mengelola global governance: studi historis singkat hubungan antara ngo dan negara
TRANSCRIPT
-
8/9/2019 Mengelola Global Governance: Studi Historis Singkat Hubungan antara NGO dan Negara
1/4
1
Nama : Teguh Prayogo Sudarmanto
NPM : 0706291432
Bahan Sumber : Clark, Ann Marie, Elisabeth J. Friedman, dan Kathryn Hochstetler. The Sovereign
Limits of Global Civil Society: A Comparison of NGO Participation in UN World
Conference on the Environment, Human Rights, and Women. Dalam World Politics,
vol. 51, no. 1. (Baltimore: the John Hopkins University Press, 1998, hlm. 1-23).
Tugas Review I Mata Kuliah Masyarakat Transnasional
Mengelola Global Governance: Sebuah Studi Historis Hubungan antara NGO dan Negara
A. Pendahuluan
Global governance (GG) masih diperdebatkan sampai sekarang mengenai bagaimana prosesnya dan
siapa saja aktor yang berhak terlibat menciptakannya. Ini diperdebatkan karena institusi ini sedemikian
besar bila dilihat dari segi pemain, segi kepentingan, dan segi isu-isu yang diperjuangkan. Untuk
memperbandingkannya dapat dilihat dalam level yang lebih kecil yaitu dalam batas negara dimana
negara adalah sebuah institusi sosial yang proses pembangunannya melibatkan banyak pihak seperti
warga negara itu sendiri dengan berbagai interestserta isu yang diperjuangkan. Ketika institusi ini sudah
memilih siapa aktor utama yang berhak untuk memimpin dalam artian dia memiliki kedudukan politik
pemegang legitimasi, dialah yang mempunyai kuasa dan dari kekuasaan itulah dia cenderung bersifat
amoral. Dapat kita lihat dua bentuk sistem pemerintahan yang berbeda yaitu demokrasi dengan
kecenderungan representatif dan otoriter dengan kecenderungan terpusat. Dua sistem yang berbeda ini
tentunya juga menghasilkan perbedaan arah bagaimana mesin ini bekerja. Demokrasi lebih cenderung
bermoral karena adanya tuntutan tanggung jawab yang lebih besar dibanding dengan otoriter yang
mengakibatkan dia cenderung tidak bermoral.
Apa yang terjadi dengan GG ketika kemudian negara yang mempunyai legitimasi di setiap wilayah
negaranya membentuknya dengan melakukan hubungan dengan negara lain melalui intergovernmental
relations (IgR) yang sering menghasilkan intergovernmental institution (IgI) semacam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tanpa ada unsur dari masyarakat yang bertindak sebagai, katakanlah, pengawas?
Padahal pada akhirnya masyarakat sendirilah yang akan mengkonsumsi hasil-hasil hubungan dalam IgR
melalui implementasi kebijakan di dalam negara? Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan cukup
hangat di level internasional mengenai kedudukan masyarakat, yang terjalin secara transnasional dengan
menjalin semacam common share dengan institusinya, non-governmental organizations (NGO), untuk
bersama-sama menciptakan GG. NGO masih dikatakan terlalu prematur untuk membentuk definisi
masyarakat sipil global (MSG) karena masih terkendala definisi sampai sejauh mana masyarakat sipil
dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil global yang berhak mengatur IgR dan GG.
B. Pembahasan
Adalah sulit untuk melihat peran NGO dalam membentuk MSG apalagi ketika kita melihatnya jauh
ke belakang ketika pemikiran mengenai NGO dan MSG masih sedikit bermunculan. Untuk
-
8/9/2019 Mengelola Global Governance: Studi Historis Singkat Hubungan antara NGO dan Negara
2/4
2
menganalisisnya, Clark mengajak kita untuk melihat konferensi tingkat global yang diadakan oleh IgR
terbesar, PBB dalam tiga bidang yang cukup panas diperdebatkan; hak asasi manusia, lingkungan, dan
perempuan. Pada tahun 1968 PBB mengadakan Teheran International Conference tentang hak asasi
manusia (HAM) dengan seluruh peserta masih didominasi oleh perwakilan negara dengan hanya 53
NGO hadir sebagai observer dan 4 NGO ikut dalam komite persiapan. Walaupun demikian, terdapat
beberapa lobi NGO untuk dibukakan aksesnya untuk ikut terlibat dalam perumusan perundingan yang
akhirnya dibukakan akses NGO sebagai kawan konsultasi dalam bidang pengetahuan dan teknologi
(kemudian hadir di dalam UN Education, Scientific, and Cultural Organization / UNESCO) untuk
membantu merumuskan dokumen persiapan Konferensi Stockholm tahun 1972 tentang lingkungan.
Kemudian ketika diadakan Konferensi Mexico City (1975) tentang perempuan pertama dan Konferensi
Kopenhagen (1980) juga tentang perempuan, NGO tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam
rapat persiapan konferensi, namun di 1985 Konferensi Nairobi tentang perempuan NGO dibukakan
aksesnya walau masih terbatas untuk ikut terlibat dalam rapat persiapan konferensi dan memuncak
ketika Konferensi Beijing dengan dibukakan akses untuk 3.000 NGO.
Ketika kehadiran NGO mulai mendapatkan perannya yang mulai signifikan dan diharapkan dalam
mengembangkan MSG untuk mencapai GG, di dalam tubuh NGO yang berkumpul secara global mulai
terbentuk berbagai macam kendala di antaranya; (1) terpecahnya strategi dalam membina hubungan
global state-society relations (GSSR) menjadi dua, (a) lobbying dengan mengarahkan hubungan secara
vertikal dimana NGO mengusahakan berbagai macam usaha alternatif untuk mendorong IgR agar sesuai
dengan keinginan MSG, (b) networking dengan membangun dan menciptakan hubungan antar-NGO
untuk mengadakan semacam, dapat dikatakan, konferensi tandingan dari konferensi IgR, (2) terpecahnya
NGO berdasarkan keadaan geografis terutama antara Utara yang didominasi oleh negara-negara maju
dan Selatan oleh negara-negara berkembang yang mungkin mengakibatkan perpecahan dalam strategi
dimana lobbying cenderung dilakukan Utara karena usaha yang membutuhkan banyak uang dan
menguras tenaga ini cocok dengan keadaan ekonomi mereka yang berlebih, sedangkan networking
cenderung dilakukan oleh Selatan karena usaha yang lebih ringkas ini membutuhkan uang sedikit yang
sangat cocok dengan kondisi keuangan NGO di Selatan,1 (3) terpecahnya NGO berdasarkan perbedaan
landasan berpikir akibat perbedaan warna identitas seperti antara pemikiran Utara dan Selatan yang
kemudian dapat diusahakan untuk diselesaikan dengan mengadakan pertemuan secara rutin dan intensif.
Contoh dari bentuk perpecahan itu diantaranya; (1) berdasarkan strategi: (a) lobbying, (i) dalam
Konferensi Rio 1992 NGO membentuk sebuah badan kerja dalam setiap agenda untuk merumuskan
banyak hal yang dapat dijadikan argumen untuk rumusan-rumusan baru bagi keputusan IgR walaupun
1 Cara lobi membutuhkan uang dan tenang yang lebih banyak karena cara ini cenderung melakukan pendekatan terhadap
kekuatan pemerintah (negara) secara terus-menerus sedangkan cara networking cenderung dilakukan dengan merangkulsesama NGO dan merumuskan summittandingan untuk menjadi refleksi bagi IgR.
-
8/9/2019 Mengelola Global Governance: Studi Historis Singkat Hubungan antara NGO dan Negara
3/4
3
pada akhirnya negaralah yang berhak memutuskan, (ii) dalam Konferensi Wina juga dilakukan serupa
namun kurang berpengaruh karena akses yang diberikan sangat terbatas, (iii) dalam konferensi
perempuan semenjak telah terjadi sebanyak empat kali, dua konferensi terakhir dapat dikatakan cukup
sukses karena belajar dari dua konferensi sebelumnya seperti mengembangkan mekanisme rapat,
berpartisipasi selalu sejak dini dalam rapat persiapan, dan meningkatkan kontak dengan media
dan delegasi, (b) networking, (i) tandingan Konferensi Rio NGO mengadakan forum yang berisikan
workshop dan edukasi yang dihadiri 450.000 orang per hari selaa 14 hari termasuk adanya 350
pertemuan formal dan lebih banyak pertemuan informal, (ii) dalam Konferensi Wina NGO forum di
Austria Centre dipenuhi sesak pengunjung, (iii) dan konferensi perempuan yang mengadakan workshop
sebanyak, 192 di Mexico City, 900 di Kopenhagen, 1.200 di Nairobi, dan 3.340 di
Beijing, (2) berdasarkan geografis dapat dilihat melalui cara mereka berpikir seperti dalam isu, (a)
lingkungan dimana Utara mengeluarkan suara berupa pengurangan polusi (terkait erat dengan keadaan
di Utara dengan jumlah industri dan kendaraan yang banyak) serta Selatan yang lebih menekankan
pentingnya bantuan organisasi keuangan internasional dan perusahaan multinasional, (b) hak asasi
manusia dimana Utara dan Selatan sama-sama setuju mengenai konsep universalitas, dan (c) perempuan
dimana Utara lebih menekankan masalah sexism dan political considerations, sedangkan Selatan lebih
menekankan masalah development dan imperialism. Terpecahnya NGO ini merupakan suatu proses
panjang dalam menciptakan MSG karena adalah tidak mudah untuk membentuk MSG dari masyarakat
global yang sedemikian luas dan beragam. Salah satu cara untuk mengembangkannya adalah dengan
terus melanjutkan proses ini seperti dengan sering mengadakan pertemuan dan dialog dalam suatu forum
untuk mendapatkan common understanding.
