prinsip dan kriteria penilaian - hendra prijatna web viewtransformasi ke arah pengembangan budaya...

76
Transformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam kaitannya dengan pendekatan CBSA dan CTL dalam peningkatan mutu pembelajaran pendidikan IPS. Jawab : Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang Pendekatan kontektual(Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual Pemikiran tentang belajar Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. Proses belajar 1. Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri 2. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru

Upload: doanhanh

Post on 30-Jan-2018

236 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Transformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam kaitannya dengan pendekatan CBSA dan CTL dalam peningkatan mutu pembelajaran pendidikan IPS.Jawab :

Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang

Pendekatan kontektual(Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil

Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual Pemikiran tentang belajar

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.

Proses belajar1. Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan

pengetahuan di benak mereka sendiri2. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari

pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru3. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan

mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan4. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang

terpisak, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.5. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.6. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna

bagi didrinya, dan bergelut dengan ide-ide7. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan

terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.

Transfer Belajar1. Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain2. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit

demi sedikit)3. Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan

pengetahuan dan keterampilan ituSiswa sebagai Pembelajar 1. Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan

seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru

Page 2: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

2. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting

3. Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.

4. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

Pentingnya lingkungan Belajar1. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari

guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.

2. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya

3. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar

4. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

Hakekat Pembelajaran KontekstualPembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar

yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)Pengertaian CTL

1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.

2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat

Perbedaan Pendekatan Kontekstual Dengan Pendekatan TradisionalNO CTL TRADISONAL

1. Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna) Menyandarkan pada hapalan

2. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuh-an siswa Pemilihan informasi di-tentukan oleh guru

3. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran Siswa secara pasif menerima informasi

4. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/-masalah yang disi-mulasikan Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

5. Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan

Page 3: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

6. Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang

Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu

7

Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok)

Waktu belajar siswa se-bagian besar dipergu-nakan untuk mengerja-kan buku tugas, men-dengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual)

8. Perilaku dibangun atas kesadaran diri Perilaku dibangun atas kebiasaan

9. Keterampilan dikem-bangkan atas dasar pemahaman

Keterampilan dikem-bangkan atas dasar latihan

10. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri

Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor

11. Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tsb keliru dan merugikan

Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman

12. Perilaku baik berdasar-kan motivasi intrinsik

Perilaku baik berdasar-kan motivasi ekstrinsik

13. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas

14. Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.

Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DI KELASCTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas

yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya

2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya4. Ciptakan masyarakat belajar5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Tujuh Komponen CTL1. KONSTRUKTIVISME

Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal

Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan

2. INQUIRY Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

3. QUESTIONING (BERTANYA) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir

siswa Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry

4. LEARNING COMMUNITY (MASYARAKAT BELAJAR) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri

Page 4: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Tukar pengalaman Berbagi ide

5. MODELING (PEMODELAN) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya

6. REFLECTION ( REFLEKSI)Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajariMencatat apa yang telah dipelajariMembuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

7. AUTHENTIC ASSESSMENT (PENILAIAN YANG SEBENARNYA) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa Penilaian produk (kinerja) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual Karakteristik Pembelajaran CTL Kerjasama Saling menunjang Menyenangkan, tidak membosankan Belajar dengan bergairah Pembelajaran terintegrasi Menggunakan berbagai sumber Siswa aktif Sharing dengan teman Siswa kritis guru kreatif Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,

humor dan lain-lain Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil

pratikum, karangan siswa dan lain-lainSecara ringkas tujuh pilar CTL dan kelemahan pembelajaran tradisonal

Pilar / Solusi Indikator Masalah1. Konstruktivisme Belajar berpusat pada siswa untuk

mengkonstruksi bukan menerima. Belajar yang berpusat pada guru, formal, serius.

2. Inquiri Pengetahuan diperoleh dengan menemukan, menyatukan rasa, karsa dan karya.

Pengetahuan diperoleh siswa dengan duduk manis, mengingat seperangkat fakta, memisahkan kegiatan fisik dengan intelektual.

3. Bertanya Belajar merupakan kegiatan produktif, menggali informasi, menghasilkan pengetahuan dan keputusan.

Belajar adalah kegiatan konsumtif, menyerap informasi menghasilkan kebingungan dan kebosanan.

4.Masyarakat Belajar

Kerjasama dan maju bersama, saling membantu.

Individualistis dan persaingan yang melelahkan.

5. Pemodelan Pembelajaran yang Multi ways, mencoba hal – hal baru, kreatif.

Pembelajaran yang One way, seragam takut mencoba, takut salah.

6. Refleksi Pembelajaran yang komprehensif, evaluasi diri sendiri/internal dan eksternal.

Pembelajaran yang terkotak – kotak, mengandalkan respon eksternal/guru.

7.Penilaian Otentik Penilaian proses dan hasil, pengalaman belajar, tes dan non tes multi aspects.

Penilaian hasil, paper and pencil test, kognitif.

MENYUSUN RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUALDalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana

kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam

Page 5: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.

Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.

Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.1. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa

yang merupakan gabungan antara Standara Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar

2. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya 3. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu 4. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa 5. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati

partisipasinya dalam pembelajaran. Dalam standar kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial Depdiknas (2003:5)

dinyatakan “melalui mata pelajaran Pengetahuan Sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik”.

Menjadi warga negara dan warga dunia yang baik merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat, untuk itulah Pengetahuan Sosial harus dirancang untuk membangun dan merefleksikan kemampuan peserta didik dalam kehidupan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus.

Kemajuan ilmu dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian, kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi menghasilkan dampak negatif seperti polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air, dan udara tidak hanya di tempat sumber limbah akan tetapi juga secara global. Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara dan melestarikannya, sebaiknya kepada siswa dimasukkan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi beserta subsistenmya seperti terbentuknya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan energi bumi, dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu dan teknologi dalam tantangan lokal, nasional. dan global. Topik-topik demikian harus masuk dalam kurikulum IPS.

Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi, serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut.

Karena itu melalui jalur pendidikan IPS, sejak dini peserta didik sudah harus dibiasakan berfikir global, melihat segala sesuatu dengan perspektif global. Menurut Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardi, (1999:14): “yang dimaksud dengan "perspektif global" adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena itu, sikap dan perbuatan kita juga diarahkan untuk kepentingan global.”

Era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan semakin tajam, arus deras dari informasi dan komunikasi, keterbukaan merupakan salah satu pendorongnya, apabila kita tidak mengikutinya dengan seksama menyebabkan ketertinggalan. Ketertinggalan ini disebabkan juga karena globalisasi merupakan proses di mana manusia di bumi ini di-

Page 6: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

inkorporasikan atau dimasukkan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, yaitu masyarakat global; dan dalam proses itu kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi konsekuensi yang signifikan bagi individu atau masyarakat di daerah lainnya yang jauh di muka bumi ini (Nursyid:1999:15). Selain itu, globalisasi juga melahirkan masyarakat yang terbuka, yang memberikan nilai kepada individu, kepada hak dan kewajiban sehingga semua manusia mempunyai kesempatan yang sama. untuk mengembangkan potensinya dan menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan bangsa.

Landasan pemikiran lainnya adalah karena bumi tempat yang kita huni adalah planet yang sangat unik dan berharga. Keindahan dan nilai bumi bagi manusia dapat kita temui melalui bacaan dan lukisan. Untuk itulah manusia harus menunjukkan apresiasinya yang tinggi dengan penuh pengertian mengenai subsistem bumi dan dengan perilaku yang penuh tanggung jawab untuk kelestariannya. Selain itu bumi kita itu juga sangat rapuh dan sumberdaya alamnya terbatas; penggunaannya oleh manusia seringkali berlebih lebihan dan disalahgunakan. Salah satu sikap, manusia yang demikian, tidak lain karena pertambahan jumlah penduduk, yang terus menerus, yang mempercepat habisnya kekayaan alam, pengrusakan lingkungan, dan pemusnahan makhluk" bumi lainnya.

Sebenarnya kurikulum (IPS) 2004 sudah melihat kemungkinan (mengantisipasi), setidak-tidaknya untuk waktu sepuluh tahun kedepan dalam hal fenomena yang ada baik di tingkat masyarakat lokal, nasional, maupun global. Tetapi itu hanya kurikulum dalam bentuk ide dan dokumen, namun dalam bentuk kurikulum sebagai implimentasi (proses), masih akan sangat dipengaruhi oleh beberapa masalah, yaitu:1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar seperti

cooperative learning, inquiry, problem solving, atau dengan menggunakan pendekatan perspektif global misalnya.

2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah, ikut mempengaruhi proses belajar mengajar IPS.

3. Karena itu (point 1 dan 2), proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil secara faktual saja, dan tidak mendapat hasil proses.

4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.

5. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan peradaban asing yang mulai merambah secara global, karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun agama.

Tujuan bidang studi IPS tidak berfokus pada penguasaan materi IPS semata melainkan menitik beratkan pada penguasaan kecakapan proses, yang dapat diunjukkerjakan dalam bentuk verbal (verbal performance), sikap (attitudinal performance), dan perbuatan (physical performance), atau adanya integrasi antara afektif, kognitif dan motorik. (Suderadjat,2003:47).

Materi IPS yang dibelajar mengajarkan haruslah memiliki kualitas untuk dapat bersaing secara internasional, dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di era perdagangan bebas, terutama AFTA dan APEC. Karena, dapat dikembangkan kompetensi, dalam hal ini (PIPS), dikembangkan kompetensi sosial, yang dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu hidup dengan berbagai keterampilan dan kecakapan (life skills), sehingga mampu bersaing dan menang dalam persaingan global, tanpa harus kehilangan jati diri, dan lepas dari nilai-nilai dan budaya bangsanya.

Perlunya Pendidikan IPS yang berkualitas internasional, seperti yang dikatakan oleh Alvin Tofler “kita harus berfikir global, dan bertindak lokal”. Globalisasi merambah ke

Page 7: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

semua penjuru dunia, dan oleh karena itu tidak dapat kita bendung, dan kita harus masuk, ikut serta di dalamnya bertarung untuk menjadi pemenang (winner). Pasar bebas seperti AFTA, APEC, pasti datang karena itu kita harus mempersiapkan para peserta didik agar dapat menjadi pemenang dalam persaingan tersebut, sehingga dapat menjadi tuan di negara sendiri. Bukan menjadi penonton di rumah sendiri sebagai pihak yang kalah (loser). Oleh karena itu Pendidikan IPS juga harus mempersiapkan kompetensi sosial bagi para peserta didiknya.

Materi Pendidikan IPS yang berwawasan global tersebut, diantaranya adalah:a. Tentang Kesadaran diri; sebagai mahluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri

sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat sederajat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain).

b. Tentang kacakapan berfikir seperti kecakapan; berfikir kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.

c. Tentang kecakapan akademik tentang ilmu-ilmu sosial, seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan, serta twntang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.

d. Mengembangkan social skills, dengan maksud supaya pada masa datang kita tidak hanya menjadi objek penguasaan globlisasi belaka. Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002:15) adalah; keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta keterampilan dalam membuat keputusan.Sedangkan keterampilan sosial yang telah dikembangkan oleh NCSS (1984:249)

adalah “keterampilan dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat (keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi dalam masyarakat)”.

Keterampilan sosial seperti ini nampaknya relevan untuk dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia, agar kelak para peserta didik dapat hidup sebagai warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.

Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahiran-kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber.

Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.

Page 8: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya.

Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima

Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan tersebut di dalam kelas.

Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.

Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:

1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah.

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.

3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial

agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang

mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah,b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat

dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara.

penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan

pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.

Page 9: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.

f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan, pemberlakuan, dan asessment pembelajaran.Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi,

serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Sehingga sejak dini siswa sudah dibiasakan melihat, memahami, menganalisis, merefleksikan, memprediksi berbagai fenomena yang terjadi secara global.

Dengan perspektif global, siswa mampu melihat dunia beserta penduduknya dengan pengertian dan kepedulian. Dengan perspektif ini siswa dididik untuk ikut bertanggung jawab terhadap berbagai kebutuhan hidup penduduk dunia dan komitmen untuk ikut menyelesaikan berbagai permasalahan dunia dengan adil dan damai.

Dunia di sekitar kita berubah dengan cepat. Para siswa yang akan menjadi warga negara masa depan, hidup dan belajar di tengah-tengah kancah eksploitasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tiada bandingannya dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Mereka tidak dapat mempelajari semuanya atau seluruhnya bahan materi yang akan mereka perlukan selanjutnya, kecuali pedoman kemampuan, keterampilan dan sikap yang akan diperlukan untuk menghadapi zaman tersebut. Pemanfaatan secara efektif kurikulum yang kualitasnya baku, harus disertai dengan kualitas kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih bahan, menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas, memperhatikan dan mengikuti perkembangan pengetahauan dan penelitian yang mutakhir dan menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan siswa di dalam membangun pengetahuan dan ilmunya.

Cara untuk membangkitkan budaya belajar di kalangan siswa. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk membangkitkan budaya belajar siswa di

antaranya dengan menggunakan multi metode, media, dan evaluasi dalam pembelajaran. Cara lain dengan mengembangkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Menurut Silberman (2004:19) proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut ini:a. Mengemukakan kembali infomasi dengan kata-kata mereka sendiri.b. Memberikan contohnya.c. Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.d. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.e. Menggunakannya dengan beragam cara.f. Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.g. Menyebutkan lawan atau sebaliknya.

Sementara menurut Al Muchtar (2004:251-252), bahwa: Peningkatan kualitas pendidikan IPS dengan pengembangan berpikir dan nilai, perlu adanya transformasi budaya belajar antara lain dari kebiasaan belajar hanya dalam bentuk menghapal menjadi budaya belajar berpikir; dari belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya. Peningkatan motivasi dan tujuan belajar dari hanya sekedar mendapatkan nilai yang cukup memadai menjadi budaya belajar yang berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; dari kebiasaan belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah, dan menggunakan informasi. Dari kebiasaan belajar pasif menerima informasi dari guru berkembang menjadi cara belajar aktif.

Page 10: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif dengan persaingan yang sehat. Dari cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah memecahkan masalah sosial.

Lebih lanjut Al Muchtar (2004:252), mengemukakan bahwa: Proses transformasi tersebut dapat berjalan jika dilakukan pula transformasi budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain dari kebiasaan memberi materi pelajaran ke arah menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk masalah sebagai media stimulus bagi pengembangan berpikir dan nilai. Dari kebiasaan berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar ke arah berperan sebagai direktur belajar yang dapat memberi kemudahan belajar. Dari kebiasaan menciptakan pola interaksi satu arah menjadi pola interaksi serba arah. Dari kebiasaan mengajarkan nilai ke arah mengklarifikasi nilai, dari kebiasaan memberikan hapalan ke arah merangsang untuk berpikir tingkat tinggi.

Jadi, sebaik apapun pendekatan, metode, media yang digunakan untuk membangkitkan budaya belajar siswa, akhirnya terpulang kepada guru sebagai ujung tombak dalam proses belajar mengajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahab (1998:7), bahwa: Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali.

