pku isid fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

28
1 Problem Teori Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Oleh: Fuad Muhammad Zein Ideologi kebebasan yang berdasarkan aspirasi rakyat menjadi isu sentral dalam sistem demokrasi. Rakyat menjadi pedoman kedaulatan dalam kegiatan perpolitikan 1 , sehingga rakyat mempunyai kuasa dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln pada tahun 1863 menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 2 Maksudnya, pemerintahan demokrasi adalah berasal dari usulan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat demi kesejahteraan rakyat. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berpolitik, 3 dengan cara partisispasi langsung dalam kegiatan politik entah secara individu atau pun perwakilan. 4 Secara umum bisa disimpulkan bahwa dalam demokrasi rakyat lah pemegang kedaulatan dalam negara. Namun, ideologi kerakyatan ini ternyata tidak selalu membawa pada sebuah kesejahteraan yang bisa diterima oleh semua pihak. Permasalahannya adalah, ketika ideologi kerakyatan ini dihadapkan pada kenyataan pluralitas masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan ideologi, tidak semuanya memiliki prinsip yang sama dalam merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut. Artinya bahwa standar keadilan yang dilahirkan oleh kedaulatan rakyat yang mampu diterima oleh semua pihak menjadi penting. Maka yang jadi permasalahan bagaimana kedaulatan rakyat mampu menyatukan berbagai macam ideologi tersebut sehingga mampu diterima oleh semua pihak. Seperti yang dinyatakan oleh David Held, bahwa dalam setiap komunitas politik atau negara harus ada suatu badan kedaulatan tetap yang kekuasaannya diakui oleh komunitas sebagai otoritas yang benar dan sah. 5 Pedoman ini yang banyak diragukan para filosof dan cendekiawan mengenai demokrasi. Misalnya Plato yang meragukan demokrasi yang tidak mampu mendatangkan kedilan hanya dengan prinsip kesetaraan. 6 Menurutnya juga, dalam soal pemerintahan demokrasi sulit untuk mengetahui siapakah yang memiliki keahlian terbaik, dan lebih sulit lagi dipastikan apakah seorang politisi akan lebih menggunakan keahliannya demi kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadinya sendiri, atau kepentingan kelasnya, partainya, dan keyakinannya. 7 Hal yang mirip dijelaskan oleh kaum Marxis, mereka menambahkan bahwa demokrasi gagal bila dilihat dari janji-janjinya. 8 Rousseau juga mengkritik sistem perwakilan dalam demokrasi. Seperti yang dikutip oleh Deliar Noer dalam bukunya, Rousseau menyatakan bahwa sistem demokrasi perwakilan adalah sistem yang menurutnya berasal dari kemalasan orang untuk menaruh perhatian terhadap masalah bersama, 1 Ideologi ini menjadi asas dalam demokrasi yaitu pembebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang agama maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, p. 108 2 Dikutip dari: Drs. Muhammad Azhar, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama, p. 58 3 Prof Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, p. 111-112. 4 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, judul asli: Contemporary Political Ideologies, pent: Drs. Sahat Simamora, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44 5 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan Governance ), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p. 47 6 Bernard Lewis, Sejarah Filsafat Barat, (Chicago and London: The University of Chicago Press., 1974), p. 154 7 Ibid. 155 8 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,...., p. 15

Upload: edi-awaludin

Post on 12-Jul-2015

155 views

Category:

Spiritual


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

1

Problem Teori Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi

Oleh: Fuad Muhammad Zein

Ideologi kebebasan yang berdasarkan aspirasi rakyat menjadi isu sentral dalam sistem

demokrasi. Rakyat menjadi pedoman kedaulatan dalam kegiatan perpolitikan1, sehingga rakyat

mempunyai kuasa dalam pemerintahan negara. Abraham Lincoln pada tahun 1863 menyebut

demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.2 Maksudnya,

pemerintahan demokrasi adalah berasal dari usulan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat demi

kesejahteraan rakyat. Rakyat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berpolitik,3 dengan cara

partisispasi langsung dalam kegiatan politik entah secara individu atau pun perwakilan.4 Secara

umum bisa disimpulkan bahwa dalam demokrasi rakyat lah pemegang kedaulatan dalam negara.

Namun, ideologi kerakyatan ini ternyata tidak selalu membawa pada sebuah kesejahteraan

yang bisa diterima oleh semua pihak. Permasalahannya adalah, ketika ideologi kerakyatan ini

dihadapkan pada kenyataan pluralitas masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan ideologi,

tidak semuanya memiliki prinsip yang sama dalam merealisasikan kedaulatan rakyat tersebut.

Artinya bahwa standar keadilan yang dilahirkan oleh kedaulatan rakyat yang mampu diterima oleh

semua pihak menjadi penting. Maka yang jadi permasalahan bagaimana kedaulatan rakyat mampu

menyatukan berbagai macam ideologi tersebut sehingga mampu diterima oleh semua pihak. Seperti

yang dinyatakan oleh David Held, bahwa dalam setiap komunitas politik atau negara harus ada

suatu badan kedaulatan tetap yang kekuasaannya diakui oleh komunitas sebagai otoritas yang benar

dan sah.5

Pedoman ini yang banyak diragukan para filosof dan cendekiawan mengenai demokrasi.

Misalnya Plato yang meragukan demokrasi yang tidak mampu mendatangkan kedilan hanya dengan

prinsip kesetaraan.6 Menurutnya juga, dalam soal pemerintahan demokrasi sulit untuk mengetahui

siapakah yang memiliki keahlian terbaik, dan lebih sulit lagi dipastikan apakah seorang politisi akan

lebih menggunakan keahliannya demi kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadinya

sendiri, atau kepentingan kelasnya, partainya, dan keyakinannya.7 Hal yang mirip dijelaskan oleh

kaum Marxis, mereka menambahkan bahwa demokrasi gagal bila dilihat dari janji-janjinya.8

Rousseau juga mengkritik sistem perwakilan dalam demokrasi. Seperti yang dikutip oleh Deliar

Noer dalam bukunya, Rousseau menyatakan bahwa sistem demokrasi perwakilan adalah sistem

yang menurutnya berasal dari kemalasan orang untuk menaruh perhatian terhadap masalah bersama,

1 Ideologi ini menjadi asas dalam demokrasi yaitu pembebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan

kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang agama maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Prof. Miriam

Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, p. 108 2 Dikutip dari: Drs. Muhammad Azhar, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT

Raja Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama, p. 58 3 Prof Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, p. 111-112. 4 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, judul asli: Contemporary Political Ideologies, pent:

Drs. Sahat Simamora, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44 5 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, pent.

Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan Governance), (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p. 47 6 Bernard Lewis, Sejarah Filsafat Barat, (Chicago and London: The University of Chicago Press., 1974), p.

154 7 Ibid. 155 8 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,...., p. 15

Page 2: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

2

dan juga dari nafsu akan uang.9 Artinya, dalam demokrasi, konsep dan partisipasi rakyat pun

memiliki masalah.

Dari beberapa kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa perlunya mengetahui apakah

pedoman yang dipakai dalam kedaulatan rakyat demokrasi yang bisa dijadikan standar untuk

mewujudkan keadilan bagi rakyat itu sendiri. Kemudian sebagai sebuah agama yang sempurna,

apakah Islam juga memiliki konsep kedaulatan rakyat? Dan apa yang dijadikan pedoman dalam hal

ini. Dalam makalah singkat ini, akan dibahas mengai problem kedaulatan rakyat dalam demokrasi

dan konsep Islam mengenai kedaulatan rakyat.

Konsep Demokrasi

Secara etimologi, kata demokrasi terdiri dari dua kata bahasa Yunani, yaitu demos dan

kratos / kratein. Demos berarti rakyat, sedangkan kratos / kratein berarti kekuasaan atau berkuasa.

Jadi bisa diartikan bahwa demokrasi adalah kekuasaan rakyat, government by people.10

Namun

perlu untuk diketahui bahwa arti asli dari demos sendiri adalah rakyat miskin, sehingga, dalam

Encyclopedia of Philosophy, Donald M. Borchert menyatakan bahwa dalam demokrasi, rakyat

miskin lah yang berkuasa.11

Pendapat ini juga dinyatakan oleh Aristoteles yang mengatakan, bahwa

dalam demokrasi kepentingan yang selalu diutamakan adalah kepentingan masyarakat miskin saja,

dan tidak ada satu pun keputusan untuk kebaikan bersama. “...and democracy the interest only of

the poorer classes, none of these aims at the common good of all”12

, meski begitu, yang menjadi

pemahaman kebanyakan adalah demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dan bukan rakyat miskin.

Secara terminologi, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan demokrasi. Dalam kamus

Filsafat karya Lorens Bagus dijelaskan, bahwa demokrasi adalah bentuk politik di mana rakyat

sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik.13

Penjelasan lain terdapat dalam buku

A Law Dictionary, yang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan di

mana kedaulatan berada dalam dan dilaksanakan oleh seluruh warga yang merdeka, dan yang

membedakan dari bentuk monarki, aristokrasi, atau oligarki.14

Montesquieu juga memberikan

9 Pernyataan Rosseau ini didasarkan pada pendapatnya bahwa negara itu tidak harus terlalu besar atau terlalu

kecil, karena menurutnya, negara yang luas menyukarkan penyertaan rakyat dalam bidang pemerintahan secara

langsung, tetapi negara yang terlalu kecil akan sulit mempertahankan diri. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri

Barat, (Bandung, Penerbit Mizan, 1998) cetakan ketiga, p. 156. 10 Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 105. Perlu dipahami bahwa kata „people‟ atau „rakyat‟ pada

pemahaman Yunani waktu itu tidak sama dengan pemahaman pada zaman sekarang. Robert A. Dahl mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan „rakyat‟ waktu itu adalah sekumpulan manusia dari sebuah polis atau kota kecil. Lih. Riza

Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta, Mizan, 2007), cetakan pertama, p. 3. 11 “In ancient Greece, the demos was the poorer people; democracy meant rule of the poor over the rich”. Lih,

Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 699 12 Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon

Press, 2004), p. 84 13 Pada awalnya dalam pemikiran Yunani, demokrasi diusulkan untuk menantang pemerintahan oleh satu

orang (monarki) atau oleh kelompok yang memiliki hak-hak istimewa (aristokrasi) dan bentuk-bentuk yang jelek dari

kedua jenis pemerintahan ini yaitu tirani dan oligarki. Lih. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, PT Gramedia

Pustaka Utama, 2005) cetakan keempat, p. 154. 14 “Democracy: that form of government in which the sovereign power resides in and is exercised by the whole

body of free citizens, as distinguished from a monarchy, aristocracy and oligarchy.” Lih. Henry Campbell Black, M. A,

A Law Dictionary 2nd edition, (New Jersey, The Law Book Exchange, Ltd. Union, 1995), p. 351.

Page 3: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

3

pendapatnya mengenai definisi demokrasi dengan menyatakan:“When the body of the people is

possessed of the supreme power, it is called a democracy”.15

Bila diartikan secara bebas, ketika seluruh masyarakat memegang kekuasaan atas

pemerintahan negara, maka inilah yang dimaksud dengan demokrasi menurut Montesquieu.

Pendapat lain dari John Locke yang menjelaskan, pemerintahan disebut demokrasi, yaitu ketika

seluruh kekuasaan yang secara alami terdapat dalam masyarakat digunakan untuk membuat hukum

dari waktu ke waktu, kemudian memilih petugas untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. Model

seperti ini ia sebut dengan demokrasi yang sempurna.16

Dari beberapa pendapat tersebut, bisa

difahami, sebenarnya demokrasi merupakan sebuah bentuk atau sistem pemerintahan yang berbeda

dengan monarki, yaitu pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh satu orang, dan

aristokrasi, yaitu kedaulatan negara yang dikuasai oleh beberapa orang.17

Jadi bisa disimpulkan

bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan kedaulatan yang dikuasai oleh seluruh

warga.

Bila dibandingkan pengertian demokrasi pada masa Yunani dan Modern, maka bisa

diketahui bahwa dalam demokrasi setidaknya memiliki dua model pemerintahan. Pertama, adalah

model demokrasi langsung, direct democracy. Dan Kedua, adalah demokrasi perwakilan,

representative democracy. Demokrasi langsung adalah demokrasi di mana para warganegara

berperan serta secara pribadi dan langsung dalam pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam

segala urusan pemerintahan. Demokrasi semacam inilah yang terlaksana pada masa Yunani Kuno.18

Sifat langsung ini bisa terselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang

sederhana, kemudian wilayah yang hanya berbentuk polis,19

dengan penduduk yang sedikit.20

Sedangkan dalam demokrasi perwakilan, para warganegara memilih warga yang lain untuk

mewakili mereka dalam mengikuti pertimbangan-pertimbangan dan pemilihan dalam segala urusan

pemerintahan.21

Perbedaan ini disebabkan karena perubahan ukuran negara yang lebih besar dan

luas serta jumlah warganegara dalam setiap negara yang semakin banyak.

Demokrasi juga sering dikaitkan dengan bentuk negara republik. Merujuk kepada konsep

Machiavelli dalam bentuk negara, republik merupakan kebalikan dari monarki. Republik diartikan

dengan negara yang mempunyai ciri kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, maka disebut juga negara

kerakyatan. Ciri yang lain adalah ketika kehendak negara, staatswill, terjadi secara yuridis melalui

suatu majelis atau melalui suatu dewan.22

Jadi, kaitan antara demokrasi dan republik terletak pada

15 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws, pent. Thomas Nugent, (Canada, Batoche

Books, 2001) p. 25 16 John Locke, Second Treatise of Government, (Cambridge, Hackett Publishing Company, 1980), p. 52 17 Sebenarnya pembagian bentuk pemerintahan ini sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Namun

perbedaan keduanya adalah, bila Plato menjadikan aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang paling ideal,

sedangkan Aristoteles menganggap politea / polity sebagai bentuk yang paling ideal. Lih Anthony Kenny, A New

History Of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford, Clarendon Press, 2004), p. 60, 84. John Jacques Rousseau, The Social Contract or The Principles of Political Right, p. 50. John Locke, Second Treatise of Government,

p. 52 18 Lih: Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), p. 700 19 Kata polis ini berasal dari kata Yunani, yang dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai negara (state) dan

kota (city). Namun dalam pengertian Yunani polis adalah sebuah masyarakat yang berjumlah sedikit, dan biasanya

disebut dengan „negara kota‟. George Klosko, History of Political Theory, an Introduction, vol I, Ancient and Medieval

Political Theory, (Orlando, Harcourt Brace & Company Publisher, 1993), p. 1-2 20 Prof. Miriam Budiarjo, Ilmu Politik, p. 109 21 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, pent. Drs. Sahat Simamora, judul asli: Contemporary

Political Ideologies, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986), p. 44 22 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2006), cetakan pertama, p.49-50

Page 4: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

4

posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, oleh karena itu, banyak negara-negara

penganut demokrasi menamakan dirinya sebagai negara republik demokratis.

