howard gardner dalam perspektif pendidikan islam a. …

107
70 BAB III KONSEP KECERDASAN MAJEMUK (MULTIPLE INTELLIGENCE) HOWARD GARDNER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Latar belakang Lahirnya Teori Kecerdasan Majemuk ( Multiple Intelligences) Pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun 1905 di Perancis, Alfred Binet, bersama Theodore Simon memperkenalkan sebuah tes kecerdasan yang dikenal dengan “IQ”. 127 Kecerdasan intelektual atau rasional atau pada saat itu dikenal dengan IQ pernah menjadi isu besar. IQ atau Intelligence Quotient adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Tujuan utama tes tersebut adalah untuk menentukan pada tingkat mana kemampuan seseorang seharusnya. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin tinggi pula kecerdasannya. 128 Tes tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah Amerika Serikat, yang selanjutnya digunakan untuk mengukur kecerdasan logika seseorang. Karena satu-satunya tes kecerdasan yang ada pada waktu itu adalah tes IQ, maka tes tersebut berpengaruh tidak hanya di daratan Amerika, tetapi merambah keseluruh dunia termasuk Indonesia. 127 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1 128 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dala Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001). hal. 3

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

70

BAB III

KONSEP KECERDASAN MAJEMUK (MULTIPLE INTELLIGENCE)

HOWARD GARDNER

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

A. Latar belakang Lahirnya Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple

Intelligences)

Pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun 1905 di Perancis,

Alfred Binet, bersama Theodore Simon memperkenalkan sebuah tes kecerdasan

yang dikenal dengan “IQ”.127

Kecerdasan intelektual atau rasional atau pada saat

itu dikenal dengan IQ pernah menjadi isu besar. IQ atau Intelligence Quotient

adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun

strategis. Tujuan utama tes tersebut adalah untuk menentukan pada tingkat mana

kemampuan seseorang seharusnya. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk

mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai

tingkat kecerdasan. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin

tinggi pula kecerdasannya.128

Tes tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah Amerika

Serikat, yang selanjutnya digunakan untuk mengukur kecerdasan logika

seseorang. Karena satu-satunya tes kecerdasan yang ada pada waktu itu adalah tes

IQ, maka tes tersebut berpengaruh tidak hanya di daratan Amerika, tetapi

merambah keseluruh dunia termasuk Indonesia.

127

Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1 128 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dala Berfikir

Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001). hal. 3

71

Memang, dahulu pada tahun 1905, Alfred Binet, membuat tes IQ

hanya untuk mengukur kecerdasan seseorang dari dua ranah yang masih sempit,

yaitu kemampuan verbal dan matematis, kemudian merangkum dalam sebuah

angka magis, yaitu IQ. Anak yang pandai menari, menggambar, bersosialisasi,

dan sebagainya masih belum terdeteksi bahwa mereka juga memiliki kecerdasan.

kemudian, ilmu psikologi terus berkembang sehingga lahirlah banyak teori

kecerdasan yang dimunculkan oleh para ahli psikologi yang mulai meninggalkan

angka sebagai ukuran kecerdasan seseorang.129

Hampir delapan puluh tahun tes IQ ini diyakini sebagai satu-satunya

tes yang hanya dapat mendeteksi keberhasilan seseorang sehingga didalam

pembelajaran tes IQ menjadi alat evaluasi utama, untuk mengukur kecerdasan

seseorang dan bahkan menjadi model tes untuk evaluasi tahap akhir.130

Dari perspektif sejarah peradaban Barat, terutama pada abad

kegelapan (dark millennium) yang mengantarai abad klasik dan renaissance,

persoalan kecerdasan ini jarang ditentang. Karena itu, tulis Gardner seperti yang

dikutif oleh Agus Efendi, pada awal abad pertengahan, St. Agustine menegaskan

bahwa pengarang dan penggerak utama alam semesta adalah kecerdasan. Oleh

karena itu, sebab akhir alam semesta itu haruslah baiknya kecerdasan (the good of

intelligence). Seluruh manusia itu mencari kearifan, dan pencarian kearifan adalah

129 Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai

Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 94 130 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1

72

sesuatu yang paling sempurna, paling sulit, paling berguna, dan paling dapat

disepakati.131

Di Indonesia pengaruh tes IQ tidak hanya pada model tes yang

berbasis pada kecerdasan IQ, tetapi pada perkembangannya seolah-olah sebagai

suatu strategi dan target pembelajaran, sehingga proses pembelajaran berlangsung

dengan paradigma mengejar target kurikulum bagi peserta didik lebih penting dari

pada penguasaan ilmu.

Baru pada tahun 1983, Howard Gardner seorang psikolog dari

universitas Harvard, mengkritisi terhadap kondisi teori kecerdasan IQ dan cara

pengukuran hasil tes IQ tersebut. Gardner memberikan konsep baru tentang

paradigma kecerdasan. Ia mengungkapkan:

Sebagian pengujian kita didasarkan pada penghargaan yang tinggi pada

keterampilan verbal dan matematika. Bila anda pandai dalam bahasa dan

logika, tes IQ anda pasti bagus, dan anda mungkin berhasil dengan baik masuk

perguruan tinggi yang bergengsi, tetapi apakah anda berhasil setelah lulus,

mungkin akan tergantung pada sejauh mana anda memiliki dan menggunakan

kecerdasan yang lain.132

Seperti yang diungkapkan Daniel Goleman sebagaimana yang dikutif

oleh Agus Efendi, apabila ada orang yang melihat keterbatasan cara berfikir

konvensional tentang kecerdasan, orang itu adalah Gardner. Gardner menunjukan

bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai selama Perang Dunia I, ketika dua juta

pria Amerika secara masal pertama kali dipilih melalui tes IQ. Ini mengantar kita

menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut „cara berfikir IQ‟. Bahwa

orang itu entah cerdas entah tidak, terlahir secara demikian; tak banyak hal yang

131 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 81 132 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, (Batam

Center: Inter Aksara 2003). hal. 24

73

dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan tes-tes itu dapat menunjukan

apakah Anda termasuk orang cerdas atu bukan.133

Dengan kutipan tersebut, Goleman ingin menegaskan dua hal.

pertama, menegaskan bagaimana IQ kritik atasnya. Kedua, menegaskan bahwa

sikap Howard Gardner, penulis Frame Of Mind (1983), itu sangat berpengaruh

terhadap penolakan IQ sebagai satu-satunya kecerdasan, atau berpengaruh

terhadap penolakan IQ sebagai kecerdasan monolitik yang penting untuk meraih

kesuksesan hidup.134

Teori Multiple intelligence yang digagas Howard Gardner dalam

perkembangannya banyak menyita perhatian masyarakat, terutama para

praktisi pendidikan diseluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut Munif

Chatib setidaknya ada tiga paradigma mendasar mengapa Multiple Intelligence

Howard Gardner banyak menyita perhatian masyarakat, khususnya praktisi

pendidikan:

1. Kecerdasan tidak dibatasi tes formal

Kecerdasan tidak mungkin di batasi oleh indikator-indikator yang ada

dalam achievement test (tes Formal). Sebab kecerdasan seseorang itu selalu

berkembang dinamis, tidak statis. Menurut Gardner sebagaimana yang

dikutif Munif Cahatib, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang.

Padahal, kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.

133 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136 134

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 hal. 136

74

2. Kecerdasan itu Multidimensi

Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya

kecerdasan verbal atau logika. Gardner memberi label „multiple‟ (jamak

atau majemuk) pada konsep kecerdasannya, sehingga memungkinkan ranah

kecerdasan tersebut terus berkembang, ini tebukti dari teori kecerdasan

yang awalnya 7 kecerdasan, menjadi 9 kecerdasan.

3. Kecerdasan Proses Discovering Ability

Multiple intelligences punya metode discovering ability, artinya proses

kemampuan seseorang. Dengan persepsi bahwa setiap orang pasti memiliki

kecenderungan jenis kecerdasan tertentu, yang harus digali dengan

pencarian kecerdasan.135

Ketika mengantarkan edisi ke-10 dari frame of Mind (1983), Gardner

seperti yang dikutif oleh Agus Efendi menegaskan bahwa sembari menulis frame

of Mind, ia memandang karyanya tersebut sebagai kontribusinya terhadap disiplin

Psikologi Perkembangan (Developmental Psychology) yang digelutinya. Dengan

karya tersebut, Gardner hendak memperluas konsepsi kecerdasan. Dengan begitu,

kecerdasan tidak hanya menyangkut the result of paper and pencil tests tetapi juga

menyangkut pengetahuan tentang otak manusia (human brain) dan kepekaannya

terhadap ragam budaya (sensitivity to the diversity of human cultures).136

Meskipun pada awalnya frame of mind, bukanlah karya Gadner yang

terfokus pada pendidikan. Namun, justru buku inilah yang telah menempatkan

135 Munif Chatib, Sekolahnya manusia, Sekolah Berbasis Multiple intelligence di Indonesia,

(Bandung: Mizan Pustaka, 2009), hal. 70-71 136 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136-137

75

Gardner dalam percaturan dan teori dan praktek pendidikan di Amerika Serikat

serta membuatnya terkenal di seluruh dunia.137

Sedangkan bagaimana cara-cara

utama teori Multiple intelligence memasuki wacana pendidikan kontemporer,

dibahas oleh Gardner dalam karyanya yang lain, Multiple Intelligences: The

Theory in Practice (1993). Buku tersebut oleh Gardner disebut sebagai buku

penyerta (the companion volume) bagi bukunya yang lain yang ditulis

sebelumnya, Frames of Mind.

Dalam buku Frame of Mind: The theory of Multiple Intelligence inilah

Howard Gardner membangun kerangka konsep pemikirannya mengenai

paradigma kecerdasan manusia yaitu kecerdasan majemuk (Multiple Intellignce).

Gardner menjelaskan empat hal terkait dengan latar belakang munculnya teori

kecerdasan majemuk (Multiple intelligences), yaitu (1) The idea of Multiple

Intelligences (gagasan mengenai kecerdasan majemuk),138

(2) Intelligence:

Earlier Views (pandangan awal tentang kecerdasan),139

(3) Biological Foundation

of Intelligence (fondasi bilologis kecerdasan),140

dan (4) What Is an Intelligence?

(apa itu kecerdasan).141

1. The idea of Multiple Intelligences (gagasan mengenai kecerdasan majemuk)

Penjelasan Gardner tentang gagasan mengenai kecerdasan majemuk,

diawali dengan sebuah ilustrasi yang ditulisnya dalam frame Of Mind:

137 Joy A. Palmer, Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer Paling Berpengaruh di Dunia

Pendidikan Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 514 138 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic

Book, 1983), hal. 3 139 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic

Book, 1983), hal. 12 140 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic

Book, 1983), hal. 31 141 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic

Book, 1983), hal. 59

76

A Young Girl spends an hour with an examiner. She is asked a number of

questions that probe her store of information (Who discovered America?

What does the stomach do?), her vocabulary (What does nonsense mean?

What does belfry mean?) her arithmetic skills (At eight cents each, how

much will three candy bars cost?), her ability to remember a series of

numbers (5, 1, 7, 4, 2, 3, 8), hercapacity to grasp the similarity between

two elements (elbow and knee, montain and lake). She may also be asked

to carry out certain other tasks-for example, solving a maze or arringing a

group of pictures in such a way tehat they relate a complete story. Some

time afterward, the examiner scores the responses and comes up with a

single number-the girl‟s intelligence quotient, or IQ.142

Ilustrasi yang dipaparkan Gardner diatas mengindikasikan bahwa

kecerdasan seringkali hanya dinilai dan dihargai dengan tes IQ melalui ujian

tulis atau lisan yang hanya mengkoordinir kemampuan menghafal, mengingat

dan meceritakan suatu peristiwa yang mengarah pada kemampuan linguistik,

dan atau kecerdasan diukur dengan kemampuan untuk menangani bilangan dan

perhitungan dan pemikiran logis yang mengarah pada kemampuan matematis

logis. Bahkan yang lebih naif lagi, kecerdasan diwujudkan dengan perhitungan

angka-angka yang merupakan hasil penjumlahan skor-skor dari seluruh

jawaban yang mampu dijawab dengan benar oleh tester. Dan nilai angka hasil

dari tes tersebut biasanya dijadikan patokan untuk kesuksesan hidup seseorang

dimasa yang akan datang. Dengan demikian, dalam tes tersebut belum ada

anggapan bahwa kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki seseorang juga

termasuk kedalam kriteria kecerdasan.

Menurut Gardner, penilaian tersebut diatas, bukan saja akan

mempengaruhi apresiasi masa depan perempuan muda itu, tapi juga akan

mempengaruhi penilaian guru atasnya. Penilaian itu juga akan menentukan

142 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 63

77

sifat elijibilitas (keterpenuhan syarat, eligibiloties) untuk hak-hak istimewanya.

Karena skor atas kecerdasan tersebut takan mampu menduga kemampuan

seseorang untuk menguasai pelajaran-pelajaran di sekolah. Skor itu juga hanya

menjelaskan sedikit tentang kesuksesan hidupnya di kemudian hari.143

Kejadian seperti itu, kata Gardner terjadi ribuan kali setiap hari

diseluruh dunia. Tentunya, dengan menggunakan versi tes yang berbeda dan

disesuaikan dengan umur dan setting budaya masing-masing. Oleh akrena itu,

banyak peneliti kecerdasan tidak puas dengan kejadian seperti itu. Sebab

kecerdasan itu banyak jenisnya, “pasti ada banyak kecerdasan dari pada

jawaban pendek terhadap pertanyaan singkat jawaban yang menduga

keberhasilan akademis. Dan toh dalam ketiadaan cara berfikir yang baik

tentang kecerdasan, dan ketiadaan cara yang lebih baik untuk menaksir

kecakapan-kecakapan seseorang skenario ini ditakdirkan untuk diulang secara

universal untuk masa depan yang dapat diduga”. Tes-tes IQ seperti di atas,

tidak akan memadai untuk menaksir potensi atau prestasi seseorang.

Masalahnya, terletak pada teknologi pengujiannya. Hanya jika kita memperluas

dan mereformasi pandangan kita mengenai apa itu kecerdasan manusia maka

kita akan mampu memiliki cara yang lebih tepat untuk menaksir kecerdasan itu

dan cara yang lebih efektif untuk mendidiknya.144

Oleh sebab itulah, Gardner mengajukan teori kecerdasan yang baru.

Teori kecerdasan tersebut disebutnya dengan Multiple intelligence (teori

kecerdasan majemuk) yang ditegaskannya sebagai a new theory of human

143 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 3 144 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 4

78

intellectual competences. Inilah teori yang menantang pandangan klasik

tentang kecerdasan yang secara ekplisit atau implisit telah menyihir kita melaui

psikologi dan teks-teks pendidikan.145

Lebih dari dua ribu tahun, minimal sejak lahirnya negara-negara

Yunani, terdapat serangkaian ide yang mendominasi diskusi-diskusi mengenai

kondisi manusia dalam suatu peradaban. Ide-ide ini menekankan pada

eksistensi dan pentingnya kekuatan mental, yaitu kemampuan manusia yang

kemudian diungkapkan dengan berbagai tema, seperti rasionalitas, inteligensi,

atau penyebaran pikiran (the deployment of mind). Dalam pencariannya

mengenai esensi manusia, Howard Gardner melakukan penelitian terhadap

kemampuan-kemampuan khusus dari beberapa tokoh, seperti Plato, ahli-ahli

kitab terpelajar di biara atau ilmuwan di laboratorium. Menurut Gardner,

mereka adalah orang-orang yang mampu menggunakan kekuatan-kekuatan

mental mereka dalam dunia nyata. Sokrates mengatakan, „kenali dirimu,” dan

Aristoteles mengatakan , “seluruh manusia secara alamiah memiliki hasrat

untuk mengetahui,” maka Descartes mengatakan, “Aku berfikir: Oleh karena

itu, aku ada”. Semua pernyataan para filosof itu, menurut Gardner memberikan

inskripsi yang membingkai seluruh peradaban manusia.146

Menurut Gardner seperti yang dikutif Agus Efendi, nalar (reason),

kecerdasan (intelligence), logika (logic), dan pengetahuan (knowledge) tidaklah

sinonim. Oleh karena itu, katanya, Frame of Mind ditulis sebagai upaya untuk

145 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136 146

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 3

79

menyingkapkan ragam keterampilan dan kemampuan yang sangat mudah

untuk dikombinasikan di bawah rubrik mental. Namun demikian, Gardner

mengungkapkan bahwa ada dua sikap yang berbeda terhadap mental di

sepanjang sejarah. Pertama, sikap dari kaum the hedgehog yang menyakini

bahwa intellec adalah a piece, singular, inviolable capacities; bahwa semua

kita dilahirkan dengan sejumlah kecerdasan tertentu yang disebut dengan IQ.

Kedua, sikap kaum the foxes yang mengungkapkan sejumlah fungsi berbeda

atau bagian-bagian mental (parts of mind), bagi mereka kecerdasan itu bersifat

dinamis dan bisa berkembang. Karenanya, pada zaman klasik dibedakan antara

nalar, kehendak dan rasa. Para pemikir abad pertengahan memiliki trivium

yang mencakup tatabahasa (grammar), logika dan retorika. Selain itu,

memiliki quadrivium yang mencakup matematika, geometri, ekonomi, dan

musik.147

Disamping itu, menurut Gardner dalam sains psikologi sendiri

terdapat pandangan-pandangan yang berbeda mengenai kecerdasan. Franz

Joseph Gall menominasikan 27 fakultas atau kekuatan pikiran manusia (human

mind power), sementara itu seorang tukoh kontemporer, J.p. Guiford,

menyebut adanya 120 vektor fikiran manusia (vector of mind).148

Menurut Gardner, perbedaan pandangan selanjutnya tidak hanya

terjadi pada perdebatan mengenai kecerdasan, perdebatan mengenai studi

daerah otakpun masih sering terjadi. Tentang perbedaan daerah otak (brain

area) ada dua golongan, yaitu golongan localizer dan golongan holist.

147 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 7 148 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 7

80

Golongan localizer meyakini bahwa porsi berbeda dari sitem saraf itu

mengenai kapasitas intelektual yang beragam. Sementara itu, golongan holist

menganggap bahwa fungsi utama intelektual yang merupakan kekayaan otak

(the property of the brain) itu bersifat keseluruhan.149

Selanjutnya, perbedaan pandangan para ahli neurologi terjadi pada

bidang tes kecerdasan, perdebatan terjadi antara mereka yang mengikuti teori

Charles Spearman, yang meyakini faktor umum intelek dengan mereka yang

mengikuti teori L.L. Thurstone, yang meyakini keragaman kemampuan mental.

Kemudian perdebatan terjadi juga pada wilyah perkembangan anak antara

mereka yang mempostulatkan struktur umum pikiran seperti Jean Piaget, dan

mereka yang meyakini serangkaian luas dan relativitas diantara keterampilan-

keterampilan mental manusia. Bahkan gaung perbedaan dalam disiplin-disiplin

ilmu yang lainpun sama-sama terdengar nyaring.150

Pertanyaan mengenai definisi optimal kecerdasan membayang-

bayangi dalam pencarian kita. Memang, pada tingkat definisi ini teori Multiple

Intelligences terpisah dari pokok-pokok pandangan tradisional. Dalam

pandangan tradisional, kecerdasan ditetapkan secara operasional sebagai

kemampuan untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan. Kesimpulan dari

nilai tes pada beberapa kemampuan dibalik itu didukung oleh teknis statistik

yang membandingkan tanggapan subjek pada usia berbeda; korelasi yang jelas

dari nilai tes ini lintas umur dan linta tes berbeda membenarkan pengertian

bahwa bakat umum dari kecerdasan, g, tidak banyak berubah dengan

149 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 7 150 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 8

81

bertambahnya umur atau dengan pelatihan atau pengalaman. Ini adalah sifat

yang dibawa sejak lahir atau bakat individual.151

Teori Multiple intelligences, sebaliknya, menjadikan majemuk

konsep tradisional. Kecerdasan menyangkut kemampuan meyelesaikan

masalah atau produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suasana

budaya atau masyarakat tertentu. Keterampilan menyelesaikan masalah

membuat seseorang mendekati situasi yang sasarannya harus dicapai dan

menemukan rute yang tepat kearah sasaran itu. Penciptaan produk budaya amat

penting bagi fungsi seperti menangkap dan meneruskan pengetahuan atau

menyatakan pandangan atau perasaan seseorang.152

Teori Multiple intelligences Howard Gardner inilah yang berani

menyatakan bahwa kecerdasan seseorang sudah tidak lagi ditentukan oleh

angka-angka IQ.153

Kecerdasan seseorang, termasuk anak kita, ternyata

bersumber dari kebiasaannya sendiri. Bayangkanlah perubahan yang terjadi:

kecerdasan yang bersumber dari angka berubah menjadi bersumber pada

kebiasaan, yang merupakan kebiasaan seseorang untuk menciptakan produk-

produk baru yang memiliki nilai budaya dan kebiasaan menyelesaikan masalah

secara mandiri.154

Sungguh teori Multiple Intelligence telah merubah

paradigma teori-teori sebelumnya memiliki karakteristik khas, yaitu

meninggalkan konsep mengukur kecerdasan seseorang dengan konsep angka.