Discovery dan Inquiri masih dipandang tepat sebagai salah satu arah pengembangan metode pembelajaran dalam Pendidikan IPS, kemudian kemukakan hasil analisis lapangan anda minimal 10 faktor yang menyebabkan pembelajaran IPS lemah tidak menarik, dan kemukakan alternatif strategik mengatasi kondisi tersebut.Jawab :

Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar, 2004. Azis, 2002, Supriatna, 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan, dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas dua (Somantri, 2001).

Aziz (2002) mengatakan “padahal dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting. Dalam pembelajaran PIPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan demokratis, termasuk mepraktekkan berpikir dan pemecahan masalah.”

Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.

Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan pada imformasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan pada proses berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa datang. Oleh karena itu sudah semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di di dunia secara global.

Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau

Page 11: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahiran-kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber.

Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.

Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya.

Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima

Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan tersebut di dalam kelas.

Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.

Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:

1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah.

Page 12: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.

3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial

agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang

mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah,b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat

dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara.

penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan

pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya

difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.

f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan, pemberlakuan, dan asessment pembelajaran.Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar

pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta. dipupuk secara efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu, strategi manajemen pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan potensi peserta didik Yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan cara penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan keunggulan-keunggulan tersebut, baik keunggulan dalam hal potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat keterampilan (gifted and talented).

Strategi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yang memberikan perlakuan dan layanan pendidikan Yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat, dan kreativitasnya. Strategi pelayanan pendidikan seperti ini memang tepat dalam konteks pemerataan kesempatan, akan tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi peserta didik secara cepat. Hasil beberapa penelitian Depdikbud (1994) menunjukkan sekitar sepertiga peserta didik yang dapat digolongkan sebagai peserta didik berbakat (gifted and talented) mengalami gejala “prestasi kurang” (underachiever). Hal sama dikemukakan oleh Munandar (1992) cukup banyak peserta didik berbakat yang prestasinya di sekolah tidak mencerminkan potensi intelektual mereka yang menonjol. Salah satu penyebabnya adalah kondisi-kondisi ekstemal atau lingkungan belajar yang kurang menunjang, kurang menantang kepada mereka untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal. Padahal, upaya untuk mencapai keunggulan, melalui strategi pelayanan pendidikan massal akan memiliki konsekuensi sumberdaya pendidikan (dana, tenaga dan sarana) yang kurang menguntungkan. Model strategi pelayanan pendidikan altematif perlu dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya.

Peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan kelompok kecil. Data di Balitbang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2 – 5 % dari seluruh peserta didik yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi. Di tingkat SLTP jumlah peserta didik berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai 8 %. Lebih lanjut dikemukakan berdasarkan intelegensi Wechsler peserta didik berbakat intelektual tergolong "sangat unggul" (IQ 130 keatas) berjumlah 2,2% dan tergolong

Page 13: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

"unggul" (IQ 120-129) berjumlah 6,7% dari populasinya. Jumlah ini memang masih tergolong kecil, namun secara potensial mereka unggul dalam salah satu atau beberapa bidang yang meliputi bidang-bidang intelektual umum, dan akademia khusus, berpikir kreatif produktif, kepemimpinan, seni dan psikomotorik.

Strategi pelayanan pendidikan altematif dalam manajemen pendidikan perlu dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat minat dan kemampuannya. Agar pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta, didik mencapai sasaran yang optimal, maka pembelajaran harus diaelaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.

Mengajar atau "teaching" adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan peserta didik. Secara impliait dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan; mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasamya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu pembelajaran menaruh perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik, dan bukan pada "apa yang dipelajari peserta didik". Dengan demikian pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteriatik peserta didik.

Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor misalkan bahan yang dipelajari, instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya kompetensi secara optimal.

Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senantiasa berlangsung dalam berbagai situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses belajar, bahwa masukan (input) untuk sistem pendidikan, atau sistem belajar terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluaran (output) terdiri dari orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam (black box) yang berupa proses belajar atau pendidikan.

Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahannya relatif tetap (permanen) serta perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dcngan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yeng temporer sifatnya. Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah poses perubahan tingkah-laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya.

Untuk memberikan landasan akademik/filosofts terhadap pelaksanaan pembelajaran, maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli pendidikan serta pembelajaran. Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa digunakan sebapi acuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum 2004, yaitu John Dewey, Vygotsky,

Page 14: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

dan Ausubel. Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah memberi pengalaman belajar yang tepat bagi siswa. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru adalah membantu siswa menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama akan melekat pada struktur kognitif siswa dan menjadi pengetahuan baru bagi siswa.

Menurut Vygotsky (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman sehari-hari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi terdapat perbedaan secara kualitatif antara berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks berdasarkan pada pengkategorisasian objek berdasarkan suatu situasi, dan berpikir konseptual berbasis pada pengertian yang lebih abstrak. Ditegaskan bahwa pengembangan kemampuan dalam hal menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman sehari-hari pada dasarnya terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh pengalaman sehari-hari saja, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial.

Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan bahan ajar, misalnya siswa mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala, peristiwa, percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi pengetahuan baru, semua konsep dalam mata pelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di lapangan.

Joyce, Weil, dan Showers (1992) menyatakan bahwa hakikat mengajar (teaching) adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar dengan mudah dan efektif di masa mendatang. Tekanan dari kegiatan mengajar tetap saja pada siswa yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi siswa dalam belajar agar mereka mendapat kemudahan dalam belajar

Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi pilihan dalam Kurikulum 2004 sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di antaranya:(1) potensi siswa berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika stimulusnya

tepat;(2) mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta diabaikin aspek-aspek moral, akhlak,

budi pekerti, seni & olah raga, serta life skill.(3) persaingan global yang menyebabkan siswa/anak yang mampu akan berhasil/eksis, dan

yang kurang mampu akan gagal;(4) persaingan pada kemampuan SDM (Sumber .Daya Manusia) produk lembaga

pendidikan, serta(5) persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang jelas

mengenai standar kompetensi lulusan.Upaya-upaya dalan rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju Kurikulum

2004 meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten, serta model sosialisasi, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta era yang terjadi saat ini. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum tersebut berlangsung secara bertahap dan terus-menerus, yang mengarah pada terwujudnya azas keluwesan dalam isi kurikulum dan pengelolaan proses belajar mengajar dalam rangka pengembangan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi

Page 15: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu kepada bagaimana siswa belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari.

Sebagai sebuah, konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil dan keberagaman; (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru tetapi unsur belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu kompetensi (Siskandar, 2003).

Kurikulum 2004 dengan paradigmanya pembelajaran berbasis kompetensi menempatkan siswa sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka guru tidak boleh lagi dipandang sebagai orang yang paling tahu segalanya, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator terjadinya proses belajar pada individu siswa, dan siswa tentunya juga harus secara terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga dari waktu ke waktu makin meningkat kemampuannya. Kemampuan atau keterampilan mendasar dalam belajar, atau bisa dikenal juga sebagai keterampilan proses antara lain adalah kemampuan atau keterampilan dalam :1. mengobservasi/mengadakan pengamatan2. menghitung3. mengukur4. mengklasifikasi5. mencari hubungan ruang/waktu6. membuat hipotesis 7. merencanakan penelitian/eksperimen8. mengendalikan variabel9. menginterpretasi atau. Menafsirkan data10. menyusun kesimpulan sementara (inferensi)11. meramalkan (memprediksi)12. menerapkan (mengaplikasikan13. mengkomunikasikan

Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituju. Seluruh irama, gerak atau tindakan dalam pembelaiaran seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang mampu mengaktifkan siswa secara optimal.

Mendasarkan pada uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan KBK sebagai ciri Kurikulum 2004, dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/Lulusand. Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversifikasie. Mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyelurah (holistik)f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)

Salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah metode discovery, hal itu disebabkan karena metode discovery ini: (a) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan

Page 16: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri, (e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probelama yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian diharapkan metode discovery ini lebih dikenal dan digunakan di dalam berbagai kesempatan proses belajar mengajar yang memungkinkan.

Metode Discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi.

Metode Discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Menurut Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.

Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund (1975) bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.

Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan menurut Suryosubroto (2002:197) yang mengutip pendapat Gilstrap (1975) adalah: (a) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realities untuk mengajar dengan penemuan, (b) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsip-prinsip, generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang akan dipelajarai, (c) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan, (d) Berkomunikasi dengan siswa akan membantu menjelaskan peranan penemuan, (e) menyiapkan suatu situasi yang mengandung masalah yang minta dipecahkan, (f) Mengecek pengertian siswa tentang maslah yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan, (g) Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan, (h) memberi kesempatan kepada siswa untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai data harga bahan-bahan pokok dan jumlah orang yang membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut, (i) Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya sendiri, sehingga memperoleh tilikan umum, (j) Memberi kesempatan kepada siswa melanjutkan pengalaman belajarnya, walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri, (k) memberi jawaban dengan cepat dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan diperlukan siswa dalam kelangsungan kegiatannya, (l) Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses, (m) Mengajarkan ketrampilan untuk belajar dengan penemuan yang diidentifikasi oleh kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan, (n) Merangsang interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul, (o) Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi maupun pertanyaan tingkat yang sederhana, (p) Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandanganan dan tafsiran yang berbeda. Bukan menilai secara kritis tetapi membantu menarik kesimpulan yang benar, (q) Membesarkan siswa untuk memperkuat pernyataannya dengan alas an dan fakta, (r)

Page 17: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Memuji siswa yang sedang bergiat dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang bertanya kepada temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa siswa yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri, (s) membantu siswa menulis atau merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian yang menjadi pusat dari masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi penemuan, (t) Mengecek apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik, dalam situasi berikutnya, yaitu situasi dimana siswa bebas menentukan pendekatannya.

Sedangkan langkah-langkah menurut Richard Scuhman yang dikutip oleh Suryosubroto (2002:199) adalah : (a) identifikasi kebutuhan siswa, (b) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari, (c) Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas, (d) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa, (e) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan, (f) Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa, (g) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan, (h) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa, (i) memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses, (j) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa, (k) memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan, (l) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Metode discovery memiliki kebaikan-kebaikan seperti diungkapkan oleh Suryosubroto (2002:200) yaitu: (a) Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu, (b) Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer, (c) Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan, (d) metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri, (e) metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus, (f) Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan. Dapat memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan, (g) Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi sebagai sesame dalam situasi penemuan yang jawaban nya belum diketahui sebelumnya, (h) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisssisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

Kelemahan metode discovery Suryosubroto (2002:2001) adalah: (a) Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini. Misalnya siswa yang lamban mungkin bingung dalam usahanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain, (b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu. (c) Harapan yang ditumpahkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisional, (d) Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan memperoleh pengertian dan kurang

Page 18: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

memperhatikan diperolehnya sikap dan ketrampilan. Sedangkan sikap dan ketrampilan diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai perkembangan emosional sosial secara keseluruhan, (e) dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide-ide, mungkin tidak ada, (f) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya. Tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.

Metode Discovery menurut Rohani (2004:39) adalah metode yang berangkat dari suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru.

Ada lima tahap yang harus ditempuh dalam metode discovery menurut Rohani(2004:39) yaitu: (a) Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik, (b) Penetapan jawaban sementara atau pengajuan hipotesis, (c) Peserta didik mencari informasi , data, fakta, yang diperlukan untuk menjawab atau memecahkan masalah dan menguji hipotesis, (d) Menarik kesimpulan dari jawaban atau generalisasi, (e) Aplikasi kesimpulan atau generalisasidalam situasi baru.

Metode Discovery menurut Roestiyah (2001:20) adalah metode mengajar mempergunakan teknik penemuan. Metode discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.

Pada metode discovery, situasi belajar mengajar berpindah dari situasi teacher dominated learning menjadi situasi student dominated learning. Dengan pembelajaran menggunakan metode discovery, maka cara mengajar melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.

Penggunaan metode discovery ini guru berusaha untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. Sehingga metode discovery menurut Roestiyah (2001:20) memiliki keunggulan sebagai berikut: (a) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta panguasaan ketrampilan dalam proses kognitif/ pengenalan siswa, (b) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi / individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut, (c) Dapat meningkatkan kegairahan belajar para siswa.

Metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan metode penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar.

Cara mengajar dengan metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (a) Adanya masalah yang akan dipecahkan, (b) Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik, (c) Konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh peserta didik melalui kegiatan tersebut perlu dikemukakan dan ditulis secara jelas, (d) harus tersedia alat dan bahan yang diperlukan, (e) Sususnan kelas diatur sedemian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, (f) Guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

Page 19: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

mengumpulkan data, (g) Guru harus memberikan jawaban dengan tepat dengan data serta informasi yang diperlukan peserta didik.

Metode inquiry adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar yang aktif (Mulyasa , 2003:234).

Kendatipun metode ini berpusat pada kegiatan peserta didik, namun guru tetap memegang peranan penting sebagai pembuat desain pengalaman belajar. Guru berkewajiban menggiring peserta didik untuk melakukan kegiatan. Kadang kala guru perlu memberikan penjelasan, melontarkan pertanyaan, memberikan komentar, dan saran kepada peserta didik. Guru berkewajiban memberikan kemudahan belajar melalui penciptaan iklim yang kondusif, dengan menggunakan fasilitas media dan materi pembelajaran yang bervariasi.

Inquiry pada dasarnya adalah cara menyadari apa yang telah dialami. Karena itu inquiry menuntut peserta didik berfikir. Metode ini melibatkan mereka dalam kegiatan intelektual. Metode ini menuntut peserta didik memproses pengalaman belajar menjadi suatu yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian , melalui metode ini peserta didik dibiasakan untuk produktif, analitis , dan kritis.

Langkah-langkah dalam proses inquiry adalah menyadarkan keingintahuan terhadap sesuatu, mempradugakan suatu jawaban, serta menarik kesimpulan dan membuat keputusan yang valid untuk menjawab permasalahan yang didukung oleh bukti-bukti. Berikutnya adalah menggunakan kesimpulan untuk menganalisis data yang baru (Mulyasa, 2005:235).

Strategi pelaksanaan inquiry adalah: (1) Guru memberikan penjelasan, instruksi atau pertanyaan terhadap materi yang akan diajarkan. (2) Memberikan tugas kepada peserta didik untuk menjawab pertanyaan, yang jawabannya bisa didapatkan pada proses pembelajaran yang dialami siswa. (3) Guru memberikan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang mungkin membingungkan peserta didik. (4) Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang telah dipelajari sebelumnya. (5) Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (Mulyasa, 2005:236).

Metode inquiry menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti suatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari, meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.

Guru menggunakan teknik bila mempunyai tujuan agar siswa terangsang oleh tugas, dan aktif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu. Mencari sumber sendiri, dan mereka belajar bersama dalam kelompoknya. Diharapkan siswa juga mampu mengemukakan pendapatnya dan merumuskan kesimpulan nantinya. Juga mereka diharapkan dapat berdebat, menyanggah dan mempertahankan pendapatnya. Inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, seperti merumuskan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan. Pada metode inquiry dapat ditumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan sebagainya. Akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang disetujui bersama. Bila siswa melakukan semua kegiatan di atas berarti siswa sedang melakukan inquiry.

