penggunaan membran bioreaktor (mbr) pada … · penggunaan membran bioreaktor (mbr) pada activated...

9
PENGGUNAAN MEMBRAN BIOREAKTOR (MBR) PADA ACTIVATED SLUDGE DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI Chandra Ayu Diah Anggraeni (2309105004) dan Safitri Kurniasari (2309105017) Pembimbing : Dr. Ir. Tontowi Ismail, MS Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Kata kunci : MBR, SMBR, COD, activated sludge, flux Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti kinerja pada sistem Membran Bio Reaktor (MBR) yakni kemampuan menurunkan kandungan COD, meneliti pengaruh kondisi anoxic terhadap pengurangan kandungan N dalam air limbah industri. Meneliti kinerja MBR dan SMBR terhadap perubahan fluks. Penelitian ini mengenai pengolahan limbah cair sintesa dengan kandungan ammonia tinggi secara biologis menggunakan Membrane Bio Reactor (MBR). Pengolahan secara biologis ini menggunakan lumpur aktif yang berasal dari tangki aerasi pengolahan limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan tahap percobaan utama. konsentrasi COD yang digunakan adalah 900,1800, dan 2250 mg/L, konsentrasi biomassa (MLSS) 2000 6000 mg/L. Pengamatan terhadap oksigen terlarut (DO), SV, dan bioassay juga dilakukan. Dari hasil penelitian menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari dengan COD 2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 473 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu menurunkan sebesar 178 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 64 dengan F/M ratio 0,19 dengan DO berkisar 3,6 4,9. Dari hasil penelitian tanpa menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari dengan COD 2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 520 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu menurunkan sebesar 190 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 67 dengan F/M ratio 0,19 dengan DO berkisar 3,6 4,9. COD menggunakan membran dan tanpa menggunakan membran didapatkan hasil yang tidak terlalu jauh . Fluks pada percobaan MBR dari kecepatan 30 L/m 2 jam turun menjadi 20,7 L/m 2 jam dalam waktu 15 menit, dibandingkan SMBR dari kecepatan 24 L/m 2 jam turun menjadi 7,2 L/m 2 jam dalam waktu 15 menit . Menurunkan konsentrasi NH 3 dari 349,978 mg/L pada COD 2250 mg/lt menjadi 86,016 mg/lt dengan % removal sebesar 75,42%, dapat menurunkan konsentrasi NH 3 dari 242,458 mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 22,5792 mg/lt dengan % removal sebesar 90,69%, dan dapat menurunkan konsentrasi NH 3 dari 152,141 mg/L pada COD 900 mg/L menjadi 7,7952 mg/L dengan % removal sebesar 94,88 %. Menurunkan konsentrasi NO 3 dari 0,08348 mg/L pada COD 2250 mg/lt menjadi 0,01871 mg/lt dengan % removal sebesar 77,59%, dapat menurunkan konsentrasi NO 3 dari 0,06045 mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 0,0072 mg/lt dengan % removal sebesar 88,10%, dan dapat menurunkan konsentrasi NO 3 dari 0,03023 mg/L pada COD 900 mg/L menjadi 0,00217 mg/L dengan % removal sebesar 92,81%. 1. Pendahuluan Proses biologis dalam pengolahan limbah organik, memerlukan nitrogen (N) dan fosfor (P). Namun kelebihan N dan P dalam effluent air limbah akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan yang akan berdampak buruk terhadap keseimbangan ekologi dan kesehatan manusia. Untuk mengolah limbah dengan kandungan N dan P yang berlebih biasanya dilakukan proses activated sludge yang dilengkapi dengan proses anoxic. Untuk mengatasi kelemahan dari sistem lumpur aktif konvensional, maka dicoba suatu proses lumpur aktif yang dilengkapi dengan menggunakan Submerged Membrane Bioreactor (SMBR). Konsep SMBR secara teknis hampir sama dengan pengolahan limbah biologis konvensional, kecuali proses pemisahan activated sludge dengan effluent yang dilakukan menggunakan membran filtrasi sebagai pengganti sedimentasi. Penggunaan Submerged Membrane Bioreactor (SMBR) di antaranya mampu mengolah bahan organik dengan konsentrasi yang tinggi dan beban yang berfluktuasi. Kualitas air effluent akan meningkat, yang ditandai dengan minimnya kandungan padatan tersuspensi, virus, dan bakteri didalamnya (Chang et al, 2002). persoalan fouling pada membran akibat hadirnya mikroorganisme yang terkait dengan produk mikrobial, konsentrasi, dan ukuran partikel merupakan kendala operasi SMBR. Teknologi Membrane Bioreactor (MBR) menjadi salah satu alternatif yang sedang ditawarkan. Sistem MBR merupakan unit pengolahan limbah cair industri yang terdiri dari proses biologis dan filtrasi membran. Pemakaian teknologi ini di dalam proses lumpur aktif sangat membantu untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam proses lumpur aktif konvensional. Penggunaan membran bioreaktor dapat mengatasi fluktuasi yang berlebih pada kualitas influent dan effluent dapat langsung digunakan serta dengan bioreaktor membran, konsentrasi biomassa (MLSS) dan konsentrasi COD umpan yang terlalu tinggi tidak lagi menjadi masalah. (Chang et al, 2002). 2. Metodologi Variabel Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variabel sebagai berikut : 1. COD : 900, 1800 dan 2250 mg/l 2. MLSS : 2000 - 6000 mg/l

