penyusunan traffic analysis zone dengan...

16
Habibi Lubis Penyusunan Traffic AnalysisZone Dengan Metoda Aggregasi Unit Kelurahan Berdasarkan Prinsip Homogenitas Kawasan Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 20 No. 3, Desember 2009, hlm 167 – 182 167 PENYUSUNAN TRAFFIC ANALYSIS ZONE DENGAN METODA AGGREGASI UNIT KELURAHAN BERDASARKAN PRINSIP HOMOGENITAS KAWASAN Habibi Lubis Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Labtek IX A, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Abstrak Pergerakan orang atau barang lazim digambarkan dengan matriks asal-tujuan (MAT).Lokasi asal dan tujuan pergerakan adalah lokasi berbasis zona yang dikenal dengan istilah Traffic Analysis Zone (TAZ). Untuk menghasilkan data MAT yang baik, TAZ yang optimal mutlak diperlukan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menyusun TAZ yang optimal dengan metoda aggregasi unit kelurahan dengan mempertimbangkan aspek homogenitas a-spatial dan spatial telah diusulkan dan dibahas dalam tugas akhir ini untuk wilayah studi Kota Bandung. Kerangka homogenitas a-spatial kawasan yang disusun dalam studi ini membagi unit kelurahan Kota Bandung kedalam empat cluster. Masing-masing cluster diasumsikan sudah memiliki tingkat homogenitas yang tinggi dalam satu cluster dan memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi antar cluster. Hal ini telah dibuktikan dengan nilai varian dalam cluster yang rendah dan varian intercluster yang tinggi. Dengan metoda aggregasi spatial dari 139 zona awal diperoleh 40 zona berdasarkan kerangka homogenitas a-spatial yang sudah disusun sebelumya. TAZ yang mencirikan homogenitas di dalamnya (optimal) sudah dihasilkan , sehingga antara satu zona cukup berbeda dengan zona lain di sekitarnya. Ini dibuktikan dengan Moran’s I yang menunjukkan zona yang terbentuk semakin berbeda dengan zona di sekelilingnya (random). Kata kunci: Traffic Analysis Zone (TAZ), Cluster, Agregasi Abstract Movements of people or goods are commonly described by origin-destination matrix (MAT). Location of origin and destination is the location-based movement of the zone known as Traffic Analysis Zone (TAZ). To produce good MAT data, optimal TAZ is absolutely necessary. Therefore, this study aims to develop an optimal TAZ with administrative unit aggregation method by considering aspects of homogeneity of a-spatial and spatial that has been proposed and discussed in this study for study region of city of Bandung. Homogeneity of a-spatial framework area compiled in this study divides the city of Bandung administrative unit into four clusters. Each cluster is assumed to already have a high degree of homogeneity within a cluster and have a high level inter-cluster heterogeneity. It has been proved by the low variance in the cluster and high intercluster variance. With the spatial aggregation method of the 139 starting zone obtained 40 zones based on the homogeneity of a-spatial framework that has been prepared previously. TAZ that characterize the homogeneity in (optimal) is produced, thus quite different from one zone to another zone in the vicinity. This is evidenced by the Moran's I, which shows the different zones formed by the surrounding zone (random). Keywords: Traffic Analysis Zone (TAZ), Cluster, Aggregation

Upload: trinhkiet

Post on 31-Aug-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Habibi Lubis Penyusunan Traffic AnalysisZone Dengan Metoda Aggregasi Unit Kelurahan Berdasarkan Prinsip Homogenitas Kawasan Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 20 No. 3, Desember 2009, hlm 167 – 182

167

PENYUSUNAN TRAFFIC ANALYSIS ZONE DENGAN METODA AGGREGASI UNIT KELURAHAN

BERDASARKAN PRINSIP HOMOGENITAS KAWASAN

Habibi Lubis

Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung Labtek IX A, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132

Abstrak

Pergerakan orang atau barang lazim digambarkan dengan matriks asal-tujuan (MAT).Lokasi asal dan tujuan pergerakan adalah lokasi berbasis zona yang dikenal dengan istilah Traffic Analysis Zone (TAZ). Untuk menghasilkan data MAT yang baik, TAZ yang optimal mutlak diperlukan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menyusun TAZ yang optimal dengan metoda aggregasi unit kelurahan dengan mempertimbangkan aspek homogenitas a-spatial dan spatial telah diusulkan dan dibahas dalam tugas akhir ini untuk wilayah studi Kota Bandung. Kerangka homogenitas a-spatial kawasan yang disusun dalam studi ini membagi unit kelurahan Kota Bandung kedalam empat cluster. Masing-masing cluster diasumsikan sudah memiliki tingkat homogenitas yang tinggi dalam satu cluster dan memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi antar cluster. Hal ini telah dibuktikan dengan nilai varian dalam cluster yang rendah dan varian intercluster yang tinggi. Dengan metoda aggregasi spatial dari 139 zona awal diperoleh 40 zona berdasarkan kerangka homogenitas a-spatial yang sudah disusun sebelumya. TAZ yang mencirikan homogenitas di dalamnya (optimal) sudah dihasilkan , sehingga antara satu zona cukup berbeda dengan zona lain di sekitarnya. Ini dibuktikan dengan Moran’s I yang menunjukkan zona yang terbentuk semakin berbeda dengan zona di sekelilingnya (random). Kata kunci: Traffic Analysis Zone (TAZ), Cluster, Agregasi

Abstract

Movements of people or goods are commonly described by origin-destination matrix (MAT). Location of origin and destination is the location-based movement of the zone known as Traffic Analysis Zone (TAZ). To produce good MAT data, optimal TAZ is absolutely necessary. Therefore, this study aims to develop an optimal TAZ with administrative unit aggregation method by considering aspects of homogeneity of a-spatial and spatial that has been proposed and discussed in this study for study region of city of Bandung. Homogeneity of a-spatial framework area compiled in this study divides the city of Bandung administrative unit into four clusters. Each cluster is assumed to already have a high degree of homogeneity within a cluster and have a high level inter-cluster heterogeneity. It has been proved by the low variance in the cluster and high intercluster variance. With the spatial aggregation method of the 139 starting zone obtained 40 zones based on the homogeneity of a-spatial framework that has been prepared previously. TAZ that characterize the homogeneity in (optimal) is produced, thus quite different from one zone to another zone in the vicinity. This is evidenced by the Moran's I, which shows the different zones formed by the surrounding zone (random). Keywords: Traffic Analysis Zone (TAZ), Cluster, Aggregation

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

168

1. Pendahuluan

Pengetahuan tentang pergerakan orang atau

barang antar suatu kawasan yang lazim

dikenal dengan interaksi antar kawasan

merupakan informasi penting perencanaan

transportasi (Meyer & Miller, 2001; 181).

Adanya informasi yang baik tentang

pergerakan orang dan atau barang akan sangat

membantu dalam menyelesaikan permasalahan

transportasi perkotaan. Informasi yang

menggambarkan pergerakan orang dan atau

barang umumnya digambarkan dalam bentuk

matrik asal-tujuan pergerakan (MAT). Data

MAT mencerminkan besaran pergerakan dari

lokasi asal menuju lokasi tujuan dari sebuah

pergerakan. Pada perencanaan transportasi,

lokasi asal dan tujuan pergerakan merupakan

lokasi berbasis zona yang lazim dikenal

dengan Traffic Analysis Zone (TAZ). MAT

yang baik sangat dipengaruhi oleh penentuan

zona yang baik pula. Oleh karena itu zona

yang akurat mutlak diperlukan untuk

menghasilkan MAT yang benar-benar

menggambarkan data pergerakan.

