makalah imunisasi dpt

112

Click here to load reader

Upload: dian-kurniasari

Post on 27-Oct-2015

1.386 views

Category:

Documents


253 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Imunisasi Dpt

MAKALAH PROGRAM IMUNISASI DPT

(DIFTERI PERTUSIS TETANUS)

Dibuat sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Dasar Pemberantasan Penyakit

Disusun Oleh:

Dian Kurniasari 25010111130111

Awanda Shafa 25010111130112

Zulinar Firdaus 25010111130113

Mellytia Ayu K 25010111130114

Laksmi Prihastiwi 25010111130115

Sudiyanti 25010111130117

KELAS B

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

i

Page 2: Makalah Imunisasi Dpt

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat penyertaan

dan bimbingan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai

tugas pada mata kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit dengan judul makalah

“Makalah Program Imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus)”.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas

dari mata kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit.Penulis mengucapkan terima

kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh

dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak untuk perbaikan makalah ini.

Semarang, Juni 2013

PENULIS

ii

Page 3: Makalah Imunisasi Dpt

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................. i

Kata Pengantar ............................................................................................ ii

Daftar Isi ..................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1

Bab II Pembahasan

A. Etiologi Penyakit DPT ................................................................... 2

B. Masa Inkubasi dan Penularan Penyakit DPT .................................. 6

C. Gejala dan Tanda Penyakit DPT serta Cara Diagnosis ................... 7

D. Tranmisi Penyakit DPT ................................................................... 17

E. Riwayat Alamiah Penyakit DPT ..................................................... 8

F. Pengobatan Penyakit DPT ............................................................... 17

G. Perkembangan Penyakit DPT di Indonesia ..................................... 21

H. Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit DPT ........................... 22

I. Pencegahan Penyakit DPT ............................................................... 25

J. Gambaran Epidemiologi Umum Penyakit DPT ............................... 29

K. Gambaran Epidemiologi Penyakit DPT di Indonesia ..................... 32

L. Tujuan P3M DPT ............................................................................ 33

M. Strategi P3M DPT .......................................................................... 34

N. Ukuran Epidemiologi yang Dipakai .............................................. 34

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ..................................................................................... 41

B. Saran ................................................................................................ 41

Daftar Pustaka ............................................................................................. 42

iii

Page 4: Makalah Imunisasi Dpt

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga kini imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan

penyebaran berbagai penyakit infeksi, khususnya penyakit yang banyak

menjangkiti anak-anak. Menurut para pakar imunisasi dunia, sedikitnya sebanyak

10 juta jiwa dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui kegiatan imunisasi.

Bahkan hingga tahun 2015 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskin

dapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti

mereka (www.depkes.go.id, 2006).

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap

difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang

tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis

(batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk

hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pada tahun 2005

Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa lebih dari 10 juta

balita meninggal tiap tahun, dengan perkiraan 2,5 juta meninggal (25%) akibat

penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin yang kini ada maupun yang terbaru.

Oleh karena itu sangat jelas bahwa imunisasi sangat penting untuk

mengurangi seluruh kematian anak. Keberhasilan program imunisasi untuk

mencapai target yang diharapkan akan sangat tergantung dari hasil cakupan

program tersebut dan pada akhir Pelita IV ditentukan bahwa cakupan imunisasi

harus mencapai 65% dan pada tahun 1990 secara nasional Indonesia dapat

mencapai status Universal Child Immunization (UCI) yaitu DPT minimal 90%.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, pembahasan mengenai DPT

sangat penting untuk dilakukan.

B. Rumusan masalah

1. Apa itu penyakit DPT,etiologi,dan patofisiologis dari DPT?

2. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan dari penyakit DPT?

3. Bagaimana perkembangan penyakit dan gambaran epidemiologi?

4. Apa saja tujuan dan strategi P3M untuk penyakit DPT?

1

Page 5: Makalah Imunisasi Dpt

BAB II

PEMBAHASAN

A. Etiologi DPT

1. Difteri

Di sebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang

bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan

langsung dapat di lakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat

ditemukan dengan sediaan langsung dan lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa

tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau, atau merupakan kelompok dengan

formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media

sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengadung K-tellurit atau media

Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama

dengan kuman Diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga

untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara

fermentsi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti : medium Loeffler,

medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium

Loeffler, basil ini tumbuh tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang

kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan

menjadi 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu :

a. Gravis

Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak

menimbulkan hemolisis eritrosit.

b. Mitis

Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat

menimbulkan hemolisis eritrosit.

c. Intermediate

Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan

dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

2

Page 6: Makalah Imunisasi Dpt

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis

mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan

glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa

memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis,

kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap

manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah

dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh

pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya

memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain

untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,

toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag

yang mengandung toxigene.

Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan

pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:

1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih

dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.

2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan

waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang

membutuhkan waktu 24 jam.

2. Pertusis

Pertusis atau batuk rejan, atau yang lebih dikenal dengan batuk seratus

hari, disebabkan oleh kuman Bordetella Pertusis atau Hemophilus pertusis, dapat

ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrcintesttimalis, dan traktus

genitou rincrius penderita pertusis atau batuk rejan bersama-sama Bordetella

pertusis atau tanpa adanya Berdetella pertusis. Bordetell pertusis adalah satu-

satunya penyebab pertusis yang ditemukan  dengan  melakukan  swab  pada 

daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.

Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :

a. Berbentuk batang (coccobacilus).

b. Tidak dapat bergerak.

3

Page 7: Makalah Imunisasi Dpt

c. Bersifat gram negatif.

d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.

e.  Tidak berspora, mempunyai kapsul.

f. Mati pada suhu  55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º-

10ºC).

g. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar

metakromatik.

h. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten

terhdap penicillin.

i. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :

1) Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).

2) Endotoksin (lipopolisakarida).

j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa  dan

adhesin yang dinamakan pertaktin.

k. Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :

1) Toksin Pertusis (PT).

2) Filamentous hemagglutinin (FHA).

3) Pertactine 69-kDa OMP

4) Aglutinogen fimbriae

5) Adenylcyclase

6) Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)

7) Tracheal cytotoxin

l. Dapat dibiakkan ke media pembenihan yang disebut berdet gengou

(potato-blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk

menghambat pertumbuhan organisme lain.

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :

a. Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis

promoting factor, Islet activating protein (IAP).

b.  Adenilat siklase luarsel.

c. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis

toxin-   HA).

d. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

4

Page 8: Makalah Imunisasi Dpt

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella

Pertusis seperti Bordete. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab

pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia

merupaka satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa disebut a mild

pertussis-like illness dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di

Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica

(jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada binatang-

kucing dan binatang pengerat, kecuali pada manusia dengan gangguan imunitas

dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik

berupa batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan,

juga terdapat pada infeksi Adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial

Virus, Parainfluenza virus atau Influenza virus, Enterovirus dan Mycoplasma.

3. Tetanus

Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Kuman ini

banyak terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda, dan lain-

lain sehingga luka yang tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila

kemasukan kuman tetanus. Tusukan pada paku yang berkarat sering juga

membawa Clostridium tetani ke dalam luka lalu berkembang biak. Pada negara

belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui

tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama

tetanus neonatorum. Bayi yang baru lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat

pemotongnya kurang bersih dapat juga kemasukan tetanus.

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang seperti penabuh

genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Dalam kondisi

anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus

mensekresi dua macam toksin : tetanospasmi dan tetanolisin. Tetanolisin mampu

secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi

dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Toksin ini

labil pada pemanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam lima menit.

Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia dewasa

mungkin mengandung organisme ini. Spora juga dapat ditemukan pada

permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk

5

Page 9: Makalah Imunisasi Dpt

aktif kembali ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika

potensial reduksi jaringan rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan

gram, dan dapat bertahan hidup bertahun – tahun jika tidak terkena sinar matahari.

Bentuk vegetatif ini akan mudah mati dengan pemanasan 120oC selama 15 – 20

menit tapi dapat betahan hidup terhadap antiseptik fenol, kresol.

Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat

menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan

potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin

ini diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme.

Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang

menyebabkan penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang

dikenal berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal

asam amino polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb.

Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter

glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan

neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat.

Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada

manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk

manusiadengan berat badan 75 kg.

Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus

spasmin) yang mula-mula menyebabkan kejang otot dan syaraf perifer setempat.

Timbulnya tetanus ini terutama oleh Clostridium tetani yang didukung oleh

adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

B. MASA INKUBASI DAN PENULARAN DPT

1. Difteri

Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4

minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6

bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai

penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan

penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui:

6

Page 10: Makalah Imunisasi Dpt

a. Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan

oleh penderita ketika batuk atau bersin.

b. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue/ sapu tangan atau gelas bekas

minum penderita atau menyentuh luka penderita.

c. Barang rumah tangga, penularan dapat terjadi melalui berbagai barang

rumah tangga yang dipakai bersamaan seperti handuk atau mainan.

2. Pertusis

Masa inkubasi pertusis 6 - 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

waktu 7 - 10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,

trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.

Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.  Basil biasanya bersarang

pada silia epitel thorax mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi

berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan

makrofag.

3. Tetanus

Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar

(rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya

5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan

terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk.

Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.

Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya

kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari

setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari.

C. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis

1. Difteri

a. Gejala

Gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.

Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang

menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan

7

Page 11: Makalah Imunisasi Dpt

melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat

penderita menjadi sangat lemah dan sakit.Gejala-gejala lain yang muncul, antara

lain:

1) Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi parau

2) Mual dan muntah-muntah

3) Demam, menggigil dan sakit kepala

4) Denyut jantung meningkat

5) Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau

kecoklatan atau keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk

menelan dan terasa sakit.

6) Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga

menyebabkan penderita menjadi sesak nafas, bahkan yang lebih

membahayakan lagi, dapat pula menutup sama sekali jalan pernafasan.

7) Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher.

8) Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan

9) Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung

sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak.

Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman

difteri. Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat

menyebabkan reaksi peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga

sel-sel jaringan dapat mati.

Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk

suatu membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan.

Membran atau lapisan ini berwarna abu-abu kecoklatan, dan biasanya dapat

terlihat. Gejalanya anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan

menutup saluran napas yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat

bernapas. Akibatnya sangat fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak

ditangani dengan segera.

Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan

susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman

difteri. Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak.