151 Howard Gardner, Multiple Intelligences; Teori dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003). hal.

34 152 Howard Gardner, Multiple Intelligences; Teori dalam Praktek, hal. 34 153

Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai

Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 95 154 Munif Chatib, Sekolahnya Manusi: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,

(Bandung: Kaifa Learning, 2009). hal. 9

82

Munculnya teori Multiple Intelligence yang digagas Howard Gardner

pada akhir abad 20 membawa angin segar bagi paradigma perkembangan

kecerdasan yang selama ini cenderung mengagungkan hasil tes IQ. Hal ini

dapat dibuktikan dengan memahami perjalanan definisi kecerdasan yang

dilakukan para ahli psikologi yang melakukan penelitian sebelum dan setelah

munculnya teori Multiple Intelligence. Pertama, pada 1905, Alfred Binet

dengan tes IQ-nya. Hasilnya: kecerdasan dimaknai dengan angka mental atau

IQ seseorang. Setelah itu, muncul banyak teori kecerdasan, yang cukup

kontroversial. Pada 1983, Howard Gardner memunculkan teori multiple

intelligences (kecerdasan majemuk) sebagai kritik terhadap validitas tes IQ

sehingga bisa dikatakan multiple intelligences sudah meninggalkan angka.

Pada 1995, ada dua ahli yang memunculkan teori kecerdasan: Dr. Goleman

(emotional quotient) dan Paul G. Stolz, Ph.D, (adversity quotient) keduanya

juga telah meninggalkan angka untuk mengukur kecerdasan seseorang. Dan

terakhir, pada 2001, Ian Marshall dan Danah Zohar melengkapi teori

kecerdasan dengan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence), yang juga telah

jauh meninggalkan angka. Malah keduanya telah menilai manusia cerdas

dengan hakikat.155

Prosedur yang diungkapkan oleh Gardner dalam rumusan mengenai

kecerdasan majemuk (multiple intelligences) ini akan sangat berbeda. Gardner

meninjau bukti-bukti ini dari berbagai literatur dan sumber yang luas dan tidak

saling berkaitan: studi tentang anak-anak yang cerdas, orang-orang berbakat,

155 Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai

Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 99

83

pasien-pasien yang mengalami kerusakan otak, idiots savants, anak-anak

normal, orang-orang dewasa normal, dan orang-orang yang bersal dari

berbagaimacam budaya. Melalui bukti-bukti dari berbagai literatur, dan riset

tersebut, Gardner yakin bahwa keberadaan suatu kecerdasan bisa ditemukan

pada populasi-populasi tertentu yang secara relative terisolasi, mengalami

perkembangan yang sangat pesat pada individu-individu atau budaya tertentu,

didukung oleh bukti-bukti psikometri, ahli-ahli penelitian eksperimental dan

ahli-ahli dalam disiplin ilmu-ilmu khusus. Selanjutnya Gardner menjelaskan

bahwa ketiadaan beberapa atau semua indeks tersebut, tentunya akan

mengeliminasi suatu kandidat kecerdasan.156

Oleh karena itu, dalam kesimpulan Gardner, sebagaimana yang

dikutif Agus Efendi, ada bukti persuasip mengenai adanya beberapa

kompetensi intelektual manusia yang otonom secara relatif, yang disebut

dengan “kecerdasan manusia”. Inilah yang disebut oleh Gardner dengan

“frames of mind”. Watak pasti dan keluasan masing-masing “kerangka”

intelektual tersebut sejauh ini belum dibangun dengan memuaskan. Demikian

juga, jumlah persis kecerdasan itu belum ditetapkan (fixed). Namun, diyakini

bahwa minimal ada beberapa jenis kecerdasan yang relatif tidak bergantung

satu sama lain. Jenis-jenis kecerdasan tersebut dapat dibentuk dan

dikombinasikan dalam sebuah keragaman adaptif oleh perseorangan-

perseorangan dan budaya-budaya yang menurut Gardner sulit ditolak.157

156 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 3 157 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 139-140

84

2. Intelligence: Earlier Views (pandangan awal tentang kecerdasan)

Mengawali penjelasannya tentang pandangan-pandangan terdahulu

mengenai kecerdasan, Gardner mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh

Franz Joseph Gall seorang fisikawan dan ilmuwan pada akhir abad ke- 18,

yaitu observasi yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara karakteristik

mental tertentu dan bentuk kepala mereka.

Gagasan Gall seperti yang dikutif Gardner, akhirnya melahirkan teori

yang disebut dengan “phrenology”. Kunci gagasan phrenology sederhana.

Tengkorak manusia berbeda satu sama lain, dan keberagaman mereka

menggambarkan perbedaan dalam ukuran dan bentuk otaknya. Area berbeda

otak menunjukan fungsinya masing-masing: dan, dengan menguji konfigurasi

tengkorak seorang individu, seorang pakar harus mampu menentukan

kekuatan, kelemahan, dan keistimewaan profil mental mereka.158

Teori Gal tentang organ fikiran, kemudian di sempurnakan oleh

koleganya, Joseph Spurzheim yang mengemukakan 37 kemampuan berbeda

yang mencakup kemampuan afektif, sepertihal yang bersifat cinta kasih,

cenderung ingin punya banyak keturunan, dan kerahasiaan; perasaan seperti

harapan, penghormatan, dan harga diri; kemampuan reflektif dan kapasitas

yang jelas, termasuk bahasa, lagu, juga sensitivitas untuk hal visual seperti

bentuk dan warna.159

Phrenology milik Gall dan Spurzheim teori ini mendapat

popularitas besar di Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad ke-18 karena

doktrin sederhana mempunyai pertimbangan yang hakiki, dan setiap individu

158 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 12 159Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 12

85

dapat “memainkan permainan”, sehingga bukanhal yang mengejutkan apabila

popularitas sains yang diharapkan dikuatkan oleh fakta bahwa hal tersebut

disokong oleh banyak ilmuwan kala itu.

Meskipun demikian, ternyata seseorang dapat mengenali kecacatan

dokrin frenologi. Contohnya bahwa ukuran kecil otak tidak mempunyai

korelasi yang jelas dengan kecerdasan individu; kenyataannya, individu dengan

otak yang sangat kecil, seperti Walt Whitman dan Anatole Francis, sudah

meraih kesuksesan besar, bahkan individu yang mempunyai otak besar kadang

idiot dan biasa saja. Selain itu, ukuran dan konfigurasi tengkorak itu sendiri

membuktikan sebuah takaran yang tak pasti terhadap konfigurasi penting

korteks manusia.160

Gal merupakan salah satu diantara ilmuwan masa kini yang

menekankan bahwa bagian-bagian berbeda otak menengahi fungsinya yang

berbeda-beda; meskipun kenyataanya bahwa belum mampu menunjukan

dengan tepat hubungan antara ukuran, bentuk, dan fungsi yang harus diambil

sebagai bukti yang kitapun tidak akan mamapu membuktikannya. Meskipun

demikian, Gall mengemukakan ide penuh, salah satunya adalah klaim yang

sangat menarik sebagaimana dikutip Gardner, tidak ada kekuatan mental

umum, seperti persepsi, ingatan dan perhatian; tapi ada bentuk persepsi

berbeda, ingatan dan kegemaran untuk setiap beberapa kemampuan intelektual,

seperti bahasa, musik dan visi. Gagasan ini membuktikan hal yang bersifat

sugestif dan mungkin juga benar, tetapi disepanjang sejarah psikologi gagasan

Gall ini jarang digunakan dengan serius.

160Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 13

86

Gagasan yang dikemukakan Gall menjadi perbincangan dikalangan

para ilmuwan, antara sebuah keyakinan lokalisasi fungsi dan sebuah skeptisme

tentang batas korelasi perilaku otak keseluruhan. Pieree Flourens menunjukan

dengan meneliti bagian-bagian otak yang berbeda dari seekor binatang dan lalu

mengobservasi perilaku barunya, dan mengemukakan pendapat bahwa

beberapa klaim Gall tidak dapat didukung.161

Tetapi ada sebuah dukungan

kuat terhadap gagasan Gall yang datang di tahun 1860-han, dari seorang ahli

bedah dan antropolog Perancis Pierre Paul Broca yang menunjukan sebuah

hubungan yang tak dapat disangkal antara luka otak tertentu mengakibatkan

kerusakan kognitip tertentu. Broca menghimpun bukti bahwa luka didalam

sebuah area tertentu dibagian depan kiri korteks manusia menyebabkan afasia,

rusaknya kapasitas linguistik.162

Para ilmuwan diabad ke-19 bukanlah yang pertama merinci tingkatan

kemampuan intelektual manusia. Masyarakat Mesir sudah meletakan ide dalam

hati dan penilain dikepala. Pytagoras dan Plato mengidentifikasi bahwa letak

fikiran didalam otak, dan Descartes menempatkan jiwa dalam kelenjar pineal.

Selama abad pertengahan, para akademisi mendiskusikan trivium dan

kuadrivium dimana kaum terpelajar menguasainya. Apa yang diperkenalkan

pada abad ke- 19 merupakan klaim spesifik tentang profil kapasitas mental

manusia dan secara empiris merupakan upaya pokok dalam labolatorium klinik

dan eksperimen untuk menghubungkan area tertentu dalam otak terhadap

fungsi kognitip tertentu pula.

161 161Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic

Book, 2009). hal. 14 162 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 14

87

Howard Gardner dalam menjelaskan pandangan-pandangan terdahulu

mengenai kecerdasan, mengungkapkan empat pedekatan yang melandasi

pandangannya, yaitu psikologi sebenarnya (psychology proper), pandangan

Jean Piaget, pendekatan pemrosesan informasi (the information processing

approach) dan pendekatan sistem simbol (the symbol system approach).

a. psikologi sebenarnya (psychology proper)

Howard Gardner menjelaskan bahwa upaya untuk menjadikan

psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan dimulai pada akhir pertengahan

abad ke 19, oleh beberapa orang akademisi seperti Wilhelm Wundt di

Jerman dan Wiliam James di Amerika yang telah memberikan dasar

rasional dan menjadi pelopor penelitian. Terjadi hubungan yang sangat kecil

antara ahli psikologi pendidikan yang baru dengan para ahli yang

melakukan eksperimen-eksperimen tentang otak manusia. Karena sejarah

psikologi pra-keilmuan lebih dipengaruhi oleh filsafat daripada kedokteran

dan karena para ahli psikologi awal memiliki hasrat yang sangat besar untuk

mendefinisikan disiplin keilmuan mereka secara terpisah kedalam dua

bagian, yaitu fisiologi dan neurologi. Hal ini kemudian terbukti, akibatnya

kategori argumen yang menarik bagi para ahli psikologi jauh kaitannya

dengan pendidikan. Bahkan menurut Gardner, para ahli psikologi lebih

mencari hukum-hukum tentang kemampuan mental, seperti memori,

persepsi, perhatian, asosiasi, dan belajar; kemampuan ini merupakan

gagasan tentang pengoperasian isi mental itu sendiri secara ekuivalen, dari

pada berfikir tentang tema-tema mengenai isi mental sebagai bukti faktual

88

(seperti bahasa, musik, atau macam-macam bentuk persepdi visual

lainnya).163

Psikologi ilmiah dalam usahanya, telah mencari hukum umum

mengenai pengetahuan manusia. Ranah kajiannnya mencari perbedaan

individu, profil kemampuan dan ketidak mampuan yang berbeda dalam

individu, yang sekarang mungkin disebut pemrosesan informasi manusia.

Terdapat beberapa ahli psikologi yang mengemukakan gagasan

mengenai kemampuan dan ketidak mampuan yang berbeda dalam diri

individu. Sir Francis Galton seorang psikolog dari Inggis mengemukakan

ketertarikan tertentunya pada bentuk pencapaian yang jenius, unggul dan

terkemuka. Sementara Galton mengembangkan metode statistik yang

membuatnya mampu mengurutkan manusia dalam istilah fisik dan kekuatan

mental mereka dan untuk menghubungkan pengukuran seperti itu satu sama

lain. Pencapaian profesional dan hubungan antara garis silsilah diharapkan

dapat menguji hubungan keduanya dengan alat ini.164

Tetapi secara

berangsur-angsur, masyarakat ilmiah menyimpulkan bahwa seseorang harus

memandang terutama pada kapasitas yang lebih kompleks, antara lain

dengan melibatkan bahasa dan abstraksi jika seseorang ingin mendapatkan

penilaian yang akurat mengenai kekuatan intelektual manusia.

Pada awal abad 20, Frenchman Alfred Binet dan koleganya

Theodore Simon mengusulkan untuk menggunakan tes kecerdasan untuk

mengukur kekuatan intelektual seseorang. Tes tersebut kemudian dikenal

163 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 14 164 Howard Gardner, Frame of Mind, hal. 15

89

dengan tes IQ (intelligence quotient) yang sempat menjadi isu besar dalam

percaturan dunia psikologi dan selama beberapa dekade hampir tidak ada

yang berani untuk membantahnya. Namun demikian menurut Gardner,

penggunaan tes IQ untuk mengukur kecerdasan seseorang ternyata masih

banyak menimbulkan perdebatan. Para psikolog terutama pada akhir abad

ke- 20 memandang bahwa tes IQ ini hanya mampu mengukur tingkat

kecerdasan seseorang pada jenjang formal, namun hanya sedikit sekali

memprediksi keberhasilan seseorang dalam konteks kehidupan yang lebih

luas dan komplek.

Selanjutnya seorang psikolog pendidikan Inggris Charles Spearman

seperti yang dikutif Gardner, menyatakan bahwa dalam diri manusia

terdapat unsur “g”, yaitu faktor kecerdasan lain yang selama ini

dikesampingkan yang sudah diukur dalam setiap tugas dalam uji

kecerdasan. Sementara itu, para pendukung ahli psikometrik asal Amerika

Serikat L. Thurstone meyakini keberadaan seperangkat kecil kemampuan

primer yang terpisah satu sama lain dan diukur dengan tugas yang berbeda,

menurutnya ada tujuh faktor seperti pemahaman verbal, kelancara kata,

kelancara angka, visualisasi spasial, ingatan asosiatif, percepatan perseptual,

dan nalar.165

Dari pernyataan beberapa ahli psikologi diatas dapat disimpulkan

bahwa setidaknya sampai beberapa dekade kebanyakan psikolog setuju

dengan penilaian bahwa uji kecerdasan merupakan pencapaian terbesar

165

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 16

90

dunia psikologi, klaim utamanya terhadap keperluan sosial, dan sebuah

penemuan ilmiah penting.

b. Gagasan Piaget

Jean Piaget merupakan seorang ahli psikologi kognitif yang

memberi pengaruh cukup besar bagi pemikiran Howard Gardner.

Eksperimen Gardner dalam penelitian kognisi manusia terinspirasi dari

karya Jean Piaget dalam penelitiannya mengenai perkembangan kognisi

manusia, terutama konsepsinya tentang “ilmuwan luar biasa.” Meskipun

pada akhirnya Gardner merumuskan teori kognisi yang berlawanan dengan

teori Piget.166

Piaget tidak pernah memberikan sebuah tinjauan tentang

pergerakan uji kecerdasan; tetapi ia melakukannya terhadap pergerakan

ilmiah untuk mengkritisi tes IQ milik Binet-Simon. Dalam tinjauannya

mengenai tes IQ, Jean Piaget sebagaimana dikutip Gardner, memberikan

kritikan bahwa tes IQ yang dilakukan untuk mengukur kecerdasan

seseorang pada dasarnya hanya mampu memberikan beberapa daya

prediktif tentang kesuksesan disekolah dan tentang sebuah teori bagaimana

cara kerja otak. Tidak ada pandangan mengenai proses bagaimana seseorang

akan menyelesaikan sebuah masalah, namun hanya sebatas apakah

seseorang mampu memberikan jawaban dengan benar. Tes IQ menurut

Piaget hanya memiliki peran yang sangat kecil dalam menaksir kesuksesan

seseorang di dunia nyata, tes IQ hanya mewakili suatu pendekatan untuk

166 Joy A. Palmer, Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer Paling Berpengaruh di Dunia

Pendidikan Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 519

91

memprediksi kemampuan intelektual manusia. Selain itu, soal yang

disajikan dalam uji IQ sering tidak berhubungan satu sama lain. Soal-

soalnya merupakan hal yang jauh, dalam banyak kasus dari kehidupan

sehari-hari.167

Jean Piaget, setelah memberikan kritiknya atas teori tes IQ

kemudian mengembangkan suatu pandangan yang berbeda mengenai

kognisi manusia. Piaget seperti yang dikutif Howadr Gardner

mengemukakan bahwa semua kajian tentang akal manusia harus dimulai

dengan menempatkan seorang individu yang sedang mencoba membuat

dunia agar dapat dimengerti. Seseorang harus terus menerus membangun

hipotesis dan mencoba membangkitkan pengetahuan; dia mencoba

memahami sifat objek material di dunia, seperti bagaimana manusia saling

berinteraksi, sifat orang-orang di dunia, motivasi dan perilaku, yang

membawa kedalam sebuah teori yang tepat dan nilai yang koheren yang

terakomodir dalam dunia fisik dan sosial.168

Menurut Piaget sebagaimana yang dikutip Howard Gardner

menyatakan bahwa bayi pada awalnya memahami dunia terutama melalui

refleknya, persepsi pancainderanya, dan tindakan fisiknya terhadap dunia.

Setelah satu atau dua tahun, dia berada pada fase “praktis” atau “sensori

motor”.169

Tahap ini menurut Piaget sebagaimana dikutip oleh Desmita

merupakan tahap permanensi objek, yaitu kemampuan untuk menghadirkan

167 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 17-18 168 Howard Gardner, Frame of Mind, hal. 18 169 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal . 18

92

objek. Dalam tahap ini, perkembangan mental ditandai dengan kemajuan

pesat dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan

mengkoordinasikan sensasi melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan

fisik, bayi bukan saja menerima secara pasif rangsangan terhadap alat

inderanya, tetapi juga aktif meberikan respon terhadap rangsangan tersebut,

melalui gerak-gerak refleks.170

Selanjutnya pada usia 2-7 tahun, anak berada

pada tahap praoperational, pada tahap ini anak mulai mempresentasikan

dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar (simbol). Kata-kata dan

gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis

dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindak fisik.171

Sementara itu, menurut Piaget seperti yang dikutif oleh Gardner,

pada usia 7-11 tahun, anak berada pada tahap operasi konkrit (concrete

operational) dalam tahap ini anak mampu menalar tentang dunia objek,

nomor, waktu, ruang, hubungan sebab akibat dan kesukaan. Pencapaian

tahap akhir dari perkembangan kognisi anak menurut Piaget berada pada

masa awal remaja pada usia antara 11-15 tahun yaitu pada tahap operasi

formal (formal operational), pada masa ini anak mampu menalar tentang

dunia tidak hanya melalui tindakan atau simbol tunggal, tetapi juga dari

memahami implikasi yang didapat dari serangkaian masalah, berfikir

dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistik.172

170Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). h. 104 171 Desmita, Psikologi Perkembangan., hal. 47 172

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 18-19

93

Dalam tinjauan Gardner, teori perkembangan kognisi Piaget

memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari kelebihannya,

Piaget sudah melakukan eksperimen terhadap anak-anak dengan serius,

mengajukan permasalahan-permasalahan yang sangat penting dan

mengemukakan bukti-bukti dalam setiap fase perkembangan kognisi

mereka, menurutnya cakupan operasi yang luas terlihat dari struktur

organisasi yang utama. Misalnya, dalam pandangan Piaget, anak-anak yang

berada pada tahap opersional konkrit memiliki kemampuan untuk

menjalankan seluruh tugas yang ada hubungannya dengan konservasi angka,

sebab akibat, kuantitas, isi dan kesukaan karena mereka semua

menggunakan struktur mental inti yang sama. Diwaktu yang sama Piaget

menghindari bentuk pengetahun yang diingat atau membatasi kelompok

budaya tertentu.173

Dengan demikian, disadari atau tidak Piaget telah

memberikan gambaran yang sangat brilian tentang pertumbuhan intelektual

manusia yang dinilai sangat tinggi oleh ilmuwan dan tradisi filsafat.

Namun demikian, teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget,

menurut Gardner juga memiliki kelemahan, diantaranya : ketika Piaget

mengemukakan pandanagn yang mengagumkan tentang perkembangan,

ternyata hanya terbatas pada perkembangan Piaget yang secara relatif

kurang penting dalam terhadap orang-orang awam dan konteks non-Barat.

Gardner berpendapat bahwa baginya pola perkembangan kognitif Piaget

173 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 19

94

mungkin sangat baik bagi orang-orang yang normal yang menetap di

negara-negara industri, namun defisiensinya juga menjadi penting.174

Senada dengan Gardner, kritikan terhadap teori kognitip juga

datang dari Wadsworth sebagaimana yang dikutif Paul Suparno, pemikiran

Piaget tentang mengapa dan bagaimana perkembangan terjadi memang

jelas, tetapi bagaimana mekanisme-mekanisme itu masuk dalam proses

perekembangan tidak semuanya jelas, bahkan menurut Chapman masih

dalam Paul Suparno menyatakan bahwa urutan langkah-langkah

perkembangan kognitif Piaget sangat dipengaruhi oleh perbedaan kultur dan

sosial. Dinamisasi perkembangan kognitif akan berbeda karena adanya

perbedaan kultur. Misalnya, dalam kultur yang cenderung primitif dan non

industri, batasan-batasan sosial yang ketat cenderung memperlambat

pemikiran formal individu. Penilaian perkembangan pemikiran seseorang

berdasarkan kognisi dianggap kurang tepat dalam masyarakat seperti ini.

