laporan tutorial_sken i_pinggangku nyeri_balqis, dr
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 1
PINGGANGKU NYERI
KELOMPOK 6
1. Achmad Nurul H. (G0011003)
2. Adya Sitaresmi (G0011005)
3. Atika Sugiarto (G0011043)
4. Dzulfiar N. U. (G0011079)
5. Ery Radiyanti (G0011085)
6. Fery Ardi K. (G0011091)
7. Ratna Sariyatun (G0011165)
8. Rezza Dwi Haryanto (G0011169)
9. Rifqi Hadyan (G0011171)
10. Rizqa Febriliany P. (G0011183)
TUTOR
Balqis, dr., M.Sc., CM, FM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario Pinggangku Nyeri
Seorang perempuan berusia 76 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri
pada pinggangnya, terutama bila untuk berdiri, berjalan, atau perubahan posisi.
Keluhan ini timbul sejak 4 bulan yang lalu, yang muncul tiba-tiba dan semakin lama
bertambah nyeri.
Hasil pemeriksaan dokter, didapatkan adanya punggung Dowager, xyphosis. Hasil
foto rontgen adalah didapatkan adanya fraktur kompresi di L2-L3, dan pernah
dilakukan pemeriksaan BMD. Kemudian direncanakan pemeriksaan lanjutan yaitu
asam urat, faktor rematoid, CRP, dan DEXA. Dokter kemudian memberikan obat
analgesik dan menyarankan untuk fisioterapi ke bagian Rehabilitasi Medis.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang muncul dari skenario di atas meliputi:
1. Perempuan 76 tahun
2. Keluhan nyeri pada pinggangnya, terutama untuk berdiri, berjalan, atau
perubahan posisi
3. Keluhan timbul sejak 4 bulan yang lalu, muncul tiba-tiba dan semakin
lama bertambah nyeri
4. Hasil pemeriksaan dokter: punggung Dowager, xyphosis
5. Hasil foto rontgen: fraktur kompresi di L2-L3
6. Pernah dilakukan pemeriksaan BMD
7. Pemeriksaan lanjutan: asam urat, faktor rematoid, CRP, dan DEXA
8. Pasien diberi obat analgesik
9. Pasien disarankan untuk fisioterapi ke bagian Rehabilitasi Medis
C. Rumusan Analisis Masalah
Dari masalah yang telah ditentukan, dapat dibuat analisis masalah sebagai
berikut:
1. Anatomi dan fisiologi vertebrae lumbalis
2. Proses osteogenesis
3. Mekanisme nyeri, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri, asal nyeri
pinggang dalam skenario
4. Macam-macam kelainan sendi
2
5. Penyebab dan jenis-jenis fraktur, hubungan fraktur dengan punggung
Dowager dan xyphosis
6. Kaitan waktu 4 bulan yang lalu dengan penyakit di skenario
7. Diagnosis banding dan diagnosis pasti
8. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
9. Epidemiologi
10. Macam-macam obat analgesik
11. Terapi farmakologi dan non farmakologi
D. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi vertebrae lumbalis
2. Mengetahui proses osteogenesis
3. Mengetahui mekanisme nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi
nyeri
4. Mengetahui macam-macam kelainan sendi
5. Mengetahui penyebab fraktur, jenis-jenis fraktur, dan hubungan fraktur
dengan punggung Dowager dan xyphosis
6. Mengetahui kaitan waktu dengan penyakit di skenario
7. Mengetahui diagnosis banding dan diagnosis pastinya
8. Mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan untuk menentukan diagnosis
9. Mengetahui epidemiologi penyakit di skenario
10. Mengetahui macam-macam obat analgesik
11. Mengetahui terapi farmakologi dan non farmakologi untuk penyakit di
skenario
E. Manfaat Penulisan
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi vertebrae lumbalis
2. Menjelaskan proses osteogenesis
3. Menjelaskan mekanisme nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi
nyeri
4. Menjelaskan macam-macam kelainan sendi
5. Menjelaskan penyebab fraktur, jenis-jenis fraktur, dan hubungan fraktur
dengan punggung Dowager dan xyphosis
6. Menjelaskan kaitan waktu dengan penyakit di skenario
3
7. Menjelaskan diagnosis banding dan diagnosis pastinya
8. Menjelaskan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan untuk menentukan diagnosis
9. Menjelaskan epidemiologi penyakit di skenario
10. Menjelaskan macam-macam obat analgesik
11. Menjelaskan terapi farmakologi dan non farmakologi untuk penyakit di
skenario
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Klarifikasi istilah
- Punggung Dowager : kifosis dorsalis karena fraktur pada vertebralis
- Xhyposis : kelengkungan pada kurvatura torakal tulang
belakang yang berlebihan seperti yang terlihat dari samping
- Nyeri : pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
mengenakkan karena kerusakan jaringan, bersifat subjektif untuk tiap orang
- Pemeriksaan BMD : Bone Marrow Density, pemeriksaan yang digunakan
untuk mengukur mineral tulang.
