pedoman nasiaonal penyakit tb 2014

160
i TIM PENYUSUN Pengarah : Dr. Mohammad Subuh, MPPM; Dr. Sigit Priohutomo, MPH Penangung Jawab : Dr. Christina Widaningrum, M.Kes Editor cetakan 2014 : Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Vanda Siagian Kontributor: TIM PENYUSUN Dr. Anna Uyainah, Sp.PD,KP, MARS, FINASIM; Dr. Arto Yuwono,SpPD(K); Dr. Arifin Nawas,SpP(K); Bawa Wuryaningtyas, SKM, MM; Dr. Bey Sonata; Budiarti Setyaningsih, SKM, M.Kes Dr. Darmawan BS,SpA(K); Drg. Devi Yuliastanti; Dr. Dyah Armi Riana, MARS Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH Dr. Eka Sulistiany; Dr. Endang Lukitosari, MPH; Dr. Erlina Burhan,SpP(K); Drg. Erwinas; Dr. Fainal Wirawan; Hardini Utami, SKM, MKM; Dr. Hari Basuki, MPPM, DTMH; Dr. Harini A.Janiar,Sp.PK; Dr. Irfan Ediyanto; Dr. Jan Voskens,MPH; Dr. Joan Tanumiharja; Dra. Lesmaria Simamora Mikyal Faralina, SKM; Munziarti,SKM,MM; Dr. Nastiti Rahayu,SpA(K); Dr. Novayanti; Nurul Badriyah, SKM; Dr. Priyanti,Sp.P(K); Dr. Purwantyastuti,MSc,Ph.D; Dr. Ratih Pahlesia; Dr. Regina Loprang; Regina Tambunan, SKM; Dr. Retno Kusumadewi; Dr. Reviono,SpP; Rony Candra, M.Biomed; Rudy E. Hutagalung, BSc Saida N. Debataradja, SKM; Dr. Servas Pareira, MPH; Dr. Setiawan Jatilaksono; Drg. Siti Nur Anisah, MPH; Dr. Sity Kunarisasi, MARS; Sophia T. Patty, SKM; Dr. Sri Prihatini B, SpP; Prof. Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD; Sulistiyo,SKM,MEpid; Surjana,SKM; Suwandi, SKM, M.Epid; Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K); Tiar Salman, ST, MM; Totok Haryanto, SKM, M.Kes; Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Tutik Kusumastuti, Sp.P Dr. Vanda Siagian; Yusuf Said,SH;

Upload: salim-mulyana

Post on 21-Feb-2017

1.742 views

Category:

Health & Medicine


7 download

TRANSCRIPT

iTIM PENYUSUN

Pengarah : Dr. Mohammad Subuh, MPPM; Dr. Sigit Priohutomo, MPH

Penangung Jawab : Dr. Christina Widaningrum, M.Kes

Editor cetakan 2014 : Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Vanda Siagian

Kontributor:

TIM PENYUSUN

Dr. Anna Uyainah, Sp.PD,KP, MARS, FINASIM;Dr. Arto Yuwono,SpPD(K); Dr. Arifin Nawas,SpP(K);Bawa Wuryaningtyas, SKM, MM;Dr. Bey Sonata;Budiarti Setyaningsih, SKM, M.KesDr. Darmawan BS,SpA(K); Drg. Devi Yuliastanti;Dr. Dyah Armi Riana, MARSDrg. Dyah Erti Mustikawati, MPH Dr. Eka Sulistiany;Dr. Endang Lukitosari, MPH; Dr. Erlina Burhan,SpP(K); Drg. Erwinas;Dr. Fainal Wirawan;Hardini Utami, SKM, MKM;Dr. Hari Basuki, MPPM, DTMH;Dr. Harini A.Janiar,Sp.PK;Dr. Irfan Ediyanto;Dr. Jan Voskens,MPH;Dr. Joan Tanumiharja;Dra. Lesmaria SimamoraMikyal Faralina, SKM;Munziarti,SKM,MM; Dr. Nastiti Rahayu,SpA(K);Dr. Novayanti;Nurul Badriyah, SKM;

Dr. Priyanti,Sp.P(K);Dr. Purwantyastuti,MSc,Ph.D;Dr. Ratih Pahlesia; Dr. Regina Loprang;Regina Tambunan, SKM;Dr. Retno Kusumadewi;Dr. Reviono,SpP; Rony Candra, M.Biomed;Rudy E. Hutagalung, BScSaida N. Debataradja, SKM;Dr. Servas Pareira, MPH; Dr. Setiawan Jatilaksono;Drg. Siti Nur Anisah, MPH;Dr. Sity Kunarisasi, MARS;Sophia T. Patty, SKM;Dr. Sri Prihatini B, SpP; Prof. Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD;Sulistiyo,SKM,MEpid; Surjana,SKM;Suwandi, SKM, M.Epid;Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K); Tiar Salman, ST, MM;Totok Haryanto, SKM, M.Kes;Dr. Triya Novita Dinihari; Dr. Tutik Kusumastuti, Sp.PDr. Vanda Siagian;Yusuf Said,SH;

ii

iiiDAFTAR ISI

Tim Penyusun Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Singkatan BAB I Pendahuluan A. Epidemiologi dan Permasalahan TB DuniaB. Patogenesis dan Penularan TBC. Upaya Pengendalian TB

BAB II Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di IndonesiaB. Besaran Masalah TB di IndonesiaC. Kebijakan Pengendalian TB di IndonesiaD. Visi dan MisiE. Tujuan dan TargetF. Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 2010-2014G. Kegiatan H. Organisasi Pelaksana BAB III Tatalaksana Pasien TuberkulosisA. Penemuan Pasien TuberkulosisB. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang DewasaC. Klasifikasi dan Tipe Pasien TBD. Pengobatan Pasien TB BAB IV Tatalaksana TB Pada AnakA. EpidemiologiB. Diagnosis TB Pada AnakC. Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosis TB AnakD. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada AnakE. Pengobatan TB Pada AnakF. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB AnakG. Efek Samping pengobatan TB Pada AnakH. Tatalaksana Pasien TB Anak Yang Berobat Tidak TeraturI. Hasil pengobatan TB Pada AnakJ. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)

iiiiviiix

1124

6679

1010101111

1313151720

3838384044454849494949

DAFTAR ISI

iv DAFTAR ISI

BAB V Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat (MTPTRO)A. Defenisi TB Resistan ObatB. Tujuan dan Kebijakan MTPTROC. Pengorganisasian MTPTROD. Diagnosis TB Resistan ObatE. Pengobatan TB MDRF. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDRG. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan LengkapH. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak

BAB VI Kegiatan Kolaborasi TB-HIV1. Latar Belakang2. Tujuan Dan Kebijakan Dalam Kegiatan Kolaborasi TB-HIV3. Pengorganisasian4. Diagnosis TB Pada ODHA5. Diagnosis HIV Pada Pasien TB6. Pengobatan TB Pada ODHA dan Inisiasi ART Secara Dini7. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Isoniazid (PP INH)8. Pemberian Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrimoksasol (PPK)9. Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV

BAB VII Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi BAB VIII Public - Private Mix DOTS Dalam Pengendalian TuberkulosisA. TujuanB. Prinsip dan Strategi PPMC. Penerapan PPMD. Langkah-Langkah Pemantapan PPME. Indikator Pelaksanaan PPM

BAB IX Manajemen Laboratorium TuberkulosisA. Organisasi Pelayanan Laboratorium TBB. Manajemen Laboratorium TBC. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB

BAB X Pengelolaan Logistik Program Pengendalian TuberkulosisA. Logistik Program Pengendalian TuberkulosisB. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis

51

5151525457596060

62626264646969707071

7272

767676778081

82828790

919195

vDAFTAR ISI

BAB XI Pengembangan Sumber Daya Manusia Program Pengendalian TuberkulosisA. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TBB. Peran SDM Dalam Pengendalian TBC. Pelatihan Program Pengendalian TBD. Evaluasi Paska Pelatihan (EPP) Program Pengendalian TB BAB XII Keterlibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TuberkulosisA. Bentuk-Bentuk Organisasi KemasyarakatanB. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TBC. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TBD. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TBE. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam Pengendalian TBF. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam Pengendalian TBG. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program Pengendalian TB

BAB XIII Sistim Informasi Strategis Program Pengendalian TuberkulosisA. Surveilans TuberkulosisB. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TBC. Penelitian Program Pengendalian Tuberkulosis BAB XIV Perencanaan dan Penganggaran Program Pengendalian TuberkulosisA. Konsep Perencanaan dan penganggaranB. Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran/Sumber Pembiayaan P2TBC. Sistim Pelayanan Kesehatan Untuk Pengendalian TBD. Pembagian Peran dan Wewenang Dalam Pengendalian TB

104104106108111

114114

114

115

115

116

116

116

118119120138

141141

142144146

vi

viiKATA PENGANTAR

Beberapa tahun terakhir, upaya Pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya indikator penting dalam Program Pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses pelayanan kesehatan yang semakin baik, adanya pendanaan dan dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, semakin berkembangnya teknologi pengendalian TB, serta banyak kegiatan terobosan yang diinisiasi baik dalam skala Global maupun Nasional.

Seiring dengan penemuan baru ilmu dan teknologi serta perkembangan program pengendalian TB di lapangan, maka buku Pedoman Nasional Pengendalian TB ini harus mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut, untuk itu pada cetakan ini, dilakukan beberapa perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dilapangan, seperti perubahan definisi, terminologi, sistematika dan kebijakan operasional. Beberapa perubahan baru seperti yang dituangkan pada buku pedoman pengobatan yang diterbitkan WHO juga diakomodir dengan tetap mempertimbangkan situasi spesifik program TB di Indonesia, seperti perubahan pada teknis tatalaksana pasien TB, baik TB pada dewasa maupun TB pada anak. Perubahan itu dilakukan untuk mengakomodasi kewaspadaan terhadap terjadinya TB resistan obat, masalah koinfeksi TB-HIV, Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan lain-lain. Demikian pula perluasan strategi penemuan pasien TB yang bukan hanya bertumpu pada penemuan secara pasif tetapi pada situasi yang menguntungkan program perlu juga dilakukan penemuan secara aktif.

Akhir kata dengan terbitnya buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis cetakan tahun 2014 ini, diharapkan dapat merangkum dan mengakomodir perubahan dan perkembangan yang dibutuhkan di lapangan, terutama untuk pengguna baik dari kalangan pegiat program maupun pelaksana program dilapangan.

Jakarta, November 2014 Direktur Jenderal PPdanPL, Kementerian Kesehatan RI

Dr. H.M. Subuh, MPPM

KATA PENGANTAR

viii

ixDAFTAR SINGKATAN

AIDS = Acquired Immune Deficiency SyndromeAKMS = Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi SosialAPBN/D = Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara/DaerahAP = Akhir PengobatanARTI = Annual Risk of TB InfectionART = Anti Retroviral TherapyARV = Anti Retroviral Viral (obat)Bapelkes = Balai Pelatihan KesehatanBCG = Bacillus Calmette et GuerinBLK = Balai Laboratorium KesehatanBLN = Bantuan Luar NegeriBTA = Basil Tahan AsamBP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru ParuBUMN = Badan Usaha Milik NegaraCDR = Case Detection RateCm = Capreomycin CNR = Case Notification RateCs = Cycloserine Ditjen. PPdanPL = Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan LingkunganDitjen. Binfar dan Alkes = Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat KesehatanDitjen. BUK = Direktorat Jenderal Bina Upaya KesehatanDIP = Daftar Isian ProyekDOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapyDPR (D) = Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah)DPM = Prakter Dokter MandiriDST = Drug Sensitivity TestingE = EtambutolEQAS = External Quality Assurance SystemEto = EthionamideFDC = Fixed Dose CombinationFEFO = First Expired First OutGerdunas -TB = Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TuberkulosisGFK = Gudang Farmasi Kabupaten/ KotaH = Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)HIV = Human Immunodeficiency VirusIAKMI = Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat IndonesiaIBI = Ikatan Bidan Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

x DAFTAR SINGKATAN

IDAI = Ikatan Dokter Anak IndonesiaIDI = Ikatan Dokter IndonesiaIUATLD = International Union Against TB and Lung DiseasesKBNP = Kesalahan besar negatif palsu KBPP = Kesalahan besar positif palsuKDT = Kombinasi Dosis TetapKG = Kesalahan Gradasi KKNP = Kesalahan kecil negatif palsu KKPP = Kesalahan kecil positif palsu Km = KanamycinKPP = Kelompok Puskesmas PelaksanaLapas = Lembaga PemasyarakatanLfx = Levofloxacin LP = Lapang PandangLSM = Lembaga Swadaya MasyarakatLPLPO = Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan ObatMDG = Millenium Development GoalsMDR / XDR = Multi Drugs Resistance / extensively Drugs Resistance Mfx = Moxifloxacin MOTT = Mycobactrium Other Than TuberculosisOAT = Obat Anti TuberkulosisOfl = OfloxacinPAPDI = Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam IndonesiaPCR = Poly Chain ReactionPDPI = Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PME = Pemantapan Mutu EksternalPMI = Pemantapan Mutu InternalPMO = Pengawasan Minum ObatPOA = Plan of ActionPOGI = Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi IndonesiaPOM = Pengawasan Obat dan MakananPPM = Puskesmas Pelaksana MandiriPPM = Public Private MixPPNI = Perhimpunan Perawat Nasional IndonesiaPPTI = Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis IndonesiaPRM = Puskesmas Rujukan MikroskopisPS = Puskesmas SatelitPSDM = Pengembangan Sumber Daya ManusiaPto = ProthionamidePuskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat

xiDAFTAR SINGKATAN

Pustu = Puskesmas PembantuR = RifampisinRSP = Rumah Sakit ParuRTL = Rencana Tindak LanjutRutan = Rumah tahananS = StreptomisinSDM = Sumber Daya ManusiaSGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic TransaminaseSGPT = Serum Pyruric Oxaloacetic TransaminaseSKRT = Survei Kesehatan Rumah TanggaSPS = Sewaktu-Pagi-SewaktuTB = TuberkulosisTNA = Training Need AssessmentUPK = Unit Pelayanan KesehatanWHO = World Health OrganizationZ = PirazinamidZN = Ziehl Neelsen

xii

1BAB I

PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Epidemiologi dan Permasalahan TB Dunia.

TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.

Dalam laporan WHO tahun 2013: • Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)

diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.

• Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.

• Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasustermasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.

• Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB anak/ tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB.

• Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilandalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012),angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumahtangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang

sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar, sehingga

masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk.

Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat pendidikan yang, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat pada kerentanan masyarakat terhadap TB.

Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

BAB IPENDAHULUAN

2BAB I

PENDAHULUAN2

o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)

o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG. o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis

ekonomi atau pergolakan masyarakat.o Belum adanya sistem jaminan kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas

secara merata. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur

umur kependudukan. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban TB

seperti gizi buruk, merokok, diabetes. Dampak pandemi HIV.

Pandemi HIV/AIDS di dunia akan menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan.

Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. ( ¹¹ )

B. Patogenesis dan Penularan TB.1. Kuman Penyebab TB.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut :• Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.• Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.• Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah

mikroskop. • Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu

lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C .• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.• Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam

waktu beberapa menit. • Dalam dahak pada suhu antara 30 – 37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1

minggu.• Kuman dapat bersifat dormant (”tidur” / tidak berkembang)

3BAB I

PENDAHULUAN3

2. Cara Penularan TB.a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang

dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.

b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap

paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Perjalanan alamiah TB

a. PaparanPeluang peningkatan paparan terkait dengan:

Jumlah kasus menular di masyarakat Peluang kontak dengan kasus menular Tingkat daya tular dahak sumber penularan Intensitas batuk sumber penularan Kedekatan kontak dengan sumber penularan Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra

violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi)

Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.b. InfeksiReaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi Reaksi immunologi (lokal)

Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung reaksi antigen – antibody.

Reaksi immunologi (umum) Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.

Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi

4BAB I

PENDAHULUAN4

c. Sakit TBFaktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari :

Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup Lamanya waktu sejak terinfeksi Usia seseorang yang terinfeksi Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya

tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier). d. Meninggal duniaFaktor risiko kematian karena TB:

Akibat dari keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak adekuat Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit

penyerta Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif.

C. Upaya Pengendalian TBSejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian

terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

5BAB I

PENDAHULUAN5

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.5. Memberdayakan pasien dan masyarakat6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampumeletakkan landasan ke arah eliminasi TB.Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif bagi pengendalian TB secara global.Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan:1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)

Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB

a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.

b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)

c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi

serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB. 2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.

a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB.

b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.

d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.

3. Intensifikasi riset dan inovasi a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan

strategi baru pengendalian TB. b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasi-

inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.

6BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

7

BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

A. Riwayat Singkat Upaya Pengendalian TB di Indonesia.

Upaya pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai pengobatan dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada di pulau Jawa. Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB berdasarkan foto toraks dan pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Pada era tersebut sebenarnya World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan upaya diagnosis melalui pemeriksaan dahak langsung dan pengobatan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang baru saja diketemukan yaitu: INH, PAS dan Streptomisin, serta metode pengobatan pasien dengan pola rawat jalan. Era tahun 1960-1970 menandai diawalinya upaya pengendalian TB secara modern dengan dibentuknya Subdit TB pada tahun 1967 dan disusunnya suatu pedoman nasional pengendalian TB. Pada era awal tersebut penatalaksanaan dilakukan melalui Puskesmas dengan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan untuk penatalaksanaan kasus kasus sulit. Pada tahun 1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan menggunakan paduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol. Beberapa kegiatan uji pendahuluan yang dilaksanakan menunjukkan hasil kesembuhan yang cukup tinggi. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan RI melakukan uji coba penerapan Strategi DOTS di satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu Kabupaten di Provinsi Jambi. Atas dasar keberhasilan uji coba yang ada, mulai tahun 1995 secara nasional Strategi DOTS diterapkan bertahap melalui Puskesmas. Perjalanan waktu membuktikan bahwa upaya pengendalian TB telah memberikan hasil yang bermakna sampai dengan saat ini. Evaluasi yang dilakukan melalui Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) ( ⁸ ) pada tanggal 11-22 Februari 2013, dilaporkan bahwa Indonesia telah banyak mencapai kemajuan dalam upaya pengendalian TB di Indonesia sebagai berikut:• Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB

menjadi setengahnya di tahun 2015 jika dibandingkan dengan data tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 ditargetkan menjadi 222 per 100.000 penduduk. Pencapaian indikator MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini sudah sesuai jalurnya dan diperkirakan semua indikator dapat dicapai sebelum waktu yang ditentukan.

• Selama periode 2011-2013, Program Nasional Pengendalian TB telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai bidang, diantaranya dalam peningkatan jumlah temuan kasus dan keberhasilan pengobatan di Puskesmas. Rendahnya angka kekebalan obat di antara kasus TB baru berdasrkan hasil survei yang ada, menunjukkan kinerja program pengendalian TB di Indonesia sudah berjalan dengan baik.

• Masuknya standar pengobatan TB sebagai salah satu komponen akreditasi rumah sakitmerupakan salah satu terobosan tpenting dari program Nasional TB untuk menjamin seluruh pasien TB dapat mengakses pelayanan TB yang sesuai standar di seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan menghindarkan pasien dari TB MDR maupun TB XDR.

BAB IIPENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

7BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

8

• Komponen diagnosis TB juga mengalami kemajuan, dengan ditunjuknya 3 Laboratorium Rujukan TB Nasional yaitu BLK Jawa Barat (pemeriksaan Mikroskopis), BBLK (Balai Besar Laboratorium Kesehatan) Surabaya (Biakan dan Uji kepekaan OAT) dan Departemen Mikrobiologi FK UI (Riset Operasional dan Molekuler). Selain itu juga pemanfaatan alat diagnosis cepat yaitu GenXpert MTB/RIF dan LPA (HAIN test), untuk pemeriksaan penapisan TB MDR dan TB HIV. Dengan upaya tersebut maka pasien TB dapat didiagnosis dengan cepat dan dapat segera mendapat pengobatan, supaya tidak menjadi sumber penularan di masyarakat.

• Upaya pengendalian TB Resistan Obat elah dimulai sejak 2009 dan telah dibuat suatu rencana pengembangan layanan ke semua propinsi di Indonesia.

• Keberhasilan dalam upaya kolaborasi TB HIV adalah diterbitkannya beberapa buku pedoman tentang tatalaksana klinis koinfeksi TB HIV, buku manajemen kolaborasi TB HIV dan yang terpenting adalah upaya untuk perbaikan surveilens TB HIV dengan melakukan monitoring dan evaluasi terpadu TB HIV di tingkat provinsi.

• Program pengendalian TB bersama dengan Program AIDS Nasional dan Program Malaria Nasional telah berhasil menyusun dan menerbitkan Pedoman Exit Strategi Dana Hibah GF ATM, yang bertujuan untuk menyiapkan keberlanjutan pendanaan program pada saat Dana Hibah sudah tidak ada lagi, dan mendorong kemandirian program di semua tingkatan dalam hal pembiayaan.

B. Besaran Masalah TB di Indonesia.

Indonesia telah mencapai kemajuan yang bermakna dalam upaya pengendalian TB di Indonesia bahkan beberapa target MDGs telah tercapai jauh sebelum waktunya, namun perlu diwaspadai karena masih ada beberapa tantangan utama yang harus dihadapi agar tidak menghambat laju pencapaian target program selanjutnya. Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah masih banyaknya kasus TB yang “hilang” atau tidak terlaporkan ke program. Pada tahun 2012 diperkirakan ada sekitar 130.000 kasus TB yang diperkirakan ada tetapi belum terlaporkan.

Beberapa tantangan internal yang masih dialami program pengendalian TB Nasional antara lain:1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Faskes yang ada belum seluruhnya terlibat sepenuhnya dalam program pengendalian TB. Bersumber data dasar provinsi pada tahun 2012, sudah 100% BKPM/BBKPM/RS Paru dan 98% dari jumlah Puskesmas yang ada telah menerapkan strategi DOTS. Namun, baru sekitar 38% RS (Pemerintah, BUMN, TNI, Polri dan Swasta) yang menerapkan pelayanan dengan menggunakan strategi DOTS.

2. KetenagaanMeskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi. Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB adalah meningkatnya kebutuhan akan pelatihan untuk pendekatan baru seperti TB resistan obat, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan dasar tentang TB tetap dibutuhkan mengingat ekspansi program serta berbagai inovasi baruuntuk memperkuat pelaksanaan program,misalnya pengenalan alat diagnostikbaru,

8BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

9

sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial), manajemen logistik.

3. OATPemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistemmanajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.

4. PembiayaanDalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratifsedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.

5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap Pedoman Nasional Pengendalian TB.Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuanpenyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.

Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:

9BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

10

1. Sistem Jaminan KesehatanBelum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial. Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB menjadi tidak optimal.

2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan.

3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain.Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok, angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak.

C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia.1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam

kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB Strategy).

3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB.

4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).

6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.

7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).

8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.

9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.

10BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

11

10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB.

12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.

D. Visi dan MisiVisi” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”

Misi1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani

dalam pengendalian TB.2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

E. Tujuan dan targetTujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

TargetMerujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000 penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.

F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – 2014 ( ¹¹ )Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin

serta rentan lainnya.3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan

dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-

11BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

12

Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB (International Standards for TB Care).

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program

pengendalian TB.6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.

G. Kegiatan1. Tatalaksana TB Paripurna

a. Promosi Tuberkulosisb. Pencegahan Tuberkulosisc. Penemuan pasien Tuberkulosisd. Pengobatan pasien Tuberkulosise. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis

2. Manajemen Program TBa. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosisb. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosisc. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosisd. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosise. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.

3. Pengendalian TB Komprehensifa. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;b. Public-Private Mix Tuberkulosis;c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;d. Kolaborasi TB-HIV;e. TB Anak;f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)i. Penelitian tuberkulosis.

H. Organisasi Pelaksana 1. Aspek Manajemen Program TB

a. Tingkat PusatUpaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.

12BAB II

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

13

Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.

b. Tingkat PropinsiDi tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.

c. Tingkat Kabupaten/KotaDi tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.

Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\

2. Aspek Tatalaksana pasien TBDilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM).FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).

b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP.Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.

13BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

15

BAB III TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

A. Penemuan Pasien Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehinga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis,penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Keikutsertaan pasien merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengendalian TB.

1. Strategi penemuan a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak

TB dan populasi rentan.b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif,

sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan; didukung dengan

promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan

mengurangi keterlambatan pengobatan.e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

1) kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, Diabetes mellitus dan malnutrisi.

2) kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerahkumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.

3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.

f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.

g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

BAB IIITATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

14BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

16

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2. Pemeriksaan dahak a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung

pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

b. Pemeriksaan BiakanPemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:• Pasien TB ekstra paru.• Pasien TB anak. • Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

3. Pemeriksaan uji kepekaan obatUji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT.Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat.Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.

15BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

17

B. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

1. Diagnosis TB paru:• Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada orang

dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat.

• Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.

• Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin.

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:• Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis

langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu – Pagi –Sewaktu):

• Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.

2. Diagnosis TB ekstra paru:• Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

• Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.

• Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.

16BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

18

Gambar 1.Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa

(tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)

(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)

17BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

19

Keterangan :1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi

pasien dalam rekam medis.Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.

2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.

3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi. 4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB

termasuk golongan Kuinolon. 5) Untuk memastikan diagnosis TB 6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling)7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan asesment

lanjutan oleh dokter untuk faktor2 yg bisa mengarah ke TB

Catatan :1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat merugikan pasien

serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan pada :a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TBb. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada Meningitis TB, TB

milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsbc. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan tertulis

pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent). 2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi tentang PPI

(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan risiko penularan

C. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan survailan penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya dengan maksud:1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat 2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat 3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan

riwayat pengobatan5. Analisis kohort hasil pengobatan6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam

maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional dan global.

Terduga TB: adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.

18BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

20

1. Definisi Pasien TB:Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: a. Pasien TB paru BTA positifb. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positifc. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positifd. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan

maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan

histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi pasien TB: Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga diklasifikasikan menurut :a. Lokasi anatomi dari penyakitb. Riwayat pengobatan sebelumnyac. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obatd. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:Tuberkulosis paru:Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

19BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

21

Tuberkulosis ekstra paru:Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obatPengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama

selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

22

• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB

dengan: • Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,

atau • Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:• Hasil tes HIV negatif sebelumnya,

atau • Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.

3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

D. Pengobatan Pasien TB

1. Tujuan Pengobatan TB adalah: a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidupb. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnyac. Mencegah terjadinya kekambuhan TB d. Menurunkan penularan TB e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat

2. Prinsip Pengobatan TB:Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi • Diberikan dalam dosis yang tepat

20BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

22

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB

dengan: • Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,

atau • Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:• Hasil tes HIV negatif sebelumnya,

atau • Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.

