perang rasa eksotis

2
MINGGU 3 MEI 2015 20 T angan Chef Mandif M. Warokka sibuk meremas- remas pipilan jagung dengan tepung terigu. Pemilik restoran Teatro Gastroteque Bali itu menaruh beberapa bulir jagung pada tangannya dan sedikit demi sedikit menambahkan tepung. Dia ingin membuat perkedel jagung tanpa adonan telur. Bagaimana bisa? “Saya ingin menggunakan air dari jagung manis ini untuk membentuk adonan perkedel,” kata dia. Lama-kelamaan butiran jagung manis itu hancur dan adonannya kalis. Lalu adonan itu bisa dibentuk menjadi bulatan serta diberi sedikit garam. Mandif pun mencemplungkan dua bulatan perkedel jagung—dibuat di hadapan para undangan yang hadir di restoran Oasis, Jakarta Pusat, Selasa, 21 April 2015—itu ke dalam wajan berisi minyak panas. Ada letupan-letupan kecil yang terdengar dari penggorengan. “Teksturnya memang jadi sedikit puffy,” Mandif menjelaskan. Sebagai sentuhan akhir, dia lalu menambahkan bagian kuning telur puyuh goreng pada bagian perkedel. Ada pula saus sambal di bagian bawahnya untuk melekatkan pada piring. Aromanya? Hmmm.... Atraksi tadi adalah pembuka dalam “Appreciation Grows Dinner Henessy”,yang merupakan hajatan perdana produsen cognac Hennessy di Jakarta. Acara serupa sebelumnya sudah pernah digelar di berbagai kota dunia dengan muatan lelang amal, kuliner, sajian musik, dan tentu cognacbrandy yang terbuat dari anggur pilihan dari daerah Cognac di Prancis—sebagai teman minum. Mereka yang diundang hari itu adalah warga kelas wahid Ibu Kota sekaligus sahabat Hennessy. Dari konduktor Addie M.S. hingga desainer Era Soekamto dan Luwi Saluadji, semuanya duduk rapi di enam meja jamuan panjang yang disediakan malam itu. Masakan Indonesia oleh Chef Mandif disajikan secara rijstaffel ala Oasis dan menjadi pasangan cognac yang terus- menerus dituangkan. Istilah rijstaffel merujuk pada cara menghidangkan nasi secara berurutan dengan sajian berbagai macam lauk asal Nusantara. Masing-masing dipegang satu pelayan. Ini merupakan cara makan yang populer di era kolonial dan diperkenalkan kembali di Oasis sejak 1976.“Satu dari sedikit restoran yang masih mempertahankan rijstaffel yang unik, dan saya bangga bisa berada di sini,” kata Mandif. Malam itu, cognac disajikan dengan es, dingin, atau dalam suhu ruang, tergantung menunya. Cita rasanya tentu bisa berbeda-beda sesuai dengan suguhan makanan. Cognac yang digunakan dalam pairing ini adalah Hennessy X.O alias extra old. Untuk mendapatkan predikat X.O bagi cognac, satu campuran anggur— khusus untuk Hennessy—90 persen anggur yang digunakan merupakan varietas anggur putih Saint-Emillion. Ini harus mengalami fermentasi minimal enam tahun.“Sedangkan Henessy X.O dibuat dari puluhan campuran anggur dengan usia minimal di atas 10 tahun,” kata Duta Hennessy, Jean Michel- Cochet, yang memandu acara pairing. Itu sebabnya, Henessy X.O punya aroma yang sangat kompleks. Ada aroma kulit dan kayu oak yang muncul dari anggur yang sudah tua. Dan juga sedikit aroma buah serta bunga yang segar dari campuran fermentasi anggur yang lebih muda. “Tapi, secara keseluruhan, rasanya memang sedikit maskulin. Cocok untuk menu Indonesia yang kaya rempah ataupun untuk teman cerutu,” kata Michel-Cochet. Kami tidak bisa langsung menikmati perkedel jagung yang harumnya sudah memancing selera makan di awal perjamuan itu. Kerupuk udang, rempeyek teri, rempeyek kacang, dan emping disajikan lebih dulu. Satu keranjang kecil kerupuk dengan cepat ludes dari masing-masing meja. Aroma amis kerupuk udang yang tercium saat dikunyah justru membuat citarasa cognac—yang disajikan dengan es untuk bermacam kerupuk—menjadi lebih kuat. Rasa sepat, sedikit pahit, dan aroma kulit muncul seusai mengunyah kerupuk yang gurih. Hidangan kedua yang muncul malam itu adalah sosis Solo. “This is not a regular sosis Solo,” kata Yos Kusuma, salah satu undangan yang hadir malam itu. Yos merujuk pada tampilan dadar gulung yang diisi dengan ragout daging itu. Sekilas memang mirip sushi ketimbang sosis Solo. Chef Mandif menaruh potongan paprika berwarna merah dan kuning yang diiris memanjang, plus irisan zucchini hijau untuk membungkus sosis Solo. Kurang dari dua menit, penganan yang ditata di atas piring persegi itu tandas. Rasanya sedikit gurih berpadu dengan rasa pedas dari paprika. Ini memancing sedikit Bagaimana rasanya jika cita rasa kompleks cognac dipasangkan dengan masakan Indonesia yang berempah dalam jamuan makan malam? Salah satu mungkin harus mengalah. Subkhan [email protected] Menikmati Perang Rasa Eksotis FOTO-FOTO: TEMPO/NURDIANSAH Chef Mandif M. Warokka Para tamu undangan mendengarkan penjelasan dari Chef Mandif M. Warokka.

