mphi

72
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dengan Malaysia Indonesia memiliki sejarah hubungan yang cukup panjang dengan Malaysia. Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia terjalin secara resmi pada tanggal 31 Agustus 1957, saat Malaysia untuk pertama kalinya menyatakan kemerdekaan serta kedaulatan negara tersebut. 1 Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu dari ke-14 negara lain yang mengakui secara de jure kemerdekaan negara yang masih satu rumpun tersebut. Selama lebih dari 50 tahun tersebut, banyak pasang surut yang terjadi terhadap dua negara ini. Terdapat beberapa kerikil-kerikil yang kemudian, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak terhadap baik/buruknya hubungan antara kedua negara serumpun ini. Sejak awal kemerdekaan Malaysia, Indonesia pada dasarnya telah menjalin sebuah hubungan baik dengan negeri ini. Namun memasuki periode 1963-1966, di bawah pemerintahan Mantan Presiden Soekarno, Indonesia menyatakan politik konfrontasinya terhadap Malaysia. 2 Konfrontasi Indonesia atas Malaysia bukanlah sebuah problematika yang sederhana saat itu. Soekarno kemudian sempat 1 “Hubungan Bilateral - Politik dan Keamanan”, diakses dari http://www.kbrikualalumpur.org/id/politik-keamanan.html , pada tanggal 8 Oktober 2009, pukul 24.33. 2 “The Indonesian Confrontation (Konfrontasi) (1963-1966): Background”, diakses dari http://se-asia.commemoration.gov.au/background-to-indonesian- confrontation/causes-and-description.php , pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 16.04. 1

Upload: arahtuju

Post on 02-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

123

TRANSCRIPT

Page 1: MPHI

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Sejarah Hubungan antara Indonesia dengan Malaysia

Indonesia memiliki sejarah hubungan yang cukup panjang dengan Malaysia. Hubungan

diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia terjalin secara resmi pada tanggal 31 Agustus

1957, saat Malaysia untuk pertama kalinya menyatakan kemerdekaan serta kedaulatan negara

tersebut.1 Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu dari ke-14 negara lain yang mengakui

secara de jure kemerdekaan negara yang masih satu rumpun tersebut. Selama lebih dari 50 tahun

tersebut, banyak pasang surut yang terjadi terhadap dua negara ini. Terdapat beberapa kerikil-

kerikil yang kemudian, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak

terhadap baik/buruknya hubungan antara kedua negara serumpun ini.

Sejak awal kemerdekaan Malaysia, Indonesia pada dasarnya telah menjalin sebuah

hubungan baik dengan negeri ini. Namun memasuki periode 1963-1966, di bawah pemerintahan

Mantan Presiden Soekarno, Indonesia menyatakan politik konfrontasinya terhadap Malaysia.2

Konfrontasi Indonesia atas Malaysia bukanlah sebuah problematika yang sederhana saat itu.

Soekarno kemudian sempat memutuskan untuk keluar dari Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB)

saat Malaysia kemudian terpilih sebagai negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Namun politik konfrontasi yang dilakukan oleh Soekarno kemudian berakhir bersamaan dengan

berakhirnya rezim Orde Lama, yang kemudian digantikan oleh Orde Baru dengan pemimpin

pemerintahan Mantan Presiden Soeharto. Soeharto kemudian memutuskan untuk merubah politik

konfrontasi dengan Malaysia ke dalam bentuk kerja sama yang harmonis.

Hubungan Indonesia dengan Malaysia kemudian mengalami pasang surut lagi saat kedua

negara sama-sama memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Pulau Sipadan dan Ligitan

terletak di Selat Makasar kemudian dianggap oleh kedua belah pihak sebagai bagian dari teritori

Indonesia maupun Malaysia berdasarkan sejarahnya, sehingga kedua negara sama-sama

memasukkan kedua pulau ini ke dalam peta teritorinya. Kedua negara pun akhirnya memutuskan

1 “Hubungan Bilateral - Politik dan Keamanan”, diakses dari http://www.kbrikualalumpur.org/id/politik-keamanan.html, pada tanggal 8 Oktober 2009, pukul 24.33.

2 “The Indonesian Confrontation (Konfrontasi) (1963-1966): Background”, diakses dari http://se-asia.commemoration.gov.au/background-to-indonesian-confrontation/causes-and-description.php, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 16.04.

1

Page 2: MPHI

kondisi status quo atas dua pulau ini. Namun kedua negara ternyata memberikan pengertian yang

berbeda atas status quo ini. Hal ini ditandai dengan pembangunan kawasan wisata oleh

pemerintah Malaysia di kedua pulau sengketa ini dikarenakan Malaysia menganggap kedua

pulau ini berada di bawah teritorinya, sedangkan Indonesia menganggap status quo ini sebagai

situasi di mana kedua pulau tidak diperbolehkan untuk diduduki maupun dikembangkan oleh

masing-masing negara.

Sengketa ini pun akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional melalui voting

yang dilakukan oleh 17 hakim pada pertengahan bulan Desember 2002. Atas voting ini,

Indonesia harus menerima kekalahan saat 15 hakim tetap Mahkamah Internasional bersama 1

hakim pilihan Malaysia memutuskan memberikan hak atas pulau Lipadan dan Ligitan kepada

Indonesia, dan hanya 1 hakim pilihan Indonesia yang memihak Indonesia.3 Indonesia berusaha

menerima kekalahan ini dengan lapang dada, namun nyatanya hal ini merupakan sebuah pukulan

atau pun tamparan yang sangat keras bagi Indonesia untuk kehilangan salah satu dari wilayah

yang dianggap merupakan teritorinya tersebut. Sengketa ini walaupun tidak berakhir kepada

konflik yang berarti, namun termasuk salah satu titik penting dalam perkembangan pasang surut

hubungan Indonesia dengan Malaysia.

Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia pada dasarnya tidak hanya dialami dalam

kasus pulau Sipadan maupun Ligitan, namun juga Blok Ambalat itu sendiri. Sengketa ini telah

lama muncul, masih terus terjadi terus berkembang hingga sekarang. Tidak dapat dipungkiri

bagaimana sengketa Blok Ambalat ini, yang telah selama hampir 30 tahun, dengan signifikan

turut mewarnai bentuk hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan Malaysia, apalagi setelah

Indonesia kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan. Bahwa dapat dikatakan sengketa Blok Ambalat

untuk periode masa ini merupakan sebuah titik penting dalam membentuk hubungan yang

terjalin oleh kedua negara serumpun tersebut.

1.1.2 Perebutan Blok Ambalat dan Masuknya Shell ke dalam Lingkungan Masalah

Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia

Blok Ambalat merupakan sebuah blok kepulauan seluas 15.235 km2 yang terletak di

perbatasan tepi pantai Kalimantan di Laut Sulawesi atau Selat Makasar, dan berada di perbatasan

3 “Indonesia Kehilangan Sipadan dan Ligitan”, diakses dari http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=3362, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 13.15.

2

Page 3: MPHI

darat antara Sabah, Malaysia, serta Kalimantan Timur, Indonesia.4 Blok ini telah lama

diperebutkan oleh Indonesia maupun Malaysia yang saling mengklaim bahwa pada dasarnya

Blok Kepulauan Ambalat merupakan/berada di dalam naungan teritori masing-masing negara

tersebut. Sengketa antara Indonesia dan Malaysia pertama kali muncul pada tahun 1979 saat

Malaysia menerbitkan sebuah peta teritori dengan memasukkan Blok Ambalat di bawah teritori

kedaulatan Malaysia itu sendiri. Melihat hal ini, Indonesia sebagai negara yang merasa memiliki

hak sepenuhnya atas Blok Ambalat pun kemudian mengangkat sengketa ini, dan menjadi

sengketa berkepanjangan hingga sekarang.

Tindakan Malaysia tersebut pada dasarnya sangatlah bertentangan dengan perjanjian

yang sebelumnya telah dilakukan serta diratifikasi pada tahun yang sama oleh Malaysia dengan

Indonesia, di mana dalam Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pulau-pulau

terluar atau yang berada di perbatasan masih dalam pembicaraan lebih jauh. Pada saat itu, selain

Blok Ambalat, sebenarnya Malaysia juga telah memasukkan beberapa pulau di daerah

perbatasan ke dalam teritorinya tanpa bernegosiasi dengan negara-negara tetangganya, sehingga

peta teritori yang diterbitkan Malaysia pun mengundang kontroversi serta kecaman dari negara-

negara lainnya, meliputi Singapura, Filipina, Cina, Vietnam, Thailand, dan Inggris, yang

merepresentasikan Brunei Darussalam.

Selain itu, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Seas (UNCLOS)

pada tahun 1982, Blok Ambalat secara resmi masuk ke dalam wilayah teritori dan kedaulatan

Indonesia. Di mana pada Pasal 4, UNCLOS mengakui wilayah teritori yang mencakup 200 mil

dari garis batas, di mana Blok Ambalat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah Indonesia.5 Hal ini

juga pada dasarnya diakui secara internasional dengan proposal Indonesia mengenai Wawasan

Nusantara itu sendiri. Atas dasar inilah, pemerintah Indonesia merasa bahwa pada dasarnya Blok

Ambalat adalah wilayah Indonesia, dan hal ini telah diakui secara de jure.

Seiring perjalanan, wacana yang kemudian berkembang adalah bagaimana pada dasarnya

kedaulatan teritori bukanlah inti permasalahan dari sengketa panas yang tengah dialami oleh

Indonesia dengan Malaysia, melainkan tidak lain didorong oleh faktor ekonomis yang sangat

4 Imanuddin Razak, “Ambalat Dispute, A Spat Between Neighbors”, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/06/ambalat-dispute-a-spat-between-neighbors.html, pada tanggal 10 September 2009, pukul 06.22.

5 Yanto Musthofa dan Yophiandi, “Babak Baru Sengketa Negara Serumpun”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs,20050308-02,id.html, pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 17.26.

3

Page 4: MPHI

menggiurkan itu sendiri. Blok Ambalat pada dasarnya diperkirakan memiliki cadangan minyak

yang luar biasa banyaknya, di mana prediksi menyatakan bahwa Blok Ambalat dapat bertahan

selama 30 tahun eksplorasi, meliputi 764 juta barel minyak dan dan 1,4 triliun feet3 gas bumi.6

Bahwa pada dasarnya perebutan wilayah yang dilakukan oleh kedua negara tidak hanya terbatas

pada perebutan wilayah, melainkan juga perebutan faktor ekonomis atau sumber daya alam yang

terkandung di dalamnya tersebut.

Permasalahan di antara Indonesia dengan Malaysia kemudian mengeruh setelah

kedatangan Royal Dutch Shell, sebuah perusahaan minyak dari negara Inggris-Belanda, di

Malaysia, yang kemudian menamakan Blok Ambalat dengan inisial ND6 dan ND7. Melalui

perusahaan minyak nasionalnya Petronas, Malaysia memberikan konsesi eksplorasi sumber daya

minyak terhadap Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Padahal di sisi lain, Indonesia yang

memiliki hak atas Blok Ambalat ini, telah memberikan hak atau konsesi eksplorasi terhadap

ENI, perusahaan Italia atas Blok Ambalat, pada tahun 1999. Sedangkan untuk daerah Ambalat

Timur, Indonesia telah memberikan hak serupa kepada perusahaan minyak Amerika Serikat

yakni UNOCAL pada tahun 2004.7 Mengetahui hal ini, pemerintah Indonesia pun merespon

tindakan ini sebagai sebuah pelanggaran kedaualatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) itu sendiri. Pemerintah Indonesia pun kemudian melancarkan protes terhadap

pemerintah Malaysia atas tindakan pengklaiman secara sepihak atas Blok Ambalat.

Di sisi lain, sebelumnya Shell pernah mengadakan sebuah perjanjian serupa dengan

Indonesia atas konsesi Blok Ambalat pada tahun 1999. Namun perjanjian pun tidak berlangsung

lama, sehingga pada tahun 2001 pun, kerja sama pemerintah Indonesia dengan Shell pun

berakhir. Pada dasarnya berakhirnya hubungan kerja sama ini dikarenakan pertimbangan bisnis

dari pihak Shell itu sendiri.8 Pada tahun 2005, Shell kemudian diketahui menandatangani kontrak

kerja sama dengan Malaysia dalam rangka eksplorasi minyak di wilayah Ambalat. Hal ini pada

dasarnya merupakan sebuah tamparan yang sangat keras bagi pihak Indonesia. Pemerintah

Indonesia melihat bahwa Shell secara tidak langsung telah memanfaatkan data-data sehubungan

dengan sumber minyak bumi di Blok Ambalat dalam rangka menguasai Ambalat melalui

6 Andi Abdussalam, “News Focus: Malaysia Claims Ambalat for its Oil Reserves”, diakses dari http://www.antara.co.id/en/view/?i=1244416643&c=FEA&s=, pada tanggal 10 September 2009, pukul 06.24.

7 Yanto Musthofa dan Yophiandi, op.cit.8 “Shell Diduga Menggunakan Data Indonesia”, diakses dari

http://berita.liputan6.com/politik/200503/97352/class='vidico', pada tanggal 11 Oktober 2009, pukul 17.39.