3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosisTB ditetapkan.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

D. Pengobatan Pasien TB

1. Tujuan Pengobatan TB adalah: a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidupb. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnyac. Mencegah terjadinya kekambuhan TB d. Menurunkan penularan TB e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat

2. Prinsip Pengobatan TB:Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:• Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi • Diberikan dalam dosis yang tepat• Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan

Obat) sampai selesai pengobatan• Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta

tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

24BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

26

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak.Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat

dan mengurangi efek samping.b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi

obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resepc. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi

sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.• Pasien TB paru terdiagnosis klinis• Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Berat BadanTahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

25BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

27

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali

menelan obat

Tablet Isoniasid

@ 300 mgr

Kaplet Rifampisin @ 450 mgr

Tablet Pirazinamid @ 500 mgr

Tablet Etambutol @ 250 mgr

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang):• Pasien kambuh• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Berat Badan

Tahap Intensiftiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan3 kali seminggu

RH (150/150) + E(400)Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT+ 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT+ 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab 4KDT+ 1000mg Streptomisin inj.

5 tab 4KDT( > do maks )

5 tab 2KDT+ 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Tablet Isoniasid

@ 300 mgr

Kaplet Rifampisin @ 450 mgr

Tablet Pirazinamid @ 500 mgr

EtambutolStreptomisin injeksi

Jumlah hari/kali menelan

obatTablet @ 250 mgr

Tablet @ 400 mgr

Tahap Awal (dosis harian)

2 bulan1 bulan

11

11

33

33

--

0,75 gr-

5628

Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu)

5 bulan 2 1 - 1 2 - 60

26BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

28

Catatan:• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan

apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan

golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.

• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ )a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahaktersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan hasil pengobatan:1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :

• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan

• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5 dan Akhir Pengobatan)

2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

27BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

29

• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan). Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat.

• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2): • Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur. • Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR • Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB

MDR • Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS

Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil

pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan

• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .

• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR

• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.

• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )

28BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

29BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

30BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

33

Keterangan :* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi

dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP

** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2.

*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT.

c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )

Hasil pengobatan

Definisi

SembuhPasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.

Pengobatan lengkap

Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.

Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatanatau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT

Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan.

Putus berobat(loss to follow-up)

Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

Tidakdievaluasi

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan

34

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1) Persyaratan PMOa) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMOSebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMOa) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan. b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukanb) TB dapat disembuhkan dengan berobat teraturc) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannyad) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teraturf) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke fasyankes.

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus1) Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya

31BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

34

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.

1) Persyaratan PMOa) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMOSebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMOa) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan. b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukanb) TB dapat disembuhkan dengan berobat teraturc) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannyad) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teraturf) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke fasyankes.

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus1) Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya

32BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

35

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )

2) Ibu menyusui dan bayinyaPada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

3) Pasien TB pengguna kontrasepsiRifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.

4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ )a) Pasien TB dengan Hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis : • Pembawa virus hepatitis• Riwayat penyakit hepatitis akut • Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis KronisPada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:• 2 obat yang hepatotoksik 2 HRSE / 6 HR 9 HRE

• 1 obat yang hepatotoksik 2 HES / 10 HE

• Tanpa obat yang hepatotoksik 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak

direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

33BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

36

Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik. Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan, Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama, Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan

diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.

5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ )Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis.

Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran

kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur

2 KK (60 – 90 ml/menit)3 KK (30 – 60 ml/menit)4 KK (15 – 30 ml/menit)5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan penyakit ginjal kronis.

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5

Isoniasid 300 mg/hari Diberikan 3x/mingguDosis 300 mg/setiap pemberian

Rifampisin <50 kg: 450 mg/hari≥50 kg: 600 mg/hari

<50 kg: 450 mg/hari≥50 kg: 600 mg/hari

Pirasinamid <50 kg: 1,5 g/hari≥50 kg: 2 g/hari

25-30 mg/kgBB/hari,Diberikan 3x/minggu

Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari,Diberikan 3x/minggu

34BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

37

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus: a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi

pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrolb) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat

dilanjutkan sampai 9 bulanc) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering

mengalami komplikasi kelainan pada matad) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas

obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkane) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila

terjadi kekambuhan

7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroidKortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti:a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologisb) TB milier dengan atau tanpa meningitisc) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing

(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.

e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan serta respon klinis. Predinisolon (per oral):• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off).

8) Indikasi operasiPasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru), adalah:a) Untuk TB paru:

• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi

secara konservatif.• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.

b) Untuk TB ekstra paru:Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

35BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

38

8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek samping yang merugikan atau berat.Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak diperlukan. Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat.Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit. Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan keluhan dan gejala.

Tabel 13. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut H, R, Z

OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makananApabila keluhan semakin hebat disertai muntah, waspada efek samping berat dan segera rujuk ke dokter.

Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang non steroid

Kesemutan s/d rasa ter-bakar di telapak kakiatau tangan

H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari

Warna kemerahan pada air seni (urine) R

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi obat penawar tapi perlu penjelasan kepada pasien.

Flu sindrom (demam, menggigil, lemas, sakit kepala, nyeri tulang)

R dosis intermiten

Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi setiap hari

36BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

39

Tabel 14. Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab PenatalaksanaanBercak kemerahan kulit (rash)dengan atau tanpa rasa gatal H, R, Z, S Ikuti petunjuk

penatalaksanaan dibawah*Gangguan pendengaran (tanpa diketemukan serumen) S S dihentikan

Gangguan keseimbangan S S dihentikan

Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OAT dihentikan sampai ikterus menghilang.

Bingung, mual muntah(dicurigai terjadi gangguan fungsi hati apabia disertai ikterus)

Semua jenis OAT

Semua OAT dihentikan, segera lakukan pemeriksaan fungsi hati.

Gangguan penglihatan E E dihentikan.Purpura, renjatan (syok), gagal ginjal akut R R dihentikan.

Penurunan produksi urine S S dihentikan.

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ )Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu

dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R ) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.

• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT lagi.

• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.

• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.

** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ )Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.

OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan OAT.

37BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

40

Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB tergantung dari:• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan• Berat ringannya gangguan fungsi hati• Berat ringannya TB• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat

Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,

pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya Isoniasid secara bertahap.

2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.

3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali.

4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.

5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.

6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.

7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.

8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.

9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.

38BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

41

BAB IVTATALAKSANA TB PADA ANAK ( ¹⁶ )

A. Epidemiologi

TB pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Cara Penularan TB pada anak adalah:• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang disekitarnya, kecuali anak

tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,

daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.

• Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

• Beban kasus TB Anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak.

• Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.

• Data TB Anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4tahun dan 5-14 tahun, dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tingi dari kelompok umur 0-4 tahun. Sesuai dengan epidemiologinya, seharusnya jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-4 tahun lebih tinggi dari kelompok umur 5-14 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

B. Diagnosis TB pada anak 1. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada: a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bagian selanjutnya tentang profilaksis TB pada anak.

b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau

42

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

2. Gejala TB pada anakGejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat

atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam

tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

diare.

Gejala klinis spesifik terkait organGejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai berikut:a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat

keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal:• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul. • Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma:Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata:• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

BAB IVTATALAKSANA TB PADA ANAK ( )16

39BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

41

BAB IVTATALAKSANA TB PADA ANAK ( ¹⁶ )

A. Epidemiologi

TB pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Cara Penularan TB pada anak adalah:• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang disekitarnya, kecuali anak

tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,

daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.

• Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

• Beban kasus TB Anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak.

• Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.

• Data TB Anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4tahun dan 5-14 tahun, dengan data jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tingi dari kelompok umur 0-4 tahun. Sesuai dengan epidemiologinya, seharusnya jumlah kasus TB pada kelompok umur 0-4 tahun lebih tinggi dari kelompok umur 5-14 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

B. Diagnosis TB pada anak 1. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada: a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bagian selanjutnya tentang profilaksis TB pada anak.

b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak.Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau

42

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

2. Gejala TB pada anakGejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat

atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam

tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

diare.

Gejala klinis spesifik terkait organGejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai berikut:a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat

keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal:• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul. • Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma:Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata:• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

40BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

43

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anakTuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosispada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

1. Perkembangan terkini Diagnosis TBSaat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun 2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

44

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.

2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem SkoringDalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahliyang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai

tertinggi yaitu 3.• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB

pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

41BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

43

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anakTuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosispada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

1. Perkembangan terkini Diagnosis TBSaat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun 2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

44

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.

2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem SkoringDalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahliyang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai

tertinggi yaitu 3.• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB

pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

43BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

45

Tabel 15. Sistem skoring(scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB di faskes

Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TB Tidak Jelas -

Laporan keluarga,

BTA

(-)/BTA tidak

jelas/tidak tahu

BTA(+)

Uji Tuberkulin (Mantoux) Negatif - -

Positif (≥10 mm atau ≥5 mm pada

imunokompromais)

Berat Badan/ Keadaan Gizi - BB/TB <90% atau

BB/U <80%

Klinis gizi buruk atau

BB/TB <70% atau

BB/U <60%

-

Demam yg tidak diketahui penyebabnya

- ≥2 minggu - -

Batuk kronik - ≥3 minggu - -

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

- ≥1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri - -

Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang

- Ada pembengkakan - -

Foto toraks

Normal/ kelainan

tidak jelas

Gambaran sugestif (mendukung) TB - -

Total Skor =46

Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak

Anak 0 – 14 th

Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Skor = 6

Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) atau kontak

dengan gejala klinis lain

Didapat dari parameter uji tuberkulin (+) dan kontak;tanpa gejala

klinis lain

Skor> 6

TB ANAK

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi

Evaluasi, rujuk bila perlu

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)

Skor< 6

Infeksi laten TB

Bukan TB

Pertimbangan dokter (**)

Umur< 5 thUmur ≥ 5 th

PP INH

HIV negHIV pos

PP INH Observasi

Evaluasi 2 bulan terapi

Keterangan :(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin

44BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

47

3. Penegakan Diagnosis a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas

kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.

b. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)c. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil

uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.

d. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberkulin dengan ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai pasien TB Anak.

e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

f. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

g. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak h. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah

terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anaki. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TBj. Untuk daerah dengan fasilitas kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan/atau

foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥6 dari total skor 13.

k. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL):a. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura, milier atau kavitasb. Gibbus, koksitisc. Tanda bahaya:

1) Kejang, kaku kuduk2) Penurunan kesadaran3) Kegawatan lain, misalnya sesak napas

D. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Pada Anak

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB pada anak sesuai dengan pembahasan pada bab III.

45BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

48

E. Pengobatan TB Pada Anak

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis(pengobatan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:1. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.2. Pemberian gizi yang adekuat.3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

1. Paduan OAT Anak Prinsip pengobatan TB ada anak:a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah

terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraselulerb. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain

untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhanc. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

• Tahap Awal, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap awal dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

d. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun ekstraparu seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukantindak lanjut.

e. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

f. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

g. Pada kasus TB Anak dengan kondisi tertentu dapat diberikan paduan Kategori Anak dengan 4 macam obatpada tahap awal yaitu: 2HRZE(S)/4-10HR.

h. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

i. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakandalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

46BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

49

Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya

Nama ObatDosis harian(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal (mg /hari)

Efek samping

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel berikut ini:

Tabel 17: OAT Kategori Anak dan PeruntukannyaJenis TB OAT Tahap

AwalOAT Tahap

Lanjutan Prednison Lama Pengobatan

TB Ringan

2HRZ 4HR

-

6 bulanEfusi Pleura TB2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off.

TB BTA positif 2HRZE 4HR -TB paru dengan tanda-tanda kerusakan luas: TB milier TB+destroyed

lung

2HRZ+E atau S

7-10HR4 mgg dosis penuh, kemudian tappering off.

9-12 bulan

Meningitis TB

10HR

4 mgg dosis penuh, kemudian tappering off.

12 bulanPeritonitis TB

2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off.

Perikardistis TB2 mgg dosis penuh, kemudian tappering off.

Skeletal TB -

47BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose Combination)Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anakBerat badan

(kg)2 bulan

RHZ (75/50/150)4 bulan

(RH (75/50)5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet12-16 3 tablet 3 tablet17-22 4 tablet 4 tablet23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anakAnak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose Combination)Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anakBerat badan

(kg)2 bulan

RHZ (75/50/150)4 bulan

(RH (75/50)5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet12-16 3 tablet 3 tablet17-22 4 tablet 4 tablet23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anakAnak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose Combination)Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anakBerat badan

(kg)2 bulan

RHZ (75/50/150)4 bulan

(RH (75/50)5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet12-16 3 tablet 3 tablet17-22 4 tablet 4 tablet23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anakAnak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

48BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

51

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak

Pemantauan pengobatan pasien TB anakPada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang terdapat pada awal diagnosis berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen dada. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

G. Efek Samping pengobatan TB pada anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada:1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif, 2. Pasien gizi buruk,3. Anak dengan HIV positif. Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi. 1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. 2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.

50

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose Combination)Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anakBerat badan

(kg)2 bulan

RHZ (75/50/150)4 bulan

(RH (75/50)5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet12-16 3 tablet 3 tablet17-22 4 tablet 4 tablet23-30 5 tablet 5 tablet

Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.

Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi

dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan

berat badan saat itu• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).

Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau

dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pengobatan ulang TB pada anakAnak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

49BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

51

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak

Pemantauan pengobatan pasien TB anakPada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang terdapat pada awal diagnosis berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen dada. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

G. Efek Samping pengobatan TB pada anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada:1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif, 2. Pasien gizi buruk,3. Anak dengan HIV positif. Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi. 1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. 2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.

51

F. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak

Pemantauan pengobatan pasien TB anakPada tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang terdapat pada awal diagnosis berkurang misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen dada. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

G. Efek Samping pengobatan TB pada anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada:1. Bayi yang mendapat ASI eksklusif, 2. Pasien gizi buruk,3. Anak dengan HIV positif. Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

H. Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi. 1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. 2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan dan

menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.

52

I. Hasil pengobatan TB pada anak Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB dewasa pada bab III

J. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksanaBalita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksisBalita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis> 5 th (+) Sehat INH profilaksis> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi> 5 th (-) Sehat Observasi

Keterangan• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)

setiap hari selama 6 bulan.• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya

gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal

• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka pemberian INH dapat dihentikan.

• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP- INH selesai diberikan.

50BAB IV

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

53

BAB V MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

RESISTAN OBAT (MTPTRO) Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.

Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara bertahap ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses penatalaksanaan TB MDR yang terstandar dan cepat.Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 13/MENKES/PER/II/2013 program MTPTRO merupakan bagian integral dari Program Pengendalian TB Nasional. A. Defenisi TB Resistan Obat.

TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:1. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)2. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H)

dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).

3. Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.

4. Extensively Drug Resistance (XDR):TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

5. TB Resistan Rifampisin (TB RR).Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya.

B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO.

1. Tujuan.Tujuan program MTPTRO adalah mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TB MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara menemukan dan mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR.

52

I. Hasil pengobatan TB pada anak Hasil pengobatan TB pada anak merujuk pada hasil pengobatan TB dewasa pada bab III

J. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksanaBalita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksisBalita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis> 5 th (+) Sehat INH profilaksis> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi> 5 th (-) Sehat Observasi

Keterangan• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)

setiap hari selama 6 bulan.• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya

gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal

• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka pemberian INH dapat dihentikan.

• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP- INH selesai diberikan.

51BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)53

BAB V MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

RESISTAN OBAT (MTPTRO) Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800 kasus baru TB MDR di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.

Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara bertahap ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses penatalaksanaan TB MDR yang terstandar dan cepat.Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 13/MENKES/PER/II/2013 program MTPTRO merupakan bagian integral dari Program Pengendalian TB Nasional. A. Defenisi TB Resistan Obat.

TB Resistan Obat adalah keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:1. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)2. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H)

dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).

3. Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.

4. Extensively Drug Resistance (XDR):TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

5. TB Resistan Rifampisin (TB RR).Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya.

B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO.

1. Tujuan.Tujuan program MTPTRO adalah mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TB MDR dan memutus rantai penularannya di masyarakat dengan cara menemukan dan mengobati sampai sembuh semua pasien TB MDR.

BAB VMANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

RESISTAN OBAT (MTPTRO)

52BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

54

2. Kebijakan.a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana

Pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan.

b. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS, untuk saat ini upaya penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB Resistan Rifampisin dan TB MDR.

c. Penguatan MTPTRO dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR.

d. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan MTPTRO yang ada dalam Stranas TB dan Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap pelayanan TB resistan obat yang bermutu.

e. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan pasien TB resistan obat sehingga kemampuan dan mutu laboratorium harus sesuai standar internasional dan selalu dipertahankan kualitasnya untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis.

f. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas dan logistik lainnya untuk pasien TB resistan obat.

g. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

h. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi pasien TB MDR.i. Pencatatan dan pelaporan MTPTRO menggunakan gabungan “paper based” dan

“web based” menggunakan eTB manager.j. Pemantauan dan evaluasi MTPTRO dilakukan secara berkala menggunakan indikator

baku.

C. Pengorganisasian MTPTRO.

1. Organisasi PelaksanaManajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) merupakan bagian dari upaya Pengendalian TB Nasional. Organisasi pelaksana MTPTRO di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dilaksanakan mengikuti kerangka kerja pengendalian TB nasional yang sudah berjalan selama ini.

2. Fasilitas Pelayanan KesehatanTerdapat 3 jenjang fasyankes pelaksana MTPTRO dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing yang melekat pada sistem yang sudah berlaku pada Program TB Nasional.

53BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)54

2. Kebijakan.a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana

Pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan.

b. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS, untuk saat ini upaya penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB Resistan Rifampisin dan TB MDR.

c. Penguatan MTPTRO dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR.

d. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan MTPTRO yang ada dalam Stranas TB dan Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap pelayanan TB resistan obat yang bermutu.

e. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan pasien TB resistan obat sehingga kemampuan dan mutu laboratorium harus sesuai standar internasional dan selalu dipertahankan kualitasnya untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis.

f. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas dan logistik lainnya untuk pasien TB resistan obat.

g. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

h. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi pasien TB MDR.i. Pencatatan dan pelaporan MTPTRO menggunakan gabungan “paper based” dan

“web based” menggunakan eTB manager.j. Pemantauan dan evaluasi MTPTRO dilakukan secara berkala menggunakan indikator

baku.

C. Pengorganisasian MTPTRO.

1. Organisasi PelaksanaManajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) merupakan bagian dari upaya Pengendalian TB Nasional. Organisasi pelaksana MTPTRO di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dilaksanakan mengikuti kerangka kerja pengendalian TB nasional yang sudah berjalan selama ini.

2. Fasilitas Pelayanan KesehatanTerdapat 3 jenjang fasyankes pelaksana MTPTRO dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing yang melekat pada sistem yang sudah berlaku pada Program TB Nasional.

54BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

D. DIAGNOSIS TB RESISTAN OBAT

a. Kriteria Terduga TB Resistan Obat

Terduga TB resistanobat adalah pasien yang mempunyai gejala TB yang memenuhisatu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:

1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 22. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta

menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan.6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 27. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default) 8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT

b. ALUR DIAGNOSIS TB RESISTAN OBATDiagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tescepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniasid).Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.

Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat, maka alur diagnosis TB Resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

Gambar Alur Diagnosis TB Resistan Obat

MtbSensitifRifampisin Mtb Resistan Rifampisin

Tes Cepat dengan Gene Xpert

TB Resistan Rifampisin (TB RR), obati dengan OAT MDR

standar

Mtb Tidak tumbuh Mtb tumbuh

Mtb Negatif

Ujikepekaan OAT Lini-1 dan

lini-2

Biakan dan identifikasi kuman Mtb

TB MDR (Jika ada tambahan resistensi terhadap INH), lanjutkan pengobatan OAT MDR standar.

Pre XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin atau Kanamisin/Amikasin, sesuaikan paduan OAT MDR

TB XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin dan Kanamisin/Amikasin), ganti dengan paduan OAT XDR

Terduga TB Resistan Obat

55BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

D. DIAGNOSIS TB RESISTAN OBAT

a. Kriteria Terduga TB Resistan Obat

Terduga TB resistanobat adalah pasien yang mempunyai gejala TB yang memenuhisatu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:

1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 22. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta

menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan.6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 27. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default) 8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT

b. ALUR DIAGNOSIS TB RESISTAN OBATDiagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode tescepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoniasid).Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.

Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat, maka alur diagnosis TB Resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

Gambar Alur Diagnosis TB Resistan Obat

MtbSensitifRifampisin Mtb Resistan Rifampisin

Tes Cepat dengan Gene Xpert

TB Resistan Rifampisin (TB RR), obati dengan OAT MDR

standar

Mtb Tidak tumbuh Mtb tumbuh

Mtb Negatif

Ujikepekaan OAT Lini-1 dan

lini-2

Biakan dan identifikasi kuman Mtb

TB MDR (Jika ada tambahan resistensi terhadap INH), lanjutkan pengobatan OAT MDR standar.

Pre XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin atau Kanamisin/Amikasin, sesuaikan paduan OAT MDR

TB XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin dan Kanamisin/Amikasin), ganti dengan paduan OAT XDR

Terduga TB Resistan Obat

Gambar Alur Diagnosis TB Resistan Obat

MtbSensitifRifampisin Mtb Resistan Rifampisin

Tes Cepat dengan Gene Xpert

TB Resistan Rifampisin (TB RR), obati dengan OAT MDR

standar

Mtb Tidak tumbuh Mtb tumbuh

Mtb Negatif

Ujikepekaan OAT Lini-1 dan

lini-2

Biakan dan identifikasi kuman Mtb

TB MDR (Jika ada tambahan resistensi terhadap INH), lanjutkan pengobatan OAT MDR standar.

Pre XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin atau Kanamisin/Amikasin, sesuaikan paduan OAT MDR

TB XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin dan Kanamisin/Amikasin), ganti dengan paduan OAT XDR

Terduga TB Resistan Obat

56BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)59

a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.

b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan daritim terapeutik.

d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah: a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.

b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran. c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan. d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem

pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan

alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi: a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pemeriksaan kimia darah:

• Faal ginjal: ureum, kreatinin • Faal hati: SGOT, SGPT.• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) • Asam Urat • Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subure. Foto toraks.f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)g. Pemeriksaan EKG h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuatterhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaanGeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitaspemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.

c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb.

e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.

f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis.

g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya.

h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.

Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangipemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapatperbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuanuntuk tindak lanjut berikutnya.

57BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

58

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:1. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

2. Pasien dengan hasil Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai.

3. Pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR, ulang pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesimen dahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan.

4. Pemeriksaan GeneXpert dengan hasil Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

5. Terduga/suspek TB Resistan obat dengan hasi pemeriksaan Mtb Sensitif Rifampisin tetapi berasal dari kelompok berisiko tinggi, yaitu pasien dengan salah satu kriteria di bawah ini: a. Gagal pengobatan kategori 2 (kronis)/suspek kriteria 1.b. Gagal pengobatan kategori 1/suspek kriteria 4.c. Kambuh (relaps) dari pengobatan kategori 2/suspek kriteria 6.pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

6. Pasien dengan hasil pemeriksaan GeneXpert menunjukkan hasil Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb.

7. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus*. * Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan DST FLD dan SLD, maka lakukan DST FLD dan SLD bersamaan. Jika laboratorium rujukan belum memungkinkan untuk melakukan DST FLD dan SLD sekaligus, DST dilakukan secara bertahap. Lakukan DST FLD terlebih dahulu dan bila hasil DST FLD memberikan hasil TB MDR maka lanjutkan dengan DST SLD.

8. Hasil dari uji kepekaan ini dapat berupa MDR, pre XDR, XDR, mono-resisten, poli-resisten atau sensitif seluruh lini pertama.

9. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis.

10. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR, catat sebagai pasien TB MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR.

11. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR, sesuaikan paduan pengobatan pasien. Catat sebagai pasien TB XDR.

E. Pengobatan TB MDR.

1. Prinsip Pengobatan TB MDRPada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.

59

a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.

b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan daritim terapeutik.

d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah: a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.

b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran. c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan. d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem

pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan

alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi: a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pemeriksaan kimia darah:

• Faal ginjal: ureum, kreatinin • Faal hati: SGOT, SGPT.• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) • Asam Urat • Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subure. Foto toraks.f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)g. Pemeriksaan EKG h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuatterhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaanGeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitaspemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.

c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb.

e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.

f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis.

g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya.

h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.

Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangipemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapatperbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuanuntuk tindak lanjut berikutnya.

58BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO) 60

2. Paduan OAT MDR di IndonesiaPilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah

sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDRSelama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

60

2. Paduan OAT MDR di IndonesiaPilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah

sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDRSelama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

61

Tabel 22: Pemantauan pengobatan TB MDR

Pemantauan Bulan pengobatan 0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22

Evaluasi Utama Pemeriksaan dahak dan biakan dahak √ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan

Evaluasi Penunjang Evaluasi klinis (termasuk BB) Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi Foto toraks √ √ √ √ Ureum, Kreatinin √ 1-3 minggu sekali selama

suntikan

Elektrolit (Na, Kalium, Cl) √ √ √ √ √ √ √ EKG √ Setiap 3 bulan sekali Thyroid stimulating hormon (TSH)

√ √ √ √

Enzim hepar (SGOT, SGPT) √ Evaluasi secara periodik Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi Audiometri √ Berdasarkan indikasi Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi Asam Urat √ Berdasarkan indikasi Test HIV √ dengan atau tanpa faktor risiko

F. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR.

1. Sembuha. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR

tanpa bukti terdapat kegagalan, danb. Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan

minimal 30 hari selama fase lanjutan.

2. Pengobatan LengkapPasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.

3. MeninggalPasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.

59

a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.

b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan daritim terapeutik.

d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah: a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.

b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran. c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan. d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem

pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan

alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi: a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pemeriksaan kimia darah:

• Faal ginjal: ureum, kreatinin • Faal hati: SGOT, SGPT.• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) • Asam Urat • Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subure. Foto toraks.f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)g. Pemeriksaan EKG h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

59BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)60

2. Paduan OAT MDR di IndonesiaPilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah

sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDRSelama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

60

2. Paduan OAT MDR di IndonesiaPilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah

sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis MTPTRO (Permenkes 13/2013).

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDRSelama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

61

Tabel 22: Pemantauan pengobatan TB MDR

Pemantauan Bulan pengobatan 0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22

Evaluasi Utama Pemeriksaan dahak dan biakan dahak √ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan

Evaluasi Penunjang Evaluasi klinis (termasuk BB) Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap Uji kepekaan obat √ Berdasarkan indikasi Foto toraks √ √ √ √ Ureum, Kreatinin √ 1-3 minggu sekali selama

suntikan

Elektrolit (Na, Kalium, Cl) √ √ √ √ √ √ √ EKG √ Setiap 3 bulan sekali Thyroid stimulating hormon (TSH)

√ √ √ √

Enzim hepar (SGOT, SGPT) √ Evaluasi secara periodik Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi Audiometri √ Berdasarkan indikasi Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi Asam Urat √ Berdasarkan indikasi Test HIV √ dengan atau tanpa faktor risiko

F. Evaluasi Akhir Pengobatan TB MDR.

1. Sembuha. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR

tanpa bukti terdapat kegagalan, danb. Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan

minimal 30 hari selama fase lanjutan.

2. Pengobatan LengkapPasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.

3. MeninggalPasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.

59

a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.

b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan daritim terapeutik.

d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus dieksklusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/TB MDR misalnya pasien dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsy, psikosis, dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah: a. Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.

b. Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran. c. Pemeriksaan kondisi kejiwaan. d. Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem

pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual)e. Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk memastikan

alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi: a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pemeriksaan kimia darah:

• Faal ginjal: ureum, kreatinin • Faal hati: SGOT, SGPT.• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) • Asam Urat • Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subure. Foto toraks.f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)g. Pemeriksaan EKG h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

60BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

62

4. GagalPengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB MDR yaitu ≥ 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu :a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan kuinolon atau

obat injeksi lini kedua.d. Terjadi efek samping obat yang berat.

