mphi
DESCRIPTION
123TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dengan Malaysia
Indonesia memiliki sejarah hubungan yang cukup panjang dengan Malaysia. Hubungan
diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia terjalin secara resmi pada tanggal 31 Agustus
1957, saat Malaysia untuk pertama kalinya menyatakan kemerdekaan serta kedaulatan negara
tersebut.1 Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu dari ke-14 negara lain yang mengakui
secara de jure kemerdekaan negara yang masih satu rumpun tersebut. Selama lebih dari 50 tahun
tersebut, banyak pasang surut yang terjadi terhadap dua negara ini. Terdapat beberapa kerikil-
kerikil yang kemudian, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak
terhadap baik/buruknya hubungan antara kedua negara serumpun ini.
Sejak awal kemerdekaan Malaysia, Indonesia pada dasarnya telah menjalin sebuah
hubungan baik dengan negeri ini. Namun memasuki periode 1963-1966, di bawah pemerintahan
Mantan Presiden Soekarno, Indonesia menyatakan politik konfrontasinya terhadap Malaysia.2
Konfrontasi Indonesia atas Malaysia bukanlah sebuah problematika yang sederhana saat itu.
Soekarno kemudian sempat memutuskan untuk keluar dari Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB)
saat Malaysia kemudian terpilih sebagai negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun politik konfrontasi yang dilakukan oleh Soekarno kemudian berakhir bersamaan dengan
berakhirnya rezim Orde Lama, yang kemudian digantikan oleh Orde Baru dengan pemimpin
pemerintahan Mantan Presiden Soeharto. Soeharto kemudian memutuskan untuk merubah politik
konfrontasi dengan Malaysia ke dalam bentuk kerja sama yang harmonis.
Hubungan Indonesia dengan Malaysia kemudian mengalami pasang surut lagi saat kedua
negara sama-sama memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Pulau Sipadan dan Ligitan
terletak di Selat Makasar kemudian dianggap oleh kedua belah pihak sebagai bagian dari teritori
Indonesia maupun Malaysia berdasarkan sejarahnya, sehingga kedua negara sama-sama
memasukkan kedua pulau ini ke dalam peta teritorinya. Kedua negara pun akhirnya memutuskan
1 “Hubungan Bilateral - Politik dan Keamanan”, diakses dari http://www.kbrikualalumpur.org/id/politik-keamanan.html, pada tanggal 8 Oktober 2009, pukul 24.33.
2 “The Indonesian Confrontation (Konfrontasi) (1963-1966): Background”, diakses dari http://se-asia.commemoration.gov.au/background-to-indonesian-confrontation/causes-and-description.php, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 16.04.
1
kondisi status quo atas dua pulau ini. Namun kedua negara ternyata memberikan pengertian yang
berbeda atas status quo ini. Hal ini ditandai dengan pembangunan kawasan wisata oleh
pemerintah Malaysia di kedua pulau sengketa ini dikarenakan Malaysia menganggap kedua
pulau ini berada di bawah teritorinya, sedangkan Indonesia menganggap status quo ini sebagai
situasi di mana kedua pulau tidak diperbolehkan untuk diduduki maupun dikembangkan oleh
masing-masing negara.
Sengketa ini pun akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional melalui voting
yang dilakukan oleh 17 hakim pada pertengahan bulan Desember 2002. Atas voting ini,
Indonesia harus menerima kekalahan saat 15 hakim tetap Mahkamah Internasional bersama 1
hakim pilihan Malaysia memutuskan memberikan hak atas pulau Lipadan dan Ligitan kepada
Indonesia, dan hanya 1 hakim pilihan Indonesia yang memihak Indonesia.3 Indonesia berusaha
menerima kekalahan ini dengan lapang dada, namun nyatanya hal ini merupakan sebuah pukulan
atau pun tamparan yang sangat keras bagi Indonesia untuk kehilangan salah satu dari wilayah
yang dianggap merupakan teritorinya tersebut. Sengketa ini walaupun tidak berakhir kepada
konflik yang berarti, namun termasuk salah satu titik penting dalam perkembangan pasang surut
hubungan Indonesia dengan Malaysia.
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia pada dasarnya tidak hanya dialami dalam
kasus pulau Sipadan maupun Ligitan, namun juga Blok Ambalat itu sendiri. Sengketa ini telah
lama muncul, masih terus terjadi terus berkembang hingga sekarang. Tidak dapat dipungkiri
bagaimana sengketa Blok Ambalat ini, yang telah selama hampir 30 tahun, dengan signifikan
turut mewarnai bentuk hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan Malaysia, apalagi setelah
Indonesia kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Bahwa dapat dikatakan sengketa Blok Ambalat
untuk periode masa ini merupakan sebuah titik penting dalam membentuk hubungan yang
terjalin oleh kedua negara serumpun tersebut.
1.1.2 Perebutan Blok Ambalat dan Masuknya Shell ke dalam Lingkungan Masalah
Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia
Blok Ambalat merupakan sebuah blok kepulauan seluas 15.235 km2 yang terletak di
perbatasan tepi pantai Kalimantan di Laut Sulawesi atau Selat Makasar, dan berada di perbatasan
3 “Indonesia Kehilangan Sipadan dan Ligitan”, diakses dari http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=3362, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 13.15.
2
darat antara Sabah, Malaysia, serta Kalimantan Timur, Indonesia.4 Blok ini telah lama
diperebutkan oleh Indonesia maupun Malaysia yang saling mengklaim bahwa pada dasarnya
Blok Kepulauan Ambalat merupakan/berada di dalam naungan teritori masing-masing negara
tersebut. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia pertama kali muncul pada tahun 1979 saat
Malaysia menerbitkan sebuah peta teritori dengan memasukkan Blok Ambalat di bawah teritori
kedaulatan Malaysia itu sendiri. Melihat hal ini, Indonesia sebagai negara yang merasa memiliki
hak sepenuhnya atas Blok Ambalat pun kemudian mengangkat sengketa ini, dan menjadi
sengketa berkepanjangan hingga sekarang.
Tindakan Malaysia tersebut pada dasarnya sangatlah bertentangan dengan perjanjian
yang sebelumnya telah dilakukan serta diratifikasi pada tahun yang sama oleh Malaysia dengan
Indonesia, di mana dalam Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pulau-pulau
terluar atau yang berada di perbatasan masih dalam pembicaraan lebih jauh. Pada saat itu, selain
Blok Ambalat, sebenarnya Malaysia juga telah memasukkan beberapa pulau di daerah
perbatasan ke dalam teritorinya tanpa bernegosiasi dengan negara-negara tetangganya, sehingga
peta teritori yang diterbitkan Malaysia pun mengundang kontroversi serta kecaman dari negara-
negara lainnya, meliputi Singapura, Filipina, Cina, Vietnam, Thailand, dan Inggris, yang
merepresentasikan Brunei Darussalam.
Selain itu, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Seas (UNCLOS)
pada tahun 1982, Blok Ambalat secara resmi masuk ke dalam wilayah teritori dan kedaulatan
Indonesia. Di mana pada Pasal 4, UNCLOS mengakui wilayah teritori yang mencakup 200 mil
dari garis batas, di mana Blok Ambalat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah Indonesia.5 Hal ini
juga pada dasarnya diakui secara internasional dengan proposal Indonesia mengenai Wawasan
Nusantara itu sendiri. Atas dasar inilah, pemerintah Indonesia merasa bahwa pada dasarnya Blok
Ambalat adalah wilayah Indonesia, dan hal ini telah diakui secara de jure.
Seiring perjalanan, wacana yang kemudian berkembang adalah bagaimana pada dasarnya
kedaulatan teritori bukanlah inti permasalahan dari sengketa panas yang tengah dialami oleh
Indonesia dengan Malaysia, melainkan tidak lain didorong oleh faktor ekonomis yang sangat
4 Imanuddin Razak, “Ambalat Dispute, A Spat Between Neighbors”, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/06/ambalat-dispute-a-spat-between-neighbors.html, pada tanggal 10 September 2009, pukul 06.22.
5 Yanto Musthofa dan Yophiandi, “Babak Baru Sengketa Negara Serumpun”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs,20050308-02,id.html, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 17.26.
3
menggiurkan itu sendiri. Blok Ambalat pada dasarnya diperkirakan memiliki cadangan minyak
yang luar biasa banyaknya, di mana prediksi menyatakan bahwa Blok Ambalat dapat bertahan
selama 30 tahun eksplorasi, meliputi 764 juta barel minyak dan dan 1,4 triliun feet3 gas bumi.6
Bahwa pada dasarnya perebutan wilayah yang dilakukan oleh kedua negara tidak hanya terbatas
pada perebutan wilayah, melainkan juga perebutan faktor ekonomis atau sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya tersebut.
Permasalahan di antara Indonesia dengan Malaysia kemudian mengeruh setelah
kedatangan Royal Dutch Shell, sebuah perusahaan minyak dari negara Inggris-Belanda, di
Malaysia, yang kemudian menamakan Blok Ambalat dengan inisial ND6 dan ND7. Melalui
perusahaan minyak nasionalnya Petronas, Malaysia memberikan konsesi eksplorasi sumber daya
minyak terhadap Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Padahal di sisi lain, Indonesia yang
memiliki hak atas Blok Ambalat ini, telah memberikan hak atau konsesi eksplorasi terhadap
ENI, perusahaan Italia atas Blok Ambalat, pada tahun 1999. Sedangkan untuk daerah Ambalat
Timur, Indonesia telah memberikan hak serupa kepada perusahaan minyak Amerika Serikat
yakni UNOCAL pada tahun 2004.7 Mengetahui hal ini, pemerintah Indonesia pun merespon
tindakan ini sebagai sebuah pelanggaran kedaualatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) itu sendiri. Pemerintah Indonesia pun kemudian melancarkan protes terhadap
pemerintah Malaysia atas tindakan pengklaiman secara sepihak atas Blok Ambalat.
Di sisi lain, sebelumnya Shell pernah mengadakan sebuah perjanjian serupa dengan
Indonesia atas konsesi Blok Ambalat pada tahun 1999. Namun perjanjian pun tidak berlangsung
lama, sehingga pada tahun 2001 pun, kerja sama pemerintah Indonesia dengan Shell pun
berakhir. Pada dasarnya berakhirnya hubungan kerja sama ini dikarenakan pertimbangan bisnis
dari pihak Shell itu sendiri.8 Pada tahun 2005, Shell kemudian diketahui menandatangani kontrak
kerja sama dengan Malaysia dalam rangka eksplorasi minyak di wilayah Ambalat. Hal ini pada
dasarnya merupakan sebuah tamparan yang sangat keras bagi pihak Indonesia. Pemerintah
Indonesia melihat bahwa Shell secara tidak langsung telah memanfaatkan data-data sehubungan
dengan sumber minyak bumi di Blok Ambalat dalam rangka menguasai Ambalat melalui
6 Andi Abdussalam, “News Focus: Malaysia Claims Ambalat for its Oil Reserves”, diakses dari http://www.antara.co.id/en/view/?i=1244416643&c=FEA&s=, pada tanggal 10 September 2009, pukul 06.24.
7 Yanto Musthofa dan Yophiandi, op.cit.8 “Shell Diduga Menggunakan Data Indonesia”, diakses dari
http://berita.liputan6.com/politik/200503/97352/class='vidico', pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 17.39.
4
Malaysia itu sendiri.9 Oleh sebab inilah, Indonesia sangat mempermasalahkan sengketa dan
keterlibatan Shell dalam sengketa perebutan Blok Ambalat.
2.2 Pertanyaan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini akan mengkaji sebuah
pertanyaan utama yaitu:
“Mengapa kedekatan Shell dengan Malaysia menimbulkan eskalasi konflik antara
Indonesia dengan Malaysia di Blok Ambalat?”
1.3 Tujuan
Bedasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
Mengetahui pengaruh Shell dalam sengketa Ambalat.
Mengetahui peran MNC secara umum dalam eskalasi konflik antar negara.
1.4 Manfaat
Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini sekurang-kurangnya
diharapkan dapat memberikan
Manfaat praktis, dapat memberikan masukan yang berarti bagi Indonesia untuk
menjaga wilayahnya yang kaya akan sumber daya alam, dan lebih ketat dalam
memberikan blok-blok tersebut kepada perusahaan minyak.
Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong asumsi dasar
teori realisme bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual demi
menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional. Selain itu, penelitian ini juga akan
memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai bagaimana MNC sebagai aktor
non-state dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam tatanan hubungan
internasional.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Kerangka Konsep
1.5.1.1 MNC Sebagai Non State Actor dalam Hubungan Internasional
9 Ibid.
5
Proses globalisasi modal telah memicu pada peran MNCs yang semakin mendominasi dunia
ekonomi internasional dan secara tidak langsung menjadi salah satu aktor yang signifikan dalam peta
perpolitikan internasional. Partisipasi perusahaan oligopolistik tersebut dalam ekonomi global bukan
hanya mencakup masalah ekonomi secara teknis seperti masalah perluasan pasar tetapi juga mencakup
masalah kapasitas dari perusahaan tersebut untuk memiliki power, dominasi, dan kontrol dalam semua
sektor perekonomian. Hal ini dimungkinkan mengingat MNCs memiliki kapasitas untuk mengontrol
proses inovasi dan aplikasi teknologi, media massa, serta mendominasi pasar. Sebagai dampaknya,
perusahaan lokal kapitalis Amerika Latin yang sebelumnya memiliki dominasi dalam perekonomian
nasional harus memutuskan apakah mereka akan bersaing atau tunduk di bawah dominasi perusahaan
transnasional. Faktanya adalah kebanyakan perusahaan lokal ini lebih memilih untuk menjadi partner
ekonomi minor dari MNCs. Ini terbukti dari bagaimana mereka bersedia untuk mengadopsi proses
restrukturisasi ekonomi yang ditimbulkan oleh globalisasi.
Dominasi MNCs juga berdampak negatif dalam hal bagaimana dominasi tersebut dapat
melemahkan sistem perpolitikan sebuah negara. Dampak ini dilakukan oleh sebuah MNC melalui
beberapa tingkat atau tahap. Tahap yang pertama mencakup bagaimana perusahaan multinasional ini
memperkenalkan sebuah sistem demokrasi di mana masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk
terlibat dalam proses decisionmaking. Sistem demokrasi ini merupakan sebuah sistem yang lebih
menekankan pada peran badan eksekutif sebagai penghasil kebijakan nasional. Peran masyarakat sipil dan
bahkan badan legislatif hanya dibatasi hingga pada tahap sebagai pemberi legitimasi terhadap pemerintah
yang sedang berkuasa. Dengan adanya segregasi ini, akan lebih mudah bagi MNC untuk mendapatkan
interestnya mengingat pihak yang dilobi hanya tinggal pemerintah eksekutif. Prinsip negara demokrasi
inilah yang saat ini dianut oleh negara-negara Amerika Latin. Beberapa fungsi pemerintahan yang
dulunya bersifat nasionalis telah ditransfer kepada perusahaan oligarki ini yang bermarkas pusat di
Amerika Serikat.
Tahap berikutnya adalah mencakup bagaimana MNCs memisahkan politik dan ekonomi menjadi
dua dunia yang berbeda. Di Amerika Latin, hal ini dapat jelas dilihat dari bagaimana situasi perpolitikan
di kawasan tersebut diwarnai dengan persaingan politik sengit untuk memperoleh kekuasaan dan
bukannya menekankan pada pencapaian kemakmuran ekonomi masyarakat. Pemisahan ini akan
memungkinkan MNCs untuk semakin menancapkan dominasi ekonominya karena mereka dapat
bertindak sebagai pihak yang seolah-olah mengisi kekosongan ekonomi. Tahap yang ketiga adalah
bagaimana globalisasi memberikan kontribusi dalam hal melemahkan peran partai yang bersifat populis
nasionalis seperti gerakan buruh mengingat globalisasi telah membuat kompetisi di dalam dunia kerja
menjadi semakin sulit. Sehubungan dengan hal ini, MNCs juga seolah-olah mampu menambal
6
ketidakmampuan partai-partai tersebut mengingat dominasi ekonomi mereka memang dapat membuka
banyak lowongan pekerjaan. Dan sebagai pelengkap akhir dari semua tahap tersebut adalah bagaimana
semua tahap yang sebelumnya dilakukan tidak secara terbuka tetapi secara tersembunyi. Dalam kasus
negara-negara Amerika Latin, proses transformasi sistem ekonomi dan politik yang telah dijelaskan
sebelumnya dilakukan tanpa melalui proses diskusi di Kongres setiap negara. Hal ini sengaja dilakukan
untuk menghindari kemungkinan tentangan awal dari masyarakat setempat yang pada akhirnya dapat
menganggu proses penanaman fondasi dari transformasi itu sendiri.
1.5.1.2 Pihak Ketiga
Konsep third party Donald Black10 menjelaskan kapan dan bagaimana pihak ketiga
terlibat dalam konflik serta efek keterlibatan tersebut. Teori Black bersifat umum dan dirancang
untuk menjelaskan perilaku pihak ketiga dalam seluruh tatanan sosial pada seluruh level
struktural. Menurut Black, Donald and Mary Pat Baumgartner (1983), terdapat berbagai variasi
perilaku pihak ketiga dalam konflik, yang dapat direduksi menjadi tiga kategori utama, yaitu
sebagai berikut.
1. Partisanship (memberikan dukungan). Dalam konflik, pihak ketiga dapat terlibat dalam
berbagai tindakan memihak atau perilaku mendukung satu belah pihak.
2. Inaction (tetap tidak terlibat). Pihak ketiga mungkin mengetahui konflik, tetapi tidak
terlibat. Karena inaction adalah absennya tindakan, efeknya terhadap konflik sulit untuk
diamati.
3. Settlement (mengintervensi secara netral). Perilaku ini melibatkan netralitas pihak ketiga
serta intervensi dalam konflik. Settlement dapat bersifat memaksa maupun halus. Apapun
bentuknya, settlement dapat sangat mengubah arah perkembangan konflik.
Bagi Black, karakteristik sosial pihak ketiga, hubungan mereka, serta status mereka
memainkan peran krusial dalam memprediksi kelanjutan konflik. Black mengungkapkan bahwa
jumlah jarak sosial antara pihak-pihak utama dan pihak ketiga dapat memprediksi baik perilaku
pihak ketiga maupun sifat manajemen konflik. Black menarik suatu paralel antara gravitasi fisik
dan gravitasi sosial dan berargumen dalam “Taking Sides” (1993:126) bahwa “setiap musuh
secara efektif menciptakan medan gravitasi yang menarik pihak ketiga dengan kekuatan yang
10 Disadur dari Scott Phillips dan Mark Cooney, “Aiding Peace, Abetting Violence: Third Parties and the Management of Conflict”, American Sociological Review, Vol. 70, No. 2 (Apr., 2005), h. 334-354
7
sebanding dengan kedekatan mereka dengan pihak tersebut dan jarak mereka dari lawan.” Asas
gravitasional Black berarti pihak ketiga yang menggabungkan kedekatan dan jarak—dekat
kepada satu sisi dan jauh dari sisi lainnya—tertarik secaara kuat kepada konflik. Pihak ketiga
yang hanya sedikit lebih dekat dengan satu sisi hanya tertarik secara lemah. Black (1993:126)
membuat proposisi: “Partisanship adalah fungsi bersama kedekatan sosial kepada satu sisi dan
kejauhan sosial dari sisi lainnya,” kemudian mengungkapkan suatu efek status bahwa
partisanship adalah suatu fungsi bersama superioritas sosial satu sisi dan inferioritas sosial sisi
lainnya. Pihak ketiga yang sama jauhnya dengan kedua sisi tidak akan tertarik ke sisi manapun,
menjadi nonpartisan dingin, memperlihatkan inaction, dan mereduksi peluang terjadinya
kekerasan. Pihak ketiga yang sama dekatnya dengan kedua sisi akan menjadi nonpartisan
hangat, bertindak sebagai agen settlement dan juga mereduksi peluang terjadinya kekerasan.
Selain itu, setiap penjajaran pihak ketiga cenderung menghasilkan pola konfliknya sendiri.
Konflik kemungkinan besar berlarut-larut ketika partisanship kuat, menghilang ketika
partisanship lemah, minimalis ketika non-partisanship dingin, dan bersifat memperbaiki ketika
non-partisanship hangat.
Dengan demikian konflik Indonesia dan Malaysia di Ambalat menurut teori eskalasi
konflik dan pihak ketiga dapat dibuktikan meningkat melalui indikator:
1. Perubahan taktik ringan menjadi taktik berat yang ditandai dengan penempatan
perlengkapan bersenjata seperti kapal perang dan pesawat tempur di perairan Ambalat.
2. Kehadiran Shell sebagai pihak ketiga memperkeruh konflik persengketaan karena aktor
yang terlibat sehingga kompleksitas konflik meningkat. Hal ini berkaitan dengan karakter
Shell yang partisanship (tidak netral), sementara karakter partisanship menyebabkan
konflik berlarut-larut atau disebut juga bereskalasi.
3. Permasalahan bergerak dari isu sengketa sumber daya alam kepada isu kedaulatan karena
Shell akhirnya secara tidak langsung mengakui kedaulatan Malaysia atas Ambalat
padahal secara hukum laut UNCLOS II, Ambalat masih merupakan teritori NKRI.
1.5.2 Literature Review: Peran Multi-national Corporation dalam Eskalasi Konflik
Antarnegara
8
Peran multi-national corporation (MNC) dalam eskalasi konflik antarnegara dapat dilihat
dalam framework partisanship dalam teori third party Donald Black. Berbagai literature review
yang dilakukan tim penulis menunjukkan bahwa MNC dapat menjadikan konflik berlarut-larut
karena partisanship kuat terhadap pihak yang dapat menghadirkan lebih banyak kepentingan
profit bagi MNC yang bersangkutan, seperti dalam konflik energi Timur Tengah serta dalam
berbagai konflik yang diintervensi Amerika Serikat berikut ini. Partisanship kuat tersebut dapat
termanifestasi dalam koalisi dengan pihak yang disponsori secara langsung oleh pemerintahan
negara, atau bahkan bekerja untuk pemerintahan negara yang bersangkutan.
Jonathan Nitzan dan Shimshon Bichler (1995) mengungkapkan bahwa terdapat politisasi
progresif bisnis minyak dalam konflik energi Timur Tengah, dengan komersialisasi transfer
senjata yang berkembang dan membantu membentuk apa yang Nitzan-Bichler sebut “Koalisi
Weapondollar11-Petrodollar12” antara para kontraktor militer utama dan perusahaan-perusahaan
minyak. Ketika mereka terjalin dalam realignment politik OPEC dan negara-negara industrial,
profit yang berbeda dari perusahaan-perusahaan ini berkembang menjadi semakin tergantung
pada interaksi sulit antara harga minyak yang naik dan ekspor senjata yang berkembang yang
berasal dari konflik energi Timur Tengah yang berturut-turut. Pada saat yang sama, perusahaan-
perusahaan ini bukanlah penonton pasif, ditandai dengan korelasi antara pengiriman senjata ke
Timur Tengah dan pendapatan minyak kawasan ini, serta dengan fakta bahwa setiap konflik
energi sejak Perang Arab-Israel 1967 dapat diprediksi dengan kemunduran berlawanan performa
profit yang berbeda dari perusahaan-perusahaan minyak besar. Nitzan-Bichler kemudian
mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan antara politik dan bisnis global di Timur Tengah
yang ditandai interaksi weapondollar dan petrodollar. Ekspor senjata, yang sebelumnya
digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri utama, telah mengalami komersialisasi bertahap,
sedangkal impor minyak, yang berada pada lingkungan bisnis, telah semakin terpolitisasi. Proses
mempersatukan kedua lingkungan tersebut adalah pencarian kekuasaan melalui akumulasi
kapital yang berbeda.13 Dalam hal ini, MNC cenderung memperpanjang kepentingan profitnya
dalam konflik, dalam konteks krisis energi Timur Tengah dengan berkoalisi dengan Private
11 Weapondollar diartikan sebagai pendapatan dari impor senjata yang mengalir keluar dari kawasan12 Petrodollar diartikan sebagai pendapatan dari ekspor minyak yang mengalir ke dalam Timur Tengah13 Jonathan Nitzan and Shimshon Bichler, “Bringing Capital Accumulation Back in: The Weapondollar-Petrodollar Coalition-Military Contractors, Oil Companies and Middle East 'Energy Conflicts'”, Review of International Political Economy, Vol. 2, No. 3 (Summer, 1995), h. 446-515
9
Military Firm (PMF), dan hal ini penulis lihat dapat memperpanjang waktu konflik sehingga
berujung pada eskalasi.