Oleh karena itu diperlukan pendekatan perkembangan yang lebih bersifat

sosiopsikologis dan penghargaan terhadap bentuk-bentuk non operatif

pengetahuan. Jadi teori perkembangan kognitif bukanlah sesuatu yang sudah

mantap dan tetap, teori tersebut belum komplit.175

c. Pendekatan pemrosesan informasi (the information processing approach)

Dinamisasi eksperimen dalam bidang neurosain dan neurologi

terus berkembang hingga akhir abad 20, dan nampaknya akan terus

174 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 20 175 Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, (Yogyakarta: Kanisius, 2007). hal. 128-

129

95

berkembang seiring dengan kemajuan sains itu sendiri. Jika tes kecerdasan

(intelligence) yang dipelopori Alfred Binet dan Theodore Simon merupakan

mode pengukuran kecerdasan empat puluh tahun yang lalu dan teori Piaget

tentang perkembangan kognisi manusia berkembang dua puluh tahun yang

lalu, maka ditahun berikutnya lahirlah bentuk studi baru tentang penyelidik

fikiran yang sering disebut dengan “psikologi pemrosesan informasi” atau

disebut juga “sains kognitif” yang sedang menikmati hegemoni diantara

para penyelidik fikiran. Psikolog pemrosesan informasi menggunakan

metode yang didapat dari para psikolog eksperimen selama satu abad

terakhir agar dapat menelusuri gugusan tugas-tugas yang digunakan oleh

Piaget dan teoritikus kognitif lainnya.

Para ahli psikolog pemrosesan informasi lebih suka

menggambarkan secara mendetil semua langkah-langkah terbaik yang

digunakan oleh anak dalam menerima informasi, daripada menggambarkan

dua atau tiga langkah dasar yang ditemukan pada usia-usia yang berbeda.

Faktanya, tujuan akhir psikologi pengolahan informasi adalah untuk

menggambarkan secara lebih mendalam dan teliti langkah-langkah

perbuatan individu yang bisa disimulasikan pada sebuah komputer.176

Proses pengolahan informasi dimulai sejak informasi tersebut diterima oleh

mata atau telinga dan hanya menyimpulkan ketika suatu jawaban

dikeluarkan oleh mulut atau tangan.

176

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 19

96

Teori pemrosesan informasi (information processing theory)

merupakan teori alternatif terhadap teori kognitif Piaget. Berbeda dengan

Piaget, para pakar psikologi pemrosesan informasi tidak menggambarkan

perkembangan dalam tahap-tahap atau serangkaian sub tahap tertentu.

Sebaliknya mereka lebih menekankan pentingnya proses-proses kognitif,

seperti persepsi, seleksi perhatian, memori dan strategi kognitif. Menurut

Zigler dan Stevenson sebagaimana yang dikutif oleh Desmita, teori

pemrosesan informasi setidaknya didasarkan pada tiga asumsi umum,

pertama, fikiran dipandang sebagai suatu sitem penyimpanan dan

pengembalian informasi. Kedua, individu-individu pemrosesan informasi

dari lingkungan, dan ketiga, terdapat keterbatasan pada kapasitas untuk

memproses informasi dari seorang individu.177

Berkenaan dengan teori pengolahan informasi, Seifert dan

Huffnung sebagaimana yang dikutif Desmita menyatakan bahwa model

pemrosesan informasi mempunyai beberapa komponen utama, yaitu

stimulus lingkungan, (input), sensory register (SR), short term memory

(STM), long term memory (LTM), dan respons (output). Menurut teori ini,

ketika seseorang mememecahkan masalah, pertama ia menerima informasi

dari lingkungan melalui inderanya, kemudian informasi yang diperoleh

disimpan dalam sensory register sebagai memori penyimpanan pertama.

Kemudian, memory yang mendapat perhatian khusus ditransfer ke short

term memory, memori penyimpanan kedua yang menyimpan informasi

177 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). hal. 49

97

dalam jumlah terbatas. Kemudian informasi bergerak ke long term memory,

memori penyimpan ketiga. Dalam long term memory ini, informasi dapat

disimpan secara lebih permanen.178

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, dapat dipahami bahwa teori

pemrosesan informasi lebih menekankan pada bagaimana individu

memproses informasi tentang dunia mereka bagaimana informasi masuk ke

dalam fikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan, dan

bagaimana informasi diambil kembali untuk melaksanakan aktivitas-

aktivitas yang kompleks seperti berfikir dan memecahkan masalah.

d. Pendekatan sistem simbol (the symbol system approach).

Dalam mengungkap pandangan awal tentang kecerdasan, Gardner

menjelaskan tentang pendekatan sistem simbol. Diabad ke-20, banyak

filusuf yang menunjukan minat dalam meneliti kapasitas simbol manusia.

Kemampuan manusia untuk menggunakan sarana simbol yang beragam

dalam menunjukan dan menyampaikan makna yang membedakan manusia

dari organisme lainnya. Penggunaan simbol merupakan kunci dari evolusi

sifat manusia, memberikan perkembangan menurut mitos, bahasa, seni,

sains; hal tersebut juga merupakan pusat dalam pencapaian kreatif tertinggi

manusia, yang memanfaatkan simbol manusia.179

Gardner mengungkapkan, dalam penelitiannya di Proyek Zero

Harvard dengan kolega-koleganya, mereka mencoba untuk menemukan

struktur yang baik tentang fakta-fakta perkembangan sistem simbol. Mereka

178 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). hal. 50 179 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 25

98

berusaha untuk tiba pada gagasan yang memuaskan tentang struktur dan

organisasi fungsi simbolik manusia berdasarkan informasi dari persfektif

psikologi perkembangan dan neuropsikologi. Akhirnya mereka nenemukan

berbagai jenis dasar tentang sistem simbol, yaitu kelompok-kelompok

sistem simbol yang tetap bersatu atau terpecah-pecah dan tatacara

merepresentasikan sistem syaraf manusia.

Menurut Gardner, hal paling penting dari sistem simbol adalah

definisi dan penggambaran yang saling terpisah. Terakhir, ada satu hal yang

bisa diambil dari pendekatan yang dilakukan oleh para ahli neuropsikologi

yang melihat pada kemampuan-kemampuan simbolik yang gagal menyatu

pada orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Untuk satu hal, dekatnya

fisik pada sistem syaraf tidak bisa menggambarkan mekanisme sistem

syaraf yang serupa. Perbedaan fungsi yang tinggi pada sistem syaraf boleh

jadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan korteks.180

3. Biological Foundation of Intelligence (fondasi bilologis kecerdasan)

Mengawali penjelasanya mengenai fondasi biologis kecerdasan,

Howard Gardner dalam frames of mind mengungkapkan:

A comprehensive science of life must account for the nature, as well as the

variety, of human intellectual competences. In view of the spectacular

progress of recent decades in such areas as biochemistry, genetics, and

neurophysiology, there is every reason to believe that yhe biological

sciences will eventually be able to offer a cogent account of these

intellectual phenomena. Indeed, it is high time that our understanding of

human intellec be informed by the findings that have accrued in the

biological sciences since the time of Franz Josep Gall. And yet, because

180

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 29

99

psychologists and biologists inhabit different environments, the task of

marshaling biology to explain human intelligence has barely begun.181

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penemuan-penemuan

serta pemikiran-pemikiran mengenai manusia sebagai makhluk biologis,

terutama penelitian tentang neurobiologis dan neurosains, dari masa kemasa

memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan penelitian dan

pembahasan mengenai kecerdasan manusia.

Manusia sebagai makhluk yang unik memiliki beberapa dimensi

dalam eksistensinya. Selain sebagai makhluk spiritual, yang memiliki hasrat

untuk bermakna dalam hidup, manusia juga berdimensi sebagai makhluk

biologis yang jaringan fisik dan psikisnya lebih sempurna dari makhluk

lainnya. Memahami apapun tentang aspek-aspek manusia, tidak mungkin

menghindari pembahasan manusia sebagai mahluk biologis.

Demikian pula halnya dengan pembahasan mengenai kecerdasan

manusia, pasti memiliki ikatan-ikatan biologis. Karena pada dasarnya manusia

adalah mahluk biologis.182

Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa teori yang

dominan dalam pembahasan tentang kecerdasan manusia adalah teori IQ yang

meyakini bahwa kecerdasan manusia itu bersifat bawaan dan tidak bisa diubah

dan dikembangkan. Menurut Agus Efendi ada dua isu yang akan muncul

apabila membahas tentang kecerdasan manusia, isu yang pertama adalah isu

tentang fleksibilitas perkembangan kecerdasan manusia, pembahasannya

181

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). Hal. 31 182

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence Atas

IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 95

100

berpusat pada sejauh mana potensi kecerdasan seseorang atau kelompok bisa

diintervensi dan sejauh mana efektivitas dan efisiensi dari intervensi tersebut.

Isu kedua menyangkut sejauh mana identitas atau sifat dasar kemampuan

intelektual manusia bisa berkembang.

Menurut Gardner, landasan biologis mengenai kecerdasan manusia

dapat dipelajari dari temuan-temuan genetis, terutama hasil penelitian tentang

komposisi DNA (desoxyribonucleic acid), RNA (ribonucleic acid), dan

interaksi istimewanya.183

Temuan-temuan genetis tersebut sesungguhnya juga

berangkat dari studi dibidang biologi. Selanjutnya menyangkut heretabilitas

(pewarisan) kecerdasan manusia, dilihat dari perspektip genetika terdapat dua

pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa heretabilitas kecerdasan itu

bisa sampai delapan puluh persen, dalam hal ini kecerdasan bisa diukur melalui

tes IQ. Dengan kata lain bahwa delapan puluh persen dari keragaman skor

kecerdasan itu bisa dijelaskan melalui latar belakang genetika. Pendapat kedua

menegaskan bahwa pewarisan genetis (heretability) kecerdasan itu tidak lebih

dari 30 persen atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan genetika.

Dalam buku Frames of Mind, Howard Gardner mengungkapkan

hubungan antara genetika dan kecerdasan manusia:

Our genetic heritage is so variegated that one can pustulate all kinds of

abilities and skills (as well as maladies and infirmities) that have not yet

emerged, or that we have not yet come to know about. Given genetic

engineering, count less other posibilities arise as well. An individual with

a claver imagination might well be able to anticipate some of these

possibilities. However, it is a far more prudent research strategy to

sample widely among human beings of diverse stock and to determine

which competences they have in fact achieved. Studies of remote and

183 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 29

101

isolated groups the prize of the geneticst prove extremely valuable for

psychologists as well. The broader the sampling of human beings, the

more likely that any list of the range of human intelligences wil be

comprehenshive adn accurate.184

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa banyaknya sampel yang

digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara genetik

dengan kecerdasan akan sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh

dan mempengaruhi kesimpulan akhir yang akan dikembangkan. Oleh karena

itu, perlu adanya penelitian yang lebih luas dan mendalam serta penggunaan

sampel yang lebih banyak untuk memahami hubungan antara genetik dengan

kecerdasan manusia, sehingga pengembangan penelitian persoalan tersebut

harus terus dilakukan sampai pada penemuan fakta yang lebih meyakinkan.

4. What Is an Intelligence? (apa itu kecerdasan)

Intelligence atau quotient adalah dua kata yang biasa digunakan

untuk kata kecerdasan. Kecerdasan atau dalam bahasa Inggris disebut dengan

intelligence, para ahli termasuk para psikolog, tidak sepakat dalam

mendefinisikan apa itu kecerdasan. Hal ini selain dikarenakan definisi

kecerdasan itu senantiasa mengalami perkembangan sejalan dengan

perkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-sains yang

berkaiatan dengan otak manusia, seperti neurologi atau neurosains, juga karena

penekanan kecerdasan itu sendiri sangat bergantung pada dua hal, yaitu:

pertama, pandangan dunia, filsafat manusia, dan filsafat ilmu yang

mendasarinya; Kedua, teori kecerdasan itu sendiri, seperti teori kecerdasan IQ

184 184 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic

Book, 2009). hal. 30

102

berbeda dengan teori kecerdasan EQ, SQ dan MI dalam mendefinisikan apa

itu kecerdasan.

Sebelum mengupas lebih dalam tentang apa itu kecerdasan dalam

perspektip Howard Gardner, ada baiknya kita mengkaji beberapa definisi

kecerdasan menurut para ahli, untuk lebih memperkaya wawasan tentang cara

pandang kita terhadap kecerdasan itu sendiri, dan untuk membandingkan yang

selanjutnya bisa dijadikan bahan untuk menganalisa konsep kecerdasan

perspektip Howard Gardner yang telah berhasil mendobrak pandangan

tardisional mengenai paradigma kecerdasan, yang selama ini dianggap hanya

berhubungan dengan kemampuan kognisi dan berhubungan dengan angka-

angka saja.

Terkait dengan pengertian kecerdasan, Piaget, sebagaimana dikutip

oleh Agus Efendi, mengatakan bahwa “Intelligences is what you use when you

don‟t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat

kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).185

Sedangkan kecerdasan, menurut Cattell sebagaimana yang dikutif

oleh Ansharullah, menyatakan bahwa “Intelligence is a composite or

combination of human traits, which includes a capacity for insight into

complex relationships, all of the processes involved in abstract thinking

adabtability in problem solving, and capacity to ac quire new capacity.”186

Kecerdasan merupakan kombinasi dari sifat-sifat manusia yang mencakup

kemampuan untuk memahami hubungan kompleks, semua proses yang

185 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelegencee

atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 83. 186 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 71-71

103

dilakukan terlibat dalam berfikir abstrak, kemampuan menyesuaikan diri

pemecahan masalah dan kemampuan untuk memperoleh kemampuan baru.

Kecerdasan merupakan suatu kemampuan manusia untuk memahami

hubungan kompleks yang bersumber dari dalam diri serta bersinergi dengan

lingkungan. Kegiatan ini meliputi semua proses berfikir abstrak, yaitu

kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan kemampuan baru,

oleh karena kecerdasan mecakup beberapa gabungan sifat atau potensi manusia

memungkinkan setiap pribadi cenderung memiliki kecerdasan lebih dari satu.

Sedangkan menurut Alfred Binet dan Theodore Simon, kecerdasan

terdiri dari tiga komponen: (1) kemampuan mengarahkan fikiran atau tindakan,

(2) kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,

dan (3) kemampuan mengkritik diri sendiri.187

Masih mengenai kecerdasan, Danah Zohar dan Ian Marshal,

sebagaimana yang dikutif oleh Agus Efendi menegaskan bahwa kecerdasan itu

beragam. Menurutnya ada tiga ragam kecerdasan, IQ (Intelligence Quotient),

EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Mengenai hal ini Danah

Zohar dan Ian Marshal menulis, “ada pengorganisasian syaraf yang

memungkinkan kita berfikir rasional logis dan taat asa. Ini disebut IQ. Jenis

yang lain memungkinkan kita berfikir asosiatif, yang terbentuk oleh kebiasaan

dan membuat kita mampu mengenali pola-pola emosi. Ini kita sebut EQ. Jenis

yang memungkinkan kita berfikir kreatif, berwawasan jauh, membuat dan

bahkan membuat aturan. Jenis pemikiran yang memungkinkan kita untuk

187

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 81

104

manata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran sebelumnya. Ini

disebut SQ.”188

Daniel Goleman sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi

mendefinisikann kecerdasan emosional dengan kemampuan megenali perasaan

diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,

dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

hubungannya dengan orang lain.

Definisi-definisi kecerdasan di atas hanya merupakan contoh

diantara banyak definisi, sesuai dengan banyaknya jenis-jenis kecerdasan. Para

psikolog terbukti tidak menyepakati definisi kecerdasan tersebut, tetapi konsep

kecerdasan EQ, SQ keduanya telah meninggalkan angka untuk mengukur

kecerdasan seseorang.

Dalam memahami mengenai apa itu kecerdasan, Howard Gardner

dalam bukunya Frames of Mind menjelaskan tiga hal terkait apa itu

kecerdasan, pertama prasyarat sebuah kecerdasan, kedua kriteria kecerdasan

dan yang ke tiga pembatasan konsep kecerdasan.

Mengawali pandangannya mengenai prasyarat kecerdasan, Gradner

menyatakan dalam bukunya frames Of Mind:

To my mind, a human intellectual competence must entail a set of skills

of problem solving enabling the individual to resolve genuine problems

or difficuties that he or she encounters and, when appropriate, to create

an efective product and must also entail the potential for finding or

creating problems thereby laying the groundwork for the acquisition of

new knowledge. These prerequisites refresent my efort to focus on those

intellectual strengths that prove of some importance within a cultural

context. At the same time, I recognize that the ideal of what is valued

188 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 82

105

will difer mrkedy, sometime even radically, across human cultures,

within the creation of new products or posing of new questions being of

relatively little importance in some settings.189

Dari penjelasan diatas dapat dipahami komptensi intelektual manusia

mencakup serangkaian keterampilan dalam memecahkan masalah,

menciptakan produk-produk yang efektif dan harus juga mencakup potensi

menemukan atau memecahkan masalah. Prasyarat merupakan sebuah cara

untuk menjamin bahwa kecerdasan manusia dengan sejati harus bermanfaat

dan penting, minimal dalam seting budaya tertentu.

Terlepas dari berbagai pengertian mengenai kecerdasan yang

disampaikan oleh para ahli baik psikologi maupaun neuroscince diatas,

Howard Gardner mendefinisiskan kecerdasan sebagai “the ability to solve

problems, or to fashion products, that are valued in one or more cultural or

community setting,”190

yaitu kemampuan untuk menyelesaikan masalah-

masalah, atau produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suatu atau

lebih latar budaya atau masyarakat tertentu. Suatu kecerdasan melibatkan

kemampuan untuk memecahkan masalah atau merancang produk yang

merupakan konsekuensi dari komunitas atau latar budaya tertentu. Keahlian

memecahkan masalah memungkinkan seseorang untuk mendeskripsikan suatu

situasi dimana sasarannya akan diperoleh dan menentukan rute yang memadai

menuju sasaran itu. Penciptaan produk kultur memungkinkan seseorang untuk

189 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

2009). hal. 29 190

Howard Gardner, Multiple Intelleginces, Theory dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003) hal.

7

106

menangkap dan menyampaikan pengetahuan atau mengungkapkan kesimpulan,

keyakinan, atau perasaan seseorang.191

Menurut Howard Gardner, Kecerdasan adalah kemampuan

komputasi, kemampuan untuk memproses jenis informasi tertentu yang berasal

dari faktor biologis dan psikologis manusia. Gardner percaya bahwa

kompetensi kognitif manusia akan lebih baik jika dideskripsikan dalam hal

rangkaian keahlian, bakat, atau kemampuan mental, yag disebut dengan

kecerdasan. Semua individu normal memiliki tiap keahlian tersebut hingga

tarap tertentu; setiap individu mempunyai perbedaan dalam tingkat keahlian

dan dalam sifat kombinasinya. Saya percaya bahwa teori kecerdasan ini

mungkin lebih manusiawi dan lebih faktual dibandingkan pandangan alternatif

tentang kecerdasan serta lebih memadai dalam mencerminkan data perilaku

“cerdas” manusia. Teori seperti itu memiliki implikasi pendidikan yang

penting. Manusia pada dasarnya memiliki kecerdasan-kecerdasan tertentu,

sedangkan binatang menampilkan jenis kemampuan komputasi tertentu.

Pandangan Gardner tentang kecerdasan hampir senada dengan yang

diungkapkan Cattell, yang memandang kecerdasan (intelligence) dari aspek

pemecahan masalah, berpadaptasi dan menciptakan lingkungan baru. Namun,

definisi Gardner tentang kecerdasan melibatkan dua aspek yaitu psikologi atau

jiwa dan fisik, sedangkan Cattell lebih cenderung pada faktor kejiwaan saja

dengan menggunakan terminologi kepribadian mausia (human traits).

191 Howard Gardner, Multiple Intelleginces, Theory dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003), hal.

19

107

Lebih lanjut Gardner menegaskan bahwa:

Althought we all receive these intelligences as part of our birthright no

two people have exacctly the same intelligences in the same

combinations. After all, intelligences arise from the combinations of a

persons‟s genetic heritage and life conditions in a given culture and

era.192

Howard Gardner berpendapat bahwa setiap individu memiliki

kecerdasan, hanya saja tingkat perkembangan dari masing-masing kecerdasan

berbeda pada satu individu dengan individu lainnya. Tidak akan pernah ada

dua orang memiliki kecerdasan yang sama, karena kecerdasan merupakan

kombinasi dari dua faktor yaitu keturunan (genetic) dengan faktor lingkungan

atau kondisi dan situasi dalam suatu budaya dan dalam suatu kurun waktu atau

era.

