kumpulan tanya jawab pengadaan barang jasa 1

21
 Tanya  Jawab Pengadaan Barang Jasa Pemerintah Dikumpulkan oleh : Rakhmad Sucahyo

Upload: rakhmad-sucahyo

Post on 15-Oct-2015

361 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Tanya Jawab Pengadaan Barang Jasa

TRANSCRIPT

  • Tanya

    Jawab

    Pengadaan Barang Jasa

    Pemerintah

    Dikumpulkan oleh : Rakhmad Sucahyo

  • Swakelola atau Penyedia?

    Salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada penulis adalah pak,

    sekarang anggaran sudah ada, ini pelaksanaannya pakai swakelola atau pihak

    ketiga pak?

    Terus terang, menghadapi pertanyaan seperti ini, penulis jadi bingung sendiri

    dan bertanya kembali memangnya waktu nyusun rencana umum pengadaan

    tidak ditetapkan cara pengadaannya terlebih dahulu?

    Dan biasanya jawabannya adalah tidak.

    Inilah potret kemampuan Pengguna Anggaran dalam menyusun rencana umum

    pengadaan barang/jasa pemerintah. Semua dilakukan tanpa pemahaman yang

    mendalam sehingga akhirnya bingung sendiri pada saat pelaksanaan pekerjaan.

    Sebelum terlalu dalam, penulis juga mengkritisi istilah pihak ketiga yang

    sering digunakan untuk menggambarkan penyedia barang/jasa. Hal ini karena

    dalam pelaksanaan pekerjaan, yang mengikat perjanjian hanyalah 2 pihak, yaitu

    pihak K/L/D/I dan pihak penyedia barang/jasa. Jadi siapa yang dimaksud pihak

    ketiga? Jangan-jangan kena istilah, apabila ada 2 orang yang bukan muhrimnya

    berdua-duaan, maka pihak ketiga adalah. (isi sendiri titik-titiknya)

    Berdasarkan Pasal 22 dan Penjelasan Pasal 22 Ayat 3 Huruf c angka 3, salah satu

    tugas Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan cara pengadaan barang/jasa,

    apakah akan menggunakan swakelola atau melalui penyedia barang/jasa.

    Penetapan ini merupakan bagian dari rencana umum pengadaan yang disusun

    sebelum penyusunan dokumen anggaran. Hal ini karena Pengguna Anggaran

    berdasarkan identifikasi kebutuhan yang telah dilakukan seharusnya juga

    memahami kekuatan sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan pengadaan

    barang/jasa.

  • Apa itu swakelola?

    Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya

    direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai

    penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok

    masyarakat.

    Dari pengertian ini terlihat bahwa swakelola bersifat mandiri dan dikerjakan

    oleh diri sendiri, bukan melalui penyedia. Jadi, apabila tetap menggunakan

    penyedia barang/jasa, misalnya toko, kontraktor, konsultan, tenaga ahli dari

    swasta, PT, CV, dan lain-lain, maka itu bukanlah swakelola.

    Swakelola bukan berarti dikelola sendiri. Bukan berarti diberikan uang,

    kemudian beli sendiri ke toko. Karena kalau sudah membeli ke toko, artinya

    sudah menggunakan penyedia, dimana toko inilah yang menjadi penyedianya.

    Dibawah ini adalah kasus yang sering terjadi:

    Sebuah sekolah, diberikan bantuan dana dari APBN atau APBD untuk pengadaan

    meubelair sejumlah Rp. 300 Juta. Dalam petunjuk teknis (juknis) disebutkan

    bahwa pengadaannya dilaksanakan dengan cara swakelola sesuai ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    Karena melihat juknis ini, maka Kepala Sekolah segera mencairkan anggaran

    yang telah diterima melalui rekening sekolah, kemudian mendatangi toko

    meubelair terdekat dari beberapa toko yang ada, kemudian membelanjakan

    semua uang tersebut untuk membeli meubelair untuk sekolahnya. Ini dengan

    alasan bahwa yang namanya swakelola adalah dikelola sendiri.

    Pemahaman ini adalah pemahaman yang tidak benar. Kalau sudah membutuhkan

    penyedia, itu berarti sudah bukan swakelola lagi, dan pemilihan penyedianya

    harus menggunakan metode pemilihan penyedia. Beberapa metode pemilihan

    penyedia adalah pelelangan umum, pelelangan sederhana atau pemilihan

    langsung.

    Mengapa Swakelola yang dipilih?

    Pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan secara swakelola apabila memenuhi

    salah satu dari kondisi yang tertuang dalam Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54

    Tahun 2010 dan perubahannya berikut ini:

    1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau

    memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai

    dengan tugas dan fungsi K/L/D/I;

  • 2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi

    langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I. Yang

    dimaksud dengan partisipasi langsung masyarakat setempat antara lain

    pekerjaan pemeliharaan saluran irigasi tersier, pemeliharaan hutan/tanah

    ulayat, atau pemeliharaan saluran/jalan desa;

    3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya

    tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa, misalnya pelaksanaan

    pengadaan di daerah konflik;

    4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan

    terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia

    Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar;

    5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau

    penyuluhan;

    6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang

    bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum

    dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;

    7. pekerjaan survei, pemrosesan data (misalnya sensus dan statistik),

    perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan

    pengembangan sistem tertentu;

    8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan. Yang

    dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat rahasia adalah pekerjaan yang

    berkaitan dengan kepentingan negara yang tidak boleh diketahui dan

    dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, antara lain pembuatan

    soal-soal ujian negara. Disini dilihat bahwa yang bersifat rahasia adalah

    pembuatan soalnya, bukan pencetakannya.

    Yang perlu diingat, bahwa walaupun kondisi tersebut terpenuhi, artinya

    pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan dengan cara swakelola, di dalamnya

    bisa saja terdapat penyedia barang/jasa.