Upload: subkhan-jusuf-hakim

Post on 16-Jan-2017

127 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PErang rasa eksotis

MINGGU 3 MEI 201520

Tangan Chef Mandif M. Warokka sibuk meremas-remas pipilan jagung dengan tepung terigu. Pemilik restoran Teatro

Gastroteque Bali itu menaruh beberapa bulir jagung pada tangannya dan sedikit demi sedikit menambahkan tepung. Dia ingin membuat perkedel jagung tanpa adonan telur. Bagaimana bisa? “Saya ingin menggunakan air dari jagung manis ini untuk membentuk adonan perkedel,” kata dia.

Lama-kelamaan butiran jagung manis itu hancur dan adonannya kalis. Lalu adonan itu bisa dibentuk menjadi bulatan serta diberi sedikit garam. Mandif pun mencemplungkan dua bulatan perkedel jagung—dibuat di hadapan para undangan yang hadir di restoran Oasis, Jakarta Pusat, Selasa, 21 April 2015—itu ke dalam wajan berisi minyak panas.

Ada letupan-letupan kecil yang terdengar dari penggorengan. “Teksturnya memang jadi sedikit puffy,” Mandif menjelaskan. Sebagai sentuhan akhir, dia lalu menambahkan bagian

kuning telur puyuh goreng pada bagian perkedel. Ada pula saus sambal di bagian bawahnya untuk melekatkan pada piring. Aromanya? Hmmm....

Atraksi tadi adalah pembuka dalam “Appreciation Grows Dinner Henessy”, yang merupakan hajatan perdana produsen cognac Hennessy di Jakarta. Acara serupa sebelumnya sudah pernah digelar di berbagai kota dunia dengan muatan lelang amal, kuliner, sajian musik, dan tentu cognac—brandy yang terbuat dari anggur pilihan dari daerah Cognac di Prancis—sebagai teman minum. Mereka yang diundang hari itu adalah warga kelas wahid Ibu Kota sekaligus sahabat Hennessy. Dari konduktor Addie M.S. hingga desainer Era Soekamto dan Luwi Saluadji, semuanya duduk rapi di enam meja jamuan panjang yang disediakan malam itu.

Masakan Indonesia oleh Chef Mandif disajikan secara rijstaffel ala Oasis dan menjadi

pasangan cognac yang terus-menerus dituangkan. Istilah rijstaffel merujuk pada cara menghidangkan nasi secara berurutan dengan sajian berbagai macam lauk asal Nusantara. Masing-masing dipegang satu pelayan. Ini merupakan cara makan yang populer di era kolonial dan diperkenalkan kembali di Oasis sejak 1976. “Satu dari sedikit restoran yang masih mempertahankan rijstaffel yang unik, dan saya bangga bisa berada di sini,” kata Mandif. Malam itu, cognac disajikan dengan es, dingin, atau dalam suhu ruang, tergantung menunya. Cita rasanya tentu bisa berbeda-beda sesuai dengan suguhan makanan.

Cognac yang digunakan dalam pairing ini adalah Hennessy X.O alias extra old. Untuk mendapatkan predikat X.O bagi cognac, satu campuran anggur—khusus untuk Hennessy—90 persen anggur yang digunakan merupakan varietas anggur putih Saint-Emillion. Ini harus mengalami fermentasi minimal enam tahun.“Sedangkan Henessy X.O dibuat dari puluhan campuran anggur dengan usia minimal di atas 10 tahun,” kata Duta Hennessy, Jean Michel-Cochet, yang memandu acara pairing.

