penjelasan gunung krakatau
TRANSCRIPT
GUNUNG KRAKATAUKeterangan Umum
Nama : G. Krakatau
Nama Lain : Cracatoa, Krakatao
Nama Kawah : Anak Krakatau
Lokasi : Koordinat/ Geografi : 6°06'05.8" LS dan 105°25'22.3" BT . Selat
Sunda, Kec. Kalianda, Kab. Lampung Selatan, Propinsi Lampung.
Ketinggian : P. Rakata 813m, P. Sertung 182m, P. Panjang 132m dan P.Anak
Krakatau 305m.
Kota Terdekat : Kalianda (Lampung), Merak, Anyer dan Labuan(Banten)
Tipe Gunungapi : Pulau gunungapi dengan salah satu kerucut aktifnya di pusat
kaldera.
Lokasi Pos Pengamatan
: - Pasuran, Kec. Cinangka, Kab. Serang Banten.- Hargopancuran, Kec. Kalianda, Kab. Lampung.
Tinjauan umum, pencapaian dan demografi
Komplek Vulkanik Krakatau terletak di Selat Sunda, Lampung Selatan terdiri atas empat pulau,
yaitu Rakata, Sertung, Panjang dan Anak Krakatau. Rakata biasa disebut pula Krakatau Besar,
sedangkan Panjang disebut pula Krakatau Kecil. Tiga pulau yang disebutkan pertama adalah
merupakan sisa pembentukan kaldera, dan Rakata sendiri merupakan gunungapi yang tumbuh
bersamaan dengan dengan gunungapi Danan dan Perbuatan sebelum terjadi letusan
paroksismal 1883.
Krakatau menjadi gunungapi terkenal di dunia karena letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883.
Satu pulau besar yang terbentuk oleh tiga gunungapi, yaitu kerucut basal Rakata dan kerucut
andesit Perbuatan dan Danan. Setelah erupsi terjadi, maka gunungapi Danan, Perbuatan dan
setengan bagian Rakata, serta pulau Polish kecil lenyap, dan meninggalkan beberapa pulau
baru dan sisa pembentukan kaldera dengan kedalaman 250 m dan diameter 7 km. Yang cukup
menakjubkan adalah setelah lima tahun erupsi berlalu, tanaman dan beberapa binatang tumbuh
kembali. Setelah 44 tahun tidak ada kegiatan, erupsi baru terjadi di pusat kaldera, tepatnya
diantara kawah Danan dan Perbuatan pada 29 Desember 1927, menyerupai semburan uap jet.
Komplek Gunungapi Krakatau dapat dicapai dari beberapa jalur laut. Jalur pertama berangkat
dari Pelabuhan Tanjung Priuk dengan menggunakan kapal Jet-Foils atau Kapal Pesiar. Jalur
kedua dapat ditempuh dari Pelabuhan Labuan, kota kecamatan di pantai barat Banten, dari
pelabuhan ini dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang berkapasitas antara 5
sampai 20 orang. Jalur ketiga ditempuh dari Pelabuhan Canti, Kalianda, di pelabuhan ini juga
dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang akan menempuh Krakatau melalui P.
Sebuku dan P. Sebesi. Pencapaian pelabuhan Canti dari Jakarta dapat menggunakan jalan tol
Jakarta-Merak, kemudian menyebrang ke P. Sumatra dengan Ferry dari Merak ke Bakauhuni,
dari Bakauhuni dilanjutkan ke Kota Kalianda dan dari Kalianda ke pelabuhan Canti lk. 25 km.
Waktu yang paling baik untuk berkunjung ke Krakatau adalah pada musim panas, yaitu antara
Mei sampai September dari arah Jakarta, Banten maupun dari Kalianda. Komplek vulkanik ini
tidak berpenduduk, tetapi dijadikan obyek daya tarik pariwisata yang bertujuan untuk penelitian
ilmiah atau menikmati pemandangan alamnya.
Sumberdaya gunungapi
Komplek Krakatau merupakan salah satu sumberdaya gunungapi, selain sebagai obyek
penelitian vulkanologi, geologi, geofisika, seismologi, meteorologi, biologi dan oceanografi, juga
untuk menikmati keindahan alamnya, sebagai wisata bahari, wisata hutan, wisata pantai, wisata
geologi maupun wisata gunungapinya.
Sumberdaya Vulkanologi, periode letusan yang berlangsung antara 1 – 8 tahun dan rata-rata
antara 2 –4 tahun sekali, merupakan masa pembangunan G. Anak Krakatau yang menjadi pusat
perhatian para ahli gunungapi.
Sumberdaya Geologi, para ahli geologi dengan data geologi yang ada berusaha membuka tabir
mekanisme pembentukan kaldera Krakatau dan kejadian yang akan datang.
SEJARAH LETUSAN
Komplek Krakatau terdiri dari empat pulau, Rakata, Sertung, Panjang dan Anak Krakatau. Ketiga
pulau pertama adalah sisa pembentukan kaldera, sedangkan Anak krakatau tumbuh mulai 20
Januari 1930. Laut di dalam komplek bervariasi kedalamannya, bagian utara dan timur dangkal
sedangkan bagian barat dan selatan dalam, bagian yang paling dalam lk. 80 m terdapat di
antara pulau Rakata dan Anak Krakatau.
Letusan paroksismal pada 27 Agustus 1883 dianggap kejadian terbesar dalam sejarah
letusannya, melontarkan rempah vulkanik dengan volume 18 km3, tinggi asap 80 km dan
menimbulkan gelombang pasang (tsunami) setinggi 30 m di sepanjang pantai barat Banten dan
pantai selatan Lampung. Walaupun belum ada kota-kota besar disepanjang pantai tersebut
seperti sekarang, tetapi 297 kota kecil (kota kecamatan) hancur disapu tsunami dan
menewaskan 36.417 jiwa. Diperkirakan 2000 orang tewas di Sumatera bagian selatan oleh "abu
panas" dan terdapat bukti nyata bahwa piroklastik mencapai jarak tersebut. 3150 jiwa tewas
diarah piroklastik ini, pada pulau-pulau antara Krakatau dan Sumatera.
Krakatau diketahui dalam sejarah pada saat terjadi letusan besar pada 416 SM, yang
menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera (Judd, 1889), kemudian De Neve (1981)
memperoleh keterangan bahwa sebelum terjadi paroksismal kedua, beberapa letusan terjadi
pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16 dan 17 yang diikuti dengan pertumbuhan kerucut Rakata,
Danan dan Perbuatan. Kegiatan vulkanik tersebut berhenti pada tahun 1681.
Setelah beristirahat lk. 200 tahun, Krakatau kembali memperlihatkan kegiatannya yang diawali
dari beberapa letusan G. Danan dan G. Perbuatan. Pada 20 Mei 1883 letusan G. Perbuatan
berkomposisi basaltis mengawali letusan paroksismal pada 27 Agustus 1883 yang berkomposisi
dasit (SiO2 = 64-68%)(Neumann van Padang, 1951). Letusan paroksismal terjadi pada hari
Minggu 27 Agustus 1883 pada pukul 04.00-06.41 dan 10.00 waktu setempat. Suara letusan
terdengar sejauh 4.500 km, tinggi asap 80 km, energi yang dikeluarkan 1 X 1025 erg. Tsunami
terjadi 30 menit setelah letusan kataklismik dengan tinggi gelombang 30 m di pantai barat
Banten dan pantai selatan Lampung.
Krakatau tenang kembali mulai Februari 1884 sampai Juni 1927, ketika pada 11 Juni 1927
erupsi yang berkomposisi magma basa muncul di pusat komplek Krakatau, yang dinyatakan
sebagai kelahiran G. Anak Krakatau. Akibat letusan-letusannya, G. Anak Krakatau tumbuh
semakin besar dan tinggi, membentuk kerucut yang sekarang mencapai tinggi lk. 300 m dari
muka laut. Di samping menambah tinggi kerucut tubuhnya, juga memperluas wilayah
daratannya.
Catatan sejarah kegiatan vulkanik G. Anak Krakatau sejak lahirnya 11 Juni 1930 hingga 2000,
telah mengadakan erupsi lebih dari 100 kali baik bersifat eksplosif maupun efusif. Dari sejumlah
letusan tersebut, pada umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh
kerucutnya. Waktu istirahat berkisar antara 1 – 8 tahun dan umumnya terjadi 4 tahun sekali
berupa letusan abu dan leleran lava. Kegiatan terakhir G. Anak Krakatau, yaitu letusan abu dan
leleran lava berlangsung mulai 8 Nopember 1992 menerus sampai Juni 2000. Jumlah letusan
per hari tercatat oleh sesimograf yang ditempatkan di Pos PGA Pasauran, sedangkan jumlah
material vulkanik yang dikeluarkan selama letusan tersebut lk. 13 juta m3, terdiri dari lava dan
material lepas berkomposisi andesit basaltis.
Rincian kegiatan vulkanik G. Krakatau :
1680 –
1681
Mei 1680 sampai Mei 1681, letusan abu disertai leleran lava.
1883 1. 20 Mei 1883 kegiatan diawali dari G. Perbuatan, letusan abu dan semburan uap
mencapai tinggi 11 km dan suara dentumannya terdengar sejauh 200 km. Pada Juni
kegiatan vulkanik juga terjadi di G. Danan. Erupsi paroksisma terjadi pada 26 – 28
Agustus. Setelah pukul 13.00, 26 Agustus beberapa erupsi terjadi dan mencapai
puncaknya pada Minggu 27 Agustus, pukul 10.02 dan pada pukul 10.52
dentumannya terdengar di Singapura dan Australia. Erupsi ini menyemburkan
batuapung dan abunya mencapai tinggi 70-80 km, endapannya menempati area
827.000 km2. Runtuhan tubuh gunungapi ini menyebabkan tsunami dengan tinggi
gelombang rata-rata 20 m menyapu pantai-pantai di Selat Sunda dan baratlaut
Jawa, serta menyebabkan 36.417 koban jiwa.
September dan Oktober letusan freatik.
1884 Pebruari, letusan freatik merupakan kelanjutan dari Oktober 1883.
1927 29 Desember, kegiatan vulkanik baru terjadi di pusat kaldera, timurlaut dasar
kaldera pada kedalaman 188 m dan dinyatakan sebagai kelahiran G. Anak
Krakatau. Kawah baru ini satu garis dengan kawah-kawah Danan dan Perbuatan
sebelumnya. Rentetan kegiatan erupsi berlanjut hingga 1930, sebagai berikut :
1928 5 Februari, 25 Maret, 2 Juni, 6-13 Juli, 25 Agustus-4 September, 4-26 Nopember,
11-20 Desember.
1929 12 Januari-18 Februari, 6-13 Maret, 8-20 Juni, 25 Juli-25 Agustus, 19 September-7
Oktober, 7-23 Desember.
1930 14-28 Januari, 10 Maret-5 April, 30 April-15 Mei, 2 Juni-15 Agustus.
1931 Terjadi danau kawah, erupsi abu mencapai tinggi 2400 m dan erupsi samping pada
23-26 September, 5-7 Nopember, 5-21 Desember.
1932 12-17 Februari erupsi lanjutan dari tahun sebelumnya.
1933 Erupsi di danau kawah pada 16 Januari-25 Mei, 10-17 Juni, 5-6 Juli, 5 September-5
Oktober, 10 Nopember-6 Desember.
1934 Kegiatan lanjutan dari tahun sebelumnya pada 6-26 Januari, selama Maret, 5-12
Mei, 7-9 Juni. Pada periode ini salah satu erupsinya mencapai tinggi 6800 m.
1935 Erupsi abu dan erupsi freatik di danau kawah, ukuran danau kawah mencapai 275 X
250 m2, kegiatan terjadi pada 4-14 Januari, 6 Februari-6 Mei dan 25 Mei-12 Juli.
1936 Erupsi abu pada 13 Oktober dan selama Nopember tinggi tiang abu berkisar antara
100 – 300 m.
1937 Erupsi di danau kawah terjadi pada 6 Agustus-21 September tinggi abu antara
2000-2600 m, kemudian pada 17-23 Nopember erupsi-erupsi kecil pada kawah baru
di bagian baratdaya.
1938 Erupsi abu dan erupsi freatik di danau kawah berlangsung hingga 1940. Kegiatan
terjadi pada 4 Juli-29 Agustus, 12-14 September, 2 Oktober, 7 Nopember, 8-9
Desember.
1939 15-27 Januari, 20 Maret, 1 Juni-4 Agustus, 23-25 September, 13 Desember sampai
1940 9 Januari, 3-10 Februari, 1 Maret-15 Mei, dan 10 Juni-2 Juli. Pada Juni tinggi
letusan mencapai 1000-4000 m.
1941 Erupsi di danau kawah pada 28 Januari-12 Februari
1942 Erupsi di danau kawah pada 29-30 Januari.
1943 Erupsi di danau kawah.
1944 Erupsi di danau kawah.
1945 Erupsi di danau kawah.
1946 Erupsi di danau kawah pada 25 Juli dan selama Desember.
1947 Erupsi di danau kawah selama April.
1948 Erupsi di danau kawah.
1949 Erupsi di danau kawah pada 12 Mei.
1950 Erupsi di danau kawah pada 3-7 Juli.
1952 1. Erupsi di danau kawah pada 10-11 Oktober, terbentuk kerucut baru
dengan danau kawah bergaris tengah 440 m.
1953 2. Erupsi abu di danau kawah pada 20-23 September, tinggi kerucut
mencapai 116 m.
1958 Erupsi di danau kawah, tanggalnya tidak diketahui.
1959 Erupsi di danau kawah selama Juni-Juli. Kegiatan erupsi terdiri atas 4 fase: 1.
Erupsi abu hitam, 2. Erupsi abu dan gas dengan tiang asap setinggi 500 m, 3.
Erupsi abu setinggi 1000 – 1500 m, dan 4. Erupsi abu hitam.
1960 Kegiatan erupsi lanjutan dari tahun sebelumnya, terjadi pada 12-13 Januari, tinggi
asap mencapai 1000 m.
1961 Kegiatan erupsi tidak diketahui tanggalnya, melenyapkan danau kawah bulan sabit
dan leleran lava mengisi kawah dan dan bibir kawah bagian timur.
1963 1. Leleran lava menembus laut melalui pematang baratdaya kawah dan
membentuk seperti kipas.
1968 Erupsi freatik selama September.
1972-1973 Erupsi abu menerus mencapai tinggi 1600 m. Saksi mata mengamati kejadian
erupsi pada 26 Juni, 21-22 Desember dan 29 Desember 1972. Kagiatan erupsi
menerus hingga Januari 1973 dan diakhiri leleran lava ke arah selatan, baratdaya
dan barat, menembus laut sehingga memperluas daratan.
1975 1. Erupsi abu selama tahun ini dan diakhiri dengan leleran lava ke arah barat-
baratlaut.
1979 Erupsi abu hampir selama tahun ini dan diakhiri dengan leleran lava ke arah
baratdaya.
1981 1. Erupsi abu sejak Februari hingga Juli, dan diakhiri dengan leleran lava ke
arah selatan menindih lava 1973-1973.
1984 Erupsi abu terjadi pertengahan tahun dan tidak diketahui tanggalnya.
1988 Erupsi abu pada 16-18 Maret membentuk kawah baru di lereng selatan dan
kegiatannya diakhiri dengan leleran lava yang terbatas pada lereng selatan.
1992 -
2000
Erupsi abu terjadi pada 8 Nopember, kegiatannya dimulai dengan peningkatan
kegempaan vulkanik sejak Agustus. Kegiatan erupsi menerus sampai tahun 2000
setiap hari atau setiap beberapa menit, menyemburkan abu dengan tinggi rata-rata
400 – 800 m dan leleran lava. Leleran lava terjadi pada Nopember-Desember 1992,
Februari 1993, April-Mei 1993, Juni 1993, Januari 1996, Juni 1996 dan Juli 1996.
Leleran lava tersebut umumnya mencapai laut, sehingga menambah daratan pulau
tersebut. Perhitungan material yang disemburkan selama itu berupa lava dan
material lepas adalah 22 juta m3 dan penambahan daratan 380.000 m2. Tinggi G.
Anak Krakatau mencapai 305 m dml.
2001 Erupsi abu pada 5 Juli.
1.
Tsunami akibat erupsi Krakatau 1883
Tsunami dapat terjadi akibat gempabumi tektonik, erupsi gunungapi bawah laut, longsoran di
dasar laut, aliran piroklastika/lahar masuk ke laut. Dari 106 kejadian tsunami, umumnya berasal
dari kegiatan gunungapi, terutama akibat erupsi gunungapi bawah laut, atau gempa tektonik
yang disertai erupsi gunungapi.
Erupsi Krakatau 1883 menyebabkan hilangnya dua gunungapi (Danan dan Perbuatan) dan
sebagian G. Rakata. Erupsi ini menyebabkan tsunami yang menyapu kota-kota kecil di
sepanjang pantai Banten dan Lampung Selatan, termasuk kota Teluk Betung. Di Teluk Betung,
gelombang pasang air laut mencapai tinggi 20 m. Sebuah kapal, “The Berouw” yang berada di
Pelabuhan Teluk Betung saat itu, terlempar sejauh 3.300 m ke dalam hutan. Furneaux, 1964
memperoleh keterangan bahwa dentuman Krakatau terdengar di Teluk Betung sesaat setelah
pukul 10.00 dan gelombang pasang mencapai kota Teluk Betung pukul 11.03, mengakibatkan
kerusakan berat kota Teluk Betung dan memakan korban lk. 5000 jiwa, diantaranya 3 orang
kebangsaan Eropa dan 2.260 orang penduduk setempat.
Kota Merak yang terletak di semenanjung Banten, dilanda gelombang pasang setinggi 30 m dan
40 m. Gelombang pasang ini juga menyapu Teluk Semangko sesaat setelah memporak
porandakan Teluk Betung dan gelombangnya tidak setinggi yang ke arah Teluk Lampung, tetapi
cukup menghancurkan sepanjang garis pantai dan merusak banyak perkampungan dan korban
jiwa, diantaranya 2.500 penduduk tewas di kampung Benewani, 327 hilang di Tanjungan dan
Tanot Baringin dan 244 jiwa di Beteong. Gelombang pasang setinggi 13,6 m juga melanda
mercusuar Bengkulen yang terbuat dari beton dan menewaskan 10 orang yang sedang bekerja.
Di daerah Banten, seluruh pantainya terlanda gelombang pasang, banyak perkampungan
terlanda gelombang dan menewaskan penduduk termasuk seorang pastur di Prince island. Di
Tangerang, gelombang pasang setinggi orang melanda perkampungan, dan dalam beberapa
menit gelombang balik menghanyutkan penduduk, binatang, perumahan dan pepohonan. Pada
peristiwa ini tercatat 1.974 penduduk setempat dan 46 kebangsaan Asiapenduduk Karanghantu
tewas.
Gelombang pasang yang meninggalkan Krakatau pada pukul 10.00 merambat dalam waktu 2
jam 30 menit mencapai Jakarta, yang berjarak 169 km. Air laut naik secara cepat dari mulai
pukul 11.30 dan pukul 12.15 gelombang pasang besar menyapu pantai Jakarta melebihi
maksimum pengukur tinggi gelombang. Air surut lagi pukul 02.48 sore sehingga pengukur tinggi
gelombang dapat terbaca kembali. Di Tanjung Priuk tinggi gelombang laut saat itu rata-rata 3 m
dalam beberapa menit. Dalam peristiwa ini tercatat 300 orang nelayan tewas dan satu
perkampungan Cina hancur.
Gelombang tsunami akibat erupsi Krakatau ini juga bergerak ke arah barat menuju Samudera
Hindia mencapai semenanjung Good Hope, kemudian ke arah utara menuju menuju Samudera
Atlantik. Gejala tsunami ini ditemukan diCape Town (13.032 km) dan hampir teramati di seluruh
pantai di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Pengukur tinggi gelombang di
Pelabuhan Cape Horn (14.076 km) dan Panama (20.646 km) menunjukkan adanya gelombang
pasang dengan kecepatan rata-rata 720 km per jam, bahkan dilaporkan bahwa tsunami ini
mencapai Selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau.
GEOLOGI
Geomorfologi
Kenampakan geomorfologi komplek vulkanik Krakatau terdiri dari dinding kaldera, bentukan
kerucut vulkanik, aliran lava, dataran dan daerah pantai. Morfologi kaldera dicirikan oleh dinding
sangat curam yang terbentuk di bagian utara pulau Rakata dengan bentuk cekung menghadap
ke utara. Morfologi dinding kaldera di pulau Sertung dan Panjang dibentuk oleh erupsi
paroksismal pra-sejarah, sedangkan dinding kaldera Rakata terbentuk pada saat pembentukan
kaldera 1883. Kenampakan morfologi pulau-pulau tersebut dicirikan oleh topografi bentuk lereng
yang dapat dijumpai di sebelah selatan P. Rakata, sebelah barat P. Sertung dan sebelah timur
P. Panjang. Bentuk morfologi lereng ini terdiri dari perulangan lembah dan punggungan dan di P.
Rakata menampakkan pola radial sedangkan di P. Panjang dan P. Sertung semi-radial. Bagian
morfologi ini tersusun oleh endapan aliran piroklastik hasil erupsi 1883.
Morfologi kerucut vulkanik dijumpai di pulau Rakata dan Anak Krakatau. Kerucut vulkanik Rakata
teramati jelas mulai ketinggian 500 m sampai ke bagian puncak, 813 m dari muka laut. Bagian
puncak Rakata tersusun oleh sumbat vulkanik dan endapan aliran piroklastik. Kerucut vulkanik
Anak Krakatau terdiri atas kerucut vulkanik tua dan kerucut vulkanik muda yang masih aktif.
Kerucut vulkanik tua tidak menunjukkan kerucut yang sebenarnya karena bagian atas kerucut
menghilang oleh erupsi dan meninggalkan dinding kawah besar dan puncak tertinggi 155,66 m
dml. Dinding kawah ini terbuka ke arah tenggara, tetapi pada 1999 kerucut vulkanik tua dan
kerucut aktif menyatu membentuk kerucut vulkanik besar yang tersusun oleh perlapisan jatuhan
piroklastik dan aliran lava. Sebelum itu, kerucut aktif ini terbentuk di bagian tengah kawah
kerucut tua dan puncak tertingginya pada 1983 adalah 201,446 m. Akibat erupsi yang terjadi
secara periodik, pertumbuhan kerucut muda ini menjadi semakin besar dan menutupi kerucut
tua. Pada tahun 2000, kerucut muda ini mencapai tinggi 300 m dml.
Aliran lava mempunyai morfologi khusus yang terbentuk hampir kesemua arah, terdiri atas
beberapa aliran hasil kegiatan vulkanik tahun 1963, 1972, 1973, 1975, 1979, 1980 (Bronto,
1982), 1988, 1992, 1993 dan 1996 (Sutawidjaja, 1997). Morfologi ini memperlihatkan berbagai
bentuk permukaan kasar yang mencerminkan bongkahan lava atau “aa” lava, tersebar dalam
berbagai ukuran dan umumnya memperlihatkan pola aliran yang jelas dan membentuk
punggungan yang membentang dari sumbernya ke arah pantai. Banyak dari aliran lava masuk
ke laut dan menambah besar pulau tersebut.
Morfologi pedataran menempati bagian timurlaut P. Sertung dan permukaannya di beberapa
tempat tingginya tidak lebih dari 5 m, tersusun atas material vulkanik lepas dan pasir. Tepi barat
dan timurlaut daerah ini seringkali berubah, karena daerah ini mudah sekali diterpa ombak besar
yang menyebabkan abrasi, terutama pada musim angin barat.
Stratigrafi
Urutan stratigrafi endapan/batuan vulkanik di daerah ini dihasilkan oleh kegiatan
erupsi Krakatau. Kronologi batuan vulkanik di Komplek Vulkanik Krakatau diketahui sebagai
suksesi kegiatan periodik (seperti yang terlihat di Lampiran 1). Urutan stratigrafi ini
memperlihatkan 5 periode kegiatan Krakatau, seperti tabel di bawah ini.
Tabel
Periode I adalah pembentukan gunungapi tunggal, yang disebut sebagai Krakatau purba. Pada
urutan ini dijumpai dua satuan lava yang diselingi endapan jatuhan batuapung. Satuan lava
paling bawah dan lapisan jatuhan batuapung dijumpai hanya di pulau Sertung dan Panjang,
sedangkan lava yang lebih muda dijumpai di pulau Sertung, Panjang dan Rakata. Satuan yang
paling bawah, terdiri atas lava andesit yang tersingkap di bagian selatan P. Sertung dan di
bagian barat P. Panjang. Satuan lava termuda pada Periode I dijumpai di P. Sertung dan P.
Panjang secara jelas menutupi endapan jatuhan piroklastik. Di P. Sertung satuan ini tersingkap
di pantai curam sebelah barat, tersusun dari sekurang-kurangnya tiga aliran lava. Masing-masing
alirannya memperlihatkan breksiasi pada bagian dasarnya dan masif ke bagian atasnya. Tebal
maksimum satuan lava termuda ini 90 m, yang diperkirakan bahwa lava tersebut dierupsikan
secara menerus. Di bagian selatan P. Panjang, satuan lava muda ini bentuknya melensa dan
endapannya menipis ke arah timur.Lapisan tanah (tebal 25-40 m) terdapat di bagian atas
endapan jatuhan piroklastik. Satuan lava muda ini tersingkap di bagian dasar P. Rakata pada
permukaan air laut dengan tebal tidak lebih dari 40 m. Singkapan baik di pulau ini dijumpai di
bagian tengah dinding kaldera dan diterobos oleh beberapadike andesitik dan basaltik yang
diduga terbentuk bersamaan dengan pembentukan kerucut Rakata pada Periode ke III. Hasil
analisis kimia dari lava tersebut menunjukkan kandungan silika 68,15%. Di atas satuan lava
termuda ini terdapat endapan ignimbrit terlaskan dari Periode II.
Peride II adalah periode penghancuran G. Krakatau purba. Peristiwa ini dicirikan oleh
dominannya endapan piroklastika aliran dan jatuhan. Bagian bawah satuan ini terdiri atas
ignimbrit terlaskan dan bagian atasnya ignimbrit tak terlaskan, keduanya dipisahkan oleh lapisan
tanah dan/atau bidang erosi. Beberapa singkapan ignimbrite ini memperlihatkan endapan
ignimbrit, bagian bawah tak terlaskan, bagian tengah terlaskan dan bagian atas tak terlaskan.
Bagian yang terlaskan hanya ditemukan di P. Panjang dan Rakata, sedangkan di P. Sertung
berupa endapan jatuhan piroklastik tak terlaskan. Endapan piroklastik ini berkomposisi
batuapung berukuran lapili berlapis semu, berwarna pink dan pink keputihan, terpilah baik dan
tebalnya beragam. Bagian bawah endapan ini tersingkap di P. Rakata dan dapat ditelusuri dari
bagian tengah dinding kaldera ke arah timur sepanjang pantai curam. Ketebalan lapisan lk. 15 m
dan diduga tidak ada interval waktu lama diantara endapan lava dan piroklastik. Bagian dasar
endapan piroklastik dicirikan oleh lapisan batuapung warna pink dengan ukuran butir 3 – 8 cm,
tak terlaskan, terpilah baik dan mengandung 64,66% SiO2. Di P. Panjang, satuan piroklastik
terlaskan tersingkap di pantai barat dan selatan dengan ketebalan lk. 25 m. Di pantai barat,
endapan jatuhan tak terlaskan terdapat di bagian dasar dan berubah ke bagian atasnya secara
berangsur menjadi terlaskan sebagian. Batas perubahan yang terlaskan ditandai dengan
perubahan warna dari merah kekuningan ke pink. Penyebaran lateral satuan ini menutupi
topografi lama dan tebalnya seragam terawetkan. Analisis batuapung dari bagian tak terlaskan
dan yang terlaskan mengandung 66,31% dan 65,28% SiO2. Satuan aliran piroklastik tersingkap
baik di bagian selatan yang diawali dengan lapisan jatuhan piroklastik, tebal keseluruhan 3,5 m
dan diselingi lapisan surge.Lapisan surge menampakkan struktur dune dalam skala besar dan
terdiri atas abu. Permukaan endapan surge ini tidak teratur, tampaknya terjadi pada saat
pengendapan menindih endapan aliran piroklastik. Aliran piroklastik ini terdiri atas berbagai
macam bongkah yang berasal dari fragmen batuan samping, seperti ignimbrit, andesit juga
fragmen magmatis dan bom kerakroti dengan diamater lebih dari 50 m. Berbagai jenis bongkah
pada lapisan ini disebut endapan bongkah (Stehn, 1929). Endapan aliran piroklastik ini ditindih
oleh endapan jatuhan setebal 2 m. Endapan jatuhan ini berwarna putih dan bagian yang lapuk
berwarna putih kekuningan yang sangat kontras dengan endapan 1883. Bagian yang lapuk ini
lapisan tanah yang berasal dari kegiatan gunungapi Danan, Perbuatan dan Rakata beberapa
waktu sebelum erupsi 1883. Di P. Sertung tidak ditemukan piroklastik terlaskan, hal ini
menunjukkan bahwa kemungkinan pusat erupsi lebih dekat ke Rakata dan Panjang. Endapan
jatuhan piroklastik mempunyai kesamaan ciri dengan lapisan yang tak terlaskan di Rakata dan
Panjang. Satuan ini tersingkap baik sepanjang pantai barat yang curam dan tebalnya beragam
antara puluhan sentimeter sampai lebih dari 2 m. Bagian bawah terdiri atas dua lapisan, lapisan
abu mudah lepas, coklat kemerahan, dan lapisan atasnya berupa batuapung berukuran lapili,
warna pink. Semua endapan terpilah baik dan pori di antara butiran terlihat jelas. Satuan aliran
piroklastik terpisahkan menjadi dua kelompok oleh lapisan tipis jatuhan. Lapisan bawah tidak
selaras dengan piroklastik terlaskan yang ditindihnya. Sering dijumpai tree mold di antara lapisan
jatuhan. Aliran piroklastik mengandung sedikit bongkah-bongkah batuan tua yang terpilah buruk,
dan mengandung batuapung abu-abu dan pink. Hasil analisis batuapungnya 65,31% SiO2.
Periode III dimulai denga pertumbuhan gunungapi Rakata, Danan dan Perbuatan setelah
pembentukan kaldera pertama. Batuan periode ini hanya tersingkap di P. Rakata, sekurang-
kurangnya terdiri atas lima satuan batuan. Perselingan antara lava andesit basaltis dengan
endapan piroklastik tersingkap di bagian tengah dinding kaldera di P. Rakata. Bagian alas
satuan ini tersusun atas endapan jatuhan lapili skoria yang terpilah baik bercampur dengan litik,
abu dan bom kerak roti yang membentuk struktur bomb sag. Bagian tengah satuan ini tersusun
atas abu putih berlapis baik. Bagian atas satuan ini terdiri atas endapan aliran piroklastik.
Perlapisan lava andesit basaltis umumnya terbreksikan pada bagian alas dan bagian
permukaannya. Salah satu hasil analisis lava adalah 50,08% SiO2. Lapisan lava ini tebalnya
berkisar antara tiga sampai tujuh meter, dan diterobos oleh dike andesitis dan basaltis. Satuan
lava basaltis secara dominan tersusun atas lava basal dan endapan jatuhan piroklastik. Satuan
ini tersingkap baik di Tanjung Hitam dan di pantai timur, sedikitnya 20 lapisan selang seling
antara lava basal dan endapan jatuhan skoria, dengan tebal keseluruhan lebih dari 500 m.
Bagian dasar dan atas setiap lapisan lava umumnya terbreksikan, berwarna merah dan bagian
yang masif abu-abu. Endapan jatuhan piroklastik Rakata tersingkap dan tersebar mulai
ketinggian 550 m sampai ke puncak Rakata. Skoria merah kecoklatan, bom dan lapili terpilah
baik dan perlapisan bersusun. Perlapisan tersebut diperkirakan sebagai hasil erupsi yang
menerus dalam waktu singkat. Dike andesitis tersingkap baik di bagian tengah dinding kaldera
Rakata. Dike paling tebal sekitar 5 m dan hasil analisis batuannya 63,02% SiO2. Dike ini mirip
dengan batuan Bootsmanrots yang dianggap sebagai sisa kegiatan G. Danan dengan
kandungan SiO2nya 63,80%. Verbeek (1885) berpendapat bahwa satuan ini merupakan sisa
kegiatan G. Danan dan G. Perbuatan. Dike basaltis Rakata tersingkap baik pada dinding kaldera
dan membentuk pola radial ke arah puncak Rakata. Umumnya dike ini mempunyai ketebalan 1,2
m. Dike-dike ini diduga sebagai kegiatan paling akhir G. Rakata.
Periode IV adalah periode penghancuran gunungapi Rakata, Danan dan Perbuatan, diakibatkan
oleh pembentukan kaldera tahun 1883 yang menghasilkan endapan khas. Satuan batuan ini
terdiri atas batuapung berupa endapan aliran piroklastik, jatuhan piroklastik dan surge, menutupi
ketiga pulau, Rakata, Panjang dan Sertung. Endapan aliran piroklastik terpilah buruk, dalam
lapisan tertentu dijumpai lapisan bersusun secara normal atau kebalikannya. Pada tepi laut,
singkapannya membentuk dinding terjal yang mencerminkan bidang erosi air laut. Di P. Panjang,
satuan ini terdiri atas batuapung dasitis yang memperlihatkan perlapisan antara endapan aliran
dan jatuhan piroklastika, adakalanya diselingi endapan surge. Endapan aliran piroklastik terpilah
buruk, besar butir lebih dari 20 cm dan sering dijumpai lapisan bersusun terbalik. Satuan aliran
piroklastik ini mempunyai tebal 55 m dan tampaknya terdapat pengelasan awal di beberapa
tempat. Endapan jatuhan piroklastik berlapis baik berupa perlapisan bersusun normal atau
kebalikannya. Singkapan bagus bagi endapan surge terletak di pantai timurlaut yang dijumpai
berselingan dengan endapan jatuhan piroklastik. Di P. Sertung terdapat tiga lapisan endapan
jatuhan dan lapisan tebal endapan aliran piroklastik. Tebal masing-masing endapan jatuhan
antara 40 – 50 cm, terdiri atas batuapung putih berlapis susun. Fragmen litik dijumpai terutama
di bagian dasar. Endapan jatuhan ini merupakan fase awal erupsi 1883. Endapan aliran
piroklastik menindih di atas endapan jatuhan, terdiri atas beberapa subsatuan aliran. Masing-
masing subsatuan terpilah buruk mengandung batuapung kasar pada bagian atas lapisan dan
memperlihatkan lapisan susun terbalik. Ketebalan masing-masing subsatuan berkisar antara 50
cm sampai lebih dari 2 m. Endapan aliran piroklastik masif dijumpai di pantai selatan, tebal
singkapannya lebih dari 8 m. Di P. Rakata, singkapan endapan piroklastika 1883 dijumpai di
pantai barat dan selatan memperlihatkan gawir terjal. Endapannya terdiri atas aliran batuapung
dasitis mengandung obsidian dan fragmen litik seperti andesit dan pichstone.
Periode V merupakan periode pembangunan gunungapi Anak Krakatau setelah pembentukan
kaldera 1883. Periode ini dimulai dengan kegiatan vulkanik di bawah laut pada 29 Desember
1927. Dua tahun kemudian pada 20 Januari 1929, sebuah dinding kawah terbentuk di sekitar
pusat kegiatan, terdiri atas abu, lapili dan bongkahan-bongkahan lepas. Dinding kawah ini
membentuk sebuah pulau yang dinamakan Anak Krakatau (Stehn, 1929a). Sejak Agustus 1930,
gunungapi terbentuk secara permanen di atas muka laut, dan kegiatannya menerus sampai
Oktober 1950. Pada September 1956, sebuah kerucut terbentuk di dalam kawah. Kegiatan
gunungapi Anak Krakatau menghasilkan endapan vulkanik sebagai berikut: endapan jatuhan
piroklastik tua yang umumnya terdiri atas skoria berukuran abu, pasir, lapili dan bom.
Lapisan accretional lapilli sering dijumpai di antara endapan tersebut. Satuan ini membentuk
dinding kawah tua dan ditutupi oleh endapan lava dan piroklastika lebih muda. Ketebalan satuan
ini sekitar 50 m. Endapan jatuhan piroklastika lebih muda membentuk kerucut baru pada Oktober
1956, terdiri atas skoria berukuran abu, lapili dan bom dan fragmen litik, menutupi tempat yang
luas di pulau ini. Beberapa satuan lava dierupsikan selama kegiatan Anak Krakatau semenjak
lahirnya. Sekurang-kurang 15 satuan leleran lava derupsikan selama kegiatan Anaka Krakatau
berlangsung, terutama berkomposisi andesit basaltis mengadung olivin-pioksin (Sjarifudin dan
Purbawinata, 1983). Mereka berpendapat bahwa satuan lava ini berfenokris plagioklas, piroksin,
olivin dan magnetit dengan masadasar gelas vulkanik. Ciri khas masadasar tersebut adalah
tekstur hialopilitik.
Tektonik
Komplek Vulkanik Krakatau terletak sekitar 140 km dari Jalur Tektonik Jawa dimana zona
penunjaman kira-kira 120 km dibawahnya (Zen, 1983). Zen berkeyakinan bahwa zona Sesar
Sumatra tidak menerus ke Jawa melalui Krakatau, tetapi Selat Sunda merupakan kunci antara
penunjaman oblik Jalur Sumatra dan penunjaman frontal Jawa, dan Krakatau terletak diantara
pertemuan zona dua graben dan zona rekahan arah utara-selatan. Garis kelurusan vulkanik di
Selat Sunda adalah deretan gunungapi dari P. Panaitan, Rakata, Anak Krakatau, Sebesi,
Sebuku dan Rajabasa, dan menerus sampai Basal Sukadana di Lampung timur.
Effendi, dkk. (1983) percaya bahwa Komplek Vulkanik Krakatau dikontrol oleh pergerakan
tektonik yang berhubungan dengan Sistem Sesar Sumatra Selatan. Struktur ini ditunjukkan oleh
keberadaan dike dan rekahan di P. Rakata, dan struktur seperti graben di Anak Krakatau.
Beberapa dike mempunyai arah strike 160o/165o dan kemiringan hampir vertikal 80o/90o, dan
seluruh dike tersebut berhubungan dengan Sistem Sesar Sumatra Selatan (Tjia, dkk, 1983). Tjia
(1983) menyatakan bahwa rekahan arah 160o/165odijumpai sekitar kerucut aktif Anak Krakatau
dan lebih kurang paralel terhadap Sistem Sesar Sumatra Selatan. Salah satu rekahan terbentuk
di lereng selatan kerucut aktif, dan dua lainnya terbentuk pada punggungan timurlaut, dimana
rekahannya berarah 115o dan 175o yang berhubungan dengan struktur vulkanik radial.
Menurut Zen dan Nishimura (1982) di bagian baratdaya Selat Sunda bisa terjadi depresi
vulkano-tektonik bawah laut, dan merupakan kelanjutan zona Sesar Sumatra. Sejumlah besar
endapan piroklastik di Lampung Selatan dan Banten bisa saja terjadi akibat depresi vulkano-
tektonik di Selat Sunda, termasuk endapan piroklastik asam di Sertung dan Panjang dan dasar
Selat Sunda, yang terdiri atas ignimbrit asam berumur 0,1 juta tahun. Mereka menyimpulkan
bahwa depresi vulkano-tektonik menghasilkan sejumlah besar endapan piroklastik asam yang
lebih khas untuk Sumatra, sedangkan runtuhan vulkano-tektonik menghasilkan endapan
piroklastik andesitis yang khas bagi Jawa. Depresi vulkano-tektonik di Sumatra yang
menghasilkan piroklastik asam berasal dari intrusi granit atau granodiorit yang relatif dangkal,
sedangkan gunungapi andesitis di Jawa sumbernya secara langsung dari kerak bagian atas.
Petrologi
Pada prinsipnya mineral-mineral primer baik dari lava maupun bom adalah hampir sama,
tersusun atas augit, hipersten, plagioklas dan sejumlah butiran kecil olivin, dan umumnya
terbentuk dalam masadasar hipokristalin sampai holokristalin. Plagioklas terbentuk sebagai
fenokris dan mikrolit. Sebagai fenokris menguasai antara 53 – 66% dari batuan dan panjangnya
rata-rata 1,4 mm, komposisinya berkisar antara andesin kalsik – labradorit kalsik (An48-An68)
dan rata-ratanya An58. Semua fenokris yang besar dan beberapa yang lebih kecil menunjukkan
zoning progresif dan reversed. Fenokris besar cenderung berkelompok membentuk tekstur
glomeroporfiritik, dan kelompok kecil terdiri atas butiran kecil inklusi hipersten. Hal ini
menunjukkan bahwa hipersten terjadi lebih awal dari pada plagioklas pada saat kristalisasi
magma basaltis. Fenokris yang lebih kecil tersebar secara random pada seluruh batuan dan
bentuknya euhedral, serta umumnya tidak terjadi penzonaan dan relatif bebas dari inklusi.
Augit terdapat baik sebagai fenokris berukuran sampai 0,8 mm maupun sebagai butiran kecil
dalam masadasar. Fenokris yang merupakan resorbed crystals berjumlah 9 – 19% dalam batuan
atau rata-rata 14% dalam batuan. Inklusi umumnya terdapat dalam fenokris dan plagioklas.
Butiran kecil augit dalam masadasar berdiameter lebih kecil dari 0.01 mm dan bergabung
dengan butiran olivin yang berukuran sama.
Hipersten juga terdapat sebagai fenokris maupun butiran kecil dalam masadasar, berjumlah 2 –
10% atau rata-rata 5% dalam batuan, kenampakannya mirip dengan augit.
Olivin terbentuk sebagai fenokris euhedral sampai subhedral dengan rata-rata panjangnya 0,15
mm, tetapi tidak semua contoh batuan mengandung olivin. Fenokris berjumlah 4% dalam batuan
dan cenderung bergabung dengan augit membentuk kelompok kumulofirik.
Masadasar dicirikan dengan warna coklat kehitaman berjumlah 13 – 22% dalam batuan, terdiri
atas gelas hitam opak dan sejumlah mikrolit kecil dan kristalit plagioklas, hipersten, augit,
magnetit, titanomagnetit dan adakalanya diopsid dan augit-aegirin.
Xenolit terdapat beragam dalam komposisi dan berkisar dari gabro dioritis, mikro-gabro sampai
diabas ofitik, umumnya terbentuk dalam batuan, lava dan bom vulkanik yang kemungkinan
berasal dari bom balistik dari batuan samping.
Petrografi batuapung 1883 terutama dipilih dari endapan aliran piroklastik dan jatuhan
piroklastik. Batuapung ini ditemukan di pulau Rakata, Panjang dan Sertung dengan ukuran abu,
pasir, lapili dan bongkahan. Batuapung dari endapan aliran piroklastik mempunyai petrografi
sederhana, seluruh contoh batuan terdiri atas masadasar gelas vulkanik dengan fenokris
plagioklas, orto-piroksin, klino-piroksin, magnetit dan apatit. Fenokris berjumlah 10% dari batuan,
dimana plagioklas mempunyai dua pertiga bagiannya dan selainnya piroksin dan magnetit.
Masadasar gelas vulkanik selalu mengandung mineral apatit dan apatit ini sering terbentuk
sebagai inklusi dalam plagioklas dan piroksin.
Referensi
1. Bemmelen, R.W., van, 1949, The geology of Indonesia. Vol. 1, The Hague, 194-213.
2. Bronto, S., dkk., 1982, Laporan sementara pemetaan geologi komplek
gunungapi Krakatau. Direktorat Vulkanologi. Tidak terbit.
3. Bronto, S., 1990, G. Krakatau. Berita Berkala Vulkanologi, Edisi Khusus No. 133.
Direktorat Vulkanologi, 5 pp.
4. Effendi, A.C., Kartakusumah, R.S., and Bronto, S., 1983, Geology ofKrakatau Complex.
Proc. of 100th year Develop. of Krakatau and Its Surr. LIPI, Indonesia.
5. Hardjadinata, K., 1983, Petrology and geochemistry of the volcanic rocks of Mt. Anak
Krakatau. Proc. of 100th year Develop. of Krakatauand Its Surr. LIPI, Indonesia.
6. Kartakusumah, R.S., Effendi, A.C., 1983, Volcano stratigraphy of Krakatau Complex
preceeding of Anak Krakatau. Proc. of 100 th year Develop. of Krakatau and Its Surr.
LIPI, Indonesia.
7. Stehn, Ch.E., 1929, The geology of volcanism of the Krakatau Group. Part I, 1-55
plates. In 4th Pac. Sci. Congr. Batavia, Guidebook, 118 pp.
8. Sudradjat, A., 1983, The morphological development of Anak Krakatau volcano, Sunda
Strait, Indonesia. Proc. of 100th year Develop. of Krakatau and Its Surr. LIPI, Indonesia.
9. Zen, M.T., and Adjat Sudradjat, 1983, History of the Krakatau Volcanic Complex
in Sunda Strait and the mitigation of its future hazards. Buletin Jurusan Geologi ITB,
Vol.10.
GEOFISIKA
Gaya berat
Survey gaya berat di Komplek Krakatau pertama kali dilakukan oleh Yokoyama dan Hadikusumo
tahun 1968 (Yokoyama dan Hadikusumo, 1969), dimana titikgaya berat berjumlah 40
ditempatkan di pulau-pulau Komplek Krakatau. Anomalinya konsentris dan pusatnya di barat
Anak Krakatau, garis lingkaran anomali maksimum seharga 78 mgal dan diameter lingkaran 9
km. Peningkatan anomali residu dari 70 mgal ke maksimum 78 mgal di bagian timur P. Panjang
dan Rakata kemungkinan berhubungan dengan struktur asal G. Krakatau purba yang
membentuk kerucut besar dan hampir keseluruhannya tersusun oleh dasit enstatit (Symons,
1888). Penerapan theorem Gauss yang berhubungan dengan anomali gabungan di atas bidang
horizontal dan menerus sampai batas anomali gaya berat terdeteksi di kepulauan Krakatau,
Yokoyama (1969) beranggapan bahwa anomali gaya berat rendah disebabkan oleh adanya
endapan kaldera yang berberat jenis sekitar 0,2 – 0,4 g/cm3 yang lebih rendah dari batuan dasar.
Ia menegaskan bahwa bila berat jenis kaldera Krakatau dipilih –0,3 g/cm3, maka total volume
jumlah anomali gaya berat yang teramati adalah 9,3 x 109 m3 dan konfigurasinya berupa kerucut
terbalik atau corong dengan radius 4 km dan dalamnya 1 km. Yokoyama (1981) menyimpulkan
bahwa struktur bawah permukaan komplek Krakatau setelah erupsi 1883 dianggap sebagai
anomali gaya berat, dimana pada dasar kaldera terdapat endapan yang mempunyai berat jenis
rendah dengan bentuk kerucut terbalik berdiameter 8 km dan dalamnya 1 km, sedangkan
anomali gaya berat residu di atas kaldera diperkirakan sebagai kekurangan masa akibat
pengeluaran ejekta dalam jumlah besar.
Kemagnetan
Nishida, dkk (1984) melakukan survey geomagnet di komplek Krakataudengan menggunakan
proton precession magnetometer, Model-548 GAUSS dengan indikasi 0,1 nT. Sudut kemiringan
geomagnetis di daerah ini adalah rendah, sekitar –30o, hal tersebut menunjukkan bahwa anomali
negatif secara dominan terletak di atas tubuh magnetis normal, dimana bagian posisifnya di
utara tubuh itu sendiri. Anomali negatif di sekitar Bootsmanrots mencapai –1000 nT sedangkan
bagian positifnya tersebar di bagian utara batu tersebut. Bootsmanrots tersusun atas batuan
pitchstone yang dianggap sebagai dike atau sumbat lava dari salah satu kerucut vulkanik
sebelum erupsi 1883 dan diperkirakan merupakan sisa G. Danan. Batu ini terpisah dari pulau
lainnya tetapi mempunyai anomali negatif yang cukup tinggi, hal tersebut membuktikan bahwa
material seperti dike atau sumbat lava merupakan sisa pembentukan kaldera yang bebas dari
penghancuran saat terjadi erupsi 1883.
Anomali negatif (-400 nT) dan positif (200 nT) tersebar secara bergandengan di utara Anak
Krakatau. Anomali ini terletak dekat dinding utara kalderaKrakatau dan hampir mendekati kawah
G. Perbuatan sebelumnya. Berbagai anomali dengan amplitude besar terletak sekitar P. Anak
Krakatau, hal ini ditimbulkan dari lava-lava baru hasil kegiatan G. Anak Krakatau. Nishida (1984)
menyimpulkan bahwa anomali magnetis terletak identik dengan kawah Danan dan Perbuatan
sedangkan gunungapi pasca kaldera tidak terpengaruh oleh penghancuran letusan besar 1883.
Intensitas magnetisasi kuat dijumpai di terumbu Steers yang bernilai 10 A/m.
Kegempaan
Pemantauan G. Anak Krakatau secara menerus hanya dilakukan pengamatan visual dan
kegempaannya. Pengamatan kegempaan merupakan tujuan utama dalam menghadapi kegiatan
gunungapi, dan disiapkan sebagai dasar pemantauan untuk peringatan dini selama krisis
kegiatan Anak Krakatau, dan dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi.
Pengalaman kegiatan Anak Krakatau diperlihatkan jelas ketika terjadi erupsi pada 1980, 1988
dan 1992, dimana awal kegiatannya dimulai dengan meningkatnya gempabumi vulkanik
kemudian berkembang menjadi gempa intensif (swarm) atau tremor vulkanik, akhirnya terjadi
letusan. Pada Agustus 1992 satu Tim dari Subdirektorat Pengamatan Gunungapi, Direktorat
Vulkanologi melakukan pengamatan visual di G. Anak Krakatau dan mengganti subsistem
seismometer dari model MEQ-800 ke model PS-2 dengan menggunakan seismometer L4 dan
dilengkapi VCO TH-13. Sinyal dikirim melalui radio ke subsistem penerima yang ditempatkan di
Pos Pengamatan di Pasauran Banten. Sesaat setelah pemasangan seismograf sistem telemetri
radio selesai, seismograf merekam gempa vulkanik dalam dan dangkal cukup banyak tetapi
masih dalam batas aktivitas normal.
Pada September 1992, Pos Pengamatan melaporkan bahwa jumlah gempa vulkanik, terutama
vulkanik dalam meningkat dan peningkatan ini sangat cepat sehingga melebihi batas aktif
normal, tetapi apada akhir September jumlah gempa menurun lagi dan malahan keadaan tenang
selama tiga hari. Pada awal Oktober tingkat kegempaan berubah dari gempa vulkanik dalam ke
dangkal dan jumlahnya meningkat sangat cepat sehingga teramati swarm dan tremor vulkanik
menjelang 8 Nopember. Jumlah gempa vulkanik yang terbaca pada 7 Nopember mencapai 400
kejadian dengan magnituda MMI <>
Kegiatan letusan Anak Krakatau ini menerus sampai tahun 2000. Selama periode letusan ini
gempa vulkanik didominasi oleh gempa letusan dengan rarat-rata 700 kejadian per hari
walaupun gempa tipe-A dan tipe-B juga terekam, di samping itu 4 unit subsistem seismometer
rusak oleh lontaran bom vulkanik dan leleran lava yang mengakibatkan kehilangan data
rekaman gempa.
Pada 1995 Direktorat Vulkanologi membangun Pos Pengamatan G. Anak Krakatau lainnya yang
terletak di Desa Hargopancuran, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan dengan
maksud untuk melengkapi pemantauan G. Anak Krakatau dari arah Lampung. Pos Pengamatan
ini dilengkapi dengan satu unit seismograf sistem telemetri radio model PS-2, sehingga
pemantauan dilakukan dari dua arah.
GEOKIMIA
Geokimia batuan
Andesit hipersten Krakatau tua dan batuan 1883 komposisinya hampir sama: kandungan silika
pada batuan tua berkisar antara 68,75% dan 70,50%, sedangkan batuan 1883 antara 66,50%
dan 69%. Satu lapisan abu yang mengandung gelas masif, warna gelap, mikrolitik, devitrified
glass hanya mengandung 61% SiO2. Jumlah kandungan air pada semua batuan sangat kecil,
atau dapat dikatakan tidak mengandung unsur air. Basal Krakatau komposisinya lebih basal dari
pada andesit hipersten dengan rata-rata kandungan silika 49%.
Endapan abu 27 Agustus mengandung kisaran feldspar, dari yang paling basa sampai paling
asam. Kandungan feldspar rata-rata adalah andesin-asam dengan 57,76% SiO2, terdiri atas
51,71% albit, 41,206% anortit dan 7,223% mikrokristalin. Gelas batuapung yang bersih
mengandung 69% SiO2, tetapi yang diendapkan lebih jauh dari pusat erupsi komposisinya lebih
buruk dibandingkan dengan batuapung murni (69% SiO2). Larutan garam pada abu berasal dari
air laut, kecuali unsur gipsum yang berasal dari batuan tua Krakatau.
Pubawinata (1983) melakukan analisis geokimia batuapung Krakatau 1883 dari endapan aliran
dan jatuhan piroklastik di pulau Rakata, Panjang dan Sertung yang menunjukkan kaya silika dan
bersifat alkali. Di lain pihak miskin dengan MgO, FeO dan CaO. CIPW norms memperlihatkan
sejumlah besar kuarsa normatif dan ortoklas, yang menunjukkan bahwa komposisi kimia
batuapung ini adalah dasit. Diagram variasi major element SI-oksida memperlihatkan bahwa
batuapung ini terbentuk pada tahap akhir fraksionasi magma, dan dari diagram segitiga K2O-
Na2O-CaO menunjukkan bahwa arah fraksionasi itu dari batuan dasitis ke riolitis. Diagram MgO-
FeO-(Na2O+K2O) dari MacDonald & Katsura menunjukkan bahwa deferensiasi magmanya ke
arah riolit dengan indek diferensiasi antara 73 – 83, yang menunjukkan indek diferensiasi
granitis. Lava-lava baru dari kegiatan gunungapi Anak Krakatau diduga berasal dari magma
basaltis hasil peleburan sebagian mantel peridotit pada kedalaman sekitar 146 km (Harjadinata,
1983), dan pada kedalam 37 km magma mengalami perubahan fraksionasi berdasarkan
pendapat sebagai salah satu magma basaltis primer dari toleiit-olivin. Tetapi berdasarkan
perhitungan CIPW norm batuan ini tidak menampakan olivin, dan umumnya mempunyai normatif
hipersten tinggi. Hal ini berarti fraksionasi didominasi oleh pemisahan alumino-ortopiroksin atau
ortopiroksin+augit subalkali. Sehingga arah fraksionasi menghasilkan magma basal alumina-
tinggi dari dapur magma toleiit- kaya olivin pada suhu cair sekitar 1135oC. Hardjadinata (1983)
menyimpulkan bahwa tipe magma G. Anak Krakatau dicirikan oleh kandungan alumina-tinggi,
normatif hipersten tinggi, kandungan TiO2 rendah, dan indek warna normatif dan plagioklas
normatif tinggi. Komposisi kimia ini menunjukkan bahwa basal alumina-tinggi G. Anak Krakatau
adalah berasal tepi benua dari atau pemekaran pusat kepulauan. Aliran piroklastik batuapung
Krakatau dicirikan oleh sejumlah besar komposisi gelas vulkanik, dan kandungan besar silika
dan alkali, tetapi kandungan MgO, FeO dan CaO-nya rendah (Oba, 1983). Secara litologi aliran
piroklastik ini bersifat andesit walaupun secara geokimia dasitis.
Referensi
1. De Neve, G.A., 1981, Historical notes on Krakatau’s eruption of 1883, and activities in
previous times. Natl. Inst. Ocean. (LON-LIPI),Jakarta, Publ. No. LON/COAST/III-14,
45pp.
2. Hardjadinata, K., 1983, Petrology and geochemistry of the volcanic rocks of Mt. Anak
Krakatau. Proc. of 100th year Develop. of Krakatauand Its Surr. LIPI, Indonesia.
3. Oba, N., Tomita, K., Yamamoto, M., Istidjab, M., Sudradjat, A., and Suhanda, T., 1983,
Chemical comparison of volcanic products of Krakatau Group and Aira Caldera-
Sakurajima Volcano. Proc. of 100thyear Develop. of Krakatau and Its Surr.
LIPI, Indonesia.
4. Syarifudin, M.Z., and Pubawinata, M.A., 1983, Petrographic and geochemical
analyses of the volcanic rocks of the Krakatau Complex. Proc. of 100 th year Develop.
of Krakatau and Its Surr. LIPI, Indonesia.
5. Simkin, T., and Fiske, R.S., 1983, Krakatau 1883, the volcanic eruption and its effects.
Smithsonian Institution Press, Washington DC.
MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI
Mitigasi bencana gunungapi dilakukan dengan cara pemantauan gunungapi tersebut secara
menerus dengan tujuan mengumpulkan data dari berbagai parameter teknik, seperti geofisika,
geokimia dan pengamatan visual. Untuk mempercepat pengumpulan data lapangan maupun
pemberitahuan kepada masyarakat, maka Pemerintah telah membangun pos-pos pengamatan
gunungapi yang langsung dapat memantau secara visual dan merekam pengamatan
instrumentalia yang terdeteksi di gunungapi.
Pemantauan G. Anak Krakatau secara permanen dilakukan sejak 1985 dari Pos Pengamatan
Gunungapi (PGA) G. Anak Krakatau di Pasauran, Serang, dengan menggunakan satu
komponen seismograf sistem telemetri radio (RTS) jenis PS-2 buatan Kinemetrics-California,
kemudian pada 1995 dibangun pos pengamatan lainnya yang berlokasi di Desa Hargopancuran,
Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan dengan tujuan agar Pemerintah Daerah
Kabupaten Lampung Selatan yang memiliki wilayah Krakatau dapat menerima informasi
kegiatan G. Anak Krakatau secara langsung, tanpa melalui Banten. Di samping itu juga
dilakukan pengukuran suhu solfatara dan pengamatan visual pada saat pemeriksaan gunungapi
tersebut. Pengamatan visual dilakukan dengan menggunakan teropong binokuler untuk
mengamati tinggi asap solfatara dalam keadaan normal, maupun tinggi letusan pada saat
sedang aktif. Tinggi asap dapat dihitung dengan membandingkan dengan puncak pulau Rakata.
Pemeriksaan lapangan secara periodik dilakukan dengan menyewa kapal motor berkekuatan 5 –
20 PK untuk mengetahui perkembangan atau perubahan dari dekat atau untuk memperbaiki
peralatan seismometer yang mengalami gangguan kerusakan. Pemeriksaan selama ada
kegiatan vulkanik bertujuan melakukan pemetaan sebaran leleran lava dan endapan material
vulkanik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology of Indonesia. Vol. 1, The Hague, 194-213.
Bronto, S., dkk., 1982, Laporan sementara pemetaan geologi komplek gunungapi Krakatau. Direktorat Vulkanologi. (tidak terbit).
Bronto, S., 1990, G. Krakatau. Berita Berkala Vulkanologi. Edisi Khusus No. 133. Direktorat Vulkanologi, 5pp.
Clarbrough, M.L., 1990, Taman Nasional Ujung Kulon. Buku Panduan Taman Nasional Ujung Kulon. Departemen Kehutanan R.I., 72pp.
Dahrin, D., 1995, Kajian geologi dan geofisika daerah Selat Sunda dan sekitarnya sehubungan dengan potensi bencananya. Workshop Mitigasi Bencana Selat Sunda, BPPT, Jakarta, 12pp.
De Neve, G.A., 1981, Historical notes on Krakatau’s eruption of 1883, and activities in previous times. Natl. Inst. Oceanology (LON-LIPI),Jakarta, Publ. No. LON/COAST/III-14, 45pp.
Effendi, A.C., Sukhyar, R., Bronto, S., 1983, Geology of Krakatau Complex. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI,Indonesia.
Escher, B.G., 1929, Hebben we een catastrope van de Krakatau te verwachten?. Hilversum, Nederland, 5-6.
Furneaux, R., 1964, Krakatau. Prentice Hall. Inc., Englewood Cliffs, N.J., 244pp.
Hardjadinata, K., 1983, Petrology and geochemistry of the volcanic rocks ofMount Anak Krakatau. Proc. 100th year Develop. Krakatauand its surr., LIPI, Indonesia.
Judd, J.W., 1888, On the volcanic phenomena of the eruption, and on the nature and distribution of the ejected materials. Part I, In “The Eruption of Krakatoa Committee of the Royal Society”, G.J. Symons Ed. Harrison and Son, London, 1-46.
Kartakusumah, R.S., Effendi, A.C., 1983, Volcano stratigraphy of KrakatauComplex preceding of Anak Krakatau. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI, Indonesia.
Neumann van Padang, 1951, Catalogue of the active volcanoes of the worl including solfatara foelds. Part I Indonesia, International Volcanological Association, 779-819.
Nishida, Y., Palgunadi, S., Said, H., Watanabe, H., 1984, A geomagnetic survey on Krakatau Caldera. In “Geophysical Studies on Volcano-Tectonic Depression in Indonesia”. Interim Report of Grant-Aid for Overseas Research in 1982 and 1983. HokkaidoUniversity, Sapporo, Japan. 9-17.
Oba, N., Tomita, K., Yamamoto, M., Istidjab, M., Badruddin, M., Sudradjat, A., Suhanda, T., 1983, Chemical comparison of volcanic products of Krakatau Group and Aira Caldera-Sakurajima Volcano. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI,Indonesia.
Sjarifudin, M.Z., Pubawinata, M.A., 1983, Petrographic and geochemical analyses of the volcanic rocks of the Krakatau Complex. Proc. 100th year Develop. Krakatau and its surr., LIPI, Indonesia.
Self, S., Rampino, M., 1981, The 1883 eruption of Krakatau. Nature, V.294, 699-704.
Simkin, T., Fiske, R.S., Krakatau 1883, the volcanic eruption and its effects. Smithsonian Institution Press, Washington D.C.
Stehn, Ch. E., 1929, The geology and volcanism of the Krakatau Group. Part I, 1-55 plates, In “4th Pac. Sci. Congr. Batavia, Guidebook, 118pp.
Sudradjat, A., 1983, The morphological development of Krakatau volcano,Sunda Strait, Indonesia. Proc. 100th year Develop. Krakatauand its surr., LIPI, Indonesia.
Sutawidjaja, I.S., 2000, A guide to the geological formations at KrakatauVolcanic Complex. IAVCEI Krakatau Guidebook, Volcanological Survey of Indonesia, 29pp.
Sutawidjaja, I.S., 1997, The activities of Anak Krakatau volcano during the years of 1992-1996. The Disast. Prev. Res. Inst. Ann., No. 40IDNDR S. I. Kyoto University, Kyoto, Japan. 13-22.
Thornton, I., 1996, Krakatau, the destruction and reassembly of an island ecosystem. Harvard Univ. Press, Cambridge, Massachussets, and London, England, 346pp.
Tjia, H.D., et.al., 1983, Beberapa catatan mengenai Anak Krakatau, kunjungan dalam bulan Mei 1983. University KebangsaanMalaysia, tidak terbit.
Verbeek, R.D.M., 1884, The Krakatoa eruption. Nature London 30, 10-15.
Yokoyama, I., 1981, A geophysical interpretation of the 1883 Krakataueruption. Jour. Vol. and Geoth. Res., 9, 359-378.
Yokoyama, I., 1984, A geophysical interpretation of volcanic processes in the 1883 Krakatau eruption. In “Geophysical Studies on Volcano-Tectonic
Depression in Indonesia”. Interim Report of Grant-Aid for Overseas Research in 1982 and 1983. HokkaidoUniversity, Sapporo, Japan. 1-7.
Yokoyama, I., 1971, Comparative studies of subsurface structure between Thera and Krakatau. The 1st Inter. Sci. Congr. on the Volcano of Thera, Greece, Athens, 337-350.
Yokoyama, I., Sudradjat, A., Said, H., Maekawa, T., 1984, Formation of volcanic depressions-Krakatau and Toba. In “Geophysical Studies on Volcano-Tectonic Depression in Indonesia”. Interim Report of Grant-Aid for Overseas Research in 1982 and 1983. Hokkaido University, Sapporo, Japan. 19-24.
Zen, M.T., Sudradjat, A., 1983, History of the Krakatau Volcanic Complex in Strait Sunda and the mitigation of its future hazards. Buletin Jurusan Geologi ITB, V. 10.
SUMBER : http://volcanoindonesia.blogspot.com/2010/10/gunung-krakatau.html