Selain itu, demokrasi perwakilan juga disebut dengan demokrasi konstitusional atau

demokrasi liberal.23

. Demokrasi ini merupakan pembaruan kelembagaan pokok untuk mengatasi

problem keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Namun kebebasan ini hanya

diberikan kepada semua orang dewasa.24

Kebebasan tersebut tercerminkan dalam bentuk undang-

undang dan lembaga-lembaga yang memungkinkan partisipasi paling luas dari mayoritas

warganegara dalam pemilihan wakil-wakil yang bisa membuat keputusan-keputusan politik sendiri,

yakni keputusan-keputusan yang mempengaruhi seluruh komunitas.25

Namun yang menjadi

kelemahan demokrasi semacam ini adalah adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam

masyarakat, sehingga berdasarkan pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak.

Oleh sebab itulah demokrasi ini tidak mempunyai pegangan dan pedoman yang tegas.26

Demokrasi

ini banyak dianut oleh negara-negara Barat.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang mempunyai

ciri lain dari sistem lainnya seperti monarki dan aristokrasi dengan menempatkan rakyat sebagai

pemegang kekuasaan dalam negara. Demokrasi merupkan sistem pemerintahan kerakyatan di mana

rakyat mempunyai posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan pembuat keputusan. Dalam

perkembangannya, demokrasi mengalami perubahan bentuk dan sistem dari asalanya. Perubahan

tersebut ialah perubahan demokrasi yang sebelumnya berbentuk langsung, direct democracy,

menjadi demokrasi perwakilan, representative democracy, di mana rakyat memilih wakilnya untuk

duduk dalam sebuah majlis permusyawaratan atau parlemen untuk mewakili dan menyampaikan

aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Dalam hal ini posisi rakyat tidak serta merta diabaikan.

Artinya, meski mengalami perkembangan dan perubahan bentuknya, demokrasi tidak

menghilangkan cirinya yang sangat esensial yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam

pemerintahan negara.

Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi

Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam demokrasi posisi kedaulatan rakyat sangat

penting dalam pemerintahan, karena merekalah yang dianggap pemegang kekuasaan yang

sebenarnya. Maka perlu untuk memahami konsep kedaualatan yang merupakan pondasi atau

legitimasi dalam masalah kekuasaan dalam politik. Kedaulatan dan kekuasaan merupakan dua hal

yang sangat berkaitan dalam politik demokrasi, karena dengan kedaulatan kekuasaan bisa

mendapatkan legitimasi. Selanjutnya adalah mengenai siapa yang memegang kedaulatan dan dari

mana kedaulatan ini bisa didapatkan.27

Hal ini karena melihat negara adalah sebuah organisasi

23 Demokrasi Konstitusional memang jarang disebutkan secara bersamaan dengan demokrasi liberal maupun

perwakilan. Terkadang Demokrasi Perwakilan disebut bersamaan dengan Demokrasi Liberal, dikarenakan adanya

prinsip kebebasan yang terdapat dalam wakil-wakil masyarakat dalam pemerintahan dengan tetap dibatasi dengan

aturan-aturan hukum. (lih. David Held, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan

Kosmopolitan, pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to Cosmopolitan

Governance), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama, p.5-6). Dan Demokrasi Perwakilan disebut

bersamaan dengan Demokrasi Konstitusional, karena adanya batas-batas konstitusional dalam setiap wakil-wakil

rakyat, (lih. Prof Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., 107). Namun ketiganya terdapat kesamaan, yaitu

adanya kekuasaan terbatas dalam perwakilan rakyat. 24 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 10-11 25 Ibid, p. 14 26 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 56. 27 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Cet. 3, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1991), h. 125-126.

Page 5: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

5

hidup yang digerakkan oleh banyak orang, selain itu, kedaulatan merupakan sebuah kekuasaan

untuk memerintah dalam negara.28

Maka dari ini, perlu untuk memperjelas mengenai konsep

kedaulatan dan siapa yang berhak dalam memegang kedaulatan, serta dari mana kedaulatan itu

didapat. Dengan begini bisa diketahui bagaimana kekuasaan dalam sebuah negara dapat

dilaksanakan.

Secara etimologi, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah,

dan lain sebagainya.29

Dalam bahasa Inggris, kedaulatan diterjemahkan dalam istilah soverereign

atau sovereignty yang berarti mempunyai kekuasaan yang besar dalam sebuah negara, having

complete power or the greatest power in the country. Dan „sovereignty‟ berarti kekuasaan penuh

untuk mengatur sebuah negara atau sebuah kondisi pada sebuah negara yang memiliki kebebasan

untuk memerintah negara itu sendiri.30

Sehingga bisa dipahami bahwa kedaulatan berkaitan dengan

masalah mengenai kekuasaan, dan selain itu, kedaulatan merupakan sebuah istilah yang berbicara

mengenai kekuasaan tertinggi dalam sebuah pemerintahan.

Mengenai definisi kedaulatan, terdapat beberapa pendapat. Dalam bukunya, Prof. Miriam

Budiardjo menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-

undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia.31

Dalam hal ini, negara mempunyai

kekuasaan tinggi untuk memaksa rakyatnya agar menaati undang-undang yang ada, dan juga

kekuasaan untuk mempertahankan kedaulatannya. Dalam buku A Law Dictionary, dicantumkan

bahwa kedaulatan (soveregnty) adalah suatu kombinasi dari seluruh kekuasaan masyarakat dalam

sebuah negara, yang digunakan untuk melakukan segala sesuatu demi negara, seperti membuat

undang-undang dan menerapkannya, membuat perjanjian dagang dengan negara lain dan lain

sebagainya.32

Dari sini terlihat bahwa kedaulatan sangat penting dalam negara sebagai legitimasi

pembuat segala keputusan.

Jean Bodin33

memberikan definisinya mengenai kedaulatan dengan menyatakan bahwa

kedaulatan adalah kekuasaan yang absolut dan abadi yang dimiliki dalam sebuah negara.34

Kekuasaan itu merupakan wewenang yang tidak dapat dibatasi oleh hukum dan dimiliki oleh

penguasa (pemerintahan negara) untuk mengatasi seluruh warga negara dan orang-orang lain dalam

ruang lingkup wilayahnya.35

Seperti yang dikatakan Bodin, dalam Encyclopedia of Philosophy juga

disebutkan bahwa seseorang atau sebuah institusi bisa dikatakan berdaulat bila ia melaksanakan

kewenangan (dalam sebuah permasalahan hak) atas orang lain atau institusi lain dalam sebuah

sistem hukum, dan tidak ada pejabat yang berwenang untuk menolaknya.36

Artinya, kedaulatan

adalah sebuah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam sebuah pemerintahan atau negara, yang itu

merupakan kekuasaan dan wewenang yang menyeluruh dalam memerintah negara dan dengannya

dapat dibentuk undang-undang dan segala sesuatu untuk kepentingan negara. Jika dikaitkan dengan

28 A. Hamid S Attamimi,“Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara ; suatu studi analisis mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun

waktu Pelita I – Pelita IV, Jakarta : (Desertasi doktor Universitas Indonesia, 1990), h. 84 29 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012) cetakan

keempat, p. 298 30 „the state of being a country with freedom to govern it self‟. Oxford Advanced Learner‟s Dictionary,

International Student Edition, (Oxford, Oxford University Press, 2010), p. 31 Prof. Mriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik....., p. 54 32 John Bouvier, A Law Dictionary, Adopted to The Constitution and Laws of The United Stated of America

and of The Several States of The American Union with References to The Civil and Other System of Foreign Law, 2nd

edition, vol II, (Philadelpia, T & J. W Johnson Law Book Sellers, 1843), p. 520 33 Jean Bodin adalah seorang pemikir politik abad pertengahan berkebangsaan Prancis. Lahir pada tahun 1530

dan meninggal pada tahun 1596 34 Jean Bodin, Six Books of The Commonwealth, pent. M. J. Tooley, (Oxford, The Alden Press, 1755), p. 25 35 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,...p. 30 36 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 9),....,p. 139

Page 6: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

6

demokrasi, maka dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam

sebuah negara yang menganut sistem demokrasi adalah rakyat. Dalam hal ini rakyat menjadi

pemberi keputusan dalam berbagai macam permasalahan dalam urusan pemerintahan.

Dalam perjalanannya, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini mengalami perubahan dalam

bentuknya dari bentuk langsung kepada bentuk perwakilan. Seperti yang telah disinggung di atas,

bahwa kedaulatan dalam demokrasi Yunani Kuno berbentuk langsung. Pada bentuk ini, rakyat

Athena berkumpul dalam sebuah tempat yang luas untuk membicarakan permasalahan publik

dengan cara diskusi dan dialog dan juga voting. Setiap individu masyarakat memiliki hak yang

sama dalam memberikan usulan yang dapat mempengaruhi keputusan politik. Keputusan suara

ditentukan dengan adanya voting dan suara terbanyaklah yang menjadi ukuran legitimasi keputusan

politik, dan kalangan yang pendapatnya kalah dalam voting, harus bisa menerima keputusan itu dan

menyetujui keputusan akhir yang dicapai.37

Lain halnya dalam bentuk perwakilan. Dalam bentuk

ini, kedaulatan rakyat diwakilkan kepada beberapa orang untuk duduk di parlemen sebagai

kelompok yang diberi kepercayaan rakyat untuk mewakili aspirasi mereka dalam masalah-masalah

politik.38

Wakil-wakil tersebut dipilih dalam pemilihan umum secara bebas oleh rakyat dengan asas

mayoritas. Maka dari itu, para wakil ini harus bisa menjadi suatu mikrokosmos dari kemajemukan

kepentingan para pemilihnya, di mana kemudian kepentingan-kepentingan itu akan disatukan

dengan kepentingan-kepentinagan lainnya sehingga dapat membuat sebuah keputusan yang bisa

mewakili kepentingan bersama.39

Pada masa modern ini, kedaulatan langsung sangat sulit untuk dilaksanakan. Wilayah yang

semakin luas dan juga tidak terdapatnya tempat untuk menampung seluruh rakyat pada waktu yang

bersamaan tidak memungkinkan terjadinya demokrasi langsung pada zaman modern.40

Pada saat

demokrasi langsung dijalankan pun, tidak semua warganegara dapat ikut serta dalam

permusyawaratan. Hal ini terbukti adanya diskriminasi bagi wanita dan budak pada masa Yunani

Kuno yang tidak mempunyai hak politik dalam konstitusi Athena. Dan yang berhak hanyalah

kalangan elit saja dalam partisipasinya di dalam pemerintahan.41

Kemudian, tidak semua

masyarakat mempunyai pengetahuan mengenai politik. Sehingga keputusan publik tetap dijalakan

oleh sekelompok orang yang diberi kewenangan untuk menjalankannya.42

Artinya, dalam bentuk

aslinya pun tetap saja bahwa kedaulatan rakyat ini tidak bisa dijalankan sepenuhnya kepada rakyat

secara keseluruhan. Kekuasaan yang dijalankan secara massal juga merupakan sebuah bentuk

kekuasaan yang abstrak. Joseph Schumpter menyatakan bahwa untuk mengatasi adanya kekuasaan

yang tidak beraturan, dan juga menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan yang telah terjadi

pada bentuk theokrasi ataupun monarki, maka kedaulatan rakyat didelegasikan kepada sebuah

bentuk pemerintahan perwakilan dengan adanya jaminan kebebasan dan kekuasaan pada rakyat.43

Kesimpulannya, bahwa zaman yang sudah berkembang pada era modern ini tidak memungkinkan

untuk menjalankan demokrasi secara langsung, dan memaksa untuk bertransformasi dalam bentuk

demokrasi perwakilan.

Dalam bukunya yang berjudul Democracy and The Global System, Fabian Biarcardi

mengatakan bahwa untuk pertama kalinya demokrasi perwakilan menjadi sebuah bentuk

pemerintahan yang begitu dominan untuk didistribusikan ke seluruh negara pada sistem global

37 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 700 38 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44 39 Ibid, p. 69 40 Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), cetakan pertama, p. 17 41 Ibid 42 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2),....,p. 701 43 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy, (New York, Routledge, 1994), p. 247

Page 7: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

7

sekarang ini.44

Selain karena wilayah negara yang semakin luas, hal ini disebabkan karena adanya

gerakan revolusi pada era memasuki abad modern. Sebagai contoh adalah berhasilnya revolusi

kaum proletar, dan juga berakhirnya komunis yang diprakarsai oleh Lenin dan Bolsheviks.45

David

Held menjelaskan bahwa pada zaman modern ini, demokrasi perwakilan menjadi begitu penting

karena demokrasi perwakilan menjanjikan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan

yang memberi mandat pemerintahan, yaitu rakyat. Selain itu, demokrasi perwakilan liberal juga

tidak menjadi ancaman bagi masyarakat sipil ekonomi, karena akan menciptakan pasar modal yang

memisahkan ekonomi dari politik.46

Lyman Tower Sargent juga menyatakan bahwa dalam

demokrasi perwakilan, melalui asas persamaan, berarti bahwa rakyat yang berhak memilih

wakilnya, juga berhak untuk dipilih sebagai wakil rakyat.47

Dengan begitu, demokrasi perwakilan

bisa menjadi sistem pemerintahan yang menyeimbangkan antara kedaulatan rakyat dengan

kekuasaan pemerintah.

