naskah akademis ruu. fix

140
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

Upload: danielle-martin

Post on 03-Dec-2015

263 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

law

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Akademis RUU. Fix

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG - UNDANG

TENTANG

PENYANDANG DISABILITAS

Page 2: Naskah Akademis RUU. Fix

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah............................................................................................ 12

C. Tujuan dan Kegunaan......................................................................................... 14

D. Metode Penelitian................................................................................................ 15

BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis......................................................................................................... 16

B. Kajian terhadap prinsip yang terkait dengan penyusunan norma................ 28

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,

D. Serta permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas di masyarakat..31

E. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur

dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas dalam

aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta

dampaknya terhadap beban keuangan negara.................................................. 35

BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN TERKAIT

A. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait............................................. 38

B. Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Terkait.............................................. 77

BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis.................................................................................................... 81

B. Landasan Sosiologis................................................................................................. 96

C. Landasan Yuridis........................................................................................................ 104

BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

BAB VI. PENUTUP

A. Simpulan................................................................................................................. 136

B. Saran......................................................................................................................... 140

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 3: Naskah Akademis RUU. Fix

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai peradaban

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Bangsa Indonesia senantiasa menempatkan penghormatan

terhadap harkat dan martabat manusia dalam segala aspek berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa hak

asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri

setiap manusia tidak terkecuali para penyandang disabilitas. Hak tersebut

bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi

dicabut atau dihilangkan oleh siapa pun termasuk Negara. Hak Asasi Manusia

dalam segala keadaan, wajib dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi tidak

hanya oleh negara tetapi semua elemen bangsa termasuk pemerintah hingga

masyarakat. Dengan pemahaman seperti ini, maka perlindungan, pemajuan

dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara dari kalangan

penyandang disabilitas harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia.

Hal ini perlu dilakukan oleh karena penyandang disabilitas sebagai warga

negara yang mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik

dalam waktu lama yang dalam berinteraksi dilingkungan sosialnya,

berhadapan dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasi

mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan pada asas

kesetaraan dengan warga Negara pada umumnya. Sebagai bagian dari umat

manusia dan warga Negara Indonesia, maka penyandang disabilitas secara

konstitusional mempunyai hak dan kedudukan, yang sama di depan hukum

dan pemerintahan. Oleh karena itu, peningkatan peran serta pemajuan,

pemenuhan hak dan kewajiban para penyandang disabilitas dalam

Page 4: Naskah Akademis RUU. Fix

2

pembangunan nasional, merupakan hal yang sangat urgen dan strategis.

Apalagi dengan bergulirnya semangat reformasi dan demokratisasi yang

bertumpu pada penguatan sendi-sendi dasar hak asasi manusia, maka

penyandang disabilitas ditinjau dari optik sosio kultural pada hakekatnya

adalah makhluk sosial yang memiliki potensi sehingga berpeluang untuk

berkontribusi dan berperan secara optimal dalam segala aspek kehidupan

berbangsa, bernegara dan bermasyakat. Bahkan Penyandang disabilitas dalam

fase tertentu dapat menjadi change of social agent bagi pembangunan di segala

bidang serta berkesempatan untuk tampil mengukir prestasi gemilang secara

multidisipliner pada tingkat lokal, regional, Nasional, hingga Internasional.

Urgensi perlindungan pemajuan dan pemenuhan hak penyandang

disabilitas perlu semakin diprioritaskan dalam struktur kebijakan negara.

Mengingat penyandang disabilitas secara demografis terus mengalami

peningkatan jumlah tanpa dibarengi dengan pelembagaan sistem pelayanan

yang memihak pada aspek kebutuhan dasar penyandang disabilitas.

Berdasarkan data dari WHO (2011) menyebutkan bahwa jumlah penyandang

disabilitas di dunia pada tahun 2010 adalah sebanyak 15,6 persen dari total

populasi dunia atau lebih dari 1 (satu) milyar. Jika penduduk Indonesia saat ini

sebanyak 247 juta jiwa, itu berarti jumlah penyandang disabilitas berdasarkan

estimasi WHO tersebut di atas adalah 37.091.000 jiwa. Tingkat prevalensi

penyandang disabilitas pada tahun 2007 di Indonesia adalah sebanyak 21,3

persen. Data World Bank (Pozzan, 2011) menyebutkan bahwa sebanyak 80

persen penyandang disabilitas yang tinggal di negara berkembang termasuk

Indonesia mengalami kerentanan, keterbelakangan dan hidup di bawah garis

kemiskinan sehingga termarjinalisasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum,

dan sosial budaya. Menurut catatan UN ESCAP (2009) dalam Apeace (2012), di

Indonesia tercatat 1.38 persen penduduk dengan disabilitas atau sekitar

3.063.000 jiwa. Angka ini merupakan jawaban pemerintah RI terhadap survey

UN-ESCAP tahun 2006 yang diperoleh dari Susenas 2006.

Page 5: Naskah Akademis RUU. Fix

3

Pemicu utama terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap kalangan

penyandang disabilitas menurut Saharuddin Daming dalam makalahnya 2013,

secara spesifik berpangkal dari melembaganya sikap dan perilaku stereotip

dan prejudisme mulai dari kalangan awam hingga kelompok intelektual

bahkan para elit kekuasaan. Namun hal yang paling berbahaya dari sikap

tersebut adalah jika tumbuh dan bersemayam dalam diri para pejabat. Karena

sebagai decision maker, mereka tentu berpotensi melahirkan kebijakan yang

bias HAM bagi penyandang disabilitas lantaran mereka dalam membuat dan

mengimplementasikan kebijakan tersebut, memang berangkat dari rendahnya

pengetahuan secara komprehensif tentang penyandang disabilitas. Akibatnya

kebijakan yang lahir, sudah barang tentu penuh dengan nuansa diskriminasi,

sinisme, apriori bahkan mungkin apatis.1

Selain itu, hal yang turut berkontribusi besar terhadap fenomena

keterpurukan penyandang disabilitas di Indonesia adalah menjamurnya sikap

skeptis, imperioritas kompleks/minder hingga masa bodoh atau putus asa

secara berlebihan pada sebagian penyandang disabilitas itu sendiri maupun

keluarga dan masyarakat disekitarnya dalam memahami futuristik keberadaan

penyandang disabilitas. Hal ini sering timbul karena faktor obyektif maupun

subyektif yang saling kait mengait antara lain tidak adanya jaminan hukum

yang secara tegas tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang

disabilitas untuk berekspresi dan berapresiasi secara wajar, leluasa, dan

bermartabat.

Dalam UU No.4 tahun 1997 Jo. PP No.43 tahun 1998 dan berbagai

peraturan perundang-undangan lainnya, memang telah dilembagakan

sejumlah hak penyandang disabilitas. Namun sangat disesalkan karena

pelembagaan hak penyandang disabilitas dalam peraturan hukum selama ini,

umumnya dirumuskan dalam suasana ala kadarnya. Tidak heran jika dalam

implementasinya, dirasakan masih sangat miskin, baik karena materi muatan

1 Saharuddin Daming. 2013. Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Hal 3-

4

Page 6: Naskah Akademis RUU. Fix

4

dalam ketentuan tersebut memang tidak operasional, maupun karena terjadi

tumpang tindih dengan peraturan lain hingga terjadi kekosongan hukum yang

sengaja dibiarkan oleh berbagai kepentingan dalam proses perancangan.

Merefleksi pemberlakuan UU No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

yang kini diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas semula publik

khususnya kalangan penyandang disabilitas menaruh harapan besar pada UU

tersebut akan menjadi jimat yang sakti untuk mengeluarkan penyandang

disabilitas dari belenggu kerentanan dan keterbelakangan. Betapa tidak

penyandang disabilitas yang dari dulu inheren dengan fenomena kerentanan,

keterbelakangan dan diskriminasi, hingga kini tampaknya belum banyak

berubah sekalipun upaya internasional untuk memberdayakan penyandang

disabilitas telah dicetuskan lebih dari empat dekade. Padahal jika ditinjau dari

aspek apapun, penyandang disabilitas tetap merupakan insan yang memiliki

dan berpeluang untuk mengekspresikan potensi bagi kemajuan diri dan

lingkungannya. Bukan hanya itu, kalau tersedia kesempatan ruang dan

persepsi yang kondusif, maka unsur disabilitas tidak akan pernah menjadi

faktor penghalang atau perintang baginya untuk mengukir dan

mempersembahkan prestasi spektakuler melebihi kemampuan normal.

Sudah cukup banyak bukti yang menunjukkan tokoh penyandang

disabilitas sebagai pioneer penting peradaban. Mungkin kita umumnya tidak

pernah tahu atau lupa, jika dunia ini menjadi terang benderang oleh sorotan

lampu listrik hasil ciptaan Thomas Alfa Edison. Padahal Thomas tidak lain

adalah seorang Tunarungu. Kita begitu takjub dengan harmoni musik klasik

Ludwig Van Beethoven, seorang komposer legendaris dunia, juga adalah seorang

tunarungu.

Stephen Hawkins yang dinobatkan sebagai manusia tercerdas dalam ilmu

geofisika di abad ini, sesungguhnya juga adalah seorang paraplegia yang tidak

terhalang mengungkap sejarah fenomena alam semesta walau hanya duduk di

atas kursi roda. Albert Einstain yang disebut maestro fisika modern semula

adalah seorang Tunagrahita. Karena

Page 7: Naskah Akademis RUU. Fix

5

kegigihan orang tuanya dalam memberikan supervisi dan fasilitasi.

Einstein perlahan-lahan bangkit hingga akhirnya tampil sebagai ilmuwan

terpenting dunia modern melampaui prestasi Isaac Newton. Bahkan Hellen

Keller yang lahir dalam keadaan bisu. tuli dan buta tumbuh menjadi anak yang

cerdas juga berkat dukungan penuh orangtuanya.

Masyarakat Inggris sebagai salah satu bangsa termaju di dunia sangat

bangga dan tidak malu mempunyai Davied Blunkett sebagai Menteri

Pendidikan dan Tenaga Kerja bahkan sempat menjadi Mendagri dalam

pemerintahan Tony Blayer, meski Blunkitt adalah seorang penyandang

tunanetra. Amerika Serikat sebagai bangsa yang paling maju di dunia ini,

sangat bangga dan mengelu-elukan kehebatan Franklin Delano Roosevelt atas

prestasinya yang begitu spektakuler menjadi pemimpin sekutu Barat yang

sukses menaklukan NAZI Jerman dan Jepang meski ia mengendalikan para

panglima militernya di medan tempur di atas kursi roda akibat lumpuh yang

dialami jauh sebelum menjadi Presiden.

Demikianlah sebagian terkecil dari tokoh dunia yang tak terhalang

membawa pencerahan sekalipun secara fisik mereka adalah penyandang

disabilitas. Ilustrasi singkat ini makin membuktikan bahwa persoalan

penyandang disabilitas, seyogianya tidak disandarkan pada unsur fisikal yang

cenderung berkonotasi destruktif. Bukankah yang menentukan kemuliaan

seseorang itu semuanya bertumpu pada potensi kecerdasan intelektual,

emosional dan spiritual yang ada sebagai unsur yang paling esensial dibalik

penampakan fisikal. Sehingga teranglah jika penyandang disabilitas bukan dan

tidak boleh menjadi alasan baginya untuk berekspresi dan berapresiasi secara

penuh, leluasa dan optimal dalam segala aspek penghidupan dan kehidupan.

Sungguh amat disesalkan karena sejak negeri ini merdeka dari kekuasaan

kolonial lebih dari 65 tahun yang lalu hingga memasuki era reformasi dan

demokratisasi, kondisi kehidupan penyandang disabilitas Indonesia secara

umum masih mengalami suasana kolonialisme yang ditandai dengan berbagai

perlakuan diskriminasi dan marjinalisasi. Anehnya karena perilaku destruktif

Page 8: Naskah Akademis RUU. Fix

6

seperti itu bukan saja ditampakkan oleh kalangan awam tetapi justru sering

muncul dari kalangan decision maker, kaum intelektual termasuk dari para

agamawan sendiri. Tidak heran jika sebahagian besar penyandang disabilitas

masih termarginalisasi diemper-emper kehidupan, sosial, ekonomi dan politik,

sebagai kelompok masyarakat terbelakang dan hidup di bawah garis

kemiskinan.

Fenomena komunitas penyandang disabilitas yang dalam proses

pendidikan formal, hingga saat ini masih harus terisolasi dalam lembaga

khusus yang disebut sekolah luar biasa. Demikian pula bursa kerja dari

instansi pemerintah maupun swasta sejak dulu sampai sekarang selalu dapat

mengeliminasi hak penyandang disabilitas untuk memproleh akses dalam

dunia kerja hanya dengan alasan bahwa penyandang disabilitas diasumsikan

sebagai tidak sehat secara jasmani. Bahkan tidak kalah kejamnya adalah karena

persoalan kerentanan dan keterbelakangan penyandang disabilitas serta upaya

pemberdayaannya sampai saat ini, memang belum pernah menjadi isu

strategis dalam program pemerintah. Isu advokasi dan pemberdayaan

penyandang disabilitas selalu menduduki urutan paling bawah dan dianggap

tidak penting dalam persfektif kebijakan negara.

Memperhatikan keadaan tersebut, sejumlah pihak diberbagai belahan

dunia terus berupaya membangkitkan kesadaran global tentang arti penting

perlembagaan perlindungan hak penyandang disabilitas. Mula-mula isu

perlindungan hak penyandang disabilitas disandingkan dengan konsep Hak

Asasi Manusia, karena bagaimanapun perlindungan hak penyandang

disabilitas, tentu tidak terlepas kaitannya dengan konsep Hak Asasi Manusia

(HAM) pada umumnya. Sebab ketika dunia mencoba merumuskan format

perlindungan Hak Asasi penyandang disabilitas, maka seluruh upaya ke arah

itu selalu bermuara pada postulat equal justice underlaw, equal opurtunity for all.

Hal tersebut sangat terasa pada saat dilangsungkannya beberapa

konferensi internasional tentang Hak Asasi penyandang disabilitas yang

diprakarsai oleh Dewan Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditahun

Page 9: Naskah Akademis RUU. Fix

7

70-an hingga pertengahan Dasawarsa 90-an. Sejumlah draft yang diusulkan

oleh delegasi menjadi tidak urgen karena secara subtansial, konsep tersebut

sama sekali tidak berbeda dengan konsep perlindungan HAM, baik yang

terkristalisasi dalam deklarasi universal tentang HAM melalui Piagam PBB

maupun postulat konsep HAM dalam doktrin dan konsepsi HAM di abad

pertengahan.

Meski demikian, Majelis Umum PBB akhirnya dapat mengadopsi

deklarasi penyandang disabilitas pada tahun 1975 disusul dengan lahirnya

sejumlah instrumen yang bersifat spesifik tentang pengakuan dan

perlindungan hak penyandang disabilitas. Namun memasuki abad ke 21,

gerakan universalisme hak penyandang disabilitas terus menguat yang

ditandai dengan lahirnya Konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas

(Convention on The Rights of Persons With Disabilites) N0 61/106 tertanggal

13 Desember 2006.

Hebatnya lagi karena hanya dalam waktu 3 bulan setelah diadopsi oleh

Majelis Umum PBB, pemerintah RI melalui Menteri Sosial menandatangani

naskah CRPD pada tgl 30 Maret 2007 di Markas PBB New York USA.

Momentum ini telah menjadi inspirasi berbagai stakeholders khususnya

komunitas penyandang disabilitas melakukan serangkaian upaya pendekatan

demi mengakselerasi ratifikasi CRPD, termasuk sosialiasi pada berbagai

elemen bangsa dan negara.

Kerja keras ini akhirnya membuahkan hasil dengan pengesahan CRPD

melalui UU Nomor 19 tahun 2011 (LN RI 2011 Nomor 107; TLN RI 2011 Nomor

5251). Dengan demikian maka Indonesia menjadi bagian dari masyarakat

dunia yang berkomitmen tinggi melalui yuridis formal agar mengambil segala

upaya untuk mewujudkan secara optimal segala bentuk nilai kehormatan,

perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana yang

tercantum dalam konvensi.

Page 10: Naskah Akademis RUU. Fix

8

Hal yang sangat mendasar dalam Konvensi tersebut mengenai upaya

penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas,

tertuang pada bagian pembukaan antara lain :

(f). Mengakui pentingnya pedoman prinsip dan kebijakan yang termuat dalam

Program Aksi Dunia mengenai penyandang disabilitas dan dalam Peraturan-

Peraturan Standar mengenai Persamaan Kesempatan bagi penyandang

disabilitas dalam mempengaruhi promosi, perumusan dan evaluasi atas

kebijakan, rencana, program dan aksi pada tingkat nasional, regional dan

internasional untuk lebih menyamakan kesempatan bagi penyandang disabilitas,

(g) Menekankan pentingnya pengarus utamaan isu-isu disabilitas sebagai bagian

integral dari strategi yang relevan bagi pembangunan yang berkesinambungan,

(h) Mengakui juga bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas

merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap

orang,

(i) Mengakui pula keragaman penyandang disabilitas,

Adapun prinsip dasar yang dijadikan landasan materi muatan konvensi

ini, tertuang pada Pasal 3:

(a) Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk

kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;

(b) Non diskriminasi;

(c) Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;

(d) Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas

sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan;

(e) Kesetaraan kesempatan;

(f) Aksesibilitas;

(g) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;

(h) Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang

disabilitas anak dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak

untuk mempertahankan identitas mereka.

Page 11: Naskah Akademis RUU. Fix

9

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 Konvensi yang berbunyi :

1. Negara-Negara Pihak berjanji untuk menjamin dan memajukan realisasi penuh

dari semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua penyandang

disabilitas tanpa diskriminasi dalam segala bentuk apapun yang didasari oleh

disabilitas. Untuk itu, Negara-Negara Pihak berjanji:

(a) Mengadopsi semua peraturan perundang-undangan, administratif dan

kebijakan lainnya yang sesuai untuk implementasi hak-hak yang diakui dalam

Konvensi ini;

(b) Mengambil semua kebijakan yang sesuai, termasuk peraturan perundang-

undangan, untuk mengubah atau mencabut ketentuan hukum, peraturan,

kebiasaan, dan praktik-praktik yang berlaku yang mengandung unsur

diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas;

(c) Mempertimbangkan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dari

penyandang disabilitas dalam semua kebijakan dan program;

(d) Menahan diri dari keterlibatan dalam tindakan atau praktik apapun yang

bertentangan dengan Konvensi ini dan menjamin bahwa otoritas dan lembaga

publik bertindak sesuai dengan Konvensi ini;

(e) Mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk menghilangkan diskriminasi

yang didasari oleh disabilitas yang dilakukan oleh setiap orang, organisasi atau

lembaga swasta;

(f) Melaksanakan atau memajukan penelitan dan pengembangan barang, jasa,

peralatan, dan fasilitas yang didesain secara universal, sebagaimana dijelaskan

pada Pasal 2 dalam Konvensi ini, yang memerlukan penyesuaian seminimal

mungkin dan biaya terkecil guna memenuhi kebutuhan khusus penyandang

disabilitas, untuk memajukan ketersediaan dan kegunaannya, dan untuk

memajukan desain universal dalam pengembangan standar-standar dan

pedoman-pedoman;

Page 12: Naskah Akademis RUU. Fix

10

(g) Melaksanakan atau memajukan penelitan dan pengembangan, dan untuk

memajukan ketersediaan dan penggunaan teknologi baru, termasuk tekonologi

informasi dan komunikasi, alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi bantu,

yang cocok untuk penyandang disabilitas, dengan memberikan prioritas kepada

teknologi dengan biaya yang terjangkau;

(h) Menyediakan informasi yang dapat diakses kepada para penyandang disabilitas

mengenai alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi bantu bagi penyandang

disabilitas, termasuk teknologi baru serta bentuk-bentuk bantuan, layanan dan

fasilitas pendukung lainnya;

(i) Memajukan pelatihan bagi para profesional dan personil yang bekerja dengan

penyandang disabilitas tentang hak asasi manusia sebagaimana diakui di dalam

Konvensi ini sehingga mereka lebih dapat memberikan bantuan dan pelayanan

yang dijamin oleh hak-hak tersebut.

Berdasarkan pranata hukum tersebut, penyandang disabilitas Indonesia

mempunyai kesempatan yang sangat terbuka untuk melakukan restorasi

terhadap paradigma pemberdayaan maupun struktur kebijakan yang masih

mengandung anasir diskriminasi dan ketidakadilan. Tak hanya itu,

penyandang disabilitas Indonesia justru ditantang oleh konvensi untuk

menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi subyek pembangunan bahkan

kalau perlu menjadi bagian dari penentu tata kehidupan berbangsa, bernegara

dan bermasyarakat. Hanya dengan Mindset dan paradigma berpikir seperti ini,

maka CRPD yang mengatur pelembagaan hak secara komprehensif bagi

penyandang disabilitas, dapat sungguh-sungguh menjadi instrumen taktis

dalam mengantarkan peri kehidupan penyandang disabilitas memasuki pintu

gerbang kehidupan yang sejahtera, mandiri dan bermartabat.

Perlu diketahui bahwa prinsip dasar yang melatar belakangi filosofi

penanganan penyandang disabilitas dalam CRPD adalah diadopsinya

paradigma pendekatan dari charity atau social based menjadi human rights based.

Karena itu CRPD sebagai instrumen HAM yang telah dikuatkan menjadi

Page 13: Naskah Akademis RUU. Fix

11

yuridis formal menurut Roscoe Pound, paling tidak mempunyai dua fungsi

utama yaitu a tool of social control and a tool of social engineering. Jadi eksistensi

CRPD dalam persfektif hukum dan HAM bagi penyandang disabilitas, harus

mampu menjadi sarana kontrol terhadap semua peraturan hukum maupun

kebijakan yang selama ini belum mengakomodasi perlindungan dan

pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Kehidupan penyandang disabilitas dari alam keterpurukan menuju

taman sari kehidupan yang sejahtera mandiri dan bermartabat. Dalam hal ini,

CRPD dapat berperan aktif dalam bagian terpenting dari social change of agent

bagi restorasi paradigmatik kehidupan para penyandang disabilitas. Ditilik

dari dimensi human rights, upaya untuk mewujudkan penghormatan,

perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana

tertuang dalam CRPD melekat pada tugas dan tanggungjawab negara maupun

masyarakat. Mereka adalah duty barier dengan tugas dan tanggungjawab

minimal yaitu obligation to respect, obligation to protect and obligation to fullfill for

rights person with disability (Pasal 8, Pasal 71 dan Pasal 72 UU No.39 tahun 1999

tentang HAM).

Apabila tugas dan tanggungjawab mereka tidak dipenuhi atau dipenuhi

tetapi tidak maksimal atau berbeda dari ekspektasi publik, maka itu berarti

negara atau masyarakat telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para

penyandang disabilitas. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 6 UU

No.39 tahun 1999 tentang HAM, merinci definisi tentang pelanggaran HAM

yang pada pokoknya terkonsentrasi pada 4 unsur utama yaitu pembatasan,

pengurangan, penghalangan atau penghilangan hak. Dalam hal ini

penyandang disabilitas yang telah menjadi korban pelanggaran HAM berhak

penuh untuk melakukan berbagai langkah advokasi.

B. Identifikasi Masalah

Hal pokok yang menjadi materi dalam Naskah Akademik ini terfokus pada 3

(tiga) masalah utama, yaitu:

Page 14: Naskah Akademis RUU. Fix

12

1) Mengapa diperlukan reformasi hukum tentang penyandang disabilitas?

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, secara

subtansial tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011

tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities

(Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disbilitas). Hal ini terjadi

karena UU Nomor 4 Tahun 1997 masih cenderung berorientasi pada

pemberian pelayanan berdasarkan amal (charity based) dan bukan atas

dasar pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas (right based). Oleh

karena itu untuk lebih menjamin penghormatan, pemajuan, perlindungan,

pemberdayaan penegakan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas,

maka sudah saatnya dilakukan reformasi hukum tentang Penyandang

Disabilitas. Sebagai konsekuensi dari pengesahan CRPD melalui UU

Nomor 19 Tahun 2011, maka perlu segera dibentuk Undang-Undang

Penyandang Disabilitas. Selain sebagai pengganti UU Nomor 4 Tahun

1997, Undang-undang baru tentang Penyandang Disabilitas merupakan

bentuk pengejawantahan UU Nomor 19 Tahun 2011. Hal ini harus

dilakukan karena UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD,

secara teknis yuridis, hanya dilekati daya mengikat secara moral (Morality

Binding) dan tidak mempunyai daya mengikat secara hukum (Legality

Binding).

2) Apa urgensi dan relevansinya antara reformasi hukum tentang

Penyandang Disabilitas dengan tanggung jawab negara?

Sudah merupakan realitas sejarah peradaban yang selalu mengalami

perubahan secara dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi pada

tingkat kebutuhan dan tantangan masyarakat pendukungnya. Saat ini,

warga Negara Indonesia dari kalangan penyandang disabilitas menuntut

perbaikan kehidupan melalui reformasi hukum tentang penyandang

disabilitas. Negara sebagai asosiasi politik dan menjadi wadah

penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,

berkewajiban untuk mengakomodasi tuntutan perubahan warga

Page 15: Naskah Akademis RUU. Fix

13

negaranya. Karena negara dalam konteks hak asasi manusia, merupakan

pemangku kewajiban (Duty Bearer) bahkan dalam alinea keempat UUD

1945 ditegaskan bahwa tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia

adalah untuk melindungi seluruh rakyat dan tumpak darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa

dan seterusnya. Jika negara melakukan reformasi hukum tentang

penyandang disabilitas dengan melahirkan Undang-Undang Penyandang

Disabilitas yang baru, berarti negara telah memenuhi kewajibannya dalam

skala nasional dan internasional. Kewajiban nasional dimaksud mencakup

penyesuian kebijakan negara di bidang perlindungan hak penyandang

disabilitas dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 sekaligus

respon terhadap aspirasi penyandang disabilitas Indonesia tentang

perlunya reformasi hukum tentang penyandang disabilitas. Sedangkan

kewajiban Internasional tertuju pada komitmen Negara Republik

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional untuk

mewujudkan seluruh hak penyandang disabilitas yang tertuang dalam

CRPD. Apalagi Indonesia telah menjadi negara pihak dalam CRPD

berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2011.

3) Apakah yang menjadi ruang lingkup dalam materi muatan Undang-

Undang Penyandang Disabiilitas, sudah sesuai dengan UU Nomor 12

Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan?

Adapun ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan

undang-undang ini meliputi Asas dan Tujuan, Prinsip-prinsip Umum Hak

dan Kewajiban, Tanggung jawab dan Wewenang Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, Peran serta Masyarakat, Koordinasi, Kerjasama

Regional dan Internasional, Pendanaan, Pembinaaan, Pengawasan,

Penghargaan, Komisi Nasional Disabilitas Indonesia, dan Ketentuan

Sanksi. Ruang lingkup tersebut sudah sesuai dengan amanat UU Nomor 12

Tahun 2011, bahkan ruang lingkup tersebut sudah sesuai dengan target

minimal dari upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan,

Page 16: Naskah Akademis RUU. Fix

14

pemberdayaan, penegakan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di

Indonesia

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penyusunan Naskah Akademik :

1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas

dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

2) Merumuskan latar belakang perlunya disusun undang-undang pengganti

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat

berdasarkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.

3) Merumuskan tujuan yang akan dicapai, pelaksanaan pemenuhan hak

penyandang disabilitas, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah

pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang.

Adapun kegunaan dari Naskah Akademik ini sebagai acuan atau referensi

dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang

Disabilitas.

D. Metode Penelitian

Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dengan menggunakan metode

yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan melalui studi pustaka

yang menelaah terutama data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-

undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum

lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.

Page 17: Naskah Akademis RUU. Fix

15

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Seiring dengan terjadinya perubahan yang sangat dinamis tentang

paradigma pemberdayaan masyarakat sipil dalam konteks Welfare State maka

pola penanganan juga mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).

Perubahan dimaksud mencakup pergeseran dari paradigma pelayanan dan

rehabilitasi (charity based) menjadi pendekatan berbasis hak (right based). Dalam

hal ini, penanganan penyandang disabilitas tidak hanya menyangkut pada

aspek kesejahteraan sosial sebagaimana yang menjadi ciri undang-undang

sebelumnya, tetapi semua aspek, terutama pemeliharaan dan penyiapan

lingkungan yang dapat mendukung perluasan aksesibilitas pelayanan

terhadap penyandang disabilitas. Gagasan tersebut, tentu merupakan hal yang

perlu terus diperjuangkan sedemikian rupa oleh segenap komponen bangsa.

Komitmen pemerintah sendiri tentang gagasan luhur tersebut sudah sampai

pada kebulatan tekad untuk mewujudkannya. Apalagi dengan perubahan

paradigma dari charity based menjadi right based, memberikan harapan cerah

bagi upaya perwujudan hak penyandang disabilitas secara sistematis, terarah,

menyeluruh, sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Hal ini selaras dengan

CRPD yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 dan

menjadi hukum positif di Indonesia (Ius Constitutum) berdasarkan UU Nomor

19 Tahun 2011. Hal yang relevan dengan penegasan ini adalah statement CRPD

yang disadur dari kantor PBB di New York, yaitu:

The Convention marks a "paradigm shift" in attitudes and approaches to persons with disabilities. It takes to a new height the movement from viewing persons with disabilities as "objects" of charity, medical treatment and social protection towards viewing persons with disabilities as "subjects" with rights, who are capable of claiming those rights and making decisions for their lives based on their free and informed consent as well as being active members of society.The Convention is intended as a human rights instrument with an explicit, social development dimension. It adopts a broad categorization of persons with disabilities and reaffirms that all persons with all types of disabilities must enjoy all human rights and fundamental freedoms.