Penentuan TAZ memang merupakan persoalan

yang pelik dalam sebuah analisis transportasi.

TAZ yang terlalu luas bisa mengurangi

keakuratan MAT karena akan menigkatkan

pergerakan internal zona yang seharusnya

menggambarkan pergerakan antar zona.

Sebaliknya TAZ yang terlalu kecil, juga dapat

mengurangi keakuratan MAT, karena dari

zona yang kecil seringkali terjadi zero traffic.

Zero traffic akan menyebabkan adanya sel

pada MAT yang kosong sehingga hal ini

kurang baik untuk peramalan pergerakan untuk

masa depan (lihat Meyer & Miller, 2001; 181).

Menurut Meyer & Miller (2001) TAZ yang

baik adalah TAZ yang di bangun berdasarkan

kesamaan karakteristik dari rumah tangga atau

sering disebut dengan istilah household base

zone. Namun, untuk mendapatkan informasi

berbasis rumah tangga membutuhkan dana dan

tenaga yang cukup mahal. Sehingga penentuan

TAZ umumnya dilakukan berdasarkan ciri

batasan fisik atau yang paling mudah adalah

batasan adminstrasi. Permasalahan zona yang

terlalu luas dan terlalu kecil merupakan

permasalahan yang muncul dari proses

penentuan TAZ yang dilakukan berdasarkan

batasan administrasi. Bandung sebagai daerah

studi memiliki TAZ yang terdiri dari 146 zona

yang ditentukan berdasarkan batas administrasi

kelurahan. Matriks asal tujuan yang dihasilkan

dari TAZ tersebut masih terlihat kejanggalan.

(1) adanya sel yang kosong, (2) jumlah rumah

tangga, jumlah populasi, jumlah trip bangkitan

dan tarikan yang belum sepadan antara satu

zona dengan zona lainnya. Dengan demikian

TAZ yang sudah ada belum optimal. Oleh

karena itu, sangat perlu adanya sebuah kajian

penentuan alternatif TAZ yang lebih optimal di

kota bandung sehingga mampu menghasilkan

MAT yang lebih baik.

2. Teori Dasar Penyusunan Traffic

Analysis Zone (TAZ) Berdasarkan

Prinsip Homogenitas Kawasan

Pergerakan lalu lintas di jalan raya pada

dasarnya bukan merupakan tujuan utama dari

para pelakunya.Tetapi merupakan kegiatan

yang diperlukan agar tujuan utama para pelaku

perjalanan tercapai. Tujuan utama dari para

pelaku perjalanan ditimbulkan oleh adanya

interaksi dari berbagai jenis aktivitas yang

letaknya tersebar dalam suatu wilayah. Bentuk

dari tujuan utama tersebut dapat bermacam-

macam, seperti bekerja, sekolah belanja,

rekreasi yang kesemuanya itu dapat dikatakan

sebagai aktivitas sosial dan ekonomi dalam

suatu sistem di suatu wilayah.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

169

Model Bangkitan-Tarikan Pergerakan (Trip

Generation Model)

Trip generation model adalah tahapan

pemodelan yang memperkirakan jumlah

pergerakan yang bersal dan menuju suatu zona

atau tata guna lahan tertentu. Dari pengertian

di atas maka dapat dikatakan bahwa

pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata

guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu

lintas. Penentuan trip generation model

merupakan tahap awal dalam pelaksanaan

sequential model.

Pada dasarnya dalam beberapa literatur,

bangkitan pergerakan dapat di analisis melalui

tiga tipe model yaitu analisis model faktor

pertumbuhan (growth factor), analisis regresi

dan cross-classification.

Model Growth Factor, model ini

digunakan untuk memproyeksikan

bangkitan pergerakan di masa mendatang

dengan mengalikan bangkitan pergerakan

dengan faktor pertumbuhan. Faktor

pengali pertumbuhan yang biasa

digunakan adalah seperti populasi

penduduk, pendapatan, kepemilikan

kendaraan, dll.

Model Regresi, analisis regresi

merupakan metode statistik yang

mempelajari bagaimana suatu variabel

tidak bebas berkaitan dengan beberapa

variabel bebas. Dalam hal ini variabel

tidak bebas yang digunakan adalah

bangkitan pergerakan.

Analisis cross classification atau analisis

kategori adalah metode untuk

menggrupkan rumah tangga kedalam satu

atau beberapa ciri sosial ekonomi tertentu.

Matriks Asal-Tujuan (Origin-Destination

Matrix)

Matriks O-D adalah matriks berdimensi dua

yang menggambarkan besarnya pergerakan

pergerakan antarlokasi (asal dan tujuan) dalam

daerah tertentu. Baris dari matriks menyatakan

asal pergerakan dan kolom menyatakan tujuan

pergerakan sedangkan isi sel dari matriks

menyatakan besarnya arus pergerakan antar

asal dan tujuan pergerakan terkait. dalam hal

ini, notasi Tij digunakan untuk menyatakan

besarnya arus pergerakan kendaraan, orang

atau barang dari tempat asal i ke tempat tujuan

j selama selang waktu tertentu. Melalui matriks

O-D dapat dipelajari pola pergerakan orang

atau barang yang terjadi dalam daerah tertentu.

Dengan mengetahui pola pergerakan yang

terjadi maka akan membantu dalam memahami

permasalahan transportasi yang timbul

sehingga diharapkan beberapa solusi bisa

dihasilkan.

Secara umum ada dua metode untuk

mendapatkan matriks O-D yaitu metode

konvensional dan metode non-konvensinal

(Tamin, 2003).Metode konvensional dibagi

lagi kedalam dua jenis yaitu metoda langsung

dan tidak langsung. Metoda langsung adalah

metoda untuk mendapatkan data secara

langsung terjun ke lapangan seperti wawancara

di tepi jalan, wawancara di rumah,

menggunakan bendera, metode foto udara, dan

lain-lain.Metoda tidak langsung dilakukan

dengan mengolah data-data sekunder melalui

pendekatan rumus-rumus matematis.Metoda

yg umum digunakan adalah metode analogi

dan metode sintetis.Metode non-konvensional

adalah metode yang menggunakan informasi

data arus lalu lintas untuk mendapatkan nilai

matriks O-D.

Traffic Analysis Zone

Seharusnya sebuah zona memiliki alasan yang

kuat untuk mengatakan bahwa sebuah wilayah

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

170

dikatakan sebuah zona pergerakan.alasan ini

penting untuk mebedakan suatu zona dengan

zona yang lain. Menurut Bass (1981) dalam

Meyer & Miller (2001;181) ada enam kriteria

untuk menentukan traffic analysis zone antara

lain:

1. Mendapatkan karakteristik sosial ekonomi

yang homogen dalam satu zona.

2. Meminimalisasi jumlah pergerakan

internal zona.

3. Mempertimbangkan batasan fisik, politis,

kekuasaan, dan sejarah.