Namun tidak semua tokoh Barat menyetujui adanya sistem perwakilan ini. Seperti halnya

Rousseau yang menyatakan bahwa sistem perwakilan hanya akan menimbulkan sifat apatis bagi

rakyat karena hanya akan menyerahkan segala urusan politik kepada pemerintah, sedangkan ia tidak

peduli dan malas untuk ikut berpartisipasi dalam politik. Selain itu, sistem ini juga akan menjadikan

wakil rakyat yang duduk di parlemen mengorientasikan tugasnya hanya kepada uang, karena

pemerintah itu dibayar. 48

Fenomena apatis rakyat ini juga dinyatakan oleh Borchert dalam

encyclopedianya bahwa tidak semua rakyat dalam demokrasi merasa bahwa dirinyalah pemegang

kedaulatan. Kebanyakan dari mereka apatis atau tidak mau tahu mengenai hal tersebut.49

Selain

Rousseau, Karl Marx juga tidak setuju dengan adanya sistem perwakilan. Ia menyatakan bahwa

sistem perwakilan yang diajukan kaum liberal adalah alat untuk mempertahankan kekuasaan kaum

borjuis, dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni serta mampu mengartikulasikan

kepentingan kaum proletar.50

Artinya, bahwa sistem perwakilan sebagai bentuk kedaulatan rakyat yang kemudian

didelegasikan kepada wakil rakyat tidak sepenuhnya mendapatkan persetujuan dari semua

kalangan. Kalangan yang kurang setuju mendasarkan adanya aspek materialistis yang akan diadopsi

oleh para wakil rakyat, sehingga kedaulatan yang mereka peroleh tidak dijalankan dengan baik.

Maka dari itu mereka menginginkan adanya pemerintahan langsung dari rakyat. Namun dalam

kondisi negara yang begitu besar dengan permasalahan yang begitu kompleks, tidak memungkinkan

adanya pemerintahan langsung oleh masyarakat, sehingga pemerintahan akan tetap dipegang oleh

beberapa orang yang dipercaya bisa mewakili rakyat.

Problem Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi

Konsep dasar dari kedaulatan rakyat perwakilan dalam demokrasi adalah rakyat tidak

mampu dalam melaksanakan pemerintahan secara langsung, dan mengharuskan untuk

dilaksanakannya demokrasi tidak langsung. Demokrasi inilah yang kemudian dikonkretkan dalam

bentuk badan perwakilan rakyat.51

Rakyat menyalurkan partisipasinya dalam bentuk mengikuti

44Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, a Contribution to The Critique of Liberal

Internationalism, (New York, Palgrave Mcmillan, 2003), p. 10 45 Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 9-10 46 David Held, Demokrasi dan Tatanan Global......., p. 82-83 47 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 48 48 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 73 49 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 701 50 Ernest Mandel, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, (Yogyakarta, Resist Book, 2006) 51 Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia,........, p. 18

Page 8: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

8

organisasi-organisasi politik, atau menghadiri dan berpartisipasi dalam dengar pendapat publik atau

rapat-rapat politik lain, bahkan memberikan tindakan sederhana untuk membicarakan masalah

politik seperti menyampaikan ide pada pejabat politik juga termasuk dalam bentuk partisipasi rakyat

dalam politik.52

Partisipasi rakyat ini juga bisa disalurkan dengan cara mengikuti pemilihan umum

untuk memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Bahkan pemilu merupakan ciri

khas dari setiap negara demokratis.53

Dengan kata lain, meski dalam bentuk perwakilan, rakyat bisa

menyalurkan aspirasinya dengan berbagai cara untuk menggunakan hak kedaulatannya, sehingga

kedaulatan rakyat tidak terpinggirkan.

Dalam demokrasi perwakilan atau demokrasi partisipasi ini kualitas masyarakat dan

pemerintah sangat penting. Montesquieu menyatakan bahwa kualifikasi seseorang dalam

pemerintahan sangat dibutuhkan dalam menegakkan keadilan.54

Shcumpeter juga menyatakan

adanya kualifikasi mengenai adanya kecerdasan dalam diri seseorang yang memegang

pemerintahan.55

Asas kebebasan dalam demokrasi kemudian merangsang munculnya kelompok-

kelompok elit yang menyatakan dirinya mempunyai kemampuan tersebut. Asumsinya bahwa

efisiensi dan ketidakmampuan pemilih untuk menetapkan keputusan yang memadai memaksa

mereka untuk menjadi sentral figur mewakili para pemilih tersebut.56

Maka kemudian, seperti yang

dipaparkan Peter Bachrach, bahwa pada masa modern ini, demokrasi berubah menjadi sebuah

proses di mana para kelompok-kelompok elit menggalang partisipasi para warganegara dalam

jumlah yang sebesar-besarnya.57

Fenomena ini kemudian memunculkan adanya, seperti yang

disebut Lyman Tower Sargent, dengan kontroversi pluralisme. Dalam masalah ini, masyarakat

dilihat sebagai kelompok-kelompok yang bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik.58

Yang

jadi permasalahan adalah, selama persaingan ini jujur maka tidak akan timbul dominansi satu

kelompok atas yang lain, namun apabila persaingan ini tidak jujur, maka dominasi antar kelompok

tidak bisa dihindarkan lagi. Dengan adanya prinsip mayoritas, maka persaingan politik ini

mejadikan setiap kelompok berusaha mencari suara sebanyak-banyaknya agar bisa memenangkan

kompetisi dan merebut kekuasaan, atau mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintah.59

Maka

tidak heran bila Schumpeter menyebut demokrasi ini dengan kompetisi merebut kekuasaan,

democracy as a method for the selection of leaders (“Democracy as Competition for Political

Leadership”).60

Persaingan seperti ini terkadang memuculkan tindakan yang kurang adil, sehingga

telah menyalahi asas kedilan dalam demokrasi.

Persaingan antar kelompok ini terlihat pada adanya persaingan antar partai dalam

memperebutkan kekuasaan politik. Robert Michels menyatakan bahwa adanya kelompok elit politik

menjadikan demokrasi disusupi oleh adanya unsur-unsur aristokrasi.61

Lanjutnya, unsur-unsur

aristokrasi dalam selubung demokrasi ini terkadang mengelabuhi rakyat dari bentuk sebenarnya dari

tindak oligarki partai-partai tersebut.62

Donal M. Borchert pun sependapat dengan ini. Menurutnya,

bahwa sebuah sistem politik tidak lepas dari adanya organisasi dalam pengaturan pemerintahannya,

dan oleh karena itu, setiap organisasi tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan tertentu dari

52 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 44 53 Diane Revitch dan Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik dan Modern, pent. Hermoyo, jdl asli: The

Democracy Reader: Classic and Modern Speeches, Essays, Poems, Declaration, and Document on Freedom and

Humand Rights Worlwidei, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005), edsi 2, p. xiii 54 Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, The Spirit of Laws,...., p. 650 55 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 205 56 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 46 57 Peter Bachrach, The Theory of Democratic Elitism: A Critique, (Boston, Little Brown & Co, 1967), p. 109 58 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,......., p. 47 59 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 269 60 Ibid, p. xix 61 Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, ed. Dr Ichlasul Amal,

(Yogyakarta, Tiara Wacana, 2012), p. 39 62 Ibid, 40

Page 9: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

9

orang-orang yang berada dalam organisasi tersebut, sehingga sangat memungkinkan sekali

terjadinya bentuk oligarki dalam demokrasi.63

Hal ini terlihat di mana partisipasi rakyat cenderung

hanya terwujud dalam pemilihan umum.

Selain itu, sistem pemilihan umum yang mencakup daerah yang begitu luas membutuhkan

pembiayaan yang besar,64

sehingga pada kondisi seperti ini, partai-partai yang besar dan memiliki

dana yang mencukupi persainganlah yang mampu keluar sebagai pemenang dalam kompetisi ini.

Oleh karena itu, pada masalah ini Rousseau menyatakan bahwa demokrasi hanya cocok untuk

negara kecil lagi miskin.65

Maka tidak heran bila seorang calon wakil rakyat juga harus mempunyai

dana yang besar agar mampu duduk di parlemen dan memegang kekuasaan. Unsur kapitalisme

inilah yang mendistorsi asas persamaan dalam demokrasi, karena hanya yang mempunyai dana

yang besarlah yang bisa masuk dalam parlemen. Kemudian adanya praktik black campaign atau

kampanye hitam menjadikan persaingan politik menjadi tidak sehat. Pada praktik ini, setiap

kelompok politik melancarkan serangan kepada lawan politiknya dengan cara menyebarkan isu

mengenai kekurangan dan keburukan lawan politiknya agar menjatuhkan image di masyarakat

sehingga dengan begitu rakyat memalingkan pilihannya dan menjatuhkan pilihannya kepada yang

lain.66

Tujuannya adalah untuk mengurangi suara pemilih dalam pemilu.

Selain itu adanya praktik penggelapan suara dalam suatu wilayah pemilihan juga kerap

mewarnai kondisi pemilihan umum. Sebagai contoh, pada pemilihan presiden pada tahun 2000 di

Amerika. Ketika itu, George W Bush memenangi pemilu dan berhasil menjadi presiden. Namun

ternyata kemenangan tersebut diwarnai dengan kecurangan yang berbentuk penghilangan suara.

Dilaporkan bahwa lawan politik Bush ketika itu, yaitu Albert Gore kehilangan 22.000 suara di

Florida. Kehilangan suara ini disebabkan adanya praktik penghapusan hak pilih warga yang

kemudian dikarenakan statusnya sebagai kriminal. Namun anehnya bahwa yang terdaftar tersebut

adalah hampir seluruhnya warga kulit hitam dan warga hispanic. Hal ini menjadi kecurigaan bahwa

kemenangan Bush ini tidak terlepas dari manipulasi suara yang dilakukan oleh timnya.67

Kemudian, kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini terwakili dalam lembaga legislatif dari

konsep trias politika Montesquieu.68

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa wakil rakyat yang

duduk di parlemen sebagai anggota badan legislatif ini dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem

pemilu dengan asas prinsip suara mayoritas. Badan legislatif ini menjadi badan yang berhak

menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya

dalam undang-undang. Dan undang-undang ini yang nantinya akan dilaksanakan oleh badan

eksekutif.69

Maka, keputusan-keputusan yang diambil oleh badan legislatif ini harus sesuai dengan

apa yang diinginkan rakyat. Maka dari itu, seperti yang dinyatakan oleh Lyman Tower Sargent,

63 Donald M. Borchert, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), ....., p. 702 64 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 54 65 Ibid. Fabian Biarcardi juga menyebutkan bahwa demokrasi pada era global ini sangat membutuhkan biaya

yang sangat tinggi. Lih: Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System, ......., p. 39 66 Epriatni EP, Etika dalam Pemasaran Politik, dalam Jurnal Forum, Majalah Pengembangan Ilmu Sosial,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, vol: 39, no: 1, Februaru 2011, p. 2 67 Greg Palast, The Best Democracy Money Can Buy, p. 8-9 68 Trias Politica adalah teori pembagian kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesquieu, seorang pemikir politik

dari Perancis. Ia membagi kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dalam 3 badan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif,

kekuasaan legislatif, dan kekuasaan Yudikatif. Teori ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Jihn Locke, namun

perbedaannya adalah kekuasaan Yudikatif dari Montesquieu ini, dalam konsep John Locke adalah kekuasaan Federal.

Alasan yang melandasi pembagian ini adalah bahwa bila kekuasan Yudikatif disatukan dalam sebuah badan kekuasaan

eksekutif, maka akan cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan. Maka kekuasaan Yudikatif haruslah sendiri yang bertugas mengawasi dan memberikan hukuman kepada kedua kekuasaan yang lain apabila terjad penyalahgunaan

kekuasaan. 69 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ........, p. 315-316

Page 10: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

10

bahwa para wakil rakyat harus bisa mewakili rakyat atau menjadi sebuah masyarakat kecil dari

kemajemukan kepentingan dalam diri para pemilih, di mana kepentingan itu merupakan hal yang

terpenting bagi para pemilihnya.70

Partisipasi rakyat yang telah tersalurkan akan menjadi bahan bagi badan perwakilan rakyat

dalam menentukan kebijakan dalam rapat parlemen. Dengan ini dewan perwakilan rakyat

mempunyai fungsi sebagai perancang dan pembentuk undang-undang. Undang-undang yang telah

terbentuk merupakan bentuk kekuasaan wakil rakyat dalam mengatur rakyat, oleh karena itu,

seharusnya semua keputusan wakil rakyat sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat. Dalam

mekanisme keputusannya, lembaga legislatif ini juga menggunakan prinsip suara mayoritas dengan

cara voting. Artinya, prinsip mayoritas ini sudah menjadi pedoman dalam menentukan keputusan-

keputusan dalam demokrasi.71

Tapi, seperti yang disebutkan oleh Hendra Nurtjahjo sebelumnya,

bahwa dalam prinsip mayoritas di demokrasi parlemen ini tidak ada pedoman yang tegas, sehingga

semua keputusannya didasarkan pada pedoman yang relatif. Jack Lively juga meragukan tentang

sistem voting bisa menjamin terwujudnya persamaan politik di antara warganegara. Menurutnya,

hal ini karena persamaan politik sangat bergantung pada persamaan pada bidan-bidang lain, yaitu

sumber daya sosial yang dapat mempengaruhi perumusan kebijakan publik.72

Artinya ada faktor

lain yang harus dipenuhi agar prinsip mayoritas bisa dijadikan mekanisme yang ideal dalam

pengambilan keputusan publik.

Selain itu, sangat jarang sekali ditemukan wakil yang merupakan agen independen dan

terbebas dari kepentingan kelompoknya. Pada praktisnya sebagian besar wakil menjadi agen bagi

para pemilihnya pada saat atau pada hal-hal tertentu yang itu bisa membuatnya terpilih kembali

sebagai wakil rakyat dalam parlemen.73

Kasus seperti ini juga dinyatakan oleh Goenawan

Muhammad, dengan mengatakan bahwa Indonesia telah memasuki era di mana para pemilih

(rakyat) mencemooh bahkan mencurigai pemimpin politiknya. Hal ini menurutnya dikarenakan

maraknya tindak korupsi dari para anggota DPR dan Partai yang tidak mempunyai tujuan yang jelas

dan hanya menginginkan kursi dalam parlemen.74

Ini menandakan bahwa para wakil rakyat ini tidak

mampu untuk memegang komitmennya sebagai wakil rakyat, yang harusnya mewakili rakyat.

Kenyataan yang lain, seperti yang diutarakan oleh Schumpeter bahwa adanya hubungan bisnis di

antara pemerintah sehingga pemerintah ini diatur oleh pemilik bisnis, “Our failure teaches us one

thing however. Beyond “direct” democracy lies an infinite wealth of possible forms in which the

“people” may partake in the business of ruling or influence or control those who actually do the

ruling”.75

Jika diartikan secara bebas, bahwa kegagalan demokrasi ini, juga dikarenakan adanya

hubungan bisnis yang terjadi diantara para penguasa yang dikarenakan keinginan kepada kekayaan,

sehingga bisnis tersebut bisa mempengaruhi bahkan mengendalikan orang-orang yang berkuasa

tersebut. Contoh dari kasus ini terjadi di Jepang. Seperti yang dinyatakan oleh Joji Watanuki bahwa

partai LDP yang mempunyai pengaruh besar di parlemen menerima sejumlah uang dari sebuah

70 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 68 71 Peter Jones, Politik dalam Perspektif Pemikiran, Filsafat, dan Teori, dalam: Persamaan Politik dan

Kekuasaan Mayoritas, ed: David Miller, Larry Siedentop, pent: Fakhruddin R. Lubis dkk, (Jakarta, CV. Rajawali,

1986), p. 255 72 Muslim Mufti Darojatun, Hj. Didah Durrotun Naafisah, M. Ag, Teori-Teori Demokrasi,........, p. 154 73 Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer,..p. 65 74 R. William Liddle, Demokrasi dan Kekecewaan, dalam Bagian Kedua: Tanggapan, (Jakarta, Democracy

Project, 2011) edisi digital, p. 14 75 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 247

Page 11: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

11

perusahaan. Tujuannya adalah agar partai LDP ini dapat membantu mereka dalam negosiasi di

parlemen agar bisnis perusahaan tersebut bisa lancar.76

Akhirnya, dari beberapa penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam teori

kedaulatan rakyat demokrasi ini mengandung beberapa kekurangan dan kelemahan yang darinya

masih terdapat celah untuk bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Kelemahan yang pertama

adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat dipahami sebaga sebuah pedoman yang absolut,

bahwa semua kebijakan ukurannya adalah rakyat atau manusia dengan prinsip mayoritas. Hal ini

menjadikan demokrasi bersifat Anthroposentris yang kemudian juga sekular. Akibatnya adalah

tidak ada pedoman yang pasti pada praktik demokrasi dalam menentukan kebijakan publik. Hal ini

telah diperingatkan oleh Rousseau bahwa peran agama dalam keutuhan negara sangatlah penting,

karena agama akan memperkuat negara. Bahkan ia memuji nabi Muhammad dan beberapa khalifah,

sebab menurutnya dalam sistem pemerintahan mereka sangat bagus karena terdapat perpaduan

kehidupan ruhaniah dan kehidupan duniawiyah yang mampu memperkuat sendi negara.77

Hal ini

juga disadari Benjamin Franklin yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk menyatukan

rakyat Amerika, meski ia juga menjadikannya hanya sekedar alat untuk memobilisasi rakyat

Amerika agar patuh pada perintahnya dengan mencetuskan teori public religion, yaitu agama

publik.78

Namun paling tidak ia menyadari bahwa peran agama sangat krusial untuk menyatukan

masyarakat dan sikap loyal kepada pemerintahan.

Yang kedua adalah, demokrasi dalam menentukan wakil rakyatnya, tidak terdapat

kualifikasi yang proporsional sehingga mereka layak untuk menjadi wakil rakyat. Terbukti tidak

adanya kualifikasi moral dan penguasaan ilmu pengetahuan yang mumpuni dalam persyaratan calon

anggota legislatif,79

sehingga terjadi beberapa keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat

dan juga adanya kecenderungan hanya pada orientasi kekuasaan saja dan materi. Plato juga telah

memberikan kritiknya pada masalah ini dengan menyatakan bahwa “if the purpose of the polis is to

make people good, democracy will fall short, because in a democracy the road to political power –

and so the ability to gratify – one‟s own desires – depends on the favor of the mob”,80

artinya bahwa

bila tujuan dari polis (masyarakat) adalah untuk membuat rakyat menjadi baik, maka demokrasi

akan gagal, karena jalan menuju kekuasaan politik dan juga dalam rangka untuk memuaskan dirinya

sendiri bagi para penguasa adalah dengan mengumpulkan dukungan masa sebanyak-banyaknya.

Maka dari itu dalam demokrasi menurutnya orang-orang yang pandai berbicara atau pandai pidato

mengambil kesempatan untuk mengelabuhi masyarakat yang telah dibutakan nafsunya sehingga

tidak mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, dengan mengambil dukungan mereka

agar bisa berkuasa.81

76 Joji Watanuki, The Crisis of Democracy, (United Stated of America, New York University Press, 1975), p.

180 77 “Mahomet held very sane views, and linked his political system well together; and, as long as the form of

his government continued under the caliphs who succeeded him, that government was indeed one, and so far good”,

Jean Jacques Rousseau, The Social Contract or Principles of Political Right,...., p. 105 78 Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakrta, Perspektif, 2007), cetakan ketiga, p. 58-59 79 Contohnya: di Indonesia, dalam UU No. 8/2012, BAB VII, Bagian Kesatu, Pasal 51 tersurat Balon (Bakal

Calon) calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang

memenuhi 16 persyaratan. Pada syarat no 5, tingkat akademis calon legislatif minimal hanya lulusan tingkat SMA

sederajat. Kemudian di Amerika, untuk menjadi anggota House of Representatives dalam Konstitusi AS Peltason 2004,

25 pasal 1(2) disebutkan syaratnya hanyalah minimal umur 25, kemudian warga tetap salah satu negara bagian di

Amerika. 80 George Klosko, History of Political Theory an Introduction, volume I, .........., p. 91 81 “because people are blinded by their appetites, they are not able to perceive their true interest. And so the

rethor takes advantage of them by appealing to their appetites”, Ibid, p. 90

Page 12: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

12

Yang ketiga, berkaitan dengan dua hal di atas, adalah faktor kapitalisme yang sudah sangat

merebak dan bahkan menjadi ciri dari demokrasi, bahwa sistem demokrasi mengadopsi sistem

kapitalisme dalam ekonominya. Hal ini diutarakan oleh Schumpeter yang menyatakan bahwa “tidak

bisa dipungkiri lagi bahwa kebangkitan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari paham kapitalisme,

baik kapitalisme klasik maupun modern.82

Hal ini juga dinyatakan oleh Fabian Biarcardi, bahkan ia

menambahkan bahwa perkembangan demokrasi yang dibarengi dengan kapitalisme ini disebabkan

karena tidak sebanding dengan perkembangan moral dan budaya.83

Sebagai akibatnya, kata

Schumpeter, pembedaan kelas dalam masyarakat tidak lagi hanya berdasar pada status

kebangsawanan atau keagamaan, melainkan juga status ekonomi.84

Dari situ, mulai muncul

golongan-golongan yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat. Mereka perlahan mulai menguasai

kelas-kelas masyarakat yang ada di bawahnya. Bila demikian, maka kapitalisme akan menjadikan

masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas, maka kalau begitu, kritikan Karl Marx dalam demokrasi

perwakilan tepat karena dengan ini demokrasi perwakilan hanya dijadikan alat untuk

mempertahankan kekuasaan kaum borjuis.

Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan ini, bisa difahami bahwa pemahaman

kedaulatan rakyat dalam demokrasi Barat ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaki agar

bisa menjadi model pemerintahan yang benar-benar membawa kepada kesejahteraan rakyat yang

sebenarnya. Lalu apakah Islam memiliki sistem perpolitikan? Dan bagaimana sistem perpolitikan

Islam memberikan solusi terhadap maslah ini?

Konsep Politik Islam

Tidak diragukan lagi bahwa politik sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Tanpa adanya politik setiap manusia akan menjadi mangsa manusia yang lain. Kebebasan manusia

akan sangat berbahaya karena tidak terbatas, yang akhirnya akan membahayakan manusia yang

lain. Imam Al Ghozali mengatakan bahwa bila kehidupan manusia kosong dari politik atau

kekuasaan, maka kekacauan akan terjadi. Industri akan macet, kantor-kantor kosong dan manusia

akan kacau hingga perebutan kekuasaan akan terjadi, yang berakibat pada kehancuran.85

Maka dari

itu beliau juga menambahkan bahwa tanpa adanya kekuasaan atau politik, suatu peradaban tidak

akan berkembang, bahkan tidak akan muncul. Dr. Dhiyauddin Rais menggolongkan masalah

mendirikan institusi pemerintahan merupakan fardhu kifayah.86

Maksudnya adalah, berdirinya

institusi pemerintahan merupakan sebuah kewajiban, namun kewajiban tersebut hanya dibutuhkan

kepada sebagian orang saja dan tidak membebani umat secara keseluruhan. Namun bila tidak ada

yang mengerjakan, maka seluruh umat atau masyarakat mendapatkan dosa. Artinya, urgensi adanya

pemerintahan atau politik adalah untuk mencegah adanya kekacauan dalam kehidupan manusia, dan

mengatur kehidupan tersebut agar menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Tujuan untuk mengatur kehidupan manusia ini sejalan dengan ajaran Islam, sehingga dalam

Islam terdapat konsep mengenai politik. Dalam ajaran Islam, terdapat konsep yang lengkap dan

sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam meliputi segala macam segi kehidupan, dan termasuk di

dalamnya adalah perihal mengenai politik. Dalam bukunya yang berjudul Fiqhu ad Daulah fi al

Islam, Dr. Yusuf Qordhowi menyebutkan bahwa Islam mempunyai hubungan erat dengan politik.

82 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 126 83 Fabian Biarcardi, Democracy and The Global System,........, p. 6, 53 84 Joseph A. Schumpter, Capitalism, Socialism and Democracy,......, p. 125 85 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197 86 Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan

ketujuh, p. 129

Page 13: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

13

Jika Islam tidak memiliki konsep perpolitkan, maka Islam sama saja dengan agama yang lain,

seperti Budha atau Kristen, atau agama yang lain.87

Hal ini dikarenakan Islam bukan hanya sekedar

agama, namun merupakan sekumpulan ajaran yang berisi aturan-aturan umum tentang kehidupan,

serta karena umat muslim merupakan masyarakat politis dengan adanya seruan untuk menyeru

kepada „amar ma‟ruf nahi munkar.88

Dr. Dhiyauddin Rais juga menyebutkan bukti keterkaitan antar

Islam dengan politik, dengan menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah di

Madinah merupakan bukti nyata kesuksesan perpolitikan Islam.89

Karena kesempurnaan ajaran

Islam ini, maka Islam juga mempunyai konsep mengenai perpolitikan.

Kata politik dalam bahasa Arab sering dinyatakan dengan kata siyasah ( ),90

seperti

yang disebutkan oleh Dr Muhammad Kurdi dalam pernyataannya mengenai pentingnya politik atau

siyasah bagi manusia: .91

Dalam kamus Munjid,

kata siyasah berasal dari kata saasa ( ), yang berarti sebuah istilah mengenai seni dalam

hukum, yang berkaitan dengan manajemen atau pengaturan negara.92

Sedangkan kata saasa sendiri

berarti memerintah, to govern.93

Dalam kamus Lisanul „Arab berarti memerintah atas sesuatu yang

membawa kepada kebaikan.94

Sehingga bisa diartikan bahwa siyasah merupakan seni atau ilmu

yang menjelaskan bagaimana pengaturan sebuah pemerintahan negara yang bertujuan membawanya

kepada yang baik.

Definisi politik dalam Islam sebenarnya tidak jauh berbeda diantara para ulama. Imam al

Ghazali menyatakan bahwa politik atau as Siyaasah adalah sebuah pembicaraan mengenai

kemaslahatan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan kekuasaan, yang bersumber dari al Qur‟an

dan sunnah para nabi-nabi dan rasul.95

Tujuan dari politik ini adalah membimbing manusia kepada

jalan yang lurus dan membuatnya selamat di dunia dan akhirat.96

Al Farabi pun hampir sama

dengan mengatakan bahwa politik merupakan sebuah bentuk masyarakat yang berusaha menuju

kebahagiaan yang ia formulasikan dalam bentuk teori al Madinah al Fadhillah.97

Dalam teorinya

ini al Farabi bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang

dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan.98

Dari dua pendapat tersebut,

bisa disimpulkan bahwa politik dalam Islam adalah sebuah bentuk pemerintahan yang bertujuan

87 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam, Makanatuha, Ma‟alimuha, Thobi‟atuha, Mauqi‟uha

min ad Dimuqrathiyyah wa at Ta‟addudiyyah, wa al Mar‟ah wa Ghoiri al Muslimiin, (Kairo, Dar Syuruq, 1997), cetakan pertama, p. 89

88 Ibid, p.90-91 89 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, diterjemakan dari buku “an Nazhariyyat as Siyasiyyah al

Islamiyyah” pent. Abdul Hayyie al Kattani dkk. (Jakarta, Gema Insano Press, 2001) p. 7 90 Istilah lain yang juga dipakai diantaranya, daulah, shultooniyyah, khilafah dan lain sebagainya. 91 Dr. Muhammd Kurdi Ali, Aqwaluna wa Af‟aluna, (Kairo, 1946), p. 244 92 Munjid fi al Lughoh, (Beirut, Dar al Masyriq, 1977) cetakan ke dua puluh tujuh, bab siin dalam siin wawu

siin . p. 362 93 Dr. Rohi Baalbaki, Kamus al Mawrid, Qamus „Arabi-English, (Beirut-Libanon, Dar al „Ilmi Lil Malayin,

1990), cetakan ketujuh, p. 617 94 Teks aslinya , Muhammad Ibnu Mukrim Ibnu Mandzur al Afriqy al Mishry, Lisanul

„Arab, juz 6, bab siin wawu siin, (Beirut, Daru Shodir), p. 107 95 Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Percetakan

Hasan), p. 124 96 Ibid 97 Abu Nashr al Farabi, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat, tahqiq Dr.

Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua, p. 72-73 98 Al-Farabi, as-Siyasah al-Madaniyah, ta‟liq Dr. Ali Bumajim, (Beirut-Libanon, Dar wa Maktabah al-Hilal,

1995), p. 86

Page 14: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

14

untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat dengan berlandaskan al Qur‟an

dan sunnah para nabi terdahulu.

