pemanfaatan limbah lumpur wtp pt. krakatau tirta industri sebagai bahan baku kompos
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR WATER TREATMENT
PLANT PT. KRAKATAU TIRTA INDUSTRI SEBAGAI BAHAN
BAKU KOMPOS
SKRIPSI
ANDRI BUDI WICAKSONO
F44080066
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
UTILIZATION OF PT. KRAKATAU TIRTA INDUSTRI WATER
TREATMENT PLANT SLUDGE AS COMPOST RAW MATERIALS
Andri Budi W
1, Satyanto K Saptomo
2
1,2 Department of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java.
Email: [email protected], [email protected]
Abstract: Sludge is the residue from sedimentation process which is settled in the bottom of
clarifier unit. Accumulated sludge inside the sludge drying bed could be discarded using
some methods. Composting is one of the alternative method for the sludge processing. The
purposes of this study were utilizing the sludge from PT. Krakatau Tirta Industri Water
Treatment Plant become compost and analyze the contents of compost product, then
compare it with SNI 19-7030-2004. The study divided into three step, first is analyze the
contents of raw materials followed by composting and analyze the contents of compost
product. Analysis of compost raw materials which is consist of straw, manure, and sludge
conducted in the Indonesian Soil Research Instiute laboratorium to find out the organic and
inorganic contents inside the materials. Composting uses two activator, manure for the box 1
and decomposer for the box 2. On the box 1, the combination between straw, manure, and
sludge were 100 kg:100kg:100kg, while on the box 2 the combination between straw,
bactery, and sludge were 100 kg:100 kg(ml):90 kg. Measure the temperature day by day
during composting process. The temperature data for 60 days was between 32,75-50 oC on
the box 1 and between 30,5-43,5 oC on the box 2. The temperatures changes shows that the
compost pile undergoing by microorganisms degradation process.The results showed that
organic contents and inorganic contents including heavy metals contained in produced
composts complied with SNI 19-7030-2004, except Al.The results also showed that inorganic
contains such as metals concentration in sludge could be reduced with using composting.
Keywords: sludge, organic contents, inorganic contents, compost, temperature
iii
Andri Budi W. F44080066. Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant PT. Krakatau
Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos. Di bawah bimbingan Dr. Satyanto K Saptomo, STP,
Msi. 2012
RINGKASAN
Limbah lumpur atau sludge merupakan sisa hasil proses sedimentasi yang mengendap
di dasar unit kolam clarifier. Sludge yang kemudian terkumpul dalam kolam penampung
lumpur ini dapat dibuang dengan menggunakan beberapa metode pengolahan. Pengomposan
merupakan salah satu metode alternatif dalam pengolahan sludge. Penelitian ini bertujuan
untuk memanfaatkan sludge yang berasal dari Water Treatment Plant (WTP) milik PT.
Krakatau Tirta Industri (PT. KTI) menjadi kompos dan menganalisa kandungan kompos,
kemudian membandingkannya dengan standar mutu kompos menurut SNI 19-7030-2004.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan gantung pegas,
termometer alkohol, pipa pvc, spidol, wadah tempat pengomposan (box kompos), terpal
plastik, alat penyiram air, dan plastik. Bahan yang digunakan adalah lumpur sisa pengolahan
air WTP milik PT. KTI, jerami, bakteri dekomposer dan kotoran kambing. Penelitian ini
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu analisis lumpur dan bahan baku kompos, pengomposan, dan
analisis kompos. Analisis bahan baku kompos yang terdiri dari jerami, kotoran kambing, dan
lumpur dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah Indonesia untuk diketahui nilai
beberapa parameter seperti pH, kadar air, kandungan organik dan anorganik-nya.
Pengomposan menggunakan 2 jenis aktivator, yaitu penggunaan kotoran kambing untuk box
1 dan penggunaan bakteri dekomposer untuk box 2. Perbandingan pada box 1 antara jerami,
kotoran kambing, dan lumpur adalah 100 kg:100kg:100kg, sedangkan perbandingan pada
box 2 antara jerami, bakteri, dan lumpur adalah 100 kg: 100kg(ml): 90 kg.
Dari hasil analisis antara lumpur cair, kental dan padat dapat diketahui bahwa lumpur
padat memilik kadar air dan kandungan logam berat (Pb) paling rendah, sehingga lebih
cocok sebagai bahan baku kompos. Selama proses pengomposan berlangsung, dilakukan
pengukuran suhu tiap harinya. Proses pengomposan berakhir pada hari ke- 60, didapat data
suhu selama 60 hari yang berkisar antara 32,75-50 oC untuk box kompos 1 dan 30,5-43,5
oC
untuk box kompos 2. Suhu puncak pada box 1 terjadi setelah 7 hari dengan suhu 50 oC,
sedangkan suhu puncak pada box 2 terjadi setelah 7 hari dengan suhu 43,5 oC. Suhu puncak
mengindikasikan tingginya tingkat aktivitas mikroorganisme dekomposer pada hari tersebut.
Analisis perbandingan kandungan kompos dengan baku mutu menurut SNI 19-7030-
2004 menunjukkan pada kompos 1 parameter yang masih melebihi baku mutu adalah nilai
pH dan kandungan Al, sedangkan pada kompos 2 parameter yang melebihi baku mutu
adalah hanya kandungan Al saja.
iv
PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR WATER TREATMENT
PLANT PT. KRAKATAU TIRTA INDUSTRI SEBAGAI BAHAN
BAKU KOMPOS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNIK
pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ANDRI BUDI W
F44080066
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
v
Judul Penelitian : Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant PT.
Krakatau Tirta Industri Sebagai Bahan Baku Kompos
Nama : Andri Budi W
NIM : F44080066
Departemen : Teknik Sipil dan Lingkungan
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS
NIP. 19561025 1980031 003
Tanggal Lulus:
Pembimbing
Dr. Satyanto K Saptomo, STP, Msi
NIP. 19730411 200501 1 002
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah
Lumpur Water Treatment Plant PT. Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku
Kompos” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, dan
belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Yang membuat pernyataan
Andri Budi W
F44080066
vii
© Hak cipta milik Andri Budi W, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Andri Budi Wicaksono Penulis lahir pada tanggal 18 Oktober
1990 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara
pasangan Dr. Denny Wibisono, SpRM dan Rika Budi. Penulis
menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Jakarta, dan pada
tahun yang sama diterima di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama
menjadi mahasiswa, penulis akfif dalam kepanitiaan kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa atau
acara kelembagaan seperti Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agricultural X-pression !! (UKM
MAX!! IPB) dan Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (Himatesil) IPB. Penulis
berkesempatan menjadi panitia pada beberapa kegiatan inter-departemen seperti Pagelaran Musik
Jazz “Mike del Ferro Trio” yang merupakan salah satu bentuk kerjasama antara Erasmus Huis
dengan Institut Pertanian Bogor, serta kegiatan Penanaman Pohon Buah Bintaro untuk
Penghijauan di Waduk Krenceng, Cilegon yang merupakan kegiatan kerjasama antara FATETA-
IPB dengan PT. Krakatau Tirta Industri. Penulis juga pernah mengikuti beberapa pelatihan,
seperti Pelatihan Sondir di Departemen Teknik Sipil dna Lingkungan, FATETA-IPB pada
tanggal 22 Juni 2010 dan Pelatihan Pemahaman Persyaratan dan Penerapan OHSAS 18001:2007
mengenai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kampus IPB Cilibende
pada tanggal 13 dan 17 Mei 2012 . Pada bulan Juni – Agustus 2011, penulis melaksanakan
praktik lapang di Proyek Pembangunan Gedung „The Convergence Indonesia‟ PT. Adhi Karya
.Tbk di daerah Kuningan, Jakarta Pusat dengan topik “Aspek Manajemen Konstruksi dan
Tahapan Pelaksanaan Pekerjaan Basement pada Proyek The Convergence Indonesia”. Pada tahun
berikutnya, penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Pemanfaatan Limbah Lumpur
Water Treatment Plant PT. Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos” di bawah
bimbingan Dr. Satyanto K Saptomo, STP, Msi.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur diucapkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Limbah Lumpur Water
Treatment Plant PT. Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos” ini berhasil
diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk melakukan penelitian pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fateta, IPB.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas berkat, rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya skripsi ini dapat selesai dengan
tepat waktu.
2. Dr. Satyanto K Saptomo, S.TP, M.Si, sebagai dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan bimbingan serta telah banyak memberikan masukan dan saran selama
pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
3. M. Budi Saputra, ST, M.Eng, sebagai pembimbing lapangan di PT. KTI yang telah
memberikan banyak pengarahan dan saran selama pelaksanaan penelitian di PT. KTI
4. Dr. Yudi Chadirin, STP, MAgr sebagai dosen penguji yang sudah memberikan masukan
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ayah, Ibu, dan Adik penulis di Jakarta yang telah memberikan dorongan semangat, doa dan
dukungan kepada penulis.
6. Indri Puspita Riyanto atas seluruh bantuan, nasihat, motivasi dan kebersamaannya yang
diberikan kepada penulis.
7. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D dan Pak Handi yang telah banyak membantu
selama penelitian di Rumah Kompos SIL IPB.
8. Rekan-rekan seperjuangan dalam penelitian (Amanda, Chandra, Enhar, Haska, Maul dan
Nina) atas bantuan dan kerjasamanya selama melakukan penelitian.
9. Seluruh teman-teman di UKM MAX!! IPB khususnya angkatan 5 (Syifa, Denissa, Andra,
Arif, Oka, Fanny, Laras dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu) atas motivasi,
kesenangan, dan persahabatannya selama ini.
10. Seluruh teman-teman SIL 45 khususnya dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
Disadari dalam pembuatan skripsi ini masih terdapat kekurangan, untuk itu disampaikan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Saran dan kritik sangat diharapkan sebagai masukan
yang sangat berharga untuk perbaikan dalam penyusunan skripsi. Semoga penelitian ini dapat
berguna dan memberi manfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Juli 2012
Penulis
x
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... 1
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... 2
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... 3
I.PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 5
1.3 Sasaran Penelitian...................................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 6
2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant .................................................................... 6
2.2 Pengomposan ........................................................................................................... 7
2.3 Faktor-faktor penting dalam proses pengomposan ...................................................... 9
III. METODOLOGI ...........................................................................................................12
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................................12
3.2 Bahan dan Alat .........................................................................................................12
3.3 Metode Penelitian .....................................................................................................12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................................16
4.1 Analisis Kandungan Lumpur ....................................................................................16
4.2 Suhu harian ..............................................................................................................17
4.3 Analisis Kandungan Bahan Baku Kompos ................................................................19
4.4 Hasil Kompos ..........................................................................................................23
4.5 Analisis Kandungan Pupuk Kompos ........................................................................28
4.6 Manajemen Biaya Pengomposan .............................................................................32
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................37
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................................37
5.2 Saran ........................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................38
LAMPIRAN ......................................................................................................................40
1
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Proses pengolahan air bersih menurut Kurniawan (2011) .................................... 6
Gambar 2. Mekanisme proses pengomposan (Dimodifikasi dari Daizell et al, 1987) ............ 8
Gambar 3. Prosedur Pengomposan (Kurniasih, 2012) .........................................................11
Gambar 4. Wadah kompos .................................................................................................13
Gambar 5. Skema pengomposan.........................................................................................14
Gambar 6. Diagram alir penelitian ......................................................................................15
Gambar 7. Grafik perbandingan suhu kompos 1 dengan suhu lingkungan ...........................18
Gambar 8. Grafik perbandingan suhu kompos 2 dengan suhu lingkungan ...........................18
Gambar 9. Kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang) hari pertama .........................23
Gambar 10. Kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang) hari ke-60 ...........................24
Gambar 11. Kompos box 2 (dengan aktivator bakteri probio) hari pertama .........................24
Gambar 12. Kompos box 2 (dengan aktivaotr bakteri probio) hari ke-60 .............................25
Gambar 13. Pengeringan 3,3 kg kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang) .............25
Gambar 14. Pengeringan 2 kg kompos box 2 (dengan aktivator bakteri probio) ..................26
Gambar 15. Alat penyaring ................................................................................................26
Gambar 16. Sampel kompos box 1 setelah disaring ............................................................27
Gambar 17. Sampel kompos box 2 setelah disaring ............................................................27
2
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Faktor penting dalam proses pengomposan secara aerobik ....................................10
Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Lumpur .......................................................................16
Tabel 3. Hasil analisis kandungan lumpur padat .................................................................20
Tabel 4. Hasil analisis kandungan jerami ............................................................................21
Tabel 5. Hasil analisis kandungan pupuk kandang ..............................................................22
Tabel 6. Analisis kandungan kompos 1 ...............................................................................28
Tabel 7. Analisis perbandingan bahan baku dengan hasil akhir kompos 1 ...........................29
Tabel 8. Analisis kandungan kompos 2 ...............................................................................30
Tabel 9. Analisis perbandingan bahan baku dengan hasil akhir kompos 2 ...........................31
Tabel 10. Kebutuhan bahan pembuatan 2 box kompos dan pelataran ..................................32
Tabel 11. Biaya pembuatan 2 box kompos dan pelataran ....................................................33
Tabel 12. Kebutuhan bahan pembuatan kompos box 1 ........................................................33
Tabel 13. Kebutuhan bahan pembuatan kompos box 2 ........................................................34
Tabel 14. Biaya bahan pembuatan kompos 1 ......................................................................34
Tabel 15. Biaya bahan pembuatan kompos 2 ......................................................................35
Tabel 16. Biaya pembelian bahan 2 box kompos ................................................................35
3
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Standar Nasional Indonesia tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik (SNI 19-7030-2004) ..................................................................................... 41
Lampiran 2. Desain pelataran dan box kompos ................................................................................ 42
Lampiran 3. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah B3 (PP No. 85 Tahun 1999) ........... 43
4
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, setiap individu dituntut untuk memiliki
inovasi dan kompetensi tinggi di bidangnya masing-masing, termasuk mahasiswa. Institut
Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu institusi pendidikan di Indonesia, menuntut agar
para mahasiswanya dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, salah satunya dengan pembuatan skripsi. Skripsi dapat menjadi sarana dalam
pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan aplikasi berbagai macam bidang keilmuan.
Skripsi juga merupakan salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi strata 1 (S1)
di IPB.
Dalam menjalani kegiatan sehari-hari, manusia tentu tidak lepas dari peran air bersih
baik untuk kegiatan domestik maupun kegiatan industri. Namun, air bersih tersebut tidak
mudah didapatkan begitu saja untuk semua orang, terutama untuk kegiatan industri yang
biasanya sering kesulitan mendapat pasokan maupun sumber air baku yang bersih. Oleh
karena itu, pada suatu kawasan industri diperlukan adanya Water Treatment Plant (WTP)
untuk mengolah air baku dari sumber menjadi air bersih siap pakai untuk dipasok ke masing-
masing industri yang membutuhkan air bersih untuk kegiatannya.
Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan air bersih adalah PT.
Krakatau Tirta Industri (KTI). WTP yang dimiliki KTI saat ini mengolah air baku yang
berasal dari sungai Cidanau dan menyuplai air bersih bagi industri di daerah Cilegon dan
sekitarnya. Pada proses pengendapan di kolam clarifier, partikel-partikel flok yang ikut
bersama air baku diendapkan dengan waktu detensi sekitar 3-8 jam (David H.F Liu dan Bela
G. Liptak, 2000). Pada dasar kolam clarifier tersebut terdapat endapan berupa lumpur yang
merupakan limbah padatan atau biasa disebut dengan sludge. Sludge yang terkumpul di dasar
kolam clarifier ini kemudian dialihkan ke kolam penampung sludge atau sludge drying bed.
Sludge yang terkumpul ini kemudian harus dibuang dengan beberapa metode pengolahan
seperti penimbunan dalam lahan di suatu wilayah khusus (land filling), pembakaran
(incineration), dan lain-lain.
Pengomposan adalah salah satu metode yang jarang digunakan dalam mengolah
sludge WTP. Pengomposan merupakan salah satu alternatif metode pengolahan sludge WTP
yang lebih baik karena ramah lingkungan, pelaksanaannya butuh biaya relatif murah dan
menghasilkan nilai ekonomi jika dibandingkan dengan metode land filling dan pembakaran.
Pengomposan berpotensi untuk mereduksi limbah padat (sludge) menjadi pupuk organik.
Pada proses pengomposan, selain dibutuhkan sludge yang memiliki kandungan bahan
organik yang tinggi, diperlukan juga bulking agent dan mikroorganisme pengurai sebagai
aktivator yang dapat mempercepat proses pengomposan. Berdasarkan tim peneliti (1997),
diketahui bahwa sludge yang dihasilkan oleh WTP KTI memiliki kandungan bahan organik
yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dimaanfatkan sebagai bahan baku kompos.
5
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Pemanfaatan limbah lumpur hasil pengolahan air bersih menjadi kompos.
2. Analisis kandungan kompos dan membandingkannya dengan standar mutu kompos
menurut SNI 19-7030-2004.
1.3 Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah:
1. Produk kompos yang menggunakan aktivator pupuk kandang dan kompos yang
menggunakan aktivator bakteri probio
2. Hasil analisis uji laboratorium kandungan kompos.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia
maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Bahkan limbah
kerap memiliki nilai ekonomi yang negatif, hal ini dikarenakan penanganan untuk
membuangnya memerlukan biaya yang relatif cukup besar. Berdasarkan sumbernya, limbah
terbagi menjadi tiga, yaitu : limbah alami, limbah domestik dan limbah industri (Murtadho
dan Said, 1988).
Water Treatment Plant (WTP) atau biasa disebut juga sebagai Instalasi Pengolahan
Air (IPA), merupakan salah satu teknik manajemen pengolahan air dan suplai air bersih
untuk kegiatan domestik maupun kegiatan industri. Proses pengolahan air bersih pada WTP
digolongkan atas proses fisik dan proses kimiawi. Proses fisik antara lain: sedimentasi,
flokulasi, filtrasi, dan aerasi. Proses kimiawi antara lain: koagulasi, desinfeksi, presipitasi,
dan pertukaran ion.
Dalam Linsley et al (1991) disebutkan proses-proses pengolahan air bersih. Pada
proses intake, terdapat proses penyaringan kotoran/sampah yang terbawa oleh air
(screening). Pada proses pra sedimentasi, terdapat proses pengendapan awal yang bertujuan
untuk menyisihkan padatan seperti lanau, pasir yang akhirnya menghasilkan endapan berupa
lumpur pada dasar bak sedimentasi. Pada proses koagulasi, dilakukan penambahan bahan
kimia (koagulan) yang bertujuan untuk menggumpalkan partikel-partikel yang terkandung
dalam air. Setelah koagulasi terjadi proses flokulasi dimana pada proses ini gradien
kecepatan aliran air dipercepat untuk meningkatkan pengumpulan partikel-partikel. Setelah
flokulasi, terjadi proses sedimentasi lagi. Pada proses sedimentasi inilah terdapat endapan
limbah berupa lumpur yang mengandung bahan organik. Proses pengolahan air bersih pada
WTP bisa dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses pengolahan air bersih menurut Kurniawan (2011)
7
Berdasarkan gambar 1, sludge atau lumpur merupakan limbah padatan hasil dari
pengolahan air yang terendap di kolam pra sedimentasi dan di kolam sedimentasi setelah
melewati proses koagulasi dan flokulasi terlebih dahulu. Endapan ini kemudian disalurkan
menuju kolam lumpur untuk selanjutnya dibuang dan diolah dengan menggunakan beberapa
metode seperti land filling, pembakaran, maupun pengomposan.
Limbah lumpur sedimentasi dari WTP merupakan limbah padatan hasil pengolahan
air bersih yang mengandung logam-logam sisa koagulan seperti silika dan alumina (tawas).
Komposisi dasar sludge salah satunya adalah mikroorganisme. Metcalf dan Eddy (1991)
menyatakan bahwa komposisi dasar sel yaitu 90% material organik dan 10% material
anorganik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sludge memiliki kandungan material organik
yang tinggi yang bisa dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan kompos.
2.2 Pengomposan
Hirarki penanganan limbah padat terdiri dari mengurangi jumlah limbah dan tingkat
toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan, pembakaran dengan
pemanfaatan energi, pembakaran tanpa pemanfaaatan energi, penimbunan limbah padat, dan
mengomposkan limbah padatan tersebut (USEPA dalam Pichtel, 2005).
Pengomposan adalah salah satu metode dalam penanganan limbah padatan dimana
komponen organik dari limbah padat tersebut terdekomposisi secara biologis oleh
mikroorganisme dalam kondisi aerob sehingga sampai pada suatu tahap dimana limbah padat
tersebut terkonversi menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan berupa
pupuk organik yang dapat diaplikasikan sebagai penyuburan lahan. Menurut Metcalf dan
Eddy (1991) pengomposan merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu
produk yang stabil.
Menurut Murbandono (1983), dalam proses pengomposan terjadi perubahan-
perubahan antara lain:
1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, dan lemak menjadi CO2 dan air.
2. Protein, melalui asam-asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air.
3. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N, P, dan K
yang terlepas kembali apabila mikroorganisme itu mati.
4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman.