    Misalnya, dalam pelaksanaan penyelenggaraan diklat, kursus, penataran,

    seminar, lokakarya atau penyuluhan, seluruh kegiatan memang dilaksanakan

    secara swakelola. Panitia berasal dari K/L/D/I sendiri, perencanaan

    dilaksanakan sendiri, juga pengawasan dilaksanakan sendiri. Namun, apabila

    membutuhkan jasa katering, dimana katering tersebut disediakan oleh

    perusahaan makanan, maka hal ini tetap menggunakan penyedia, dan untuk

    memilihnya wajib menggunakan metode pemilihan penyedia yang sesuai.

    Artinya, apabila pelaksanaan lokakarya membutuhkan katering yang bernilai di

    atas 200 Juta, maka tetap dilakukan pelelangan. Apabila dilaksanakan di hotel,

    maka dapat dilakukan penunjukan langsung dengan tata cara yang sesuai

    dengan aturan pengadaan barang/jasa.

    Kapan Penetapan Swakelola atau Penyedia dilakukan?

  • Pemilihan metode pengadaan dilakukan pada saat penyusunan rencana umum

    pengadaan dan dilaksanakan sebelum penyusunan anggaran. Metode ini sudah

    harus tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR)

    yang disusun sebagai persyaratan untuk penyusunan anggaran.

    Hal ini karena konsekwensi dari metode tersebut berujung kepada struktur

    anggaran yang akan dimasukkan dalam rencana kerja dan anggaran tahun

    berikutnya.

    Misalnya, apabila pelaksanaan lokakarya akan dilakukan dengan cara swakelola,

    maka dalam KAK dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) sudah harus diuraikan tugas

    dan fungsi masing-masing pihak yang akan terlibat. Kemudian RAB ini

    dimasukkan sebagai bagian dari dokumen anggaran. Dalam dokumen aanggaran

    juga sudah terurai komponen akomodasi dan konsumsi, honorarium panitia,

    narasumber, Alat Tulis Kantor (ATK), dan berbagai pernak-pernik lainnya.

    Namun apabila hendak menggunakan penyedia, maka dalam RAB walaupun

    diuraikan secara detail, namun dalam dokumen anggaran hanya dimasukkan

    dalam 1 mata anggaran secara gelondongan. Rincian RAB akan berubah menjadi

    rincian HPS yang sifatnay rahasia, sedangkan total RAB menjadi total anggaran

    yang masih harus disusun HPS-nya dan kemudian dilakukan pemilihan terhadap

    penyedia menggunakan metode pemilihan yang sesuai (Pelelangan, Penunjukan

    Langsung, atau Pengadaan Langsung).

    Dalam Aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) yang

    dikembangkan oleh LKPP juga sudah membagi metode pengadaan sejak awal,

    sehingga tidak ada lagi pertanyaan setelah dokumen anggaran diterima, ini

    dilaksanakan dengan cara swakelola atau penyedia yah?

    Siapa saja pelaksana swakelola?

    Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 Perpres Normo 54 Tahun 2010 dan perubahannya,

    pelaksana swakelola ada 3, yaitu K/L/D/I penanggung jawab anggaran, Instansi

    Pemerintah lain, dan Kelompok Masyarakat.

    Apabila pelaksana swakelola adalah K/L/D/I penanggung jawab anggaran, maka

    perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dilakukan sendiri oleh K/L/D/I

    tersebut. Contohnya, pengangkutan sampah dilakukan oleh Dinas Kebersihan,

    atau lokakarya yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, dan kegiatan-

    kegiatan lainnya. Namun seperti yang disampaikan pada tulisan di atas, apabila

    dalam pelaksanaan kegiatan membutuhkan penyedia, maka metode pemilihan

    penyedia sesuai Perpres juga tetap harus dilaksanakan.

  • Pelaksana kedua adalah instansi pemerintah lain. Yang perlu digarisbawahi

    adalah, pelaksana wajib berupa instansi pemerintah, bukan swasta dan bukan

    juga instansi yang mengaku-ngaku pemerintah. Contoh instansi pemerintah

    adalah Perguruan Tinggi Negeri, Lembaga Negara, atau Institusi Pemerintah

    seperti BPPT, Bakosurtanal, dan lain-lain.

    Apabila pengadaan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, maka anggaran biaya

    yang digunakan harus tunduk kepada acuan pemerintah juga. Misalnya untuk

    honorarium, maka harus tunduk kepada aturan Kementerian Keuangan mengenai

    standar biaya masukan atau acuan dari instansi terkait. Konsultan yang berasal

    dari Perguruan Tinggi, harus mau dibayar menggunakan acuan tersebut, tidak

    bisa menggunakan acuan konsultan swasta. Apabila hendak dibayar senilai

    konsultan swasta, maka harus cuti di luar tanggungan negara terlebih dahulu

    kemudian terjun secara penuh melaksanakan pekerjaan konsultan.

    Dalam penyusunan KAK dan Anggaran, Pengguna Anggaran (PA) dapat langsung

    menetapkan instansi pemerintah yang menjadi target dan sasaran kerjasama.

    Hal ini didahului dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)

    terlebih dahulu sebagai landasan legal kerjasama. Sehingga nama instansi

    pemerintah pelaksana swakelola dapat dimunculkan dalam dokumen anggaran.

    Hal ini mencegah kebingungan tentang instansi mana yang dapat diajak

    kerjasama saat anggaran telah tersedia? Semua sudah harus direncanakan dan

    dipersiapkan sebelumnya.