Menurut Howard Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Munif

Chatib dalam Orang Tuanya Manusia menyatakan bahwa anak-anak memiliki

variasi potensi kecerdasan masing-masing. Ada yang hanya satu kecerdasan

yang dominan, sedangkan yang lainnya rendah. Ada yang memiliki dua atau

tiga kecerdasan atau bahkan kecerdasannya dominan. Namun tidak ada

manusia bodoh, terutama jika stimulus yang diberikan lingkungan tepat.193

Sehingga dalam bukunya Frame of Mind, Howard Gardner

menyatakan bahwa kecerdasan anak kita sangat dipengaruhi oleh stimulus dari

lingkungannya. Stimulus tersebut akan membentuk pengalaman dalam otak

192

Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New Yorks, Basic

Book, 1999). hal. 41 193

Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai

Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 89

108

anak. Ternyata, ada dua jenis pengalaman yang berasal dari stimulus

lingkungan, yaitu:

1. Crystallizing experience. Pengalaman seseorang dari informasi yang

diterima sehingga memberikan kekuatan positif kepada dirinya.

Pengalaman-pengalaman tersebut berkaitan dengan pemberian apresiasi

atau motivasi untuk berhasil. Pengalaman positip itu akan mengkristal

dalam diri orang tersebut sehingga crystallizing experiences menjadi

pengalaman yang berfungsi sebagai pendorong munculnya kecerdasan

seseorang.

2. Paralizing experiences. Pengalaman seseorang dari informasi yang

mematikan semangat dan motivasinya dalam proses belajar. Pengalaman-

pengalaman negatif ini biasanya berhubungan dengan seseorang yang tidak

pernah mendapatkan apresiasi atas sesuatu yang sudah dia lakukan, juga

erat kaitannya dengan tekanan-tekanan psikologis yang berasal dari

keluarga atau lingkungan yang tidak mendukung proses belajar dan

kecerdasannya. Paralizing experiences ini merupakan pengalaman yang

menghambat munculnya kecerdasan seseorang.

Ternyata, dengan stimulus yang tepat, orang akan dapat

memunculkan kemampuannya. Maka tidak tepat jika pada kecerdasan

dilakukan pembatasan-pembatasan dalam memberikan makna pada

kemampuannya (delemiting the concept of an intelligence).194

194

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, (New York: Basic

Book, 2009). hal. 63

109

Selanjutnya menurut Thomas Armstrong sebagaimana yang dikutip

Munif Chatib, menjelaskan hal-hal penting multiple intelligence anak. Hal

penting tersebut adalah:

1. Semua kecerdasan itu sederajat meskipun masing-masing punya kriteria

yang berbeda. Tidak ada kecerdasan yang lebih baik atau lebih penting dari

pada yang lainnya.

2. Kecerdasan tersebut dinamis. Artinya, anak memiliki kemampuan

mengeksplorasi, menumbuhkan, dan mengembangkan kecerdasan tersebut.

3. Setiap anak dapat memiliki beberapa kecerdasan sekaligus.

4. Setiap kecerdasan punya banyak indikator. Contohnya kecerdasan

linguistik memiliki indikator kemampuan mendengar, berbicara, menulis

dan membaca.

5. Indikator kecerdasan yang berbeda-beda saling kerjasama hampir disetiap

aktivitas anak kita. Ketika anak punya kemampuan cerdas menggambar,

dengan sendirinya indikator kecerdasan kinestetis juga bekerja: gerakan

jemari-jemari sehingga menghasilkan lukisan yang indah.195

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

menurut Howard Gardner adalah suatu potensi biopsikologi untuk memproses

informasi yang dapat menempatkan diri didalam suatu budaya tertentu untuk

pemecahan masalah atau mencari jalan keluar dari suatu permasalahan dan

menciptakan pemikiran (produk) baru yang bernilai atau berguna di dalam

budaya tersebut.

195 Munif Chatib, Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai

Fitrah Setiap Anak, (Bandung: Kaifa Learning, 2012), hal. 91

110

Dengan demikian, kecerdasan tidak hanya terbatas pada fungsi

kognisi saja, namun harus mencakup fungsi otak dan penggunaan yang tepat

serta terintegrasi. Oleh itu kecerdasan harus didefinisikan sebagai fungsi otak

keseluruhan yang mencakup kognisi, emosi, intuisi dan indra tubuh.

Riset Gardner tentang Intelligences ini merupakan temuan tentang

potensi diri yang jauh lebih kompleks dari penemuan kecerdasan sebelumnya.

Sebaliknyapun temuan tentang kecerdasan pada era setelah Hoaward Gardner

umumnya juga bersumber pada multiple intelligences pesrpektip Howard

Gardner.

B. Macam-macam Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Gardner

mengemukakan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Teori tersebut

memandang bahwa pada dasarnya manusia memiliki banyak kecerdasan, dan

manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan sampai batas maksimal

kecerdasan-kecerdasan tersebut apabila berada pada lingkungan yang mendukung

dalam pengembangannya.

Pada awal hasil risetnya, Gardner mengemukakan tujuh kecerdasan

pada manusia yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, ke tujuh kecerdasan

tersebut ditulisnya dalam buku Frames of Mind. Kemudian, Gardner

menambahkan dua kecerdasan lain, yang ditulisnya dalam buku Intelligence

Reframed. Sembilan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik (linguistic

Intelligence), kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan matematis

111

logis (logical-matematical intelligence), kecerdasan visual/ruang spasial (spatial

intelligence), kecerdasan kinestetis badani (bodily kinesthetic intelligence),

kecerdasan antar pribadi (interpersonal intelligence), kecerdasan diri pribadi

(intrapersonal intelligence),196

kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) dan

kecerdasan eksistensial (existensial intelligence).197

Adapun deskripsi dari

sembilan kecerdasan menurut teori kecerdasan majemuk adalah sebagai berikut:

1. Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence)

Kecerdasan linguistik atau word smart merupakan kemampuan

menggunakan kata-kata secara efektif. Dalam kegiatan pembelajaran disekolah

menurut Thomas Amstrong kecerdasan linguisitik mencakup setidaknya dua

pertiga bagian dari interaksi belajar mengajar yang meliputi kegiatan membaca

dan menulis. Dalam kegiatan membaca dan menulis tersebut terdapat cakupan

luas kemampuan linguistik yaitu kemampuan mengeja, kosakata, dan tata

bahasa. Selain itu kecerdasan linguistik juga berkaitan dengan kemampuan

berbicara, seperti yang tampak pada orator, pelawak, penyiar radio, atau politisi

yang sering menggunakan kata-kata untuk manipulasi dan mempengaruhi

audiens.198

Menurut Howard Gardner sabagaimana yang dikutif oleh Agus Efendi

menyatakan bahwa kecerdasan linguistik antara lain ditunjukan oleh

sensitivitas terhadap fonologi, penguasaan sintaksis, pemahaman semantik dan

196

Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,

1983). hal. 73-276 197 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic

Books, 1999). hal. 48 198 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 9

112

pragmatik.199

Sedangkan menurut Julia Jasmine, kecerdasan linguistik berbeda

dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, kecerdasan linguistik merupakan

kecerdasan paling unik karena berkaitan dengan kehidupan setiap orang. Hal

ini dikarenakan, setiap orang mampu bertutur dan berkata-kata yang pada

dasarnya hal tersebut merupakan kecerdasan linguistik.200

Mengenai kecerdasan lingusitik, Gardner menyatakan bahwa:

Lingusitic Intelligence, invoves sensitivity to spoken and writen language, the

ability to learn languages, and the capacity to use language to accomplish

certain goals.201

Gardner dalam keterangan diatas menyatakan bahwa kecerdasan

berbahasa melibatkan kepekaan (sensitivity) terhadap penguasaan bahasa lisan

dan tulisan dan kesanggupan untuk menggunakan bahasa tersebut dalam

meraih tujuan tertentu.

Thomas Armstrong dalam bukunya sekolah para juara

mengungkapkan bahwa kecerdasan linguistik terdapat di daerah spesifik dari

otak, yaitu terletak pada lobus bagian depan khususnya di daerah Broca dan

Wernicke.202

Menurut Gardner daerah tersebut bertanggung jawab untuk

menghasilkan kalimat yang benar secara tata bahasa. Berdasarkan risetnya

terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak, Gardner menyatakan

bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata menjadi

199 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 141 200 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligence, (Bandung: Nuansa,

2007). hal. 16-18 201 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic

Books, 1999). hal. 42 202 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 12

113

kalimat, namun tetap dapat memahami kata-kata dan kalimat dengan cukup

baik.203

Menurut Gardner sebagaimana yang dikutif Thomas Armstrong, ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kecerdasan linguistik

bahwa ada banyak cara untuk mengungkapkan kecerdasan ini dalam kehidupan

anak. Bisa jadi anak sangat menikmati menulis puisi, namun tidak pandai

mengungkapkannya di depan kelas atau anak sangat pandai bercerita namun

kesulitan saat membaca.204

Oleh karena itu, memperhatikan arah

kecenderungan anak saat memperlihatkan kecerdasan linguistik mereka

sangatlah penting dalam mengembangkan kecerdasan tersebut.

Menurut Agus Efendi, contoh orang yang memiliki kecerdasan

linguistik diantaranya adalah jurnalis dan penulis hebat. Jennifer James,

mencontohkan Will Riger; Richard Leviton mencontohkan Herman Melville,

penulis novel Moby Dick; J.K. Rowling, penulis Harry Potter; para penyair

sufistik mencontohkan Jalaluddin Rumi, Sa‟di, dan Hafizh. Di Indonesia untuk

sekedar menunjukan contoh orang yang memiliki kecerdasan linguistik seperti

Soekarno, Gunawan Mohamad, Taufik Ismail, dan Emha Ainun Najib.205

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti dari

kecerdasan linguistik adalah kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna, fungsi,

kata dan kalimat, serta bahasa.

203 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice. (New York: Basic Book,

1993).hal. 42 204 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 25-26 205 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 142

114

2. Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence)

Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan Musikal (musical

intelligence), Hioward Gardner mengungkapkan kisah nyata dari seorang

pemusik Yehudi Menuhin sebagai ilustrasi. Gardner mengungkapkan sebagai

berikut:

Ketika Yehudi Menuhin berusia tiga tahun, orang tuanya membawanya

ke konser San Francisco Orchestra. Suara biola Louis Persinger begitu

mempesona anak kecil itu sehingga bersikukuh untuk mendapatkan

biola biola di hari ulang tahunnya dan meminta Louis Persinger

menjadi gurunya. Menuhin mendapatkan keduanya. Saat ia berusia

sepuluh tahun, Menuhin udah menjadi pemain biola internasional.

(menuhin, 1977).206

Dari ilustrasi yang diungkapkan Gardner di atas, menunjukan bahwa

kecerdasan yang dimiliki Yehudi Menuhin termanifestasi sendiri. Reaksi

kuatnya pada suara tertentu dan kepekaannya terhadap instrumen bahkan

sebelum ia menyentuh biola atau menerima pelatihan musik apapun,

menunjukan bahwa ia dipersiapkan secara biologios dipersiapkan dalam cara

tertentu untuk hidup dalam dunia musik. Lalu apakah kecerdasan musikal itu?

Dalam buku Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21

st, Howard Gardner menyatakan bahwa:

Musical Intelligence entails skills in the ferformance, composition and

appreciation of musical patterns.207

Gardner menjelaskan dalam keterangan di atas, bahwa kecerdasan

musik terkait dengan kepiawaian dalam menampilkan, mengarang, dan

menyususn, serta mengapresiasi pola musik. Selain itu menunurut Gardner

206 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(New York: Basic Book, 1993). hal. 21 207 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York:

Basic Books, 1999). hal. 42

115

sebagaimana dikutip Paul Suparno, kecerdasan musik adalah kemampuan

untuk mengembangkan, mengekpresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik

dan suara.208

Selain itu, menurut Ady W. Gunawan kecerdasan musik juga meliputi

kemampuan untuk mengamati, membedakan, mengarang, dan membentuk

bentuk-bentuk musik, kepekaan terhadap ritme, melodi, dan timbre dari musik

yang didengar.209

Menurut Gardner, musik memainkan peran yang sangat penting

sebagai pemersatu bahkan pada masyarakat zaman batu (Paleolitik). Bukti dari

berbagai budaya mendukung pendapat bahwa musik adalah bakat universal.

Study perkembangan pada bayi menunjukan bahwa ada kemampuan komputasi

“mentah” dalam usia dini. Notasi musik memberikan sistem simbol yang

flesibel dan bisa diakses. Bukti untuk mendukung interpretasi kemampuan

musikal sebagai kecerdasan berasal dari banyak sumber berbeda. Sehingga

menurut Gardner, meskipun keahlian musik tidak secara khusus dianggap

sebagai keahlian intelektual seperti matematika, keahlian ini memenuhi syarat

dalam kriteria kecerdasan. dengan semua definisinya, keahlian ini patut

dipertimbangkan; dan dengan melihat data, memasukan keahlian ini bisa

dibenarkan secara empiris.210

Bahkan menurut May Lwin, kecerdasan musik merupakan kecerdasan

pertama yang harus dikembangkan dari sudut pandang neurologis. Bahkan,

208 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

hal. 36 209 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated

Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 235 210 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur (New

York: Basic Book, 1993). hal. 22

116

dari semua bentuk kecerdasan, musik dan irama pada otak memiliki pengaruh

paling besar terhadap kesadaran. Kekuatan musik, irama, suara, dan getaran

mampu menggeser fikiran, memberi ilham pengabdian religius, meningkatkan

kebanggaan nasional, dan ,megungkapkan kasih atau rasa kehilangan dan duka

yang dalam untuk orang lain.211

Bahkan berkenaan dengan hal ini, Danah Zohar dan Ian Marshal

sebagaimana yang dikutip Agus Efendi, menyatakan bahwa penelitian Wright

juga menunjukan bahwa tabuhan ritmis dalam berbagai ritus spiritual dapat

mengaktifkan lobus temporal berikut area sistem limbik yang berkaitan

dengannya. Bahkan menurut keduanya, peningkatan dalam SQ pun menuntut

improvisasi musikal.212

Sehingga menurut Thomas Armstrong hal tersebut

dapat dipahami karena daerah temporal, khususnya temporal kanan merupakan

wilayah primer kecerdasan musik ditinjau dari sudut neurologis.213

Hal tersebut

diperoleh dari penelitianya terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan

otak.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas mengenai kecerdasan musikal

(Musical Intelligence) dapat disimpulkan bahwa kecerdasan musikal adalah

kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengembangkan,

mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.

211 May Lwin, How to Multiply Your Child‟s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai

Komponen Kecerdasan, (Yogyakarta: Indeks, 2008). hal. 137 212

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 148 213 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 13

117

3. Kecerdasan Matematis Logis (Logical-Matematical Intelligence)

Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan matematis logis,

Gardner memberikan sebuah ilustrasi dalam buku Multiple Intelligences: The

Theory in Practice sebagai berikut:

In 1983 Barbara McClintock won the Nobel prize in Medicine or

physiology for her work in microbiology. Her intellectual powers of

deducation and observation ilustrate one form of logical-mathematical

intelligence that is often labeled “scientific thinking”. One incident is

particulary illuminating. While a researcher at Cornell in the 1902s

McClintock was faced one day with a problem: while theory predicated 50

percent pollen sterility in corn, her research assistant (in the “field”) was

finding plants that were only 25 t0 30 percent sterile. Disturbed by this

decrepancy. McClintock left the corn field and returned to her office

where she sat for hal an hour, thinking:

Suddenly I jumped up and run back to the (corn) field. At the top

the field (the others were still at the bottom) I should “Eureka, I have it! I

know what the 30% sterility is “...Thes asked me to prove it. I sat down

with a paper bag and a pencil adn I started from scratch, wich I had not

done at all in my laboratory, it had all been done so fast; the answer came

and i run. Now I worked it uot step by step it was an intricate series of step

and I came out with (the same result). (They) looked at the material and it

was exactly as I‟d said it was: it worked out exactly as I had diagrammed

it. Now, why did I Know, without having done it on paper? Why was I so

sure? (Keller, 1983, p.104).214

214 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,

1993).hal. 25-26. Pada tahun 1983, Barbara McClintock memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran dan

Psykologi atas karyanya dalam mikrobiologi. Kekuatan kecerdasannya dalam pengambilan kesimpulan dan

observasi mengilustrasikan suatu bentuk kecerdasan logis matematis yang sering diberi label sebagai

“pemikiran ilmiah”. Ada suatu insiden yang paling cepat memberikan gamabarannya. Ketika MCClintock

menjadi peneliti di Cornell pada kurun waktu 1920-an, suatu hari McClintock dihadapkan pada suatu

masalah: ketika teori memprediksi 50 persen kesterilan serbuk sari pada jagung, asisten risetnya (di “ladang”

itu) menemukan tanaman yang hanya 25 hingga 30 persen steril. Terganggu oleh perbedaan ini, McClintock

meninggalkan ladang jagung dan kembali kekantornya, dimana ia duduk selama setengah juam, berfikir: tiba-

tiba aku melompat dan berlari lagi keladang (jagung). Di puncak ladang itu 9yang lain masih dibawah), aku

berteriak, “Eureka, aku dapat! Aku tahu sterilitas 30% itu!” ... Mereka memintaku untuk membutikannya, aku

duduk dengan kantong kertas serta pensil dan mulai mencoret-coretnya, yang belum pernak kulakukan sama

sekali di laboratoriumku. Semua dilakukan dengan begitu cepat: jawabannya datang dan aku berlari.

Sekarang aku melakukannya selangkah demi selangkah itu adalah rangkaian langkah yang rumit dan aku

sampai pada (hasil yang sama). (Mereka) melihat bahannya dan semuanya persis seperti yang kukatakan saat

itu; berhasil persis seperti yang telah aku diagramkan. Sekarang, mengapa aku bisa tahu, tanpa melakukan itu

diatas kertas? Mengapa aku begitu yakin? (keller, 1983, halaman 104)

118

Dari ilustrasi diatas, Gardner mengemukakan dua fakta penting

mengenai kecerdasan logis matematis. Pertama, dalam diri orang yang

berbakat, proses penyelesaian masalah berlangsung sangat cepat. Kedua,

penyelesaian masalah dapat disusun sebelum penyelesaiain itu di utarakan.215

Kedua fakta tersebut diketahui terdapat pada McClintock yang memiliki

kemampuan dalam menjawab persoalan mengenai sterilitas serbuk sari pada

jangung dan penyelesaian masalah yang dia susun sebelum dilakukanya dalam

penelitian dilaboratorium. Berdasarkan ilustrasi tersebut, timbul pertanyaan,

sebenarnya apa yang dimaksud dengan kecerdasan logis matematis?

Mengenai kecerdasan matematis logis, dalam buku Multiple

Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, Gardner menyatakan bahwa:

Logical-Mathematical Intelligence involves the capacity to analyze

problem logically, carry out mathematical operation, and investigates

issues scientifically.216

Dalam keterangan diatas, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan

matematis logis melibatkan kesanggupan (capacity) untuk menganalisis

problem secara logis, mengatasi problem matematika serta sanggup

menginvestigasi suatu permasalahan sesuai kaidah keilmiahan.

Menurut Howard Gardner, sebagaimana yang dikutip Paul Suparno,

kecerdasan matematis logis adalah kemampuan yang berkaiatan dengan

penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti yang dimiliki oleh

matematikus, saintis, programmer, dan logikus. Termasuk dalam kecerdasan

215 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,

1993).hal. 41 216 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic

Books, 1999). hal. 42

119

ini adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi dan

perhitungan.217

Orang yang kuat dalam kecerdasan matematis-logis biasanya

menonjol dalam tugas memikirkan sistem-sistem abstrak, seperti matematika

dan filsafat. Mereka mudah belajar berhitung, kalkulus, dan bermain dengan

angka. Pola pemikiran seperti itu, menurut Paul Suparno biasanya berfikir

induktif – deduktif. Dalam menghadapi berbagai masalah, orang yang memiliki

kecerdasan matematis logis cenderung untuk memilah masalah, mana yang

pokok dan yang tidak. Mereka dengan mudah membuat abstraksi dari berbagai

persoalan sehingga dapat fokus ke persoalan inti yang dihadapi dengan jelas.

Jalan fikirannya bernalar dan mudah mengembangkan pola kausalitas.

Pemikiran orang seperti ini ilmiah, berurutan. Silogismenya kuat sehingga

mudah dimengerti dan mudah mempelajari persoalan analitis.218

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan matematis-logis adalah kepekaan pada pola-pola logis atau numeris

dan kapasitas mencernanya, serta kemampuan mengolah alur pemikiran dan

kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, pola dan pemikiran

logis dan ilmiah.

4. Kecerdasan Visual/ruang Spasial (Spatial Intelligence)

Penjelasan mengenai kecerdasan Spasial diawali dengan ilustrasinya

dalam buku Multiple Intelligence teori dalam praktek, Howard Gardner

mengungkapkan:

217 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,

2004). hal. 29 218 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, hal. 29-30

120

Navigasi disekitar Kepulauan Caroline di Laut Selatan dilakukan oleh para

pelayar pribumi tanpa instrumen apapun. Posisi bintang, yang dilihat dari

berbagai pulau, pola cuaca dan warna air adalah penanda utama. Tiap

perjalanan dibagi ke dalam serangkaian segmen, dan navigator

mempelajari posisi bintang di setiap masing-masing segmen ini. Selama

perjalanan aktual, navigator membayangkan sebuah pulau sebagai

referensi sewaktu melewati bintang tertentu. Saat melakukan khayalan itu,

ia menghitung jumlah segmen yang terselesaikan, proporsi perjalanan

yang tersisa dan segala koreksi dalam arah yang diperlukan. Navigator

tidak bisa melihat kepulauan ketika ioa berlayar; sebaliknya ia memetakan

lokasi kepulauan tersebut dalam gambaran mental perjalanan itu. (lihat

Gldwin, 1970).219

Dari ilustrsi di atas, Gardner menyatakan bahwa pemecahan masalah

spasial (ruang) diperlukan untuk navigasi dan penggunaan sistem notasi peta.