- Fraktur : patah, retak, lepasnya kontinuitas dari tulang itu
sendiri maupun tulang dengan kompresinya.
- DEXA : Dual-Energy X-ray Absorptiometry, menggunakan
dua sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha, termasuk salah satu metode pemeriksaan BMD
- CRP : C-Reactive protein, protein yang mengindikasikan
luasnya jaringan yang rusak, kadarnya meningkat pada infeksi akut.
Harga rujukan : Normal : ≤ 10 mg/L ; Inflamasi > 10 mg/L
- Faktor rheumatoid : autoantibodi terutama IgM yang berikatan dengan
IgG membentuk kompleks imun. FR meningkat ada kelainan sendi
seperti pada OA
- Fisioterapi : pelayanan kesehatan untuk mengembalikan fungsi
tubuh.
- Asam urat : produk metabolism purin melalui katalisin Xantin
oleh Xantin oksidase
- Analgesik : obat-obatan yang memiliki efek mampu mengurangi
maupun menghilangkan nyeri seperi aspirin, para amino fenol, antalgin,
ibuprofen, dll
- Fraktur kompresi : jenis fraktur karena kompresi/penekanan oleh dua
tulang yang menumbuk tulang diantara keduanya.
- Rehabilitasi medis : tindakan perbaikan medis yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup.
5
2. A) Anatomi dan fisiologi vertebrae lumbalis
a. Vertebrae
Vertebrae merupakan tulang-tulang pendek yang berderet-deret membentuk
suatu tiang yang disebut: Columna vertebralis atau tulang punggung.
Menurut daerah dari badan dikenal beberapa vertebrae:
1. Vertebrae Cervicales di daerah leher jumlahnya ada 7 buah.
2. Vertebrae Thoracales di daerah dada jumlahnya ada 12 buah.
3. Vertebrae Lumbales di daerah pinggang jumlahnya ada 5 buah.
4. Vertebrae Sacrales di daerah kelangkang, jumlahnya di embrio ada 5,
akan tetapi pada dewasa sudah menulang menjadi satu tulang yang
disebut Os Sacrum.
5. Vertebrae Coccygeae di daerah ekor yang jumlahnya ada 3-6 buah. Ini
merupakan ruas-ruas ekor.
Columna vertebralis merupakan pilar
utama tubuh dan berfungsi
menyangga cranium, gelang bahu,
ekstremitas superior, dan dinding
thorax serta melalui gelang panggul
meneruskan berat badan ke
ekstremitas inferior. Di dalam
rongganya terdapat medulla spinalis,
radix nervi spinales, dan lapisan
penutup meningen, yang dilindungi
oleh columna vertebralis.
Vertebrae tipikal tersusun atas 2
bagian pokok, yaitu: corpus,
merupakan segmen ventral dan arcus vertebralis, merupakan segmen dorsal yang
keduanya melingkupi suatu ruangan yang disebut foramen vertebralis. Antara corpus
vertebrae yang saling berurutan dihubungkan dengan jaringan fibrocartilagenia yang
disebut discus intervertebralis. Discus ini berfungsi untuk meredam benturan.