Kedaulatan Rakyat dalam Islam

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara Islam dan politik mempunyai

keterkaitan yang sangat erat. Imam Ghozali dalam bukunya al Iqtishaad fi al I‟tiqaad menyebutkan

bahwa agama dan kekuasaan (politik) merupakan saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan

kekuasaan adalah penjaganya, maka setiap pondasi yang tidak mempunyai penjaga akan hilang,

begitu juga segala hal yang tidak mempunyai penjaga maka akan mengalami kehancuran.99

Senada

dengan Imam Ghozali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa menyelenggarakan perpolitikan

merupakan kewajiban yang utama dalam agama, bahkan beliau menambahkan bahwa tegaknya

agama tergantung tegaknya perpolitikan.100

Ibnu Kholdun dalam Muqoddimah-nya juga

menyatakan, bahwa politik (khilafah) sangat penting bagi manusia dan seluruh makhluk hidup

sebagai tempat perlindungan dari adanya perselisihan, serta membawa seluruh makhluk hidup

menuju kebahagiaan di akhirat, dengan menjadikan syari‟at sebagai panduan dalam beribadah dan

bermuamalah.101

Sehingga, bisa dikatakan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan

antara urusan perpolitikan dan urusan agama, bahkan keduanya saling terkait dan saling menjaga.

Inilah yang menjadi ciri pertama dalam perpolitikan Islam, yang menjadikan ajaran agama sebagai

pondasi berdirinya pemerintahan dalam Islam.

Dari penjelasan di atas, satu hal yang pasti dalam pemerintahan Islam bahwa pondasi dari

bangunan perpolitikannya adalah agama. Dalam hal ini, Allah SWT sebagai Sang Pemegang

kedaulatan tertinggi. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa, dengan menjadikan Allah sebagai Penguasa

Tertinggi, maka kesatuan misi akan terwujud. Sikap tunduk kepada Sang Penguasa Tunggal pun

akan menjadikan manusia terbebas dari sikap tunduk kepada sesuatu yang lain,102

yang belum tentu

berkuasa atas manusia. Ismail Raji al Faruqi pun menambahkan, dengan kesatuan aqidah ini juga

akan membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan dari sesama manusia dan

bersatu dalam mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, sehingga segala macam bentuk

perbuatan dan keputusan yang terselenggara dalam masyarakat merupakan cerminan sikap tunduk

dan ta‟at kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.103

Hal ini juga disampaikan oleh Abul A‟la al

Maududi dengan mengatakan bahwa jika kepercayaan kepada Allah SWT hilang, maka tuhan-tuhan

palsu akan mengambil tempat-Nya dalam pemikiran dan kelakuan rakyat.104

Dengan kata lain,

dalam sistem perpolitikan Islam, kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT,

sehingga segala macam hukum syari‟at yang datang dari-Nya harus dijadikan landasan dalam

perpolitikan. Selain itu, aspek penghambaan diri kepada Allah menyeru kepada rakyat untuk bersatu

dan menjauhi perpecahan.

99 Abu Hamid al Ghozali, al Iqtishaad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p. 197 100 Teks aslinya: , lih: Taqiyuddin Abu al „Abbas Ahmad

Ibn Taimiyyah, as Siyaasah as Syar‟iyyah Fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar Raa‟iyyah, tahqiq: Lajnatu Ihnya‟ at Turats al

„Arabi fi Dar al Afaq al Jadidah, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, 1983) cetakan pertama, p. 138 101 Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah, 2003),

cetakan kedelapan, p. 150 102 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan dari al „Adaalh al Ijtimaa‟iyyah fil Islam, pent.

Afif Mohammad, (Bandung, Pustaka, 1984), p. 49-50 103 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147 104 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent:

Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif) p. 8-15

Page 15: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

15

Namun bukan berarti bahwa politik Islam adalah berbentuk theokrasi seperti yang terjadi di

Barat. Dalam bentuk ini, kedaulatan Tuhan dianggap diwakilkan kepada para pejabat gereja,

sehingga segala keputusan gereja adalah keputusan Tuhan, dan rakyat wajib untuk menta‟atinya

tanpa ada kompromi. Dengan begini kedaulatan yang dipegang Paus atau pejabat gereja adalah

absolut karena dianggap berasal dari Tuhan.105

Dr Yusuf Qardhawi menyatakan penolakannya bila

politik Islam dianggap semisal dengan bentuk theokrasi ala Barat. Beliau menyatakan bahwa sistem

pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Madani atau sistem pemerintahan yang

berperadaban dengan menjadikan hukum Islam sebagai landasannya. Dijalankan atas dasar

perjanjian (bai‟ah) dan musyawarah (syura), dan para pemimpinnya dipilih dari yang paling kuat

dan dapat dipercaya, serta berilmu. Dalam Islam tidak dikenal adanya kekuasaan para pemuka

agama, karena dalam agama Islam, setiap orang merupakan orang yang bertanggung jawab atas

agamanya.106

S. Abul A‟la al Maududi juga menyatakan bahwa kekhalifahan Tuhan bukanlah hak asasi

istimewa individu, klan, atau kelompok orang manapun, namun hak kolektif bagi semua yang

mengakui kedaulatan Allah SWT.107

Kedudukan rakyat dalam perpolitikan Islam adalah hanya

menikmati hak Kekhalifahan Tuhan Yang Esa. Pada taraf inilah al Maududi menyatakan adanya sisi

kedaulatan rakyat dalam Islam. Ia membedakan antara demokrasi sebagai sebuah filsafat dengan

demokrasi sebagai sebuah organisasi.108

Perbedaannya dengan demokrasi ala Barat adalah bahwa

dalam Islam, kekhalifahan manusia ini ditetapkan untuk dibatasi oleh batasan-batasan yang telah

digariskan oleh Hukum Ilahi.109

Dengan kata lain, kedaulatan manusia hanyalah sekadar Ijtihadi.

Kedaulatan Allah SWT dalam politik sangat absolut dan tidak bisa diganggu gugat. Namun

kedaulatan Allah ini terdapat pada masalah „aqidah, seperti ke-Esaan Allah, kemudian Rububiyyah

Allah, dengan artian bahwa manusia sebagai masyarakat politis tidak boleh membuat hukum di luar

ketentuan-keteentuan yang telah Allah gariskan dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan

Rasulullah SAW dalam haditsnya.110

Yusuf Qardhawi mengutip penjelasan Imam al Ghazali bahwa

dalam bukunya yang berjudul al Musthofa fi „Ilmi Ushul beliau menyatakan, mengenai masalah

kedaulatan atau yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, laa hukmu illa lillah,111

dan

tidak ada yang berhak membuat hukum meskipun Rasul ataupun tuan atau siapapun dari makhluk-

Nya berhak menggantikan kedaulatan Allah.112

Namun untuk masalah detil tentang pemerintahan

dan juga bentuk pemerintahan Islam, Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa Islam memberikan

wewenang kepada umat untuk mengkaji dan berfikir sebagai wujud hak berijtihad dalam masalah-

masalah keduniaan.113

Beliau juga menyatakan bahwa Islam tidak mewariskan sebuah bentuk

pemerintahan yang siap pakai seperti halnya dalam bidang „aqidah yang sudah paten dan tidak

boleh dirubah, inilah salah satu keistimewaan Islam dari agama-agama lain.114

Mengenai yang berhak membuat hukum adalah Allah, semua cendekiawan muslim tidak ada

yang membantahnya. Sebagai seorang muslim hukumnya wajib dalam mentaati hukum yang

berasal dari Allah dan sunnah Rasul-Nya. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan wewenang

105 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000),p. 123 106 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 30 107 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The Islamic Law and

Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan keenam, p. 243 108 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......, p. 25 109 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 243 110 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 64 111 Q. S. Yusuf: 40 112 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam,......, p. 61-62 113 Dr. M. Dhiauddin Rais, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats), cetakan

ketujuh, p. 32 114 Ibid, p. 33

Page 16: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

16

kepada umat untuk melakukan legislasi hukum sendiri. Al Maududi menjelaskan bahwa dalam hal

mentaati hukum Allah adalah wajib. Namun ada beberapa hal yang itu bisa menjadi wilayah

manusia untuk melakukan legislasi hukum. Di wilayah inilah Islam memberikan hak kedaulatan

kepada manusia atau rakyat. Wilayah tersebut meliputi mencari hakikat dan isi hukum syari‟at,

menjelaskan syarat-syarat dalam mempraktekkan hukum tersebut.115

Kemudian memahami prinsip-

prinsip dasar dalam hukum tersebut, pada masalah ini al Maududi menyadari bahwa dengan

memahami prinsip-prinsip tersebut syari‟at bisa disesuaikan dengan perubahan zaman tanpa harus

meninggalkan esensi dasar hukum tersebut.116

Artinya, manusia dalam beberapa hal, mendapatkan

wewenang untuk membuat hukum sendiri asal tidak keluar dari garis-garis besar dalam syari‟at.

Kedaulatan Rakyat Perwakilan dalam Islam

Seperti yang disebutkan oleh al Farabi mengenai konsepnya tentang al madinah al fadhilah,

bahwa konsep kepemimpinan merupakan hal yang pertama untuk diketahui. Ibnu Taimiyyah dalam

bukunya as Siyaasah asy Syar‟iyyah menyatakan bahwa kepemimpinan adalah wajib dalam rangka

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau menjelaskan bahwa dengan sebuah kepemimpinan

(imarah), pendekatan diri kepada Allah dengan menta‟ati-Nya dan juga menta‟ati Rasul-Nya

merupakan bentuk pendekatan diri yang paling utama.117

Imam al Ghazali juga menambahkan

bahwa keteraturan agama dalam hal ini syari‟at, tidak akan tercapai kecuali dengan adanya

pemimpin yang layak untuk dita‟ati. Maka dari itu, pengangkatan seseorang menjadi wajib untuk

kepentingan agama.118

Maka tugas penguasa pun tidak lepas dari penegakkan agama. Seperti yang

dinyatakan al Mawardi bahwa imamah adalah sebuah permasalahan mengenai pengganti Rasul

dalam mengawal agama dan mengatur dunia.119

Kemudian, siapakah yang layak menjadi pemimpin?. Imam al Ghazali menjelaskan bahwa

seorang pemimpin adalah yang mempunyai kelebihan di antara yang lainnya. Kelebihan tersebut

merupakan kelebihan pribadinya, seperti memiliki kemapuan dalam mengatur masyarakat dan

lainnya, kemudian juga kemampuan membawa mereka kepada hal yang benar. Dan itu semua

dibarengi dengan kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya, berilmu dan juga

berakhlak mulia.120

Dr. Dhiyauddin Rais juga menjelaskan mengenai syarat-syarat kepemimpinan.

Pertama, berilmu, yaitu kemampuan untuk melakukan ijtihad. Kemampuan ini diperlukan untuk

mengetahui mengenai hukum-hukum Islam, khususnya tentang halal dan haram. Kedua, ialah

megetahui ilmu politik dan administrasinya serta ilmu perang. Dalam hal ini al Mawardi

menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengetahui politik kepemimpinan dan mampu

mengurusi kemaslahatan negara.121

Ketiga, kondisi jiwa yang baik, seperti keberanian, kecekatan,

kemudian kesehatan jasmani yang baik. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kesehatan jasmani yang

baik mempengaruhi kesempurnaan tugas seorang pemimpin.122

115 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 95 116 Ibid, p. 95-96 117 Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar

Raa‟iyyah, (Beirut, Darul Ma‟rifah), p. 217 118 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 197 119 Teks aslinya adalah: , Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al

Bishri al baghdadi al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub

al „Ilmiyyah, 450 H), p. 5 120 Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I‟tiqaad,......., p. 199 121 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 5 122 Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun,......., p. 161

Page 17: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

17

Kemudian yang keempat, berlaku adil dan berakhlaq mulia. Al Mawardi menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan berakhlaq mulia adalah perkataannya dapat dipercaya, kemudian menjauhi

perbuatan dosa, menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan, selalu mencari keridhaan

Allah SWT dan dapat dijadikan contoh dalam beragama dan kehidupan dunia yang baik.123

Kelima,

memiliki kualifikasi pemimpin yang penuh. Yang dimaksud dengan kualifikiasi tersebut adalah

beragama Islam, seorang laki-laki dan berakal.124

Al Maududi juga sependapat dengan syarat

kelima tersebut dengan menambahkan bahwa seorang pemimpin harus merupakan warga dari

negara Islam.125

Sehingga bisa disimpulkan bahwa syarat-syarat seorang pemimpin dalam Islam

tidak hanya memenuhi syarat keilmuan saja, melainkan juga kualitas akhlaq dan keimanan, karena

tugas seorang pemimpin juga termasuk di dalamnya menegakkan syari‟at Allah SWT.

Selain adanya seorang pemimpin, dalam teori politik Islam dikenal adanya ahlu halli wa al

„aqdi. Para sejarawan muslim kebanyakan menyandarkan pengertian mereka mengenai ahlu halli

wa al „aqdi ini dengan peristiwa pertemuan Tsaqifah. Yaitu pertemuan kaum Anshar setelah

wafatnya Rasulullah SAW, yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar as Shiddiq r.a sebagai

khalifah.126

Prof. H. A. Djazuli menjelaskan bahwa pertemuan ini mengindikasikan bahwa dalam

teori politik Islam mengenal yang namanya sistem perwakilan.127

Dalam tafsir al Manar, Rasyid

Ridha mengatakan bahwa dalam kalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan

kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan

masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah kemasyarakatan dan politik.

Itulah yang disebut dengan ahlu syuro atau ahl al hall wa al „aqdi di dalam Islam.128

Dr.