8

Page 12: Makalah Imunisasi Dpt

Serangan berbahaya pada periode inkubasi 1 sampai dengan 5 hari, jarang

ditemui lebih lama. Dapat menyebabkan infeksi nasopharynx yang menyebabkan

kesulitan bernapas dan kematian. Penyebab utamanya adalah radang pada

membran saluran pernapasan bagian atas, biasanya pharynx tetapi kadang-

kadang posterior nasal passages, larynx dan trakea, ditambah kerusakan

menyeluruh ke seluruh organ termasuk myocardium, sistem saraf, ginjal yang

disebabkan eksotosin (Plotkins) organisme.

Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah

radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan dan demam. Dalam waktu 2-3 hari,

lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini

menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat

pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita

difteri biasanya tidak demam panas tapi dapat sakit leher dan sesak napas.

b. Diagnosis

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian

antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera

ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi.

Karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan

membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu

spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya

membran, tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit

lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai

dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila

diangkat terjadi pendarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

Diagnosa banding

Pada difteri nasal perdarahan yang timbul harus dibedakan dengan

perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital.

a. Tonsilitis folikularis atau lakunaris

Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus

dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak

tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila

diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak

9

Page 13: Makalah Imunisasi Dpt

tampak tidak terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperimis dengan

membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya

terdapat pada tonsil saja.

b. Angina plaut vincent

Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan

tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis

(gram positif) dan spirila (gram negatif).

c. Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan

disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat

peningkatan monosit dalam darah tepi.

d. Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri

laring harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis

membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada

laring, yang semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak.

2. Pertusis

a. Gejala

Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat berakibat

kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak

tiba-tiba batuk keras secara terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah

atau kebiruan, keluar air mata dan kadang-kadang sampai muntah. Karena batuk

yang sangat keras, mungkin akan disertai dengan keluarnya sedikit darah. Batuk

akan berhenti setelah ada suara melengking pada waktu menarik nafas, kemudian

akan tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk semacam ini terutama terjadi

pada malam hari. Bila penyakit ini diderita oleh seorang bayi, terutama yang baru

berumur beberapa bulan, akan merupakan keadaan yang sangat berat dan dapat

berakhir dengan kematian akibat suatu komplikasi. Masa tunas 7 – 14 hari

penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3

stadium, yaitu :

10

Page 14: Makalah Imunisasi Dpt

1. Stadium kataralis lamanya 1 – 2 minggu

Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam

hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi

serangan dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia.

Stadium ini menyerupai influenza.

2. Stadium spasmodik lamanya 2 – 4 minggu

Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal

berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah

leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita

tampak gelisah. Gejala – gejala masa inkubasi 5 – 10 hari. Pada awalnya

anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena flu biasa dengan hidung

mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan. Batuk

inilah yang kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin

panjang dan seringkali berakhir dengan suara seperti orang menarik nafas

(melengking). Anak akan berubah menjadi biru karena tidak mendapatkan

oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan

kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada

malam hari. Selama masa penyembuhan, batuk akan berkurang secara

bertahap.

3. Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu

Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan

pun timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spasmodik

mulai menghilang. Infaksi semacam “Common Cold” dapat menimbulkan

serangan batuk lagi.

b. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat

kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi

whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala

klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien

diperiksa. Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila

11

Page 15: Makalah Imunisasi Dpt

penderita datang pada stadium spasmodik, sedang pada stadium kataralis sukar

dibuat diagnosis karena menyerupai common cold.

Tes Diagnostik

a. Pemeriksaan sputum

b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis

c. ELISA

Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap

“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-

FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh

karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh

penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan

test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan

IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk

infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.

d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama

stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).

e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)

f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada

apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).

g. Polymerase chain reaction ( PCR ) assay memiliki keuntungan

sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.

h. Foto toraks

Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild

interstitial edema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang

bervariasi, mild peribronchial cuffing, atau empiema. Konsolidasi

(consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder

atau pertussis pneumonia (jarang). Adakalanya pneumothorax,

pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.

Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda

vital (vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah,

nadi, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.

12

Page 16: Makalah Imunisasi Dpt

3. Tetanus

a. Gejala

Gejala tetanus yang khas adalah kejang, dan kaku secara menyeluruh, otot

dinding perut yang teraba keras dan tegang seperti papan, mulut kaku dan sukar

dibuka. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini

berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.

Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus

bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1) Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh

merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan

otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus

dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.

2) Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah

(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang

meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama

sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita

akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di

sudut mulut.

Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.

Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik

ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami

luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi

lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita

mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut

atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

3) Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah

kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan

otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula

13

Page 17: Makalah Imunisasi Dpt

karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian

dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi

semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih

sering.

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:

1) Localited tetanus ( Tetanus Lokal)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada

daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah

merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa

bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara

bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini

dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal

ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2) Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di

India), Luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam

rongga hidung.

3) Generalized Tetanus (Tetanus umum)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi

yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-

diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang

disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot

leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala

lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,

opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring

dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose

asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan

didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa

mencapai 40’ C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak

14

Page 18: Makalah Imunisasi Dpt

stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa

ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

4) Neonatal Tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat

sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah

terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat

yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan

dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam

terjadinya neonatal tetanus.

b. Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :

1) Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi.

2) Gejala klinis.

3) Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu

istirahat, berupa :

1) Gejala klinik

2) Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic

smile ).

3) Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah

dilupakan.

4) Kultur: C. tetani (+).

5) Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pasca

pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai spesifik, leukosit dapat normal

atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa

pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu

daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan

Clostridium tetani.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-

kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan

15

Page 19: Makalah Imunisasi Dpt

elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi

hasilnya tidak spesifik.

 Diagnosa Banding

1. Meningitis Bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya

menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal fungsi, di mana

adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar

protein meningkat dan glukosa menurun.

2. Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.

Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan leukositosis. Virus polio

diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat kronik.

4. Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5. Tetani

Timbul karenahipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan

fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah

karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai

trismus.

6. Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

7. Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

8. Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelaianan berupa sindrom

ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis, dan kekakuan

otot.

9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher.

16

Page 20: Makalah Imunisasi Dpt

D. Transmisi DPT

1. Difteri

Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan

penderita ketika batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue atau

sapu tangan atau gelas bekas minum penderita atau menyentuh luka penderita.

a. Bersin : Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan

melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di

sekitarnya terpapar bakteri tersebut.

b. Kontaminasi barang pribadi : Penularan difteri bisa berasal dari barang-

barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci.

c. Barang rumah tangga : Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui

barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan,

seperti handuk atau mainan.

Selain itu, kita dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila

menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri

dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu

bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.

2. Pertusis

Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini

dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh,

antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg

mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada

stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk

mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yang

kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan

mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.

Masa penularan terjadi sejak permulaan penyakit sampai 3 minggu

berikutnya. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan

perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul

dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan

tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin

17

Page 21: Makalah Imunisasi Dpt

banyak.

3. Tetanus

Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun

kecil, menjadi jalan masuknya bakteri menyebab tetanus (Clostridium

tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus

dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka

menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan.

Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara

subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina

digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung

pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.

Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan

lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang

bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet. 

Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Spora

tetanus masuk ke dalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan

tanah, debu jalanan, tinja hewan atau manusia. Spora dapat juga masuk melalui

luka bakar atau luka lain yg sepele atau tidak dihiraukan, juga dapat melalui

injeksi dari jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar.

Tetanus kadang kala sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk

setelah sirkumsisi. Adanya jaringan nekrotik atau benda asing dalam tubuh

manusia mempermudah pertumbuhan bakteri anaerobik.

E. Riwayat Alamiah Penyakit Difteri DPT

1. Difteri

a. Tahap Prepatogenesis

Kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang

berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora adalah penyebab

difteri. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran

yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan

lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa

hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran,

kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat

18

Page 22: Makalah Imunisasi Dpt

berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Timbulnya

lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi

nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan

daerah inflamasi

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai

penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan

penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui

pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah

sekitarnya.

b. Tahap Patogenesis

1) Tahap Inkubasi

Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit

penyakit ke dalam tubuh manusia yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai

timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa

penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan

carier bisa sampai 6 bulan.

c. Tahap Dini

Gejala penyakit difteri ini adalah :

1) Panas lebih dari 38 °C

2) Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil

3) Sakit waktu menelan

4) Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan

karena pembengkakan kelenjar leher

d. Tahap Lanjut

Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan

selaputlendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri

sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari

tenggorokan kepita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga

saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau

bendamaupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah

masukdalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan

19

Page 23: Makalah Imunisasi Dpt

menyebarmelalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh

tubuh,terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.

Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.

Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf

lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan

tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama

minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan

ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan

gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung

secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat

kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

e. Tahap Pasca pathogenesis/Tahap Akhir

Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat

dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang

lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin

yang terlambat.

Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa

dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya

masih positif dan imunisasi.

Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan

membunuh basil dengan antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,

Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, tetrasiklin ).

2. Pertusis

a. Tahap Prepatogenesis

Pertusis (batuk rejan, whooping cough) adalah infeksi bakteri pada saluran

pernafasan yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri

dengan suara pernafasan dalam bernada tinggi (melengking). Pertusis adalah

penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan

oleh Bordetella pertussis, bakteri gram-negatif berbentuk kokobasilus.

Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan

memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik

20

Page 24: Makalah Imunisasi Dpt

dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik

napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas. Sampai saat ini

manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara

secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk.

Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yang terkena penyakit

ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yang tidak mempunyai kekebalan

tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg

mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada

stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk

mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yang

kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan

mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.

b. Tahap Patogenesis

Tahap inkubasi

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam

waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,

trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Pada

awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi

berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan:

1) Tahap kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah

terinfeksi) ciri-cirinya menyerupai flu ringan:

a) Bersin-bersin

b) Mata berair

c) Nafsu makan berkurang

d) Lesi

e) Batuk (pada awalnya hanya timbul di malarn hari kemudian

terjadi sepanjang hari).

2) Tahap paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala

awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam

21

Page 25: Makalah Imunisasi Dpt

dengan pada tinggi. Setelah beberapa kali batuk kembali terjadi

diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi. Batuk bisa

disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan

oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di

hidungnya).

Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya

muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran

yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan

tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas

yang bernada tinggi.

3) Tahap konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk

semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa

lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya

akibat iritasi saluran pernafasan.

c. Tahap Dini

Biasanya pertusis mulai seperti pilek dengan ingus, kecapaian dan

adakalanya demam ringan. Kemudian timbulnya batuk, biasanya bertubi-buti,

diikuti dengan rejan. Adakalanya orang muntah setelah batuk. Pertusis parah

sekali bagi anak kecil, yang membiru atau berhenti bernapas sewaktu batuk dan

mungkin harus dibawa ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa

mengalami penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang berkelanjutan selama

berminggu-minggu, tanpa memperhatikan perawatan.

d. Tahap Lanjut

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan

akhirnya timbul penyakit sistemik. Filamentous Hemaglutinin (FHA),

Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd

berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,

Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh

22

Page 26: Makalah Imunisasi Dpt

permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis

tidak terjadi bakteremia.

Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin

yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.Toksin

terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin.

Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B

selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit

A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat

migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Toxin mediated adenosine

diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane

sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk

lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan

serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin,

sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah. Toksin menyebabkan

peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan

meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh

Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ).

Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan

obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan

pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang

batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,

apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek

antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya

menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

3. Tetanus

a. Masa inkubasi dan klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3

atau beberapa minggu ). Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya

23

Page 27: Makalah Imunisasi Dpt

masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.

Karakteristik/gejalan klinis tetanus:

1) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap

selama 5 -7 hari.

2) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.

3) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

4) Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang

dari leher.

5) Timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena

spasme otot masetter.

6) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity).

7) Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis

tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir

tertekan kuat.

8) Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan

opistotonus, tungkai.

9) Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap

baik.

10) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan

sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna

vertebralis (pada anak).

Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit

ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.

Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat

menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah

tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.Pernafasan juga

dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal

ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,

sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. Ada

empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

24

Page 28: Makalah Imunisasi Dpt

1) Tetanus Lokal (Localited Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada

daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah

merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa

bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara

bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam

bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini

dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal

ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. Hanya sekitar 1%

dari kasus yang fatal.

2) Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi

berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media (infeksi telinga) kronik , seperti

dilaporkan di India, luka pada daerah muka dan kepala. Terisolasi atau

dikombinasikan disfungsi dari salah satu saraf kranial dapat terjadi, tetapi

keterlibatan dari saraf kranial ketujuh adalah yang paling umum.

3) Tetanus Umum (Generalized Tetanus)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal (80%). Trismus atau kejang mulut

merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh

kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang

menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa

Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus

(kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot

pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa

terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa mencapai 2-40C. Bila

dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai

takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya

berdasarkan gejala klinis.

Udara dingin, kebisingan, lampu (cahaya) serta gerakan pasien dapat

memicu kejang paroksismal. Kejang dapat terjadi sering dan berlangsung selama

25

Page 29: Makalah Imunisasi Dpt

beberapa menit. Kejang dapat terus berlanjut selama 3-4 minggu. Kadang-kadang,

pasien dengan tetanus umum menampilkan manifestasi otonom yang menyulitkan

perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa pasien. Overactivity sistem saraf

simpatik lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut atau pecandu narkotika

dengan tetanus. Overaktivitas otonom dapat mengakibatkan fluktuasi yang luas

pada tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi sampai hipotensi, serta

takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung.

4) Neonatal tetanus (tetanus neonatorum)

Neonatal tetanus (tetanus neonatorum) adalah bentuk tetanus umum,

biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk  melalui tali pusat

sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah

terkontaminasi spora Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk

tali pusat yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional

yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi

Medan, pada tahun 1981 ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus.

Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional

Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan

selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %).

Neonatal tetanus  merupakan kejadian umum di beberapa negara

berkembang (diperkirakan lebih  dari 257.000 kematian tahunan di seluruh dunia

pada 2000-2003). Namun sangat jarang di Amerika Serikat. Neonatus muncul

seminggu setelah kelahiran dengan demam, muntah dan kejang. Diferensial

diagnosis termasuk sepsis dan meningitis. Penyebabnya biasanya kebersihan

selama prosese persalinan yang kurang. Penyakit ini dapat dicegah dengan

vaksinasi ibu, yang diberikan selama kehamilan.

a. Masa laten dan periode infeksi

Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin

penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular.

Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke

26

Page 30: Makalah Imunisasi Dpt

dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam, 

otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril.

Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular

dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan

vaksin, tapi tidak menular.

F. PENGOBATAN

1. Difteri

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C. Diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati

infeksi penyerta dan penyulit difteria.

a. Pengobatan Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3

minggu. Pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria

laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan

menggunakan humidifier.

b. Pengobatan Khusus 

1) Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) 

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.

Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada

penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-

6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata

terlebih dahulu. 

2) Antibiotik 

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan

untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.

Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal

aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain. 

27

Page 31: Makalah Imunisasi Dpt

3) Kortikosteroid 

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai

gejala.

c. Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap

baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak

kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan

indikasi tindakan trakeostomi.  

1) Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan

berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti

setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi

harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid

difteria.

2) Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai

uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral /

suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin

diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. 

2. Pertusis

1) Antibiotika

a) Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis.

Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring

dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian

memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn

juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium

kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena

itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda.

b) Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.

c) lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.

28

Page 32: Makalah Imunisasi Dpt

2) Imunoglobulin

Belum ada penyesuaian paham mengenai pemberian immunoglobulin

pada stadium kataralis.

3) Ekspektoransia dan mukolitik

4) Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali.

5) Luminal sebagai sedative.

6) Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik.

7) Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi

8) Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus,

mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.

3. Tetanus

a. Antibiotika

Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.

Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /

KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap

peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40

mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis

terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan

dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,

bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi

pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan

b. Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)

dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh

diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary

aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang

serius.

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,

yang berasal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya

adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1

fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan

29

Page 33: Makalah Imunisasi Dpt

dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan

secara IM pada daerah pada sebelah luar.

c. Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan

dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang

berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan

sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

d. Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik

yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan

penggunaan obat – obatan sedasi / muscle relaxans, diharapkan kejang dapat

diatasi.

Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal

pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam

pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20

mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ).

Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus

berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat

teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari ( dosis maintenance ).

Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat,

dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak

dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap,

yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak

boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan

penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol

kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus

segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang

dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini

dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih

terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti

kejang lainnya harus dilakukan

30

Page 34: Makalah Imunisasi Dpt

G. PERKEMBANGAN DPT DI INDONESIA

1. Difteri

Rendahnya kesadaran mengenai imunisasi dan takut akan efek samping

vaksin membuat masyarakat Indonesia rentan tertular penyakit difteri.

Keengganan mengikuti imunisasi tersebut menyebabkan bahaya transmisi difteri

terus ada di Indonesia. Dulu, jarang sekali ditemui kasus difteri, sekarang sudah

22 provinsi di Indonesia yang menjadi wilayah endemis difteri. Banyak warga

tidak ingin anaknya divaksinasi karena imunisasi difteri umumnya menyebabkan

anak mengalami demam. Padahal demam adalah reaksi wajar tubuh terhadap

vaksinasi tersebut.

Contoh kecenderungan kasus Diphteri selalu naik di Jawa Timur dari

tahun ke tahun. Tahun 2003 (5 kasus), tahun 2004 (15 kasus), tahun 2005

(33kasus), tahun 2006 (43 kasus), tahun 2007 (86 kasus), tahun 2008 (77 kasus 11

kematian), tahun 2009 ( 140 kasus /8 kematian), tahun 2010 (304 kasus/21

kematian) dan s/d 9 Oktober 2011 ( 333 kasus / 11kematian)

Penyebaran kasus Diphteri cederung meluas dari tahun ke tahun di Jawa

Timur. Tahun 2003 (3 Kab/Ko), tahun 2004 (9 kab/Ko), tahun 2005 (15 Kab/Ko),

tahun 2006 (17 Kab/Ko), tahun 2007 (17 Kab/Ko), tahun 2008 ( 20 Kab/Ko),

tahun 2009 ( 24 Kb/Ko), tahun 2010 (31Kab/Kota) dan sampai dengan 9 Oktober

2011 ( 34 Kab/Ko )

CFR Diphteri masih tinggi (7%), bahkan di tempat tertentu bisa mencapai

50%.74% kasus Diphteri di Jatim terjadi pada kelompok umur Balita & anak KLB

Diphteri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Jawa Timur membutuhkan

penanganan yang baik, serius dan benar pada semua kejadian. Diharapkan dengan

penanganan yang baik, serius dan benar maka KLB dapat ditanggulangi dan

dicegah.

Selain kesadaran masyarakat yang rendah, Indonesia juga mengalami

kesulitan dalam hal fasilitas penyimpanan vaksin. Indonesia mengalami masalah

gangguan cold chain atau rantai dingin, sebagian besar pendingin di Indonesia

sudah berusia di atas 15 tahun, padahal rantai dingin penting untuk memelihara

vaksin agar tetap pada suhu tertentu.

31

Page 35: Makalah Imunisasi Dpt

2. Pertusis

Menurut survei yang dilakukan Depkes Medan, dikota Medan pertusis

sering terjadi pada anak, sebanyak 56 balita yang terserang penyakit pertusis.

Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, didapatkan kasus pertusis sekitar 250

kasus yang didata dari rumah sakit yang ada Kab. Deli Serdang, sebanyak 78

balita yang terserang penyakit pertusis. Yang diakibatkan oleh lambatnya orang

tua dari anak untuk berobat kerumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan

terdekat.

Sebelum era imunisasi pertusis, sekitar 260.000 kasus pertusis yang

tercatatsetiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 9000 jiwa. Pertusis di

Indonesia kasusnya menurun drastis dari 30.000 kasus pada 1990, menjadi 1.941

kasus pada 2011 setelah dilakukan program imunisasi. Data ini dikeluarkan oleh

Kementerian Kesehatan mengacu pada program imunisasi. Jika imunisasi DPT

sudah menjangkau semua balita, sepertinya tingkat keberhasilannya bisa mencapai

100% seperti di Amerika dan tak ada lagi pertusis di Indonesia.

Sebelum era imunisasi, pertusis dikenal sebagai penyakit yang berat pada

masa kanak-kanak dan dapat menginfeksi hingga 95% populasi. Penyakit ini

jarang ditemui pada populasi dewasa. Sebuah studi terhadap lebih dari dua puluh

ribu subjek menunjukkan bahwa kasus sekunder atau reinfeksi hanya terjadi pada

0,26% kasus. Oleh sebab itu, mulanya dipercaya bahwa infeksi pertusis dapat

memberikan proteksi seumur hidup bagi penderitanya. Namun demikian, studi

yang dilakukan sesudahnya menunjukkan bahwa 33% subjek studi yang memiliki

riwayat infeksi pertusis mengalami infeksi ulang semasa hidupnya, baik

asimtomatik  maupun simtomatik. Tingginya angka tersebut membuktikan bahwa

imunitas terhadap infeksi pertusis tidak bersifat protektif seumur hidup.