4

Page 5: MPHI

Malaysia itu sendiri.9 Oleh sebab inilah, Indonesia sangat mempermasalahkan sengketa dan

keterlibatan Shell dalam sengketa perebutan Blok Ambalat.

2.2 Pertanyaan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini akan mengkaji sebuah

pertanyaan utama yaitu:

“Mengapa kedekatan Shell dengan Malaysia menimbulkan eskalasi konflik antara

Indonesia dengan Malaysia di Blok Ambalat?”

1.3 Tujuan

Bedasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

Mengetahui pengaruh Shell dalam sengketa Ambalat.

Mengetahui peran MNC secara umum dalam eskalasi konflik antar negara.

1.4 Manfaat

Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini sekurang-kurangnya

diharapkan dapat memberikan

Manfaat praktis, dapat memberikan masukan yang berarti bagi Indonesia untuk

menjaga wilayahnya yang kaya akan sumber daya alam, dan lebih ketat dalam

memberikan blok-blok tersebut kepada perusahaan minyak.

Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong asumsi dasar

teori realisme bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual demi

menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional. Selain itu, penelitian ini juga akan

memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai bagaimana MNC sebagai aktor

non-state dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam tatanan hubungan

internasional.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Kerangka Konsep

1.5.1.1 MNC Sebagai Non State Actor dalam Hubungan Internasional

9 Ibid.

5

Page 6: MPHI

Proses globalisasi modal telah memicu pada peran MNCs yang semakin mendominasi dunia

ekonomi internasional dan secara tidak langsung menjadi salah satu aktor yang signifikan dalam peta

perpolitikan internasional. Partisipasi perusahaan oligopolistik tersebut dalam ekonomi global bukan

hanya mencakup masalah ekonomi secara teknis seperti masalah perluasan pasar tetapi juga mencakup

masalah kapasitas dari perusahaan tersebut untuk memiliki power, dominasi, dan kontrol dalam semua

sektor perekonomian. Hal ini dimungkinkan mengingat MNCs memiliki kapasitas untuk mengontrol

proses inovasi dan aplikasi teknologi, media massa, serta mendominasi pasar. Sebagai dampaknya,

perusahaan lokal kapitalis Amerika Latin yang sebelumnya memiliki dominasi dalam perekonomian

nasional harus memutuskan apakah mereka akan bersaing atau tunduk di bawah dominasi perusahaan

transnasional. Faktanya adalah kebanyakan perusahaan lokal ini lebih memilih untuk menjadi partner

ekonomi minor dari MNCs. Ini terbukti dari bagaimana mereka bersedia untuk mengadopsi proses

restrukturisasi ekonomi yang ditimbulkan oleh globalisasi.

Dominasi MNCs juga berdampak negatif dalam hal bagaimana dominasi tersebut dapat

melemahkan sistem perpolitikan sebuah negara. Dampak ini dilakukan oleh sebuah MNC melalui

beberapa tingkat atau tahap. Tahap yang pertama mencakup bagaimana perusahaan multinasional ini

memperkenalkan sebuah sistem demokrasi di mana masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk

terlibat dalam proses decisionmaking. Sistem demokrasi ini merupakan sebuah sistem yang lebih

menekankan pada peran badan eksekutif sebagai penghasil kebijakan nasional. Peran masyarakat sipil dan

bahkan badan legislatif hanya dibatasi hingga pada tahap sebagai pemberi legitimasi terhadap pemerintah

yang sedang berkuasa. Dengan adanya segregasi ini, akan lebih mudah bagi MNC untuk mendapatkan

interestnya mengingat pihak yang dilobi hanya tinggal pemerintah eksekutif. Prinsip negara demokrasi

inilah yang saat ini dianut oleh negara-negara Amerika Latin. Beberapa fungsi pemerintahan yang

dulunya bersifat nasionalis telah ditransfer kepada perusahaan oligarki ini yang bermarkas pusat di

Amerika Serikat.

Tahap berikutnya adalah mencakup bagaimana MNCs memisahkan politik dan ekonomi menjadi

dua dunia yang berbeda. Di Amerika Latin, hal ini dapat jelas dilihat dari bagaimana situasi perpolitikan

di kawasan tersebut diwarnai dengan persaingan politik sengit untuk memperoleh kekuasaan dan

bukannya menekankan pada pencapaian kemakmuran ekonomi masyarakat. Pemisahan ini akan

memungkinkan MNCs untuk semakin menancapkan dominasi ekonominya karena mereka dapat

bertindak sebagai pihak yang seolah-olah mengisi kekosongan ekonomi. Tahap yang ketiga adalah

bagaimana globalisasi memberikan kontribusi dalam hal melemahkan peran partai yang bersifat populis

nasionalis seperti gerakan buruh mengingat globalisasi telah membuat kompetisi di dalam dunia kerja

menjadi semakin sulit. Sehubungan dengan hal ini, MNCs juga seolah-olah mampu menambal

6

Page 7: MPHI

ketidakmampuan partai-partai tersebut mengingat dominasi ekonomi mereka memang dapat membuka

banyak lowongan pekerjaan. Dan sebagai pelengkap akhir dari semua tahap tersebut adalah bagaimana

semua tahap yang sebelumnya dilakukan tidak secara terbuka tetapi secara tersembunyi. Dalam kasus

negara-negara Amerika Latin, proses transformasi sistem ekonomi dan politik yang telah dijelaskan

sebelumnya dilakukan tanpa melalui proses diskusi di Kongres setiap negara. Hal ini sengaja dilakukan

untuk menghindari kemungkinan tentangan awal dari masyarakat setempat yang pada akhirnya dapat

menganggu proses penanaman fondasi dari transformasi itu sendiri.

1.5.1.2 Pihak Ketiga

Konsep third party Donald Black10 menjelaskan kapan dan bagaimana pihak ketiga

terlibat dalam konflik serta efek keterlibatan tersebut. Teori Black bersifat umum dan dirancang

untuk menjelaskan perilaku pihak ketiga dalam seluruh tatanan sosial pada seluruh level

struktural. Menurut Black, Donald and Mary Pat Baumgartner (1983), terdapat berbagai variasi

perilaku pihak ketiga dalam konflik, yang dapat direduksi menjadi tiga kategori utama, yaitu

sebagai berikut.

1. Partisanship (memberikan dukungan). Dalam konflik, pihak ketiga dapat terlibat dalam

berbagai tindakan memihak atau perilaku mendukung satu belah pihak.

2. Inaction (tetap tidak terlibat). Pihak ketiga mungkin mengetahui konflik, tetapi tidak

terlibat. Karena inaction adalah absennya tindakan, efeknya terhadap konflik sulit untuk

diamati.

3. Settlement (mengintervensi secara netral). Perilaku ini melibatkan netralitas pihak ketiga

serta intervensi dalam konflik. Settlement dapat bersifat memaksa maupun halus. Apapun

bentuknya, settlement dapat sangat mengubah arah perkembangan konflik.

Bagi Black, karakteristik sosial pihak ketiga, hubungan mereka, serta status mereka

memainkan peran krusial dalam memprediksi kelanjutan konflik. Black mengungkapkan bahwa

jumlah jarak sosial antara pihak-pihak utama dan pihak ketiga dapat memprediksi baik perilaku

pihak ketiga maupun sifat manajemen konflik. Black menarik suatu paralel antara gravitasi fisik

dan gravitasi sosial dan berargumen dalam “Taking Sides” (1993:126) bahwa “setiap musuh

secara efektif menciptakan medan gravitasi yang menarik pihak ketiga dengan kekuatan yang

10 Disadur dari Scott Phillips dan Mark Cooney, “Aiding Peace, Abetting Violence: Third Parties and the Management of Conflict”, American Sociological Review, Vol. 70, No. 2 (Apr., 2005), h. 334-354

7

Page 8: MPHI

sebanding dengan kedekatan mereka dengan pihak tersebut dan jarak mereka dari lawan.” Asas

gravitasional Black berarti pihak ketiga yang menggabungkan kedekatan dan jarak—dekat

kepada satu sisi dan jauh dari sisi lainnya—tertarik secaara kuat kepada konflik. Pihak ketiga

yang hanya sedikit lebih dekat dengan satu sisi hanya tertarik secara lemah. Black (1993:126)

membuat proposisi: “Partisanship adalah fungsi bersama kedekatan sosial kepada satu sisi dan

kejauhan sosial dari sisi lainnya,” kemudian mengungkapkan suatu efek status bahwa

partisanship adalah suatu fungsi bersama superioritas sosial satu sisi dan inferioritas sosial sisi

lainnya. Pihak ketiga yang sama jauhnya dengan kedua sisi tidak akan tertarik ke sisi manapun,

menjadi nonpartisan dingin, memperlihatkan inaction, dan mereduksi peluang terjadinya

kekerasan. Pihak ketiga yang sama dekatnya dengan kedua sisi akan menjadi nonpartisan

hangat, bertindak sebagai agen settlement dan juga mereduksi peluang terjadinya kekerasan.

Selain itu, setiap penjajaran pihak ketiga cenderung menghasilkan pola konfliknya sendiri.

Konflik kemungkinan besar berlarut-larut ketika partisanship kuat, menghilang ketika

partisanship lemah, minimalis ketika non-partisanship dingin, dan bersifat memperbaiki ketika

non-partisanship hangat.

Dengan demikian konflik Indonesia dan Malaysia di Ambalat menurut teori eskalasi

konflik dan pihak ketiga dapat dibuktikan meningkat melalui indikator:

1. Perubahan taktik ringan menjadi taktik berat yang ditandai dengan penempatan

perlengkapan bersenjata seperti kapal perang dan pesawat tempur di perairan Ambalat.

2. Kehadiran Shell sebagai pihak ketiga memperkeruh konflik persengketaan karena aktor

yang terlibat sehingga kompleksitas konflik meningkat. Hal ini berkaitan dengan karakter

Shell yang partisanship (tidak netral), sementara karakter partisanship menyebabkan

konflik berlarut-larut atau disebut juga bereskalasi.

3. Permasalahan bergerak dari isu sengketa sumber daya alam kepada isu kedaulatan karena

Shell akhirnya secara tidak langsung mengakui kedaulatan Malaysia atas Ambalat

padahal secara hukum laut UNCLOS II, Ambalat masih merupakan teritori NKRI.

1.5.2 Literature Review: Peran Multi-national Corporation dalam Eskalasi Konflik

Antarnegara

8

Page 9: MPHI

Peran multi-national corporation (MNC) dalam eskalasi konflik antarnegara dapat dilihat

dalam framework partisanship dalam teori third party Donald Black. Berbagai literature review

yang dilakukan tim penulis menunjukkan bahwa MNC dapat menjadikan konflik berlarut-larut

karena partisanship kuat terhadap pihak yang dapat menghadirkan lebih banyak kepentingan

profit bagi MNC yang bersangkutan, seperti dalam konflik energi Timur Tengah serta dalam

berbagai konflik yang diintervensi Amerika Serikat berikut ini. Partisanship kuat tersebut dapat

termanifestasi dalam koalisi dengan pihak yang disponsori secara langsung oleh pemerintahan

negara, atau bahkan bekerja untuk pemerintahan negara yang bersangkutan.

Jonathan Nitzan dan Shimshon Bichler (1995) mengungkapkan bahwa terdapat politisasi

progresif bisnis minyak dalam konflik energi Timur Tengah, dengan komersialisasi transfer

senjata yang berkembang dan membantu membentuk apa yang Nitzan-Bichler sebut “Koalisi

Weapondollar11-Petrodollar12” antara para kontraktor militer utama dan perusahaan-perusahaan

minyak. Ketika mereka terjalin dalam realignment politik OPEC dan negara-negara industrial,

profit yang berbeda dari perusahaan-perusahaan ini berkembang menjadi semakin tergantung

pada interaksi sulit antara harga minyak yang naik dan ekspor senjata yang berkembang yang

berasal dari konflik energi Timur Tengah yang berturut-turut. Pada saat yang sama, perusahaan-

perusahaan ini bukanlah penonton pasif, ditandai dengan korelasi antara pengiriman senjata ke

Timur Tengah dan pendapatan minyak kawasan ini, serta dengan fakta bahwa setiap konflik

energi sejak Perang Arab-Israel 1967 dapat diprediksi dengan kemunduran berlawanan performa

profit yang berbeda dari perusahaan-perusahaan minyak besar. Nitzan-Bichler kemudian

mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan antara politik dan bisnis global di Timur Tengah

yang ditandai interaksi weapondollar dan petrodollar. Ekspor senjata, yang sebelumnya

digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri utama, telah mengalami komersialisasi bertahap,

sedangkal impor minyak, yang berada pada lingkungan bisnis, telah semakin terpolitisasi. Proses

mempersatukan kedua lingkungan tersebut adalah pencarian kekuasaan melalui akumulasi

kapital yang berbeda.13 Dalam hal ini, MNC cenderung memperpanjang kepentingan profitnya

dalam konflik, dalam konteks krisis energi Timur Tengah dengan berkoalisi dengan Private

11 Weapondollar diartikan sebagai pendapatan dari impor senjata yang mengalir keluar dari kawasan12 Petrodollar diartikan sebagai pendapatan dari ekspor minyak yang mengalir ke dalam Timur Tengah13 Jonathan Nitzan and Shimshon Bichler, “Bringing Capital Accumulation Back in: The Weapondollar-Petrodollar Coalition-Military Contractors, Oil Companies and Middle East 'Energy Conflicts'”, Review of International Political Economy, Vol. 2, No. 3 (Summer, 1995), h. 446-515

9

Page 10: MPHI

Military Firm (PMF), dan hal ini penulis lihat dapat memperpanjang waktu konflik sehingga

berujung pada eskalasi.