Jenis pemecahan masalah spasial lain digunakan dalam memvisualisasikan

sebuah benda dari sudut yang berbeda dan dalam memainkan catur. Seni visual

juga menggunakan kecerdasan ini dalam penggunaan ruang.

Menurut Thomas Armstrong, kecerdasan spasial menekankan pada

pentingnya kekuatan persepsi yang terfokus untuk mengungkapkan apa yang

ada meskipun seolah tersembunyi bagi pengamat sambil lalu pada segala

sesuatu yang tampak. 220

Jadi apa sebenarnya kecerdasan spasial?

Kecerdasan spasial menurut Gardner, sebagaimana yang dikutip oleh

Agus Efendi, adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan

imagi-imagi, serta kemampuan adalam mentrasformasikan dunia visual-

spasial. Diantara ciri yang mengacu pada kecerdasan ini adalah keterampilan

menghasilkan imagi mental dan menciptakan representasi grafis, berfikir tiga

dimensi, dan mencipta ulang dunia visual. Diantara orang-orang yang memiliki

219 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur (New

York: Basic Book, 1993). hal. 27 220 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal. 38

121

keberdasan spasial adalah picasso, Van Gough, Raden Saleh Affandi dan apara

disainer dan arsitek.221

Ketika menjelaskan pusat kecerdasan spasial, Howard Gardner dalam

buku Multiple Intelligences: the Theory in Practice menjelaskan bahwa:

Central to Special intelligence are the capacities to perceive the visual

world accurately, to perform transformations and modifications upon

one‟s visual experience, even in the absence of relevant physical

stimuli.222

Gardner menegaskan sebagaimana yang dikutip oleh Agus Efendi,

bahwa kecerdasan spasial mencakup sejumlah kapasitas yang kurang

berhubungan; kemampuan mengenali contoh-contoh dari unsur yang sama;

kemampuan mentrasformasikan atau mengenali transformasi satu elemen ke

elemen yang lain; kemampuan untuk menyulap pencitraan mental, lantas

mentransformasikan pencitraan tersebut; kemampuan memproduksi kesukaan

grafis dari informasi spasial; dan seterusnya. Kecerdasan spasial dapat

diturunkan dalam sejumlah arena yang berbeda.223

Walaupun kecerdasan spasial mencakup sejumlah kapasitas yang

kurang berhubungan, namun kecerdasan ini penting untuk mengorientasikan

seseorang dalam lokal-lokal yang beragam, mulai dari lingkup yang sempit

seperti akmar sampai lingkup yang besar seperti para navigator kapal saat

berada di samudera. Dengan begitu, menurut Agus Efendi, Gardner

221 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 145 222 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,

1993).hal. 173. Pusat kecerdasan spasial adalah kemampuan mempersepsi dunia visual dengan akurat,

mentransformasi dan memodifikasi pengalaman visual seseorang, bahkan ketika tidak adarangsanganfisikal

yang relevan. 223

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 145-146

122

memaksudkan kecerdasan spasial merupakan kecerdasan yang dapat digunakan

untuk mengenali objek dan pemandangan dilingkungan aslinya.224

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan spasial adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan

imagi-imagi, serta kemampuan dalam mentrasformasikan dunia visual-spasial.

Diantara ciri kompetensi yang mengacu pada kecerdasan ini adalah

keterampilan menghasilkan imagi mental dan menciptakan representasi grafis,

berfikir tiga dimensi, dan mencipta ulang dunia visual.

5. Kecerdasan Kinestetis Badani (Bodily Kinesthetic Intelligence)

Pemaparan mengenai kecerdasan kinestetis badani (bodily kinesthetic

intelligence), Gardner mengawali penjelasannya dengan sebuah ilustrasi:

Fifteen-year-old Babe Ruth played third base. During one game his team‟s

pitcher was doing very poorly and babe loudly critised him from third

base. Brother Mathias, the coach, called out, “Ruth, if you know so much

abaout it, YOU pitch!” Babe was surprised and embrassed because he

never piched before, but Brother Babe Mathias insisted. Ruth Said later

that at the very moment he took the pitcher‟a mound, he KNEW he was

supposed to be a picher and that it was “natural” for him to strike people

out. Indeed, he went on to become a great major league pitcher (and, of

course, attained legendary status as a hitter) (Connor, 1982)225

Ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa seseorang yang

memiliki kecerdasan kinestetik badani adalah seseorang yang mampu

224 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 146 225 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,

1993).hal. 18. Terjemahan bebasnya: Babe Ruth yang berumur lima belas tahun berada ditempat aman (base)

ketiga. Dalam suatu permainan petugas pelempar timnya bermain amat buruk dan Babe dengan suara keras

melontarkan kritik kepadanya dari tempat aman ketiga. Kak Mathias, sang pelatih, berteriak, “Ruth, kalau

kamu memang menguasainya, KAMU jadi pelempar!” Babe terkejut dan malu karena dia belum pernah

melempar bola sebelumnya, tetapi Kak Mathias mendesak. Ruth berkata kemudian bahwa pada saat ia berdiri

di tempat pelempar, yang agak ditinggikan, dia MENGETAHUI dia seharusnya menjadi pelempar dan tugas

itu “alami” baginya untuk mengalahkan lawan. Memang benar, dia menjadi seorang pelempar liga utama

yang terkemuka (dan, tentu saja, memperoleh status legendaris sebagai pemukul bola atau hitter) (Connor,

1982)

123

mengenali instrumen yang berkaitan dengan gerak badan dengan segera saat

pertama kali bersinggungan dengan objek itu sebelum memperoleh pelatihan

formal.

Menurut Toni Buzan sebagaimana yang dikutip Agus Efendi,

kecerdasan tubuh adalah kemampuan memahami, mencintai dan memelihara

tubuh, dan membuatnya berfungsi seefisien mungkin bagi dirinya. Dengan kata

lain, kecerdasan tubuh adalah kecerdasan atletik dalam mengontrol tubuh

seseorang dengan sangat cermat. Oleh karena itu, ditegaskan oleh Buzan

bahwa jika kita memiliki kecerdasan fisik yang tinggi maka kita akan

memahami hubungan antara otak dan tubuh, men sana in corpore sano, pikiran

yang sehat terdapat dalam badan yang sehat. Sebaliknya, badan yang sehat

berada dalam pikiran yang sehat.226

Menurut Gardner, sebagaimana yang dikutif Agus Efendi adanya

bentuk kecerdasan kinestetik bisa kita saksikan dari adanya dua aktivitas

berbeda yang menonjol diantara perorangan, kelompok dan masyarakat.

Sebagai contoh, ada orang yang sangat reflektif dan ada orang yang sangat

aktif. Aktivitas nalar bagaimanapun berbeda dari aktivitas fisikal, meski

diantara keduanya pasti ada keterkaitan sebagaimana ditegaskan oleh para

psikolog bahwa antara penggunaan tubuh dengan penyebaran kekuatan-

kekuatan kognitif yang lain ada keterkaitan karena dalam gerak tubuh ada

peran otak.227

226 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 152 227 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 154

124

Dengan demikian, operasi sistem gerak tubuh pada manusia begitu

kompleks, dan memerlukan koordinasi ragam komponen saraf dengan fisik

dalam bentuk yang sangat sempurna dan terintegrasi satu dengan lainnya. Hal

tersebut sesuai dengan yang dikemukakan James, seperti yang dikutip Agus

Efendi, bahwa bentuk kecerdasan tubuh itu memungkinkan terjadinya

hubungan natara fikiran dan tubuh yang diperlukan agar berhasil dalam

berbagai aktivitas, seperti menari melakukan pantomin, berolah raga,

menguasai seni bela diri, dan memainkan drama.228

Sementara itu, Gardner sebagaimana yang dikutip Paul Suparno

menegaskan bahwa kecerdasan kinestetik-badani merupakan kemampuan

menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan

perasaan. Dalam hal ini termasuk keterampilan koordinasi dan flesibilitas

tubuh.229

Sehingga menurut Paul Suparno orang yang memiliki kecerdasan ini

akan dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka.

Apa yang mereka fikirkan dan rasakan, akan dengan mudah diekspresikan

dengan gerak tubuh atau ekspresi tubuh.230

Sedangkan menurut Thomas Armstrong, yang hampir 20 tahun

meneliti dan mengaplikasikan teori multiple intelligences ke dalam dunia kelas

menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani

yang sangat berkembang sering tidak bisa diam saat duduk makan, dan

biasanya selalu minta izin keluar untuk bermain. Mereka memproses

228 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 153 229 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,

2004). hal. 34 230 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, 35

125

pengetahuan melalui sensasi tubuh. Anak-anak dengan kecerdasan ini, bisa

berkomunikasi dengan sangat efektif melalui gerakan dan bentuk-bentuk

bahasa tubuh.231

Selanjutnya Mengenai hubungan kecerdasan kinestetik-badani dengan

kecerdasan lainnya, Gardner sebagaimana yang dikutip Agus Efendi

menyatakan kecerdasan tubuh menyempurnakan tiga kecerdasan yang

berhubungan dengan objek kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial,

dan kecerdasan tubuh.232

Menurut Agus Efendi, contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan

tubuh yang sangat bagus itu sering kita saksikan dalam arena olah raga, seperti

dalam olimpiade. Dalam arena itulah mereka mampu menunjukan ciri-ciri

istimewa yang terbedakan dari umum ketika berlaga. Para penari balet menari

begitu indah, para pemain basket dan bola begitu lincah memainkan bola di

lapangan, atau para atlet lainnya dengan sangat piawai memamerkan

kecerdasan tubuh (bodily intelligence) mereka. Semua itu hanya bisa terjadi

bukan saja karena mereka memiliki kekuatan dan keterampilan fisikal tapi juga

karena mereka memiliki kecerdasan kinestetik. Begitulah posisi kecerdasan

kinestetik.233

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan kinestetis badani (Bodily Kinesthetic Intelligence) adalah

kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan anggota tubuh

231 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). h. 29 232 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). h. 154 233 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 154

126

untuk segala kebutuhan hidup. Mampu mewujudkan ide atau gagasan melalui

gerak fisik, dan mampu menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk

mengekspresikan gagasan atau perasaan dalam sebuah bentuk tindakan.

6. Kecerdasan Antar Pribadi (Interpersonal Intelligence)

Penjelasan Howard Gardner tentang kecerdasan antar pribadi

(Interpersonal Intelligence) diawali dengan sebuah kisah nyata tentang

perjuangan seorang psikiater yang bernama Anne Sulivian yang mengajar

seorang tunanetra dan tuna rungu yang berusia tujuh tahun, usahanya dalam

mengajar diperumit dengan kesulitan emosional sang anak dengan dunia

disekitarnya yang menghambat komunikasi antara keduanya, anak tersebut

adalah Hellen Keller. Kisah tersebut bahkan telah diangkat menjadi sebuah

film. Ilustrasi tersebut ditulis Gardner dalam bukunya, Multiple Intelligences:

the Theory in Practice, kisah ini diawali pada saat makan bersama pertama

kali, pemandangan berikutpun terjadi:

Anne tidak mengizinkan Helen menaruh tangannya di piring Anne

dan mengambil yang Helen mau, seperti yang biasa Helen lakukan di

keluarganya. Hal itu menjadi tes kemauan dorongan tangan ke piring,

tangannya dengan kuat diletakan di pinggir piring. Keluarga Helen, yang

sangat kecewa, meninggalkan ruang makan. Anne mengunci pintu dan

meneruskan makan pagi sedangkan Helen berbaring dilantai menendang-

nendang dan menjerit, mendorong dan menarik-narik kursi Anne. (Setelah

setengah jam) Helen mengitari meja mencari keluarganya. Helen tak

menemukan seorang pun di sana dan itu membuatnya bingung. Akhirnya,

Helen duduk dan mulai makan pagi, tapi dengan tangannya. Anne

memberinya sendok. Sendok jatuh lagi dan lagi ke bawah lantai dan kontes

kemauan pun memulai babak barunya (Lash, 1980, halaman 52)

Anne Sullivan dengan sensitif merespon perilaku sang anak. Ia

menulis kerumahnya: “Masalah terbesar yang harus saya pecahkan adalah

bagaimana mendisiplinkan dan mengendalikannya tanpa merusak

semangatnya. Saya akan bergerak pelan dulu dan berusaha mendapatkan

cintanya”. Jelas “keajaiban” pertama terjadi dua minggu sesudahnya, tepat

sebelum insiden yang terkenal di gardu irigasi itu Anne membawa Helen

127

kesebuah pondok kecil di dekat rumah keluarga itu, tempat mereka bisa

tinggal berdua saja. Setelah tujuh hari bersama, kepribadian Helen tiba-

tiba mengalami perubahan terapi itu berhasil: “Hati saya bernyanyi

gembira pagi ini. Keajaiban telah terjadi. Makhluk kecil liar dua pekan lalu

itu telah di transformasikan menjadi seorang anak yang lembut” (Lash,

1980, halaman 54).234

Dari kisah di atas Gardner menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan

mengenai perubahan yang terjadi pada Hellen Keller adalah terletak pada

pemahaman Anne Sulivan terhadap kondisi pribadi Hellen. Hal ini

menggambarkan kemampuan Anne dalam memahami pribadi Helen tidak

bergantung pada bahasa, namun bergantung pada kecerdasan interpersonal

yang dimiliki Anne.

Menurut Gardner, kecerdasan interpersonal berkembang pada

kapasitas inti untuk memperhatikan perbedaan diantara orang lain siklus hidup,

perbedaan suasana hati, temperamen, motivasi dan niat mereka. Dalam bentuk

yang lebih lanjut, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa yang terlatih

untuk membaca niat dan hasrat orang lain. Bahkan ketika semua itu

tersembunyi.235

Selain kemampuan untuk memperhatikan perbedaan diantara orang

lain siklus hidup, perbedaan suasana hati, temperamen, motivasi dan niat orang

lain, kecerdasan interpersonal menurut Adi W. Gunawan, seseorang mampu

mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood, perilaku, motivasi dan

234

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 28-29 235 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, hal. 29

128

perhatian orang lain.236

Kecerdasan ini menurut Agus Efendi banyak dimiliki

oleh para manajer, konselor, terapis, politikus, mediator, dan spesialais

hubungan manusia. Mereka yang memiliki kecerdasan ini, biasanya memiliki

keterampilan intuitif yang kuat. Mereka pintar membaca suasana hati,

temperamen, motivasi, dan maksud orang lain.237

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan antar

pribadi (Interpersonal Intelligence) merupakan kemampuan untuk mengerti

dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang

lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara serta isyarat orang lain.

7. Kecerdasan Diri Pribadi (Intrapersonal Intelligence)

Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan diri pribadi

(intrapersonal intelligence), Howard Gardner mengutif sebuah esai yang

berjudul A Sketch of the Past (Sketsa Masa Lalu) karya Virginia Woolf, yang

ditulis hampir seperti catatan buku harian:

Ada tiga contoh momen yang luar biasa. Saya sering membicarakannya,

atau muncul kepermukaan secara tak terduga. Tapi sekarang untuk kali

pertama saya menuliskannya, saya menyadari sesuatu yang belum pernah

saya sadari sebelumnya. Dua dari momen ini berakhir dalam kondisi

keputusasaan. Lainnya berakhir, sebaliknya, dalam kondisi

kepuasan...Rasa ngeri (ketika mendengar kejadian bunuh diri) membuat

saya tak berdaya. Tapi dalam hal hubungan, saya menemukan sebuah

alasan; sehingga sanggup menguasai sensasinya. Saya tidak tanpa daya...

Meskipun saya mengalami keganjilan yang saya dapatkan dari

goncangan mendadak ini, semua itu sekarang selalu baik-baik saja;

setelah kejutan pertama, saya selalu merasakan dengan cepat bahwa

semua itu sangat bernilai. Maka saya terus saja menganggap bahwa

kapasitas menerima goncangan itu adalah hal yang membuat saya

menjadi seorang penulis. Saya menanggung resiko menjelaskan bahwa

236

Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated

Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 237 237 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 156

129

suatu goncangan dalam kasus saya sekaligus diikuti oleh hasrat

menerangkannya. Saya merasa telah mengalami tamparan; tapi tidak,

seperti yang saya fikir ketika masih kecil, hanya tamparan dari seorang

musuh yang tersembunyi dibalik „kapas‟ kehidupan sehari-hari; hal ini

memang atau akan menjadi kejutan tersendiri; ini merupakan pertanda

suatu yang riil dibalik penampakannya; dan saya mewujudkannya dengan

menuangkan ke dalam kata-kata (Woolf, 1976, halaman 69-70).238

Dalam kisah tersebut Virginia Woolf mendiskusikan tentang

“keberadaan kapas mentah” dan berbagai kejadian hidup yang biasa terjadi.

Woolf membandingkan kisah keberadaan kapas mentah dengan ingatan

spesifik dan emosional dari masa kecilnya yang berkesan sangat mendalam

terkait tiga hal, yaitu pertengkaran dengan saudara kecilnya, melihat bunga

tertentu di taman dan mendengar bunuh dirinya seorang tamu dimasa lalu.

Kisah tersebut menjelaskan tentang kesadaran seseorang akan

kemampuan dirinya setelah mengalami suatu peristiwa luar biasa yang

menimbulkan ketakuatan dan keterkejutan. Namun kesadaran akan

kemampuan dan potensi yang dimiliki akhirnya menjadikan orang tersebut

memiliki kepercayaan diri yang kuat, tidak takut menghadapi tantangan bahkan

mampu mengembangkan kemampuannya dengan optimal. Kisah tersebut

menginspirasi pada semua orang tentang bagaimana cara mengelola masalah

yang dianggap buruk, karena dari masalah itulah dia belajar dan semakin

mampu mengenali kemampuan dan kekuatan diriinya sendiri.

Dari ilustrasi di atas, Howard Gardner menjelaskan sebagaimana yang

dikutip oleh Agus Efendi, bahwa kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan

seseorang dalam mendeteksi dan mensimbolisasi serangkaian perasaan yang

238

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 30-31

130

kompleks dan terbedakan.239

Orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi

dalam bidang ini adalah orang yang mengetahui kelebihan dan kelemahan diri

serta mampu menjadi dirinya yang sejati. Diri sejati menurut James Masterson

sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong, memiliki sejumlah komponen,

anatara lain:

1. Kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam dengan

gairah, semangat, dan spontanitas.

2. Kemampuan bersikap tegas.

3. Pengakuan terhadap harga diri.

4. Kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri.

5. Mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat

dalam pekerjaan maupun relasi.

6. Kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat.

7. Kemampuan untuk menyendiri.

8. Mampu bertahan menghadai ruang dan waktu.240

Sedangkan menurut Paul Suparno kecerdasan intrapersonal adalah

kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan

kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri

tersebut. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kemampuan berrefleksi

dan berkeseimbangan diri, memiliki kesadaran tinggi akan gagasan-

gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi,

239

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 156 240 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal. 118-

119

131

sadar akan tujuan hidupnya, bisa mengatur perasaan serta emosi dirinya

sendiri.241

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan diri pribadi (intrapersonal ntelligence) adalah kemampuan

yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan

untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu.

8. Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence)

Kecerdasan naturalis (naturalis intelligence) merupakan kecerdasan

yang baru teridentifikasi dalam penelitian Howard Gardner. Menurut Gardner

bukti untuk eksistensi kecerdasan naturalis ternyata meyakinkan, setelah ia

meneliti ahli-ahli dalam dunia biologi seperti Charles Darwin dan E.O. Wilson

dan ahli ornitologi seperti John James Audubon dan Roger Tory Peterson

berhasil mengidentifikasi dan membandingkan suatu spesies dengan spesies

lainnya.

