1 + + + + - + + + + + + - +

KBP1 + + + - - + + + + + + - +

KBP2 + + + + - + + + + + + - +

KBP4 + + + + - + + + + + + - +

KBP5 + + + + - + + + + + + - +

7 isolates Rhizobium showed ability to grow

in 2, 3, and 5% salinity conditions, but connot grow at 10% salinity conditions (Table 3). This results indicated isolated were able to grow in moderate salinity conditions, compared to high salinity conditions. Wadhwa (2017) said that the increasing of NaCl concentration will decrease bacteria tolerant because high salinity can affect soil structure, pH, and permeability. Bacteria will also be affected by saline conditions, each bacteria shows different ability to survive in different salinity depending on their strain. Research by Ali et al. (2009) reported that Rhizobium isolated from Leucaena leucocephala, Tephorsia purpurea, and

Crotalaria medicagina was tolerant at salinity of 4.5%.

Nitrogenase test showed seven isolates of Rhizobium by Nessler method qualitatively have a positive reaction, means isolates were able to produce nitrogenase enzymes compared to the control (Table 3). Westhoek et al. (2017) also reported that isolates Rhizobium screened had the ability to produce nitrogenase enzymes with high expression, then verified by infection tests which indicated by the number and size of root nodules.

The results of physiological characterization from seven isolates Rhizobium including results of catalase, motility, urease, O2 demand, and oxidase

Page 82: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

82

tests seen in Table 4. Observations of catalase, motility, urease, and oxidase tests showed 7 isolates had positive reactions, and observations of O2 demand showed that all isolates live in aerobic condition and able to move (motile) (Table 4).

Catalase test showed that 7 isolates had a catalase enzyme which functions to break H2O2 into oxygen and water (Datta et al. 2015). Roychowdhury et al. (2015) reported that Rhizobium isolated from Cicer arietinum plant also showed able to break H2O2. The results of this catalase test indicated isolates Rhizobium were able to produce the catalase enzyme. Catalse enzyme in the cell remains active, because the presence of H2O2 is toxic to bacterial cells (Iwase et al. 2013).

7 isolates Rhizobium tested showed positive motile. Positive motile indicated that isolates was able to move due to the spread of white around the culture medium. Motility test aims to determine the movement of bacteria that have flagella (Elvira et al. 2016). These 7 isolates tested had flagella. The test results are similar Datta et al. (2015) who reported that the bacteria Rhizobium phaesolii, Rhizobium japonicum, and Rhizobium leguminosarum were positively motile.

The urease test showed these 7 isolates can synthesis urease enzyme which will break urea into carbon dioxide and ammonia. This is indicated by discoloration in the medium from pink to purplish red. Those means 7 isolates can decompose urea into CO2 and ammonia. These

results same on Kumar et al. (2018) who used Rhizobium MRR 103, MRR 106, 112, and 123 were positive in urease enzyme tested.

The results of oxygen demand test showed 7 isolates are grew in aerobic conditions, which indicated by the formation of air bubbles on the surface of the medium solution. This research consistent to the research of Datta et al. (2015) who showed that Rhizobium trifolii was capable of optimal growth under aerobic conditions compared to anaerobic conditions.

Results of fermentation carbohydrates tests used three sources of carbon showed in Table 5. Fermentation test (Table 5) of three kinds of carbohydrate sources showed that 7 isolates Rhizobium can use all 3 types of carbohydrate sources as their sources of energy, it is indicated by discoloration of the medium from green to yellow and the formation of air bubbles in the durham tube. Roychowdhury et al. (2015) mentioned isolates Rhizobium reacted positively able to use carbohydrate from 3 sources including glucose, sucrose, and maltose. Otherwise, research of Datta et al. (2015) showed Rhizobium able to used on carbon sources from glucose, sucrose, and lactose. The final result of fermentation is determined by the properties of the bacteria, culture media, and the environment such as temperature and pH. glucose is a source of carbohydrate which is used often. Datta et al. (2015) who stated that the highest bacterial population was in a medium with a carbon source of glucose compared to lactose and sucrose.

Table 4. Results of catalase, motility, urease, O2 demand, and oxidase tests to isolates Rhizobium

Isolates Catalase Motility Urease O2 Demand Oxidase

KDE4 + Motile + Aerob +

KDE5 + Motile + Aerob +

KCT1 + Motile + Aerob +

KBP1 + Motile + Aerob +

KBP2 + Motilee + Aerob +

KBP4 + Motile + Aerob +

KBP5 + Motile + Aerob +

Page 83: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

83

Table 5. Results of fermentation carbohydrates with various source tests to isolates Rhizobium

Isolates Source of Carbohydrates

Glucose Lactose Sucrose

KBP 1 +, gass +, gass +, gass

KBP 2 +, gass +, gass +, gass

KBP 4 +, gass +, gass +, gass

KBP 5 +, gass +, gass +, gass

KDE 3 +, gass +, gass +, gass

KDE 4 +, gass +, gass +, gass

KDE 5 +, gass +, gass +, gass

Conclusion

Based on the results of research these 7 isolates Rhizobium are gram-negative bacteria, including obligate aerobic, capable of move (motile), grow at humid tropic temperatures (2 - 34oC), adapted to pH 5, 6, 7 and 9 with salinity conditions 2 - 5%, these are also able to use various carbohydrates, produce acid and O2, then have the catalase, oxidase, and urease enzymes. It can be concluded based on those characteristics that 7 isolates potentially use to be future biofertilizer.

Acknowledgements

The author thankful to the Soil Biotechnology Laboratory, Department of Soil and Land Resources Faculty of Agriculture IPB for the facilities and provided this project.

References

Ali SF, LS Rawat, Meghavanshi MK & SK Mahna (2009). Selection of stress tolerant rhizobial isolates of wild legume growing in dry regions of Rajasthan. ARPN J of Agri Bio Sci 4, 13-18.

Badan Pusat Statistik (2018). Statistik Indonesia. Jakarta, Badan Pusat Statistik.

Datta A, RK Singh & S Tabassum (2015). Isolation, characterization and growth of Rhizobium strains under optimum condition for effective biofertilizer production. Int. J. Pharm. Sci 3(34), 199 – 208.

Dhiman M, VK Dhiman, N Rana & B Dipta (2019). Isolation and characterization of of rhizobium associated with root nodules of Dulbergia sissoo. Int J Curr Microbiol App Sci 8(3), 1910-1918.

Elvira I, S Wahyuni & N Asyik (2016). Karakterisasi sifat biokimia isolat bakteri asam laktat yang dihasilkan dari proses fermentasi Wikau Maombo. Jurnal Sains dan Teknologi Pangan 1(2), 121-124.

Gopalakrishnan S, A Sathya, R Vijayabharathi, RK Varshney, CLL Gowda & L Krishnamurthy (2015). Plant growth promoting rhizobia: challenges and opportunities. Biotechnology 5(4), 355–377.

Hartono & O Jumadi (2014). Seleksi dan karakterisasi bakteri penambat nitrogen non simbiotik pengekskresi ammonium pada tanah pertanaman jagung (Zea mays L) dan padi (oryza sativa L) asal Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Indonesia. J Sainsmat 3(2), 143 – 153.

Iwase T, A Tajima, S Sugimoto, KI Okuda, I Hironaka, Y Kamata, K Takada & Y Mizunoe (2013). A simple assay for measuring catalase activity : A visual approach. Scientific Report 3(3081), 1-4

Kumar GK & MR Ram (2018). Preliminary characterization of rhizobacterial strains isolated from Legume [Vigna trilobata (L.) Verdc] root nodules. Int J of Sci & Tech4(7), 279-284.

Qureshi MA, S Haroon, M Sajjad, S Sana, A Asif, M Fakhar & MA Anjum (2019). Relative potential of Rhizobium species to enhance the growth and yield attributes of cotton (Gossypium hirsutum L.). Eurasian J Soil Sci 8(2), 159-166.

Rasool S, B Sharma & S Rasool (2015). Isolation and characterization of Rhizobium sp from a

Page 84: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

84

wild legume from BGSBU campus of Dsitrict Rajouri. Int J of Agri Sci 5(3), 407-413.

Roychowdhury D, M Paul & SK Banerjee (2015). Isolation identification and characterization of Bacteria (Rhizobium) from chick pea (Cicer arietinum) and production of biofertilizer. Eur J of Biotech & Biosci 3(12), 26-29.

Soekartadiredja EM (1992). Perubahan Inefektivitas dan Efektivitas Penambatan Nitrogen pada Galur Rhizobium setelah Perlakuan Pasasi in Vivo. Bandung, Universitas Pajajaran.

Sudarsono A (2008). Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Ikan Laut dalam Spesies Ikan Gindara (Lepidocibium flavobronneum). Bogor, Institut Pertanian Bogor.

Thilakarathna MS, C Tejendra, G Bhawana, P Roshan, BT Bir, G Khem, C Khem, R Laxmi, M Samjhana, BK Bishnu, G Shankar & NR Manish (2019). Evaluating the effectiveness of Rhizobium inoculants micronutrients as technologies for Nepalese common bean smallholder farmers in the real-world context

of highly variable hillside environments and indigenous farming practices. J of Agri 1-17.

Triyanto, I Alim, DP Irfan, W Jaka & Afi T (2009). Isolasi, karakterisasi dan uji infeksi bakteri proteolitik dari lumpur kawasan hutan bakau. J Fish Sci (1), 13-18.

Ullah S, MA Qureshi, MA Ali, F Mujeeb, S Yasin (2017). Comparative potential of Rhizobium species for the growth promotion of sunflower (Helianthus annuus L.). Eur J of Soil Sci 6(3), 189-196.

Wadhwa, Zeenat, S Vivek, R Raj, Tanvi, M Kanchan & J Sumit (2017). Isolation and Characterization of Rhizobium from Chickpea (Cicer arietinum). Int J of Curr Microbiol & Appl Sci 6(11), 2880-2893.

Westhoek A, E Field, F Rehling, G Mulley, I Webb, PS Poole & LA Turnbull (2017). Policing the legume Rhizobium symbiosis: a critical test of partner choice. J. Nature.

Yulvizar C. 2013. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik pada Rastrelliger sp. Biospecies 6(2), 1-7.

Page 85: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

85

Pertumbuhan fitoplankton Chaetoceros calsitrans dengan perbedaan jenis medium starter pada

skala laboratorium

Growth of phytoplankton Chaetoceros calsitrans with different starter medium on laboratory scale

Noor Eka Febryana*, Jumrodah

Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Palangka Raya, Jl. George Obos Kompleks Islamic Centre, Palangka Raya, 74311

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau, yaitu 17.504 pulau dengan panjang pantai yang mencapai 81.000 km, serta luas laut sebesar 5,8 juta km². Fitoplankton merupakan salah satu produsen primer yang berada di perairan sehingga lautan menjadi salah satu penyedia oksigen terbesar di bumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dan kepadatan sel pada Chaetoceros calsitrans dengan dua perlakuan yaitu starter Chaetoceros calsitrans medium diatom dan starter Chaetoceros calsitrans medium ever 2. Jenis penelitian ini adalah research eksperimental. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata kepadatan sel pada pertumbuhan Chaetoceros calsitrans. Pada Chaetoceros calsitrans starter media diatom adalah 4593,05 x mm3/ml, rata-rata kepadatan sel pada pertumbuhan Chaetoceros calsitrans starter media ever 2 adalah 3923,83 x mm3/ml. Kepadatan sel Chaetoceros calsitrans dianalisis dengan ANOVA Single Factor dan diperoleh nilai Fhitung < Ftabel yaitu 0,033363 < 4,96 sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan dari penggunaan dua jenis medium yang berbeda terhadap kepadatan sel Chaetoceros calsitrans.

[Kata kunci: Chaetoceros calsitran, media diatom, media ever 2, kepadatan sel]

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau, yaitu 17.504 pulau dengan panjang pantai yang mencapai 81.000 km, serta luas laut sebesar 5,8 juta km² (Arifin & Simanjuntak, 2017). Salah satu makhluk hidup yang menghuni lautan adalah fitoplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang dapat melakukan fotosintesis dan berperan sebagai produsen primer di perairan sehingga lautan menjadi salah satu penyedia oksigen terbesar di bumi karena jumlah fitoplankton yang hidup di lautan (Suwandana, 2018). Menurut hasil penelitian Firdaus (2017) fitoplankton menyumbang sebanyak 70% oksigen ke udara dan sisanya sebanyak 30% oksigen berasal dari tumbuhan yang terdapat di daratan.

Selain sebagai salah satu trofik dasar di ekosistem perairan, fitoplankton juga dapat dimanfaatkan dalam hal industri. Dalam bidang

industri fitoplankton dapat dibudidayakan sebagai pakan hewan laut seperti Asteroidea, Udang-udangan, Echinodermata dan lain sebagainya. Pemanfaatan fitoplankton untuk dibudidayakan sebagai pakan hewan laut seperti Echinodermata pada kelas Echinodea pada spesies Salmachis sp. Ataupun Diadema setosum (Tupan dan Silaban, 2017). Landak laut memerlukan pakan berupa Fitoplankton maupun zooplankton pada saat masih dalam fase larva.

Menurut Wahab (2018) pakan landak laut seperti Diadema setosum yang paling baik salah satunya adalah dengan pakan fitoplankton jenis Chaetoceros calsitrans. Chaetoceros calcitrans memiliki kandungan nutrisi yang baik bagi pertumbuhan larva landak laut. Chaetoceros calcitrans mengandung protein sebanyak 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Bestari, 2017). Tingginya kadar protein

Page 86: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

86

pada Chaetoceros calsitrans sangat penting untuk pembentukan sel-sel baru pada larva landak laut.

Pakan menjadi salah satu faktor penting dalam budidaya perikanan, sebab pakan memiliki pengaruh terhadap ketahanan maupun perkembangan pada larva. Fitoplankton sebagai pakan alami menjadi unsur yang penting dalam mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup spesies yang dibudidayakan terkhusus saat ia berada dalam fase larva ataupun benih (Bestari, 2017).

Laboratorium Biologi IAIN Palangka Raya tengah melakukan budidaya landak laut pada spesies Salmachis sp. Sehingga untuk dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva pada spesies landak laut ini diperlukan pakan alaminya berupa Chaetoceros calsitrans. Selain karena kadar nutrisi yang baik pada Chaetoceros calsitrans, hal ini juga didasari dengan fase planktonik pada larva yang memerlukan pakan yang juga pergerakannya tidak sesil (di dasar). Sehingga dengan hal ini menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai budidaya fitoplankton jenis Chaetoceros calsitrans. Pada penelitian ini dilakukan budidaya fitoplankton dengan menggunakan dua medium yang berbeda yaitu medium Diatom dan Ever 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Chaetoceros calsitrans pada dua medium yang berbeda. Sehingga dapat diketahui medium yang tepat untuk digunakan pada budidaya Chaetoceros calsitrans.

Bahan dan Metode

Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini

diantaranya adalah erlenmeyer, mikroskop, autoklaf, pipet tetes, pipet ukur, pH meter, thermometer, gelas ukur, neraca digital, lampu TL 40 Watt, kaca objek, kaca penutup, lampu spiritus, haemocytometer, gelas beker, gelas arloji, dan handcounter, AC (Air Conditioner), Lux Meter, DO meter, refraktometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah aquades, air laut, tissue, kain kasa, aluminium foil, alkohol 70%, bibit Chaetoceros calsitrans, larutan FeCl3,

Na2SiO3, KNO3, Na2HPO4.

Metode penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini

adalah metode eksperimental dengan rancangan acak lengkap (RAL). Metode eksperimen merupakan percobaan yang telah dirancang dengan tujuan untuk menguji suatu hipotesis. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2019 hingga Januari 2020, bertempat di Laboratorium Biologi IAIN Palangka Raya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua perlakuan berbeda yaitu perlakuan berupa pemberian medium Diatom dan medium Ever 2. Masing-masing perlakuan diteliti dengan 3 ulangan. Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desain tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian.

Tahap persiapan Tahap persiapan diawali dengan

mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, pengukuran faktor eksternal berupa suhu, salinitas air laut, kadar oksigen, intensitas cahaya, pH, dan melakukan sterilisasi pada alat dan beberapa bahan yang akan digunakan. Proses sterilisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme lain pada alat yang akan digunakan (Rachmawati, 2008). Tahap pertama yang disterilisasi adalah semua alat berbahan silika dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit. Setelah sterilisasi alat berikutnya dilakukan sterilisasi pada air laut yang akan digunakan untuk pembuatan medium kultur dengan autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit.

Setelah melakukan sterilisasi, tahapan selanjutnya adalah proses pembuatan medium kultur diatom dan ever 2. Prosedur dalam pembuatan media ini diawali dengan mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, menimbang dan mengukur bahan yang akan diperlukan, mencampurkan bahan dan membuat larutan medium hingga homogen, dan setelah medium homogen dilakukan sterilisasi pada medium dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit. Komposisi dalam pembuatan medium Diatom dan Ever 2 terdapat pada Tabel 1. Setelah mencampurkan keseluruhan nutrisi medium secara homogen dan telah dilakukan sterilisasi, tahap selanjutnya adalah menyimpan medium selama 3 hari pada suhu

Page 87: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

87

20℃untuk memastikan bahwa medium benar-benar steril baru kemudian melakukan penanaman starter fitoplankton ke dalam medium.

Tabel 1. Komposisi medium Diatom dan Ever 2 Table 1. Composition of Diatom and Ever2 media

Bahan Medium Diatom Medium Ever 2 air laut 500 ml 1000 ml FeCl3 0,025 ml 0,025 ml Na2 SiO3 0,5 ml 0,5 ml KNO3 0,5 ml 0,5 ml Na2 HPO4 0,5 ml 0,5 ml

Tahap pelaksanaan

Setelah melakukan proses pembuatan medium, tahap selanjutnya adalah penanaman starter fitoplankton jenis Chaetoceros calsitrans ke dalam masing-masing medium dengan kepadatan awal 2 x 105 sel/ml, karena jumlah kepadatan awal yang demikian baik untuk dilakukan proses kultur (Gondol, 2014). Proses pengenceran pada starter dilakukan dengan menggunakan rumus V1 x N1 = V2 x N2. Kemudian masing-masing medium diberikan starter Chaetoceros calsitrans sebanyak 20 ml.

Tahapan selanjutnya setelah dilakukan penanaman kultur Chaetoceros calsitrans pada kedua jenis medium, kedua kultur tersebut diletakkan pada lemari peyimpan yang telah diatur kondisi lingkungannya. Suhu pada lemari penyimpan adalah 20℃ yang telah diberi lampu TL 40 Watt. Selama proses kultur ini berlangsung, diberikan perlakuan berupa pemberian aerasi yang dilakukan secara manual sebanyak 3 kali 1x24 jam. Tujuan dari pemberian aerasi ini agar nutrient menyebar secara merata dan adanya sirkulasi udara pada kultur sehingga dapat mengoptimalkan proses fotosintesis pada kultur (Musa, Raya, Dali, 2013).

Langkah berikutnya pada tahap pelaksanaan ini adalah melakukan kalkulasi pertumbuhan jumlah sel Chaetoceros calsitrans yang dimulai pada hari ke-4 dengan menggunakan alat haemocytometer untuk diamati di bawah mikroskop dan dihitung menggunakan handcounter. Proses penghitungan jumlah sel dimulai pada hari ke-4 dimana sel sudah mulai memasuki tahapan eksponensial sel, sedangkan pada hari ke 1-3 masih terjadi fase adaptasi sel sehingga sehingga tidak dilakukan pengukuran.

Proses penghitungan jumlah pertumbuhan sel dilakukan pada hari ke-4 hingga hari ke-9. Menurut Astuti dkk (2015) hari ke-5 hingga ke-13 merupakan waktu bagi sel fitoplankton berada pada fase eksponensial yang aktif melakukan perbanyakan sel. Pada fase ini tepat untuk dilakukan pemanenan sel nya untuk digunakan sebagai pakan.

Tahap penyelesaian Tahap penyelesaian dilakukan dengan

mengumpulkan data penelitian dan melakukan analisis mengenai pola pertumbuhan pada sel Cahetoceros calsitrans pada 2 medium berbeda. Data jumlah sel fitoplankton yang diamati kemudian dianalisis untuk diketahui kepadatan sel dari hari ke-4 hingga ke-9. Nilai kepadatan fitoplanton dihitung menggunakan chamber kecil karena kepadatan relatif tinggi. Yaitu dengan menjumlah bagian kotak atas (a) dan kotak bawah (b) pada haemocytometer lalu menghitung kepadatan dengan mengkalikan volume kotak dengan rumus berikut (Wahyuni, Rahardja, Azhar, 2019).

N = ("#$"%)

' x

(

),)' x 10+ 𝑚𝑚+/ ml

N = kepadatan sel Na = Jumlah sel pada kotak atas haemocytometer Nb = Jumlah sel pada kotak bawah haemocytometer

Tahap selanjutnya adalah analisis menggunakan ANOVA Single Factor dengan Microsoft Office 2019 untuk mengetahui signifikansi perbedaan kepadatan sel fitoplankton pada dua medium berbeda.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tahap persiapan hingga tahap akhir pengamatan pertumbuhan kepadatan sel Chaetoceros calsitrans diperoleh hasil kepadatan sel fitoplankton dari pengamatan dari hari ke-4 hingga hari ke-9 pada medium Diatom dan medium Ever 2 yang terdapat pada Tabel 2. Medium memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan sel fitoplankton, karena medium yang tepat dan sesuai komponen nutrisinya akan mendukung pertumbuhan populasi sel fitoplankton dengan baik (Smith, 2016).

Page 88: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

88

Tabel 2. Kepadatan rata-rata Chaetoceros calsitrans pada medium kultur yang berbeda

Table 2. Density average of Chaetoceros calsitrans in different culture media

Hari Kepadatan Sel Chaetoceros calsitrans

(x 10+𝑚𝑚+/ ml) Medum Diatom Medium Ever 2

4 2.292 3.625 5 2.167 2.258,3 6 4.242 4.400 7 4.317 4.767 8 6.250 5.750 9 7.975 7.758

Berdasarkan Tabel 2 hasil rata-rata kepadatan sel Chaetoceros calsitrans dari 3 ulangan pada dua medium diperoleh bahwa kepadatan sel tetinggi pada hari ke-9 ada pada kepadatan sel fitoplankton dalam medium Diatom yakni sebanyak 7.975 x 10!𝑚𝑚!/ ml. Sedangkan pada medium Ever 2 kepadatan sel fitoplanktonnya hanya 7.758 x 10!𝑚𝑚!/ ml. Dari kedua medium ini hanya selisih 217 x 10!𝑚𝑚!/ ml saja. Dari nilai ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan selisih yang tidak terlalu jauh namun tetap ada perbedaan nilai kepadatan sel fitoplankton antara dua jenis medium berbeda.

Jenis medium sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup fitoplankton yang dikultur. Sebab setiap jenis fitoplankton memiliki kandungan dan komposisi yang berbeda dalam medium tempat hidupnya, karena di dalam medium itu harus mengandung komponen-komponen yang lengkap yang diperlukan sel fitoplankton dalam kehidupannya. Seperti halnya Chaetoceros calsitrans memerlukan FeCl3 yang berperan untuk menyusun sitokrom dan klorofil. Selain itu, FeCl3 juga berperan dalam mekanisme kerja enzim dan proses transfer elektron dalam proses fotosintesis (Putri, Insafitri, Abida, 2009). Peran silika dalam Na2 SiO3 adalah sebagai pembentuk dinding sel bagi diatom seperti Chaetoceros calsitrans (Putri, Raya, Dali, 2012; Yulianto, 2016). Disertai dengan pemberian KNO3 yang tepat dapat menyebabkan fitoplankton mengalami pertumbuhan yang optimum dan turut mempengaruhi pola pertumbuhan, biomassa dan kandungan protein kasar pada fitoplankton (Ambarwati dkk, 2018). Sedangkan peran Na2 HPO4 penting dalam mekanisme kerja sel dan dalam proses fotosintesis (Nasution, Widyorini, Purwanti, 2019).

Komponen FeCl3, Na2 SiO3, KNO3, dan Na2

HPO4 terdapat di dalam medium Diatom dan Ever 2 namun yang membedakan dari keduanya adalah volume air laut yang digunakan. Untuk medium Ever 2 dibuat dari perpaduan antara medium Diatom yang ditambahkan dengan air laut dengan perbandingan air laut dan medium Diatom 1:1. Dari hal ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan konsentrasi nutrien yang terkandung pada kedua jenis medium. Menurut Blabla (Kasim, 2017) konsentrasi medium yang tepat dengan populasi sel yang dikultur akan menjadikan pola pertumbuhan dari populasi sel fitoplankton yang dikultur dapat berkembang secara optimum. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pertumbuhan sel Chaetoceros calsitrans pada medium Diatom lebih baik dari medium Ever 2. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Jati, Hutabarat, dan Herawati (2012) bahwa medium Diatom memang medium yang tepat untuk digunakan pada kultur genus Chaetoceros sebab banyak kandungan senyawa dalam medium ini yang komposisinya diperlukan oleh Chaetoceros calsitrans.

Kepadatan sel yang diamati selama 6 hari pengamatan dapat menggambarkan pola pertumbuhan dari Chaetoceros calsitrans berupa grafik pada Gambar 1. Pola pertumbuhan dari kepadatan sel fitoplankton menunjukkan pola yang semakin naik dari hari ke-5 sampai hari ke-9. Perhitungan kepadatan sel fitoplankton dimulai pada hari ke-4 karena menurut Astuti dkk (2015) pada hari ke-1 sampai ke-3 sel fitoplankton masih berada pada fase adaptasi sehingga belum ada pertambahan jumlah sel yang signifikan. Dari grafik ini dapat digambarkan bahwa dari hari ke-4 terjadi penurunan jumlah kepadatan sel dan terjadi kenaikan jumlah sel pada hari ke-5 hingga ke-9. Pada grafik ini sel fitoplankton mulai memasuki fase eksponensial atau penambahan jumlah kepadatan sel pada hari ke-5, sedangkan hari ke-4 populasi Chaetoceros calsitrans masih berada pada fase adaptasi akhir sehingga grafiknya mengalami penurunan sebagai akibat dari ketidakmampuan beberapa sel beradaptasi dengan lingkungan hidup barunya. Sedangkan menurut Rizky, Raya, dan Dali (2012) fase eksponensial secara umum mulai terjadi pada hari ke-3 hingga ke-14 dimana sel melakukan penambahan jumlah sel secara signifikan karena

Page 89: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

89

sel telah beradaptasi dengan lingkungannya sehingga ia merasa lingkungannya ini optimum untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangan sel lebih banyak.

Grafik juga menunjukan adanya perbedaan dalam kepadatan sel sebagai akibat pertumbuhan populasi fitoplankton Chaetoceros calsitrans dari setiap perlakuan. Hal ini diakibatkan karena berbedanya medium yang gunakan, sehingga menyebabkan kecepatan pertumbuhan populasi sel fitoplanktonnya berbeda pula. Selain itu diduga sebagai akibat dari proses pemanfaatan kadar nutrien yang berbeda.

Tingkat signifikansi perbedaan kepadatan sel Chaetoceros calsitrans pada dua jenis medium dianalisis dengan uji ANOVA Single Factor. Hasil analisis uji ANOVA pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kepadatan sel Chaetoceos calsitrans pada medium Diatom dan Ever 2 tidak memiliki perbedaan yang signifikan yang ditunjukkan dengan nilai Fhitung (F) =0,033363 lebih kecil dari Ftabel (F crit)= 4,96. Selain itu, dilihat dari nilai p-value sebesar 0,858719 yang lebih dari nilai signifikansi yang hanya 0,05 sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan dari penggunaan dua jenis medium yang berbeda terhadap kepadatan sel Chaetoceros calsitrans. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jati, Hutabarat, dan Herawati (2012) bahwa perbedaan jenis medium kultur tidak berpengaruh bagi kepadatan sel fitoplankton. Kedua perlakuan medium yang dilaksanakan memberikan pengaruh yang sama

pada kepadatan sel Chaetoceros calsitrans yakni terjadi penambahan jumlah sel fitoplankton dengan jumlah sel yang berbeda.

Selain dilakukan pengamatan mengenai kepadatan sel fitoplankton Chaetoceros calsitrans juga dilakukan pengukuran faktor eksternal seperti suhu, pH, salinitas, dan kadar oksigen terlarut pada kualitas air laut yang digunakan dalam medium kultur. Suhu, pH, salinitas, dan kadar oksigen terlarut turut mempengaruhi pertumbuhan pada fitoplankton (Tabel 4). Menurut Yulianto (2016) suhu yang tepat untuk melakukan kultur fitoplankton Chaetoceros calsitrans berada pada kisaran 25 – 30 ℃, sesuai dengan suhu pada pengamatan yaitu sebesar 32℃, sehingga pada saat dilakukannya proses kultivasi di ruang kultur digunakan AC (Air Conditioner) yang berperan untuk menjaga stabilitas suhu dalam ruang kultur. Begitu pula pH yang pada hasil pengukuran air laut yang digunakan adalah 7.6, salinitas 4%, dan kadar oksigen terlarut 89,5%. Selain penyesuaian suhu juga dilakukan penyesuaian intensitas cahaya pada ruang kultur. Untuk mendukung agar intensitas cahaya tetap optimum dalam penelitian ini digunakan lampu TL 40 Watt. Menurut Padang, Lestaluhu, dan Siding (2018), intensitas cahaya yang tepat untuk digunakan pada kultur fitoplankton Chaetoceros calsitrans adalah 40-Watt karena kecepatan pertumbuhan fitoplankton optimum pada intensitas ini.

Gambar 1. Grafik pola pertumbuhan sel Chaetoceros calsitrans pada medium Diatom dan Ever 2 Figure 1. Graph for cell growth pattern of Chaetoceros calsitrans in Diatom and Ever2 media

36252258,3

4400 47675750

77582292

2167

4242 4317

6250

7975

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

H A R I K E - 4 H A R I K E - 5 H A R I K E - 6 H A R I K E - 7 H A R I K E - 8 H A R I K E - 9

PERT

UMB

UHAN

PAD

A

HARI PENGAMATAN

Chaetoceros calsitrans Medium Ever 2 Chaetoceros calsitrans Media Diatom

Page 90: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

90

Tabel 3. Analisis ANOVA: single Factor Table 3. ANOVA analysis: single factor

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Media Diatom 6 27243 4540,5 5109298

Media Ever 2 6 28558 4759,667 3529196

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 144102,1 1 144102,1 0,033363 0,858719 4,96

Within Groups 43192471 10 4319247

Total 43336573 11

Tabel 4. Hasil pengukuran faktor eksternal kualitas air laut yang digunakan sebagai medium kultur Table 4. Results of measurement of external factors of sea water quality used as a culture medium

Indikator Hasil Pengukuran Ph 7,6

Suhu 32◦C Salinitas 4%

Kadar oksigen 89,5%

Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian ini diperoleh bahwa rata-rata kepadatan sel Chaetoceros calsitrans pada media Diatom adalah 4593,05 x 103 mm3/ml, sedangkan rata-rata kepadatan sel Chaetoceros calsitrans pada media Ever 2 adalah 3923,83 x 103 mm3/ml. Kepadatan sel Chaetoceros calsitrans dianalisis dengan ANOVA Single Factor dan diperoleh nilai Fhitung < Ftabel yaitu 0,033363 < 4,96 sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan dari penggunaan dua jenis medium yang berbeda terhadap kepadatan sel Chaetoceros calsitrans.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola pertumbuhan fitoplankton jenis Chaetoceros calsitrans pada lebih dari 2 jenis medium lain yang berbeda dengan lebih memperhatikan penyusun komponen mediumnya sehingga dapat diketahui komposisi medium yang tepat untuk dapat lebih meningkatkan jumlah pertumbuhan sel fitoplankton yang lebih signifikan.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih banyak kepada Rektor IAIN Palangka Raya, Dekan FTIK IAIN Palangka Raya,

dan Kepala Jurusan PMIPA IAIN Palangka Raya yang telah memberikan ijin dan dukungan atas penelitian ini. Terimakasih kepada Kepala dan segenap Asisten Laboratorium Biologi IAIN Palangka Raya yang telah banyak membantu penelitian ini. Terimakasih kepada PPBBI (Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia) yang telah mengadakan Webinar Nasional Bioteknologi 2020 dan Call for Paper dan telah memberikan kesempatan kepada kami untuk dapat mempublikasikan hasil penelitian ini.

Daftar Pustaka

Ambarwati, D. P., Yudiati, E., Supriyantini, E., & Maslukah, L. (2018). Pola Pertumbuhan, Biomassa Dan Kandungan Protein Kasar Kultur Skeletonema costatum Skala Massal Dengan Konsentrasi Kalium Nitrat Berbeda. Buletin Oseanografi Marina, 7(2), 75-80.

Astuti, S. P., Kurnianingsih, R., Ilhami, B. T. K., & Japa, L. (2015). Pengaruh Perbedaan Umur Panen Terhadap Kandungan Lemak Nitzschia SP. Jurnal Biologi Tropis, 15(2), 75524.

Bestari, D. H. (2017). Teknik Kultur Chaetoceros calcitrans dalam Skala Laboratorium di PT. Central Pertiwi Bahari Rembang, Jawa Tengah. Surabaya, Universitas Airlangga

Page 91: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

91

Diansyah, G. (2018). Kultivasi Mikroalga Chaetoceros sp. dan Spirulina sp. untuk Potensi Biodiesel. Maspari Journal: Marine Science Research, 10(2), 123-130.

Firdaus, M. L. (2017). Oseanografi: Pendekatan dari Ilmu Kimia, Fisika, Biologi, dan Geologi. Yogyakarta, Penerbit LeutikaPrio

Gondol. (2013). Tabel Komposisi Media Walne, Na, dan Pertanian. Bali: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut

Jati, F., Hutabarat, J., & Herawati, V. E. (2012). Pengaruh Penggunaan Dua Jenis Media Kultur Teknis yang Berbeda Terhadap Pola Pertumbuhan, Kandungan Protein dan Asam Lemak Omega 3 EPA (Chaetoceros gracilis). Journal of Aquaculture Management and Technology, 1(1), 221-235.

Kasim, S., Taba, P., Raya, I., & Ruslan, R. (2017). Potensi Produksi Biofuel Dari Biomassa Fitoplankton Laut Spesies Chlorella Vulgaris, Dunaliella Salina Dan Spirulina SP., Yang Ditumbuhkan Dalam Nutrien Unggul “Mssip” Terinduksi Ion Logam Fe, Co, Dan Ni. KOVALEN: Jurnal Riset Kimia, 3(1), 89-111.

Musa, B., Raya, I., & Dali, S. (2013). Pengaruh Penambahan Ion Cu2+ Terhadap Laju Pertumbuhan Fitoplankton Chlorella vulgaris. Makassar, Universitas Hasanuddin

Nasution, A., Widyorini, N., & Purwanti, F. (2019). Analisis Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Kandungan Nitrat dan Fosfat Di Perairan Morosari, Demak. Management of Aquatic Resources Journal, 8(2), 78-86.

Padang, A., Lestaluhu, A., & Siding, R. (2018). Pertumbuhan Fitoplankton Dunaliella sp dengan Cahaya Berbeda pada Skala Laboratorium. Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 11(1), 1-7.

Putri, C. L. O., Insafitri, I., & Abida, I. W. (2009). Pengaruh pemberian FeCl3 terhadap pertumbuhan Chaetoceros calcitrans. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 2(1), 73-80.

Rachmawati, F. J., & Triyana, S. Y. (2008). Perbandingan angka kuman pada cuci tangan dengan beberapa bahan sebagai standarisasi kerja di laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Jurnal Logika, 5(1).

Rizky, Y. A., Raya, I., & Dali, S. (2012). Penentuan Laju Pertumbuhan Sel Fitoplankton Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, dan Porphyridium cruentum. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Hasanuddin Makassar.

Rizky, Y. A., Raya, I., & Dali, S. (2012). Penentuan Laju Pertumbuhan Sel Fitoplankton Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, dan Porphyridium cruentum. Skripsi. Fakultas MIPA. Universitas Hasanuddin Makassar.

Simanjuntak, P. T. H., Arifin, Z., & Mawardi, M. K. (2017). Pengaruh Produksi, Harga Internasional dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia (Studi pada Tahun 2009–2014). Jurnal Administrasi Bisnis, 50(3), 163-171.

Smith, A. (2016). Pengaruh Penggunaan Media F2 dan Media Walney Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton (Dunaliella salina). BIMAFIKA: Jurnal MIPA, Kependidikan dan Terapan, 3(1).

Suwandana, A. F., Purnomo, P. W., & Rudiyanti, S. (2018). Analisis Perbandingan Fitoplankton dan Zooplankton Serta Tsi (Trophic Saprobic Index) Pada Perairan Tambak Di Kampung Tambak Lorok Semarang. Management of Aquatic Resources Journal, 7(3), 237-245

Tupan, J., & br Silaban, B. (2017). Karakteristik Fisik-Kimia Bulu babi Diadema setosum dari beberapa Perairan Pulau Ambon. TRITON: Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan, 13(2), 71-78.

Wahab, M. S. B. A. (2018). Larval Rearing and Juvenile Production of Tropical Black Sea Urchin, Diadema setosum (Leske, 1778). Thesis tidak dipublikasikan. Malaysia, Universiti Putera Malaysia

Wahyuni, N., Rahardja, B. S., & Azhar, M. H. (2019). Pengaruh Pemberian Kombinasi Konsentrasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera) dengan Pupuk Walne dalam Media Kultur Terhadap Laju Pertumbuhan dan Kandungan Karotenoid Dunaliella Salina. Journal of Aquaculture Science, 4(1), 37-49.

Yulianto, S. M. (2016). Kultur Chaetoceros sp. Skala Laboratorium Sebagai Pakan Rotifer (Branchionus Sp.) Di Sriracha Fisheries Research Station, Chonburi Dan

Page 92: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

92

Samutsongkhram Fisheries Research Station, Samutsongkhram, Thailand. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya, Universitas Airlangga

Page 93: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

93

Karakterisasi morfologi cendawan penyebab antraknosa pada tanaman bawang merah (Allium ascolonicum L.) di kabupaten Enrekang

Morphology characterization of anthracnose fungi on shallot (Allium ascolonicum L.) in Enrekang regency

Hikmahwati1*, Muhammad Rifqy Aulia1, Fitrianti1, Harli A karim2 & Nur Ilmi2

1)Universitas Al Asyariatul Mandar, Jl. Budi Utomo no 2, Polewali Mandar

2)Universitas Muhammadiyah Pare-pare, Kota Pare-pare

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak Bawang merah (Allium ascolonicum L.) merupakan tanaman hortikultura yang dikembangkan di Indonesia.

Kabupaten Enrekang menghasilkan bawang merah dengan produksi pada tahun 2018 sebanyak 73.58-ton namun mengalami penerunan dari tahun sebelumnya pada tahun 2017 sebesar 111.61 ton. Upaya peningkatan produksi bawang merah sering terkendala oleh patogen Colletotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa. Penelitian ini untuk mengetahui bentuk makroskopis dan mikroskopis cendawan Colletotrichum gloeosporiodes penyebab penyakit antraknosa di Kabupaten Enrekang dengan metode karakteisasi morfologi. Pengambilan sampel dilakukan di 4 desa di kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang berdasarkan gejala di pertanaman, kemudian diisolasi di media PDA dan diidentifikasi secara makroskopis dan secara mikroskopis dengan mikroskop elektron. Hasil dari pernelitan ini menunjukkan dari beberapa isolat penampakan makroskopisnya berwarna putih sedangkan, memiliki konidia berbentuk lonjong dan tumpul pada kedua ujungnya. Disimpulkan cendawan patogen penyebab penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah di Kabupaten Enrekang adalah jenis Colletotrichum gloeosporioides. [Kata kunci : Colletotrichum gloeosporioides, identifikasi makroskopis, identifikasi mikroskopis, konidia]

Pendahuluan Bawang merah (Allium ascolonicum L.)

merupakan salah satu tanaman hortikultura yang dikembangkan di Indonesia. Beberapa provinsi penghasil bawang merah di Indonesia antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Salah satu pusat pengembangan bawang merah yang terdapat di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Enrekang, dengan produksi pada tahun 2018 sebanyak 73.58 Ton (Badan Pusat Statistik, 2019), namun mengalami penerunan dari tahun sebelumnya pada tahun 2017 sebesar 111.61 ton (Badan Pusat Statistik, 2018).

Upaya peningkatan produksi bawang merah sering terkendala adanya serangan penyakit tanaman. Salah satu penyakit tanaman bawang merah di Kabupaten Enrekang adalah patogen

yang berasal dari kelompok cendawan. Penyakit penting dari kelompok cendawan antara lain peyakit moler atau layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. cepae (Prakoso et al., 2016) , penyakit trotol atau bercak daun yang disebabkan oleh Alternaria porri (Marlitasari et al., 2016) dan penyakit antraknosa atau busuk daun akibat serangan Colletotrichum gloeosporiodes. Penyakit tanaman yang juga dijumpai di Kabupaten Enrekang salah satunya adalah penyakit antraknosa. Serangan Colletotrichum gloeosporiodes dilaporkan menyebabkan penurunan hasil umbi bawang merah (Hekmawati et al., 2018).

Cendawan Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) adalah patogen dari penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah. Peyakit ini disebut penyakit otomatis karena tanaman yang terinfeksi

Page 94: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

94

akan mati dengan cepat dan mendadak. Pada bagian daun terdapat bercak putih berbentuk oval dan berkembang menjadi bintik-bintik nekrotik dangkal dan cekung akhirnya daun mengalami klorosi berwarna coklat atau coklat kehitaman kemudian terbentuk lekukan hingga daun melengkung, terkulai, berputar, patah dan kemudian mati, pertumbuhan umbi terhambat sehingga umbi berukuran kecil sampai membusuk dan terjadi perubahan warna akar (Hekmawati et al., 2018)(Kurniasih et al., 2014)

Kerugian akibat C. gloeosporioides untuk varietas Bali Lancur dan Bali Karet menimbulkan kehilangan umbi mencapai 100% artinya tidak ada umbi yang bisa dipanen. Kedua varietas ini termasuk kategori sangat rentan, intensitas serangan penyakit yang tinggi menimbulkan terhambatnya pembentukan umbi bahkan kematian tanaman (Hekmawati et al., 2018).

Cendawan Colletotrichum sp. termasuk ke dalam golongan cendawan tak sempurna (fungi imperfekti). Hifa cendawan ini bersekat tetapi tidak menghasilkan tingkatan seksual. Miselia membentuk badan buah aservuli (lapisan stroma). Dari permukaan lapisan ini terbentuk konidiofora yang rapat, tegak, transparan (hialin) yang berukuran 45 - 55 mikron. Pada ujung konidiofora terbentuk konidium dengan bentuk lonjong, ujung tumpul, berukuran 11.5 (9.2-14) µm × 4.4 (3.6-5.1) µm; apresorium berbentuk lonjong, bulat, tak beraturan, berukuran 11.2 (9-15.1) µm × 6.2 (4.8-7.6) µm (Udiarto et al., 2005) , (Dharmaputra et al., 2018).

Biakan Murni jamur Colletotrichum sp. pada awal pertumbuhan berwarna putih semakin lama mengalami perubahan menjadi abu-abu kehitaman, kelabu terang di bagian tepi koloni, semakin kelabu menuju bagian tengah koloni. Koloni cendawan bertekstur tebal dan permukaan kasar dan rapat (Kurniasih et al., 2014), (Dharmaputra et al., 2018).