    Demikian juga dengan pelaksana swakelola yang berasal dari kelompok

    masyarakat. Target kelompok masyarakat pelaksana swakelola sudah harus

    dipersiapkan sebelumnya dan harus dipastikan bahwa kolompok masyarakat

    tersebut mampu melaksanakan pekerjaan. Jangan sampai kelompok nelayan

    yang tidak memiliki pengetahuan mengenai konstruksi, diminta untuk

    membangun dermaga ber-tiang pancang. Intinya adalah, seluruh target

    pelaksana sudah harus dituangkan dalam perencanaan, bukan tiba masa tiba

    akal.

    Bagaimana cara memilih pelaksana pengadaan?

    Tahapan awal yang harus dilaksanakan untuk memilih pelaksana pengadaan

    adalah dengan memetakan antara identifikasi kebutuhan dengan kemampuan

    K/L/D/I dalam melaksanakan pengadaan tersebut.

    Misalnya, dalam identifikasi kebutuhan ditemukan kegiatan untuk pelaksanaan

    pengadaan komputer, maka yang pertama dipetakan adalah, apakah pengadaan

    tersebut memenuhi kriteria Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan

    perubahannya yang sudah dijelaskan diatas? Apabila iya, maka dilaksanakan

  • dengan cara swakelola. Apabila tidak , maka dilaksanakan oleh penyedia

    barang/jasa. Apabila dilaksanakan dengan cara swakelola, maka harus dipetakan

    lagi siapa yang akan melaksanakan, apakah K/L/D/I penanggung jawab

    anggaran, instansi pemerintah lain, atau kelompok masyarakat.

    Tahapan berikutnya adalah memetakan komponen kegiatan dan biaya yang

    dibutuhkan untuk melaksanakan pengadaan sesuai dengan pelaksana pengadaan

    yang telah ditetapkan sebelumnya.

    Dalam penyusunan anggaran, apabila pelaksanaan pengadaan dilakukan secara

    swakelola, maka mata anggaran serta jenis kegiatan dapat diuraikan secara

    rinci. Sedangkan apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa, maka mata

    anggaran dapat digabungkan menjadi satu. Perincian dapat dilakukan apabila

    memang jenis barangnya membutuhkan perincian berdasarkan aturan keuangan.

    Akhir kata, jangan memilih swakelola atau penyedia setelah dokumen anggaran

    ditetapkan, tetapi pilihlah pada saat perencanaan pengadaan.

  • Masihkah Kerangka Acuan Kerja menjadi Acuan?

    Identifikasi kebutuhan adalah salah satu kegiatan dalam penyusunan rencana

    umum pengadaan. Kegiatan lain yang juga menjadi bagian dalam penyusunan

    rencana umum pengadaan adalah penyusunan dan penetapan Kerangka Acuan

    Kerja (KAK).

    Sesuai dengan namanya, KAK adalah acuan dalam setiap pengadaan barang/jasa

    yang terdiri atas:

    1. uraian kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi latar belakang, maksud,

    dan tujuan, lokasi kegiatan, sumber pendanaan, serta jumlah tenaga yang

    diperlukan;

    2. waktu yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan tersebut

    mulai dari pengumuman, rencana pengadaan sampai dengan penyerahan

    barang/jasa;

    3. spesifikasi teknis barang/jasa yang akan diadakan; dan

    4. besarnya total perkiraan biaya pekerjaan termasuk kewajiban pajak yang

    harus dibebankan pada kegiatan tersebut.

    Istilah lain yang sering digunakan untuk menggambarkan KAK adalah Term Of

    Reference (TOR). KAK dan RAB merupakan dokumen awal yang disusun untuk

    penganggaran tahunan dan termasuk dalam dokumen anggaran K/L/D/I.

    Permasalahan yang terjadi di lapangan, karena proses pengadaan yang dilakukan

    dimulai dari identifikasi kebutuhan yang mengada-ada, maka penyusunan KAK

    juga hanya dilakukan setengah hati dan sekedar untuk menggugurkan kewajiban

    dokumen dalam penyusunan anggaran belaka.

    Sering terjadi, karena sifat pekerjaan selalu berulang setiap tahun, maka KAK

    yang disusun hanya sekedar save as dari dokumen KAK tahun sebelumnya.

  • Cukup dengan mengganti jumlah sasaran dan mencocokkan nilai anggaran

    dengan standar biaya terbaru bahkan dengan menyusun waktu secara asal-

    asalan maka KAK sudah siap dijadikan lampiran pembahasan anggaran.

    Inilah yang menyebabkan proses pengadaan menjadi kacau balau, karena ruh

    utama pengadaan, yaitu identifikasi kebutuhan tidak tersampaikan secara jelas

    dan dipahami secara mendalam serta dituliskan secara terukur. Proses

    penyusunan KAK berhenti hanya sebatas pemenuhan persyaratan administratif

    dalam penganggaran.

    Ciri-ciri KAK yang tidak menjadi acuan, biasanya adalah:

    1. Tidak ada kaitan antara program atau kegiatan dengan Visi, Misi, dan

    Strategi K/L/D/I. Kegiatan tiba-tiba muncul begitu saja dalam untaian

    kalimat KAK dan tidak memiliki dasar mengapa sampai program

    tersebut harus ada

    2. Susunan kata, kalimat, bahkan paragraf, sama persis dengan KAK

    sebelumnya, atau dengan KAK sejenis dari bagian/bidang lain

    3. Time Schedule yang tercantum dalam KAK banyak yang tidak masuk akal,

    misalnya pelaksanaan pekerjaan sudah dimulai pada bulan Januari

    sedangkan anggaran pada bulan tersebut masih belum disahkan. Juga

    penentuan lamanya waktu pelaksanaan pekerjaan tidak dapat

    dipertanggungjawabkan karena berupa perkiraan. Juga apabila dilacak ke

    belakang, maka pelaksanaan pekerjaan tidak pernah sesuai dengan yang

    tertuang dalam KAK

    4. Jumlah target dan sasaran kegiatan hanya sekedar mencocok-cocokkan

    dengan anggaran yang tersedia. Sama sekali tidak ada korelasi jumlah

    peserta dengan sasaran yang ingin dicapai khususnya apabila dikaitkan

    dengan visi, misi, dan strategi.