Negara masih dan terus saja tidak rela untuk mengakui MSG dan bersama-sama mereka membentuk
GG karena MSG tentunya amat mengancam kedaulatan suatu negara. Bersamaan dengan itu, pendapat
negara ini amat didukung sepenuhnya dengan ketidakjelasan batasan-batasan mana yang disebut sebagai
definisi MSG. Namun satu hal yang patut dijadikan perhatian adalah keberadaan NGO sedang berproses
dalam mewujudkan keadaan MSG walaupun MSG sendiri masih dapat dikatakan belum dapat dikatakan
sebagai MSG. Juga tidak dipungkiri kelebihan dari usaha NGO yang berproses menciptakan MSG
karena usaha-usaha itu menghasilkan banyak solusi yang sangat berguna dalam mengatasi kebuntuan
yang umumnya dihadapi oleh IgR dalam merumuskan cara bagaimana mereka hubungan internasional.
Oleh karenanya, dapat dilihat dalam perkembangan selanjutnya di dalam tiga isu utama dalam
konferensi global yang diadakan PBB, peran NGO semakin dibutuhkan meskipun sekali lagi, masih
terdapat banyak batasan bagi NGO untuk menciptakan MSG karena keputusan mutlak masih terdapat di
tangan negara.
-
8/9/2019 Mengelola Global Governance: Studi Historis Singkat Hubungan antara NGO dan Negara
4/4
4
C. Pendapat Penulis
Penulis sangat sependapat dengan apa yang telah dirumuskan oleh Anna Marie Clark, Elizabeth J.
Friedman, dan Kathryn Hochstetler dalam artikelnya yang berisikan analisis terhadap perkembangan
bagaimana GG berproses dengan unit analisis bagaimana hubungan interaksi antara NGO dan negara.
Kedua institusi ini memiliki ruang lingkup yang jika dipertemukan akan memberikan efek saling
membatasi seperti NGO yang mempunyai ruang lingkup secara global terutama dalam tujuannya
membentuk masyarakat sipil global tentunya akan menjadi dibatasi ketika berhadapan dengan istitusi
negara yang mempunyai ruang lingkup terbatas pada suatu negara dan kedaulatannya (terutama untuk
mempertahankan keberadaannya) apalagi jika institusi ini berdasarkan sejarah perkembangannya secara
terlebih dahulu lebih banyak diterapkan daripada NGO sehingga akan menimbulkan suatu bentuk
pertanyaan nilai dan berujung pada pertentangan nilai jika konsep NGO sebagai institusi baru diterapkan
secara tergesa-gesa di masyarakat global. Kondisi yang patut diperhatikan adalah dunia memang sedang
bergerak ke arah terbentuknya interaksi yang bersifat global terutama terkait dengan perkembang pesat
di bidang teknologi informasi yang memberi akibat terbukanya semua keadaan yang memaksa setiap
individu dan masyarakat untuk mempertanyakan, termasuk memperdebatkan identitas mereka yang
selama ini mereka anut dalam kondisi tertutup (yang disebut penulis sebagai proses adaptasi) termasuk
diantaranya munculnya isu lingkungan karena kita sama-sama tinggal di lingkungan yang sama (bumi)
yang menurut penulis mulai terpikirkan ketika kita juga mengetahui bahwa ada bagian di belahan dunia
lain yang merasakan hal yang sama.
Ada beberapa pertanyaan yang penulis pikirkan setelah membaca artikel Clark, dkk., yang kemudian
dapat didiskusikan. Diantaranya; (1) berdasarkan keadaan yang terjadi dalam sejarah perkembangan pola
interkasi antara NGO dan negara beserta analisis dan pembelajarannya, bagaimanakah prediksi
selanjutnya di masa depan mengenai pola interaksi tersebut? dan (2) terkait dengan pertanyaan pertama
dan untuk membantu menjawabnya, sebenarnya apa definisi dari global governance yang ideal terutama
berkaitan dengan bagaimana seharusnya interaksi antara NGO dan negara?
D. Kesimpulan
Hubungan antara negara dan masyarakat telah menjadi pembelajaran sejak lahirnya negara terutama
berkaitan dengan bagaimana cara mengelola hubungan ini. Negara dan masyarakat seolah selalu terkait
dengan keberpisahan yang membawa kepada rengekan kebutuhan akan sebuah penghubung. Demikian
pula dalam mengelola global governance, NGO dan IgR seolah menjadi analogi yang lebih luas. Dan
begitu pula dengan rengekan itu, yang juga terdengar di level yang lebih luas. Analisis Anne Clark, dkk.
membuktikannya melalui pembahasan historis hubungan NGO dan IgR dimana dia menekankan adanya
sovereign limits dalam hubungan itu. Pembelajaran ini amat penting untuk memperluas wawasan kita
tentang bagaimana mengelola GG agar di kemudian hari dapat memberikan dampak yang lebih baik.