Beberapa pengendalain yang telah dilakukan untuk mengurangi serangan penyakit Colletotrichum sp diantaranya dengan pemberian sitronelal hasil ekstraksi serai wangi (Cymbopogon winterianus Linn.) (Kurniasih et al., 2014). Pemanafaatan klon tahan juga mampu mengurangi kerugian akibat serangan Colletortichum gloesporioides, misalnya klon no.

2004/11memiliki pertumbuhan dan nilai produktivitas relatif tinggi dan toleran terhadap serangan Colletortichum gloesporioides (Putrasamedja et al., 2016)

Pengendalian dengan biofungisida cair dengan kandungan Trichoderma harzianum dengan juga efektif menekan penyakit yang disebabkan oleh Colletotrichum sp., seperti dengan media air kelapa menurunkan keparahan penyakit yang disebabkan oleh Colletotrichum sp.(Anitasari, 2016). Biopestisida dengan ekstrak daun gamal 20% dilaporkan dmemiliki persentase penghambatan terhadap Colletotrichum capsici sebesar 82,49% (Pranata, 2018). Pranyata (2019) melaprokan ekstrak daun tanaman jarak tintir, daun sirih ditambah mimba dan ekstrak daun saliara ditambah sirih ditambah mimba berpengaruh tinggi dan konsisten dalam menghambat pertumbuhan C. Gloeosporioides

Pengendalian penyakit pada tanaman bawang merah di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang dilaporkan petani masih terfokus pada penggunaan pestisida. Terdata 63 jenis pestisida, yang tidak terdaftar secara resmi ada 9 dan yang terdaftar secara resmi berjumlah 54 jenis, 65% petani menyemprot pestisida secara rutin dengan interval dua hari sekali. Sebanyak 22% petani menambah dosis hingga 900% melebihi dosis anjuran. Petani di Kecamatan Anggeraja menaikan dosis anjuran label karena menganggap tidak efektif, (Zulfikar, 2017). Perilaku ini menyebabkan serangan penyakit semakin tinggi dan terjadinya resistensi cendawan patogen terhadap fungisida sehingga semakin sulit mengendalikan penyakit pada pertanaman bawang merah di Kabupaten Enrekang.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui deskripsi morofologi secara mikroskopis dan makroskopis cendawan patogen penyebab penyakit antraknosa pada pada pertanaman bawang merah di Kabupaten Enrekang sehingga bisa menentukan pengendalian yang tepat sasaran dan spesifik lokasi.

Page 95: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

95

Metodologi

Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di beberapa desa

sentra pertanaman bawang merah di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Universitas Hasanuddin, Makassar, yang dilaksanakan pada bulan April - Oktober 2020. Pengambilan sampel cendawan

Sampel cendawan patogen diambil dengan menggunakan metode purpossive randomized sampling, berdasarkan daerah sentra produksi bawang dan endemik dibeberapa Desa di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sampel yang diambil adalah seluruh bagian tanaman sakit, dimasukkan ke dalam kantong kertas dan dibawa ke Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin untuk diisolasi.

Isolasi dan identifikasi cendawan di laboratorium Isolasi dan identifikasi jenis-jenis jamur

yang diperoleh dari lapangan dilaksanakan di Laboratorium penyakit tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin dengan tahapan sebagai berikut:

1. Persiapan medium tumbuh

Medium tumbuh yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA). Medium tumbuh dibuat dengan mencampurkan kentang yang telah dikupas 200 g, gula pasir 20 g, bubuk agar 16 g, aquades 1 lt. Pembuatan medium dimulai dengan memotong kentang setebal 1 cm, direbus sampai diperoleh air rebusan berwarna kekuning-kuningan dan kentang mulai lunak. Air rebusan kentang disaring dan ditambahkan dengan gula pasir dan bubuk agar kemudian semua bahan dipanaskan sambil di aduk sampai larut. Setelah semua bahan-bahan tercampur rata, bahan tersebut disterilkan di autoclave pada suhu 1210C dengan tekanan 1,5 atm selama ± 15 menit. Saat medium tumbuh dalam keadaan hangat diberi streptomycin sulfate yang berfungsi sebagai antibiotik penghambat bakteri yang tidak diinginkan. Kemudian larutan medium tumbuh dituang dalam cawan petri steril di dalam laminator air flow dan dibiarkan memadat.

2. Isolasi cendawan dari tanaman bawang merah

Sampel tanaman sakit dibawa ke laboratorium untuk dicuci bersih dengan air mengalir kemudian di potong kecil-kecil (4mm). Sterilisasi permukaan dilakukan dengan menggunakan NaOCl 2.5% selama 3 minutes dilanjutkan dengan menggunakan etanol 70% selama 2 menit kemudian dicuci selama 1 menit dengan air steril. Jaringan tanaman sakit diletakkan di kertas saring steril sampai kering kemudian ditanamn pada media biakan (PDA). Inkubasi cendawan dilkakukan selama 3-14 hari pada suhu ruangan. Pemindahan koloni baru dilakukan beberapakali sampai diperoleh isolat murni.

3. Identifikasi cendawan Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri makroskopis dan mikroskopis cendawan. Ciri makroskopis yang diamati adalah warna koloni cendawan. Pengamatan ciri mikroskopis dilakukan pada konidia dan ciri khusus yang akan menentukan jenis cendawan tersebut. Mendokumentasikan isolat dengan menggunakan mikroskop berkamera.

Hasil dan Pembahasan

Hasil yang diperoleh berdasarkan pengambilan sampel tanaman sakit di pertanaman adalah adanya gejala pada daun di usia generatif (Gambar 1) dimana daun terdapat bercak klorotik yang memanjang berwarna kuning kemudian menjadi coklat hingga gelap, daun menjadi layu hingga mengering. Menurut Kurniasih et al., (2014), pada daun terdapat bercak berwarna putih dan lama-kelamaan akan menjadi coklat atau coklat gelap kemudian terbentuk lekukan dan daun melengkung, terkulai, kemudian patah dan lama kelamaan daun mati.

Berdasarkan hasil isolasi dari sampel daun yang bergejala antraknosa yang diambil di 4 desa di kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang diperoleh 4 isolat (Tabel 1). Berdasarkan pengamatan warna koloni dan bentuk konidia diperoleh hasil yang relatif serupa dan memiliki ciri khas dari cendawan Colletotrichum sp. Pengamatan secara makroskopis pada setiap koloni menunjukkan warna koloni yang relatif serupa yaitu putih bersih hingga putih ke abuan, hal ini sesuai dengan Kurniasih et al., (2014) biakan murni jamur Colletotrichum sp. pada awal pertumbuhan berwarna putih kemudian koloni

Page 96: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

96

mengalami perubahan menjadi abu-abu kehitaman. Ibrahim et al., (2017) juga melaporkan bahwa koloni Colletotrichum gloeosporioides berwarna putih dan (Dharmaputra et al., 2018) abu-abu, kelabu terang di bagian tepi koloni, semakin kelabu menuju bagian tengah koloni. Berdasarkan mikroskopis diperoleh konidia

berbebentuk bulat oval, lonjong dan ada bulat melengkung dalam setiap isolatnya, hal sesuai dengan Kurniasih et al., (2014) (Ibrahim et al., 2017) konidia Colletorichum sp. adalah fusiform dengan panjang rata-rata 6.11–9.73 µm dan lebar 2.24–2.73 µm berbentuk tabung atau jorong dengan kedua ujungnya tumpul.

Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa: (a) daun mengalami klorotik berwarna kuning, (b) kemudian menjadi coklat mulai dari pinggir dan mengikuti

arah tulang daun Figure 1. Anthracnose symptopms: (a) leaves chlorosis, (b) then turning brown from the edge to the leaf bones

Tabel 1. Karakterisasi morfologi isolat Colletotrichum gloeosporioides. dari dari tanaman bergejala antraknosa di 4 desa Table 1. Morphological characters of Colletotrichum gloeosporioides isolates from plants with anthracnose symptoms in 4 villages

Nama Desa Makroskopis Kurniasih et al., (2014) dan Dharmaputra et al.,

(2018)

Mikroskopis Kurniasih et al., (2014) dan Dharmaputra et al., (2018)

Mandatte Warna Koloni Berwarna Putih keabu-abuan

Warna Koloni putih, abu-abu kehitaman

Konidia Berbentuk Bulat oval, ujung tumpul, tanpa sekat

berbentuk tabung atau jorong dengan kedua ujungnya tumpul.

Mataran Berwarna putih bersih

putih, abu-abu kehitaman

Konidia berbentuk lonjong, tanpa sekat

berbentuk tabung atau jorong dengan kedua ujungnya tumpul.

Siambo Berwarna putih bersih

putih, abu-abu kehitaman

Konidia Berbentuk Bulat oval, tanpa sekat

berbentuk tabung atau jorong dengan kedua ujungnya tumpul.

Tampo Warna Koloni Putih

putih, abu-abu kehitaman

Konidia Berbentuk Bulat oval, tanpa sekat

berbentuk tabung atau jorong dengan kedua ujungnya tumpul.

Page 97: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

97

Gambar 2. Identifikasi morfologi Colletorichum gloeosporioides (a) makroskopis dan (b) mikrsokopis yang diamati dengan pembesaran 100× Figure 2. Morphological identification of Colletotricum gloeosporioides in (a) macroscopic and (b) microscopic observed with 100x magnification

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pengamtaan makroskopis koloni cendawan berwarna putih hingga ke abuan dan pengamatan mikroskopis diperoleh konidia berbentuk bulat oval hingga bulat lonjong disimpulkan bahwa keseluruhan isolat merupakan jenis Colletotrichum gloeosporioides.

Disarankan untuk penelitian selanjutnya dilakukan karakterisasi molekuler untuk melihat keregaman genetik antar isolat dengan pembanding isolat di luar kab enrekang yaitu isolat dari Brebes dan Bima yang merupakan centra tanaman bawang, sehingga dapat menentukan spesies atau strain dari setiap isolat.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terima kasih kepada Kementrian Ristek BRIN Penelitian ini adalah rangkaian penilitian hibah Penelitian Dosen Pemula Kementrian Ristek BRIN pendanaan 2020 atas kesempatan dan pendanaan, dan terima kasih kepada ketua program studi perlindungan tanaman Unhas dan staf telah memfasilitasi sarana dan prasarana Laboratorium sekaligus memberi masukan. Terima kasih kepada dinas pertanian Kabupaten Enrekang yang telah berkerjasama dengan baik.

Daftar Pustaka

Anitasari, R. (2016). Pengujian beberapa formulasi biofungisida Trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit antraknosa (Colletotrichum sp.) pada cabai

besar di lapang. Skripsi. Jember. Bada Pusat Statistik. (2018). Kabupaten Enrekang

Dalam Angka 2017. Bada Pusat Statistik. (2019). Kabupaten Enrekang

Dalam Angka 2018. Dharmaputra, O. S., Listiyowati, S., & Nurwulansari,

I. Z. (2018). Keragaman cendawan pascapanen pada umbi bawang merah varietas Bima Brebes. Jurnal Fitopatologi Indonesai, 14(September), 175–182.

Hekmawati, H., Poromarto, S. H., & Widodo, S. (2018). Resistensi Beberapa Varietas Bawang Merah Terhadap Colletotrichum Gloeosporioides. Agrosains: Jurnal Penelitian Agronomi, 20(2), 40. 42.

Ibrahim, R., Hidayat, S. H., & Bogor, I. P. (2017). Keragaman morfologi , genetika , dan patogenisitas Colletotrichum acutatum penyebab antraknosa cabai di Jawa dan Sumatera. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 13, 9–16.

Kurniasih, R., Djauhari, S., Muhibuddin, A., & Utomo, E. P. (2014). Pengaruh sitronelal serai wangi (Cymbopogon winterianus Linn) terhadap penekanan serangan Colletotrichum sp. pada tanaman bawang daun (Allium fistulosum L.). Jurnal HPT, 2(4), 11–21.

Marlitasari, E., Sulistyowati, L., & Kusuma, R. R. (2016). Hubungan ketebalan lapisan epidermis daun terhadap infeksi jamur Alternaria porri penyebab penyakit bercak ungu pada empat varietas bawang merah.

Page 98: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

98

Jurnal HPT, 4(1), 8–16. Prakoso, E. B., Sri Wiyatiningsih dan Heri

Nirwanto. (2016). Uji ketahanan berbagai kultivar bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap infeksi penyakit moler (Fusarium oxysporum f.sp.cepae) Endurance test on different cultivars shallots (Allium ascalonicum) against infectious. Plumula, 5(1).

Pranata, Y. (2018). Uji efektivitas ekstrak daun gamal (Gliricidia maculata) sebagai biofungisida terhadap cendawan patogen Colletotrichum capsici, Fusarium oxysporum dan Cercospora capsici penyebab penyakit pada tanaman cabai merah (Capsicum annum L.) secara in vitro.

Pranyata, A. (2019). Efektivitas komposisi beberapa ekstrak tumbuhan terhadap

pertumbuhan jamur Colletotrichum gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L.).

Putrasamedja, S., Setiawati, W., Lukman, L., & Hasyim, A. (2016). Penampilan Beberapa klon bawang merah dan hubungannya dengan intensitas serangan organisme pengganggu tumbuhan. Jurnal Hortikultura, 22(4), 349.

Udiarto, B. K., Setiawati, W., & Suryaningsih, E. (2005). Pengenalan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah dan pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Zulfikar. (2017). Tingkat Penggunaan Pestisida pada Tanaman Bawang Merah di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.

Page 99: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

99

Therapeutic potential and safety assessment of fecal microbiota transplantation (FMT): a

review.

Potensi terapi dan kajian keamanan transplantasi mikrobiota feses

Qori Emilia*, Ryan Haryo Setyawan

Microbiology Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong, Bogor 16911

*)Corresponding author: [email protected]

Abstract

Human gastrointestinal tract consists of diverse microorganisms which are specific for individuals (human gut microbiota). Several studies have been carried out to understand the role of gut microbiota to human health, including the intervention of gut microbiota composition for therapeutic purposes. On the other hand, infection of pathogenic bacteria at a certain level could lead to dysbiosis that may negatively affect human health. Clostridium difficile infection (CDI) has gained tremendous attention due to recurring cases following the antibiotic exposure. Fecal microbiota transplantation (FMT) is an administration of fecal matter from a healthy donor to the recipient’s gastrointestinal tract to confer health benefits. This therapy has been studied to successfully treat CDI. However, beside its success story, there are findings that highlight the safety alert of this treatment which demand more evaluation. This paper aims to discuss the therapeutic potential of fecal microbiota transplantation and its safety assessment from several published works.

[Keywords: human gut microbiota, dysbiosis, Clostridium difficile infection, fecal microbiota transplantation]

Introduction

Fecal microbiota transplantation (FMT) is a transfer of fecal material from a healthy donor to restore healthy gut microbiota of patients. In 1958, this method had been first introduced by Eiseman et al as an adjunct for treating pseudomembranous enterocolitis after the use of antibiotics (Eiseman et al., 1958). In 2013, van Nood et al conducted the FMT clinical trial to patients with Clostridium difficile infection (CDI) (Van Nood et al., 2013). In the past 10 years, FMT has been a growing interest and it has been studied widely for its potential as one of alternative therapeutic ways to antibiotics.

Microbiota refers to any microorganisms that coevolve in the human body, including bacteria, archaea, microeukaryotes, and viruses, in which they can feature as commensal microbes, symbiotic microbes, or pathogenic microbes (Hollister et al., 2014). According to Qin et al, microorganisms that inhabit the human body are

estimated to have the amount of 10-100 trillion cells and they mostly reside in the gastrointestinal tract (Qin et al., 2010). Human gut microbiome has been widely studied to have a strong relationship with human health. Gut microbiota might present beneficial effects when symbiosis condition happens. In contrast, when the balance of gut microbiota is disturbed, the risk of pathogens colonization is increased, thus it will cause detrimental effects to human health. Restoring healthy gut condition is one strategy that can be used for treating microbial infection and other metabolic disorders. Some studies have revealed the effectiveness of this treatment to treat CDI and other diseases, such as inflammatory bowel disease (IBD), autoimmune disorders, and obesity (Choi & Cho, 2016). However, despite the success of this method, more evaluation is needed particularly to address its safety aspect. This article aims to review the current practice of fecal

Page 100: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

100

microbiota transplantation, its therapeutic potential and safety assessment.

Discussions

Understanding human gastrointestinal microbiota Human microbiota are the complex

microorganisms that inhabit the human body. Human microbiota comprises a variety of microorganisms, including bacteria, archaea, microeukaryotes, and viruses (Hollister et al., 2014). Metagenomic study revealed that microbial communities that are scattered in all parts of the human body are estimated to contain up to 100 trillion cells, which mostly reside in the gastrointestinal tract (Huttenhower et al., 2012; Qin et al., 2010). Those that settle in the gastrointestinal tract are called ‘the gastrointestinal microbiota’ or simply ‘the gut microbiota’.

Systematic investigation has been conducted to understand the composition, function, and the abundance of human gut microbiota. Molecular tools such as 16S rRNA sequencing technique or metagenomic analyses are widely used to assess a complete microbial population from fecal samples or intestinal biopsy specimens (Hollister et al., 2014; Qin et al., 2010). This information is useful not only to identify the diversity and content of gut microbiota, but the knowledge of their function can be exploited to improve human health and wellness (Qin et al., 2010). Assessment of human gut microbiota can be carried out using samples from mucosal tissue and fecal material. Mucosal samples can be obtained from six major parts of human colon, which are cecum, ascending colon, transverse colon, descending colon, sigmoid colon, and rectum. Fecal samples can be obtained from individuals that have been observed with colonoscopy 1 month prior to sample collection (Eckburg et al., 2005).

Human body has its unique composition of gut microbiota, but there are also groups of permanent gut colonizers and genes that are common between individuals and are thought to be the prominent contributor for gut function (Turnbaugh et al., 2009; Qin et al., 2010; Tremaroli and Bäckhed, 2012). Among the bacterial groups, Bacteroidetes and Firmicutes are

found to be the largest population in the distal gut microbiota (Eckburg et al., 2005). Five dominant bacterial phyla are Firmicutes (e.g Ruminococcus, Clostridium, Lactobacillus, Eubacterium, Faecalibacterium, Roseburia), Bacteroidetes (e.g Bacteroides, Prevotella, and Xylanibacter), Actinobacteria (e.g Collinsella and Bifidobacterium), Proteobacteria (e.g Escherichia and Desulfovibrio), and Verrucomicrobia (e.g Akkermansia), while the less dominant ones are Cyanobacteria, Fusobacteria, Lentisphaerae, Spriochaetes, and TM7 (Tremaroli and Bäckhed, 2012).

Table 1. Examples of functional roles of some gut bacteria

Bacteria Functional roles

References

Oxalobacter formigenes, Lactobacillus spp., Bifidobacterium spp.

Oxalate metabolism (potential to lower kidney stones risk)

(Kumar et al., 2002; Magwira et al., 2012)

Bifidobacterium, Bacteroides, Fusobacterium spp.

Plant starch metabolism (amylose and amylopectin)

(Wang et al., 1999)

Clostridium saccharogumia, Eggerthella lenta, Blautia producta, Lactonifactor longoviformis

Isoflavones metabolism (potential to support against breast cancer)

(Spanogiannopoulos et al., 2016)

Human health can be affected by the

residing microbial communities. Published studies emphasized that the intestinal microbiota takes part in the overall host physiology, including metabolism and immune system function (Bäckhed et al., 2005; Tremaroli and Bäckhed, 2012). Healthy individuals may contain higher amounts of bacterial species in their gut. Hollister et al further explained that the healthy condition of gut microbiota contains microbes that support metabolic function, protect against infection and inflammation, antagonist to cancer or autoimmunity, endocrine signaling, and brain function (brain-gut axis) (Hollister et al., 2014). Substantial changes in the composition and metabolic function of gut microbiota may lead to

Page 101: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

101

diseases or metabolic disorders. Gut microbiota composition is modulated by various factors, such as: lifestyles, life events, and the aging process. Types of consumed diets (carbohydrates, animal fat and protein, vegetables, fruit, etc.) have also been identified as a modulating factor. Other influencing factors are short-chain fatty acids, bile acids, prebiotics, probiotics, antibiotics, and microbial transplantation (Hollister et al., 2014(Kootte et al., 2012).

Fecal Microbiota Transplantation (FMT) therapy Precise definition of FMT is still a debatable

topic in the entire scientific community. Some recent studies define FMT as "the transfer of biological material containing a minimally manipulated community of microorganisms from a human donor to a human recipient (including autologous use) with the intention of affecting the recipient microbiota" (Hoffmann et al., 2017), “administration of a form of fecal material from the donor into the intestinal tract of the recipient in order to directly modify the recipient’s gut microbial composition suitably to confer health benefits” (Nikhra, 2019), or “an alternative approach that induced remission in small series of patients with active ulcerative colitis (UC)” (Moayyedi et al., 2015). Complex interaction between each microorganism and their metabolites themselves in feces makes the mechanism of FMT in therapy is unclear. However, the use of FMT to manipulate gut microbiota dysbiosis in patients with several types of diseases, including CDI, has been carried out and studied.

Therapeutic potential of FMT: case of Clostridium difficile infection (CDI) and other gastrointestinal-related diseases

Clostridioides difficile infection (CDI) is an infection that occurs in the large intestine which can lead to inflammation, diarrhea, and may cause death (Hoffmann et al., 2017). CDI is caused by the gram-positive, spore-forming Clostridioides difficile (formerly known as Clostridium difficile) that colonize and/or produce toxins in the intestinal organ due to the alteration of gut microbiota composition following antibiotic use (Bartlett & Gerding, 2008; Wilcox, 2004). CDI has attracted attention due to its increasing cases as well as morbidity and mortality rates. The National Center

for Health Statistics, Centers for Disease Control and Prevention (NCHS CDC) found that the CDI diagnoses in the United States had elevated to 61/100,000 in 2003, which is a two-fold increase compared to the data in 1996 (McDonald et al., 2006). Also, in the United States, the annual cases of CDI were reported at around 500,000 with mortality at 15,000-20,000 (Freeman et al., 2010; McFarland, 2009; McFarland et al., 2007) and the annual economic cost that is caused by this disease was estimated to be around $1 billion (Ghantoji et al., 2010). In Indonesia, CDI prevalence has not been widely reported. Collins et al studied the prevalence of CDI in Central Java using 340 fecal samples. They reported that prevalence of toxigenic C. difficile is 10,9% (found in 37 out of 340 samples) and the prevalence of nontoxigenic C. difficile is 10,6% (found in 36 out of 340 samples) (Collins et al., 2017). Major risk factors for CDI are antibiotic exposure, hospitalization, staying in a healthcare facility, and advanced age (Martin et al., 2016). Although most cases were reported from the healthcare facilities, it is also known that CDI cases can be found in the community where healthy people are not exposed to antibiotics or hospitals. Removing the causative agents that disturb the gut microbiota balance and treatment with antibiotics which is mainly done by administering metronidazole or vancomycin are among the common methods to treat CDI (Bartlett & Gerding, 2008). However, recurring cases cause these methods to become less effective.

Although the exact mechanism is unclear, FMT is used as a CDI treatment based on increasing the diversity of the patient's gut microbiota composition strategy (Merrick et al., 2020). A systematic review summarizing 2 randomized controlled trials, 28 case series, and 5 case reports regarding the use of FMT therapy in CDI patients. This study showed that 85% of recurrent CDI patients recovered after FMT therapy (Drekonja et al., 2015). Recent studies have shown a correlation between the presence of bile salt hydrolase-producing microbes and the success of FMT therapy in curing CDI disease, although further research is still needed (Mullish et al., 2019). Metronidazole, vancomycin and fidaxomicin are antibiotics that are usually used as treatment against CDI. Unfortunately, some reports

Page 102: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

102

have shown that there is a large number of CDI treatment failure or recurrence in patients up to 3 months of post-treatment due to these antibiotics (Crook et al., 2012; Vardakas et al., 2012; Weiss et al., 2011). Several randomized controlled trials have also demonstrated success rates of FMT over the use of antibiotics in treating CDI. FMT therapy after an 8-week period may restore up to 71% CDI patients compared to fidaxomicin and vancomycin (31% and 19% respectively) (Hvas et al., 2019). Similar results were also demonstrated in the Cammarota et al study, which resulted in a higher number of recovered CDI patients up to 90% through FMT therapy, compared to vancomycin (26%) (Cammarota et al., 2015). With the increasing awareness of excessive antibiotic use, FMT becomes a promising alternative option for CDI patients.

In addition to CDI, other gastrointestinal related diseases such as inflammatory bowel disease (IBD) have also been studied as the target of FMT. IBD is strongly associated with dysbiosis in the gastrointestinal microbiota. In IBD patients, there is a low diversity of gastrointestinal microbiota, and low types of Firmicutes and Bacteroides bacteria but relatively high Proteobacteria. Firmicutes are known to grow in the digestive tract and produce various types of SCFA such as butyrate, which function in regulating the immune system in the digestive tract. With the reduction of these bacteria, the risk of inflammation in the digestive tract increases (Sartor, 2008). Reports on IBD treatment cases using FMT have been established. Of these cases, in which 41 IBD patients were examined after receiving FMT treatment, some patients experienced a reduction in symptoms (19/25), treatment discontinuation (13/17), and disease remission (15/24) (Anderson et al., 2012). Another randomized controlled trial has also been conducted to analyze the use of FMT to treat IBD. Parallel blinded controlled trial was performed on 75 subjects with active ulcerative colitis divided into two groups who underwent the FMT treatment (n=38) and placebo (n=37) once per week for 6 weeks. The results showed that FMT can accelerate disease remission by up to 7 weeks in the FMT group without any significant difference in side effects between groups (Moayyedi et al., 2015).

Despite promising results of FMT in IBD treatment, study about FMT efficacy in IBD treatment especially its optimization needs more to be learned.

Another disease that is closely related to dysbiosis of the digestive tract is irritable bowel syndrome (IBS), which is a collection of chronic symptoms that cause discomfort in the digestive tract, especially in the large intestine. Several studies reported the analysis of the gut composition of the microbiota of IBS patients with significantly higher numbers of potentially harmful microbes such as Enterobacteriaceae but decreased numbers of beneficial microbes such as Faecalibacterium prausnitzii, Bifidobacterium and Lactobacillus compared to healthy people (Chassard et al., 2012; Rajilić-Stojanović et al., 2011) A randomized clinical study as concerns of the use of FMT in IBS patients was conducted by El-Salhy et. al which involved 165 patients divided into 3 groups (placebo, 30 grams FMT and 60 grams FMT). This randomized, double-blind, placebo-controlled study resulted in an 89.1% reduction in IBS symptoms in patients on 60 grams of FMT therapy with common and mild adverse effects. This study also showed improving the physical (fatique) and life quality of IBS patients after undergoing FMT therapy for 3 months (El-Salhy et al., 2020). This research can serve as a reference for the use of FMT therapy in treating IBS in patients.

FMT practice and procedures Fundamentally, FMT is done by inserting

feces from a donor into the patient. However, the transfer of feces may contain risk of becoming a medium for infectious diseases, thus the selection of fecal donors before undergoing the procedure is very critical in FMT therapy. The donor selection process can be initiated by tracing the donor's medical history and lifestyle habits. This can be done by filling out questionnaires or interviews. Things that should be explored in this initial selection include the history of infection with HIV, syphilis, tuberculosis, and so on, as well as habits that increase the risk of contracting infectious diseases such as the use of illegal drugs, the use of needles such as for tattooing, piercing, acupuncture, and risky sexual activities. A history of gastrointestinal, metabolic, and neurological

Page 103: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

103

disorders should also be investigated to minimize the risk of long-term side effects of FMT. Finally, the history of using drugs that can affect the gut microbiota composition of the donor also needs to be known, such as the use of antibiotics, laxatives, immunosuppressants, and chemotherapy (Cammarota et al., 2017).

Prospective fecal donors need to undergo further interviews on the day of donation regarding symptoms of gastrointestinal disorders, such as diarrhea, nausea, abdominal pain, and general illnesses such as fever, cough, sore throat recently. Recent activities that increase the risk of infection and the use of antibiotics should also be asked during follow-up interviews to prevent potential harm from donor to patient. 4 weeks before donating feces, selected donors must take blood and fecal tests. Some detection tests are mandatory, such as detection of infectious viruses, antibiotic-resistant microbes, and enteric pathogens. Some optional tests also occasionally need to be done regarding the geographic area of the donor (human T-lymphotropic virus types I and II antibodies, or Strongyloides stercoralis), the clinical condition of the donor recipient (cytomegalovirus IgG, viral capsid antigen IgG, bacterial culture for Vibrio cholera and Listeria monocytogenes, antigens and/or acid fast-staining for Isospora and Microsporidia) as well as donor medical records (calcoprotein) (Cammarota et al., 2017).

Donated feces need to be prepared prior to transplantation. The feces can be in the form of fresh (maximum 6 hours after defecation) or frozen. In case of fresh feces, the feces to be used (minimum 30 grams) must be suspended with saline solution then blended and sieved to prevent clogging during the transplant process. In case of frozen feces, donor feces which are intended for future use can be frozen at -80°C, labeled, and added with glycerol as a cryoprotectant. Prior to application, frozen feces must be thawed. Thawing can be done by using a water bath with a set temperature of 37°C and the feces can be used for a maximum of 6 hours after the thawing process. During the FMT process, it is important to maintain anaerobic storage and handling conditions, since most microbiota in the digestive tract are very sensitive to oxygen (Cammarota et al., 2017).

There are various methods for delivering donor feces to patients, which their selection depends on the patient's clinical condition. The first method is through an enema, in which the patient is injected with prepared feces into the lower bowel through the rectum. This method is the simplest method, less invasive and inexpensive, but must be repeated several times for this method to be successful. The second method is through colonoscopy, which is by inserting a long and flexible tube (colonoscope) containing donor feces which is then infused into the patient's colon. This method can reach deeper areas in the digestive tract than enema and can achieve success from just one treatment. However, in patients suffering from severe colitis or colonic distension, the colonoscopy method needs to be taken into consideration because it can cause perforation or injury to the walls of the organs of the digestive tract. The last method is the upper digestive system, with esophagogastroduodenoscopy or by using a small endoscope that can reach the pharynx, esophagus, stomach, and duodenum. This method can also be done with a nasogastric or nasoduodenal tube. With this method, excessive donated feces can trigger vomiting and aspiration (Cammarota et al., 2017; Lee et al., 2015). A delivery method has also been developed through the consumption of oral capsules containing fecal donors (Hirsch et al., 2015; Youngster et al., 2014), but this method needs further development.

FMT safety and regulatory aspects Transplantation of live microbiota in large

numbers in patients with certain disease severity certainly has a lot of risks. However, most of the potential risk that may happen to patients can be mitigated through a strict fecal donor selection. A frozen feces storage bank was established to accommodate CDI patients' access to FMT therapy. The advantages of this stool bank include lower costs, safer stool storage and handling, and more traceable (Cammarota et al., 2019). The existence of the stool bank will be beneficial to prevent any risk done by FMT therapy because it provides recorded and traceable data regarding donor feces. In CDI treatment through FTM, the most common side effects are diarrhea, stomach

Page 104: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

104

cramps, belching, constipation, fever, and perforation (Cammarota et al., 2017).

Evidence data on the long-term effects of FMT therapy are scarce. In theory, FMT can increase the possibility of non-infectious diseases related to gut microbiota composition such as obesity, metabolic disorders such as insulin resistance, cancer, mood disorders, and neuropsychiatric conditions. However, there is too little data linking these matters and it will take a long time for the effects to develop (Merrick et al., 2020). Due to the lack of data regarding the long-term effects of FMT, a documented and traceable overall therapeutic FMT procedure is essential to mitigate the effects that may arise.

Application of FMT poses challenges to define its position in the established regulations. Although it is aimed for treating a disease, FMT cannot be placed in the same position as a common drug since the transferred material contains living organisms that are metabolically active and rapidly shifting. Moreover, the presence of unculturable organisms makes it difficult to conduct in vitro and in vivo assay to test the effectiveness of this treatment (Petrof & Khoruts, 2014). Due to the dynamic condition of the ingredient materials, unstable production of FMT is also thought to be burdensome. In the United States, the Food and Drug Administration (FDA)

regulates FMT as a biological product. However, it requires an approved investigational new drug to conduct the therapy. It means that FMT for CDI treatment can be performed in the USA, but the policy can be revoked through FDA assessment. Meanwhile, The European Union through Competent Authorities on Substances of Human Origin Expert Group of the European Union in 2014 concluded that feces is not part of European Human Tissue Directive 2004/23/EC, and give each member states a freedom to regulate FMT in national level. The UK through UK Medicine and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) categorize FMT as medicinal product, it means that FMT material can be marketed if the quality, efficacy, and safety standards are met and a marketing authorization has been issued. This condition makes FMT material not licensed in the UK, but it is still permitted to be used for clinical purpose under Directive 2001/83/EC relating to medicinal products for human use (Medicinal Products Directive). On the other hand, some countries have no FMT regulation at all. Unclear mechanisms of action or active substance(s) that play a role in FMT as treatment become the reason the Superior Health Council of Belgium has not established the law and put FMT under the human body tissue category (Merrick et al., 2020; Verbeke et al., 2017)

Figure 1. FMT procedures (Cammarota et al., 2017)

Conclusions and future directions

FMT has been proven effective to treat Clostridioides difficile infection (CDI), and other gastrointestinal-related diseases, including the inflammatory bowel disease (IBD) and irritable bowel syndrome (IBS). Despite the success of this method, it also possesses inherent risks that need to be further explored. In addition, its exact mechanism of

action is still a surface knowledge and its position in the established regulatory standards are different among countries. The use of standard microbiological screening should mitigate the risk of transferring known disease-causing microorganisms. Further challenge will be defining and identifying the exact role of microbiota or their metabolites that are contained in the transferred feces.

Page 105: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

105

References

Anderson, J. L., Edney, R. J., & Whelan, K. (2012). Systematic review: Faecal microbiota transplantation in the management of inflammatory bowel disease. Alimentary Pharmacology and Therapeutics, 36(6), 503–516.

Bäckhed, F., Ley, R. E., Sonnenburg, J. L., Peterson, D. A., & Gordon, J. I. (2005). Host-bacterial mutualism in the human intestine. Science, 307(5717), 1915–1920.

Bartlett, J. G., & Gerding, D. N. (2008). Clinical recognition and diagnosis of Clostridium difficile infection. Clinical Infectious Diseases, 46(SUPPL. 1).

Cammarota, G., Masucci, L., Ianiro, G., Bibbo, S., Dinoi, G., Costamagna, G., Sanguinetti, M., & Gasbarrini, A. (2015). Randomised clinical trial: faecal microbiota transplantation by colonoscopy vs. vancomycin for the treatment of recurrent Clostridium difficile infection. Alimentary Pharmacology and Therapeutics, 41, 835–843.

Cammarota, Giovanni, Ianiro, G., Kelly, C. R., Mullish, B. H., Allegretti, J. R., Kassam, Z., Putignani, L., Fischer, M., Keller, J. J., Costello, S. P., Sokol, H., Kump, P., Satokari, R., Kahn, S. A., Kao, D., Arkkila, P., Kuijper, E. J., Vehreschild, M. J. G. T., Pintus, C., … Gasbarrini, A. (2019). International consensus conference on stool banking for faecal microbiota transplantation in clinical practice. Gut, 68(12), 2111–2121.

Cammarota, Giovanni, Ianiro, G., Tilg, H., Rajilić-Stojanović, M., Kump, P., Satokari, R., Sokol, H., Arkkila, P., Pintus, C., Hart, A., Segal, J., Aloi, M., Masucci, L., Molinaro, A., Scaldaferri, F., Gasbarrini, G., Lopez-Sanroman, A., Link, A., De Groot, P., … Gasbarrini, A. (2017). European consensus conference on faecal microbiota transplantation in clinical practice. Gut, 66(4), 569–580.

Chassard, C., Dapoigny, M., Scott, K. P., Crouzet, L., Del’Homme, C., Marquet, P., Martin, J. C., Pickering, G., Ardid, D., Eschalier, A., Dubray, C., Flint, H. J., & Bernalier-Donadille, A. (2012). Functional dysbiosis within the gut microbiota of patients with constipated-

irritable bowel syndrome. Alimentary Pharmacology and Therapeutics, 35(7), 828–838.

Choi, H. H., & Cho, Y. S. (2016). Fecal microbiota transplantation: Current applications, effectiveness, and future perspectives. Clinical Endoscopy, 49(3), 257–265.

Collins, D. A., Gasem, M. H., Habibie, T. H., Arinton, I. G., Hendriyanto, P., Hartana, A. P., & Riley, T. V. (2017). Prevalence and molecular epidemiology of Clostridium difficile infection in Indonesia. New Microbes and New Infections, 18, 34–37.

Crook, D. W., Walker, A. S., Kean, Y., Weiss, K., Cornely, O. A., Miller, M. A., Esposito, R., Louie, T. J., Stoesser, N. E., Young, B. C., Angus, B. J., Gorbach, S. L., Peto, T. E. A., & Teams, S. (2012). Fidaxomicin Versus Vancomycin for Clostridium dif fi cile Infection: Meta-analysis of Pivotal Randomized Controlled Trials. Clinical Infectious Diseases, 55(Suppl 2), 93–103.

Drekonja, D., Reich, J., Gezahegn, S., R., Rutks, I., & Wilt, T. J. (2015). Fecal microbiota transplantation for clostridium difficile infection a systematic review. Annals of Internal Medicine, 162(9), 630–638.

Eckburg, P. B., Bik, E. M., Bernstein, C. N., Purdom, E., Dethlefsen, L., Sargent, M., Gill, S. R., Nelson, K. E., & Relman, D. A. (2005). Diversity of the Human Intestinal Microbial Flora.

Eiseman B, Silen W, Bascom GS, Kauvar AJ. Fecal enema as an adjunct in the treatment of pseudomembranous enterocolitis. Surgery, 44(5):854-9. PMID: 13592638.

El-Salhy, M., Hatlebakk, J. G., Gilja, O. H., Bråthen Kristoffersen, A., & Hausken, T. (2020). Efficacy of faecal microbiota transplantation for patients with irritable bowel syndrome in a randomised, double-blind, placebo-controlled study. Gut, 69(5), 859–867.

Freeman, J., Bauer, M. P., Baines, S. D., Corver, J., Fawley, W. N., Goorhuis, B., Kuijper, E. J., & Wilcox, M. H. (2010). The changing epidemiology of Clostridium difficile infections. Clinical Microbiology Reviews, 23(3), 529–549.

Page 106: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

106

Ghantoji, S. S., Sail, K., Lairson, D. R., DuPont, H. L., & Garey, K. W. (2010). Economic healthcare costs of Clostridium difficile infection: A systematic review. Journal of Hospital Infection, 74(4), 309–318.

Hirsch, B. E., Saraiya, N., Poeth, K., Schwartz, R. M., Epstein, M. E., & Honig, G. (2015). Effectiveness of fecal-derived microbiota transfer using orally administered capsules for recurrent Clostridium difficile infection. BMC Infectious Diseases, 15(1), 1–9.

Hoffmann, D. E., Palumbo, F. B., Ravel, J., Rowthorn, V., & von Rosenvinge, E. (2017). A proposed definition of microbiota transplantation for regulatory purposes. Gut Microbes, 8(3), 208–213.

Hoffmann, D., Palumbo, F., Ravel, J., Roghmann, M. C., Rowthorn, V., & Von Rosenvinge, E. (2017). Improving regulation of microbiota transplants. In Science (Vol. 358, Issue 6369, pp. 1390–1391). American Association for the Advancement of Science.

Hollister, E. B., Gao, C., & Versalovic, J. (2014). Compositional and Functional Features of the Gastrointestinal Microbiome and Their Effects on Human Health. Gastroenterology, 146(6), 1449–1458.

Huttenhower, C., Gevers, D., Knight, R., Abubucker, S., Badger, J. H., Chinwalla, A. T., Creasy, H. H., Earl, A. M., Fitzgerald, M. G., Fulton, R. S., Giglio, M. G., Hallsworth-Pepin, K., Lobos, E. A., Madupu, R., Magrini, V., Martin, J. C., Mitreva, M., Muzny, D. M., Sodergren, E. J., … White, O. (2012). Structure, function and diversity of the healthy human microbiome. Nature, 486(7402), 207–214.

Hvas, C. L., Dahl Jørgensen, S. M., Jørgensen, S. P., Storgaard, M., Lemming, L., Hansen, M. M., Erikstrup, C., & Dahlerup, J. F. (2019). Fecal Microbiota Transplantation Is Superior to Fidaxomicin for Treatment of Recurrent Clostridium difficile Infection. Gastroenterology, 156(5), 1324-1332.e3.

Kootte, R., Vrieze, A., Holleman, F., Dallinga-Thie, G. M., Zoetendal, E. G., De Vos, W. M., Groen, B. K., Hoekstra, J. B. L., Stroes, E. S., & Nieuwdorp, M. (2012). The Therapeutic Potential of Manipulating Gut Microbiota in Obesity and Type 2 Diabetes Mellitus.

Diabetes Obesity and Metabolism, 14, 112–120.

Kumar, R., Mukherjee, M., Bhandari, M., Kumar, A., Sidhu, H., & Mittal, R. D. (2002). Role of Oxalobacter formigenes in calcium oxalate stone disease: A study from North India. European Urology, 41(3), 318–322.

Lee, W. J., Lattimer, L. D. N., Stephen, S., Borum, M. L., & Doman, D. B. (2015). Fecal Microbiota Transplantation: A Review of Emerging Indications Beyond. Gastroenterology & Hepatology, 11(1), 24–32.

Louie, T. J., Miller, M. A., Mullane, K. M., Weiss, K., Lentnek, A., Golan, Y., Gorbach, S., Sears, P., Ph, D., Shue, Y., & Ph, D. (2011). Fidaxomicin versus Vancomycin for. Th e New Engl and Journal of Medicine Original, 364(5), 422–431.

Magwira, C. A., Kullin, B., Lewandowski, S., Rodgers, A., Reid, S. J., & Abratt, V. R. (2012). Diversity of faecal oxalate-degrading bacteria in black and white South African study groups: Insights into understanding the rarity of urolithiasis in the black group. In Journal of Applied Microbiology (Vol. 113, pp. 418–428).

Martin, J. S. H., Monaghan, T. M., & Wilcox, M. H. (2016). Clostridium difficile infection: Epidemiology, diagnosis and understanding transmission. Nature Reviews Gastroenterology and Hepatology, 13(4), 206–216.

McDonald, L. C., Owings, M., & Jernigan, D. B. (2006). Clostridium difficile infection in patients discharged from US short-stay hospitals, 1996-2003. Emerging Infectious Diseases, 12(3), 409–415.

McFarland, L. V. (2009). Renewed interest in a difficult disease: Clostridium difficile infections - Epidemiology and current treatment strategies. Current Opinion in Gastroenterology, 25(1), 24–35.

McFarland, L. V., Clarridge, J. E., Beneda, H. W., & Raugi, G. J. (2007). Fluoroquinolone use and risk factors for Clostridium difficile-associated disease within a veterans administration health care system. Clinical Infectious Diseases, 45(9), 1141–1151.