    Satu-satunya jalan untuk menghindari hal ini hanyalah dengan memahami

    perencanaan pengadaan secara menyeluruh dan menuangkan semuanya ke

    dalam Kerangka Acuan Kerja yang benar-benar menjadi acuan.

  • Masa Kontrak vs Masa Pelaksanaan Pekerjaan

    Salah satu pertanyaan yang sering sulit dijawab oleh pelaksana pengadaan

    barang/jasa adalah apa perbedaan antara masa kontrak dengan masa

    pelaksanaan pekerjaan.

    Sebagian besar jawaban yang sering disampaikan adalah keduanya sama saja.

    Atau yang disebut dengan masa kontrak/masa berlakunya kontrak itu sama

    dengan masa pelaksanaan pekerjaan. Hal ini sering menjadi permasalahan

    khususnya pada akhir tahun anggaran dalam hal pencairan pembayaran atau

    untuk perhitungan denda pelaksanaan pekerjaan.

    Apakah benar bahwa masa kontrak itu sama dengan masa pelaksanaan

    pekerjaan? Apabila iya, maka beberapa ilustrasi di bawah ini mungkin dapat

    menjadi renungan.

    1. Seperti yang kita ketahui, bahwa kontrak itu dimulai sejak

    ditandatangani. Sedangkan pelaksanaan pekerjaan dimulai sejak

    dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Apabila SPMK

    dikeluarkan beberapa hari setelah kontrak ditandatangani, maka akan

    ada waktu kosong antara tanggal penandatanganan kontrak dengan SPMK.

    Apabila kita beranggapan bahwa masa kontrak = masa pelaksanaan

    pekerjaan, artinya sejak kontrak ditandatangani hingga SPMK, tidak ada

    kontrak disana. Ini jelas tidak mungkin.

    2. Khusus untuk pekerjaan konstruksi, serah terima pekerjaan dilakukan

    sebanyak 2 kali, yaitu serah terima pertama (PHO) dan serah terima akhir

    (FHO) setelah dilakukan pemeliharaan. Untuk menjamin penyedia

    barang/jasa melaksanakan pemeliharaan, maka diwajibkan jaminan

    pemeliharaan atau retensi sebesar 5% dari nilai kontrak. Apabila penyedia

    barang/jasa tidak melaksanakan pemeliharaan, maka jaminan atau

    retensi ini disita dan dicairkan ke kas negara/daerah. Ketentuan

    pencairan ini tertuang dalam kontrak. Apabila masa kontrak = masa

    pelaksanaan pekerjaan, maka tentu saja setelah serah terima pertama,

    kontrak sudah dinyatakan tidak berlaku karena masa berlakunya telah

    selesai sehingga penyedia tidak terikat lagi pada kontrak tersebut. Hal ini

    berarti penyedia yang tidak melaksanakan pemeliharaan tidak dapat

    dihukum atau dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam kontrak.

    3. Penyedia barang/jasa yang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan hingga

    masa pelaksanaan pekerjaan berakhir, dapat tetap melanjutkan

    pekerjaan dengan dikenakan sanksi denda keterlambatan. Bahkan PPK

    dapat memutuskan kontrak apabila penyedia telah diberikan kesempatan

    selama 50 hari kalender namun tetap tidak mampu menyelesaikan

    pekerjaan. Apabila masa kontrak = masa pelaksanaan pekerjaan, maka

    setelah masa pelaksanaan pekerjaan berakhir, kontrak akan putus dengan

  • sendirinya sehingga penyedia barang/jasa yang terlambat dalam

    melaksanakan pekerjaan tidak memiliki dasar untuk dikenakan denda

    keterlambatan. Hal ini karena klausul denda tersebut tertuang pada

    kontrak yang sudah tidak berlaku lagi.

    Dari ketiga ilustrasi tersebut jelas bahwa masa kontrak tidak sama dengan masa

    pelaksanaan pekerjaan. Kemudian, apa yang dimaksud dengan masa kontrak?

    Dalam setiap standar dokumen pengadaan yang resmi dikeluarkan oleh

    Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melalui

    Peraturan Kepala (Perka) LKPP Nomor 15 dan 18 Tahun 2012 pada Syarat-Syarat

    Umum Kontrak (SSUK), Bagian A, 1, Klausul 1.24 telah disebutkan bahwa Masa

    Kontrak adalah jangka waktu berlakunya kontrak ini terhitung sejak

    tanggal kontrak ditandatangani sampai dengan masa pemeliharaan

    berakhir.

    Hal ini jelas bahwa masa kontrak tidak sekedar masa pelaksanaan pekerjaan.

    Masa pelaksanaan pekerjaan merupakan bagian dari masa kontrak.

    Hal ini dapat dilihat secara jelas pada gambar di bawah:

    Setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memperhatikan ketentuan ini

    yang harus diisi pada Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK), karena kesalahan

    dalam menuliskan masa kontrak dapat menyebabkan para pihak menjadi tidak

    terikat lagi dalam ketentuan perjanjian sehingga setiap implikasi dari

    pelanggaran kontrak tidak dapat dibebankan kepada para pihak yang terlibat.

    Khusus untuk pekerjaan kontruksi, masa kontrak dapat melewati tahun anggaran

    apabila masa pemeliharaan juga melewati tahun anggaran. Misalkan sebuah

    pekerjaan kontraksi selesai pada bulan Nopember 2013 dan membutuhkan

    pemeliharaan selama 3 bulan, maka masa kontraknya berakhir pada bulan

    Februari 2014.

    Ini bukanlah kontrak tahun jamak, karena pengertian kontrak tahun jamak

    berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan

  • Perubahannya, Pasal 52 Ayat 2 adalah kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya

    untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran, bukan yang masa kontraknya

    lebih dari 1 tahun anggaran.

    Hal lain yang harus diperhatikan berkenaan dengan masa kontrak dengan masa

    pelaksanaan pekerjaan adalah mengenai keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

    Yang dimaksud dengan keterlambatan sehingga penyedia dikenakan sanksi

    denda keterlambatan adalah pelaksanaan pekerjaan yang melewati batas akhir

    pelaksanaan pekerjaan. PPK harus memperhatikan batas waktu kontrak apabila

    terjadi keterlambatan pekerjaan, karena setiap keterlambatan akan

    mengakibatkan mudurnya masa pemeliharaan pekerjaan (khusus untuk

    pekerjaan konstruksi). Untuk memperhatikan hal ini maka PPK perlu melakukan

    adendum kontrak dengan menambah masa kontrak, bukan dengan menambah

    waktu pelaksanaan pekerjaan.

    Apabila PPK menambah waktu pelaksanaan pekerjaan dengan alasan penyedia

    terlambat, maka tentu saja penyedia itu tidak terlambat lagi, karena batas

    waktu peneyelesaian pekerjaannya turut mundur dan disesuaikan dengan batas

    waktu baru yang telah diadendum oleh PPK. Karena tidak terlambat, maka tidak

    dapat dikenakan denda keterlambatan.

    Khusus untuk akhir tahun anggaran, masa pelaksanaan pekerjaan tidak

    dimungkinkan untuk diadendum melebihi akhir tahun anggaran yaitu 31

    Desember karena akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pekerjaan.

    Tulisan mengenai ini sudah saya bahas juga pada artikel Putuskan saja (SEMUA)

    kontrak akhir tahun.

    Akhir tulisan, perlu diperhatikan mengenai perbedaan antara masa kontrak

    dengan masa pelaksanaan pekerjaan karena implikasi hukum perdata terhadap

    ketidakpahaman ini dapat berakibat fatal di kemudian hari.

  • Putuskan Saja (SEMUA) Kontrak Akhir Tahun

    Lagi-lagi permasalahan tahunan mulai menghadang di depan mata. Tanggal 1

    Desember 2013, beberapa PPK sudah mulai berdatangan meminta petunjuk

    mengenai pelaksanaan pekerjaan yang diprediksi tidak dapat diselesaikan

    pada akhir tahun anggaran.

    Berbagai alasan disampaikan, mulai dari anggaran APBN-P atau APBD-P yang

    terlambat disahkan, persiapan yang membutuhkan waktu yang lama, pelelangan

    yang gagal beberapa kali, hingga kondisi alam yang tidak bersahabat kepada

    manusia. Untung tidak diminta bertanya kepada rumput yang bergoyang

    Kalau dilihat secara keseluruhan, sebagian besar permasalahan ini dimulai dari

    perencanaan yang tidak matang. Proses pengadaan yang tidak memetakan

    kebutuhan terlebih dahulu namun hanya berdasarkan anggaran yang tersedia

    menjadi salah satu sebab utama mundurnya pelaksanaan pelelangan.

    Anggaran APBN-P dan APBD-P yang terlambat turun kerap menjadi alasan,

    namun sebenarnya apabila perencanaan pengadaan yang menggunakan APBN-P

    dan APBD-P sesuai dengan konsep perubahan yang disandang oleh anggaran,

    maka kegiatan yang akan dibiayai melalui anggaran perubahan seharusnya bukan

    kegiatan yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang panjang serta hanya

    merupakan kelanjutan/perbaikan dari kegiatan yang telah dianggarkan

    sebelumnya.

    Pada akhir tahun ini, ada beberapa skenario yang sering terjadi, diantaranya

    adalah:

    1. Pelaksanaan pelelangan belum dilaksanakan.

    2. Pelaksanaan pelelangan sudah dilaksanakan, namun SPPBJ belum

    dikeluarkan atau kontrak belum ditandatangani.

    3. Penandatanganan kontrak sudah dilaksanakan, namun pekerjaan belum

    dilaksanakan.

    4. Pekerjaan sudah dilaksanakan, masa pelaksanaan pekerjaan pada kontrak

    sebelum 20 Desember 2013 namun pekerjaan diprediksi tidak selesai pada

    masa pelaksanaan, melainkan sebelum 31 Desember 2013.

    5. Pekerjaan sudah dilaksanakan, namun pelaksanaan pekerjaan diprediksi

    tidak dapat selesai pada tanggal 31 Desember 2013.

  • Mari kita bahas tindak lanjut dari masing-masing skenario:

    Pelaksanaan pelelangan belum dilaksanakan

    Apabila hingga minggu pertama Desember pelelangan masih belum

    dilaksanakan, maka pastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan masih dapat

    dilaksanakan dalam waktu yang amat singkat. Dalam menyusun jadwal, harus

    sudah memperhitungkan masa sanggah dan masa sanggahan banding apabila

    ada.

    Kalau melihat jadwal normal, maka hal ini sebenarnya tidak mungkin dapat

    dilaksanakan kecuali melakukan lelang-lelangan dan akal-akalan. Pernah

    ada informasi, kontrak ditandatangani pada tanggal 31 Desember pukul 08.00,

    dan BAST dibuat pada tanggal 31 Desember pukul 17.00. Kalau lelangnya tidak

    diatur, pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu, pekerjaan sudah

    dilakukan sebelum lelang dimulai, dan berbagai pelanggaran fatal lainnya,

    maka hal ini sulit diterima akal sehat.

    Kesimpulannya, apabila pelaksanaan pelelangan belum dilaksanakan, maka

    batalkan saja rencana pelaksanaan pelelangannya. Kalau pimpinan

    memerintahkan untuk melanjutkan, Pokja ULP/Panitia Pengadaan minta surat

    resmi pimpinan yang berisi perintah melaksanakan pelelangan dan pernyataan

    akan bertanggung jawab secara hukum apabila dikemudian hari ada

    permasalahan yang ditemukan.