Upload: duongnhan

Post on 27-Feb-2019

264 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGGUNAAN MEMBRAN BIOREAKTOR (MBR) PADA ACTIVATED SLUDGE

DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI Chandra Ayu Diah Anggraeni (2309105004) dan Safitri Kurniasari (2309105017)

Pembimbing : Dr. Ir. Tontowi Ismail, MS

Laboratorium Teknologi Biokimia

Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS

Kata kunci : MBR, SMBR, COD, activated sludge, flux

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti kinerja pada sistem Membran Bio Reaktor (MBR) yakni

kemampuan menurunkan kandungan COD, meneliti pengaruh kondisi anoxic terhadap pengurangan kandungan N

dalam air limbah industri. Meneliti kinerja MBR dan SMBR terhadap perubahan fluks.

Penelitian ini mengenai pengolahan limbah cair sintesa dengan kandungan ammonia tinggi secara biologis

menggunakan Membrane Bio Reactor (MBR). Pengolahan secara biologis ini menggunakan lumpur aktif yang berasal

dari tangki aerasi pengolahan limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dilakukan dalam dua tahap yaitu

tahap pendahuluan dan tahap percobaan utama. konsentrasi COD yang digunakan adalah 900,1800, dan 2250 mg/L,

konsentrasi biomassa (MLSS) 2000 – 6000 mg/L. Pengamatan terhadap oksigen terlarut (DO), SV, dan bioassay juga

dilakukan.

Dari hasil penelitian menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari dengan COD

2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 473 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu menurunkan sebesar

178 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 64 dengan F/M ratio 0,19 dengan DO

berkisar 3,6 – 4,9. Dari hasil penelitian tanpa menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari

dengan COD 2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 520 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu

menurunkan sebesar 190 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 67 dengan F/M ratio

0,19 dengan DO berkisar 3,6 – 4,9. COD menggunakan membran dan tanpa menggunakan membran didapatkan hasil

yang tidak terlalu jauh . Fluks pada percobaan MBR dari kecepatan 30 L/m2 jam turun menjadi 20,7 L/m

2 jam dalam

waktu 15 menit, dibandingkan SMBR dari kecepatan 24 L/m2 jam turun menjadi 7,2 L/m

2 jam dalam waktu 15 menit .

Menurunkan konsentrasi NH3 dari 349,978 mg/L pada COD 2250 mg/lt menjadi 86,016 mg/lt dengan % removal

sebesar 75,42%, dapat menurunkan konsentrasi NH3 dari 242,458 mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 22,5792 mg/lt

dengan % removal sebesar 90,69%, dan dapat menurunkan konsentrasi NH3 dari 152,141 mg/L pada COD 900 mg/L

menjadi 7,7952 mg/L dengan % removal sebesar 94,88 %. Menurunkan konsentrasi NO3 dari 0,08348 mg/L pada COD

2250 mg/lt menjadi 0,01871 mg/lt dengan % removal sebesar 77,59%, dapat menurunkan konsentrasi NO3 dari 0,06045

mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 0,0072 mg/lt dengan % removal sebesar 88,10%, dan dapat menurunkan

konsentrasi NO3 dari 0,03023 mg/L pada COD 900 mg/L menjadi 0,00217 mg/L dengan % removal sebesar 92,81%.

1. Pendahuluan

Proses biologis dalam pengolahan limbah

organik, memerlukan nitrogen (N) dan fosfor (P).

Namun kelebihan N dan P dalam effluent air limbah

akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan

yang akan berdampak buruk terhadap keseimbangan

ekologi dan kesehatan manusia. Untuk mengolah

limbah dengan kandungan N dan P yang berlebih

biasanya dilakukan proses activated sludge yang

dilengkapi dengan proses anoxic. Untuk mengatasi

kelemahan dari sistem lumpur aktif konvensional,

maka dicoba suatu proses lumpur aktif yang dilengkapi

dengan menggunakan Submerged Membrane

Bioreactor (SMBR). Konsep SMBR secara teknis

hampir sama dengan pengolahan limbah biologis

konvensional, kecuali proses pemisahan activated

sludge dengan effluent yang dilakukan menggunakan

membran filtrasi sebagai pengganti sedimentasi.

Penggunaan Submerged Membrane Bioreactor

(SMBR) di antaranya mampu mengolah bahan organik

dengan konsentrasi yang tinggi dan beban yang

berfluktuasi. Kualitas air effluent akan meningkat, yang

ditandai dengan minimnya kandungan padatan

tersuspensi, virus, dan bakteri didalamnya (Chang et al,

2002). persoalan fouling pada membran akibat

hadirnya mikroorganisme yang terkait dengan produk

mikrobial, konsentrasi, dan ukuran partikel merupakan

kendala operasi SMBR. Teknologi Membrane

Bioreactor (MBR) menjadi salah satu alternatif yang

sedang ditawarkan. Sistem MBR merupakan unit

pengolahan limbah cair industri yang terdiri dari proses

biologis dan filtrasi membran. Pemakaian teknologi ini

di dalam proses lumpur aktif sangat membantu untuk

mengatasi kelemahan yang ada dalam proses lumpur

aktif konvensional. Penggunaan membran bioreaktor

dapat mengatasi fluktuasi yang berlebih pada kualitas

influent dan effluent dapat langsung digunakan serta

dengan bioreaktor membran, konsentrasi biomassa

(MLSS) dan konsentrasi COD umpan yang terlalu

tinggi tidak lagi menjadi masalah. (Chang et al, 2002).

2. Metodologi

Variabel

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variabel

sebagai berikut :

1. COD : 900, 1800 dan 2250 mg/l

2. MLSS : 2000 - 6000 mg/l

Analisa Pendahuluan

Analisa pendahuluan terhadap air limbah dilakukan

untuk mengetahui konsentrasi MLSS, MLVSS,

BOD/COD dari limbah cair industri. Data ini

digunakan selanjutnya untuk menghitung jenis dan

jumlah nutrisi yang perlu ditambahkan dan

pengkondisian tahap aklimatisasi mikroba. Untuk

keperluan analisa konsentrasi BOD/COD dan MLSS,

MLVSS, dan DO ditentukan berdasarkan Standart

Method for Examination of Waste and Wastewater

(APHA, 1992). Tahap pembibitan dan aklimatisasi

Pembibitan dilakukan dengan mengambil lumpur

aktif yang diperoleh dari tangki aerasi pengolahan

limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut

(SIER).

Melakukan tahap aklimatisasi dengan

menambahkan limbah sintetis di tangki aerasi.

Melakukan pengamatan dan menganalisa COD,

MLSS, MLVSS, DO, dan bioassay setiap hari.

Menghentikan tahap aklimatisasi apabila dari

hasil pengamatan COD dan MLSS telah

menunjukan kondisi yang stabil.

Melanjutkan ke tahap percobaan.

Tahap percobaan o Mengalirkan limbah dari tangki aerasi ke tangki

anoxic dengan menjalankan recycle.

o Menambahkan limbah sintesis dengan ke dalam

tangki anoxic.

o Melakukan pengamatan dan menganalisa DO

pada tangki anoxic.

o Melakukan pengamatan dan menganalisa COD,

MLSS, MLVSS, DO, Bioassay, kadar amonia

pada tangki aerasi.

o Bila di tangki aerasi limbah mengalami

overflow ke sisi bagian filtrasi yang terdapat

membran ultrafiltrasi sampai terisi penuh, maka

pompa membran ultrafiltrasi dijalankan.

o Melakukan pengamatan dan menganalisa COD,

kadar amonia serta mengukur turbidity pada hasil

filtrasi membran.

o Melakukan pencucian backwashing setelah

membran beroperasi dalam waktu tertentu dan

fluks permeat yang dihasilkan tidak efisien lagi.

o Melakukan operasi seperti langkah-langkah diatas

dengan mengganti variabel yang telah ditetapkan.

Gambar 1. Skematik MBR

3. Hasil dan Pembahasan

Karakteristik limbah ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai

berikut :

Tabel 1 Komposisi Lumpur Aktif PT. SIER Surabaya

No Parameter Lumpur Aktif Konsentrasi

1 COD, mg/L 224

2 BOD, mg/L 149,3

3 MLSS, mg/L 6050

4 MLVSS, mg/L 4830

5 DO 3,8

6 SV, ml/L 700

Tahap Pendahuluan

Gambar 2. Pengamatan MLSS dan COD (mg/L)

terhadap waktu (hari)

Pada Gambar 2. menunjukkan kurva

pengamatan COD dan MLSS pada tahap pembibitan

dan aklimatisasi membutuhkan waktu selama 10 hari.

Dimana terjadi kenaikan MLSS secara signifikan,

namun pada hari ke-3 konsentrasi MLSS mengalami

penurunan. Hal ini terjadi karena adanya penyesuaian

mikroorganisme terhadap kondisi lingkungan. Selain

itu bisa juga dikarenakan mikroorganisme yang

terdapat di dalam lumpur aktif tersebut terikut bersama

supernatan yang terganti dengan limbah sintetis. Pada

hari ke-5 terjadi peningkatan MLSS, hal ini

menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme

relative baik. Kenaikan ini terjadi secara bertahap dan

dihentikan bila MLSS relatif konstan yaitu pada hari ke

10. Sedangkan untuk pengamatan COD pada grafik

menunjukkan selama waktu 10 hari terjadi penurunan

nilai COD. Tahap pembibitan dan aklimatisasi terus

dilakukan seiring dengan meningkatnya konsentrasi

MLSS dan menurunnya konsentrasi COD. Penurunan

konsentrasi COD terjadi karena adanya

mikroorganisme yang dapat beradaptasi dengan limbah

sintetis tersebut dan mampu mendegradasi bahan

organik secara baik.

Tahap Percobaan

Berikut ini hasil pengolahan limbah cair

sintesa dengan kandungan ammonia tinggi secara

biologis dalam mendegradasi beban organik :

Chemical Oxygen Demand (COD)

COD (mg/L) menggunakan membran

Gambar 3. COD (mg/L) terhadap waktu (hari) pada

tangki aerobik

% Removal COD menggunakan membran

Gambar 4. % Removal COD terhadap waktu (hari)

pada tangki aerobik

Untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi COD

menggunakan membran dapat dilihat pada gambar 3.

dan 4. yang menunjukan hubungan antara konsentrasi

COD terhadap waktu untuk mendegradasi limbah

organik pada pengaruh variasi COD umpan 900 mg/L,

1800 mg/L, dan 2250 mg/L. Pada grafik diatas COD

mengunakan membran yang diperoleh dari hari ke-1

sampai hari ke-15 mengalami penurunan. Pada COD

umpan 900 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik

sebesar 440 - 64 mg/L dengan % removal COD 51,11-

92,89 %. COD umpan 1800 mg/L didapatkan nilai

COD pada aerobik sebesar 678 - 178 mg/L dengan %

removal COD 62,33 - 90,11 %. Dan COD umpan 2250

mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 1050

- 473 mg/L dengan % removal COD 53,33 - 78,89 %.

COD (mg/L) tanpa menggunakan membran

Gambar 5.COD (mg/L) terhadap waktu (hari) pada

tangki aerobic

% Removal COD tanpa menggunakan membran

Gambar 6. % Removal COD terhadap waktu (hari)

pada tangki aerobik

Sedangkan untuk mengetahui adanya pengaruh

konsentrasi COD tanpa menggunakan membran dapat

dilihat pada gambar 5. dan 6. yang menunjukan

hubungan antara konsentrasi COD terhadap waktu,

untuk mendegradasi limbah organik pada pengaruh

variasi COD umpan yang berbeda yaitu 900 mg/L,

1800 mg/L, dan 2250 mg/L. Pada grafik diatas COD

tanpa mengunakan membran yang diperoleh dari hari

ke-1 sampai hari ke-15 mengalami penurunan. Pada

COD umpan 900 mg/L didapatkan nilai COD pada

aerobik sebesar 463 – 67 mg/L dengan % removal

COD 48,55 – 92,55 %. Sedangkan pada COD umpan

1800 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar

698 – 190 mg/L dengan % removal COD 61,22 – 89,44

%. Dan pada COD umpan 2250 mg/L didapatkan nilai

COD pada aerobik sebesar 1084 – 520 mg/L dengan %

removal COD 51,82 – 76,89 %. Dari data

perbandingan di atas antara effluent menggunakan

membran dan tanpa menggunakan membran

menunjukan bahwa tidak terjadi perbedaan hasil yang

terlalu jauh. Hal yang sama ditunjukkan juga pada %

removal COD. Hal ini menunjukkan bahwa penggunan

membrane tidak menurunkan nilai COD, tetapi hanya

untuk mengurangi padatan tersuspensi. Pengolahan

limbah cair dengan lumpur aktif di proses aerobik

dipengaruhi oleh rasio F/M yang dapat mempengaruhi

removal COD. Jika rasio F/M terlalu besar maka akan

terjadi bulking sludge, karena tidak terjadi

keseimbangan antara konsentrasi biomass lumpur aktif

dengan pemberian nutrisi/substrat sehingga

memungkinkan kebutuhan dissolved oxygen (DO)

semakin meningkat. Namun jika rasio F/M terlalu

kecil, maka proses di tangki aerobik kurang baik

karena adanya ketidakseimbangan F/M ratio maka

proses filtrasi berfungsi untuk menyempurnakan proses

aerobik dalam menghilangkan COD. Membrane yang

digunakan adalah membrane ultrafiltrasi yang

mempunyai keterbatasan dalam pemisahan COD.

Membran ultrafiltrasi berkemampuan untuk

memisahkan koloid dan partikel padat misalnya

protein, pati, antibiotic, virus, koloidal silica, gelatin,

bahan organic, bakteri, lemak, dan padatan.

AMMONIA

Pada penelitian ini amonia ditambahkan secara sintetis

ke dalam MBR dengan konsentrasi 184,74 mg/L untuk

COD 900 mg/L, konsentrasi 294,41 mg/L untuk COD

1800 mg/L, dan konsentrasi 424,97 mg/L untuk COD

2250 mg/L. Untuk mengukur kadar amonia terlebih

dahulu harus membuat kurva standart ammonia.

Pertama membuat deretan standart dengan kadar 0; 0,5;

1; 2,5; 5 ppm dan memasukkan ke dalam erlenmeyer.

Masing-masing ditambahkan reagen Nessler sebanyak

1 mL dan warna akan berubah menjadi kuning emas.

Setelah terjadi perubahan warna segera diukur

absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 420 nm. Kemudian mengeplot kurva

kalibrasi antara konsentrasi amonia dengan absorbansi

sehingga didapat kurva standard amonia sebagai

berikut :

Pengukuran kadar amonia pada sampel limbah

dilakukan dengan cara mengambil 5 mL permeat, lalu

memasukkan ke dalam erlenmeyer dan

mengencerkannya, dan menambahkan 1 mL reagen

Nessler ke dalam erlenmeyer. Setelah terjadi perubahan

warna segera diamati dengan menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm dan

mencatat besarnya nilai absorbansi yang terbaca.

Kandungan ammonia dalam limbah dianalisa secara

rutin setiap hari untuk mengetahui seberapa besar

penurunan konsentrasi ammonia di dalam MBR. Dari

analisa tersebut diperoleh hasil yang digambarkan

dalam grafik berikut :

Gambar 7. Konsentrasi NH3 pada COD 900, 1800,

2250 mg/L

Gambar 8. % Removal NH3 pada COD 900, 1800,

2250 mg/L

Dari gambar 7 dan 8 dapat dilihat bahwa pada COD

umpan 900 mg/L memberikan persen removal

ammonia yang lebih baik dibandingkan pada COD

2250 mg/L dan 1800 mg/L. Hal ini berkaitan dengan

F/M ratio yang merupakan jumlah substrat sebagai

sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme

yang ditambahkan ke dalam bioreaktor. Dari

perhitungan diketahui bahwa F/M ratio untuk COD 900

mg/L sebesar 0,21 lebih rendah daripada COD 1800

dan 2250 mg/L, sehingga metabolisme

mikroorganisme pada COD 900 mg/L lebih baik dalam

mendegradasi bahan-bahan organik dan amonia dan

juga pengaruh dari kondisi anoxic sebelum masuk ke

tangki aerobik yang berfungsi sebagai pereduksi nitrat

(NO3) secara bertahap menjadi nitrit (NO2), Nitrouse

Dioxide (N2O), Nitrouse oxide (NO), sampai menjadi

N2 dalam kondisi anaerobik. Hal ini ditunjukkan

dengan semakin tingginya removal amoniak yang

dihasilkan dan produk permeat yang dihasilkan oleh

pengolahan limbah mengandung kadar amoniak yang

rendah.

NITRAT

Pada penelitian ini, selain pengukuran kadar ammonia

juga dilakukan pengukuran terhadap kadar nitrat untuk

mengetahui apakah proses denitrifikasi berjalan dengan

baik yaitu berapa kadar nitrat yang masih tersisa di

dalam hasil permeat. Ammonia ditambahkan secara

sintetis ke dalam MBR dengan konsentrasi 900 mg/L

dimana konsentrasi nitratnya sebesar 0,133854 mg/L,

untuk COD 1800 mg/L konsentrasi nitratnya sebesar

0,267708 mg/L, dan untuk COD 2250 mg/L

konsentrasi nitratnya sebesar 0,369692 mg/L. Untuk

mengukur kadar nitrat dalam influent dan permeat

maka harus membuat kurva standart nitrat. Pertama

membuat deretan standart nitrat dengan kadar 0; 1; 1,5;

2; 2,5; 3 ppm dan memasukkan ke dalam erlenmeyer.

Masing-masing ditambahkan HCL 0,1 N sebanyak 1

mL. Berbeda dengan ammonia, untuk nitrat

penambahan larutan tidak menimbulkan perubahan

warna. Kemudian segera diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.

Kemudian mengeplot kurva kalibrasi antara

konsentrasi nitrat dengan absorbansi sehingga didapat

kurva standart nitrat seperti berikut :

Gambar 8. Kurva Kalibrasi Nitrat

Pengukuran kadar nitrat pada sampel limbah dilakukan

dengan mengambil 50 mL permeat, lalu memasukkan

ke dalam erlenmeyer dan menambahkan 1 mL HCL 0,1

N ke dalam erlenmeyer. Kemudian segera mengamati

dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang

gelombang 410 nm dan mencatat besarnya nilai

absorbansi yang terbaca. Kandungan nitrat dalam

limbah dianalisa secara rutin setiap hari untuk

mengetahui seberapa besar konsentrasi nitrat yang

tersisa di dalam permeat. Dari analisa tersebut

diperoleh hasil yang digambarkan dalam grafik berikut

ini :

Gambar 9. Konsentrasi NO3 pada COD 900, 1800,

2250 mg/L

Gambar 10. % Removal NO3 pada COD 900, 1800,

2250 mg/L

Dari grafik 9 dan 10 dapat dilihat bahwa pada

konsentrasi COD 900 mg/L selama 15 hari

memberikan persen removal nitrat yang lebih baik

dibandingkan pada COD 1800 mg/L dan 2250 mg/L.

Dari data konsentrasi nitrat yang masuk dan

konsentrasi nitrat keluar dapat diketahu jumlah N yang

masuk dan keluar dihitung sebagai N untuk nitrat.

Apabila jumlah N yang keluar ˂ 0,5 jumlah N yang

masuk, maka proses denitrifikasi dikatakan berhasil.

Tetapi apabila jumlah N yang keluar lebih besar

daripada jumlah N yang masuk maka proses

denitrifikasi tidak berjalan dengan baik di tangki

anoxic. Konsentrasi nitrat yang tersisa sedikit juga

menandakan bahwa suplay oksigen lebih terkonsumsi

untuk mendegradasi senyawa organik daripada

digunakan mengoksidasi ammonia menjadi nitrit

selanjutnya nitrit menjadi nitrat. Hal ini ditunjukkan

dengan semakin tingginya removal nitrat yang

dihasilkan dan produk permeat yang dihasilkan oleh

pengolahan limbah mengandung kadar nitrat yang

rendah.