Page 107: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

107

Merrick, B., Allen, L., Zain, N. M. M., Forbes, B., Shawcross, D. L., & Goldenberg, S. D. (2020). Regulation, risk and safety of Faecal Microbiota Transplant. Infection Prevention in Practice, 2(January), 1–7.

Moayyedi, P., Surette, M. G., Kim, P. T., Libertucci, J., Wolfe, M., Onischi, C., Armstrong, D., Marshall, J. K., Kassam, Z., Reinisch, W., & Lee, C. H. (2015). Fecal Microbiota Transplantation Induces Remission in Patients With Active Ulcerative Colitis in a Randomized Controlled Trial. Gastroenterology, 149(1), 102-109.e6.

Mullish, B. H., McDonald, J. A. K., Pechlivanis, A., Allegretti, J. R., Kao, D., Barker, G. F., Kapila, D., Petrof, E. O., Joyce, S. A., Gahan, C. G. M., Glegola-Madejska, I., Williams, H. R. T., Holmes, E., Clarke, T. B., Thursz, M. R., & Marchesi, J. R. (2019). Microbial bile salt hydrolases mediate the efficacy of faecal microbiota transplant in the treatment of recurrent Clostridioides difficile infection. Gut, 68(10), 1791–1800.

Nikhra, V. (2019). Therapeutic potential of gut microbiome manipulation: concepts in Fecal Microbiota Transplantation. Current Research in Diabetes & Obesity Journal, 11(1), 1–9.

Qin, J., Li, R., Raes, J., Arumugam, M., Burgdorf, K. S., Manichanh, C., Nielsen, T., Pons, N., Levenez, F., Yamada, T., Mende, D. R., Li, J., Xu, J., Li, S., Li, D., Cao, J., Wang, B., Liang, H., Zheng, H., … Zoetendal, E. (2010). A human gut microbial gene catalogue established by metagenomic sequencing. Nature, 464(7285), 59–65.

Rajilić-Stojanović, M., Biagi, E., Heilig, H. G. H. J., Kajander, K., Kekkonen, R. A., Tims, S., & De Vos, W. M. (2011). Global and deep molecular analysis of microbiota signatures in fecal samples from patients with irritable bowel syndrome. Gastroenterology, 141(5), 1792–1801.

Sartor, R. B. (2008). Microbial Influences in Inflammatory Bowel Diseases. Gastroenterology, 134(2), 577–594.

Spanogiannopoulos, P., Bess, E. N., Carmody, R. N., & Turnbaugh, P. J. (2016). The microbial pharmacists within us: A metagenomic view of

xenobiotic metabolism. Nature Reviews Microbiology, 14(5), 273–287.

Tremaroli, V., & Bäckhed, F. (2012). Functional interactions between the gut microbiota and host metabolism. Nature, 489(7415), 242–249.

Turnbaugh, P. J., Hamady, M., Yatsunenko, T., Cantarel, B. L., Ley, R. E., Sogin, M. L., Jones, W. J., Roe, B. a, Jason, P., Egholm, M., Henrissat, B., Heath, A. C., Knight, R., Gordon, J. I., Rey, F. E., Manary, M. J., Trehan, I., Dominguez-Bello, M. G., Contreras, M., … Gordon, J. I. (2009). A core gut microbiome between lean and obesity twins. Nature, 457(7228), 480–484.

Van Nood, E., Vrieze, A., Nieuwdorp, M., Fuentes, S., Zoetendal, E. G., E. J., Bartelsman, J. F. W. M., Tijssen, J. G. P., Speelman, P., Dijkgraaf, M. G. W., & Keller, J. J. (2013). Duodenal infusion of donor feces for recurrent clostridium difficile. New England Journal of Medicine, 368(5), 407–415.

Wang, X., Conway, P. L., Brown, I. L., & Evans, A. J. (1999). In vitro utilization of amylopectin and high-amylose maize (amylomaize) starch granules by human colonic bacteria. Applied and Environmental Microbiology, 65(11), 4848–4854.

Wilcox, M. H. (2004). Descriptive study of intravenous immunoglobulin for the treatment of recurrent Clostridium difficile diarrhoea. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 53(5), 882–884.

Vardakas, K. Z., Polyzos, K. A., Patouni, K., Rafailidis, P. I., Samonis, G., & Falagas, M. E. (2012). Treatment failure and recurrence of Clostridium difficile infection following treatment with vancomycin or metronidazole: A systematic review of the evidence. International Journal of Antimicrobial Agents, 40(1), 1–8.

Youngster, I., Russell, G. H., Pindar, C., Ziv-Baran, T., Sauk, J., & Hohmann, E. L. (2014). Oral, Capsulized, Frozen Fecal Microbiota Transplantation for Relapsing Clostridium difficile Infection. JAMA - Journal of the American Medical Association, 312(17), 1772–1778.

Page 108: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

108

Studi In silico gen-gen dalam metabolisme giberellin pada tanaman Stevia rebaudiana Bert.

melalui pendekatan komparasi genomik

In silico study of gibberellins metabolic genes in Stevia rebaudiana Bert. through comparative genomics approach

Rizka Tamania Saptari1, Riza Arief Putranto1,2, Rizkita Rachmi Esyanti3

1) Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1, Bogor 16128 2) PT Riset Perkebunan Nusantara, Jalan Salak No.1A, Bogor 16128

3) Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganeca No.10, Bandung 40132

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Rekayasa metabolit dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi senyawa pemanis, glikosida steviol dari tanaman stevia, salah satunya melalui rekayasa jalur metabolisme glikosida steviol yang diketahui terkait dengan metabolisme gibberellin (GA). Penelitian in silico gen-gen yang terlibat dalam metabolisme GA spesifik pada tanaman stevia perlu dilakukan sebagai langkah awal rekayasa metabolisme glikosida steviol. Penelitian dilakukan dengan pendekatan komparasi genomik antara transkriptom stevia dengan gen-gen GA pada Arabidopsis thaliana yang telah diketahui dari basis data. Komparasi dilakukan dengan metode penjajaran sekuens menggunakan fasilitas tblastn – NCBI BLAST + pada webtools South Green bioinformatics platform, seleksi sekuens dengan kemiripan tinggi, dan anotasi menggunakan software Geneious Prime. Hasil analisis in silico selanjutnya dikonfirmasi dengan Polymerase Chain Reaction untuk mengamplifikasi gen GA putatif pada tanaman stevia menggunakan beberapa desain primer oligonukleotida. Hasil analisis in silico menemukan lima sekuens putatif gen KAO, GA2ox1, GA2ox2, KNAT5 dan ATH1 pada tanaman stevia. Hasil konfirmasi menggunakan analisis PCR menunjukkan bahwa gen putatif GA2ox1 dan ATH1 pada tanaman stevia dapat teramplifikasi dengan baik menggunakan primer oligonukleotida yang dirancang berdasarkan informasi hasil analisis in silico. Hasil ini menunjukkan bahwa analisis in silico berguna untuk memperoleh informasi mengenai gen-gen GA pada tanaman stevia.

[Kata kunci: ATH1, GA2ox1, GA2ox2, KAO, glikosida steviol]

Pendahuluan

Tren pemanis rendah bahkan tanpa kalori semakin diminati masyarakat modern mengingat banyaknya penyakit akibat pola hidup dan konsumsi yang kurang sehat, seperti diabetes dan obesitas. Salah satu bahan pemanis yang telah banyak digunakan sebagai alternatif pengganti gula yaitu glikosida steviol yang berasal dari tanaman stevia (Stevia rebaudiana) (famili Compositae). Glikosida steviol diminati karena berasal dari bahan alami juga hampir tanpa kalori dan tidak menaikkan indeks

glikemat (Savita et al., 2004). Sejak memperoleh status GRAS dari US FDA pada tahun 2008 dan EU pada tahun 2011 (Perrier et al., 2018) perkembangan pasar glikosida steviol pun meningkat pesat.

Glikosida steviol merupakan senyawa metabolit sekunder golongan diterpenoid yang disintesis dari jalur 2-C-Methylerythritol 4-phosphate (MEP) di plastida kloroplas dan retikulum endoplasma (Singh et al., 2017). Prekursor dari SG adalah ent-kauremoic acid yang juga merupakan prekursor dari hormon tanaman,

Page 109: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

109

gibberellin (GA). Ent-kaurenoic acid di retikulum endoplasma dikonversi menjadi steviol dikatalis oleh enzim ent-kaurenoic acid 13-hydroxylase (KA13H) dan disintesis lebih lanjut hingga turunan-turunan glikosida steviol di sitoplasma (Singh et al., 2017). Akan tetapi, ent-kaurenoic acid pun dikonversi menjadi GA12-aldehyde oleh enzim yang berbeda, yaitu entaz-kaurenoic acid oxidase (KAO), yang kemudian disintesis lebih lanjut hingga terbentuk GA (Olszewski et al., 2002).

Produksi glikosida steviol dari S. rebaudina dapat ditingkatkan baik melalui pemuliaan bahan tanaman (Khan et al., 2016; Sinta et al., 2018) maupun rekayasa metabolit secara enzimatis (Adari et al., 2016), kimiawi (Bayraktar et al., 2016; Yoneda et al., 2017; Saptari et al., 2019), dan molekuler (Kim et al., 2018; Saifi et al., 2019; Zheng et al., 2019). Usaha peningkatan glikosida steviol melalui rekayasa metabolit dapat dilakukan melalui rekayasa jalur metabolisme yang terkait GA. Karena berasal dari prekursor yang sama, penghambatan sintesis GA dilaporkan dapat meningkatkan laju sintesis ke arah glikosida steviol (Yoneda et al., 2017; Saptari et al., 2019). Oleh karena itu, informasi mengenai metabolisme GA yang spesifik pada S. rebaudiana terutama enzim-enzim dan gen-gen pengkodenya penting untuk diketahui.

Saat ini, basis data gen-gen dalam metabolisme GA lengkap diketahui pada tanaman Arabidopsis thaliana, sedangkan pada S. rebaudiana belum banyak dikaji (Singh et al., 2017). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai gen-gen yang terlibat dalam metabolisme GA yang spesifik pada S. rebaudiana melalui analisis in silico dengan cara membandingkan basis data transkriptom S. rebaudiana dengan basis data gen-gen GA pada tanaman A. thaliana. Komparasi menggunakan basis data transkriptom karena saat ini belum tersedia basis data genom dari S. rebaudiana. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metabolisme GA yang spesifik pada S. rebaudiana yang dapat dimanfaatkan untuk usaha meningkatkan produksi glikosida steviol dari tanaman tersebut.

Bahan dan Metode

Koleksi data Koleksi data dilakukan untuk memperoleh

data transkriptomik S. rebaudiana dan sekuens dari gen-gen terkait metabolisme GA dari A. thaliana. Data transkriptom S. rebaudiana diperoleh dari The European Nucleotide Archive (ENA) (https://www.ebi.ac.uk/ena) dengan nomor aksesi GANE01000000, sedangkan sekuens gen-gen terkait metabolisme GA pada A. thaliana diperoleh dari TAIR (https://www.arabidopsis.org), dengan cara mengetikkan kata kunci “Gibberellin” pada kolom query dan memilih kategori “Gene”. Data gen-gen metabolisme GA dari A. thaliana disimpan dalam bentuk sekuens proteinnya, dalam format file FASTA untuk selanjutnya dilakukan penjajaran dengan basis data transkriptom S. rebaudiana.

Penjajaran sekuens dan anotasi Penjajaran sekuens transkriptom stevia

(GANE01000000) dengan sekuens protein gen-gen metabolisme GA pada A.thaliana menggunakan fasilitas tblastn – NCBI BLAST + pada webtools South Green bioinformatics platform (http://galaxy.southgreen.fr/galaxy/) (Cock, et al., 2015). Penjajaran dilakukan untuk mencari sekuens pada data transkriptom S. rebaudiana yang memiliki kesamaan tinggi dengan sekuens protein dari gen-gen GA pada A. thaliana, yaitu yang memenuhi kriteria nilai identity ³ 45% pada panjang sekuens ³ 100 residu asam amino. Kemudian sekuens gen putatif metabolisme GA pada S. rebaudiana yang diperoleh dari hasil penjajaran dan seleksi dianotasi menggunakan software Geneious R11. Anotasi dilakukan untuk menentukan daerah coding sequence (CDS), dan 5’UTR dan 3’UTR (jika ada) (Parikesit, dkk., 2017), yang kemudian digunakan untuk membuat rancangan primer oligonukleotida. Rancangan primer oligonukleotida

Primer oligonukleotida dibuat untuk mengamplifikasi gen-gen metabolisme GA dari sampel tanaman S. rebaudiana berdasarkan sekuens gen-gen putatif yang diperoleh dari hasil analisis in silico, sekaligus sebagai konfirmasi hasil analisis tersebut. Pada setiap gen putatif metabolisme GA pada S. rebaudiana, dibuat masing-masing sebanyak 2 pasang rancangan

Page 110: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

110

primer. Rancangan primer dibuat mengunakan webtools Primer3Plus - Bioinformatics (http://www.bioinformatics.nl/cgi-bin/primer3plus/primer3plus.cgi) (Rozen dan Skaletsky, 2000). Primer dibuat dengan kriteria ukuran 18-22 bp, melting temperature (Tm) 58-62 °C, komposisi basa GC 45-55%, kemungkinan self-compatibility maksimal 4, kemungkinan 3’ self-compatibility maksimal 1, dan berdasarkan Ye et al. (2012) diutamakan posisi primer berada di daerah 3’UTR-CDS atau 5’UTR-CDS (Gambar 1).

Gambar 1. Prioritas posisi sekuens primer yang dirancang Figure 1. Preferred position of designed primer sequence

Isolasi RNA Isolasi RNA dilakukan pada sampel berupa

daun S. rebaudiana in vitro yang telah dikultur selama 3 minggu. Total mRNA diisolasi menggunakan kit GeneAll Ribospin™ Plant (GeneAll Biotechnology Co. Ltd., 307-105). Sampel digerus hingga menjadi serbuk menggunakan mortar dan nitrogen cair. Serbuk kemudian dimasukkan ke dalam tube ukuran 2 mL (1/4-1/3 dari tube) untuk kemudian dilakukan ekstraksi RNA sesuai instruksi dari manufaktur. Kuantitas dan kemurnian RNA hasil isolasi diukur menggunakan spektrofotometer NanoDrop™ pada panjang gelombang λ260, λ280, sedangkan kualitas RNA dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarosa (1%).

RNA yang memiliki konsentrasi dan kemurnian yang baik kemudian diberi perlakuan DNAse untuk menghilangkan kontaminan DNA yang masih terdapat dalam sampel RNA. Perlakuan DNAse menggunakan kit Invitrogen™ DNase I, Amplification Grade (ThermoFisher Scientific, 18068015). Sebanyak 2.000 ng sampel RNA dipipet ke dalam 1,5 mL tube kemudian ditambahkan 2 µL DNAse buffer dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Selanjutnya, ditambahkan 2 µL EDTA dan diinkubasi pada waterbath suhu 65 °C selama 10 menit, kemudian didinginkan kembali dengan es. RNA yang telah diberi perlakuan DNase kemudian dikuantifikasi kembali menggunakan spektrofotometer

NanoDrop™, kemudian digunakan untuk sintesis cDNA.

Sintesis cDNA Sintesis cDNA dilakukan menggunakan kit

AccuPower® RT PreMix (Bioneer Corporation, K-2041). Sebanyak 10 µL (2.000 nanogram) sampel RNA dipipet ke dalam tube yang disediakan dari kit. Selanjutnya ditambahkan 10 µL DEPC water, dan dihomogenisasi menggunakan spin-down. Campuran RNA kemudian diinkubasi pada mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk sintesis cDNA. Program pada mesin PCR diatur yaitu tahap sintesis pada suhu 55 °C selama 60 menit, terminasi pada suhu 85 °C selama 8 menit, dan pendinginan pada suhu 4 °C selama minimal 10 menit. Setelah itu, cDNA diencerkan dengan menambahkan 20 µL air bebas nuklease. cDNA kemudian disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan untuk analisis.

Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan

untuk mengkonfirmasi hasil analisis in silico dengan cara menguji apakah gen-gen putatif metabolisme GA pada S. rebaudiana dapat diamplifikasi menggunakan primer oligonukleotida yang dirancang berdasarkan informasi sekuens hasil analisis in silico. Konfirmasi melalui PCR dilakukan menggunakan 2 pasang primer rancangan.

Komponen reaksi PCR terdiri dari 200 ng cDNA sampel, 25 µL MyTaq™ HS Red Mix (Bioline, BIO-25047), 1 µL primer forward, 1 µL primer reverse, dan ditambahkan dH2O hingga volume mencapai 50 µL. Campuran reaksi kemudian diamplifikasi pada thermal cycler dengan program denaturasi awal pada suhu 95 °C selama 1 menit, denaturasi pada suhu 95 °C selama 15 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu 55 °C selama 15 detik, dan pemanjangan (extension) pada suhu 72 °C selama 15 detik, diulang sebanyak 35 siklus, dan dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 4 °C minimal 10 menit.

Hasil amplifikasi kemudian dikonfirmasi dengan elektroforesis gel agarosa 1%. Gel dibuat dengan melarutkan 0,4 g serbuk agarosa pada 40 mL buffer TBE (Tris-Borate-EDTA) lalu dipanaskan dan ditambahkan 2 µL peqGREEN (VWR Peqlab, 732-2960) sebagai pewarna DNA. Larutan gel

Page 111: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

111

agarosa kemudian dicetak dan diberi sisir elektroforesis untuk membuat sumuran, dan ditunggu hingga dingin dan memadat. Setelah itu, gel diletakkan pada mesin elektroforesis dan direndam dengan running buffer TBE 0,5 M. Selanjutnya, sebanyak 1 µL sampel ditambah 1 µL loading dye dipipet pada sumuran gel agarosa, kemudian mesin elektroforesis dijalankan dengan tegangan listrik 75 volt, kuat arus 100 mA selama 90 menit. Visualisasi hasil elektroforesis dilakukan menggunakan mesin Gel Doc untuk mengamati keberadaan pita DNA pada gel.

Hasil dan Pembahasan

Koleksi data Pada penelitian ini, diperoleh 60 sekuens

gen yang terkait metabolisme, baik sintesis maupun signaling GA pada tanaman A. thaliana berdasarkan basis data TAIR (Tabel 1). Hasil penjajaran sekuens

Penjajaran sekuens melalui tblastn – NCBI BLAST + pada webtools South Green bioinformatics platform menghasilkan 1.125 genomic scaffold yang memiliki kemiripan dengan 6 gen terkait GA pada A. thaliana, yaitu AtKAO1 (At1G05160), AtGA2ox2 (At1G30040), AtGA2ox1

(At1G78440), AtKAO2 (At2G32440), KNAT5 (At4G32040), dan ATH1 (At4G32980), dengan tingkat kemiripan (nilai identity) 17,59 – 76,87% pada panjang sekuens 16 – 500 residu asam amino. Selanjutnya, dilakukan seleksi untuk menemukan sekuens yang memiliki kesamaan tinggi dengan sekuens protein gen GA pada A. thaliana dengan kriteria nilai identity ³ 45% pada panjang sekuens ³ 100 bp. Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh 5 sekuens gen putatif metabolisme GA pada S. rebaudiana, yaitu KAO, GA2ox2, GA2ox1, ATH1, dan KNAT5. KAO1 dan KAO2 pada S. rebaudiana ditemukan pada satu scaffold yang sama (Tabel 2). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa pada A. thaliana, enzim KAO dikode oleh dua gen yang berbeda, atau redundan, sedangkan pada S. rebaudiana hanya ada satu gen KAO pada transkriptomnya. Kemudian ditemukan masing-masing satu scaffold GA2ox2, GA2ox1 putatif pada S. rebaudiana, sedangkan ATH1 putatif ditemukan pada tiga scaffold dan KNAT5 putatif ditemukan pada lima scaffold. Hal ini menunjukkan bahwa ATH1 dan KNAT5 putatif pada S. rebaudiana sifatnya redundan.

Tabel 1. Gen-gen dalam metabolisme GA pada A. thaliana dari basis data TAIR Table 1. GA metabolism genes in A. thaliana from the TAIR database

Nomor Number

Nama gen Gene name

Enzim/Protein yang dikode Encoded enzyme/protein

Nomor Aksesi Acession number

1 AtKAO1 KAO At1g05160

2 AtKAO2 KAO At2g32440

3 AtGA20ox1 GA 20-oxidase At4g25420

4 AtGA20ox2 GA 20-oxidase At5g51810

5 AtGA20ox3 GA 20-oxidase At5g07200

6 AtGA20ox4 GA 20-oxidase At1g60980

7 AtGA20ox5 GA 20-oxidase At1g44090

8 AtGA3ox1 GA 3-oxidase At1g15550

9 AtGA3ox2 GA 3-oxidase At1g80340

10 AtGA3ox3 GA 3-oxidase At4g21690

11 AtGA3ox4 GA 3-oxidase At1g80330

12 AtGA2ox1 GA 2-oxidase At1g78440

13 AtGA2ox2 GA 2-oxidase At1g30040

14 AtGA2ox3 GA 2-oxidase At2g34555

15 AtGA2ox4 GA 2-oxidase At1g47990

16 AtGA2ox5 GA 2-oxidase At3g17203

17 AtGA2ox6 GA 2-oxidase At1g02400

Page 112: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

112

Nomor Number

Nama gen Gene name

Enzim/Protein yang dikode Encoded enzyme/protein

Nomor Aksesi Acession number

18 AtGA2ox7 GA 2-oxidase At1g50960

19 AtGA2ox8 GA 2-oxidase At4g21200

20 GAMT1 GA methyltransferase 1 At4g26420

21 GAMT2 GA methyltransferase 2 At5g56300

22 GID1a GA receptor GID1 At3g05120

23 GID1b GA receptor GID1 At3g63010

24 GID1c GA receptor GID1 At5g27320

25 RGA REPRESSOR OF GA (Protein DELLA) At2g01570

26 GAI Gibberellic-Acid Insensitive (Protein DELLA) At1g14920

27 RGL1 RGA-Like 1 (Protein DELLA) At1g66350

28 RGL2 RGA-Like 2 (Protein DELLA) At3g03450

29 RGL3 RGA-Like 3 (Protein DELLA) At5g17490

30 SPY SPINDLY At3g11540

31 SLY1 SLEEPY1 (Protein F-box) At4g24210

32 SNE SNEEZY (Protein F-box) At5g48170

33 GASA1 GAST1 protein homolog 1 (GASA1) At1G75750

34 GASA2 GAST1 protein homolog 2 At4g09610

35 GASA3 GAST1 protein homolog 3 At4g09600

36 GASA4 GAST1 protein homolog 4 At5g15230

37 GASA6 GAST1 protein homolog 6 At1G74670

38 GASA5 GAST1 protein homolog 5 At3g02885

39 GIS Glabrous Inflourescence Stems At3G58070

40 GIS2 Glabrous Inflourescence Stems 2 At5g06650

41 AMY1 Alpha-Amylase-like At4g25000

42 XTH24 Xyloglucan Endotransglucosylase/Hydrolase 24 At4g30270

43 UBC17 Ubiquitin-Conjugating Enzyme 17 At4g36410

44 CP1 Cysteine Proteinase 1 At4g36880

45 FUS3 FUSCA3 At3g26790

46 CAND1 Cullin-Associated NEDD8-Dissociated protein 1 At2g02560

47 bHLH DNA binding superfamily protein At2G31730

48 bHLH DNA binding superfamily protein At5g50915

49 DAG2 DOF AFFECTING GERMINATION 1 At2G46590

50 GASA/GAST/Snakin family protein At3G10185

51 GASA/GAST/Snakin family protein At1G10588

52 GASA/GAST/Snakin family protein At2g18420

53 RACK1A Receptor for Activated C Kinase 1A At1G18080

54 GA-regulated family protein At1G22690

55 MIF1 MINI ZINC FINGER 1 (MIF1) At1G74660

56 KNAT5 Knotted-1-like 5 At4g32040

57 ATH1 Arabidopsis Thaliana Homeobox 1 At4g32980

58 2OG and FeII dependent oxygenase At5g51310

59 Tudor2 TUDOR-SN 2 At5g61780

Page 113: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

113

Nomor Number

Nama gen Gene name

Enzim/Protein yang dikode Encoded enzyme/protein

Nomor Aksesi Acession number

60 BT4 BTB & TAZ Domain 4 At5g67480

Tabel 2. Gen-gen terkait GA putatif pada S. rebaudiana berdasarkan hasil tblastn Table 2. S. rebaudiana putative GA-related genes based on tblastn

Nama gen GA pada A. thaliana GA-related gene in A. thaliana

Sekuens pada transkriptom stevia dengan kemiripan tinggi Sequence in stevia transcripts with high similarity

Nilai kemiripan (%) Pident (%)

Panjang sekuens (residu asam amino) Sequence length (amino acid residues)

Sekuens protein pada transkriptom stevia Protein sequence in stevia transcripts

KAO1 (AT2G32440)

ENA|GANE01003897 50,47 107 TRMIQETLRVASILSFTYREAVEDVEMEGYLIPKGWK

VLPLFRSIHYSSNFFPQPNKFDPSRFK-

VAPQPNTYMPFGNGAHACPGSELAKLEMLIFIHHLT

TTMRWE

KAO2 (AT1G05160)

ENA|GANE01003897 52,00 100 TRMIQETLRVASILSFTYREAVEDVEMEGYLIPKGWK

VLPLFRSIHYSSNFFPQPNKFDPSRFK-

VAPQPNTYMPFGNGAHACPGSELAKLEMLIFIHHLT

TTMRWE

GA2ox1 (AT1G78440)

ENA|GANE01010080 48,57 175 TNPLVIPD-----

IPLIDLSKPESKHHLVKACQDFGFFKVVNHGVPSKFI

NKLETEAVKFFASPVSTKERFGPPDPFGYGSKSIGRN

GDVGWVEYLLLKAKPESN----------

YPENFQGVVNDYVTSVKTMACEILELLADEMKLQPR

NVFSKLLMDEESDSVFRVNHYPPC

GA2ox2 (AT1G30040)

ENA|GANE01003870 67,8 TSGLEISLRDGSWMSVPPDSESFFINVGDSLQVMTN

GRFKSVKHRVVANGTKSRLSMIYFGGPPLSEKIAPLS

SLMQGEEDSLYKEFTWFEYKKSAFNSKLSANRLGLF

EK----NHR

ATH1 (AT4G32980)

ENA|GANE01013353 66,11 180 GIEDKKKHLLALLEMVDERYNQCLDEIHTVVSAFSAV

TELNPQIHACFALHTITFFYKNLREKISNHILSIAHDFN

STDPREEQLSSILPKQWSLQQLRRKEHQLWRPQRG

LPEKSVCVLRAWMFQNFLHPYPKDAEKQLLAVKSGL

TRSQVSNWFINARVRLWKPMIEEMYIEMNKRRI

ENA|GANE01013354 66,11 180 GIEDKKKHLLALLEMVDERYNQCLDEIHTVVSAFSAV

TELNPQIHACFALHTITFFYKNLREKISNHILSIAHDFN

STDPREEQLSSILPKQWSLQQLRRKEHQLWRPQRG

LPEKSVCVLRAWMFQNFLHPYPKDAEKQLLAVKSGL

TRSQVSNWFINARVRLWKPMIEEMYIEMNKRRI

ENA|GANE01017710 45,73 164 VDRRYKHYCDQMKAVVSSFEAVAGHGAAKVYSSLAS

KAMSRHFKCLRDGIVNQIKIIKVLMGEKDISAPGASRG

ETPRLKNLDQSLRQQRAF-

QQMTMMDSHPWRPQRGLPERSVSVLRAWLFEHFL

HPYPNDVDKHILARQTGLSRSQVSNWFINARVRLWK

P

KNAT5 (AT4G32040)

ENA|GANE01007797 76,87 114 SPGEGTGATMSDD-DEEQADGDTNLFDGGLDVSDS-

MGFG--

LPTESERSLMERVRQELKHELKQGYKEKLVDIREEIL

RKRRAGKLPGDTTSLLKAWWQSHSKWPYPTEEDKA

RLVQETGLQLKQINNWFINQ

ENA|GANE01010510 58,1 179 KAEIANHPLYEQLLSAHVACLRVATPIDQLPLIDAQL

AQSHHILRSY--

IGDHISQPVGSHDRQELDNFLAQYLFVLCSFKEQLQ

QHVRVHAVEAVMACREIEHNLQALTGASLGEGSGAT

MSDDEDEIPMDFSLDQ-

SGGMDGGHDMMGFGPLLPTESERSLMERVRQELKI

ELKQGF

ENA|GANE01017006 65,13 238 HPMYEQLLAAHVACLRVATPVDQIPRIDAQLSQLHT

VAAKY-----

STLGVVVDNKELDHFMSHYVVLLCSFKEQLQHHVCV

HAMEAITACWEIEQSLQSLTGVSPSESNGKTMSDDE

DDNQVESEVNMFDGSLDGSDCLMGFGPLVPTERER

SLMERVKKELKHELKQGFKEKIVDIREEIMRKRRAGK

LPGDTTSVLKEWWRTHSKWPYPTEEDKAKLVQETGL

QLKQINNWFINQ

ENA|GANE01023884 74,3 249 NWQNARYKAEVLSHPLYEQLLSAHVSCLRIATPVDQ

LPRIDAQLAQSQQVVSKYSGLGGHGDLGDDKELDQF

MNHYVLLLCSFKEQLQQHVRVHAMEAVMACWEIEQ

Page 114: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

114

Nama gen GA pada A. thaliana GA-related gene in A. thaliana

Sekuens pada transkriptom stevia dengan kemiripan tinggi Sequence in stevia transcripts with high similarity

Nilai kemiripan (%) Pident (%)

Panjang sekuens (residu asam amino) Sequence length (amino acid residues)

Sekuens protein pada transkriptom stevia Protein sequence in stevia transcripts

SLQSLTGVSPGEGIGATMSDDEED-

QFDNDASLFDGSLDVHDS-

TGFGPLVPTDSERSLMERVRQELKHDLKQGYTEKIV

DIREEILRKRRAGKLPGDTTSILKSWWQSHAKWPYPT

EEDKAKLVQETGLQLKQINNWFINQ

ENA|GANE01024087 58,79 364 SFLNLQTN-NNSDSAVTTSSQHHHHQSGNNN------

RWLSRSVMQRNVSDVRGDDVVSHVSNDSIIAAGAGI

SSHGSPDLNNQSRNIVSGQVDNNGGNELGESEVGG

GDVSVVNWQNARCKAEVLSHPLYEELLSAHVSCLRI

ATPVDQLPRIDAQLAQSQHVVSKYSGLGGQATNVGD

DKELDQFMTHYVLLLCSFKEQLQQHVRVHAMEAVM

ACWEIEQSLQSLTGVSPGEGTGATMSDDDED-

QVESDANLFDGHDS-----

MGFGPLVPTESERSLMERVRQELKHELKQGYKEKIV

DIREEILRKRRAGKLPGDTTSVLKSWWQSHAKWPYP

TEEDKARLVQETGLQLKQINNWFINQ

ENA|GANE01024408 58,79 364 SFLNLPTTLTTADSDLAPP-----

HRNGDNSVADTNPRWLSFHSEMQNTGEVRSE------

--------------------------VIDG-VNADGETILGV--

VGGED-----

WRSASYKAAILRHPMYEQLLAAHVACLRVATPVDQI

PRIDAQLSQLHTVAAKYSTLGV----

VVDNKELDHFMSHYVVLLCSFKEQLQHHVCVHAME

AITACWEIEQSLQSLTGVSPSESNGKTMSDDEDDNQ

VESEVNMFDGSLDGSDCLMGFGPLVPTERERSLME

RVKKELKHELKQGFKEKIVDIREEIMRKRRAGKLPGD

TTSVLKEWWRTHSKWPYPTEEDKAKLVQETGLQLK

QINNWFINQ

KAO merupakan gen yang menyandi enzim

Ent-kaurenoic acid oxidase (KAO) yang mengkatalis konversi ent-kaurenoic acid menjadi GA12-aldehyde hingga menjadi GA12 dalam biosintesis GA (Olszewski et al., 2002). KAO mengkatalis tahap pertama biosintesis GA dari prekursornya yang juga merupakan prekursor dari glikosida steviol, sehingga enzim ini bisa menjadi kunci dalam rekayasa metabolit GA dan glikosida steviol karena merupakan penentu utama flux ent-kaurenoic acid ke arah sintesis GA.

Kemudian GA2ox1 dan GA2ox2 mengkode enzim Gibberellin 2-oxidase 1 (GA2ox1) dan Gibberellin 2-oxidase 2 (GA2ox2) yang mengkatalis katabolisme GA, atau nonaktivasi bioaktif GA menjadi bentuk GA nonaktif, seperti konversi GA1 menjadi GA8 dan GA4 menjadi GA34 (Rademacher, 2000). GA2ox merupakan golongan enzim 2-oxoglutaric acid dependent dioxygenase (2-ODD) (Rademacher, 2000). Menurut Fleet et al. (2003), aktivitas dari enzim-enzim 2-ODD sangat mempengaruhi konsentrasi GA dalam sel. Penghambatan aktivitas enzim-enzim 2-ODD dalam metabolisme GA secara kimiawi dengan

penggunaan senyawa seperti Prohexadione-Ca dan Daminozide (Yoneda et al., 2017; Saptari et al., 2019) dapat meningkatkan biosintesis glikosida steviol pada tanaman stevia. Secara molekuler, rekayasa dapat dilakukan dengan menghambat atau menekan ekspresi dari gen pengkode enzim-enzim tersebut.

Metabolisme GA dalam sel tidak hanya dipengaruhi oleh enzim-enzim yang terlibat secara langsung dalam proses sintesis maupun katabolisme. Pengaturan metabolisme GA dalam sel juga dipengaruhi oleh protein-protein lain yang berperan mengendalikan ekspresi dari gen-gen enzim tersebut. Protein-protein non enzim ini terdapat dalam bentuk faktor transkripsi, seperti DELLA, GID1, dan ATH1. Pada penelitian ini, hasil penjajaran sekuens antara transkriptom stevia dengan basis data gen-gen GA pada A. thaliana, menunjukkan terdapat sekuens yang memiliki kemiripan tinggi dengan gen ATH1 dan KNAT5 pada sekuens transkriptom stevia. Ditemukan lebih dari satu sekuens identik yang memiliki kemiripan tinggi dengan ATH1 dan KNAT5, sehingga

Page 115: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

115

kemungkinan gen ATH1 dan KNAT5 putatif pada S. rebaudiana sifatnya redundan.

Pada A. thaliana, KNAT5 merupakan bagian dari kelas 2 gen KNOTTED1-LIKE homeobox (KNOX2) yang berperan dalam perkembangan meristem apikal (SAM) serta morfogenesis daun, batang, dan bunga (Giacomo et al., 2013). Berdasarkan Yang et al. (2020), KNAT5 mengkode homeobox protein Knotted-1-like 5 (KNAT5) yang bersama dengan protein Ovate Family Proteins 1 (OFP1) dan Arabidopsis Heat Shock Protein-Related (AtHSPR) membentuk kompleks sebagai represor transkripsi GA20ox dalam kontrol pembungaan. Selain KNAT5, repressor transkripsi lainnya yaitu A. thaliana Homeobox 1 (ATH1) yang juga membentuk kompleks bersama OFP1. Pada A. thaliana, kompleks ATH1-OFP1 diketahui meregulasi ekspresi gen GA20ox1 dan GA3ox (García-Martinez & Gil, 2001; Wang, et al., 2007; Zhang, et al., 2018).

GA20ox dan GA3ox merupakan gen penting dalam biosintesis GA. GA20ox mengkode enzim Gibberellin 20-oxidase (GA20ox) yang mengkatalis reaksi sintesis GA dari GA12 ke bentuk-bentuk prekursor GA yang masih nonaktif, seperti GA53, GA19, GA20, GA9. Kemudian GA3ox mengkode enzim Gibberellin 3-oxidase (GA3ox) yang mengkatalis

reaksi aktivasi GA non bioaktif menjadi GA dalam bentuk bioaktif, antara lain dari GA20 menjadi bioaktif GA1, GA5 menjadi bioaktif GA3, dan GA9 menjadi bioaktif GA4 (Olszewski et al., 2002). GA20ox dan GA3ox, bersama dengan GA2ox termasuk ke dalam golongan enzim 2-ODD yang terlibat dalam regulasi konsentrasi GA dalam sel (Rademacher, 2000). Hasil penjajaran tidak menemukan adanya kemiripan sekuens pada transkriptom stevia dengan gen GA20ox dan GA3ox pada A. thaliana. Meskipun tidak diperoleh informasi mengenai sekuens gen GA20ox dan GA3ox pada S. rebaudiana, rekayasa biosintesis GA memungkinkan untuk dilakukan melalui regulasi ekspresi gen putatif ATH1 atau KNAT5 karena ATH1 dan KNAT5 pada A. thaliana diketahui turut mengendalikan ekspresi dari GA20ox dan GA3ox. Amplifikasi gen-gen putatif metabolisme GA pada S. rebaudiana

Reaksi PCR dilakukan untuk uji amplifikasi gen KAO, GA2ox2, GA2ox1, dan ATH1 sebagai salah faktor transkripsi yang diketahui mengontrol transkripsi GA20ox dan GA3ox. Uji amplifikasi gen-gen GA putatif pada S. rebaudiana tersebut menggunakan 2 pasang primer yang dirancang berdasarkan informasi hasil analisis in silico, diberi nomor (1) dan (2) (Tabel 3) (Gambar2).

Page 116: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

116

Gambar 2. Rancangan primer untuk uji amplifikasi gen-gen terkait GA putatif pada tanaman stevia. Pada gambar sebelah kiri: warna hijau = open

reading frame (ORF); hitam = untranslated region (UTR); merah terang = ujung 5’ primer; merah gelap = ujung 3’ primer. Figure 2. Primer designs for amplification of putative stevia GA-related genes. Picture on the left: green = ORF; black = UTR; red = primer’s 5’-

end; dark red = primer’s 3’-end.

Tabel 3. Rancangan primer untuk uji amplifikasi gen-gen terkait GA putatif pada S. rebaudiana Table 3. Primer designs for amplification of putative GA-related genes in S. rebaudiana

Gen Gene

Nomor Number

Urutan basa oligonukleotida Oligonucleotide sequence

Ukuran amplikon Amplicon size

KAO 1. (5’- 3’) CGTACCGAGAAGCAGTAGAAGA 167 bp (3’- 5’) ATATGTGTTGGGCTGAGGTG

2. (5’- 3’) CGTACCGAGAAGCAGTAGAAGA 279 bp

(3’- 5’) CCCCTATCACTTCCCATCTCA

GA2ox1 1. (5’- 3’) CATTGACCTCTCGAAACCTG 172 bp

(3’- 5’) TGGTCCGAATCTTTCTTTGG

2. (5’- 3’) CCAAAGAAAGATTCGGACCA 184 bp (3’- 5’) ATCTCACACGCCATCGTTTT

GA2ox2 1. (5’- 3’) TCGTTGAGAGATGGAAGTTGG 191 bp

(3’- 5’) GCTATTTTCTCGCTTAGTGGTG

2. (5’- 3’) TGGAAGTTGGATGTCTGTTCC 213 bp

(3’- 5’) TCCTCCTCTCCTTGCATAAGT

ATH1 1. (5’- 3’) GAGATTCACACCGTCGTATCAG 249 bp (3’- 5’) TGGCCTCCATAGTTGATGTTC

2. (5’- 3’) TTCTTCACCCGTATCCCAAG 196 bp

(3’- 5’) TGTTGGTTTCTGTGGTGGTT

Page 117: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

117

Hasil uji amplifikasi gen putatif S. rebaudiana GA2ox1 menunjukkan bahwa pasangan primer (1) menghasilkan pita cDNA tunggal dan tidak smear pada semua ulangan sampel (Gambar 3), dan memiliki ukuran yang sesuai dengan analisis in silico, yaitu 172 bp (antara 75 bp dan 200 bp). Kemudian uji amplifikasi gen putatif S. rebaudiana ATH1 juga menunjukkan bahwa gen tersebut dapat teramplifikasi menggunakan rancangan primer (1) dan (2), yang tergambar dengan adanya pita tunggal pada semua sampel (Gambar 4), dan keduanya menunjukkan ukuran amplikon yang sesuai dengan analisis in silico (Tabel 2), yaitu 249 bp untuk pasangan primer nomor 1 (berada di antara 200 bp dan 300 bp) dan 196 bp (berada sedikit di bawah 200 bp) untuk pasangan primer nomor 2. Hal ini menunjukkan bahwa hasil analisis in silico terhadap gen GA2ox1 dan ATH1 putatif pada S. rebaudiana sesuai dan memiliki tingkat kepercayaan tinggi.

Gambar 3. Elektroforegram uji amplifikasi gen putatif GA2ox1 pada

stevia Figure 3. Electrophoregram of amplification test on putative stevia

GA2ox1 gene

Gambar 4. Elektroforegram uji amplifikasi gen putatif ATH1 pada

stevia Figure 4. Electrophoregram of amplification test on putative stevia

ATH1 gene

Hasil uji amplifikasi gen KAO putatif tidak menunjukkan adanya pita cDNA (data tidak ditampilkan). Tidak terbentuknya pita cDNA KAO bukan berarti pada genom S. rebaudiana tidak terdapat gen KAO karena berdasarkan analisis in silico ditemukan sekuens pada transkriptom yang memiliki kemiripan tinggi dengan AtKAO. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi antara lain suhu annealing yang kurang sesuai untuk amplifikasi gen KAO dengan primer yang dirancang, atau primer yang dirancang kurang spesifik sehingga belum mampu mengamplifikasi gen KAO pada S. rebaudiana. Berdasarkan Ye et al. (2012), ketidakmampuan primer dalam mengamplifikasi gen juga dapat terjadi antara lain karena adanya mismatches, terutama pada ujung 3’. Oleh karena itu, untuk menguji gen KAO putatif pada S. rebaudiana masih diperlukan analisis lebih lanjut misalnya dengan rancangan primer baru menggunakan tools lain, seperti Primer-BLAST.

Kemudian hasil amplifikasi gen GA2ox2 putatif menunjukkan bahwa pasangan primer nomor 1 hanya menghasilkan pita cDNA pada satu sampel, dan pasangan primer nomor 2 menghasilkan pita tunggal pada kedua sampel, namun memiliki ukuran yang tidak sesuai dengan analisis in silico, yaitu 213 bp, karena pada elektroforegram pita cDNA berada antara 75 bp dan 200 bp (Gambar 5). Berdasarkan hasil ini, informasi dari analisis in silico terhadap gen GA2ox2 putatif pada S. rebaudiana masih dapat dipercaya, namun kemungkinan perlu rancangan primer yang lebih baik untuk dapat mengamplifikasi gen tersebut.