PMF sendiri, sebagai salah satu bentuk MNC, dapat membawa kepada eskalasi konflik
dengan caranya sendiri. Menurut P.W. Singer (2005), PMF telah mengangkat berbagai dilema
dalam kebijakan Amerika Serikat. Beberapa dilema tersebut terkait dengan peran MNC dalam
konflik. Salah satu dilema yang penulis angkat di sini terkait pertanyaan sifat industri militer
global yang tak teregulasi. Tak terdapat cukup kontrol tentang untuk siapa perusahaan-
perusahaan tersebut dapat bekerja. Walaupun para kontraktor militer bekerja untuk pemerintahan
demokratis, PBB, dan organisasi-organisasi humaniter serta organisasi-organisasi lingkungan,
PMF juga bekerja untuk para diktator, kelompok-kelompok pemberontak, kartel obat-obatan,
dan, sebelum peristiwa 11 September 2001, untuk dua kelompok jihad yang terhubung dengan
al-Qaeda. Peristiwa di Guinea Ekuator menggambarkan bagaimana PMF dapat bertindak di luar
pedoman dan peraturan-peraturan eksternal. Pada Maret 2004, suatu PMF Inggris-Afrika Selatan
bernama Logo Logistics diduga merencanakan penggulingan pemerintahan di Malabo. Satu
pesawat terbang penuh pegawai ditangkap di Zimbabwe, dan beberapa orang yang diduga
sebagai penyumbang dana dalam aristokrasi Inggris (termasuk Sir Mark Thatcher, putra
Margaret Thatcher) segera terlibat dalam skandal tersebut. Anggota komplotann tersebut diduga
mencoba menjatuhkan pemerintahan Guinea Ekuator karena alasan profit.14 Menurut penulis, hal
ini merefleksikan bagaimana PMF dapat terlibat dalam konflik dengan memihak atau
mendukung satu belah pihak, dalam hal ini dengan bekerja untuk salah satu negara yang terlibat
dalam konflik; dengan kata lain, partisanship dalam teori third party Donald Black. Walaupun
konteks konflik di sini lebih luas, namun cakupan ini dapat dipersempit ke dalam konflik
antarnegara, seperti antara Amerika Serikat (AS) dan Afghanistan dalam kasus PMF yang
dipekerjakan oleh asosiasi al-Qaeda (kelompok teroris yang disponsori negara) atau antara
Inggris dan Guinea Ekuator dalam ilustrasi Singer.
Terdapat juga tujuan-tujuan politik yang berusaha dicapai suatu pemerintahan dengan
menggunakan kontraktor militer swasta, yang menurut penulis dapat merefleksikan partisanship.
Singer mengungkapkan bahwa dengan menyewa PMF, pemerintahan Bush telah mengelakkan
regulasi batas-batas kongresional tentang ukuran dan jangkauan keterlibatan militer AS dalam
perang sipil Kolombia. Pemerintahan Bush juga menggunakan PMF di Irak untuk menurunkan
14 P. W. Singer, “Outsourcing War”, Foreign Affairs, Vol. 84, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), h. 125.
10
secara dramatis harga politis kebijakan-kebijakannya di Irak. Tanpa kehadiran 20.000 kontraktor
militer swasta yang beroperasi di Irak, AS harus mengerahkan lebih banyak lagi tentaranya di
Irak atau meyakinkan negara lain untuk meningkatkan komitmen mereka; kedua pilihan ini akan
menimbulkan kompromi-kompromi politik yang menyakitkan. Dengan meng-outsource sebagian
keterlibatan AS di Irak, pemerintahan Bush juga dapat menutupi biaya total, karena korban dan
penculikan kontraktor tidak masuk dalam daftar nama korban untuk publik dan jarang disebutkan
media. Kontrak PMF juga tidak menjadi subjek Freedom of Information Act, sehingga
mengurangi transparansi dan membahayakan kesehatan demokrasi AS.15 Dengan keterlibatan ini,
PMF dapat memperpanjang waktu konflik sehingga berujung pada eskalasi.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dimulai dengan data-data empiris
yang kemudian diikuti dengan ide abstrak yang menghubungkan ide dengan data. Penelitian
kualitatif ini difokuskan untuk melihat perubahan pada aspek-aspek sosial yang terjadi pada
subyek penelitian.16 Pendekatan penelitian kuantitatif terbagi menjadi empat dimensi yaitu :
1.6.1.1 Berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yaitu penelitian yang
mencoba menjelaskan hubungan sebab akibat yang terjadi pada suatu kasus dengan menekankan
pada pertanyaan mengapa untuk dijawab dalam penelitiannya.17 Penelitian ini berusaha
memberikan penjelasan kausal dari peran Shell sebagai pihak ketiga dengan eskalasi konflik
Ambalat yang terjadi antara Indonesia-Malaysia. Penelitian ini menekankan peran Shell sebagai
Multinational Corporation (MNC) yang menjadi pihak ketiga yang mengakibatkan terjadinya
eskalasi konflik.
1.6.1.2 Berdasarkan Manfaat
Penelitian ini dibuat sebagai bentuk basic research untuk mengembangkan teori dan
konsep yang telah ada sebelumnya pada aplikasi kasus. Basic research menawarkan
15 Ibid., h. 125-126.16 W. Lawrence Neuman, Social Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches (Boston : Allyn and Bacon, 1998), hal 32.17 Ibid. hal 21.
11
pembentukan dari pengetahuan dan pemahaman yang dapat digeneralisasikan pada banyak area
kebijakan, permasalahan, dan pembelajaran.18
1.6.1.3 Berdasarkan Dimensi Waktu
Penelitian ini merupakan longitudinal research yang dilakukan untuk mengumpulkan
informasi dari subyek penelitian dalam beberapa periode waktu, sehingga pengamatan dilakukan
dari tahun ke tahun terhadap perubahan dan proses sosial dari subyek penelitian. Penelitian ini
melihat perkembangan dinamika konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia yang dibagi
kedalam dua periode waktu yaitu periode sebelum masuknya Shell dalam konflik tersebut dan
periode dimana Shell mulai memainkan perannya dalam konflik Ambalat.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan dengan penelitian perbandingan sejarah
yang dilakukan dengan studi literatur yang digunakan untuk menjembatani penelitian dengan
kasus. Metode ini melihat aspek-aspek sosial yang berubah-ubah seiring perkembangan sejarah
kemudian membandingkannya. Dalam melakukan analisis mengenai peran Shell sebagai pihak
ketiga dalam konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia, penelitian ini menggunakan literatur
berupa buku-buku, jurnal, review, dan penelitian yang telah diterbitkan sebelumnya serta
penggunaan internet untuk mengakses jurnal-jurnal online dan buku elektronik. Selain studi
literatur, penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang telah ada untuk dianalisis, data
sekunder disini berupa statistic atau angka-angka dan grafik dari penelitian-penelitian yang
sudah ada sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan analisis dan memberikan
penjelasan untuk menjawab mengapa dengan adanya peran Shell dalam kasus Ambalat antara
Indonesia-Malaysia ini berakibat pada terjadinya eskalasi konflik.
18 Ibid.
12
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kronologis Sengketa Ambalat per Periode
2.1.1 Sengketa Ambalat: Bagian dari Sengketa Perbatasan Indonesia dan Malaysia yang
Lebih Besar
Perbatasan maritim antara Indonesia dan Malaysia berlokasi di empat perairan, yaitu
Selat Malaka, Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Laut teritorial kedua
negara, yang mengklaim laut teritorial 12 mil (22 km), hanya bertemu di Selat Malaka dan Selat
Singapura. Perbatasan laut teritorial juga terdapat pada kelanjutan akhir dari perbatasan darat
antara kedua negara di Kalimantan. Hanya perbatasan tapal batas kontinental yang telah disetujui
di Laut China Selatan, sementara perbatasan tapal batas kontinental di Laut Sulawesi belum
ditentukan sama sekali. Hal ini menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia
dan Malaysia terjadi di Laut Sulawesi. Kedua negara mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Ligitan (hingga Indonesia kalah pada keputusan International Court of Justice/ICJ atas
pertimbangan “effective occupation” dan bukan de jure) serta Blok Ambalat yang kaya sumber
daya mineral.
Sengketa Ambalat dimulai pada 1979 ketika Malaysia memublikasikan peta yang
menunjukkan perairan teritorial dan tapal batas kontinentalnya. Peta tersebut menarik perbatasan
maritim Malaysia mengarah ke tenggara di Laut Sulawesi dari titik paling timur perbatasan darat
Indonesia-Malaysia di pantai timur Pulau Sebatik, memasukkan sebagian besar blok Ambalat ke
dalam perairan teritorial Malaysia. Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Malaysia
lainnya, menolak peta tersebut. Namun, usaha-usaha mendefinisikan perbatasan maritim
Indonesia-Malaysia telah dimulai sejak 1967, yang akan disisipkan dalam data berikut.
13
Sengketa Ambalat dan Perbatasan Indonesia-Malaysia
gambar: http://aguskuswanto.wordpress.com/2009/06/04/kronologi-sengketa-ambalat/
2.1.2 Periode 1967-1998
Pada 1967, untuk pertama kalinya dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara
Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kecuali terkait Sipadan dan
Ligitan, yang diberlakukan sebagai keadaan status quo.19 Pada 27 Oktober 1969, dilakukan
penandatanganan Kontinental Shelf Boundary Agreement (Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia), kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.
Menurut The Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research, garis
dasar yang baru dikonstruksi Malaysia dimaksudkan untuk membawa Malaysia kepada
kedudukan yang sama dalam pembagian tapal batas kontinental dengan Indonesia yang
19 Lihat Majalah Berita Mingguan Tempo, “Sengketa di Antara Negeri Serumpun”, diperoleh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1991/07/06/NAS/mbm.19910706.NAS14471.id.html 21 November 2009 10:55
14
sebelumnya telah menarik garis-garis pangkal lurus. Perjanjian tersebut adalah suatu usaha
membagi tapal batas secara sama di antara garis-garis pangkal kedua negara.20
Pada 1969, Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan, dan
Batu Puteh (Pedra Blanca) ke dalam perairan teritorial Malaysia. Indonesia dan Singapura tidak
mengakui peta baru Malaysia tersebut. Pada 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan
Tapal Batas Laut Indonesia dan Malaysia. Pada 1971, antara 17-21 Desember, Indonesia,
Malaysia, dan Thailand menandatangani suatu rangkaian perjanjian yang 1) menetapkan suatu
tripoin bersama (common tripoint) bagi perbatasan maritim masing-masing; 2) meneruskan
perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia kepada tripoin bersama tersebut; 3)
memperpanjang perbatasan maritim Malaysia-Thailand hingga Poin Bersama (Common Point)
tersebut; serta 4) secara parsial membatasi perbatasan maritim Indonesia-Thailand.21
Pada 1979, Malaysia kembali memublikasikan suatu peta perairan teritorial dan landas
kontinennya yang menarik garis perbatasan maritim Malaysia ke arah tenggara di Laut Sulawesi
dari titik paling timur perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pantai timur Pulau Sebatik,
memasukkan sebagian besar blok Ambalat ke dalam perairan teritorial Malaysia yaitu dengan
memajukan koordinat 4°10’ arah utara melewati pulau Sebatik. Indonesia, sebagaimana negara-
negara tetangga Malaysia yang lain, menolak peta tersebut.
20 “International Boundary Study, Series A: Limits in the Seas” No. 1 – January 21, 1970, “Indonesia – Malaysia Continental Shelf Boundary” (Country Codes: ID-MY), The Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research 21 Limits in the Seas” No. 81 – December 27, 1978, “Maritime Boundaries: Indonesia – Malaysia – Thailand”, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research
15
Peta yang dipublikasikan Malaysia pada 1979. Peta direproduksi Kementerian Luar Negeri Singapura sebagai respon terhadap kasus International Tribunal of the Law of the Sea terkait reklamasi tanah oleh Singapura di Selat Johor. http://www.mfa.gov.sg/reclamation/img3.html 18 November 2009 23:47
Indonesia telah mengajukan 36 protes dalam nota diplomatik kepada Malaysia tentang
pelanggaran sengketa teritorial sejak 1980.22
2.1.3 Periode 2005
Konsesi Minyak SHELL. Pada 15 Februari 2005, PETRONAS memberikan dua
Production Sharing Contract (PCS) kepada Shell dan PETRONAS Carigali Sdn Bhd untuk Blok
ND6 (sebelumnya Blok Y) dan ND7 (sebelumnya Blok Z) di lepas pantai timur Sabah. Blok
ND6 meliputi suatu wilayah seluas 8.7000 km2, di mana Shell dan PETRONAS Carigali akan
memperoleh dan memproses 1.700 km2 data seismik baru dan menggali tiga sumur dengan
komitmen finansial minimum terhadap Blok Ambalat sebesar US $37 juta. Blok ND7 Block 22 “Malaysian warships chase away Indonesian fishermen from Ambalat”, diperoleh dari http://thejakartaglobe.com/national/talks-with-malaysia-on-ambalat-border-dispute-to-resume-in-july/312607
16
memiliki wilayah seluas 17.000 km2, di mana Shell dan PETRONAS Carigali akan memperoleh
dan memproses 800 km2 data seismik 3D baru dan menggali satu sumur dengan komitmen
finansial minimum sebesar US $13 juta. Shell and PETRONAS Carigali akan beroperasi secara
bersama di kedua Blok. Shell memiliki 50% working interests yang terbagi di antara Sabah Shell
Petroleum Co Ltd (40%) dan Shell Sabah Selatan Sdn Bhd (10%). PETRONAS Carigali
memiliki sisa 50%.23
2.1.4 Periode 2008
Efek Keputusan International Court of Justice tentang Sengketa Sipadan dan
Ligitan terhadap Sengketa Ambalat. Setelah kalah dalam kasus Sipadan dan Ligitan dalam
International Court of Justice (ICJ), Indonesia mengamandemen garis-garis pangkalnya,
mengeluarkan Sipadan dan Ligitan dari titik-titik pangkalnya. Pada 2008, Indonesia menarik
ulang garis-garis pangkalnya dari pantai timur Pulau Sebatik hingga Karang Unarang dan tiga
titik lainnya. Sehingga, Blok Ambalat tidak lagi sepenuhnya berada dalam perairan dalam
Indonesia.