Teknik inquiry ini memiliki keunggulan yaitu : (a) Dapat membentuk dan mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar ide-ide dengan lebih baik. (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru. (c) mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas

Page 20: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka. (d) Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri. (e) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik. (f) Situasi pembelajaran lebih menggairahkan. (g) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu. (h) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri. (i) Menghindarkan diri dari cara belajar tradisional. (j) Dapat memberikan waktu kepada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.

Metode inquiry menurut Suryosubroto (2002:192) adalah perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inqury mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan, dan sebagainya.

Penggunaan Media pembelajaran dalam pendidikan IPS belum banyak dilakukan dalam praktrek pendidikan IPS, sementara itu kemajuan dalam bidang teknologi sangat pesat, implikasi dilihat dari aspek teknologi pembelajaran semakin ketinggalan. Kemukakan komentar anda bagaimana cara merancang, menggunakan dan mengoptimalkan fungsi media dalam pembelajaran IPS, kemukakan contoh aktual dalam praksis pembelajaran IPS.Jawab :

Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT, 1977), sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisien tujuan pembelajaran.

Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design), yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem intruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal; dan

2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.

Dinamika pendidikan nasional, agaknya masih menjadi kajian menarik untuk diangkat sebagai bahan perbincangan, lebih-lebih dihadapan dunia akademis. Akhir-akhir ini, dinamisasi pendidikan nasional sedang mencanangkan “gerakan peningkatan mutu pendidikan”, yang telah dimulai sejak 2 Mei 2002.

Sebagai sebuah agenda era reformasi sekarang ini, sudah saatnya paradigma pendidikan harus memiliki relevansi dengan nilai-nilai masyarakat. Pendidikan yang berbasis masyarakat akan memungkinkan menjadi alternatif bagi terciptanya sumber daya manusia (SDM) seutuhnya. Sebab, secara filosofis, pendidikan merupakan upaya pewarisan, penyempurnaan dan pengembangan ilmu, pengalaman, kebiasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sesuai norma, nilai hukum yang menjadi acuan dalam kebudayaan masyarakat.

Sejalan dengan hal itu, Rusman Tumanggor (2000) mensinyalir bahwa para ilmuan dan tokoh Indonesia terkemuka mencetuskan world-view bangsa: Mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya” yang oleh WHO (World Health Organization) dinyatakan world-view bagi kesempurnaan manusia sejagad, melalui konsep kesehatan meliputi kesehatan kesempurnaan: fisik, mental, sosial dan spiritual (Health is a state of physical, mental, social, and spiritual well being and not merely the absence of diseases or infirmity).

Page 21: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Melalui gagasan tersebut, pendidikan berarti upaya terbaik untuk meraih kesempurnaan hidup manusia sesuai dengan realitas faktual yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, perubahan paradigma pendidikan itu dimaksudkan untuk mengembalikan pendidikan kepada basis masyarakat. Masyarakat dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan pendidikan dengan tujuan agar mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap pelaksanaan program-program pendidikan tersebut.

Melalui konsep demikian, pendidikan pada dasarnya berbasis pada masyarakat. Abuddin Nata mendefinisikan konsep tersebut, sebagai sebuah alternatif untuk ikut memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Jadi, masalah-masalah yang dihadapi sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat. Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti siswa/mahasiswa, guru/dosen, perlengkapan keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat seperti lapangan olah raga, bengkel kerja, masjid, tempat-tempat kursus ketrampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.

Upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat selaras dengan asas demokrasi, keadilan, dan keterkaitan pendidikan dengan kehendak masyarakat. Lebih dari itu, pendidikan berbasis masyarakat merupakan pilar untuk merealisasikan UU 22 dan nomor 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah.

Peran serta masyarakat yang menjadi ciri konsep pendidikan era otonomi bukanlah hal yang baru. Karena jauh sebelum itu, di setiap sekolah pada umumnya sudah ada apa yang disebut BP3 (Badan Pembina dan Pengawasan Sekolah) yang anggotanya terdiri dari orangtua siswa, atau di Perguruan Tinggi disebut POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang anggotanya terdiri dari para orangtua mahasiswa.

Dengan membangun pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan akan memberikan peluang bagi institusi pendidikan agar semakin meningkat peranannya, yakni dengan cara memberikan kemudahan kepada pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi untuk memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat, termasuk sumber daya manusia. Dengan cara demikian, antara lembaga sekolah atau Perguruan Tinggi dan masyarakat berada dalam satu visi, misi dan tujuan dalam ikut serta menyukseskan program pendidikan.

Keharusan masyarakat ikut serta terlibat dalam menangani masalah-masalah pendidikan tersebut sebenarnya sudah di atur dalam undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Pada bab I, ketentuan umum, pasal 1, butir 10 misalnya dinyatakan bahwa sumber daya pendidikan adalah dukungan dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia dan diadakan serta didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN,1993).

Perlu diakui bahwa pendidikan yang bermental ‘swasta’ adalah corak pendidikan yang berbasis masyarakat. Pendidikan yang bermental swasta itu-baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta betulan- telah teruji dilapangan dalam penerapan pendidikan yang berbasis masyarakat. Melalui pendidikan seperti inilah yang diharapkan mampu bertarung dalam kompetisi era global.

Selama ini, pada umumnya pendidikan terbiasa menggantungkan batuan dari pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, mengakibatkan keterbatasan, kekurangan dan berbagai masalah muncul di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengurangi

Page 22: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

ketergantungan itu pendidikan diharapkan dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi yang terdapat di masyarakat.

Secara umum, pendidikan yang masih mengharapkan ‘pulung’ dari atas, selalu menpengaruhi kinerja sistem penyelenggaraan di sekolah/Perguruan Tinggi. Dengan kembali kepada ‘mental’ swasta diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat.

Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara maju. Amerika misalnya, sejak lama telah menerapkan pendidikan semacam ini. Pendidikan tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas, agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi sosial.

Sekali lagi, mengembalikan pendidikan kepada masyarakat berarti menghargai keragaman budaya, kultur dan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat. Pendidikan harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ali Khalil memberikan apresiasi bahwa pendidikan adalah proses sosial. Karena itu, pendidikan dalam suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dalam arti lain, pendidikan adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.

Adanya berbagai variasi lembaga sosial, tempat pariwisata, kesenian dan sejumlah aset masyarakat membuka seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Antara masyarakat dengan pihak lembaga pendidikan betul-betul bisa membangun kerjasama sinergis yang kompak dalam menunjukkan kegiatan pendidikan.

Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup (long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana diharapkan Tim Reformasi Pendidikan Nasional.

Metode pembelajaran merupakan suatu konsep yang harus dimiliki oleh setiap pengajar/guru. Metode pembelajaran yang tepat sangat berperan demi terciptanya tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Dari dulu metode yang digunakan oleh para pengajar pada prinsipnya sama, apakah itu dengan cara diskusi, praktek secara langsung ataupun cara-cara lainnya. Namun siswa suatu saat akan mengalamai kejenuhan dengan metode tersebut dan juga tidak semua siswa bias menerima cara-cara tersebut karena setiap siswa memiliki tingkat intelegen yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari bisa kita lihat bahwa acara televisi, lagu, video, animasi ataupun gambar-gambar yang menarik  bisa menimbulkan rasa ketertarikan dan penasaran serta tidak membuat kita merasa cepat jenuh. Dan juga kita lebih mudah mengerti dan menerimanya itupun karena adanya inovasi dan kreativitas yang terus-menerus sehingga masyarakat tidak mudah bosan bahkan menunggu.

Dari kehidupan sehari-hari seperti yang telah diuraikan, maka tidak ada salahnya para pengajar menggunakan metode/cara seperti halnya televisi, lagu ataupun gambar. Untuk mengimplementasikan metode tersebut secara tidak langsung kita akan berhubungan dengan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi dari hari ke hari terus berkembang dengan pesatnya. Mengapa kita tidak memanfaatkan teknologi informasi tersebut untuk melakukan metode pembelajaran ?. Mau tidak mau para pendidik dituntut untuk menguasai

Page 23: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

teknologi informasi meskipun sedikit atau sekedar tau informasinya, karena cakupan dari teknologi informasi sendiri sangat banyak.

Bila kita bicara mengenai televisi, lagu, animasi dan gambar  maka kita akan berbicara mengenai multimedia. Multimedia merupakan gabungan dari suara, video, animasi, teks dan gambar yang dijadikan satu sehingga menjadi lebih menarik dan mencapai dari tujuan yang diinginkan.   Dalam multimedia sendiri terdapat beberapa yang dapat digunakan sebagai media dalam pembelajaran. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk CD interaktif ataupun presentasi interaktif.  Multimedia ada yang interaktif dan ada yang linear. Multimedia linear tidak mengikutkan user, user hanya sebagai penonton saja sedangkan interaktif/hierarki mengikutsertakan user dalam penggunaan aplikasinya.

Kita bisa menggunakan kedua-duanya, tentunya disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan. Dalam pembuatan aplikasi pembelajaran menggunakan multimedia, pertama yang harus dilakukan adalah membuat konsep/struktur dari aplikasi tersebut. Bagaimana aplikasi yang dibuat nanti mempunyai daya ketertarikan dan mudah di mengerti serta mudah diserap oleh siswa. Selanjutnya adalah mengumpulkan materi dan bahan-bahan pendukungnya dan juga membuat desain antar muka dan melanjutkannya menjadi desain aplikasi. Setelah itu baru proses pembuatan aplikasi dilakukan dengan menggunakan software yang digunakan untuk keperluan pembuatan aplikasi multimedia seperti software macromedia flash dan macromedia director. Sebenarnya dengan menggunakan  power point juga bisa diterapkan tapi kita tidak bisa mengembangkan lebih baik/menarik lagi karena keterbatasan dari software tersebut. Dalam pembuatan konsep diperlukan ide dan kreatifitas yang tinggi agar tujuan yang diharapkan tercapai. Kreatifitas sendiri bisa dimulai dengan meniru dan memodifikasi, maka dengan sendirinya kreatifitas itu akan muncul . Kita bisa mencari referensi, tutorial ataupun informasi di internet. Memang jika di pikir akan terasa berat bagi para pendidik karena kita dituntut untuk menguasai software tersebut dan juga dituntut untuk kreatif. Tapi jika kita mengandalkan metode lama maka hasilnya masih minimal, sekarang jaman sudah serba teknologi jadi gunakan teknologi dalam dunia pendidikan supaya memperoleh hasil yang lebih maksimal.

Dari uraian singkat diatas bisa disimpulkan bahwa multimedia menjadi alternative sebagai media dalam proses pembelajaran di sekolah. Penggunaan multimedia saat ini adalah pembelajaran ICT. Dengan menggunakan multimedia sebagai media pembelajaran diharapkan menumbuhkan ketertarikan dan minat siswa dalam mengikuti pelajaran dan juga memperoleh hasil/tujuan yang maksimal.

Ujian Akhir Nasional mendapat sorotan dari pakar dan praktis pendidikan, terdapat dua pandangan pro dan kontra, kemukakan secara konseptual ; teoritik tentang pandangan tersebut. Bagaimana posisi dan pendapat anda sehubungan upaya memperbaiki proses pembelajaran pendidikan IPS.Jawab :

Banyak batasan penilaian atau evaluasi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli. Di antaranya dikemukakan oleh Arikunto (1986:3), bahwa: “Penilaian pendidikan adalah kegiatan penilaian yang terjadi dalam kegiatan pendidikan”. Pendapat yang lebih terperinci dikemukakan oleh Harahap (1979:19): “Penilaian pendidikan adalah penilaian tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum”. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (21) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan” (2003:9).

Page 24: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Dari pengertian penilaian pendidikan sebagaimana tersebut di atas tersirat tujuan penilaian pendidikan, yaitu untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan yang telah direncanakan sudah tercapai atau belum. Bagi tujuan pendidikan yang sudah tercapai bagaimana tindak lanjutnya dan bagi yang belum tercapai bagaimana cara memperbaikinya.

Menurut Anderson, et al. (Arikunto:1988:3): “Tujuan utama penilaian pendidikan adalah menyiapkan informasi untuk keperluan pengambilan keputusan tentang suatu program”. Sedangkan Harahap (1979:19) berpendapat, bahwa: “Tujuan penilaian pendidikan ialah untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh murid, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan di dalam kurikulum”.

Berdasarkan pendapat di atas jelas, bahwa dengan penilaian pendidikan kita dapat mengetahui tingkat keberhasilan pogram pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan untuk selanjutnya dijadikan bahan petimbangan pengambilan keputusan, pertanggungjawaban kepada para pihak terkait, dan perbaikan program selanjutnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Umar et al. (2000:4), bahwa: “Kegunaan utama dari penilaian adalah untuk pengambilan keputusan dan untuk mempertanggungjawakan kegiatan yang telah dilaksanakan”.Prinsip dan Kriteria Penilaian

Agar penilaian yang dilakukan sesuai dengan tujuan penilaian yang diharapkan, maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku. Secara umum prinsip penilaian pendidikan menurut Sirait (1989:31-33) adalah sebagai berikut:

Menentukan dan menjelaskan apa yang harus dinilai selalu mendapat prioritas dalam proses evaluasi. Teknik evaluasi harus dipilih sesuai dengan tujuan yang akan dilayaninya. Evaluasi yang komprehensif menuntut berbagai teknik evaluasi.Pemakaian teknik evaluasi yang sewajarnya menuntut kewaspadaan akan keterbatasannya seperti juga kekuatannya. Evaluasi adalah alat mencapai tujuan dan bukan merupakan tujuan akhir.Dari pendapat di atas, bahwa dalam penilaian pendidikan selain harus jelas tujuannya,

teknik penilaian yang digunakan sesuai dengan tujuan, komprehensif (menyeluruh), menyadari kelebihan dan kekurangan dari berbagai teknik evaluasi, serta penilaian merupakan salah satu alat yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan.

Sementara menurut Arifin (1988:11-12), penilaian atau evaluasi hendaknya bertolak dari prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Kontinuitas, artinya karena pendidikan itu merupakan suatu proses yang kontinu, maka evaluasi pun harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus).

2. Menyeluruh, artinya seluruh aspek kepribadian anak, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

3. Objektivitas, artinya evaluasi harus didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya.4. Kooperatif, artinya setiap kegiatan evaluasi hendaknya dilakukan secara bersama

oleh semua guru, terutama di sekolah lanjutan karena setiap anak didik ditangani oleh banyak guru.

Suatu penilaian dikatakan baik, apabila sesuai dengan ciri-ciri penilaian yang baik. Penilaian yang baik menurut Arikunto (1986:50-54), memiliki ciri sebagai berikut:

1. Validitas, sebuah tes disebut valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur.

2. Reliabilitas, sebuah tes disebut reliabel apabila tes itu dapat dipercaya.3. Objektivitas, sebuah tes disebut objektif apabila tidak dipengaruhi oleh masalah

pribadi.

Page 25: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

4. Praktikabilitas, sebuah tes dikatakan memiliki praktikailitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat prakis, mudah pengadministrasiannya.

