mahkum fiih dan mahkum 'alaih

29
A. PENDAHULUAN Manusia sebagai mahluk Allah SWT yang diamanatkan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini telah diberi hak dan kewajiban untuk menjaga bumi ini. Segala aspek kehidupannya tidak boleh seenaknya sendiri haruslah berdasarkan hukum- hukum yang telah Allah SWT buat dan selalu berniat untuk mendapat ridho-Nya. Dalam menaungi kehidupannya di muka bumi ini, manusia telah diberi oleh Allah SWT petunjuk-petunjuk baik perintah atau larangan yang terkandung dalam Al-quran agar kita tidak tersesat menuju jalan yang sesat sehingga terjerumus ke jalan hina berujung neraka. Perintah dan larangan merupakan suatu hukum yang harus kita patuhi agar kita selamat di dunia dan akhirat nanti. Allah SWT sebagai pembuat hukum (Hakim) menjadikan perbuatan seorang mukallaf sebagai objek hukum (Mahkum Fiih) serta mukallaf atau orang yang dikenai/dibebankan kepadanya suatu hukum sebagai subjek hukum (Mahkum ‘Alaih). Dalam makalah ini kami hanya membahas tentang subjek dan objek kajian hukum atat Mahkum Fiih dan mahkum ‘Alaih. B. PEMBAHASAN 1. Mahkum Fiih Mahkum Fiih adalah Objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan untuk 1 | Page

Upload: gilar-dbara

Post on 04-Aug-2015

205 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

A. PENDAHULUAN

Manusia sebagai mahluk Allah SWT yang diamanatkan untuk menjadi khalifah di

muka bumi ini telah diberi hak dan kewajiban untuk menjaga bumi ini. Segala aspek

kehidupannya tidak boleh seenaknya sendiri haruslah berdasarkan hukum-hukum yang

telah Allah SWT buat dan selalu berniat untuk mendapat ridho-Nya. Dalam menaungi

kehidupannya di muka bumi ini, manusia telah diberi oleh Allah SWT petunjuk-petunjuk

baik perintah atau larangan yang terkandung dalam Al-quran agar kita tidak tersesat

menuju jalan yang sesat sehingga terjerumus ke jalan hina berujung neraka. Perintah dan

larangan merupakan suatu hukum yang harus kita patuhi agar kita selamat di dunia dan

akhirat nanti.

Allah SWT sebagai pembuat hukum (Hakim) menjadikan perbuatan seorang

mukallaf sebagai objek hukum (Mahkum Fiih) serta mukallaf atau orang yang

dikenai/dibebankan kepadanya suatu hukum sebagai subjek hukum (Mahkum ‘Alaih).

Dalam makalah ini kami hanya membahas tentang subjek dan objek kajian hukum atat

Mahkum Fiih dan mahkum ‘Alaih.

B. PEMBAHASAN

1. Mahkum Fiih

Mahkum Fiih adalah Objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang

berhubungan dengan hukum syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan

untuk mengerjakan, tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan, memilih suatu

pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah, serta

batal.1

Semua titah atau hukum syari’ ada objeknya. Objeknya itu adalah perbuatan

mukallaf itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan bukan pada zat. Umpamanya

“daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan.

Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu pada

perbuatan memakan bukan pada zat daging babi itu.

1 Drs. H. Nasrun Haroen, M.A. Ushul Fiqh I, hal 2921 | P a g e

Page 2: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hukum

wadh’I ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf sepperti

tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat zhuhur. Tergelincirnya

matahari itu (sebagai sebab) adalah hukum wadh’i. dan karena tidak menyangkut

perbuatan mukallaf, maka ia tidak termasuk objek hukum2.

Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu

perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu

hukum:

Contoh:

1. Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43

( البقرة االصالة اقيمو و

Artinya:”Dirikanlah Sholat”

Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan

mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.

2. Firman Alloh dalam surat al an’am:151

( م االنعا باالحق اال االله م حر االتي والتقتلواالنفس

Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh

melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan

mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.

3. Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6

ه ئد الما فق المرا الى يكم ايد و هكو وجو غسلوا فا الصالة الى 6-5اذاقمتم

2 Prof. Dr. H. Amir Syarifudin ushul Fiqh Jilid I, hal 350-351.2 | P a g e

Page 3: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan

tangan mu sampai siku siku”

Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan

orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.

Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah

perbuatan mukallaf.

Para ulama Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk perbuatan sebagai

objek hukum;

1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang

melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”

2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan

serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.

3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam

kemampuanya untuk melakukan.

Para ulama ushul fiqh sepakat dalam hal tidak dituntutnya seorang mukallaf

melakukan perbuatan yang tidak mampu untuk dilaksanakannya. Yang menjadi dasar

ketentuan ini adalah firman Allah dalam Al-quran surat Al-baqarah ayat 286;

“Allah tidak membebani seseorang kecauli semampunya”

Allah menginginkan kemudahan atas hambanya bukan kesulitan, dalam al-

Quran surat al-Baqarah ayat 185 Allah berfirman

) البقره العسر بكم يد ير ال و اليسر بكم الله يد ير

Allah menghendaki untuk mu kemudahan dan tidak menghendaki darimu kesulitan.

1.1. Syarat-syarat Mahkum Fiih

Para ulama ushul fiqh mengemukakan syarat-syarat sahnya suatu

taklif (pembebanan hukum), yaitu;

3 | P a g e

Page 4: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

1.1.1. Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan

dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan

dapat ia lakukan. Pengetahuan mukallaf terhadap hukum perbuatan

itu harus dibarengi pengetahuanya tentang rukun, syarat, dan tata

cara melakukan perbuatan itu. Oleh sebab itu, menurut para ulama

ushul fiqh nash (ayat dan atau hadits) yang bersifat mujmal

(global) tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya.

Misalnya perintah shalat, seorang mukallaf dapat melaksanakan

sahalat setelah rukun, syarat, dan tata cara menjalankanya telah dia

ketahui.

1.1.2. Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan

yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaanya merupakan

ketaatan dan kepatuhan kepada titah Allah. Yang dimaksud para

ulama ushul fiqh dengan pengetahuan mukallaf terhadap sumber

taklif adalah kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui

kemampuan akalnya.

1.1.3. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf,

akibat dari ketiga syarat ini, yaitu;

Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif

terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilan itu dilihat pada

zatnya maupun dilihat dari luar zatnya.

Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak sah hukumnya

seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas

nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan kepada

dirinya. Oleh sebab itu sesorang tidak dibebani kewajiban untuk

mengerjakan shalat untuk saudaranya.

Tidak sah menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat

fithrii, yang manusia tidak turut campur didalamnya dan terhadap

4 | P a g e

Page 5: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar), seperti

sikap marah , benci, takut, gembira dan sebagainya. Menurut

ulama ushul fiqh perbuatan-perbuatan seperti itu bukan atas ikhtiar

dan kehendak manusia. Oleh sebab itu, tidak ada taklif bagi

perbuatan seperti itu.

Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam

masalah ibadah dan bersuci untuk shalat. Dalam hal ini terdapat

perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Persoalan yang popular

dalam bahasan ushul fiqh yang berkaitan dengan masalah ini

adalah, apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan

hukum syara’, sekalipun dalam masalah keimanan mereka

dibebani taklif.

Terkait dengan perbuatan taklif itu ada kemungkinan dikerjakan atau

ditinggalkan mukallaf, muncullah persoalan lain yang dikemukakan oleh para ulama

ushul fiqh yaitu masalah Masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh

ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah (kesulitan)?

Dalam hal ini ulama membagi Masyaqqah pada dua tingkatan:

1. Masyaqqah mu’taaddah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam

melaksanakan. Contoh puasa dan ibadah haji.

2. Masyaqqah gairo mu’taaddah yang tidak mungkin seseorang melakukannya

secara berketerusan. Contoh berperang atau jihad di jalan Allah.

Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka

Allah SWT pun memberikan keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah

dalam hukum syara, seperti dibolehka manjama dan mengqasar jumlah rakaat dalam

shalat.

Menurut ulama hanafiyah, kemampuan adalah tertjaganya alat untuk melakukan

sesuatu sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara untukmelakukan tuntutan

5 | P a g e

Page 6: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

tersebut, seerti sehat, adanya air, dan lain sebagainya. Kemampuan menurut mereka

terbagi dalam dua bagian, yaitu : mutlaq dan sempurna.

Mutlaq, merupakan kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk

melaksanakan kewajiban, baik berupa harta ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti,

air mutlaq diperlukan untuk berwudu, orang yang sudah mampu diwajibkan untuk

melaksanakan ibadah haji. Namun, syarat tersebut tidak harus sesuai daam keadaan

wajib, seperti tidak gugur kewajiban ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi

tidak melaksanakannya sampai hartanya habis.

Sempurna, adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang

memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan

masalah harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan

kelebihan harta. Oleh karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta.

Karena bila dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi

kesulitan.

Para ulama ushul fiqh memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif

terhadap sesuatu yang mustahil adanya, karena objek hukum itu harus sesuatau yang

jelas keberadaanya. Ulama ushul fiqh membagi lima tingkatan mustahil:

1. Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal

berlawanan.

2. Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan secara

biasanya. Contoh menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.

3. Mustahil karena adanya halangan berbuat. Contoh menyuruh seseorang berlari

dengan kaki terikat.

4. Mustahil karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat

melaksanakan ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.

5. Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi

seseorang yang jelas kafirnya

6 | P a g e

Page 7: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

1.2. Macam-Macam Mahkum Fih

Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu

dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri, dan dari segi

keberadaan secara material dan syara.

a) Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih

di bagi menjadi empat macam, yaitu :

1. Semata mata hak Alloh, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan

dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan

pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. hak ini

semata-mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:

Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima.

Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan

santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat

fitrah. Karenanya disyaratkan niat dalam zakat bagi semua orang.

Bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat

yang dikeluarkan dari bumi.

Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti: khoroj

(pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang

tidak ikut jihad.

Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti

hukuman orang yang berbuat zina (dera atau rajam), pencurian

(potong tangan).

Hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak

waris, karena membunuh pemilik harta tersebut.

Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti: kafarat orang

yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan.7 | P a g e

Page 8: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan

seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.

2. Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti

ganti rugi harta seseorang yang di rusak, seperti hak-hak kepemilikan, dan

pemanfaatana hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh

pemiliknya

3. Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba, tetapi hak alloh

didalamnya lebih dominan, seperti hukuman menuduh orang lain berbuat zina.

Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari

sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak

pribadi.

4. Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih

dominan, seperti masalah qishash. Hak Allah dalam masalah qishash

berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah

seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak hamba adaah menjamin

kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi, karena dalam

pelaksanaan qishash sepenuhnya diserahkan keopada ahli waris terbunuh dan

mereka berhak menggugurkan hukuman tersebuit, maka hak hamba Allah di

anggap lebih dominan.

b) Dari segi keberadaannya secara materil dan syara , mahkum fih dibagi

menjadi tiga macam, yaitu :

1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan

yang terkait dengan syara, seperti makan dan minum. Makan dan

minum tidak terkait dengan hukum syara.

2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hokum

syara, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Yaitu hukum

qishash

8 | P a g e

Page 9: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

3) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai syara apabila

memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.

Dapat tidaknya taklif itu dapat dilakukan orang lain berhubungan erat dengan

kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi menjadi tiga

1. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif

umpamanya sholat dan puasa.

2. Objek hukum yang pelaksanaanya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif.

Contoh kewajiban zakat.

3. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku

taklif. Contoh kewajiban haji.

2. Mahkum ‘Alaih

Subjek hukum atau pelaku hukum adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah

untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan

Allah. Seperti yang telah didefinisikan hukum taklifi adalah titah Allah menyangkut

perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk berbuat.

2.1. Dasar Taklif

Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu

untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di

bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif.

Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif

dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:

حتى الصبي عن و يستيقظ حتى ئم النا عن ث ثال عن القلم فع ر

) ما وابن ئى والنسا مذى والتر رى البخا رواه يفق حتى المجنون عن و يحتلم

( لب طا وابى ئثه عا عن والدارقطنى جه

9 | P a g e

Page 10: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur

sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai

sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari

Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)

2.2. Syarat-Syarat Taklif

Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai

taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :

2.2.1. Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung

dalam alqur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui

orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai,

kecuali dengan akalpikira, karena hanya dengan akallah yang bisa

mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan

tetapi ada indikasi lain bahwa yang menerangkan seseorang telah

berakal yaitu baligh.

2.2.2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh

disebut ahliyah. Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang

belum atau tidakmampu bertindak hukum,belum atau tidak bisa

dipertanggung jawabkan.

2.3. Pengertian Ahliyyah

Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah kecakapan menangani

sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu

bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.

Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki

seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang

telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari).

Dari definisi tersebut, dfapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat

yang menunjukan bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan

akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara. Orang

yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu

tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang

10 | P a g e

Page 11: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab,

seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan untuk bertindak

hokum tidak dating kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi melalui

tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan

akalnya.

2.4. Pembagian Ahliyyah

Menurut para ulama ushul fiqh ,aliyyah(kepantasan) itu ada dua

macam, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan

akalnya, yaitu :

2.4.1. Ahliyyah ada’

Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang

dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh

perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini

berarti bahwa segala tindakannya baik dalam bentuk ucapan atau

perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain, ia

dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.

Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi

ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki

ahliyyah ada adalah aqil, baligh, dan cerdas.

Ahliyah al-ada atau kecakapan untuk menjalankan hukum

yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala

tindakannya menurut hukum. Kecakapan berbuat hukum atau

ahliyah al-ada terdiri dari tiga tingkat

1. Adim al-ahliyah atau tidak cakap sekali yaitu manusia

semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar 7 tahun.

2. Ahliyah al-ada naqishah atau cakap berbuat hukum secara

lemah yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz sampai

dewasa.

3. Ahliyah al-ada kamilah atau cakap berbuat hukum secara

sempurna yaitu manusia yang telah mencapai umur dewasa.

11 | P a g e

Page 12: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

2.4.2. Ahliyyah Al-wujuub

Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak

yang menjadi haknya menerima hokum, tetapi belum mampu

untuk dibebani seluruh kewajiban. Ia juga dianggap telah berhak

menerima harta waris dang anti rugi dari barang yang telah dirusak

oleh orang lain.

Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam

menentukan ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang

tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki

seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia, dan akan

hilang apabila seseorang tersebut telah meninggal. Berdasarkan

aliyyah wujud, anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat,

dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi,

harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola

oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk

memberikan hak atau menunaikan kewajiban.

2.4.2.1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan

ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai

ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna. Hak-hak yang

harus i9a terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia

lahir ke dunia dengan selamatwalaupun untuk sesaat. Dan

apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat

menjadi miliknya.

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak

bagi seorang janin, yaitu :

a. Hak keturunan dari ayahnya

12 | P a g e

Page 13: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.

Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima

diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima,

karena jika laki-laki, maka bagiannya lebih besar dari

wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang disisakan

itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain.

c. Wasiat yang ditunjukan kepadanya

d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya,

Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan

wakaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang

menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan

persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian,

penerima wasiat dan wakaf tidak perlu menyatakan

penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang

diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik

janin tersebut.

2.4.2.2. Ahliyyah al wujub al kamilah

Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak

yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan

berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.

Dalam status ahliyyah wujud (baik yang sempurna ataupun

tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara, baik

bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun

yang sifatnya tindakan hukum duniawi, seperti transaksi

yang bersifat pemindahan hak milik.

Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila

mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat

merugikan oranga lain, maka orang yang telah berstatus

ahliyyah ‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib

mempertanggung jawabkannya. Maka wajib memberikan

13 | P a g e

Page 14: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

ganti rugi dari hartanya sendiri, apabila tindakannya

berkaitan dengan harta. Dan pengambilan berhak untuk

memerintahkan waliuntuk mengeluarkan ganti rugi

terhadapharta orang lain yang dirusak dari hartya anak itu

sendiri.

Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik

rohani, seperti melukai ataupun membunuh, mak tindakan

hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah wajib al-wajib

belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena

ia dianggap belum cakap untuk bertindak hukum. Maka

hukuman yang harusnya menerima qishas digantikan

dengan membayar diyat. Sedangkan apabila orang tersebut

telah berstatus ahliyyah ‘ada, maka ia bertanggung jawab

penuh untuk meneri hukuman apapun yang ditentukan oleh

syara atau pengadilan. Misalnya ia diwajibkan membayar

ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dan ia pun

harus menerima qishah

2.5. Halangan Ahliyyah

Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak hukum

dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau

hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan

inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum

seseorang bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:[15]

2.5.1. Awaridh Samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Alloh

bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu,

perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.

2.5.2. Awaridh Al Muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh

perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah

pengampunan dan bodoh.

14 | P a g e

Page 15: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan

hukumya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan, mengurangi, dan mengubahnya.

Oleh karena itu, para ushul fiqh membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari

segi objeknya dalam tiga bentuk :

Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertintak, seperti gila,

lupa, dan terpaksa. Sabda Nabi Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan

hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan

Tabrani)

Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang

seperti ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat

kecakapannya dalam bertintak hokum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi

dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.

Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang

yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat

tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi beberapa

tindakan hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.

2.6. Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir

Syarat bagi subjek hukum itu adalah balight dan berakal. Selanjutnya

yang dipermasalahkan apakah “islam” merupakan syarat untuk dikenai

tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non-muslim itu dituntut untuk

melakukan beban hukum atau tidak. Ada beberapa perbedaan pendapat

antar ulama dalam hal hubungan persyaratan taklif dengan terpenuhinya

syrat syar’i.

Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara

persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i, yaitu Imam al-Syafi’i,

mayoritas kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-

orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’syari’at seperti

ibadah sholat,puasa dan haji. Kelompok ulama ini mengemumakan alasan-

alasanya sebagai berikut:

15 | P a g e

Page 16: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

1. Ayat-ayat Al-Qur’an memrintahkan untuk melaksanakan ibadat secara

umum juga menjangkau orang-orang kafir. orang-orang kafir tidak

pantas terhalang masuk dalam jangkauan tuntutan Allah itu. Alasan ini

ditanggap oleh kelompok ulama yang berlawanan pendapat, bahwa

memang umumnya ayat dapat menjangkau orang-orang kafir, tetapi

keumuman ayat-ayat tersebut telah ditaksis dengan syarat-syarat syar’i

yang tidak mungkin ibadat itu sah kecuali dengan syarat tersebut.

2. Orang kafir itu seandainya tidak dikenai talkif dengan hal-hal yang

bersifat furu’ tentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia

tidak berbuat. Padahal banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang

mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat.. dengan adanya

ancaman tersebut, bahwa orang-orang kafir dikenai tuntutan untuk

melaksanakan sebagaian perintah, begitu pula terhadap yang lainya.

3. Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan

sanksi sebagaimana berlaku untuk mu’min, seperti zina, mencuri dan

lainya.

Kedua, pendapat dari sebagian ulama Hanafiyah, Abu ishak al

Asfahani, dan sebagian kelompok syafiiyah. Mereka berpendapat bahwa

orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena

bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat

syar’i; sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat tersebut. Kelompok

ini berpendapat bahwa:

1. Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat,

tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak seperti itu,

karena kafir nya itu mencegah sahnya ibadat mereka.

2. Seandainya rang kafir diberi beban hukum, tentu wajib bagi mereka

mengqadha apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia

masuk islam.

Dari dua argument oleh kelompok ini masih memeiliki titik

lemah yang disanggah oleh kelompok lain. Dari argument yang

16 | P a g e

Page 17: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

pertama, hal ini menjadi pokok perbedaan pendapat. Dari hadist yang

artinya “ Islam itu memotong segala sesuatu sebelumnya”, justru

hadist ini ia berpendapat bahwa orang kafir itu dibebani taklif sebelum

masuk islam dan berlaku untuk seterusnya..

Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif

untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk

melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh

diperlukan niat; sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan

jalan tidak berbuat apa-apa.

2.7. Hal-hal yang Mempengaruhi Kecakapan Bebuat Hukum (‘Awaridh)

Dalam subjek hukum telah dijelaskan bahwa di antara syarat subjek

hukum adalah kecakapan untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan

dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum. Kecakapan dikenai

hukum berlaku untuk orang yang kapasitasnya sebagai manusia. Oleh

karena itu tidak satupun yang dapat mempengaruhi kecakapanya untuk

dikenai humum atau taklif itu.

Kecakapn hukum ini dibatasi tidak untuk semua manusia, kecakapan

ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini adalah balight dan

berakal. Ddalam perjalanan hidup sesorang dipastikan ada keadaan

dimana tidak dapat melaksanakan beban hukum dengan baik, baik dari

yang timbul dari dirinya sendiri atau daei luar dirinya. Sesuatu yang

menghalang tersebut dinamakan awaridh al-ahliyah atau halangan taklif.

Halangan taklif tersebut dibagi menjadi 2 kelompk, yaitu :

1. Halangan yang keluar dari luar dirinya yang ia sendiri tidak

mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Halangan ini disebut

halangan samawi.

2. Halangan yang timbul dari dirinya sendiri atau tersebab akan

kehendaknya sendiri. Halangan ini disebut awaridh muktasabah atau

halangan awaridh ihktiyari.

17 | P a g e

Page 18: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

C. KESIMPULAN

Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan

dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat

dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami

kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa

dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.

Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya

seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan

sangat berat seperti perang fii sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa,

harta dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i(tuntutan

syara’) maka sudah di kenakan taklif.

18 | P a g e

Page 19: Mahkum Fiih Dan Mahkum 'Alaih

DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

http://elmisbah.wordpress.com/mahkum-fih-dan-mahkum-%E2%80%98alaih/ diakses senin 15

oktober 2012, pukul 07.27

http://buyatthelegend.blogspot.com/2012/04/makalah-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html

diakses senin 15 oktober 2012, pukul 07.27

19 | P a g e