3. Tetanus

Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait

erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus

tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang

masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Lihat saja data organisasi kesehatan

dunia WHO yang menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang

adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju .

32

Page 36: Makalah Imunisasi Dpt

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka

kematian dari penyakit tetanus masih tinggi. Tetanus adalah salah satu penyakit

yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Tetanus yang

menyerang bayi usia di bawah satu bulan, dikenal dengan istilah tetanus

neonatorum yang disebabkan oleh basil Clostridium Tetani. Penyakit ini menular

dan menyebabkan resiko kematian sangat tinggi. Bisa dikatakan, seratus persen

bayi yang lahir terkena tetanus akan mengalami kematian.

Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan

menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di

perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian

tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-

9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada

bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.

Kasus tetanus neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 1997

sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan target Eliminasi Tetanus

Neonatorum (ETN) yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup.

Di Jawa Tengah, jumlah kasus tetanus neonatorum pada tahun 2008

sebanyak 10 kasus yang tersebar di 4 kabupaten atau kota yaitu Kabupaten

Cilacap, Kabupaten Blora, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Brebes.

Sedangkan 31 kabupaten atau kota lainnya tidak ada kasus. Kasus tertinggi adalah

di Kabupaten Brebes sebanyak 7 kasus, sedang 3 kabupaten lain masing-masing 1

kasus.

Dari sejumlah kasus, tetanus pada bayi baru lahir memiliki angka yang

sangat signifikan. Pada umumnya kasus itu, penggunaan gunting yang kotor dan

berkarat oleh para bidan atau dukun bayi saat memotong tali pusar bayi adalah

penyebabnya. Bayangkan, 60 persen persalinan di Indonesia masih dilakukan oleh

dukun bayi yang tidak terlatih.

Di Indonsia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian

pada anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan

pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara

dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5

tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan pemberian

33

Page 37: Makalah Imunisasi Dpt

imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3

bulan.Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis

Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan

yang kurang memadai, sedang syarat mutlak keberhasilan program adalah

tingginya persentase populasi target yang harus dicakup yaitu sebesar 80% atau

lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan.

4. Imunisasi DPT

Imunisasi DPT (difteri-pertusis-tetanus) adalah salah satu imunisasi yang

wajib diberikan kepada anak. Namun, pemberian imunisasi DPT seringkali

merupakan kejadian yang menakutkan bagi orangtua, karena biasanya setelah

vaksinasi anak akan mengalami demam. Dalam Lunch Symposium yang

diselengggarakan pada 3 Juli 2002 di Bali, dipresentasikan suatu revolusi dalam

perkembangan vaksin DPT. Revolusi ini dilakukan oleh GSK (GlaxoSmithKline)

yang sudah sejak lama dikenal sebagai pelopor perkembangan vaksin di

Indonesia, dengan memproduksi vaksin pertusis aseluler (DPaT) pertama di

Indonesia, yaitu Infanrix. Dengan komponen pertusis aseluler, vaksin ini

mengandung ekstrak protein dengan tingkat kemurnian tinggi dari tiga antigen

pertusis B yang menciptakan respons imun yang kuat dan tingkat efikasi yang

sama atau lebih tinggi daripada vaksin pertusis dari sel utuh.

Awal pengembangan vaksin pertusis aseluler, menurut Prof. Dr. dr. Sri

Rezeki S. Hadinegoro, Ketua Immunization Committee of Indonesia Society of

Pediatrician dan staf pengajar di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, terjadi karena vaksin DPT yang ada saat ini

adalah vaksin DPwT. Vaksin ini mengandung satu sel pertusis yang utuh (whole)

yang menyebabkan adanya reaktogenisitas yang tinggi. Reaktogenisitas inilah

yang menimbulkan demam tinggi, bayi menangis lebih lama, kejang, dan reaksi

lokal seperti pembengkakan pada lokasi suntikan. Vaksin pertusis aseluler

memiliki keunggulan berupa reaktogenisitas yang lebih rendah dibandingkan

vaksin konvensional.

Efikasi vaksin pertusis aselular dibandingkan dengan vaksin pertusis yang

ada saat ini telah diteliti oleh sejumlah peneliti. Penelitian di Italia yang

mempelajari 15.000 bayi yang diberikan 3 komponen vaksin pertusis aselular

34

Page 38: Makalah Imunisasi Dpt

melaporkan bahwa efek proteksi vaksin pertusis aselular sebesar 88,7%. Selain

itu, imunogenisitas vaksin pertusis aselular ekuivalen dengan vaksin DPwT, baik

untuk vaksinasi primer maupun booster dengan reaksi samping yang lebih rendah,

Salah satu revolusi lain adalah pengembangan vaksin kombinasi.

Imunisasi wajib yang harus diterima oleh para balita jenisnya cukup banyak.

Kadang hal ini juga menimbulkan kesulitan, terutama dalam pengaturan jadwal

vaksinasi. Karena banyaknya vaksinasi yang tumpang tindih dan membuat bayi

harus berulang kali disuntik, orangtua sering enggan untuk membawa bayinya

datang tepat waktu.

Dr. Hans L. Bock, M.D., mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya

jumlah vaksin anak-anak maka vaksin kombinasi mulai diterima sebagai salah

satu upaya yang paling praktis dan cost-effective demi tercapainya tujuan

imunisasi. Karena itu, pada 1992 WHO merekomendasikan pengembangan vaksin

kombinasi DPT-HBV (hepatitis B). Pada 1998, dengan masuknya vaksinasi HiB

dalam vaksinasi anjuran, memberi peluang bagi pengembangan vaksin kombinasi

pentavalen, yaitu DPwT-HBV/HiB yang terbukti cukup aman dan efektif. Tetapi,

dengan meningkatnya keprihatinan atas efek samping DPwT maka lagi-lagi

vaksin pertusis aselular (DPaT) menjadi pilihan yang terbaik. Ditambah lagi,

DPaT di beberapa negara sudah dapat dikombinasikan. Selain dengan HBV dan

HiB, juga dengan vaksin polio injeksi.

H. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DPT

1. Difteri

Penyebab suatu penyakit merupakan unsur yang keberadaannya jika terus

menerus terjadi kontak dengan manusia rentan dalam keadaan memungkinkan

akan menimbulkan suatu penyakit.

a. Faktor Host 

Menurut teori Achmadi, faktor host pada timbulnya suatu penyakit

sangat luas. Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor

lingkungan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep

yang diukur sebagai perilaku pemajanan. Faktor host yang

mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis

35

Page 39: Makalah Imunisasi Dpt

kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga

perilaku.

1) Umur

Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya

penyakit. Hal ini berhubungan dengan kerentanan yang ada pada

host yang dipengaruhi faktor umur. Ada beberapa penyakit yang

dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau

sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut

usia. Menurut sejarah difteri masih merupakan penyakit utama

yang menyerang masa anak-anak, populasi yang dipengaruhi

adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit

difteri antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu

melalui transplasenta menurun.

Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak.

Sementara menurut data CDC’s National Notifiable Diseases

Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%) berusia antara

15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang

tidak divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi

kasus difteri pada anak-anak menurun secara drastis. Bahkan pada

saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja dan dewasa.

2) Status Imunisasi

Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat berpengaruh

pada timbulnya suatu penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas

yang terbentuk pada tubuh seseorang ada yang didapatkan secara

alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat

aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi

agent penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat

dan bersifat tahan lama. Imunitas alamiah pasif adalah imunitas

yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk melalui

plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan

menghilang sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang

36

Page 40: Makalah Imunisasi Dpt

bersifat aktif yaitu jika host telah mendapat vaksin atau toksoid,

sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma globulin

dan berlangsung hanya 4-5 minggu.

Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa

bayi. Pemberian imunisasi pada sebagian besar komunitas akan

menurunkan penularan penyebab penyakit dan mengurangi peluang

kelompok rentan untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain

dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju

akumulasi individu yang rentan terhadap penyakit tersebut.

Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat

mempengaruhi timbulnya penyakit di masyarakat, dengan

terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi

akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh

agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-

rata kejadian infeksi ke umur yang lebih tua.

3) Faktor status gizi dan sosial ekonomi

Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi besar dalam

penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek

kepadatan hunian dan rendahnya hygiene sanitasi.

Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan

penyakit infeksi. Pasa satu sisi penyakit infeksi menyebabkan

hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi berkurang,

sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak

sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang

meninggi, hingga anak dalam malnutrisi marginal menjadi lebih

buruk keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan

daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi

sakit. Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan

mempermudah tubuh terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan

diare.

37

Page 41: Makalah Imunisasi Dpt

4) Faktor Perilaku

Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi

terjadinya penularan atau penyebaran penyakit difteri adalah

sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin

sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain,

membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka

jendela, mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan

bergantian.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara

lain meliputi tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta

faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada lingkungan

fisik biologi, sosial dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi

kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi

kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan

dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya

tersebut.

2. Pertusis

Tidak ada batasan untuk penyakit ini, siapa saja berisiko terkena pertusis.

Namun ada kriteria orang dengan resiko tinggi seperti:

a. Orang yang tinggal serumah dengan penderita pertusis lebih mungkin

terjangkit akibat penularan yang cepat melalui droplet yang dihasilkan

saat penderita batuk.

b. Bayi premature, karena sistem imunnya masih sangat lemah sehingga

sangat rentan terkena penyaki. Usia yang paling rentan terkena

penyakit pertusis adalah anak dibawah usia 5 tahun,

c. Pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru, otot atau

neuromuscular berisiko tinggi menderita pertusis dan komplikasinya

d. Oraang yang tidak menerima vaksin secara lengkap atau bahkan tidak

pernah menerima vaksinasi pada saat kanak-kanak

e. Paling banyak terdapat pada tempat yang padat penduduknya

38

Page 42: Makalah Imunisasi Dpt

3. Tetanus

a. Tetanus beresiko terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dewasa

muda dan orang tua yang tidak mendapatkan immunisasi atau dapat

imunisasi yang didapat tidak adekuat.

b. Pengguna obat-obat dengan infeksi.

c. Terjadi banyak pencemaran lingkungan.

d. Perempuan dapat terkena tetanus setiap saat, terutama beresiko  waktu

melahirkan jika mereka melahirkan di lingkungan rumah dengan alat-

alat yang tidak steril atau proses kelahiran dibantu oleh dukun

melahirkan.

e. Bayi-bayi beresiko untuk terkena tetanus kalau alat-alat yang tidak

steril dipakai untuk memotong tali pusar atau kalau ramuan-ramuan

atau abu dipakai untuk menutup luka potongan tali pusar, seperti

kebanyakan praktek-praktek tradisi di beberapa tempat di Indonesia.

f. Imunitas yang menurun.

g. Luka akibat benda berkarat.

h. Umur

Angka mortalitas tertinggi ditemukan pada pasien di ujung kehidupan

(awal atau akhir). Pada neonatus kasus fatal terjadi pada 66% kasus

tetanus pada kelompok umur tersebut dan untuk pasien dengan umur

50 tahun ke atas sekitar 70%. Kontrasnya, untuk pasien umur 10-19

tahun, angka kasus yang fatal hanya 10% hingga 20%.

KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

Reaksi setelah penyuntikan DPT bervariasi dari ringan sampai berat

namun tidak seberat jika menderita penyakit tersebut.

a. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) ringan (sering): Demam (1

dari 4 anak), merah dan bengkak di tempat suntikan (1 dari 4 anak),

nyeri dan perih di tempat suntikan (1 dari 4 anak), rewel (1 dari 3

anak), tidak nafsu makan (1 dari 10 anak), muntah (1 dari 50

anak).Gejala dapat menghilang 1-7 hari.

b. KIPI sedang (Jarang) : Kejang (1 dari 14.000 anak), menangis lebih

dari 3 jam (1 dari 1000 anak), demam >40.5’C (1 dari 16.000 anak)

39

Page 43: Makalah Imunisasi Dpt

c. KIPI berat (sangat jarang) : Reaksi alergi berat, Kerusakan otak yang

permanen (1 dari sekian juta anak, sulit untuk dipertimbangkan

sebagai efek samping dari vaksin karena kejadiannya yang sangat

jarang).

Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Status Imunisasi

Menurut Muamalah (2006) , faktor - faktor yang berhubungan dengan

perilaku kesehatan, yaitu :

a. Faktor-faktor predisposisi ( Predisposing Factor ) meliputi pengetahuan

ibu tentang imunisasi dasar, tingkat pendidikan, sikap dan ibu bekerja.

b. Faktor pemungkin ( Enabling Factor ) Faktor-faktor ini mencakup

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi

masyarakat seperti puskesmas, posyandu, dan kelengkapan alat

imunisasi.

c. Faktor-Faktor Penguat ( Reinforcing Factor )

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat

( toma ), tokoh agama ( toga ), sikap dan perilaku para petugas

termasuk petugas kesehatan.

d. Keaktifan petugas dalam memotivasi.

e. Kedisiplinan petugas imunisasi

I. Pencegahan DPT

1. Difteri

Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi

tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada

kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan

pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya

habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu

mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara

aktif dengan imunisasi.

Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status

imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali

lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.

Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar

40

Page 44: Makalah Imunisasi Dpt

daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan

rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka

sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan

tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah

faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi terjadinya difteri

(Kartono,2008).

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan

tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan

dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan

memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam

waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri

dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat

penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi

perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu

DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun

setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster

(DT) setiap 10 tahun sekali.

Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada

masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya

imunisasiaktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk

menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti

difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi

rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus

menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan

makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di

luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya

dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi

sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk

menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium

diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita

tidak akan terserang lagi seumur hidup.

41

Page 45: Makalah Imunisasi Dpt

Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed

rest: 2-3minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah

dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.

Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis

Tetanus ) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan

tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi

DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,

pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya

diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada

bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT

(Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada

anak sekolah dasar kelas 1.

2. Pertusis

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan

imunisasi.Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka

kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan

dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.

1) Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,

ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak

efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk

pencegahan.

2) Imunisasi aktif

Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat

dosis tunggal Terdapat 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontra

indikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen

vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian

vaksin pertusis.

Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:

1) Isolasi

Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi

bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan

42

Page 46: Makalah Imunisasi Dpt

antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara

lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana

pasien tidak mendapatkan antibiotik.

2) Karantina

Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak

diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di

tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik

selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.

3) Disinfeksi

Direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang

terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

3. Tetanus

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan

ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus

bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak

terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang

masuk ke dalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin

( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun

dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang

adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).

Vaksinasi adalah cara pencegahan terbaik terhadap tetanus. Komite

Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP) merekomendasikan bahwa semua anak

menerima serangkaian rutin dari 5 dosis difteri dan vaksin tetanus pada usia 2, 4,

6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. Dosis booster difteri dan tetanus toxoid harus

diberikan dimulai pada usia 11-12 tahun (minimal 5 tahun sejak dosis terakhir)

dan diulangi setiap 10 tahun sesudahnya. Saat ini, DTaP dan DT harus digunakan

pada orang kurang dari tujuh tahun, sedangkan Td diberikan kepada mereka yang

berusia tujuh tahun atau lebih. Jadwal catch-up imunisasi Td bagi mereka dimulai

pada usia tujuh tahun atau lebih terdiri dari tiga dosis. Dosis kedua biasanya

diberikan 1-2 bulan setelah dosis pertama, dan dosis ketiga diberikan 6 bulan

setelah dosis kedua. Aselular formulasi vaksin pertusis bagi remaja dan orang

dewasa yang berlisensi dan dikombinasikan dengan difteri dan tetanus-toxoid.

43

Page 47: Makalah Imunisasi Dpt

Jadwal yang disarankan untuk DTap belum ditentukan, tetapi vaksin ini harus

diterima dalam kondisi yang tepat.

Untuk pencegahan tetanus neonatorum, langkah-langkah pencegahan,

selain imunisasi ibu, adalah program imunisasi untuk gadis remaja dan wanita

usia subur serta pelatihan yang tepat bidan dalam rekomendasi untuk imunisasi

dan teknik aseptik dan pengendalian infeksi. Maternal and Neonatal Tetanus

Elimination (MNTE) merupakan program eliminasi tetanus pada neonatal dan

wanita usia subur termasuk ibu hamil. Strategi yang dilakukan untuk

mengeliminasi tetanus neonatorum dan maternal adalah :

1) pertolongan persalinan yang aman dan bersih;

2) cakupan imunisasi rutin TT yang tinggi dan merata; dan

3) penyelenggaraan surveilans.

Beberapa permasalahan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada wanita usia

subur yaitu pelaksanaan skrining yang belum optimal, pencatatan yang dimulai

dari kohort WUS (baik kohort ibu maupun WUS tidak hamil) belum seragam, dan

cakupan imunisasi TT2 bumil jauh lebih rendah dari cakupan K4. Cakupan

imunisasi TT2 selama tahun 2003-2007   tidak mengalami perkembangan, bahkan

cenderung menurun. Namun sejak dua tahun terakhir terjadi peningkatan cakupan

imunisasi TT2+, dari 26% pada tahun 2007 menjadi 42,9% pada tahun 2008,

kemudian meningkat lagi menjadi 62,52% pada tahun 2009 (Kemenkes RI. 2009).

4. Pencegahan dengan Program Imunisasi DPT

Pengertian Imunisasi DPT

Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap

suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah

dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh. Dengan memasukkan kuman atau

bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang ada

pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit

yang menyerang tubuh. Imunisasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh

untuk membuat zat anti untuk mencegah penyakit.

Vaksin adalah suatu bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman,

atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin difteri terbuat

dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan. Vaksin Tetanus yaitu toksin

44

Page 48: Makalah Imunisasi Dpt

kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Vaksin Pertusis

terbuat dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan. Selanjutnya ketiga

vaksin ini dikemas bersama yang dikenal dengan vaksin DPT.

Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap

penyakit Difteri, Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri,

pertusis, tetanus yang telah dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga

tubuh dapat menghasilkan zat anti yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk

melawan kuman atau bibit ketiga penyakit tersebut (Markum, 2005). Imunisasi

DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan untuk

mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang

mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan

tetapi masih dapat merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi

pemberian imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat

anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan

mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat

anti yang cukup (Alimul, 2008)

Manfaat Imunisasi DPT Dasar

Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit

adalah dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan

membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap

penyakit. Jadi tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap

penyakit Difteri, Pertusis, Tetanus. Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT

adalah :

1. Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan

terhadap penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.

2. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena

penyakit secara alami.

Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat

kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. Namun

bila jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan

semakin berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa

45

Page 49: Makalah Imunisasi Dpt

ditanggulangi dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah

jauh lebih baik dari pada pengobatan (Markum, 2005).

Jadwal Pemberian Imunisasi

Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali, karena saat imunisasi pertama

belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteri dan akan memiliki kadar

antibodi setelah mendapatkan imunisasi 3 kali dengan interval 4 minggu.

Imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang

menderita penyakit kejang demam kompleks. Jika tidak boleh diberikan pada anak

dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila pada

suntikan DPT pertama terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya suntikan berikut

jangan diberikan DPT lagi melainkan DT saja (tanpa P). DPT biasanya tidak

diberikan pada anak usia kurang dari 6 minggu, disebabkan respon terhadap

pertusis dianggap tidak optimal, sedangkan respon terhadap tetanus dan difteri

adalah cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal (Markum,

2005).

Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan

pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah

dimurnikan ditambah dengan bakteri Bortella pertusis yang telah dimatikan.

Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi

yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Vaksin DPT

adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur kurang dari 7

tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan

pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada

saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III);

selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun

setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi

alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.

Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster

vaksin DPT pada usia 14-16 tahun kemudian setiap 10 tahun (karena vaksin hanya

memberikan perlindungan selama 10 tahun, setelah 10 tahun perlu diberikan

booster).

46

Page 50: Makalah Imunisasi Dpt

Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala

biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang

berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis

yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti

dengan DT. (Depkes RI, 2005).

47

Page 51: Makalah Imunisasi Dpt

Cara Kerja Vaksin

Bakteri, virus dan kuman penyakit mengancam tubuh setiap harinya.

Tetapi bila penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang masuk ke dalam

tubuh, maka tubuh kita akan membentuk suatu sistem kekebalan, membuat

protein yang disebut antibodi untuik melawan mikroorganisme tersebut. Tujuan

dari sistem kekebalan tubuh adalah mencegah penyakit dengan menghancurkan

serbuan dari luar atau membuatnya menjadi tidak berbahaya. Vaksin merangsang

sistem kekebalan tubuh. Untuk memahami bagaimana vaksin bekerja,maka perlu

diketahui juga bagaimana tubuh kita mendapatkan kekebalan

a. Kekebalan Alami

Kekebalan alami berkembang setelah terekspos oleh organisme tertentu.