5. Ekonomis, apabila tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.

Dari beberapa pendapat di atas jelas, bahwa penilaian pendidikan yang baik berpijak pada ciri dan prinsip kontinuitas, validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, komprehensif, kooperatif, dan ekonomis. Dengan berpatokan kepada prinsip-prinsip tersebut diharapkan penilaian dapat menjadi alat ukur tingkat keberhasilan program pendidikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban kepada para steakholders pendidikan.Sistem Penilaian Unas dan Permasalahannya

Pasal 2 Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, menyatakan bahwa:

Ujian Nasional bertujuan untuk:a. mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik;b. mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan

sekolah/madrasah;c. mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi,

kabupaten/kota, sekolah/madrasah; kepada masyarakat (2003:2).Dari tujuan ujian nasional di atas jelas, bahwa ujian nasional memegang peranan yang sangat

penting dalam sistem pendidikan nasional, karena selain untuk mengukur pencapaian hasil belajar dan mengukur mutu pendidikan, juga untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Selanjutnya pasal 3 menyatakan, bahwa:

Ujian Nasional berfungsi sebagai:a. alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;b. pendorong peningkatan mutu pendidikan;c. bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik;d. bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang

pendidikan yang lebih tinggi (2003:3).Dengan memperhatikan fungsi ujian nasional di atas, betapa strategisnya ujian nasional

sebagai alat pengendali dan pendorong mutu pendidikan, menentukan kelulusan, serta bahan pertimbangan seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Ujian nasional dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dalam rangka mencapai tujuan ujian nasional khususnya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya, apabila ujian nasional tersebut dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian. Sebaliknya akan menjadi kontraproduktif apabila pelaksanaannya bertentangan dengan prinsip-prinsip penilaian yang berlaku.

Sementara pasal 5 ayat (1) Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, dinyatakan bahwa: “Ujian Nasional meliputi seluruh mata pelajaran yang diajarkan pada kelas akhir sesuai dengan kurikulum nasional dan dilaksanakan dalam bentuk ujian tertulis dan ujian praktik” (2003:3). Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (1) Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003, dinyatakan bahwa: “Soal ujian nasional mengacu pada materi pelajaran dan bahan kajian yang ditetapkan berdasarkan kurikulum nasional” (2003:3).

Soal ujian nasional terbagi dua kelompok, yaitu yang disiapkan oleh pusat dan yang disiapkan oleh sekolah/madrasah. Dalam lampiran Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003, mata pelajaran yang soalnya disiapkan oleh pusat adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sedangkan sisanya disiapkan oleh sekolah. Pemeriksaan hasil ujian nasional yang soalnya disiapkan oleh pusat dilakukan dengan menggunakan komputer oleh Tim Komputerisasi Provinsi, sedangkan pemeriksaan yang soalnya disiapkan oleh sekolah dilakukan secara manual oleh sekolah atau silang antara sekolah dalam satu subrayon.

Adapun mengenai kriteria kelulusan menurut lampiran Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, yaitu sebagai berikut:

a. Memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional;

Page 26: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

b. Tidak terdapat nilai < 4.00;c. Semua peserta Ujian Nasional yang dinyatakan lulus menerima Surat Tanda

Lulus dan Ijazah;d. Peserta Ujian Nasional yang tidak lulus tidak dapat melanjutkan pendidikan ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi;e. Peserta Ujian Nasional yang tidak lulus dapat mengikuti Ujian Nasional tahun

berikutnya dan wajib mengulang di kelas terakhir.Dengan kriteria kelulusan minimal 4,01 menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaksana di

lapangan, terutama para guru, kepala sekolah, dan para aparat/birokrat pendidikan. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena banyak masyarakat/orang tua siswa yang belum mengerti terutama di daerah terpencil. Apalagi bagi yang tidak lulus tidak dapat mengulang secara langsung, ia dapat mengulang pada tahun berikutnya dan wajib mengulang di kelas terakhir. Persyaratan ini menjadikan beban moral dan psikologis yang berat bagi peserta didik yang tidak lulus. Tetapi setelah mendapat reaksi yang keras dari publik, maka Mendiknas mengeluarkan Keputusan No. 037/U/2004 tentang Ujian Akhir Nasional Ulangan Tahun Pelajaran 2003/2004, yang intinya menyatakan bahwa peserta ujian nasional yang tidak lulus dapat mengikuti ujian nasional ulang secara langsung, selang beberapa hari setelah pengumuman kelulusan.

Kekhawatiran akan ketidaklulusan peserta didik, membuat pihak sekolah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian khususnya dan prinsip-prinsip pendidikan pada umumnya. Di antaranya dalam bentuk membantu siswa dalam menjawab soal dengan cara memberi kunci jawaban. Ini dilakukan atas perintah kepala sekolah yang merupakan hasil koordinasi dan konsultasi dengan kepala sekolah lain dan secara operasional setiap sekolah memiliki tim sukses. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip objektivitas dalam penilaian dan tidak mendidik, sehingga siswa beranggapan tidak perlu belajar dengan sungguh-sungguh karena pada waktu menjawab soal ujian diberitahu oleh guru.

Cara lain untuk membantu siswa agar lulus yang agak halus adalah dengan cara memeriksa jawaban siswa oleh panitia dan tim sukses, kemudian dibetulkan sesuai dengan batas kelulusan sebelum amplop lembar jawaban komputer (LJK) direkat. Melihat keadaan tersebut, pengawasan silang antarsekolah dalam rangka melaksanakan ujian yang objektif dan mendidik menjadi tidak berguna.

Walaupun kenyataannya tidak semua sekolah melakukan hal seperti itu, karena ada beberapa guru yang menolak melakukan perbuatan yang tidak mendidik tersebut. Hal ini menimbulkan ketimpangan angka ketidaklulusan antara sekolah yang membantu siswa dalam menjawab soal dengan sekolah yang berpegang teguh kepada aturan dan prinsip-prinsip penilaian.

Permasalahan di atas dilakukan terhadap mata pelajaran yang diperiksa dengan sistem komputerisasi oleh tim provinsi, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Sedangkan untuk mata pelajaran lain yang pemeriksaannya dilakukan secara silang oleh sekolah dalam satu subrayon, masalah skor/nilai diatur berdasarkan kesepakatan antarsekolah dengan ketentuan yang penting siswa bisa lulus.

Sebagai bahan perbandingan, kita lihat kriteria kelulusan Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2002/2003 menurut lampiran Keputusan Mendiknas No. 017/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2002/2003, yaitu sebagai berikut:

a. Memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional;b. Tidak terdapat nilai < 3.00;c. Nilai rata-rata seluruh mata pelajaran paling rendah 6.00;d. Semua peserta Ujian Nasional menerima Surat Tanda Lulus dan STTB;

Page 27: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

e. Bagi peserta Ujian Nasional yang tidak lulus, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari kriteria kelulusan di atas, tampak bahwa Unas 2002/2003 lebih longgar dibandingkan dengan kriteria kelulusan Unas 2003/2004, hanya pada Unas 2002/2003 ada syarat nilai rata-rata paling rendah 6.00, sementara pada Unas 2003/2004 syarat tersebut tidak ada.

Dibandingkan dengan sistem Unas, kriteria kelulusan sistem Ebta/Ebtanas lebih fleksibel. Dalam sistem Ebta/Ebtanas kelulusan siswa selain ditentukan oleh nilai Ebta/Ebtanas, nilai Raport kelas terakhir, juga hal-hal lain yang dipertimbangkan oleh sekolah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasa 10 ayat (1) Keputusan Bersama Dirjen Dikdasmen Depdiknas dan Dirjen Bimbaga Islam Depag No. 36/C/Kep/PP/2000 dan No. E/25A/2000 tentang Penyelenggaraan Ebtanas Tahun Pelajaran 1999/2000, bahwa: “Penentuan siswa yang tamat belajar dilaksanakan oleh sekolah penyelenggara dalam suatu rapat bersama dewan guru dengan mempertimbangkan nilai Ebta dan Ebtanas”.

Dengan kriteria tersebut pihak sekolah tidak terlalu direpotkan dengan kriteria nilai kelulusan siswa, karena nilai kelulusan siswa tidak hanya ditentukan oleh nilai Ebta/Ebtanas saja, walaupun nilai STTB minimal rata-rata 6.00, karena untuk mencapai nilai rata-rata 6.00 selain nilai Ebta/Ebtanas juga nilai raport kelas terakhir. Berbeda dengan sistem Unas di mana nilai raport tidak mempengaruhi sama sekali, artinya walaupun siswa itu nilai raportnya bagus, tetapi nilai Unas kurang dari 4.01, maka siswa tersebut tidak lulus.

Berdasarkan uraian di atas, karena namanya ujian nasional sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, maka semua soalnya harus disiapkan secara nasional termasuk mata pelajaran IPS, kecuali mata pelajaan muatan lokal.

Sementara dalam penentuan kelulusan bukan hanya dari nilai UAN, tetapi juga harus dipertimbangkan berbagai aspek dari pembelajaran sehari-hari baik proses maupun hasil. Hal tersebut karena selama ini dengan sistem UAN, kelulusan hanya ditentukan oleh nilai UAN tanpa memperhatikan aspek lain. Jadi penentuan kelulusan dalam sistem KBK, selain nilai hasil UAN juga harus memperhatikan nilai hasil dari penilaian berbasis kelas (PBK). Rancangan evaluasi KBK yang terbaik.

Menurut Mulyasa (2002:103-105) evaluasi hasil belajar dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, benchmarking, dan penilaian program. Penilaian kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Tes kemampuan dasar dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran (program remedial).

Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi dilakukan pada setiap akhir semester dan akhir tahun pelajaran untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu. Benchmarking merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Penilaian program dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan secara kontinu dan berkesinambungan. Penilaian program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaiannya dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dan kemajuan jaman.

Dari uraian di atas saya berpendapat, bahwa penilaian berbasis kelas (PBK) dengan penekanan pada penilaian proses dan hasil belajar merupakan bentuk penilaian terbaik dalam KBK. Sementara untuk ujian akhir yang sifatnya nasional (seperti UAN dan Penilaian Program) perangkat penilaiannya termasuk soal disiapkan secara nasional. Hal ini karena salah satu fungsi ujian nasional adalah sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional. Dengan demikian melalui ujian nasional kita dapat mengetahui mutu pendidikan secara nasional.

Page 28: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Adapun langkah-langkah penilaian berbasis kompetensi menurut Suderadjat (2004:124) adalah sebagai berikut:a. Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan

mempengauhi hasil akhir (output) yang terbaik.b. Tuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik (operasional) yang penting dilakukan

untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik.c. Usahakan untuk membuat kriteria kemampuan yang diukur tidak terlalu banyak sehingga

semua kriteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas.d. Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan

siswa yang harus dapat diamati (oservable) atau karakteristik produk yang dihasilkan.e. Urutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat

diamati.f. Periksa kembali apa yang telah dibuat dan kalau mungkin bandingkan dengan kriteria

kemampuan yang sudah ada, yang dibuat sebelumnya oleh orang lain di lapangan.Dengan memperhatikan langkah-langkah tersebut diharapkan penilaian dalam KBK

dapat dilaksanakan secara menyeluruh, berkelanjutan, berorientasi pada indikator ketercapaian hasil belajar, dan sesuai dengan pengalaman belajar. Sehingga penilaian benar-benar dapat dijadikan ukuran bagi keberhasilan KBK khususnya dan pendidikan pada umumnya baik pada tingkat sekolah, lokal maupun nasional.

Bagaimana pendapat anda untuk peningkatan inovasi dalam pembelajaran IPS, kemukakan masalah dan tantangannya.Jawab :

Pengembangan kurikulum IPS, harus mampu mengakomodasi semua tujuan dari pendidikan IPS tersebut. Namun demikin perubahan kurikulum harus melihat realita kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan hanya sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat.

Perubahan kurikulum yang dimaksud adalah merubah jenis pembelajarannya, gurunya, media dan sumber pelajarannya serta perilaku siswa yang tadinya sebagai penerima informasi, kini harus menjadi pelaku informasi.

Mempersiapkan warga negara yang mampu menentukan pilihan yang cerdas diantara berbagai macam alternatif yang terdapat dalam suatu masyarakat, merupakan tugas utama dari Pendidikan IPS. Salah satu konsekuensinya dari suatu masyarakat yang demokratis adalah semakin luas dan kompleksnya pilihan-pilihan bagi setiap orang baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan masyarakat. Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang mengikuti perkembangan zaman, maka semakin berat pula tanggung jawab pendidik. Hal ini bearti bahwa pendidikan IPS menjadi lebih penting sehingga harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Sejak tahun pertama masuk sekolah para pelajar hendaknya diajak ikut serta untuk dapat memecahkan berbagai persoalan, khusnya yang timbul dalam masyarakat, agar mereka menjadi warga negara yang analitis, kritis serta menghargai nilai-nilai demokratis. Pelajar semacam itu hendaknya dimulai dari sekolah dasar, kemudian ke sekolah lanjutan serta perguruan tinggi yang dimulai dari konsep sederhana, gagasan pengetahuan yang semakin sukar dan mendalam/dari yang konkrit menuju yang abstrak. Guna melaksanakan hal-hal tersebut maka diperlukan adanya alam lingkungan yang demokratis agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan itu sendiri harus meliputi serta mempraktekkan dasar-dasar demokrasi. Menurut Jacques Barzun bahwa “adalah tidak mungkin mengajarkan demokrasi, atau kewargaan negara/kehidupan perkawinan yang bahagia hanya melalui bahan-bahan yang harus dihafalkan saja, walaupun hal ini penting,

Page 29: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

melainkan melalui perwujudan dari diri dan tingkah laku seseorang. Bukan dari pelajaran, melainkan dari pelajaran, melainkan dari jiwa manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut maka peranan pendidikan IPS menjadi fokus pembahasan, guna dapat mengembangkan; warga negara yang bertanggung jawab, warga negara yang analitis serta warga negara yang berpartisipasi.

Akan tetapi walaupun demikian manusia dapat merasakan pengaruhnya implikasi tersebut. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dirasakan baik langsung maupun tidak, karena cara hidup masyarakat, cara kerja, barang-barang kebutuhan yang dibeli, keadaan sekeliling dan bahkan nilai hidup yang dianut cepat berubah dan jelas terlihat dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan tersebut. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja dirasakan oleh individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara. Bagi negara-negara yang telah maju mengenai teknologinya pengaruh tersebut telah lama terasa karena dalam negara-negara berkembang pengaruh tersebut baru dirasakan sehubungan dengan pengaruh-pengaruh di atas, maka pendidikan serta sekolah tidak luput dari pengaruh-pengaruh itu. Sekolah bertanggung jawab dalam membekali para siswa dalam menghadapi perubahan zaman. Hal itu berarti akan terjadi perubahan-perubahan pada kurikulum, buku pelajaran, tujuan yang harus dicapai, metode mengajar, evaluasi pelajaran dan lain-lain. Demikian pula pengaruh-pengaruh itu terjadi dalam Pendidikan IPS. Tingkah laku pelajar dipengaruhi dan diwujudkan oleh pengertiannya kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan. Dengan demikian pengetahuan yang terdapat dalam pendidikan IPS akan dikembangkan pada konsep-konsep serta generalisasi penting mengenai permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Para pelajar hendaknya dibantu untuk mempergunakan fakta tertentu yang mereka pelajari agar dapat mengembangkan konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang penting. Pada waktu melakukan hal-hal tersebut para pelajar harus diperkenalkan dengan tingkatan yang sesuai dengan kedewasaannya, kepada metode penyelidikan yang dipergunakan oleh para ahli ilmu dalam usaha mencari kebenaran.

Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini pembelajaran IPS di lapangan masih menemui kendala. Bebarapa kelemahan pembelajaran IPS di lapangan seperti diungkapkan oleh Suwarma (2001) diantaranya ialah :a) Proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan dan penggunaan media dan

alat pembelajaran.b) proses pembelajaran lebih menekankan kepada pengembangan aspek kognitif daripada

efektif dan psikomotor.c) proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan keterampilan sosial.d) Proses pembelajaran lebih menekankan kepada pencurahan isi buku dari pada proses

penalaran isi buku.e) proses pembelajaran lebih menempatkan siswa sebagai penerima informasi dalam soal

belajar satu arah dari pada melibatkan siswa dalam proses berfikir.f) proses pembelajaran lebih menempatkan guru sebagai sumber informasi yang dominan

disamping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya.g) proses pembelajaran belum banyak mengakses pada penguatan sistem nilai keimanan

dan ketakwaan.h) proses pembelajaran belum secara tegas mengakses kepada penguasaan IPTEK.

Kelemahan-kelemahan tersebut kiranya dapat dicarikan alternatif pemecahannya, diantaranya dengan merubah paradigma belajar yang selama ini masih konvensional menjadi budaya belajar yang aktif, kreatif dan efektif. Antara lain dari kebiasaan belaiar hanya dalam bentuk menghapal menjadi budaya belaiar berfikir, dari belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial kearah berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya.

Budaya belajar yang berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri dari kebiasaan belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah

Page 30: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

dan menggunakan informasi. Dari kebiasaan belaiar pasif menerima informasi dari guru berkembang menjadi cara belaiar aktif Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif dengan persaingan yang sehat. Dari cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah memecahkan masalah sosial.

Kemudian gurunyapun harus dapat merubah cara mengajarnya dengan melakukan transformasi budaya mengajar kebiasaan memberikan materi dari buku dalam kemasan informasi, ke arah sebagai penyaji masalah yang menjadikan buku pelajaran sebagai bahan untuk didiskusikan oleh peserta didik. Dari mengajar dengan monoton satu arah ke arah mengajar serba arah. Dari komunikasi verbal ke arah yang empri rasional.

Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka kelemahan-kelembahan pembelajaran IPS yang semala ini terjadi dapat kita atasi, tergantung apakah kita mau melaksanakannya atau tidak.

Menurut Suwarma (2001) menyatakan beberapa prinsip dalam inovasi pendidikan diantaranya ialah :a) Inovasi pembelajaran harus bertumpu pada upaya pembelajaran peserta didik secara

penuh baik intelektual maupun emosional dengan memperhatikan perkembangan dan psikologi social.

b) Inovasi pembelajaran harus mengakses pada strategi pengembangan berpikir tingkat tinggi untuk dapat menguasai IPTEK seiring dengan pembinaan nilai untuk memperkuat system nilai agar dapat mengambil kompetitif dalam gerak perubahan social dan persaingan global.

c) Inovasi pembelajaran dapat memungkinkan peserta didik memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai sumber informasi.

d) Inovasi pembelajaran perlu dijadikan unggulan dalam melakukan upaya peningkatan mutu pendidikan dengan dukungan kebijakan nasional untuk menjadi gerakan budaya pendidikan.

e) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan dengan berorientasi pada penyempurnaan dan peningkatan kualitas pembelajaran dari pengalaman yang ada dengan dukungan penelitian dan evaluasi implementasi kutikulum.

f) Inovasi pembelajaran perlu melibatkan secara optimal guru sebagai inisiator dan innovator pembelajaran dengan memberikan peluang untuk mengembangkan kreatifitasnya.

g) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan dilakukan secara berkesinambungan.

h) Inovasi pembelajaran memperhatikan aspek social budaya dan lingkungan peserta didik, factor psikologis diarahkan pada pengembangan kemampuan berfikir secara kreatif.

i) Inovasi pembelajaran hendaknya mengembangkan secara optimal potensi berpikir peserta didik untuk menguasai IPTEK yang terintegrasi dengan IMTAQ.

Dari pendapat tersebut jelas bahwa dalam inovasi pembelajaran harus memperhatikan berbagai aspek diantaranya memperhatikan aspek intelektual maupun emosional peserta didik, memberdayakan lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai media informasi, serta evaluasi yang berkesinambungan. Inovasi pembelajaran IPS yang demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan IPS.

Inovasi dan kreativitas berpikir adalah nikmat yang dianugrahkan Allah dalam bentuk akal, langkah berani dan menggelora, yang mendobrak permanensi taglid, monotonitas kerja dan kejenuhan rutinitas, yang kadang benar dan salah. Ia memiliki sifat seperti seorang bayi yang masih merah ; membutuhkan seseorang yang akan mengayomi dan merawatnya, menjaganya dari terpaan angin kejumudan (kebekuan) yang akan meredupkan sinarnya dan mengacam perasaannya, serta melindungi harapan yang menyapanya dari jauh, yang

Page 31: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

seringkali mati oleh ketakutan yang bersemayam dalam batin kita, dan mendekam dalam dada kita. Akibatnya, seringkali kita berlepas diri dari gagasan inovatif dan kreatif ini hanya karena orang lain tidak mempercayainya.

Pengetahuan tentang tokoh-tokoh pembaharu yang dapat memperkaya kehidupan budaya, sosial, keagamaan, pemikiran, keilmuan,dan kesenian kita telah menggugah kerinduan dan emosi kami untuk membahas tema ini dan menapak tilas jejak-jejak para tokoh mereka. Agar mata air peradaban kita yang dulu meluap-meluap jangan sampai kini menjadi kering !

Anda dan saya boleh saja bertanya-tanya di manakah figur-figur seperti Al Aqqad, Thaha Husein, Al Mazini, Shadiq Ar-Rafi’I, Hasan Al Banna, Mushthafa Musyrifah, Samirah Musa, Taufik Al Hakim, Muhammad Al Ghazali, Asy Sya’rawi dan pelita-pelita lain yang masih memancarkan sinarnya seperti Al Qardhawi, Ahmad Zuwail, Najib Mahfudz, dan Majdi Ya’qub serta simbol-simbol keahlian lainnya dalam berbagai aspek kemanusiaan ?

Apakah mereka dan yang lainnya merupakan segelintir orang dari sekelompok komunitas yang sudah cukup untuk menutup fardhu kifayah di tengah masyarakat kita yang luas dimensinya, ataukah kita masih membutuhkan figur-figur lain untuk menutup kekurangan-kekurangan di berbagai bidang kehidupan ?

Sebelum menjadi kreatif, maka perlu belajar berinovasi terlebih dahulu melalui 4 (empat) ‘channel’ yaitu : Penemu, Perakit, Pengembang atau Peniru. Apapun ‘channel’ yang anda pilih ketika kita bicara kreativitas dan inovasi, maka sangat terkait dengan kerja otak kanan. Bahasa otak kanan adalah imajinasi, futuris, acak, dan ketidakmungkinan. Sedangkan otak kiri adalah akademis, pragmatis, sistematis, dan kemungkinan-kemungkinan. Terus terang, pendidikan yang kita alami sejak kecil hingga dewasa lebih banyak menitikberatkan pada porsi otak kiri ketimbang otak kanan. Bahkan kecerdasan seseorang diukur dengan seberapa tinggi kemampuan akademisnya. Inilah yang sering saya sebut sebagai ‘ inbox thinking’ dan akhirnya akan melahirkan ‘manusia-manusia kardus’. Kreativitas dan inovasi akan tumbuh subur apabila anda memulai dengan ‘outbox thinking’. Dalam menuju proses inovasi, Abdul Jawwad mengatakan ada 4 (empat) aspek fudanmental yang harus dipenuhi yaitu :

POSE (produktivitas, Orisinalitas, Sensitivitas dan Elastisitas). Produktif artinya kemampuan untuk menghasilkan jawaban-jawaban sebanyak mungkin untuk sebuah peetanyaan. Sedangkan orisinalitas adalah kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang unik dan baru. Adapun sensitivitas adalah kepekaan dalam melihat fenomena yang ada disekeliling dirinya. Dan akhirnya elastisitas adalah kemampuan menghasilkan pemikiran-pemikiran variatif sebanyak mungkin. Kreativitas dan inovasi dapat menjadi faktor penyelamat (safety factor) dalam suatu lembaga atau perusahaan dari ‘declining process’ proses penurunan kualitas bahkan sampai pada sebuah stagnasi. Kita semua percaya bahwa tidak pernah ada keberhasilan abadi sebagaimana sebagaimana tidak pernah ada kegagalan abadi. Oleh karena itu, kehadiran sebuah kreativitas dan inovasi merupakan pintu gerbang menuju change management. Hanya sumber daya manusia yang cerdaslah mampu bersaing di tengah persaingan global yang semakin tajam.

Sifat-sifat apakah yang harus dimiliki para inovator dan kreator ? Abdul Jawwad menyatakan ada 50 (lima puluh) karakteristik, yang intisarinya dapat disingkat dengan :CODESChampionship - Tekun dan tidak mudah menyerah serta berputus asa.Out of Status Quo - Anti kemampanan.Dynamic - Berusaha menjauhkan diri dari rutinitas kerja.Extraordinary - Siap menghadapi kekacauan, ketidakmenentuan dan tidak segan

berbeda dengan main stream pemekiran yang ada.Strong motivation - Kepercayaan diri yang besar.

Page 32: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Kita tidak hanya berbicara seputar hal-hal yang dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi tapi juga hal-hal yang dapat membunuhnya. Di istilahkan dalam hal ini sebagai The 3 Big Killers.

1. Motivasi terlalu rendah (Very Low Motivation).2. Lingkungan yang buruk (Bad Environment)3. Bahasa yang meracuni (Poisoned Language)

Pernahkah mendengar kalimat-kalimat seperti ini, “kita tidak akan mampu melaksanakan gagasan-gagasan seperti ini, sesungguhnya hal itu di luar tanggung jawab kita, mengapa harus melakukan perubahan ?, gagasan ini terlalu dini untuk saat sekarang, pimpinan tertinggi pasti tidak setuju, berarti kita dituntut bekerja ekstra.” Boleh jadi kalimat-kalimat di atas terkesan sepele, tapi perlu anda ketahui bahwa untuk berpikir dan bertindakkreatif harus dimulai dengan bahasa positif. Tidak mudah untuk berbicara dengan bahasa positif karena seringkali anda dihadapkan pada mental block yang kuat. Dan, apakah anda tahu mental block no. 1 ? Ya, itulah yang dinamakan fear to failure (takut gagal). Dalam konteks kelembagaan satu departemen yang harus dihidupkan kembali peran dan fungsinya sebagai pembangkit kreativitas dan inovasi yaitu Departemen Litbang, bukan plesetan sulit berkembang, tapi penelitian dan pengembangan. Begitu signifikan departemen ini sehingga tidaklah heran kalau GE (General Electric), Top Ten Company in The World tercatat dalam Fortune Magazine menghabiskan hampir 30 – 40 % budget perusahaannya hanya untuk riset dan pengembangan produk serta SDM.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.

Menurut Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak, kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship. Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat.

Sementara itu Wahab, (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai

Page 33: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

dengan potensi dan minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin.

Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif, dan evaluatif.

Demikian pula menurut Suwarma (2004) Pendidikan IPS sebagai salah satu program pendidikan, dihadapkan kepada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern. Namun dewasa ini masih dihadapkan kepada masalah peningkatan kualitas yang amat serius, bahkan diduga dapat mengancam eksistensinya sebagai program pendidikan yang dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan apresiasi dan internalisasi nilai.

Untuk melaksanakan sebagaimana yang diungkapkan di atas maka perlu adanya pengembangan kurikulum IPS, yang mampu mengakomodasi semua tujuan dari pendidikan IPS tersebut. Namun demikian perubahan kurikulum harus melihat realita kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan hanya sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat.POTENSI KEBERMAKNAAN PENGGUNAAN KONSEP SISWA

Temuan tentang berbagai variasi pola pada konstruk konsep siswa di atas memiliki beberapa manfaat dalam pembelajaran Pendidikan IPS. Manfaat tersebut antara lain:

1. mengidentifikasi kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok bahasan yang hendak dibelajarkan. Penggunaan konsep siswa guru sejak awal-awal pembelajaran dapat mengidentifikasi

kepemilikan pengetahuan awal berkaitan dengan pokok bahasan yang hendak dibelajarkan. Identifikasi kepemilikan pengetahuan awal siswa ini sangat diperlukan bagi upaya guru dan siswa menemukan kaitan-kaitan konseptual dan fungsinal antara informasi/konsep baru yang diterima selama pembelajaran Pendidikan IPS dengan informasi/konsep yang telah terdapat di dalam struktur kognitif mereka. Sehingga bagi siswa, pembelajaran Pendidikan IPS tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang verbalistik, serta proses maupun hasil pengalaman belajar yang diikutinya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan kemampuan pemikirannya. Pembelajaran IPS pun akan lebih bermakna, karena pengalaman belajar baru yang baru dijalaninya memiliki kaitan konseptual dan fungsional dengan pengalaman belajar lama yang telah terpetakan di dalam konstruk konsep siswanya.

2. Mengidentifikasi miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa.Adanya miskonsepsi-miskonsepsi dalam konseptualitas siswa ini, bukan suatu realitas

yang harus dihindari di dalam mengembangkan suatu pembelajaran. Miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat di dalam konseptualitas siswa, justru harus benar-benar transparan dipetakan semenjak awal pembelajaran. Tidak terungkap dan transparannya miskonsepsi-miskonsepsi ini, mengakibatkan eksitensinya menjadi retensi, dan menjadi penyebab utama timbulnya kesulitan-kesulitan belajar siswa.

Page 34: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Lebih membahayakan lagi, manakala miskonsepsi-miskonsepsi ini semakin berakar dan berkembang lebih jauh tanpa sempat mengalami proses ‘rekonstruksi-diri' di dalam lumbung pengetahuan siswa, dan senantiasa dibawa pada jenjang pendidikan selanjutnya. Karena setiap pembelajaran yang diikutinya tidak pernah memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi terjadinya proses rekonstruksi-diri terhadapnya, atau karena guru belum atau tidak pernah menyentuh keberadaan konsep siswa tadi. Dalam kaitan ini, tidak selalu benar anggapan bahwa konsep siswa senantiasa bersifat naif, penuh dengan miskonsepsi-miskonsepsi, sehingga senantiasa harus ‘dicurigai’. Seperti ditunjukkan dari hasil pemetaan terhadap pola-pola konstruk konsep siswa di atas, ternyata konsep siswa tidaklah begitu naif dan selalu mengandung miskonsepsi.

Sungguhpun di dalam konseptualisasinya masih sangat parsial, dan bergantung pada konteks pengalaman pribadi siswa, akan tetapi seperti jelas terlihat dari tanya-jawab dialogis yang sengaja dirancang selama pengembangan tindakan, konsep-konsep siswa mengenai berbagai fokus pembelajaran menampilkan adanya pernik-pernik yang begitu kaya, dan mampu mengungkap berbagai realitas--bahkan persoalan-persoalan kritis—yang terdapat di dalam kehidupan keseharian siswa dan masyarakat sekitarnya, yang mungkin tidak akan sempat tampil ke permukaan bila dilakukan dalam kelaziman iklim pembelajaran yang selama ini terjadi.

3. Membantu guru mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa mempelajari sesuatu konsep pokok, dan menemukan alternatif pemecahannya secara lebih bermakna.Kesulitan yang dihadapi siswa berkenaan dengan konsep lokasi/wilayah

desa/kelurahan, lokasi/wilayah kecamatan, dan lokasi/wilayah kabupaten. Penggunaan ‘peta konvensional’ belum sepenuhnya mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa, sehingga harus menambahkan atribut-atribut fisikal yang dikenal siswa ke dalam peta, cukup mencerminkan betapa penting arti konsep siswa dan pengalaman kesehariannya bagi pencapaian suatu proses pembelajaran bermakna. Penggunaan pengertian-pengertian yang cenderung bersifat administratif-konvensional tidak selamanya mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa.

4. Merancang prosedur pengembangan program pembelajaran terpadu (integrated learning) Pendidikan IPS yang lebih bersifat otentik dan alamiah.Otentisitas dan kealamiahan penggunaan konsep siswa bagi pengembangan

pembelajaran terpadu, oleh karena guru seakan ‘dibebaskan’ dari pola pemikiran prosedural yang cenderung menyulitkan dalam pengorganisasian dan operasionalisasinya. Nilai-nilai keterpaduan pembelajaran secara ekspresif dan kreatif akan muncul dan berkembang selama pembelajaran berlangsung (selama proses tanya jawab dialogis dengan siswa). Hal ini sangat mungkin tercipta sebagai hasil pengungkapan konsep-konsep siswa yang mampu menampilkan adanya pernik-pernik yang begitu kaya mengungkap berbagai realitas sosial yang terdapat di dalam kehidupan keseharian siswa dan masyarakatnya.

Realitas tersebut dapat disimak dari konsep siswa tentang desa/kelurahan yang tidak hanya dipandang dari aspek geografis (dalam dan luar kota), tetapi juga memunculkan aspek ekonomi (keadaan dan kekayaan alam, matapencaharian penduduk desa/kelurahan), dan aspek sosiologis (status dan peran interaktif penduduk desa/kelurahan). Juga dapat disimak dari konsep siswa tentang matapencaharian yang

Page 35: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

memunculkan aspek ekonomis (penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup keseharian), dan aspek geografis (hubungan interaktif antara jenis pekerjaan dengan keadaan alam).

5. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif.Potensi ini sangat dimungkinkan, karena menggunakan konsep siswa berarti

mengajak dan membimbing siswa untuk melihat hubungan relasional antara manusia (termasuk siswa) dengan realitas kehidupan lingkungan hidupnya. Penggunaan konsep siswa juga dapat mengajak dan membimbing siswa melihat secara jelas dimensi ideal yang terdapat di dalam pengalaman belajar formal di sekolah dengan dimensi faktual yang terdapat di dalam pengalaman non formal di keluarga dan masyarakat.

Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif dan reflektif di sini, tidak harus dimaknakan sebagai kemampuan berpikir sebagaimana layaknya seorang ilmuwan sosial melihat realitas dan persoalan dalam keketatan paradigma metode ilmiah. Tetapi, pada pengembangan kemampuan keterampilan dasar siswa melihat secara inderawi (merasa, merumuskan kesimpulan dengan bantuan peta atau gambar, memahami, mengumpulkan fakta, menafsirkan, dll) hubungan relasional antara manusia (dirinya) dengan lingkungan sekitarnya, melihat adanya variansi antara yang ideal dengan realistis berdasarkan kiteria-kriteria yang ada.

6. Mengembangkan kesadaran dan apresiasi diri terhadap realitas, peristiwa dan problema sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya.Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konsep siswa tentang sesuatu hal, tidak lain

sebagai hasil pengalaman dan interpretasi diri mereka selama berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial dalam kehidupan kesehariannya. Karena itu, konsep-konsep siswa merefleksikan di dalamnya pernik-pernik realitas, kesadaran dan atau emosi sosial yang terdapat di dalam kehidupan keseharian dan masyarakat sekitar siswa. Bahkan juga ekspektasi siswa terhadap kehidupan masyarakat dimana dia tinggal.

Pengungkapan konsep siswa dengan memaknakan letak/lokasi desa/kelurahan dalam referensi pemikiran sosial-budaya menyadarkan kita terhadap adanya kesadaran sosial-budaya pada diri siswa, mengungkapkan adanya problema di dalam kehidupan masyarakat kita ("…tidak bu, saya tidak berasal dari kampung…kampung berada di desa, jauh di luar kota…") yang perlu guru cermati di dalam setiap pembelajaran yang diselenggarakan. Konsep siswa tentang letak/lokasi desa, juga mengungkapkan kepada kita adanya sikap kerinduan siswa terhadap keelokan panorama alam pedesaan ("…pemandangannya bu, saya sering kalau hari minggu atau liburan sekolah pergi piknik ke desa. Pergi melihat sawah-sawah yang luas. Saya juga pernah diajak ayah piknik ke pantai Lombang…"); kejenuhan terhadap kehidupan perkotaan ("…kalau di desa keadaan alamnya masih banyak sawahnya dan ladangnya, sedangkan di kelurahan sudah penuh dengan rumah-rumah dan toko-toko…"). Sementara itu, konsep siswa tentang matapencaharian penduduk mengungkapkan ekspektasi diri siswa terhadap nilai sosial dari sebuah matapencaharian ("…di kelurahan tidak ada yang menjadi petani dan nelayan. Tetangga saya banyak yang menjadi guru…").

7. Mengembangkan kemampuan social perspective taking.

Page 36: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Penggunaan konsep siswa berarti menghadapkan guru pada berbagai ekspresi pengungkapan konsep siswa yang cenderung bersifat egosentris, dan akan sulit menerima pendapat siswa lain. Penciptaan situasi pembelajaran yang menghadapkan siswa ke dalam situasi konflik kognitif pada konsepnya, yang dikemas melalui tanya jawab melacak dan menuntun, sangat efektif untuk menerjadikan dan melibatkan siswa lain dalam dialog kognitif yang akan merangsang dan membuka perspektif siswa terhadap pandangan-pandangan dari siswa yang lain, sehingga para siswa secara terbuka dan ekspresif mengemukakan konsepnya secara otentik dan alamiah, serta melakukan rekonstruksi diri terhadap bagian-bagian tertentu di dalam konstruk konsep siswa yang masih kurang/lemah, atau terdapat miskonsepsi. Di samping melakukan pemantapan dan elaborasi diri terhadap konstruk konsep siswa yang sudah benar.

Beberapa potensi kebermaknaan penggunaan konsep siswa sebagaimana dikemukakan tadi, sangat menuntut iklim pembelajaran yang terbuka, dialogis, kreatif, sehingga mampu menyediakan kesempatan luas bagi siswa mengungkapkan konseptualisasi dirinya berkenaan dengan konsep pokok yang hendak dibelajarkan secara otentik dan alamiah. Hanya perlu disadari, bahwa pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep tidak berarti bahwa guru harus memetakan konstruk konsep seluruh siswa di dalam satu kelas. Juga bukan berarti bahwa guru harus berhadapan dengan siswa dan konsepnya secara orang-per-orang. Penggunaan konsep siswa lebih menekankan pada bagaimana kinerja guru untuk bersikap sensitif dan peduli (caring) terhadap ideosyncracies pengungkapan konsep siswa, melalui penciptaan iklim pembelajaran yang bebas, terbuka, luwes, dan akomodatif; dengan mencoba mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan pengalaman belajar siswa di kelas dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang terakumulasikan di dalam konsep siswa. Sehingga setiap siswa dapat membangun pengertian-pengertian sendiri berdasarkan makna-makna yang dicerap dari pengalaman belajarnya.

Penggunaan konsep siswa memang sangat menuntut guru untuk mampu menampilkan diri dalam peran-peran yang bisa mendekatkan, mengakrabkan dan mengintimkan siswa antara pengalaman kesehariannya dengan fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS. Otentisitas, kealamiahan dan kebermaknaan pembelajaran memang sangat bergantung pada bagaimana guru mengaitkan antara apa yang "akan dibelajarkan" dengan apa yang "telah siswa ketahui" berdasarkan pengalaman kesehariannya. Hal menarik dan penting untuk dicermati dalam pengembangan pembejaran berdasarkan penggunaan konsep siswa, adalah kebergantungan yang sangat besar pada "konstruk konsep siswa".

Oleh sebab itu, bila tolok ukur meningkatnya iklim pembelajaran adalah aktivitas, partisipasi dan interaksi antara guru dan siswa, maka titik krusialnya terletak pada tahap pengeksplorasian konsep siswa yang merupakan dasar pijakan bagi guru untuk mengembangkan lebih lanjut format pembelajaran Pendidikan IPS yang hendak diselenggarakan. Tahap pengeksplorasian konsep siswa juga sebagai tahapan yang dirasakan guru agak berat dan sulit, sebab pada tahap eksplorasi ini, guru harus senantiasa mengupayakan terungkapnya konstruk konsep siswa beserta pola-polanya, dan membangun kaitan-kaitan konseptual dan fungsional antara spektrum konsep siswa dengan spektrum konsep kurikulum. Untuk itu, pembelajaran Pendidikan IPS atau fokus kajian yang hendak dibelajarkan terlebih dahulu harus dibawa ke alam pikiran dan kesadaran siswa, dan menemukan kaitannya dengan apa yang telah mereka ketahui dari pengalaman kesehariannya.

Dalam kaitan ini, ada empat peran kritis guru yang seyogianya dimiliki, yaitu sebagai: 1. Eksplorator. Guru sebagai pengungkap, pengidentifikasi variasi-variasi atribut kualitatif

yang terdapat di dalam konstruk konsep siswa. Termasuk juga mengidentifikasi dan menemutunjukkan adanya miskonsepsi-miskonsepsi yang muncul di dalam pengungkapan konsep siswa. Peran ini sangat strategis dan mendasar dalam membantu

Page 37: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

siswa menemukan konsep-konsep yang saling bergayutan yang terdapat di dalam struktur kognitifnya. Dalam perannya sebagai eksplorator konsep siswa ini pula, guru dapat melakukan proses seleksi terhadap atribut-atribut konsep siswa yang dapat terus dimantapkan dan dielaborasi, atau konsep-konsep siswa yang dipandang perlu dilakukan proses restrukturisasi konsep siswa, sebelum dilakukan pemantapan dan elaborasi lebih jauh;

2. Mediator. Guru berperan dalam upaya menghubungkan, menjembatani atau mengaitkan antara konsep siswa dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS, atau sebaliknya. Peran sebagai mediator ini, sangat penting bagi penciptaan kondisi dan kesiapan belajar siswa;

3. Fasilitator. Guru berperan dalam upaya menyediakan bahan-bahan material yang dibutuhkan siswa dalam proses pengaitan, pengubahan, pemantapan dan elaborasi konsep siswa dengan konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS atau sebaliknya, dan

4. Rekonstruktor. Di satu sisi, guru berperan dalam upaya melakukan pengubahan, penataan kembali, dan atau penyederhanaan terhadap konsep pokok yang menjadi fokus kajian pembelajaran Pendidikan IPS sehingga mudah diterima dan dimengerti siswa, dan atau menemukan hubungan/kaitan fungsional dengan konsep siswa yang telah terpetakan di dalam struktur kognitifnya. Di sisi lain, guru berperan dalam upaya melakukan pengubahan, penataan kembali terhadap konstruk konsep siswa. Terutama bila ditemukan adanya miskonsepsi-miskonsepsi di dalam pengungkapan konsep siswa. Penggunaan konflik-konflik kognitif dapat dijadikan prosedur yang cukup baik untuk mencapai maksud ini.

Membangun Kesadaran KritisPendidikan adalah pemberdayaan. Perlu ditekankan agar tidak menjadi penafsiran yang

mempersempit upaya pendidikan sebagai persekolahan.1 Selama ini persekolahan dianggap upaya yang mulia dan guru sebagai pekerjaan yang terpuji. Secara umum persekolahan di Indonesia mengidap problema yang membatasi dan mengekang perkembangan potensi anak sampai-sampai pejabat atau orang kaya tidak percaya pada sekolah di Indonesia dengan menyekolahkan anak-anaknya keluar negeri. Oleh karena itu paradigm pendidikan harus dirubah agar sekolah mampu melakukan perubahan terencana pada anak didik dengan membebaskan mereka dari pengekangan dan pembatasan, menciptakan suasana yang menyenangkan demi kebebasan individu dan pengembangan potensi secara maksimal sehingga perkembangan potensi diripun akan semakin maksimal.

Perkembangan yang melibatkan potensi anak yang mengintegrasikan pengalaman yang melibatkan gerakan fisik, gerakan psikis dan imaji nalar sekaligus seperti yang diungkapkan oleh John Dewey (dalam Utomo Dananjaya,2005)

“Seluruh pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu dalam kesadaran sosial rasnya. Peran itu dimulai secara tidak disadari nyaris sejak lahir dan terus berkelanjutan membentuk kemampuan individual, memnuhi kesarannya, malatih gagasan-gagasan dan emosinya. Lewat pendidikan yang tidak disadari, individu secara bertahap mulai mendapat bagian dari sumber daya intelektual dan moral yang telah dikumpulkan oleh umat manusia. Demikianlah ia menjadi pewaris modal untuk membangun peradaban”Diharapkan dengan upaya menggali kembali konsep siswa pada pembelajaran IPS yang

merupakan bagian dari metode partisipatori atau penyadaran dapat melibatkan peserta didik ke dalam pengalaman berprilaku dengan mengalami. Mereka belajar dari pengalaman sendiri. Bahkan siswa akan memperoleh kegembiraan dan kepuasan dari proses melakukan. 1

Page 38: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Pola prilaku manusia dapat ditelusuri bahwa setelah mengalami suatu peristiwa, ia akan merenungkan kemudian mendeskripsikan pengalamannya. Makin terlatih siswa mendeskripsikan pengalamannya, makin dalam menganalisa pengalamannya dan makin tajam kesimpulannya, sehingga siswa akan bisa membedakan apa saja yang harus dipelajari, berguna dipelajari dan baik untuk dipelajari seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Siswa yang memiliki kesadaran kritis mempertanyakan sikap memenuhi kebutuhan, antara memenuhi kebutuhan dirinya atau memenuhi kebutuhan pihak lain. Diharapkan pembelajaran Pendidikan IPS berdasarkan penggunaan konsep siswa akan sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kinerja profesional guru, kinerja siswa, dan iklim sosial pembelajaran Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa juga memiliki berbagai potensi kebermaknaan baik berkenaan dengan aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang hendak dikembangkan di dalam Pendidikan IPS. Penggunaan konsep siswa juga sangat potensial di dalam mendekatkan, mengakrabkan, atau mengintimkan pengalaman belajar di kelas dengan pengalaman belajar keseharian siswa yang terakumulasikan di dalam konsep siswa, sehingga siswa dapat membangun sendiri pengertian-pengertiannya berdasarkan makna-makna yang mereka serap dari pengalaman belajarnya di kelas/sekolah.Globalisasi Kehidupan

Tuntutan kehidupan global, dengan karakteristiknya yang majemuk dan semakin tingginya ketergantungan antar negara yang mengaburkan batas-batas negara nasional mendorong kita untuk mempersiapkan diri dalam mengantisipasi arus globalisasi.

Derasnya arus globalisasi menuntut kita untuk memahami perspektif global. Menurut Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardi (1999:14), menyatakan bahwa:

Yang dimaksud perspektif global adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena itu, sikap dan perbuatan kita juga diarahkan untuk kepentingan global.

Dari pendapat di atas jelas, bahwa pola pikir dan pola tindak kita harus diarahkan untuk kepentingan global. Hal ini diperuntukan bagi ketinggian dan kemuliaan harkat dan martabat manusia. Apabila kita tidak dapat mengarahkan pikiran dan tindakan ke arah kepentingan dunia atau internasional kita akan terlindas oleh derasnya arus globalisasi.

Era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan yang semakin tajam, arus deras dari informasi dan komunikasi, serta keterbukaan merupakan salah satu pendorongnya, yang apabila kita tidak mengikuti dengan seksama akan menyebabkan ketertinggalan. Ketertinggalan ini disebabkan juga karena globalisasi merupakan proses di mana manusia di bumi ini di-inkorporasikan atau dimasukkan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, yaitu masyarakat global dan dalam proses itu kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu bagian dunia menjadi konsekuensi yang signifikan bagi individu atau masyarakat di daerah lainnya yang jauh di muka bumi ini.

Page 39: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Selain itu, globalisasi juga melahirkan masyarakat terbuka, yang memberikan nilai kepada individu, kepada hak dan kewajiban sehingga semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya dan menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan bangsa.

Dalam mengembangkan perspektif global atau wawasan gloal sebagai suatu kemampuan, kita harus memperhatikan fenomena-fenomena dan isu-isu yang ada dalam konteks global. Menurut M.M. Merryfield et al sebagaimana dikutip oleh Nursid Sumaatmadja (2000:143), menyatakan bahwa:

Ke dalam fenomena global meliputi aspek-aspek lingkungan hidup, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Sedangkan isu-isu global menyangkut kependudukan, hak rakyat menentukan pemerintahan sendiri, pembangunan, hak asasi manusia, imigrasi penduduk (emigrasi, imigrasi, pengungsi), pemilikan bersama secara global, lingkungan dan sumber daya alam, persebaran kemakmuran, teknologi, informasi, sumber daya, dan jalan masuk ke pasar, kelaparan dan bahan pangan, kesejahteraan dan perdamaian, prasangka dan diskriminasi.

Dari pendapat di atas jelas, bahwa hampir semua segi kehidupan umat manusia masuk ke dalam fenomena-fenomena dan isu-isu global. Tetapi perlu kita sadari bahwa arus globalisasi ini belum menyentuh semua tataran kehidupan manusia, terutama di wilayah pedalaman atau terpencil. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nursid Sumaatmadja (2000:133), yaitu bahwa:

Dalam suasana kehidupan yang makin terbuka, yang menembus berbagai batas, harus menjadi perhitungan dan citra kita bersama sebagai warga negara Indonesia, bahwa tidak semua bagian dari Tanah Air Indonesia ini telah ditembus oleh suasana global. Di wilayah Nusantara yang terpencil, jangankan fenomena global yang mereka alami, suasana dan kebijakan nasional pun belum menyentuh sepenuhnya. Di wilayah-wilayah yang demikian terpencil itu, suasana keterbelakangan masih menjadi ciri kehidupan setempat yang merupakan fenomena yang sangat kontradiktif dengan suasana global village.Dari kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, maka kesenjangan antara penduduk yang

berada di daerah pedalaman atau terpencil dengan penduduk yang berada di perkotaan akan semakin jauh dan tajam. Untuk itu para pembuat kebijakan harus dapat mengantisipasi atau paling tidak meminimalisir berbagai ekses yang timbul akibat dari kesenjangan tersebut.

Perspektif global sebagai suatu kemampuan yang harus kita miliki, tidak akan lahir dan terjadi begitu saja tanpa upaya. Oleh karena itu, diperlukan proses untuk mengembangkan dan membinanya, terutama bagi generasi muda yang akan menjadi sumber daya manusia (SDM) masa yang akan datang.

Proses pembinaan suatu wawasan, dalam hal ini wawasan global atau perspektif global di mulai dari pengamatan dan penghayatan pada tingkat lokal. Fenomena, peristiwa dan masalah yang terjadi secara lokal di sekitar tempat tinggal, diamati serta diperhatikan. Dari sini akan terbina wawasan lokal atau perspektif lokal. Wawasan lokal sebagai suatu kemampuan, akan menjadi dasar pendorong mengembangkan wawasan regional (perspektif regional) pada diri masing-masing.

Perspektif regional sebagai suatu kemampuan yang harus kita miliki, tidak dapat melekat pada diri masing-masing begitu saja, melainkan harus melalui latihan kepedulian dan kesengajaan. Di sini letak kedudukan pendidikan, khususnya pendidikan global. Adapun yang dimaksud pendidikan global menurut Becker dan Anderson sebagaimana dikutip oleh Nursid Sumaatmadja (2000:141), menyatakan bahwa:

Pendidikan global itu merupakan upaya menghasilkan atau menciptakan sistem pendidikan yang melibatkan anak-anak, pemuda dan orang dewasa melakukan dua hal. Di satu pihak peserta didik belajar merasakan dan mengerti bahwa dunia ini sebagai sistem

Page 40: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

tunggal serta sistem global yang lengkap; dan di pihak lain, peserta didik belajar melihat dirinya sendiri sebagai peserta (komponen) sistem dunia dan mengerti tentang manfaat serta pengorbanan, hak dan kewajiban sejalan dengan keikutsertaanya.

Dalam konsep pendidikan global di atas, tekanannya kepada proses belajar yang dilakukan oleh manusia secara utuh, artinya oleh semua jenjang usia mulai dari masa kanak kanak, pemuda sampai dewasa. Selanjutnya, yang menjadi pokok dalam belajar itu adalah merasakan, mengerti yang kemudian menghayati dan menyadari bahwa dunia ini merupakan satu kesatuan sistem yang secara global lengkap, tempat keberadaan diri manusia masing-masing. Melalui pendidikan global peserta didik belajar melihat, menghayati dirinya sebagai partisipan dalam sistem dunia, dan memahami kedudukannya sebagai komponen dunia yang memiliki hak serta kewajiban yang meliputi juga mampu mengambil manfaat atau keuntungan dan pengorbanan atau mengambil resiko dari padanya.

Dalam menyikapi pendidikan global, maka sistem pendidikan yang tidak sejalan dengan laju perkembangan masyarakat global perlu ditata ulang. Menurut H.A.R. Tilaar (1999:147) menyatakan bahwa “Sistem pendidikan di seluruh dunia perlu ditemukan kembali (reinventing) yaitu pendidikan yang dapat mempersiapkan manusia-manusia yang mempunyai identitas dalam masyarakat lokalnya dan sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia bersama”. Hal ini karena umat manusia hanya mempunyai satu planet tempat dia hidup ialah planet bumi. Oleh sebab itu, kelangsungan hidup manusia di planet ini haruslah menjadi tanggung jawab bersama untuk melestarikannya.

Bagi bangsa Indonesia kesadaran akan pentingnnya pendidikan global secara yuridis tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yaitu:

1.Pasal 36 (3), kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: dinamika perkembangan global (butir i).

2.Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (penjelasan umum UU Sisdiknas).

3.Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut (misi ke-4): meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global (penjelasan umum UU Sisdiknas).Di Indonesia sebenarnya kesadaran akan pentingnya pendidikan global telah ada sebelum kita

merdeka, yaitu sejak didirikan Perguruan Taman Siswa. Sebagai pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara (1962:228) berpendapat bahwa: “Untuk maksud ini hendaknya perlu pemberian pengajaran bahasa Inggris di semua sekolah menengah”. Pentingnya bahasa Inggris dalam pergaulan global termasuk dalam bidang pendidikan, juga dikemukakan oleh John Naisbit & Patricia Aburdene (1990:126), bahwa: “Faktor terpenting yang mempercepat perkembangan gaya hidup global tunggal adalah pembiakan bahasa Inggris”.Dalam kurikulum pendidikan di negara kita untuk mengantisipasi kehidupan global ini pengajaran bahasa Inggris sudah dimulai dari tingkat pendidikan dasar walaupun hasilnya belum sesuai dengan harapan. Selain bahasa Inggris yang berperan dalam pergaulan dan pendidikan global yaitu komputer dan internet, tetapi tetap kuncinya terletak pada bahasa Inggris karena kedua media tersebut umumnya menggunakan bahasa Inggris.

Sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, bahwa globalisasi dunia merambah ke segala segi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan. Salah satu bidang pendidikan yang dirambah arus globalisasi yaitu Pendidikan IPS. Dalam rangka menghadapi arus globalisasi perlu ada

Page 41: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

pembaharuan dalam PIPS. Menurut Numan Somantri (2001:264) yang dianggap sebagai ciri-ciri pembaharuan dalam pengajaran IPS ialah:

(a) bahan pelajaran lebih banyak memperhatikan kebutuhan dan minat pelajar; (b) bahan pelajaran leih banyak memperhatikan masalah-masalah sosial; (3) bahan pelajaran lebih banyak memperhatikan keterampilan berpikir, khususnya keterampilan menyelidiki; (d) bahan pelajaran lebih memberikan perhatian terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan alam sekitar; (e) kegiatan-kegiatan dasar manusia dapat dicerminkan dalam program studi; (f) organisasi kurikulumnya bervariasi, mlai dari pengorganisasian yang “integrated, correlated dan sparated”, (g) susunan bahan pelajaran bervariasi mulai dari pendekatan kewarganegaraan, fungsional, humanistik dan struktural; (h) kelas pelajaran IPS dikembangkan menjadi laoratorium demokrasi; (i) evaluasinya bukan hanya memperhatikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, melainkan mencoba mengembangkan DQ (Democratic Quotient) dan CQ (citizenship Quotient); (j) unsur-unsur sosiologis, antropologis dan pengetahuan sosial lainnya memperkaya program studi, demikian pula unsur-unsur sains, teknologi, matematika dan agama ikut memperkaya bahan pelajaran.Berdasarkan pendapat di atas semua pihak yang terlibat dalam pendidikan IPS terutama para

akademisi dan praktisi harus berupaya mengadakan pembaharuan dalam pendidikan IPS sesuai dengan kewenangan dan kemampuan masing-masing. Sehingga akhirnya diharapkan konsep-konsep PIPS dapat adaftif dengan arus globalisasi. Hal ini penting karena pembelajaran IPS berangkat dari konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan manusia.

Konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa yang kongkrit. Menurut Rochiati Wiriaatmadja (2002:300), menyatakan bahwa: “Konsep adalah kata-kata yang mengklasifikasi, mengkategorisasi dan menjabarkan seperangkat fakta yang berkaitan. Konsep menggabungkan beberapa fakta yang sama dalam satu label”. Adapun yang menjadi konsep kunci dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial adalah sebagai berikut:

1. Sejarah, meliputi perubahan, kontinuitas, nasionalisme, kolonialisme, imperialisme, dan revolusi.

2. Geografi, meliputi ruang/spasial, lokasi, jarak, wilayah, lingkungan, dan pola ruang.

3. Antropologi, meliputi kebudayaan, tradisi, kepercayaan, ritual, kekeluargaan, dan akulturasi.

4. Politik, meliputi otoritas, kekuasaan, negara, keadilan, demokrasi, dan hak azasi manusia.

5. Sosiologi, meliputi masyarakat, peranan, stratifikasi, nilai, kaidah, dan konflik.6. Ekonomi, meliputi produksi, distribusi, konsumsi, penawaran, permintaan, dan

kelangkaan (Rochiati Wiriaatmadja, 2002:300).Dari konsep-konsep di atas perlu dikembangkan lagi atau ditambah dengan konsep baru yang

berkembang dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari globalisasi. Contoh konsep reformasi untuk kajian bidang politik atau konsep pasar bebas untuk kajian bidang ekonomi.

Dalam menghadapi arus globalisasi struktur pendidikan IPS harus dibenahi. Hal ini sesuai pendapat Numan Somantri (2001:190), yang menyatakan bahwa:

Untuk menghadapi tantangan dan dinamika masyarakat serta globalisasi maka perlu konsolidasi kurikulum FPIPS yang meliputi: (a) panetrasi jatidiri pendidikan IPS ke dalam primary structure; (b) mata kuliah yang tidak begitu penting disederhanakan dan menampilkan pendidikan global (global education); (c) semua mata kuliah disiplin ilmu diperkuat sehingga setaraf dengan mata kuliah di universitas untuk mendukung primary structure; (d) diadakan mata kuliah yang berorientasi pada bisnis dan bahasa asing; (e) perlu ada monitoring yang intensif terhadap perkembangan pembangunan nasional,

Page 42: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

globalisasi sebagai bahan untuk memperkaya kurikulum FPIPS dengan pengetahuan fungsional (functional knowledge).

Dari pendapat di atas jelas, bahwa kurikulum dan perkuliahan pendidikan IPS di LPTK perlu ditata ulang dan dikonsolidasikan agar dapat mengantisipasi arus globalisasi. Hal ini penting karena lulusan FPIPS ini yang akan menjadi pelopor dan pembaharu pendidikan IPS di tingkat persekolahan, sehingga pendidikan IPS yang sangat dinamis ini dapat lebih bermakna dan menarik siswa dalam pembelajaran.

Selain berdampak pada konsep PIPS arus globalisasi juga berpengaruh terhadap prinsip yang menjadi landasan PIPS. Salah satu prinsip atau dalil PIPS menyatakan bahwa “yang abadi di dunia ini hanyalah perubahan”. Ini membawa konsekuensi bahwa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan kurikulum PIPS masalah perubahan harus menjadi pertimbangan utama, baik perubahan dalam konterks lokal, nasional, regional maupun global.

Dalam menghadapi dan menyikapi pengaruh globalisasi terhadap konsep dan prinsip PIPS hendaknya kita berpijak pada jatidiri PIPS sebagaimana dikemukakan oleh Numan Somantri (2001:207), yaitu sebagai berikut:

1. adanya hubungan interdisipliner dan/atau transdisipliner antara disiplin ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, bahkan dengan ilmu, teknologi, seni, dan agama;

2. hubungan antara disiplin itu disebabkan adanya kebutuhan dan kegunaan yaitu untuk kepentingan pendidikan sebagai “advance knowledge”;

3. proses pendekatan antardisipliner merupakan seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk tujuan pendidikan;

4. bahan pendidikan diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.