Meskipun hasil komparasi genomik tidak menemukan adanya sekuens pada transkriptom stevia yang mirip dengan sekuens gen GA20ox dan GA3ox pada A. thaliana, akan tetapi, Singh et al. (2017) berhasil mengamplifikasi gen GA20ox dan GA3ox dari tanaman stevia. Untuk mengkonfirmasi hal tersebut pada penelitian ini pun dilakukan amplifikasi gen GA3ox, yang mengkode enzim kunci dalam biosintesis GA, menggunakan sepasang rancangan primer berdasarkan Singh et al. (2017) dan dua pasang rancangan primer yang dibuat berdasarkan informasi sekuens GA3ox dari A. thaliana. Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa gen GA3ox berhasil teramplifikasi menggunakan primer berdasarkan Singh et al. (2017), yang

Page 118: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

118

terlihat dengan adanya pita DNA tunggal dan tegas (Gambar 6). Ukuran amplicon tidak diketahui dari referensi, namun berdasarkan elektroforegram, amplikon GA3ox pada stevia berukuran antara 200 – 300 bp. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada tanaman stevia terdapat gen GA3ox yang berperan pada biosintesis GA, akan tetapi memiliki sekuens yang berbeda yang juga memungkinkan adanya perbedaan bentuk protein dengan GA3ox pada A. thaliana.

Gambar 5. Elektroforegram uji amplifikasi gen putatif GA2ox2 pada

stevia Figure 5. Electrophoregram of amplification test on putative stevia

GA2ox2 gene

Gambar 6. Elektroforegram uji amplifikasi gen GA3ox stevia dengan

sekuens primer berdasarkan Singh et al. (2017). Figure 6. Electrophoregram of amplification test on stevia GA3ox

gene using primer sequence based on Singh et al. (2017).

Kesimpulan

Hasil analisis in silico menemukan lima sekuens putatif gen KAO, GA2ox1, GA2ox2, KNAT5 dan ATH1 pada tanaman stevia. Hasil konfirmasi menggunakan analisis PCR menunjukkan bahwa gen putatif GA2ox1 dan ATH1 pada tanaman stevia dapat teramplifikasi dengan baik menggunakan primer oligonukleotida yang dirancang berdasarkan informasi hasil analisis in silico. Hasil ini menunjukkan bahwa analisis in silico berguna

untuk memperoleh informasi mengenai gen-gen GA pada tanaman stevia.

Daftar Pustaka

Adari, BR, S Alavalaa, AG Sara, MM Harshadas, AK Tiwaria & AVS Sarma (2016). Synthesis of rebaudioside-A by enzymatic transglycosylation of stevioside present in the leaves of Stevia rebaudiana Bertoni. Food Chem 200,154-158.

Bayraktar, M, E Naziri, IH Akgun, F Karabey, E Ilhan, B Akyol, E Bedir & A Gurel (2016). Elicitor induced stevioside production, in vitro shoot growth, and biomass accumulation in micropropagated Stevia rebaudiana. Plant Cell Tiss Org Cult 127, 289-300.

Cock, PJA, JM Chilton, B Grüning, JE Johnson & N Soranzo (2015). NCBI BLAST+ integrated into Galaxy. GigaScience, 4, 39.

Fleet, CM, S Yamaguchi, A Hanada, H Kawaide, CJ David, Y Kamiya & TP Sun (2003). Overexpression of AtCPS and AtKS in Arabidopsis confers increased ent-kaurene production but no increase in bioactive gibberellins. Plant Physiol 132, 830-839.

García-Martinez, JL & J Gil (2001). Light regulation of gibberellin biosynthesis and mode of action. J Plant Growth Regul 20, 354-368.

Giacomo, ED, MA Iannelli & G Frugis (2013). TALE and shape: How to make leaf different. Plants 2(2), 317-342.

Khan, S, LU Rahman, R Verma & K Shanker (2016). Physical and chemical mutagenesis in Stevia rebaudiana: variant generation with higher UGT expression and glycosidic profile but with low photosynthetic capabilities. Acta Physiol Planta 38, 4.

Kim, MJ, J Zheng, MH Liao & I Jang (2018). Overexpression of SrUGT76G1 in Stevia alters major steviol glycosides composition towards improved quality. Plant Biotech J 17(6), 1037-1047.

Olszewski, N, TP Sun & F Gubler (2002). Gibberellin signaling, biosynthesis, catabolism, and response pathways. Plant Cell 14, S61-S80.

Parikesit, AA, D Anugoro & RA Putranto (2017). Pemanfaatan bioinformatika dalam bidang

Page 119: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

119

pertanian dan kesehatan. Menara Perkebunan 85, 105-115.

Perrier, JD, JJ Mihalov & SJ Carlson (2018). FDA regulatory approach to steviol glycosides. Food and Chemical Toxicology 122, 132-142.

Rademacher, W (2000). GROWTH RETARDANTS: Effects on gibberellin biosynthesis and other metabolic pathways. Plant Physiol Plant Mole Biol 51, 501-531.

Rozen, S & H Skaletsky (2000). Primer3 on the WWW for general users and for biologist programmers. Methods Mol Biol 132, 365-86.

Saifi, M, S Yogindran, N Nasrullah, U Nissar, I Gul & MZ Abdin (2019). Co-expression of anti-miR319g and miRStv_11 lead to enhanced steviol glycosides content in Stevia rebaudiana. BMC Plant Biol 19, 274.

Saptari RT, RR Esyanti & RA Putranto (2019). Growth and steviol glycoside content of Stevia rebaudiana Bertoni in the thin-layer liquid culture treated with late-stage gibberellin biosynthesis inhibitors. Sugar Tech 22, 179-190.

Savita, SM, K Sheela, S Sunanda, AG Shankar & P Ramakrishna (2004). Stevia rebaudiana – a functional component for food industry, J Hum Ecol, 15, 261-264.

Singh, G, G Singh, P Singh, R Parmar, N Paul, R Vashist, MK Swarnkar, A Kumar, S Singh, AK Singh dkkl. (2017). Molecular dissection of transcriptional reprogramming of steviol glycosides synthesis in leaf tissue during developmental phase transitions in Stevia rebaudiana Bert. Sci Rep 7, 11835.

Sinta, MM, NMA Wiendi & SI Aisyah (2018). Induksi mutasi Stevia rebaudiana dengan perendaman kolkisin secara in vitro. Menara Perkebunan 86(1), 1-10.

Wang, S, Y Chang, J Guo & JG Chen (2007). Arabidopsis Ovate Family Protein 1 is a transcriptional repressor that suppresses cell elongation. The Plant Journal 50, 858-872.

Yang, T, Y Sun, Y Wang, L Zhou, M Chen, Z Bian, Y Lian, L Xuan, G Yuan, X Wang & C Wang (2020). AtHSPR is involved in GA- and light intensity-mediated control of flowering time and seed set in Arabidopsis. J Exp Bot 71(12), 3543-3559.

Yoneda, Y, H Shimizu, H Nakashima, J Miyasaka & K Ohdoi (2017b). Effect of treatment with gibberellin, gibberellin biosynthesis inhibitor, and auxin on steviol glycoside content in Stevia rebaudiana Bertoni. Sugar Tech 20, 482-491.

Ye, J, G Coulouris, I Zaretskaya, I Cutcutache, S Rozen & TL Madden. Primer-BLAST: a tool to design target-specific primers for polymerase chain reaction. BMC Bioinformatics 13, 134.

Zhang, L, L Sun, X Zhang, S Zhang, D Xie, C Liang, W Huang, L Fan, Y Fang & Y Chang (2018). OFP1 interaction with ATH1 regulates stem growth, flowering time and flower basal boundary formation in Arabidopsis, Genes (Basel), 9, E399.

Zheng, J, Y Zhuang, H Mao & I Jang (2019). Overexpression of SrDXS1 and SrKAH enhances steviol glycosides content in transgenic Stevia plants. BMC Plant Biol 19, 1.

Page 120: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

120

Morphological and histological analysis of somatic embryo development of cocoa (Theobroma cacao L.)

Analisis morfologi dan histologi perkembangan embrio somatik kakao (Theobroma cacao L.)

Sulistyani Pancaningtyas* & Teguh Iman Santoso

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia

*)Corresponding author : [email protected]

Abstract

Somatic embryogenesis is one of the favorable mass propagation techniques of high-value cultivars. The difference in response to the regeneration process of somatic embryogenesis is influenced by the physiological condition of each cultivar. The morphological and physiological analysis was conducted to understand the development of the somatic embryo that have the potential to produce viable plantlets. Based on morphological observation of embryogenic callus on ICCRI 03, Sulawesi 1 and Sulawesi 2 cultivars showed callus with bright yellow to yellow-brown with friable structure. The morphological observation of embryogenic callus showed that Sulawesi 1 and Sulawesi 2 cultivars had the same value (25.83% and 25.00%), whereas the cultivar ICCRI 03 showed a lower callus formation percentage (14.17%). In addition to the embryogenic callus, the multiplication stage also forms a non-embryogenic callus. Based on observations at the regeneration stage for the three clones both morphology and histology, it is known that Sulawesi 2 clone has better potency in producing somatic embryos for further development compared to ICCRI 03 and Sulawesi 1 clones.

[Keywords: cocoa, histology, morphology, somatic embryogenesis, embryogenic callus]

Introduction

Somatic embryogenesis is a process whereby both haploid and diploid somatic cells develop into a zigotic embryo-like structure (bipolar structure without the presence of connective vascular tissue with the parent tissue) through a series of embryonic development stages without going through gamete fusion (Raemakers et al., 1995). The process of somatic embryogenesis can be influenced by several factors, including plant genotypes, physiological characteristics of the explant and cell status in plant tissues (Nic-Can et al., 2015), also endogenous phytohormones metabolism (Jariteh et al. 2015). The source and age of explants are important factors that determine the ability of a callus to form somatic embryos (Stone et al., 2002). Furthermore, Molina et al. (2002) stated that somatic embryogenesis can occur either directly or indirectly. The direct form of somatic

embryogenesis is that somatic embryos directly emerge from explants where cells can immediately differentiate. Whereas somatic embryogenesis is not direct, the process of differentiation occurs after explants form callus. The callus will respond to the stimulus from the culture medium so that it develops into an embryo. Morphological and physiological characteristics of callus cells are related to their ability to form embryogenic cells. In the further stages of somatic embryo development, the embryo grows until it reaches physiological maturation, that is, the entire embryogenesis process is complete and sprouts (Harada et al., 2010; Zhang and Ogas, 2009; Von Arnold et al., 2002). If the culture is in optimal condition, its ability to produce embryogenic callus will increase, then the cell collection will develop into large clusters of embryogenic cells (Nogueira et al., 2007). Explants containing embryogenic cells can directly multiply and regenerate into somatic

Page 121: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

121

embryos in the globular, liver, torpedo and cotyledon phases (Jurgens et al. 1991).

Callus culture is widely classified as compact callus and friable callus. The friable callus is in the form of crumbs and is easily destroyed, commonly used for cell suspension culture. Morphologically, the characteristics of cocoa embryonic callus are generally yellow with small or large clusters depending on each cocoa clone, compact callus texture and the presence of globular somatic embryos on the surface. This is consistent with the literature which states that the morphological characteristics of callus are divided into 3 types, namely type 1: transparent watery callus, type 2: yellow callus with small clusters and type 3: yellow callus with large cluster sizes where types 2 and 3 are types of callus embryonic (Libeiro et al., 2012). In addition to color, other parameters that can be used are texture or callus form, namely friable, compact and aqueous.

Understanding the mechanisms involved in the stages of induction, expression, and regeneration of somatic embryos from various genotypes can increase the number of genotypes that can later be regenerated through somatic embryogenesis.

Material & Method

This research was carried out in the Biotechnology Laboratory of the Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute and the Microtechnical Laboratory, Science and Technology, Biology Gadjah Mada University from May to October 2018.

Plant materials This study uses three superior cocoa clones

which have a fairly high level of productivity in the field and have biotic resistance to pests and diseases, including Sulawesi 1, Sulawesi 2 and ICCRI 03 (I03) clones. The explants used were embryogenic callus, compact callus, aqueous callus and globular, torpedo and cotyledon stage somatic embryos.

Somatic embryo induction and proliferation Embryogenic callus induced in MS medium

with the addition of vitamin B5, glycine (2 mg L-1), lysine (0.4 mg L-1), leucine (0.4 mg L-1), arginine (0.4 mg L-1), tryptophan (0.2 mg L-1), 5,6 μM

2,4-D, 1,2 μM kinetin, 30 g L-1 gelrite and 3% sucrose. Embryogenic callus is stored in dark conditions for 3-4 weeks at a temperature of 25-30oC. Embryogenic callus is then selected and sub-cultured on the same media to multiply.

The percentage data of secondary embryogenic callus is obtained based on the number of embryogenic callus formed from the results of primary embryo initiation. Whereas the data of secondary embryogenic callus multiplication were obtained based on the increase of secondary embryogenic callus mass after incubation for 4 weeks in embryogenic callus proliferation media, each explant was repeated six times.

Somatic embryo regeneration The embryogenic callus from the

proliferative stage is then subcutaneous in the medium of regeneration with the addition of vitamin B5, glycine (2 mg L-1), lysine (0.4 mg L-1), leucine (0.4 mg L-1), arginine (0.4 mg L-1) , tryptophan (0.2 mg L-1), 0.12 μM kinetin, 3 g L-1 gelrite and 3% sucrose, which was grown in 16/8 h photoperiodicity. Somatic embryos were calculated based on embryos produced from each embryogenic callus cluster (5 clusters per petri dish) and repeated six times.

Analysis of histology and morphology of somatic embryo development stage in cocoa

Morphological analysis was carried out at the Biotechnology Laboratory of the Indonesian Coffee and Cocoa Research Center, Jember. Morphological analysis was carried out qualitatively based on callus formed by the induction of cocoa flowers, including callus formation and primary embryo, initiation of embryogenic callus and regeneration of somatic embryos.

Histology analysis was carried out at the Microtechnical Laboratory, Faculty of Biology, Gadjah Mada University. The histology sample was prepared by the Sass whole-mount method (1951). The process of making preparations with paraffin method consists of several stages, namely fixation, washing, dehydration, infiltration, embedding, slicing, sticking, coloring, and closing. The fixation stage is done to maintain the tissue structure and prevent the tissue from decaying. The fixation process was carried out by adding

Page 122: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

122

Formalin Acetoalcohol (FAA) solution consisting of 5 ml of formalin, 5 ml of glacial acetic acid and 90 ml of 70% alcohol, then incubated for 24 hours. FAA is used as an ingredient that provides perfect fixation followed by washing and dehydration. The washing process was carried out to remove reagents that were still in the object, using 70% alcohol for 30 minutes, 80% alcohol for 30 minutes, 95% alcohol for 30 minutes, 100% alcohol for 30 minutes, 100% alcohol for 30 minutes. minutes and proceed with alcoholization. Sequential alcoholization includes addition of alcohol solution: xylol (3: 1) for 30 minutes, alcohol: xylol (1: 1) for 30 minutes, alcohol: xylol (1: 3) for 30 minutes, xylol 30 minutes, xylol 30 minutes and Finally, a mixture of xylol: paraffin (1: 9) was added at a temperature of 57oC for 24 hours. In the infiltration stage of the xylol mixture: paraffin was discarded and replaced with pure paraffin, then incubated again at a temperature of 57oC for 24 hours. Embedding method is carried out using paraffin, then slices are made using Rotary microtome with a thickness of 6-12 µm. The results of the slices were glued to the slide with glycerin mixture: albumin (1: 1) with water, then the glass was placed on a hot plate with a temperature of 45ºC until the paraffin tape stretched. The staining method used was double succedant staining, namely aquosa dye with 1% safranin for 1 hour and sprituous dye with 1% fast green in 95% alcohol for 30 seconds. Histological observations were performed using Nikon Eclipse microscope equipped with Opti Lab cameras and morphological observations using Olympus SZ61 series microscopes equipped with DP25 cameras.

Results and Discussion

Morphological analysis of somatic embryo development stage Somatic embryogenesis of cocoa is indirect embryogenesis, that is, the differentiation process of explants forms callus. The callus will respond to

the stimulus from the culture media so that it will later develop into a somatic embryo. At the stage of somatic embryo development, the selected embryogenic callus from callus biomass is regenerated in a medium without auxin hormones to promote somatic embryo formation.

Based on Figure 1, Sulawesi 1 and Sulawesi 2 cultivars have almost the same level of embryogenic callus formation (25.83% and 25.00%), while ICCRI 03 cultivar shows a lower development (14.50%). However, the regeneration of somatic embryo formation in the three cultivars shows almost the same percentage. The difference of callus response from each explant on embryo regeneration media can be caused by differences in physiological conditions of explant tissue (Zavattieri et al., 2010) and culture conditions related to endogenous phytohormone levels and sensitivity to auxin due to variations in the number of receptors and affinity from these receptors (Jiménez, 2005).

The formation of embryogenic callus is an important key in the process of propagation using somatic embryogenesis. Induction of embryogenic callus formation is carried out on media containing auxin which has a strong activity or high concentration. According to Bahmankar et al. (2017) and Nic-Can & Loyola-Vargas (2016), auxin and cytokinin hormones play an important role to induce embryogenic potential, because they can activate and regulate cell division and differentiation.

The embryogenic callus that has been formed is then subcultured on MS media without the addition of auxin hormone to be regenerated into secondary somatic embryos. During the process of somatic embryo development, there are four stages in the development of embryo morphology, including globular, heart, torpedo and cotyledon.

Page 123: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

123

Figure 1. Development of somatic embryogenesis of cocoa clones ICCRI 03, Sulawesi 1 and Sulawesi 2

Based on the results of the analysis of the

preparations that have been done, embryos that grow normally tend to form new tissues with compact constituent cells, solid cytoplasm with clear cell nuclei and thick cell walls. Whereas abnormal embryo tissue has imperfect structure, thin cell wall, damaged cell structure and many empty zones.

Histology analysis was carried out using two staining, safranin and fast green. Ruzin (1999) explained that safranin will produce bright red on the chromosomes, cell nuclei, and cell walls that contain lignin, suberin or cutin. Safranin is a counter dye given with fast green, which produces bright green color on the cytoplasm and cell walls containing cellulose. Fast green will turn blue on the base mixture and will look bluish to bluish green in most gymnosperms.

Callus phase Callus is an unorganized growth of plant

parenchyma cell mass. In plants, callus are cells that is formed to cover plant wounds, whereas in tissue culture callus formation is the result of the initiation of plant tissue (explant) after the

sterilization process and cultivated in tissue culture medium (Rieger et al., 1976). Tissue culture media contain plant growth regulator substances (hormones) such as auxin, cytokinin and gibberelin for initiation of callus formation or somatic embryogenesis process (Jimenez, 2001). Specific balance of auxin and cytokinins in growing media of plant tissue culture can promote unorganized callus cell formation and division. The tissue used to initiate callus formation depends on plant species and tissue that will be used as explant sources. Cells that can form calluses and somatic embryos generally have a very fast division or non-differentiating cells like meristematic tissue (Wang et al., 2011). In the callus phase, the tissue formed tends to have an unequal size. Callus cells have a compact and dense structure, but the cell wall has not been formed properly. In this phase, the callus will develop when the cell arranged with cells that contain a nucleus. Because, a cells with nucleus could grow and develop through amino acid synthesis and protein synthesis so that cells can have the potential to carry out optimal growth. In this condition, the callus can develop into embryogenic callus (Figure 2).

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

% Callus % Embryogenic callus % Regeneration of somaticembryo

% E

mbr

yo D

evel

opm

ent

ICCRI 03 Sul 1 Sul 2

Page 124: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

124

Figure 2. Morphology of embryogenic callus (A = ICCRI cultivar 03, D = Sulawesi 1, G = Sulawesi 2). Histology of embryogenic callus (B-C =

ICCRI 03 cultivar, E-F = Sulawesi 1, H-I = Sulawesi 2).

Based on the morphological observation of embryogenic callus of cultivars ICCRI 03, Sulawesi 1 and Sulawesi 2 (Figures 2A, D and G) showed callus in bright yellow to yellowish brown with a friable structure. Cytologically embryogenic callus is characterized by the formation of new tissue that lives and develops with compact and dense constituent cell structures and clear cell nuclei. In ICCRI 03 cultivar through microscope observation with weak magnification, it appears that there is a very loose and irregular callus structure, but among them are some rounded structures (Figure 2B). The structure has the potential to form new tissue towards the globular phase embryo. With stronger magnification, it appears that rounded structures form new tissues that have the potential to form globular phase embryos (Figure 2C). This structure is living, composed of dense/compact and homogeneous cells, and the cell nucleus is clearly visible (Figures 2B and C). Cell structure in Sulawesi 1 cultivars (Figure 2E and F), rounded structures of smaller size, and tend to be more

uniform. With a stronger magnification, it appears a rounded structure that is of a living nature, seen in the presence of cell nuclei, but the tissue is less homogeneous and is not protected by epidermal tissue (Figure 2F). In Sulawesi 2, cultivars appear denser cell structures and more living structures, as new tissues that have the potential to form new embryos (not only globular phases but other larger / advanced phases (Figure 2H). If observed with more magnification strong will appear new tissue that is formed is living, composed of massive cells, compact with a relatively large cell nucleus and protected by epidermal tissue (Figures 2H and I).

From the results of observations of these three clones both morphologically and histologically it is known that embryogenic callus of Sulawesi clone 2 has better potential in producing somatic embryos at a later stage of development compared to ICCRI 03 and Sulawesi clones 1. According to Kysely and Jacobsen (1990), callus embryogenic is massive, yellowish brown, round in shape, connecting to each other continuously.

Page 125: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

125

Embryogenic callus contains part of meristematic cells placed on the surface of the callus. In the part of the meristematic callus, it will quickly form a somatic embryo to the globular stage.

Callus characters in various plants have relatively the same structure. Several factors are affecting the callus texture are types of growth regulator along with different concentrations and genotype of the explants (Rukmini & Gundimeda, 2016). In addition to embryogenic callus with a weak structure, non-embryogenic callus with an aqueous structure also has morphological characteristics that are white, transparent, spongy and flabby and not organized like the results of callus characterization by Figueiredo et al., 2007. Microscopically, the elongated cells are elongated in size with a larger vacuole, and the location of the nucleus is not organized, the mitochondria in small amounts, the endoplasmic reticulum and the small golgi body (Nogueira et al., 2007).

Based on the results of research by Grando et al. (1993), the type of aqueous callus is shaped like a sponge, transparent, runny and white. Figueiredo et al. (2007) also examined that transparent non-embryogenic callus cells experienced elongated and less organized forms. In line with the results of previous studies, Ribeiro et al. (2012) stated that transparent aqueous callus showed the absence of both morphological and cytological embryogenic potential. From the

results of the morphological analysis in Figure 3, transparent and runny white calluses appear, and from the results of histological analysis it can be seen that the cells are far apart, scattered and do not form a clear network structure (Figure 3B). With stronger magnification, it appears that cells are scattered and far apart, and do not form a particular tissue, in some cells there are cells with relatively small nuclei (Figure 3C).

Embryonic Phase (Somatic Embryo Regeneration) In the embryonic phase (Figure 4), the cells

that organized the embryonic tissue will begin to form the cell wall. The cells arranged with embryonic network must also be living with the nucleus contained in the cell. If the cells making up this tissue are living, new tissue will form so that it has the potential to carry out growth and development towards the globular embryo phase. This will be achieved if the callus or cell used is embryogenic which is characterized by small cells, solid cytoplasm, large nuclei, small vacuoles (Nugrahani et al. 2011).

In the embryonic phase, the cells making up the embryonic tissue will begin to form the cell wall. These cells will be cytoplasmic where the presence of cytoplasm in cells can support cell growth and development. The cells making up this embryonic network must also be living with the nucleus contained in the cell.

Figure 3. Morphology (A) and histology of non-embryogenic (Aqueous) callus (B - C)

Figure 4. Somatic embryo regeneration. A = ICCRI 03, B = Sulawesi 1, C = Sulawesi 2.

Page 126: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

126

Globular embryo phase The embryogenic callus that develops

through certain phases becomes an embryo called embryogenesis. In somatic embryo regeneration media with the addition of kinetin hormone, embryogenic cells from the three cultivars (ICCRI 03, Sulawesi 1 and Sulawesi 2) develop to form somatic embryos. In the cell-phase embryonic callus will form a collection of round-shaped cells surrounded by epidermal cell layers, as well as polarization of embryonic structures (Sane et al., 2006). The first (basic) phase is the globular phase where the globular structure is formed on the surface of the callus (Figure 4). In this phase embryogenic callus cells will form round cells with a clear formation of epidermal tissue originating from the protoderm and well-formed cell wall. The constituent cell structure has the characteristics of a clear cell nucleus and a dense cytoplasm.

In the phase of the globular embryo, there will be a suspensor on the basal part. Globular phase embryos will generally stick to the part of the callus surface in the presence of suspensors (Alcantara et al., 2014). Cells that make up globular embryo tissue will have different cell structures, sometimes there are cells that are small in size and some that have a larger size. The shape of the cells that make up the network are also rounded and some have structures that are slightly elongated.

Histology analysis on ICCRI 03 cultivars shows the final stage of the globular phase at the stage of embryogenesis. This can be seen from the new network that is starting to form (Figure 5A - B). There are two types of tissue, edge tissue is composed of cells that are tight and compact, and the middle tissue is composed of cells that are looser and more elongated cell form. The network on the edge is composed of tight and compact cells and is smaller in size compared to the cells that make up the tissue in the middle. The nucleus of the cell appears clearer than the cell in the middle and the cell plasma is denser (Figure 5B). In Sulawesi 1 cultivar (Figure 5C) further cellular development is not yet apparent. There are several empty zones and their constituent cells are damaged, in some other zones there appears to be composed of living cells. Observation of the network through stronger magnification (Figure 5D) shows that in the empty space, the surrounding cells appear with thinner cell walls. In the zone composed of cells that are still alive, it appears that the constituent cells are still compact with a clear cell nucleus. In Sulawesi's globular phase embryo 2 grows larger, its constituent tissue is homogeneous and has no signs of cell damage (Figure 5E-F). In figure 5E new tissue begins to form and is seen an asymmetrical formation of bumps and shoot meristem (SAM).

Page 127: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

127

Figure 5. Histology analysis in the globular phase development in several clones. A - B = ICCRI 03, C - D = Sulawesi 1, E - F = Sulawesi 2.

Torpedo embryo phase In the torpedo phase, the embryo develops

in 2 bumps formed in the previous phase. On the surface of the embryo, there will be a network with a compact and tight structure. The tissue is an epidermal tissue that begins to develop well. In addition, there is also a development of shoot meristem (SAM) with a more compact and living structure with thick cell walls. And the network of transport vessels (vascular) is well developed. In this embryo, there will be 2 significantly different network structures. The shape of the cells making up the embryo tissue is rounded and there is an elongated cylindrical shape. This difference in structure shows cell differentiation in the embryonic constituent tissue of this phase. With the development of these tissues, the embryo has the potential to grow and develop into the next phase of the embryo (cotyledon phase).

From the results of histological analysis on the torpedo phase of ICCRI 03 cultivars (Figure 6A - B) showing the final stage of the torpedo phase.

There are two apical parts that are not as large as new ones that are formed. Furthermore, the new network will form early cotyledon and SAM to be clear (Figure 6A). The cells that make up the new tissue have a compact structure with a clear cell nucleus and have a clear vascular file, the vascular bundle is formed by cells whose shape is elongated (Figure 6B). In Sulawesi 1 cultivar's torpedo phase embryo showed growth to form new tissue has also reached the final stage of the torpedo phase so that it appears is an embryo with a pair of cotyledons that grow asymmetric because the growth rates of both are not the same (Figure 6C). The shoot meristem (SAM) is clearly visible and the constituent cells are compact with a clear cell nucleus, and a well-developed vascular file (Figure 6D). Similar to the other two cultivars, the torpedo phase of Sulawesi 2 cultivar (Figure 6E - F) grows and develops into a further structure with asymmetrical growth, shoot meristem and vascular tissue well developed.

Page 128: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

128

Figure 6. Histological analysis of the development phase of the torpedo somatic embryo. A - B = ICCRI I03, C - D = Sulawesi 1, E - F = Sulawesi 2.

In this phase, the shoot meristem (SAM) will

develop, this meristem network has a tight and small cell structure. These cells are living so that they are able to do more optimal growth and development. Meanwhile, there are also transport vessel files that begin to develop in the middle. The existence of transport vessel files (vascular tissue) is the result of cell differentiation. Cell differentiation that forms good vascular tissue signifies good embryo growth. Supported by good cell growth, the optimal differentiation of cells is also so that an embryo like this can develop into a cotyledon phase embryo.

Cotyledonary embryo phase In the cotyledon phase the embryo

differentiation clearly appears, this shows that there is a tendency for these cotyledon-making

cells to grow and develop. Tissue differentiation is clearly seen as SAM is found on the cotyledon end and the vascular file also begins to develop (Figure 6). The new network can be observed more clearly as shown in figure 6 (B, D, F), the cotyledon compiler network is composed of living cells, it appears the cell nucleus with a uniform and dense cell form. In addition, in this phase the embryo starts to have starch granules in the cells making up the tissue. Then the more toward the middle, the cells making up the network have a larger size with thinner cell walls and a rounded elongated structure. These large cells have vacuoles in their cells. With the existence of a compact and living cell structure with the presence of large cell nuclei, this embryo has the potential to grow and develop into the next phase.

Page 129: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

129

Figure 7. Histological analysis of the cotyledon somatic embryos phase development. A-B = ICCRI 03, C-D = Sulawesi 1, E-F =

Sulawesi 2.

Based on the results of histological analysis

of cotyledonary phase of ICCRI 03 cultivar (Figure 7A), tissue differentiation has been clearly seen such as SAM (shoot meristem), vascular bundles, and hypocotyl. The structure of the cotyledon chip is not symmetrical between one another, this indicates a tendency for the cotyledon constituent cells to form new tissue. The observed cells are still living and have not shown signs of damage, seen from cells arranged tightly and in the absence of empty zones. With stronger magnification (Figure 7B), it appears that the cotyledon phase of the embryonic tissue constituent cell has a strict

stricture, clear cell nucleus and density, and the cell plasma is dense and thick (the white part). Especially cells that make up vascular tissue, have a different shape with the constituent cells in other tissues, which are elongated shapes.

Other than that, based on the observation of cotyledon phase embryos in Sulawesi 1 cultivar (Figure 7C), the embryo forms a new tissue/root meristem (RAM) at the end. At stronger magnification (Figure 7D), cells that are more compact and denser with larger and more real cell nuclei appear. The constituent cells of vascular tissue grow and develop well, and have an

Page 130: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

130

elongated structure, the cell shape is relatively uniform with a clear cell nucleus (Figure 7D). Sulawesi 2 cultivar cotyledon phase embryos grow and develop well into a further phase (Figure 7E-F). The new tissue formed causes two cotyledon structures to grow asymmetric because the growth rate between the two is not the same, besides that the shoot meristem is apparent (Figure 7E). Through stronger magnification, it appears that this tissue is composed of compact and tight cells, which are living, with the cell nucleus clearly visible. The shoot meristem constituent cells appear denser, with relatively smaller cell sizes (Figure 7F).

Based on the research of Nugrahani et al. (2011), somatic embryos can be characterized from their bipolar structure with two prospective meristems, namely root meristem and shoot meristem, as well as the somatic embryos produced from this study. So that it can be seen that callus can form embryonic tissue when it can form a new network (dedifferentiation). This makes new network because it has a meristematic activity. Then this meristem will make cell differentiation into shoot meristem and root meristems. In addition, there are also hormones that can help differentiate callus, one of which is cytokinin. Satish et al. (2015) explained that the regeneration of somatic embryos derived from embryogenic callus is the activity of cytokinins added in the regeneration medium.

Conclusion and Suggestion

Morphologically the embryogenic callus of cultivars ICCRI 03, Sulawesi 1 and Sulawesi 2 showed callus in bright yellow to yellowish brown with a friable structure. The ability of embryogenic callus formation in Sulawesi 1 and Sulawesi 2 cultivars showed almost the same value (25.83% and 25.00%), whereas ICCRI 03 cultivars showed a lower percentage of callus formation (14.17%). Based on observations at the regeneration stage for the three clones both morphologically and histologically it was found that Sulawesi cultivar 2 had better potential for producing somatic embryos at a later stage of development compared to ICCRI 03 and Sulawesi 1 cultivars.

References

Satish L, AS Rency, P Rathinapriya, SA Ceasar, S Pandian, R Rameshkumar, TB Rao, S M Balachandran & M Ramesh (2016). Influence of plant growth regulators and spermidine on somatic embryogenesis and plant regeneration in four Indian genotypes of finger millet (Eleusine coracana (L.) Gaertn). Plant Cell, Tissue and Organ Culture 124(1), 15-31.

Bahmankar M, SMM Motazavian, M Tohidfar, SAS Noori, AI Darbandi, G Corrado & R Rao (2017). Chemical compositions, somatic embryogenesis, and somaclonal variation in Cumin. BioMed Research International, 2017, 1-15.

Figueiredo MA, R Paiva, AC Souza, JMP Porto, GF Nogueira & FP Soares (2007). Indução in vitro de calos em duas espécies de maracujazeiro nativo. Revista Brasileira de Biociências, 5, 288-290.

Harada JJ, MF Belmonte & RW Kwong (2010). Plant embryogenesis (zygotic and somatic). dalam John Wiley and Sons. Encyclopedia of Life Sciences (ELS). Chichster.

Jariteh M, H Ebrahimzadeh, V Niknam, M Mirmasoumi, K Vahdati (2015). Developmental changes of protein, proline and some antioxidant enzymes activities in somatic and zygotic embryos of Persian walnut (Juglans regia L.) Plant Cell, Tissue and Organ Culture,122(1),101–115.

Jimenez VM (2001). Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the role of endogenous hormones. Revista Brasileira de Fisiologia Vegetal, 13(2), 1-28.

Jimenez VM (2005). Involvement of plant hormones and plant growth regulators on in vitro somatic embryogenesis. Plant Growth Regulators, 47, 91-110.

Jurgens G, U Mayer, RA Torrez-Ruiz, T Berleth & S Misera (1991). Genetic Analysis of Pattern Formation in The Arabidopsis Embryo. Development, 1, 27-38.

Kysely W & HJ Jacobsen (1990). Somatic Embryogenesis from Pea Embryos and Shoot Apices. Plant Cell Tissue Organ Culture, 20, 7-14.

Page 131: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

131

Libeiro L (2012). Morphological and ultrastructural analysis of various types of banana callus. Acta Scientiarum. Agronomy Maringá, 34, 423-429.

Molina DM, ME Aponte, H Cortina & G Moreno (2002). The effect of genotype and explant age on somatic embryogenesis of coffee. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 71(2), 117–123.

Nogueira RC, R Paiva, JM Porto, PM Nicioli, VC Stein, S Deuner & E Alves (2007). Análise ultra-estrutural de calos embriogênicos demurici-pequeno (Byrsonima intermedia A. Juss.). Revista Brasileira de Biociências, 5(2), 48-50.

Nic-Can GI, RM Galaz-Ávalos, C De-la-Peña, A Alcazar-Magaña, K Wrobel, VM Loyola-Vargas (2015). Somatic embryogenesis: Identified factors that lead to embryogenic repression. A case of species of the same genus. PLoS ONE, 10(6), e0126414

Nic-Can GI & VM Loyola-Vargas (2016). The role of the auxins during somatic embryogenesis. In: Somatic embryogenesis: Fundamental Aspacts and Application. Pp. 171-182.

Nugrahani P, Sukendah & Makziah. (2011). Regenerasi eksplan melalui organogenesis dan embriogenesis somatik. Modul Dasar Bioteknologi Tanaman, Universitas Pembangunan Negara “Veteran” Jawa Timur.

Raemakers CJJM, E Jacobsen & RGF Visser (1995). Secondary somatic embryogenesis and applications in plant breeding. Euphytica, 81, 93-107.

Ribeiro LO, LV Paiva, MS Pádua, BR Santos, E Alves & VC Stein (2012). Morphological and ultrastructural analysis of various types of banana callus, cv. Prata anã. Acta Scientiarum-Agronomy, 34, 423 - 429.

Rieger R, A Michaelis & MM Green (1976). Glossary of Genetics and Cytogenetics. Springer Study Edition. Springer, Berlin, Heidelberg.

Ruzin SE (1999). Plant Microtechnique and Microscopy. New York (US): Oxford University Press.

Sane D, F Abarlence-Bertossi, YK Gassama-Dia, M Sagna, MF Trouslot, Y Duval & A Borgel (2006). Hystocytological Analysis of Callogenesis and Somatic Embryogenesis from Cell Suspensions of Date Palm (Pheonix dactylifera). Annals of Botany, 98(2), 301-308.

Sharma A, D Lal & M Sutradhar (2017). Effect of growth regulators on callus morphology of Rice anther culture. J App Biol Biotech., 5(3): 68-71.

Stone LJ, MC Comb & K SEATON (2002). Propagation of blue flowered conospermum species. In A. Taji and R. Williams (Eds.). The importance of plant tissue culture and biotechnology in plant sciences. Univ. of New England Unit, Australia. p.351-353.

Von Arnolds S, I Sabala, P Bozhkov, J Dyachok & L Filonova (2002). Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell, Tissue Organ Culture, 69(3), 233–249.

Wang XD, KE Nolan, RR Irwanto, MB Sheahan & RJ Rose (2011). Ontogeny of embryogenic callus in Medicago truncatula: the fate of the pluripotent and totipotent stem cells. Annals of Botany. 107(4), 599–609.

Zavattieri MA, AM Fraderico, M Lima, R Sabino & B Arnholdt-Schmitt (2010). Induction of somatic embryogenesis as an example of stress-related plant reactions. Plant Biotechnology, 13(1), 1-9.

Zhang H & J Ogas (2009). An epigenetic perspective on developmental regulation of seed.

Page 132: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

132

Analisis ekonomi penggunaan bibit kelapa sawit kultur jaringan

Economic analysis of the use of tissue culture derived oil palm seedlings

Valentina Sokoastri

Riset Perkebunan Nusantara, Jalan Salak No. 1A, Bogor, 16151

Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Kelapa Sawit merupakan komoditas andalan di Indonesia karena merupakan salah satu penghasil devisa terbesar Negara (Rata-Rata US$ 20 Miliar) per/tahun. Namun demikian produktivitas minyak sawit di Indonesia masih tergolong rendah yakni hanya berkisar 3 sampai dengan 4 ton CPO/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kelapa sawit di Indonesia dikarenakan dengan penggunaan bahan tanaman yang tidak unggul. Menanggulangi hal tersebut diperkenalkannya teknologi kultur jaringan kelapa sawit yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan perbanyakan dengan biji, sehingga memungkinkan dilakukannya perbaikan bahan tanaman yang sudah ada sebelumnya menjadi bahan tanaman baru dengan karakter superior: misalnya produksi minyak tinggi, kualitas minyak baik, pertumbuhan meninggi yang lambat, serta resisten terhadap penyakit dengan sifat yang seragam, sehingga diharapkan produktivitasnya akan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sejauh mana teknologi kultur jaringan kelapa sawit dalam meningkatkan produktivitas perkebunan. Metode studi literatur digunakan dalam penelitian ini dan didapatkan kesimpulan bahwa produktivitas dari tanaman hasil kultur jaringan dapat meningkatkan produktivitas sebesar 20 sampai dengan 30 persen dibandingkan dengan penggunaan bahan tanam konvensional. Sehingga penelitian ini memberikan output rekomendasi bagi pemangku kepentingan untuk dapat berinvestasi menggunakan bahan tanam unggul kultur jaringan kelapa sawit dan dapat menikmati tingginya produktivitas selama kurang lebih 25 tahun kedepan. [Kata kunci: Bahan Tanam, Superior, Investasi]

Pendahuluan

Industri minyak sawit merupakan industri strategis yang berkontribusi terhadap perekonomian di Indonesia. Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit memproduksi 51.81 juta Ton CPO dan CPKO dengan luas areal 16.38 juta ha pada tahun 2019 (GAPKI, 2020a). Nilai ekspor minyak sawit pada tahun 2018 sebesar U$ 17.8 miliar atau berkontribusi sekitar 3.5% terhadap PDB nasional. Namun, di samping peran strategis dari industri kelapa sawit, masih terdapat tantangan dalam pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia, salah satu diantaranya adalah rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia.

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kelapa sawit di Indonesia adalah penggunaan benih tidak unggul. Hal ini mengakibatkan kerugian jangka panjang yang besar pada petani sawit, hingga kurang lebih 25 tahun kedepan. Rata-rata produktivitas Nasional kelapa sawit Indonesia hanya mencapai 3,61 ton CPO/ha, masih di bawah Malaysia dimana rata-rata produktivitas nasionalnya berkisar 3.82 ton CPO/ha, (Oil World, 2019).

Data menyebutkan bahwa dari ketiga pelaku usaha kelapa sawit, Perkebunan Rakyat (PR) Perkebunan Swasta (PS), dan Perkebunan Besar Negara (PBN) hanya PR yang memiliki produktivitas di bawah 4 ton CPO/ha, (Statistik Perkebunan Kelapa Sawit, 2019) (Gambar 1).

Page 133: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

133

Gambar 1. Produksi kelapa sawit Indonesia Figure 1. Indonesian oil palm production

Hal ini dikarenakan kebanyakan PR memiliki

umur tanaman lebih dari 25 tahun dan hal ini diperparah dengan penggunaan bahan tanaman yang tidak unggul (illegitim).

Demi mendukung kebutuhan minyak sawit yang semakin meningkat, apalagi dengan adanya moratorium larangan untuk perluasan area tanam, diperlukan bahan tanaman unggul yang dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi kultur jaringan kelapa sawit, (Pratiwi et al., 2020). Kultur jaringan adalah istilah umum untuk ilmu dan seni mengulturkan bagian tanaman (sel, protoplas, jaringan, atau organ) secara aseptik dalam kondisi lingkungan terkontrol yang disupplai hara mineral yang lengkap dari media buatan, (Hapsoro & Yusnita, 2016). Pada masa saat ini, kultur jaringan tanaman sudah banyak dimanfaatkan sebagai teknik yang efisien untuk memperbanyak tanaman secara vegetatif, untuk menghasilkan tanaman yang bebas patogen, serta untuk membantu rekayasa genetika dan pemuliaan molekuler (molecular breeding) (Winkelman et al., 2006).

Pada riset-riset sebelumnya, kultur jaringan kelapa sawit terbukti dapat meningkatkan produktivitas sebanyak 23-39% (Subroto et al., 1995), 40% (Khaw & Ng., 1998) dan 7-34% (Soh

et al., 2011). Menggunakan studi literatur, tujuan dari riset ini adalah untuk menjabarkan sejauh mana teknologi kultur jaringan kelapa sawit dalam meningkatkan produktivitas perkebunan.

Bahan dan Metode

Penelitian ini menggunkakan literature review dari tiga penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa bahan tanam kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan dapat meningkatkan produktivitas sebanyak 23-39% (Subroto et al., 1995), 40% (Khaw & Ng., 1998) dan 7-34% (Soh et al., 2011). Data kemudian dicari nilai tengahnya (median) dan didapatkan nilai 23%. Data kemudian diasumsikan dengan menggunakan Microsoft Excel untuk mengetahu kemungkinan produktivitas yang didapatkan selama 25 tahun dengan menggunakan bahan tanam kultur jaringan.

Menggunakan data standar produktivitas sawit dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS, 2020) terlampir, didapatkan nilai standar produktivitas kelapa sawit TBS/ha/tahun. Data ini kemudian dijadikan sebagai pembanding pada tiga literatur sebelumnya dan diasumsikan pula peningkatan produktivitas 23% median (nilai tengah) untuk kultur jaringan sebagai angka real yang paling mendekati.

