pp mat 3 b 10_hubungan eksistensialisme dengan pendidikan_rahmah salsabila

15
HUBUNGAN EKSISTENSIALISME DENGAN PENDIDIKAN Oleh : Rahmah Salsabila (2225131869) III/B Pendidikan Matematika Universitas Sultan

Upload: rahmah-salsabila

Post on 26-Jul-2015

102 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN EKSISTENSIALIS

ME DENGAN PENDIDIKAN

Oleh : Rahmah Salsabila(2225131869)

III/BPendidikan Matematika

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

• Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individu dan pemenuhan diri sebagai pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, eksistensialisme mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan atau beririsan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama yaitu manusia, kehidupan, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

• Harapan kaum eksistensialis yaitu individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh.

• Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan secara umum.

1. TUJUAN PENDIDIKAN

• Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut dengan “kebangkitan yang luas”. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

• Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.

2. KURIKULUM

• Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum bahwa fundamen pendidikan tradisional adalah Reading, Writting, Aritmathics, ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua sebagai dasar atau fondasi usaha kreatif dan kemampuan manusia memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan dengan menghubungkannya secara lebih banyak lagi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud individual sebagaimana yang terjadi dalam pendidikan tradisional. Kurikulum eksistensialis terbuka untuk mata pelajaran lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati untuk diajarkan.

• Tata cara para guru eksistensialis cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Guru akan fokus pada keunikan individu di antara sesama siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka yang sama satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan.

• Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap individu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.

3. PERAN GURU

• Para guru harus memberikan kepada siswa untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai. Logika menunjukkan bahwa kebebeasan memiliki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.

• Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan ide-ide yang yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan sebagai penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.

• Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan saksama sehingga siswa mampu berfikir relative melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti guru tidak memberi instruksi, melaikan memberikan pengarahan. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang sangat luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.

4. KONSEP BELAJAR• Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme

dapat diaplikasikan dengan cara “Dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “Aku” dan “Engkau”. Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.

• Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan sebagai perantara yang sederhana antara meteri pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat mentransfer pengatahuan dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.

5. PROSES BELAJAR-MENGAJAR• Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak

dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi pengalaman pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

• Siswa secara perorangan harus mengunakan pengalaman-pengalaman dan keterampilan intelektual untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berfikir reflektif. Jadi sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman.

6. METODE• Bagi kaum eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah

kemungkinan yang tidak terbatas. Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran, kurikulum dan pengajaran, dan menyampaikan bahwa itu semua sebagai pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang memiliki hasrat untuk belajar.

• Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Carl Rogers “kebebasan belajar” (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill: sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960). Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada kebebasan individual dari pada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).

7. KESIMPULAN• Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas

dari konteks zamannya, demikian pula dengan eksistensialisme. Eksistensialisme mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang menarik dari eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya secara bertanggung jawab dengan rasionalitas dan perasaannya, tidak mencari justifikasi dan legitimasi dari sesuatu yang seakan-akan berada di luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri yang dibalut norma sosial atau norma agama.

• Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan. Pendidikan yang kembali kepada otonomi manusia atas alam, otonomi atas kehidupan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan. Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak semestinya membelenggu manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk yang bebas dan kreatif, maka pendidikan harus pula menjadi wahana pembebasan dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang diilhami oleh eksistensialisme adalah pendidikan yang membumi, yang berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi manusia. Hal ini ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki karakteristik (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan dan peradaban; (b) mendukung diseminasi nilai keunggulan; (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagaman; (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral (Fasli Jalal & Dedi Supriadi: 2001:7).

• Sebagai bangsa Indonesia yang berfilsafat Pancasila, ada pula hal-hal yang harus direnungkan kembali dalam menyikapi eksistensialisme. Bagi masyarakat Indonesia, terutama pendidik, eksistensialisme jangan sampai dijadikan ideologi. Karena ideologi akan mengarah pada absolutisasi kebenaran. Sikap kritis diperlukan dalam memaknai dan mengambil intisari aliran ini. Eksistensialisme dapat disandingkan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan pada intinya adalah usaha untuk memanusiakan manusia, maka landasan antropologis eksistensialisme memperoleh aktualisasinya di sini. Tetapi, perlu pula dikritisi bahwa para pendidik Indonesia harus dapat memilih dan memilah atau dalam istilah yang dikemukakan oleh Notonagoro ”eklektif in corporatif’. Proses ini pada intinya adalah mengambil hal-hal yang baik dari berbagai pemikiran yang ada dengan menyeleksi terlebih dahulu, untuk kemudian dijadikan bagian integral pemikiran khas Indonesia. Sebagaimana diketahui, eksistensialisme terbagi dua, teistik dan ateistik. Tentu saja, sebagai warga bangsa dan khususnya sebagai pendidik seharusnya kita perlu membentengi diri dari pengaruh eksistensialisme ateis ini. Pancasila adalah dasar filsafat bagi praksis pendidikan di Indonesia, maka eksistensialisme teistiklah yang sejalan dengan filsafat Pancasila dan dapat memperluas horizon makna akan pemikiran pendidikan di Indonesia.

TERIMAKASIH ^_^