Itu sebabnya, Henessy X.O punya aroma yang sangat kompleks. Ada aroma kulit dan kayu oak yang muncul dari anggur yang sudah tua. Dan juga sedikit aroma buah serta bunga yang segar dari campuran fermentasi anggur yang lebih muda. “Tapi, secara keseluruhan, rasanya memang sedikit maskulin. Cocok untuk menu Indonesia yang kaya rempah ataupun untuk teman cerutu,” kata Michel-Cochet.

Kami tidak bisa langsung menikmati perkedel jagung yang harumnya sudah memancing selera makan di awal perjamuan itu. Kerupuk udang, rempeyek teri, rempeyek kacang, dan emping disajikan lebih dulu. Satu keranjang kecil kerupuk dengan cepat ludes dari masing-masing meja. Aroma amis kerupuk udang yang tercium saat dikunyah justru membuat citarasa cognac—yang disajikan dengan es untuk bermacam kerupuk—menjadi lebih kuat. Rasa sepat, sedikit pahit, dan aroma kulit muncul seusai mengunyah kerupuk yang gurih.

Hidangan kedua yang muncul malam itu adalah sosis Solo. “This is not a regular sosis Solo,” kata Yos Kusuma, salah satu undangan yang hadir malam itu. Yos merujuk pada tampilan dadar gulung yang diisi dengan ragout daging itu. Sekilas memang mirip sushi ketimbang sosis Solo.

Chef Mandif menaruh potongan paprika berwarna merah dan kuning yang diiris memanjang, plus irisan zucchini hijau untuk membungkus sosis Solo. Kurang dari dua menit, penganan yang ditata di atas piring persegi itu tandas. Rasanya sedikit gurih berpadu dengan rasa pedas dari paprika. Ini memancing sedikit

Bagaimana rasanya jika cita rasa kompleks cognac dipasangkan dengan masakan Indonesia yang berempah dalam jamuan makan malam? Salah satu mungkin harus mengalah.

Subkhan

[email protected]

Menikmati Perang Rasa Eksotis

FOTO-FOTO: TEMPO/NURDIANSAH

Chef Mandif M. Warokka

Para tamu undangan mendengarkan penjelasan dari Chef Mandif M. Warokka.

Page 2: PErang rasa eksotis

rasa manis dari cognac dengan es yang menjadi pasangan menu itu.

Lalu giliran soto Banjar beraksi. Soto ini berisi potongan daging ayam, irisan kol, bihun, dan irisan telur dalam kuah kuning tanpa santan. Sayangnya, saat dicecap, rasanya terlampau asin. Tapi tenang saja, Chef Mandif juga menyediakan sejumput sambal, kecap, dan jeruk nipis sebagai pelengkap. Perpaduan rasa asin, pedas, dan asam jeruk memunculkan paduan yang janggal dengan cognac yang didinginkan pada suhu sekitar 7 derajat Celsius. Ada aroma amis khas kulit, sedikit masam, dan pahit bersamaan. Paduan ini cocok untuk merangsang selera makan sebelum melangkah ke menu utama.

Hidangan yang ditunggu-tunggu malam itu disuguhkan oleh tujuh wanita yang mengenakan pakaian daerah dari berbagai macam provinsi. Masing-masing secara berurutan membawa mangkuk dan hidangan berupa nasi putih dan merah; perkedel jagung; iga bakar wagyu tokusen; sate ayam; sambal goreng udang;

janganan Sala; yakni rebusan bermacam

sayur mirip gado-gado dengan saus santan dipadu cabai, kemiri, dan air asam jawa; serta tahu goreng.

Di masa kolonial, barisan pelayan rijstaffel—biasanya disebut “jongos” yang berarti pemuda—bisa mencapai 40 hingga 60 orang. Yang paling masyhur adalah rijstaffel di Hotel Des Indes Jakarta ataupun Savoy Homann Bandung. Masing-masing jongos membawa menu berbeda. Termasuk sambal, acar, hingga kerupuk. Untungnya, tidak ada

40 macam hidangan malam itu. Soalnya, ada ratusan tamu yang menanti sajian utama mereka di bangku masing-masing.

Piring hidangan utama malam itu pun kini penuh oleh macam-macam menu. Ini menarik karena berbagai cita rasa muncul di sana, dari sate ayam berlumur bumbu kacang hingga sambal goreng udang yang pedas manis. Paduan hidangan utama serta minuman yang juga komplek menghasilkan cita rasa yang bermacam-macam. Mengunyah nasi, janganan Sala yang pedas, dan iga bakar yang manis serta cognac memunculkan cita rasa rempah yang lebih kuat. Padahal sebenarnya Chef Mandif sangat pelit menaruh rempah dalam seluruh hidangannya.

