mahkum fiih dan mahkum 'alaih
TRANSCRIPT
A. PENDAHULUAN
Manusia sebagai mahluk Allah SWT yang diamanatkan untuk menjadi khalifah di
muka bumi ini telah diberi hak dan kewajiban untuk menjaga bumi ini. Segala aspek
kehidupannya tidak boleh seenaknya sendiri haruslah berdasarkan hukum-hukum yang
telah Allah SWT buat dan selalu berniat untuk mendapat ridho-Nya. Dalam menaungi
kehidupannya di muka bumi ini, manusia telah diberi oleh Allah SWT petunjuk-petunjuk
baik perintah atau larangan yang terkandung dalam Al-quran agar kita tidak tersesat
menuju jalan yang sesat sehingga terjerumus ke jalan hina berujung neraka. Perintah dan
larangan merupakan suatu hukum yang harus kita patuhi agar kita selamat di dunia dan
akhirat nanti.
Allah SWT sebagai pembuat hukum (Hakim) menjadikan perbuatan seorang
mukallaf sebagai objek hukum (Mahkum Fiih) serta mukallaf atau orang yang
dikenai/dibebankan kepadanya suatu hukum sebagai subjek hukum (Mahkum ‘Alaih).
Dalam makalah ini kami hanya membahas tentang subjek dan objek kajian hukum atat
Mahkum Fiih dan mahkum ‘Alaih.
B. PEMBAHASAN
1. Mahkum Fiih
Mahkum Fiih adalah Objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan
untuk mengerjakan, tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah, serta
batal.1
Semua titah atau hukum syari’ ada objeknya. Objeknya itu adalah perbuatan
mukallaf itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan bukan pada zat. Umpamanya
“daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu pada
perbuatan memakan bukan pada zat daging babi itu.
1 Drs. H. Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh I, hal 2921 | P a g e
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hukum
wadh’I ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf sepperti
tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat zhuhur. Tergelincirnya
matahari itu (sebagai sebab) adalah hukum wadh’i. dan karena tidak menyangkut
perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum2.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu
hukum:
Contoh:
1. Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
( البقرة االصالة اقيمو و
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan
mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2. Firman Alloh dalam surat al an’am:151
( م االنعا باالحق اال االله م حر االتي والتقتلواالنفس
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh
melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan
mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3. Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
ه ئد الما فق المرا الى يكم ايد و هكو وجو غسلوا فا الصالة الى 6-5اذاقمتم
2 Prof. Dr. H. Amir Syarifudin ushul Fiqh Jilid I, hal 350-351.2 | P a g e
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan
tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan
orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah
perbuatan mukallaf.
Para ulama Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk perbuatan sebagai
objek hukum;
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan
serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuanya untuk melakukan.
Para ulama ushul fiqh sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf
melakukan perbuatan yang tidak mampu untuk dilaksanakannya. Yang menjadi dasar
ketentuan ini adalah firman Allah dalam Al-quran surat Al-baqarah ayat 286;
“Allah tidak membebani seseorang kecauli semampunya”
Allah menginginkan kemudahan atas hambanya bukan kesulitan, dalam al-
Quran surat al-Baqarah ayat 185 Allah berfirman
) البقره العسر بكم يد ير ال و اليسر بكم الله يد ير
Allah menghendaki untuk mu kemudahan dan tidak menghendaki darimu kesulitan.
1.1. Syarat-syarat Mahkum Fiih
Para ulama ushul fiqh mengemukakan syarat-syarat sahnya suatu
taklif (pembebanan hukum), yaitu;
3 | P a g e
1.1.1. Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan
dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan
dapat ia lakukan. Pengetahuan mukallaf terhadap hukum perbuatan
itu harus dibarengi pengetahuanya tentang rukun, syarat, dan tata
cara melakukan perbuatan itu. Oleh sebab itu, menurut para ulama
ushul fiqh nash (ayat dan atau hadits) yang bersifat mujmal
(global) tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya.