    Pelaksanaan pelelangan sudah dilaksanakan, namun SPPBJ belum

    keluarkan atau kontrak belum ditandatangani.

    Apabila kondisi ini terjadi, maka PPK harus melihat jangka waktu pelaksanaan

    pekerjaan yang tersisa. Apakah masih memungkinkan untuk melaksanakan

    pekerjaan. Kondisi yang sering terjadi adalah berlarut-larutnya pelaksanaan

    pemilihan penyedia yang disebabkan lambatnya evaluasi, penetapan pemenang,

    atau proses jawaban sanggahan banding. Apabila waktu yang tersisa tidak

    memungkinkan lagi untuk pelaksanaan pekerjaan, PPK dapat menolak

    mengeluarkan SPPBJ dan menyerahkan keputusan akhir pada PA/KPA.

    Penyedia barang/jasa juga harus memperhatikan kemampuannya. Apabila tidak

    mampu melaksanakan dalam waktu yang singkat, jangan memaksakan diri

    menandatangani kontrak karena hanya melihat keuntungan di depan mata.

    Keuntungan ini dapat berubah menjadi kerugian dalam sekejap apabila terjadi

    permasalahan di kemudian hari. Penyedia dapat menolak menandatangani

    kontrak dengan alasan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sudah tidak sesuai

  • dengan penawaran yang diajukan. PPK tidak boleh memberikan sanksi kepada

    penyedia yang menolak karena alasan penolakan dapat diterima.

    Apabila PPK dan penyedia menilai bahwa waktu yang tersisa masih

    memungkinkan untuk melaksanakan pekerjaan, maka dilakukan perubahan

    jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sebelum penandatanganan kontrak.

    Setelah kontrak ditandatangani oleh kedua pihak, maka hal tersebut menjadi

    kewajiban bersama untuk dilaksanakan. Tidak ada lagi alasan apapun untuk

    menunda pelaksanaan pekerjaan, kecuali keadaan kahar.

    Sebaiknya klausul keterlambatan pada Syarat-syarat umum kontrak (SSUK) dan

    Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK) dihapuskan, sehingga pekerjaan ini tidak

    boleh terlambat. Penyedia wajib menggandakan setiap usaha untuk

    menyelesaikan pekerjaan. Apabila pekerjaan terlambat, maka pemutusan

    kontrak secara sepihak oleh PPK dapat dilaksanakan dan penyedia dikenakan

    sanksi pencairan jaminan pelaksanaan serta dimasukkan dalam daftar hitam

    (blacklist). Hal ini untuk memberikan ketegasan dalam batas waktu berakhirnya

    pekerjaan.

    Penandatanganan kontrak sudah dilaksanakan, namun pekerjaan belum

    dilaksanakan

    Apabila kontrak sudah ditandatangani, Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) sudah

    dikeluarkan, namun pekerjaan belum dilaksanakan, padahal dalam jadwal

    pelaksanaan pekerjaan sudah harus mencapai persentase tertentu, maka PPK

    segera melaksanakan Show Cause Meeting (SCM), yaitu pertemuan yang

    melibatkan PPK, Penyedia Barang/Jasa, dan Konsuntan Pengawas (apabila ada)

    untuk membahas hal-hal yang menyebabkan pekerjaan belum dilaksanakan.

    Apabila hasil pertemuan menyimpulkan bahwa pekerjaan belum dapat

    dilaksanakan karena hal-hal diluar kemampuan penyedia, misalnya perijinan

    lahan yang belum selesai, adanya konflik masyarakat, dan lain-lain, maka

    ditelaah apakah permasalahan tersebut dapat diselesaikan secepatnya dan

    pekerjaan dapat dilaksanakan paling lambat 31 Desember. Apabila jawabannya

    iya, maka PPK segera memerintahkan penyedia untuk melaksanakan pekerjaan.

    Apabila jawabannya tidak, maka pelaksanaan pekerjaan sebaiknya dibatalkan

    dan kontrak diputuskan tanpa memberikan sanksi kepada penyedia.

    Apabila penyedia merasa dirugikan dengan pemutusan kontrak, silakan

    mengajukan tuntutan perdata kepada PA/KPA karena hal ini berarti terjadi

    kesalahan pada saat perencanaan, dan yang bertanggung jawab terhadap

    perencanaan adalah PA/KPA. Penyedia berhak mengajukan tuntutan ganti rugi

    sesuai perhitungannya dan nanti akan diputuskan oleh hakim apakah nilai ganti

    rugi yang diajukan sudah memenuhi rasa keadilan atau tidak.

  • Pekerjaan sudah dilaksanakan, masa pelaksanaan pekerjaan pada kontrak

    sebelum 20 Desember 2013 namun pekerjaan diprediksi tidak selesai pada

    masa pelaksanaan, melainkan sebelum 31 Desember 2013.

    Sebenarnya aturan pelaksanaan pekerjaan tunduk pada ketentuan yang

    tercantum pada kontrak. Bahkan menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang

    Hukum Perdata (KUHPer), perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang

    berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan 17 Tahun 2003, akhir tahun anggaran

    adalah 31 Desember, sehingga apabila kontraknya bukan kontrak tahun jamak,

    maka pelaksanaan pekerjaan yang dibiayai dari satu tahun anggaran harus

    diselesaikan pada tanggal 31 Desember.

    Namun, aturan keuangan kita agak melenceng, dengan mewajibkan pelaksanaan

    pekerjaan harus selesai pada tanggal tertentu sebelum 31 Desember hanya

    dengan alasan agar bagian keuangan tidak kerepotan melakukan pembayaran.