2.2 Sejarah Awal Royal Dutch Shell di Indonesia
Shell merupakan sebuah join-company antara Inggris dan Belanda yang bergerak di
bidang minyak dan gas bumi yang telah ada di banyak negara di dunia, salah satunya di
Indonesia. Royal Dutch Shell didirikan di Hague pada tahun 1890. Namun sebelum itu pada
tahun 1884 terdapat sejarah antara Shell dan Indonesia dimana seorang pria berkebangsaan
Belanda, Aeilko Jans Zijlker menemukan jejak adanya minyak di Pulau Sumatra. Setelah
mendapat izin dari pemerintah setempat yaitu Sultan Langkat, ia mengebor sumur pertama,
namun hasilnya nihil. Setelah itu dilanjutkan di sumur kedua di Telaga Tunggal 1 yang terletak
di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara. Namun hasilnya sama. Oleh karena itu pada tahun 1890,
Ziljker mengubah Provisional Sumatra Petroleum Company menjadi perusahaan yang bergerak
di bidang lain dan mendirikan Royal Dutch Petroleum Company di Hague.24
23 “Shell & Petronas Carigali Awarded Two Ultra-Deepwater Blocks”, PETRONAS, Rabu, 16 Februari 2005 diakses dari https://www.rigzone.com/news/article.asp?a_id=20354 22 November 2009 14:4024 History of Shell in Indonesia, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/history_of_shell_indonesia_0905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 12.00 WIB.
17
Shell sesuai namanya memulai bisnis pertamanya dalam hal perdagangan cangkang
kerang oriental. Tahun 1833, Marcus Samuel membuka bisnis ini di London. Lain halnya Royal
Dutch Petroleum yang memang berdiri untuk mengeksplorasi minyak. Bermula dengan
perpindahan Aeilko Jans Zijklert, seorang pembudidaya tembakau di Jawa Timur , menuju pantai
timur Sumatera tahun 1880 ketika pemerintah mengumumkan pembukaan wilayah ini untuk
perkebunan. Ketika beliau mengelilingi pulau tersebut, nampak jejak-jejak minyak bumi, maka
beliau meninggalkan pekerjaannya dan dengan meminta izin pada kekuasaan setempat, Sultan
Langkat, beliau menggali sumur minyak yang pertama di tahun 1884. Pada tahun yang sama,
beliau juga menggali di Pangkalan Bradan dan memang di situ akhirnya minyak ditemukan. Pada
tahun 1890 Zijklert bertaruh untuk mengubah perusahaannya “Provisional Sumatera Petroleum
Company” menjadi lebih substansial sehingga tanggal 16 Juli 1890, proposal untuk mendirikan
Royal Dutch Company dieksekusi oleh The Hague. Meskipun Zijklert meninggal 27 Desember
1890, koleganya, De Gelder mengambil alih kepemimpinan perusahaan Zijklert yang akhirnya
sudah bernama Royal Dutch Petroleum untuk menemukan lebih banyak lagi tambang minyak
dan mengembangkan perusahaan.
Shell memulai bisnisnya di Indonesia sejak tahun 1892 dengan mendirikan pengilangan
minyak di Pangkalan Bradan Sumatera Utara. Pada saat itu Shell masih bernama Royal Dutch
Petroleum sementara nama Shell sendiri berasal dari Shell Transport and Trading Company yang
merger dengan Royal Dutch Petroleum tahun 1902. Perusahaan joint venture itu bernama Royal
Dutch Shell. Keduanya menyetujui format pembagian keuntungan 60:40 pada tahun 1907. Pada
tahun 1965, Shell menjual semua aset Indonesia ke Pertamina dilanjutkan pada tahun 1969 Shell
kembali memulai aktivitas eksplorasi dan produksi di Kalimantan Timur. Beberapa tahun
berselang, Shell dan Pertamina memutuskan untuk bekerja sama pada tahun 1977 di bidang
pelumas dengan menandatangani Technical Services Agreement.25
Kemudian di Pulau Sumatera, perusahaan ini juga membuka pelabuhan di dekat
Pangkalan Susu. Di tahun 1898, pelabuhan Pangkalan Susu berhasil didirikan dan hal ini
menjadikan Pangkalan Susu sebagai pelabuhan pertama yang mengirimkan minyak di Indonesia.
Selain di Sumatera Utara, Shell juga membuka penambangan minyak di Kalimantan Timur pada
25 Shell Indonesia in Flashback, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/about_shell_flashback_290905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 13.00 WIB.
18
tahun 1897 dengan membangun pengilangan di Balikpapan yang resmi beroperasi tahun 1899.
Memasuki abad 20, perusahaan merger Royal Dutch Petroleum dan Shell Transport and Trading
Company, resmi menggunakan nama Royal Dutch Shell yang kemudian lazim dikenal dengan
Shell saja. Tahun 1910, Shell mulai mencaplok perusahaan-perusahaan penambangan minyak di
Indonesia yang waktu itu ada sekitar 18 perusahaan. Hingga akhirnya 29 Juni 1911, Shell
membeli perusahaan minyak independen yang terakhir di Indonesia, The Dordtsche Petroleum
Miij. Dengan pembelian ini, lengkap sudah dominasi industi minyak bumi Shell di wilayah
Indonesia.
Perkembangan Shell berikutnya yang cukup signifikan adalah saat Shell menjual semua
aset mereka kepada Pertamina tahun 1965, akan tetapi pada saat itu mereka juga memiliki
perwakilan di Indonesia. Pada tahun 1969, Shell mendapatkan izin untuk mengadakan
Exploration and Production (EP). Aktivitas pertama mereka dijalankan di Kalimantan Timur
dengan nama Kaltim Shell PSC. Selain bidang eksplorasi minyak, Shell juga menjalankan bisnis
petrokimia yang dimulai dengan proyek Cilacap tahun 1989 namun dihentikan tahun 1993. Shell
terus berbisnis dalam bidang petrokimia dengan mulai memproduksi pelumas yang ditandai
dengan penendatanganan MoU bersama Pertamina tahun 1994. Shell juga membangun
perusahaan turunannya, PT. Kridapetra Graha (KPG) sebagai menufaktur dan pemasar bitumen.
Akan tetapi pada tahun 2001, bisnis Exploration and Production (EP) di Indonesia resmi ditutup.
Sebagai gantinya, Shell memulai bisnis Gas and Power (GP) karena dibukanya kesempatan
memasarkan bahan bakar setelah monopoli Pertamina dihapuskan. Oleh karena itu mulai banyak
dibuka SPBU Shell di Indonesia khususnya di Jakarta.
Kerja sama Pertamina dan Shell berlanjut pada tahun 1994 keduanya menandatangani
MoU untuk joint venture di Lube Oil Blending Plant yang pada diakhiri pada tahun 1998. Tahun
1997, Shell membuat gebrakan dengan mengeluarkan pelumas high-grade yaitu Shell Helix
Super, Helix Plus dan Helix Ultra. Gebrakan ini sekaligus mengakhiri Technical Services
Agreement (TSA) yang dibentuk tahun 1977. Empat tahun kemudian, kegiatan eksplorasi dan
produksi di Indonesia dihentikan. 26
Namun kerja sama dilanjutkan pada tahun 2005 Shell Solar membuka kantor penjualan di
Jakarta. Pada tanggal 1 November 2005 dibuka SPBU pertama di Lippo Karawaci. Ini
26 Ibid.
19
merupakan SPBU internationally-branded pertama di Indonesia. Selain itu Shell dan Pertamina
juga menandatangani kesepakatan untuk kerja sama eksplorasi di bidang bahan bakar
penerbangan. Pada bulan Desember di tahun yang sama, Shell menawarkan proyek pembukaan
lahan baru di Sulawesi Barat. Pada tahun 2006 Shell dengan sukses meluncurkan produknya
yaitu Shell Helix RRR (Refresh, Rvive, Rejuvenate) dan membuka dua SPBU baru di S.Parman
dan Warung Buncit.27 Sampai saat ini SPBU Shell berjumlah 41 yang tersebar di Pulau Jawa.28
2.3 Kiprah Royal Dutch Shell di Indonesia
Royal Dutch Shell hadir di Indonesia dengan berbagai kegiatan bisnis di berbagai bidang
yang mengedepankan produk andalan Shell yaitu pelumas, batu bara dan bahan bakar.29 Di
bidang transportasi, Shell menawarkan berbagai minyak pelumas termasuk salah satunya yang
bermerk Rimula yang telah dikenal oleh perusahaan transportasi di dunia. Dalam bidang
perkapalan, Shell menawarkan bahan bakar, pelumas, dan jasa lain yang telah digunakan di lebih
dari 15 pelabuhan besar di Indonesia. Dalam bidang aviasi, Shell dan Pertamina telah
menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dalam bidang bahan bakar
penerbangan. Isinya adalah kesepakatan untuk kerja sama dalam mengeksplorasi bisnis
penerbangan. Dalam bisnis batu bara, Shell Flintkote sebagai salah satu anak cabang Shell yang
bergerak di bidang Water Proofing System memberikan pelanggan solusi untuk melindungi
struktur bangunan dari risiko kebocoran. Selain itu Shell juga menawarkan jasa eksplorasi dan
produksi minyak dan gas bumi serta bidang lain seperti pelumas otomotif, dan lain-lain.30
Shell di Indonesia disebut Shell Companies in Indonesia (SCI) dan mengaku teap
menjalankan prinsip bisnis utama mereka yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, integritas, dan
hormat kepada masyarakat. Selain itu, SCI juga berkomitmen untuk pengadaan sustainable
development yang diaplikasikan dalam pendekatan sistematis di bidang kesehatan, keselamatan,
keamanan dan lingkungan (Health, Safety, Security, and Environment – HSSE), contoh proyek
27 Ibid28 Our Location, diakses dari http://www.shell.com/home/content/id-en/shell_for_motorists/site_locator/site_locator.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 12.40 WIB.29 Shell Indonesia Profile, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/about_shell_profile_210905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 01.00 WIB.30 Ibid.
20
yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pelatihan mengemudi dan regular health risk
assessment bagi para karyawan. Namun bukan hanya keamanan dan kesehatan pekerja yang
diperhatikan, SCI juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk para staf agar
bisa melakukan personal development untuk menunjang career path yang juga dapat digunakan
dalam upaya pencapaian goal perusahaan. Pelatihan tersebut dilaksanakan dengan nama
Learning and Development. 31.
Dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, Shell memahami bahwa mereka bukanlah
satu-satunya aktor yang ada di Indonesia. Oleh karena itu SCI juga berkomitmen untuk
membangun area dan komunitas di mana SCI beroperasi. Proyek social investment program ini
disebut Shell LiveWIRE yang mengajak pemuda berusia 18-32 tahun untuk berkompetisi dalam
bidang kewirausahaan. Peserta akan diberikan pelatihan, dukungan dan bimbingan untuk
membangun sendiri bisnis mereka yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan mereka
pribadi dan lingkungan di sekitarnya. Proyek sosial SCI lainnya bergerak di bidang pendidikan
dengan memberikan beasiswa, kesehatan masyarakat, community development, environment and
sustainable energy programs.32 Namun Shell mengakui bahwa social investment yang
dikerjakannya di Indonesia adalah murni dari Shell sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat
Indonesia, tidak untuk mendukung partai politik, organisasi keagamaan, bantuan internasional,
bantuan umum, bantuan dari individu – ataupun untuk usaha penggalangan dana, aktivitas sosial
maupun organisasi apapun baik sosial maupun komersial.33
Kegiatan Shell di Indonesia dapat dilihat lebih jelas melalui pembagian tahun seperti
tabel dibawah ini :
31 Ibid.32 Ibid.33 How Our Social Investment Program Works, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/society_environment/guidelines_social_investment_1106.html, pada tanggal 12.51 WIB.