4. Menghindari zona yang sepenuhnya

berada dalam lingkup zona lainnya.

5. Mempertimbangkan agar sistem zona

memiliki jumlah rumah tangga, populasi,

bangkitan datarikan pergerakan yang

seimbang antara satu zona dengan zona

lainnya.

6. Basis batasan zona didasarkan pada sensus

block.

Kriteria yang terakhir sangat penting karena

beberapa negara biasanya menyediakan data

sosial ekonomi penduduk berdasarkan sensus

block. Adanya data sekunder akan

mempermudah untuk penyusunan traffic

analysis zone karena pada kenyataanya cara

survey langsung terhadap rumah tangga cukup

rumit, dan membutuhkan banyak tenaga dan

biaya. Oleh karena itu, pada umumnya traffic

analysis zone yang digunakan adalah zona

berbasis satuan wilayah administratif yang

lebih luas seperti kecamatan atau

kabupaten/kota.

Metoda identifikasi Homogenitas dengan

Analisis Cluster

Analisis Cluster (cluster Analysis) merupakan

metode untuk mengelompokkan objek-objek

yang lebih banyak ke dalam objek yang lebih

sedikit (Dillon, 1984; Kachigan 1986).

Analisis cluster disebut juga analisis

segmentasi atau analisis taksonomi.Dalam

ilmu perencanaan kota, analsis cluster juga

sudah sering digunakan, misalnya untuk

menetukan hirarki dari kota-kota, menentukan

struktur pola kota, distribusi kelas sosial

ekonomi masyarakat dalam kota, dan lain-lain

(John, 1988). Prinsip dalam analisis cluster

adalah mengupayakan agar cluster yang

terbentuk memiliki kesamaan yang tinggi antar

anggotanya (homogenitas) dan memiliki

perbedaan atau jarak yang jauh dengan cluster

yang lain (heterogenitas). Untuk melihat nilai

homogenitas dan heterogenitas antar objek

dalam analisis cluster, metode yang sering

digunakan adalah adalah dengan mengukur

similarity (derajat kesamaan) dari masing-

masing objek. Ada dua metode untuk

mengukur similarity yang biasa digunakan

yaitu mengukur nilai koefisien korelasi (rij)

dan jarak euclidean (dij). Analisis cluster

adalah sebuah proses memilah objek

berdasarkan ciri kesamaan variabel dalam

masing-masing objek. Proses pemilahan objek

umumnya dilakukan melalui dua cara yaitu

non-hierarchical atau Partitioning method dan

hierarchical method.

Jika pada sebuah koleksi data terdapat n objek,

maka metode partisioning akan mebentuk k

patisi data, setiap partisi merepresentasikan

sebuah cluster dan k ≤ n. Dengan kata lain,

metode partisioning menklasifikasikan data

menjadi beberapa kelompok dengan ketentuan

bahwa setiap kelompok harus berisi paling

tidak satu data item, dan setiap data item harus

menjadi anggota dari sebuah kelompok.

Setelah mengetahui k, yaitu jumlah partisi

yang harus dibangun, sebuha metode

partisioning akan membentuk partisi awal.

Kemudian, metode tersebut akan secara

uteratif berusaha menigkatkan akurasi partisi

yang terbentuk dengan cara memindahkan

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

171

objek dari satu kelompok ke kelompok yang

lain.

Metode hierarchical akan membangun sebuah

dekomposisi hierarkis dari satu himpunan data

tertentu. Metode hierarchical dapat

diklasifikasikan lebih lanjut menjadi bersifat

divisive atau bersifat agglomerative,

berdasarkan bagaimana dekomposisi hierarkis

yang akan dibangun. Pendekatan

agglomerative, yang juga disebut sebagai

pendekatan bottom-up, dimulai dengan

masing-masing objek membentuk sebuah

kelompok terpisah. Pendekatan tersebut

kemudian akan menyatukan objek-objek yang

saling berdekatan, sehingga semua kelompok

pada akhirnya menjadi satu, atau sehingga

sebuah kondisi berhenti tertentu.Sedangkan

pendekatan divisive, atau yang disebut juga

sebagai pendekatan top-down, dimulai dengan

seluruh objek berada pada sebuah cluster yang

sama. Kemudian, pada setiap iterasi, cluster

akan dipecah menjadi cluster-cluster yang

lebih kecil sehingga suatu kondisi berhenti

tertentu.

Spatial Autocorrelation

Tujuan utama analisis data spasial dalam studi

ini adalah untuk meningkatkan homogenitas

dalam satu cluster zona dan meningkatkan

heterogenitas antar cluster zona yang telah

dibuat. Seharusnya zona yang terbentuk adalah

random karena tujuan utama agregasi zona

transportasi adalah untuk menghilangkan zona-

zona pergerakan bertetangga yang memiliki

ciri kesamaan data sosial ekonomi dan guna

lahan. Asumsi awal adalah jika ada dua zona

yang memiliki ciri karakteristik zona yang

sama seharusnya tergabung menjadi dalam

satu zona. Dengan demikian maka zona-zona

yang terbentuk seharusnya memiliki ciri

karakteristik sosial ekonomi yang independen

sehingga masing-masing zona merupakan zona

yang benar-benar menjadi asal dan tujuan

pergerakan.Untuk melihat tingkat

independensi dari zona-zona yang terbentuk

maka bisa dilihat dari nilai spatial

autocorrelasi-nya. Melalui spatial

autocorrelation dapat dilihat apakah cluster

zona yang terbentuk random, berkorelasi

negatif, atau berkorelasi positif. Secara logis

dapat dipahami bahwa TAZ yang random atau

tanpa ada spatial autocorrelation adalah lebih

baik dari pada TAZ yang berkorelasi positif

maupun negatif. Untuk menghitung spatial

autocorrelation umumnya ada dua cara yang

sering dipakai yaitu Geary’s c dan Moran’s I.

jika GC = 1 spatial autocorrelation tidak

terjadi;

jika GC < 1, positive spatial autocorrelation

terjadi; dan

jika GC > 1, negative spatial autocorrelation

terjadi.

Jika n adalah jumlah unit spatial yang di

observasi maka nilai Moran’s I akan berada

diantara -1 sampai dengan 1. Nilai indeks

Moran semakin mendekati -1 menyatakan

bahwa negative spatial autocorrelation

(dispers) terjadi atau pola dispers yang mudah

dipahami adalah pola papan catur dimana unit

yang bernilai tinggi dikelilingi oleh tetangga

yang bernilai rendah dan sebaliknya. Indeks

Moran mendekati nilai harapan (expected

value) yang biasanya sangat dekat dengan nila

0 (nol) menyatakan tidak terjadi spatial

autocorrelation atau pola ini disebut juga

dengan random. Indeks Moran mendekati 1

menyatakan positive autocorrelation terjadi

(cluster). Pola cluster terjadi ketika unit yang

bernilai tinggi dikelilingi oleh tetangga yang

benilai tinggi dan sebalikya tetangga yang

bernilai rendah dikelilingi tetangga yang

bernilai rendah.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

172

GIS dan Teknik yang Digunakan dalam

Studi

Cowen dalam You (1996) mendefenisikan --

GIS is a planning support system which is

“involving the intergation of spatially

referenced data in a problem solving

environment.” Sebenarnya banyak perencana

ragu dengan defenisi ini. Jika agak sulit

menerima defenisi tersebut, maka defenisi dari

Burrough (dalam You, 1996) akan sangat

membantu; GIS are a powerful set of tolls for

colecting, storing, retrieving at will,

transforming, and displaying spatial data from

the real world for particular set of purposes.