Page 18: Naskah Akademis RUU. Fix

16

Isi konvensi penyandang disabilitas tersebut memberikan dasar atau

jaminan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengembangkan

diri dan berdaya. Sebagai anggota masyarakat, lingkungan perlu memberikan

kesempatan untuk pemenuhan hak -hak tersebut.

Menilik materi muatan yang terurai dalam undang-undang ini maupun

CRPD menegaskan bahwa negara khususnya pemerintah merupakan pihak

yang dilekati tanggung jawab untuk mewujudkan hak penyandang disabilitas.

Namun keluarga dan masyarakat maupun penyandang disabilitas itu sendiri

memegang peranan yang sangat penting untuk mempercepat penyempurnaan

cita-cita tersebut. Karena itu keluarga hendaknya memiliki kemampuan

pengasuhan dan perawatan sekaligus pendampingan yang dibutuhkan bagi

penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri melalui penggalian

potensi sesuai kemampuan, minat dan bakat agar dapat menikmati, berperan,

dan berkontribusi secara optimal, leluasa, dan tanpa diskriminasi dalam segala

aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Menurut hasil kajian Sapto Nugroho2 menjelaskan bahwa persoalan

penyandang disabilitas adalah persoalan kemanusiaan, bukan semata-mata

pendidikan, kesehatan, dan tenaga kerja. Semua itu hanyalah dampak dari

persoalan kemanusian dimaksud. Jadi hal penting yang perlu di ke depankan

adalah pengembangan karakter. Pengembangan karakter dimaksud justru

tampak masih jauh dari isu penyandang disabilitas yang selama ini

berkembang.

Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat diperlukan karena isi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tidak cukup

menjamin hak dan kebutuhan serta peningkatan harkat dan martabat

penyandang disabilitas. Perubahan dimaksud, yang akan tertuang dalam

undang-undang baru, mencakup beberapa pokok berikut: 2Jurnal Perempuan Volume 65 tahun 2011 Mencari Ruang untuk Difabel.

Page 19: Naskah Akademis RUU. Fix

17

a. Perubahan konsep dari charity-based ke Human Rights-based.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

memuat pengaturan yang didasarkan pada konsep charity atau perlakuan

atas dasar belas kasihan, tidak sebagai upaya melindungi hak asasi

manusia dan meningkatkan pengembangan diri penyandang dsabilitas.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 memposisikan penyandang

disabilitas sebagai objek, bukan subjek, yang sebenarnya memiliki

kreativitas dalam pengembangan karakter.

b. Perubahan terminologi “penyandang cacat’ menjadi “penyandang

disabilitas”.

Istilah penyandang cacat mempunyai arti yang bernuansa negatif

sehingga mempunyai dampak yang sangat luas pada penyandang

disabilitas sendiri, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan publik

yang sering memposisikan penyandang disabilitas sebagai objek dan tidak

menjadi prioritas. Istilah “penyandang cacat” dalam perspektif Bahasa

Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan

dengan prinsip utama hak asasi manusia, yakni kesamaan harkat dan

martabat semua manusia, dan sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai

luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Senada dengan hal tersebut Saharuddin Daming dalam makalah tahun

2009 menuliskan bahwa dalam perspektif agama khususnya Islam, istilah

“Penyandang Cacat” juga dinilai bertentangan dengan Al-Qur’an dan

Hadist Nabi SAW yang pada pokoknya melarang memanggil atau

menyapa seseorang dengan panggilan atau gelar yang terkesan mengejek

atau menonjolkan kekurangan. Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al

hujuraat ayat 11 :

Page 20: Naskah Akademis RUU. Fix

18

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan

kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan

pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang

direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan

memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah

(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka

itulah orang-orang yang zalim”.

Lebih lanjut Saharuddin Daming menjelaskan bahwa mencermati

kondisi perkembangan kaum penyandang disabilitas di Indonesia dewasa

ini, baik berdasarkan data dari Biro Statistik maupun dengan hasil

pengamatan langsung disimpulkan bahwa, sejak negeri ini merdeka,

komunitas penyandang disabilitas sebagian besar ternyata masih terpuruk

sebagai kelompok masyarakat yang paling marginal. Meski secara

individual dengan jumlah yang amat terbatas dijumpai segelintir

penyandang disabilitas yang memperoleh penghidupan standar bahkan

lebih maju namun secara umum struktur kehidupan sosial penyandang

disabilitas sangat memprihatinkan, karena mereka sungguh-sungguh tidak

berdaya menghadapi tekanan persaingan hidup yang keras akibat adanya

stigmatisasi, diskriminasi dan ketidakadilan. Tidak heran jika habitat sosial

mereka saat ini kian tergusur di emper-emper pergaulan sosial sebagai

masyarakat yang sangat rentan dari kebodohan, keterbelakangan dan

kemiskinan.

Fenomena tragis seperti yang dikemukakan di atas sudah melembaga

sejak lama dengan unsur pemicu yang cukup banyak dan kompleks. Salah

Page 21: Naskah Akademis RUU. Fix

19

satu unsur yang sering luput dari daftar masalah klasik dan strategis yang

potensial memicu terjadinya delegitimasi dan degradasi terhadap upaya

pemberdayaan dan pembangunan kemajuan kesejahteraan penyandang

disabilitas justru bersumber dari faktor kebahasaan atau peristilahan yang

mengidentifikasi keberadaan Penyandang Cacat dengan kata kunci yaitu

“cacat”.

Dalam konsep sosiolinguistik dipahami bahwa bahasa merupakan

instrumen utama bagi manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi,

bahkan bahasa menjadi simbol dalam mendeskripsikan harkat dan

martabat manusia. Singkat kata, bahasa tidak lain merupakan sarana untuk

memuliakan manusia itu sendiri karena melalui bahasa manusia saling

bahu membahu untuk mengukir peradaban moderen.

Sungguh hal yang sangat disesalkan karena paradigma pemuliaan

manusia melalui bahasa sebagaimana diuraikan di atas, justru bertolak

belakang dengan realitas penggunaan bahasa di Indonesia yang

mendeskripsikan orang yang mengalami disfungsi fisikal dan/atau

intelektual dengan sebutan “Penyandang Cacat”. Ditinjau dari sisi

pemaknaan apapun, istilah Cacat selalu berkonotasi destruktif. Tapi

anehnya istilah tersebut justru merupakan istilah umum dalam percakapan

sehari-hari bahkan terminologi Cacat sudah sejak lama dilembagakan

secara formal menjadi istilah baku dalam peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

Hal yang dikemukakan di atas, sungguh merupakan realitas sosial yang

telah mengkebiri bagian-bagian terpenting dari harkat dan martabat para

penyandang disabilitas. Betapa tidak karena pikiran dan sikap kita sangat

dipengaruhi oleh bahasa yang kita gunakan. Dalam hal ini, biasanya kita

cenderung menceburkan diri begitu saja ke kancah bahasa yang sudah

dipatenkan sebagai bahasa yang baik dan benar. Dengan begitu, kita juga

secara tak langsung mengadopsi pola pikir serta pola sikap yang mapan.

Page 22: Naskah Akademis RUU. Fix

20

Dalam hal ini, Peter Coleridge mencontohkan : “Leila yang malang,

yang bekerja sebagai sekretaris, menderita sklerosa (pengeroposan tulang)

ganda dan terkurung dalam kursi roda selama bertahun-tahun”. Atau yang

ini : “John adalah korban serangan stroke yang juga terkena hemiplegia

(lumpuh separuh badan), ia hanya bisa bergerak secara terbatas dan perlu

perlengkapan khusus untuk makan tanpa disuapi orang”.

Label atau sebutan semacam itu membuat orang merasa cacat atau

“dicacatkan”. Sebab dengan memakai sebutan itu, kita menempatkan

orang yang kita bicarakan sebagai objek atau kasus, dan bukan sebagai

manusia. Perhatikan kata-kata ini : malang, korban, menderita, terkurung,

terbatas - semuanya mendukung anggapan bahwa penyandang cacat

adalah orang-orang yang sakit, lemah, tak berdaya. Sebuah kursi roda

tidaklah mengurung siapa pun juga; ia malah membebaskan pemakainya

untuk hilir-mudik ke mana-mana, ke kantor, ke toko, ke taman kota. Tanpa

kursi itu si Leila malah hanya bisa bertopang dagu di kamarnya. Kursi

roda mestinya dipahami sebagai kosa kata yang identik dengan mobil bagi

kalangan non cacat; karena instrumen tersebut adalah pembantu mobilitas.

Dalam beberapa kasus, justru kurang pantas untuk menyebut

seseorang sebagai “cacat”. Masalahnya, apakah orang itu hanya dapat

diidentifikasi dengan menyebutkan kecacatannya saja? Namun bila kita

merasa layak menyebut seseorang “penyandang cacat itu”, barangkali

beberapa contoh di bawah ini adalah sebutan-sebutan “positif atau paling

tidak “netral”. Misalnya, “Leila adalah seorang sekretaris, dia memakai

kursi roda ke mana-mana akibat sklerosa ganda”. Atau: “John terkena

stroke beberapa tahun yang lalu, dan kini la bisa makan sendiri dengan

memakai peralatan khusus”.

Berdasarkan hal tersebut, maka istilah “penyandang cacat” harus

segera diganti dengan istilah baru yang mengandung nilai filosofis yang

lebih konstruktif dan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Upaya

penggantian istilah penyandang cacat dimulai dari penyelenggaraan

Page 23: Naskah Akademis RUU. Fix

21

Semiloka oleh Komnas HAM dan Kementerian Sosial Republik Indonesia

pada tanggal 9 sampai 10 Januari 2009 di Cibinong, Bogor. Deklarasi

Cibinong dimatangkan melalui diskusi Kelompok Terpokus oleh para

pakar yang diselenggarakan Komnas HAM pada tanggal 19 sampai 20

Maret 2010 di Jakarta yang kemudian hasilnya dikukuhkan dalam Seminar

Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI pada tanggal 29

Maret sampai dengan 1 April 2010 di Bandung. Dalam forum tersebut

disepakati istilah Penyandang Disabilitas sebagai pengganti istilah

“Penyandang Cacat”. Komitmen tersebut diwujudkan dengan formalisasi

istilah penyandang disabilitas melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 sebagai

tonggak sejarah baru perubahan istilah penyandang cacat menjadi

penyandang disabilitas.

Selain memenuhi kriteria yang dipersyaratkan, istilah penyandang

disabilitas juga lebih mengakomodasi unsur-unsur utama dari kondisi ril

yang dialami penyandangnya. Hal ini dapat dirujuk pada bagian

preambule huruf (e) CRPD : “Recognizing that disability is an evolving

concept and that disability results from the interaction between persons

with impairments and attitudinal and environmental barriers, that hinders

their full and effective participation in society on an equal basis with

others”.

Jadi CRPD dalam preambulnya menegaskan bahwa Disabilitas adalah

suatu konsep yang berkembang secara dinamis dan Disabilitas adalah hasil

dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan

mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi

partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif atas dasar

kesetaraan dengan orang-orang lain. Hal ini lebih dipertegas lagi pada

kalimat terakhir dari artikel 1 CRPD : Persons with disabilities include

those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory

impairments which in interaction with various barriers may hinder their

full and effective participation in society on an equal basis with others.

Page 24: Naskah Akademis RUU. Fix

22

Berdasarkan ketentuan dalam artikel 1 CRPD, dirumuskan secara

gamblang bahwa penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki

kelainan fisik, mental, intelektual, atau sensorik secara permanen yang

dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi

partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan

pada asas kesetaraan. Dengan demikian maka pemilihan istilah

penyandang disabilitas, sungguh telah merepresentasikan kebutuhan

minimal terminologi pengganti istilah Penyandang Cacat.

Menurut informasi dari pusat bahasa bahwa istilah Disabilitas,

sebenarnya telah dibakukan dalam glosarium pusat bahasa dan dalam

waktu dekat akan masuk dalam thesaurus dan Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Dalam persfektif internasional, istilah penyandang disabilitas

sesuai betul dengan judul CRPD, sehingga penerjemahan naskah CRPD ke

dalam Bahasa Indonesia, sangat fleksibel dan jauh dari kerancuan bahasa.

Dengan pelembagaan istilah Penyandang Disabilitas sebagai pengganti

istilah Penyandang Cacat, dapat menjadi modal dasar dalam

mempermudah penyusunan naskah akademik draft RUU tentang

pengesahan CRPD3.

3 Saharuddin daming. 2011. Tantangan dan Peluang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Pasca Ratifikasi

CRPD. Hal. 5-9

Page 25: Naskah Akademis RUU. Fix

23

c. Perubahan dari minimalnya pengaturan tanggung jawab negara

terhadap perlindungan penyandang disabilitas menjadi pemaksimalan

pengaturan tanggung jawab negara di segala bidang sesuai dengan cara

pandang hak asasi manusia.

Dalam makalah Saharuddin Daming tahun 2010 menuliskan bahwa

negara dalam konteks hak asasi manusia merupakan pemangku kewajiban

(Duty Bearer) atas seluruh warga negara termasuk penyandang disabilitas

sebagai pemegang hak (Right Order) UUD 1945 Jo. UU Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan sekurang-kurangnya 3

kewajiban negara terhadap hak asasi manusia yaitu menghormati (to

respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill).

Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban

negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan diskriminasi dan

marginalisasi. Dari dalam bentuk sikap maupun tindakan kepada

penyandang disabilitas, privasi maupun hak untuk bekerja, hak atas

pangan, kesehatan, pendidikan maupun kesejahteraan termasuk di

dalamnya hak untuk memperoleh bantuan sosial dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial.

Kewajiban Negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah

kewajiban untuk tidak hanya terfokus pada upaya perlindungan dari

pelanggaraan yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran

atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara)

yang akan mengganggu perlindungan hak penyandang disabilitas.

Termasuk dalam hal ini adalah perlindungan yang dilakukan oleh negara

untuk menghindarkan penyandang disabilitas dari ancaman kesia-siaan,

pelantaran atau eksploitasi dan lain-lain.

Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban

negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial

dan praktis, yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak penyandang

disabilitas yang dijamin oleh konstitusi maupun peraturan perundang-

undangan, dalam hal ini negara wajib menyediakan berbagai fasilitas fisik

Page 26: Naskah Akademis RUU. Fix

24

dan non fisik khususnya jaminan pemeliharaan dan kesejahteraan secara

permanen kepada penyandang disabilitas dari kalangan kategori berat.

Sebagai penegasan, penulis kemukakan bahwa Kewajiban Negara

untuk menghormati adalah kewajiban paling dasar. Dalam kaitan dengan

hak ekonomi, sosial dan budaya, kewajiban negara untuk menghormati

adalah menghormati sumber daya milik individu di kalangan penyandang

disabilitas. Sedangkan hal yang paling signifikan dari kewajiban untuk

melindungi adalah sejauh mana Negara menjamin HAM dalam sistem

hukumnya. Kewajiban untuk memenuhi dalam kaitan dengan hak

ekonomi, sosial dan budaya kepada penyandang disabilitas adalah

kewajiban untuk menyediakan berbagai fasilitas atau perlakuan khusus.

Undang-undang Dasar 1945 memasukan serangkaian ketentuan yang

menjamin HAM. Ketentuan tersebut secara tegas mengatur kewajiban

Negara atas HAM. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa

“perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah

tanggungjawab Negara, terutama pemerintah”. Lebih lanjut dinyatakan

bahwa “untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur

dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Kewajiban penyelenggara negara dalam menghormati, melindungi

dan memenuhi HAM temasuk penyandang disabilitas, diatur di dalam

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM khususnya pada :

Pasal 8: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,

melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia

yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-

undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi

manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 72: Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang

Page 27: Naskah Akademis RUU. Fix

25

efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

Adapun kewajiban penyelenggara negara yang perlu diwujudkan

dalam to respect, to protect and to fulfil adalah HAM dalam bidang sosial

ekonomi budaya (ekosob) maupun sipil dan politik (sipol). Hal ini penting

karena kedua bidang HAM tersebut merupakan materi HAM yang

tertuang dalam dua instrumen internasional HAM yaitu kovenan

internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya, dan kovenan

internasional tentang hak sipil dan politik yang disahkan oleh Majelis

Umum PBB pada tahun 1966. Namun pemerintah RI baru dapat

meratifikasi kedua instrumen HAM tersebut pada tahun 2005 yang

kemudian menjadi undang-undang yaitu UU No. 11 Tahun 2005 yang

meratifikasi kovenan tentang hak ekonomi sosial budaya. Sedangkan UU

No. 12 Tahun 2005 meratifikasi kovenan hak sipil dan politik.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang termuat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557, dan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik) yang termuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4558, memberikan harapan adanya keadilan

dan kepastian hukum bagi masyarakat khususnya penyandang disabilitas

yang mendambakan penegakan hak-hak asasinya. Hak-hak asasi ini

bukanlah pemberian Negara apalagi Pemerintah. Dia tidak lahir dari

pengaturan hukum karena HAM adalah hak kodrati dari Sang Pencipta

kepada semua mahluk di muka bumi. .

Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka

Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang

Page 28: Naskah Akademis RUU. Fix

26

Internasional Hak Asasi Manusia termasuk penyandang disabilitas, yang

telah dilakukan sebelumnya. Penerimaan Indonesia atas Undang-undang

Internasional Hak Asasi Manusia atau dalam dunia internasional dikenal

dengan nama International Bills of Human Right, dilakukan terhadap

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia). Meskipun deklarasi tersebut merupakan instrumen non yuridis,

namun semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations),

termasuk Indonesia, wajib mengakui dan menerima pokok-pokok pikiran

yang terkandung dalam deklarasi tersebut. Dalam konteks Indonesia,

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi pertimbangan dalam hal

reformasi hukum tentang penyandang disabilitas di Indonesia4.

Mengingat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat tidak memuat pengaturan yang seharusnya berperspektif HAM,

undang-undang yang baru diharapkan dapat memuat ketentuan-

ketentuan yang menganut prinsip sebagai berikut:

(a) Penghormatan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat melekat;

(b) Hak otonomi;

(c) Kemandirian;

(d) Keadilan;

(e) Inklusif;

(f) Non diskriminasi;

(g) Partisipasi;

(h) Disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia;

(i) Kesamaan hak dan kesempatan;

(j) Perlakuan khusus dan perlindungan lebih;

(k) Aksesibilitas; dan

4 Saharuddin Daming. 2010. Kewajiban Negara Dalam Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas. Hal. 7-11

Page 29: Naskah Akademis RUU. Fix

27

(l) Kesetaraan Gender.

Merujuk pada fenomena stagnasi perwujudan hak penyandang

disabilitas dalam perspektif hak asasi manusia akibat tidak terakomodasi

secara sempurna dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 maupun peraturan

perundang-undangan lainnya, maka sudah saatnya negara Republik

Indonesia berinisiatif untuk menyusun peraturan perundang-undangan

baru yang diharapkan dapat tepat sasaran, berdasarkan pada hak asasi

manusia, serta mengedepankan aspek pemberdayaan penyandang

disabilitas, termasuk inkorporasi sejumlah ketentuan CRPD, yang karena

sifatnya, pelaksanaannya, termasuk sanksi pelanggarannya, harus diatur

dengan undang-undang. Undang-undang yang baru diharapkan secara

substantif dan konsekuen menekankan pada hak asasi manusia dan

penyelenggaraan pemerintahan dengan melaksanakan kewajiban untuk

menghormati, melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas.

B. Kajian terhadap prinsip yang terkait dengan penyusunan norma

a. Penghormatan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat melekat;

Yang dimaksud dengan Penghormatan pada martabat dan nilai yang

melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan untuk menentukan

pilihan, dan kemerdekaan perseorangan adalah sikap dan perilaku setiap

orang, baik individu maupun kelompok terutama penyelenggara negara,

wajib menghormati dan menjunjung tinggi penyandang disabilitas dan

menerima keberadaannya secara penuh tanpa diskriminasi, hal mana

merupakan kewajiban yang bersifat melekat, karena kedisabilitasan

merupakan anugerah Tuhan yang maha kuasa, sehingga kewajiban

tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi, dihambat, dicabut atau

dihalangkan.

b. Hak otonomi;

Yang dimaksud dengan “asas hak otonomi” adalah hak yang melekat

pada setiap penyandang disabilitas berupa kewenangan secara pribadi

Page 30: Naskah Akademis RUU. Fix

28

untuk memutuskan dan atau menentukan secara bebas segala apa yang

dianggap baik dan atau benar berdasarkan pikiran dan hati nuraninya

tanpa intervensi dalam bentuk apapun dan dari siapa pun.

c. Kemandirian;

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah kemampuan

penyandang disabilitas untuk melangsungkan hidup tanpa bergantung

kepada belas kasihan orang lain.

d. Keadilan;

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah nilai kebaikan yang harus

terwujud dalam kehidupan penyandang disabilitas berupa

pendistribusiaan kesejahteraan dan kemakmuran secara merata, wajar dan

proporsional kepada penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.

e. Inklusif;

Yang dimaksud dengan “asas inklusif” adalah kondisi yang

menghilangkan segala bentuk diskriminasi kepada penyandang

disabilitas sehingga segala sesuatu yang menjadi sistem peradaban

modern senantiasa terkoneksi secara penuh dan konstruktif dengan

keberadaan penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan derajat

kedisabilitasan masing-masing.

f. Non diskriminasi;

Yang dimaksud dengan Prinsip Non diskriminasi adalah tekad bangsa

Indonesia untuk menghapus segala bentuk perlakuan tidak adil dengan

membeda-bedakan warga masyarakat atas dasar kedisabilitasan. Dalam

hal ini penyandang disabilitas mempunyai kedudukan yang setara

dengan warga negara pada umumnya di hadapan hukum dan berhak

untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara, Pemerintah harus

menjamin pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas.

g. Partisipasi;

Yang dimaksud dengan prinsip Partisipasi penuh dan efektif dan

keikutsertaan dalam masyarakat adalah keikutsertaan penyandang

disabilitas untuk berperan dan berkontribusi secara optimal, wajar dan

Page 31: Naskah Akademis RUU. Fix

29

bermartabat tanpa diskriminasi, karena itu perlu diupayakan secara

optimal penglibatan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat

h. Disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia;

Yang dimaksud dengan “asas disabilitas sebagai bagian dari keragaman

manusia” adalah manusia diciptakan dalam keadaan berbeda satu sama

lain, dimana segala yang melekat pada eksistensi penyandang disabilitas

merupakan bagian dari keragaman manusia yang tidak boleh digunakan

sebagai alasan untuk mendiskriminasi siapa pun atas dasar

kedisabilitasan.

i. Kesamaan hak dan kesempatan;

Yang dimaksud dengan “asas kesamaan hak dan kesempatan” adalah

keadaan yang mendudukkan penyandang disabilitas sebagai subjek

hukum yang bersifat penuh dan utuh disertai penciptaan iklim yang

kondusif berupa peluang yang seluas-luasnya untuk menikmati, berperan

dan berkontribusi dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan

sebagaimana warga negara lainnya.

j. Perlakuan khusus dan perlindungan lebih;

Yang dimaksud dengan “asas perlakuan khusus dan perlindungan lebih”

adalah bentuk keberpihakan kepada penyandang disabilitas berupa

perlakuan khusus dan atau perlindungan lebih sebagai kompensasi atas

disabilitas yang disandangnya demi memperkecil atau menghilangkan

dampak kedisabilitasan sehingga memungkinkan untuk menikmati,

berperan dan berkontribusi secara optimal, wajar dan bermartabat dalam

segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

k. Aksesibilitas;

Yang dimaksud dengan aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan

bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan

dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.

Page 32: Naskah Akademis RUU. Fix

30

l. Kesetaraan gender;

Yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan

posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan

mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat

pembangunan di semua bidang kehidupan.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta

permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas di masyarakat.

Persoalan disabilitas selama ini menjadi isu yang sangat sulit untuk diatasi

karena kondisi masyarakat yang kurang mendukung berbagai upaya yang

dilakukan pemerintah dalam implementasi hak-hak penyandang disabiltias.

Kondisi ini terkait dengan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap

masalah kecacatan yang masih menganggap disabilitas sebagai kutukan dan

nasib buruk, sehingga penyandang disabilitas diberikan sebutan atau stigma

yang buruk, mengalami isolasi dan perlindungan berlebihan dari keluarga.

Faktor lain yang juga memperburuk kondisi penyandang disabiltias adalah

masih banyaknya keluarga penyandang disabilitas yang menyembunyikan

atau menutupi bila memiliki anggota keluarga disabilitas sehingga

penyandang disabilitas mengalami hambatan-hambatan dalam memperoleh

kesempatan untuk mendapatkan perawatan, pelayanan, dan rehabilitasi yang

memungkinkan penyandang disabilitas untuk dapat mengembangkan diri

sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

Rendahnya kesadaran dan dukungan keluarga, terhambatnya kesempatan

yang dimiliki penyandang disabilitas untuk mengembangkan kapasitasnya

dan memperoleh pendidikan serta latihan keterampilan yang memadai

menyebabkan rendahnya kemampuan penyandang disabilitas untuk

melakukan upaya-upaya pemenuhan kebutuhan dasarnya sehingga

penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang rendah untuk

mengembangkan keterampilan, usaha dan memperoleh pekerjaan sehingga

Page 33: Naskah Akademis RUU. Fix

31

harus terus menerus menjadi tanggungan dan tanggung jawab keluarganya

serta mengalami kemiskinan struktural.

Kondisi-kondisi tersebut pada gilirannya menyebabkan Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial (UPKS) Penyandang Cacat yang diprakarsai

pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga

terkait menjadi tidak optimal selain karena kurangnya koodinasi diantara

pihak-pihak terkait juga karena rendahnya dukungan keluarga dan

masyarakat terhadap upaya-upaya ini.

Merujuk pada kondisi serta permasalahan yang ada selama ini merupakan

fakta bahwa materi yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1997 lebih bersifat social based, dan upaya pemenuhan hak penyandang

disabilitas masih dinilai sebagai sebuah masalah sosial, sehingga kebijakan

pemenuhan hak penyandang disabilitas lebih terfokus pada satu instansi saja

yakni di Tingkat Nasional pada Kementerian Sosial dan di tingkat daerah pada

Dinas Sosial setempat. Sementara itu sektor lain seperti kesehatan, pendidikan,

dan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

lebih berfungsi sebagai sektor penunjang dalam pelaksanaan pemenuhan hak

penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan pemenuhan hak- hak

penyandang disabilitas di luar masalah sosial menjadi kurang tersentuh dan

kurang terlindungi dari berbagai aspek. Pengaturan yang cenderung lebih

bersifat sosial menimbulkan berbagai permasalahan dan memberikan peluang

adanya praktik diskriminatif seperti pada bidang pendidikan. Karena alasan

kedisabilitasan maka penyandang disabilitas sering sekali mengalami

penolakan dan hambatan terhadap akses untuk memperoleh pendidikan yang

layak dari lembaga pendidikan umum sebagaimana warga negara lainnya.

Pada bidang ketenagakerjaan terdapat ketentuan dimana calon tenaga kerja

harus sehat jasmani dan rohani serta tidak mengalami disabilitas. Hal ini

mempersempit kesempatan penyandang disabilitas untuk memperoleh

pekerjaan sebagaimana orang lain pada umumnya.

Page 34: Naskah Akademis RUU. Fix

32

Minimnya ketersediaan aksesibilitas pada sarana maupun fasilitas layanan

publik yang memungkinkan penyandang disabilitas mengakses nilai

kemanfaatan pelayanan publik. Demikian pula tidak adanya akomodasi yang

memadai (reasonable accomodation) khususnya pada lingkungan kerja akibat

menjamurnya stigma negatif terhadap keberadaan penyandang disabilitas,

menyebabkan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi berdasarkan

kedisabilitasan (discrimination on the basis of disability), lebih jauh lagi,

penyandang disabilitas mengalami berbagai hambatan untuk memperoleh

pencapaian kesempatan yang setara (equal oppotunity) dengan orang lain pada

umumnya yang menyebabkan penyandang disabilitas tidak memiliki

kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi secara penuh (full participation)

dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Akibatnya, penyandang disabilitas tidak memperoleh kesempatan untuk

melakukan pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara pada umumnya.

Substansi pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, lebih

berbasis pada aspek pelayanan sosial. Sedangkan aspek lainnya hanya dimuat

dalam lingkup yang sangat terbatas, sektoral, parsial, dan pragmatis. Padahal

idealnya sebuah peraturan setingkat Undang-undang haruslah menghindari

unsur-unsur destruktif tersebut. Tidak boleh lagi ada kesan bahwa tanggung

jawab penanganan disabilitas, hanya menjadi tupoksi Kementerian Sosial dan

Dinas Sosial, akan tetapi harus melibatkan dan terdapat di semua sektor secara

komprehensif dan terkoordinasi. Dengan demikian perwujudan hak

penyandang disabilitas seharusnya terdapat di setiap sektor karena

penyandang disabilitas ada di setiap level dan aspek kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat.