Sistem kekebalanan akan bekerja sebagai pertahanan terhadap penyakit yang sama

dari virus atau bakteri tertentu. Paparan terhadap penyerbu ini akan merangsang

pembentukan sel darah putih tertentu dalam tubuh yang disebut sel B. Sel B

memproduksi plasma sel, yang kemudian memproduksi antibodi yang didesain

spesifik untuk melawan kuman. Antibodi ini disirkulasi ke cairan tubuh. Bila ada

kuman yang sama masuk dalam tubuh di lain waktu, antibodi itu akan mengenali

dan akan menghancurkannya. Sekali tubuh kita memproduksi antibodi

tertentu,maka antibodi tersebut akan diproduksi bila diperlukan.

Disamping kerja B sel, sel darah putih lain singgah macrophages

menghadapi dan memusnahkan penyerbu asing. Jika tubuh bertemu dengan

kuman yang belum pernah terekspos sebelumnya, informasi mengenai kuman

disampaikan ke sel darah putih yang disebut sel T pembantu. Sel ini membantu

produksi sel yang berjuang melawan infeksi lain. Satu kali terekspos oleh virus

atau bakteri tertentu, waktu berikutnya terekspos, antibodi dan sel T akan bekerja.

Mereka dengan segera bereaksi terhadap organisme, menyerangnya sebelum

penyakit berkembang. Sistem kekebalan bisa mengenali dan secara efektif

bertempur melawan organisme yang berbeda

b. Kekebalan karena Vaksin

Selama vaksinasi, vaksin yang mengandung virus, bakteri atau organisme

lain yang telahmati atau dilemahkan disuntikkan ke dalam tubuh (kiri). Vaksin

kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk

48

Page 52: Makalah Imunisasi Dpt

melawan organisme tersebut (tengah). Lain waktu saat organisme tersebut

kembali menyerang tubuh, antibodi dari system kekebalan akan menyerang dan

akan menghentikan infeksi (kanan). Hasil kekebalan yang disebabkan oleh vaksin

didapat setelah menerima vaksin. Vaksin memicu kemampuan sistem kekebalan

berjuang melawan infeksi dengan tanpa kontak langsung dengan kuman yang

menghasilkan penyakit. Vaksin berisi kuman yang telah dimatikan atau

dilemahkan atau derivatifnya. Kalau diberikan kepada orang sehat, vaksin memicu

respon kekebalan tubuh. Vaksin memaksa tubuh berpikir bahwa sedang diserang

oleh organisme spesifik, dan sistem kekebalan bekerja untuk memusnahkan

penyerbu dan mencegahnya menginfeksi lagi. Jika terekspos terhadap penyakit

saat telah divaksin, kuman yang menyerbu akan menghadapi antibodi. Kekebalan

anda berkembang mengikuti vaksinasi mirip kekebalan yang diperoleh dari

infeksi alami. Beberapa dosis vaksin mungkin diperlukan untuk jawaban kebal

yang penuh. Beberapa orang gagal mendapatkan kekebalan penuh saat dosis

pertama vaksin tetapi memberi hasil pada dosis lanjutan. Sebagai tambahan,

kekebalan yang didapatkan dari beberapa vaksin, seperti tetanus dan pertussis,

tidak untuk seumur hidup. Karena respon kekebalan mungkin berkurang dengan

berjalannya waktu, mungkin perlu dosis vaksin tambahan untuk memulihkan atau

menambah kekebalan

Efek Samping Imunisasi DPT

Kira-kira pada separuh penerima DPT akan terjadi kemerahan, bengkak

dan nyeri pada lokasi injeksi. Proporsi yang sama juga akan menderita demam

ringan. Anak juga sering gelisah dan menangis terus-menerus selama beberapa

jam pasca suntikan. Kadang-kadang terdapat efek samping yang lebih berat

seperti demam tinggi atau kejang yang biasanya disebabkan oleh unsur

pertusisnya (Markum, 2005).

Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek

ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam,

sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat jam,

kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock (Alimul, 2008).

49

Page 53: Makalah Imunisasi Dpt

J. Gambaran Umum Epidemiologi

1. Difteri

Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja

dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71%

kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih

dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian

besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada

tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah

anak berusia 15 tahun atau lebih. Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri

dilaporkan CDC Nasional Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus

(77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di

kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah

seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali  ke Amerika Serikat dari negara dengan

penyakit endemik. Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang,

termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia

Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan

remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan

orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid

difteri. 

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,

Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda.

Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27%

usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.

Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan

bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14

tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan

kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12

kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera

Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.

Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di

era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari

penyakit dan kematian pada anak-anak. Difteri dapat menyerang seluruh lapisan

50

Page 54: Makalah Imunisasi Dpt

usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita

difteri umumnya anak-anak, dibawah usia 15 tahun. Selama permulaan pertama

dari abad ke 20 difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-

anak muda.

Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi

rendah. Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa

mengenal waktu.

2. Pertusis

Tersebar di seluruh dunia di tempat yang padat penduduknya dan dapat

berupa endemik pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack

rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Bersifat endemik dengan siklus 3-4

tahun antara Juli sampai Oktober sesudah akumulasi kelompok rentan. Menyerang

semua golongan umur, yang terbaranyak anak umur satu tahun. Perempuan lebih

sering terkena daripada laki-laki. Makin muda terserang pertusis, maka akan

semakin berbahaya. Insiden puncak antara 1 sampai 5 tahun dengan persentase

kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, lebih dari 12

tahun : 24%.

Diseluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari

setenah juta meniggal. selama masa prafaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah

penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak dibawah usia 14 tahun

di Amerika serikat. Penggunaan vaksin pertusis yang meluas menyebabkan

penurunan kasus yang dramatis Insiden penyakit yang tinggi di negara-negara

sedang berkembang dan maju. Di Amerika penerapan kebijakan yang lemah

sebagian menyebabkan naiknya insiden pertusis pertahun sampai 1,2

kasus/100000 populasi dari tahun 1980-1989 dan pertusis dibanyak negara bagian.

Pada tahun 1989-1990 dan 1993. Lebih dari 4500 kasus yang dilaporkan

pada pusat pengendalian dan pencegahan penyakit. Pada tahun 1993 merupakan

insiden tertinggi sejak tahun 1967. Masa pravaksinasi dan dinegara-negara seperti

Jerman, Swedia dan Italy dengan imunisasi terbatas, insiden puncak pertusis

adalah pada anak umur 1-5 tahun, bayi sebelum umur 1 tahun meliputi kurang

dari 15% kasus. Sebaliknya hampir 5000 kasus pertusis dilaporkan di Amerika

Serikat selama tahun 1993, 44% berumur sebelum 1 tahun, 21% berumur antara

51

Page 55: Makalah Imunisasi Dpt

1-4 tahun, 11% berumur 5-9 tahun, dan 24% berumur 12 tahun atau lebih. Untuk

mereka yang berumur sebelum 1 tahun, 79% sebelum umur 6 bulan dan manfaat

sedikit dari imunisasi. Anak dengan pertusis antara 7 bulan dan 4 tahun kurang

terimunisasi. Proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa dengan pertusis naik

secara bersama, kurang dari pada 20% pada masa pravaksinasi sampai 27 % pada

tahun 1992-1993. Pengendalian sebagian dengan vaksinasi telah menimbulkan

epideniologi pertusis sekarang di America serikat dan menyebabkan kerentanan

kelompok umur yang belum pernah terkena sebelumnya. Tanpa terinfeksi alamiah

dengan B.pertusis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang

dewasa rentan terhadap penyakit klinis yang terpajan, dan ibu hanya memberikan

sedikit proteksi pasif pada bayi muda. Pengamatan yang terakhir memberi koreksi

pada pendapat lama bahwa ada sedikit proteksi transplasenta terhadap pertusis.  

3. Tetanus

Tetanus ditemukan di seluruh dunia, terjadi secara sporadis atau secara

outbreak dalam skala yang kecil. Saat ini di negara-negara maju sudah jarang

ditemukan, sedangkan di negara agraris di mana kontak dengan kotoran hewan

masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa laki-laki lebih

sering daripada wanita, yaitu 2,5 : 1. Kebanyakan pada usia produktif.

Secara epidemiologi angka kematian tetanus sekitar 45% dan 6%

diketahui mendapatkan 1-2 dosis tetanus toksoid, dan 15% pada individu yang

tidak divaksin. Angka kematian tertinggi diketahui pada penderita dengan usia

lebih dari 60 tahun (18%).

Pada tahun 2008, tetanus neonatorum terjadi di 8 negara asean, dengan

jumlah kasus tertinggi di Indonesia dan filipina yang melebihi 100 orang. akan

tetapi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, angka tertinggi kasus tetanus

neonatorum terjadi di kamboja, sementara indonesia justru berada di urutan ke-5.

thailand merupakan negara dengan kasus terendah, baik dari jumlah kasus

maupun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. di singapura dan brunei

darussalam dilaporkan tidak ada kasus tetanus neonatorum. berdasarkan vaccine-

preventable disease monitoring system 2009, tahun 2008 pada kawasan searo

jumlah kasus tetanus neonatorum yang terjadi di india jauh melebihi kasus di

negara lain di kawasan asean, yaitu 811 kasus. indonesia dan bangladesh

52

Page 56: Makalah Imunisasi Dpt

menempati urutan kedua dan ketiga terbesar dengan masing-masing 183 dan 152

kasus. sedangkan di bhutan, korea utara dan maladewa dilaporkan tidak ada kasus

tetanus neonatorum.

Tetanus ibu dan bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting

dari kematian ibu dan bayi, sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap

tahun, hampir secara eksklusif di negara-negara berkembang. Meskipun sudah

dicegah dengan maternal immunization, dengan vaksin, dan aseptis obstetric,

tetanus ibu dan bayi tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara,

terutama di Asia dan Afrika.

Salah satu upaya dari negara-negara dunia untuk menurunkan angka

kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu adalah dengan

mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara

berkembang telah mencapai keberhasilan itu. Tetapi, karena tetanus neonatorum

masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, UNICEF,

WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga 2005.

Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per seribu kelahiran di

masing-masing wilayah dari setiap negara. WHO mengestimasikan 59.000

neonatus seluruh dunia mati akibat tetanus neonatorum. (WHO, 2010).

Data kasus tetanus neonatorum dan penyebarannya di beberapa negara (WHO)

Pada tahun 2007, Filipina dan Indonesia mencatatkan jumlah kasus

tetanus neonatorum tertinggi di antara 8 negara ASEAN, dengan 175 kasus terjadi

di Indonesia dan121 kasus terjadi di Filipina. Jika dibandingkan dengan jumlah

53

Page 57: Makalah Imunisasi Dpt

penduduk, angka tertinggi kasus tetanus neonatorum terjadi di Kamboja.

