pap smear.pdf

14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pap Smear 2.1.1. Definisi Pap Smear Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio (displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi, Irwanto, Sulistyanto, 2008). Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap Smear merupakan tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Diananda, 2009). Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa dilakukan setiap saat, kecuali pada saat haid (Dalimartha, 2004). Pap Smear pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, namun mulai populer sejak tahun 1943 (Purwoto & Nuranna, 2002). 2.1.2. Manfaat Pap Smear Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih murah dan mudah (Dalimartha, 2004). Universitas Sumatera Utara

Upload: nuciana-siti-andrianti

Post on 02-Jan-2016

86 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PDF PAP SMEAR

TRANSCRIPT

Page 1: PAP SMEAR.pdf

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pap Smear

2.1.1. Definisi Pap Smear

Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk

melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio

(displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi, Irwanto,

Sulistyanto, 2008).

Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari

leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap Smear merupakan

tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk

mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Diananda,

2009).

Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa

dilakukan setiap saat, kecuali pada saat haid (Dalimartha, 2004).

Pap Smear pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George

Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, namun mulai populer sejak tahun 1943

(Purwoto & Nuranna, 2002).

2.1.2. Manfaat Pap Smear

Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring

(skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini

sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih

murah dan mudah (Dalimartha, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PAP SMEAR.pdf

Pap Smear mampu mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga

lesi dapat ditemukan saat terapi masih mungkin bersifat kuratif (Crum, Lester, &

Cotran, 2007).

Manfaat Pap Smear secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut

(Manuaba, 2005):

a. Diagnosis dini keganasan

Pap Smear berguna dalam mendeteksi dini kanker serviks, kanker korpus

endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan ovarium.

b. Perawatan ikutan dari keganasan

Pap Smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah

mendapat kemoterapi dan radiasai.

c. Interpretasi hormonal wanita

Pap Smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau

tanpa ovulasi, menentukan maturitas kehamilan, dan menentukan

kemungkunan keguguran pada hamil muda.

d. Menentukan proses peradangan

Pap Smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai

infeksi bakteri dan jamur.

2.1.3. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear

American Cancer Society (2009) merekomendasikan semua wanita

sebaiknya memulai skrining 3 tahun setelah pertama kali aktif secara seksual. Pap

Smear dilakukan setiap tahun. Wanita yang berusia 30 tahun atau lebih dengan

hasil tes Pap Smear normal sebanyak tiga kali, melakukan tes kembali setiap 2-3

tahun, kecuali wanita dengan risiko tinggi harus melakukan tes setiap tahun.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PAP SMEAR.pdf

Selain itu wanita yang telah mendapat histerektomi total tidak dianjurkan

melakukan tes Pap Smear lagi. Namun pada wanita yang telah menjalani

histerektomi tanpa pengangkatan serviks tetap perlu melakukan tes Pap atau

skrining lainnya sesuai rekomendasi di atas.

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1989)

dalam Feig (2001), merekomendasikan setiap wanita menjalani Pap Smear setelah

usia 18 yahun atau setelah aktif secara seksual. Bila tiga hasil Pap Smear dan satu

pemeriksaan fisik pelvik normal, interval skrining dapat diperpanjang, kecuali

pada wanita yang memiliki partner seksual lebih dari satu.

Pap Smear tidak dilakukan pada saat menstruasi. Waktu yang paling tepat

melakukan Pap Smear adalah 10-20 hari setelah hari pertama haid terakhir. Pada

pasien yang menderita peradangan berat pemeriksaan ditunda sampai pengobatan

tuntas. Dua hari sebelum dilakukan tes, pasien dilarang mencuci atau

menggunakan pengobatan melalui vagina. Hal ini dikarenakan obat tersebut dapat

mempengaruhi hasil pemeriksaan. Wanita tersebut juga dilarang melakukan

hubungan seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap Smear (Bhambhani,

1996).

2.1.4. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear

Menurut Soepardiman (2002), Manuaba (2005), dan Rasjidi (2008),

prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah:

1. Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum bivalve (cocor

bebek), spatula Ayre, kaca objek yang telah diberi label atau tanda, dan

alkohol 95%.

2. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.

3. Pasang spekulum sehingga tampak jelas vagina bagian atas, forniks posterior,

serviks uterus, dan kanalis servikalis.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PAP SMEAR.pdf

4. Periksa serviks apakah normal atau tidak.

5. Spatula dengan ujung pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari

arah jam 12 dan diputar 360̊ searah jarum jam.

6. Sediaan yang telah didapat, dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah

diberi tanda dengan membentuk sudut 45̊ satu kali usapan.

7. Celupkan kaca objek ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.

8. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam wadah transpor dan dikirim ke ahli

patologi anatomi.

2.1.5. Interpretasi Hasil Pap Smear

Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap

Smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN),

dan sistem Bethesda.

Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas

(Saviano, 1993), yaitu:

a. Kelas I : tidak ada sel abnormal.

b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi

adanya keganasan.

c. Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan

sampai sedang.

d. Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.

e. Kelas V : keganasan.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PAP SMEAR.pdf

Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di

Amerika Serikat (Tierner & Whooley, 2002). Pada sistem ini, pengelompokan

hasil uji Pap Semar terdiri dari (Feig, 2001):

a. CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada

kurang dari sepertiga lapisan epitelium.

b. CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.

c. CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah

melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.

Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah

melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda

2001. Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002):

1. Sel skuamosa

a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)

b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)

c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)

d. Squamous Cells Carcinoma

2. Sel glandular

a. Atypical Endocervical Cells

b. Atypical Endometrial Cells

c. Atypical Glandular Cells

d. Adenokarsinoma Endoservikal In situ

e. Adenokarsinoma Endoserviks

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PAP SMEAR.pdf

f. Adenokarsinoma Endometrium

g. Adenokarsinoma Ekstrauterin

h. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)

2.1. Kanker Serviks

2.2.1. Definisi Kanker

Kanker berasal dari kata Latin untuk kepiting — tumor melekat erat ke

semua permukaan yang dipijaknya, seperti kepiting (Kumar, Cotran, & Robbin,

2007).

Kanker adalah istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan neoplasma

ganas. Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru, yaitu massa abnormal

dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel

normal, namun selama mengalami perubahan neoplastik mereka memperoleh

derajat otonomi tertentu yaitu tumbuh dengan kecepatan yang tidak terkoordinasi

dengan kebutuhan hospes dan fungsi yang sangat tidak bergantung pada

pengawasan homeostasis sebagian besar sel tubuh lainnya (Wilson, 2005).

2.2.2. Definisi Kanker Serviks

Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, yaitu suatu

daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim

yang terletak antara uterus dengan vagina (Diananda, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PAP SMEAR.pdf

2.2.3. Etiologi Kanker Serviks

Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui (Mardjikoen,

2007). Namun HPV (Human papilomavirus) dapat ditemukan pada 85-90% lesi

pra-kanker dan neoplasma invasif (Crum, Lester, & Cotran, 2007).

Menurut Crum, Lester, & Cotran (2007), HPV yang menginfeksi serviks

uterus terdiri dari dua kategori, yaitu tipe risiko rendah (6, 11, 42, dan 44) dan tipe

risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 52, 56, 58, dan 59). HPV tipe risiko tinggi

ditemukan pada 50-80% kasus SIL dan 90% kanker invasif. Sedangkan HPV tipe

risiko rendah ditemukan pada Low-Grade SIL (Garcia, 2009).

Tipe virus risiko tinggi menghasilkan protein yang dikenal dengan protein

E6 dan E7 yang mampu berikatan dan menonaktifkan protein p53 dan pRb epitel

serviks. P53 dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan menghambat

kelangsungan siklus sel. Degan tidak aktifnya p53 dan pRb, sel yang telah

bermutasi akibat infeksi HPV dapat meneruskan siklus sel tanpa harus

memperbaiki kelainan DNA-nya (Edianto, 2006).

Penyebaran virus ini terutama secara kontak langsung melalui hubungan

seksual (Edianto, 2006).

2.2.3. Faktor Risiko Kanker Serviks

Meskipun banyak wanita mengandung HPV, hanya sebagian yang

menderita kanker serviks. Ini mengisyaratkan bahwa faktor lain berperan pada

risiko kanker. Faktor risiko penting terjadinya kanker invasif pada serviks adalah

usia dini saat mulai berhubungan kelamin (di bawah usia 16 tahun), memiliki

banyak pasangan seksual, pasangan seksual memiliki riwayat banyak memiliki

pasangan seksual, merokok, imunodefisiensi eksogen atau endogen, dan infeksi

persisten oleh HPV risiko tinggi (Crum, Lester, & Cotran, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PAP SMEAR.pdf

Insidensi karsinoma in situ meningkat sekitar lima kali lipat pada

perempuan yang terinfeksi oleh virus imunodefisensi manusia jika dibandingkan

dengan kontrol (Crum, Lester, & Cotran, 2007).

Wanita perokok memiliki risiko dua kali lipat terhadap kanker serviks

dibandingkan dengan wanita bukan perokok (Dalimartha, 2004). Bahan

karsinogenik spesifik dari tembakau seperti nikotin dijumpai dalam lendir serviks

wanita perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama

dengan infeksi HPV mencetuskan transformasi malignansi (Edianto, 2006).

Kanker serviks jarang ditemukan pada perawan dan pada wanita yang

pasangan seksualnya telah disirkumsisi. Insideni kanker serviks lebih tinggi pada

mereka yang menikah daripada yang tidak menikah dan pada wanita dengan

tingkat sosial ekonomi rendah. Selain itu insidensinya juga meningkat dengan

tingginya paritas, apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat (Mardjikoen,

2007).

Resiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan

dengan pemakaian kontrasepsi oral. Namun, penemuan ini hasilnya tidak selalu

konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko ini.

Beberapa studi yang lebih lanjut memerlukan konfirmasi atau menyangkal

observasi mengenai kontrasepsi oral ini (Rasjidi, Irwanto, & Wicaksono, 2008).

Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat

dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin

juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya

rendah beta karoten dan retinol (Diananda, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PAP SMEAR.pdf

2.2.4. Perkembangan Kanker Serviks

Kanker serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks

(porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamo-columnar

junction (Mardjikoen, 2005). Daerah ini disebut juga zona transformasi (Putra &

Moegni, 2006).

Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasia (erosi)

akibat saling mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi (Mardjikoen, 2005).

Pemahaman tentang metaplasia skuamosa merupakan kunci pemahaman konsep

dari zona transformasi dan karsinogenesis serviks (Putra & Moegni, 2006).

Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosif dapat berubah menjadi

patologis (displastik) menjadi tingkatan CIN I, CIN II, dan CIN II, dan karsinoma

in situ untuk kemudian akhirnya menjadi karsinoma invasif (Mardjikoen, 2005).

Periode laten dari CIN I sampai dengan karsinoma in situ tergantung daya

tahan tubuh penderita. Umumnya fase pra-invasif berkisar antara 3-20 tahun

(Mardjikoen, 2005).

Karsinoma serviks tersering adalah karsinoma sel skuamosa (75%), diikuti

oleh adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa (20%), serta karsinoma

neuroendokrin sel kecil (kurang dari 5%).

2.2.5. Gejala dan Tanda Klinis Kanker Serviks

Menurut Feig (2001), simptom kanker serviks menjadi jelas terlihat saat

lesi servikal berada pada ukuran sedang, yaitu seperti cauliflower.

Simptom kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Feig, 2001) :

a. Tahap Awal

- Asimptomatik

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PAP SMEAR.pdf

- Pendarahan vagina yang ireguler atau berkepanjangan

- Pink discharge

- Pendarahan pasca koitus atau brownish discharge

b. Tahap Pertengahan

- Pendarahan pasca defekasi

- Disuria atau hematuria

c. Tahap Lanjut

- Penurunan berat badan

- Pendarahan, discharge berbau busuk

- Nyeri hebat, penyebaran ke pleksus sakralis.

Tanda dini kanker serviks tidak spesifik seperti adanya sekret vagina yang

agak banyak dan kadang-kadang disertai bercak pendarahan (Edianto, 2006).

Pendarahan abnormal vagina ini merupakan simptom yang paling sering terjadi

pada kanker serviks invasif. Pendarahan dapat terjadi pasca koitus, intermenstrual,

atau pasca menopause (Hacker, 2004).

Tanda yang lebih klasik adalah bercak pendarahan yang berulang, atau

bercak pendarahan setelah bersetubuh atau membersihkan vagina (Edianto, 2006).

Anemia akan menyertai sebagai akibat pendarahan pervaginam yang berulang

(Mardjikoen, 2007).

Perdarahan spontan saat defekasi terjadi akibat tergesernya tumor eksofitik

dari serviks oleh skibala (Mardjikoen, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PAP SMEAR.pdf

Pada kanker serviks juga dapat dijumpai sekret vagina yang berbau

terutama dengan massa nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan

tumor yang cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan pembuluh darah agar

mendapat aliran darah yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak

sedap dan reaksi peradangan nonspesifik (Edianto, 2006).

Pada stadium lanjut dapat ditemui nyeri yang menjalar ke pinggul atau

kaki ketika tumor telah menyebar ke luar dari serviks dan melibatkan jaringan di

rongga pelvis seperti ureter, dinding panggul, atau nervus skiatik. Beberapa

penderita mengeluhkan nyeri berkemih, hematuria, sulit berkemih, dan konstipasi

(Edianto, 2006).

Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal akibat

pendarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal akibat infiltrasi tumor ke ureter

sebelum memasuki kandung kemih, yang menyebabkan obstruksi total

(Mardjikoen, 2007).

2.2.6. Pencegahan Kanker Serviks

Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Sukardja,

2000) :

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan

kontak individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses

karsinogenesis. Pencegahan primer juga dapat dilakukan dengan menghindari

berbagai faktor risiko, seperti dengan menunda aktivitas seksual sampai usia

20 tahun, berhubungan secara monogami, serta penggunaan vaksin HPV

(Rasjidi, Irwanto, & Wicaksono, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PAP SMEAR.pdf

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker

serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan.

Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini seperti Pap Smear,

kolposkopi, servikografi, Pap net, dan inspeksi visual dengan asam asetat

(IVA).

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan pencegahan komplikasi klinik ndan kematian.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat

berupa operasi, kemoterapi, atau radioterapi.

2.2. Pengetahuan

2.3.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia

melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang

menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian

tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Suhartono, 2005).

2.3.2. Hal-Hal yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan, yang bertujuan untuk mencerdaskan manusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PAP SMEAR.pdf

b. Media

Media adalah sasaran yang dapat dipergunakan oleh seseorang dalam

memperoleh pengetahuan, contohnya televisi, radio, koran, dan majalah.

c. Paparan Informasi

Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan

sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

2.3.3. Pengetahuan dan Perilaku

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Menurut Notoatmodjo (1996), pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu tahu (know), memahami (comprehension),

aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi

(evaluation).

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan

bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam

diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni awareness, interest,

evaluation, trial, dan adoption.

Pada tahap awareness (kesadaran), seseorang menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. Selanjutnya orang tersebut mulai

tertarik (interest) kepada stimulus. Tahap selanjutnya yaitu evaluation, dimana

orang tersebut menimbang-nimbang baik dan buruknya stimulus tersebut terhadap

dirinya. Kemudian orang tersebut mulai mencoba perilaku baru (trial). Pada tahap

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PAP SMEAR.pdf

akhir, yaitu adoption, individu tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun pada penelitian Rogers selanjutnya menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan

perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan

seperti ini, maka perilaku tersebut akan lebih tahan lama (long lasting).

Universitas Sumatera Utara