PMF sendiri, sebagai salah satu bentuk MNC, dapat membawa kepada eskalasi konflik

dengan caranya sendiri. Menurut P.W. Singer (2005), PMF telah mengangkat berbagai dilema

dalam kebijakan Amerika Serikat. Beberapa dilema tersebut terkait dengan peran MNC dalam

konflik. Salah satu dilema yang penulis angkat di sini terkait pertanyaan sifat industri militer

global yang tak teregulasi. Tak terdapat cukup kontrol tentang untuk siapa perusahaan-

perusahaan tersebut dapat bekerja. Walaupun para kontraktor militer bekerja untuk pemerintahan

demokratis, PBB, dan organisasi-organisasi humaniter serta organisasi-organisasi lingkungan,

PMF juga bekerja untuk para diktator, kelompok-kelompok pemberontak, kartel obat-obatan,

dan, sebelum peristiwa 11 September 2001, untuk dua kelompok jihad yang terhubung dengan

al-Qaeda. Peristiwa di Guinea Ekuator menggambarkan bagaimana PMF dapat bertindak di luar

pedoman dan peraturan-peraturan eksternal. Pada Maret 2004, suatu PMF Inggris-Afrika Selatan

bernama Logo Logistics diduga merencanakan penggulingan pemerintahan di Malabo. Satu

pesawat terbang penuh pegawai ditangkap di Zimbabwe, dan beberapa orang yang diduga

sebagai penyumbang dana dalam aristokrasi Inggris (termasuk Sir Mark Thatcher, putra

Margaret Thatcher) segera terlibat dalam skandal tersebut. Anggota komplotann tersebut diduga

mencoba menjatuhkan pemerintahan Guinea Ekuator karena alasan profit.14 Menurut penulis, hal

ini merefleksikan bagaimana PMF dapat terlibat dalam konflik dengan memihak atau

mendukung satu belah pihak, dalam hal ini dengan bekerja untuk salah satu negara yang terlibat

dalam konflik; dengan kata lain, partisanship dalam teori third party Donald Black. Walaupun

konteks konflik di sini lebih luas, namun cakupan ini dapat dipersempit ke dalam konflik

antarnegara, seperti antara Amerika Serikat (AS) dan Afghanistan dalam kasus PMF yang

dipekerjakan oleh asosiasi al-Qaeda (kelompok teroris yang disponsori negara) atau antara

Inggris dan Guinea Ekuator dalam ilustrasi Singer.

Terdapat juga tujuan-tujuan politik yang berusaha dicapai suatu pemerintahan dengan

menggunakan kontraktor militer swasta, yang menurut penulis dapat merefleksikan partisanship.

Singer mengungkapkan bahwa dengan menyewa PMF, pemerintahan Bush telah mengelakkan

regulasi batas-batas kongresional tentang ukuran dan jangkauan keterlibatan militer AS dalam

perang sipil Kolombia. Pemerintahan Bush juga menggunakan PMF di Irak untuk menurunkan

14 P. W. Singer, “Outsourcing War”, Foreign Affairs, Vol. 84, No. 2 (Mar. - Apr., 2005), h. 125.

10

Page 11: MPHI

secara dramatis harga politis kebijakan-kebijakannya di Irak. Tanpa kehadiran 20.000 kontraktor

militer swasta yang beroperasi di Irak, AS harus mengerahkan lebih banyak lagi tentaranya di

Irak atau meyakinkan negara lain untuk meningkatkan komitmen mereka; kedua pilihan ini akan

menimbulkan kompromi-kompromi politik yang menyakitkan. Dengan meng-outsource sebagian

keterlibatan AS di Irak, pemerintahan Bush juga dapat menutupi biaya total, karena korban dan

penculikan kontraktor tidak masuk dalam daftar nama korban untuk publik dan jarang disebutkan

media. Kontrak PMF juga tidak menjadi subjek Freedom of Information Act, sehingga

mengurangi transparansi dan membahayakan kesehatan demokrasi AS.15 Dengan keterlibatan ini,

PMF dapat memperpanjang waktu konflik sehingga berujung pada eskalasi.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dimulai dengan data-data empiris

yang kemudian diikuti dengan ide abstrak yang menghubungkan ide dengan data. Penelitian

kualitatif ini difokuskan untuk melihat perubahan pada aspek-aspek sosial yang terjadi pada

subyek penelitian.16 Pendekatan penelitian kuantitatif terbagi menjadi empat dimensi yaitu :

1.6.1.1 Berdasarkan Tujuan

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yaitu penelitian yang

mencoba menjelaskan hubungan sebab akibat yang terjadi pada suatu kasus dengan menekankan

pada pertanyaan mengapa untuk dijawab dalam penelitiannya.17 Penelitian ini berusaha

memberikan penjelasan kausal dari peran Shell sebagai pihak ketiga dengan eskalasi konflik

Ambalat yang terjadi antara Indonesia-Malaysia. Penelitian ini menekankan peran Shell sebagai

Multinational Corporation (MNC) yang menjadi pihak ketiga yang mengakibatkan terjadinya

eskalasi konflik.

1.6.1.2 Berdasarkan Manfaat

Penelitian ini dibuat sebagai bentuk basic research untuk mengembangkan teori dan

konsep yang telah ada sebelumnya pada aplikasi kasus. Basic research menawarkan

15 Ibid., h. 125-126.16 W. Lawrence Neuman, Social Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches (Boston : Allyn and Bacon, 1998), hal 32.17 Ibid. hal 21.

11

Page 12: MPHI

pembentukan dari pengetahuan dan pemahaman yang dapat digeneralisasikan pada banyak area

kebijakan, permasalahan, dan pembelajaran.18

1.6.1.3 Berdasarkan Dimensi Waktu

Penelitian ini merupakan longitudinal research yang dilakukan untuk mengumpulkan

informasi dari subyek penelitian dalam beberapa periode waktu, sehingga pengamatan dilakukan

dari tahun ke tahun terhadap perubahan dan proses sosial dari subyek penelitian. Penelitian ini

melihat perkembangan dinamika konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia yang dibagi

kedalam dua periode waktu yaitu periode sebelum masuknya Shell dalam konflik tersebut dan

periode dimana Shell mulai memainkan perannya dalam konflik Ambalat.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan dengan penelitian perbandingan sejarah

yang dilakukan dengan studi literatur yang digunakan untuk menjembatani penelitian dengan

kasus. Metode ini melihat aspek-aspek sosial yang berubah-ubah seiring perkembangan sejarah

kemudian membandingkannya. Dalam melakukan analisis mengenai peran Shell sebagai pihak

ketiga dalam konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia, penelitian ini menggunakan literatur

berupa buku-buku, jurnal, review, dan penelitian yang telah diterbitkan sebelumnya serta

penggunaan internet untuk mengakses jurnal-jurnal online dan buku elektronik. Selain studi

literatur, penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang telah ada untuk dianalisis, data

sekunder disini berupa statistic atau angka-angka dan grafik dari penelitian-penelitian yang

sudah ada sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan analisis dan memberikan

penjelasan untuk menjawab mengapa dengan adanya peran Shell dalam kasus Ambalat antara

Indonesia-Malaysia ini berakibat pada terjadinya eskalasi konflik.

18 Ibid.

12

Page 13: MPHI

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Sengketa Ambalat per Periode

2.1.1 Sengketa Ambalat: Bagian dari Sengketa Perbatasan Indonesia dan Malaysia yang

Lebih Besar

Perbatasan maritim antara Indonesia dan Malaysia berlokasi di empat perairan, yaitu

Selat Malaka, Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Laut teritorial kedua

negara, yang mengklaim laut teritorial 12 mil (22 km), hanya bertemu di Selat Malaka dan Selat

Singapura. Perbatasan laut teritorial juga terdapat pada kelanjutan akhir dari perbatasan darat

antara kedua negara di Kalimantan. Hanya perbatasan tapal batas kontinental yang telah disetujui

di Laut China Selatan, sementara perbatasan tapal batas kontinental di Laut Sulawesi belum

ditentukan sama sekali. Hal ini menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia

dan Malaysia terjadi di Laut Sulawesi. Kedua negara mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan

dan Ligitan (hingga Indonesia kalah pada keputusan International Court of Justice/ICJ atas

pertimbangan “effective occupation” dan bukan de jure) serta Blok Ambalat yang kaya sumber

daya mineral.

Sengketa Ambalat dimulai pada 1979 ketika Malaysia memublikasikan peta yang

menunjukkan perairan teritorial dan tapal batas kontinentalnya. Peta tersebut menarik perbatasan

maritim Malaysia mengarah ke tenggara di Laut Sulawesi dari titik paling timur perbatasan darat

Indonesia-Malaysia di pantai timur Pulau Sebatik, memasukkan sebagian besar blok Ambalat ke

dalam perairan teritorial Malaysia. Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Malaysia

lainnya, menolak peta tersebut. Namun, usaha-usaha mendefinisikan perbatasan maritim

Indonesia-Malaysia telah dimulai sejak 1967, yang akan disisipkan dalam data berikut.

13

Page 14: MPHI

Sengketa Ambalat dan Perbatasan Indonesia-Malaysia

gambar:  http://aguskuswanto.wordpress.com/2009/06/04/kronologi-sengketa-ambalat/

2.1.2 Periode 1967-1998

Pada 1967, untuk pertama kalinya dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara

Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kecuali terkait Sipadan dan

Ligitan, yang diberlakukan sebagai keadaan status quo.19 Pada 27 Oktober 1969, dilakukan

penandatanganan Kontinental Shelf Boundary Agreement (Perjanjian Tapal Batas Kontinental

Indonesia-Malaysia), kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.

Menurut The Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research, garis

dasar yang baru dikonstruksi Malaysia dimaksudkan untuk membawa Malaysia kepada

kedudukan yang sama dalam pembagian tapal batas kontinental dengan Indonesia yang

19 Lihat Majalah Berita Mingguan Tempo, “Sengketa di Antara Negeri Serumpun”, diperoleh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1991/07/06/NAS/mbm.19910706.NAS14471.id.html 21 November 2009 10:55

14

Page 15: MPHI

sebelumnya telah menarik garis-garis pangkal lurus. Perjanjian tersebut adalah suatu usaha

membagi tapal batas secara sama di antara garis-garis pangkal kedua negara.20

Pada 1969, Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan, dan

Batu Puteh (Pedra Blanca) ke dalam perairan teritorial Malaysia. Indonesia dan Singapura tidak

mengakui peta baru Malaysia tersebut. Pada 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan

Tapal Batas Laut Indonesia dan Malaysia. Pada 1971, antara 17-21 Desember, Indonesia,

Malaysia, dan Thailand menandatangani suatu rangkaian perjanjian yang 1) menetapkan suatu

tripoin bersama (common tripoint) bagi perbatasan maritim masing-masing; 2) meneruskan

perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia kepada tripoin bersama tersebut; 3)

memperpanjang perbatasan maritim Malaysia-Thailand hingga Poin Bersama (Common Point)

tersebut; serta 4) secara parsial membatasi perbatasan maritim Indonesia-Thailand.21

Pada 1979, Malaysia kembali memublikasikan suatu peta perairan teritorial dan landas

kontinennya yang menarik garis perbatasan maritim Malaysia ke arah tenggara di Laut Sulawesi

dari titik paling timur perbatasan darat Indonesia-Malaysia di pantai timur Pulau Sebatik,

memasukkan sebagian besar blok Ambalat ke dalam perairan teritorial Malaysia yaitu dengan

memajukan koordinat 4°10’ arah utara melewati pulau Sebatik. Indonesia, sebagaimana negara-

negara tetangga Malaysia yang lain, menolak peta tersebut.