Mandif punya alasan untuk tidak berlebihan menggelontorkan rempah-rempah. “Saya justru ingin rasa bahan bakunya yang keluar,” kata dia. Mandif memberi contoh makanan Jepang, yang sebenarnya sederhana tapi proses pengolahannya sangat kompleks, karena punya penekanan pada pemilihan bahan baku. Itu sebabnya, Mandif tidak menaruh bawang putih ataupun kemiri pada perkedel bikinannya.

Pilihan tersebut tentu berisiko untuk mereka yang terbiasa menggempur lidahnya dengan makanan bertabur rempah. Bisa jadi, sebagian di antara mereka yang hadir malam itu merasa asing dengan masakan Indonesia yang kurang “menggigit” dari Mandif. Meskipun demikian, cognac ternyata paduan yang menyenangkan untuk sajian Mandif.

Jamuan malam itu ditutup dengan es puter yang tidak terlampau manis. Saat dipadukan dengan cognac dalam suhu kamar, muncul rasa manis buah-buahan seperti cherry.

Sebenarnya, sebelum es puter dihidangkan, sebagian besar bangku yang tersusun rapi dalam barisan meja panjang mulai kosong. Padahal, saat itu, soprano Isyana Sarasvati baru saja mulai bernyanyi. Ke manakah mereka? Rupanya, sebagian besar tamu tidak bisa menahan hasrat mengisap cerutu. Ini sesuai dengan perkataan seorang tamu saat

mencicipi Henessy X.O sebelum makan malam. “Kalau kamu coba untuk sedikit mengaduk lidah kamu saat meminum cognac, pasti akan menemukan rasa yang berbeda,” kata seorang tamu wanita kepada Tempo. Dia benar. Rasanya sedikit “nyetrum” dan terasa segar. Jauh berbeda dengan jika cognac itu hanya ditenggak perlahan-lahan. “Cocok sekali untuk teman cerutu,” kata dia.

Bagi sebagian undangan, cerutu sepertinya memang jodoh sejati cognac, selain hidangan Indonesia. •

21Kuliner

Chef Mandif M. Warokka

Mandiff, 35 tahun, merupakan salah satu chef terkemuka di Indonesia untuk fine dining. Dia merupakan chef tamu tetap untuk beberapa restoran ternama di dunia. Sebut saja Eisvogel—restoran dengan bintang Michelin—di Hotel Bierkenhof, dan La Salle Restaurant di Schols Elmau Resort. Keduanya terletak di Jerman. Dia juga pernah menjadi juri tamu di acara bakat Master Chef Indonesia. Majalah gaya hidup pria DA MAN memasukkannya dalam The Hot List—daftar pria Indonesia berprestasi—pada 2014.

Cognac

Sebutan cognac sebenarnya hanya berlaku untuk brandy—minuman beralkohol yang diproduksi dari distilasi anggur—yang menggunakan anggur dari daerah Cognac, Prancis. Jika menggunakan anggur produksi daerah lain, sebutannya berganti menjadi brandy. Cognac punya kadar alkohol 35 sampai 60 persen. Warnanya keemasan dengan aroma yang kompleks. Cognac biasanya diproduksi dengan menggunakan pot tembaga yang besar dan mengalami fermentasi setidaknya dua tahun dalam tong dari kayu oak. Selain Henessy, ada tiga pemain cognac utama yang mendominasi. Mereka adalah Martell, Remy Martin, dan Courvoisier. Empat label cognac ini memasok lebih dari 90 persen pasokan cognac Amerika Serikat. Tentu ini karena sebutan cognac hanya diberikan secara terbatas.

Rijstaff el

Ini merupakan istilah Belanda untuk hidangan dengan nasi. Konon, mereka terilhami oleh konsep hidangan ala Sumatera Barat—mirip seperti warung Padang masa kini—dan mengadopsinya menjadi sebuah simbol kuliner eksotik pada era 1920-1930-an. Itu sebabnya, menu yang disajikan dalam rijstaffel sangat beragam. Tidak cuma Jawa, melainkan kalau bisa mewakili seluruh Indonesia. Selain di Oasis, di Jakarta ada juga restoran Tugu Kuntskring yang menyuguhkan rijstaffel ala Betawi.

Rijstaffel Serving

Main course Es Puter

Main Course