Dhiyauddin Rais mengatakan bahwa ahl al hall wa al „aqdi adalah istilah yang dirumuskan oleh

ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan

hati nurani mereka.129

Dalam istilah al Mawardi adalah ahl al ikhtiyaar atau orang-orang yang

memiliki kulifikasi untuk memilih.130

Al Maududi mendefinisikan ahl hall wa al „aqdi ini sebagai lembaga legislatif. Beliau

menjelaskan bahwa dalam al Qur‟an S. Al Ahzab: 36, dikatakan jika Allah dan Rasul-Nya telah

memberikan peraturan dalam suatu masalah, tak seorang muslim pun yang berhak untuk

memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri. kemudian bahwa sudah jelas tidak ada yang

boleh membuat hukum selain hukum Allah, maka dengan demikian tugas dari lembaga legislatif ini

adalah membuat hukum-hukum yang sesuai dengan hukum Allah SWT.131

Yang termasuk dalam

ahl al hall wa al „aqdi ini, seperti yang dikutip oleh Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A dari Rasyid

Ridha dalam tafsir al Manaar, mereka adalah para pemuka masyarakat, fuqaha‟, para ulama, para

pemimipin militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik, para pemimpin perusahaan,

para pemimpin partai politik, dan juga para tokoh wartawan.132

Namun tidak semua orang-orang tersebut mampu untuk menjadi bagian dari ahl al hall wa

al „aqdi. Ada beberapa syarat untuk bisa menjadi bagian dari lembaga ini. Al Mawardi menyatakan

123 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah, ...., p. 62 124 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 232-237 125 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,......., p. 267 126 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 10-14 127 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu

Syari‟ah, (Jakarta, Prenada Media, 2003), edisi revisi, cetakan pertama, p. 116 128 Rasyid Ridha, Tafsir al Manaar, juz 3, (Mesir-al Azhar, Maktabah al Qaahirah, 1960), cetakan keempat, p.

11 129 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 176 130 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6 131 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247 132 Dr. J. Suyuthi Pulungan , M. A, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta, PT. Raja Grafindo

Persada, 1999), cetakan keempat, p. 69

Page 18: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

18

ada 3 syarat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menjadi ahl hall wa al „aqdi. Pertama,

berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, kedua, berpengetahuan ilmu, khususunya mengetahui

kriteria pemimpin yang berhak untuk dipilih, ketiga, memiliki wawasan dan kearifan, yang juga

dengannya mampu untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi pemimpin.133

Dari

beberapa penjelasan di atas maka sekaligus bisa disimpulkan beberapa fungsi dari ahl hall wa al

„aqdi adalah, pertama, mereka yang berhak untuk menentukan dan mem-bai‟at pemimpin. Yang

kedua, sebagai lembaga legislatif, mereka mempunyai wewenang membuat undang-undang yang

mengikat kepada seluruh ummat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas oleh al Qur‟an dan

Hadits sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat syari‟ah. Ketiga adalah tempat

konsultasi pemimpin di dalam menentukan kebijaksanaannya.134

Sehingga di sini jelas, bahwa

kedudukan ahl hall wa al „aqdi sangat penting sekali dalam pemerintahan Islam. Selain sebagai

wakil rakyat dalam membuat undang-undang, mereka juga memiliki tugas untuk menentukan siapa

yang berhak untuk dijadikan pemimpin.

Mekanisme Pemerintahan Islam

Mengenai pengangkatan pemimpin, terdapat beberapa pendapat. Al Baqillani menyatakan

bahwa pemimpin dipilih melalui pemilihan, lebih khusus lagi beliau menjelaskan pemilihan tersbut

dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi.135

Prof. H. A. Djazuli menambahkan bahwa pengangkatan

pemimpin juga bisa dilaksanakan dengan cara penunjukan atau penyerahan kekuasaan dari

pemimpin sebelumnya.136

Pendapat ini juga dinyatakan oleh al Mawardi bahwa pengangkatan

seorang imam bisa melalui salah satu dari kedua cara tersebut.137

Namun al Maududi menyatakan

bahwa pengangkatan kepala negara melalui pemilihan umum dari kaum muslimin yang harus

dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah al Qur‟an.138

Mekanisme pemilihan umum ini juga

disepakati Dr. Yusuf Qardhawi, dengan memisalkan pemilihan umum dengan kesaksian rakyat

terhadap pemimpin.139

Bila dikumpulkan beberapa pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa

dalam Islam pengangkatan pemimpin tidak memiliki sistem yang baku, namun meski demikian,

kualifikasi pemimpin harus sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas dan telah melalui

persetujuan ahl hall wa al „aqdi. Dan setelah terpilih, kemudian dilakukan bai‟at atau sumpah yang

pertama-tama dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, baru setelah itu masyarakat secara

keseluruhan.140

Dalam tugasnya, termasuk pemimpin dan ahl hall wa al „aqdi, mereka melakukan

mekanisme syuro atau musyawarah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem politik Islam

dibangun di atas mekanisme bai‟ah dan syuro. Dr. Taufiq Asy Syawi menjelaskan bahwa secara

umum syuro mencakup segala macam musyawarah dan tukar pendapat. Dalam mekanisme tukar

pendapat ini terjadi adanya dialog dengan setiap orang yang mukallaf dan termasuk di dalam syuro

mendapatkan kebebasan dalam berpendapat dan juga membantah pendapat orang lain. Setiap orang

133 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 6 134 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu

Syari‟ah,......, p. 118 135 Dikutip dari: Dr. J. Suyuthi Pulungan, M. A, Fiqih Siyasah, ......, p. 242 136 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu

Syari‟ah,......, p. 105 137 Al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7 138 Abu A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ..........., p. 247 139 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Daulah fi al Islam,......., p. 138 140 Prof. H. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu

Syari‟ah,......, p. 105. Pendapat lain menyatakan bahwa bai‟at hanya cukup dilakukan oleh ahl hall wa al „aqdi, seperti

yang diutarakan al Mawardi. Lih: al Mawardi, al Ahkam as Shulthaniyyah,......, p. 7-8

Page 19: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

19

ini termasuk dalam jama‟ah yang merupakan pertanggung jawaban yang diambil dari solidaritas

seluruh individu dalam masyarakat. Sehingga setiap ketetapan yang ditentukan dalam jama‟ah harus

merupakan bukti dari kehendak jumhurul jama‟ah atau segenap individunya. Dalam mekanisme ini,

prinsip mayoritas tidak menjadi prinsip yang mutlak, tapi yang menjadi pedoman adalah syari‟at

Allah yang dianggap sebagai syari‟at fitrah manusia.141

Pentingnya Musyawarah dalam sebuah

negara adalah sebagai media yang sehat untuk menghasilkan pendapat dan pemecahan masalah

yang paling baik, guna merealisasikan maslahat-masalahat individu, jama‟ah dan negara.142

Musyawarah ini telah dicontohkan Rasulullah dalam pemerintahannya. Dalam bukunya

mengenai politik syar‟i, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa orang yang paling banyak melakukan

musyawarah adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut, beliau mengutip sebuah riwayat

bahwa Allah SWT telah menyuruh Rasul-Nya untuk melakukan musyawarah dengan para

sahabatnya untuk menyatukan hati mereka dan sebagai contoh bagi generasi selanjutnya. Tujuan

musyawarah adalah agar mereka saling bertukar pikiran mengenai hal-hal yang belum secara jelas

terdapat dalam wahyu. Dan dari berbagai macam pendapat tersebut yang paling mendekati hukum

yang terdapat dalam al Qur‟an dan Hadits, maka pendapat itulah yang dijadikan ketetapan untuk

menjadi sebuah hukum atau undang-undang.143

Ibnu Kholdun menjelaskan dalam Muqoddimah-nya

bahwa diantara para sahabat banyak terdapat perselisihan pendapat mengenai masalah agama yang

memang perlu dilakukan ijtihad, seperti masalah kepemimpinan Mua‟wiyah dan Ali. Seperti halnya

juga mengenai pengganti Utsman r.a sebagai kholifah, hingga para sahabat melakukan musyawarah

(syuro) dan ditetapkannya Ali r.a sebagai pengganti Utsman.144

Dari penjelasan ini, maka jelas

bahwa pemerintahan dalam Islam tidak boleh terlepas dari mekanisme syuro atau musyawarah di

antara pemuka atau wakil masyarakat yang dalam hal ini disebut ahl hall wa al „aqdi atau seperti

yang dipermisalkan al Maududi sebagai lembaga legislatif.

Nilai – Nilai Utama dalam Politik Islam

Mekanisme pemerintahan dalam Islam, seperti yang telah dijelaskna di awal bahwa

semuanya berlandaskan pada keilmuan dan kemampuan setiap komponen dalam merealisasikan

kedaulatan Allah sehingga tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, al

Farabi menegaskan bahwa barang siapa yang tidak mempunyai kemampuan dalam merealisasikan

kesejahteraan ini, tidak layak untuk menjadi bagian dari sistem pemerintahan Islam, apalagi sebagai

pemimpin dalam pemerintahan.145

Menurutnya, bagi yang tidak mempunyai kemampuan tersebut ia

harus mencari seorang guru atau mursyid yang mengajarinya kemampuan tersebut, karena apabila

ia tidak memiliki kemampuan tersebut, selamanya ia hanya akan jadi seorang rakyat jelata yang

tidak berpengetahuan. Jika kondisinya seperti ini, maka dalam teorinya, masyarakat tersebut sudah

berada dalam kondisi al madiinah al jaahilah atau sebuah komunitas bodoh di mana semua

penduduknya tidak mengetahui hakikat kebahagiaan, sehingga yang terjadi adalah kesengsaraan

141 Dr. Taufiq as Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cetakan pertama, p. 15-

17 142 Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, judl asli an Nizahmu as Siyasi fi al

Islam, pent: Hery Noer Aly dan Agus Hilmi, (Yogyakarta, Bidang Penerbit PLP2M, 1987), p. 98 143 Ahmad Ibn „Abdil Halim Ibn Taimiyyah al Hirani, as Siyaasah asy Syar‟iyyah fi Ishlahi ar Raa‟i wa ar

Raa‟iyyah,..........., p. 213 144 Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibni Kholdun, ......., p. 287 145 Teks aslinya:

, Abu Nashr al Faarabi, Kitabu as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Masyriq,

1993), cetakan kedua, p. 78

Page 20: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

20

dan kehancuran.146

Hal ini seperti yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah

memeperingatkan kehancuran suatu kaum adalah karena hilangnya amanat, dan hilangnya amanat

adalah karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya:

Dalam pemahaman teori politik Islam telah disebutkan pula bahwa tidak ada pemisahan

antara agama dan negara. Kemudian, selain karena manusia adalah makhluk sosial, mereka juga

hidup untuk menuju sebuah kebahagiaan. Maka dari itu, manusia membutuhkan pertolongan dari

sesama manusia yang lain.148

Dalam hal ini Allah telah menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya

penciptaan.149

Kemudian Allah telah memberikan manusia akal untuk membedakannya dengan

makhluk lain dan juga untuk membedakannya antara yang baik dan yang buruk, karena dalam

kehidupannya manusia harus mencerminkan semua sifat Allah seperti adil, jujur, menjauhkan diri

dari hal yang buruk secara syar‟i.150

Dan Allah telah menunjukan jalan yang baik dan benar untuk

merealisasikan kehidupan baik bagi manusia. Manusia bebas untuk memlih jalan tersebut atau

berpaling yang tentu ada akibatnya. Dan yang bisa menentukan hal tersebut adalah akhlaq atau

moral.151

Maka dari itu, politik Islam adalah sebuah konsep politik yang sangat mengutamakan

akhlaq dalam pemerintahannya.

Nilai-nilai moral inilah yang dijadikan pedoman dalam sistem perpolitikan Islam. Dalam

risalahnya pun Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan

akhlak manusia, “innama bu‟itstu liutammima makarima al akhlaq”. Maka nilai moral inilah yang

menjadi pedoman untuk menjadikan politik sebagai maslahat bagi rakyat, dan mewujudkan rasa

gotong royong karena adanya persatuan, sehingga Dr. Dhiyauddin Rais menyatakan bahwa etika

atau moral berpolitik ini disebut sebagai intinya berpolitik,152

yang menjadi pembimbing atau guide

bagi para pelaksana pemerintahan dalam berpolitik. Dan nilai-nilai etika atau moral ini sudah

dijelaskan dalam al Qur‟an maupun Hadits.

Kalimat politik atau siyaasah dalam al Qur‟an memang tidak disebutkan, namun bukan

berarti dalam al Qur‟an tidak menyinggung masalah-masalah yang berkaitan dengan politik.

sebagaimana Kalimat „aqidah dalam al Qur‟an pun tidak ada, namun bukan berarti ajaran mengenai

„aqidah juga tidak ada. Dalam al Qur‟an telah disebutkan nilai-nilai yang seharusnya terdapat dalam

sistem perpolitikan. Dalam al Qur‟an surat an Nisa‟ ayat 58-59 Allah SWT berfirman:

146 Ibid 147 Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu al Mughiroh al Ja‟fi al Bukhori, Shahih al

Bukhori, bab fadhlul‟ilmi, juz 1, hadits no 59, muhaqqiq: Muhammad Zuhair an Nashir Nashir, (Dar an Nuthqi an

Najaah, 1422), p. 63 148 Muchtar Lintang, Kuliah Islam Tenang Etika dan Keadilan Sosial, seri 1, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975), p.

8 149 Q. S. At Tiin: 4 150 Ahmad Muslim, Esensi al Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Bandung, Mizan, 1984), cetakan

pertama, p. 39 151 Ibid, p. 40 152 Dr. Dhiyauddin Rais, an Nazhariyyat as Siyaasiyyah al Islaamiyyah,........, p. 308

Page 21: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

21

Mengenai kedua ayat di atas, dalam tafsir al Wasith li az Zuhaili dijelaskan bahwa untuk

menjaga hak-hak manusia dan menjaga kebebasan dalam kehidupannya serta menjaga kehormatan

jiwa setiap manusia, Islam telah mengatur aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap manusia.

Aturan-aturan tersebut adalah menjalankan amanat, menegakkan keadilan, mentaati Allah SWT dan

mematuhi Rasul-Nya SAW dan juga mematuhi pemimpin-pemimpin dalam urusan agama dan

politik.153

Setiap individu dari umat muslim diharuskan untuk melaksanakan dan menunaikan

amanat yang telah dberikan kepadanya. Amanat ini bisa berbentuk kewajiban kepada Allah SWT

atau kewajiban kepada sesama manusia. Perbuatan ataupun perkataan, dan juga bisa berbentuk

ilmu, harta dan lain sebagainya yang termasuk dalam amanat yang harus ditunaikan dan

dilaksanakan.