20 “International Boundary Study, Series A: Limits in the Seas” No. 1 – January 21, 1970, “Indonesia – Malaysia Continental Shelf Boundary” (Country Codes: ID-MY), The Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research 21 Limits in the Seas” No. 81 – December 27, 1978, “Maritime Boundaries: Indonesia – Malaysia – Thailand”, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research

15

Page 16: MPHI

Peta yang dipublikasikan Malaysia pada 1979. Peta direproduksi Kementerian Luar Negeri Singapura sebagai respon terhadap kasus International Tribunal of the Law of the Sea terkait reklamasi tanah oleh Singapura di Selat Johor. http://www.mfa.gov.sg/reclamation/img3.html 18 November 2009 23:47

Indonesia telah mengajukan 36 protes dalam nota diplomatik kepada Malaysia tentang

pelanggaran sengketa teritorial sejak 1980.22

2.1.3 Periode 2005

Konsesi Minyak SHELL. Pada 15 Februari 2005, PETRONAS memberikan dua

Production Sharing Contract (PCS) kepada Shell dan PETRONAS Carigali Sdn Bhd untuk Blok

ND6 (sebelumnya Blok Y) dan ND7 (sebelumnya Blok Z) di lepas pantai timur Sabah. Blok

ND6 meliputi suatu wilayah seluas 8.7000 km2, di mana Shell dan PETRONAS Carigali akan

memperoleh dan memproses 1.700 km2 data seismik baru dan menggali tiga sumur dengan

komitmen finansial minimum terhadap Blok Ambalat sebesar US $37 juta. Blok ND7 Block 22 “Malaysian warships chase away Indonesian fishermen from Ambalat”, diperoleh dari http://thejakartaglobe.com/national/talks-with-malaysia-on-ambalat-border-dispute-to-resume-in-july/312607

16

Page 17: MPHI

memiliki wilayah seluas 17.000 km2, di mana Shell dan PETRONAS Carigali akan memperoleh

dan memproses 800 km2 data seismik 3D baru dan menggali satu sumur dengan komitmen

finansial minimum sebesar US $13 juta. Shell and PETRONAS Carigali akan beroperasi secara

bersama di kedua Blok. Shell memiliki 50% working interests yang terbagi di antara Sabah Shell

Petroleum Co Ltd (40%) dan Shell Sabah Selatan Sdn Bhd (10%). PETRONAS Carigali

memiliki sisa 50%.23

2.1.4 Periode 2008

Efek Keputusan International Court of Justice tentang Sengketa Sipadan dan

Ligitan terhadap Sengketa Ambalat. Setelah kalah dalam kasus Sipadan dan Ligitan dalam

International Court of Justice (ICJ), Indonesia mengamandemen garis-garis pangkalnya,

mengeluarkan Sipadan dan Ligitan dari titik-titik pangkalnya. Pada 2008, Indonesia menarik

ulang garis-garis pangkalnya dari pantai timur Pulau Sebatik hingga Karang Unarang dan tiga

titik lainnya. Sehingga, Blok Ambalat tidak lagi sepenuhnya berada dalam perairan dalam

Indonesia.

2.2 Sejarah Awal Royal Dutch Shell di Indonesia

Shell merupakan sebuah join-company antara Inggris dan Belanda yang bergerak di

bidang minyak dan gas bumi yang telah ada di banyak negara di dunia, salah satunya di

Indonesia. Royal Dutch Shell didirikan di Hague pada tahun 1890. Namun sebelum itu pada

tahun 1884 terdapat sejarah antara Shell dan Indonesia dimana seorang pria berkebangsaan

Belanda, Aeilko Jans Zijlker menemukan jejak adanya minyak di Pulau Sumatra. Setelah

mendapat izin dari pemerintah setempat yaitu Sultan Langkat, ia mengebor sumur pertama,

namun hasilnya nihil. Setelah itu dilanjutkan di sumur kedua di Telaga Tunggal 1 yang terletak

di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara. Namun hasilnya sama. Oleh karena itu pada tahun 1890,

Ziljker mengubah Provisional Sumatra Petroleum Company menjadi perusahaan yang bergerak

di bidang lain dan mendirikan Royal Dutch Petroleum Company di Hague.24

23 “Shell & Petronas Carigali Awarded Two Ultra-Deepwater Blocks”, PETRONAS, Rabu, 16 Februari 2005 diakses dari https://www.rigzone.com/news/article.asp?a_id=20354 22 November 2009 14:4024 History of Shell in Indonesia, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/history_of_shell_indonesia_0905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 12.00 WIB.

17

Page 18: MPHI

Shell sesuai namanya memulai bisnis pertamanya dalam hal perdagangan cangkang

kerang oriental. Tahun 1833, Marcus Samuel membuka bisnis ini di London. Lain halnya Royal

Dutch Petroleum yang memang berdiri untuk mengeksplorasi minyak. Bermula dengan

perpindahan Aeilko Jans Zijklert, seorang pembudidaya tembakau di Jawa Timur , menuju pantai

timur Sumatera tahun 1880 ketika pemerintah mengumumkan pembukaan wilayah ini untuk

perkebunan. Ketika beliau mengelilingi pulau tersebut, nampak jejak-jejak minyak bumi, maka

beliau meninggalkan pekerjaannya dan dengan meminta izin pada kekuasaan setempat, Sultan

Langkat, beliau menggali sumur minyak yang pertama di tahun 1884. Pada tahun yang sama,

beliau juga menggali di Pangkalan Bradan dan memang di situ akhirnya minyak ditemukan. Pada

tahun 1890 Zijklert bertaruh untuk mengubah perusahaannya “Provisional Sumatera Petroleum

Company” menjadi lebih substansial sehingga tanggal 16 Juli 1890, proposal untuk mendirikan

Royal Dutch Company dieksekusi oleh The Hague. Meskipun Zijklert meninggal 27 Desember

1890, koleganya, De Gelder mengambil alih kepemimpinan perusahaan Zijklert yang akhirnya

sudah bernama Royal Dutch Petroleum untuk menemukan lebih banyak lagi tambang minyak

dan mengembangkan perusahaan.

Shell memulai bisnisnya di Indonesia sejak tahun 1892 dengan mendirikan pengilangan

minyak di Pangkalan Bradan Sumatera Utara. Pada saat itu Shell masih bernama Royal Dutch

Petroleum sementara nama Shell sendiri berasal dari Shell Transport and Trading Company yang

merger dengan Royal Dutch Petroleum tahun 1902. Perusahaan joint venture itu bernama Royal

Dutch Shell. Keduanya menyetujui format pembagian keuntungan 60:40 pada tahun 1907. Pada

tahun 1965, Shell menjual semua aset Indonesia ke Pertamina dilanjutkan pada tahun 1969 Shell

kembali memulai aktivitas eksplorasi dan produksi di Kalimantan Timur. Beberapa tahun

berselang, Shell dan Pertamina memutuskan untuk bekerja sama pada tahun 1977 di bidang

pelumas dengan menandatangani Technical Services Agreement.25

Kemudian di Pulau Sumatera, perusahaan ini juga membuka pelabuhan di dekat

Pangkalan Susu. Di tahun 1898, pelabuhan Pangkalan Susu berhasil didirikan dan hal ini

menjadikan Pangkalan Susu sebagai pelabuhan pertama yang mengirimkan minyak di Indonesia.

Selain di Sumatera Utara, Shell juga membuka penambangan minyak di Kalimantan Timur pada

25 Shell Indonesia in Flashback, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/about_shell_flashback_290905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 13.00 WIB.

18

Page 19: MPHI

tahun 1897 dengan membangun pengilangan di Balikpapan yang resmi beroperasi tahun 1899.

Memasuki abad 20, perusahaan merger Royal Dutch Petroleum dan Shell Transport and Trading

Company, resmi menggunakan nama Royal Dutch Shell yang kemudian lazim dikenal dengan

Shell saja. Tahun 1910, Shell mulai mencaplok perusahaan-perusahaan penambangan minyak di

Indonesia yang waktu itu ada sekitar 18 perusahaan. Hingga akhirnya 29 Juni 1911, Shell

membeli perusahaan minyak independen yang terakhir di Indonesia, The Dordtsche Petroleum

Miij. Dengan pembelian ini, lengkap sudah dominasi industi minyak bumi Shell di wilayah

Indonesia.

Perkembangan Shell berikutnya yang cukup signifikan adalah saat Shell menjual semua

aset mereka kepada Pertamina tahun 1965, akan tetapi pada saat itu mereka juga memiliki

perwakilan di Indonesia. Pada tahun 1969, Shell mendapatkan izin untuk mengadakan

Exploration and Production (EP). Aktivitas pertama mereka dijalankan di Kalimantan Timur

dengan nama Kaltim Shell PSC. Selain bidang eksplorasi minyak, Shell juga menjalankan bisnis

petrokimia yang dimulai dengan proyek Cilacap tahun 1989 namun dihentikan tahun 1993. Shell

terus berbisnis dalam bidang petrokimia dengan mulai memproduksi pelumas yang ditandai

dengan penendatanganan MoU bersama Pertamina tahun 1994. Shell juga membangun

perusahaan turunannya, PT. Kridapetra Graha (KPG) sebagai menufaktur dan pemasar bitumen.

Akan tetapi pada tahun 2001, bisnis Exploration and Production (EP) di Indonesia resmi ditutup.

Sebagai gantinya, Shell memulai bisnis Gas and Power (GP) karena dibukanya kesempatan

memasarkan bahan bakar setelah monopoli Pertamina dihapuskan. Oleh karena itu mulai banyak

dibuka SPBU Shell di Indonesia khususnya di Jakarta.

Kerja sama Pertamina dan Shell berlanjut pada tahun 1994 keduanya menandatangani

MoU untuk joint venture di Lube Oil Blending Plant yang pada diakhiri pada tahun 1998. Tahun

1997, Shell membuat gebrakan dengan mengeluarkan pelumas high-grade yaitu Shell Helix

Super, Helix Plus dan Helix Ultra. Gebrakan ini sekaligus mengakhiri Technical Services

Agreement (TSA) yang dibentuk tahun 1977. Empat tahun kemudian, kegiatan eksplorasi dan

produksi di Indonesia dihentikan. 26

Namun kerja sama dilanjutkan pada tahun 2005 Shell Solar membuka kantor penjualan di

Jakarta. Pada tanggal 1 November 2005 dibuka SPBU pertama di Lippo Karawaci. Ini

26 Ibid.

19

Page 20: MPHI

merupakan SPBU internationally-branded pertama di Indonesia. Selain itu Shell dan Pertamina

juga menandatangani kesepakatan untuk kerja sama eksplorasi di bidang bahan bakar

penerbangan. Pada bulan Desember di tahun yang sama, Shell menawarkan proyek pembukaan

lahan baru di Sulawesi Barat. Pada tahun 2006 Shell dengan sukses meluncurkan produknya

yaitu Shell Helix RRR (Refresh, Rvive, Rejuvenate) dan membuka dua SPBU baru di S.Parman

dan Warung Buncit.27 Sampai saat ini SPBU Shell berjumlah 41 yang tersebar di Pulau Jawa.28

2.3 Kiprah Royal Dutch Shell di Indonesia

Royal Dutch Shell hadir di Indonesia dengan berbagai kegiatan bisnis di berbagai bidang

yang mengedepankan produk andalan Shell yaitu pelumas, batu bara dan bahan bakar.29 Di

bidang transportasi, Shell menawarkan berbagai minyak pelumas termasuk salah satunya yang

bermerk Rimula yang telah dikenal oleh perusahaan transportasi di dunia. Dalam bidang

perkapalan, Shell menawarkan bahan bakar, pelumas, dan jasa lain yang telah digunakan di lebih

dari 15 pelabuhan besar di Indonesia. Dalam bidang aviasi, Shell dan Pertamina telah

menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dalam bidang bahan bakar

penerbangan. Isinya adalah kesepakatan untuk kerja sama dalam mengeksplorasi bisnis

penerbangan. Dalam bisnis batu bara, Shell Flintkote sebagai salah satu anak cabang Shell yang

bergerak di bidang Water Proofing System memberikan pelanggan solusi untuk melindungi

struktur bangunan dari risiko kebocoran. Selain itu Shell juga menawarkan jasa eksplorasi dan

produksi minyak dan gas bumi serta bidang lain seperti pelumas otomotif, dan lain-lain.30

Shell di Indonesia disebut Shell Companies in Indonesia (SCI) dan mengaku teap

menjalankan prinsip bisnis utama mereka yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, integritas, dan

hormat kepada masyarakat. Selain itu, SCI juga berkomitmen untuk pengadaan sustainable

development yang diaplikasikan dalam pendekatan sistematis di bidang kesehatan, keselamatan,

keamanan dan lingkungan (Health, Safety, Security, and Environment – HSSE), contoh proyek

27 Ibid28 Our Location, diakses dari http://www.shell.com/home/content/id-en/shell_for_motorists/site_locator/site_locator.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 12.40 WIB.29 Shell Indonesia Profile, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/about_shell/who_we_are/about_shell_profile_210905.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 01.00 WIB.30 Ibid.

20

Page 21: MPHI

yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pelatihan mengemudi dan regular health risk

assessment bagi para karyawan. Namun bukan hanya keamanan dan kesehatan pekerja yang

diperhatikan, SCI juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan untuk para staf agar

bisa melakukan personal development untuk menunjang career path yang juga dapat digunakan

dalam upaya pencapaian goal perusahaan. Pelatihan tersebut dilaksanakan dengan nama

Learning and Development. 31.

Dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, Shell memahami bahwa mereka bukanlah

satu-satunya aktor yang ada di Indonesia. Oleh karena itu SCI juga berkomitmen untuk

membangun area dan komunitas di mana SCI beroperasi. Proyek social investment program ini

disebut Shell LiveWIRE yang mengajak pemuda berusia 18-32 tahun untuk berkompetisi dalam

bidang kewirausahaan. Peserta akan diberikan pelatihan, dukungan dan bimbingan untuk

membangun sendiri bisnis mereka yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan mereka

pribadi dan lingkungan di sekitarnya. Proyek sosial SCI lainnya bergerak di bidang pendidikan

dengan memberikan beasiswa, kesehatan masyarakat, community development, environment and

sustainable energy programs.32 Namun Shell mengakui bahwa social investment yang

dikerjakannya di Indonesia adalah murni dari Shell sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat

Indonesia, tidak untuk mendukung partai politik, organisasi keagamaan, bantuan internasional,

bantuan umum, bantuan dari individu – ataupun untuk usaha penggalangan dana, aktivitas sosial

maupun organisasi apapun baik sosial maupun komersial.33

Kegiatan Shell di Indonesia dapat dilihat lebih jelas melalui pembagian tahun seperti

tabel dibawah ini :

31 Ibid.32 Ibid.33 How Our Social Investment Program Works, diakses dari http://www.shell.com/home/content2/id-en/society_environment/guidelines_social_investment_1106.html, pada tanggal 12.51 WIB.

21

Page 22: MPHI

2.4 Kiprah MNC Royal Dutch Shell di Malaysia

22

Page 23: MPHI

Kegiatan exploration and production adalah sebuah kegiatan untuk menggali sumber

daya alam, mengolahnya, dan menghasilkan barang jadi (produk). Dengan bentuk kegiatan

seperti itu maka hak untuk melakukan exploration and production (EP) dapat dilihat sebagai

sebuah hak eksklusif dan tentunya sangat bernilai. Karena bernilainya hak EP ini, beberapa

perusahaan seperti Shell mencarinya hingga lokasi yang jauh dari kantor pusatnya. Terlebih lagi,

perusahaan besar seperti Shell sepertinya tidak bergerak fokus di satu negara tetapi lebih lintas

batas dalam sebuah region. Kegiatan EP Shell juga ditemukan di Malaysia pada tahun 1910 atau

11 tahun setelah dilakukannya perjanjian kerjasama Shell dengan Indonesia tahun 1899.

Sementara kegiatan perdagangannya sendiri sudah dilakukan sejak permulaan era 1890an.

Kiprah Shell di Malaysia secara legal ditandai dengan pendirian Shell Malaysia Limited

pada 28 Februari 1911. Badan usaha ini dipegang Shell Overseas Holding Limited dan the

Asiatic Petroleum Company Limited. Perkembangan Shell di Malaysia awalnya lebih berfokus

pada kegiatan exploration and production di Sabah dan Serawak. Akan tetapi sejak

ditetapkannya Petroleum Development Act tahun 1974 yang menempatkan pengelolaan aset

hidrokarbon negara pada perusahaan nasional PETRONAS. Dengan peraturan baru ini, Shell

akhirnya menjalin kerjasama dengan PETRONAS melalui Production Sharing Contract (PSC)

yang juga melibatkan anak perusahaan PETRONAS yang khusus mengurusi masalah exploration

and production, PETRONAS Carigali. Shell Malaysia juga merambah lebih dalam dan kompleks

dengan memperlebar jaringan eksplorasi ke lepas pantai Sabah dan Sarawak. Dengan

kelimpahan ini, Shell mengembangkan bisnisnya ke arah produk turunan hidrokarbon misalnya

oli, LPG, dan bitumen. Kegiatan mengurusi produk turunan ini mencakup kegiatan menufaktur,

perdagangan, suplai, distribusi, marketing, dan penjualan. Dengan tersebarnya 870 stasiun

pengisian bahan bakar Shell di seluruh Malaysia, Shell telah menjadi pemain penting bagi sektor

minyak bumi di situ. Dengan permintaan yang positif, Shell juga mendirikan pengilangan untuk

pemenuhan suplai internasional di Port Dickson, Negeri Sembilan.

Kegiatan Shell di Malaysia cukup dominan dengan keseriusan Shell membangun fasilitas

kegiatan exploration and production bersama pemerintah Malaysia. Kegiatan penambangan di

lepas pantai Sabah dan Serawak menghadapi tantangan yang besar berhubung kesulitan kondisi

misalnya penambangan pada perairan yang dalam. Akan tetapi tantangan ini dijawab dengan

pembangunan berbagai fasilitas pendukung seperti E11 Hub yang mengintegrasikan proyek lepas

23

Page 24: MPHI

pantai di Serawak. Proyek di atas adalah salah satu proyek utama Shell di Asia Pasifik yang saat

ini sedang dalam proses pengerjaan. E11 Hub memungkinkan adanya koneksi antar sumur

penambangan di sekitar lepas pantai Serawak melalui sebuah hub terintegrasi yang kemudian

menyalurkan gas yang dihasilkan ke kompleks pengolahan LNG di Binulu.

Shell juga serius mengembangkan penambangan yang memanfaatkan teknologi tinggi di

Malaysia. Beberapa teknologi yang digunakan adalah advance seismic, integrated reservoir

model, expandable tubular for well, managed pressure drilling, smart well, seabed logging, dan

real time operation yang memungkinkan akses data penambangan online dan menbuka pintu

pada pengerjaan penambangan secara online dari jarak jauh.

Shell sangat berkomitmen untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan

implementasi teknologi dan pemasaran yang jitu. Hal ini nampak dari kegiatan Shell baik di

Indonesia maupun di Malaysia. Di kedua negara ini, Shell memegang peranan yang cukup

penting di sektor energi khususnya minyak bumi, gas, dan hasil olahannya. Dengan posisi

strtategis ini maka dapat dikatakan bahwa Shell juga memegang pengaruh yang penting pada

situasi kondisi penambangan di kedua negara ini.

2.5 Aktivitas Awal Shell di Ambalat

Salah satu wilayah yang pernah dikelola oleh Shell adalah Ambalat. Ambalat merupakan

sebuah lokasi yang berada di Kalimantan Timur merupakan sebuah lokasi yang memiliki luas

sekitar 6.700 kilometer persegi. Bagian barat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd. (Italia), dan bagian

timur dioperasikan Unocal Indonesia Ventures Ltd. (Amerika Serikat). Belakangan, bagian ENI

disebut Blok (ENI) Ambalat, dan daerah Unocal disebut Blok Ambalat Timur. 34

Namun sebuah sumber mengungkapkan, potensi di Blok Ambalat (Barat dan Timur)

mencapai 62 juta barel minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Jika dikonversikan ke harga

minyak dan gas bumi saat ini, maka pemasukan negara akan sangat besar. Bila dibandingkan

dengan produksi lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang

menjanjikan. Ladang minyak Tarakan di Nunukan, Kalimantan Timur, yang dioperasikan Medco

E&P, hanya memproduksi 666 barel minyak dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan

34 Dara Meutia Uning, Arif Kuswardono, Memburu Emas Hitam, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/14/LU/mbm.20050314.LU107073.id.html, pada tanggal 17 November 2009, pukul 19.20 WIB.

24

Page 25: MPHI

wilayah kerja Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barel minyak dan 5.000 kaki kubik

gas setiap hari. Sementara itu penguasaan Malaysia atas Ambalat mencakup daerah yang lebih

luas, 25.700 kilometer persegi atau hampir seluas Provinsi Sulawesi Utara. Namanya Blok ND 6

dan ND 7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y dan Z. Kini keduanya dioperasikan Shell

(Belanda) bersama Petronas Carigali Sdn. Bhd. (Malaysia).35

Dari fakta di atas dapat dipahami bahwa Ambalat diperebutkan oleh Indonesia dan

Malaysia. Keduanya bersikeras bahwa Ambalat masuk ke dalam teritori mereka. Awalnya Shell

menjalin hubungan dengan Indonesia sejak 27 September 1999. Namun pada tahun 200, Shell

melepas konsesi untuk Blok Ambalat kepada ENI (perusahaan Italia) karena kekecewaan Shell

tidak mendapati apapun setelah mengebor satu sumur bernama Bougenville. Shell pernah

mengoperasikan blok Bukat yang terletak di perairan Ambalat hingga 1999. Data-data hasil

eksplorasi itulah yang diduga dijadikan bahan oleh Shell untuk mengajukan izin eksplorasi blok

Ambalat ke pemerintah Malaysia. Izin operasi dari Malaysia kepada Shell itulah yang kemudian

menyulut sengketa teritorial antara RI dengan Malaysia.

Sedangkan blok Bukat yang ditinggalkan Shell saat ini tengah dieksploitasi oleh

perusahaan minyal asal Italia ENI. Tetapi blok itupun masih tumpang tindih dengan blok

Ambalat Timur yang saat ini tengah dioperasikan oleh Unocal. Mereka menduga, data lama

setelah pengeboran beberapa tahun lalu masih dipegang Shell padahal seharusnya dikembalikan

ke pemerintah setelah Shell melepas konsesi di Ambalat. Data yang dipegang oleh Shell tersebut

disinyalir dibocorkan kepada pihak Malaysia. .36

Namun tidak ada penjelasan yang lebih tentang apakah data tersebut benar-benar belum

dikembalikan ke pemerintah atau belum. Dalam hal ini (jika benar terjadi), kedua pihak

melakukan tindakan yang tidak tepat. pihak Shell seharusnya mengembalikan data yang

dipegangnya ke pemerintah Indonesia dan pemerintah Indonesia seharusnya segera bertindak

tegas dengan menagih data tersebut. Ketidakpastian tentang apakah data masih dipegang Shell

atau tidak mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan blok

35 Ibid36 ENI Temukan Minyak di Ambalat, diakses dari http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=1887, pada tanggal 18 November 2009, pukul 21.10 WIB.

25

Page 26: MPHI

Ambalat padahal selain kekayaan minyak dan gas, wilayah Ambalat merupakan wilayah

perikanan yang sangat produktif.37

Kedua negara segera pasang badan di wilayah Ambalat mengingat betapa berharganya

wilayah yang mereka tarungkan ini. Sikap Malaysia sendiri mengeras setelah gugatan mereka di

Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2002 yang membuat

batas lautnya memanjang hingga cukup untuk mengklaim Ambalat, termasuk blok XYZ yang

berlimpah ruah gas. Tiga tahun setelah itu, pada 16 Februari 2005, Malaysia memberi konsesi

penambangan minyak di blok Ambalat, kepada Shell dan Petronas.38

Suhu konflik memanas hingga mencapai titik ekstrem pada 2005. Hal ini dikarenakan

adanya kesepakatan eksplorasi minyak dengan para raksasa tambang minyak di perairan yang

diklaim memiliki cadangan minyak 2 miliar barel dan 3-5 kubik gas alam cair (LNG). Malaysia

tampaknya mulai menggunakan cara yang lebih keras dengan mengerahkan militer. Beberapa

pihak mengatakan bahwa ekspedisi militer Malaysia di perairan Ambalat lebih ditunjukkan

untuk memaksa Indonesia berbagi pengusahaan energi di blok itu, sebuah pilihan yang sukses

diterapkan Malaysia terhadap Thailand dalam sengketa teluk Thailand.39

2.6 Keterlibatan Shell Sebagai Pemicu Eskalasi Konflik di Ambalat

Royal Dutch Shell adalah sebuah perusahaan energi utama, salah satu peringkat empat

besar di dunia bersama dengan BP, ExxonMobil dan Total. Shell bermarkas di Den Haag,

Belanda dan juga di London, Britania Raya. Shell sendiri telah beroperasi di Indonesia semenjak

tahun 1982, dan di tahun 2005, tepatnya sejak 1 November 2005, Shell membuka SPBU

pertamanya di Lippo Karawaci, Tangerang. Bersamaan di tahun tersebut, Shell menandatangani

kerjasama dengan Malaysia dalam hal eksplorasi minyak. Periode ini menandai peran baru Shell

di dalam konflik Ambalat antara Indonesia dan Malaysia.

37 Dara Meutia Uning, Arif Kuswardono, Memburu Emas Hitam, diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/14/LU/mbm.20050314.LU107073.id.html, pada tanggal 17 November 2009, pukul 19.20 WIB. 38 Jaffar M Sidik, Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat, diakses dari http://www.antaranews.com/view/?i=1244616976&c=ART&s=SPK, pada tanggal 10 November 2009, pukul 21.00 WIB.39 Shell akan Klarifikasi Minggu Ini, diakses dari http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/2005/03/14/brk,20050314-06,id.html, pada tanggal 10 November 2009, pukul 21.10 WIB.