Indonesia menduduki urutan ke-5. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia

pada tahun 2007sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (case fatality rate

(CFR) 56% (DepkesRI, 2008).

K. Epidemiologi DPT di Indonesia

1. Difteri

Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan penyakit yang sering

menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi

DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria

berkurang sangat banyak.

Epidemiologi penyakit ini di Indonesia tergolong besar, di mana Jawa

Timur merupakan peringkat pertama di Indonesia, bahkan di dunia pada tahun

2011 dengan jumlah sebanyak 664 kasus dengan CFR 2,6 %. Dinas Kesehatan

Jawa Timur juga telah menentukan strategi dalam penanganan penyakit ini,

diantaranya:

a. Semua indikasi kasus difteri harus secepatnya dilakukan penanggulangan

b. Penyelidikan epidemiologi saat terjadinya kasus difteri

c. Memperkuat surveilans epidemiologi difteri

d. Rujukan ke Rumah Sakit

Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar,

Semarang, dan Palembang, memiliki angka yang berbeda. Selama tahun 1991-

1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1

tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB

difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien

sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi

Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung

terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada

tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi

terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.

Di Indonesisa, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,

Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)

11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan

54

Page 58: Makalah Imunisasi Dpt

jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa

Timur dinyatakan berstatus KLB.

2. Pertusis

Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Pertusis adalah

endemik, dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok

rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai

dengan Oktober. Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada

individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran

terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama

batuk.

Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-

laki. Namun dengan laporan terbaru perbandingan insidensi antara perempuan dan

laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.

3. Tetanus

Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan

menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di

perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian

tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-

9tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada

bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.

Di negara maju seperti Amerika penyakit tetanus jarang dijumpai karena

imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik,namun di negara berkembanga

seperti Indonesia masih sering dijumpai karena kebersihan masih kurang,sering

terjadi kontaminasi,perawatan luka kurang diperhatikan dan rendahnya kesadaran

masyarakat.

Di negara maju seperti Amerika penyakit tetanus jarang dijumpai karena

imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik, namun di negara berkembang

seperti Indonesia masih sering dijumpai karena kebersihan masih kurang, sering

terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan dan rendahnya kesadaran

masyarakat.

55

Page 59: Makalah Imunisasi Dpt

Perkiraan angka kejadian umur rata-rata pertahun sangat meningkat sesuai

kelompok umur. Angka kejadian lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibanding

wanita dengan perbandingan 3:1.

Cakupan Imunisasi

Manusia dapat terinfeksi oleh kuman difteria, pertusis, dan tetanus; namun

pada mereka yang mempunyai kekebalan walaupun terinfeksi namun gejala klinis

lebih ringan dengan angka kematian yang lebih rendah dibandingkan mereka yang

tidak mendapat imunisasi. Upaya imunisasi difteria, pertusis, dan tetanus (DPT)

secara masal dianggap merupakan cara yang paling tepat untuk meningkatkan

status kekebalan seseorang terhadap penyakit yang berbahaya ini.

Program imunisasi DPT yang dilaksanakan di negara maju telah berhasil

menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit difteria, pertusis, dan

tetanus. Misalnya di Amerika Serikat pada beberapa tahun terakhir ini hanya

ditemukan kurang dari 5 kasus difteria, demikian juga untuk penyakit pertusis,

dan tetanus sudah sangat jarang ditemukan.

Di Indonesia program imunisasi DPT sudah menunjukkan keberhasilan

walaupun tidak sebaik yang dicapai oleh negara maju. Pada tahun 1974 WHO

mencanangkan pengembangan program imunisasi (PPI), dan sejak tahun 1979 PPI

telah dilaksanakan secara nasional di Indonesia.

Berdasarkan laporan Depkes RI, sejak tahun 1990 ratarata cakupan

imunisasi dasar DPT sudah mencapai + 90%. Keberhasilan pencapaian cakupan

imunisasi DPT ini sejalan dengan penurunan kejadian kasus maupun kematian.

Pada tahun 1990 tercatat 1.157 kasus difteria, 429 pertusis dan 5072 tetanus;

dengan kematian 81 kasus akibat difteria, 774 kasus akibat tetanus dan tidak

kematian akibat pertusis. Sedangkan pada tahun 1995 didapat 258 kasus difteria,

124 pertusis, dan 2.425 tetanus; dengan jumlah kematian 17 kasus akibat difteria,

3 pertusis dan 338 kasus tetanus.4,5 Dengan menurunnya angka kesakitan dan

kematian anak pada umumnya, maka kualitas hidup bangsa diharapkan akan

meningkat pula. Pemberian imunisasi pada bayi dan anak tidak hanya

memberikan pencegahan terhadap anak tersebut tetapi akan memberikan dampak

yang jauh lebih luas karena akan mencegah terjadinya penularan yang luas dengan

adanya peningkatan tingkat imunitas secara umum di masyarakat.

56

Page 60: Makalah Imunisasi Dpt

Setelah program imunisasi DPT cukup lama dilaksanakan di Indonesia,

saat ini diperlukan data mutakhir mengenai respons imun yang ditimbulkan dan

faktor keamanan. Data ini sangat diperlukan untuk pengembangan vaksin DPT

selanjutnya.

L. Tujuan P3M melalui Imunisasi DPT

1. Tujuan umum :

a. Untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian

pada penderitanya.

b. Mempertahankan pencapaian Eliminasi Tetanus Neonatorum,

pengendalian penyakit difteri dan penyakit campak dalam jangka

panjang.

c. Menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi dan balita , bayi

dan balita lebih kuat dan lebih sehat.

d. Mencegah penularan penyakit, wabah, sakit berat, cacat dan

kematian bayi – balita.

e. Membangun generasi muda Indonesia yang sehat dan sejahtera.

f. Mempunyai kekebalan spesifik yang optimal terhadap penyakit

menular berbahaya.

2. Tujuan Khusus :

a. Mencegah Penyakit Difteri

Difteri adalah penyakit yang bermula dari infeksi, dalam hal ini

terkadang tanpa disertai radang tenggorokan yang menyebabkan

saluran pernapasan tersumbat, keruskan jantung dan kematian.

b. Mencegah terjadinya pertusis

Penyebab penyakit ini adalah kuman Haemophylus pertusis.

Kuman ini berada di saluran pernapasan. Bila anak – anak dalam

keadaan daya tahan tubuh melemah, maka kuman tersebut mudah

sekali menyerang dan menimbulkan penyakit. Penularannya

melalui cairan yang keluar dari hidung yang tersembur keluar

waktu batuk atau bersin. Pencegahannya bila anak tidak begitu

menderita dan cuaca baik maka anak di bawa keluar untuk

57

Page 61: Makalah Imunisasi Dpt

menghirup udara segar dan bersih serta makanan ebaiknya

diberikan yang ringan – ringan dan cukup bergizi.

c. Mencegah Tetanus

Tetanus adalah manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh

absorbsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh Clostridium

tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia.

Penyebab penyakit ini adalah Clostridium tetani yang hidup

anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar

luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik.

Toksin ini bisa menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit

dan merupakan tetanosporasmin yaitu toksin yang neurotropik

yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.

H. Strategi P3M melalui Imunisasi DPT

Strategi

1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarkat dan swasta.

2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja.

3. Menjamin ketersediaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin

dan alat suntik.

4. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga professional / terlatih.

5. Pelaksanaan sesuai standar.

6. Memanfaatkan perkembangan metoda dan teknologi yang lebih efektif,

berkualitas dan efesien.

7. Meningkatkan advokasi, fasilitas dan pembinaan

Kebijakan

1. Penyelenggaraan Imunisasi dilaksanakan oleh Pemerintah, swasta dan

masyarakat, dengan mempertahankan prinsip keterpaduan antara

pihak terkait.

2. Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi baik

terhadap sasaran masyarakat maupun sasaran wilayah.

3. Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu.

4. Mengupayakan kesinambungan penyelengaraan melalui perencanaan

program dan anggaran terpadu.

58

Page 62: Makalah Imunisasi Dpt

5. Pehatian khusus diberikan untuk wilayah rawan sosial, rawan penyakit

(KLB) dan daerah-daerah sulit secara geografis

N. Ukuran Epidemiologi yang Dipakai damam P3M

1. Difteri

a. Case Fatality Rate (CFR)

Di Indonesisa, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,

Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)

11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan

jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa

Timur dinyatakan berstatus KLB. Berdasarkan data dari Depkes Ri, CFR

Indonesia turun dari 0.069% (2010) menjadi 0,026 (2011).

b. Prevalensi

Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.

Rendahnya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Di

Indonesia selama tahun 2004 frekuensi KLB difteri terjadi 34 kali dengan jumlah

kasus sebanyak 106

Jumlah kasus Difteri di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011

sebanyak 8 kasus yang tersebar di 6 kabupaten/kota yaitu Kabupaten

Banyumas (1 kasus), Kabupaten Boyolali (2 kasus), Kabupaten Sukoharjo (1

kasus), Kabupaten Grobogan (2 kasus), kabupaten Temanggung (1 kasus) dan

Kota Semarang (1 kasus).

Jumlah kasus Difteri pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus lebih sedikit bila

dibandingkan dengan tahun 2010 (14 kasus). Halini dimungkinkan karena

pencapaian cakupan imunisasi yang meningkat (>85%). Penemuan kasus selama

empat tahun terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.

59

Page 63: Makalah Imunisasi Dpt

c. Incidence Rate (IR)

Tabel. Penyakit Difteri per 100.000 anak usia < 15 tahun di berbagai Negara

selama tahun 1990 - 2000

Negara 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Banglades

h

1.54 801 855 487 285 0.56 0.32 0.19 0.24 0.11 0.04

Brazil 1.25 495 276 252 245 0.34 0.36 0.06 0.44 0.40 0.10

China 0.13 231 146 124 119 0.03 - 0.01 0.01 0.005 0.006

India 2.74 12550 8115 7131 3040 0.65 0.76 0.40 0.41 0.53 0.92

Irak 0.13 261 389 239 132 1.55 5.24 3,23 1,97 1,51 0,36

Rusia - 1869 3897 15229 3970

3

113,33 44,82 13,67 5,05 3,07 -

Thailand 58 53 40 28 40 0,11 0,31 0,22 0,235 0,31 0,08

Vietnam 509 511 497 167 166 0,62 0,53 0,57 0,49 0,31 0,43

Philiphina 921 1004 759 323 316 0,64 - 0,50 0,30 0,23 0,31

Indonesia 3,35 1342 129 82 64 0,91 0,85 6,63 0.02 0,174 0.035

Sumber : WHO , 2001 Global Summary.

Di Indonesia jumlah kasus difteri per 100.000 ribu anak usia <15 tahun.

Tahun 1980 sebanyak 3674 (IR = 6.05), gambaran kasus tahun 1990 sebanyak

2200 kasus (IR = 3.35), keadaan tahun 1995 sebanyak 597 kasus (IR = 0.91), dan

tahun 2000 terlaporkan 273 kasus (IR = 0.41). 1,3 Incidence rate difteri tahun

2000 telah terjadi penurunan dibanding tahun 1990, tetapi hal ini belum dapat

dipastikan apakah kasusnya benar-benar turun.. Dari hasil evaluasi kejadian

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia tahun 1972

diperkirakan setiap tahun ditemukan 28.500 balita menderita difteri tenggorok dan

5000 anak di antaranya meninggal.

Jumlah kasus difteri pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, dengan

incidence rate per 10.000 penduduk menurut kelompok umur menunjukkan umur

1 tahun memiliki ir sebesar 0,01; umur 1-4 tahun sebesar 0,02 ; dan umur 5-14

tahun sebesar 0,02 per 10.000 penduduk. gambar 3.24 incidence rate (IR) difteri

per 10.000 penduduk menurut kelompok umur di indonesia tahun 2003-2009

(ditjen pp&pl)

60

Page 64: Makalah Imunisasi Dpt

c. Attack Rate (AR)

Attack Rate adalah jumlah kasus baru penyakit dalam waktu wabah yang

berjangkit dalam masyarakat di suatu tempat/ wilayah/ negara pada waktu

tertentu.

Attack Rate (AR) = Jumlah penyakit baru

Jumlah populasiberisiko(dalam waktu wabah berlangsung) X

K

Kejadian luar biasa difteri di Propinsi Jawa Tengah melalui laporan W1

(KLB) tahun 000 tercatat 1 kejadian, tahun 2001 12 kejadian, dan tahun 2002

tercatat 53 kejadian. KLB difteri tahun 2001 di Desa Dukuhturi Kecamatan

Ketanggungan Kabupaten Brebes, jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 77

suspek kasus dengan kematian 1 kasus (CFR = 1.3%) pada kelompok umur 0-4

tahun. Angka serangan/attack rate pada berbagai kelompok umur 0-4 tahun (AR

5,4%), 5-9 tahun (AR 26,4%), 10-14 tahun ( AR 10,8%), 15-19 tahun (AR 5,5%).

20-24 tahun (AR 10,0%), >25 tahun (AR 9,6%).Pada saat dilakukan penyelidikan

lapangan diperoleh informasi bahwa kasus yang meninggal ada hubungannya

dengan keluarga yang menderita sakit tenggorok kronis.

2. Pertusis

a. Prevalensi

Keberhasilan program imunisasi DPT telah menurunkan mortalitas akibat

pertusis dengan cukup tajam, yaitu dari 52,6 (SKRT,1996) menjadi 1,4 per 1000

penduduk. Menurut SDKI 1997 prevalensi pertusis 9%.

b. Insiden

61

Page 65: Makalah Imunisasi Dpt

Sumber : CDC, 2012

Grafik ini menggambarkan jumlah kasus pertusis tahun 1922-2012.

Setelah pengenalan vaksin pertusis pada tahun 1940-an laporan menurun drastis

menjadi kurang dari 10.000 pada tahun 1965. Selama laporan pertusis 1980 mulai

meningkat secara bertahap, dan pada tahun 2010 lebih dari 27.000 kasus

dilaporkan secara nasional. Sementara 2012 kasus melebihi 41.000, tinggi

daripada tahun sebelumnya sejak 1955.

3. Tetanus

a. Prevalensi

Kasus tetanus Neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun

2007 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup; sedangkan target Eliminasi

Tetanus Neonatorum (ETN) yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup.

(Survey Penduduk Antar-Sensus (Supas, 2008). Beberapa upaya telah dilakukan

antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT 3x murid Sekolah

62

Page 66: Makalah Imunisasi Dpt

Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten (Caten), Ibu

Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus Neonatorum

dan persalinan bersih.

b. Attack Rate (AR)

Attack rate adalah andala angaka sinsiden yang terjadi dalam waktu yang

singkat atau dengan kata lain jumlah mereka yang rentan dan terserang penyakit

tertentu pada periode tertentu. Tanpa program imunisasi, attack rate pada kasus

tetanus sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup.

c. Case Fatality Rate (CFR)

CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk

menentukan kegawatan/ keganasan penyakit tersebut.

CFR (Case Fatality Rate) = Jumlahkematian penyakit

Jumlah kasus penyakitx100 %

Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 175

kasus dengan angka kematian (CFR) 56% (Profil Kesehatan Indonesia 2003,

Depkes). Angka ini sedikit menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

diduga karena meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Namun

secara keseluruhan CFR masih tetap tinggi. Penanganan kasus tetanus neonatorum

memang tidak mudah, sehingga yang terpenting adalah usaha pencegahan yakni

pertolongan persalinan yang higienis dan ditunjang dengan imunisasi TT pada

ibu hamil. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Kalimantan Tengah sebanyak 4

kasus.

4. Cakupan imunisasi

Beberapa Daftar Cakupan Imunisasi di Berbagai Negara

Negara 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Honduras 95 94 93 98 98 98

Hungary 99 99 99 99 99 99

Italia 97 96 96 96 96 97

India 71 72 72 72 72 71

Indonesia 72 58 62 63 63 72

Iran 99 99 99 99 99 99

Irak 54 65 73 72 77 54

63

Page 67: Makalah Imunisasi Dpt

Sumber : WHO, 2012

Cakupan imunisasi DTP3 dari tahun 1980 sampai tahun 2009 (WHO)

Jumlah total kasus tetanus dan Imunisasi DTP3, 1980-2009 (WHO)

Laporan kasus tetanus neonatal dan imunisasi TT2+, 1980-2009 (WHO)

64

Page 68: Makalah Imunisasi Dpt

Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi cakupan imunisasi, baik

imunisasi DTP3 maupun TT2, maka kasus tetanus akan semakin turun.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap

difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi sebabkan oleh

Corynebacterium diphtheria yang menyerang tenggorokan dan dapat

menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah

inteksi bakteri Bordetella Pertusis atau Hemophilus pertusis pada saluran udara

yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang

melengking.  Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot

yang periodik dan berat. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik

yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang diproduksi

oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan otot (spasme),

tanpa disertai gangguan kesadaran. Secara nasional Indonesia dapat mencapai

status Universal Child Immunization (UCI) DPT minimal 90%.

B. Saran

1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

65

Page 69: Makalah Imunisasi Dpt

2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah

diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan

masyarakat itu sendiri.

3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi

atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat,

sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi

kesehatan anak-anak mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta :

Salemba Medika.

Alimul, Aziz. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :

Rineka Cipta.

Azhali. (2008). Program Imunisasi. (http://www.nakita.com)

Azwar, S. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jakarta : Pustaka

Pelajar.

CDC.2013.Surveillance & Reportin.http://www.cdc.gov/pertussis/surv-

reporting.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013

CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable

Diseases

.Edisi12.2011.http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html.

Diakses pada tanggal 30 Mei 2013

66

Page 70: Makalah Imunisasi Dpt

Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular.

Tetanus.Jurnal (Online).2006 : Diambil dari

http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.p

df. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013

Departemen Kesehatan RI.2012. http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 1

Juni 2013

Depkes RI. 2005. Jadwal Pemberian Imunisasi. http://www.depkes.com. Diakses

pada tanggal 1 Juni 2013

Depkes RI. 2006. Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta.

Dinkes Jatim. 2006. Cakupan Imunisasi. http://www.dinkesjatim.com. Diakses

pada tanggal 2 Juni 2013

Fadlyana,Eddy. 2002.Tanuwidjaja,Suganda dkk. Imunogenitas dan Keamanan

Vaksin DPT Setelah Imunisasi Dasar.

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/4-3-5.pdf. diakses pada tanggal 4

Mei 2013

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the

Environment. Jurnal (Online): Diambil

dari :http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf . Diakses

pada tanggal 1 Juni 2013

Kementrian Kesehatan RI.2012.Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal.

http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20MNTE.pdf. Diakses pada

tanggal 29 Mei 2013

Kementrian Kesehatan. 2006. http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&

task=viewarticle&sid=1532 (70. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013

Kepmenkes RI.1993. Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KIPI. 2005;

Galazka, A.M. 1993.

67

Page 71: Makalah Imunisasi Dpt

Kiking Ritarwan. Tetanus.Jurnal (Online).2004 : Diambil dari :

http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf . Diakses pada

tanggal 2 Juni 2013

Kiking Ritarwan.2004. Tetanus. http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-

kiking2.pdf. Diakses pada tanggal 3 Juni 2013

Kunarti,Umi. 2004.TITER Imunoglobulin G (IgG) Difteri pada anak sekolah (Studi

Kasus Di Kota Semarang). eprints.undip.ac.id/4927/1/Umi_Kunarti.pdf.

Diakses pada tanggal 1 Juni 2013

Nichol KL, Mendelman PM, Mallon KP, Jackson LA, Gorse GJ, Belshe RB et

al.Effectiveness of live, attenuated intranasal virus vaccine in healthy,

working adults : arandomized controlled trial. JAMA 1999; 282:137-

144.State of the World's Vaccines and Immunization. Ch. 4 : Key vaccine

under development.Geneva:WHO,1996; pp.101-112

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta :

Salemba Medika.

Profil Kesehatan Pemerintah Jawa Timur.2011. dinkes.jatimprov.go.id/...

/1111111111_1111111111_Profil_Kesehatan_... Diakses pada tanggal 1

Juni 2013

Profil Kesehatan Pemerintah Kabupaten Balangan.2009. dinkes.

balangankab.go.id/. Diakses pada tanggal 8 Juni 2013

Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.2010.

http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_prov_kab/profil_kes

_sumsel_2010.pdf. Diakses pada tanggal 30 Mei 2013

Richard F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus.Jurnal

(Online).2003 : Diambil dari :

http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf . Diakses

pada tanggal 3 Juni 2013

68

Page 72: Makalah Imunisasi Dpt

Seema Quasim. Management of Tetanus.Jurnal (Online). Diambil

dari :http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf. Diakses pada tanggal 1

Juni 2013

Slaven, Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis

and Management. 2007. Mc Graw Hill. USA

Suparyanto. 2011. Imunisasi DPT. Jawa Timur.

WHO.2012.Immunization.http://www.who.int/gho/immunization/en/index.html.

Diakses pada tanggal 1 Juni 2013

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan

Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

69