Dan dalam menegakkan hukum haruslah dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan,

karena sesungguhnya Allah SWT menegakkan hukum dan kerajaan-Nya juga atas dasar kedua hal

tersebut, dan juga karena apabila hukum tidak dibangun atas dasar kebenaran dan keadilan dan

dilaksanakan oleh tangan orang yang tidak tepat dan zholim, maka akan mendatangkan

kesengsaraan bagi rakyat.154

Mengenai ayat yang pertama, at Thabari menjelaskan bahwa ayat

tersebut ditujukan kepada siapa pun yang mengemban tugas sebagai pemimpin umat untuk selalu

menunaikan amanat dengan sebaik-baiknya dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya

hingga ia tidak mengkhianati amanat yang telah diberikan rakyatnya kepadanya. Kemudian juga

jangan sampai para pemimpin tersebut mengambil sesuatu yang bukan miliknya, kecuali yang

sudah diizinkan untuk mengambilnya.155

Kesimpulannya dari ayat ini adalah bahwa Islam telah

merumuskan aturan-aturan dalam mengatur pemerintahan kehidupan manusia di dunia ini dengan

tujuan menjaga hak dan kehidupan mereka dari kesengsaraan dan kehancuran. Yaitu dengan

membangun pemerintahan di atas dasar amanah, keadilan, ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-

Nya dan juga kepada Ulil Amri atau kepala pemerintahan rakyat, serta menjadikan hukum Allah

dan sunnah Rasul-Nya sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan antara manusia. Tiga

nilai pertama inilah yang harus diperhatikan dalam pemerintahan Islam.

Nilai yang keempat adalah adanya persamaan di depan hukum. Al Maududi telah

menjelaskan dalam hal kedaulatan Allah, bahwa manusia semuanya memiliki hak kekhilafahan

dalam dirinya untuk melaksanakan syari‟at Allah dalam kehidupan. Maka tidak ada keistimweaan

dalam diri seseorang individu meskipun ia adalah seorang raja atau pemimpin, karena pada

hakikatnya Allah telah menyatakan dalam firmannya bahwa semua manusia adalah sama

derajatnya, dan menjadikan ia istimewa adalah taqwanya kepada Allah.156

Masalah ini juga pernah

ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadits yang Bukhori dari „Aisyah r.a: “.......telah binasa orang-

orang sebelum kalian karena apabila ada orang terhormat mencuri mereka membiarkannya, dan

153 Dr. Wahbah Ibn Mushtofa az Zuhaili, at Tafsir al Wasiith li az Zuhaili, juz 1, (Damaskus, Darul Fikr, 1422),

cetakan pertama, p. 334 154 Dr. Sayyid Tanthowi, at Tafsir al Wasiith li al Qur‟an al Kariim, Surat an Nisa‟, juz 3, (Kairo, Dar al

Ma‟arif, 1119), p. 188-189 155 Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟ul Bayaan „An Ta‟wiili al Qur‟an, juz 5, (Mesir,

Syirkatu Maktabati wa Mathba‟ati Mushtofa al Baabi al Jalii wa Aulaaduhu, 1968), cetakan ketiga, p. 146 156 Q. S. Al Hujuraat: 13

Page 22: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

22

apabila orang yang lemah mencuri mereka jatuhkan atasnya hukum had. Demi Allah, andaikan

Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya”.157

Inilah gambaran

persamaan hukum dalam Islam.

Kelima adalah pengelolaan harta negara yang baik. Dalam al Qur‟an dijelaskan dalam surat

al Hasyr ayat 7, yang artinya adalah “supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang

kaya di antara kamu”. Ar Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata “duulatun” dalam ayat ini

juga bermakan harta yang harus diperedarkan kepada para faqir miskin agar mereka juga bisa hidup

dengannya secara sejahtera dengan adanya pertolongan lewat para orang-orang kaya tersebut.158

Artinya pemberdayaan manusia dalam sebuah negara harus berbanding lurus dengan tingkat

kesejahteraannya, hingga tidak ada tindak eksploitasi manusia dengan upah yang tidak sepadan

dengan jasanya, seperti yang terjadi dalam rumusan kapitalisme. Ibnu Kholdun memperingatkan hal

ini sebagai sebuah bentuk kezaliman yang besar. Ia menyatakan bahwa: “dan diantara kezaliman

yang terbesar dan yang paling merusak pembangunan adalah kerja paksa dan eksploitasi rakyat

secara tidak benar, karena berkerja termasuk jasa yang harus mendapatkan penghargaan yang

sesuai”.159

Beliau juga menjelaskan dalam bukunya Muqoddimah bahwa “Kezaliman dan

pengrusakan pembangunan serta negara yang paling terbesar dari itu semua adalah

mencampuradukkan keuangan negara dan kepentingan pribadi: pembelian barang yang dilakukan

oleh penguasa dan kalangannya dengan harga paling murah, sementara ketika ditawarkan pada

masyarakat dengan harga cukup tinggi, dengan paksaan dalam jual belinya”.160

Dengan ini sangat

jelas bahwa dalam Islam tidak ada ajaran yang membolehkan praktik kapitalisme dengan berbagai

macam bentuknya.

Nilai prinsip yang keenam adalah musyawarah atau syuro. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa musyawarah sangat penting dalam mekanisme pemerintahan dalam politik

Islam. Dasar perintah syuro adalah ayat al Qur‟an dalam surat al Syuro ayat 38, dan surat Ali

„Imron ayat 159. Dr Dhiyauddin Rais menjelaskan bahwa dalam surat asy Syura ayat 36-38

dijelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin adalah musyawarah. Dalam ayat tersebut beliau

mengatakan bahwa perintah bermusyawarah disebutkan setelah perintah mendirikan sholat. Ini

berarti menerangkan akan pentingnya musyawarah bagi orang mukmin.161

Dr. Taufiq asy Syawi

pun menjelaskan salah satu pentingnya syuro atau musyawarah adalah sebagai bimbingan dan

pemuliaan bagi seluruh rakyat. Alasannya adalah dalam musyawarah, syari‟at Islam harus dijadikan

pedoman, dan karena kesempurnaan syari‟at Islam, sudah sewajarnya itu merupakan hak istimewa

bagi seluruh umat muslim untuk menta‟atinya. Oleh karena itu beliau menambahkan bahwa Islam

mewajibkan syuro dalam segala segi kehidupan sosial. Kewajiban itu tidak hanya pada pemilihan

pemimpin dan urusan-urusan politik semata, melainkan juga dalam hal ekonomi, keuangan,

kebudayaan dan lainnya.162

Maka, sangat jelas urgensi atau pentingnya musyawarah bagi politik

Islam khususnya dan bagi kehidupan sosial manusia umumnya.

Nilai yang ketujuh dan yang paling penting adalah menjadikan hukum Allah sebagai

pedoman dalam berpolitik. Dalam tafsir al Maraghi disebutkan bahwa kaum muslimiin wajib untuk

berpegang teguh dengan al Qur‟an di setiap urusan mereka. Menjadikan al Qur‟an sebagai landasan

157 Muhammad Ibn Isma‟il Ibn Ibrahim Ibn Mughirah al Bukhori, al Jaami‟u as Shahih, hasba tarqiimi fathu

al Baari, juz 4,kitab bad‟i al wahyi, hadits no3475, (Kairo, Dar Syu‟ub, 1987) cetakan pertama, p. 213 158 Imam Muhammad ar Raazi Fakhruddin Ibn al „Allamah Dhiyauddin, Tafsir fakhru ar Razi, jilid 15,

(Beirut-Libanon, Darul Fikr, 1985), cetakan ketiga, p. 286-287 159

Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ......., p. 270 160 Teks aslinya :

, lihat: Abdurrahman Ibnu Kholdun, Muqoddimatu Ibnu Kholdun, ......., p. 392 161 Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam, ........, p. 274 162 Dr. Taufiq as Syawi, Syuro Bukan Demokrasi,........., p. 28-31

Page 23: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

23

dalam menghukumi di antara manusia secara adil.163

Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam

surat an Nisa‟ ayat 105:

Artinya bahwa, hendaknya manusia menjadikan al Qur‟an sebagai pedoman dalam

menegakkan hukum di antara manusia dan janganlah manusia menjadi yang mengingkari dan

menghianatinya.164

Ath Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa nabi Muhammad SAW telah

diperintahkan Allah SWT untuk selalu berpegang teguh kepada al Qur‟an dalam menghukumi di

antara manusia. Dan jangalah menjadikan orang-orang yang memusuhi orang yang memusuhi

muslim hingga nabi SAW menolak memberikan apa yang menjadi hak mereka.165

Artinya, dalam

berpegang teguh dengan al Qur‟an ini harus dibarengi dengan sifat ramah dan adil pada rakyat atau

umat. Seperi yang telah dijelaskan dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya, khususnya penjelasan

dari al Maududi bahwa sebagai manusia tidak boleh membuat hukum di luar dari yang telah

digariskan Allah dalam al Qur‟an. Beliau juga mengajukan sebuah istilah dengan mengganti

popular sovereignty (kedaulatan rakyat) dengan popular vicegerency (kekhalifahan manusia/

rakyat).166

Yang maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatannya sebagai manusia, mereka hanya

menikmati hak ke-khilafahan tersebut tanpa melanggar batas-batas syari‟at Allah yang telah

dijelaskan dalam al Qur‟an.

Nilai yang kedelapan adalah tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Keimanan dan

ketaqwaan seorang pemimpin sangat menentukan sikap tanggung jawabnya kepada Allah maupun

kepada rakyatnya. Maka dari itu kriteria pemimpin haruslah betul-betul orang yang beriman kepada

Allah dan taqwa kepada-Nya senantiasa menegakkan hukum-Nya. Seperti yang telah Allah

firmankan dalam surat an Nuur ayat 55:

Al Maududi menjelaskan bahwa ayat tersebut menyatakan mengenai kekuasaan untuk

memerintah di dunia telah dijanjikan bagi orang-orang yang beriman, dan tidak dinyatakan bahwa

seorang atau suatu golongan kelas tertentu di antara mereka akan diangkat kepada kedudukan

tersebut. Karena hanyalah orang-orang yang telah menguatkan hukum Allah di dunia lah yang

sepatutnya dinyatakan bahwa mereka harus dihormati sebagai wakil-wakil dari kekuasaan

tertinggi.167

Maka artinya bahwa hak kekuasaan bukanlah hak istimewa golongan tertentu, namun

hanya bagi orang yang beriman dan bertaqwa saja.

Kedelapan nilai inilah yang harus menjadi jiwa dalam praktik perpolitikan Islam. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai

bentuk pemerintahan Islam. Artinya bahwa, teori pemerintahan apapun yang dianggap paling baik

dalam membawa manusia menuju kesejateraan bisa dilaksanakan, dengan catatan bahwa sistem itu

harus mengandung nilai-nilai politik Islam, dan sejalan degan jiwa syari‟at Islam.

163 Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4, (Beirut, Dar Ihya‟ at Turats al „Arabi), p. 148 164 Ahmad Musthofa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz 4,.....,p. 148 165 Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath Thabari, Jaami‟u al Bayaan „an Ta‟wili Aayi Qur‟an,....., p. 264-265 166 S. Abu A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 40 167 Ibid, p. 39-40

Page 24: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

24

Islam dan Demokrasi

Kemudian bila dibandingkan dengan sistem demokrasi yang sekarang sangat banyak

diadopsi oleh beberapa negara di dunia, bahkan hampir semua negara, bisa terlihat ada beberapa

persamaan antara sistem perpolitikan Islam dengan demokrasi, meski juga ada banyak perbedaan

yang sangat fundamental di antara keduanya. Secara umum bisa dilihat bahwa mengenai persamaan

antara keduanya ada beberapa hal yang sejalan, seperti adanya kebebasan dalam pemilihan umum,

adanya badan legislatif dalam membuat undang-undang meski ada perbedaan yang mendasar

mengenai mekanisme dan dasar dalam pembuatan undang-undang. Kemudian persamaan di depan

hukum dan lain sebagainya. Namun ada banyak perbedaan antara keduanya hingga al Maududi

mengajukan sebuah istilah baru yaitu “theo-demokrasi”, sebuah istilah yang menyatakan bahwa ke-

demokrasi-an dalam Islam didasarkan pada kedaulatan akan hukum-hukum dari Allah SWT.168

Dr. Yusuf Qardhawi mengutip pernyataan Dr. Taufiq as Syawi dalam sebuah artikel yang

beliau tulis pada sebuah majalah yang terbit di Kairo tanggal 11/9/1986. Dalam artikel tersebut Dr.

Taufiq as Syawi menyatakan keunggulan sistem politik Islam di atas sistem demokrasi. Dalam

pernyataannya itu beliau menyatakan keunggulan Islam atas demokrasi dalam dua hal. Pertama,

bahwa Islam merupakan sebuah sistem yang mempunyai undang-undang paling modern yang lebih

dulu ada dibanding demokrasi lebih dari seribu tahun. Kedua, bahwa apa yang telah dinyatakan

Islam dalam hal politik telah begitu sempurna dan belum ada yang mampu menandingi

kesempurnaan tersebut meski pada zaman modern sekarang ini termasuk demokrasi, dan bahkan

meskipun seribu tahun yang akan datang.169

Dr. Yusuf Qardhawi pun menyatakan bahwa perbedaan pertama dan yang paling medasar

dan disepakati para fuqaha‟ adalah mengenai dasar konstitusi antara Islam dan demokrasi. Dalam

Islam, dasar konstitusinya jelas, yaitu syari‟at Islam. Syari‟at mempunyai kedudukan yang tinggi

dalam sistem perpolitikan Islam, dan dengannya didasarkan segala hukum-hukum baru, sehingga

kedudukan syari‟at dalam politik Islam tidak boleh diganti ataupun dirubah. Sedangkan dalam

demokrasi tidak ada batas kriteria hukum yang bisa dijadikan pedoman dalam pembuatan keputusan

hukum.170

Dr. Dhiyauddin Rais menambahkan bahwa adanya konsep ijma‟ yang merupakan salah

satu keistimewaan syari‟at Islam, dan yang hanya diakui oleh Islam, memberikan tempat khusus

bagi umat dan aspirasinya dalam sistem Islam, dan lebih tinggi daripada apa yang mungkin dapat

dicapai dalam sistem demokrasi manapun.171

Imam al Ghazali juga menyatakan bahwa

kepemimpinan dalam Islam adalah untuk menegakkan syari‟at Islam di negara sehingga segala

hukum darinya berlandaskan syari‟at Islam.172

Kemudian dalam bukunya Imam al Ghazali yang berjudul al Munqidz min adh Dholal, Dr.