5. Lost to Follow-upPasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.

6. Tidak di EvaluasiPasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB MDR nya tidak diketahui.

G. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap

Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.

H. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak

1. Diagnosis TB Resistan Obat pada AnakTB resistan obat pada anak dan remaja umumnya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan orang dewasa yang menderita TB resistan obat, sehingga sebagian besar dari mereka menderita TB resistan primer. Tidak mudah untuk melakukan uji kepekaan obat pada anak karena umumnya jumlah kuman yang sedikit (paucy-bacillary) dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan dahak sehingga perlu upaya khusus untuk mendapatkan contoh uji seperti induksi sputum dan bilas lambung. Pilihan metodediagnosis pada anak yang diduga TB resistan obatadalah menggunakan tes cepat. Pada anak dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (kambuh, lost to follow up, gagal, tidak ada perbaikan klinis) atau anak dengangejala klinis yang sangat mendukung TB serta ada riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR harus dilakukan tes cepat, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan standar TB RR/ MDR atau merujuk pada hasil uji kepekaan dari sumber penularan (bila diketahui sumbernya).

Penggunaan OAT lini kedua bukan merupakan kontra indikasi dan pada umumnya toleransi anak kepada obat lebih baik dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TBMDR pada anak tidak mudah dan perlu kecermatan. Alur diagnosis dihalaman berikut dapat digunakan sebagai sarana bantu untuk skrining faktor risiko TBMDR pada anak yang diduga atau sudah terdiagnosis sebagai pasien

63

Gambar:

Pengobatan TB Resistan Obat pada Anak

Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly.Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:a. Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang masih sensitif; terdiri dari satu

darigolonganinjectable, satu golongan fluorokuinolon ditambah dua golongan bakteriostatik lini kedua.

b. Etambutol dan PZA sebaiknya diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat baru.c. Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.d. Pemberian obat harus dalam pengawasan seorang PMO.e. Obat diminum setiap hari, Durasi pengobatan harus 18-24 bulan.f. Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa

dengan TB MDR.

Kriteria terduga TB RR/ MDR Anak: 1. Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (> 1 bulan)

a. Kambuh: pernah diobati sampai selesai (lengkap/ sembuh) datang lagi dengan keluhan dan gejala TB.

b. Putus berobat (lost to follow up) c. Gagal: tidak menunjukkan respon klinis yang memadai setelah menjalani

pengobatan TB secara teratur lebih dari 2-3 bulan termasuk BTA/ Biakan tetap positif, menetapnya gejala-gejala dan kegagalan untuk menaikkan berat badan.

2. Memiliki kontak erat dengan pasien yang telah diketahui menderita TB RR/ TB MDR.

3. Kontak erat dengan terduga TB resistan yang memiliki probablitas tinggi sebagai pasien TB RR/ MDR yaitu: Pasien gagal K2, Pasien gagal K1 dan Pasien kambuh.

Penilaian klinis dan diagnosis TB RR/ MDR dengan tes cepat

(sesuai pedoman MTPTRO)

Konfirmasi TB RR/MDR

Konfirmasi TB saja Tidak ada konfirmasi bakteriologis TB/ TB Resistan

Terapi RR/MDR Terapi OAT Kategori Anak

Penegakan diagnosis secara klinis bila secara klinis tetap

mengarah ke TB Anak

61BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

62

4. GagalPengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB MDR yaitu ≥ 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu :a. Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.b. Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan kuinolon atau

obat injeksi lini kedua.d. Terjadi efek samping obat yang berat.

5. Lost to Follow-upPasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.

6. Tidak di EvaluasiPasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil akhir pengobatan TB MDR nya tidak diketahui.

G. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap

Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.

H. Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak

1. Diagnosis TB Resistan Obat pada AnakTB resistan obat pada anak dan remaja umumnya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan orang dewasa yang menderita TB resistan obat, sehingga sebagian besar dari mereka menderita TB resistan primer. Tidak mudah untuk melakukan uji kepekaan obat pada anak karena umumnya jumlah kuman yang sedikit (paucy-bacillary) dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan dahak sehingga perlu upaya khusus untuk mendapatkan contoh uji seperti induksi sputum dan bilas lambung. Pilihan metodediagnosis pada anak yang diduga TB resistan obatadalah menggunakan tes cepat. Pada anak dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (kambuh, lost to follow up, gagal, tidak ada perbaikan klinis) atau anak dengangejala klinis yang sangat mendukung TB serta ada riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR harus dilakukan tes cepat, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan standar TB RR/ MDR atau merujuk pada hasil uji kepekaan dari sumber penularan (bila diketahui sumbernya).

Penggunaan OAT lini kedua bukan merupakan kontra indikasi dan pada umumnya toleransi anak kepada obat lebih baik dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TBMDR pada anak tidak mudah dan perlu kecermatan. Alur diagnosis dihalaman berikut dapat digunakan sebagai sarana bantu untuk skrining faktor risiko TBMDR pada anak yang diduga atau sudah terdiagnosis sebagai pasien

63

Gambar:

Pengobatan TB Resistan Obat pada Anak

Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly.Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:a. Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang masih sensitif; terdiri dari satu

darigolonganinjectable, satu golongan fluorokuinolon ditambah dua golongan bakteriostatik lini kedua.

b. Etambutol dan PZA sebaiknya diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat baru.c. Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.d. Pemberian obat harus dalam pengawasan seorang PMO.e. Obat diminum setiap hari, Durasi pengobatan harus 18-24 bulan.f. Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa

dengan TB MDR.

Kriteria terduga TB RR/ MDR Anak: 1. Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (> 1 bulan)

a. Kambuh: pernah diobati sampai selesai (lengkap/ sembuh) datang lagi dengan keluhan dan gejala TB.

b. Putus berobat (lost to follow up) c. Gagal: tidak menunjukkan respon klinis yang memadai setelah menjalani

pengobatan TB secara teratur lebih dari 2-3 bulan termasuk BTA/ Biakan tetap positif, menetapnya gejala-gejala dan kegagalan untuk menaikkan berat badan.

2. Memiliki kontak erat dengan pasien yang telah diketahui menderita TB RR/ TB MDR.

3. Kontak erat dengan terduga TB resistan yang memiliki probablitas tinggi sebagai pasien TB RR/ MDR yaitu: Pasien gagal K2, Pasien gagal K1 dan Pasien kambuh.

Penilaian klinis dan diagnosis TB RR/ MDR dengan tes cepat

(sesuai pedoman MTPTRO)

Konfirmasi TB RR/MDR

Konfirmasi TB saja Tidak ada konfirmasi bakteriologis TB/ TB Resistan

Terapi RR/MDR Terapi OAT Kategori Anak

Penegakan diagnosis secara klinis bila secara klinis tetap

mengarah ke TB Anak

62BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

BAB VIKEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( )15

BAB VI KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( ¹⁵ )

1. LATAR BELAKANG

Koinfeksi TB sering terjadi pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan HIVmempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB. Di tahun 2012, sekitar 320,000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global Report 2013).

Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes (zero new infection, zero deaths, zero stigma discrimination) Kementerian Kesehatan RI melalui Permenkes No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyusun strategi penanggulangan HIV/AIDS secara menyeluruh dan terpadu. Pasal 24 pada Permenkes tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS atau TIPK. Manajemen koinfeksi TB-HIV tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan, baik dari manajemen penyakit maupun operasional, oleh karena itu kegiatan kolaborasi TB-HIV perlu diperkuat di semua tingkatan manajemen dan layanan kesehatan.

2. TUJUAN DAN KEBIJAKAN DALAM KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV

Tujuan:Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dan HIV di masyarakat.

Kebijakan dan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV:

Kegiatan: Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:

Tabel Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia

A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDSA.1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua

tingkatan

A.2. Melaksanakan surveilans TB-HIV

A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV

A.4. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV

A.5. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV

Kebijakan:1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian

TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan melibatkan lintas sektoral.

3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara signifikan.

4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaankolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masing-masing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan

5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa melihat faktor resiko.

7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara diniB.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi

kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitasB.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ARTB.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk

Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TBC.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB

C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB

C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV

C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahanHIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV

C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV

63BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

BAB VI KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV ( ¹⁵ )

1. LATAR BELAKANG

Koinfeksi TB sering terjadi pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan HIVmempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB. Di tahun 2012, sekitar 320,000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global Report 2013).

Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes (zero new infection, zero deaths, zero stigma discrimination) Kementerian Kesehatan RI melalui Permenkes No.21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV-AIDS menyusun strategi penanggulangan HIV/AIDS secara menyeluruh dan terpadu. Pasal 24 pada Permenkes tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS atau TIPK. Manajemen koinfeksi TB-HIV tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan, baik dari manajemen penyakit maupun operasional, oleh karena itu kegiatan kolaborasi TB-HIV perlu diperkuat di semua tingkatan manajemen dan layanan kesehatan.

2. TUJUAN DAN KEBIJAKAN DALAM KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV

Tujuan:Kegiatan kolaborasi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dan HIV di masyarakat.

Kebijakan dan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV:

Kegiatan: Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:

Tabel Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia

A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDSA.1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua

tingkatan

A.2. Melaksanakan surveilans TB-HIV

A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV

A.4. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV

A.5. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV

Kebijakan:1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian

TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan melibatkan lintas sektoral.

3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara signifikan.

4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaankolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masing-masing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan

5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa melihat faktor resiko.

7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara diniB.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi

kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitasB.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ARTB.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk

Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA)

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TBC.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB

C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB

C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV

C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahanHIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV

C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV

64BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

9. KIE tentang TB-HIV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses inisiasi tes HIV pada pasien TB dan perawatan pasien TB-HIV.

10. Penemuan kasus TB secara intensif pada ODHA dilakukan dengan melakukan kaji status TB secara rutin pada tiap kunjungan.

11. Diagnosis TB pada ODHA memanfaatkan tes cepat TB. Alat tes cepat TB yang saat ini tersedia di Indonesia adalah Xpert MTB/Rif.

12. Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) hanya diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi.

13. Pelayanan TB-HIV harus menjamin penerapan prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi TB dan HIV.

14. Kegiatan monitoring dan evaluasi melibatkan kolaborasi kedua program dengan sistem kesehatan secara umum, pengembangan jejaring rujukan diantara pelayanan kesehatan dan institusi yang berbeda serta supervisi yang dilakukan bersama sama oleh kedua program. Dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan.

3. PENGORGANISASIAN Keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV sangat tergantung pada kerjasama antar komponen TB dan HIV dengan membangun kemitraan pada semua tingkatan. Pada tingkat pengambil keputusan, kolaborasi TB-HIV lebih ditekankan pada komitmen dan koordinasi tingkat sektoral (lintas bagian/UPF) sedangkan pada tingkat pelaksana layanan lebih ditekankan pada penyediaan layanan yang menyeluruh dan terpadu. Untuk menjamin pelayanan TB-HIV yang berkualitas secepat dan sedekat mungkin maka terdapat beberapa model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu:1. Model layanan terintegrasi

Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu fasyankes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu fasyankes.

2. Model layanan paralel:a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu fasyankes. b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di fasyankes yang berbeda

Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun model yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi untuk mencegah hilangnya kesempatan penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV.

4. DIAGNOSIS TB PADA ODHA

Gejala TB pada ODHAGejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala

ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

Diagnosis TB pada ODHA Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

• Pemeriksaan mikroskopis langsungPemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.

• Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/RifPemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.

• Pemeriksaan biakan dahakJika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.

• Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagiPenggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotiktersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.

• Pemeriksaan foto toraksPemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.

65BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

9. KIE tentang TB-HIV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses inisiasi tes HIV pada pasien TB dan perawatan pasien TB-HIV.

10. Penemuan kasus TB secara intensif pada ODHA dilakukan dengan melakukan kaji status TB secara rutin pada tiap kunjungan.

11. Diagnosis TB pada ODHA memanfaatkan tes cepat TB. Alat tes cepat TB yang saat ini tersedia di Indonesia adalah Xpert MTB/Rif.

12. Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) hanya diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi.

13. Pelayanan TB-HIV harus menjamin penerapan prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi TB dan HIV.

14. Kegiatan monitoring dan evaluasi melibatkan kolaborasi kedua program dengan sistem kesehatan secara umum, pengembangan jejaring rujukan diantara pelayanan kesehatan dan institusi yang berbeda serta supervisi yang dilakukan bersama sama oleh kedua program. Dalam pelaksanaannya harus diintegrasikan dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada serta harus menjamin kerahasiaan.

3. PENGORGANISASIAN Keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV sangat tergantung pada kerjasama antar komponen TB dan HIV dengan membangun kemitraan pada semua tingkatan. Pada tingkat pengambil keputusan, kolaborasi TB-HIV lebih ditekankan pada komitmen dan koordinasi tingkat sektoral (lintas bagian/UPF) sedangkan pada tingkat pelaksana layanan lebih ditekankan pada penyediaan layanan yang menyeluruh dan terpadu. Untuk menjamin pelayanan TB-HIV yang berkualitas secepat dan sedekat mungkin maka terdapat beberapa model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu:1. Model layanan terintegrasi

Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu fasyankes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu fasyankes.

2. Model layanan paralel:a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu fasyankes. b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di fasyankes yang berbeda

Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun model yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi untuk mencegah hilangnya kesempatan penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV.

4. DIAGNOSIS TB PADA ODHA

Gejala TB pada ODHAGejala klinis TB pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala

ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

Diagnosis TB pada ODHA Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

• Pemeriksaan mikroskopis langsungPemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.

• Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/RifPemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.

• Pemeriksaan biakan dahakJika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.

• Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagiPenggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotiktersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.

• Pemeriksaan foto toraksPemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.

66BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses Tes Cepat TB

Keterangan :(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya

yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosis

(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat

(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.

(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:- Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes

cepat- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi

TB- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab

lain

67BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/Akses Tes Cepat TB

Keterangan :(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya

yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosis

(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

(3) Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat

(4) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.

(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:- Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan hasil tes

cepat- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan terapi

TB- Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari penyebab

lain

68BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan Tes Cepat TB

Keterangan :(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya

yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosa.

(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya

(3) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks mendukung TB :diberikan terapi TB terlebih dahulu

(4) Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap rifampisin

(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung TB dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis TB.

5. DIAGNOSIS HIV PADA PASIEN TB

• Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada pasien TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang komprehensif.

• Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: Tes HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS)

• Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian daristandar pelayanan oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan HIV.

• Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian terapi ARV.

• Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih lengkap dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.

6. PENGOBATAN TB PADA ODHA DAN INISIASI ART SECARA DINI

• Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien tersebut lebih imunosupresi dibandingkan ODHA dengan TB yang BTA positif. (²⁶)Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya adalah sama seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian.

69BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Gambar Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Sulit Menjangkau Layanan Tes Cepat TB

Keterangan :(1) Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya

yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidakdibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolon ( untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosa.

(2) Untuk terduga pasien TB Ekstra Paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya

(3) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks mendukung TB :diberikan terapi TB terlebih dahulu

(4) Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap rifampisin

(5) Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA neg dan foto toraks tidak mendukung TB dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis TB.

5. DIAGNOSIS HIV PADA PASIEN TB

• Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan beban HIV pada pasien TB. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV sehingga dengan demikian pasien tersebut mendapatkan pelayanan yang komprehensif.

• Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: Tes HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan Konseling (TIPK) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS)

• Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK sebagai bagian daristandar pelayanan oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan HIV.

• Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti dalam pemberian terapi ARV.

• Langkah-langkah untuk pelaksanaan TIPK pada pasien TB akan dijelaskan lebih lengkap dalam Petunjuk Tatalaksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.

6. PENGOBATAN TB PADA ODHA DAN INISIASI ART SECARA DINI

• Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien tersebut lebih imunosupresi dibandingkan ODHA dengan TB yang BTA positif. (²⁶)Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya adalah sama seperti pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV, dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian.

70BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik . (²⁶)

• Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

• Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.

• Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.

• Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP.

• Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan oleh unit HIV.

• Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.

• Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV.

7. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID (PP INH)

Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif padaODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA . Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan.

8. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN KOTRIMOKSASOL (PPK)

Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.

9. PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN HIV

• Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinyadilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.

• Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya.

.

71BAB VI

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik . (²⁶)

• Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

• Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.

• Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.

• Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang terintegrasi di dalam unit PDP.

• Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan oleh unit HIV.

• Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.

• Pengobatan bersama TB-HIV akan dijelaskan lebih rinci dalam Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB-HIV.

7. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID (PP INH)

Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk mencegah TB aktif padaODHA, sehingga dapat menurunkan beban TB pada ODHA . Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PP INH diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan.

8. PEMBERIAN PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN KOTRIMOKSASOL (PPK)

Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP.

9. PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN HIV

• Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinyadilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.

• Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya.

.

72BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

74

BAB VII PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk, berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.

Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.

Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya kuman TB ini.

A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.

Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu : 1. Pengendalian Manajerial 2. Pengendalian administratif 3. Pengendalian lingkungan 4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri

PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.

1. Pengendalian Manajerial.Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.

Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan

surveilans c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

BAB VIIPENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

73BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

75

d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran,

sarana dan prasarana) yang dibutuhkan f. Monitoring dan Evaluasi g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI

TB

2. Pengendalian Administratif.Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman m. tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup:a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara

tepat) b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang

benar.d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.

Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan, diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif.

Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan.Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat yang belum teridentifikasi.

Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.

74BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

76

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut: a. Temukan pasien secepatnya.

Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk ke laboratorium.

b. Pisahkan secara aman.Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker. Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam antrian (prioritas).

c. Obati secara tepat.Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.

Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:a. Ventilasi Alamiah b. Ventilasi Mekanikc. Ventilasi campuran

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.

Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

75BAB VII

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

77

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.

Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari). Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

76BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

78

BAB VIII PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan.

Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.

PPM (Public Private Mix) meliputi:• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB

dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.

• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan apotik swasta.

Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP, sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan dilakukan di FKRTL.

A. TujuanTujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.

B. Prinsip dan Strategi PPM.1. Prinsip PPM

Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan

menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program

pengendalian TB di setiap tingkat.

BAB VIIIPUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

77BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

79

2. Strategi PPMProgram Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix (PPM), yaitu :a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas, b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.

C. Penerapan PPMPenerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:1. Tingkat Nasional2. Tingkat Provinsi3. Tingkat Kabupaten/Kota

1. Tingkat NasionalDi tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan, pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya, pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI), organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.

2. Tingkat ProvinsiDi tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di tingkat kabupaten/kota.

3. Tingkat kabupaten/kotaPenerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.

a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK berkaitan dengan Pilar ini antara lain:

78BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

80

1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).

2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu

pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan sesak.

4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV

5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.

6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang lain, contohnya:• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat. • Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan

(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian

perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social Responsibility).

• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus TB ke faskes DOTS dasar.

7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.

b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swastaDirektorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai pendekatan-pendekatan sebagai berikut:1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi

Rumah Sakit 2012.2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,

contohnya:• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui: Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV, Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV, Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).

c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan SpesialisIkatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

79BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

81

1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh Indonesia.

2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB IDI.

3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas. Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan

mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB (Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).

2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi dan Laboratorium rujukan intermediate.

3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan 2.

4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan

mutunya.e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.

Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji

kualitas OAT. 4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT. 5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.

f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:

80BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

82

1) Membantu mengadvokasi membangun komitmen termasuk pendanaan.2) Membangun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan layanan DOTS yang

berkualitas3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam memantau kualitas layanan TB yang

diberikan faskes.4) Memberdayakan masyarakat peduli TB dalam pemberian dukungan psikososial

pada pasien TB.5) Integrasi layanan TB kedalam upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM).

D. Langkah-langkah Pemantapan PPM.

Langkah-langkah pemantapan PPM dilakukan antara lain sebagai berikut:1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan mapping kesiapan atau

permasalahan penerapan pelayanan TB di fasyankes yang telah atau akan dilibatkan.2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pimpinan stakeholders (organisasi profesi, NGO,

CSR, dll) baik swasta maupun pemerintah dalam rangka melaksanakan PPM.3. Memastikan pelayanan TB berjalan di tiap fasyankes primer sesuai kemampuan,dengan

mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:a. Ada tidaknya Tim DOTS atau pelaksana pelayanan TB terlatih di fasyankesb. Keberadaan Unit DOTS di fasyankes sebagai tempat koordinasi dan pelayanan

pasien TB secara komprehensif dan terpadu.c. Kesiapan akses pelayanan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak

sesuai standar di fasyankes atau merujuk ke lab TB yang lain.d. KelengkapanTenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, petugas

administrasi, farmasi (apotek) yang terlatih. e. Biaya operasional.f. Ketersediaan SOP baik dalam jejaring internal maupun jejaring eksternal.g. Berjalannya surveilans TB dan penggunan format pencatatan dan pelaporan sesuai

kegiatan pelaksanaan program TB nasional h. Menentukan fasyankes yang perlu di supervisi dan yang terlibat dalam pertemuan

monitoring dan evaluasi pelaksanaan program TB.i. Menginformasikan/umpan balik, menyebarluaskan hasil pencapaian fasyankes sampai

ke pimpinan fasyankes.

Fungsi Dinas Kesehatan dalam jejaring PPM, sebagai berikut:1. Penanggung jawab PPM.2. Menunjuk koordinator PPM.3. Membuat surat keputusan tentang pembentukan tim PPM. 4. Bersama fasyankes menyusun protap jejaring layanan pasien TB, dan memastikan

protap dijalankan.5. Mengesahkan protap jejaring layanan TB.6. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan DOTS dan kegiatan program TB lainnya

di fasyankes.7. Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan) berjalan.

81BAB VIII

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

83

Keberhasilan pendekatan PPM sangat tergantung dalam membentuk sistim jejaring dengan berbagai sector oleh karena itu perlu adanya Koordinator PPM yang mempunyai tugas sebagai berikut1. Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas berjalan dengan baik. 2. Memfasilitasi rujukan antar fasyankes dan antar prov/kab/kota3. Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke fasyankes yang dituju dan

menyelesaikan pengobatannya.4. Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindak lanjuti5. Memastikan terlaksananya kegiatan validasi data, supervisi, monitoring dan evaluasi

pasien di fasyankes.6. Menyusun laporan kegiatan PPM kepada penanggung jawab PPM (Dinas kesehatan

setempat).

E. Indikator Pelaksanaan PPM

Pemantapan PPM perlu dilakukan diantaranya dengan mempertahankan mutu program pengendalian tuberkulosis agar memperoleh hasil yang efektif, efisien dan bermutu. Oleh karena itu dalam dalam pemantapan PPM di Kabupaten/Kota perlu dilakukan pemantauan yang berkesinambungan, agar tetap berjalan dalam jalurnya, maka Indikator untuk memantau kegiatan PPM adalah:1. Proporsi faskes terlibat PPM diantara jumlah faskes yang ada.2. Kontribusi terhadap angka penemuan TB (CNR).3. Angka keberhasilan pengobatan di masing-masing faskes PPM.4. Angka keberhasilan rujukan di faskes PPM.

82BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

BAB IX MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar . Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB, diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.

Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.

A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratoriumyang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.

Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.

a. Laboratorium mikroskopis TB di faskesDalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah

FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.

• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dankemudian merujuk ke FKTP-RM.

Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

BAB IXMANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

83BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1 dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah

kerjanya.3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan

jejaring laboratorium TB di wilayahnya.

c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabilaprovinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi berperan sebagai lab RUS. Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance)

mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 12) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring

laboratorium TB di wilayahnya4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,

supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.

d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis NasionalBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:1) Peran:

a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TBb) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan

mikroskopis TB2) TanggungJawab:

Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.

85BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

c. Laboratorium biakan Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M. tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional 3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai

Laboratorium rujukan biakan provinsi

d. Laboratorium biakan dan uji kepekaanMelakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OATsesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN. Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/

atau 22) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan

pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan

3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.

4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.

e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis NasionalBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabayasebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:

1) Perana) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan

isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.

2) Tugas Pokoka) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan

TBb) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TBc) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan

dan uji kepekaan TBd) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal

(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TBe) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan

TBf) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB

87BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:

1) Perana) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB, b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi

dan MOTT.

2) Tugas Pokoka) Melaksanakan penelitian operasional TBb) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi barue) Melaksanakan PME untuk teknologi baru f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.

3) TanggungjawabMemastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran dan tugas pokok.

B. Manajemen Laboratorium TB.1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.

Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaanlogistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB

2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.Tujuan PMI:1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,

penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji, pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.

2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan cepat dan tepat.

3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.

Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.

88BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan

laboratorium, misalnya :a) Protap pengambilan dahakb) Protap pembuatan contoh uji dahakc) Protap pewarnaan Ziehl Neelsend) Protap pemeriksaan Mikroskopise) Protap pembuatan mediaf) Protap inokulasig) Protap identifikasi h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.

2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan laboratorium TB

3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan. Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi secara baik, berkala dan berkesinambungan.1) Perencanaan PME

a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan wilayah kerja jejaring laboratorium TB

b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggarac) Menentukan jenis kegiatan PME d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja

laboratorium penyelenggara.e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PMEf) Penilaian dan umpan balik.

2) Kegiatan PMEKegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:

a) PME Mikroskopis• Uji silang sediaan dahak mikroskopis

Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga alur dan peran komponen PME dapat berubah.

89BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Alur uji silang mikroskopis TB

• Uji profisiensi/ tes panel sediaan dahak mikroskopis,Kegiatan ini untuk menilai kinerja petugas laboratorium TB tetapi hanya dilaksanakan apabila uji silang dan supervisi belum berjalan dengan memadai.

b) PME Uji Kepekaan OATSecara berkala dan berkesinambungan dilakukan Tes Panel dari laboratorium rujukan nasional melalui pengiriman isolat-isolat yang kemudian harus diperiksa dengan biakan dan diuji kepekaan terhadap OAT di laboratorium pelaksana pelayanan biakan dan uji kepekaan TB.

c) Bimbingan teknis Laboratorium TB.Kegiatan ini dilaksanakan untuk menindaklanjuti umpan balik PME dan menjamin kualitas pemeriksaan laboratorium TB.

c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)Kegiatan ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari PMI dan PME, dengan membuat tolok ukur dan perencanaan peningkatan mutu, meliputi:1) Tenaga: pelatihan, penyegaran, mutasi, penetapan kriteria/kualifikasi tenaga

laboratorium TB pada semua jenjang2) Sarana dan prasarana: standarisasi,pemeliharaan, pengadaan, uji fungsi3) Metode Pemeriksaan: revisi protap, pengembangan metode pemeriksaan

90BAB IX

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TBUntuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.

C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TBManajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di laboratorium TB.

91BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

94

BAB X PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan, baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes).Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga ketersediaan dan kualitasnya terjamin. A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.

1. Pengertian Logistik P2TB.Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.

2. Jenis-jenis Logistik P2TB.Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non OAT.a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.

Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)

dan Streptomisin (S).• Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),

Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS).

1) Obat Anti TB (OAT) Non ResistanDalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis

BAB XPENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

92BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

95

kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.

Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan 4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya dikemas dalam bentuk blister.

Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah:• Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3• Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3• Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)• Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3• Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR

2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDRDalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT lini pertama yang masih sensitif.

Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan OAT RR/MDR yang disediakan adalah:

Nama OAT Dosis BentukKanamycin (Km) 1000 mg vialCapreomycin (Cm) 1000 mg vialLevofloxacin (Lfx) 250 mg tabletMoxifloxacin (Mfx) 400 mg tabletEthionamide (Eto) 400 mg tabletCycloserin (Cs) 250 mg kapsulPara Amino Salicylic (PAS) 2 g sachetPirasinamid (Z) 500 mg tabletEtambutol (E) 400 mg tablet

93BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

96

b. Logistik Non OATLogistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun pasien TB resistan obat. 1) Logistik Non OAT Non Resistan

Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah: Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca

sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi, Kertas saring, Kertas lensa, dll.

Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah: Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu

spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll

Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-lain.

2) Logistik Non OAT Resistan ObatLogistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah: Cartridge GeneXpert Masker bedah Respirator N95 Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR

b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah: Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,

Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak penyimpanan OAT, dll

Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-lain.

3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.

94BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

97

Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah seperti gambar dibawah ini:

Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.

Keterangan:Alur distribusi OATAlur permintaan dan pelaporan OAT

Keterangan:Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.

Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:

distribusi

distribusi permintaan

permintaan

Dokter Praktik Mandiri(DPM)

Klinik Swasta

Dinkes Provinsi

Dinkes Kab/kota

Fasyankes

Instalasi Farmasi Provinsi(IFP)

Instalasi Farmasi Kab/Kota(IFK)

95BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

98

Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat

Keterangan:Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.

PusatInstalasi Farmasi

Nasional

Instalasi Farmasi Provinsi (IFP)

Instalasi Farmasi Faskes Rujukan

Dinkes Provinsi

Faskes Rujukan

Faskes Sub Rujukan Faskes Satelit

Keterangan:Alur Distribusi OATAlur Permintaan dan Pelaporan OAT

96BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

99

Gambar 12: Siklus Manajemen Logistik P2TB

1. Perencanaan Logistik P2TB.Perencanaan adalah kegiatan pertama dalam siklus pengelolaan logistik. Kegiatan ini meliputi proses penilaian kebutuhan, menentukan sasaran, menetapkan tujuan dan target, menentukan strategi dan sumber daya yang akan digunakan.

Hal-hal yang diperhatikan dalam melakukan perencanaan logistik P2TB adalah:a. Menyiapkan data yang dibutuhkan dalam merencanakan logistik P2TB, antara

lain: data pasien TB yang diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun sebelumnya, data fasilitas pelayanan kesehatan, stok logistik yang masih bisa dipakai dan sumber dana.

b. Menentukan jenis logistik yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Untuk logistik OAT dan Non OAT yang berhubungan dengan kegiatan teknis program TB seperti lab suplies, formulir pencatatan pelaporan,dll harus sesuai dengan spesifikasi Program TB Nasional.

c. Perencanaan logistik dihitung sesuai dengan kebutuhan dengan memperhitungkan sisa stok logistic P2TB yang masih ada dan masih dapat dipergunakan (belum Kadaluarsa atau rusak).

d. Perencanaan logistik berdasarkan kebutuhan program (program oriented)bukan budget oriented.

e. Perencanaan logistik P2TB dilakukan oleh/diserahkan kepada tim perencanaan terpadu yang sudah ada.

97BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

100

f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.

a. Perencanaan OATPerencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya, sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai dengan target yang direncanakan.

Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang ada dan masa tunggu (lead time).

1) Perencanaan OAT Tidak ResistanPerencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.

2) Perencanaan OAT Resistan ObatMengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai dengan target penemuan kasus.

b. Perencanaan Non OATPerencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan memperhatikan:1) Jenis logistik 2) Spesifikasi3) Jumlah kebutuhannya. 4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan5) Unit pengguna

Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota denganmemperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.

98BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

101

2. Pengadaan Logistik P2TB.Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah: a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang

tepat.b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang

wajar.

Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD

Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan

yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.

d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI, Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.

e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang bersangkutan.

f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

a. Pengadaan OATOAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE) sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional

Pengendalian TB.2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang

minimal 24 (dua puluh empat) bulan.

99BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

102

3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.

4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutuOAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.

5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets masing-masing produk.

6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.

b. Pengadaan Non OATLogistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT untuk TB regular maupun TB resistan obat.Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.

Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program

Nasional Pengendalian TB.2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan

untuk setiap jenis logistik.

3. Penyimpanan Logistik P2TB.Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang), barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.

Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten Kota dan Fasyankes.

100BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

103

Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.

4. Distribusi Logistik P2TB.Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan, mutu dan manfaat.

Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana

(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang cukup.

b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatanc. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian

Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program penanggulangan TB.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan

Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan Fasyankes.

b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.

c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima (BAST).

d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi atau pengiriman logistik tersebut.

e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya yang dikirim.

f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain

anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan sarana yang ada.

101BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

104

5. Penggunaan Logistik P2TB.Penggunaan logistik P2TB adalah kegiatan/proses penggunaan logistik P2TB, baik OAT maupun Non OAT sesuai dengan peruntukannya dan aturan pakainya.a. Penggunaan Logistik OAT

Penggunaan logistik dapat dilihat dan mengacu pada tatalaksana pengobatan TB baik TB yang tidak resistan maupun TB yang resistan.

b. Penggunaan Logistik Non OATUntuk penggunaan logistik non OAT seperti bahan dan alat laboratorium mengacu pada buku-buku panduan maupun juknis laboratorium TB. Demikian juga dengan formulir dan buku pencatatan pelaporan penggunaannya mengacu pada bab pencatatan dan pelaporan TB.

6. Manajemen PendukungPengelolaan logistik program TB dilakukan di setiap tingkat pelaksana, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota maupun Sarana Pelayanan Kesehatan (SPK). Sehingga diperlukan suatu manajemen pengelolaan dan koordinasi yang baik antara setiap tingkat pelaksana tersebut.

a. PengorganisasianOrganisasi pengelolaan logistik P2TB dilakukan disetiap tingkat pelaksana, mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Fasyankes. Organisasi pengelolaan ini dapat digambarkan di bawah ini:

PUSAT

PROVINSI

KAB/KOTA

KEMENTERIAN KESEHATAN

DINAS KESEHATAN PROVINSI

DINAS KESEHATAN KAB/KOTA

INSTALASI FARMASI PROVINSI (IFP)

INSTALASI FARMASI KAB/KOTA (IFK)

FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

DITJEN PP&PL DITJEN BINFAR INSTALASI FARMASI

NASIONAL

102BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

b. Pembiayaan Logistik P2TBPembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan. Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber lainnya yang sah sesuai kebutuhan.Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu. Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber dana dapat dimobilisasi.

c. Sistim Informasi Logistik P2TBSaat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat, dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan logistik P2TB yaitu:1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu

(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun 2011.

2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer, yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.

d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TBDalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untukterciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensi-nya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi sesuai tupoksi dan beban kerjanya.Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB, dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB.

e. Pengawasan Mutu Logistik P2TBPengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat digunakan.

103BAB X

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

106

1) Pengawasan Mutu OATPengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market, yaitu:a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring

efek samping.

Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan secara organoleptik dan laboratorium.

2) Pengawasan Mutu Logistik Non OATPengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.Contoh:Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara laboratorium.

104BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

BAB XI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu sepertiHIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasidi bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga yang terampil.

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmenyang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.

Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.

Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB, peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB. A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.

Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana. Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan. 1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

a. Puskesmas1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan

minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.

BAB XIPENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

106

2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB

b. Rumah Sakit Umum Pemerintah1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2

dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium

2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga laboratorium

3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2 dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium

4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium

5) RS swasta: menyesuaikan.c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.

2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/KotaPengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10 fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.

Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.

3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalaha. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1

orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)

108BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

109

Masyarakat Anggota keluarga, kader, tenaga kesehatan, LSM

• Identifikasi dan rujuk terduga TB ke fasyankes.

•Pengawas Menelan Obat (PMO)•Kunjungan rumah•Melacak yang mangkir•Catatan sederhana

Laboratorium Staf Peran/ tugas utama

Lab TB nasional Ahli Biomolekuler, Spesialis Patologi klinik, spesialis Patologi Anatomi, Spesialis mikrobiologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis.

Pemeriksaan dan penelitian biomolekuler, pemeriksaan non konvensional lainnya, uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan

Lab TB rujukan regional Spesialis Patologi klinik, Ahli Mikrobiologi, Analis dan analis media.

Kultur, identifikasi dan uji kepekaan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan lain

Lab TB rujukan provinsi Spesialis Patologi Klinik, Analis.

Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji silang mikroskopis final

Laboratorium rujukan Uji silang (Intermediate TB Laboratory)

Petugas laboratorium dan analis

Uji silang pertama (Laboratory Quality Assurance)

Pusat Mikroskopis TB:PRMPPM Laboratorium RSLaboratorium swasta

Analis Pembuatan contoh uji apusan dahak, fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan skala IUATLD dan interpretasi

Pusat Fiksasi contoh uji TB (Puskesmas satelit)

Petugas lab Pembuatan contoh uji apusan dahak dan fiksasi

C. Pelatihan Program Pengendalian TBPelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh (LJJ)/distance learning.

Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.

110BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

112BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

113

c. Evaluasi bersifat korektif • Menemukan masalah

(in effisien dan in effektif / under target )• Menemukan sebab-sebab masalah,• Mengajukan saran perbaikan

2. Kerangka Konsep EPP P2TB

Gambar 14: Kerangka konsep evaluasi paska pelatihan TB

Evaluasi paska pelatihan (EPP) adalah:a. Bagian dari evaluasi yang difokuskan pada tingkat perubahan yang terjadi pada

mantan peserta latih setelah menyelesaikan suatu pelatihan. b. Penerapan pengetahuan, sikap dan perilaku hasil intervensi pelatihan oleh mantan

peserta latih di tempat kerja,c. Perubahan dapat dilihat dari kinerja individu, tim, organisasi dan program,d. Outcome evaluation (Kinerja individu),e. Evaluasi ini dilakukan 3-6 bulan setelah pelatihan,f. Pelaksana EPP adalah Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) dan atau Pengelola Program

TB g. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam EPP:

1) Penyiapan daftar tilik/instrument evaluasi paska pelatihan2) Perencanaan EPP: menetapkan sasaran, lokasi, petugas pelaksana, jadwal,

menyiapkan surat ke lokasi EPP3) Pelaksanaan EPP sesuai perencanaan yang telah ditetapkan4) Penyusunan laporan hasil kegiatan EPP

113BAB XI

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

114

3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan

balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang

dinilai yaitu:1) Kognitif/Pengetahuan2) Afektif/Sikap3) Psikomotor/Perilaku

c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individud. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di

wiilayahnya

4. Metode EPP Program Pengendalian TBEvaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan peserta latih di tempat kerjanya.

Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPPNO RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN1 KOGNITIF Test tertulis

Studi kasusWawancaraFocus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah

2 AFEKTIF Studi kasus Wawancara dengan pihak ketiga Kuestioner

3 PSIKOMOTOR ObservasiCek dokumen

114BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

114

BAB XII KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat, bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol, pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.

Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB. Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.

A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.Organisasi kemasyarakatan dapat berupa: • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional• Organisasi berbasis komunitas• Organisasi berbasis agama• Organisasi pasien dan mantan pasien• Organisasi profesi• dan lain-lain.

B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan

pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan, meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).

2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program pengendalian TB

BAB XIIKETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

115BAB XII

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

115

3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan.

4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program Pengendalian TB.

5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.

C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TBKeuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB, antara lain:

1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat membantu dalam program pengendalian TB.

2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahamisituasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.

3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba, penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas layanan kesehatan.

4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung

5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang TB kepada masyarakat

6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan TB dan membantu dalam sosial ekonomi

7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah setempat.

8. Dan lain-lain.

D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TBPrinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta

karakteristik masing-masing,2. Saling menguntungkan,3. Keterbukaan,4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari

organisasi kemasyarakatan itu sendiri,5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di

Program Pengendalian TB.

116

116

E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam Pengendalian TBIndikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi

kemasyarakatan yang tercatat.

2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atauorganisasi kemasyarakatan yang tercatat.

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian TBBeberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:

Peran KegiatanPencegahan TB. Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader. Deteksi dini terduga TB. Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,

pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader. Melakukan rujukan. Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke

Fasyankes, dukungan transport.Dukungan/motivasi keteraturan berobat pasien TB.

Pengawas Menelan Obat (PMO).

Dukungan sosial ekonomi. Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan pasien TB guna meningkatkan penghasilan, menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.

Advokasi. Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu memberikan masukan kepada pemerintah.

Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis komunitas yaitu:1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).

Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang

BAB XIIKETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

117

117

selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.

2. Memperluas (Expand).a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang

sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja seksual.

b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuanterduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.

3. Mempertegas (Emphasize).Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi kemasyarakatan dapat diidentifikasi.

4. Menghitung (Enumerate).Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan terhadap program pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:

No Kegiatan Pusat Provinsi Kab/Kota1 Analisis situasi V V V2 Menciptakan lingkungan yang kondusif V V V3 Pedoman dan Juknis V - -4 Identifikasi tugas V V V5 Monitoring and evaluation V V V6 Peningkatan kapasitas V V V

BAB XIIKETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

118BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

118

BAB XIII SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS

Sistim informasi program pengendalian TB merupakan bagian dari sistem informasi kesehatan.Sistem informasi kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung pembangunan Nasional.

Informasi kesehatan adalah data kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam mendukung pembangunan kesehatan.

Informasi kesehatan untuk program pengendalian TB adalah informasi dan pengetahuan yang memandu dalam melakukan penentuan strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program TB. Secara garis besar informasi strategis TB meliputi tiga elemen pokok yaitu sistem surveilans, sistem monitoring dan evaluasi (monev) program, dan penelitian operasional.