21
2.4 Kiprah MNC Royal Dutch Shell di Malaysia
22
Kegiatan exploration and production adalah sebuah kegiatan untuk menggali sumber
daya alam, mengolahnya, dan menghasilkan barang jadi (produk). Dengan bentuk kegiatan
seperti itu maka hak untuk melakukan exploration and production (EP) dapat dilihat sebagai
sebuah hak eksklusif dan tentunya sangat bernilai. Karena bernilainya hak EP ini, beberapa
perusahaan seperti Shell mencarinya hingga lokasi yang jauh dari kantor pusatnya. Terlebih lagi,
perusahaan besar seperti Shell sepertinya tidak bergerak fokus di satu negara tetapi lebih lintas
batas dalam sebuah region. Kegiatan EP Shell juga ditemukan di Malaysia pada tahun 1910 atau
11 tahun setelah dilakukannya perjanjian kerjasama Shell dengan Indonesia tahun 1899.
Sementara kegiatan perdagangannya sendiri sudah dilakukan sejak permulaan era 1890an.
Kiprah Shell di Malaysia secara legal ditandai dengan pendirian Shell Malaysia Limited
pada 28 Februari 1911. Badan usaha ini dipegang Shell Overseas Holding Limited dan the
Asiatic Petroleum Company Limited. Perkembangan Shell di Malaysia awalnya lebih berfokus
pada kegiatan exploration and production di Sabah dan Serawak. Akan tetapi sejak
ditetapkannya Petroleum Development Act tahun 1974 yang menempatkan pengelolaan aset
hidrokarbon negara pada perusahaan nasional PETRONAS. Dengan peraturan baru ini, Shell
akhirnya menjalin kerjasama dengan PETRONAS melalui Production Sharing Contract (PSC)
yang juga melibatkan anak perusahaan PETRONAS yang khusus mengurusi masalah exploration
and production, PETRONAS Carigali. Shell Malaysia juga merambah lebih dalam dan kompleks
dengan memperlebar jaringan eksplorasi ke lepas pantai Sabah dan Sarawak. Dengan
kelimpahan ini, Shell mengembangkan bisnisnya ke arah produk turunan hidrokarbon misalnya
oli, LPG, dan bitumen. Kegiatan mengurusi produk turunan ini mencakup kegiatan menufaktur,
perdagangan, suplai, distribusi, marketing, dan penjualan. Dengan tersebarnya 870 stasiun
pengisian bahan bakar Shell di seluruh Malaysia, Shell telah menjadi pemain penting bagi sektor
minyak bumi di situ. Dengan permintaan yang positif, Shell juga mendirikan pengilangan untuk
pemenuhan suplai internasional di Port Dickson, Negeri Sembilan.
Kegiatan Shell di Malaysia cukup dominan dengan keseriusan Shell membangun fasilitas
kegiatan exploration and production bersama pemerintah Malaysia. Kegiatan penambangan di
lepas pantai Sabah dan Serawak menghadapi tantangan yang besar berhubung kesulitan kondisi
misalnya penambangan pada perairan yang dalam. Akan tetapi tantangan ini dijawab dengan
pembangunan berbagai fasilitas pendukung seperti E11 Hub yang mengintegrasikan proyek lepas
23
pantai di Serawak. Proyek di atas adalah salah satu proyek utama Shell di Asia Pasifik yang saat
ini sedang dalam proses pengerjaan. E11 Hub memungkinkan adanya koneksi antar sumur
penambangan di sekitar lepas pantai Serawak melalui sebuah hub terintegrasi yang kemudian
menyalurkan gas yang dihasilkan ke kompleks pengolahan LNG di Binulu.
Shell juga serius mengembangkan penambangan yang memanfaatkan teknologi tinggi di
Malaysia. Beberapa teknologi yang digunakan adalah advance seismic, integrated reservoir
model, expandable tubular for well, managed pressure drilling, smart well, seabed logging, dan
real time operation yang memungkinkan akses data penambangan online dan menbuka pintu
pada pengerjaan penambangan secara online dari jarak jauh.
Shell sangat berkomitmen untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan
implementasi teknologi dan pemasaran yang jitu. Hal ini nampak dari kegiatan Shell baik di
Indonesia maupun di Malaysia. Di kedua negara ini, Shell memegang peranan yang cukup
penting di sektor energi khususnya minyak bumi, gas, dan hasil olahannya. Dengan posisi
strtategis ini maka dapat dikatakan bahwa Shell juga memegang pengaruh yang penting pada
situasi kondisi penambangan di kedua negara ini.
2.5 Aktivitas Awal Shell di Ambalat
Salah satu wilayah yang pernah dikelola oleh Shell adalah Ambalat. Ambalat merupakan
sebuah lokasi yang berada di Kalimantan Timur merupakan sebuah lokasi yang memiliki luas
sekitar 6.700 kilometer persegi. Bagian barat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd. (Italia), dan bagian
timur dioperasikan Unocal Indonesia Ventures Ltd. (Amerika Serikat). Belakangan, bagian ENI
disebut Blok (ENI) Ambalat, dan daerah Unocal disebut Blok Ambalat Timur. 34
Namun sebuah sumber mengungkapkan, potensi di Blok Ambalat (Barat dan Timur)
mencapai 62 juta barel minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Jika dikonversikan ke harga
minyak dan gas bumi saat ini, maka pemasukan negara akan sangat besar. Bila dibandingkan
dengan produksi lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang
menjanjikan. Ladang minyak Tarakan di Nunukan, Kalimantan Timur, yang dioperasikan Medco
E&P, hanya memproduksi 666 barel minyak dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan
34 Dara Meutia Uning, Arif Kuswardono, Memburu Emas Hitam, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/14/LU/mbm.20050314.LU107073.id.html, pada tanggal 17 November 2009, pukul 19.20 WIB.
24
wilayah kerja Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barel minyak dan 5.000 kaki kubik
gas setiap hari. Sementara itu penguasaan Malaysia atas Ambalat mencakup daerah yang lebih
luas, 25.700 kilometer persegi atau hampir seluas Provinsi Sulawesi Utara. Namanya Blok ND 6
dan ND 7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y dan Z. Kini keduanya dioperasikan Shell
(Belanda) bersama Petronas Carigali Sdn. Bhd. (Malaysia).35
Dari fakta di atas dapat dipahami bahwa Ambalat diperebutkan oleh Indonesia dan
Malaysia. Keduanya bersikeras bahwa Ambalat masuk ke dalam teritori mereka. Awalnya Shell
menjalin hubungan dengan Indonesia sejak 27 September 1999. Namun pada tahun 200, Shell
melepas konsesi untuk Blok Ambalat kepada ENI (perusahaan Italia) karena kekecewaan Shell
tidak mendapati apapun setelah mengebor satu sumur bernama Bougenville. Shell pernah
mengoperasikan blok Bukat yang terletak di perairan Ambalat hingga 1999. Data-data hasil
eksplorasi itulah yang diduga dijadikan bahan oleh Shell untuk mengajukan izin eksplorasi blok
Ambalat ke pemerintah Malaysia. Izin operasi dari Malaysia kepada Shell itulah yang kemudian
menyulut sengketa teritorial antara RI dengan Malaysia.
Sedangkan blok Bukat yang ditinggalkan Shell saat ini tengah dieksploitasi oleh
perusahaan minyal asal Italia ENI. Tetapi blok itupun masih tumpang tindih dengan blok
Ambalat Timur yang saat ini tengah dioperasikan oleh Unocal. Mereka menduga, data lama
setelah pengeboran beberapa tahun lalu masih dipegang Shell padahal seharusnya dikembalikan
ke pemerintah setelah Shell melepas konsesi di Ambalat. Data yang dipegang oleh Shell tersebut
disinyalir dibocorkan kepada pihak Malaysia. .36
Namun tidak ada penjelasan yang lebih tentang apakah data tersebut benar-benar belum
dikembalikan ke pemerintah atau belum. Dalam hal ini (jika benar terjadi), kedua pihak
melakukan tindakan yang tidak tepat. pihak Shell seharusnya mengembalikan data yang
dipegangnya ke pemerintah Indonesia dan pemerintah Indonesia seharusnya segera bertindak
tegas dengan menagih data tersebut. Ketidakpastian tentang apakah data masih dipegang Shell
atau tidak mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan blok
35 Ibid36 ENI Temukan Minyak di Ambalat, diakses dari http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=1887, pada tanggal 18 November 2009, pukul 21.10 WIB.
25
Ambalat padahal selain kekayaan minyak dan gas, wilayah Ambalat merupakan wilayah
perikanan yang sangat produktif.37
Kedua negara segera pasang badan di wilayah Ambalat mengingat betapa berharganya
wilayah yang mereka tarungkan ini. Sikap Malaysia sendiri mengeras setelah gugatan mereka di
Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2002 yang membuat
batas lautnya memanjang hingga cukup untuk mengklaim Ambalat, termasuk blok XYZ yang
berlimpah ruah gas. Tiga tahun setelah itu, pada 16 Februari 2005, Malaysia memberi konsesi
penambangan minyak di blok Ambalat, kepada Shell dan Petronas.38
Suhu konflik memanas hingga mencapai titik ekstrem pada 2005. Hal ini dikarenakan
adanya kesepakatan eksplorasi minyak dengan para raksasa tambang minyak di perairan yang
diklaim memiliki cadangan minyak 2 miliar barel dan 3-5 kubik gas alam cair (LNG). Malaysia
tampaknya mulai menggunakan cara yang lebih keras dengan mengerahkan militer. Beberapa
pihak mengatakan bahwa ekspedisi militer Malaysia di perairan Ambalat lebih ditunjukkan
untuk memaksa Indonesia berbagi pengusahaan energi di blok itu, sebuah pilihan yang sukses
diterapkan Malaysia terhadap Thailand dalam sengketa teluk Thailand.39
2.6 Keterlibatan Shell Sebagai Pemicu Eskalasi Konflik di Ambalat
Royal Dutch Shell adalah sebuah perusahaan energi utama, salah satu peringkat empat
besar di dunia bersama dengan BP, ExxonMobil dan Total. Shell bermarkas di Den Haag,
Belanda dan juga di London, Britania Raya. Shell sendiri telah beroperasi di Indonesia semenjak
tahun 1982, dan di tahun 2005, tepatnya sejak 1 November 2005, Shell membuka SPBU
pertamanya di Lippo Karawaci, Tangerang. Bersamaan di tahun tersebut, Shell menandatangani
kerjasama dengan Malaysia dalam hal eksplorasi minyak. Periode ini menandai peran baru Shell
di dalam konflik Ambalat antara Indonesia dan Malaysia.
37 Dara Meutia Uning, Arif Kuswardono, Memburu Emas Hitam, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/14/LU/mbm.20050314.LU107073.id.html, pada tanggal 17 November 2009, pukul 19.20 WIB. 38 Jaffar M Sidik, Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat, diakses dari http://www.antaranews.com/view/?i=1244616976&c=ART&s=SPK, pada tanggal 10 November 2009, pukul 21.00 WIB.39 Shell akan Klarifikasi Minggu Ini, diakses dari http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/2005/03/14/brk,20050314-06,id.html, pada tanggal 10 November 2009, pukul 21.10 WIB.