Pengaruh MLSS & COD terhadap kinerja MBR

Konsentrasi COD 900 mg/L

Gambar 11.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L)

terhadap waktu (hari) pada COD 900 mg/L

Konsentrasi COD 1800 mg/L

Gambar 12.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L)

terhadap waktu (hari) pada COD 1800 mg/L

Konsentrasi COD 2250 mg/L

Gambar 13.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L)

terhadap waktu (hari) pada COD 2250 mg/L

Pada gambar 4.6.1 sampai 4.6.3 menunjukan

konsentrasi MLSS yang berbeda pada konsentrasi

umpan COD 900 mg/L, COD 1800 mg/L, dan COD

2250 mg/L. Pada COD 900 mg/L menunjukkan hari

ke-1 nilai MLSS sebesar 2192 mg/L dan pada hari ke-

15 nilai MLSS sebesar 3595 mg/L, dan nilai F/M ratio

sebesar 0,23. Pada COD 1800 mg/L menunjukkan

hari ke-1 nilai MLSS sebesar 4530 mg/L dan pada hari

ke-15 nilai MLSS sebesar 5415 mg/L, dan nilai F/M

ratio sebesar 0,20. Pada COD 2250 mg/L

menunjukkan hari ke-1 nilai MLSS sebesar 4190 mg/L

dan pada hari ke-15 nilai MLSS sebesar 5940 mg/L,

dan nilai F/M ratio sebesar 0,19. Konsentrasi MLSS

yang berbeda dapat mempengaruhi metabolisme

mikroorganisme yang berkembangbiak pada tangki

aerobik. Metabolisme mikroorganisme dipengaruhi

oleh F/M ratio, dimana F/M ratio merupakan

perbandingan antara substrat sebagai sumber energi

juga karbon yang dibutuhkan oleh pertumbuhan

mikroorganisme dengan jumlah mikroorganisme. Bila

rasio F/M lebih dari batas yang diijinkan, yaitu 0,2-0,6

kg BOD/kg MLSS.hari berarti beban substrat yang

diberikan terlalu besar daripada jumlah

mikroorganisme yang terdapat dalam tangki aerobik

yang berarti bahwa jumlah nutrisi tidak seimbang

dengan pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi

akumulasi substrat akibat pengolahan secara biologis

tidak berjalan dengan baik. Dan bila rasio F/M lebih

kecil dari batas yang diijinkan, berarti pertumbuhan

mikroorganisme terjadi cepat namun tidak diimbangi

dengan beban umpan nutrisi yang diberikan dan bila

proses ini terjadi terus-menerus maka mikroorganisme

pun mati dan mengalami lysis sehingga mengurai.

Unjuk Kerja Membran

Peristiwa fouling menyebabkan peningkatan tahanan

membran sehingga menghambat transfer massa

melewati membran. Tahanan yang terjadi selama

filtrasi dapat disebabkan oleh adanya polarisasi

konsentrasi, pembentukan gel, penyumbatan pori, dan

peristiwa adsorpsi. Pengoperasian bioreaktor secara

kontinyu, serta beban limbah dan konsentrasi biomassa

lumpur yang tinggi juga dapat menyebabkan

dihasilkannya sejumlah substansi yang menyebabkan

penurunan fluks. Penurunan kinerja membran dapat

diketahui dengan melakukan pengamatan fluks setiap

hari selama operasi dan setiap lima hari dilakukan

backwashing selama 30 menit. Sehingga penurunan

fluks dapat teramati secara kontinyu. Tingkat fouling

bioreaktor membran ditentukan terutama oleh COD

terlarut, konsentrasi biomassa (MLSS), dan viskositas

lumpur aktif. Konsentrasi lumpur diperkirakan sangat

berpengaruh terhadap kinerja bioreaktor membran

karena mempengaruhi terhadap ketebalan lapisan

dinamis maupun viskositas campuran [Stephenson,

2000].

Pada Submerged Membran Bio Reaktor

(SMBR), membran terletak di dalam bioreaktor

sehingga proses filtrasi langsung dilakukan di dalam

reaktor. Namun penggunaan SMBR ini menunjukkan

adanya beberapa kelemahan, antara lain yaitu

terjadinya fouling sehingga pemisahan biomassa dari

effluent semakin sulit dilakukan. Adanya fouling ini

dapat mempengaruhi kinerja membran baik dari segi

cost, usia pemakaian membran yang tidak dapat

bertahan lama, dan dari segi perawatan membran.

Sedangkan pada penelitian ini, membran dipisahkan

dari tangki aerobik dan diletakkan setelah tangki

sedimentasi. Usaha ini dilakukan untuk memperingan

kerja membran dan memperpanjang waktu

backwashing, karena kualitas air limbah setelah

sedimentasi sudah baik. Pada penelitian ini

backwashing dilakukan sebanyak tiga kali selama 15

hari operasi dengan lama backwashing yaitu 30 menit.

Unjuk kerja membran dapat diketahui dari pengamatan

fluks terhadap waktu. Untuk kinerja membran pada

sistem SMBR, terjadi penurunan fluks dan

memerlukan waktu backwasing dengan jarak yang

relatif singkat. Sedangkan untuk kinerja membran pada

sistem MBR, penurunan fluks dan memerlukan waktu

backwashing dengan jarak yang agak lama seperti hasil

uji berikut ini :

Gambar 14.Flux (L/m

2.jam) terhadap waktu (hari) pada

MBR dengan COD 900, 1800, dan 2250 mg/L

Gambar 15. Flux (L/m

2.jam) terhadap waktu (hari)

pada SMBR dengan COD 900, 1800, dan 2250 mg/L

Dari gambar diketahui bahwa fluks sistem SMBR

untuk COD 900 mg/L adalah 27-5,4 L/m2.jam lebih

kecil dari sistem MBR yang mempunyai fluks 30-15

L/m2.jam, artinya dalam waktu 1 jam membrane pada

sistem MBR dapat menghasilkan permeat sebanyak 30

L. Hal yang sama juga ditunjukkan pada konsentrasi

COD 1800 mg/L dan 2250 mg/L. Pada sistem SMBR

untuk konsentrasi COD 900 mg/L, terjadi penurunan

yang signifikan yaitu dari 27 L/m2.jam menjadi 5,4

L/m2.jam sedangkan pada sistem MBR penurunan

terjadi bertahap dan dengan jarak yang relative kecil

yaitu dari fluks 30 L/m2.jam menjadi 12,9 L/m

2.jam.

Fluks kembali semula setelah dilakukan backwashing

setiap 30 menit sekali untuk mencapai fluks 27

L/m2.jam pada sistem SMBR dan mencapai 30

L/m2.jam pada sistem MBR. Flux semakin turun

disebabkan adanya penyumbatan akibat partikel-

partikel yang terakumulasi pada lapisan permukaan

membran. Dapat dilihat bahwa dengan adanya

backwashing dapat menaikkan flux membran meskipun

tidak sampai pada kondisi awal. Kenaikan flux tidak

dapat kembali seperti kondisi awal dikarenakan masih

ada penyumbatan yang tidak bisa hilang dengan cara

backwashing.

Gambar 16. Fouling pada SMBR

Pada gambar 16. terlihat adanya fouling pada

membrane sistem SMBR. Pada sistem SMBR

mempersulit transfer oksigen, sehingga untuk

memenuhi kebutuhan oksigen pada tangki aerob maka

membutuhkan power yang besar yang akan menaikkan

biaya operasional dan biaya fisik. Peristiwa fouling ini

memperberat kinerja membran yang akan berpengaruh

pada kenaikan cost akibat kebutuhan power yang besar

untuk proses pemisahannya dan juga mempengaruhi

perawatan membrane maupun umur membrane.

Oleh karena itu, dilakukan pengembangan terhadap

sistem SMBR menjadi sistem MBR. Sistem MBR

menyempurnakan sistem konvensional, namun pada

sistem MBR membutuhkan ruang sedimentasi yang

lebih kecil daripada ruang sedimentasi pada sistem

konvensional. Ruang sedimentasi pada sistem MBR ini

mengatasi masalah jika pada tangki aerob terjadi

bulking sludge, dimana membrane masih berjalan baik

untuk menyempurnakan kesalahan pada pengendalian

yang tidak terkontrl pada proses aerobic. Jika

menggunakan SMBR dan kesalahan tersebut terjadi,

maka proses backwashing sering dilakukan atau

menyediakan membrane dalam jumlah yang banyak.

Turbidity

Turbidity adalah tingkat kekeruhan dari cairan yang

disebabkan karena adanya partikulat tersuspensi.

Turbidity dengan satuan NTU (Nephelometric

Turbidity Unit) menunjukkan kekeruhan dari suatu

sampel air, dimana pada penelitian ini air limbah dalam

tangki aerobik dan air permeat di analisa kekeruhannya

dengan alat Turbidity meter. Masalah tersebut antara

lain pertumbuhan terdispersi dan filamentous bulking.

Hal ini mempengaruhi tingkat kejernihan effluent,

tingkat kejernihan effluent menurun dengan naiknya

MLSS sehingga menyebabkan bakteri sukar

mengendap karena ukuran bakteri yang sangat kecil

sehingga hanya mengambang saja didalam air. Hal ini

mengakibatkan effluent atau air yang dihasilkan

menjadi keruh.

Gambar 17.% removal turbidity terhadap waktu (hari)

pada COD 900, 1800, dan 2250 mg/L

Gambar 17. diatas ini menunjukkan bahwa dengan

pengolahan limbah menggunakan lumpur aktif dan

membran ultrafiltrasi dapat mengurangi kekeruhan air

limbah yaitu pada COD 2250 mg/L dari 88,31% hingga

86,23 %, sedangkan pada COD 1800 mg/L dari 86,27

% hingga 87,77 %, dan pada COD 900 mg/L

mengurangi kekeruhan dari 75,51 % hingga 84,61%.

Dimana ditunjukkan dalam gambar 4.8.2. hasil

sebelum penyaringan dan setelah penyaringan dengan

membran.

(a) (b) (c)

Gambar 18 Limbah Cair (a) Sesudah Penyaringan

Dengan Membran (b) Sebelum Penyaringan Di Ruang

Membran (c) Sebelum Penyaringan Dengan Membran

Di Tangki Aerobik

Pada sistem MBR, di ruang membrane jumlah

MLSSnya sangat kecil sekali dan diukur sebagai

turbidity, sedangkan pada sistem SMBR dimana

membrane tercelup pada tangki aerobic dan MLSSnya

relative sangat besar sehingga mempengaruhi fluks

permeat. MLSS dan fluks pereat pada sistem SMBR

diukur sebagai massa fluks.

Identifikasi Mikroorganisme

Identifikasi mikroorganisme merupakan salah satu

parameter yang penting dalam pengolahan limbah

secara biologis untuk mengetahui kualitas dari lumpur

aktif tersebut. Semakin banyak mikroorganisme

mengindikasikan bahwa pengolahan limbah akan

semakin bagus dan efisien karena kemampuan untuk

mendegradasi bahan organik akan semakin tinggi juga.

Pada umumnya kehidupan mikroorganisme dalam

proses lumpur aktif sangat sensitif terhadap lingkungan

mereka misalnya pH, suhu, dissolved oxygen (DO) dan

bahan-bahan inhibitor atau beracun. Secara umum,

kegiatan mikroorganisme dalam proses biologis akan

menurun saat suhu turun, yang akibatnya akan

mengakibatkan penurunan efisiensi penyisihan COD.