Studi ini memanfaatkan sistem GIS dalam

beberapa tahapan analisis yang digunakan.

Lebih rinci, beberapa pemanfaatan tools GIS

dalam studi diperlihatkan dalam Tabel I

berikut ini.

Tabel I Penggunaan Aplikasi GIS Dalam Studi

View Fungsi Operasi yang Digunakan

Geodatabase

Pembangunan basis data dengan penggabungan data spasial dan data atribut

Start editing | add field Calculate Geeometri Summarize, sel

statistic Table | Join

Geoprocessing

Penggunaan operasi Dissolving, Clipping, intersecting/ Overlaying, dan Singgle to multy part

Analysis Tools | Extract |Clip

Analysis Tools | Overlay |intersec/union

Data Management Tolls | Generalization | Disolving

Data Management Tolls | Features | Multi part to single part

Spatial Analysis Spatial Index Moran’s

Spatial Statistical Tools | Analyzing pattern | spatial autocorrelation

Geovisualization Menampilkan peta-peta hasil analisis

View | Layout view

Sumber: Hasil analisis, 2008

Prinsip utama dalam penyusunan TAZ ini

adalah kesamaan ciri atau karakteristik dari

kawasan berdasarkan variabel-variabel sosial,

ekonomi, dan demografi. Kesamaan ini sering

juga disebut sebagai homogenitas.Pada

akhirnya Traffic Analysis Zone yang

dihasilkan, diharapkan memiliki kesamaan ciri

pada masing-masing zona. Tahapan

penyusunan TAZ yang dilakukan dalam studi

ini adalah seperti diperlihatkan pada gambar 1

berikut ini.

3. Penyusunan Traffic Analysis Zone

Dengan Metode Aggregasi Unit

Kelurahan Berdasarkan Prinsip

Homogenitas Kawasan

Berdasarkan Gambar 1, penyusunan TAZ pada

studi ini terdiri dari empat tahapan utama.

Keempat tahapan utama tersebut antara lain:

penentuan variabel penyusun TAZ,

membangun data berbasis GIS, penentuan

TAZ, dan visualisasi hasil (pemetaan TAZ).

Keempat tahapan tersebut akan dibahas

berikut.

Gambar 1 Langkah Penyusunan Traffic Analysis Zone

(TAZ) Berdasarkan Prinsip Homogenitas Kawasan

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

173

Identifikasi Variabel-Variabel Untuk

Penyusunan TAZ

Untuk membangun sebuah TAZ maka

variabel-variabel harus memiliki hubungan dan

mampu menggambarkan aktivitas pergerakan

dari masing-masing zona.Untuk melihat

hubungan antara variabel-variabel dengan

bangkitan dan tarikan pergerakan, digunakan

79 unit zona yang masih memiliki ukuran sama

dengan batas kelurahan pada masa sekarang.

Sedangkan variabel-variabel yang digunakan

antara lain adalah ukuran keluarga, jumlah

penduduk, luas kawasan terbangun, luas

kawasan permukiman, panjang jalan, panjang

rute angkutan kota, dan jumlah fasilitas.

Dengan asumsi hubungan hubungan antara

variabel-variabel dengan bangkitan tarikan

bersifat linier maka hubungan antara masing-

masing variabel dengan bangkitan dan tarikan

pergerakan dilihat dengan regresi linier. Dari

hasil uji model terhadap bangkitan, dari

ketujuh variabel yang digunakan

memperlihatkan hubungan yang cukup kuat

yaitu dengan rata-rata R square antara 0,621 –

0,637. Hal ini menyatakan bahwa lebih dari

60% data memiliki hubungan linier dengan

bangkitan pergerakan.

Tabel II

R, R Square, Adjust R Square, dan Std. Error Dari Model Bangkitan Dengan Variabel-

Variabel Tes

Model R R

Square

Adjust R

Square

Std. Error of the

Estimate 1 .798a .637 .601 126.741

2 .798b .637 .606 125.871

3 .797c .636 .611 125.191

4 .796d .633 .613 124.737

5 .793e .629 .614 124.594

6 .788f .621 .611 125.132

Sumber: Output SPSS, 2008

Hubungan bangkitan dengan tujuh variabel

predictor diperlihatkan dalam model 1, dari

model 1 dapat dilihat variabel luas kawasan

permukiman dan panjang jalan

memperlihatkan tingkat signifikansi yang

cukup kuat. Lebih jelasnya, nilai koefisien dan

signifikansi masing-masing variabel pada

model 1 diperlihatkan pada Tabel III.

Tabel III Nilai Koefisien dan Signifikansi Model Bangkitan Pergerakan Terhadap Variabel

Sosial Ekonomi

Model 1

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std.

Error Beta

(Constant)* 271.121 87.867 3.086 .003

Ukuran Keluarga

-7.460 17.025 -.033 -.438 .663

Jmlh_Pddk -.002 .003 -.052 -.713 .478

Ls_mukim* .000 .000 .525 2.980 .004

Ls_terbangun -1.531E-5 .000 -.037 -.170 .865

Pjng_jalan* .005 .004 .237 1.295 .200

Pjng_rute .004 .004 .089 .972 .335

Jumlh_fas .976 1.064 .094 .916 .363

Sumber: Output SPSS, 2008

Dari hasil uji model terhadap tarikan, dari

ketujuh variabel yang digunakan

memperlihatkan hubungan yang cukup kuat

yaitu dengan rata-rata R square antara 0,495 –

0,507. Hal ini menyatakan bahwa kurang lebih

50% data memiliki hubungan linier dengan

tarikan pergerakan.

Tabel IV

R, R Square, Adjust R Square, dan Std. Error Dari Model Tarikan Dengan Variabel-variabel

Tes

Model R R

Square Adjust R Square

Std. Error of the Estimate

1 .712a .507 .458 324.611

2 .712b .507 .466 322.373

3 .711c .506 .471 320.600

4 .704d .495 .467 321.814

Sumber: Output SPSS, 2008

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

174

Tabel V Nilai Koefisien dan Signifikansi Model

Tarikan Pergerakan Terhadap Variabel Sosial Ekonomi

Model 1

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant)* 323.985 225.046 1.440 .154

Ukuran Keluarga

6.837 43.604 .014 .157 .876

Jmlh_Pddk -.008 .007 -.099 -1.155 .252

Ls_mukim*

.001 .000 .500 2.434 .017

Ls_terbangun

.000 .000 -.121 -.474 .637

Pjng_jalan -.012 .009 -.271 -1.270 .208

Pjng_rute* .056 .011 .551 5.139 .000

Jumlh_fas* 4.836 2.726 .212 1.774 .080

Sumber: Output SPSS, 2008 Hubungan tarikan pergerakan dengan tujuh

variabel predictor diperlihatkan dalam model

1, dari model 1 dapat dilihat variabel luas

kawasan permukiman, panjang rute angkutan,

dan jumlah fasilitas memperlihatkan tingkat

signifikansi yang cukup kuat. Lebih jelasnya

nilai koefisien dan signifikansi masing-masing

variabel pada model 1 diperlihatkan pada

Tabel V. Berdasarkan kedua model di atas,

walaupun nilai R square dari model hubungan

antara variabel-variabel tes terhadap bangkitan

dan tarikan yang tidak terlalu besar tetapi

setidaknya model tersebut sudah membuktikan

bahwa varibel-varibel tes tersebut memiliki

hubungan linier dengan bangkitan dan tarikan

pergerakan. Dengan demikian, penggunaan

varibel-variabel tersebut dalam menyusun

kerangka homogenitas dalam penyusunan TAZ

dapat menggambarkan zona yang baik dan

memiliki karakteristik yang homogen.