Setelah 14 tahun berlakunya Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1997

tentang Penyandang Cacat, Berbagai regulasi yang berkaitan dengan

perwujudan hak penyandang disabilitas, dilembagakan sebagai pelengkap dan

penyempurna Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Adapun perubahan

dimaksud antara lain Perubahan UUD 1945, pengesahan berbagai konvensi

Page 35: Naskah Akademis RUU. Fix

33

internasional, kesepakatan negara– negara di tingkat regional, dan berbagai

peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan pemenuhan

hak-hak penyandang disabilitas. Perubahan UUD 1945 yang relevan dengan

hak penyandang disabilitas yaitu Pasal 28H ayat (2) menyatakan : ”Setiap

orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”,

sedangkan Pasal 28I ayat 2 menyatakan :“ Setiap orang berhak bebas dari

perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Di samping itu,

beberapa undang-undang sektoral telah pula memuat pengaturan pemenuhan

dan perlindungan hak penyandang disabilitas, misalnya Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007

tentang Perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilu Anggota Legislatif, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, ,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya,

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan lain-lain. Selain itu, juga

dilakukan pengesahan sejumlah instrumen HAM internasional yang terkait

dengan hak penyandang disabilitas antara lain Konvenan Internasional tentang

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005),

dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2005).

Alasan lain pentingnya merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

adalah bahwa Indonesia telah mengesahkan Convention on the Rights of

Person with Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2011. Konvensi ini berisi pengaturan perlindungan hak-hak penyandang

disabilitas yang lebih luas, lengkap, dan rinci yang dapat dijadikan referensi

Page 36: Naskah Akademis RUU. Fix

34

atau legal standing bagi penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.

Pada akhirnya penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 diharapkan

akan menghasilkan undang-undang yang menjadi landasan hukum yang kuat

bagi upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, pemberdayaan,

penegakan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di segala bidang secara

menyeluruh dan terintegrasi.

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam

Undang-Undang Penyandang Disabilitas dalam aspek kehidupan

berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta dampaknya terhadap beban

keuangan negara.

Dengan hadirnya Undang-Undang baru tentang Penyandang Disabilitas

diharapkan mampu mewujudkan hak Penyandang Disabilitas secara efektif

sesuai dengan amanat dari CRPD yang telah disahkan melalui Undang-

Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights

of Person with Disabilities atau Konvensi mengenai hak-hak Penyandang

Disabilitas.

Dengan meratifikasi konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia diwajibkan

untuk melakukan penyesuaian, termasuk penyediaan aksesibilitas dan sistem

kelembagaan disabilitas pada setiap sarana publik yang diselenggarakan oleh

negara. Hal ini tentu saja berimplikasi pada keuangan negara untuk

membiayai penyesuaian tersebut, namun hasil survei yang dilakukan berbagai

pihak antara lain menyimpulkan bahwa penyediaan aksesibilitas pada sarana

publik yang dikelola negara, sebetulnya tidak memerlukan anggaran dengan

jumlah besar. Karena penyesuaian yang perlu dilakukan, umumnya hanya

mencakup modifikasi atau penambahan atau penggantian, itupun dilakukan

secara bertahap. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus memiliki

komitmen yang tinggi untuk mengimplementasikan Undang-Undang tersebut

tanpa ada kekhawatiran tentang implikasi pembiayaan. Jika proses

penyesuaian tersebut pada akhirnya membutuhkan biaya yang cukup

signifikan, maka itu adalah bagian dari kewajiban dan tanggung jawab negara

Page 37: Naskah Akademis RUU. Fix

35

untuk memenuhinya. Apalagi sejak kita merdeka penyandang disabilitas baru

memperoleh kesempatan yang luas untuk menikmati, berperan dan

berkontribusi secara optimal dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat setelah Undang-Undang ini

diberlakukan.

Page 38: Naskah Akademis RUU. Fix

36

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang Penyandang

Disabilitas akan terkait dan bersesuaian dengan berbagai peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan perwujudan hak penyandang disabilitas. Sesuai

dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditetapkan ketentuan bahwa jenis

dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

e. Peraturan Pemerintah;

f. Peraturan Presiden;

g. Peraturan Daerah Provinsi; dan

h. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan dimaksud,

maka berikut dipaparkan hasil inventarisasi sejumlah aturan hukum yang relevan

dengan perwujudan hak penyandang disabilitas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial;

9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;

Page 39: Naskah Akademis RUU. Fix

37

10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Convenant on Econimic, Social And Culture Rights (Kovenan Internasional Tentang

Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya);

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak

Sipil Dan Politik);

12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

13. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

16. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan;

17. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

18. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan

19. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The

Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas).

A. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait

1. Analisis terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyebutkan bahwa tujuan negara yaitu Pemerintah Negara

Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk memajukan Kesejahteraan Umum dan perlindungan terhadap

segenap Bangsa Indonesia diperlukan usaha-usaha yang dapat mewujudkan

kesejahteraan dan perlindungan bagi rakyat Indonesia termasuk di

dalamnya penyandang disabilitas. Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan

Page 40: Naskah Akademis RUU. Fix

38

dengan menyediakan peluang yang sama dan merata kepada penyandang

disabilitas untuk mengembangkan diri sesuai kemampuan, bakat dan minat

yang dimilikinya untuk menikmati, berkontribusi, atau berperan secara

optimal wajar dan bermartabat tanpa diskriminasi dalam segala aspek

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, dapat diwujudkan dengan

keterlibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan yang bersifat

internasional. Keterlibatan tersebut tidak hanya pada tingkat kepesertaan,

tetapi juga sebagai determinator, penggagas, perumus, perencana, termasuk

mengenai penyusunan dan pembahasan serta ratifikasi instrumen HAM

internasional yang terkait dengan isu disabilitas demi memajukan dan

menyetarakan Bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain.

Pasca bergulirnya masa reformasi, Konstitusi Negara Republik

Indonesia telah diamandemen sebanyak empat kali. Pada Amandemen

kedua, konstitusi menambahkan Bab X A yang mengatur khusus mengenai

perlindungan hak asasi manusia. Dalam bab tersebut terdiri dari sepuluh

pasal yaitu Pasal 28 A hingga 28 J. Hak-hak yang tercantum di dalamnya

mulai dari kategori hak-hak sipil, politik, hingga pada hak-hak ekonomi,

sosial, dan budaya. Selain itu, dalam bab tersebut juga tercantum ketentuan

tentang tanggung jawab negara terutama Pemerintah dalam perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

Landasan Perlindungan bagi penyandang disabilitas di Indonesia

merujuk kepada Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1),

Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28G ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2) dan

(3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2). Hak untuk

hidup dan kesempatan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya

merupakan amanat Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945: setiap orang berhak hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya. Terkait dengan hak hidup,

setiap penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk memperoleh

Page 41: Naskah Akademis RUU. Fix

39

pengakuan, penjaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta persamaan dihadapan hukum yang tersurat di dalam Pasal 28D ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengaturan tentang kebutuhan khusus mengenai perlindungan

penyandang disabilitas sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

"perlu segera dilembagakan dalam undang-undang penyandang disabilitas

dengan pengaturan yang lebih rinci, tegas, operasional, dan efektif. Hal ini

merupakan pranata HAM yang berlaku secara universal, khusus bagi

kelompok rentan (vulnerable group) tidak terkecuali penyandang disabilitas

sebagaimana diamanatkan oleh sejumlah instrumen HAM Internasional

yang telah diterima oleh Negera Republik Indonesia menjadi hukum positif

(ius constitutum). Dengan demikian akan tercipta harmonisasi pengaturan

yang memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Perlindungan penyandang disabilitas merupakan salah satu amanat

dari Konstitusi Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (2):

“setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif tersebut”. Upaya perlindungan penyandang

disabilitas semakin menguat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With

Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Sebagai

amanat pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka negara perlu melembagakan bentuk

perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas yang lebih komprehensif,

operasional, efektif, namun tetap proposional dan bermartabat.

Berkenaan dengan landasan perlindungan penyandang disabilitas

yang telah diuraikan tersebut di atas, maka diperlukan sebuah undang-

undang baru yang khusus mengatur tentang penyandang disabilitas. Materi

muatan Undang-Undang tersebut, mengakomodasi jenis dan bentuk

penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

Page 42: Naskah Akademis RUU. Fix

40

penyandang disabilitas dalam arti yang seluas-luasnya dan sebenar-

benarnya. Selain itu, dengan undang-undang baru tersebut, dapat berfungsi

sebagai instrumen strategis dalam melakukan harmonisasi terhadap

berbagai peraturan perundang-undang sebelum dan sesudahnya

berdasarkan hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

2. Analisis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang

Cacat

Mencermati Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang

Penyandang Cacat sebagai undang-undang yang mengatur hak-hak,

kesempatan, dan perlindungan penyandang disabilitas dinilai tidak relevan

lagi dengan tuntutan perkembangan, tantangan dan kebutuhan penyandang

disabilitas Indonesia saat ini. Selain itu, substansi pengaturan undang-

undang tersebut, mengandung banyak sekali kelemahan, bahkan terkesan

tidak oprimal dalam mengakomodir bentuk penghormatan, perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hal ini

tercermin pada rendahnya tingkat implementasi Undang-Undang tersebut

akibat banyaknya rumusan yang relatif kabur penulisannya, tidak tegas dan

cenderung menimbulkan multi-tafsir. Sampai dengan tahun 2011, isu

disabilitas semakin jauh dari agenda program pembangunan birokrasi,

bahkan tidak pernah menjadi agenda urgen dalam Rancangan

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPIPN) dan Rencana

pembangunan jangka menengah Nasional (RPJMN).5

Menurut Umar, Koordinator Parlement Wacth, dari risetnya terhadap

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat ada

beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Ada 10

(sepuluh) hingga 15 (lima belas) pasal yang belum cukup tegas untuk

memberikan perlindungan bagi penyandang cacat. Seperti belum tegasnya

pengaturan mengenai rehabilitasi, kesejahteraan sosial, penghidupan yang

5 Amirul Mustofa. Op.Cit. Hlm. 46.

Page 43: Naskah Akademis RUU. Fix

41

layak bagi penyandang disabilitas, ataupun instrumen sarana dan prasarana

bagi kaum penyandang disabilitas di ruang publik. Termasuk tidak adanya

sanksi tegas bagi yang tidak memenuhi kewajiban tersebut. Tidak heran jika

banyak penyandang disabilitas mengalami perlakuan diskriminatif di ruang

publik dan instansi pelayanan publik.6

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 menyatakan hak-hak

yang diperoleh penyandang disabilitas hanya meliputi:

1. hak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang

pendidikan;

2. hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;

3. hak memperoleh perlakuan yang sama untuk berperan dalam

pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;

4. hak memperoleh aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;

5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

dan

6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan

kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam

lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dari keenam hak-hak yang dikemukakan di atas dinilai masih kurang

ideal bagi penyandang disabilitas. Apabila dengan ratifikasi negara

Indonesia terhadap Convention On The Rights Of Persons With Disabilities,

maka perlu dilakukan penyesuaian antara CRPD dengan peraturan hukum

tentang penyandang disabilitas. Betapa tidak karena di dalam konvensi

tersebut telah mengatur secara komprehensif mengenai hak-hak

penyandang disabilitas baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan

sipil. Hal ini sangat kontras dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1997, dimana upaya yang dilakukan

6Nhamona. 2012. Desak Revisi UU Penyandang Cacat. http://nhamona.wordpress.com/2012/05/04/desak-

revisi-uu-penyandang-cacat/). Diakses 1 Februari 2013. Pukul 10.12 WIB.

Page 44: Naskah Akademis RUU. Fix

42

pemerintah/masyarakat terhadap kesejahteraan penyandang cacat, hanya

mencakup:

1. rehabilitasi;

2. bantuan sosial; dan

3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Secara gramatikal upaya pemerintah/masyarakat yang

diselenggarakan bagi penyandang disabilitas memiliki arti pemerintah

memberikan hanya jaminan mengenai rehabilitasi, bantuan sosial, dan

pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial, tidak untuk mendapatkan

kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya melalui

kemandirian sebagai manusia yang bermartabat. Penyandang disabilitas

juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologi dan fungsional,

rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan keterampilan,

konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang

memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan

keterampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses

reintegrasi dan integrasi sosial penyandang disabilitas.

3. Analisis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Pembahasan mengenai soal ini, merujuk pada Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini

merupakan ketentuan yang bersifat umum mengenai penghormatan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia untuk seluruh

warga negara. Undang-Undang ini terdiri dari 11 bab dan 106 pasal.

Ketentuan ini merupakan instrumen hukum nasional yang menjaminan

penghormatan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan bagi setiap warga

negara tak terkecuali penyandang disabilitas. Seperti telah dipahami bahwa

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 senantiasa

menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak

Page 45: Naskah Akademis RUU. Fix

43

asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang secara kodrati telah melekat pada

diri manusia, bersifat universal dan langgeng, wajib dilindungi, dihormati,

ditegakkan dan dipenuhi oleh negara, khususnya pemerintah maupun

penyelenggara lainnya. Menyadari kedudukan penyandang disabilitas

sebagai warga negara yang mempunyai kesamaan hak dan kesempatan

dengan warga negara lainnya, maka pelembagaan penghormatan,

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam

bentuk undang-undang yang bersifat organik, komprehensif, operasional,

dan efektif, sudah merupakan tuntutan kebutuhan penyandang disabilitas

yang tidak dapat lagi ditawar-tawar.

Berdasarkan Belangen Theory menyatakan bahwa hak adalah sebagian

dari kepentingan yang dilindungi sehingga ketika terdapat peraturan yang

mengatur mengenai hak maka kepentingan tersebut harus dilindungi. Hak

adalah sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum.

Hak asasi manusia melekat sejak manusia lahir, yang merupakan pemberian

Tuhan.7 Penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang harus dijamin dan

dilindungi oleh negara. Maka berdasarkan pemaparan di atas, penyandang

disabilitas sebagai Warga Negara Indonesia yang juga memiliki hak asasi

manusia merupakan hak yang harus dilindungi oleh hukum dan diatur

dengan peraturan hukum yang baku.

Bentuk perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas

sering sekali terjadi pada hampir semua sektor kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat. Pertama, diskriminasi penyandang disabilitas

pada sektor aksesibilitas baik bangunan maupun transportasi. Hal ini

tercermin dari hasil survey yang dilakukan berbagai pihak tentang realisasi

penyediaan aksesibilitas pada infra stuktur yang diselenggarakan oleh

Negara dengan kesimpulan yang sangat memiriskan hati. Betapa tidak

karena dari semua infra struktur yang disurvei dengan sample random DKI

Jakarta, menemukan fakta bahwa penyediaan aksesibilitas pada infra

7Isharyanto. 2010. Bahan Perkuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surakarta: Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 46: Naskah Akademis RUU. Fix

44

struktur penyelenggara negara ternyata hanya mencapai angka 0,003 persen

yang jika dilakukan pembulatan ke bawah maka hasilnya sama dengan 0

persen. Perlakuan diskriminatif bagi penyandang disabilitas, lebih terasa

dengan kasus penolakan sejumlah penyelenggara pelayanan publik

terhadap penyandang disabilitas semata-mata karena penyelenggara

pelayanan publik menilai penyandang disabilitas, tidak memenuhi syarat

untuk mendapatkan kemanfaatan layanan yang diselenggarakan oleh

penyelenggara layanan publik. Salah satu contoh adalah kasus penolakan

dalam layanan penerbangan PT Garuda Indonesia terhadap seorang

penumpang tunanetra Irwan Subena pada tahun 2010. Ketika itu Subena

telah berada di ruang tunggu Bandara Hassanudin Makassar untuk bersiap-

siap terbang ke Denpasar dengan menumpang pesawat Garuda dengan

nomor penerbangan GA 607771. Namun, Subena tiba-tiba diberi tahu oleh

petugas Garuda bahwa yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut dalam

penerbangan lantaran adanya ketentuan dalam layanan penerbangan

Garuda yang melarang penyandang disabilitas tertentu untuk ikut dalam

penerbangan tanpa membawa pendamping sendiri.

Setelah dianalisis dengan mendalam tentang ketentuan pelayanan

penerbangan PT Garuda Indonesia yang cenderung diskriminatif tersebut,

rupanya terjadi akibat kesalahpahaman legal drafter peraturan tersebut

yang tidak bias membedakan antara orang sakit dengan penyandang

disabilitas. Persepsi seperti ini hampir menghinggapi semua penyelenggara

layanan penerbangan maupun layanan publik pada umumnya yang

cenderung mengidentikkan antara orang sakit dengan penyandang

disabilitas. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang Nomor

1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.8

Kedua, Diskriminasi Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas juga

terjadi di sektor ketenagakerjaan. Contohnya ketentuan Pasal 14 Undang-

8 Ndis. 2012. Turunkan Penumpang Cacat, Komnas HAM Selidiki Dugaan Pelanggaran HAM oleh Garuda.

http://city.seruu.com/read/2012/09/19/119916/turunkan-penumpang-cacat-komnas-ham-selidiki-dugaan-pelanggaran-ham-oleh-garuda . Diakses 5 Februari 2013. Pukul 06.58 WIB.

Page 47: Naskah Akademis RUU. Fix

45

Undang Nomor 4 Tahun 1997, pengusaha/pemberi kerja wajib

mempekerjakan 1 orang penyandang cacat untuk setiap 100 pekerja yang

dipekerjakannya. Ini berarti terdapat kuota 1% (minimal) bagi penyandang

disabilitas untuk mengakses tempat kerja dan hak ekonominya. Walaupun

undang-undang telah mengatur demikian, namun hal ini jarang terjadi

bahkan di sektor pemerintahan. Terdapat banyak kasus diskriminasi

terhadap penyandang disabilitas di sektor ketenagakerjaan. Hingga saat ini,

belum ada sanksi yang jelas yang dikeluarkan oleh pengadilan ataupun

sanksi administratif yang diterapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja

sehubungan dengan perusahaan yang tidak memperkenankan penyandang

disabilitas untuk bekerja. Sisi lain yang lebih ironis, penyandang disabilitas

pun ditolak menjadi pegawai negeri sipil semana-mana karena faktor

kedisabilitasannya. Hal ini terungkap dengan sangat lugas dan detail dalam

artikel Saharuddin Daming berikut ini:

Trend marginalisasi dan pengkebirian hak dan martabat penyandang

disabilitas dalam jabatan formal oleh otoritas penerimaan PNS sebagaimana

dikemukakan di atas, melembaga melalui syarat jasmani dan rohani yang

dilegitimasi oleh berbagai peraturan perundang-undangan antara lain

dalam Pasal 6 huruf (h) PP No.98 tahun 2000 tentang Pengadaan PNS

sebagaimana diubah dengan PP No. 11 tahun 2002 adalah sehat jasmani dan

rohani. Selanjutnya dalam Keputusan BKN No.11 tahun 2002 tentang

ketentuan pelaksanaan PP No.98 tahun 2000 sebagaimana telah diubah

menjadi PP No. 11 tahun 2002 angka romawi II huruf (c) angka 1

menetapkan bahwa syarat yang dipenuhi setiap pelamar adalah sehat

jasmani dan rohani yang dibuat oleh Dokter. Dalam Pasal 4 ayat 1 PP No.48

tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga Honorer Menjadi CPNS

sebagaimana telah diubah dengan PP No. 43 tahun 2007 antara lain

mengatur bahwa pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dilakukan

melalui seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan jasmani dan

rohani, dan kompetensi.

Page 48: Naskah Akademis RUU. Fix

46

Semua ketentuan tersebut di atas merupakan tindak lanjut dari PP

No.26 tahun 1977 tentang “Pengujian Kesehatan PNS Dan Tenaga Tenaga

Lainnya Yang Bekerja Pada Negara Republik Indonesia” (LN tahun 1977

No.36, TLN No.3105). Dalam Pasal 1 huruf (c) disebutkan bahwa “Ujian

kesehatan ialah tindakan medis yang mencakup pemeriksaan dan penilaian

kesehatan, baik jasmani maupun rohani”. Selanjutnya dalam Pasal 2 dirinci

mengenai pihak yang dikenakan pengujian kesehatan :

a. CPNS yang akan diangkat menjadi PNS;

b. pelajar atau mahasiswa yang akan menuntut pelajaran dalam rangka

ikatan dinas dengan Pemerintah;

c. PNS yang:

1. menurut pendapat pejabat yang berwenang tidak dapat

melanjutkan pekerjaannya karena kesehatannya;

2. oleh pejabat yang berwenang dianggap memperlihatkan tanda-

tanda sesuatu penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya

sendiri dan atau lingkungan kerjanya;

3. setelah berakhirnya cuti sakit, menurut peraturan yang berlaku

belum mampu bekerja kembali;

4. akan melaksanakan tugas tertentu di luar negeri;

5. akan mengikuti pendidikan/latihan tertentu;

6. akan diangkat dalam jabatan tertentu. d.PNS dan tenaga-tenaga

lainnya yang bekerja pada Negara Republik Indonesia yang

ditetapkan oleh Menteri atas usul Kepala Badan Administrasi

Kepegawaian Negara.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Menkes mengeluarkan

Peraturan No. 143/Menkes/Per/VII/1977 tertanggal 1 Juli 1977 tentang

“Tata laksana Pengujian Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan Tenaga-

Tenaga Lainnya Yang Bekerja Pada Negara Republik Indonesia”. Dalam

Pasal 8 Permenkes yang ditanda tangani oleh G.A. Siwabessy (Menkes RI

pada masa itu), diatur : ayat (1) Hasil suatu pengujian kesehatan diputuskan

dengan sebutan sebagai berikut : a. memenuhi syarat untuk semua jenis

Page 49: Naskah Akademis RUU. Fix

47

pekerjaan, b. memenuhi syarat untuk jenis pekerjaan tertentu, c. memenuhi

syarat untuk jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b

dengan bersyarat, d. ditolak sementara, untuk sementara belum memenuhi

syarat kesehatan dan memerlukan pengobatan/ perawatan dan ujian

kesehatan perlu diulang setelah selasai pengobatan/ perawatan, e. ditolak,

tidak memenuhi syarat untuk menjalankan tugas sebagai Pegawai Negeri

Sipil.

Untuk menilai derajat kesehatan seseorang memenuhi salah satu unsur

dalam Pasal 8, maka TPK merujuk petunjuk teknis pada bagian lampiran

Permenkes antara lain mengatur bahwa syarat yang perlu dipenuhi untuk

dinyatakan baik kesehatannya untuk melakukan jabatan negara sebagai

Pegawai Negeri Sipil/Petugas Negara adalah :

Status Somaticus :

a. Bentuk badan, bentuk badan yang wajar, tidak mengandung suatu

penyakit atau kelainan yang dapat dinyatakan atau yang diperkirakan,

yang membuat seseorang tidak cakap untuk melakukan pekerjaan

dalam lingkungan kerja manapun;

b. Indera penglihatan

Emetroopia

Tidak buta warna

Luas lapangan penglihatan penuh

Keterangan : myopia dan hypermetropia, setinggi-tingginya 1 (satu) dioptri

atau dengan koreksi dengan kaca mata bisa melihat penuh

V=5/5.

Presbiopia dengan koreksi minimal bisa membaca J.3.

c. Indera pendengaran

Pendengaran kedua telinga penuh, tiap telinga dapat mendengar bisikan

dari jarak 6 (enam) meter.

Page 50: Naskah Akademis RUU. Fix

48

d. Kelainan-kelainan lain

Kelainan-kelainan kecil yang tidak mengganggu pekerjaan dan tidak

mempengaruhi kesehatan umum, dan yang menurut perkiraan tidak

akan memburuk (progresif) hingga seseorang, tidaklah mengurangi

syarat untuk dinyatakan baik kesehatannya kecuali jika kelainan tadi

ditemukan bersamaan hingga mengakibatkan ketidakcakapannya.

e. Pembagian perbedaan syarat kesehatan untuk pekerjaan berat dan

ringan.

Kecuali untuk pekerjaan tertentu yang ditentukan pula persyaratan

khusus dengan surat keputusan tersendiri oleh Menteri Kesehatan,

selain syarat kesehatan seperti tersebut di atas, diadakan pembagian

syarat kecakapan bagi pekerjaan berat dan sebagai berikut :

(1) Pekerjaan berat fisik

(a) Tulang belulang

Tidak ada kelainan yang mencolok pada tulang punggung,

kepala dan anggota dan anggota badan, bila ada cacat tidak lebih

dari 2 (dua) jari tangan.

(b) Otot

Tidak menunjukkan kelainan besar, tidak ada atrophi,

(c) berat badan

berat badan tidak kurang dari 20% dari berat badan ideal “weight

standard”, bila lebih sampai 50% di atas berat standar asalkan

tidak bersamaan dengan kelainan jantung, ginjal, atau pankreas.

(d) Paru-paru

Paru-paru sehat, jika pernah menderita penyakit tuberculosis

harus sudah dinyatakan sudah tenang secara klinis, radiologis

dan laboratories.

Page 51: Naskah Akademis RUU. Fix

49

(e) Jantung

Jantung sehat, hanya diperbolehkan adanya systolic murmur

grade 1 tanpa kelainan organik.

(f) Tekanan darah

Tekanan darah yang disesuaikan dengan usianya

(g) Nadi

Denyut nadi/menit tidak lebih dari 90 dan 2 menit sehabis

gerakan jongkok berdiri sepuluh kali harus sudah kembali

kepada keadaan semula.

(h) Hati

Tidak menunjukkan kelainan fungsi, tidak ada pembesaran

(i) Limpa

Tidak ada pembesaran lebih dari S.1

(j) Tractus digestivus dan tractus urosentitalis. Tidak menunjukkan

kelainan kelainan/ gejala kronis.

(k) Hernia

Tidak terdapat suatu biatus hernia

(l) Laboratorium

Urine : Reduksi : Negatif

Protein : Negatif

Sedimen : Normal

Darah : Hb minimal 11 g%

Lain-lain normal

(2) Pekerjaan fisik ringan

(a) Tulang belulang

Page 52: Naskah Akademis RUU. Fix

50

Boleh menunjukkan kelainan ringan yang progresif dan tidak

mengganggu fungsi. Misalnya deformitas-deformitas ringan, scoliosis

ringan, gibbus ringan dan sebagainya.

(b) Otot-Otot

Boleh menunjukkan kelainan-kelainan dengan tidak progresif yang

tidak mengganggu fungsi dan gerak, dan yang tidak disebabkan oleh

penyakit otot (misalnya dystrofia muscularis progrifnya ringan dan

sebagai).

(c) Berat Badan

Berat badan tidak kurang dari 40% di bawah berat badan ideal dan boleh

lebih 50% di atas berat badan standar asal tidak bersamaan dengan

kelainan jantung, limpa, dan pancreas.

(d) Paru-paru

Paru-paru sehat, jika mengalami tuberculosis harus sudah sehat klinis,

radiologis, dan laboratories.

(e) Jantung

boleh menunjukkan kelainan organik ringan yang tidak akan

menimbulkan insufficiensi

(f) Nadi

Pada waktu istirahat tidak boleh dari 96/menit, dan dua menit sehabis

gerakan jongkok berdiri (10 x sudah harus kembali kepada keadaan

semula).

(g) Tekanan Darah

Boleh menyimpang sedikit dari normal asal tidak disertai kelainan

jantung, dan ginjal.

(h) Hati

Sehat tidak menunjukkan pembesaran lebih dari 1 jari.

Page 53: Naskah Akademis RUU. Fix

51

(i) Limpa

Tidak menunjukkan pembesaran

(j) Tractus digestivus dan tractus urogenitalis

Tidak menunjukkan gejala kronis

(k) Hernia

Tidak terdapat suatu hernia

(l) Laboratorium

Urine : reduksi negatif

protein negatif

sedimen negatif

darah : Hb tidak kurang dari 11 g%

lain-lain normal

(3) Syarat untuk menerima/ memangku jabatan negara tertentu, apabila calon

dicalonkan untuk memangku/ menduduki/ menerima tugas jabatan

khusus, hendaknya dibahas dengan seksama syarat yang diperlukan

untuk itu dan menghubungkannya dengan kondisi kesehatan yang

diperlihatkan oleh calon sebelum diambil keputusan tentang

baik/tidaknya kesehatan calon tersebut.

Memperhatikan klasifikasi pengujian kesehatan untuk menjadi PNS

dan pejabat berdasarkan diuraikan di atas, menunjukkan dengan jelas

bahwa otoritas medis memang sengaja dibekali dengan setumpuk

kewenangan untuk menjadi pembunuh berdarah dingin bagi potensi dan

masa depan Penyandang disabilitas sebagai PNS atau pejabat lainnya.

Akibatnya otoritas medis yang menerima amanah tersebut sering

bertindak arogan, tidak kenal kompromi dalam menyikat habis figur-figur

penyandang disabilitas dengan dalih “melaksanakan tugas”.

Page 54: Naskah Akademis RUU. Fix

52

Parahnya lagi karena otoritas medis hanya menggunakan kaca mata

kuda dalam melihat dan menilai kemampuan penyandang disabilitas yang

kemudian menjadi hukum tersendiri bagi otoritas medis bahwa PNS

maupun jabatan formal lainnya, tidak boleh diduduki oleh penyandang

disabilitas yang divonis oleh otoritas medis sebagai orang yang mempunyai

gangguan kesehatan. Hebatnya lagi karena unsur gangguan kesehatan yang

ditetapkan dalam Permenkes tersebut, luar biasa luas. Mulai soal gigi, berat

badan, nadi, otot, dan lain-lain harus dalam keadaan normal.