Kecerdasan naturalis menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Paul

Suparno, adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna

dengan baik, dapat membuat distingsi monsekuensial lain dalam alam natural;

kemampuan untuk memahami dan menikmati alam serta menggunakan

kemampuan tersebut secara produktif dalam bertani, berburu dan

mengembangkan pengetahuan alam lainnya.242

Menurut Gardner orang yang memiliki tingkat kecerdasan naturalis

yang tinggi amat sadar akan bagaimana membedakan tanaman, hewan,

241 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,

2004). hal. 39 242 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, hal 42

132

pegunungan, atau konfigurasi awan yang berbeda dalam ceruk ekologis

mereka. Kapasitas kecerdasan ini tidak selalu berkaitan dengan faktor fisual;

mengenali nyayian burung tertentu atau teriakan ikan paus memerlukan

persepsi pendengaran. Sebagai contoh misalnya naturalis asal Belanda, Germat

Vermij, yang seorang tunanetra, bergantung pada indra sentuhnya.243

Disisi lain, Thomas Armstrong seorang pakar pendidikan anak

mengatakan bahwa, anak yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi lebih

suka berada atau berjalan-jalan di alam terbuka, ke kebun binatang atau

musium sejarah, akrab dengan hewan peliharaan, menunjukan kepekan

terhadap bentuk-bentuk alam (misalnya gunung, awan, sepatu kanvas, sampul

CD, model mobil), suka berkebun atau berada didekat kebun, menghabiskan

waktu dekat akuarium, tetarium, atau sistem kehidupan alam lain,

memperlihatkan kesadaran ekologi (misalnya, melalui daur ulang dan

pelayanan masyarakat), yakin bahwa binatang juga punya hak sendiri, suka

mencatat fenomena yang alam yang melibatkan hewan, tanaman dan hal-hal

sejenis, membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lain

untuk diperlihatkan kepada anggota keluarga yang lain, atau memperlihatkan

pemahaman yang mendalam di sekolah dalam topik-topik yang melibatkan

sitem kehidupan.244

Selanjutnya, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Thomas

Armstrong kecerdasan naturalis ini tidak hanya biasa berkembang pada oarang-

243 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 33 244 Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan

Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). hal. 36-37

133

orang yang dekat pada flora dan fauna saja, namun orang yang jauh dari flora

dan fauna, seperti orang-orang yang hidup di kota, juga bisa mengembangkan

kecerdasan naturalisnya, karena kecerdasan naturalis itu tidak hanya sekedar

kemampuan untuk memahami flora dan fauna saja, tetapi bisa berupa

kemampuan untuk membedakan jenis benda-benda yang dikota, sperti jenis

sampul CD, sepatu karet, atau mobil.245

Senada dengan pernyataan Gardner,

Adi W, Gunawan menyatakan bahwa kecerdasan naturalis saat ini tidak hanya

sebatas mengenali alam, namun juga mampu membedakan, menggolongkan,

dan membuat kategori terhadap apa yang di jumpai di alam maupun di

lingkungan, termasuk kemampuan untuk membedakan benda buatan manusia,

seperti mobil, sepatu, pesawat, dan perhiasan.246

Menurut Paul Suparno, orang yang memiliki kecerdasan naturalis

yang tinggi yaitu orang yang mampu hidup di luar rumah, dapat berteman dan

berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan klasifikasi

tanaman dan binatang. Orang seperti ini biasanya memiliki kemampuan untuk

mengenal sifat dan tingkah laku binatang, mencintai lingkungan, dan tidak

suka merusak lingkungan hidup.247

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) adalah kemampuan untuk

mengerti flora fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensi lain

245 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal.215 246 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated

Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 237 247 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,

2004). hal. 42

134

dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan menikmati alam, dan

menggunakan kemampuan tersebut secara produktif.

9. Kecerdasan Eksistensial (Existensial Intelligence)

Kecerdasan eksistensial (existensial intelligence), sama halnya dengan

kecerdasan naturalis (naturalis intelligence) merupakan kecerdasan yang baru

teridentifikasi dalam penelitian Howard Gardner. Kecerdasan eksistensial

menurut Gardner merupakan suatu aspek dari spiritual menjadi kandidat yang

menjanjikan bagi sebuah kecerdasan.248

Meskipun kajiannya atas bukti tentang

spiritualitas kurang lugas. Ini diungkapkannya dalam buku Multiple

Intelligences: Teori dalam Praktek:

Orang-orang memliki pandangan yang amat kuat tentang agama

dan spiritualitas. Bagi banyak orang (khususnya di Amerika Serikat saat

ini), pengalaman jiwa adalah hal yang tepenting; dan banyak yang

mengasumsikan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya eksis tetapi benar-

benar mewakili prestasi tertinggi manusia. Lainnya, khususnya yang

memiliki kecenderungan ilmiah, tidak bisa serius menanggapi pembahasan

jiwa atau roh: hal itu menolak hal-hal yang berbau mistik. Dan mereka

mungkin amat sketpis tentang Tuhan dan agama khususnya di sekolah.

Saya menyimpulkan bahwa setidaknya dua aspek spiritualitas agak

jauh dari konsepsi saya tentang kecerdasan. pertama, saya tidak percaya

bahwa kecerdasan seharusnya dikacaukan dengan pengalaman

fenomenologis seorang individu. Bagi sebagian besar pengamat,

spiritualitas mengakibatkan set reaksi intuitif tertentu-misalnya, perasaan

bahwa seseorang berhubungan dengan suatu makhluk yang lebih tinggi

atau “menyatu” dengan dunia. Perasaan seperti ini mungkin baik, tapi saya

tidak melihatnya sebagai indikator yang valid dari sebuah kecerdasan.

Kedua, bagi banyak individu, spiritualitas itu tidak bisa dipisahkan

dari kepercayaan pada agama dan Tuhan secara umum, atau bahkan dari

komitmen pada iman atau sekte tertentu: “Hanya

Yahudi/Katolik/Muslim/Protestan sejati yang merupakan makhluk

spiritual” adalah pesan ekspilit atau implisitnya. Syarat ini membuat

membuat saya tidak nyaman dan membawa kita jauh dari set kriteria awal

untuk kecerdasan.

248

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 34-35

135

Dari pernyataan di atas jelas penolakan Gardner terhadap adanya

kecerdasan spiritual. Dengan berbagai pertimbangan dan argumennya. Tetapi

di lain pihak, Gardner menyatakan bahwa meskipun kecerdasan spiritual tidak

memenuhi syarat untuk kriteria yang ditetapkannya, suatu aspek terlihat

menjadi kandidat yang menjanjikan. Howard Gardner menyebutnya kecerdasan

eksistensial yang kadang dideskripsikan sebagai “kecerdasan yang

membingungkan”.249

Gardner menyatakan bahwa kecerdasan eksistensial didasarkan pada

kecenderungan manusia untuk merenungkan pertanyaan yang paling

fundamental tentang keberadaan. Mengapa kita hidup? Mengapa kita mati?

Dari mana kita datang? Apa yang akan terjadi pada kita? Apakah cinta itu?

Mengapa kita berperang? Saya kadang bertkata inilah pertanyaan-pertanyaan

yang melebihi persepsi; semua berhubungan dengan persoalan-persoalan yang

terlalu besar atau terlalu kecil untuk dirasakan oleh lima sistem indra utama

kita.250

Menurut Gardner kecerdasan eksistensial memang masuk akal

dalam hal kriteria kecerdasan. Ia mencontohkan para filusuf, pemimpin agama,

negarawan sebagai perwujudan kelas atas dari kecerdasan eksistensial.

Kecerdasan eksistensial merupakan kemampuan untuk menempatkan

diri sendiri dengan memperhatikan capaian-capaian terjauh dalam kosmos

249

Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur

(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 35 250 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, hal 35

136

(yang tak terbatas dan yang sangat tak terukur).251

Kecerdasan eksistensial

menyangkut kemampuan dan kepekaan seseorang untuk menjawab persoalan-

persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Kecerdasan ini sering

disebut dengan kecerdasan spiritual. Sifat kecerdasan ini selalu mencari

koneksi antar kebutuhan untuk belajar dengan kemampuan dan menciptakakan

kesadaran akan kehidupan setelah kematian.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti

kecerdasan eksistensial (existensial intelligence) adalah kepekaan atau

kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi manusia

dan alam semesta.

Kesembilan kecerdasan tersebut tidak semata-mata diklasifikasikan

tanpa adanya dasar yang jelas melainkan melalui riset yang panjang. Menurut

Armstrong sebagai mana dikutip oleh Paul Suparno, pengklasifikasian

kesembilan kecerdasan tersebut berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu

sehingga dapat disebut dengan kecerdasan bukan hanya bakat, kemampuan,

atau keterampilan semata. Dasar teoritis dalam pengklasifikasian kecerdasan

adalah:

1. Isolasi potensi oleh kerusakan otak.

2. Keberadaan orang-orang yang berbakat, genius, dan individu yang luar

biasa lainya.

251 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda

Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal.218

137

3. Sejarah perkembangan yang khas dan serangkaian prestasi (performance)

yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai ahli, yang dapat

didefinisikan dengan baik.

4. Sebuah sejarah evolusi dan kemasuk akalan evolusi.

5. Dukungan dari temuan-temuan psikometrik.

6. Dukungan dari tugas-tugas psikologi yang bersifat eksperimental.

7. Sebuah definisi inti yang dapat diidentifikasi atau serangkaian operasi.

8. Kepekaan dan kerentanan terhadap pengkodean dalam sebuah sistem

simbol.252

Terlepas dari pengertian berbagai macam kecerdasan dalam Multiple

intelligence dan dasar-dasar teoritis yang membangun konsep multi kecerdasan

yang perlu diingat adalah semua anak memiliki kesembilan kecerdasan

tersebut, namun tiap-tiap anak memiliki porsi yang berbeda pada tiap-tiap

kecerdasan sehingga munculah beberapa anak yang menonjol pada salah satu

kecerdasan tertentu. Kategorisasi kecerdasan digunakan untuk membantu

dalam bentuk representasi mental.

Dari penjelasan Howard Gardner mengenai kecerdasan majemuk dari

mulai ide awal munculnya sampai dengan macam-macam kecerdasan dapat

disimpulkan seperti yang dikatakan oleh Dr. Sternberg sebagaimana yang

dikutip oleh Agus Efendi, “Tes sesungguhnya bukan pada seberapa banyak

kecerdasan yang Anda miliki dalam otak Anda. Akan tetapi bagaimana Anda

252 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,

2004). hal. 23

138

menggunakan kecerdasan yang harus Anda buat menjadi dunia yang lebih baik

bagi diri Anda sendiri, dan orang lain”.253

Senada dengan pandangan Sternberg diatas, John Holt seperti yang

dikutip Agus Efendi menyatakan bahwa kecerdasan bukanlah yang Anda

miliki. Kecerdasan lebih merupakan sesuatu yang anda gunakan. “Kita tidak

harus mencerdaskan manusia. Mereka sudah dilahirkan dengan cerdas. Yang

harus kita lakukan adalah menghentikan hal-hal yang membuat mereka

bodoh.”254

C. Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) dalam Perspektif

Pendidikan Islam

1. Kecerdasan dalam Pandangan Islam

Kecerdasan merupakan salah satu anugrah besar dari Allah SWT dan

menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan

mahluk lainnya. Dengan kecerdasan, manusia dapat terus menerus

mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin

kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Dan

dengan kecerdasan Allah SWT menjadikan manusia sebagai mahluknya yang

mempunyai bentuk dan susunan struktur tubuh yang paling sempurna

dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain baik dari segi fisik maupun

psikis. Allah SWT menegaskan dalam Al-Quran Surat At-Tin ayat 4:

253 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence

Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 160 254Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 161

139

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya.” (Al-Quran, Surat At-Tin: 4)255

Kecerdasan (intelligence) merupakan salah satu dari beberapa gejala

kejiwaan yang sulit dipahami. Padahal sudah tidak diragukan lagi, bagaimana

perannya dalam berbagai kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan dan

pengajaran. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, kecerdasan merupakan

salah satu masalah pokok, karena itu tidak mengherankan kalau masalah itu

banyak dikupas oleh peneliti secara khusus.

Kecerdasan (intelligence/adz-dzaka) menurut arti bahasa adalah

pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu, dalam arti kemampuan

dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Begitu cepat

penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina menyebut kecerdasan sebagai

kekuatan intuitif.256

Pada mulanya kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan strukur

akal dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan

dengan aspek-aspek kognitif. Namun pada perkembangan selanjutnya, disadari

bahwa kehidupan manusia bukan hanya semata-mata memenuhi struktur akal,

melainkan terdapat struktur Qalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk

membuat aspek-aspek afektif seperti kehidupan emosional, moral, spiritual dan

255 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Dipenogoro, 2005), hal. 478 256

Abdul Mujib dan Jusuf Muzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), hal. 317

140

agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam

seiring dengan kemampuan dan potensi yang ada di dalam dirinya.257

Pada dasarnya, setiap manusia terlahir dengan potensi inteligensinya

masing-masing sebagai anugerah Allah. Persoalannya, justru terletak pada

bagaimana cara mengembangkan potensi inteligensi yang beragam tersebut,258

karena inteligensi telah ada dan mengakar dalam saraf manusia, terutama

dalam otak yang merupakan pusat seluruh aktivitas manusia. Konsep Islam

mengenai inteligensi, telah secara jelas disebutkan dalam surat al-Isra‟ ayat 70.

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,

Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari

yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna

atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”259

(Al-Quaran, Surat al-

Isra [17]: 70).

Ayat ini mengindikasikan adanya potensi superiority dalam diri setiap

manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, potensi tersebut salah

satunya adalah kecerdasan. Dengan inteligensinya, manusia dapat

mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks

melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus, melalui pendidikan.

257 Abdul Mujib dan Jusuf Muzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), hal. 317 258 Arief Rachman, “Genius Learning Strategy” dalam Adi W. Gunawan, Genius Learning

Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2006), hal. xiii. 259 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 289

141

Mengupas kecerdasan dalam perspektip Islam, tentunya tidak akan

terlepas dari sumber hukum Islam yaitu Al-Quran sebagai sumber literasi

utama Islam. Dalam literatur Islam, ada beberapa kata yang apabila ditinjau

dari pengertian etimologi memiliki makna yang sama atau dekat dengan

kecerdasan antara laian:

1. Al-fathânah atau al-fithnah, yang artinya cerdas, juga memiliki makna sama

dengan al-fahm (paham) lawan dari al-ghabawah (bodoh).260

2. d -d aka ‟ yang berarti hiddah al-fuâd wa sur‟ah al-fithnah (tajamnya

pemahaman hati dan cepat paham).261

Ibn Hilal al-Askari membedakan

antara al-fithnah dan ad -d aka ‟, bahwa ad -d aka ‟ adalah tamam al-

fithnah.262

(kecedasan yang sempurna).

3. Al-hadzaqah, di dalam kamus Lisan al-„Arab, al-hadzaqah diberi ma‟na al-

Maharah fi kull „amal (mahir dalam segala pekerjaan)263

4. An-Nubl dan an-Najabah, menurut Ibn Mandzur an-Nubl artinya sama

dengan ad -d aka ‟ dan an-naja bah ya‟ni cerdas.264

5. n- aja bah, berarti cerdas.

6. Al-Kayyis, memiliki ma‟na sama dengan al-„aqil (cerdas).Rasulullah saw.

Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis,

sebagaimana dalam hadits berikut :

260 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.

1, Juz 13, hal. 323 261 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, hal. 287 262 Abu Hilal al-Askari, Mu‟jam al-Furuq al-Lughawiyah, (al-Maktabah asy-Syamsiyah), juz 1, hal.

166 263 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.

1, Juz 13, hal. 40 264 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, hal. 640

142

س مه دان وفسه انكي» قال -صهى الله عهيه وسهم-عه شداد به أوس عه انىبى

)زواي التسمر( وعمم نما بعد انموت

Dari Syaddad Ibn Aus, dari Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas

adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan

sesudah mati (H.R. At-Tirmidzi)”.265

Apabila kita meneliti ayat-ayat Al-Quran, kata-kata yang memiliki arti

kecerdasan, sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut di atas, yaitu al-

Fathânah, ad -d aka ‟, al-had aqah, an-nubl, an-naja bah, dan al-kayyis

tidak digunakan oleh Al-Quran. Definisi Kecerdasan secara jelas juga tidak

ditemukan, tetapi melalui kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur‟an dapat

disimpulkan makna kecerdasan. Kata yang banyak digunakan oleh Al-Quran

adalah kata yang memiliki makna yang dekat dengan kecerdasan, seperti kata

yang seasal dengan kata al-„aql, al-lubb, al-fikr, al-Bashar, al-nuha, al-fiqh, al-

fikr, al-nazhar, al-tadabbur, dan al-dzikr. Kata-kata tersebut banyak digunakan

di dalam Al-Quran dalam bentuk kata kerja, seperti kata ta‟qilu n. Para ahli

tafsir, termasuk di antaranya Muhammad Ali Al-Shabuni, menafsirkan kata

afala ta‟qilu n “apakah kamu tidak menggunakan akalmu”.266

Dengan

demikian kecerdasan menurut Al-Quran diukur dengan penggunaan akal atau

kecerdasan itu untuk hal-hal positif bagi dirinya maupun orang lain.

Kata-kata yang memiliki makna yang dekat (mirip) dengan

Kecerdasan yang banyak digunakan dala Al-Quran adalah:

265 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut, Dar al-Arab al-islami, 1998), Juz 4, hal. 638 266

Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 1, hal. 576

143

1. Al–„ ql, yang berarti an-Nuha (kepandaian, kecerdasan). Akal dinamakan

akal yang memilki makna menahan, karena memang akal dapat menahan

kepada empunya dari melakukan hal yang dapat menghancurkan dirinya.267

2. Al-Lubb atau al-Labib, yang bearti al-„aql atau al-„aqil, dan al-labib sama

dengan al-„aql.268

Di dalam al-Quran Kata al-albab disebut 16 kali, dan

kesemuanya didahului dengan kata ulu atau uli yang artinya pemilik, ulu al-

albab berarti pemilik akal.

3. Al-bashar, yang berarti indra penglihatan, juga berarti ilmu.269

Di dalam

Kamus Lisan al Arab, Ibn Manzhur mengemukakan bahwa ada pendapat

yang mengatakan ; al-bashirah memiliki ma‟na sama dengan al-fithnah

(kecerdasan) dan al-hujjah (argumentasi).270

.

4. An-Nuha, ma‟nanya sama dengan al-„aql, dan akal dinamakan an-nuha

yang juga memiliki arti mencegah, karena akal mencegah dari keburukan.

Kata an-nuha di dalam al-Quran terdapat pada 2 tempat, keduanya ada pada

Surat thaha ; 54, 128 dan keduanya diawali dengan kata uli (pemilik).

5. Al-fiqh yang berarti pemahaman atau ilmu. Di dalam al-Quran, Kata yang

seasal dengan al-Fiqh terdapat pada 20 ayat, kesemuanya menggunakan

kata kerja (fi‟l mudhari‟), hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan

267 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.

1, Juz 13, hal. 343 268 Muhammad Ibn Abu Bakar al-Razi, Mukhtar ash-Shahah, (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun,

1995), juz I, hal. 612 269 Al-Jauhari, ash-Shihah fi al-Lughah, (al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 44 270

Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.

1, Juz 4, hal. 64

144

pemahaman itu seharusnya dilakukan secara terus menerus. Kata al-fiqh

juga berarti al-fithnah (kecerdasan).271

6. Al-Fikr, yang artinya berpikir. Kata yang seakar dengan al-fikr terdapat

pada 18 ayat. Kesemuanya berasal dari bentuk kata at-tafakkur, dan

semuannya berbentuk kata kerja (fi‟il), hanya satu yang berbentuk kata

fakkara, yaitu pada Surat al-Mudatstsir : 18. Al-Jurjani mendefinisikan, at-

tafakkur adalah pengerahan hati kepada makna sesuatu untuk menemukan

sesuatu yang dicari, sebagai lentera hati yang dengannya dapat mengetahui

kebaikan dan keburukan.272

7. An-nazhar yang memiliki makna melihat secara abstrak (berpikir), di dalam

kamus Taj al-„Arus disebutkan termasuk makna an-nazhar adalah

menggunakan mata hati untuk menemukan segala sesuatu, an-nazhar juga

berarti al-i‟tibar (mengambil pelajaran), at-taammul (berpikir), al-bahts

(meneliti).273

Untuk membedakan antara an-nazhar dan al-Ru‟yah, Abu

Hilal al-„Askari memberikan definisi bahwa al-nazhar adalah mencari

petunjuk, juga berarti melihat dengan hati.274

8. At-tadabbur yang semakna dengan at-tafakkur, terdapat dalam al-Quran

sebanyak 8 ayat. Al-Jurjani memberikan definisi at-tadabbur, adalah

271 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir),

Cet. 1, Juz 4, hal. 522 272 Al-jurjani, at-Ta‟rifat, hal. 20 273

Muhammad ibn muhammad Ibn Abd. Al-Razzaq, Taj al-„ rus min Jawahir al-Qamus (Al-

maktabah asy-Syamilah), Juz, I, hal. 3549 274 Abu Hilal al-Askari, Mu‟jam al-Furuq al-Lughawiyah, (al-Maktabah asy-Syamsiyah), juz 1, hal.

543

145

berpikir tentang akibat suatu perkara, sedangkan at-tafakkur adalah

pengerahan hati untuk berpikir tentang dalil (petunjuk).275

9. Adz-dzikr yang berarti peringatan, nasehat, pelajaran.276

Dalam al-Quran

terdapat kata yang seasal dengan adz-dzikr berjumlah 285 kata, 37

diantaranya adalah yang berasal dari bentuk kata attadzakur yang berarti

mengambil pelajaran.

Dari banyaknya penggunaan kata-kata yang seasal dengan kata „aql,

dipahami bahwa Al-Quran sangat menghargai akal, dan bahkan Khithab Syar‟i

(Khithab hukum Allah) hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal.

Banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk mempergunakan

akalnya. Di sisi lain penggunaan kata yang seasal dengan „aql tidak berbentuk

nomina (ism) tapi berbentuk kata kerja (fi‟il) menunjukkan bahwa Al-Quran

tidak hanya menghargai akal sebagai kecerdasan intelektual semata, tapi al-

Quran mendorong dan menghormati manusia yang menggunakan akalnya

secara benar.