Identifikasi Kerangka Homogenitas dengan

Metode Analisis Cluster

Ada dua metode dalam melakukan analisis

cluster yaitu hierarchical method dan non-

hierarchical method (iterative partitioning).

Metode hirarkis menghitung kesamaan antar

objek dari masing-masing variabel-nya secara

luas. Secara luas maksudnya adalah bahwa

pada metode hirarkis kita bisa melihat cluster

masing- masing objek pada setiap tahapan

iterasinya mulai dari iterasi pertama paling

lemah yang biasanya akan menghasilkan

banyak cluster sampai pada iterasi terakhir

paling optimum yang akan menghasilkan

hanya dua cluster. Sebaliknya metode partisi

akan mengoptimalkan cluster berdasarkan

jumlah cluster yang sudah ditentukan terlebih

dahulu sebelum proses iterasi dimulai. Seperti

misalnya jika ditentukan bahwa lima cluster

yang akan terbentuk maka metode partisi akan

memperlihatkan cluster yang terbentuk pada

iterasi terakhir adalah lima cluster.

Untuk melihat tingkat homogenitas yang

dilakukan melalui analisis cluster dengan

memanfatkan software SPSS, beberapa

variabel diperlukan untuk menyusun kerangka

homogenitas antar objek (dalam penelitian ini

objek yang digunakan adalah kelurahan).

Beberapa variabel yang digunakan adalah

variabel data karakteristik sosial ekonomi dan

guna lahan yang dijadikan sebagai variabel

dari unit-unit spatial kelurahan untuk

digunakan dalam analisis penyusunan TAZ.

Proses pembentukan masing-masing data

variabel yang dilakukan adalah sebagai

berikut:

1. Rata-rata ukuran keluraga

Data ini diambil dari potensi desa dengan

memanfaatkan data jumlah penduduk dan

jumlah rumah tangga tiap kelurahan.Data rata-

rata ukuran keluarga adalah hasil pembagian

jumlah penduduk dengan jumlah rumah tangga

pada masing-masing kelurahan. Kemudian

data rata-rata ukuran keluraga dijadikan

sebagai salah satu atribut dari unit kelurahan

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

175

dengan metoda joint table dalam software arc

view/gis.

2. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk merupakan hasil

pembagian jumlah penduduk terhadap luas

kelurahan. Data jumlah penduduk didapatkan

dari potensi desa sedangkan data luas

kelurahan didapatkan dari peta unit kelurahan

dari BAPPEDA dengan memanfaatkan

perintah calculate geometry pada software arc

view/gis. Proses penggabungan data kepadatan

penduduk untuk menjadi atribut dari unit

kelurahan dilakukan dengan perintah joint

tabel dalam software arc view/gis.

3. Rasio Kawasan Permukiman

Luas kawasan permukiman pada setiap

kelurahan didapatkan dengan metoda

menumpangtindihkan (overlay) peta batas unit

kelurahan dengan peta guna lahan dan

kemudian mengkalkulasikan luas kawasan

permukiman pada masing-masing desa dengan

perintah calculate geometry pada software arc

view/gis. Proses penggabungan data rasio

kawasan permukiman untuk menjadi atribut

dari unit kelurahan dilakukan dengan perintah

joint tabel dalam software arc view/gis.

4. Rasio Kawasan Terbangun

Rasio kawasan terbagun adalah luas kawasan

terbangun yang dinormalisasikan terhadap luas

unit kelurahan.Kawasan terbangun yang

dimaksudkan adalah semua kawasan buit-up

area pada kategori guna lahan dalam peta guna

lahan yang diperoleh dari DISTARKIM. Ada

pun proses pembentukan data dan penyatuan

menjadi atribut unit spatial kelurahan sama

seperti proses yang dilakukan pada rasio

kawasan permukiman.

5. Rasio Panjang Jalan

Rasio panjang jalan adalah panjang ruas jalan

yang dinormalisasikan terhadap luas unit

kelurahan. Data panjang jalan setiap

kelurarahan didapatkan dengan metoda

menumpangtindihkan (overlay) peta batas unit

kelurahan dengan peta ruas jalan dan

kemudian mengkalkulasikan luas panjang ruas

jalan pada masing-masing desa dengan

perintah calculate length pada software arc

view/gis. Proses penggabungan data rasio

kawasan permukiman untuk menjadi atribut

dari unit kelurahan dilakukan dengan perintah

joint tabel dalam software arc view/gis.

6. Rasio Panjang Rute Angkutan

Rasio panjang rute angkutan adalah panjang

jalan yang dilalui rute angkutan kota pada

masing-masing kelurahan yang

dinormalisasikan terhadap luas unit kelurahan.

Peta rute angkutan didapatkan dari peta dalam

program JJDB (jalan-jalan di bandung yuk!)

yang dikeluarkan oleh perusahaan ELCEE

pada tahun 2003. Ada pun proses pembentukan

data dan penyatuan menjadi atribut unit spatial

kelurahan sama seperti proses yang dilakukan

pada rasio panjang jalan.

7. Rasio Jumlah Fasilitas

Rasio jumlah faslitas adalah rata-rata jumlah

fasilitas dalam setiap satu hektar lahan pada

masing-masing kelurahan.Data jumlah fasilitas

didapatkan dari potensi desa. Adapun fasilitas

yang dimaksudkan adalah fasilitas-fasilitas

sosial dan ekonomi yang mungkin

mempengaruhi aktivitas pergeraka dari

masyarakat antara lain fasilitas sekolah (SD,

SMP, SMA, dan PT), fasilitas kesehatan

(rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik,

dan posyandu), hotel/penginapan, bank, dan

pusat perbelanjaan. Semua unit fasilitas

dujumlahkan dengan bobot yang sama pada

setiap unit kelurahan. Kemudian data rasio

jumlah faslitas dijadikan sebagai salah satu

atribut dari unit kelurahan dengan metoda joint

table dalam software arc view/gis.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

176

Untuk mendapatkan tingkat homogenitas yang

tinggi dalam masing-masing cluster, penentuan

jumlah cluster dilihat berdasarkan pengamatan

pada kestabilan rentang perubahan jumlah

cluster pada dendogram hirarki cluster yang

dihasilkan. Hal ini ditandai dengan tangkai

cluster yang cukup panjang dibanding tangkai

cluster yang lain. Berdasarkan hasil analisis

cluster dengan menggunakan SPSS, maka

cluster yang diperoleh terdapat pada Tabel VI.