Berdasarkan penggunaan oksigen, dalam proses pengomposan terdapat 2 proses,
yaitu : proses aerob dan anaerob (Gaur, 1983). Pengomposan dengan sistem aerob
maksudnya terdapat oksigen yang terlibat dalam proses dekomposisi oleh bakteri di dalam
tumpukan kompos. Reaksi proses aerob adalah sebagai berikut:
Bahan organik + O2 + bakteri CO2 + NH3 + Humus + Energi + Air
Sedangkan pengomposan dengan sistem anaerob maksudnya tidak terdapat oksigen
yang terlibat dalam proses dekomposisi yang menyebabkan bau karena terbentuknya H2S
dan CH4. Reaksi proses anaerob adalah sebagai berikut:
Bahan organik + bakteri CO2 + NH3 + Humus + Energi + Air + H2S + CH4
8
Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari mikroorganisme yang
mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan organik ini akan
dikonversi menjadi produk seperti CO2, H2O, sebagian humus dan energi. Sebagian energi
digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan menjadi panas. Akibatnya tumpukan bahan
kompos tersebut menurut (Daizell et al., 1987) melewati tiga tahapan yang berkaitan dengan
suhu yang diamati, yaitu tahap penghangatan (mesophilic), suhu puncak (thermophilic), dan
pendinginan (cooling). Pada tahap awal, suhu akan naik menjadi 40 C dengan adanya
bakteri mesophilic. Selanjutnya suhu akan semakin meningkat hingga tahap suhu puncak
yang berkisar antara 40 – 70 C dimana bakteri pada tahap sebelumnya akan digantikan
dengan bakteri thermophilic. Tahap selanjutnya adalah tahap pendinginan ditandai dengan
turunnya aktivitas mikroorganisme. Selama tahap pendinginan terjadi stabilisasi pH dan
pembentukan humus. Mekanisme proses pengomposan secara umum juga dapat dilihat pada
Gambar 2.
.
Gambar 2. Mekanisme proses pengomposan (Dimodifikasi dari Daizell et al, 1987)
Hasil akhir pengomposan yang baik akan menghasilkan produk pupuk yang tidak
berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya. Proses
pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama. Menurut Murbandono
(1983), proses pembuatan kompos minimal memerlukan waktu hingga 2-3 bulan. Kompos
memiliki kandungan unsur hara makro N (Nitrogen), K (Kalium) dan P (Fosfor) yang relatif
rendah dan unsur hara mikro lainnya yang lebih kaya seperti Fe (Besi), S (Sulfur), Ca
(Kapur), Mg (Magnesium), dan lain-lain. Kandungan unsur-unsur hara ini tidak tetap karena
dipengaruhi oleh cara pengomposan, jenis bahan yang dikomposkan dan komposisi bahan
pengomposannya SNI 19-7030-2004 menunjukan standar mutu kompos dan kandungan-
kandungan kompos yang menjadi acuan dalam kontrol mutu kompos. Tabel SNI 19-7030-
2004 dapat dilihat pada lampiran 1.
9
2.3 Faktor-faktor penting dalam proses pengomposan Setiap mikroorganisme dekomposer membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan
yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka proses dekomposisi akan bekerja
dengan baik. Apabila kondisinya kurang sesuai, maka dekomposer akan berpindah ke tempat
lain (selain tumpukan kompos) atau bahkan mati. Beberapa faktor yang mempengaruhi
proses pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan dan ukuran partikel, aerasi dan
kelembaban, suhu, dan nilai pH.
Rasio C/N
Rasio C/N merupakan salah satu faktor penting karena dalam proses
pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan
karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan dengan nitrogen yang
merupakan unsur penting dalam pembentukan selnya. Menurut Haga (1990), rasio
C/N yang cocok untuk proses pengomposan adalah 20-30, Rasio C/N yang rendah
akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak karena tingginya kandungan
unsur N, sedangkan rasio C/N yang terlalu tinggi dari kondisi ideal tersebut akan
menyebabkan proses pengomposan menjadi lebih lambat (Haga, 1990). Hal ini
disebabkan karena bahan yang mengandung nitrogen terlalu sedikit tidak mampu
menghasilkan panas yang cukup untuk membusukkan bahan baku kompos dengan
cepat (Haug, 1989).
Ukuran partikel
Ukuran partikel bahan berpengaruh pada kegiatan mikroorganisme dan
pergerakan udara (aerasi) pada suatu proses pengomposan. Semakin halus partikel
bahan tersebut, maka semakin luas permukaan yang terbuka untuk kegiatan
mikroorganisme dalam proses dekomposisi aerob. Semakin kecil ukuran partikel,
maka jumlah pori-pori pun akan bertambah sehingga aerasinya lancar.
Aerasi dan kelembaban
Proses pengomposan secara aerobik membutuhkan oksigen yang cukup
untuk kegiatan mikroorganismenya. Secara alami, aerasi terjadi akibat
meningkatnya suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara dingin masuk
ke dalam tumpukan bahan. Aerasi dapat dibantu dengan penentuan bahan yang
memiliki ukuran-ukuran partikel kecil, mengaduk dan membalikkan tumpukan
kompos, atau memberi celah pada bahan maupun wadah kompos agar aerasi dapat
dipaksa masuk (Haga, 1990). Kelembaban atau kadar air juga perlu diperhatikan
dalam proses pengomposan. Persentase kadar air yang ideal dapat dilihat pada Tabel
1.
Suhu
Suhu merupakan faktor penting untuk menentukan kematangan suatu
kompos. Biasanya suhu merupakan parameter utama yang diukur dan dianalisa tiap
harinya selama proses pengomposan. Suhu juga mempengaruhi konsumsi oksigen
oleh mikroorganisme. Semakin tinggi maka konsumsi oksigen meningkat dan
proses dekomposisi juga semakin cepat. Apabila suhu tumpukan bahan kompos
10
semakin turun dan mendekati angka yang stabil, maka proses pengomposan dapat
dianggap selesai atau matang.
Nilai pH
Nilai pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6-9.
Menurut Hadiwiyoto (1983), pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan
kotoran hewan, urea, atau pupuk nitrogen untuk menurunkan pH dan pemberian
kapur untuk menaikkan pH.
Tabel 1. Faktor penting dalam proses pengomposan secara aerobik
Faktor Keterangan
Jenis sludge Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat dikomposkan.
Untreated sludge lebih berpotensi dalam menghasilkan bau, terutama
pada aplikasi windrow. Untreated sludge lebih mempunyai
ketersediaan energi dan kebutuhan oksigen yang tinggi.
Amendments
dan bulking
agents
Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan
karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas produk
akhir. Bahan-bahan tersebut: serpih kayu, serbuk gergaji, jerami,
sekam, dan lain-lain
Rasio C/N Rasio awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat.
Volatile
solids
Dari campuran kompos harus >50%.
Kandungan
udara
Setidaknya masih ada 50% oksigen yang berada dalam kesetimbangan
sistem, atau kandungan oksigen antara 5-15 % di semua bagian
tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum.
Kadar air Dari campuran kompos antara 40-60 %. Berkurangnya kadar air
akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat ditambahkan
bersamaan dengan proses pembalikan
pH Harus antara 6-9. Kondisi pH yang relatif tinggi akan meningkatkan
emisi nitrogen sebagai amoniak.
Suhu Suhu optimum untuk stabilisasi 45-55 oC. Pada kondisi terbaik suhu
akan mencapai 50-55 oC, pada kondisi awal akan meningkat ke 55-65
oC selama periode pengomposan berlangsung. Suhu yang terlalu
tinggi akan menurunkan aktivitas kerja mikroorganisme pengurai.
Mixing dan
turning
Untuk mencegah kekeringan, pengerasan dan penggumpalan dan
aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan
harus diaduk secara terjadwal sesuai kebutuhan dan tergantung sistem
pengomposan.
Logam berat
dan trace
organics
Kandungan dalam sludge dan kompos harus dipantau secara teratur
untuk menjamin kualitas produk akhir.
Kondisi
lokasi
Beberapa faktor harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi, termasuk
ketersediaan lahan, akses, penggunaan lahan sekitar, jarak terhadap
sumber sludge dan bulking agent, ketersediaan zona penyangga,
tenaga kerja, kondisi iklim. Sumber: Metcalf dan Eddy (1991)
11
2.4 Pengomposan dengan metode Natural Static Pile
Static pile composting adalah suatu metode pengomposan yang mendegradasi bahan
organik tanpa manipulasi secara fisik selama proses pengomposan. Dalam hal ini,
pengomposan dengan metode ini berbeda dengan metode pengomposan yang harus
dilakukan pembalikan tumpukan kompos yang merupakan manipulasi fisik untuk tumpukan
kompos tersebut. Static pile composting berdasarkan proses aerasinya dibagi mejadi dua
yaitu Natural Static Pile dan Aerated Static Pile (United States Environment Protection
Agency, 2012). Perbedaan dari kedua jenis Static Pile Composting ini adalah pada proses
aerasinya, Aerated Static Pile Composting dilakukan proses aerasi buatan dengan
pengontrolan suplai udara ke dalam tumpukan kompos dengan menggunakan alat tertentu,
sedangkan pada Natural Static Pile composting, aerasi berlangsung secara alami.
Dalam Kurniasih (2012) disebutkan bahwa pengomposan dengan metode Natural
Static Pile berlangsung dalam beberapa tahap kerja, yaitu pengomposan dengan lumpur dan
jerami , analisis kualitas bahan baku dan kualitas kompos, serta analisis potensi kompos yang
dihasilkan sebagai pupuk organik. Proses pengomposan dengan metode mendegradasi bahan
organik secara alami dan struktur aerasi dibawah udara terbuka. Gambar 3 menunjukkan
proses Natural Static Pile Composting menurut Kurniasih (2012).
Gambar 3. Prosedur Pengomposan (Kurniasih, 2012)
Pengomposan dimulai dengan dengan melakukan pengeringan lumpur sampai kadar
air tertentu (± 35%). Sebelum dilakukan penumpukan dan pencampuran dengan bahan
lainnya, dilakukan analisis laboratorium dengan parameter yang telah ditentukan. Jerami
disiapkan tanpa dicacah. Lumpur yang sudah kering kemudian dicampur dengan bahan
lainnya yaitu jerami dan kotoran kambing/pupuk kandang dan ditumpuk ke dalam wadah
kompos dengan rasio 1:1:1. Pengukuran suhu tumpukan kompos dilakukan setiap hari pada
enam titik berbeda dan diambil rata-rata suhu-nya. Setelah proses pengomposan berlangsung
dua bulan, dilakukan analisis mutu kompos di laboratorium.
12
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Kompos di daerah Dramaga . Penelitian ini
dilakukan mulai dari bulan Maret 2012 sampai Juli 2012.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan utama pengomposan yang digunakan adalah sludge sisa pengolahan air di
Water Treatment Plant PT. Krakatau Tirta Industri. Selain itu untuk membantu proses
pengomposan, ditambahkan juga jerami sebagai bulking agent, pupuk kandang dan bakteri
probio sebagai aktivator.
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan adalah alat penunjang dalam proses pengomposan dan analisis
suhu kompos antara lain: wadah tempat pengomposan, alat pengayak, termometer alkohol,
pipa pvc, timbangan gantung pegas, spidol, terpal plastik, dan alat penyiram air.
Gambar desain box kompos bisa dilihat pada lampiran 2.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Analisis kandungan bahan baku kompos
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah melakukan analisis lumpur (cair,kental,
dan padat) kemudian membandingkan hasil analisis ketiga jenis lumpur tersebut. Analisis
ketiga jenis lumpur ini dilakukan di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian. Parameter yang diperhatikan adalah nilai pH, kadar air, rasio C/N,
kandungan organik, dan beberapa kandungan anorganik. Tahap selanjutnya adalah
melakukan analisis bahan-bahan yang akan digunakan untuk pengomposan, yaitu lumpur,
jerami, dan kotoran kambing.
Analisis ketiga bahan baku kompos ini dilakukan di Balai Penelitian Tanah
Indonesia. Parameter yang diperhatikan adalah nilai pH, kadar air, rasio C/N, kandungan
12lcohol, dan beberapa kandungan anorganik. Perbandingan komposisi bahan-bahan baku
yang akan dilibatkan dalam proses pengomposan juga penting karena komposisi bahan yang
cocok antara sludge, jerami, dan aktivator mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Digunakan perbandingan 1:1:1 untuk komposisi masing-masing bahan.
3.3.2 Pengomposan
Metode pengomposan menggunakan metode Natural Static Pile Composting yang
mengacu dari penelitian yang telah peneliti sebelumnya di rumah kompos SIL IPB. Proses
pengomposan diawali dengan melakukan pencampuran antara sludge, jerami, dan aktivator
(pupuk kandang dan abkteri probio) pada suatu wadah yang dikondisikan agar terjadi proses
aerasi atau masuknya oksigen yang diperlukan dalam proses aerob selama pengomposan
13
berlangsung. Pengomposan menggunakan 2 aktivator, penggunaan kotoran kambing untuk
wadah/box 1 dan penggunaan bakteri probio untuk wadah/box 2. Pengomposan dilakukan
pada suatu wadah kompos berbentuk persegi panjang/box dengan dimensi 150 cm x 150 cm
x 70 cm (panjang x lebar x tinggi) yang terbuat dari beberapa habel yang disusun dengan
dimensi 66,25 cm x 7,5 cm x 7cm (panjang x lebar x tinggi). Gambar desain box kompos
dapat dilihat pada lampiran 2. Komposisi bahan-bahan pada box 1 antara jerami, kotoran
kambing, dan lumpur adalah 100 kg:100 kg:100 kg, sedangkan komposisi bahan-bahan pada
box 2 antara jerami, bakteri, dan lumpur adalah 100 kg:100 kg(ml):90 kg. Pengomposan
dilakukan dengan mencampur dan menumpuk ketiga bahan-bahan tersebut ke dalam box
kompos selama 60 hari. Setelah semua bahan baku tersebut sudah tercampur dan tertumpuk
di dalam wadah tersebut maka tumpukan bahan-bahan ini akan mengalami proses
dekomposisi secara aerob.
Gambar 4. Wadah kompos
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, proses pengomposan melalui tiga tahap
perubahan suhu yaitu tahap penghangatan, tahap suhu puncak, dan tahap pendinginan. Oleh
karena itu, untuk mengetahui waktu kematangan kompos perlu dilakukan pengukuran suhu
dari tumpukan bahan campuran tersebut setiap harinya. Pengukuran suhu dilakukan pada 4
titik dengan kedalaman berbeda.
Untuk mempermudah melakukan pengukuran dengan menggunakan termometer,
maka digunakan pipa pvc yang ditancapkan ke dalam tumpukan bahan tersebut pada 4 titik
yang diinginkan. Pengukuran suhu dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam
pipa-pipa tersebut dan buat catatan suhu harian. Selama tiga tahap ini, selain suhu perlu
diperhatikan juga kelembaban dari tumpukan bahan tersebut, saat cuaca terik perlu
ditambahkan air ke dalam tumpukan bahan campuran tersebut agar kelembabannya tetap
tinggi, sedangkan saat cuaca dingin atau sedang hujan tidak perlu ditambahkan air.
14
Gambar 5. Skema pengomposan
Proses pengomposan berakhir atau kematangan kompos ditandai dengan suhu yang
semakin dingin dan mendekati stabil. Selanjutnya kompos yang sudah matang ini
dipindahkan ke suatu wadah lain untuk diaduk, dihaluskan, dan kemudian diayak
menggunakan alat pengayak sampai didapat struktur kompos yang halus. Kompos hasil akhir
ini kemudian dibawa ke laboratorium tanah milik balai penelitian tanah untuk selanjutnya
dilakukan analisis kandungan kompos.
3.3.3 Analisis kandungan kompos
Analisis kandungan kompos dilakukan setelah didapat hasil akhir kompos melalui
proses pengomposan sebelumnya. Parameter yang diperhatikan pada analisis kandungan
kompos adalah Suhu, nilai pH, rasio C/N, kadar air, dan kadar logam-logam yang
terkandung dalam sampel kompos. Setelah dilakukan uji di laboratorium dan didapat
masing-masing nilai parameter tersebut, dilakukan perbandingan dengan standar mutu
kompos menurut SNI 19-7030-2004. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
15
Gambar 6. Diagram alir penelitian
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kandungan Lumpur
Tahap awal penelitian adalah melakukan analisis perbandingan kandungan antara tiga
jenis lumpur (cair, kental, dan padat). Pada sub-bab ini akan dijelaskan hasil uji laboratorium
ketiga jenis lumpur, perbandingannya dengan baku mutu, dan menentukan jenis lumpur yang
cocok sebagai bahan kompos. Berdasarkan hasil analisis oleh Laboratorium didapat beberapa
nilai parameter lumpur cair, lumpur kental, dan lumpur padat. Parameter yang diukur adalah
pH, kadar air, rasio C/N, Nilai pH lumpur kental adalah 5,41, nilai pH lumpur cair adalah
5,56, dan nilai pH lumpur padat adalah 5,24. Didapatkan kadar air sebesar 81,893 % untuk
lumpur kental, 90,509 % untuk lumpur cair, 35,594 % untuk lumpur padat. Kandungan C
dan N untuk lumpur kental adalah 3,78 % dan 0,33 %, didapat rasio C/N lumpur kental
sebesar 11,455 %. Kandungan C dan N untuk lumpur cair adalah 4,5 % dan 0,182 %, didapat
rasio C/N lumpur cair sebesar 24,725 %. Kandungan C dan N untuk lumpur padat adalah
6,78 % dan 0,293 %, didapat rasio C/N lumpur padat sebesar 23,140 %.
Parameter lainnya yang terkandung dalam lumpur adalah logam-logam seperti Fe, Al,
Mn, Ni, Pb. Kandungan Fe pada lumpur kental sebesar 1324,5 mg/kg, pada lumpur cair
sebesar 1324,3 mg/kg, dan pada lumpur padat sebesar 1312,8 mg/kg. Kandungan Al pada
lumpur kental sebesar 0,537 mg/kg, pada lumpur cair sebesar 0,539 mg/kg. Pada lumpur
padat sebesar 0,461 mg/kg. Kandungan Mn pada lumpur kental sebesar 88,068 mg/kg, pada
lumpur cair sebesar 88,109 mg/kg, pada lumpur padat sebesar 88,043 mg/kg. Kandungan Ni
pada lumpur kental sebesar 0,427 mg/kg, pada lumpur cair sebesar 0,235 mg/kg, pada
lumpur padat sebesar 0,192 mg/kg. Kandungan Pb pada lumpur kental sebesar 3,749 mg/kg,
lumpur cair sebesar 3,562 mg/kg, lumpur padat sebesar 3,103 mg/kg. Hasil analisis uji
laboratorium dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Lumpur
No. Parameter Satuan Kental Cair Padat
1 pH - 5,41 5,56 5,24
2 Kadar Air % 81,893 90,509 35,594
3 N % 0,330 0,182 0,293
4 C-Organik % 3,78 4,5 6,78
5 Fe Mg/kg 1324,5 1324,3 1312,8
6 Al Mg/kg 0,537 0,539 0,461
7 Mn Mg/kg 88,068 88,109 88,043
8 Ni Mg/kg 0,427 0,235 0,192
9 Pb Mg/kg 3,749 3,562 3,103
Sumber: Hasil analisis Lab Residu Bahan Agrokimia Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
17
Parameter yang diperhatikan dalam menentukan jenis lumpur yang akan digunakan
dalam pengomposan adalah kadar air dan kandungan logam berat yang bersifat B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun). Menurut PP No. 85 Tahun 1999 mengenai pengelolaan limbah B3,
logam berat yang termasuk limbah B3 salah satunya adalah Pb. Kandungan Pb sebagai
logam berat yang terkandung dalam lumpur tidak membahayakan karena masih berada di
bawah baku mutu zat pencemar dalam limbah untuk penentuan karakteristik sifat racun
(baku mutu Pb: 5 mg/kg) menurut PP No. 85 Tahun 1999. Baku mutu PP No. 85 Tahun 1999
bisa dilihat pada lampiran 3. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa lumpur padat
memiliki kadar air dan kandungan logam berat (Pb) yang rendah, oleh karena itu lebih cocok
sebagai bahan baku kompos.
4.2 Suhu harian
Kematangan kompos sebagai produk akhir dari pengomposan ditandai dengan suhu
yang sudah dingin dan stabil atau sama dengan suhu lingkungan, serta struktur dan warna
yang menyerupai tanah.Pada tahap pengomposan, data yang diambil selama proses
berlangsung adalah suhu harian dari tumpukan bahan kompos. Pengukuran suhu dilakukan
tiap hari dengan menggunakan termometer alkohol yang dimasukkan ke dalam pipa pvc
yang ditancapkan pada keempat titik yang telah ditentukan pada tiap box.
Didapatkan data suhu lingkungan sekitar tempat pengomposan, suhu pada box 1, dan
suhu pada box 2. Suhu total tiap box merupakan hitungan rata-rata nilai suhu dari keempat
titik pada tiap box. Suhu lingkungan normal berkisar antara 31-34 0C sedangkan berkisar 29-
30 0C apabila terjadi hujan ketika pengukuran berlangsung. Pada pengomposan kompos box
1 yang menggunakan campuran lumpur padat, jerami, dan pupuk kandang/kotoran kambing,
suhu pada hari pertama mencapai 38,75 0C kemudian naik dan mencapai suhu puncak
sebesar 50 0C pada hari ke-7. Setelah hari ke-7 suhu kompos cenderung mengalami
penurunan drastis sampai hari ke-20 dengan suhu 38,5 0C.
Setelah itu suhu mengalami naik-turun sampai hari ke-40 dimana suhu sudah mulai
mendingin dan stabil menyamai suhu lingkungan. Pada pengomposan kompos box 2 dengan
menggunakan campuran lumpur padat, jerami, dan bakteri probio, suhu pada hari pertama
mencapai 35,5 0C kemudian naik dan mencapai suhu puncak sebesar 43,5
0C pada hari ke-7.
Setelah hari ke-7 suhu kompos cenderung mengalami penurunan suhu yang drastis sampai
hari ke- 18 dengan suhu 36,5 0C. Setelah itu suhu mengalami penurunan dan terkadang
menunjukkan adanya sedikit kenaikan suhu. Pada hari ke-39 suhu kompos sudah mulai
dingin dan stabil.
Suhu lingkungan normal berkisar antara 32-34 0C sedangkan berkisar 29-31
0C apabila
terjadi hujan atau cuaca mendung ketika pengukuran berlangsung. Suhu lingkungan perlu
dilakukan pengukuran karena bertujuan sebagai perbandingan dengan suhu kompos box 1
dan kompos box 2. Apabila suhu kompos pada kedua box sudah setara dengan suhu
lingkungan, maka kompos dikatakan matang. Suhu kompos pada box 1 sudah stabil dan
sama dengan suhu lingkungan pada hari ke- 56, sedangkan suhu kompos pada box 2 sudah
stabil dan sama dengan suhu lingkungna pada hari ke- 53. Pengukuran suhu baru
berlangsung selama 60 hari sesuai umur pengomposan oleh karena itu didapat data suhu
kompos selama 60 hari. Data suhu 60 hari tiap box kompos dapat dilihat pada Gambar 7 dan
8.
18
Gambar 7. Grafik perbandingan suhu kompos 1 dengan suhu lingkungan
Gambar 8. Grafik perbandingan suhu kompos 2 dengan suhu lingkungan
20
25
30
35
40
45
50
55
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Suh
u (
C )
Waktu (hari)
Grafik Suhu harian (60 hari)
suhu lingkungan
suhu kompos 1
20
25
30
35
40
45
50
55
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Suh
u (
C )
Waktu (hari)
Grafik Suhu harian (60 hari)
suhu lingkungan
suhu kompos 2
19
Meningkatnya dan menurunnya suhu dari campuran kedua kompos tersebut
diakibatkan oleh tingkat aktivitas mikroorganisme/bakteri yang ada di dalam aktivator pupuk
kandang maupun bakteri probio. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa suhu kompos pada box
1 yang menggunakan pupuk kandang sebagai aktivatornya memiliki suhu rata-rata lebih
tinggi jika dibandingkan dengan suhu kompos pada box 2 yang menggunakan bakteri probio
sebagai aktivatornya. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan jumlah bakteri
dalam 100 ml probio dengan jumlah bakteri dalam 100 kg pupuk kandang, sehingga pada
grafik suhu terlihat perbedaan tingkat aktivitas bakteri pada tumpukan kompos 1 dan
tumpukan kompos 2 (Yuli A.H et al., 2008). Semakin lama proses pengomposan maka total
jumlah bakteri akan makin turun (Yuli A.H et al., 2008).
Bakteri dekomposer mendapat suplai oksigen dari celah-celah di dinding box kompos
yang didesain agar terjadi proses aerasi pada tumpukan kompos tersebut. Pemberian air pun
perlu dilakukan secara berkala untuk menjaga kelembapannya.
4.3 Analisis Kandungan Bahan Baku Kompos
Selama proses pengomposan berlangsung, dilakukan analisis uji laboratorium untuk
ketiga bahan baku kompos yaitu jerami, kotoran kambing/pupuk kandang, dan lumpur padat.
Analisis uji laboratorium dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah. Berdasarkan
hasil analisis oleh Laboratorium didapat beberapa nilai parameter jerami, pupuk kandang,
dan lumpur padat. Parameter yang diukur adalah pH, dan rasio C/N. Untuk hasil analisis uji
laboratorium lumpur padat didapat hasil yang berbeda dengan hasil pada sub-bab
sebelumnya, maka hasil analisis uji laboratorium lumpur padat pada sub-bab ini akan dipakai
sebagai pembanding pada sub-bab analisis kandungan kompos. Pada sub-bab ini akan
dijelaskan hasil uji laboratorium 3 bahan baku dan membandingkannya dengan baku mutu.
Nilai pH lumpur padat adalah 5,4; nilai pH jerami adalah 6,4; dan nilai pH pupuk
kandang adalah 7,2. Kandungan C dan N untuk lumpur padat adalah 3,36 % dan 0,39 %,
didapat rasio C/N lumpur kental sebesar 8,6 %. Kandungan C dan N untuk jerami adalah
45,8 % dan 1,51 %, didapat rasio C/N lumpur cair sebesar 30,33 %. Kandungan C dan N
untuk pupuk kandang adalah 20,27 % dan 1,36 %, didapat rasio C/N lumpur padat sebesar
14,904 %.
Parameter lainnya yang terkandung dalam lumpur adalah logam-logam seperti Fe, Al,
Mn, Ni, Pb, Cu, dan Mg. Kandungan Fe pada lumpur padat sebesar 2,92 %; pada jerami
sebesar 955 ppm, dan pada pupuk kandang sebesar 6983 ppm.
Kandungan Al pada lumpur padat sebesar 16,15 %; pada jerami sebesar 3848 ppm.
Pada pupuk kandang sebesar 37130 ppm. Kandungan Mn pada lumpur padat sebesar 2044
ppm; pada jerami sebesar 556 ppm, pada pupuk kandang sebesar 1679 ppm.
Kandungan Ni pada lumpur padat sebesar 5,7 ppm; pada jerami sebesar 2,3 ppm dan
pada pupuk kandang sebesar 1 ppm. Kandungan Pb pada lumpur padat sebesar 1,52 ppm;
pada jerami sebesar1,6 ppm dan pada pupuk kandang Pb tidak terdeteksi.
Kandungan Cu pada lumpur padat sebesar 24 ppm; pada jerami sebesar 10 ppm; dan
pada pupuk kandang sebesar 23 ppm. Kandungan Mg pada lumpur padat sebesar 0,11 %;
20
pada jerami sebesar 0,11 % dan pada pupuk kandang sebesar 0,98 %. Hasil analisis uji
laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3, 4, dan 5.
Dalam proses pengomposan terdapat tiga bahan baku yang akan dicampur menjadi
kompos, yaitu lumpur padat, jerami, dan pupuk kandang yang akan diolah menjadi satu
produk kompos. Analisis bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan
kandungan bahan baku yang akan digunakan dan diolah menjadi kompos dengan standar
mutu kompos Indonesia. Oleh karena itu, sebagai pembanding atau baku mutu ketiga bahan
ini mengikuti SNI 19-7030-2004 yang dapat dilihat selengkapnya pada lampiran 1.
Tabel 3. Hasil analisis kandungan lumpur padat
No. Parameter Satuan Lumpur padat
1 pH 5,4
2 Kadar Air % *
3 N % 0,39
4 C-Organik % 3,36
5 P % 2,1 x 10-4
6 K % 93 x 10-4
7 Fe ppm 2,92 x 104
8 Al ppm 16,15 x 104
9 Mn ppm 2044
10 Ni ppm 5,7
11 Pb ppm 1,52
12 Cu ppm 24
13 Mg % 0,11
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: * : tidak diukur; - : tidak terdeteksi
Analisis kandungan lumpur padat dengan membandingkan hasil uji laboratorium
dengan SNI 19-7030-2004 sebagai baku mutu. Kandungan pH lumpur padat sebesar 5,4
pada hasil uji laboratorium berada di bawah baku mutu kandungan pH minimal untuk
kompos menurut SNI yaitu kandungan pH minimal sebsar 6,8. Kandungan C sebesar 3,36 %
dan kandungan N sebesar 0,39 % juga masih dibawah baku mutu minimal menurut SNI 19-
7030-2004 yaitu kandungan C minimal sebesar 9,8 % dan kandungan N minimal sebesar 0,4
%.
Analisis selanjutnya adalah melihat kandungan unsur mikro yang terdiri dari logam-
logam berat berbahaya dan unsur logam lainnya dan membandingkan dengan SNI 19-7030-
21
2004. Kandungan unsur mikro yang diuji dan terdeteksi berdasarkan hasil uji laboratorium
adalah Ni, Cu dan Pb. Kandungan Ni pada lumpur sebesar 5,7 ppm, kandungan Cu sebesar
24 ppm dan kandungan Pb sebesar 1,52 ppm masih dibawah baku mutu maksimal menurut
SNI 19-7030-2004 yaitu kandungan Ni maksimal sebesar 62 ppm, kandungan Cu maksimal
sebesar 100 ppm dan kandungan Pb maksimal sebesar 150 ppm. Kandungan unsur logam
lain yang terdeteksi adalah kandungan Fe, Al, Mn, dan Mg. Kandungan Fe sebesar 2,92 %,
kandungan Al sebesar 16,15 %, dan kandungan Mg sebesar 0,11 % melebihi baku mutu
maksimal menurut SNI 19-7030-2004, sedangkan kandungan Mn sebesar 2,044 x 10-6
%
(dari satuan ppm dikonversi menjadi %) masih jauh berada dibawah baku mutu maksimal.
Tabel 4. Hasil analisis kandungan jerami
No. Parameter Satuan Jerami
1 pH 6,4
2 Kadar Air % *
3 N % 1,51
4 C-Organik % 45,8
5 P % 0,14
6 K % 1,88
7 Fe ppm 955
8 Al ppm 3848
9 Mn ppm 556
10 Ni ppm 1,3
11 Pb ppm 1,6
12 Cu ppm 10
13 Mg % 0,11
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: * : tidak diukur; - : tidak terdeteksi
Analisis kandungan jerami dengan membandingkan hasil uji laboratorium dengan
SNI 19-7030-2004 sebagai baku mutu. Kandungan pH jerami sebesar 6,4 pada hasil uji
laboratorium berada di bawah baku mutu kandungan pH minimal untuk kompos menurut
SNI yaitu kandungan pH minimal sebsar 6,8. Kandungan C sebesar 45,8 % melebihi baku
mutu maksimal kandungan C sebesar 32 % dan kandungan N sebesar 1,51 % memenuhi
baku mutu menurut SNI 19-7030-2004.
Analisis selanjutnya adalah melihat kandungan unsur mikro yang terdiri dari logam-
logam berat berbahaya dan unsur logam lainnya dan membandingkan dengan SNI 19-7030-
2004. Kandungan unsur mikro yang diuji dan terdeteksi berdasarkan hasil uji laboratorium
adalah Ni, Cu dan Pb. Kandungan Ni sebesar 1,3 ppm, kandungan Cu sebesar 10 ppm dan
22
kandungan Pb sebesar 1,6 ppm masih dibawah baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-
2004 yaitu kandungan Ni maksimal sebesar 62 ppm, kandungan Cu maksimal sebesar 100
ppm dan kandungan Pb maksimal sebesar 150 ppm. Kandungan unsur logam lain yang
terdeteksi adalah kandungan Fe, Al, Mn, dan Mg. Kandungan Fe sebesar 9,55 x 10-6 %,
kandungan Al sebesar 38,48 x 10-6 %, dan kandungan Mn sebesar 5,56 x 10
-6 % (dari satuan
ppm dikonversi menjadi %) tidak melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-
2004, sedangkan kandungan Mg sebesar 0,11 % melebihi baku mutu maksimal menurut SNI
19-7030-2004.
Tabel 5. Hasil analisis kandungan pupuk kandang
No. Parameter Satuan Pupuk kandang
1 pH 7,2
2 Kadar Air % 18,7
3 N % 1,36
4 C-Organik % 20,27
5 P % 0,57
6 K % 1,1
7 Fe ppm 6983
8 Al ppm 37130
9 Mn ppm 1679
10 Ni ppm 1
11 Pb ppm -
12 Cu ppm 23
13 Mg % 0,98
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: * : tidak diukur; - : tidak terdeteks
Analisis kandungan pupuk kandang dengan membandingkan hasil uji laboratorium
dengan SNI 19-7030-2004 sebagai baku mutu. Kandungan pH pupuk kandang sebesar 7,2
pada hasil uji laboratorium memenuhi baku mutu kandungan pH muntuk kompos menurut
SNI yaitu dengan batas minimal 6,8 dan batas maksimal 7,49. Kandungan C sebesar 20,27 %
juga memenuhi baku mutu minimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu kandungan C dengan
batas minimal sebesar 9,8 % dan batas maksimal sebesar 32 % , sedangkan kandungan N
sebesar 1,36 % memenuhi batas minimal sebesar 0,4 %.
Analisis selanjutnya adalah melihat kandungan unsur mikro yang terdiri dari logam-
logam berat berbahaya dan unsur logam lainnya dan membandingkan dengan SNI 19-7030-
2004. Kandungan unsur mikro yang diuji dan terdeteksi berdasarkan hasil uji laboratorium
23
adalah Ni, Cu dan Pb. Kandungan Ni pada pupuk kandang sebesar 1 ppm dan kandungan Cu
sebesar 23 ppm masih dibawah baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu
kandungan Ni maksimal sebesar 62 ppm dan kandungan Cu maksimal sebesar 100 ppm.
Kandungan Pb tidak terdeteksi di dalam sampel pupuk kandang.
Kandungan unsur logam lain yang terdeteksi adalah kandungan Fe, Al, Mn, dan Mg.
Kandungan Fe sebesar 69,83 x 10-6 %, kandungan Al sebesar 371,3 x 10
-6 %, dan
kandungan Mn sebesar 16,79 x 10-6
% (dari satuan ppm dikonversi menjadi %) tidak
melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004, sedangkan kandungan Mg
sebesar 0,98 % melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004.
4.4 Hasil Kompos Produk akhir pengomposan adalah pupuk kompos dengan struktur, warna, dan bau
seperti tanah, serta memiliki suhu yang sama dengan lingkungan (Pichtel, 2005). Pada sub-
bab ini penulis akan menampilkan gambar perbandingan kompos hari pertama dengan hari
ke-60, serta contoh pupuk kompos hasil pengomposan yang telah dilakukan selama 60 hari.
Gambar 9 merupakan gambar yang memperlihatkan kondisi tumpukan kompos 1
pada hari pertama, dimana pada hari ini baru saja dilakukan pemasukan bahan-bahan
campuran jerami, lumpur padat, dan pupuk kandang ke dalam box kompos. Pada hari
pertama ini bahan-bahan tersebut belum sepenuhnya terdekomposisi karena masih berada
tahap awal pengomposan atau belum terjadi proses dekomposisi oleh bakteri.
Gambar 10 merupakan gambar yang memperlihatkan kondisi tumpukan kompos 1
pada hari terakhir proses pengomposan (hari ke-60). Pada hari ke-60 ini jerami, lumpur
padat, dan pupuk kandang telah terdekomposisi dan tercampur membentuk suatu produk
berupa pupuk kompos.
Gambar 9. Kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang) hari pertama
24
Gambar 10. Kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang) hari ke-60
Pada pengukuran berat hari pertama pengomposan, didapat berat tumpukan kompos
yang terdiri dari jerami, pupuk kandang, dan lumpur padat WTP adalah 300 kg. Pengukuran
berat pun dilakukan setelah masa pengomposan berakhir yaitu pada hari ke-60. Didapat berat
tumpukan kompos pada hari ke-60 adalah 145,5 kg. Dapat disimpulkan bahwa pada hari ke-
60 didapat hasil sebesar 48,5 % dari berat awal tumpukan.
Gambar 11. Kompos box 2 (dengan aktivator bakteri probio) hari pertama
Gambar 11 merupakan gambar yang memperlihatkan kondisi tumpukan kompos 2
pada hari pertama, dimana pada hari ini baru saja dilakukan pemasukan bahan-bahan
campuran jerami, lumpur padat, dan bakteri probio. Pada hari pertama ini bahan-bahan
tersebut belum sepenuhnya terdekomposisi karena masih berada pada tahap awal
pengomposan atau belum terjadi proses dekomposisi oleh bakteri.
25
Gambar 12. Kompos box 2 (dengan aktivaotr bakteri probio) hari ke-60
Gambar 12 merupakan gambar yang memperlihatkan kondisi tumpukan kompos 2
pada hari terakhir proses pengomposan (hari ke-60). Pada hari ke-60 ini jerami, lumpur
padat, dan pupuk kandang telah terdekomposisi dan tercampur membentuk suatu produk
berupa pupuk kompos.
Pada pengukuran berat hari pertama pengomposan, didapat berat tumpukan kompos
yang terdiri dari jerami dan lumpur padat WTP adalah 190 kg ditambah 100 ml probio cair.
Pengukuran berat pun dilakukan setelah masa pengomposan berakhir yaitu pada hari ke-60.
Didapat berat tumpukan kompos pada hari ke-60 adalah 112 kg. Dapat disimpulkan bahwa
pada hari ke-60 didapat hasil sebesar 58,95 % dari berat awal tumpukan. Perbedaan berat
antara hasil kompos 1 dan kompos 2 dikarenakan perbedaan komposisi masing-masing
bahan.
Gambar 13. Pengeringan 3,3 kg kompos box 1 (dengan aktivator pupuk kandang)
26
Gambar 14. Pengeringan 2 kg kompos box 2 (dengan aktivator bakteri probio)
Langkah selanjutnya adalah proses penyelesaian untuk mendapatkan produk kompos
yang siap pakai. Proses penyelesaian ini meliputi pengeringan selama 7 hari, pengadukan,
dan penyaringan kompos yang masih bertekstur kasar sehingga didapat hasil kompos yang
halus dan siap pakai. Gambar 13 dan Gambar 14 merupakan contoh proses pengeringan hasil
kompos box 1 dan box 2 untuk dijadikan sampel uji laboratorium.
Setelah proses pengeringan dan pengadukan adalah penyaringan dan kemudian berat
masing-masing kompos setelah penyaringan diukur. Berat kompos box 1 setelah
penyaringan adalah 50 kg, sedangkan berat kompos box 2 setelah penyaringan adalah 86 kg.
Dapat disimpulkan bahwa setelah disaring didapat hasil sebesar 26,32% dari berat awal
tumpukan untuk kompos 1 dan didapat hasil sebesar 28,67 % dari berat awal tumpukan
untuk kompos 2. Gambar 16 dan Gambar 17 memperlihatkan foto hasil kompos setelah
disaring.
Gambar 15. Alat penyaring
27
Gambar 16. Sampel kompos box 1 setelah disaring
Gambar 17. Sampel kompos box 2 setelah disaring
28
4.5 Analisis Kandungan Pupuk Kompos
Hasil analisis kandungan kompos berdasarkan uji laboratorium di balai penelitian
tanah dengan metode kompos 1 yaitu dengan perlakuan pengunaan aktivator berupa pupuk
kandang, serta perbandingannya dengan baku mutu kompos menurut SNI 19-7030-2004
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis kandungan kompos 1
No. Parameter Satuan Kompos 1 Baku mutu
(SNI 19-7030-2004)
Minimum Maksimum
1 pH 7,5** 6,80 7,49
2 Kadar Air % 28,67 - 50
3 N % 0,69 0,40 -
4 C-Organik % 26,01 9,80 32
5 P % 0,35 0,1 -
6 K % 0,25
0,20 *
7 Fe % 12648 x 10-4
* 2
8 Al % 4,59** - 2,2
9 Mn % 533 x 10-4
- 0,1
10 Ni ppm 11 * 62
11 Pb ppm - * 150
12 Cu ppm 17 * 100
13 Mg % 0,3 * 0,60
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: * : nilai lebih besar dari minum, lebih kecil dari maksimum
**: tidak sesuai baku mutu
- : tidak terdeteksi
Analisis kandungan pupuk kompos 1 dengan membandingkan hasil uji laboratorium
dengan SNI 19-7030-2004 sebagai baku mutu. Kandungan pH pupuk kompos 1 sebesar 7,5
pada hasil uji laboratorium melebihi baku mutu maksimal kandungan pH menurut SNI
kompos yaitu dengan batas maksimal 7,49, namun angka ini masih bisa diterima karena
perbedaannya tidak terlalu besar. Kandungan C sebesar 26,01 % memenuhi baku mutu
minimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu kandungan C dengan batas minimal sebesar 9,8 %
dan batas maksimal sebesar 32 % , sedangkan kandungan N sebesar 0,69 % memenuhi batas
minimal sebesar 0,4 %.
29
Analisis selanjutnya adalah melihat kandungan unsur mikro yang terdiri dari logam-
logam berat berbahaya dan unsur logam lainnya dan membandingkan dengan SNI 19-7030-
2004. Kandungan unsur mikro yang diuji dan terdeteksi berdasarkan hasil uji laboratorium
adalah Ni, Cu dan Pb. Kandungan Ni pada pupuk kandang sebesar 11 ppm dan kandungan
Cu sebesar 17 ppm masih dibawah baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu
kandungan Ni maksimal sebesar 62 ppm dan kandungan Cu maksimal sebesar 100 ppm.
Kandungan Pb tidak terdeteksi di dalam sampel pupuk kompos 1.
Kandungan unsur logam lain yang terdeteksi adalah kandungan Fe, Al, Mn, dan Mg.
Kandungan Fe sebesar 12648 x 10-4
%, kandungan Mn sebesar 533 x 10-4
% (dari satuan
ppm dikonversi menjadi %) tidak melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-
2004, begitu juga kandungan Mg sebesar 0,3 % tidak melebihi baku mutu maksimal menurut
SNI 19-7030-2004. Kandungan Al sebesar 4,59 % melebihi baku mutu maksimal menurut
SNI 19-7030-2004 yaitu sebesar 2,2 %.
Analisis selanjutnya adalah perbandingan antara hasil analisis kandungan kompos 1
dengan hasil analisis kandungan lumpur padat, jerami, dan pupuk kandang. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui jenis bahan baku apa yang memberikan sumbangan terbesar
suatu parameter kepada hasil kompos 1. Tabel 7 menunjukkan data analisis kandungan
lumpur padat, jerami, dan pupuk kandang dengan data analisis kandungan kompos 1.
Tabel 7. Analisis perbandingan bahan baku dengan hasil akhir kompos 1
No. Parameter Satuan Pupuk
kandang
Lumpur
padat
Jerami Kompos 1
1 N % 1,36 0,39 1,51 0,69
2 C-Organik % 20,27 3,36 45,8 26,01
3 P % 0,57 2,1x10-4
0,14 0,35
4 K % 1,1
93x10-4
1,88 0,25
5 Fe ppm 6983 2,92x104
955 12648
6 Al ppm 37130 16,15x104
3848 4,59x104
7 Mn ppm 1679 2044 556 533
8 Ni ppm 1 5,7 1,3 11
9 Pb ppm - 1,52 1,6 -
10 Cu ppm 23 24 10 17
11 Mg % 0,98 0,11 0,11 0,3
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: - : tidak terdeteksi
30
Menurut Tabel 7, kandungan nitrogen (N), karbon (C), dan kalium (K) terbesar
terkandung pada jerami. Kandungan fosfor (P) dan kandungan Magnesium (Mg) terbesar
terkandung pada pupuk kandang. Kandungan besi (Fe), Aluminium (Al), Mangan (Mn,
Nikel (Ni), timbal (Pb), dan Cu terbesar terkandung pada lumpur padat.
Parameter-parameter logam Fe, Al, Mn, Pb, Cu, dan Mg pada lumpur padat
mengalami penurunan konsentrasi setelah dilakukan pengomposan, kecuali logam Ni.
Konsentrasi logam Fe pada lumpur padat sebesar 2,92x104
ppm mengalami penurunan
menjadi 12648 ppm setelah menjadi kompos. Konsentrasi Al pada lumpur padat sebesar
16,15x104
ppm mengalami penurunan menjadi 4,59x104 ppm setelah menjadi kompos.
Begitu juga pada logam Mn, Pb, Cu, dan Mg. Konsentrasi logam Ni pada lumpur padat
sebsar 5,7 ppm mengalami kenaikan menjadi 11 ppm setelah menjadi kompos.
Hasil analisis kandungan kompos 2 berdasarkan uji laboratorium di balai penelitian
tanah dengan metode kompos 2 yaitu dengan perlakuan pengunaan aktivator berupa bakteri
probio, serta perbandingannya dengan baku mutu kompos menurut SNI 19-7030-2004 dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis kandungan kompos 2
No. Parameter Satuan Kompos 2 Baku mutu
(SNI 19-7030-2004)
Minimum Maksimum
1 pH 6,3 6,80 7,49
2 Kadar Air % 24,28 - 50
3 N % 0,57 0,40 -
4 C-Organik % 19,69 9,80 32
5 P % 0,15 0,1 -
6 K % 0,12
0,20 *
7 Fe % 11876 x 10-4
* 2
8 Al % 6,26** - 2,2
9 Mn % 534 x 10-4
- 0,1
10 Ni ppm 7,8 * 62
11 Pb ppm - * 150
12 Cu ppm 11 * 100
13 Mg % 0,14 * 0,60
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: * : nilai lebih besar dari minum, lebih kecil dari maksimum; - : tidak terdeteksi
**: tidak sesuai baku mutu
Analisis kandungan pupuk kompos 2 dengan membandingkan hasil uji laboratorium
dengan SNI 19-7030-2004 sebagai baku mutu. Kandungan pH pupuk kompos 2 sebesar 6,3
pada hasil uji laboratorium tidak melebihi baku mutu maksimal kandungan pH menurut SNI
31
kompos yaitu dengan batas maksimal 7,49. Kandungan C sebesar 24,28 % memenuhi baku
mutu minimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu kandungan C dengan batas minimal sebesar
9,8 % dan batas maksimal sebesar 32 % , sedangkan kandungan N sebesar 0,57 %
memenuhi batas minimal sebesar 0,4 %.
Analisis selanjutnya adalah melihat kandungan unsur mikro yang terdiri dari logam-
logam berat berbahaya dan unsur logam lainnya dan membandingkan dengan SNI 19-7030-
2004. Kandungan unsur mikro yang diuji dan terdeteksi berdasarkan hasil uji laboratorium
adalah Ni, Cu dan Pb. Kandungan Ni pada pupuk kandang sebesar 7,8 ppm dan kandungan
Cu sebesar 11 ppm masih dibawah baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu
kandungan Ni maksimal sebesar 62 ppm dan kandungan Cu maksimal sebesar 100 ppm.
Kandungan Pb tidak terdeteksi di dalam sampel pupuk kompos 2. Kandungan unsur logam
lain yang terdeteksi adalah kandungan Fe, Al, Mn, dan Mg. Kandungan Fe sebesar 11876 x
10-4 % dan kandungan Mn sebesar 534 x 10
-4 % (dari satuan ppm dikonversi menjadi %)
tidak melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004, begitu juga kandungan Mg
sebesar 0,3 % tidak melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004. Kandungan
Al sebesar 6,26 % melebihi baku mutu maksimal menurut SNI 19-7030-2004 yaitu sebesar
2,2 %.
Analisis selanjutnya adalah perbandingan antara hasil analisis kandungan kompos 2
dengan hasil analisis kandungan lumpur padat dan jerami. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui jenis bahan baku apa yang memberikan sumbangan terbesar suatu parameter
kepada hasil kompos 2. Tabel 9 menunjukkan data analisis kandungan lumpur padat, jerami,
dan pupuk kandang dengan data analisis kandungan kompos 1.
Tabel 9. Analisis perbandingan bahan baku dengan hasil akhir kompos 2
No. Parameter Satuan Lumpur
padat
Jerami Kompos 2
1 N % 0,39 1,51 0,57
2 C-Organik % 3,36 45,8 19,69
3 P % 2,1x10-4
0,14 0,15
4 K % 93x10-4
1,88 0,12
5 Fe ppm 2,92x104
955 11876
6 Al ppm 16,15x104
3848 6,26x104
7 Mn ppm 2044 556 534
8 Ni ppm 5,7 1,3 7,8
9 Pb ppm 1,52 1,6 -
10 Cu ppm 24 10 11
11 Mg % 0,11 0,11 0,3
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanah
Keterangan: - : tidak terdeteksi
32
Menurut Tabel 9, kandungan nitrogen (N), karbon (C), dan kalium (K) terbesar
terkandung pada jerami. Kandungan besi (Fe), Aluminium (Al), Mangan (Mn, Nikel (Ni),
timbal (Pb), dan Cu terbesar terkandung pada lumpur padat.
Parameter-parameter logam Fe, Al, Mn, Pb, Cu, dan Mg pada lumpur padat
mengalami penurunan konsentrasi setelah dilakukan pengomposan, kecuali logam Ni.
Konsentrasi logam Fe pada lumpur padat sebesar 2,92x104
ppm mengalami penurunan
menjadi 11876 ppm setelah menjadi kompos. Konsentrasi Al pada lumpur padat sebesar
16,15x104
ppm mengalami penurunan menjadi 6,26x104 ppm setelah menjadi kompos.
Begitu juga pada logam Mn, Pb, Cu, dan Mg. Konsentrasi logam Ni pada lumpur padat
sebsar 5,7 ppm mengalami kenaikan menjadi 7,8 ppm setelah menjadi kompos.
4.6 Manajemen Biaya Pengomposan
Manajemen biaya adalah proses dimana suatu perusahaan atau individu mengontrol
dan merencanakan biaya dalam melakukan suatu kegiatan bernilai ekonomi. Dalam
menjalani suatu kegiatan perlu dilakukan perencanaan berupa manajemen biaya. Begitu juga
dalam penelitian ini perlu dicantumkan hasil manajemen biaya produksi kompos dengan
mengetahui harga satuan bahan baku atau biaya bahan baku langsung (direct material cost)
dan juga biaya tenaga kerja langsung (direct manufacturing labor cost). Sebelum
mengetahui biaya masing-masing bahan, perlu diketahui prediksi kebutuhannya.
Tabel 10. Kebutuhan bahan pembuatan 2 box kompos dan pelataran
No Bahan Kebutuhan
1 Hebel (tebal 7 cm) 2 m3
2 Pasir 2 m3
3 Semen 5 sak (1 sak, 40 kg)
4 Batu bata merah 70 buah
5 Cangkul 1 buah
6 Ember hitam 2 buah
7 Sendok semen 1 buah
Tabel 10 menunjukkan jumlah kebutuhan bahan bangunan seperti hebel, semen, dan
lain-lain yang digunakan untuk pembuatan 2 box kompos dan pelataran/lantai box kompos,
yaitu box kompos 1 dengan aktivator pupuk kandang dan box kompos 2 dengan aktivator
probio. Pembuatan dimulai dari membuat pelataran yaitu pengerasan lantai kerja dan sebagai
33
lantai box kompos hingga penyusunan hebel. Pembuatan pelataran dan 2 box kompos
dilakukan oleh 2 orang pekerja selama 6 hari dan tiap hari-nya pekerjaan dilakukan selama 6
jam atau setara dengan 3 hari orang kerja (hok). Tabel 10 menunjukkan data kebutuhan
bahan-bahan untuk membuat 2 box kompos berukuran 150 cm x 150 cm x 70 cm (panjang x
lebar x tinggi) dan pelataran berukuran 350 cm x 150 cm x 20 cm.
Tabel 11. Biaya pembuatan 2 box kompos dan pelataran
Uraian Harga satuan (Rp) Total biaya per bahan
(Rp)
2 m³ hebel (tebal 7 cm) 815.000 1.630.000
1 engkel pasir (2m³) 470.000 470.000
5 sak semen 40 kg 46.500 232.500
70 buah bata merah 675 47.250
1 set cangkul 35.000 35.000
2 ember hitam 5.000 10.000
1 buah sendok semen 12.000 12.000
Total biaya 2.436.750
Tabel 11 menunjukkan satuan harga dan total biaya dari pembuatan 2 box kompos
dan pelataran/lantai box kompos. Total biaya untuk pembuatan 2 box kompos dan pelataran
adalah Rp. 2.436.750 dimana total biaya ini mengacu kepada daftar kebutuhan bahan-bahan
pada Tabel 6 dan biaya yang mencakup keseluruhan bahan yang dibutuhkan untuk membuat
2 box kompos dan pelataran.
Tabel 12. Kebutuhan bahan pembuatan kompos box 1
No Bahan Kebutuhan
1 Lumpur WTP (Padat) 100 kg
2 Pupuk kandang 100 kg
3 Jerami 100 kg
34
Tabel 13. Kebutuhan bahan pembuatan kompos box 2
No Bahan Kebutuhan
1 Lumpur WTP (Padat) 90 kg
2 Bakteri Probio (Cair) 100 ml
3 Jerami 100 kg
Tabel 12 menunjukkan jumlah kebutuhan bahan pembuatan kompos untuk box
kompos 1, diantaranya adalah Lumpur padat sebanyak 100 kg, pupuk kandang sebanyak 100
kg, dan jerami sebanyak 100 kg. Kebutuhan bahan ini disesuaikan dengan proses
pengomposan yang telah dilakukan pada box kompos 1. Pada Tabel 13 merupakan
kebutuhan bahan pembuatan kompos untuk box kompos 2 yang menjadi pembanding
kompos pada box kompos 1. Oleh karena itu, digunakan jenis aktivator yang berbeda yaitu
menggunakan bakteri probio cair. Kebutuhan lumpur padat adalah sebanyak 90 kg, bakteri
probio sebanyak 100 ml (berdasarkan petunjuk pemakaian setara dengan pupuk kandang 100
kg), dan jerami sebanyak 100 kg.
Tabel 14. Biaya bahan pembuatan kompos 1
Uraian Harga satuan
(Rp) Total biaya per bahan
(Rp)
100 kg Jerami - 30.000
10 karung pupuk kandang (1 karung, 10
kg) 6.000 60.000
Lumpur WTP (padat) - -
Total biaya 90.000
Tabel 14 menunjukkan satuan harga dan total biaya bahan sesuai kebutuhan pada
box 1 untuk dilakukan pengomposan. Total biaya pembuatan kompos pada box 1 adalah Rp.
35
90.000 dimana total biaya ini mengacu kepada daftar kebutuhan bahan-bahan pembuatan
kompos box 1 pada tabel 12.
Tabel 15. Biaya bahan pembuatan kompos 2
Uraian Harga satuan (Rp) Total biaya per bahan
(Rp)
100 kg Jerami - 30.000
1 botol (1 liter) bakteri probio cair 35.000 35.000
Lumpur WTP (padat) - -
Total biaya 65.000
Tabel 15 menunjukkan satuan harga dan total biaya bahan sesuai kebutuhan pada
box 2 untuk dilakukan pengomposan. Total biaya pembuatan kompos pada box 1 adalah Rp.
65.000 dimana total biaya ini mengacu kepada daftar kebutuhan bahan-bahan pembuatan
kompos box 2 pada tabel 9. Khusus untuk bakteri probio cair hanya tersedia dalam kemasan
botol yang mengandung 1 liter bakteri probio cair.
Tabel 16. Biaya pembelian bahan 2 box kompos
Uraian Harga satuan (Rp) Total biaya per bahan
(Rp)
1 botol Bakteri probio (1 liter) 35.000 35.000
25 karung pupuk kandang 6.000 150.000
Jerami 300 kg 100.000 100.000
Lumpur padat - -
Total biaya 285.000
36
Tabel 16 menunjukkan satuan harga dan total biaya pembelian bahan untuk kedua
box kompos yang telah dilakukan. Dari bakteri probio 1 liter hanya terpakai 100 ml untuk
pengomposan box kompos 2. Dari 25 karung pupuk kandang hanya terpakai 10 karung untuk
pengomposan box kompos 1. Dari 300 kg jerami hanya terpakai 200 kg untuk box 1 dan box
2. Sisa bahan tersebut dapat menjadi investasi dalam penggunaan pengomposan selanjutnya.
Selama proses pengomposan, tumpukan kompos perlu dilakukan perawatan dan
pengawasan seperti kontrol kelembaban yaitu penyiraman tumpukan kompos dengan air
maupun pembalikan tumpukan kompos. Oleh karena itu, biaya upah pekerja/pengawas perlu
dimasukkan kedalam manajemen biaya. Untuk 2 box kompos diperlukan minimal satu
pekerja/pengawas yang minimal bekerja setengah hari tiap harinya selama satu masa
pengomposan (2 bulan). Biaya upah ini setara dengan upah pekerja 30 hari orang kerja
(HOK). Upah ini juga termasuk hari terakhir dimana tahap penyelesaian pengomposan
dilakukan.
Biaya pemanfaatan lumpur limbah mencakup total biaya bahan-bahan yang
dibutuhkan dalam proses pengomposan ditambah biaya perawatan dan pengawasan selama
proses pengomposan sampai tahap penyelesaian hasil kompos. Total biaya pemanfaatan
limbah lumpur sebanyak 100 kg pada box kompos 1 adalah Rp 90.000 ditambah dengan
biaya upah pekerja 30 hari orang kerja (HOK). Total biaya pemanfaatan limbah lumpur
sebanyak 90 kg pada box kompos 2 adalah Rp 65.000 ditambah dengan biaya upah pekerja
30 hari orang kerja (HOK).
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pemanfaatan lumpur padat yang merupakan limbah dari WTP PT. KTI melalui
proses pengomposan telah berhasil dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat
dengan didapatnya produk kompos yang merupakan hasil akhir dari penelitian ini. Metode
pengomposan yang dilakukan adalah metode pengomposan aerobik yang menggunakan
sistem aerasi buatan sehingga melibatkan oksigen dalam proses pengomposan. Pengomposan
berakhir pada hari ke-60, setelah suhu tumpukan kompos sudah sama dengan suhu
lingkungan sebesar 32 0C dan warna dominan kompos menyamai warna tanah.
Suhu kompos mengalami naik-turun dan bervariasi setiap harinya. Meningkatnya
dan menurunnya suhu dari campuran kedua kompos tersebut diakibatkan oleh tingkat
aktivitas mikroorganisme/bakteri yang ada di dalam aktivator pupuk kandang maupun
bakteri probio. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan jumlah bakteri dalam
100 ml probio dengan jumlah bakteri dalam 100 kg pupuk kandang, sehingga pada grafik
suhu terlihat perbedaan suhu/tingkat aktivitas bakteri pada tumpukan kompos 1 dan
tumpukan kompos 2.
Hasil analisis perbandingan kandungan kompos dengan baku mutu kompos menurut
SNI 19-7030-2004 menunjukkan pada kompos 1 parameter yang masih melebihi baku mutu
adalah nilai pH dan kandungan Al, sedangkan pada kompos 2 parameter yang melebihi baku
mutu adalah hanya kandungan Al saja. Parameter lainnya pada kedua jenis kompos seperti
kandungan C, N, P, K dan logam-logam seperti Fe, Mg, Mn, Cu, Ni dan Pb masih memenuhi
baku mutu menurut SNI 19-07030-2004.
Pada kedua hasil kompos, parameter-parameter logam Fe, Al, Mn, Pb, Cu, dan Mg
pada lumpur padat mengalami penurunan konsentrasi setelah dilakukan pengomposan,
kecuali logam Ni. Pada kompos 1 konsentrasi Ni mengalami kenaikan menjadi 11 ppm,
sedangkan pada kompos 2 konsentrasi Ni mengalami kenaikan menjadi 7,8 ppm. Dapat
disimpulkan bahwa dari pengomposan yang dilakukan dapat menurunkan konsentrasi Fe, Al,
Mn, Pb, Cu, dan Mg, akan tetapi tidak dapat menurunkan konsentrasi Ni.
5.2 Saran
Selama proses pengomposan perlu dilakukan pengadukan secara merata agar suhu
tumpukan kompos dapat menyebar secara rata ke seluruh permukaan kompos. Metode
pengomposan dengan pengadukan ini dapat juga dilakukan pada box kompos terpisah
sebagai perlakuan ketiga dan dapat dijadikan perbandingan dengan metode pengomposan
statis/tanpa diaduk yang telah dilakukan. Pengukuran kandungan bakteri dari masing-masing
bahan juga perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah bakteri antara pupuk
kandang dengan probio
Lumpur padat merupakan bahan yang menyumbangkan Al paling besar di dalam
kompos karena konsentrasi ppm-nya yang tinggi. Kandungan Al dapat dikurangi dengan
memilih komposisi yang tepat antara ketiga bahan baku kompos agar didapat hasil kompos
dengan mutu sesuai SNI 19-7030-2004.
38
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Unites States of America. (Terhubung berkala http://www.epa.gov) (14
Agustus 2012).
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.
Daizell. H.W., A.J Biddlestone, K. R. Gray, and K. Thurairajan. 1980. Soil Management :
Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environment. Soil
Bulletin No. 56. Food and Agricultural Organization of The United Nation.
Canet, R., Pomares, F., Cabot, B., Chaves, C., Ferrer, E., Ribo, M., and Albiach, M.R. 2008.
Composting Olive Mill Pomace and Other Residues from Rural Southeastern Spain.
Waste Management 28:2585-2592.
Darwati, Sri. 2008. Kajian kualitas kompos sampah organik rumah tangga. Jurnal
Pemukiman 3(1): 30-43.
Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rural Composting. Rome: Food and Agricultural
Organization of The United Nation.
Liu, David H.F and Liptak,Bela G. 1999. Hazardous Waste and Solid Waste. Florida: CRC
Press.
Linsley, Ray K., Franzini, Joseph B., Freyberg, David L., Tchobanoglous, George. 1991.
Water Resources Engineering. New York: McGraw-Hill.
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan Idayu.
Haug, RT. 1980. Composting Engineering. Michigan: Ann Arbor Science.
Haga, K. 1990. Production of Compost from Organic Waste. Technical Bulletin No. 311.
Food and Fertilizer Technology Center, Taiwan.
Kurniawan, A. 2011. Dasar Perencanaan Unit Produksi Air. Modul Kuliah Teknik Sanitasi
Lingkungan. Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fateta IPB. Bogor.
Metcalf and Eddy. 1991. Waste Water Engineering Treatment Disposal. New York:
McGraw-Hill.
Murbandono, L. 1983. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kurniasih, Novyana. 2012. Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah
Pertanian. [tesis].Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun.
39
Perez, L.R., Marinez, C., Marcilla, P., and Boluda, R. 2009. Composting Rice Straw with
Sewage Sludge and Compos Effects On The Soil-plant System. Chemosphere 75:
781-787.
Pichtel, J. 2005. Waste Management Practices: Municipal, Hazardous, and Industrial.
Florida : CRC Press.
Tim Peneliti. 1997. Laporan Akhir Pengkajian Pemanfaatan Limbah Lumpur Pengolahan Air
Bersih Untuk Bahan Bangunan. PT. Krakatau Tirta Industri, Cilegon.
USEPA. 1998. Emission Factor Documentation for AP-42. Section 9.2.1. Fertilizer
Application. Draft Report. North Carolina: USEPA.
Xi. 2005. A study of composting system of municipal solid waste with bio surfactant.
American Science Journal 2(1): 66-70.
Yuli A.H., H. Ellin., S. Denny. 2008. Deteksi Jumlah Total Bakteri dan Coliform pada
Kompos Kotoran Domba Sebagai Indikator Sanitasi Lingkungan. Lokakarya
Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan.
Zareen K, Anjaneyulu Y. 2006. Bioremediation of contaminated soil and sediment by
composting. Remediation Journal 16(4): 109-122.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Standar Nasional Indonesia tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik (SNI 19-7030-2004)
Keterangan: * : nilai lebih besar dari minum, lebih kecil dari maksimum
42
Lampiran 2. Desain pelataran dan box kompos
43
Lampiran 3. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah B3 (PP No. 85 Tahun 1999)
Kode Limbah Parameter Batas
Konsentrasi
(ppm)
D4001 Aldrin + Dieldrin 0,07
D4002 Arsen 5,0
D4003 Barium 100,0
D4004 Benzene 0,5
D4005 Boron 500,0
D4006 Cadmium 1,0
D4007 Carbon Tetrachloride 0,5
D4008 Chlordane 0,03
D4009 Chlorobenzene 100,0
D4010 Chloroform 6,0
D4011 Chromium 5,0
D4012 Copper 10,0
D4013 o-Cresol 200,0
D4014 m-Cresol 200,0
D4015 P-Cresol 200,0
D4016 Total Cresol 200,0
D4017 Cyanida 200,0
D4018 2,4-D 10,0
D4019 1,4-Dichlorobenzene 7,5
D4020 1,2-Dichloroethylene 0,5
D4021 1,1-Dichloroethylene 0,7
D4022 2,4-Dinitrotoulene 0,13
D4023 Endrin 0,02
D4024 Flourides 150,0
D4025 Heptachlor + Heptachlor Epoxide 0,008
D4026 Hexachlorobenzene 0,13
D4027 Hezachloroethane 0,5
D4028 Hezachloroethane 3,0
D4029 Lead 5,0
D4030 Lindane 0,4
D4031 Mercury 0,2
D4032 Methoxychlor 10,0
D4033 Methyl Ethyl Ketone 200,0
D4034 Methyl Parathion 0,7