Di dalam Al-Quran, banyak kata yang memiliki makna yang sama

atau mendekati makna aql (akal). Kata tersebut seperti dabbaro

(merenungkan), faqiha (mengerti), fahima (memahami) nadzhara (melihat

dengan mata kepala), dzakara (mengingat), fakkara (berfikir secara dalam),

dan „alima (memahami dengan jelas).277

Kata-kata tersebut sekalipun memiliki

makna yang sama, namun dalam aspek lain memiliki perbedaan. Namun jika

275 Al-Jurjani, at-Ta‟rifat, hal. 76 276 Muhammad Ibn Ya‟qub al-Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhith, (al-Maktabah asy-Syamilah), Juz

1, hal. 508 277 A.W, Munawar, Kamus Al-Munawwar, Arab-Indonesia, Edisi ke 2 (Yogyakarta: Pustaka

Progresif, 1997), hal. 257

146

dianalisis lebih lanjut maka semua kata tersebut bisa terhimpun dalam satu

makna yakni semua menunjuk pada makna “kecerdasan.”

Muhammad Naquib Al-Attas, menjelaskna secara filosofis bahwa akal

adalah suatu “organ” yang aktif dan sadar yang “mengikat”dan “menahan”

objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk dan atau simbol-simbol lain.

Tugas dan fungsi akal yang “mengikat” dan “menahan‟ menunjukan fakta yang

sama pada fungsi „aql, qalb, ruh dan nafs.278

Al-Ghazali dari kaum sufi dan Al-

Attas dari kaum filosof, memiliki pendapat yang sama bahwa keempat organ

tersebut adalah organ yang aktif dan sadar dan memiliki makna dan fungsi

yang sama, yang membedakannya adalah dari segi wujudnya yang bertingkat-

tingkat (maratib al-wujud).279

Dalam Al-Quran kata „aql (akal), dalam bentuk kata dasar, tidak

ditemukan, yang ada adalah dalam bentuk kata kerja masa kini, dan lampau.280

Dalam bentuk kata kerja, disebut sebanyak 49 kali, dalam bentuk lampau

disebut 1 kali, dan dalam bentuk sekarang disebut sebanyak 48 kali.

Penyebutnya maliputi aqluh, ta‟qilu n, na‟qil, ya‟qilu ha, dan ya‟qilu n.281

Al-Quran menggunakan kata akal untuk menunjukan “sesuatu yang

mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”.

“Sesuatu” yang dimaksud tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Quran,

namun dari konteks yang menggunakan kata „aql, “sesuatu” itu dapat dimaknai

dalam 3 konteks maksud yakni: (1) daya (kecerdasan) untuk memahami

278 Al-Attas, Syed Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 267 279 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, Eq, dan SQ, antara Neurosains dan Al-Quran, (Bandung: Mizan,

2004), hal. 267 280 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294 281

Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI-Press, 1980), hal. 5

147

sesuatu, (2) daya (kecerdasan) dan atau dorongan moral, dan (3) daya

(kecerdasan) untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan atau “hikmah”.282

Daya (kecerdasan) untuk memahami sesuatu dapat difahami dari ayat:

Artinya: “dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk

manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” 283

(Al-Quran Surat Al-Ankabut [29]: 43)

Manusia memiliki kecerdasan logis yang berkaitan dengan panca

indra. Ini diisyaratkan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang

berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam,

dan lain-lain. Hal tersebut dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah bagi

orang-orang yang berakal (AL-Quran, Surat Al-Baqarah [2]: 164)284

akal yang

dimaksud disini adalah kecerdasan rasional-logis yang mengandalkan panca

indera.

Dalam kontes daya (kecerdasan), dan atau dorongan moral dapat

dipahami dari ayat:

282 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 296 283

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 401 284 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294

148

Atinya: Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang

diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun,

berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena

miskin. Kamilah yang memberi rizki kepdamu dan kepada mereka; dan

janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak

di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa

yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)

yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu

memahami(nya).”285

(Al-Quran, Surat Al-Anam [6]: 151).

Menurut Quraish Shihab, kecerdasan yang dimaksud dalam ayat

diatas berorientasi kepada kecerdasan emosional, atau kecerdasan sosial yang

menekankan agar manusia membangun hubungan sosial, memupuk empati,

berperilaku jujur, memiliki motivasi dan berbagai perilaku sosial positif lainya

yang muncul dari dorongan moral yang baik.

Daya kecerdasan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta

“hikmah”, dapat dipahami dalam ayat:

Artinya: “dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau

memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-

penghuni neraka yang menyala-nyala".286

(Al-Quran, Surat Al-Mulk [67]: 10)

Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya (kecerdasan)

ini menggabungkan antara kecerdasan memahami dan menganalisis

(kecerdasan rasional), serta menyimpulkan dengan dorongan moral

(kecerdasan emosional). Seseorang yang memiliki rusyd, maka dia memiliki

kemampuan atau kecerdasan pikir dan zikir sekaligus, yang kemudian

285

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 289 286

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 562

149

melahirkan kecerdasan spiritual, sehingga memungkinkan seseorang untuk

menemukan makna-makna yang terkandung dibalik ayat-ayat qauniyah

maupun ayat-ayat qauliyah Allah SWT.287

Sementara itu para ahli neurologi sepakat bahwa kecerdasan-

kecerdasan manusia merupakan produk dari otak. Kecerdsan rasional-logis

atau IQ (Intelligence Quotient), berpusat pada otak kiri, kecerdasan emosional

(EQ) (emotional Quotient) berpusat pada otak kanan, dan kecerdasan spiritual

(Spiritual Quotient), berpusat pada jaringan sel syaraf antara keduanya, yakni

pada lobus temporal. Iq terletak pada dimensi fisik. EQ terletak pada dimensi

emosi. SQ terletak pada dimensi spiritual.288

Sedangkan menurut Ary Ginanjar

Agustian, IQ berada pada dimensi Islam, EQ berada pada dimensi iman, dan

SQ berada pada dimensi ihsan. Dengan kata lain, IQ dibimbing oleh Islam, SQ

dibimbing oleh iman dan SQ dibimbing oleh ihsan. Jika ketiga fungsi otak

berfungsi dengan baik, maka akan melahirkan manuisa yang paripurna atau

insan kamil.289

Kecerdasan manusia yang berpusat pada otak, menurut Jalaudin

Rakhmat sejalan dengan hadits Nabi:

“Dalam diri manusia ada segumpal daging, jika daging itu baik, maka

baiklah manusia itu. Jika daging itu jelek , maka jeleklah manusia itu. Itulah

Qalb.

287

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294 288 Askar, Jurnal Potensi dan Kekuatan Kecerdasan Manusia (IQ,EQ,SQ) dan Kaitannya dengan

Wahyu, (Palu: IAIN Datokrama, 2014), hal. 221 289 Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ

Emosional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2003), hal. 46-

47

150

Qalb dalam hadits diatas semestinya diterjemahkan dengan otak, dan

bukan hati, sebagaimana yang selama ini dipahami. Kata “Qalb” dalam hadits

tersebut lebih bermakna ke dimensi fisik. Qalb atau hati yang selama ini

dipahami berada dalam dada, secara logis medis diragukan kalau tidak bisa

diterima sama sekali. Jika hati dan jantung, yang tergantung dalam dada rusak

bisa diganti dengan hati dan jantung orang lain, dan orang-orang tersebut tetap

bisa dalam keadaan waras. Tetapi jika otak yang rusak manusia pasti

menunjukan perilaku yang tidak waras.290

Masih menurut Jalaluddin Rakhmat, Al-Quran menunjukan bahwa

kata Qalb, lebih mengarah pada makna fungsi dari pada makna fisik. Hasil

penelitian mutakhir juga membuktikan bahwa otak terdiri dari 78% air, 10%

lemak, 8% protein, beratnya kira-kira 1,5 kg, menggunakan 20% energi tubuh,

100 miliar neuron, 1 triliun sel glial, 1000 triliun titik sambung sinaptik dan

280 kuintiliun memori.291

Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting. Otaklah yang

menentukan makhluk hidup bergerak, memerintah indra, mengatur pola

informasi dan komunikasi, untuk membuat keputusan. Otak inilah yang

bertugas mengarahkan dan mengkoordinasikan kerja sel-sel saraf sedemikian

rupa sehingga mampu mendengar, melihat, berfikir, mengingat, dan bertindak

290

Jalaludidin Rakhmat, Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak, (Bandung: Mizan, 2005), hal.

3 291 Jalaludidin Rakhmat, Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak, hal. 4

151

secara tepat. Keseluruhan proses yang mengorganisasi tingkah laku tersebut

berpusat pada sistem saraf yang rumit.292

Menurut Taufik Pasiak, otak terdiri dari segumpal daging yang ada di

kepala manusia, memiliki tiga fungsi: (1) fungsi rasional logis, (2) fungsi

emosional-intuitif, dan (3) fungsi spiritual, ketiga fungsi ini yang

memungkinkan otak untuk menjadi penentu bagi kualitas diri manusia.293

Fungsi rasional logis adalah hasil kerja panca indera, fungsi emosional intuitif

adalah hasil kerja otak kanan berdasarkan intuisi manusia, dan fungsi spiritual,

adalah hasil kerja antara keduanya melalui jaringan saraf lobus temporal,

berdasarkan aspek-aspek ruhaniah manusia. Hasil kerja otak kiri melahirkan

fikir, hasil otak kanan melahirkan zikir, dan perpaduan antara keduanya fikir

dan zikir manusia memungkinkan memiliki kesadaran ketuhanan, lewat

kecerdasan spiritualnya, sehingga manusia dapat menemukan makna dan nilai-

nilai spiritual dalam hidup dan kehidupannya.

Otak dan akal merupakan potensi dan kekuatan-kekuatan dalam diri

manusia. Kata otak dan akal pada sebagian orang ada yang menyamaartikan,

tetapi ada pula yang membeda artikan otak dan akal. Harun Nasution termasuk

orang yang membeda artikan pengertian dari otak dan akal. Beliau menjelaskan

bahwa akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, melainkan daya berfikir

292

Shaleh dkk, Psikologi Suatu Pengantar; dalam Perspektip Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.

63-64 293 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, Eq, dan SQ, antara Neurosains dan Al-Quran, (Bandung: Mizan,

2004), hal. 204

152

dalam diri manusia: daya yang sebagaimana digambarkan Al-Quran

memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.294

Secara umum Al-Quran diturunkan oleh Allah adalah untuk

mencerdaskan umat manusia, sehingga manusia dapat hidup dalam hidayah-

Nya, mendapat kelapangan, jaminan surga yang penuh dengan kenikmatan

bagi orang yang beriman dan beramal soleh. Al-Quran diturunkan oleh Allah

sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil. Fungsi ini akan berjalan

efektif jika yang memahami Al-Quran adalah orang-orang yang cerdas. Untuk

itu, Allah kemudian memberi manusia potensi-potensi kecerdasan sebagai

sarana untuk beriman dan bermal soleh, seperti nafs, akal, qalb dan ruh.295

Dimensi psikologis manusia yakni ruh, „aql, qalb, dan nafs. Yang

kalau digambarkan akan membentuk segi empat, yang kemudian melahirkan

dua bentuk segi tiga. Segi tiga yang pertama yakni ruh, akal, dan qalb,

sedangkan segi tiga yang kedua yakni aql, qalb, dan nafs. Segi tiga yang

pertama akan melahirkan kepribadian yang ideal, yakni insan kamil, sedangkan

segitiga yang kedua akan melahirkan kepribadian non ideal, yakni kepribadian

nafsul ammarah dan kepribadian nafsul lawwamah.296

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa didalam Al-Quran banyak

sekali kata yang menunjukan tentang kecerdasan manusia. Sekalipun Al-Quran

menggunakan kata yang beragam, namun jika ditelaah diperoleh suatu

kesimpulan, bahwa dari seluruh kata itu tersimpul dalam suatu makna yakni

294

Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 13 295 Hasan Langgulung, Asas-asan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 279-

283 296 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Study tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 254-255

153

kekuatan kecerdasan dalam diri manusia. Kata otak yang hasil kerja

fungsionalnya berupa akal pikiran, yang ternyata dalam Al-Quran ,

mempergunakan kata yang beragam seperi, ruh, aql, qalb, nafs dan kata yang

semakna atau hampir sama maknanya dengan keempat kata tersebut. Keempat

unsur penting dimensi psikologis manusia tersebut, sangat menentukan

kecerdasan manusia.

Dalam kajian kontemporer tetang kecerdasan, dikemukakan berbagai

macam konsep kecerdasan seperti IQ, EQ, SQ dan MI. Konsep IQ, EQ, SQ dan

MI sesungguhnya hanyalah merupakan konsep-konsep baru yang

diketengahkan oleh para psikolog mutakhir terhadap berbagai potensi

kecerdasan yang dimiliki manusia. Islam telah mengembangkan konsep

kecerdasan sejak 14 abad yang lalu, karena dalam pandangan Islam manusia

sejak lahir telah memiliki potensi-potensi kecerdasan yang diberikan oleh

Tuhan yang dikenal dengan konsep “fitrah”. Kecerdasan-kecerdasan tersebut

tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan pengalaman manusia

melalui pendidikan dan pengajaran.

Islam sesungguhnya telah menawarkan konsep pengoptimalan

inteligensi dalam bentuk implisit. Jika dilihat dari kemampuan dasar

paedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum, yaitu makhluk yang

harus dididik, oleh karena itu manusia dikategorikan sebagai animal educable,

yaitu makhluk sebangsa hewan yang dapat dididik. Manusia dapat dididik

karena mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan (homo sapiens),

disamping memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya

154

sendiri (self forming). Jadi, kedudukan manusia adalah makhluk paedagogik

yakni sebagai makhluk yang dapat didik dan mendidik.297

Islam menganjurkan manusia untuk memperhatikan realitas alam,

seperti langit dan bumi. Realitas alam ini sungguh merupakan materi berfikir

untuk mengembangkan inteligensi. Mengenai keberdaan alam semesta,

disebutkan bahwa Allah menciptakan alam semesta itu untuk memenuhi

kepentingan umat manusia. Karena itu, alam semesta pada hakikatnya menjadi

sumber, alat, media, metode, tujuan dalam rangka mengembangkan kecerdasan

manusia yang identik dengan tujuan kehidupan, apabila manusia mau berfikir

dan mentafakurinya.

2. Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) dalam Pendekatan

Konsep Fitrah

Diawal abad 21 dunia psikologi dihebohkan dengan teori baru

mengenai kecerdasan (intelligence), seorang pakar psikologi perkembangan

dan professor dari Harvard University Howard Gardner dari Project Zero

(kelompok peneliti)) mengemukakan formulasi baru mengenai kecerdasan.

Dan menariknya lagi, konsep kecerdasan yang dimunculkan Gardner

“digandrungi” para praktisi pendidikan di penjuru dunia termasuk Indonesia.

Konsep kecerdasan yang dimunculkan Gardner kemudian dikenal dengan

Multiple Intelligence, yang secara bahasa diartikan Kecerdasan Majemuk298

.

297

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 16 298 Thomas Armstrong, terjemahan Multiple intelligence in the Classroom, “Sekolah Para Juara:

Menerapkan Multiple Intelligence di Dunia Pendidikan”. Di dalam buku tersebut, Multiple Intelligence

diterjemahkan Kecerdasan Majemuk (Bandung: Kaifa, 2005)

155

Ada juga yang mengartikan Kecerdasan Beragam.299

Hal yang menarik dari

teori kecerdasan ini adalah terdapat usaha untuk melakukan redefinisi

kecerdasan. Sebelum muncul teori multiple Intelligences, teori kecerdasan

lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak

ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes IQ, kemudian

tes tersebut diubah menjadi angka standar kecerdasan. Gardner berhasil

mendobrak dominasi teori dan tes IQ yang sejak tahun 1905 banyak digunakan

oleh para pakar psikologi di seluruh dunia.300

Selama lebih dari dua puluh tahun teori kecerdasan majemuk atau

multiple intelligence disebut-sebut sebagai teori kecerdasan paling mutakhir.

Teori yang mengusung konsep keberagaman kecerdasan pada manusia ini,

seakan menjadi jawaban bagi banyak pemerhati dan pendidik dunia

pendidikan, untuk pertanyaan seputar bakat dan potensi manusia. Padahal,

dalam Pendidikan Islam, keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia ini

telah lama dibahas melalui pendekatan konsep “Fitrah”. Dengan pengertian

lain bahwa di dalam Islam (Al-Quran) sebenarnya sudah dikemukakan

berbagai pengembangan tentang kecerdasan dan berbagai potensi manusia.301

Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan

praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang

manusia. Pembicaraan tentang persoalan ini merupakan hal yang sangat vital

299 Evelyn William English, Gift of Literacy for the Multiple Intelligences Classroom diterjemahkan

dengan judul “Mengajar dengan Empati, Panduan Belajar Mengajar Tepat dan Menyeluruh untuk Ruang

Kelas dengan Kecerdasan Beragam”, (Bandung: Nuansa, 2005) 300

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,

(Bandung: Kaifa, 2013), hal. 132 301 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:

UIN SUSKA, 2014), hal. 135

156

dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan Islam tidak

akan dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam

tentang pengembangan individu seutuhnya.302

Konsepsi dasar tentang

pengembangan manusia salah satunya adalah konsep fitrah.

Unsur-unsur esensial dalam sitem pendidikan Islam didasarkan atas

beberapa konsep pokok tertentu, yaitu konsep agama, konsep manusia, konsep

ilmu, konsep kebijakan, konsep keadilan, konsep universalitas, dan konsep

demokrasi. Kerangka dasar pertama pendidikan yang didasarkan pada asumsi-

asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan masyarakat,

lingkungannya menurut ajaran Islam. Proses pendidikan Islam dan pandangan

Islam terhadap manusia sebagai makhluk yang dididik dan mendidik, sebagai

berikut: pertama, sesuai dengan maksud pendidikan Islam adalah kegiatan

untuk mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sejalan dengan

nilai-nilai Islam. Kedua, pembahasan tentang hakekat manusia dalam Al-Quran

kata kuncinya khalaqa artinya menciptakan atau membentuk.303

Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya memindahkan

pengetahuan Transfer of knowledge kepada peserta didik, namun perlu

memperhatikan semua unsur potensi, fitrah dan inteligensi yang ada pada anak

didik dan diintegrasikan anatara tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib, sehingga dapatlah

seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian

302 Ika Sri Wahyuni dkk. Konsepsi Islam tentang Fitrah Manusia, Presentasi Kelas tentang Ilmu

Pendidikan Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014), hal. 7. 303 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia

(yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 128

157

muslim yang mengimplementasikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari,

serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.304

Manusia diciptakan oleh Allah dalam struktur yang paling baik

diantara makhluk-makhluk yang lainnya. Struktur manusia terdiri atas unsur

jasmaniah dan rohaniah, atau unsur fisiologis dan psikologis. Unsur jasmani

yang dimaksud dalam Islam adalah pengembangan aspek fisik. Sedangkan

rohani merupakan kemampuan dan kekuatan pendorong yang tidak terlihat

dengan indera fisik.305

Ada dua pendapat tentang lokasi rohani, pendapat

peretama menyatakan dimensi rohani adalah ranah otak, karena secara

lahiriyah otak merupakan sentral atau pengendali aktivitas dan kehidupan

manusia. Pendapat kedua menyatakan bahwa dimensi rohani berada pada ranah

masing-masing dan bersifat mandiri satu sama lain.306

Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan

seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang

yang dalam psikologi disebut dengang potensialitas atau disposisi. Dalam

pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah

yang dalam pengertian epistemologi mengandung arti “kejadian”, oleh karena

itu fitrah berasal dari kata kerja “fatara” yang berarti “menjadikan”. Dalam Al-

Quran kata-kata “fatara” dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali,

14 kali diantaranya dalam konteks uraian bumi dan langit. Sisanya dengan

304 Hamdani Ihsan dan Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 1998),

hal. 16 305

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 128 306 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences hal. 128

158

konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya

adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia.307

Fitrah merupakan suatu bekal kemampuan yang ada di dalam diri

manusia yang bersifat kekutan (keistimewaan). Kekuatan itu adalah potensi diri

yang ada dalam diri seseorang. Manusia diminta untuk meluruskan pandangan

hidupnya sejalan dengan agama yang telah diridoi Allah. Allah telah

menciptakan manusia serasi dengan fitrah kejiwaannya. Itulah agama yang

lurus tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui apa fitrahnya, dengan kata

lain manusia tidak mengenal potensi diri seperti fungsi kerja otak, kecerdasan

dan bakat.308

Fitrah manusia adalah suatu kemapuan dasar berkembang manusia

yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalamnya terkandung berbagai

kompenen psikologis yang satu sama lainya saling berkaitan dan saling

menyempurnakan bagi hidup manusia.309

Manusia secara kodrati dikarunia tiga potensi, yakni akal (kognisi),

indra (afeksi), dan nurani (hati). Hal ini diperjelas dalam Al Quran surat An-

Nahl [16]: 78.

307 Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Exspres, 2005), hal. 62 308

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP, 2011), hal. 128 309 Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Exspres, 2005), hal. 66

159

Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam

Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.310

Jika melihat dari ayat diatas maka diperoleh pengertian bahwa

manusia dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan berbagai potensi yang

dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses

pendidikan. Inilah yang dimaksud dengan konsep fitrah dalam Islam. Fitrah

memiliki beberapa makna yang diantaranya adalah potensi dasar manusia.311

Jika dihubungkan antara dunia Islam dengan dunia ilmu penegtahuan

perihal kecerdasan maka bakat bukan merupakan potensi belajar yang sangat

utama. Sebagaimana yang sudah dirumuskan bahwa bakat yang sudah ada di

dalam diri manusia dimaknai sebagai yang inheren (telah ada dan menyatu di

dalam diri seseorang) dibawa sejak lahir dan terkait dengan struktur otak.

Sekaligus bakat mebedakan setiap individu dan malah keunikan yang satu dari

yang lainnya. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa bakat merupakan

potensi tersembunyi dibawa sejak lahir yang telah melekat dengan kepribadian

seseorang. Namun bakat merupakan potensi yang harus diaktualisasikan dan

dapat berkembang kearah lebih baik jika terjadi sinergi dengan lingkungan

yang mendukung disekitarnya.312

310 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

275 311

Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, Sebuah pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul

Falah, 1999), hal. 27 312 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 129

160

Dari uraian diatas jelas bahwa Islam telah berbicara jauh-jauh hari

tentang keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia sebelum lahirnya

berbagai teori kecerdasan (intelligence). Metodologi Islam dalam melakukan

proses pendidikan adalah secara menyeluruh dalam segala aspeknya. Sehingga

tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun

rohani, baik kehidupan secara fisik maupun secara mental. Sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa konsep fitrah itu bersifat universal.

Didalam Al-Quran, kata Fitrah dalam konteks uraian penciptaan atau

kejadian langit dan bumi. Sedangkan selebihnya digunakan dalam kontks

penciptaan manusia, baik dari segi pengakuan bahwa penciptanya adalah

Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Salah satu kata fitrah

yang disebutkan dalam Al-Quran, termaktub dalan surat Ar-Rum ayat 30:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama

Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut

fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.313

(Al-Quran, Surat Aruum [30]:

30).

Secara tekstual pengertian dari terjemah tersebut adalah

“menghadapkan wajahmu (umat manusia)‟ kepada agama yang diridoi Allah,

tetapi dalam makna kontekstual “menghadapkan wajahmu” kepada agama

313

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

407

161

Allah merupakan kegiatan aktualisasi diri yang bermakna konotasi dan bersifat

dinamis. Mempelajari agama Allah sesuai dengan potensi diri manusia. Kata

“menghadapkan” tidaklah hanya berarti “memperlihatkan” melainkan kata

tersebut memiliki arti yang lebih luas seperti berjuang, bekerja, belajar, dan

curahkan.314

Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna

„fitrah‟ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga

dapat ditarik pengertian bahwa fitrah adalah penciptaan awal atau asal

kejadian. fitrah adalah kondisi "default factory setting", suatu kondisi awal

sesuai desain pabrik.315

Perkembangan manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan

bawaan tetapi yang peling terpenting mempengaruhi perkembangan manusia

adalah kedua orang tuanya sendiri. Didalam kitab hadis yang disusun oleh para

Imam Mazhab terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut.

Dalam meriwatkan hadis terjadi perbedaan matan (bacaan : redaksi)

namun secara subtasnsif memiliki pengertian yang sama.

a. Riwayat al-Bukhari

314

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 130 315

http://militansicerdas.blogspot.com/2011/03/fitrah-manusia.html diakses pada tanggal 23 Maret

2016.

162

Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata)

Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri

(yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan

kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda

“setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki

andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan

beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor

binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak

binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya

yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang

telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada

fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.316

b. Riwayat Muslim

Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami (dengan

mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang

berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan)

Sa'id bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari

Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak

lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam)

menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama

Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang

(yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara

binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya

yang lain)

316

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj.

Amiruddin, Jilid XXIII, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm., 568

163

c. Riwayat at-Tarmizi

Artinya :Muhammad bin Yahya al-Qutha'i al-Bashri

menceritakan kepada kami (yang mengatakan) 'Abd al-'Aziz bin Rabi'ah

al-Bunani menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A'masy

menceritakan kepada kami (yang bersumber) dari Abu Shalih (yang

berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap

anak dilahirkan dalam keadaan beragama (Islam), kedua orang tuanya

(memiliki andil dalam) menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani

atau menjadikannya musyrik.

Hadits diatas menunjukan bahwa fitrah merupakan suatu potensi yang

bisa diarahkan, dibentuk dan diarahkan oleh lingkungan. Dalam hal ini ayah

dan ibu sebagai faktor lingkungan memiliki potensi yang mengarahkan.317

Jika fitrah merupakan suatu potensi yang dibawa semenjak lahir,

sedangkan bakat juga merupakan suatu potensi yang dibawa dari lahir, maka

antara fitrah dan bakat dalam konteks potensi diri manusia yang dibawa sejak

lahir memilki suatu pengertian yang sama, bakat dan fitrah inilah yang

dikembangkan Howard Gardner dengan konsep kecerdasan majemuknya.

Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan diatas, dapat ditarik sebuah

pengertian bahwa sejak awal kejadianya, manusia telah membawa potensi

beragama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa esensi teori fitrah meliputi: (1) bakat

dan kecerdasan, yaitu suatu kemampuan bawaan potensial yang mengacu

317

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 132

164

kepada perkembangan kemampuan akademis dalam berbagai bidang

kehidupan, (2) Insting (naluri), yaitu komponen bertingkah laku dengan tanpa

melalui proses terlebih dahulu. Namun demikian, potensi (fitrah) yang dimiliki

manusia dalam perkembangannya selanjutnya ditentukan oleh interaksi dengan

lingkungannya, terutama dengan proses pendidikan dan pembelajaran. individu

dan perkembanganya adalah produk dari hereditas dan lingkungan, keduanya

sama-sama berperan penting bagi perkembangan individu.318

Dari pemaparan mengenai konsep fitrah manusia melalui ayat Al-

Quran maupun Hadits diatas jelas terlihat bahwa secara teoritis, konsep

pengembangan berbagai potensi manusia telah lama dibahas dalam pendidikan

Islam, dengan kata lain bahwa didalam Islam (Al-Quran) sebenarnya sudah

dikemukakan berbagai pengembangan tentang kecerdasan dan berbagai potensi

manusia sebelum konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence)

dimunculkan Howard Gardner.

Dalam Islam sebenarnya sudah dikemukakan berbagai pengembangan

tentang kecerdasan dan berbagai potensi manusia, yaitu terdapat di dalam ayat-

ayat Al-Quran. Kecerdasan linguistik atau word smart, merupakan kemampuan

untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral

maupun tertulis. Hal ini terlihat dalam diri Adam, sebagai manusia berakal

pertama, menurut Al-Quran, Adam dilebihkan atas makhluk tuhan lainya,

sehingga iblis harus tunduk padanya karena Adam memiliki kemampuan untuk

318

Wasty Soemanto, Psikologi pendidikan, (Jakarta: Rineka Gipta, 2006), hal. 94

165

menyebut nama-nama, suatu keahlian menciptakan, dan memahami simbol-

simbol.319

Firman Allah:

Artinya: “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada

mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada

mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan

kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan

mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".320

(Al-Quran, Surat Albaqarah [2]: 33)

Selain itu kecerdasan verbal linguistik juga terdapat dalam Al-Quran,

Surat Ar-Rahman ayat 1-4:

Artinya: “( llah) yang Maha pemurah, .yang telah mengajarkan Al

Qur‟an. Dia menciptakan manusia. mengajarnya pandai berbicara.”321

(AL-

Quran, Surat Ar-Rahman [55]: 1-4)

Ayat diatas merupakan bukti bahwa Allah telah mengajarkan kepada

manusia Al-Quran dan mengajarkannya (Nabi Muihammad) pandai berbicara

319 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:

UIN SUSKA, 2014), hal. 140 320

Tim Syamil, Al-Quranulkarim, Miracle The Reference, (Bandung:Sygma Publishing, 2010), hal.

1191 321

Tim Syamil, Al-Quranulkarim, Miracle The Reference, hal. 1059

166

sehingga dapat menyampaikan ayat-ayat Al-Quran kepada umatnya. Dari ayat

tersebut dapat dijadikan dasar pengajaran linguistik verbal kepada manusia.322

Selain itu menurut Ansharullah, didalam Islam kecerdasan linguistik

ini mendapat tempat yang sangat penting, sebagaimana perintah Allah dalam

Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 83:

Artinya, “serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,” 323

(Al-Quran, Surat Al-Baqarah [2]: 83)

Ayat diatas menerangkan bahwa setiap manusia diperintahkan oleh

Allah untuk mengunakan kata-kata yang baik dalam berhubungan dan

berbicara dengan sesama manusia. Kata-kata yang baik itu merupakan produk

pilihan sebelum diucapkan oleh seseorang terhadap orang lain dalam bentuk

ujaran bahasa yang dihasilkan melalui perangkat artikulasi di dalam diri

manusia.324

Lebih lanjut, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi

Muhammad bersabda:

322 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:

UIN SUSKA, 2014), hal. 140 323

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

12 324 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 134

167

“Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka

janganlah menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari

Akhir, maka muliakanlah tamunya. Dan siapa yang beriman kepada Allah dan

Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diamlah” (HR Bukhari

no. 6018, Muslim no. 47).

Hadits diatas menjelaskan bahwa seseorang yang akan bertutur bicara

hendaklah ia mempertimbangkan dari beberapa sisi, apakah topik dan

konteksnya tepat, apakah tekanan dan irama suara sesuai, jika hal itu tidak

sejalan dengan konsep diatas maka lebih baik memilih diam.325

Begitu pula pendidikan Islam telah mengajarkan anak untuk memiliki

kecerdasan logis matematis atau cerdas angka akan berfikir secara numerik

atau dalam konteks polaserta urutan logis, atau dalam bentuk-bentuk cara logis

yang lain. Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut ayat 43:

Artinya: “dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk

manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” 326

(AL-Quran, Surat Al-Ankabut [29]: 43.

Dari ayat diatas kita kanan memahami ayat-ayat Allah dengan berfikir

logis. Di dalam Al-Quran banyak perumpamaan-perumpamaan yang hanya

orang-orang berilmu saja yang akan memahaminya. Untuk memahami

perumpamaan tersebut harus dengan berfikir logis.327

325Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, hal. 135 326

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

401 327 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:

UIN SUSKA, 2014), hal. 140

168

Secara maksimal berfikir dilakukan ketika seseorang dihadapkan

dengan kesadaran untuk mencari kebenaran, itulah sebabnya di dalam agama

Islam, berfikir dan belajar wajib dilakukan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-

Quran:

Artinya” Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-

tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan

Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang,

matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu)

dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada

tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), dan Dia

(menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan

berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan

Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat

memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari

lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar

padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan

supaya kamu bersyukur.328

(Al-Quran, Surat An-nahl [16]: 11-14)

328

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

268

169

Berfikir berarti menggunakan kekuatan otak untuk menggali,

menemukan serta mempertahankan kaidah keilmuan yang memerlukan berfikir

tajam, logis dan rasional.329

Inteligensi tidak terlepas dari proses berfikir

manusia. Berfikir dapat diberi pengertian sebagai proses menentukan

hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dari suatu bagian

pengetahuan. Sebagi bentuk aktivitas, berfikir merupakan tingkah laku

simbolis, karena seluruh aktivitas ini berhubungan dengan atau mengenai hal-

hal yang konkret.330

Keterampilan berfikir merupakan keterampilan mental

yang memadukan inteligensi dengan pengalaman.331

Selanjutnya kecerdasan Visual/ruang (spasial) yaitu kecerdasan yang

komponen intinya meliputi kemampuan untuk memberikan gambar-gambar

dan imagi-imagi, serta kemampuan dalam mentrasformasikan dunia visual-

spasial. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam

Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.332

(Al-Quran, Surat An-Nahl [16]:

78).

329

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 134-135 330 Ahmad Thontowi, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 76 331 Edward de Bono, Revolusi Berfikir: Mengajari Anak Anda Berfikir Canggih dan Kreatif dalam

Memecahkan Masalah dan Memantik Ide-ide Baru, terj. Ida Sitompul dan Fahmy Yamani, (Bandung: Kaifa,

2007), hal. 24 332

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

275

170

Ayat diatas menunjukan bahwa Allah memberikan manusia

kecerdasan pendengaran, penglihatan, dan hati. “Penglihatan” merupakan

kecerdasan yang terkait dengan kecerdasan visual spasial.333

Kecerdasan ini

tidak hanya bernuansa pada ruang besar dan kecil atau yang disebut

mikrokosmos dan makrokosmos, namun kecerdasan ini terlihat dengan pola

image yang ada dalam fikiran seseorang baik refleksi terhadap suatu peristiwa

yang sudah terjadi maupun pola image yang bersifat prediktif.334

Kecerdasan lain yang dibahas dalam Islam adalah kecerdasan

kinestetik badani yang menurut Gardner kecerdasan ini berkaitan dengan

gerakan badan, yang komponen inti dari kecerdasan kinestetis badani (Bodily

Kinesthetic Intelligence) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang

untuk menggunakan anggota tubuh untuk segala kebutuhan hidup. Mampu

mewujudkan ide atau gagasan melalui gerak fisik, dan mampu menggunakan

tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan dalam

sebuah bentuk tindakan. Kecerdasan tersebut sudah dikemukakan oleh

Rasulullah SAW melalui sabdanyanya:

حدثىا أبى بكس الطلح , حدثىا أحمد ابه حماد به سفان , حدثىا عمسو به

لحمصي , حدثىا ابه عاش , عه سلم به عمسو الأوصاز , عه عثمان ا

عم أب , عه بكس به عبد الله به زبع الأوصاز , قال : قال زسىل الله صل

الله عل و سلم : " علمىا أبىاءكم السباحة و السماة , و وعم لهى المؤمىة ف

بتها المغزل , و إذا دعاك أبىاك فأجب أمك "

333 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 142-143 334

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, hal. 142-

143

171

Artinya : Menceritakan kepada kami Abu Bakar Atthalahi dari Ahmad bin Hamad bin

Sofyan , dari amru bin usman alhimsi dari ibnu i‟yasy dari sulaiman bin amru

al-anshari dari paman ayahnya dari Bakar bin bdillah bin Rabi‟ al-anshari

berkata :berkata Rasulullah S W. “ajarilah anak anakmu berenang dan

melempar lembing, termasuk juga perempuan perempuan di rumahnya

menenun, dan apabila kedua orangtuamu memanggil maka utamakan

ibumu. (HR. Ath-Thahawi).

Hadits di atas menunjukan bahwa agama menyuruh umatnya untuk

mengajarkan anak-anaknya agar bisa berenang, melempar lembing dan

menenun. Hal tersebut merupakan kemampuan fisik yang bersifat kinestetik.

Didalam hadits tersebut disebut kata-kata berenang, melempar lembing dan

menenun sebagai suatu hal yang spesifik, namun pada hakikatnya kedua

kompetensi tersebut merupakan keterampilan fisik (psikomotorik).335

Selain kecerdasan Visual/ruang (spasial), dalam Islam dibahas juga

mengenai kecrdasan interpersonal, yaitu kecerdasan yang kompetensi intinya

mampu untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak,

dan temperamen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara serta isyarat

orang lain. Seperti yang tertera dalam firman Allah Surat Al-Maa‟uun ayat 1-3:

Artinya: “ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah

orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan

orang miskin. 336

(Al-Quran, Surat Al-Maun [107]: 1-3)

335 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), hal. 145-146 336

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

602

172

Dalam Surat tersebut dijelaskan bahwa orang yang termasuk

mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim dan

tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Dari ayat ini dapat dipetik

pelajaran bahwa kasih sayang dan saling tolong menolong dalam agama Islam

sangat dianjurkan sesuai dengan karakteristik kecerdasan interpersonal.337

Selanjutnya Islam membahas tentang kecerdasan naturalis yang

komponen inti dari kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) adalah

kemampuan untuk mengerti flora fauna dengan baik, dapat membuat distingsi

konsekuensi lain dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan

menikmati alam, dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif. Al-

Quran dalam hal ini menyebut berkali-kali tentang kejadian bumi, langit atau

alam semesta seisinya dan tentang flora dan fauna, serta pemeliharaan,

melarang membuat kerusakan terhadap bumi, yang demikian terkait dengan

kecerdasan naturalis.338

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah

ayat 205:

Artinya: “dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi

untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan

337 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau: UIN

SUSKA, 2014), h. 141 338

Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), h. 150

173

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”339

(Al-Quran, Surat

Al-Baqarah [2]: 205)

Senada dengan ayat diatas, Allah juga berfirman yang berkaitan

dengan kecerdasan naturalis, dalam Al-Quran Surat Al-Araf ayat 56:

Artinya: “dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,

sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa

takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya

rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.340

(Al-

Quran, Surat Al-A‟raf [7]: 56.

Ketika Islam melarang perbuatan tersebut, tujuan utamanya adalah

untuk menjaga binatang dari pencemaran air, udara dan tumbuhan. Ini adalah

hak setiap makhluk. Dalam skala luas, kecerdasan tersebut terkait dengan alam

mikro dan makrokosmos.341

Adapun kecerdasan selanjutnya yang mendapat perhatian dalam Islam

adalah kecerdasan eksistensial spiritual merupakan kemampuan untuk

menempatkan diri dalam hubunganya dengan suatu kosmos yang tak terbatas

dengan kondisi seperti makna penciptaan drinya, kehidupan, kematian dan

339

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal. 32 340

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

157 341 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:

STEP), h. 149-150

174

perjalanan akhir dari dunia.342

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surat

Al-Fatihah ayat 6:

Artinya: “ Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” 343

Dari ayat tersebut dapat diambil hubungan antara kecerdasan

eksistensial spiritual dengan hidayah (petunjuk) yang Allah berikan kepada

manusia melalui naluri, panca indra, akal, maupun benih agama dan akidah

tauhid pada jiwa manusia. Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat

yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan

kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada

dialam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena

merasa berhutang budi pada zat yang gaib, maka dia berfikir bagaimana cara

berterima kasih dan membalas budi serta bagaimana cara menyembah zat yang

gaib itu. Bila manusia mau memikirkan darimana datangnya alam ini, akan

sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai pada

keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid) karena akidah (keyakinan) tentang

keesaan Tuhan ini lebih mudah dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia.

342 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:

UIN SUSKA, 2014), h. 139 343

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.

1

175

Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah

beragama tauhid.344

Pemahaman tentang sitem berfikir, pengorganisasian dan

pendayagunaan fitrah manusia (panca indra, otak dan hati) secara proposional

dan optimal akan berimplikasi positif pada pemahaman mengenai intelegensi

secara utuh. Sehingga pendidikan Islam pada implemtasinya dalam konteks

pembelajaran tidak hanya difokuskan pada hafalan, tetapi lebih kepada

penanaman dan penghayatan nilai-nilai Islami (values) yang diaktualisasikan

dalam kehidupan sehari-hari, penalaran dan argumentasi berfikir untuk

masalah-masalah inteligensi berbagai bentuk semakin mendapat perhatian.

Sesungguhnya manusia dapat dikatakan intelligent (cerdas), bila mampu

mengotimalisasikan fitrah manusianya dengan melaui pendidikan dan proses

pembelajaran.

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa teori kecerdasan majemuk

(multiple intelligence) yang dimunculkan Howard Gardner tentang jenis

kecerdasan sebenarnya sudah dibahas dalam dunia pendidikan Islam,

pembahasan terhadap keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia melalui

pendekatan konsep “Fitrah”. Dengan pengertian lain bahwa di dalam Islam

(Al-Quran) sebenarnya sudah dikemukakan berbagai pengembangan tentang

kecerdasan dan berbagai potensi manusia jauh sebelum konsep kecerdasan

344

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 21-

24

176

majemuk (multiple intelligence) yang dimunculkan Howard Gardner

ditemukan.

Menurut analisis penulis Lahirnya Multiple Intelligence secara

kontekstual hasil dari research Gardner dengan para koleganya yang ahli

dibidang psikologi, lebih kepada pembuktian bio teori yang terdapat dalam Al-

Quran dan Hadits secara tekstual, bahwa Al-Quran telah berbicara tentang

potensi kecerdasan manusia yang beragam. Bahwa sebenarnya pendidikan

Islam dalam konsepsi Al-Quran dan Hadits telah jauh-jauh hari berbicara

tentang beragam kecerdasan dan cara mengembangkannya. Yang menarik dari

Al-Quran adalah bahwa kitab suci ini tidak saja memberikan pandangan

persepsionalnya, tetapi juga metode-metode pokok, bagaimana seharusnya

pendidikan yang tepat diberikan kepada anak untuk mencapai aktualisasi

kecerdasan dan peran manusia yang sempurna. Dengan demikian dapat

mengaplikasikan prinsip-prinsip dan implementasi kecerdasan tersebut dalam

kehidupan nyata.345

345

Syamsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Hal. 89