    Maka muncullah aturan, bahwa penagihan paling lambat 12 Desember, 15

    Desember, atau 20 Desember. Terus terang, ini sebenarnya menyimpang dari

    Undang-Undang keuangan negara itu sendiri, namun karena istilah Keuangan

    Yang Maha Kuasa maka pelaksana pengadaan terpaksa harus tunduk terhadap

    hal tersebut.

    Nah, apabila pelaksanaan pekerjaan melebihi masa kontrak yang sudah

    ditetapkan berakhir pada tanggal 12, 15 atau tanggal 20 Desember, maka segera

    cari ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan pada akhir tahun. Pada tahun

    2013 ini, salah satu aturan yang dapat digunakan apabila anggaran yang

    digunakan merupakan anggaran APBN adalah Peraturan Direktur Jenderal

    (Perdirjen) Perbendaharaan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Langkah-Langkah

    Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2013.

    Dalam Perdirjen tersebut dikenal mengenai Jaminan Pembayaran untuk

    mengantisipasi pembayaran apabila pelaksanaan melewati batas akhir

    pembayaran. Namun yang harus diperhatikan, langkah ini berhenti pada tanggal

    31 Desember 2013, sehingga tidak dibenarkan jaminan pembayaran melewati

    tahun anggaran 2013.

    Lupakan ketentuan bahwa penyedia dapat terlambat 50 (lima puluh) hari

    kalender melewati tahun anggaran, karena ketentuan tersebut merupakan

    ketentuan pengadaan dan bukan ketentuan keuangan.

    Khusus pengguna APBD, maka sejak saat ini harus segera mencari payung hukum

    yang sesuai, atau kalau tidak ada, maka segera usulkan kepada Kepala Daerah

  • untuk membuat aturan khusus untuk menghadapi tahun anggaran, mumpung

    waktu penyusunannya masih ada.

    Keterlambatan ini harus diiringi dengan pengenaan denda sesuai ketetentuan

    pada kontrak, yaitu 1/1000 x nilai kontrak atau bagian kontrak untuk setiap hari

    keterlambatan.

    Bagi penyedia, segera gandakan kemampuan apabila kondisi ini terjadi.

    Usahakan tidak melewati batas akhir pelaksanaan pekerjaan sesuai jangka

    waktu pada kontrak, namun kalau terpaksa terlambat, maka jangan sampai

    melewati 31 Desember.

    Pekerjaan sudah dilaksanakan, namun pelaksanaan pekerjaan diprediksi

    tidak dapat selesai pada tanggal 31 Desember 2013

    Kemungkinan terakhir yang dapat terjadi adalah setelah dilakukan SCM, maka

    pekerjaan diprediksi tidak dapat selesai pada tanggal 31 Desember 2013.

    Apabila ini terjadi, maka PPK segera melakukan persiapan untuk pemutusan

    kontrak. Kontrak dapat diputuskan segera setelah teguran ke 3 dilayangkan,

    atau menunggu tepat 31 Desember 2013 setelah sebelumnya sudah melakukan

    teguran dan peringatan tertulis terlebih dahulu.

    Jangan sekali-sekali membiarkan pelaksanaan pekerjaan melewati tahun

    anggaran apabila kontrak yang digunakan adalah kontrak tahun tunggal. Tidak

    ada alasan curah hujan yang terlalu tinggi, karena semua sudah tahu bahwa

    pada akhir tahun resiko curah hujan ada di depan mata.

    Tidak ada alasan stok kosong, karena penyedia saat memasukkan penawaran

    seharusnya sudah tahu mengenai ketersediaan stok. Tidak ada alasan tidak

    cukup waktu untuk melaksanakan pekerjaan, karena penyedia saat memasukkan

    penawaran sudah menghitung jangka waktu pelaksanaan pekerjaan. Sehingga

    kalau tidak sanggup seharusnya tidak memasukkan penawaran.

    Intinya adalah, putuskan saja SEMUA kontrak seperti ini. Jangan berharap

    mekanisme luncuran, karena akan ribet saat penyusunan anggaran tahun

    anggaran berikutnya, serta akan mengganggu prioritas program tahun anggaran

    berikutnya.

    Khusus APBN, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25 Tahun 2012 tentang

    Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan Yang Dibebankan Pada

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran Berikutnya rupanya

    hanya sekedar Macan Kertas belaka tanpa dapat dilaksanakan di lapangan.

    Pengalaman beberapa orang rekan yang mencoba melaksanakan hal tersebut,

  • justru menjadi temuan pada saat pemeriksaan, serta dipersulit pada saat

    pembayaran pekerjaan pada tahun anggaran berikutnya.

    Sehingga, hindari pelaksanaan pekerjaan yang melewati tahun anggaran. Juga

    jangan sekali-sekali membuat Berita Acara Serah Terima pekerjaan fiktif, yaitu

    sebelum tanggal 31 Desember dibuat BAST 100% hanya sekedar mencairkan

    anggaran 100% padahal fisik pekerjaan belum mencapai 100%. Walaupun

    anggaran tersebut kemudian ditahan dan tidak bisa dicairkan oleh Bank. Hal ini

    karena tindakan tersebut sudah masuk ranah pemalsuan dokumen, yaitu

    membuat dokumen yang tidak sesuai dengan kondisi real dan menyebabkan

    negara membayar tidak sesuai kondisi nyata.

    Walaupun penyedianya tetap melanjutkan pekerjaan hingga melewati tahun

    anggaran dan anggaran dicairkan setelah penyedia selesai melakukan pekerjaan,

    namun tetap tidak diba dikenakan denda keterlambatan, padahal secara nyata

    penyedia sudah melakukan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. Hal ini

    karena sudah dibuatkan BAST 100%.

    Sekali lagi, putuskan saja SEMUA kontrak yang tidak dapat diselesaikan pada

    akhir tahun anggaran, agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari.

    Penyedia yang merasa dirugikan, lanjutkan dengan tuntutan perdata di

    pengadilan, agar PA/KPA dihukum karena tidak melaksanakan perencanaan yang

    baik dan benar.

  • E-Proc wajib 100% untuk K/L/D/I pada Tahun 2013

    Setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2011 tentang

    Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2012 yang salah satu isinya

    adalah mewajibkan pelaksanaan pengadaan secara elektronik (E-

    Procurement/E-Proc) untuk Kementerian/Lembaga/Insitusi untuk 75% dari paket

    pelelangan serta 40% untuk Pemerintah daerah, maka pada tanggal 25 Januari

    2013, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Inpres terbaru yaitu Inpres

    Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

    tahun 2013.

    Salah satu isinya adalah mewajibkan pelaksanaan pelelangan secara elektronik

    (E-Proc) untuk 100% pengadaan di lingkup Kementerian dan Pemerintah Daerah.

    Hal ini tertuang pada butir 147 pada lampiran Inpres tersebut. Butir penting

    lainnya adalah kewajiban untuk menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP)

    sebanyak 40% dari total nilai pengadaan.

    Dengan dikeluarkannya Inpres ini, maka sosialisasi dan pelatihan untuk E-Proc

    pada tahun 2013 harus lebih diperbanyak, baik kepada Panitia/ULP maupun

    kepada penyedia barang/jasa. Banyak yang bertanya, apakah ada konsekwensi

    dari ketidakpatuhan mengikuti Inpres?

    Karena sifatnya Inpres dan bukan Undang-Undang, maka konsekwensi hukum

    (Pidana atau Perdata) tentu tidak ada, namun itu membuktikan ketidaktaatan

    terhadap instruksi Presiden sebagai Kepala Negara. Tentu Presiden yang

    berhak memberikan hukuman terhadap pelanggaran tersebut.

  • Jaminan Penawaran tidak diperlukan untuk Lelang

    Secara Elektronik (E-Proc)

    Kalimat pada judul saya yakin membuat sebagian pembaca menjadi bertanya-

    tanya karena hal ini merupakan sebuah pernyataan yang sama sekali baru.

    Selama ini, pelelangan umum dan pelelangan sederhana mempersyaratkan

    Jaminan Penawaran. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala (Perka)

    LKPP Nomor 18 Tahun 2012 tentang E-Tendering maka ada pengecualian

    terhadap aturan tersebut.

    Perka LKPP Nomor 18 Tahun 2012 memang merupakan sebuah hadiah akhir

    tahun dari LKPP yang cukup signifikan, karena mengubah banyak hal terhadap

    proses pengadaan secara elektronik (E-Proc) yang terdahulu. Juga menyebabkan

    semua Standard Bidding Document (SBD) atau Standar Dokumen Pengadaan

    (SDP) harus segera menyesuaikan.

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Perka LKPP Nomor 18 Tahun 2012

    adalah:

    1. Mulai diperkenalkan aplikasi Sistem Pengamanan Komunikasi Dokumen

    (SPAMKODOK) yang dikembangkan oleh Lembaga Sandi Negara;

    2. Rencana pelaksanaan pengadaan (Spesifikasi Teknis, HPS, dan Rancangan

    Kontrak) yang disusun oleh PPK dapat diserahkan kepada ULP dalam

    bentuk dokumen elektronik;

    3. Penekanan bahwa jadwal pelaksanaan pemilihan menggunakan hari

    kalender, kecuali untuk:

    o pemberian penjelasan;

    o batas akhir pemasukan penawaran;

    o pembukaan penawaran;

    o pembuktian kualifikasi; dan

    o batas akhir sanggah/sanggah banding,

    tetap memperhatikan hari kerja.

    4. Penegasan bahwa kumpulan tanya jawab pada saat penjelasan pekerjaan

    sudah berupakan Berita Acara Pemberian Penjelasan;

    5. Seluruh pernyataan yang dibutuhkan dalam persyaratan kualifikasi sudah

    tertuang dalam SPSE, sehingga dengan mengirimkan data kualifikasi

    secara elektronik maka penyedia dianggap sudah menyetujui seluruh

    pernyataan tersebut;

    6. Yang disebut dengan penawaran lebih dipertegas, yaitu file yang dapat

    dibuka dan dapat dievaluasi yang sekurang-kurangnya memuat harga

    penawaran, daftar kuantitas dan harga, jangka waktu penawaran, dan

    deskripsi/spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan;

  • 7. Dalam pembuktian kualifikasi, Pokja ULP dapat tidak meminta dokumen

    kualifikasi apabila penyedia barang/jasa sudah pernah melaksanakan

    pekerjaan yang sejenis dan kompleksitas yang setara. Hal ini akan

    mempersingkat dan mempermudah pelaksanaan pelelangan;

    8. Jaminan penawaran tidak diperlukan untuk pengadaan barang/jasa yang

    memiliki nilai paling tinggi Rp. 2.500.000.000,00 (Dua Milyar Lima Ratus

    Juta Rupiah) ATAU tidak menimbulkan risiko apabila pemenang

    mengundurkan diri menyebabkan pekerjaan tidak dapat diselesaikan

    tepat pada waktunya;

    9. Apabila tetap mempersyaratkan Jaminan Penawaran, maka Jaminan

    Penawaran Asli diserahkan pada saat pembuktian kualifikasi (apabila

    menggunakan Pascakualifikasi) atau pada saat sebelum penetapan

    pemenang (apabila menggunakan Prakualifikasi); dan

    10. Apabila tidak menyerahkan Jaminan Penawaran Asli dan/atau Jaminan

    tidak dapat dicairkan, maka akun penyedia akan dinonaktifkan dan dapat

    dimasukkan dalam daftar hitam.