Page 134: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

134

Gambar 2. Standar potensi produktivitas tanaman kelapa sawit non kultur jaringan (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2020). Figure 2. Standard of potential production for the non-tissue culture oil palm

Hasil dan Pembahasan

Data dibagi menjadi tiga kelompok lahan yakni: S1 (Sangat Sesuai), S2 (Agak Sesuai), dan S3 (Sesuai Marjinal). Menggunakan peningkatan 40% sesuai dengan penelitian (Khaw & Ng, 1998), median 31% dari nilai tengah 23 sampai dengan 39% (Subroto et al. (1995), median 21% dari nilai tengah 7 sampai dengan 31% (Soh et al., 2011), serta median 23,5 % untuk ketiga penelitian dari nilai tengah 7 sampai dengan 40 persen.

Kelas lahan S1 Pada kelas lahan S1 didapat bahwa

penggunaan bahan tanam kultur jaringan kelapa sawit dapat meningkatkan kurang lebih 20% produktivitas kelapa sawit per ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan nilai standar. Pada ketiga penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Subroto et al., 1995), (Khaw & Ng., 1998) dan (Soh et al., 2011) juga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan pada lahan S1.

Nilai tengah digunakan sebagai asumsi nilai yang paling ideal dari ke-tiga penelitian, sedangkan nilai standar potensi produktivitas kelapa sawit digunakan sebagai nilai pembanding. Pada Gambar 3 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke-tiga adalah 6 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa

sawit kultur jaringan dapat mencapai 7 ton TBS/ha/tahun.

Untuk produktivitas Kelapa Sawit dipertengahan tahun tanaman menghasilkan (TM), yakni pada tahun ke 13 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 13 adalah 34 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan dapat mencapai 42 ton TBS/ha/tahun. Sedangkan untuk akhir TM yakni di tahun ke 25, nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 25 adalah 23 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan pada tahun ke 25 dapat mencapai 28 ton TBS/ha/tahun.

Kelas lahan S2 Pada kelas lahan S2 didapat bahwa

penggunaan bahan tanam kultur jaringan kelapa sawit juga dapat meningkatkan kurang lebih 20% produktivitas kelapa sawit per ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan nilai standar. Pada ketiga penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Subroto et al., 1995), (Khaw & Ng., 1998) dan (Soh et al., 2011) juga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan pada lahan S2 walaupun nilainya masih di bawah kelas lahan S1.

Pada Gambar 4 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan

Page 135: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

135

pada tahun ke-tiga adalah 5 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan dapat mencapai 6 ton TBS/ha/tahun.

Untuk produktivitas Kelapa Sawit di pertengahan tahun tanaman menghasilkan (TM), yakni pada tahun ke 13 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 13 adalah 32 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan dapat mencapai 40 ton TBS/ha/tahun. Sedangkan untuk akhir TM yakni di tahun ke 25, nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 25 adalah 21 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan pada tahun ke 25 dapat mencapai 26 ton TBS/ha/tahun.

Kelas lahan S3 Pada kelas lahan S3 didapat bahwa

penggunaan bahan tanam kultur jaringan kelapa sawit juga dapat meningkatkan kurang lebih 20% produktivitas kelapa sawit per ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan nilai standar. Pada ketiga penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh (Subroto et al., 1995), (Khaw & Ng., 1998) dan (Soh et al., 2011) juga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan pada lahan S3 walaupun nilainya masih di bawah kelas lahan S2 dan S3.

Pada Gambar 5 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke-tiga adalah 4 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan dapat mencapai 5 ton TBS/ha/tahun.

Gambar 3. Peningkatan produktivitas pada kelas lahan S1 Figure 3. Increased productivity in land class S1

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

standard 6 16 19 23 28 32 34 35 35 35 34 33 32 31 29 28 27 26 26 25 24 23 23

Subroto et al. (1995) 23-39% 8 21 25 30 37 42 45 46 46 46 45 43 42 40 38 37 35 34 33 33 31 30 29

Khaw & Ng (1998) 40 % 8 22 27 32 39 45 48 49 49 49 48 46 45 43 41 39 38 36 36 35 34 32 32

Soh et al. (2011) 7-34% 7 19 23 28 34 39 41 42 42 42 41 40 39 37 35 34 33 31 31 30 29 28 27

Nilai tengah 23.5 7 20 23 28 35 40 42 43 43 43 42 41 40 38 36 35 33 32 31 31 30 28 28

0

10

20

30

40

50

60

ton

TB

S/h

a/t

ah

un

Kelas Lahan S1

Page 136: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

136

Gambar 4. Peningkatan produktivitas pada kelas lahan S2 Figure 4. Increased productivity in land class S2

Untuk produktivitas Kelapa Sawit di pertengahan tahun tanaman menghasilkan (TM), yakni pada tahun ke 13 terlihat bahwa produktivitas kelapa sawit di nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 13 adalah 30 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan dapat mencapai 37 ton TBS/ha/tahun. Sedangkan untuk akhir TM yakni di tahun ke 25, nilai standar non kultur jaringan pada tahun ke 25 adalah 20 ton TBS/ha/tahun sedangkan nilai tengah untuk produktivitas kelapa sawit kultur jaringan pada tahun ke 25 dapat mencapai 24 ton TBS/ha/tahun.

Biaya Saat ini estimasi harga kultur jaringan

kelapa sawit siap tanam yang dipasarkan oleh PT SMART berkisar USD 5 atau kurang lebih Rp. 70.000. Sedangkan harga bahan tanam non kultur jaringan siap tanam di PPKS berkisar kurang lebih Rp. 28.000. Harga bahan tanam kelapa sawit kultur jaringan lebih tinggi tiga kali lipat dari pada non kultur jaringan. Investasi awal untuk pengembangan kebun kelapa sawit kultur jaringan memang lebih mahal dibandingkan dengn non kultur jaringan. Namun, jika dilihat produktivitas yang didapatkan pada tahun ke-3 tanaman menghasilkan (TM) harga tersebut dapat diimpaskan dan dapat menutupi selisih biaya

pengadaan bahan tanam (Gambar 6). Terlebih pada tahun ke- 4 TM total produktivitas kebun kelapa sawit kultur jaringan menjadi lebih tinggi dan dengan otomatis output yang di dapatkan petani menjadi lebih besar hingga 25 tahun ke depan.

Dengan penjabaran mengenai biaya tersebut, investasi kebun kelapa sawit kultur jaringan dapat dikatan layak untuk dijalankan, meskipun pada data di lapangan masih terdapat berbagai kendala dalam kultur jaringan kelapa sawit.

Kendala pengembangan bahan tanam kultur jaringan kelapa sawit

Pengembangan kultur jaringan kelapa sawit juga memiliki berbagai kendala yakni: (1) Permasalahan harga; harga bahan tanam kultur jaringan dapat mencapai 2 sampai dengan 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan harga bahan tanam kelapa sawit non kultur jaringan. Pada bab biaya telah dibahas bahwa harga bahan tanam kelapa sawit kultur jaringan berkisar pada harga Rp. 70.000 sedangkan bahan tanam kelapa sawit non kultur jaringan siap tanam hanya berkisar antara Rp. 28.000. Hal ini menyebabkan banyak petani sawit yang tidak mau menggunakannya karena biaya investasi yang lebih tinggi di awal masa tanam (2).

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

standar 5 14 17 21 26 28 30 31 32 32 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 22 21

Subroto et al. (1995) 23-39% 7 18 22 28 34 37 39 41 42 42 42 41 39 37 36 35 34 33 31 30 29 28 28

Khaw & Ng (1998) 40 % 7 20 24 29 36 39 42 43 45 45 45 43 42 40 39 38 36 35 34 32 31 30 29

Soh et al. (2011) 7-34% 6 17 20 25 31 34 36 37 39 39 39 37 36 34 33 33 31 30 29 28 27 26 25

Nilai tengah 23.5 6 17 21 26 32 35 37 38 40 40 40 38 37 35 34 33 32 31 30 28 27 27 26

05

101520253035404550

ton

TBS/

ha/t

ahun

Kelas Lahan S2

Page 137: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

137

Gambar 5. Peningkatan produktivitas pada kelas lahan S3 Figure 5. Increased productivity in land class S3

Gambar 6. Estimasi biaya pada kebun kultur jaringan kelapa sawit Figure 6. Cost estimation on tissue culture oil palm plantations

Masih terdapat abnormalitas pada kultur jaringan kelapa sawit seperti yang dilaporkan oleh (Pratiwi et al., 2020) Pada tahapan planlet, (Emayunita et al., 2019) menjelaskan terdapat sebelas variasi bentuk vegetatif planlet yang abnormal, diantaranya planlet rosette, planlet bengkok, planlet dengan daun kurang dari 4 helai, planlet tegak (erect), planlet semu, planlet kerdil, planlet yang ujung daunnya berwarna putih, planlet dengan ujung daun kering planlet infloresenses terminal, planlet dengan daun berwarna kekuningan, dan planlet berbunga. Pada fase generatif juga ditemukan abnormalitas berupa bunga bersayap (mantled), bunga abortus, dan bunga androgynous (ekor tupai), sedangkan pada fase vegetatif ditemukan tanaman yang tajuknya tumbuh tegak (erect) (Setiowati et al., 2011). (3) Efisiensi proses kultur jaringan (Pratiwi et al., 2020). Keseluruhan proses kultur jaringan kelapa

sawit membutuhkan waktu dua hingga lima tahun dari induksi kalus hingga menjadi bibit di pre-nursery (Kushairi et al., 2010). Proses produksi bahan tanam yang memakan waktu dan analisis di laboratorium hingga proses pembentukan kalus dan embrio yang cukup rendah, yang rata-rata hanya sebesar 15% dari total eksplan yang ditanam, sehingga produksinya terbatas dan tidak sebanyak bahan tanam kelapa sawit non kultur jaringan. Diharapkan efisiensi proses kultur jaringan perlu ditingkatkan di masa yang akan datang agar semakin banyak bahan tanam unggul yang digunakan di Indonesia.

Kesimpulan

Dari data yang dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa bahan tanam kelapa sawit kultur jaringan berpotensi dapat meningkatkan produktivitas dengan pertambahan produktivitas

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

standar 4 12 15 19 23 26 27 28 29 30 30 30 29 27 26 25 24 23 22 21 20 20 20

Subroto et al. (1995) 23-39% 5 16 20 25 30 34 35 37 38 39 39 39 37 35 34 33 31 30 29 28 26 26 26

Khaw & Ng (1998) 40 % 6 17 21 27 32 36 38 39 41 42 42 41 40 38 36 35 34 32 31 29 28 27 27

Soh et al. (2011) 7-34% 5 14 18 23 28 31 33 34 35 36 36 36 34 33 31 30 29 28 27 25 24 23 23

Nilai tengah 23.5 5 15 19 23 28 32 33 35 36 37 37 36 35 33 32 31 30 28 27 26 25 24 24

05

1015202530354045

ton

TBS/

ha/t

ahun

Kelas Lahan S3

-5

0

5

10

15

20

0 1 2 3 4 5

BIAYA

Page 138: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

138

hingga 23% yang diambil dari nilai median ke-tiga penelitian sebelumnya. Biaya yang dikeluarkan pada penggunaan kelapa sawit kultur jaringan dan non kultur jaringan dapat diimpaskan pada TM tahun ke-tiga dan investasi kebun kelapa sawit kultur jaringan dapat dikatakan layak untuk dijalankan. Namun dari literatur juga didapatkan adanya tantangan dalam penggunanan bahan tanam kelapa sawit di Indonesia yakni: (1) Harganya yang cenderung mahal dari bahan tanam non kultur jaringan lainnya yakni dapat mencapai 2 sampai dengan 3 kali lipat lebih tinggi sehingga banyak petani sawit yang tidak mau menggunakannya karena biaya investasi yang lebih tinggi di awal masa tanam, (2) bahwa masih terdapat abnormalitas dan efisiensi proses kultur jaringan, (3) Proses produksi bahan tanam yang memakan waktu dan analisis di laboratorium sehingga produksinya terbatas dan tidak sebanyak bahan tanam kelapa sawit non kultur jaringan.

Saran

Dengan meningkatnya produktivitas kelapa sawit kultur jaringan hingga 20% dan dengan diketatkannya peraturan mengenai moratorium kelapa sawit dimana adanya larangan untuk memperbesar lahan kelapa sawit, kiranya pemerintah dan pelaku kepentingan dapat mendukung penggunaan bahan tanam unggul kultur jaringan kelapa sawit. Namun teknologi kultur jaringan di Indonesia juga perlu ditingkatkan sehingga resiko abnormalitas dapat dikurangi dan waktu produksinya juga dapat menjadi lebih singkat.

Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada Bapak Sumaryono, M. Sc atas arahannya memberikan informasi bahan pustaka yang dapat menjadi acuan bagi penulis, dan Dody Setiawan M.Sc atas bantuannya dalam proses pengolahan data.

Daftar Pustaka

C.H. Khaw & S.K. Ng (1998). Performance of commercial scale clonal oil palm (Elaeis guineensis JACQ.) plantings in Malaysia. In: Proc. Int. Symp. Biotechnology. Malaysia 1995 p, 251-258.

Emayunita., H. Rahmadi., Y . Yenni., R.D. Setiowati & I.Y. Harahap (2019). Vegetative characterization to identify oil palm (Eleeis guineensis Jacq.) planlet abnormalities. In: Proc AIP conference proceedings. p, 1-8.

[GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2020a. Kinerja Hulu-Hilir Industri Sawit Indonesia. Disampaiakan pada Seminar Roadmap Manufaktir Indonesia di Shangri-la Hotel Jakarta, 27 Februari 2020 oleh Kanya Laksmi Sidarta. Jakarta, Indonesia.

Hapsoro D & Yusnita (2016). Kultur Jaringan Untuk Perbanyakan Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Bandar Lampung, Aura Publishing.

Kushairi, A., A.H. Tarmizi., I. Zamzuri, M. Ongabdullah., R. Samsul Kamal., S.E. Ool & N. Rajanaldu (2010). Production, performance, and advances in oil palm tissue culture. In: Proc: Oil Palm Tissue Culture. Yogyakarta 2010.

Oil World.2019. Oil World Database December 2019. ISTA Mielke GmbH, Germany

Oil World.2020. Oil World Database March 2019. ISTA Mielke GmbH, Germany

Pratiwi, D R., Wening, S., Supena, N., Setiowati, R D & Yenni, Y (2020) Kuktur jaringan kelapa sawit: tantangan dan peluangnya. Warta PPKS 25 (1): 1-10

Soh, AC., Wong, G., Tan, CC., Chew, PS., Chong, S P., Ho, YW., Wong, CK., Choo, CN., Nor AH., & Kumar., K. Commercial-scale propagation and planting of elite oil plam clones: research and development towards realization. Journal of Oil Palm Research (23) p, 935-952.

Subroto, G. Ginting, A.R. Purba & A.U. Lubis (1995) . Keragaman awal klon kelapa sawit yang dihasilkan oleh PPKS. Prosiding Forum Komunikasi Kelapa Sawit 1V. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan 1995 p, 11-24.

Winkelman T, T Geier, W Preil (2006). Commercial in vitro plant production in Germany in 1985-2004. Plant Cell Tiss Org Cult 8(6): 319-327

Page 139: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

139

Potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor

Potency and superiority of the tissue culture of kopyor coconut

Valentina Sokoastri1*, Doni Setiadi1, Imron Riyadi2

1)Riset Perkebunan Nusantara, Jalan Salak No. 1A, Bogor, 16151 2)Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1, Bogor, 16128

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Kelapa kopyor merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, namun masih dianggap sebagai tanaman sekunder karena sifatnya yang abnormal dan jumlahnya yang tidak sebanyak kelapa biasa. Harga satu buah kelapa kopyor dapat bernilai 10 kali lipat dari kelapa biasa dan keberadaannya cukup sulit untuk ditemui. Melalui teknologi kultur jaringan kelapa kopyor yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI), saat ini dapat dihasilkan 90 sampai dengan 100 persen buah kopyor dalam satu pohon kelapa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor. Studi literatur pada riset-riset terdahulu mengatakan bahwa kelapa kopyor hasil dari kultur jaringan memiliki peluang bisnis dan penerimaan yang cukup baik untuk dikembangkan. Namun, Dari data sekunder diperoleh kesimpulan bahwa demand bahan tanaman dan buah kelapa kopyor masih jauh di atas supply-nya sehingga investasi kebun kelapa kopyor layak untuk dijadikan sebagai pilihan.

[Kata kunci: Kelapa kopyor, Investasi, Superior]

Pendahuluan

Terdapat dua tipe kelapa kopyor, yakni kelapa kopyor tipe dalam dan tipe genjah. Tipe dalam umumnya memiliki batang yang besar dan tinggi 15-20 meter dan bagian pangkal membengkak, membesar, sedangkan tipe genjah pada umumnya memiliki batang pendek, sekitar 12 meter dan agak kecil (Hutapea, 2007). Secara alamiah kelapa kopyor hanya di dapatkan sebanyak 1-2 butih per tandan pohon kelapa (Mashud & Manaroinsong, 2007). Karena kelangkaan dan abnormalitasnya, harga satu buah kelapa kopyor dapat menjadi lebih mahal dari pada kelapa biasa, bahkan 10 kali lipatnya. Melalui teknologi kultur jaringan kelapa kopyor, saat ini buah kelapa kopyor dapat ditemui pada lebih dari 90 persen tandan buah kelapa, teknologi yang digunakan adalah melalui teknik kultur embrio (Mashud et al., 2006). Dengan teknik ini, embrio normal dari buah kopyor ditumbuhkan secara in

vitro pada media nutrisi buatan yang menggantikan fungsi dari daging buah kelapa, yaitu sebagai sumber unsur hara untuk pertumbuhannya (Mashud & Manaroinsong, 2007).

Penelitian tentang perbanyakan kelapa kopyor melalui kultur embrio di Indonesia telah dimulai oleh Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI) sejak puluhan tahun yang lalu dan hingga sekarang perbanyakannya telah menyebar di beberapa daerah baik yang dikelola instansi pemerintah, maupun swasta. Dengan berkembangnya teknologi perbanyakan kelapa kopyor, perlu dilakukan analisis finansial tentang potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor untuk investasi perkebunan. Saat ini perhitungan feasibility study (FS) perkebunan kelapa kopyor masih sangat terbatas ditemukan di jurnal-jurnal yang bertaraf baik Nasional maupun Internasional. Sehingga dipandang perlu untuk melakukan riset mengenai potensi pengembangan

Page 140: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

140

perkebunan kelapa kopyor dengan menggunakan bahan tanam kultur jaringan. Secara garis besar tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor dan apakah investasi kebun kelapa kopyor layak untuk dijadikan sebagai pilihan.

Bahan dan Metode

Analisis data pada penelitian ini menggunakan data kuantitatif untuk melakukan analisis kelayakan usaha. Kelayakan usaha merupakan satu dasar seseorang/pengusaha untuk melakukan investasi. Usaha yang layak merupakan prediksi bahwa investasi yang ditanamkan akan menghasilkan keuntungan (Djarwadi, 2009). Beberapa indikator yang digunakan dalam analisis kelayakan usaha yaitu NPV, IRR, B/C Rasio, dan Payback period.

Net Present Value (NPV) Net Present value merupakan selisih antara

penerimaan dengan biaya yang telah di-present value-kan. Suatu usaha dinyatakan layak jika mempunyai nilai NPV positif (> 0).

𝑁𝑃𝑉 =+𝐵𝑡 − 𝐶𝑡(1 + 𝑖)

"

#$%

NPV : Net Present Value Bt : Penerimaan usaha pada tahun ke-t Ct : Biaya usaha pada tahun ke-t n : umur ekonomis proyek i : tingkat suku bunga yang berlaku

Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return adalah suatu metode penilaian dari suatu usulan investasi, dimana Internal Rate of Return dari suatu investasi adalah tingkat suku bunga yang akan menyamakan nilai sekarang (present value) dari aliran kas keluar dan kas masuk. Suatu usaha dinyakan layak jika mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga.

𝐼𝑅𝑅 =+{𝐴#"

#$%

(1 + 𝑟)#9 } = 0

At : Cash flow pada tahun t r : tingkat bunga yang menjadikan present value

dari proceeds (penerimaan) sama dengan present value dari capital outlays (pengeluaran).

n : periode terakhir cash flow yang diharapkan

B/C Rasio B/C rasio merupakan suatu ukuran

perbandingan antara pendapatan (benefit) dengan total biaya produksi (cost). Kegiatan usaha dinyatakan layak jika mempunyai nilai B/C rasio lebih dari 1 (satu).

𝐵/𝐶𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 = 𝑇𝑅 𝑇𝐶⁄ TR : Total Revenue (Total Pendapatan) TC : Total Cost (Total Biaya)

Payback period Payback Period adalah suatu metode untuk

menilai suatu investasi/usaha berdasarkan periode (waktu) yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan hasil-hasil usaha.

𝑃𝑃 = 𝑇𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖𝑃𝑟𝑜𝑐𝑒𝑒𝑑𝑠/𝑡ℎ 𝑥1𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

PP : Payback Period T Investasi : Total Investasi Proceeds/th : Pendapatan per tahun

Hasil dan Pembahasan

Biaya investasi Kebutuhan biaya investasi tanaman kelapa

kopyor yaitu biaya selama tanaman belum menghasilkan. Kelapa kopyor dalam memiliki masa tanaman belum menghasilkan yang lebih lama dibandingkan dengan tanaman kelapa kopyor dalam, yaitu selama 5 tahun dan kelapa kopyor genjah selama 3 tahun. Kebutuhan biaya investasi kelapa kopyor dalam adalah sebesar Rp180,5 juta/ha dan kelapa kopyor genjah sebesar Rp282,3 juta/ha (Tabel 1). Perbedaan biaya yang cukup besar tersebut dikarenakan perbedaan harga bibit kelapa kopyor. Harga bibit kelapa kopyor dalam yaitu Rp500.000/bibit dan harga kelapa kopyor genjah Rp1.000.000/bibit.

Analisis kelayakan usaha Analisis kelayakan usaha yang dilakukan

yaitu pada skala usaha 1 Ha. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil perhitungan terhadap indikator kelayakan usaha pada Tabel 2.

Net Present Value (NPV) Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha

diperoleh nilai NPV sebesar Rp806,1 juta untuk kelapa kopyor dalam dan Rp1,6 miliar untuk kelapa kopyor genjah. Nilai NPV yang dihasilkan pada

Page 141: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

141

kedua jenis kelapa kopyor bernilai positif (>0), baik untuk kelapa kopyor dalam maupun kelapa kopyor genjah. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa kegiatan usaha kelapa kopyor dalam dan kelapa kopyor genjah layak untuk dijalankan.

Tabel 1. Rincian biaya investasi tanaman kelapa kopyor Table 1. Investation cost on coconut kopyor plants

No. Uraian Kebutuhan Biaya Investasi Per Ha (Rp/Ha)

Kelapa Kopyor Dalam Kelapa Kopyor Genjah

1. TTI 88.590.081 216.614.236

2. TBM 1 16.296.141 22.094.857

3. TBM 2 17.576.235 23.592.343

4. TBM 3 16.856.316 19.953.652

5. TBM 4 19.358.872 -

6. TBM 5 21.865.063 -

Jumlah 180.542.709 282.255.088

Keterangan: TTI (Tanaman Tahun Ini); TBM (Tanaman Belum Menghasilkan)

Tabel 2. Hasil analisis kelayakan usaha Table 2. Results of business feasibility analysis

No Indikator Kelayakan Kelapa Kopyor Dalam Kelapa Kopyor Genjah 1. NPV Rp. 806.058.245 Rp. 1.592.502.468 2. IRR 37,4% 43,3% 3. B/C Rasio 4,0 4,5 4. Payback Period (PP) 6 tahun 3 bulan 4 tahun 8 bulan

Internal Rate of Return (IRR) Perhitungan IRR pada analisis usaha kelapa kopyor dalam dan kelapa kopyor genjah menghasilhan nilai yang cukup besar, yaitu sebesar 37,4% (kelapa kopyor dalam) dan 43,3% (kelapa kopyor genjah). Nilai IRR tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang digunakan sebesar 12%. Berdasahkan hal tersebut, usaha kelapa kopyor dalam dan kelapa kopyor genjah layak untuk dijalankan. B/C rasio Hasil perhitungan analisis kelayakan usaha diperoleh nilai B/C rasio diatas 1 (satu) untuk kelapa kopyor dalam dan kelapa kopyor genjah, yaitu 4,5 kelapa kopyor genjah dan 4,0 kelapa kopyor dalam. Nilai B/C rasio diatas 1 (satu) tersebut menunjukkan bahwa total pendapatan selama umur ekomis lebih besar dari pada total biaya. Sehingga kegiatan investasi pengembangan kebun kelapa kopyor layak untuk dijalankan. Payback Period (PP) Hasil perhitungan analisis kelayakan usaha diperoleh PP pada usaha pengembangan perkebunan kelapa kopyor tipe dalam selama 6

tahun 3 bulan dan kelapa kopyor genjah selama 4 tahun 8 bulan. Pengembalian investasi diproyeksikan pada saat TM 2 (tanaman menghasilkan), artinya modal yang dikeluarkan akan kembali pada tahun ke-2 setelah tanaman menghasilkan. Berdasarkan hal tersebut, kegiatan investasi perkebunan kelapa kopyor layak untuk dijalankan. Tantangan dalam pengembangan perkebunan kelapa kopyor Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan kelapa kopyor yaitu: 1. Investasi awal yang cenderung lebih tinggi

dibanding komoditas lainnya; 2. Pasar kelapa kopyor termasuk pasar “NICHE”

Market/ Sangat spesifik; 3. Jangka waktu kultur embrio sampai bibit siap

tanam mencapai waktu yang cukup panjang yakni 18 bulan;

4. Ketersediaan bibit kelapa kopyor kultur jaringan (siap tanam) masih sangat terbatas.

Kesimpulan

Page 142: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

142

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bibit Kultur jaringan kelapa kopyor dapat

menghasilkan 90% buah kelapa kopyor; 2. Harga buah kelapa kopyor dapat mencapai 10

kali lipat dari kelapa biasa; 3. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha,

pengembangan perkebunan kelapa kopyor layak untuk dijalankan;

4. Dalam upaya pengembangan perkebunan kelapa kopyor masih terdapat tantangan dan hambatan diantanya adalah nilai investasi yang cukup besar dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya;

5. Pengembangan perkebunan kelapa kopyor dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan investasi.

Daftar Pustaka

Mashud, Maskromo R, Hutapea H, N. (2004). Puslitbang Perkebunan. Tanaman Palma Pusat Penelitian Tanaman Palma Press. (2) 7-15.

Mashud N, Manaroinsong E (2007). Teknologi Kultur Embrio untuk Pengembangan Kelapa Kopyor. Buletin Palma (33), 37-44.

Hutapea, R. (2007). Kelapa Kopyor dan Prosepeknya Kedepan. Buletin Palma Manado. Manado: Balai Penelitian Tanaman Palma.

Djarwadi (2009). Kelayakan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 2 (3), 199-204.

Page 143: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

143

Metode pemetaan udara area kebun terjangkau dengan drone komersial dan perangkat lunak

open-source

Affordable farm aerial mapping methods with commercially available drones and open-source software

Arif Rakhman Hakim*, Andre Dani Mawardhi

Riset Perkebunan Nusantara, Jalan Salak No. 1, Kota Bogor, 16128

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Pemetaan udara kebun adalah salah satu prasyarat penerapan precision farming. Sayangnya, teknologi pemetaan udara komersial sering kali tidak terjangkau oleh pelaku usaha tani yang sebagian besar adalah usaha kecil. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan metode pemetaan yang relatif dapat diakses oleh sebagian besar pelaku usaha tani. Metode pemetaan udara yang diusulkan menggunakan drone yang tersedia secara komersial dengan perangkat lunak pengolahan gambar open-source. Secara detail metode untuk pemetaan udara secara rinci disampaikan mulai dari penentuan ketinggian penerbangan hingga pengolahan foto udara. Metode ini telah diaplikasikan untuk pemetaan udara pada pembibitan kelapa sawit di Riau dan Sumatera Utara.

[Kata kunci: foto udara, geoinformasi, metode]

Pendahuluan

Informasi geografis suatu lokasi dapat diinventarisir melalui pemetaan wilayah. Beberapa teknik pemetaan wilayah di antaranya menggunakan alat ukur teodolit, GPS (Harsono et al., 2006), citra satelit, dan foto udara (Shofiyanti, 2011). Kedua teknik yang disebutkan terakhir merupakan metode yang umum digunakan untuk pemetaan wilayah skala luas. Berbeda dengan citra satelit, pemetaan menggunakan foto udara relatif lebih murah meskipun cakupan wilayah areal yang dapat dipotret lebih kecil daripada citra satelit (Utomo, 2017). Selain itu, keunggulan dari pemetaan dengan foto udara adalah menghasilkan data dengan resolusi yang cukup tinggi (Ramadhani et al., 2015).

Proses pengolahan foto udara sebelum menjadi suatu informasi atas suatu objek melalui beberapa tahap yaitu pencatatan, pengukuran, dan interpretasi fotografis terhadap aspek geometris dari foto udara tersebut, seperti sudut, koordinat, dan jarak (Gularso, et al., 2013). Hasil

interpretasi foto udara menjadi dasar pengambilan keputusan mengenai kegiatan yang dapat dilakukan pada lokasi tersebut. Irsyad (2017) memanfaatkan hasil interpretasi penurunan luas sawah di Kota Solok untuk memprediksi potensi produksi padi. Beberapa kegunaan lain dari pemetaan foto udara adalah pengelolaan lahan pertanian, pemantauan sumber daya alam, dan mitigasi bencana alam.

Beberapa tahun terakhir, pemanfaatan foto udara sebagai teknik pemetaan semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan akan informasi geospasial. Awalnya, pemotretan udara menggunakan balon udara, layang-layang, hingga pesawat terbang dalam pengambilan datanya dengan fisik alat yang besar untuk mobilisasi operator dan instrumen foto udara serta biaya yang mahal (Purwanto, 2017). Kemajuan teknologi di bidang kamera dan pesawat tanpa awak/Unmanned Aerial Vehicle (UAV) memicu proses pengambilan foto udara semakin mudah, cepat, dan akurat (Al Ayyubi, et al., 2017). Drone merupakan salah satu jenis UAV yang belakang ini

Page 144: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

144

mulai digunakan untuk pemetaan foto udara. Drone umumnya sudah dilengkapi dengan GPS, mode autopilot, dan peralatan kamera resolusi tinggi untuk pemotretan foto udara (Utomo, 2017).

Salah satu arah penggunaan drone dalam pemetaan adalah precision-farming. Foto udara yang diambil melalui drone dengan frekuensi pemotretan secara berkala dan resolusi tinggi menghasilkan data kondisi lahan pertanian yang presisi sehingga agro input dapat diberikan secara efisien dengan losses minimal. Ketelitian orthophoto (foto udara yang telah diolah dan dikoreksi secara geometris) dari drone pernah dikaji oleh Naryoko et al. (2019) dengan hasil yang cukup baik. Berdasarkan perhitungan reflektansi dari orthophoto memungkinkan untuk dihitung kandungan klorofil tanaman, serapan pestisida, kekurangan air, dan defisiensi/keracunan hara (Daponte et al., 2019). Penggunaan drone untuk precision-farming telah dilakukan pada berbagai komoditas pertanian di antaranya jagung, kedelai, singkong, jeruk (Radoglou-Grammatikis et al., 2020) dan padi (Ikhwana dan Hapsari, 2019).

Aplikasi pemetaan foto udara menggunakan UAV termasuk drone masih belum banyak dilakukan di perkebunan. Sugeng et al. (2019) telah memetakan area perkebunan kelapa sawit menggunakan UAV tipe fixed wing yang datanya dapat dikembangkan untuk pemetaan sensus, peta tata guna lahan, peta tata ruang perkebunan, maupun pemantauan hama dan gulma. Uktoro (2017) telah memetakan kesehatan tanaman kelapa sawit menggunakan drone. Tulisan ini membahas mengenai pemanfaatan drone komersial untuk pemetaan area kebun dan perangkat lunak open-source.

Bahan dan Metode

Pemilihan drone Saat ini terdapat banyak perusahaan-

perusahaan yang menjual drone. Di pasaran terdapat dua jenis drone drone untuk pemetaan, yaitu: 1. Fixed wing, biasanya berbentuk pesawat dengan sayap aerofoil. Fixed wing pada umumnya lepas landas dengan bantuan pelontar maupun dilempar manual. Saat ini ada tipe drone fixed wing yang dapat lepas landas dan mendarat secara

vertikal (vertical take-off and landing atau VTOL) (Gambar 1 a). 2. Rotary wing, atau terkadang disebut multicopter adalah drone yang tidak memiliki sayap aerofoil dengan jumlah baling-baling minimal tiga. Drone ini lebih mudah dioperasikan daripada fixed wing dan tidak memerlukan tempat lepas landas yang luas (Purnomo 2019) (Gambar 1 b). Rotary Wing lebih mudah dikendalikan, tetapi lebih cocok untuk kebun dengan luas areal yang relatif sempit.

Berdasarkan kesiapannya untuk terbang, drone dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) Drone siap pakai, dan (2) Drone rakitan. Drone rakitan adalah drone yang komponennya diperoleh secara terpisah dan dirakit terlebih dahulu sebelum dapat terbang. Drone rakitan sangat tidak disarankan untuk pemula karena memiliki learning curve yang terjal khususnya bagi yang tidak pernah mempelajari komponen elektronika. Keunggulan dari drone rakitan ini adalah fleksibilitas dalam menentukan spesifikasi.

Tidak semua drone yang tersedia di pasaran dapat digunakan untuk pemetaan. Drone yang mudah digunakan untuk pemetaan memiliki kriteria utama drone sebagai berikut: 1. Terbang dengan ketinggian yang stabil

(Purnomo, 2018); 2. Memiliki kamera mengarah vertikal

(Purnomo, 2018); 3. Memiliki GPS; 4. Sebaiknya memiliki fitur untuk mengetahui

posisi terbang realtime; 5. Resolusi kamera yang sesuai kebutuhan.

Penentuan ketinggian terbang Ketinggian terbang akan berpengaruh

terhadap luas areal kebun yang akan tertangkap di dalam satu foto udara. Semakin tinggi drone, maka semakin luas areal yang akan tertangkap di dalam foto udara (Gambar 2). Informasi mengenai luas areal digunakan di dalam penentuan frekuensi pengambilan foto dan jalur terbang apabila penentuan jalur terbang dilaksanakan secara manual.

Perhitungan luas areal per foto udara dilakukan pada objek landmark yang telah diketahui ukuran sebenarnya. Skala pada foto udara kemudian ditentukan menggunakan Persamaan (1). Skala akan digunakan dalam menghitung luas areal pada satu foto udara.

Page 145: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

145

𝑆𝑘𝑎𝑙𝑎 = &&∗

(1) Skala : perbandingan ukuran asli terhadap

ukuran pada foto udara (m2/piksel) s : ukuran objek asli (m2) s* : ukuran objek pada foto (piksel)

Jalur terbang Jalur terbang drone dirancang untuk

memastikan setiap area kebun dapat terekam dengan kamera. Jalur terbang yang paling sederhana adalah melingkar (circular) tetapi jalur terbang ini lebih sesuai untuk pemetaan tiga dimensi sebuah objek. Macam-macam jalur tebang yang disebutkan oleh Purnomo (2019) antara lain: 1. Grid, 2. Double grid,

3. Polygon, 4. Cicular, dan 5. Free flight.

Jalur terbang grid, double grid, dan polygon memiliki pola utama yang sama, hanya saja pada double grid pola terbang grid dilaksanakan sebanyak dua kali secara menyilang. Adapun jalur terbang polygon adalah jalur terbang grid yang ditambah dengan tarikan garis pada tepian objek sehingga berpeluang mempertegas tepian orthophoto. Kerapatan antar garis pada grid akan berpengaruh pada tingkat overlapping foto udara yang akan dibahas berikutnya. Pada kebun dengan areal yang cukup luas, pemotretan dapat dilakukan secara bertahap.

Gambar 1. Drone a) fixed wing, b) rotary wing (https://www.uav-indonesia.com/single-post/2015/03/09/UAV-Fixed-Wing-atau-Rotary-) Figure 1. Drone a) fixed wing, b) rotary wing

Gambar 2. Pengaruh ketinggian drone terhadap bidang foto udara Figure 2. Effect of drone height on the aerial photo area

Page 146: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

146

Frekuensi pengambilan foto udara Frekuensi pengambilan foto udara

ditentukan setelah tingkat overlap antar foto ditentukan. Orthophoto yang baik biasanya dapat diperoleh dari kumpulan foto udara dengan tingkat overlap hingga 70% (Daponte et al., 2019). Overlap 30% masih dapat diterima oleh perangkat lunak, tetapi hasil yang diperoleh menjadi kurang optimal. Penentuan overlap ini pada akhirnya adalah trade-off antara kualitas orthophoto yang dihasilkan dengan kecepatan pengambilan foto udara yang berkonsekuensi pada penggunaan daya pada drone. Kecepatan drone juga akan berpengaruh pada frekuensi yang diperlukan untuk setiap pengambilan foto udara. Semakin tinggi overlap yang diharapkan dan semakin tinggi kecepatan drone, maka frekuensi pengambilan foto menjadi lebih sering (ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 3).

Gambar 3. Pengaruh kecepatan drone terhadap overlap pada bidang foto udara

Figure 3. Effect of drone speed on overlap in the field of aerial photography

Pengolahan foto udara Tahap pengolahan foto udara terdiri dari:

1. Menggabungkan kumpulan foto udara menjadi satu atau beberapa orthophoto.

2. Menggabungkan ortophoto dan menempatkan orthophoto pada sistem koordinat, serta menambahkan berbagai layer atau penanda yang dibutuhkan.

Penggabungan foto udara memakan waktu cukup lama. Semakin banyak foto dan semakin tinggi resolusi foto maka waktu pengolahan akan semakin bertambah. Proses ini sangat dipengaruhi oleh algoritma yang digunakan di dalam perangkat

lunak. Penggabungkan foto udara ini dapat dilakukan dengan perangkat lunak WebODM. Adapun penggabungan orthophoto dan penempatan orthophoto pada sistem koordinat dapat menggunakan QGIS.

Bahan dan alat Pemetaan yang dilakukan di dalam penelitian ini menggunakan drone DJI Mavic Air 2 dengan perangkat lunak DJI Fly. Perangkat lunak Dji Fly tidak mendukung pengaturan jalur terbang secara otomatis sehingga pengaturan jalur dilakukan secara manual dengan metode grid. Jalur terbang grid dipilih karena lebih fleksibel dalam menelusuri kebun secara keseluruhan dan tetap efisien dalam penggunaan baterai. Di samping itu, resolusi kamera pada drone yang digunakan cukup tinggi sehingga sekali pengambilan foto dianggap cukup. Pengolahan foto mozaik dilakukan dengan perangkat lunak WebODM yang pasang melalui Docker. Setiap foto udara yang diolah dikompres hingga ukuran 720Mp untuk mempercepat pengolahan foto udara dengan tetap mempertahankan kualitas foto. Output dari WebODM yang digunakan adalah orthophoto dengan format tif. Format tif dipilih karena mudah untuk diekspor ke dalam perangkat lunak geo information system (GIS) QGIS versi 3.14 dengan layer menggunakan Google Map.

Lokasi dan waktu pengambilan foto udara Pengambilan foto udara menggunakan

drone dilakukan pada area pembibitan kelapa sawit Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Kebun Percobaan (KP) Kuantan Singingi seluas 50 ha, KP Dalu-dalu seluas 8 ha, KP Kalianta seluas 10 ha dan KP Sei Silam seluas 2 ha pada Provinsi Riau serta di KP Marihat seluas 3 ha, dan KP Aek Pancur seluas 16,5 ha pada Provinsi Sumatera Utara. Waktu pengambilan foto udara selama 5 hari pada 7-11 Juli 2020.

Hasil dan Pembahasan

Pengambilan foto udara menggunakan drone telah dilakukan pada enam kebun pembibitan kelapa sawit dengan berbagai luas, kondisi area, dan umur bibit. Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 532 foto (ketinggian 50 m, 100 m, dan 200 m) di KP Kuantan Singingi (luas KP 50 ha). Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 972 foto (ketinggian 40 m) di KP Dalu-

Page 147: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

147

dalu (luas KP 8 ha). Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 2.094 foto (ketinggian 40 m) di KP Kalianta (luas KP 10 ha). Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 327 foto (ketinggian 40 m) di KP Sei Silam (luas KP 2 ha). Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 1.099 foto (ketinggian 40 m dan 55 m) di KP Marihat (luas KP 3 ha dengan blok pembibitan yang terpencar). Jumlah foto udara yang diperoleh sebanyak 1.808 foto (ketinggian 40 m) di KP Aek Pancur (luas KP 16,5 ha).

Ketinggian drone merupakan faktor krusial yang akan menentukan pelaksanaan pemetaan menggunakan foto udara. Berdasarkan hasil pengujian di lapangan pada drone DJI Mavic Air 2, diketahui bahwa pada ketinggian 400 mdpl dengan rasio foto 4:3 akan menghasilkan satu foto udara yang mencakup 9,3 ha. Secara lengkap hubungan ketinggian dan luas areal yang tercakup disajikan pada Tabel 1. Sehingga apabila disimulasikan, secara teoritis kebun dengan luas 50 ha dan overlap 70% dapat dipetakan dengan 18 foto udara. Meskipun berdasarkan spesifikasi teknis dari pembuatnya, DJI Mavic Air 2 mampu untuk terbang hingga ketinggian 500 mdpl, tetapi ketinggian drone untuk pemetaan kebun pembibitan disarankan lebih rendah dari ketinggian maksimal. Pada pemetaan kebun pembibitan kelapa sawit, ketinggian 50 mdpl hingga 200 mdpl cukup untuk digunakan pada pemetaan lokasi pembibitan kelapa sawit. Pada kebun dengan areal mencapai 50 ha, ketinggian 200 mdpl akan mempercepat proses pengambilan foto udara, tetapi dapat mengurangi kualitas penampakan bibit kelapa sawit dengan umur yang relatif muda seperti 4-5 bulan.

Tabel 1. Hubungan ketinggian terhadap luas areal di dalam foto udara pada DJI Mavic Air 2

Table 1. Relation of height to area in aerial photographs in DJI Mavic Air 2

Ketinggian (m)

Luas Areal (ha)

50 1,1

100 2,3

200 4,6

300 6,9

400 9,3

Foto udara yang dihasilkan sudah cukup menggambarkan perbedaan kenampakan area pembukaan baru, area bibit Main Nursery (MN) berumur <10 bulan dan area bibit MN >10 bulan (Gambar 4). Area pembukaan baru menunjukkan kondisi foto udara tanpa tutupan tanaman/hijauan dan lahan dipersiapkan untuk transplanting bibit Pre Nursery (PN) ke MN. Area bibit MN berumur <10 bulan menujukkan kanopi bibit kelapa sawit yang belum menutupi permukaan tanah, sehingga tampak seperti titik-titik dengan pola beraturan. Sebaliknya, pada area bibit MN berumur >10 bulan, permukaan tanah sudah tidak tampak karena kanopi bibit kelapa sawit sudah saling menimpa dan menampakan areal dengan tutupan hijau. Kondisi bibit kelapa sawit MN umur <10 bulan dan >10 bulan ditampilkan pada Gambar 5 dan 6. Jarak tanam bibit kelapa sawit MN sebesar 90cm x 90cm x 90cm dengan pola segitiga sama sisi.

Selain untuk membedakan fase umur bibit, hasil foto udara dapat digunakan bagi manajemen kebun pembibitan untuk monitoring gulma. Pada KP Sei Silam terdapat area yang relatif bersih dari rumput antar polibeg (telah dikendalikan melalui penyemprotan) dan beberapa spot yang masih relatif semak pada bibit umur 6 bulan. (Gambar 7). Interpretasi tersebut dapat membantu manajemen kebun pembibitan untuk segera menentukan area yang perlu dikendalikan serta persiapan alokasi tenaga kerja, alat dan bahan untuk pengendalian gulma. Sebagai catatan, monitoring gulma dari foto udara tersebut dapat dilakukan apabila kanopi bibit belum saling overlap sehingga menyulitkan klasifikasi antara tutupan gulma dengan bibit.

Penggunaan lain dari drone pada pembibitan kelapa sawit adalah optimasi lahan pembibitan. Pada Gambar 8, dapat diperoleh informasi pada sebagian areal Blok Surga KP Marihat masih kosong sedangkan sebagian lainnya masih terisi bibit MN. Berdasarkan informasi tersebut, manajemen kebun dapat merencanakan lokasi transplanting PN ke MN pada area kosong tersebut saat tahap pembibitan berikutnya.

Page 148: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

148

Gambar 4. Kondisi area pembibitan kelapa sawit pada beberapa fase umur di KP Aek Pancur (ketinggian terbang 40 m) Figure 4. Palm oil nursery area condition on different age phase in KP Aek Pancur (flying height 40 m)

Gambar 5. Figur bibit kelapa sawit umur 5 bulan Figure 5. Figure of palm oil seedling on 5 months age

Page 149: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

149

Gambar 6. Figur bibit kelapa sawit umur 17-19 bulan Figure 6. Figure of palm oil seedling on 17-19 months age

Gambar 7. Kondisi area KP Sei Silam yang relatif terkontrol/bersih dari gulma (panah hijau) dan yang relatif semak (panah jingga)

(ketinggian terbang 40 m) Figure 7. Palm oil nursery area condition in KP Sei Silam that relatively controlled (green arrow) and relatively covered by weeds

(orange arrow) (flying height: 40 m)

Page 150: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

150

Gambar 8. Kondisi area Blok Surga KP Marihat yang sebagian kosong dan sebagian terisi bibit (ketinggian terbang 40 m) Figure 8. Palm oil nursery area condition in Blok Surga KP Marihat that partly idle and partly fullfilled by seedling (flying height: 40 m)

Kesimpulan

Kombinasi antara Drone dengan harga relatif terjangkau yang tersedia di pasaran bersama perangkat lunak open-source pengolahan foto udara dan GIS dapat menjadi alternatif teknologi pemetaan bagi petani. Berdasarkan pengujian pada kebun pembibitan kelapa sawit, teknik ini memberikan hasil yang memuaskan. Berbagai kondisi fisik bibit kelapa sawit dapat terlihat dengan jelas khususnya pada ketinggian drone ≤50 mdpl. Meskipun teknik ini baru digunakan pada pemetaan kebun pembibitan kelapa sawit, namun memungkinkan untuk digunakan pada pemetaan di bidang yang lain.

Daftar Pustaka

Al Ayyubi AS, AB Cahyono & H Hidayat (2017). Pemetaan foto udara menggunakan wahana fix wing UAV (studi kasus: kampus ITS, Sukolilo). Jurnal Teknis ITS. 6 (2): 403-408.

Daponte P, L De Vito, L Glielmo, L Iannelli, D Liuzza, F Picarielo & G Silano (2019). A review on the use of drones for precision agriculture. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 275 (2019) 012022.

Gularso H, S Subiyanto & LM Sabri (2013). Tinjauan pemotretan udara format kecil menggunakan pesawat model Skywalker 1680 (studi kasus: area sekitar kampus UNDIP). Jurnal Geodesi Undip. 2 (2). 78-94.

Harsono N, A Subhan, S Sukaridoto & A Sudarsono (2006). Teknik pemetaan wilayah secara cepat dan akurat menggunakan GPS yang dikoordinasikan melalui jaringan 3G atau yang setara. Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia. Bandung, 3-4 Mei 2006 p, 467-571.

Ikhwana N & DR Hapsari (2019). Aplikasi drone wawasan tani untuk pertanian di Simpang Lima, Sungai Besar, Selangor. Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat 1 (1), 99-104.

Irsyad F (2017). Aplikasi foto udara untuk memprediksi potensi sawah Kota Solok dengan menggunakan pesawat tanpa awak. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. 21 (2), 86-92.

Naryoko, Y Prasetyo, AL Nugraha (2019). Kajian terapan teknologi UAV dan SIG dalam pembuatan peta desa skala 1: 1000 untuk wilayah RW-04 Kelurahan Tembalang tahun

Page 151: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

151

2017. Jurnal Geodesi Undip. 8 (1), 1-9. Purnomo, L (2018). Belajar Teknik Drone Mapping

Untuk Pemula. Diakses dari https://liupurnomo.com/drone-mapping/ [13 Oktober, 2020].

Purnomo, L (2019). Modul Bimbingan Teknis Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak (Puta) untuk Pemetaan. Diunduh dari https://liupurnomo.com/download-modul-pelatihan-drone-gratis/ [13 Oktober, 2020].

Purwanto TH (2017). Pemanfaatan foto udara format kecil untuk ekstrasi Digital Elevation Model dengan metode stereoplotting. Majalah Geografi Indonesia. 31 (1), 73-89.

Radoglou-Grammatikis P, P Sarigiannidis & T Lagkas (2020). A compilation of UAV applications for precision agriculture. Computer Networks 172 (2020) 107418.

Ramadhani YH, Rokhmatulloh, A Poniman & R Susanti (2015). Pemetaan pulau kecil

dengan pendekatan berbasis objek menggunakan data Unmanned Aeral Vehicle (UAV) (studi kasus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Majalah Ilmiah Globe 17 (2), 125-134.

Sugeng, RA Putra, RF Muslim & Y Septianto (2019). Pesawat tanpa awak untuk pemetaan area perkebunan. Telekontran 7 (1), 79-89.

Shofiyanti R (2011). Teknologi pesawat tanpa awak untuk pemetaan dan pemantauan tanaman dan lahan pertanian. Informatika Pertanian. 20 (2), 58-64.

Uktoro AI (2017). Analisis citra drone untuk monitoring kesehatan tanaman kelapa sawit. Jurnal Agroteknose 3 (2), 8-15.

Utomo B (2017). Drone untuk percepatan pemetaan bidang tanah. MKG 18 (2), 146-155.

Page 152: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

152

Pendekatan penentuan harga teknologi berdasarkan nilai dalam inovasi bioteknologi

Value-based technology pricing approach in biotechnological innovation

Arif Rakhman Hakim

Riset Perkebunan Nusantara, Jalan Salak No.1 Kota Bogor, 16128

Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Penentuan harga sebuah teknologi adalah faktor krusial dalam komersialisasi inovasi bioteknologi untuk menjaga keberlanjutan inovasi. Calon pengguna akan mempertimbangkan kecocokan harga teknologi dengan nilai yang ditawarkan, kemudian memutuskan akan mengadopsi teknologi baru tersebut atau tidak. Harga teknologi dapat diturunkan dari nilai inovasi yang ditentukan menggunakan metode Tuff dan Open. Metode Tuff dan Open adalah metode penentuan nilai berbasis sepuluh jenis inovasi. Dalam makalah ini, kami mengusulkan pendekatan penentuan harga teknologi berdasarkan nilai sebuah inovasi dengan metode Tuff dan Open sehingga lebih berpotensi untuk diterima oleh calon pengguna. Dengan memahami pendekatan penentuan harga yang ditawarkan, maka inovator dapat memberikan alasan rasional mengapa teknologi baru yang ditawarkan layak untuk digunakan.

[Kata kunci: adopsi teknologi, jenis inovasi, metode Tuff dan Open, pendekatan nilai, penentuan harga]

Pendahuluan

Akses terhadap inovasi di bidang bioteknologi merupakan isu penting. Inovasi di bidang bioteknologi telah membuka akses terhadap obat-obatan, genetika, dan diagnosa yang penting bagi kehidupan (Mireles 2004). Di bidang pertanian, peran inovasi bioteknologi juga sangat dirasakan manfaatnya dalam penemuan varietas-varietas baru hasil rekayasa genetika dan senyawa kimia pertanian. Salah satu manfaat yang telah dirasakan adalah terjadinya surplus penyediaan katun di Amerika Serikat setelah adanya introduksi varietas tanaman kapas hasil rekayasa genetika (Falck-Zepeda et al., 2000). Di bidang perkebunan, inovasi di bidang bioteknologi berpeluang menghasilkan teknologi untuk menurunkan serangan penyakit busuk pangkal batang yang selama ini belum ditemukan perawatan yang ampuh bagi tanaman yang sakit (Widiastuti et al. 2020).

Inovasi bioteknologi akan memberikan manfaat setelah terjadinya proses difusi teknologi. Selama proses difusi, sebuah inovasi akan diadopsi oleh pengguna tahap demi tahap hingga

mengalami titik jenuh. Proses difusi teknologi sangat dipengaruhi oleh kecocokan antara inovasi dengan pengadopsi baik dari sisi nilai, budaya, hingga proses komunikasi yang terjadi (Rogers, 2003). Dari sisi nilai, kecocokan dapat terjadi apabila pengorbanan finansial pengadopsi sesuai dengan nilai yang diterima dari inovasi tersebut.

Inovasi di bidang Bioteknologi harus dapat bertahan untuk mencapai berkelanjutan. Keberlanjutan tersebut dapat tercapai salah satunya adalah dengan menjual inovasi pada tingkat yang menguntungkan. Keuntungan tersebut akan memberikan peluang pertumbuhan bagi perusahaan untuk melanjutkan proses inovasi. Keuntungan tersebut baru dapat dicapai apabila harga inovasi ditentukan secara tepat. Beberapa strategi yang dapat digunakan oleh inovator dalam penentuan harga adalah: cost-plus driven, customer-driven pricing, share-driven pricing, value-based pricing, proactive pricing, profit-driven pricing (Nagle dan Muller, 2018). Dari keenam strategi tersebut value-based pricing adalah metode yang paling menggambarkan inti dari sebuah inovasi, yaitu nilainya diberikan

Page 153: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

153

kepada pengadopsi inovasi. Dengan pendekatan nilai, maka harga yang ditawarkan akan mencerminkan nilai dari sebuah inovasi.

Dalam makalah ini strategi penentuan harga tersebut dieksplorasi berdasarkan karakteristik dari sebuah inovasi yang digabungkan dengan pertimbangan biaya. Sehingga harga yang ditawarkan akan menggambarkan nilai inovasi secara lebih tegas dengan tetap memperhatikan profitabilitas dari sebuah inovasi.

Metode

Sepuluh jenis inovasi Nilai inovasi sangat terkait dengan jenis

inovasi yang akan diterima pengadopsi. Di dalam metode yang diajukan, dasar penentuan jenis inovasi menggunakan “Sepuluh Jenis Inovasi” yang dikembangkan oleh Keeley et al. (2013). Keeley et al. (2013) mengembangkannya pada 1998 untuk memudahkan memahami kriteria inovasi yang sukses. Berdasarkan kriteria tersebut, semakin banyak kategori sebuah inovasi maka semakin besar peluangnya untuk sukses. Kesepuluh jenis inovasi tersebut dibuat dalam sebuah tabel periodik seperti pada Gambar 1.

Sepuluh jenis inovasi terbagi menjadi tiga kategori besar, yaitu configuration, offering, experience. Masing-masing kategori dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: A. Configuration / Konfigurasi

1. Profit Model / Model Keuntungan : Bagaimana cara inovator mendapatkan uang.

2. Network / Jejaring : Bagaimana inovator terhubung ke pihak lain untuk menciptakan nilai.

3. Structure / Struktur : Bagaimana inovator mengelola keahlian dan aset.

4. Process / Proses : Bagaimana inovator menggunakan metode khususnya untuk pekerjaannya.

B. Offering / Penawaran 1. Product Performance / Kinerja Produk :

Bagaimana inovator mengembangkan fitur dan fungsi istimewa produknya.

2. Product System / Sistem Produk : Bagaimana inovator membuat produk dan layanan pelengkap.

C. Experience / Pengalaman 1. Service / Pelayanan : Bagaimana inovator

mendukung dan memperkuat nilai penawarannya.

2. Channel / Jalur : Bagaimana inovator menyampaikan penawaran kepada pengguna.

3. Brand / Merek : Bagaimana inovator merepresentasikan penawaran dan bisnisnya.

4. Customer Engagement / Keterlibatan Pelanggan : Bagaimana inovator menumbuhkan hubungan yang menarik dengan pengguna. Sebuah inovasi dapat memilik satu atau

lebih dari sepuluh jenis inovasi di atas. Contoh: mesin pencari Google masuk ke dalam 8 jenis dari 10 jenis inovasi (8/10) dengan perincian sebagai berikut: • Profit model – Google memberlakukan “pay per

click” yang saat itu belum digunakan untuk setiap iklan yang ditayangkan pada “AdWord”;

• Structure – Google mengundang berbagai perekayasa dan peneliti dengan alokasi waktu 20% untuk ide-ide baru;

• Process – Google mengembangkan algoritma “PageRank” untuk membuat rangking halaman situs;

• Product performance – Google menambahkan deskripsi singkat pada hasil pencarian yang memudahkan pengguna dan menguntungkan pengiklan;

• Product system – Google menambahkan “AdSense” untuk melengkapi bisnis iklannya yang memudahkan publisher situs untuk mendapatkan uang dari iklan Google;

• Service – Google memberikan layanan yang terintegrasi dan staf yang akan membantu pengiklan mendapatkan kata kunci yang menguntungkan;

• Channel – Google saat ini merambah pada layanan iklan spesifik lokasi “Google Maps” dan perangkat mobile;

• Brand – Google membuat halaman utamanya bersih dan mengedepankan logo yang

Page 154: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

154

“playful” dengan program “Doodles”-nya yang adaptif.

Metode Tuff dan Open Tuff dan Open (2011) memanfaatkan

sepuluh jenis inovasi untuk mengidentifikasi nilai dan peluang diterimanya sebuah inovasi dengan

sedikit adaptasi sebagaimana pada Tabel 1. Berdasarkan sepuluh jenis inovasi tersebut, nilai sebuah inovasi divisualisasikan seperti pada Gambar 2. Setiap nyala api menggambarkan jenis inovasi sesuai dengan sepuluh jenis inovasi. Semakin banyak nyala api, berarti inovasi semakin “Hot”, semakin sedikit berarti inovasi semakin

Gambar 1. Sepuluh Jenis Inovasi (Keeley et al., 2013) Figure 1. Ten Types on Innovation (Keeley et al., 2013)

Gambar 2. Visualisasi hasil pengukuran nilai inovasi (Tuff dan Open, 2011) Figure 2. Visualization of the results innovation value measurement (Tuff dan Open, 2011)

“Cold”. Menurut Tuff dan Open (2011), inovasi yang memiliki enam atau lebih nyala api berarti memiliki positioning yang kuat dibandingkan dengan kompetitor, sedangkan nyala kurang dari tiga berarti inovasi tersebut belum memberikan pembeda yang signifikan dengan kompetitor.

Setiap jenis inovasi akan memiliki indeks perbandingan dengan kompetitor berupa economic value estimation atau EVE, nilai ini

dihitung dengan menggunakan Persamaan 1. IEV adalah akumulasi dari seluruh nilai ekonomis yang dihitung dengan menggunakan Persamaan 2. EVi adalah nilai ekonomis yang diperoleh dari jenis inovasi ke-i yang sifatnya absolut. Setelah semua nilai ekonomis teridentifikasi, maka nilai IEV dapat dihitung. Nilai IEV ini menunjukkan nilai ekonomis yang akan bertambah untuk pengadopsi inovasi. Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai yang

Page 155: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

155

diberikan oleh inovasi kompetitor yang besarnya adalah RV. Apabila EVE bernilai 1,5, maka menurut Tuff dan Open (2011) inovasi tersebut cukup “Hot”, nilai EVE di bawah 1,1 merupakan indikasi bahwa inovasi tersebut kurang signifikan dibandingkan kompetitor, sedangkan nilai EVE di bawah 0,75, maka inovasi tersebut tidak dapat bertahan.

𝐸𝑉𝐸 = '()

*) (1)

Keterangan: EVE : Economic Value Estimation / perkiraan nilai

ekonomis (Rp/Satuan Implementasi) IEV : Incremental Economic Value / nilai ekonomis

pertambahan (Rp/Satuan Implementasi) RV : Reference Value / nilai referensi (Rp/Satuan

Implementasi)

𝐼𝐸𝑉 = ∑ |𝐸𝑉+|,%

+$, (2) Keterangan: IEV : Incremental Economic Value / nilai ekonomis

pertambahan (Rp/Satuan Implementasi) EVi : Economic Value pada jenis inovasi ke-i

(Rp/Satuan Implementasi)

Nilai EVE yang diperoleh dapat menjadi referensi yang kuat bagi inovator untuk menentukan apakah inovasinya bertahan atau tidak. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan inovasi tersebut adalah dengan memperbanyak jenis inovasinya (Tuff dan Open, 2011). Strategi ini tentu akan meningkatkan nilai kompetitif sebuah inovasi dibandingkan inovasi dari kompetitor. Penentuan harga berdasarkan nilai

Harga sebuah inovasi dapat diperoleh dari nilai di antara biaya pengembangan inovasi dengan IEV (Persamaan 3). Biaya pengembangan inovasi CT adalah biaya yang dikeluarkan oleh inovator untuk membuat sebuah inovasi hingga siap digunakan oleh pengguna untuk setiap satuan implementasi. Biaya ini diperoleh dari total investasi yang dikeluarkan dibagi dengan harapan atau jumlah minimal perbanyakan inovasi selama satu siklus inovasi (Persamaan 4). Satu siklus inovasi adalah periode yang diperlukan oleh inovasi mulai dari peluncuran hingga inovasi tidak

lagi digunakan baik karena tergantikan oleh inovasi lain maupun dihentikan produksinya. 𝑃 = {𝑥|𝐶- ≤ 𝑥 ≤ 𝐼𝐸𝑉, 𝑥 ∈ 𝑅} (3) Keterangan: P : Harga inovasi (Rp/Satuan Implementasi) CT : Biaya penyampaian inovasi (Rp/Satuan

Implementasi)

dengan

𝐶- = R '(+ 𝐶𝑝T × 𝛼 (4)

Keterangan: I : Biaya riset pengembangan inovasi (Rp) E : Jumlah harapan adopsi inovasi dalam satu

siklus inovasi (Satuan Jumlah)

α : Konversi per satuan implementasi (Satuan Jumlah/Satuan Implementasi)

Cp : Biaya produksi inovasi (Rp/Satuan Jumlah)

Hasil dan Pembahasan

Metode penentuan harga inovasi yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan untuk seluruh inovasi selama setiap variabel penentuan harganya dapat diukur atau diperkirakan. Proses paling awal yang harus dilakukan oleh inovator adalah mengenali inovasi yang ditemukannya sehingga dapat dikelompokkan ke dalam sepuluh jenis inovasi di atas. Kegagalan inovator dalam mengidentifikasi jenis inovasi akan mengakibatkan ada nilai ekonomis (EV) yang tidak diperhitungkan sehingga harga yang ditetapkan menjadi terlalu rendah (underpricing) dan mengurangi peluang keberlanjutan inovasi. Meskipun demikian, inovator juga tidak perlu memasukkan EV yang tidak riil dirasakan oleh pengadopsi sehingga harga yang ditetapkan menjadi terlalu tinggi (overpricing). EV yang diperhitungkan hanya EV yang dapat diperhitungkan secara ekonomis. Beberapa inovasi yang masuk ke dalam jenis Brand mungkin tidak dapat dinilai secara ekonomis sehingga untuk pengadopsi yang termasuk kategori business to business (B2B) inovasi tersebut dapat diperhitungkan apabila dapat diperhitungkan manfaat ekonominya. Meskipun tidak diperhitungkan, Jenis inovasi tersebut tetap dapat digunakan sebagai rasionalisasi adopsi inovasi dan menambah satu level tingkat “Hot” inovasi.

Perhitungan CT ditujukan untuk menjaga agar harga inovasi yang ditetapkan masih menutup seluruh biaya yang dikeluarkan inovasi. Biaya riset dan pengembangan disertakan untuk:

Page 156: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

156

1. Menutup seluruh biaya produksi inovasi (Cp); dan

2. Menutup seluruh biaya riset dan pengembangan (I).

Dalam perhitungan CT perlu informasi mengenai proyeksi adopsi teknologi dalam bentuk ekspektasi perbanyakan inovasi. Perhitungan ekspektasi perbanyakan dapat diperoleh dengan membagi CT dengan IEV sehingga diperoleh jumlah break event point (BEP) perbanyakan inovasi. Jumlah BEP menunjukkan jumlah minimal inovasi yang harus diproduksi apabila dijual pada harga jual sesuai IEV. Pada praktiknya harga jual inovasi akan lebih menarik bagi pengadopsi apabila berada di bawah IEV sehingga jumlah BEP yang ideal harus lebih tinggi. Bagi inovator, jumlah BEP dapat digunakan sebagai alat evaluasi peluang keterbukaan pasar. Apabila potensi pasar jauh lebih besar daripada jumlah BEP, artinya masih banyak ruang yang tersedia untuk inovasi tersebut masuk ke pasar hingga mencapai BEP. Sebaliknya apabila potensi pasar nilainya hampir sama dengan jumlah BEP atau bahkan lebih tinggi, maka ada peluang investasi pada inovasi tersebut bukanlah kesempatan yang menarik bagi inovator.

Dalam penetapan harga inovasi, harga dapat ditetapkan lebih dekat ke CT atau lebih dekat ke IEV. Selisih antara harga dengan CT akan menjadi nilai tambah bagi inovator, sedangkan selisih antara IEV dengan harga akan menjadi nilai tambah bagi pengadopsi (Gambar 3). Adanya konsep nilai tambah ini membuka peluang bagi inovator dan pengadopsi untuk melakukan negosiasi harga apakah akan ditarik ke arah CT atau ditarik ke arah IEV. Berdasarkan nilai tambah tersebut, inovator masih memiliki ruang untuk memperbesar nilai tambah pengguna sehingga inovasi lebih menarik bagi pengguna.

Gambar 3. Posisi nilai tambah inovator dan nilai tambah pengguna Figure 3. position of value added for innovator and for adopter

Untuk menunjukkan cara perhitungan harga dengan metode yang sudah dipaparkan, berikut

simulasi penentuan harga inovasi. Misal ada sebuah Perusahaan X mengembangkan formula baru (Inovasi A) yang berfungsi sebagai biofungisida untuk penyakit busuk pangkal batang yang diakibatkan oleh jamur Ganoderma. Inovasi A digunakan pada tanaman sebanyak 10 mL per pohon, maka setiap hektar memerlukan 1,3 L pada populasi 130 pohon/ha. Inovasi A termasuk ke dalam inovasi Business Model (1) yang akan meningkatkan penghasilan pengguna sebanyak Rp1.000.000 per hektar, maka nilai EV1 Inovasi adalah Rp1.000.000. Inovasi A juga termasuk jenis Product Performance (5) yang akan menurunkan biaya kerugian sebesar Rp6.000.000 per hektar, maka nilai EV5 Inovasi A adalah Rp6.000.000. Berdasarkan jenis inovasi tersebut, maka nilai IEV Inovasi A adalah Rp7.000.000 per hektar. Dengan nilai IEV tersebut maka batas atas harga inovasi A adalah Rp5.384.615 per L. Apabila Inovasi A biaya penyampaian teknologinya (CT) adalah Rp3.500.000 per L sudah tercakup di dalamnya biaya riset dan pengembangan serta biaya produksi, maka batasan rentang harganya adalah Rp3.500.000 - Rp5.384.615. Apabila inovator menghendaki nilai tambah untuk inovator dan pengadopsi sebanding, maka harga yang ditetapkan adalah Rp4.442.307 per L. Pada kasus inovasi A, jenis inovasi terlalu sedikit karena hanya ada 2 jenis. Apabila menghendaki, perusahaan X dapat menambahkan fitur lain di dalam produk sehingga akan meningkatkan tingkat “Hot” inovasi A. Pada saat menawarkan kepada pengguna, perusahaan X dapat memfokuskan pada keunggulan Business Model dan Product Performance ditambah dengan jenis inovasi lain yang dikembangkan untuk meningkatkan nilai “Hot”-nya.

Kesimpulan

Penentuan harga inovasi dapat dilakukan dengan mengambil referensi dari IEV atau nilai ekonomis akumulasi dari sebuah inovasi. Nilai IEV ini diturunkan dari karakteristik inovasi yang dilihat dari sepuluh jenis inovasi. Harga inovasi tersebut dipilih di antara CT yang merupakan biaya yang dikeluarkan inovator untuk menyampaikan inovasi kepada pengguna dengan IEV yang merupakan akumulasi nilai yang akan diterima pengadopsi. Apabila selisih antara IEV dengan CT cukup banyak,

Page 157: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

157

maka ada ruang bagi inovator dan pengadopsi untuk melakukan negosiasi harga. Bagi inovator, sepuluh jenis inovasi dapat digunakan sebagai keunggulan inovasi yang dapati disampaikan kepada pengguna untuk mengadopsi inovasinya.

Daftar Pustaka

Falck-Zepeda JB, G Traxler, RG Nelson (2000). Surplus Distribution from the Introduction of a Biotechnology Innovation. Amer. J. Agr. Econ. 82, 360–369.

Keeley L, R Pikkel, B Quinn, H Walters (2013). Ten Types of Innovation: The Discipline of Building Breakthroughs. New Jersey, John Wiley & Sons.

Mireles MS (2004). An Examination of Patents, Licensing, Research Tools, and the Tragedy of the Anticommons in Biotechnology Innovation. University of Michigan Journal of

Law Reform 38, 141-235. Nagle TT, G Muller (2018). The Strategy and

Tactics of Pricing, A Guide to Growing More Profitably-Sixth Edition. New York, Routledge.

Rogers EM (2003). Diffusion of Innovation-Fifth Edition. New York, Free Press.

Tuff G, Open (2011). Vision Statement: How Hot Is Your Next Innovation?. Harvard Business Review, Mei 2011. Diunduh dari https://hbr.org/2011/05/vision-statement-how-hot-is-your-next-innovation [10 Oktober, 2020].

Widiastuti H, H Minarsih, D Santoso, DD Eris, GW Permatasari (2020). Aplikasi Fungisida Organik untuk Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Tanaman Kelapa Sawit Produktif. Menara Perkebunan 88 (1), 29-34.

Page 158: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

158

Respons pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap jenis pupuk dan

biostimulan

Growth response of sugarcane (Saccharum officinarum L.) to the fertilizer types and biostimulant

Poppy Arisandy, Galuh Wening Permatasari & Happy Widiastuti*)

Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jalan Taman Kencana No 1, Bogor, 16128

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pupuk dan biostimulan terhadap pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Eksperimen ini dilaksanakan di lapang terbatas PPBBI pada bulan September 2019 sampai September 2020. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap untuk menguji 8 perlakuan yang merupakan kombinasi dua faktor yaitu jenis pupuk (pupuk A dan pupuk B) dan biostimulan (biostimulan organik, mikroba, kombinasi organik dan mikroba serta tanpa biostimulan). Semua perlakuan mendapatkan aplikasi mikoriza dan asam humat sebagai pelapis pupuk. Biostimulan organik dan kombinasi diaplikasikan sebanyak dua kali pada 3 dan 5 BST (bulan setelah tanam), sedangkan biostimulan mikroba diaplikasikan pada 3 dan 4 BST. Pengamatan vegetatif diamati pada 5 dan 9 BST, sedangkan parameter panen diamati pada 12 BST. Analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan jenis pupuk dan biostimulan. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi pupuk B meningkatkan tinggi tanaman, jumlah batang, dan bobot akar tanaman tebu secara nyata dibandingkan dengan pupuk A. Biostimulan organik secara tunggal menghasilkan rerata yang tinggi untuk parameter diameter batang dan panjang ruas secara nyata. Panjang batang tebu menunjukkan rerata tertinggi pada aplikasi kombinasi biostimulan organik dan mikroba sedangkan bobot batang menghasilkan rerata tertinggi pada aplikasi biostimulan mikroba. [Kata kunci: biostimulan mikroba, biostimulan organik, jenis pupuk, tebu]

Pendahuluan

Biostimulan didefinisikan sebagai bahan yang mengandung zat senyawa, mikroorganisme atau formulasi yang berperan dalam stimulasi proses alami peningkatan pertumbuhan tanaman. Terdapat lima kategori biostimulan, yaitu inokulan mikroba, asam humat, asam fulvat, hidrolisat protein, asam amino, dan ekstrak rumput laut. Semua jenis biostimulan tersebut terbukti memiliki kemiripan dalam hal pengaruh terhadap tanaman yaitu dapat memperbaiki perakaran, meningkatkan penyerapan nutrisi, dan toleransi terhadap cekaman (Calvo et al., 2014; Sharma et al, 2014).

Santoso dan Priyono (2014) melaporkan biostimulan organik Citorin mampu meningkatkan produksi tanaman pangan termasuk padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, dan kentang di

lapang. Selain itu, biostimulan ini dapat meningkatkan rendemen padi dan jagung dari 8% hingga 20%. Tebu memiliki metabolisme yang berbeda dengan tanaman padi, sehingga dikembangkan biostimulan khusus untuk tanaman tebu. Pengujian pada tanaman tebu di polibag menunjukkan bahwa biostimulan tersebut dapat meningkatkan produktivitas gula sebesar 56%, sedangkan pada parameter bobot batang tebu panen dan rendemen gula terjadi peningkatan masing-masing sebesar 47,1% dan 6,1%. Sementara itu hasil uji lapang terbatas menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas gula mencapai 94%, dengan peningkatan bobot batang tebu panen dan rendemen gula masing-masing sebesar 82,74% dan 6,14%. Pada perlakuan terbaik, bobot batang tebu meningkat

Page 159: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

159

dari 76,92 ton/ha (tanpa biostimulan) menjadi 140,56 ton/ha, sedangkan rendemen gula naik dari 7,98% (tanpa biostimulan) menjadi 8,47% (Santoso et al., 2018). Selain itu, Putra et al., (2017) menyebutkan bahwa tebu yang diberikan biostimulan organik menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik daripada perlakuan tanpa biostimulan, pada parameter tinggi tanaman, berat batang, perakaran, bobot akar saat panen, dan brix. Perendaman benih dan penyemprotan dalam biostimulan memberikan pengaruh pada tinggi tanaman terbaik sebesar 13% dibandingkan dengan tanpa biostimulan diikuti dengan kombinasi biostimulan berbasis asam humat plus mikoriza, dan asam humat tanpa mikoriza.

Beberapa mikroba memegang peran penting terhadap peningkatan produktivitas dan pengendalian penyakit tanaman (Van der Heijden et al., 2008; Perez-García et al., 2011). Azotobacter merupakan salah satu bakteri nitrogen fixing (BNF) yang terbukti meningkatkan produktivitas pada beberapa tanaman, salah satunya adalah mulberry (Sudhakar et al., 2000). Aplikasi Azotobacter diberikan dengan foliar spray berdasarkan beberapa alasan yakni 1) kebutuhan nitrogen tanaman yang berada dekat dengan tempat asimilasi, yaitu daun atau batang sehingga membantu pemenuhan nitrogen tanaman, 2) beberapa strain BNF memiliki potensi antagonis patogen sebagai proteksi tanaman, 3) area filoplane memiliki cukup nutrisi untuk BNF dari air lindi yang terbentuk, sehingga baik untuk pertumbuhan Azotobacter, 4) BNF memiliki kompetitor yang relatif lebih sedikit dari mikroflora lain di area daun atau batang dibandingkan di tanah (Sen, 1988). Burkhlorideria merupakan bakteri yang sering dijumpai di tanah dan berperan penting sebagai fitosfer untuk menginduksi pertumbuhan tanaman dan melawan pathogen (Mannaa et al., 2019; Dobritsa dan Samadpour, 2016; Peeters et al., 2013; Marchetti et al., 2011). Di lain pihak Serratia telah terbukti meningkatkan pertumbuhan pada Achyranthes aspera. Selain itu, bakteri ini mampu menghasilkan IAA dan ammonia (Devi et al., 2016). Selanjutnya, Pseudomonas berperan sebagai Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) yang telah terbukti efektif menginduksi pertumbuhan, toleransi tanaman terhadap cekaman abiotik terutama pada tanaman

perkebunan (Chu et al., 2019). Penggunaan mikroba PGPR pada tebu telah dibuktikan bekerja efektif mampu meningkatkan hasil panen sebesar 37%, sedangkan pada tebu ratoon produktivitas mampu meningkat sebesar 5 dan 24% berturut-turut pada tebu ratoon pertama dan kedua (da Silva et al., 2017).

Kandungan senyawa humat memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan akar dan tunas sebanyak 20% (Rose et al., 2014). Humat adalah senyawa yang memiliki karakter hidrofobik, seperti lipid dan lignin, yang mampu melindungi senyawa lain dari degradasi (Piccolo A, 2002). Penggunaan asam humat dan PGPR telah terbukti berperan dalam meningkatkan pertumbuhan jagung dan tomat (Vassilev et al., 2015; Owen et al., 2015; Sousa dan Olivares, 2016), namun untuk tanaman tahunan, seperti tebu, belum terdapat referensi penelitian yang pernah dilakukan terkait fungsi biostimulan. Maka dari itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pupuk anorganik dan biostimulan terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman tebu (Saccharum officinarum L.).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di lapang terbatas Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Bogor pada bulan September 2019 sampai September 2020. Varietas tebu yang digunakan adalah PSJT 941 yang ditanam di polybag berukuran 30 x 40 cm dengan kapasitas tanah 10 kg.

Perlakuan yang diuji dan rancangan percobaan Penelitian ini bertujuan untuk menguji

keefektifan pemberian variasi jenis pupuk dan biostimulan terhadap parameter vegetatif dan panen tanaman tebu. Terdapat delapan kelompok perlakuan yang merupakan kombinasi jenis pupuk (pupuk A dan pupuk B) dan jenis biostimulan (organik, mikroba, kombinasi organik dan mikroba, tanpa biostimulan). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari lima ulangan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Jenis pupuk dan biostimulan Jenis pupuk yang diuji adalah pupuk A dan

pupuk B, sedangkan jenis biostimulan yang diuji adalah biostimulan organik, mikroba, kombinasi

Page 160: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

160

organik dan mikroba, dan tanpa biostimulan. Pupuk A diaplikasi dua kali yaitu saat tanam dengan dosis NPK 7 gram/polybag dan Urea 3 gram/polybag serta satu bulan setelah tanam dengan dosis Urea 4 gram/polybag dan KCl 1,5 gram/polybag. Sedangkan pupuk B diaplikasi dua kali yaitu saat tanam dengan dosis NPK 7 gram/polybag serta satu bulan setelah tanam dengan dosis NPK 7 gram/polybag dan Urea 3 gram/polybag. Biostimulan organik diaplikasikan sebanyak 2 kali pada bulan ke 3 dan 5 setelah tanam dengan dosis masing-masing 50 ml/polybag dan konsentrasi 1 ppm sedangkan biostimulan mikroba (mengandung empat isolat Azotobacter, satu isolat Pseudomonas, satu isolat Serratia dan satu isolat Burkholderia) diaplikasikan pada bulan ke 3 dan 4 sebanyak 50 ml/polybag dengan populasi masing-masing mikroba sekitar 107 CFU. Biostimulan kombinasi merupakan campuran biostimulan organik dan mikroba yang diaplikasikan pada bulan ke 3 dan 5 dengan dosis yang sama dengan pemberian secara tunggal. Semua perlakuan mendapat aplikasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dengan dosis 0,85 gram/polybag dan asam humat sebagai pelapis pupuk dengan dosis 1% dari bobot pupuk.

Parameter pengamatan Pengamatan vegetatif pada umur 5 dan 9

BST terdiri dari jumlah batang, tinggi tanaman (cm), diameter batang (cm) sedangkan parameter yang diukur pada saat umur 12 BST adalah panjang ruas (cm), panjang batang (cm), bobot batang (kg), bobot akar (kg), infeksi CMA (%), jumlah spora CMA serta nilai persen Brix gula. Data pengamatan dianalisis menggunakan uji statistika ANOVA dengan software STAR versi 2.0.1.

Hasil dan Pembahasan

Respons vegetatif tebu terhadap aplikasi jenis pupuk dan biostimulan

Hasil pengamatan vegetatif tebu disajikan pada Tabel 1. Pengamatan tinggi tanaman tebu pada umur 5 dan 9 BST menunjukkan terdapat beda nyata antara perlakuan pupuk A dan pupuk B. Jenis pupuk B pada 5 dan 9 BST menghasilkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih besar berturut-turut yaitu 137,38 cm dan 266,60 cm dibandingkan dengan jenis pupuk A yaitu 127,85 cm dan 246,88 cm. Pupuk A dan B memiliki

perbedaan pada dosis NPK yang diberikan, pupuk B menggunakan NPK yang lebih banyak dengan dosis 14 gram/polybag sedangkan pupuk A menggunakan dosis NPK 7 gram/polybag. Menurut Nunik et. al (2017), tinggi tanaman tebu dipengaruhi oleh jumlah pupuk yang diaplikasikan, varietas tebu dan keadaan iklim saat penanaman tebu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Singh et al. (2007) dan Manimaran et al. (2009) bahwa pemberian pupuk dalam jumlah yang lebih banyak dapat merangsang pertumbuhan tanaman akibat tingginya konsentrasi unsur N pada titik tumbuh dan daun muda.

Pengamatan jumlah batang pada 5 dan 12 BST menunjukkan adanya beda nyata antara perlakuan jenis pupuk A dan pupuk B (Tabel 1). Jumlah batang tebu di semua perlakuan biostimulan pada umur 5, 9 dan 12 BST menunjukkan bahwa tanaman tebu yang diberikan pupuk B memiliki rata-rata jumlah batang yang lebih banyak yaitu 3,75; 2,36; dan 2,10 dibandingkan dengan pupuk A masing-masing 2,85; 2,34 dan 1,90. Jumlah tanaman tebu per meter juring pada berbagai umur pengamatan dipengaruhi oleh jenis pupuk yang diberikan. Semakin banyak pupuk NPK yang diberikan dapat memicu pertumbuhan tunas baru. Hasil penelitian Permana et al. (2015) menyebutkan bahwa semakin besar unsur N, maka jumlah anakan yang terbentuk semakin banyak. Jumlah batang pada saat awal pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas mata tunas benih tebu dan ketersediaan pupuk N. Penelitian Hunsigi (1993) menunjukkan bahwa terdapat jumlah batang tebu yang tumbuh berlebihan akan mencapai puncaknya di bulan ketiga, tetapi kurang lebih 50% batang-batang tersebut akan mati dan populasi batang menjadi stabil saat tebu berumur lebih dari 6 bulan karena adanya persaingan lingkungan tumbuh tanaman.

Pada parameter diameter batang menunjukkan bahwa perlakuan biostimulan organik dan kombinasi antara organik dan mikroba pada umur 5, 9 dan 12 BST berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa biostimulan. Perlakuan biostimulan organik dan mikroba pada 5 BST memiliki rata-rata diameter batang yang lebih besar yaitu 2,44 cm dan 2,42 cm dibandingkan dengan tanpa biostimulan yaitu 2,19 cm. Pada umur 9 BST, perlakuan biostimulan

Page 161: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

161

mikroba dan kombinasi organik dan mikroba menghasilkan rata-rata diameter batang yang paling besar yaitu berturut-turut 2,47 cm dan 2,45 cm dibandingkan dengan tanpa biostimulan yaitu 2,30 cm. Pada umur 12 BST rata-rata diameter batang pada perlakuan biostimulan organik, mikroba dan kombinasi organik dan mikroba lebih besar yaitu 2,60 cm, 2,60 cm 2,60 cm dibandingkan dengan tanpa biostimulan yaitu 2,35 cm. Peningkatan diameter batang sebagai respons terhadap perlakuan pemberian biostimulan merupakan hal yang menarik. Hal ini disebabkan jenis pupuk tidak menunjukkan beda nyata terhadap parameter diameter batang tebu. Hal serupa dikemukakan oleh Chohan et al. (2012) bahwa aplikasi pupuk NPK tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada diameter batang tebu. Respons aplikasi biostimulan yang sama juga dilaporkan oleh Putra et al. (2017) menunjukkan bahwa pemberian biostimulan dengan ekstrak rumput laut dapat meningkatkan diameter batang tebu dibandingkan tanpa biostimulan.

Respons produksi tanaman tebu terhadap aplikasi jenis pupuk dan biostimulan

Pengaruh perlakuan biostimulan terhadap hasil panen yaitu panjang ruas, panjang batang dan bobot batang tebu varietas PSJT 941

ditampilkan pada Tabel 2. Panjang ruas menunjukkan beda nyata pada perlakuan biostimulan organik dibandingkan tanpa biostimulan. Perlakuan biostimulan organik memiliki rerata tertinggi yaitu 12,50 cm dibandingkan tanpa biostimulan yaitu 11,35 cm. Pada perlakuan biostimulan kombinasi organik dengan mikroba menunjukkan rerata panjang batang tertinggi yaitu 216,40 cm. Bobot batang panen menunjukkan rerata tertinggi pada perlakuan biostimulan mikroba yaitu 2,45 kg. Penelitian ini menunjukkan aplikasi biostimulan mikroba secara tunggal dan kombinasinya dengan biostimulan organik dapat meningkatkan rerata bobot batang dan panjang batang tebu, sedangkan biostimulan organik dapat meningkatkan rerata panjang ruas tebu. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Putra et al. (2017) bahwa tebu varietas PSJT 941 dengan perlakuan biostimulan dari ekstrak rumput laut menunjukkan rerata panjang ruas dan panjang batang yang lebih tinggi dibandingkan tanpa biostimulan. Selain itu penelitian Da Silva, et al. (2017) menyebutkan penggunaan biostimulan yang diproduksi dari asam humat dan mikroba pemacu pertumbuhan terbukti efektif untuk meningkatkan produksi tanaman tebu.

Tabel 1. Pengaruh jenis pupuk dan biostimulan terhadap pertumbuhan tebu varietas PSJT 941 umur 5, 9 dan 12 BST Table 1. Fertilizers and biostimulants effects on growth of 5, 9 and 12 MAP old sugarcane of PSJT 941 varieties

Parameter Parameter

Tinggi tanaman (cm) Plant height (cm)

Jumlah batang Number of stems

Diameter batang (cm) Stem diameter (cm)

5 BST 5 MAP

9 BST 9 MAP

12 BST 12 MAP

5 BST 5 MAP

9 BST 9 MAP

12 BST 12 MAP

5 BST 5 MAP

9 BST 9 MAP

12 BST 12 MAP

Pupuk A 127,85 a* 246,88 a* 260,25 a* 2,85 a* 2,34 a* 1,90 a* 2,34 a* 2,36 a* 2,55 a* B 137,38 b 266,60 b 250,75 a 3,75 b 2,36 a 2,10 b 2,36 a 2,37 a 2,525 a Biostimulan Tanpa 123,75 a 246,55 a 245,50 a 3,30 a 2,50 a 1,80 a 2,19 a 2,30 b 2,35 a Organik 134,05 a 256,25 a 261,25 a 3,20 a 3,40 a 1,80 a 2,44 b 2,23 a 2,60 b Mikroba 138,85 a 262,40 a 256,05 a 3,60 a 3,10 a 2,20 a 2,42 b 2,47 b 2,60 b Organik+Mikroba 133,80 a 261,75 a 259,20 a 3,10 a 3,00 a 2,20 a 2,35 b 2,45 b 2,60 b *) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada α = 0,05.