Untuk memastikan bahwa dalam setiap cluster

memiliki tingkat homogenitas yang maksimum

dan sebaliknya antar cluster juga memiliki

heterogenitas yang maksimum, varian dari

masing-masing cluster seharusnya

memperlihatkan penurunan dibandingkan

sebelum dilakukan peng-cluster-an.

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata varian

dari masing-masing cluster terbukti mengalami

penurunan.

Tabel VI Daftar Kelurahan Kota Bandung Dengan

Klasifikasi 4 Cluster Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4

Gempolsari Cigondewah

Kaler Warung

Muncang Cibuntu

Cigondewah Rahayu

Cigondewah Kidul

Cijerah Panjunan

Caringin Margasuka Babakan Cibadak

babakan Ciparay

Cirangrang Sukahaji Karanganyar

Kebon Lega Margahayu Utara Kopo Pungkur

Situsaeur Cibaduyut Kidul Suka asih Balong Gede

Nyengseret Cibaduyut Wetan Babakan Asih Lingkar Selatan

Pasirluyu Mekarwangi Babakan Tarogong

Malabar

Ancol Cibaduyut Jamika Burangrang

Cigereleng Wates Karasak Cikawao

Ciateul Mengger Pelindung

Hewan Kebon

Kangkung

Cijagra Kujangsari Ciseureuh Kebun Jayanti

Turangga Margasenang Paledang Cicaheum

Batununggal Margasari Cisaranten

Kulon Braga

Sekejati Darwati Babakansari Kebon Pisang

Pasirbiru Cipamokolan Binong Merdeka

Cigending Cisarantenkidul Kebon Gedang Babakan Ciamis

Sindang Jaya Mekar mulya Maleer Garuda

Antapani Kidul

Cipadung Kulon Cibangkong Dungus Cariang

Babakan Cipadung Kidul Samoja Ciroyom

Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4

Surabaya

Gumuruh Cipadung Maleber Kebon Jeruk

Kacapiring Palasari Cicadas Arjuna

Kebonwaru Cisurupan Sadang Serang Pasir Kaliki

Sukaraja Cisaranten

Wetan Sukabungah Pamoyanan

Sukamaju Ujung berung Cipedes Pajajaran

Pasirlayung Pasanggrahan

Tamansari

Sukapada Pasirjati

Citarum

Sukaluyu Pasirwangi

Cihapit

Neglasari Pasir endah

Cikutra

Sekeloa Cisarenten Bina

Harapan Padasuka

Dago Sukamiskin

Cihaur Geulis

Sukawarna Antapani Tengah

Cipaganti

Sukagalih Antapani

Lebak Gede

Sarijadi Karang

Pamulang Pasteur

Sukarasa Mandalajati

Hegarmanah

Geger Kalong Sukapura

Campaka

Husen

Sastranegara

Lebak Siliwangi

Isola

Ciumbuleuit

Ledeng

Cigadung

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Gambar 2

Perubahan Nilai Varian Masing-Masing Variabel Setelah Cluster-isasi

Sumber: Hasil Analisis, 2008 Selain memiliki homogenitas yang tinggi

dalam masing-masing cluster, sebaliknya antar

satu cluster dengan cluster yang lain juga

memperlihatkan heterogenitas yang tinggi.

Dari ketujuh variabel analisis, lima variabel

menunjukkan tingkat varian intercluster yang

lebih tinggi dibanding rata-rata varian

intracluster. Dua variabel lain yaitu ukuran

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

177

keluarga dan rasio panjang rute, tidak

menunjukkan varian inter cluster yang lebih

tinggi dibanding varian intra cluster. Dengan

demikian, langkah penyusunan TAZ

berdasarkan cluster yang sudah dihasilkan

dapat dilakukan.

Gambar 3

Perbandingan Nilai Varian Intra Cluster dan Inter Cluster Dari Masing-masing Variabel

Rata-rata variandalamcluster

Varian inter cluster0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

Ukuran keluraga

0

2000

4000

6000

8000

10000

Kepadatan Penduduk

0

0,0050,01

0,015

0,02

0,025

0,03

0,035

Rasio kawasan Permukiman

00,0050,01

0,0150,02

0,0250,03

0,0350,04

Rasio kawasan terbangun

0

0,000002

0,000004

0,000006

0,000008

0,000010,000012

0,000014

0,000016

Rasio panjang jalan

0

0,000002

0,000004

0,000006

0,000008

0,00001

0,000012

0,000014

rasio panjang rute angkutan

0

0,005

0,01

0,015

0,02

Rasio jumlah fasilitas

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Agregasi Unit Spatial Kelurahan untuk

Penyusunan TAZ

Istilah zona adalah istilah yang berkaitan

dengan unsur spasial atau ruang. Kelurahan-

kelurahan yang sudah tergabung dalam satu

cluster belum tentu secara spasial berada

dalam satu zona, mungkin saja dua kelurahan

yang berada pada cluster yang sama, namun

secara spasial berjauhan sehingga masing-

masing tetap menjadi zona yang berlainan. Jika

dua kelurahan atau lebih berada pada cluster

yang sama dan secara spatial berdekatan maka

kelurahan-kelurahan akan digabungkan dalam

satu zona. Proses penggabungan ini lah yang

disebut dengan istilah aggregasi.

Tidak semua kelurahan yang berada dalam

satu cluster yang sama akan menjadi satu zona

tunggal. Kelurahan-kelurahan yang

bertetangga, memiliki conectivity* dan juga

berada dalam cluster sama maka

dimungkinkan untuk menjadi sebuah zona.

Pada proses dissolve, zona-zona yang berasal

dari nomor cluster yang sama masih

digabungkan dalam satu record tunggal,

padahal seharusnya masing-masing zona

memiliki record tersendiri untuk dapat

menghitung spatial autocorrelasi pada tahap

berikutnya. Untuk itu, dalam software Arc GIS

masing-masing zona dipisahkan melalui proses

single part to multi part tools. Proses agregasi

yang dilakukan secara garis besar terdapat

pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4 Proses Aggregasi Zona

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Pada akhirnya traffic analysis zone yang

terbentuk terdiri dari 40 zona yang merupakan

hasil agregasi dari unit kelurahan.

Gambar 5

TRAFFIC ANALYSIS ZONE

Spatial Autocorrelation untuk Evaluasi TAZ

Spatial autocorrelation adalah alat untuk

melihat masih ada atau tidaknya kemiripan

antar unit-unit spatial yang bertetangga.

Spatial autocorrelation diukur dengan indeks

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

178

moran yaitu antara negatif 1 sampai dengan

positif 1. Nilai indeks Moran semakin

mendekati negatif 1 menyatakan bahwa

negative spatial autocorrelation (dispers)

terjadi, atau pola dispers yang mudah dipahami

adalah pola papan catur dimana unit yang

bernilai tinggi dikelilingi oleh tetangga yang

bernilai rendah dan sebaliknya. Indeks Moran

mendekati nilai harapan (expected value) yang

biasanya sangat dekat dengan nila 0 (nol)

menyatakan tidak terjadi spatial

autocorrelation atau pola ini disebut juga

dengan random. Indeks Moran mendekati 1 menyatakan positive autocorrelation terjadi

(cluster). Pola cluster terjadi ketika unit yang

bernilai tinggi dikelilingi oleh tetangga yang

benilai tinggi dan sebaliknya tetangga yang

bernilai rendah dikelilingi tetangga yang

bernilai rendah.

Dengan berubahnya jumlah unit spatial dari

sebelum dan sesudah dilakukan penzonaan

maka terjadi perubahan nilai indeks harapan

(expected index). Oleh karena itu, untuk

menyatakan bahwa telah terjadi perubahan

pola spasial yang mengarah ke pola random,

tidak relevan jika dengan melihat pada

penurunan nilai indeks moran. Dengan

demikian, yang harus dilihat adalah perubahan

jarak dari indeks moran terhadap indeks

harapan sebelum dan sesudah penzonaan. Dari

hasil perhitungan maka perubahan jarak dari

indeks moran terhadap indeks harapan sebelum

dan sesudah penzonaan dapat dilihat pada

gambar 6.

Gambar 6

Penurunan Nilai Indeks Morans Sebelum dan Sesudah Penyusunan TAZ

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Gambar 7 memperlihatkan bahwa dari tujuh

variabel yang digunakan dalam analisis, lima

variabel menujukkan penurunan jarak antara

nilai indeks morans dari unit spatial sebelum

dilakukan penzonaan dengan indeks morans

dari unit spatial TAZ yang dihasilkan. dengan

kata lain bahwa telah terjadi perubahan pola

spatial autocorrelasi kearah random. Dengan

demikian, hal ini mendukung bahwa TAZ yang

dihasilkan sudah memenuhi kriteria yang di

inginkan yaitu intrazona yang homogen dan

interzona yang heterogen.

Karakterisasi Traffic Analysis Zone

Karakteristik ingin ditinjau adalah karakteristik

variabel yang sejak awal menjadi faktor

penentu dalam perhitungan homogenitas dalam

penyusunan TAZ. Jika sebelumnya TAZ

disusun berdasarkan homogenitas dari variabel

analisis dalam zona maka seharusnya nilai dari

variabel pada masing-masing zona yang

terbentuk akan terkonsentrasi pada nilai

tertentu yang semestinya akan berbeda satu

sama lain antar cluster zona yang berbeda.

Dari awal sudah diketahui bahwa ada 7

variabel yang bisa menjelaskan karakteristik

dari masing-masing zona yang sudah terbentuk

antara lain:

Gambar 7 Karakteristik Zona

1. Ukuran Keluarga

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

179

2. Kepadatan Penduduk

3. Rasio Kawasan Permukiman

4. Rasio Kawasan Terbangun

5. Rasio Panjang Jalan

6. Rasio Panjang Rute Angkutan

7. Rasio Jumlah Fasilitas

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa

zona-zona pada cluster 1 yang berada di area

lapis ketiga atau agak di pinggir kota, memiliki

karakteristik ukuran rumah tangga yang tidak

terlalu berbeda dengan zona-zona lainnya yaitu

rata-rata empat atau lima orang per rumah

tangga, rasio kawasan terbangun dan

permukiman cukup tinggi, rasio panjang jalan

cukup tinggi tetapi rasio panjang rute angkutan

relatif rendah, dan rasio ketersediaan fasilitas

yang agak rendah.

Zona-zona yang berada pada cluster 2

memiliki karakteristik yang serba rendah.

Kepadatan penduduk yang relatif rendah, rasio

kawasan permukiman terbangun dan kawasan

terbangun relatif rendah dan juga ketersediaan

akses jalan dan rute angkutan serta ketersedaan

fasilitas. Sementara zona-zona pada cluster 3

dan 4 yang berada di area pusat kota memiliki

karakteristik dengan kepadatan penduduk

tinggi, rasio kawasan permukiman dan

terbangun yang tinggi serta ketersediaan akses

dan juga fasilitas yang tinggi.

Jika diurutkan berdasarkan tingkat kepadatan

dan ketersediaan dari masing-masing varabel

analisis maka zona-zona yan berada pada

cluster 3 adalah pada tingkatan pertama, zona-

zona pada cluster 4 pada urutan kedua, zona-

zona pada cluster 1 pada urutan ketiga, dan

zona-zona pada cluster 2 pada urutan keempat.

Perbandingan TAZ yang Dihasilkan dengan

TAZ Terdahulu

Tidak ada standard khusus untuk mengatakan

sebuah TAZ lebih baik dari TAZ yang lain.

Namun, TAZ yang membagi sebuah wilayah

sehingga sistem pergerakan yang diakibatkan

oleh aktivitas antar zona tergambarkan lebih

baik bisa menjadi salah satu ukuran bahwa

sebuah TAZ bisa dikatakan lebih optimal.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

180

Untuk bisa menggambarkan karakteristik

pergerakan yang diakibatkan oleh sistem

aktivitas antar zona dengan baik, zona yang

homogen bisa menjadi ukuran. Jika zona-zona

yang dibentuk memiliki karakteristik yang

homogen maka karakteristik pergerakan antar

kegiatan akan lebih mudah diidentifikasi

sehingga solusi untuk penyelesaiannyapun

lebih mudah untuk dilakukan.

Jika dibandingkan dengan TAZ terdahulu yang

berdasarkan batas kelurahan, TAZ yang

dihasilkan pada studi ini diharapkan lebih

mampu menggambarkan pola dan karakteristik

pergerakan antar zona karena TAZ yang

dihasilkan telah disusun berdasarkan

kesamaan atau homogenitas karakteristik

sosial, ekonomi dan guna lahan kawasan. Dari

data hasil 40 zona yang dihasilkan, statistik

deskriptif dapat diperlihatkan pada tabel

berikut:

Tabel VII

Statistics Deskriptive 139 Zona

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Tabel VIII

Statistics Deskriptive 40 Zona

Sumber: Hasil Analisis, 2008

Dari kedua statistik deskriptif di atas, dapat

dilihat bahwa dari 40 zona pada TAZ hasil

analisis memperlihatkan varian yang

meningkat. Selain varian yang meningkat,

sebaliknya nilai indeks spatial autokorelasi

juga memperlihatkan nilai yang menurun

seperti telah dijelaskan sebelumnya. Dengan

demikian, TAZ dengan 40 zona yang

dihasilkan diharapkan lebih optimal

dibandingkan dengan TAZ dengan

menggunakan batasan administrasi kelurahan.

Setelah mengenali karakteristik pergerakan

antara zona, implikasi terhadap ruas jalan,

pengaturan rute, penyebaran pergerakan dan

penyediaan moda perjalanan dan lain-lain

merupakan tindak lanjut yang harus dilakukan.

Impilkasi lanjutan ini salah satunya yang sudah

lazim dikenal adalah pemodelan transportasi

empat tahap (four step model). Pada

pemodelan ini, salah satu informasi penting

yang digambarkan adalah jumlah pergerakan

antar zona dalam bentuk matriks asal tujuan

(MAT). Matriks asal tujuan sering digunakan

untuk meramalkan besar dan pola pergerakan

untuk masa yang akan datang. Seperti telah

dijelaskan pada bab permasalahan, jika salah

satu sel pada MAT kosong maka selamanya

akan tetap kosong sehingga MAT yang

memiliki banyak sel kosong kurang baik untuk

dijadikan sebagai alat peramal. Oleh karena

itu, zona yang terlalu kecil harus dihindari.

Walaupun belum ada studi lanjutan tentang

pemakaian TAZ yang dihasilkan untuk

menggambarkan MAT, tetapi jika

dibandingkan dengan TAZ yang terdahulu

maka TAZ yang dihasilkan diharapkan akan

mampu meminimalisasi sel kosong pada MAT.

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya link

jalan dengan kelas jalan minimal jalan kolektor

yang menghubungkan semua zona dalam TAZ.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

181

Dengan adanya link jalan yang

menghubungkan seluruh zona dalam TAZ

yang dihasilkan maka aksesibiltas antar zona

akan lebih baik sehingga interaksi antar

keseluruhan zona terjadi. Dengan demikian,

jika interaksi antar keseluruhan zona terjadi

maka tidak akan ada sel yang kosong pada

MAT sehingga MAT yang dibuat berdasarkan

zona ini bisa lebih baik untuk meramalkan

besar dan pola pergerakan di kota bandung

untuk masa depan.

IV. PENUTUP

Untuk membangun sebuah TAZ dengan

prinsip memaksimalkan homogenitas kawasan

maka diperlukan variabel-variabel yang

menggambarkan karakteristik dari wilayah

yang bisa mempengaruhi pola pergerakan dari

masyarakat seperti struktur sosial ekonomi

masyarakat dan fasilitas-fasilitas yang

membangkitkan dan menarik pergerakan dari

bagian-bagian wilayah tersebut.

Dalam membangun sebuah TAZ dengan

memanfaatkan metoda aggregasi seperti yang

dilakukan dalam studi ini, data berbasis

GIS mutlak diperlukan karena data

berbasis GIS memiliki kelebihan dalam

mengasosiasikan data spatial dengan data

atribut. Kerangka homogenitas kawasan

yang disusun dalam studi ini membagi unit

kelurahan Kota Bandung kedalam empat

cluster.

Masing-masing cluster diasumsikan sudah

memiliki tingkat homogenitas yang tinggi

dalam satu cluster dan memiliki tingkat

heterogenitas yang tinggi antar cluster. Hal

ini telah dibuktikan dengan nilai varian

dalam cluster yang rendah dan varian

intercluster yang tinggi.

Dengan mempertimbangkan aspek

kedekatan dan conectivity unit kelurahan,

metoda aggregasi yang dilakukan telah

merangkai 139 unit kelurahan Kota

Bandung menjadi 40 zona berdasarkan

kerangka homogenitas yang sudah disusun

sebelumya. Masing-masing zona sudah

mencirikan homogenitas di dalamnya

sehingga antara satu zona cukup berbeda

dengan zona lain di sekitarnya. Ini

dibuktikan dengan indeks spatial

autocorrelation moran’s I yang semakin

mendekati nilai indeks harpan (expected

value) yang menyatakan bahwa TAZ yang

terbentuk random. Analisis data spatial

sangat diperlukan dalam studi ini.dengan

memanfaatkan indeks koefisien Morans’s I

terbukti sangat membantu, karena unsur-

unsur perkotaan harus dikenali dalam

aspek spatial atau keruangan.

Dari 40 zona yang terbentuk telah dikenali

bahwa zona-zona yang berada di wilayah

pinggiran merupakan zona dengan

kepadatan lebih rendah dibanding zona

yang berada di pusat dan memiliki

ketersediaan fasilitas yang lebih sedikit.

Jika zona-zona dikategorikan berdasarkan

nilai tinggi rendahnya varibel penyusun

TAZ yang sudah di kemukakan diawal

maka zona-zona yang berada di pusat kota

berada pada kategori satu, zona-zona pada

lapis dua pada kategori dua, zona-zona

pada lapis empat atau pinggiran pada

kategori tiga, dan zona-zona pada lapis tiga

pada kategori empat (TAZ dibagi kedalam

empat lapis dari pusat kota sebagai lapis

satu sampai ke pinggiran sebagai lapis

empat).

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol .20/No.3 Desember 2009

182

TAZ yang dihasilkan sudah dibandingkan

dengan TAZ terdahulu. Jika zona-zona

dalam TAZ yang disusun pada studi ini

sudah homogen dan memperlihatkan

perbedaan karakter dengan zona-zona di

sekitarnya maka dibandingkan dengan

TAZ terdahulu, TAZ yang dihasilkan lebih

efisien untuk digunakan dalam beberapa

analisis transportasi lanjutan. Selain itu,

adanya link jalan dengan kelas minimal

jalan kolektor yang menghubungkan

keseluruhan zona dalam TAZ maka

diharapkan pemakaian TAZ ini dalam

studi lanjutan seperti pembentukan matriks

asal tujuan (MAT) dapat lebih efisien

karena mampu megurangi sel kosong

dalam MAT.

DAFTAR PUSTAKA Anselin, Luc, 1997. Introduction to the Special

Issue on Spatial Econometrics. International Regional Science Review, Vol. 20, No. 1-2, 1-7 (1997). SAGE Publications.

Anselin, Luc, 2002. Introduction to Spatial Data Analysis. REAL, University of Illinois, Urbana-Champaign.

Anselin, Luc, 2004. Introduction to Spatial Data Analysis. ICPSR-CSISS, University of Illinois, Urbana-Champaign.

Bao, S. 1999. Literature Review of Spatial Statistics and Models. Cina Data Center, Univercity of Michigan.

Biro Pusat Statistik. 2005. Kota Bandung dalam Angka 2005.

Biro Pusat Statistik. 2005. Potensi Desa 2005. Black, John. 1981. Urban Transport Planning:

Theory and Practice. London: Crown Helm. Dillon, Wiliam R. & Matthew Goldstein.1984.

Multivariative Analysis. JohnWiley & Sons. Ding, Chengri. 1994. Impact Analysis Of Spatial

Data Aggregation On Transportation Forecasted Demand: A Gis Approach. University of Illinois at Urbana-Champaign.URISA (1994), p362-375.

Ding, Y., and Fotheringham, S. A., 1991, The Integration of Spatial Data Analysis and GIS: The Development of the STATCAS Module for ARC/INFO (Buffalo, NY:

National Center for Geographic Information and Analysis).

Edwards, John D. 1992. Transportation Planning Handbook. New Jersey: Prentice Hall.

Griffith, D. A., 1987. Spatial Autocorrelation: APrimer, State University of New York at Buffalo, ressource Publication in Geography.

Healey, J. (1996). Statistics. A Tool For Social Research. Wadsworth Publishing Company. California.

John, Robert. 1988. Use of Cluster Analysis in Social Service Planning: A Case Study of Laguna Pueblo Elders. Journal of Applied Gerontology 1988; 7; 21, DOI: 10.1177/073346488800700103. SAGE Publications.

Kachigan, Sam Kash.1986. Statistical Analysis. New York: Radius Press.

Meyer and Miller, 2001. Urban Transportation Plannig. Second edition, Mc Graw Hill.

Tamin, Ofyar Z, 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.

You, Jinsoo, 1996. Iplementation of Integration Land Use and Transportation Model with Geographic Information System, Urbana, Illinois.