26

Page 27: MPHI

Shell masuk kembali ke dalam perairan Ambalat saat Shell menandatangani kerja sama

dengan Malaysia, tepatnya pada tanggal 16 Februari 2005 dan diberikan hak konsesi untuk

melakukan eksplorasi minyak di titik ND6 dan ND7 yang tidak lain adalah Blok Ambalat itu

sendiri. Penandatanganan dilakukan oleh Petronas dan Shell dengan kesepakatan kerjasama

kontrak pembagian produksi (PSC).40 PSC ini ditandatangani oleh Presiden sekaligus CEO

Petronas, Tan Sri Dato Sri Mohd. Hassan Marican, Petronas’ Managing Director, Mr. Johari

Dasri dan Shell Malaysia’s Chairman, Datuk Jon Chadwick. Kesepakatan terjadi di menara

Petronas Malaysia dengan kesepakatan PRC 50:50. Pada saat itu Shell Malaysia telah aktif

berpartisipasi dalam kontrak PRC lainnya sebanyak 17 kontrak pada blok di barat dan timur

Malaysia.41 Hal ini tidak lain memberikan sebuah perkembangan tersendiri terhadap konflik yang

terjadi di antara kedua belah pihak. Masing-masing pihak kemudian melakukan pengetatan

pengamanan di daerah sekitar perbatasan. Pada tahun 2005, tepat sesaat setelah Shell

menandatangani kerja sama eksplorasi minyak di Blok Ambalat melalui Petronas, Malaysia,

harus diakui bahwa pada saat yang bersamaan pula konflik di antara kedua belah negara

mencapai sebuah titik ekstrim dan terparah setelah sekian lama konflik telah meredam.42

Perseturuan antara Indonesia dan Malaysia tidak lain kemudian meruncing dikarenakan

tuduhan-tuduhan dari pihak Indonesia, yang cukup beralasan, terhadap posisi Shell di dalam

kasus tersebut. Hal ini dikarenakan sebelum Shell kemudian akhirnya masuk ke dalam Blok

Ambalat lagi melalui Malaysia, sebelumnya Indonesia telah menandatangani dan memberikan

hak konsesi tersebut kepada Shell, dan telah memberikan waktu kepada Shell untuk melakukan

eskplorasi, pengeboran, dan seterusnya di dalam Blok tersebut. Sehingga berdasarkan data yang

kami dapat dari Dr. Kurtubi, seorang pakar minyak, maka pada dasarnya Shell telah memiliki

berbagai data geologi dari pihak pemerintahan Indonesia.43 Penjelasan lain juga diberikan oleh

Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri ESDM pada saat itu, Menteri ESDM mempertimbangkan 40“Shell and Malaysia’s National Oil Company sign Production Sharing Contracts for Deepwater Blocks Offshore Sabah” diakses dari http://www.shell.com/home/content/media/news_and_library/press_releases/2005/malaysia_contracts_deepwater_blocks_16022005.html pada tanggal 21 November 2009 pukul 20.43.41 Ibid.42 Jafar M. Sidik, “Bau Pesing Politik Minyak di Ambalat”, diakses dari http://www.antaranews.com/view/?i=1244616976&c=ART&s=SPK, pada tanggal 21 November 2009, pukul 02.59.43 Wawancara Ranesi dengan Dr. Kurtubi di Hilversum, Belanda, “Penyebab Konflik Ambalat Tak Lain adalah Perusahaan Minyak Shell”, diakses dari http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-redirected, pada tanggal 03.08.

27

Page 28: MPHI

untuk memberikan teguran kepada Shell, bahwa Ambalat teteap masuk ke wilayah RI. Menurut

dia, sebelumnya Shell telah mengelola blok Ambalat, konsesi itu diperoleh dari Pemerintah RI.

Namun, pada 1999, Shell mengalihkan konsesinya ke perusahaan minyak Italia (ENI) yang

kemudian membentuk ENI Ambalat Ltd. Hal tersebut dikarenakan Shell pernah melakukan

pengeboran satu sumur di blok Ambalat namun tidak menemukan minyak.44 Kedua penjelasan

tersebut membentuk pandangan bahwa Shell yang pernah menjalani pengeboran di blok Ambalat

memberikan data-datanya kepada Malaysia untuk memperkuat posisinya untuk memenangkan

tender. Seperti yang diberitakan di situs Shell sebelumnya, bahwa sampai kesepakatan yang

terjadi di blok ND6 dan ND7, Shell hanya memiliki kerjasama sebanyak 17 proyek dengan

Petronas, dapat dikatakan Shell berkeinginan untuk menambah proyek kerjasamanya dengan

Malaysia. Atas dasar kenyataan inilah kemudian konflik antara Indonesia dan Malaysia kembali

terangkat ke permukaan dan menjadi salah satu prioritas penting dalam kebijakan luar negeri

kedua belah negara. Namun pada intinya yang terjadi adalah kedua negara, Indonesia dan

Malaysia sama-sama memberikan hak konsesi eksplorasi di kawasan yang sama kepada

perusahaan yang berbeda, hal ini menimbulkan istilah overlapping claim areas.

Pada tahun 2005, saat konflik di Blok Ambalat antara kedua belah negara tengah

meruncing, Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian telah menyiapkan balada perangnya

apabila sewaktu-waktu konflik kemudian memuncak dan menyebabkan perang di antara kedua

belah negara, maka kemudian Indonesia sudah mempersiapkan dirinya. Sebanyak 700 personel

atau setara satu Batalyon Pasukan Marinir (Pasmar) I Surabaya dengan persenjataan lengkap

telah dipersiapkan untuk mengamankan Laut Sulawesi, khususnya daerah perbatasan antara

Malaysia dan Indonesia. Sebuah roket yang sebelumnya pernah diuji coba di daerah Puslatpur

Marinir Asembagus, Situbondo, di mana ledakannya dapat menghancurkan sekelilingnya hingga

radius 2 km juga telah dipersiapkan apabila sewaktu-waktu terjadi pertempuran laut antara kedua

negara. 150 personel juga sebelumnya telah dikirimkan ke sekitar daerah perbatasan, yaitu Pulau

Sebatik dan Tarakan dengan pesawat Hercules, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk

apabila kemudian akan ada serangan senjata dari Malaysia itu sendiri. Walaupun apel tersebut

pada dasarnya merupakan apel rutin, namun intensitas apel kemudian ditingkatan dikarenakan

adanya atau menyeruaknya kembali konflik antara kedua pihak tersebut.45

44 “Pemerintah Pertimbangkan Tegur Shell” dimuat dalam harian Pontianak Post pada Kamis, 10 Maret 2005 diakses dari http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Ekonomi&id=82749 pada tanggal 22 November pukul 08.4045 Adi Mawardi, “Satu Batalyon Marinir Ditempatkan di Ambalat”, diakses dari

28

Page 29: MPHI

Bagaimana dengan tanggapan Malaysia? Persoalan Ambalat ini sepertinya ditanggapi

dengan dingin oleh Malaysia. Malaysia berpegang kuat pada peta yang dibuatnya tahun 1979,

padahal Indonesia telah mengelola daerah sekitar perairan Ambalat ini sejak tahun 1967, dan

negara-negara ASEAN yang lain menolak untuk mengakui peta tahun 1979 yang dibuat oleh

Malaysia. Alasan kuat dari respon ini adalah, Malaysia masih menganggap Indonesia sebagai

partner pentingnya di ASEAN, dan persoalan penandatanganan kontrak dengan Shell janganlah

sampai menyangkut permasalahan teritorial. Pada berita yang dimuat oleh media New Straits

Times, Menlu Malaysia, Syed Hamid Albar menyampaikan pernyataan penyesalan terhadap

pemberitaan pers Indonesia. Menlu Hamid Albar juga mengungkapkan bahwa hubungan Kuala

Lumpur-Jakarta penting dan isu yang melibatkan konsensi minyak tidak akan merusak hubungan

kedua negara.46

Ketegangan-ketegangan antara Malaysia dengan TNI pada dasarnya juga kembali terjadi.

TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk

mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sebelumnya telah ada lebih dulu di sana.

Bahkan di Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja

Malaysia sering kali saling melakukan penodongan senjata dan disertai dengan berbagai bentuk

olok-olokan satu sama lain. Kapal perang Malaysia juga dikatakan telah mengganggu

pembangungan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat melakukan penyiksaan

terhadap pekerja pembangunan mercusuar tersebut.47 Hal yang terparah adalah saat pada tanggal

8 April 2005 terjadi sebuah “senggolan” antara kapal perang RI Tedung Naga dan kapal perang

Malaysia Diraja Malaysia di perairan Ambalat, tepatnya di Karang Unarang, saat kedua kapal

tengah melakukan patroli di sekitar perbatasan.48 Hal ini mengakibatkan konflik antara kedua

negara sempat mencapai puncaknya, hingga akhirnya jalan damai yang berusaha diambil oleh

http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2005/03/08/brk,20050308-65,id.html, pada tanggal 21 November 2009, pukul 03.59.46 Koy Lay Chin, “All riled up over a song and dance” dimuat dalam harian New Straits Times tanggal 9 Juni 2009 diakses dari http://www.nst.com.my/Current_News/NST/articles/12mal/Article/ pada tanggal 22 November 2009 pukul 10.11.47 Sam El-Ladh, “Sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia,menerapkan “forgiveness in politics” dan “JustPeacemaking”, diakses dari http://sam-el-ladh.com/works/forgiveness.pdf, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.19.48 Rolex Malaha, “Ambalat Bakal Dijaga Pesawat Tempur”, diakses dari http://www.antara.co.id/view/?i=1204474771&c=ART&s=, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.20.

29

Page 30: MPHI

kedua negara saat mencoba menyelesaikan kasus Ambalat atas masuknya Shell tersebut menjadi

terhambat.

Pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah negara pada dasarnya juga merujuk kepada

masuknya kapal-kapal perang, bahkan kapal-kapal milik pribadi yang berasal dari kedua negara

ke dalam wilayah yang dianggap baik oleh Malaysia maupun Indonesia sebagai bagian dari

kedaulatan teritorinya tersebut. Hal ini dilihat saat pada tahun 2007, pemerintah Indonesia

mencatat terdapat 35 pelanggaran yang dilakukan oleh Malaysia, khususnya merujuk kepada

masuknya kapal tentara Malaysia ke dalam wilayah perairan Indonesia.49 Selain dari pada itu,

Malaysia juga sempat melakukan penangkapan terhadap nelayan yang berasal dari Indonesia

karena dianggap telah melanggar masuk dan menangkap ikan di wilayah teritori Malaysia itu

sendiri.50 Pengamanan terhadap Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia pada dasarnya

terus mengetat setiap tahunnya. Indonesia pada tahun 2008 memberikan tambahan 7 kapal

patroli di sekitar perairan tersebut.51 Pada tahun yang sama, Malaysia juga tercatat telah

memasuki dengan sengaja wilayah teritori Indonesia sebanyak 28 kali dalam berbagai

kesempatan.52 Sementara itu pada tahun yang sama, 2008, tercatat Shell mengadakan kerjasama

bersama Indonesia dan Australia, China, Vietnam, dan juga India untuk melakukan eksplorasi

batu bara.53 Perjanjian ini adalah perjanjian pertama Shell dengan Indonesia setelah

permasalahan Ambalat memuncak di tahun 2005, sebelumnya dari tahun 2005-2008 tidak pernah

ada pembicaraan mengenai kasus tersebut antara Shell dengan Indonesia. Di tahun yang sama,

2008, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan

ijin kepada perusahaan Italia, yang sebelumnya menangani Ambalat, PT. ENI untuk

mengembangkan proyek migas di Ambalat dan lahan sekitarnya.54 PT ENI telah bekerjasama

dengan Indonesia sejak tahun 1988 untuk blok Bukat dan di tahun 1999 untuk blok Ambalat.

49 “Ambalat, Perseteruan yang Belum Berujung, diakses dari http://www.tandef.net/ambalat-perseteruan-yang-belum-berujung, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.32.50 Ibid.51 “KSAL: TNI Tingkatkan Pengamanan di Ambalat”, diakses dari http://www.jakartapress.com/news/id/3289/KSAL-TNI-AL-Tingkatkan-Pengamanan-di-Ambalat.jp, pada tanggal 21 November 2009, pukul 04.57.52 Imanuddin Razak, loc.cit.53“Shell and Arrow Energy Ltd plan gas alliance” diakses dari http://www.shell.com/home/content/investor/news_and_library/press_releases/2008/arrow_gas_alliance_02062008.html pada tanggal 22 November 2009 pukul 11.35.54 “Presiden Izinkan ENI beroperasi di Ambalat” dimuat dalam Kompas tanggal 20 Oktober 2008 diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/20/20152343/presiden.izinkan.eni.beroperasi.di.ambalat pada tanggal 22 November pukul 10.23.

30

Page 31: MPHI

Melihat keputusan yang diambil pemerintah di tahun 2008, Indonesia menginginkan

permasalahan ini diselesaikan dalam kerangka ekonomi atau bisnis, sehingga tidak menyangkut

persoalan kedaulatan. Hal tersebut bertujuan untuk menurunkan tensi yang berkembang di isu

Ambalat ini.

Setelah penandatanganan kerja sama antara Malaysia dan Indonesia soal Karang

Unarang, maka harus dikatakan bagaimana Malaysia memiliki niat yang besar dalam kemudian

memasukkan kembali Blok Ambalat ke dalam wilayahnya tersebut. Hal ini secara tidak langsung

kemudian menciptakan sebuah tensi tersendiri, khususnya tensi di bidang militer, keamanan, dan

pertahanan di antara kedua belah pihak. Berbagai pelanggaran baik yang dilakukan oleh

Malaysia maupun Indonesia karena dianggap telah memasuki wilayah teritori negara lainnya

tidak lain terjadi dikarenakan adanya ketumpangtindihan wilayah teritori yang dicakup oleh

masing-masing negara tersebut. Berbagai penjelasan dan gambaran mengenai bagaimana

hubungan antara kedua negara sejak tahun 2005 khususnya secara tidak langsung dapat

menunjukkan bagaimana sesaat setelah penandatanganan kerja sama antara Shell dengan

Malaysia, maka konflik jelas telah meningkat lagi. Pengamanan terhadap Blok Ambalat kembali

diperkuat, apalagi mengingat bagaimana kapal patroli Malaysia terus melakukan patroli di

sekitar perbatasan, namun sering kali masuk ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan garis yang

ditarik oleh Indonesia, maupun secara sebaliknya.