26
Shell masuk kembali ke dalam perairan Ambalat saat Shell menandatangani kerja sama
dengan Malaysia, tepatnya pada tanggal 16 Februari 2005 dan diberikan hak konsesi untuk
melakukan eksplorasi minyak di titik ND6 dan ND7 yang tidak lain adalah Blok Ambalat itu
sendiri. Penandatanganan dilakukan oleh Petronas dan Shell dengan kesepakatan kerjasama
kontrak pembagian produksi (PSC).40 PSC ini ditandatangani oleh Presiden sekaligus CEO
Petronas, Tan Sri Dato Sri Mohd. Hassan Marican, Petronas’ Managing Director, Mr. Johari
Dasri dan Shell Malaysia’s Chairman, Datuk Jon Chadwick. Kesepakatan terjadi di menara
Petronas Malaysia dengan kesepakatan PRC 50:50. Pada saat itu Shell Malaysia telah aktif
berpartisipasi dalam kontrak PRC lainnya sebanyak 17 kontrak pada blok di barat dan timur
Malaysia.41 Hal ini tidak lain memberikan sebuah perkembangan tersendiri terhadap konflik yang
terjadi di antara kedua belah pihak. Masing-masing pihak kemudian melakukan pengetatan
pengamanan di daerah sekitar perbatasan. Pada tahun 2005, tepat sesaat setelah Shell
menandatangani kerja sama eksplorasi minyak di Blok Ambalat melalui Petronas, Malaysia,
harus diakui bahwa pada saat yang bersamaan pula konflik di antara kedua belah negara
mencapai sebuah titik ekstrim dan terparah setelah sekian lama konflik telah meredam.42
Perseturuan antara Indonesia dan Malaysia tidak lain kemudian meruncing dikarenakan
tuduhan-tuduhan dari pihak Indonesia, yang cukup beralasan, terhadap posisi Shell di dalam
kasus tersebut. Hal ini dikarenakan sebelum Shell kemudian akhirnya masuk ke dalam Blok
Ambalat lagi melalui Malaysia, sebelumnya Indonesia telah menandatangani dan memberikan
hak konsesi tersebut kepada Shell, dan telah memberikan waktu kepada Shell untuk melakukan
eskplorasi, pengeboran, dan seterusnya di dalam Blok tersebut. Sehingga berdasarkan data yang
kami dapat dari Dr. Kurtubi, seorang pakar minyak, maka pada dasarnya Shell telah memiliki
berbagai data geologi dari pihak pemerintahan Indonesia.43 Penjelasan lain juga diberikan oleh
Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri ESDM pada saat itu, Menteri ESDM mempertimbangkan 40“Shell and Malaysia’s National Oil Company sign Production Sharing Contracts for Deepwater Blocks Offshore Sabah” diakses dari http://www.shell.com/home/content/media/news_and_library/press_releases/2005/malaysia_contracts_deepwater_blocks_16022005.html pada tanggal 21 November 2009 pukul 20.43.41 Ibid.42 Jafar M. Sidik, “Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat”, diakses dari http://www.antaranews.com/view/?i=1244616976&c=ART&s=SPK, pada tanggal 21 November 2009, pukul 02.59.43 Wawancara Ranesi dengan Dr. Kurtubi di Hilversum, Belanda, “Penyebab Konflik Ambalat Tak Lain adalah Perusahaan Minyak Shell”, diakses dari http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-redirected, pada tanggal 03.08.
27
untuk memberikan teguran kepada Shell, bahwa Ambalat teteap masuk ke wilayah RI. Menurut
dia, sebelumnya Shell telah mengelola blok Ambalat, konsesi itu diperoleh dari Pemerintah RI.
Namun, pada 1999, Shell mengalihkan konsesinya ke perusahaan minyak Italia (ENI) yang
kemudian membentuk ENI Ambalat Ltd. Hal tersebut dikarenakan Shell pernah melakukan
pengeboran satu sumur di blok Ambalat namun tidak menemukan minyak.44 Kedua penjelasan
tersebut membentuk pandangan bahwa Shell yang pernah menjalani pengeboran di blok Ambalat
memberikan data-datanya kepada Malaysia untuk memperkuat posisinya untuk memenangkan
tender. Seperti yang diberitakan di situs Shell sebelumnya, bahwa sampai kesepakatan yang
terjadi di blok ND6 dan ND7, Shell hanya memiliki kerjasama sebanyak 17 proyek dengan
Petronas, dapat dikatakan Shell berkeinginan untuk menambah proyek kerjasamanya dengan
Malaysia. Atas dasar kenyataan inilah kemudian konflik antara Indonesia dan Malaysia kembali
terangkat ke permukaan dan menjadi salah satu prioritas penting dalam kebijakan luar negeri
kedua belah negara. Namun pada intinya yang terjadi adalah kedua negara, Indonesia dan
Malaysia sama-sama memberikan hak konsesi eksplorasi di kawasan yang sama kepada
perusahaan yang berbeda, hal ini menimbulkan istilah overlapping claim areas.
Pada tahun 2005, saat konflik di Blok Ambalat antara kedua belah negara tengah
meruncing, Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian telah menyiapkan balada perangnya
apabila sewaktu-waktu konflik kemudian memuncak dan menyebabkan perang di antara kedua
belah negara, maka kemudian Indonesia sudah mempersiapkan dirinya. Sebanyak 700 personel
atau setara satu Batalyon Pasukan Marinir (Pasmar) I Surabaya dengan persenjataan lengkap
telah dipersiapkan untuk mengamankan Laut Sulawesi, khususnya daerah perbatasan antara
Malaysia dan Indonesia. Sebuah roket yang sebelumnya pernah diuji coba di daerah Puslatpur
Marinir Asembagus, Situbondo, di mana ledakannya dapat menghancurkan sekelilingnya hingga
radius 2 km juga telah dipersiapkan apabila sewaktu-waktu terjadi pertempuran laut antara kedua
negara. 150 personel juga sebelumnya telah dikirimkan ke sekitar daerah perbatasan, yaitu Pulau
Sebatik dan Tarakan dengan pesawat Hercules, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk
apabila kemudian akan ada serangan senjata dari Malaysia itu sendiri. Walaupun apel tersebut
pada dasarnya merupakan apel rutin, namun intensitas apel kemudian ditingkatan dikarenakan
adanya atau menyeruaknya kembali konflik antara kedua pihak tersebut.45
44 “Pemerintah Pertimbangkan Tegur Shell” dimuat dalam harian Pontianak Post pada Kamis, 10 Maret 2005 diakses dari http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=82749 pada tanggal 22 November pukul 08.4045 Adi Mawardi, “Satu Batalyon Marinir Ditempatkan di Ambalat”, diakses dari
28
Bagaimana dengan tanggapan Malaysia? Persoalan Ambalat ini sepertinya ditanggapi
dengan dingin oleh Malaysia. Malaysia berpegang kuat pada peta yang dibuatnya tahun 1979,
padahal Indonesia telah mengelola daerah sekitar perairan Ambalat ini sejak tahun 1967, dan
negara-negara ASEAN yang lain menolak untuk mengakui peta tahun 1979 yang dibuat oleh
Malaysia. Alasan kuat dari respon ini adalah, Malaysia masih menganggap Indonesia sebagai
partner pentingnya di ASEAN, dan persoalan penandatanganan kontrak dengan Shell janganlah
sampai menyangkut permasalahan teritorial. Pada berita yang dimuat oleh media New Straits
Times, Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar menyampaikan pernyataan penyesalan terhadap
pemberitaan pers Indonesia. Menlu Hamid Albar juga mengungkapkan bahwa hubungan Kuala
Lumpur-Jakarta penting dan isu yang melibatkan konsensi minyak tidak akan merusak hubungan
kedua negara.46
Ketegangan-ketegangan antara Malaysia dengan TNI pada dasarnya juga kembali terjadi.
TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk
mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sebelumnya telah ada lebih dulu di sana.
Bahkan di Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja
Malaysia sering kali saling melakukan penodongan senjata dan disertai dengan berbagai bentuk
olok-olokan satu sama lain. Kapal perang Malaysia juga dikatakan telah mengganggu
pembangungan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat melakukan penyiksaan
terhadap pekerja pembangunan mercusuar tersebut.47 Hal yang terparah adalah saat pada tanggal
8 April 2005 terjadi sebuah “senggolan” antara kapal perang RI Tedung Naga dan kapal perang
Malaysia Diraja Malaysia di perairan Ambalat, tepatnya di Karang Unarang, saat kedua kapal
tengah melakukan patroli di sekitar perbatasan.48 Hal ini mengakibatkan konflik antara kedua
negara sempat mencapai puncaknya, hingga akhirnya jalan damai yang berusaha diambil oleh
http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2005/03/08/brk,20050308-65,id.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 03.59.46 Koy Lay Chin, “All riled up over a song and dance” dimuat dalam harian New Straits Times tanggal 9 Juni 2009 diakses dari http://www.nst.com.my/Current_News/NST/articles/12mal/Article/ pada tanggal 22 November 2009 pukul 10.11.47 Sam El-Ladh, “Sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia,menerapkan “forgiveness in politics” dan “JustPeacemaking”, diakses dari http://sam-el-ladh.com/works/forgiveness.pdf, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.19.48 Rolex Malaha, “Ambalat Bakal Dijaga Pesawat Tempur”, diakses dari http://www.antara.co.id/view/?i=1204474771&c=ART&s=, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.20.
29
kedua negara saat mencoba menyelesaikan kasus Ambalat atas masuknya Shell tersebut menjadi
terhambat.
Pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah negara pada dasarnya juga merujuk kepada
masuknya kapal-kapal perang, bahkan kapal-kapal milik pribadi yang berasal dari kedua negara
ke dalam wilayah yang dianggap baik oleh Malaysia maupun Indonesia sebagai bagian dari
kedaulatan teritorinya tersebut. Hal ini dilihat saat pada tahun 2007, pemerintah Indonesia
mencatat terdapat 35 pelanggaran yang dilakukan oleh Malaysia, khususnya merujuk kepada
masuknya kapal tentara Malaysia ke dalam wilayah perairan Indonesia.49 Selain dari pada itu,
Malaysia juga sempat melakukan penangkapan terhadap nelayan yang berasal dari Indonesia
karena dianggap telah melanggar masuk dan menangkap ikan di wilayah teritori Malaysia itu
sendiri.50 Pengamanan terhadap Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia pada dasarnya
terus mengetat setiap tahunnya. Indonesia pada tahun 2008 memberikan tambahan 7 kapal
patroli di sekitar perairan tersebut.51 Pada tahun yang sama, Malaysia juga tercatat telah
memasuki dengan sengaja wilayah teritori Indonesia sebanyak 28 kali dalam berbagai
kesempatan.52 Sementara itu pada tahun yang sama, 2008, tercatat Shell mengadakan kerjasama
bersama Indonesia dan Australia, China, Vietnam, dan juga India untuk melakukan eksplorasi
batu bara.53 Perjanjian ini adalah perjanjian pertama Shell dengan Indonesia setelah
permasalahan Ambalat memuncak di tahun 2005, sebelumnya dari tahun 2005-2008 tidak pernah
ada pembicaraan mengenai kasus tersebut antara Shell dengan Indonesia. Di tahun yang sama,
2008, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
ijin kepada perusahaan Italia, yang sebelumnya menangani Ambalat, PT. ENI untuk
mengembangkan proyek migas di Ambalat dan lahan sekitarnya.54 PT ENI telah bekerjasama
dengan Indonesia sejak tahun 1988 untuk blok Bukat dan di tahun 1999 untuk blok Ambalat.
49 “Ambalat, Perseteruan yang Belum Berujung, diakses dari http://www.tandef.net/ambalat-perseteruan-yang-belum-berujung, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.32.50 Ibid.51 “KSAL: TNI Tingkatkan Pengamanan di Ambalat”, diakses dari http://www.jakartapress.com/news/id/3289/KSAL-TNI-AL-Tingkatkan-Pengamanan-di-Ambalat.jp, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.57.52 Imanuddin Razak, loc.cit.53“Shell and Arrow Energy Ltd plan gas alliance” diakses dari http://www.shell.com/home/content/investor/news_and_library/press_releases/2008/arrow_gas_alliance_02062008.html pada tanggal 22 November 2009 pukul 11.35.54 “Presiden Izinkan ENI beroperasi di Ambalat” dimuat dalam Kompas tanggal 20 Oktober 2008 diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/20/20152343/presiden.izinkan.eni.beroperasi.di.ambalat pada tanggal 22 November pukul 10.23.
30
Melihat keputusan yang diambil pemerintah di tahun 2008, Indonesia menginginkan
permasalahan ini diselesaikan dalam kerangka ekonomi atau bisnis, sehingga tidak menyangkut
persoalan kedaulatan. Hal tersebut bertujuan untuk menurunkan tensi yang berkembang di isu
Ambalat ini.
Setelah penandatanganan kerja sama antara Malaysia dan Indonesia soal Karang
Unarang, maka harus dikatakan bagaimana Malaysia memiliki niat yang besar dalam kemudian
memasukkan kembali Blok Ambalat ke dalam wilayahnya tersebut. Hal ini secara tidak langsung
kemudian menciptakan sebuah tensi tersendiri, khususnya tensi di bidang militer, keamanan, dan
pertahanan di antara kedua belah pihak. Berbagai pelanggaran baik yang dilakukan oleh
Malaysia maupun Indonesia karena dianggap telah memasuki wilayah teritori negara lainnya
tidak lain terjadi dikarenakan adanya ketumpangtindihan wilayah teritori yang dicakup oleh
masing-masing negara tersebut. Berbagai penjelasan dan gambaran mengenai bagaimana
hubungan antara kedua negara sejak tahun 2005 khususnya secara tidak langsung dapat
menunjukkan bagaimana sesaat setelah penandatanganan kerja sama antara Shell dengan
Malaysia, maka konflik jelas telah meningkat lagi. Pengamanan terhadap Blok Ambalat kembali
diperkuat, apalagi mengingat bagaimana kapal patroli Malaysia terus melakukan patroli di
sekitar perbatasan, namun sering kali masuk ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan garis yang
ditarik oleh Indonesia, maupun secara sebaliknya.
Sementara itu, di tahun 2009, tepatnya pada tanggal 5 Juni 2009, Departemen Luar
Negeri mengeluarkan press conference menanggapi kasus Ambalat ini. Juru Bicara Departemen
Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah menyatakan sikap tegas Pemerintah untuk penyelesaian
terkait dengan wilayah Ambalat.55 Nota protes Indonesia kepada Malaysia telah disampaikan
pada tanggal 4 Juni 2009, sejauh ini Indonesia telah menyampaikan protes dan klaim sebanyak
36 kali kepada pemerintah Malaysia berkaitan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
Malaysia ke dalam kedaulatan perairan Indonesia, sementara perundingan yang telah dilakukan
terkait dengan kasus ini adalah sebanyak 13 kali perundingan. Malaysia memberikan jawaban
dengan mengutus panglima Angkatan Bersenjatanya, Jendral Abdul Aziz Zainal pada tanggal 9
Juni 2009.56 Malaysia melalui panglima Angkatan Bersenjatanya mengusulkan untuk
55 “Berita Utama : Jubir Deplu : Sikap Pemerintah Tegas untuk Ambalat diakses dari http://www.deplu.go.id/Lists/News/DispForm.aspx?ID=2413 pada tanggal 22 November 2009 pukul 09.42.56 “AB Malaysia ke Jakarta” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/10/06271927/ab.malaysia.ke.jakarta pada
31
menghentikan patrol maritime di kawasan Ambalat untuk mengurangi resiko konfrontasi serta
menghimbau kedua pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan damai.57
Sebelumnya, delegasi dari Komisi I DPR yang dipimpin oleh Dr. Yusron Ihza telah berkunjung
ke Malaysia untuk menegaskan posisi Ambalat dalam kedaulatan RI yakni bahwa Ambalat
berada 80 mil dari landas kontinen Indonesia. Kemudian delegasi Indonesia yang diwakili oleh
dua anggota DPR, Ali Mochtar Ngabalin dan Effendi Choirie meminta kepada Menhan
Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi agar kapal tentara diraja Malaysia tidak melakukan provokasi di
perbatasan perairan blok Ambalat dengan patrol militer yang melewati garis batas kedaulatan
wilayah Indonesia.58 Delegasi Indonesia meminta agar Malaysia tidak menunda-nunda diskusi
mengenai Ambalat sehingga persoalan itu dapat diselesaikan, karena sampai saat ini 13
pertemuan telah dilakukan namun belum ada kesepakatan yang terjadi. Menhan Malaysia, Zahid
Hamid berjanji bahwa selama pemerintahan Najib Razak, persoalan Ambalat akan diselesaikan
Pada tahun 2009 saja, Malaysia tercatat melakukan 14 kali pelanggaran dengan berpatroli
di perairan Ambalat yang merupakan wilayah Indonesia.59 Sementara di tahun 2008, Malaysia
tercatat melakukan pelaggaran sebanyak 23 kali dan di tahun 2007 sebanyak 76 kali.60
Bertepatan dengan kunjungan panglima Angkatan Bersenjata Malaysia ke Indonesia, dikabarkan
situasi perairan Ambalat kembali tenang. Hal ini menandakan dari pihak Malaysia pun
menginginkan adanya penyelesaian damai, namun demikian hal tersebut akan sulit terjadi
apabila tidak melibatkan MNC yang berkepentingan didalamnya seperti Shell, Unocal, dan ENI.
Terutama Shell, karena Shell berperan signifikan dalam menaikan eskalasi sengketa ini, hal
tersebut dapat dilihat dari serentetan peristiwa pelanggaran dan ketegangan di perairan tersebut
dari tahun 2005 sampai 2009. Salah satu pengamat dari Indonesia, Rizal Ramli, menyatakan
bahwa mencuatnya persoalan Ambalat ini tidak lain juga karena faktor diplomasi nice boy yang
dilakukan oleh Presiden SBY.61 Permasalahan yang terjadi di tahun 2005, baru hangat
tanggal 22 November 2009 pukul 09.12.57 Ibid.58“Menhan Malaysia Instruksikan Perubahan Patroli Rutin” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/08/00312674/menhan.malaysia.instruksikan.perubahan.patroli.rutin pada tanggal 22 November 2009 pukul 10.12.59“Ambalat Relatif Tenang, Lima Hari Terakhir Tak Ada Pelanggaran diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/09/18295162/ambalat.relatif.tenang.lima.hari.terakhir.tak.ada.pelanggaran pada tanggal 22 November 2009 pukul 07.34.60 “Presiden : Hentikan Provokasi Malaysia” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/07/05084833/presiden.hentikan.provokasi.malaysia pada tanggal 22 November 2009 pukul 08.54.61 “Rizal Ramli : Ambalat, Korban Diplomasi Nice Boy” hasil wawancaraa wartawan kompas Caroline Damanik diakses dari
32
dibicarakan di tahun 2009, setelah beberapa pelanggaran yang terjadi antara tahunn-tahun
tersebut. Rizal menyatakan bahwa pemerintah perlu membangun diplomasi yang penuh
kewibawaan dan perlu belajar dari apa yang terjadi di Sipadan dan Ligitan. Pendapat lain juga
disampaika oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah,
yang menyampaikan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Malaysia adalah sesuatu
yang sifatnya by design, hal tersebut diyakini sebagai water testing untuk menguji kekuatan
Indonesia dalam mempertahankan perairan tersebut.62 Mas Andi Widjajanto juga memberikan
keterangan pada kompas bahwa Indonesia harus menunjukkan kesungguhan dalam menegakkan
prinsip kedaulatan efektif. Dalam konteks Ambalat, kedaulatan efektif ditunjukkan dengan
menggelar kesanggupan menjalankan disana. Kesanggupan ini bukan hanya dengan menggelar
kekuatan tempur martim TNI, namun juga ditunjukkan dengan kemampuan pemerintah
mengeksplorasi kandungan minyak dan gas di kawasan Ambalat itu.63 Jika perusahaan asing
dilibatkan dalam mengeksplorasi kandungan minyak dan gas bumi di sana bersama pemerintah,
hal itu berarti menunjukkan adanya pengakuan dari dunia internasional atas kedaulatan efektif
Indonesia di blok Ambalat.
Permasalahan Ambalat ini tidak hanya menyangkut persoalan kedaulatan, namun juga
persoalan bisnis dan ekonomi, apabila dari pihak yang bersengketa, Malaysia dan Indonesia tidak
berinisiatif untuk mengajak MNC seperti Shell, Unocal, dan ENI dalam perundingan, maka
perundingan politik ditingkat elit tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada salahnya
Indonesia memulai inisiatif untuk mengundang Shell ke meja perundingan, karena sepanjang
pemberitaan sengketa Ambalat ini, upaya diplomasi dan perundingan hanya melibatkan
pemerintah. Sudah saatnya Shell dilibatkan dalam perundingan tersebut, bersama MNC lain yang
berkepentingan disitu yakni Unocal dan ENI. Indonesia memiliki bukti-bukti kuat kehadiran
Shell di blok Ambalat di tahun 1999 yang bisa dijadikan bukti klaim bahwa Indonesia telah lama
mengelola perairan ini jauh sebelum Petronas Malaysia mengadakan kontrak kerjasama dengan
Shell. Perundingan ini diperlukan supaya masalah tidak berlarut-larut, selain itu Indonesia
http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/09/13393461/rizal.ramli.ambalat.korban.diplomasi.nice.boy pada tanggal 22 November 2009 pukul 07.56.62 “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/06/14563761/sengketa.ambalat.malaysia.ukur.kekuatan.indonesia pada tanggal 22 November pukul 08.32.63 “Komisi I ke Parlemen Malaysia Kurang Efektif” laporan wartawan Kompas, Wisnu Dewabrata diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/07/16451368/komisi.i.ke.parlemen.malaysia.kurang.efektif. pada tanggal 22 November 2009 pukul 09.21.
33
sebagai pihak yang mengklaim memiliki Ambalat sebaiknya memberikan pengawasan penuh di
blok tersebut dan memperluas serta meningkatkan kualitas dan kuantitas eksplorasi minyak
disana dengan kerjasama antara pemerintah dan perusahaan asing seperti Unocal dan ENI,
ketegasan diperlukan, salah satunya adalah dengan mempercepat pembangunan konstruksi untuk
eksplorasi minyak di Ambalat.
2.7 Signifikansi Ambalat Bagi Indonesia
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat, bukan hanya dari
segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau
serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun
dan manis. Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal dengan
Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa perbatasan
wilayah pun pernah terjadi antara keduanya. Kasus yang paling baru, dan yang menjadi
pembicaraan hangat beberapa bulan belakangan ini adalah sengketa kedua negara mengenai blok
migas di perairan Ambalat di wilayah Sulawesi. Sengketa ini menjadi berita hangat yang
menghiasi media massa, di Indonesia khususnya. Melalui makalah ini saya mau mencoba
melihat bagaimana sengketa ini diselesaikan jika memakai pemikiran Donald W. Shriver dalam
bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in Politics, dan tujuh langkah menciptakan
perdamaian menurut Glenn Stassen dalam bukunya Just Peacemaking: transforming initiatives
for Justice and Peace.
2.7.1 Pokok Masalah : Perairan Ambalat di Laut Sulawesi
Masalah antara Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik
kabar bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas,
memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan minyak Shell,
atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan).
Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini karena merasa bahwa wilayah itu berada
dalam kedaulatan negara Indonesia.
34
Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu sudah diprotes
Indonesia
sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut
mengklaim wilayah di Laut Sulawesi sebagai milik Malaysia dengan didasarkan pada
kepemilikan negara itu atas pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa dengan
dimasukkannya Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia, secara otomatis
perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya. Indonesia menolak klaim
demikian dengan alasan bahwaklaim tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Untuk
memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini, kutipan dari tulisan Melda
Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat di Kompas, 8 Maret 2005, dapat membantu.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di
forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960
tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya
menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan
Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan
wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia
boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost
points of the outermost islands and drying reefs). Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada
dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut
memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi
eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk
landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation
(kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba
mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. 3 pernyataan resmi Deplu RI
dalam “Kepemilikan Sipadan Tak Berefek Batas Maritim”, Kompas, 5 Maret 2005 :
“Argumentasi Malaysia, yang mendasarkan klaimnya dengan berdasar kepemilikan
negara itu atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, tidak bisa diterima Indonesia karena
35
bertentangan dengan hukum internasional. Kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan
Ligitan tidak memberikan efek penuh pada batas maritim. Sebagai negara yang bukan
negara kepulauan, Malaysia tidak bisa menggunakan klausul yang dimiliki negara
kepulauan, seperti Indonesia, untuk menarik garis batas wilayahnya.”
Etika dan Teologi Politik 3 KONDISI yang kini terjadi di Ambalat tidak dapat dilepaskan dari
perebutan Sipadan-Ligitan. Judge (hakim) Shigeru Oda pada Mahkamah Internasional jeli melihat potensi
konflik itu dengan menunjukkan, meski keberadaan Pulau Sipadan-Ligitan telah diketahui sejak abad ke-
19, namun konflik mengenai kepemilikannya baru mencuat tahun 1960-an, saat kedua negara berselisih
paham mengenai batas landas kontinen keduanya. Meski Oda termasuk hakim yang memberi putusan
kepemilikan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia karena alasan efektivitas, namun ia membuat pernyataan,
"…the resent judgment determining sovereignty over the islands does not necessarily have a direct
bearing on the delimitation of the kontinental shelf, which has been a subject of dispute between the two
states since the late 1960s". Oda menekankan, saat ini "penetapan batas landas kontinen" lebih
ditekankan pada prinsip yang disebut dengan an equitable solution. Karang Unarang adalah suatu low
tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara
kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai
garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia)
berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.
Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines)
atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia
seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari
daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan.
2.7.2 Aksi dan Reaksi Yang Ditimbulkan
Walaupun pemerintah Indonesia dan Malaysia berulang kali menegaskan bahwa
penyelesaian dengan cara kekerasan bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak akan
mengedepankan dialog melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi
perdebatan seru karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya. Malaysia melalui
36
Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya
tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas
kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. Sementara
pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Deplu, TNI, maupun
presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan melepaskan
wilayah itu karena wilayah itu merupakan kedaulatan penuh Indonesia. Tentang hal itu
jurubicara TNI AL, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan kepada Asia Times,
“We will not let an inch of our land or a drop of our ocean fall into the hands of foreigners.” Di
Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan memancing reaksi keras dari
berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” pun
lalu berkumandang. Kedutaan Besar dan Konsulat-konsulat Malaysia tiba-tiba disibukkan
dengan aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang mengecam sikap Malaysia itu. Di
beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran bendera Malaysia dan penggalangan
sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-RI pun bersuara keras meminta pemerintah
bertindak tegas atas pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan RI di Laut Sulawesi. Di wilayah
yang dipersengketakan pun ketegangan-ketegangan terjadi antara tentara Malaysia dengan TNI.
TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk
mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau
Sebatik, yang berbatasan darat dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling
mengarahkan moncong senjatanya, dan konon saling ejek pun kerap terjadi. Kapal-kapal perang
Malaysia diberitakan mengganggu pembangunan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan
sempat menangkap dan menyiksa seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal
perang Malaysia dan kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari. Yang paling parah terjadi pada
tanggal 8 April 2005, ketika KRI Tedong Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat
Karang Unarang. Insiden serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana,
padahal sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis antara
perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai. Menlu Malaysia pun telah diterima
presiden, dan beberapa anggota DPR RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk membicarakan
langkah-langkah diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat melanjutkan dialog berkala
setiap dua bulan.
37
2.7.3 Analisis Masalah : “Forgiveness” dan “Just Peacemaking”
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, saya akan memulai dengan
melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini.
Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra,
masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan
pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in
Politics 8 , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah
‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di zaman
Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di
Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia
diberitakan ‘berulah’ lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media
terhadap masalah ini.
Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh
masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong pemerintah untuk
bersikap keras, bahkan Zaenal Ma’arif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR)
meminta pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.
“Sebagai bangsa besar di Asia, Indonesia seharusnya tidak membiarkan dirinya
dilecehkan, diinjak-injak, dan dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Karena itu,
pada hari Selasa (15/3) dini hari pukul 00.00, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
harus mengeluarkan maklumat perang melawan Malaysia.”
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia ini bisa
dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai pekerja
kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari telah
tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa ‘terinjak-
injak’ itu begitu kuat. Namun demikian, saya menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori
kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan
memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat Indonesia, setiap
38
kali terjadi persinggungan’ dengan Malaysia, saya berpendapat bahwa langkah awal untuk
menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan
mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang
bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi
belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah
mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi yang
dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia maupun
media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi,
saya tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan
juga begitu yakin akan posisinya.
Perdana Menteri Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim
Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di
perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. “Petronas pasti mengerti bahwa
wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas
sampai ke sana.” Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan
memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia bukan
termasuk negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka dalam peta (di halaman 2) terlihat
bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk
ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap masalah ini
hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar
sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah
kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan.
2.8 Keamanan Energi dan Ambalat
Mengapa sengketa Ambalat menimbulkan akibat yang sangat besar, seperti klaim-klaim
pelanggaran kedaulatan nasional, protes-protes diplomatik, build-up militer, protes-protes rakyat
Indonesia anti-Malaysia, serta komentar-komentar media? Dr Clive Schofield dan Dr Ian Storey
menyebutkan bahwa wilayah yang dipersengketakan sangat menjanjikan. Terdapat potensi
signifikan minyak lepas pantai dan eksploitasi gas di wilayah lepas pantai Ambalat, yang jelas
39
merupakan kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia, khususnya dalam konteks dilema
keamanan energi. Wilayah Ambalat juga signifikan dalam konteks keamanan navigasi, karena ia
terdapat pada sea lanes of communication (SLOC) yang terbentang dari Selat Lombok di antara
Pulau Bali dan Lombok hingga utara melalui Jalur Laut Nusantara Indonesia melalui Selat
Makassar di antara pantai timur Kalimantan dan Kepulauan Maluku di Laut Sulawesi. Selain
faktor minyak, juga terdapat dimensi domestik sengketa Ambalat, khususnya di Indonesia.
Ambalat merupakan tantangan territorial pertama terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sehingga beliau menghadapi tekanan politik internal untuk mengambil posisi garis keras
terhadap Malaysia. Pihak media pun dengan cepat menjadikan sengketa tersebut kendaraan
untuk mempromosikan semangat patriotik. Apalagi, terjadi kenaikan sentiment anti-Malaysia di
Indonesia karena perlakuan Malaysia terhadap para pekerja ilegal Indonesia di Malaysia.
Schofield dan Storey menyebutkan bahwa sengketa ini tidak hanya merefleksikan isu keamanan
energi atau sumber-sumber daya, namun juga kesehatan keseluruhan hubungan politik bilateral
antara kedua negara.64
2.9 Langkah Menuju Rekonsiliasi Konflik Ambalat Indonesia-Malaysia
2.9.1 Dari Perspektif Aktor State
Konflik blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan
kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain. Rakyat di Indonesia melihat
sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang
sekadar perebutan potensi sumber daya alam. Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan
perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk
menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia
mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh
klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan
keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan adil
bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan
64 Dr Clive Schofield dan Dr Ian Storey, “Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes” Harvard Asia Quarterly, Volume IX, No. 4. Fall 2005
40
memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia,
adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah seperti
itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang
lain.
Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit
untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas
masalah Ambalat yang diadakan di Bali Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa,
karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing. Karena dalam kasus ini ancaman sudah
terjadi, dan tatanan yang damai dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen
perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian ( take
independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih
dulu untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah
mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak
mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada
Shell oleh Petronas Malaysia. Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru
Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercu suar di atol Karang
Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk
berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi
seperti apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih
dulu (dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia
bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercu suar itu, karena itu termasuk
wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi
wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog. Namun,
melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk
diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah,
lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode penyelesaian
konflik. Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk
bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu. Sambil menunggu, langkah keempat
mungkin bisa dilakukan. Itu adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian
konflik yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanyekampanye anti Malaysia dengan
41
semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang
siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan
kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran.
Banyak jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus
dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat memori kolektif
tadi itu. Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah
meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama wilayah-
wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor,
dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak terlantar’. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial
bagi masyarakat di wilayahwilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai
wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua wilayah itu
tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola oleh Malaysia.
Langkah kelima dan keenam, yang menurut saya masih berkaitan erat adalah Memutus
lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda
saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan.
Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia, menurut saya
kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah terjadi antara
kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua
kecurigaan satu dengan yang lain. Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver,
“mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.
Kemudian langkah yang ketujuh dan terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk
menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan
masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Saya tidak setuju dengan
pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga
masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi,
kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga
publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.
Dengan menerapkan tujuh langkah ini dalam proses perundingan, serta dengan
menjalankan juga pengungkapan luka dalam memori kolektif kedua bangsa, masalah sengketa
Ambalat ini menurut saya akan bisa diselesaikan dengan lebih menyeluruh. Bukan hanya sekedar
42
menyelesaikan satu kasus yang sekarang saja, tetapi juga meletakkan dasar bersama untuk
menghadapi masalah-masalah serupa dimasa mendatang.
Namun demikian, saya menyadari bahwa berteori selalu lebih mudah daripada
menerapkan dalam kenyataan. Memakai cara Shriver dan Stassen untuk menyelesaikan sengketa
Ambalat juga masih perlu dibuktikan. Akan tetapi, Glenn Stassen menunjukkan keberhasilan
teorinya dalam menyingkirkan rudal-rudal balistik di Eropa, karena itu saya bisa optimis juga,
kalau cara ini juga bisa saja berhasil di sini.
2.9.2 Dari Perspektif Aktor MNC
Pada kasus konflik sengketa blok Ambalat ini, upaya rekonsiliasi yang dilakukan tidaklah
cukup jika hanya dilakukan pada level state mengingat terdapat campur tangan pihak ketiga pada
konflik tersebut yakni Shell sebagai aktor MNC. Kelompok kami melihat bahwa pada kasus
konflik sengketa ini salah satu upaya rekonsiliasi yang harus dilakukan adalah mengurangi
dominasi MNC Shell di wilayah Blok Ambalat.
Konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia yang sebenarnya tidak begitu sengit menjadi
tereskalasi ketika Shell melakukan kontrak kerja sama dengan pihak Malaysia. Hal tersebut
menjadi katalisator konflik mengingat wilayah Blok Ambalat yang dijanjikan kepada pihak Shell
merupakan wilayah yang masih berstatus konflik. Oleh karena itu, tindakan Shell yang
melakukan perjanjian resmi dengna Malaysia menjadi katalisator utama eskalasi konflik sebab
tindakan tersebut identik dengan pengakuan Shell secara tidak langsung atas kepemilikan
Malysia terhadap wilayah Blok Ambalat yang sedang diperebutkan oleh Indonesia dengan
Malysia. Tindakan Shell itu merupakan sebuah tindakan yang bersifat disenganja mengingat
Shell sebelumnya sempat berniat untuk melakukan kerja sama dengan pihak Indonesia namun
kemudian ditolak oleh pihak Indonesia. Dan karena ditolak, Shell menggunakan data dari pihak
Indonesia sehubungan dengan cadangan minyak di wilayah bersengketa tersebut untuk kemudian
membuat perjanjian dengan pihak Malaysia.
Ditinjau dari permasalahan tersebut, kelompok kami berpendapat bahwa jika baik
pemerintah Indonesia maupun Malysia dapat mengontrol dominasi dari MNC dalam bentuk
upaya untuk mengadakan eksplorasi minyak maka konflik yang ada dapat diredam. Pengontrolan
tersebut dapat dilakukan dengan cara pihak Malysia melakukan perjanjian ulang dengan Shell
43
untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah Ambalat yang mana merupakan wilayah
Malaysia. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan jika pihak Malaysia bersedia untuk tidak
dikendalikan oleh MNC Shell yang pada kasus ini menjadi pihak yang mengadu domba
Indonesia dengan Malaysia dalam rangka untuk mencapai interestnya atas kandungan minyak
yang terdapat di wilayah Blok Ambalat yang bersengketa tersebut. Hal yang sama juga berlaku
bagi pihak Indonesia yang untuk ke depannya juga diharapkan untuk tidak melakukan perjanjian
dengan pihak MNC mana pun di wilayah sengketa Ambalat.
Kontrol terhadap upaya dominasi Shell tersebut dapat dilakukan dengan tidak
membiarkan tahap keputusan akhir kebijakan negara dikuasai sepenuhnya oleh pihak eksekutif
di masing-masing negara. Keputusan akhir sehubungan dengan upaya pengeksplorasian SDA
baik di negara Malaysia maupun Indonesia hendaknya juga diupayakan agar mendapat
persetujuan juga dari pihak legislatif di masing-masing negara.
BAB III
KESIMPULAN
Belum ditentukannya perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Laut
Sulawesi menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia dan Malaysia terjadi di
44
sana, termasuk klaim kedua negara atas Blok Ambalat yang kaya sumber daya mineral.Indonesia
dan Malaysia telah melakukan berbagai usaha mendefinisikan perbatasan maritim Indonesia-
Malaysia sejak 1967, namun berkali-kali Malaysia membuat peta perairan teritorialnya yang
memasukan berbagai wilayah yang juga diklaim Indonesia.
Konflik Blok Ambalat di antara Indonesia dan Malaysia mulai tereskalasi ketika sebuah
MNC bernama Royal Dutch Shell yang mana merupakan sebuah joint-company antara Inggris
dan Belanda yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi menandatangani kontrak eksplorasi
minyak di wilayah kepulauan Blok Ambalat yang masih berstatus sengketa. Penandatanganan
kontrak tersebut merupakan sebuah pernyataan tidak langsung bahwa Shell sebagai salah satu
aktor internasional mengakui kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat. Dengan kata lain, Shell
pada konflik ini dapat dikatakan sebagai pihak ketiga yang memperparah tingkat eskalasi konflik
yang terdapat di Ambalat.
Kedekatan Shell dengan Malaysia menimbulkan eskalasi konflik antara Indonesia dengan
Malaysia di Blok Ambalat, karena menambah jumlah aktor yang terlibat, sehingga kompleksitas
meningkat. Serta, pengakuan Shell terhadap kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat merupakan
bentuk partisanship (tidak netral), yang menyebabkan konflik berlarut-larut atau bereskalasi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku dan Jurnal
“International Boundary Study, Series A: Limits in the Seas” No. 1 – January 21, 1970
“Indonesia -Malaysia Continental Shelf Boundary” (Country Codes: ID-MY). 1978. The
Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research Limits in the Seas”
No. 81 – December 27
“Maritime Boundaries: Indonesia – Malaysia – Thailand”, Office of the Geographer, Bureau of
Intelligence and Research
Schofield. Dr Clive, dan Dr Ian Storey, “Energy Security and Southeast Asia: The Impact on
Maritime Boundary and Territorial Disputes” Harvard Asia Quarterly, Volume IX, No. 4. Fall
2005
Sumber Internet
www.antara.com
www.antaranews.com
www.arsip.pontianakpost.com
www.deplu.go.id
www.jakartapress.com
www.kompas.com
www.majalah.tempointeraktif.com
www.nst.com
www.rigzone.com
46
www.shell.com
www.tekmira.esdm.go.id
www.tempo.co.id
www.thejakartaglobe.com
47