Dengan menjaga kondisi lingkungan pertumbuhan

mikroorganisme maka biomassa yang sehat dan

effektif untuk kondisi yang steady state atau optimum

dapat diperoleh. Sehingga mikroorganisme dapat

bekerja dengan baik untuk mendegradasi limbah

organik. (William, 1999).

Salah satu alternatif pengolahan yang dapat

diaplikasikan dalam mengolah limbah adalah

pengolahan secara biologi. Pengolahan limbah yang

umum dilakukan adalah menggunakan lumpur aktif,

yang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan

mikroba tersuspensi. Proses ini pada dasarnya

merupakan pengolahan secara aerobik yang

mengoksidasi material organik menjadi CO2, H2O,

NH4, dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan

udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffuser)

atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk

flok yang akan mengendap di tangki penjernihan.

Kemampuan bakteri dalam membentuk flok

menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara

biologi. (Reynold, 1982).

Mikroorganisme dalam lumpur aktif terdiri dari bakteri

yang merupakan komponen utama dari flok lumpur

aktif. Flok lumpur aktif juga merupakan tempat

berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri

nitrosomonas dan nitrobacter yang dapat merubah

ammonia menjadi nitrat. Lebih dari 300 jenis bakteri

hidup dalam sistem lumpur aktif. Bakteri-bakteri

tersebut mendegradasi bahan-bahan organik dan

mentransformasi nutrient. Penambahan nutrien

bertujuan sebagai penunjang pertumbuhan mikroba.

Jenis umum yang sering ditemukan dalam lumpur aktif

yaitu zooglea, fungi, protozoa, dan rotifera. (Metcalf

dan Eddy, 1991).

Gambar 19. Mikroorganisme Lumpur Aktif

Gambar 19. menunjukan mikroorganisme yang

terdapat dalam tangki aerobik merupakan bakteri dan

protozoa. Protozoa adalah signifikan predator dalam

lumpur aktif yang dapat mereduksi toksikan.

Umumnya identifikasi dilakukan pada saat biomassa

masih muda atau sedang berkembang biak. Bakteri

sebagai mikroorganisme yang paling dominan dengan

ukuran mikron. Protozoa dapat digunakan sebagai

indikator biologi kondisi lumpur aktif dengan sistem

aerobik. Protozoa dapat digunakan untuk indikator

lingkungan beracun. Untuk memperoleh kondisi

operasi yang baik dengan sistem lumpur aktif yang

stabil diharapkan jumlah perkembangan dari

mikroorganisme tinggi pada biomassa yang diukur

dengan menganalisa konsentrasi biomassa. Pada proses

pengolahan air limbah bahan organik semakin

menurun sedangkan komposisi biomassa akan berubah.

Keadaan ini digunakan sebagai patokan efisien

tidaknya pengolahan air limbah organik secara

biologis, dengan memeriksa lumpur aktif yang

dihasilkan pada unit pengolahan.

Daftar Pustaka

B.Marrot, A. Barrios-martinez, P. Moulin danN.Roche.

2004. Industrial Wastewater Treatment in a

membrane Bioreactor. Environmental Progress,

Vol.23, No.1.

Chang, I., Clech, Le P., Jefferson, Bruce., dan Judd, S.

2002. Membrane Fouling in Membrane

Bioreactors for Wastewater Treatment. Journal

of Environmental Engineering, Vol.128, No. 11.

Côté, P., Buisson H., Pound C., dan Arakaki G. 1997.

Immersed Membrane Activated Sludge For The

Reuse Of Municipal Waster. Elsevier Science.

Desalination, 113 : 189-196.

Fane, A dan Chang, S. 2002. Membrane Bioreactors:

Design and Operational Options,

www.filtsep.com

Grady, C.P.L., dan Lim, H.C.. 1980. Biological

Wastewater Treatment – Theory and

Application. New York : Marcel Dekker, Inc.

Jenkins, D., dkk. 1993. Manual On The Causes And

Control Of Activited Sludge Bulking And

Foaming. 2nd

Edition. Michigan : Lewis

Publisher.

Kusworo, T.D., Handayani, N.A., dan Widiasa, I.N.,

2009. Aplikasi eksternal membran bioreactor untuk

penyisihan ammonia dari limbah-limbah industri.

SNTKI 2009.

Liang, Shuang dkk. 2006. Soluble Microbal Products

in Membrane Bioreactor Operation : Behaviors,

Characteristics, and Fouling Potential. Science

Direct Water Research, 41 : 95-101

Sundstrom, D.W. dan Klei, H.E. 1979. Wastewater

Treatment. London : Prentice-Hall International,

Inc.

Widjaja, T. 2007. Kinerja Kombinasi Proses Activated

Sludge Dengan Bioreaktor Membran Terendam

(BRMt) Sebagai Pengolahan Limbah Cair.

Thesis S2 Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS,

Wisuda Juli 2007.

Williams, J. 1999. Cost–Effective Effluent Treatment

in Paper and Board Mills. Environmental

Technology Basic Practice Programme.

Wesley, J.R.W. 1989. Industrial Water Polluution

Control. 2nd

Edition. Michigan : Lewis

Publisher. New York : Mc. Graw Hill