Misalnya perintah shalat, seorang mukallaf dapat melaksanakan
sahalat setelah rukun, syarat, dan tata cara menjalankanya telah dia
ketahui.
1.1.2. Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan
yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaanya merupakan
ketaatan dan kepatuhan kepada titah Allah. Yang dimaksud para
ulama ushul fiqh dengan pengetahuan mukallaf terhadap sumber
taklif adalah kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui
kemampuan akalnya.
1.1.3. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf,
akibat dari ketiga syarat ini, yaitu;
Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif
terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilan itu dilihat pada
zatnya maupun dilihat dari luar zatnya.
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak sah hukumnya
seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas
nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan kepada
dirinya. Oleh sebab itu sesorang tidak dibebani kewajiban untuk
mengerjakan shalat untuk saudaranya.
Tidak sah menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat
fithrii, yang manusia tidak turut campur didalamnya dan terhadap
4 | P a g e
perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar), seperti
sikap marah , benci, takut, gembira dan sebagainya. Menurut
ulama ushul fiqh perbuatan-perbuatan seperti itu bukan atas ikhtiar
dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi
perbuatan seperti itu.
Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam
masalah ibadah dan bersuci untuk shalat. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Persoalan yang popular
dalam bahasan ushul fiqh yang berkaitan dengan masalah ini
adalah, apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan
hukum syara’, sekalipun dalam masalah keimanan mereka
dibebani taklif.
Terkait dengan perbuatan taklif itu ada kemungkinan dikerjakan atau
ditinggalkan mukallaf, muncullah persoalan lain yang dikemukakan oleh para ulama
ushul fiqh yaitu masalah Masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh
ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah (kesulitan)?
Dalam hal ini ulama membagi Masyaqqah pada dua tingkatan:
1. Masyaqqah mu’taaddah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam
melaksanakan. Contoh puasa dan ibadah haji.
2. Masyaqqah gairo mu’taaddah yang tidak mungkin seseorang melakukannya
secara berketerusan. Contoh berperang atau jihad di jalan Allah.
Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka
Allah SWT pun memberikan keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah
dalam hukum syara, seperti dibolehka manjama dan mengqasar jumlah rakaat dalam
shalat.
Menurut ulama hanafiyah, kemampuan adalah tertjaganya alat untuk melakukan
sesuatu sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara untukmelakukan tuntutan
5 | P a g e
tersebut, seerti sehat, adanya air, dan lain sebagainya. Kemampuan menurut mereka
terbagi dalam dua bagian, yaitu : mutlaq dan sempurna.
Mutlaq, merupakan kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk
melaksanakan kewajiban, baik berupa harta ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti,
air mutlaq diperlukan untuk berwudu, orang yang sudah mampu diwajibkan untuk
melaksanakan ibadah haji. Namun, syarat tersebut tidak harus sesuai daam keadaan
wajib, seperti tidak gugur kewajiban ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi
tidak melaksanakannya sampai hartanya habis.
Sempurna, adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang
memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan
masalah harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan
kelebihan harta. Oleh karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta.
Karena bila dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi
kesulitan.
Para ulama ushul fiqh memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif
terhadap sesuatu yang mustahil adanya, karena objek hukum itu harus sesuatau yang
jelas keberadaanya. Ulama ushul fiqh membagi lima tingkatan mustahil:
1. Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal
berlawanan.
2. Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan secara
biasanya. Contoh menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3. Mustahil karena adanya halangan berbuat. Contoh menyuruh seseorang berlari
dengan kaki terikat.
4. Mustahil karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat
melaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
5. Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi
seseorang yang jelas kafirnya
6 | P a g e
1.2. Macam-Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu
dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri, dan dari segi
keberadaan secara material dan syara.
a) Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih
di bagi menjadi empat macam, yaitu :
1. Semata mata hak Alloh, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan
dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan
pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. hak ini
semata-mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima.
Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan
santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat
fitrah. Karenanya disyaratkan niat dalam zakat bagi semua orang.
Bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat
yang dikeluarkan dari bumi.
Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti: khoroj
(pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang
tidak ikut jihad.
Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti
hukuman orang yang berbuat zina (dera atau rajam), pencurian
(potong tangan).
Hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak
waris, karena membunuh pemilik harta tersebut.
Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti: kafarat orang
yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan.7 | P a g e
Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan
seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti
ganti rugi harta seseorang yang di rusak, seperti hak-hak kepemilikan, dan
pemanfaatana hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh
pemiliknya
3. Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba, tetapi hak alloh
didalamnya lebih dominan, seperti hukuman menuduh orang lain berbuat zina.
Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari
sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak
pribadi.
4. Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih
dominan, seperti masalah qishash. Hak Allah dalam masalah qishash
berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah
seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak hamba adaah menjamin
kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi, karena dalam
pelaksanaan qishash sepenuhnya diserahkan keopada ahli waris terbunuh dan
mereka berhak menggugurkan hukuman tersebuit, maka hak hamba Allah di
anggap lebih dominan.
b) Dari segi keberadaannya secara materil dan syara , mahkum fih dibagi
menjadi tiga macam, yaitu :
1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan
yang terkait dengan syara, seperti makan dan minum. Makan dan
minum tidak terkait dengan hukum syara.
2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hokum
syara, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Yaitu hukum
qishash
8 | P a g e
3) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai syara apabila
memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
Dapat tidaknya taklif itu dapat dilakukan orang lain berhubungan erat dengan
kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi menjadi tiga
1. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif
umpamanya sholat dan puasa.
2. Objek hukum yang pelaksanaanya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif.
Contoh kewajiban zakat.
3. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku
taklif. Contoh kewajiban haji.
2. Mahkum ‘Alaih
Subjek hukum atau pelaku hukum adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan
Allah. Seperti yang telah didefinisikan hukum taklifi adalah titah Allah menyangkut
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk berbuat.
2.1. Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu
untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di
bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif.
Maka orang yang belum berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif
dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
حتى الصبي عن و يستيقظ حتى ئم النا عن ث ثال عن القلم فع ر
) ما وابن ئى والنسا مذى والتر رى البخا رواه يفق حتى المجنون عن و يحتلم
( لب طا وابى ئثه عا عن والدارقطنى جه
9 | P a g e
Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur
sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai
sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari
Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
2.2. Syarat-Syarat Taklif
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai
taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :
2.2.1. Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung
dalam alqur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui
orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai,
kecuali dengan akalpikira, karena hanya dengan akallah yang bisa
mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan
tetapi ada indikasi lain bahwa yang menerangkan seseorang telah
berakal yaitu baligh.
2.2.2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh
disebut ahliyah. Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang
belum atau tidakmampu bertindak hukum,belum atau tidak bisa
dipertanggung jawabkan.
2.3. Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah kecakapan menangani
sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu
bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki
seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang
telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari).
Dari definisi tersebut, dfapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat
yang menunjukan bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara. Orang
yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu
tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang
10 | P a g e
lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab,
seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan untuk bertindak
hokum tidak dating kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi melalui
tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan
akalnya.
2.4. Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqh ,aliyyah(kepantasan) itu ada dua
macam, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan
akalnya, yaitu :
2.4.1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang
dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini
berarti bahwa segala tindakannya baik dalam bentuk ucapan atau
perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain, ia
dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi
ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki
ahliyyah ada adalah aqil, baligh, dan cerdas.
Ahliyah al-ada atau kecakapan untuk menjalankan hukum
yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala
tindakannya menurut hukum. Kecakapan berbuat hukum atau
ahliyah al-ada terdiri dari tiga tingkat
1. Adim al-ahliyah atau tidak cakap sekali yaitu manusia
semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar 7 tahun.
2. Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara
lemah yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz sampai
dewasa.
3. Ahliyah al-ada kamilah atau cakap berbuat hukum secara
sempurna yaitu manusia yang telah mencapai umur dewasa.
11 | P a g e
2.4.2. Ahliyyah Al-wujuub
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak
yang menjadi haknya menerima hokum, tetapi belum mampu
untuk dibebani seluruh kewajiban. Ia juga dianggap telah berhak
menerima harta waris dang anti rugi dari barang yang telah dirusak
oleh orang lain.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam
menentukan ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang
tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki
seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia, dan akan
hilang apabila seseorang tersebut telah meninggal. Berdasarkan
aliyyah wujud, anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat,
dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi,
harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola
oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk
memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
2.4.2.1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan
ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai
ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna. Hak-hak yang
harus i9a terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia
lahir ke dunia dengan selamatwalaupun untuk sesaat. Dan
apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat
menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak
bagi seorang janin, yaitu :
a. Hak keturunan dari ayahnya
12 | P a g e
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima
diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima,
karena jika laki-laki, maka bagiannya lebih besar dari
wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang disisakan
itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain.
c. Wasiat yang ditunjukan kepadanya
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan
wakaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang
menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan
persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian,
penerima wasiat dan wakaf tidak perlu menyatakan
penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang
diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik
janin tersebut.
2.4.2.2. Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak
yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan
berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah wujud (baik yang sempurna ataupun
tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara, baik
bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun
yang sifatnya tindakan hukum duniawi, seperti transaksi
yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila
mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat
merugikan oranga lain, maka orang yang telah berstatus
ahliyyah ‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib
mempertanggung jawabkannya. Maka wajib memberikan
13 | P a g e
ganti rugi dari hartanya sendiri, apabila tindakannya
berkaitan dengan harta. Dan pengambilan berhak untuk
memerintahkan waliuntuk mengeluarkan ganti rugi
terhadapharta orang lain yang dirusak dari hartya anak itu
sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik
rohani, seperti melukai ataupun membunuh, mak tindakan
hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah wajib al-wajib
belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena
ia dianggap belum cakap untuk bertindak hukum. Maka
hukuman yang harusnya menerima qishas digantikan
dengan membayar diyat. Sedangkan apabila orang tersebut
telah berstatus ahliyyah ‘ada, maka ia bertanggung jawab
penuh untuk meneri hukuman apapun yang ditentukan oleh
syara atau pengadilan. Misalnya ia diwajibkan membayar
ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dan ia pun
harus menerima qishah
2.5. Halangan Ahliyyah
Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak hukum
dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau
hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan
inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum
seseorang bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:[15]
2.5.1. Awaridh Samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Alloh
bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
2.5.2. Awaridh Al Muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah
pengampunan dan bodoh.
14 | P a g e
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan
hukumya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan, mengurangi, dan mengubahnya.
Oleh karena itu, para ushul fiqh membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari
segi objeknya dalam tiga bentuk :
Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertintak, seperti gila,
lupa, dan terpaksa. Sabda Nabi Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan
hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan
Tabrani)
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang
seperti ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat
kecakapannya dalam bertintak hokum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi
dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.
Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang
yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat
tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi beberapa
tindakan hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.
2.6. Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir
Syarat bagi subjek hukum itu adalah balight dan berakal. Selanjutnya
yang dipermasalahkan apakah “islam” merupakan syarat untuk dikenai
tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non-muslim itu dituntut untuk
melakukan beban hukum atau tidak. Ada beberapa perbedaan pendapat
antar ulama dalam hal hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya
syrat syar’i.
Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara
persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i, yaitu Imam al-Syafi’i,
mayoritas kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-
orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’syari’at seperti
ibadah sholat,puasa dan haji. Kelompok ulama ini mengemumakan alasan-
alasanya sebagai berikut:
15 | P a g e
1. Ayat-ayat Al-Qur’an memrintahkan untuk melaksanakan ibadat secara
umum juga menjangkau orang-orang kafir. orang-orang kafir tidak
pantas terhalang masuk dalam jangkauan tuntutan Allah itu. Alasan ini
ditanggap oleh kelompok ulama yang berlawanan pendapat, bahwa
memang umumnya ayat dapat menjangkau orang-orang kafir, tetapi
keumuman ayat-ayat tersebut telah ditaksis dengan syarat-syarat syar’i
yang tidak mungkin ibadat itu sah kecuali dengan syarat tersebut.
2. Orang kafir itu seandainya tidak dikenai talkif dengan hal-hal yang
bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia
tidak berbuat. Padahal banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat.. dengan adanya
ancaman tersebut, bahwa orang-orang kafir dikenai tuntutan untuk
melaksanakan sebagaian perintah, begitu pula terhadap yang lainya.
3. Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan
sanksi sebagaimana berlaku untuk mu’min, seperti zina, mencuri dan
lainya.
Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, Abu ishak al
Asfahani, dan sebagian kelompok syafiiyah. Mereka berpendapat bahwa
orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena
bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat
syar’i; sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat tersebut. Kelompok
ini berpendapat bahwa:
1. Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat,
tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak seperti itu,
karena kafir nya itu mencegah sahnya ibadat mereka.
2. Seandainya rang kafir diberi beban hukum, tentu wajib bagi mereka
mengqadha apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia
masuk islam.
Dari dua argument oleh kelompok ini masih memeiliki titik
lemah yang disanggah oleh kelompok lain. Dari argument yang
16 | P a g e
pertama, hal ini menjadi pokok perbedaan pendapat. Dari hadist yang
artinya “ Islam itu memotong segala sesuatu sebelumnya”, justru
hadist ini ia berpendapat bahwa orang kafir itu dibebani taklif sebelum
masuk islam dan berlaku untuk seterusnya..
Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif
untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk
melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh
diperlukan niat; sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan
jalan tidak berbuat apa-apa.
2.7. Hal-hal yang Mempengaruhi Kecakapan Bebuat Hukum (‘Awaridh)
Dalam subjek hukum telah dijelaskan bahwa di antara syarat subjek
hukum adalah kecakapan untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan
dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum. Kecakapan dikenai
hukum berlaku untuk orang yang kapasitasnya sebagai manusia. Oleh
karena itu tidak satupun yang dapat mempengaruhi kecakapanya untuk
dikenai humum atau taklif itu.
Kecakapn hukum ini dibatasi tidak untuk semua manusia, kecakapan
ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini adalah balight dan
berakal. Ddalam perjalanan hidup sesorang dipastikan ada keadaan
dimana tidak dapat melaksanakan beban hukum dengan baik, baik dari
yang timbul dari dirinya sendiri atau daei luar dirinya. Sesuatu yang
menghalang tersebut dinamakan awaridh al-ahliyah atau halangan taklif.
Halangan taklif tersebut dibagi menjadi 2 kelompk, yaitu :
1. Halangan yang keluar dari luar dirinya yang ia sendiri tidak
mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Halangan ini disebut
halangan samawi.
2. Halangan yang timbul dari dirinya sendiri atau tersebab akan
kehendaknya sendiri. Halangan ini disebut awaridh muktasabah atau
halangan awaridh ihktiyari.
17 | P a g e
C. KESIMPULAN
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan
dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat
dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami
kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa
dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.
Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya
seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan
sangat berat seperti perang fii sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa,
harta dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitob syar’i(tuntutan
syara’) maka sudah di kenakan taklif.
18 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
http://elmisbah.wordpress.com/mahkum-fih-dan-mahkum-%E2%80%98alaih/ diakses senin 15
oktober 2012, pukul 07.27
http://buyatthelegend.blogspot.com/2012/04/makalah-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html
diakses senin 15 oktober 2012, pukul 07.27
19 | P a g e