paralisis bell

8
PARALISIS BELL Pendahuluan Paralisis Bell (Bell's palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian lebih sering terjadi pada umur 20- 50 tahun. Peluang untuk terjadinya Paralisis Bell pada laki-laki sama dengan pada wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya paralisis Bell lebih tinggi daripada pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Para ahli menyebutkan bahwa pada Paralisis Bell terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus. Paralisis Bell ini hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.

Upload: lusiana-primasari

Post on 07-Apr-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

paralisis bell

TRANSCRIPT

Page 1: Paralisis Bell

PARALISIS BELL 

Pendahuluan

Paralisis Bell (Bell's palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis

perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai

penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat

mengenai semua umur, namun demikian lebih sering terjadi pada umur 20-50

tahun. Peluang untuk terjadinya Paralisis Bell pada laki-laki sama dengan pada

wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan

kemungkinan timbulnya paralisis Bell lebih tinggi daripada pada wanita tidak

hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

Para ahli menyebutkan bahwa pada Paralisis Bell terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus.

Paralisis Bell ini hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak

waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat

berulang atau kambuh.

Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya

diabetes melitus, hipertensi berat, anastesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi

telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester terakhir,

meningitis, perdarahan dan trauma. Apabila faktor penyebabnya jelas maka disebut

paralisis fasialis perifer dan bukannya Paralisis Bell.

Gejala dan Tanda Klinik

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan dimulut pada saat anak

bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah

Page 2: Paralisis Bell

merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka penderita biasanya

memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat

dipejamkan (lagoftalmos). Waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya

maka bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak dapat bersiul

atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut

yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan

tempat/lokasi lesi.

a. Lesi di luar foramer: stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara pipi

dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit

dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau dilindungi maka

air mata akan keluar terus-menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman

pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena

berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya

nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik

dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a) dan (b), ditambah dengan adanya

hiperakusis.

Page 3: Paralisis Bell

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b) dan (c) disertai dengan nyeri di

belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes

di membrane timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis

perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi

herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

e. Lesi di meatus akustikus Internus

Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengan tuli sebagai akibat dari

terlibatnya nervus akustikus.

f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya

nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens,

nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa

paralisis Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata

bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis

menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivarius submandibularis.

Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya

terjadi “salah jurusan” menuju ke glandula lakrimalis.

Terapi

Kepada para penderita berusia pertengahan sampai lanjut perlu diberikan

pengertian bahwa apa yang dialaminya bukanlah tanda stroke. Hal ini perlu

Page 4: Paralisis Bell

ditekankan karena penderita dapat mengalami stress yang lebih berat sebagai

akibat dari salah pengertian. Sebab-sebab terjadinya paralisis fasialis perifer harus

dijelaskan kepada para penderita, agar mereka tidak akan panik lagi.

Terapi harus diberikan seawalmungkin karena proses denervasi terjadi dalam

waktu 4 hari pertama. Pemberian kortikosteroid masih tetap kontroversial.

Berbagai laporan menyatakan bahwa kortikosteroid sangat efektif untuk Paralisis

Bell, sementara itu laporan lainnya menyatakan bahwa kortikosteroid sama sekali

tidak bermanfaat. Diantara kontroversi tadi ada yang mengambil sikap jalan

tengah, ialah dengan memberi saran agar kortikosteroid tetap diberikan hanya saja

cukup dalam waktu 4 hari pertama saja. Alasannya ialah bahwa dalam waktu 4 hari

tadi masih mungkin terjadi proses kea rah paralisis total.

Kornea harus dilindungi terutama pada waktu tidur karena dapat terjadi

kekeringan. Apabila kornea kering maka akan mudah terjadi ulserasi dan infeksi

yang akhirnya dapat menimbulkan kebutaan.

Fisioterapi (masase otot wajah, diatermi, faradisasi) dapat dikerjakan seawall

mungkin. Disarankan agar dalam 7 hari pertama cukup diberi diatermi dan

sesudahnya dikombinasi dengan faradisasi. Penderita juga perlu dilatih untuk dapat

melakukan masase otot wajah dirumah.

Prognosis

Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.

Paralisis ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.

Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi

degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama

dan tidak sempurna.

Page 5: Paralisis Bell

Pulihnya daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya

berkaitan dengan pulihnya paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka

hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.

Daftar Pustaka

1. Chusid, J.G.1976. Correlative Neuroanatomy And Functional Neurology, 16th

ed. Lange Medical Publications, Tokyo.

2. Donaldson, J.O.1991. neurological problems of pregnancy, dalam W.G. Bradley

et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann, Boston

pp.809-815.

3. Finelli, P.F., & Mair, R.G. 1991. Disturbance of taste and smell, dalam W.G.

Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,

Boston pp. 209-216.

4. Hanson, M.R., & Sweeney, P.J. 1991. Lower cranial neuropathies, dalam W.G.

Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,

Boston pp. 217-229.

5. Matthews, B. 1987. Bell’s palsy, Medicine 2 (16): 1985-37.

6. Sweeney, P.J., & Hanson, M. 1991. The cranial neuropathies, dalam W.G.

Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,

Boston pp. 1549-61.

7. Walshe III, T.M. 1982. Diseases of nerve and muscle, dalam M.A. Samuels (ed):

Manual of Neurologic Therapeutic, 2nd ed. Little Brown Company, Boston, pp

365-404.