Dengan berpegang pada jatidirinya dalam menghadapi dan menyikapi arus globalisasi diharapkan terbentuk/terwujud kurikulum PIPS yang selalu aktual sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa harus kahilangan jatidiri. Dalam pelaksanaanya akan lebih bermakna apabila terjalin koordinasi dan sinkronisasi antara para akademisi di LPTK dengan para praktisi pendidikan di tingkat persekolahan. Tujuannya adalah agar pembelajaran PIPS dapat disajikan secara komprehensif dan menyentuh masalah-masalah sosial, dengan tidak mengabaikan cara berpikir ilmiah dan ruang lingkup disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Pendekatan merupakan cara pandang dalam melakukan sesuatu yang sudah direncanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam kegiatan pembelajaran pendekatan diartikan sebagai cara pandang dalam menyampaikan bahan yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan belajar.

Dalam bidang pendidikan secara umum ada dua macam pendekatan yaitu pendekatan akademis dan pendekatan paedagogis. Pendekatan akademis merupakan cara pandang keilmuan tentang apa ilmu itu dan bagaimana cara mendapatkannya. Sedangkan pendekatan paedagogis merupakan cara pandang bagaimana ilmu itu disampaikan kepada orang lain (peserta didik).

Dalam PIPS pendekatan akademis merupakan suatu kemampuan mutlak yang harus dimiliki oleh para pendidik, tanpa itu ia tidak memiliki kelayakan sebagai pendidik. Salah satu pendekatan yang termasuk ke dalam pendekatan akademis adalah pendekatan struktural sebagaimana dikemukakan oleh Numan Somantri (2001:270) yang menyatakan bahwa:

Pendekatan struktural bertitik tolak dari disiplin ilmu. Walaupun bahan-bahan pelajaran diambil dari berbagai macam disiplin, tetapi seluruh bahan itu terlebih dahulu harus disusun secara sistematis menurut salah satu struktur disiplin ilmu sosial.

Page 43: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Jadi dalam pendekatan struktural bahan-bahan pelajaran diambil dari berbagai disiplin ilmu yang disusun secara sistematis menurut salah satu struktur disiplin ilmu sosial. Selain harus sistematis bahan-bahan itu juga harus esensial untuk disajikan.

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pendekatan paedagogis merupakan cara pandang bagaimana ilmu itu disampaikan kepada orang lain (peserta didik). Adapun pendekatan-pendekatan yang dipergunakan IPS dalam menentukan / memilih / mengembangkan program maupun metode pembelajaran menurut Kosasih Djahiri (1978:4-5) bertumpu pada pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. siswa sentris, dimana faktor siswa sangat diperhatikan/diutamakan;2. kemasyarakatan sentris (community oreunted), dimana masalah kehidupan riil dan

kemasyarakatan dijadikan sumber dan bahan serta tempat belajar;3. ekositem, artinya faktor lingkungan turut diperhitungkan dan dimanfaatkan;4. bersifat komprehensif dan integrated (integratif);5. menggunakan teknik inkuiri (inkuiry) dan bentuk student active learning

(siswa belajar dengan aktif) sebagai media proses belajar utama.Apabila para pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran IPS

memperhatikan pendekatan-pendekatan di atas akan menunjang dan memperlancar pencapaian tujuan pembelajaran IPS sesuai yang diharapkan. Hal ini karena pembelajaran IPS diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa belajar aktif untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya, seperti intelektual, mental, emosional, sosial, dan fisik (kognitif, afektif, psikomotor}.

Banyak pendekatan paedagogis yang sering digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan karakter mata pelajaran masing-masing. Adapun pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan karakter PIPS di antaranya sebagai berikut:Pendekatan konsep, pendekatan ini merupakan pendekatan bermakna dengan menghubung antar konsep sehingga lebih bermakna. Pendekatan konsep ini digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa. Apabila siswa betul-betul memahami suatu konsep ia akan menerapkannya pada situasi baru.Pendekatan pemecahan masalah, pemecahan masalah merupakan proses yang mengharuskan siswa untuk menemukan suatu generalisasi dari konsep-konsep yang telha dipelajari, kemudian menerapkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.Pendekatan lingkungan, dalam menggunakan pendekatan ini harus diperhatikan bahwa materi pelajaran hendaknya mempunyai hubungan erat dengan kehidupan sehari-hari sehingga lebih konkrit, mudah dipahami dan mengetahui manfaatnya. Pendekatan keterampilan proses, merupakan pendekatan yang dipakai dalam proses pembelajaran yang menekankan pada pengembangan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Perinsip pendekatan keterampilan proses adalah:

1. Siswa lebih banyak terlibat dengan apa yang dipelajari.2. Siswa lebih banyak menghayati apa yang dipelajari.3. Siswa lebih banyak merasakan dan menemukan apa yang dipelajari.

Dengan demikian guru IPS hendaknya mampu menggali potensi-potensi yang ada pada diri siswa melalui proses pembelajaran dengan mengembangkan keterampilan mengamati, mengklarifikasi, interpretasi, memprediksi, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan. Karena hampir seluruh konsep pembelajaran IPS dapat disajikan dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses.Pendekatan model pembelajaran cooperative learning, pendekatan ini memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator. Alasan penggunaan cooperative learning dalam kegiatan pembelajaran menurut Anita Lie (2002:12), yaitu:

Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, demografi yang mengharuskan sekolah dan perguruan tinggi untuk lebih

Page 44: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.

Dari pendapat di atas jelas, bahwa pendekatan model pembelajaran cooperative learning sesuai dengan arus globalisasi, sehingga dengan menggunakan pendekatan tersebut peserta didik diharapkan memiliki kemampuan untuk mengantisipasi perubahan dunia yang berkembang pesat.

Menurut Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardi (1999:61) dalam pembelajaran di era globalisasi ini para pendidik dapat melakukan pilihan-pilihan sebagai berikut:

1. Merencanakan model pembelajaran perspektif global dengan orientasi masalah yang kontronersial;

2. Merencanakan model pembelajaran perspektif global dengan pemetaan konsep (concept mapping); dan

3. Merencanakan model pembelajaran perspektif global dengan pengembangan keterampilan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa arus globalisasi besar sekali pengaruhnya terhadap pendekatan PIPS, baik pendekatan akademis maupun pendekatan paedagogis. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran IPS para pendidik seyogianya memperhatikan globalisasi yang berkembang pesat baik secara akademis maupun paedagogis, apabila tidak selain pembelajaran kurang/tidak menarik juga akan menghambat pencapaian tujuan pembelajaran IPS yang diharapkan.

Perubahan zaman sebagai dampak dari globalisasi tidak selalu positif, kenyataan tidak sedikit malah yang menimbulkan ekses negatif. Untuk itu dengan konsep, prinsip dan pendekatan PIPS yang tepat para pendidik diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk dapat memilah-milah dampak positif dan negatif dari globalisasi tersebut. Sehingga akhirnya mereka diharapkan dapat memilih yang positif dan menggunakannya untuk kepentingan hidup dan kemuliaan umat manusiaDAFTAR PUSTAKAAlleman, J.E. & Cheryl, E.R. 1991. The cognitive, social, emotional, and moral development characteristics of

students: Basic for elementary and middle school social studies. James P.S. Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120.

Atkinson, Rita., Atkinson, Richard, C., & Hilgard, Ernest, R., 1983. Introduction to Psychology, 8th Ed. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Arifin, Z. (1988). Evaluasi Instruksional: Prinsip-Teknik-Prosedur. Bandung: Remadja KaryaArikunto, S. (1988). Penilaian Program Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.Arikunto, S. (1986). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina AksaraAusubel, D.P. 1963. The psychology of meaningful verbal learning. New York: Grune & Stratton.Azis Wahab, (1998). Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah. Bandung: PPS IKIP Bandung (2002), Tantangan Pembelajaran PIPS di Sekolah, JPIS No. 19Baharudin. Taufik. 1999. Brainware Management: Generasi Kelima Manajemen Manusia. Elex Media

Komputindo: Jakarta.Badeni, (2001), Masalah dan Solusi Pembelajaran IPS dengan Pendekatan Cooperative Learning, dalam Jurnal

Ilmu Pendidikan Sosial (JPIS), No.18 Banks, James A. & Ambrose A. Clegg Jr, (1985), Teaching Strategies for the Social Studies, New York: Longman, IncBerliner, David, C. & Calfee, Robert.C.(Editor), 1996. Handbook of Educational Psychology. New York, Simon

& Schuster Macmillan.

Blosser, Patricia E. & Helgenson, Stanley L. (1990). Selecting Procedures for Improving the Science Curriculum. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environment Education. (ED325303)

Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan SarahSinger-Nourie. 2006. QuantumTeaching. Bandung : Penerbit Kaifa. Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria,

VA: ASCD Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, S. (1989). Situated cognition and the culture of learning. Educational

Researcher, 18(1), 32-42. Buzan. Tony dan Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran : The Mind Map Book. Interaksa: Batam

Page 45: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Buzan. Tony. 2004. Mind Map: Untukmeningkatkan Kreativitas. Gramedia Pustaka Utama: JakartaBudiningsih, Asri, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman

Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan Penilaian Berbasis Kelas, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan Penilaian Berbasis Kelas, Jakarta

DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit KAIFA.

DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Penerbit KAIFA.

Dewey, John (1964) John Dewey on education: Selected writings. Chicago: University of Chicago Press. Djahiri, A.K. (1978). Pengajaran Studi Sosial/IPS. Bandung: LPPP-IPS; FKIS-IKIP Bandung.Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns.

Selandia Baru: The Learning Web.Ernest, P. (1995). The one and the many. In L. Steffe & J. Gale (Eds.). Constructivism in education (pp.459-

486). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc. Gage, N.L. & Berliner, David, C. (1984). Educational Psychology 3rd Ed. Boston, Houghton Mifflin Company.Gagne, Ellen, D., 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Little, Brown and CompanyGarton, Janetta., 2005. Inquiry-Based Learning. Willard R-II School District, Technology Integration AcadeGergen, K. (1995). Social construction and the educational process. In L. Steffe & J. Gale (Eds.).

Constructivism in education, (pp.17-39). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,IncGiddens, Anthony. 2001. Runway World. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.Harahap, N. (1982). Teknik Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Bulan Bintang.Hasan S. Hamid, (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, P2TA. (2002), Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial di

Masa Mendatang, JPIS, No. 19, Bandung.Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES.Haury, L. David. (1993). Teaching Science Through Inquiry. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science,

Mathematics, and Environment Education. (ED359048)Hidayat. Nandang. Meningkatkan Energi Belajar Melalui Belajar kuantum (Quantum Learning): Bogor.Huitt, W. (1997). Socioemotional development. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta

State UniversityJarolimek, John, (1993), Social Studies in Elementary Education, New York: Macmillan Publishing Co. LtdJensen. Eric dan Karen Makowitz. 2002. Otak Sejuta Gygabite: Buku Pintar Membangun Ingatan Super. Kaifa :

Bandung.Lie, L. (2002). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.Leonard, Nancy, H., Beauvais, Laura Lynn., & Scholl Richard, W., 1995. "A Self Concept-Based Model of

Work Motivation". In The Annual Meeting of the Academy of Management (URL: http://chiron.valdosta.edu/wh...).

Makmun. Abin Syamsudin. 2000. Psikologi Kependidikan Remaja Rosda Karya.Bandung.Mansour Fakih dan Robert Chamber. 2002. Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:Read Book. Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung:

Remaja Rosdakarya.Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan.

Bandung:Rosda. Nakita Cetakan Pertama. 2004. Panduan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : PT Sarana Kinasih Satya Sejati.Nasution, S. 1989. Berbagai Pendekatan Proses Belajar Mengajar, Jakarta,:Bina Aksara.Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Mardi, (1999), Perspektif Global, Jakarta: Penerbit UT.Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Pendidikan. 2005. Jakarta : Tanpa Penerbit.Palmer, Joy A. 2003. 50 Pemikir Pendidikan, dari Piaget sampai masa

sekarang. Yogyakarta: JendelaRoem Topatimasang,dkk. 2005. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran

Kritis. Yogyakarta:Insist Press.Sagala, Syaiful., 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, Penerbit Alfabeta.

Page 46: Prinsip dan Kriteria Penilaian - HENDRA PRIJATNA Web viewTransformasi ke arah pengembangan budaya belajar sangat dipandang tepat bagi peningkatan mutu, kemukakan pendapat anda dalam

Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Step to Teach Any Subject.Massachusetts: A Simon and Schuster Company.

Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.Sugiarto. Iwan. 2004 Mengoptimalkan Daya Kerja Otak Dengan Berfikir Holistik dan Kreatif. Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.Supriatna, Nana, (2002), Mengajarkan Keterampilan Sosisal yang Diperlukan Siswa Memasuki Era Global,

JPIS No. 19Suwarma Al Muchtar, (1999). Epistimologi Dasar Konseptual Strategi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

Forum Pendidikan IKIP Bandung. (2003). Otonomi Daerah dan Multikulturalisme. Bandung: FPIPS UPI Bandung. (2004), Pengembangan Berpikir dan Nilai Dalam pendidikan IPS, Bandung, Gelar Pustaka Mandiri (----) Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Sekolah Pascasarjana UPI

Steffe, Leslie P. & and D'Ambrosio, Beatriz S. (1995). Toward a working model of constructivist teaching: A reaction to Simon. Journal for Research in Mathematics Education, 26, 146-159.

Sumaatmadja, N. (1998). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.Sumaatmadja, N. Dan Wihardi, K. (1999). Perspektif Global. Jakarta: Universitas Terbuka.Tilaar, H.A.R. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.

Bandung: Remaja Rosdakarya.Universitas Negeri Malang (UM). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi

Keempat). Malang : Biro Administrasi Akademik, Perencanaan dan Sistem Informasi.Winataputra, U.S., et al. (2004). Kedudukan, Fungsi, Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan

Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: HISPISI.Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia Utama Press.Wortman, Camille., Loftus, Elizabeth. & Weaver, Charles., 2004. Psychology, 5th Ed. Boston, McGraw-Hill.Yerkes, R.M. & Dodson, J.D. (1908) The Relation of Strength of Stimulus to Rapidity of Habit-Formation.

Journal of Comparative Neurology and Psychology, 18____. (2004). Observational (social) learning: An overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA:

Valdosta State University.____. 2001. Motivation to Learn: An Overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta, Valdosta State

University_____. (2003). UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas.

_____. (2000). Himpunan Peraturan Ebta/Ebtanas Tahun Pelajaran 1999/2000. Bandung: Kanwil Depdiknas Propinsi Jawa Barat.

_____. (2003). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003, tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004. Bandung: Disdik Provinsi Jawa Barat.

_____. (2004). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 037/U/2004, tentang Ujian Akhir Nasional Ulangan Tahun Pelajaran 2003/2004. Jakarta: Depdiknas.

http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htmhttp://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html.http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htmhttp://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html.http://www.ctheory.com/ http://202.159.18.43/jp/22farisi.htmhttp://www.deliveri.org