Sementara itu, di tahun 2009, tepatnya pada tanggal 5 Juni 2009, Departemen Luar

Negeri mengeluarkan press conference menanggapi kasus Ambalat ini. Juru Bicara Departemen

Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah menyatakan sikap tegas Pemerintah untuk penyelesaian

terkait dengan wilayah Ambalat.55 Nota protes Indonesia kepada Malaysia telah disampaikan

pada tanggal 4 Juni 2009, sejauh ini Indonesia telah menyampaikan protes dan klaim sebanyak

36 kali kepada pemerintah Malaysia berkaitan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan

Malaysia ke dalam kedaulatan perairan Indonesia, sementara perundingan yang telah dilakukan

terkait dengan kasus ini adalah sebanyak 13 kali perundingan. Malaysia memberikan jawaban

dengan mengutus panglima Angkatan Bersenjatanya, Jendral Abdul Aziz Zainal pada tanggal 9

Juni 2009.56 Malaysia melalui panglima Angkatan Bersenjatanya mengusulkan untuk

55 “Berita Utama : Jubir Deplu : Sikap Pemerintah Tegas untuk Ambalat diakses dari http://www.deplu.go.id/Lists/News/DispForm.aspx?ID=2413 pada tanggal 22 November 2009 pukul 09.42.56 “AB Malaysia ke Jakarta” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/10/06271927/ab.malaysia.ke.jakarta pada

31

Page 32: MPHI

menghentikan patrol maritime di kawasan Ambalat untuk mengurangi resiko konfrontasi serta

menghimbau kedua pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan damai.57

Sebelumnya, delegasi dari Komisi I DPR yang dipimpin oleh Dr. Yusron Ihza telah berkunjung

ke Malaysia untuk menegaskan posisi Ambalat dalam kedaulatan RI yakni bahwa Ambalat

berada 80 mil dari landas kontinen Indonesia. Kemudian delegasi Indonesia yang diwakili oleh

dua anggota DPR, Ali Mochtar Ngabalin dan Effendi Choirie meminta kepada Menhan

Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi agar kapal tentara diraja Malaysia tidak melakukan provokasi di

perbatasan perairan blok Ambalat dengan patrol militer yang melewati garis batas kedaulatan

wilayah Indonesia.58 Delegasi Indonesia meminta agar Malaysia tidak menunda-nunda diskusi

mengenai Ambalat sehingga persoalan itu dapat diselesaikan, karena sampai saat ini 13

pertemuan telah dilakukan namun belum ada kesepakatan yang terjadi. Menhan Malaysia, Zahid

Hamid berjanji bahwa selama pemerintahan Najib Razak, persoalan Ambalat akan diselesaikan

Pada tahun 2009 saja, Malaysia tercatat melakukan 14 kali pelanggaran dengan berpatroli

di perairan Ambalat yang merupakan wilayah Indonesia.59 Sementara di tahun 2008, Malaysia

tercatat melakukan pelaggaran sebanyak 23 kali dan di tahun 2007 sebanyak 76 kali.60

Bertepatan dengan kunjungan panglima Angkatan Bersenjata Malaysia ke Indonesia, dikabarkan

situasi perairan Ambalat kembali tenang. Hal ini menandakan dari pihak Malaysia pun

menginginkan adanya penyelesaian damai, namun demikian hal tersebut akan sulit terjadi

apabila tidak melibatkan MNC yang berkepentingan didalamnya seperti Shell, Unocal, dan ENI.

Terutama Shell, karena Shell berperan signifikan dalam menaikan eskalasi sengketa ini, hal

tersebut dapat dilihat dari serentetan peristiwa pelanggaran dan ketegangan di perairan tersebut

dari tahun 2005 sampai 2009. Salah satu pengamat dari Indonesia, Rizal Ramli, menyatakan

bahwa mencuatnya persoalan Ambalat ini tidak lain juga karena faktor diplomasi nice boy yang

dilakukan oleh Presiden SBY.61 Permasalahan yang terjadi di tahun 2005, baru hangat

tanggal 22 November 2009 pukul 09.12.57 Ibid.58“Menhan Malaysia Instruksikan Perubahan Patroli Rutin” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/08/00312674/menhan.malaysia.instruksikan.perubahan.patroli.rutin pada tanggal 22 November 2009 pukul 10.12.59“Ambalat Relatif Tenang, Lima Hari Terakhir Tak Ada Pelanggaran diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/09/18295162/ambalat.relatif.tenang.lima.hari.terakhir.tak.ada.pelanggaran pada tanggal 22 November 2009 pukul 07.34.60 “Presiden : Hentikan Provokasi Malaysia” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/07/05084833/presiden.hentikan.provokasi.malaysia pada tanggal 22 November 2009 pukul 08.54.61 “Rizal Ramli : Ambalat, Korban Diplomasi Nice Boy” hasil wawancaraa wartawan kompas Caroline Damanik diakses dari

32

Page 33: MPHI

dibicarakan di tahun 2009, setelah beberapa pelanggaran yang terjadi antara tahunn-tahun

tersebut. Rizal menyatakan bahwa pemerintah perlu membangun diplomasi yang penuh

kewibawaan dan perlu belajar dari apa yang terjadi di Sipadan dan Ligitan. Pendapat lain juga

disampaika oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah,

yang menyampaikan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Malaysia adalah sesuatu

yang sifatnya by design, hal tersebut diyakini sebagai water testing untuk menguji kekuatan

Indonesia dalam mempertahankan perairan tersebut.62 Mas Andi Widjajanto juga memberikan

keterangan pada kompas bahwa Indonesia harus menunjukkan kesungguhan dalam menegakkan

prinsip kedaulatan efektif. Dalam konteks Ambalat, kedaulatan efektif ditunjukkan dengan

menggelar kesanggupan menjalankan disana. Kesanggupan ini bukan hanya dengan menggelar

kekuatan tempur martim TNI, namun juga ditunjukkan dengan kemampuan pemerintah

mengeksplorasi kandungan minyak dan gas di kawasan Ambalat itu.63 Jika perusahaan asing

dilibatkan dalam mengeksplorasi kandungan minyak dan gas bumi di sana bersama pemerintah,

hal itu berarti menunjukkan adanya pengakuan dari dunia internasional atas kedaulatan efektif

Indonesia di blok Ambalat.

Permasalahan Ambalat ini tidak hanya menyangkut persoalan kedaulatan, namun juga

persoalan bisnis dan ekonomi, apabila dari pihak yang bersengketa, Malaysia dan Indonesia tidak

berinisiatif untuk mengajak MNC seperti Shell, Unocal, dan ENI dalam perundingan, maka

perundingan politik ditingkat elit tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada salahnya

Indonesia memulai inisiatif untuk mengundang Shell ke meja perundingan, karena sepanjang

pemberitaan sengketa Ambalat ini, upaya diplomasi dan perundingan hanya melibatkan

pemerintah. Sudah saatnya Shell dilibatkan dalam perundingan tersebut, bersama MNC lain yang

berkepentingan disitu yakni Unocal dan ENI. Indonesia memiliki bukti-bukti kuat kehadiran

Shell di blok Ambalat di tahun 1999 yang bisa dijadikan bukti klaim bahwa Indonesia telah lama

mengelola perairan ini jauh sebelum Petronas Malaysia mengadakan kontrak kerjasama dengan

Shell. Perundingan ini diperlukan supaya masalah tidak berlarut-larut, selain itu Indonesia

http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/09/13393461/rizal.ramli.ambalat.korban.diplomasi.nice.boy pada tanggal 22 November 2009 pukul 07.56.62 “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia” diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/06/14563761/sengketa.ambalat.malaysia.ukur.kekuatan.indonesia pada tanggal 22 November pukul 08.32.63 “Komisi I ke Parlemen Malaysia Kurang Efektif” laporan wartawan Kompas, Wisnu Dewabrata diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/07/16451368/komisi.i.ke.parlemen.malaysia.kurang.efektif. pada tanggal 22 November 2009 pukul 09.21.

33

Page 34: MPHI

sebagai pihak yang mengklaim memiliki Ambalat sebaiknya memberikan pengawasan penuh di

blok tersebut dan memperluas serta meningkatkan kualitas dan kuantitas eksplorasi minyak

disana dengan kerjasama antara pemerintah dan perusahaan asing seperti Unocal dan ENI,

ketegasan diperlukan, salah satunya adalah dengan mempercepat pembangunan konstruksi untuk

eksplorasi minyak di Ambalat.

2.7 Signifikansi Ambalat Bagi Indonesia

Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat, bukan hanya dari

segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau

serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun

dan manis. Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal dengan

Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa perbatasan

wilayah pun pernah terjadi antara keduanya. Kasus yang paling baru, dan yang menjadi

pembicaraan hangat beberapa bulan belakangan ini adalah sengketa kedua negara mengenai blok

migas di perairan Ambalat di wilayah Sulawesi. Sengketa ini menjadi berita hangat yang

menghiasi media massa, di Indonesia khususnya. Melalui makalah ini saya mau mencoba

melihat bagaimana sengketa ini diselesaikan jika memakai pemikiran Donald W. Shriver dalam

bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in Politics, dan tujuh langkah menciptakan

perdamaian menurut Glenn Stassen dalam bukunya Just Peacemaking: transforming initiatives

for Justice and Peace.

2.7.1 Pokok Masalah : Perairan Ambalat di Laut Sulawesi

Masalah antara Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik

kabar bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas,

memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan minyak Shell,

atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan).

Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini karena merasa bahwa wilayah itu berada

dalam kedaulatan negara Indonesia.

34

Page 35: MPHI

Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu sudah diprotes

Indonesia

sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut

mengklaim wilayah di Laut Sulawesi sebagai milik Malaysia dengan didasarkan pada

kepemilikan negara itu atas pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa dengan

dimasukkannya Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia, secara otomatis

perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya. Indonesia menolak klaim

demikian dengan alasan bahwaklaim tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Untuk

memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini, kutipan dari tulisan Melda

Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum

Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat di Kompas, 8 Maret 2005, dapat membantu.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di

forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960

tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya

menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan

Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Konsepsi itu menyatukan

wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia

boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost

points of the outermost islands and drying reefs). Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada

dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut

memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi

eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk

landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation

(kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba

mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. 3 pernyataan resmi Deplu RI

dalam “Kepemilikan Sipadan Tak Berefek Batas Maritim”, Kompas, 5 Maret 2005 :

“Argumentasi Malaysia, yang mendasarkan klaimnya dengan berdasar kepemilikan

negara itu atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, tidak bisa diterima Indonesia karena

35

Page 36: MPHI

bertentangan dengan hukum internasional. Kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan

Ligitan tidak memberikan efek penuh pada batas maritim. Sebagai negara yang bukan

negara kepulauan, Malaysia tidak bisa menggunakan klausul yang dimiliki negara

kepulauan, seperti Indonesia, untuk menarik garis batas wilayahnya.”

Etika dan Teologi Politik 3 KONDISI yang kini terjadi di Ambalat tidak dapat dilepaskan dari

perebutan Sipadan-Ligitan. Judge (hakim) Shigeru Oda pada Mahkamah Internasional jeli melihat potensi

konflik itu dengan menunjukkan, meski keberadaan Pulau Sipadan-Ligitan telah diketahui sejak abad ke-

19, namun konflik mengenai kepemilikannya baru mencuat tahun 1960-an, saat kedua negara berselisih

paham mengenai batas landas kontinen keduanya. Meski Oda termasuk hakim yang memberi putusan

kepemilikan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia karena alasan efektivitas, namun ia membuat pernyataan,

"…the resent judgment determining sovereignty over the islands does not necessarily have a direct

bearing on the delimitation of the kontinental shelf, which has been a subject of dispute between the two

states since the late 1960s". Oda menekankan, saat ini "penetapan batas landas kontinen" lebih

ditekankan pada prinsip yang disebut dengan an equitable solution. Karang Unarang adalah suatu low

tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara

kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai

garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia)

berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.

Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines)

atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia

seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari

daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan.

2.7.2 Aksi dan Reaksi Yang Ditimbulkan

Walaupun pemerintah Indonesia dan Malaysia berulang kali menegaskan bahwa

penyelesaian dengan cara kekerasan bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak akan

mengedepankan dialog melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi

perdebatan seru karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya. Malaysia melalui

36

Page 37: MPHI

Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya

tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas

kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. Sementara

pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Deplu, TNI, maupun

presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan melepaskan

wilayah itu karena wilayah itu merupakan kedaulatan penuh Indonesia. Tentang hal itu

jurubicara TNI AL, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan kepada Asia Times,

“We will not let an inch of our land or a drop of our ocean fall into the hands of foreigners.” Di

Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan memancing reaksi keras dari

berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” pun

lalu berkumandang. Kedutaan Besar dan Konsulat-konsulat Malaysia tiba-tiba disibukkan

dengan aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang mengecam sikap Malaysia itu. Di

beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran bendera Malaysia dan penggalangan

sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-RI pun bersuara keras meminta pemerintah

bertindak tegas atas pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan RI di Laut Sulawesi. Di wilayah

yang dipersengketakan pun ketegangan-ketegangan terjadi antara tentara Malaysia dengan TNI.

TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk

mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau

Sebatik, yang berbatasan darat dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling

mengarahkan moncong senjatanya, dan konon saling ejek pun kerap terjadi. Kapal-kapal perang

Malaysia diberitakan mengganggu pembangunan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan

sempat menangkap dan menyiksa seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal

perang Malaysia dan kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari. Yang paling parah terjadi pada

tanggal 8 April 2005, ketika KRI Tedong Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat

Karang Unarang. Insiden serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana,

padahal sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis antara

perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai. Menlu Malaysia pun telah diterima

presiden, dan beberapa anggota DPR RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk membicarakan

langkah-langkah diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat melanjutkan dialog berkala

setiap dua bulan.

37

Page 38: MPHI

2.7.3 Analisis Masalah : “Forgiveness” dan “Just Peacemaking”

Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, saya akan memulai dengan

melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini.

Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra,

masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan

pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in

Politics 8 , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah

‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di zaman

Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di

Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia

diberitakan ‘berulah’ lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media

terhadap masalah ini.

Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh

masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong pemerintah untuk

bersikap keras, bahkan Zaenal Ma’arif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR)

meminta pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.

“Sebagai bangsa besar di Asia, Indonesia seharusnya tidak membiarkan dirinya

dilecehkan, diinjak-injak, dan dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Karena itu,

pada hari Selasa (15/3) dini hari pukul 00.00, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

harus mengeluarkan maklumat perang melawan Malaysia.”

Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia ini bisa

dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai pekerja

kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari telah

tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa ‘terinjak-

injak’ itu begitu kuat. Namun demikian, saya menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori

kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan

memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat Indonesia, setiap

38

Page 39: MPHI

kali terjadi persinggungan’ dengan Malaysia, saya berpendapat bahwa langkah awal untuk

menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan

mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang

bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi

belakangan ini.

Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah

mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi yang

dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia maupun

media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi,

saya tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan

juga begitu yakin akan posisinya.

Perdana Menteri Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim

Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di

perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. “Petronas pasti mengerti bahwa

wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas

sampai ke sana.” Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan

memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia bukan

termasuk negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka dalam peta (di halaman 2) terlihat

bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk

ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.

Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap masalah ini

hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar

sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah

kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan.

2.8 Keamanan Energi dan Ambalat

Mengapa sengketa Ambalat menimbulkan akibat yang sangat besar, seperti klaim-klaim

pelanggaran kedaulatan nasional, protes-protes diplomatik, build-up militer, protes-protes rakyat

Indonesia anti-Malaysia, serta komentar-komentar media? Dr Clive Schofield dan Dr Ian Storey

menyebutkan bahwa wilayah yang dipersengketakan sangat menjanjikan. Terdapat potensi

signifikan minyak lepas pantai dan eksploitasi gas di wilayah lepas pantai Ambalat, yang jelas

39

Page 40: MPHI

merupakan kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia, khususnya dalam konteks dilema

keamanan energi. Wilayah Ambalat juga signifikan dalam konteks keamanan navigasi, karena ia

terdapat pada sea lanes of communication (SLOC) yang terbentang dari Selat Lombok di antara

Pulau Bali dan Lombok hingga utara melalui Jalur Laut Nusantara Indonesia melalui Selat

Makassar di antara pantai timur Kalimantan dan Kepulauan Maluku di Laut Sulawesi. Selain

faktor minyak, juga terdapat dimensi domestik sengketa Ambalat, khususnya di Indonesia.

Ambalat merupakan tantangan territorial pertama terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY) sehingga beliau menghadapi tekanan politik internal untuk mengambil posisi garis keras

terhadap Malaysia. Pihak media pun dengan cepat menjadikan sengketa tersebut kendaraan

untuk mempromosikan semangat patriotik. Apalagi, terjadi kenaikan sentiment anti-Malaysia di

Indonesia karena perlakuan Malaysia terhadap para pekerja ilegal Indonesia di Malaysia.

Schofield dan Storey menyebutkan bahwa sengketa ini tidak hanya merefleksikan isu keamanan

energi atau sumber-sumber daya, namun juga kesehatan keseluruhan hubungan politik bilateral

antara kedua negara.64

2.9 Langkah Menuju Rekonsiliasi Konflik Ambalat Indonesia-Malaysia

2.9.1 Dari Perspektif Aktor State

Konflik blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan

kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain. Rakyat di Indonesia melihat

sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang

sekadar perebutan potensi sumber daya alam. Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan

perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk

menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia

mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh

klaimnya.

Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan

keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan adil

bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan

64 Dr Clive Schofield dan Dr Ian Storey, “Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes” Harvard Asia Quarterly, Volume IX, No. 4. Fall 2005

40

Page 41: MPHI

memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia,

adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah seperti

itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang

lain.

Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit

untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas

masalah Ambalat yang diadakan di Bali Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa,

karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing. Karena dalam kasus ini ancaman sudah

terjadi, dan tatanan yang damai dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen

perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian ( take

independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih

dulu untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah

mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak

mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada

Shell oleh Petronas Malaysia. Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru

Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercu suar di atol Karang

Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk

berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi

seperti apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih

dulu (dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia

bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercu suar itu, karena itu termasuk

wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi

wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog. Namun,

melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk

diterima.

Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah,

lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode penyelesaian

konflik. Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk

bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu. Sambil menunggu, langkah keempat

mungkin bisa dilakukan. Itu adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian

konflik yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanyekampanye anti Malaysia dengan

41

Page 42: MPHI

semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang

siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan

kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran.

Banyak jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus

dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat memori kolektif

tadi itu. Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah

meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama wilayah-

wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor,

dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak terlantar’. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial

bagi masyarakat di wilayahwilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai

wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua wilayah itu

tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola oleh Malaysia.

Langkah kelima dan keenam, yang menurut saya masih berkaitan erat adalah Memutus

lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda

saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan.

Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia, menurut saya

kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah terjadi antara

kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua

kecurigaan satu dengan yang lain. Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver,

“mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.

Kemudian langkah yang ketujuh dan terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk

menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan

masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Saya tidak setuju dengan

pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga

masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi,

kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga

publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.

Dengan menerapkan tujuh langkah ini dalam proses perundingan, serta dengan

menjalankan juga pengungkapan luka dalam memori kolektif kedua bangsa, masalah sengketa

Ambalat ini menurut saya akan bisa diselesaikan dengan lebih menyeluruh. Bukan hanya sekedar

42

Page 43: MPHI

menyelesaikan satu kasus yang sekarang saja, tetapi juga meletakkan dasar bersama untuk

menghadapi masalah-masalah serupa dimasa mendatang.

Namun demikian, saya menyadari bahwa berteori selalu lebih mudah daripada

menerapkan dalam kenyataan. Memakai cara Shriver dan Stassen untuk menyelesaikan sengketa

Ambalat juga masih perlu dibuktikan. Akan tetapi, Glenn Stassen menunjukkan keberhasilan

teorinya dalam menyingkirkan rudal-rudal balistik di Eropa, karena itu saya bisa optimis juga,

kalau cara ini juga bisa saja berhasil di sini.

2.9.2 Dari Perspektif Aktor MNC

Pada kasus konflik sengketa blok Ambalat ini, upaya rekonsiliasi yang dilakukan tidaklah

cukup jika hanya dilakukan pada level state mengingat terdapat campur tangan pihak ketiga pada

konflik tersebut yakni Shell sebagai aktor MNC. Kelompok kami melihat bahwa pada kasus

konflik sengketa ini salah satu upaya rekonsiliasi yang harus dilakukan adalah mengurangi

dominasi MNC Shell di wilayah Blok Ambalat.

Konflik Ambalat antara Indonesia-Malaysia yang sebenarnya tidak begitu sengit menjadi

tereskalasi ketika Shell melakukan kontrak kerja sama dengan pihak Malaysia. Hal tersebut

menjadi katalisator konflik mengingat wilayah Blok Ambalat yang dijanjikan kepada pihak Shell

merupakan wilayah yang masih berstatus konflik. Oleh karena itu, tindakan Shell yang

melakukan perjanjian resmi dengna Malaysia menjadi katalisator utama eskalasi konflik sebab

tindakan tersebut identik dengan pengakuan Shell secara tidak langsung atas kepemilikan

Malysia terhadap wilayah Blok Ambalat yang sedang diperebutkan oleh Indonesia dengan

Malysia. Tindakan Shell itu merupakan sebuah tindakan yang bersifat disenganja mengingat

Shell sebelumnya sempat berniat untuk melakukan kerja sama dengan pihak Indonesia namun

kemudian ditolak oleh pihak Indonesia. Dan karena ditolak, Shell menggunakan data dari pihak

Indonesia sehubungan dengan cadangan minyak di wilayah bersengketa tersebut untuk kemudian

membuat perjanjian dengan pihak Malaysia.

Ditinjau dari permasalahan tersebut, kelompok kami berpendapat bahwa jika baik

pemerintah Indonesia maupun Malysia dapat mengontrol dominasi dari MNC dalam bentuk

upaya untuk mengadakan eksplorasi minyak maka konflik yang ada dapat diredam. Pengontrolan

tersebut dapat dilakukan dengan cara pihak Malysia melakukan perjanjian ulang dengan Shell

43

Page 44: MPHI

untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah Ambalat yang mana merupakan wilayah

Malaysia. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan jika pihak Malaysia bersedia untuk tidak

dikendalikan oleh MNC Shell yang pada kasus ini menjadi pihak yang mengadu domba

Indonesia dengan Malaysia dalam rangka untuk mencapai interestnya atas kandungan minyak

yang terdapat di wilayah Blok Ambalat yang bersengketa tersebut. Hal yang sama juga berlaku

bagi pihak Indonesia yang untuk ke depannya juga diharapkan untuk tidak melakukan perjanjian

dengan pihak MNC mana pun di wilayah sengketa Ambalat.

Kontrol terhadap upaya dominasi Shell tersebut dapat dilakukan dengan tidak

membiarkan tahap keputusan akhir kebijakan negara dikuasai sepenuhnya oleh pihak eksekutif

di masing-masing negara. Keputusan akhir sehubungan dengan upaya pengeksplorasian SDA

baik di negara Malaysia maupun Indonesia hendaknya juga diupayakan agar mendapat

persetujuan juga dari pihak legislatif di masing-masing negara.

BAB III

KESIMPULAN

Belum ditentukannya perbatasan tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia di Laut

Sulawesi menyebabkan banyak sengketa teritorial utama antara Indonesia dan Malaysia terjadi di

44

Page 45: MPHI

sana, termasuk klaim kedua negara atas Blok Ambalat yang kaya sumber daya mineral.Indonesia

dan Malaysia telah melakukan berbagai usaha mendefinisikan perbatasan maritim Indonesia-

Malaysia sejak 1967, namun berkali-kali Malaysia membuat peta perairan teritorialnya yang

memasukan berbagai wilayah yang juga diklaim Indonesia.

Konflik Blok Ambalat di antara Indonesia dan Malaysia mulai tereskalasi ketika sebuah

MNC bernama Royal Dutch Shell yang mana merupakan sebuah joint-company antara Inggris

dan Belanda yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi menandatangani kontrak eksplorasi

minyak di wilayah kepulauan Blok Ambalat yang masih berstatus sengketa. Penandatanganan

kontrak tersebut merupakan sebuah pernyataan tidak langsung bahwa Shell sebagai salah satu

aktor internasional mengakui kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat. Dengan kata lain, Shell

pada konflik ini dapat dikatakan sebagai pihak ketiga yang memperparah tingkat eskalasi konflik

yang terdapat di Ambalat.

Kedekatan Shell dengan Malaysia menimbulkan eskalasi konflik antara Indonesia dengan

Malaysia di Blok Ambalat, karena menambah jumlah aktor yang terlibat, sehingga kompleksitas

meningkat. Serta, pengakuan Shell terhadap kedaulatan Malaysia atas Blok Ambalat merupakan

bentuk partisanship (tidak netral), yang menyebabkan konflik berlarut-larut atau bereskalasi.

45

Page 46: MPHI

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku dan Jurnal

“International Boundary Study, Series A: Limits in the Seas” No. 1 – January 21, 1970

“Indonesia -Malaysia Continental Shelf Boundary” (Country Codes: ID-MY). 1978. The

Geographer, Office of the Geographer, Bureau of Intelligence and Research Limits in the Seas”

No. 81 – December 27

“Maritime Boundaries: Indonesia – Malaysia – Thailand”, Office of the Geographer, Bureau of

Intelligence and Research

Schofield. Dr Clive, dan Dr Ian Storey, “Energy Security and Southeast Asia: The Impact on

Maritime Boundary and Territorial Disputes” Harvard Asia Quarterly, Volume IX, No. 4. Fall

2005

Sumber Internet

www.antara.com

www.antaranews.com

www.arsip.pontianakpost.com

www.deplu.go.id

www.jakartapress.com

www.kompas.com

www.majalah.tempointeraktif.com

www.nst.com

www.rigzone.com

46

Page 47: MPHI

www.shell.com

www.tekmira.esdm.go.id

www.tempo.co.id

www.thejakartaglobe.com

47