Gambar 15: Sistim Informasi Program Pengendalian TB.

Surveilans

Rutin

Pengelolaan Data

Monitoring Program

(indikator)

Penelitian Operasional

Penelitian ilmiah (dasar)

Penyajian Data

Pemecahan masalah, Tindak lanjut, Perencanaan

Estimasi dan Proyeksi

Surveilans

Non Rutin (Survei: Periodik

dan Sentinel)

Sistem SurveilansTB

Sistem Monitoring & Evaluasi program TB

Penelitian TB

BAB XIIISISTIM INFORMASI PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

119BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

119

Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.

A. Surveilans TuberkulosisSurveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).

1. Surveilans Rutin.Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah) untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari surveilans periodik atau surveilans sentinel.

2. Surveilans Non Rutin.a. Surveilans non rutin khusus

Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan data rutin.Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB, survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lain-lain.

120BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

120

Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.

b. Surveilans non rutin luar biasaMeliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang cepat.Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).

B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TBMonev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awalmasalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dantarget yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun.

Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.

Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator dan hasil dari supervisi.

1. Pencatatan dan Pelaporan Program TBDalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:

121BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

121

a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.b. Data sesuai dengan indikator programc. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim

informasi kesehatan yang generik.

PENTING !!TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang ditentukan.

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut.Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan secara Nasional.

Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan pelaksana, sebagai berikut:a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan

FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).8) Register Laboratorium TB (TB.04).9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)

b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/KotaDinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)

122BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

122

5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang Kabupaten (TB.12)

6) Laporan OAT (TB.13)7) Data Situasi Ketenagaan Program TB8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)

c. Pelaporan di ProvinsiDinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat

Provinsi.4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.

2. Indikator Program TBUntuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuanprogram (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator.Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu: Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu:a. Indikator Penemuan TB

1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru

diobati.3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB

terkonfirmasi bakteriologis.4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)6) Proposi pasien TB yang dites HIV 7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/

MDR yang ada.

123BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

123

9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua.

10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR ditemukan.

b. Indikator Pengobatan TB1) Angka konversi (Conversion Rate)2) Angka kesembuhan (Cure Rate)3) Angka putus berobat4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang

mendapatkan PP INH6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate9)

c. Indikator Penunjang TB1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang

untuk pemeriksaan mikroskopis 2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta

PME uji silang3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini

Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:

126BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan:• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :• Penjaringan terlalu ketat atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/diobati Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100%Jumlah seluruh pasien TB Paru

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TBAdalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh pasien TB yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100%Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan:• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :• Penjaringan terlalu ketat atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/diobati Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100%Jumlah seluruh pasien TB Paru

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TBAdalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh pasien TB yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100%Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan:• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi

kriteria terduga TB, atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :• Penjaringan terlalu ketat atau • Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat/diobati Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100%Jumlah seluruh pasien TB Paru

Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular.

3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TBAdalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh pasien TB yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 thn) yg diobati x 100%Jumlah seluruh pasien TB yg diobati

Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini diharapkan berkisar 8 – 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.

4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam

Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

Jumlah seluruh pasien TB Parux 100%

Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)yang diobati

Jumlah seluruh pasien TB yang diobatix 100%

128BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya PositifAdalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100%Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya PositifAdalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100%Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya PositifAdalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100%Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyaihasil tes HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukantes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

x 100%

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis yang hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis yang diobati

x 100%

129BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

128

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya PositifAdalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.

Rumus:Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB) x 100%Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah tertentu.

8) Angka Konversi (Conversion Rate)Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan tahap awal. Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg

hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3 bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

129

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan: Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat

baris kedua (second-line drugs). Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi

pada pasien dengan HIV. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti

sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan ulang.

Rumus:Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang sembuh x 100%Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.

• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.

129

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan: Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat

terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat

baris kedua (second-line drugs). Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi

pada pasien dengan HIV. Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti

sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan ulang.

Rumus:Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis

yang sembuh x 100%Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.

• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian Tuberkulosis.

Jumlah pasien baru TB paru TerkonfirmasiBakteriologis yang sembuh

Jumlah pasien baru TB paru TerkonfirmasiBakteriologis yang diobati

x 100%

130BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB AnakAdalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap (PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang Mendapatkan PP INHAdalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB AnakAdalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap (PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang Mendapatkan PP INHAdalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang diobati

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB AnakAdalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap (PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.

Rumus:Jumlah pasien TB Anak yg sembuh dan Pengobatan

Lengkap x 100%Jumlah pasien TB Anak yg diobati

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan kasus TB Anak di suatu wilayah.

12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang Mendapatkan PP INHAdalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologis(sembuh + pengobatan lengkap)

Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologisyang diobati

x 100%

Jumlah pasien TB Anak yang sembuh danPengobatan Lengkap

Jumlah pasien TB Anak yang diobatix 100%

131BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

131

Rumus:Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100%Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPKAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARTAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100%Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.131

Rumus:Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100%Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPKAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARTAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100%Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131

Rumus:Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100%Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPKAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARTAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100%Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131

Rumus:Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100%Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPKAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARTAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100%Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

131

Rumus:Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan x 100%Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif. Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPKAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK

selama pengobatan TB x 100%Jumlah pasien TB dengan HIV positif

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ARTAdalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART. Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.

Rumus:Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima

pengobatan ARV (baru memulai atau melanjutkan pengobatan ARV) x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal) Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah. Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/ BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang x 100%Jumlah seluruh lab mikroskopis TB

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.

Jumlah anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan

Jumlah anak yang mendapatkan PP INHx 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yangmenerima PPK selama pengobatan TB Jumlah pasien TB dengan HIV positif

x 100%

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima pengobatan ARV (baru memulai

atau melanjutkan pengobatan ARV) Jumlah pasien TB dengan HIV positif

x 100%

Jumlah lab mikroskopis yang mengikutiPME Uji Silang

Jumlah seluruh lab mikroskopis TBx 100%

133BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

133

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran, ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.

Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila: Terdapat PPT atau NPT Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding

periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.

Bila terdapat 3 NPR.

Kinerja setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut: Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya, Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di

kabupaten/kota tersebut, Memiliki kesalahan kecil beberapa kali dalam jumlah yang signifikanSetiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium.

17) Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per TahunAdalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

4 kali per tahun x 100%Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan laboratorium dalam mengikuti uji silang.

18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/ MDR yang adaAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. 133

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran, ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.

Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila: Terdapat PPT atau NPT Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding

periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.

Bila terdapat 3 NPR.

Kinerja setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut: Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya, Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di

kabupaten/kota tersebut, Memiliki kesalahan kecil beberapa kali dalam jumlah yang signifikanSetiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium.

17) Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per TahunAdalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.

Rumus:Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

4 kali per tahun x 100%Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan laboratorium dalam mengikuti uji silang.

18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/ MDR yang adaAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikutiPME Uji Silang 4 kali per tahun

Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TByang mengikuti PME Uji SIlang

x 100%

134BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

134

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100%Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini keduaAdalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rateAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

134

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100%Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini keduaAdalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rateAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

134

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100%Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini keduaAdalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rateAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasidalam 1 tahun

Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayahtersebut dalam 1 tahun

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukanpemeriksa uji kepekaan OAT lini kedua

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukanx 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan x 100%

135BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

134

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100%Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini keduaAdalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rateAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

134

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dalam 1

tahun x 100%Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut dalam 1 tahun

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR. Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB Pengobatan ulang.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB RR/MDR.

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji kepekaan OAT lini keduaAdalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan pemeriksaan uji

kepekaan OAT lini kedua x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya. Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB XDR/Pra XDR.

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR ditemukan atau enrollment rateAdalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati x 100%Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

135

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada TB.06 MDR dan TB.01 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%. Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.

21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success RateAdalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.

3. Supervisi Program Pengendalian TuberkulosisSupervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan ketrampilan petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.

Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah: Observasi Diskusi Bantuan teknis Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran

perbaikan.

Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapatdimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang akan datang.

135

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada TB.06 MDR dan TB.01 MDR.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%. Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan upaya memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.

21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success RateAdalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

Rumus:Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan

(sembuh + pengobatan lengkap) x 100%Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.

3. Supervisi Program Pengendalian TuberkulosisSupervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan ketrampilan petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.

Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah: Observasi Diskusi Bantuan teknis Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran

perbaikan.

Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapatdimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang akan datang.

Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikanpengobatan (sembuh+pengobatan lengkap)

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobatix 100%

136BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

136

Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.

Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisidilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.

a. Perencanaan SupervisiSebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik, sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan didalam perencanaan supervisi adalah:1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.

• Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.

• Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dan

• Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:• Pelatihan baru selesai dilaksanakan. • Pada tahap awal pelaksanaan program. • Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.

b. Persiapan supervisiPersiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:1) Penyusunan jadual kegiatan.2) Pengumpulan informasi pendukung.3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.5) Menyusun kerangka laporan.

c. Pelaksanaan supervisi.Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:1) Kepribadian supervisor:

• Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.

137BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang dikunjungi.

• Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.

• Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.

2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes • Melakukan review catatan dan buku register • Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja• Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.• Mengecek penerapan metode LQAS• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.• Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat

dilaksanakan

3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota. • Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,

sederhana dan dapat dilaksanakan

4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi. • Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,

sederhana dan dapat dilaksanakan

d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisiBeberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:

139BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.

Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam menetapkan prioritas riset operasional yaitu :1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi

kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan

dengan objektif program Pengendalian TB;3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk

menginformasikan pada pengambil keputusan; 4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau

menambahkan fakta baru;5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak

terlalu besar;6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional

baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.

Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:1. Memperbaiki kualitas program:

a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIVb. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan

TB.c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program

kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit Tidak Menular-Diabetes Melitus.

d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB, e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.

2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll). a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk

komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.

3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanana. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat. b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.

4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun masyarakat rentan.a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan. b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.

140BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

140

c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.

Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat.Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan programTB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).

141BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

BAB XIV PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.

Perencanaan yang baik adalah:1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan

program2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun. 3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja

atau rencana operasional yang lebih rinci.5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting

yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.

Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.

Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target

indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana aksi di daerah

3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi untuk menghindari duplikasi anggaran

BAB XIVPERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

143BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah, Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme sebagai berikut:a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan

kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB melalui pelatihan tatalaksana program TB.

b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratoriumdalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk gudang obat,

c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang mangkir TB, pencarian kontak TB

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan fungsi dari pemerintah daerah.

3. Dana HibahKementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan masih tergantung kepada donor (PHLN).

Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend) akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61% dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada

145BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

141

Pemerintah juga tetap bertanggung jawab dalam pembiayaan kebutuhan sarana UKPtertentu misalnya OAT, reagensia dan lain, karena barang-barang tersebut langsung terkait dengan upaya mempercepat diagnosis dan pengobatan TB. Selain itu tentunya terlalu riskan dari sisi kualitas dan kuantitas untuk menyerahkan komponen pembiayaan tadi ke masing-masing UKP. Komponen kegiatan kegiatan UKP lainnya baik di strata 1, strata 2 dan strata 3 akan dibiayai langsung oleh komponen pembiayaan UKP yang sejak tanggal 1 Januari 2014 merupakan tanggung jawab BPJS Kesehatan sebagai Badan pelaksana Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN).

Upaya keseluruhan pada butir-butir yang telah dibahas diatas adalah saling berhubungan (saling berkaitan, saling berpengaruh, saling bergantung) satu sama lain, diselengarakan dalam satu daerah (kabupaten/kota merupakan unit management dasar) dalam satu sistem kesehatan daerah. Keseluruhan stakeholders dalam sistem kesehatan tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Gambar 16: Upaya Kesehatan Perorangan/Rumah Sakit dan Berbagai Stakeholder dan Lingkungan-Strateginya.

146BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

142

D. Pembagian peran dan wewenang dalam pengendalian TB.

Pembagian peran dan wewenang dalam pengendalian TB bertujuan untuk:1. Meningkatkan komitmen dan kepemilikan program antara pemerintah pusat dan daerah2. Meningkatkan koordinasi, keterpaduan dan sikronisasi perencanaan, pelaksanaan dan

pemantauan penilaian program 3. Efisiensi, efektifas dan prioritasi program sesuai dengan kebutuhan.4. Meningkatkan kontribusi pembiayaan program bersumber dari dana pemerintah pusat

dan daerah untuk pembiayaan program secara memadai.

Pembagian peran stakeholders dalam pengendalian TB adalah :1. Tingkat pusat (Kementerian Kesehatan)

a. Menetapan kebijakan dan strategi program pengendalian TB (NSPK)b. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan

pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat nasionalc. Memenuhi kebutuhan Obat Anti TB (OAT) lini 1 dan lini 2 (TBMDR),d. Memenuhi kebutuhan reagen dan penunjang laboratorium untuk penegakan diagnosis

TB e. Pemantapan mutu obat dan laboratorium TB f. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TBg. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas

pokok dan fungsi

2. Tingkat Provinsia. Menyediakan kebutuhan reagen dan penunjang laboratorium untuk penegakan

diagnosis TB sebagai buffer b. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan

pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat provinsi c. Mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan

pengendalian TB d. Pemantauan dan quality assurance untuk laboratorium/pemeriksaan diagnostike. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TBf. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kotag. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas

pokok dan fungsi

3. Tingkat Kabupaten/ Kotaa. Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk kegiatan

pengendalian TB dengan institusi terkait di tingkat kabupatenb. Membantu penyediaan alat/bahan penunjang pemeriksaan TB di laboratorium (pot

dahak, kaca slide, oil emersi, eter alkohol, lampu spritus dll)c. Menyediakan bahan media KIE TB

147BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

143

d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di fasilitas pelayanan kesehatan

e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TBf. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok

dan fungsi g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.

148BAB XIV

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS