kumpulan tulisan blog abufurqan.wordpress · mewujudkan kepemimpinan islam ini –yaitu khilafah...

76
KUMPULAN TULISAN BLOG abufurqan.wordpress.com Penulis: Abu Furqan al-Banjary Publikasi Ke-1 Ramadhan 1434 / Juli 2013 Ebook ini merupakan kumpulan sebagian tulisan yang dimuat di blog abufurqan.wordpress.com. Untuk melihat tulisan lainnya, silakan berkunjung ke blog tersebut.

Upload: phamnhi

Post on 05-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KUMPULAN TULISAN BLOG

abufurqan.wordpress.com

Penulis:

Abu Furqan al-Banjary

Publikasi Ke-1

Ramadhan 1434 / Juli 2013

Ebook ini merupakan kumpulan sebagian tulisan yang dimuat di blog

abufurqan.wordpress.com. Untuk melihat tulisan lainnya, silakan

berkunjung ke blog tersebut.

2 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................................................................... 2

Islam adalah Diin yang Sempurna ................................................................................................... 3

Perlukah Negara Islam? ..................................................................................................................... 6

Khilafah Menurut Haji Sulaiman Rasjid ......................................................................................... 9

Penyebab Utama Umat Islam Tak Bisa Bersatu .......................................................................... 12

Saya Orang Indonesia atau Orang Islam? ..................................................................................... 15

Haruskah Kita Bangga Menjadi Orang Indonesia? ..................................................................... 18

Soekarno-Hatta, Founding Fathers Sekularisme Indonesia ..................................................... 23

Tidak Ada Paksaan dalam Agama .................................................................................................. 27

Mengapa Radikalisme Tumbuh Subur di Indonesia? ................................................................ 30

Islam yang Rasional dan Toleran ................................................................................................... 33

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam ................................................ 39

Membendung Arabisasi Ala Abdul Moqsith Ghazali .................................................................. 45

Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur’an ........................................................................................ 48

Wacana Kebenaran Islam Pluralis ................................................................................................. 51

Mematikan ‘Truth Claim’, Menghidupkan Kebimbangan ......................................................... 54

Kesalahan Tafsir Pendukung Pluralisme Terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 62 .................. 57

Ramadhan dan Al-Qur’an ................................................................................................................ 60

Beberapa Sikap Ilmiah dalam Pengkajian Pemikiran Islam .................................................... 64

Umat Islam, Umat yang Memadukan Ilmu dan Amal ................................................................. 70

Totalitas Dalam Keberislaman ....................................................................................................... 72

Bersegera Melaksanakan Syariah.................................................................................................. 74

Profil Singkat Penulis ....................................................................................................................... 76

3 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Islam adalah Diin yang Sempurna

Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Maa-idah ayat 3 berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا

Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian diin kalian, dan telah Aku

sempurnakan atas kalian nikmatku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai diiin kalian.”

Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Imam Ibn Katsir mengomentari ayat ini sebagai

berikut:

دينهم، فال يحتاجون إلى دين غيره، هذه أكبر نعم اهللا، عز وجل، على هذه األمة حيث أكمل تعالى لهم

وال إلى نبي غير نبيهم، صلوات اهللا وسالمه عليه؛ ولهذا جعله اهللا خاتم األنبياء، وبعثه إلى اإلنس والجن،

فال حالل إال ما أحله، وال حرام إال ما حرمه، وال دين إال ما شرعه

Artinya: “Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang terbesar bagi umat ini, dimana

Dia yang Maha Tinggi telah menyempurnakan bagi umat ini diin mereka (Islam),

sehingga mereka tak memerlukan lagi diin selainnya, dan Nabi selain Nabi mereka

(Muhammad) shalawatullahi wa salamuhu ‘alaih. Dan Allah telah menjadikannya

(Muhammad) sebagai penutup para Nabi, dan mengutusnya kepada manusia dan jin.

Maka, tidak ada yang halal kecuali yang telah Allah halalkan, dan tidak ada yang

haram kecuali yang telah diharamkan-Nya. Dan tidak ada diin kecuali apa yang telah

disyari’atkan-Nya.”

وتمت كلمت ربك صدقا {: وكل شيء أخبر به فهو حق وصدق ال كذب فيه وال خلف، كما قال تعالى

صدقا في األخبار، وعدال في األوامر والنواهي، فلما أكمل الدين لهم تمت : أي] 115: األنعام[} وعدال

النعمة عليهم

Artinya: “Dan setiap yang dikabarkan-Nya adalah haq dan benar, tidak ada

kebohongan di dalamnya, dan tidak ada pelanggaran terhadap janji yang

disampaikan-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Dan telah sempurna kalimat

Tuhanmu yang benar dan adil.” [al-An’am: 115], yaitu benar dalam seluruh informasi

yang disampaikan, dan adil dalam seluruh perintah dan larangan yang diberikan. Dan

4 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

ketika Allah menyempurnakan diin mereka, maka sempurnalah nikmat yang

diberikan kepada mereka.”

: أي} أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم دينا اليوم{ولهذا قال تعالى

فارضوه أنتم ألنفسكم، فإنه الدين الذي رضيه اهللا وأحبه وبعث به أفضل رسله الكرام، وأنزل به أشرف

كتبه

Artinya: “Dan firman Allah ta’ala: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian

diin kalian, dan telah Aku sempurnakan atas kalian nikmatku, dan telah Aku ridhai

Islam sebagai diiin kalian.” Maksudnya adalah: maka ridhalah kalian pada diin

tersebut, karena diin tersebut adalah diin yang diridhai dan dicintai oleh Allah. Dan

bersama diin tersebut, Dia mengutus Rasul-Nya yang paling utama, dan menurunkan

kitab-Nya yang paling mulia.”

Ayat ini, mengikuti pemahaman Imam Ibn Katsir rahimahullah, merupakan dalil yang

sangat jelas yang menunjukkan kesempurnaan Islam sebagai diin, sebagai pandangan

hidup, sebagai way of life. Dan dengan sempurnanya Islam, tak layak kita berpaling

kepadadiin yang lain. Setelah adanya Islam, tak seharusnya kita mengambil

pandangan hidup yang lain.

Bandingkanlah dengan kondisi sekarang. Begitu banyak orang yang KTP-nya Islam,

sangat banyak yang mengaku muslim, tapi tanpa merasa bersalah mengambil selain

Islam sebagai pandangan hidup. Sudah sangat jelas, Islam melarang wanita membuka

auratnya di tempat umum, namun banyak wanita yang malah mengumbar auratnya

dengan alasan sedang tren. Islam memuji wanita yang menutup rapat auratnya

dengan pakaian syar’i, namun banyak orang yang malah mencela, curiga, dan bahkan

menuduh mereka sebagai teroris atau istri teroris.

Demikian juga, Islam telah memberi garis tegas antara keimanan dan kekufuran serta

keharaman mencampur adukkannya, namun banyak sekali orang yang begitu bangga

mengusung ide pluralisme, menyamaratakan semua agama. Ketika ada muslim yang

ingin konsisten dengan ketegasan al-Qur’an dan as-Sunnah, tuduhan intoleran,

sektarian, berpandangan sempit, sok benar, sok suci, dan lain-lain malah

dilemparkan kepada mereka.

5 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Islam pun dengan sangat tegas mengharamkan berhukum dengan hukum selain

hukum Allah, dan menyatakan bahwa pemimpin umat wajib mengurusi umatnya

dengan aturan Allah. Namun, ketika ada sekelompok umat Islam yang ingin

mewujudkan kepemimpinan Islam ini –yaitu Khilafah Islamiyah–, yang akan

menerapkan hukum dan aturan Allah dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, ternyata cibiran, ejekan dan hinaan yang harus mereka terima.

Inilah ironi zaman ini. Al-Qur’an lebih dari seribu tahun yang lalu telah menyatakan

kesempurnaan Islam sebagai diin, sebagai pandangan hidup, satu-satunya jalan

keselamatan. Al-Qur’an juga mencela orang-orang yang masih mengambil diin selain

Islam. Namun, saat ini, orang-orang yang mengaku muslim dan muslimah, ternyata

dengan bangganya menunjukkan dan mempropagandakan pemikiran dan perilaku

yang bertentangan dengan Islam.

Bagi muslim dan muslimah yang masih mengagungkan pemikiran dan perilaku yang

tidak Islami, mari sama-sama kita renungkan ayat berikut ini:

ومن يبتغ غير اإلسالم دينا فلن يقبل منه وهو في اآلخرة من الخاسرين

Artinya: “Siapa saja yang mencari diin selain Islam, diin tersebut tidak akan diterima

oleh Allah, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali ‘Imran ayat

85]

Tafsir Jalalayn dengan sangat cerdas menafsirkan makna الخاسرین ini dengan ‘tempat

kembalinya adalah neraka, dan ia kekal di dalamnya’.

Semoga kita terhindar dari panasnya bara api neraka. Wallahul musta’an.

*****

6 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Perlukah Negara Islam?

Diskusi dan wacana tentang negara Islam sudah lama mengemuka di negeri ini. Di

buku “Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” terbitan Gema Insani Press

yang dieditori oleh Herry Mohammad, disebutkan bahwa pada tahun 1940-an,

Mohammad Natsir pernah terlibat polemik dengan Soekarno tentang agama dan

negara.

Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat, dengan

mengutip –salah satunya– gagasan yang dilontarkan oleh Ali Abdur Raziq, pengajar di

Universitas Al-Azhar, Kairo, bahwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun Ijma’

Ulama, tidak ada keharusan bersatunya negara dengan agama.. Soekarno lalu

menengok ke negara Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang

memisahkan agama dan negara. Menurut Soekarno, karena proses sekularisasi

tersebut, Turki bisa maju.

Bagi Natsir, pemikiran Soekarno tersebut keliru. Menurutnya, agama, dalam hal ini

Islam, tak bisa dipisahkan dari negara. Urusan negara adalah bagian dari

menjalankan perintah Allah. Ia lalu mengutip al-Qur’an surah adz-Dzaariyat [51] ayat

56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”

Tentang menyatunya agama dengan negara, Natsir menulis, “Bagi kita kaum

muslimin, negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan

persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu

cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara,

bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada

dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari

Islam. Yang menjadi tujuan ialah, ‘Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi,

baik yang berkenaan dengan perikehidupan masyarakat sendiri (sebagai individu),

ataupun sebagai anggota dari masyarakat’.”

Bahkan, menurut Dr. Adian Husaini, sejarah nusantara adalah sejarah peradaban

Islam, sebelum warna Islam tersebut berusaha dikikis habis oleh penjajah Eropa.

Dalam makalah beliau yang berjudul “Meluruskan Sejarah Indonesia”, beliau

menulis, “Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius

merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam

7 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama

mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk

memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam

dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis

tentang masalah ini, ‘Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam

sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck

Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang

menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan

mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu

masih berlaku sampai dewasa ini.’

Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan

hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia,

sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi

doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum

kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di

Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata

dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi

baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat

kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S.

Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik

supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah

administrasi pemerintahan.”

Dari paparan Dr. Adian Husaini di atas dan kenyataan bahwa sejak pertama kali

menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini sampai sekarang, Islam –sebagai ideologi

dan sistem politik– tak pernah berhenti memberi warna bagi kehidupan masyarakat

Indonesia, tentu upaya mengembalikan Islam sebagai ideologi dan sistem politik bagi

negeri ini merupakan upaya yang punya dasar sangat kuat. Orang-orang yang

menganggap bahwa perjuangan penegakan negara Islam dan formalisasi Syariah

sebagai perjuangan usang, sepertinya sudah melupakan sejarah negerinya sendiri.

Islam sebagai ideologi nyatanya tak pernah benar-benar hilang dari benak

masyarakat, sejak ratusan tahun yang lalu hingga kini.

Dalam sejarah Indonesia, peran Islam sebagai kekuatan ideologi dan politik, hanya

pernah coba diberangus oleh kekuatan-kekuatan zalim yang memaksa. Sebelum

8 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

kemerdekaan, yang berperan memberangus adalah penjajah Eropa dengan senjata

dan propaganda kalangan orientalis. Ketika awal kemerdekaan Indonesia, yang

berupaya memberangus adalah Orde Lama, setelah itu dilanjutkan oleh tangan besi

Orde Baru. Islam sebagai ideologi tak pernah benar-benar ditinggalkan oleh

masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia selama ini dipaksa untuk melupakan

bahwa Islam, agama yang mereka anut, punya peran besar dalam perjalanan sejarah

negeri ini, bukan hanya sebagai nilai moral, tapi sebagai ideologi dan sistem politik.

Dari kenyataan yang saya paparkan di atas saja sudah menunjukkan bahwa

perjuangan penegakan negara Islam di negeri ini merupakan sesuatu yang sangat

relevan serta punya basis historis dan sosiologis yang sangat kuat. Seharusnya dan

senyatanya, jika tak dihalang-halangi oleh kelompok pembenci Islam dan orang-

orang yang tertipu oleh mereka, dukungan masyarakat Indonesia terhadap

penegakan negara Islam akan cepat diraih. Apalagi, secara ‘aqidah, umat Islam

memang dituntut untuk mendirikan institusi yang bertujuan menerapkan hukum-

hukum Allah secara menyeluruh.

Lalu, masih pantaskah kita berdebat tentang perlu tidaknya negara Islam?

*****

9 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Khilafah Menurut Haji Sulaiman Rasjid

Salah satu kitab fiqih lengkap paling populer yang ditulis dalam bahasa Indonesia

oleh penulis asli Indonesia adalah Kitab “Fiqh Islam” karya H. Sulaiman Rasjid. Kitab

fiqih ini –menurut penerbit, Sinar Baru Algesindo–menjadi salah satu rujukan di

sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia. Popularitas

buku ini bisa dilihat dari seringnya cetak ulang terhadap buku ini. Buku yang saya

miliki merupakan cetakan ke 40, tahun 2007. Cetakan pertama tak disebutkan,

namun ‘Kata Pengantar’ dari HAMKA sedikit memberi gambaran. ‘Kata Pengantar’

tersebut bertahun 1954.

Salah satu kekuatan buku ini adalah merujuk langsung kepada al-Qur’an dan as-

Sunnah, tak fanatik terhadap satu madzhab, namun sekaligus tidak menafikan

pendapat ulama-ulama madzhab tersebut. Ini merupakan kewajaran, karena sang

penulis memang berasal dari kalangan ‘kaum muda’.

Perlu diketahui juga, H. Sulaiman Rasjid yang lahir tahun 1986 ini memperoleh

pendidikan agama di Perguruan Tawalib, Padang Panjang, kemudian dilanjutkan di

sekolah guru Mualimin, Mesir, setelah itu dilanjutkan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar

jurusan Takhashshush Fiqh di Kairo, Mesir. Dalam karir intelektual, beliau tercatat

pernah menjadi Rektor mata kuliah Ilmu Fiqh di IAIN Jakarta pada tahun 1962 –

1964, dan menjelang masa pensiun, beliau diangkat menjadi Rektor IAIN Lampung.

H. Sulaiman Rasjid di kitab beliau Fiqh Islam mencantumkan satu kitab (ket: yang

dimaksud dengan ‘kitab’ adalah ‘bab’ menurut lazimnya penulisan sekarang)

bernama Kitab al-Khilafah. H. Sulaiman Rasjid mendefinisikan al-Khilafah dengan

“suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam,

sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau

hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin

Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan

khalifah.”

Beliau, sebagaimana banyak penulis kitab fiqih lainnya, menyatakan bahwa hukum

mendirikan khilafah adalah kewajiban atas semua kaum muslimin. Berikut

pernyataan beliau, “Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa

hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.”

10 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Beliau menyebutkan alasan kewajiban mendirikan khilafah adalah berdasarkan: (1)

Ijma’ Shahabat, sehingga mereka (para shahabat) mendahulukan musyawarah untuk

memilih khalifah daripada menyelesaikan pengurusan jenazah Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam; (2) Kaidah Maa laa yatimmu al-waajib Illaa bihi fahuwa waajib,

tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban –misalnya membela agama,

menjaga keamanan, dan sebagainya– selain dengan adanya khilafah; dan (3)

beberapa ayat al-Quran dan al-Hadits.

Tentang berbilangnya pemimpin bagi umat Islam, H. Sulaiman Rasjid menulis,

“Menurut asal hukum syara’ Islam, diwajibkan adanya pimpinan pemerintahan yang

satu di seluruh negeri Islam sebagaimana yang ada di masa khalifah-khalifah di

zaman keemasannya. Kata Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sultaniyah, ‘Apabila

terdapat dua imam di dua negeri Islam, pimpinan keduanya tidak sah, sebab pada

umat Islam tidak boleh ada dua khalifah’.”

Memang H. Sulaiman Rasjid termasuk ulama yang mentolerir berbilangnya pemimpin

bagi umat Islam, seperti pernyataan beliau, “Adapun sesudah agama Islam tersiar

meluas di seluruh dunia, timur dan barat, selatan dan utara, serta didorong pula oleh

beberapa kepentingan dan dipaksa oleh keadaan-keadaan serta kesulitan-kesulitan

politik, mau tak mau pimpinan Islamiyah (khalifah) pada abad kedelapan Masehi

(kedua Hijriah) terjadi dua daulah Islamiyyah: (1) Daulah Abbasiyah di timur

(Bagdad), (2) Daulah Umawiyyah di barat, di Andalus, yaitu Spanyol.”

Atau pernyataan beliau, “Al-Khilafah dapat ditegakkan dengan perjuangan umat

Islam yang teratur menurut keadaan dan tempat masing-masing umat, baik

berbentuk nasional untuk sebagian kaum muslim yang merupakan suatu bangsa

yang memperjuangkan suatu negara yang telah mereka tentukan batas-batasnya, –

sebagaimana telah terjadi mulai dari Khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasiyah, dan

lain-lain sesudah itu; khilafah-khilafah itu diakui dan ditaati oleh ulama muslim–

ataupun berbentuk umum (internasional) untuk seluruh umat Islam sedunia.”

Namun hal ini harus dilihat dari sisi:

(1) Beliau dengan sangat gamblang menyatakan bahwa hukum asal adalah hanya

boleh ada satu khalifah bagi seluruh umat Islam;

(2) Kebolehan berbilangnya pemimpin merupakan kajian fakta dan sejarah umat

Islam. Jika ada kajian fakta kontemporer yang lebih tajam dan mendalam yang

11 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

menyebutkan bahwa sangat mungkin umat Islam bersatu dalam satu negara, di

bawah pimpinan satu orang khalifah, maka tentu kita harus kembali ke hukum asal

tersebut.

(3) H. Sulaiman Rasjid tetap menegaskan bahwa fardhu kifayah atau umat Islam

sedunia berusaha mencari jalan untuk menyatukan pimpinan. Kewajiban ini tetap

hingga tercapainya tujuan yang diinginkan.

Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi dengan banyaknya negara-negara yang

dihuni oleh mayoritas umat Islam, tak mungkinkah mereka bersatu? Atau masalah

sebenarnya bukan mungkin atau tidak mungkin, melainkan mau atau tidak mau?

Masalah besar berikutnya adalah seluruh negara-negara tersebut tak menerapkan

Syariah Islam secara kaffah, paling banter mungkin Arab Saudi, namun Arab Saudi

pun tak menerapkan Syariah Islam dalam politik pemerintahan dan politik luar

negeri, apalagi Indonesia.

Penjelasan H. Sulaiman Rasjid tentang Khilafah di kitab beliau, paling tidak bisa

menyadarkan banyak tokoh umat Islam yang menjadi pionir penghalang perjuangan

penegakan kembali Khilafah. Sikap anti mereka terhadap gagasan Khilafah

merupakan suatu keanehan. Aneh, karena sejak dulu ulama telah bersepakat tentang

kewajiban adanya Khilafah. Bahkan kewajiban itu kembali ditegaskan oleh seorang

ulama asli Indonesia, H. Sulaiman Rasjid, di kitab beliau. Marilah kita berpikir.

*****

12 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Penyebab Utama Umat Islam Tak

Bisa Bersatu

Persatuan umat Islam sepertinya sekarang masih berupa mimpi. Walaupun begitu

banyak ulama dan anasir umat Islam yang menginginkan terwujudnya persatuan

umat Islam, tapi ternyata tak jarang juga apa yang mereka lakukan melanggengkan

perpecahan umat ini. Sepertinya kita masih harus sering mentadabburi firman Allah

dalam Surah Ali Imran ayat 103. Kita mungkin sudah sering membaca ayat tersebut,

tapi kita seakan-akan tak pernah mengerti semangat dari ayat ini.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah

kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).

Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah

bersatu. Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan.

Sikap ini kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap

ingin menang sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti

benar sedangkan pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi

kemudian adalah saling menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan

semua pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.

Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab

tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan

bahwa salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena

masuknya paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan

mainstream mazhab fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya

bagi persatuan dan kesatuan umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk

mempertahankan eksistensi mazhab yang sudah ada dan mencegah

menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang tidak terikat dengan mazhab

tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan panjang berpuluh-puluh

tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan masalah-masalah umat lain

yang lebih asasi malah terlupakan.

Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan

pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus

13 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

terjadi pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari

para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan

perbedaan pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan

pendapat di antara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai

menyebabkan perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara

furu’ dan khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan

permusuhan. Indah sekali prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku

adalah benar tapi masih terbuka kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain

adalah salah tapi punya kemungkinan benar. Mereka baru bersikap intoleran jika

perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah ushul seperti terhadap kelompok yang

punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar terhadap ayat-ayat Qath’i.

Penyebab kedua susahnya mewujudkan persatuan umat adalah tumbuh

kembangnya wabah nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk

mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai

sebuah “bangsa” (M. Shiddiq Al-Jawi. 2005. Membuang Nasionalisme Ke Tempat

Sampah). Kata “bangsa” sengaja diberi tanda kutip, karena memiliki makna yang tak

baku bahkan bersifat imajiner. Contohnya adalah, dulu warga Timor Leste dianggap

sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi setelah merdeka mereka tak lagi

menjadi bangsa Indonesia melainkan bangsa Timor. Andaikan Papua memisahkan

diri dari NKRI, maka di Papua tak akan ada lagi bangsa Indonesia, yang ada hanya

bangsa Papua.

Konsep nasionalisme juga bukanlah sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Istilah

dan konsep nasionalisme muncul beriringan dengan terjadinya Revolusi Prancis,

industrialisasi, liberalisasi dan sentimen bangsa yang berupaya menggantikan sistem

feodalisme (Kurniawan. 1996. Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di

Panggung Masa Kini). Paham nasionalisme juga tak pernah dikenal oleh umat Islam

selama 10 abad. Paham ini baru masuk ke dunia Islam ke�ka Barat melancarkan

penjajahan ke negeri-negeri Islam sejak abad ke-17 M. Bersamaan dengan

penjajahan fisik, Barat dipimpin oleh Inggris dan Prancis juga menyebarkan paham

nasionalisme kepada umat Islam, tujuannya jelas adalah untuk melemahkan

persatuan umat Islam dan Daulah Islam yang ujung-ujungnya memecah belah umat

dan melanggengkan penjajahan mereka di tanah umat Islam. Bukti keberhasilan

Barat memecah belah umat Islam adalah dengan berdirinya lebih dari 50 negara

bangsa (nation-state) dalam dunia Islam, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam

14 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

tubuh umat Islam selama lebih dari 13 abad. Dan yang paling menyedihkan adalah,

tak pernah ada upaya serius dari para pemimpin negara-negara bangsa tersebut

untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu bendera.

Penyebab ketiga penghambat persatuan umat Islam adalah sikap pesimisme, pasrah

dengan keadaan dan keputusasaan terhadap kondisi perpecahan umat seperti

sekarang. Sikap ini kemudian menjadikan banyak umat Islam yang tak lagi

bersemangat untuk mewujudkan persatuan umat, mereka menganggap upaya

tersebut hanyalah upaya yang sia-sia, tak akan berhasil bahkan utopis. Hal ini juga

menjadikan sebagian pejuang Islam mengambil sikap pragmatis, kompromi dengan

cara-cara di luar Islam yang dianggap akan lebih cepat membuahkan hasil. Realita

dan kondisi empiris dijadikan tameng dan pembenaran untuk mengambil langkah

pragmatis dan kompromistis tersebut, padahal hal tersebut menyimpang dari garis

yang ditetapkan dien Islam. Dan sikap ini sebenarnya akan semakin menjauhkan

umat Islam dari persatuannya yang hakiki.

*****

15 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Saya Orang Indonesia atau Orang Islam?

SAYA ADALAH ORANG INDONESIA YANG KEBETULAN BERAGAMA ISLAM. Coba baca

berulang-ulang kalimat yang saya tulis di depan artikel ini. Apa yang Anda rasakan?

Apa yang Anda pikirkan? Jika masih bingung, mohon dibaca lagi…

Jelas kalimat “saya adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”

merupakan kalimat yang rancu maknanya dan keliru. Kita sebagai orang Indonesia –

dengan pemahaman bahwa kita lahir dan besar di negeri bernama Indonesia–

merupakan sesuatu yang tidak bisa kita pilih. Ini sudah merupakan qadha Allah. Yang

bisa kita lakukan hanyalah ridha terhadap ketetapan Allah ta’ala tersebut. Kita tidak

bisa memilih lahir sebagai orang Arab atau sebagai orang Eropa –yang bagi sebagian

orang secara fisik lebih baik dari orang Indonesia atau Melayu secara umum–, jadi,

kita terima saja ketetapan Allah ini.

Sedangkan menjadi orang Islam -yang tentunya harus terikat dengan semua aturan

dalam ’ajaran hidup’ tersebut- merupakan pilihan. Ya, menjadi muslim merupakan

pilihan. Pikirkan sendiri, begitu banyak orang yang lahir dari seorang muslimah dan

punya ayah seorang muslim yang taat, namun kemudian pindah agama. Begitu

banyak pula, seorang yang lahir dan tumbuh besar sebagai non Muslim, namun

kemudian mendapat hidayah hingga akhirnya dia menjadi muslim.

Sekarang kembali ke kalimat yang kita permasalahkan tadi. Bagi yang masih bingung,

silakan baca lagi. Kalimat tersebut jelas keliru karena menempatkan keberadaan kita

sebagai orang Indonesia seakan-akan merupakan sesuatu yang dapat dipilih. Begitu

juga sebaliknya, seakan-akan status keislaman kita merupakan hal yang saklek, yang

harus kita terima tanpa perlu mempertanyakannya lagi. Ini adalah cara berpikir yang

terbalik.

Hasil dari keterbalikan cara berpikir ini adalah orang-orang yang begitu

membanggakan keindonesiaan dan menginferiorkan keislaman dia sendiri. Seakan-

akan status muslim yang dia miliki harus tunduk pada status dia sebagai orang

Indonesia. Akhirnya muncullah istilah-istilah aneh seperti “Islam Indonesia”, yang

mereka maknai sebagai pemahaman Islam yang tepat bagi orang Indonesia, dan tak

harus selalu persis dengan pemahaman Islam dari Arab (catatan tambahan saya:

frase Islam Arab ini juga sangat rancu, jika yang dimaksud adalah pemahaman Islam

16 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

murni seperti yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para

shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in yang notabene orang Arab, tentu WAJIB kita

ikuti. Namun, jika Islam Arab yang dimaksud adalah seperti Arab saat ini, tentu kita

juga tidak sepakat jika itu dijadikan rujukan).

Kalimat di atas, atau yang mirip dengan kalimat tersebut, sering diungkapkan oleh

orang-orang yang ingin menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia secara membabi-

buta, atau orang-orang yang ingin menegaskan bahwa nasionalisme ekuivalen

dengan Islam, tidak bertentangan. Menunjukkan kecintaan terhadap Indonesia

secara membabi-buta maksudnya adalah kecintaan tanpa proses dan cara berpikir

yang benar. Cinta Indonesia sebagai tanah air, kampung halaman kita, merupakan

hal yang fitrah. Rasulullah pun juga memiliki cinta yang fitri tersebut. Namun

kecintaan ini akan menjadi keliru, jika kemudian diembel-embeli dengan berbagai

logika paksaan untuk mendukung argumentasi mereka. Keberadaan hadits palsu

“hubbul wathan minal iman” merupakan salah satu hasil dari cara berpikir yang

keliru ini. Sayangnya, hadits palsu ini masih saja dipakai oleh orang-orang yang tak

mau berpikir untuk menguatkan pendapat mereka.

Kecintaan terhadap Indonesia juga tak seharusnya menggerus identitas keislaman

seseorang, yang sebenarnya jauh lebih penting untuk dimiliki. Fakta bahwa banyak

orang yang begitu tersinggung ketika keindonesiaan dihina, namun bersikap biasa

ketika Islam dihina, merupakan hasil dari kecintaan yang membabi buta ini. Apalagi

jika dua hal ini (keislaman dan keindonesiaan) bersinggungan, maka akan terlihat

siapa yang kecintaannya membabi buta dan siapa yang masih bisa berpikir dengan

waras. Contoh, seorang muslim yang membanggakan tampilnya Putri Indonesia dari

Aceh dalam ajang Miss Universe, berarti dia telah mengalahkan keislamannya.

Contoh-contoh lain akan sangat banyak jika disebutkan di sini.

Bagi pendukung nasionalisme, dengan alasan apapun, tentu kalimat yang sedang kita

bahas ini –atau yang mirip dengan itu– merupakan salah satu kalimat favorit mereka.

Memang kita sadari, walaupun sama-sama mendukung nasionalisme, kadang alasan

mereka sangat berbeda bahkan cenderung saling bertentangan. Namun tetap saja,

dengan alasan apapun, pemahaman mereka yang menyatakan nasionalisme

merupakan hal yang baik bahkan merupakan ajaran Islam, merupakan pemahaman

yang keliru dan harus diluruskan.

17 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Nasionalisme, sejatinya menempatkan kecintaan terhadap tanah air di atas

segalanya. Paham ini tumbuh berkembang di Eropa dan kemudian disebarkan oleh

mereka ke seluruh penjuru dunia dengan menumpang aksi imperialisme. Paham ini

bukan saja tidak berakar dari Islam, bahkan bertentangan. Fakta bahwa umat

manusia berbangsa-bangsa bukan merupakan pembenaran terhadap nasionalisme,

karena nasionalisme bukan sekedar fakta namun dia adalah ide atau isme yang

berasal dari akar ideologi tertentu. Islam telah menetapkan bahwa cinta Allah dan

cinta Rasul di atas segalanya, sedangkan nasionalisme meletakkan dua kecintaan

tersebut dibawah kecintaan terhadap negeri, bangsa dan negara. Para penolak ide

Khilafah –yang ingin menyatukan umat Islam seluruh dunia– sebagian besar berpijak

pada paham nasionalisme ini. Mata hati mereka telah buta, sehingga ayat al-Qur’an

al-Karim maupun sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam rendah saja bagi mereka,

bahkan tak jarang mereka pelintir untuk kepentingan mereka.

Akhirul kalam, tulisan ini bukan untuk memaksa Anda sependapat dengan saya,

namun hanya berusaha mengajak Anda sedikit berpikir di luar kotak, berpikir terbuka

dan melihat segala sesuatu secara lebih proporsional. Tuhan telah memberi kita akal,

tentu tak elok jika akal tersebut tak kita gunakan sebagaimana mestinya. Wallahu

a’lam bishshawwab.

*****

18 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Haruskah Kita Bangga Menjadi

Orang Indonesia?

Manusia secara keseluruhan merupakan keturunan dari bapak dan ibu yang sama,

Adam dan Hawa. Allah kemudian menjadikan bani Adam bersuku-suku dan

berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan suku,

bangsa ataupun ras masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam

surah al-Hujuraat ayat 13:

وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند اهللا أتقاكم إن اهللا يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى

عليم خبير

Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-

suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara

kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ibn Katsir rahimahullah, dalam kitab tafsir beliau, berkomentar tentang ayat ini,

“Allah ta’ala berfirman sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa Dia

menciptakan manusia dari satu orang, kemudian Dia ciptakan pasangannya, yaitu

Adam dan Hawa.”

Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah, salah seorang faqih abad ini, dalam kitab tafsir

beliau, memaparkan bahwa ayat ini merupakan ayat yang menjelaskan persamaan

kedudukan seluruh manusia, tak ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah

seorang di antara mereka dibandingkan yang lain, karena seluruh manusia berasal

dari bapak dan ibu yang sama. Beliau juga menjelaskan bahwa diciptakannya

manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bukan

untuk saling membanggakan nasab.

Ibn Katsir, Dr. Wahbah az-Zuhaili dan mufassir lainnya sepakat bahwa ukuran

keutamaan seseorang dibandingkan yang lain adalah dari sisi ketaqwaannya kepada

Allah ta’ala, bukan karena suku, bangsa, dan nenek moyangnya. Sepakatnya mereka

–rahimahumullah– sangat wajar, karena redaksi ayat ini sangat jelas.

19 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Ayat ini saja sudah cukup menjadi hujjah untuk menunjukkan kekeliruan sebagian

orang yang begitu membanggakan ke-Indonesia-annya. Indonesia –jika dimaknai

sebagai sebuah bangsa– tak lebih mulia dibandingkan bangsa Malaysia, China, Arab,

Turki, Iran, Eropa maupun bangsa-bangsa lain.

***

Jika Indonesia dimaknai sebagai sebuah negara, maka kita perlu lihat dulu, apakah

negara Indonesia merupakan negara yang diberkahi Allah ta’ala, negara yang

menerapkan syari’ah-Nya, atau malah sebaliknya. Faktanya, Indonesia sudah

memproklamirkan diri menjadi negara sekuler, negara yang mengerdilkan peran

agama, khususnya diinul Islam. Islam yang punya aturan bagi seluruh sisi kehidupan,

tak diberi ruang untuk diterapkan, kecuali hanya di sebagian kecil bagian kehidupan,

semacam ibadah ritual dan pernikahan. Sebagian besarnya dicampakkan. Bahkan

anak bangsa yang menyerukan penerapan syari’ah Islam, dicurigai dan dituduh

sebagai teroris atau minimal menginspirasi terorisme. Membanggakan negara

semacam ini tidaklah bisa diterima. Allah ta’ala berfirman dalam surah an-Nisaa ayat

60:

ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت

وقد أمروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضالال بعيدا

Artinya: “Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya

telah beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan

sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah

diperintahkan untuk mengingkari thaghut tersebut. Dan syaithan ingin menyesatkan

mereka sesesat-sesatnya.”

Ibn Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan bahwa sababun nuzul ayat ini

adalah tentang sengketa antara seorang munafik (zhahirnya muslim, namun

sebenarnya kafir) dan seorang Yahudi. Si munafik ingin menyerahkan urusan mereka

berdua kepada kepada kalangan Yahudi, karena mereka biasa menerima suap.

Sedangkan si Yahudi ingin menyerahkan urusan mereka kepada kaum muslimin,

karena mereka tak menerima suap. Akhirnya mereka berdua sepakat menyerahkan

urusan mereka kepada seorang dukun dari Juhainah.

20 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Ibn Katsir rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini secara umum menunjukkan

celaan kepada siapapun yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah, serta

menyerahkan penyelesaian perkaranya kepada selain keduanya yang jelas-jelas

bathil.

Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan

kewajiban setiap muslim untuk menerapkan hukum-hukum yang termaktub dalam

al-Qur’an dan as-Sunnah jika nash-nya jelas. Jika satu perkara tidak disebutkan dalam

wahyu, maka harus mengikuti pendapat mujtahid berdasarkan istinbath mereka

terhadap kaidah-kaidah Syari’ah yang umum. Beliau juga menegaskan, bahwa orang

yang secara sengaja berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, maka ia

adalah seorang munafik.

Indonesia –sebagai negara– telah berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya,

dan memilih hukum buatan manusia yang jauh dari petunjuk Allah ta’ala. Negara

semacam ini tak layak kita banggakan. Yang harusnya kita lakukan adalah mengubah

negara ini menjadi negara yang menerapkan syari’ah Islam secara kaffah, melindungi

aqidah umat, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

***

Nyatanya, ide nasionalisme-lah yang menyesatkan pemikiran anak negeri ini. Dengan

alasan nasionalisme, mereka saling ejek dengan saudara muslim mereka di Malaysia,

bahkan sampai ada ancaman ganyang-mengganyang. Gara-gara nasionalisme,

hampir seluruh mata anak negeri ini memelototi layar kaca untuk menonton

pertandingan sepakbola Sea Games antara Indonesia vs Malaysia, padahal secara

teknis pertandingan dua negara ini tidaklah terlalu menarik. Gara-gara nasionalisme,

muslim di negeri ini tak peduli dengan nasib saudara mereka di Palestina, Irak,

Afghanistan, dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya yang membutuhkan

pertolongan. Gara-gara nasionalisme, ikatan aqidah dianggap tak penting bila

dibandingkan ikatan darah. Bahkan, gara-gara nasionalisme, sampai-sampai ada

wacana mempatenkan fiqih Indonesia yang berbeda dengan fiqih Arab (?).

Namun anehnya, ketika Barack Obama datang ke Indonesia untuk memastikan

kepentingan negaranya di Indonesia dan Asia Pasifik tetap aman terkendali, untuk

memastikan kacung-nya di negeri ini tetap nurut, semangat nasionalisme anak

21 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

bangsa ini tak muncul. Mereka manut saja ketika Obama berupaya melanggengkan

penjajahan atas negeri ini, tak ada perlawanan.

Anak bangsa ini pun tak kelihatan nasionalismenya ketika emas, minyak dan gas

bumi, serta kekayaan alam negeri ini lainnya dikeruk habis-habisan oleh perusahaan

asing. Mereka santai-santai saja ketika Freeport setiap hari mengeruk emas di tanah

Papua, sedangkan ExxonMobil melahap minyak dan gas bumi di blok Cepu dan blok

Natuna. Mereka santai-santai saja melihat kekayaan alam negerinya diangkut ke luar

negeri, sedangkan mayoritas rakyat negeri ini hidup serba kekurangan. Inilah

absurdnya nasionalisme.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau ad-Daulah al-Islamiyah

telah menjelaskan bahwa ide nasionalisme ditanamkan secara paksa di benak kaum

muslimin oleh imperialis Barat. Ide nasionalisme sejatinya bukan berasal dari Islam,

dan bertentangan dengan Islam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah

hadits di kitab Shahih-nya:

من قتل تحت راية عمية، يدعو عصبية، أو ينصر عصبية، فقتلة جاهلية

Artinya: “Siapa saja yang terbunuh di bawah bendera fanatisme buta, menyeru

kepada‘ashabiyah, atau menolong karena ‘ashabiyah, maka matinya adalah seperti

mati jahiliyah.”

Tentang definisi ‘ashabiyah, kita bisa merujuk ke hadits Imam Abu Dawud

rahimahullah di bawah ini:

أن تعين قومك : يا رسول اهللا، ما العصبية؟ قال: قلت: عن بنت واثلة بن األسقع، أنها سمعت أباها، يقول

على الظلم

Artinya: “Dari bintu Waatsilah ibn al-Asqa’, sesungguhnya dia mendengar ayahnya

bercerita, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, apakah ‘ashabiyah

itu?’ Rasulullah menjawab, ‘engkau membantu kaummu atas kezhaliman mereka.’”

Walaupun hadits di atas dipertanyakan keshahihannya isnad-nya, namun isinya

bersesuaian dengan hadits-hadits shahih. Dari hadits di atas, kita temukan definisi

‘ashabiyah, yaitu membantu kaum atau kelompok dalam kezhaliman mereka.

Maksudnya, tak peduli kaum atau kelompoknya benar atau salah, akan selalu dibela.

22 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Inilah nasionalisme. Nasionalisme adalah salah satu bentuk ‘ashabiyah yang sangat

nyata.

Nasionalisme telah berhasil memecah belah Khilafah ‘Utsmaniyah. Barat berhasil

memancing sentimen Arab, Turki dan Persia, hingga akhirnya ikatan aqidah luntur

digantikan ikatan nasionalisme yang absurd. Setelahnya bisa ketahui sendiri, Khilafah

dihapuskan dari muka bumi oleh agen Inggris, Attaturk laa Mushthafa laa Kamal. Dan

saat ini, musuh-musuh Islam tahu bahwa salah satu hal yang mampu menahan laju

kebangkitan kembali umat Islam adalah ide nasionalisme. Maka, ide tersebut akan

terus diupayakan langgeng dan bertahan di negeri-negeri kaum muslimin. Sebagai

catatan, sebagaimana ide-ide lain yang dipaksakan oleh Barat, ide nasionalisme tak

akan pernah diizinkan mengganggu kepentingan Barat, makanya di Papua dan Blok

Cepu, nasionalisme tak berlaku.

***

Ide nasionalisme adalah ide yang absurd. Hanya orang-orang yang tak mau berpikir

saja yang masih tetap mempertahankannya. Karena ide nasionalisme adalah ide yang

absurd, ide turunannya seperti kebanggaan menjadi bagian dari bangsa Indonesia

juga absurd. Menjadi bangsa Indonesia adalah ketetapan Allah, sebagaimana Dia

menentukan saudara muslim kita yang lain lahir di tanah Arab, di Turki, atau di

Afrika. Tak ada kelebihan pada bangsa Indonesia dibandingkan bangsa lain yang bisa

dibanggakan. Begitu pula, tak ada kelebihan bangsa lain dibandingkan bangsa

Indonesia.

Daripada berbangga-bangga sebagai orang Indonesia, lebih baik kita turut serta

dalam perjuangan memperbaiki bangsa dan negeri ini. Menjadikan negeri ini negeri

yang berlimpah berkah dari Allah ta’ala, dengan menerapkan syari’ah-Nya secara

keseluruhan dan mencampakkan berbagai aturan yang bertentangan dengan

syari’ah-Nya. Inilah tugas kita.

*****

23 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Soekarno-Hatta, Founding Fathers

Sekularisme Indonesia

Berbagai permasalahan yang terjadi pada umat Islam Indonesia dewasa ini, seperti

berkembangnya paham sesat Ahmadiyah di tubuh umat Islam, maraknya orang yang

mengaku sebagai nabi baru dan pendiri agama baru sempalan Islam, berkembangnya

paham sesat pluralisme dan liberalisme yang kebanyakan diusung anak-anak muda

berlatar belakang pendidikan agama, susahnya menggolkan RUU APP yang notabene

untuk menjaga moral bangsa Indonesia, disintegrasi bangsa serta berbagai

keterpurukan umat Islam di segala bidang dapat kita katakan penyebab utamanya

adalah paham sekularisme yang menjadi asas berdirinya negara ini.

Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines

and practices that rejects any form of religious faith and worship” (Sebuah sistem

doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual

keagamaan) atau sebagai: “The belief that religion and ecclesiastical affairs should

not enter into the function of the state especially into public education” (Sebuah

kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi

negara, khususnya dalam pendidikan publik) (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, tt, Mengapa

Kita Menolak Sekularisme?). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham

yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil hayah (pemisahan agama dengan

kehidupan) yang berarti Islam tak boleh campur tangan sama sekali terhadap aturan-

aturan bermasyarakat dan bernegara. Konsekuensinya, Indonesia yang menganut

falsafah ini meniscayakan negara tersebut untuk meninggalkan sama sekali ajaran

Islam sebagai bagian integral pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konsep negara Indonesia yang sekuler sebenarnya bukanlah digali dari falsafah hidup

bangsa Indonesia. Gagasan ini bahkan tak pernah dikenal dalam perjalanan panjang

sejarah bangsa Indonesia. Sejak Indonesia meninggalkan fase prasejarah dengan

ditemukannya prasasti di Kalimantan pada abad ke-4 M, kerajaan-kerajaan di

Indonesia kemudian secara bergantian menggunakan ajaran Hindu dan Budha

sebagai falsafah kehidupan kerajaan nusantara. Bahkan sejak masuknya Islam di

Indonesia pada abad ke-7 M, ins�tusi kerajaan nusantara secara bertahap bergan�

baju menjadi kesultanan Islam yang menjadikan Syariah Islam sebagai asas bernegara

24 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

dan baru berakhir pada awal abad ke-20 M (Lihat Booklet HTI, 2007, Jejak Syariah

dan Khilafah di Indonesia). Konsep Indonesia sekuler baru melembaga dengan

berdirinya Budi Utomo pada 1908 dan semakin diperkuat dengan Sumpah Pemuda

oleh berbagai kelompok pemuda pada 1928 yang sama sekali tak memasukkan Islam

dalam isi sumpahnya.

Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme

merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan

sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler.

Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M,

bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang

sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap menjadi

falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang kelak akan

didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java

pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok pro Islam

dengan kelompok pro sekuler (Lihat Mohammad Roem, 1977,Bunga Rampai Sejarah

(II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs

Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).

Dan sebagaimana lazimnya sebuah ideologi, ia hanya akan menjadi tumpukan buku

dan literatur di rak-rak perpustakaan dan tak akan menghasilkan apa-apa jika tak ada

yang mengusungnya serta menjadikannya sebuah dasar bagi sebuah kelompok atau

negara. Dan ideologi sekularisme yang berkembang pada masa pergerakan

kebangsaan Indonesia menemukan bentuk utuhnya setelah diproklamirkan oleh

Soekarno-Ha�a pada tahun 1945. Tanpa menafikan kontribusi tokoh-tokoh lain

dalam mengusung gagasan Indonesia yang sekuler, tak bisa dipungkiri tokoh

dwitunggal Soekarno dan Hatta lah yang paling bertanggung jawab terhadap

menancapnya ideologi ini dalam negara Indonesia.

Soekarno, sang proklamator, dikenal sebagai pengagum berat bapak sekularisme

Turki, Mustafa Kemal Pasha. Kekagumannya terhadap sang tokoh terlihat dari

gagasan-gagasannya tentang konsep bernegara yang banyak mengambil dari Kemal

Pasha. Soekarno pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan

agama dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma

menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara

supaya agama dapat menjadi subur”. Dengan mengutip pernyataan ini, Soekarno

25 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

ingin membenarkan pendapatnya yang meninggalkan agama dalam kehidupan

bernegara Indonesia. Ia ingin menyesatkan pemahaman umat Islam Indonesia,

bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik, sesuatu

yang sebenarnya tak pernah dibuktikan oleh Kemal Pasha sendiri di Turki.

Soekarno benar-benar serius mewacanakan gagasan Indonesia yang sekuler lewat

diskusi-diskusi dan tulisan-tulisannya bertahun-tahun sebelum RI diproklamasikan.

Tercatat beberapa tulisan Soekarno yang ingin menyingkirkan Islam dalam ranah

kehidupan bernegara seperti: Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki

Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara,

Islam Sontoloyo, dan lain sebagainya (Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3,

2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 70). Walaupun

argumentasi-argumentasi Soekarno mampu dipatahkan oleh M. Natsir, tapi

sepertinya Soekarno tak bergeming dan tetap mewacanakan gagasan tersebut. Dan

gagasan sekularisme Indonesia ini benar-benar terwujud setelah Indonesia

diproklamasikan dan Soekarno dipilih menjadi presiden pertama RI. Sebelumnya

bahkan upaya ini telah menjadi bahan perdebatan yang hangat di sidang BPUPKI dan

PPKI (Suratno, 2006, Islam dan Pancasila, Menegaskan Kembali Peran Islam di

Negara Pancasila).

Setali tiga uang, pasangan dwitunggal Soekarno yaitu Mohammad Hatta ternyata

juga pengagum berat gagasan sekularisme. Hatta merupakan orang yang paling

bertanggung jawab terhadap hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah

proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi

“Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan alasan ada keberatan dari masyarakat

Indonesia Timur yang non Muslim terhadap kata-kata tersebut. Info itu disampaikan

oleh Hatta dalam sidang PPKI dengan menyatakan bahwa dia mendapatkannya dari

seorang Kaigun Jepang (Lihat Mohammad Ha�a, 1982, Sekitar Proklamasi hal. 60

dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir:

Dialog Kritis Agama dan Negara hal 69).

Setelah kita mengetahui hal ini, telah jelas bagi kita siapa yang menggagas negara

Indonesia yang sekuler. Dan juga sangat jelas bagi kita, sekularisme bukan berakar

dari budaya dan falsafah hidup bangsa Indonesia melainkan hanya imajinasi dari

26 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

segelintir tokoh pergerakan Indonesia yang terlalu silau dengan sekularisme Barat,

yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.

*****

27 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Tidak Ada Paksaan dalam Agama

Pada postingan kali ini saya akan mencoba menyampaikan tafsir surah al-Baqarah

ayat 256. Berikut ayatnya:

بالعروة ال إكره فى الدين ، قد تبين الرشد من الغي ، فمن يكفر بالطغوت ويؤمن باهللا فقد استمسك

الوثقى ال انفصام لها ، واهللا سميع عليم

Frase laa ikraaha fid diin kadang digunakan sebagai dalih (bukan dalil) oleh

pengusung pluralisme untuk membenarkan ide mereka. Kata mereka, Al-Qur’an

sendiri menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu, buktinya Al-Qur’an

melarang untuk melakukan paksaan (ikraah) dalam memeluk dan memilih agama.

Bahkan, lebih jauh, mereka juga menyatakan bahwa ayat ini juga merupakan salah

satu dasar dibolehkannya seorang muslim meninggalkan agamanya alias murtad atau

mengikuti ajaran yang menyimpang seperti Ahmadiyah.

Benarkah hal tersebut? Jawabannya, tidak. Sudah merupakan prinsip dasar bagi

kalangan pengusung ide liberalisme dan pluralisme untuk menyimpangkan dan

menyesatkan pemahaman umat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-

Hadits dengan tafsir seenak perut mereka sendiri. Tujuannya adalah untuk

menghancurkan umat Islam dari dalam.

Lalu apa pemahaman yang benar terhadap ayat ini? Berikut saya akan sedikit

jelaskan berdasarkan kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.

Kata ad-diin dalam ayat ini, menurut Imam al-Qurthubi, bermakna al-mu’taqad

(keyakinan/aqidah) dan al-millah (jalan hidup) (lihat al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an juz 4

hal 280). Ath-Thabari dalam kitab tafsir beliau, mengutip Abu Ja’far, menyatakan

makna ad-diin adalah Islam (lihat Tafsir at-Thabari juz 5 hal 415). Dari penjelasan

tersebut, frase laa ikraaha fid diin artinya tidak ada paksaan dalam memeluk aqidah

Islam. Mengapa? Jawabannya ada di kelanjutan ayat, qad(t) tabayyanar rusydu minal

ghayyi.

Ar-rusyd artinya al-haqq (kebenaran), sedangkan al-ghayy artinya ad-dhalal

(kesesatan). Jadi frase qad(t) tabayyanar rusydu minal ghayyi berarti sesungguhnya

telah jelas kebenaran dari kesesatan, telah jelas yang haq dari yang batil. Frase ini

28 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

dengan sangat jelas menyatakan diinul Islam sebagai kebenaran dan diin ghairil

Islam sebagai kesesatan, frase ini juga menyatakan bahwa yang benar itu telah jelas

dan yang sesat itu juga telah jelas (silakan lihat tafsir ath-Thabari dan kitab tafsir lain

tentang penjelasan hal ini). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama mujtahid abad ke-

20 sekaligus muassis Hizbut Tahrir, dalam kitab beliau Nizham al-Islam bab Thariqul

Iman telah menjelaskan dalil aqli dan naqli yang menunjukkan kebenaran diinul

Islam. Artinya, untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran Islam tidak perlu

paksaan, karena Allah telah menunjukkan jalan kebenaran tersebut dengan jelas dan

mampu kita indra dan pikirkan melalui akal kita, afala ta’qiluun?

Jadi frase ini dengan sangat jelas mencela orang-orang yang masih mengambil diin

selain Islam, karena dengan hal tersebut mereka telah menutup diri dari kebenaran

dan tak mau menggunakan akal mereka untuk mencari kebenaran.

Faman(y) yakfur bith-thaaghuuti wa yu’min(m) billahi faqadis tamsaka bil ‘urwatil

wutsqaa lan(m) fishaama lahaa, wallahu samii’un ‘aliim. Frase ini adalah untuk

orang-orang yang mengikutidiinul Islam, yaitu orang-orang yang mengingkari thaghut

(apapun yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala) dan beriman kepada Allah

ta’ala (hanya meyakini Allah sebagaiilah dan rabb). Mereka telah berpegang pada al-

‘urwah al-wutsqa (pegangan yang paling kuat) yaitu al-Iman, al-Islam dan kalimat

tauhid laailaahaillallah. Al-‘urwah al-wutsqa ini juga yang dinamakan dengan ash-

shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) (silakan lihat tafsir ath-Thabari, al-Qurthubi

dan Ibnu Katsir). Frase al-‘urwah al-wutsqa dilanjutkan dengan lan(m) fishaama

lahaa, yang tidak akan putus. Ini merupakan penguat yang menunjukkan bahwa

diinul Islam ini merupakan pegangan yang paling kuat dan tidak akan pernah putus,

artinya selama seseorang memegang Islam, dia pasti akan selamat.

Ayat ini ditutup dengan penyebutan sifat Allah subhanahu wa ta’ala yaitu samii’

(maha mendengar) dan ‘aliim (maha mengetahui). Imam al-Qurthubi menyatakan

bahwa disebutkannya sifat ini untuk menunjukkan bahwa Allah maha mendengar

ucapan seseorang yang menyatakan kufr terhadap thaghut dan beriman kepada

Allah serta mengetahui keyakinan seseorang yang ada di dalam hati tentang

kekafirannya terhadap thaghut dan keimanannya kepada Allah ta’ala.

Tentang ikraah (paksaan) dalam memeluk Islam, secara umum hal ini dilarang,

namun ada dua pengecualian menurut Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah dalam kitab tafsir

beliau Taysir fi Ushul at-Tafsir, yaitu:

29 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

1. Ketundukan ahludz dzimmah (non muslim yang tinggal di negara Islam) kepada

hukum-hukum Islam selain perkara keyakinan. Dikecualikan juga adalah peribadatan

mereka di tempat-tempat ibadah mereka, minuman dan makanan mereka. Selain

perkara-perkara tersebut (keyakinan, ibadah, minuman dan makanan), mereka

diwajibkan dan dipaksa untuk tunduk dan mengikuti hukum Islam dalam kehidupan

umum mereka. Dalil dalam hal ini adalah firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 29

sebagai berikut:

حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صغرون

Artinya: “Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam

keadaan tunduk (kepada hukum Islam)”. (TQS. At-Taubah [9]: 29)

2. Orang-orang musyrik Arab, mereka dipaksa untuk memeluk Islam, jika tidak

mereka akan dibunuh. Dalilnya adalah:

تقتلونهم أو يسلمونستدعون إلى قوم أولى بأس شديد

Artinya: “Kalian akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan

yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)”.

(TQS. Al-Fath [48]: 16)

Kaum yang dimaksud dari ayat diatas adalah kalangan musyrik Arab.

Demikianlah penjelasan yang benar terhadap surah al-Baqarah ayat 256. Sama sekali

keliru jika ada yang menggunakan ayat ini sebagai hujjah untuk membela ide

pluralisme dan liberalisme, bahkan jelas sekali ayat ini kontradiktif dengan

pemahaman orang-orang bodoh tersebut. Semoga kita mendapatkan taufiq dari

Allah subhanahu wa ta’ala agar tetap berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa sampai

akhir hayat kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

*****

30 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Mengapa Radikalisme Tumbuh Subur

di Indonesia?

Dalam sebuah tulisan di Catatan Akhir Pekan (CAP) Hidayatullah.com berjudul

“’Radikalisme’ dan ‘Terorisme’, Adian Husaini mencoba mempertanyakan definisi

“radikalisme” sebagai sebuah istilah. Menurut beliau, hal tersebut sangat penting,

karena jika suatu istilah tidak memiliki definisi yang jelas, tentu akan menjadi rancu

dan sangat memungkinkan multi tafsir dan disalah gunakan. Pertanyaan menarik,

apalagi ketika istilah radikalisme kembali menyeruak, terutama setelah adanya

Simposium Nasional bertajuk “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”,

yang menghadirkan banyak pemateri dari berbagai kalangan, Juli lalu.

Beberapa poin rekomendasi dari simposium nasional tersebut menyebutkan kata

“radikalisme” secara langsung. Misalnya poin: “Dukungan kepada Kementerian

Pendidikan Nasional agar menjauhkan lembaga pendidikan dasar, menengah dan

tinggi dari kemungkinan sebagai tempat persemaian radikalisme.” Kemudian poin:

“Pemerintah, media-massa maupun tokoh masyarakat seyogyanya menghindari

sikap dan tindakan yang bernada “memaklumi” atau “memaafkan” radikalisme

apalagi terorisme, karena melalui hal seperti itulah terorisme bertahan dan

berkembang. Khususnya MUI, perlu membuat dan mensosialisasikan fatwa-fatwa

yang tidak mendukung radikalisme dan terorisme “ Dan poin: “Mendorong studi-

studi radikalisme dan terorisme inter-disiplin yang akademis guna mendukung

pembuatan kebijakan dan langkah operasional BNPT dan instansi terkait lainnya.”

Bahkan dari keseluruhan 10 poin rekomendasi simposium nasional, is�lah radikal,

radikalisasi dan radikalisme menjadi primadona dan disandingkan dengan istilah

terorisme. Menarik jika kita coba hubungkan pertanyaan dari Adian Husaini dengan

hasil rekomendasi dari simposium nasional tersebut. Sebelumnya, menjadi catatan

penting juga, istilah radikalisme (dan terorisme) yang menjadi tajuk simposium

nasional yang diadakan oleh LSM Lazuardi Birru bekerjasama dengan beberapa

instansi tersebut sangat jelas menunjuk pada Islam. Ini misalnya terlihat pada poin

yang menghubung-hubungkan radikalisme dan terorisme dengan MUI yang

notabene merupakan lembaga keislaman.

31 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Mengutip Adian Husaini, beliau menyatakan bahwa John L. Esposito (yang juga beliau

kutip dari buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” hasil penelitian PPIM UIN

Jakarta) memaparkan ciri-ciri ideologi dari Islam radikal adalah: (1) mereka

berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan

bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat ;

(2) mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular

dan cenderung materislis�s harus ditolak ; (3) mereka cenderung mengajak

pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan

sosial ; (4) karena ideologi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis

peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak ; (5)

mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar

ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu

yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final ; (6) mereka berkeyakinan,

bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa

menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang

kuat.

Jika kita baca secara seksama hasil kajian John L. Esposito tersebut, maka akan sangat

jelaslah yang mereka maksud dengan radikal adalah setiap orang atau kelompok

yang menginginkan diterapkannya kembali Islam sebagai ideologi. Ini juga berarti

bahwa setiap orang yang ingin mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah secara

keseluruhan berarti radikal, karena ajaran Islam dalam al-Qur’an dan as-Sunnah

sangat jelas menunjukkan bahwa Islam memang merupakan sebuah ideologi (dalam

bahasa Arab: mabda). Jadi siapa yang mereka tunjuk sebagai radikal dan pengusung

radikalisme sudah sangat jelas.

Dalam simposium nasional yang saya sebutkan di atas, hasil rekomendasi mencoba

menghubungkan radikalisme (dengan makna yang senada dengan uraian John L.

Esposito) dengan terorisme. Pada kelompok-kelompok yang dituduh (padahal

buktinya tidak kuat) melakukan aksi kekerasan atas nama Islam, baik pengeboman

maupun bentuk kekerasan dan teror lainnya, hubungan radikalisme dan terorisme

sangat jelas kelihatan. Bahkan, bagi kelompok yang menyatakan bergerak “tanpa

kekerasan” pun, tak luput mendapat cap yang sama. Mereka yang tak memiliki

image kekerasan, jika masih memegang ideologi Islam radikal (menurut John L.

Esposito), akan dianggap menginspirasi kekerasan. Misal: seruan jihad melawan

Israel, dianggap memprovokasi umat Islam melakukan aksi teror.

32 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Hasil rekomendasi dari simposium nasional sudah bergulir dan tentu kita akan

merasakan dampaknya. Namun, sebagai “wacana berbeda”, tulisan ini tentu tidak

bisa dengan mudah dituduh “menginspirasi terorisme”. Tulisan ini lebih kepada

sumbang saran bagi semua elemen umat Islam maupun bangsa Indonesia

(pemerintah, militer, parpol, LSM, dan masyarakat secara umum) untuk menilai dan

melihat sesuatu secara lebih proporsional. Misal saja, dibanding melakukan upaya

deradikalisasi Islam (dengan pengertian deideologisasi Islam atau lebih jelas

deislamisasi) yang pada faktanya tidak mungkin bisa dilakukan (karena Islam ideologi

merupakan tuntutan keimanan seseorang sebagai muslim), lebih baik mencoba urun

rembuk dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah-masalah riil di lapangan,

seperti korupsi, kerusakan moral, pencurian SDA oleh segelintir orang, dan hal-hal riil

lainnya. Semoga menjadi bahan diskusi.

*****

33 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Islam yang Rasional dan Toleran

“Senang saya membaca situs JIL. Isinya jauh dari emosi dan caci maki, dan selalu

mengajak kita untuk berpikir tenang dan rasional. Di seberang sana, yang

sebenarnya tidak jauh-jauh amat, ada situs yang isinya penuh dengan emosi dan

kelihatannya tiada tulisan tanpa caci maki, situs yang isinya mengajak kita untuk

membenci sesama umat Islam. JIL sebaiknya mempertahankan sikapnya, yaitu

istiqomah mengembangkan budaya Islam yang rasional dan toleran.“

Kutipan di atas merupakan komentar salah seorang pembaca tulisan Ulil Abshar-

Abdalla yang berjudul “Demokrasi dan Problem Konsensus” di situs islamlib.com

(diakses pada tanggal 28 Maret 2012). Islam yang rasional dan toleran, itulah yang

diusung oleh Jil, paling tidak menurut salah satu komentator situs JIL tersebut. Islam

dengan tipe ini kemudian coba dihadap-hadapkan dengan Islam yang penuh emosi

dan caci maki. Begitulah.

Pertanyaan besarnya, benarkah kelompok JIL dan kroni-kroninya memang benar-

benar rasional dan toleran? Mari kita lihat.

1. Kasus FPI

“Adalah kabar baik ke�ka Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak

menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut,

Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini

dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam

aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga

bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam

berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari

tekanan.“

“Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan

itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepaka� kelahiran “Gerakan Indonesia

Tanpa FPI.” Gerakan ini memiliki satu visi: penolakan terhadap kekerasan atas nama

apapun. Tugas pertama yang ingin diembannya adalah menolak secara tegas

keberadaan FPI di Indonesia. Pernyataan sikap berupa petisi dan press release

mengenai penolakan ini menjadi prakondisi yang akan ditempuh gerakan ini. Petisi

34 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

akan diajukan di antaranya kepada Kemendagri, Kemenkumham, Polri dan kelompok

FPI itu sendiri. Di samping itu, gerakan ini pun akan memanfaatkan momentum

Valentine’s day (yang diharamkan FPI) sebagai hari di mana aksi penolakan terhadap

FPI akan dilakukan secara massif di Jakarta.“

(Dua paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Indonesia Tanpa FPI“,

tulisan Evi Rahmawati di situs islamlib.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2012)

Lihatlah. Ini salah satu bukti atas ketidak konsistenan mereka mengusung gagasan

toleransi. JIL dan yang semisalnya hanya akan toleran terhadap kelompok, orang

atau gagasan yang satu akar dengan mereka. Sedangkan kelompok, orang atau

gagasan yang berbeda apalagi bertentangan, secara sistematis akan mereka

upayakan tereliminasi dari negeri ini. Inilah watak mereka sesungguhnya.

Padahal, seandainya JIL dan kawan-kawannya konsisten, yang seharusnya disalahkan

dan dikritik adalah kelompok penghadang FPI, karena mereka telah melakukan

tindakan anarkis dan sangat intoleran terhadap kelompok yang berbeda. (berita

tentang kasus ini, bisa dibaca di: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/sikap-

resmi-fpi-atas-penolakan-suku-dayak-terhadap-kehadiran-fpi.htm,

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/siapa-yang-bermain-dalam-penolakan-

fpi-di-dayak.htm, h�p://hidayatullah.com/read/21133/13/02/2012/tokoh-adat%3A-

justru-warga-dayak-meminta-pendirian-fpi.html, dan

h�p://hidayatullah.com/read/21111/12/02/2012/habib-rizieq%3A-provokator-ingin-

rusak-hubungan-baik-fpi-dengan-dayak.html, semuanya diakses pada tanggal 28

Maret 2012).

2. Konsep Islam Nusantara dan Islam Substantif

“Ini adalah dampak dari Islam sebagai agama universal. Dalam quran disebut, “dan

kami utus kamu ya Muhammad sebagai penebar kasih sayang.” Artinya Islam itu

bukan hanya tumbuh di Timur Tengah tapi juga di seluruh dunia. di India

berkembang sebagai Qadian, di Persia ada Syiah, di Asia, Eropa dan Amerika.

Ketika Islam menjadi agama universal, maka ekspresi-ekspresi dalam bentuk mazhab

dan sekte adalah sesuatu bentuk keniscayaan, kita tidak mungkin membuat

parameter tunggal terhadap Islam lalu mengatakan, ini yang paling absah dalam

Islam. Ini yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa pemahaman masyarakat

terhadap Islam hanya bersifat tekstual dan tidak bersifat kontekstual sosiologis

35 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

melihat bagaimana pengaruh-pengaruh sosial yang terjadi, ini akibat kita

menjadikan Arab sebagai kiblat dalam beragama, mestinya kita mendudukan Arab

sebagai salah satu parameter saja dan mencoba untuk memahami parameter-

parameter lain, kasus Ahmadiyah ini kalau kita tak hati-hati, maka keberagaman

islam di Indonesia akan punah, tidak bisa berkembang seperti hari ini, di mana islam

beradaptasi atau berakulturasi dengan kebudayaan.

Karenanya kita harus merumuskan dengan apa yang disebut Islam Nusantara, yakni

islam yang berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Gus Dur dulu merumuskan, Islam

yang lebih mendekati kepada substansi ajaran Islam bukan pada aksesorisnya atau

simbol-simbolnya, atau hukum-hukumnya. Substansi Islam itu kalau kita tarik

keadilan, kedamaian, kesetaraan, kebijaksanaan, kalau kita tarik akan memperkuat

solidaritas di kalangan umat Islam sendiri dan umat agama lain, dan itu sesuai

dengan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad.“

(Tiga paragraf di atas merupakan kutipan wawancara Kompas dengan Zuhairi

Misrawi yang berjudul “Gus Mis: Ghulam Ahmad Nabi Bayangan“, diakses pada

tanggal 28 Maret 2012)

Jika yang dimaksud dengan rasional adalah sesuai dengan akal pikiran yang sehat,

maka gagasan yang dikemukakan oleh Zuhairi Misrawi di atas tidak rasional.

Alasannya sederhana saja:

a) Bagi muslim yang aqidahnya lurus, meyakini kebenaran dan kesempurnaan ajaran

islam adalah sebuah keniscayaan.

b) Mempertentangkan Islam Arab dengan Islam Nusantara sangat tidak relevan,

karena dua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Islam mainstream (yang

disebut oleh Zuhairi Misrawi sebagai Islam Arab. Istilah Islam mainstream pun

sebenarnya kurang tepat, saya cuma menggunakannya untuk memperjelas saja)

tidaklah lahir dari budaya Arab. Ia lahir dari wahyu.

Bagi yang pernah mengkaji sejarah Islam, tentu tahu bahwa banyak ajaran Arab yang

ditentang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak sesuai dengan

tuntunan wahyu dari Allah ta’ala. Karena gagasan Islam Arab tidak relevan, maka

gagasan Islam Nusantara tentu lebih tidak relevan.

36 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

c) Mempertentangkan Islam substantif dengan Islam formalistik juga tidak relevan.

Islam adalah aqidah dan syariah. Islam mencakup ibadah, muamalah, siyasah, hudud,

akhlak dan ajaran-ajaran lainnya yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang

kemudian terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama yang

keilmuannya diakui selama rentang waktu yang panjang.

Jika ada yang menyatakan bahwa substansi Islam adalah keadilan, kedamaian dan

persatuan, maka tiga hal tersebut hanya akan bisa terwujud jika hukum-hukum

formal Islam seperti politik Islam, ekonomi Islam, hudud, pemerintahan Islam, dan

seterusnya diterapkan. Keadilan misalnya –jika dipahami sebagai substansi Islam–,

tanpa penerapan hukum Islam secara formal, hanya akan menjadi pepesan kosong

belaka, tak akan pernah terwujud.

d) Keniscayaan beragamnya pemikiran dan pendapat di tubuh umat Islam memang

benar. Lahirnya berbagai madzhab dalam bidang fiqih dan aqidah misalnya

menunjukkan hal tersebut. Namun, yang kadang ditutupi oleh kalangan liberal

adalah, ulama (sebagai waratsah al-anbiyaa dalam ilmu) tetap punya standar dalam

menilai perbedaan tersebut. Pada kelompok atau pemikiran yang jelas-jelas

menyimpang dari pokok aqidah dan syariah Islam, ulama dengan tegas memvonis

kekafiran dan kesesatan mereka. Saat ini, hal ini misalnya berlaku pada Ahmadiyah

yang memiliki Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Aalamiin

Konsep lain yang juga menunjukkan tidak rasionalnya pemikiran JIL dan kawan-

kawannya adalah tentang rahmatan lil ‘aalamiin. Untuk sedikit memahami

kekeliruan fatal konsep rahmatan lil ‘aalamiin-nya kalangan liberal, silakan baca

tulisan saya yang berjudul “Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan

Islam“.

4. Gugatan Terhadap Klaim Kebenaran

“Tentu, pelabelan sesat dan kafir terhadap pihak yang disandarnya menimbulkan

dampak yang begitu besar. Kalau saya boleh katakan, pelabelan tersebut secara

tidak langsung kita boleh membunuh orang yang sudah dklaim sesat dan kafir

tersebut, atas berbedanya pandangan, pemikiran dan keyakinan. Begitu pula

sebaliknya manusia yang di tuduh sesat dan kafir itu melakukan sebuah pembelaan

atas haknya, bahkan saling tuduh kembali, melemparkan kesesatan itu pada yang

37 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

menuduhnya. Masalah yang muncul selanjutnya adalah perang klaim kebenaran dan

perang penyelamatan (truth claim-salvation). Kaum beragama mengaku bahwa

agama sendirinyalah yang paling benar dan agama yang lain itu salah. Hal ini

menurut D’adamo merupakan krisis epistemologis dalam agama berakar pada RWK

(religion way of knowing). Mengklaim bahwa teks agama itu pertama: bersifat

konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran- tanpa kesalahan sama sekali. Kedua

bersifat lengkap dan final- jadi tidak ada kebenaran (tidak ada kebenaran di agama

lain), ketiga: teks-teks keagamaan itu dianggap satu-satunya jalan untuk

keselamatan, pencerahan, pembebasan. Dan keempat dalam bahasa aslinya

D’adamo have an inspired or divine author (god who is their true author).“

(Paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Keyakinan sebagai

Wilayah Otonom Manusia“, tulisan Muhamad Isomuddin di situs islamlib.com,

diakses pada tanggal 28 Maret 2012)

Membaca kutipan paragraf di atas, saya bisa menyimpulkan satu hal, kelompok yang

menggugat truth claim bukan saja tidak rasional, namun sangat bodoh. Sederhana

saja kita melihatnya, jika kita sebagai muslim tak meyakini bahwa hanya agama Islam

saja yang akan menunjukkan jalan keselamatan dunia akhirat bagi kita, lalu untuk

apa kita menjadi muslim? Toh, agama lain pun –yang mungkin ‘beban’ perintah dan

larangannya tak seberat Islam– juga bisa menyelamatkan kita. Lihatlah kedunguan

logika ini.

Untuk tema truth claim ini, silakan baca juga tulisan saya yang berjudul “Mematikan

‘Truth Claim’, Menghidupkan Kebimbangan“.

*****

Seandainya ingin diungkap lebih lanjut, maka banyak sekali bukti yang menunjukkan

bahwa konsep ‘Islam yang rasional dan toleran’ yang dijajakan oleh JIL dan yang

serupa dengannya ternyata gagal mereka praktikkan sendiri. Gagasan mereka adalah

gagasan yang absurd.

Alhamdulillah, saat ini sudah banyak kalangan, baik muda maupun tua, yang sudah

mengetahui dan menyadari kebobrokan pemikiran liberal yang diusung oleh JIL dan

semisalnya. Namun, sayangnya kesadaran tersebut masih belum sampai ke akar

persoalan. Bagaimanapun, pemikiran nyeleneh ala Cak Nur, Gus Dur, dan Ulil hanya

bisa tumbuh dan berkembang di negara yang tidak berfungsi menjaga aqidah umat.

38 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Dalam negara yang sekularisme menjadi asas berdirinya, pemikiran sesesat apapun

akan diizinkan menetap di dalamnya. Di tengah-tengah masyarakat yang pemikiran

dan perasaannya teracuni oleh gagasan-gagasan sekuler dan anti syariah,

keberadaan JIL dan yang semisalnya akan selalu dan terus ada, paling banter mereka

hanya akan ganti baju.

Inilah akar masalahnya. Akar masalah dari berkembangnya pemikiran liberal yang

diusung JIL dan konco-konconya adalah tidak diterapkannya Islam secara kaffah. Dan

penerapan Islam secara kaffah hanya bisa terwujud jika ada institusi (negara, state,

daulah) yang berasaskan aqidah Islam yang menjaga keberlangsungan

penerapannya.

*****

39 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara

Pluralisme dan Islam

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, begitulah ungkapan yang sering kita

dengar. Saking populernya ungkapan ini, begitu banyak orang yang

menggunakannya, dengan kepentingan masing-masing, kadang tanpa mengetahui

makna sebenarnya dari ungkapan tersebut.

Dalam sebuah berita di situs Republika.co.id, ketua umum Garda Bangsa, M. Hanif

Dakhiri misalnya menyatakan, “Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil

‘alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam.

Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil ‘alamin saya kira bukan

Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan

masyarakat Indonesia yang majemuk.”(sumber:

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/19/lq5w9t-

ciriciri-islam-indonesia-islam-yang-rahmatan-lil-alamin, diakses pada tanggal 2

Februari 2012).

Di situs islamlib.com, Muzayyin Ahyar, mengutip Ulil Abshar Abdalla, menyatakan,

“Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan

dengan Islam. Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin

mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang

diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-

Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah

praktek yang telah di buat oleh-Nya.” (sumber:

http://islamlib.com/id/artikel/menyortir-aspek-lokalitas-mengambil-aspek-

universalitas-islam, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).

Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute, menyatakan, “Islam-murni (puritan) bagi

mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di

Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi

secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di

manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti “Islam masa Rasulullah” dengan

keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya. Jika model Islam ini yang diikuti, maka

yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka

40 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata “Arab” adalah

konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu

bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin,

menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan

Tuhan di alam semesta.” (sumber:

h�p://wahidins�tute.org/Opini/Detail/?id=279/hl=id/Inspirasi_Dari_Pemikiran_Gus_

Dur, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).

Lihatlah tiga contoh pernyataan di atas, semuanya memaknai Islam rahmatan lil

‘aalamiin sebagai Islam yang anti kekerasan, Islam yang toleran terhadap semua

perbedaan, serta Islam yang tidak mengikuti Islam ala Arab. Jika kita telisik lebih

dalam, yang dimaksud anti kekerasan oleh mereka bukanlah sekedar kekerasan fisik,

namun juga kekerasan pemikiran.

Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang harus selalu

menerima perbedaan yang ada di tengah-tengah umat Islam, baik perbedaan itu

dalam perkara-perkara furu’i maupun ushuli. Jadi, Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin

adalah Islam yang menerima Ahmadiyah –yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai bagian dari Islam.

Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang mengakomodasi

berbagai kemaksiatan, karena menurut mereka, tidak ada pemahaman baku

terhadap kemaksiatan itu sendiri. Sebagai contoh, orang yang murtad, dalam

literatur fiqih Islam, adalah pelaku kemaksiatan yang sangat besar dan layak dihukum

berat, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, orang murtad harus

dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh diganggu sama sekali. Mengikuti perayaan

agama non-Islam, dalam khazanah fiqih Islam, adalah terlarang, namun bagi

pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, mengikuti misa natal di gereja sama

pentingnya dengan shalat di masjid.

Bagi kelompok ini, Islam ala Arab adalah musuh utama. Jilbab (baju kurung panjang),

bagi mereka, adalah pakaian wanita khas Arab dan tidak cocok dipakai di Indonesia.

Hukum potong tangan bagi pencuri dan qishash bagi pelaku pembunuhan, menurut

mereka adalah hukuman khas Arab yang kejam dan kurang beradab, sehingga

penerapan hukuman semacam itu harus dihindari. Konsep Khilafah Islamiyah, bagi

mereka adalah konsep khas Arab, dan tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang

majemuk.

41 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Kesimpulannya adalah, Islam rahmatan lil ‘aalamiin versi Ulil dan kawan-kawan

sebenarnya bukanlah Islam rahmatan lil ‘aalamiin, melainkan ‘Islam semau gue’.

Demi mengusung ide pluralisme agama, mereka berani mengubah makna-makna

dalam al-Qur’an, bahkan memelintir tafsirnya agar sesuai dengan pemahaman

mereka. Ulil dan kawan-kawan sejatinya tidak mengusung Islam rahmatan lil

‘aalamin, melainkan sedang menjajakan pluralisme dan kekufuran berpikir dengan

bungkus agama.

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamin yang Sebenarnya

Dalam tradisi Islam, tak semua orang boleh berbicara dan menjadi rujukan dalam

agama. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia

layak berbicara. Dan tradisi ini adalah tradisi yang baik, yang harus terus dilestarikan.

Dari tradisi semacam inilah, kemurnian ajaran Islam terus bertahan selama belasan

abad.

Di bidang yang berbeda pun hal ini sebenarnya ada dan terus berlaku. Sebagai

contoh, seseorang tak berhak berbicara tentang dunia pengobatan dan kedokteran

sebelum mendalami ilmu kedokteran yang standar selama bertahun-tahun.

Seseorang tak layak dan tak berhak menjadi pilot pesawat terbang, sebelum sekolah

di bidang tersebut dalam rentang waktu tertentu dan akhirnya dianggap layak

menjadi pilot. Jika ada orang yang tak punya kapabilitas sebagai pilot mencoba

mengemudikan pesawat terbang, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan

terjadi.

Demikian pula untuk memahami makna-makna al-Qur’an, bagi yang tak punya

kapasitas keilmuan yang mencukupi, lebih baik mengikuti pendapat ‘ulama yang

diakui keilmuannya. Imam Ibn Katsir rahimahullah adalah salah satu ‘ulama tafsir

paling berpengaruh, dan kitab tafsir yang ditulis oleh beliau diakui selama beratus

tahun sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan layak menjadi rujukan umat Islam.

Bagaimana Imam Ibn Katsir memahami makna rahmatan lil ‘aalamiin? Sebagaimana

kita ketahui, ungkapan Islam rahmatan lil ‘aalamiin merujuk pada al-Qur’an surah al-

Anbiyaa’ ayat 107, yang berbunyi:

وما أرسلناك إال رحمة للعالمين

42 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai

rahmat bagi seluruh alam.”

Mengomentari ayat ini, Imam Ibn Katsir berkata:

أرسله رحمة لهم كلهم، فمن : رحمة للعالمين، أييخبر تعالى أن اهللا جعل محمدا صلى اهللا عليه وسلم

قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا واآلخرة، ومن ردها وجحدها خسر في الدنيا واآلخرة

Artinya: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad shallallahu

‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah, Allah

mengutusnya sebagai rahmat bagi mereka seluruhnya. Barangsiapa menerima

rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat,

dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merugi di dunia

dan akhirat.”

Setelah berkomentar seperti di atas, Imam Ibn Katsir kemudian mengutip ayat al-

Qur’an yang berhubungan dengan tema ini, yaitu surah Ibrahim ayat 28 dan 29,

sebagai berikut:

دار البوار ؛ جهنم يصلونها وبئس القرارألم تر إلى الذين بدلوا نعمة اهللا كفرا وأحلوا قومهم

Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah

dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka

Jahannam, mereka masuk ke dalamnya, dan Itulah seburuk-buruk tempat

kediaman.”

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, bisa kita pahami bahwa diutusnya Rasul

shallallahu ‘alaihi wa sallam –membawa diin Islam– merupakan rahmat atau kasih

sayang bagi seluruh alam. Namun, manusia menyikapi hadirnya rahmat ini dengan

dua sikap. Pertama, yang menerima rahmat ini dan mensyukuri kehadirannya.

Orang-orang yang menerima rahmat ini adalah orang-orang yang menjadikan Islam –

yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai diin mereka, mereka

akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kedua, yang menolak dan yang mengingkari, yaitu orang-orang yang menolak seruan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya berpegang pada diin Islam,

mereka akan merugi di dunia dan di akhirat.

43 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, kita tidak menemukan makna rahmatan lil

‘aalamiin sebagaimana yang dipahami kelompok liberal dan pendukung pluralisme.

Bahkan, di banyak ayat, al-Qur’an memberi garis yang sangat tegas antara keimanan

dan kekufuran, antara ketaatan dan kemaksiatan.

Penjelasan yang serupa dengan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir juga kita

temukan di kitab at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya

ulama kontemporer, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Beliau mengatakan:

وهديه وأحكامه إال لرحمة جميع العالم من اإلنس والجن في وما أرسلناك يا محمد بشريعة القرآنأي

الدنيا واآلخرة، فمن قبل هذه الرحمة، وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا واآلخرة، ومن ردها وجحدها،

خسر الدنيا واآلخرة

Artinya: “Maknanya yaitu, dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad dengan

syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an kecuali sebagai rahmat bagi seluruh

alam, dari kalangan manusia dan jin, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang

menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan

akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, ia akan merugi di dunia

dan di akhirat.”

Lihatlah, dengan sangat tegas Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan yang dimaksud

dengan rahmat bagi seluruh alam itu adalah syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-

Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jauh sekali

dari pemahaman kalangan liberal yang memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin

sebagai Islam yang meniadakan banyak sekali hukum-hukum al-Qur’an hanya demi

toleransi dan keragaman yang semu.

***

Hadirnya Islam di tengah-tengah kita merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa

ta’ala. Bahkan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berdasarkan riwayat dari Imam ath-

Thabari rahimahullah, menyatakan bahwa orang-orang kafir pun merasakan rahmat

ini, yaitu dengan diselamatkannya mereka dari bencana yang ditimpakan kepada

orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu, seperti ditenggelamkan ke dalam bumi,

atau ditenggelamkan ke dalam air. Tentu di akhirat orang-orang kafir ini tetap akan

mendapat siksa, dan di dunia pun hidup mereka tidak akan bahagia.

44 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Saat ini, kita berada pada dua pilihan, menerima dan mensyukuri adanya rahmat

Allah ini, dengan hanya menjadikan diin Islam sebagai way of life. Atau sebaliknya,

mengingkari rahmat Allah ini, dengan mengusung ide dan pemikiran yang

bertentangan dengan diin Islam. Di manakah posisi kita?

*****

45 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Membendung Arabisasi Ala Abdul

Moqsith Ghazali

Saya tertarik menanggapi tulisan Abdul Moqsith Ghazali di situs Islamlib.com yang

berjudul “Ulama Arab dan Ulama Indonesia”. Sebagai seorang yang ingin bersikap

objektif, saya akui tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini punya semangat positif yang

harus diapresiasi yaitu bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan ‘Ajam, tidak ada

bedanya antara ulama Arab dan ulama ‘Ajam, yang membedakan satu dengan yang

lain hanyalah kualitas ketaqwaan dan keilmuwannya. Saya yakin kita semua sepakat

dengan hal ini.

Tapi, kita patut curiga dengan tulisan dari Abdul Moqsith Ghazali tersebut karena

sepak terjangnya dan kelompok JIL-nya yang selama ini selalu berusaha

menghancurkan Islam dan ajaran Islam yang mulia dari dalam. Kecurigaan ini

menjadi semakin berdasar ketika kita membaca utuh tulisannya tersebut. Coba kita

analisa secara sederhana beberapa kutipan tulisannya di artikel tersebut.

“Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya

dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan

sebagai orang ‘ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan

seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika

orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah

(kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam.”

Dari kutipan paragraf diatas, kita bisa melihat bahwa ada pernyataan yang membabi

buta dari seorang Abdul Moqsith Ghazali yang seakan-akan ingin memprovokasi

umat Islam Indonesia bahwa ada ketidakadilan dalam dunia Islam. Seakan-akan karya

ulama non-Arab dianggap tak bermutu dan tak berguna di dunia Islam. Pernyataan

ini jelas berbahaya karena akan semakin memicu perpecahan dunia Islam yang

memang sekarang sudah pecah. Pernyataan ini juga ternyata tak benar-benar sesuai

fakta karena ada banyak karya ulama Indonesia kontemporer yang diakui di dunia

internasional, misalnya: DR. Sayyid Muhammad Aqil al-Mahdaly (Bugis) dari ‘Ain

Syams, yang telah mengarang lebih 50 judul buku tentang aqidah dan filsafat dan

diterbitkan oleh Darul Hadits Mesir; DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Bugis) dari

Cairo Univ. thesis master beliau (Masail alal-I’tiqadiyah Inda al-Imam al-Qurthubi) di

46 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

cetak oleh Muassasah al-’Alya Mesir th 2006. dan Thesis Ph.D (Mauqif az-Zaidiyah

wa Ahli as-Sunnah Min Aqidah al-Bathiniyah wa Falsafatuha) tahun ini sedang proses

cetak di Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut. Itu baru beberapa contoh dari sekian banyak

karya ulama Indonesia yang diakui dunia Islam.

“Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan

dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan

umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan

sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah

mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara

pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama

Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah

itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi,

Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang

dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter

kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun

bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.”

Dari konstruksi tulisan Abdul Moqsith Ghazali diatas, jelas ada upaya penyesatan

terhadap pemahaman umat Islam. Contoh yang digunakan untuk menunjukkan

hegemoni ulama Arab atas ulama Indonesia adalah tentang keharaman perempuan

sebagai penguasa. Disini Abdul Moqsith Ghazali ingin mengambil dua keuntungan

sekaligus, pertama dia ingin menunjukkan bahwa selama ini kita terlalu percaya

dengan ulama Arab-Timur Tengah dan sebaliknya menafikan keberadaan ulama

Indonesia, dan yang kedua, dia ingin menunjukkan bahwa keharaman perempuan

sebagai penguasa hanya pendapat ulama Arab yang masih sangat perlu untuk

diperdebatkan. Padahal kalau kita mau menelaah kitab-kitab klasik dan kontemporer

tulisan ulama seluruh dunia, bukan hanya Arab tapi juga Andalusia, India, Asia

Tengah termasuk Indonesia, jelas sekali tidak ada perbedaan pendapat bahwa

perempuan haram menjadi penguasa. Hanya cendekiawan keblinger yang

menentang pendapat ini.

Jelas, ada motif tersembunyi dari tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini, yaitu

penentangan terhadap Islamisasi di Indonesia. Kalangan liberal, yang merupakan

antek zionis, berusaha sekuat tenaga untuk membendung semakin berkembangnya

Islam politik yang mengusung ide penerapan Syariah Islam secara kaffah dan

47 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

persatuan asasi umat Islam. Mereka mencoba menghembuskan keburukan ide

Islamisasi yang disama artikan dengan Arabisasi. Mereka menyebarkan teror bahwa

dengan Islamisasi dan Arabisasi umat Islam Indonesia akan kehilangan identitasnya

dan akan terpinggirkan. Mereka kemudian mencoba merusak konstruksi Syariah

Islam yang sudah baku dengan mewacanakan Fiqh Indonesia, yang sangat kelihatan

tak berdalil tapi tapi lebih banyak bertendensi hawa nafsu. Mereka juga mencoba

meruntuhkan kewibawaan ulama Arab-Timur Tengah, salah satunya dengan tulisan

Abdul Moqsith Ghazali tersebut, kemudian menawarkan ‘ulama Indonesia’ dari

kalangan mereka sendiri seperti Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar

Abdalla termasuk Abdul Moqsith Ghazali sendiri untuk dijadikan rujukan umat Islam

Indonesia.

*****

48 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur’an

Berbagai upaya dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan Syariah Islam

untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Salah satu upaya yang

mereka lakukan adalah merusak sakralitas Al-Qur’an. Al-Qur’an yang menurut ijma’

umat Islam merupakan hal yang sakral karena merupakan kalamullah, tuntunan

hidup bagi manusia dan tak akan pernah berubah sepanjang masa kemudian mau

dirusak oleh mereka dengan konsep bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya,

yang berarti buatan manusia atau minimal ada campur tangan manusia dalam

pembentukannya.

Upaya yang jika berhasil disepakati umum akan secara otomatis menutup peluang

untuk memunculkan Syariah Islam di tengah-tengah kehidupan. Kekuatan Syariah

Islam yang terletak pada kekhasannya dibanding sistem lain yaitu berasal dari Allah

yang lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi manusia akan serta merta hilang. Islam

yang bersumberkan Al-Qur’an adalah produk budaya, hasil karya pikiran manusia,

sehingga sama saja dengan sistem sekuler yang ada sekarang. Kalau seperti itu,

untuk apa kita memperjuangkan Syariah Islam?

Wacana desakralisasi Al-Qur’an semakin menguat ketika Nasr Hamid Abu Zayd,

seorang intelektual Mesir, menyatakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah produk

budaya (muntaj tsaqafi) sekaligus produsen budaya (muntij li ats-tsaqafah) (Mafhum

al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994, edisi

II dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd). Pendapat ini

jugalah yang kemudian diusung oleh kalangan anak muda liberal di Indonesia

pengagum Nasr Hamid Abu Zayd.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd ini terlihat dengan sangat jelas

memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah pendapatnya

yang menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya dan sekaligus

sebagai produsen budaya. Hal ini jelas sangat kontradiktif dan membingungkan. Al-

Qur’an sebagai produsen budaya, berarti Al-Qur’an telah berhasil mengubah budaya

Arab Jahiliyah pada saat datangnya Islam menjadi sebuah kebudayaan baru yaitu

kebudayaan Islam. Ini yang selama ini kita kenal dan kita pahami. Tetapi menjadi

sebuah keanehan ketika Nasr Hamid juga menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan

49 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

sebuah produk budaya. Al-Qur’an sebagai produk budaya, berarti Al-Qur’an

merupakan hasil cipta kebudayaan pada masa itu yaitu budaya Arab Jahiliyah.

Ar�nya sepanjang 23 tahun turunnya Al-Qur’an, Al-Qur’an terbentuk dari realitas dan

budaya bangsa Arab pada rentang waktu tersebut.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid ini, kalau coba kita analisa, merupakan sebuah

konsep kompromi. Nasr Hamid sebagai salah seorang pionir paham liberalisme di

dunia Islam mencoba untuk melakukan desakralisasi dan delegitimasi Al-Qur’an

dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya, sehingga

Al-Qur’an sangat terkait dengan kebudayaan Arab pada abad ke-7 dan sudah �dak

layak pakai lagi bagi masyarakat modern abad ke-21. Tetapi kemudian konsepsi

lemah yang ditawarkan Nasr Hamid ini coba untuk dibuat terkesan ilmiah dan

rasional dengan mengatakan Al-Qur’an selain sebagai produk budaya juga

merupakan produsen budaya. Fakta Al-Qur’an sebagai sebuah produsen budaya,

yang mengubah budaya bangsa Arab Jahiliyah menjadi kebudayaan Islam yang

sangat tinggi, terasa begitu kuat dan dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun.

Fakta ini, bagi Nasr Hamid, tentu tak bisa serta merta dinafikan kemudian diberikan

tawaran yang jauh berbeda.

Konsep Al-Qur’an sebagai sebuah produk budaya, didasarkan pada pemahaman awal

bahwa sebuah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa. Keterkaitan

bahasa dan budaya menjadikan Al-Qur’an yang merupakan teks bahasa (nash

lughawi) kemudian juga diartikan sebagai teks manusiawi (nash insani). Walaupun

Al-Qur’an merupakan teks ilahi (nash ilahi) tetapi kemudian termanusiawikan karena

berada dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut konsep ini, akulturasi Al-Qur’an

sebagai teks ilahi menjadi teks manusiawi bahkan sudah terjadi pada kali pertama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan teks Al-Qur’an di hadapan para

Shahabat. Pemahaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atas teks

mempresentasikan tahap paling awal interaksi teks dengan akal manusia, yang

kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman

Allah sendiri: “Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan

atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian kami

potong pembuluh jantungnya” (Al-Haqqah: 44–46). Allah juga berfirman: “Dan

tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Al-

Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan” (An-Najm: 3–4). Dari ayat-ayat diatas

50 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Allah dengan sangat tegas telah menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun campur

tangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap teks Al-Qur’an.

Fakta ini semakin diperkuat dengan fakta sirah nabawiyah, bahwa Muhammad

shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul yang ummi, tidak bisa baca dan tulis

(Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Shafiyurrahman Al-Mubarakfury). Fakta ini

menafikan sama sekali campur tangan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

dalam teks Al-Qur’an yang memiliki nilai kekuatan bahasa yang sangat tinggi, yang

meniscayakan pembuatnya atau minimal pihak yang turut campur dalam

pembuatannya memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang bacaan dan tulisan

Arab.

Kemurnian Al-Qur’an dari campur tangan manusia juga terlihat dari banyak bagian

teks Al-Qur’an yang memiliki makna baru yang berbeda dari makna yang dipahami

oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya

bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan

kelelakian’, diubah Al-Qur’an dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa).

Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan

kesukuan. Ini diubah maknanya oleh Al-Qur’an, dengan memperkenalkan gagasan

persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada

persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy

and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original

Concept of Islamization – Kuala Lumpur: ISTAC, 1998, dalam Adnin Armas, Kritik

Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd).

Jelas sekali, tawaran konsepsi Al-Qur’an sebagai produk budaya yang bertujuan

untuk melakukan desakralisasi terhadap Al-Qur’an merupakan konsepsi yang lemah

dan mengada-ada. Konsep ini juga semakin membuktikan bahwa ada upaya

sistematis dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam.

Mereka tak sudi Islam kembali jaya dan menjadi mercusuar peradaban dunia.

Sayangnya, langkah ini diikuti oleh anak-anak kaum muslim sendiri yang sangat

bangga dengan label pengusung Islam liberal.

*****

51 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Wacana Kebenaran Islam Pluralis

Dengan melepas klaim-klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan,

mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap agama orang

lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif mengarah kepada pandangan

yang pluralis dari teologi kita sendiri, agama-agama akan mempunyai peranan

penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dan peradaban

masyarakat kita. “Kita para penganut agama akan bertemu dalam the road of

life (jalan kehidupan yang sama).” Kata Bhagavan Das dalam bukunya, The Essential

Unity of All Religions (1966: hlm. 604). “Yang datang dari jauh, yang datang dari

dekat, semua kelaparan dan kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan,

yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.”

Kutipan paragraf diatas merupakan sebuah Kata Pengantar dari Budhy Munawar-

Rachman dalam bukunya yang lumayan tebal: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan

Kaum Beriman. Buku yang bermotifkan keinginan untuk membumikan ajaran Islam

Pluralis di tengah masyarakat muslim Indonesia ini berisikan banyak sekali justifikasi

atas keabsahan konsep pluralisme dalam Islam. Saya akan mencoba sedikit

mengkritisi buku tersebut, terutama dari bagian tulisan kata pengantar yang saya

kutip diatas.

Seperti sudah lazim kita ketahui, ajaran pluralisme didasarkan pada asas

ketidakpercayaan terhadap wahyu Tuhan. Hampir setiap tulisan tentang pluralisme

dari para pengusung ajaran tersebut berisikan kritik dan sikap skeptis terhadap teks-

teks ayat suci yang telah mapan. Dan hanya dengan sikap inilah pluralisme bisa

dikembangkan. Jika konsep pluralisme masih mengacu pada ayat suci semisal Al-

Qur’an maka konsep tersebut akan runtuh sebelum ia sempat dibangun. Maka yang

harus menjadi landasan sikap kita ketika menganalisa hasil pemikiran dari para

pengusung pluralisme adalah bahwa mereka merupakan kelompok orang yang tidak

mempunyai keimanan terhadap wahyu Allah sehingga setiap hasil pemikiran mereka

berasaskan kekufuran.

Dari kutipan kata pengantar buku ISLAM PLURALIS diatas, dapat kita lihat beberapa

kesalahan mendasar dari pemikiran mereka. Yang pertama adalah kewajiban untuk

melepas klaim-klaim kebenaran dan konsep penyelamatan dari semua agama.

52 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Artinya kalau kita mau menjadi seorang muslim pluralis kita harus melepaskan

keyakinan akan kebenaran agama yang kita anut. Mari kita bandingkan pemahaman

ini dengan teks Al-Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-

kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85). Coba saja

sampaikan ayat ini kepada pengusung ajaran pluralisme Islam, tentu mereka akan

mengatakan bahwa ayat ini perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan pemahaman

mereka. Atau mungkin lebih ekstrim, mereka akan mengatakan bahwa ayat ini

sebenarnya hanya merupakan tambahan yang dimasukkan oleh cendekiawan muslim

klasik ke dalam mushaf.

Yang kedua, adalah tuduhan mereka bahwa muslim yang tidak mengikuti paham

pluralisme menggunakan standar ganda terhadap agama orang lain. Coba kita simak

kutipan dari bagian lain kata pengantar Budhy Munawar-Rachman: “Dalam soal

teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa

agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama

lain adalah hanya konstruksi manusia –atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi

telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya

dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah

agama kita sendiri”. Secara halus, sang penulis ingin menyesatkan pemikiran umat

Islam dengan pernyataan bahwa ada dua kemungkinan yang sama-sama mungkin

yaitu semua agama benar atau semua agama salah. Jelas sekali pemahaman ini

berbeda dengan konsep kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai

Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”.

(TQS Al-Maidah: 3). Ditambah dengan pernyataan Allah pada Ali Imran ayat 85 yang

saya tulis diatas, jelas sekali Al-Maidah ayat 3 ini menunjukkan mafhum mukhalafah

bahwa selain agama Islam tidak diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Yang ketiga, adalah kebingungan para pengusung pluralisme tentang konsep

kebenaran itu sendiri. Berbagai pernyataan dan teori yang mereka sampaikan yang

kelihatannya sangat ilmiah, menunjukkan kelemahan cara berpikir mereka. Mereka

hanya mampu menunjukkan kesalahan beragama para penganut agama sekarang –

ini menurut klaim mereka– tapi sepertinya mereka tak pernah mampu menunjukkan

kebenaran itu sendiri. Coba saja rangkai berbagai tulisan mereka kemudian kita lihat

secara seksama, maka kita akan menemukan keanehan dan keganjilan dari pemikiran

mereka yang disebabkan oleh kebingungan mereka. Dan itu merupakan konsekuensi

53 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

wajar terhadap orang yang tak mau beriman terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa

ta’ala.

*****

54 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Mematikan ‘Truth Claim’,

Menghidupkan Kebimbangan

Salah satu gagasan utama para pendukung pluralisme adalah membuang klaim

kebenaran (truth claim). Mereka beranggapan, truth claim-lah yang menyebabkan

banyaknya konflik antar umat beragama, sikap intoleran, bahkan terorisme. Apakah

anggapan ini benar? Jelas sekali anggapan ini keliru, jauh dari kebenaran dan

berdasarkan asumsi yang mentah.

Bagi seorang muslim, truth claim merupakan ‘harga mati’. Allah subhanahu wa ta’ala

berfirman di dalam surah Ali ‘Imran ayat 19:

إن الدين عند اهللا اإلسالم

Allah ta’ala juga berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 85:

ومن يبتغ غير اإلسلم دينا فلن يقبل منه وهو في األخرة من الخسرين

Dua ayat di atas menunjukkan klaim kebenaran (truth claim) yang dimiliki oleh Islam.

Saya yakin, di agama lain juga punya konsep seperti ini.

Secara ‘aqli, truth claim merupakan hal yang wajar dan ‘wajib’ ada di setiap ajaran

agama. Mengapa? Jelas, karena setiap agama (diin) hadir membawa sebuah ajaran

sekaligus menafikan ajaran-ajaran selainnya. Coba pikirkan, mengapa Rasulullah

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam rela meninggalkan kenikmatan hidup

duniawi untuk memperjuangkan Islam, bahkan harus bersitegang dan berperang

dengan suku, kabilah dan keluarga beliau sendiri demi meninggikan kalimat Islam?

Jawabannya tentu karena Rasulullah dan para shahabat beliau meyakini kebenaran

Islam dan mengingkari kebenaran ajaran-ajaran lain selain Islam. Jika beliau tidak

berpikiran seperti itu, tentu lebih baik beliau hidup tenang-tenang saja di Makkah.

Sekarang mari kita telanjangi kesalahan pemikiran para pendukung pluralisme

tentang konsep ini.

1. Benarkah truth claim menyebabkan konflik berkepanjangan antar umat

beragama?

55 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Jika kita sedikit saja mencoba mempelajari sejarah kegemilangan Islam sejak pertama

kali tumbuh di Madinah sampai kemudian mendunia, kita akan mengetahui bahwa

umat yang paling toleran terhadap perbedaan adalah umat Islam. Tentang

perbedaan suku dan kelas sosial, tak perlu diperjelas lagi. Cahaya Islam terlalu terang

untuk ditutupi dan dibuat buram. Islam telah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan

adalah ketaqwaan, bukan suku, ras, ekonomi atau kelas sosial.

Tentang toleransi antar umat beragama, Madinah di masa Nabi adalah contohnya. Di

sana, selain Islam hidup pula orang-orang Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallammembiarkan mereka dan bersikap sangat toleran dengan mereka. Yahudi baru

diusir dari Madinah karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah

mereka buat bersama umat Islam.

Sikap toleran ini juga terpampang jelas di dunia Islam. Dulu, –ketika Palestina masih

di bawah kepemimpinan Islam– Yahudi, Nasrani dan Islam bisa hidup berdampingan

dan tidak ada konflik seperti sekarang. Di negeri-negeri Islam lain pun juga begitu.

Dan sikap toleransi umat Islam kepada umat agama lain sama sekali tidak

menghilangkan truth claim yang mereka miliki. Mereka masih memegang

pemahaman yang disampaikan Allah ‘azza wa jalla di surah al-Kaafiruun. Toleransi –

yang tidak kebablasan– pada faktanya bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan

‘aqidah. Untuk rujukannya, silakan baca kitab-kitab Tarikh Islam.

2. Apakah ujung dari konsep peniadaan truth claim?

Bagi pendukung pluralisme, umat Islam tak boleh mengatakan dan meyakini bahwa

hanya melalui Islam-lah ‘keselamatan’ akan didapatkan. Bagi mereka, umat Islam

harus meyakini bahwa semua agama –termasuk ajaran pagan dan ajaran setan (?)–,

menuju hal yang sama, cuma jalannya saja yang berbeda. Bagi mereka, perbedaan

jalan adalah hal yang wajar dan masing-masing tidak boleh mengklaim hanya jalan

mereka lah yang benar. Inilah dasar dari ajaran pluralisme. Apa hasil dari konsep

seperti ini?

Hasilnya adalah kebimbangan. Pernyataan-pernyataan aneh akan muncul jika

seseorang mengadopsi pemikiran keblinger ini, semisal, ‘Jika Islam dan Nasrani sama-

sama benar, lalu untuk apa saya bertahan dengan keislaman saya, ajaran Islam kan

susah.’ Atau, ‘Jika kebenaran tak hanya ada pada Islam, berarti boleh dong saya

gonta-ganti agama semau saya.’ Atau, ‘Jika semua agama menuju satu tujuan yang

56 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

sama, boleh dong saya membuat agama baru dengan tatacara baru, yang penting

tujuannya sama.’ Atau, ‘Kalau tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak,

untuk apa saya beragama?’

Ternyata, ujung dari pluralisme adalah agnostisisme dan ateisme. Makanya, di Eropa

–yang mengagungkan pluralisme– begitu banyak orang yang tak beragama, bahkan

sebagian menyatakan tak percaya –minimal meragukan– adanya Tuhan. Dr.

Syamsuddin Arif yang pernah belajar di Jerman –di buku beliau “Orientalis &

Diabolisme Pemikiran”– menceritakan fenomena tersebut.

*****

Jadi, bisa kita simpulkan, ide pluralisme yang menafikan dan mematikan truth

claim hanya akan melahirkan kebimbangan pemikiran. Para pendukung ide

pluralisme hanya akan berputar pada kebimbangan, karena –jika mereka jujur

dengan konsep mereka– mereka tak akan punya ‘konsep kebenaran’ yang bisa

mereka pegang. Bahkan, mereka –kembali, jika mereka jujur dengan konsep

mereka– tak boleh mengklaim ide pluralisme sebagai ide yang pasti dan mutlak

benarnya, karena itu sama saja mereka melakukan klaim kebenaran yang selama ini

selalu mereka tolak.

Bagi pendukung pluralisme, silakan berbimbang ria. Bagi umat Islam, semoga kita

selalu mendapatkan taufiq dari Allah ta’ala sehingga bisa selamat dari berbagai

kesesatan pemikiran yang saat ini begitu banyak dijajakan. Wallahul muwaffiq ilaa

aqwaam ath-thariiq.

*****

57 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Kesalahan Tafsir Pendukung Pluralisme

Terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 62

Ada saja cara kalangan liberal dan pendukung pluralisme untuk menjustifikasi

pemikiran mereka. Salah satu cara yang sangat sering mereka lakukan adalah

memelintir ayat dan menafsirkannya sekehendak perut mereka. Mereka selalu

berargumen bahwa menafsirkan kitab suci adalah hak setiap orang, dan tidak boleh

ada yang mengklaim dan membatasi kebenaran hanya pada satu tafsir saja. Bagi

saya, pernyataan ini berbahaya karena terkesan benar padahal pondasinya sangat

rapuh.

Berbicara tafsir Al-Qur’an, maka pijakan awal kita adalah kesepakatan bahwa Al-

Qur’an adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam. Mengapa Al-Qur’an harus diyakini

sebagai kalam Allah? Saya persilakan Anda mengkajinya di kitab-kitab yang

membahas ‘Aqidah maupun ‘Ulumul Qur’an. Pijakan awal ini mengharuskan kita

untuk menyepakati bahwa tafsir yang benar adalah tafsir dari-Nya sendiri. Jadi, untuk

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yang pertama harus dilakukan adalah

menafsirkannya dengan ayat Al-Qur’an lain yang relevan atau melalui hadits

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang Allah sendiri telah nyatakan bahwa

hadits Rasulullah juga merupakan wahyu dari-Nya–.

Cara kedua –jika tafsirnya tak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits– adalah

dengan mengikuti penafsiran kalangan shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Mengapa? Sangat jelas, karena shahabat adalah murid langsung dari Nabi, mereka

mengiringi Nabi sepanjang perjalanan hidup beliau, tentu mereka lebih bisa

memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dibanding kita. Hal ini terlalu

logis untuk dibantah.

Cara ketiga –jika pun tak ada juga tafsir dari shahabat–, maka kita harus kembali ke

fakta bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab. Untuk

memahami makna-maknanya, kita harus merujuk ke bahasa tersebut. Maka, di

sebagian kitab tafsir, ada ulama tafsir yang menafsirkan sebagian ayat mengikuti

makna bahasanya. Untuk melakukan ini, perlu mujahadah untuk memahaminya.

Tidak bisa sembarangan, apalagi serampangan. Selain penguasaan bahasa, ahli tafsir

58 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

juga perlu menguasai ilmu-ilmu syar’i lainnya, tentunya agar tafsirnya tidak

menyimpang dari pondasi dasar Islam.

Nah, sayangnya, para penganut pluralisme dengan pongahnya menafsirkan ayat-ayat

Al-Qur’an seenak perut mereka sendiri tanpa mengikuti kaidah ilmiah yang

seharusnya. Tentu wajar jika tafsirnya harus kita gugat. Tentu wajar jika tafsirnya tak

layak untuk dirujuk. Sangat logis.

Nah, salah satu ayat yang mereka pelintir adalah surah Al-Baqarah ayat 62. Berikut

bunyi ayatnya.

بٱلله وٱليـوم ٱآلخر وعمل صالحا فـلهم أجرهم إن ٱلذين آمنوا وٱلذين هادوا وٱلنصارى وٱلصابئين من آمن

عليهم وال هم يحزنون عند ربهم وال خوف

Secara serampangan mereka menafsirkan ayat ini sebagai pembenaran bahwa bukan

cuma umat Islam yang akan selamat, bukan cuma yang mengikuti Muhammad yang

berada di jalan kebenaran. Benarkah tafsirnya seperti itu? Jawabannya, tidak.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan

pertanyaan Salman Al-Farisi tentang shahabat-shahabat beliau dulu yang beragama

Nashrani. Dari pertanyaan Salman tersebut, turunlah ayat ini.

Ibnu Katsir kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Yahudi di ayat

tersebut adalah orang-orang yang mengikuti Taurat dan sunnah Musa hingga datang

‘Isa. Yang dimaksud Nashrani adalah orang-orang yang mengikuti Injil dan Syariat ‘Isa

hingga datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga menjelaskan,

pengikut Musa yang tidak mengimani dan mengikuti ‘Isa –setelah kedatangan Isa–

akan celaka. Demikian juga pengikut ‘Isa yang tidak mengikuti Muhammad dan

syariat yang dibawanya, juga akan celaka. Tentang Shabiin, sebagian ahli tafsir

berbeda pendapat, namun semuanya menunjuk pada satu pemahaman bahwa

Shabiin adalah penganut ajaran-ajaran terdahulu sebelum kedatangan Muhammad

shallallahu ‘alaihi wa sallam. Statusnya pun sama persis dengan Yahudi dan

Nashrani.

Jika ingin lebih yakin, silakan langsung merujuk ke kitab Tafsir Ibnu Katsir atau tafsir

mu’tabar lainnya.

59 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Dari sini bisa kita pahami bahwa ayat ini sama sekali tidak membenarkan ‘aqidah

orang-orang yang menganut selain Islam setelah kedatangan Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam. Secara ‘aqidah mereka adalah kafir dan tidak akan mendapatkan

keselamatan di akhirat kelak. Bagi seorang muslim, pemahaman seperti ini harusnya

mudah saja diterima. Pemahaman ini juga sesuai dengan firman Allah di surah Ali

‘Imran ayat 85 sebagai berikut.

ر ٱإلسلـم دينا فـلن يـقبل منه وهو فى ٱآلخرة من ٱلخـسرين ومن يـبتغ غيـ

*****

60 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Ramadhan dan Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan

dalam surah al-Baqarah ayat 185:

شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبـيـنات من الهدى والفرقان

Artinya: “Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk

bagi manusia, penjelasan yang sangat jelas mengenai petunjuk tersebut dan

pembeda (antara yang haq dan yang batil)”

Di awal surah al-Qadr, disebutkan lebih spesifik lagi bahwa Al-Qur’an diturunkan di

malam al-Qadr:

لة القدر إنا أنـزلناه في ليـ

Artinya: “Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkannya (Al-Qur’an) di malam

kemuliaan.”

Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa malam al-Qadr itu ada di salah satu malam

di antara malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Dalam tafsir Ibn Katsir, diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas radhiyaLlahu ‘anhuma

menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada bulan

Ramadhan, di malam al-Qadr. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada

Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam selama lebih dari 20 tahun.

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad ‘Ali al-Hasan, penulis kitab al-Manar fii

‘Uluumil Qur’an, yang dimaksud dengan diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadhan

adalah diturunkannya awal Al-Qur’an, yaitu surah al-‘Alaq ayat 1-5, kepada

Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Kesimpulannya, semua ulama sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan

Ramadhan, di malam al-Qadr (kemuliaan). Mereka hanya berbeda pendapat, apakah

yang dimaksud adalah turunnya seluruh Al-Qur’an secara langsung dari Lauhul

61 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Mahfuzh ke langit dunia, atau turunnya awal al-Qur’an kepada Rasulullah shallaLlahu

‘alaihi wa sallam.

Bagaimana Kita Memaknai Diturunkannya Al-Qur’an di Bulan Ramadhan

Memaknai diturunkannya Al-Qur’an di bulan Ramadhan tidak cukup hanya dengan

melakukan peringatan nuzulul Qur’an secara seremonial. Memaknai diturunkannya

Al-Qur’an harus dengan memahami tujuan diturunkannya Al-Qur’an bagi umat

manusia.

Surah al-Baqarah ayat 185 telah menunjukkan kepada kita tujuan diturunkannya al-

Qur’an. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, penjelasan yang terang dan sangat

jelas, serta pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang halal dan yang

haram.

Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Untuk

menjadi way of life. Jika tidak ingin tersesat dalam kehidupan dunia, ikutilah al-

Qur’an (dan juga as-Sunnah).

Imam Malik, dalam kitab al-Muwaththa, meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah

(Hadits ini di-hasan-kan oleh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih):

تـركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب اهللا وسنة نبيه

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara bagi kalian, yang jika kalian berpegang pada

keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-

Nya.”

Jadi, memaknai diturunkannya al-Qur’an harus dengan menjadikan Al-Qur’an (dan

As-Sunnah) sebagai petunjuk hidup, sebagai pedoman untuk mengetahui mana yang

benar dan mana yang salah, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh

dilakukan oleh kita.

Tidak Boleh Menerima Sebagian Isi Al-Qur’an dan Menolak Sebagian yang Lain

Kita diwajibkan untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan. Allah

subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah an-Nisa ayat 59:

62 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

الله آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي األمر منكم فإن تـنازعتم في شيء فـردوه إلىيا أيـها الذين

ر وأحسن تأويال والرسول إن كنتم تـؤمنون بالله واليـوم اآلخر ذلك خيـ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan

ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih

utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”

Kita wajib mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan, tanpa membeda-

bedakan satu perintah dengan perintah yang lain. Ketika Allah mewajibkan puasa

bagi kita, kita laksanakan. Ketika Allah mewajibkan shalat dan zakat, kita jalankan.

Ketika Allah mengharamkan riba kita terima. Ketika dalam hadits disebutkan bahwa

umat Islam wajib menutup aurat di tempat umum dan aurat wanita adalah seluruh

tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan, kita terima.

Pertanyaannya, mengapa orang-orang saat ini membedakan hal ini?

Contoh yang sangat jelas adalah mengapa orang-orang saat ini membedakan

perintah Allah dalam surah al-Baqarah 183 (tentang puasa) dan al-Baqarah 178

(tentang kewajiban qishash dalam pembunuhan), padahal bentuk seruannya sama,

redaksi pewajibannya pun sama. Dan ulama fiqih pun sepakat bahwa keduanya wajib

dijalankan.

Mari kita cek redaksi dua ayat tersebut.

QS. Al-Baqarah 183:

يا أيـها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام

Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa.”

QS. Al-Baqarah 178:

لى يا أيـها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتـ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian menerapkan qishash

dalam pembunuhan.”

63 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Inilah keanehan sebagian umat Islam saat ini.

Semoga momentum Ramadhan tahun ini menjadi titik balik mereka, tidak lagi

memilih dan memilah ayat-ayat Al-Qur’an, yang disukai diamalkan, sedangkan yang

dibenci diabaikan. Semoga kita semua, umat Islam, bisa menjadi muslim yang kaffah,

muslim yang ketika menerima perintah Allah dan Rasul-Nya berkata sami’naa wa

atha’naa.

*****

64 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Beberapa Sikap Ilmiah dalam Pengkajian

Pemikiran Islam

1. Al-Qur’an dan as-Sunnah Sebagai Rujukan Utama

Memang benar, dalam tradisi keilmuan Islam, tak semua orang mampu merujuk

langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada beberapa disiplin ilmu yang harus

dikuasai oleh seseorang untuk bisa mengambil sebuah kesimpulan hukum dan

pemahaman dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ini tak perlu dipersoalkan.

Yang jadi masalah, di masa sekarang, banyak sekali orang yang melontarkan gagasan,

ide dan pendapat, yang sebagiannya bertentangan bahkan bertolak belakang dengan

yang lain. Menghadapi kondisi seperti ini, bagaimana sikap kita seharusnya? Di posisi

inilah, al-Qur’an dan as-Sunnah harus menjadi rujukan utama.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah an-Nisaa ayat 59:

كنتم تؤمنون باهللا واليوم اآلخر ذلك خير وأحسن تأويالفإن تنازعتم في شيء فردوه إلى اهللا والرسول إن

Artinya: “Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada

Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, itu

lebih utama dan lebih baik akibatnya.“

Makna ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ dalam ayat di atas adalah kembali kepada

Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Mujahid

yang dikutip oleh Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Lebih lanjut, Ibn Katsir

menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah Allah ‘azza wa jalla untuk merujuk

kepada al-Kitab dan as-Sunnah dalam setiap perkara yang diperselisihkan oleh

manusia, baik dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya.

Dalam praktiknya, bagi kebanyakan orang yang derajat keilmuannya belum mencapai

mujtahid, yang bisa dilakukan adalah mencoba membandingkan beberapa pendapat

yang ada, yang mana yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka itulah

yang diambil. Yang dimaksud lebih dekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah ini tentu

sebatas yang dipahami olehnya, dari sedikit ilmu yang pernah dia pelajari.

65 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Jika ada pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat

dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang,

seperti tentang kepastian adanya hari kiamat dan perhitungan amal manusia,

kekuasaan Allah atas segala sesuatu, atau tentang status Nabi Muhammad

shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, maka pendapat yang

menyelisihi prinsip-prinsip ini bisa dipastikan keliru, bahkan sesat dan menyesatkan.

Jika ada dua pendapat yang dua-duanya memiliki hujjah yang kuat, yang sulit bagi

kebanyakan orang untuk memilah mana yang lebih kuat, maka yang perlu dilakukan

adalah mengambil salah satu pendapat berdasarkan beberapa pertimbangan,

misalnya pendapat tersebut lebih banyak diamalkan oleh para ulama, atau yang

mengemukakan pendapat tersebut kapasitas keilmuannya lebih diakui oleh para

ulama, dan lain-lain. Dengan catatan, pendapat yang berbeda dengan pendapat yang

kita ikuti tidak boleh dicela, karena faktanya kita sendiri sebenarnya tak mengetahui

pendapat manakah yang lebih kuat.

2. Jujur dan Bertanggung Jawab dalam Penukilan

Kekeliruan mendasar yang masih banyak dilakukan oleh banyak orang adalah

mengutip suatu perkataan, baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

shahabat, tabi’in maupun para ulama setelah mereka, tanpa menyebutkan dari mana

kata-kata tersebut mereka dapatkan.

Jika seorang ahli Hadits yang berkata ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda’, tentu pernyataan tersebut bisa dipertanggung jawabkan, namun jika

orang awam atau thalibul ‘ilm ‘kemarin sore’ yang berkata ‘ Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda’ tanpa menyebutkan dari kitab mana dia ambil kata-kata

tersebut, kita patut ragu dan curiga, jangan-jangan perkataan yang dia sandarkan

kepada Nabi tersebut bukanlah perkataan Nabi. Wal ‘iyadzu billah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النار من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من

Artinya: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah

dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Hadits mutawatir, dikeluarkan

oleh al-Bukhari, Muslim dan selain mereka. Menurut Dr. Mahmud ath-Thahhan,

66 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang shahabat, dan jumlah yang banyak ini

terus berlangsung sepanjang thabaqat sanad.]

Hadits di atas mengancam orang-orang yang berdusta atas nama Nabi, mengatakan

bahwa Nabi berkata begini dan begini, padahal Nabi tidak pernah mengatakan

demikian. Termasuk dalam hal ini adalah mengatakan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wa sallam bersabda’, padahal ia tidak mengetahui apakah perkataan tersebut benar-

benar berasal dari Nabi atau bukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ا سمعكفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل م

Artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan semua yang

ia dengar.” [Dikeluarkan oleh Muslim (I/10).]

Mengomentari hadits ini, Ibn Hibban berkata, “khabar ini berupaya mencegah

seseorang menyampaikan semua yang ia dengar, sampai ia yakin atas

keshahihannya.” (pernyataan Ibn Hibban ini dikutip oleh al-Albani dalam kitab

Tamamul Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqh as-Sunnah hal. 33).

Ada lagi kekeliruan yang juga masih sering dilakukan, yaitu mengutip suatu perkataan

atau teks, kemudian menyebutkan sumber rujukannya, yang sebenarnya tak pernah

diaksesnya. Misalnya seperti ini, “Imam asy-Syafi’i berkata, ‘siapa saja yang

melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat syari’at sendiri’. (al-Mustashfa

hal. 171).”, apa yang salah dari kutipan tersebut? Tidak ada yang salah, jika ia

memang mengutipnya langsung dari kitab al-Mustashfa-nya al-Ghazali. Menjadi

keliru, jika sebenarnya ia sama sekali tak pernah membaca isi kitab tersebut, ia

ternyata hanya melakukan copy-paste dari tulisan orang lain.

Kekeliruan semacam ini, walaupun terkesan sepele, namun tetaplah penting. Dalam

ilmu hadits, orang yang melakukan kekeliruan semacam ini serupa dengan perawi

yang mudallis. Perawi tersebut mengatakan ‘fulan A berkata’, padahal ia tak pernah

mendengarnya langsung dari fulan A tersebut. Sebenarnya, hadits tersebut ia dengar

dari fulan C, fulan C sendiri mendengarnya dari fulan B, dan fulan B lah yang benar-

benar mendengar dari fulan A. Jadi si perawi mudallis menghilangkan dua orang

sekaligus (yaitu fulan C dan B). Dalam ilmu Hadits, seorang perawi mudallis seperti ini

secara umum dikategorikan dha’if.

67 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Sebenarnya, dalam karya-karya ilmiah standar yang berlaku saat ini pun, kekeliruan

semacam ini tak dapat ditoleransi.

Dari sisi lain, kejujuran dalam penukilan juga bisa dilihat dari kesamaan pemahaman

si penukil dengan maksud dan tujuan sebenarnya dari teks atau perkataan yang ia

kutip. Saat ini, kalangan liberal seringkali mengutip ayat al-Qur’an, al-Hadits maupun

qaul ‘ulama untuk mendukung pemahaman mereka, padahal yang dimaksud oleh

teks atau perkataan tersebut tidaklah mendukung pemahaman mereka.

Sebagai contoh, makna rahmatan lil ‘aalamiin yang disandingkan dengan Islam –

menjadi Islam rahmatan lil ‘aalamiin– sering dimaknai oleh kalangan liberal sebagai

Islam yang sangat toleran, anti kekerasan (termasuk kekerasan pemikiran), dan tidak

formalistik. Frase Islam rahmatan lil ‘aalamiin ini mereka ambil dari al-Qur’an surah

al-Anbiyaa’ ayat 107. Benarkah pemahaman kalangan liberal ini? Silakan baca tulisan

saya yang berjudul ‘Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam‘.

3. Berlapang Dada Terhadap Perbedaan Pendapat dan Terbuka Terhadap

Kemungkinan Kebenaran dari Pihak Lain

Dalam perkara-perkara ijtihadiyah, peluang terjadinya perbedaan pendapat terbuka

lebar. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, seorang ulama kontemporer, menyebutkan

beberapa kondisi yang menyebabkan para fuqaha berbeda pendapat (baca:

Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Fuqaha Menurut Syaikh Dr.

Wahbah az-Zuhaili), dan ini wajar terjadi.

Namun sangat disayangkan, sebagian orang, yang bahkan keilmuannya pun belum

matang, menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai dasar untuk

menghujat pihak lain. Seakan-akan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang ia

ikuti adalah mutlak salah, sesat dan menyesatkan. Juga tak jarang terjadi, antar

kelompok, antar madzhab fiqih, atau antar pengikut ulama tertentu, bermusuhan

hanya karena perbedaan dalam perkara-perkara furu’i.

Bagaimana teladan dari generasi salafus shalih? Mari kita simak pernyataan Imam

Malik ibn Anas berikut ini:

افق الكتاب إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يو

والسنة فاتركوه

68 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Artinya: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah

setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka

ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka

tinggalkanlah.” [Dikutip dari kitab I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 1 hal.

60 karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah]

Lihatlah perkataan Imam Malik di atas, beliau yang kapasitas keilmuannya tak

diragukan lagi, Imam Darul Hijrah, guru para ulama besar, ternyata tak memonopoli

kebenaran. Beliau, dengan rendah hati, mengakui bahwa beliau hanyalah manusia

biasa, yang bisa jadi benar, bisa juga keliru. Coba bandingkan dengan sikap sebagian

orang saat ini, keilmuannya belum sampai setengah dari yang dimiliki Imam Malik,

namun lagaknya sudah seperti ulama besar. Dengan gampangnya mereka

meremehkan, menghujat dan bahkan menyesatkan pihak lain yang mengikuti

pendapat berbeda dengan yang dianutnya.

Dalam riwayat yang masyhur, disebutkan di banyak kitab, Imam asy-Syafi’i pernah

mengatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsan, sesungguhnya ia telah membuat

syari’at sendiri.” (Penisbahan ini misalnya disebutkan oleh al-Ghazali dalam al-

Mustashfa [171], al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam [IV/156] dan al-Qarafi

dalam al-Furuq [IV/145]). Dan sudah masyhur, Imam Malik adalah ulama yang

menggunakan istihsan dalam ushul fiqihnya (lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

[I/46]). Apakah Imam asy-Syafi’i pernah menghujat atau menyesatkan Imam Malik?

Tak pernah sama sekali.

Imam Ahmad berpendapat bahwa wajib wudhu karena keluar darah dari hidung dan

karena berbekam. Kemudian beliau ditanya, “Jika imam shalat keluar darah, dan ia

tidak berwudhu lagi, apakah saya tetap shalat di belakangnya?”, imam Ahmad

menjawab, “Mengapa engkau tidak mau shalat di belakang Sa’id ibn al-Musayyib dan

Malik?” (cerita ini saya dapatkan di Fatawa Mu’ashirah Juz I karya Dr. Yusuf al-

Qaradhawi, baca online di:http://www.qaradawi.net/library/50/2284.html, dan

di Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam karya Dr. Thaha Jabir Fayadh al-’Alwani, baca online

di:h�p://www.islamweb.net/newlibrary/display_umma.php?lang=A&BabId=10&Cha

pterId=10&BookId=209&CatId=201&startno=0; keduanya diakses pada tanggal 11

Februari 2012).

69 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Lihatlah Imam Ahmad, walaupun beliau berbeda pendapat dengan Imam Malik dan

Sa’id ibn al-Musayyib, tidak sedikitpun beliau merendahkan kedudukan mereka

berdua.

Perbedaan pendapat, dalam perkara ijtihadiyah, sangat memungkinkan melahirkan

beragam pendapat. Menghadapi hal ini, seharusnya kita bisa berlapang dada.

Walaupun kita menganggap pendapat yang kita ikuti lebih kuat, kita tetap harus

menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Adanya keragaman pendapat

ini juga seharusnya membuka cakrawala berpikir kita, jika ternyata kebenaran ada

pada orang lain, kita harus siap untuk menerima kebenaran tersebut dan

meninggalkan pendapat kita sebelumnya.

*****

70 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Umat Islam, Umat yang Memadukan Ilmu

dan Amal

Dalam surah al-Fatihah, surah yang sangat sering dibaca oleh umat Islam, disebutkan

dua jalan yang harus dihindari oleh setiap muslim, yaitu jalan orang-orang yang

dimurkai, dan jalan orang-orang yang sesat.

Imam Abul Fida’ rahimahullah dalam kitab tafsir beliau, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,

setelah menjelaskan makna الصراط المستقیم dan صراط الذین أنعمت علیھم, beliau kemudian

menjelaskan makna غیر المغضوب علیھم وال الضالین. Beliau menjelaskan bahwa orang-

orang yang dimurkai (المغضوب علیھم) adalah orang-orang yang mengetahui al-haq,

namun mereka menyimpang darinya. Sedangkan orang-orang yang tersesat (الضالین)

adalah orang-orang yang tak berilmu, mereka terjebak dalam kesesatan dan tak

mendapatkan petunjuk pada kebenaran.

Dua jalan yang kita diwajibkan menghindarinya tersebut adalah jalan yang ditempuh

oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang

memiliki ilmu, namun mereka tidak mengamalkan ilmu tersebut, sehingga mereka

disebut sebagai golongan yang dimurkai. Sedangkan orang-orang Nashrani adalah

orang-orang yang beramal tanpa ilmu, sehingga mereka disebut sebagai golongan

yang tersesat.

Memang benar, baik Yahudi maupun Nashrani adalah golongan yang dimurkai

sekaligus tersesat. Namun, secara khusus orang-orang Yahudi disifati dengan

‘kemurkaan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang mereka dalam surah al-

Maidah ayat 60, من لعنھ هللا وغضب علیھ. Dan orang-orang Nashrani secara khusus disifati

dengan ‘kesesatan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang mereka dalam surah al-

Maidah ayat 77, قد ضلوا من قبل وأضلوا كثیرا وضلوا عن سواء السبیل.

Penisbahan golongan yang dimurkai kepada Yahudi dan golongan yang tersesat

kepada Nashrani ini, juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Sunan

beliau (hadits no. 2953, terbitan Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, cetakan ke-2).

Beliau rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, ‘hadits ini hasan gharib, kami

tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Simak ibn Harb’.

71 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menghindari jalan orang-orang

yang dimurkai-Nya dan jalan orang-orang yang tersesat, sekaligus memerintahkan

kita untuk mengikuti jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya, yaitu jalan

orang-orang yang mendapatkan petunjuk, yang istiqamah, yang taat kepada Allah

dan Rasul-Nya, dan yang menjalankan perintah-perintah-Nya, serta menjauhi

larangan-larangan-Nya. Dalam surah al-Fatihah, hal ini diungkapkan dalam bentuk

doa kita kepada Allah ta’ala.

Imam Abul Fida’ rahimahullah menegaskan bahwa jalan orang-orang yang beriman

adalah jalan yang memadukan antara ilmu dan amal. Umat Islam wajib memahami

ilmu tentang al-haq, sekaligus mengamalkan ilmu tersebut, tidak seperti Yahudi dan

Nashrani yang mengambil sebagian, dan mengabaikan bagian yang lain.

Umat Islam tidak boleh beramal tanpa ilmu, karena itu adalah jalan orang-orang

Nashrani yang tersesat. Imam al-Bukhari rahimahullah, dalam kitab Shahihnya,

bahkan menyatakan ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan, artinya sebelum kita

mengatakan atau melakukan sesuatu, kita wajib mengetahui dulu tuntunan Islam

tentang hal tersebut. Demikian juga, umat Islam wajib beramal sesuai dengan ilmu

yang dimilikinya, tidak seperti orang-orang Yahudi, mereka berilmu, namun amal

mereka menyimpang dari ilmu yang mereka miliki.

Dari sini, bisa kita pahami bahwa umat Islam wajib menuntut ilmu syar’i, minimal

sebatas hal-hal yang wajib dilakukan dan dijauhi oleh seorang muslim setiap harinya,

agar mereka tidak beramal tanpa ilmu. Setelah itu, mereka juga wajib beramal sesuai

dengan ilmunya, sesuai ketetapan Syariah, dan bukan sekedar menjadi pengumpul

ilmu, tanpa mengamalkannya.

Ihdina(a)shshiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil

maghdhuubi ‘alaihim wa la(a)adhdhaalliin. Aamiin.

*****

72 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Totalitas Dalam Keberislaman

Masyarakat Indonesia, walaupun sebagian besar beragama Islam, namun hanya

sebagian kecil dari mereka yang berislam secara total. Sebagian besarnya

mencampuradukkan Islam dengan berbagai adat istiadat yang sangat tidak Islami.

Dengan justifikasi bahwa Islam yang berasal dari Arab harus diakulturalisasikan

dengan budaya daerah setempat, akhirnya lahirlah Islam kejawen dengan berbagai

macam ritual yang tidak Islami. Model Islam seperti ini juga muncul di daerah-daerah

lain di Indonesia.

Model keberislaman lain yang juga banyak dianut oleh masyarakat Indonesia adalah

hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka, tak menganggapnya sebagai

panduan bagi seluruh kehidupan manusia. Inilah yang dikenal dengan paham

sekulerisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana harusnya keberislaman kita, apakah seperti

Islam kultural (untuk menunjukkan ajaran Islam yang dicampur adukkan dengan adat

istiadat yang bukan berasal dari Islam) atau Islam sekuler (Islam hanya di masjid dan

mushalla, sedangkan di kantor, rumah dan pasar Islam tidak dipakai), atau seperti

apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengutip penjelasan Imam Ibnu

Katsir rahimahullah terhadap surah al-Baqarah ayat 208 dalam kitab Tafsir beliau.

Berikut ayat 208 dari surah al-Baqarah:

الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة وال تـتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين يا أيـها

Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thawus, adh-

Dhahhak, ‘Ikrimah, Qatadah, as-Suddi, Ibnu Zaid ketika menafsirkan kata (السلم)

mereka sepakat bahwa artinya adalah Islam (اإلسالم). Adh-Dhahhak, Ibnu ‘Abbas, Abu

al-‘Aliyah dan ar-Rabi’ ibn Anas menafsirkan kata (السلم) dengan keta’atan (الطاعة).

Sedangkan kata (كـافة) diartikan dengan keseluruhan (جمیعا). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas,

Mujahid, Abu al-‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’, as-Suddi, Muqatil Ibn Hayyan, Qatadah dan

adh-Dhahhak. Kemudian kalimat (وال تتبعوا خطوت الشیطن) yang biasanya diterjemahkan

dengan “dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaithan”, ditafsirkan oleh Imam

Ibnu Katsir dengan “laksanakanlah keta’atan dan jauhilah apa-apa yang

73 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

diperintahkan syaithan kepada kalian”. Dan syaithan memerintahkan untuk

melakukan perbuatan jahat (السوء) dan keji (الفحشاء) sebagaimana firman Allah

subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 169.

Dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168, Imam Ibnu Katsir mengu�p perkataan

Mujahid dan as-Suddi, yang menafsirkan kalimat (وال تتبعوا خطوت الشیطن), mereka

mengatakan bahwa semua kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala

merupakan bagian dari langkah-langkah syaithan.

Ayat 208 ini ditutup dengan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa

syaithan adalah musuh yang nyata bagi kita (إنھ لكم عدو مبین). Imam Ibnu Katsir

rahimahullah dalam tafsir surah al-Baqarah ayat 168 menegaskan bahwa kita harus

berpaling dari syaithan dan waspada terhadapnya.

Dari tafsir surah al-Baqarah ayat 208 ini kita bisa memahami bahwa Allah ‘azza wa

jalla memerintahkan kita untuk berislam secara keseluruhan, tidak setengah-

setengah. Kita diperintahkan untuk ta’at kepada seluruh aturan Allah subhanahu wa

ta’ala baik berupa perintah yang harus kita laksanakan maupun larangan yang harus

kita tinggalkan, dalam seluruh aspek kehidupan, inilah yang dimaksud dengan

kalimat (ادخلوا في السلم كـافة).

Kemudian Allah juga memperingatkan kita untuk menjauhi langkah-langkah syaithan,

yaitu berupa seluruh kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud dengan

kemaksiatan adalah meninggalkan segala kewajiban yang diperintahkan Allah

subhanahu wa ta’ala bagi kita atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh-Nya.

Acuannya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan pendapat masyarakat.

*****

74 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Bersegera Melaksanakan Syariah

Seorang muslim sejati tidak akan menunda-nunda pelaksanaan kewajiban dari Allah

yang di-taklif-kan kepadanya. Inilah karakter muslim sejati yang telah diteladankan

oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Sebelum kita membaca keteladanan para shahabat radhiyallahu ‘anhum tentang hal

ini, mari kita simak firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.

وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت واألرض أعدت للمتقين

Artinya: “Dan bersegeralah kalian pada ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang

luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Ali ‘Imran [3]: 133)

Menurut Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, tafsir ‘wa saari’uu ilaa maghfiratin(m)

min(r) rabbikum’ adalah ‘bersegeralah untuk takbiratul ihram bersama imam (dalam

shalat)’. Menurut ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu maksudnya adalah

‘bersegeralah dalam melaksanakan berbagai kewajiban’. Menurut ‘Utsman ibn ‘Affan

radhiyallahu ‘anhu maksudnya adalah ‘bersegeralah kepada keikhlasan’. Ada juga

penafsiran-penafsiran lain yang diajukan para ulama. Imam al-Qurthubi menjelaskan

bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup semua tafsir yang telah disebutkan

(silakan lihat al-Jaami’ li Ahkam al-Qur’anJuz 5 hal 313). Dari sini bisa kita pahami,

ayat ini berisi perintah kepada kita umat Islam untuk bersegera melaksanakan segala

ketaatan kepada Allah ta’ala.

Berikut beberapa riwayat keteladanan dari para shahabat:

في الجنة ، فألقى تمرات : أرأيت إن قتلت فأين أنـا؟ قال : قال رجل للنبي صلى اهللا عليه وسلم يوم أحد

في يده ثم قاتل حتى قتل

Artinya: “Seorang laki-laki (shahabat) bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam pada perang Uhud, ‘Tahukah engkau di mana tempatku jika aku terbunuh?’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Di surga’. Mendengar jawaban

tersebut, laki-laki itu serta-merta melemparkan buah kurma yang ada di tangannya,

kemudian ia terjun ke medan perang hingga terbunuh.” (HR. Bukhari [4046])

75 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

–وليضربن بخمرهن على جيوبهن –عن عائشة قالت يرحم اهللا نساء المهاجرات األولى لما أنـزل اهللا

شققن مروطهن فاختمرن بها

Artinya: “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ‘Semoga Allah merahmati

kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya [Dan

hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka hingga kerah baju mereka

(an-Nuur ayat 31)]. Kaum wanita tersebut merobek kain sarung mereka (untuk

dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya’.” (HR. Bukhari [4758])

عن أنس بن مالك قال كنت أسقي أبا طلحة األنصاري و أبا عبيدة بن الجراح و أبي بـن كعب شرابا من

فقال أبو طلحة يا أنس قم إلى هذه الجرار فضيخ وهو تمر فجاءهم آت فقال إن الخمر قد حرمت

فاكسرها قـال أنس فقمت إلى مهراس لنا فضربتها بأسفله حتى انكسرت

Artinya: “Dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ‘Suatu hari aku

memberi minum perasan kurma (termasuk khamr) kepada Abu Thalhah al-Anshari,

Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah dan Ubay ibn Ka’ab (radhiyallahu ‘anhum). Kemudian ada

seseorang yang datang dan berkata, ‘Sesungguhnya khamr telah diharamkan’, Maka

Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Anas, berdirilah dan pecahkanlah kendi (tempat

perasan kurma) itu!’. Maka aku pun berdiri mengambil tempat menumbuk biji-bijian

milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya hingga kendi itu pecah’.”

(HR. Bukhari [7253])

Masih banyak riwayat dari para shahabat dan pembesar umat Islam lainnya yang

menunjukkan bersegeranya mereka dalam melakukan berbagai kebaikan dan

ketaatan kepada aturan Allah ta’ala. Semoga kita mampu mengikuti keteladanan

mereka. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwaamith thariiq.

*****

76 Kumpulan Tulisan Blog | abufurqan.wordpress.com

Profil Singkat Penulis

Nama

Muhammad Abduh ibn Masran ibn Ahmad al-Banjary an-Naqary

Kunyah

Abu Furqan

Tempat dan Tanggal Lahir

Negara, 16 Sya’ban 1405 H

Tempat Tinggal Sekarang

Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Status

Menikah

Pendidikan Saat Ini

S1 Jurusan Syariah, Universitas Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, Saudi

Arabia (ta’lim ‘an bu’d)

Pekerjaan dan Aktivitas

(1) Pemilik An-Najah Agency (Agen Penjualan Buku-buku Keislaman)

(2) Pemimpin Lembaga Pendidikan Ilmu Keislaman dan Bahasa Arab Al-Mubarak

(3) Pengajar di Ma’had Taqiyuddin an-Nabhani Banjarmasin

Blog

abufurqan.wordpress.com

No. HP

0878.1534.6405

Email

[email protected]

Facebook

www.facebook.com/sy.muhammad.abduh

Twitter

twitter.com/muhammadabduh