Abdul Halim Mahmud mengkritisi demokrasi dalam segi persamaan liberal yang menyatakan

bahwa semua manusia adalah sama dan mempunyai hak yang sama secara buta. Beliau menyatakan

bahwa persamaan tanpa batas seperti yang dinyatakan John Locke ini merupakan mitos belaka,

karena secara alami di dunia ini tidak ada persamaan secara bebas, tidak ada pula di hutan, apalagi

di antara manusia meski ia di kota atau di desa. Dan menurutnya bahwa Allah tidak menyamakan

manusia dari segi warnanya, dari segi kekuatan jasmaninya, dari segi kecerdasan dan kejeniusannya

dan rizkinya.173

Maka untuk itu, dalam teori Islam persamaan dalam kedaulatan rakyat tidak

168 S. Abul A‟la al Maududi, Teori Politik Islam,......., p. 26 169 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam, ......., p. 37 170 Ibid, p. 38 171 Dr. Dhiyauddin Rais, Teori Politik Islam,........., p. 308 172 Abu Hamid al Ghazali, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987), cetakan

pertama, p. 1-4 173 Abu Hamid al Ghazali, al Munqidz min adh Dholal, tahqiq: Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo, Mathba‟atu

Hasan), p. 377-378

Page 25: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

25

menjadi pedoman yang sifatnya mutlak seperti yang terdapat dalam demokrasi sekular ala Barat,

namun kedaulatan rakyat ini dibatasi dengan batas-batas yang telah digariskan dalam Hukum Allah

SWT.174

Kedaulatan rakyat dalam Islam juga mencakup wilayah yang luas secara internasional,175

karena yang dimaksud dengan warganegara Islam adalah seluruh umat Islam yang dipersatukan

dalam kesatuan „aqidah yang tidak terbatas pada batas teritorial negara, ras, suku dan lainnya

sebagaimana yang terjadi pada demokrasi.176

Selian itu, perbedaan yang paling jelas adalah bahwa dalam demokrasi, kedaulatan rakyat

adalah absolut sehingga terjadi pemisahan antara otoritas negara dengan otoritas agama. Dalam

Islam tidak seperti itu, seperti yang dijelaskan di awal pembahasan bahwa dalam teori politik Islam

menjadikan agama dan negara sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, bahkan saling

menjaga antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Amir Abdul Aziz

bahwa dalam demokrasi Barat, rakyatlah yang berperan sebagai pembuat hukum mutlak, sedangkan

dalam Islam, hanya Allah lah yang berhak membuat hukum, dan manusia atau rakyat hanya berhak

menginterpretasikannya dengan cara-cara yang benar menurut syari‟at.177

Sehingga bisa

disimpulkan bahwa kedudukan rakyat ini tidak absolut dalam Islam.

Dari beberapa penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam telah mempunyai sistem

perpolitikan yang sempurna karena Islam merupakan agama yang berperadaban maju. Antara Islam

dan negara tidak ada pemisahan otoritas seperti yang terjadi dalam sejarah perpolitikan Barat. Islam

sangat menghargai peran rakyat dalam politik dengan syarat bahwa setiap komponen mempunyai

kriteria keilmuan dan pengetahuan akan syari‟at Islam, karena itulah yang menjaga konstitusai

negara tidak goyah karena terjadinya penyelewengan kekuasaan. Atas beberapa prinsip dalam

sistemnya inilah Islam mempunyai persamaan dengan demokrasi, meskipun mempunyai perbedaan

yang sangat mendasar, disebabkan perbedaan dasar konstitusi antara keduanya.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, bisa diketahui bahwa pada masa modern sekarang ini demokrasi

sudah menjadi sistem pemerintahan yang dianggap baik dan telah diadopsi oleh banyak negara di

dunia. Kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dan ciri khas dari demokrasi pun berubah menjadi

sistem perwakilan di mana rakyat tidak lagi bisa berpartisipasi secara langsung dalam

permusyawaratan publik, namun mereka memilih beberapa orang yang mereka percayai untuk

mewakili mereka di pemerintahan guna membicarakan mengenai kebijakan-kebijakan publik yang

akan menjadi undang-undang sebagai aturan dan manifestasi dari aspirasi mereka.

Meski begitu, ada semacam problem yang paling mendasar dalam demokrasi, yang darinya

membuat demokrasi bisa berubah bentuk menjadi sebuah sistem pemerintahan yang kadang

berlawanan dengan demokrasi sendiri. Prinsip mayoritas yang menjadi ciri khas bahkan pedoman

tunggal dalam demokrasi dianggap sebagai sebuah alat ukur legitimasi yang final. Namun, prinsip

mayoritas ini akan sangat ditentukan pada sumber daya sosial yang ada dalam masyarakat. Artinya,

kualitas masyarakat dan sumber daya manusia yang menjadi aktor dalam demokrasi ini yang

menentukan bagaimana kedaulatan rakyat terselenggara. Jika mayoritas ini tidak dibarengi dengan

kualitas yang baik, maka dalam demokrasi cenderung kedaulatan rakyat disalah artikan dan

berubah-ubah, sehingga hukum yang dihasilkan juga pasti relatif, atau dengan kata lain pedoman ini

174 Abul A‟la al Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,........, p. 243 175 Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh ad Daulah fi al Islam,......., p. 38 176 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147 177 Dr. Amir Abdul Aziz, Iftira‟aat „ala al Islam wa al Muslimiin, (Palestina, Darussalam, 2002), cetakan

pertama, p. 124

Page 26: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

26

tidak pasti, tergantung pemenang mayoritas. Sehingga prinsip ini pun tidak bisa selalu

mengartikulasikan kesejateraan rakyat seluruhnya.

Hal ini berbeda dengan pemahaman kedaulatan rakyat dalam Islam. Dalam Islam,

kedaulatan tertinggi hanya pada Allah SWT, sebagai Sang Maha Pencipta semesta. Syari‟at yang

telah ditetapkan-Nya dalam al Qur‟an dan yang telah dijelaskan Rasul-Nya dalam Hadits

mempunyai kedudukan tinggi dalam tata hukum politik Islam. Adanya dalil yang menyatakan

posisi manusia sebagas khalifah atau wakil Allah di Bumi mengindikasikan adanya hak kedaulatan

pada manusia untuk melakukan legislasi hukum dalam bentuk Ijtihadi. Artinya dalam

kedaulatannya, manusia hanya bisa membuat sebuah hukum yang tidak menyeleweng dari syari‟at

Islam, khususnya pada masalah halal dan haram. Singkatnya, bahwa kedaulatan rakyat (manusia)

dalam politik Islam, kedudukannya di bawah kedaulatan tertinggi yang hanya milik Allah SWT.

Dan sebagai pedomannya syari‟at yang sifatnya tetap dan universal, sehingga konsep politik Islam

ini tidak berubah-ubah dan sesuai untuk diselenggarakan di semua tempat dan wilayah.

Sehingga dengan ini jelas, bahwa kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini tidak sempurna

karena hanya mendasarkan pondasinya pada prinsip mayoritas yang sifatnya relatif. Berbeda

dengan politik Islam yang mendasarkan pada ketentuan syari‟at yang sifatnya tetap dan universal,

sehingga kedaulatan rakyat dalam politik Islam inilah yang bisa menjamin dalam mendatangkan

keadilan bagi rakyat. Dengan syarat kualitas keilmuan dan moral rakyat sudah baik. Wallahu a‟lam

bi as showaab.

Bibliography

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta, PT Raja

Grafindo Persada, 1996), cetakan pertama

Al Farabi, Abu Nashr, Kitab as Siyaasah al Madaniyyah: al Mulaqqob bi Mabadi‟ al Maujuudaat,

tahqiq Dr. Fauzi Matri Najar, (Beirut, Dar Syarq, 1993), cetakan kedua

Al Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988)

Al Ghazali, Abu Hamid, al Iqtishad fi al I‟tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518)

___________________, al Munqidz min adh Dholaal, tahqiq Dr. Abdul Halim Mahmud, (Kairo,

Percetakan Hasan)

___________________, at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk, (Beirut, Dar Ibnu Zaidun, 1987),

cetakan pertama

Al Maududi, Abul A‟la, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent:

Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma‟arif)

___________________, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, diterjemahkan dari The

Islamic Law and Constitution, pent: Drs. Asep Hikmat, (Bandung, Mizan, 1998), cetakan

keenam

Al Mawardi, Abi al Hasan ibn Muhammad ibn Habib al Bishri al baghdadi, al Ahkam as

Shulthaniyyah wa al Wilayat ad Diiniyyah, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al „Ilmiyyah,

450 H)

Page 27: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

27

Al Bukhori, Abu Abdillah Muhammad Ibnu Isma‟il Ibnu Ibrahim Ibnu al Mughiroh al Ja‟fi, Shahih

al Bukhori, bab fadhlul‟ilmi, juz 1, hadits no 59, muhaqqiq: Muhammad Zuhair an Nashir

Nashir, (Dar an Nuthqi an Najaah, 1422)

As Syawi, Taufiq, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cetakan pertama

Ar Raazi, Imam Muhammad, Fakhruddin Ibn al „Allamah Dhiyauddin, Tafsir fakhru ar Razi, jilid

15, (Beirut-Libanon, Darul Fikr, 1985), cetakan ketiga

Bachrach, Peter, The Theory of Democratic Elitism: A Critique, (Boston, Little Brown & Co, 1967)

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) cetakan keempat

Biarcardi, Fabian, Democracy and The Global System, a Contribution to The Critique of Liberal

Internationalism, (New York, Palgrave Mcmillan, 2003)

Black, Henry Campbell, M. A, A Law Dictionary 2nd edition, (New Jersey, The Law Book

Exchange, Ltd. Union, 1995)

Bodin, Jean, Six Books of The Commonwealth, pent. M. J. Tooley, (Oxford, The Alden Press, 1755)

Bouvier, John, A Law Dictionary, Adopted to The Constitution and Laws of The United Stated of

America and of The Several States of The American Union with References to The Civil

and Other System of Foreign Law, 2nd edition, vol II, (Philadelpia, T & J. W Johnson Law

Book Sellers, 1843)

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)

cetakan keempat

Borchert, Donald M, Encyclopedia of Philosophy, second edition (volume 2), (United States of

America, Thomson Gale, 2006)

Djazuli, A, M.A, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari‟ah,

(Jakarta, Prenada Media, 2003), edisi revisi, cetakan pertama

Held, David, Demokrasi dan Tatanan Global dari Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan,

pent. Damanhuri (Democracy and The Global Order From The Modern State to

Cosmopolitan Governance), (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), cetakan pertama

Ibn Kholdun, Abdurrahman, Miqoddimatu Ibn Kholdun, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al

„Ilmiyyah, 2003), cetakan kedelapan

Ibn Taimiyyah, Taqiyuddin Abu al „Abbas Ahmad, as Siyaasah as Syar‟iyyah Fi Ishlahi ar Raa‟i

wa ar Raa‟iyyah, tahqiq: Lajnatu Ihnya‟ at Turats al „Arabi fi Dar al Afaq al Jadidah,

(Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, 1983) cetakan pertama

Jones, Peter, Politik dalam Perspektif Pemikiran, Filsafat, dan Teori, dalam: Persamaan Politik dan

Kekuasaan Mayoritas, ed: David Miller, Larry Siedentop, pent: Fakhruddin R. Lubis dkk,

(Jakarta, CV. Rajawali, 1986)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012)

cetakan keempat

Kenny, Anthony, A New History of Western Philosophy, vol I, Ancient Philosophy, (Oxford,

Clarendon Press, 2004)

Page 28: PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)

28

Klosko, George, History of Political Theory, an Introduction, vol I, Ancient and Medieval Political

Theory, (Orlando, Harcourt Brace & Company Publisher, 1993)

Lewis, Bernard, Sejarah Filsafat Barat, (Chicago and London: The University of Chicago Press.,

1974)

Liddle, R. William, Demokrasi dan Kekecewaan, dalam Bagian Kedua: Tanggapan, (Jakarta,

Democracy Project, 2011) edisi digital

Locke, John, Second Treatise of Government, (Cambridge, Hackett Publishing Company, 1980)

Mandel, Ernest, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, (Yogyakarta, Resist Book, 2006)

Mandzur, Muhammad Ibnu Mukrim Ibnu, al Afriqy al Mishry, Lisanul „Arab, juz 6, bab siin wawu

siin, (Beirut, Daru Shodir)

Michels, Robert, Hukum Besi Oligarki, dalam Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, ed. Dr Ichlasul

Amal, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2012)

Montesquieu, Charles de Secondat, Baron de, The Spirit of Laws, pent. Thomas Nugent, (Canada,

Batoche Books, 2001)

Munjid fi al Lughoh, (Beirut, Dar al Masyriq, 1977) cetakan ke dua puluh tujuh

Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung, Penerbit Mizan, 1998) cetakan ketiga

Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, (Jakarta, PT Bumi Aksara, 2006), cetakan pertama

Qardhawi, Yusuf, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam, Makanatuha, Ma‟alimuha, Thobi‟atuha,

Mauqi‟uha min ad Dimuqrathiyyah wa at Ta‟addudiyyah, wa al Mar‟ah wa Ghoiri al

Muslimiin, (Kairo, Dar Syuruq, 1997), cetakan pertama

Quthb, Sayyid, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan dari al „Adaalh al Ijtimaa‟iyyah fil

Islam, pent. Afif Mohammad, (Bandung, Pustaka, 1984)

Rais, M. Dhiyauddin, an Nazhariyyatu as Siyasatul-Islamiyyah, (Kairo, Maktabatu Dar- Turats),

cetakan ketujuh

__________________, Teori Politik Islam, diterjemakan dari buku “an Nazhariyyat as Siyasiyyah

al Islamiyyah” pent. Abdul Hayyie al Kattani dkk. (Jakarta, Gema Insano Press, 2001)

Ridha, Rasyid, Tafsir al Manaar, juz 3, (Mesir-al Azhar, Maktabah al Qaahirah, 1960), cetakan

keempat

Sargent, Lyman Tower, Ideologi Politik Kontemporer, judul asli: Contemporary Political

Ideologies, pent: Drs. Sahat Simamora, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1986)

Schumpter, Joseph A, Capitalism, Socialism and Democracy, (New York, Routledge, 1994)

Wahidin, Samsul, S. H, M. H, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010), cetakan pertama

Watanuki, Joji, The Crisis of Democracy, (United Stated of America, New York University Press,

1975)