lp kista ovarium2
DESCRIPTION
kista ovarium2TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA KISTA OVARIUM
DI RUANG TULIP 1 RST dr. SOEPRAOEN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MATERNITAS
Disusun oleh :
Laras Frestyawangi Wasitin
2014204610111072
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSFAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULAN & ASUHAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
DEPARTEMEN KEPERAWATAN MATERNITAS
2015
Mahasiswa
Laras Frestyawangi Wasitin
201420461011072
Mengetahui,
2015
Pembimbing Institusi Pembimbing
Lahan
( ) ( )
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kista ovariun adalah suatu benjolan yang berada di ovarium
yang dapat mengakibatkan pembesaran pada abdomen bagian
bawah dimana pada kehamilan yang disertai kista ovarium solah-
olah terjadi perlekatan ruang bila kehamilan mulai membesar
(Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H., Sumapraja, S., 2009).
Kista merupakan penyakit yang super halus, rumit dan unik,
sebab keberadaannya mirip dengan kehamilan, di mana semua
wanita mempunyai resiko akan hadirnya penyakit ini. Pada
peristiwa ovulasi telur yang matang keluar dari indung telur dan
bergerak ke rahim melalui saluran telur. Apabila sel telur yang
matang ini dibuahi, folikel akan mengecil dan menghilang dalam
waktu 2-3 minggu dan akan terus berulang sesuai siklus haid pada
seorang wanita. Namun, jika terjadi gangguan pada proses siklus
ini, maka kista pun akan terjadi (Chyntia, 2010).
B. Etiologi
Menurut Nugroho (2010), kista ovarium disebabkan oleh
gangguan (pembentukan) hormon pada hipotalamus, hipofisis dan
ovarium.
Beberapa teori menyebutkan bahwa penyebab tumor adalah bahan
karsinogen seperti rokok, bahan kimia, sisa-sisa pembakaran zat
arang, bahan-bahan tambang.
Beberapa faktor resiko berkembangnya kista ovarium, adalah
sebagai berikut :
1. Riwayat kista terdahulu
2. Siklus haid tidak teratur
3. Perut buncit
4. Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)
5. Sulit hamil
6. Penderita hipotiroid
C. Manifestasi Klinis
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki
gejala. Tetapi, terkadang kista dapat menyebabkan beberapa
masalah seperti :
1. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit
2. Nyeri selama berhubungan seksual
3. Masa diperut bagian bawah dan biasanya bagian-bagian organ
tubuh lainnya sudah terkena
4. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi
5. Wanita post menoupause : nyeri pada daerah pelvik, disuria,
konstipasi atau diare, obstruksi usus atau asietas.
D. Klasifikasi
Menurut Mansjoer, et al (2000), kista ovarium neoplastik jinak
diantaranya :
1. Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks merupakan kista yang
permukaannya rata dan halus, biasanya bertangkai, seringkali
bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis berisi
cairan jernih yang serosa dan berwarna kuning.
2. Kistadenoma Ovarii Musinosum
Bentuk kista multilokular dan biasanya unilateral, dapat
tumbuh menjadi sangat besar. Gambaran klinis terdapat
perdarahan dalam kista dan perubahan degeneratif sehingga
timbul perlekatan kista dengan omentum, usus-usus dan
peritoneum parietale.
3. Kistadenoma Ovarii Serosum
Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista
umumnya unilokular, tapi jika multilokular perlu dicurigai
adanya keganasan.
4. Kista Dermoid
Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur
ektodermal berdiferensiasi sempurna dan lebih menonjol dari
pada mesoderm dan entoderm. Bentuk cairan kista ini seperti
mentega. Kandungannya tidak hanya berupa cairan tapi juga
ada partikel lain seperti rambut, gigi, tulang atau sisa-sisa kulit.
Menurut Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H. dan Sumapraja, S.
(2009), kista nonneoplastik terdiri dari :
1. Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel de graaf yang tidak sampai
berovulasi, namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari
beberapa folikel primer yang setelah tumbuh di bawah pengaruh
estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim, melainkan
membesar menjadi kista.
2. Kista korpus luteum
Dalam keadaan normol korpus luteum lambat laun
mengecil dan menjadi korpus albikans.
3. Kista lutein
Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormon
korigonadotropin yang berlebihan dan dengan hilangnya mola
atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan.
4. Kista inklusi germinal
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian
kecil dari epitel germinativum pada permukaan ovarium.
5. Kista endometriosis
Kista ini sering disebut juga sebagai kista coklat
endometriosis karena berisi darah coklat-kemerahan. Kista ini
berhubungan dengan penyakit endometriosis yang
menimbulkan nyeri haid dan nyeri senggama. Kista ini berasal
dari sel-sel selaput perut yang disebut peritoneum.
6. Kista stein-leventhal
Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik,
dan permukaannya licin. Umumnya pada penderita terhadap
gangguan ovulasi, oleh karena endometrium hanya dipengaruhi
oleh estrogen, hiperplasia endometrii sering ditemukan.
E. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa metode yang dapat membantu menegakkan
diagnosis, yaitu sebagai berikut (Prawirohardjo, S., Wiknjosastro,
H., Sumapraja, S., 2009) :
1. Laparoskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah
sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk
menentukan sifat-sifat tumor tersebut.
2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat menentukan letak dan batas tumor
apakah berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kemih.
Apakah tumor kistik atau solid dan dapatkan dibedakan pula
antara ciran dalam ringga perut yang bebas dan yang tidak.
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna unruk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, apda kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat
gigi dalam tumor.
F. Pencegahan
Menurut Chyntia (2010) menyatakan bahwa upaya pencegahan
yang bisa dilakukan adalah untuk mengerahui secara dini penyakit
ini, sehingga pengobatan yang dilakukan memberi hasil yang baik
dengan komplikasi yang minimal. Upaya yang dilakukan adalah
dengan melakukan pemeriksaan secara berkala yang meliputi :
pemeriksaan klinis ginekologi untuk mendeteksi adanya kista atau
pembesaran ovarium lainnya, pemeriksaan ultrasonografi (USG)
bila perlu dengan alat Doppler untuk mendeteksi aliran darah,
pemeriksaan petanda tumor (tumor marker), pemeriksaan CT-
Scan/MRI bila diperlukan.
G. Penatalaksanaan
1. Observasi
Jika kista tidak menimbulkan gejala, maka cukup dimonitor
(dipantau) selama 1-2 bulan, karena kista fungsional akan
menghilang dengan sendirinya setelah satu atau dua siklus haid.
Tindakan ini diambil jika tidak curiga ganas (kanker) (Nugroho,
2010).
2. Terapi bedah atau operasi
Bila tumor ovarium disertai gejala akut seperti torsi, maka
tindakan operasi harus dilakukan pada waktu itu juga, bila tidak
ada gejala akut, tindakan operasi harus dipersiapkan terelbih
dahulu dengan seksama. Bila pembedahan mengangkat seluruh
ovarium termasuk tuba fallopi, maka disebut salpingo-
oophorectomy.
Faktor-faktor yang menentukan tipe pembedahan, antara
lain tergantung pada usia pasien, keinginan pasien untuk
memiliki anak, kondisi ovarium dan jenis kista.
Prinsip pengobatan kista dengan pembedahan (operasi) menurut
Yatim, (2005: 23) yaitu:
1) Apabila kistanya kecil (misalnya, sebesar permen) dan pada
pemeriksaan sonogram tidak terlihat tanda-tanda proses
keganasan, biasanya dokter melakukan operasi dengan
laparoskopi.
2) Apabila kistanya besar, biasanya pengangkatan kista dilakukan
dengan laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total.
Dengan cara laparotomi, kista bisa diperiksa apakah sudah
mengalami proses keganasan (kanker) atau tidak.
H. Perawatan Post Operasi
Menurut Johnson (2008), perawatan post operasi yang perlu
dilakukan antara lain:
a. Perawatan luka insisi/post operasi
Beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan antara lain:
1) Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama
pasca operasi.
2) Luka harus dikaji setelah operasi sampai hari pasca operasi
sampai klien diperbolehkan pulang.
3) Luka mengeluarkan cairan atau tembus, pembalut harus
segera diganti.
4) Pembalutan dilakukan dengan teknik aseptik.
b. Pemberian cairan
Pada 24 jam pertama klien harus puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit yang diperlukan agar tidak terjadi hipotermia,
dehidrasi, dan komplikasi pada organ-organ lainnya.
Cairan yang dibutuhkan biasanya dekstrose 5-10%, garam
fisiologis, dan ranger laktat (RL) secara bergantian. Jumlah
tetesan tergantung pada keadaan dan kebutuhan, biasanya kira-
kira 20 tetes per menit. Bila kadar hemoglobin darah rendah,
berikan transfusi darah atau pocked-cell sesuai dengan
kebutuhan.
c. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah klien
flatus, lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per
oral, sebenarnya pemberian sedikit minuman sudah boleh
diberikan 6-10 jam pasca operasi berupa air putih atau air teh
yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua
pasca operasi. Setelah infuse dihentikan, berikan makanan bubur
saring, minuman, buah dan susu. Selanjutnya secara bertahap
diperbolehkan makan bubur dan akhirnya makanan biasa.
d. Nyeri
Dalam 24 jam pertama, rasa nyeri masih dirasakan di daerah
operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan obat-
obatan anti sakit dan penenang seperti suntikan intramuskuler
(IM) pethidin dengan dosis 100-150 mg atau morpin sebanyak
10-15 mg atau secara perinfus atau obat-obatan lainnya.
e. Mobilisasi
Mobilisasi segera sangat berguna untuk membantu
jalannya penyembuhan klien. Miring ke kanan dan ke kiri sudah
dapat dimulai 6-10 jam pertama pasca operasi setelah klien
sadar. Latihan pernafasan dapat dilakukan sambil tidur
terlentang sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasien
dapat latihan duduk selama 5 menit dan tarik nafas dalam-dalam.
Kemudian posisi tidur diubah menjadi setengah duduk atau semi
fowler.
Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari klien
dianjurkan belajar duduk sehari, belajar berjalan dan kemudian
berjalan sendiri pada hari ketiga sampai hari kelima pasca
operasi.
f. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak nyaman pada klien. Karena itu dianjurkan pemasangan
kateter tetap (balon kateter) yang terpasang 24-48 jam atau lebih
lama tergantung jenis operasi. Dengan cara ini urine dapat
ditampung dan diukur dalam kantong plastik secara periodik.
Bila tidak dipasang kateter tetap dianjurkan untuk melakukan
pemasangan kateter rutin kira-kira 12 jam pasca operasi, kecuali
bila klien dapat berkemih sendiri.
g. Pemberian Obat-obatan
1) Antibiotik, kemoterapi dan anti inflamasi
2) Obat-obatan pencegah perut kembung
3) Obat-obatan lainnya
h. Perawatan Rutin
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan dan
pengukuran adalah:
1) Tanda-tanda vital, meliputi: tekanan darah (TD), nadi,
pernafasan, dan suhu.
2) Jumlah cairan yang masuk dan yang keluar.
3) Pemeriksaan lainnya menurut jenis operasi dan kasus.
I. Komplikasi
Menurut Wiknjosastro (2007), komplikasi yang dapat terjadi
pada kista ovarium diantaranya:
a. Perdarahan intra tumor
Perdarahan menimbulkan gejala klinik nyeri abdomen mendadak
dan memerlukan tindakan yang cepat.
b. Perputaran tangkai
Tumor bertangkai mendadak menimbulkan nyeri abdomen.
c. Infeksi pada tumor
Menimbulkan gejala: badan panas, nyeri pada abdomen,
mengganggu aktifitas sehari-hari.
d. Robekan dinding kista
Pada torsi tangkai ada kemungkinan terjadi robekan sehingga isi
kista tumpah kedalam rungan abdomen.
e. Keganasan kista ovarium
Terjadi pada kista pada usia sebelum menarche dan pada usia
diatas 45 tahun.
J. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama
dan alamat, serta data penanggung jawab
2. Keluhan klien saat masuk rumah sakit
Biasanya klien merasa nyeri pada daerah perut dan terasa ada
massa di daerah abdomen, menstruasi yang tidak berhenti-henti.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan klien adalah nyeri pada daerah
abdomen bawah, ada pembengkakan pada daerah perut,
menstruasi yang tidak berhenti, rasa mual dan muntah.
a. Riwayat kesehatan dahulu
Sebelumnya tidak ada keluhan.
b. Riwayat kesehatan keluarga
Kista ovarium bukan penyakit menular/keturunan.
d. Riwayat perkawinan
Kawin/tidak kawin ini tidak memberi pengaruh terhadap
timbulnya kista ovarium.
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
Dengan kehamilan dan persalinan/tidak, hal ini tidak
mempengaruhi untuk tumbuh/tidaknya suatu kista ovarium.
5. Riwayat menstruasi
Klien dengan kista ovarium kadang-kadang terjadi digumenorhea
dan bahkan sampai amenorhea.
6. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan mulai dari kepala sampai ekstremitas bawah secara
sistematis.
a. Kepala : Hygiene rambut, Keadaan rambut
b. Mata : Sklera (ikterik/tidak), Konjungtiva (anemis/tidak),
Mata(simetris/tidak)
c. Leher : pembengkakan kelenjer tyroid, Tekanan vena
jugolaris.
d. Dada : Pernapasan
e. Abdomen : Nyeri tekan pada abdomen, Teraba massa pada
abdomen.
f. Ekstremitas : Nyeri panggul saat beraktivitas, Tidak ada
kelemahan.
g. Eliminasi, urinasi : Adanya konstipasi , Susah BAK
7. Data Sosial Ekonomi
Kista ovarium dapat terjadi pada semua golongan masyarakat dan
berbagai tingkat umur, baik sebelum masa pubertas maupun
sebelum menopause.
8. Data Spritual
Klien menjalankan kegiatan keagamaannya sesuai dengan
kepercayaannya.
9. Data Psikologis
Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita, dimana
ovarium sebagai penghasil ovum, mengingat fungsi dari ovarium
tersebut sementara pada klien dengan kista ovarium yang
ovariumnya diangkat maka hal ini akan mempengaruhi mental klien
yang ingin hamil/punya keturunan.
10. Pola kebiasaan Sehari-hari
Biasanya klien dengan kista ovarium mengalami gangguan dalam
aktivitas, dan tidur karena merasa nyeri
11. Pemeriksaan Penunjang : Data laboratorium, Pemeriksaan Hb,
Ultrasonografi
K. Diagnosa yang akan muncul
1.
L. Rencana Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Chyntia, E. 2010. Pahami Kista Anda Akan Terbebaskan. Yogyakarta:
Maximus
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing
Diagnosis: Definitions & Clasification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Johnson, R. 2008. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta: EGC
Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius
Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan
Permasalahannya. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H., Sumapraja, S. 2009. Ilmu
Kandungan Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka