paralisis bell
DESCRIPTION
paralisis bellTRANSCRIPT
PARALISIS BELL
Pendahuluan
Paralisis Bell (Bell's palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur, namun demikian lebih sering terjadi pada umur 20-50
tahun. Peluang untuk terjadinya Paralisis Bell pada laki-laki sama dengan pada
wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya paralisis Bell lebih tinggi daripada pada wanita tidak
hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Para ahli menyebutkan bahwa pada Paralisis Bell terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, disekitar foramen stilomastoideus.
Paralisis Bell ini hampir selalu terjadi unilateral. Namun demikian dalam jarak
waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralisis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh.
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya
diabetes melitus, hipertensi berat, anastesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi
telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester terakhir,
meningitis, perdarahan dan trauma. Apabila faktor penyebabnya jelas maka disebut
paralisis fasialis perifer dan bukannya Paralisis Bell.
Gejala dan Tanda Klinik
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan dimulut pada saat anak
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos). Waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramer: stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara pipi
dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit
dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau dilindungi maka
air mata akan keluar terus-menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik
dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a) dan (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b) dan (c) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes
di membrane timpani dan konka. Sindrom Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi
herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di meatus akustikus Internus
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengan tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens,
nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
paralisis Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivarius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya
terjadi “salah jurusan” menuju ke glandula lakrimalis.
Terapi
Kepada para penderita berusia pertengahan sampai lanjut perlu diberikan
pengertian bahwa apa yang dialaminya bukanlah tanda stroke. Hal ini perlu
ditekankan karena penderita dapat mengalami stress yang lebih berat sebagai
akibat dari salah pengertian. Sebab-sebab terjadinya paralisis fasialis perifer harus
dijelaskan kepada para penderita, agar mereka tidak akan panik lagi.
Terapi harus diberikan seawalmungkin karena proses denervasi terjadi dalam
waktu 4 hari pertama. Pemberian kortikosteroid masih tetap kontroversial.
Berbagai laporan menyatakan bahwa kortikosteroid sangat efektif untuk Paralisis
Bell, sementara itu laporan lainnya menyatakan bahwa kortikosteroid sama sekali
tidak bermanfaat. Diantara kontroversi tadi ada yang mengambil sikap jalan
tengah, ialah dengan memberi saran agar kortikosteroid tetap diberikan hanya saja
cukup dalam waktu 4 hari pertama saja. Alasannya ialah bahwa dalam waktu 4 hari
tadi masih mungkin terjadi proses kea rah paralisis total.
Kornea harus dilindungi terutama pada waktu tidur karena dapat terjadi
kekeringan. Apabila kornea kering maka akan mudah terjadi ulserasi dan infeksi
yang akhirnya dapat menimbulkan kebutaan.
Fisioterapi (masase otot wajah, diatermi, faradisasi) dapat dikerjakan seawall
mungkin. Disarankan agar dalam 7 hari pertama cukup diberi diatermi dan
sesudahnya dikombinasi dengan faradisasi. Penderita juga perlu dilatih untuk dapat
melakukan masase otot wajah dirumah.
Prognosis
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.
Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi
degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama
dan tidak sempurna.
Pulihnya daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya
berkaitan dengan pulihnya paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka
hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.
Daftar Pustaka
1. Chusid, J.G.1976. Correlative Neuroanatomy And Functional Neurology, 16th
ed. Lange Medical Publications, Tokyo.
2. Donaldson, J.O.1991. neurological problems of pregnancy, dalam W.G. Bradley
et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann, Boston
pp.809-815.
3. Finelli, P.F., & Mair, R.G. 1991. Disturbance of taste and smell, dalam W.G.
Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,
Boston pp. 209-216.
4. Hanson, M.R., & Sweeney, P.J. 1991. Lower cranial neuropathies, dalam W.G.
Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,
Boston pp. 217-229.
5. Matthews, B. 1987. Bell’s palsy, Medicine 2 (16): 1985-37.
6. Sweeney, P.J., & Hanson, M. 1991. The cranial neuropathies, dalam W.G.
Bradley et al (eds): Neurology in Clinical Practice, Butterworth Heinemann,
Boston pp. 1549-61.
7. Walshe III, T.M. 1982. Diseases of nerve and muscle, dalam M.A. Samuels (ed):
Manual of Neurologic Therapeutic, 2nd ed. Little Brown Company, Boston, pp
365-404.