Kesimpulannya adalah bahwa dalam pandangan medis setidaknya di

Indonesia, hanya orang yang sempurna kesehatannya yang boleh

diposisikan sebagai PNS maupun Pejabat dalam jabatan Publik, sedangkan

orang yang mengalami gangguan atau kelainan kesehatan termasuk

penyandang disabilitas, tabu bernafkah di sektor formal9.

Ketiga, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam sektor

pendidikan. Pendidikan untuk semua adalah visi UNESCO untuk tahun

2015. Pendidikan harus mudah dijangkau terlepas status setiap anak.

Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan manusia. Namun,

dalam isu penyandang disabilitas di Indonesia, visi tersebut sangat sulit

dicapai. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistim Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menyatakan

kewajiban penyelenggaraan pendidikan khusus bagi dan setara bagi

penyandang disabilitas. Namun, hingga kini, 59,8% dari anak dengan

disabilitas justru tidak dapat menikmati pendidikan. Sisanya 40,2%, hanya

mayoritas di jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah

menengah atas. Sedangkan untuk penyandang disabilitas yang memiliki

pendidikan jenjang tinggi sangat minim sekali.10

Terjadinya praktek diskriminasi pada penyandang disabilitas dalam

layanan pendidikan, selain karena faktor sterotif dan prejudis dalam bentuk

stigma negatif oleh otoritas dalam pengelola lembaga pendidikan, juga

9 Saharuddin Daming. 2009. Tinjuan Hukum dan HAM Terhadap Syarat Jasmani dan Rohani Dalam

Ketenagakerjaan dan Kepegawaian. Hal.6-9 10 Marjuki. Op.Cit.

Page 55: Naskah Akademis RUU. Fix

53

disebabkan oleh faktor teknis yuridis. Dalam artikel, Saharuddin Daming

terungkap fakta kongkrit mengenai hal tersebut. Pada bagian akhir Pasal 11

dan 12 maupun pada Pasal 23 PP No. 43 tahun 1998, terdapat rumusan yang

menegaskan: “sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya“. Bunyi

lengkap Pasal 12 UU No.4 tahun 1997 : “Setiap lembaga pendidikan memberikan

kesempatan perlakuan yang sama kepada Penyandang Disabilitas sebagai peserta

didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan

derajat Disabilitas serta kemampuannya”. Rumusan tersebut sangat paradoks

dan tidak sinkron dengan prinsip kesamaan yang dianut undang-undang ini

sendiri. Kita hampir tidak dapat mengerti bagaimana pembuat undang-

undang yang pada awalnya membuka akses bagi penyandang disabilitas

untuk memperoleh layanan pendidikan atas dasar kesamaan hak dan

kesempatan. Lalu bagaimana kesamaan tersebut dapat diwujudkan jika

pada pasal yang sama “dikunci” dengan kalimat bahwa layanan pendidikan

bagi penyandang disabilitas, harus disesuaikan dengan jenis dan derajat

disabilitasnya masing-masing. Berarti tidak bisa sama karena harus terpilah

berdasarkan jenis dan derajat disabilitas dengan mekanisme yang dibuat

menurut pandangan/selera otoritas pendidikan.

Tidak heran jika hampir semua pengelola lembaga pendidikan umum

menolak penyandang disabilitas sebagai peserta didiknya karena bukankah

undang-undang sendiri telah menegaskan bahwa penyandang disabilitas

dapat menjadi peserta didik pada lembaga pendidikan sesuai dengan jenis

dan derajat disabilitas. Dengan konstruksi argumentum a conterario,

rumusan tersebut dapat berarti lembaga pendidikan umum, hanya dapat

menerima penyandang disabilitas sebagai peserta didik asal sesuai dengan

derajat disabilitas yang ditentukan oleh lembaga pendidikan itu sendiri.

Masalahnya, bagaimana kalau lembaga pendidikan membuat ketentuan

bahwa penyandang disabilitas dari semua jenis dan derajat disabilitas tidak

diperkenankan menjadi peserta didik karena pihaknya belum atau tidak

mampu menyediakan sistem atau fasilitas khusus bagi penyandang

disabilitas?

Page 56: Naskah Akademis RUU. Fix

54

Perlu diingat bahwa setiap lembaga pendidikan, mempunyai otonomi

untuk menentukan pola pengelolaan sekolah sesuai dengan konsep

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Apalagi tentang penerimaan peserta

didik dari kalangan penyandang disabilitas untuk berintegrasi di sekolah

umum, maka pengelola sekolah mempunyai kewenangan untuk

menentukan sendiri syarat-syaratnya. Salah satu penyebabnya adalah

karena Pasal 24 PP No,43 tahun 1998 mengisyaratkan bahwa ayat 1 :

“Setiap penyelenggara satuan pendidikan bertanggungjawab atas pemberian

kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang disabilitas untuk

memperoleh pendidikan”.

Pada ayat 2 disebutkan : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian

kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bidang pendidikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang

pendidikan”.

Penunjukan Mendiknas untuk mengatur soal pemberian kesempatan

dan perlakuan yang sama dalam bidang pendidikan bagi penyandang

disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tersebut di atas, mengundang

masalah baru. Karena setiap kali Mendiknas dan jajarannya menyusun

kebijakan tentang layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas, selalu

tertuju pada bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab Porto Folio yang

menangani dan melayani pendidikan untuk penyandang disabilitas dalam

bahasa anggaran Depdiknas, terletak pada Direktorat Pelayanan PLB

(sekarang menjadi 2 direktorat pendidikan khusus dan layanan khusus

untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah). Akibatnya isu tentang

sistem integrasi peserta didik penyandang disabilitas di sekolah umum,

tidak tersentuh. Karena isu seperti itu bukan menjadi wewenang direktorat

PPLB.

Celakanya lagi karena Direktorat Pendidikan Menengah Umum

(Dikmenum) yang masih berada satu atap dengan Direktorat PPLB di masa

lalu, tidak bersedia menerima limpahan tanggung jawab tentang pelayanan

integrasi peserta didik penyandang disabilitas di sekolah umum. Mereka

Page 57: Naskah Akademis RUU. Fix

55

umumnya berpandangan bahwa isu tentang pendidikan bagi penyandang

disabilitas, sepenuhnya merupakan tanggung jawab Direktorat PPLB. Saling

lempar tanggung jawab seperti inilah yang kemudian membawa implikasi

bagi penyandang disabilitas yang semakin jauh dari kepastian. Ditambah

lagi ulah pengelola sekolah reguler yang memang dari semula enggan

menerima integrasi penyandang disabilitas di lembaganya selalu merujuk

pada ketiadaan petunjuk teknis dari Depdiknas tentang tata cara integrasi

penyandang disabilitas di sekolah umum11.

Keempat, ketidaksetaraan dalam sektor politik. Hak untuk dipilih

mengatur bahwa orang yang bersangkutan harus mampu berbicara,

menulis, dan membaca Bahasa Indonesia. Persyaratan tersebut memperkecil

kesempatan penyandang disabilitas yang hanya mampu berkomunikasi

dengan bahasa isyarat ataupun braille. Dalam dunia politik, tidak ada

satupun partai yang membuat rencana konkrit bagi perlindungan terhadap

penyandang disabilitas. Dalam Pemilu tahun 2009 berbagai kesulitan

dihadapi oleh para penyandang disabilitas. Salah satunya adalah dengan

kertas suara yang tidak dilengkapi braille bagi kelompok tuna netra.

Terutama bagi tuna daksa, kesulitan mereka adalah dengan tidak adanya

tempat pemungutan suara yang sesuai dengan karakteristik disabilitasnya,

yaitu banyak tempat yang menggunakan tangga, jalannya licin ataupun

papan pencoblosan yang tidak dapat dijangkau oleh kelompok tuna daksa

yang biasanya menggunakan kursi roda.12 Artinya, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum juga telah memuat secara tegas

frase yang memberikan perlindungan dan jaminan agar pemilih kelompok

penyandang disabilitas dapat memperoleh kemudahan untuk menjalankan

hak politiknya baik untuk memilih ataupun dipilih pun gagal dipenuhi.

Sungguh hal yang sangat disesalkan karena hak penyandang

disabilitas dalam penyelenggaraan Pemilu, ternyata belum dihormati

dilindungi dan dipenuhi sebagaimana yang telah ditentukan dalam

11

Saharuddin Daming. 2008. Potret Diskriminasi Penyandang Disabilitas Dalam Layanan Pendidikan. Hal. 2-3 12 Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, Siradj Okta. Op.Cit. Hlm. 22.

Page 58: Naskah Akademis RUU. Fix

56

peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Paradigma perlakuan

publik terhadap hak penyandang disabilitas, secara faktual cenderung

dilecehkan, diremehkan, disia-siakan, diabaikan, bahkan ada yang

dieksploitasi dan dimanipulasi. Prinsip Luber dan Jurdil maupun sifat

independensi, objektifitas dan kemandirian penyelenggara Pemilu,

cenderung dilanggar yang berakibat kualitas penyelenggaraan Pemilu

dirasakan kurang maksimal. Ini berarti esensi tujuan penyelenggaraan

Pemilu pun dengan sendirinya dapat dikatakan belum terwujud.

Dalam hal ini, penyandang disabilitas sebagai warga negara ternyata

sering tidak dapat menggunakan hak politiknya (aktif dan pasif) secara

penuh, utuh dan bermartabat sesuai prinsip Luber dan Jurdil. Fenomena

yang menunjukkan adanya kecenderungan dari paradigma perlakuan

publik yang kurang memberikan ruang keberpihakan terhadap hak

penyandang disabilitas dalam sistem penyelenggaraan Pemilu selama ini

mencakup beberapa hal yaitu biasnya identifikasi kecacatan dalam struktur

pendataan dan pendaftaran pemilih, tidak tersedianya sarana dan fasilitas

kampanye/ pengenalan Parpol yang dapat diakses oleh penyandang

disabilitas, pengadaan logistik serta sarana dan prasarana Pemilu sama

sekali tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas, misalnya tidak tersedia

template (alat penuntun menceblos untuk tunanetra), TPS dibangun di atas

areal yang berumput tebal, becek, berundak-undak, berbatu, berlubang atau

ditempat yang tinggi, bilik suara yang tidak dapat dimasuki kursi roda.

(Edriana Nurdin dkk, 2003: 73)

Berdasarkan laporan dari berbagai pihak khususnya central for

electoral reform (Cetro) maupun dari panitia pemilu akses penyandang

disabilitas (PPUA) terhadap hasil penyelenggaraan Pemilu termasuk Pemilu

legislatif dan eksekutif tahun 2004, diketahui bahwa bentuk pengabaian dan

marginalisasi hak politik penyandang disabilitas dalam sistem Pemilu

mencakup hal-hal sebagai berikut: tidak terjaminnya asas Luber bagi

penyandang disabilitas, karena pemilih tunanetra dalam memberikan

suaranya di TPS, harus didampingi oleh panitia pemilihan, bukan orang

Page 59: Naskah Akademis RUU. Fix

57

yang dipilih sendiri. Ironisnya lagi karena dalam peraturan perundang-

undangan Pemilu ternyata tidak ada sanksi hukum terhadap pihak yang

mengabaikan hak politik penyandang disabilitas yang sudah barang tentu,

semakin memperbesar peluang untuk merekayasa dan memanipulasi suara

oleh pihak-pihak yang berkepentingan. (Cetro, 2005: 12; PPUA, 2005: 7).

Demikian pula hak penyandang disabilitas untuk dipilih sebagai

anggota legislatif atau eksekutif, cenderung dibatasi, dikurangi, dipersulit

atau dihilangkan oleh kalangan publik khususnya pemangku otoritas

dengan memperalat keterbatasan dan kelemahan peraturan perundang-

undangan atau melalui hasil penafsiran yang keliru terhadap peraturan

hukum tentang penyelenggaraan Pemilu. Misalnya seorang Tunanetra

dinyatakan tidak dapat menjadi anggota legislatif selain dianggap tidak

dapat membaca dan menulis huruf latin, juga karena gangguan indra

penglihatan yang disandangnya diasumsikan sebagai bagian dari

pengertian tidak sehat jasmani. Keadaan serupa juga menimpa kalangan

tunarungu yang dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap Berbahasa

Indonesia sungguh pun Caleg dimaksud telah menempuh pendidikan

akademik setingkat S2 dan S3.13

Situasi di atas sangat bertolak belakang dengan penjaminan negara

mengenai hak asasi manusia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999. Peraturan perundang-undang tersebut mengatur bahwa setiap Warga

Negara Indonesia termasuk penyandang disabilitas berhak mendapatkan

kehidupan yang layak serta sesuai dengan hak-hak dasar yang harus

diperoleh sebagai manusia yang bermatabat.

Pasal 41 ayat (2) menyatakan bahwa setiap penyandang disabilitas

memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Kemudahan dan perlakuan

khusus ini bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan penyandang

disabilitas.

13

Saharuddin Daming , 2012. Marjinalisasi Hak Politik Penyandang Disabilitas, Jakarta: Komnas HAM. hal. 42-43

Page 60: Naskah Akademis RUU. Fix

58

Pasal 42 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia lanjut,

cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,

pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk

menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,

meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam

kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kondisi yang terurai di atas merupakan masalah bidang hak asasi

manusia. Sektor perlindungan bagi penyandang disabilitas jelas dibutuhkan

agar tidak timbul pelanggaran dan diskriminasi atas hak hidup penyandang

disabilitas sebagai manusia yang bermartabat.

4. Analisis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyatakan definisi perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi. Berdasarkan hal tersebut, maka negara dan

pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak

dari eksploitasi dan pelantaran, tidak terkecuali anak-anak penyandang

disabilitas.

Secara khusus dalam konteks anak, Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 telah mengatur hal-hal terkait anak penyandang disabilitas yang

meliputi perlindungan khusus, hak atas pendidikan (baik pendidikan biasa

maupun pendidikan luar biasa), kesejahteraan sosial, dan hak untuk

memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai

integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.

Pasal 12 menyebutkan mengenai hak yang diperoleh anak

penyandang disabilitas, dimana mereka berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan. Hak dalam ketentuan

tersebut dimaksudkan untuk menjamin kehidupan sesuai dengan martabat

Page 61: Naskah Akademis RUU. Fix

59

kemanusiaan, meningkatkan kepercayaan diri, dan kemampuan

berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.14

Selain itu, Pasal 70 juga menyatakan perlindungan khusus bagi penyandang

disabilitas melalui upaya:

1. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;

2. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus;

3. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk

mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan

individu; dan

4. Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan

pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan

penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.

Mengenai diskriminasi terhadap anak (secara umum) yang

mengakibatkan anak mengalami kerugian fisik ataupun mental sehingga

terganggu fungsi sosialnya. Namun yang patut disesalkan dalam hal

perlindungan anak dengan disabilitas berdasarkan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hampir tidak begitu menggema.

Sebagian besar jangkauan Undang-Undang tersebut lebih fokus ke dalam

perlindungan anak secara umum. Padahal Undang-undang dimaksud,

nyata-nyata mengatur perlindungan anak dengan disabilitas. Herannya lagi

karena berbagai upaya perlindungan yang dilakukan oleh Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perlindungan Anak maupun

Lembaga Perlindungan Anak yang diselenggarakan oleh masyarakat

hampir tak ada yang menyentuh program perlindungan anak untuk

disabilitas. Tak ayal jika langkah advokasi terhadap perlidungan anak

dengan disabilitas justru diemban sepenuhnya oleh organisasi disabilitas

yang berskala nasional maupun lokal. Kementerian Sosial maupun

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, relatif besar kontribusinya bagi

pemenuhan hak anak dengan disabilitas melalui program dari tupoksi

kedua instansi dimaksud. Semua ini terjadi karena kelemahan peraturan

14 Lihat penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Page 62: Naskah Akademis RUU. Fix

60

perundang-undangan yang tidak mengatur secara tegas pembagian tugas

masing-masing lembaga dan kementerian maupun spesifikasi, advokasi,

dan keberdayaannya.

5. Analisis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung

Pengaturan mengenai bangunan publik telah diatur melalui Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pasal 1 Angka 1

menyatakan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan

konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau

seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang

berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk

hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan

sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Pasal 31 mengatur secara khusus bahwa keharusan bagi semua

bangunan gedung, kecuali rumah tinggal, menyediakan fasilitas dan

aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Fasilitas bagi penyandang

disabilitas, termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya

dalam bangunan gedung dan lingkungannya. Tujuan penyediaan fasilitas

aksesibilitas untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan

bagi penyandang disabilitas. Selain itu, memberikan penjelasan mengenai

pengaturan bahwa aksesibilitas memiliki tujuan untuk menciptakan kondisi

dan lingkungan yang lebih mendukung bagi penyandang disabilitas untuk

bersosialisasi di dalam masyarakat.

Pengaturan tersebut menekankan mengenai pengadaan akses

minimal bagi penyandang disabilitas terhadap ruang publik sebagaimana

dimandatkan oleh Pasal 9 Convention The Right of Person with Disabilities yang

diratifikasi dan diundang-undangkan melalui Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With

Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas secara fisik terhadap fasilitas

Page 63: Naskah Akademis RUU. Fix

61

umum dan infra struktur, bangunan umum, jalan umum, taman dan

pemakaman, dan sarana transportasi.15

6. Analisis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menyatakan Tenaga kerja adalah setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa

baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, yang

di dalamnya termasuk penyandang disabilitas. Apabila kita hubungkan

dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang

menyatakan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh pekerjaan

dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,

pendidikan, dan kemampuannya. Sedangkan Pasal 14 mewajibkan

perusahaan swasta dan pemerintah untuk mempekerjakan penyandang

cacat, maka pengusaha/pemberi kerja wajib mempekerjakan 1 orang

penyandang cacat untuk setiap 100 pekerja yang dipekerjakannya. Ini berarti

terdapat kuota 1% (minimal) bagi penyandang disabilitas untuk mengakses

tempat kerja dan hak ekonominya.

Walaupun undang-undang telah mengatur demikian, namun

terdapat banyak kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di

sektor ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Wuri sebagai seorang penyandang

disabilitas ditolak untuk menjadi seorang pengajar di sebuah universitas

negeri.16 Diskriminasi juga terjadi kepada Lisa, seorang penyandang

disabilitas yang tinggal di Aceh dimana ia ditolak untuk menjadi pegawai

negeri karena statusnya sebagai penyandang disabilitas.17

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja

memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh

15 Lihat Pasal 11-15 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat 16Ethenia Novyanti Widyaningrum. Op.Cit. 17 Kristyan Dwijosusilo. Op.Cit. Hlm.30.

Page 64: Naskah Akademis RUU. Fix

62

pekerjaan. Kemudian dalam Pasal 67 juga diatur secara khusus mengenai

penyandang disabilitas, yang isinya mengatur pengusaha yang

mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan

perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Situasi di atas

menunjukkan bahwa telah terjadi diskriminasi hak penyandang disabilitas.

Diskriminasi tersebut merupakan bentuk pelanggaran dan harus diberi

sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Namun, hingga saat ini belum ada pemberian sanksi pidana atau

administratif terhadap pihak yang melanggar hak penyandang disabilitas.

7. Analisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan

diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai

kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah pusat dan

pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta

menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi.

Pasal 12 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa setiap peserta didik pada

setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, partisipasi siswa dan

mahasiswa penyandang disabilitas jelas dilindungi, berarti mereka bisa

memilih dan menentukan jenis, satuan, jenjang pendidikan yang sesuai

bakat, minat dan kemampuannya sebab dasar penyelenggaraan pendidikan

di Indonesia berorientasi pada demokrasi, berkeadilan dan tanpa

diskriminasi.

Page 65: Naskah Akademis RUU. Fix

63

Untuk memperluas kesempatan dan partisipasi penyandang

disabilitas, khususnya di sektor pendidikan memerlukan suatu pengaturan

pendidikan khusus seperti pendidikan inklusi yang diatur dalam Pasal 5

ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa warga negara yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial

berhak memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menyatakan bahwa program studi

dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus bagi mahasiswa yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan/atau

mahasiswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Selain

pendidikan khusus, program studi juga dapat dilaksanakan melalui

pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran layanan khusus. Oleh

karena itu, dalam merumuskan rancangan undang-undang bagi

penyandang disabilitas ini perlu menjamin kesempatan dan partisipasi

penyandang disabilitas belajar hingga tingkat pendidikan tinggi sehingga

dapat memperkuat penjaminan untuk memperoleh pendidikan tinggi bagi

penyandang disabilitas.

8. Analisis Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa salah satu bentuk

perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi

kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 menyatakan bahwa

tujuan jaminan sosial adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya

kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota

keluarganya.

Pasal 21 ayat (3) tentang jaminan kesehatan, mengatur bahwa peserta

yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh

Page 66: Naskah Akademis RUU. Fix

64

Pemerintah. Kemudian Pasal 35 ayat (a) tentang jaminan hari tua, mengatur

bahwa jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin

agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun,

mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Ulasan di atas menujukkan bahwa sistem jaminan sosial nasional

mempunya sifat yang pro terhadap penyandang disabilitas dalam rangka

untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang

layak.

9. Analisis Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem

Keolahragaan Nasional

Sistem keolahragaan nasional yang diatur dalam, undang-undang ini

didasarkan pada bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

tujuan negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui instrumen

pembangunan nasional di bidang keolahragaan merupakan upaya

meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia secara jasmaniah,

rohaniah, dan sosial dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil,

makmur, sejahtera, dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembinaan dan

pengembangan keolahragaan nasional yang dapat menjamin pemerataan

akses terhadap olahraga, peningkatan kesehatan dan kebugaran,

peningkatan prestasi, dan manajemen keolahragaan yang mampu

menghadapi tantangan serta tuntutan perubahan kehidupan nasional dan

global memerlukan sistem keolahragaan nasional.18

Berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, sama halnya yang

tercantum Pasal 30 ayat (5) dalam Convention on the Rights of Persons with

Disabilities mengenai partisipasi penyandang disabilitas atas dasar

kesetaraan dengan yang lain dalam kegiatan rekreasi, hiburan, dan olah

raga, maka perlu sarana penjaminan agar hak-hak tersebut dapat diperoleh

18 Lihat Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan

Nasional

Page 67: Naskah Akademis RUU. Fix

65

dengan patut dan sewajarnya Penjaminan tersebut dapat berupa

pengawasan yang baik terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Pasal 7

undang-undang ini mengatur bahwa warga negara yang memiliki kelainan

fisik dan/atau mental mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dalam

kegiatan olahraga khusus.

Mencermati Keolahragaan dalam hal pengembangan dan pembinaan

olah raga, maka perlu penjaminan kesempatan pembinaan yang sesuai

dengan kesetaraan dan kekhususnya sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) dan (3)

yang mengatur pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat

dilaksanakan oleh organisasi olahraga penyandang cacat yang bersangkutan

melalui kegiatan penataran dan pelatihan serta kompetisi yang berjenjang

dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional, dan internasional. Serta

pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi olahraga penyandang

cacat yang ada dalam masyarakat berkewajiban membentuk sentra

pembinaan dan pengembangan olahraga khusus penyandang cacat.

Kekhususan yang dimaksud di atas adalah olahragawan penyandang cacat

merupakan olahragawan yang melaksanakan olahraga khusus dan menurut

Pasal 58 ayat (3) bahwa olahragawan penyandang cacat memperoleh

pembinaan dan pengembangan dari organisasi olahraga penyandang cacat.

10. Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

International Covenant on Econimic, Social And Culture Rights (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya)

Konvensi ini mengatur mengenai hak-hak manusia di bidang

ekonomi, sosial dan budaya untuk mendapatkan perlakuan yang layak

secara kemanusiaan. Undang-undang yang meratifikasi konvensi ini bahwa

konvensi tidak bertentangan dengan konstitusi negara Republik Indonesia.

Secara umum konvensi ini terkait pula pada perlindungan hak asasi

manusia. Pengaturan hak asasi manusia yang telah diakomodir melalui

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Page 68: Naskah Akademis RUU. Fix

66

Indonesia Sebagai negara hukum sesuai dengan teori dari F.J. Stahl

bahwa karakteristik negara hukum adalah adanya perlindungan hak asasi

manusia terhadap warga negaranya. Pertimbangan Indonesia meratifikasi

konvensi ini, dapat dikatakan sebagai tindak lanjut dari lahirnya Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam ketentuan konvensi ini untuk memberikan perlindungan hak

bagi setiap rakyatnya dalam menentukan nasibnya sendiri. Serta

memberikan penegasan atas persamaan gender baik laki-laki maupun

perempuan. Bentuk pengawasan dari PBB dicantumkan pula dengan bentuk

kewajiban negara untuk menyampaikan laporan tentang pelaksanaan

konvenan ini.

Perlindungan penyandang disabilitas yang akan diatur dalam

Rancangan Undang-Undangan yang disusun dalam Naskah Akademik ini,

juga mengatur hak-hak asasi manusia. Dengan demikian berdasarkan teori

Fuller yang salah satunya menyatakan bahwa sistem hukum tidak boleh

mengandung peraturan perundang-undangan yang tidak boleh

bertentangan satu sama lain. Pengaturan mengenai perlindungan

penyandang disabilitas yang nantinya akan diatur tidak bertentangan

dengan pengaturan dalam hak asasi manusia maupun konvensi

internasional terkait hak sosial, ekonomi, dan budaya.

11. Analisis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)

Kovenan ini mengukuhkan mengenai pokok-pokok hak asasi

manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal

Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan

penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan ini

dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat

Page 69: Naskah Akademis RUU. Fix

67

dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan dan kebebasan

dasar secara universal dan efektif.19

Sama seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang

Pengesahan International Convenant on Econimic, Social And Culture Rights

(Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya),

secara umum konvensi ini terkait pula pada perlindungan hak asasi

manusia. Pengaturan hak asasi manusia yang telah diakomodir melalui

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Namun, hak-hak yang ada di dalam konvensi ini sering disebut hak-hak

negatif (negative rights), artinya hak-hak dan kebebasan yang dijamin di

dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat

berkurang. Inilah yang membedakan dengan model legislasi International

Convenant on Econimic, Social And Culture Rights yang justru menuntut peran

maksimal negara untuk memenuhi hak dalam konvensi tersebut atau hak

yang demikian itu sering disebut hak-hak positif (positive rights).

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejak kelahiran negara

Indonesia pada tahun 1945, Indonesia telah menjunjung tinggi hak asasi

manusia sebagaimana tertuang dalam sila kedua Pancasila. Sebagai negara

hukum sesuai dengan teori dari F.J. Stahl bahwa karakteristik negara hukum

adalah adanya perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya.

Pertimbangan Indonesia meratifikasi konvensi ini, dapat dikatakan sebagai

tindak lanjut dari lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia maupun ratifikasi. Terhadap International Convenant on

Econimic, Social And Culture Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-

Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya).

Ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dalam International Covenant On

Civil And Political Rights, yakni Non-Derogable dan Derogable Rights. Hak

Non-Derogable adalah hak-hak yang besifat absolut yang tidak boleh

19 Penjelasan bagian umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights

Page 70: Naskah Akademis RUU. Fix

68

dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walaupun dalam keadaan

darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk k edalam jenis ini adalah hak

atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak

bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang, hak bebas

dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, dan hak

atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Sedangkan Hak

Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi

pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Yang termasuk jenis Hak

Derogable adalah hak kebebasan berkumpul secara damai, hak kebebasan

berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, dan

hak kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan

mencari, menerima, dan memeberikan informasi dan segala macam gagasan

tanpa memperhatikan baik tulisan maupun lisan.

12. Analisis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang

Perkeretaapian menyatakan bahwa stasiun kereta api, tempat kereta api

berangkat atau berhenti untuk melayani keperluan naik turun penumpang

minimal dilengkapi dengan fasilitas:

a. keselamatan;

b. keamanan;

c. kenyamanan;

d. naik turun penumpang;

e. penyandang cacat;

f. kesehatan; dan

g. fasilitas umum.

Pasal 131 mengatur ketentuan mengenai penyelenggara sarana

perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi

penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan

orang lanjut usia. Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan tersebut tidak

dipungut biaya tambahan. Dalam bagian penjelasan Pasal 131 menyatakan

Page 71: Naskah Akademis RUU. Fix

69

bahwa fasilitas khusus dapat berupa pembuatan jalan khusus di stasiun dan

sarana khusus untuk naik kereta api atau penyediaan ruang yang

disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi

orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di atas merupakan

upaya-upaya negara dalam memberikan penjaminan aksesibilitas kepada

penyandang disabilitas agar mendapatkan kesempatan dan dapat pula

mempermudah kehidupan penyandang disabilitas yang sebagian besar

hambatan aksesibilitas tersebut berupa hambatan arsitektural, sehingga

penyandang disabilitas tidak kehilangan haknya dalam mendapatkan

pelayanan yang baik sebagaimana hak yang harus diperolehnya sebagai

warga negara Indonesia.

13. Analisis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran menyatakan bahwa perusahaan angkutan di perairan wajib

memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat,

wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang

lanjut usia. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan pemberian fasilitas

khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

dipungut biaya tambahan.

Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang disabilitas,

wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang

lanjut usia dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan

angkutan dengan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan fasilitas khusus

dapat berupa penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana khusus

untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang

disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi

orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.20

20 Penejelasan Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Page 72: Naskah Akademis RUU. Fix

70

14. Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Pasal 134 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan menyatakan bahwa penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-

anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak

memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan

usaha angkutan udara niaga. Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa

perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

sedikit meliputi:

a. pemberian prioritas tambahan tempat duduk;

b. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat

udara;

c. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;

d. sarana bantu bagi orang sakit;

e. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;

f. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat,

lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan

g. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan

bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh

penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya,

penumpang penyandang disabilitas tidak diberikan pelayanan khusus

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 134 ayat (1). Penyandang

cacat sebelum menaiki pesawat harus menandatangani surat pernyataan

bahwa dia orang yang sakit dan pihak maskapai penerbangan tidak akan

bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan pada maskapai itu.21

Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan

ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

yang menyebutkan bahwa penyelenggara diwajibkan memberikan

pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu

(termasuk penyandang disabilitas) sesuai dengan peraturan perundang

21 Kristyan Dwijosusilo. 2010. Loc.Cit.

Page 73: Naskah Akademis RUU. Fix

71

undangan, serta pemanfaatan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas

pelayanan publik dengan perlakuan khusus atau bagi para penyandang

disabilitas dilarang dipergunakan oleh orang lain yang tidak berhak.

15. Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan

Sosial

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi

terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar

hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya. Kemudian dalam Pasal 1 angka 2

menyatakan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial merupakan upaya yang

terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah,

pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan masyarakat

guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang meliputi

rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan

sosial.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 menyatakan

rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan

kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Dalam penjelasan pasal

tersebut menyatakan seseorang yang mengalami disfungsi sosial

diantaranya adalah penyandang disabilitas.

Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009

menyatakan jaminan sosial dimaksud untuk:

“menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar,

penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit

kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan

dasarnya terpenuhi.”

Page 74: Naskah Akademis RUU. Fix

72

16. Analisis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

Definisi Lalu lintas dan angkutan jalan menurut Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan

jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan

jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan serta pengelolaannya.

Mengingat begitu kompleksnya kepentingan lalu lintas dan angkutan jalan

ini maka perlu perhatian khusus terhadap prasarana dan peran transportasi

dalam mewujudkan aksesibilitas yang memperhatikan keselamatan dan

kenyamanan pengguna fasilitas ini, apalagi khusus bagi penyandang

disabilitas.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan ini memiliki spirit yang sama dengan undang-undang yang

telah dijelaskan sebelumnya yaitu sama-sama untuk mewujudkan

kesetaraan di bidang pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-

Undang ini juga mengatur mengenai perlakuan khusus bagi penyandang

disabilitas. Bentuk perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah

berupa pemberian kemudahan sarana dan prasarana fisik atau non fisik

yang meliputi aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan.

Fasilitas khusus itu seperti trotoar yang bisa diakses pengguna kursi roda,

halte atau kedaraan umum yang bisa diakses penyandang disabilitas.

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa

untuk dapat mengemudikan kendaraan bermotor penyandang disabilitas

harus memiliki Surat Izin Mengemudi D. Kemudian Pasal 242 juga memberi

amanat agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau perusahaan

angkutan umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan kepada penyandang disabilitas. Bahkan apabila amanat

tersebut tidak dilaksanakan, Pasal 244 mengatur sanksi bagi perusahaan

angkutan umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan

prasarana pelayanan kepada penyandang disabilitas dapat dikenai sanksi

Page 75: Naskah Akademis RUU. Fix

73

administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan

izin, hingga pencabutan izin.

17. Analisis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan

Publik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

menyatakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk

atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik. Pasal 4 menyatakan bahwa

penyelenggaraan pelayanan publik harus berasaskan kepentingan umum,

kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,

keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif,

keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok

rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Sejalan dengan isi Convention on the Rights of Persons with

Disabilities yang kemudian di sahkan melalui Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2011, pada pembukaan poin (v) yang mengakui pentingnya

aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan,

kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang

memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya

semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Maka Perlu

penjaminan negara terhadap penyandang disabilitas atas penyelenggaraan

pelayanan publik yang merupakan penghormatan asas persamaan atau

tidak diskrimatif bagi penyandang disabilitas.

Asas-asas aksesibilitas yang telah dijelasakan pada bab sebelumnya

dikuatkan kembali dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan

bahwa penyelenggaraan diwajibkan memberikan pelayanan dengan

perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu (termasuk

penyandang disabilitas) sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

Page 76: Naskah Akademis RUU. Fix

74

serta pemanfaatan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik

dengan perlakuan khusus atau bagi para penyandang disabilitas dilarang

dipergunakan oleh orang lain yang tidak berhak.

18. Analisis Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 139 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan

penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat

dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat, serta pemerintah

wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan

memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan

produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 140 menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi

lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138

dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau

masyarakat.

Bidang Kesehatan mempunyai peran peting dalam upaya

pencegahan kecacatan dan intervensi dini kecacatan melalui program

vaksinasi gratis polio, pemberian vitamin A, garam yodium, dan upaya

screening ibu hamil untuk mencegah bayi premature dan disabilitas dengan

technology Health Technology Assesment (HTA) terutama di rumah sakit

besar.22

19. Analisis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan

Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi

Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas diadopsi Majelis Umum

PBB pada tanggal 13 Desember 2006. Konvensi terdiri dari 50 pasal dan

Optional Protocol. Konvensi memuat hak-hak sosial, ekonomi, budaya,

politik dan sipil secara komprehensif. Konvensi Hak-Hak Penyandang

22 Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, Siradj Okta. Op.Cit.. Hlm. 14.

Page 77: Naskah Akademis RUU. Fix

75

Disabilitas menandai adanya perubahan besar dalam melihat permasalahan

kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau gangguan

fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga mereka

yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan sehari-

hari yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lingkungannya.

Pemahaman penyandang disabilitas merupakan istilah dan

pengertian yang lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan istilah

dan pengertian penyandang cacat dalam Undang Undang Nomor 4 tahun

1997 Tentang Penyandang Cacat dan peraturan perundang-undangan

lainnya yang berlaku di Indonesia.

Dengan diratifikasinya Convention on the Rights of Persons with

Disabilities melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Pemerintah

Indonesia harus berupaya memajukan, melindungi dan menjamin

penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara

penuh dan setara oleh semua orang penyandang diabilitas dan untuk

memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada penyandang

disabilitas. Selain itu Pemerintah juga harus menjamin hak-hak penyandang

disabilitas, yakni hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam,

tidak manusiawi, merendahkan martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan

dan perlakuan semena-mena. Hak penyandang cacat lainnya adalah

mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan

kesamaan dengan orang lain termasuk hak untuk mendapat perlindungan

dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian.

B. Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Terkait

Evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk

mengetahui kondisi hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan

terkait. Tujuan diadakan evaluasi terhadap peraturan perundang terkait ini

adalah harmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal. Fuller mengajukan

satu pendapat untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara

Page 78: Naskah Akademis RUU. Fix

76

mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut diletakkannya pada

delapan asas yang dinamakan principles of legality, yaitu:23

a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang

dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar

keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang

demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi

pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut

berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi

waktu yang akan datang.

d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa

yang dapat dilakukan.

g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari.

Menurut Fuller, kedelapan asas yang diajukannya itu sebetulnya lebih

dari sekedar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan

memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang mengandung

suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk menciptakan sistem yang demikian

itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang

tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali.

Prinsip “Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain” paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan.

Sinkronisasi aturan adalah mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan

23 Satjipto Rahardjo. 2010. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 51-52.

Page 79: Naskah Akademis RUU. Fix

77

hukum positif tertulis tersebut telah sinkron atau serasi dengan peraturan

lainnya. Ada dua jenis cara pengkajian sinkronisasi aturan yaitu:24

a. Vertikal

Apakah suatu perundang-undangan tersebut sejalan apabila ditinjau dari

sudut strata atau hierarki peraturan perundangan yang ada.

b. Horizontal

Ditinjau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan

yang mengatur bidang yang sama.

Terkait dengan uraian teori dari Fuller maka dapat dievaluasi dari

beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang berada di atas, bahwa

pengaturan tentang perlindungan penyandang disabilitas yang tertuang dalam

undang-undang penyandang cacat maupun beberapa peraturan perundang-

undangan lain, muatan materinya tidak seluas dengan isi Convention on the

Rights Of Persons With Disabilities.

Pengaturan undang-undang seperti pada uraian sebelumnya telah sejalan

dengan perintah konstitusi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28A,

Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal

28G ayat (1) dan (2), Pasal 28H ayat (2) dan (3), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat

(1), dan Pasal 34 ayat (2). Menelisik sinkronisasi aturan secara vertikal dan

horizontal25 antara undang-undang dengan konstitusi, maka undang-undang

tersebut sejalan dengan norma yang lebih tinggi bahkan yang tertinggi yaitu

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sinkronisasi

secara horizontal pada dasarnya telah sesuai, hanya saja belum sesuai dengan

amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Saat ini masih banyak terjadi perlakuan diskriminatif dan pelanggaran

hak asasi terhadap penyandang disabilitas. Hal tersebut membuktikan bahwa

sanksi hukum belum ditegakkan sebagaimana mestinya. Teori validitas dari

Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang efektif

jika berlaku mengikat serta memberikan kepastian hukum dengan adanya

24 Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 94. 25 Ibid.

Page 80: Naskah Akademis RUU. Fix

78

sanksi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 mempunyai rumusan sanksi,

namun dalam pelaksanaannya tidak efektif karena tidak dapat ditegakkan atau

dilaksanakan.

Page 81: Naskah Akademis RUU. Fix

79

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Pembukaan UUD 1945 pada alinea IV telah mengamanatkan bahwa

“Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi, dan

keadilan sosial”.

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya

mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pada sila ke-5

Pamcasila dan Pembukaan UUD 1945 secara jelas dinyatakan bahwa “Keadilan

Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi salah satu dasar filosofi bangsa,

karenanya setiap warga negara Indonesia tanpa ada pengecualian berhak untuk

memperoleh keadilan sosial yang sebaik-baiknya, termasuk penyandang

disabilitas.

Penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia telah

dijamin UUD 1945 atas hak dan kewajibannya dalam kesamaan kedudukan di

dalam hukum dan pemerintahan, atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan, ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27), atas

kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan

dan tulisan (Pasal 28), untuk hidup serta mempertahankan hidup dan

kehidupannya (Pasal 28A), untuk membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah, hak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (Pasal 28B), untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasar, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari

ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, untuk memajukan dirinya

Page 82: Naskah Akademis RUU. Fix

80

dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan negaranya (Pasal 28C), atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,

untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam

hubungan kerja, untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan (Pasal 28D), untuk memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali, hak atas kebebasan meyakini

kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, hak

atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28E),

untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan

pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28F), atas perlindungan

diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,

hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat

martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (Pasal

28G), untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan, hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan, hak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28

H), bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu (Pasal 28 I), atas kemerdekaan untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

(Pasal 29), ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30),

Page 83: Naskah Akademis RUU. Fix

81

dan untuk mendapat pendidikan, untuk mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31).

Salah satu bentuk komitmen negara terkait upaya penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas adalah sikap

pemerintah Indonesia yang terlibat secara proaktif dalam melahirkan instrumen

HAM bagi penyandang disabilitas. Hal ini ditunjukkan pada 30 Maret 2007,

menjadi salah satu negara penandatangan CRPD. Komitmen negara ini

merupakan sebuah momentum penting untuk meningkatkan harkat dan

martabat penyandang disabilitas.

Harus dipahami bahwa bentuk penghormatan, pemajuan, perlindungan,

pemberdayaan, penegakan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas,

mengacu sepenuhnya pada prinsip Hak Asasi Manusia. Setiap manusia tanpa

terkecuali dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang

memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang

buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam

menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia

memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di

samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki

kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang

dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak

asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah

Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran

terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena

itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk

mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa

kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan

tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Page 84: Naskah Akademis RUU. Fix

82

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara

mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek

sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh

hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban

mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku

bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah.

Dengan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk

menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap

warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi. Kewajiban menghormati

hak asasi manusia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya. Semua ini

merupakan bagian penting dari paradigm rights based yang senantiasa

menjadikan lembaga hak dan kewajiban sebagai titik pangkal dalam kehidupan

berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Penyandang disabilitas sebagai bagian dari umat manusia dan warga

Negara Indonesia, secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan, yang

sama di depan hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, peningkatan peran

serta pemajuan, pemenuhan hak dan kewajiban para Penyandang disabilitas

dalam pembangunan nasional, merupakan hal yang sangat urgen dan strategis.

Apalagi dengan bergulirnya semangat reformasi dan demokratisasi yang

bertumpu pada penguatan sendi-sendi dasar hak asasi manusia, maka

Penyandang disabilitas ditinjau dari optik sosio kultural pada hakekatnya

adalah makhluk sosial yang memiliki dan berpeluang untuk mengekspresikan

potensi bagi kemajuan diri dan lingkungannya. Bahkan penyandang disabilitas

dalam fase tertentu dapat menjadi change of social agent bagi pembangunan di

segala bidang serta berkesempatan untuk tampil mengukir prestasi gemilang

secara multi disipliner.

Penyandang disabilitas tidak mungkin dapat mewujudkan hal itu tanpa

keterlibatan semua pihak, terutama negara dengan segala otoritas dan potensi

yang dimilikinya. Dalam hal ini negara yang sehari-hari diselenggarakan oleh

Page 85: Naskah Akademis RUU. Fix

83

pemerintah bersama badan kelengkapan negara lainnya mempunyai kewajiban

secara hukum dan moral untuk melaksanakan tugas dan fungsi negara, bahkan

harus dapat bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan. Sebagai

instrumen primer dari penyelenggaraan negara, maka pemerintah menurut

Taliziduhu Ndraha, setidaknya mempunyai kewajiban yang lahir dari 3 sumber

yaitu perintah, janji dan status. Perintah harus ditaati, janji harus dipenuhi,

ditepati, dan ditunaikan, dan konsekuensi status adalah kewajiban untuk

berbuat kebajikan bagi warga negara. (Taliziduhu Ndraha, 2003: 90)

Merujuk pada deskripsi tentang, peran, fungsi dan tanggung jawab utama

Negara beserta segenap elemen yang ada didalamnya dimana pada tulisan ini

kesemuanya disebut “paradigma perlakuan publik”, tidak lain adalah

bagaimana publik dapat mewujukan penghormatan, perlindungan, dan

pemenuhan HAM khususnya para penyandang disabilitas. Ini penting sekali

karena dalam era globalisasi yang ditandai dengan makin biasnya batas-batas

budaya dan nasionalitas, hampir di setiap negara, baik negara maju maupun

negara berkembang mulai memahami akan pentingnya keterlibatan terhadap

persoalan HAM. Lebih dari itu, dengan semakin meluasnya liberalisasi dan

demokratisasi politik, makin banyak pula pemerintah khususnya di negara-

negara berkembang berangsur-angsur mengupayakan terciptanya

penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di negeri masing-masing.

Sebab mereka berkeyakinan bahwa bila persoalan HAM tidak diperhatikan

secara serius oleh suatu rezim, bisa menjadikan pergunjingan di antara negara-

negara, bahkan apabila suatu negara terkesan tidak cukup memperhatikan

HAM maka negara tersebut berhadapan dengan konsekwensi pengucilan oleh

dunia Internasional.

Dalam konteks hukum nasional, persoalan penghormatan, perlindungan

dan pemenuhan HAM amat penting terutama bagaimana peran penyelenggara

negara dalam melindungi hak-hak rakyat yang diukur dari sedikit banyaknya

instrumen hukum terhadap persoalan HAM. Hal ini tentunya relevan dengan

penegasan The Vienna Declaration (1993), bahwa:

Page 86: Naskah Akademis RUU. Fix

84

“Human Rights and fundamental freedoms are the birth Rights of all Human

being; their protection and promotion is the responsibility of governments.”

Implementasi konvensi tentang HAM ini penting, mengingat pertama,

untuk mengatasi dan mengakhiri fenomena pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh penyelnggara negara (aparat negara) terhadap masyarakat sipil di berbagai

negara. Kedua, untuk menggalang kerjasama yang bersifat multilateral demi

mencegah, mengatasi dan mengakhiri fenomena pelanggaran HAM baik

langsung maupun tidak langsung yang melibatkan penyelenggara negara

(aparat pemerintah). (M. Afif Hasbullah, 2005: 1-3)

Terjadinya perlekatan kewajiban dan tanggung jawab pada perlakuan

publik khususnya di kalangan penyelengggara negara untuk senantiasa

mengoptimalkan upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM

tidak terkecuali kepada para penyandang disabilitas, adalah karena HAM

bukanlah pemberian dari negara atau elemen insaniah yang bernama apapun,

tetapi HAM adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak ini tidak dapat

diingkari, dicabut, atau dihilangkan karena ia merupakan hak yang melekat dan

menyatu dengan lahirnya manusia. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti

mengingkari keberadaan dan martabat kemanusiaan.

Dalam pandangan agama terutama Islam, manusia dengan segala hak yang

melekat padanya adalah makhluk yang paling mulia dan mengemban tugas

sebagai Khalifah di muka bumi. Firman Allah dalam Al-Qur’anul Qarim:

1. Surah At-Tin : 4

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-

baiknya.”(QS :at-tin: 4)

2. Surah Al –An’am : 165

Page 87: Naskah Akademis RUU. Fix

85

“Dan Dia (Allah) yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di

muka bumi, dan Dia pula meninggikan derajat kemuliaan sebahagian

diantara kamu, untuk menguji kesyukuran atas ni’mat yang diberikan

kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu dapat saja menimpakan azab

seketika, namun sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”. (QS: Al-An’am 165)

3. Surah Hud: 61

“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Nabi Shaleh.

Nabi Shalih yang menyerukan: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-

kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari

bumi (tanah) dan menjadikan tanah itu sebagai sember kemakmuran

bagimu. Sebab itu mohon ampun dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena

sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi Maha Penerima Doa.” (QS: Hud

61)

4. Surah Al Hujurat : 13

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang

paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Mengenal”. (QS: Al-Hujurat: 13)

Page 88: Naskah Akademis RUU. Fix

86

Demikianlah Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia. Atas

dasar prinsip itu, maka setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Islam tidak memberikan hak-hak istimewa bagi seseorang atau golongan

lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun dalam bidang politik, sosial

dan ekonomi. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kehidupan

masyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap elemen bangsa tersebut

mempunyai kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Itulah

sebabnya, Islam menentang segala bentuk praktik diskriminasi, baik

diskriminasi karena keturunan, maupun karena warna kulit, kesukuan,

kebangsaan atau keadaan fisik.

Sabda Rasulullah SAW:

“Dengarlah dan taatilah walaupun yang diangkat menjadi pimpinan atas

kamu itu seorang hamba bangsa Habsy yang kepalanya bagaikan buah

anggur yang kering, selama dia menegakkan Kitab Allah padamu.”

Demikianlah komitmen dasar ajaran Islam yang lahir dan dicetuskan, dua

belas abad sebelum diumumkannya the declaration of independence (Juli 4

1776) yang mengajarkan: that all men are created equal (semua manusia

diciptakan sama), dan tiga doktrin Revolusi Perancis yang terkenal: liberte,

egalite, et fraternite (1798) artinya kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.

Begitu pun hak-hak asasi manusia yang diumumkan PBB pada bulan Desember

1948. (Nasruddin Razak, 1993: 28-29)

Berdasarkan justifikasi filosofis dan religius tersebut di atas, maka

teranglah jika manusia tanpa terkecuali merupakan makhluk yang mempunyai

kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Dibanding dengan makhluk lain,

hanya manusia yang mempunyai kedudukan seperti itu lantaran di dalam

dirinya, melekat seperangkat hak dan kewajiban yang harus dihormati

Page 89: Naskah Akademis RUU. Fix

87

dilindungi dan dipenuhi oleh siapa pun. Dalam konteks formal, organisasi,

negara, pemerintah, atau kelompok apapun mengemban kewajiban untuk

mengakui, menghormati, dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa

kecuali. Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan

dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hal ini tidak lain merupakan amanat dari Universal Declaration of Human

Rights (UDHR) yang ditetapkan majelis umum PBB pada tanggal 10 Desember

1948 di Paris Perancis. Pada bagian mukaddimah UDHR antara lain

dikemukakan:

“Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and

inalienable rights of all members of the human family is the foundation of

freedom, justice and peace in the world,

Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in

barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the

advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech

and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the

highest aspiration of the common people.

Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a

last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights

should be protected by the rule of law,

Whereas it is essential to promote the development of friendly relations

between nations,

Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed

their faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the

human person and in the equal rights of men and women and have

determined to promote social progress and better standards of life in

larger freedom,

Page 90: Naskah Akademis RUU. Fix

88

Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in

cooperation with the United Nations, the promotion of universal respect

for and observance of human rights and fundamental freedoms,

Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the

greatest importance for the full realization of this pledge,

Now, therefore, The General Assembly, Proclaims this Universal

Declaration of Human Rights as a common standard of achievement for

all peoples and all nations, to the end that every individual and every

organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive

by teaching and education to promote respect for these rights and

freedoms and by progressive measures, national and international, to

secure their universal and effective recognition and observance, both

among the peoples of Member States themselves and among the peoples

of territories under their jurisdiction.”

Inspirasi filosofis mengenai bentuk konsepsi dasar HAM sebagaimana

deskripsi di atas. Maka Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah

berupaya dengan berbagai cara untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam

usaha-usaha perlindungan, pemajuan, penghormatan dan pemenuhan HAM.

Hal ini mulai diakomodasi ketika UUD 1945 dirancang dan disahkan mengikuti

proklamasi kemerdekaan NKRI. Dalam perkembangan selanjutnya hal tersebut

dikonkritkan dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) berdasarkan Kepres No. 150 Tahun 1993, disusul ratifikasi

sejumlah instrumen internasional mengenai HAM. Prestasi spektakuler bangsa

Indonesia dalam melembagakan upaya penghormatan, pemajuan dan

perlindungan HAM semakin menajam dengan dimasukkannya konsepsi HAM

dalam UUD 1945 melalui pranata amandemen yang berpuncak pada lahirnya

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Filosofi dasar yang melandasi tekad bangsa Indonesia untuk melakukan

upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM, secara

Page 91: Naskah Akademis RUU. Fix

89

sosio yuridis dapat dilihat pada bagian konsideran UU no. 39 tahun 1999

tentang HAM antara lain dirumuskan sebagai berikut :

a. “Bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia,

oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan

harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan

lingkungannya,

b. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu

harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,

dikurangi atau dirampas oleh siapapun,

c. Bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban

dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap

masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara,

d. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa - bangsa

mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi

dan melaksanakan deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia yang

ditetapkan oleh Perserikatan bangsa- bangsa, serta berbagai instrumen

internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh

negara Republik Indonesia.”

Penegasan yang lebih riil dan konprehensif mengenai paradigma perlakuan

publik untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, terdapat pada

bagian mukaddimah surat keputusan presiden RI no. 40 tahun 2004 tentang

rencana aksi nasional HAM periode 2004-2009 antara lain menegaskan :

1. Bahwa untuk menghormati, memajukan, memenuhi dan melindungi Hak

Asasi Manusia tersebut dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara

berdasar atas hukum, maka pelaksanaannya perlu ditingkatkan,

Page 92: Naskah Akademis RUU. Fix

90

2. Bahwa deklarasi dan program aksi dibidang Hak Asasi Manusia (Vienna

Declaration and Programme Of Action Of the World Conference on

Human Rights) telah diterima pada konferensi dunia mengenai Hak

Asasi Manusia di Wina, Austria pada tanggal 25 Juni 1993

3. Bahwa tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan

Hak Asasi Manusia terutama merupakan kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah, dan untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat,

4. Tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah

untuk melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan

bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

5. Disadari dan diakui bahwa terdapat kelompok masyarakat yang rentan

terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yaitu anak, remaja, wanita,

buruh formal dan informal, manusia lanjut usia, masyarakat adat,

kelompok minoritas, kelompok orang miskin, orang hilang (enforced

dissappearance), pemindahan secara paksa/pengungsi domestik

(internally displaced person), tahanan dan narapidana, petani dan

nelayan terutama penyandang cacat.

Kelompok rentan ini perlu mendapat perhatian serius terutama dalam

bentuk penyediaan perlindungan lebih atau perlakuan khusus sebagaimana

yang dijamin dalam pasal 28 H ayat 2 dan 28 I ayat 2 UUD 1945 maupun dalam

pasal 5 ayat 3, pasal 41 ayat 2, dan pasal 42 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang

HAM.

Pasal 28 H ayat 2 amandemen ke 2 UUD 1945 berbunyi:

“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan.“

Pasal 28 I ayat 2 amandemen ke 2 UUD 1945 berbunyi:

Page 93: Naskah Akademis RUU. Fix

91

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 5 ayat 3 UU Nomor 39 tahun 1999 berbunyi:

“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan

kekhususannya.”

Pasal 41 ayat 2 UU Nomor 39 tahun 1999 berbunyi:

”Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil,

dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan

khusus”.

Pasal 42 UU Nomor 39 tahun 1999 berbunyi:

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik, dan atau cacat

mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan

bantuan khusus atas biaya-biaya negara, untuk menjamin kehidupan

yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan

rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Konsepsi normatif yang menjustifikasi paradigma perlakuan khusus atau

perlindungan lebih bagi penyandang disabilitas sebagaimana dikemukakan di

atas, sebetulnya bukanlah hal baru karena dalam berbagai instrumen

internasional khususnya pada konferensi Wina tanggal 14-25 Juni 1993 telah

mengesahkan pranata perlakuan khusus atau perlindungan lebih sebagai hak dari

kalangan penyandang cacat dalam mengakses fungsi-fungsi publik. Bahkan

dalam Biwako Millenium Un Escape Resolution Nomor 58/4 Tahun 2002 dan

Deklarasi Sapporo Sidang Umum Disabled Peoples International 2002, telah

mencanangkan program aksi bagi penyandang disabilitas dari tahun 2003-2012.

Hal terpenting dari Biwako Millenium dan Deklarasi Sapporo tersebut yang

relevan dengan kajian tulisan ini, terdapat pada strategi pencapaian sasaran, yaitu

pada poin ke-2 dan ke-4.

Page 94: Naskah Akademis RUU. Fix

92

Poin 2 :“Disabled people demand a voice of our own in the

development of this instrument. We must be consulted at all levels on

all matters that concern us”

harus memenuhi berdasarkan standar PBB tentang HAM dan

kecacatan. penyandang disabilitas harus disediakan kemudahan yang

memadai untuk mencapai kemajuan guna mengadvokasi hak-hak

mereka sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut.”

Poin 4 : “We urge all UN member states to support the formulation

and adoption of this convention and to establish a Voluntary Fund to

support the participation of disabled people, in particular from

developing countries”;

Hal terpokok yang diserukan deklarasi tersebut adalah “Pemerintah harus

mengkaji UU dan kebijakan yang telah diambil dan meninjau peraturan

perundang-undangan yang ada untuk melindungi hak-hak penyandang

disabilitas, khususnya untuk menjamin tidak adanya diskriminasi. Pemerintah

juga harus memasukkan definisi khusus yang jelas atas dasar apa adanya

diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. UU dan kebijakan tersebut

Pemerintah harus menjamin bahwa penyandang disabilitas, termasuk ormas-

ormasnya, akan dapat berpartisipasi penuh dalam berbagai arena kegiatan yang

memperjuangkan berbagai peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak-

hak mereka, memantau dan mengevaluasi setiap penerapan peraturan dan

kebijakan tersebut serta merekomendasikan berbagai perbaikan-perbaikan.

Perjuangan dunia dalam mengusung hak-hak penyandang disabilitas agar

terlegitimasi sebagai suatu instrumen hukum tersendiri, akhirnya dapat terwujud

dengan disahkannya konvensi hak penyandang disabilitas (Convention on the

rights of person with disability [CRPD]) nomor 61/ 106 tanggal 13 Desember 2006.

Pada artikel 1 CRPD dinyatakan dengan tegas tujuan konvensi untuk menghapus

diskriminasi serta memposisikan penyandang disabilitas sebagai warga negara

yang berhak hidup secara bebas maju dan bermartabat. Berikut ini rumusan

lengkap artikel 1 CRPD yaitu:

“The purpose of the present Convention is to promote, protect and ensure

the full and equal enjoyment of all human rights and fundamental

Page 95: Naskah Akademis RUU. Fix

93

freedoms by all persons with disabilities, and to promote respect for their

inherent dignity.

Persons with disabilities include those who have long-term physical,

mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with

various barriers may hinder their full and effective participation in society

on an equal basis with others”.

Rangkaian pranata hukum sebagaimana dikemukakan di atas menjadi sarana

legitimasi bagi upaya perjuangan penyandang disabilitas dalam

mengaktualisasikan nilai kehormatan penegakan dan perlindungan hak asasi

yang dimilikinya. Ini penting karena meski dengan kondisi fisik dan atau

intelektual mengalami disfungsi, namun penyandang disabilitas secara

konstitusional merupakan bagian dari warga Negara Indonesia, mempunyai hak

dan kedudukan, yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana

dijamin dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 194526.