BST = bulan setelah tanam, MAP = months after planting *) Means in the same column followed by the same letters are not significantly different according to Duncan’s multiple range test at α = 0.05.

Page 162: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

162

Respons perakaran tanaman tebu terhadap aplikasi jenis pupuk dan biostimulan

Profil perakaran tanaman tebu PSJT 941 umur 12 bulan di polibag ditampilkan pada Gambar 2. Tanaman tebu dengan perlakuan pupuk B memiliki bobot segar akar lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pupuk A yaitu 1,54 kg dibandingkan dengan 1,09 kg (Tabel 3). Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur yang paling dibutuhkan dalam proses fotosintesis sebagai penyusun senyawa–senyawa dalam tanaman yang nantinya akan diubah untuk membentuk organ tanaman seperti daun, batang, dan akar. Hasil tersebut sesui dengan penelitian Nyakpa et al., (1988) yang menyatakan bahwa ketersediaan unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium yang optimal bagi tanaman dapat meningkatkan jumlah klorofil, peningkatan klorofil akan meningkatkan aktifitas fotosintesis yang

menghasilkan asimilat lebih banyak yang mendukung berat kering tajuk dan akar tanaman.

Pada penelitian ini dilakukan aplikasi pupuk hayati cendawan mikoriza arbuskula sebagai pupuk dasar. Gambar 1 (a) dan (b) menunjukkan penampang akar tanaman tebu yang sudah terinfeksi CMA dengan perbesaran 100x pada jenis pupuk A dan pupuk B perlakuan biostimulan mikroba. Pada penampang akar tebu menunjukkan jumlah spora CMA lebih banyak pada pupuk B. Unsur hara utama yang diserap oleh CMA adalah fosfor (P) dan termasuk juga nitrogen (N), kalium (K), serta unsur mikro lain seperti Zn, Cu, dan B. Pupuk B memiliki dosis NPK yang lebih tinggi. Kandungan nitrogen tersedia yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap perkembangan CMA sehingga dapat meningkatkan perakaran yang berfungsi memacu pertumbuhan tanaman tebu (Santoso et al., 2018).

Tabel 2. Pengaruh jenis pupuk dan biostimulan terhadap produksi panenan tebu varietas PSJT 941 umur 12BST Table 2. Fertilizers and biostimulants effects on production of 12 MAP old sugarcane of PSJT 941 varieties

Parameter Parameter

Panjang ruas (cm) Internode length (cm)

Panjang batang (cm) Stem height (cm)

Bobot batang (kg) Stem weight (kg)

Pupuk

A 11,775 a* 206,83 a* 2,11 a* B 12,425 a 215,61 a 2,45 a Biostimulan Tanpa 11,35 a 209,30 a 2,04 a Organik 12,50 b 205,78 a 2,29 a Mikroba 12,25 ab 213,40 a 2,45 a Organik+Mikroba 12,30 ab 216,40 a 2,35 a

*) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada α = 0,05. BST = bulan setelah tanam, MAP = months after planting

*) Means in the same column followed by the same letters are not significantly different according to Duncan’s multiple range test at α = 0.05.

Tabel 3. Pengaruh jenis pupuk dan biostimulan terhadap perakaran tebu varietas PSJT 941 umur 12 BST Table 3. Fertilizers and biostimulants effects on rooting of 12 MAP old sugarcane of PSJT 941 varieties

Perlakuan Infeksi CMA (%) Root infection CMA (%)

Jumlah spora per 25 gr Number of spores

Bobot segar akar (kg) Fresh weight of root (kg)

Pupuk

A 88% a* 20,30 a* 1,09 a* B 89% a 20,80 a 1,54 b Biostimulan Tanpa 88% a 19,60 a 1,42 a Organik 86% a 20,60 a 1,15 a Mikroba 91% a 21,90 a 1,21 a Organik+Mikroba 89% a 20,10 a 1,50 a

*) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada α = 0,05. BST = bulan setelah tanam, MAP = months after planting

*) Means in the same column followed by the same letters are not significantly different according to Duncan’s multiple range test at α = 0.05.

Page 163: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

163

Gambar 1. Organ CMA pada akar tanaman tebu pada pemberian (a) biostimulan mikroba + pupuk A dan (b) biostimulan mikroba + pupuk B

(perbesaran 100x) Figure 1. Root cross-section of sugarcane with (a) microbe biostimulant + fertilizer A and (b) microbe biostimulant + fertilizer B using microscope

100x magnification

Gambar 2. Perakaran tebu varietas PSJT 941 jenis pupuk A (atas) dan pupuk B (bawah) pada tanpa biostimulan, biostimulan organik, mikroba dan

organik + mikroba Figure 2. Rooting sugarcane of PSJT 941 varieties with type of fertilizer A (above) and fertilizer B (under) in without biostimulants, organic, microbes,

and organic + microbes biostimulant

Kesimpulan

Aplikasi pupuk B yaitu NPK 14 gram/polybag dan Urea 3 gram/polybag memberikan tinggi tanaman, jumlah batang, dan bobot akar tanaman tebu nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk A yaitu NPK 7 gram/polybag dan Urea 7 gram/polybag. Biostimulan organik secara tunggal menghasilkan rerata nyata lebih tinggi untuk parameter diameter

batang dan panjang ruas. Panjang batang tebu menunjukkan rerata tertinggi pada aplikasi kombinasi biostimulan organik dan mikroba sedangkan bobot batang menghasilkan rerata tertinggi pada aplikasi biostimulan mikroba.

Daftar Pustaka

Calvo P, L Nelson & JW Kloepper (2014). Agricultural uses of plant biostimulants. Plant Soil. 383, 3–41.

Page 164: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

164

Chu TN, BTH Tran, L Van Bui & MTT Hoang (2019). Plant growth-promoting rhizobacterium Pseudomonas PS01 induces salt tolerance in Arabidopsis thaliana. BMC Res Notes 12, 11.

Chohan M, RN Pahnwar, BR Qazi, S Junejo, GS Unar, MY Arain & UA Talpur (2012). Quantitative and qualitative parameters of sugarcane variety Hoth-300 as affected by different levels of NPK applications. J Anim Plant Sci 22(4), 1060–1064.

Da Silva SF, FL Olivares & LP Canellas (2017). The biostimulant manufactured using diazotrophic endophytic bacteria and humates is effective to increase sugarcane yield. Chem Biol Technol Agric 4, 24.

Devi KA, P Pandey & GD Sharma (2016). Plant Growth-Promoting Endophyte Serratia marcescens AL2-16 Enhances the Growth of Achyranthes aspera L., A Medicinal Plant. Hayati 23, 173-180.

Dobritsa AP & M Samadpour (2016). Transfer of eleven species of the genus Burkholderia to the genus Paraburkholderia and proposal of Caballeronia gen. nov. to accommodate twelve species of the genera Burkholderia and Paraburkholderia. Int J Syst Evol Microbiol 66, 2836–2846.

Hunsigi G (1993). Production of Sugarcane Theory and Practice. Springer-Vertag, Berlin

Manimaran S, D Kalyanasundaram, S Ramesh & K Sivakumar (2009). Maximizing sugarcane yields through efficient planting method and nutrient management practices. Sugar Techn 11, 395–397.

Mannaa M, I Park, YS Seo (2019). Genomic features and insights into the taxonomy, virulence, and benevolence of plant-associated Burkholderia species. Int J Mol Sci 20, 121.

Marchetti M, O Catrice, J Batut & C Masson-Boivin (2011). Cupriavidus taiwanensis bacteroids in Mimosa pudica indeterminate nodules are not terminally diffrentiated. Appl Environ Microbiol 77, 2161–2164.

Nunik E.D., Sujak & Djumali. Efektivitas Aplikasi Pupuk Majemuk NPK Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Petani Tebu.

Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 9(2), 43-52.

Nyakpa M, M Lubis, SG Nugroho, S Rusdi, DM Amin, GB Hong & HH Baily (1988). Kesuburan Tanah. Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Owen D, Williams AP, Grifth GW & Withers PJA (2015). Use of commercial bio-inoculants to increase agricultural production through improved phosphorus acquisition. Appl Soil Ecol 86, 41–54.

Peeters N, A Guidot, F Vailleau, M Valls & R Solanacearum (2013). A wide spread bacterial plant pathogen in the post-genomic era. Mol Plant Pathol 14, 651–662.

Perez-Garcia O, FM Escalante, LE de-Bashan & Y Bashan (2011). Heterotrophic cultures of microalgae: metabolism and potential products. Water Res 45(1), 11-36

Permana AD, B Medha & W Eko (2015). Pengaruh perbedaan umur bibit single bud planting dengan pemupukan nitrogen pada pertumbuhan awal tanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Produksi Tanaman 3(5), 424–432.

Piccolo A (2002). The supramolecular structure of humic substances: a novel understanding of humus chemistry and implications in soil science. Adv Agron 75:57–134.

Putra SM, P Susanti, DM Amanah, BK Umahhati, SJ Pardal & D Santoso (2017). Effects of biostimulants on vegetative growth of sugarcane variety PSJT-941. Menara Perkebunan 85 (1), 37-43.

Rose MT, Patti AF, Little KR, Brown AL (2014). A meta-analysis and review of plant-growth response to humic substances: practical implications for agriculture. Adv Agron 124:37–89.

Santoso D & Priyono (2014). Proses Produksi dan Formulasi Biostimulan dari Alga Coklat Sargassum sp. serta Penggunaannya untuk Pertumbuhan Tanaman. Nomor Permohonan P-00201406718.

Santoso D, SM Putra, S Wahyuni, DM Amanah, Priyono, Siswanto, SJ Pardal (2018). Teknologi Biostimulan Konsorsium Peningkatan Pertumbuhan dan

Page 165: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

165

Produktivitas Gula Tanaman Tebu. Paten #S00201809473 tanggal 21 November-2018.

Sen SP (1988). Physiology of ectosymbiotic N2 fixation on the leaf surface. In Proceedings of the International Congress of Plant Physiology, pp. 1034–1037. New Delhi: Society for Plant Physiology and Biochemistry Publishers, Water Technology Centre.

Sharma HS, C Fleming, C Selby, JR Rao, and T Martin (2014). Plant biostimulants: A review on the processing of macroalgae and use of extracts for crop management to reduce abioticand biotic stresses. J Appl Phycol 26, 465–490.

Singh KP, A Suman, PN Singh & M Lal (2007) Yield and soil nutrient balance as on a sugarcane plant-ratoon system with conventional and organic nutrient management in sub-tropical India. Nutr Cycl Agramoecosystems 79, 209–219.

Sousa JAJ & FL Olivares (2016). Plant growth promotion by streptomycetes: ecophysiology, mechanisms and applications. Chem Biol Technol Agric 3, 24.

Sudhakar P, G Chattopadhyay, S Gangwar & J Ghosh (2000). Effect of foliar application of Azotobacter, Azospirillum and Beijerinckia on leaf yield and quality of mulberry (Morus alba). J Agric Sci 134(2), 227-234.

Van der Heijden MG, RD Bardgett, NM van Straalen (2008). The unseen majority: soil microbes as drivers of plant diversity and productivity in terrestrial ecosystems. Ecol Lett 11(3), 296-310.

Vassilev N, Vassileva M, Lopez A, Martos V, Reyes A, Maksimovic I, EichlerLöbermann B & Malusà E (2015). Unexploited potential of some biotechnological techniques for biofertilizer production and formulation. Appl Microbiol Biotechnol 99, 4983–96.

Page 166: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

166

Viabilitas benih kopi (Coffea sp.) terhadap konsentrasi hormone Giberellin (GA3) dan

perendaman suhu air yang berbeda

Viability seed coffee (Coffea sp.) with concentration Giberellin hormone (GA3) and different water temperatures

Dede Suhendra*, Siska Efendi, Aswaldi Anwar

Progam Studi Agoekoteknologi, Universitas Andalas

*)Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Sumatera Barat merupakan salah satu daerah penghasil kopi di Indonesia, memiliki kontribusi yang cukup nyata terhadap perekonomian Indonesia, karena produksi kopi di Sumatera Barat tidak stabil maka perlu dilakukan perluasan areal. Perbanyakan tanaman kopi dilakukan secara generatif dan perlu dioptimalkan dengan perlakuan hormon giberelin dan suhu air pada tahap perkecambahan benih kopi. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakulltas Pertanian Universitas Andalas dari bulan Juli sampai dengan September 2020. Pengukuran parameter adalah laju perkecambahan (hari), kecambah normal (%),kecambah abnormal (%) dan benih mati (%). Hasil pengamatan laju perkecambahan (hari) dan kecambah abnormal (%) menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Sedangkan data berpengaruh nyata terdapat pada pengamatan kecambah normal (%) dan benih mati (%) pada perlakuan konsentrasi hormon giberelin dan perlakuan suhu air yang mana pada pengamatan kecambah normal tertinggi yakni pada perlakuan konsentrasi hormon giberelin 200 ppm dengan suhu air ruangan (G4S1) sebesar 80.00 % dan pada pengamatan benih mati tertinggi yakni perlakuan G1S3, G2S3, G3S3 dan G4S3 yakni sebesar 96.67 %.

[Kata Kunci: Kecambah, Laju perkecambahan, Benih mati]

Pendahuluan

Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah penghasil kopi di Indonesia. Luas areal perkebunan kopi di Sumatera Barat sejak tahun 2016 sampai 2018 yakni 38.365 Ha; 33.276 Ha; dan 34.024 ha dengan produksi 22.721 ton; 17.553 ton; dan 18.026 ton. Memiliki kontribusi yang cukup nyata terhadap perekonomian Indonesia, karena produksi kopi di Sumatera Barat tidak stabil maka perlu dilakukan perluasan areal di Sumatera Barat untuk menghasilkan kopi karena di daerah ini memiliki potensi dalam hal ketersediaan lahan yang luas dan kesesuaian kondisi lingkungan yang baik untuk budidaya tanaman kopi (BPS, 2019).

Produktifitas tanaman kopi terhambat karena beberapa faktor yakni bibit yang abnormal, percabangan ganda dan perakaran yang tidak

berkembang, dalam hal ini pemeliharaan seperti penggunaan media tanam yang tidak sesuai, intensitas cahaya kurang baik dan penanaman bibit yang tidak efektif menyebabkan pertumbuhan bibit kopi jadi terganggu (Netse dan Kufa, 2015).

Bibit yang baik merupakan modal keberhasilan pertumbuhan tanaman di lapangan karena mampu berproduksi secara optimal. Pada konsepnya Perbanyakan kopi umumnya secara generatif. Kendala dalam perbanyakan kopi secara generatif adalah biji kopi memerlukan waktu cukup lama untuk berkecambah. Kondisi kulit biji keras berdampak pada air dan udara yang dibutuhkan pada proses perkecambahan sehingga tidak dapat masuk untuk berkecambah dan membutuhkan waktu yang lama (Lestari et al., 2016).

Selain itu kulit biji yang impermeabel juga berpengaruh menjadi mereduksi kandungan O2 dalam benih sehingga dalam kondisi anaerobik terjadi sintesis zat penghambat tumbuh. Agar

Page 167: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

167

terbentuk stadium serdadu (hipokotil tegak lurus) butuh waktu 4-6 minggu, lalu untuk mencapai stadium kepelan (membukanya kotiledon) dibutuhkan waktu 8-12 minggu. Keadaan ini tentu akan berdampak pada penyediaan bibit (Najiyati dan Danarti, 2012). Pertumbuhan bibit yang lambat dan tidak seragam berdampak pada proses viabilitas benih yang kurang baik (Rosa et al., 2010).

Salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat memicu perkecambahan lalu pertumbuhan adalah hormon giberelin yang berperan dalam pengembangan dinding sel, pembesaran sel dan pembelahan sel. Giberelin akan berperan dalam fase berkecambah terjadi pembentukan enzim α-amilase pada kondisi lapisan aleuron, berpengaruh terjadinya perpanjangan ruas tanaman dengan bertambahnya jumlah lalu besar sel-sel pada ruas-ruas tersebut (Andjarikmawati et. al., 2005). Hal ini berdasarkan penelitian Hardiyanto (1995) dapat mengoptimalkan persentase dan kecepatan berkecambah pada benih manggis dan markisa dengan melakukan perendaman giberelin 50 ppm.

Salah satu cara yang digunakan untuk pematahan dormansi benih adalah dilakukannya merendam benih dengan kondisi air panas. Perendaman benih pada waktu yang berbeda adalah untuk melihat waktu perendaman yang efektif dalam mengatasi dormansi. Perendaman pada benih dengan durasi waktu yang berbeda-beda dapat melunakkan lalu membuka pori-pori kulit benih yang keras. Menurut Marthen et al (2013), benih sengon yang direndam dengan air panas 60˚C memberikan hasil tertinggi pada persentase perkecambahan lalu laju perkecambahan sebesar 100% dan berpengaruh pada kondisi fisik benih yakni bobot dan kadar air benih.

Penyimpanan jangka menengah benih kopi telah dilakukan bahwa benih tersebut bisa disimpan selama 10 bulan pada suhu 15°C pada kadar air 10 - 11 %. untuk produksi bibit kopi komersil biasanya biji kopi tidak dikeringkan biasanya langsung disemai unutk dijadikan bibit. Biji kopi dipanen pada tahap pematangan ceri, namun biji kopi memperoleh kapasitas perkecambahan maksimum ketika buah berada diantara keduanya yakni hijau dan ceri (Rosa et al., 2011).

Berdasarkan hal tersebut terkait perlakuan hormon giberelin dan suhu air dari penelitian sebelumnya sebagai landasan taraf perlakuan awal, penulis ingin mencoba memberikan peningkatan taraf perlakuan hormon GA3 dan perendaman suhu air yang berbeda untuk melihat viabilitas benih kopi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas benih kopi terhadap perlakuan hormon GA3 dengan perendaman suhu air yang berbeda.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakulltas Pertanian Universitas Andalas pada bulan Juli-September 2020. Bahan penelitian yang digunakan antara lain benih kopi robusta yang diambil di daerah solok, pasir steril, hormon giberelin, alkohol 96 %, aquadest, kertas tisu, kertas HVS dan kertas label. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seedbag, handsprayer, botol-botol plastik, timbangan analitik, beaker glass, oven, termometer, kamera, kompor, dan alat tulis.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor perlakuan yakni: Faktor I : Konsentrasi hormon Giberelin (GA3) (G) yang terdiri oleh 3 taraf yaitu : G1 : 50 ppm G2 : 100 ppm G3 : 150 ppm G4 : 200 ppm Faktor II : Perendaman dengan suhu air berbeda (S) yang terdiri oleh 3 taraf yaitu : S1 : Suhu Air di ruangan S2 : Suhu 60 ° C S3 : Suhu 90 ° C Data yang didapat mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan dan adanya interaksi perlakuan, diuji dengan analisis ragam pada taraf 5%. Untuk pengujian lebih lanjut menggunakan pengujian DMNRT (Duncan’s New Multiple Range Test).

Prosedur penelitian diawali dengan seleksi benih. Seleksi benih dilakukan dengan memilih benih yang telah masak fisiologis dan berkualitas baik yaitu kulit biji berwarna merah tua, memiliki ukuran dan warna seragam, permukaan kulitnya tidak cacat, bebas dari hama dan penyakit. Setelah didapat benih yang dibutuhkan yaitu 720 benih

Page 168: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

168

kopi robuta, dilakukan pengelupasan kulit benih menggunakan cutter, saat penggupasan kulit benih jangan sampai melukai bagian benih. Benih yang telah terkupas di cuci bersih dengan aquades. Pembuatan konsentrasi hormon giberelin dilakukan dengan mengencerkan giberelin pekat menggunakan aquades dengan rumus M1 . V1= M2. V2 (Indrianto, 1990).

Benih kopi robusta direndam selama 30 menit dalam gelas piala yang berisi hormon giberelin yang telah ditentukan yang telah diberi label sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan yakni 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm. Setelah perendaman selama 30 menit dengan hormon giberelin dengan sebelumnya dilakukan perendaman dengan perlakuan suhu air selama 30 menit. Setelah itu diamati pengamatan benih tersebut. Parameter yang diukur adalah laju perkecambahan (hari), kecambah normal (%), kecambah abnormal (%) dan benih mati (%).

Hasil dan Pembahasan

Laju perkecmbahan (hari) Tabel 1 menunjukkan parameter laju

perkecambahan (hari) konsentrasi giberelin dengan suhu air yang berbeda. Berdasarkan tabel tersebut laju perkecambahan berpengaruh tidak nyata terhadap semua perlakuan. Pada tabel didapatkan bahwa data tertinggi pada perlakuan G4S1 yakni 21.62 hari dan data terendah terdapat pada perlakuan G3S2 dan G3S3 yakni 60.00 hari. Pada data laju perkecambahan ini bermaksud untuk melihat waktu kecepatan tubuh benih tanaman kopi berkecambah terhadap pemberian perlakuan hormon giberelin dan suhu air yang berbeda.

Laju perkecambahan merupakan suatu pengamatan untuk menentukan kondisi vigor benih atau kemampuan untuk tumbuh per satuan waktu.

Semakin cepat benih dapat berkecambah maka semakin bagus laju perkecambahan. Laju perkecambahan berkaitan dengan kecepatan tumbuh benih dan kemampuan untuk benih berkecambah normal hal ini didukung oleh pernyataan Sutopo (1998) menyatakan daya kecambah benih memberikan kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang wajar dalam keadaan biofisik lapangan yang serba optimum.

Kecambah normal (%) Tabel 2 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa

parameter kecambah normal (%) menunjukkan perlakuan yang berpengaruh nyata. Pada pengamatan kecambah normal menunjukkan bahwa data kecambah tertinggi terdapat pada perlakuan G4S1 yakni sebesar 80.00 % dan kecambah terendah terdapat pada perlakuan G1S3, G2S2, G3S3 dan G4S3 yakni 0.00 g. Pada tabel 2 perlakuan suhu air berpengaruh nyata yang mana data tertinggi terdapat pada perlakuan S1 yakni suhu ruang dan data terendah terdapat pada perlakuan S3 yakni 90° C. Perlakuan S1 berbeda nyata dengan perlakuan S2 dan S3 yang mana perlakuan tersebut berdampak pada perkecambahan benih kopi untuk pengembangan bibit tanaman kopi kedepannya.

Gambar 1. Perkecambahan normal pada suhu air berbeda Figure 1. Normal germinantion in different water temperatures

Tabel 1. Rataan laju perkecambahan (hari) Table 1. Average of germination rate (days)

Giberelin Suhu air

Rataan S1 (suhu ruang) S2 (60ºC) S3 (90ºC)

G1 (50 ppm) 24.28 32.38 40.00 32.22 G2 (100 ppm) 23.82 58.47 20.00 34.10 G3 (150 ppm) 22.58 60.00 60.00 47.53 G4 (200 ppm) 21.62 40.00 40.00 33.87

Rataan 23.08 47.71 40.00

Page 169: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

169

Tabel 2. Rataan kecambah normal (%) Table 2. Average of normal germinants (%)

Giberelin Suhu air

Rataan S1 (suhu ruang) S2 (60ºC) S3 (90ºC)

G1 (50 ppm) 73.33 3.33 0.00 25.56 G2 (100 ppm) 73.33 1.67 0.00 25.00 G3 (150 ppm) 66.67 1.67 0.00 22.78 G4 (200 ppm) 80.00 1.67 0.00 27.22

Rataan 73.33 a 2.08 b 0.00 bc

Ket: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α=5%

Perendaman benih juga dipengaruhi oleh

lama perendaman dalam air, semakin lama perendaman maka bobot benih akan naik maksimal 2- 3 kali bobot awal hal ini sesuai dengan literatur Sumanto dan Sri Wahyuni (1993) yang menyatakan bahwa perlakuan benih memberikan karena peranan air dan oksigen, semakin dilakukan biji direndam, maka semakin besar masuknya air pada endosperma biji, namun ada batasan tertentu untuk lamanya perendaman karena terlalu lama direndam maka biji akan mengalami pembusukan dan rusak. Pada parameter yang telah diamati menunjukkan persentase kecambah normal pada suhu normal berbedanya nyata dengan perlakuan suhu 60°C dan perlakuan suhu 90°C. Dalam hal ini konsidi suhu ruang pada perkecambahan normal terbaik terdapat pada suhu ruang yakni sebesar 80.00 % yang mana kondisi suhu yang di panaskan pada suhu 60° dan 90°C dapat menyebabkan benih tersebut merusak embrio dan endosperm dan menyebabkan benih kopi tersebut tidak berkecambah dan sebagian benih tersebut rusak maka terjadi pertumbuhan abnormal. Kerusakan kondisi fisik biji yang terluka dan terjadi perubahan pada beberapa senyawa makro yang berfungsi sebagai sumber energi pada benih menjadi senyawa metabolit lainnya serta terjadi kerusakan sel dan jaringan. Selanjutnya Sumayku (2002) menyatakan bahwa penurunan viabilitas sebenarnya merupakan perubahan fisik, fisiologis dan biokimia yang akibatnya dapat menyebabkan hilangnya viabilitas dan vigor benih.

Kecambah abnormal (%) Tabel 3 menunjukkan parameter kecambah

abnormal (%) konsentrasi giberelin dengan suhu air yang berbeda. Berdasarkan tabel tersebut kecambah abnormal berpengaruh tidak nyata

terhadap semua perlakuan. Pada tabel didapatkan bahwa data tertinggi pada perlakuan G2S2 yakni 75.00 % dan data terendah terdapat pada perlakuan G1S1 yakni 8.33 %.

Pada perlakuan kecambah abnormal untuk melihat kondisi benih yang abnormal yang digunakan karena kalau kadar air benih tinggi bisa berdampak pada kondisi benih yang tidak bisa berkecambah atau abnormal walau sudah diberikan perlakuan untuk mendukung perkecambahan dari benih tersebut. Kadar air yang optimal berkisar antar 21 - 27 % yang mana kondisi tersebut atau di bawah itu benih bisa berkecambah dengan baik hal ini sesuai dengan kutipan di dalam jurnal dari Arif dan Akbar Ilahi (2018) yakni Kadar air benih yang dianggap ideal untuk proses perkecambahan berkisar antara 21 - 23 % karena kadar air yang terlalu rendah tidak akan mengaktifkan enzim yang mendorong perkecambahan, sedangkan kadar air yang lebih tinggi dapat berbahaya bagi kondisi embrio pada benih tersebut yang menyebabkan benih tumbuh abnormal.

Benih mati (%) Tabel 4 dan Gambar 2 menunjukkan

parameter Benih mati pada perlakuan konsentrasi giberelin dengan suhu air yang berbeda. Berdasarkan tabel tersebut parameter Benih Mati berpengaruh nyata terhadap perlakuan suhu air. Pada tabel didapatkan bahwa data tertinggi pada perlakuan G1S3, G2S3, G3S3 dan G4S3 yakni 96.67 % dan data terendah terdapat pada perlakuan G4S1 yakni 13.33 %. Kondisi benih mati merupakan perlakuan yang diterapkan tidak sesuai dengan harapnnya dan perlakuan yang diberikan tersebut berdampak pada perubahan kondisi fisik benih kopi yang menyebabkan benih tersebut tidak berkecambah dan rusak karena efek

Page 170: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

170

perlakuan suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya kerusakan membran, dengan demikian benih tersebut dapat membocorkan bahan-bahan yang dikandungnya karena pengaruh kelembaban. Lalu mungkin juga oleh kondisi dari benih itu sendiri yang bervigor rendah, dan telah mengalami penurunan integritas membran sebagai hasil dari deteriorasi dari kerusakan mekanik. Selama imbibisi benih yang memiliki struktur membran lemah melepaskan koloidal sitoplasmik ke medium imbibisi, koloidal dengan sifat elektrolitik membawa sebuah muatan elektrolik yang dapat dideteksi

dengan conductivity meter (Copeland dan McDonald, 2001).

Gambar 2. Benih mati pada suhu air berbeda Figure 2. Dead seeds in different water temperatures

Tabel 3. Rataan kecambah abnormal (%) Table 3. Average of abnormal germinants (%)

Giberelin Suhu air

Rataan S1 (suhu ruang) S2 (60ºC) S3 (90ºC)

G1 (50 ppm) 8.33 25.00 16.67 16.67 G2 (100 ppm) 16.67 75.00 16.67 36.11 G3 (150 ppm) 41.67 50.00 16.67 36.11 G4 (200 ppm) 25.00 33.33 16.67 25.00

Rataan 22.92 45.83 16.67

Tabel 2. Rataan benih mati (%) Table 2. Average of dead seeds (%)

Giberelin Suhu air

Rataan S1 (suhu ruang) S2 (60ºC) S3 (90ºC)

G1 (50 ppm) 25.00 85.00 96.67 68.89 G2 (100 ppm) 23.33 83.33 96.67 67.78 G3 (150 ppm) 25.00 88.33 96.67 70.00 G4 (200 ppm) 13.33 91.67 96.67 67.22

Rataan 21.67 c 87.08 b 96.67 a

Ket : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α=5%

Kesimpulan

Pengamatan laju perkecambahan (hari) dan kecambah abnormal (%) menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Sedangkan data berpengaruh nyata terdapat pada pengamatan kecambah normal (%) dan benih mati (%) pada perlakuan konsentrasi hormon giberelin dan perlakuan suhu air yang mana pada pengamatan kecambah normal tertinggi yakni pada perlakuan konsentrasi hormon giberelin 200 ppm dengan suhu air ruangan (G4S1) sebesar 80.00 % dan pada pengamatan benih mati tertinggi yakni perlakuan G1S3, G2S3, G3S3 dan G4S3 yakni sebesar 96.67%.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada BOPTN Universitas Andalas yang telah mendanai kegiatan penelitian ini, sangat bermanfaat bagi peneliti dan untuk pengembangan institusi Universitas Andalas pada umumnya.

Daftar Pustaka

Andjarikmawati, DW., W Mudyantini, & Marsusi. 2005. Perkecambahan dan pertumbuhan delima putih (Punica ganatum L) dengan perlakuan asam indol asetat dan asam giberelat. J. Biosmart 7(2), 91-94.

Arif, M & INM Akbar. 2018. Aplikasi metode oven suhu tinggi tetap dan benih utuh dalam pengujian kadar air benih kelapa sawit

Page 171: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

171

(Elaeis guineensis Jacq). J. Pen Kelapa Sawit. 26(3), 153 - 159.

Badan Pusat Statistika (BPS).2019. Volume dan Nilai Ekspor Kopi 2002-2019.

Copeland, L.O and M. B, McDonald. 2001. Seed Science and Technology Kluwer Academic Publisher. London.

Hardiyanto. 1995. Pengaruh gibberelin Dan asam askorbat terhadap perkecambahan dan pertumbuhan markisa. Jurnal Hortikultura. 5(4), 61-66.

Lestari, D., R Linda & Mukarlina. 2016. Pematahan dormansi dan perkacambahan biji kopi Arabica (Coffea Arabica L.) dengan asam sulfat (H2SO4) dan giberelin (GA3). Jurnal Protobiont 5(1), 8-13.

Marthen, E Kaya, & H Rehatta. 2013. Pengaruh perlakuan pencelupan dan perendaman terhadap perkecambahan benih sengon (Paraserianthes falcataria L.). Jurnal Agologia. 2(4), 10-16.

Najiati, S & Danarti. 2012. Kopi, Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Netsere, A & T Kufa. 2015. Revew of Arabica Coffe Nursery Management Reserch In Ethiopia. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare 5(11), 20-23.

Rosa, SDVF, MB McDonald, AD Veiga, L Villela, & IA Fereira. 2010. Staging Coffee Seedling Growth: a Rationale for Shortenning The Coffee Seed Germination Test. J. Seed Sci & Technol 38, 421-431.

Rosa, SDVF, AM Carvalho, MB McDonald, ERV VonPinho, AP Silva, & AD Veiga. 2011.The Effect of storage condition on coffee seed and seedling quality. J. Seed Sci & Technol 39, 151-164.

Sumanto & Sriwahyuni, 1993. Pengembangan Perlakuan Benih Terhadap Perkecambahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.

Sumayku, BRA. 2002. Peranan Suhu Penyimpanan dan Polietilen Glikol Pada Konservasi Benih Manggis. Jurnal budidaya Pertanian, UNSRAT. Manado.

Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. PT Raja gafindo. Jakarta.

Page 172: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

172

Protein hydrolysates rejuvenated old callus and improved shoot regeneration in sugarcane

tissue culture

Hidrolisat protein merejuvenasi kalus tua dan meningkatkan regenerasi tunas pada kultur jaringan tebu

Fauziatul Fitriyah*, Irma Kresnawaty, Hayati Minarsih & Djoko Santoso

Indonesian Research Institute for Biotechnology and Bioindustry (IRIBB), Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor 16128.

*)Corresponding author: [email protected]

Abstract

The sugar demand increases along with the raise of national population, while sugarcane production has decreased for the past five years. To meet national sugar needs, it is important to have sufficient cane seeds. Therefore, an improved protocol for sugarcane micropropagation plays a key role. Protein hydrolysates has been reported to act as a plant biostimulant due to its phytohormone-like-activity. This research aimed to understand the protein hydrolysates activity derived from chicken feather meal (TB) and trash fish meal (TI) on in vitro shoot regeneration of sugarcane. Sugarcane callus of Kidang Kencana variety was cultured under MS II+IAA media as control, MS II+0.8 mL.L-1 of TB, and MS II+0.8 mL.L-1 of TI for 2 months. Parameters to be evaluated including time, browning percentage, and shoot regeneration of in vitro culture of sugarcane. The degree of hydrolysis was analyzed based on amino acid content: total Nitrogen content. The result showed the growth of sugarcane culture in addition of protein hydrolysates increased by 14 days in TB and 11.50 days in TI compared to the control with 44 days. Browning callus also decreased to 22.22% in TI and 22.96% in TB, while the control showed 57.78% of browning callus. Shoot regeneration percentage under culture media with addition of protein hydrolysate was higher than the control. At the end of examination, sugarcane shoot formed in the media with addition of TB hydrolysate was higher than TI hydrolysate. Protein hydrolysates obtained from TB and TI has proven rejuvenate old sugarcane callus, accelerate and improve in vitro shoot regeneration, and also reduce browning occurrence in in vitro sugarcane culture.

[Key words: in vitro shoot regeneration, micropropagation, plant biostimulant]

Introduction

Sugarcane is one of the most important cash crops for sugar production around the world. Domestic sugar demand has risen steadily every year because of the increase in population and economic growth. Therefore, the sugar self-sufficiency program proposed by the government has been left far behind from the target to achieve sugar self-sufficiency in 2014. The effort has been put to increase domestic sugar production by off farm work including revitalization and development of sugarcane mill, along with on farm work including land expansion and sugarcane productivity improvement. To support the program, growers need large numbers of seeds,

around 1.5-2 billion seedlings per year (Minarsih et al., 2013). However, conventional methods cannot be taken to meet the large demand.

Vegetative propagation by cutting nodal sections of sugarcane with 2 or 3 nodes as a planting material for commercial production is time and labour consuming, also favours dissemination of disease and pest from generation to generation (Azizi et al., 2017). In vitro multiplication of sugarcane has received considerable research attention because of its economic importance for cash crop. Micro propagation is currently the only realistic means of achieving disease-free quality, large-scale production and rapid planting material as seed canes in order to speed up the breeding

Page 173: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

173

and commercialization process in sugarcane plantation (Minarsih et al., 2013).

Plant micropropagation can either be regenerated from direct organogenesis or indirect through callus. In direct regeneration produce a lot more plant with high time and cost efficient. Callus was first produced from explant and cultured in MS media with addition of 10% coconut water, 30 g.L-

1 sucrose, agar, and 3 mg.L-1 2,4-D which is referred to as MS I medium (Minarsih et al., 2013). Callus can be maintained in its condition by sub-culturing it every 3-4 weeks in the same media for 8-10 weeks to obtain sufficient amount of callus. The number of subcultures exceeding standard period will lead to declined regeneration rate of shoots and change in the morphology of culture due to genetic variation or decreased physiological status. Moreover, sugarcane produces high phenolic compound which cause browning in the in vitro culture (Shimelis et al., 2015). Browning is a change of callus into browning colour due to accumulation and oxidation of phenolic compound in the media as a natural response to several forms of stress, such as callus injury during subculture. Phenolic accumulation as a response to injury will damage and kill the cells or explant tissues (Jones & Saxena, 2013).

To meet national sugar needs, it is important to have sufficient cane seeds. Therefore, an improved protocol for sugarcane micropropagation plays a key role. Addition of various growth regulators/phytohormones, such as Thidiazuron (TDZ), BAP, and IAA at certain concentrations, into the culture media may induce in vitro shoot regeneration of sugarcane (Gallo-Meagher et al., 2000; Minarsih et al., 2013). Various antioxidants such as ascorbic acid, citric acid, Polyvinylpyrrolidone (PVP) and activated charcoal may also prevent or reduce browning in the growth media (Jones & Saxena, 2013; Shimelis et al., 2015; Uchendu et al., 2011). In addition, other compounds such as cysteine, dithiothreitol (DTT), and lipoic acid are also often included into growth media during transformation process to reduce necrotic callus (Klenotičová et al., 2013).

Protein hydrolysate is classified into nitrogen and amino acid based biostimulants and has been applied as plant biostimulant in various food crops and horticulture, such as winter wheat,

corn, soybeans and cucumbers (Colla et al., 2015; Kocira, 2019; Nurdiawati et al., 2019; Sestili et al., 2018; H. T. Wilson et al., 2015). Protein hydrolysate from natural ingredients such as meat flour, fish meal, alfalfa flour, collagen, and keratin are able to modulate physiological and molecular processes to improve the efficiency of the plant’s metabolism and induce yield, enhanced crop quality, increasing plant tolerance to biotic stress and recovery from abiotic stresses (Calvo et al., 2014; Colla et al., 2014; Ertani et al., 2009; Lucini et al., 2015; Matsumiya & Kubo, 2011; Popko et al., 2018; Hiromi T. Wilson et al., 2018; Yakhin et al., 2017). Previous research by Fitriyah et al., (2019) reported that protein hydrolysates from chicken feather meal and trash fish meal were able to increase germination and early growth of mung beans. In this study, callus was grown on MS II media supplemented with chicken feather meal and trash fish meal to understand the activity on in vitro shoot regeneration of sugarcane.

Methods

Plant materials This research was carried out at the

Biochemistry and Molecular Biology Laboratory, Indonesian Institute for Biotechnology and Bioindustry (IRIBB) for six months from April to August 2019. Sugarcane callus was obtained from induction of young callus leaves of Kidang Kencana variety grown on MS I media (Murashige & Skoog, 1962), supplemented with 10% coconut water, 30 gL-1 sucrose and 2,4-D 3 mg.L-1 (Minarsih et al., 2013).

Protein hydrolysates production Trash fish meal (TI) and chicken feather

meal (TB) were hydrolyzes under high pressure and temperature using acidic hydrothermal treatment (HTT) as reported by Fitriyah et al. (2019). Obtained products were further analyzed for degree of hydrolysis (DH) based on amino acid content: total N content (Silvestre et al., 2013). Amino acid content was measured spectrometrically by ninhydrin reaction as described by Fitzpatrick (1949) modified without butanol. The ninhydrin reagent was prepared by dissolving 2 g of ninhydrin in 1000 ml of absolute ethanol. Protein hydrolysate 10 ppm were placed into a test tube and ninhydrin was added into a

Page 174: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

174

ratio of 1:3 then incubated and read on spectofotometry with λ 595 nm. Glysin was used to build the standard curve. Nitrogen content was measured by Kjeldahl method. Amino acid content and total nitrogen was calculated with the equation bellow to determine the degree of hydrolysis:

𝐷𝐻 =𝐴𝑚𝑖𝑛𝑜𝑎𝑐𝑖𝑑𝑐𝑜𝑛𝑡𝑒𝑛𝑡

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛× 100%

Shoot regeneration of sugarcane callus Calli obtained from MS I medium were

transferred to MS II medium supplemented with IAA (2 mg.L-1), coconut water 100 mL.L-1, and sucrose 30 g.L-1 (Minarsih et al., 2013) for shoot induction via organogenesis. Treatments were 0,8 mL.L-1 chicken feather meal hydrolysate (TB) and 0,8 mL.L-1 trash fish meal hydrolysate (TI) with a control of 2 mg. L-1 IAA. The pH of the medium was set to 5.8 before compacting with 0.2-0.4% (w/v) agar (Gelzan-Sigma Aldrich) and distributed into bottle jam each of 15 mL. The medium was then autoclaved at a pressure of 15 Psi and temperature of 121 °C for 15 minutes. Calli were then placed in bottle jam (9 clumps per bottle, with four replication per treatment using completely randomized design) maintained under TL lamp with 20 μmol/m2/sec light intensity, 12 h photoperiod, and room temperature 26±1 °C for 8 weeks. The culture was transferred to the same medium every 4 weeks. Time of shoot formation was monitored, total shoot regenerated and browning calli were evaluated under specified scoring system as described in Table 1.

Table 1. Observation scores of shoot regeneration and browning callus

Score Shoot regeneration Browning callus 0 No shoot regenerated No browning calli 1 0-10 % shoot regenerated 0-10 % 2 10-25 % shoot regenerated 10-25 % 3 25-50 % shoot regenerated 25-50 % 4 50-75% shoot regenerated 50-75% 5 75-100% shoot regenerated 75-100%

Scores obtained were calculated with

following equation:

𝐼𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦(𝐼) = ∑𝐸𝑎𝑐ℎ𝑐𝑙𝑢𝑚𝑝𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒

5 × 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑐𝑙𝑢𝑚𝑝𝑠𝑖𝑛𝑎𝑏𝑜𝑡𝑡𝑙𝑒

× 100%

Time of germination was statistically analyzed using one-way ANOVA with Duncan post-hoc analysis, while percentage of browning and shoot regeneration was analyzed using Kruskal Wallis one-way ANOVA with post-hoc analysis using Mann-Whitney U test in GENSTAT at significance level of p < 0.05.

Results and Discussion

Chicken feather meal and trash fish meal hydrolysates were supplemented in the medium to observe the activity of each hydrolysate on in vitro sugarcane shoot regeneration. Sugarcane callus used in this research was old and had been cultured in the media for over 5 months. Old calli characterized by wet properties, creamy to brown in colour with decreased physiological properties and low regeneration rate. In this research, activity of protein hydrolysates in shoot regeneration was observed, several parameters were evaluated including time of regeneration, percentage of browning, and percentage of shoot regeneration.

Shoot regeneration of in vitro sugarcane culture was accelerated by supplementary of protein hydrolysates. It was started around 30 days after callus transfer on both treatment TB and TI (Table 2). Callus was declared germinating by the formation of green spot or shoot with a length of ≥ 1 mm. The shoot regeneration time was significantly different compare to the control which started to regenerate almost one and a half times later than the treatment. Shoot induction was evaluated on MS II medium containing indole-3-aetic acid (IAA) 2 mg.L-1 as phytohormone which plays as key role during in vitro shoot regeneration.

Table 2. Protein hydrolysates activity on sugarcane shoot regeneration in vitro

Treatment Germination time (days)

Shoot percentage

(%)

Browning percentage

(%)

IAA 44.00a 6.67a 57.78a

TB 32.50b 34.07b 22.22b

TI 30.00b 37.22b 22.96b

*) Means in the same column followed by the same letters are not significantly different according to the statistical test at p < 0.05. IAA= indole-3-aetic acid, TB=Chicken feather meal, TI=Trash fish meal

Page 175: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

175

Shoot regeneration in sugarcane was controlled by plant growth regulator (phytohormone). Protein hydrolysates contain free amino acids, oligo- and polypeptides which may act as signaling molecules due to the similar activity with phytohormones (Rouphael & Colla, 2018). Ertani et al. (2009) investigated stimulation of alfalfa and meat flour hydrolysates on the secondary growth of maize root, similar to the control of indole 3-acetic acid (IAA) activity, suggesting a positive role of the two hydrolysates to elicit an auxin-like activity. Paul et al. (2013) also reported enzymatic hydrolysis of chicken feather with keratinase showed growth promoters like activity. It was noted that 327.7 ± 3.9 µg.mL-

1 of IAA was able to improve germination and growth of Bengal gram (Cicer arietinum) seedlings.

Shoot regeneration in sugarcane was controlled by plant growth regulator (phytohormone). Protein hydrolysates contain free amino acids, oligo- and polypeptides which may act as signaling molecules due to the similar activity with phytohormones (Rouphael & Colla, 2018). Ertani et al. (2009) investigated stimulation of alfalfa and meat flour hydrolysates on the secondary growth of maize root, similar to the control of indole 3-acetic acid (IAA) activity, suggesting a positive role of the two hydrolysates to elicite an auxin-like activity. Paul et al. (2013) also reported enzymatic hydrolysis of chicken feather with keratinase showed growth promoters like activity. It was noted that 327.7 ± 3.9 µg.mL-

1 of IAA was able to improve germination and growth of Bengal gram (Cicer arietinum) seedlings.

However, phytohormon combination in culture growth medium reported to be more effectively promoting shoot regeneration in various sugarcane genotypes compare to single hormone action (Behera & Sahoo, 2009). Another research by Chengalrayan & Gallo-Meagher (2001) reported that combination of NAA and thidiazuron (TDZ) improve sugarcane shoot regeneration faster and increase the number of shoot produced, compare to combination of other plant hormones, such as 6-benzylaminopurine, kinetin, 6-γ,γ-(dimethylallylamino) purine, and zeatin. Junairiah et al. (2018) also reported the effect of phytohormon combination on in vitro culture using 2,4-dichlorofenoxyacetic acid and 6-benzil

aminopurin, which show significant increment and faster callus production of Piper betle.

In this research, sugarcane shoot regeneration supplemented with TB and TI hydrolysates was significantly faster compared to the control media with IAA. Fitriyah et al. (2019) in the previous study reported that TB and TI hydrolysates possessed gibberellin and auxin-like activities by stimulating seed germination and early growth of mung bean as of 2-3 fold than negative control. Thus, indicates the combination of IAA in the culture medium with phytohormone-like compound in the protein hydrolysates promote faster regeneration of in vitro shoot regeneration of sugarcane var. Kidang kencana.

Browning effect of in vitro shoot regeneration in sugarcane under supplementation of protein hydrolysates was showed in Table 2. The differences found from the control culture was prominent that the addition of TB and TI hydrolysates in the culture media reduces browning occurrance. Browning was occurred on over half of the calli grown in the control medium, while supplementation of protein hydrolysates in the culture media reduce browning occurrence into 22.22% and 22.96% for TB and TI, respectively. Browning percentage indicates high pheolic compound produced by the calli. The henolic compound was produced as a respond to injury or stress, which will kill the culture if excessively accumulated in media. Browning percentage in this study represent the amount of calli turn to brown to total nodular calli in the culture.

Antioxidant compounds found to be able to reduce browning occurrence in in vitro culture. Dookun et al. (1994) reported phenolic compound detoxification can be done by redox potential modification, phenolase enzyme in-activation, or reducing substrate availability. Browning occurrence in sugarcane in vitro culture was reduced by TB and TI hydrolysates. Various protein hydrolysates hold antioxidant activity by peptide chain ability to chelate heavy metal or hydrogen/electron donating activity, which would allow them to interact with free radicals and prevent their formation or terminate the radical chain reaction (You et al., 2010).

Amino acid sequence, constituents, and hydrophobicity are very important for peptides

Page 176: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

176

antioxidant activity (Chalamaiah et al., 2012). Amino acids sequence defines hydrophobicity of a peptides, which is important to interact with lipid molecules and scavenge by donating protons to lipid derived radicals or phenol and phenolic lipids (Je et al., 2007). Phenolic compounds have high affinity to peptide chain due to hydrophobic benzene availability and hydrogen-bonding-potential of hydroxyl phenol group. Amino acids constituent in peptide chain such as hystidin, prolin, metionin, cistein, tyrosin, tryptophan and phenylalanin could enhance antioxidant peptide activities. Chicken feather meal mostly composed of cystein, prolin, valin, and alanin (Saravanan & Dhurai, 2012), which belong to hydrophobic group of amino acids and hold the antioxidant activity. While, trash fish meal generally contains all essentials and non-essentials amino acids which are hydrophobic or hydrophilic (Chalamaiah et al., 2012; Ghassem et al., 2014; Hou et al., 2011).

Shoot regeneration of sugarcane was evaluated by calculating percent area in the clump with green spot or shoot against nodular calli as shown in the Figure 1. The percentage of shoot regenerated per clump in both protein hydrolysates treatments was significantly higher than control IAA. The highest shoot regeneration percentage was found in the media supplemented with TI hydrolysates (37.22%), followed by supplementation of TB hydrolysates (34.07%), and the lowest in control IAA (11%). All calli used in this study has been morphologically and physiologically changed due to old callus age, accounted by low multiplication and regeneration ability as occurred in control IAA, only few calli regenerated into shoot. By supplementing media with TB or TI hydrolysates, sugarcane calli were rejuvenated and shoot regeneration increased by 3-4 fold than control IAA in 50 days after initiation.

Research on bioactive peptide has been long described but still few compounds discovered. Phytosulfokine, systemin, SCR/SP11, and MCLV3 are among endogenous peptides produced in a variety of plants and have been confirmed to hold phytohormon-like-activity. The bioactivities of these peptides include cell differentiation, cell division, protease inhibitor induction, and self-incompatibility response in pollen (Matsumiya & Kubo, 2011). Another exogenous bioactive

peptide was produced by Matsumiya et al. (2012) from soybean meal by enzymatic hydrolysis and reported to contain root hair promoting peptida (RHPP), a short peptide with 12 amino acids Gly–Gly–Ile–Arg–Ala–Ala–Pro–Thr–Gly–Asn–Glu–Arg with an ability to promote root growth in plant. Colla et al. (2017) also confirmed the existence of RHPP in plant biostimulan Trainer® which was produced from legume hydrolysates.

Figure 1. In vitro shoot regeneration in sugarcane under (A1-

3) control (MS II+IAA), (B1-3) TB (MS II+0,8 mL.L-

1), and (C1-3) TI (MS II+0,8 mL.L-1). White arrow showed browning clump, blue arrow showed nodular callus in a clump, and green arrow showed green shoot meristems.

Colla et al. (2014) performed bioassay of Trainer® biostmulant on maize seedling using detached leaf test in various concentration (0.375; 0.75; 1.5 and 3 mL.L-1), IAA as positive control and aquadest. The result showed high coleoptile length in the treatment compare to aquadest without significant different in every concentration tested. It was estimated that high coleoptile growth in the treatment due to tryptophan content in the biostimulant which is the main precursor for IAA biosynthesis and another bioactive peptide. It was also reported that this soybean based biostimulant showed gibberellin-like activity in gibberellin-dwarf pea (Pisum sativum L.) by high shoot elongation compared to aquadest. Another research by Ghosh et al. (2010) reported that gibberellin-like-activity was shown by wheat hydrolysate.

As the sugarcane in vitro culture grew after the second subculture at about 2 months (seen in Figure 2), the shoot formation in the medium

Page 177: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

177

Figure 2. In vitro shoot regeneration in sugarcane at 2 months under (A) control (MS II+IAA), (B) TI (MS II+0.8 mL.L-1), and (C) TB

(MS II+0.8 mL.L-1)

supplemented with TB hydrolysates was higher than in the medium supplemented with TI hydrolysates. However, it was not changed that the the shoot regeneration of old calli in both treatments still contrast to control IAA.

Biochemical analysis of protein hydrolysates was shown in Table 3. It was shown that amino acid and nitrogen content of TB hydrolysate was higher than TI hydrolysate, indicates the higher degree of hydrolysis in TB than TI, supporting the phenomena of better shoot regeneration in the end of in vitro sugarcane culture.

Table 3. Degree of hydrolysis (DH) of chicken feather meal (TB) dan trash fish meal (TI)

Protein hydrolysate

Amino acid content (mg)

Nitrogen content (mg)

Degree of hydrolysis

TI 2,4 37,98 6,33 TB 5,3 59,62 8,89

Peptide content in protein hydrolysates

played big role, because bioactive peptide generally vary in size at around hundreds to thousands of Dalton, ranging from 5-96 amino acids residue (Matsumiya & Kubo, 2011). Quartieri et al. (2002) also reported that the lower molecular weight of peptide, the higher its biological activity. It was also explained by Matsumiya et al. (2012) that plant generally utilizes inorganic nitrogen in the form of ammonia and nitrate, but recent research found that nitrogen source combination of peptide and inorganic nitrogen accelerates plant growth compare to single nitrogen source. Therefore, addition of protein hydrolysates in the medium improve the plant growth not only by providing

phytohormon like activity, but also supplying combination of organic nitrogen content for plant metabolism.

Conclusion

Protein hydrolysates produced from chicken feather meal (TB) and trash fish meal (TI) showed phytohormon-like-activity by promoting shoot regeneration and rejuvenation old sugarcane callus. Antioxidant activity in the protein hydrolysates showed by reducing browning occurrence in the callus culture. It was suggested that the higher active peptide content in protein hydrolysates or the higher degree of hydrolysis, the higher its biological activity.

Acknowledgement

The authors thank the member of Laboratory of Biochemistry and Biology Molecular, IRIBB for the technical support.

References

Azizi, A. A. A., Tambunan, I. R., & Efendi, D. (2017). Multiplikasi tunas in vitro berdasarkan jenis eksplan pada enam genotipe tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 23(2), 90-97.

Behera, K. K., & Sahoo, S. (2009). Rapid In vitro Micro propagation of Sugarcane (Saccharum officinarum L. cv- Nayana) Through Callus Culture. Nature and Science, 7(4), 1545–1740.

Calvo, P., Nelson, L., & Kloepper, J. W. (2014). Agricultural uses of plant biostimulants. Plant and Soil, 383(1–2), 3–41.

Page 178: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

178

Chalamaiah, M., Kumar, B. D., & Hemalatha, R. (2012). Fish protein hydrolysates: proximate composition, amino acid composition, antioxidant activities and applications. 3020–3038.

Chengalrayan, K., & Gallo-Meagher, M. (2001). Effect of various growth regulators on shoot regeneration of sugarcane. In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant, 37(4), 434–439.

Colla, G., Hoagland, L., Ruzzi, M., Cardarelli, M., Bonini, P., Canaguier, R., & Rouphael, Y. (2017). Biostimulant Action of Protein Hydrolysates: Unraveling Their Effects on Plant Physiology and Microbiome. Frontiers in Plant Science, 8(December), 1–14.

Colla, G., Nardi, S., Cardarelli, M., Ertani, A., Lucini, L., Canaguier, R., & Rouphael, Y. (2015). Protein hydrolysates as biostimulants in horticulture. Scientia Horticulturae, 196, 28–38.

Colla, G., Rouphael, Y., Canaguier, R., Svecova, E., & Cardarelli, M. (2014). Biostimulant action of a plant-derived protein hydrolysate produced through enzymatic hydrolysis. Frontiers in Plant Science, 5(September), 1–6.

Dookun, A., Micropropagation, C., Tissue, B. Y., & Dookun, C. A. (1994). A. Dookun, et a1.

Ertani, A., Cavani, L., Pizzeghello, D., Brandellero, E., Altissimo, A., Ciavatta, C., & Nardi, S. (2009). Biostimulant activity of two protein hydrolyzates in the growth and nitrogen metabolism of maize seedlings. 2005, 237–244.

Fitriyah, F., Kresnawaty, I., & Santoso, D. (2019). Aktivitas hidrolisat protein terhadap perkecambahan dan pertumbuhan awal kacang hijau (Vigna radiata). E-Journal Menara Perkebunan, 87(2), 87–94.

Fitzpatrick, W. H. (1949). Spectrophotometric determination of amino acids by the ninhydrin reaction. Science, 109(2836), 469.

Gallo-Meagher, M., English, R. G., & Abouzid, A. (2000). Thidiazuron stimulates shoot regeneration of sugarcane embryogenic callus. In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant, 36(1), 37–40.

Ghassem, M., Fern, S. S., Said, M., Ali, Z. M., Ibrahim, S., & Babji, A. S. (2014). Kinetic

characterization of Channa striatus muscle sarcoplasmic and myofibrillar protein hydrolysates. Journal of Food Science and Technology, 51(3), 467–475.

Ghosh, A., Mandal, P., & Sircar, P. K. (2010). Wheat (triticum aestivum) peptide (s) mimic gibberellin action and regulate stomatal opening. Indian Journal of Experimental Biology, 48(1), 77–82.

Hou, H., Li, B., & Zhao, X. (2011). Enzymatic hydrolysis of defatted mackerel protein with low bitter taste. Journal of Ocean University of China, 10(1), 85–92.

Je, J. Y., Qian, Z. J., Byun, H. G., & Kim, S. K. (2007). Purification and characterization of an antioxidant peptide obtained from tuna backbone protein by enzymatic hydrolysis. Process Biochemistry, 42(5), 840–846.

Jones, A. M. P., & Saxena, P. K. (2013). Inhibition of Phenylpropanoid Biosynthesis in Artemisia annua L.: A Novel Approach to Reduce Oxidative Browning in Plant Tissue Culture. PLoS ONE, 8(10), 1–13.

Junairiah, J., Purnomo, P., Utami, E. S. W., Ni’matuzahroh, N., & Sulistyorini, L. (2018). Callus Induction of Piper betle L. Var Nigra Using 2,4-Dichlorofenoxyacetic Acidand 6-Benzil Aminopurin. Biosaintifika: Journal of Biology & Biology Education, 10(3), 588–596.

Klenotičová, H., Smýkalová, I., Švábová, L., & Griga, M. (2013). Resolving browning during the establishment of explant cultures in Vicia faba L. for genetic transformation. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae Mendelianae Brunensis, 61(5), 1279–1288.

Kocira, S. (2019). Effect of amino acid biostimulant on the yield and nutraceutical potential of soybean. Chilean Journal of Agricultural Research, 79(1), 17–25.

Lucini, L., Rouphael, Y., Cardarelli, M., Canaguier, R., Kumar, P., & Colla, G. (2015). The effect of a plant-derived biostimulant on metabolic profiling and crop performance of lettuce grown under saline conditions. Scientia Horticulturae, 182, 124–133.

Matsumiya, Y., & Kubo, M. (2011). Soybean Peptide: Novel Plant Growth Promoting Peptide from Soybean. Soybean and Nutrition.

Page 179: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

179

Matsumiya, Y., Taniguchi, R., & Kubo, M. (2012). Analysis of peptide uptake and location of root hair-promoting peptide accumulation in plant roots. Journal of Peptide Science, 18(3), 177–182.

Minarsih, H., Riyadi, I., Budiani, A., Penelitian, B., Perkebunan, B., Jl, I., No, T. K., & Diterima, I. (2013). Mikropropagasi tebu ( Saccharum officinarum . L ) menggunakan sistem perendaman sesaat. Menara Perkebunan, 81(1), 1–8.

Nurdiawati, A., Suherman, C., Maxiselly, Y., Akbar, M. A., Purwoko, B. A., Prawisudha, P., & Yoshikawa, K. (2019). Liquid feather protein hydrolysate as a potential fertilizer to increase growth and yield of patchouli (Pogostemon cablin Benth) and mung bean (Vigna radiata). International Journal of Recycling of Organic Waste in Agriculture, 0123456789.

Paul, T., Halder, S. K., Das, A., Bera, S., Maity, C., Mandal, A., Das, P. S., Mohapatra, P. K. D., Pati, B. R., & Mondal, K. C. (2013). Exploitation of chicken feather waste as a plant growth promoting agent using keratinase producing novel isolate Paenibacillus woosongensis TKB2. Biocatalysis and Agricultural Biotechnology, 2(1), 50–57.

Popko, M., Michalak, I., Wilk, R., Gramza, M., Chojnacka, K., & Górecki, H. (2018). Effect of the new plant growth biostimulants based on amino acids on yield and grain quality of winter wheat. Molecules, 23(2), 70.

Quartieri, M., Lucchi, A., Marangoni, B., Tagliavini, M., & Cavani, L. (2002). Effects of the rate of protein hydrolysis and spray concentration on growth of potted kiwifruit (Actinidia deliciosa) plants. Acta Horticulturae, 594, 341–347.

Rouphael, Y., & Colla, G. (2018). Synergistic Biostimulatory Action : Designing the Next Generation of Plant Biostimulants for Sustainable Agriculture. 9(November), 1–7.

Saravanan, K., & Dhurai, B. (2012). 43-Exploration on Amino Acid Content and Morphological

Structure in Chicken Feather Fiber. Article Designation: Scholarly JTATM, 7(3), 2012.

Sestili, F., Rouphael, Y., Cardarelli, M., Pucci, A., Bonini, P., Canaguier, R., & Colla, G. (2018). Protein Hydrolysate Stimulates Growth in Tomato Coupled With N-Dependent Gene Expression Involved in N Assimilation. Frontiers in Plant Science, 9(August), 1–11.

Shimelis, D., Bantte, K., & Feyissa, T. (2015). Effects of Polyvinyl Pyrrolidone and Activated Charcoal to Control Effect of Phenolic Oxidation on In Vitro Culture Establishment Stage of Micropropagation of Sugarcane (Saccharum Officinarum L.). Advances in Crop Science and Technology, 03(04), 10–13.

Silvestre, M. P. C., Morais, H. A., Silva, V. D. M., & Silva, M. R. (2013). Degree of hydrolysis and peptide profile of whey proteins using pancreatin. Nutrire, 38(3), 278–290.

Uchendu, E. E., Paliyath, G., Brown, D. C. W., & Saxena, P. K. (2011). In vitro propagation of North American ginseng (Panax quinquefolius L.). In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant, 47(6), 710–718.

Wilson, H. T., Xu, K., & Taylor, A. G. (2015). Transcriptome Analysis of Gelatin Seed Treatment as a Biostimulant of Cucumber Plant Growth. Scientific World Journal, 2015.

Wilson, Hiromi T., Amirkhani, M., & Taylor, A. G. (2018). Evaluation of Gelatin as a Biostimulant Seed Treatment to Improve Plant Performance. Frontiers in Plant Science, 9, 1–11.

Yakhin, O. I., Lubyanov, A. A., Yakhin, I. A., & Brown, P. H. (2017). Biostimulants in Plant Science : A Global Perspective. 7(January).

You, L., Zhao, M., Regenstein, J. M., & Ren, J. (2010). Purification and identification of antioxidative peptides from loach (Misgurnus anguillicaudatus) protein hydrolysate by consecutive chromatography and electrospray ionization-mass spectrometry. Food Research International, 43(4), 1167–1173.

Page 180: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

180

Desain konsep pemetaan partisipatif untuk lahan kelapa sawit petani untuk mendukung

pertanian presisi di provinsi Jambi

Design of participatory mapping concept for smallholder palm oil lands to support precision agriculture in Jambi province

Bobin Sebayang, Mohamad Solahudin, Bambang Pramudya, Supriyanto*

Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB University, Bogor, Indonesia

*)Koresponedsi penulis: [email protected]

Abstrak

Indonesia merupakan negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar yang berasal dari kelapa sawit yang dibudidayakan oleh industri perkebunan dan petani. Pemetaan dan pengelolaan informasi kebun kelapa sawit merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pengelolaan kebun yang baik. Saat ini, Unnamed Aerial Vehicle (UAV) banyak digunakan dalam pemetaan lahan berbasis citra yang mampu menangkap informasi secara langsung di lahan. Namun demikian, petani pada lahan kecil sulit untuk melakukan pemetaan sendiri dengan UAV. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain model pemetaan partisipatif dengan memanfaatkan UAV pada level petani kelapa sawit. Metode penelitian ini terdiri dari tahapan analisis, desain dan implementasi pemetaan partisipatif di Provinsi Jambi. Hasil dari penelitian ini berupa konsep pemetaan partisipatif yang melibatkan petani, komunitas, pemerintah dan perguruan tinggi. Model pemetaan partisipatif lahan sawit diujicobakan di Desa Bukit Baling, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

[Kata kunci : kelapa sawit, pemetaan partisipatif, unmaned aerial vehicle]

Pendahuluan

Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luasan 12,76 juta ha dan produksi sebesar 42 juta ton pada tahun 2018 (BPS, 2018). Kegiatan budidaya dilakukan skala industri, kelompok tani, dan petani mandiri. Pengelolaan lahan dalam proses budidaya juga berbeda tergantung pada luasan dan modal yang dimiliki. Saat ini, pemanfaatan teknologi pertanian presisi banyak diusulkan untuk mendukung kegiatan budidaya yang mengikuti standar good agricultural practices (GAP) (Jelsma et al., 2019). Salah satu teknologi yang sudah sejak lama digunakan adalah pemetaan spasial, penggunaan citra satelit dan unmanned aerial vehicle (UAV). UAV telah banyak digunakan dalam pertanian dan perkebunan (Radoglou-Grammatikis et al., 2020).

Pemetaan kelapa sawit umumnya meliputi luasan, layout dari tanaman kelapa sawit, produksi, dan mengatehui status nutrisi pada tanah untuk

pemupukan (Rendana et al., 2016). Selain itu, aplikasi citra UAV dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan kelapa sawit dan deteksi penyakit ganoderma (Solahudin & Fenry, 2019). Hasil pemetaan ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam aplikasi fungisida untuk mengendalikan Ganoderma (Minarsih et al. 2018; Widiastuti et al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa pemetaan sangatlah penting dilakukan untuk mendukung kegiatan budidaya kelapa sawit. Hasil pemetaan ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dengan memanfaatkan sumber informasi dari peta hasil pemotretan dengan UAV. Namun demikian, pada petani terdapat permasalahan dalam pemanfaatan teknologi pemetaan tersebut. Sementara itu, pemetaan saat ini sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kegiatan budidaya, pemeliharaan dan panen.

Pemetaan partisipatif memberikan peluang untuk melakukan pemetaan dengan bekerjasama

Page 181: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

181

antar pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang dapat dimasukkan kedalam entitas kerjasama adalah pemerintah, petani, komunitas dan perguruan tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut, kami mengusulkan konsep pemetaan partisipatif untuk lahan kelapa sawit berbasis petani. Konsep pemetaan partisipatif ini disusun untuk melihat peran dari pemangku kepentingan dan juga berbagai kepentingan.

Metode

Tahapan penelitian dilaksanakan meliputi survey lokasi, pengambilan gambar dan pembuatan model partisipatif (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bukit Baling, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi. Kegiatan dilaksanakan antara bulan Agustus s.d. Oktober 2020.

Gambar 1. Tahapan penelitian Figure 1. Research steps

Survey lokasi

Tahapan ini, dilaksanakan survey ke lokasi kelapa sawit dan dilakukan diskusi dengan petani. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian dan proses diskusi dengan petani. Peneliti dan petani melakukan diskusi mengenai batas lahan, menggali umur tanaman dan mendiskusikan persiapan pemetaan yang akan dilaksanakan. Mula-mula, peta dari data sekunder (google earth)

dicetak pada lembaran kertas ukuran A1, untuk didiskusikan dengan petani. Informasi yang diperoleh digunakan sebagai dasar pengambilan gambar dengan citra dengan menggunakan Unmanned aerial vehicle (UAV).

Pengambilan citra Pengambilan citra dilakukan dengan

menggunakan UAV dengan terlebih dahulu mempersiapkan jalur terbang dan UAV yang akan digunakan. Pada penelitian ini diujicobakan penggunaan UAV dengan merek DJI Mavic Air yang memiliki kecepatan terbang vertikal s.d. 4 m/s, kecepatan terbang horizontal s.d. 19 m/s, berat 430 g, dilengkapi dengan navigasi Global Positioning System (GPS), dan kamera RGB 12 MP (Tabel 1).

Tabel 1. Spesifikasi UAV DJI Mavic Air Table 1. Specification of UAV DJI Mavic Air

Karakteristik Informasi Berat 430 g

Kecepatan Vertikal Maksimal 4 m/s

Kecepatan Horizontal Maksimal 19 m/s Durasi Terbang Maksimum 20 menit Mode GPS GPS + GLONASS Sensor CMOS: 12 MP

Lensa

35 mm Format Equivalent: 24 mm Aperture: f/2.8 Jarak Pengambilan:

0.5 m to ∞ Ukuran Gambar Potret 4056×3040 pixel Baterai 2 buah Ketinggian 50 meter Durasi terbang 27 menit Durasi Pengambilan Gambar 24 menit

Gambar 2. Lokasi penelitian di Desa Bukit Baling, Kab. Muaro Jambi, Provinsi Jambi dan kegiatan diskusi Figure 2. The research location in Desa Bukit Baling, Kab. Muaro Jambi, Provinsi Jambi and discussion activity

Page 182: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

182

Gambar 3. Tahapan pengambilan citra dan pengolahan data

Tahapan akuisisi citra UAV terdiri dari persiapan, pengaturan ketinggian jelajah, unggah misi ke UAV via controller, terbang, pengambilan gambar dan pengolahan data (Gambar 3). UAV dipersiapkan mulai dari melakukan pengisian daya dengan ukuran 2,375 mAh dan energi 27, 43 Wh untuk terbang selama 15 menit. Selanjutnya, jalur terbang dan ketinggian jelajah di unggah ke UAV dengan menggunakan mission planner. Pengambilan citra dilakukan pada tanggal 06 Agustus 2020 pada lahan kelapa sawit petani di Desa Bukit Baling dengan resolusi citra 12 megapixel. Citra yang diperolah dengan ukuran 4,056 x 3,040 pixel, dengan ketinggian UAV 50 meter dan overlap 75 %. Foto udara yang telah diambil menggunakan UAV kemudian melalui proses stitching untuk mendapatkan citra orthomosaic menggunakan aplikasi berbasis cloud yaitu DroneDeploy. Pembuatan peta dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4. Pengolahan citra dalam bentuk interpretasi visual dilakukan melalui digitalisasi pada layar.

Pembuatan model pemetaan partisipatif Pemeteaan partisipatif dilakukan dengan

mengumpulkan informasi mengenai pemangku kepentingan yang dapat terlibat dalam pemetaan partisipatif. Peran dari masing-masing pemangku kepentingan ini didefinisikan dalam rangka menerapkan pemetaan partisipatif untuk lahan kelapa sawit pada petani di Provinsi Jambi.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penggabungan citra Citra yang diperoleh pada lahan petani di

Desa Bukit Baling yang merupakan contoh lokasi pemetaan partisipatif adalah 628 citra dengan ketinggian 50 meter. Citra ini kemudian digabungkan dengan menggunakan Teknik orthomosaic sehingga dihasilkan peta (Gambar 4). Resolusi spasial yang dihasilkan adalah 1.28

cm/pixel. Ukuran ini cukup besar dan dapat digunakan untuk keperluan analisis lanjutan.

Hasil pengolahan citra Hasil dari pemetaan menggunakan citra

menunjukkan UAV dapat menjadi alternatif pembuatan peta lahan sawit dengan resolusi yang sangat tinggi untuk inspeksi yang sangat detil pada kanopi vegetasi lahan kelapa sawit dibandingkan citra satelit. Gambar 5 (a) menunjukkan citra UAV yang telah dilapiskan ke citra satelit. Terlihat bahwa resolusi citra UAV sangat tinggi dibandingkan dengan citra satelit. Citra hasil pemtretan juga dapat diolah untuk mendapatkan informasi mengenai vegetasi (Gambar 5 (b)). Citra ini selanjutnya dapat dicetak untuk menunjang kebutuhan informasi petani kelapa sawit dalam mengefektifkan kegiatan budidaya kelapa sawit di lahan petani.

Hasil pemetaan partisipatif Hasil dari pemetaan partisipatif pada

penelitian ini adalah tersedianya peta dalam bentuk cetak dari citra UAV. Model pemetaan partisipatif telah diimplementasikan pada salah satu petani di Kabupaten Muaro Jambi. Petani ini memiliki lahan kelapa sawit yang dikelola sendiri dengan luasan yang tidak terlalu besar. Gambar 6 menunjukkan peta cetak hasil pemetaan partisipatif yang telah diserahkan kepada petani.

Hasil desain pemetaan partisipatif Konsep pemetaan partisipatif diperlukan

dalam rangka mensinergikan pemangku kepentingan dalam melakukan pengambilan citra, pengolahan, dan juga manajemen data. Pemangku kepentingan yang dapat dilibatkan diantaranya adalah petani, komunitas, akademisi, pemerintah daerah, dan pemerintah daerah (Gambar 8).

Petani merupakan sumber informasi dan juga pengguna informasi hasil pemetaan. Petani memiliki peranan sangat penting dalam penetaan partisipatif. Pada pelaksanaannya petani

Page 183: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

183

melakukan penandaan batas-batas lahan sebelum pengambilan citra UAV. Selanjutnya petani akan mendampingi tim atau komunitas yang akan melakukan pengambilan gambar. Komunitas dapat berupa komunitas pemilik UAV atau komunitas masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pemetaan. Peran perguruan tinggi adalah pada pengolahan data citra dan interpretasi citra untuk keperluan pemetaan lahan dan monitoring kesehatan tanaman. Selanjutnya, petani dapat

memanfaatkan untuk mendukung sistem pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). Pemerintah desa dan dinas pertanian atau perkebunan Kabupaten dilibatkan dalam rangka pengelolaan data citra dan peta secara berkelanjutan. Kerjasama antara pemangku kepentingan dalam melakukan pemetaan partisipatif ini merupakan kunci sukses dalam penerapan pemetaan partisipatif pada lahan kelapa sawit.

Gambar 4. Citra yang telah digabungkan Figure 4. The combined citra

Gambar 5. (a) Citra yang telah digabungkan dan (b) Citra yang sudah diolah Figure 5. (a) The combined citra, and (b) processed citra

Page 184: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

184

Gambar 7. Serah terima hasil pemetaan partisipatif Figure 7. Handover of participatory mapping results

Gambar 8. Desain konsep pemetaan partisipatif petani kelapa sawit kecil dan menengah Figure 8. Design of participatory mapping concept for small and medium oil palm smallholders

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemetaan partisipatif dapat digunakan untuk memudahkan kegiatan pemetaan lahan. Aktor yang terlibat dalam pemetaan partisipatif terdiri dari. Pemerintah, Petani, Komunitas dan Akademisi. Hasil dari pemetaan partisipatif berupa peta untuk mendukung sistem pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). Model pemetaan partisipatif

telah diujicobakan pada satu Petani Kelapa Sawit di Provinsi Jambi.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pantun Bukit sebagai petani kelapa sawit di Desa Bukit Baling yang telah membantu dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif yang dilaksanakan.

Page 185: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

185

Daftar Pustaka

BPS. (2018). Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018. Jakarta. Retrieved from http://bps.go.id

Jelsma, I., Woittiez, L. S., Ollivier, J., & Dharmawan, A. H. (2019). Do wealthy farmers implement better agricultural practices? An assessment of implementation of Good Agricultural Practices among different types of independent oil palm smallholders in Riau, Indonesia. Agricultural Systems.

Minarsih, H., Widiastuti, H., & Santoso, D. (2018). Deteksi Ganoderma secara molekuler pada kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan biofungisida Ganor (Molecular detection of Ganoderma on oil palm plantation treated with Ganor biofungicide). E-Journal Menara Perkebunan.

Radoglou-Grammatikis, P., Sarigiannidis, P., Lagkas, T., & Moscholios, I. (2020). A compilation of UAV applications for precision agriculture. Computer Networks.

Rendana, M., Rahim, S. A., Idris, W. M. R., Lihan, T., & Rahman, Z. A. (2016). Mapping nutrient status in oil palm plantation using geographic information system. Asian Journal of Agricultural Research.

Solahudin, M., & Fenry, W. M. (2019). Identifikasi Ganoderma pada Tanaman Kelapa Sawit Berbasis Citra Multispektral. Jurnal Keteknikan Pertanian.

Widiastuti, H., Eris, D. D., & Santoso, D. (2016). Potential of organic fungicide for controlling Ganoderma in oil palm plants. Menara Perkebunan.

Page 186: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

186

SUSUNAN ACARA

SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI 2020

Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri 4.0

Bogor, 15 – 16 Oktober 2020

Kamis, 15 Oktober 2020

08.30 – 08.30 Kehadiran Peserta

08.30 – 09.00 Sambutan dan Pembukaan oleh Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara

09.00 – 09.45 Pembicara Utama : PreciPalm : Sistem Pemupukan Kelapa Sawit secara Akurat berbasis Pencitraan Satelit (Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

09.45 – 10.15 Diskusi

10.15 – 11.00 Pembicara Utama : Smart Agriculture for Bussiness Sustainability

(Prof. Dr. Arif Satria, IPB)

11.00 – 11.15 Complete Workflow for Agriculture (PT Merck)

11.15 – 11.30 Pengumuman sesi parallel makalah peserta (Panitia)

11.30 – 13.00 Break

13.00 – 16.00 Sesi Paralel Makalah Peserta

Jumat, 16 Oktober 2020

08.00 – 08.15 Kehadiran Peserta

08.15 – 08.30 Pembukaan

08.30 – 09.15 Pembicara Utama : Peran Produk Hasil Riset Bioteknologi dalam Peningkatan Produktivitas Tanaman Perkebunan (Dr. Priyono, DIRS, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia)

09.15 – 09.45 Diskusi

09.45 – 10.30 Pembicara Utama : Pemanfaatan Transkriptomik untuk Peningkatan Kualitas Produk Pertanian/Perkebunan (Dr. Fenny Martha Dwivany, Institut Teknologi Bandung)

10.30 – 11.00 Diskusi

11.00 – 11.15 Pengumuman sesi parallel makalah peserta (Panitia)

11.15 – 13.00 Break

13.00 – 16.00 Sesi Paralel Makalah Peserta

Page 187: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

187

JADWAL SESI PARALEL MAKALAH PESERTA

SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI 2020 Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri 4.0

Bogor, 15 – 16 Oktober 2020

ROOM A

No Pemakalah Judul Jadwal Waktu Agronomi dan Precision Farming

1 Supriyanto Desain konsep pemetaan partisipatif untuk lahan kelapa sawit pada level petani di Provinsi Jambi

Kamis, 15/10/2020

13.00-13:25

2 Andre D. Mawardhi

Metode pemetaan udara area kebun terjangkau dengan drone komersial dan perangkat lunak open-source

Kamis, 15/10/2020

13:25-13:50

3 Poppy Arisandy Respon pertumbuhan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) Terhadap dosis pupuk dan biostimulan

Kamis, 15/10/2020

13:50-14:15

4 Ciptadi Achmad Yusup

Peningkatan pertumbuhan vegetatif tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) melalui aplikasi biostimulan terpadu di lahan berat, berpengairan dan drainase lancar

Kamis, 15/10/2020

14:15-14:40

5 Lolita Endang Susilowati

Efikasi pupuk bioorganik-fosfat terhadap serapan hara nitrogen, fosfor, pertumbuhan dan produksi kedelai di tanah udifluvents

Kamis, 15/10/2020

14:40-15:05

6 Valentina Sokoastri

Potensi dan keunggulan kultur jaringan kelapa kopyor Kamis, 15/10/2020

15:05-15:30

7 Arif Rakhman Hakim

Pendekatan penentuan harga teknologi berdasarkan nilai dalam inovasi bioteknologi

Kamis, 15/10/2020

15.30-15.55

Bioteknologi Tanaman

8 Fauziatul Fitriyah Protein hydrolysates rejuvenated old callus and improved shoot regeneration in sugarcane tissue culture

Jumat, 16/10/2020

13.00-13:25

9 Masna Maya Sinta

Pertumbuhan dan perkembangan kalus embriogenik tanaman stevia

Jumat, 16/10/2020

13:25-13:50

10 Sulistyani Pancaningtyas

Morphological and histological analysis of somatic embryo development of cocoa (Theobroma cacao L.)

Jumat, 16/10/2020

13:50-14:15

11 Valentina Sokoastri

Teknologi kultur jaringan kelapa sawit dalam meningkatkan produktivitas perkebunan

Jumat, 16/10/2020

14:15-14:40

12 Dini Astika Sari Profil kandungan hara dan asam amino biostimulan dengan sistem produksi kontinyu dan hasil uji efikasi pada tanaman jagung

Jumat, 16/10/2020

14:40-15:05

13 Hasim Munawar Pemanfaatan antibodi sintetik untuk mendeteksi 3-MCPD pada minyak sawit

Jumat, 16/10/2020

15:05-15:30

14 Dede Suhendra Viabilitas benih kopi (Coffea sp.) terhadap konsentrasi hormon giberellin (GA3) dan perendaman suhu air yang berbeda

Jumat, 16/10/2020

15:30-15:55

Page 188: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

188

JADWAL SESI PARALEL MAKALAH PESERTA

SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI 2020 Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri 4.0

Bogor, 15 – 16 Oktober 2020

ROOM B

No Pemakalah Judul Jadwal Waktu Bioindustri

15 Bambang Prasetya

Teknologi biokilang biomasa lignoselulosa untuk mendukung pengembangan ekonomi sirkular: perkembangan global dan tantangan implementasi di indonesia

Kamis, 15/10/2020

13.00-13:25

16 Yora Faramitha Effective harvesting of Nannochloropsis oceanica by flocculation Kamis, 15/10/2020

13:25-13:50

17 Sri Wahyuni Sintesis nanokitosan berbasis selongsong black soldier fly dan ekstrak daun kipahit serta uji penghambatannya terhadap Xanthomonas oryzae

Kamis, 15/10/2020

13:50-14:15

18 Haryo Tejo Prakoso

Re-isolasi mikroba fungsional dari pupuk hayati Promi dan uji antagonismenya terhadap Ganoderma sebagai kontrol kualitas

Kamis, 15/10/2020

14:15-14:40

19 Noor Eka Febryana

Pertumbuhan fitoplankton Chaetoceros calsitrans dengan perbedaan jenis medium starter pada skala laboratorium

Kamis, 15/10/2020

14:40-15:05

20 Eka Lupitasari Isolasi, karakterisasi, dan uji potensi bakteri Rhizobium sp. asal beberapa akar tanaman legume

Kamis, 15/10/2020

15:05-15:40

Bioteknologi Mikrobia dan Kesehatan

21 Irma kresnawati Perakitan kit deteksi dini infeksi Ganoderma sp. Pada kelapa sawit melalui teknik imunokromatografik nanopartikel emas

Jumat, 16/10/2020

13.00-13:25

22 Deden Dewantara Eris

Virulensi bioinsektisida cendawan Metarhizium anisopliae dalam formulasi padat terhadap larva hama kumbang badak Oryctes rhinoceros

Jumat, 16/10/2020

13:25-13:50

23 Muhammad Abdul Aziz

Optimasi metode biodegumming serat rami (Boehmeria nivea) menggunakan bakteri pektinolitik dari kulit batang rami

Jumat, 16/10/2020

13:50-14:15

24 Chotimatul Azmi The effect of seaweed extract with endophytic microbes on fruit quality of two varieties of chili pepper

Jumat, 16/10/2020

14:15-14:40

25 Maria Viva Rini Seleksi empat jenis fungi mikoriza arbuskular baik secara tunggal maupun campuran pada bibit kelapa sawit yang ditanam pada tanah histosol

Jumat, 16/10/2020

14:40-15:05

26 Qori Emilia Therapeutic potential and safety assessment of fecal microbiota transplantation (FMT): a review

Jumat, 16/10/2020

15:05-15:30

27 Hikmahwati Hasen

Karakterisasi morfologi cendawan penyebab penyakit antraknosa pada tanaman bawang merah (Allium ascolonicum L.) di Kabupaten Enrekang

Jumat, 16/10/2020

15:30-15:55

28 Abdul Rahim Lubis

Respon pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) pada berbagai komposisi media tanam

Jumat, 16/10/2020

15:55-16:20

Page 189: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

189

JADWAL SESI PARALEL MAKALAH PESERTA

SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI 2020 Integrasi Bioteknologi Pertanian dan Perkebunan di Era Revolusi Industri 4.0

Bogor, 15 – 16 Oktober 2020

ROOM C

No Pemakalah Judul Jadwal Waktu Biomolekuler dan Bioinformatika

29 Galuh Wening Permatasari

Evaluating effectiveness of five insulin analogues for diabetes mellitus through bioinformatics approach

Kamis, 15/10/2020

13.00-13:25

30 Riza Arief Putranto

In silico identification of auxin response genes from expressed sequence tags (ESTS) of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

Kamis, 15/10/2020

13:25-13:50

31 Asrul Fanani Analisis dinamika struktur mutan glukosa oksidase IPBCC dalam pengikatan substrat secara in silico

Kamis, 15/10/2020

13:50-14:15

32 Rokhana Faizah Perbandingan metode kuantitatif relatif ekspresi gen pada kelapa sawit yang diinfeksi Ganoderma boninense

Kamis, 15/10/2020

14:15-14:40

33 Khairul Yusuf Nasution

Whole genome sequencing dengan analisis bulked segregant untuk identifikasi lokus lethal chlorosis di padi (Oryza sativa L.)

Kamis, 15/10/2020

15:05-15:30

34 Nur Laela Keragaman tanaman sirih secra morfologi dan molekuler Jumat, 16/10/2020

13.00-13:25

35 Purwaningtyas Kusumaningsih

Analisis filogenetik bakteri Serratia sp. dan Kurthia sp pada pindang tongkol (Euthynnus affinis)

Jumat, 16/10/2020

13:25-13:50

36 Tara Puri Ducha Rahmani

Simple organoleptic and in silico phylogenetic analysis of kidney beans (Phaseolus vulgaris) as an alternative ingredient to subtitute soy (Glycine max) in tempeh processing

Jumat, 16/10/2020

13:50-14:15

37 Saptowo Jumali Pardal

Introgresi gen toleran aluminium, MaMt2 dari galur kedelai transgenik ke dalam varietas unggul kedelai biosoy

Jumat, 16/10/2020

14:15-14:40

38 Turhadi Profil pertumbuhan tanaman kelapa sawit transgenik P5CS setelah aklimatisasi

Jumat, 16/10/2020

14:40-15:05

39 Rizka Tamania Studi in silico gen-gen dalam metabolisme giberellin pada tanaman Stevia rebaudiana Bert melalui pendekatan komparasi genomik

Jumat, 16/10/2020

15:05-15:30

Page 190: PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI

Seminar Nasional Bioteknologi | 2020

1