A. Vertebrae Lumbalis
6
Vertebrae lumbalis jumlahnya ada
5 buah dan merupakan ruas-ruas
terbesar dengan sifat-sifat umum:
a.Corpus besar, tebal, kuat,
berbentuk seperti ginjal yang
melintang. Dataran ventral lebih
tinggi dari dataran dorsal (lordosis
lumbalis).
b. Pediculus kuat mengarah
ke belakang.
c.Lamina tebal.
d. Foramen vertebrale
berbentuk segitiga.
e.Processus transversus pendek,
kuat, dan pada
basisnya/pangkalnya mempunyai
tonjolan kecil yang disebut
processus accessorius.
f. Processus spinosus kuat tetapi pendek, rata, berbentuk segiempat dan
mengarah ke belakang. Pada processus articularis superior dan inferior telah
membelok antara bidang frontal dan bidang sagital. Di ujung lateral daripada
processus articularis superior terdapat tonjolan kecil yang disebut processus
mamillaris.
g. Facies articularis processus articularis superior menghadap ke medial dan
facies articularis inferior menghadap ke lateral.
h. Vertebrae lumbalis tidak mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan
costae dan tidak ada foramina pada processus transversus.
Ciri-ciri vertebrae lumbal V:
a. Bagian ventral corpus lebih rendah daripada bagian dorsal.
b. Processus spinosusnya lebih kecil
c. Kadang-kadang dalam pertumbuhannya vertebrae lumbal V melekat pada os
sacrum.
7
Pada regio cervical dan
lumbal, discus
intervertebralis terletak
paling tebal, karena regio
tersebut merupakan tempat
dimana banyak terjadi
gerakan. Discus
intervertebralis berfungsi
untuk meredam benturan.
Discus ini terdiri atas dua bagian, yaitu annulus fibrosus di bagian tepi dan nucleus
pulposus di bagian pusat. Bila ada tekanan yang terlalu kuat maka nucleus pulposus
dapat keluar (herniasi nucleus pulposus).
C) Mekanisme Nyeri
- Mekanisme nyeri, Asal nyeri pinggang, faktor memperberat dan
memperingan
A. Mekanisme Nyeri
Merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus
noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini
berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus
dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem
nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non-
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan
dan menghilangkan respon inflamasi. Timbulnya nyeri ini terjadi melalui
sensitasi perifer maupun sensitasi pusat.
a) Sensitisasi Perifer
8
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak
akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat,
ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan
langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen
lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) Komponen
sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 (PGE2) akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan
cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen
yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan,
penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak
akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
b) Sensitisasi Sentral
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari
nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu
oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription
dependent). Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas
sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan
input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan
jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam
9
Gambar: Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral
medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla
spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan
munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non-noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif
terhadap rangsangan nyeri.
c) Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung
jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia,
suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi
yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).
Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP
untuk interpretasi nyeri.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada
stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada
stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik
mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan
menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan
produkproduknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar
karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor
viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai
reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang
potensial merusak.
d) Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang
merefleksikan empatproses komponen yang nyata yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex
cerebri).
Proses Transduksi
10
Mulai timbulnya rangsangan. Hal ini sangat berhubungan dengan
sensitasi perifer
Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer
ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis.
Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak).
Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks
sebagai diskriminasi dari sensorik.
B. Asal nyeri pinggang
Ditinjau dari struktur anatomi dan histologi di region pinggang, nyeri bisa
berasal dari:
1. Tulang-tulang lumbalis
Pada periosteum terdapat persarafan dan vaskularisasi sebagai tempat
awal nyeri. Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan
kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga
dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar
kartilago. Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri.
Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar
tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang
berkembang. Hal ini menimbulkan nyeri (Felson, 2008).
2. Muskulus-muskulus yang membungkus tulang-tulang di pinggang
Pada sarcolemma dan membrane dalam otot terdapat neuromuskuler
junction
3. Saraf
Diduga serabut-serabut saraf di sekitar pinggang terhimpit saat kompresi
11
4. Sendi
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat
sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine
bursitis dan sindrom iliotibial band. Pada penelitian dengan
menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul
diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema
sumsum tulang ( Felson, 2008).
C. Faktor yang memperberat dan memperingan
Faktor yang memperberat dan memperingan nyeri multifactorial bisa
karena umur, jenis kelamin, persepsi, lama nyeri, lokasinya dan semuanya
bersifat subjektif.
D) Macam-macam kelainan sendi
Manusia memiliki tulang dan sendi (sistem gerak) yang memiliki banyak fungsi
untuk menunjang kehidupan manusia. Tanpa kondisi fit tulang dan sendi,
manusia akan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Berikut ini
adalah beberaa bentuk kelainan / gangguan tulang dan sendi.
A. Kelainan / Gangguan Pada Tulang Belakang / Spinal Manusia
1. Kiposis / Kyphosis
Kiposis adalah suatu gangguan pada tulang belakang di mana tulang
belakang melengkung ke depan yang mengakibatkan penderita menjadi
terlihat bongkok
2. Lordosis
Lordosis adalah suatu gangguan pada tulang belakang di mana tulang
belakang melengkung ke belakang yang mengakibatkan penderita menjadi
terlihat bongkok ke belakang.
3. Skoliosis / Scoliosis / Skeliosis
Skoliosis adalah suatu gangguan pada tulang belakang di mana tulang
belakang melengkung ke samping baik kiri atau kanan yang membuat
penderita bungkuk ke samping.
4. Sublubrikasi
Sublubrikasi adalah kelainan pada tulang belakang pada bagian leher yang
menyebabkan kepala penderita gangguan tersebut berubah arah ke kiri
atau ke kanan.
12
B. Kelainan / Gangguan Pada Sendi Manusia
1. Keseleo / Terkilir / Sprained
Terkilir atau keseleo adalah gangguan sendi akibat gerakan pada sendi
yang tidak biasa, dipaksakan atau bergerak secara tiba-tiba. Umumnya
kesleo bisa menyebabkan rasa yang sangat sakit dan bengkak pada bagian
yang keseleo.
2. Dislokasi / Dislocation
Dislokasi adalah gangguan pada sendi seseorang di mana terjadi
pergeseran dari kedudukan awal.
3. Artritis / Arthritis
Artritis adalah radang sendi yang memberikan rasa sakit dan terkadang
terjadi perubahan posisi tulang. Salah satu contoh artritis yang terkenal
adalah rematik.
4. Ankilosis / Ankylosis
Ankilosis adalah gangguan pada sendi di menyababkan sendi tidak dapat
digerakkan di mana ujung-ujung antar tulang serasa bersatu.
C. Kelainan/Gangguan Retak Tulang / Patah Tulang / Fraktura / Fracture
Fraktura tulang adalah ratak tulang atau patah tulang yang umumnya terjadi
akibat benturan, kelebihan beban, tekanan, dan lain sebagainya. Fraktura
tulang sederhana yaitu keretakan tulang yang tidak melukai organ-organ
yang ada di sekelilingnya. Fraktura kompleks adalah keretakan tulang yang
menyebabkan luka pada organ di sekitarnya.
D. Kelainan / Gangguan Fisiologik
1. Mikrosefalus / Microcephalus
Mikrosefalus adalah kelainan pertumbuhan terkorak kepala yang
menyebabkan kepala penderita terlihat lebih kecil dari normal.
2. Osteoporosis
Osteoporosis adalah kondisi di mana tulang rapuh. keropos dan mudah patah.
Umumnya osteoporisis disebabkan oleh hormon jantan / betina yang kurang
sempurna atau akibat kekurangan asupan kalsium untuk tulang.
3. Rakitis / Rachitis / Rakhitis
Rakitis adalah penyakit tulang yang terjadi akibat kurang vitamin D sehingga
umumnya menyebabkan bentuk tulang kaki bengkok membentuk huruf O
atau X.
13
E) Penyebab dan jenis-jenis fraktur, hubungan fraktur dengan punggung
Dowager dan xyphosis
Fraktur kompresi yaitu fraktur dimana tulang mengalami kompresi khususnya
pada tulang belakang. Hal ini terjadi akibat adanya gaya kompresi yang
disalurkan sepanjang sumbu kolumna vertebralis, lebih sering mengenai
vertebra servicalis dan lumbalis karena sumbu vertebralis lurus.
Tulang yang rapuh dan melemah merupakan penyebab utama terjadinya hal
ini. Ketika tulang rapuh, maka aktivitas sehari-hari dapat memicu terjadinya
fraktur kompresi tulang belakang ringan. Misalnya saja ketika mengangkat
benda sambil membungkuk atau pernah terjatuh. Fraktur-fraktur kecil ini dapat
secara permanen mengubah kekuatan dan bentuk tulang belakang. Selain itu,
juga bisa menyebabkan kehilangan tinggi karena tulang belakang menjadi lebih
pendek. Fraktur kompresi paling banyak terjadi pada bagian depan tulang
belakang, yang menyebabkan bagian depan tulang runtuh dan menciptakan
vertebrae berbentuk baji. Bagian belakang tulang tidak berubah karena terbuat
dari tulang yang lebih keras. Hal Ini menciptakan postur tubuh membungkuk
yang disebut kyphosis, atau punuk dowager.
Xyphosis sendiri yaitu kelengkungan pada kurvatura torakal tulang belakang
yang berlebihan seperti yang terlihat dari samping.
14
G) Diagnosis banding dan diagnosis pasti
Spondilosis Osteoporosis Rheumatoid arthritis Arthritis
- Spondilosis merupakan perubahan degenerati spina yang disebabkan oleh osteoarthritis (Dorland, 2010).
- Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
- Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit sistemik yang membuat pincang pasien dengan pengrusakan pada kartilago dan tulang secara progresif. Penyakit ini diinisiasi oleh sistem imun, dipertahankan oleh sitokin, dan diakibatkan oleh metalloproteinase.
- Radang sendi yang disertai nyeri pada persendian, disertai panas, kemerahan, dan pembengkakan.
- Spondilosis paling sering ditemukan pada usia antara 20-50 tahun. Kelainan ini sering tidak memberikan gejala apapun. Spondilosis dapat menyebabkan nyeri punggung dan leher karena kompresi saraf –kompresi saraf muncul akibat menggembungnya diskus intervertebrae yang mengakibatkan penyempitan lubang dimana serabut saraf akan keluar dari kanal yang terdapat pada vertebrae.
- Prevalensi osteoporosis pada dewasa berusia 50 tahun atau lebih menurun 50,0% selama periode 1988-1994 dan 2005-2008, dari 12% menjadi 6%, melebihi target Healthy People 2010 yaitu 10%. Osteoporosis menurut kriteria WHO didefinisikan sebagai kadar BMD < -2,5 SD. Sementara kondisi dimana BMD antara -2,5 dan -1 SD disebut dengan osteopenia.
- RA dimulai dengan inflamasi Arthus-like yang akut pada cairan sinovial, ditandai dengan munculnya faktor rheumatoid IgM dan IgG (anti immunoglobulin) pada serum dan dalam persendian. Antibodi terhadap citrullinated peptides (CP) juga ditemukan pada serum dan persendian. Komplemen diaktivasi di dalam cairan sinovial, dan komponen komplemen yang paling penting adalah anafilatoksin C3a dan C5a. Sel mononuklear dan endotelial yang teraktivasi selama produksi pannus sitokin Th1 dan Th2 muncul pada beragam kondisi dan proporsi. Akhirnya, kartilago akan tererosi akibat aksi metalloproteinase yang disekresi.
- Penyebab: 1. Acute arthritis
1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium kedalam tulang.
2. Cronic inflammatory arthritis
15
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
3. Degenerative arthritis / hypertropic arthritis / osteoarthritis
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alcohol akan memperburuk keadaan ini.
4. Infectious arthritis
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
5. Lyme arthritis
- Gejalanya: 6. Menopausal arthritis
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan atau gejala seperti tinggi badan berkurang, bungkuk atau bentuk tubuh berubah, patah tulang, nyeri bila ada patah tulang.
7. Suppurative arthritis
- Faktor risiko:
1. Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.
16
2. Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium.
3. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.4. Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia.
5. Riwayat keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena osteoporosis.6. Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7. Menopause
17
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah. Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya.
- Deteksi dini osteoporosis
Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak
diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam
mencegah dan mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara dini
untuk mengetahui apakah kita sudah terkena osteoporosis atau belum,
sehingga dari pemeriksaan ini kita akan tahu langkah selanjutnya.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adalah sebagai berikut:
a. Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar-X
berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang
dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang
dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain.
b. Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), merupakan
hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang
anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur
kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang
atau pangkal paha.
c. Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk
menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang
belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan
dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.
d. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka
dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan
gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya
18
pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara
melalui udara dan sebagian lagi melalui air.
e. Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari CT-
scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu
model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan.
- Pengertian Osteoartritis
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Ditandai
dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada
tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan, dan
melemahnya otot–otot yang menghubungkan sendi
- Epidemiologi Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling
umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari tiga orang
dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap OA. OA pada lutut
merupakan tipe OA yang paling umum dijumpai pada orang dewasa.
Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang
dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada pria
dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada
lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA pada lutut
kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden
OA pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7.
- Patogenesis Osteoartritis
Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer
dan OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak
memiliki penyebab yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder,
berbeda dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh
inflamasi, kelainan sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor
keturunan (herediter), danimmobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer
lebih sering dijumpai pada praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA
sekunder. Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses
19
penuaan dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA
merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan
kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas
diketahui.Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme
perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga
pada akhirnya menimbulkan cedera.
- Tanda dan Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang
dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan
Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah
dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan
dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi
gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong
dini (secara radiologis). Umumnya bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi
kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan)
maupun eksentris/salah satu arah gerakan saja (Soeroso, 2006).
b. Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan
dengan pertambahan rasa nyeri ( Soeroso, 2006 ).
c. Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak
melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu
yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari( Soeroso, 2006 ).
d. Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini
umum dijumpai pada pasien OA lutut.
e. Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar
f. Pembengkakan sendi yang asimetris
20
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi
yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit,
sehingga bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g. Tanda – tanda peradangan
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak,
rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA
karena adanya synovitis.
h. Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan
ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien
lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan terutama pada OA lutut.
- Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik
( Soeroso, 2006). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis
OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada
bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.
- Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya
OA yang diderita ( Soeroso, 2006 ). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal,
yaitu :
* Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
b. Terapi fisik atau rehabilitasi
c. Penurunan berat badan
* Terapi farmakologis
21
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang
timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi
manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).
a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2
(COX-2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat
AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi
daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama
dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi
dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara
mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson,
2006 ).
b. Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau
merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat,
kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya ( Felson,
2006 ).
* Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk
mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi
deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari – hari.
H) Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
1. C-Reactive Protein (CRP)
C-reaktive protein diproduksi oleh lever. Level CRP meningkat ketika terjadi
inflamasi pada tubuh. Tes CRP merupakan tes yang secara umum digunakan
untuk mengecek adanya tidaknya inflamasi dalam tubuh. Namun tes ini tidak
spesifik, artinya dapat mendeteksi adanya inflamasi dalam tubuh namun tidak
dapat menentukan lokasi terjadinya inflamasi.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan darah dari pembuluh vena,
biasanya dari dalam siku atau belakang tangan. Darah diambil dengan
menggunakan jarum. Penggunaan tes CRP biasanya digunakan untuk:
22
- Mengecek penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis, lupus, atau
vaskulitis.
- Mengukur keberhasilan suatu pengobatan anti-inflamasi.
Akan tetapi, level CRP yang rendah tidak selalu berarti tidak ada inflamasi
dalam tubuh. Level CRP juga mungkin tidak meningkat pada orang-orang
dengan rheumatoid arthritis dan lupus. Alasannya belum diketahui.
Saat ini telah berkembang tes CRP yang lebih sensitif, yang disebut high-
sensitivity C-reactiove protein (hs-CRP) assay, yang dapat menntukan risiko
seseorang untuk terkena penyakit jantung.
Nilai CRP dapat bervariasi dari laboratorium yang satu dengan yang lainnya.
Secara umum, dinyatakan dengan tidak dideteksinya CRP dii dalam darah.
Perlu diketahui bahwa hasil CRP positif juga dapat terjadi pada pertengahan
akhir kehamilan atau karena penggunaan pil KB (pil kontrasepsi).
2. Rheumatoid Factor
Rheumatoid factors sebenarnya tidak spesifik terhadap rheumatoid arthritis;
mereka mengenali imunoglobulin yang telah kontak dengan beragam antigen
bakteri maupun virus.
RF ditemukan dalam titer yang tinggi pada pasien dengan endokardis
bakterial, hepatitis C, dan periodontitis. Namun, pasien dengan RA juga
membentuk antibodi terhadap CP. Titer anti-CCP lebih sensitif dan
diagnostik daripada titer RF.
Bone Mineral Density (BMD), merupakan preditor yang penting untuk
faktur. BMD yang rendah pada spina atau leher femur pada wanita
postmenopausal ditunjukkan memiliki perspektif dengan peningkatan risiko
patah vertebral. Akan tetapi penelitian oleh Heidari et al. (2010)
menunjukkan bahwa banyak perempuan postmenopausel dengan patah
vertebrata tidak osteoporotik, sehingga pengukuran dengan BMD tidak dapat
secara akurat memprediksi perkembangan ke arah fraktur.
23
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Nyeri pinggang bisa terjadi baik dari tulang, sendi, otot, maupun saraf yang
menginervasi otot-otot pembungkus tulang-tulang di pinggang.
2. Diagnosis yang paling mendekati terhadap keluhan pasien pada skenario adalah
osteoarthritis dengan saran dokter untuk melakukan fisioterapi dan rehabilitasi
medis
3. Terapi pada osteoarthritis bisa melalui obat-obatan (farmakologi) dan atau tanpa
obat (non-farmakologi)
4. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk lebih memastikan diagnosis yang
sudah ada seperti CRP dan rheumatoid factor
B. SARAN
1. Perlu segera dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk memperbaiki kondisi
dan kualitas hidup pasien
2. Perlu memperhatikan factor-faktor lain seperti social dalam memberikan terapi
untuk pasien mengingat usia pasien yang sudah tua
C.
24
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Harrison, Tinsley R. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. Amerika
Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Heidari b, Hoshmand S, Hajian K, Heidari P. 2010. Comparing bone mineral density in
postmenopausal women with and without vertebral facture and its valui in
recognizing high-risk individuals. EHMJ. 18: 868.
http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview#showall
(Diunduh pada tanggal 28 September 2012 pukul 4.45 WIB)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22611/4/Chapter%2520II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23462/4/Chapter%2520II.pdf
http://www.emedicinehealth.com/spondylosis/article_em.htm
(Diunduh pada tanggal 28 September 2012 pukul 4.10 WIB)
http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Arthritis/arthritis_rheumatic_qa.asp
(Diunduh pada tanggal 28 September 2012 pukul 4.40 WIB)
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/rheumatoidarthritis.html
(Diunduh pada tanggal 28 September 2012 pukul 4.36 WIB)
Indratni, Sri. 2010. Skeleton Humanum. Surakarta: UNS Press.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Qomsan, Taufiq Insani. 2009. Penatalaksanaan terapi latihan pada post operasi fraktur
kompresi vertebra thorakal xii – lumbal 1 dengan frankle A. Surakarta: UMS
Ridker PM, Libby P. Risk Factors for Atherothrombotic Disease. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, eds. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular
Medicine. 8th ed. Philadelphia, Pa; Saunders Elsevier; 2007: chap 39.
Teddy Septianto et all, 2009. Pantom Panduan Anatomi 1.
Weissman G. 2006. The pathogenesis of rheumatoid arthritis. Bulletin of the NYU Hospital
for Joint Diseases. 64: 1 & 2.
25
26