B. Landasan Sosiologis

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial

penyandang disabilitas dilakukan dengan mengundangkan Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang kemudian

dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998

tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Kedua

Peraturan perundang-undangan ini merupakan peraturan perundang-

undangan pokok tentang penyandang disabilitas, dan dalam realitasnya

sering dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan dan program yang

berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar

penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang,

dan berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut diantaranya terjadi karena

masih adanya diskriminasi, marginalisasi, isolasi, dan berbagai perlakuan

26

Saharuddin Daming. 2009. Paradigma Perlakuan Negara Terhadap Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Hal. 6-17

Page 96: Naskah Akademis RUU. Fix

94

destruktif lainnya yang disebabkan oleh berbagai hal misalnya, stigma,

stereotype, prejudisme, sikap apriori, sinisme, dan lain-lain serta karena

lemahnya peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini penyandang disabilitas masih sering dipersepsikan dalam

konteks yang sangat destruktif antara lain dianggap sebagai aib dan kutukan.

Stigma tersebut tidak hanya muncul dari kalangan masyarakat awam, tetapi

juga diekspresikan oleh sebagian kalangan intelektual, kalangan agamawan,

kalangan pemegang kebijakan, dan bahkan dari sebagian kalangan keluarga

dari anak dengan disabilitas.

Fenomena marginalisasi Penyandang disabilitas sebagaimana

dikemukakan di atas tampak jelas baik pada kasus penyia-nyiaan,

penelantaran dan eksploitasi Penyandang disabilitas, juga dapat terlihat pada

layanan pendidikan formal yang hingga saat ini masih harus terisolasi dalam

lembaga pendidikan khusus yang eksklusif dan pragmatis.

Bahkan tidak kalah ironisnya adalah karena persoalan kerentanan dan

keterbelakangan Penyandang disabilitas serta upaya pemberdayaannya sampai

saat ini, memang belum pernah menjadi issue strategis dalam program

pemerintah. Dunia LSM domestik dan mitra fundingnya pun tidak pernah

tertarik untuk menyentuh issue Penyandang disabilitas. Padahal kita semua

sangat dapat merasakan bagaimana issue lingkungan, HAM dan lain-lain

berpesta pora dengan curahan perhatian dari berbagai pihak, sementara issue

advokasi dan pemberdayaan Penyandang disabilitas selalu menjadi korban

eksaminasi sebagai hal yang tidak penting atau menduduki urutan paling

rendah dari skala prioritas.

Secara faktual sebagian besar Penyandang disabilitas dewasa ini hidup di

bawah tekanan bayang-bayang ketidakpastian. Betapa tidak karena hak

Penyandang disabilitas sebagai warga negara yang merupakan bagian integral

dari masyarakat Indonesia hingga kini tak diberikan, atau setidak-tidaknya

dibatasi sampai limit tertentu terutama akses di bidang pendidikan dan tenaga

kerja yang masih sarat dengan isolasi, diskriminasi, dan ketidakadilan. Yang

paling parah lagi karena dewasa ini ada kecenderungan segelintir orang

Page 97: Naskah Akademis RUU. Fix

95

memandang dan menilai kondisi Penyandang disabilitas identik dengan “tidak

sehat Jasmani dan Rohani” . Sehingga dengan alasan ini Penyandang disabilitas

tidak memenuhi kualifikasi untuk menggeluti dunia formal.

Singkatnya orang begitu mudah menjustifikasi kedisabilitasan Penyandang

disabilitas untuk menghilangkan kebisaan mereka, buktinya jika ada peraturan

yang membolehkan Penyandang disabilitas dapat berapresiasi dalam suatu hal

dan hanya ada satu yang melarang, maka orang akan lebih cenderung

mengambil yang terakhir sebagai pegangan.

Sinisme seperti itu secara frontal telah mereduksi, mengeleminasi dan

mendekonstruksi political space bagi Penyandang disabilitas. Ada kesan bahwa

sikap dan tindakan otoritas dimaksud seolah-olah ingin memposisikan dunia

formal dengan segala kehormatannya hanya milik orang-orang yang “sehat

jasmani dan atau rohani”. Sehingga kaum Penyandang disabilitas hanya

ditakdirkan menerima nasib sebagai kelompok yang tidak penting dan

haram/tabu memasuki zona formal, terlebih untuk posisi terhormat di negeri

ini.

Paradigma sinisme sebagaimana dikemukakan di atas, jelas akan

menimbulkan implikasi sosial politik yang sangat buruk bagi Penyandang

disabilitas. Publik dalam level tertentu akan cenderung mencemoohkan

Penyandang disabilitas atau pihak lain yang memperjuangkannya untuk

terjun ke pentas formal, sekalipun figur dimaksud eligible dari sudut kapasitas

dan leadershif. Akibatnya tingkat apresiasi publik terhadap Penyandang

disabilitas yang sudah mulai terbangun melalui perjuangan panjang yang

sangat melelahkan selama ini, akhirnya harus buyar dan terdistorsi dengan

sikap sinis dan apriori yang kian melembaga. Ini kemudian berimbas kepada

kaum Penyandang disabilitas sendiri yang secara psikologis menimbulkan rasa

frustrasi dan makin menjamurnya proses marginalisasi serta perasaan

imperioritas kompleks (minder) di kalangan Penyandang disabilitas untuk

menutup diri, bermasa bodoh dan enggan mengadakan hubungan eksternal

yang dianggap kejam, kaku, dan arogan.

Pada bagian lain Penyandang disabilitas kerap diberikan apresiasi dan

Page 98: Naskah Akademis RUU. Fix

96

sanjungan yang kadang-kadang berlebihan hanya pada saat mereka memiliki

kemampuan eksklusif atau dalam suatu keadaan seremonial. Setiap tahun

pemerintah dan mungkin ada dari kelompok masyarakat tertentu yang

memiliki kepedulian sosial bersedia untuk mensuplai sejumlah fasilitas baik

berupa dana maupun natura bagi upaya – upaya pembinaan mereka,

menuju taraf kehidupan yang lebih sejahtera dan mandiri. Namun sayang

karena upaya seperti itu tidak dibarengi dengan tekad untuk memberdayakan

Penyandang disabilitas yang lebih terarah, intensif, menyeluruh, dan

berkelanjutan.

Dari sekian banyak Penyandang disabilitas yang telah direhabilitasi, hanya

sebagian kecil saja yang mampu terakses dalam dunia kerja. Itupun terbatas

pada profesi-profesi informal, semisal Masseur, Pengamen, Konveksi,

Reparator, dan profesi-profesi lain yang relatif kurang bonafit. Penyandang

disabilitas yang potensial untuk mengembangkan bakat, kemampuan dan

minat di dunia formal terutama dalam bidang pendidikan, sering diterima

dengan sikap sinis, sentimen dan sarat dengan sikap apriori. Apalagi jika

Penyandang disabilitas mencoba untuk memasuki jenjang pendidikan formal di

tingkat menengah hingga Perguruan Tinggi maupun lamaran atau promosi

dalam dunia kerja , maka tak ayal lagi oknum pembina dan pengelola lembaga

tersebut kebingungan dan spontan membentuk konspirasi untuk menghambat

dan menghalangi keberadaan Penyandang disabilitas di lembaga

pengabdiannya.

Di negara-negara barat yang konon sangat individualistis seperti :

Skandinavia, Belanda, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat tingkat apresiasi

pemerintah dan masyarakatnya terhadap Penyandang disabilitas sangat

kondusif, mulai dari soal penempatan kerja dan akses pendidikan hingga

sarana umum di negara-negara tersebut semuanya ditata melalui fasilitas

kemudahan atau aksesibiliti bagi Penyandang disabilitas tanpa halangan,

hambatan dan reduksi hak bagi Penyandang disabilitas untuk berekspresi dan

berapresiasi. Fenomena ini sudah banyak diketahui dan disaksikan langsung

oleh sejumlah pejabat dan tokoh intelektual Indonesia.

Page 99: Naskah Akademis RUU. Fix

97

Namun sayangnya karena secara kualitatif, sebagian masyarakat khususnya

kalangan tertentu yang menerima amanah sebagai penyelenggara negara dan

kemasyarakatan di negeri ini tampaknya masih enggan menerima kenyataan

seperti itu dan masih saja membusungkan dada untuk setengah hati menerima

Penyandang disabilitas eksis di kancah formal. Semua ini tidak lain merupakan

refleksi secara berkelanjutan dari sikap sinis, sentimen dan apriori yang

berlebihan terhadap kaum Penyandang disabilitas. Oknum tersebut terus saja

menutup mata hati untuk melihat sekaligus mengambil prakarsa yang intensif

guna mengantar dan mendobrak tatanan kehidupan yang selama ini

memasung integrasi dan pengembangan potensi Penyandang disabilitas di

Indonesia.

Lalu apakah sesungguhnya yang menjadi penyebab sehingga kondisi

Penyandang disabilitas era reformasi dan demokratisasi ini tetap rentan,

terbelakang dan termarginalisasi di emper-emper kehidupan sosial ?

Mungkinkah karena volume usaha untuk mensosialisasikan eksistensi

Penyandang disabilitas itu sendiri masih belum efektif dan memadai atau

proses terhambat dan terhalangnya Penyandang disabilitas melakukan

integrasi sosial yang lebih dini disebabkan oleh faktor internal di kalangan

Penyandang disabilitas itu sendiri yang tidak mampu menunjukkan eksistensi

dan jati dirinya sebagai warga yang patut diperhitungkan? Atau kesenjangan

itu timbul akibat adanya sikap arogansi, sinis, dan apriori terhadap

Penyandang disabilitas sehingga perlu diadakan reintepretasi terhadap makna

kepedulian sosial yang kini nyaris menjadi lalapan nasional? Ataukah karena

strategi dan kebijakan pemerintah yang bersumber dari perundang-undangan

yang menunjang ke arah itu memang tumpang tindih, belum memadai serta

masih banyak yang lain?

Dari hasil pengkajian yang mendalam baik dalam kerangka teoritis

konseptual maupun fakta empiris tentang eksistensi Penyandang disabilitas di

Indonesia hingga kini sebagian besar mengalami stagnasi disebabkan beberapa

hal antara lain:

Page 100: Naskah Akademis RUU. Fix

98

a. Adanya akar budaya masyarakat lokal yang destruktif terhadap eksistensi

Penyandang disabilitas yang berimplikasi kepada terbentuknya opini dan

pola persepsi yang berwujud sikap apriori, sinis dan diskriminatif

terhadapnya yang dalam kenyataan tidak hanya terefleksi di kalangan

awam tetapi juga melanda kalangan intelektual, tokoh masyarakat, dan

decision maker.

b. Secara psiko-sosiokultural, Penyandang disabilitas dan keluarganya

kurang/tidak memahami keberadaan Penyandang disabilitas secara utuh

dan objektif bahkan cenderung skeptis terhadap upaya pemberdayaan dan

kemajuan Penyandang disabilitas.

c. Keberadaan para Penyandang disabilitas umumnya terpencar-pencar di

wilayah pedalaman dan jauh dari sentra-sentra pembinaan pendidikan

baik yang dikelola oleh Pemerintah maupun masyarakat.

d. Terbatasnya sarana dan prasarana serta buruknya menajemen dan kinerja

operasional pengelola lembaga pendidikan khusus/panti rehabilitasi

termasuk sistem pengawasannya. Sistem perencanaan dan evaluasi

pelaksanaan program lembaga dimaksud sarat dengan pragmatisme

birokrasi yang tidak efektif dan tidak efisien serta hanya mengejar target

formal..

e. Adanya sikap dan perilaku tidak terpuji dari segelintir oknum tertentu

yang berpretensi kepada timbulnya praktek eksploitasi Penyandang

disabilitas untuk kepentingan pribadi yang mengatasnamakan

kesejahteraan.

f. Masih rendahnya tingkat kesadaran publik maupun individu khususnya

kalangan dunia usaha, LSM domestik atau asing dan desecion maker

untuk memberdayakan Penyandang disabilitas secara terprogram,

sungguh-sungguh, dan berkesinambungan.

Page 101: Naskah Akademis RUU. Fix

99

g. Kurangnya informasi yang objektif, menyeluruh, dan transparan mengenai

keberadaan Penyandang disabilitas dengan segala masalahnya.

h. Dibakukannya berbagai terminologi yang berimplikasi pada terbentuknya

opini dan image masyarakat dengan paradigma pembinaan Penyandang

disabilitas yang bersifat parsial, khusus, dan eksklusif.

i. Terus dipertahankannya klausul “sehat jasmani” sebagai sarana legitimasi

untuk menghambat, membatasi, bahkan menghilangkan hak Penyandang

disabilitas dalam setiap proses rekruitmen dan promosi dengan asumsi

bahwa kecacatan adalah bagian dari “tidak sehat” .

j. Tidak adanya koordinasi yang bersifat fleksibel dan konstruktif dalam

pembinaan dan pengembangan potensi Penyandang disabilitas akibat

sistem birokrasi yang senantiasa bersandar pada batas kompetensi dan

garis kebijakan instansi masing-masing.

k. Tidak dilibatkannya elemen-elemen Penyandang disabilitas termasuk

Organiasi/lembaga Penyandang disabilitas yang merepresentasikan

komunitasnya secara proporsional dalam penyusunan kebijakan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan kontrol terhadap sistem pembinaan,

pengembangan dan pengelolaan keberdayaan Penyandang disabilitas.

l. Belum adanya komitmen Pemerintah terutama pengambil kebijakan

dimasing-masing instansi sesuai batas kewenangannya yang sungguh-

sungguh, menyeluruh, dan berkesinambungan untuk melibatkan

Penyandang disabilitas dalam menyusun kebijakan terutama di bidang

anggaran dari APBN dan APBD. Tidak heran jika alokasi anggaran

dimaksud pada upaya pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dari

tahun-ke tahun, jumlahnya amat kecil kalau tidak dapat dikatakan tidak

ada sama sekali untuk Penyandang disabilitas.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

disusun dan diterbitkan pada saat minimnya referensi tentang perlindungan

Page 102: Naskah Akademis RUU. Fix

100

hak-hak penyandang disabilitas, baik secara nasional, regional, maupun

global, sehingga secara substantif materi muatan yang terkandung dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 cenderung memiliki pemahaman

tentang penyandang disabilitas yang terbatas. Akibatnya, dengan

perkembangan waktu, undang-undang ini tidak mampu lagi untuk

memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak penyandang disabilitas.

Hal ini terlihat dari beberapa kenyataan, di antaranya Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1997 sangat minim memuat pengarusutamaan dan penghargaan

terhadap hak asasi para penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga

negara pada umumnya. Materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1997 juga sebagian besar tidak sesuai lagi dengan semakin

kompleksnya kebutuhan perlindungan hak penyandang disabilitas.

Masalah lain yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1997 bahwa penyusun Undang –undang tersebut memandang para

penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang utuh namun

justru memposisikan mereka sebagai sebuah objek yang memiliki

kekurangan atau kelainan secara fisik dan mental, yang menyebabkan

penyandang disabilitas tidak dapat melakukan aktivitas atau kegiatan

secara layak. Disabilitas yang disandang seseorang dipandang akan menjadi

penghambat sehingga penyandang disabilitas dinilai tidak dapat melakukan

aktivitas atau kegiatan secara layaknya sehingga membutuhkan proses

rehabilitasi.

Pandangan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat charity based ini

terlihat dari materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang lebih

menitikberatkan kepada upaya-upaya pemerintah dalam memberikan

perlindungan hak penyandang disabilitas pada upaya rehabilitasi,

pemberian bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Setelah 16 tahun penerbitan undang–undang tentang penyandang

disabilitas tersebut, Indonesia telah pula menetapkan berbagai regulasi yang

berkaitan dengan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas

yang pengaturannya dapat melengkapi dan menyempurnakan Undang-

Page 103: Naskah Akademis RUU. Fix

101

Undang Nomor 4 Tahun 1997, di antaranya Perubahan UUD 1945,

pengesahan berbagai konvensi internasional, kesepakatan negara–negara di

tingkat regional, dan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang

berkaitan dengan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Beberapa

pasal dalam perubahan UUD 45, yakni Pasal 28H ayat (2)

menyatakan: ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan”, sedangkan Pasal 28I ayat 2 menyatakan:

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

diskriminatif itu”. Di samping itu, beberapa undang-undang sektoral telah

pula memuat pengaturan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang

disabilitas, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dan beberapa konvensi yang telah disahkan dan memuat

pengaturan yang berlaku untuk penyandang disabilitas, misalnya Konvenan

Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2005), dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005).

Alasan lain pentingnya penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

adalah bahwa Indonesia telah mengesahkan Convention on the Rights of Person

with Disabilities (CRPD) d a n d i t e r b i t k a n n y a Undang- Undang Nomor

19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang

Disabilitas. Konvensi ini berisi pengaturan perlindungan hak-hak penyandang

disabilitas yang lebih luas, lengkap, dan rinci yang dapat dijadikan referensi–

referensi bagi penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pada

akhirnya penggantian Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 diharapkan

akan menghasilkan undang-undang yang menjadi landasan hukum yang

kuat bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak penyandang

disabilitas di segala bidang secara menyeluruh dan terintegrasi.

Page 104: Naskah Akademis RUU. Fix

102

C. Landasan Yuridis

Hukum sebagai seperangkat norma yang mengandung unsur-unsur

perintah larangan serta sanksi, pada hakekatnya diadakan untuk mewujudkan

keteraturan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sebab

sebuah tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa aturan

hukum sudah barang tentu akan melahirkan anarkisme dan ketidakpastian.

Sehingga potensi manusia sebagai zoon politicon akan tercabik-cabik justru

oleh manusia lain yang memiliki otoritas dengan modus “homo homini lupus”.

Itulah sebabnya Indonesia sebagai welfare state modern dalam

membentuk dan menata sistem hukum nasionalnya, senantiasa berupaya

untuk menempatkan kepentingan warga negara dan kekuasaan dalam

keseimbangan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara

lain dirumuskan bahwa negara disusun bukan atas dasar kekuasaan semata

(maachstate) melainkan atas dasar hukum (rechtstate).

Sebagai wujud pengejawantahan dari komitmen the founding fathers

terhadap hak warga negara, maka dalam mukaddimah Undang-Undang Dasar

1945 secara eksplisit disebutkan bahwa negara dibentuk untuk melindungi

segenap rakyat Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia.

Rumusan ini menegaskan fungsi negara sebagai pembela, pengayom dan

pelindung warga negaranya tanpa terkecuali. Bahkan negara berkewajiban

untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa

demi menggapai “Baldatuun, Tayyibatuun Warabbun Gafuur”.

Dalam kepustakaan latin, tujuan negara seperti dikemukakan di atas lazim

disebut : “bonum publicum, common good, common weal”. Paradigma tujuan

esensial pembentukan negara seperti dikemukakan di atas, lebih dipertegas

lagi dalam konsep teoretis dari beberapa pakar ilmu politik dan kenegaraan

kontemporer antara lain:

1. Roger H. Soltau : “the freest possible development and creative self-

expression of its members”( Soltau,1961:253) Dalam hal ini Soltau

berpendapat bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk menjadi

Page 105: Naskah Akademis RUU. Fix

103

wadah bagi setiap orang dalam mengembangkan diri serta

menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.

2. Harold J. Laski : “creation of those conditions under which the members of

the state may attain the maximum satisfaction of their desires”(Harold J

Laski,1947:12) Dalam Hal ini Harold berpendapat bahwa tujuan

dibentuknya negara adalah untuk menciptakan keadaan dimana

rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara

maksimal.

Bertitik tolak dari konsep teoritis tentang tujuan esensial negara seperti

dikemukakan di atas, maka setiap warga negara tidak terkecuali tentu para

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan rakyat dan bangsa

dalam struktur negara yang mempunyai hak untuk menikmati kesejahteraan

dan kebahagiaan. Hal tersebut didasarkan pada prinsip hukum yang sangat

legendaris yaitu : “equal justice under law, equal justice before the law”. Oleh

karena itu, peningkatan peran serta pemajuan pemenuhan hak dan kewajiban

para Penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional, merupakan hal

yang sangat urgen dan strategis. Apalagi dengan bergulirnya semangat

reformasi dan demokratisasi yang bertumpu pada penguatan sendi-sendi dasar

hak asasi manusia, maka Penyandang disabilitas ditinjau dari optik sosio

kultural pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang memiliki dan berpeluang

untuk mengekspresikan potensi bagi kemajuan diri dan lingkungannya. Bahkan

Penyandang disabilitas dalam fase tertentu dapat menjadi change of social agent

bagi pembangunan di segala bidang serta berkesempatan untuk tampil

mengukir prestasi gemilang secara multidisipliner.

Secara historis perjuangan Penyandang disabilitas untuk memperoleh

kesamaan kesempatan dan kedudukan dalam sistem hukum Indonesia, telah

lama dilakukan baik oleh kelompok Penyandang disabilitas sendiri maupun

oleh pembela HAM dan para cendikiawan serta pemerhati masalah Penyandang

disabilitas. Namun kesemuanya baru mulai menampakkan hasil ketika DPR dan

pemerintah melahirkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Page 106: Naskah Akademis RUU. Fix

104

Cacat, yang disusul dengan PP Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.

Dalam kedua paket perundang-undangan dimaksud secara eksplisit diatur

bahwa Penyandang disabilitas mempunyai hak dan kedudukan yang sama

dengan warga negara pada umumnya dalam segala aspek kehidupan dan

penghidupan. Ketentuan tersebut kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang

Dasar 1945 hasil amandemen. Dalam Pasal 28 h ayat 2 berbunyi:

“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Sedangkan pada Pasal 28 i ayat 2 diatur bahwa:

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu.”

Peraturan hukum tentang perlindungan hak Penyandang disabilitas selain

kurang tersosialisasi dengan baik serta tidak ada penegasan sanksi dalam

peraturan pelaksanaannya, juga sering tidak sinkron dengan peraturan hukum

yang lain terutama pada UU N0 43/1999, tentang Kepegawaian, UU N0 13/2003

tentang Ketenagakerjaan, UU N0 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam dunia pendidikan penyandang disabilitas banyak mengalami

masalah meski telah berlaku UU N0 4 tahun 1997 Jo UU No tahun 2003.

Timbulnya aneka masalah seperti itu, selain merupakan kelanjutan dari mitologi

masyarakat yang menempatkan figur kecacatan sebagai atribut kemalangan dan

ketidakberdayaan, hal tersebut juga dipicu oleh kerancuan UU No 4 tahun 1997.

Betapa tidak karena dalam Pasal 11 dan 12 UU ini diatur tentang kesamaan hak

dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memperoleh layanan

pendidikan. Sayangnya karena unsur kesamaan undang-undang ini dalam

layanan pendidikan, lagi-lagi ambivalen, apologi dan hipokrit bahkan sudah

sangat bertentangan dengan filsafat pendidikan kontemporer. Sebab pada

bagian awal Pasal 11 dirumuskan bahwa : “setiap penyandang cacat mempunyai

kesamaan kesempatan”, namun pada bagian akhir pasal tersebut justru terdapat

rumusan yang berbunyi : “sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya “.

Page 107: Naskah Akademis RUU. Fix

105

Kita hampir tidak dapat mengerti bagaimana pembuat undang-undang

yang pada awalnya membuka akses bagi Penyandang Disabilitas untuk

memperoleh layanan pendidikan atas dasar kesamaan hak dan kesempatan.

Lalu bagaimana kesamaan tersebut dapat diwujudkan jika pada pasal yang

sama dikunci dengan kalimat bahwa layanan pendidikan bagi penca, harus

disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya masing-masing. Dalam hal

ini akses penca pada layanan pendidikan sekali lagi masih harus terpilah

berdasarkan jenis dan derajat kecacatan dengan mekanisme yang dibuat

menurut pandangan/selera otoritas pendidikan.

Padahal bukankah unsur yang paling esensial dalam dunia pendidikan

tidak lain adalah unsur intelektualitas. Sehingga sangat wajar jika proses seleksi

penerimaan maupun promosi kenaikan maupun kelulusan dalam sistim

pendidikan ditentukan berdasarkan hasil ujian. Tetapi sungguh hal yang sangat

tidak adil dan melanggar HAM jika tahap penerimaan dan promosi dalam

dunia pendidikan ditentukan atas dasar jenis dan derajat kecacatan,

sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan 12 undang-undang tersebut.

Hal ini terjadi karena mungkin pembuat undang-undang berpendapat

bahwa pengaturan rinci tentang pendidikan yang mencakup pula kepentingan

para penyandang disabilitas dapat dirujuk dalam undang-undang tentang

pendidikan. Naasnya karena UU No. 2/1989 yang kemudian diperbaharui

dengan UU No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, ternyata tidak

cukup mengakomodasi persoalan substansial yang dialami dan dihadapi oleh

penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan.

Dari hasil pemantauan terhadap undang-undang tentang Sisdiknas

disimpulkan bahwa secara prinsipil, tidak ada yang baru dan berbeda dengan

paradigma pendidikan formal bagi disabilitas dimasa lalu. Dalam Pasal 5 ayat

(2) UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS diatur bahwa :”warga Negara yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak

memperoleh pendidikan khusus”. Hal serupa juga tertuang pada Pasal 32 ayat

(1) yang antara lain berbunyi : ” Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi

Page 108: Naskah Akademis RUU. Fix

106

peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,……….”. Rumusan

tersebut menunjukkan bahwa undang-undang Sisdiknas yang baru rupanya

masih terjebak dalam konstalasi dialektika antara sekolah regular dengan

sekolah luar biasa.

Padahal sudah sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa polarisasi

yang mendikotomikan antara sekolah khusus dan sekolah umum bagi peserta

didik kalangan disabilitas, lebih banyak membawa mudhorat dari pada manfaat,

baik bagi pemerintah terlebih lagi bagi disabilitas sendiri. Sebab dengan cara

seperti itu, setiap tahun pemerintah menyediakan anggaran untuk membangun,

memelihara dan mengoperasikan SLB dengan jumlah yang hampir sama banyak

dengan jumlah kabupaten/kota di tanah air, hal mana sampai detik ini tak

pernah dapat diwujudkan. Sehingga sebagian besar SLB dimaksud tidak efektif

menjalankan visi dan misi pendiriannya. 27

Persoalan lain yang turut memperparah keterpurukan penyandang disabilitas

adalah masalah ketenaga kerjaan. Secara yuridis, hak Penyandang Disabilitas dalam

dunia ketenagakerjaan sebenarnya dijamin dalam berbagai peraturan perundang-

undangan, mulai dari UU N0 4 tahun 1997 maupun UU tentang ketenagakerjaan

sendiri, hanya sangat disesalkan karena unsur-unsur pengaturan tentang tenaga kerja

disabilitas dalam UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, selain ternyata amat

sedikit juga rumusannya adalah hasil duplikasi dari UU N0 4 tahun 1997. Dalam

Pasal 14 UU tersebut dirumuskan bahwa : " Perusahaan Negara dan swasta

memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada Penyandang Disabilitas

dengan memperkerjakan diperusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan,

pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah

karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan".

Persoalan krusial yang muncul pada ketentuan tersebut adalah karena pihak

yang diwajibkan untuk memperkerjakan disabilitas hanyalah lingkungan kerja yang

berbentuk perusahaan baik perusahaan negara maupun swasta. Sedangkan unit kerja

yang tidak berbentuk perusahaan seperti Departemen, Badan, kantor pemerintah di

27

Saharuddin Daming, Pembangunan Berbasis Disabilitas, 2005 :42-43)

Page 109: Naskah Akademis RUU. Fix

107

pusat maupun di daerah tidak termasuk pihak yang dilekati kewajiban menurut

undang-undang ini. Tidak heran jika cukup banyak disabilitas yang harus kecewa

dan terpental kesemutan akibat sengatan pasal tersebut yang sengaja dijadikan pagar

oleh otoritas unit kerja pemerintah non company untuk menahan animo dan laju

disabilitas bernafkah di instansinya .

Jika ada upaya untuk menempuh jalur hukum dengan dalil instansi

pemerintah non company menolak tenaga kerja Penca dan melanggar Pasal 14 UU No

4 tahun 1997, maka putusan pengadilan hampir dapat dipastikan akan memenangkan

tergugat. Keadaan tersebut sangat bisa dipahami mengingat kuatnya pengaruh aliran

positifis dan legis dihampir seluruh pengambil keputusan di Indonesia termasuk para

fungsionaris hukum. Sebab bagi kaum positifis dan legis, hukum tidak lain adalah

apa yang tertulis dalam peraturan. Jika ketentuan telah mengatur bahwa pihak yang

wajib memperkerjakan disabilitas adalah perusahaan negara dan swasta, maka kaum

legis dan positivis mengharamkan penafsiran yang menambah apalagi memperluas

makna selain yang tersebut dalam undang-undang. 28

Tak dapat di pungkiri jika rangkaian persoalaan seperti tersebut di atas,

terjadi karena kelemahan UU No 4 tahun 1997. Kelemahan itu mencakup persoalan

substansi maupun terminologi Berikut ini disajikan beberapa poin dari fakta

kelemahan UU No 4 tahun 1997.

- Kesamaan Hak Dan Kesempatan

Pada poin 3 Pasal 1 dirumuskan : “kesamaan kesempatan adalah keadaan

yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan

kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan“. Cakupan

makna kesamaan kesempatan sebagaimana tersebut di atas, terlalu umum dan tanpa

disertai tekanan dan penegasan. Hal ini menimbulkan konsekwensi yuridis pada UU

N0 4 tahun 1997 untuk diposisikan sebagai ketentuan yang bersifat umum. Dengan

asas “lex spesialis derogate legi generale”, maka ketentuan seperti itu akan selalu

dikalahkan prioritas keberlakuannya dengan ketentuan yang berkedudukan sama

maupun lebih rendah kedudukannya tetapi mengatur hal yang bersifat khusus.

28

( Saharuddin Daming, Pembangunan Berbasis Disabilitas, 2005: 53-54)

Page 110: Naskah Akademis RUU. Fix

108

Kerancuan lain juga terlihat pada perkataan “memberikan” dan “untuk

mendapatkan kesempatan yang sama”, pada perkataan pertama, pembuat undang-

undang membangun konfigurasi sub ordinatif antara pihak pemberi yaitu otoritas

dan pihak penerima yaitu Penyandang disabilitas. Selain bertentangan dengan

prinsip kesederajatan dan kesamaan yang akan dibangun hal tersebut juga

mengingkari eksistensi kesamaan kesempatan sebagai hal yang melekat (inheren)

pada diri setiap orang termasuk Penyandang disabilitas. Sebab bukankah perkataan

“memberikan” terkandung makna jika hal tersebut tidak dari semula ada dalam diri

Penyandang disabilitas sehingga perlu diberikan sebagaimana yang pernah

dipraktikkan dalam sistim otoritarianisme totaliter.

Sedangkan pada perkataan kedua menempatkan kesamaan kesempatan

sebagai tujuan, ini diperkuat dengan “perkataan untuk” dan ”mendapatkan”

dimana kata yang disebut terakhir merupakan turunan dari “dapat” mengandung

makna fakultatif. Seharusnya posisi kesamaan hak tidak lagi sebagai tujuan, tetapi

diformulasikan sebagai hal yang harus terjadi dan dilaksanakan.

Namun yang lebih aneh lagi adalah perkataan “peluang” yang tidak lain

adalah sinonim dari kata kesempatan. Sebagaimana yang telah dimaklumi bersama

bahwa pendefenisian sebetulnya bukanlah mencari sinonim suatu istilah kata

melainkan membuat jelas obyek pendefenisian melalui uraian unsur-unsur yang

mencakup makna istilah/kata yang didefenisikan. Dengan demikian mengulangi

obyek yang didefenisikan dalam unsur uraian sebagaimana berulangnya kata

“kesempatan yang sama” sangat mubazir, dangkal dan menyalahi kelaziman

pendefenisian, sampai disini kesamaan kesempatan menurut undang-undang

menjadi kabur, tidak pasti dan menghidupkan kembali pertentangan kelas.

Secara sosio politis, lembaga kesamaan hak yang tergali dari istilah “equality

of rights” sebenarnya hanya cocok diterapkan untuk heterogenitas kelompok yang

berkedudukan simetris. Artinya dua kelompok komunitas atau lebih yang melekat

perbedaan semata-mata karena faktor non disabilities seperti kelompok minoritas

etnis, agama, ras, atau klas ekonomi tertentu, maka prinsip kesamaan hak menjadi

pilihan yang sangat strategis untuk menghilangkan atau setidaknya memperkecil

kesenjangan yang terjadi. Disebut perbedaan simetris karena kelompok-kelompok

tersebut pada hakekat sama dari sudut kemampuan bahkan kebutuhan. Unsur

Page 111: Naskah Akademis RUU. Fix

109

pembedanya hanyalah karena faktor lingkungan sosial keyakinan atau faktor

biologis. Sehingga untuk menghilangkan atau memperkecil diskriminasi atau

ketidaksamaan negatif, maka biasanya menempuh pendekatan sosio politik yang

dijustifikasi melalui penegasan hukum tentang pelarangan diskriminasi. Disini tidak

diperlukan peralatan atau sentuhan teknologi yang bersifat khusus untuk

menghilangkan atau memperkecil kesenjangan terjadi.

Akan tetapi prinsip kesamaan hak dimaksud tentu saja menjadi rancu dan

tidak rasional jika diterapkan pada dua hal atau lebih dengan unsur pembeda yang

asimetris. Misalnya Penyandang disabilitas yang secara fisik tidak akan pernah

bisa sama dengan non disabilitas. Karena dari semula unsur kemampuan untuk

melakukan aktifitas sebagaimana kemampuan setiap orang dalam ukuran normal

memang telah mengalami disfungsi. Agar keadaan tersebut dapat tetap optimal

hingga menyamai tingkat kemampuan normal bahkan lebih, maka bukan hanya

pendekatan sosio politik dan penegasan hukum untuk menghapus diskriminasi

sebagai cara memperkecil kesenjangan Penyandang disabilitas perlu memperoleh

rehabilitasi dan bantuan peralatan dan sentuhan teknologi yang disesuaikan dengan

karakteristik tantangan kedisabilitasan dan kebutuhan memulihkan fungsi hingga

mencapai kemampuan normal atau lebih.

Dari sudut aktualitas istilah kesamaan hak, sebenarnya sudah ketinggalan

jaman karena dalam perkembangan hukum dewasa ini khususnya yang terkait

dengan persoalan perlindungan HAM, tidak terkecuali dalam sistim hukum kita

telah mengintrodusir pranata hukum baru dengan istilah : “perlindungan lebih”. Hal

ini dapat kita jumpai pada UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Pasal 5 ayat 3 berbunyi:

“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan

kekhususannya”.

Pasal 41 ayat 2 berbunyi:

“Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan

anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus”.

Page 112: Naskah Akademis RUU. Fix

110

Istilah perlindungan lebih maupun perlakuan khusus bagi kelompok

masyarakat rentan merupakan istilah yang tergali dari istilah dalam Bahasa Inggris

yaitu preferential treatment sebagaimana yang dikutip dalam buku Bryan A.

Gardner:

“Preferential treatment of minorities, usually through affirmative action

programs, in a way that adversely affects members of a majority group”.

(1999: 480)

Dalam mengklasifikasi HAM, Natan Lerner menyebut istilah right to special

measures, (1991: 34) yang maknanya tidak lain adalah hak atas perlakuan khusus.

Setelah Melalui proses pengkajian komprehensif dan intensif, maka istilah tersebut

akhirnya masuk dalam berbagai instrumen hukum internasional antara lain tertuang

pada artikel 10 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

Resolusi No. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 49, U.N. Doc. A/6316

(1966), 993 U.N.T.S. 3, entered into force Jan. 3, 1976.

Pada ayat 2 berbunyi:

“Special protection should be accorded to mothers during a reasonable

period before and after childbirth. During such period working mothers

should be accorded paid leave or leave with adequate social security

benefits.”

Pada ayat 3 berbunyi:

“Special measures of protection and assistance should be taken on behalf of

all children and young persons without any discrimination for reasons of

parentage or other conditions. Children and young persons should be

protected from economic and social exploitation. Their employment in work

harmful to their morals or health or dangerous to life or likely to hamper their

normal development should be punishable by law. States should also set age

limits below which the paid employment of child labour should be prohibited

and punishable by law”.

Variasi lain dalam melembagakan istilah pelayanan khusus bagi kelompok

masyarakat tertentu, dirumuskan dengan istilah special care sebagaimana dijumpai

pada artikel 25 ayat 2 pada UDHR yang berbunyi:

Page 113: Naskah Akademis RUU. Fix

111

“Motherhood and childhood are entitled to special care and

assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy

the same social protection”.

Dalam artikel 22 Konverensi Wina A/CONF.157/ 23 tertanggal 14 sampai 25

Juni 1993 menggunakan istilah Special attention needs, sebagai cikal bakal lahirnya

istilah kelompok berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perlindungan lebih

atau perlakuan khusus. Hal tersebut selengkapnya berbunyi:

“Special attention needs to be paid to ensuring non-discrimination,

and the equal enjoyment of all human rights and fundamental

freedoms by disabled persons, including their active participation in

all aspects of society”.

Frase “special needs” yang banyak disebut sebagai istilah terpopuler untuk

menggantikan istilah penyandang disabilitas di Indonesia, terdapat pada artikel 23

konverensi Wina A/CONF.157/ 23 tertanggal 14 sampai 25 Juni 1993 yang

selengkapnya berbunyi:

“Primarily through the preferred solution of dignified and safe

voluntary repatriation, including solutions such as those adopted by

the international refugee conferences. The World Conference on

Human Rights underlines the responsibilities of States, particularly as

they relate to the countries of origin”.

Dalam preambul point (j) international convention on the rights of person

with disability, resolusi PBB No. 61/106 tertanggal 13 Desember 2006 istilah

perlindungan lebih bagi penyandang disabilitas dirumuskan dengan frase: “more

intensive support”. Hal tersebut selengkapnya berbunyi:

“Recognizing the need to promote and protect the human rights of all

persons with disabilities, including those who require more intensive

support”.

Hadirnya istilah-istilah seperti yang dikemukakan di atas, bukanlah

berpretensi untuk menciptakan eksklusifitas atau pengistimewaan maupun

pemanjaan bagi disabilitas. Pelembagaan terminology tersebut lebih disebabkan

karena pertimbangan keberpihakan, kepedulian, semua pihak untuk

Page 114: Naskah Akademis RUU. Fix

112

mengkompensasi kekurangan, keterbatasan fisik dan atau intelektual penyandang

disabilitas agar dapat beraktifitas dan atau bermobilitas secara penuh optimal tanpa

hambatan. Hal ini juga dikemukakan sendiri oleh Bryan Gardner sebagaimana

tersebut diatas bahwa perlakuan khusus bagi kelompok minoritas, merupakan

bentuk affermatif action terhadap kelompok masyarakat rentan khususnya

Penyandang disabilitas .

Hal ini ditempuh karena amat disadari jika Penyandang disabilitas dalam

tingkat dan keadaan tertentu, sulit atau tidak dapat melakukan ekspresi dan

apresiasi secara optimal hanya dengan bersandarkan pada prinsip kesamaan hak.

Kalau tidak dengan politik diskriminasi seorang yang terbedakan secara simetris

tidak akan terhalang untuk mengikuti proses ujian dengan cara membaca atau

menulis sebagaimana peserta lainnya dari para kerabat elit atau otoritas. Tetapi

seorang yang terbedakan secara asimetris seperti tunanetra total betapapun

cerdasnya tentu tidak akan dapat mengikuti proses ujian jika harus membaca dan

menulis persis sama dengan peserta lainnya dari kerabat para elit atau otoritas.

Disinilah makna kesamaan hak menjadi bias dan disini pulalah istilah perlindungan

lebih menjadi sangat urgen.

-Kesejahteraan Sosial

Pada poin 5, 6 dan 7 Pasal 1 undang-undang ini secara eksplisit didefenisikan

tentang rehabilitasi, bantuan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pencantuman ketiga hal tersebut, selain terkesan mubazir karena diatur lebih rinci

dalam Bab V mulai dari Pasal 16 – 22, juga mengandung pretensi yang sangat jelas

tentang adanya “dominus litis” dari departemen tertentu dalam pemerintahan atas

undang-undang ini. Sungguh hal yang tak dapat dipungkiri jika substansi tersebut

secara ideologis merupakan atribut terpenting dari Departemen Sosial mengingat

istilah “rehabilitasi sosial dan bantuan sosial” merupakan unit teknis instansi ini baik

di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.

Dengan demikian peraturan tersebut secara implisit mengisyaratkan

penyelenggaraan upaya pembinaan kesejahteraan Penyandang disabilitas , hanya

menjadi tanggung jawab Departemen Sosial. Bahkan UU N0 4 tahun 1997 hampir

Page 115: Naskah Akademis RUU. Fix

113

lebih dapat disebut sebagai undang-undang Depsos dari pada undang-undang

Penyandang disabilitas. Apalagi dengan PP No. 43/1998 terutama pada penjudulan,

tidak dapat memungkiri kenyataan jika hal tersebut memang lebih konsen mengatur

tentang Depsos.

Harus diingat bahwa persoalan Penyandang disabilitas, tentu tidak hanya

menyangkut kesejahteraan sosial sebagaimana variabel terpenting pada judul PP

dimaksud. Tetapi kebutuhan Penyandang disabilitas dewasa ini justru, lebih besar

pada aspek perlindungan hak di bidang politik, ekonomi, Hankam, Sosbud, hukum,

dll. Kenyataan membuktikan jika bidang-bidang kehidupan strategis seperti itu, tak

cukup diatur dalam PP. Bahkan unsur yang paling dominan dalam UU tersebut

tidak lain adalah hal-hal yang selama ini memang menjadi tugas utama Depsos.

Sehingga sangat beralasan jika keberadaan kedua paket peraturan tersebut lebih

menguntungkan Depsos dari pada Penyandang disabilitas .

- Landasan Dan Tujuan

Pada Bab II undang-undang No 4 tahun 1997 mengatur tentang landasan,

asas dan tujuan, yang kesemuanya makin menguatkan keyakinan jika undang-

undang tersebut sungguh-sungguh dibuat hanya sebagai lips service dan pajangan

hukum semata. Sebab jika benar upaya perlindungan hak Penyandang disabilitas

menurut undang-undang ini diselenggarakan atas landasan Pancasila dan UUD

1945, lalu mengapa penyelenggara negara sendiri masih sering melakukan berbagai

tindakan diskriminasi dan ketidakadilan kepada Penyandang disabilitas . Padahal

bukankah “Pancasila” mulai dari sila pertama, kedua dan ketiga yang dijabarkan

lebih konkrit lagi dalam Pasal 26, 27, 28, 31, 32 dan 34 UUD 1945 telah menjamin hak

warga negara termasuk penyandang disabilitas.

Jika ditelaah secara seksama, pencantuman Pancasila dan UUD 1945 sebagai

landasan hukum undang-undang ini, juga lagi-lagi merupakan hal yang sangat

mubazir. Selain karena hal tersebut sudah dimuat di bagian konsideran yuridis, juga

sudah merupakan hal yang mutlak sebagaimana tersebut pada TAP MPR No. 3

tahun 2000 junto UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan. Yang secara eksplisit menyebutkan bahwa penyusunan

Page 116: Naskah Akademis RUU. Fix

114

peraturan perundang-undangan harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tanpa

perlu dimuat dalam batang tubuh.

Secara ideologis undang-undang ini sangat berani mengadopsi unsur-unsur

yang mengintegrasikan antara nilai-nilai komunal dan liberal, maupun nilai-nilai

“religi dan costumeri law” masyarakat Indonesia. Hal ini tampak pada Pasal 3

yang antara lain berbunyi : “upaya pembinaan kesejahteraan Penyandang

disabilitas, dilakukan dengan asas keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, manfaat, kekeluargaan, adil, merata, keseimbangan, keserasian dan

keselarasan dalam perikehidupan, hukum, kemandirian, ilmu pengetahuan dan

tehnologi “.

Jika substansi pasal tersebut dihubungkan dengan layar yang menampilkan

deskripsi keberadaan Penyandang disabilitas pasca keberlakuan undang-undang

tersebut, maka disatu sisi kita mungkin bisa tertawa lebar bukan lantaran

terpenuhinya kepuasan atas hasil yang dicapai. Tetapi lebih karena redaksi

ketentuan tersebut tampak seperti badut yang lucu dan menggelikan.

Sebagai contoh dapat ditemukan pada kasus penolakan sejumlah

penyandang tunanetra untuk melanjutkan pendidikan formal pada tingkat

Perguruan Tinggi ditanah air. Ironisnya karena hal itu justru dilakukan IAIN

Jakarta, Makassar, Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Padahal berbicara tentang

soal keimanan, ketaqwaan, kekeluargaan dan segala apa yang disebut pada Pasal 3

semuanya merupakan rutinitas kehidupan lembaga tersebut sehari-hari.

Pada sisi yang lain formulasi ketentuan seperti itu mengundang keprihatinan

sekaligus kedongkolan. Betapa tidak karena sudah hampir sepuluh tahun undang-

undang tersebut diberlakukan, tangis sebagian besar Penyandang disabilitas masih

sering terdengar, akibat masih gentayangannya drakula yang tega memperkosa hak

Penyandang disabilitas dengan berbagai justifikasi.

Sampai disini, tujuan perlindungan hukum Penyandang disabilitas

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 betul-betul menjadi makhluk utopis yang sulit

dicapai padahal secara philosofis dan sosiologis tujuan keberadaan Penyandang

disabilitas sebenarnyan bukan hanya pada aspek kemandirian dan kesejahteraan,

Page 117: Naskah Akademis RUU. Fix

115

tetapi juga mencakup aspek kesederajatan, harkat dan martabat serta keterlibatan

dalam segala bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

-Aksesibilitas

Dalam Bab III undang-undang ini diatur mengenai hak dan kewajiban

Penyandang disabilitas. Pada unsur hak undang-undang ini memang menyebutkan

secara eksplisit substansi tentang “equal justice under law and equal oportunity for

all” sebagaimana yang tertuang pada Pasal 5 yang berbunyi : “setiap penyandang

cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan“.

Hanya sangat disesalkan karena penegasan rinci tentang hak Penyandang

disabilitas dalam batang tubuh undang-undang ini, ternyata hanya mencakup soal

pendidikan, tenaga kerja, rehabilitasi, bantuan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan

sosial serta aksesibilitas. Sedangkan hak fundamental lainnya seperti hak agama,

kesehatan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan,

keamanan, olahraga, rekreasi, informasi dll ternyata hanya disebutkan pada bagian

penjelasan.

Meski secara konsepsional dipahami bahwa antara mukaddimah, batang

tubuh dan penjelasan sebuah peraturan hukum merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan, namun sudah merupakan kelaziman jika bagian batang tubuh selalu

memperoleh kedudukan yang lebih utama daripada penjelasan. Selain itu ketentuan

dalam batang tubuh umumnya mempunyai ketentuan yang bersifat konkret,

kontinuitas dan koneksitas dalam ketentuan tersebut maupun ketentuan lain.

Sedangkan penjelasan, tak lebih hanya sekedar penerang dari ketentuan pokok.

Tidak heran jika hampir sebagian besar hak-hak fundamental seperti hak

politik, hukum dan segala yang hanya disebut dalam bagian penjelasan kurang dan

tidak dapat diadvokasi atas dasar Undang-Undang No. 4/1997. Bahkan ke enam

hak yang diatur secara eksplisit dalam batang tubuh undang-undang ini, ternyata

juga mengalami nasib yang tidak berbeda dengan hal yang disebut pertama. Contoh

terbesar adalah soal aksesibilitas yang sekalipun sudah diback up dengan Undang-

Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan/Gedung, junto PP No. 36 tahun 2005

Page 118: Naskah Akademis RUU. Fix

116

tentang Penyelenggaraan Bangunan Gedung serta berbagai peraturan yang bersifat

teknis, nyatanya hal tersebut belum dapat terealisasi.

Dari beberapa hasil observasi yang dilakukan terhadap penyediaan sarana

aksesibilitas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini, semuanya tiba

pada kesimpulan bahwa hal tersebut hanya dicapai sebesar 0,03% yang kalau

dibulatkan sama dengan 0 %. Celakanya karena pelanggar terbesar atas ketentuan

tersebut justru adalah bangunan/gedung milik pemerintah sendiri termasuk gedung

Departemen Sosial yang konon menjadi leading sektor penyusunan undang-undang

ini.

Padahal dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) diatur antara lain bahwa

“penyediaan aksesibilitas, diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat

dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan“ dengan

demikian kesangsian banyak kalangan yang menilai substansi undang-undang ini

sarat dengan ungkapan basa-basi, kamuflase, apologi dan hipokrit ternyata

bukanlah sekedar tudingan. Karena dengan optik sederhana, kita dapat

menyaksikan dengan telanjang bagaimana para aktor di balik layar ini dapat

memainkan peran dan atraksi ambivalen dan paradoksal.

Persoalan krusial di balik pengaturan hak Penyandang disabilitas dalam

undang-undang ini adalah karena UU No 4 tahun 1997 sama sekali tidak mengatur

tentang hak Penyandang disabilitas untuk memperoleh pelayanan khusus sebagai

hal untuk mewujudkan kesamaan dan keadilan baginya yang mengalami keadaan

khusus. Ini penting karena dengan keadaan disabilitas yang disandang seseorang

terutama untuk jenis dan derajat kecacatan tertentu sulit sekali menikmati aspek

kesamaan hak dan kesempatan tanpa ketersediaan layanan khusus baik yang

berbentuk aksesibilitas maupun dalam bentuk kebijaksanaan/kearifan seperti

dispensasi yang bersifat pengurangan atau penambahan syarat yang memungkinkan

kesulitan Penyandang disabilitas dapat diatasi. Padahal dalam TAP MPR

No.XVII/1998 dan Undang-Undang No.39/1999 tentang HAM sebagai paket

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, justru mengatur hal tersebut

secara eksplisit, lalu mengapa Undang-Undang No. 4/1997 yang secara spesifik

mengatur tentang Penyandang disabilitas, malah tidak ada sama sekali.

Page 119: Naskah Akademis RUU. Fix

117

Seperti diketahui bahwa setiap orang dalam penciptaannya, tidak ada yang

persis sama walau dalam keadaan kembar sekalipun. Setiap orang masing-masing

mempunyai tantangan hidup dan kebutuhan yang berbeda-beda. Demikian pula

Penyandang disabilitas yang lahir dalam keadaan fisik dan atau

intelektual/mental yang kurang/tidak dapat berfungsi dalam batas normal, sudah

barang tentu mempunyai tantangan hidup yang relatif berat dari orang pada

umumnya.

Agar Penyandang disabilitas tidak larut dalam keterbatasan dan

kekurangannya, maka kemampuan/potensi yang masih tersisa di kalangan

Penyandang disabilitas perlu dioptimalkan baik melalui rehabilitasi dan

pendidikan, maupun penyediaan aksesibilitas. Hal yang disebut terakhir bertujuan

untuk menghilangkan atau memperkecil halangan atau hambatan akibat kecacatan

dalam berekspresi dan berapresiasi.

Itulah sebabnya, dalam pelaksanaan pembangunan terutama dalam bentuk

sarana fisik, maka rancangan konstruksi dan arsitekturalnya harus senantiasa

bersinergi dengan kondisi para penggunanya tidak terkecuali Penyandang

disabilitas. Hal tersebut secara teknis yuridis telah diatur dalam UU No 4 tahun 1997

maupun UU No. 28/2002 tentang bangunan gedung dan peraturan pelaksanaannya.

Namun amat disesalkan karena basis pelaksanaan pembangunan selama ini

dirasakan sangat bias dalam memenuhi aspek estetika dan artistik.

Meski demikian, Penyandang disabilitas sedikit berbangga oleh

karena dalam dunia penerbangan nasional sudah menyediakan sarana

aksesibilitas dari dan ke dalam pesawat. Hal serupa juga sudah dilakukan

oleh pengelola sejumlah hotel dan sarana umum lainnya dalam bentuk

penyediaan berbagai layanan khusus bagi Penyandang disabilitas . Kini

sangat dinantikan sistem tata kota dengan segala sarana dan prasarana

penunjang, khususnya jalan raya, terminal dan angkutan umum, diadakan

dengan ketersediaan aksesibilitas.

Ini penting karena, sudah cukup banyak Penyandang disabilitas

khususnya tunanetra yang menjadi korban terjatuh ke dalam selokan di tepi

jalan raya akibat tidak adanya pagar/penutup pengaman selokan atau

Page 120: Naskah Akademis RUU. Fix

118

Penyandang disabilitas pengguna kursi roda yang terpaksa harus dibopong

untuk menjenguk keluarga yang sedang dirawat di lantai 4 pada sebuah

Rumah Sakit lantaran aksesibilitas yang tidak tersedia. Semua ini harus

segera diakhiri dengan penyediaan aksesibilitas pada setiap fasilitas umum

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

-Aspek Penghidupan Dan Kehidupan

Perkataan kehidupan dan penghidupan dalam undang-undang ini, cukup

banyak diulang bahkan mungkin yang terbanyak. Anehnya karena pendefenisian

istilah tersebut justru ditempatkan pada bagian penjelasan, khususnya dalam Pasal

5 . Padahal upaya pendefenisian seperti itu lazimnya dituangkan dalam poin-poin

Pasal 1.

Kerancuan lain yang juga tampak pada istilah kehidupan dan penghidupan

adalah karena pembuat undang-undang sama sekali tidak membedakan antara

kehidupan dan penghidupan. Jika kedua istilah tersebut oleh pembuat undang-

undang diartikan sama, maka dengan prinsip efisiensi dan efektifitas pembuat

undang-undang seharusnya hanya memilih salah satu diantaranya tanpa perlu

mencantumkan keduanya sekaligus. Namun jika kedua istilah tersebut tidak sama

dan seharusnya memang demikian, maka perlu ada penjelasan yang menampilkan

esensi perbedaannnya dengan muatan formulasi yang bersifat teknis operasional.

Namun yang paling stragis dalam hal ini adalah karena pengertian

kehidupan dan penghidupan sebagaimana yang tertuang pada bagian penjelasan

Pasal 5, semuanya merupakan fungsi dan wewenang yang terbagi dalam porto folio

kekuasaan pemerintah. Secara aconterario, hal tersebut dapat berarti bahwa aspek-

aspek kehidupan dan penghidupan diluar pemerintahan seperti legislatif dan

yudikatif, tentu bukanlah bagian dari cakupan makna dari kehidupan dan

penghidupan. Hal tersebut dikuatkan oleh Pasal 8 yang berbunyi : “pemerintah

dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak

penyandang cacat”. Seharusnya perkataan pemerintah diganti dengan “istilah

Page 121: Naskah Akademis RUU. Fix

119

penyelenggara negara” yang tentu mencakup jajaran eksekutif, legislatif dan

yudikatif sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999. 29

Berdasarkan uraian tersebut, ada kecenderungan pihak tertentu untuk

tetap menggunakan peraturan hukum yang lama sebagai dalih keengganan

pemberian akses bagi Penyandang disabilitas di sektor formal. Bahkan

Undang –Undang N0 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PP N0

43/1998, tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat, secara

substansial sungguh amat jauh dari pretensi perlindungan kesamaan hak dan

kesejahteraan sehingga harus direvisi karena :

a. Kedua peraturan tersebut melegalkan istilah cacat yang dalam perspektif

psikokultur linguistik, justru mengandung unsur penghinaan, pelecehan

dan merendahkan kehormatan serta martabat penyandangnya sendiri.

Sebab dalam ajaran agama manapun tidak membenarkan anak manusia

yang ditakdirkan terlahir dari keadaan cacat, disapa dan dipanggil

dengan menonjolkan kekurangan, kelemahan atau keburukan yang

disandangnya. Apalagi istilah cacat dalam khasanah tuturan Bahasa

Indonesia memang bermakna destruktif yaitu kurang, lemah, buruk,

aib/memalukan sehingga tidak heran jika sikap publik yang cenderung

meremehkan Penyandang disabilitas dengan pandangan sinis dan

apriori menjadi lazim karena legalitas istilah penyandang cacat oleh

Undang-Undang. Sehingga sekalipun tidak luput dari kekurangan, maka

istilah Penyandang disabilitas, yang diadopsi dari istilah special needs of

people perlu diintrodusir untuk mengganti istilah cacat dalam

penyempurnaan sinkronisasi UUD 1945 oleh MPR maupun Undang-

Undang Penyandang disabilitas oleh DPR.

29

(Saharuddin Daming, Pembangunan Berbasis Disabilitas , 2005: 78-85)

Page 122: Naskah Akademis RUU. Fix

120

b. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.4/1997 dirumuskan

pengertian Penyandang disabilitas adalah orang yang mempunyai

keadaan fisik/dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan

rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.

Rumusan ini terutama pada anak kalimat “ yang dapat mengganggu dan

merupakan rintangan baginya”, justru sangat bertentangan dengan

komitmen untuk mengadvokasi Penyandang disabilitas dengan slogan

bahwa keadaan cacat yang disandang seseorang bukanlah hambatan,

halangan serta rintangan baginya dan siapapun tidak boleh

menjadikannya sebagai alasan untuk membatasi, mengurangi,

menghambat, menghalangi, mempersulit atau menghilangkan hak

Penyandang disabilitas dalam melakukan ekspresi dan apresiasi secara

optimal dalam segala aspek penyelenggaraan negara atau

kemasyarakatan sesuai bakat, minat dan kemampuannya.

c. Kedua peraturan tersebut secara implisit mengisyaratkan

penyelenggaraan upaya pembinaan kesejahteraan Penyandang

disabilitas, hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial.

d. Persoalan yang paling vital dan strategis bagi Penyandang disabilitas

meliputi hak pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan, dan aksesibilitas

diatur dalam limit yang sangat minimal dan seadanya serta sangat tidak

memberikan jaminan kepastian hukum. Bahkan hak politik maupun

perlindungan hukum yang mendudukan Penyandang disabilitas sebagai

korban sama sekali tidak diatur, padahal hal tersebut justru menjadi

sangat urgen dalam iklim reformasi yang kita bangun dewasa ini.

Dalam teori hukum yang dianut secara universal menyebutkan ciri

keberlakuan hukum (atribut of law) adalah jika terdapat sanksi yang jelas dan

tegas. Ironisnya karena sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang No.4

/1997 Tentang Penyandang Cacat khususnya pada Pasal 28 selain sangat ringan

(maksimal 6 bulan ) juga hanya mencakup pelanggaran terhadap penyediaan

aksesibilitas Penyandang disabilitas untuk bekerja yang sampai kini belum

Page 123: Naskah Akademis RUU. Fix

121

pernah ada yang diproses meski pelanggaran sudah tak terhitung jumlahnya

dan tidak jelas siapa yang berhak menuntut. Lebih aneh lagi karena sanksi

administrasi yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut justru

diletakkan pada perlakuan diskriminatif terhadap Penyandang disabilitas dalam

layanan pendidikan, dimana rincian sanksi administratif dimaksud, sedianya

akan diatur lebih lanjut dalam PP. Celakanya karena PP dimaksud telah

diundangkan yaitu PP N0 43/1998, akan tetapi PP tersebut ternyata tidak ada

sedikitpun kata yang mengatur tentang sanksi.

Namun sangat disesalkan oleh karena meski sekian banyak peraturan

perundang-undangan yang memungkinkan Penyandang disabilitas dapat

berapresiasi di segala aspek kehidupan dengan landasan equal justice under law,

equal opportunit dan, to do every thing tetapi hanya satu yang melarang, itupun

karena hasil interpretasi yang implisit, maka ada kecenderungan menafikan

yang banyak dan menonjolkan yang satu buktinya karena sampai sekarang,

praktik peremehan, pelecehan dan diskriminasi terhadap Penyandang

disabilitas masih saja terus berlangsung dan ironisnya karena pelaku

pelanggaran HAM terbanyak terhadap Penyandang disabilitas justru adalah

kalangan yang seharusnya menjadi contoh pelaksanaan pemenuhan hak

Penyandang disabilitas.

Sesungguhnya, jika manusia sadar bahwa eksistensi dan posisi formal yang

disandangnya sebagai decision maker adalah sekedar amanah untuk melayani

publik, maka dengan bekal moral, dan dasar keyakinan agama serta nilai-nilai

budaya lokal sudah cukup memadai untuk mengakses aspirasi dan apresiasi

kaum Penyandang disabilitas tanpa perlu merujuk pada peraturan perundang-

undangan yang cenderung kaku dan legalistik. Tapi sayang hanya sedikit dari

sekian banyak penerima amanah yang sudi membuka mata, telinga dan hati

untuk peduli akan keberadaan dan kesulitan Penyandang disabilitas. Yang

terbanyak justru adalah kumpulan orang-orang yang picik pandang, arogan,

haus kekuasaan, egois, dan individualis yang cenderung meremehkan

kemampuan orang lain, sedikitpun tidak peka dan tak mau tahu kesulitan orang

Page 124: Naskah Akademis RUU. Fix

122

lain meski mereka mengaku sebagai orang yang beragama bahkan mungkin

adalah tokoh agama.

Sungguh suatu kemunafikan kalau bukan kezaliman jika reformasi yang

diperjuangkan ini berhasil memberantas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, tetapi

kita tetap membiarkan tindakan sewenang-wenang, perampasan hak,

diskriminasi dan praktek-praktek ketidak-adilan terhadap kelompok minoritas

yang marginal dan rentan seperti kaum Penyandang disabilitas.

Kaum Penyandang disabilitas Indonesia tidak butuh belas kasihan, terlebih

lagi keistimewaan dan tidak pula tumpukan kebijaksanaan yang hanya bernilai

kamuflase, temporal, basa basi yang hipokrit dan apologi. Penyandang

disabilitas sesungguhnya hanya perlu pengertian dan perlakuan yang wajar atas

dasar kesetaraan dan kesederajatan. Meski diakui bahwa kecacatan dapat

menjadi handikap dalam beraktifitas secara normal. Tetapi dengan adanya

pengertian disertai itikad baik untuk membina potensi para Penyandang

disabilitas dalam bentuk program rehabilitasi dan penguasaan Iptek, maka

kecacatan bukan dan tidak boleh menjadi alasan berkurangnya, atau hilangnya,

kesempatan Penyandang disabilitas untuk memasuki kehidupan sosial politik

secara wajar dan dinamis.

Untuk mewujudkan hal dimaksud maka perlu segera disusun dan

ditetapkan Undang-Undang baru tentang penyandang disabilitas yang selain

dapat mengakomodasi serta menjawab tantangan perkembangan zaman tentang

Penyandang disabilitas yang semakin kompleks, juga dapat mengejawantahkan

bahkan menjadi sogo guru, pembinaan dan pembangunan hukum yang

berlandaskan pada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang patut (good

governance) yaitu :

a. asas tidak menyalahgunakan kekuasaan (detournement de pouvoir)

b. asas tidak bertindak sewenang-wenang (kennelijke onredelijkheid /

willekeur)

c. asas perlakuan yang sama (gelijkheidsbeginsel)

d. asas kepastian hukum (rechtszekerheid)

Page 125: Naskah Akademis RUU. Fix

123

e. asas pemenuhan harapan yang ditimbulkan (gewekte verwachtingen

honoreren)

f. asas perlakuan yang jujur ( fair play)

g. asas kecermatan (zorgvuldigheid)

h. asas keharusan adanya motivasi dalam tindakan (motivering)

i. asas keterbukaan (transparantion)

j. asas dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (public

accountability)

k. asas keikutsertaan (participation)

l. asas efektifitas atau keberlangsungan secara baik atau tepat sasaran

m. asas efesiensi atau pendayagunaan secara baik dan tepat sasaran

Selain itu Undang-Undang ini juga didasarkan pada hasil berbagai

referensi akademik dan pengalaman empiris serta menjabarkan berbagai

pranata hukum Indonesia seperti yang telah dikemukan terdahulu maupun

hukum Internasional antara lain Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Resolusi

Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966 tentang : Hak Sipil

Dan Politik serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Deklarasi Majelis Umum PBB

tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas N0 3447 (XXX), 9 Des 1975 , Deklarasi

tentang Hak-hak Anak, Deklarasi tentang Hak-hak Disabilitas Grahita, Deklarasi Anti

Diskriminasi bagi Perempuan, Deklarasi hak-hak sipil, Konvensi ILO, UNESCO,

UNICEF, dan WHO, Resolusi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB Nomor 1921 (LVIII)

tentang Pencegahan Kecacatan dan Rehabilitasi Kedisabilitasan . Resolusi PBB Nomor

37/52 Tahun 1981 tentang Program Aksi Tahun Penyandang Disabilitas Internasional,

Rekomendasi Konferensi Stockholm tahun 1987 tentang dasar-dasar filsafati hak

Penyandang Disabilitas, Resolusi PBB N0 48/96 Tahun 1993, tentang Standar

Ketentuan mengenai Kesamaan Kesempatan Bagi Para Penyandang Disabilitas, Biwako

Millenium, Un Escap Resolution 58/4 tahun 2002 , Deklarasi Sapporo (Sidang Umum

Disabled Peoples International 2002) , dan konferensi Sigdisabilitas Stockholm tanggal

14–17 September 2002 yang menetapkan bahwa “ kedisabilitasan yang disandang oleh

seseorang bukan dan tidak boleh menjadi penyebab berkurang, hilang atau dibatasinya

hak yang bersangkutan untuk berekspresi dan berapresiasi dalam segala aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara” .

Page 126: Naskah Akademis RUU. Fix

124

Lebih mengembirakan lagi karena bahan-bahan penyusunan hingga proses

pembentukan Undang-Undang ini senantiasa melibatkan kalangan Penyandang

disabilitas dalam stakeholder lainnya dengan maksud untuk menjadikan

Undang-Undang ini tidak hanya mempunyai nilai keberlakuan secara yuridis

normatif, tetapi juga bernuansa sosiologis dan filosofis dalam mengantar kaum

Penyandang disabilitas memasuki era globalisasi dan modernisasi yang sarat

dengan iklim persaingan ketat.

Dengan subtansi pengaturan seperti dikemukan di atas, maka Undang-

Undang ini dapat menjadi legal standing dalam mempelopori revolusi

pencerahan Penyandang disabilitas dalam segala dimensi bahkan Undang-

Undang baru ini, dapat berfungsi sebagai a tool social control and a tool of social

ingenering bagi penyelenggaraan negara dan kemasyarakatan serta seluruh

rakyat Indonesia dalam membangun kesadaran untuk melindungi dan

memajukan pemenuhan hak Penyandang disabilitas di Indoensia. Tegasnya

bahwa harapan besar untuk mengemban misi dan visi pemenuhan hak

Penyandang disabilitas mencapai titik paling optimal telah digantungkan pada

Undang-Undang ini. Tidak heran jika proses penyusunan dan pembentukannya

pun harus menempuh liku-liku perjalanan panjang, terjal, dan melelahkan.

Demi menghasilkan perangkat hukum yang accountabel, fleksibel, komprehensip

dan visioner. Meski demikian, Undang-Undang ini tentu tidak luput dari

berbagai kekurangan dan kelemahan sehingga apabila dalam tahap

implementasi, dirasakan atau dijumpai adanya kekurangan atau kelemahan,

maka Undang-Undang ini dapat disempurnakan melalui penggantian oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia

atau Uji Materil melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Namun opsi yang paling ideal untuk mewujudkan harapan tersebut adalah

penggantian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

melalui proses legislasi. Terdapat beberapa peraturan yang memungkinkan kita

gunakan sebagai dasar yuridis untuk mengganti Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjadi Undang-Undang tentang

Penyandang Disabilitas, yaitu antara lain:

Page 127: Naskah Akademis RUU. Fix

125

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women);

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja;

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;

7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

12. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional;

13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga;

14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

Nasional;

15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights);

16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;

17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan;

18. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang;

19. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

20. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

21. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

Page 128: Naskah Akademis RUU. Fix

126

22. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;

23. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

24. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

25. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan;

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

26. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

27. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

28. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;

29. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum;

30. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi

Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas;

31. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;

32. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah;

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;

33. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang

Program Pembangunan yang Berkeadilan;

Page 129: Naskah Akademis RUU. Fix

127

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

BAB I Ketentuan Umum berisikan mengenai pengertian, asas dan tujuan

BAB II Prinsip Umum yang mengurai tentang substansi pokok yang diatur

dalam Undang-undang ini meliputi hak kodrati, hak perlakuan

khusus dan perlindungan lebih, disabilitas sebagai keragaman

manusia, diskriminasi, tanggung jawab negara dan masyarakat,

pengarus-utamaan isu disabilitas, aksesibilitas, dan peningkatan

kesadaran publik.

BAB III Hak Sipil Serta Hak Memperoleh Keadilan dan Perlindungan

Hukum yang mengurai tentang hak penyandang disabilitas meliputi

hak hidup, hak anak dengan disabilitas, hak perempuan disabilitas,

hak atas privasi dan kewarganegaraan, hak berkeluarga dan

melanjutkan keturunan, subjek hukum, perlindungan dari tindak

kekerasan dan eksploitasi, perlakuan khusus dan perlindungan lebih,

serta kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah,

BAB IV Hak Dalam Bidang Pendidikan, meliputi satuan, jalur, jenjang dan

jenis pendidikan, kesamaan hak dan kesempatan dalam

penyelenggaraan sistem pendidikan yang bermutu, penyelenggaraan

pendidikan inklusif dan pendidikan khusus, perlakuan dan fasilitas

khusus, larangan dalam penyelenggaraan pendidikan, serta

kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah

BAB V Hak Dalam Bidang Pekerjaan, meliputi ketentuan mengenai

kebebasan penyandang disabilitas untuk bekerja disektor negara,

swasta dan atau masyarakat, kesamaan hak dan kesempatan, hak

memperoleh pekerjaan yang layak, kewajiban mempekerjakan

penyandang disabilitas, perlindungan lebih dalam pekerjaan, dana

kompensasi kerja, serta kewajiban pemerintah dan atau pemerintah

Page 130: Naskah Akademis RUU. Fix

128

daerah

BAB VI Hak Dalam Bidang Kesehatan, meliputi ruang lingkup dan tujuan

kesehatan, kesamaan hak dan kesempatan, perlakuan dan fasilitas

khusus, Kewenangan dalam Hal Penilaian Kemampuan dan

Kesehatan, Perlindungan Lebih, serta Kewajiban Pemerintah dan

atau Pemerintah Daerah.

BAB VII Hak Dalam Bidang Politik, meliputi ruang lingkup hak politik,

kesamaan hak dan kesempatan, Penyediaan Aksesibilitas dan Sistem

Kelembagaan Disabilitas, Larangan, dan Kewajiban Pemerintah dan

atau Pemerintah Daerah.

BAB VIII Hak Dalam Bidang Keagamaan, meliputi ruang lingkup hak

keagamaan, jaminan kebebasan beragama dan menjalankan

peribadatan, penyediaan aksesibilitas dan sistem kelembagaan

disabilitas, larangan, serta kewajiban pemerintah dan atau

pemerintah daerah.

BAB IX Hak Berekspresi, Berkomunikasi dan Memperoleh Informasi,

meliputi ruang lingkup hak berekspresi, berkomunikasi dan

memperoleh informasi, kesamaan hak dan kesempatan untuk

berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi, kewajiban

dalam kebebasan berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh

informasi, larangan, serta kewajiban pemerintah dan atau

pemerintah daerah.

BAB X Hak Dalam Bidang Kesejahteraan Sosial, meliputi ruang lingkup hak

kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, jaminan sosial,

pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, larangan, serta kewajiban

pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XI Hak Dalam Bidang Perekonomian, meliputi ruang lingkup hak

dalam bidang perekonomian, pemberdayaan usaha perekonomian,

pembiayaan, kemitraan dan kelembagaan, pengembangan usaha,

perizinan, penempatan usaha dan koordianasi, larangan, serta

kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XII Hak Dalam Bidang Olahraga, meliputi ruang lingkup keorahragaan,

Page 131: Naskah Akademis RUU. Fix

129

pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang disabilitas,

pengelolaan keolahragaan penyandang disabilitas, penyelenggaraan

kejuaraan olahraga, sarana dan prasarana keolahragaan,

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan

penyandang disabilitas, kerja sama dan informasi keolahragaan,

industri keolahragaan, penghargaan, pendanaan keolahragaan

penyandang disabilitas, larangan, dan penyelesaian sengketa.

BAB XIII Hak Dalam Bidang Kebudayaan, meliputi ruang lingkup hak

kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesamaan hak dan

kesempatan, hak intelektual, adat istiadat, wisata, larangan, serta

kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XIV Hak Dalam Bidang Perumahan, meliputi ruang lingkup hak

perumahan, jenis perumahan, kewajiban dalam penyelenggaraan

perumahan, larangan, serta kewajiban pemerintah dan atau

pemerintah daerah.

BAB XV Hak Dalam Bidang Pelayanan Publik, meliputi ruang lingkup hak

pelayanan publik, kesamaan hak dan kesempatan, kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan publik, larangan, dan kewajiban

pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XVI Hak Dalam Bidang Aksesibilitas dan Sistem Kelembagaan

Disabilitas, meliputi ruang lingkup hak dalam bidang aksesibilitas

dan sistem kelembagaan disabilitas, aksesibilitas fisik, aksesibilitas

non-fisik, sistem kelembagaan disabilitas, mobilitas, kewajiban dalam

penyediaan aksesibilitas dan sistem kelembagaan disabilitas,

larangan, dan kewajiban pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XVII Jenis dan Derajat Kedisabilitasan, meliputi ruang lingkup jenis dan

derajat kedisabilitasan, jenis kedisabilitasan, derajat kedilitasan, dan

justifikasi keberadaan.

BAB XVIII Sensus Statistik dan Pengumpulan Data, meliputi ruang lingkup

sensus statistik dan pengumpulan data, larangan, dan kewajiban

pemerintah dan atau pemerintah daerah.

BAB XIX Koordinasi, meliputi ruang lingkup koordinasi seperti mekanisme

Page 132: Naskah Akademis RUU. Fix

130

dan kelompok kerja

BAB XX Kerjasama Regional dan Internasional, meliputi ruang lingkup

kerjasama regional dan internasional, kewajiban pemerintah dan

atau pemerintah daerah.

BAB XXI Pembinaan dan Pengawasan

BAB XXII Peran Organisasi, Keluarga dan Masyarakat

BAB XXIII Penghargaan

BAB XXIV Bagian Pendanaan

BAB XXV Komisi Nasional Disabilitas Indonesia, meliputi tujuan dan fungsi,

asas, tempat kedudukan, keanggotaan, susunan organisasi,

seketariat, tugas dan wewenang, pertanggung jawaban, dan

anggaran

BAB XXVI Tuntutan Hukum, meliputi bidang penyidikan, bidang sanksi

pidana, bidang sanksi administrasi, dan bidang sanksi perdata.

BAB XXVII Ketentuan Peralihan, yang berisikan semua peraturan pelaksanaan

dari Rancang Undang Undang ini tetap berlaku, hingga terbitnya

peraturan pelaksanaan yang baru.

BAB XXVIII Ketentuan Penutup, yang menjelaskan bahwa dengan ditetapkannya

Undang-undang ini maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

tentang Penyandang Cacat dinyatakan tidak berlaku.

Page 133: Naskah Akademis RUU. Fix

131

BAB I Ketentuan Umum

BAB II Prinsip Umum

BAB III Hak Sipil serta Hak Memperoleh Keadilan dan Perlindungan Hukum

BAB IV Hak Dalam Bidang Pendidikan

BAB V Hak Dalam Bidang Pekerjaan

BAB VI Hak Dalam Bidang Kesehatan

BAB VII Hak Dalam Bidang Politik

BAB VIII Hak Dalam Bidang Keagamaan

BAB IX Hak Berekspresi, Berkomunikasi dan Memperoleh Informasi

BAB X Hak Dalam Bidang Kesejahteraan Sosial

BAB XI Hak Dalam Bidang Perekonomian

BAB XII Hak Dalam Bidang Olahraga

BAB XIII Hak Dalam Bidang Kebudayaan

BAB XIV Hak Dalam Bidang Perumahan

BAB XV Hak Dalam Bidang Pelayanan Publik

BAB XVI Hak Dalam Bidang Aksesibilitas dan Sistem Kelembagaan Disabilitas

BAB XVII Jenis dan Derajat Kedisabilitasan

BAB XVIII Sensus Statistik dan Pengumpulan Data

BAB XIX Koordinasi

BAB XX Kerjasama Regional dan Internasional

BAB XXI Pembinaan dan Pengawasan

BAB XXII Peran Organisasi, Keluarga dan Masyarakat

BAB XXIII Penghargaan

BAB XXIV Bagian Pendanaan

BAB XXV Komisi Nasional Disabilitas Indonesia

BAB XXVI Tuntutan Hukum

BAB XXVII Ketentuan Peralihan

BAB XXVIII Ketentuan Penutup

Page 134: Naskah Akademis RUU. Fix

132

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Setiap kali dibuat strategi dan pendekatan untuk mengangkat harkat

dan martabat kaum Penyandang disabilitas oleh kalangan eksekutif dan

intelektual, rupanya sebagaian besar dirasakan hanya gagasan yang bersifat

apologi dan hipokrit, setidak-tidaknya hanya untuk pencapaian target formal

semata. Yang lebih fatal lagi adalah karena badan legislatif kita telah

mengesahkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi

legal standing bagi upaya-upaya perlindungan dan pembelaan Penyandang

disabilitas. Namun dalam kenyataan, selain peraturan perundangan tersebut

terkesan dibuat dan dilaksanakan setengah hati, juga karena dalam praktek

penyelenggaraan pemerintah dan kemasyarakatan justru bertolak belakang

dengan substansi perundang-undangan.

Sebutlah diskursus tentang perlindungan dan pemberdayaan hak

Penyandang disabilitas dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997 dan

peraturan pelaksanaannya yang secara yuridis formal adalah hukum positif,

ternyata tidak dapat mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara

negara dan kemasyarakatan untuk peduli dan berpihak kepada upaya

pembinaan kemajuan dan kesejahteraan para Penyandang disabilitas. Tidak

hanya itu dalam konstitusi baru kita dan beberapa Tap MPR telah cukup

tegas diatur mengenai perlindungan hak asasi manusia tidak terkecuali

Penyandang disabilitas, namun hingga reformasi dan demokratisasi telah

bergulir, hak Penyandang disabilitas ternyata masih sering dilanggar,

dilecehkan, diremehkan, dikebiri, dikerdilkan bahkan dihilangkan dan

dirampas justru hanya dengan alasan-alasan yang sangat tidak berdasar.

Salah satu penyebabnya adalah karena opini publik mengenai

pelanggaran HAM tampaknya masih didominasi pada hal-hal yang bersifat

kekerasan, sedangkan praktek-praktek diskriminatif yang dengan sengaja

Page 135: Naskah Akademis RUU. Fix

133

dan sistematis telah mencoba membatasi, menghalangi, mengurangi akses

Penyandang disabilitas ternyata bukan dan belum dapat disentuh sebagai

pelanggaran HAM serius. Terlebih lagi Undang-Undang No. 4 Tahun 1997

sungguh-sungguh tidak berdaya untuk mengatasi persoalan laksana macan

ompong yang hanya seram dalam pandangan tetapi tumpul dari segi peran

dan fungsi.

Sampai disini citra Penyandang disabilitas dalam perspektif

pembangunan berbasis HAM rupa-rupanya tak lebih dari sekadar mahkluk

yang harus menerima takdir sebagai kelompok masyarakat marginal, padahal

kedisabilitasan sebagai takdir dari Tuhan Yang Maha Adil pada hakekatnya

adalah titipan sekaligus menjadi ujian bagi kita semua dalam mengukur

kesabaran dan ketakwaan untuk siap menerima atau menyia-nyiakan

Penyandang disabilitas.

Sungguh suatu kezaliman kalau bukan bencana jika reformasi yang

diperjuangkan ini berkomitmen untuk memberantas Kolusi, Korupsi dan

Nepotisme, tetapi publik sebagian besar cenderung membenarkan penguasa

bertindak sewenang-wenang, dalam bentuk perampasan hak, diskriminasi

dan praktik-praktik ketidak-adilan terhadap kelompok minoritas yang

marginal dan rentan seperti kaum Penyandang disabilitas. Padahal dalam

manifesto perjuangan Penyandang disabilitas, senantiasa digemakan bahwa

Kaum Penyandang disabilitas Indonesia tidak butuh belas kasihan, terlebih

lagi keistimewaan dan tidak pula tumpukan kebijaksanaan yang hanya

bernilai kamuflase, temporal, basa basi yang hipokrit dan apologi.

Penyandang disabilitas sesungguhnya hanya perlu pengertian dan

perlakuan yang wajar atas dasar kesetaraan, kesederajatan dan keadilan.

Meski diakui bahwa kedisabilitasan dapat menjadi handicap dalam

beraktifitas secara normal. Tetapi dengan adanya pengertian disertai itikad

baik untuk membina potensi para Penyandang disabilitas dalam bentuk

program rehabilitasi dan penguasaan Iptek, maka kedisabilitasan bukan dan

tidak boleh menjadi alasan berkurangnya, atau hilangnya, kesempatan

Page 136: Naskah Akademis RUU. Fix

134

Penyandang disabilitas untuk memasuki kehidupan formal secara wajar dan

dinamis.

Sayang semua ini tidak dapat direspon secara maksimal dan sistematis

lantaran substansi perumusannya, tidak tersetting dengan kedayaberlakuan

efektif. Selain karena disusun pada masa pemerintahan orde baru dimana

peraturan hukum umumnya berciri otoriter dan kurang berorientasi pada

kepentingan publik dalam artian seluas-luasnya, juga dibuat untuk

memenuhi target formal dari program legislasi nasional dimasa itu tanpa

memperhatikan efek sosiologis dan filosofisnya. Berdasarkan hal tersebut,

maka dengan tidak mengurangi rasa penghargaan kita terhadap mereka yang

berjasa melahirkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 sebagai peletak dasar

acuan normatif terhadap perlindungan dan pemberdayaan hak Penyandang

disabilitas di Indonesia, sebagaimana halnya peraturan hukum yang

mengalami problem serupa, Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 sudah

saatnya untuk di ganti. Ini penting untuk merespon paradigma tantangan

dan peluang Penyandang disabilitas Indonesia di masa kini maupun di masa

datang yang sudah barang tentu jauh lebih kompleks. Dalam negara dan

masyarakat yang memiliki karakteristik yang heterogen dan tingkat

pendidikan yang belum baik, diperlukan peraturan hukum yang mampu

membuka dan menggiring wawasan serta persepsi masyarakat

pendukungnya menuju zona pemikiran konstruktif dan jauh dari sikap

steriotip dan prejudis.

Berdasarkan hal yang terurai di atas, maka tibalah penyusun naskah

akademik pada kesimpulan sebagai berikut :

2. Penyandang disabilitas dari sisi konstitusi dan peraturan perundang-

undangan merupakan bagian dari warga negara yang mempunyai hak dan

kedudukan dengan warga negara pada umumnya. Namun dalam

kenyataan , penyandang cacat justru mengalami berbagai perlakuan

diskriminasi dan marginalisasi oleh penyelenggara negara maupun elemen

masyarakat. Penyandang disabilitas menjadi korban stigma negatif akibat

Page 137: Naskah Akademis RUU. Fix

135

berkembangnya sikap sinis, apriori, strereotif dan prejudis. Hal tersebut

menempatkan posisi penyandang disabilitas pada keterpurukan secara

multi dimensional dan negara cenderung melakukan pembiaran, kecuali

hanya sekadar layanan pemberdayaan pragmatis dalam bentuk program

rehabilitasi.

3. Lahirnya International Convention On the Rights Of Persons with

Disabilities (CRPD) yang telah diratifikasi oleh negara Republik Indonesia

melalui UU No 19 tahun 2011, merupakan momentum reformasi peri

kehidupan disabilitas di Indonesia. Salah satu agenda yang sangat strategis

untuk mewujudkan hal tersebut adalah reformasi secara bertahap seluruh

peraturan perundang-perundangan maupun kebiasaan dan perilaku yang

masih mengandung unsur diskriminasi serta perendahan harkat dan

martabat penyandang disabilitas.

4. Bahwa UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat secara filosofis

tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan prisip hak asasi manusia

sesuai dengan UU Dasar 1945 yang diubah setelah lahirnya UU No 4

tahun 1997. Secara sosiologis, UU No 4 tahun 1997 terbukti tidak efektif

mengubah kondisi kehidupan penyandang disabilitas yang sebagian besar

terbelakang, rentan dan hidup di bawah garis kemiskinan dan

marginalisasi yang berlangsung secara struktural dan kultural. Secara

yuridis UU No 4 tahun 1997 terdapat banyak kerancuan substansial yang

bukan saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di masa

kini, juga tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas itu

sendiri.

B. Saran

1) Perlunya pengaturan substansi Naskah Akademik dan Rancangan

Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dalam suatu Undang-

Undang.

Page 138: Naskah Akademis RUU. Fix

136

2) Dengan telah siapnya draft Naskah Akademik dan Rancangan Undang-

Undang tentang Penyandang Disabilitas akan ditindaklanjuti dengan

penyerahan kedua naskah tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia dan pihak terkait lainnya, agar dapat menjadi skala

prioritas dalam pengusulan Legislasi Nasional tahun 2013, paling lambat

tahun 2014.

3) Sosialisasi dan uji publik diperlukan untuk mendukung penyempurnaan

penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. Sebelum ditetapkan sebagai

undang-undang, materi RUU tentang Penyandang Disabilitas akan

diadakan Uji publik. Sosialisasi kepada masyarakat luas untuk

mendapatkan tanggapan, masukan guna penyempurnaan.

Page 139: Naskah Akademis RUU. Fix

137

DAFTAR PUSTAKA

Apeace. 2012. Penyandang Disabilitas, Siapa dan Berapa.

http://id.shvoong.com/society-and-news/2343354-penyandang-disabilitas-

siapa-dan-berapa/#ixzz2MiViMnKK [01 Maret 2012]

Saharuddin Daming, 2005. Pembangunan berbasis Disabilitas (laporan hasil

pengkajian), Makassar.

Saharuddin Daming. 2008. Potret Diskriminasi Penyandang Disabilitas Dalam

Layanan Pendidikan. (Makalah).

Saharuddin Daming. 2009. Paradigma Perlakuan Negara Terhadap Hak Politik

Penyandang Disabilitas dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

(Disertasi).

Saharuddin Daming. 2009. Tinjauan Hukum dan HAM Terhadap Syarat Jasmani

dan Rohani Dalam Ketenagakerjaan dan Kepegawaian. (Makalah).

Saharuddin Daming. 2010. Kewajiban Negara Dalam Perwujudan Hak Penyandang

Disabilitas. (Makalah).

Saharuddin Daming. 2011. Tantangan dan Peluang Perwujudan Hak Penyandang

Disabilitas Pasca Ratifikasi CRPD. (Makalah).

Saharuddin Daming , 2012. Marjinalisasi Hak Politik Penyandang Disabilitas.

Penerbit Komnas HAM, Jakarta.

Saharuddin Daming. 2013. Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang

Disabilitas di Indonesia (Makalah).

Page 140: Naskah Akademis RUU. Fix

138

Pozzan E. 2011. Disability and International Standards. Jakarta: ILO Jakarta.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights

of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas)

[WHO] World Health Organization. 2011. World Report on Disability. Malta.

Jurnal Perempuan Volume 65 tahun 2011.Mencari Ruang untuk Difabel.

LAMPIRAN

RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS